Kemuning Karya Maria A Sardjono Bagian 3
mcnyingkapkan sesuatu yang selama berminggu-minggu dan bahkan sampai detik ini
menyelubungi hatiku. Sebab mengapa hanya karena mendengar Eko bermaksud
meninggalkan Tawangmangu saja, aku bisa merasa sedemikian sakitnya sampai-sampai
aku sulit ber-napas seperti ini" Jawabannya adalah, aku juga mencintai laki-laki
itu! " Melihatku tersentak, Eko tersenyum. Tetapi dari bibimya yang selalu mencuatkan
senyum riang itu kini terlihat menyiratkan kepedihan yang baru sekali itu
kulihat. " "Rasanya dalam pembicaraan seperti ini, saya perlu bicara jujur dan terus
terang agar jangan sampai menimbulkan pemikiran yang keliru," kata-nya kemudian.
"Saya harap Mbak Wulan tidak terkejut mendengar pengakuan saya tadi. Saya hanya
ingin supaya Mbak Wulan mcngcrti kenapa saya rela mengorbankan perasaan saya
demi ke-mapanan tatanan yang ada di sekitar kehidupan kita berdua. Saya tidak
ingin mengagetkan seluruh keluarga saya. Saya tidak ingin keluarga Mbak Wulan
kaget. Saya juga tidak ingin mengagetkan
" Orang-oran8 di sini. Dan khusus untuk Mbak Wulan sendiri, saya juga tidak
ingin membiarkan Mbak Wulan jadi tergantung pada saya. Kemandirian, Icebcranian,
kemampuan, dan kekuatan Mbak Wulan yang sclama ini begitu berkilau, jangan
sampai pudar hanya karena keberadaan saya di dekat Mbak Wulan. Maafkanlah atas
pengakuan saya yang tidak sepantasnya ini. Saya sungguh tidak tahu diri. Beranibcraninya mencintai seseorang yang berada jauh di atas awan..."
"Cukup!" Aku membentak, memotong kata-kata Eko. Dadaku semakin berombak-ombak.
Kenapa baru sekarang aku mengetahui bahwa Eko men-cintaiku" Butakah aku atau
bawah sadarkukah yang menyuruhku untuk pura-pura tidak tahu demi ke-damaian
suasana hatiku" " "Kenapa perkataan saya hams dihentikan" Ini kenyataan Mbak, betapa pun
pahitnya itu. Siapa yang bisa memaksa orang agar jangan jatuh cinta...?"
" "Sebab, kau bodoh!" Aku menyemburkan ke-marahan yang mulai menguasai hatiku.
"Kuakui bahwa kau memang pandai dalam banyak hal. Bahkan seperti seorang
psikolog berpengalaman, kau juga bisa menganalisa apa yang terjadi padaku
berkaitan dengan putusnya hubunganku dengan Mas Dewo... Tetapi, kau bodoh kalau
mengira aku ini memiliki rasa ketergantungan terhadap dirimu."
" "Bodoh apanya?" Eko menatapku tak mengerti.
" "Tidakkah kau melihat bahwa... bahwa... aku Juga mencintaimu meski aku sendiri
baru menyadarinya sekarang." Aku berbisik, masih dengan terengah-engah.
"Kctergantunganku padamu bukan seperti yang kau kira. Ketergantunganku padamu
itu disebabkan karena adanya tali kasih yang teren-tang di antara diriku dan
dirimu..." " Suaraku terhenti dengan mendadak sebab tiba-tiba saja Eko meraihku ke dalam
pelukan tangannya yang bergetar. Dan sebelum aku sempat berpikir apa pun lagi,
dengan tiba-tiba pula laki-laki itu mencium bibirku dengan cara yang amat lembut
dan hati-hati. Merasakan ciuman yang semanis itu kupejamkan mataku rapat-rapat
untuk meresapinya. Maka seluruh keindahan pemandangan yang ada di hadapanku
lenyap dengan seketika dan berganti dengan keindahan rasa yang mulai menggelegak
di seluruh dunia batinku. Alangkah indahnya.
" Suara celoteh burung-burung yang terbang ber-bondong-bondong di atas kami,
mengagetkan dan menghentikan kemesraan indah yang baru saja terjalin di antara
diriku dan Eko. Pelan-pelan laki-laki itu melepaskan bibirku dari ciumannya. Dan
dengan matanya yang juga pemah kunilai seksi itu menatapku tanpa berkedip dengan
pandangan yang iuar biasa mesranya. Dipandang seperti itu, jantung-ku berdegup
kencang dan darahku mengalir semau-maunya. Sementara itu kedua belah pipiku
mulai dirambati oleh rasa hangat. Tetapi, bibirku tersenyum samar. Senyum malumalu.
" "Aku sungguh mencintaimu, Cantik..." Laki-laki itu menggumamkan pcrasaannya
yang penuh kasih kepadaku. 'Tetapi inilah yang ditakutkan Bapak
" akan terjadi. Dan inilah yang sebenamya juga kutakutkan. Apa yang kita kira
persahabatan ter-nyata menyembunyikan cinta yang menggelora Padahal. tidak boleh
ada cinta di antara kita." "Siapa yang tidak mcmbolchkannya?" "Banyak. Kita
semua tahu itu." Eko menjawab perkataanku dengan suara sedih namun terdengar
mantap. "Jadi jangan mengingkari kenyataan Se-andainya nanti aku harus pergi
atau entah apa saja pun yang akan terjadi, ingatlah bahwa aku sangat mencintaimu
dengan cinta yang terus berkembang. Sebab ketahuilah, karena sering kali
mendengar cerita-cerita Si mbok dan Bapak tentang dirimu maka aku jatuh cinta
kepadamu jauh sebelum aku melihat dirimu dengan mata kepalaku sendiri."
" Aku tertegun. Tetapi Eko tak membiarkan aku memikirkan apa yang baru kudengar
itu. Sekali lagi ia mencium bibirku. Tetapi kali ini dengan penuh gairah. Maka
kali ini pula, aku membalas ciumannya dengan sama bergairahnya. Dan merasakan
balasanku, Eko mengetatkan pelukannya dengan tangan kirinya yang kokoh.
Sementara jari-jari tangan kanannya terbenam di kenmbunan rambutku sambil
sesekali mengelusi kulit kepalaku.
" Dalam suasana semesra itu aku tak ingin memikirkan hal-hal lainnya. Biarlah
hari ini berlalu sebagaimana mestinya. Esok atau lusa akan ada ceritanya
sendiri. Saat ini aku hanya ingin me-musatkan pikiran dan perasaanku tentang
satu hal. Temyata, aku dan Eko saling mencinta!
" Delapan " AKt turun dari mobil dengan langkah gontai. Perasaanku benar-benar sangat
tidak cnak. Sudah bisa kubayangkan apa yang akan kuhadapi pada hari esok, lusa.
dan hari-hari selanjutnya. Kalau hubungan cintaku dengan Eko akan terus
berlanjut, maka pasti akan terjadi masalah besar bagi orang-orang di sekitar
kchidupanku. Tetapi sebaliknya kalau Eko jadi pergi dari Tawangmangu dan meninggalkan diriku. pasti akulah yang akan menga-lami masalah besar. Aku benarbenar tidak ingin mengalami patah hati untuk kedua kalinya.
" Kalau saja keakraban di antara diriku dan Eko tidak diwamai cinta, barangkali
segala sesuatunya di masa mendatang akan lebih mudah untuk di-lalui. Tetapi pada
kenyataannya, jelas sekali tidak seperti itu. Kemungkinan kami berdua akan
mengalami patah cinta lagi, sangat besar prosentascnya. Dan yang paling mcna
kutkan, sakitnya pasti akan jauh berlipat-lipat kali darip ada sebelumnya.
Tumbuhnya cinta di antara diriku dan Eko yang lebih dulu diwamai oleh rasa
persahabatan, r asa kasih, saling percaya, saling pengcrtian, saling
" membutuhkan, dan saling mengagumi antara satu dengan yang lain itu, sangat
kuat cengkeramannya " Setelah mengunci mobil dengan perasaan yang sangat tak enak itu aku masuk ke
rumah dan langsung menuju ke kamarku dengan perasaan murung. Sebelum masuk ke
kaniar mandi, kutukar pakaianku dengan sehelai daster batik. Tetapi sedang aku
mengikat rambutku agar jangan kena air, Tita menyelinap masuk ke dalam kamarku.
Aku mcngcluh dalam hatiku. Dia pasti akan mcnagih janjiku untuk menceritakan
hubunganku dengan Eko. Namun saat ini aku sedang tidak ingin bercerita tentang
Eko meskipun aku tadi sudah berjanji kepadanya. Situasinya sudah jauh berbeda
antara pagi dan sore hari ini.
" "Mbak..." Dengan setengah berbisik, gadis itu memanggilku sambil menutup
kembali pintu kamar ku. " "Hm...?" Aku menjawab enggan.
" "Ibu tahu kalau kau tadi tidak pergi ke tempat Mbak Susi..." katanya begitu
berada di dekatku. " Aku terkejut. Jadi, dia masuk ke kamarku bukan untuk menagih janjiku tadi
pagi. Karenanya ku-hentikan gerakan tanganku schingga rambutku yang panjang
meluncur kembali ke atas punggungku. Aku menoleh ke arah Tita dan kutatap mata
gadis itu dengan penuh pertanyaan.
" "Kenapa bisa begitu?" Aku kenal betul, Tita seorang gadis yang bisa dipercaya
dan setia pada janjinya. Jadi entah dari mana Ibu mengetahui
" k-iau aku tidak pergi ke rumah tukang jahj Iangganan kami itu. Aku mg.n tahu^
" ^Waktu aku masuk ke rumah. kebetulan Ibu ada di dapur Dia menanyakan
keberadaanmu dan kenapa aku pulang sendirian saja. Maka kujawab seperti yang kau
minta tadi. Bahwa kau akan pergi menjahitkan baju ke tempat Mbak Susi." "Lalu?"
Aku menyela tak sabar. "Lalu Ibu menelepon Mbak Susi untuk menanyakan pakaian
yang sedang dijahitkannya ke sana. Beliau berpesan. kalau sudah jadi supaya
dititipkan padamu. Tetapi temyata kau tidak ada di sana. Mula-mula Ibu mengira
kau belum sampai ke sana jadi beliau menunggu beberapa waktu lamanya untuk
menelepon kembali. Tetapi temyata sampai beberapa kali Ibu menelepon lagi, kau
belum juga tiba di tempat Mbak Susi. Maka Ibu lalu mengambil kesimpulan bahwa
kau tidak ke sana. Dan lebih buruk lagi, Ibu mengatakan bahwa kau telah
membohongiku." " Aku terkejut lagi. Dahiku berkerut menatap ke arah adikku.
" "Apa lagi yang dikatakan Ibu kepadamu?" Aku bertanya ingin tahu.
" "Biasalah, mengorek-ngorek keterangan. Beliau kan tahu betul, hubungan kita
berdua amat dekat." " "Lalu jawaban apa yang kauberikan kepada Ibu?"
" "Yah macam-macamlah, Mbak. Yang penting, aku tidak membocorkan apa pun tentang
sobat " barumu yang berbibir seksi itu!" Tita nyengir
" menggodaku. " Tetapi aku tidak tertawa mendengar godaannya. Bahkan kulemparkan pandang
mataku ke tempat lain sambil melanjutkan mengikat rambutku yang kutunda tadi.
Tita menjadi heran. Dia melangkah lebih dekat ke arahku, lalu duduk di atas
kursi yang terletak di dekat meja riasku.
" "Ada apa sih, Mbak?" tanyanya penuh rasa ingin tahu. "Apa yang terjadi?"
" Aku tidak mampu menjawab. Air mata mulai tergenang di pelupuk mataku. Dan dari
kaca rias, kulihat hidungku mulai tampak memerah. Melihat itu Tita semakin
heran. Matanya mcmandangku dengan tatapan tajam. Dia tahu betul, air mataku
sangat mahal. Tidak mudah orang melihat tangisku.
" "Seharian tadi kau tampak riang," katanya. 'Tetapi tiba-tiba sekarang kau jadi
murung begini. Ada apa?"
" "Aku bingung," sahutku dengan suara serak. "Bingung mengenai banyak hal. Dan
sekarang, Ibu mulai mencurigaiku. Bagaimana aku tidak merasa tambah bingung. Apa
yang harus kukatakan kepadanya kalau beliau bertanya macam-macam kepadaku..."
" "Mbak, duduklah dengan tenang dulu. Dan ceritakan segala sesuatunya kepadaku!"
Tita berkata tegas. "Meskipun belum tentu aku bisa membantu-mu. tetapi rasa
bingung yang sedang kaurasakan itu tumpahkanlah kepadaku. Siapa tahu aku bisa
ikut memikirkanhya. Atau setidaknya, bebanmu itu
" bisa kita tanggung bersama-sama. Percay alah kepada ketulusan hatiku ini,
Mbak." " "Aku selalu percaya kepadamu, sebagaimana kau juga bisa menaruhkan
kepercayaanmu kepadaku," sahutku sambil mengerjapkan mataku yang basah. 'Tetapi
kasusku ini agak lain dari yang lain. Aku tidak tahu apakah kau bisa
menerimanya. Apalagi memahaminya."
" "Soal bisa menerima atau tidak, itu masalah Iain. Soal bisa memahami atau
tidak, itu juga soal Iain. Tetapi aku akan mencoba untuk ikut memikir-kannya dan
janjiku untuk menjadi tempat kau menaruh kepercayaan akan tetap kupegang meski
apa pun yang terjadi."
" "Kau sungguh seorang adik yang baik, Ta!" "Hari ini kalimat seperti itu sudah
dua kali kau-lontarkan kepadaku," Tita mulai menggodaku lagi.
" Tetapi seperti tadi, aku tidak tertawa ataupun tersenyum. Bahkan mengomentari
kata-katanya pun, tidak. Pikiranku lebih terserap pada apa yang ingin
kutumpahkan kepadanya. Sebab tepat seperti per-kataannya tadi, meskipun dia
belum tentu bisa membantuku, setidaknya aku punya tempat untuk berbagi perasaan
dan berbagi kebingungan. " "Baiklah aku akan menceritakan seluruh penga-lamanku belakangan ini kepadamu.
Tetapi sebelum-nya, jawablah dulu pertanyaanku." "Tanyakanlah."
" 'Ta, selama kita bertiga jalan bersama-sama tadi, sudahkah kau mengambil
kesimpulan tentang Eko?" tanyaku kepadanya.
" "Kesimpulan apa, misalnya?"
" "Yah. tentang siapa keluarganya. Dari mana
" asalnya. Dan seterusnya."
" "Ya. Apalagi kalau kukaitkan dengan perkataan-mu. Kau bilang tadi pagi bahwa
antara dirimu dan dia tidak sederajat. Dan juga mendengar penolakan Eko waktu
aku menyebutnya dengan panggilan
" "Mas', tadi."
" "Lalu... apa kesimpulanmu?"
" "Kesimpulanku yang pertama, Eko itu datang dari keluarga yang dulunya kurang
mampu. Dan kesimpulanku yang kedua, orangtuanya pastilah bekerja sebagai buruh
atau semacam itu. Entah buruh di perkebunan kita sendiri, entah di per-kebunan
orang. Yang ketiga, kerasnya kehidupan menyebabkan orangtuanya terpaksa
bertransmigrasi ke Lampung. Keempat, aku mempunyai dugaan bahwa orangtuanya
cukup bcrhasil menjadi pctani di sana sehingga mampu membiayai studinya. Entah
itu sampai selesai entah tidak tetapi kesimpulanku mengatakan bahwa Eko pemah
duduk di perguruan tinggi dan suka belajar. Pengetahuan-nya luas sekali." Tita
menghentikan bicaranya dan menatapku sesaat lamanya. menunggu reaksiku.
" Tetapi aku belum mau mengucapkan komcntarku. Aku masih ingin menunggu waktu
yang lebih tepat. Apalagi Tita belum tahu betul apa yang sedang kualami dan apa
duduk perkara yang me-nyebabkanku jadi bingung begini.
" "Ada lagi?" tanyaku kemudian.
" "Ya, ada. Kesimpulanku yang kelima, dia
" ir,nhali ke Tawangmangu untuk mcncoba mengu-* Lampung. Cuma aku tidak tahu dia
kembali sendirian atau dengan orangtuanya Kesimpulan yang ini kuambil dan
pembicman kalian berdua tentang tanah yang akan dibelinya. Dan kesimpulanku yang
kcenam, dia seorang lalu-laki yang matang ditempa pengalaman. Dan secara
keseluruhan, dia laki-laki yang lebih baik danpada
" Mas Dewo!" Kalau saja hatiku tidak sedang murung pastilah
" aku akan tertawa mendengar kesimpulan-kesimpulan
" Tita yang diucapkan dengan sikap serius seperti itu.
" Tita sangat tinggi rasa humornya. Ada saja sikap
" dan perkataannya yang membuat orang jadi tertawa.
" Tetapi kali itu tersenyum pun aku tidak. Bahkan
" kepalaku tertunduk sehingga Tita menggamit lenganku.
" "Kok malah jadi diam," tanyanya kemudian. "Apakah aku salah, Mbak?"
" "Justru kesimpulanmu banyak betulnya, Ta." Aku menjawab pertanyaannya sambil
mengangkat wajah-ku kembali. "Untuk tepatnya akan kukatakan kepadamu mengenai
kebenarannya. Eko itu anak sulung Pak Kirman. Dia ikut simbahnya bertransmigrasi ke Lampung dan menjadi petani yang memang cukup berhasil. Seperti
dugaanmu, dia memang luas pengetahuannya. Selain meraih dua gelar kesarjanaan
sekaligus, dia juga suka belajar dan banyak membaca..."
" "Aku tidak menyangka dia mempunyai hubungan dekat dengan keluarga kita. Pak
Kirman termasuk " pegawa. yang paling lama bekerja pada Bapak |bu pernah bercerita bahwa Pak
Kirman sudah bekerja d. perkebunan kita selama dua puluh lima tahun lebih. Dan
temyata pula, dia dan istnnva bukan hanya tekun di dalam pekerjaan saja tetapi
juga dalam hal mend.dik anak-anaknya sehin*L mereka bukan hanya mempunyai Seno
dan Ragil yang cukup hebat itu saja tetapi juga punya Eko " Tita menyela katakataku.
" "Dan masih ada satu lagi yang di Semarang"
" "Ya. Tetapi yang itu aku tidak begitu tahu. Nah, sekarang tolong jawablah dua
pertanyaanku agar aku bisa memahami masalah yang membuatmu bingung itu. Yang
pertama, apakah kepergian-kepergianmu yang misterius selama ini ada hu-bungannya
dengan Eko" Dan pertanyaanku yang kedua, apakah kemurunganmu sekarang ini juga
ada kaitannya dengan dia. Nah, jawablah dengan jujur, Mbak. Maka aku akan
mencoba untuk ber-sikap objektif dan berusaha untuk dapat memahami-mu.
Setidaknya kalau ada orang yang menanyakan ini dan itu tentang dirimu aku bisa
menjawab sesuai dengan suara hatiku!"
" "Daripada menjawab pertanyaan demi per-tanyaanmu, akan lebih baik kalau aku
menceritakan semuanya saja supaya kau tidak perlu bertanya ini atau itu lagi,"
sahutku, "Jadi akan kuceritakan sejak pertama kalinya aku bertemu dengan Eko di
Sarangan sampai apa yang terjadi baru saja tadi.
" Begitulah selama beberapa waktu lamanya aku mengisahkan semua yang terjadi
padaku. Termasuk " pembicaraanku dengan Pak Kirman dan juga ten-r'ng apa yang bam saja terjadi d,
Cemoro Sewu ocrLma Eko tadi. Bahwa temyata aku dan dia sama-sama saling jatuh
cinta. Dan bahwa sore tadi kenyataan itu baru tersingkap.
" Tita mendengarkan apa-apa yang kucentakan itu dengan penuh perhatian sampai
semuanya kucentakan habis kepadanya. Tak ada yang keting-galan. Tentu saja
kecuali ciuman Eko tadi. " "Itulah Ta, semuanya sudah kucentakan kepadamu." Akhimya aku mengakhiri
ceritaku. "Sekarang kau pasti bisa memahami kenapa aku jadi bingung begini.
Sebab kalau sampai Eko pergi meninggal-kan Tawangmangu. aku... aku tidak tahu
apa yang akan terjadi pada diriku. Yang pasti, aku tidak akan sanggup lagi
mengalami patah hati yang kedua. Sebab kalau itu terjadi lagi padaku, luka
hatiku pasti jauh lebih menyakitkan daripada sakit yang kurasakan waktu Mas Dewo
mengkhianatiku. Tetapi sebaliknya kalau hubungan kami tetap ber-lanjut, kami
berdua pastilah akan menjadi bahan pembicaraan yang hangat di Tawangmangu ini.
Dan keluarga kita akan ikut kena getahnya."
" Tita memandangku dengan tatapan lembut. Melihat tatap mata Tita seperti itu
aku langsung tahu, saat ini aku telah menemukan seseorang yang akan berada pada
kubuku. Setidaknya, sekarang aku mempunyai seseorang tempat aku bisa mcnumpahkan
kesesakan hatiku kalau hatiku sedang galau. ,
" "Mbak, menurut perasaanmu apakah Eko akan
" pergi dari Tawangmangu?" tanya gadis itu 8etclah berlama-lama menatapku.
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seician " " "Aku tidak tahu Ta. Dalam ha!-hal .enentu dia Sangat kuat pendmannya. Dia
bisa saja perl* sewaktu-waktu dem. menghindari omongan dan menjaga nama baik
keluarga kita maupun " keluarga Pak Kirman..." p
" ^Dia orang yang baik." Tita menyela kata-kataku.
" Ya. " "Dia lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri..."
" "Dan diriku. Dia tidak memedulikan perasaanku!" Mataku mulai basah lagi.
" 'Tenanglah, Mbak. Jangan jadi perasa_ begitu. Tetapi yah, orang yang sedang
jatuh cinta memang jadi lebih perasa." Tita mencandaiku sambil tersenyum. Tetapi
lagi-lagi aku tidak bisa ikut tersenyum sehingga Tita menepuk bahuku.
" "Sudahlah Mbak, mandi saja dulu. Nanti soal ini kita bicarakan lagi," katanya
kemudian. "Mudah-mudahan sesudah mandi nanti kau bisa lebih santai."
" "Baiklah. Hari memang sudah hampir senja."
" Tetapi sesudah mandi air hangat dan ketegangan-ku terasa agak mengendur. tibatiba saja Ibu masuk ke dalam kamarku dan lalu duduk di tepi tempat tidurku. Dari
cermin rias yang ada di hadapanku aku melihat wajah Ibu tampak serius. Maka apa
yang baru saja mulai mengendur pada diriku tadi menjadi tegang kembali. Dan
tanganku yang sedang "lembedaki wajahku pun terhenti. Aku menoleh ke arahnya.
" "Ada apa, Bu?"
" "Setelah mcnurunkan adikmu tadi, kau lalu perg, kc mana saja, Wulan?"
Pertanyaanku dyawab dengan pertanyaan yang diucapkan sambil menatapku dengan
tatapan yang sangat tajam.
" Untung Tita tadi telah membenku kisikan bahwa Ibu tahu kalau aku tidak ke
rumah Mbak Susi sehingga aku bisa menguntai suatu jawaban yang mudah-mudahan
bisa dipercaya. " "Tadinya Wulan bermaksud mau menjahitkan baju kc rumah Mbak Susi, tetapi tibatiba di jalan keinginan itu luruh. Wulan ingin menyendiri di suatu tempat untuk
memandang keindahan alam sore hari." Aku menjawab sambil mulai menyibuk-kan diri
lagi. membedaki wajahku. Aku tidak suka melihat pandang mata Ibu yang begitu
tajam. Rasa-nya, beliau sedang mengulitiku untuk melihat apa isi dadaku. "Dengan
siapa?" Ibu bertanya lagi. Aku pura-pura heran oleh pertanyaan seperti itu.
Kepalaku menoleh kembali ke arah Ibu.
" "Kok dengan siapa sih Bu?" sahutku. "Setelah menurunkan Tita, tentu saja Wulan
hanya sendirian saja."
" "Mungkin tadi kau memang pergi sendirian. Tetap. kemarin-kemarin?" Ibu
mengangkat alis matanya. "Sudah lama Ibu ingin mengatakan sesuatu kepadamu,
Wulan. Sejak Nak Dewo meng-kh.anat.mu, kau berubah menjadi misterius. Pergi
" SjM"/"ak Pemah jelas ?"JUMnya. Pulang kapan. t.dak pasti jamnya. Dengan siapa,
tidak " sxus^Dan pe*yanaik *
" "Saya cuma ingin menyendiri Bu " "Kalau pergi tidak dengan naik mobil pribadi
apakah itu juga menyendiri namanya" Apa bukan-nya malah ketemu dan disapa orang
di manamana?" " "Kalau Wulan tidak naik mobil sendiri, itu arti-nya Wulan berjalan kaki
menyusuri kampung demi kampung. Kebun demi kebun. Atau naik kuda Atau naik
sepeda. Lalu duduk di suatu tempat yang sepi untuk memandangi keindahan alam.
Selama ini Wulan tidak pemah naik kendaraan umum. Sebab seperti kata Ibu, naik
kendaraan umum berarti akan ketemu banyak orang dan disapa mereka."
"Jangan merangkai cerita yang tidak masuk akal, Wulan!" Ibu memotong
perkataanku. " "Di mana letak tidak masuk akalnya, Bu?" Aku memberanikan diri bertanya
seperti itu kepada Ibu. " "Sekali atau dua kali melakukan seperti apa yang kaukatakan tadi, itu wajar.
Terutama di sekitar hari-hari menjelang dan sesudah perkawinan Nak Dewo. Tetapi
bahwa itu hampir setiap hari kaulaku-kan, Ibu menganggap itu benar-benar sudah
tidak masuk akal lagi. Lebih-lebih, belakangan ini."
" "Belakangan ini saya kenapa, Bu?"
" "Sebagai seseorang yang pemah mengandung dirimu, Ibu kenal betul sifat dan
kebiasaanmu. Dan sebagai orang yang paling dekat dengan dirimu tidaklah terlalu
sulit bagi Ibu untuk membaca
" waiahmu. Maka Ibu bisa melihat bahwa belakangan Tair muka dan sikapmu sama
sekal, tidak pernah lagi menunjukkan sebagai perempuan yang sedang Jan hati.
Tetapi yang Ibu tidak tahu apakah itu memang demikian keadaannya ataukah itu
cuma caramu untuk menutupi hatimu yang sebenamya." Aku tertegun.
" "Kenapa Ibu berkata seperti itu?" tanyaku kemudian. "Apa tujuannya?"
" "Begini, Wulan!" Ibu menggeser tubuhnya lebih mendekat ke arahku. "Bapakmu dan
aku sering sekali membicarakan dirimu. Terns terang, kami merasa khawatir
melihat keadaanmu." " "Apa yang Bapak dan Ibu khawatirkan?" Aku memotong perkataan Ibu.
" "Pokoknya kami berdua merasa prihatin melihat kelakuanmu yang nganeh-nganehi.
Hampir semua hal yang ada padamu Wulan, sekarang sudah tidak ada lagi," jawab
Ibu. "Antara Iain, keriangan, kesukaanmu tinggal di rumah, kedewasaan sikapmu,
dan juga kematangan pikiranmu menatap masa depan tidak lagi terlihat ada padamu.
Setelah ber-hasil meraih gelar mastermu, misalnya. kau lalu mau apa sama sekali
tak pemah kaubicarakan bersama-sama seperti dulu. Kau menjadi Wulan yang lain,
yang asing bagi kami..."
" "Ibu dan Bapak khawatir kalau-kalau Wulan jadi tidak waras lagi gara-gara
patah hati, kan?" Aku menyela. "Sama seperti kekhawatiran yang
" ,Lfc ^JV?"* oran8 W tinggal di dalam "man mi Bahkan Mbok Kirman pun pemah se1%
" demikian cemasnya karena mcnyangka Wulan m bunuh diri- Padahal apa sih
kehcbatan ^ 2 itu sampai-sampai bisa membuat Wulan iadi Ji apalagi bunuh diri"
Bu, dia itu tak ada ap^ya
" sama sekali. "Wulan!"
" "Itu betul, Bu. Mas Dewo dan masa lalu kami itu cuma seperti angin lalu saja.
Malah Wulan sering kali merasa malu sendiri kenapa dulu bisa jatuh cinta kepada
laki-laki yang tidak ada apa-apanya itu. Jadi Bu, bagaimana mungkin saya bisa
kehilangan akal sehat hanya karena dia?" Aku ganti memandang mata Ibu dengan
tatapan tajam. " "Mudah-mudahan apa yang kaukatakan itu betul. Bukan cuma basa-basi untuk
menenangkan hati Ibu saja."
" 'Tidak Bu, percayalah."
" "Lalu kenapa kau jadi bcrubah seperti ini?"
" 'Tidak ada yang berubah pada diri Wulan. Kalau Wulan pergi, itu cuma untuk
menghilangkan ke-jenuhan saja. Ibu tahu kan. Wulan tidak suka menganggur.
Setelah segala kesibukan yang Wulan alami di Jakarta dan sekarang menganggur di
kota kecil seperti ini, menyebabkan Wulan jadi stres. Seorang diri melihat-lihat
pemandangan indah hanyalah sebagai salah satu upaya untuk mcngatasi-nya. Jadi
sekali lagi. Ibu tidak usah mencemaskan Wulan. Apalagi saat ini Wulan sudah
mulai mencari-cari lowongan kerja dan sudah pula me-nulis surat lamaran."
" Kalimat terakhir yang kuueapkan itu cuma untuk
" menenangkan hati Ibu saja. Sebab yang sebenamya, aku memang sengaja belum mau
mencari pekerjaan selama pikiranku belum tenang dan masth dalam kondisi kacau
balau begini. " "Ke mana saja surat lamaran itu kaukinm?" Ibu masih saja ingin mengorek-ngorek
keterangan. " "Baru ke kota Solo. Bu. Kalau nanti belum ada jawaban. ada kemungkinan Wulan
akan kembali ke Jakarta." Kata-kata yang ini pun bohong. Tetapi memiliki unsur
ke arah kebenaran. Sebab kalau sampai Eko meninggalkan Tawangmangu, maka aku
juga akan pergi jauh. Aku tidak ingin lagi melanjutkan kehidupanku di sini tanpa
kehadiran-nya. " 'Tetapi Ibu harap. kau tidak akan pergi terlalu jauh dari Tawangmangu."
" "Itu tergantung dari situasi dan kondisinya nanti." "Kalau begitu carilah
pekerjaan di kota-kota terdekat saja. Wulan. Paling jauh, di Semarang."
" "Kita lihat bagaimana nanti saja, Bu. Sekarang ini biarkan Wulan menata diri
lebih dulu," kataku dengan suara yang meyakinkan. "Seseorang yang akan berjuang,
perlu membekali diri dulu bukan" Jad. doakan saja agar segala sesuatunya dapat
berjalan dengan baik."
" Aku tidak tahu apakah Ibu mempercayai peral3U tidak' tClapi sete,ah J^an
" senus mi. ^ f Waj3h ,bu yan* *!"ula tampak senus, mulai agak mengendur.
" berJri '"So", ^ ,bu ***** sambil
" S,al d0a' lak diminta pun Ibu selalu
" 12ft " berdoa untuk kalian semua, anak-anak Ibu Tetani yang pent'ng; *"> ,u tahu
bahwa keprihatinan dan Bapak mi karena kami sanga, menyayang"
" "'Wulan tahu kok Bu." "Syukurlah"
" Setelah Ibu keluar dari kamarku, aku terenyak di tempatku duduk. Untuk
sementara, aku memang masih bisa meloloskan diri. Tetapi esok atau lusa, aku
tidak yakin. Memikirkannya saja perutku terasa penuh sekali sehingga waktu makan
malam aku tidak bisa makan banyak. Bahkan aku langsung masuk ke kamarku kembali
begitu acara makan malam keluarga selesai. Aku tahu, Ibu dan Bapak
memperhatikanku dengan diam-diam tetapi aku tidak ingin memikirkan itu. Seluruh
pikiran dan perasaanku lebih terserap kepada Eko. Aku masih belum tahu apa yang
akan dilakukannya. Pembicaraan mengenai rencana-rencananya ke masa depan tadi
tersingkir oleh masalah cinta yang baru kami temukan. Dan kami berdua tadi
terlalu mabuk mereguknya sehingga lupa hal-hal lainnya. Bahkan juga lupa
menentukan pertemuan kami mendatang sebagaimana biasanya kalau kami berpisah.
" Di atas tempat tidur aku terns berpikir dan berpikir tentang cara bagaimana
aku bisa meng-hubunginya sampai akhirnya aku menemukan suatu cara yang paling
bisa kami lakukan untuk sementara ini. Yaitu meminta bantuan Tita.
" Pagi-pagi sekali ketika telingaku mendengar suara jendela kamar Tita dibuka.
aku menyelinap " masuk kc kamamya yang lak pemah dikunci. Dari jendela kamamya yang tcrbuka.
udara ding.n yang scear sedang mcnyerbu masuk. Tciap. kul.hat, gadis iiu masih
lidur bergelung di bawah sel.mut tebal-nya.
" 'Ta. kupikir kau sudah bangun." Aku berbisik dan duduk di tepi tempat
tidurnya. 'Tetapi ternyata setelah mcmbuka jendela. kau malah kembali me-ringkuk
di bawah selimutmu yang hangat. Seperti kucing malas!"
" "Mmm, aku masih mengantuk." Tita menjawab sambil mcnaikkan selimutnya. Kini
hanya hidung dan matanya yang masih terpejam itu saja yang kelihatan. Rambumya
tertutup bantal kecil. " 'Ya sudah, kalau begitu..." Dengan agak kecewa aku bangkit lagi dari tempatku
duduk. Tetapi baru selangkah aku berjalan Tita menyingkapkan selimutnya.
" "Ada apa sih Mbak?" tanyanya. Matanya sudah terbuka.
" "Aku ingin minta tolong padamu." "Minta tolong apa?"
" "Meminjamkan telepon genggamku kepada Eko."
" Mata Tita semakin melebar. Ditatapnya mataku. Maksudmu. aku pergi ke rumah Pak
Kirman dan membenkan telepon genggammu kepada Eko?" la bertanya lagi.
" 2a\ Telapi Jan^an sa"ipai ada yang tahu." Keluarganya Juga lidak ada yang ^ ^
" Eko Aku m ya "I"8 h3nya aku' kau* dan Aku menjawab tegas. "Dan tolong katakan
" padanya supaya bunymya dimatikan saia rv dengan getaran supaya kalau aku ,JP,
8*lttl (idak seorang pun yang tahu." mcne'eP,nnya,
" -Kau mau menelepon dari mana" Kalau ten melonjak, Bapak pasti akan curiga Iho
^ " -Aku tidak akan memakai telepon rumah. Tetapi memakai telepon genggammu!" p
" Tita tertawa. " "Tanpa minta izin yang punya" Enak saja'" "Cuma sementara, Ta. Tolonglah aku."
Aku me-rayu gadis itu. "Aku tak bisa berhubungan dengan-nya. Padahal ada banyak
hal penting yang harus " kami bicarakan."
" 'Tetapi kalau pulsanya habis, kau yang beli kartu isi ulangnya Iho Mbak.
Uangku sudah habis buat beli baju kemarin. Mau minta Bapak lagi,
" malu!" "Beres."
" "Kapan aku harus ke sana?"
" "Kapan saja kau bisa. Tetapi semakin cepat akan semakin baik."
" "Begitulah biasanya orang kalau sedang jatuh cinta," Tita menguap panjang.
"Untung aku sudah tidak punya pacar."
" "Kau terlalu keras kepala, Ta. Dedy kan sudah minta maaf kepadamu. Bahkan
bukan cuma sekali atau dua kali saja. Tetapi berkali-kali."
" "Mbak, seandainya pacannu minta... minta... begituan, apakah kail akan
memberinya?" " 'Tcntu saja tidak. Yang seperti itu hanya boleh dilakukan sesudah menikah."
" " "Nah." Tita mencibir. 'Tetapi Dedytidak mau tahu Dia terus saja membujukku
G.ia d.a. Mehha, daklnya yang seperti orang ketag.han ,tu aku S'n dia pasti
sudah pernah melakukannya dengan 3 a..i.. T>ni, teraniz beroacaran depacarnya
yang dulu. Terus Wangitapa, de ngan orang seperti dia .tu menj.j.kkan, Mbak
" "Kau pasli akan mendapat pemuda yang lebih baik di Solo nanti," aku tersenyum.
'Tetapi sekarang tolonglah aku dulu. Mau kan?"
" "Habis sarapan nanti ya Mbak?"
" "Oke. Terima kasih." Kucium pipi Tita, lalu aku kembali ke kamarku. 'Tetapi
ingat Iho Ta, jangan sampai terlihat oleh siapa pun."
" "Akan kuusahakan."
" Beberapa jam kemudian, Eko sudah bisa meng-hubungiku. Waktu itu aku ada di
teras samping sedang membaca-baca majalah. Aku sengaja menunggu teleponnya di
tempat itu supaya Ibu melihatku dalam kondisi "normaI-normal" saja. Sebab,
melihat aku tetap berada di dalam kamarku atau aku pergi keluar rumah. tetap
saja Ibu akan men-curigaiku.
" "Halo, Sayang." Ah, aiangkah senangnya aku mendengar suara Eko lagi. "Aku
harus belajar dulu cara memakai telepon genggammu ini baru bisa meng hubungimu.
Maklum, belum pernah punya benda yang seperti ini."
" 'Tetapi kau punya uang, kan" Sisihkan sedikit untuk membelinya. Yang bekas
juga tidak apa-apa kataku menyarankan. "Aku... aku... ingin selalu mendengar
suaramu " " -Aduh, romantisnya." Kudengar suara , ang lembut. Kubayangkan sudut ST"1*
seksi itu melekuk ke atas. Imya yan8
" -Aku bukan hanya ingin selalu mendengar suara mu saja. Tetapi aku juga ingin
bertemu denganmT" Aku berkata lagi. 6 !"*
" -Mu sedang diikat Bapak," sahut Eko mulai senus. Han ini aku harus membantunya
bekeria di kebun. Ada hal-hal baru yang memerlukan ilmu yang kudapat dan bangku
kuliah." " "Bagaimana kalau besok di tempat yang sama*>"
" 'Tidak bisa, Sayang." Suara Eko sangat lembut dan enak didengar telinga.
"Pekerjaan itu tidak bisa diselesaikan dalam tempo satu hari saja"
" "Lusa?" " "Lusa aku disuruh Bapak menjenguk Didik dan mengantarkan sesuatu ke Semarang."
"Didik, adikmu?"
" "Ya." " "Ke sananya naik motor?"
" "Ya." " "Semarang jauh Iho."
" "Dengan motor itu aku pemah menyusuri jalan raya dari Lampung sampai ke
Jakarta. Ke Semarang tidak sejauh itu."
" "Bolehkah aku ikut" Asyik sekali kalau aku boleh memeluk pinggangmu di
sepanjang jalan dari Tawangmangu sampai Semarang...
" 'Tidak. Tidak boleh ikut. Aku tidak ingin me-nyaksikan rambut orang-orang
Tawangmangu berdiri semua!" Kudengar tawa Eko yang lembut.
" Aku memejamkan ma.aku. Perasaanku menang-kap nada sedih dalam tawanya. "Aku
ingin sekali bertemu denganmu. desahku
" kemudian. "Aku juga. Amat sangat.
" "Tetapi.. .r ,
" "Tetapi sulit bagiku untuk bertemu denganmu. Aku merasa. belakangan ini Bapak
sengaja mem-buatku sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk melakukan hal-hal
lainnya." " "Orangtuaku juga mulai mencurigaiku, menduga aku punya hubungan dengan
seseorang yang selalu mengajakku pergi-pergi..."
" "Itu benar. kan?" Eko tertawa lagi. Dan masih lembut dan enak didengar
telinga. " "Memang. Tetapi tidak ada bukti-buktinya. Dan aku pandai bersilat lidah."
" "Berhati-hatilah. Sayang. Sepandai-pandainya bajing meloncat pasti suatu
ketika terpeleset juga."
" "Ya. Tetapi kapan kita bertemu lagi?" Aku mulai merengek seperti anak kecil.
Jauh di sudut hatiku, aku merasa takut kalau-kalau kami tidak punya kes empatan
untuk bertemu lagi seperti kemarin-kemarin.
" "Suht, Sayang. Kelihatannya, batu sandungan sudah mulai ada di hadapan kita."
'Tidak ada jalan lain yang tak ada batunya''" "Aku tidak tahu..."
" "Tetapi aku tahu," perkataannya kupotong. "Ma-,m nam. kutunggu kau di bawah
jendela kamarku. Ketuklah kacanya sebanyak tiga kali. Aku
" 2M " akan meloncat keluar untuk menemuimu Lah, kj|a perg, ke sa.ah satu dangau dan
dudu^ " di situ-jangan nekat, Sayang." Eko membujukku
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" nang dan sabarlah. Aku akan mencari jalan keluaVnya-" "Janji ya?"
" ,Lho, memangnya hanya kau saja yang merasa kan rindu. Dadaku ini sudah mau
meledak Iho ingin menatap wajahmu yang cantik. Bayangkan melihat bantal, ada
wajahmu. Melihat nasi di atas piling, ada wajahmu. Melihat langit, aku melihatmu
naik kuda dengan rambut panjangmu yang terburai dipermainkan angin. Melihat air
di bak kamar mandi. aku melihatmu tersenyum di situ."
" "Gombal." Aku tertawa.
" "Pokoknya aku sudah sangat ingin memandang-mu, Sayang. Jadi tunggulah sampai
aku menemu-kan jalan keluarnya."
" Aku ingin sekali menanyakan tentang rencananya pergi dari Tawangmangu.
Jadikah" Ditunda" Atau malah tidak jadi" Tetapi, saat ini aku tidak berani
menanyakannya. Takut sekali aku mendengar jawabannya. Jadi kuputuskan untuk
tidak menanyakannya sekarang.
" Sesudah bisikan-bisikan cinta yang saling kami lemparkan. pembicaraan kami
putuskan dengan janji untuk menelepon lagi setiap ada kesempatan. Dan terutama,
mencari kesempatan untuk jalan bersama lagi seperti kemarin-kemarin.
" Tetapi setelah seminggu berlalu, kesempatan itu
" hrliim iujw ada. Kami hanya bisa telcpon-teleponan sT,a Selama satu minggu
mcminjam telepon Tita itu sudah sclembar kailu isi ulang kubeli. Begitu pula
Eko. dia mengatakan hal yang sama. Tetapi dibanding kebahagiaan mendengar suara
kami masing-masing. apalah artinya itu. Apalagi kami berdua bisa saling berbisik
di tengah malam ketika semua orang sudah tidur. Begitu juga yang terjadi malam
itu setelah sembilan hari kami belum juga
" mempunyai kesempatan bertemu. "Sedang apa kau, Sayang?" Eko meneleponku
" pada jam sebelas malam. Saat itu aku baru menonton film Selasa drama dari
tempat tidurku. "Sedang menndukanmu setelah sembilan hari
" tak bertemu, sambil nonton film." "Di kamarmu?" "Ya."
" "Senang ya jadi anak orang kaya. Setiap kamar ada televisinya." Eko berbisik.
"Di rumahku, satu televisi buat beramai-ramai. Kecil, lagi!"
" "Kau iri ya?"
" "Ya." Kudengar tawa perlahan.
" "Kalau begitu, kcmarilah. Nontonlah bersamaku di sini."
" "Aku mau sekali. Boleh aku ke situ?" Ke-sembronoan-kesembronoan mulai mewarnai
pembicaraan kami. Sebab kami terlalu diwamai ke-nnduan yang tak terpenuhi.
" dcn'!"nT .b0leh' aku akan "wnyambutmu
" -Jangan membuatku gila, Sayane Ak.. . ^nar-benar ke situ Iho." * g" Aku "**
" "'Kenapa tidak?" "Betul nih?"
" Aku terdiam. Dadaku berdegup kencang "Kau berani?" tanyaku kemudian. -Kenapa
tidak berani" Kalau ketahuan palinR-paling kita akan diseret Hansip dan disuruh
kawin!" " pia masih saja bercanda. "Maunya. kan?"
" "Ya." Eko tertawa lagi. "Bagaimana, Sayang, boleh tidak aku ke situ?"
" "Kau bcrsungguh-sungguh?"
" "Kalau memang kau ingin bertemu denganku..."
" "Aku sangat ingin bertemu denganmu."
" "Aku sangat... sangat... sangat... sangat ingin bertemu denganmu."
" "Kalau begitu, datanglah." Aku mencandainya lagi. "Dan ketuklah kaca jendela
kamarku tiga kali. Maka aku akan melompat keluar. Sudah pemah kukatakan itu,
kan?" " Eko tertawa dan pembicaraan kami putuskan. Tetapi seperempat jam kemudian. aku
tersentak kaget. Kaca jendela kamarku diketuk orang.
" Sembilan " DENGAN dada berdebar karena senang tetapi juga sangat takut kalau-kalau
ketahuan, aku me loncat dari tempat tidurku. Cepat-cepat kusibak tirai jen dela
kamarku untuk mengintip keluar. Tepat di bawah j endela kamarku, aku melihat Eko
sedang membungkuk kan tubuhnya. Aku sungguh tidak me-nyangka dia aka n berani*
melakukannya. Dan bukannya cuma sekadar canda romantis-romantisan belaka.
" Pclan-pelan dan hati-hati, jendela kamarku kubuka. Udara yang sangat dingin
langsung saja menyergap wajahku.
" 'Tidak ada orang yang melihatmu masuk ke halaman?" bisikku kepadanya. Suaraku
gemetar. Entah karena kedinginan entah karena ketakutan atau entah pula karena
melihat Eko malam-malam begini, aku tak tahu secara pasti.
" 'Tidak. Aku melompati pagar belakang yang agak pendek," Eko menjawabku. Juga
dengan berbisik. " "Para penjaga malam juga tidak melihatmu?" Aku berbisik lagi. Bapak
mempekerjakan beberapa " orangJ"W,^yu* tugasnya mengawasi
" rkebunan. Dan Umbahan pekerja ,dah siap panen. Sebab ada saja tanKan-iano,
jahll yang lebih dulu melakukannyi uJfflT
" nya sendm. " -Tidak. Tidak ada yang melihatku" Eko men jawab pertanyaanku dengan bisikan
pclan sekali" -Sebab aku sengaja menunggu mereka meronda ke arah Timur sana,
baru aku meloncat masuk Tetapi jantungku tadi scmpat berdebar waktu melihat si
Bagong, si Kliwon, dan si Belang muncul dari samping rumah. Aku takut kalaukalau ketiga-nya tidak mengenaliku dan ribut menyalak. Untung-lah tidak. Anjinganjing itu sering berkeliaran sampai ke rumah dan aku sering memberi mereka
makan. Rupanya ketiga anjing itu mengenalku."
" "Syukurlah," aku merasa lega. "Sekarang tolong pegang tanganku. Aku akan
meloncat keluar." " "Sebaiknya jangan." Eko menggelengkan kepalanya. "Pertama, aku tidak ingin
kita terlihat oleh salah seorang penjaga malam. Tidak pantas dilihat orang.
Kedua, malam ini sangat berkabut dan cuacanya sangat dingin. Pokoknya bukan
malam yang indah bagi pasangan yang mabuk cinta."
" Aku tersenyum. Selalu saja Eko bisa melihat celah yang bisa dijadikannya
sebagai bahan lelucon dalam kondisi apa pun. Aku sangat menyukainya.
" "Jadi bagaimana?" tanyaku kemudian.
" "Aku yang akan meloncat masuk..."
" Aku tertegun beberapa saat lamanya. Kutatap wajahnya dengan perasaan bimbang.
Berduaan di " da,am kamar pada malam bu.a begin,, bukan sua* hal yang baik. Bahkan b.sa
berbahaya^ " "Apa yang kukatakan di telepon tod. cuma ber-canda saja kok..." bisikku
kemud.an. Eko tersenyum maklum. Dia memaham. perasaanku. . . . ,
" "Aku tahu. Sayang. Tetapi kita hanya akan duduk-duduk saja sambil saling
memandang untuk mengobati rasa rindu kita," katanya kemud.an. -Bukan untuk halhal lainnya. Kau percaya kepadaku, kan?"
" Ya. aku mempercayainya. Jadi kuanggukkan
" kepalaku. "Baiklah."
" Sungguh beruntung aku berada di Tawangmangu saat ini. Sebab Bapak tidak pemah
memasang terali pada jendela-jendela yang ada di rumah kami. Di Jakarta kalau
jendela rumah tidak dipasangi terali, kita bisa kehilangan rasa aman. Di sana,
aku tidak bisa menatap halaman dengan tangan bersetumpu pada bingkai jendela
karena ada teralinya. Tetapi di sini, di Tawangmangu ini, aku bukan saja bisa
bersetumpu di kusennya tetapi juga bisa duduk di bingkainya sambil menghadap ke
halaman dengan kaki terjuntai keluar. Dan malam ini, jendela yang tak berterali
itu juga bisa dilompati oleh Eko sehingga dua hati yang saling menndu b.sa
bertemu dan bahkan scdikit bercumbu untuk mengobatinya.
" Begitu jendela kamarku kututup kembali, Eko 'angsung menyergap dan meraihku ke
dalam " pelukannya. Kurebahkan kepalaku di am * dPan ,ehemya. Kedua tanganku meme ukT
^ nya. Rasanya seperti seekor sapi puUm" dangnya yang hangat dan banyak mLn
dalamnya. Nyaman dan sangat men en!" , *
" "Sayangku... kekasihku yang cantik "p nekankan bibimya ke dahiku. "Aku
sungguh!"' siksa tidak melihatmu selama sembilan hari "Aku juga..."
" Eko membalas kata-kataku dengan mencium bibirku. Lembut sekali ciumannya.
Kubalas ciumannya itu dengan sama lembutnya. Bahkan ketika bibimya berpindah
dari bibirku ke rambutku, aku mengecupi lehernya yang ada di depanku.Aku
menyukai keharumannya yang segar. Tetapi Eko menjauhkan kepalaku.
" "Jangan menciumiku seperti itu," katanya dengan suara parau. "Aku bisa
kehilangan akal sehatku."
" Aku tersenyum. Kuhela dia ke salah satu kursi yang terletak di dekat meja
riasku. " "Kalau begitu duduklah yang man's di sini," bisikku sambil menyusul duduk di
kursi yang lain. Kedua kursi yang sedang kami duduki itu dipisah-kan oleh sebuah
meja kecil. "Aman dan damai. Jadi kita hanya akan bercerita-cerita saja."
" 'Tentang kancil mencuri ketimun atau tentang Bawang Merah dan Bawang Putin?"
" Mendengar itu aku tertawa. Tetapi lekas-lekas Eko melintangkan jari
telunjuknya ke bibirku. Tetapi jari telunjuknya itu segera kugigit. Dan dia
wengaduh. Sekarang aku ganti melintangkan
" . Ai hibimva. Maka kami berdua pun Ie,UnJUkk,a2i^ Tct^tawa teriahan. Aku
bahkan ^JS**, -lutku dengan telapak tanganku
" ^Sngkah senangku bisa berduaan denganmu lagi." kata Eko ambil menatapku. Kedua
belah matanya tampak berkilauan. "Aku juga."
" "Kenapa tidak kita lakukan kemann-kemann ya" Kenapa baru sekarang pikiran yang
jenius ini muncul" Eko menatapku dengan matanya yang
" mengandung tawa. " "Hush, kau nakal. Tetapi bukankah tidak ada istilah terlambat?"
" "Setidaknya, sampai aku memutuskan kapan aku harus pergi dari sini."
" Mendengar perkataannya, kegembiraanku surut dengan seketika. Kutatap wajahnya
dengan pan-dangan nanar. "Kau akan tetap pada keputusanmu itu?" "Aku terpaksa,
Sayang." "Kedua orangtuamu sudah tahu?" "Ya. Dan mereka setuju." Eko menundukkan
kepalanya. "Bapak dan Simbok sudah tahu bahwa temyata kita berdua saling
mencintai. Mereka sangat memahami perasaan kita tetapi juga me-mahami persoalan
apa yang terpaksa harus kita nadapi kalau hubungan ini tetap berlanjut."
" Tetapi menurut pendapatku, semua orang termasuk dinmu terlalu berlebihan
memikirkan hal-hal yang sudah tidak pada tempatnya!" Aku mulai
" rnerajuk. "Aku memang tahu tentang hambatan hambatan yang akan kita hadapi.
TetaP"S be-rti ^ak akan ada jalan toTi^^1^ sehamsnya kita car, Dan bukannya
menyerah pada Iceadaan yang tidak sehat." paaa
" -Aku setuju itu, Sayang. Tetapi apa yang kita alami im sudah menyangkut nama
baik dan harga " diri" " -Sejak kemarin itu-itu saja yang dibicarakan. Nama baik siapa dan harga diri
siapa sih." " "Nama baik dan harga diri kita semua, Sayang. Bapak dan ibu Suryo pastilah
merasa nama baik dan harga diri mereka terpukul kalau tahu kau jatuh cinta pada
anak mandor kebunnya sendiri. Apa yang harus mereka katakan kepada orang-orang
mengenai hal itu, bukan" Bayangkan, kau dikhianati oleh seorang laki-laki yang
segala se-suatunya setara dengan keluargamu. Tetapi kau mendapat ganti yang jauh
lebih rendah segala-galanya. Lalu apa yang bisa mereka banggakan, bukan?" Eko
menjawab dengan suara tenang. Tetapi aku merasa kesal karena tidak sependapat.
" "Harga diri itu seharusnya terletak pada inti kemanusiaan yang ada pada diri
seseorang. Bukan pada apa yang hanya melekat padanya!" Aku me-nyembur. "Apalagi
kalau itu diwamai oleh sistem nilai feodalisme yang picik!"
" "Aku setuju, Sayang. Tetapi kita ini hidup da am masyarakat yang sudah
terlanjur berada dalam tatanan kehidupan yang memiliki tolok ukur seperti 'tu
selama berabad-abad lamanya."
" " "Anakah Pak Kirman juga berpikir seperti itu?"
" -Ya Orang kecil kan selalu mencmpatkan orients nilainya pada pemikiran orangorang besar, termasuk para kaum priyayi tingg. sepert. keluargamU"U\u apa
penilaian Pak Kirman tentang hubungan kita berdua?"
" "Sama seperti cara pandang kedua orangtuamu, bapakku pun mengalami hal yang
hampir serupa. Sebagai orang yang sangat teguh memegang aturan dan tatanan
pergaulan, Bapak akan merasa sangat malu kalau orang banyak tahu tentang
hubungan kita berdua. Mereka semua pasti menganggap Bapak dan Simbok telah gagal
mendidik anak-anaknya. Apalagi kalau dikaitkan dengan pen-didikan formal yang
diusahakannya untukku dan ketiga adikku. Pasti akan ada banyak orang yang
menyangka kedua orangtuaku mempunyai semacam ambisi seperti apa kata pepatah
'asu menek ondo \ anjing ingin naik tangga atau orang yang tak tahu diri, ingin
menggapai sesuatu yang lebih tinggi. Dan itu bukan sesuatu yang sepclc bagi kami
sekeluarga. Sebab meskipun keluargaku orang mis-kin, tetapi mereka sangat
menjunjung nama baik keluarga. Simbok bahkan mengatakan bahwa hanya nama baik
dan harga diri sajalah yang kami miliki. Maka kalau itu sampai ternoda, apa lagi
yang masih tinggal bukan?"
" Aku terdiam. Memang tidak mudah mcrombak Pikiran-p.kiran yang sudah beruratakar scdalam Dan juga tidak mudah mcrobohkan temboktembok tebal yang sangat
kokoh hanya sendirian " saja. " Melihatku terdiam, Eko bangkit dari tempat duduknya. Kemudian ,a beriutut di
depanku Lalu ^gannya terulur ke wajahku untuk mengelus pipi. ku dengan jemannya
yang kasar tetapi lembut sekali gerakannya itu.
" -Selagi kita masih bisa bersama, kenapa harus membicarakan hal-hal yang tak
menyenangkan?" katanya kemudian dengan tersenyum mesra. "Aku tidak suka melihat
wajah cantikmu jadi murung begini. Ayo Sayang, tersenyumlah."
" Mau tak mau aku tersenyum juga. Sulit mem-bantah permintaan yang keluar dari
bibir yang ujung-ujungnya melekuk ke atas itu.
" "Nah, begitu. Kau tampak sangat cantik, Sayang." Tangan Eko yang mengelus
pipiku ber-pindah ke rambutku dan menyibakkannya ke samping.
" "Kau juga tampak sangat... sangat..." Aku kehilangan kata-kata. Apa yang akan
kukatakan" Tampan" Ganteng" Bermata dan berbibir seksi" Atau apa" Malu aku kalau
harus mengatakannya dengan
" terns terang. "Sangat apa, Sayang?" Eko tertawa menatapku. "Sangat, sangat apa
ya?" Aku tersenyum malu.
" "Sangat, hebat."
" "Aduh, bisa besar kepalaku mendengar pujian-mu!" Eko tertawa dan meraih
tubuhku ke dalam " ^Teupi "karena terlalu kuat dan mendadak, aku
" tak bisa menahan rubuhku untuk tetap duduk di tempat Sebagai akibatnya. aku
terjerembap dan menimpa Eko yang sedang beriutut d. depanku. Karena dia tidak
mcnyangka aku akan jatuh me-nimpanya. laki-laki itu tidak kuat menahan luncuran
rubuhku. Maka kami berdua pun jatuh terguling ke lantai yang dingin. masih dalam
keadaan saling berpelukan.
" Tetapi Eko tidak scgera bangkit. Apalagi mem-bantuku berdiri. Yang
dilakukannya malah men-ciumi bibirku dengan penuh hasrat. Sementara itu
tangannya mulai mengelusi bahu dan leherku.
" Menerima perlakuan semesra itu, aku mulai men-desah. Tanganku begitu saja
memburai rambutnya dengan gemas dan penuh rasa kasih. Eko pun mcmbalas
perlakuanku itu dengan menindih tubuh-ku. Sementara itu bibirku terus saja
dikuasai oleh bibir dan lidahnya dengan cara yang sangat intim sampai aku jadi
megap-megap. Tubuhku meng-gigil hebat sampai akhimya Eko melepaskan bibir dan
pelukannya. Dijauhkannya wajahnya dari wajahku.
" Tubuhmu gemetar..." bisiknya parau. 'Tidak pernahkah Mas Dewo melakukan
kemesraan yang sepcni ini padamu?"
" 'Tidak.' 'Sungguh?"
" "Sungguh. Aku sering merasa agak aeak
" S-mt dCn8an dia"M
" Sabmlt^f ^ SUara ***** "Sebab... " dW mudah **aIi kehilangan kontrol diri.
" Karenanya sebelum itu terjadi, aku selalu , hindari kemesraannya yang agak
berlebihan ' *" " -Maka Titik-lah yang memberinya'" Fkn " senyum. "Apakah kau tidak takut berada
di dalam peiukanku dengan cara seperti ini?"
" 'Tidak." " -Aduh, alangkah indahnya kata-kata itu di telingaku..." Eko tertawa lembut
sambil mengecup lembut keningku. "Bisa-bisa aku jadi besar kepala."
" "Tetapi bolehkah aku bertanya kepadamu?"
" "Bertanya tentang apa?"
" "Apakah kau sering bersikap semesra ini dengan Nanik-mu dulu?"
" "Sama sekali tidak!" Eko menjawab tegas. "Per-tanyaanmu tidak boleh lagi
kauulangi. Sebab aku tak pemah jadi segila begini, kalau aku mencium-nya."
" 'Tetapi aku merasa cemburu membayangkan kau sedang mencium dia."
" "Apakah aku tidak" Waktu Simbok mengatakan kau bisa bunuh diri karena patah
hati. dadaku sakit sekali rasanya. Rasa cemburu itu hampir meledakkan dadaku..."
" 'Tetapi aku tidak akan bunuh diri hanya untuk
" laki-laki seperti dia!"
" "Waktu itu aku belum tahu. Tetapi setelah aku mempelajari dirimu dan tahu apa
yang sesungguh-nya ada di hatimu, rasa cemburu itu sudah tidak ada lagi. Nah,
cukup kan pcnjelasanku. Sekarang diam-diam sajalah. Aku ingin menciummu lagi.
" Maka kami pun saling berpagut kembali. Ciuman
" dan belaian tangan Eko sungguh amat lembu dan mcnvcbabkan diriku merasakan
betapa setiap e lusan tangannya itu mengandung rasa kasih yang meluap-luap
Tetapi ketika jari-jannya mulai menyusup ke belahan dadaku melalui kancing
blusku, tubuhku mulai bergetar lagi. Lebih keras danpada tadi sehingga Eko
menyadari perbuatannya yang sudah melewati ambang batas itu. Tubuhnya berguhr
dari atas rubuhku. Wajahnya tampak merah.
" "Aku harus pulang sebelum jadi gila," bisiknya sambil menyisir rambutnya yang
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuburai tadi dengan jemarinya. "Malam juga sudah semakin larut."
" Aku juga menyadari bahayanya kalau Eko masih saja mencumbuku dengan cara
seintim itu. Ku-anggukkan kepalaku sambil bangun dari lantai yang sangat dingin.
Aneh, selama bercumbu tadi aku tidak merasakannya. "Memang sebaiknya kau pulang,
Mas." "Jangan panggil 'Mas'!"
" 'Terserah kalau kau tak suka mendengarnya. Tetapi aku akan tetap menyebutmu
demikian. Kau adalah kekasihku."
" Eko menjawab perkataanku dengan mengecup lembut rambutku. Kemudian dia
membetulkan letak bajunya.
" "Sebaiknya aku pulang sekarang," katanya.
" Kuanggukkan kepalaku. Jendela kamarku kubuka lagi dan kubiarkan Eko meloncat
keluar setelah menciumku sekali lagi. Begitu kakinya menginjak tanah, aku
berbisik kepadanya dengan sepenuh keinginanku.
" "Denu aku, tolong pikirkanlah kemk m inginanmu untuk meninggalkan TawanZ^ ke"
ingEk0 menatapku sesaat lamanya"T**^ kcmudian menganggukkan kepalanya TT^n ,ama
kennudian dia sudah lenyap* otlamT gelapan. Dan aku menutup jendela kamaZ ket
bali. Tetap. perasaanku menjadi sedih Meml Ek0 tadi menganggukkan kepalanya. Dia
ju^f jenyum. Tetapi aku tahu itu hanya untuk Z nyenangkan hatiku saja. Dari
sinar matanya dan dari lekukan bibimya aku melihat kesedihan men-dalam yang
terpancar dari sana. Dan itu aninya, dia akan tetap pada keputusannya semula.
Yaitu pergi dari sini. " Selama beberapa hari sesudah itu kami masih saja sering bertelepon-teleponan
dan cekikikan di malam-malam yang sepi melalui alat canggih itu. Tetapi tidak
sepatah kata pun kami membicarakan tentang rencana kepergiannya. Kami sama-sama
ingin melupakannya. Bahkan dalam kondisi pura-pura lupa itu aku menaruh harapan
adanya ke-ajaiban yang membatalkan seluruh rencana ke-pergian Eko dari
Tawangmangu. " Pada malam yang kelima sesudah malam itu, tiba-tiba Eko meneleponku pada jam
sebelas malam. Dengan telepon genggamnya sendin. Telepon-ku sudah dikembalikan
melalui Tita. Dan telepon Tita juga sudah kukembalikan. ^ "Sedang apa, SayangBegitu dia bertanya.
" "Sudah tidur?" al,i ter"Aku sedang menunggu teleponmu. Aku
" tawa. "Sebelum mendengar suaramu bagaimana aku bisa tidur"*' "Rindu padaku,
ya?" " "Apakah itu perlu kautanyakan" Sudah setengah mati begini masih ditanya!"
" "Kalau begitu, aku akan menginmkan cium rinduku padamu!" Eko mengirimkan
kecupan bibir-nya melalui udara, kemudian tertawa pelan. "Sudah
" kau terima?" " "Belum. Sepertinya kecupan itu tidak bisa masuk ke kamarku. Jendelanya hams
kubuka dulu." " Kudengar suara tawa Eko yang empuk.
" "Kalau begitu aku saja yang akan terbang me-nemuimu." katanya kemudian.
"Bagaimana kalau besok malam" Bisa?"
" "Bisa. Telepon saja dulu supaya aku mempersiap-kan segala sesuatunya agar
jangan ada yang men-curigaimu."
" "Oke." " Pembicaraan singkat itu mengganjal perasaanku. Aku merasa, Eko akan mengatakan
sesuatu yang penting kepadaku. Apakah dia akan segera pergi meninggalkanku"
Rasanya aku ingin waktu cepat berlalu dan berada dalam pelukan Eko kembali. Akan
kubujuk dia untuk membatalkan rencananya
" Tetapi siang hari bcrikutnya terjadilah peristiwa yang menyingkirkan rencana
Eko untuk datang rnenjumpaiku malam itu. Melalui Yu Rapiah, aku dipangg.1 Bapak
dan Ibu. Mereka menungguku di ruang kerja Bapak.
" Rasanya darah yang mengalir ke tubuhkn nerti membeku dengan mendadak mend
ligilan yang kelihatantiya resmi
" Jerdegup kencan8 Sebab hanya 2,
" urUsan-urusan yang sangat penting saja !"
" dan Ibu secara bersama-sama mengajak sese-orang bicara di ruang kerjanya.
Aduh, apakah ada yang mehhat Eko datang menemuiku di kamar tidurku beberapa
malam yang lalu" Dadaku berdebar-debar mengingat kemungkinan seperti ituTelapak
tanganku berkeringat waktu aku mem-buka dan menutup kembali pintu ruang kerja
Bapak. Tetapi aku berusaha memperlihatkan sikap wajar dan tenang.
" "Ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengan Wulan?" tanyaku sambil menarik
kursi di muka meja tulis besar yang membatasi diriku dengan Bapak dan Ibu.
Dengan sekuat tenagaku aku me-nekan rasa cemasku tadi.
" "Ya." Bapak yang menjawab.
" 'Tentang apa?"
" "Tentang siapa laki-laki yang sering kali pergi bersamamu mencari tanah ke
mana-mana itu?" " Darahku tersirap. Telapak tanganku semakin berkeringat sebab aku tak mungkin
bisa Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menjg meledaknya bom waktu di depanku
dengan sedikit taktik " "Dari mana Bapak mendengar
" "Tadi pagi ada orang datang niencan
" untuk mcnawarkan tanahnya. Sebab katanya, putri Bapak ada yang sedang mencancan tanah bersama
" kckasihnya!" ...
" Darahku tersirap lagi. Betul sekali kata Eko. Sepandai-pandainya bajing
meloncat, akan terpeleset juga. Sepandai-pandainya aku dan Eko mcnghindari
pandangan orang, tidak terpikirkan oleh kami berdua bahwa akan ada orang yang
mengenalku waktu kami berkeliling mencari tanah di sekitar Cemoro Sewu. Nyatanya
waktu di Telaga Sarangan, ada Pak Ijan yang juga langsung mcngenaliku. Dunia
memang tidak selebar daun kelor. Tetapi juga tidak sebesar daun pisang.
" Melihatku terdiam, Ibu ganti menyambung per-kataan Bapak.
" "Mereka mengira kami mengetahui bahkan me-restuimu mencari tanah." katanya.
"Padahal seujung kuku pun kami tidak tahu-menahu mengenai hal itu."
" "Sekarang yang penting jawablah pertanyaan Bapak, siapa laki-laki itu" Di mana
kalian ber-kenalan?"
" "Apakah kepergian-kepergianmu selama ini juga bersama dia?" Ibu menyambung
lagi. " "Kalau memang laki-laki itu teman barumu, kenapa tidak kau suruh datang ke
rumah untuk berkenalan dengan kami?" Sekarang Bapak lagi yang menyambung.
" Wutor JaWablah SCmua Pwtonyaan kami tadi, Rasanya aku seperti sedang berada di
ruang " ngadilan dengan duaJaksa penuntut yanR ^ kenal ampun, bertubi-tubi menyerangku
" -Yang mana dulu yang harus Wulan jawabr Akhimya aku bisa bersuara.
" -Siapa laki-laki itu?" Bapak mendahului Ibu
" ,Dia bemama Eko Nugroho." Aku menjawab terus terang. Akan percuma saja kalau
aku ber-bohong- Malahan akan bisa tambah berlarut-larut Padahal aku ingin segera
masuk ke kamarku dan menelepon Eko agar dia bersiap-siap menerima bom yang sama.
, " "Bapak tidak menanyakan namanya!" Suara Bapak mengeras.
" "Dia berasal dari. Lampung, Pak!" Aku menjawab dengan jantung yang mulai
mengeret. 'Tetapi sekarang tinggal di Tawangmangu bersama kedua orangtuanya,
yaitu Pak dan Mbok Kirman."
" "Oh, Eko yang itu to!" mata Ibu membelalak.
" "Eko anaknya Pak Kirman?"
" "Ya." " Suasana di ruang kerja Bapak menjadi sunyi seketika. Kupakai kesempatan itu
untuk sed.kit memberi penjelasan yang sekiranya bisa mengu-rangi bobot
"kesalahanku". " "Dia mencari tanah untuk memulai usahanya sebagai seorang petani. Karena *a
tahu Wulan lebih mengenai daerah-daerah di sekitar Tawang-mangu int dia meminta
bantuan Wulan untuk " menemaninya mencari tanah. k kannva
" Temyata taktikku salah. Penjelasanku bukannya
" mengurangi bobot kesalahanku tetapi malahan me-nambah beratnya. Bapak tampak
marah. " "Apakah di Tawangmangu ini hanya kau saja van* kenal daerah-daerah di sekitar
tempat ini" Dari mana ide di kepalanya itu, berani-beran.nya dia mengajakmu
pergi mencari tanah dan bukannya mengajak orang lain?" tanyanya dengan suara
yang tidak enak didengar telingaku. "Apalagi tanpa minta izin kepada orangtuanya
lebih dulu. Bapak yakin Pak Kirman tidak mengetahui ulah anaknya itu."
" "Yang Ibu tidak tahu, ^kenapa kalian berdua tiba-tiba saja menjadi akrab!" Ibu
menyambung lagi. "Kapan kalian bertemu?"
" "Ya." Bapak ganti menimpali pertanyaan Ibu. "Bapak juga ingin tahu, kapan
kalian bertemu. Apakah itu di sekitar hari-hari perkawinan Dewo."
" Aku tahu ke mana arah pertanyaan Bapak dan Ibu. Hatiku mulai memberontak. Dan
itu me-numbuhkan keberanian padaku.
" "Dua minggu sebelumnya," sahutku. "Tetapi per-kenalan dan keakraban Wulan
dengan Eko sama sekali tidak ada kaitannya dengan perkawinan Mas Dewo!"
" "Bagaimana asal mulanya kalian berkenalan dan lalu menjadi akrab" Ceritakanlah
semuanya!" Ibu berkata lagi dengan suara menuntut dan mengabai-kan jawabanku
tadi. " Seharusnya aku marah. Mereka berdua telah mengadiliku dengan sikap yang
menempatkan diriku sebagai seorang penjahat. Penjahat yang telah mempermalukan
mereka pula. Tetapi aku tetap
" menahan diriku agar jangan kehilangan r Sebab kalau tidak, akan menjadi semiin
k ' " i^^J^TS lenanS aku menceritadari
" pagi-pagi sekali tanpa pami, dan lalu menSh
" , . ....(ill/ mmnatirambii is - , j
" kan tentang seluruh kejadian yang beS dan kecemasan Mbok Kirman ketika
melihatku " Ek0 untuk mengawasiku. Kemudian juga kucentakan bahwa pada hari perkawinan Mas
Dewo, ketika aku merasa sebagai pecundang dan harga diriku terluka, Eko-lah yang
mengentaskanku dari perasaan tak berharga itu.
"Apakah ada hubungan khusus di antara kalian berdua?" Bapak dan Ibu hampir
secara bersamaan mengucapkan pertanyaan itu.
" Kali itu aku tidak ingin membuka rahasiaku sebelum aku mendengar saran Eko.
" 'Tidak. Kami hanya bersahabat saja." Aku terpaksa berbohong. "Apakah kau
sering membonceng motornya?" "Ya." Sekarang aku bicara terus terang lagi.
"Memalukan!" Ibu mendesis. "Seringkah kalian dilihat orang pergi berduaan dengan
motornya itu?" 'Tidak. Wulan memakai helem dan jaket." "Wulan, kau belum
menjawab pertanyaan Ibu tadi!" Ibu menyela. "Apakah kepergian-kepergian-mu
selama ini juga bersama Eko?"
" "Ya." Apa boleh buat. Akan nercuma saja aku mengelak. "Apakah itu salah?"
" "Salah sih tidak," Bapak yang menjawab. T tap tidak pantas. Kau sudah sarjana
strata du ^ Pikiranmu malah mundur. Ke manakah akal sehat
" mu* Kau baru saja putus cinta d.t.nggal kekasih un uk menikahi gadis lain. Lha
kok sekarang Srab-akrab dengan anak mandor kebun orang. SnT Apakah tidak
terpikirkan olehmu kalau-kalau ada orang yang mcng.ra pikiranmu sudah tidak
waras lagi lalu mencan pelanan di tempat yang salah. Ditinggal kekasih, lalu
mencan gantmya secara sembarangan saja!"
" Duh Tuhan, Eko dianggap orang sembarangan saja. Aku mulai marah.
" "Lalu apa yang Bapak dan Ibu harapkan dari Wulan?" tanyaku. Kedua belah mataku
menyorot tajam ke arah Bapak dan Ibu bergantian.
" "Hentikan petualanganmu itu dan mulailah kembali menata hidupmu ke arah masa
depan yang lebih baik... Meniti karier, misalnya. Atau apa sajalah, pokoknya
yang bemilai dan berguna."
" Lalu seribu satu macam saran dan nasihat datang silih berganti menyerbu
telingaku. Tetapi hanya sedikit sekali yang masuk ke otakku. Pikiranku melayanglayang dan baru kembali ke tempat sesudah Bapak dan Ibu mengizinkan aku keluar
dari ruang kerjanya. Ya Tuhan, kedekatanku dengan Eko dianggap sebagai
petualangan oleh Bapak. " Betapa rendahnya Eko di mata kedua orangtuaku itu.
" Terus terang, aku merasa terguncang. Meskipun aku sudah bisa membayangkan
reaksi kedua orangtuaku kalau mengetahui keakrabanku dengan Eko tetapi ketika
itu betul-betul kualami, rasanya sungguh sangat menyakitkan. Ingin sekali aku
berlari " mencari Eko dan menangis di dad
" yang pemah kulakukan waktu itu seperti
" Tetapi tidak Aku tidak boleh lanosunp m kan apa pun kepada Eko sebelum k"m
u8^-surut. Bahkan meneleponnya juga belum u",3nku
" *, p* ,** , i tatiss:
" nya. "~ " "Sejak tad, aku menunggu .eleponmu, Sayan," Ek0 langsung menjawab teleponku
,anpa me-nungguku bicara lebih dulu.
" "Kangen?" Aku mencoba untuk bersikap biasa "Kalau begitu, kenapa bukannya kau
yang me-neleponku lebih dulu?"
" "Kangen, itu pasti. Tetapi menelepoumu lebih dulu tidak akan kulakukan,
Sayang. Aku tidak ingin mengganggu perasaanmu yang sedang sakit dan hatimu yang
sedang marah. Aku memahamimu sepenuhnya."
" "Kenapa kau berkata seperti itu, Mas?"
" "Karena Bapak baru saja dipanggil oleh ayahmu di kantor. Dari apa-apa yang
dibicarakan dan di-minta oleh Pak Suryo kepada Bapak, kami tahu bahwa kau baru
saja diadili. Ya kan?"
" "Ya. Tetapi kenapa kedengarannya kau begitu tenang dan seolah apa yang kualami
bam saja tadi seperti suatu kejadian yang biasa-biasa saja?" Aku mulai marah.
"Padahal hatiku begini kacau balau-nya."
" "Sayang, meskipun perasaan kita kacau balau tetapi pikiran kita tidak boleh
ikut terbawa. Kalau lidak, kita tidak akan bisa melihat persoalannya
" dengan jcmih. Maka akan jadi semakin kacau balaulah semuanya. Dan
penyelesa.annya pun jad, " tidak objcktif." "Memangnya penyelesa.an apa yang akan kau
" lempuh. Mas?" .
" "Masih dalam pemikiran panjang. Tetapi yang
" jelas. malam ini aku tidak jadi meloncati jendela kamarmu. Sabar ya, Sayang."
" Apa lagi yang bisa kukatakan selain "ya" bukan" Dan karenanya malam itu
berlalu dengan hati yang sepi tetapi pikiran penuh sesak. Tak pernah kusangka di
zaman modern yang segala sesuatunya serba super ini, aku masih mengalami suatu
ke-nyataan saat perbedaan menyebabkan pcmbedaan yang diskriminatif hanya karena
gengsi, reputasi, nama baik, dan harga diri yang dangkal.
" Esok harinya aku pergi tanpa arah tujuan hanya untuk membuang energi
kemarahanku. Berjam-jam lamanya aku mondar-mandir tak tentu arah yang kutuju
sampai akhirnya aku merasa bosan sendiri dan pulang ke rumah. Waktu aku baru
saja meng-ganti pakaianku dengan daster, Tita masuk ke kamarku. ,
" "Pergi ke mana saja kau, Mbak" Aku merasa khawatir sekali." Dari pertanyaannya
itu dan juga dari sikapnya, aku tahu bahwa peristiwa pengadilan di ruang kerja
Bapak kemarin sudah diketahui olehnya.
" "Yang jelas aku tidak pergi bersama Eko, kalau itu yang ingin kauketahui."
"Aku tahu." " "Tahu dari mana?"
" -Dari apa yang kulihat dengan pandang ma, ku dan dan apa yang kurangkai di "
"jelaskan kata-kata mutiaramu yang indah itut"
" "Waktu mehhamu pergi Ibu langsung menyuruh orang untuk melihat apakah Eko ada
di rumah atau tidak. Temyata dia sedang membetulkan beberapa bagian^ pagar yang
doyong tertabrak truk kemarin dulu."
" "Aku masih warns untuk tidak menyebabkan rambut di kepala Bapak dan Ibu
berdiri semua!" " Tita tertawa. " "Aku yakin, apa yang dikerjakan oleh Eko itu adalah cara Pak Kirman mengikat
kaki anaknya agar jangan pergi jauh," katanya kemudian. "Memang begitu."
" 'Tetapi terlepas dari itu semua, aku harus menga-kui bahwa pacarmu itu orang
yang serbabisa dan mempunyai penghargaan terhadap apa pun pekerjaan orang.
Bayangkan, seorang insinyur teknik pertanian dan sekaligus juga seorang ekonom.
mau-ma unya membetulkan pagar di kebun miiik majikan
" ayahnya!" , ...
" Aku menarik napas panjang. Itulah Eko. Itulah yang juga kukagumi dari dirinya.
Dan nulah yang menyebabkan perasaan cin.aku kepadanya^ besar Tetapi pastilah
Tita !"fk. kc bukan untuk membicarakan kelebman-kelebman
" '?"Kau masuk ke kamarku mi pasti bukan cuma
" uni " ,tuk memuji dia saja, kan?" tanyaku begitu pikiran itu melintasi otakku.
" "Yah. memang bukan hanya itu saja, Mbak." Tita menganggukkan kepalanya.
'Tetapi juga karena ada sedikit informasi yang ingin kukatakan kepadamu. Tadi
aku sengaja menguping pembicaraan Bapak dan Ibu waktu mereka berdua sarapan. Aku
senang karena mereka tidak tahu aku ada di balik rak buku."
" "Mereka membicarakan aku, kan" Apa kata mereka?" Aku memotong perkataan Tita
dengan perasaan tak sabar.
" "Bapak dan Ibu tidak mempercayai kata-katamu bahwa di antara dirimu dengan Eko
cuma persahabatan biasa saja," jawab Tita. "Mmm, apakah itu yang kaukatakan
kepada mereka waktu ditanya tentang hubunganmu dengan laki-laki itu?"
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" "Ya. Aku memang mengatakan bahwa hubungan kami cuma persahabatan saja."
" "Dan mereka tidak percaya."
" "Biar sajalah, Ta. Aku sudah capek memikirkan semuanya,"
" "Tetapi bagaimana kalau peristiwa kemarin itu menyebabkan Eko mempercepat
kcpergiannya dari Tawangmangu ini?"
" Pertanyaan yang wajar. Tetapi maknanya masuk ke reiung hatiku dan gaungnya
bertalu-talu di sana. Rasa-rasanya, ketakutanku selama beberapa nunggu ln> akan
menjadi kenyataan. Untuk kedua kahnya aku akan mengalami patah hati lagi. Tetapi
aku ndak tahu apakah aku masih mempunyai sisasisa kekuatan untuk menahan beban
bera, itu Terutama setelah perasaan cintaku kepada Eko semakin berkembang dari
hari ke hari Aku me mang semakin cinta saja kepadanya.
" Q " DJ\/LJ " Sepuluh " SENJA mulai turun menggantikan sore diantar oleh
" angin gunung yang sejuk semilir, menyapu dan
" mengelus seluruh permukaan bumi Tawangmangu
" yang indah. Jendela kamarku tetap kubiarkan terbuka dan aku berdiri dengan
tangan bertumpu " pada bingkainya. Kunikmati segala yang bisa kutangkap dengan pandang mataku,
dengan telingaku, " dan dengan seluruh tubuhku yang lain. Saat itu
" batas daya penglihatanku tak mungkin mengatasi
" kekuatan alam yang secara perlahan menyembunyikan seluruh pemandangan yang
terhampar di hadapanku dengan selimut malamnya, dan kini penciumankulah yang
lebih banyak bekerja. Maka
" aroma bunga kemuning pun mulai menyerbu hidungku. Aiangkah harumnya. Dan
alangkah segar-nya. " Rasanya seperti baru kemarin terjadi aku mulai menjcjakkan kedua telapak
kakiku kembali di tanah kelah.ranku ini. Waktu itu pun kemuning, yang ocrjajar
d. sepanjang tcpi pagar halaman rumah, sedang sarat berbunga. Dan aromanya yang
wangi me nyambut kedatanganku dan memberikan keakraban y ang terasa mengaliri
se,uruh jiwa ragakuNarnun alangk ah beda perasaan yanB mevja , hatlku. Ketika
aku data ng haliku j^J-dan lega bisa menikmat, kembali segala s eSua* yang tak
kudapat, di Jakarta. Kesegaran alamnya angin gunung yang sejuk, jalan raya yang
benih dan b erhku-liku, orang-orangnya yang ramah tamah dan teru tama kamar
tidurku yang sangat menye-nangkan. Dan tentu saja, juga harapanku untuk
menguntai masa dep an bersama-sama dengan Mas Dewo.
" Kini, tiga bulan baru saja berlalu setelah malam itu. Kegembiraan hatiku
seperti yang kubawa dari Jakarta waktu itu, telah sima. Harapanku menguntai
hidup bersama Mas Dewo juga telah luruh. Dan yang masih tinggal, yaitu cintaku
kepada Eko yang sedang mulai mekar-mekamya, harus ku-singkirkan jauh-jauh dari
jalan kehidupanku dan menyurutkan diriku pada titik nol kembali. Seluruh hari
esok yang kurenda, harus kubongkar menjadi benang-benang kembali. Benang-benang
yang kusut pula. " Air mataku menetes. Hangat airnya cuma sesaat saja kurasakan, diganti oleh
rasa dingin yang a> embuskan oleh sejuknya angin gunung. tuaca.memang sudah
mulai terasa dingin sampa. ke_tutong-.ulang. Kedua belah tanganku lalu ku^gkatd^
bingkai jcndcia dan ku.ipat d, dada u ^ mengusir gigitan udara Eko.
" mi aku sungguh sangat menndukan Ken
" Saat-saat seperti ini pula, aku bam saja d.ajan oleh alam dan oleh pengalaman
baruku tentang betapa rindu itu bisa sedemikian sakitnya sehingga meninggalkan
rasa pilu yang meng.ns-iris seluruh isi dadaku. Dan keadaan seperti itu cukup
menge-jutkan diriku sendiri. Sebab ketika aku berada di Jakarta dan terpisah
dari Mas Dewo, kennduanku tidaklah seperti yang sekarang kurasakan kepada Eko.
Padahal laki-laki itu berada tidak begitu jauh dari tempatku tinggal.
" Merasakan kerinduan itu, untuk kedua kalinya air mataku menetes lagi. Tepat
pada saat itu telepon genggamku berbunyi. Aku meloncat untuk mengambil telepon
ini dari dekat bantalku. Dari layar kecilnya aku tahu itu telepon dari Eko.
Hubungan batinkah itu" Terasakah olehnya betapa rindunya aku kepadanya" Ataukah
cuma kebetulan saja" "Halo, Mas...?"
" "Wah. kok suaranya lemes begitu," Eko memberi komentamya dengan suara
lembut... "Sedang apa kau, Sayang?"
" "Baru saja air mataku menetes, bersamaan dengan bunyi telepon darimu..."
" "Itukah yang dilakukan oleh gadis yang selama ini dikenal sebagai orang yang
tidak suka mem-buang-buang air mata?"
" "Memang bam sekali ini aku merasa sesedih begini. Hati ini seperti diiris-iris
rasanya, Mas. Aku tak tahan..."
" Eko terdiam beberapa saat lamanya.
" 'Tetapi kenapa merasa sedih, Sayang?" Kudengar
" suara Eko begitu lembut, manis dan kasih. Air mataku nyaris tum^fcj^ dengar
perhatiannya itu. embah m<*-Ada banyak yang membuatku sedih saat in Termasuk
masa depanku yang suram dan t"k 2'.
" nentu Kalau saja kau berada di dekatku, sekali aku menyandarkan kepalaku di
bahumu , -Aku mengerti..." Suara Eko terdengar serak" 'Tetapi yang paling
menyakitkan adalah... rasa pilu karena menndukanmu..." Suaraku terhenti sebab
untuk ketiga kalinya air mataku menetes lagi.
" "Sayang, bersabarlah. Jangan kaubiarkan ke-sedihan itu merusak dirimu."
Kudengar, suara Eko semakin serak. "Sekarang beristirahatlah, nanti aku akan
meneleponmu lagi..."
" Tetapi aku masih belum ingin menyudahi pembicaraan kami. Bahkan suatu serpihan
pikiran me-masuki benakku. Karenanya cepat-cepat aku men-cegah Eko memutuskan
pembicaraan kami. " "Tunggu Mas, jangan diputus dulu. Kau me-neleponku ini pasti ada yang akan
kaukatakan kepadaku," kataku menumpahkan apa yang kupikirkan itu. "Ya, kan?"
" "Nanti aku akan meneleponmu lagi." Kentara sekali Eko ingin mengelak.
"Sekarang tenangkan dirimu dulu. Kalau bisa, beristirahatlah."
" Tiba-tiba aku merasa ketakutan. Eko past, akan
" mengatakan sesuatu yang buruk. yang tidak me"yenangkan. Perutku terasa tegang
to!"!"**' " "Aku tidak ingin ^^f^X Cepat dengan napas seperti mau putus. Kukepalkan
" telapak tanganku kual-kuat untuk memindahkan rasa tegang di perutku ini. "Lho
kenapa, Sayang?" " -Aku tidak ingin mendengar suaramu. Yang ku-inginkan adalah kau sendiri yang
datang menemui-ku seperti rencana kita seminggu yang lalu. Jadi datanglah pada
jam sebelas malam nanti dengan mcngetuk tiga kali kaca jcndelaku," sahutku
dengan suara yang tak ingin dibantah. 'Tetapi Sayang..."
" Tidak ada tetapi-tetapian. Janganlah jadi seorang pengecut. Kalau ada yang
melihatmu, aku siap mendampingimu untuk bersama-sama diusir dari sini. Aku siap
menghadapi apa pun yang paling buruk asalkan bersamamu." Karena aku tidak ingin
mendengar penolakannya, pembicaraan segera ku-hentikan dan telepon kumatikan.
" Makan malam hari itu merupakan makan yang paling sulit dibanding kesulitankesulitan makan bersama keluarga yang pemah kualami sebelum ini. Nasi yang masuk
ke mulutku seperti terbuat dari karet rasanya. Sulit sekali kutelan. Dan yang
lebih celaka lagi, aku harus bersikap wajar dan mams agar tidak menimbulkan
pertanyaan di hati ke uargaku. Terutama di hati Bapak dan Ibu. Harus pula
kuhindan perhatian Ibu yang berlebihan hanya gara-gara aku bersikap seperti
orang sakit. Oleh Karena itu betapa pun sulitnya menyelesaikan acara makan malam
itu, aku berusaha sedapat-dapatnya
" Tetapi kemudian aku merasa sangat lcca war da saat hatiku sedangIJ^J^J^ tiba
Tita mengabarkan benta gembira bahwa da sudah menenma surat panggilan untuk
segera mu la, bekerja. Maka perhatian mereka pun beralih kepada adikku itu. Dia
jadi diterima bekerja di bank di kota Solo. Jumlah gaji yang akan diterimanya
lumayan. Dan Tita mengatakan akan kos di sana sehingga Ibu menyarankan agar dia
kos di rumah kenalan Ibu yang menyewakan kamar-kamamya untuk karyawan dan gum.
Sungguh, berita gembira itu telah menyelamatkan diriku.
Begitulah, setelah mati-matian berusaha untuk tetap bertahan duduk bersama
mereka di ruang keluarga sesudah kami selesai makan, akhirnya aku mempunyai
kesempatan masuk kamar ketika Tita mengatakan akan tidur lebih cepat.
" "Aku juga..." kataku. Lalu dengan sikap wajar aku mengambil beberapa majalah
baru yang di-tumpuk di atas meja kecil. "Ada yang mau membaca ini tidak?"
" 'Tidak, Mbak." Tita yang menjawab. "Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan
besok. Jadi aku mau tidur cepat."
" "Ibu?" " "Ibu sudah membacanya. Bawalah!"
" Dengan perasaan lega. aku segera ruang keluarga. Begitu masuk ke kamar akiUjg
sung ke kamar mandi. Lalu kukenakan pivamakvK Lengkap, celananya yang panjang
h*tt, kaki dan bagian atas yang panjang lengannya
" pai ke pertengahan anrara siku dan pergelangan tangan. Pakaian itu kupakai
bukan hanya karena cuaca dingin saja tetapi karena aku merasa pakaian itu tampak
lebih sopan dibanding baju tidur yang kukenakan ketika Eko datang ke kamarku
waktu itu. " Ketegangan hatiku kuredam dengan membaca-baca majalah sambil menonton Yuni
Shara me-nyanyi di televisi. Meskipun apa yang kubaca tidak bisa kumengerti
artinya dan apa yang ku-tonton tidak kutangkap apa syair lagunya, tetapi
setidaknya itu bisa sedikit menenangkan perasaanku. Daripada hanya terus-terusan
memikirkan irama detak jantungku yang tak beraturan dan gerakan jarum jam
dinding yang rasanya seperti tidak ber-gerak itu.
" Pada jam sepuluh malam, telepon genggam ku-nyalakan. Dan pada jam setengah
sebelas lebih lima menit, teleponku berbunyi. Seperti yang sudah kuduga, itu
telepon dari Eko. " "Sayang, apakah tidak ada cara lain bagi kita untuk bertemu?" Ia langsung
mclontarkan per-tanyaannya begitu aku mengatakan "halo".
" "Cara lain seperti apa misalnya?" _ -Ajaklah Mbak Tita pergi jalan-jalan, aku
akan m nunggu di suatu tempat. Setelah itu biar Mbak
" fndirian d3n kila memakai ,-Ow past, mau membantu kita, Sayang."
" bClten,U ^ oiang. Aku tak ingin mcngambi, risiko hanya untuk perjumpaan
semacam Aku lebih suka mengambil risiko |jpal kali besarnya asalkan kita bisa
bcrdiTuK lerganggu oleh keberadaan orang lain. Dan SE yang seperti itu hanya ada
di dalam kamarku" kataku dengan ketegasan yang kuharap tidak akan bisa dibantah
lagi oleh Eko. "Ataukah kau merasa takut?"
" 'Tidak. Apalagi mendengar janji dan kesiapanmu untuk mendampingiku kalau kita
diusir." " "Kalau begitu kenapa kau masih saja mau men-cari-cari alasan untuk menghindari
rencana malam " nanti?" " "Aku takut berada berduaan denganmu di tempat yang sangat pribadi seperti
kamarmu itu, Sayang. Apalagi dalam suasana hati yang sedih seperti ini, otak
kita akan mudah sekali kehilangan kewarasannya."
" Aku mengerti apa maksud perkataannya itu. Tetapi aku juga mengerti bahwa
alasan seperti itu bukanlah alasan yang sebenamya. Aku yakin sekali, Eko merasa
hatinya berat sekali untuk menemuiku karena dia tidak ingin mengambil risiko
yang akan melibatkan perasaan kedua orangtuanya. Tetapi, aku tidak mau tahu itu.
Setidaknya untuk " malam ini saja. . " "Tetapi aku memakai piyama lengkap/ sahutku lekas-Iekas, pura-pura tidak tahu
alasan yang sebenamya itu. "Kita toh tidak akan berb.cara samba duduk di atas
tempat tidur. Lagi pula kita berdua bukan pemuda dan pcmudi yang masih remaja.
" OMk kita cukup warns untuk dipakai berpikir yang
" lebih panjang." .
" Dalam kondisi normal, jawaban seperti itu past, akan dijadikan bahan olok-olok
oleh Eko. Apa saja bisa ia jadikan bahan lelucon dan guyonan. Tetapi belakangan
ini dia dan juga aku tidak bisa bcrcanda lagi. Hati kami terlalu pahit untuk
bisa menguntai kalimat-kalimat yang menyegarkan seperti biasanya. "Aku
menunggumu, Mas. Jangan kaukecewakan
" aku!" Aku berkata lagi.
" "Baiklah kalau begitu." Eko mulai membulatkan tekadnya.
" "Jadi kau akan datang, kan?" Aku masih perlu pcnegasan lagi. "Ya."
" "Jam sebelas?"
" "Bagaimana kalau jam sebelas lebih seperempat. Siapa tahu ada yang masih belum
tidur." " "Setuju. Dan jangan lupa membawa senter Iho. Waktu itu kau tidak punya pikiran
untuk membawa barang penting itu, kan" Dan kau bercerita, hampir saja kau jatuh
tersandung akar pohon."
" "Pengalaman adalah gum. Jadi aku akan membawa senter, Sayang."
" Sesudah pembicaraan itu, setiap saat mataku mengawasi gerakan jarum jam
dindingku sehingga aku tahu pada jam sebelas lewat tiga menit salah
" billT8 ml men^0"ggong keras. Hatiku bulbar keras sambil berdoa agar bukan Eko
Vang digonggong. Ingin sekali aku keluar untuk
" membungkam muUit anjing im den
" bakan. Sung^h begitu cemasnya aku ^ , berpikir sesadis itu. ,*" Dlsa
" "Sssh Bagong, ini Pak Marno yang lewat. Jangan nbut - Kudengar suara keras
dari salah seorL penjaga malam yang tampaknya lebih ditujukan kepada orang-orang
di rumah kami. Kemudian gonggongan si Bagong pun terhenti.
" Dalam kesunyian yang tiba-tiba melingkupi sekitar rumah kami, telingaku
mendengar suara sepatu hot Pak Marno yang melangkahi jalan berbatu di sebelah
halaman samping. Lalu makin lama suara langkahnya semakin menjauh. Kamar Bapak
dan Ibu tidak jauh dari sana. Jadi mereka pasti lebih jelas mendengar apa yang
kudengar tadi sehingga kalau ada keinginan di hati mereka untuk melongok keluar,
aku yakin keinginan itu diurungkan.
" Merasa lega, kumatikan lampu besar di kamarku. Kini lampu berkap wama merah
muda di atas meja samping tempat tidurku menggantikannya. Cahaya-nya membuat
kamarku terasa hangat dan nyaman.
" Tepat jam sebelas lewat seperempat. kaca jendela kamarku diketuk pelan
sebanyak tiga kali. Meskipun dadaku berdebar-debar, tetapi bibirku tersenyum
sendirian. Aku kenal Eko. Dia selalu ccr-mat memperhitungkan waktu. Dia datang
tepat pada waktu yang telah dijanjikannya. Dia tahu cara membuatku tidak perlu
memperpanjang rasa tegang yang menyakitkan perutku.
" LekJ-.ekas tetapi dengan sanga, ha,,-ha, jendd kamarku kubuka. Eko langsung
meloncat masuk " dan aku juga langsung menu.upnya kembal.. T.nu-ta kirn a agar jangan sampai
ada yang .ersmgkap. Tmudian ku.emparkan .ubuhku ke dalam pelukan
" laki-laki iiu. " "Sayang. betapa rindunya aku kepadamu. Eko memclukku dengan erat sekali.
Telapak tangannya yang menyentuh lenganku terasa dingin kena udara malam
pcgunungan. " "Aku juga..." Aku mendesah. "Aku tak bisa lama-lama berpisah denganmu."
" Kudengar Eko menarik napas panjang s ehingga kuangkat kepalaku untuk menatap
wajahnya. Baru sekarang kulihat. wajah laki-laki itu tampak lebih kurus dan
pandangan matanya kelihatan sayu. Me-nya ksikan itu. rasa takut yang sejak tadi
menguasai diriku, muncul kembali. Tetapi kutahan perasaan itu kuat-kuat agar
jangan sampai membuatku meng-gigil. Aku tidak ingin Eko mengurungkan apa yang
akan dikaiakannya kepadaku. Semakin lama berada dalam keadaan yang tidak menentu
begini, semakin ketakutan seperti itu me nyiksa batinku. Seandainya aku kena
penyakit bisul, ingin sekali aku memecah-kannya agar denyut-denyut yang
menyakitkan itu segera berakhir. Memang akan sangat nyeri rasanya tetap, akan
lebih jelas bagiku apa yang harus d.lakukan untuk mengatasinya. Dibuang nanahnya
obat atau ditutup plester yang steril,
" mmumT t"*n "Sudah
" minuman untukmu. " ICuambil termos kecil yang biasa kuh dalam perjalanan-perjalananku. Termos
taL1 dengan cokelat susu panas dan sudah kubuat 2 iadi dengan diam-diam, lalu
kubawa ke Z kamarku. Sekarang aku menuangkannya ke dalam wiup termos yang juga
berfungsi sebagai cangkir itu.
" "Minumlah untuk menghangatkan badanmu" kataku sambil mengulurkan cangkir itu
ke dcpan " Eko. " Pelan-pelan Eko menghirup cokelat susu yang panas itu dengan matanya yang
menerawang ke kejauhan, entah ke mana itu aku tak tahu.
" "Ada yang akan kaukatakan kepadaku, Mas?" Aku bertanya setelah melihat isi
cangkir itu ber-kurang separonya.
" "Ya." " "Katakanlah, jangan ragu." Aku berkata dengan suara tegar. Padahal seluruh
tubuhku mulai lagi dikuasai oleh ketakutan yang luar biasa. Aku yakin sekali,
apa yang akan dikatakannya itu tidak enak didengar. Bahkan akan menyakitkan.
" Eko meletakkan cangkir berisi cokelat susu itu. kemudian memandang ke arahku.
Matanya lurus " menembus mataku. " "Sayang, lusa aku akan berangkat dan me-ninggalkan tempat ini untuk
selamanya..." Akhirnya bisul itu meletus.
" Aku terpana. Kutatap wajahnya tanpa berked.p "A... apa?" bisikku dengan dada
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyans meledak. "Aku akan pergi dari Tawangmangu. Oan...
" Sebelum pcrkataan Eko selesai. aku melemparkan tubuhku ke dalam pelukannya.
Dan d. atas pang-kuannya. kulepaskan tangisku di dadanya.
" "Tidak. kau tidak boleh pergi. Jangan tinggalkan aku..." bisikku sambil terus
menangis. " Eko mcnarik napas panjang kemudian mengecupi pipiku yang basah. Rambutku yang
panjang dielusi-nya pelan-pelan dengan gerakan lembut.
" "Kalau menuruti hatiku. sebctulnya aku juga tidak ingin pergi. Dan kalaupun
harus pergi, ingin sekali aku membawamu serta. Tetapi. itu tidak mungkin..."
laki-laki itu menjawab perkataanku dengan suara parau. "Sangat tidak mungkin
kendati hatiku ada di Tawangmangu ini."
" "Kalau begitu, tetap tinggallah di Tawangmangu!" Dengan keras kepala aku
mencetuskan apa yang kuinginkan.
" "Sudah kukatakan tadi, itu juga tidak mungkin. Sayang. Pak Suryo telah meminta
Bapak agar membujukku pergi secepatnya dari Tawangmangu. Untuk tidak
menyusahkanku, beliau memberiku semacam pesangon dengan sejumlah uang yang
katanya untuk menambahi beli tanah di tempat yang jauh dari sini. Tetapi, uang
itu kutolak." " m.r kCI5 l!dak 3dil kePada!">'' Aku mulai marah. Mereka memakai kekuasaan dan
kekuatan " TlZuT^ , memakai <>!"Stuamu untuk mem.sahkan kita berdua. Mereka juga sangat
picik " ,2 dikUaSai feSaHsw
" yang konyol seperti itu."
" "Sssh... kendalikan dirimu."
" Aku menggigit bibirku agar tidak m,i . kemarabanku dan ,a,u M bisa d.dengar
orang.... Melihat ^gj T,> memelukku, mataku menjadi basah. Dan akhimva ia juga
mencium bibirku. y " Kubalas ciuman Eko dengan memeluk lehemva Kutekan dadaku ke atas bidang
dadanya yane keras berotot itu. Rasanya, aku ingin sekali melebur di dalam
dirinya. Dengan penuh kasih tanganku mulai mengelusinya. Kupermainkan rambut di
kuduknya. Kuelusi bahunya yang bidang. Kutelusuri kulit punggung di bawah
lehemya itu dengan me-nelusupkan tanganku ke balik pakaiannya.
" Eko mengeluh pelan. Sambil terns menciumiku. tangan laki-laki itu juga mulai
mengelusi punggung-ku dan menyingkirkan rambut panjangku ke depan. Kemudian
tangannya yang penuh perasaan itu ber-gerak menuju ke depan, melepaskan kancing
baju piyamaku. Ditatapnya sejenak bagian atas dadaku yang menyembul dari pakaian
dalamku. Kemudian dengan lembut dan mesra, ia menundukkan wajahnya dan mulai
menciumi leher dan bagian atas dadaku itu.
" Aku mulai gemetar. Tanganku juga ikut bergetar. Tetapi meskipun demikian,
jemariku tak juga mau berhenti mengelusi punggung dan bahunya yang bidang.
Ketika kurasakan kecupan Eko berpmdah ke bagian leher tepat di bawah daguku^a u
mu a menggelinjang. Kuburai rambutnya. Kuttta*-tubuhku pada kekenyalan tubuhnya
^ kan Eko juga gemetar. Tetapi kemudian dia mulai
" sadar apa bahayanya jika adegan sali"^umb" itu berlanjut. Elusan tangannya
mula. berhenti. " Xu cukup, Sayang. Kita jangan jadi g,Ia karena akan berpisah..." Suara Eko
terdengar mcnggeietar dan napasnya memburu. Lekaslah turun dari pangkuanku. Aku
bisa tidak mampu lagi menahan diri!"
" Tetapi Eko telah keliru mengucapkan kata berpisah di telingaku. Sebab aku
justru jadi disadarkan bahwa pcrjumpaan-perjumpaanku dengannya tidak akan pemah
lagi terjadi. Dan barangkali akan tetap demikian sampai nanti kudengar dia telah
menemukan gadis lain sebagai penggantiku. Seperti, apa yang dilakukan Mas Dewo
ketika merasa lebih rendah dibanding diriku dan lalu membiarkan dirinya dirayu
gadis yang dianggap setara dengan dirinya.
" Tidak. Aku tidak mau itu terjadi pada diri Eko. Aku benar-benar mencintainya
dengan cinta yang jauh lebih matang dan jauh lebih mendalam tanpa melihat siapa
dan apa latar belakangnya. Begitu pun dia terhadapku. Dia mencintaiku tanpa
peduli apa latar belakangku atau apa yang melekat padaku. Dan karena itulah aku
tidak akan membiarkan dia perg, beg,tu saja dari kehidupanku. Dia milikku. Di,
kekasihtai. Dia segala-galanya bagiku. Aku taU bisa melepaskannya pergi dari
sisiku. " -ntXs^ T ^ Pan8kUanmUr AkU Jayang, kasihanilah aku. Jangan menantang
" ,.Aku justru akan menantang bahaya!" Suaraki. tetap tegas dan mantap. "Jeng
Wulan!" " "Sssh... jangan banyak bicara/' Sesaat aku ter-ingat percakapanku dengan Tita
dan apa yang kukatakan pada adtkku itu beberapa hari yang lalu, tapi saat ini
aku sama sekali tidak ingin prinsip hidupku menghalangi langkahku. Apalah
artinya prinsip, kalau kekasihku akan pergi dan mungkin kami tidak akan bertemu
kembali" Ku-mtup bibimya yang akan mengatakan sesuatu itu dengan ciuman panjang
sambil tanganku meraba-raba kancing kemejanya. Kemudian tanganku ku-biarkan
meluncur di tonjolan dadanya yang keras berotot dan yang temyata juga agak
berbulu itu. Kupermainkan bulu-bulu lembut itu sampai akhir-nya Eko mengerang.
"Jangan, Sayang. Aku bisa gelap mata." "Aku tidak peduli, Mas. Aku milikmu.
Perlaku-kan diriku, apa pun yang kauinginkan."
" "Ya Tuhan, kau sungguh seorang penggoda! Eko mengeluh. "Tolonglah Sayang,
jangan mem-buat persoalan kita nanti menjadi semakin rumit. "Sudah kukatakan,
aku tidak peduli apa pun 'Tidakkah kausadari apa artinya ini" Aku akan pergi
dengan penuh rasa berdosa Dan kaujd k bisa member! leperawananmu kepada calon
suam. mu di malam pengantin kelak...
" "Tidak pernah ada ^^X^^
" mm l,in. siapa p. fJ^S^TSS aku sudah akan menutup buku ktn.u ,
" Aku tidak akan menikah dengan siapa pun. Tidak akan. Sekali lagi. tidak akan!"
"Jeng Wulan..."
" Kuhentikan bicaranya dengan mencium bibimya lagi dan mengaktifkan kembali
jari-jemanku di pemiukaan dadanya yang berbulu dan tampaknya termasuk bagian
tubuhnya yang peka itu. Maka kudengar Eko mengerang lembut lagi. Pada saat
itulah kupakai kelemahannya itu untuk mengikuti alur pikirku.
" "Beri aku kenangan manis, Mas Eko..." bisikku sambil menciumi pipi di dekat
telinganya, sementara air mataku deras mengaliri pipiku sehingga basah kuyup.
"Aku sangat mencintaimu. Hanya padamu aku ingin memberikan segaia-galanya. Dan
biarkan aku merasakan keintiman di antara kita sebab aku tidak tahu apakah...
apakah... kita bisa bertemu lagi/'
" Maka lepas kendalilah otak waras kami dikuasai gelombang pasang cinta kami
yang keliru mengem-pas ke atas karang dan bukannya memecah ke pama, yang landai.
Malam itu kuberikan segalahiWnavdValaS tCmpal tidUrku yan^ me"Jadl sak, hIangnya keperawanan dan keperjakaan kami.
" aku t dak tahu apa yang ada di dalam hati Eko ^WwTh^! ^ dUa ,i dia hanya
" S ircn,r st "
" yang menjadi peganganku, la mengatakan akan ;eninggalkan Tawangmangu lusa
menjelang siane hari. Lalu jendela itu kututup kembali dengan air mata yang
mulai mengahr lagi. Aku tidak pemah menyangka bahwa cinta bisa membuatku jadi
ce-ngeng begini. Padahal ketika Mas Dewo meninggal-Ican diriku, aku hanya
menangis sekali saja. " Sehari berikutnya aku terus-menerus berpikir dan berpikir dan tenggelam dalam
duniaku sendiri. Semalam aku sudah menempuh suatu keputusa n besar, memberikan
diriku seutuhnya kepada seorang laki-laki. Maka di ujung dan di akhir
pemikiranku, aku merasa harus melanjutkan keputusanku itu. Tidak ada kamus
setengah-setengah dalam diriku. Tidak ada sikap pengecut dalam batinku. Bapak
dan Ibu selalu mendidikku untuk memiliki daya juang. Jadi kenapa tidak kulakukan
itu justru di saat paling kritis dalam pilihan hidupku" Meski kutahu bukan
seperti itu cara yang diharapkan oleh kedua orangtuaku dalam menunaikan daya
juang itu, aku tetap pada pendiriank u untuk melanjutkan apa yang sudah kumulai
semalam . Sebab, aku merasa itulah jalan yang harus kutempuh. Dan itu pulalah
jalan yang kurasa paling benar yang bi sa kutempuh.
" Pada malam harinya, kuambil koperku dan atas lemari. Harta milikku yang
kuanggap paling ber-harga selain pakaian, seperti buku tabungan telepon genggam,
perhiasan peninggalan eyangku dan jufca Vang merupakan hadiah-hadiah ulang
tahunki ku-masukkan ke dalan, koper. Sebagian besar kutmggal
" At.. nHalc ingin dianggap memakai jS^EiS Hidup. Sebab
" rrnrTcncnma apa pun kehidupar.yang d.ben-kan oleh Eko. Ijazah dan beberapa
bukuku yang pcnring tidak kulupakan.
" Kutunggu waktu yang tepat. ya.tu sesudah sa-rapan dan sebelum Bapak berangkat
ke kantor tempat ia mengendalikan perkebunannya. Maka begitu Bapak mengambil las
kerjanya, aku berlari masuk ke kamarku. Dengan gerak cepat kutukar sandal
jepitku dengan sepatu lalu segera koperku kuhela keluar.
" "Bapak..." kupanggil laki-laki yang biasanya begitu penuh pengertian tetapi
yang belakangan ini membuatku kecewa itu.
" Bapak menoleh dan terkejut melihatku siap pergi dengan sebuah koper di dekat
kakiku. " "Kau mau pergi ke mana, Wulan?" Ia bertanya dengan heran.
" Memang bukan kebiasaanku pergi jauh tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya.
Apalagi dengan koper sebesar itu. Biasanya kalau aku mau pergi menginap di suatu
tempat, beberapa hari sebelumnya aku sudah mengatakannya. Dan pasti bukan cuma
seka,, saja tetapi berulang-ulang aku akan membicarakannya.
" barrel ma,U kC mana- Nduk?" ,a"ya yang
" X van^ Th " W3jahnya ,amP^ P-a,-*pa yang akan kaulakukan^
" Belum sempat aku menjawab, dari luar kudengar
" suara kulo nuwun . Kami semua menoleh ke ar3h asal suara. Di ambang pimu lcras
Ek0 berdin dengan s.kap hormat namun mem.Eki ^ percaya dm yang kuat. Ia
mengenakan baj yang bagus. Celana cokelat tua dari bahan yanE halus dan kemeja
lengan panjang katun kotak kotak kecil lembut berwama krem yang sangat serasi.
Sepatunya juga berwama cokelat. Rambutnya yang lebat dan panjangnya sampai ke
kuduk itu disisir rapi. Dan tubuhnya yang tinggi, tegap, dan gagah itu agak
dibungkukkan menghadap Bapak dan Ibu. Dia sungguh-sungguh tampak sangat menarik. Tahu membawa diri namun berwibawa.
" "Kulo nuwun..." Dia memberi salam lagi.
" "Monggo..." Tita yang bam keluar dari kamar-nya menjawab salam itu. Sebab
Bapak dan Ibu hanya berdiri mematung dengan lidah kelu. Aku tahu mereka berdua
tidak menyangka akan melihat pemandangan yang ada di hadapannya itu.
" "Saya datang untuk pamitan," Eko berkata lagi. "Dan juga untuk minta maaf
telah menyebabkan kekacauan di dalam keluarga ini."
" Bapak menatapku. Matanya menyala. Suatu lin-tasan pikiran menguasai dirinya.
" "Kau akan pergi bersamanya?" tanyanya dengan suara menggelcdek. "Kalian berdua
sudah merencanakannya!"
" 'Tidak ada rencana seperti itu di antara kami berdua. Sebab baru semalam Wulan
memutuskan sendiri untuk meminta Eko membawa Wulan pergi bersamanya. Bahkan
tidak selintas pun dugaan d.
" kcpala Wulan bahwa dia akan beran. pamit ke-man " Dengan penuh keberanian aku
mengatakan kenyataan yang sebenamya. Tetapi air mataku me-netes. Sedih sekali
hatiku kenapa harus dengan cara begini kutinggalkan rumah orangtuaku ini.
"Selama sehari-semalam kemarin Wulan terus berpikir dan berpikir sampai
menemukan suatu ja-waban. Bahwa kini sudah saatnya bagi Wulan untuk mengambil
suatu keputusan dan pilihan lang-kah kehidupan demi kebahagiaan Wulan sendiri.
Dan untuk itu Wulan akan mempertanggungjawab-kan apa pun risikonya."
" Kemudian sebelum orang lain mampu berkata apa pun, aku menoleh ke arah Eko dan
menatap matanya yang tampak basah.
" "Izinkan aku ikut bersamamu," kataku kepadanya. "Aku sudah mcmutuskan pilihan
jalan hidup ini sesudah berpikir terus-menerus selama satu hari satu malam."
" Eko menjawab permintaanku dengan memuji asma Tuhan sambil menatap ke atas...
Air mala mengahr ke atas pipinya.
" "Saya yakin ini adalah atas perkenan-Nya..."
" bukanT 'a bCrbisik' "Scbab ^ datan* kemari Tetan T Tk Pamit kepada No-g. ini
saja. d2 I\dengan lanC3nS "emberanikan S SuZ'nT rrta BaPak ^n Ibu
" sambar. Dan sambil berkata seperti itu vn , uhela ke dekat Eko. Kin, kami be
bSsian- "Bapak .bu, ampuni,ah Wutn 1, ini Wulan tempuh bukan sebagai ben.uk
pemba* kangan atau penentangan terhadap Bapak dan Ibu Tetapi inilah suatu
keputusan untuk berjuanR men capai kebahagiaan. Sebab hidup ini cuma satu kali.
Wulan tidak ingin melepaskan kesempatan yang ada hanya untuk masa depan yang
masih buram di tempat ini."
" "Kau tidak boleh pergi!" Ibu berteriak.
" "Maaf Bu, Wulan bukan anak kecil lagi. U mur Wulan sudah hampir dua puluh enam
tahun..." " "Biarkan dia pergi, Bu!" Bapak memotong perkataanku. 'Tetapi ingat, jangan
pemah kembali lagi ke sini."
" "Bapak!" Tita menyela. "Bapak, jangan berkata seperti itu. Mbak Wulan adalah
darah daging kita semua. Dia berhak datang kapan saja dia mau."
" "Jangan ikut campur. Tita!" Suara Bapak meng-geledek.
" "Maaflcanlah kami..." Hampir bersamaan aku dan Eko berkata. Bahkan laki-laki
itu mengucap-kannya sambil menghela lenganku dan mengajakku untuk bersimpuh di
hadapan Bapak dan Ibu.Dan kemudian dia melanjutkan perkataannya itu. Suatu saat
kami akan datang lagi untuk mohon maa. atas apa yang terjadi hari ini. mesk.
Bapak dan Ibu Suryo akan mengusir kedatangan kam....
" Usai berkata seperti iru, Eko langsung nunv bimbingku dan mengangka. koperku.
Kemudian " diajaknya aku masuk ke dalam sebuah mobil boks yang diparkir di depan pintu
pagar halaman " "Mobil siapa?" Suaraku gemetar. Sesudah ber-hasil menunjukkan sikap tcgar,
tegas. dan berani, kekuatanku mulai habis.
" "Mobilku. Aku membelinya seminggu yang lalu untuk kupakai pindah dan untuk
memulai usahaku di tempat lain. Tidak kusangka. temyata hari ini besar sekali
gunanya. Sebab aku jadi bisa membawa calon istriku ikut bersamaku."
" Aku orang Timur. Aku orang Jawa. Betapa pun beraninya dan betapa pun mantapnya
keputusan yang kuambil, tetapi menikah tanpa restu orangtua adalah sesuatu yang
sangat berat bagiku. Air mataku kubiarkan mengalir sementara Eko dengan arif-nya
membiarkan aku menangis dengan menaruh perhatiannya hanya ke jalan raya.
" Di tikungan jalan, satu kilometer sesudah mobil kami berjalan. aku melihat Pak
Kirman dan istrinya bcrdin di bawah pohon. Begitu melihat mobil Eko mereka
melambai-lambaikan tangannya Orangtuamu ada di sana," bisikku.
" >3fiSE:in8in r* s"-m'
" "S&XS'iSj",ku -k,
" Pasti mereka terkejutn
" ^mZ^S lerkejut me,ihalku ^
" *nin dari mobil 1 I"83" lalu
" mobil dan kupeluk keduanya gantiherganti. Bahkan Mbok Kirman kucinm J itu
entah air mata s.apa y^X^ iplku. Sebab rupanya tanpa aku dan dia sudah tahu apa
yang terjad, dan dia menanris
" karenanya. " "Restui dan doakan kami berdua ya, Mbok." pintaku dengan suara memohon.
"Restui Wulan ya, Pak Man" Jangan memperlakukan kami seperti Bapak dan Ibu
memperlakukan kami."
" "Itu pasti. Tetapi jangan langkahi kami," Pak Kirman menatapku dengan penuh
rasa kasih. "Kabari kami kapan harinya. Den Wulan harus ingat itu."
" "Masa calon mertua memanggilku 'Den'!" Aku tertawa di antara deraian air
mataku. " "Bapak dan Simbok tidak perlu merasa khawatir. Kami yakin, jalan yang kami
tempuh ini benar," Eko menyambung. "Kami saling mencintai dan ingin membentuk
keluarga yang bahagia seperti keluarga Bapak dan Simbok selama ini. Jadi seperti
apa yang Jeng Wulan pinta tadi, doakan dan restuilah kami."
" Pak Kirman mulai meneteskan air matanya.
" 'Tanpa diminta pun kami akan mendoakan dan merestui kalian." Dia berkata
sambil memeluk kami berdua ganti-berganti. Aku berharap. mudah-mudah tidak ada
orang lewat yang mempcrhatikan adegan di bawah pohon ini.
" Setelah Mbok Kirman juga memeluk dan mencium kami, perempuan itu mengulurkan
sebuah " bungkusan , " "Simbok membuat makanan un.uk bokal d. jalan.
" Ada juadah dengan tempe bacemny*. Ada gethuk ubf Ada Pisang rebus yang baru
saja matang. Ada Ziping singkong. Makanan desa tetap. bergiz,." Mbok Kirman
tersenyum mesk.pun matanya mas.h
" basah. "Bawalah."
" Apa yang dilakukan oleh Pak Kirman dan istn-nya itu seperti seteguk air di
saat orang kehausan di padang pasir. Hatiku merasa lebih mantap untuk te tap ada
di sisi Eko. Namun begitu, aku masih ingin men getahui ke mana aku akan diajak
pergi oleh laki-laki y ang kucintai itu.
" "Kita akan pergi ke mana, Mas?" tanyaku setelah kami berada di jalan raya
kembali. " "Ke Solo. Ke rumah paklikku, adik Bapak yang punya usaha batik." Eko menjawab
tanpa menoleh. Aku tahu. dia tidak ingin aku melihat air matanya. "Aku ingin
menitipkanmu di sana." "Lalu?"
" "Apa pun yang terjadi kemarin malam kita belum menjadi suami-istri, Sayang.
Kita tidak bisa tinggal di satu tempat bersama-sama Aku harus menghormati itu.
Kemuning Karya Maria A Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jadi begitu kau kuserahkan kepada mereka, aku akan pergi dulu selama beberapa
waktu untuk melihat dan mengurus tempat di mana kita nanti akan memulai hidup
kita." "Di mana itu, Mas?"
" "Di daerah Batu, Malang. Aku telah membeli tanah d. sana melalui bantuan Seno
dan Ragil. ^ayang aku ingin menjadi petani apel. Dan kau
" ini , Ja dnk0ta Ma,an* ka,au ^u memang 'ngin mengamalkan ilmumu "
" ,Aku akan menjadi dosen. Dan di suatu w--i, nanti, akan melanjutkan stud.ku
kalau Zse2r " 'T T r.Man kau,akukan' *,
" Asalkan aku boleh tetap mencintaimu dan kau tetap mencintaiku." KdU
" * Untuk pertama kalinya sejak beberapa hari ini aku bisa tersenyum. Hatiku
mulai terasa agak ringan. Dan perjalanan menuju ke kota Solo pun terasa lebih
lancar. Begitu juga perkenalanku dengan paman dan bibi Eko. Seperti Pak Kirman
dan istrinya, mereka berdua juga cepat memaklumi apa yang kami lakukan setelah
semua yang terjadi kami ceritakan kepada mereka dengan terus terang. Rasanya,
semakin bertambah saja orang yang berada di pihak kami.
" Tetapi jam lima sore, sesaat sesudah aku selesai mandi tiba-tiba telepon
genggamku berbunyi. Ku-lihat, telepon itu datang dari rumah. Dadaku yang sudah
tidak begitu terasa sesak jadi mulai berdebar-debar kembali. Cepat-cepat aku
lari keluar dari kamar yang disediakan untukku, ke tempat Eko. Laki-laki itu
diberi tempat dekat ruang makan.
" "Mas, ada telepon dari rumah. Apakah harus kuterima?"
" "Sesudah melakukan suatu keputusan yang berani, apakah kau masih merasa takut
hanya karena ditelepon?"
" Eko benar. Jadi telepon itu kutenma.
" "Halo...?"
" "Mbak, pulanglah!" Itu suara Tita. "Pulang" Kenapa?" Aku merasa bingung.
" "Selama seharian ini Bapak. Ibu. aku dan Mas Danu banyak berdiskusi tentang
dinmu dan Eko. Bahkan Mas Danu telah pula member, argumen-argumen yang secara
objektif menempatkan kalian berdua di tempat yang semestinya. Aku juga telah
menceritakan semua hal yang pernah kaucentakan kepadaku dari awal sampai
peristiwa kau dan Eko sama-sama sadar bahwa temyata kalian berdua saling
mencintai. Kemudian siang tadi mereka memanggil Pak dan Mbok Kirman untuk
menanyakan bermacam hal termasuk apa saja rencana kalian. Mereka lalu
menceritakan segala-galanya, termasuk rencana kalian berdua untuk menikah dalam
waktu dekat ini dan..."
" "Biar saja, Ta. Kenapa aku harus puteng?" Aku memotong perkataan Tita yang
belum selesai. " "Mbak, Bapak dan Ibu mulai mencapai pemikiran bahwa kalian berdua tidak bisa
disalahkan. Bahkan setelah kemarahan mereka mereda dan mampu berpikir lebih
jemih, mereka mulai melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki Eko. Maka akhirnya
Mbak, mereka ingin kalian berdua seeera pulang."
" 'Tidak, Ta. Keputusanku sudah bulat." 'Tetapi Mbak, Bapak tidak suka melihat
anak perempuannya menikah dengan cara seperti rencana
" ma a im T Apilagi * lCmpal ,ain' ^ di
" ZTJT "ngan cara yang tak Je,as P",a-"
" kata^n tI I ^ Ta?" Ak" memolonS W perya^ban , "\ * *** ^P,.yai apa yang baru
saja kudengar itu. "Apakah maksudmu
" papak dan Ibu telah rela melihatku menikah dengan
" "Tadi Bapak dan Ibu mengatakan bahwa men* lak akan agt menghalang, percintaan^
" ^.r^J"^ T** * ^dapantm;
" semua. Pak dan Mbok Kirman juga mendenga kata-kata Bapak itu. jad, Mbak Wulan,
pulanalah Kawin Ian itu tidak menyenangkan..." Kudengar Tita tertawa. Tetapi
juga kudengar dia terisak karena gembira. Lalu pembicaraan, kami putuskan.
" "Berita apa yang baru saja kaudengar?" Eko bertanya ketika melihatku termangumangu.
" "Tita meneleponku supaya kita segera pulang kembali ke Tawangmangu."
" "Bagaimana menurut pendapatmu, Sayang" Kita kembali ke sana atau bagaimana?"
Eko memancing pendapatku.
" "Man kita bicarakan bersama. Sebab yang penting dalam hal ini bukan hanya
pendapatku atau pendapatmu saja, tapi apa yang sebaiknya kita lakukan berdua
setelah mengetahui perkembangan baru yang dikatakan oleh Tita tadi."
" Setelah aku mendiskusikannya dengan Eko, akhimya kami berdua memutuskan untuk
pulang kembali ke Tawangmangu esok paginya. Benta itu kukabarkan kepada Tita
melalui telepon genggam-nya. Mendengar itu, Tita meneriakkan kegemb.raan-nya.
" "Kalian berdua telah memutuskan sesuatu yang benar, Mbak. Biarkan aku bicara
dengan Mas tKO "ntuk mengatakan hal yang sama!"
" Demikianlah dengan persetujuan dan dorongan paman dan bibi Eko, kami kcmbal.
to^ Tawan mangu begitu hari mulai bergant.. T.dak banyak yang kami bicarakan
scpanjang perja anan. Hat. dan mata kami berdualah yang banyak berb.cara dengan
saling melemparkan pandangan mesra dan
" penuh rasa cinta. " Tiba di rumah, aku dan Eko langsung mencium tangan Bapak dan Ibu dengan
berlinang air mata. Kemudian mereka berdua mengajak aku dan Eko masuk ke ruang
kerja Bapak yang pintunya langsung ditutup.
" "Bapak ingin tahu, apa konkretnya rencanamu?" Begitu kami sudah duduk, begitu
Bapak melontar-kan pertanyaan kepadaku. "Apa konkretnya rencana kita?"
Kulemparkan pertanyaan itu kepada Eko sebab tak sedikit pun aku menyangka Bapak
akan secepat itu menanyakannya. Aku dan Eko belum sempat membicarakan hal-hal
yang menyangkut masa depan kami sesudah terjadinya perkembangan baru ini.
Menurut rencana semula, kami akan segera menikah dengan cara sederhana sekali di
rumah paman dan bibi Eko. Hanya orangtua Eko dan sanak keluarganya saja yang
akan menyaksikannya. Tetap. sekarang dengan perkembangan baru ini, rencana
tersebut mulai berantakan. Jadi kulemparkan pertanyaan Bapak tadi kepada Eko
" '.u^mX ^ ingln J3Waban
" , "Pertanyaan itu kutujukan kepadamu, Wulan!"
" Begitu ia berkata dengan suara tegas. Jadi , terpaksa harus menjawabnya. Jaai
aku " Terus terang Wulan belum memikirkannya -sahutku dengan perasaan terpaksa.
"Tetapi kalau menurut rencana semula, kami berdua akan segera menikah dalam
waktu dekat ini..." " enyetujui pemikahan kami' Bapak berpandangan dengan Ibu beberapa saat
" lamanya sebelum akhimya menjawab pertanyaanku
" '^Mengenai pemikahan, sebaiknya kaliah berdua
" jangan terlalu terburu-buru. Kato ma*
" Dan kau, Wulan, kalau Bapak t.dak salah dengar.
" kau pemah mengucapkan keinginan untuk me-lanju.kan studimu ke jenjang yang
lebih tingg, " a%a. itu benar. Tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Wulan juga tidak mungkin
melakukannya sekarang. Sebab untuk mengambil S-3, Wulan ingin lebih dulu
mempraktekkan ilmu yang sudah dicapai ini. Jadi sebelum hal itu masuk ke dalam
rencana hidup Wulan, Wulan akan menikah dulu..."
" "Kau masih terlalu muda, Wulan..." Ibu menyela. Tetapi seperti tadi. aku ganti
menyela pembicaraan orang.
" "Umur dua puluh lima hampir dua puluh enam tahun sudah bukan gadis muda belia
lagi, Ibu." " "Ya. Tetapi tidak inginkah kau studi di luar negeri?" Bapak ganti menyela.
"Bapak mempunyai brosur-brosur mengenai itu. Ada yang di Amerika, Eropa, dan
Australia. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di sana."
" "Wulan akan mempelajari dan memperti mbang-kannya besok. Sekarang. Izinkanlah
kami berdu a benstirahat. Wulan letih sekali..." Sekarang aku bukan hanya
memenggal perkataan orangtuaku saja, tetapi j uga menghentikannya.
" J5t ^ ,bu,teipaksa meWgukkan kepala ZZZT! Wbenar tam^ 'etih lahir la kam k k,
remUan ilu P!" bubar,
" Aku mempunyai firasat bahwa Bapak dan Ibu
" maSih mengulur waktu untuk memberi izin p,da rencana permkahan lata, Mas!"
Beghu kfi kepadanya. " -Aku mempunyai firasat yang sama. Dan Mbak Tita terlalu gembira untuk bisa
menangkan ana yang telah kita tangkap ini."
" "Kelihatannya begitu. Jadi kita harus bagaimana?"
" "Jangan-jangan rencana yang paling awallah yang harus kita tempuh!" "Rencana
apa?" " "Aku akan meninggalkan Tawangmangu tanpa
" dirimu..." " "Tidak." Lekas-lekas perkataan Eko kupotong. "Ke mana pun kau pergi, aku akan
ikut bersama-mu. Kecuali kalau aku mati!"
" "Jeng Wulan!"
" "Aku memang tidak bisa hidup tanpa dirimu.
" Mas." " "Begitu pun aku, kau tahu itu. Tetapi kematian bukanlah penyelesaian yang
baik. Sayang, jangan membuat hatiku jadi perih begini..."
" "Lalu apa yang harus kulakukan. Aku ingin sekali kau malam ini datang lagi ke
sini... " 'Tidak, Sayang. Kalau sampai to^^J^ semuanya. Penghargaan yang memang sudah
udak seberapa atas diriku ini akan hancur tak tersisa
" lagi!" " "Jadi...?"
" "Bersabarlah. Kita lam waktu satu minggu ini.
" tunggu perkembangannya daTetapi selama satu minggu ini. pemb.caraan ke arah
pLkahanku dengan Eko tak pernah muncul di tengafa keluarga kami. Bahkan
_n.esk.pun Mas Danu dan Tita telah menyindir-ny.nd.r sekahpun, Bapak dan Ibu
tetap lidak bereaks. apa pun. Dan kalaupun Eko sering datang mcnjemputku untuk
sekadar pergi bersama ke tempat yang sep., jauh dari orang lain, sikap kedua
orangtuaku, terutama Bapak. tidak tampak gembira.
" Sungguh beruntung setelah semua orang di rumah tahu mengenai hubunganku dengan
Eko mereka semua mendukungku dan menyetujui hubunganku seratus persen, kecuali
orangtuaku tentu saja. Dan hikmah itulah yang kudapatkan sore itu. Yu Rapiah
menyelipkan selembar kertas terlipat ke tanganku waktu aku sedang mencari
minuman ke dapur. " "Baca di kamar. Den." Dia berbisik pelan di sisj telingaku.
" Temyata surat itu dari Mbok Kirman. Dengan terburu-buru tanpa sepengetahuan
Eko, dia mengatakan bahwa Eko akan meninggalkan Tawangmangu petang ini. Sebab
katanya, dia semakin sadar bahwa kedua orangtuaku belum bisa me-nenmanya sebagai
menantu. Dan dia tidak ingin 7* keluargaku dengan persoalan yang
nad^ZTleSa'annya ini' Lalu Ek, juga titip nukkTL ?"h" "'^ meny-PaikanJpe8s anny
mln^^r Sdalu ^n " melihatku hip berbran T PU" S3mpai kclak
" "- - A^tsrsiain
" Selesai membaca sural itu, aku \*nn Jngambil koper dan seperti semin^u
kumasukkan harta milikku yang paling berharga ke dalam kotak itu. Han sudah
hampir petan, Aloi tidak ingin ditinggal Eko.
" Dan juga persis seperti seminggu yang lalu. aku juga keluar membawa kope,r
jalanku dan ter-hadang oleh kedua orangtuaku. Di situ juga ada Mas Danu dan Tita
yang sedang menonton televisi.
" "Mau ke mana?" tanya Bapak.
" "Mau ke rumah Eko. Mudah-mudahan Wulan masih bisa mengejarnya." Aku menjawab
pasti. Berbeda dengan seminggu yang lalu, tidak ada lagi air mataku. "Wulan
mendapat berita dari seseorang yang bisa dipercaya bahwa petang ini dia akan
meninggalkan Tawangmangu dengan diam-diam demi keutuhan keluarga ini. Tetapi dia
tidak tahu, kepergiannya tanpa Wulan justru akan meng-hancurkan keluarga ini
lebih cepat daripada yang dia duga. Sebab seandainya Wulan tidak bisa me-ngejar
kepergiannya, Wulan tetap akan pergi juga dari rumah ini entah ke mana pun kaki
im akan membawa Wulan pergi." .
" Lalu tanpa mendengar bantahan apa pun dan mereka, aku langsung pergi ke rumah
Eka Ma Danu mengambil inisiatif untuk nW^Si Dia sungguh seorang kakak yang
sangat penuh " perhatian. ketika me.
" "Pergilah bersama Eko. katanya nurunkan aku di depan rumah Pak Mrma
" Eko masih di sana sehingga hatiku menjad lega. "Asalkan kalian berdua tidak
melakukan hal yang gila-gilaan, aku akan mencoba melenturkan hati Bapak.
Percayakan masalah ini kepadaku!"
" Tanpa banyak bicara, akhirnya aku pamit lagi kcpada Mas Danu, kepada Pak dan
Mbok Kirman, dan minia doa reslu mereka. Tetapi ketika mobil kami bam sampai di
Karanganyar, Tita menelepon kami lagi.
" "Segala sesuatunya sudah beres, Mbak. Mas Danu telah berhasil meyakinkan Bapak
dan Ibu bahwa tekad kalian berdua untuk menyatukan cinta kasih kalian ke dalam
wadah perkawinan tak bisa ditentang oleh siapa pun. Pulanglah kembali ke
Tawangmangu." " Eko menanggapi beriia itu dengan tenang sambil tersenyum kecut.
" "Kalau ternyaia yang dikatakan oleh Mbak Tita tidak benar, kita masih bisa
lari lagi kok, Sayang. Dan kaiau nanii ada telepon yang mengatakan benta gemb.ra
lagi, kita tidak akan kembali, tetapi akan terus melaju sampai ke Malang."
" Aku tersenyum dan kubiarkan Eko memutar kcmbal, mobilnya ke arah kami pergi
Cadi. Ketika moWI memasuk, Tawangmangu kembali seteiah menempuh perjalanan yang
menanjak dan berlikug metrn rbUnyJ ,agi" Ti,a ^neleponku iagi melalui telepon
genggamnya. " ^udah sampai di mana, Mbak?" u' depan pasar." "Sebentar lagi sampai, kalau
begitu." " -Ya, betul. Apakah kau mau mp paran karpet merah untuk kam, bcnKr ^
" Memang bukan hamparan karpet merah yanR rnenyarnbut kehadiian kami berdua di
rumah orano tuaku. Tetapi di teras, berdiri semua orang vane Icusayangi. Bapak,
Ibu, Mas Danu, Tita, dan jJ, Pak Kirman dan istrinya. Dan di belakang mereka Yu
Rapiah dan Mbok Sumi tersenyum lebar dengan mata basah.
" Dan lebih dari itu ketika aku turun dari mobil dan dipeluk oleh Ibu dan Bapak
dengan pancaran damai dari wajah mereka berdua, angin gunung yang mengirimkan
harum kemuning membelai selu-ruh tubuhku dengan penuh kasih sayang. Peristiwaperistiwa penting dalam hidupku, selalu saja ber-tepatan dengan mekarnya
kemuning di halaman rumah kami dan menyentuhkan perasaan khusus dalam
sanubariku.... " Malam harinya ketika badai di hatiku telah berlalu dan aku sudah kembali ke
kamarku, ku-buka jendela kamarku lebar-iebar untuk menghirup aroma udara
pegunungan berbau kemuning yang sangat kucintai itu. Besok pagi-pagi sekali Eko
akan berangkat ke Batu, Malang, untuk menyiap-kan segala sesuatunya bagi
kehidupan kam. bersama nanti. Mas Danu akan ikut bersamanya. Kakak lelakiku itu
tertarik untuk .kut meng-investasikan uangnya di sana, dan aku sangat gembira
mengetahuinya. Ternyata, dia juga 5udah
" ingin menikah dengan .teman sekantornya tak lama lagi
" "dengan perasaan haru. kutatap langit malam di rlan^mangu. Bulan perak yang
tersembunyi TtSVZ -la! menyembulkan dirinya. Sementara harum kemuning semakin
mengambang di udara sekitarku. Akan kutelepon Mas Eko nanti malam sebelum aku
tidur. Akan kukirimkan pada-nya ciuman cintaku dan akan kuminta padanya untuk
menanamkan kemuning di Batu sana, untukku.
Selesai sumber baca online: http://cerita-silat.mywapblog.com
http://duniacerita.yu.tl Iblis Pemburu Wanita 2 Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Pendekar Cacad 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama