Ceritasilat Novel Online

Terbakar Api Asmara 1

Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game Bagian 1


BAB 1 AWAN putih bergerak melewati matahari, dan tiba-tiba
terpecah, mengirimkan sinar gemerlap ke jendela perpustakaan yang
berdebu. Jill Franks mengedipkan mata karena tiba-tiba silau,
kemudian tertawa melihat temannya dengan cepat mengenakan
kacamata ungu berbentuk hati yang kebesaran.
"Di mana kaudapatkan itu?" bisik Jill.
"Bagus, kan?" seru Andrea. "Bukankah aku jadi kelihatan seksi
dan misterius?" "Bisa tenang, tidak sih?" Baik Jill maupun Andrea terkejut dan
berpaling ke Diane Hamilton, satu-satunya dari ketiga gadis itu yang
bukunya terbuka. Mereka berada di meja favorit mereka di balik rakrak buku di perpustakaan sekolah.
"Apa katamu?" teriak Andrea. Ia dan Jill berisik lagi.
"Kacamata itu keren," kata Diane, mencoba untuk tidak tertawa.
"Tetapi, Andrea, ini perpustakaan. Dan kita harus belajar untuk
ulangan geografi." "Tenang," ujar Jill. "Tidak ada orang lain selain kita di sini.
Miss Dotson pergi makan siang lima belas menit lalu."
"Selain itu," kata Andrea seraya menggeliat seperti kucing,
"ulangannya kan masih dua jam lagi. Siapa tahu sebelumnya kita
sudah ditangkap makhluk angkasa luar."
Jill tertawa lagi. Andrea memang tidak pernah serius. Jill
kadang-kadang bertanya-tanya, apakah Andrea hanya pura-pura,
ataukah ia memang menganggap segala sesuatu cuma lelucon.
"Kalian sih gampang saja ngomong begitu," kata Diane. "Kalian
kan sudah terbiasa dengan sistem sekolah di sini. Tetapi di sekolah
lamaku, kami tidak pernah belajar geografi."
"Aduh, kasihan banget," ejek Andrea. "Berani bertaruh, kau
pasti masih mengira bumi ini datar ya."
"Memang betul begitu, kan?" komentar Jill.
"Sudahlah," desak Diane. "Pokoknya aku harus mendapat nilai
bagus semester ini." Ekspresi serius menyelimuti wajah mungilnya
yang berbentuk hati, seolah-olah ulangan geografi adalah hal paling
penting dalam hidupnya. Jill memandang Diane dengan perasaan jengkel bercampur
sayang. Gadis mungil berambut cokelat dan pemalu itu sangat berbeda
dibanding Jill dan Andrea. Jill bertubuh tinggi langsing dengan rambut
hitam, panjang, dan lebat. Andrea berotot dan periang, dengan rambut
merah sependek rambut cowok. Keduanya ramah dan siap tertawa
terhadap apa pun. Meskipun demikian, ketika Diane bergabung
dengan tim senam pada awal semester, ketiganya segera dapat bergaul
dengan baik. Mungkin, Jill berpikir, itu karena Diane berbeda. Cewek yang
satu ini demikian tenang dan serius, semen tara Andrea angin-anginan,
dan Jill suka tertawa. Diane juga cewek paling manis yang pernah
ditemui Jill; ia selalu siap dengan pujian atau kata-kata yang
membangkitkan semangat. "Hei, jangan kuatir dengan ulangan itu," kata Andrea.
"Mrs. Markham tidak pernah memasukkan ulangan sebagai
nilai akhir." "Ah, dia tidak bilang begitu," protes Diane.
"Siapa peduli?" tanya Andrea. "Yang penting nilaiku cukup
baik supaya aku bisa tetap jadi anggota tim."
"Setelah kau memenangkan kejuaraan senam negara bagian, tak
seorang pun peduli pada nilai-nilaimu," kata Jill
"Apakah menurutmu aku memang punya kesempatan menang?"
tanya Andrea. "Habis, kalau bukan kau yang menang, siapa lagi dong?" kata
Jill. "Well, bagaimana dengan dua belas finalis lainnya?" tanya
Andrea lagi. "Aku bertaruh tak seorang pun di antara mereka yang sebaik
kau," kata Diane. "Faktanya, gerakan rutin senam lantaimu tak ada
duanya." "Terima kasih," kata Andrea. "Sebenarnya aku enggan
mengakui, tapi kurasa aku benar-benar punya kesempatan untuk
memenangkan medali. Aku hanya berharap bisa sedikit lebih kuat di
nomor balok keseimbangan."
"Kami akan membantumu latihan akhir pekan ini," kata Jill.
"Betul kan, Diane?"
"Pasti," kata Diane, wajah seriusnya berubah tersenyum.
"Sebenarnya aku perlu bantuan dalam memilih lagu untuk
gerakan senam lantaiku," kata Andrea. "Punya ide?"
"Bagaimana dengan Bolero?" tanya Jill. Bolero adalah salah
satu musik kesayangannya.
"Ah, jangan. Sudah banyak yang memakainya," kata Andrea.
"Aku ingin sesuatu yang sungguh berbeda, sesuatu yang orang lain
tidak berpikir untuk menggunakannya."
"Bagaimana dengan musik yang kita mainkan sendiri?" tanya
Diane tiba-tiba. "Oh, tentu saja," kata Andrea. "Apa yang ada dalam benak
kalian"kalian berdua bersenandung sementara aku bersalto?"
"Aku baru ingat," kata Diane, kelihatan gembira. "Aku punya
teman"dia semacam penulis lagu. Maksudku, dia mengarang lagu
dan memainkannya dengan gitar. Dia hebat lho."
"Bagus. Jadi dia akan duduk di palang bertingkat dan
memainkan gitarnya," desah Andrea. "Aku serius nih. Aku perlu
sesuatu yang istimewa." Ebukulawas.blogspot.com
"Aku juga serius," kata Diane, terdengar sakit hati.
"Kupikir ide Diane boleh juga," kata Jill. "Jika musik karya
temannya itu bagus, kita bisa merekamnya. Pasti tidak ada peserta lain
yang menggunakan musik seperti itu."
"Kau yakin dia bisa membuatnya?" tanya Andrea.
"Kau bisa memintanya sendiri, minggu depan," jelas Diane.
"Ayahnya baru saja dipindahkan ke Shadyside, dan Gabe bersama
ibunya akan tiba dalam beberapa hari ini."
"Gabe?" kata Andrea.
"Ya. Kependekan dari Gabriel," Diane menjelaskan. "Seperti
nama malaikat. Hanya saja Gabe lebih mirip setan."
Jill dan Andrea memandang Diane beberapa saat. Ucapannya
agak aneh. Kedengarannya Gabe tidak cocok menjadi teman Diane.
"Apa maksudmu?" tanya Jill.
"Dia tidak seperti cowok-cowok lain," jawab Diane. "Dia... yah,
sedikit liar, lucu, dan juga manis. Pokoknya campur aduk deh. Bisa
dibilang aku sudah mengenalnya seumur hidupku, tapi aku masih
sering terheran-heran dengan tingkah lakunya."
"Kayaknya menarik," kata Andrea, mengangkat salah satu
alisnya yang tipis. "Tampangnya jnga oke," Diane menambahkan setelah berpikir
sesaat. "Matanya hijau sekali. Pasti mata paling hijau yang pernah
kalian lihat. Maksudku benar-benar hijau, tidak kecokelat-cokelatan."
"Jadi, kapan kita ketemu Cowok Oke Banget itu?" tanya
Andrea. "Seperti kukatakan, dia dan ibunya bisa tiba kapan saja. Aku
sangat gembira mereka akan datang, tapi...," Diane membiarkan
kalimatnya. mengambang. "Tapi?" kata Jill. "Tapi apa?"
"Yah, Gabe agak kuatir pindah ke kota kecil," lanjut Diane.
"Maklum, seumur hidup dia tinggal di kota besar."
"Kita harus membuat kota ini menarik baginya," kata Andrea.
"Pertama, jangan biarkan dia dekat-dekat dengan Nick dan Max."
"Ayolah, Andrea," kilah Jill. "Mereka tidak jelek-jelek amat
kok." "Lalu, kenapa kau tidak mau jalan bareng mereka?" balas
Andrea. "Semua orang tahu mereka tergila-gila padamu."
"Uh, yang benar saja," kata Jill, tetapi ia tahu apa maksud
Andrea. Nick Malone dan Max Bogner telah berteman dengan gadisgadis itu sejak musim panas lalu. Kedua cowok itu baik, tetapi tidak
bisa dibilang menyenangkan. Itu kata terakhir yang akan mereka
gunakan untuk menggambarkan Nick dan Max.
Resminya mereka berdua hanya teman, tetapi Jill tahu ucapan
Andrea benar. Nick dan Max memang tertarik padanya. Sayangnya ia
tak tertarik pada satu pun di antara mereka. Mungkin cowok baru
ini"si Gabe"bisa jadi cowok yang ia sayangi.
Ia terlompat dari lamunannya oleh suara yang mengerikan, dan
tak lama kemudian muncul Nick. Jari-jarinya yang panjang kurus,
terlipat membentuk cakar, keluar dari balik rak buku yang tinggi.
"Ah, mezeka zi zini," katanya, menirukan suara Drakula. Tiruan
yang jelek, tentu saja. "Potongan kezil kezukaanku."
"Mungkin kita bisa membungkusnya di sini dan mengirimkan
mezeka kembali ke kastil," kata Max dengan aksen sama. Ia bertubuh
besar, pendek bulat, sementara Nick bertubuh kurus tinggi, dan
mukanya yang kemerahan menyeringai seperti ekspresi dalam film
horor yang konyol. Ketiga gadis itu tertawa keras.
"Kalian pasti telah menyewa film-film horor kuno lagi," kata
Jill. "Kok tahu?" ujar Max. Wajahnya kembali menyeringai.
"Kami nonton sekaligus tiga film semalam," kata Nick seraya
duduk di tepi jendela, di dekat meja. "Semua bagus, tapi yang paling
bagus yang berjudul The Torch. Kalian sudah nonton?"
"Kami punya sesuatu yang lebih baik untuk IQ kami," kata
Andrea, suaranya kedengaran bosan. "Untuk kalian berdua, mungkin
sudah terlambat." Nick tidak memedulikan hinaan itu dan terus mengoceh.
"Kisahnya tentang cowok yang bisa mengeluarkan api dari ujungujung jarinya. Seperti manusia api."
"Jadi dia jago membuat barbecue dong," kata Andrea.
"Yeah," kata Nick. "Dia cowok baik, tetapi kemudian dia
bertemu cowok jahat yang bisa melakukan hal yang sama, dan segera
mereka terlibat duel api yang hebat."
"Seperti ini!" kata Max, tiba-tiba saja menyalakan pemantik gas
sekali pakai. Ia menyalakannya besar-besar sehingga lidah apinya
menjilat ke atas, lalu mengarahkannya kepada Nick.
"Hei!" kata Nick sambil tetap tertawa. Dirogohnya sakunya dan
dikeluarkannya pemantiknya. "Ambil ini, Manusia Obor jelek!"
serunya. Diayunkannya pemantiknya ke arah Max. Dalam sekejap
kedua cowok itu pura-pura duel dengan pemantik.
Jill maupun Andrea tertawa. Nick dan Max memang sangat
konyol. Tetapi kemudian Jill sadar kursi Diane tiba-tiba bergerak
menjauhi mereka. "Jangan Diane berbisik ketakutan. "Jangan," ulangnya lebih
keras. "Jangan!"
Jill berpaling dan melihat wajah Diane yang cantik berubah
ketakutan. "Hentikan mereka, Jill. Hentikan!" Diane mencengkeram
tangan Jill. "Mereka cuma main-main kok," kata Jill. Namun ia bicara juga
pada kedua cowok itu. "Hei, berhenti. Ayo, berhenti."
"Tidak. Terus saja," kata Andrea. "Siapa tahu terjadi kebakaran
dan ulangan geografi dibatalkan."
"Aku menggunakan kekuatanku hanya untuk perbuatan baik,"
celoteh Max. "Dan geografi adalah... Hei, awas!"
Max bergerak ke samping ketika Nick menyerangnya. Nick
yang kikuk jatuh menimpa rak buku, menjatuhkan beberapa buku ke
lantai. Sebelum ia sempat berdiri tegak, tubuhnya mendarat di
pangkuan Andrea. "Turun dari pangkuanku!" omel Andrea.
"Boleh kuteruskan permainan ini?" tanya Nick. Ia berdiri dan
bersandar ke tembok, masih terus menjentik-jentikkan pemantiknya.
"Matikan itu, brengsek," seru Jill. Ia tahu mereka hanya mainmain, tetapi ia tiba-tiba sadar banyak benda-benda yang mudah
terbakar di perpustakaan itu.
Nick mengambil map kosong dan berulang- ulang mendekatkan
api ke map itu, kemudian meniauhkannya.
"Tidak!" jerit Diane panik. Semua orang, termasuk Nick,
berpaling ke arahnya. Sedetik kemudian ujung map itu terbakar.
BAB 2 "KAU membakarnya!" teriak Diane, mukanya pucat ketakutan.
Ia melompat, menjatuhkan kursinya ke lantai. "Kau sungguh-sungguh
membakarnya!" Ia berbalik dan berlari ke luar ruangan.
Selama beberapa saat tak seorang pun bergerak. Kemudian
Andrea merebut map itu dari tangan Nick dan mengibas-ngibaskannya
sampai apinya mati. "Kenapa sih teman kalian?" tanya Max. "Kenapa dia jadi gila
begitu?" "Dia juga teman kalian," kata Jill. "Tahu tidak, main-main
dengan pemantik di perpustakaan bukanlah hal paling cerdas yang
pernah kalian lakukan."
"Untung Miss Dotson tak ada di sini," tambah Andrea. "Akan
kulihat apakah Diane baik-baik saja."
"Aku ikut," kata Jill. "Sampai ketemu di kelas geografi."
Ketika mereka keluar menuju koridor, Andrea menjatuhkan
map yang menghitam itu ke keranjang sampah yang sudah penuh di
dekat pintu. Mereka menemukan Diane berdiri di dekat jendela yang
terbuka, tengah menarik napas dalam-dalam, sekujur tubuhnya
gemetar. Jill merangkulnya. "Hei, Diane," sapanya lembut. "Ada apa?"
Diane memalingkan wajahnya yang tegang pada kedua gadis
itu. "Aku benci api," katanya. "Aku sungguh membencinya."
"Tak apa-apa," kata Andrea. "Tapi, tidakkah menurutmu
tingkahmu agak berlebihan" Tak ada yang terluka. Tak ada yang
terbakar, kecuali map yang sudah lusuh itu."
"Kau benar," kata Diane. "Sori. Aku baik-baik saja sekarang."
Tetapi Jill melihat Diane masih tampak ketakutan"seolah
kebakaran kecil itu menghantuinya.
********************* Beberapa menit kemudian Jill duduk di kelas matematika,
mencoba menjawab beberapa soal. "Jika sebuah kereta api berangkat
dari Chicago dengan kecepatan lima belas mil per jam, dan kereta lain
berangkat pada jam yang sama dari San Francisco dengan kecepatan
enam puluh lima mil per jam..."
Aduh, untuk apa sih ini" pikir Jill. Siapa yang naik kereta api
pada zaman sekarang"
Tak ada gunanya. Ia tak dapat memusatkan pikiran pada kereta
api konyol itu. Matanya selalu beralih ke jendela, ke tempat pohonpohon dogwood putih susu dan merah muda sedang berbunga.
Sementara pikirannya selalu kembali ke perpustakaan dan reaksi aneh
Diane terhadap api. Ibuku akan menyebut Diane orang yang "sangat mudah gugup".
Mungkin ada baiknya jika seorang teman lama berada di dekatnya,
pikir Jill. Dan mungkin baik juga buatku, pikirnya. Gabe kedengarannya
sangat menarik. Ia belum pernah mengenal cowok yang pandai
bermain musik. Nick dan Max oke juga. Tapi baginya mereka cuma
teman. Tak bisa lebih serius lagi daripada itu.
Ia mencoba membayangkan mata hijau Gabe seperti yang
digambarkan Diane, dan kemudian, tiba-tiba, ia mencium bau tajam
dan masam. Asap. Ketika ia menoleh ke luar, pohon-pohon dogwood itu sebagian


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertutup asap hitam tebal. Jill merasa jantungnya mau copot.
Sekejap kemudian alarm tanda kebakaran berbunyi.
Detik berikutnya interkom sekolah berbunyi dan suara kepala
sekolah terdengar, samar-samar karena bunyi bising alarm.
"Semua monitor kebakaran harap ke pos masing-masing,"
katanya. Kalimat berikutnya tenggelam oleh suara teriakan. "Ini
sungguhan!" seorang gadis menjerit panik.
"Tetap tenang," kata Mr. Molitor, guru matematika. Suaranya
rendah dan mantap, tetapi menurut Jill ia tampak ketakutan. "Masih
banyak waktu untuk keluar. Berbarislah di dekat pintu."
Dengan jantung masih berdegup keras, Jill menyambar
ranselnya, dan ikut berbaris. Dengan dipimpin Mr. Molitor, mereka
pergi ke koridor lantai dua yang berasap, lalu menuruni tangga
menuju pintu keluar terdekat.
Udara dipenuhi raungan sirene. Ketika Jill dan kawan-kawan
sekelasnya sampai di halaman, pasukan pemadam kebakaran"dengan
mengenakan jas hujan tebal berwarna hitam dan topi"menyerbu ke
dalam gedung. Jill mencari Diane dan Andrea, tetapi kelas mereka terletak di
sisi lain sekolah. Aku bertaruh, Diane pasti benar-benar histeris, pikir
Jill. Jika menghadapi dua pemantik di perpustakaan saja ia sudah...
Perpustakaan. Tepat pada saat itu, Terry Ryan, salah satu cowok di kelasnya,
menyenggolnya. "Lihat!" serunya. "Kebakarannya di perpustakaan!"
Jill mengangkat matanya, mengikuti arah yang ditunjuk Terry,
dan melihat asap mengepul keluar dari jendela-jendela lantai dua, di
sebelah rak-rak buku. Segera ia menyadari aps yang telah terjadi.
Dua anggota pemadam kebakaran keluar, wajah mereka gelap
karena jelaga. Mereka menyeret keranjang sampah besar yang hangus
terbakar. Isi keranjang itu telah disiram dengan air, tetapi sulur asap
masih bergulung keluar dari dalamnya.
Itu keranjang sampah di perpustakaan.
Keranjang sampah tempat Andrea membuang map yang
terbakar tadi. BAB 3 "HEI, mana aku tahu kalau map itu masih menyala," kilah
Andrea. Dihirupnya sisa root beer dengan sedotan bergaris-garis,
kemudian diambilnya sepotong kentang goreng dari kemasan paket
dobel yang ada di depan Nick. "Wueeek! Asin banget! Hei, Nick,
kenapa kau tidak langsung saja makan dari botol pengocok garam?"
"Kalau tak suka, pesan saja sendiri," sembur Nick seraya
menarik piringnya menjauh dari Andrea. "Lagi pula, kupikir kau
sedang diet." Makan apa pun, Nick selalu memesan paket dobel.
Anehnya, badannya tetap saja sekurus tongkat.
"Aku harus tetap kuat," celoteh Andrea. "Untuk jaga-jaga, siapa
tahu mereka menangkapku karena membakar sekolah."
"Tenang saja, Andrea," ujar Max. "Tak seorang pun tahu itu
kesalahanmu." "Itu sebenarnya kesalahan Nick," tambah Jill "Dan Max.
Mengaku saja deh, kalian memang sudah merencanakannya supaya
kita semua tidak jadi ulangan geografi."
"Dan sukses, bukan?" kata Max.
"Well, mungkin kalian bisa melakukannya lagi minggu depan
sehingga aku tidak harus menyerahkan makalah risetku," kata Jill.
"Te-patnya hari Rabu, jam 09.40."
"Aku tidak percaya asapnya sebanyak itu," kata Andrea.
"Padahal yang terbakar cuma keranjang sampah kecil."
"Kebakaran itu menakutkan," kata Diane dengan suara pelan.
Ini pertama kali ia berbicara"kecuali ketika memesan Coke"sejak
kelima sahabat itu pergi ke Pete's Pizza.
"Memangnya kenapa?" tanya Max. "Tak ada yang terluka. Tak
ada yang rusak." "Tapi bisa saja terjadi," kata Diane. Ia merinding.
"Menurutku Diane benar," kata Jill, "Kebakaran bisa sangat
mengerikan..." "Lihat!" seru Diane tiba-tiba, memotong ucapan Jill. "Lihat
siapa yang datang!" Jill mendongak, setengah berharap melihat kepala pemadam
kebakaran. Pintu berayun terbuka, dan seorang cowok bertubuh tinggi
berotot berdiri di sana, diterangi sinar matahari yang akan tenggelam.
Ia memakai celana jeans 501 belel dan kemeja rugby abu-abu.
Rambutnya lebat berombak, berwarna pirang-pasir, membingkai
wajah tegas yang tampan. "Gabe! Sebelah sini!" Diane beringsut keluar dari tempat duduk
dan berlari untuk memberinya pelukan persahabatan yang hangat.
"Siapa pendatang baru itu?" tanya Max.
"Jelas teman Diane," jawab Nick.
"Dia tidak bercanda," bisik Andrea pada Jill, matanya
mengamati si pendatang baru. "Cowok itu luar biasa."
Diane kembali ke tempat duduk sambil menggandeng lengan
Gabe. "Ini teman baikku, Gabe Miller," katanya, berseri-seri.
Wajahnya yang serius berubah ceria, dan Jill kembali sadar bahwa
Diane cantik sekali ketika tersenyum.
Tersenyum sendiri, Jill merasa sedikit gemetar ketika bertatapan
dengan Gabe. Gabe cowok paling tampan yang pernah ia lihat"kecuali dalam
film, tentu saja. Dan matanya sungguh-sungguh hijau"seperti yang
digambarkan Diane"hijau botol jernih, dengan kilauan terang seperti
api. Gabe membalas tatapan Jill sedikit lebih lama, sebelum
berpindah ke setiap orang, senyuman kecil mengejek tersungging di
bibirnya. "Apa kabar," katanya ketika Diane memperkenalkan mereka
satu per satu. Kenapa Jill merasa Gabe sebenarnya tidak ingin berada di sini"
"Hei... ini ada kursi," kata Max. Ia menarik sebuah kursi dari
meja kosong. Gabe memutar kursi tersebut sehingga bagian belakangnya
menghadap meja; kemudian ia duduk berhadapan dengan yang lain.
"Terima kasih," ia berkata tanpa memandang Max, melainkan
menatap Andrea, kemudian kembali pada Jill, senyum rahasia
menghiasi wajahnya. "Jadi di sini tempat kita kumpul-kumpul,"
katanya mengejek. "Ayolah, Gabe," kata Diane. "Shadyside oke juga kok. Kau
akan suka tinggal di sini. Aku janji."
"Entahlah," kata Gabe sambil mengangkat bahu.
"Diane bilang kau berasal dari Center City," kata Andrea.
"Yeah?" kata Gabe. "Apa lagi yang dia katakan tentang aku?"
"Dia bilang kau jago main musik," kata Jill. "Katanya kau
menulis lagu sendiri."
"Aku suka otak-atik sedikit," Gabe menjelaskan. Senyum aneh
tetap menghiasi wajahnya.
"Sungguh?" kata Nick. "Mungkin kau bisa membantuku
bermain gitar." "Oh, yang benar saja, Nick," ujar Andrea. "Kau cuma tahu dua
akor." "Itu sebabnya aku perlu bantuan," kilah Nick. "Kau bisa
bermain gitar, Gabe?"
"Itu salah satu alat musikku" jawab Gabe.
"Yang lainnya apa?" tanya Max.
"Aku bisa memainkan banyak alat musik," kata Gabe, tampak
tidak tertarik dengan percakapan itu.
"Demi Tuhan, Max," kata Andrea. "Gabe baru saja sampai.
Biarkan dia istirahat."
"Aku ingin tahu bagaimana kau bisa ada di sini sekarang," kata
Diane. "Kupikir kau dan ibumu baru akan datang minggu depan."
"Yeah, orang yang membeli rumah kami ingin cepat pindah.
Jadi, di sinilah aku."
"Menurutku di sini tak seheboh di kota," kata Max.
"Memang berbeda," kata Gabe.
"Sebenarnya, kami mengalami sedikit kehebohan hari ini," Jill
memberitahu. Tanpa alasan jelas, ia ingin membela Shadyside.
"Yeah?" kata Gabe, menatap Jill dengan penuh minat.
"Maksud Jill," Andrea menjelaskan, "tadi terjadi kebakaran di
sekolah. Tapi itu bukan kejadian penting."
"Hei," kata Nick. "Menurutku sih itu penting, soalnya ulangan
geografi sampai ditunda."
"Maksudmu, kau yang menyebabkan kebakaran itu?" tanya
Gabe. Ia tampak semakin tertarik.
"Yah, semacam itulah," kata Max. "Nick membakar map. Lalu
Andrea melemparkannya ke keranjang sampah sebelum apinya
membesar." "Cuma itu?" tanya Gabe. "Kau membakar keranjang sampah?"
"Well, ya, secara tidak sengaja," ujar Nick.
"Lalu mobil pemadam kebakaran dan semuanya itu datang?"
"Yeah, mereka datang," kata Nick. "Mengagumkan."
Cukup lama Gabe terdiam, kemudian ia menggelengkan kepala.
"Jadi maksudmu," katanya kepada Max, "peristiwa paling
menghebohkan yang terjadi di sini adalah tempat sampah terbakar,
dan itu pun sebetulnya tidak disengaja?"
"Kami sudah bilang ini bukan kejadian penting," kata Andrea.
"Tetapi sedikit menghebohkan."
"Kau tahu," lanjut Gabe, hampir pada dirinya sendiri, "perlu
keberanian untuk sengaja membuat kebakaran."
"Yeah?" kata Max. "Kau pernah membuat kebakaran?"
Gabe tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahu, senyuman
aneh tersungging di bibirnya, mata hijaunya menatap ke kejauhan.
Jill menatapnya dengan bingung. Apa sih maksudnya" pikir Jill.
Memangnya ia biasa membakar-bakar" Ia menatap teman-temannya,
dan terkejut melihat kegembiraan yang ada di wajah-wajah mereka.
Ia berpaling pada Diane. Wajah Diane sudah kembali serius. Ia
sedang menatap Gabe, dan pelan-pelan ia menggelengkan kepala,
seolah-olah memberi pesan untuknya.
Ada apa sebetulnya" Jill bertanya-tanya. Apakah Diane tahu
sesuatu tentang Gabe, dan ia tak ingin kami mengetahuinya"
BAB 4 "SELAMAT hari pizza!" seru Nick, dengan hati-hati menaruh
nampannya yang kepenuhan ke meja ruang makan siang.
"Whoa!" teriak Jill. "Nick, kau punya enam potong!"
"Semua ini yang mampu kutelan," sahut Nick. Ia membuka
mulutnya dan mulai melahap pizza itu.
Max, duduk di sebelah Nick dan di seberang Jill, memandang
ke porsi besar salad, sementara Nick dan ketiga gadis itu makan pizza.
"Aku senang sekarang hari Jumat," kata Jill. "Dan bukan cuma
karena hari ini hari pizza di kantin."
"Aku dukung itu!" kata Andrea. Ia beralih pada Max. "Kau
kenapa" Biasanya kau makan pizza sebanyak yang Nick makan."
"Aku tak begitu lapar hari ini," Max menjelaskan sambil
menjumput salad-nya. "Dia sedang mencoba mengurangi berat badan," kata Nick.
"Supaya mirip Gabe."
"Enak saja kau ngomong!" seru Max, wajahnya yang merah
semakin merah. "Tak ada salahnya mencoba merawat badan sedikit."
"Jika kau ingin kelihatan seperti Gabe, bukan cuma makan
salad yang harus kaulakukan," kata Andrea. "Masih banyak lagi."
"Menurutku boleh juga kalau Max ingin mengurangi beberapa
kilo," kata Diane. "Bagus buatmu." Diane selalu menyelamatkan siapa
pun yang sedang jadi bulan-bulanan.
"Ngomong-ngomong soal Gabe," lanjut Andrea, mengabaikan
ucapan Diane, "Aku belum melihatnya hari ini. Apakah dia datang ke
sekolah?" "Mebel orangtuanya akan dikirim hari ini," kata Diane.
"Mungkin dia tinggal di rumah untuk... Oh, itu dia." Ia berdiri dan
melambai sehingga Gabe melihatnya.
Gabe berjalan santai menghampiri meja mereka dan duduk di
sebelah Jill, memberinya senyuman samar. Jill merasa bingung dan
tak yakin apa yang harus dikatakan.
"Aku baru saja dari ruang senam, melakukan beberapa
gerakan," kata Gabe. "Pelajaran olahraga di sini payah. Bisa-bisa kita
semua jadi loyo." "Itu tak benar," sergah Nick. "Kami punya program renang
terbaik di negara bagian ini."
"Belum lagi program senam yang hebat," tambah Jill. "Kau
tahu, Andrea ikut bertanding di kejuaraan antarnegara bagian tahun
ini." "Oh ya?" kata Gabe. Ia menatap Andrea dengan tatapan
menghargai. "Aku tak yakin apakah aku jadi ikut kejuaraan itu," kata
Andrea. "Tapi aku jadi ingat. Aku ingin tanya padamu..."
"Jangan ngomong soal itu sekarang," potong Diane. "Gabe,
apakah barang-barang orangtuamu dikirim hari ini?"
"Yeah, pengantar barang mengantar kiriman pertama kemarin
pagi," jawab Gabe. "Agaknya aku terikat di sini, di Shadyside tua
yang ramah." "Oh, ayolah," kata Jill, tiba-tiba merasa jengkel. "Kau belum
cukup lama di sini. Beri kesempatan dong pada Shadyside."
"Aku sudah cukup lama di sini untuk tahu bahwa pizza-nya tak
enak," kata Gabe seraya menjatuhkan ke atas nampan sisa pizza yang
sedang dimakannya. "Memangnya seperti apa yang kauharapkan?" tanya Diane. "Ini
kantin sekolah. Kau harus coba pizza di Pete's."
"Aku sudah pesan di sana dua malam yang lalu," kata Gabe.
"Jelas cuma kelas dua."
"Oke. Mungkin pizza di sini tak bisa menyaingi standar kota
besarmu, tetapi Shadyside memiliki banyak hal baik," kata Nick.
"Seperti apa?" "Well, Dobie's punya es krim terbaik yang pernah aku makan,"
Jill memberitahu. "Dan berani taruhan, kau pasti akan menyebutnya"
sori, aku meminjam istilahmu"kelas satu."
"Yah, paling tidak aku tidak akan kelaparan," Gabe
menanggapi. "Hanya saja aku mungkin akan mati karena bosan."
"Banyak juga kegiatan yang bisa dilakukan di sini," lanjut Jill.
Ia heran sendiri mengapa ia berusaha keras membela Shadyside.
"Kami punya Red Heat"kelab dansa yang asyik punya, juga tempat
main boling, dan... oke, kau mungkin memiliki tempat-tempat seperti
itu di Center City, tapi aku yakin kau tak punya tempat kegiatan luar
ruang sebanyak yang kami punya."
"Wow! Aku tidak tahu bahwa aku bisa mendapatkan semua
kesenangan itu," canda Gabe.
"Oh, Gabe," desah Diane. "Tak bisakah kau mencoba menyukai
tempat ini" Berilah kesempatan, kau pasti akan senang."
"Hei, akan kucoba," kata Gabe. "Tetapi ini tidak mudah. Bisa
kausebutkan, apa yang dimiliki Shadyside, tapi tidak ada di Center
City?" "Kami punya jalan berhantu," kata Max.
"Apa?" "Fear Street," kata Jill dengan sedikit gemetar. "Tetapi
sebenarnya bukan itu salah satu hal paling hebat di sini."


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Fear Street" Kalian punya jalan bernama Fear Street?"
"Jalan itu diberi nama mengikuti nama Simon Fear, salah satu
penduduk pertama di sini," tambah Max. "Kau masih bisa melihat
puing-puing rumah besarnya. Banyak orang percaya beberapa rumah
di jalan itu ada hantunya."
"Apa sih maksudnya?" tanya Gabe. "Semacam dunia fantasi?"
"Bukan," kata Andrea, kali ini terdengar serius. "Ini bukan
lelucon. Di ujung jalan itu ada kuburan tua angker yang dikelilingi
hutan. Sudah banyak hal aneh yang terjadi di sekitar Fear Street.
Orang-orang hilang, dan sejumlah pembunuhan yang tak
terpecahkan." "Kedengarannya menarik," ujar Gabe. "Aku ingin melihatnya."
"Bagaimana kalau akhir pekan ini?" usul Diane tiba-tiba.
"Orangtuaku baru saja membeli pondok di danau, di hutan Fear Street.
Pemandangan di sana sungguh indah."
"Orangtuamu membeli pondok berhantu?" tanya Gabe.
"Tidak dong!" sahut Diane. "Hutannya memang agak angker,
tetapi pondoknya bagus. Ayo, kita ke sana! Kita semua bisa piknik."
"Tidak," kata Gabe. "Aku mau, Di, tetapi aku sudah janji pada
keluargaku untuk membantu mereka membereskan rumah akhir pekan
ini." "Sepanjang akhir pekan?" tanya Andrea.
"Kurasa ya," jawab Gabe.
"Sayang, kita tak bisa meninggalkan sekolah siang ini," desah
Max. "Betul," kata Jill. "Masa kita bilang, 'Maaf, Mr. Molitor, saya
tidak dapat ikut pelajaran aljabar karena ada piknik darurat'."
"Hei!" seru Gabe. "Bagaimana kalau memang ada keadaan
darurat?" "Apa maksudmu?" tanya Jill bingung.
"Apakah kau ingat pada ceritamu minggu lalu, tentang tempat
sampah yang terbakar" Dan bagaimana kebakaran itu membuat
ulangan geografi batal?"
"Itu tidak disengaja," kilah Jill. Ia merasa tak ingin mendengar
lanjutan kata-kata Gabe. "Nah, bagaimana kalau kita membuat kebakaran sungguhan"
Kebakaran yang cukup besar untuk membatalkan pelajaran?" Gabe
mengucapkannya dengan nada biasa, seolah-olah sedang memberitahu
bahwa ia hendak pergi sebentar pada saat makan siang.
"Kau benar," kata Max. "Atau, kenapa kita tidak memberi
ancaman bom lewat telepon pada kepala sekolah?"
"Atau... tunggu... aku punya ide," sela Andrea. "Kenapa kita
tidak menculik kepala sekolah saja?"
"Betul," kata Nick setuju. "Dan mengajaknya piknik. Siapa tahu
dia juga ingin siang ini tak ada pelajaran."
Semua anak tertawa. "Semua ide itu bagus," kata Gabe, "tetapi aku pilih kebakaran."
"Aku juga," sambung Max. "Kita semua tahu itu bisa
dilaksanakan dan berhasil."
"Yeah, tetapi siapa yang akan membuatnya?" tanya Andrea.
"Seseorang yang punya nyali," sahut Gabe. Ia tersenyum
mengejek, dan mendadak singgah dalam bengk Jill bahwa Gabe
mungkin tidak main-main. "Kau serius nih?" cetus Max tiba-tiba, seolah-olah membaca
pikiran Jill. Gabe mengangkat bahu. "Bukankah kau tadi bilang kau ingin
siang ini tak ada pelajaran?"
"Memang sih, tetapi aku tidak bermaksud..."
"Tak bermaksud apa?" sergah Gabe. "Kau ingin siang ini tidak
ada pelajaran, atau sebaliknya?"
"Tentu saja tak ada pelajaran. Tapi... apakah tadi kau bilang kita
harus membuat kebakaran sungguhan?" Max tampak heran.
"Bukan kita," kata Gabe. "Kau."
"Aku?" suara Max tiba-tiba meninggi. "Kenapa aku?"
"Atau Nick," lanjut Gabe sambil lalu. "Tentu saja, jika tak ada
yang punya nyali, kita lupakan saja semuanya."
"Apakah kau sudah sinting?" teriak Nick. "Kita bisa ditendang
keluar dari sekolah"untuk selama-lamanya!"
"Gabe, kau pasti cuma main-main!" teriak Jill.
"Lebih baik kau tidak melakukannya," kata Diane. Diane
menatap Gabe dengan tatapan memohon. "Aku tak ingin mendengar
omongan tentang kebakaran lagi," sambung Diane. "Aku"aku harus
belajar untuk ulangan geografi." Mendadak ia berdiri dan berjalan
meninggalkan mereka. "Diane...," panggil Jill.
"Jangan kuatir," kata Gabe. "Dia selalu mudah gelisah." Ia
menoleh ke arah Andrea. "Bagaimana pendapatmu, Andrea?"
Andrea tersenyum senang. "Aku menunggu apakah ada yang
sungguh-sungguh berani melakukannya."
"Mungkin tak ada," kata Gabe. "Ini Shadyside, tanah air orangorang lemah dan tak berguna."
Dengan tenang ia mengeluarkan pemantik dari sakunya dan
meletakkannya di atas meja. "Kau tahu, ini tidak sulit," ujarnya. "Aku
sudah mengawasi toilet cowok. Selama lima belas menit ini tak ada
yang masuk ke sana."
Untuk beberapa lama semua diam. Mereka memandangi
pemantik itu, seolah-olah itu sebuah bom.
Tiba-tiba Max mengulurkan tangan dan meraihnya.
"Max," kata Jill, tiba-tiba gugup. "Kau tak harus melakukan apa
pun yang tidak kauinginkan."
Max tidak menjawab. Tampaknya ia telah membuat keputusan
mendadak. Ia melompat berdiri, dan berjalan menuju toilet cowok.
Jill, Andrea, Nick, dan Gabe, memandanginya.
"Dia tidak akan melakukannya," Jill berharap.
"Entahlah," kata Gabe. "Kelihatannya dia sungguh-sungguh."
"Mungkin dia memang ingin ke toilet," kata Andrea. "Aku
sudah mengenal Max selama tiga tahun, dan dia tak..."
Kata-katanya terputus oleh bunyi lonceng berakhirnya istirahat
makan siang, dan keributan anak-anak menaruh nampan ke tempatnya
sebelum menuju kelas masing-masing.
Jill baru saja mengangkat nampannya ketika ia mendengar suara
berdesis, disusul ledakan keras, dan pintu toilet cowok terlempar lepas
dari engselnya. Detik berikutnya, nyala api berwarna oranye
menyambar kantin. BAB 5 SETIAP orang bertingkah seolah-olah kejadian itu superlucu,
pikir Jill. Dan sebenarnya, dari satu sisi memang superlucu.
Nick, memakai jeans sobek dan topi jerami kocak yang besar,
sedang membongkar perlengkapan piknik dari bagasi mobil station
wagon tua milik ayahnya. Satu per satu dilemparkannya berbagai
benda ke arah Andrea dan Gabe, yang berteriak-teriak dan tertawa
gembira. Jill dan Andrea mengenakan baju pantai pendek yang menutupi
baju renang baru mereka, sementara Gabe memakai celana pendek
hitam untuk bersepeda buatan Spandex. Lengan T-shirt-nya dipotong,
sehingga ia tampak seperti finalis kontes Mr. America. Bahkan Max
memakai celana renang, badannya yang gemuk sedikit menonjol di
daerah pinggang. Diane satu-satunya yang tak memakai baju renang, melainkan
jeans dan T-shirt bunga-bunga berlengan panjang. "Aku alergi
matahari," katanya mengingatkan. "Tapi itu tak berarti kalian tak
boleh berenang." Sementara kawan-kawannya terus membongkar
perlengkapan piknik, ia membantu menyiapkan segala sesuatu di meja
redwood panjang. Jill belum pernah melihat teman-temannya begitu gembira.
Tetapi sebelumnya mereka juga tidak pernah hampir membakar habis
sekolah. Ia masih belum yakin bagaimana perasaannya terhadap
peristiwa itu. Ketika nyala api itu menyembur ke kantin, seumur hidup
Jill tak pernah setakut itu sebelumnya. Lututnya gemetar, ia mengikuti
yang lainnya keluar ruangan di tengah jeritan dan asap tebal yang
menyesakkan tenggorokan. Max! ia terus memikirkannya. Ia ada di dalam sana ketika
ledakan terjadi. Lalu beberapa saat kemudian Max muncul dari pintu samping
di belakang kantin. "Max!" teriaknya. "Kau tak apa-apa" Semula kami tak yakin
kau bisa keluar!" Sebelum ia sempat menjawab, Diane berlari menghampiri
mereka yang berdiri berkelompok di tengah lapangan sepak bola.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, wajahnya pucat.
"Kami melakukannya, itu jawabannya!" teriak Andrea gembira.
"Atau lebih tepatnya, Max melakukannya...."
"Hei, diam!" Max menyela dengan suara tercekat. Ia kelihatan
pucat dan gemetar. "Wow, heboh banget!" teriak Gabe senang. "Tapi bagaimana
kau bisa..." "Aku tak mau membicarakannya di sini!" sergah Max.
"Ah, tak ada yang bisa dengar kok," kata Andrea. "Wow,
rasanya sulit dipercaya!"
Sekali lagi mobil pemadam kebakaran menderu di halaman
sekolah, sirinenya meraung-raung. Kali ini pasukan pemadam
kebakaran memasang slang-slang, mengarahkannya ke gedung
sekolah, dan air pun memancar di depan mereka.
Mobil-mobil membunyikan klakson keras-keras, pengeras suara
menjerit-jerit, dan teriakan gembira serta tangis bercampur baur.
Suasana bising sekali sehingga Jill hampir tak bisa berpikir. Ia hanya
memandang teman-temannya dan memperhatikan sambil berdiam diri.
"Aku senang karena aku tak ada di kantin," kata Diane pada Jill.
"Pasti tadi sangat menakutkan."
"Memang," ujar Jill setuju.
"Apa kalian yakin aku takkan ditangkap?" tanya Max gelisah.
"Rileks!" kata Gabe jengkel. "Takkan ada yang tahu. Tak ada
orang lain di toilet itu, lagi pula jutaan orang keluar-masuk di sana."
"Aku tak tahu apinya akan sebesar itu," lanjut Max. "Aku tak
bermaksud membuat kerusakan separah itu."
"Jadi toiletnya akan ditutup selama beberapa hari," kata Andrea.
"Masalah besar nih."
"Ada kaleng besar berisi larutan pembersih, tepat di dekat
keranjang sampah," kata Max. "Pasti itu yang meledak. Aku
membakar beberapa helai kertas di keranjang itu, lalu segera lari. Aku
beruntung. Kaleng itu meledak beberapa detik setelah aku keluar.
Dentumannya luar biasa!"
"Itu yang menyebabkan kebakaran mengagumkan," kata Gabe.
"Jangan kuatir, Max," kata Diane simpati. "Kau terpancing
tantangan Gabe. Aku tahu kau tak bermaksud berbuat begitu."
Kemudian, setelah api padam, petugas penyidik kebakaran
datang dan menanyai beberapa anak yang berada di kantin pada saat
peristiwa itu. Tetapi tak seorang pun melihat sesuatu yang ganjil.
Karena asap, akhirnya sekolah diliburkan siang itu.
********************* "Semua sudah dikeluarkan," Max memberitahu. "Sekarang, ayo
kita makan." "Kita harus membiarkan api itu padam di alat pemanggang,"
kata Diane. "Kenapa kalian tak berenang?"
"Pertama, aku ingin melihat pondok berhantu milik Diane," kata
Gabe. "Kita masuk yuk."
"Orangtuaku belum selesai membetulkannya," kata Diane.
"Tapi kupikir kita bisa melihat ke dalam."
Dari luar, pondok itu kelihatan seperti pondok tua di pedesaan,
tetapi di dalamnya sangat modern. Orangtua Diane sedang
merenovasinya, dan semua mebelnya cantik dan enak dipandang.
Berbagai benda seni"hiasan gantung, lukisan, dan patung-patung
logam yang belum selesai dibuat"tergantung di mana-mana di
ruangan besar itu. Ayah Diane memiliki bangku kerja yang dilengkapi
obor las dan peralatan memahat. "Ayahku bermaksud menggunakan
pondok ini sebagai studio di akhir pekan," Diane menjelaskan. "Dia
menyukai cahaya di sini." Ayahnya mengajar memahat logam di
akademi, dan karyanya telah memenangkan beberapa penghargaan
lokal. "Aku tak pernah bisa memahami pahatan ayahmu," kata Gabe
pada Diane. "Tetapi tempat ini luar biasa! Sayang, tidak benar-benar
ada hantunya." "Apa kau belum cukup bersenang-senang hari ini?" tanya
Andrea sambil tertawa. "Aku?" kata Gabe. "Tentu saja belum! Ayo, kita lihat danau
itu!" *********************** Airnya sedingin es, sangat berbeda dengan udara awal musim
semi yang hangat. Setelah beberapa menit Jill menyerah dan
bergabung dengan Diane di dermaga. Lengannya merinding ketika ia
mengenakan baju pantainya.
Di tengah danau Nick dan Max bercanda, saling mendorong
keluar pelampung. Jauh di tepi, Gabe dan Andrea saling memercikkan
air, mengobrol dengan asyik. Kemudian Max mendekati mereka.
Terdengar teriakan dan suara ceburan, sebelum Andrea berenang
kembali ke pantai. Ia keluar dari air dengan tubuh menggigil, lalu
duduk di sebelah teman-temannya.
"Aku tak percaya," kata Andrea. "Max bilang pada Gabe bahwa
Nick jago berenang, dan sekarang mereka akan bertanding. Mereka
akan berenang bolak-balik dari pelampung itu ke sini, dan kita diminta
untuk memastikan bahwa mereka berdua menyentuh dermaga."
"Gabe atlet yang baik," kata Diane. "Tetapi aku tak tahu apakah
dia berenang sebaik Nick."
"Kupertaruhkan uangku untuk Nick," kata Jill.
"Sungguh?" tanya Andrea. "Jadi kita taruhan! Jika Nick
memang, kau boleh pinjam jaket kulit merahku kapan pun kau mau.
Dan jika Gabe menang, kau harus mengerjakan PR sejarahku selama
minggu depan." "Yes! Ini taruhan," kata Jill, tertawa.
Ketiga cowok itu berdiri di pelampung. Max mengangkat
tangannya, dan gadis-gadis itu bisa mendengar ia berteriak, "Siap,
sedia, ya!" Nick dan Gabe menyelam dan mulai berenang ke dermaga
dengan gerakan lancar dan teratur. Jill memperhatikan mereka
bergerak cepat di air. "Ayo, Nick!" teriaknya.
"Cepat, Gabe!" Andrea tidak mau kalah.
"Cepat, cepat, cepat!" seru Diane. Jill tak tahu siapa yang
dijagokan Diane, tetapi tak peduli siapa yang menang, mereka semua
senang menontonnya. Ketika cowok-cowok itu mencapai dermaga, Nick berada di
depan Gabe, dan ketika mereka berbalik kembali ke pelampung, Nick
semakin jauh meninggalkan Gabe. "Ayo, Nick, ayo!" teriak Jill.
Kemudian, tepat sebelum mereka mencapai pelampung, gerak Nick
melambat dan Gabe berhasil menang tipis.
Andrea berdiri dan bersorak keras, kemudian duduk kembali.
"Wow!" katanya. "Apa ada yang tak bisa dikerjakan Gabe?"
"Apa maksudmu?" tanya Diane.
"Ingat ucapanmu bahwa Gabe dapat menulis musik untuk
mengiringi gerakan senam lantaiku?" tanya Andrea. "Aku sudah


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menanyakan hal itu padanya, dan katanya dia tertarik. Dia akan
melihatku latihan untuk mendapatkan ide."
"Bagus," kata Jill.
"Mungkin ini akan membuat dia merasa lebih terlibat," kata
Diane. Namun suaranya tak sesenang yang diharapkan Jill, khususnya
karena Diane-lah yang pertama kali melontarkan ide ini.
"Aku tak keberatan dia terlibat lebih jauh," kata Andrea,
matanya tertuju pada cowok-cowok yang sedang berenang santai
menuju pantai. "Diane, boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi?"
"Tentu saja," jawab Diane.
"Aku hanya ingin tahu.... Maksudku, yah, apa kau keberatan
jika aku kencan dengan Gabe?"
Jill menoleh pada Diane dengan penuh minat. Ia sendiri
penasaran tentang hal itu.
Untuk beberapa saat Diane tak menjawab, kemudian ia
mengangkat bahu. "Mengapa aku harus keberatan?" tanyanya.
Kemudian ia cepat-cepat menambahkan, "Tetapi dia kan sama sekali
bukan tipemu." "Jangan terlalu yakin," kata Andrea. "Aku hanya ingin
meyakinkan tak ada apa-apa di antara kau dan Gabe sebelum aku..."
"Kami hanya berteman," potong Diane.
"Hanya itu?" "Hanya itu," ulang Diane. "Gabe teman lama keluargaku." Jill
tak dapat melihat wajah Diane, tetapi percakapan itu membuat
perasaan Diane tak enak. Jill sedang mencoba memikirkan
penyebabnya ketika tiba-tiba cowok-cowok itu memercikkan air ke
sekujur tubuhnya. "Hei"awas!" teriaknya, melompat bangun.
"Apa makan sore kita?" tanya Max. "Kami kelaparan nih."
"Pertandingan yang seru," puji Diane. "Kalian berdua hebat.
Rasanya seperti nonton Olimpiade."
"Gerakanmu bagus," kata Andrea, terang-terangan menatap
Gabe. "Kau kenapa sih, Nick?" tanya Jill. "Tadi aku yakin kau akan
menang." "Oh, aku kram dan harus memperlambat gerakanku."
"Ah, alasan saja," kata Gabe.
"Memang betul kok," kilah Nick. Ia menatap marah pada Gabe.
"Hei, aku hanya bercanda," kata Gabe. "Pertandingan hebat.
Aku serius." Ia menepuk bahu Nick dan mengulurkan tangannya. Nick
menyambutnya, tetapi Jill tahu Nick tetap tak senang.
******************** Setelah keenam remaja itu mengisi perut dengan hot dog dan
salad, Diane pergi ke pondok dan kembali dengan membawa sebuah
gitar tua yang sudah tidak mulus lagi. "Ingat ini, Gabe?" tanyanya.
"Gitar pertamaku!" serunya sambil tertawa. "Aku tak percaya
kau masih menyimpannya."
"Gabe memberikan gitar ini padaku dulu, ketika aku sakit," kata
Diane. "Aku tak pernah belajar memainkannya, tapi ayahku
menyukainya. Ayo, mainkan sebuah lagu untuk kami, Gabe?"
"Oh, gimana, ya," kata Gabe.
"Yeah, ayolah, Gabe," Nick ikut memberi semangat. "Aku mau
dengar." Gabe mengangkat bahu dan mulai menyetem senar. Hari mulai
gelap, dan Diane serta Andrea menyalakan beberapa lilin di sekeliling
teras terbuka tempat mereka berada, menambahkan cahaya hangat
pada senja yang semakin kelam.
Gabe selesai menyetem dan mulai memetik gitar itu, dan segera
semua orang diam. Musik mengalun, dan kemudian ia mulai
menyanyi. Suaranya bariton, serak-serak basah. Wah, suaranya
memang oke, pikir Jill. Mungkin Andrea benar. Mungkin Gabe
memang bisa melakukan apa saja.
Lilin-lilin itu tampak ceria ketika pepohonan menghitam,
menyerupai renda siluet di langit lembayung yang pucat. Gabe mulai
memainkan beberapa lagu lama favorit, dan mereka semua menyanyi.
Jill sudah lama tak pernah merasa sepuas ini. Menyenangkan sekali,
pikirnya"berkumpul bersama teman-teman baikku, bernyanyi,
bersantai. Keadaan benar-benar berubah setelah Gabe datang di
Shadyside, dan menurutnya teman-temannya menjadi lebih baik. Gabe
telah membuat mereka meninggalkan pola lama, membuat mereka
mencoba hal-hal baru, meskipun kadang-kadang agak liar.
Setelah beberapa saat Gabe meletakkan gitar dan merentangkan
tangannya. "Cukup untuk saat ini," katanya. "Aku kurang latihan."
"Menurutku kau bagus," kata Andrea.
"Hei," Nick menyela, tiba-tiba melihat arlojinya. "Aku harus
membawa pulang mobil itu."
Diane mengembalikan gitar itu ke dalam dan mengunci pondok.
"Kita harus memunguti setiap sampah ini. Kalau tidak orangtuaku bisa
marah besar," ia memberitahu. "Dan pastikan apinya benar-benar
mati." "Jangan berikan tugas itu pada Andrea," sela Nick. "Ingat, apa
yang terjadi minggu lalu."
"Atau Max," tambah Jill. "Pembakar Shadyside High."
"Lucu sekali," kata Max. "Terima kasih telah mengingatkan
aku. Polisi mungkin sudah ada di rumahku sekarang."
"Oh, berhentilah merasa cemas," kata Andrea.
"Apa salahnya dengan kebakaran kecil?" tambah Gabe.
Diambilnya salah satu lilin yang ada di meja piknik. Jill
mengira ia akan mengembusnya sampai padam. Tetapi kemudian,
bersama teman-temanya yang lain, ia memperhatikan dengan ngeri
dan terpesona saat Gabe mendekatkan tangannya ke lidah api"dan
membiarkannya di sana. Ketika lidah api itu menjilati tangannya,
ekspresi wajahnya tak berubah.
BAB 6 "APA pendapat kalian?" tanya Diane. "Siap belanja sampai
bangkrut?" Ia memandang dengan antusias ke luar toko kue, ke arah
Division Street Mall. "Aku tidak bisa," sahut Jill. "Aku sudah menghabiskan jatah
beli baju sepanjang tahun!"
"Brengsek," kata Diane. "Aku bawa kartu debet ibuku. Dia
bilang aku perlu beberapa baju baru."
"Coba ibuku bilang begitu," komentar Andrea. "Ibuku selalu
bilang, 'Oh, tidak, kau tak memerlukannya. Lemarimu sudah
kepenuhan!'" "Aku bosan nih," ujar Diane. "Ayo, kita pergi dari sini."
"Ide bagus." Jill menghabiskan es krim sundae-nya dan
mengusap wajahnya. "Aku yakin es krim ini mengandung ratusan juta
kalori." "Memangnya kenapa?" tanya Andrea. "Kau kan tidak sedang
diet." "Yeah, jika tidak diet, kita sebaiknya berolahraga. Ada yang
ingin lihat-lihat lantai atas?"
"Tentu saja," kata Andrea. "Siapa tahu kita ketemu cowokcowok itu."
"Kan di sekolah sudah. Apa masih kurang buatmu?"
"Yah," jawab Andrea, "Kupikir aku bisa berbicara dengan Gabe
soal musik yang akan dia ciptakan untuk senamku."
"Oh, yeah?" kata Jill. "Bagaimana perkembangannya?"
"Sebenarnya belum apa-apa. Dia belum bisa datang untuk
melihat latihanku." Gadis-gadis itu membayar makanan penutup mereka dan
meninggalkan Olde Sweete Shoppe. Hari itu hari Kamis"Malam
Obral"dan mall dipadati pemburu barang murah.
"Wow, penuh amat," kata Jill. "Bahkan jika cowok-cowok itu
ada di sini, kita takkan bisa menemukan mereka."
"Menurutku Gabe tak akan jalan-jalan ke mall," kata Diane.
"Mungkin kau benar," ujar Andrea. "Dia terlalu kece untuk
jalan-jalan di sini."
Toko pertama di ujung tangga adalah Toko Hewan Piaraan
Shadyside, dan Diane selalu harus melihat-lihat anjing dan kucing di
Sana. Ia tak boleh memiliki hewan piaraan karena ayahnya alergi.
"Oh, lihat yang satu itu, Jill," seru Diane, menunjuk ke anak
kucing berbulu putih. "Mirip sekali dengan Mittsy."
Jill tertawa. Kucing kecil itu memang mirip Mittsy, kucing
Persia bermata keemasan milik Jill. Di dekat etalase dua ekor anak
anjing terrier berbulu sangat halus sedang bercanda, bergulung-gulung
di atas sobekan kertas. Jill dan Diane berdiri dengan hidung menempel
ke kaca seraya mengeluarkan suara ohhh dan ahhh.
"Kalian bisa buruan?" tanya Andrea. "Mall akan tutup setengah
jam lagi." "Oh, ayolah, Andrea," sahut Diane. "Mentang-mentang kau tak
suka binatang...." "Aku suka kok," kata Andrea tak sabar. "Aku hanya tak pernah
mengerti mengapa orang-orang berlaku bodoh terhadap binatang. Aku
lebih tertarik dengan jenis binatang lain"cowok."
"Khususnya yang satu itu," goda Jill.
"Apa kalian pernah melihat mata sehijau itu?" teriak Andrea.
Jill menoleh sejenak ke anak-anak anjing di etalase, kemudian
sadar Andrea bicara soal Gabe.
"Kau memang benar soal matanya, Diane," lanjut Andrea.
Diane tak menjawab. "Bagaimana kau kenal dia dulu?"
"Kami bertetangga ketika kami masih kecil," jawab Diane.
"Kami sekolah di TK yang sama."
"Apa dia selalu begitu liar?"
"Well, Gabe selalu bermasalah, jika itu yang kau maksud.
Ibunya selalu bilang bahwa aku memberi pengaruh baik padanya."
Diane tersenyum mengingat hal itu. "Namun kalau dia sudah penuh
tekad berbuat sesuatu, aku tak pernah bisa mencegahnya."
"Kurasa memang tak seorang pun dapat mencegah Gabe," kata
Andrea. "Tampaknya dia cowok yang tahu pasti apa yang
diinginkannya." "Betul," Diane menyetujui. "Betul sekali." Bicaranya sangat
serius, dan sekali lagi Jill merasa Diane merahasiakan sesuatu tentang
Gabe. Mereka menyusuri lantai atas, mengamati setiap etalase. The
Athlete's Den memiliki ruang pajang besar untuk peralatan angkat
beban. "Gabe bilang padaku bahwa dia latihan angkat beban," kata
Andrea. "Sudah berapa lama dia melakukannya, Diane?"
"Mungkin sejak TK," sahut Jill. "Sudahlah, Andrea, kau pikir
Diane siapa"penjaga Gabe?"
"Tidak apa-apa kok," kata Diane. "Karena aku lebih mengenal
Gabe dibanding yang lain." Ia terdiam sesaat, kemudian melanjutkan.
"Dia selalu tertarik dengan olahraga," katanya pada Andrea. "Kupikir
dia mulai angkat beban dua tahun yang lalu."
"Oh, yeah" Olahraga apa saja yang dia tekuni dulu?"
Diane mendesah. "Aku tak ingat semua. Dia dulu ikut Liga
Bisbol Junior, dan di sekolah menengah dia main sepak bola serta bola
basket." "Aku yakin prestasinya bagus dalam semua olahraga itu. Betul,
kan?" "Kurasa dia seorang atlet alam," kata Diane.
"Sewaktu berlomba dengan Nick," lanjut Andrea, "Gabe
berenang begitu cepat. Aku tak percaya, maksudku, Nick kan
perenang yang hebat, dan Gabe mengalahkannya...."
"Jangan lupa, Nick kena kram," Jill mengingatkan.
"Itu kan katanya," kata Andrea. "Bagiku itu cuma alasan. Tapi,
kenapa sih kau membela Nick" Biar cuma secuil, kau juga tertarik
pada Gabe, kan?" Untuk beberapa saat Jill tak menjawab. Masalahnya, ia tertarik
pada Gabe"sangat tertarik"tetapi ia merasa ada sesuatu yang aneh
pada Gabe, yang membuatnya merasa sangat tidak nyaman. "Aku
hanya berpikir... menurutku tingkahnya aneh sekali ketika dia
menempelkan tangannya ke api lilin," kata Jill.
"Wow! Justru itu yang paling keren," kata Andrea. "Aku belum
pernah melihat seorang pun berbuat begitu. Rasanya mustahil deh!" Ia
tertawa. "Terus, kalian lihat tidak, mimik muka cowok-cowok
lainnya" Kupikir mereka semua akan mati karena iri."
"Aku kuatir suatu saat Max akan mencobanya," kata Jill.
"Aku juga," sambung Andrea. "Hei, Diane, kau pernah melihat
Gabe beraksi seperti itu sebelumnya?"
Diane mengangkat bahu. "Tidak persis begitu sih," jawabnya.
Bukannya menjelaskan apa maksudnya, Diane malah buru-buru
menyeberang ke sisi lain koridor mall yang lebar itu. "Aku ingin ke
Benniger's sebentar. Aku perlu kemeja baru."
Jill dan Andrea mengikutinya ke toko yang besar itu. Posterposter bertulisan "Obral Gila-gilaan Musim Semi dan Semua Barang
Di-potong Empat Puluh Persen" bergantungan di etalase.
"Kau tak ingin masuk ke sini, Diane," sela Andrea. "Semua
barangnya dipotong."
"Lucu sekali," Diane menanggapi. "Aku cuma sebentar kok."
Sambil tersenyum kecil, ia menuju ke rak baju olahraga. Jill
merasa Diane sudah capek membicarakan Gabe, atau paling tidak
menjawab berbagai pertanyaan perihal cowok itu. Sementara Diane
melihat-lihat bagian kemeja, Jill meneliti koleksi scarf sutra. Ibunya
sebentar lagi ulang tahun dan ia sedang mencari inspirasi hadiah.
Tetapi bukannya berkonsentrasi pada koleksi scarf itu, ia malah
kembali memikirkan piknik serta semua hal yang terjadi pada Gabe,
sejak ia mendorong Max membuat kebakaran sampai ia menempelkan
tangannya ke api lilin. Pasti sakit, pikirnya. Apa sih yang hendak ia
buktikan" Dan ditujukan kepada siapa"
Akhirnya, setelah malas-malasan melihat deretan scarf itu, ia
menemukan satu dengan corak ungu dan merah muda manyala,
warna-warna kesukaan ibunya. Ia menoleh untuk memperlihatkannya
kepada teman-temannya, tetapi tak tampak seorang pun. Mungkin
mereka sedang mengepas baju, pikirnya. Dipegangnya scarf itu dan
mulai melihat-melihat yang lain.
Tiba-tiba jeritan melengking memenuhi toko. "Tidak!" Jeritan
panik dan ketakutan. "Pergi! Tinggalkan aku sendiri!"
Jill terpaku; jantungnya berdebar-debar.
Suara penuh penderitaan itu milik Diane.
BAB 7 JILL menjatuhkan scarf ungu itu dan berlari secepat mungkin
ke bagian belakang toko, menerjang deretan tirai yang menutupi
tempat mengepas baju. Begitu membelok, ia bertabrakkan dengan
Andrea. "Whoa!" teriaknya. "Sori! Apa kaudengar..."
"Mana mungkin aku tak mendengarnya," sembur Andrea.
"Akulah yang dia teriaki."
"Apa?" Jill memandangnya, bingung. "Diane tak apa-apa" Apa
yang terjadi?" "Tanya saja sendiri," jawab Andrea, mengangkat bahu. "Yang
kutahu, aku mau mencoba ini?"ia mengangkat sehelai T-shirt hijau
limau?"jadi aku masuk ke kamar pas yang kukira kosong. Ternyata
Diane ada di sana." "Apakah dia menyangka kau hendak mengganggunya, atau
apa?" "Entahlah," balas Andrea. "Dia marah sekali. Padahal dia
bahkan tidak telanjang, dia cuma sedang melepas kancing salah satu
kemeja." Jill mengerutkan dahi. "Yah, kau kan tahu dia sopan sekali,"
kata Jill setelah beberapa saat. "Maksudku, dia tak pernah melepas


Fear Street - Terbakar Api Asmara The Fire Game di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baju di ruang ganti saat pelajaran olahraga."
"Tentu saja aku tahu," kata Andrea. "Tapi ini gila!"
"Mungkin aku lebih baik menengok ke dalam dan melihat
apakah dia baik-baik saja," kata Jill.
"Jika aku jadi kau, akan kubiarkan sampai dia selesai," kata
Andrea. "Tapi, aku tetap ingin mencoba T-shirt ini. Tolong bawakan
tasku." Ebukulawas.blogspot.com
Ia melangkah ke dalam salah satu kamar pas sementara Jill
menunggu di koridor. Ada apa dengan Diane" pikirnya.
Andrea kembali"tanpa T-shirt-nya. "Sial," lapornya.
Jill hampir tak mendengarnya. Kenapa Diane lama sekali" ia
bertanya pada diri sendiri. Mungkin aku sebaiknya masuk dan
melihat.... Tepat saat itu Diane keluar dari kamar pas, memegang beberapa
kemeja dalam gantungan baju. Segera setelah melihat temantemannya, ia tersenyum malu-malu.
"Sori soal kejadian tadi, Andrea," katanya. "Aku tak
mengenalimu waktu kau masuk."
"Masa sih"!" seru Andrea tak percaya. "Kau pikir aku siapa"
Frankenstein?" "Kupikir bukan kau," jelas Diane. "Aku tak menyangka orang
lain akan masuk." "Yah, sudahlah," kata Jill. Tetapi ia tak yakin. Diane masih
kelihatan bingung, sementara Andrea tampak masih terganggu dengan
kejadian itu. Jill ingat jeritan Diane tadi"nadanya jelas sangat ketakutan.
Andrea pasti, disadari atau tidak, telah melakukan"atau
mengatakan"sesuatu yang sangat menakutkan Diane.
Tetapi apa yang dikatakannya"
*************************
Ketika tiba di halaman rumah, Jill baru sadar ia lupa membeli
scarf ungu itu. Uh, gara-gara kehebohan tadi. Dan ulang tahun ibunya
tinggal beberapa hari lagi. Memang ibunya bilang dia sudah punya
semua yang diinginkan, tetapi Jill tetap ingin memberi hadiah khusus
untuknya. Mungkin jika ia bersama orangtuanya untuk beberapa saat, ia
akan mendapatkan ide lain.
Ia masuk ke dapur dan menuang minuman jahe ke gelas,
kemudian menuju ruang keluarga. Orangtuanya sedang duduk di sofa,
menonton televisi, sementara Mittsy duduk di kursi bulat, asyik
menjilati bulunya yang panjang mengilap.
Jill tersenyum sendiri ketika melihat orangtuanya berpegangan
tangan. Setiap mereka berpegangan begitu, ia agak malu, tetapi juga
berpikir itu sangat manis. Mereka telah menikah selama lebih dari dua
puluh tahun dan tetap mesra seperti itu. "Hai," sapanya.
"Hai, Sayang," balas ibunya. "Bagaimana belanjanya?"
"Oke," katanya. "Kalian pasti senang mendengar aku tidak beli
apa-apa." Jill duduk di kursi bundar dan memangku Mittsy.
"Kami sedang menonton acara penyelamatan alam," kata
ayahnya. "Tentang upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan hutan
Amazon. Mittsy tampaknya tertarik."
"Betul, Mitts?" tanya Jill. Ia mengangkat matanya dan melihat
ke layar gelas. Dedaunan hijau yang lebat memenuhi layar, diiringi
suara membosankan si pembawa acara yang kedengaran serius. "Oh,
lihat, Mittsy!" serunya. "Itu salah satu sepupu kecilmu. Itu jaguar.
Kaulihat?" Mittsy menggeliat ketika Jill berusaha mengarahkan kepala
kucing itu ke layar. "Dasar kucing Persia," kata Jill, pura-pura jijik. "Mereka tak
tertarik dengan budaya."
"Hal tadi menelepon," ibu Jill memberitahu. "Dia ingin
mengajak pulang seorang teman wanita selama liburan musim semi."
"Sungguh?" tanya Jill. Hal adalah kakak laki-lakinya, dan ia
sudah tiga tahun tinggal di lain kota untuk kuliah. Jill tidak terlalu
rindu padanya, tapi ia tak yakin apakah ia menyukai rencana Hal itu.
Kedengarannya serius banget.
"Dia ingin tahu bagaimana kabarmu," tambah ayahnya. "Kami
ceritakan padanya nilai-nilai bagus yang kauperoleh."
"Aku yakin dia pasti sangat penasaran," ujar Jill. "Tapi aku jadi
ingat, aku ingin memeriksa makalah riset untuk besok. Selamat
malam," tambahnya seraya mencium pipi kedua orang-tuanya.
Sebetulnya Jill sudah menyelesaikan makalah itu tadi siang,
hanya saja ia merasa ingin menyendiri. Perjalanan ke mall itu masih
mengganggu pikirannya. Mulanya, Andrea terus-menerus ngomong soal Gabe, lalu
terjadi peristiwa aneh di kamar pas antara Diane dan Andrea.
Mungkin ini cuma demam musim panas, pikirnya.
Ia memasukkan makalah dan buku-bukunya ke dalam ransel,
kemudian mengganti pakaiannya dengan baju tidur dan membasuh
wajahnya. Ia sedang mengikat rambutnya yang panjang ketika telepon
berdering. "Halo?" Ia melirik jam di samping tempat tidurnya. Hampir
pukul 23.00. "Jill?" Suara itu tak asing, tetapi Jill tak dapat mengenalinya.
"Kuharap aku tak kemalaman meneleponmu."
"Aku baru akan tidur," jawabnya, jengkel. "Siapa ini?"
"Ini Gabe." Untuk beberapa saat ia tak dapat bicara. Entah kenapa,
jantungnya mulai berdebar sangat keras.
"Jill" Kau masih di sana?"
"Aku di sini," katanya. "Hai, Gabe." Kemudian, dengan suara
sebiasa mungkin, ia menambahkan, "Ada apa?"
"Tidak penting sih," sahut Gabe. "Aku sibuk sekali dua hari
terakhir ini, dan tak bisa sering ketemu denganmu. Apa saja
kegiatanmu?" "Biasa saja," balas Jill. "Sekolah, senam, belanja. Kau pasti
sudah tahu. Kau sedang makan tadi siang ketika Andrea, Diane, dan
aku merencanakan pergi ke mall."
"Rupanya aku tak memperhatikan," kata Gabe. "Lagi pula, aku
ingin bicara secara pribadi denganmu."
"Soal apa?" "Oh, beberapa hal," katanya. Terbayang oleh Jill senyum
mengejek di wajah Gabe. "Hal apa?" "Hmm, misalnya mengenai Shadyside. Kau kan selalu bilang
padaku bahwa Shadyside tempat yang hebat."
"Memang benar. Terus kenapa?"
"Jadi, kupikir mungkin kau mau menunjukkan tempat-tempat
hebat itu. Langsung padaku."
"Well, boleh saja," ucap Jill, bingung. "Kapan saja. Apa pun
yang ingin kaulihat. Kita bisa pinjam mobil ayah Nick dan pergi..."
"Tidak bersama yang lain lho," katanya. "Hanya kau dan aku.
Aku dan kau. Mengerti?"
"Oh," desah Jill. Tiba-tiba ia sadar Gabe mengajaknya kencan.
"Bagaimana kalau akhir pekan ini?" tanya cowok itu lagi.
"Malam Minggu?"
"Uhh"aku harus cek dulu," jawab Jill.
"Ada apa" Takut aku berbuat gila-gilaan?"
Jill terlalu kaget sehingga tak mampu menjawab. Sebenarnya ia
agak takut membayangkan apa yang mungkin dilakukan Gabe.
Gabe tertawa. "Jangan kuatir. Aku tak pernah melakukan
sesuatu tanpa alasan."
"Apa maksudmu?" tanya Jill, benar-benar bingung.
"Ah, sudahlah," kata Gabe, terdengar lebih serius. "Lebih baik
kau tak usah tahu. Dengan begitu kau takkan sakit hati. Jadi,
bagaimana dengan malam Minggu" Atau Jumat lebih baik?"
"Oke, malam Minggu aku bisa," kata Jill, membuat keputusan
mendadak. "Sungguh" Bagus," komentarnya. "Coba kaupikirkan, apa yang
paling asyik dikerjakan di Shadyside, pada malam Minggu. Aku akan
menjemputmu jam tujuh."
Lama setelah pembicaraan telepon itu usai, suara Gabe masih
terngiang-ngiang dalam pikiran Jill. Sebagian dirinya senang
memikirkan akan kencan bersama Gabe. Ia tertarik pada Gabe sejak
pertama kali melihatnya. Tetapi bagian lain dirinya merasa gelisah. Satu hal, Andrea tak
pernah menutupi perasaannya terhadap Gabe. Apa yang akan
dikatakan Andrea jika ia tahu"
Alasan lain, Gabe tipe cowok yang sulit ditebak apa maunya.
Apa maksud ucapannya tadi, bahwa ia tak pernah melakukan
sesuatu tanpa alasan" Dan juga lebih baik Jill tak usah tahu"
Apa sih yang tidak diketahuinya"
Dan bagaimana hal itu dapat membuatnya sakit hati"
BAB 8 "DAN di sebelah kiri terlihat Division Street Mall yang indah,
dengan pemburu barang murah dan beragam kehidupan eksotis
lainnya. Di depan, di sebelah kanan terdapat Pompa Bensin Arnold
yang historis, buka tujuh hari seminggu...." Max berbicara dengan
suara sengau dan intonasi tinggi, membuat Jill tak dapat menahan
tawa. Ia seperti pemandu wisata yang membosankan.
"Tepat di belakang kita," lanjut Nick, juga menirukan suara
seorang pemandu, "adalah Mrs. McCormack, pengemudi paling
lambat di tiga wilayah. Dan di sebelah kiri..." Ia mengangkat
tangannya, menunjuk, dan mobil mereka tiba-tiba membelok ke gang
berikut. "Nick, tolong perhatikan jalan!" seru Jill pura-pura kesal, tapi ia
malah tertawa terbahak-bahak. Andrea yang duduk disampingnya ikut
tertawa, dan bahkan Diane yang duduk di sisi lain juga cekikikan.
"Oke, girls, mau ke mana lagi?" Max, yang duduk di kursi
depan, menoleh. Gabe yang duduk di sebelahnya, menyandarkan
kepala di pintu. Kelihatannya ia tidur.
"Tanya Gabe," kata Andrea. "Kita selama ini kan tinggal di
Shadyside. Gabe?" Gabe menggeliat dan menguap lebar-lebar. "Well, tunggu. Aku
sudah lihat jalan utama, jalanan sepanjang sungai, mall dan pompa
bensin. Aku tak tahu apakah aku tahan melihat lebih banyak lagi."
"Oh, sudahlah, Gabe," desah Diane jengkel. "Mungkin kau
lupa, kan kau sendiri yang punya ide menjelajah tempat-tempat itu."
"Memang sih," Gabe mengaku. "Maksudku, aku harus lihatlihat kota. Tapi bagaimana dengan tempat aneh yang kalian ceritakan
padaku" Fear Street" Kita tak melewatinya ketika kita pergi ke
pondok Diane. Waktu itu kita lewat jalan lain."
"Fear Street ada di depan," Nick memberitahu seraya memutar
kemudi. Ketika Nick mempercepat jalan mobil menyusuri Old Road
Mill ke arah Fear Street, Jill merasakan getaran kegembiraan
merambati punggungnya. "Kau yakin kau siap menghadapinya, Gabe?" tanya Max. "Ini
persoalan serius. Hantu, roh jahat, vampir..."
"Bawa mereka ke sini!" tantang Gabe. Dijulurkannya kepalanya
ke luar jendela dan dengan suara sekeras-kerasnya diulanginya, "Bawa
mereka ke sini! Aku siap!"
Andrea tertawa lagi, matanya melekat pada Gabe. Menurut Jill
juga lucu, meski begitu ia tetap merasa sikap Gabe kurang pantas.
Setelah beberapa menit lampu-lampu jalan semakin jarang,
Nick membelok ke Fear Street dan memperlambat station wagon-nya.
"Ini dia," kata Max, kembali bersuara seperti pemandu wisata. "Fear
Street. Jalan terakhir."
"Ini jalannya?" tanya Gabe jelas-jelas tak percaya. "Ini jalan
berhantu yang terkenal itu?"
"Tak kelihatan berhantu, kan?" kata Max. "Tetapi penampilan
bisa menipu. Kaulihat rumah di seberang jalan itu" Dengan jendela
bercat hijau?" "Yeah?" "Nah, dua tahun lalu polisi menemukan enam kerangka
terkubur di halaman belakangnya."
"Di sebelah sana reruntuhan rumah besar tua milik Simon
Fear," Andrea menjelaskan. "Kau tak dapat melihatnya di kegelapan."
"Hih, serem...," kata Gabe berpura-pura.
"Di belakang sana terdapat kuburan dan hutan ada di sebelah
sana," kata Diane. "Lihat. Gelap sekali, kan" Sebuah rumah terbakar
hangus dalam pesta Halloween tahun lalu dan hampir membunuh
semua orang di dalamnya."
"Dan beberapa temanku hampir dibunuh orang gila dengan
gergaji mesin di rumah pojok jalan itu," sambung Jill, mulai hanyut
dalam suasana ngeri. "Aku kenal seorang gadis yang orangtuanya hilang di sini,"
tambah Nick. Setiap orang berebut bicara sekarang, mengingat-ingat kisahkisah mengenai Fear Street dan hal-hal mengerikan yang terjadi di
sana. Akhirnya Gabe menutup telinganya dan tertawa. "Whoa!"
serunya. "Kalian membuat aku mati ketakutan!"
"Tetapi semua cerita itu nyata," kilah Andrea. "Semua benarbenar terjadi."
"Mungkin saja," kata Gabe. "Tapi bagiku hanya merupakan
sekumpulan rumah tua. Aku ingin melihat sesuatu yang benar-benar
menakutkan." "Yah, kita bisa coba kuburan itu," usul Max ragu-ragu.
"Mengagumkan!" seru Andrea. "Aku belum pernah masuk ke
sana malam-malam!" "Aku belum pernah ke sana sama sekali," kata Diane dengan
suara pelan. "Kau yakin ini aman, Max?"
"Kita berenam, bukan?" Max menegaskan.
"Memangnya karena itu mayat hidup jadi ketakutan," kata Nick,
menirukan suara Drakula dengan jeleknya.
"Mayat apa?" tanya Gabe.
"Mayat hidup," jawab Jill. "Itu salah satu cerita mengenai Fear
Street"mayat hidup kadang-kadang keluar dari liang kubur mereka
lalu menjelajah hutan."
"Itu yang harus kulihat!" kata Gabe. Ia menoleh ke tempat
duduk belakang. "Kalian tak percaya cerita ini, kan?"
"Entahlah," Jill mengaku, "tapi ada sesuatu yang mengerikan
dengan Fear Street."
"Dan semua yang kami ceritakan padamu sungguh-sungguh
terjadi," tambah Andrea.
"Nah, ayo kita lihat kuburan itu!" ajak Gabe.
"Perhentian berikutnya!" Nick mengumumkan sambil
mematikan mesin mobil di ujung jalan. Setelah putaran terlihat
tembok kuburan itu. "Punya senter?" tanya Diane gelisah.
"Kayaknya tidak ada," sahut Nick. "Tapi kupikir kita tak
memerlukannya. Lihat, bulan bersinar terang."
"Ini saatnya mayat hidup keluar," kata Andrea, terdengar
gembira. "Ketika bulan purnama."
Keenam remaja itu keluar dari mobil dan menuju tembok
Pendekar Buta 8 Pendekar Mabuk 08 Istana Berdarah Pendekar Remaja 7

Cari Blog Ini