Ceritasilat Novel Online

Gadis Pecinta Monster 2

Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster Bagian 2


yang berambut putih. Gadis kecil pergi melompat-lompat ke bagian buku anak-anak.
Nenek itu mengambil koran dan membawanya ke kursi berlengan di seberang ruangan.
Aku sangat senang melihat mereka. Aku tahu bahwa pustakawan ini tak akan berubah
menjadi monster sementara mereka ada di sini. Aku yakin ia hanya makan lalat
ketika perpustakaan ini kosong. Aku harus bersembunyi di suatu tempat dan
menunggu mereka untuk pergi.
Mr Mortman merogoh laci mejanya, mengeluarkan sebuah bintang emas, dan
menyerahkannya padaku. Kupikir dia akan menjabat tanganku, tapi dia tidak.
"Apakah kau membaca Anne dari Green Gables?" tanyanya, sambil mengambil sebuah
buku dari tumpukan di mejanya.
"Tidak," kataku. "Apakah ada monster di dalamnya?"
Dia menggerakkan kepalanya ke belakang dan tertawa, dagunya bergetar.
Kupikir aku menangkap kilatan pengakuan di matanya. Suatu pertanyaan. Sesaat
singkat keragu-raguan. Kupikir pertanyaanku membawa sesuatu yang aneh di matanya.
Tapi, tentu saja, sekali lagi itu bisa saja imajinasiku.
"Aku tak berpikir kau akan menemukan monster dalam yang satu ini," katanya,
masih terkekeh. Dia mencapnya dengan stempel karet dan menyerahkannya padaku.
Sampulnya lembab di tempat jari-jarinya (memegang).
Aku membuat janji untuk waktu yang sama minggu depan. Lalu aku berjalan keluar
dari ruang baca utama dan berpura-pura meninggalkan perpustakaan.
Aku membuka pintu depan dan biarkan membanting, tapi aku tak pergi keluar.
Sebaliknya, aku bergerak pelan-pelan kembali, tetap berada dalam bayang-bayang.
Aku berhenti di dinding belakang, tersembunyi oleh deretan panjang rak-rak buku.
Di mana tempat bersembunyi"
Aku harus menemukan tempat persembunyian yang aman. Aman dari matanya Mr Mortman
yang bulat itu. Dan aman dari orang lain yang mungkin masuk ke perpustakaan.
Apa rencanaku" Yah, aku sudah memikirkannya sepanjang minggu. Tapi aku benar-benar tak memiliki
banyak rencana. Aku hanya ingin menangkapnya beraksi, itu saja.
Aku ingin melihat dengan jelas. Aku ingin menghapus semua keraguan dari
pikiranku. Rencanaku adalah untuk bersembunyi sampai perpustakaan kosong, untuk mematamatai Mr Mortman, untuk melihatnya berubah menjadi monster dan makan lalat lagi.
Lalu aku tahu aku tak gila. Lalu aku akan tahu mataku tidak menipuku.
Di sisi lain ruangan, aku bisa mendengar nenek gadis kecil itu memanggil Mr
Mortman. "Apakah Anda punya buku ejaan" Samantha hanya menyukai buku bergambar. Tapi aku
ingin dia belajar mengeja."
"Nenek, berbisiklah!" Samantha disebut kasar. "Ini adalah perpustakaan, ingat.
Berbisik!" Mataku mencari-cari, rak panjang dan gelap untuk tempat bersembunyi. Dan ada
itu. Satu rak buku rendah sepanjang lantai dekat belakang itu kosong. Itu
membentuk sebuah gua sempit yang aku bisa merangkak ke dalamnya.
Mencoba untuk menjadi setenang yang aku bisa, aku berlutut, duduk di rak,
berputar, tubuhku meluncur kembali, dan terselip masuk sendiri.
Ini tak benar-benar cukup besar untuk berbaring. Aku harus menjaga kakiku
terlipat. Kepalaku tertekan keras pada papan atas. Sangat tak nyaman. Aku tahu
aku tak bisa tinggal seperti ini selamanya.
Tapi itu sore hari. Mungkin Samantha dan neneknya akan segera pergi. Mungkin aku
tak akan tinggal terselip di rak seperti buku tua berjamur untuk waktu yang
lama. Jantungku berdebar-debar. Aku bisa mendengar Mr Mortman berbicara dengan pelan
pada Samantha. Aku bisa mendengar gemerisik koran wanita tua itu. Aku bisa
mendengar tik-tik-tik dari jam dinding besar di dinding depan.
Aku bisa mendengar setiap suara, setiap deritan dan erangan.
Aku tiba-tiba harus bersin. Hidungku tergelitik seperti gila! Ada begitu banyak
debu ke sini. Aku mengulurkan tangan dan meremas hidung dengan keras antara ibu jari dan
telunjuk. Entah bagaimana aku berhasil untuk melenyapkan bersin itu.
Jantungku berdebar lebih keras. Aku bisa mendengarnya melalui tik-tik tik-jam.
Ayo pergi, pikirku, berharap Samantha dan neneknya keluar dari sana.
Ayo pergi. Ayo pergi. Ayo pergi.
Aku tak tahu berapa lama aku bisa tetap terselip di rak berdebu ini.
Leherku sudah mulai sakit dari tekanan rak. Dan aku merasa bersin lainnya akan
datang. "Buku ini terlalu sulit. Aku perlu yang lebih mudah," kata Samantha pada Mr
Mortman. Aku mendengar Mr Mortman menggumamkan sesuatu. Aku mendengar seretan kaki.
Langkah-langkah kaki. Apakah mereka datang dengan cara ini"
Apakah mereka akan melihatku"
Tidak. Mereka berbalik dan kembali ke bagian anak-anak di samping.
"Aku sudah membaca yang satu ini," aku dengar Samantha mengeluh.
Ayo pergi. Ayo pergi. Ayo pergi.
Ini pasti hanya beberapa menit sesudahnya, saat Samantha dan neneknya pergi,
tapi sepertinya berjam-jam untukku.
Leherku kaku. Punggungku sakit. Kakiku gatal, keduanya kesemutan.
Aku mendengar pintu depan tertutup di belakang mereka.
Perpustakaan ini kosong sekarang. Kecuali Mr Mortman dan aku.
Aku menunggu. Dan mendengarkan.
Aku mendengar derit bangku tinggi di lantai. Lalu aku mendengar langkah kakinya.
Dia terbatuk. Tiba-tiba perpustakaan jadi lebih gelap. Dia mematikan lampu.
Inilah saatnya! Pikirku. Dia menutup (perpustakaan). Sekarang saatnya. Sekarang adalah waktu neraka itu
berubah menjadi monster di depan mataku.
Aku berguling diam-diam dari rak, ke lantai. Lalu aku menarik diriku ke posisi
berdiri. Berpegangan pada rak yang lebih tinggi, aku mengangkat satu kaki, lalu
kaki lainnya, mencoba untuk mendapatkan sirkulasi (darahku) kembali.
Saat lampu di atas kepala padam, sebagian besar perpustakaan itu diselimuti
kegelapan. Satu-satunya cahaya berasal dari sinar matahari sore yang membanjir
melalui jendela di bagian depan ruangan.
Di mana Mr Mortman" Aku mendengarnya batuk lagi. Lalu dia mulai bersenandung untuk dirinya sendiri.
Dia menutup (perpustakaan).
Sambil menahan napas, aku berjingkat-jingkat mendekati mejanya. Aku menyandarkan
pinggangku pada rak saat aku bergerak, menjaga dalam bayang-bayang.
Wah. Aku tiba-tiba menyadari Mr Mortman tak berada di mejanya.
Aku mendengar langkah kaki di belakangku, di bagian belakang ruang baca utama.
Lalu aku mendengar suara gedebak gedebuk sepatunya di lantai pintu masuk depan.
Aku membeku di tempat, mendengar dengan sungguh-sungguh, masih menahan napas.
Apakah dia pergi" Tidak. Aku mendengar suara klik keras. Suara putaran kunci.
Dia telah mengunci pintu depan!
Aku tak merencanakan ini. Tidak. Ini jelas bukan bagian dari rencanaku.
Membeku di lorong gelap, aku menyadari bahwa aku terkunci dengannya!
Sekarang apa" 8 Mungkin rencanaku tepatnya bukan rencana terbaik di dunia.
Mungkin ini gagasan bodoh.
Kau bisa bertaruh aku punya banyak keraguan berpacu dalam pikiranku saat aku
mendengar Mr Mortman kembali ke ruang baca utama.
Rencanaku, tentu saja, adalah untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku
benar, bahwa ia monster. Dan lalu - lari dari perpustakaan!
Rencananya adalah untuk tak terkunci di gedung gelap menyeramkan dengannya, tak
bisa melarikan diri. Tapi di sinilah aku. Sejauh ini, aku baik-baik saja. Dia tak tahu bahwa ada orang lain di sini dengan
dia. Tak tahu bahwa ia sedang dimata-matai.
Menempel pada rak tinggi itu, aku merangkak di sepanjang gang sempit sampai aku
sedekat yang aku berani. Aku bisa melihat seluruh meja, terperangkap dalam
cahaya persegi panjang oranye gelap dari jendela tinggi.
Mr Mortman melangkah ke belakang mejanya, bersenandung pelan pada dirinya
sendiri. Dia membereskan tumpukan buku, lalu memasukkannya ke sudut meja.
Dia membuka laci mejanya dan mengocok benda-benda di sekitarnya, mencari sesuatu
di sana. Aku merangkak lebih dekat. Aku bisa melihat dengan sangat jelas sekarang. Sinar
matahari sore membuat segalanya oranye-merah.
Mr Mortman menarik-narik leher kerah bajunya. Dia menggulingkan beberapa pensil
dari bagian atas meja ke dalam laci meja terbuka. Lalu ia menutup laci.
Ini membosankan, pikirku.
Ini sangat membosankan. Dan normal.
Aku pasti salah minggu lalu. Aku pasti membayangkan itu semuanya.
Mr Mortman hanya pria kecil yang lucu. Dia sama sekali bukan monster.
Aku merosot dari rak tinggi itu, kecewa.
Aku telah menyia-nyiakan semua waktu ini, bersembunyi di rak kotor ini - tidak
untuk apa pun. Dan sekarang di sinilah aku, terkunci di perpustakaan setelah waktu tutup,
melihat pustakawan membersihkan mejanya.
Gairah apa ini! Aku harus keluar dari sini, pikirku. Aku sudah benar-benar bodoh.
Tapi kemudian aku melihat Mr Mortman meraih stoples terbang di rak di
belakangnya. Aku menelan ludah. Hatiku tiba-tiba tersentak.
Suatu senyum terlintas di wajah gemuk Mr Mortman saat ia mengatur stoples kaca
besar di depannya. Lalu ia sampai ke seberang meja dan dengan kedua tangan,
menarik panci kura-kura persegi panjang mendekat.
"Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku," katanya dengan suaranya yang
tinggi, serak. Dia menyeringai ke bawah pada kura-kura itu. Dia meraih ke dalam
panci dan memercikkan sedikit air. "Waktunya makan malam, teman-teman,"
ulangnya. Dan, lalu, saat aku menatap tanpa berkedip, menatap dengan rahangku jatuh
menurun dan lebih turun tak percaya, wajahnya mulai berubah lagi.
Kepala bulatnya mulai membengkak.
Matanya yang hitam menonjol.
Mulutnya berkembang sampai menjadi satu lubang hitam terbuka.
Kepala besar mengapung-apung di atas kerah leher kuning. Mata-mata itu berenang
di depan kepala. Mulut itu memutar, membuka dan menutup seperti mulut ikan
besar. Aku benar! Aku sadar. Mr Mortman adalah monster!
Aku tahu aku benar! Tapi tak ada yang akan percaya padaku.
Mereka harus percaya padaku sekarang, aku berkata pada diriku sendiri. Aku
melihat ini begitu jelas. Semuanya begitu cerah di lampu merah-oranye.
Aku melihatnya. Aku tak membayangkan hal itu.
Mereka harus percaya padaku sekarang.
Dan saat aku terkesiap dengan mulut ternganga pada makhluk kotor jelmaan
pustakawan itu, ia sampai ke dalam stoples lalat, mengeluarkan segengam penuh
lalat, dan mendorongnya dengan lahap ke dalam mulutnya.
"Waktunya makan malam," sergahnya, berbicara sambil mengunyah.
Aku bisa mendengar dengungan lalat di dalam stoples itu.
Mereka hidup! Lalat masih hidup, dan ia melahap mereka seolah-olah mereka
permen. Aku mengangkat tanganku dan menekannya pada sisi wajahku saat aku menatap.
"Waktunya makan malam!"
Segenggam lalat lagi. Beberapa dari mereka telah melarikan diri. Mereka berdengung keras di sekitar
kepala bengkaknya yang mengangguk-angguk.
Saat ia mengunyah dan menelan, Mr Mortman menyambar lalat di udara, tangan
mungilnya kecepatannya mengherankan. Dia menarik lalat-lalat dari udara - satu,
yang lain, yang lain - dan memasukkan mereka ke dalam jurang yang sangat besar
di mulutnya. Mata Mr Mortman berenang-renang di depan wajahnya.
Untuk sesaat singkat yang menakutkan, mata-mata itu berhenti. Menatap tepat ke
arahku! Aku sadar telah bersandar terlalu jauh ke lorong.
Apakah ia melihatku"
Aku melompat mundur dengan terkesiap panik.
Mata-mata hitam menonjol itu, seperti jamur payung bergelombang, tetap di tempat
untuk satu atau dua detik. Kemudian terus berputar-putar dan berenang-renang di
sekitarnya. Setelah genggaman lalat ketiga, Mr Mortman menutup stoples itu, menjilati bibir
hitamnya dengan lidah pensil tipis seperti ular.
Suara dengungan berhenti.
Ruangan itu sunyi lagi kecuali untuk jam dan gemuruh detak jantungku.
Sekarang apa" Pikirku.
Apa itu" Tidak. "Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku," kata pustakawan itu dengan suara
gemetar lemah, suara sepertinya bergerak bersama dengan kepala besar itu.
Dia mengulurkan tangan ke dalam panci dan mengambil salah satu kura-kura hijau
kecil bertempurung itu . Aku bisa melihat kaki kura-kura itu bergerak-gerak
maju. Apakah dia akan memberi makan beberapa lalat itu untuk kura-kura itu sekarang"
Aku bertanya-tanya. Mr Mortman memegang kura-kura lebih tinggi, mempelajarinya dengan mata menonjol
berputarnya itu. Dia mengangkatnya ke sinar matahari. Kaki kura-kura itu terus
bergerak. Kemudian dia menyorongkan kura-kura itu ke dalam mulutnya.
Aku mendengar gemeretak tempurung saat Mr Mortman menggigit.
Dia mengunyah dengan ribut, beberapa kali, membuat derakan keras di setiap
kunyahan. Lalu aku melihat dia menelan sekali, dua kali, sampai ia menurunkan
(panci) itu.. Aku sudah cukup melihat. Lebih dari cukup. Aku berbalik. Aku mulai untuk berjalan membabi buta kembali melalui lorong
gelap. Aku berlari dengan cepat. Aku benar-benar tak peduli jika dia mendengarku
atau tidak. Aku hanya harus keluar dari sini.
Keluar ke cahaya matahari dan udara segar.
Menjauh dari suara berderak yang terus berulang-ulang di telingaku. Derakan dari
tempurung kura-kura saat Mr Mortman mengunyahnya dan mengunyahnya.
Mengunyahnya hidup-hidup.
Aku berlari dari ruang baca utama, hatiku berdebar-debar, kakiku terasa berat
seperti batu. Aku bernapas terengah-engah saat aku mencapai pintu masuk depan. Aku berlari ke
pintu dan meraih pegangan pintu.
Dan lalu teringat. Pintu itu terkunci. Aku tak bisa keluar. Aku terkunci di dalam. Dan, kemudian, saat aku berdiri menatap lurus ke depan pintu yang tertutup,
tanganku mencengkeram erat kenop kuningan, aku mendengar langkah-langkah kaki.
Di belakangku. Langkah-langkah kaki yang cepat.
Mr Mortman telah mendengarku.
Aku terjebak. 9 Aku membeku panik, menatap pintu itu sampai jadi kabur-gelap di depanku.
Langkah-langkah Mr Mortman semakin keras di belakangku.
Tolong! Aku mengucapkan permohonan pelan. Seseorang - tolong aku!
Pustakawan itu akan muncul mendadak di pintu masuk depan setiap saat. Dan ada
aku akan ada di sini. Terjebak di pintu.
Terjebak seperti tikus. Atau seperti kura-kura!
Dan lalu apa" Apa dia akan meraihku ke atas seperti salah satu hewan peliharaannya"
Apa dia mengunyahku di antara gigi-giginya"


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Harus ada jalan keluar dari sini. Harus ada!
Dan, lalu, menatap pintu yang kabur itu, tiba-tiba jadi jelas bagiku.
Semuanya kembali dalam fokus. Dan aku menyadari bahwa mungkin - mungkin saja aku tak terjebak sama sekali.
Mr Mortman telah mengunci pintu dari dalam.
Dari dalam. Itu berarti bahwa mungkin aku bisa membuka kuncinya dan membuka pintu.
Jika pintu itu terkunci dengan sebuah kunci, lalu aku terjebak.
Tetapi jika itu hanya kunci biasa yang kau putar. . .
"Hei, ada seseorang di luar sana?" Suara serak Mr Mortman itu mendadak muncul
dalam pikiranku. Mataku panik mencari pintu. Aku menemukan kunci di bawah kenop kuningan itu.
Aku meraihnya. Ayo berputar. Ayo berputar. Ayo berputar.
Kunci itu berputar di tanganku dengan klik pelan. Suara termerdu yang pernah
kudengar! Dalam sedetik, aku membuka pintu.
Dalam detik lainnya, aku keluar di tangga batu. Kemudian, aku berlari secepat
aku bisa, berlari menyeberangi halaman depan, memotong melalui beberapa semaksemak, menyelam melalui pagar - berlari untuk hidupku!
Dengab megap-megap, aku berbalik (setelah) setengah blok. Aku bisa melihat Mr
Mortman, sesosok bayangan di pintu perpustakaan. Dia sedang berdiri di ambang
pintu, menatap keluar, tak bergerak. Hanya berdiri di sana.
Apakah dia melihatku"
Apakah dia tahu ini aku memata-matainya"
Aku tak ingin tahu. Aku hanya ingin pergi.
Matahari sore merunduk di balik pepohonan, membuat bayang-bayang menyendiri dan
gelap. Aku menunduk dan berlari ke dalam bayangan panjang biru, sepatu ketsku
berbunyi keras di trotoar.
Aku sudah keluar. Aku baik-baik saja. Aku telah melihat monster, tetapi dia tak
melihatku. Aku harap. Aku berlari sampai aku sampai di rumah Aaron. Dia masih di halaman depan. Dia
duduk di tunggul pohon tua orang tuanya telah lenyap. Aku bisa melihat benda
semacam Frisbee biru di pangkuannya. Dia berusaha untuk melepaskan pita karet
panjang itu. Aaron menunduk, berkonsentrasi menguraikan simpul (tali)nya, dan tak melihatku
pada awalnya. "Aaron - Mr Mortman itu monster!" teriakku terengah-engah.
"Hah?" Dia mendongak, kaget.
"Mr Mortman - dia itu monster!" ulangku, terengah-engah seperti anjing. Aku
meletakkan tanganku di lututku dan membungkuk ke depan, mencoba untuk bernapas.
"Lucy, apa masalahmu?" gumam Aaron, kembali perhatiannya ke pita karet itu.
"Dengarkan aku!" jeritku tak sabar. Aku tak terdengar seperti diriku. Aku tak
mengenali suara panik melengkingku.
"Benda ini mutunya rendah," gumam Harun. "Ini benar-benar kusut."
"Aaron, tolong!" Aku memohon. "Aku berada di perpustakaan. Aku melihatnya. Dia
berubah jadi monster. Dia memakan salah satu kura-kura itu!"
Aaron tertawa. "Lezat!" katanya. "Apa kau membawakanku satu?"
"Aaron, itu tak lucu!" teriakku, masih terengah-engah. "Aku - Aku sangat takut.
Dia itu monster. Dia benar-benar monster. Kupikir aku terkunci di dalam
dengannya. Kupikir -"
"Begini saja," kata Aaron, masih membuka simpul di pita karet itu. Dia memegang
cakram plastik biru terus kepadaku. "Jika kau bisa melepaskan simpul besar ini,
aku akan membiarkanmu bermain dengan ini."
"Aaaaaagh!" Aku mengeluarkan teriakan marah. "Mengapa kau tak mendengarkanku?"
"Lucy, yang benar saja," kata Aaron, masih memegang cakram itu terus kepadaku.
"Aku tak ingin bicara tentang monster sekarang. Ini agak kekanak-kanakan, kau
tahu?" "Tapi, Aaron!" "Mengapa tak kau simpan hal-hal itu untuk Randy?" saran Aaron. Dia melambaikan
cakram biru itu. "Apakah kau ingin membantuku dengan ini atau tidak?"
"Tidak!" Aku menjerit. Lalu aku menambahkan: "Kau teman yang payah!"
Dia tampak sedikit terkejut.
Aku tak menunggunya mengatakan sesuatu. Aku pergi lagi, menuju rumah.
Aku benar-benar marah. Apa masalahnya, sih" Kau seharusnya menerima teman dengan
serius. Kau tak seharusnya berpikir bahwa temanmu secara otomatis hanya
mengarang cerita. Aaron tak bisa melihat bagaimana ketakutan dan marah aku"
Tak bisakah dia melihat bahwa itu bukan lelucon"
Dia benar-benar brengsek, aku memutuskan, saat rumahku akhirnya muncul. Aku tak
akan pernah berbicara lagi padanya.
Aku berlari di jalan masuk, membuka pintu kasa, dan menghambur ke dalam rumah.
"Ibu Ayah!" Jantungku berdebar begitu keras, mulutku begitu kering, jeritanku
berbisikan parau. "Bu - di mana kau?"
Aku berlari melalui rumah sampai aku menemukan Randy di ruang baca. Ia berbaring
di lantai, wajahnya dua ceruk(relung) di depan TV, menonton film kartun Bugs
Bunny. "Di mana Ibu dan Ayah?" teriakku terengah-engah.
Dia mengabaikan aku. Hanya menatap film kartunnya. Warna-warna dari TV menarinari di wajahnya. "Randy - di mana mereka?" Aku mengulangi dengan panik.
"Belanja bahan makanan," gumamnya tanpa berbalik.
"Tapi aku harus bicara dengan mereka!" Kataku. "Kapan mereka pergi" Kapan mereka
akan kembali?" Dia mengangkat bahu tanpa melepas matanya dari layar. "Aku tak tahu."
"Tapi, Randy!" "Tinggalkan aku sendiri," rengeknya. "Aku sedang menonton kartun."
"Tapi aku melihat monster!" jeritku. "Yang asli!"
Matanya melebar. Mulutnya ternganga.
"Monster asli?" ia tergagap.
"Ya!" teriakku.
"Apa dia mengikutimu pulang?" tanya Randy pucat.
"Kuharap tidak!" Aku berseru. Aku berputar dan berlari keluar dari ruang baca.
Aku melirik ke luar jendela ruang tamu saat aku bergegas lewat. Tak ada tandatanda mobil orangtuaku. Jadi aku berlari ke kamarku.
Aku begitu marah. Begitu marah dan kesal.
Aku mengambil dua langkah ke kamarku, lalu berhenti.
Disitu di tempat tidurku, di bawah selimut, berbaring monster besar berbulu,
kepala berbonggol-bonggol coklat pada bantal, menganga, mulut ompong terpelintir
dalam satu seringai jahat.
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com 10 Aku meraih bagian atas lemari riasku dan mengeluarkan hembusan nafas keras
kaget. Monster itu menatapku, satu mata bulatnya lebih besar dari yang lain. Tak
bergerak dari bantalku. Ia mengeluarkan tawa bernada tinggi.
Maksudku, kupikir itu tertawa. Aku butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa
tawa terkikik itu berasal dari belakangku.
Aku berbalik untuk melihat Randy tepat di luar pintu. Ketika ia melihat ekspresi
ketakutan di wajahku, tawa terkikiknya menjadi gemuruh tawa.
"Seperti itu?" tanyanya, melangkah melewatiku masuk ke dalam ruangan dan
berjalan ke tempat tidurku. "Aku membuatnya di kelas seni."
"Hah?" Randy mengangkat kepala kasar monster coklat itu. Begitu ia mengambilnya, aku
melihat bahwa rambut itu adalah benang rajutan cokelat, bahwa wajah itu lukisan.
"Ini papier mache-," Randy mengumumkan dengan bangga. "Rapi, ya?"
(papier mache: bahan yang terbuat dari bubur kertas yang dicampuri perekat untuk
dicetak atau dibentuk patung, topeng dan yang lainnya)
Aku menghela napas panjang dan merosot ke tepi tempat tidur.
"Ya Rapi,." Gumamku sedih.
"Aku menaruh bantal dibawah selimutmu agar dia terlihat seperti punya tubuh,"
lanjut Randy, menyeringai. Senyumnya sangat mirip seringai di kepala monster
itu. "Sangat pintar," kataku pahit. "Dengar, Randy, aku baru saja mengalami hal yang
sangat menakutkan terjadi. Dan aku benar-benar tak mood untuk lelucon.."
Senyumnya melebar. Dia melemparkan kepala monster cokelat itu padaku.
Aku menangkapnya dan memegangnya di pangkuanku. Dia memberi isyarat padaku untuk
melemparkannya kembali, tapi aku tidak.
"Apa kau tak dengar?" teriakku. "Aku sangat marah. Aku melihat monster yang
asli. Di perpustakaan."
"Kau hanya merasa malu karena tertipu kepala monsterku," kata Randy. "Kau marah
karena aku benar-benar membuatmu ketakutan."
"Mr Mortman itu monster," kataku padanya, memantulkan kepala monster di
pangkuanku. "Aku melihatnya berubah jadi monster. Kepalanya jadi besar. Dan
matanya muncul keluar, dan mulutnya memutar terbuka,"
"Hentikan!" teriak Randy, mulai tampak ketakutan.
"Aku melihatnya makan lalat," aku melanjutkan. "Segenggam lalat."
"Lalat?" Randy bertanya. "Ih!"
"Lalu aku melihatnya mengambil salah satu kura-kura hewan peliharaannya. Kau
tahu. Yang terus dia jaga di panci itu di mejanya. Aku melihatnya
menyorongkannya ke dalam mulutnya dan memakannya."
Randy bergidik. Dia menatapku serius. Untuk sesaat, aku berpikir mungkin dia
percaya padaku. Tapi kemudian ekspresinya berubah, dan ia menggeleng.
"Tak mungkin, Lucy. Kau hanya marah karena aku menakutimu sekali ini. Jadi
sekarang kau mencoba menakut-nakutiku. Tapi itu tak akan bekerja."
Randy meraih kepala monster itu dari pangkuanku dan mulai keluar pintu. "Aku tak
percaya padamu tentang Mr Mortman."
"Tapi itu benar!" protesku melengking.
"Aku kehilangan film kartunku," katanya.
Saat itu, aku mendengar ketukan di pintu depan.
"Ibu!" teriakku. Aku melompat dari tempat tidur dan pergi dengan cepat ke
tangga. Aku mendorong Randy keluar dari jalanku, dan hampir-hampir terbang
menuruni tangga, melangkah tiga anak tangga sekaligus.
"Ibu! Ayah - Kalian pulang! Aku harus memberitahu kalian!"
Aku membeku di depan pintu kasa.
Itu bukan orang tuaku. Itu Mr Mortman. 11 Pikiran pertamaku adalah lari.
Pikiran berikutnya aku membanting pintu depan.
Pikir berikutnya lari kembali ke atas dan bersembunyi di kamarku.
Tapi sudah terlambat untuk bersembunyi. Mr Mortman sudah melihatku. Dia
menatapku melalui pintu layar dengan mata hitam yang menyerupai manik-manik,
bibir tipisnya tersenyum jahat di wajah pucatnya yang bulat.
Dia melihatku, aku menyadarinya.
Dia melihatku memata-matainya di perpustakaan.
Dia melihatku lari. Dia tahu bahwa aku mengetahui rahasianya.
Dia tahu bahwa aku tahu dia itu monster.
Dan dia datang untuk menangkapku.
Dia datang untuk menyingkirkanku, untuk memastikan rahasianya aman.
"Lucy?" panggilnya.
Aku menatapnya melalui layar (pintu).
Aku bisa melihat di matanya bahwa dia tahu itu aku di perpustakaan.
Matahari hampir turun lenyap. Langit di belakangnya adalah matahari terbenamungu. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya dalam cahaya malam.
"Lucy, hai. Ini aku," katanya.
Dia menungguku mengatakan sesuatu. Tapi aku membeku di sana panik, mencoba untuk
memutuskan apakah untuk lari atau menjerit. Atau keduanya.
Randy berhenti di tengah tangga.
"Siapa itu?" tanyanya.
"Ini Mr Mortman," jawabku pelan.
"Oh." Itulah yang dikatakan adikku. Dia terus berjalan turun, lalu berjalan
melewatiku dalam perjalanan kembali ke ruang baca.
"Hai, Mr Mortman," aku berhasil berkata, tak bergerak lebih dekat ke pintu. Lalu
aku berseru, "Orang tuaku tak ada di rumah."
Aku langsung tahu bahwa itu adalah hal yang bodoh untuk dikatakan. Sekarang
monster itu tahu bahwa Randy dan aku ada di sini sendirian.
Mengapa aku mengatakannya" Aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa
begitu bodoh" "Aku tak datang untuk menemui orang tuamu," kata Mr Mortman pelan. "Aku datang
untuk menemuimu, Lucy."
Dia tahu! Pikirku. Dia benar-benar tahu!
Aku daging mati! Aku menelan ludah. Aku tak tahu harus berkata apa. Mataku mencari-cari di lorong
depan untuk senjata, sesuatu untuk memukulnya dengan itu saat ia menerobos pintu
kasa dan datang mengejarku.
Mata Mr Mortman menyipit. Senyumnya memudar.
Ini dia! Pikirku. Tak ada apa pun di dekat sini yang bisa kugunakan untuk melawannya. Sebuah vas
bunga kaca kecil. Itu saja yang bisa kulihat. Aku tak berpikir itu akan terlalu
efektif melawan raungan monster.
"Lucy, aku yakin ini milikmu," kata Mr Mortman. Ia mengangkat ransel dari kain
kampas biru. "Hah?" "Aku menemukan di belakang dalam tumpukan," kata Mr Mortman, senyumnya kembali.
"Aku tak tahu siapa yang meninggalkannya Tapi aku menemukan namamu dan alamat
pada pening (tanda pengenal) di sini.."
"Anda - Maksud Anda -?" Aku tergagap.
"Aku selalu berjalan pulang setelah aku menutup perpustakaan, jadi kupikir aku
akan membawanya kepadamu, "katanya.
Apakah ini jebakan" Aku mengamati wajah waspadanya. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.
Aku tak punya pilihan. Aku membuka pintu layar, dan ia memberiku ransel itu.
"Wow. Terima kasih," kataku. "Anda benar-benar baik."
Dia meluruskan lengan baju berleher kuningnya itu. "Yah, kupikir kau mungkin
ingin untuk memulai Anne of Green Gables malam ini," katanya.
"Ya. Tentu," jawabku ragu-ragu.
"Kurasa kau berlari keluar dari perpustakaan cukup cepat," kata Mr Mortman,
menatap ke mataku. "Eh... Ya. Saya harus pulang," kataku, sambil kembali ke ruang baca. Musik film
kartun melayang ke ruang masuk.
"Jadi kau tak menunggu di sekitar (perpustakaan) atau apa pun setelah pertemuan
kita?" tanyanya. Apakah dia tahu" Aku bertanya-tanya.
Atau ia hanya mencoba untuk mencari tahu apakah itu aku atau bukan"
"Tidak," kataku, berusaha menjaga suaraku dari gemetar. "Saya berlari keluar,
saya sedang terburu-buru. Saya - saya kira itulah sebabnya saya lupa tas saya."
"Oh, begitu," jawab Mr Mortman serius, menggosok dagunya.
"Kenapa?" Aku berseru.
Pertanyaan itu tampaknya mengejutkannya.
"Oh, bukan apa-apa, sungguh," katanya. "Kupikir seseorang sedang bermain-main
untuk menipuku. Tinggal di perpustakaan setelah ditutup."
"Sungguh?" tanyaku, membuka mata lebar-lebar dan berusaha terdengar tak bersalah
sebisa mungkin. "Mengapa mereka melakukan itu?"
"Untuk menakut-nakutiku," jawab Mr. Mortman, tergelak. "Beberapa anak tak punya
sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan daripada mencoba menakut-nakuti
pustakawan tua yang baik."
Tapi kau bukan pustakawan tua yang baik, pikirku. Kau monster!
"Aku bangun untuk melihat-lihat," lanjut Mr Mortman, "dan siapa pun itu di
(punya) ekor yang tinggi." Dia tertawa kecil lagi.
"Aku tak ingin terkunci di sana semalaman," kataku, mengamati wajahnya, berharap
aksi tak bersalahku bekerja.
" Aku juga!" serunya. "Itu adalah bangunan tua yang cukup menyeramkan. Kadang
aku begitu takut dari deritan-deritan dan rintihan-rintihan yang aneh.!"
Ya. Tentu! Pikirku sinis.


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di belakangnya, aku melihat mobil orangtuaku berputar di jalan masuk. Aku diamdiam menarik napas lega. Syukurlah akhirnya mereka pulang!
"Kurasa aku akan mengatakan selamat malam," kata Mr Mortman menyenangkan. Dia
berbalik dan melihat orang tuaku berjalan dengan roda (mobil mereka) melewatinya
di jalan masuk, menuju ke belakang rumah.
"Terima kasih untuk membawakan tas," kataku, ingin pergi menyambut Ibu dan Ayah.
"Tak masalah. Sampai jumpa minggu depan." Dia bergegas pergi.
Aku berlari ke dapur. Ibu baru saja masuk melalui pintu dapur, membawa tas
belanja cokelat. "Bukankah itu Mr Mortman di pintu depan?" tanyanya, heran.
"Ya," jawabku penuh semangat ". Aku sangat senang melihatmu, Bu. Aku harus
memberitahumu -" "Apa yang dia inginkan?" sela Ibu.
"Dia.... eh.... mengembalikan ranselku, aku meninggalkannya di perpustakaan,
begitu. Aku harus memberitahumu tentang dia, Bu. Dia -"
"Itu sangat baik sekali," kata Ibu, mengatur tas belanja di atas meja.
"Bagaimana kau lupa, Lucy?"
"Aku berlari keluar dari sana sangat cepat, Bu. Kau lihat -."
"Yah, Mr Mortman itu benar-benar baik," selanya lagi. Dia mulai untuk
mengeluarkan barang-barang dari tas belanja. "Dia tak tinggal di arah ini.
Kupikir dia tinggal jauh di sisi utara."
"Bu, aku mencoba untuk memberitahumu sesuatu!" teriakku tak sabar. Tanganku
mengepal ketat. Jantungku berdebar-debar. "Mr Mortman itu monster!"
"Hah?" Dia berpaling dari meja dan menatapku.
"Dia monster, Bu. Benar-benar monster!" teriakku.
"Lucy, Lucy." Dia menggelengkan kepalanya. "Kau melihat monster-monster di manamana." "Bu!" "Hentikan, Lucy. Berhentilah menjadi bodoh. Kuharap kau sopan kepada Mr
Mortman." "Bu!" "Cukup. Pergilah ke luar dan bantu ayahmu membawa sisa-sisa belanjaan."
12 Jadi, sekali lagi orang tuaku yang luar biasa menolak untuk mempercayaiku.
Kucoba untuk menggambarkan apa yang kulihat dari tempatku bersembunyi di
perpustakaan. Tapi Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ayah bilang aku
punya imajinasi yang hebat. Bahkan Randy menolak untuk takut. Dia berkata pada
Ibu dan Ayah bagaimana ia menakut-nakutiku dengan kepala monster papier machetololnya. Aku hampir-hampir memohon mereka untuk percaya padaku.
Tapi Ibu bilang aku hanya malas. Dia berkata aku mengarang cerita tentang Mr
Mortman sehingga aku bisa keluar dari program Reader Rangers dan tak perlu
membaca buku-buku lagi di musim panas ini.
Ketika dia mengatakan itu, aku sangat tersinggung, tentu saja. Aku kembali
meneriakkan sesuatu. Dan berakhir dengan kita semua saling menggeram dan
menggeretak satu sama lain, diikuti oleh serbuanku ke kamarku.
Merosot di tempat tidurku, aku berpikir keras tentang kesulitanku.
Aku bisa melihat bahwa mereka tak akan percaya padaku.
Aku telah mengatakan terlalu banyak kisah monster, memainkan terlalu banyak
lelucon monster. Jadi, aku sadar, aku perlu orang lain untuk memberitahu orang tuaku tentang Mr
Mortman. Aku butuh orang lain untuk melihat Mr Mortman menjadi monster. Aku
butuh orang lain untuk percaya kebenaran padaku.
Aaron. Jika Aaron datang bersama denganku dan bersembunyi di perpustakaan dan melihat
Mr Mortman makan lalat dan kura-kura dengan kepala menggembung - maka Aaron bisa
memberitahu orang tuaku. Dan mereka akan percaya Aaron.
Mereka tak punya alasan untuk tak percaya Aaron. Dia orang yang serius, pria
tanpa basa-basi. Temanku yang paling serius, tanpa basa-basi.
Aaron jawaban pasti untuk masalahku.
Aaron akhirnya akan membuat orang tuaku menyadari kebenaran tentang Mr Mortman.
Aku segera meneleponnya. Kukatakan padanya bahwa aku butuh dia untuk datang bersembunyi di perpustakaan
dan memata-matai Mr Mortman.
"Kapan?" dia bertanya. "Pada pertemuan Reading Rangers-mu berikutnya ?"
"Tidak, aku tak bisa menunggu seminggu penuh," kataku, berbisik ke telepon,
meskipun orang tuaku ada di bawah dan tak ada orang di sekitar. "Bagaimana kalau
besok siang" Tepat sebelum waktu tutup. Sekitar jam lima."
"Itu terlalu bodoh," Aaron bersikeras. "Aku tak berpikir aku ingin."
"Aku akan membayarmu!" Aku berseru.
"Berapa banyak?" tanyanya.
Apanya yang teman! "Lima dolar," kataku enggan. Aku tak pernah menyimpan banyak dari uang sakuku.
Aku bertanya-tanya apakah aku masih punya lima dolar di laciku.
"Yah, oke," kata Aaront. "Lima dolar. Di muka."
"Dan kau akan bersembunyi denganku dan kemudian memberitahu semua yang kau lihat
kepada orang tuaku?" tanya.
"Ya. Oke. Tapi aku masih berpikir itu bodoh." Dia diam sejenak. "Dan bagaimana
jika kita tertangkap?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Kita akan berhati-hati," kataku, merasa dingin sedikit ketakutan.
13 Aku menghabiskan sebagian besar hari berikutnya berkeliaran, menggoda Randy. Aku
tak bisa menunggu sore hari untuk terjadi seperti biasanya.
Aku begitu gembira. Dan gugup.
Aku sudah merencanakan semuanya. Aaron dan aku akan menyelinap ke ruang baca
utama tanpa Mr Mortman tahu ada orang yang masuk. Kami bersembunyi di rak-rak
gelap, seperti yang telah kulakukan.
Lalu, saat pustakawan itu mematikan lampu dan menutup perpustakaan, kami akan
menyelinap ke lorong, menjaga dalam bayang-bayang, dan menontonnya menjadi
monster. Lalu kami tak akan pergi tergesa-gesa dengan cara telah kulakukan. Itu terlalu
berisiko. Kami akan kembali ke tempat kita bersembunyi di rak rendah dan
menunggu Mr Mortman untuk pergi. Setelah ia pergi, Aaron dan aku akan membiarkan
diri kami keluar dari perpustakaan dan bergegas ke rumahku untuk memberitahu
orang tuaku apa yang kami lihat.
Mudah. Tak ada yang itu, aku terus berkata pada diriku sendiri.
Tapi aku begitu gugup, begitu bersemangat untuk menyelesaikannya, aku tiba di
rumah Aaron satu jam lebih awal. Aku membunyikan bel.
Tak ada jawaban. Aku memanggil lagi. Akhirnya, setelah menunggu lama, adik belasan tahun Aaron, Burt, membuka pintu.
Dia memakai celana pendek denim biru dan kemeja.
"Hai," katanya, menggaruk-garuk dadanya. "Kau mencari Aaron?"
"Ya." Aku mengangguk.
"Dia tidak di rumah."
"Hah?" Aku nyaris terjatuh dari beranda. "Dimana dia" Maksudku, kapan dia akan
kembali?" "Tak tahu. Dia pergi ke dokter gigi," kata Burt, menatap jalan melaluiku.
"Dia pergi?" "Ya. Dia punya janji dengan orthodontist. Dia mendapatkan kawat gigi. Apa dia
tak bilang padamu?" (orthodontist: dokter gigi yang keahliannya merapikan gigi)
"Tidak," kataku murung. Aku bisa merasakan hatiku tenggelam ke lututku. "Aku
seharusnya bertemu dengannya."
"Mungkin dia lupa," kata Burt sambil mengangkat bahu. "Kau tahu Aaron. Dia tak
pernah ingat hal-hal seperti itu."
"Yah. Terima kasih," gumamku sedih. Aku mengucapkan selamat tinggal dan berjalan
kembali ke trotoar. Pengkhianat busuk itu. Aku merasa sangat dikhianati.
Aku sudah menunggu sepanjang hari. Aku begitu menjiwai untuk memata-matai Mr
Mortman. Aku sudah mengharapkan Aaron. Dan sementara, ia punya janji dokter gigi bodoh
itu. "Kuharap kawat-kawat gigimu benar-benar sakit!" teriakku keras.
Aku menendang sebuah batu kecil di trotoar. Aku merasa seperti menendang banyak
batu. Aku merasa seperti menendang Aaron.
Aku berbalik dan menuju rumah, memikirkan segala macam pikiran jelek. Aku berada
di jalan masuk rendah (rumah)ku ketika ide itu muncul di kepalaku.
Aku tak perlu Aaron, tiba-tiba aku menyadarinya.
Aku punya kamera. Orangtuaku telah memberiku sebuah kamera yang benar-benar bagus Natal lalu.
Jika aku menyelinap ke perpustakaan dengan kamera dan mengambil beberapa foto Mr
Mortman setelah ia menjadi monster, foto-foto itu akan jadi bukti yang
kubutuhkan. Orang tuaku akan percaya pada foto berwarna yang asli.
Melupakan kekecewaanku tentang Aaron, aku bergegas ke kamarku dan menarik kamera
dari rak. Kamera ini sudah ada film di dalamnya. Aku telah mengambil sejumlah
foto di pesta ulang tahun Randy sebelum sekolah.
Aku memeriksanya dengan cermat. Masih ada delapan atau sembilan sisa jepretan
pada roll (gulungan film).
Itu harusnya cukup untuk menangkap Mr Mortman di (bentuk) terjeleknya.
Aku melirik jam di mejaku. Ini masih terlalu awal. Jam empat tiga puluh lebih
sedikit. Aku ingin setengah jam sebelum perpustakaan tutup.
"Ini harus bekerja," kataku keras-keras, menyilangkan jari di kedua tangan.
Lalu aku melilitkan kamera di leherku dan menuju ke perpustakaan.
Aku memasuki perpustakaan diam-diam dan bergerak pelan-pelan ke pintu ruang baca
utama. Rencanaku adalah menyelinap ke dalam rak yang rendah di mana aku
bersembunyi sebelumnya. Tapi aku dengan cepat melihat bahwa semuanya itu tak
akan semudah pemikiranku.
Perpustakaan itu sangat ramai. Ada beberapa anak di bagian buku anak-anak. Ada
orang-orang yang membolak-balik majalah. Salah satu mesin microfiche sedang
digunakan di salah satu dinding. Dan beberapa lorong, termasuk satu lorong
dengan tempat persembunyian khususku, ada orang-orang di dalamnya, melihat-lihat
dan mencari-cari di rak. (microfiche: lembaran mikrofilm kecil dengan banyak halaman atau isi yang
merupakan hasil foto) Aku hanya perlu menunggu mereka keluar, aku putuskan, berbalik dan berpura-pura
untuk mencari-cari di salah satu rak itu kembali.
Aku bisa melihat Mr Mortman berdiri di belakang mejanya. Dia memeriksa setumpuk
buku untuk seorang wanita muda, membuka sampul-sampulnya, mencap kartu, lalu
menutup sampul-sampul itu dengan kasar.
Saat itu hampir pukul lima. Tepat waktunya tutup.
Aku merangkak di sepanjang dinding belakang, mencari tempat lain untuk
bersembunyi. Di dekat sudut, aku melihat sebuah lemari kayu besar. Aku
mengenalinya saat aku melangkah di belakangnya dan merendahkan diri dari
pandangan. Itu adalah lemari panjang yang tinggi yang menahan kartu-kartu
katalog. Ini akan jadi persembunyianku yang cukup baik, pikirku.
Aku membungkuk di balik lemari tua itu dan menunggu. Waktu berlalu. Setiap detik
terasa seperti satu jam. Pada pukul lima seperempat, Mr Mortman masih memeriksa buku orang-orang. Ia
mengumumkan waktu tutup, tetapi beberapa dari pembaca majalah tampak sangat
enggan untuk pergi. Aku merasa diriku semakin gugup. Tanganku sedingin es. Kamera tiba-tiba tampa
beratnya seribu pound, seperti beban mati di sekitar leherku. Aku memindahkannya
dan menjatuhkannya ke pangkuanku.
Ini semua akan sia-sia, aku terus mengulang-ulang pada diri sendiri.
Ini semua akan bernilai jika aku mendapatkan jepretan yang baik yang jelas dari
monster itu. Aku bersandar di belakang lemari dan menunggu, tanganku mencengkeram erat kamera
di pangkuanku. Akhirnya, ruangan itu kosong.
Aku bangkit, tiba-tiba sangat waspada, ketika aku mendengar pustakawan itu pergi
untuk mengunci pintu depan. Beberapa detik kemudian, aku mendengar dia kembali
ke mejanya. Aku berdiri dan mengintip di sisi lemari. Dia sibuk mengocok kertas, merapikan
mejanya malam ini. Dalam beberapa menit, aku berharap, itu waktunya makan.
Waktunya monster. Mengambil napas dalam-dalam, aku mencengkeram erat kamera di satu tangan, dan
mulai merasakan hatiku berdebar-debar, aku mulai berjalan diam-diam menuju meja
Mr Mortman di depan ruangan.
14 Segalanya jadi tampak begitu lama hari ini.
Apa waktu benar-benar bergerak sangat lambat" Atau segalanya tampak begitu
lambat karena denyut nadiku berpacu begitu cepat"
Aku begitu ingin mendapatkan buktiku - dan keluar dari sini!
Tapi Mr Mortman menggunakan waktu tuanya dengan baik. Dia membolak-balik
setumpuk kertas, membaca beberapa darinya, melipat beberapa darinya jadi
setengah, dan melemparkannya dalam keranjang sampah kawat di samping mejanya.
Dia bersenandung sendiri saat dia membaca seluruh tumpukan itu. Akhirnya, ia
sampai ke bagian bawah tumpukan dan melemparkankan lembaran terakhir itu.
Sekarang! Pikirku. Sekarang kau akan memulai rutinitas monstermu, bukan begitu,
Mr Mortman! Tapi tidak. Ia mengangkat setumpuk buku dari meja dan membawanya ke rak-rak. Bersenandung
keras, ia mulai mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya.
Aku menekan diriku ke dalam kegelapan, berharap ia tak akan datang ke barisanku.
Aku berada dekat di dinding jauh di depan deretan mesin microfiche.
Tolong, ayo kita mulai dengan itu! Aku memohon diam-diam.
Tetapi ketika ia selesai dengan tumpukan pertama, Mr Mortman kembali ke mejanya
dan mengangkat ke tumpukan buku lainnya untuk dikembalikan.
Aku akan terlambat untuk makan malam, aku menyadarinya dengan tumbuhnya rasa
takut. Orangtuaku akan membunuhku!
Pikiran itu membuatku tertawa. Di sinilah aku, terkunci di dalam perpustakaan
tua menyeramkan ini dengan monster, dan aku khawatir tentang dimarahi karena
terlambat untuk makan malam!
Aku bisa mendengar Mr Mortman, tapi aku tak bisa melihatnya. Dia berada suatu
tempat di antara deretan-deretan rak, mengembalikan buku-buku.
Tiba-tiba senandungnya semakin keras.
Aku sadar bahwa ia berada di lorong sebelah. Aku bisa melihatnya di atas puncak
buku-buku di rak-rak sebelah kananku.
Dan itu artinya ia bisa melihatku!
Dicekam panik, aku menunduk dan jatuh ke lantai.
Apa ia mendengarku" Apa dia melihatku" Aku tak bergerak. Aku tak bernapas.
Dia terus bersenandung untuk dirinya sendiri. Suara semakin samar saat ia
bergerak ke arah lain. Dengan mengeluarkan desahan lega pelan, aku naik berdiri. Mencengkeram erat
kamera di tangan kananku, aku mengintip dari sisi rak.
Aku mendengar seretan sepatunya di lantai. Dia muncul kembali, kepalanya yang
botak mengkilap di bawah sinar matahari sore hari dari jendela, dan berjalan
perlahan ke mejanya. Jam di dinding terus berdetak ribut.
Tanganku mencengkeram kamera itu dingin dan lembap.
Melihatnya mengaduk-aduk barang-barang di dalam laci mejanya, aku tiba-tiba
kehilangan keberanian. Ini bodoh, pikirku. Suatu ide yang sangat buruk.
Aku akan tertangkap. Begitu aku melangkah keluar untuk menganbil gambar, dia akan melihatku.
Dia akan mengejarku. Dia tak akan membiarkanku keluar dari perpustakaan dengan
kamera ini. Dia tak akan membiarkanku keluar dari sini hidup-hidup.
Berbalik dan larilah! Perintah satu suara di dalam kepalaku.
Cepatlah, saat kau punya kesempatan - berbalik dan larilah!
Lalu terdengar suara lain menyelanya. Dia tak akan berubah jadi monster malam
ini, Lucy, kata suara itu. Kau membuang-buang waktumu. Kau membuat dirimu
sendiri gugup dan ketakutan tanpa alasan.


Goosebumps - 8 Gadis Pecinta Monster di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikiranku berputar, berdesing dengan suara-suara dan pikiran-pikiran yang
menakutkan. Aku bersandar keras pada rak kayu, memantapkan diriku sendiri. Aku
memejamkan mata sejenak, mencoba untuk menjernihkan kepalaku.
Berapa banyak potret yang bisa kau ambil" Tanya satu suara di kepalaku. Bisakah
kau memotret tiga atau empat (kali) sebelum ia menyadari apa yang terjadi"
Kau hanya perlu satu potret yang baik, kata suara lain kepadaku. Satu potret
yang bagus dan jelas akan menjadi bukti yang kau butuhkan.
Lebih baik kau berharap dia bersenandung sangat keras, kata suara lain. Jika
tidak, dia akan mendengar bunyi klik pemetik (rana) kameramu.
Berbalik dan larilah! (kata) suara lain berulang-ulang. Berbalik dan larilah!
Kau hanya perlu satu potret yang baik.
Jangan biarkan dia mendengar bunyi klik pemetik (kamera)mu.
Aku melangkah ke depan dan mengintip di sekeliling rak.
Mr Mortman, bersenandung riang pergi, adalah meraih stoples lalat.
Ya! Aku diam-diam berteriak. Akhirnya!
"Waktunya makan malam, teman-teman pemalu saya," aku mendengarnya berkata dalam
suara senang yang datar. Dan saat ia mulai membuka tutup stoples, kepalanya
mulai semakin besar. Matanya menonjol. Mulutnya berputar terbuka dan menjadi besar.
Dalam beberapa detik, kepalanya yang besar bergoyang-goyang di atas kemejanya.
Lidahnya yang seperti ular menjentik keluar dari mulut hitamnya saat ia
memindahkan tutup stoples dan mengeluarkan segenggam lalat.
"Waktunya makan malam, teman-teman pemaluku!"
Waktunya memotret! Pikirku, mengumpulkan keberanianku.
Aku mengangkat kamera ke mataku dengan tangan gemetar. Aku mencengkeram eraterat kamera itu dengan kedua tangan agar tak bergoncang.
Lalu dengan menahan napasku, aku bersandar ke depan sejauh yang kubisa.
Mr Mortman menenggak genggaman lalat pertamanya, mengunyah dengan suara keras,
bersenandung saat ia mengunyah.
Aku berusaha membuatnya di tengah jendela bidik.
Aku sangat gugup, kamera bergoncang-goncang di semua tempat!
Aku sangat senang dia bersenandung, pikirku, mengangkat jariku untuk tombol
pemetik kamera. Dia tak akan mendengar bunyi kamera.
Aku akan dapat mengambil lebih dari satu potret.
Oke. Oke. . . Dia masih menikmati kumpulan pertama dari daging lunak lalat.
Sekarang! Aku berkata pada diriku sendiri.
Aku akan menekan tombol - saat Mr Mortman tiba-tiba berbalik.
Dengan terengah, aku berhenti sendiri tepat pada waktunya.
Urat nadiku bergetar begitu keras di alisku, aku hampir benar-benar tak bisa
melihat. Apa yang dia lakukan"
Dia meraih stoples lain. Dia meletakkannya di atas meja dan membuka tutupnya.
Aku mengangkat kamera lagi dan menyipitkan mata padanya melalui jendela bidik.
Apa yang dimilikinya di stoples itu"
Sesuatu berkibar di sana. Butuh beberapa waktu untuk menyadari bahwa itu
ngengat. Ngengat putih. Dia menutup kepalan tangannya di satu ngengat dan memasukkannya ke dalam
mulutnya dengan lahap. Ngengat lainnya terbang dari toples sebelum ia bisa menutup tutupnya.
Mata Mr Mortman menonjol seperti jamur payung tumbuh keluar dari kepalanya yang
seperti balon. Mulutnya berputar dan menggulung saat ia mengunyah ngengat.
Sambil mengambil napas dalam-dalam lainnya dan menahannya, aku mencondongkan
tubuh ke depan sejauh yang aku bisa, memantapkan kamera di depan mataku - dan
pemetik potret bersuara. 15 LAMPU KILAT! Aku lupa tentang lampu kilat!
Aku begitu khawatir tentang suara pemetik kamera, aku benar-benar lupa bahwa
kameraku punya lampu kilat otomatis!
Cahaya putih singkat lampu kilat itu membuat Mr Mortman berteriak marah.
Terkejut, ia mengangkat tangannya untuk menutupi mata menonjolnya.
Aku berdiri membeku di lorong, membeku karena kecerobohan, membeku karena
kebodohanku! "Siapa di sana?" geramnya, masih menutupi matanya.
Aku menyadari bahwa ia masih belum melihatku. Mata yang besar itu pasti sangat
sensitif terhadap cahaya. Lampu kilat itu sesaat telah membutakan matanya.
Dia mengeluarkan raungan dahsyat yang bergema di empat dinding ruangan yang luas
itu. Entah bagaimana dalam waktu singkat indraku kembali cukup untuk menarik diriku
kembali, keluar dari pandangan.
"Siapa di sana?" ulangnya, suaranya serak membentak. "Kau tak akan bisa lolos!"
Aku melihanya melangkah dengan susah payah ke arahku. Saat ia menerjang ke
arahku, tubuhnya bergoyang canggung, seolah-olah matanya masih buta.
Aku terkesiap ketakutan saat dia mendekat.
Dia tampak mantap di setiap langkah. Mata menonjolnya mencari di deretan rakrak. Dia terengah-engah, setiap napasnya menggeram sangat marah.
"Siapa di sana" Siapa di sana?"
Pergi! Aku berkata pada diriku sendiri, masih mencengkeram kamera di kedua
tangan. Pergi! Apa yang kau tunggu"
"Kau tak akan bisa lolos!" jerit monster itu.
Oh, ya, aku akan lolos! Dia pergi sejauh tiga baris, matanya mengintip lorong-lorong gelap. Mencari.
Mencari. Dia tak melihatku, aku tahu. Cahaya lampu kilat itu mengejutkannya, lalu
membuatnya buta. Dia tak tahu itu aku. Sekarang yang harus kulakukan adalah lari. Yang harus kulakukan adalah keluar
dari sini dengan bukti aman di tanganku.
Jadi apa yang kutunggu"
Dia terhuyung-huyung mendekat. Dia hanya sebaris jauhnya.
Pergi! Aku memerintahkan kaki lumpuhku. Lari! Jangan hanya berdiri di sini!
Aku berputar, dengan canggung menabrak rak buku. Beberapa buku jatuh ke lantai.
Lari! Jangan berhenti! Perlu waktu begitu lama bagiku untuk bergerak. Aku begitu terbebani oleh
ketakutanku. Lari! Lucy! Dia tepat di belakangmu!
Akhirnya, kakiku mulai untuk bekerja sama.
Sambil memegang kamera di satu tangan, aku mulai berlari melalui lorong gelap
menuju bagian belakang ruangan,
"Kau tak akan bisa lolos!" teriak monster itu dari lorong sebelah. "Aku
mendengarmu. Aku tahu kau di mana!"
Mengeluarkan jeritan binatang mengerikan, aku berlari membabi buta ke ujung
gang, berbalik ke arah pintu - dan menabrak satu kereta buku pendek.
Kereta itu terguling saat aku jatuh di atasnya.
Aku mendarat keras pada perut dan lututku. Kamera itu terpental dari tanganku
dan meluncur di lantai. "Aku mendapatkanmu sekarang!" monster itu menggeram, bergerak cepat dari lorong
sebelah. 16 Aku bergegas bangun, tapi kakiku terjebak dalam kereta.
Monster itu terhuyung-huyung ke arahku, terengah-engah keras.
Sekali lagi, ketakutanku mencoba untuk melumpuhkanku. Aku mencoba untuk
mendorong diriku dengan kedua tangan, tapi tubuhku terasa seolah-olah beratnya
seribu pound. Aku daging mati! Pikirku.
Akhirnya, aku mendorong diriku dan membebaskan diri dari kereta.
Daging mati. Mati daging.
Monster yang menggeram terengah-engah itu hanya beberapa kaki jauhnya sekarang,
meluncur keluar dari satu deretan rak-rak.
Aku meraih kamera itu dan tersandung ke pintu, lututku berdenyut-denyut,
kepalaku berputar-putar. Aku tak akan pernah berhasil.
Tak akan pernah. Dan lalu aku mendengar deringan keras elektronik.
Pada awalnya, kupikir itu adalah alarm.
Tapi lalu aku sadar itu adalah telepon.
Aku menarik diriku ke ambang pintu dan berbalik.
Monster itu ragu-ragu di ujung lorong. Mata bulatnya yang hitam mengapung-apung
di atas wajahnya. Mulutnya ternganga, mengeluarkan air liur cairan hijau,
memutar jadi (huruf) O karena terkejut.
Dia berhenti sebentar, kaget oleh gangguan mendadak itu.
Diselamatkan oleh bel! Pikirku gembira.
Aku membuka pintu depan yang berat itu dan keluar mendadak dengan cepat menuju
kebebasan. Aku berlari untuk dua blok, sepatuku membentur keras trotoar, hatiku menolak
untuk memperlambat, mengalahkan kepanikannya. Aku menutup mata saat aku berlari,
menikmati hangatnya udara segar di wajahku, kehangatan matahari sore, menyapu
rambutku yang berkibar di belakangku saat aku berlari. Merasa bebas. Bebas dan
aman! Saat aku membuka mata dan memperlambat langkahku, aku menyadari bahwa aku
mencengkeram kamera itu begitu erat, tanganku terluka.
Buktiku. Aku punya buktiku.
Satu potret. Satu potret yang hampir meminta nyawaku. Tapi aku memilikinya di
kamera ini, buktiku bahwa Mr Mortman adalah monster.
"Aku harus mencetaknya," kataku keras-keras, "Secepatnya."
Aku berlari di sisa perjalanan pulang, mengayunkan kamera di bawah lenganku.
Saat rumahku kelihatan, aku punya perasaan mengerikan bahwa Mr Mortman akan
menunggu di sana. Bahwa dia akan menunggu di samping teras depan, menunggu untuk
mengambil kamera dariku, untuk merampok buktiku.
Aku ragu-ragu di bagian bawah halaman.
Tak ada orang di sana. Apakah dia bersembunyi di semak-semak" Di sekitar samping rumah"
Aku berjalan perlahan-lahan halaman depan. Kau sedang (jadi) bodoh, aku memarahi
diriku sendiri. Bagaimana bisa Mr Mortman sampai di sini sebelummu"
Selain itu, aku bahkan tak yakin dia mengenaliku.
Lampu-lampu di perpustakaan padam. Ruangan itu gelap. Dia paling dekat di lorong
di sebelahku. Dan ia buta untuk waktu yang lama dari lampu kilat kamera.
Aku mulai bernapas sedikit lebih mudah. Ya, itu mungkin bahwa pustakawan tak
tahu siapa yang dia kejar. Itu mungkin bahwa ia tak pernah melihat padaku dengan
baik sama sekali. Mobil ayahku berhenti di jalan masuk saat aku sampai di teras depan. Aku pergi
bergerak cepat mengejarnya, berlari mengitari samping rumah ke belakang.
"Ayah! Hai!" Panggilku saat dia keluar dari mobil.
"Hei, bagaimana kabarmu?" tanyanya. Pakaiannya kusut. Rambutnya acak-acakan. Dia
tampak lelah. "Ayah, bisa kita mencetak film ini - segera?" tuntutku, menyorongkan kamera ke
arahnya. "Wah!" teriaknya. "Aku baru saja pulang. Ayo kita bicarakan tentang hal itu saat
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 4 Animorphs - 41 The Familiar Pengelana Rimba Persilatan 10

Cari Blog Ini