Fear Street - Dihantui Haunted Bagian 1
1 Melissa dryden terbangun dan menjerit.
Kengerian seolah-olah mencekiknya, meskipun ia masih
setengah mengantuk. Ia berteriak lagi ketika bunyi di jendela kamarnya makin keras.
"Tidak... jangan! Jangan masuk!"
Ia berusaha turun dari tempat tidurnya, tapi kakinya tersangkut
selimut. Napasnya terengah-engah, ia mencoba tidak panik, lalu
menyentakkan kakinya dan terhuyung-huyung menuju jendela"
bersamaan dengan ayahnya menyerbu masuk kamar.
"Lissa... ada apa?"
Melissa berlari ke ayahnya untuk berlindung, sambil menunjuk
jendela. "Ada orang di luar sana," jawabnya tergagap-gagap.
Bunyi ribut di jendela makin keras.
"Hah?" Ayahnya mengedip-ngedipkan matanya sambil
mendekati jendela. Kacamatanya pasti belum sempat ditemukan
dalam gelap. Didengarkannya bunyi itu. Ia menggeleng-geleng
seolah-olah berusaha benar-benar terjaga, lalu mengencangkan ikat
pinggang jubah mandinya. Melissa mencoba menghentikannya, namun ayahnya meloncat
mendekati jendela. "Jangan, Dad, tunggu..." Ayahnya selalu nekat.
Kapan dia pemah berpikir sebelum bertindak"
Melissa mundur dan menabrak meja di samping tempat
tidurnya. "Auw!" Pesawat telepon terbanting ke lantai. Ia terkejut.
Ia ingin lari, keluar kamar, keluar rumah. Tapi ia tidak dapat
meninggalkan ayahnya. Kenapa ayahnya tertawa"
"Kemari, Lissa."
"Apa?" Ia menarik rambut pirangnya yang kusut dengan kedua
tangannya. "Kemari, kataku."
"Apa itu?" Dengan agak ragu-ragu ia melangkah mendekati
jendela. Sambil tersenyum dan menggeleng-geleng, Mr. Dryden
menyingkapkan tirai dan menunjuk ke luar. "Itu rampokmu."
Melissa mendengar ketukan lagi. Bunyi ketukan keras diikuti
dengan gesekan. Ia masih di tengah kamar, tidak berani lebih
mendekat lagi. "Cabang pohon, ya?"
"Benar." "Kenapa ribut-ribut!" Ibu Melissa buru-buru masuk ke kamar
itu dan menyalakan lampu. "Apa yang terjadi?"
"Tak ada yang perlu dikuatirkan," jawab Mr. Dryden, sambil
memandang langit. "Bulan purnama. Lihat. Bulan selalu begitu besar
di bulan Agustus." "Aku tak ingin mendengar tentang bulan. Aku ingin tahu
tentang teriakan-teriakan tadi," kata Mrs. Dryden dengan tajam.
Mr. Dryden melepaskan pegangannya pada tirai. Lalu
mengencangkan ikat pinggang jubah mandinya. "Lissa mendengar
pohon mengetuk jendelanya."
"Pohon?" Melissa mengembuskan napasnya keras-keras. "Kukira
rampok," ia berkata sambil mengempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
"Aku sedang tidur, tiba-tiba rasanya bunyi itu membangunkanku
dan..." "Kau tak usah nonton berita sebelum tidur," kata Mrs. Dryden.
Ia mendekat, lalu menggenggam tangan Melissa. "Berita-berita
tentang rampok itu..."
"Yah, tapi memang ada Rampok Fear Street, Mom," bantah
Melissa, nada suaranya naik beberapa oktaf. "Aku tidak berkhayal,
Mom. Ada rampok yang telah menyatroni rumah-rumah di Fear Street
dan..." "Kita tinggal di Fear Street sudah lima tahun," kata ibunya,
sambil menyibakkan rambut tebal Melissa di dahinya. "Kita belum
pernah mendapat masalah. Kau tak pernah menyisir rambutmu, ya?"
"Aku suka yang berantakan."
"Hei... apa itu yang kaupakai, Tulang Kurus?"
Ayahnya mendekatinya, memandangi baju tidurnya.
"Jangan panggil aku Tulang Kurus. Dad sudah janji," Melissa
merengek. "Kau kan tahu dia peka dalam soal itu," Mrs. Dryden menegur
suaminya. "Kenapa kau tetap saja..."
"Apa yang kaukenakan ini?" Mr. Dryden mendesak, menarik
lengan Melissa. "Oh. Eh... kupikir ini salah satu piama lama Dad."
"Aku telah mencarinya ke mana-mana!" seru ayahnya, sambil
mendongak ke langit-langit. Ia selalu mengadu langsung ke langit.
"Berjam- jam kuaduk-aduk lemariku dan..."
"Sori. Kupikir ini sudah lama."
"Memang sudah lama. Itulah sebabnya aku suka memakainya.
Kenapa kau tidak pakai piamamu sendiri" Aku tidak pernah memakai
bajumw, kan?" Melissa tertawa. Berat badan ayahnya seratus kilo, lebih dari
dua kali berat Melissa. "Boleh saja, Dad. Kapan pun Dad mau."
Mrs. Dryden melirik radio jam di atas meja samping tempat
tidur dan mengerutkan kening. "Kenapa kita meributkan soal pakaian
pada jam setengah empat pagi begini?"
"Sori, Mom," kata Melissa. Ia menyelusup ke bawah selimut.
"Aku baik-baik saja. Kita dapat tidur kembali sekarang."
"Jam berapa kau tidur tadi malam?" tanya Mrs. Dryden. "Pasti
terlalu malam." "Yah. Agak malam. Entah jam berapa."
"Agak malam atau terlalu malam?"
"Ayolah, Mom," sahut Melissa tidak sabar, ia duduk. "Liburan
musim panas tinggal seminggu lagi. Aku dan Buddy tak pernah
sempat bersama-sama. Dia berlibur dengan orangtuanya ke tempat
yang jauh selama dua minggu dan..."
"Baiklah, akibatnya kau menjerit-jerit, membayangkan rampok.
Kau terlalu capek." Melissa mengerang. Penjelasan ibunya untuk segala hal yang
terjadi adalah "Kau terlalu capek." Kalau nilai ulanganmu jelek, atau
nafsu makanmu hilang, atau mood-mu kacau, itu pasti karena kau
terlalu capek. "Mom, untuk terakhir kalinya kukatakan, Rampok Fear Street
bukan tokoh rekaan. Hampir setiap hari beritanya ada di koran."
"Di sini sangat panas," ibunya berkata. Ini satu lagi kebiasaan
buruk ibunya"cepat mengganti pokok pembicaraan. Pikirannya
melayang-layang dari satu hal ke hal lainnya seperti lebah berpindahpindah dari satu bunga ke bunga lainnya. "Di luar suhunya 27 derajat.
Kenapa tidak kaubuka saja jendela itu?"
"Aku... sebenarnya aku lebih suka ditutup," jawab Melissa.
Sebersit rasa takutnya kembali muncul.
"Ya sudah. Kalau begitu ayo kembali tidur. Kau ikut tidak,
Wes?" Ia menarik lengan suaminya.
"Yah. Tentu. Tapi ke sini sebentar, Lissa. Aku ingin
menunjukkan sesuatu kepadamu."
"Hah" Memangnya ini tidak bisa menunggu sampai pagi?"
Tiba-tiba Melissa merasa ngantuk sekali.
"Tidak. Ayolah." Ayahnya meraih kedua tangan Melissa dan
menghelanya dari tempat tidur. "Wow, kau sangat ringan."
"Dad mulai mengejekku lagi, ya?"
"Tidak. Cepatlah. Aku ingin menunjukkan sesuatu yang bisa
membuatmu merasa lebih enak."
Ayahnya tampak makin serius ketika menarik Melissa melintasi
koridor menuju kamarnya sendiri.
"Wes, biarkan saja dia tidur. Dia kecapekan," ibunya berkata
sambil mengikuti keduanya.
"Cuma sebentar kok. Aku mau menenangkannya," sahut Mr.
Dryden, lalu menekan tombol lampu langit-langit.
Mereka masuk ke kamar tidur yang luas itu, semuanya
bernuansa biru, dan selalu harum semerbak karena aroma parfum Mrs.
Dryden. Melissa ditarik ayahnya ke dekat meja samping tempat tidur,
lalu dilepaskan dari pegangannya.
Mr. Dryden menarik laci meja itu sejauh mungkin dan merogoh
ke bagian belakangnya. "Ini dia," katanya. Senyum yakin muncul di
wajah bundarnya. Ia mengacungkan sepucuk pistol perak kecil.
Melissa ternganga kaget. "Pistol" Ini pistol sungguhan?"
Mr. Dryden menaruh pistol itu di telapak tangan Melissa.
Ternyata lebih berat daripada kelihatannya, dan dingin. "Tentu saja ini
pistol sungguhan. Dan ini ada pelurunya."
Melissa gemetar dan cepat-cepat mengembalikan senjata itu ke
ayahnya. "Hei, jangan ketakutan begitu." Mr. Dryden memutar-mutar
pistol itu di jarinya. "Kau kan tahu aku berburu sejak umur sepuluh.
Aku tahu sedikit-sedikit tentang senjata."
"Sudahlah, Wes, simpan pistol itu," kata Mrs. Dryden dari sisi
lain tempat tidur. Ia menguap lebar-lebar.
"Aku membelinya segera sesudah membaca berita tentang
Rampok Fear Street untuk pertama kali. Aku cuma ingin
menunjukkan kepada Lisa, kalau rampok itu sampai berani memasuki
rumah ini, aku sudah siap menyambutnya."
"Terima kasih, Daddy," Melissa berkata sambil menyibakkan
rambut kusut di dahinya. Biasanya ia menanggapi ayahnya dengan
gurauan atau sindiran, tetapi sekarang ia terlalu letih.
"Nah, kini kau tahu senjata ini tersedia di sini," ujar Mr.
Dryden, sambil mengembalikan pistol itu dengan hati-hati ke
tempatnya semula dan menutup laci.
"Selamat malam," kata Melissa.
"Selamat malam." Ibunya sudah meringkuk di balik selimut.
"Aku ingin piamaku kembali besok," sambung Mr. Dryden.
Pelan-pelan Melissa kembali ke kamarnya, lalu mematikan
lampu, dan naik ke tempat tidur. Cabang pohon itu masih mengetukngetuk kaca jendela dengan lembut. Melissa menarik selimutnya
hingga menutupi kepalanya dan mencoba tak menghiraukan bunyi itu.
Ia berbaring telentang, beberapa menit kemudian ia
memiringkan tubuhnya. Meskipun capek, ia tidak juga dapat tertidur.
Benar-benar malam yang mengerikan! Pertama, bertengkar dengan
Buddy. Lalu, ribut-ribut soal rampok.
Pikiran Melissa beralih ke Buddy. Ia sangat gembira bertemu
dengan cowok itu setelah berpisah dua minggu penuh. Kulit Buddy
kecokelatan akibat berlibur di pantai, ia kelihatan lebih tampan.
Melissa ingin bercerita banyak, sehingga ia tidak keberatan
ketika Buddy mengajak pergi ke River Ridge dengan mengendarai
mobil ayahnya. River Ridge terletak jauh di atas Conononka River,
merupakan salah satu tempat terindah di Shadyside. Juga tempat
kencan favorit anak-anak Shadyside High.
Mobil melaju kencang sekali. Melissa meminta Buddy
mengurangi kecepatannya. Akhirnya mereka sampai di suatu tempat
terpencil di tepi sungai. Mesin dan lampu mobil dimatikan.
"Nah, sekarang ceritakan liburanmu. Kau ketemu cewek cakep,
ya?" goda Melissa. Buddy tidak menjawab, malahan menarik Melissa ke dekatnya
dan memeluknya, lama sekali.
"Buddy, kita ke sini untuk ngobrol. Sudah berminggu-minggu
kita tidak bertemu."
Kedua tangan Buddy menyibakkan rambut Melissa ke belakang
bahunya. "Kita dapat bicara nanti."
"Jangan, Buddy..."
Tetapi Buddy tidak memedulikan ucapan Melissa.
Sebelum Melissa menyadarinya, Buddy telah menciumnya.
Melissa terkejut, lalu berusaha mendorong Buddy sambil
memalingkan mukanya. "Buddy! Jangan!" Ia bersiap-siap membuka
pintu mobil. Buddy terpana. "Hei... kenapa" Kau tak suka ketemu aku?"
"Aku ingin ngobrol!"
Buddy minta maaf berulang-ulang. Tapi bagaimanapun, malam
ini sudah berantakan. Apa yang terjadi pada cowok itu" pikir Melissa
heran. Belum pernah dia bertindak selancang ini.
"Ayo kita mulai," usul Buddy. Wajahnya muram, tak sedap
dipandang. Kemudian mereka berusaha bercakap-cakap seolah-olah
tidak terjadi apa-apa, tapi tidak berhasil. Melissa masih terkejut dan
kesal, Buddy jelas jengkel sekali. Tak lama kemudian mereka pulang
dicekam suasana sunyi. Buddy meminta maaf lagi ketika mobil berhenti di halaman
rumah Melissa. Kelihatannya ia benar-benar menyesal. Melissa
meremas tangannya sejenak, lalu berlari masuk rumah. Ia lebih
jengkel kepada dirinya sendiri daripada kepada Buddy.
Sekarang ia berguling-guling di atas ranjang, mencari posisi
senyaman mungkin, namun udara panas, rambutnya basah dan lengket
di belakang lehernya. Ia merasa bersalah telah mengacaukan kencan
mereka. Mungkin tingkahnya keterlaluan. Memang, Buddy sering
merasa dirinya sangat hebat. Memang, dia sering memaksakan
kehendaknya, bahkan mementingkan dirinya sendiri. Tapi dia sayang
kepada Melissa, dan sikapnya selama ini cukup baik.
Melissa masih saja melamun dan belum bisa terlelap. Jam sudah
menunjukkan pukul empat dini hari.
Ia memukul bantalnya, mengacak-acaknya. Dahan pohon itu
mengetuk jendela, tiga ketukan pendek. Ia membayangkan ayahnya
mengeluarkan pistol dari laci meja dengan senyum yakin.
"Senjata ini tersedia di sini," katanya.
Meskipun kamarnya panas, Melissa menggigil.
Ada sesuatu yang mengerikan dengan pistol perak kecil itu,
tergeletak di dalam laci, menunggu dipakai.
Ebukulawas.blogspot.com 2 MUNGKIN seharusnya rambutku kuikat, pikir Melissa. Ia
menelungkup di ranjangnya, mencoba membaca buku. Satu tangannya
menarik-narik rambutnya, sedangkan tangannya yang lain masih terus
menyibak-nyibakkan rambut yang menutupi wajahnya.
"Kenapa kau tidak potong rambut sebelum masuk sekolah
lagi?" tanya Della O'Connor, sahabatnya, beberapa hari yang lalu.
Rambut Della sempurna"lurus, hitam, dan panjang, tergerai dengan
indah sampai ke bahunya. "Aku suka berantakan begini," jawab Melissa. Lagi pula, apa
gunanya rambut jika tidak bisa dikibaskan, ditarik-tarik, dimainmainkan, dan diayun-ayunkan" Melissa tidak menginginkan rambut
sempurna"ia ingin rambut yang berkepribadian!
Cuma sebalnya, rambutnya benar-benar mengganggu ketika ia
sedang membaca. "Kenapa aku malahan membaca novel Stephen King ini?"
tanyanya pada diri sendiri. "Dasar. Tadi malam ketakutan gara-gara
ranting di jendela, dan sore ini membaca buku seram."
Ia melanjutkan membaca sebentar, kemudian mengangkat
kepala. Tiba-tiba kamarnya terasa dingin.
Cuma perasaannyakah"
Tidak. Dingin, seakan-akan angin musim dingin berembus ke
dalam. Ia melihat ke jendela. Matahari sore masih tinggi di langit.
Gorden tidak bergerak. Tak ada angin sama sekali.
Masih kedinginan, ia menutup buku dan berdiri. Bayangbayang pohon di luar jendelanya menari-nari di dinding. Dari bawah
terdengar pintu depan terbanting.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pulang!" ayahnya berseru.
Dad pulang lebih cepat, batin Melissa. Ada apa"
"Lissa... kau di rumah?" Mr. Dryden bertanya dari kaki tangga.
"Ya, aku di sini, Daddy." Rasa dingin yang aneh di kamarnya
sudah terlupakan. Melissa melemparkan novel itu ke tempat tidur, lalu
berlari menuruni tangga. Ia segera merasa hangat sesudah keluar dari
kamar. Dengan kacamata melorot sampai ke hidung seperti biasa, Mr.
Dryden mengawasi anaknya menuruni tangga. Senyum aneh
menghiasi wajahnya. "Kenapa tersenyum, Daddy" Apakah Dad tidak pulang
kepagian?" Mr. Dryden pura-pura tersinggung. "Apa kau tak senang
melihat Dad?" "Tidak. Tidak sama sekali," jawab Melissa dengan mimik
serius. "Baiklah, kupikir kau akan gembira bila melihat apa yang
kubawa untukmu. Di mana Mom?"
"Mom terbang ke Florida. Mom berjemur untuk memberi
kejutan kepada Dad saat makan malam. Apa yang Dad bawa buat
aku?" "Ayolah. Sebetulnya, Mom di mana?"
"Di mall. Di mana lagi?"
Mr. Dryden tampak kecewa. "Oh, ya sudah. Aku tak usah
menunggunya. Aku harus menunjukkannya kepadamu." Mr. Dryden
masih berdiri di tempatnya dan pelan-pelan mendorong kacamatanya
ke atas. Tapi kacamata itu langsung melorot lagi ke tempat semula.
"Apa itu" Ayolah! Daddy sengaja membuatku tegang, ya?"
Mr. Dryden tertawa. "Bisa jadi. Mungkin sebaiknya kusuruh
kau menebak kejutan ulang tahunmu ini."
"Kejutan ulang tahun" Tapi ulang tahunku kan baru Jumat
nanti." Melissa cepat-cepat memutar otak, mencoba menebak apa
yang mungkin dihadiahkan ayahnya. Sebelumnya ayahnya sama
sekali tidak menanyakan apa yang diinginkan Melissa.
Apa yang diinginkannya" Melissa tidak dapat memikirkannya.
Walkman baru, barangkali. Atau CD...
"Mungkin sebaiknya kau menunggu sampai Jumat nanti," kata
ayahnya, terang-terangan menggodanya. "Kita ngomong yang lain
saja." Ia mengendurkan dasi dan mulai melepaskan jasnya.
"Jangan!" teriak Melissa. "Dad yang mulai. Sekarang Dad juga
yang harus menyelesaikannya."
Mr. Dryden merogoh saku jasnya dan menaruh satu set kunci di
tangan Melissa. "Oke. Kau menang. Selamat ulang tahun!"
Melissa memandangi kunci-kunci itu, ia kebingungan. "Apa
ini?" "Lihat!" Ayahnya membuka pintu depan. Sebuah Pontiac
Firebird biru berkilau diparkir di jalan mobil di halaman.
"Dad bergurau?" Melissa berteriak, setelah akhirnya
menyadarinya. "Itu buat aku?"
Ayahnya hanya menyeringai dan mengangguk.
"Aku tak percaya!" Melissa meloncat dan memeluk ayahnya,
nyaris membuatnya terjengkang. Kemudian ia mendorong pintu depan
dan berlari keluar untuk mengamat-amati mobil barunya.
"Coba saja masuk!" Mr. Dryden menyuruhnya setelah mereka
mengelilingi mobil itu selusin kali.
"Aku tak percaya ini kepunyaanku." Melissa duduk di belakang
kemudi. Ia menarik napas panjang, menghirup wanginya mobil baru.
Diusapkannya tangannya ke jok kulit, lalu dicobanya setir.
"Mungkin Dad akan meminjamnya kadang-kadang," kata Mr.
Dryden, sambil membungkukkan badannya yang besar, lalu duduk di
samping Melissa. "Dad, ini terlalu banyak."
"Apa maksudmu?"
"Dad tahu maksudku. Mobil ini terlalu mewah."
Mr. Dryden tertawa. "Yeah, kau memang terlalu dimanjakan.
Dimanjakan habis-habisan. Mungkin sebaiknya mobil ini kuambil
lagi." Ia meraih kunci kontak dari tangan anaknya, namun Melissa
langsung merebutnya kembali. "Kupikir-pikir, tak ada salahnya kan
dimanjakan habis-habisan?" ujar Melissa merayu.
Mr. Dryden menghela napas. Senyumnya menghilang. "Dulu
waktu aku sebaya denganmu, aku sudah cukup beruntung kalau
mendapatkan mobil mainan. Suasana hari ulang tahun dalam
keluargaku ketika itu memprihatinkan."
"Ya, aku tahu. Grandma tidak mampu memesan kue ulang
tahun, sehingga dia membeli kue ulang tahun basi yang lupa diambil
orang. Pada ulang tahun ketiga, Daddy mengatakan pada setiap orang
bahwa nama Dad adalah Seymour, karena itulah nama yang terukir di
kue." Mr. Dryden menggeleng-geleng. "Kau sudah hafal semua
lelucon kunoku. Dengar, aku sendiri merasa senang kalau bisa
memberimu hadiah yang bagus. Itu membuatku sadar betapa besar
kemajuan yang telah kucapai selama sekian lahun ini."
Melissa mencium pipi ayahnya. "Aku akan menunjukkan mobil
ini kepada Della. Boleh aku menjalankannya?"
Mr. Dryden mengangkat bahu dan keluar dari mobil. "Ini
milikmu. Pergilah. Tapi jangan terlalu lama. Mom akan kecewa kalau
tidak melihatnya." "Asyik! Della pasti tak percaya!" Melissa bergegas masuk ke
rumah untuk mengambil dompet dan SIM-nya, lalu kembali ke
mobilnya. Mr. Dryden masih berdiri di samping mobil itu, sedang
menyeka noda di kap mobil dengan lengan jasnya.
Melissa duduk di belakang kemudi dan hati-hati menutup pintu
mobil. "Kau kelihatan hebat," puji ayahnya. "Rambutmu seperti baru
saja tertiup angin, padahal kau belum bergerak."
"Lucu, Dad. Ingatkan aku untuk tertawa nanti kalau sudah
pulang." Kenapa setiap orang selalu mengejek rambutnya" Melissa
memutar kunci kontak dengan kesal. Mobil mulai bergetar lembut. Ia
menoleh ke jendela belakang dan mulai memundurkan mobil dengan
pelan-pelan dan hati-hati.
Ayahnya masih berdiri mengawasinya. Aku akan menabrak
pagar, Melissa membatin, menyadari betapa ia tegang mengendarai
mobil baru yang bagus itu.
Namun mobil itu menggelinding keluar dengan selamat dan
masuk ke Fear Street. Tak lama kemudian Melissa membelokkannya
ke The Mill Road dan menuju ke North Hills tempat Della tinggal.
Mobil itu tidak sulit dikemudikan dan nyaman. The Mill Road
agak macet, banyak orang pulang kerja, tapi sebagian besar
berlawanan arah dengan Melissa. Matahari sudah tertutup pepohonan,
tetapi udara masih panas dan lembap.
Melissa membelok ke Canyon Drive untuk menghindari
kemacetan lalu lintas lalu menginjak pedal gas keras-keras. Mobil itu
segera meraung dan melaju kencang.
Tunggu sampai Buddy melihat ini, pikirnya. Ia mendului truk
sayur yang berjalan lambat, lalu kembali ke jalur kanan. Tunggu
sampai setiap orang melihat ini!
Diliriknya spidometer"120"segera dikuranginya injakannya
pada pedal gas. Sekarang mobil itu berlawanan arah dengan sinar
matahari. Diturunkannya tebeng kaca depan, namun tidak mengurangi
kesilauan. "Oh!" Melissa memekik ketika mobilnya tiba-tiba melenceng ke
kanan. Dicengkeramnya kemudi erat-erat, jantungnya berdegup
kencang. Apa yang terjadi" Apakah mobilnya ditarik ke kanan" Tidak.
Peristiwa itu terjadi begitu saja, seolah-olah ada orang yang memutar
setir. Mendadak ia merasa dingin. Didekatkannya sebelah tangannya
ke lubang AC, untuk memeriksa kalau-kalau AC itu menyala. Tapi
ternyata tidak. Sinar terang matahari menyelubungi kaca depan,
namun di dalam mobil terasa sangat dingin.
Melissa memperlambat laju mobil, dengan tangan masih
mencengkeram kemudi. Ia baru saja agak rileks ketika tiba-tiba mobil
itu tersentak lagi, melenceng ke kanan. Ban mobil berputar ke arah
bahu jalan. Melissa berusaha mengendalikannya.
Apa yang sedang terjadi"
Lagi-lagi seperti ada orang yang menyentakkan kemudi.
Melissa mencengkeram setir kuat-kuat dan duduk tegak. Laju
mobil diturunkannya sampai empat puluh. Ada yang tak beres dengan
mobil ini, batinnya. Suara apa itu" Terdengar seperti bisikan. Dekat. Tidak. Tak mungkin. Itu
angin. Ia mendengarnya lagi. Ia gemetar karena kedinginan, kaget, dan
mendadak takut. Dicengkeramnya kemudi mobil erat-erat, dan ia
terbelalak memandang ke depan.
Apa katanya" Ia dapat mendengarnya dengan sangat jelas.
Bisikan itu tepat di telinganya. Namanyakah yang disebut"
Ya. Sepertinya begitu. Melisssssssssa. Cuma angin. Angin dingin di telinganya. Angin
dingin yang berbisik lembut di telinganya.
Melisssssssssa... Rumah Della tinggal beberapa blok lagi.
Aku pasti bisa sampai di sana, pikirnya, sambil tetap
memandang lurus ke depan, tidak mengacuhkan bisikan angin yang
mengulang-ulang namanya dengan nada mendesak.
Aku pasti bisa. Jika aku tetap dapat menguasai mobil...
"Tidak!" teriaknya ketika mobil itu melenceng tajam, kali ini ke
kiri, melintasi batas tengah dan masuk ke jalur tempat truk tangki
minyak sedang melaju kencang.
3 "SELAMAT ulang tahun, Lissa."
"Hai, Della. Kau terlambat. Semua orang sudah datang."
Hari Jumat malam. Rumah Melissa penuh dengan anak-anak.
Della melangkah memasuki ruang depan. Terdengar dentaman
kencang musik dari ruangan sebelah, diikuti suara tawa. "Kayaknya
aku datang tepat pada waktunya," Della berkata, mengulurkan hadiah
kepada Melissa: kotak empat persegi panjang pipih yang dibungkus
kertas tisu merah-biru. "Ini mobil," kata Della. "Kurasa kau perlu
dua." "Jangan sebut-sebut mobil baruku," Melissa memprotes sambil
memelototkan matanya. "Baru berumur dua hari dan sudah masuk
bengkel." "Sudah ketemu apa yang tak beres pada setirnya?"
"Belum. Mereka tak dapat menemukan sesuatu yang salah.
Daddy meminta mereka untuk tetap memeriksa sampai
menemukannya. Dia lebih jengkel daripada aku. Padahal aku yang
hampir mati tertabrak truk tangki itu. Hei... di mana Pete?"
"Aku di sini." Pete Goodwin muncul di belakang Della, senyum
lebar menghiasi wajah tampannya. "Selamat ulang tahun."
Diulurkannya kepada Melissa sebuah bungkusan kecil dan pipih, pasti
CD. "Semoga kau suka Weird Al."
"Oh, jangan bohong, Pete." Della menyikut tulang rusuk Pete.
"Bukan Weird Al," katanya kepada Melissa.
Pete mengangkat bahu. "Kata Della kau tergila-gila pada Weird
Al." "Akan kutaruh ini di ruangan lain bersama hadiah-hadiah yang
lainnya," kata Melissa.
Pete lumayan, pikirnya. Dulu ia heran mengapa Della sangat
menyukai cowok itu. Ya, dia memang tampan. Tapi dia terlalu blakblakan dan rapi, dan dia selalu kelihatan sombong serta kaku.
Lihat saja penampilannya sekarang dalam setelan
kegemarannya"celana panjang cokelat kuning dan kemeja pullover
putih dengan logo kuda poni Polo berwarna hitam kecil di dadanya.
Rambut cokelatnya yang pendek berombak dibelah dengan sempurna.
Dia benar-benar mirip murid baru sekolah elite.
Namun sesudah lama bergaul dengan Pete dan Della, Melissa
menyadari bahwa kesan pertamanya tentang Pete salah. Pete
sebenarnya baik dan sangat cerdas. Sikapnya pun ramah setelah kita
mengenalnya lebih dekat. Della tampak cantik seperti biasanya. Rambut hitamnya yang
lurus diikat ekor kuda dengan pita putih polos, tergerai lembut di
punggungnya. Blus sutranya yang hijau serasi dengan matanya.
Celana jins ketatnya yang hitam mempertontonkan sosoknya yang
seperti model. Melissa menarik-narik rambut pirangnya yang keriting. Ia telah
mencoba menyisirnya sebelum pesta. Aku tak boleh iri pada Della,
pikir Melissa, sambil memandangi rambut temannya ketika ia
mengikuti mereka masuk ke ruangan yang bising dan luas. Aku
takkan membiarkan kegembiraanku dicemari oleh perasaan iri justru
di hari ulang tahunku. "Hei, Lissa... asyik lho!" panggil Marnie Foster. Bunyi musik
ingar-bingar. Di tengah keramaian itu Marnie turun berpasangan
dengan Billy Clawson. Gaya Billy jelek. Ia lebih mirip penguin tertatih-tatih. Melissa
pernah berkencan dengan Billy waktu kelas satu. Melihat Billy
jingkrak- jingkrak mengikuti musik bersama Marnie, Melissa tak
dapat membayangkan mengapa dulu ia sudi berakrab-akrab dengan
cowok itu. "Kau sudah dapat keripik?" David Metcalfe bertanya. Ia duduk
di kursi berlengan di pojok, memegangi semangkuk keripik kentang di
pangkuannya, makan sekenyang-kenyangnya.
Krissie Munroe menjulurkan tangannya dari belakang kursi
David, meraih mangkuk keripik kentang, dan menuangkannya ke
kepala David. David berteriak mengumpat-umpat dan berusaha
mengejar Krissie. Tetapi Krissie telah melintasi separo ruangan.
"Hei... di mana Buddy?" tanya Della sambil berteriak untuk
mengatasi bunyi musik, meskipun ia sudah mendekat ke Melissa.
Pertanyaan bagus, pikir Melissa.
"Dia terlambat," jawabnya juga berteriak. "Bukan hal baru,
kan?" Buddy adalah orang yang paling tidak tepat waktu di dunia.
Tapi Melissa kecewa, karena Buddy tidak berusaha datang tepat
waktu di hari ulang tahunnya. Melissa mengedarkan pandang ke
sekeliling ruangan, ternyata Buddy-lah orang yang terakhir belum
datang. Apakah dia masih marah padaku gara-gara peristiwa malam itu"
Melissa bertanya-tanya. Diliriknya jam dinding.
Tidak, Buddy sangat pemaaf. Lagi pula Buddy sudah
menelepon Melissa hari berikutnya, dan mereka ngobrol lama sekali.
Kau tak perlu gelisah begini, Melissa memarahi dirinya sendiri.
Toh Buddy belum terlalu terlambat.
Sepertinya bel pintu depan berdering. Memang susah sekali
mendengar sesuatu di tengah-tengah ingar-bingar musik dan suara
manusia. Melissa melangkah keluar ruangan pesta. Dilihatnya Buddy
sedang meringis dari balik pintu.
Buddy mengenakan T-shirt biru tanpa lengan dan celana pendek
tenis putih, memperlihatkan dengan jelas kulitnya yang terbakar
matahari. Dia kelihatan hebat, batin Melissa, bergegas
menyambutnya. "Hai." Buddy mengecup pipi Melissa sekilas dan
menyodorkan sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas perak ke
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan Melissa. "Bukalah."
"Jangan sekarang." Melissa memegang tangan Buddy. "Nanti
saja." "Bersama yang lainnya?" Buddy tampak tersinggung.
Melissa mendekat ke Buddy dan berbisik, "Tunggu sampai
semua orang sudah pulang. Aku akan membukanya nanti."
"Hei, Buddy...!" David Metcalfe berteriak dari kursinya.
"Taruhan, aku tahu apa yang kauhadiahkan pada Melissa!"
Omongannya yang norak, ditambah dengan lirikan genitnya, membuat
semua anak tertawa. "Tutup mulutmu, Metcalfe!" teriak Buddy. Tapi ia ikut tertawa
juga. Melissa meninju dadanya dengan bergurau, dan Buddy
terhuyung-huyung mundur. "Masih ada keripik lagi nggak?" tanya David Metcalfe, sambil
mengangkat mangkuk kosongnya.
"Tambah volume musiknya!" teriak seseorang. "Aku masih bisa
mendengar suara Metcalfe!"
Marnie Foster sudah pergi ke dekat jendela dan ngobrol dengan
teman-temannya, tapi Billy Clawson masih asyik di lantai dansa"
sendirian. Ditariknya Krissie Munroe ke tengah ruangan, namun
Krissie cuma berdiri dan memelototinya. Tanpa peduli, Billy
memperlambat gerakannya, memegang kedua tangan Krissie sambil
jingkrak-jingkrak. Akhirnya Ira Hewlitt, pacar Krissie, datang
menyelamatkannya. Musik lembut diperdengarkan, dan beberapa pasangan mulai
berdansa. Melissa ingin tertawa melihat Pete yang berdansa dengan
tubuh setegak gagang sapu. Pasangannya, Della, memejamkan mata
dan tidak tampak terganggu.
Melissa mencari Buddy, kalau-kalau ia ingin berdansa. Tapi
rupanya Buddy sedang asyik ngobrol dengan Normie Shrader di
pojok. Mereka sedang mendemonstrasikan pukulan forehand swing.
Pasti mereka sedang berdiskusi tentang tenis, keduanya memang
fanatik dengan olahraga ini.
Pesta berjalan lancar. Setiap orang tampak menikmatinya.
Melissa mengendurkan otot-ototnya dan membiarkan dirinya larut
dalam suasana pesta. Kemudian ia menengok ke jam dinding, sudah
pukul 23.30. Ah... oh, pikirnya. Ia telah berjanji pada orangtuanya akan
mengusahakan agar semua tamunya pulang sebelum tengah malam.
"Waktunya potong kue!" ia berseru dan mematikan tape recorder.
"Kue! Kue! Ayo, sekarang waktunya potong kue. Semuanya ke ruang
makan." "Kau tahu cara merusak pesta!" teriak David Metcalfe.
Teman-temannya mendesis, menyuruhnya diam.
"Aku cuma mau makan kue, tak mau ikut nyanyi," gerutu
David. Seperti remaja pada umumnya, Melissa merasa agak malu
ketika teman-temannya menyanyikan Happy Birthday. Tapi kue ulang
tahun berlapis cokelat itu enak sekali, dan upacara peringatan hari
jadinya yang ketujuh belas berlangsung sukses. Hanya Billy Clawson
yang membuat keributan dengan menumpahkan soda, sehingga
membasahi taplak meja. "Bagaimana kalau kita bermain 'sisipkan ekor ke keledai'?"
Krissie bertanya setelah mereka selesai menyikat kue.
"Kenapa tidak main 'putar botol' saja?" usul David Metcalfe
diiringi tawa noraknya. "Hei... ingat permainan 'kantor pos'" Pernah tidak kalian main
itu waktu kecil?" tanya Pete.
"Minggu lalu aku main," jawab Billy, yang lain tertawa.
"Bagaimana kalau 'dokter jorok'?" tanya Melissa.
"Asyik! Itu permainan asyik!" semuanya setuju.
"Ayahku dokter," kata Normie, "jadi aku biasanya pakai
stetoskop sungguhan!"
"Huuuu!" "Wow!" Setiap anak tampaknya benar-benar
terkesan. "Bagaimana caranya?" tanya Marnie dengan polos.
Teman-temannya langsung tergelak.
Billy meloncat dan menarik Marnie menjauhi meja. "Ayo
masuk kamar. Akan kutunjukkan padamu. Kau yang jadi pasiennya!"
Tawa mereka makin seru. "Waktunya habis!" teriak Melissa, sambil menelan potongan
kue terakhirnya dan meloncat berdiri. "Kalian semua seharusnya
sudah pulang sepuluh menit yang lalu!"
"Pengacau!" teriak beberapa temannya.
"Buka kadonya!" seru David.
"Buka kadonya! Buka kadonya!" beberapa temannya berteriak
sambil menyanyi. "Oke. Sori. Aku hampir lupa."
"Tentu. Kau kan sudah dapat mobil. Kenapa mesti repot-repot
dengan kado kami?" kata Buddy.
Tidak lucu, Buddy. Melissa tahu Buddy hanya bergurau, tapi
karena beberapa alasan, gurauan itu membuatnya agak marah. Melissa
sering dibuat merasa tidak enak oleh omongan teman-temannya
karena keluarganya kaya. Ia tak ingin mendengar sindiran seperti itu
dari mulut Buddy juga. "Ayo. Kado-kado itu kutaruh di kamar tidur tamu," kata
Melissa. "Kita mesti cepat-cepat. Orangtuaku akan segera pulang, dan
aku sudah janji akan membubarkan pesta sebelum mereka kembali."
"Wah, kita diusir nih," celetuk David.
Buddy merangkulkan lengannya ke bahu Melissa saat Melissa
memimpin teman-temannya ke kamar tidur tamu. Langsung saja
Melissa memaafkan Buddy untuk kelakuan konyolnya tadi.
"Semuanya kutaruh di atas ranjang," ujar Melissa tanpa
ditujukan kepada siapa-siapa, "dan kupikir kita dapat..."
Ia menyalakan lampu, lalu menengok ke tempat tidur, dan
tersentak. "Oh, tidak!" Semua temannya berdesakan masuk ke kamar itu. "Ada apa?"
"Apa yang terjadi?"
"Siapa yang melakukannya?"
Kamar itu menjadi sunyi saat setiap orang terpana memandang
tempat tidur. Hadiah-hadiah itu bertebaran di tempat tidur dan lantai.
Semuanya dalam keadaan terbuka.
********************** Melissa sedang mengecup pipi Buddy sebagai ucapan selamat
malam di ruang pesta ketika orangtuanya berjalan masuk.
"Pestanya masih berlangsung, ya?" tanya Mrs. Dryden.
Buddy malu sekali. Ia langsung menjauhkan diri dari Melissa.
"Saya... uh... akan pulang."
"Bagaimana pestanya?" Mr. Dryden bertanya sambil berjalan
mendekati mangkuk keripik kentang. Ia kelihatan kecewa sekali saat
mengetahui mangkuk itu kosong.
"Bagus!" jawab Melissa cepat-cepat. Ia telah memutuskan tidak
akan bercerita pada kedua orangtuanya mengenai hadiah-hadiah yang
telah dibongkar. Mengapa harus merepotkan mereka dengan urusan
konyol begitu. "Menurutku semua orang senang."
"Yeah, pestanya bagus kok," Buddy menyambung sambil
pelan-pelan menuju ruang depan. "Tapi semuanya hancur. Permadani,
kertas dinding, dan piring-piring."
"Apa?" Mata ibu Melissa terbelalak, seolah ia terkena serangan
jantung. "Buddy bercanda, Mom," Melissa menenangkannya, lalu
mendekati Buddy dan mendorongnya. "Apa Mom lupa pada selera
humornya yang aneh?"
"Rasanya aku belum pernah tahu," jawab Mrs. Dryden sambil
duduk merosot di kursi. "Teman-temanmu menghabiskan semua keripik kentang, ya?"
tanya Mr. Dryden, sambil memeriksa mangkuk plastik besar yang
tertelungkup. "Begitu keripik kentang itu habis, mereka juga melahap
mangkuknya," kata Buddy.
"Buddy... pulanglah," Melissa mengerang.
"Di mana kaudapatkan bandul perak yang cantik itu?" Mrs.
Dryden bertanya, lalu mendekati Melissa dan menarik bandulnya
untuk mengamat-amatinya. "Buddy yang memberiku."
"Manis sekali." Mrs. Dryden memandangi Buddy seolah-olah
baru pertama kali melihatnya. "Seleramu bagus. Apakah ada yang
membantumu memilihkan, Buddy?"
"Selamat malam, semuanya," Buddy berkata sambil cepat-cepat
keluar. "Anak aneh," gumam Mrs. Dryden.
"Apa?" tanya Melissa.
"Bandul bagus," jawab ibunya. Ia mengangkat Bandul itu dan
membaliknya, untuk membaca tulisan di baliknya.
"Mom... aduh! Aku tercekik!"
Setelah menceritakan jalannya pesta dengan lebih terperinci dan
mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtuanya karena telah
membolehkannya memakai rumah untuk pesta, Melissa naik ke
kamarnya di lantai atas untuk tidur. Dilepaskannya pakaian, lalu
diambilnya piama ayahnya yang belum juga dikembalikannya. Ia
mematikan lampu, dan menyelusup ke balik selimut. Ia lelah tetapi
tidak mengantuk. Jendela terbuka. Malam ini dingin, tanda pertama musim gugur
akan tiba. Angin mengembus gorden ke luar, lalu gorden kembali
masuk. Udara tercium manis dan segar.
Lampu jalanan di ujung halaman menyorotkan secercah cahaya
kuning ke dalam kamar. Melissa terpana melihat bayangan yang
bergerak di dinding. Siapa yang mungkin bikin ulah" Melissa
penasaran. Siapa yang telah membongkar hadiah-hadiahnya dan
mengobrak-abriknya ke seluruh kamar"
Tampaknya teman-temannya juga terkejut melihat
pemandangan di kamar tidur tamu. Dan setahu Melissa, tidak ada
orang yang meninggalkan ruangan pesta. Lagi pula, mereka semua
temannya, anak-anak yang menyukainya. Tak seorang pun dari
mereka akan melakukan perbuatan jahat pada dirinya. Satu-satunya
orang lain yang ada di rumah ketika itu adalah Marta, pengurus
rumah. Tetapi Marta sibuk di dapur, mengusahakan agar pesta itu
tidak kekurangan makanan, serta mencuci piring-piring dan gelasgelas. Pasti bukan Marta.
Lalu siapa" Dan yang lebih penting lagi, mengapa"
Mengapa seseorang menyelinap masuk ke kamar itu dan
membongkar semua bungkusan hadiah" Untuk merusak pestanya"
Hanya untuk membuat Melissa marah"
Tak masuk akal, benar-benar tak masuk akal.
Melissa meraba bandul hadiah dari Buddy. Terasa dingin dan
lembut. Aku akan selalu memakainya, ia membatin. Takkan pernah
kulepaskan. Bahkan ibunya pun sangat terkesan pada bandul itu.
Mendadak kamarnya terasa dingin lagi. Sebaiknya jendela
kututup saja, pikir Melissa. Ia duduk dan mulai turun dari ranjang.
Tiba-tiba rasa dingin yang menyeramkan menyergapnya.
Melissa menurunkan kakinya ke karpet dan mendongak.
Seorang pemuda muncul dari bayangan di kaki tempat tidur
Melissa. Ia tidak dapat melihat wajah pemuda itu. Cahaya dari jendela
membingkai sosok gelapnya. Melissa hanya dapat melihat rambutnya
yang panjang dan gelap, serta bahunya yang sempit.
Ia tidak berwajah. Wajahnya tersembunyi di balik kegelapan
malam. "Siapa kau" Mengapa kau di sini?" seru Melissa.
Pemuda itu tidak menjawab. Ia mengelilingi tempat tidur, lalu
dengan pelan berjalan ke arah Melissa.
Rampok Fear Street, pikir Melissa.
Napasnya tersendat. Ia menjerit sekuat-kuatnya.
4 KETIKA sosok gelap itu bergerak mendekat, wajahnya tetap
tersembunyi dalam gelap. Melissa mencengkeram seprai dengan
kedua tangannya. Ia serasa tercekik oleh rasa takut. Pemuda itu benarbenar tidak berwajah. Tanpa wajah, tanpa muka.
Kepalanya, lengannya, seluruh tubuhnya muncul dari bayangan
dan sekarang merupakan bagian dari bayangan itu. Bayangan itu
bergerak maju, mengangkat lengannya ke arah Melissa.
"Melissa... apa yang terjadi!"
Ayahnya menyerbu masuk ke kamar, tersandung sepatu karet
yang tergeletak di dekat pintu. Mr. Dryden menjaga keseimbangan
tubuhnya dan meraba-raba mencari sakelar lampu.
"Di sini, Daddy! Dia di sini!" Melissa berusaha keras berteriak
dengan suaranya yang menjadi aneh karena ketakutan.
Akhirnya lampu menyala. Ayahnya berdiri bersandar ke
dinding, wajahnya kebingungan, dengan kalut mengamati sekeliling
kamar. "Di mana, Lissa?"
"Dia di sini! Dia..."
"Siapa?" Melihat tak ada siapa pun, ayahnya mulai bernapas
dengan normal. Ia mendekati tempat tidur Melissa dan menjatuhkan
diri duduk di tepinya. "Daddy, dia..."
"Aku tak melihat siapa-siapa."
"Apa yang terjadi" Kenapa dia menjerit lagi?" Mrs. Dryden
masuk. Ia belum berganti pakaian, bahkan belum melepaskan
sepatunya. Melissa turun dari ranjangnya. "Aku tidak gila! Tadi ada orang
di sini." Mr. Dryden bangkit berdiri dan cepat-cepat menuju jendela.
"Apakah dia meloncat lewat jendela?" Ia melihat ke luar, menjulurkan
tubuhnya jauh keluar dari birai jendela.
"Wes, awas, jangan melongok begitu!" Mrs. Dryden menjerit
sambil memegangi lehernya sendiri dengan ngeri.
Mr. Dryden menarik kepalanya ke dalam dan menoleh ke
Melissa, yang berdiri di sampingnya. Ia menggeleng. "Aku tak melihat
siapa-siapa." "Siapa yang di sini tadi" Laki-laki" Dia seperti apa" Panggil
polisi, Wes." Mrs. Dryden berjalan ke jendela, lalu menarik suaminya
ke arah pesawat telepon. "Bagaimana aku bisa memanggil polisi" Di sini tak ada siapa
pun." Dengan ragu-ragu ia menatap Melissa.
"Dia... dia menghilang," kata Melissa tidak yakin. "Aku
melihatnya tadi. Dia ada di dekatku seperti Daddy sekarang. Aku
melihatnya dengan jelas. Aku tidak mengarang-ngarang. Aku tidak
mimpi." "Lalu dia menguap begitu saja?" Mr. Dryden mendorong
kacamatanya ke atas hidungnya.
"Aku... aku tak tahu."
"Baiklah, dia seperti apa" Bisakah kau menggambarkannya?"
tuntut ibunya. "Yah... dia..." Melissa mulai bicara. Tanpa sadar ia menariknarik rambut ikalnya sambil berpikir. "Tadi sangat gelap," katanya
akhirnya. "Aku tak bisa melihat wajahnya. Aku cuma bisa melihat..."
"Apa" Apa yang bisa kaulihat?" tanya ibunya.
"Aku melihat rambutnya panjang."
"Dan?"
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cuma itu," jawab Melissa lirih. Ia tahu bahwa ia kedengaran
konyol. Tapi itu memang benar. Mengapa mereka meragukannya"
Mengapa mereka tidak mau percaya pada ceritanya" Tidak dapatkah
mereka melihat betapa ngeri dirinya"
Ayahnya mendekatinya untuk menghiburnya, seakan-akan
dapat membaca pikirannya. Dipeluknya Melissa. "Kau harus
mengendalikan daya khayalmu," ucapnya pelan, lalu ia membelai
rambut Melissa. "Waktu itu..."
"Waktu itu bunyi dahan pohon kukira rampok," tukas Melissa.
Ia menjadi tidak sabar terhadap mereka dan tidak berusaha
menyembunyikannya ketika berbicara. "Malam ini nyata." Ia
menjauhkan dirinya dari ayahnya dan melangkah ke jendela, lalu
duduk di bendul jendela. Udara malam yang dingin terasa di
punggungnya. "Jika dia memang nyata, di mana dia?" Ibunya tidak mau
menyerah. "Mengapa kau tak dapat menggambarkannya?"
"Kan sudah kukatakan, Mom," jawab Melissa kesal. "Tadi
gelap sekali. Yang bisa kulihat cuma siluetnya. Dia mengangkat
lengannya. Dia maju ke arahku. Dan Daddy masuk ke sini."
"Lalu dia lenyap bersama angin." Mrs. Dryden menggelenggelengkan kepalanya. "Kau terlalu gembira menghadapi pesta ulang
tahun dan menerima mobil baru itu. Akibatnya kau jadi linglung. Ini
dapat dimengerti." "Aduh, Mom. Aku kan bukan anak kecil."
"Sudahlah, Lissa." Mr. Dryden mengembangkan tangannya.
"Tak ada gunanya kau marah kepada kami."
"Dad tak percaya padaku, kan?" tanya Melissa jengkel.
"Terus terang saja, tidak," jawab ayahnya, sambil melirik
ibunya. "Kukira ini semua cuma sugesti."
"Apa?" "Menurutku cerita-cerita tentang Rampok Fear Street itu
mempengaruhimu, merasuki pikiranmu sedemikian rupa sehingga kau
merasa dia ada di sini. Aku percaya kau benar-benar melihat apa yang
kaukatakan tadi, tapi kukira pikiranmu sedang kacau. Kupikir..."
"Aku gila?" "Tidak. Tentu saja tidak," potong ibunya. "Biar kau kubuatkan
susu hangat. Itu akan membuatmu ngantuk."
Melissa menghela napas. Tidak ada lagi cara untuk meyakinkan
orangtuanya bahwa ia tidak berkhayal tentang pengacau bayangbayang itu. "Selamat malam, Mom dan Dad," katanya letih. Ia
melambaikan tangan dengan lemas dan naik kembali ke ranjangnya.
"Aku sudah tenang sekarang. Maaf telah mengganggu kalian."
Ibunya mulai melangkah keluar, tampak sangat risau. Ayahnya
mengikuti, tetapi berhenti di pintu dan berbalik. "Jendelanya kututup,
ya" Kau akan merasa lebih nyaman."
Melissa menggeleng. "Anginnya enak kok. Ini kan malam
dingin yang pertama."
"Lampunya kumatikan, ya?"
"Ya. Terima kasih. Malam, Dad. Malam, Mom."
Mereka menggumamkan selamat malam dan melangkah
menyeberangi koridor. Melissa terpana memandangi langit-langit. Seolah-olah ada
cahaya kuning pucat dari lampu masuk melalui jendela.
Aku sama sekali tidak merasa mengantuk, ia membatin. Aku
tidak bakal bisa tidur malam ini.
Melissa bangkit duduk, lalu turun dari tempat tidur. Kamarnya
menjadi sangat terang. Rasanya dulu-dulu lampu jalanan tidak
seterang ini, pikirnya heran. Angin mengembus gorden ke arah dalam,
membiarkan lebih banyak lagi cahaya yang masuk.
Mengikuti dorongan hatinya, Melissa melangkah ke jendela dan
menyibakkan gorden. Udara terasa begitu segar, lembut, dan dingin.
Dengan ringan ditumpukannya tangannya pada birai jendela,
dan ia menjulurkan badannya ke luar. Malam itu terang, ia dapat
melihat seluruh jalan Fear Street di bawahnya. Melalui pohon-pohon
yang berbaris di sepanjang kedua sisi jalan sempit itu, ia hampir dapat
melihat bentuk bergerigi mansion tua milik Simon Fear yang telah
musnah terbakar di kejauhan di ujung jalan.
Teman-temannya selalu menceritakan padanya kisah
mengerikan tentang Fear Street. Namun Melissa menyukai suasana
lingkungan itu. Orangtuanya menyukai rumah-rumah bergaya Victoria
yang antik dan unik, serta segala sesuatu yang kuno dan menarik.
Antusiasme mereka menurun ke Melissa. Fear Street jelas-jelas jalan
yang terindah di Shadyside, pikir Melissa.
Ketika mendongak, ia melihat bulan purnama, seolah-olah
hanya beberapa meter di atas kepalanya. Cahaya pucat bulan
memantul pada bandul perak di leher Melissa. Ia mengangkat bandul
itu, terpesona oleh sinar bulan yang berkilau-kilau pada benda itu.
Betapa indahnya, batin Melissa.
Ia melepaskan bandul itu dan makin jauh menjulurkan
badannya ke luar jendela, bertumpu pada kedua tangannya. Apa itu
yang tergesa-gesa melintasi rumput di halaman lalu menyeberangi
jalan" Kelincikah"
Lebih baik aku tidur lagi, putusnya. Aku akan betul-betul
ambruk besok. Tetapi ketika ia menegakkan tubuhnya, ia merasa ada dua
tangan kuat di punggungnya. Sebelum ia dapat menghindar atau
berteriak, kedua tangan itu mendorongnya keras-keras dari belakang,
mendorongnya dengan mengejutkan, kekuatannya tidak manusiawi.
5 TANGAN itu mendorong punggungnya keras-keras. Melissa
pasti telah terjun dari jendela jika ia tidak cepat-cepat meraih tepi
kusen jendela. Dengan mencengkeram kusen itu erat-erat, ia berusaha
mengembalikan keseimbangan tubuhnya, melawan kekuatan di
belakangnya. Penyerangnya mendorongnya makin keras.
Tangan itu terasa sangat dingin di punggungnya. Udara terasa
sangat dingin juga. Melissa menahan napas dan mendesak ke belakang sedapatnya
dengan bertumpu pada kusen jendela. Ia melawan si penyerang dan
berusaha tidak jatuh. Setelah mengumpulkan seluruh kekuatannya, Melissa segera
berbalik dan menoleh untuk melihat wajah orang itu.
Tak ada siapa pun di situ.
Melissa terbelalak menatap kegelapan di kamarnya, napasnya
terengah-engah, setiap tarikan napasnya mengandung ketakutan,
kengerian, kelegaan. Di mana kau" tanyanya dalam hati. Ke mana kau pergi"
Bagaimana caramu menghilang begitu cepat"
Dia pasti masih ada di dalam kamar ini. Tapi di mana"
Dia tak punya waktu untuk sembunyi, menghilang ke
kegelapan. Bukannya menjadi tenang, sekarang Melissa malah mulai
makin ngeri. Kakinya gemetar. Perutnya mulas. Rasa lembap dan
dingin menyelubungi dirinya.
"Hei... aku tahu kau ada di sini!" bisiknya memanggil dengan
suara tercekat. Melissa mendekati ranjangnya dan menyalakan lampu. Matanya
melihat ke sekeliling kamarnya dengan nyalang. Tak ada orang di
sana. "Aku tahu kau ada di sini."
Ia melangkah gemetar menuju lemari pakaiannya, lalu
membentangkan kedua daun pintunya. Tak ada orang.
Punggung Melissa masih terasa dingin. Ia masih dapat
merasakan dorongan tadi, dorongan dengan kekuatan setan yang
menjerumuskan. "Aku tahu kau di sini."
Ia berlutut di lantai dan mengintip kolong tempat tidurnya. Tak
ada. Apakah sebaiknya ia memanggil ayahnya lagi" Tidak. Ayahnya
hanya akan menemukan kamar yang kosong lagi. Ia akan dipandangi
kedua orangtuanya seperti tadi lagi. Pandangan yang menyiratkan
kecurigaan mereka bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan
dirinya. Sungguhkah ada yang tidak beres dengan dirinya"
Apakah dia sudah sinting"
Melissa menjatuhkan diri duduk di karpet dengan punggung
bersandar ke tempat tidur. Pandangnya melayang ke luar jendela ke
arah bulan purnama yang kuning.
Aku hampir melayang keluar dari jendela itu, ia membatin.
Seseorang mencoba mendorongku. Itu bukan khayalan. Juga bukan
mimpi. Aku tidak sinting. Dengan masih gemetar, ia menghela dirinya kembali ke
ranjang. Ditariknya selimut sampai menutupi pipinya. Ia menunggu
rasa gemetarnya menghilang. Tak ada siapa pun di sini, pikirnya. Aku
aman sekarang. Benar-benar aman.
Beberapa menit kemudian Melissa jatuh tertidur dengan lampu
masih menyala. Ketika suatu bayangan dingin melayang-layang di atasnya,
Melissa tidak terbangun, tidak melihatnya.
************************ Buddy melemparkan penggaruk ke jalan mobil di halaman
rumahnya, lalu sapu bergagang panjang, dan garu. "Awas!" ia
memperingatkan Melissa. Kemudian ia mengangkat sekantong tanah
untuk bunga. "Kenapa kauobrak-abrik barang-barang ini?" tanya Melissa. Ia
menyeberangi jalan mobil dan masuk ke garasi.
"Aku tidak mengobrak-abrik. Barang-barang itu cuma
kulemparkan keluar dari garasi."
"Kenapa?" "Supaya aku dapat membenahi semuanya dan mengaturnya di
dalam. Ini namanya Pembersihan Garasi."
"Bukankah kau baru saja membersihkan garasi ini beberapa
minggu yang lalu?" Melissa bergeser ketika Buddy melemparkan
keranjang kayu berisi sekop dan gunting tanaman ke jalan mobil.
"Yah. Tapi menurut ayahku kerjaku kurang beres. Aku kurang
teliti. Makanya hari ini aku harus teliti."
"Kaulemparkan semuanya ke luar, lalu kaukembalikan
semuanya ke dalam?" "Yah. Tapi dengan rapi. Awas." Buddy mencoba mengangkat
segulung slang karet, tapi slang itu kusut, sehingga ia harus
mengurainya. Ia menjatuhkan slang itu ke dalam gerobak dorong dan
kembali untuk mengambil barang-barang lainnya.
Buddy memakai T-shirt putih yang bernoda dan celana jins
buntung yang pudar, serta sepatu tenis putih tanpa kaus kaki. Dia
kelihatan keren, puji Melissa dalam hati. "Kau harus mempertahankan
kulit cokelatmu sepanjang tahun," katanya.
Buddy tertawa. "Yah. Mungkin aku akan pergi ke pantai setiap
minggu dan memanggang badanku." Buddy meraih sekantong besar
pupuk dan membawanya keluar.
"Kau tidak memperhatikan aku memakai bandulmu," Melissa
berkata sambil memegang bandul itu.
"Aku sudah tahu kok." Buddy mengusap keringat di dahinya
dengan lengannya. "Teruskan ceritamu di telepon tadi."
Melissa memegang setang sepeda Buddy dan bersandar ke
sepeda itu. "Tak ada lagi yang dapat diceritakan. Ada seseorang dalam
kamarku. Dan kedua orangtuaku mengira aku gila."
Melissa menunggu Buddy mengatakan sesuatu, tetapi Buddy
malah mengangkat tangga aluminium dan mulai membawanya
melewati Melissa. "Kau juga menganggap aku gila?"
Buddy tidak menjawab sampai ia membawa keluar tangga dan
meletakkannya di rumput, lalu kembali ke dalam. "Mungkin itu angin.
Atau bayangan." "Bayangan tidak akan mendorong," bantah Melissa dengan
marah. Didorongnya sepeda ke dinding. Ia berbalik dan menyilangkan
tangan di dadanya. "Aku tidak gila, Buddy."
Buddy menaruh peti kayu yang dibawanya dan melangkah
mendekati Melissa. Diletakkannya tangannya yang kotor di bahu
Melissa. Aku hanya mencoba menebak-nebak."
"Aku juga," kata Melissa. Ia melepaskan diri dari pegangan
Buddy. "Dan bagaimana dengan kado-kado ulang tahun itu"
Semuanya berantakan. Siapa yang telah melakukan perbuatan konyol
dan biadab itu?" Buddy mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
"Aku ngeri," Melissa mengaku. "Semuanya aneh sekali."
"Kau harus menenangkan diri."
"Apa maksudmu?" bentak Melissa, kemudian langsung
menyesal. Ia menyadari bahwa ia tidak mempunyai alasan untuk
marah kepada Buddy. Buddy telah berusaha untuk bersimpati dan
mengerti. "Sori," kata Melissa, sambil mendekatkan diri ke cowok itu.
"Aku... aku hanya berharap Rampok Fear Street segera tertangkap.
Aku membayangkan penjahat itu memanjat jendelaku dan..."
"Apa sebabnya kau berpikir dia akan mendatangi rumahmu?"
"Entahlah. Kadang-kadang aku punya pikiran aneh. Maksudku,
dia mungkin sudah pernah ke rumahku."
Buddy menggeleng-geleng. "Oh, begitu. Aku mengerti. Dia
memanjat jendela, membuka hadiah ulang tahunmu, dan pergi tanpa
membawa apa-apa. Dugaanmu sangat masuk akal!"
Melissa langsung mendorong Buddy menjauh. "Terima kasih
untuk semua bantuanmu. Aku harus cepat-cepat."
"Mau ke mana?" "Aku janji ketemu Della di mall. Aku punya sedikit uang.
Mungkin aku akan beli baju untuk sekolah."
"Sekolah" Jangan buat aku mengingat itu. Kebebasan tinggal
beberapa hari lagi."
"Aku sudah menunggu-nunggunya," kata Melissa, sambil
melangkah dengan hati-hati di antara barang-barang yang
bergeletakan di jalan mobil. "Kau tidak, ya?"
"Hah" Dan menghentikan keasyikan membereskan gudang ini"
Yang benar saja!" "Sampai jumpa. Jam berapa kau akan menjemputku?"
Buddy menggaruk-garuk dahinya, mengakibatkan coretan hitam
menyilang. "Hei, kenapa tidak kau saja yang menjemputku" Kau kan
punya mobil keren." Melissa tertawa. "Aku tahu kau akan bilang begitu. Oke. Kau
kujemput jam delapan"jika mobilku sudah beres dan bisa keluar dari
bengkel." Ia memasuki station wagon Volvo milik ibunya, merasa
sedikit terhibur, lalu melambaikan tangan kepada Buddy. Namun
Buddy sudah menghilang kembali ke dalam garasi.
*************************
"Ini kelihatan bagus kaupakai," komentar Della. Ia
mengulurkan tangan dan meraba sweter berwarna anggur itu. "Jenis
yang cocok dengan kau."
"Apa artinya itu?" tanya Melissa, sambil mengerutkan dahi
kepada dirinya sendiri di cermin panjang.
"Jangan terlalu sensitif," Della menjawab, lalu meraih sweter
yang sama dengan warna cokelat.
"Aku orang yang sangat sensitif," kata Melissa dengan suara
sok penting dan berwibawa.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga sekurus rel," Della menambahkan.
Melissa memandangnya dengan tajam.
"Bagaimana menurut kalian celana ini?" Krissie bertanya
sambil melangkah keluar dari tempat pas dengan mengenakan jins
korduroi hitam ketat. Tadi mereka kebetulan bertemu di depan toko
dan gadis itu mengundang dirinya sendiri untuk ikut berbelanja
bersama Melissa dan Della. Krissie menyibakkan rambutnya yang
hitam berombak, lalu mendekati cermin untuk berkaca.
"Cukup ketat," Della berkomentar, matanya melirik Melissa
meminta dukungan. "Keren kelihatannya," kata Melissa kepada Krissie.
"Mungkin kekecilan satu ukuran," Krissie berkata sambil
mengamat-amati dirinya dari berbagai sudut.
"Bisa-bisa kau kena razia," kata Melissa. Mereka bertiga
tertawa cekikikan. Seorang pramuniaga yang bertampang serius
mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
Krissie mengagumi dirinya lebih lama lagi. "Menurut kalian ini
terlalu seksi?" "Kau cuma cari pujian." Melissa terbahak. "Tidak. Sama sekali
tidak seksi." "Bohong. Aku akan beli dua. Oh, wow," kata Krissie tiba-tiba,
sambil menunjuk gadis yang baru saja memasuki toko itu. "Percaya
tidak, apa yang dipakai cewek itu" Itu celana panjang atau kantong
plastik?" "Kayaknya itu yang disebut kulit tiruan," kata Della. Ia
menghilang ke tempat pas dengan lengan penuh pakaian.
Krissie tidak dapat mengalihkan perhatiannya dari gadis di
seberang mereka. "Lihat blus kumal dengan jumbai-jumbai itu. Oh, ya
ampun, sepatu botnya juga dari plastik!"
"Hei, aku tahu dia," ucap Melissa, memperhatikan gadis yang
sedang melihat-lihat tumpukan jins belel di atas meja itu. "Namanya
Marylou. Aku lupa nama belakangnya. Dia ikut berkemah ketika aku
kecil." "Dia memang seharusnya dikirim ke perkemahan dengan
pakaian kumalnya itu!" kata Krissie.
Melissa tidak tertawa. "Dia cuma miskin, itu saja."
"Hah" Apa maksudmu?"
"Kau tak mengerti apa artinya miskin, Krissie" Itu artinya dia
tidak punya banyak uang. Keluarganya tinggal di Old Village.
Saudaranya banyak sekali. Mungkin dia tak mampu membeli pakaian
bagus." "Tak enak ya, jadi orang miskin." Krissie tertawa mendengar
leluconnya sendiri. "Tidak lucu," kata Melissa dengan muak. "Aku tak pernah ingin
jadi orang kaya sombong yang mendongakkan hidungnya pada orang
miskin." "Simpan dulu kuliahmu," gumam Krissie, lalu ia masuk
kembali ke tempat pas. "Sori, ya?"
Melissa mengikutinya. "Kita sangat beruntung orangtua kita
berkecukupan," katanya. "Tapi itu hanya nasib baik. Kau dan aku
tidak melakukan apa pun. Bukan kita yang berusaha."
"Sudahlah, Melissa. Jika kau memang ingin berkhotbah, kenapa
tak ke gereja saja?" Krissie menyentakkan tirai tempat pas hingga
menutup. Melissa menyadari ia mungkin agak keterlaluan. Tetapi dia
serius dengan apa yang diucapkannya. Kadang-kadang ia merasa tidak
enak dengan kelebihan yang diperolehnya dibandingkan anak-anak
lain. Ia ingin tahu penilaian anak-anak lain itu terhadap dirinya,
sampai sejauh mana kebencian mereka kepada keberuntungannya.
Beberapa jam kemudian ia kembali merenungkan semuanya itu
ketika ia dalam perjalanan pulang. Setelah menurunkan Della di North
Hills, ia mengendarai Volvo itu ke arah Park Drive menuju Fear
Street. Aku harus minta maaf pada Krissie, putusnya. Aku tak boleh
menguliahinya seperti tadi. Belakangan ini pikiranku memang agak
kacau. "Kau kecapekan." Itulah yang akan dikatakan ibunya.
Melissa tertawa sendiri. Namun tawanya dipotong oleh suara
bisikan. Lagi. Suara angin, membisikkan namanya.
"Melisssssssssa."
"Oh!" jeritnya.
"Melisssssssssa."
Jangan. Jangan lagi. Ya ampun, suara apa itu"
Mobil itu mendadak terasa dingin, rasa dingin yang sama
dengan dingin lembap dalam mobil barunya.
"Melisssssssssa."
Dan tiba-tiba ia ada di sana, di tempat duduk di samping
Melissa. Seorang cowok, mungkin sebaya dengan Melissa. Tatapannya
keras. Rambut hitamnya yang berminyak menyentuh kerah bajunya.
Matanya gelap, berbahaya. Ia mengenakan denim biru.
Melissa berteriak, dan menyeruduk mobil di depannya.
6 PENGEMUDI mobil yang ditabrak Melissa"pria setengah
umur berperawakan besar yang mengenakan setelan abu-abu"secepat
kilat keluar dari mobilnya, dengan muka merah dan marah. Melissa
terpaku, tak bergerak sampai orang itu mengetuk jendela mobilnya,
tiga kali ketukan keras. Melissa menurunkan kaca jendelanya, tetapi tidak keluar. "Apa
kau tidak tahu?" tanya orang itu, mukanya makin merah. "Aku kan
berhenti karena lampu merah."
"Maaf," sahut Melissa, mulai merasa agak normal. "Apakah
Anda tidak apa-apa?"
"Kenapa kau tidak berhenti?" desak orang itu dengan marah,
tanpa menghiraukan pertanyaan Melissa. "Kau mabuk, ya?" Orang itu
membelalak, mengamat-amati mata Melissa.
"Tidak. Saya hanya tidak melihat... maksud saya, cowok itu
tiba-tiba muncul di samping saya dan saya sangat terkejut...."
"Cowok?" Orang itu merunduk ke jendela dan melongok ke
tempat duduk di samping Melissa. Aftershave-nya tercium oleh
Melissa, menusuk dan manis. "Cowok mana?"
Melissa menoleh ke sampingnya, lalu melongok ke tempat
duduk belakang. Tak ada siapa pun.
"Hei... kau di mana?" teriaknya. "Ke mana kau pergi?" Melissa
menoleh lagi ke arah orang itu. "Maaf. Dia tadi di sini. Sungguh.
Dan..." Orang itu melemparkan tangannya dengan tidak sabar. "Aku tak
mau mendengar omong kosong ini. Bisa-bisa aku terlambat rapat." Ia
meninggalkan mobil Melissa dan memeriksa bumper belakang
mobilnya. Dengan ogah-ogahan Melissa mendorong pintu mobilnya
dan melangkah keluar. Ia masih gemetar akibat menabrak mobil orang
lain. Setelah beberapa langkah ia mulai merasa lebih baik.
"Mobilmu malahan tidak lecet sama sekali," orang itu berkata
sambil meraba pipinya, mukanya masih semerah tomat.
"Dan bagaimana dengan mobil Anda?" Melissa bertanya sambil
memikirkan cowok berambut gondrong tadi. Dia kelihatan tidak
ramah dan marah. Melissa dapat melihatnya walaupun cuma
meliriknya sekilas. Pernahkah aku melihatnya di suatu tempat"
Melissa bertanya-tanya. "Hanya tergores," jawab orang itu. Ia berlutut untuk melongok
bagian bawah belakang mobilnya. "Sebaiknya kita berdamai saja."
"Orangtua saya punya asuransi."
Orang itu berdiri dan menepuk-nepuk debu dari celananya
meskipun masih bersih. "Tak perlu. Lupakan saja ini, oke?" Ia
tersenyum untuk pertama kalinya. Wajahnya kembali ke warna
normal. Ia meregangkan tubuhnya dan memutar-mutar kepalanya.
"Kelihatannya leherku baik-baik saja. Kukira kita beruntung."
"Saya harap begitu," sahut Melissa ragu-ragu. "Saya sungguhsungguh menyesal. Anda baik sekali."
"Aku orang baik," kata orang itu dengan datar, lalu ia kembali
ke mobilnya. "Dengarkan aku, ya. Berjalanlah di belakang yang lain
mulai sekarang." "Oh. Tentu." Melissa tidak yakin apakah orang itu bergurau
atau tidak. Ia memperhatikan orang itu beranjak pergi, pikirnya masih
dipenuhi oleh cowok tadi. Ia dapat melihatnya dengan jelas, mata
hitamnya, alisnya yang berkerut. Tak mungkin itu cuma bayangan,
kan! "Hei... minggir!"
Melissa menoleh dan melihat dua mobil di sampingnya,
pengemudinya melongokkan kepala dari jendela.
"Hei, Miss, kau kenapa" Kau tidak dengar bunyi klakson, ya?"
Dengan terperanjat Melissa melompat masuk ke mobilnya
sendiri, menutup pintu, lalu melaju pergi. Ia tidak mendengar klakson
itu. Ia tidak mendengar apa-apa. Aku ada dalam duniaku sendiri,
pikirnya. Dunia mimpiku sendiri di mana cowok itu muncul dan
menghilang, dan angin membisikkan namaku....
********************* "Aku benar-benar mencemaskanmu, Lissa. Kau jelas-jelas
sangat..." "Tidak, aku tidak kecapekan, Mom." Melissa memotongmotong roti namun tidak memakannya. Ketika itu mereka sedang
makan malam, dan sebenarnya Melissa tidak berniat memberitahu
orangtuanya tentang kecelakaan yang dialaminya. Tetapi selama
kesunyian yang panjang, tanpa dapat ditahan lagi ia menceritakannya.
Sekarang ia menyesal telah memberitahu mereka.
"Cowok yang katamu kaulihat," ayahnya bertanya dengan
serius, sambil mengelap saus di pipinya, "apakah dia sama dengan
sosok yang katamu muncul di kamarmu malam itu?"
"Jangan sebut katamu. Kenapa Dad harus menyebut katamu?"
Melissa menjerit, terdengar lebih marah daripada yang
dimaksudkannya. "Dad mengira aku benar-benar gila, kan" Dad pikir
aku sudah sinting! Katamu! Katamu! Itu yang Dad katakan kepada
seseorang kalau menangani kasus di pengadilan. Aku bukan klien.
Aku anak Dad!" Melissa menyadari ia telah bertindak berlebihan. Ia tidak tahan
lagi. Ia jengkel karena kedua orangtuanya tidak mempercayainya
sama sekali. "Tenang, Sayang. Makanlah." Mrs. Dryden tidak suka melihat
orang marah-marah, terutama di meja makan.
"Sori. Aku tak bermaksud..." Mr. Dryden meraih gelasnya dan
mengusap-usap pangkal hidungnya. Matanya tampak jauh lebih kecil
tanpa kacamata. Tiba-tiba ia kelihatan sangat letih.
"Ayahmu punya ide yang betul-betul bagus sore ini," Mrs.
Dryden berkata kepada Melissa, sambil melahap irisan terakhir
salmon di piringnya. Begitulah Mom, mengganti pokok pembicaraan lagi, batin
Melissa. Bagaimanapun, untuk sesaat Melissa merasa lega.
"Kenapa tidak kauberitahukan padanya?" Mrs. Dryden
mendesak suaminya. Mr. Dryden menelan kentang dengan kulitnya. "Luar biasa
makan malam kali ini. Ingatkan aku untuk memuji Marta."
"Saya mendengarnya. Terima kasih atas pujian Anda!" Marta
berseru dari balik pintu dapur yang tertutup.
Mr. dan Mrs. Dryden tertawa.
Mungkin Marta juga berpikir aku gila, pikir Melissa dengan
sedih. "Teruskan. Katakan kepada Melissa idemu," desak ibu Melissa.
"Yah, ibumu dan aku harus mengikuti konvensi pengacara,"
Mr. Dryden mulai. "Minggu yang akan datang di Las Vegas. Kami
berangkat Kamis malam dan sekalian akan berakhir pekan. Kupikir
mungkin kau mau ikut juga."
"Ini benar-benar baik untukmu," kata ibunya cepat-cepat,
sebelum Melissa sempat memberikan reaksi. "Kau butuh pergantian
suasana. Kau baru mulai sekolah minggu berikutnya, jadi ini waktu
yang tepat untuk pergi, dan..."
"Aku tak mau pergi," potong Melissa.
"Yah, sebenarnya kami kira...," ibunya mulai berkata lagi.
"Mengapa kau tidak mau, Lissa?" Mr. Dryden bertanya dengan
nada kecewa. "Aku hanya tak berminat pergi ke Las Vegas dengan
rombongan pengacara. Pasti tersiksa rasanya. Apa yang akan
kukerjakan bila Dad dan Mom menghadiri pertemuan dan pesta" Aku
belum cukup umur untuk ke kasino. Paling-paling aku cuma
berkeliaran di hotel menunggu kalian kembali."
"Tapi, Melissa," bantah Mrs. Dryden, "di sana ada lapangan
tenis, kolam renang, dan berbagai pertunjukan. Kujamin kau pasti
menyukainya. Kau perlu keluar rumah."
"Maaf." Melissa meletakkan serbetnya dan berdiri. "Pokoknya
aku tidak mau. Terima kasih."
"Kau mau ke mana?" Mrs. Dryden tidak dapat
menyembunyikan kemarahannya akibat penolakan Melissa untuk
pergi bersama mereka. "Aku punya janji dengan Buddy. Aku akan menjemputnya. Dia
pasti akan kaget melihat mobil baruku sudah kembali." Tiba-tiba ia
membungkuk dan mencium dahi ayahnya sekilas. "Terima kasih Dad
telah mengambilkannya." Ayahnya tersenyum penuh maaf kepadanya.
"Sebaiknya kaupertimbangkan lagi keputusanmu," Mrs. Dryden
belum mau menyerah. Melissa tidak menjawab, melainkan buru-buru
ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Melissa mandi cepat-cepat, lalu memakai sweter merah dengan
jumbai-jumbai di sepanjang kelimannya dan jins baru. Dikenakannya
juga bandul perak dari Buddy. Ia sedang berusaha mengaitkan rantai
kalungnya ketika cowok itu muncul di sampingnya.
Mula-mula cowok itu berdiri sempoyongan, kemudian berhasil
menegakkan diri. Matanya yang gelap menatap Melissa dengan tajam.
Melissa dapat melihatnya dengan jelas sekarang. Rambutnya cokelat
gelap seolah-olah sudah berminggu-minggu tidak dikeramas, terbelah
di tengah dengan tak teratur dan mencuat melewati kerah bajunya.
Alisnya tebal dan gelap, tulang pipinya tinggi, mulutnya membentuk
senyum sinis dan tidak enak dipandang. Ia memakai jaket dan jins
denim biru pudar. Yang mengherankan Melissa, kali ia tidak merasa takut. Hanya
kemarahan yang ia rasakan sekarang.
"Siapa kau?" tanya Melissa sambil maju mendekatinya.
Cowok itu kelihatan terkejut melihat ketegasan Melissa, tetapi
tidak menjawab. Dengan terang-terangan dipandanginya Melissa dari
atas ke bawah. "Gara-gara kau aku kehilangan konsentrasi, sehingga mobil
ibuku tertabrak," tuduh Melissa.
Cowok itu mengangkat bahu, seperti tidak peduli. "Lalu" Kau
bisa beli lagi yang baru, kan?" katanya sinis.
Suaranya lebih tinggi dan lebih lembut daripada yang diduga
Melissa. "Siapa kau?" ulang Melissa. Matanya terus memandangi cowok
itu, tidak berkedip ataupun beralih. "Bagaimana caramu masuk ke
kamarku" Ke mobilku?"
Kemarahan Melissa tampaknya membuat cowok itu senang. Ia
melihat ke luar jendela melewati pundak Melissa. Lalu ia melangkah
ke meja rias Melissa dan mengamat-amati pernak-pemik makeup-nya.
"Kau ingat aku?"
Cowok itu mendekati Melissa lagi.
"Tidak. Kenapa aku harus ingat kau?" tanya Melissa. Ia mulai
merasa takut lagi.
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Seharusnya kau ingat aku." Mendadak ia maju dan
menyorongkan wajahnya ke dekat wajah Melissa. "Kau harus ingat
aku"kau membunuhku!"
7 MELISSA tersentak mundur dan menjauh, namun kakinya
tersandung sepatu karetnya dan ia jatuh terjengkang.
Cowok itu berkacak pinggang dan tersenyum, senang betul
melihat Melissa tergeletak di lantai. Melissa melihat tato pada lengan
kanannya sebelah belakang, tetapi tidak tahu gambar apa.
"Biarkan aku berdiri."
Cowok itu menyeringai lagi. "Berdiri saja. Aku tak melarang."
Melissa berguling ke kanan dan melompat berdiri. Mereka
berdua bertatapan dari seberang tempat tidur. "Aku belum pernah
bertemu kau," kata Melissa.
Cowok itu melemparkan kepalanya ke belakang dan mengusap
rambutnya yang berminyak. "Ingatan yang patut dipuji," gumamnya
sinis. "Aku tak mengerti apa yang kaubicarakan. Berhentilah berlagak
misterius." Tampaknya ia menganggap ucapan Melissa itu lucu. "Aku tidak
bermaksud misterius. Sudah kukatakan dengan jelas"kau
membunuhku. Lihat baik-baik. Sudah ingat aku sekarang?"
"Kau gila. Jika kau sudah mati, bagaimana kau bisa berdiri di
sini sekarang" Memangnya kau ini apa"hantu?"
Apa yang sebaiknya diperbuatnya" Lari keluar kamar"
Memanggil ayahnya" Tidak. Melissa menginginkan jawaban dari
penyusup asing ini. Ia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi
sejelas-jelasnya. "Jangan berlagak lugu." Cowok itu memunggungi Melissa.
"Kau mau mengatakan kau sudah membunuhku tapi tidak peduli"
Maksudmu kau begitu kaya dan..."
"Aku tidak membunuhmu!" teriak Melissa. "Jika aku
membunuhmu, bagaimana caranya?"
Kedua tangannya mengepal. Ia masih membelakangi Melissa.
"Aku tidak ingat," katanya datar, tanpa emosi. "Sebagian besar
ingatanku menghilang. Tapi aku yakin yang satu ini. Kau yang
membunuhku." "Bohong!" jerit Melissa. "Katakan yang sebenarnya. Apa yang
kauperbuat di sini" Kenapa kau menakut-nakutiku dengan pura-pura
jadi hantu begini" Bagaimana kau bisa masuk?"
"Aku sudah mati," jawabnya tanpa membalikkan badan.
Kemarahannya sudah mereda. Matanya berair. "Aku mati kaubunuh."
Ucapannya membuat Melissa merinding. Ia tidak bergurau.
Tetapi yang dikatakannya itu tidak masuk akal. "Kau hidup
seperti aku!" Melissa berteriak. Ia melangkah mendekati cowok itu,
meraihnya, dan memegang lengannya.
Tangan Melissa seakan-akan menembus tangan cowok itu.
Yang dirasakan oleh Melissa hanya pusaran udara dingin.
"Oh, tidak!" Melissa menjerit sambil membekap mulutnya. Ia
melangkah mundur. Jantungnya berdegup kencang. Rasa dingin
melingkupinya, dari dalam dan dari luar. Ia berusaha berteriak, namun
tidak ada suara yang keluar.
Cowok itu tersenyum, senyum mengerikan. Reaksi Melissa
yang ketakutan membuatnya makin senang. "Kau percaya kan
sekarang?" "Kau... kau hantu." Melissa ingin lari, tetapi kakinya gemetar.
Tubuhnya lemas sekali. Ia jatuh terduduk di tempat tidur dan
terbelalak memandangi cowok itu.
"Sekarang kau percaya pada hantu," kata cowok itu sambil
tersenyum samar. "Apakah tidak mengagumkan bagaimana waktu
beberapa detik dapat mengubah hidupmu" Atau mengakhirinya"''
"Tapi aku yakin aku tidak membunuhmu," desak Melissa. "Aku
tidak akan melupakan hal seperti ini."
"Kau lupa." Ia menarik kursi di depan meja rias Melissa,
memutarnya, dan mendudukinya, lalu meletakkan pipinya ke sandaran
kursi itu. "Aku tidak ingat bagaimana, tapi kau membunuhku."
"Mengapa" Mengapa aku membunuhmu?" tanya Melissa.
Dia akan kelihatan lumayan keren jika dia keramas dan berhenti
menyeringai seperti itu, pikir Melissa.
"Aku tak ingat," sahutnya dengan agak sedih.
"Siapa namamu?"
"Paul." "Paul apa?" "Aku tak ingat."
"Hah" Kau tak ingat nama belakangmu sendiri?"
"Sudah kukatakan padamu, aku tak ingat banyak. Kematian
membingungkan orang dalam banyak cara, kau tahu. Oh, tak mungkin
kau tahu!" Ia memukulkan kedua tangannya ke sandaran kursi. Tetapi
tidak menimbulkan bunyi. "Ingatanku timbul-tenggelam. Aku tak
dapat mengontrolnya. Aku hampir-hampir tak ingat sesuatu pun."
"Bila kau tak punya ingatan, apa yang membuatmu mengira aku
yang membunuhmu" Kau menghantui rumah yang keliru, Paul. Itu
yang betul." Ia menggeleng-geleng. "Ini salah satu dari sedikit hal yang
kuingat. Kau yang membunuhku, Melissa. Dan aku tahu satu hal yang
lain lagi." "Apa?" "Aku tahu mengapa aku kembali." Ia berdiri dan mulai
melangkah ke arah Melissa. "Aku kembali untuk membalas dendam
padamu. Aku akan membunuhmu!"
"Jangan!" Melissa meloncat turun dari tempat tidurnya dan berlari menuju
pintu kamar. Dia gila, pikirnya. Benar-benar gila. Aku harus lari.
Cowok itu memandang mata Melissa. "Takut, hah?"
"Ya," Melissa mengaku.
"Bagus. Sudah seharusnya. Akhirnya kau paham juga."
"A-aku akan menjerit."
"Kau sudah menjerit tadi. Tak ada gunanya buatmu. Tak ada
gunanya juga kau lari. Kau tak dapat melarikan diri dari hantu,
Melissa. Kau pernah nonton film horor, kan?"
"Kau salah besar, Paul. Aku tidak membunuhmu. Sungguh."
Melissa sudah hampir sampai ke pintu. Tinggal beberapa
langkah lagi, dan ia bisa keluar kamar dan turun.
Tapi lalu apa" "Kau harus percaya padaku," sekali lagi Melissa mencoba
meyakinkannya. "Aku tidak pernah mengenalmu! Aku belum pernah
melihatmu. Bukan aku orangnya. Kau pasti keliru."
Hantu itu diam saja, hanya menggelengkan kepala, memandang
Melissa dengan dingin. Melissa merinding, betul-betul merinding.
Kamarnya terasa dingin membeku. Dingin mendadak malam
lalu. Dingin mendadak dalam mobil. Dia yang membawa rasa dingin
itu. Dia yang melakukannya, Melissa menyadari.
Melissa mundur dan membentur dinding.
Hantu itu bergerak dengan cepat. Sebelum Melissa berhasil
mencapai pintu, hantu itu sudah menghadang. Ia mengangkat
lengannya untuk menghalangi Melissa. Wajahnya hanya berjarak
beberapa senti dari Melissa.
Ia begitu dingin, sangat dingin, benar-benar dingin.
"Aku tidak melakukannya, Paul!" Suara Melissa tercekik dan
lirih. "Kau pembohong," kata Paul dengan tenang, dan wajahnya
yang lumayan tiba-tiba berubah menjadi aneh. "Pembohong kaya. Dan
pembohong kaya harus mati!"
8 "JANGAN, tunggu...!" Melissa memohon, mengangkat
tangannya menutupi wajahnya seolah-olah untuk melindungi diri dari
hantu itu. "Tunggu untuk apa?"
Melissa berpikir keras. Apa yang dapat diperbuatnya untuk
menyelamatkan hidupnya" Apa"
"Tak perlu buru-buru," kata hantu itu lirih. "Aku takkan ke
mana-mana." Melissa perlahan-lahan menurunkan tangannya. "Mungkin aku
dapat menolongmu." Senyum pahit melintas di wajah hantu itu.
"Aku tidak bohong. Sungguh."
Udara terasa sangat dingin. Lembap, dingin menggigit. Melissa
mendekapkan lengannya ke tubuhnya sendiri, tetapi itu tidak banyak
membantu. "Aku dapat menolongmu. Aku dapat... uh... Aku dapat
menemukan orang yang sebenarnya membunuhmu."
Di mana orangtuanya" Tidakkah mereka mendengar ia
bercakap-cakap" Tidakkah mereka ingin tahu dengan siapa ia
bercakap-cakap" Jika saja salah satu dari mereka datang ke kamarnya
sekarang, Paul pasti menghilang seperti waktu-waktu sebelumnya.
Dan Melissa akan selamat" paling tidak untuk sementara.
"Aku sudah memberitahumu, Melissa," hantu itu menyebut
namanya dengan nada mengejek. "Aku tahu siapa yang membunuhku.
Kau." "Tapi kau salah. Selain itu..." Melissa berpikir cepat sekarang,
pikirannya melompat-lompat, mencoba mencari jalan keluar,
bagaimanapun caranya, supaya hantu itu tidak membunuhnya.
"Apakah kau tak ingin tahu bagaimana kau dibunuh" Atau kenapa"
Kau tak ingin tahu kenapa kau dibunuh?"
Hantu itu memandang ke kejauhan. Ia sedang
mempertimbangkan ucapan Melissa.
"Aku dapat menolongmu," Melissa cepat-cepat menambahkan,
keberaniannya muncul dengan diamnya si hantu. "Aku akan
membantumu. Akan kuselidiki segala sesuatu tentang kau. Akan
kutempuh semua cara untuk mencari kebenaran. Sungguh."
Ia memandang Melissa dengan tidak percaya.
"Sungguh," ulang Melissa. "Aku sungguh-sungguh dapat
membantumu. Jika saja kau memberiku kesempatan."
"Yah..." Kalau saja ia pergi. Melissa sangat kedinginan, merinding,
gemetar, menggigil! "Oke," jawab si hantu. "Aku toh tak tergesa-gesa. Aku dapat
membunuhmu kapan saja."
Sosok si hantu mulai memudar, mula-mula wajahnya dan
tangannya, lalu jins dan jaket denimnya.
Kemudian ia menghilang. Dan hanya rasa dingin yang
ditinggalkannya. Beberapa menit kemudian Melissa menjalankan mobilnya
menuju rumah Buddy, sambil masih berusaha menghangatkan
tubuhnya. Malam ini udara hangat, suhu masih sekitar 21 derajat
Celsius, namun Melissa menutup jendela mobil dan menyalakan
pemanas. Sebelum berangkat tadi ia ragu-ragu sejenak di kaki tangga,
menimbang-nimbang apakah kejadian barusan perlu diceritakan pada
orangtuanya. Tetapi ia segera memutuskan untuk tidak memberitahu
mereka. Paling-paling mereka akan menganggap mentalnya
terganggu. Kalaupun mereka tidak sampai menganggapnya gila,
mereka pasti akan menyuruhnya istirahat, mencekokinya dengan pil
tidur, atau memanggil dokter. Padahal ia sungguh-sungguh ingin
bertemu dengan Buddy. Lebih enak bercerita pada cowok itu daripada
kepada orangtuanya. Buddy pasti mau mendengarkan. Buddy pasti
percaya padanya. Semoga saja begitu. Sibuk memikirkan Paul, Melissa menerobos lampu merah.
Untunglah, tidak ada mobil lain di sekitarnya.
Aku harus berkonsentrasi menyetir, Melissa memperingatkan
diri sendiri. Tapi bagaimana mungkin"
Ia dihantui setan, setan sungguhan yang menuduhnya
membunuh. Hantu yang datang untuk membalas dendam.
Di mana aku melihatnya sebelum ini" Kenalkah aku padanya"
Pernahkah aku melihatnya"
Melissa membongkar seluruh ingatannya, namun tetap nihil
hasilnya. Tidak. Tidak. Tidak. Aku tidak pernah melihatnya seumur
hidupku. Aku tak kenal seorang pun yang bernama Paul. Aku tak
pernah melihatnya di sekitar sekolah. Aku tak ingat ada murid lakilaki di Shadyside High yang terbunuh.
Tidak. Dia salah. Dia membuat kesalahan besar. Dan sekarang
apa" Apa yang akan kukerjakan dalam hal ini"
Tiba-tiba rasa dingin menusuk merayapi tulang punggung
Melissa, meskipun udara di dalam mobil panas membara.
"Paul... kau di sini?" tanya Melissa keras-keras.
Sunyi. "Paul... jawablah aku. Kau di sini sekarang?"
Sepi. Tak ada bisikan yang menyebut namanya.
Sunyi senyap. Melissa mendesah keras, sangat lega.
Kemudian ia berpikir, bagaimana jika dia ada di sini tapi tidak
menjawab" Tiba-tiba terdengar bunyi klakson bertubi-tubi. Melissa
menengok untuk melihat ada apa. Ternyata ia telah melewati simpang
empat tanpa memperhatikan lalu lintas.
Sebaiknya aku tidak mengemudi, batinnya.
Ia hampir sampai di rumah Buddy. Nanti Buddy yang menyetir
ke bioskop. Tapi bagaimana mungkin ia dapat menonton film" Ia
tidak dapat duduk terus-terusan. Ia tidak dapat berkonsentrasi pada
film. Ia harus mengerjakan sesuatu.
Mungkin Buddy tahu apa yang harus diperbuatnya.
Beberapa menit kemudian Buddy menemui Melissa di pintu
muka. "Hai, dari mana saja kau?" Buddy melihat jam tangannya.
"Ceritanya panjang," jawab Melissa. "Kau tak mengundangku
masuk?" "Kita akan terlambat nonton." Buddy mengenakan jins 501 dan
kemeja biru. Ia mendorong pintu dan melangkah ke teras mendekati
Melissa. "Aku tidak ingin nonton film. Aku ingin ngobrol."
Mata cokelat Buddy terbelalak. Ia melihat ke arah jalan mobil.
"Mobilmu sudah kembali. Boleh aku menyetirnya?"
"Yah. Tentu saja boleh. Tapi kau tak mendengarkan
omonganku, padahal aku ingin bicara."
"Di sini terlalu ramai, ada teman-teman kakakku, juga tamutamu orangtuaku." Buddy memegang lengan Melissa. "Bagaimana
kalau kita naik mobil dan ngobrol di jalan."
"Oke," sahut Melissa. Akhirnya Melissa merasa hangat lagi,
namun peristiwa mengerikan di kamarnya masih menghantui
pikirannya. Ia menggandeng lengan Buddy. "Oke. Ayo berangkat."
"Kita pergi ke River Ridge, ya?" Buddy bertanya, senyum nakal
muncul di wajahnya. Melissa melepaskan lengan Buddy. "Tidak. Bukan itu yang
kumaksud, Buddy. Aku sungguh-sungguh ingin ngomong dengan
kau." Senyum Buddy langsung menghilang. "Ada yang tidak beres?"
"Ya," jawab Melissa.
"Maksudmu tentang kita" Kau ingin membicarakan hubungan
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita?" Melissa menahan rasa jengkelnya. Ia menggeleng-geleng dan
tidak mengatakan sesuatu pun. Buddy sebenarnya baik, ujar Melissa
dalam hati. Aku sayang padanya. Tapi kadang-kadang dia
menyebalkan, sebab yang ada dalam pikirannya cuma kepentingannya
sendiri. Buddy membuka pintu mobil dan Melissa masuk. Di dalam
mobil masih terasa panas. Melissa mematikan alat pemanas itu
sementara Buddy berjalan ke sisi lain. Mereka tidak membutuhkannya
saat ini. Tak lama kemudian mereka melaju perlahan-lahan di sepanjang
Canyon Road, melewati rumah-rumah bergaya ranch"tidak
bertingkat dan beratap rendah"dengan lapangan-lapangan kecil dan
rapi di kedua sisinya. "Aku tak tahu mau mulai dari mana." Melissa
menyandarkan kepalanya ke bahu Buddy.
"Mobil ini benar-benar hebat," kata Buddy. "Apa masalahmu,
Lissa?" "Kau ingat ada yang bernama Paul di sekolah" Seseorang
bernama Paul yang mati dibunuh?"
"Dibunuh?" Ia menoleh memandang Melissa dengan bingung.
"Yah. Dibunuh. Paul apa. Aku tak tahu nama belakangnya."
Buddy berpikir sesaat. "Tidak ada. Tak ada seorang pun dari
sekolah yang dibunuh."
"Kukira tidak begitu."
"Lalu, siapa orang itu?"
"Tidak tahu. Tapi kau ingat aku pernah bercerita mengenai
seseorang di kamarku dan aku menjerit dan ternyata tak ada siapa pun
di sana?" "Yah. Tentu saja aku ingat."
"Begini..." Melissa berhenti. Apakah Buddy akan
menertawakannya" Apakah Buddy akan menganggap dia sinting"
Atau akan percayakah Buddy padanya"
Sekarang sudah terlambat untuk mundur. Melissa harus
memberitahu Buddy dan berharap dapat meyakinkannya.
"Jangan menyela sampai aku selesai mengatakannya, oke?"
Buddy tampak bingung lagi. Ia membelokkan mobil ke kiri di
Park Drive. "Jangan. Jangan lewat kota," Melissa berkata sambil menyentuh
lengan Buddy. "Ayolah. Belok kanan. Kita ke luar kota, tempat yang
bebas dari gangguan."
Dengan patuh Buddy berbelok ke kanan. "Melissa, ayolah...
jangan bikin aku tegang. Katakan saja apa yang terjadi."
Melissa menceritakan seluruhnya, berbicara dengan cepat
seolah-olah dengan demikian akan lebih meyakinkan, dan membuat
dirinya sendiri lega. Napasnya terengah-engah ketika ia mengisahkan
bagaimana ia membujuk hantu itu untuk membiarkan dirinya
menolong, membiarkannya hidup sesaat lagi.
Sekarang mereka berada di luar Shadyside, di daerah pertanian,
gelap dan datar. Buddy membelokkan mobil ke bahu jalan yang
berumput tinggi, tetapi tidak mematikan mesin mobil.
Buddy menghadap ke Melissa, mendekatkan dirinya, dan
memeluk bahu Melissa dengan hangat. "Lissa... kau gemetar!"
"A-aku takut, Buddy."
Buddy tidak berkomentar. Melissa menengadah memandang
Buddy yang terpana menatapnya.
"Oke, bicaralah. Bagaimana menurutmu?" Melissa bertanya
dengan tak sabar. Bulan purnama merendah di hamparan ladang. Cahaya
kuningnya memantul pada bagian depan mobil. Segerumbul tipis
awan biru abu-abu melayang-layang di depannya, dan langit tiba-tiba
makin gelap. "Mulanya kukira kau cuma bergurau," Buddy berkata sambil
meremas bahu Melissa dengan lembut.
"Aku tidak bergurau," kata Melissa cepat-cepat.
"Tentu tidak. Aku tahu." Pandangan Buddy menerawang ke
tempat bulan tampak sebelum terselubung awan. Ia kelihatan sedang
berpikir keras. Akhirnya ia berkata, "Sebenarnya kau tak percaya pada
hantu, kan?" Rasanya Melissa ingin menangis. Ditariknya napas dalamdalam dan ditahannya. Ia tidak akan menangis di depan Buddy. Ia
sama sekali tidak boleh menangis. "Aku tahu kau takkan percaya
padaku," bisiknya, dipalingkannya wajahnya menjauh dari Buddy.
"Tapi kau percaya?" tanya Buddy. "Kau sungguh-sungguh
percaya bahwa ada anak bernama Paul yang sudah mati menghantui
kamarmu dan ingin membunuhmu" Apakah menurutmu itu masuk
akal?" "Ya, aku percaya itu, Buddy," jawab Melissa dengan marah,
sambil menyingkirkan tangan Buddy dari bahunya. "Aku di sana. Aku
melihat semuanya terjadi. Aku percaya."
Buddy memegang tangan Melissa yang dingin dan basah.
"Melissa, aku sungguh-sungguh mencemaskan dirimu. Kupikir kau
harus segera mendapat pertolongan."
"Kau tak mau percaya padaku?"
"Bagaimana aku bisa percaya" Ini tidak mungkin. Tidak masuk
akal." "Oke." Melissa menyilangkan lengannya dan mengalihkan
pandangannya ke depan. "Ayo kita pulang ke rumahku. Ayo. Cepat.
Akan kutunjukkan padamu aku tidak bohong."
9 "VOLVO-NYA tak ada. Berarti orangtuaku sudah pergi."
Melissa mengambil kunci dari dalam tasnya dan membuka pintu
depan. Buddy memegangi pintu depan, kemudian mengikuti Melissa
ke dalam rumah. Lampu di lorong menyala, tetapi bagian yang lain
gelap. Melissa melangkah menuju ruang tamu dan menyalakan lampu.
"Aku benci rumah yang gelap," katanya.
Buddy mengikutinya ke sana, kelihatan salah tingkah,
tangannya diselipkannya ke dalam kantong jinsnya. Melissa tidak
bicara sama sekali sepanjang perjalanan pulang tadi.
"Lissa, duduklah," Buddy berkata dengan lembut, sambil
menunjuk sofa di samping jendela.
"Tidak." Melissa menggeleng. "Ayo kita naik ke kamarku. Aku
ingin kau ketemu dengan Paul."
"Tapi ini cuma buang-buang waktu," kata Buddy. "Ayo...
duduklah. Kita bahas semuanya dengan kepala dingin."
"Aku sudah menceritakannya dengan kepala dingin," Melissa
meradang. "Aku akan membuktikannya padamu sekarang."
"Tidak ada yang namanya hantu," Buddy menggelenggelengkan kepala, "di Fear Street sekalipun."
"Fear Street tak ada hubungannya dengan ini," bantah Melissa.
"Tapi berhubungan dengan Rampok Fear Street," Buddy tak
mau menyerah. "Kau begitu terpengaruh oleh cerita-cerita itu. Kau tak
dapat berpikir jernih..."
Mendadak terdengar bunyi lantai papan berderak di lorong
depan. Langkah kaki. Buddy menatap Melissa, matanya terbelalak karena terkejut...
dan ketakutan. Siapa yang datang" Perampok itukah" Hantu Melissa-kah"
Melissa balas menatap Buddy. Tak seorang pun bergerak.
Bunyi langkah itu makin keras, diikuti dengan derak lantai papan.
Mereka mengalihkan pandang ke pintu masuk ruang tamu
bersamaan dengan Marta melangkah masuk. Ia membawa setumpuk
handuk mandi yang sudah dicuci dan disetrika. Rambut pirangnya,
yang biasanya digulung dan dijepit ke belakang, tampak awut-awutan.
"Rasanya aku mendengar ada orang masuk," katanya.
"Hai, Marta. Cuma kami kok," Melissa menyahut sambil
memandang Buddy yang kelihatan sangat lega.
"Orangtuamu pergi ke rumah keluarga Dalton," kata Marta.
"Aku baru saja akan membawa handuk-handuk ini ke atas, lalu pergi
tidur." "Kami akan mengunci semua pintu," kata Melissa.
Marta menghilang. Mereka mendengar bunyi langkahnya
menapaki tangga. "Kau dapat menutup mulutmu sekarang," kata Melissa kepada
Buddy. "Aku... dia... Aku tak berharap..." Buddy tertawa.
"Kau berharap melihat hantu," kata Melissa. "Betul, kan" Kau
percaya padaku." Ekspresi Buddy berubah serius. "Lissa, ayolah. Jangan terusterusan bicara tentang hantu. Cobalah katakan apa yang sebenarnya
kaulihat. Atau mungkin kau bermimpi. Itu bisa saja terjadi, kan?"
"Aahhh!" teriak Melissa dengan kesal. "Bagaimana mungkin
aku mimpi" Aku terjaga, benar-benar terjaga!"
"Tapi mungkin kau tertidur dan tak menyadari..."
Melissa meraih sebuah bantal kursi dan dengan marah
melemparkannya ke Buddy. "Tutup mulutmu, oke?"
Buddy memungut bantal yang mendarat di dadanya dan
mencampakkannya ke lantai. "Lissa..."
"Ayo ke atas." Dengan cepat Melissa keluar dari ruang tamu.
"Bila kau melihat hantu itu dengan mata kepalamu sendiri, mungkin
kau akan berhenti mengira diriku sinting, atau terlalu goblok untuk
tahu apakah aku terjaga atau tertidur."
"Aku tak bermaksud...," Buddy mulai membantah, namun
Melissa sudah menaiki tangga. Buddy mengikutinya, sambil bersandar
ke pegangan tangga yang berpelitur dan halus.
Mereka berpapasan dengan Marta yang sedang menuruni
tangga menuju kamarnya di belakang. Jika Marta heran melihat
mereka berdua menuju kamar Melissa, itu tidak tercermin pada
ekspresi wajahnya. Ia mengucapkan selamat malam dengan ramah dan
meneruskan langkahnya. Melissa ragu-ragu sejenak di pintu kamarnya. Ia menengok ke
belakang melihat Buddy, seakan-akan untuk meyakinkan bahwa
Buddy mengikutinya dan tidak melarikan diri. Lalu Melissa
melangkah masuk dan menyalakan lampu.
Kamar itu telah dibersihkan. Marta telah menyingkirkan
pakaian Melissa yang bertebaran. Ia bahkan juga membereskan meja
rias, merapikan botol-botol dan tabung-tabung perona pipi, lipstik,
serta makeup mata. Tempat tidur telah dibenahi, penutupnya telah
disibakkan, siap untuk ditiduri.
"Nah, di mana dia?" Buddy bertanya dengan lantang, meskipun
ia berdiri di samping Melissa.
"Dia di sini. Aku takkan salah." Melissa berjalan menuju
jendela. Buddy menjatuhkan diri ke tempat tidur dan berbaring,
tangannya menyangga kepalanya.
"Hei... kita sendirian di sini," katanya seolah-olah baru pertama
kali menyadari hal ini. "Tidak, kita tidak sendirian," jawab Melissa lirih. Dari luar
terdengar sebuah mobil menderu kencang, musik dari radionya
berdentam-dentam. "Paul, aku mengajak seseorang untuk menemuimu," kata
Melissa. "Aku membawa seorang lagi yang dapat menolongmu."
Sunyi. Melissa menoleh untuk melihat apakah Buddy menertawakan
dirinya. Jika Buddy tertawa, ia bersumpah tidak akan bicara dengan
cowok itu lagi. Tetapi Buddy tidak tampak geli. Ia memandang Melissa dengan
khawatir, wajahnya berkerut. "Melissa, ayo ke sini." Ia bangkit duduk
dan menepuk tempat di sampingnya. "Duduklah."
"Paul?" Melissa belum mau menyerah. "Ayolah, Paul."
Sepi. Tidak ada tanda-tanda hantu.
"Aku yakin dia ada di sini. Kamar ini sangat dingin," Melissa
berkata sambil bergidik. "Kemarilah. Aku akan menghangatkanmu." Buddy tersenyum
lebar dan menepuk tempat tidur lagi.
"Paul" Kau di sini, Paul?" Melissa tidak dapat
menyembunyikan keputusasaan dalam suaranya. Paul harus
menampakkan diri sekarang. Harus. Atau Buddy akan semakin yakin
bahwa dia benar-benar sinting.
Melissa duduk di tepi ranjang. Buddy melingkarkan lengannya
dengan lembut ke bahu Melissa. "Hei... kau membeku."
"Kau tak merasa dingin?" tanya Melissa. "Kau tak
merasakannya?" "Tidak," jawab Buddy sambil menarik kepala Melissa ke
bahunya. "Ini malam bulan Agustus yang hangat."
Nyaman rasanya berada dalam pelukan Buddy. Melissa
memejamkan mata. Buddy merangkulkan kedua lengannya ke sekeliling Melissa.
"Aku terus-menerus mengira ini lelucon," bisiknya. "Permainan
konyol yang kaulakukan untuk menggodaku. Tapi itu bukan
kebiasaanmu." "Ini bukan lelucon." Amarah Melissa timbul lagi. Apakah
Buddy sungguh-sungguh mengira ini semua cuma lelucon konyol
untuk mempermainkan dirinya"
"Paul... ayolah! Di mana kau?" panggil Melissa.
Buddy mendekatkan wajah Melissa ke wajahnya sendiri dan
mulai membelai-belai. "Jangan, Buddy." Melissa menarik dirinya mundur. "Aku benarbenar tidak mau."
"Ssttt. Ayolah," bujuk Buddy. Dipeluknya Melissa dengan lebih
erat. Dia begitu hangat, begitu aman.
Selama beberapa detik Melissa terhanyut.
Kemudian ia membuka mata dan mendongak. Di sana ada Paul,
berdiri di atas mereka, menonton mereka bermesraan, matanya
berkilat tajam, mulutnya mengerut marah.
Ketika Melissa berusaha melepaskan diri dari pelukan Buddy,
Paul mengeluarkan teriakan yang memekakkan dan melesat ke arah
Buddy dengan lengan terjulur.
10 MELISSA menjerit dan jatuh tertelentang ke tempat tidur,
berusaha menghindar. Buddy terkejut dan melompat berdiri sambil menatap Melissa.
"Lissa, kau kenapa?" serunya.
Melissa terpana memandang Paul, yang berada tepat di samping
Buddy, tampak marah sekali.
"Kenapa kau menjerit seperti itu?" desak Buddy. "Kau benarbenar sudah tidak waras, ya?"
"Buddy, dia di situ!" teriak Melissa. Ia masih terkapar di tempat
tidur sambil menunjuk-nunjuk ke arah Paul.
"Hah?" Buddy menoleh. Ia dan Paul berhadapan, tetapi ekspresi
bingung Buddy tidak berubah.
"Kau tak melihat dia?" pekik Melissa. "Kau tak mendengar dia
menjerit padamu?" Pandangan Buddy beralih kepada Melissa. Ia kelihatan cemas.
"Jangan bangun," katanya segera. "Tetaplah berbaring. Aku akan
menelepon orangtuamu."
"Buddy, kaupikir..."
"Payah betul cowokmu," ejek Paul dengan wajah geli. "Aku tak
mungkin memperlakukanmu seperti itu."
"Paul, buat dia melihatmu," Melissa memohon sambil bangkit
duduk. "Jangan, tetaplah berbaring," Buddy melarangnya. "Kau takkan
apa-apa. Sungguh." "Kukira dia tidak dapat melihat aku," kata Paul. Ia menaruh
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya di pundak Buddy. Cowok itu tidak bereaksi. "Dia bahkan
tak dapat merasakan aku." Paul meninju punggung Buddy.
"Buddy... awas!" jerit Melissa, terlambat.
Namun Buddy tidak merasa apa-apa.
Paul tampak kecewa sekali.
"Paul, jangan ganggu dia!" teriak Melissa.
"A-aku akan memanggil Marta." Buddy kelihatan panik.
"Jangan bangun. Kami akan memanggil orangtuamu. Kami akan
menenangkanmu." "Buddy, dengarkan aku. Berhentilah bertindak konyol."
"Itu tak mungkin." Paul menyeringai. "Soalnya dia memang
konyol." Tiba-tiba Paul mulai menghilang. Mula-mula ia menjadi tembus
cahaya. Pandangan Melissa dapat menembus tubuhnya. Kemudian ia
hanya berupa siluet. Lalu ia menghilang, meninggalkan rasa dingin.
"Kau juga tak merasakannya?" Melissa menanyai Buddy.
"Merasakan apa?"
"Rasa dingin itu."
Buddy menoleh. "Malam ini di luar agak berangin. Lihat gorden
itu." "Buddy, aku tidak gila." Melissa bangkit dan mulai mondarmandir di sepanjang tepi ranjang.
"Tidak, tentu tidak," Buddy cepat-cepat menanggapi. "Tapi
barangkali sarafmu terganggu atau apa."
"Aku tak mengerti." Melissa berhenti di depan Buddy.
"Mengapa kau tak dapat mempercayaiku" Paul ada di sini, tepat di
sampingmu. Dia meneriakimu. Dia memukul punggungmu. Aku tidak
berhalusinasi. Tapi cuma aku yang dapat melihatnya."
"Lissa, tenanglah. Ini kehidupan nyata. Bukan komedi situasi
TV." "Oh, begitu. Jadi sekarang aku gila dan tolol."
"Aku tak mengatakan begitu." Buddy meletakkan tangannya di
bahu Melissa. "Tidakkah kaulihat betapa aku mencemaskan dirimu?"
Melissa mundur, melepaskan diri dari pegangan Buddy. "Oke,
silakan mencemaskan aku di rumah," katanya dengan marah.
"Apa?" Buddy tampak tersinggung.
"Kau dengar. Pulanglah. Aku sadar aku harus memecahkan
masalah hantu ini tanpa bantuanmu."
"Tapi aku ingin kau mendapat bantuan. Pertama-tama kita harus
memberitahu orangtuamu tentang ini. Lalu kita harus..."
"Pulanglah, Buddy," kata Melissa dengan lelah.
"Aku tak ingin meninggalkanmu seperti ini. Di mana hantu itu"
Di mana kau melihatnya sekarang" Tunjukkan padaku."
"Dia sudah pergi. Sekarang pulanglah. Cepat. Kumohon."
Buddy berdiri sambil memandangi Melissa, mencoba membaca
ekspresi di matanya, berusaha memutuskan apa yang akan
dilakukannya. "Oke, aku akan pergi. Jika kau yakin kau baik- baik
saja." "Yah. Tentu," sahut Melissa. "Aku akan langsung tidur, oke?"
"Telepon aku besok pagi-pagi, ya?"
"Oke." Melissa tersenyum lemah.
Tak lama kemudian terdengar pintu depan terbanting. Melissa
duduk dengan sedih di ranjangnya, pandangannya terarah ke luar
jendela. Awan telah menyingkir, membiarkan bulan purnama bersinar
keemasan kembali. "Terima kasih, Paul," ucapnya keras-keras. "Kau baru saja
menyebabkan aku kehilangan teman cowok."
Paul muncul di samping tempat tidur, kepuasan tergambar di
wajahnya. "Jadi apa ruginya buatmu" Kau dapat membeli yang lain
lagi, kan?" "Mengapa kau tetap mempermasalahkan betapa kayanya aku?"
"Aku tahu cewek-cewek kaya. Kalian semuanya sama," kata
Paul getir. "Kalau aku masih hidup, kau takkan melirikku sama
sekali." "Bagaimana kau tahu itu?" tanya Melissa.
"Pokoknya aku tahu. Kalian orang-orang kaya suka
menggerombol, sehingga dapat dengan mudah menghina orang-orang
seperti aku." Paul berbalik dan melangkah menuju jendela. Melissa
dapat melihat bulan purnama bersinar menembus punggungnya.
"Buddy tidak kaya," Melissa berkata. Ia sendiri heran mengapa
ia merasa perlu membela diri di depan hantu itu. "Ayahnya bekerja di
kantor pos." "Lalu apa yang kaulihat dalam dirinya?" tanya Paul sambil
menoleh ke Melissa. "Pasti bukan kepribadiannya yang hebat." Ia
tertawa sinis. "Oh, tutup mulutmu!" teriak Melissa lelah. "Kenapa kau tidak
pergi saja dan meninggalkan aku sendirian?"
"Kalau kau cewekku, aku akan lebih manis padamu." Paul tidak
mengindahkan permintaan Melissa. "Tapi kau takkan pernah mau
dengan orang seperti aku."
Cemburukah dia" pikir Melissa tiba-tiba. Itukah sebabnya dia
muncul dan berteriak histeris ketika Buddy memelukku"
"Menyingkirlah... cepat!"
Muka Paul tertutup bayangan. Seluruh tubuhnya tampak
tertelan bayangan itu. Kini ia hanya berupa siluet berbayangan gelap.
"Aku tahu kau akan mengingkari janjimu padaku," kata Paul.
Suaranya lirih sekali hingga mirip dengan embusan angin dalam
mobil. "Tidak, Paul. Aku..."
"Sebaiknya aku membunuhmu sekarang."
Kata-kata itu seperti bisikan di telinga Melissa.
"Kau memukul Buddy. Tapi dia tak dapat merasakannya," kata
Melissa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya. "Bagaimana
kau akan membunuhku?"
"Tadi aku sengaja berbuat begitu demi kau," jawab Paul sambil
melemparkan pandangan jahat. "Aku cuma iseng. Jangan kuatir, aku
dapat membuat diriku dirasakan. Aku sanggup memutar kemudi mobil
barumu yang berharga, kan" Kau juga merasa saat aku mendorongmu
ke luar jendela. Dan aku berhasil membuka hadiah-hadiah ulang
tahunmu." "Kenapa... kenapa kaulakukan semua itu?"
"Kau tak mendengarkan, ya?" Bayangan itu bergeser dan
melayang ke arah Melissa. "Aku kembali untuk membunuhmu. Tapi
tidak sekarang. Pertama-tama aku ingin main-main dulu...."
******************** Melissa mengucapkan terima kasih kepada petugas
perpustakaan dan membawa gulungan kecil mikrofilm ke tempat yang
disediakan untuk memeriksanya. Pada hari Senin pagi begini
perpustakaan kosong, hanya ada seorang pria berkacamata tebal di
meja depan, sedang menekuni Wall Street Journal, serta seorang lakilaki lusuh, belum bercukur, mengenakan mantel kumal dan kotor,
sedang mendengkur di kursi berlengan.
Aku harus menemukan kebenaran tentang diri Paul, tekad
Melissa. Hal berikutnya yang terbayang membuat Melissa gemetar:
Hidupku tergantung pada penemuanku ini.
Sambil menarik kursi ke depan tempat pemeriksaan film,
Melissa memikirkan Buddy. Tingkah Buddy malam Minggu yang lalu
benar-benar menyebalkan, pikirnya jengkel. Kemarahannya muncul
seketika. Kalau saja dia mau memberikan sedikit kesempatan
kepadaku dan bukannya bertingkah seolah-olah aku kesurupan. Buddy
telah meruntuhkan semangat Melissa pada saat Melissa sangat
membutuhkan dukungannya. Melissa mencoba memasukkan gulungan mikrofilm, namun
gulungan itu terjatuh dan menggelinding di lantai. Melissa memukul
sisi alat itu dengan gemas, menggeser mundur kursi, dan mengejar
gulungan itu. Benda itu menggelinding beberapa senti dari sepatu
usang tak bertali milik laki-laki yang sedang tidur itu. Melissa
memungut benda itu dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkan
orang itu. Namun tiba-tiba orang itu berhenti mendengkur, membuka
sebelah matanya dan memandang tajam, mengangkat jarinya ke bibir,
dan dengan keras berkata, "Ssssttttttt!"
Melissa memungut gulungan itu dan membawanya kembali ke
tempat semula. Beberapa saat kemudian ia telah berhasil
memasukkannya dan memeriksa di layar harian Shadyside, Courier,
edisi enam bulan terakhir ini.
Ia memperkirakan bahwa peristiwa kematian seorang remaja
setempat pasti dimuat di halaman depan, maka dengan hati-hati ia
mengamat-amati setiap halaman depan. Kemudian, untuk lebih
amannya, ia juga mengecek halaman berita daerah dan halaman berita
dukacita. Ternyata kegiatan ini memakan waktu lama. Melissa berusaha
untuk tidak melewatkan satu hari pun dalam kurun waktu enam bulan
itu. Ketika akhirnya selesai memeriksa surat kabar yang terbaru,
Melissa memejamkan matanya yang lelah beberapa saat.
Tidak ada. Ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada kisah
tentang kematian Paul. Ia tidak menemukan satu pun berita tentang
kematian seorang remaja. Mungkin aku harus mundur lagi ke waktu yang lebih lama,
pikirnya. Paul mengatakan ia pikir ia mati baru-baru ini, namun ia
tidak ingat kapan itu tepatnya.
Barangkali dia sudah bertahun-tahun meninggal. Melissa
menguap dan menggeliat. Diliriknya jam tangannya. Hampir waktu
makan siang. Benarkah sudah hampir tiga jam dia berkutat dengan
alat ini" Dengan lelah dan patah semangat Melissa mengembalikan
mikrofilm itu, berjalan melewati kursi berlengan tempat orang itu
masih mendengkur, dan keluar. Udara segar dan sinar cerah matahari
sungguh terasa nyaman! Melissa menyeberang menuju mobilnya dan baru saja akan
masuk ke mobil ketika ia melihat wajah yang tidak asing baginya.
"Della! Hai!" "Mobilmu sudah beres, ya?" tanya Della sambil bergegas
mendekati Melissa. Tangannya penuh dengan setumpuk buku. Ia
mengenakan blus hijau tanpa lengan dan celana pendek tenis putih.
"Bagaimana jalannya?"
"Bagus. Sedang apa kau di sini" Senang lho ketemu kau."
"Baru saja akan mengembalikan beberapa buku," jawab Della.
"Mau menunggu" Cuma sebentar kok."
Della muncul kembali beberapa menit kemudian dengan tangan
kosong. "Jadi apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya sambil
menudungi matanya dari sinar matahari.
"Ceritanya aneh," jawab Melissa sambil mendesah. Ia
menimbang-nimbang apakah kira-kira Della akan percaya kepadanya.
Ya. Della teman baiknya. Mungkin dia akan percaya. "Della, ingatkah
kau tentang cowok seumur kita yang meninggal" Namanya Paul anu."
"Paul Anu?" Della tertawa. "Aku tahu Greg Anu dan Mike Anu.
Tapi Paul Anu..." "Tidak. Aku serius," sambung Melissa sambil bersandar pada
sisi mobilnya yang berkilat.
"Dia sudah mati?" tanya Della sambil berpikir. "Aku tak ingat
sama sekali. Ada apa?"
Sesuatu mendadak melintas dalam benak Melissa. "Tentu saja!
Dia tak mungkin bersekolah di Shadyside High! Kan katanya dia
bukan dari kalangan berada."
"Kau bicara dengan dia?" tanya Della bingung.
"Aku yakin dia masuk ke South High," kata Melissa masih
sibuk dengan pikirannya sendiri. Tangannya asyik memuntir-muntir
rambutnya. "Ya, pasti di sana."
"Eh, Tracy sepupuku juga sekolah di sana," kata Della.
"Yang giginya mancung itu?"
"Sudah diperbaiki," jawab Della. "Kau mau ke rumahnya?"
"Tentu," sahut Melissa. "Ada yang harus kaukerjakan sekarang
juga?" "Tak ada. Satu-satunya yang terpenting hari ini adalah
mengembalikan buku ke perpustakaan."
"Aku mengerti maksudmu. Aku juga siap-siap masuk sekolah
lagi," keluh Melissa.
Mereka berdua masuk ke mobil. Della terkagum-kagum melihat
kulit pelapis jok dan menghirup bau mobil baru itu dalam-dalam
ketika mereka meluncur ke arah barat. "Tracy tinggal di Old Village,"
katanya. "Akan kutunjukkan jalannya."
Tak lama kemudian mobil melalui jalan-jalan sempit di Old
Village, tempat sebagian besar penduduk Shadyside dulu tinggal, pada
tahun 1920-an, ketika penggilingan dibuka dan pabrik pertama
didirikan. Mereka bertemu dengan Tracy di halaman depan, ia sedang
mengejar-ngejar dua anak kecil yang dijaganya.
Tracy bertubuh pendek dan kurus serta berambut pirang pucat.
Ia tampak masih berumur sepuluh atau dua belas tahun, meskipun
sebenarnya ia enam belas tahun. Ia memakai jins pudar yang dipotong
dan T-shirt Hard Rock Cafe. "Hai!" teriaknya. Ia sudah menyerah
tidak berhasil menangkap kedua anak yang menertawakannya itu.
Melissa mengikuti Della ke lapangan berumput yang tercukur
rapi. "Hai, Tracy. Kau masih ingat Melissa?"
"Yah. Tentu," jawab Tracy. "Kau terkenal dengan rambutmu."
"Dan kau terkenal dengan gigimu," Melissa menimpali sambil
tertawa. "Tapi tidak lagi," bantah Tracy. Lalu ia memamerkan senyum
lebar dan sempurna kepada mereka berdua.
"Melissa ingin bertanya tentang seorang cowok yang bersekolah
di South," kata Della.
"Hmm... mungkin dia sekolah di sana," ralat Melissa. Ia
membungkuk untuk memungut bola tenis dan melemparkannya ke
kedua anak itu. "Aku kenal hampir semua anak di South," kata Tracy, lalu ia
menambahkan, "sayangnya."
"Ayolah, Tracy," kata Della. "South kan tidak separah itu."
"Memang tidak, cuma mirip neraka." Tracy menendang
tumbuhan liar yang agak tinggi. "Tapi apa gunanya mengeluh" Aku
sudah kelas tiga tahun ini. Lalu aku akan keluar dari situ!"
"Tracy, apakah kau ingat pada cowok dari sekolahmu yang
meninggal?" Melissa bertanya dengan bersemangat.
"Hah?" "Tahun ini atau tahun lalu. Adakah cowok seumur kita
meninggal?" "Well, yah. Ada," sahut Tracy sambil mengerutkan keningnya.
"Ada anak laki-laki yang meninggal persis sebelum kenaikan kelas
musim semi yang lalu."
11 "DI mana ya kutaruh buku tahunan itu?" Tracy berjinjit merabaraba bagian atas lemari pakaiannya yang berantakan. Ia telah
mengamankan kedua anak kecil yang dijaganya di ruang tengah
dengan video film kartun Disney. Kemudian ia mengajak Melissa dan
Della ke kamarnya, supaya dapat menunjukkan kepada mereka foto
cowok yang meninggal itu.
"Oh. Ini dia. Lihat!" serunya ketika setumpuk majalah lama
mendarat di lantai. Tracy menunggu sampai debu selesai beterbangan,
kemudian menarik Minor, buku tahunan South High. "Kaulihat, aku
paling rajin menyimpan barang."
"Apakah majalah-majalah itu suka kaubaca kembali?" Della
bertanya sambil menatap tumpukan majalah yang menggunung nyaris
mencapai langit-langit. "Tidak. Tidak juga." Dengan cepat Tracy membalik-balik buku
tahunan itu. "Ya ampun. Betulkah tampang kami dulu kayak begini"
Fear Street - Dihantui Haunted di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lihat aku. Aku kelihatan seperti Kiki-Koko."
"Tidak. Kau lebih manis daripada bajing-bajing itu," kata Della
sambil cekikikan. "Terima kasih atas pujianmu. Oh. Ini dia. Dia anak kelas dua."
"Cowok yang mati itu?" Semangat Melissa timbul lagi.
"Yeah. Gambarnya tidak bagus. Dia berdiri di deretan belakang.
Wajahnya hanya kelihatan separo." Tracy menyorongkan buku yang
terbuka itu kepada Melissa.
"Di mana dia" Aku tak melihat..."
"Di sini." Tracy menuding foto itu dengan telunjuknya.
"Jangkung dan pirang. Namanya Vince. Vince Alexander. Yeah. Aku
ingat sekarang. Dia perenang. Juara negara bagian, seingatku. Dia
meninggal dalam kecelakaan waktu meloncat. Kepalanya terbentur
papan loncat. Uh. Mengerikan."
Melissa berdiri memandangi foto cowok pirang yang sedang
tersenyum itu. Della meletakkan tangannya dengan lembut ke bahu
sahabatnya. "Lissa, kau tidak apa-apa?"
Dengan membisu Melissa menutup buku tahunan itu. "Yah.
Aku baik-baik saja. Cuma... bukan dia yang kucari."
"Siapa yang kaucari?" Tracy menerima bukunya dan
melemparkannya kembali ke atas lemari.
"Seseorang bernama Paul," sahut Melissa. "Sesungguhnya aku
tak tahu apakah benar dia bersekolah di South."
"Kenapa kau ingin tahu tentang dia?" tanya Della.
"Aku... uh... sudah berjanji pada seseorang akan mencari
informasi tentang dia," jawab Melissa.
Della memandanginya dengan penuh rasa ingin tahu, tetapi
Melissa telah berketetapan untuk tidak berkata apa-apa lagi.
Melissa dan Della berpamitan kepada Tracy. Tracy bergegas ke
ruang tengah untuk melerai kedua anak asuhnya yang sedang
berkelahi untuk berebut film yang akan diputar berikutnya. Melissa
mengantarkan Della sampai di rumahnya, kemudian berbelok dan
kembali ke rumahnya sendiri.
Matahari sore masih tinggi di langit. Kaca depan bermandikan
cahaya ketika ia mengarahkan mobil ke arah matahari, jalanan seakan
menggelembung karena panas. Bayangan pepohonan di sepanjang
jalan yang dilewatinya menari-nari di atap mobilnya yang berkilat.
Semuanya seakan tidak nyata. Ia merasa telah meninggalkan jalanan,
melayang-layang di atas tanah, mengambang di langit, menuju
matahari. "Sadarlah, Melissa," serunya sambil memaksa diri untuk duduk
tegak. Ia menarik tebeng kaca depan dan mencengkeram kemudi eraterat, seolah-olah sedang berusaha mengetatkan genggamannya pada
kenyataan. Ia berkonsentrasi pada jalan yang berliku-liku, tidak
menghiraukan siraman sinar matahari dan bayangan yang memasuki
mobilnya dengan tiba-tiba.
Aku tidak sinting. Tidak. Hantu itu benar-benar ada. Paul
sungguh-sungguh nyata. Dia hidup. Dia ada. Dan dia mati. Aku tidak
berhalusinasi. Benar, berita tentang Rampok Fear Street membuatku
waswas. Aku agak gelisah, sedikit tegang karenanya. Itu reaksi yang
normal. Tapi bukan itu yang menyebabkan aku melihat Paul.
Namun jika Paul sungguh-sungguh ada, mengapa ia tidak dapat
menemukan sesuatu pun yang menyangkut dirinya"
"Paul, kau di sini?" seru Melissa dan menunggu jawaban.
"Paul?" Sunyi. Apakah ia tak bisa pergi ke mana-mana saja tanpa bertanyatanya apakah Paul ada di sampingnya tanpa kelihatan, menunggu,
mengamatinya, merencanakan untuk membunuhnya"
"Paul?" Tidak. Dia tidak ada di sini.
Melissa membelokkan mobil ke jalan masuk, lalu ia keluar.
Sambil menudungi matanya dari silau matahari, ia melangkah ke
rumah. Tetapi ia berhenti di luar jendela ruang tamu.
Ada orang di dalam rumah. Seseorang"yang terlihat hanya
bayangannya"sedang bergerak-gerak di ruang tamu.
Melissa melihat ke teras, ternyata pintu depan terbuka lebarlebar. Apakah orang itu telah merusak kunci dan mendobrak masuk ke
rumah" Melissa mundur menjauhkan diri dari jendela dan merapatkan
tubuhnya ke dinding. Rampok Fear Street-kah itu"
Melissa mengendap-endap ke sudut jendela dan mengintip ke
dalam. Matahari memantul pada jendela kaca, sehingga sulit untuk
melihat ke dalam. Tapi, ya... ada orang di dalam, mondar-mandir,
bayangan yang bergerak-gerak.
Paul-kah itu" Apakah dia turun" Apakah dia menunggu Melissa di dalam
sana, menantikan kabar yang tidak diperoleh Melissa, informasi yang
tidak berhasil ditemukan Melissa"
Seorang perampok takkan mondar-mandir, kan"
Tentu saja tidak. Melissa menarik napas dalam-dalam, dengan cepat melintasi
jendela, dan melangkah masuk untuk melihat siapa orang itu.
12 "BUDDY!" Ia membalikkan badan, kaget karena teriakan Melissa. "Hai."
Rambut Buddy tampak basah dan keriting. Pasti baru
dikeramas. Ia mengenakan T-shirt biru tanpa lengan dan celana baggy
model Hawaii. "Apa yang kaulakukan di sini?" tanya Melissa dengan lega,
namun ia teringat bahwa ia masih kesal kepada Buddy.
"Emm... ibumu menyuruhku masuk. Lalu dia pergi belanja. Apa
kabar?" "Baik-baik saja."
"Aku datang untuk minta maaf."
"Sungguh?" Melissa duduk di punggung sofa kulit dan
menyilangkan lengan di dada. "Sebenarnya kau tak perlu..."
"Tidak. Aku ingin. Maksudku... begini, maksudku aku
menyesal. Begitulah." Buddy melangkah mendekati Melissa.
"Buddy, kau masih tak percaya soal Paul." Melissa menariknarik bandul perak yang tergantung di lehernya.
"Lissa, sudahlah... jangan mulai lagi dengan hal itu."
"Tapi jika kau tak percaya, jika kauanggap aku gila..."
"Aku tak menganggapmu gila," Buddy membantah.
Diselipkannya tangannya ke dalam kantong celananya. "Dengar, aku
punya usul. Ayo kita keluar malam ini dan bersenang-senang.
Bagaimana menurutmu?"
Melissa menatap Buddy dengan ragu-ragu. " Bersenangsenang" "
"Yah. Kau akan kujemput sekitar jam delapan dan kita pergi ke
Tengkorak Maut 28 Pendekar Naga Geni 11 Kutukan Patung Intan Memanah Burung Rajawali 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama