Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare Bagian 1
BAB 1 LIMUSIN panjang berwarna putih itu menggelinding di atas
lubang dalam di jalan pedesaan yang meliuk-liuk. Duduk di belakang,
sambil menikmati kemewahan yang tidak biasa ini, aku dan temantemanku hanya merasakan sedikit guncangan.
"Mobil ini sungguh mengagumkan!" ujar Ken Knight. "Kurasa
aku akan beli satu sesudah wisuda nanti."
"Dalam mimpimu!" balas Jenny Byrd. "Untuk membetulkan
sepeda sendiri saja kau harus pinjam uang!" Didorongnya Ken keraskeras hingga membenturku.
Jenny, Ken, dan aku duduk merosot di jok kulit hitam yang
lembut. Ken duduk di tengah. Seorang cowok bernama Josh Berman
duduk di seberang kami. Kami bertiga tidak kenal Josh. Sekolahnya tidak di Shadyside
High. Josh kelihatan pendiam dan pemalu. Ia belum mengucapkan
lebih dari dua patah kata sejak kami berhenti menjemputnya.
Perawakannya pendek dan sangat kurus, tapi boleh dikata ia
tampan. Rambutnya hitam bergelombang dan matanya pun hitam. Ia
memakai kacamata dan terus-menerus mendorongnya naik pada
hidungnya. Kebiasaan gelisah.
Selama perjalanan, ia terus menatap ke luar jendela, pura-pura
tertarik pada pemandangan. Kadang-kadang ia tertawa pada apa- apa
yang kami katakan. Tetapi ia tidak berkomentar.
Terlalu pemalu, kurasa. "April, kau akan kubelikan limo juga," kata Jen, sambil
menoleh kepadaku dengan senyum lebar. "Warna apa yang
kauinginkan?" "Hijau muda," jawabku tanpa memikirkannya. "Aku juga
pengin yang biru langit. Buat berakhir pekan. Dengan interior cokelat
muda"biar cocok dengan warna rambutku."
"Oke. Satu limo hijau muda buat Ms. April Leeds," kata Ken.
"Kalau Dara bisa punya limo, aku tak tahu kenapa kita semua tak bisa
punya juga." "Dara kan kaya," aku mengingatkan Ken, meskipun tidak perlu.
Kami semua tahu Dara Harker kaya raya. Dara terus-menerus
mengingatkan kami. "Di mana Dara?" Josh tiba-tiba bicara. Karena sudah lama ia
berdiam diri, ia mengejutkanku. "Katanya dia akan ikut kita ke rumah
ski itu," katanya. "Hah" Kau bercanda, ya" Dara naik mobil bersama petanipetani seperti kita?" seru Ken sambil pura-pura menunjukkan ekspresi
ngeri. Aku dan Jenny tertawa. Tapi Josh tidak tersenyum sedikit pun.
"Dara menyusul dengan orangtuanya naik Jeep," kataku
kepadanya. "Jadi kita punya mobil four-wheel drive untuk dikendarai
di salju." "Salju apa?" keluh Jenny, sambil memandang ke luar jendela.
Malam sudah turun, mengirimkan sapuan kabut kelabu pada
lahan pertanian yang dilewati. Bunga es keperakan menyelimuti
ladang-ladang gelap yang gundul oleh musim dingin. Hawanya cukup
dingin untuk turun salju. Tetapi kami belum melihat sekeping pun
beberapa hari ini. "Aku nonton ramalan cuaca di The Weather Channel sebelum
pergi," kata Jenny, sambil menyibakkan rambutnya yang cokelatpendek ke belakang. Ia menarik lengan sweternya. "Aku selalu nonton
The Weather Channel sebelum pergi ke mana pun. Kata mereka ada
kemungkinan empat puluh persen?"
"Salju turun tiba-tiba. Mungkin bukan cuma sekadar salju, tapi
hujan es campur salju," kata Ken.
Aku mengeluh. Jenny dan Ken sudah begitu lama berpacaran,
mereka saling menyelesaikan kalimat masing-masing. Sungguh
memuakkan. Kadang kala mereka seperti pasangan yang sudah lama
menikah. Mereka bahkan bertengkar seperti suami-istri yang sudah
bertahun-tahun. Mereka saling berteriak dan mengumpat dengan
segala macam caci maki yang mengerikan. Kemudian mereka
berciuman dan berdamai, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
Aku sudah pernah menyaksikan mereka melakukannya. Dan
meskipun Jenny sahabat terbaikku, aku harus mengatakan ini"
memuakkan. Mungkin aku iri. Entahlah, aku tak tahu.
Kurasa aku iri dengan kecantikan dramatis Jenny yang berkulit
gelap itu. Menurutku ia cewek tercantik di Shadyside High.
Rambutnya sempurna"pendek, cokelat tua, dan berkilau. Matanya
biru sempurna berbentuk oval. Dan kulitnya yang indah selalu tampak
kecokelatan. Tubuhnya juga indah. Tidak kurus dan bentuknya tidak seperti
tubuhku. Adikku, Jerry, mengatakan aku kelihatan seperti anak lakilaki sepuluh tahun.
Anak baik, hah" Dengan penampilan memesona seperti itu, Jenny seharusnya
jadi orang yang paling percaya diri di dunia. Tetapi dia jadi gelisah
pada pesta-pesta dan kadang-kadang bisu sama sekali di kelas. Dan ia
bergantung erat-erat pada Ken seolah tidak mampu bergaul dengan
orang tanpa kehadiran Ken.
Aku tak tahu apa masalahnya. Bukannya Ken tidak cukup baik
baginya. Sebenarnya, Ken memperlakukannya dengan sangat baik.
Begitu banyak cewek lain rela mati untuk bisa pacaran dengan Ken. Ia
mungkin salah satu cowok paling tampan di sekolah, dengan rambut
tebal berombak dan mata hitam. Dan yang pasti perawakannya paling
bagus"tinggi dan berotot, tetapi tidak terlalu kekar.
"Jeep macam apa punya Dara itu?" tanya Jenny. "Renegade?"
"Tak mungkin," jawab Ken, sambil menggeleng. "Dia tentu
punya Grand Cherokee. Jeep terbesar yang dibuat orang. Seperti
truk!" "Kalau salju tidak turun, kita akan mati karena bosan!" cetusku
tak senang. "Mungkin kau akan mati. Tapi kami tidak!" balas Ken,
terkekeh-kekeh. Ia berpaling dan merapatkan mukanya ke pipi Jenny.
Jenny menciumnya. Mengapa aku harus menghabiskan begitu banyak waktu dalam
hidupku untuk menonton Jenny dan Ken bermesraan"
Aku mengalihkan perhatian pada Josh. "Kau sekolah di mana?"
tanyaku. Ia berdeham melonggarkan tenggorokan dan mendorong
kacamata lebih ke atas hidungnya. "Cumberland," jawabnya.
Ia mengenakan sweter ski warna gelap di atas jins belel model
baggy. Dua belah tangannya ia sisipkan ke dalam saku jins.
"Kelas berapa?" aku bertanya.
"Kelas sebelas," sahutnya.
"Aku juga. Bagaimana kau bisa kenal dengan Dara?" tanyaku.
"Ayahku bekerja dengan ayahnya," jawab Josh, sambil melirik
ke luar jendela. "Mereka partner pada biro hukum yang sama.
Kadang-kadang kami liburan bersama. Ke Cape Cod. Belakangan ini
aku bosan. Jadi aku tanya Dara apakah aku bisa datang akhir pekan
ini." "Jadi kau kenal Dara cukup baik," aku berkomentar.
"Yeah. Cukup baik," katanya. Kurasa aku melihat pipinya
merah merona. Ia berpaling ke jendela lagi, dan aku melihat kilatan perak.
Halilintar kecil pada satu daun telinga.
Selama satu-dua menit kami menempuh perjalanan tanpa
bicara. Sulit sekali mempertahankan percakapan dengan Josh. Aku
kehabisan pertanyaan. Mengapa aku yang harus mengajukan semua pertanyaan"
tanyaku dalam hati. Mengapa Josh tak menanyakan sesuatu
kepadaku" "Kami mengenal Dara tak sebaik itu," aku terus mengoceh.
"Maksudku, Dara tak lama tinggal di Shadyside. Kami duduk
bersebelahan di lab IPA. Dan Dara menanyaiku apakah aku mau
datang main ski akhir pekan ini dan melihat rumah skinya yang luar
biasa. Dia bilang aku juga bisa mengajak Ken dan Jenny. Jadi, di
sinilah kita sekarang."
Josh mengangguk tapi tak menjawab.
Ia benar-benar membuatku kesal. Aku tidak suka dengan tipe
yang kuat dan pendiam. Atau yang lemah dan pendiam. Aku
memutuskan memaksanya bicara.
"Kau bisa main ski?" tanyaku.
"Aku bisa sedikit. Sekadar cukup baik buat mematahkan
beberapa tulang!" jawabnya.
Kami berdua tertawa. Aku senang melihat setidaknya Josh
punya selera humor. Ladang-ladang itu sudah berganti jadi hutan pinus, dan limo itu
mulai mendaki tanjakan-tanjakan curam. Kami semua mengambil
Coke dari kulkas kecil. Jenny mengambil telepon mobil. Ia menelepon
teman kami Corky Corcoran di Shadyside dan pamer bagaimana ia
menelepon dari sebuah limusin.
"Siapa lagi yang bisa kita telepon?" tanya Ken.
Tetapi limo itu mendadak berhenti. Ken meletakkan kembali
gagang telepon pada tempatnya. Si sopir keluar dan membukakan
pintu belakang untuk kami.
"Hei"kita sudah sampai!" ujarnya.
Aku keluar menginjak jalur masuk berlapis kerikil di depan
garasi dan menarik napas dalam. Udara gunung yang sejuk, segar.
Aku menggigil. Di sini hawanya jauh lebih dingin daripada di
Shadyside. Aku memandang sekeliling pada pohon-pohon pinus hitam
yang menutupi bukit-bukit, bayang-bayang hitam pada langit malam
berwarna ungu, tanpa bintang.
"Hei"apakah ini kepingan salju?" tanya Ken, sambil
menadahkan kedua telapak tangannya.
"Kaulah satu-satunya kepingan di sini!" Jenny menggodanya. Ia
mendorong Ken dengan dua tangan.
Ken pura-pura terhuyung mundur hingga mendarat di atap limo.
Sang sopir sudah pindah ke bagasi, mengeluarkan tas-tas dan ski
kami. Aku berbalik dan memandang rumah Dara. "Wah!" gumamku
keras. Rumah itu panjang dan rendah"dan indah.
Jenny dan Ken melangkah ke sampingku, sepatu mereka
menggilas kerikil. "Ini jauh lebih besar dari yang kuperkirakan!" aku
berseru. Dibangun dari panel-panel kayu redwood, dengan jendelajendela besar di sepanjang bagian depan, rumah itu tampak seperti
pondok ski tradisional"pondok ski yang terbentang menutupi seluruh
puncak bukit. "Aku sudah pernah ke sini sebelumnya,"
Josh mengumumkan. "Tempat ini sungguh mengagumkan. Tak
ada rumah lain di sekitarnya yang bisa merusak pemandangan. Di
belakang ada pintu-pintu kaca dan jendela-jendela raksasa. Kalian bisa
melihat jauh bermil-mil ke bawah!"
Secercah cahaya putih pucat tiba-tiba bergulir di depan rumah.
Kami menoleh dan melihat dua lampu depan mobil terapung-apung
menembus kegelapan, bergerak mendekat.
Jeep Dara meluncur ke samping limo, tersentak tiba-tiba hingga
berhenti sekitar satu-dua inci dari koper-koper kami. Lampu depannya
menyorot bagian depan rumah.
Dara membunyikan klakson dua kali. Kemudian ia melompat
keluar dan berlari menghampiri untuk menyambut kami, rambutnya
yang pirang dengan berbagai nuansa itu berkibaran di belakangnya.
Aku lihat ia hanya sendirian. Tanpa orangtuanya.
"Kalian begitu cepat sampai di sini!" serunya. "Aku ingin ke
sini sebelum kalian tiba." Di bawah jaket ski birunya yang tak ditutup
ritsletingnya, tampak sweter putih.
"Dara, mana orangtuamu?" tanyaku.
"Mereka tak bisa ikut. Tapi aku yakin kita bisa tanpa mereka!"
sahut Dara dengan sorot nakal dalam matanya.
Aku menelan ludah dengan susah payah.
Aku tahu orangtuaku tentu takkan pernah mengizinkan. Tapi di
sinilah aku sekarang. Kuputuskan takkan memberitahu mereka.
"Mana saljunya?" ia bertanya, sambil menengadah ke langit.
"Bagaimana kita bisa main ski tanpa salju" Kita akan sinting berada di
sini. Apa yang akan kita lakukan" Aku benci main tebak-tebakan.
Berjanjilah padaku kita takkan main tebak-tebakan. Dan aku bodoh
dalam permainan Trivial Pursuit. Aku tak bisa mengingat apa pun
tentang Partridge Family atau The Brady Bunch. Sungguh. Terakhir
kali aku main, kartu-kartunya kulemparkan ke dalam perapian."
Selalu begitulah cara Dara berbicara. Tanpa ambil napas. Selalu
bersemangat. Suaranya serak dan kasar, sehingga kedengarannya lucu.
Dara mempunyai paras yang menarik, benar-benar manis, tapi
bukan kecantikan alami seperti milik Jenny. Rambutnya pirang
panjang dan keriting kusut serta diberi nuansa keputihan. Ia memiliki
hidung mungil yang keren. Kurasa itu bukan miliknya. Mungkin
hidungnya pernah dioperasi plastik sebelum ia pindah ke Shadyside
tahun lalu. Yang paling istimewa pada dirinya adalah matanya. Besar,
bundar, dan biru pucat, amat pucat.
Dara merogoh mencari-cari dalam salah satu saku jaket skinya
dan menarik keluar kunci-kuncinya. "Harus turun salju. Mungkin kita
harus melakukan tarian salju di bawah sinar bulan nanti," katanya
sewaktu membuka kunci pintu depan dan mendorongnya terbuka.
Kemudian ia menoleh pada sopir limusin. "Frank, tolong
bawakan tas-tas itu ke dalam rumah, ya" Akan kutunjukkan di mana
tempatnya. Papan skinya masukkan ke locker di belakang."
Sang sopir mengangguk dan bergerak cepat mengangkut tas-tas
tersebut. "Hai, Dara." Josh melangkah maju dengan malu-malu,
tangannya tampak canggung di sisi badan.
"Oh, Josh. Aku tak melihatmu!" Dara berseru. "Aku lupa kau
datang," tambahnya dengan kejam. "Hei, dengar. Kau bisa datang ke
sini kapan saja tanpa perlu kuundang. Kau tahu tempatnya lega. Apa
kabar?" Ia tidak menunggu Josh menjawab. Sebaliknya, ia menoleh
kepadaku. "April, coba kulihat jaket parka itu. Apakah pakai lapisan
dalam dari bulu" Aku sedang mencari-cari yang seperti itu."
Aku menangkap ekspresi tersinggung pada wajah Josh. Kupikir
ia mengharapkan sambutan yang lebih baik dari Dara.
Tanganku sedang memegangi jaket parka ski biru yang baru
kubeli. Aku mengangkatnya agar dilihat Dara. "Ini benar-benar
hangat," kataku, "dan tak begitu mahal."
Tiba-tiba aku merasa tolol. Dara tidak pedduli apakah jaket
parka itu mahal atau tidak. Keluarganya tidak perlu menghemat uang
receh seperti keluargaku. Ia bahkan mungkin tidak memeriksa label
harga ketika membeli mantel panjang.
"Apa bagian dalamnya bulu?" tanyanya sambil mengelus jaket
itu. "Mmmmm. Lembut."
"Kukira ini bulu anjing!" Aku bergurau. Dan kemudian aku
menambahkan, "Sebenarnya ini imitasi."
Dara tertawa. "Ayo masuk, teman-teman." Ia memegangi pintu
penahan badai agar tetap terbuka. "Mudah-mudahkan pemanasnya
hidup. Musim dingin lalu pemanasnya macet, dan semua pipanya
membeku. Untungnya kalian tak ada di sini. Ayahku sampai uringuringan!"
Aku mengikuti Ken dan Jenny ke dalam rumah. Di belakangku,
aku dengar Josh mengucapkan sesuatu kepada Dara. Namun Dara tak
mendengarnya. Ia sedang memberikan instruksi-instruksi lain kepada
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Frank, sang sopir. Di dalam rumah itu gelap gulita. Aku meraba-raba dinding
mencari sakelar lampu, tetapi tak dapat menemukannya.
Aku dengar pintu limo ditutup. Cahaya lampu depannya
menyapu dinding sewaktu mobil itu mundur di jalan masuk. Frank
mengemudikan limo itu kembali menempuh seratus mil ke Shadyside.
Josh bergeser ke sampingku. Tepat di depan kami, Ken
merangkul pundak Jenny. "Dara"mana lampunya?" aku berseru. Aku maju satu langkah
ke depan. Sungguh gelap! "Hei"!" Jenny memekik pelan karena terkejut. "Apa itu?"
bisiknya. Aku mendengarnya juga. Papan lantai berkeriut.
Kami berempat membeku diam dalam kegelapan,
mendengarkan baik-baik. Aku mendengar langkah kaki.
Kemudian gedebuk, bunyi seseorang menabrak kursi atau meja.
Batuk. Kami tak sendirian, aku tersadar. Ada orang lain di sini bersama
kami. BAB 2 AKU mundur selangkah. Langkah itu semakin dekat. Aku mendengar suara batuk lagi.
Di belakangku, Dara baru saja memasuki rumah. Ia belum
mendengar suara-suara itu.
Siapakah yang berada di dalam rumah" aku bertanya-tanya
dalam hati, tercekam ketakutan. Gelandangan yang nyelonong masuk"
Maling" Lampu-lampu mendadak menyala.
"Hei"!" seru Dara terkejut.
Kami ternganga menatap seorang cowok dan seorang cewek,
kira-kira seumur kami. Mereka balas menatap kami. Mereka kelihatan sama terkejutnya
seperti kami. "Tony"apa yang kaukerjakan di sini?" Dara bertanya. Ia kenal
cowok itu. Nada suaranya sama sekali tidak kedengaran hangat.
"Dara"aku... uh... well..." ia terbata-bata. Ketika ia melangkah
maju, aku bisa melihat rambutnya yang cokelat panjang itu acakacakan, pipi dan dagunya berlepotan noda lipstik ungu.
Aku tidak perlu menebak bahwa Tony dan cewek itu tentu
sedang pacaran dalam kegelapan. Mereka begitu asyik satu sama lain
sehingga tidak mendengar kami datang.
"Uh... hai, Dara," kata Tony.
Ia memiliki senyum yang menyenangkan. Tapi aku sama sekali
tidak menyukai wajahnya. Ada semacam nuansa pongah dan tinggi
hati. Aku langsung bisa melihatnya.
Dan aku benci cowok yang dagunya berbelah dalam. Aku tidak
tahu entah mengapa. Aku cuma tidak menyukainya.
"Ini Carly Rae," kata Tony kepada Dara. Ia menarik cewek itu
ke depan. Si cewek tampak benar-benar jengah. "Senang berjumpa
denganmu," gumamnya. Lipstik ungu Carly berlepotan. Dan
rambutnya yang pirang kecokelatan acak-acakan, menutupi kening.
Pasti tadi mereka bergulat seru!
Perawakannya kurus dan pendek. Ia memakai sweter merah
yang sama sekali tidak kelihatan pas dengan warna rambutnya. Ia
memakai rok pendek hitam di luar celana panjang ketat merah.
Gusinya terlihat saat ia tersenyum.
"Minggu ini bukan giliranmu," kata Dara kepadanya dengan
marah, tangannya bertolak pinggang. "Aku tak bisa percaya kau"
kau?" Tony menepuk keningnya. "Apakah aku mengganggu?"
Dengan satu tangan Carly menyeka noda lipstik ungu pada pipi
Tony. "Apakah aku mengganggu?" Tony mengulangi. "Maaf, Dara.
Aku benar-benar mengira ini minggu keluargaku!"
Kedengarannya ia tidak jujur. Aku belum pernah bertemu
dengannya, tapi aku bisa tahu ia sedang pura-pura. Ia kelihatan seperti
cowok tukang bohong. Dara menoleh pada Jenny, Ken, dan aku. "Ini Tony Macedo.
Keluarganya dan keluargaku berbagi rumah ini," ia menerangkan.
"Kami memakainya bergiliran tiap minggu."
"Dan aku mengira ini minggu kami!" ujar Tony, sambil
menggeleng-geleng. "Rumah ini benar-benar bagus," Carly memberikan komentar
untuk Dara. "Sangat indah."
Bagaimana kau bisa melihat dalam kegelapan" tanyaku dalam
hati. "Tony, aku tak percaya kau melakukan ini!" kata Dara tajam,
tak menghiraukan pujian Carly. Dara meniup seunting rambut dari
keningnya. Aku bisa melihat ia benar-benar marah.
Mulut Tony melebar meringis malu. "Aku pun tak percaya aku
melakukannya," balasnya.
Ia memeluk pinggang Carly dengan satu tangan. Carly
menggelayut rapat padanya dan menggumamkan sesuatu di
telinganya. Mereka sepertinya tidak bisa saling melepaskan tangan.
"Tapi"aku tak mengerti!" sembur Dara. "Apa orangtuamu tak
punya kalender" Apa mereka tak punya catatan?"
"Orangtuaku sebenarnya tak tahu aku di sini," Tony mengaku.
Matanya yang hitam berbinar. "Kau bisa pegang rahasia"kan, Dara?"
Ia mencoba mengucapkannya dengan nada ringan. Namun kupikir aku
mendengar sedikit nada ancaman dalam cara Tony mengucapkan katakata itu.
"Maksudku, aku dan Carly memutuskan untuk datang ke sini
pada detik terakhir," tambahnya.
Carly memperlihatkan senyum lebar kepada kami dan memeluk
Tony. "Tapi bagaimana kalian sampai ke sini?" Dara menuntut. "Aku
tidak melihat mobil atau apa pun di luar."
"Kami terbang ke Eastham," jawab Carly. "Kemudian kami
naik taksi." "Kalian datang jauh-jauh ke sini tanpa mobil?" Dara memutar
bola matanya. "Kami sebenarnya tidak memikirkannya," jawab Tony. "Ini
minggu yang sibuk. Kami cuma ingin bepergian. Main ski.
Begitulah." Dalam hati aku ingin tahu apakah mereka membawa papan ski.
Mereka sepertinya sama sekali tidak memikirkan kegiatan di luar
rumah! Tiba-tiba Dara mencondongkan badan ke dekatku. "Orang ini
masalah," bisiknya. "Tony selalu jadi masalah."
Apa maksudnya" tanyaku dalam hati. Aku tidak punya
kesempatan untuk bertanya.
Sambil menyibakkan rambutnya ke balik bahu, Dara kembali
berpaling pada Tony. "Nah, bagaimana kita akan membereskan
persoalan ini?" desaknya.
"Membereskannya?" Tony pura-pura tak mengerti.
Aku pun sama sekali tidak mengerti apa yang Dara maksudkan.
"Siapa yang tinggal dan siapa yang pergi?" tanya Dara tajam.
Senyum Tony memudar. Mata hitamnya menyipit penuh
ancaman. Aku bergidik ngeri. Dia bisa berbahaya, pikirku tiba-tiba.
Ia melepaskan Carly dan maju selangkah ke arah Dara. Ekspresi
wajahnya mengeras. Ia mengepalkan kedua tangannya.
Dia sengaja berusaha menakut-nakuti kami, aku tersadar.
"Aku tahu bagaimana membereskannya," kata Tony dingin.
BAB 3 DARA pantang mundur. Ia tetap bertolak pinggang dan berdiri
di tempat. Tony maju lagi selangkah ke arahnya dengan sikap
mengancam. Ken melangkah ke samping Dara dan menatap Tony dengan
pandangan berapi-api. Kukira Ken lebih besar daripada Tony. Dan kelihatan jauh lebih
kuat. Kalau terjadi perkelahian, kurasa Ken bakal menang.
"Cuma ada satu cara untuk membereskannya," Tony
mengulangi. "Kita harus berbagi!" Ia tertawa tergelak-gelak.
Aku mengambuskan napas lega. Tony benar-benar
mengecohku. Dara menggeleng dan keningnya mengernyit. "Tony, kau benarbenar keparat," omelnya. "Pernah aku memberitahumu betapa aku
benci dengan selera humormu yang menyebalkan?"
"Berkali-kali," sahut Tony. "Tapi setidaknya aku punya selera
humor, Dara!" "Ooh. Sangat bagus!" Josh menimbrung.
Aku sama sekali sudah lupa bahwa Josh ada di sana. Ia telah
berjalan ke dekat perapian, di seberang kami semua. Ia mengangkat
pengorek api dari tempatnya dan memegangnya dengan satu tangan.
"Jangan ikut campur, Josh," kata Dara tajam.
"Yeah. Jangan ikut campur, Josh," Tony membeo, sambil
tersenyum lebar. Ia menoleh pada Dara. "Siapa Josh ini?"
"Cuma seseorang," jawab Dara. "Ayahnya dan ayahku bekerja
bersama." "Hmmm. Pengacara-pengacara!" seru Tony.
Dara memperkenalkan kami semua kepada Tony dan Carly.
Tony berlama-lama menatap Jenny, memeriksanya. Aku menangkap
kilatan gemas dalam mata Carly. Tangannya memegang lengan Tony
erat-erat. "Kurasa kita tak punya pilihan. Kita akan berbagi rumah ini,"
Dara menyetujui dengan kesal. Ia menatap tajam pada Tony. "Aku
rasa kita bisa berbaikan selama satu akhir pekan."
"Selalu ada yang pertama untuk segalanya!" ujarnya.
Carly tertawa tak enak hati.
Aku dan Jenny saling bertukar pandang. Jelaslah bagi kami
berdua bahwa di waktu lampau Dara pernah ada masalah dengan
Tony. "Ada cukup banyak kamar tidur," kata Dara, sambil menghitung
dengan jari. Ia mengangkat muka memandang Tony, yang sedang
menyurukkan wajahnya ke pipi Carly. "Apa kau dan Carly
merencanakan pakai satu kamar?"
Tony menjauhi Carly. Ia menggeleng pada Dara. "Kau selalu
punya pikiran jorok," katanya.
"Perlu otak jorok untuk mengetahuinya!" balas Dara.
"Aku dan Carly sudah punya kamar terpisah," kata Tony, tak
menghiraukan sindiran Dara. Ia memberi tanda kepada Ken dan Josh.
"Mereka bisa berbagi kamar dengan ranjang susun. Tidak masalah."
"Aku harus tidur di atas," Josh berkata, sambil mengayunayunkan batang besi pengorek api. "Aku klaustrofobia."
"Tidak masalah," jawab Ken.
"Nah" Dan semua cewek harus mendapatkan kamar sendirisendiri," kata Tony, sambil menyeringai pongah. Ia menghampiri Dara
lalu memeluk bahunya dengan satu tangan. "Bukankah ini bakal
menyenangkan?" Dara balas menatap dingin kepadanya dan tidak menjawab.
*************** Kami semua pergi ke kamar masing-masing untuk
membereskan barang bawaan. Rumah itu terbentang dalam dua sayap
panjang, dengan ruang duduk yang luas dan dapur di tengah. Kamar
untuk cowok berada di ujung lorong panjang yang terbentang ke kiri.
Para cewek mengambil kamar di sayap kanan. Dara menempati
kamarnya sendiri, yang paling dekat dengan ruang duduk. Aku dan
Jenny menempati kamar yang berseberangan, setengah jalan ke ujung
gang. Kamar Carly ada di sebelah kamar Jenny.
Jenny cepat-cepat membongkar barang bawaannya kemudian
masuk ke kamarku. "Pemandangan yang luar biasa!" ujarnya, sambil
menarik tirai putih dan mengintip ke luar pintu-pintu kaca ganda.
Aku melangkah ke sampingnya. Kami bisa melihat pohonpohon pinus gelap jauh di bawah lereng bukit yang curam. Langit
malam sudah berubah jadi merah jambu berkabut.
"Lihat"saljunya turun!" seruku sambil menunjuk.
"Kausebut itu salju?" Jenny mengeluh. "Cuma ada beberapa
keping." "Tapi sudah mulai turun!" kataku dengan girang.
Aku benar-benar ingin bersenang-senang sepanjang akhir
pekan. Sampai sejauh ini, aku telah melewatkan musim dingin yang
cukup menjemukan. Aku putus dengan pacarku pada bulan Oktober.
Beberapa minggu sesudah itu, ibuku kehilangan pekerjaan, yang
berarti keluargaku harus hidup dengan anggaran yang lebih ketat
daripada biasanya. Kemudian aku tidak bisa masuk sekolah sampai
hampir dua minggu gara-gara flu.
Sudah saatnya bersenang-senang, demikian kuputuskan.
Seperti yang kukatakan kepada Josh di mobil tadi, aku tidak
begitu baik mengenal Dara. Ia pindah ke Shadyside beberapa minggu
sebelum sekolah mulai. Tetapi ketika ia mengundangku ke rumah
skinya, aku langsung menyambar peluang itu.
Aku dan Jenny kembali ke ruang duduk, ternyata api sudah
menyala-nyala terang di dalam perapian batu yang lebar itu. Ken dan
Tony sedang menumpuk kayu bakar lebih banyak lagi dari keranjang
di sudut. Aku senang mereka sudah menyalakan perapian. Dengan
jendela-jendela besar dan pintu-pintu sorong dari kaca, rumah itu
benar-benar banyak angin. Sewaktu aku menurunkan badan untuk
duduk di kursi berlengan yang empuk, nyaman di depan perapian itu,
aku bisa merasakan tiupan angin dingin dari pintu-pintu kaca di
belakangku. Sambil merasakan kehangatan perapian, mendengarkannya
meretih, aku mengamati sekeliling ruangan luas berpanel kayu
tersebut. Di sana ada dua daerah, untuk duduk-duduk, dua lingkaran
kursi dan sofa berlapis kulit warna gelap. Sebuah meja kopi panjang
terbuat dari kayu dipenuhi dengan tumpukan majalah dan koran lama.
Poster-poster besar berbingkai yang memperlihatkan resor-resor ski di
Eropa memenuhi dinding. Tony menjauh dari perapian dan berpaling kembali untuk
mengamatinya beberapa detik. Kemudian ia bergabung dengan Carly
di sofa di belakang ruangan itu.
Beberapa detik kemudian mereka berdua sudah asyik
berciuman. Mereka sepertinya tidak peduli"atau bahkan tidak
memperhatikan"bahwa kami semua ada di ruangan itu!
Ken dan Jenny duduk bersama di kursi besar berjok tebal di
dekatku. Mereka menatap perapian tanpa bicara. Josh duduk seorang
diri di ujung sofa, menepuk-nepuk lengan sofa berlapis kulit itu.
"Ayo, salju, turunlah!" seru Dara. Ia berdiri di depan jendela,
telapak tangannya bertumpu pada kaca, memandangi beberapa keping
salju yang melayang turun perlahan-lahan dari langit.
"Apa artinya bila langit pink?" ia bertanya. "Itu artinya turun
salju atau tidak?" "Itu artinya salju merah jambu!" Ken berseloroh.
Dara berbalik dan memutar bola matanya. "Kau hampir selucu
Tony," katanya kepada Ken. Kemudian ia menoleh pada pasangan di
belakang ruangan itu. "Apakah kalian berdua tidak pernah istirahat
untuk ambil napas?" "Kami tidak mendengarmu," balas Tony berseru kepadanya.
Dara menjatuhkan diri di ujung lain sofa yang diduduki Josh.
"Apinya bagus," ia berkomentar, sambil mengangkat kaki ke atas meja
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kopi. "Kita harus mencari tambahan kayu bakar lagi nanti."
Kami berlima bercakap-cakap beberapa lama. Tentang sekolah.
Dan tentang anak-anak yang kami kenal.
Setiap kali aku memandang ke jendela depan, memeriksa
apakah ada salju. Turun lebih lebat dalam kepingan-kepingan yang
lebih besar, empuk. "Aku tahu cara hebat untuk memulai akhir pekan ini," kata Ken
tiba-tiba, sambil menggaruk rambutnya yang cokelat tebal.
"Salju akan turun lebat dan itu akan memulai akhir pekan ini
dengan baik," Dara berkomentar.
"Bukan. Maksudku, untuk mencairkan kekakuan," kata Ken.
"Kita sebenarnya belum kenal baik satu sama lain." Ia melirik pada
Josh, yang sudah berhenti menepuk-nepuk lengan sofa dan sedang
menatap ke api. "Tentu menyenangkan melakukan permainan atau apa
lainnya. Untuk membantu kita saling kenal satu sama lain. Truth or
Dare!" "Apa" Kupikir tidak!" Josh berpendapat.
"Apakah kau tidak suka main Truth or Dare?" tanyaku
kepadanya. Josh menggeleng. "Aku sama sekali tidak suka permainan." Ia
melirik Dara dengan perasaan tak enak.
"Aku rasa itu gagasan hebatl" seru Dara dengan penuh
semangat. "Ayo kita lakukan! Ayo kita memainkannya. Itu permainan
yang sempurna untuk malam ini. Ayo kita lihat rahasia-rahasia kotor
apa yang bisa saling kita peras keluar."
Aku tertawa. Ternyata aku mulai menyukai Dara. Aku
menyukai caranya yang penuh semangat menanggapi sesuatu, betapa
cepat gairahnya terpicu. Dara menurunkan kaki dan membungkuk dengan bersemangat.
Kami semua mencondongkan badan ke depan. Josh mengeluh, tetapi
setuju bergabung dengan kami.
Dan demikianlah, kami memulai permainan Truth or Dare"
Katakan Sejujurnya atau Terima Tantangan.
Pada waktu itu, permainan tersebut rasanya seperti gagasan
yang sungguh bagus. Seperti yang diucapkan Ken sebelumnya, cara bagus untuk
mencairkan kekakuan, untuk saling mengenal.
Kami sama sekali tidak tahu bahwa suatu permainan sederhana
bakal menuntun kami pada begitu banyak peristiwa mengerikan.
BAB 4 "TONY, apakah kau mau ikut main?" seru Dara ke bagian
belakang ruangan. Mereka tak menjawab. Sesuatu meletup dalam perapian. Bunyi itu membuatku
meloncat. Kusadari aku merasa sedikit tegang.
Aku selalu merasa tegang sebelum memulai permainan seperti
ini. Kurasa semua orang begitu. Maksudku, dalam permainan Truth or
Dare, begitu mudahnya kita membuat diri sendiri kedengaran tolol.
"Aku tak pernah main Truth or Dare," Josh mengaku. Ia
menyibakkan rambutnya yang hitam ke belakang, kemudian
membetulkan letak kacamatanya. "Apakah ini seperti permainan Dua
Puluh Pertanyaan?" "Sama sekali tidak," jawab Jenny.
"Truth or Dare sungguh sederhana," kata Dara kepada Josh.
"Bahkan kau sekalipun bisa mengerti."
"Oh, wow. Kau kejam sekali malam ini, Dara," Josh menuduh,
sambil menggeleng. "Sekadar jadi tuan rumah yang baik," Dara berseloroh.
"Pilihannya adalah kau menjawab pertanyaan dengan
sejujurnya, atau kau menerima tantangan," Ken menerangkan kepada
Josh. "Cuma itu."
Josh masih kelihatan bertanya-tanya.
"Kau akan melihat bagaimana caranya," kata Dara kepadanya.
"Ken bisa menerima pertanyaan pertama"karena ini gagasannya."
"Uh-oh!" Ken gelagapan. Ia melirik Jenny, yang merapat manja
di sampingnya di kursi besar itu.
Api yang bergoyang-goyang, berkedip-kedip membuat
bayangan menari-nari di seluruh ruangan. Di luar, aku bisa melihat
salju mulai turun lebih lebat. Aku tersenyum, merasa hangat dan
nyaman di depan perapian.
"Perbuatan apa yang pernah kaulakukan sehingga membuatmu
benar-benar malu?" tanya Dara pada Ken.
"Hah, apa?" seru Ken, mulutnya ternganga.
Dara bertanya lagi, "Apa yang mengusik hati nuranimu hingga
lama sekali?" Ken tertawa. "Oh, wow. Kurasa seharusnya Josh yang pertama.
Karena ini permainannya yang pertama."
"Tidak bisa!" seru Josh. Ia melompat berdiri dari sofa dan
menghampiri perapian. "Cuma bercanda," kata Ken kepadanya.
"Apakah kau akan menjawab pertanyaan itu?" tanya Dara
kepada Ken. "Ataukah kau mau menerima tantangan?"
"Uh... apakah kau tak punya pertanyaan pilihan berganda?" Ken
berseloroh. "Hei, Ken"ini gagasanmu!" teriakku. "Ayolah"ayo kita
main!" "Oke, oke," gerutu Ken, sambil bergerak-gerak tak nyaman di
kursi. "Aku akan menjawab pertanyaan."
Josh mengambil besi pengorek api dan mulai menyodoknyodok kayu bakar, membuat bunga api bepercikan.
"Oh... sesuatu yang memalukanku," gumam Ken, sambil
berpikir keras. "Lebih baik kau jangan menyertakanku!" ancam Jenny. Ia
tertawa gelisah. "Oh, aku ingat sesuatu," kata Ken kepada kami. "Ini sangat tak
mengenakkan." "Sebaiknya begitu!" kata Dara.
"Kejadiannya sudah lama, aku berada di sebuah toko. Toko
komik di Division Street. Ingat tempat itu" Kurasa tokonya sudah tak
ada lagi di sana." "Ini membosankan," cetus Josh, sambil mengorek-ngorek api.
"Sssttt. Biarkan dia sampai ke bagian yang bagus," kata Dara
kepada Josh. "Well," Ken meneruskan, "aku melihat seorang bocah di sana.
Seorang bocah kecil, mungkin tujuh atau delapan tahun. Dan bocah itu
menjatuhkan selembar sepuluh dolar. Kupikir uang itu jatuh dari
sakunya. Dan aku"aku memungutnya dari lantai dan menyisipkannya
ke dalam saku. Bocah itu terus mencari-cari. Dan dia mulai menangis.
Tapi aku tidak bilang aku menemukannya. Aku ambil sepuluh dolar
itu." "Dan apa yang kaulakukan dengan uang itu?" tanya Dara
kepadanya. "Beli komik," jawab Ken. "Jahat sekali, kan" Kejadian itu
berbulan-bulan mengganjal hatiku!"
"Ken"aku tak percaya! Itukah kejadian paling jelek yang
pernah kaulakukan?" Jenny berseru, sambil menggeleng-geleng.
Seulas senyum lebar terbentang di wajah Ken. "Apa yang bisa
kukatakan pada kalian" Biasanya aku kan orang suci!" bualnya.
"Membos-sankan!" ujar Dara.
"Kau minta sesuatu yang mengusik hati nuraniku!" seru Ken.
"Jadi"aku jawab pertanyaan itu!"
"Tapi kami ingin sesuatu yang seksi!" Dara mengeluh. "Kami
tak ingin mendengar cerita konyol tentang menemukan uang sepuluh
dolar di toko komik."
"Ken merasa sepuluh dolar itu seksi!" aku meledek.
Semua tertawa. "Whoa!" Dara mengangkat kedua tangannya seolah hendak
melindungi diri. Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Aku punya
pertanyaan yang seksi untukmu, April."
"Uh-uh," gumamku. Aku menelan ludah dengan susah payah.
Mata Dara berbinar-binar senang. "Apa yang paling memalukan
yang pernah terjadi padamu ketika kau sedang bercumbu dengan
cowok?" ia bertanya padaku.
"Maksudmu, seperti misalnya, apakah aku bersendawa atau
semacamnya?" tanyaku, sambil berpikir keras. Wajahku terasa panas.
Aku tahu wajahku tentu merah padam.
"Pertanyaan ini atau terima tantangan?" Dara mendesak.
"Uh... pertanyaan," jawabku. "Suatu ketika aku berada di ruang
keluarga, berciuman dengan cowok ini?"
"Siapa?" tanya Ken, sambil menyeringai.
"Yeah, siapa?" Tony menimbrung dari belakang ruangan.
"Kau takkan kenal," balasku berseru kepadanya. "Pendeknya,
aku sedang berciuman dengannya, dan aku lupa aku sedang
mengunyah permen karet. Dan entah bagaimana permen karetku
pindah dari mulutku ke mulutnya."
"Iiih, menjijikkan!" seru Jenny, sambil memperlihatka wajah
muak. "Dan ia tersedak permen itu," tambahku. Dan aku harus
menepuk-nepuk punggungnya terus-menerus sampai ia
memuntahkannya." "Yuck!" cetus Jenny.
"Cukup bagus," Dara berkomentar.
Wajahku masih panas merah padam. Aku tidak suka permainan
yang memalukan seperti ini. Tapi setidaknya giliranku sekarang sudah
berlalu, pikirku bersyukur.
Suatu gagasan tercetus dalam benakku. "Dara, aku punya
pertanyaan cium-mencium untukmu."
"Aku mendengarkan," katanya, sambil menopang dagu dengan
satu tangan dan menatap tajam padaku.
"Dara"dari semua cowok yang pernah kaucium, siapa tukang
cium yang paling buruk, dan mengapa?"
Dara tertawa nyaring. "Hmmm... pertanyaan yang bagus,
April." Jenny terkekeh. Ken menatapnya tajam. "Jenny, ini pertanyaan untuk Dara.
Untuk apa kau tertawa-tawa?"
"Pertanyaan atau tantangan?" tanyaku kepada Dara.
"Pertanyaan," jawabnya cepat-cepat. "Pencium terburuk, heh?"
Perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan menoleh ke perapian.
Seulas senyum jail terpeta pada wajahnya saat ia menatap Josh.
Ia akan mcnyebut Josh! aku tersadar.
Mata Josh membelalak. Perasaan panik mengubah bentuk
wajahnya. Dara takkan melakukannya, kataku dalam hati. Ia tak mungkin
sekejam itu"mungkinkah"
Senyum jailnya semakin melebar saat ia menguncikan tatapan
pada mata Josh. "Hmmm... pencium paling buruk..."
Sebelum Dara bisa mengucapkan sepatah kata lain, Josh
mengangkat besi pengorek api itu. "Diam, Dara!" teriaknya. "Diam!
Aku sungguh-sungguh!"
"Josh, aku harus mengatakan yang sebenarnya!" kata Dara
kejam. "Tidaaaak!" Josh menggerung ngamuk.
Dan sebelum satu pun di antara kami bisa bergerak, ia sudah
menerjang Dara dengan ganas, mengayunkan pengorek api itu ke arah
dada Dara. BAB 5 DARA menjerit ketakutan. Kedua tangannya langsung terulur
ke depannya seakan hendak melindungi diri.
Josh berhenti beberapa inci di depannya, napasnya tersengalsengal. Ia membanting pengorek api itu ke lantai. Sambil berteriak
geram ia memutar badan dan berlari ke pintu koridor yamg menuju ke
sayap kiri. "Josh"berhenti!" seru Dara. Ia melompat berdiri dan mengejar
cowok itu. Jantungku berdegup keras, aku berdiri dan berbalik ke pintu.
Jenny dan Ken juga sudah berdiri. Bahkan Tony serta Carly pun
ternganga kaget. "Ada apa?" bisik Jenny kepadaku.
Aku mengangkat pundak. Aku sama terkejutnya seperti yang
lain. Dara berhasil menyusul Josh di pintu. Ia memeluk leher Josh
dan menyeretnya kembali ke perapian.
"Ayo kembali, Josh. Ayolah," Dara memohon. "Kau benarbenar mengira aku akan menyebut namamu, ya" Aku cuma
menggoda. Kau kan tahu aku, Josh. Rasanya aku punya bakat kejam.
Aku tak berniat menyebutmu. Aku cuma mencoba mendapatkan
reaksi. Itu saja." Ia terus bicara pada Josh, menghiburnya, menariknya kembali.
"Josh"ayolah!"
Josh berhenti berusaha melepaskan diri. Kini ia hanya berdiri di
sana, tatapannya tertuju ke lantai, wajahnya menunjukkan ekspresi
sangat tidak senang. Kupikir ia akan menangis. Ia kelihatan begitu sedih dan muram.
Dara berhenti di tengah ruangan, melangkah mengitari Josh,
dan menempelkan keningnya ke kening Josh. "Maaf," katanya. "Maaf,
Josh." Ia melepaskan cowok itu dan melangkah mundur. "Permintaan
maafku diterima?" "Kurasa begitu," gumam Josh. Bahkan dari seberang ruangan
pun aku bisa melihat wajahnya jadi merah padam.
Josh memain-mainkan kacamatanya dengan gelisah. "Jangan
mempermainkanku," katanya pada Dara tegas-tegas, sambil
mengalihkan pandangan ke jendela. "Aku tak suka dipermainkan.
Sama sekali tak suka."
"Oke, oke," jawab Dara lembut. Ia menarik Josh kembali ke
sofa dan kemudian duduk. "Tak bisakah kau memainkan sesuatu yang lebih tenang?" Tony
menimbrung dari belakang ruangan. "Bagaimana kalau tackle
football" Itu tentu lebih tenang."
"Ha, ha," seru Dara. "Kau lucu sekali, Tony. Andaikan saja aku
bisa selucu kau." "Kaulah yang lucu!" balas Tony. "Tampangmu lucu." Ia tertawa
melengking mirip suara hiena.
"Diam, Tony," kudengar Carly berbisik menghardiknya.
"Siapa yang mau membungkamku?" tanya Tony keras.
Ia benar-benar mengira dirinya biang gara-gara.
"Bisakah kita minum sesuatu?" kudengar Carly bertanya.
Menurutku ia sekadar berusaha agar Tony diam.
"Yeah, tentu," jawab Tony. Mereka berdiri dan berjalan menuju
dapur. "Jangan hiraukan mereka," Dara menganjurkan, sambil
berpaling kembali pada kami. Ia bergeser lebih dekat pada Josh di sofa
itu dan tersenyum padanya. "Ayo kita teruskan permainannya, oke?"
Josh mengangkat pundak. Barangkali hatinya masih panas.
Mengapa ia jadi begitu marah" tanyaku dalam hati. Atau apakah
ia cuma tersinggung karena Dara akan mengatakan pada kami bahwa
ia pencium yang buruk"
Apa yang terjadi antara Dara dan Josh di masa lampau" Apabila
Dara pernah berpacaran dengan Josh dan kemudian putus, mengapa ia
membiarkan cowok itu datang berakhir pekan di sini"
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertanyaan. Pertanyaan. "Aku punya satu pertanyaan lain untuk April," kata Dara,
sambil menatapku dengan sungguh-sungguh.
"Hei, tidak bisa!" protesku. "Aku sudah mendapatkan satu
pertanyaan. Dan selain itu, kau tidak menjawab pertanyaan untukmu."
"Aku tuan rumahnya," jawab Dara seenaknya sendiri. "Aku
yang membuat peraturan. Aku punya satu pertanyaan bagus untukmu,
April." "Oh, bagus," kata Jenny bersemangat. Ia mencondongkan badan
ke depan. "April selalu sangat tertutup. Aku ingin sekali
mendengarnya menceritakan satu rahasia gelap yang tersembunyi
dalam-dalam." Kata-kata Jenny mengejutkanku. Aku sama sekali tidak pernah
menganggap diriku sebagai orang yang tertutup.
Tapi Jenny adalah sahabatku yang paling akrab. Ia mengenalku
lebih baik daripada siapa pun lainnya. Jangan-jangan aku memang
agak tertutup. Mungkin aku memang memendam terlalu banyak hal
dalam hati. "Inilah pertanyaanku yang kedua untukmu," kata Dara, sambil
menyibakkan rambutnya ke belakang. "April, apakah kau tahu rahasia
seseorang yang kausesali telah kauketahui?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Dan kemudian tanpa berhenti
sedetik pun untuk berpikir, aku menjawab, "Aku berharap seandainya
tak pernah tahu tentang cewek di Sumner Island itu."
"Cewek apa?" Jenny mendesak. "April" apa yang
kaubicarakan?" Aku langsung menyesal telah mengatakannya.
Mengapa aku begitu saja menjawab tanpa berpikir lagi"
Mengapa aku tidak memikirkannya lebih dulu" Mengapa aku tidak
menghentikan diriku sendiri"
Andai saja aku bisa menarik kembali jawaban itu.
Tapi sudah terlambat sekarang.
Aku merasa mukaku memerah, kulirik Ken. Apakah ia sadar ini
rahasianya"dan aku mengetahuinya"
Ia menatap lurus ke perapian. Tetapi aku bisa melihat matanya
menyipit. Aku bisa melihat ia sedang berpikir keras tentang apa yang
baru saja kuungkapkan. "Cewek apa yang kaumaksud?" Jenny bertanya kembali.
Sebelum aku bisa menjawab, Tony mengendap-endap ke
belakangku dan menepuk punggung kursiku. Aku menjerit dan boleh
dikata melompat keluar dari kulit sendiri.
Ia tertawa ngakak. "Tony, kau benar-benar menyebalkan," kata Dara, sambil
menggeleng. "Perlu orang menyebalkan juga untuk mengenalinya," balasnya.
Ia bergeser ke sebelahku di kursi. "Aku menyukaimu, April," katanya,
sambil memeluk bahuku. "Kau tipe idamanku."
Aku berbalik dengan tak enak hati dan melihat Carly memutar
bola matanya. Kurasa ia sudah biasa dengan Tony yang suka main
mata. "Aku punya satu pertanyaan buatmu, Tony," goda Dara. "Aku
tahu kau punya banyak rahasia kotor."
"Hampir sebanyak yang kaupunyai, Dara," kata Tony, balas
menyeringai. "Tapi, dengar kataku"lewatkan saja pertanyaan itu.
Aku memilih tantangannya."
Kami semua tertawa. "Aku serius," Tony bersikeras, sambil menatap Dara. "Aku
ambil tantangannya. Apa pun itu."
"Sungguh macho," Dara menyindir.
"Tony, kau benar-benar sinting," Carly menggerutu.
"Aku punya satu tantangan yang sempurna buatmu," kata Dara.
Ia melompat berdiri. "Ayo, semua. Pakai mantel kalian."
Kami mengikutinya ke depan. Aku mengintip melalui pintu
dorong kaca itu. "Wah! Lihat saljunya!" seruku dengan bersemangat.
"Hujan salju benar-benar turun sekarang," kata Jenny di
sampingku. "Tentu menyenangkan main ski besok."
Kami mengenakan mantel, syal, dan sarung tangan. Kemudian
kami bergegas keluar. Dara berhenti di jalur masuk. Ia berbalik menghadap ke rumah
dan menunjuk ke atap yang menukik miring. "Itu tantanganmu. Naik
ke sana, Tony." Sambil menyipitkan mata karena salju, aku bisa melihat benda
bulat dan gelap pada atap sirap.
"Apa yang kaukatakan?" tanya Tony, sambil melangkah
mendekati Dara. "Frisbee yang ada di atap itu. Kau yang melemparkannya ke
Sana"bukan?" kata Dara.
Tony mengangkat pundak. "Lalu?"
"Jadi naiklah ke sana dan bawalah turun Frisbee itu," Dara
menginstruksikan. "Aku menantangmu."
"Tapi di atas sana sangat licin," Carly protes, rambutnya
berkibaran di seputar wajah. "Dan saljunya sudah lengket."
"Hei"bukan masalah," kata Tony. "Itu terlalu gampang, Dara."
"Jangan lakukan, Tony," kataku tanpa pikir panjang. "Carly
benar. Atap itu sangat licin karena salju. Terlalu berbahaya."
Dara menyipitkan mata memandangku, seolah hendak
mengatakan, "Jangan ikut campur."
"Aku terima tantangan itu," kata Tony. Ia beranjak menuju ke
garasi. Setengah jalan ke sana, ia berbalik ke arah kami. "Kalau aku
jatuh, aku tahu kau tidak akan merasa terlalu bersalah"begitu kan,
Dara?" "Jangan membuatku tertawa. Bibirku pecah-pecah," balas Dara
dengan keji. Beberapa detik kemudian Tony keluar dari garasi dengan
sebuah tangga aluminium. Ia menyandarkannya pada bagian depan
rumah. Ia berbalik untuk membungkuk dalam sebelum mulai
memanjat tangga tersebut.
Angin tiba-tiba bertiup kencang, membuat salju berpusar dalam
lingkaran-lingkaran. Aku menggigil. Perasaan ngeri menindih berat
dalam perutku. Ia seharusnya tidak naik ke sana, pikirku, sambil menyeka
serpihan salju dari alis. Ini gila.
Dara tidak menyukai Tony, dan ia benar-benar jahat kepadanya.
Dan Tony terlalu besar gengsi untuk mundur.
Aku memejamkan mata ketika Tony melangkah pada atap
miring itu. Tapi aku tidak bisa terus memejamkannya. Aku harus
menyaksikan. Aku merapat kepada Jenny dan Ken. Josh berdiri seorang diri di
jalur masuk, tangannya disisipkan ke dalam saku. Serpihan salju
menempel pada kacamatanya. Dara berdiri paling dekat ke rumah,
tangannya dilipat di dada, seulas senyum mencemooh tersungging
pada wajahnya. "Hei, bagus sekali di sini!" seru Tony, sambil maju selangkah
ke arah Frisbee, lalu selangkah lagi. "Kalian semua seharusnya
mencoba!" Ia mencondongkan badan ke depan, merunduk dari terpaan
pusaran angin. Ia maju selangkah. Kakinya tergelincir. Ia berhasil
mengembalikan keseimbangan.
"Tony"turun!" Carly memohon. "Ayolah! Kau sudah
membuktikan bahwa kau jantan. Turunlah"oke?"
Ia tak menghiraukan. Maju selangkah lagi di atap yang
berselimut salju. Menggapai Frisbee itu.
Aku memekik keras saat melihat kakinya tergelincir. Keduanya.
Terpeleset dari pijakan di bawahnya.
Tangannya terulur ke depan.
Ia menjerit kaget. Bagian depan mantelnya membentur atap dengan keras. Lengan
dan kakinya menggapai-gapai kalang kabut.
Kami semua berteriak ketika ia meluncur turun dari atap.
BAB 6 TANGAN Tonny menggaruk atap sirap itu sewaktu ia jatuh.
Ia menggelincir cepat"terlalu cepat bagi kami untuk bergerak.
Kakinya terjuntai di tepi atap, menendang-nendang panik.
Lalu kedua tangannya menangkap talang.
Dan ia tertahan. "Tony"!" jerit Carly. "Tony"!"
Ia bergelantungan di talang beberapa saat" kakinya terayunayun tinggi di atas salju. Kemudian dengan satu gerakan cepat, Tony
melepaskan pegangannya dan melompat ke atas tanah dengan selamat.
Aku mengembuskan napas lega panjang-panjang. Semua
bersorak dan bertepuk tangan.
Dengan senyum lebar tersungging di bibir, Tony mendekat
dengan berlari-lari kecil melintasi halaman depan yang tertutup salju.
Ia merangkulkan satu tangan pada pundak Carly dan berpaling pada
Dara. Dara menuding ke atap. "Kau lupa Frisbee-nya," katanya.
Kami semua tertawa. Tapi Tony balas menatap dingin. "Ambil saja sendiri," katanya.
"Aku berhenti main."
Aku sadar bahwa mereka benar-benar saling benci. Dalam hati
aku bertanya-tanya sendiri, apakah mereka bisa melewatkan akhir
pekan panjang ini bersama-sama tanpa merusak suasana bagi yang
lain. "Ayo kita jalan-jalan saja!" aku mengusulkan. "Sungguh indah
di luar sini! Ayo kita jalan-jalan di hutan."
Rumah Dara berdiri di puncak bukit. Di bawahnya terbentang
hutan pinus yang gelap. Lereng untuk main ski dimulai kurang-lebih
delapan ratus meter sesudah hutan itu. Kota terdekat kira-kira berada
satu setengah kilometer sesudah lereng ski tersebut.
Aku mengenakan kerudung jaket parka dan memimpin di
depan, menuruni lereng bukit berselimut salju itu menuju ke hutan.
Semua mulai tertawa-tawa dan bernyanyi. Bahkan Tony pun ikut
bergabung.ebukulawas.blogspot.com
Kami berputar-putar liar, tabrak-menabrak dan tarik menarik,
menengadahkan muka menyambut salju yang basah. Langit berwarna
ungu gelap. Salju turun begitu lebat dan tebal, aku hampir tidak bisa
melihat pepohonan. "Aku tak bisa melihat apa-apa!" Josh mengeluh. Kacamatanya
benar-benar tertutup butiran salju.
Ketika memasuki hutan, kami bisa melihat salju bergelantungan
pada dahan-dahan pohon. Sungguh indah. Pemandangan itu bak
gambar pada kartu Natal. Aku tinggal di belakang. Aku masih memikirkan jawabanku
dalam permainan Truth or Dare tadi.
Kucoba untuk melupakannya. Namun kata-kataku terus
mengikuti di luar, membuntuti, mengulangi, memenuhi diriku dengan
perasaan takut sementara aku berusaha menikmati malam yang indah
itu. Pulau Sumner. Sejak musim panas lalu, aku tidak bisa menyingkirkannya dari
benakku. Tidak bisa berhenti memikirkan apa yang kulihat di sana.
Dan setiap kali memikirkannya, aku makin merasa bersalah.
BAB 7 AGUSTUS yang panas, lembap. Gelombang panas. Hampir tak
ada angin. Aku sedang bekerja sebagai pengasuh. Pulau Sumner begitu
indah, begitu memesona. Dengan cottage-cottage dari papan berwarna
putih, kebun-kebun bunga yang terawat cermat, pantai-pantai sempit
berpasir putih, dok-dok kayu kecil, terapung-apung di air yang tenang,
berkilauan. Aku sedang menikmati liburan yang menyenangkan. Sedikit
membosankan, mungkin. Tetapi menyenangkan. Bermandi matahari.
Berenang. Membaca. Duduk-duduk sesudah hari gelap, mengobrol
bersama beberapa teman di kota kecil sebesar dua blok itu.
Semuanya itu berantakan ketika aku melihat Ken.
Aku tahu Ken dan keluarganya sedang berlibur di Pulau
Sumner. Tetapi selama minggu pertama di sana, aku tidak pernah
berjumpa dengannya. Kemudian aku melihatnya di pantai. Dengan seorang cewek
yang tidak kukenal. Dengan cewek yang bukan Jenny.
Cewek itu berkulit sangat cokelat terjemur matahari. Kupikir
aku memperhatikan warna kulitnya sebelum mengamati bagian lain.
Rambutnya hitam pendek, dipotong model bob, dengan poni.
Aku tidak melihat wajahnya dengan jelas. Aku sedang berdiri di
batu karang di pinggir pantai. Terlalu terguncang untuk mendatangi
lebih dekat. Ia memakai bikini kecil warna biru. Aku ingat itu.
Ia dan Ken sudah menggelar dua handuk pantai berukuran besar
di atas pasir. Tetapi mereka berdua hanya berbaring pada salah
satunya. Ken menciumnya. Sebuah ciuman panjang.
Mereka tidak bergerak. Aku pun tidak bergerak. Aku berdiri ternganga memandangi
mereka. Aku begitu terguncang. Benar-benar tercengang.
Akhirnya aku berbalik dan berlari meninggalkan pantai. Aku
menengok sekali ke belakang. Ken dan cewek itu belum bergerak.
Mereka masih berciuman. Keesokan harinya, aku melihat mereka di kota, tapi mereka
tidak melihatku. Satu tangan Ken merangkul pundak cewek itu.
Mereka berhenti di tengah alun-alun kota kecil itu untuk berciuman.
Aku tak pernah menceritakan hal ini kepada Jenny. Aku tahu
perasaannya akan hancur. Aku tak pernah mengatakan kepada Ken bahwa aku pernah
melihatnya. Bahwa aku tahu ia melewatkan liburannya bersama
cewek lain. Aku merasa begitu bersalah.
Aku tahu rahasia busuk mengenai Ken. Tetapi aku tidak bisa
menguatkan hati untuk menuturkannya kepada Jenny. Aku tidak ingin
menyakitinya. Sesudah liburan itu, ia dan Ken bersama-sama kembali seperti
biasa. Aku ingin menceritakan kepada Jenny apa yang kusaksikan.
Aku ingin menceritakan kepadanya bahwa Ken bukanlah laki-laki
seperti yang ia perkirakan.
Aku merasa begitu bersalah karena menyembunyikan rahasia
ini dari sahabat karibku.
Namun aku tak punya keberanian untuk menuturkannya.
Beberapa kali aku berniat menceritakannya. Aku memutar
nomor teleponnya"tetapi kemudian langsung memutuskan
sambungan. Bulan demi bulan berlalu, kupikir aku mungkin bisa
melupakannya. Melupakan apa yang kulihat di Pulau Sumner.
Tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku makin merasa
bersalah. Kurasa itulah sebabnya, dalam permainan Truth or Dare tadi,
aku menyemburkan jawaban itu tanpa pikir lagi. Aku ingin setengah
mati mengeluarkan rahasia itu. Ini sungguh suatu rahasia yang
kuketahui dengan penuh penyesalan.
Kata-kata itu meletup keluar dariku. Aku sama sekali tidak
Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpikir. Dan kemudian aku begitu menyesal sudah mengucapkannya.
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Ken tahu apa yang
kubicarakan. Ia pasti tahu, aku memutuskan. Sekarang, untuk pertama
kalinya, Ken pasti tahu bahwa aku tahu.
"Hei, April"apa yang kaukerjakan di belakang sana?" Jenny
berseru dari depan. Sambil menyeka salju dari mata, aku bergegas menyusul.
****************** Kami melemparkan mantel-mantel basah kami ke tumpukan di
depan pintu masuk. Api sudah padam menjadi bara gelap di lantai
perapian. Tetapi cangkir-cangkir besar cokelat panas mengepulngepul menghangatkan kami.
Perjalanan panjang di hutan itu membantu kami mengendurkan
perasaan tegang. Carly dan Tony tertawa-tawa dan bercanda bersama
kami semua. Bahkan Josh sekalipun sepertinya bisa mengatasi perasaan
malunya. Meskipun ia masih terus menatap Dara, mengamatinya,
memandanginya, seolah mengharapkan sesuatu darinya.
"Kita harus meneruskan permainan Truth or Dare tadi," Dara
mengusulkan ketika kami kembali ke ruang duduk.
"Aku tak ikut," kataku, sambil menguap. "Aku mau tidur." Aku
sudah tidak sabar menunggu untuk menanggalkan pakaian yang basah
dan menyelinap ke bawah selimut hangat.
Semua kelihatan benar-benar letih. Dara mengangkat pundak
dan mengalah. "Sampai jumpa besok pagi," katanya.
Kami semua beranjak menuju kamar masing-masing. Semua
cowok menuju kamar mereka di ujung koridor panjang di sebelah kiri.
Carly, Jenny, dan aku pergi ke kamar di sayap lainnya.
Aku menanggalkan sweater dan jeans dan melemparkannya ke
atas kursi. Sambil bergidik kedinginan, aku mengenakan pakaian tidur
panjang dari flanel. Beberapa menit kemudian, ketika sedang keluar dari kamar
mandi, aku mendengar suara dari ruang duduk. Langkah kaki.
Seseorang sedang mondar-mandir di sana.
Aku berjalan menyusuri koridor dan mengintip ke ruangan itu.
Perapian sudah gelap kecuali ada beberapa bara api keunguan. Tetapi
dalam cahaya redup dari pintu kaca, aku bisa melihat Dara sedang
mengenakan mantel biru. "Dara, mau ke mana kau?" tanyaku dengan bisikan keras.
Ia berpaling, terperanjat oleh suaraku. "Cuma keluar ke gudang
kayu," jawabnya, sambil membuka gumpalan sepasang sarung tangan
basah dan berkutat memakainya. "Mengambil kayu bakar untuk besok
pagi." "Perlu bantuan?" aku menawarkan.
Ia menggeleng. "Tidak, terima kasih, April. Kau sudah ganti
pakaian. Aku takkan lama. Kembalilah ke ranjang, oke" Sampai
jumpa besok pagi." "Sampai besok," balasku dengan mengantuk. Aku mendengar
pintu dibuka dan ditutup ketika aku kembali ke kamar.
"Ada apa?" seru satu suara.
Aku menoleh dan melihat Tony sudah di tengah koridor kamar
cowok. "Dara pergi keluar untuk mengambil kayu bakar," kataku
kepadanya. Ia mengangguk dan kembali ke kamarnya.
Mengapa Dara begitu tak menyukai Tony" tanyaku dalam hati,
sambil melangkah kembali ke dalam kamar dan menutup pintunya.
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah mereka dulu pernah pacaran.
Aku tidak punya waktu lama untuk memikirkannya. Aku
tertidur beberapa detik sesudah meletakkan kepala di atas bantal.
******************** Sabtu pagi aku duduk di ranjang dan memandang ke jendela.
Cahaya kelabu menyilaukan membuat kaca itu berkilau seperti perak.
Apakah salju yang turun sudah cukup untuk main ski"
Aku turun dari ranjang, meregangkan badan, dan dengan
bersemangat melintasi kamar menuju ke jendela. "Wah!" seruku
keras. "Badai salju!"
Aku menatap salju di luar. Salju sudah menyelimuti tanah dan
pepohonan. Pasti tingginya sudah tiga puluh senti, pikirku. Kulihat
tumpukan salju yang terseret sudah menumpuk sampai ke birai
jendela. Dan salju masih terus turun, tirai serpihan-serpihan putih kecil
berkilauan, berpusar dari segala arah karena tiupan angin keras.
"Badai salju!" kuulangi kata-kataku dengan gembira. "Lihatlah,
lereng! Aku datang!"
Aku berpakaian dengan cepat. Menyikat gigi dan rambut. Dan
bergegas pergi sarapan. Sayang, suasana hatiku yang gembira hanya bertahan sampai
aku tiba di dapur. Dan menerima kabar mengerikan bahwa dua di antara kami
hilang. BAB 8 MULANYA, segalanya kelihatan normal.
Tony membungkuk di atas meja dapur, menuang bubuk kopi ke
dalam mesin kopi. Carly berdiri di depan pintu kaca, iseng menariknarik rambutnya ke belakang sambil menatap ke luar pada salju yang
sedang berjatuhan. Jenny dan Ken berdempetan di sebelah radio.
"Selamat pagi!" seruku riang.
Tetapi mereka berdua mengangkat jari ke bibir, memberi tanda
kepadaku agar diam. Aku melangkah lebih dekat untuk mendengarkan
apa yang sedang mereka dengarkan dengan sungguh-sungguh di radio.
"Salju diperkirakan turun 20 hingga 25 senti lagi," suara di
radio itu berkata. "Itu kabar baiknya. Tetapi kabar buruk untuk para
pemain ski adalah liftnya tidak akan jalan karena kerasnya tiupan
angin." Aku mengerang kecewa. Ken mengernyit dan menggeleng. "Aku tadinya iri karena lift
ski selalu jalan," ia mengeluh. "Apa yang harus kita kerjakan
sepanjang hari?" "Merangkak mendaki lereng itu, kurasa," aku berseloroh.
Jenny dengan marah mematikan radio. "Aku tak percaya," ia
bersungut-sungut muram. "Kalau anginnya terlalu kencang untuk
main ski, apakah yang akan kita kerjakan?"
Carly adalah yang pertama memperhatikan bahwa Dara tidak
ada. "Mana dia" Kemarin malam dia bilang padaku dia suka bangun
pagi sekali," ujar Carly.
"Josh juga belum bangun," aku berkomentar.
Tony menuang air ke dalam mesin kopi dan menghidupkannya.
"Aku kelaparan," ia mengumumkan, sambil mulai membuka lemari
dapur. "Ada apa untuk sarapan" Apakah semua mau telur dan babi
asap?" "Nguik, nguik," Carly bersungut.
"Hei"aku suka babi asap!" Tony protes.
"Aku bisa bikin kue dadar," Jenny menawarkan. "Kalau kita
punya bahannya." "Menurut kalian, apakah kita perlu memeriksa Dara?" tanyaku,
sambil membuka kulkas. Kukeluarkan satu karton air jeruk dan
mencari gelas sari buah dalam lemari di atas bak cuci.
"Dia membutuhkan tidur kecantikannya, kurasa," jawab Tony,
sambil terkekeh-kekeh. "Apakah ada telur di situ?" tanya Jenny padaku. "Periksa
kulkasnya. Bisakah kalian menemukan tepung adonan kue dadar atau
lainnya?" Kami semua sibuk membuat sarapan. Kurasa tak satu pun di
antara kami benar-benar mengkhawatirkan Dara. Semua kelihatan
ceria ketika kami mengisi perut dengan kue dadar serta sirup, daging
babi asap, sari buah, dan kopi.
"Kurasa anginnya mereda," Ken melaporkan, sambil mengamati
salju yang berjatuhan di balik pintu kaca.
"Yaaaay!" Jenny bersorak. "Kita harus main ski hari ini.
Rasanya aku tak bisa menunggu sehari lagi!"
"Dara melewatkan sarapan yang lezat," kataku sambil menyeka
sirup maple dari dagu dengan serbet. "Josh juga."
Seperti yang kukatakan, kami tidak terlalu khawatir.
Tetapi sewaktu kami membilas peralatan makan dan
Ksatria Negeri Salju 1 Pendekar Romantis 01 Geger Di Kayangan Bara Naga 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama