Ceritasilat Novel Online

Nilai Akhir 2

Fear Street - Nilai Akhir Final Grade Bagian 2


Uncle Bob berkata suasana di toko siang tadi luar biasa sibuk, dan ia
mungkin akan menghabiskan sebagian besar waktunya malam ini
untuk menyiapkan resep-resep.
Lily mengambil tempat di balik meja kasir. Sejak peristiwa
perampokan itu, ia jadi takut bila berada di depan sendirian. Tapi
malam ini sibuk sekali, jadi ia tak sempat memikirkan rasa takutnya.
Rick muncul di toko obat itu pada pukul delapan malam.
Suasana sudah tenang, dan Lily mulai mengerjakan PR di sela-sela
kesibukan melayani pembeli.
"Hei, Lily." Rick berjalan gagah menghampiri meja kasir. "Apa
kabar?" "Baik-baik saja, Rick," jawab Lily, berusaha agar suaranya
tidak kedengaran tidak sabar.
"Kau sedang apa?" Rick meletakkan kedua sikunya di atas meja
kasir, berusaha melihat buku apa yang terbuka di pangkuan Lily.
"Aku sedang belajar," jawab Lily. "Dan aku masih punya
banyak tugas untuk dikerjakan, jadi kalau kau tidak keberatan..."
"Apa yang kaupelajari?" desak Rick ngotot.
"Bahasa Spanyol," jawab Lily. "Sekarang, please, Rick"
biarkan aku?" "Kau mendapat nilai jelek pada mata pelajaran itu, ya?" tanya
Rick lagi. "Yang nilainya B itu?"
"Itu mata pelajaran lain," tukas Lily. "Sekarang, Rick, sungguh
aku?" "Kau tahu, aku membaca berita tentang guru itu di koran,"
lanjut Rick. "Mr. Meiner itu..."
"Reiner," ralat Lily.
"Benar. Reiner. Orang yang kaukeluhkan itu. Ia tak mau
menuruti kemauanmu, bukan?"
Waktu Lily diam tidak menjawab, Rick merendahkan suaranya
menjadi bisikan. "Jadi apa yang kaulakukan, Lily" Mendorongnya
sampai jatuh" Kau tahu kan, untuk mendapat nilai ekstra?"
"Menjijikkan!" pekik Lily sambil menegakkan tubuh. Buku
pelajaran bahasa Spanyolnya terjatuh ke lantai, lalu ia membungkuk
untuk mengambilnya kembali. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Hei, tunggu. Jangan marah begitu, dong," ujar Rick. "Aku
cuma bercanda. Hanya menggodamu sedikit. Aku tidak bermaksud?"
"Begini, Rick, aku sibuk," sentak Lily ketus.
"Kapan kau tidak sibuk?" Rick terus saja mencondongkan
badannya di atas meja kasir, memandangi matanya. Tangannya terulur
untuk menyentuh rambut Lily. "Kenapa tidak kaulupakan saja PR-mu
ini dan keluar denganku malam ini" Kita bisa pergi ke mana saja
sesuai keinginanmu."
"Aku kan sudah bilang kalau aku sudah punya pacar," sergah
Lily. "Lagi pula aku memang tak punya waktu untuk pergi."
Dibukanya buku itu di pangkuannya, lalu menunduk menekuninya,
sengaja tidak menggubris Rick.
Rick menyambar tangannya.
"Hei"kau ini sombong atau apa" Aku cuma ingin mengenalmu
lebih dekat." "Tinggalkan aku!" teriak Lily marah. Ia meloncat turun dari
bangku dan berusaha melepaskan diri dari pemuda itu.
Rick menjauh dari meja kasir, kedua tangannya diangkat tanda
menyerah. "Hei, tunggu. Jangan ketakutan begitu. Aku tidak
bermaksud apa-apa." Ia mundur lagi selangkah.
"Pergi," bentak Lily.
"Jangan khawatir," kata Rick. "Hei, maaf. Kurasa aku terlalu
ngotot. Jangan katakan apa-apa pada pamanmu, oke" Aku
membutuhkan pekerjaan ini."
Lily membuka mulut untuk menjawab"tapi saat itu pintu ruang
belakang terbuka dan Uncle Bob muncul. "Semua baik-baik saja?"
tanyanya. "Siapa yang berteriak itu?"
Rick menatap Lily lekat-lekat dengan pandangan memohon.
"Tidak ada apa-apa, Uncle Bob," jawab Lily kemudian. "Rick
dan aku cuma bercanda."
*************************
Tepat pukul sembilan malam Lily meninggalkan pekerjaannya
dan bergegas ke percetakan untuk menemui teman-temannya.
Kejadian dengan Rick tadi masih terus mengganggu pikirannya.
Ada sesuatu yang mengerikan tentang Rick, putus Lily dalam
hati. Semalam ia yakin sekali bahwa Graham-lah yang selama ini
mengganggunya dengan telepon-telepon gelap. Sekarang ia tidak
terlalu yakin. Mungkinkah Rick pelakunya"
Percetakan itu terletak di tengah-tengah daerah industri kota
Shadyside. Tempatnya berupa gedung besar di sebuah blok bersamasama beberapa pusat bisnis lain. Semua gelap dan tertutup pada
malam hari, kecuali gedung percetakan itu.
Sebuah lampu jalan memancarkan sinar lampu kuning terang di
antara bayang-bayang hitam. Lily bisa mendengar suara angin
mengembuskan sampah di sepanjang jalan yang telantar.
Lily menyeberang menuju gedung percetakan. Pintu depannya
yang besar terbuka sedikit, dan seberkas sinar lemah bersinar di suatu
tempat di belakangnya. Lily mendorong pintu itu lebar-lebar. Bau tinta mesin cetak
memenuhi lobi yang gelap dan sepi. Didengarnya suara-suara pelan
dari bagian belakang gedung dan mengikuti arah datangnya suarasuara itu melalui lorong pendek yang menuju ke sebuah ruangan
besar. Di bawah sinar lampu-lampu yang terang benderang, Lily
melihat rangkaian mesin cetak yang besar sekali. Mesin itu hampir
satu blok panjangnya, dengan gulungan kertas yang besar sekali di
salah satu ujungnya. Lily menyipitkan mata menahan sorot lampu yang terang
benderang, mencari-cari teman-temannya.
"Hei"di mana kalian?" tanyanya keras-keras.
Ia mendengar suara gemuruh.
Gemuruh itu lalu berubah menjadi suara deruan yang keras.
Batu menggelinding" Salju longsor"
Tubuhnya membeku waktu di belakangnya terdengar seseorang
berseru memperingatkan. "Lily"awas!"
Serta-merta ia berbalik dan tepat pada saat itu ia melihat sebuah
menara gulungan kertas roboh ke arahnya. Saat itulah ia sadar bahwa
dirinya akan remuk tertimpa gulungan kertas itu.
9 DENGAN suara gemuruh memekakkan telinga, gulungangulungan kertas raksasa itu roboh menghantam lantai.
Lily menjerit. Berusaha lari menghindar.
Rasa sakit yang amat sangat menghunjam tubuhnya waktu
sebuah gulungan kertas yang berat menjepit sebelah kakinya.
Membuatnya jatuh terempas ke lantai.
"Tidaaak!" Jerit ketakutan menghambur keluar dari
kerongkongannya. Tanpa memedulikan rasa sakit itu, Lily merangkak
dengan kalang-kabut di lantai beton.
Dengan putus asa ia menerjang ke depan dan melemparkan diri
ke balik sebuah tiang baja. Dilihatnya gulungan-gulungan kertas yang
berat itu terpelanting dan terguling-guling melewatinya.
"Kau baik-baik saja, Miss?" Seorang pria setengah baya dan
berjenggot berlari-lari menghampirinya. "Gulungan-gulungan kertas
tadi tidak menghantammu, kan?"
Lily mencoba menggerakkan kakinya. Sakit tapi tidak ada yang
patah. "Saya"saya tidak apa-apa," jawabnya dengan suara gemetar.
Jantungnya berdebar keras sekali sampai-sampai ia nyaris tidak bisa
bernapas. Ia menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri,
lalu membiarkan pria itu membantunya berdiri. "Apa yang terjadi?"
Pria itu menggaruk-garuk kepalanya yang mulai botak.
"Gulungan-gulungan kertas itu mestinya tidak ditumpuk seperti itu.
Saya tidak mengerti." ebukulawas. blogspot. com
"Lily, kau tidak apa-apa?"
"Apa yang terjadi?"
"Kau tertimpa?"
Scott, Alex, dan Julie memberondongnya dengan pertanyaanpertanyaan bernada cemas.
"Aku tidak apa-apa," jawab Lily memberitahu mereka,
perasaannya mulai tenang. "Sungguh."
"Kau yakin kau tidak terluka?" Lily mengenali suara lain. Ia
menoleh dan melihat Graham berjalan mendekat. Senyum tipis
menghiasi wajahnya. Apakah ia benar-benar senang melihat aku hampir remuk"
Tidak. Lily menggeleng-gelengkan kepala untuk mengenyahkan
pikiran itu jauh-jauh dari benaknya. Tentu saja tidak. Kenapa aku
berpikir yang bukan-bukan"
"Aku baik-baik saja. Sungguh," ia meyakinkan mereka semua.
Disingkirkannya rambutnya yang hitam dan tebal dari dahinya yang
berkeringat. "Ini Mr. Jacobson, mandor jaga ayahku," kata Graham sambil
menunjuk pria berjenggot itu. "Ia membantu kita menyiapkan
pencetakan malam ini."
"Hanya saja sekarang kita terpaksa menundanya dulu sementara
aku membereskan kekacauan ini," erang si mandor jaga sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak apa-apa," sahut Scott. "Kapan kami bisa kembali ke
sini?" "Kami akan siap menerima kalian lagi besok," jawab Mr.
Jacobson. "Tapi saya harus meminta kalian agar berhati-hati.
Percetakan bukanlah taman rekreasi. Seperti yang kalian lihat sendiri
tadi, ini bisa menjadi tempat yang sangat, sangat berbahaya."
"Benar, Mr. Jacobson," timpal Scott setuju. "Terima kasih
banyak. Sampai besok."
"Aku tidak percaya kejadian tadi!" seru Julie begitu mereka
sampai ke bagian depan gedung. "Kau bisa tewas tadi, Lily."
"Aku tidak apa-apa kok," Lily meyakinkan sahabatnya. "Hanya
saja aku kecewa karena kita tak bisa melihat majalah kita dicetak."
"Sebenarnya, aku juga tidak yakin kita bisa mencetak malam
ini, bahkan walaupun tidak ada kecelakaan itu," ujar Alex pada Lily.
"Kami kesulitan menjalankan mesin cetak yang besar. Mr. Jacobson
bilang ia akan menjalankannya, tapi mesin itu tetap saja macet."
"Ia tidak tahu apa-apa," tukas Graham sambil bergabung
dengan teman-temannya di jalan depan. "Kadang-kadang memang
butuh waktu beberapa lama untuk menghidupkannya."
Lily meliriknya jengkel. Kenapa Graham tampaknya selalu
sangat yakin pada diri sendiri"
"Ayo, teman-teman," kata Scott. "Kita pergi ke Pete's Pizza.
Perutku keroncongan."
Lily ragu-ragu sejenak, ingatannya melayang ke PR-nya. Lalu
ia berpikir, Hei, aku nyaris tewas malam ini. "Ide bagus. Ayo kita
makan piza!" serunya.
***************************
Waktu ia sampai di rumah, sudah hampir pukul sebelas malam.
Melihat buku saja Lily sudah tidak sanggup.
Kontes trivia dijadwalkan akan berlangsung besok. Lily tahu
seharusnya ia mempelajari catatan-catatannya lagi. Tapi
membayangkan dirinya membaca sepatah kata saja ia tidak tahan.
Ia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Seru sekali hari ini,
pikirnya sambil menghela napas panjang. Kakinya berdenyut-denyut
sekarang. Ia yakin besok kakinya pasti memar. Paling tidak malam ini
tak akan terjadi apa-apa lagi, pikir Lily terkantuk-kantuk.
Telepon berdering. "Oh, tidak," gerutunya. "Apa lagi sekarang?" Dengan jantung
berdebar-debar, diangkatnya gagang telepon. "Halo?"
Ternyata suara bisikan itu lagi. "Lily" Kaukah itu?"
"Siapa kau" Apa maumu?" tanya Lily marah.
"Aku menginginkan apa yang kauinginkan," jawab suara
bisikan itu. "Dan aku akan membantumu, kalau kauizinkan. Please,
Lily, biarkan aku membantumu."
Lily membanting gagang telepon dan mencabut kabel telepon
dari kontaknya. Nah. Sekarang orang itu tak bisa menelepon lagi. Ia
tidak akan membiarkan anak kurang ajar itu"siapapun dia"
menganggunya lagi. Tapi lama setelah memutuskan hubungan telepon itu, suara
dingin itu masih terngiang-ngiang di telinga Lily.
Siapakah dia" tanyanya dalam hati. Siapa"
*************************
Saat Lily memasuki auditorium tempat berlangsungnya kontes
trivia esok siangnya, ia merasa penuh percaya diri dan tenang.
"Semoga berhasil," bisik Alex, mencium pipinya sekilas.
"Trims." Lily naik ke atas panggung dan mengambil tempat
bersama setengah lusin finalis lain.
Seperti yang sudah ia perkirakan, bagian pertama kontes itu
mudah saja. Tapi satu jam kemudian, hanya tersisa tiga kontestan"
Lily, Graham, dan Susie Dawson, seorang murid pindahan dari
sekolah lain. Yang bertindak sebagai moderator adalah Mr. Spencer, asisten
kepala sekolah. "Siapa nama wali kota Shadyside yang pertama?"
tanya Mr. Spencer pada Susie untuk mengawali babak pertanyaan
berikut, yang terpusat pada sejarah lokal.
Susie duduk di tempatnya, berpikir selama beberapa detik.
Akhirnya ia mengangkat bahu. "Tidak tahu," jawabnya sambil
mengembuskan napas. "Oke, kau boleh turun," kata Mr. Spencer. Susie turun dari
panggung sambil menggeleng-gelengkan kepala dan duduk bersama
para penonton. Mr. Spencer beralih pada Graham. "Tahukah kau siapa nama
wali kota Shadyside yang pertama?"
"Robert Briggs," jawab Graham cepat.
"Tepat sekali!" seru Mr. Spencer. "Selamat, Graham. Selamat
pada kalian berdua. Mari kita melangkah ke babak selanjutnya."
Lily memaksa diri untuk berkonsentrasi. Mengapa Graham
selalu berhasil masuk final dalam setiap perlombaan yang Lily ikuti"
Masa sih ia tidak bisa gagal sekali saja"
Lily melirik ke arah penonton lagi. Sebagian besar temannya
masih setia menonton, termasuk seluruh staf majalah The Forum.
Matanya berhenti pada wajah Alex, yang mengedipkan mata
padanya. Julie duduk di sebelahnya, dan di sebelah Julie, duduk Scott.
Dari wajah-wajah mereka Lily tahu bahwa mereka semua datang
untuk mendukungnya. Senang rasanya mendapatkan banyak
dukungan"terutama karena ia merasa amat meragukan beberapa
temannya setelah Mr. Reiner meninggal.
Mr. Spencer berhenti sebentar untuk mendiskusikan pertanyaan
dengan seorang guru lain.
Graham menoleh pada Lily. "Mengasyikkan bukan?" bisiknya.
"Lebih asyik daripada duduk-duduk di kelas."
"Yeah. Lumayan," sahut Lily. Apa lagi yang bisa ia katakan"
Mr. Spencer berdeham-deham, mengalihkan perhatian kembali
ke acara lomba. "Lily," katanya. "Para pemukim awal membangun
dua buah jembatan di atas Sungai Conononka yang masih berdiri
sampai sekarang. Apa nama jembatan-jembatan itu?"
"Jembatan River Road," jawab Lily, menyebut nama jembatan
yang pertama kali muncul di otaknya. "Dan jembatan... jembatan..."
Ia terpaksa berhenti sebentar. Akan lebih mudah berpikir
seandainya Graham tidak duduk sedemikian dekat dengannya. Ia
merasa panik waktu nama jembatan itu lenyap dari ingatannya. "Saya


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu namanya, saya tahu sekali," katanya. "Saya hanya tidak bisa..."
"Tidak perlu terburu-buru," kata Mr. Spencer dengan nada
menenangkan. "Yeah, pelan-pelan saja, Lily," bisik Graham sarkastis. "Kita
punya waktu seharian."
Lily merasa marah sekali sampai-sampai ingin benar rasanya
menjorokkan Graham dari atas panggung. Tapi amarah itu sekaligus
menjernihkan pikirannya. "Jembatan Mill!" ia menjawab.
"Benar!" Mr. Spencer menoleh kembali kepada Graham.
"Sekarang, pertanyaan berikutnya untukmu..."
Lily mengendurkan ketegangan dan mencoba menenangkan
diri. Kalau kau ingin memenangkan kontes ini, kau harus melupakan
Graham, katanya dalam hati.
Kedua kakak Lily memenangkan kontes trivia sekolah waktu
mereka duduk di kelas tiga. Becky malah berhasil mencapai babak
final tingkat negara bagian. Lily tahu ia sanggup menyamai prestasi
kakaknya itu"asal ia berusaha keras.
"Tepat sekali!" Mr. Spencer memberi selamat pada Graham atas
jawabannya yang benar tadi. "Kalian berdua hebat sekali. Mari kita
beralih ke babak pertanyaan berikutnya." Mr. Spencer mulai merogohrogoh ke dalam sebuah amplop manila.
"Omong-omong, Lily," bisik Graham. "Pagi tadi aku
memeriksa nilai rata-rata tengah semesterku di kantor. Coba tebak
bagaimana hasilnya?"
"Ssst!" sergah Lily, berusaha untuk tidak menggubrisnya. Masa
Mr. Spencer tidak lihat tingkah laku Graham itu" Masa ia tidak lihat
kalau Graham berusaha memorak-porandakan konsentrasinya"
Tapi sang moderator sedang sibuk mencari-cari daftar
pertanyaan berikut dalam amplopnya.
"Aku ini jenius atau bagaimana?" bisik Graham. "Sejauh ini
nilaiku A semua. Itu A lho, bukan A minus atau B plus."
"Hebat, Graham!" sahut Lily sarkastis. Ia merasa
tenggorokannya tercekat karena gelisah.
Dengan nilai A semua berarti Graham berhasil mengunggulinya
pada semester ini. Bahkan walaupun ia bisa menaikkan nilainya pada
mata pelajaran IPS, ia mungkin tidak akan mendapatkan lebih dari A
minus. "Bagaimana dengan kau?" desak Graham. "Ada minus atau plus
di nilaimu tidak?" "Kau ini menyimpan kartu nilai atau apa?" bentak Lily.
"Hanya mau mengobrol saja, kok," timpal Graham sambil
menyeringai memamerkan giginya.
Lagi-lagi Lily merasakan amarah menggelegak dalam dirinya.
Ia sadar bahwa bagi Graham, semua ini hanyalah permainan belaka. Ia
tidak membutuhkan hadiah beasiswa itu. Ia hanya ingin menjadi
lulusan terbaik untuk mengalahkannya. Lily takkan begitu marah
seandainya ia merasa kemenangan itu memang sangat berarti bagi
Graham. Ia menghela napas panjang dan menunggu pertanyaan
berikutnya. "Apakah pekerjaan utama para pemukim pertama kota
Shadyside?" Para pemukim pertama" Lily baru akan mulai menjawab petani.
Tapi kelihatannya kok terlalu gampang. Mungkin itu pertanyaan
jebakan. Untuk apa mereka mengajukan pertanyaan semudah itu pada
babak final" Di sampingnya, Graham bergerak-gerak gelisah di kursinya.
Mungkin yang dimaksud oleh pertanyaan itu adalah orangorang pertama yang pindah ke Shadyside setelah menjadi kota"
bukannya para pemukim pertama, pikir Lily.
"Railroad men," jawab Lily akhirnya.
"Maaf." Mr. Spencer menggeleng-gelengkan kepala. "Salah.
Bila Graham dapat menjawab pertanyaan itu dengan benar, ia yang
akan menjadi pemenang dan mewakili Shadyside dalam kontes tingkat
negara bagian." Perut Lily mengejang. Aku gagal! pikirnya merana.
"Itu sih gampang," kata Graham sombong. "Mereka bekerja
sebagai petani." "Benar sekali!" seru Mr. Spencer. "Selamat, Graham, kaulah
pemenang kontes trivia Shadyside High."
Graham berseri-seri bangga. Penonton bertepuk tangan. Ia
melambaikan tangan ke arah mereka, lalu menoleh ke Lily dengan
senyum tersungging. "Hei, semoga beruntung lain kali."
"Selamat," gumam Lily. Ia tidak sanggup menyaksikan senyum
puas yang bertengger di wajah Graham. Ia meloncat dari kursinya,
cepat-cepat berpaling, dan berlari menuruni tangga, keluar dari
auditorium. Bisa didengarnya Alex dan Julie memanggil-manggil namanya.
Tapi ia tak mau melihat mereka. Ia ingin dibiarkan sendiri.
"Semoga beruntung lain kali." Bagaimana Graham bisa menjadi
sangat menjengkelkan begitu"
Aku akan pulang berjalan kaki, putusnya dalam hati. Itu akan
memberiku kesempatan untuk menenangkan diri.
Sambil berjalan menjauhi sekolah, pertanyaan terakhir di kontes
trivia tadi terngiang kembali dalam benaknya. Bagaimana ia bisa
setolol itu" Jawabannya sudah jelas-jelas petani.
Sambil mengeluh Lily berjalan memasuki gang di belakang
deretan rumah-rumah. Gang itu merupakan jalan pintas yang
mengarah ke sebidang tanah lapang yang luas dan kosong.
Lily sudah setengah melintasi lapangan kosong itu ketika
menyadari di belakangnya terdengar langkah-langkah kaki. Ia
menoleh"dan melihat Rick berlari-lari menghampirinya.
"Lily! Hei"tunggu!" panggil cowok itu dengan napas megapmegap.
Lily bersandar di pagar berantai besi di pinggir gang dan
menunggu Rick. "Rick, dari tadi kau mengikuti aku, ya?" tuntutnya.
"Tidak. Mana mungkin," jawab Rick dengan napas tersengalsengal. "Aku selalu mengambil jalan pintas ini kalau kebetulan berada
di daerah ini. Aku sedang mengantarkan pesanan dan melihatmu."
Lily meneruskan langkah. Rick mengikuti.
"Aku tidak melihat bungkusan apa-apa," tukas Lily curiga.
"Aku baru saja mengantarkan pesanan terakhir," jawab Rick.
"Kau tidak keberatan kalau aku menemanimu jalan kan?"
Lily ragu-ragu, perasaannya terhadap Rick masih tidak
menentu. "Oke," sahutnya setuju. "Tapi aku tidak punya banyak
waktu. Aku harus pulang."
Rick nyengir. "Oh. Ada perubahan rupanya," sindirnya
sarkastis. "Biasanya kau selalu punya banyak waktu untukku."
Lily memaksa diri untuk tertawa. Mungkin sebenarnya Rick ini
lumayan juga, pikirnya. Sambil berjalan berbarengan, Rick berbicara tentang
pekerjaannya di toko obat. "Aku senang bekerja di tempat pamanmu.
Gajinya sih tidak seberapa, tapi Uncle Bob memperlakukan aku
dengan sangat baik." Ia melirik ke samping. "Kau pendiam sekali hari
ini. Bagaimana sekolahmu?"
Apa pedulinya" pikir Lily. Ia toh tidak sekolah. "Mengapa kau
ingin tahu?" tanya Lily.
"Entahlah," jawab Rick sambil mengangkat bahu. "Kukira
mungkin aku bisa membantumu, entah bagaimana."
Mendengar kata-kata itu tubuh Lily membeku. Kata-kata itulah
yang dibisikkan oleh si penelepon gelap.
Ia berbalik menghadapi Rick. "Kaukah yang selama ini
meneleponi aku malam-malam?"
Pemuda itu menjawab tanpa ragu. "Ya," jawabnya.
10 "TERNYATA kau pelakunya! Sudah kuduga!" teriak Lily.
"Kau meneleponku, lalu menutupnya?"
"Benar," Rick mengakui. "Aku selalu menutup telepon sebelum
kau mengangkatnya. Aku tidak berani bicara denganmu."
"Jangan bohong, Rick!"
"Aku tidak bohong," jawab pemuda itu ketus. "Aku
meneleponmu dua kali. Pada kedua kesempatan itu, aku membiarkan
telepon berdering dua atau tiga kali, lalu menutupnya. Sumpah."
Lily berdiri, memelototinya. "Aku tidak percaya," katanya
dingin. "Mulai saat ini, jangan ganggu aku, oke?"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Lily menghambur ke arah
Dawson Street. Ia berlari terus sampai yakin Rick sudah tertinggal
jauh di belakangnya. ************************ Waktu Lily belajar malam itu, ia menunggu-nunggu telepon
berdering. Tapi tidak ada telepon dari siapa pun.
Saat naik ke tempat tidur, ia merasa lebih yakin sekali bahwa si
penelepon gelap itu memang Rick. Aku senang aku tadi
mengkonfrontir anak itu, pikirnya. Sekarang ia tidak akan
menggangguku lagi. Di sekolah keesokan harinya, dilihatnya murid-murid
berkerumun di depan papan pengumuman besar yang tergantung di
sebelah kantor kepala sekolah.
Lily mendesak maju. Daftar ranking nilai tengah semester
sudah dipasang. Seperti yang telah diramalkan Graham, ia bertengger
di tempat teratas"dan Lily menduduki ranking kedua.
"Oh, wow!" erang Lily pada diri sendiri. Matanya tidak lepaslepas memandangi daftar ranking itu, seolah-olah dengan begitu
angka-angkanya akan berubah.
Mrs. Burris akhirnya memberinya nilai A minus. Tapi nilai itu
tidak cukup untuk membendung Graham yang mengumpulkan nilai
rata-rata sedikit di atas Lily.
Ini tidak adil! kata Lily dalam hati sambil bergegas ke kelas
untuk mengikuti pelajaran pertama. Di setiap semester, ia mengambil
mata pelajaran yang lebih sukar daripada yang diambil Graham. Tapi
hal itu tidak diperhitungkan dalam penyusunan daftar ranking.
Sepanjang sisa hari itu, Lily berusaha mengenyahkan daftar
ranking itu dari benaknya. Tapi sampai usai rapat majalah yang
dilangsungkan sehabis jam sekolah, hanya daftar ranking itu yang
terus diingatnya. Begitu Lily memasuki ruang rapat, Alex menyerahkan seberkas
kertas-kertas. Lily hampir lupa kalau Scott merencanakan untuk
mencoba mencetak majalah lagi malam ini di percetakan. Semua staf
diminta memeriksa naskah untuk melakukan perubahan-perubahan
akhir. "Kurasa aku menemukan kesalahan dalam esaimu, Lily," ucap
Alex. "Kelihatannya ada satu baris yang hilang di paragraf kedua.
Bagaimana menurutmu?"
Lily menelaah halaman itu dengan cepat. Kelihatannya tidak
ada kekeliruan. "Kelihatannya tidak apa-apa," bentaknya.
Alex tersentak seperti disengat kala. "Aku cuma mau
membantu. Kenapa sih, kau?"
"Maaf, Alex," jawab Lily. Mendadak ia merasa ingin menangis.
Dengan susah payah ditahannya air matanya. "Aku tidak bermaksud
begitu. Ini gara-gara daftar ranking itu."
Dipalingkannya wajahnya. Ia tidak ingin ada yang melihat
matanya yang basah. "Bagaimana aku mengatakan pada orangtuaku
Graham-lah yang akan menjadi lulusan terbaik" Mereka pasti akan
kecewa sekali padaku."
Scott berjalan menghampiri meja editing. "Masih banyak waktu
sebelum akhir semester, Lily," kata cowok itu dengan suara pelan.
"Keadaan bisa berubah, lho."
Lily menggelengkan kepala dengan muram. "Ini sudah pasti.
Graham yang akan menjadi yang terbaik"kecuali mendadak ia tidak
lulus atau jatuh dari tebing atau semacamnya."
"Menjadi nomor dua kan tidak jelek-jelek amat," sela Julie.
"Teman-temanmu tidak akan peduli. Kurasa orangtuamu tidak akan
semarah yang kaukira. Sungguh, kurasa begitu."
"Kau tidak mengerti, Julie!" jerit Lily melengking. "Tidak ada
yang mengerti!" Ia menghambur keluar ruangan dan berlari di lorong
sekolah menuju kamar kecil.
Bagaimana caranya memberitahukan hal ini pada Mom dan
Dad" tanyanya dalam hati sambil menyenderkan diri ke wastafel dan
mengamati wajahnya yang terpantul dalam cermin.
Bagaimana harus kukatakan pada mereka"
*****************************
Malam itu tidak banyak yang datang ke toko obat sehingga
Uncle Bob mengizinkan Lily pulang cepat.
Sambil mengemasi buku-bukunya, Lily memutuskan pergi ke
percetakan untuk melihat majalah sekolah dicetak. Setelah meledak di
rapat tadi, ia merasa malu bertemu teman-temannya. Ia ingin minta
maaf pada mereka. Dari luar, percetakan tampak gelap gulita. Sehelai kertas dengan
tulisan tangan terpancang di pintu depan dengan pesan berbunyi,
"Akan kembali pukul 21.30, M. Jacobson."
Lily melirik jam tangannya. Jam menunjukkan pukul setengah
sembilan lewat sepuluh menit. Kurasa aku kepagian, pikirnya.
Diputarnya kenop pintu, lalu dibukanya.
Aneh, pikirnya. Kenapa Mr. Jacobson membiarkan pintu depan
tidak terkunci" Ia masuk, lalu menyalakan lampu kecil di atas meja di ruang
resepsionis. Mungkin aku bisa menunggu di sini dan menyelesaikan
PR-ku, pikir Lily. Ketika meletakkan ranselnya di meja, terdengar suara
dengungan yang terus menggemuruh dalam gedung itu. Lily
memandang berkeliling. Itu pasti suara mesin cetak, pikirnya.
Mungkin mereka akhirnya jadi juga mencetak majalah sekolah.
Di bagian belakang gedung, matanya menangkap sinar lampu
yang redup. "Mr. Jacobson?" panggilnya.
Tidak ada jawaban. Ia melangkah memasuki sebuah ruangan besar, tempat mesin
cetak yang besar. Ia berjalan mendekat, dan suara dengungan itu
terdengar makin keras. Ia mendengar bunyi gerabak-gerubuk dan
berkeletak. Lily terkejut ketika melihat mesin cetak itu ternyata dalam
keadaan berjalan. Gulungan kertas raksasa terbuka dengan cepat, dan masuk ke
sela-sela besi gilasan. Mesin cetak raksasa itu menggemuruh dan
berkeletak-keletak. Suaranya memekakkan telinga.
Sambil menutup kedua telinganya rapat-rapat, Lily berjalan
mendekat, berharap dapat melihat halaman-halaman majalah
meluncur keluar dari mesin besar itu.
Tapi waktu ia mencondongkan badan ke depan, sesuatu yang
hangat dan basah memerciki wajahnya.
"Hei"!" Diusapnya pipinya.
Lalu diamatinya tangannya dengan bingung. Noda merah.
Tinta merah" Mengapa mereka mencetak majalah sekolah
dengan tinta merah" Lily mengusap noda itu lagi dari pipinya. Dan mengamatinya
lagi. Bukan, ia sadar. Ini bukan tinta merah.
Ini darah. 11 "TIDAAAKKK!!!" Lily berteriak ngeri ketika cairan merah yang hangat itu
menyembur ke wajahnya dan membasahi bagian depan kausnya.
Dari mana datangnya cairan ini" Dari mana"
Dari mesin yang berputar itu"
Dengan rasa takut yang semakin memuncak, Lily mengusap


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darah itu dari wajahnya. Kakinya melangkah lebih dekat lagi ke mesin
cetak itu. Tunggu. Mesin itu tidak berjalan seperti yang dikiranya tadi. Roda
penggulung kertas yang besar itu macet karena tertahan sesuatu.
Tertahan oleh... tertahan oleh...
"TIDAAAKKK!" jeritan serak Lily bergema di pabrik yang
luas itu. Roda penggulung kertas itu tertahan oleh kepala dan bahu
manusia. Kepala Graham. Bahu Graham.
"Graham"!" panggil Lily dengan suara tercekik. "Kau masih
hidup" Kau masih hidup?"
Ia bergerak ke belakang mesin cetak. Disentaknya pinggang
Graham. Ditariknya dengan membabi buta.
"Kau masih hidup" Graham" Kau masih hidup?"
Lily menarik dan menarik terus badan Graham yang lunglai dan
berlumuran darah itu. Satu kali sentakan kuat"dan roda penggulung kertas itu
bergerak perlahan. Berputar pelan. Perlahan.
Dan tubuh Graham terbebas.
Tubuh Graham jatuh ke lantai. Wajahnya yang kosong tak
bernyawa dan berlumuran darah melotot ke arah langit-langit.
Aku... tidak bisa... bernapas... Lily menyadari.
Aku... tercekik... tercekik... tidak bisa bernapas....
Kakinya terasa lemas tak bertenaga, lalu tubuhnya tersungkur
ke lantai. ****************************
Lily membuka mata. Alex menunduk menatap tubuh Graham di
sampingnya. Bahu pemuda itu terguncang hebat.
Lalu ia menjerit. Scott dan Julie berada tepat di belakang Alex. Lily mendengar
mereka berteriak penuh kengerian dan shock.
Lily bangun dan duduk. Rupanya aku tadi pingsan, pikirnya.
Berapa lama aku tergeletak di sini"
Scott berlari untuk menelepon polisi. Julie berjongkok di dekat
mesin cetak, menangis tersedu-sedu di samping saudara sepupunya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" gumam Alex. "Bagaimana
Graham bisa terperangkap ke dalam mesin cetak itu?"
Ia menunduk, memandangi Lily. "Dan bagaimana kau sampai
terkena cipratan darah itu?"
Lily mendongak membalas tatapannya, berjuang keras
mengeluarkan suara. Apa yang terjadi" tanyanya pada diri sendiri. Pertama Mr.
Reiner, dan sekarang Graham. Mengapa orang-orang yang dikenalnya
ini mendadak meninggal"
Mengapa" ****************************
"Kau tak mau makan?" tanya Mrs. Bancroft esok harinya saat
sarapan. Lily menggeleng. Ia masih terguncang. Kematian Graham yang
mengerikan terus menghantuinya sepanjang malam.
"Makanlah sedikit," desak Mrs. Bancroft. "Setelah mengalami
hal yang mengerikan itu, penting bagimu untuk tetap makan, Sayang.
Supaya kau tetap kuat."
Lily menyurukkan sendoknya ke dalam mangkuk berisi sereal
granola yang renyah, memaksa dirinya makan beberapa suap. Lalu
didengarnya suara mobil Alex memasuki halaman.
"Sampai nanti, Mom," katanya. Ia berdiri dan meletakkan
mangkuk yang masih penuh itu ke bak cuci. "Aku harus pergi."
Sebelum ibunya sempat memprotes, Lily cepat-cepat
menciumnya dan menyambar ranselnya.
"Selamat pagi," sapa Alex waktu Lily duduk di jok depan.
Cowok itu mencondongkan badan dan memeluknya. "Bagaimana
perasaanmu?" "Entahlah," jawab Lily muram. "Kau sendiri bagaimana?"
Tidak seperti biasanya, kali ini wajah Alex tampak pucat dan
ada lingkaran hitam di bawah matanya, seakan-akan ia juga kurang
tidur. "Begitulah," gumamnya.
Dalam perjalanan ke sekolah Lily memejamkan mata, mencoba
untuk rileks. Tapi yang bisa diingatnya cuma kejadian semalam dan
pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di otaknya.
Bagaimana Graham bisa terperangkap ke dalam mesin itu"
Apakah itu kecelakaan" Tampaknya polisi berpendapat
demikian. Ataukah ada orang yang bertanggung jawab atas kematian
Graham" Kerongkongan Lily serasa tercekik waktu ia teringat pada hari
sebelumnya, waktu membaca pengumuman daftar ranking.
Waktu itu ia marah sekali. Kecewa berat. Waktu itu ia ingin
sekali membunuh Graham. Ini semua salahku, pikirnya. Kalau aku tidak mengharapkan
Graham mati... Tangisnya pecah dan Alex meliriknya. Pemuda itu meremas
tangannya. "Semua ini gara-gara aku," tangis Lily. "Aku sangat
mencemaskan nilai tolol itu. Dan sekarang Graham meninggal."
"Lily." Alex menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan konyol.
Kau tidak bisa menyalahkan dirimu sendiri atas kejadian ini. Kata
polisi Graham mungkin berdiri terlalu dekat dengan mesin cetak.
Walaupun kau memang tidak terlalu menyukainya..." Suara Alex
menghilang. Lily memandang Alex dari sela-sela air matanya. Ia tahu Alex
berusaha meyakinkan dia. Tapi ia melihat kilatan ragu berkelebat di
mata cowok itu. Terdengar keras bunyi klakson, mengagetkan Lily. Alex
memaki-maki waktu sebuah mobil yang penuh berisi segerombolan
anak menyalip dan memotong jalan di depan mereka.
Lily mengenali mereka. Anak-anak kelas tiga. Teman-teman
Graham. Salah seorang dari mereka menunding ke arah Lily dan Alex.
Yang lain menoleh dan memandangi mobil Alex dari kaca jendela
belakang. Lily menundukkan kepala. Teman-teman Graham mungkin
mengira peristiwa itu kesalahanku, pikirnya, sekujur tubuhnya
mendadak terasa dingin. Mungkin mereka mengira aku membunuh Graham supaya bisa
menjadi lulusan terbaik. Begitulah yang dikira orang waktu mereka
mendengar akulah yang menemukan Graham.
Aku juga yang menemukan Mr. Reiner sebelum ini...
Sepanjang sisa perjalanan, Lily tetap meringkuk di kursi mobil
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Di depan gedung sekolah, ia
cepat-cepat mencium Alex, lalu bergegas lari ke kelasnya.
Dalam perjalanan, Lily lewat di depan kantor kepala sekolah,
matanya tertuju pada daftar ranking. Pikiran itu melintas dalam
benaknya: Sekarang aku yang nomor satu. Aku akan menjadi lulusan
terbaik. Dulu kenyataan itu akan membuatnya melompat-lompat
kegirangan. Sekarang ia hanya merasakan kekosongan dan ketakutan.
***************************
Langit berwarna kelabu kelam. Gerimis membasahi lantai beton
saat Lily menaiki tangga gereja berdinding bata merah, tempat
upacara pemakaman Graham diselenggarakan. Embusan angin dingin
menerpa jaket linen hitamnya sampai terbuka. Dirapatkannya jaket itu
erat-erat, lalu bergegas masuk ke dalam gereja.
Semerbak wangi bunga yang menyesakkan napas memenuhi
ruangan tempat Lily berdiri dalam antrean untuk mengisi buku tamu.
Ibu Julie dan beberapa kerabat Graham lainnya berdiri di alcove(ruang
kecil di dalam gereja) dengan mata merah karena kebanyakan
menangis. Hampir semua bangku sudah terisi penuh waktu Lily masuk ke
kapel. Ia mengambil tempat di gang, di sebelah seorang wanita gemuk
yang tidak dikenalnya. Ia mengenali beberapa teman sekolahnya yang
duduk di bangku-bangku gereja dengan wajah khusyuk, beberapa di
antaranya menangis terisak-isak dengan wajah ditutupi saputangan.
Di bagian depan ruangan terdapat sebuah peti mati putih
berukuran panjang, dengan tumpukan bunga kuning dan putih. Lily
menatap peti itu sampai pandangannya kabur oleh air mata. Kematian
Graham serasa tidak nyata" lebih mirip mimpi buruk daripada
kenyataan yang menyedihkan.
Organ mulai melantunkan musik yang menyayat hati dan
bertempo lambat. Lalu pendeta berdiri. Setelah memimpin doa
pendek, ia mulai berkhotbah tentang hidup di tengah kematian dan
tragedi kehidupan seorang anak muda yang direnggut saat sedang
mekar-mekarnya. Kemudian para pelayat diundang untuk berjalan melewati peti
mati yang sudah tertutup rapat di depan ruangan. Baris demi baris
mereka berdiri, lalu berjalan pelan ke gang tengah, menuju tempat peti
mati itu berada, dan kemudian kembali ke bangku masing-masing.
Saat tiba giliran deretan Lily, ia memaksa diri untuk berdiri.
Kedua kakinya bergetar hebat sampai-sampai ia tak yakin bisa berdiri.
Ia berusaha keras berjalan mengikuti wanita gembrot itu dan para
pelayat lain ke depan, ke tempat peti mati itu.
Semakin dekat ke peti mati itu, kakinya bergetar semakin hebat.
Aku menyesal, Graham, batinnya. Aku menyesal sekali.
Memang benar aku tidak menyukaimu. Tapi aku tidak pernah, tidak
pernah menginginkan peristiwa seperti ini terjadi.
Wanita gembrot itu berdiri di depan peti mati. Ia menundukkan
kepala dan komat-kamit sebentar, lalu meneruskan langkahnya.
Sekarang giliran Lily. Waktu ia mendekati peti mati itu, telinganya menangkap bunyibunyian tajam dan berkeriut-keriut.
Perlahan-lahan tutup peti terbuka.
"Tidak!" jerit Lily sambil mundur selangkah.
Tutup peti itu terbuka makin lebar, makin lebar, sampai ia bisa
melihat ke dalamnya. Di atas alas satin putih, terbaring sosok pucat dan kaku yang
dulunya adalah Graham. Jenazahnya terbungkus dalam setelan jas
hitam. Wajah Graham dirias tebal. Kedua pipinya berwarna pink cerah.
Tapi sisanya tampak bernuansa hijau mengerikan. Sebelah matanya
menjorok ke dalam. Dilihatnya mayat Graham perlahan-lahan bangkit dan duduk.
Sambil mengeluarkan erangan menakutkan, mayat itu
mengacungkan jari tangannya yang panjang dan kurus ke arah Lily.
Bibirnya yang kering dan ungu terbuka perlahan, merobek
jahitan yang menutup mulutnya. ebukulawas.blogspot.com
Bola matanya yang menguning berputar di rongga matanya
yang melesak ke dalam. "Itu dia!" seru mayat itu dengan suara serak. "Itu dia orangnya!"
12 LILY tak mampu bergerak. Tak mampu menjerit.
Bibir ungu mayat itu menutup tanpa suara. Tapi Graham tetap
mengacungkan jari pada Lily dengan tatapan menuduh.
Dengan mulut ternganga penuh kengerian, Lily melihat wajah
mayat itu mulai berubah. Garis-garis wajah Graham tampak meleleh.
Seluruh tubuhnya melebur menjadi lapisan putih mengilat yang
melapisi bagian dalam peti mati.
Lily menutup wajahnya dengan tangan. Waktu ia membuka
mata, peti mati itu tertutup rapat.
Ia mengerjapkan mata. Sekali. Dua kali.
Ia sadar bahwa sejak tadi peti mati itu selalu tertutup. Adegan
mengerikan tadi hanyalah khayalannya semata.
Dengan badan yang serasa lumpuh tak bertenaga, Lily
meneruskan langkah, kembali ke kursinya. Ia nyaris tidak mendengar
apa-apa sepanjang sisa acara kebaktian.
Mengapa aku merasa bersalah atas kejadian yang menimpa
Graham" tanyanya berulang kali.
Memang benar aku ingin menjadi murid nomor satu di kelas,
tapi aku tidak pernah menginginkan hal seburuk itu terjadi padanya.
Benarkah itu" Setelah kebaktian dan upacara pemakaman, semua pelayat
diundang ke rumah Julie untuk minum kopi dan makan kue. Lily takut
berhadapan dengan kerabat dan teman-teman Graham. Tapi ia tahu ia
harus hadir. Julie sahabatnya. Ia harus ke sana"demi Julie.
Lily mengeluh. Baru beberapa tahun yang lalu Julie kehilangan
kakaknya. Sekarang Julie yang malang juga kehilangan saudara
sepupunya. Waktu Lily sampai di rumahnya, Julie berdiri bersama kedua
orangtuanya dan orangtua Graham di depan pintu, menyambut
kedatangan para pelayat. Baik ibu Julie maupun ibu Graham
mengusap-usap mata mereka dengan saputangan.
Lily memeluk kedua pasang orangtua itu dan menyampaikan
rasa dukacitanya. Lalu ia mendekati sahabatnya. "Aku ikut sedih,
Julie," bisiknya. Julie menyunggingkan senyum sedih sekilas, lalu cepat-cepat
berbalik untuk berbicara dengan tamu lain.
Lily tersentak ke belakang bagai ditampar. Mengapa Julie
bersikap sedingin itu" Apakah ia juga menyalahkannya"
Lily berjalan ke meja tempat minuman dihidangkan. Ia berharap
bisa lari pulang dan kabur dari orang-orang asing ini sekaligus
melarikan diri dari rasa bersalah yang menggumpal di dadanya.
"Hai, Lily." Scott berdiri di depannya.
"Oh, hai, Scott," Lily balas menyapa, gembira melihat wajah
yang bersahabat. "Kurasa Julie sedang sedih sekali," kata cowok itu dengan suara
lembut. Lily menatapnya sebentar. Apakah Scott tadi melihat sikap Julie
yang dingin padanya itu"
Sewaktu Lily berdiri sambil bercakap-cakap dengan Scott,
dilihatnya ibu Graham dan seorang ibu lain berjalan menghampiri
meja makan. "Ia anak yang tampan sekali," Lily mendengar wanita itu
berkata. "Kau dan Robert pasti sangat bangga pada Graham."
Mrs. Prince mengangguk. "Kami sangat beruntung. Graham
anak yang baik. Dan ia sangat bersemangat menghadapi segalanya"
menyelesaikan highschool, menjadi lulusan terbaik...." Suaranya
tersendat, dan ia berusaha keras untuk tetap tegar. "Aku... aku tidak
percaya ia sudah tiada."
Lalu tatapan mata Mrs. Prince berkelebat ke tempat Lily berdiri
bersama Scott. Matanya menghunjam ke arah Lily. Lily tersentak ke
belakang tanpa sengaja, menumpahkan sedikit limun jahenya ke
kemeja Scott. "Oh! Maaf!" seru Lily.
Tapi Scott tidak memedulikan cairan yang membasahi kemeja
putihnya. "Ada apa, Lily?" tanyanya lembut. "Kau baik-baik saja?"
Lily menggeleng, tak mampu mengatakan apa-apa. Lalu ia
mundur, menyambar jaketnya dari lemari penyimpanan di ruang
depan, dan berlari keluar dari rumah itu.
Hujan masih turun, tapi Lily nyaris tidak menyadarinya. Ia


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlari dengan tatapan gelap, menabrak genangan demi genangan air
hujan di pinggir jalan sampai mencapai tangga depan rumahnya.
Disentaknya pintu depan sampai terbuka dan menghambur naik ke
kamar tidur. Lily melempar tubuhnya ke tempat tidur dan menangis keraskeras, lama sekali.
"Semoga ini hanya mimpi," bisiknya berulang kali. "Ini tidak
mungkin terjadi pada diriku."
Akhirnya Lily kehabisan air mata. Ia duduk dan meraih tas
tangan hitam yang dipinjamkan ibunya untuk menghadiri pemakaman.
Dibukanya tas itu, mencari-cari tisu untuk mengeringkan air matanya.
Di dalam tas tangannya, Lily merasakan sesuatu yang keras dan
tajam. Aneh, pikirnya. Ia tidak ingat pernah memasukkan sesuatu
yang keras dan tajam ke dalam tas itu.
Dituangkannya isi tas ke atas tempat tidur. Matanya melotot
kaget melihat benda keras yang tergeletak di kasur.
Di atas alas tempat tidurnya yang putih tergeletak kacamata
hitam bergagang tanduk. Kacamata Graham. Kacamata yang dipakai Graham waktu terakhir kali Lily
melihatnya dalam keadaan hidup.
13 LILY terpekik dengan suara serak dan melempar kacamata itu
ke dinding. Bagaimana kacamata itu bisa masuk ke dalam tasnya" Siapa
yang memasukkannya ke sana" Mengapa"
Sekujur tubuh Lily gemetaran.
Ada yang memainkan lelucon keji, katanya dalam hati.
Bruk! Lily terlonjak, menyadari bahwa itu bunyi pintu depan
dibanting. Apakah orangtuanya sudah pulang" Tidak. Sekarang belum
waktunya ayahnya pulang kerja. Ibunya pergi ke dokter siang ini.
Tadi aku mengunci pintu tidak, ya" Lily bertanya-tanya dalam
hati. Sepulangnya dari pemakaman tadi, ia menghambur ke lantai atas
dalam keadaan kalut, jadi ia tidak yakin akan hal itu.
Ia mendengarkan baik-baik.
Langkah-langkah kaki. Suara gedebak-gedebuk langkah orang m?naiki tangga, satu
demi satu. "Siapa itu?" tanyanya dengan suara lemah.
Ia langsung terduduk dengan waspada di sudut tempat tidur.
"Siapa itu?" ulangnya.
Tidak ada jawaban. Dan kemudian sesosok tubuh yang sudah akrab di matanya
muncul di ambang pintu. "Scott!" teriak Lily dengan perasaan lega. "Kau membuatku
takut setengah mati! Kenapa tidak mengetuk pintu?"
"Sudah," jawab Scott. "Tapi tidak ada yang membukakan.
Pintunya terbuka sedikit, jadi aku lantas masuk." Pemuda itu
menyipitkan mata, mengamati wajah Lily. "Kau baik-baik saja, Lil"
Kau tergesa-gesa pergi dari rumah Julie tadi."
"Aku sudah agak baikan," jawab Lily. Ia berdiri. "Hei, kau baik
sekali mau datang untuk melihat keadaanku."
"Aku khawatir," ujar Scott memberitahu.
Dugaan Alex tentang Scott ternyata benar, pikir Lily. Scott
memang benar-benar ingin menjadi lebih dari sekadar teman biasa
baginya. Lily sadar ia merasa senang. Sekarang ia sedang membutuhkan
orang yang sayang dan tidak curiga padanya.
"Aku"aku hanya tidak tahan lagi. Di rumah Julie, maksudku,"
kata Lily terbata-bata. Scott berjalan melintasi ruangan. Ia membungkuk dan
memungut sesuatu yang terjatuh di lantai dekat dinding. Lalu ia
menoleh kepada Lily dengan mimik bingung.
"Ini kacamata Graham," katanya sambil memandangi Lily.
"Aku tidak tahu bagaimana?" Lily mulai berkata.
"Jangan khawatir, Lily," cowok itu memotong kata-katanya.
"Ini akan menjadi rahasia kita."
"Kau tidak mengerti, Scott," protes Lily. "Aku tak tahu dari
mana asalnya kacamata itu. Aku menemukannya di dalam tasku, tapi
bukan aku yang memasukkannya ke sana. Kau harus percaya padaku!"
"Tenanglah, Lily." Scott masih tetap memandanginya dengan
tatapan tajam, mengetuk-ngetukkan kacamata itu ke telapak
tangannya. "Kau harus percaya padaku, Scott!" Lily berkeras. "Bukan aku
yang memasukkannya ke sana!"
"Aku tahu," sahut Scott pelan.
Pemuda itu maju beberapa langkah, matanya terpaku menatap
Lily. "Aku tahu bukan kau yang memasukkan kacamata ini ke dalam
tas," bisik Scott. "Aku yang memasukkannya."
14 "HAH" Kau apa?" jerit Lily tercengang. "Kau yang
memasukkan kacamata itu ke dalam tasku" Omong apa kau ini,
Scott?" Scott akhirnya menurunkan tatapannya. Ia maju selangkah lagi
mendekati Lily. "Aku serius dengan ucapanku," kata Scott pelan.
"Aku yang memasukkan kacamata itu ke dalam tasmu, Lily. Aku
melakukannya waktu di rumah Julie. Aku ingin kau menemukan
kacamata itu." Lily terduduk di tempat tidurnya, kepalanya pusing karena
bingung. Omong apa sih dia" Mengapa ia melakukan hal itu"
"Tapi dari mana kau memperoleh kacamata itu?" tuntut Lily.
"Mengapa kau ingin aku menemukannya?"
"Supaya kau tahu apa yang telah kulakukan," jawab Scott. "Jadi
kau tahu segalanya yang telah kulakukan untukmu."
Seketika tubuh Lily menjadi dingin. "Melakukan apa?"
tanyanya dengan suara gemetar. "Melakukan apa untukku?"
Scott mengerutkan kening. Ia menggeleng-gelengkan kepala
dengan sikap tidak senang. "Kusangka kau sudah tahu," katanya,
menghantamkan kacamata itu ke telapak tangannya yang terbuka.
"Aku melaksanakan keinginanmu. Aku membunuh Graham
untukmu." "Oh, tidaaak," erang Lily.
"Oh, ya!" Scott menimpali. "Aku membunuhnya. Gampang saja
kok, sungguh. Aku mendapat ide itu setelah kecelakaan yang
menimpa Mr. Reiner. Sederhana sekali bukan, membuat kematian
seolah-olah kecelakaan?"
"Scott, kau tidak tahu apa yang kaukatakan," protes Lily dengan
suara gemetar. "Oh, ya, tentu aku tahu." Wajah Scott berseri-seri bangga.
"Setelah Mr. Reiner meninggal, aku mulai berpikir. Aku tahu
kesempatanmu untuk menjadi lulusan terbaik jadi lebih banyak."
Ia mulai berjalan mondar-mandir di depan tempat tidur,
memutar-mutar kacamata itu di tangannya. "Hanya saja ada Graham.
Anak itu brengsek sekali, selalu saja bersaing denganmu. Jadi malam
itu aku menyuruhnya menemuiku di percetakan jam sembilan malam.
Aku tahu mandor jaganya selalu pergi makan malam pada jam itu."
"Dan kemudian?"" tanya Lily.
"Waktu Graham sampai di sana, aku mengatakan padanya ada
yang tidak beres dengan mesin cetak itu. Aku bilang mesin itu macet.
Ia membungkuk untuk melihat, dan aku mendorongnya sampai ia
terjatuh ke sana." "Tidak"please!" pekik Lily.
"Kecelakaan biasa terjadi setiap saat, Lily. Ingat kecelakaan
yang menimpamu"waktu gulungan-gulungan kertas itu roboh dan
nyaris menewaskanmu" Masa sekarang orang tidak percaya bahwa
Graham juga mengalami kecelakaan di sana" Hanya sayangnya, ia
tidak terlalu beruntung, ya?"
"Hentikan!" teriak Lily. Ia tidak ingin mendengarnya lagi.
Ditutupnya kedua telinganya dengan tangannya supaya tidak
mendengar suara Scott lagi.
"Dengarkan aku!" teriak Scott. Direnggutnya kedua tangan Lily
dan dijauhkannya dari telinganya. "Jangan menutup telingamu! Kau
yang paling menginginkan Graham mati daripada anak-anak lain!
Akui saja!" Waktu Lily tidak menjawab, Scott menambahkan dengan suara
pelan, "Aku melakukannya untukmu, Lily."
Air mata mengalir membasahi wajah Lily saat ia menatap
cowok itu dengan tatapan mengerti. Scott telah membunuh Graham.
Dan ia melakukannya untuknya.
"Mulanya aku tidak tahu bagaimana mengatakannya padamu,"
cerita Scott, masih memegangi pergelangan tangan Lily. "Lalu aku
mendapat ide untuk memasukkan kacamata itu ke dalam tasmu. Aku
tahu kau akan berterima kasih sekali padaku waktu menyadari apa
yang telah kulakukan untukmu."
"Berterima kasih?" ulang Lily lemah.
"Ya," jawab Scott senang. "Soalnya, tidak ada yang mau
melakukan hal semacam itu untukmu. Tidak ada orang lain yang
sayang padamu seperti aku."
Lily bergidik. "Bagaimana kau bisa mengira aku ingin kau
membunuh Graham" Bagaimana kau bisa berpikir begitu?"
"Itu sudah jelas, kok," jawab Scott. "Semua tahu Graham itu
saingan utamamu. Lagi pula, aku bisa menerka keinginanmu yang
sesungguhnya waktu kita bicara di telepon."
"Apa maksudmu?" tanya Lily. "Kita tidak pernah berbicara di
telepon." "Sering kok, waktu aku meneleponmu malam-malam itu."
Lily terkesiap. "Kau pelakunya" Jadi kau penelepon gelap itu?"
"Aku senang mendengar suaramu." Scott mengaku dengan pipi
merah. "Aku tahu kau terjaga sampai tengah malam, belajar. Kau
selalu tekun belajar. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku bisa
menerka bahwa kau sedih. Dan itu semua gara-gara Graham."
"Tapi itu bukan urusanmu," bentak Lily. "Itu urusan Graham
dan aku." "Rupanya dari tadi kau tidak mendengarkan aku, ya?" bentak
Scott. "Aku melakukannya untukmu. Karena aku ingin kau senang.
Karena aku sayang sekali padamu, Lily." Napas Scott memburu,
wajahnya merah padam, dan matanya liar serta penuh semangat.
"Aku"aku cinta padamu," bebernya.
Lily merasa perutnya mual. Scott mencintainya" Itukah
sebabnya ia membunuh Graham"
"Sejak dulu aku selalu mencintaimu," sambung Scott penuh
nafsu. "Sejak SD, kaulah satu-satunya yang kusayangi."
"Sejak SD?" ulang Lily. "Kenapa kau tak pernah mengajakku
berkencan?" "Aku tidak pernah berani," aku Scott. "Kau selalu saja punya
pacar. Beberapa bulan belakangan ini aku cemburu sekali pada Alex.
Tapi itu sudah berakhir sekarang."
Ia gila, Lily menyadari saat memperhatikan Scott berbicara. Ia
benar-benar tidak waras. Aku harus mencari pertolongan, pikirnya dalam hati. Aku harus
menemukan cara bagaimana mengalihkan perhatiannya sementara aku
memanggil polisi. "Maafkan aku, Scott. Aku tak pernah tahu kau punya perasaan
seperti itu terhadapku," kata Lily hati-hati, otaknya berputar keras.
"Selama bertahun-tahun, aku menunggu saat yang tepat untuk
mengatakannya padamu," kata Scott. "Dan sekarang aku senang
sekali. Karena sekarang kita bisa bersama-sama."
Lily menahan diri supaya tidak muntah. "Well, aku senang kau
akhirnya mengatakan ini padaku." Ia berdiri dengan badan gemetar.
"Mau ke mana kau?" tanya Scott langsung curiga.
"Aku"aku"aku hanya mau turun sebentar," jawab Lily. "Aku
haus. Mau minum soda?"
"Aku ikut," sahut Scott. "Sekarang karena kau sudah tahu hal
yang sebenarnya, aku tak mau kita berpisah lagi, bahkan walau
sebentar sekalipun."
Lily memaksa diri tersenyum waktu berjalan mendahului Scott
ke dapur. Ia harus memikirkan cara lain untuk menyingkirkan pemuda
itu. Ia membuka pintu kulkas dan mengambil dua kaleng CocaCola. "Ini," katanya sambil menyodorkan kaleng-kaleng itu pada
Scott. "Buka kaleng-kaleng ini sementara aku mengambil gelas dari
ruang makan." Tanpa menunggu jawaban, Lily menyelinap ke ruang makan
dan langsung menuju pesawat telepon di ruang keluarga. Tangannya
gemetar waktu ia menekan dua angka pertama nomor telepon 911.
Ia sudah hampir menekan angka terakhir waktu tangan Scott
menyambar pergelangan tangannya lagi. "Apa yang kaulakukan,
Lily?" tuntutnya. Matanya berkilat marah.
"Aku hanya... hanya menelepon," jawab Lily.
"Kau menelepon polisi, kan?"
"Tidak, aku?" "Jangan bohong padaku, Lily!" bentak Scott. "Ingat, aku kenal
kau lebih daripada orang lain. Aku tahu kapan kau berbohong. Kau
tidak yakin pada cinta kita, kan?"
"Aku-aku?" Scott menarik Lily jauh-jauh dari pesawat telepon dan memutar
kepalanya supaya menghadap ke arahnya. "Aku tahu ini semua masih
sangat baru bagimu. Kau belum mengerti, tapi nanti kau akan
mengerti." Ia membungkuk semakin dekat, lalu mencubit wajah Lily.
"Jangan sekali-sekali punya pikiran seperti itu, Lily!" katanya
memperingatkan. "Jangan pernah berpikir untuk menyerahkan aku ke
polisi. Ingat"aku sudah pernah membunuh satu kali!"
15 LILY ternganga lebar. Sekujur tubuhnya gemetar ketakutan.
Aku takkan dapat melepaskan diri dari dia, pikirnya.
Scott menarik tangan Lily dan menggandengnya keluar dari
dapur, lalu menyodorkan sekaleng soda padanya.
"Santai saja, Lily," ujar Scott. "Minum soda ini dan tenangkan
dirimu. Segalanya telah berubah sekarang, mengerti?"
Lily mengangguk. Semua memang telah berubah. Hidupnya
tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi.
"Sekarang sudah kujelaskan padamu alasanku membunuh
Graham," sambung Scott santai. "Aku melakukannya untukmu. Aku
melakukannya karena kau ingin aku melakukannya"walaupun kau
tak mau mengakuinya."
"Aku tidak mau kau melakukannya!" tukas Lily dengan suara
melengking. "Oh, aku lebih tahu, Lily," balas Scott tersenyum. "Aku tahu
segala-galanya tentang kau. Aku tahu semua yang kaupikirkan. Kau
masih berpikir hendak menelepon polisi, bukan?"
Lily tidak menjawab. Ditatapnya Scott, ditatapnya matanya
yang liar serta wajahnya yang penuh semangat.
"Itulah yang kaupikirkan," ujar Scott. "Aku tahu memang itulah
yang kaupikirkan. Tapi lupakan saja. Kau tidak bisa menyerahkan aku
ke polisi. Karena kalau kaulakukan itu"hidupmu akan hancur."
"Apa maksudmu?" tanya Lily dengan suara tercekik.
"Pikirkan saja," jawab Scott datar. Dihirupnya Coca-Cola-nya
banyak-banyak. "Kalau kau mengatakan apa saja pada siapa saja
mengenai hal ini, akan kukatakan pada mereka bahwa ini gagasanmu.
Akan kukatakan bahwa kau dan aku merencanakannya bersamasama."


Fear Street - Nilai Akhir Final Grade di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak mungkin akan berkata begitu!" tangis Lily.
"Terpaksa," timpal Scott. "Dan semua orang akan percaya. Lagi
pula, kau punya motif. Dengan matinya Graham, kau akan menjadi
lulusan terbaik. Selain itu, banyak orang juga sudah beranggapan
bahwa kau membunuh Mr. Reiner."
"Scott, kau bercanda!" Lily terkesiap kaget. "Tidak ada yang
benar-benar percaya bahwa aku tega membunuh guruku dan Graham
hanya demi menjadi lulusan terbaik."
Scott mengangkat bahu. "Kaulah yang menemukan jenazah
mereka. Lihat, apa itu bukan kebetulan namanya?" Scott berhenti
sejenak, tampak jelas ia menikmati efek kata-katanya itu terhadap
Lily. "Dan aku juga bisa memberitahu bagaimana aku menemukan
kacamata Graham di kamar tidurmu."
"Tidak!" pekik Lily. "Akan kusembunyikan kacamata itu. Akan
kuhancurkan. Akan?" "Percuma saja," geram Scott. "Kacamata itu ada padaku
sekarang, dan aku akan menyimpannya sebagai jaminan. Tapi aku
tidak membutuhkan jaminan, bukan" Kau takkan memberitahu siapasiapa, iya kan, Lily?"
Lily menggigil. Bagaimana reaksi orangtuanya nanti kalau Scott
sampai melaksanakan ancamannya" Dan memberitahu polisi bahwa
Lily seorang pembunuh"
Hati ayahnya akan remuk redam. Dan ibunya telah cukup lama
menderita stroke. Kabar seperti ini akan membuat ibunya hancur,
bahkan mungkin bisa membuatnya meninggal.
Tapi kau tidak bersalah! Sebuah suara di dalam hati Lily
berteriak. Jangan biarkan ia melakukan ini terhadapmu!
Lalu terdengar suara lain yang lebih tegas, membantah, tidak
penting kau bersalah atau tidak, Lily. Orang-orang akan tetap percaya
pada Scott. Orang-orang memang ingin percaya bahwa kau
membunuh Mr. Reiner dan Graham.
"Aku harus memikirkannya dulu," gumam Lily dengan
perasaan pusing dan bingung.
"Baiklah," kata Scott. "Aku mengerti bahwa kau sekarang
sedikit bingung. Tapi, Lily, ingat. Aku melakukannya untukmu. Aku
melakukannya supaya kita bisa bersama-sama." Cowok itu
mengulurkan tangan dan membelai rambut Lily dengan lembut.
Lily menghindar. Sentuhan Scott membuatnya jijik.
"Aku butuh waktu, Scott," kata Lily padanya. "Pergilah
sekarang. Aku ingin menyendiri."
"Baiklah," kata Scott tenang. "Aku akan pergi dulu. Tapi jangan
lupa, Lily. Kau berutang budi padaku. Kau berutang segala-galanya
padaku." Scott berjalan ke pintu depan. Lily tidak menoleh.
Apa yang akan kulakukan" Apa yang akan kulakukan"
Ia duduk di dapur, memelototi jam yang tergantung di atas
perapian, memandangi jarum panjang bergerak perlahan tanpa suara.
Apa yang akan kulakukan" Apa yang harus kulakukan"
Pertanyaan itu terus muncul dalam benaknya.
Jarum panjang terus bergerak. Satu jam berlalu. Lalu dua.
Ia masih belum mendapatkan jawaban.
******************************
"Siapa yang dapat menyebutkan nama presiden Peru?"
Mrs. Burris berdiri di depan kelas, matanya berkeliling
memandangi murid-muridnya. "Tidak ada?" Matanya mengarah pada
Lily. "Lily, bagaimana dengan kau?"
"Saya... eh... saya tidak tahu," jawabnya terbata-bata.
Kening Mrs. Burris berkerut. "Lily" Benar kau tidak tahu?"
tanyanya. "Kau tidak membaca tugas bacaan yang saya berikan?"
"Sudah," jawab Lily. "Tapi saya tidak ingat."
Mrs. Burris melanjutkan ke pertanyaan lain, dan Lily menunduk
menatap meja di depannya. Ia sudah membaca apa yang ditugaskan
Mrs. Burris, larut malam kemarin sepulang kerja.
Tapi tiba-tiba saja tugas sekolah menjadi tidak penting lagi
sekarang. Pikirannya lebih tertuju pada hal lain. Seperti pembunuhan
atas diri Graham. Dan pengakuan Scott yang mengejutkan itu.
Dalam perjalanan ke kelas berikutnya, Lily berpapasan dengan
Scott di lorong sekolah. Cowok itu memandanginya dengan tatapan
tajam. Lalu menyunggingkan senyum.
Seolah-olah mereka berdua menyimpan rahasia hebat bersamasama.
Jangan ganggu aku! batin Lily merana.
Pokoknya jangan ganggu aku!
Tapi ia tahu Scott takkan pernah meninggalkannya. Tidak akan
pernah. Kecuali... Kecuali... Kecuali ia dapat menemukan cara untuk menyingkirkan Scott.
16 SCOTT sudah menunggu di kantor redaksi waktu Lily datang
untuk menghadiri rapat seusai jam sekolah. Ia yang pertama kali
datang. Dengan hati-hati Lily menghindar supaya tidak harus
bertatapan dengan Scott dan duduk di dekat jendela, sejauh mungkin
dari pemuda itu. "Kenapa kau tidak duduk lebih dekat, Lily?" tanya Scott. "Aku
hampir tak bisa mendengar suaramu kalau kau duduk di sana."
"Aku butuh udara segar," tukas Lily. Ia berdiri dan membuka
jendela. Sebelum Scott sempat mengatakan apa-apa, Alex datang
diikuti Julie. "Hai, teman-teman," sapa Alex. "Kuharap rapat ini tidak akan
lama. Aku sedang banyak tugas, nih."
"Aku juga," timpal Julie. Lily melirik sahabatnya itu. Ini
pertama kalinya ia bertemu dengan Julie sejak pemakaman Graham.
Sedetik mata mereka bertemu, tapi Julie lalu membuang muka.
"Aku ingin membicarakan tentang rencana penyusunan edisi
majalah kita berikutnya," kata Scott. "Ini akan menjadi edisi terakhir
yang terbit pada tahun ajaran ini. Kukira sebaiknya kita
mengkhususkan edisi ini untuk mengenang Graham."
"Ide bagus!" tukas Julie dengan wajah berseri-seri sambil
bertepuk tangan. "Aku juga berpendapat begitu," ujar Alex setuju. "Mungkin kita
malah bisa memuat puisi untuknya dalam edisi itu."
"Lily?" Scott menoleh padanya. "Bagaimana menurutmu"
Apakah kau menyukai usulan mendedikasikan edisi ini untuk
mengenang Graham?" Lily menyipitkan matanya. Cowok itu benar-benar sakit, benarbenar dingin, pikirnya pahit. Tega-teganya ia melontarkan usulan
seperti itu! Scott membunuh Graham. Ia membunuhnya. Sekarang ia ingin
mengkhususkan edisi majalah kali ini untuknya.
"Tentu," gumam Lily.
"Kalau begitu, pada pokoknya kita semua setuju," kata Scott
riang, bersikap seolah-olah Lily sama antusiasnya dengan anak-anak
lain. "Aku ingin kalian semua menuliskan sesuatu tentang Graham.
Aku sendiri yang akan menulis artikel utamanya."
Lily merasa jijik. Sekarang Scott ingin menulis artikel utama
tentang Graham" Ia benar-benar menikmati hal itu, pikir Lily.
Scott meneruskan rapat dengan mendiskusikan soal-soal lain
yang berkenaan dengan majalah sekolah, tapi Lily tidak
mendengarkan. "Baiklah," kata Scott beberapa menit kemudian. "Kukira rapat
kita cukup sampai di sini. Lily, bisakah kau tinggal sebentar" Ada
beberapa hal yang harus kudiskusikan bersamamu."
"Maaf," tolak Lily. "Aku sudah berjanji pada pamanku untuk
datang lebih cepat hari ini."
Scott merengut marah. Tapi ia tak bisa mengatakan apa-apa di
depan anak-anak lain. "Ayo, Lily," ajak Julie tiba-tiba. "Kuantar kau ke tempat kerja.
Soalnya ada yang ingin kubicarakan denganmu."
"Tentu. Terima kasih, Julie," jawab Lily, terkejut mendengar
tawaran sahabatnya itu. Disambarnya buku-bukunya dan berjalan
mengikuti Lily ke lapangan parkir.
"Baik sekali Scott mau memberikan penghormatan kepada
Graham," kata Julie pada Lily sambil menyalakan mesin mobil. "Aku
tak sabar ingin memberitahu bibiku mengenai hal ini."
"Ya, baik sekali," komentar Lily datar.
Julie melirik Lily, lalu berkonsentrasi untuk mengeluarkan
mobilnya dari lapangan parkir, keluar ke Park Drive. "Omong-omong,
alasan utama aku ingin berbicara denganmu adalah karena aku harus
minta maaf padamu." "Minta maaf" Untuk apa?" tanya Lily.
"Aku tahu belakangan ini sikapku kurang menyenangkan,"
jawab Julie. "Hanya... kau selalu sangat sibuk, dan kalau kau bebas,
kau selalu saja bersama Alex." Julie mengangkat bahu.
"Kedengarannya tolol, tapi kurasa aku cemburu."
Lily menelan ludah dengan susah payah. Jadi, itukah yang
selama ini mengganggu pikiran Julie" Ternyata aku salah besar.
Tadinya Lily yakin bahwa Julie mengira dirinya ada kaitannya
dengan kematian Graham. "Kau tak perlu meminta maaf," kata Lily. "Aku tahu aku tak
pernah punya waktu. Sukar bagiku untuk melakukan hal lain sehabis
sekolah karena harus bekerja dan melakukan semua kewajibanku." Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Sebenarnya, aku merasa Alex juga
sudah sangat muak padaku."
Julie ragu-ragu. "Bukan itu saja yang mengganggu pikiranku."
Lily menoleh, mengamati wajah Julie.
"Semenjak... semenjak malam kita menemukan Graham," lanjut
Julie, "aku tidak bisa tidur atau makan. Aku terus-menerus
memikirkan kejadian itu." Dagunya bergetar. Matanya terpaku pada
jalan di depannya. "Aku juga," sahut Lily.
Julie menghela napas dalam-dalam. "Kurasa aku bisa
memperkirakan apa yang sebenarnya terjadi pada Graham. Aku"aku
kira ia dibunuh." "Hah?" Lily kaget.
"Aku tahu polisi dan petugas, autopsi berpendapat lain," kata
Julie. "Bahwa Graham meninggal karena kecelakaan. Tapi aku tidak
percaya. Ayah Graham adalah pemilik percetakan itu. Graham sudah
biasa berada di dekat mesin itu seumur hidupnya. Tak mungkin ia bisa
mengalami kecelakaan seperti itu."
"Setiap orang bisa saja mengalami kecelakaan," tukas Lily hatihati.
"Graham tidak," tukas Julie ngotot. "Kau tahu bagaimana dia. Ia
pintar dan cerdas sekali. Ia selalu tahu apa yang harus dilakukannya."
"Kurasa kau terlalu banyak membaca buku-buku misteri
pembunuhan itu," bisik Lily tawar.
"Kok kau bisa berkata begitu"!" seru Julie. "Kusangka
dibandingkan orang-orang lain kau akan mengerti mengapa aku
merasa seperti itu. Atau kaukira?" Julie terdiam. "Oh, Lily, kau tidak
menuduhku mencurigai dirimu ada hubungannya dengan kejadian ini,
kan?" Lily merasa wajahnya memerah. "Tentu saja tidak. Mengapa
aku harus merasa begitu?"
Julie hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian
mengurungkannya. Ia menghentikan mobilnya di depan lampu merah.
"Karena... kau tahu, karena apa yang dikatakan orang-orang. Betapa
anehnya bahwa kaulah yang menemukan Mr. Reiner dan Graham.
Tapi aku sama sekali tidak percaya pada gosip-gosip sinting itu," Julie
cepat-cepat menambahkan. Lily mengangkat bahu. "Aku tahu apa kata orang-orang tentang
aku. Dan aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggubrisnya." Ia
mengeluh. "Jadi, menurutmu siapa yang membunuh saudara
sepupumu?" "Aku tidak begitu yakin," kata Julie. "Tapi aku punya beberapa
dugaan." Lily menahan napas sewaktu Julie meneruskan kata-katanya.
"Aku tak dapat berbuat apa-apa dalam peristiwa pembunuhan
Keris Peminum Darah 2 Pendekar Rajawali Sakti 97 Malaikat Pencabut Nyawa Cassie Mengundurkan Diri 3

Cari Blog Ini