Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night Bagian 2
lengan di sekeliling mantel tersebut, membelitkannya erat-erat di
kepala cewek itu. "Jangan melawanku!" gumamnya, terkejut dengan
kemarahannya sendiri. "Jangan melawanku!"
Tapi cewek itu membungkuk, berusaha untuk membebaskan
diri dari mantel. Kedua lengannya melambai-lambai. Cewek itu
kembali melontarkan jeritan protes yang teredam.
"Hentikan!" bisik Danny dengan marah. Ia meninju punggung
cewek itu. Cewek itu tersentak, terkejut oleh rasa sakitnya.
Tapi beberapa detik kemudian ia telah pulih kembali. Lalu
mencoba untuk memutar tubuhnya, menggeliat untuk melepaskan diri
dari cengkeraman Danny. Mantelnya mulai lepas. Danny menyandarkan tubuhnya ke cewek itu, menarik
mantelnya menutupi cewek itu. Ia mendorongkan tangannya yang
masih bebas ke punggung cewek itu sekeras-kerasnya sekali lagi. Ia
mendorong cewek itu ke pintu yang terbuka, mendorongnya dengan
bahunya, sambil terus memegangi mantelnya.
Cewek itu membuat kakinya kaku, mencoba untuk balas
mendorong. Sepatunya mendecit menggeser di beton.
"Hentikan! Hentikan!" jerit Danny murka, merasa mulai
kehilangan kendali. "Kau ingin disakiti" Akan kusakiti kau!"
Satu pukulan yang keras menyebabkan cewek itu jatuh pingsan.
Lalu, setelah melilitkan mantelnya di sekeliling tubuh cewek itu
erat-erat, Danny memeluk pinggangnya dan menyeretnya ke mobil.
Bab 18 Miliuner POLISI itu memelototi Diane. "Kau tidak mendengarku?"
Diane balas menatapnya, berpikir dengan panik. Apa yang bisa
kulakukan" tanyanya sendiri. Aku tidak bisa pergi dari sini. Kalau
Danny keluar sambil menyeret Reva, dan aku tidak ada di sini...
"A... eh... ayahku sakit keras," katanya tergagap-gagap. "Dia
bekerja di sini. Di gudang. Aku harus membawanya ke rumah sakit.
Itu sebabnya aku memarkir mobil di sini. Dia keluar sebentar lagi.
Kalau kau bisa mengizinkanku..."
"Kau bisa menunggu di sebelah sana, Nona muda," potong
polisi itu. "Aku mulai bosan mengulangi kata-kataku. Sekarang,
masukkan persnelingnya dan pindahkan mobilmu ke tempat parkir.
Jangan memaksaku menilangmu."
Diane menelan, dengan susah payah. Tenggorokannya terasa
seperti terganjal pasir. "Maaf, Sir."
Ia melirik ke panggung bongkar-muat. Tidak terlihat tandatanda kehadiran Danny. Untunglah. Dengan enggan, ia memindahkan
persneling mobil. Sulit dipercaya kejadiannya seperti ini, pikir Diane dengan
perasaan serbasalah. Sulit dipercaya rencana kami berantakan untuk
yang ketiga kalinya. Gelombang kesedihan menyapu dirinya.
Pecundang. Kata tersebut muncul dalam benaknya. Aku
pecundang. Pres, Danny, dan aku, kami semua pecundang.
Perlahan-lahan, sementara petugas polisi itu masih berkeliaran
di dekat mobil, ia mulai menjalankan mobilnya ke tempat lain.
Derakan keras"hancurnya logam beradu dengan logam, diikuti
oleh kaca pecah"menyebabkan ia berhenti.
"Oh, tidak!" jeritnya.
Mula-mula Diane mengira telah menabrak sesuatu. Ia
memerlukan waktu sedetik untuk menyadari kalau derakan tersebut
berasal dari tempat parkir.
Ia mendengar suara-suara orang marah. Teriakan-teriakan dan
makian-makian. "Aku harus ke sana!" teriak polisi tersebut, sambil meraih
tongkatnya. "Sebaiknya kau sudah pergi pada saat aku kembali
nanti"dengar?" Diane menjulurkan kepalanya ke luar jendela, mengawasi polisi
itu berlari ke arah asal teriakan-teriakan.
"Ya!" jeritnya riang. Benar-benar beruntung. Benar-benar
keberuntungan. Ia akhirnya mendapat keberuntungan.
Ia terlonjak sewaktu pintu belakang tiba-tiba terayun membuka.
"Hei..." Ia begitu terlibat dengan polisi itu sehingga tidak mengawasi
kedatangan Danny. "Ayo! Ayo! Ayo!" teriak Danny.
Diane berpaling ke kursi belakang dan melihat Danny tengah
mendorong Reva ke dalam mobil. Mantel yang berat melilit kepala
Reva. Reva tidak bergerak.
Apa yang dilakukan Danny padanya" Diane penasaran. "Danny,
apa kau..." "Sekadar membuatnya pingsan," jawab Danny sambil terengahengah.
Danny menjejalkan Reva ke kursi dan menyelinap ke
sampingnya. Ia tetap memeluk bahu Reva dengan satu tangan,
menjaga posisi mantelnya. "Pergi! Pergi! Pergi!" katanya sambil
membanting pintu mobil. Ia lalu bersandar ke Reva, menekankan
Reva ke sandaran kursi seandainya terjaga.
"Sulit dipercaya! Kau... mendapatkannya!" jerit Diane.
"Tutup mulut!" sembur Danny.
Sambil mencengkeram kemudi erat-erat dengan kedua tangan,
Diane menjauhkan mereka dari dermaga bongkar-muat barang. Mobil
itu melesat maju saat ia menjejakkan kakinya ke pedal gas hingga rata
dengan lantai dan membelokkan mobil ke jalan.
Saat melirik ke kaca spion tengah, ia mencari-cari polisi tadi.
Dengan ketakutan ia membayangkan kalau polisi itu mengejar
mereka. Tapi tidak terlihat seorang pun.
Mobilnya tiba di jalan dengan roda-roda mendecit, dan ia
membelokkannya ke jalan layang yang menuju ke Waynesbridge.
"Kita berhasil!" jeritnya riang. "Sulit dipercaya! Kita berhasil!"
Danny menyeringai ke arahnya, sambil masih tetap memegangi
mantel yang menyelubungi kepala Reva erat-erat. "Kita akan menjadi
miliuner!" serunya. "Miliuner!"
"Sama seperti di film!" kata Diane.
Kalau saja Pres ada di sini, pikirnya, merasa agak sedih. Kalau
saja Pres juga bisa menikmati suasana ini.
Tapi tidak lama lagi mereka akan membebaskan Pres. Tidak
lama lagi Pres akan berkumpul dengan mereka kembali.
Dan mereka akan kaya, lebih kaya dari yang pernah mereka
impikan. Natal hampir tiba. Natal yang benar-benar luar biasa.
Miliuner. Itulah kami nanti"miliuner, pikir Diane, begitu
gembira sehingga ia melanggar tanda berhenti.
Dengan senang hati Dalby akan membayar jutaan dolar untuk
mendapatkan putrinya yang berharga kembali.
Kami berhasil! Sama seperti di film!
Dan sekarang tidak ada yang bisa keliru. Tidak ada.
Bab 19 Sedikit Masalah "KURASA Dalby sudah cukup gelisah," kata Diane, sambil
menyantap potongan terakhir roti isi mentega kacangnya.
Danny tergelak. Ia melemparkan edisi lama Sports Illustrated
yang sedari tadi dibalik-baliknya. "Yeah. Kita sudah mengurung
cewek itu di sini sepanjang hari," katanya, sambil memberi isyarat ke
arah kamar tidur. "Berani taruhan Dalby sudah gelisah."
"Aku ingin menunggu paling tidak dua puluh empat jam," kata
Diane, membawa piringnya ke wastafel kecil dan menyiramnya
dengan air dingin. "Terkadang orang-orang kaya begitu sibuk mencari
uang sampai tidak tahu apakah ada keluarganya yang hilang."
Danny bangkit berdiri dari kursi dan meregang, perut putihnya
mencuat keluar dari balik kaus berwarna zaitunnya. "Satu hari sudah
cukup. Dalby mungkin menunggu di sebelah telepon, berkeringat,
menunggu telepon kita."
"Kuharap begitu," kata Diane, sambil meletakkan piring di
samping wastafel. Ia mengeringkan tangan dengan tisu. "Putri Dalby
benar-benar menjengkelkan."
"Yeah. Bisa kaubayangkan" Dia tidak mau makan dan tidak
mengatakan apa-apa," kata Danny sambil menggeleng.
"Memang sebaiknya dia diam saja!" seru Diane, melirik gelisah
ke arah Danny. "Kau mengencangkan sumpalnya, bukan?"
Danny mengangguk. "Kuperiksa segala sesuatunya. Dia terikat
erat, tertutup matanya, dan tersumpal. Semuanya."
"Pastikan saja dia tidak mengendurkan sumpalnya. Aku tidak
ingin dia bersuara," kata Diane sambil mengenakan mantelnya. "Kau
tahu seberapa tipis dinding-dinding di tempat sampah ini."
"Kurasa kau akan pindah ke rumah yang besar dan megah,"
kata Danny, menggodanya. "Lengkap dengan pelayan, kepala pelayan,
dan sopir." Diane tidak merasa komentar itu menyenangkan. "Aku baru
berusia delapan belas empat bulan lagi," katanya pada Danny. "Aku
harus merahasiakan uangnya sebelum itu, atau orangtuaku akan
berusaha untuk merampasnya."
Danny berdecak-decak. "Kau mau ke mana" Kukira kau akan
menghubungi Dalby dan memberitahukan cara untuk mendapatkan
putrinya kembali." "Memang," jawab Diane tajam. "Tapi jangan mengira aku akan
menelepon dari sini. Mereka akan melacak teleponnya dan
menangkap kita sepuluh menit kemudian!"
Danny mengalihkan pandangannya ke jendela. "Yeah. Aku
tahu. Aku hanya mengujimu." Ia meraih majalah Sports Illustrated.
"Kau tahu apa yang akan kulakukan jika aku sudah mendapat
bagianku" Aku akan mentato tubuhku."
"Kau memang gaya," jawab Diane datar. Ia menarik risleting
mantelnya dan berjalan ke pintu.
"Aku heran kenapa kita belum mendapat kabar dari Pres,"
gumam Danny, wajahnya tersembunyi di balik majalah.
"Shh. Jangan menyebut nama!" kata Diane tajam, sambil
memberi isyarat ke arah kamar tidur. "Aku juga penasaran." Ia
berhenti sementara tangannya masih memegang kenop pintu.
"Kuharap dia tidak mendapat masalah lebih jauh di tahanan."
"Mungkin mereka tahu tentang mobil yang dicurinya," kata
Danny. "Hah?" Diane berbalik terkejut. "Aku tidak pernah tahu tentang
itu." Wajah Danny memerah. Ia menghindari tatapan mata Diane.
"Oh. Well, dia hanya meminjamnya sebentar. Dia tidak benar-benar
mencurinya." Diane tertawa. "Well, seharusnya dia menawariku untuk
berjalan-jalan dengannya! Aku mulai bosan dengan Plymouth tua itu."
"Kau bisa membeli lima mobil," gumam Danny. "Sesudah kita
menukarkan Reva." Diane melirik ke kamar tidur. "Jaga saja dia, Danny. Aku tahu
kau sudah merencanakan untuk tidur begitu aku berangkat. Tapi awasi
dia, oke" Kita tidak ingin ada kesalahan lagi sekarang, tahu?"
"Yeah. Oke, oke," kata Danny menggeram, sambil menggaruk
kepalanya. "Akan kuawasi dia. Pergilah menelepon. Aku bisa tua
hanya dengan duduk di sini."
Diane keluar melalui pintu, menutupnya dengan hati-hati di
belakangnya. Cuaca hari itu cerah dan bersih sehingga lebih mirip di
bulan September daripada Desember. Tanah dihiasi bongkahanbongkahan salju lama, salah satu dari sedikit tanda kalau sekarang
tengah musim dingin. Ia membungkuk untuk menepuk-nepuk kepala seekor anjing tua
yang selalu berkeliaran di sekitar gedung apartemen. "Kau milik
siapa?" tanyanya, sambil menggosok-gosok bulunya yang basah.
"Atau kau yang memiliki tempat ini?"
Anjing tua tersebut menggoyang-goyangkan ekornya perlahanlahan sebagai jawaban.
Diane naik ke mobil. Ia harus mencoba tiga kali untuk
menghidupkan mesinnya. Lalu ia menuju ke Mal Division Street, di
sana ia merencanakan untuk mencari telepon umum yang terpencil
untuk menelepon. Radio mobil rusak, tapi Diane tidak memerlukannya. Sambil
bersenandung gembira, mengetuk-ketukkan tangannya ke roda
kemudi, ia melatih kembali untuk yang keseribu kalinya apa yang
akan dikatakannya kepada Mr. Dalby.
**************************
Robert Dalby, ayah Reva, bergeser tidak nyaman di kursi
berlengannya. Ia menurunkan Wall Street Journal dan menatap
perapian, mengawasi apinya melompat-lompat dan menari-nari.
Sambil mendesah kelelahan ia meraih koran dan mulai
membacanya lagi. Sewaktu telepon di meja di sampingnya berdering, ia menjerit
terkejut. Ia tergopoh-gopoh meraih gagangnya, menjatuhkan gelas
kecilnya yang berisi sherry.
Cairan tersebut membentuk genangan kecokelatan di meja yang
berpelitur. Ia tidak mengacuhkannya. Mr. Dalby berhasil meraih
gagang telepon pada deringan kedua. "Halo?"
"Ini Robert Dalby?" tanya seorang wanita muda, menilik
suaranya. "Ya. Saya sendiri."
"Mr. Dalby," kata wanita muda tersebut, sangat kaku dan resmi,
"saya... eh... putri Anda ada pada saya. Dia baik-baik saja dan segala
macamnya. Saya... saya menelepon untuk memberitahukan apa yang
harus Anda lakukan untuk mendapatkannya kembali. Anda harus
membayar satu juta dolar. Jangan khawatir. Putri Anda aman dan
sehat-sehat saja di tangan kami."
"Tidak, kau keliru," jawab Robert Dalby. "Putriku, Reva,
sedang duduk di sini bersamaku."
Bab 20 Bukan Reva MR. DALBY menatap ke api sambil mendengarkan sentakan
napas di ujung seberang. Ia bisa mendengar suara-suara di latar
belakang, dentingan piring dan peralatan makan perak. Ia menyadari
peneleponnya pasti berada dalam sebuah restoran entah di mana.
Ia berjuang untuk mengenali suara itu.
Apakah ia pernah mendengar orang ini sebelumnya" Apakah
gadis ini pernah bekerja padanya" Yang masih bekerja padanya"
Ia tidak mengenalinya. Ia hanya tahu kalau gadis ini gugup. Dan
masih muda. Reva beranjak bangkit dari kursi di dekat perapian dan berdiri
di sampingnya, mendengarkan percakapannya. "Daddy...?"
Mr. Dalby mengacungkan jarinya untuk menyuruhnya diam.
Reva meletakkan satu lengannya di punggung kursi ayahnya
dan mencondongkan tubuh mendekat, berusaha untuk mendengar
suara dari ujung seberang.
"Mr. Dalby, bisa Anda ulangi apa yang baru Anda katakan?"
tanya gadis itu dengan suara gemetar.
Diane tengah berdiri di telepon umum sempit di bagian
belakang restoran Doughnut Hole di Mal Division Street. Pintu
telepon umum itu hanya bisa menutup separo, jadi ia berdiri
memunggungi restoran. "Kataku putriku, Reva, ada di rumah bersamaku," ulang Mr.
Dalby dengan jengkel.
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di telepon umum yang sempit Diane gemetar. Dinding-dinding
bagai merapat menjepitnya. Segalanya berubah gelap. Ketakutan yang
dingin dan berat membuatnya merasa mau pingsan.
Atau menjerit. Apakah Dalby sudah berbicara dengan jujur"
Apakah dia mencoba untuk menipu"
"Mr. Dalby, jangan main-main dengan kami," kata Diane
dengan suara pelan tapi melengking.
"Siapa pun dirimu, dengarkan aku!" teriak Robert Dalby.
"Mr. Dalby..." "Lepaskan gadis itu!" sembur Dalby ke arah telepon. "Gadis itu
bukan putriku. Kalian tidak akan mendapat satu sen pun dariku.
Kalian sudah menculik gadis yang salah!"
Bagian II PENCULIKAN LAIN Bab 21 "Kita Harus Membunuhnya"
PAM berjuang untuk mengatasi kabel yang mengikat
pergelangan tangannya. Tapi usahanya hanya menyebabkan ikatannya
bertambah erat sehingga menembus kulitnya.
Ia membiarkan tubuhnya melemas dan berjuang untuk
memperlambat pernapasannya. Sakit menyengat kakinya karena
pergelangan kakinya diikat erat-erat. Tenggorokannya terasa sakit
karena sumpalnya. Di mana ini" Kenapa mereka menahanku di sini begitu lama"
Apa yang akan mereka lakukan padaku"
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak juga berlalu. Sekeras apa
pun ia berusaha untuk mengusirnya, pertanyaan-pertanyaan itu terus
kembali. Dan seiring dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kepanikan
muncul mencekiknya dan menyebabkan ia menggigil dari ujung
rambut ke ujung kaki. Kenapa mereka menculikku" Apa yang mereka inginkan
DARIKU" Seketika Pam mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
itu. Bukan aku yang mereka inginkan. Mereka menginginkan Reva.
Sepupuku yang miliuner. Reva. Reva. Reva. Nama tersebut membakar lebih kejam daripada sakit di
pergelangan tangan dan kakinya.
Ini salah Reva, pikir Pam dengan pahit. Ini jelas kesalahan
Reva. Tidak akan ada yang mau menculikku. Mereka pasti
menginginkan Reva. Reva. Reva. Reva. Pam terus mengulangi nama tersebut hingga terdengar bagai
mantra yang menyeramkan. Dan sekarang aku harus MATI karena Reva"
Perasaan menggelitik merayapi punggungnya. Rasanya seperti
ada ribuan serangga kecil yang tengah berkeliaran di tubuhnya.
Pam mencoba untuk menelan, tapi tenggorokannya terlalu
kering. Kalau mereka tidak mengendurkan sumpal ini, aku akan
tercekik sampai mati, pikirnya.
Untuk yang keseribu kalinya ia menggosokkan kepalanya ke
bantal, mencoba untuk menggeser penutup matanya. Tapi penutup itu
tidak bergeser. Reva. Reva. Reva. Mereka menginginkan Reva. Tapi menangkapku.
Pam bisa mendengar mereka berdua bertengkar di ruang
sebelah. Seorang cewek dan seorang cowok, hanya itu yang
diketahuinya. Ia belum mendengar mereka menyebut nama. Mereka sangat
berhati-hati untuk tidak mengucapkan nama. Ceweknya terdengar
masih muda, pikir Pam. Mungkin masih remaja. Cowoknya"ia tidak
bisa memastikan. Suara cowok tersebut keras dan vulgar, dan
kedengarannya selalu marah.
Suara cowok itu terdengar lebih marah lagi sekarang. Mereka
berkeliaran dengan ribut di ruang sebelah, mondar-mandir.
Pam berjuang untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Bukan salahku!" jerit ceweknya.
"Bukan salahku. Bukan salahku!" tiru cowoknya dengan jahat.
"Kalau begitu salah siapa, Sayang?"
"Kau dan Pres masuk ke toko. Kau langsung mendekatinya,
bukan?" tanya cowok itu.
"Please"jangan menyebut nama!" protes yang cewek. "Dia
bisa mendengar kita. Kau tahu seberapa tipis dinding di sini."
"Katakan apa yang terjadi," kata yang cowok bersikeras, tidak
mengacuhkan keluhan ceweknya. "Bagaimana kita bisa menangkap
cewek yang salah" Bagaimana kau bisa tidak mengetahuinya?"
"Aku belum pernah melihat wajahnya!" jerit cewek itu dengan
suara melengking. "Aku ada di lantai, berpura-pura mencari lensa
kontakku, ingat" Aku tidak pernah melihatnya. Dia mengenakan
semacam topi lunak yang besar!"
Yang cowok menggeram marah. Lalu Pam mendengar derakan
keras. Yang cewek menjerit. Apa cowoknya melemparkan lampu atau
benda lain ke arahnya"
"Tetangga! Tetangga!" jerit yang ceweknya sekarang, suaranya
melengking ketakutan. Mungkin mereka akan membiarkanku pergi, pikir Pam. Ia
merasakan sakit yang menyengat di pergelangan kakinya. Kabelnya
terlalu erat. Terlalu erat. Kakinya terasa kesemutan, mati rasa.
Sekarang sesudah mereka mengetahui kalau menangkap cewek
yang salah, mungkin mereka akan membiarkan aku pergi.
Ia menahan napas, berusaha keras untuk mendengarkan. Ruang
sebelah sekarang justru sunyi.
"Aku sakit," kata yang cowok merengek. "Aku benar-benar
sakit. Semua pekerjaan ini. Semua... ketegangan ini."
"Ini hanya kekeliruan bodoh," jawab ceweknya. "Kalau adikmu
yang tolol itu ada bersama kita..."
"Aku sakit," ulang cowoknya. "Pusingku datang lagi. Aku bisa
merasakannya." "Menurutmu bagaimana perasaanku?" jerit yang cewek
emosional. "Seharusnya ini menjadi Natal yang hebat. Seharusnya ini
sama seperti dalam film-film. Tapi sekarang..."
Sekarang apa" Pam penasaran. Apa"
Sekarang apa yang akan kalian lakukan" Membiarkanku
pulang" Please, oh, please"biarkan aku pulang!
Pam mendengar langkah-langkah kaki dari ruang sebelah, suara
lantai berderak. "Kita cari tahu siapa dia," kata yang cowok. "Mungkin dia
cukup berharga. Kau tahu. Cewek kaya yang lain lagi."
Tidak, pikir Pam dengan perasaan serbasalah. Kalian tidak
menangkap gadis kaya. Kalian mendapatkan sepupu miskin Reva
Dalby. Jantungnya terlonjak saat mendengar pintu dibuka. Ia
mendengar langkah-langkah kaki mendekati ranjang. Sakit menyengat
dari pergelangannya yang teriris. Rasa geli di punggungnya kembali.
Mereka ada di ruangan ini. Mereka sedang memandangiku.
Apa yang akan mereka lakukan padaku"
Ia berusaha untuk bersuara, tapi tenggorokannya terlalu kering.
Sumpalnya terlalu erat. Tiba-tiba ia merasakan tekanan tangan pada wajahnya.
Sumpalnya ditanggalkan. "Siapa kau?" kata yang cowok kepadanya. "Siapa namamu?"
Pam membuka mulutnya tapi menyadari kalau tidak bisa
mengucapkan apa pun. "Air," bisiknya dengan susah payah. "Air,
please." "Siapa namamu?" kata yang cowok bersikeras, tidak sabar.
"Ambilkan segelas air," desak yang cewek.
"Please," pinta Pam.
Beberapa saat kemudian ia merasakan ada tangan yang
mendorong kepalanya ke atas dari belakang. Lalu ia merasakan bibir
gelas didorong ke bibirnya yang kering.
Airnya suam-suam kuku. Mula-mula ia tercekik karenanya, lalu
berhasil menelan beberapa teguk. Tenggorokannya terasa lebih enak.
Ia minum dengan lahap. Air mengalir turun di dagunya.
Ia ingin minum lagi, tapi gelasnya telah disingkirkan.
Kepalanya kembali jatuh ke bantal. Sakit menggulung kakinya. Sakit
yang menggelitik. "Tolong lepaskan ikatanku. Sakit," katanya dengan susah
payah. "Tidak bisa," kata yang cowok. "Namamu!"
"Apa yang akan kalian lakukan padaku?" jerit Pam melengking.
"Namamu!" "Apa kalian akan menyakiti aku" Apa yang akan kalian
lakukan?" "Jangan memukulnya!" jerit yang cewek dengan tiba-tiba.
Pam menjerit ketakutan. Ia menahan napas, bersiap-siap
menerima pukulan. Tapi sebaliknya, ia justru mendengar yang cewek berbicara,
dekat dengan telinganya. "Kami tidak akan menyakitimu kalau kau mau bekerja sama,"
kata cewek itu pelan. "Kami harus mengetahui namamu."
"Pam," kata Pam pelan. "Pam Dalby." Tidak ada gunanya untuk
berbohong. "Dalby?" seru yang cowok, kedengarannya terkejut. "Kau
keluarga Dalby?" "Sulit dipercaya!" seru yang cewek.
"Tolong lepaskan ikatanku," pinta Pam, merasa ingin menangis.
"Kakiku mati rasa. Sakit semua."
"Yang benar saja," jawab yang cowok dengan kejam. "Kau adik
Reva Dalby?" Reva. Reva. Reva. Pam menggeleng. Ia merasakan dua butir air mata yang panas
mengalir di pipinya. "Kau bukan adiknya?" tanya yang cowok dengan nada curiga.
"Ti-tidak," kata Pam tergagap. "Aku sepupunya."
Kesunyian seketika mengisi ruangan. Lalu Pam mendengar
yang cowok berkata "Bingo, sepupu Reva Dalby. Mungkin
keberuntungan kita akan berubah."
"Lepaskan aku!" jerit Pam, merasakan lebih banyak air mata
yang panas mengalir di pipinya. "Please"kalian harus melepaskan
aku!" Mereka tidak mengacuhkannya. "Menurutmu Dalby tidak akan
bersedia membayar mahal untuk mendapatkan keponakannya
kembali?" tanya yang cowok kepada ceweknya.
"Tidak!" sembur Pam. "Dia tidak akan mau menebus diriku.
Keluarga kami tidak dekat. Aku kenal dia. Dia tidak akan membayar!
Please"lepaskan aku!" Ia mulai terisak-isak dengan keras.
Pam bisa mendengar mereka berdua mendiskusikan dirinya,
berbisik-bisik dengan penuh semangat, lebih keras dari isakannya.
"Seandainya adikmu ada di sini. Dia tahu harus berbuat apa,"
kata yang cewek dengan nada tegang.
"Apa cewek ini berbohong?" tanya yang cowok.
"Kurasa tidak," jawab yang cewek. "Kurasa dia sudah
mengatakan yang sebenarnya. Kurasa kita tidak akan mendapatkan
satu sen pun darinya."
Kesunyian mengisi ruangan cukup lama.
Lalu Pam mendengar kata-kata yang sangat ingin didengarnya.
"Mungkin sebaiknya kita lepaskan saja dia," kata yang cewek.
"Hah" Melepaskannya?" kata yang cowok dengan marah dan
tidak percaya. "Tidak bisa. Oh-oh. Tidak bisa! Kita tidak bisa
melepaskannya. Kita tidak punya pilihan lain. Kita harus
membunuhnya." Bab 22 Tewas REVA mengetuk-ngetukkan kukunya yang panjang ke
permukaan meja yang halus, sambil menjepit telepon cordless di
antara dagu dan bahunya. Ia melirik ke seberang kamar tidur, ke jam
radio di samping ranjangnya. Pukul sembilan empat puluh tiga malam.
"Aku merasa begitu bersalah," kata Victor di ujung seberang.
"Aku merasa sangat bersalah."
"Kenapa kau harus merasa bersalah?" tanya Reva, terdengar
lebih jengkel daripada bersimpati. "Bukan kau yang menculik Pam!"
"Tapi aku..." Victor ragu-ragu. "Aku ada bersamamu, Reva,
sewaktu..." "Bisa saja aku yang diculik," sela Reva. Ia menarik-narik
lengan sweter kasmir biru pucatnya. "Bisa kaubayangkan" Seharusnya
aku yang diculik! Kalau aku tidak berhasil membujuk Pam untuk
menggantikan tugasku di gudang, aku yang akan diculik! Hebat! Aku
gemetar setiap kali memikirkannya."
"Bisakah kau memikirkan Pam satu kali saja?" tanya Victor
tajam. "Tentu saja. Aku merasa tidak enak atas nasibnya," kata Reva
dengan suara yang tidak meyakinkan. Ia mengacungkan punggung
tangannya dan mengamati kuku-kuku jarinya.
"Kau sudah mendapat kabar dari para penculiknya" Apa mereka
sudah menelepon lagi?" tanya Victor.
"Sejak kemarin belum," jawab Reva. "FBI tidak punya
bayangan siapa pelakunya. Sama sekali."
"Bagaimana dengan ayahmu?" tanya Victor. "Apa dia punya
gagasan" Apa dia mengenali suara cewek itu?"
"Kurasa tidak."
"Apa dia sudah menyiapkan uang untuk membayar para
penculiknya?" tanya Victor.
"Tidak bisa," jawab Reva.
"Hah?" Victor tersentak terkejut.
"Daddy tidak mau membayar. Dia tidak mau membayar para
penculik. Katanya itu hanya akan mendorong terjadinya penculikan
lain." "Dia tidak mau membayar supaya keponakannya kembali?"
jerit Victor. "Daddy memiliki prinsip yang sangat kaku," kata Reva datar.
"Dia tidak ada di sini. Ada keadaan darurat dan harus ke tokonya di
Walnut Creek. Dia baru kembali besok."
"Kau seorang diri di sana?" suara Victor melengking terkejut.
"Daddy sudah memastikan polisi akan mengirimkan mobil
patroli kemari setiap setengah jam untuk memeriksa keadaanku," kata
Reva padanya. Reva lebih menyukai kalau Victor mengkhawatirkan dirinya
dan bukan merengek-rengek mengatakan betapa bersalah dirinya dan
betapa khawatir dia akan nasib Pam. Reva merasa tidak enak tentang
Pam. Bagaimanapun juga, Pam satu-satunya sepupu yang dimilikinya.
Tapi Reva merasa yakin para penculik itu akan melepaskan Pam
begitu mereka menyadari tidak akan mendapat satu sen pun atas
dirinya. "Aku"aku agak ketakutan, Victor," kata Reva. Suaranya
berubah manja. "Maksudku, para penculik itu mengejarku. Aku selalu
gemetar setiap kali berpikir aku nyaris diculik."
"Benar-benar mimpi buruk," kata Victor tulus.
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Reva bisa membayangkan ekspresi serius dan khawatir di mata
Victor yang hitam. Victor begitu tampan, pikir Reva sambil
mendesah. Tapi pada dasarnya dia kurang sempurna. Kapasitas
otaknya sangat terbatas. Benar-benar memalukan, pikirnya, sambil membalik-balik
majalah Sassy sementara bercakap-cakap dengan cowok itu. Aku
tidak pernah mengira akan bosan terhadap Victor secepat ini.
"Kau mau aku ke sana?" tanya Victor. "Apa kau akan merasa
lebih aman kalau begitu?"
Reva tertawa. "Siapa yang akan melindungiku dari dirimu?"
Victor tidak tertawa. "Tidak. Sungguh," katanya bersikeras.
"Aku bisa tiba di sana dalam sepuluh menit."
"Aku tidak apa-apa," kata Reva padanya. "Hei"aku lupa
memberitahumu tentang mimpiku. Aneh sekali. Menakutkan."
"Kau memimpikan Pam?" tebak Victor.
"Tidak. Well, bisa dikatakan begitu," jawab Reva, sambil
menutup majalah. Ia memindahkan tangkai telepon ke bahunya yang
lain. "Aku sampai terbangun semalam. Benar-benar mengganggu. Aku
sedang berbelanja. Dalam mimpi itu, maksudku."
"Berbelanja?" "Yeah. Di semacam toserba yang besar," lanjut Reva. "Mungkin
toko ayahku. Entahlah. Aku tidak benar-benar mengenalinya. Sewaktu
mimpinya mulai, tokonya sangat penuh, sangat terang, dan ribut. Aku
berjalan dari lorong ke lorong, menerobos kerumunan orang. Benarbenar tidak menyenangkan. Aku ingat kalau tidak menyukainya sama
sekali. Tapi aku terus saja berjalan.
"Tokonya sangat panjang, lorong demi lorong," lanjut Reva.
"Aku ingin pergi, tapi tidak bisa menemukan pintunya. Lalu, tibatiba, suasananya berubah sangat sepi. Sunyi.
Aku memandang sekitarku. Tokonya sudah kosong. Tidak ada
orang di sana. Kecuali aku. Aku dan satu orang lagi. Aku mendengar
suara langkah-langkah kaki di belakangku, dan aku tahu kalau ada
yang mengejarku. Kau tahu bagaimana kau mengerti begitu saja
dalam mimpi?" "Yeah. Tentu saja," jawab Victor. "Menakutkan."
"Tunggu. Mimpinya semakin buruk," kata Reva. "Aku mulai
berlari. Aku mencari-cari pintu keluar, yang mana saja. Tapi hanya
ada lorong dan lorong. Aku sangat ngeri. Aku lari. Lari melewati
lorong-lorong itu. Tapi dia ada di belakangku. Semakin dekat.
Semakin dekat. Satu-satunya suara yang kudengar hanyalah langkah
kakinya, dan napasku yang terengah-engah. Aku lari dan lari. Rasanya
seperti aku berlari lama sekali.
"Lalu dia menangkapku," kata Reva.
"Siapa?" tanya Victor sambil menahan napas.
"Dia menangkap bahuku," lanjut Reva. "Dia ingin menyeretku
pergi, menculikku. Aku tahu kalau dia ingin menculikku. Tapi aku
melawan dan berbalik menjauh. Aku berbalik untuk melihat siapa
orangnya. Dan"ternyata Sinterklas!"
"Hah?" Reva tertawa. "Ternyata Sinterklas. Kau percaya" Ho-ho-ho!"
"Aneh!" seru Victor. "Lalu apa yang terjadi?"
"Aku terjaga," kata Reva padanya.
Victor tidak mengatakan apa-apa selama beberapa waktu yang
lama. Reva hampir-hampir bisa mendengar benak cowok itu berputar.
"Kurasa kau khawatir akan nasib Pam," kata Victor pada
akhirnya. "Yeah, kurasa begitu," jawab Reva sambil menguap. "Aku tidak
pernah bisa menebak apa arti mimpiku. Aku hanya tahu kalau
mimpiku itu aneh." "Kau yakin tidak mau aku ke sana?" tanya Victor.
Sebelum Reva sempat menjawab, ia mendengar ada suara keras
dari luar. Ia seketika mengenali suara tersebut"pintu mobil yang
dibanting menutup. "Victor, aku harus pergi. Ada yang datang," katanya pada
cowok itu. Ia melompat dan membawa teleponnya ke jendela kamar
tidur. Setelah mendorong gordennya ke samping, ia mengintip ke
jalur masuk di bawah. Ia mendengar suara ban-ban mendecit. Sebuah
mobil meraung pergi. Tapi ia tidak bisa melihatnya.
