Ceritasilat Novel Online

Ketika Cinta Harus Bersabar 1

Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra Bagian 1


KETIKA CINTA HARUS BERSABAR
Penulis : Nurlaila Zahra Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Pengantar Ebook Novel ini layak untuk dibaca, banyak hikmah/ibroh yang didapatkan.
Semoga dengan banyaknya ebook novel ini akan menjadikan tranformatif dakwah yang
tanpa batas. Bagi anda yang ingin menerbitkan novel atau buku anda di ebook, silahkan
kirim naskah novel/buku anda di fajar212000@yahoo.com dan kunjungi
http://suara01.blogspot.com atau http://suara01.wordpress.com dan http://suara1.info
Fajar Agustanto (Abu Jaisy/Jaisy01/Blackrock1)
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Satu Ya Rabbi, entah siapa yang tadi aku lihat. Malaikatkah" atau mungkin seorang alim
yang menjelma seperti Malaikat" Entahlah. Tapi yang pasti, hatiku langsung berdetak
kencang tatkala kedua mataku menatap tak sengaja wajah putih bersih nan berwibawa itu
yang sempat melintasi penglihatanku. Sampai sekarang, sosok "malaikat" itu masih
melekat dalam benakku. Sore tadi, Mama mengajakku kerumah salah seorang sahabatnya yang tengah sakit.
Awalnya aku menolak karena memang editan tulisanku belum selesai aku revisi kembali.
Besok lusa harus segera aku serahkan ke pihak penerbit untuk dipelajari dan untuk
selanjutnya di terbitkan menjadi sebuah buku novel yang siap untuk dibaca.
Aku seorang penulis novel yang memang belum terlalu termasyhur seperti
Habiburrahman El Shirazy, Azimah Rahayu, Helvy Tiana Rossa, dan masih banyak namanama penulis lainnya yang menjadi penulis idolaku sekaligus menjadi inspirasiku dalam
menulis. Dua novelku sudah beredar di pasaran. Yang pertama berjudul Kerlingan Hati
dan yang kedua berjudul Episode Jingga. Alhamdulillah kedua novelku itu laris manis di
pasaran. Dan sekarang, aku sedang menggarap novelku yang ketiga yang judulnya masih
aku rahasiakan. Tapi lagi-lagi karena mamaku tersayang mengajakku pergi menjenguk
temannya yang sedang sakit, jadilah aku merubah semua jadwalku duduk didepan
komputer untuk merevisi ulang novelku, untuk ikut mama pergi menjenguk temannya.
Mau bilang apa lagi" toh kalau mama sudah beralasan,"Dinda, nanti kalau sampai penyakit
mama kumat di jalan, bagaimana?". Hfh"tak tega rasanya kalau sampai penyakit asma
mama kumat ditengah jalan. Semoga saja tidak.
Aku berangkat bersama mama tepat setelah shalat Ashar kami tunaikan. Aku tidak
pernah tahu teman mama yang satu ini. Mama bilang dia itu bernama Ibu Rahayu. Teman
mama semasa kuliah dulu. Aku hanya mendengarkan mama bercerita banyak tentang
sahabatnya itu yang katanya lumayan cantik dan mempunyai seorang suami yang juga
tampan dan seorang anak laki-laki yang menurut mama sangat cocok untuk dijadikan
seorang menantu. "Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang
pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu"
Hfh"aku hanya menghela nafas mendengar celotehan mama yang menurutku hanya
sebuah pengharapan seorang ibu yang menginginkan anak perempuannya segera menikah.
Menikah. Semua gadis yang sudah cukup umur juga pasti berharap ingin segera
mempunyai pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Ya"minimal seseorang
yang baik, sholeh, bertanggung jawab, dan dapat menerima keadaan diri apa adanya. Tapi
kalau memang belum jodoh mau diapakan lagi" Aku hanya berharap seorang yang soleh
yang bersedia menjadi suamiku.
*** Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Tepat disebuah rumah bernuansa minimalis kami turun dari mobil yang aku kendarai
sendiri. Diluar sudah ada seorang perempuan paruh baya yang membukakan pintu rumah
untuk kami. Ibu itu lalu menyuruh kami masuk karena dia sudah tahu bahwa kami akan
datang untuk menjenguk Ibu Rahayu. Sekantong buah-buahan aku serahkan padanya.
Diapun segera mengantar kami memasuki kamar Bu Rahayu.
Di dalam aku melihat seorang ibu yang sudah sedikit tua dengan wajah pucat pasinya
berbaring diatas tempat tidur berselimutkan kain yang sangat tebal. Kepalanya ia tutup
dengan sebuah kerudung pendek. Dialah Bu Rahayu. Senyumnya segera menyambut kami
ketika ia lihat wajah kami nampak dari balik pintu. Mama dan Bu Rahayu segera
berpelukan tatkala keduanya dipertemukan kembali setelah beberapa tahun tidak bertemu.
Tangis kebahagiaanpun membuncah disana. Aku hanya bisa menatap mereka dengan
penuh haru. Beberapa saat lamanya aku menjadi orang yang terasing didalam kamar itu.
Tiba-tiba Bu Rahayu menegurku dengan sapaan yang lembut. Tegurannya itu membuat
aku tersadar dari lamunanku.
"Ini pasti Dinda ya?" Tanya Bu Rahayu.
"I..iya bu.." Jawabku tergagap. Aku segera meraih tangannya dan kucium. Aku
kembali tersenyum padanya.
"Sudah besar ya" Berapa usia kamu sekarang?" Tanya Bu Rahayu lagi yang membuat
aku ragu-ragu untuk menjawabnya.
"Ehm...27 tahun bu" Sahutku tanpa semangat yang membara. Entah mengapa setiap
kali ada seseorang yang menanyakan berapa usiaku, aku selalu menjawabnya tanpa
mempunyai semangat. Mungkin karena sampai sekarang aku belum juga menikah.
"Tahu darimana Lis kalau aku sakit?" Tanya Bu Rahayu pada Mama. Aku menarik
kursi yang disediakan oleh ibu tua tadi sambil mendengar jawaban Mama.
"Dari Rudi. Kebetulan kemarin aku bertemu dia di pasar. Dan dia bilang katanya kamu
sakit. Memang kamu sakit apa sih Yu?" Mama balik bertanya.
"Tahulah Lis. Aku juga bingung sendiri dengan sakitku" Jawab Bu Rahayu dengan
mata berkaca-kaca. Sesaat kutangkap sepertinya ada yang mengganjal dalam hatinya.
Diapun mulai bercerita. "Beberapa hari yang lalu ada yang menawarkan seorang muslimah padaku untuk
dijadikan istri oleh anakku...."
"Oh iya, mana anakmu itu" Kok tidak kelihatan" Siapa namanya?" Cerocos Mama
memotong pembicaraan Bu Rahayu. Bu Rahayu menghela nafasnya dan menjawab dengan
nada datar. Aku memperhatikannya dengan seksama.
"Anakku itu bernama Yusuf Abdul Fattah. Masa kau lupa sih Lis?"
"Oh iya! Maaf..maaf, namanya juga orang tua. Lanjutkan Yu!" Kata Mama seraya
menyuruh Bu Rahayu untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku sempat melihat gadis itu. Wajahnya cantik, perilakunya baik, ahklaknya pun
bagus. Dia berjilbab, sama seperti Dinda" Lanjut Bu Rahayu sambil melirik kearahku
ketika dia menyebutkan namaku. Aku hanya tersenyum dan meneruskan mendengar cerita
Bu Rahayu. "Setelah aku tawarkan pada si Yusuf, lha kok dia malah menolak. Katanya, kurang
cocok dengan seleranya. Asal kamu tahu saja ya Lis, ini untuk yang kelima kalinya dia
menolak untuk dinikahkan. Kamu tahu sendiri, usianya Yusuf itu tidak beda jauh dengan
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
usianya Dinda. Apalagi coba yang mau dicari dengan umur segitu kalau bukan istri. Aku
sampai stres memikirkannya dan akhirnya aku jatuh sakit. Nah itulah penyebab sakitku
saat ini" Ucap Bu Rahayu menutup ceritanya. Sesekali kulihat dia membenarkan posisi
duduknya yang bersandar pada sebuah bantal.
"Sekarang dia kemana bu?" Tanyaku tiba-tiba saja. Aku juga kaget. Kenapa aku
menanyakan hal itu" Aku sendiri tidak tahu alasannya.
"Sekarang dia sedang menebus obat ibu di apotik. Perginya sih dari tadi, mungkin
sebentar lagi juga pulang" Jawab Bu Rahayu tenang. Suasana kembali lagi seperti semula.
Mama dan Bu Rahayu kembali larut dalam perbincangan masa lalunya, sedangkan aku
hanya dapat mendengarkan mereka berbincang tentang suatu hal yang baru bagiku.
Beberapa saat lamanya waktu berjalan, tiba-tiba dari luar kamar terdengar suara
seorang laki-laki mengucapkan salam dan membuka pintu secara perlahan. Aku, Mama,
dan Bu Rahayu pun segera mengarahkan pandangan kami ke arah suara itu. Perlahan-lahan
pintu itu terbuka dan...Subhanallah! Seorang laki-laki tampan dengan kemeja dan celana
bahannya datang dengan membawa sekantong kecil obat.
Aku berdiri dari dudukku tanpa melepaskan pandanganku dari laki-laki itu. Sesaat
lamanya aku menatap dia yang sedang mencium tangan Bu Rahayu kemudian
mengatupkan kedua tangannya pada Mama. Aku seperti terbius oleh keindahan zahirnya.
Aku tersadar tatkala dia mengucapkan salam padaku dan mengatupkan kedua tangannya
juga padaku. "Assalamu"alaikum" Ucapnya lembut sambil menunduk.
"Wa..wa"alaikummussalam" Sahutku dengan sedikit tergagap. Aku segera
menundukkan pandanganku dari wajahnya dan kutarik nafasku secara perlahan. Entah
mengapa saat ini jantungku berdebar-debar.
Kudengar Bu Rahayu memperkenalkan laki-laki itu sebagai anaknya yang bernama
Yusuf Abdul Fattah dan dia juga memperkenalkan Mama sebagai sahabat lamanya dan
juga memperkenalkan aku pada Yusuf. Sesaat aku mencuri pandang padanya.
Astaghfirullah! Ucapku dalam hati. Kembali kutarik nafasku dalam-dalam.
Tak berapa lama, laki-laki yang kukenal bernama Yusuf itu meminta diri untuk keluar
dari kamar. Aku tak berani lagi menatap wajahnya. Takut dosa. Aku hanya dapat
mendengar suaranya yang dengan lembut mengucapkan salam. Aku menjawab salamnya
dengan pelan. Tak berapa lama, Mama dan Bu Rahayu mengganti topik pembicaraan
mereka dengan masalah Yusuf.
Aku berusaha mengendalikan perasaanku. Entah mengapa, seperti ada yang berbeda
dalam hatiku setelah aku melihat Yusuf tadi. Aku jadi teringat perkataan Mama.
"Bu Rahayu itu punya seorang anak laki-laki. Mama lupa namanya siapa. Tapi yang
pasti dia itu cocoklah untuk dijadikan seorang menantu".
Apa mungkin bisa ya" Pikirku sudah mulai ngaco kemana-mana.
Sepanjang perjalanan pulang aku tak bisa memfokuskan fikiranku. Sesampainya
dirumah aku sudah tak memikirkan editan tulisanku di komputer. Yang menjadi pikiranku
sekarang adalah, apakah sosok "malaikat" itu yang menjadi harapan Mama" Oh....Rabbi,
selamatkan aku dari penyakit hati ini. Teriakku dalam hati.
Adzan Maghrib sudah berkumandang. Aku segera bergegas ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu. Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
*** Dua Hari berganti hari, aku sudah tak lagi memikirkan sosok "malaikat" itu. Dan aku
berusaha untuk tidak memikirkannya. Kemarin sore aku mendapat sebuah undangan dari
sahabatku, Arini, teman satu kantor. Hari ini dia akan menikah. Aku tertawa sendiri
melihat namanya yang manis bertengger didalam undangan pernikahannya yang berwarna
kuning keemasan, bersebelahan dengan nama seorang ikhwan 1 yang sangat aku kenal,
Fauzi. Yang jelas-jelas aku ingat dulu Arini sempat tidak suka pada ikhwan yang
mempunyai potongan rambut belah tengah itu dan berkaca mata.
Menurut Arini -sebelum akhirnya dia luluh juga pada Fauzi- Fauzi itu sosok seorang
ikhwan yang paling aneh yang pernah ia kenal. Wajahnya yang biasa-biasa saja dengan
aksesoris kaca matanya yang tak pernah ia tinggalkan, membuat Arini ilfill terhadapnya.
Apalagi gaya bicaranya yang menurut Arini seperti perempuan, semakin menguatkan
argumennya bahwa Fauzi itu bukan ikhwan tulen. Aku hanya tersenyum mendengarnya
tanpa bisa memberikan komentar apa-apa soal Fauzi karena ternyata, diam-diam Fauzi
menyimpan perasaan pada Arini.
Aku tahu hal itu dari Fauzi sendiri. Suatu ketika Fauzi pernah mengirimkan email
padaku yang meminta tolong agar aku mau mengatakan pada Arini kalau dia suka padanya
dan hendak melamarnya. Aku sempat terkejut membaca pesan itu. Jarak antara ruanganku
dengan ruangan Fauzi tidak jauh. Kami memang satu kantor tapi kami tak pernah bertemu
lama walaupun hanya sekedar berbincang-bincang.
Setelah membaca ulang emailnya, aku segera menulis balasan email untuknya.
Wa"alaikumussalam. Wr. Wb
Fauzi, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu" Kalau peranku hanya sekedar menyampaikan pesanmu
pada Arini, mungkin aku bisa bantu. Tapi kalau untuk lebih jauhnya, afwan 2 , lebih baik kamu hubungi saja
murabbi 3 nya. Kalau kamu mau, aku bisa memberikan alamat dan nomor teleponnya padamu. Kebetulan aku
mengenalnya. Bagaimana" Afwan ya.?
Segera kukirim email itu padanya dan kuketik sms untuknya yang mengatakan bahwa
aku sudah memberikan balasan emailnya. Aku melanjutkan tugasku kembali. Mengedit
beberapa tulisan yang sudah masuk kedalam redaksi kami. Kantor tempat aku bekerja
adalah perusahaan majalah Islam yang cukup terkenal di Jakarta.
Tak berapa lama ponselku berdering. Kulihat. Satu pesan diterima. Dari Fauzi.
Kubuka. Isinya : Baiklah Mbak. Aku minta almt & nomor tlp murabbinya Arini. Smg ini bs membntuku. Krm via email ya Mbak"
Syukran 4. Aku tak membalas smsnya. Segera kubuka buku agendaku dan kucari nama Mbak
Nurma, murabbi Arini. Ketemu. Tanpa berlama-lama, aku langsung mengetik nama,
1 laki-laki 2 maaf 3 guru ngaji 4 terima kasih Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
alamat, dan nomor telepon Mbak Nurma dan segera kukirim via email, sesuai dengan
permintaan Fauzi. Setelah aku megirimnya, aku kembali mengetik sms untuknya.
Almtnya sdh aku krm. Smg itu bs mmbntu dlm ikhtiarmu mncri jodoh y" Smg sukses. Afwan.
Aku kembali larut dalam kerjaanku yang sedari tadi tertunda oleh urusan Fauzi. Tak
berapa lama kemudian, ponselku berbunyi lagi. Aku tak mengindahkannya. Aku yakin itu
dari Fauzi yang ingin mengucapkan terima kasih padaku. Kerjaanku sedang banyakbanyaknya dan sebentar lagi tulisan-tulisan ini harus segera diserahkan kepercetakan.
*** Aku tersenyum sendiri melihat undangan manis yang kini masih tergeletak di atas meja
riasku. Peranku dalam usaha Fauzi menemukan jodohnya hanya sampai disitu. Aku
sungguh tak menyangka kalau Fauzi memang benar-benar menginginkan Arini menjadi
istrinya. Satu hal yang aku ingat saat aku berbincang-bincang dengan Arini dulu.
"Rin, membenci seseorang itu boleh saja. Tapi harus sewajarnya. Tidak boleh kita
membenci orang lain tanpa alasan yang tidak jelas. Ingat lho Rin! Janganlah kamu
membenci orang lain dengan sangat membencinya, karena bisa saja suatu hari kamu jadi
menyukainya. Begitu juga sebaliknya. Jika kamu menyukai orang lain ya sewajarnya saja,
sebab bisa jadi suatu hari kamu akan berbalik membencinya. Saat ini mungkin kamu tidak
suka dengan penampilan dan gaya bicara Fauzi. Tapi bisa jadi suatu saat kamu malah
justru berbalik menyukainya. Ingat! Hal itu ada haditsnya lho Rin"
Sikap Arini saat itu hanya diam. Mungkin dia sedang memikirkan hal yang baru saja
aku katakan. Dan sekarang, aku sungguh tak percaya. Hari ini dia akan menikah dengan
seorang ikhwan yang dulu sempat ia benci zahirnya.
Hah...jodoh memang sulit ditebak. Yang setiap hari bertengkar, ternyata dikemudian
hari malah menjadi jodoh. Sedangkan yang sudah lama menjalin hubungan, malah putus
ditengah jalan. Yap! Aku jadi lebih yakin kalau jodoh itu memang rahasia Allah. Dan bisa
saja jodoh yang tengah disiapkan Allah untukku adalah seseorang yang tidak pernah aku
duga sebelumnya. Diluar, Mama mengetuk pintu kamarku dan minta izin untuk masuk. Akupun
mengizinkan. Dia berdecak kagum ketika melihat aku berdandan sangat beda hari ini.
"Wah...wah!! Mau kemana sih kamu Din" Pagi-pagi begini sudah rapi sekali" Ada
acara apa?" Tanya Mama sambil matanya terus memandangiku dari atas kebawah.
"Tuh, lihat saja Ma!" Jawabku sambil menunjuk sebuah undangan berwarna kuning
keemasan diatas meja riasku. Tanganku sibuk mengaitkan peniti di jilbabku. Mama
mengambil undangan itu dan membacanya.
"Undangan pernikahan, Arini Musdalifah dengan Fauzi Nur Alamsyah" Ucap Mama
mengeja huruf-huruf yang terangkai dengan indah di undangan tersebut.
"Oh...ini Arini yang pernah main kesini ya Din" Yang pernah konsultasi sama kamu
masalah lamaran....siapa itu?"
"Fauzi Ma!" Sahutku.
"Iya Fauzi. Lha kok jadi nikah begini" Katanya nggak suka, kok jadi nikah?" Tanya
Mama penasaran. Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Ma, jodoh itu rahasia Allah. Kita nggak tahu dengan siapa nantinya kita akan
menikah. Kalau Arini tadinya nggak suka sama Fauzi, tapi kalau memang Allah sudah
menggarisakan jodohnya mereka ya mau diapakan lagi?" Jawabku meyakinkan Mama.
Mama hanya mengangguk-angguk pelan sambil terus membaca undangan Arini. Tibatiba ia menyampaikan sesuatu padaku yang membuat hatiku bertanya-tanya.
"Oh iya Din, nanti malam keluarganya Bu Rahayu akan datang kesini"
"Keluarganya Bu Rahayu?" Tanyaku dengan menatap wajah Mama dengan serius.
"Iya. Bu Rahayu yang tempo hari pernah kita jenguk. Kamu ingat kan?"
Aku mengangguk pelan. Mana mungkin aku lupa. Dari kunjungan itu aku melihat
sesosok manusia alim bernama Yusuf Abdul Fattah. Yang menjadi maksud pertanyaanku
pada Mama barusan adalah untuk apa Bu Rahayu datang kemari dengan membawa serta
keluaganya" Aku mencoba bertanya pada Mama.
"Untuk apa mereka kemari Ma?"
"Ya sekedar silaturrahimlah. Kan sudah lama tidak bertemu. Sekalian ada yang mau


Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami bicarakan" Jawab Mama yang memberikan sebuah tanda tanya besar untukku.
Membicarakan apa" "Siapa saja yang nanti datang bersama Bu Rahayu?" Tanyaku makin penasaran.
"Nggak banyak. Ya Bu Rahayu, suaminya, dan anaknya yang kemarin" Jawab Mama
tenang, tapi tidak bagiku. Tiba-tiba saja hatiku berdebar hebat ketika Mama menyebutkan
"anaknya yang kemarin".
"Nanti jangan pulang malam-malam ya" Ikut temuin Bu Rahayu dengan keluarganya"
Ucap Mama sambil beranjak pergi dari hadapanku. Aku masih terpaku dengan ucapan
Mama. Dia ikut" Sosok "malaikat" itu nanti malam akan datang" Oh Rabbi, kenapa aku
ini" Kenapa aku jadi gelisah seperti ini"
Aku segera membereskan barang-barangku dan langsung bergegas pergi menuju pesta
walimatul ursy-nya Arini dan Fauzi. Tak lupa aku membawa sebuah bingkisan untuk
mereka. Sejenak aku lupakan dulu rasa tidak tenangku.
*** Sepulang dari walimatul ursy-nya Arini, aku langsung di ajak oleh Shanti, teman satu
halaqah 5 ku ke Istora Senayan karena disana sedang ada acara pameran buku Islami atau
Islamic Book Fair. Hari ini terakhir diadakan. Kupikir tidak ada salahnya menghabiskan
waktu disana sambil membeli beberapa buku untuk referensi novel terbaruku.
Selepas Ashar aku langsung menuju kesana. Suasana disana sangat penuh oleh ikhwan
dan akhwat 6 yang berjubel ingin masuk. Aku dan Shanti bahkan hampir terpisah karena
sesaknya orang yang berebut masuk. Yang aku tahu dari pusat informasi disana, hari ini
ada temu penulis novel bestseller "Ayat Ayat Cinta", Habiburrahman El Shirazy, jadi
pantas saja kalau banyak orang yang berbondong-bondong datang untuk melihat Kang
Abik secara langsung. 5 Kelompok pengajian 6 perempuan Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku yang mendengar hal itupun segera mencari tempat lokasi temu penulis "Ayat Ayat
Cinta". Secara, aku juga sangat mengidolakan Kang Abik sebagai penulis inspirasiku
dalam menulis novel. Beberapa buah buku referensi telah aku dapatkan. Kebanyakan dari buku yang aku beli
adalah novel dan beberapa buku penunjang untuk bahan penulisan novelku. Lain lagi
dengan Shanti. Dia lebih tertarik dengan buku-buku yang membahas tentang perjalanan
hidup Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Secara, dia itu adalah seorang guru
agama Islam di Sekolah Menengah Pertama Islam Taman Qur"aniyah di daerah Poltangan,
Jakarta Selatan. Di saat langkahku tengah mendekati ruang Anggrek, tempat dimana acara temu penulis
"Ayat Ayat Cinta" digelar, aku melihat sosok "malaikat" yang pernah kulihat dirumah Bu
Rahayu. Dialah Yusuf. Dia berdiri di stand Penerbit Cakrawala sambil membuka lembar
demi lembar buku yang dipegangnya. Disebelahnya berdiri seorang ikhwan yang tengah
mengajaknya berbicara. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja Shanti menarik tanganku dan membawaku ke stand
Penerbit Cakrawala. Dia bilang ingin membeli sebuah buku karangan Dr. "Aidh bin
Abdullah alqarni dengan judul Jangan Takut Hadapi Hidup. Aku terkejut dibuatnya. Yusuf
belum beranjak dari tempatnya berdiri. Sedangkan aku berdiri persis membelakanginya.
Dia tidak tahu kalau aku ada dibelakangnya. Atau mungkin, kalaupun dia melihatku, bisa
saja dia tidak mengenaliku atau lupa padaku.
Shanti masih saja mencari buku yang dia maksudkan. Sedangkan aku pura-pura
melihat-lihat buku yang sekarang ada dihadapanku. Samar-samar aku mendengarkan dia
berbicara dengan temannya.
"Suf, ente bener hari ini nggak mau ikut ane kerumah Sandi" Ente nanti nyesel lho!"
Ucap temannya Yusuf dengan semangat.
"Bener akhi 7 , ana nggak bisa ikut nih. Hari ini ana mau pergi sama orang tua kerumah
teman mereka" Jawab Yusuf dengan nada penuh penyesalan.
"Ente jadi ikut sama orang tua ente" Kirain cuma main-main. Jadi dong nyebar
undangan?" Tanya temannya yang tiba-tiba saja membuat hatiku bertanya-tanya.
Undangan"! "Ah, antum jangan begitu dong. Ana lagi pusing nih memikirkan permintaan orang
tua" Sahut Yusuf. "Lagi sih ente. Ane bilang buru-buru lamar si Alifa, eh ente bilang nanti-nanti dulu. Ya
terima deh nasib dijo..."
"Sstt!!" Tiba-tiba Yusuf memotong pembicaraan temannya itu.
"Udah yuk ah, ana mau langsung pulang nih. Nanti Ibu marah, terus jatuh sakit lagi"
Lanjutnya menutup perbincangan dia dan temannya. Aku semakin bertanya-tanya. Ada
masalah apa sebenarnya dengan Yusuf" Apa yang diminta orang tuanya padanya"
Shanti menyadarkanku dari pertanyaan yang belum sempat aku temukan jawabannya.
Dia sudah mendapatkan buku yang diinginkannya. Baru beberapa langkah aku menuju
ruang Anggrek, tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat. Dari Mama.
"Ya Ma?" Sapaku langsung pada Mama.
7 Saudaraku (untuk laki-laki)
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Din, kamu dimana sekarang" Cepat pulang. Sebentar lagi keluarganya Bu Rahayu
akan segera datang" Ucap Mama dengan nada sedikit kesal.
"Iya Ma. Sebentar lagi Dinda akan pulang. Mama tunggu sajalah dirumah. Paling Bu
Rahayu juga akan telat datangnya" Ucapku meyakinkan Mama. Sebab aku tahu, Yusuf saja
masih ada di Senayan. "Sok tahu kamu. Dari dulu itu Bu Rahayu orangnya selalu tepat waktu. Sudahlah
jangan membantah. Pokoknya sebelum Maghrib, kamu harus sudah sampai dirumah" Ucap
Mama sambil menutup teleponnya. Sepertinya Mama agak marah padaku. Mau diapakan
lagi. Dengan berat hati aku langkahkan kakiku menuju keluar Istora Senayan dan itu
artinya aku tidak jadi melihat Kang Abik secara langsung. Tapi satu yang masih aku
pikirkan. Apa kira-kira yang diminta oleh orang tuanya Yusuf pada Yusuf"
*** Tiga Sampai dirumah tepat ketika azan Maghrib berkumandang. Mama menyuruhku untuk
segera mandi dan langsung menunaikan shalat Maghrib. Kuturuti apa kata Mama. Papa
yang hendak pergi ke masjid tak pernah sedikitpun berkomentar tentang kerepotan Mama
menyuruhku ini dan itu. Selepas mandi dan shalat Maghrib, Mama lagi-lagi menyuruhku dengan suatu hal yang
menurutku aneh. "Din, coba kamu pakai ghamis kamu yang warna biru tua ini. Sepertinya bagus deh!"
Pintanya sambil mengambil sebuah ghamis yang dimaksudkan dari dalam lemariku.
"Untuk apa sih Ma" Ini kan hanya acara silaturahim saja kan" Nggak usahlah pakai
baju yang berlebihan. Kayak mau pergi saja" Tolakku tanpa mau mengindahkan
permintaan Mama. Kuperhatikan ghamis biru tua itu yang menurutku lebih cocok dipakai
keacara walimahan. "Eh, malam ini kamu harus tampil cantik. Pokoknya harus spesial. Awas kalau tidak.
Mama akan marah sama kamu. Dipakai ya?" Pinta Mama sekali lagi. Aku hanya Bisa
termenung sendirian dikamar sambil memikirkan perkataan Mama barusan. Apa sih yang
sebenarnya diinginkan Mama dariku" Sehingga aku harus mengenakan ghamis itu.
Kuturuti saja permintaan Mama. Aku masih tidak mengerti ada apa dibalik semua
kedatangan keluarga Bu Rahayu malam ini.
Pukul tujuh malam kurang lima belas menit keluarga Bu Rahayu datang. Aku heran,
apa mereka sudah shalat Maghrib" Mama dan Papa menyambut kedatangan mereka
dengan hangat. Aku tidak ikut menyambut mereka karena aku sedang sibuk membuatkan
minum dibelakang. Hatiku tiba-tiba saja berdesir tatkala Mama menyebut nama Yusuf . Ya, dia datang
malam ini. Jantungku yang seolah tenang, kini menjadi berdegup dengan kencangnya.
Kutarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Dari ruang tamu, Mama memanggil
namaku. "Dinda!! Kesini sebentar. Temui dulu ini keluarga Bu Rahayu!" Teriak Mama.
"Iya sebentar Ma!" Sahutku sembari mengelapkan tanganku pada sebuah kain. Aku
bergegas melangkah menemui mereka diruang tamu. Sekali lagi kutarik nafasku dalamdalam lalu kuhembuskan.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Wajah yang pertama kali kulihat adalah wajah Bu Rahayu, kemudian laki-laki bertubuh
besar dengan kumis diwajahnya. Mungkin dia suaminya. Aku tak berani mengalihkan
pandanganku pada Yusuf. Kuraih tangan Bu Rahayu lalu kucium. Dan kukatupkan kedua
tanganku pada suaminya dan....Yusuf pastinya. Bu Rahayu memuji penampilanku.
"Wah!! Malam ini Dinda cantik sekali. Cocoklah" Ucap Bu Rahayu padaku. Ucapan
itu membuat sebuah tanda tanya besar dihatiku. Cocok"!
"Ah, Bu Rahayu bisa saja. Terima kasih atas pujiannya" Sahutku sambil meminta diri.
Aku ingat aku sedang membuatkan minum dibelakang. Mereka mengizinkan. Tiba-tiba
saja kedua mataku beradu pandang dengan Yusuf. Uh!! Bergetar rasanya hati ini. Kutarik
nafasku dan kuhembuskan ketika sudah sampai didalam.
Di belakang, aku lanjutkan membuat minum. Kutata kue-kue di atas piring yang tadi
siang Mama beli di pasar. Samar-samar kudengar perbincangan Mama, Papa, dan keluarga
Bu Rahayu di depan. Biasalah, membincangkan masa lalu.
Sambil membawa lima cangkir air teh hangat dan 2 toples kue-kue kering, aku
melangkah keruang tamu. Wajahku masih menunduk. Tak berani aku mengangkat
kepalaku. Bu Rahayu dan suaminya yang kuketahui bernama Pak Sardi mengucapkan
terima kasih padaku, kecuali Yusuf. Dia hanya diam. Aku memberikan senyumku pada Bu
Rahayu dan suaminya. Aku berbalik kebelakang sebelum akhirnya aku mendengar Yusuf mengucapkan terima
kasih padaku. Aku menoleh sesaat dan mengangguk padanya. Aku kembali kebelakang
dengan perasaan yang tak menentu. Yang pasti, perasaan senang itu tiba-tiba saja merasuki
jiwaku. Aku kembali kebelakang dan kuambil dua piring berisi kue-kue yang tadi sudah kutata.
Kusuguhkan pada mereka dan kembali kebelakang lagi. Awalnya Mama menyuruhku
untuk tetap tinggal diruang tamu tapi aku menolaknya.
Kudengarkan dengan jelas perbincangan mereka dari ruang tengah. Sambil memainkan
sebuah sendok, aku mendengar Pak Sardi bersuara.
"Ya, tujuan kami datang kesini ini kan, selain untuk menyambung silaturrahim juga
untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting, menyangkut anak-anak kita yang
sudah besar-besar. Betul tidak Pak, Bu?"
"Ya ya, betul betul" Sahut Papa.
"Saya yakin Bapak sama Ibu pasti sudah tahu apa tujuan kami datang kesini" Lanjut
Pak Sardi. "Saya hendak melamar putri kalian untuk anak kami, Yusuf. Bagaimana Pak, Bu?"
"Prang!!" Sendok yang tadi aku mainkan terjatuh. Ya, sendok itu terjatuh karena aku
terkejut mendengar perkataan Pak Sardi barusan. Dadaku sesak. Mulutku serasa kelu
dibuatnya. Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi sekujur tubuhku. Perlahan aku
mendengar jawaban Papa. "Ya, kami sangat senang atas keinginan Bapak dan Ibu untuk menjadikan anak kami
sebagai menantu. Merupakan suatu kebanggaan bagi kami bisa berbesan dengan Bapak
dan Ibu. Dengan senang hati kami menerima pinangan itu. Semoga ini menjadi langkah
awal untuk kebaikan kita bersama"
"Amin!" Jawab semuanya serentak.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Dalam hati aku bertanya-tanya. Kenapa Papa tidak menanyakan hal itu padaku dulu"
Kenapa Papa menerima pinangan itu secara sepihak tanpa mau berkompromi dulu
denganku" Tapi, biarpun Papa tidak menanyai hal itu kepadaku dulu juga, sebenarnya aku
mau menerimanya. Oh, senangnya hatiku!! Ternyata Yusuf menyukaiku. Jodoh memang benar-benar
rahasia Allah. Aku tidak menyangka bahwa jodohku adalah seseorang yang baru saja
kukenal. Tapi, bagaimana dengan sifat-sifat Yusuf" Aku kan belum begitu mengenalnya.
Ah! Setelah menikah nanti, kami akan sama-sama belajar sifat kami masing-masing. Oh
Rabbi, senangnya hati ini. Tiba-tiba aku mendengar Mama memnggil namaku.
"Dinda! Kesini sebentar Nak!"
Aduh! Bagaimana ini" Aku panas dingin. Kakiku gemetar dan sulit untuk diajak
berjalan. Tapi mau tidak mau aku harus memenuhi panggilan Mama.
"Iya Ma, sebentar" Sahutku sambil menata diri agar tidak tampak gugup. Aku
menunduk. Kuberanikan diriku menatap wajah Yusuf, yang kini telah menjadi calon
suamiku. Dia masih menunduk. Aku beristighfar dan duduk disamping Mama.
"Kamu sudah mendengar kan, Apa yang barusan kami perbincangakan?" Tanya Mama
sambil mengusap-usap bahuku. Aku mengangguk pelan.
"Lalu bagaimana dengan kamunya" Menerima tidak?" Tanya Mama yang sebenarnya
ingin langsung kujawab "Mau..mau!!" Tapi aku malu. Aku lebih memilih untuk diam
sejenak sambil menatap satu per satu wajah yang ada diruang tamu, terutama Yusuf. Lalu
aku bersuara. "Dengan segala kerendahan hati, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang aku
miliki, maka dengan menyebut nama Allah...." Kutarik nafasku perlahan.
"Aku menerimanya" Lanjutku.
Lega rasanya hati ini. Semua yang ada diruang tamu tertawa bahagia. Kecuali, Yusuf.
Aku menatapnya dengan penuh tanya. Ada apa dengannya" Dia hanya menunduk. Sesekali
bibirnya tersenyum ketika matanya menatap wajah Mama atau Papa. Tapi sepertinya,
senyumnya berbeda. Senyum yang aku tangkap darinya, seperti bukan senyum
kebahagiaan. Tidak. Pasti saat ini dia sedang menutupi rasa gugupnya, sama seperti aku.
Setiap orang kan pasti berbeda-beda dalam menyembunyikan rasa gugupnya.
Aku tepis perasaan itu. Yusuf juga pasti mempunyai perasaan yang sama terhadapku.
Saat ini aku hanya ingin melewati malam yang indah ini bersama keluarga besarku. Papa,
Mama, Pak Sardi, dan Bu Rahayu mulai membicarakan semua proses pernikahan. Aku
sangat bahagia malam ini.
*** Empat Semuanya sudah ditentukan. Prosesi pernikahan jatuh pada tanggal 23 April 2007.
Akad dan walimatul ursy-nya akan diadakan bersamaan di Masjid Raya At Taqwa Pasar
Minggu. Baju pengantin yang nantinya akan aku dan Yusuf kenakan pun sudah ditentukan.
Dan mahar, aku minta agar Yusuf cukup memberikan aku seperangkat alat shalat, satu
buah Al-Qur"an, sebuah cincin emas, dan hafalan surat Al Ikhlas.
Setelah semua selesai dan beres dengan rapi, Yusuf dan keluarganya pamit pulang.
Aku pun ikut mengantarkan mereka sampai depan pintu. Aku masih belum menemukan
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
senyum yang berarti dari Yusuf. Sampai pulang pun dia tak sedikitpun menatapku. Aku
mulai berpikir yang macam-macam.
Setelah mereka pulang, aku langsung membereskan cangkir-cangkir dan piring-piring
yang kotor diatas meja. Tiba-tiba Mama memberikan sebuah amplop putih padaku.
"Apa ini Ma?" Tanyaku heran.
"Surat dari calon suamimu" Jawab Mama membuat hatiku berbunga-bunga. Aku
tertawa sendiri menerima surat itu. Mataku mulai berair. Segera saja kupeluk erat tubuh
Mama. "Makasih ya Ma" Akhirnya aku menemukan jodohku" Ucapku sedikit serak.
"Iya. Mama doakan supaya kamu selalu bahagia" Sahut Mama sambil membelai
kepalaku yang masih tertutup jilbab. Aku beranjak kekamarku untuk menaruh surat dari
Yusuf di atas meja belajar. Tak sabar rasanya ingin cepat-cepat membukanya. Tapi aku
harus mencuci dulu semua piring-piring kotor didapur.
Setelah selesai, aku langsung bergegas melangkah kekamar. Amplop putih itu kini
seperti harta yang paling berharga untukku. Tak rela rasanya bila harus kehilangan katakata dalam surat yang ditulis Yusuf untukku. Sekarang aku yakin, Yusuf bersikap seperti
itu tadi karena dia merasa gugup. Buktinya sekarang aku menerima surat darinya. Lebih
tepatnya lagi, surat cinta dari kekasihku. Oh...aku jadi romantis begini. Sejak bertatap
muka dengannya, hatiku ini memang sepenuhnya dipenuhi rasa cinta padanya.
Kubuka perlahan surat itu. Isinya,
Assalamu"alaikum. Wr. Wb
Kepada yang terhormat Dinda Altharina Puteri Di tempat Aku sengaja menulis surat ini dengan tulisan tanganku sendiri. Berharap kau
bisa merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus
aku lakukan ketika orang tuaku memaksaku untuk menikah denganmu. Asal
kau tahu saja, pinangan atas dirimu sebenarnya bukan aku yang menginginkan,
melainkan orang tuaku. Mereka bilang, sejak pertama kali melihatmu, hati mereka langsung tergerak
untuk menjadikanmu sebagai menantu. Lagi pula orang tuaku dan orang tuamu
berteman sejak lama. Tapi maaf, itu semua diluar kemauanku. Dan maaf sekali
lagi, aku tidak pernah berniat menikahimu. Semua ini adalah rencana orang
tuaku dan orang tuamu untuk menjodohkan kita.
Aku tahu hal ini adalah hal bodoh yang pernah aku lakukan sepanjang
hidupku. Aku juga tahu bahwa jika semua ini benar-benar terjadi, maka akan
banyak orang yang aku bohongi. Terlebih lagi, aku akan menjadi seorang
pecundang dan pengecut karena telah menyakiti perasaanmu.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih banyak lagi sebab melihat kondisi ibuku


Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sudah sangat lemah, aku takut bila aku menolak permintaanya, sakitnya
akan semakin parah. Asal kau tahu saja, dua hari yang lalu ibuku masuk rumah
sakit karena aku menolak permintaannya.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Jadi aku mohon, bantulah aku memainkan sandiwara ini didepan orang tua
kita masing-masing. Aku tahu segala sesuatunya itu akan dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah Azza wa Jalla, tapi aku tak bisa berbuat banyak lagi
untuk hal ini. Aku merasa, belajarku selama beberapa tahun tentang Islam sia-sia saja karena
akhirnya aku harus membohongi banyak orang atas kepura-puraanku
mencintaimu. Maaf sekali lagi.
Pernikahan bukanlah suatu hal yang main-main untuk dijalankan. Terlebih
lagi bila tidak dilandasi dengan rasa cinta. Sesungguhnya, ada "nama" lain yang
mengisi relung hatiku. Dan sepertinya, mulai saat ini aku harus menghapus
"nama" itu dan berusaha menggantinya dengan "namamu".
Jika memang tak ada cara lain lagi untuk kita mencegah kebohongan ini,
maka sebagai langkah awalku dalam menjalankan kehidupan baruku nanti, aku
ceritakan semuanya ini padamu. Jujur. Tidak ada yang ditambahkan atau
dikurangkan. Aku tidak mau mengawali semua ini dengan kebohonganku pada
dirimu. Maafkanlah aku yang tak mencintaimu.
Mungkin ketika membaca surat ini, matamu sudah dipenuhi dengan air mata.
Aku akan berusaha mengganti air matamu itu dengan usahaku untuk dapat
mencintaimu. Maaf, beribu-ribu maaf aku minta kepadamu.
Tolonglah malam ini kau shalat tahajud dan minta kepada Allah agar
memberikan yang terbaik untuk kita. Aku tak sanggup, bila selamanya harus
menyakitimu. dengan kepalsuan cintaku.
Dan tolong jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Aku yakin kau mengerti
seperti apa posisiku. Sekian dulu surat dariku. Bila semua ini kurang berkenan
dihatimu, mohon dibukakan pintu maafmu untukku. Afwan
Wassalamu"alaikum. Wr. Wb
Dari Seorang Pengecut Yusuf Abdul Fattah Remuk redam rasanya jiwa ini ketika aku membaca surat itu. Air mata sudah tak dapat
lagi kubendung. Aku merasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa dunia ini
menjadi gelap di penglihatanku. Orang yang aku cintai ternyata tidak pernah
mengharapkanku. Dan sikapnya yang tadi kulihat janggal, ternyata benar adanya. Tiba-tiba
aku merasa bahwa Yusuf adalah manusia terjahat yang pernah aku temukan selama
hidupku. Tapi spekulasi itu tetap tidak bisa mengalahkan perasaanku yang sejak awal
sudah dipenuhi rasa cinta padanya.
Sekarang aku mengerti apa yang diminta oleh Bu Rahayu padanya. Dan sekarang aku
lebih mengerti apa yang dibicaraknnya pada temannya di book fair tadi. Yang
dimaksudkan menyebar undangan adalah undangan pernikahanku dengan Yusuf. Dan
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"nama" lain yang dimaksudkannya adalah nama ... Alifa. Nama seorang akhwat yang tadi
disebut-sebut oleh temannya Yusuf. Oh Alifa, mengapa tiba-tiba aku jadi merasa cemburu
padamu" Sebenarnya seperti apa sosok dirimu sehingga membuat Yusuf jatuh hati
padamu" Aku merasakan air mata kembali menetes membasahi kedua pipiku. Sebuah berita
menggembirakan yang baru saja aku dengar beberapa saat lalu, tiba-tiba saja berubah bagai
kilat yang menyambar yang menghantam tubuhku dan membuatnya hancur berkepingkeping. Kalau saja aku tahu hal ini dari awal, aku tidak akan pernah mau menerima
lamarannya. Tapi, aku juga tidak mau melihat Bu Rahayu jadi jatuh sakit. Oh Ya Rabbi,
tolonglah hambaMu ini. Aku bangkit dari dudukku. Aku berusaha mengumpulkan kembali sisa-sisa kepingan
hatiku yang tadi hancur berserakan. Kulirikkan mataku ke jam dinding. Sudah cukup
malam dan aku teringat, aku belum shalat Isya. Sekuat tenaga aku berdiri dan
melangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Mataku memerah tapi
kutahan untuk menangis dihadapan Mama dan Papa. Mereka tidak boleh tahu akan hal ini.
Malam ini akan kuadukan semuanya pada Dzat Yang Maha Memberikan rasa, agar
Yusuf dapat menemukan arti dari sebuah makna cinta sejati.
*** Hari ini hari Minggu. Pagi ini aku kelihatan lesu dan tidak berdaya. Seusai shalat
subuh, tilawah qur"an beberapa halaman, dan wirid ma"tsurat aku langsung bergegas mandi
dan membereskan rumah. Hari ini aku ingat ada jadwal liqa 8 pukul sepuluh nanti. Seusai
membereskan rumah, aku langsung membuat sarapan seperti biasanya. Makan satu meja
bersama Mama dan Papa. Di tengah menyantap nasi goreng yang kubuat, tiba-tiba Papa menegurku.
"Din, kamu kenapa" Sepertinya lesu sekali pagi ini?" Tanya Papa mengejutkanku dari
lamunan. Kupandangi wajah Papa dengan tatapan hampa.
"Iya nih Din. Mama perhatikan dari tadi kok kamu diam saja. Seharusnya kamu senang
dong, kan semalam baru dilamar oleh Yusuf. Dapat surat lagi darinya" Imbuh Mama
melanjutkan. Tiba-tiba aku teringat akan surat dari Yusuf yang isinya sangat
menghancurkan hatiku. Aku termenung sendiri sambil menatap segelas susu putih
kepunyaanku. Andaikan saja hatiku ini bisa seputih susu itu.
"Din! Ada apa sih kamu?" Tegur Mama padaku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.
"Ehm....Pa, Ma, ada yang mau aku bicarakan" Ucapku tanpa pikir panjang lagi. Hatiku
semakin galau. "Mau membicarakan apa?" Tanya Papa.
Kutarik nafasku dalam-dalam.
"Setelah semalaman aku berpikir ulang kembali, aku memutuskan untuk.... menolak
lamaran Yusuf" "Apa"!" Teriak Papa dan Mama berbarengan.
"Iya Pa, Ma, aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Yusuf" Kataku lagi
mempertegas perkataanku sebelumnya.
8 ngaji Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Kamu sudah ngaco apa" Hari pernikahan dan segala persiapannya itu sudah ditentukan,
Dinda. Lagi pula, kenapa tiba-tiba kamu menolaknya" Bukankah semalam kamu kelihatan
bergembira sekali menerima lamaran Yusuf" Bahkan Yusuf sampai menuliskan surat cinta
untukmu. Lalu apa yang menyebabkanmu sampai berubah pikiran?" Tanya Mama dengan
penuh ketegasan. Andai saja Mama dan Papa tahu apa isi surat itu, pasti kalianpun akan melakukan hal
yang sama sepertiku. Bahkan aku yakin, Papa dan Mama tidak akan rela melepaskan aku
pada seseorang yang tidak mencintaiku. Tapi aku tidak akan memberitahukan semua ini
pada kalian. Cukup aku saja yang menderita.
"Dinda?" Tegur Mama.
"Ya Ma" Ehm...."
Sesungguhnya aku tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Mama. Ya Allah,
jawaban apa yang harus aku berikan pada Mama dan Papa"
"Ehm...A, aku merasa kurang pantas saja Ma bersanding dengan Yusuf. Aku merasa,
lebih baik dia bersanding dengan wanita lain saja dari pada dengan aku" Jawabku
sekenanya. "Tapi Din, dia itu jelas-jelas sudah memilihmu untuk menjadi pendampingnya. Jadi
untuk apa lagi kau menolaknya?" Tanya Papa penuh ketegasan. Aku diam seribu bahasa.
Dalam hati aku menjawab pertanyaannya.
"Yang sebenarnya memilihku bukanlah Yusuf Pa, tapi orang tuanya. Orang tuanya
yang menginginkan aku jadi menantunya, bukan Yusuf"
Aku hanya bisa menunduk dan pasrah dalam ketidak berdayaanku. Sejurus do"a
kupanjatkan pada Yang Kuasa agar semuanya bisa berjalan dengan baik. Mama kembali
bersuara. "Din, usiamu sudah menginjak 27 tahun. Mau cari yang seperti apa lagi kalau yang
seperti Yusuf saja kamu tolak?" Ucap Mama berusaha meyakinkanku. Aku rasa pertanyaan
Mama tak perlu kujawab. Aku hanya menjawabnya dalam hati.
"Aku hanya ingin mencari suami yang sholeh dan dapat mencintaiku apa adanya, Ma"
Ucapku dalam hati. Aku beranjak pergi dari hadapan Mama dan Papa. Mereka hanya bisa memandangiku
berjalan kekamar. Di kamar, kubuka buku harianku dan kutuliskan semua kegundahanku
dalam buku itu dengan air mata berlinang. Tanpa kusadari air mataku itu jatuh membasahi
tulisanku. Aku tak sanggup lagi dengan keadaan ini. Tapi aku kembali ingat, bahwa Allah tidak
akan pernah memberikan suatu cobaan kepada hambaNya diluar batas kemampuan
hambaNya. Dan sampai sekarang aku selalu ingat salah satu ayat itu yang terdapat di Surat
Al Baqarah. Kalau memang Allah sudah mempercayakan cobaan itu padaku, maka aku
yakin akupun bisa mengatasinya. Allah tidak pernah salah dalam bertindak. Mana mungkin
Allah salah" Mungkin ini adalah sebuah cobaan atas diriku untuk mencapai tingkat derajat
taqwa yang lebih tinggi. Jika aku sabar menghadapinya, itu berarti aku lulus. Tapi kalau
tidak, maka aku belum bisa mencapai derajat taqwa yang lebih tinggi itu.
Aku yakin, setiap manusia itu mempunyai kadar kesanggupannya masing-masing. Dan
yang tahu kadar itu hanyalah Allah swt. Bahkan manusia pun belum tentu mengetahui
kadar itu, karena manusia hanya bisa mengeluh dan mengeluh tanpa mau berpikir kenapa
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Allah memberikan cobaan itu. Yang manusia bisa lakukan hanyalah meratapi nasib yang
sudah ada tanpa mau berusaha untuk mengubahnya. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Allah
itu mengikuti prasangka hambaNya. Pertanyaannya bukan, Kenapa Allah memberikan
cobaan ini" Tapi lebih tepatnya lagi, Apa hikmah dibalik cobaan yang Allah berikan" Dan
tugas seorang manusia itu ialah mencari hikmah yang terkandung dari semua cobaan yang
telah Allah berikan. Itulah sikap manusia sejati.
Dan aku" Aku akan berusaha untuk menjadi manusia sejati itu. Aku tidak boleh kalah
oleh keadaan. Biar bagaimana pun, hidup ini masih dan harus terus berjalan. Aku yakin,
akan ada hikmah dibalik semua cobaan ini.
Ya, saat ini, bagiku, mencintai calon suamiku adalah cobaan untukku. Dan pastinya,
akan ada suatu kebaikan yang terkandung jika aku bersabar dalam mencintainya. Dan janji
Allah itu pasti, Innallaha Ma "ashshobirin. Allah itu selalu bersama orang-orang yang
sabar. Sabar dalam beribadah, sabar dalam melakukan perbuatan, sabar dalam mengarungi
kehidupan, dan sabar bila kita mencintai seseorang yang tidak mencintai kita. Sabar, sabar,
dan sabar. Itulah yang sekarang sedang berusaha aku lakukan. Aku akan selalu bersabar,
menanti pintu hatinya terbuka untuk dapat menerima cintaku.
Pukul sembilan kurang sepulih menit. Aku harus bersiap-siap pergi liqa ketempat
Mbak Rianti, murabbiku. Hari ini aku ada jadwal kultum. Aku tak mau terus menerus
memikirkan masalahku dengan Yusuf sementara masalahku yang lain masih menunggu
uluran tangan untuk aku selesaikan. Aku jadi mempunyai tema kultum yang baru untuk
aku sampaikan kepada teman-teman. Tema itu adalah tentang kesabaran. Apa itu sabar,
kenapa kita harus sabar, dan apa gunanya kita bersabar, semuanya akan aku bahas di forum
halaqah nanti. Sekalian aku akan meyampaikan kabar gembira sekaligus menyedihkan
untukku. Gembira karena sebentar lagi aku akan menikah. Dan menyedihkan karena lakilaki yang menikahiku sesungguhnya tidak mencintaiku. Tapi kabar menyedihkan itu tak
akan aku sampaikan nanti. Cukup hanya aku, Yusuf, dan Allah saja yang tahu.
Rabbi, kuatkanlah diriku. Izinkanlah aku meraih derajat taqwaMu, Ya Allah......
*** Lima Hari pernikahan itu tiba. Aku dan Yusuf didandani ala pengantin Jawa karena
keluargaku dan keluarganya berasal dari Jawa. Lebih tepatnya lagi, aku dari Jawa Timur
dan Yusuf dari Jawa Tengah. Aku mengenakan pakaian khas Jawa tapi tetap terbalut oleh
jilbab syar"i. Para undangan banyak sekali yang hadir. Tak terkecuali orang-orang dari
pihak penerbit yang selama ini berjasa dalam menerbitkan dua novelku. Diantara para
undangan yang hadir, ada yang mengaku kalau mereka adalah penggemar setia novelku.
Aku tak tahu dari mana mereka tahu acara pernikahanku ini. Tapi yang pasti aku sangat
senang karena mereka sangat peduli padaku. Aku hanya bisa mendo"akan mereka supaya
mereka bisa menemukan jodoh mereka dengan cinta.
Aku duduk bersanding dengan Yusuf. Kulihat wajah Yusuf tak seperti orang yang
sudah menikah pada umumnya. Wajahnya terlihat murung dan tak bersemangat. Dan yang
mengetahui penyebab kemurungannya itu hanya aku pastinya. Sesekali dia melebarkan
senyumnya pada orang yang memberikannya selamat. Senyum keterpaksaan tentunya.
Disela-sela waktuku menerima ucapan selamat dari para tamu, aku melihat sosok
seorang akhwat berjilbab lebar datang menghampiriku dan Yusuf bersama dengan dua
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
orang temannya. Aku dan Yusuf berdiri. Setelah mendekat, akhwat itu dan dua orang
temannya mengatupkan tangannya pada Yusuf sambil memberikan ucapan selamat
padanya. Akhwat berjilbab lebar itu begitu cantik. Dia lalu menjabat tanganku dan
memelukku dengan erat seraya berkata,
"Barakallah ya" Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah" Ucapnya
pelan. Dua orang akhwat yang mengiringinya melakukan hal yang sama terhadapku. Aku
hanya tersenyum pada mereka dan mengucapkan terima kasih. Aku tak tahu siapa mereka.
Tiba-tiba Yusuf bersuara,
"Syukran ya Alifa sudah mau datang" Ucap Yusuf pada akhwat berjilbab lebar tadi
yang kuketahui bernama Alifa. Alifa hanya mengangguk dan segera meminta diri. Dua
akhwat yang mengiringinya pun mengikutinya.
Kini aku tahu siapa Alifa yang pernah disebut-sebut oleh temannya Yusuf waktu di
book fair tempo hari. Kini aku tahu siapa Alifa yang disarankan oleh temannya Yusuf itu
untuk segera dilamarnya. Dan kini aku tahu, siapa "nama lain" yang ada di hatinya Yusuf,
yang mulai saat ini harus ia ganti dengan namaku. Nama itu adalah Alifa. Gadis itu adalah
Alifa. Dan impiannya yang sebenarnya juga adalah Alifa. Bukan diriku.
Aku hampir saja meneteskan air mata kalau saja Mama tidak mengajakku untuk
berphoto bersama. Dalam keramaian pesta pernikahanku, aku merasa sepi. Sepi sekali.
Mulai hari ini, aku harus menjalani kehidupanku yang baru dengan seorang suami yang
tidak pernah mencintaiku. Aku merasa sendiri saat ini. Hanya kesabaran yang dapat
menguatkan aku. Sekali lagi, hanya kesabaran yang dapat menguatkan aku.
*** Enam Selesai akad dan walimatul ursy, Yusuf membawaku ke Hotel Maharani yang terletak
di kawasan Mampang Prapatan. Masih dengan busana pengantin lengkap, aku dan Yusuf
memasuki kamar malam pertama kami. Kamar yang begitu indah, megah, mewah, dan
harum. Tapi semua itu sia-sia saja kalau malam ini aku dan Yusuf hanya bisa menatapi
keindahan kamar itu dengan perasaan hampa.
Aku tak tahu kenapa Yusuf membawaku ke hotel ini. Sebelum masuk ke kamar,
Mama, Papa, dan orang tua Yusuf ikut mengantarkan kami. Setelah dirasa cukup,
merekapun pulang. Tinggal aku dan Yusuf yang kini ada di dalam kamar. Mau apa juga
bingung. Aku memutuskan untuk mengganti pakaianku dengan pakaian biasa yang sudah
disiapkan dikamar. Entah siapa yang menyiapkan. Aku mandi, berganti pakaian, dan
mengambil air wudhu. Tak lupa aku mengajak Yusuf untuk shalat sunnah dua rakaat.
Diapun menuruti. Tak lama shalat sunnah, azan maghrib berkumandang. Segera saja Yusuf berpamitan
padaku untuk melakukan shalat Maghrib dan Isya di masjid terdekat. Aku
mengizinkannya. Tapi sebelum itu, aku memintanya untuk membacakan do"a yang pernah
Rasulullah ajarkan. Diapun mau. Perlahan dia mencium keningku dan membacakan do"a
yang pernah Rasulullah ajarkan, di atas ubun-ubunku. Sejurus kemudian aku dapati mataku
basah dengan air mata. Aku ucapkan terima kasih padanya. Setelah itu dia melangkah
keluar dan hilang dari pandanganku.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Aku langsung menunaikan kewajiban shalat Maghribku di kamar sambil menunggu
Yusuf pulang dari masjid. Aku masih merasakan kehampaan disini.
*** Pukul delapan malam lebih lima belas menit Yusuf tiba kembali dikamar. Aku yang
selepas shalat Isya lalu tilawah sebentar, segera bergegas untuk tidur. Tak ada pembicaraan
yang berarti antara aku dan Yusuf. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengambilkan
segelas susu putih untuknya. Dia menerimanya dengan ekspresi biasa-biasa saja lalu
mengucapkan terima kasih padaku. Saat ini aku masih mengenakan jilbabku. Aku masih
belum bisa tampil apa adanya di hadapannya.
Aku kembali lagi ke tempat tidur dan memiringkan tubuhku disana. Aku
membelakangi Yusuf yang tengah menikmati susu putih buatanku tadi. Kami masih terjaga
oleh diam. Sesaat lamanya kami melewati waktu dengan kondisi seperti itu. Tiba-tiba
Yusuf bersuara dan memulai pembicaraan.
"Maafkan aku ya Din?" Ucapnya pelan.
Aku masih terkejut mendengar dia bersuara. Aku tak menjawabnya dan hanya diam
sambil mendengarkan dia kembali bersuara.
"Aku memang seorang lelaki pengecut yang tidak mempunyai nyali untuk menghadapi
semua kenyataan ini. Kenyataan bahwa aku harus membohongi kedua orang tuaku,
membohongi kedua orang tuamu, menyakiti hatimu, dan terlebih lagi, aku harus menyakiti
Allah karena telah melakukan hal ini. Aku sungguh-sungguh lelaki yang tak berguna.
Bahkan ketika aku sudah menjadi seorang suami pun, seorang imam bagi dirimu, aku tidak


Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa sedikit pun membahagiakanmu. Aku memang pengecut"
Aku dengar suara itu dengan perasaan gamang. Aku tak bisa berucap apa-apa. Perlahan
aku rasakan kedua mataku basah. Segera aku membasuhnya.
"Maaf, jika karena diriku, kamu harus merelakan kebahagiaanmu tergadaikan oleh
sikapku ini. Mungkin kamu tidak akan menemukan kebahagiaan itu bersamaku. Tapi aku
selalu berharap, kelak kaupun bisa menemukan kebahagiaanmu itu" Ucap Yusuf lagi
pelan. "Bagaimana mungkin aku bisa bahagia, bila orang yang aku cintai tidak bahagia"
Ucapku menyahuti perkataan Yusuf. Aku tak mendengar dia berucap.
"Aku memang memiliki dirimu, tapi aku tidak memiliki cintamu. Aku memang bukan
siapa-siapa dihatimu, tapi aku berharap....kau tidak lagi memikirkan Alifa" Sambungku
sekenanya. "Alifa"!" Tanya Yusuf kaget.
"Dari mana kau tahu tentang Alifa?"
Aku bangkit dari tidurku dan kuhadapkan wajahku padanya. Wajah yang penuh
kecemburuan pada seorang wanita yang bernama Alifa.
"Kau tidak perlu tahu darimana aku tahu tentang Alifa, yang terpenting, aku hanya
minta satu darimu, tolong lupakan Alifa. Biar bagaimanapun, aku istrimu yang sah. Dan
seperti seorang istri pada umumnya, aku tidak terima kalau kau masih saja terus
memikirkan perempuan lain. Aku bukannya egois, tapi aku hanya ingin membantumu
untuk tidak menyakiti Allah lebih banyak lagi. Aku yakin kaupun mengerti akan hal ini"
Jelasku sambil menatap kedua matanya yang jeli.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Kembali aku rebahkan tubuhku di tempat tidur dengan membelakanginya. Kutarik
selimut untuk menutupi tubuhku dan kumatikan lampu yang ada diatas meja kecil
disamping tempat tidur. Aku berusaha memejamkan mataku sebisanya. Dalam hati
kecilku, aku masih berharap Yusuf mau menyentuhku dan menganggapku sebagai seorang
istri. Biar bagaimanapun, akupun sama seperti seorang istri pada umumnya, menginginkan
kebahagiaan atas dirinya di malam pertama pernikahannya. Melakukan ibadah bersama
sebagaimana sepasang suami istri pada umumnya. Memadu kasih dengan kerelaan hati dan
jiwa, diiringi dengan munajat sepasang pengantin yang tengah dimabuk cinta dan berharap
pahala yang banyak dari Allah swt. Dapat melahirkan generasi pilihan yang dapat
menegakkan kalimat Allah di muka bumi ini.
Tapi semua harapanku seolah sirna ketika Yusuf lebih memilih untuk tidur
membelakangiku dan mematikan lampu yang ada disebelahnya. Keadaan kamar saat itu
gelap seketika. Aku tak bisa merasakan apapun kecuali sakit yang tiba-tiba saja menyusup
dalam dada. Aku ingin menjerit, aku ingin berteriak, tapi aku kembali sadar, bahwa ini
hanya sebuah ujian yang Allah berikan untukku. Dan aku yakin, akan ada berlimpahlimpah hikmah yang akan aku dapat jika aku bersabar karenanya.
Rabbi, kuatkanlah aku malam ini........
*** Waktu seolah lamban sekali berputar. Malam ini, aku benar-benar tidak bisa tidur.
Entah dengan Yusuf. Berkali-kali aku merasakan tempat tidur yang kami tiduri bergoyang
karena Yusuf sering sekali membalik-balikkan tubuhnya. Sedangkan aku masih dengan
posisiku yang semula. Aku merasakan pegal yang teramat sangat di bagian pinggangku
karena semalaman aku tidur dengan posisi miring membelakanginya.
Kuraih ponselku yang tergeletak diatas meja kecil dekat lampu. Kunyalakan. Ternyata
baru pukul setengah tiga pagi. Sudah bosan rasanya aku dengan keadaan seperti ini. Ingin
berbuat sesuatu, tapi apa" Tiba-tiba aku merasakan Yusuf bangkit dari tempat tidur. Entah
dia berjalan kemana. Aku enggan menolehkan kepalaku untuk melihat sedang apa dia
sekarang. Sejurus kemudian aku mendengar dia bersuara.
"Din, aku mau ke masjid. Mau shalat tahajud lalu menunggu hingga subuh datang"
Ucapnya padaku. Aku dengar dia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Aku
bingung harus berbuat apa. Seketika saja aku bangkit dari tidurku dan berlari mengejarnya.
Aku berdiri di depan pintu untuk menghadangnya keluar. Segera saja aku kunci pintu.
Kuncinya aku cabut dan kupegang dengan erat.
"Kau tidak boleh kemana-mana!" Ucapku tegas. Aku menatapnya dengan tajam.
Kulihat pandangannya seolah bertanya-tanya akan sikapku. Sedangkan aku masih berdiri
di depan pintu sambil mengatur nafasku.
"Kenapa aku tidak boleh" Aku hanya ingin pergi ke masjid untuk shalat tahajud dan
menunggu hingga subuh datang. Aku hanya ingin shalat" Ucap Yusuf seolah mempertegas
pernyataannya yang pertama tadi.
"Kau tidak boleh kemana-mana sebelum kau melakukan tugasmu sebagai seorang
suami!" Kataku sambil diiringi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Aku yakin
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
tatapanku begitu meyakinkan untuknya. Dia tidak bersuara sedikitpun. Tapi raut wajahnya
begitu memperlihatkan kebertanya-tanyaannya. Aku kembali berucap.
"Subuh masih dua jam lagi dan kau masih punya waktu untuk menunaikan tugasmu
sebagai seorang suami yang bukan seorang pengecut!"
Matanya tidak berkedip sedikitpun dan wajahnya terlihat hampa. Bibirnya bergerak
sedikit tapi tidak mengucapkan apapun. Aku terus saja menatap wajahnya. Tiba-tiba
mataku basah dan sejurus kemudian aku menangis sejadi-jadinya. Aku menangis karena
memikirkan tindakan dan perkataanku barusan padanya. Aku tersadar. Mana mungkin
Yusuf mau memenuhi permintaanku sedangkan rasa cinta untukkupun dia tidak punya.
Yusuf memandangiku yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia berpikir untuk
menghampiriku untuk sekedar menghapus air mataku.
Ditengah tangisku aku berucap,
"Mungkin aku egois karena tidak memimikirkn perasaanmu, dan mungkin aku egois
karena seakan-akan aku memaksakan cintamu padaku. Tapi aku ingin tanya, apakah
pernah kau memikirkan perasaanku ketika pertama kali aku tahu kalau kau tidak
mencintaiku" Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika surat darimu yang aku
kira surat cinta, ternyata adalah surat yang isinya begitu menyakitkan untukku" Apakah
pernah kau memikirkan perasaanku ketika kau menyebutkan ada "nama lain" di hatimu dan
itu bukan aku" Apakah pernah kau memikirkan perasaanku ketika di malam-malam
menjelang hari pernikahanku, bukan kebahagiaan yang aku rasakan melainkan kesedihan
demi kesedihan yang terus menyayat hatiku" Apakah tak tergerak sedikit saja hatimu,
ketika kau melihat air mataku jatuh di malam pertama pernikahanku" Apakah pernah kau
memikirkannya?"!" Tanyaku sambil terus menangis.
Aku tertunduk lemas didepan pintu kamar sambil sesenggukkan. Berkali-kali aku
hapus air mataku tapi air mata itu keluar begitu saja seiring dengan hatiku yang semakin
sakit akan sikap Yusuf yang biasa-biasa saja terhadapku. Sesaat lamanya aku menangis
dan Yusuf juga hanya bisa menundukkan kepalanya tanpa berbuat apapun. Aku semakin
gemas dibuatnya. Dia memang laki-laki yang pengecut. Untuk hal ini saja dia tidak bisa
mengambil keputusan. Akhirnya aku putuskan untuk membiarkannya pergi. Aku buka pintu dan
kupersilahkan dia untuk pergi. Kemana saja yang dia mau tanpa harus memikirkan diriku.
"Pergilah!" Ucapku tanpa memandang wajahnya.
"Pergilah kemanapun kau suka. Pergilah ketempat yang bisa membuatmu tenang.
Pergilah agar kau tidak selalu melihat diriku. Pergilah tanpa kau harus memikirkan diriku
disini. Aku tidak akan memaksamu. Pergilah!!" Perintahku dengan suara agak serak.
Lagi-lagi kurasakan air mataku jatuh membasahi pipiku. Segera saja kuhapus. Sesaat
kemudian aku mendengar dia melangkahkan kakinya mendekat kearahku. Tiba-tiba dia
memelukku dengan sangat erat. Aku terkejut dibuatnya. Air mataku semakin deras
membasahi pipi. Di dalam pelukannya aku berucap,
"Pergilah! Aku sudah bilang aku tidak akan memaksamu. Pergilah! Jangan biarkan
hatimu tersakiti oleh perbuatan yang sebenarnya tidak ingin kau lakukan. Pergilah!
Pergilah!" Ucapku sambil terus menangis. Yusuf semakin erat memelukku. Sejujurnya,
aku merasakan kehangatan berada dalam pelukannya.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Tiba-tiba Yusuf menutup pintu kamar dan menguncinya. Tanpa berucap sepatah
katapun dia mengajakku ke tempat tidur. Kududukkan tubuhku di pinggirannya dan diapun
duduk di hadapanku. Tangannya menghapus air mataku. Dia menatapku dan berucap,
"Subuh masih dua jam lagi dan aku masih punya waktu untuk menunaikan tugasku
sebagai seorang suami. Dan akan aku buktikan, bahwa aku bukan seorang pengecut".
Aku mengerti apa yang diucapkannya. Aku tak menyahuti perkataannya lagi. Perlahan
dia melepas jilbab yang aku kenakan. Dia membuka ikatan rambutku dan perlahan
tangannya menyentuh kancing-kancing bajuku.
Dia merebahkan tubuhku. Dan dalam kegelapan malam, aku dan Yusuf melakukan
ibadah itu bersama. Melakukannya dengan penuh kekhusyukkan, ketenangan, meskipun
aku tahu, tak ada cinta yang dia berikan untukku. Tapi sungguh, malam ini aku benarbenar menjadi seorang istri. Aku selalu berharap, Allah masih bersedia memberikan sedikit
pahalaNya atas ibadahku dan Yusuf malam ini.
Ya Allah, berkahi malam ini untukku dan suamiku. Amin.
*** Tujuh Tiga hari kami berada di hotel. Tak banyak waktu yang kami gunakan untuk
melakukan segala aktivitas yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri yang sedang
berbulan madu pada umumnya. Jalan-jalan bersama, melihat pemandangan suasana malam
di beranda kamar hotel, atau sekedar sarapan bersama sambil bercerita hal-hal yang indah
yang Bisa membangkitkan keromantisan dalam berumah tangga. Semua itu hanya impian
belaka bagi kehidupanku yang sekarang. Selepas shalat Subuh, Yusuf pergi keluar dan
baru akan kembali setelah waktu dhuha sudah hampir hilang. Sedangkan aku, kuhabiskan
waktuku sendirian di dalam kamar sambil membaca buku atau tilawah qur"an sambil
sedikit menghafalnya. Tadi pagi Yusuf tak pergi kemana-mana. Dia bilang tugasnya disekolah sudah
menumpuk. Dia tak ingin tidak masuk mengajar lebih lama lagi karena kasihan muridmuridnya. Ya, Yusuf memang seorang guru fisika di Sekolah Menengah Pertama
Labschool di kawasan Kebayoran. Dari sekolahnya sebenarnya mengizinkan dia untuk
libur sampai lima hari, tapi dengan alasan banyak kerjaan yang tertunda kalau dia libur
sampai lima hari, akhirnya dia memutuskan untuk pulang hari ini. Akupun menerima
keputusannya dan berusaha menerima alasannya juga.
Semua barang sudah dikemas dengan rapi. Tak banyak barang yang kami bawa sebab
kami datang kesini langsung dari pesta walimatul ursy. Hari ini kami sepakat untuk pulang
kerumah orang tua Yusuf yang terletak di kawasan Cawang, Jakarta Timur. Setelah dirasa
cukup, kamipun pulang meninggalkan hotel. Tak banyak yang kami perbincangkan selama
dalam perjalanan pulang, bahkan seolah tak ada topik yang enak untuk dibahas bersama.
Suasana didalam taksi benar-benar hening, sunyi, dan senyap. Sesekali supir taksi yang
kuketahui bernama Pah Burhan, berseloroh mengenai cerita-cerita lucu. Aku dan Yusuf
hanya tersenyum kecil lalu kembali diam. Kadang-kadang Yusuf menimpali dan
menyahuti celotehan Pak Burhan itu. Aku jadi tak berselera.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Di sekitar kawasan Jalan MT. Haryono taksi yang kami tumpangi berhenti. Bukan
karena mogok atau kehabisan bensin, tapi karena macet tengah menghadang kami. Cukup
lama taksi terjebak oleh kemacetan itu. Ditengah hiruk pikuk kota Jakarta, tiba-tiba saja
Pak Burhan mengeluarkan pertanyaan yang membuatku dan Yusuf saling bertatap muka.
"Oh iya, kalian ini suami istri kan?" Tanyanya sambil melihat kaca spion yang ada di
atas kepalanya. Aku dan Yusuf mengangguk.
"Kenapa memang Pak?" Tanya Yusuf.
"Ah tidak. Saya takut saja kalau kalian ini bukan suami istri tapi kok keluar dari hotel.
Ternyata kalian memang benar-benar suami istri. Syukurlah" Ucap Pak Burhan sambil
sesekali membasuh peluh yang mengalir di pelipisnya. Suaranya menunjukkan sekali
keciri khasannya bahwa dia ini orang Batak.
"Kenapa Bapak bertanya seperti itu?" Tanyaku tiba-tiba.
"Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Habis saya perhatikan dari tadi, kalian ini kok hanya
diam-diaman saja tanpa berbicara sedikitpun. Kenapa rupanya kalau saya boleh tahu?"
Tukas Pak Burhan. Aku dan Yusuf terdiam. Aku mengalihkan pandanganku kearahnya dan diapun begitu.
Lalu kami mengembalikan pandangan kami ke luar. Aku tak tahu jawaban apa yang harus
aku berikan untuk pertanyaan Pak Burhan yang sebenarnya bisa aku jawab dengan
jawaban, "Kami seperti ini karena suami saya tidak mencintai saya Pak". Tapi aku hanya
bergumam dalam hati. Pak Burhan kembali bertanya.
"Waduh!! kalian ini kenapa malah diam lagi" Kalau memang saya tidak boleh tahu, ya
tidak apa-apa. Tapi kalau saya boleh saran, janganlah suami istri itu saling diam dan acuh
tak acuh. Tidak baik itu. Kalian itu dipertemukan oleh Allah dan sepatutnyalah kalian
bersyukur akan hal itu. Kalau memang kalin punya masalah, maka selesaikanlah secara
baik-baik. Dibicarakan apa permasalahannya lalu carilah jalan keluarnya secara bersamasama. Dan semua itu butuh komunikasi yang kuat. Tidak diam-diaman seperti ini. Macam
mana pula kalian ini. Saya ini hidup berkeluarga itu sudah hampir 36 tahun, tapi keadaan
rumah tangga saya dan istri baik-baik saja, karena kami selalu membicarakan apapun yang
menurut kami mengganjal dihati. Seperti itulah kalian berdua." Jelas Pak Burhan panjang
lebar. Aku yang mendengarnya benar-benar tersentuh. Memang benar apa yang di katakan
Pak Burhan. Segala sesuatunya itu memang harus dibicarakan agar tidak ada kesalah
pahaman. Tapi apa yang mau dibicarakan kalau semuanya sudah jelas kalau keadaan
seperti ini disebabkan oleh ketidak mampuan suamiku untuk mencintaiku. Aku perhatikan
Yusuf hanya terdiam. Mungkin diapun tengah memikirkan perkataan Pak Burhan barusan.
"Kalau saya boleh tahu lagi, sudah berapa lama kalian ini menikah?" Tanya Pak
Burhan lagi mengejutkanku. Kuarahkan pandanganku padanya. Kali ini Yusuf menjawab,
"Baru tiga hari Pak"
"Wah! Wah! Wah! Baru tiga hari rupanya. Pengantin barulah kailan. Kuucapkan
selamat ya" Berarti, ke hotel kemarin itu untuk bulan madu ya" Wah! Bergembiralah
kalian. Berapa ronde sudah kalian mainkan?" Tanya Pak Burhan membuatku bingung.
"Berapa ronde apanya Pak?" Yusuf balik bertanya.
"Ah! Masa kalian tidak mengerti. Itu, ronde kalian bermain cinta. Masa tidak mengerti.
Kaulah anak muda. Pura-pura saja kau tidak mengerti. Tapi maklumlah aku, namanya juga
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
pengantin baru. Jadi masih perlu banyak belajar" Tukas Pak Burhan santai. Aku dan Yusuf
saling berpandangan sesaat lalu kembali terdiam.
Taksi sudah mulai berjalan. Kamipun terlepas dari jebakan macet. Yusuf lebih memilih
diam tanpa mau menjawab pertanyaan Pak Burhan tadi. Aku sendiri memikirkan perkataan
Pak Burhan. "Namanya juga pengantin baru, jadi masih perlu banyak belajar"
Ya, aku dan Yusuf memang masih harus banyak belajar. Belajar untuk lebih sabar
dalam menghadapi kenyataan hidup, belajar untuk lebih bisa menerima keadaan kami satu
sama lain, belajar untuk bisa lebih bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, dan
belajar untuk lebih bisa menghargai dalam mencintai. Belajar, belajar, dan belajar. Itulah
yang sekarang sedang aku dan Yusuf usahakan dalam mengisi hidup ini.
Utlubul ilma minal mahdi ilallahdi. 9
*** Sesampainya dirumah, aku dan Yusuf langsung disambut hangat oleh orang tua Yusuf
yang kini telah menjadi mertuaku, dan juga orang tuaku yang kini telah menjadi mertua
Yusuf. Mereka begitu bergembira melihat kedatangan kami. Aku peluki Mama dan Papa
dengan penuh kerinduan. Entah mengapa, aku benar-benar merindukan mereka. Tak lupa
aku memeluk Bu Rahayu yang tak lain adalah ibu mertuaku dan mencium tangan Pak
Sardi yang tak lain adalah ayah mertuaku. Hari itu kami habiskan dengan
memperbincangkan hal-hal kecil seputar pernikahan dan bulan madu kami selama tiga hari
di hotel. Setelah cukup lama di rumah mertuaku, Mama dan Papa memutuskan untuk pulang.
Mulai hari ini, aku telah resmi menjadi bagian dari keluarga Pak Sardi dan Bu Rahayu.
Sebelum mereka pulang, aku memeluk mereka dengan erat sambil menangis di
pelukannya. Sungguh, aku tak bisa menahan tangis haruku ketika mereka memutuskan
untuk melepasku dan menyerahkanku pada Yusuf dan keluarganya. Mereka hanya
menenangkanku dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa aku terima dalam hati.
"Sudahlah Din. Kamu ini sudah berkeluarga. Ikutlah apa yang suamimu bilang. Jangan
sampai mengecewakannya ya" Mama dan Papa akan sering-sering menghubungimu. Kami
yakin kamu akan bahagia hidup bersama mereka. Ya?"
Itulah perkataan yang diucapkan Mama sebelum dia pulang bersama Papa. Aku
memandangi mereka dari kejauhan. Semakin lama mereka hilang dari pandanganku. Jauh,
jauh, dan akhirnya hanya tinggal bayangan mereka saja yang selalu aku ingat dalam
pikiranku. Aku, Yusuf, dan orang tuanya masuk kembali ke dalam rumah. Hari sudah semakin
malam. Ayah mertuaku memutuskan untuk segera tidur. Aku dan Bu Rahayu
membereskan gelas-gelas dan piring kotor untuk dicuci di dapur. Yusuf masih tenang di
depan televisi sambil menonton siaran berita malam. Tak pernah ada senyum yang
mengembang di wajahnya. Aku membantu ibu mertuaku mencuci piring. Kami banyak berbincang tentang
pengalaman beliau selama berumah tangga dengan Pak Sardi. Dari perbincangan itu aku
9 Tuntutlah ilmu dari buaian hingga keliang lahat
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
banyak menemukan pelajaran-pelajaran baru dalam berumah tangga. Bagaimana caranya
membuat suami bahagia, apa yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya marah, dan


Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih banyak lagi yang ibu mertuaku beri tahukan padaku soal kehidupan suami istri.
Termasuk hal-hal intim yang menurut sebagian orang tabu untuk dibicarakan.
Aku melihat sosok Bu Rahayu begitu terbuka. Begitu ramah dan baik dalam bersikap.
Kelembutannya sebagai seorang ibu tidak mengalahkan sikap ketegasannya dalam
bertindak. Apa yang menurutnya benar, ya maka dibenarkannya. Tapi jika menurutnya
salah, maka diapun tak segan-segan memberikan peringatan pada siapapun dengan tegas
dan baik tapi tidak terkesan menghakimi.
Hal itu aku ketahui ketika dia bercerita tentang Yusuf yang ketika kecil sering
membuat onar dengan teman bermainnya. Suatu ketika, orang tua temannya itu pernah
mengadu pada Bu Rahayu kalau Yusuf telah memukul anaknya itu sampai berdarah.
Sebagai ibu yang adil dan bijaksana, Bu Rahayu memberikan hukuman yang setimpal pada
Yusuf. Dia akhirnya jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Diam-diam aku salut pada ibu mertuaku. Dia sosok yang sekarang ini menjadi
pengganti Mama di kehidupan baruku. Dia pula yang secara tidak langsung dapat
menguatkanku dalam menghadapi masalahku dengan Yusuf.
Tak terasa waktu sudah beranjak malam mendekati dini hari. Aku dan ibu mertuaku
memutuskan untuk segera tidur. Di ruang tamu tidak lagi aku dapati Yusuf disana.
Mungkin sudah masuk kamar. Semua lampu sudah dimatikan. Sebelum masuk
kekamarnya, Bu Rahayu memberikan senyumannya padaku. Aku membalasnya. Aku
masih berdiri di depan kamar Yusuf yang kini juga menjadi kamarku. Kutarik nafasku
dalam-dalam dan kupejamkan mataku. Perlahan kusentuh gagang pintu kamarku dan mulai
kubuka. Tiba-tiba saja dari dalam, Yusuf membukanya dan mendapatiku tengah terkejut
menatap wajahnya. "Kenapa berdiri saja disitu" Ayo masuk!" Perintahnya padaku. Aku hanya
mengangguk dan mengikutinya masuk ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat
tidurnya yang empuk. Lampu yang ada disebelahnya sudah dimatikan. Cahaya yang ada
tinggal dari lampu yang ada disebelah tempat aku tidur. Aku belum mau mematikannya.
Aku membuka jilbabku dan aku duduk di depan cermin. Kusisiri rambutku perlahan
sambil memandangi Yusuf dari balik cermin. Tubuhnya membelakangiku.
Setelah selesai menyisir, aku melangkah ketempat tidur dan bersiap untuk tidur.
Posisiku sama seperti posisi dia membelakangiku. Kumatikan lampu yang ada disebelahku
dan kupejamkan mataku. Suasana malam ini begitu dingin. Selimut yang menutupi
tubuhku dan Yusuf seolah tak bisa memberikan rasa hangat yang lebih pada hatiku yang
semakin membeku. Dalam pejam malamku, aku berdo"a,
"Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menghadapi semua kenyataan ini. Amin"
*** Delapan Detik berganti detik, menit berganti menit, jam berganti jam, hari berganti hari, dan
minggu berganti minggu. Tak terasa sudah lima bulan lamanya aku hidup sebagai seorang
istri. Menjalani hidup ini dengan seorang suami yang sampai sekarang belum bisa
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
menerimaku sebagai istrinya. Sampai sekarang pula tak pernah sedikitpun aku lihat sebuah
kilatan cinta dimatanya untukku. Tak pernah ada tatapan mesra penuh kehangatan yang dia
berikan padaku ketika dia pulang dari kerjanya ataupun ketika aku pulang dari
kewajibanku bekerja di sebuah perusahaan majalah Islam. Karena hal ini juga, novel
ketigaku yang harusnya sudah rampung beberapa bulan yang lalu, kini harus rela tertunda
karena masalah hatiku. Suasana di rumah dan di kantor sangat berbeda sekali. Di rumah tak bisa aku temukan
kemesraan seikitpun dari suamiku, Yusuf. Tetapi dikantor, aku justru menemui Arini dan
Fauzi yang kian hari kulihat kian mesra. Tak jarang aku mendengar cerita Arini tentang
Fauzi, suaminya, yang menurutnya sangat lembut dan mesra sekali pada dirinya. Aku
semakin iri dibuatnya. Andai saja Arini tahu apa yang aku alami selama hidup berumah tangga, aku yakin
Arinipun akan menangis dibuatnya. Dia adalah tipe perempuan yang mudah sekali
menangis bila melihat atau mendengar kabar atau berita yang menyedihkan. Saat ini dia
tengah mengandung dua bulan, hasil buah cintanya dengan Fauzi. Aku hanya bisa
tersenyum kecil kala mendengar ceritanya tentang pengalamannya selama dia
mengandung. Tak jarang aku dibuatnya kebingungan tatkala dia menanyaiku kapan aku
mau menyusulnya. Aku kembali tersenyum dan hanya menjawab,
"Do"akan saja ya Rin" Mudah-mudahan Allah berkenan menitipkan bidadari kecilNya
padaku dan suami" "Amin", Sahut Arini mengamini.
Mengingat hal itu, aku jadi teringat akan bulan maduku bersama Yusuf di hotel
Maharani lima bulan yang lalu. Aku ingat betul, sejak kejadian itu sampai sekarang, kami
baru melakukannya lima kali. Ya, bisa diperhitungkan dalam sebulan itu hanya sekali kami
melakukannya. Maka tak jarang, sebelum subuh aku terbangun untuk makan sahur agar
keesokannya aku kuat melakukan shaum 10 . Hal itu sengaja aku lakukan untuk menahan
keinginan biologisku yang tak tersalurkan.
Terkadang pula sebelum aku makan sahur, aku terlebih dulu melaksanakan shalat
tahajud dan sedikit bermunajat pada Sang Maha Pencipta. Meminta kekuatan untuk bisa
menjalani hidup ini, meminta kesabaran agar aku bisa lebih tabah menerima keadaan
suamiku, dan tak lupa, meminta kepada Sang Maha Pemberi nikmat agar berkenan
menitipkan bidadari kecilNya padaku. Bidadari kecil yang sudah lama aku nantikan.
Bidadari mungil yang sebenarnya sudah aku impikan sebelum aku menikah. Bidadari
cantik yang sesungguhnya menjadi harapanku ketika kelak aku hidup bersama seorang
suami. Bidadari yang mungkin kini akan lama hadir dalam kehidupanku.
Ditengah munajatku kepadaNya, tak jarang air mataku jatuh membasahi putihnya
warna mukena yang kukenakan. Selesai bermunajat, aku tutup tahajudku dengan shalat
witir 3 rakaat lalu kemudian aku makan sahur. Seadanya saja. Biasanya setelah sahur, aku
mengambil buku harianku dan kutuliskan semua keadaan hatiku disana. Tentang Yusuf
suamiku, tentang alasanku melakukan puasa sunnah, dan tentang harapan-harapanku di
masa depan. Terkadang ayah dan ibu mertuaku bertanya padaku kenapa sering sekali melakukan
puasa sunnah. Aku hanya menjawab,
10 puasa Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan banyak melakukan ibadah-ibadah
sunnah" Biasanya ayah dan ibu mertuaku hanya mengangguk-angguk pelan.
Aku juga sering mandi sebelum subuh. Hal itu aku lakukan agar mereka tak menaruh
curiga padaku. Mereka pasti akan berpikir kalau aku mandi sebelum subuh, itu artinya
semalam aku dan Yusuf baru memadu kasih. Aku hanya ingin mereka berpikiran yang
baik-baik terhadap aku dan Yusuf. Itulah hal-hal yang sering aku lakukan ketika aku masih
tinggal dirumah mereka. Tapi kini, hal itu tak perlu lagi aku lakukan. Beberapa hari yang lalu aku dan Yusuf
memutuskan untuk mengontrak rumah di darerah Lenteng Agung. Tak besar memang, tapi
aku rasa inilah yang terbaik yang harus kami lakukan.
Tempat tidur, lemari pakaian, komputer, bufet, televisi, kursi, dan meja, semuanya
telah tertata dengan rapi dirumah kontrakan baruku. Mama, Papa, Ayah, dan Ibu mertuaku
turut membantuku merapikan rumah. Mereka benar-benar mengira kalau kehidupanku dan
Yusuf amatlah bahagia, sampai-sampai kami memilih untuk mengontrak rumah karena
ingin belajar hidup mandiri. Aku hanya bisa meminta do"a restu mereka agar aku dan
Yusuf memang benar-benar Bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya dirumah
ini. *** Malam ini Yusuf tengah bergelut dengan laptopnya. Aku sendiri tak tahu apa yang
sedari tadi dikerjakannya. Selepas Maghrib tadi dia sudah mulai duduk di depan laptop
sambil mengetik beberapa tulisan yang ada dihadapannya. Beberapa lembar kertas
berserakan di meja dan itu membuatnya tampak sangat sibuk. Sepertinya tak ada jeda
untuk dia melakukan aktivitas lain. Dia menjeda kegiatannya tatkala azan Isya
berkumandang dari masjid dekat rumah baru kami. Masjid Al Mustofa namanya. Kali ini
dia memilih untuk shalat Isya dirumah ketimbang di masjid. Alasannya kalau di masjid,
selesai shalat tidak Bisa langsung pulang karena bapak-bapak disana sering mengajaknya
berbincang-bincang terlebih dahulu. Kalau itu sampai terjadi, maka malam ini dia harus
ekstra lembur karena banyak sekali ketikan yang yang harus diselesaikan.
Selesai shalat Isya, dia kembali lagi bergelut dengan laptopnya di ruang tamu. Aku
mencoba memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil membawakan segelas wedang
jahe untuknya agar tidak masuk angin, karena malam ini ia harus lembur.
"Ngetik apa sih Mas, dari tadi" Sepertinya kelihatan sibuk sekali?" Tanyaku sambil
memanggilnya dengan sebutan "Mas". Ya, memang semenjak aku menikah dengannya, aku
memanggilnya dengan sebutan "Mas". Diapun tidak keberatan aku memanggilnya seperti
itu. Mendengar pertanyaanku tadi, dia sepertinya agak kesal. Wajahnya tak tampak
seguratpun senyuman. Mungkin karena dia yang sudah sibuk, ditambah lagi dengan
pertanyaanku yang sebenarnya tidak Bisa membantunya. Mungkin. Itu hanya sebuah
kemungkinan saja dariku. Dia menjawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
"Ngetik soal buat UTS 11 besok" Jawabnya singkat.
"Memang sebanyak itu?" Tanyaku lagi.
11 Ujian Tengah Semester Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Dia hanya mengangguk. Aku terdiam sesaat lalu beranjak pergi dari hadapannya.
"Jangan tidur terlalu malam ya" Khawatir besoknya kurang fit malah tidak Bisa ngajar.
Wedang jahenya jangan lupa diminum, biar kamu tidak masuk angin. Aku tidur duluan
ya?" Ucapku sebelum beranjak pergi ke kamar.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk lirih. Aku jadi merasa kasihan padanya. Ketika aku
hendak membuka pintu kamar, dia bersuara.
"Terima kasih ya" Dinda" Ucapnya sambil memandang kearahku. Spontan akupun
menoleh padanya dan memberikannya senyuman. Diapun tersenyum kecil dan kembali
lagi mengetik. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan bahagia. Entah mengapa
mendengar dia memanggil namaku seolah mendadak berubah menjadi panggilan sayang
untukku. Dinda. Ya, nama itu seolah menjelma menjadi panggilan, "Dindaku sayang".
Ah, andai saja itu benar-benar terjadi, pasti saat ini aku tengah berbahagia dengan
kehidupan baruku. Tapi paling tidak, mendengar dia memanggil namaku saja aku sudah
sangat senang. Malam ini, aku Bisa tidur nyenyak.
"Terima kasih ya" Dinda" Suaranya terus menggema di telingaku, sampai aku
memejamkan mata. *** Sembilan Di tengah pejam malamku, tiba-tiba aku terbangun. Aku merasakan haus yang tak
tertahankan. Akhirnya aku bangkit dari tidurku dan melangkah keluar kamar. Betapa
terkejutnya aku melihat suamiku tengah tertidur di depan laptopnya. Kulirik jam dinding.
Pukul sebelas malam. Aku terenyuh melihatnya. Kuhampiri dia. Wajahnya begitu lelah
terlihat. Wedang jahe yang tadi aku buatkan untuknya juga sudah habis diminumnya. Aku
juga melihat ketikan di komputernya. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Aku
bingung. Apa yang harus aku lakukan untuk membantunya"
Sejenak aku berpikir. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk menghubungi Mas
Bambang, temannya Mas Yusuf di tempatnya mengajar, untuk mencari tahu tentang soalsoal yang tengah diselesaikannya sekarang. Mas Bambang itu mengajar pelajaran
matematika. Tapi, apa tidak terlalu malam untuk menghubunginya" Apa tidak
mengganggunya" Ah, ini kan untuk kebaikan juga. Kalau sampai soal-soal ini tidak selesai
malam ini juga, maka besok tidak ada soal fisika yang bisa dikerjakan. Aku putuskan
untuk menghubungi Mas Bambang melalui ponsel Mas Yusuf yang tergeletak di meja
dekat laptopnya. Kucari nama Mas Bambang lalu kupanggil. Busmillah.
Sesaat lamanya yang kudengar hanya nada sambung. Kuulangi lagi. Alhamdulillah
diangkat. "Ada apa Suf" Malam-malam kok mengganggu saja" Ucap Mas Bambang dengan nada
kesal. Terdengar sekali suaranya yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Maaf Mas, saya Dinda, istrinya Mas Yusuf" Tukasku agak pelan. Takut Mas Yusuf
terbangun. "Oh, maaf...maaf. Saya pikir Yusuf. Ada apa ya, menelepon malam-malam?" Tanya
Mas Bambang terdengar kaget ketika dia tahu yang meneleponnya adalah istrinya Yusuf,
bukan Yusuf. Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Maaf ya Mas, sebelumnya. Saya hanya ingin tahu mengenai UTS besok. Apa mata
pelajaran Mas Yusuf itu akan diujikan besok pagi, Mas ya?"
"Oh...iya. Pelajaran fisika itu akan diujikan besok bersama pelajaran Bahasa Indonesia.
Ada apa rupanya ya?" Tanya Mas Bambang ingin tahu.
"Tidak Mas, tidak ada apa-apa. Ehm...setiap soal pelajaran itu mendapat jatah berapa
nomor ya Mas?" "Setiap soal pelajaran itu mendapat jatah 50 nomor, kecuali matematika, hanya 40
nomor" Jelas Mas Bambang singkat. Kulirikkan mataku ke layar laptop. Soal yang
diselesaikan Mas Yusuf baru 27 nomor. Berarti kurang 23 nomor. Jumlah yang cukup
besar bila harus diselesaikan malam ini juga. Mengingat waktu terus berputar dan malam
semakin larut menjelang. "Ya sudah Mas, terima kasih kalau begitu. Maaf ya mengganggu malam-malam"
Ucapku masih dengan pelan.
"Ya...ya, tidak apa-apa" Sahut Mas Bambang.
"Makasih sekali lagi Mas, ya. Assalamu"alaikum"
"Wa"alaikumussalam" Jawabnya menutup pembicaran.
Aku langsung bergerak cepat. Kuputar laptop kearahku. Kubaca dengan seksama
konsep soal-soal fisika yang ada dihadapanku. Setelah cukup, aku mulai mengetiknya
dengan melanjutkan soal yang ada. Dengan teliti aku membacanya dan mengetiknya. Agak
sulit juga rupanya karena banyak istilah-istilah fisika yang masih sangat asing bagiku.
Namun karena niatku ingin membantu suamiku, maka aku harus benar-benar berusaha
untuk menyelesaikan soal-soal ini.
Waktu terus bergulir hingga jam dinding sudah menunjukkan pukul satu malam lewat
lima belas detik. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Setelah kuteliti ulang dan kurasa
benar, soal-soal itu kumasukkan kedalam flash disk, lalu kuprint semuanya di komputerku
yang ada di di dalam kamar. Alhamdulillah wa syukurillah, lima lembar soal dengan kertas
ukuran folio, huruf times new roman dengan ukuran 12 font, telah selesai aku ketik. Lega
rasanya hati ini karena akhirnya soal-soal ini sudah selesai. Aku tersenyum bangga.
Kuletakkan lima lembar soal itu di atas meja. Kubereskan semua kertas-kertas yang
ada disana dan kumatikan laptopnya. Setelah semua beres, aku berniat melaksanakan
shalat tahajud. Sebelum kuberanjak ke kamar mandi, kusempatkan mataku menatap wajah
Mas Yusuf. Begitu bersih dan bersahaja. Tapi sayang, tak pernah kutemukan pancaran
cinta yang dia berikan untukku. Oh, ingin sekali rasanya aku menyentuh wajahnya,
membelai rambutnya, dan...mencium pipinya. Ya, menciumnya. Aku ingin sekali
menciumnya. Sampai sekarang belum pernah aku merasakan ciuman hangat darinya. Tapi,
ah, kuurungkan saja niatku untuk menciumnya diam-diam. Aku tak ingin menciumnya
karena terpaksa. Biarlah. Jika memang seumur hidup aku tidak akan pernah mendapatkan
ciuman itu, aku akan berusaha untuk ikhlas. Hanya dengan keikhlasan dan kesabaran, aku
akan menjalani hidup ini.
Ku langkahkan kakiku ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
*** Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
"Dinda, apa semua ini kamu yang mengerjakan?" Tanya Mas Yusuf ketika dia baru
saja terbangun dari tidurnya. Aku melongok keruang tamu dari balik dinding dapur dan
balik bertanya padanya seolah-olah tidak mengerti apa yang ditanyakannya.
"Mengerjakan apa?"
"Soal-soal UTS ini?" Jawabnya dengan raut wajah yang tampak bingung sambil
membaca dengan seksama kertas-kertas soal yang dimaksud.
"Oh! Iya, itu aku yang mengerjakan. Kenapa, ada yang salah?"
Mas Yusuf terdiam sejenak. Dia mengerutkan keningnya. Kedua alisnya hampir saja
bertemu ketika membaca soal-soal itu.
"Ehm....Tidak, tidak ada yang salah fatal. Hanya saja ada beberapa kata yang salah
penulisannya" Jawabnya sambil memandang kearahku kemudian menunduk lagi
memeriksa soal-soal itu. "Syukurlah kalau begitu" Sahutku sambil meneruskan aktivitasku memasak nasi
goreng dan telur dadar. Aku kembali berkata pada Mas Yusuf.
"Hari semakin siang, Mas. Kau belum shalat Subuh" Ucapku lagi pada Mas Yusuf.
Sekedar mengingatkan kalau dia memang belum shalat Subuh.
"Astaghfirullahal"adzim" Ucapnya terdengar di telingaku. Tak lama kemudian dia
bergegas masuk ke kamar mandi tanpa membawa handuk. Dia melewatiku dengan terburuburu.
Nasi goreng yang kubuat sudah matang. Kuangkat dan kusajikan menjadi dua piring.
Telur dadarnya pun senantiasa menghiasinya. Kusajikan semuanya di atas meja makan.
Dari kamar mandi terdengar Mas Yusuf sedang mandi. Sepertinya dia lupa kalau dia tidak
membawa handuk. Mungkin awalnya dia hanya berniat untuk mengambil air wudhu. Tapi
karena sudah terlanjur di kamar mandi, ya sekalian saja dia mandi. Tanpa ingat kalau dia
lupa membawa handuk. Setelah meletakkan dua piring nasi goreng di meja makan, aku bergegas mengambil
handuk dan menyerahkannya pada MasYusuf.


Ketika Cinta Harus Bersabar Karya Nurlaila Zahra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mas, ini handuknya!" Ucapku dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintunya.
Tak lama dia membuka sedikit pintu kamar mandi dan mengulurkan tangannya seraya
mengambil handuk yang aku berikan padanya.
"Terima kasih" Ucapnya pelan sambil menutup pintu kamar mandi.
Aku kembali lagi ke meja makan dan menatanya dengan rapi. Setelah kurasa beres
semua, aku beranjak ke kamar untuk menyiapkan pakaian Mas Yusuf yang akan dia
kenakan untuk berangkat mengajar. Kemudian aku merapikan diriku untuk segera bersiapsiap pergi ke kantor.
Setelah keluar dari kamar mandi, Mas Yusuf langsung masuk ke kamar dan
mengunci pintunya. Aku sudah menunggunya di meja makan untuk sarapan. Tak lama
kemudian dia keluar kamar dengan mengenakan pakaian yang tadi sudah aku siapkan.
"Sudah shalat Mas?" Tanyaku ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Dia hanya mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang ada di sebelahku. Di
hadapannya sudah ada sepiring nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan ketimun serta
tomatnya yang kuiris tipis-tipis. Di sebelah nasi gorengnya sudah aku siapkan segelas teh
manis hangat untuk menghangatkan perutnya.
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Dia melahapnya dengan terlebih dahulu membaca Bismillah. Akupun menemaninya
makan. Tak ada perbincangan yang berarti ketika kami sedang makan. Entahlah. Mungkin
sampai detik ini, perasaannya terhadapku belum berubah. Masih dingin dan acuh. Padahal
sebenarnya, aku ingin sekali mendengarkan dia berucap sepatah kata saja padaku. Kata apa
saja itu. Yang penting aku mendengar dia memanggil namaku seperti semalam. Rasanya
indah sekali. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat dua puluh lima menit. Mas Yusuf
menyudahi makannya dengan menenggak teh manis hangat buatanku. Setelah itu dia
beranjak mengambil sepatunya dan memakainya di ruang tamu. Semua kertas soal yang
aku ketik semalam sudah dia masukkan ke dalam tasnya. Setelah semuanya dirasa cukup
dan dirasa tidak ada yang tertinggal, dia bangkit sambil membawa tasnya.
Aku mengiringi langkahnya dari belakang. Setelah di depan pintu dia berbalik
kearahku. Aku mencium tangannya dengan penuh ketulusan. Dia menatap wajahku dengan
biasa-biasa saja. Aku menatapnya.
"Hati-hati di jalan ya" Jangan ngebut" Pesanku sebelum dia berangkat.
Lagi-lagi dia hanya mengangguk pelan tanpa menyahut sedikitpun. Dia melangkah
kearah motornya sambil mengucapkan salam. Aku pun menjawabnya. Namun tiba-tiba dia
menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiriku.
"Ada apa lagi" Ada yang tertinggal?" Tanyaku dengan penuh kebingungan.
Dia menggeleng kemudian bersuara,
"Tidak ada yang tertinggal namun ada yang terlupa..." Jawabnya membuat aku tambah
bingung. "Apa yang terlupa" Biar aku ambilkan" Ucapku.
"Tidak usah kau ambilkan. Aku hanya lupa mengucapkan terima kasih padamu atas
bantuanmu menyelesaikan soal-soal UTS ini. Sungguh, kalau tak ada dirimu, mungkin
pagi ini aku akan kuwalahan menyelesaikan soal-soal ini sendirian sambil di kejar-kejar
waktu. Terima kasih ya karena sudah meluangkan waktu malammu untuk menyelesaikan
pekerjaanku. Suatu saat, pasti akan kubalas" Ucapnya panjang lebar membuat aku
terhenyak. "Tidak perlu seperti itu. Memang sudah menjadi tanggung jawabku sebagai seorang
istri untuk membantu suaminya" Sahutku menimpalinya.
Dia mengangguk pelan dan kembali berkata,
"Ya. Kalau begitu aku berangkat. Assalamu"alaikum"
"Wa"alaikumussalam"
Dia pun menaiki motornya dan sejurus kemudian dia menyusuri jalanan dan
menghilang dari pandanganku. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang merasuki jiwaku. Sesuatu
yang menetes di kedalaman hatiku yang kemudian membuatnya menjadi segar kembali.
Entah apa itu. Aku yakin, itulah cinta. Cintaku yang kian hari kian mendalam pada sosok
suamiku. Cinta yang bisa menguatkanku dalam keberadaanku bersamanya.
Aku pun masuk kedalam dan bersiap-siap untuk berangkat kerja.
*** Sepuluh Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
Ponselku berdering ketika aku tengah sibuk dengan pekerjaanku di kantor. Awalnya
aku kurang menghiraukannya karena memang pekerjaanku benar-benar menumpuk. Tapi
ponsel itu terus berdering mengeluarkan ringtone "Merah Saga"nya Shoutul Harokah,
nasyid kegemaranku. Kuangkat. Ternyata dari Mas Yusuf. Pikiranku tiba-tiba teralih
sejenak pada Mas Yusuf yang kini tengah menanti jawaban telepon dariku.
"Assalamu"alaikum. Ada apa Mas?" Tanyaku segera tanpa basa-basi.
"Wa"alaikumussalam. Nanti sore ada acara di Bumiwiyata Depok. Kita ketemu disana
jam 5 ya" Malamnya kita menginap di rumah Ibu" Jawabnya singkat dengan cepat. Ibu
yang dimaksud adalah ibunya. Aku baru menyadari, dia tak sedikitpun menyebut namaku.
"Acara apa memangnya Mas?"
"Acara bedah buku bersama Penerbit Al Kautsar. Bintang tamunya ada Shoutul
Harokah dan Izzatul Islam. Sekalian aku mau cari-cari buku disana" Sahutnya datar.
"Oh. Ya sudah kalau begitu, kita ketemu disana jam 5 ya?"
"Ya. Assalamu"alaikum" Ucapnya mengakhiri pembicaraan. Diapun langsung menutup
teleponnya tanpa mendengar dulu jawaban salamku.
"Wa"alaikumussalam"
Aku terdiam sejenak sesaat sambil memikirkan apa yang baru saja aku alami tadi. Mas
Yusuf meneleponku. Dia mengajakku pergi bersama ke sebuah acara. Inilah untuk yang
pertama kalinya selama lima bulan aku menikah dengan Mas Yusuf, dia mengajakku pergi
bersama. Suatu hal yang sebenarnya sudah lama sekali aku impi-impikan. Pergi ke sebuah
acara bersama seorang suami yang Bisa menggandengku dan menuntunku. Seperti apa
yang sering aku lihat. Tapi apakah nanti dia mau menggandeng dan menuntunku seperti
apa yang aku impi-impikan selama ini" Entahlah. Aku tidak mau terlalu berharap banyak
padanya. Kuselesaikan kembali pekerjaanku. Tak lama kemudian ponselku berdering lagi. Kali
ini satu pesan diterima. Kubuka. Ternyata dari Mas Yusuf lagi. Bibirku tersenyum kecil
sambil membaca isi pesannya.
Tunggu sj di dpn pintu msk dan jgn kmn2 smp aku dtg.
Aku membalasnya. Baiklah. Aku janji tak akan kmn2 smp kau dtg.
Aku bahagia sekali. Mudah-mudahan saja ini langkah awal untuk memperbaiki
hubungnku dengan Mas Yusuf.
Waktu berlalu begitu cepat. Pekerjaanku sudah selesai. Selepas shalat Ashar aku
langsung bergegas pergi menuju Bumiwiyata Depok. Jarak antara kantorku ke Depok
lumayan jauh, jadi aku putuskan untuk berangkat selepas shalat Ashar agar Mas Yusuf tak
terlalu lama menungguku. Dari arah Rawamangun aku naik mobil angkot jurusan Pasar
Minggu. Setelah sampai di Pasar Minggu, aku turun dan menyambung lagi dengan Bus
jurusan Depok. Alhamdulillah aku mendapat satu kursi pertama di dekat pintu. Di daerah
Poltangan, banyak penumpang yang turun, namun tak sedikit pula orang yang berebut
untuk naik. Disaat yang bersamaan aku melihat ada seorang ibu tua yang naik dengan membawa
beberapa kantong plastik yang aku perkirakan isinya sangat banyak karena cara ibu tua itu
membawanya sangat berat. Dia memutarkan pandangannya kesemua tempat duduk yang
Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
ada. Penuh. Semua kursi terisi. Ada satu yang kosong di dekat supir. Ibu itu hendak
menghampirinya sebelum akhirnya seorang pemuda naik ke dalam Bus dan mendudukkan
dirinya disana terlebih dahulu.
Ibu itu sudah di dera keletihan yang teramat sangat. Peluh di wajahnya
menggambarkan sekali kalau dia benar-benar letih dan memerlukan tempat duduk untuk
mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tua. Aku mengalihkan pandanganku ke semua
penjuru Bus. Tak ada yang mau peduli pada ibu itu. Ada seorang perempuan muda yang
asik menelepon sambil tertawa-tawa, ada juga kulihat seorang lelaki yang usianya aku
perkirakan baru 30 tahunan sedang membolak balikan koran yang tengah dibacanya sambil
sesekali melirikkan kedua matanya ke arah ibu tadi lalu pura-pura kembali membaca.
Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bangkit dari dudukku dan kupersilahkan ibu itu
untuk duduk di kursi yang tadi aku tempati. Aku menemukan kebahagiaan yang tiada
terkira terpancar di wajahnya.
"Terima kasih ya Nak?" Ucapnya pelan sambil menata barang bawaannya di
pangkuannya. Aku mengangguk pelan dan tersenyum padanya. Bus melaju kencang di
jalan raya. Terus berjalan menyisiri belahan kota Jakarta. Sejenak aku berpikir tentang
semua orang yang ada didalam bus. Kenapa mereka begitu tega melihat seorang ibu yang
sudah tua ini berdiri sambil menahan letih dan peluhnya sambil menunggu ada yang mau
bangkit dan memberikan tempat duduknya untuknya, sementara banyak dari mereka yang
masih sangat muda dan masih gagah, duduk dengan nyamannya sambil memperhatikan ibu
itu dengan tatapan biasa-biasa saja. Tak ada sedikitpun dari mereka yang merasa kasihan
melihat ibu itu dan tersentuh hatinya lalu bangkit dan memberikan tempat duduknya
untuknya. Apa mereka tak menyadari berapa banyak pahala yang tengah Allah siapkan
bagi mereka kalau saja mereka mau sedikit saja berbagi pada orang lain yang
membutuhkan. Tiba-tiba aku teringat akan sebuah hadits Rasulullah yang pernah murabbiku
sampaikan, tentang "amal kebaikan" di halaqah pekan kemarin.
"Dari Abu Hurairah ra. berkata, Nabi saw. Bersabda, Barang siapa yang melepaskan
seorang mukmin dari kesusahan dunia, maka Allah akan membebaskannya dari kesusahan
di hari kiamat. Barang siapa yang memudahkan orang yang sedang mengalami kesulitan,
maka Allah akan memudahkan kepadanya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutupi
aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan
senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut menolong saudaranya. Barang
siapa yang menempuh suatu jalan untuk memperoleh ilmu, maka Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah Allah
(masjid); membaca kitab Allah, dan mempelajarinya bersam-sama, melainkan akan turun
kepada mereka ketentraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, para malaikat
berkerumun di sekelilingnya, dan Allah akan memuji mereka di depan (para malaikat)
yang berada di sisiNya. Barangsiapa amalnya lambat (kurang), maka nasabnya tidak akan
dapat menyempurnakannya 12 "
Aku ingin sekali mencium bau surga itu. Aku ingin sekali melihat indahnya surga yang
Allah janjikan itu. Aku ingin sekali. Apakah mereka-mereka yang tengah terduduk itu
tidak menginginkan surga itu" Aku yakin mereka pasti menginginkannya. Tapi aku lebih
12 HR. Muslim Penerbit Ebook Jaisy Publication ( http://suara1.info dan http://suara01.blogspot.com &
http://suara01.wordpress.com )
yakin lagi, meskipun mereka mengetahui berapa besar balasan yang akan Allah berikan,
mereka akan memilih untuk tetap duduk daripada harus berpanas-panasan sambil berdiri
sementara mereka sudah mendapatkan tempat duduk yang enak.
Menurutku, mereka itu sombong. Mereka menganggap pahala mereka sudah banyak
jadi tak perlu lagi memberikan tempat duduk pada ibu tua tadi demi mendapatkan sebuah
pahala. Dan lebih celakanya lagi, pemikiran seperti itulah yang kini sudah tersetting di
pikiran mereka masing-masing. Dan mereka juga beranggapan bahwa ibu tua tadi pasti
juga akan mengerti kalau mereka tidak berkenan bangkit, itu karena mereka juga samasama lelah. Tapi menurutku, kadar kelelahan mereka berbeda. Mereka bisa menahan rasa
lelah mereka, tapi kalau ibu tua tadi" Bisa-bisa dia pingsan kalau terlalu lelah berdiri. Hah,
aku hanya bisa berdo"a agar mereka semua bisa lebih mengerti pada jalan dan tujuan hidup
mereka masing-masing. Jalanan tidak terlalu macet untuk di lalui kendaraan. Ya memang kadang-kadang mobil
yang aku tumpangi berhenti sejenak tapi itu tidak lama. Meskipun misalnya mobil yang
aku tumpangi terjebak macet, aku berusaha untuk tetap sabar. Aku tak ingin menyalahkan
siapapun atas kemacetan yang terjadi. Macet ya macet. Hanya kadang banyak orang yang
mempunyai persepsi yang berbeda-beda mengenai macet itu sendiri.
Ada yang menyalahi pemerintah karena kurang bijak dalam mengatasi masalah
kemacetan, atau malah justru menyalahi pengguna jalan dan kendaraan yang kurang Bisa
bertanggung jawab dalam menggunakan jalan. Entahlah. Semua itu hanya pendapat dari
masing-masing orang. Yang pasti untukku, macet ya macet. Biar bagaimana pun kita
berkeluh kesah tentang kemacetan, semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah
justru Bisa membuat masalah baru pada diri kita yang menggerutu tanpa tujuan yang jelas
kepada siapa keluhan itu ditujukan. Lebih baik bersabar dan bertawakal karena hal itu Bisa
membawa kita pada dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, kita Bisa memperoleh
pahala atas kesabaran kita, dan keuntungan yang kedua, kita akan awet muda jika kita
selalu berpikiran positif pada segala hal, termasuk kemacetan.
Yang pasti, sebagai manusia dan rakyat biasa, kita hanya Bisa berdo"a kelak kota
Jakarta ini bisa mendapatkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa memikirkan
kepentingan rakyatnya dan dapat menyelesaikan permasalahan dengan adil dan bijak.
Bumiwiyata sudah di depan mata. Aku turun dari bus dengan perasaan senang. Aku
menyeberang jalan dan sampai di depan Bumiwiyata. Disana sudah banyak akhwat yang
Pendekar Panji Sakti 1 Dewa Arak 36 Tokoh Dari Masa Silam Kaki Tiga Menjangan 6

Cari Blog Ini