Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut 3

Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare Bagian 3


Kata-kata itu membuatku bergidik.
Kusadari bahwa aku mempercayai Josh. Sepertinya ia
menceritakan hal yang sebenarnya.
Ia memang telah bertindak gila, tanpa pikir. Tapi aku
mempercayainya ketika ia mengatakan bahwa ia tidak membunuh
Dara. Aku menelan ludah dengan berat. Itu hanya berarti satu hal.
Orang lain yang membunuh Dara.
Seseorang di dalam ruangan ini.
*************** Cahaya kelabu. Aku terbangun hari Minggu pagi, bermandi cahaya kelabu yang
dingin. Sinar itu merembes melalui tirai putih tipis yang menutupi
jendela kamar, hingga kamar itu terasa lebih dingin daripada yang
sebenarnya. Sambil meregangkan badan, aku berjalan dengan mengantuk
melintasi kamar, mendorong tirai ke samping, dan melihat ke luar.
Awan badai tebal masih menggelapkan langit, tergantung-gantung
rendah di atas pepohonan. Salju masih turun, terlempar-lempar oleh
pusaran angin. Salju turun bagai tabir, begitu tebal sehingga aku hampir tidak
bisa melihat pepohonan pinus yang di sepanjang lereng bukit.
Bisakah aku meninggalkan tempat ini" aku bertanya-tanya
dalam hati, sambil menggigil.
Aku cepat-cepat berpakaian, mengenakan legging hitam dan
sweater wol tebal berwarna biru. Berjalan di koridor, aku mendengar
suara-suara di dapur. Aroma tajam daging babi asin digoreng
melayang keluar dan bercampur dengan bau kopi.
"Aku tak sanggup ikut sarapan pagi ini," gumamku keras. Aku
berbalik dari dapur. Aku pun tidak sanggup menghadapi mereka,
demikian kuputuskan. Salah satu di antara mereka adalah pembunuh.
Kata-kata itu membuat perutku mengejang. Bau daging babi
asin itu tiba-tiba membuatku mual.
Sebuah pesawat telepon kecil berwarna merah di atas meja
koridor menarik perhatianku.
Apakah sudah ada yang menelepon polisi" Apakah mereka
datang untuk menangkap Josh"
Apakah sudah ada yang menelepon untuk melaporkan
pembunuhan itu" Untuk memberitahu mereka bahwa kami terdampar
di sini" Terdampar di sini dengan mayat beku dalam garasi"
Aku mengangkat gagang telepon dan mendengarkan.
Masih bisu. Masih mati. Aku melenguh kecewa. Aku tidak bisa melewatkan satu hari
lagi di rumah ini, pikirku. Ini rumah kematian. Rumah kengerian.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Tenanglah, April," kutegur
diriku sendiri. "April"selamat pagi!"
Aku berbalik dan melihat Ken berdiri di koridor itu. "Pagi,"
gumamku. "Bagaimana kabarmu?" ia bertanya ceria. Rambutnya masih
basah sehabis mandi. Satu tangannya membawa cangkir kopi. "Kau
mau sarapan?" "Uh... ya. Kurasa," aku menggumam.
Aku berjalan beberapa langkah ke arah dapur, tetapi ia bergeser
menghadang jalan. "Bisakah aku bicara denganmu kapan-kapan pagi
ini?" ia bertanya, sambil merendahkan suara. Mata hitamnya terkunci
pada mataku. "Yeah. Tentu," jawabku, sambil berusaha agar terdengar wajar.
"Tentang apa?" Ia ragu-ragu. "Well, tentang sesuatu yang kaukatakan kemarin
malam." Cewek di Pulau Sumner itu.
Cewek itu adalah hal terakhir yang ingin kubicarakan dengan
Ken. Setiap kali memikirkannya, aku selalu didera perasaan bersalah.
Perasaan bersalah karena aku tidak punya nyali untuk memberitahu
Jenny bahwa aku melihat Ken dan cewek itu.
Sudah tentu aku tidak ingin membicarakannya dengan Ken.
Apa yang bisa kukatakan padanya" Bahwa menurutku dia adalah tikus
busuk" "Jadi" Bisakah kita bicara?" desaknya.
"Mungkin nanti," jawabku.
Mengapa tanpa pikir panjang kusemburkan jawaban itu dalam
permainan" Mengapa tak kututup saja mulut besarku ini"
Cewek dari Pulau Sumner itu kembali melayang-layang dalam
pikiranku. Sekali lagi, aku melihatnya dengan Ken, sedang berciuman
di pantai, berciuman dengan penuh gairah.
Sambil mengenyahkan bayangan itu dari benakku, aku
mengikuti Ken ke dalam dapur. Tony dan Carly sedang duduk dengan
murung di depan meja. Aku tidak melihat Jenny atau Josh. "Apakah
salju ini bakal berhenti turun?" tanya Tony, sambil menguap.
"Kita harus keluar dari sini," Carly menambahkan, lalu
menghabiskan segelas kecil air jeruk.
Aku menyetujui diam-diam. Kutuang air jeruk untuk diri
sendiri. Tapi rasanya asam. Aku mengoleskan mentega pada seiris roti
dan menelannya. Aku sama sekali tidak ingin makan. Aku tidak ingin
bersama orang-orang ini. "Mana Jenny?" tanyaku.
"Masih tidur," jawab Carly. "Kurasa Josh masih tidur juga.
"Bukankah seharusnya kita mengawasinya?" tanya Tony.
"Ia takkan ke mana-mana," jawab Ken, sambil mengoleskan
mentega pada seiris roti pang- gang. "Dia terjebak di sini seperti kita."
Aku berbalik dan beranjak keluar dari dapur. "Pergi ke mana
kau?" tanya Ken. "Kembali ke kamarku," sahutku.
Ia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak menunggu untuk
mendengarnya. Aku merasa tidak begitu berminat bersosialisasi pagi
ini. Aku bergegas berjalan di koridor.
Aku berhenti di luar pintu kamarku.
Aku mendengar suara di dalam kamar.
Langkah kaki. Laci-laci ditarik dan dibanting tertutup.
Napasku tersangkut dalam kerongkongan. Siapa yang berada
dalam kamarku" Dengan hati-hati aku memegang kusen pintu dan
mencondongkan badan ke depan, menyembulkan kepala ke dalam
kamar. Aku melihat Josh, sedang membungkuk di atas lemari rias,
menarik laci-laci, kalang kabut mencari sesuatu di antara barangbarangku.
BAB 19 "JOSH"apa yang kaulakukan?" teriakku.
Aku benar-benar membuatnya terkejut. Ia menjerit dan
terhuyung mundur dari lemari rias.
"April, aku... uh..."
Aku menerobos masuk kamar. "Apa yang kaucari" Apa yang
kaukerjakan di sini?" aku berteriak. "Mengapa kau mengacak-acak
kamarku?" Wajahnya yang ramping berubah merah padam. Ia mendorong
kacamatanya ke atas hidung. "Aku sedang mencari bolpoin itu,"
akhirnya ia bisa menjawab.
Mulutku ternganga. "Bolpoin?"
"Bolpoin yang dipakai untuk menulis surat buat Dara. Bolpoin
merah itu," katanya. Berdiri canggung di tengah kamar, ia
menghindari pandanganku. "Kau mengaku itu bolpoinmu?" aku berteriak.
"Tidak!" sangkalnya keras. "Bukan aku yang menulis surat itu,
April. Aku"aku ingin mencari tahu siapa yang melakukannya. Kalau
aku bisa menemukan bolpoin yang dipakai menulis..." Suaranya
menghilang. "Kaukira aku yang menulisnya?" aku berseru.
Ia tidak menjawab. Aku berdiri menunggu, bertolak pinggang.
"Kaukira akulah orang yang menulis surat itu?" aku mengulangi.
"Aku tak tahu. Entahlah, dari mana aku tahu?" jawabnya.
Suaranya gemetar oleh emosi. "Aku tak tahu apa-apa. Aku cuma tahu
seseorang di dalam rumah ini telah menulis surat itu. Bukan aku.
Orang lain yang membunuh Dara."
"Tapi, Josh?" aku hendak bicara.
"Bolpoin itu pasti ada di suatu tempat," ia bersikeras." "Dan aku
akan memeriksa setiap kamar di rumah ini sampai aku
menemukannya. Kalau aku bisa menemukannya, aku bisa
membuktikan bukan aku yang menulis surat itu!"
"Well, kau takkan menemukannya di dalam kamarku!" kataku
melengking. "Keluar! Keluar!"
Aku tahu aku benar-benar kehabisan kesabaran, tapi aku tak
peduli. Aku terperangkap di rumah ini, dengan satu mayat di garasi"
dan kemungkinan seorang pembunuh di dalam kamarku!
"Keluar, Josh!" aku berteriak. Aku mencengkeram kedua
pundaknya dan menolaknya keras-keras ke arah pintu.
Ia menatapku dengan pandangan berapi-api marah. Aku
merasakan tikaman perasaan takut.
Tetapi ia berbalik dan menyelinap keluar dari kamar.
"Aku sudah tak tahan lagi!" jeritku. Aku memandang ke luar
jendela. Salju masih turun. Tapi tidak selebat sebelumnya.
Aku akan keluar, kataku pada diri sendiri. Aku akan keluar dari
sini. Aku tak peduli dengan salju itu. Aku tak peduli dengan hawa
dingin. Aku tak peduli apa pun.
Aku cuma harus pergi. Mencari pertolongan.
Pulang. Jantungku berdegup kencang. Langit kelabu itu berpusar
menggulung di seputarku. Begitu berat dan dingin.
Aku tahu aku tidak berpikir dengan tenang, dengan jernih. Tapi
aku tak peduli. Menemukan Josh sedang mengaduk-aduk pakaianku adalah
pilihan terakhir. Aku berjalan tanpa suara di koridor, berharap bahwa yang lain
takkan mendengarku, berharap tak seorang pun keluar dari dapur.
Sepatu botku ada di dekat pintu depan. Aku duduk di lantai dan
mengenakannya menutupi legging-ku. Kemudian aku berdiri dan
berjalan ke tumpukan mantel.
Mantel-mantel itu kami lemparkan begitu saja ketika kami
masuk. Dan kami sudah saling memakai mantel orang lain. Jadi semua
campur aduk. Aku menarik setiap mantel, satu per satu.
"Aneh," gumamku. Jaket parka milikku tidak ada di tumpukan
tersebut. Aku mencari-cari lagi di tumpukan, kali ini dengan lebih
cermat. Kemudian aku mencari di lemari mantel. Tidak ada juga di
sana. Apakah jaket itu kugantungkan di lemari kamar"
Aku bergegas kembali ke koridor dan memeriksa seluruh kamar
tidur. Tidak ada jaket parka.
Aku berhenti di tengah kamar untuk berpikir. Di mana gerangan
aku tadi menaruhnya" Apakah kubawa ke salah satu kamar lain"
Tidak. Terakhir yang kuingat, aku menjatuhkannya ke
tumpukan mantel di dekat pintu depan.
Seharusnya ada di sana, pikirku. Jaket parkaku seharusnya ada
di tumpukan itu. Di mana sekarang" Di mana"
Aku kembali mengaduk-aduk tumpukan mantel tersebut dengan
kalang kabut, melemparkannya dengan serampangan ke pinggir
sambil mencari-cari. Tidak ada di sini. Tidak di sini. Tidak di sini.
Dan kemudian sebuah bayangan terlintas dalam benakku.
Bayangan yang mengerikan.
Bayangan yang membuat seluruh tubuhku gemetar oleh
guncangan perasaan. BAB 20 BAYANGAN itu mengerikan, bayangan mayat Dara yang
membeku. Di teras belakang di luar sana.
Mayat Dara yang beku. Tergeletak kaku di dalam salju.
Matanya beku terbelalak lebar karena terkejut dan ngeri.
Beliung itu terbenam dalam-dalam di pundaknya.
Terbenam dalam-dalam di jaket parka biru.
Parka biru milikku" Apakah itu parka biruku" Apakah Dara memakai jaketku Jumat
malam kemarin" Dengan napas tersengal-sengal aku menghambur ke pintu
depan. Aku bahkan tidak berpikir untuk memakai mantel. Aku sama
sekali tidak berpikir. Bayangan dalam benakku itu mengusir segala
pikiran lain. Aku menghambur keluar ke tumpukan salju. Sepatu larsku
terbenam dalam-dalam. Aku mengangkat lutut tinggi-tinggi, berjalan
menuju ke garasi. Satu langkah. Lalu satu langkah lagi. Napasku menderu-deru,
mengepulkan uap di atasku. Salju menerpa wajahku, mataku.
Mendorongku mundur, seolah mencegahku mencapai tujuan.
Aku membungkuk untuk mengangkat pintu garasi.
Pegangannya sudah tertutup es. Pintu yang membeku itu tidak mau
membuka. Aku menarik dengan dua tangan dan akhirnya berhasil
membuatnya bergeser. Pintu bergemuruh membuka ke atas. Aku melangkah ke dalam,
menyeka salju dari mata. Aku menatap dalam kegelapan. Memandang ke arah Dara.
Mereka telah menyandarkannya pada dinding, di samping
sepeda tua. Matanya"terbelalak lebar"sudah ambles ke dalam
kepala. Keduanya menatap padaku dengan pandangan menuduh.
Aku menelan ludah. Memaksa diri untuk menurunkan
pandangan dari wajahnya yang beku.
Berusaha memusatkan pandangan pada jaket parka yang ia
pakai. Ya. Parkaku. Dara memakai parka biruku.
Dara memakai parkaku pada Jumat malam ketika ia dibunuh.
Beliung itu menembus pundak jaket parkaku.
Dan sewaktu aku ternganga ngeri memandang mayat itu, satu
bayangan lain menerobos masuk ke benakku. Aku membayangkan
diriku di tengah salju di luar. Aku membayangkan diriku di dalam
kegelapan Jumat malam itu, berjalan menuju gudang kayu.
Karena tudung jaket parka biruku itu menutupi kepalanya, Dara
tentu kelihatan sama seperti aku.
Aku... Dan aku membayangkan diriku kaku beku. Dan mati.
Berdiri di pintu garasi yang terbuka, menatap mayat beku
berwajah biru, hawa dingin turun menyelubungiku.
Hawa dingin dan kegelapan. Kegelapan yang bisa kurasakan.
Dan tahulah aku bahwa Dara tewas terbunuh tanpa disengaja.


Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akulah yang tergeletak di sana. Aku.
Si pembunuh bermaksud membunuhku.
BAB 21 DENGAN jeritan rendah aku terhuyung keluar dari garasi dan
menerobos salju kembali ke dalam rumah. "Mantelku?" Kata-kata itu
bergulir keluar begitu saja dari mulutku saat kutarik pintu depan
hingga tertutup. Apa yang harus kulakukan" Apa yang harus kulakukan"
Seseorang mencoba membunuhku.
Josh-kah itu" Ataukah salah satu yang lainnya"
Aku tak ingin memikirkannya. Aku terlalu gila untuk
memikirkan apa pun dengan jernih.
Mungkin aku bisa mendapatkan pertolongan, kataku pada diri
sendiri, sambil berusaha menghentikan gemetar badanku. Mungkin
aku bisa sampai ke jalan. Sampai ke salah satu pondok ski.
Menemukan seseorang. Menemukan siapa saja yang bisa membawaku
pada polisi. Aku meraih sebuah mantel dari tumpukan.
Mantel merah panjang berukuran besar. Aku tak tahu milik
siapa. Aku tak peduli. Sambil mengenakan mantel itu, aku menyentakkan pintu depan
hingga membuka dan melesat kembali ke luar.
Sepatu botku tenggelam ke dalam salju lembut saat aku berjalan
susah payah menuju ke jalur masuk. Angin meniup salju menjadi
tabir. Salju yang jatuh kini basah dan bercampur es, lebih mirip air
hujan dan es daripada salju.
Aku menengok kembali ke rumah itu. Adakah yang melihatku
pergi" Apakah ada yang mengikutiku"
Tidak. Tak ada seorang pun di jendela.
Aku akan kabur, pikirku. Udara ternyata lebih dingin daripada yang kuperkirakan
sebelumnya. Hawa dingin menyengat wajah dan membuat lubang
hidungku terbakar ketika menghirup napas. Sambil berkutat untuk
menarik ritsleting mantel tebal itu, aku melaju menuruni bukit.
Angin sepertinya bertiup tepat ke wajahku. Aku
mencondongkan badan ke depan dan memejamkan mata melawan
salju basah yang berjatuhan.
"Aku pergi!" teriakku nyaring, suaraku teredam oleh angin.
"Aku pergi dari sini!"
Aku bisa melakukannya, kataku pada diri sendiri. Aku tentu
bisa mencapai pondok ski terdekat.
Kutajamkan padanganku ke kaki bukit. Aku hampir tidak bisa
melihat jalan yang tertutup salju. Pengeruk salju meninggalkan
gundukan-gundukan salju di sepanjang sisi jalan. Namun lebih banyak
lagi salju yang sudah menutupi jalan membentuk selimut putih yang
tebal. Aku mencondongkan badan melawan angin tajam, melindungi
mata dari salju yang beterbangan dan cahaya terang keperakan. Aku
akhirnya berhasil menarik ritsleting mantel. Tetapi mantel itu terlalu
besar. Sewaktu aku berjalan, angin mengangkat bagian depannya dan
menekan kerahnya. Ini pasti mantel Ken, aku tersadar. Ken berperawakan paling
besar di rumah itu. Ya. Aku bisa membayangkan Ken dalam mantel itu.
Membayangkan lengan mantel yang merah itu memeluk pundak
Jenny. Membayangkannya berlari mencegat bus Shadyside sesudah
sekolah, mantel merah berkibaran di belakangnya seperti bendera
besar. Dan kemudian aku sekali lagi membayangkannya bersama
cewek di Pulau Sumner musim panas lalu. Aku membayangkan
mereka tertawa-tawa bersama. Saling merapat mesra. Berciuman di
pantai. Aku begitu terguncang, aku hampir saja berlari mendatangi dan
menarik mereka hingga terpisah. Aku hampir saja menegur Ken di
sana saat itu juga. Aku begitu takut. Dan begitu marah padanya.
Apakah yang terjadi seandainya aku berlari ke pantai dan
membiarkan Ken tahu bahwa aku ada di sana" Apa yang akan
dilakukannya" Apa yang akan terjadi antara Ken dan Jenny"
Aku berteriak ketika sepatu larsku terjeblos ke dalam timbunan
salju dan aku terguling ke depan. Tanganku terulur ke atas"
terlambat. Aku mendarat dengan keras, tenggelam dalam salju putih
yang dingin. Aku merayap cepat dan menyeka tubuhku.
Terus jalan, aku mendesak diriku sendiri. Jangan berhenti. Kau
tak bisa berhenti sampai menemukan seseorang.
Pipiku terbakar. Hawa dingin membuat pelipisku berdenyut
nyeri. Kusentuh hidungku. Sudah mati rasa.
Radang dingin. Kata itu membuatku tersentak.
Aku menggosok telinga. Mati rasa juga.
Aku takkan berhasil, pikirku.
Aku masih jauh dari jalan. Tak ada satu pun mobil atau truk
yang lewat. Tak ada seorang pun di luar dalam badai seperti ini.
Hanya aku. Terus jalan, April, kudesak diriku lagi. Jangan menyerah. Kau
bisa melakukannya. Kau bisa menemukan seseorang untuk
menolongmu. Kau tak ingin kembali ke rumah itu.
Ada pembunuh di sana. Pembunuh yang sedang menunggumu.
Tak mampu menahan tubuhku agar berhenti menggigil, aku
membenamkan tangan dalam-dalam ke saku mantel Ken.
Mengapa aku tadi tidak berhenti untuk mencari sarung tangan"
Atau topi" Atau syal.
Aku begitu tolol, begitu sinting, begitu ingin menyingkir.
Tapi kini angin melecut salju menerpa wajahku, mendorongku
ke belakang sewaktu aku berusaha menuruni bukit. Hawa dingin itu
memaksa mataku berair. Dadaku nyeri. Napasku mengepulkan uap
saat aku tersengal-sengal, bernapas melalui mulut.
Aku membenamkan tangan dalam-dalam ke saku mantel itu.
Dan tangan kananku menggenggam sesuatu.
Sebuah benda tipis. Logam atau plastik.
Aku menariknya keluar dan mengangkatnya ke dekat wajahku
untuk memeriksanya. Sebuah bolpoin. Bolpoin. Bolpoin plastik merah. Aku memeriksa ujungnya. Merah.
Tinta merah. Aku berhenti berjalan. Aku menatap bolpoin itu dengan ngeri.
Aku tak lagi peduli dengan angin, hawa dingin, salju yang
menerpa. Aku tak lagi memperhatikannya.
Aku tahu apa yang kupegang.
Bolpoin itulah yang digunakan untuk menulis surat kepada
Dara. BAB 22 AKU mulai menggigil lagi. Bolpoin itu jadi kabur di depan
mataku. Tanganku mulai gemetar begitu keras, aku hampir saja
menjatuhkannya ke dalam salju. Sambil menggenggamnya erat-erat,
kusisipkan kembali bolpoin itu ke dalam saku mantel.
Angin berpusar meniup salju di sekitarku. Aku menggosok
hidung, berusaha mengembalikan perasaan ke sana. Kemudian kutarik
rambutku menutupi telinga untuk melindunginya, kusisipkan rambut
ke dalam kerah mantel. Pembunuh itu ternyata bukan Josh, aku tersadar.
Pembunuh itu Ken. Aku mencoba membayangkan apa yang telah terjadi. Aku
membayangkan Ken membuntuti Dara keluar di salju, menyelinap di
belakangnya, mengayunkan beliung ke bawah... ke bawah.
Menyangka bahwa itu adalah aku.
Dan mengapa" Karena jawabanku dalam permainan Truth or
Dare itu" Karena aku tahu tentang Ken dan cewek dari musim panas
yang lalu" Dan ketika menyadari bahwa yang ia bunuh bukanlah aku
melainkan Dara, ia menulis surat itu. Menimpakan kesalahan pada
Josh. Aku berbalik kembali ke arah puncak bukit. Berhenti. Berbalik
lagi. Aku tiba-tiba merasa seperti salah satu kepingan salju kecil
yang dilempar dan diputar oleh angin. Aku merasa tak berdaya
bagaikan kepingan salju. Tak berdaya dan rapuh.
Aku menatap jalan bersalju itu. Jalan yang menuju bukit lain,
bukit yang lebih curam dengan lift ski yang menuju ke lereng-lereng.
Dan pondok-pondok ski serta motel-motel itu terletak tak jauh di balik
bukit. Dan kemudian kota.
Semua itu serasa begitu jauh. Begitu mustahil dicapai.
Dengan mencondongkan badan menentang angin, aku toh mulai
melangkahkan kaki. Pilihan apakah yang kupunyai"
"Oh!" seruku ketika aku terjeblos ke gundukan salju yang
dalam dan salju pun naik menutupi bagian atas sepatu larsku. Aku bisa
merasakan salju yang basah, beku tertuang ke dalam sepatu lars itu.
Aku sudah hampir sampai ke kaki bukit ketika kudengar bunyi
gemertak di belakangku. Mulanya tak kuhiraukan. Namun suara itu kian keras.
Dan kemudian aku mendengar suara mendengus rendah.
Seseorang bernapas keras.
Aku menoleh ke belakang. Menengadah ke bukit, menyipitkan
mata memandang salju yang bergerak tertiup angin.
Dan melihat seseorang sedang mengejarku. Berlari sekuat
tenaga. Satu sosok gelap, wajahnya tersembunyi oleh cuaca kelabu.
Siapakah dia" Siapa" aku bertanya-tanya dalam hati.
Napasnya yang tersengal-sengal terdengar makin keras. Ia
berlari begitu keras, begitu cepat, lengannya terulur ke depan seolah
hendak meraihku. Begitu bersemangat untuk mengejarku. Untuk menangkapku.
Aku mematung beku dalam ketakutan, mengamati, menajamkan
pandangan di tengah gelombang salju, cahaya kelabu yang
menyilaukan, berjuang untuk melihat.
Pada saat aku sadar bahwa orang itu Ken, maka terlambatlah
sudah. Aku memutar badan dan mulai berlari, terpeleset dan tergelincir
menuruni bukit beku itu. Aku menjerit ketika kurasakan tangannya memeluk pinggangku
dengan kasar. Ia menangkapku dari belakang. Menarikku ke bawah. Jatuh ke
dalam salju tebal. "Ken"lepaskan aku!" aku memohon. "Tolong"lepaskan aku!"
BAB 23 KEN menindihku ke salju. Aku meronta-ronta dengan liar, berusaha mendorongnya lepas.
Dengan teriakan keras aku berguling lepas dari cengkeramannya.
"Hei"!" serunya marah.
Dengan tersengal-sengal aku merayap berdiri. Tubuhku tertutup
salju. Aku bisa merasakannya di rambutku, turun ke belakang leher.
"April"ada apa denganmu?" Ken berseru. Ia bangkit berlutut.
"Jangan sentuh aku!" jeritku, sambil mundur, berjuang menarik
napas. Pelipisku berdenyut-denyut. Aku bisa merasakan salju dingin
berjejalan di dalam sepatu larsku. "Mengapa kau mengikutiku?"
kataku dengan kerongkongan tersekat.
"Untuk membawamu kembali," jawabnya, sambil masih
berlutut. Ia memakai jaket parka ski di atas jeans denim hitam.
Aku harus menyingkir darinya! batinku, sambil mundur
selangkah. Kalau aku tak menyingkir, ia akan membunuhku di sini.
"Tidakkah kau tadi melihatku?" ia bertanya. "Mengapa kau lari,
April?" "Apa yang kauinginkan?" aku bertanya, tanpa menghiraukan
pertanyaan-pertanyaannya. "Aku"aku?" Aku tak tahu apa yang
harus kukatakan. "Hawanya terlalu dingin," katanya, sambil berdiri. "Apa kau
mencoba jalan ke kota" Kau takkan pernah bisa berhasil. Kau akan
kena radang beku." "Dengar, Ken?" aku mulai. Aku ingin mengatakan kepadanya
bahwa aku tahu yang sebenarnya. Aku ingin mengatakan kepadanya
bahwa aku menemukan bolpoin itu. Aku tahu ia menulis surat tersebut
untuk membuat kami menyangka Jos-lah pembunuhnya. Aku tahu ia
telah membunuh Dara, karena mengira Dara adalah aku.
Namun aku terlalu takut. Aku melihat ke bawah ke kaki bukit dan pandanganku
menelusuri jalan. Tak ada seorang pun yang terlihat. Tidak ada
seorang pun sejauh berkilo-kilometer.
Aku seorang diri di sini. Bersama pembunuh.
"Kau mengambil mantelku," katanya lirih, tenang, matanya
berapi-api memandang mataku.
"Aku"aku bermaksud akan mengembalikannya," aku
tergagap-gagap. Ia menghela napas tak sabar. "April, aku tak mengkhawatirkan
mantel tua itu. Aku mengkhawatirkanmu. Mantel itu tak begitu
hangat. Memang besar dan berat, tapi tak begitu hangat.
"Kau datang jauh-jauh mengejarku untuk mengatakan itu?" aku
bertanya, mengulur waktu.
Aku harus memancingnya untuk terus bicara. Sampai ada
seseorang lewat. Atau sampai aku bisa memikirkan jalan untuk lolos
darinya. "Hei, mengejarmu itu bukan gagasanku," gumam Ken. "Itu
gagasan Jenny." "Jenny?" Aku mengamati wajahnya. Aku bisa tahu ia bohong.
Ia pembohong yang buruk. Aku bisa melihat garis-garis tegang di
seputar mulutnya. "Jenny tenar-benar mengkhawatirkanmu," ia meneruskan. "Dia
menyuruhku lari keluar dan mengejarmu. Dia takut kau tak menyadari
betapa berbahaya di luar sini."
Pembohong! Apakah ia benar-benar mengiraku setolol itu"
"Apa telepon di rumah itu sudah betul?" aku bertanya.
Ia menggeleng. "Belum."
Aku menyeka salju dari rambut dengan satu tangan. Rambutku
basah. Air es mengalir turun ke belakang leher. "Kalau begitu kita
harus terus," aku bersikeras. "Kita harus panggil polisi."
"Kita takkan berhasil!" Ken berteriak tak sabar. "Kita akan
beku." Ia maju selangkah menghampiriku. "Tony mengawasi Josh
dengan ketat. Josh takkan mencoba apa pun."
Tapi Josh bukanlah si pemhunuh!
Itulah yang ingin kuteriakkan pada Ken. Tapi aku terlalu takut.
Aku bisa merasakan bolpoin dalam saku mantel itu. Aku


Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meremasnya erat-erat. Aku ingin mencabutnya keluar dan menyodorkan di depan
mukanya. Aku ingin mengatakan, "Ini bolpoinmu, Ken. Yang kaupakai
untuk menulis surat palsu itu."
Tapi lalu apakah yang akan ia lakukan" kutanya diri sendiri.
Lalu apa yang akan ia lakukan padaku"
Tak ada siapa pun di sekitar sini. Tak ada seorang pun. Hanya
berkilo-kilometer salju tebal.
Ia bisa saja menguburku, pikirku sambil bergidik ngeri. Ia bisa
menguburku dalam salju dan tak seorang pun akan menemukan
tubuhku sampai musim semi nanti.
"Ayolah. Mari kita kembali," katanya. Ia maju dua langkah ke
arahku dengan gerakan cepat dan memegang lenganku. "Aku
kedinginan juga." Apa yang akan ia lakukan" Apa yang akan ia lakukan"
Pertanyaan itu berulang dalam benakku.
Kusisipkan rambutku kembali ke kerah mantel dan mulai
mengikutinya kembali mendaki bukit. Kutekankan telapak tangan ke
wajah. Hidung dan pipiku sama sekali mati rasa.
Aku tak punya pilihan, demikian kuputuskan. Aku akan
kembali ke rumah itu bersamanya. Aku takkan berhasil pergi dengan
pakaian seperti ini. Akan kuikuti permainannya, demikian kuputuskan. Segera
sesudah aku kembali, aku akan memakai pakaian yang lebih hangat.
Lalu aku akan menyelinap keluar lagi.
Ken mengira rahasianya aman. Dia tak tahu aku sudah tahu
yang sebenarnya"dialah yang membunuh Dara. Dia mencoba
membunuhku! Akan kuikuti permainannya. Akan kubiarkan ia membawaku
kembali ke rumah itu. Lalu akan kuperingatkan Jenny. Akan
kuceritakan padanya bahwa Ken pembunuh.
Dan kami berdua akan bersama-sama meloloskan diri.
Gagasan itu memberiku harapan baru.
Aku tak bisa melarikan diri dan meninggalkan Jenny di sana
bersama Ken, demikian kuputuskan. Aku sudah mengkhianati Jenny
dengan tidak memberitahunya tentang cewek di Pulau Sumner itu.
Kali ini aku akan melakukan yang benar. Kali ini aku akan
bertindak seperti layaknya teman sejati.
Aku melangkah di samping Ken dan kami mulai berjalan
bersama-sama, sepatu bot kami tenggelam ke dalam salju yang
lembut, bagai tepung. "Mengapa kau menjatuhkanku?" tanyaku,
mencoba membuatnya terdengar ringan.
"Aku tak bermaksud begitu. Aku lari terlalu keras dan jatuh
menimpamu," jawab Ken, tapi aku tahu ia bohong. Ia menoleh padaku
dengan wajah pura-pura cemas. "Aku tak melukaimu"kan?"
Kau mencoba membunuhku Jumat malam kemarin! pikirku.
"Tidak." Aku menggeleng. "Kau membuatku ketakutan, itu
saja." Ia berhenti. Matanya berubah dingin saat menatap mataku.
"Aku ingin bicara denganmu," katanya lirih. "Tentang malam
kemarin." Uh-oh, pikirku. Aku tak berkata apa-apa. Maka Ken meneruskan, "Jawaban
yang kauberikan dalam permainan Truth or Dare itu. Aku sama sekali
tak mengira kau tahu?"
"Oh, Ken"aku melihatmu musim panas lalu!" Kata-kata itu
menyembur keluar dari mulutku sebelum aku bisa menahannya. Aku
sudah begitu lama memendam rahasia mengerikan ini.
Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut. Wajahnya tetap kosong
melompong. "Aku melihatmu dan cewek itu di pantai. Aku tak tahu
namanya. Tapi aku melihatmu. Aku melihatmu menciumnya, dan
aku?" Wajahnya tetap kosong. Dingin seperti batu, seperti patung. Ia
mencengkeram lenganku. "Apakah kau cerita pada Jenny" Apa kau
cerita pada Jenny tentang dia?"
"Tidak!" sahutku ketakutan. Takut oleh cengkeramannya, oleh
tatapannya yang amat dingin. "Tidak, Ken. Aku tak pernah
menceritakannya." Ia mendekatkan wajahnya pada wajahku, menatap tajam-tajam
ke dalam mataku seakan mencari kebenaran di sana.
"Aku ingin menceritakannya," aku mengaku. "Beberapa kali
aku nyaris bercerita padanya. Tapi aku"aku tak pernah
melakukannya." Wajahnya akhirnya berubah. Parasnya tertekuk mencemooh.
"Dan selama ini kau tahu semua itu?" tanyanya.
Aku mengangguk, jantungku berdegup kencang. "Ya," bisikku.
"Ya. Aku melihatmu dengannya, Ken. Aku melihatmu musim panas
lalu." Cengkeramannya pada tanganku mengencang. Ia bergeser lebih
dekat, matanya masih membara memandangku.
"Aku sungguh menyesal, April," gumamnya. "Aku sungguh
menyesal." BAB 24 KUTARIK lenganku hingga terbebas. "Ken?" Namun suaraku
tersangkut dalam kerongkongan.
Jantungku berdebum-debum, aku memutar tubuh
membelakanginya dan mulai berjalan mendaki bukit. Aku sudah
berjaga-jaga kalau-kalau ia menangkapku lagi, mencoba
menghentikanku. Tapi ia tidak melakukannya. Ia membuntutiku dalam jarak
dekat, mengikuti jejak sepatuku. Aku menengok ke belakang dan
melihat ekspresi sungguh-sungguh dan muram pada wajahnya.
Pikiranku begitu terpusat ingin kembali ke rumah itu sehingga
aku tak memperhatikan salju akhirnya berhenti turun. Pantulan cahaya
matahari pada salju yang menyilaukan membuatku tersadar bahwa
awan gelap akhirnya buyar.
Bagus! pikirku. Ini akan memudahkanku untuk menyingkir. Ini
akan memudahkan aku dan Jenny untuk mendapatkan pertolongan.
Ken tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga kami sampai
di rumah itu dan memasuki pintu depan. Pantulan cahaya putih
matahari pada salju yang menyilaukan mengikutiku ke dalam rumah.
Aku mengedipkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri.
Aku menanggalkan mantel Ken dan menjatuhkannya di atas
tumpukan. "Mana yang lain?" aku bertanya.
"April"kau dan aku harus bicara," kata Ken dengan suara
tertahan. Ia mengulurkan tangan padaku, dan seluruh tubuhku jadi
bergidik. "Nanti!" seruku. "Ayolah, Ken"aku harus minum sesuatu yang
hangat!" "Tapi, April?" kudengar Ken memanggil.
"Hei, Ken"kau sudah kembali!" Tony menerobos masuk
ruangan. "Ayo bantu aku mengambil kayu bakar. Tungkunya padam.
Di dalam sini jadi dingin."
Ken hendak membantah. Tapi Tony sudah menariknya pergi.
Dengan perasaan bersyukur aku bergegas mencari Jenny. Aku
menemukannya bersama Carly di depan jendela ruang duduk. "Aku
perlu bicara denganmu," kataku. "Sendiri."
Mata Carly menyipit curiga. Tetapi aku menarik Jenny ke
dalam dapur. "April"ada apa?" ia bertanya, matanya yang biru menunjukkan
kebingungan. "Ada apa?"
"Semuanya tak beres," bisikku. "Segalanya."
"Hah?" Ia mengulurkan tangan dan menyibakkan rambutku
yang basah dari kening. "April, pergi ke mana saja kau" Aku begitu
mencemaskanmu. Lihat wajahmu. Merah padam! Kau pasti beku!"
"Tak usah khawatir dengan wajahku," kataku tajam. "Ada
banyak hal yang hendak kuceritakan padamu, Jenny." Satu seruan
ketakutan lepas dari tenggorokanku. "Aku" aku seharusnya sejak
dulu menceritakan hal ini padamu. Sudah berbulan-bulan aku
mengetahuinya dan?" Ia menempelkan tangan pada mulutku. "Sssst. Kita tak bisa
bicara di sini, April," bisiknya.
"Kita tak bisa tinggal di sini," kataku sambil menarik
tangannya. "Kita tak aman. Kita harus menyingkir dari sini. Aku harus
menceritakan padamu tentang Ken, Jenny. Dia?"
Carly menyembulkan kepala ke dalam dapur. "Rahasia?" ia
bertanya. "Ya. Rahasia," jawab Jenny cepat. "Rahasia yang gelap dan
dalam." "Moga-moga kalian tak membicarakanku," balas Carly kering.
Ia mengambil sekaleng Coke dari kulkas, lalu kembali ke ruang
duduk. "Salju sudah berhenti turun. Mungkin kita bisa menyingkir dari
sini dengan ski," aku mengusulkan segera setelah Carly keluar.
Jenny ternganga memandangku. "Ski?"
"Kita harus menyingkir dari sini, Jenny," aku mengulangi.
"Begitu banyak hal yang harus kuceritakan padamu. Aku"aku tahu
segalanya!" Ekspresinya berubah. "Oke. Ayolah," jawabnya dengan suara
rendah. "Papan skinya ada di belakang. Mari kita ganti pakaian dan
menyingkir dari sini"sebelum Tony dan Ken kembali dengan kayu
bakar mereka." Kami berjalan cepat-cepat berdampingan di koridor menuju
kamar kami. Ketika aku belok ke dalam kamarku, aku seperti meledak
oleh perasaan tegang. Bisakah kami menyingkir sebelum Ken kembali" aku bertanyatanya dalam hati.
Bisakah kami benar-benar menyingkir darinya"
Bab 25 AKU cepat-cepat mengenakan beberapa lapis pakaian. Dua
sweater. Pakaian dalam hangat di bawah celana ski.
Kutemui Jenny di pintu depan. Ia sudah menyisipkan
rambutnya ke bawah bando ski dari wol. Ia memakai sweater tebal
oranye di atas celana ski putih.
Sambil memeriksa untuk memastikan tak ada hambatan pada
tepi lereng itu, aku dan Jenny berjalan ke teras belakang untuk
mengambil papan dan tongkat ski dari locker.
Aku bergidik, memikirkan mayat Dara yang beku, terbujur
begitu dekat dengan kami di garasi.
"Sekarang jalannya mungkin sudah terbuka. Mobil-mobil akan
lewat. Kita akan menemukan seseorang untuk membantu kita," aku
berjanji kepada Jenny. "Kita akan menemukan seseorang untuk
membantu kita sampai ke kantor polisi."
Ia mengangguk sambil mengatur skinya.
"Ayo," desakku, sambil menarik lengannya.
Aku membungkuk bertumpu pada tongkat ski dan mendorong.
Saljunya tebal dan empuk. Papan ski itu menggelincir dengan mudah
di atas permukaan yang licin.
Aku meluncur lebih dulu ke depan rumah. Kemudian aku
mendorong maju dan mulai meluncur menuruni lereng bukit.
Mulanya Jenny bergerak dengan canggung, tapi kemudian
kayuhannya mulai lancar. Kami meluncur berdampingan.
Apakah aku mendengar teriakan" Ken-kah yang memanggil
kami" Aku melirik Jenny. Aku tidak bisa mengetahui apakah ia
mendengar teriakan Ken atau tidak.
Kami terus meluncur dengan ski. Kami tidak berpaling ke
belakang. Salju yang putih berkilauan itu seperti menelanku. Bunyi
lembut sshh sshh sshh dari papan ski itu membubung naik, lembut,
dan melegakan. Aku menekuk lutut, menegakkan badan ke belakang,
menambah kecepatan. Bergerak menembus dunia putih, berkilauan ini, aku mencoba
melupakan segalanya. Mencoba melupakan masalah Ken, Dara,
cewek di Pulau Sumner itu.
Tapi aku tak bisa meluncur menyingkir dari pikiran-pikiran
gelap itu. Bahkan salju yang berkilauan dan pantulan cahaya matahari
keemasan pada permukaannya yang bersih dan murni itu tak dapat
menolongku untuk melupakan hal-hal itu.
Sshh sshh sshh. Papan ski itu berbisik padaku saat aku
meluncur menuruni bukit. Menerobos hutan.
Kesunyian di sekelilingku membuat pikiran-pikiranku jadi
terdengar jauh lebih nyaring, begitu menakutkan. Udara dingin, tajam
membakar wajah, dan membuat mataku berair.
Apakah aku menangis" Akukah yang terisak tanpa suara saat
meluncur turun" "April"apa ini?" teriak Jenny sambil tersengal-sengal saat
kami menggelincir hingga berhenti di dasar lereng berikutnya.
Aku megap-megap menarik napas satu demi satu, berusaha
mengendalikan diri. Kami sudah lolos, batinku. Aku dan Jenny sudah lolos dari
rumah yang mengerikan itu, lolos dari Ken.
Aku takkan pernah kembali lagi ke sana.
"April"kau tak apa-apa?" suara Jenny yang melengking
memotong pikiranku. Pipinya merah jambu. Matanya yang biru
menangkap cahaya matahari terang benderang saat ia bergeser ke
sampingku, menatapku dengan prihatin.
Aku mengangguk. "Aku tak apa-apa," sahutku dengan suara
gemetar. "Aku baik-baik saja" setelah sekarang kau dan aku
menyingkir." Kami berdua menatap bukit yang putih dan curam itu. Sungguh
mengejutkan, pada saat itu lift ski mulai bergerak. Bangku-bangku
kayu, putih pada salju putih, naik-turun dan berayun-ayun, kosong,
sementara kabel di atas membawanya hingga ke puncak.
"Lihat! Lift itu mulai jalan!" seruku.
"Mana orangnya?" tanya Jenny, sambil menudungi mata untuk
mengikuti bangku-bangku itu sampai ke puncak. "Tak ada siapa pun
di sini." "Kurasa badai salju itu mengusir para pemain ski," jawabku,
sambil melihat sekeliling. "Tapi para petugas patroli ski itu seharusnya
ada di sini"kan?"
Aku menatap ke arah lift ski itu. "Ya!" kujawab pertanyaanku
sendiri. Aku bisa melihat seorang laki-laki dalam pakaian ski biru di
bagian bawah lift itu. Akhirnya! Ada orang yang bisa menolong kami.
Sambil mencondongkan badan bertumpu tongkat ski, papan ski
tenggelam ke dalam salju tebal, aku memimpin di depan menuju ke
arah laki-laki itu. "Kami butuh pertolongan!" teriakku. "Bagaimana
kami bisa menghubungi polisi kota?"
Ia ternyata seorang laki-laki tua. Ia berdiri membungkuk
melawan hawa dingin, tudung kepalanya yang biru diikat erat-erat,
hanya memperlihatkan sebagian kecil wajahnya. Ia balas menatapku
tanpa menjawab. Aku tidak yakin apakah ia mendengarku.
"Kami butuh polisi!" aku mengulangi dengan suara melengking.
Ia mengangguk, lalu menuding ke puncak lereng. "Ada stasiun
patroli ski di puncak sana," katanya. "Mereka punya telepon."
Kami mengucapkan terima kasih kepadanya dan dengan penuh


Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semangat berjalan menghampiri lift.
"Aku selalu mengira bagian paling sulit adalah naik ke benda
ini," Jenny mengaku. "Rasanya bergerak begitu cepat bila kau dekat
dengannya." Tiupan angin keras membuat bangku-bangku kosong itu
berayun maju-mundur. Aku mengangkat mata memandang ke puncak
lereng. Bangku-bangku itu timbul-tenggelam di bukit seperti barisan
aneh, tanpa suara. Seperti barisan hantu. Sambil mengepit tongkat ski, kami bergeser ke depan bangku
yang sedang bergerak, berbalik, dan menjatuhkan diri ke tempat
duduk. "Berhasil," katanya lirih. Ia mengulurkan tangan dan menarik
palang pengaman. ebukulawas.blogspot.com
Bangku itu berayun-ayun tertindih berat badan kami. Kabelnya
berkeriut di atas kami. Aku menggeser badan bersandar pada
punggung bangku, merapatkan diri ke belakang.
Aku melihat ke sisi sewaktu kami mulai naik.
Salju yang berkilauan itu seperti terhampar tak terhingga
jauhnya. Tidak seperti apa pun yang pernah kulihat sebelumnya.
Lebih tinggi. Lebih tinggi. Kabel itu berkeriut dan berayun
diterpa angin. Salju berkilauan jauh di bawah kami sekarang.
Kami kira-kira sudah mencapai sepertiga jarak ke puncak bukit
itu ketika Jenny berpaling padaku. Dagunya gemetar dan mulutnya
menyeringai jelek. "Aku sungguh menyesal, April," katanya dengan suara tegang,
tertekan. "Apa maksudmu?" Mulanya aku tidak mengerti.
"Aku sungguh menyesal," ia mengulangi. "Tapi pilihan apa lagi
yang kupunyai?" Sebelum aku bisa menjawab, Jenny sudah mendorong palang
pengaman. Kemudian kedua tangannya terulur ke belakangku"dan
mendorongku dengan sekuat tenaga.
BAB 26 "TIDAAAAAK!" Jeritan itu lepas dari tenggorokanku saat kurasakan diriku
terjatuh dari bangku. Kuulurkan tangan ke depan dan aku berhasil mencengkeram sisi
lift. Kabelnya berkeriut keras. Bangkunya berayun dan terguling di
bawahku. Dengan erangan marah, Jenny mendorong lagi.
Tapi aku berkelit menempel ke sisi"dan tenaga dorongannya
itu nyaris melemparnya terjungkal.
Aku memutar badan, memegang pundaknya.
"Jenny"apa yang kaulakukan?" Kata-kata itu meletup keluar
dalam lengkingan ngeri. "Kenapa" Kenapa?"
Ia bergulat untuk melepaskan diri dari peganganku. Lift itu
berayun keras, hampir melemparkan kami berdua keluar.
"Lepaskan! Lepaskan!" pekiknya sementara kami bergulat.
Aku menengok ke bawah. Tanah terbentang begitu jauh di
bawah. Begitu jauh. Bahkan salju tebal itu pun takkan mampu meredam jatuhku,
pikirku. Aku menahan napas. Dalam benak kubayangkan diriku jatuh,
jatuh di udara dingin dan bersih itu. Aku mendengar bunyi gcdebuk
saat mendarat. Mendengar tulang belulangku berderak patah.
Melihat diriku tergeletak di salju. Genangan merah merebak
dari tubuhku yang hancur, merebak menutupi tanah yang putih.
"Tidak!" Bayangan itu membuatku berjuang lebih keras.
Lift itu berayun dan miring sementara aku dan Jenny bergulat,
berteriak, dan mengerang.
"Kenapa, Jenny?" tanyaku berulang-ulang. "Kenapa?"
"Karena cewek di Pulau Sumner itu!" teriak Jenny. "Karena kau
tahu tentang dia, April!"
"Hah?" Perasaan terguncang karena jawaban Jenny membuatku
terdiam. Jenny menghentikan usahanya yang sia-sia untuk mendorongku
keluar. "Kau tahu tentang cewek itu!" teriaknya dengan suara gemetar,
melengking. "Tapi, Jenny?" aku hendak protes.
Ia tidak membiarkanku menyelesaikan ucapanku. "Aku
menangkap arti isyaratmu, April." Matanya berapi-api memandangku.
"Dalam permainan Truth or Dare itu. Itu isyarat untukku"ya, kan!"
"Hah" Isyarat untukmu?" teriakku, benar-benar tercengang dan
bingung. "Tidak, Jenny. Bukan! Itu isyarat untuk?"
"Aku menangkap isyaratmu, April!" teriak Jenny, tak
menghiraukanku. Ia mengangkat tangan ke pundakku, mencengkeramku erat-erat,
tapi tidak mendorong. "Kau membiarkan aku tahu bahwa kau tahu
tentang cewek itu"ya, kan!"
Aku hendak menjawab. Tapi Jenny tidak memberiku
kesempatan. "Kau mengatakan padaku bahwa kau tahu!" ia bersikeras. "Nah,
aku tak bermaksud membunuh cewek itu, April! Aku tak bermaksud
melakukannya! Itu kecelakaan!"
BAB 27 KABEL itu berkeriut di atas kepala kami, satu-satunya suara
yang terdengar saat aku menatap Jenny dengan perasaan terguncang
dan ngeri. Lift ski itu membawa kami lebih tinggi, bangkunya
berayun-ayun sewaktu kami naik.
Namun seluruh gerakan itu berhenti bagiku.
Aku seperti beku di tempat, seperti sesosok patung dingin.
Langit di atas kepala, salju yang berkilauan di bawah kami"
seluruhnya kabur menjadi warna kelabu buram yang dingin.
Aku tersadar bahwa aku sedang menahan napas. Kupaksa diriku
untuk bernapas. Jantungku berdebur-debur.
"Jadi, sudah berapa lama kau tahu seluruh ceritanya?" desak
Jenny. Rambutnya di belakangnya. Pandangannya menusuk ke dalam
mataku. "Seluruh ceritanya?" Aku menatapnya, tak mampu berpikir
jernih. Aku pasti terguncang atau entah apa, pikirku. Benarkah aku
mendengar Jenny mengatakan ia membunuh cewek itu"
"Ken takkan mau putus darinya," kata Jenny, parasnya yang
biasanya cantik berubah jadi jelek karena kepahitan dan kemarahan.
"Seandainya saja ia berhenti berpacaran dengannya."
"Maksudmu"sesudah musim panas itu?" aku berhasil bicara
dengan tenggorokan tersekat.
Jenny seperti tidak mendengarku. Matanya menatap lurus ke
depan sekarang, tak terfokus. "Barbara," gumamnya di antara gigi
yang dikertakkan. "Itulah namanya. Barbara. Ia tinggal di Foster
Mills." Aku menatap tajam pada Jenny. Kusadari ia sedang berbicara
pada diri sendiri. Jenny seperti sudah lupa bahwa aku ada di sini.
"Barbara. Barbara." Ia mengulangi nama itu, mimiknya keras,
pahit. "Dengar, Jenny?" kataku.
Namun ia tak mendengarku. Ia tenggelam dalam kemarahan,
tenggelam dalam kenangan pahitnya.
"Oh, aku tahu tentang Barbara," gumam Jenny dengan suara
tegang dan tertekan yang belum pernah kudengar. "Aku tahu tentang
Ken dan Barbara. Ia berjanji padaku bahwa hubungan itu sudah
berakhir. Ken janji padaku. Ia bersumpah bahwa ia sudah
mengucapkan selamat tinggal pada cewek itu di Pulau Sumner."
Dagunya gemetar. Matanya seperti meredup, seolah kehilangan
warnanya, hidupnya. "Pembohong!" teriaknya gusar. "Pembohong!"
Lift itu berguncang sementara kami terus naik lebih tinggi di
lereng itu. Jenny mengulurkan tangan ke atas dan menarik rambutnya
ke bawah, menariknya dengan gerakan kacau ke leher jaket parkanya.
"Tapi Ken terus menemuinya," ia meneruskan, matanya tertuju
pada bukit berselimut salju di depan kami. "Ken terus menghilang ke
Foster Mills untuk menemui Barbara. Maka... aku pergi menemuinya
juga." Selama ini aku terus menyimpan rahasia itu darinya, pikirku,
sambil menggeleng. Padahal selama itu Jenny sudah tahu segalanya.
"Aku menemui Barbara," Jenny meneruskan, suaranya gemetar
oleh emosi. "Aku mencoba bicara dengannya. Aku"aku tak tahu apa
yang terjadi. Aku cuma pergi ke sana untuk menemuinya, untuk bicara
dengannya." Kami naik semakin tinggi. Lebih tinggi. Bangku itu berayunayun ketika merayap ke puncak lereng putih yang kosong itu.
"Dia memang cantik," kata Jenny muram, masih menatap lurus
ke depan. "Sangat cantik kalau kau suka tipe itu. Kau tahu. Kulit
kecokelatan. Rambut hitam pendek. Wajah mungil yang sempurna.
Tubuh mungil yang sempurna. Poni yang sempurna. Rapi dan
sempurna." Bibir Jenny tertarik membentuk senyum pahit yang aneh.
Senyum itu menghilang dengan cepat. "Aku tak tahu apa yang
terjadi," ujar Jenny. "Aku sungguh tak tahu apa yang terjadi. Kurasa
aku jadi gila atau entah apa. Aku jadi gila."
Dia memang gila, pikirku, sambil mengamatinya. Jenny
memang gila. Dan aku terperangkap di sini di sampingnya.
Apa yang akan ia lakukan saat menyelesaikan ceritanya"
Apakah ia akan mencoba bergulat lagi untuk mendorongku jatuh dari
lift" Apakah ia akan berusaha lagi untuk membunuhku"
"Itu kecelakaan!" jeritnya, menghindari tatapanku. "Itu pasti
kecelakaan. Tapi dia mati. Barbara mati. Kami berkelahi. Dan aku
membunuhnya." Jenny menghela napas. "Aku melihat matanya yang hijau
sempurna itu berputar ke atas. Aku melihat darah merembes dari kulit
kepalanya dan membasahi rambut hitamnya yang sempurna. Aku
membunuhnya. Aku bahkan tak tahu pasti bagaimana. Tapi aku
membunuhnya." Dan kini Jenny berpaling padaku, matanya begitu dingin, penuh
kebencian meluap-luap. "Aku begitu takut, April. Sungguh takut. Aku
lari dari rumah Barbara. Aku bergegas pulang. Aku hendak
meneleponmu. Aku hendak menanyaimu apa yang harus kulakukan."
Ia menghela napas panjang. "Tapi aku terlalu takut. Kusimpan
rahasiaku. Tak pernah kuceritakan pada siapa pun."
Ia mencengkeram lengan mantelku. "Tahukah kau bagaimana
rasanya hidup dengan ketakutan seperti itu" Tahukah kau bagaimana
rasanya ketakutan setiap saat dalam hidupmu?"
Aku menahan napas. Aku tak tahu bagaimana harus menjawab.
Aku merasa begitu sedih untuk Jenny"dan sekaligus begitu takut
padanya. "Aku tak pernah bernapas dengan normal," ia meneruskan,
suaranya pecah. "Sesudah hari yang mengerikan itu, aku tak pernah
bernapas normal. Tak pernah mengambil langkah normal. Tak pernah
sedetik pun lewat tanpa memikirkan apa yang telah kuperbuat. Di saat
aku tidak waswas akan tertangkap."
Isak tertahan keluar dari kerongkongannya. "Polisi tak pernah
memecahkan kasus itu. Mereka tak pernah curiga sedikit pun. Tapi itu
tak membuatku lebih lega. Itu tak membuatku bernapas dengan lebih
mudah." Jenny mencengkeram lenganku lebih erat. "Ketakutan itu tak
menyingkir, April. Bahkan ketika polisi menutup penyelidikannya.
Bahkan ketika mereka mengakui kekalahan. Ketika pembunuhan
Barbara tak terpecahkan. Ketakutan itu tak meninggalkanku.
"Aku ketakutan terus-menerus," lanjut Jenny dengan
menggebu-gebu. "Ketakutan ada orang yang tahu. Ketakutan
seseorang tahu yang sebenarnya."
Matanya menyipit dan terkunci pada mataku. "Dan kemudian
Jumat malam kemarin mimpiku yang paling buruk terjadi. Mimpiku
yang paling buruk. Dalam permainan Truth or Dare itu. Kau! Kau
mengungkapkan bahwa kau tahu tentang Barbara. Kau
mengatakannya dengan begitu ringan, April. Begitu tenang."
"Tapi"tapi, Jenny?" aku tergagap.
Kedua tangannya mencengkeramku. Bangku itu berguncang ke
depan, lalu ke belakang. "Mimpiku yang paling buruk terwujud!" teriak Jenny. "Sesuatu
dalam diriku mendadak patah. Rahasia yang sudah begitu lama
tersimpan. Aku tak bisa membiarkanmu menghancurkannya sekarang!
Jadi"jadi aku?"
"Jadi kau membunuh Dara!" kataku tanpa pikir, tiba-tiba
menemukan kembali suaraku.
"Kukira itu kau!" jerit Jenny. "Waktu itu sungguh gelap di luar.
Aku melihat jaket parkamu. Aku mengenalinya. Aku tak punya
pilihan. Kau tahu rahasiaku. Aku tak punya pilihan!"
"Tapi kau membunuh Dara!" aku mengulangi, begitu takut
sehingga aku tak tahu apa yang kukatakan. "Kau membunuh Dara,
Jenny!" "Itu satu kecelakaan lagi," ia menyangkal. "Kecelakaan lagi.
Aku hampir tak kenal Dara! Kau membuatku membunuh lagi, April!
Kali ini kesalahanmu. Kau membuatku melakukannya!"
Dia gila! aku tersadar. Jenny benar-benar gila!
"Kau"kau menulis surat untuk Dara dan membubuhkan tanda
tangan Josh?" tanyaku terbata-bata.
Ia mengangguk. "Kau menyembunyikan bolpoin merah itu di dalam saku mantel
Ken?" Ia mengangguk lagi. "Aku tahu bolpoin itu aman di sana. Ken
takkan menceritakan hal itu pada siapa pun."
"Apakah Ken tahu?" aku bertanya. "Apakah Ken tahu kau
membunuh Barbara?" "Tak seorang pun tahu!" Jenny menjerit. "Cuma kau, April!"
"Tapi, Jenny?" kataku.
Ia mengguncangku dengan keras. "Bagaimana kau bisa tahu
rahasiaku?" tanyanya, matanya liar, wajahnya mengerut gusar.
"Katakan! Bagaimana kau bisa tahu tentang Barbara" Bagaimana kau
tahu aku membunuhnya?"
"Aku"aku tak tahu!" sahutku tergagap. "Jenny"sungguh! Aku
tak tahu!" Matanya liar. Kupikir ia bahkan tidak mendengarku.
Ia tidak mendengar. Mulutnya terbuka lebar mengeluarkan pekik binatang yang
sedang marah. Ia mendorongku keras-keras dengan dua tangan.
Dan aku terlempar melayang dari bangku. Ke udara.
BAB 28 AKU tidak sempat berteriak.
Tanganku menggapai-gapai liar di sisi tubuh. Tak meraih apa
pun kecuali udara. Tongkat ski terbang lepas dari tanganku.
Aku jatuh terjerembap ke salju.


Fear Street - Permainan Maut Truth Or Dare di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mati. Kata itu berdebam berat dalam pikiranku saat kegelapan
meliputiku. Dengan bergidik aku menunggu untuk merasa kesakitan.
Hawa dingin menyerbu pakaianku, menyebar pada seluruh
wajah. Whoa! pikirku. Ada yang tak beres....
Mana rasa sakit itu"
Jatuhku begitu cepat. Mendarat demikian cepat dan empuk.
Aku mengangkat kepala"dan sadar jatuhku tidak begitu jauh.
Lift ski itu sudah mencapai puncak bukit. Aku terguling hanya
beberapa kaki ke atas tanah.
Jantungku berdebar-debar, aku bangkit dengan bertumpu pada
lutut. Papan skiku sudah terlepas ketika aku jatuh ke tanah. Kuseka
salju dari wajahku dengan dua tangan.
Aku berbalik tepat pada saat melihat Jenny melompat
meninggalkan bangku lift ski. Ia mendarat dengan berat, papan skinya
tenggelam ke dalam salju lunak.
"Jenny?" teriakku.
Ia tidak memberi aku kesempatan untuk berdiri.
Wajahnya liar oleh kemarahan, ia meluncur ke arahku. Sambil
mengangkat tongkat ski. Dan menghunjamkannya ke tenggorokanku.
BAB 29 AKU berputar. Tongkat itu menghunjam salju beberapa inci dari wajahku.
Dengan mengerang pelan aku berjuang untuk berdiri. "Jenny"
hentikan!" seruku. "Jenny"kumohon!"
Namun ia menusuk lagi dengan tongkat itu, meluncur canggung
di atas papan skinya. Aku terjungkal ke belakang.
Tongkat itu menghunjam pundak mantelku.
Dengan teriakan putus asa Jenny mengayunkan tongkat itu
seperti tongkat bisbol. Mengayunkannya lagi. Ayunan liar, kalang
kabut, mengiris udara. Bangku-bangku itu bergemertak di belakang kami, saling susul,
naik ke puncak bukit, lalu memulai perjalanan kembali turun.
Saat Jenny mengayunkan tongkat ski, rasa takutku dengan cepat
berubah jadi kemarahan. "Jenny"hentikan!" teriakku. "Jatuhkan
tongkat itu! Hentikan!"
Aku maju selangkah ke arahnya, sambil mengangkat dua tangan
untuk melindungi diri. "Tidak!" teriaknya. "Tidak! Mundur!"
Aku maju selangkah lagi ke arahnya. "Jatuhkan tongkat itu!"
Ia mundur, tersengal-sengal seperti binatang liar.
"April"aku tak punya pilihan!" teriak Jenny. "Apa tak
kaulihat" Aku tak punya pilihan!"
Tanpa menghiraukan ancamannya, aku bergerak mantap
menghampirinya. Ia mundur. Satu langkah. Lalu satu lagi. Lalu satu lagi.
"Jenny, tak apa-apa," kataku, berusaha menjaga agar suaraku
tetap rendah dan menenangkan. "Tak apa-apa. Kami akan mencarikan
bantuan untukmu." "Aku tak punya pilihan," ulangnya, tatapannya dingin. "Aku
sungguh tak punya pilihan lain."
Ia tidak mendengarkan. Ia tidak bisa mendengarku.
Aku bergerak ke arahnya. "Jenny"tolong dengarkan aku. Ayo
kita kembali ke rumah. Kami akan mencarikan pertolongan untukmu.
Kau takkan apa-apa."
"Tidak. Tidak. Tidak." Ia mengulangi kata itu bagaikan mantra.
Bola matanya bergerak-gerak liar, ia melangkah mundur.
Mundur. Bangku lift yang sedang bergerak itu membentur belakang
kepalanya. Ia membuka mulut dalam teriakan terkejut tanpa suara.
Tertegun, ia terhuyung-huyung ke depan. Sambil mengangkat
tangan ke kepala. Aku tak membuang-buang waktu. Aku melompat maju.
Merangkul pinggangnya dan menariknya jatuh ke atas tanah bersalju.
"Kepalaku..." gumamnya. Lalu ia menambahkan, "Rahasiaku.
Kau tak boleh tahu rahasiaku."
Sesosok bayangan menutupi kami.
Dengan terperanjat aku menengadah"tepat pada saat Ken
melompat turun dari lift ski.
"Ken!" teriakku gembira. "Kau mengikuti kami! Bagaimana kau
tahu?" Ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia bergerak cepat untuk
membantuku menarik Jenny berdiri.
"Jangan coba-coba melarikan diri," kata Ken pada Jenny.
"Kembalilah ke rumah bersama kami. Kami akan mengurusmu baikbaik. Sampai polisi datang."
Jenny mengangguk. Tertegun bingung. Kalah. "Rahasiaku,"
gumamnya. "Kalian tak tahu rahasiaku."
"Ken"kukira kau tak tahu!" semburku tanpa pikir panjang.
"Bagaimana kau?""
"Aku menemukan bolpoin merah itu dalam saku mantelku,"
jawab Ken. "Aku sungguh bingung. Aku tak tahu bagaimana bolpoin
itu sampai ke sana. Bolpoin itu membuatku berpikir tentang surat itu,
surat yang kita temukan di kamar Dara. Aku mengamatinya baik-baik.
Aku mengenali tulisan Jenny."
Dari atas pundaknya aku melihat dua petugas patroli ski dalam
seragam biru bergegas menghampiri kami.
Ken meraih lenganku. "Aku sangat bingung. Aku sama sekali
tak mengerti. Aku memanggilmu. Aku mencoba mencegahmu agar
tak pergi dengan Jenny. Tapi kurasa kau tak mendengarku."
Suaranya tersangkut di tenggorokan. "Aku tahu Jenny yang
menulis surat tersebut. Itu membuatku begitu bingung, kupikir aku
sebaiknya mengikuti kalian. Apakah"apakah ini berarti Jenny yang
membunuh Dara?" Aku mengangguk. "Ia mengira.Dara adalah aku," tuturku.
"Hah?" Mulut Ken ternganga.
"Tak seorang pun tahu rahasiaku," gumam Jenny pada diri
sendiri. "Tak ada seorang pun yang tahu."
Dua petugas patroli ski itu sudah hampir sampai pada kami.
Akhir pekan yang mengerikan ini sudah hampir berakhir.
"Permainan Truth or Dare itu," kataku pada Ken dengan sedih.
"Ternyata mengungkapkan lebih banyak kebenaran daripada yang kita
sadari." Ia menyipitkan mata, memikirkannya beberapa lama. "Lain
kali, April, lebih baik menerima tantangannya," ia menasihati.
"Lain kali," kataku padanya, "mungkin kita sebaiknya tetap
main Trivial Pursuit."END
Budha Pedang Penyamun Terbang 2 Wiro Sableng 173 Roh Jemputan Prabarini 3

Cari Blog Ini