Apa itu di bagian ujung jalur masuk" Apakah karung besar"
Kantong sampah" Ia memicingkan matanya, berusaha keras untuk
melihat. "Siapa?" tanya Victor.
"Entahlah. Nanti akan kutelepon lagi." Reva memutuskan
hubungan telepon dan melemparkan teleponnya ke ranjang.
Lalu ia bergegas menuruni tangga berkarpet, melompati dua
anak tangga sekaligus. Setelah membuka pintu lemari mantel, ia
menyambar sebuah jaket panjang. Ia melampirkannya ke bahunya
sambil membuka pintu depan, melompat keluar, dan berlari ke
pangkal jalur masuk. Reva tersentak sewaktu mendekati jalan.
Ada seseorang tergeletak telentang di jalur masuk.
Seorang gadis. Pam! Sambil terengah-engah dengan suara keras, Reva berlutut di
samping sepupunya tersebut.
"Oh, tidak," erangnya. "Mereka membunuhnya."
Bab 23 Langkah-langkah Kaki MATA Pam terpejam. Rambutnya kusut tidak keruan menjuntai
di bawah kepalanya. Kulitnya tampak kelabu tertimpa cahaya pucat
yang berasal dari lampu di pepohonan.
"Mereka membunuhnya," gumam Reva. Ia menelan ludah
dengan susah payah. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Hawa
dingin merayapi punggungnya.
Saat menengadah, ia melihat sesosok kehitaman melesat
melintasi rerumputan yang membeku ke arahnya. Ia melompat
bangkit, lalu menyadari kalau sosok tersebut hanyalah King, anjing
penjaganya. Anjing besar itu menundukkan kepalanya dan mendengkingdengking pelan.
"Tidak apa, King," kata Reva, suaranya pelan dan ketakutan.
"Tidak apa, fella. Pergilah. Pergilah, King."
Anjing itu menatapnya sejenak, matanya merah menakutkan
tertimpa cahaya suram. Lalu hewan itu duduk di tepi jalur masuk.
Reva mendengar erangan keras. Ia menunduk memandang ke
jalur masuk. Pam mengedipkan mata. Sekali. Dua kali. Ia mengerang lagi.
Matanya membuka. Ia menatap Reva dengan pandangan kosong.
"Pam!" jerit Reva. Ia kembali berlutut di samping sepupunya.
"Pam! Kau"masih hidup!"
Pam berjuang untuk mengangkat kepalanya. Tapi usaha itu
ternyata terlalu berat baginya. Sambil mengernyit kesakitan, ia
memejamkan mata dan kembali meletakkan kepalanya di jalur masuk.
"Kau masih hidup!" ulang Reva. Ia memeluk kepala Pam. Ia
mengusap-usap rambut Pam yang lembap dan kusut.
"Aku tidak begitu yakin," kata Pam sambil mengerang.
"Kau harus masuk ke dalam," kata Reva sambil menggigil.
"Menurutmu kau bisa berdiri?"
"Kita coba saja," jawab Pam dengan suara gemetar. "A-aku tadi
diikat. Kakiku, keduanya mati rasa sepenuhnya."
Reva menarik Pam, membantunya bangkit berdiri perlahanlahan. Lalu, dengan membiarkan Pam bersandar pada dirinya, Reva
menyelipkan salah satu lengannya ke pinggang sepupunya dan
membimbingnya menyusuri jalur masuk ke dalam rumah.
"Mereka"mereka membuatku jatuh pingsan. Aku baru saja
sadar sewaktu mereka menarikku keluar dari mobil," kata Pam saat
Reva membaringkannya di sofa kulit berwarna gelap di ruang kerja
ayahnya. "Kepalaku terantuk aspal. Kurasa aku kembali pingsan."
"Berbaringlah di bantal," kata Reva kepada Pam, sambil
meletakkan sebuah bantal satin yang lunak di bawah kepala Pam.
"Begitu. Akan kuambilkan air minum."
"Trims," kata Pam sambil memejamkan matanya. "A-aku masih
agak pusing, kurasa. Aku sangat terguncang. Kau tahu" Segalanya
gemetar. Jantungku berdebar-debar."
"Akan kupanggilkan Dr. Simms," kata Reva, sambil menuju ke
dapur. "Dan orangtuamu. Mereka pasti sangat gembira!" Lalu ia
menambahkan, "FBI juga akan kuhubungi. Ada nomor telepon mereka
di samping telepon. Dan juga kepolisian Shadyside."
Reva bergegas ke dapur. Ia mengisi gelas dengan air dingin dari
dispenser di pintu lemari es.
Sewaktu kembali ke ruang kerja, ia menjerit, terkejut mendapati
Pam berada tepat di belakangnya. "Hei"kau membuatku ketakutan!"
"Maaf," gumam Pam, sambil menundukkan kepala.
"Kau seharusnya berbaring, Pam."
"Aku tidak ingin sendirian," kata Pam. "Aku sangat...
terguncang. Sebaiknya aku duduk di dekat meja dapur saja." Ia
menarik sebuah bangku bulat dan duduk di sana.
"Apa yang terjadi?" tanya Reva, sambil mengawasi Pam
menenggak airnya. "Bagaimana kau bisa melarikan diri?"
"Mereka bertengkar hebat mengenai apa yang harus mereka
lakukan terhadapku," jawab Pam, dengan gugup mengurai rambutnya
yang kusut menggunakan satu tangan. "Mereka berdua."
"Yeah" Kau sempat mengenali wajah mereka?" tanya Reva,
sambil menyandarkan tangannya pada meja putih tersebut.
"Tidak." Pam menggeleng dengan serius. "Mereka menutup
mataku sepanjang waktu. Aku hanya mendengar suara-suara mereka."
"Apa mereka menyebutkan nama?" tanya Reva penuh
semangat. Pam kembali menggeleng. "Tidak. Mereka hati-hati."
"Apa mereka memukulimu atau bagaimana?" tanya Reva,
ekspresi wajahnya menegang karena khawatir saat mengamati Pam
dengan teliti. "Me"mengerikan!" jerit Pam dengan suara gemetar. "Sangat
menakutkan, Reva. Mereka menyelubungiku dengan mantel dan
memukul kepalaku sekeras-kerasnya. Di gudang. Sewaktu tersadar
aku ada di ranjang entah di mana. Kaki dan tanganku terikat. Mataku
ditutup, dan mulutku disumpal. Ku"kukira mereka akan
membunuhku. Sungguh."
"Tenang, Pam," kata Reva lembut.
Pam terisak, kulitnya tampak pucat ditimpa cahaya lampu
dapur. "Yang cowok, dia benar-benar ingin membunuhku. Dia sangat
pemarah, selalu marah sepanjang waktu. Benar-benar tidak terkendali.
Yang cewek terdengar terlalu takut untuk membunuhku. Dia hanya
ingin menyingkirkanku. Mereka terus-menerus berdebat.
"Akhirnya mereka memutuskan untuk membuangku di jalur
masuk ke rumahmu dan ke luar kota secepat mungkin," lanjut Pam.
"Mereka ke luar kota?" Ekspresi wajah Reva merupakan
campuran kekagetan dan kelegaan.
"Yeah. Mereka sudah pergi," kata Pam. "Kudengar mereka
mengatakan kalau memiliki teman di Kanada. Mereka akan ke sana
dan bersembunyi untuk sementara waktu."
Pam tersenyum untuk pertama kalinya. "Aku gembira sekali.
Aku gembira mereka sudah pergi, Reva." Bahunya terguncang. Ia
menundukkan kepala ke tangannya dan mulai menangis.
Reva bergegas mendekat dan memeluk bahu sepupunya yang
gemetar untuk menenangkannya. "Kau baik-baik saja sekarang, Pam,"
bisiknya. "Kau baik-baik saja. Mereka sudah pergi. Dan kau baik-baik
saja." Pam masih menangis pelan sewaktu Reva mendengar suara
langkah-langkah kaki. Langkah-langkah kaki yang berat di lorong depan.
Oh, tidak! pikir Reva, sambil mengangkat tangan menutupi
mulutnya. Aku sudah membiarkan pintu depan terbuka lebar!
Langkah-langkah kaki tersebut terdengar semakin keras.
Pam juga mendengarnya. Ia tersentak menengadah, pandangannya liar ketakutan.
"Mereka kembali!" bisiknya dengan suara tercekik.
Bab 24 Siapa yang Mengawasi Reva"
KEDUA gadis itu membeku, pandangan mereka terpaku satu
sama lain sambil mendengarkan.
Suara langkah-langkah kakinya sekarang terdengar dari lorong
belakang. Pam tersentak pelan, kedua bahunya masih gemetar.
Reva menarik sebuah penggorengan tembaga dari kaitnya di
dinding. Sambil mencengkeram tangkainya erat-erat, ia
mengacungkannya tinggi-tinggi, bersiap-siap untuk menggunakannya
sebagai senjata. Langkah-langkah kakinya terdengar semakin dekat. Semakin
dekat. Dari arah lorong Reva mendengar helaan napas berat. "Si"
siapa itu?" katanya tergagap-gagap.
Beberapa detik kemudian Victor muncul di ambang pintu
dapur. Mula-mula ia hanya melihat Reva. Sambil memberi isyarat ke
arah lorong, matanya menyipit kebingungan. "Pintu depannya"
terbuka lebar," katanya. "Aku khawatir..."
"Victor!" seru Pam. Ia melompat turun dari bangku bulat.
"Pam! Sulit dipercaya! Kau"kau baik-baik saja!" Wajah Victor
yang tampan menunjukkan keterkejutan, lalu kegembiraan. Ia berlari
menyeberangi ruangan dan memeluk Pam. Mereka saling berpelukan.
Akhir yang bahagia bagi semua orang, pikir Reva, sambil
mengawasi mereka. Pam begitu polos. Ia bahkan tidak penasaran
kenapa Victor datang kemari.
Kejadian ini berakhir dengan baik, pikir Reva, senyum riang
merekah di wajahnya saat mengawasi Pam dan Victor saling
berpelukan. Dengan begitu aku tidak perlu bersusah payah mendepak
Victor. "Hei, berhenti, kalian berdua!" seru Reva. "Kita harus
memberitahu orangtua Pam!"
*****************************
Hari Sabtu sore Reva menerima kartu pos yang dikirimkan
adiknya, Michael, dari St. Croix. Pada bagian depannya tergambar
pantai berpasir putih yang diteduhi pohon-pohon kelapa. Di bagian
belakang Michael menulis:
Kami menyewa perahu dan snorkeling di Pulau Buck. Lalu Josh
dan aku berselancar selama dua jam! Celana renangku penuh pasir.
Aku rindu padamu. TIDAK! Reva menatap pohon-pohon kelapanya. Pantainya tampak
menyenangkan. Ia membayangkan suara ombak yang lembut bergulir
ke pasir. Ia membayangkan air berwarna hijau kebiruan. Ia hampirhampir bisa mencium bau cairan tabir surya.
"Bangsat kecil itu benar-benar beruntung!" jerit Reva dengan
pahit. Ia melirik ke luar jendela kamar duduk. Langit hampir segelap
malam. Hujan yang menusuk tulang tengah tertiup ke segala arah oleh
angin yang melolong-lolong dan berputar-putar.
Reva mendesah. Ini hari Sabtu sebelum Natal, pikirnya penuh
harap. Aku tidak punya pilihan. Aku harus keluar dan membeli
hadiah. Sambil mengenakan ponco bertudungnya, ia berjalan ke garasi.
Lalu mengemudikan Miata merahnya ke Mal Division Street.
Badai tidak mencegah para pembeli ke luar rumah. Reva harus
berputar-putar tiga kali di garasi parkir bawah tanah sebelum
menemukan tempat parkir.
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menerobos kerumunan orang di toko-toko dengan tidak
sabar. Bau wol basah memenuhi udara. Bayi-bayi menangis. Orangorang berusaha menangani tas belanja yang menggembung dan
payung sekaligus. Semua orang tampak basah kuyup kehujanan dan
kebingungan, pikir Reva. Musik Natal mengalun dari pengeras suara di seluruh penjuru
toko. Reva berkeliaran hingga memasuki sebuah toko sempit yang
panjang bernama The Cozy Corner. Satu dinding toko tersebut
dipenuhi anting-anting, sebagian besar dari plastik dan kaca.
Reva tahu dia tidak akan sudi untuk membeli barang-barang
yang dijual di toko itu untuk dirinya sendiri. Tapi kalau harus membeli
hadiah untuk orang lain, ia tidak pernah suka menghabiskan banyak
uang. Ia menatap anting-anting yang memenuhi dinding tersebut.
Anting-anting ini semuanya sangat mencolok, pikirnya, sambil
mengamati sepasang anting-anting yang bentuknya mirip balok
Hershey kecil. Tapi anting-anting ini sempurna bagi Pam.
Ia melihat anting-anting plastik kecil yang bentuknya mirip
makanan. Ia mengambil sepasang anting-anting berbentuk roti-isimentega-kacang, lalu bergegas menggantinya.
Sambil berjalan miring, ia menyusuri sepanjang dinding yang
panjang. Ia melihat sepasang anting-anting plastik berbentuk pisang.
Tidak, pikirnya. Itu terlalu menjijikkan, bahkan untuk Pam.
Reva hampir tiba di ujung toko sewaktu menyadari kehadiran
seorang cowok berambut hitam yang mengenakan mantel panjang
hitam. Cowok itu berdiri beberapa meter jauhnya dari tempatnya,
bersandar ke rak pendek yang berisi gelang perak dan plastik.
Kacamata bulat berlensa birunya memantulkan cahaya. Kedua
tangan cowok itu berada dalam saku mantel panjangnya. Ia telah
mengamati Reva sejak tadi, tapi membuang muka sewaktu Reva balas
menatapnya. Rambut hitamnya yang lurus tergerai di keningnya. Cowok itu
tampan, pikir Reva. Agak mirip Elvis Presley. Reva penasaran
bagaimana mata di balik lensa biru itu.
Cowok itu tampaknya tidak berbelanja. Mungkin sedang
menunggu seseorang, pikir Reva.
Reva membeli sepasang anting-anting kaca yang panjang,
membayarnya dengan kartu kredit American Express. Lalu ia keluar
ke bagian tengah pertokoan untuk mencari toko pakaian pria.
Dasi yang membosankan untuk Dad, pikirnya, sambil
menghindari payung-payung yang terayun-ayun. Dad yang malang. Ia
menghabiskan banyak uang untuk pakaiannya. Tapi semua yang
dibelinya begitu membosankan dan konservatif.
Beberapa saat kemudian Reva telah mengaduk-aduk semeja
dasi di Brook Brothers. Saat menengadah, ia terkejut melihat cowok
berkacamata biru itu sekali lagi. Cowok itu berdiri di luar toko,
menatapnya dari balik kaca etalase.
Kenapa dia memandangku seperti itu" Reva penasaran.
Lalu pemikiran yang menakutkan melintas: Apa dia
mengikutiku" Tidak. Tidak mungkin. Reva marah pada diri sendiri karena
begitu tegang. Kau masih agak ketakutan karena kejadian yang menimpa Pam,
katanya pada diri sendiri. Tapi kau harus menenangkan diri, Reva.
Hanya karena melihat cowok yang sama dua kali tidak berarti dia
sedang mengikutimu. Dan hanya karena cowok itu sedang menatap ke etalase toko
tidak berarti dia sedang menatap dirimu.
Sewaktu menyerahkan dasi biru bergaris-garis hitam dan kartu
American Express ke petugas di bagian kasir, Reva melirik ke etalase
dengan waspada. Pemuda itu telah lenyap.
Lihat" pikirnya, merasa bodoh. Kau ketakutan tanpa alasan.
Tapi beberapa menit kemudian, sewaktu memeriksa blus-blus di
Silk Casuals, ia kembali melihat cowok itu. Cowok itu berdiri
beberapa lorong jauhnya, kedua tangannya di saku mantel panjang,
kepalanya menunduk, rambut hitamnya tergerai di depan lensa
birunya. Dia memang sedang menatapku, Reva tersadar. Itu bukan
bayanganku. Cowok itu mengikutinya ke CD World.
Dengan langkah bergegas, menabrak orang-orang agar tidak
menghalangi jalannya, Reva berusaha untuk meninggalkan cowok itu
dalam keramaian di Food Court. Tapi, saat melirik ke belakang, ia
melihat cowok itu dengan mantap terus mengikutinya, menjaga jarak
mereka, lensa kacamatanya yang gelap terarah pada dirinya.
Sewaktu bergegas turun ke garasi parkir, Reva menyadari kalau
seluruh tubuhnya gemetar.
Siapa dia"salah seorang penculik" Reva penasaran.
Apa mereka memberitahu Pam kalau mau pergi ke Kanada
hanya untuk meruntuhkan kewaspadaan semua orang" Agar kami
tidak waspada" Ia terus-menerus melirik ke belakang dengan gugup, sepatu
botnya berdetak-detak dengan keras menghantam lantai beton sewaktu
mulai berlari melewati deretan mobil yang diparkir.
Apa mereka sudah membohongi Pam"
Apa mereka mengikuti diriku sekarang"
Apa mereka merencanakan untuk menculikku"
Bab 25 Kejutan Besar di Rumah Pam
REVA mengetuk-ngetukkan kukunya yang panjang dan bercat
ungu ke rak kaca parfum. Ia mengangkat alisnya ke arah seorang
wanita yang telah berusaha untuk menarik perhatiannya selama
hampir lima menit. Coba lihat hidung wanita itu, pikir Reva marah.
Kau bisa menggantungkan mantel di sana. Apa kau tidak pernah
mendengar tentang bedah plastik, Lady"
"Bisakah kau menyarankan wangi-wangian yang cocok?" tanya
wanita itu, sambil tersenyum gelisah ke arah Reva. "Yang berbeda.
Suamiku bosan dengan parfumku yang lama."
Kalau begitu mungkin sebaiknya kau mandi, pikir Reva.
Tawanya hampir-hampir meledak. Aku benar-benar konyol, katanya
pada diri sendiri. "Cobalah yang ini. Ini masih baru," kata Reva, sambil
mengambil botol contoh. "Kemarikan pergelanganmu." Atau
sebaiknya kusemprotkan ke hidungmu"
Ia menyemprotkan cologne ke pergelangan tangan wanita
tersebut. Wanita tersebut mengendusnya, memiringkan kepalanya
berkonsentrasi. Jangan mengendus terlalu kuat, pikir Reva. Kau bisa menghirup
seluruh lenganmu! "Wangi bunganya kental," kata wanita tersebut. Ia mengendus
lagi. "Aku suka." Ia menurunkan pergelangannya, tersenyum ke arah
Reva. "Apa namanya?"
Namanya Eau de Skunk"Air Sigung, pikir Reva.
"Namanya Mawar Hitam," katanya. Saat menatap ke belakang
wanita itu, ia melihat Pam tengah berjalan menerobos keramaian di
lorong. "Well, berapa harganya?" tanya wanita itu, sambil mengendus
pergelangannya lagi. "Jangan sekarang," kata Reva, pandangannya terarah ke Pam. Ia
menunjuk ke Francine, yang tengah menangani tiga orang pembeli di
ujung seberang rak. "Dia akan membantumu. Aku harus pergi."
"Tapi"tapi"Nona?"
Sementara wanita tersebut tergagap-gagap memprotes, Reva
bergegas menjauh menemui Pam. "Hei, Pam"kau sudah bekerja
kembali?" Pam mengangguk, sambil tersenyum kepada Reva. Ia
mengenakan gaun hitam pendek dan celana panjang ketat hijau tua.
Rambut pirangnya diikat ekor kuda di belakang kepalanya.
"Sulit dipercaya kau kembali bekerja secepat ini," seru Reva.
"Kenapa kau tidak beristirahat beberapa hari lagi dan menenangkan
dirimu?" "Tidak bisa," jawab Pam, sambil menunduk. "Aku benar-benar
memerlukan uangnya."
"Apa mereka tidak memberikan bayaran penculikan atau apa?"
tanya Reva. Benar-benar komentar yang tidak berotak, pikirnya. Pam
sudah mengalami kejadian yang sangat mengerikan, dan aku justru
melontarkan lelucon konyol mengenainya.
"Bicaralah dengan Paman Robert tentang hal itu," jawab Pam
datar. Ia berdeham. "Apa kau bebas nanti malam" Kau bisa ke
rumahku?" "Hah?" Undangan tersebut menyebabkan Reva merasa terkejut.
"Kami akan memasang Pohon Natalnya malam ini. Kukira kau
mungkin mau datang membantu."
"Well... apa Victor datang?" tanya Reva.
Pam menggeleng, ekor kudanya terayun-ayun di belakangnya.
"Dia tidak bisa. Dia harus pergi bersama orangtuanya."
"Well, yeah," kata Reva. "Aku akan datang. Pasti
menyenangkan." Kurasa aku merasa bersalah, Reva tersadar. Itu sebabnya aku
bersedia datang ke rumah Pam dan membebani pikiranku dengan
kebosanan. "Kita akan menyiapkan berondong jagung, eggnog, perapian,
dan semuanya," kata Pam
************************ Tidak lama selewat pukul setengah delapan malam itu, Reva
menghentikan mobilnya memasuki Fear Street dan menuju ke rumah
Pam. Hujan akhirnya berhenti sore itu, tapi jalan masih basah dan
licin. Pepohonan yang membungkuk ke jalan di kedua sisi tampak
kemilau tertimpa cahaya lampu jalan yang pucat.
Sewaktu ia melaju melewati rumah mewah Simon Fear yang
telah terbakar habis, yang menghadap ke Pemakaman Fear Street,
Reva menggeleng menghina. Bagaimana Pam bisa tinggal di jalan
yang kumuh dan mengerikan ini" ia penasaran. Jelas Paman Bill bisa
mendapatkan rumah yang lebih baik, bahkan dengan gajinya yang
menyedihkan sekalipun. Rumah tua reyot tempat tinggal Pam terlihat. Yang
mengejutkan Reva, lampu serambi tidak dinyalakan. Mungkin rusak,
pikir Reva, seperti sebagian besar barang-barang lainnya di rumah
Pam. Ia menghentikan Miata-nya di jalur masuk berkerikil, berhenti
di jalan setapak dari bebatuan datar yang telah retak-retak dan pecah
ke anak tangga depan. Ia menyambar tas belanja dari kursi penumpang. Tas tersebut
berisi hadiah yang dibelinya untuk Pam dan orangtuanya. Sewaktu
Reva turun dari mobil, Pam muncul di serambi depan.
"Tepat pada waktunya! Hai!" seru Pam riang, sambil melambai
sewaktu Reva mulai melangkah menyusuri jalan setapak depan.
"Hei"kau seharusnya tidak perlu membawa hadiah malam ini!"
"Hanya beberapa barang untuk diletakkan di bawah pohonmu,"
kata Reva. Ia terpeleset, pergelangan kakinya terpuntir akibat retakan di
bebatuan. "Auw."
"Hati-hati. Bebatuannya sudah renggang semua," kata Pam
sambil melangkah turun. Dari sudut matanya Reva melihat sesuatu yang bergerak dari
samping rumah. Sesosok bayangan yang melesat.
Ia mendengar suara gesekan. Napas yang keras.
Sebelum ia sempat berpaling untuk melihatnya, sebuah tangan
terbungkus sarung tangan mencengkeram mulutnya.
Tas belanjanya terjatuh dari tangan Reva.
Sesuatu yang berat diselubungkan ke kepalanya. Sesuatu dari
bahan wol dan menggelitik.
Selimut" "Hei"aku tidak bisa melihat!" jeritnya, suaranya teredam oleh
beratnya selimut. Sebuah lengan melilit pinggangnya, menyambarnya erat-erat.
"Hentikan!" ia mendengar Pam menjerit. "Hei"tolong!
Tolong!" Diiringi sentakan napas yang bagai tercekik, jeritan Pam
terputus. Reva menyodokkan sikunya ke belakang keras-keras.
"Auw!" jerit penyerangnya saat siku Reva mengenai sesuatu.
"Mulutku!" Reva merasakan cengkeraman lengannya mengendur.
Ini kesempatanku, pikirnya, dicengkeram kepanikan.
Ia mencoba untuk menggeliat membebaskan diri dari selimut.
Tapi penyerangnya pulih dengan cepat. Ia memeluk selimut
erat-erat, melilit leher Reva dengan lengannya, semakin lama semakin
erat. Menghalangi napasnya. Lalu sebuah sodokan keras dari belakang melontarkan Reva ke
tanah. "Kau akan membayar," bisik penyerangnya dengan dingin.
"Kau akan membayar."
Reva kembali merasakan sodokan keras. Ia menyadari kalau
tengah didorong menyusuri jalur masuk.
Ini tidak terjadi, pikirnya, teror menguasainya.
Ini tidak terjadi. "Tolong! Pam"tolong!" jeritnya.
Reva berjuang dan menarik salah satu sudut mantel yang berat
itu. Ia sempat melihat Pam sekilas. Pam juga telah tertangkap.
Tapi sebelum selimutnya kembali ditarik menutupi kepalanya,
Reva sempat melihat mobil yang akan membawa mereka.
Sebuah Plymouth tua yang telah reyot.
Bab 26 Kantong-Kantong Mayat di Tong Sampah
SEBELUM Reva melihat siapa penyerangnya, selimut wol itu
telah ditarik ke belakang meliliti kepalanya, membutakannya,
mencekiknya. Ia menjerit lagi sewaktu seseorang sekali lagi mendorongnya
keras-keras dari belakang.
"Apa maumu" Jangan ganggu kami!" ia mendengar jeritan Pam,
suaranya melengking. "Tutup mulutmu!" sentak seorang gadis dengan berbisik keras,
kasar. "Tutup mulutmu"kalian berdua."
Reva terjatuh, tapi sebuah lengan yang kuat menyambar
pinggangnya dan memaksanya terus berjalan.
Ia mendengar pintu mobil dibuka. "Taruh mereka berdua di
belakang," ia mendengar gadis itu memberi perintah. Mereka ada
berapa orang" Reva penasaran.
"Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" jerit Pam.
"Sudah kukatakan tutup mulutmu!" jerit si gadis marah.
Reva mendengar debuman keras. Lalu Pam menjerit kesakitan.
"Masukkan mereka ke dalam mobil. Aku yang mengemudi,"
kata gadis itu. "Aku yang mengemudi. Aku yang membawa kuncinya." Suara
pria dewasa. Tidak. Suara remaja pria.
"Jalan saja!" teriak gadis itu dengan marah.
"Masuk ke sana!" Suara seorang cowok lainnya. Yang ini
memegangi Reva. Ia mendorong Reva. Reva terhuyung-huyung maju,
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjulurkan lengannya untuk mengurangi jatuhnya.
Ia mendarat di sebuah kursi mobil. Ia jatuh ke dalam sebuah
mobil, terbelit selimutnya. Lututnya menghantam lantai mobil.
Ia bisa mendengar Pam berontak di belakangnya. Lalu
terdengar debuman lain, suara tinju yang menghantam dengan keras.
"Jalan!" "Lepaskan kami! Kalian tidak akan lolos!" Reva mendengar
Pam menjerit. Lalu Pam didorong ke sampingnya. Reva bisa merasakan
tubuhnya yang gemetar. Reva mendengar Pam terisak. "Jangan lagi! Please"jangan
lagi! Biarkan aku pergi!"
Lalu terdengar kesibukan.
Seseorang membuka pintu mobil di samping Reva. Ada yang
menarik selimut dari kepalanya. Sekilas Reva melihat cowok gemuk
bermata hitam yang mengenakan jaket denim.
Hanya sekilas. Lalu segalanya kembali berubah gelap saat
sehelai syal diikatkan menutupi matanya.
Ia ingin berontak, melawan, untuk mempersulit mereka. Tapi
tidak ada ruang untuk bergerak. Dan ketakutannya menyebabkan ototototnya lemas. Ia hampir-hampir tidak mampu mengangkat
lengannya. Kedua tangan Reva ditarik ke belakang punggungnya dengan
kasar. Lalu keduanya diikat dengan semacam kabel. "Auw"tidak!"
jeritnya sewaktu kabel terus mengiris pergelangannya.
Jeritnya tidak diacuhkan.
Pintu mobil dibanting menutup.
Ia masih bisa merasakan tubuh Pam yang gemetaran di
sampingnya. "Reva"kau baik-baik saja?" bisik Pam.
"Tutup mulut! Tutup mulutl" sergah yang cewek dari kursi
pengemudi. "Cepat, Pres!"
"Hei"jangan sebut nama!" teriak yang cowok dengan marah.
Pres" Salah satu dari mereka bernama Pres"
Reva memperkirakan mereka bertiga. Seorang cewek, pria
gemuk yang mendorongnya masuk ke mobil, dan remaja cowok itu.
Cowok yang bernama Pres. Ia mendengar pintu depan dibanting.
Mesin mobil meraung. Mobilnya melesat maju, melontarkan
Reva hingga menghantam kursi belakang.
"Duduk manis dan nikmati saja perjalanannya," kata yang
cowok. Reva bisa memastikan kalau ia duduk di samping Pam.
"Kalian tidak bisa berbuat begini!" jerit Pam dengan suara
lemah dan gemetar. Reva tetap membisu. Ia menatap ke kegelapan di balik penutup
matanya. Ia menyadari dirinya terlalu ketakutan untuk berbicara.
Ia terbatuk. Dan mulai tercekik. Tenggorokannya terasa kering.
"Hentikan batukmu, Reva!" sergah yang cewek dari kursi
depan. Dia tahu namaku, pikir Reva. Hawa dingin merayapi
punggungnya. Mereka tahu namaku. Mereka sudah merencanakan perbuatan
ini. Mereka sudah menunggu entah di mana, merencanakan ini,
membicarakan aku. Reva pernah membaca tentang penculikan. Ia pernah melihat
film tentang penculikan di TV.
Tapi film tidak pernah menunjukkan ketakutan yang nyata,
pikirnya, sambil merasakan seluruh tubuhnya gemetar hebat.
Film-film tidak pernah menunjukkan kegelapan. Tidak pernah
menunjukkan kepanikan yang mencekikmu, yang membuat napasmu
tersentak, yang menyebabkan keningmu berdenyut-denyut.
Film-film tidak pernah menunjukkan kengerian karena tidak
berdaya, kengerian karena berada di tangan seseorang yang ingin
menyakitimu. Untuk melukaimu. Mungkin untuk membunuhmu.
Seseorang yang tahu namamu....
Inilah yang dijalani Pam, Reva tersadar. Inilah ketakutan yang
dirasakan Pam. Dan sekarang kejadian itu terulang kembali pada Pam.
Kenapa" Karena aku"
Kalau mereka ingin menculikku, untuk apa mereka menculik
Pam lagi" Jawabannya seketika melintas dalam benak Reva. Mereka
mengira bisa mendapatkan lebih banyak uang kalau menculik kami
berdua. Mereka mungkin benar, Reva tersadar.
Daddy dengan senang akan membayar berapa pun yang mereka
minta. Dan sesudah itu apa"
Pertanyaan tersebut melintas tanpa diundang dalam benaknya.
Lalu apa" Reva tidak ingin memikirkan pertanyaan tersebut.
Apa yang akan mereka lakukan terhadap Pam dan diriku begitu
Daddy sudah membayar tebusan" Apa mereka akan memulangkan
kami" Apa mereka sekadar membuang kami di jalur masuk rumahku
seperti yang mereka lakukan pertama kali dulu"
Reva pernah melihat film-film. Ia pernah melihat berita-berita
di TV tentang penculikan.
Terkadang mereka membiarkan dirimu pulang. Terkadang
mereka mengambil uangnya dan membiarkan kau pergi.
Tapi terkadang tidak. Terkadang mereka... membunuhmu.
Membunuhmu dan menyembunyikan mayatmu di tempat yang
tidak akan bisa ditemukan polisi hingga mayatmu membusuk.
Mengambil uangnya dan tetap saja membunuhmu. Dan
membuang mayatmu di sungai atau di tempat pembuangan sampah.
Lalu mereka akan menampilkan dirimu di TV, kau tengah dimasukkan
ke dalam salah satu kantong mayat plastik yang panjang itu.
Terbungkus seperti sampah. Dan... dan...
Hentikan! perintah Reva pada diri sendiri. Jangan memikirkan
hal-hal mengerikan seperti itu!
Kau akan baik-baik saja. Daddy akan membayar tebusannya.
Mereka akan membiarkanmu pergi.
Berpikirlah positif. Mereka sudah pernah melepaskan Pam sekali"bukan"
Mobilnya mendecit sewaktu menikung tajam. Lalu melesat
maju dengan mesin meraung.
Reva menyadari kalau ia telah menahan napas. Ia
mengembuskannya perlahan-lahan, berusaha untuk tidak gemetar lagi,
mencoba untuk menghalangi pikiran-pikiran yang menakutkan,
bayangan-bayangan buruk, yang menerobos ke dalam benaknya.
"Selamat Natal untuk kita!" kata cowok di kursi depan dengan
tiba-tiba. Ia bersorak melengking.
"Whoa! Jangan berpesta sekarang," jawab yang cewek dari
kursi pengemudi. "Kita belum menerima uangnya, ingat?"
Cowok itu kembali bersorak. "Selamat Natal semuanya!"
Mobil kembali menikung. Reva merasa Pam terlempar
menghantam tubuhnya. "Hei, kau pendiam sekali," kata cowok itu kepada cowok yang
menjejalkan diri di samping Pam.
"Mulutku terpukul," gumam cowok itu muram.
"Siapa yang memukulmu?" tanya cowok pertama.
"Yang berambut merah. Kau tahu. Reva," sergah cowok kedua
dengan marah. "Dia me-nyikut mulutku sewaktu kuseret ke mobil."
Reva mendengar cowok pertama mencibir.
"Tidak lucu, Pres," sergah cowok kedua dengan marah, lupa
untuk tidak menggunakan nama. "Dia merobek bibirku. Darahnya
banyak sekali." Bagus, pikir Reva. "Aku jadi pusing lagi," gerutu cowok kedua. "Benar-benar
parah." "Kau akan baik-baik saja," kata yang cewek tanpa simpati
sedikit pun. "Kau tidak akan pusing lagi sesudah kaya. Aku berani
bertaruh denganmu." "Aku hanya ingin membunuhnya," gumam cowok kedua,
mengabaikan kata-kata ceweknya.
"Hei, ayolah, Bung. Tenang saja," kata Pres. "Kita sudah
hampir tiba." "Aku ingin membunuhnya. Sungguh," kata cowok kedua,
bersikeras dengan tenang. Kata-katanya agak tidak keruan. Reva
menebak pasti karena bibirnya robek akibat sikunya.
"Well... mungkin nanti kau akan mendapat kesempatan untuk
itu," jawab cowok pertama dengan nada biasa.
Bab 27 Sesunyi Kematian "AKU ingin mematahkan lengannya menjadi tiga puluh
potong," kata cowok di kursi belakang, bernapas dengan ribut,
bergairah. "Mungkin dengan begitu pusingku akan reda."
"Hei, ada banyak yang harus kita lakukan. Kita harus tetap
terkendali, ingat?" kata yang cewek kepadanya, terdengar sangat tidak
sabar. Cowok itu hanya menggerutu sebagai jawaban.
Mobilnya mengurangi kecepatan hingga berhenti.
"Kalian membawa kami ke mana?" sembur Reva. "Apa yang
akan kalian lakukan?"
"Hei, dia bicara," kata yang cewek sinis.
"Sudah kami katakan tutup mulutmu!" raung yang cowok
kepada Reva. "Kabel ini mengiris pergelanganku," keluh Reva.
"Huh," jawab yang cewek dengan dingin. "Sebaiknya kau tutup
mulutmu, Reva." "Aku hanya ingin tahu apa rencana kalian," kata Reva
bersikeras. "Satu kata lagi dan riwayatmu akan tamat," kata yang cewek
padanya. Pam menghantam Reva dengan keras, memberi isyarat agar
tidak mengatakan apa-apa lagi. Reva menelan kembali pertanyaanpertanyaannya dan membenamkan diri di kursinya.
"Hentikan mobil di belakang sana," ia mendengar Pres
memerintah yang cewek. "Kau sudah memeriksa seluruhnya?" tanya yang cewek dengan
nada skeptis padanya. "Yeah. Begitu aku kembali," kata Pres kepadanya. "Tidak ada
penjaga di belakang sini. Lihat saja. Parkir di sebelah sana. Jauhi
tempat-tempat terang."
Mobilnya meluncur maju. Pam kembali menyandar sekerasnya ke Reva. Ia tidak lagi
gemetar, tapi Reva bisa mendengar napasnya yang lambat, ketakutan.
"Jangan sampai ada kekeliruan lagi kali ini," gumam cowok di
sebelah Pam. "Hei, tidak mungkin. Aku sudah kembali sekarang," kata Pres
ringan. "Apa yang bisa keliru?"
Mobilnya terus mengurangi kecepatan hingga berhenti. Reva
mendengar yang cewek memindahkan persneling ke posisi netral, lalu
mematikan mesin. "Kurangi bicara, lebih banyak bekerja," gumam
cewek itu. "Aye, aye, Kapten," jawab yang cowok dengan sinis.
"Keluarkan mereka," perintah yang cewek.
Pintu-pintu mobil dibuka. Reva mendengar para penculiknya
turun. "Kita di mana?" bisik Reva kepada Pam.
"Entahlah," balas Pam. "Tampaknya kita sudah pergi cukup
jauh. Tapi kurasa itu hanya karena aku begitu ketakutan."
"Tutup mulut! Kalian berdua!" sergah yang cowok. "Kalian
membuat kepalaku pusing."
Ia menarik Reva keluar dari mobil dengan kasar. Reva terjatuh,
lalu berhasil mendapatkan keseimbangannya. Sepatunya menggores
aspal yang keras. Jalur masuk" ia penasaran. Semacam tempat parkir"
Jadi beginilah rasanya kalau buta, ia tersadar dengan tiba-tiba.
Udara terasa dingin dan menyegarkan di wajahnya. Ia menghela
napas dalam beberapa kali.
Kalau saja jantungnya berhenti berdebar-debar, berdentamdentam begitu keras dalam dadanya.
Ia bisa mendengar Pam diseret dari mobil. Lalu suara-suara
pintu mobil dibanting menutup.
Reva berjuang keras untuk mendengarkan.
Di mana kami" Di mana"
Suasananya begitu sunyi. Sesunyi kematian.
Ia menggigil. Seseorang mendorong tangannya ke atas dengan kasar di
belakang punggungnya. Reva menjerit saat ikatan kabel yang erat
tersebut mengiris kulitnya semakin dalam.
Cowok itu kembali mendorong lengannya ke atas. Sakitnya
menyebar ke seluruh tubuh Reva. Lalu cowok itu mendorongnya
maju. "Pintu yang mana?" katanya kepada rekan-rekannya.
"Yang itu," Reva mendengar Pres berkata. "Yang lampunya
mati." Reva bisa mendengar Pam berada dekat di sampingnya. Mereka
berdua didorong menaiki tangga.
Di mana kami" Di mana kami" Di mana kami" Pertanyaan itu
bergaung di dalam benak Reva berulang-ulang.
Ia bisa mendengar suara lalu lintas yang teredam di kejauhan.
Suara sebuah mobil membunyikan klaksonnya, jauh sekali. Satusatunya suara yang lain adalah suara sepatu mereka menggeser aspal
yang keras. "Oh!" Reva tiba-tiba tersandung dan jatuh. Karena tangannya
terikat di belakang, ia tidak bisa menahan jatuhnya. Ia mendarat
dengan keras pada sisi tubuhnya. Sakit menyengat di punggungnya.
"Ohh." "Jangan mencoba berbuat yang aneh-aneh," geram yang cowok
dengan marah. "Aku tidak bisa melihat!" lolong Reva.
Cowok itu menyambar pinggangnya dan menariknya bangkit
berdiri. "Tidak ada yang perlu dilihat," katanya. "Jalan sajalah."
Lutut Reva terasa sakit. Ia terisak pelan. "Tolong!"
Cowok itu tertawa menghina.
"Cepat. Ada yang mau bertemu dengan kita," jerit yang cewek
tajam. Cowok itu mendorong Reva maju. "Kau mendengar apa
katanya. Ayo." Sedetik kemudian mereka telah melewati sebuah pintu dan
berjalan melintasi ruangan yang sunyi. Dari gema suara langkah kaki
mereka, Reva bisa mengetahui kalau ruangan ini luas.
Ia batuk sekeras-kerasnya. Batuknya menggema di mana-mana.
Ruangan yang sangat luas.
Lantainya keras. Ia menggeserkan sneakers sewaktu melangkah.
Tidak halus. Bukan linoleum atau ubin. Mungkin beton.
Mereka memasuki sebuah ruangan yang lain.
"Tempelkan sisi kananmu ke dinding dan jangan bergerak,"
Reva mendengar yang cewek berkata.
Reva menghela napas dalam-dalam. Mereka berjalan dengan
tergesa-gesa. Yang cowok memegangi lengannya, meremasnya hingga
terasa sakit, dan mendorongnya maju.
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Reva kembali menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk
tetap terkendali, mencoba untuk tidak kehilangan ketenangannya.
Ia menyadari bau apa yang tengah diciumnya.
Aku tahu di mana kami berada, pikirnya.
Aku tahu di mana kami berada. Dan aku tidak bisa
mempercayainya! Bab 28 Reva Mendapat Pelajaran REVA mengenali kehangatan udaranya, aroma parfum dan
kosmetika yang manis dan menyengat.
Seseorang telah sengaja meninggalkan sound-system tetap
hidup, sangat pelan. Ia bisa mendengar refrein lagu, sangat pelan,
melantunkan "Malam Kudus".
Kami ada di toko Daddy, Reva tersadar, terpesona.
Mereka membawa Pam dan aku ke toko.
Tapi kenapa" "Pres, kau mau ke mana?" tanya yang cowok dengan tiba-tiba.
"Hei"jangan menyebut nama, ingat?" sentak Pres. "Aku harus
mengatasi satpamnya dulu. Ayo ke atas."
"Coba lihat apakah liftnya masih berfungsi," kata yang cowok.
"Aku tidak begitu suka naik tangga lima lantai."
"Hei, dia sudah merobek bibirmu," seru Pres. "Seharusnya kau
menempelkan es di bibirmu."
"Gagasan yang bagus. Kita cari es dulu," kata yang cewek
dengan sinis. "Mungkin kita bisa memesan roti isi sekaligus."
"Oke, oke. Tenang sedikit," kata Pres padanya. "Segalanya akan
baik-baik saja"untuk sekali ini. Kita akan kaya. Menjadi miliuner.
Sama seperti dalam film-film."
"Kau dan kakakmu benar-benar mirip," gumam yang cewek.
"Menghitung keuntungan sebelum benar-benar mendapatkannya."
"Kwek-kwek," jawab Pres.
"Hei, liftnya!" seru yang cowok. "Bagus sekali." Ia menarik
lengan Reva. "Masuk."
Reva didorong ke bagian belakang lift. Ia bisa merasakan
kehadiran Pam tepat di sebelahnya. Liftnya mengeluarkan deruman
pelan sewaktu mulai naik.
Kenapa mereka membawa kami ke lantai lima" tanya Reva
pada dirinya sendiri. Ada apa di lantai lima"
Pakaian anak-anak. Dan mainan, ia teringat. Ya. Santa's World
ada di sana tahun ini. Dan juga sebuah salon rambut anak-anak. Butik
sepatu murah... Kenapa lantai lima" "Lewat sini," kata yang cowok, sambil menyentaknya keluar
dari lift dengan kasar. "Aku tahu di mana kita," sembur Reva. "Toko ayahku."
"Well, kau sudah memenangkan hadiahnya," jawab yang cewek
sinis. "Tanggalkan penutup mata mereka. Kalau tidak kita tidak akan
pernah bisa memasukkan mereka ke dalam ruangan."
Reva harus memejamkan mata sewaktu cahaya terang
menyerbu pandangannya. Dengan mengerjap-ngerjapkannya, ia
menunggu matanya menyesuaikan diri. Ia melihat Pam juga
memicingkan mata menghadapi cahaya yang tiba-tiba.
Sementara mereka terus berjalan menyusuri lorong belakang
yang sempit, ketiga orang penculiknya tampak dengan jelas. Yang
cewek masih muda, Reva melihatnya, mungkin bahkan belum dua
puluh tahun. Rambutnya dicat, akar-akar hitamnya terlihat. Cewek itu
cukup cantik kalau saja giginya tidak tonggos.
Lalu ia teringat siapa mereka.
Pagi-pagi di toko beberapa hari yang lalu. Lensa kontak yang
jatuh. Cowok yang lebih muda, Pres, yang memiliki mata hitam penuh
semangat dan ekspresi muram"dia berusaha untuk menariknya dari
balik rak. Ya, Reva teringat pada mereka berdua. Tapi ia belum pernah
melihat cowok yang ketiga. Cowok itu gemuk dengan perut menonjol
karena bir dan wajah kemerahan. Matanya berkeliaran liar. Bibirnya
membengkak ke satu sisi, darah kering menempel di sekitar
robekannya. Pres cukup tampan dengan cara yang murahan dan norak, pikir
Reva. Cowok itu mencibir ke arah Reva, mengamatinya dengan
pandangan menilai seakan-akan baru pertama kali bertemu
dengannya. Reva mengalihkan pandangannya ke arah Pam. Rambut pirang
Pam kusut masai. Matanya kemerahan dan agak bengkak. Pam
mencoba untuk tersenyum memberi semangat kepada Reva, tapi
dagunya yang gemetar mengungkapkan perasaan yang sebenarnya,
menunjukkan ketakutannya.
"Jalan. Cepat!" desak yang cewek sambil merengut. "Ada
satpam di lantai ini."
Reva dan Pam dipaksa menyusuri lorong sempit di balik pintu
penjualan. Ambang-ambang pintu yang ada menuju ke lemari pasokan
dan gudang. "Masuk," sentak yang cowok, sambil mendorong bahu Reva.
Kilauan cahaya menarik perhatian Reva. Ia tersentak saat
menyadari untuk pertama kalinya kalau cowok itu membawa sepucuk
pistol perak kecil di satu tangan.
"Yeah. Ini asli," kata cowok itu, sambil menyipitkan mata
memandangnya. "Beri saja aku alasan untuk menggunakannya.
Silakan, Reva." Cara cowok itu menyebutkan namanya menyebabkan kata
tersebut terdengar bagai kata terkutuk.
Di mana bagian kebersihan" Di mana satpam yang bertugas
malam" Reva penasaran.
Ia tahu kalau sistem pengintaian TV sedang rusak dan
diperbaiki. Ia menyadari kalau para penculiknya pasti telah mengintai
toko dan mengetahui tentang hal itu, mereka juga pasti telah
mengetahui kalau para petugas kebersihan telah menyelesaikan
tugasnya di lantai lima pada saat ini.
Ia dan Pam didorong ke dalam sebuah ruang penyimpanan
persegi yang kecil. Rak-rak logam pada dinding belakang kosong.
Sebuah tangga aluminium pendek berdiri di depan rak-rak tersebut.
Dua buah kursi lipat kelabu telah disiapkan di tengah-tengah ruangan.
Lantai dan kursi-kursi tersebut berlapis debu. Kaleng-kaleng
soda kosong berserakan di mana-mana di sekitar kedua kursi tersebut.
Mungkin ada pekerja yang menyantap makan siangnya di sini,
pikir Reva. Tapi cukup jelas kalau ruang penyimpanan ini cukup lama
tidak dipergunakan. Penculik yang cewek memberi isyarat agar Pam dan Reva
duduk di kedua kursi lipat tersebut.
"Bisa kalian lepaskan ikatan tanganku?" tanya Reva dengan
suara melengking. "Kabelnya"tanganku teriris."
Yang cewek hanya berdecak-decak dengan nada sinis.
"Bisa kalian kendurkan sedikit?" pinta Reva. "Bisa kalian beri
aku kesempatan" Kalian akan mengambil uang ayahku, bukan" Jadi
apakah kalian tidak bisa memperlakukan diriku dengan sedikit
hormat, sedikit martabat, mungkin?"
"Cukup! Sudah cukup!" jerit yang cowok dengan marah. Ia tadi
menyentuh-nyentuh bibirnya yang robek dengan jarinya. Sekarang
matanya membelalak marah. Wajahnya memerah saat ia melangkah
mendekati Reva. "Danny...," panggil yang cewek dengan waspada, tanpa sengaja
mengungkapkan nama cowok itu kepada Reva dan Pam.
"Whoa, man," desak Pres.
Dengan tidak mengacuhkan kedua orang rekannya, Danny
menyambar lengan Reva. "Lepaskan!" jerit Reva.
Cowok tersebut menarik tangan Reva ke atas di belakang
punggungnya. "Danny"lepaskan," perintah yang cewek.
"Please"lepaskan! Kau benar-benar menyakiti diriku!" pinta
Reva dengan suara melengking ketakutan yang belum pernah
didengarnya sebelumnya. "Please!"
"Danny"jangan!" teriak yang cewek.
Tapi sambil menggerung marah Danny menyentakkan lengan
Reva ke atas sekeras-kerasnya.
Derakan keras yang terdengar mirip suara pensil patah.
Sakit menyambar lengan Reva, menyebar ke punggungnya, ke
lehernya. Segalanya berubah putih. Lantai bagaikan miring ke
arahnya. Sakitnya menyengat bagaikan arus listrik, menyapu seluruh
dirinya, mengepungnya, menariknya ke bawah.
Dengan terengah-engah, Danny melepaskan pegangannya dan
melangkah mundur. Tanpa bersuara Reva jatuh berlutut di lantai putih, dindingdinding putih bagai memancarkan cahaya di depan matanya.
Apa erangan pelan yang didengarnya berasal dari dirinya"
Ia tidak bisa mendengar suaranya sendiri mengatasi raungan
sakit yang memekakkan telinga.
Sakit yang menusuk. Sakit yang tajam menusuk-nusuk.
Sambil mengerang pelan sekali lagi Reva memejamkan mata.
Bagian dalam kelopak matanya putih. Putih terang benderang.
Raungannya terdengar semakin keras.
Dan ia mendengar Danny berkata mengatasi raungan tersebut,
"Aku benar-benar ingin membunuhnya."
Bab 29 Satu Kejutan Lagi untuk Reva
REVA menyadari kalau ia telah pingsan.
Sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, ia memandang
sekelilingnya. Ia tengah duduk sekarang. Di samping Pam. Di salah
satu dari kedua kursi lipat. Sakit yang berdenyut-denyut mantap
menyengat dari lengannya.
Ia mencoba untuk berdiri. Lalu menyadari kalau pinggangnya
diikat. Diikat ke kursi. Tangannya masih terikat di belakang
punggungnya. Sakit yang hebat telah lenyap. Segalanya sekarang tampak
lembut, agak kabur. Di sampingnya, juga terikat, Pam membisikkan, Kau baik-baik
saja" tanpa suara. Reva mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk mengangkat
bahu, tapi sakitnya terlalu hebat.
Baik-baik saja" Apa aku baik-baik saja"
Pertanyaan itu terasa tidak masuk akal baginya. Tidak masuk
akal sama sekali. Bagaimana aku bisa baik-baik saja"
Sambil berjuang untuk memfokuskan pandangannya, Reva
menatap ke sekeliling ruangan.
Danny ada di dekat pintu, melirik keluar dengan gugup.
Yang cewek dan Pres berdiri menempel dinding, menatap Reva.
"Dia sadar," gumam Pres.
"Aku bisa melihat," jawab yang cewek pedas.
"Sudah kukatakan seharusnya kita jangan melibatkan Danny,"
kata Pres, sambil melirik kakaknya. "Dia tidak bisa dikendalikan. Dia
bisa melakukan apa saja."
Reva menggigil. Dia bisa melakukan apa saja"
Dia sudah mematahkan lenganku, pikirnya, merasakan
ketakutan yang berat bagai batu di dalam perutnya. Apa lagi yang
akan dilakukannya padaku"
Apa mereka benar-benar akan membiarkan dia membunuhku"
"Sudah kukatakan aku menyesal," kata Danny kepada Pres,
matanya masih terarah ke pintu. "Berapa kali aku harus meminta
maaf" Aku hanya kehilangan kendali sebentar, itu saja. Aku merasa
lebih baik sekarang. Sungguh. Beri aku kesempatan, Diane."
Yang cewek memutar bola matanya. "Trims sudah
memberitahukan namaku pada mereka," katanya. "Bisa kita bertahan
pada rencana semula sekarang" Sesudah kau bersenang-senang?"
"Yeah. Baik," gumam Danny
Diane melangkah mendekati Reva. "Kau baik-baik saja?"
Reva memelototinya tanpa menjawab.
Diane menarik seutas rambut Reva. Ia menunduk
mengamatinya. Lalu, sambil mencibir, ia membiarkan seutas rambut
itu jatuh. "Cari telepon," kata Pres. "Tempat ini membuatku ketakutan."
"Aku tidak mengerti. Kenapa kau membawa kami kemari, ke
toko Daddy?" tanya Reva, sambil mengernyit kesakitan akibat
lengannya yang patah. "Ini tempat terakhir orang-orang akan mencari kalian," kata
Diane padanya, sambil berjalan ke pintu.
"Tidak ada yang menggunakan ruang-ruang penyimpanan ini,"
kata Pres. "Tidak ada yang pernah kemari. Aku sudah memeriksanya."
Ia tampaknya benar-benar puas akan dirinya.
"Teleponlah Dalby," kata Danny mendesak Diane. "Beritahu ke
mana dia bisa mengirimkan uangnya."
"Yeah. Sesudah itu kita bisa pergi dari sini," kata Pres
menyetujui. "Tapi bagaimana dengan kami?" tanya Reva. Ia melirik ke Pam
di sampingnya. Pam tengah menatap Pres tajam, seakan-akan hendak
mengingat-ingat setiap pori-pori di wajahnya.
"Apa yang akan kalian lakukan pada kami?" ulang Reva.
"Meninggalkan kalian terikat di sini," jawab Diane tanpa
ekspresi apa pun. "Dan tersumpal."
"Tapi... tapi..." kata Reva tergagap.
"Jangan takut," kata Diane, sambil mengerutkan kening. "Akan
ada yang menemukan kalian dalam satu atau dua hari."
Pres mencibir. Ia memberi isyarat agar Diane pergi menelepon.
"Aku masih menganggap kita seharusnya membunuh mereka,"
kata Danny, sambil melambaikan pistol kecilnya.
"Danny, kita sudah membahasnya berulang-ulang," kata Diane
sambil mendesah. "Kau sudah bersenang-senang, oke" Kau sudah
mematahkan lengannya. Sekarang dengarkan aku. Kita hanya ingin
mendapatkan uang untuk hari Natal, ingat" Kita tidak ingin
membunuh mereka." Ia mendesah jengkel.
"Tapi kenapa kita harus meninggalkan saksi mata?" tanya
Danny. "Mereka sudah melihat kita, Diane. Mereka mengetahui namanama kita. Kalau kita tidak membunuh mereka, mereka akan
membantu polisi. Kita akan tertangkap."
"Tidak mungkin," kata Pres berusaha meyakinkan kakaknya.
"Kita sudah akan berada jauh dari sini, hal itu tidak penting lagi. Lagi
pula, sudah kukatakan. Tidak ada yang pernah ke tempat
penyimpanan ini. Cewek-cewek ini bisa berada di sini seminggu. Atau
lebih lama lagi." Danny menggosok dahinya dengan tangannya yang bebas.
"Kurasa aku tidak berpikir dengan jernih. Maksudku, aku selalu
teringat pepatah lama, kau tahu" Orang yang sudah mati tidak bisa
mengatakan apa-apa."
"Danny, ini bukan film bajak laut," kata Diane tajam, sambil
menggeleng. "Ini film penculikan."
Apa kata-katanya tanpa sengaja" Atau cewek itu memang
menganggap seluruh kejadian hanya sebuah film" Reva penasaran.
Cewek itu benar-benar menganggap semua ini hanya pura-pura atau
apa" Mereka sinting! seru Reva sendiri. Mereka bertiga. Semuanya
sinting.
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menatap pistol dalam genggaman tangan Danny yang gemuk.
Sinting dan berbahaya. "Aku akan ke depan untuk menelepon Dalby," kata Diane
mengumumkan, mengakhiri percakapannya. "Lalu kita bisa pergi dari
sini. Pres, periksa lagi ikatannya. Pastikan mereka benar-benar terikat
erat. Kita akan menyumpal mereka kalau kita sudah siap untuk pergi."
Ia berjalan ke pintu, melangkah panjang-panjang, tergesa-gesa.
"Tunggu sebentar!" seru Pam.
Jeritannya mengejutkan Reva. Pam tidak mengatakan apa-apa
sejak tadi. "Tunggu sebentar, Diane," seru Pam. "Bebaskan aku sekarang.
Lepaskan aku." Diane berbalik di ambang pintu dan memandang Pam. "Tidak
bisa," katanya dingin.
"Hei, kau sudah berjanji!" jerit Pam melengking. "Lepaskan
aku. Ayo, Diane. Kau sudah berjanji. Kau sudah berjanji kalau aku
membantumu menangkap Reva, kau akan membebaskanku!"
Bab 30 Perjanjian Pam "HAH?" Reva tersentak syok. Ia berjuang keras untuk berpaling
memandang Pam, tapi usahanya memancing sengatan sakit yang hebat
di lengannya. Ia memicingkan mata memandang sepupunya. "Kau"
kau mengadakan perjanjian dengan mereka?" Suaranya lebih
terdengar syok daripada marah. Syok dan kecewa.
Pam menghindari tatapan mata Reva. "Tentu saja. Kenapa
tidak?" gumamnya. "Hei" Diane"tunggu!" panggilnya dengan putus
asa. Tanpa mengacuhkannya, Diane menghilang untuk menelepon.
"Ayo, guys! Lepaskan aku. Kalian sudah berjanji!" lolong Pam.
Pres dan Danny juga tidak mengacuhkan Pam. Mereka
meringkuk di sudut, berbicara dengan cepat dan pelan. Pres
memegang bahu Danny dengan satu tangan. Danny masih
menggenggam pistol peraknya di satu tangan.
"Kau membantu mereka?" jerit Reva tidak percaya, suaranya
berbisik melengking. "Tega sekali kau, Pam" Tega sekali?"
"Mudah," jawab Pam, sambil berbalik memandang Reva dan
mencibir. "Menurutmu mengapa mereka membebaskanku?"
"Karena kau... kau..." Reva begitu syok dan jengkel sehingga
kesulitan untuk berbicara.
Pandangan Pam menusuk ke mata Reva. "Kau sudah
mengecewakanku, Reva," katanya dengan pahit.
"Hah" Aku apa?" Reva merasa ruangan bagai miring kembali.
"Aku tidak mengerti, Pam. Kau sepupuku. Sulit dipercaya kau akan
setuju untuk..." "Kau tahu aku jatuh cinta kepada Victor," kata Pam, mata
hijaunya membara, ekspresinya tegang karena marah.
"Hah" Victor" Tapi..."
"Kau tahu aku jatuh cinta kepada Victor," ulang Pam sambil
mengertakkan gigi! "Dan kau tidak peduli. Kau tetap saja pergi
dengannya. Kau menemuinya dengan diam-diam. Kau tahu aku sangat
menyayanginya, dan kau menemuinya dengan diam-diam. Kau
mencoba untuk mencurinya. Kau..."
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Reva, dengan hati-hati tidak
mau membalas tatapan sepupunya.
"Jangan membohongiku," kata Pam memperingatkan. "Aku
tahu tentang hubunganmu dengan Victor. Begitu kau mengatakan dia
sudah membatalkan dua janji denganku, aku tahu. Aku hanya
memberitahukan salah satu janjinya. Kau tahu karena kau yang pergi
dengan Victor!" "Tapi, Pam, itu tidak serius!" kata Reva memprotes.
"Itu malah lebih buruk lagi!" jerit Pam.
"Hei"tutup mulut kalian," perintah Danny dari sudut, sambil
memelototi mereka. "Kalian ingin kusumpal sekarang?"
"Itu malah lebih buruk," ulang Pam dengan berbisik.
"Tapi, Pam..." "Kau berbuat begitu padaku, dan itu hanya semacam lelucon
bagimu?" bisik Pam melengking. "Hanya semacam lelucon biasa" Itu
lebih buruk lagi, Reva. Jauh lebih buruk."
Reva mengernyit kesakitan. Lengannya berdenyut-denyut lebih
hebat. Sakitnya menarik bagian belakang lehernya. Ia kesulitan untuk
memfokuskan pandangannya.
"Kenapa kau melakukannya, Reva?" tanya Pam. "Kenapa"
Kenapa kau ingin menyakitiku seperti itu?"
"Aku"aku tidak tahu," bisik Reva.
Aku benar-benar tidak tahu, pikir Reva. Aku tidak tahu kenapa
aku begitu ingin mencuri Victor. Itu hanya permainan, begitu saja.
Aku sebenarnya tidak tertarik padanya. Aku bahkan tidak begitu
menyukainya. "Sewaktu aku tahu," bisik Pam, mengalihkan pandangannya ke
Pres dan Danny yang masih meringkuk menempel ke dinding,
"sewaktu aku tahu tentang hubunganmu dengan Victor, aku ingin
membunuhmu, Reva. Sungguh."
"Aku... maaf," kata Reva, sambil menunduk.
"Lalu aku diculik. Karena dirimu. Karena kau boleh dikatakan
memaksaku untuk menggantikan giliranmu di gudang. Para
penculiknya tidak pernah menginginkanku. Tentu saja, mereka
menginginkanmu." "Aku tahu," jawab Reva, sambil memejamkan mata. "Aku
tahu." "Lalu ayahmu menolak untuk membayar tebusan apa pun
untukku," lanjut Pam dengan pahit. "Paman Robert tidak bersedia
mengeluarkan uang sesen pun untukku. Revanya yang berharga ada di
rumah dan segar bugar. Kenapa dia harus mengeluarkan uang untuk
aku, keponakan yang miskin?"
"Pam, sungguh...," Reva mencoba untuk menyela.
Tapi Pam telah membulatkan tekad untuk mengatakan semua
yang ingin dikatakannya. "Sewaktu ayahmu menolak untuk
membayar, saat itulah aku sadar kalau aku tidak akan rugi apa pun.
Aku... aku kecewa sekali, Reva. Dan sangat marah. Dan aku tidak
ingin mati. Jadi aku mengadakan perjanjian dengan mereka."
"Mereka menawarimu uang?" tanya Reva.
Pam memelototinya dengan marah. "Uang" Hanya itu yang
kaupikirkan bukan, Reva" Uang dan pacar cewek lain." Ia merengut.
"Tidak. Mereka tidak menawariku uang. Mereka tidak perlu berbuat
begitu." "Maksudmu..." Reva hendak bicara.
"Mereka menawarkan kebebasan padaku. Mereka menawari
untuk membiarkanku pulang dalam keadaan selamat"kalau aku
setuju untuk membantu mereka menangkapmu. Dan kupikir, kenapa
tidak" Kenapa aku tidak sesekali memikirkan diriku sendiri?"
"Tapi, Pam," kata Reva dengan suara gemetar, "aku sepupumu.
Aku keluargamu. Kenapa kau tega..."
"Kenapa kau tega?" sergah Pam dengan marah. "Lagi pula, aku
tahu tidak akan ada kejadian yang buruk. Paman Robert akan
kehilangan satu atau dua juta. Bukan masalah. Itu tidak berarti apa-apa
baginya. Dan kau"kau akan ada di rumah pada hari Natal nanti, di
depan pohon Natal dan ratusan hadiah yang diberikan ayahmu
padamu setiap tahun."
"Yeah, aku akan ada di rumah. Dengan lengan yang patah,"
gumam Reva. Pam melotot, tapi tidak berkata apa-apa. "Kau tidak peduli
padaku, jadi kenapa aku harus peduli padamu?" katanya pada
akhirnya. "Tapi kau"kau sudah mengkhianatiku!" jerit Reva.
"Tidak. Kau yang sudah mengkhianatiku," jawab Pam sedih.
Air mata menggenang di matanya. "Kau yang sudah mengkhianatiku,
Reva. Tahun lalu kau berjanji akan berubah. Kau berjanji kita akan
seperti saudara. Kau berjanji..." Suaranya pecah. Ia terisak marah.
"Sudah kucoba," jawab Reva pelan. "Sulit untuk berubah, Pam.
Sulit untuk..." "Aku tidak mau mendengarnya," sergah Pam. Air mata
mengalir di pipinya yang pucat. Ia mengangkat kepala memandang
Pres dan Danny. "Lepaskan ikatanku," teriaknya. "Ayo. Lepaskan
aku." Kedua bersaudara tersebut berpaling menatapnya, tapi tak satu
pun yang menjawab. "Aku mau pulang sekarang," kata Pam bersikeras, berjuang
menarik kabel yang mengikatnya ke kursi lipat. "Aku sudah
memberikan sepupuku. Sekarang bebaskan diriku. Kita sudah
berjanji." Danny menggeleng. Pres mencibir. "Seharusnya kau meminta
perjanjian tertulis," katanya sambil mencibir heran bercampur
gembira. "Lepaskan aku!" teriak Pam marah. "Lepaskan aku!"
"Hei"tutup mulut!" perintah Danny, maju beberapa langkah
mendekati kedua gadis itu.
"Tidak! Lepaskan aku! Lepaskan aku!" jerit Pam. "Aku akan
terus berteriak sampai kalian melepaskanku! Lepaskan aku!"
"Dia bisa memanggil satpam!" kata Pres memperingatkan
kakaknya, kepanikan merayapi matanya yang hitam.
Danny bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriak Pam terus-menerus
sekuat tenaga. Sambil mengerang marah Danny menarik tangannya ke
belakang"dan mengayunkannya sekuat tenaga, menampar pipi Pam
sekeras-kerasnya. Tamparannya begitu keras hingga terdengar bagai letusan
pistol. Kepala Pam tersentak ke belakang.
Kursinya miring dan hampir-hampir terbalik.
Danny membungkuk di atasnya, napasnya terengah-engah,
perutnya yang besar bergerak-gerak naik-turun.
Mata Pam terbelalak lebar. Kepalanya terkulai pada satu sisi
bahunya. Ia tidak mengatakan apa pun.
"Pam!" jerit Reva ketakutan. "Pam!"
Pam memperdengarkan suara menggelegak.
Lalu matanya terpejam dan kepalanya terkulai ke depan seakanakan telah tidak bernyawa.
Bab 31 Tidak Ada Jalan Keluar REVA melihat Pres membeku di dekat pintu. Danny terus
membungkuk di atas Pam, bernapas terengah-engah melalui mulutnya
yang terbuka. "Hei. Duduk yang tegak," perintah Danny kepada Pam. Ia
berbalik memandang Pres. "Aku tidak memukulnya sekeras itu."
"Bohong!" seru Reva. Ia tidak bisa melupakan derakan keras
yang tadi didengarnya. Sekali lagi ia melihat tangan Danny terayun
menampar, melihat kursi Pam miring hampir jatuh ke belakang,
melihat kepala Pam tersentak ke belakang.
Plak. "Duduk yang tegak," ulang Danny dengan marah.
Pam mengerang. Perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya.
Reva mendesah lega dengan suara keras. "Pam"kau baik-baik
saja?" Pam mengangguk dengan grogi. Pipinya tampak memerah
cerah, tempat tamparan Danny tadi mendarat.
"Aku tahu kalau tidak memukulnya sekeras itu," kata Danny
kepada Pres, butir-butir keringat berkilau di keningnya yang lebar.
"Aku hanya membuatnya tersentak."
Pres hendak menjawab, tapi Diane telah menghambur kembali
ke dalam ruangan. "Ada apa di sini?" tanyanya, sambil menatap Reva
dan Pam. "Tidak banyak," jawab Pres dengan cepat.
"Cukup tenang," kata Danny.
"Bagaimana hasilnya" Kau berhasil berbicara dengan Dalby?"
tanya Pres. Senyuman di wajah Diane menunjukkan kalau ia telah berhasil.
Ia memeluk Pres dengan riang. "Kita akan kaya, Sayang!" Mereka
berciuman. "Apa kau memberitahukan tempat dia harus meletakkan
uangnya?" tanya Danny dengan penuh semangat. "Kapan dia akan
memberikan uangnya?"
Diane berpaling menjauhi Pres. Senyumnya memudar. "Jangan
di depan mereka," katanya, sambil memberi isyarat kepada Reva dan
Pam. "Ayo. Kita bicarakan di luar."
Mereka memadamkan satu-satunya lampu yang ada,
meninggalkan Reva dan Pam dalam kegelapan. Lalu Pres dan Danny
mengikuti Diane ke lorong di luar. Pintu ruang penyimpanan ditutup
di belakang mereka. Reva mendengar mereka berjalan tidak jauh di
lorong. "Maafkan aku, Reva," kata Pam dengan suara pelan.
Reva menyadari kalau ia masih merasa grogi.
"Aku sungguh-sungguh menyesal," kata Pam lagi.
"Aku juga," kata Reva dengan tulus.
"Aku begitu bodoh," kata Pam, air mata mengalir di pipinya.
"Bagaimana aku bisa mempercayai mereka" Bagaimana aku bisa
mempercayai mereka?"
"Kau sedang marah," kata Reva dengan lembut. "Dan putus asa.
Mereka bisa saja membunuhmu."
"Sekarang apa?" bisik Pam.
Reva menelan ludah dengan susah payah. Tenggorokannya
terasa sekering kapas. "Entahlah." Ia mengerang kesakitan.
"Lenganku" benar-benar mati rasa. Tapi masih sakit setiap kali
kugerakkan." "Kita harus pergi dari sini," gumam Pam, sambil menatap ke
pintu yang tertutup. "Hah?" Reva menatap ke arahnya dalam kegelapan.
"Mereka sinting," kata Pam. "Terutama Danny. Mereka
mengatakan akan meninggalkan kita begitu saja di sini. Mereka
mengatakan tidak akan menyakiti kita. Tapi..."
"Menurutmu...?" kata Reva.
"Kau mendengar apa yang dikatakan Danny," lanjut Pam,
suaranya gemetar. "Dia ingin membunuh kita. Kita sudah melihat
mereka. Kita sudah mengetahui nama-nama mereka. Danny tidak
ingin ada saksi satu pun."
"Aku bisa mendengarnya di lorong," kata Reva, sambil gemetar
ketakutan. "Dia sedang berdebat dengan mereka," kata Pam, sambil
mendengarkan juga. "Mungkin berusaha untuk meyakinkan Pres dan
Diane. Untuk"untuk membunuh kita."
"Mungkin dia tidak akan menang berdebat," kata Reva.
"Mungkin dia menang," jawab Pam dengan muram. "Reva, kita
harus pergi dari sini."
Reva mendesah tak berdaya. "Pergi dari sini" Bagaimana
caranya" Kau punya mantra sakti?"
"Ikatanku tidak begitu erat," kata Pam. "Kurasa Pres sengaja
tidak terlalu keras padaku karena aku bekerja sama dengan mereka.
Atau mungkin dia mengacau."
Kedua bahunya bergerak naik-turun sewaktu Pam mulai
berusaha membebaskan tangannya di belakang kursi. "Kabelnya
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangat kendur," katanya, sambil berusaha menarik-narik tangannya
untuk membebaskan diri. "Menurutmu kau benar-benar bisa melepaskan ikatanmu?"
tanya Reva. Pam mengangguk. "Ku... rasa... bisa..."
"Tapi kalaupun kita berhasil melepaskan diri"lalu apa?" tanya
Reva, kepanikan terdengar dalam suaranya.
"Kurasa kita harus berusaha lari sekuat tenaga," kata Pam.
"Mungkin kita bisa mengejutkan mereka. Kau tahu, mengejutkan
mereka." "Berlari melewati mereka?" tanya Reva, sambil menatap pintu
yang tertutup. "Ada gunanya dicoba," gumam Pam dengan muram.
"Kurasa begitu," jawab Reva. "Pasti ada satpam di lantai ini.
Mungkin kita bisa menemukannya sebelum..."
Pam menyela dengan jeritan frustasi. "Ini memakan waktu lebih
lama dari dugaanku." Ia terus berjuang, mencondongkan tubuh ke
depan, lalu mencondongkan tubuh ke belakang, kedua bahunya
bergerak-gerak sementara ia berusaha membebaskan tangannya di
belakangnya. "Cepat," desak Reva. Ia bisa mendengar Danny dan yang
lainnya masih berdebat di lorong.
"Hampir berhasil," kata Pam, terengah-engah.
"Ini lantai lima. Aku kenal lantai ini cukup baik," kata Reva
padanya. "Kita pasti berada tepat di belakang Santa's World. Ada
banyak rak-rak tinggi berisi mainan. Banyak tempat untuk
bersembunyi." "Berhasil!" bisik Pam dengan penuh kemenangan. Ia
mengayunkan kedua tangannya ke depan dan membuang kabel yang
kendur. Lalu ia mulai mati-matian berusaha melepaskan ikatan kabel
di pinggangnya, kabel yang mengikat dirinya ke kursi.
Beberapa detik kemudian ia juga membuang kabel tersebut.
Sambil bangkit berdiri, ia merentangkan kedua lengannya melewati
kepalanya. "Ooh, badanku kaku sekali."
"Cepat. Bebaskan ikatanku," desak Reva. "Di lorong sudah
sangat tenang. Mereka bisa kembali setiap saat."
"Kuharap kau bisa berlari," bisik Pam, kedua tangannya
menarik-narik simpul kabel yang mengikat tangan Reva dengan matimatian. "Maksudku, kuharap sakitnya tidak terlalu buruk. Di
lenganmu." "Aku bisa berlari," kata Reva berusaha meyakinkan Pam,
pandangannya terpaku ke pintu ruang penyimpanan.
Dengan bekerja mati-matian dalam kegelapan, Pam berhasil
melepaskan kabel yang mengikat tangan Reva. Reva bergegas bangkit
berdiri. Ia menjerit akibat sakit yang menyengat di lengannya, lalu
bergegas menutup mulutnya untuk meredam suaranya.
Kedua gadis itu berdiri dengan kikuk di tengah-tengah ruangan.
"Sekarang apa?" bisik Reva.
Pipi Pam bengkak memerah. Matanya membelalak ketakutan.
"A"aku tidak tahu. Kurasa kita harus bersembunyi di dinding di
samping pintu. Sewaktu mereka masuk, mungkin mereka akan
berjalan melewati kita begitu saja"dan kita bisa berlari keluar."
"Bagus!" seru Reva, jantungnya berdebam-debam dalam
dadanya. Setiap detakan jantungnya terasa seakan-akan mengirimkan
gelombang sakit dari lengannya yang patah. Lengan tersebut
menjuntai seakan-akan telah mati di sisi kirinya. Ia menggigit bibir
bawahnya sekeras-kerasnya, berusaha untuk mengusir sakitnya.
Kedua gadis tersebut melangkah ke dinding"tapi berhenti
dengan tiba-tiba sewaktu pintunya membuka.
"Akan kubereskan mereka," mereka mendengar Pres berkata.
Kami tertangkap, Reva tersadar, membeku tanpa daya
dicengkeram ketakutan. Bab 32 Mayat-mayat Berjatuhan PINTUNYA setengah terbuka. Sebuah cahaya segi tiga yang
pucat menerobos masuk ke dalam ruangan.
Reva menatap dengan mulut ternganga, berdiri dengan kikuk,
menelan ludah dengan susah payah. Pam berdiri tepat di depannya,
juga membeku ketakutan. "Kataku aku yang akan membereskan mereka," seru Pres
dengan jengkel kepada kedua orang rekannya.
Membereskan mereka. Apa itu artinya" Reva penasaran.
Ia mendengar suara Diane dari lorong. Diane tengah
menanyakan sesuatu kepada Pres.
"Oke," gumam Pres.
Pintunya didorong menutup.
Pres tidak masuk ke dalam.
Reva ternganga menatap Pam. Tawa kecil terlontar dari
tenggorokannya. "Kita aman."
"Untuk saat ini," kata Pam, dengan cepat mendapatkan
ketenangannya kembali. Reva merayap sepanjang dinding, berhenti tepat di samping
ambang pintu. Pam mengikutinya tepat di belakang.
"Begitu pintunya terbuka lagi, kita lari keluar," bisik Reva,
sambil mengernyit kesakitan. Ia menyandar ke dinding pada
lengannya yang patah, dan sakitnya meraung bagaikan api yang
mengamuk. Pam mengangguk serius, mendengar percakapan yang
berlangsung antara ketiga orang penculiknya di balik dinding. "Kita
lari ke arah mana?" "Kanan," bisik Reva. "Ke arah Santa's World. Dan menjeritlah
sekeras-kerasnya. Mungkin kita bisa membangunkan satpamnya."
Pam menyentuh pipinya yang membengkak. "Shhh. Mereka
datang." Ia menghela napas dalam-dalam.
Dinding-dinding bagai memancarkan cahaya dan terguncang di
mata Reva. Seluruh ruangan berubah menjadi semakin terang, terus
bertambah terang sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Lantai
miring ke satu sisi, lalu miring ke sisi yang lain.
Jangan ketakutan, Reva, katanya marah pada diri sendiri. Kau
tidak akan pernah bisa lolos kalau kehilangan kendali.
Ia mendengar suara langkah-langkah kaki di lorong.
Pintunya mulai terbuka. Ini saatnya, pikirnya. Pres masuk ke dalam ruangan. Ia maju beberapa langkah,
menatap lurus ke kedua kursi lipat yang kosong.
Reva hanya sempat melihat mulutnya ternganga karena terkejut.
Ia mendengar napas Pres tersentak.
Lalu ia dan Pam melarikan diri.
Keluar melalui pintu. Memasuki lorong yang sempit.
"Hei..." Jeritan terkejut Danny menggema di lorong. Dia dan
Diane tengah bersandar ke dinding beberapa meter jauhnya. Mereka
tampak membeku, terkejut melihat kemunculan kedua gadis itu.
Sneakers Reva mencicit-cicit beradu dengan lantai berlapis
linoleum keras. Lengannya yang patah terayun-ayun menyakitkan
menghantam sisi tubuhnya. Ia terus menjulurkan lengannya yang
masih sehat ke depannya, seakan-akan sebatang alat penyodok.
"Tolong!" jeritnya. "Toloooong!"
Sakit menyengat tubuhnya saat ia berlari. Belok ke kanan. Ia
melesat melewati ruang-ruang penyimpanan yang gelap dan kosong.
Ia bisa mendengar suara Pam tepat di belakangnya.
"Hei"berhenti!" terdengar teriakan kemarahan Danny.
Reva berpaling tanpa mengurangi kecepatan. Danny dan Diane
berada tidak jauh di belakang mereka, Pres beberapa meter di
belakang mereka berdua. "Auw!" jeritnya sewaktu menubruk sebuah tong sampah logam
yang besar. "Oh!" Ia berputar mengitarinya. Tong sampah itu bergulir
dengan ribut ke arah para pengejarnya.
Reva menerjang ke lantai penjualan.
Suasananya begitu terang benderang. Dekorasi Natal berkilaukilau tertimpa cahaya lampu malam. Genta kecil keemasan dan perak
ada di mana-mana. Bola-bola Natal yang kemilau juga ada.
Seperti di dalam dongeng, pikirnya.
Hanya saja ini bukan dongeng.
"Tolong! Tolong kami"please!"
"Mereka akan menangkap kita!" jerit Pam tanpa bernapas.
"Berpencar!" jerit Reva. "Berpencar! Cepat!"
Ia melihat Pam berbelok, terjatuh, berhasil mendapatkan
keseimbangannya, dan memaksa diri menuju ke rak berisi sepatu bot
anak-anak. Reva terus berlari, berlari lurus, terengah-engah dengan
ribut untuk menghirup udara, dadanya terasa bagai mau meledak.
Ia berbelok. Lalu berbelok lagi. Ia merunduk rendah, berbelok
dan meliuk-liuk menyusuri labirin rak-rak dan lorong-lorong.
Ia tidak bisa melihat para pengejarnya. Apa ia berhasil lolos
dari mereka" Ia memasuki Santa's World. Semuanya berwarna merah, hijau,
perak, dan emas. Ia melewati sebuah gelondong kayu raksasa.
Melewati rusa-rusa yang menatap dengan bola mata kaca ke arahnya
sewaktu ia berlari. Melewati orang-orang kate yang berbaris seakanakan menunggu Santa turun dari takhta emasnya.
"Tolong! Please"tolong!" Reva berusaha untuk menjerit, tapi
suaranya terdengar bagaikan bisikan serak.
Di mana satpam bodoh itu" Mungkin di lantai ini memang tidak
ada satpamnya. Mungkin itu sebabnya para penculiknya memilih
lantai ini. Reva menyadari kalau tidak bisa berlari lebih jauh lagi.
Ia tiba di dinding, jalan buntu. Sambil tersentak ia mundur
selangkah. Lalu selangkah lagi.
Ke arah mana" Ke arah mana"
Ada tangan yang menyentuh punggungnya.
"Tidak!" Ia berbalik. Sinterklas tengah tersenyum kepadanya.
Reva telah mundur ke boneka Sinterklas.
Persis seperti dalam mimpiku, pikirnya sambil terengah-engah.
Ia mulai berlari lagi. Mengitari sebuah rak berisi sweter untuk
anak-anak. Ia masuk ke bagian mainan.
"Ke mana perginya?" Suara Danny, dari lorong yang jauh,
terdengar kebingungan saat mengejar Pam.
Mungkin Pam berhasil meloloskan diri, pikir Reva.
Ia menabrak sebuah boneka Kura-Kura Ninja berukuran besar
yang menjaga lorong dengan sikap mengancam yang bisu. Kepalanya
mengangguk-angguk dengan marah.
Reva melirik ke belakang. Dan melihat Pres di belakangnya,
matanya yang hitam memancarkan kemarahan seakan-akan hendak
membakar punggungnya. Diane dan Danny pasti mengejar Pam. Aku harus meloloskan
diri dari kejaran Pres. Tapi bagaimana caranya"
"Kau tidak akan bisa melarikan diri, Reva! Kau tidak bisa lari!"
Pres terdengar sama kehabisan napasnya seperti dirinya. Reva
melihat cowok itu tengah memegangi sisi tubuhnya. Pres pasti
kesakitan karena berlari.
Dengan satu dorongan yang kuat menggunakan lengannya yang
masih sehat, Reva mendorong boneka hewan yang besar tersebut ke
arah Pres. Ia mendengar Pres menjerit dan terjatuh.
Lalu Reva berbelok tajam ke kiri, merunduk di balik rak-rak
balok Lego yang tinggi, merunduk ke balik rak kaca mobil-mobil
mainan yang panjang, dan melompat ke lorong di luar bagian mainan.
"Tolong! Tolong aku!"
Ia berlari sepanjang lorong pakaian yang panjang dan berlikuliku.
Aku"aku tidak bisa bernapas, pikirnya. Aku tidak bisa
melangkah lagi. Aku... Ia bisa mendengar Pres di belakangnya. Ia tahu ia tidak boleh
menyerah sekarang. Dengan sisa tenaganya ia membelok di tikungan"dan lari
menabrak seseorang. "Oh!" Tidak. Bukan seseorang. Sebuah manekin. Manekin yang lain. Kali ini bukan Sinterklas.
Manekin wanita bermata lebar dengan rambut merah cerah,
mengenakan pakaian ski berwarna merah dan biru. Reva menjerit saat
sakit menyengat dari sikunya. Manekin tersebut terjatuh ke belakang
ke manekin yang lain, yang jatuh menimpa manekin berikutnya.
Reva melihat sederetan manekin.
Semuanya terjatuh ke belakang.
Seperti mayat, pikirnya. Dadanya naik-turun. Keningnya
berdenyut-denyut. Seperti mayat manusia. Tewas, secara bergiliran.
Ia ternganga ngeri sementara manekin-manekin itu
berdentangan menghantam lantai, membentuk tumpukan lengan dan
kaki, mata mereka yang tidak bernyawa menatap ke lampu-lampu di
langit-langit. Lalu sebelum ia sempat berlari lagi, sebuah tangan menyambar
bahu Reva dan mencengkeramnya erat-erat.
Bab 33 Selamat Tinggal REVA berputar balik. "Pam!"
Pam berpegangan pada Reva. Ia terengah-engah, dadanya naikturun. Rambut pirangnya yang basah menempel ke keningnya. Mata
hijaunya membelalak ketakutan.
"Aku"aku berhasil meloloskan diri dari mereka," katanya
terengah-engah. "Mana satpamnya?"
"Tidak ada," jawab Reva, pandangannya terarah ke lorong di
belakang Reva. "Kita jangan berdiam di sini. Kita harus turun. Ayo."
Mereka mulai merayap berdampingan, menyeberang dari
lorong ke lorong, tetap merunduk, waspada akan kehadiran para
pengejarnya. Mereka melewati bagian sepatu yang remang-remang. Melewati
rak berisi pakaian lari dan olahraga.
Reva menyadari kalau toko tampak jauh lebih besar saat kosong
seperti sekarang. Rasanya aku seperti sudah berlari berkilo-kilometer.
Mereka mendekati bagian belakang toko sekarang. Ia dan Pam
bertukar pandang sewaktu mendengar seseorang menjerit.
"Lewat sini! Sebelah sini!"
Reva mengenali suara Pres yang marah. "Diane"mereka di
sebelah sini!" "Mereka melihat kita!" jerit Pam.
Reva mulai berlari. "Terus," katanya, sisi tubuhnya sakit,
lengannya berdenyut-denyut.
Dinding belakang terlihat. Apa ini jalan buntu yang lain lagi"
Reva penasaran. Bukan. Dua buah lift karyawan tersebut berdiri tepat di balik sebuah
lorong sempit. Reva berlari ke dinding, terengah-engah menghela napas. Ia
menekan tombolnya. Apa liftnya berfungsi" Bisakah ia dan Pam
masuk ke sana" Bisakah mereka melarikan diri sebelum... sebelum...
"Tidak!" jerit Reva. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. "Pam"lewat
sini!" "Hah?" Pam terkejut, wajahnya memerah dan menggembung.
Lift di sisi kiri berdengung hidup. Pam menatap penunjuk lantai
di atasnya sementara anak panahnya perlahan-lahan mulai naik dari
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai pertama. "Liftnya datang!" bisik Pam. "Kita harus masuk ke
sana!" Tapi Reva menarik Pam menjauh. Mereka merunduk di balik
sebuah pilar bulat yang lebar, menekankan punggung mereka ke beton
yang dingin. "Lift-lift karyawan"keduanya rusak lagi," kata Reva kepada
Pam, berjuang untuk meredakan napasnya. "Aku ingat. Ayahku
mengatakan mereka masih belum tahu kenapa lift-lift itu sering
rusak." "Tapi"tapi mereka datang!" bisik Pam, sambil menyambar
lengan Reva lagi. "Mungkin kita akan beruntung," bisik Reva, sambil
mendengarkan suara langkah-langkah kaki yang mendekat. "Mungkin
Pres dan Diane akan mengira kita turun. Mungkin mereka akan
berusaha mengejar kita. Kau tahu, melompat masuk"dan jatuh ke
ruang bawah tanah." Wajah Pam memancarkan keragu-raguannya. "Reva"itu
mustahil. Kita tidak bisa..."
"Shhhh!" Reva mencengkeram mulut Pam dengan tangannya.
"Mereka datang. Diam"dan berdoalah."
Sambil menempel ketat ke pilar, kedua gadis itu mengawasi
Pres dan Diane berlari ke lift, berpaling ke sana kemari untuk mencari
di lorong-lorong. Pintu lift di sebelah kiri menggeser terbuka.
"Lewat sini!" jerit Pres, sambil memberi isyarat ke arah lift.
"Mereka turun. Ayo!"
Reva menahan napas dan menatap tajam, takut untuk bergerak,
takut untuk mengedipkan mata.
Pres dan Diane melompat masuk ke dalam lift yang gelap
tersebut pada saat yang bersamaan"dan jatuh ke kematian mereka.
Bab 34 Tamu Tak Diundang GUMAMAN pelan terlontar dari mulut Reva.
Ia menatap ke kegelapan lift yang terbuka, takut untuk
bergerak. Apa mereka telah lenyap" Apa mereka sudah benar-benar
lenyap" Apa mereka sudah jatuh hingga tewas, terempas di lantai ruang
bawah tanah" Ia mendengarkan. Sunyi. Kesunyian yang berat.
Lalu Reva tersentak saat Pres dan Diane melangkah keluar ke
lorong. Mereka tidak jatuh. Ia menyadari kalau hanya telah
membayangkannya. Aku mengharapkannya. Lift karyawan pasti sudah diperbaiki.
"Sebaiknya kita jangan panik dan bertindak bodoh," kata Diane
memarahi Pres. "Mereka tidak sempat untuk menggunakan lift turun
ke bawah. Kita berada tepat di belakang mereka."
Pres menyingkirkan rambut hitamnya dari keningnya dengan
menyentakkan kepalanya, marah. "Lalu di mana mereka?" tanyanya,
wajahnya merah padam, matanya yang hitam menyambar ke segala
arah dengan gugup. "Masih di lantai ini?"
"Yeah," jawab Diane.
"Hei"kalian ke mana?" panggil Danny yang berada beberapa
lorong jauhnya dari mereka.
"Di sebelah sini, Danny," kata Pres. "Terus cari. Mereka ada di
sini." "Menyebar," desak Diane, sambil bergegas kembali ke bagian
mainan. Reva terpaku menatap Pres. Pres masih berkeliaran di sana
selama beberapa detik, ia mencari-cari di lorong sepanjang dinding
belakang dengan pandangannya. Pintu lift bergeser menutup di
belakangnya. Ia melirik ke penunjuk lantai saat anak panahnya
bergerak kembali ke lantai pertama. Lalu, sambil memaki pelan,
wajahnya merengut marah, ia berderap mengejar Diane.
Reva dan Pam melangkah keluar dari tempat persembunyian
mereka. "Tidak berhasil," bisik Pam dengan muram.
Reva menggigit-gigit bibir bawahnya. "Siapa yang
memerintahkan orang-orang idiot itu untuk memperbaiki liftnya" Apa
mereka tidak bisa membiarkannya tetap rusak?" katanya marah.
"Sekarang apa?" tanya Pam, suaranya gemetar. Ia mengangkat
tangan dan dengan hati-hati menyentuh bengkak keunguan di pipinya.
"E"entahlah," kata Reva tergagap, membeku ketakutan.
"Mereka kembali ke bagian mainan," kata Pam, sambil
mengalihkan pandangannya ke lorong tengah yang panjang. "Jadi kita
mungkin masih sempat menggunakan liftnya untuk turun." Ia
melangkah maju dan menekan tombolnya.
"Mungkin," jawab Reva dengan tegang. Ia menengadah
memandang penunjuk lantai di atas kedua lift tersebut. "Liftnya turun
terus sampai ke lantai pertama."
Pam menekan tombolnya sekali lagi. Dan lagi.
"Kau tidak akan mempercepat lajunya dengan begitu," bisik
Reva. Ia kembali berpaling ke bagian mainan. "Shh. Aku mendengar
mereka. Oh, tidak! Kurasa mereka kembali!"
Dengan panik Pam menekan-nekan tombol lift yang berwarna
hitam itu. "Cepat. Cepat. Oh, please"cepat!"
Mereka berdua mengawasi anak panah di atas lift bergerak
perlahan-lahan ke atas. Dua... tiga...
"Itu Pres dan Diane!" jerit Pam. "Mereka akan menangkap
kita!" Empat... lima! Pintu lift di sebelah kiri mulai bergeser membuka.
Reva melirik ke belakang mereka. Pres dan Diane tengah berlari
menyusuri lorong tengah ke arah mereka.
"Cepat!" jerit Reva, sambil mendorong Pam ke pintu lift yang
tengah membuka. Pam terjatuh ke depan. Lalu berhenti.
"Oh!" jerit Reva saat seorang pria di dalam lift melangkah
mendekati mereka, menghalangi pintunya, menghalangi jalan mereka
untuk melarikan diri. Reva seketika mengenali pria itu. Ia mengenali kacamata
berlensa birunya, mantel hitam panjangnya.
Pria yang mengikutinya di mal.
Pria tersebut mengangkat tangannya yang terbungkus sarung
tangan hitam dan membidikkan sepucuk pistol hitam kecil ke arah
Reva. Bab 35 "Kalian Ikut Denganku"
MATA pria itu tersembunyi di balik kaca biru yang dingin,
wajahnya mengerut keras, ia dengan cepat melangkah keluar dari lift.
Pam melangkah mundur. Jeritan kebingungan terlontar dari
mulutnya. Sewaktu ia melihat pistol di tangan pria itu, mulutnya
ternganga kaget. Reva mendesah dengan suara keras dan bersiap-siap untuk
menyerah. Ia menyadari kalau pria ini bekerja sama dengan Pres,
Diane, dan Danny. Itu sebabnya ia mengikutiku hari Sabtu siang
kemarin. Tapi yang mengejutkannya, pria itu menerobosnya begitu saja.
Pria itu mengacungkan pistolnya dan berseru ke arah Pres dan
Diane, yang berdiri membeku di lorong, beberapa meter jauhnya,
dengan ekspresi terkejut di wajah mereka.
"Berhenti! FBI!" seru pria itu.
Reva dan Pam bertukar pandang tertegun.
FBI" pikir Reva. Pria itu tidak bekerja bersama para
penculiknya" Dia seorang agen FBI"
Dari mana dia tahu di mana harus mencari kami"
"Turunlah, girls," kata agen FBI tersebut memerintah, sambil
melambai memberi isyarat agar mereka turun dengan tangannya yang
bebas. Lalu ia mengejar Pres dan Diane.
Kedua orang penculik itu berbalik dan berlari, menghilang di
bagian mainan. Reva mendengar derakan keras. Ada yang menubruk
rak. "Berhenti!" ia mendengar agen itu berteriak kepada mereka.
"Kalian tidak bisa keluar! Ada temanku di bawah!" Ia menghilang di
balik tikungan. Reva mendengar suara langkah-langkah kaki yang lain.
Mendengar teriakan-teriakan marah.
"Su"sulit dipercaya," seru Pam sambil gemetar lega. "Kita"
kita akan baik-baik saja."
"Tapi dari mana dia tahu kalau kita ada di atas sini?" tanya
Reva. "Tidak penting," kata Pam, sambil memeluk bahu sepupunya.
"Kita baik-baik saja. Kita baik-baik saja sekarang." Ia menekankan
wajahnya yang panas ke pipi Reva. "Aku sungguh menyesal, Reva.
Sungguh, aku menyesal," katanya sambil terisak-isak.
"Pam"please"lenganku!" jerit Reva, mundur kesakitan.
"Oh. Maaf." Pam mundur selangkah, menghapus air mata
dengan jemarinya. "Aku begitu gembira karena sekarang sudah selesai
dan kita baik-baik saja."
"Apa yang sudah selesai?" tanya seseorang bersuara tegas.
Reva dan Pam berputar dan melihat Danny tengah berdiri di
lorong. Matanya membara marah memandang mereka berdua
bergantian. Ia bernapas dengan berat, perutnya bergoyang-goyang
naik-turun. Rambutnya yang hitam basah dan kusut menutupi
keningnya. Ia mengangkat pistol peraknya. "Kalian ikut denganku,"
katanya sambil mengertakkan gigi.
Ia menekan tombol lift dengan jarinya sekuat tenaga dan tidak
menarik kembali tangannya. Ia terus membidikkan pistolnya ke arah
Reva dan Pam. "Jangan mencoba-coba," kata Danny memperingatkan. "Akan
kugunakan pistol ini. Sungguh."
"Please...," Pam hendak bicara.
"Tutup mulut!" teriak Danny, ekspresinya tegang karena murka.
"Ini bukan gagasanku, kalian tahu. Aku hanya ingin mendapat sedikit
tambahan uang belanja, itu saja."
"Please..." Pam mengulangi permohonannya.
"Hanya itu yang kuinginkan. Sedikit tambahan untuk hari
Natal," kata Danny sambil menggeram. "Kalian tidak akan
merusakkannya! Tutup mulut"dan jalan! Kalian ikut denganku!"
Bab 36 Jeritan "AYO," perintah Danny. Ia mendorong Reva sekeras-kerasnya
ke lift. Reva menjerit karena rasa sakit yang hebat yang menyambar
dari lengannya yang patah.
Pintu lift di sebelah kanan bergeser membuka.
Sambil masih terentak-entak karena kesakitan, Reva berpaling
tepat pada saatnya untuk melihat Pam mencoba menyambar pistol
Danny. "Hei"!" jerit Danny marah, sambil menyentakkan pistolnya
dari cengkeraman Pam. Sambil menjerit keras Pam meraih lengan Danny, menariknya
ke belakang punggung, menyambar pinggangnya.
"Akan kubunuh kau! Akan kubunuh kau!" jerit Danny.
Ia dan Pam sekarang berguling di lantai, bergulat, saling
memukul, menjerit-jerit kesakitan dan marah, berputar-putar ke sana
kemari. "Oh!" erang Pam saat ia kembali mencoba meraih pistol cowok
itu. Danny mengayunkan tinjunya ke rahang Pam, dan luput. Pam
terus bertahan. "Dapat!" seru Pam. Sambil telentang di atas Danny, ia
mengacungkan pistolnya, lalu mencoba untuk melemparkannya
kepada Reva. Tapi Danny menjulurkan satu tangannya dan memukul jatuh
pistol tersebut. Pistol tersebut berdentang menghantam lantai,
meluncur hingga berhenti di kaki sebuah rak kaca.
Sambil menjerit putus asa Pam berjuang untuk berdiri dan
menerjang ke arah pistol itu.
"Simpan saja!" jerit Danny tanpa bernapas. "Aku pergi dari
sini!" Sambil mengerang keras ia melompat bangkit dan terhuyunghuyung masuk ke lift yang terbuka.
Reva memejamkan mata rapat-rapat. Ia mendengar Danny
menjerit sepanjang jalur lift ke bawah.
Jeritannya berakhir empat lantai di bawahnya dengan suara
debaman yang memuakkan. Reva tahu ia tidak akan pernah melupakan suara itu.
Bab 37 "Malam Kudus" PAM merosot ke rak kaca, pistolnya menjuntai di tangannya. Ia
menengadah memandang Reva, wajahnya memucat ngeri. "Ap-apa yyang terjadi?"
"Lift yang sebelah kanan," gumam Reva sambil menunjuk.
"Kurasa yang itu belum diperbaiki. Pintu-pintunya seharusnya tidak
membuka. Kotak liftnya masih ada di lantai satu. Hanya lift sebelah
kiri yang sudah diperbaiki. Hanya satu yang di sebelah kiri." Ia
menghela napas dalam-dalam, mendengar suara jeritan Danny
terulang dalam benaknya. Pistol itu terjatuh dari tangan Pam dan berdentang menghantam
lantai. Tidak satu pun dari keduanya yang berusaha untuk
mengambilnya. Pam menatap Reva dengan pandangan kosong, seakan-akan
tidak memahami apa yang baru saja terjadi, seakan-akan tidak ingin
untuk memahami atau mempercayainya.
"Itu salahku," gumam Pam.
"Tidak." Reva melangkah maju dan memeluk bahu sepupunya
yang gemetar untuk menghiburnya. "Tidak, Pam. Kau mungkin sudah
menyelamatkan nyawa kita. Dia ingin membunuh kita. Kau berani,
Pam. Sungguh." Pam menunduk dan tidak menjawab.
Lift di sebelah kiri terbuka, mengejutkan mereka berdua. Empat
orang agen FBI bermantel warna gelap, dengan pistol di tangan,
menghambur keluar. Wajah-wajah mereka tegang dan waspada.
"Kalian baik-baik saja?" tanya salah seorang di antaranya
kepada Reva. "Apa yang kaumaksud dengan baik-baik saja!" jawab Reva.
Pam mencibir dan meremas tangan Reva. "Masih tetap Reva
yang dulu," katanya.
Tidak berapa lama kemudian agen-agen itu telah kembali
bersama Pres dan Diane yang telah diborgol. Pres menerima kabar
tentang Danny dengan kengerian bisu. Ia mengernyit, seluruh
tubuhnya tersentak-sentak seakan-akan tersengat arus listrik. Tapi ia
tidak mengatakan apa-apa.
"Bukan akhir yang bahagia," gumam Diane dengan pahit
sewaktu ia dan Pres dibawa pergi.
Pria berkacamata biru memperkenalkan diri sebagai Agen
Barkley. "Kalian berdua harus segera ke rumah sakit," katanya tenang.
"Kami sudah mengabari orangtua kalian melalui radio untuk menemui
kalian di sana." Beberapa menit kemudian Reva dan Pam telah duduk di kursi
belakang mobil FBI kelabu sementara Agen Barkley
Fear Street - Malam Mencekam Ii Silent Night di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengemudikannya menuju ke Rumah Sakit Umum Shadyside.
"Aku tidak mengerti bagaimana kalian tahu di mana harus
mencari kami," kata Reva.
Agen Barkley berpaling dan tersenyum merendah. "Sebagian
berkat teknologi modern. Sebagian merupakan keberuntungan,"
jawabnya. "Hah" Ayo, ceritakan!" kata Reva bersikeras.
"Telepon di rumahmu memiliki alat yang akan menunjukkan
nomor peneleponnya," kata Barkley menjelaskan. "Kau tahu. Nomor
telepon orang yang meneleponmu."
"Yeah. Kami mendapatkannya dari perusahaan telepon
beberapa bulan yang lalu," kata Reva.
"Well," lanjut agen tersebut, "sewaktu para penculiknya
menelepon ayahmu untuk meminta uang tebusan, nomor telepon toko
yang muncul. Jadi kami seketika mengetahui kalau mereka menahan
kalian di toserba." "Tapi toko itu besar," kata Reva. "Kami bisa berada di mana
saja di sana." "Di situlah keberuntungan berperan," kata Barkley. "Aku dan
seorang agen lainnya masuk melalui bagian belakang toko. Kami
sama sekali tidak mengetahui di mana mereka menyembunyikan
kalian. Kami berpencar dan mulai mencari. Lalu aku melihat lift
karyawan mulai bergerak. Aku hanya kebetulan berada di tempat yang
tepat pada saat yang tepat. Kulihat lift itu berhenti di lantai lima. Aku
tahu kalian pasti ada di sana."
Ia membelokkan mobil memasuki gerbang rumah sakit dan
mengarahkan mobil ke bagian UGD. "Kugunakan lift untuk ke lantai
lima"dan kalian ada di sana," katanya. "Terkadang kami beruntung."
Reva mengerang akibat sakit yang menyengat di bahunya.
"Yeah. Ini hari keberuntunganku," katanya, sambil membelalakkan
matanya. Mobil berhenti. Agen Barkley melompat turun untuk membantu
kedua gadis itu turun dari kursi belakang.
Ayah Reva dan orangtua Pam tengah menunggu di pintu UGD.
Mereka berlari dengan penuh semangat.
Mereka berpelukan, berurai air mata.
Lalu sebuah mobil lain berhenti, sorotan lampu depannya
menyapu mereka semua. Victor melompat turun dari dalamnya,
membiarkan pintu mobil tetap terbuka dan mesinnya masih tetap
hidup. Mula-mula Reva mengira Victor berlari mendekatinya. Tapi
sewaktu Victor menuju ke Pam, menyambar lengannya, memeluknya
erat-erat dan berputar-putar, Reva menyadari kalau ia merasa lega.
Akhir yang bahagia bagi semua orang, pikirnya sambil
mendesah. Ia mengikuti semua orang masuk ke dalam rumah sakit.
Saat melangkah ke cahaya terang benderang lampu di ruang
tunggu, Reva berhenti. Apa lagu itu, lagu yang melantun dari pengeras
suara di atas meja depan"
"Malam Kudus." "Malam Kudus." Tentu saja.
END Panji Wulung 8 Pendekar Mabuk 067 Tapak Siluman Hantu Putih Mata Elang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama