Ceritasilat Novel Online

Masalah Besar Dua 2

Goosebumps - Masalah Besar 2 Bagian 2


"Aduh!" pekiknya.
"Anak-anak, jangan ribut!" Dr. D. berkata dengan tegas.
Aku disergap oleh si laki-laki kekar berambut pirang. Ia
menahan kedua lenganku dengan sebelah tangan, dan mencekikku
dengan tangannya yang satu lagi.
"Lepaskan aku!" jeritku. "Tanganku sakit!"
"Diam - atau kau akan kubuat betul-betul kesakitan!" si rambut
pirang mengancam. Rekannya menangkap Sheena. Adikku meronta-ronta dan
berusaha menendangnya. Tapi laki-laki itu terlalu kuat.
"Lepaskan mereka!" seru Dr. D.
Cengkeraman Mel malah bertambah erat.
"Saya minta maaf, Dr. D.," kata Dr. Ritter. "Sebenarnya saya
enggan mencelakakan sesama ilmuwan. Tapi seharusnya Anda jangan
jadi mata-mata. Saya benci mata-mata."
Ia menghela napas. "Sayang sekali Anda masuk ke tempat
pembiakan plankton saya. Sayang sekali Anda telah mengganggu
eksperimen saya." "Eksperimen apa?" tanya Dr. D.
Dr. Ritter menaruh tangannya yang kuat di bahu Dr. D. "Saya
sedang mengerjakan proyek yang cemerlang. Proyek ini bisa
mengubah seluruh dunia. Semua masalah dunia akan teratasi!"
"Proyek apa itu?"
"Ha-ha. Anda memang penuh rasa ingin tahu!" ujar Dr. Ritter
sambil tertawa. "Hmm, saya kira tak ada salahnya kalau saya
memberitahu Anda. Saya menyuntikkan hormon pertumbuhan ke
plankton di perairan sini. Ikan-ikan yang makan plankton itu lalu
tumbuh menjadi besar sekali. Hasilnya sudah Anda lihat sendiri."
Dr. D. mengangguk. "Tapi apa hubungannya dengan masalah
dunia?" "Pada dasarnya saya orang baik," Dr. Ritter berkata. "Saya tak
bermaksud mencelakakan siapa pun. Saya justru ingin menolong
segenap umat manusia! Saya akan membiakkan ikan-ikan raksasa
sebagai pangan untuk seluruh dunia. Mulai sekarang takkan ada orang
yang kelaparan!" "Lepaskan aku!" teriak Sheena. Adam masih memegangnya
kuat-kuat. "Yang ini ribut sekali," Adam menggerutu.
"Lepaskan saja," ujar Dr. Ritter. "Untuk sementara."
Adam menurunkan tangannya. Tapi ia tetap berdiri di belakang
Sheena. "Eksperimen Anda menarik sekali, Dr. Ritter," ujar pamanku.
"Saya ingin mengetahui lebih banyak. Apakah sudah ada kemajuan?"
Dr. Ritter tersenyum. Kelihatan jelas bahwa ia suka berbicara
mengenai pekerjaannya. "Hmm, saat ini masih ada beberapa
kekurangan. Tapi tidak ada yang tak bisa saya atasi."
"Apa yang akan Anda lakukan pada kami?" Sheena menyela.
Dr. Ritter menatapnya sambil mengerutkan kening. "Sayangnya
kalian tahu terlalu banyak."
"Tapi saya ilmuwan," kata Dr. D. "Saya takkan menceritakan
hasil karya Anda pada orang lain. Saya berjanji."
"Janji Anda tidak berarti apa-apa," Dr. Ritter menggeram. Ia
mulai naik pitam. Wajahnya menjadi merah. "Saya tidak akan
membiarkan siapa pun mencuri ide saya."
"Saya tidak mungkin mencuri!" pamanku berkeras.
"Soal itu akan saya pastikan," Dr. Ritter menyahut dengan
dingin. Ia berpaling kepada kedua asistennya. "Bawa mereka."
Sebelum aku dan Sheena sempat bergerak, Mel dan Adam
sudah menyergap kami dan membawa kami ke kapal mereka.
Aku sempat melepaskan diri. Buru-buru aku menghampiri
tangga untuk naik ke Cassandra.
Tapi sebelum aku sempat naik, Dr. D. juga ditahan dan dipaksa
pindah ke kapal itu. Mel memotong tali pengikat kapal dengan pisaunya. Adam
menyalakan mesin. Semuanya terjadi begitu cepat. Kami tidak sempat berbuat apaapa.
Dr. Ritter melompat ke kapal mereka dan meraih kemudi. Ia
mengarahkan kapal ke tengah laut.
"Kami mau dibawa ke mana?" seruku. "Kami mau diapakan?"
Chapter 19 "AYO, turun!" Adam mendorong Dr. D. ke dalam kabin yang
sempit. Aku dan Sheena menyusul sambil terhuyung-huyung. Dan
kami dibuntuti Mel. "Kalian mau apa?" aku kembali bertanya.
"Lihat saja nanti," Adam menggeram.
Kami melewati dapur kecil. Mel dan Adam menggiring kami
melewati pintu mungil, yang menuju ke kabin pengap berisi meja dan
beberapa kursi. Mel mengikat Dr. D. ke salah satu kursi.
"Ini benar-benar tak perlu," kata pamanku pelan. Tampak jelas
bahwa ia memaksakan diri untuk tetap tenang.
"Silakan protes pada Dr. Ritter," balas Mel.
Adam mengikat Sheena, lalu aku.
"Jangan kencang-kencang dong!" seruku. Tanpa pikir panjang
aku mencondongkan badan ke depan dan menggigit lengan Adam.
"Bagus, Billy!" sorak Sheena.
"Hei!" Adam langsung mundur dan mengusap-usap tangannya.
"Aku digigit anak ini!"
"Balas gigit saja," balas Mel.
Adam memamerkan giginya. Tapi tidak menggigitku Juga tidak
mengencangkan ikatan. Rencanaku berhasil. Aku memang terikat ke kursi - tapi tidak
sekencang yang dibayangkan Adam.
Mel dan Adam menatap kami. "Oke. Urusan ini sudah beres,"
ujar Mel. "Ayo, kita makan siang dulu."
Mereka keluar dari kabin, dan menutup pintu. Aku mendengar
mereka sibuk mengambil piring dan sendok di dapur kecil.
Aku melirik lewat jendela di kananku. Kapal yang kami
tumpangi sedang melaju kencang, menjauhi Cassandra. Menuju ke
laut lepas. Aku memutar-mutar tangan untuk mengendurkan tali. Kalau
saja talinya bisa kutarik sedikit...
"Kira-kira apa maunya Dr. Ritter itu?" tanya Dr. D. Sebenarnya
ia tidak bertanya pada aku dan Sheena, melainkan pada dirinya
sendiri. "Plankton yang diciptakannya benar-benar membuat ikan
tumbuh lebih besar," ujarnya. "Ciptaannya bisa membantu mengatasi
kekurangan pangan di dunia."
"Bukankah itu bagus, Dr. D.?" kata Sheena
Aku kembali menarik-narik tali. Ayo, mengendur dong, kataku
dalam hati. "Mungkin bagus," sahut Dr. D. "Tapi mungkin juga buruk.
Tindakan ini bisa mengacaukan keseimbangan alam."
Tarik, tarik, tarik. Aku mencoba meregangkan tali pengikat.
Apakah sudah bertambah kendur"
"Coba pikir, apa yang akan dimakan ikan-ikan raksasa itu"
Semakin banyak plankton" Ikan-ikan itu bisa saja melahap semua ikan
kecil. Atau bahkan memangsa manusia. Siapa tahu?"
Aku kembali memutar-mutar tanganku. Hei, simpulnya agak
mengendur! Aku berusaha menarik lepas sebelah tanganku.
Hmm, ternyata masih terlalu kencang.
"Dr. Ritter juga menyinggung beberapa kekurangan," pamanku
melanjutkan. "Katanya ada beberapa masalah. Entah apa yang
dimaksudnya." Aku pasang telinga untuk mendengar apa yang sedang
dilakukan Mel dan Adam di dapur. Sepertinya mereka telah pindah ke
geladak untuk makan siang.
Tali pengikat kusentakkan. Rasanya sih sudah bertambah
kendur. Kuputar-putar pergelanganku untuk membebaskan sebelah
tangan. Kulitku sampai lecet karena goresan tali.
Tarik, tarik... Berhasil! Aku berhasil membebaskan sebelah tanganku!
"Dr. D.!" bisikku. Aku memperlihatkan tanganku yang telah
terlepas. "Bagus, Billy," sahutnya.
Aku membebaskan tanganku yang satu lagi, lalu bangkit untuk
membuka ikatan pamanku. "Billy, cepat!" desak Sheena. "Siapa tahu kita bisa kabur
sekalian!" Sekonyong-konyong pintu terbentang.
"Kalian mengganggu makan siangku," Dr. Ritter berkata sambil
menggelengkan kepala. "Itu tidak sopan."
Ia berdiri di ambang pintu. Mel dan Adam mengambil posisi di
kedua sisinya. "Kalian mau turun dari perahuku?" ia bertanya. "Itu bisa diatur.
Mel, Adam. Bawa mereka ke geladak!" Dr. Ritter memerintahkan.
Mel dan Adam membuka ikatan Sheena dan Dr. D., lalu
menyeret mereka ke atas. Makan siang Dr. Ritter - roti isi dan salad masih utuh di meja. Mel dan Adam menggiring kami ke sisi kapal. Aku memandang
ke bawah. Laut tampak bergolak. Tidak ada kapal lain di sekitar kami.
Daratan pun tidak kelihatan.
Tak ada apa pun yang bisa menyelamatkan kami. Tak ada apa
pun selain laut - laut yang dalam, dan tanpa batas.
Dan makhluk-makhluk raksasa yang kelaparan.
"Siapa yang mau melompat lebih dulu?" tanya Dr. Ritter. "Atau
kalian lebih suka terjun bersama-sama?"
Aku menatap ombak yang berkejar-kejaran. Kemudian aku
menarik napas dalam-dalam....
Dan mengambil ancang-ancang untuk melompat.
Chapter 20 OMBAK bergulung-gulung di bawahku. Jantungku berdegup
begitu keras sehingga dadaku terasa nyeri. Aku menghela napas. Bisa
jadi ini terakhir kali aku menghirup udara.
"Stop!" seru Dr. D. "Biar aku saja yang melompat, Ritter.
Biarkan kedua keponakanku. Mereka tak bisa mengganggu
eksperimenmu." "Menurutku, suatu keluarga harus selalu bersama-sama," ujar
Dr. Ritter. "Terutama keluarga mata-mata."
"Kami bukan mata-mata!" Sheena memprotes. "Bukan salah
kami, dong, kalau kami melihat ikan-ikan besarmu. Kami kan tak
sengaja!" "Kami takkan memberitahu siapa pun! Sungguh!" seruku.
Dr. Ritter mencondongkan badan ke arah Sheena. "Barangkali
kau ingin terjun duluan?"
Sheena melotot pada orang itu, tapi kulihat ia gemetaran. Aku
tahu ia takut sekali. Padahal adikku hampir tidak pernah ngeri.
"Jangan ganggu dia," Dr. D. berkata dengan tegas. "Bawalah
kami ke pulau dan turunkan kami di sana - di pulau mana saja.
Terserah kau. Dengan begitu kami takkan bisa memberitahu orang
lain tentang eksperimen plankton yang kaulakukan di sini."
Dr. Ritter memberengut. "Di sekitar sini tak ada pulau. Dan aku
tak mau mengambil risiko. Sori."
Dr. D. belum mau menyerah. Ia terus berusaha mengulur-ulur
waktu sambil mencari jalan keluar dari masalah yang kami hadapi.
Tapi tidak ada jalan keluar. Itu sudah jelas.
Ayo, gunakan otakmu! Gunakan otakmu! aku berkata dalam
hati. Pasti ada jalan untuk kabur. Pasti ada.
Aku memandang berkeliling. Aku mencari-cari sesuatu yang
mungkin berguna, apa saja. Mungkin jaket pelampung! Mestinya kan
ada jaket pelampung di kapal!
Kalau saja aku mendapatkan benda yang bisa mengambang di
air, kami masih mungkin selamat.
Tapi aku tidak melihat apa pun. Aku sampai memanjangmanjangkan leher agar bisa
melihat sampai ke buritan.
Tiba-tiba detak jantungku bertambah cepat. Yes! Ternyata ada
sekoci penyelamat dari bahan karet.
"Ada apa kau celingukan ke kanan-kiri, heh?" geram Mel.
"Kaupikir di sini ada kapal penjaga pantai" Percayalah, tak ada siapasiapa
selain kita, jadi lupakan saja."
"A-aku tak bermaksud apa-apa," sahutku tergagap-gagap.
Saking ngerinya, aku nyaris tidak bisa bernapas.
"Sudahlah, jangan buang-buang waktu," Dr. Ritter menyela.
"Simpanlah napas kalian. Kalian akan membutuhkannya nanti. Sebab
sekarang sudah waktunya untuk berenang."
Sheena menjerit ketakutan.
"Lepaskan dia!" seru Dr. D.
Pundakku dicengkeram sepasang tangan yang kuat sekali.
"Tolong!" jeritku. "Jangan! Jangan!"
Tapi sia-sia saja aku memohon-mohon.
Aku tetap saja didorong ke laut.
Chapter 21 AKU memejamkan mata dan bersiap-siap mencebur ke air.
Tapi ternyata aku tidak jatuh.
Kedua tangan itu tidak melepaskanku.
Aku merasa diriku ditarik kembali ke kapal - tepat ketika
sesosok bayangan gelap melintas di atas.
"Hah?" Aku berkedip-kedip. Apakah memang ada bayangan atau aku yang salah lihat"
Aku mendengar bunyi yang memekakkan telinga. Bunyi
berkepak-kepak. Aku berpaling kepada Dr. D. Ia dan yang lain sama-sama
memandang ke atas. Mungkinkah helikopter" tanyaku dalam hati. Mungkinkah ada
heli yang akan menyelamatkan kami"
Bukan. Bunyi berkepak-kepak itu bukan bunyi baling-baling
heli. Kapal Dr. Ritter kembali dilewati bayangan besar. Dan
kemudian terdengar pekikan nyaring memecahkan keheningan.
RRRAAAAA.K! RRAAAAAAAK! "Oh, ya ampun!" seru Dr. D. "Awas, mereka datang!"
Aku melindungi mata dengan sebelah tangan. Lalu aku melihat
apa yang dimaksud pamanku.
Sepasang burung raksasa menukik rendah. Burung camar.
Burung camar sebesar anjing herderku di rumah!
RRRAAAAAK! RRAAAAAK! Suara burung-burung itu
melengking tinggi. Telingaku sampai sakit.
"Ini dua lagi korban eksperimenmu, Ritter," pamanku berteriak
untuk mengalahkan bunyi kepak sayap kedua burung itu.
"Burung-burung ini pasti sempat makan plankton ciptaanku!"
seru Dr. Ritter. ?"?""L"W"S."?OG?"OT."?M
Kedua burung camar itu terbang mengelilingi kapal. Keduanya
menghasilkan bayangan yang besar sekali. Sayap mereka yang
terentang menyerupai layar.
Tiba-tiba keduanya berhenti berputar-putar.
Dan menurunkan cakar. Jangan-jangan mereka sedang cari makan! aku berkata dalam
hati sambil menatap cakar besar yang berkilau-kilau.


Goosebumps - Masalah Besar 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jangan-jangan kami yang mau dijadikan makanan!
Sebelum kami sempat merunduk atau mencoba bersembunyi,
kedua burung raksasa itu telah menukik ke arah kami.
Keduanya melesat kencang.
Sambil memekik nyaring. Dan siap menyambar mangsa.
Chapter 22 AKU berdiri mematung karena panik.
Suara burung itu berdenging-denging di telingaku. Saking
nyaringnya, kepalaku serasa mau pecah. Aku menatap cakar yang siap
menyambarku. Bayangan burung-burung lewat di atasku.
Dan kemudian aku merasa ada tangan kuat mendorongku ke
bawah. Mendorongku sampai tiarap di geladak. Aku menoleh dan
melihat pamanku. Rahangnya terkunci, dan pandangannya tertuju ke
langit. Ia mendorong aku dan Sheena ke bawah. Kemudian ia
membungkuk di atas kami dan melindungi kami berdua.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Tapi aku mendengar bunyi
benturan keras ketika kedua burung camar itu mendarat di kapal.
Kemudian aku mendengar seruan-seruan Dr. Ritter dan kedua
anak buahnya. Seruan-seruan gusar, bercampur baur dengan pekik
burung camar. Aku menoleh. Berusaha melihat. Tapi Dr. D. mendorong
kepalaku ke bawah lagi. Ia terus memeluk aku dan Sheena.
Suasana di belakang kami hiruk-piruk.
Aku mendengar kepak sayap yang berat.
Meja terbalik. Piring-piring berjatuhan ke lantai. Seseorang
memekik kesakitan. "Cepat, anak-anak... ini kesempatan kita!" bisik Dr. D. Ia
membantu kami berdiri. Kemudian, sambil melindungi kami dengan
punggungnya, ia menggiring aku dan adikku ke sekoci penyelamat.
"Billy, bantu Paman melepaskan talinya!" Dr. D.
memerintahkan. Cepat-cepat kami berusaha melepaskan tali yang mengikat
sekoci itu ke geladak. "Cepat!" Dr. D. mendesak. "Sebelum mereka tahu rencana
kita!" " RRRAAAAAK!" Aku menoleh dan melihat salah satu burung
camar mencengkeram Adam dengan cakarnya yang tajam. Mel dan
Dr. Ritter berupaya menyelamatkan rekan mereka.
"Simpul ini sudah terbuka!" kata Sheena. Ia mulai membuka
simpul lain. Aku menarik-narik simpul di hadapanku. Saking ngerinya, aku
tidak bisa berpikir dengan jernih. Jariku terasa kaku dan kikuk.
Cepat! kataku pada diri sendiri. Cepat - sebelum mereka
melihat kita! Akhirnya aku berhasil membongkar simpul terakhir. Sekoci itu
bisa diangkat. Dr. D. segera melemparkannya ke laut.
"Oke. Lompat! Cepat!"
Aku berpegangan pada pagar kapal dan bersiap-siap melompat.
"Hei!" kudengar seruan kaget di belakang. Aku menoleh dan
melihat Mel mendelik kepada kami. "Hei... mereka mau kabur!"
Ia memberi isyarat agar kami berhenti. "Stop!" serunya. Mel
meraih senapan tombak untuk berburu ikan. "Jangan bergerak!"
hardiknya. Aku terdiam. Ujung tombak itu tampak berkilau-kilau dalam
cahaya matahari. Mungkinkah dia menembak kami"
"Ayo, anak-anak! Cepat!" seru Dr. D.
Mel membidikkan senapan tombak pada pamanku - dan
menarik picu. Chapter 23 WUUSSS! Aku tidak bisa melihatnya. Tombak itu melesat begitu kencang,
sehingga aku hanya bisa mendengar bunyi yang ditimbulkannya.
Aku terbelalak ketika Dr. D. terjatuh ke geladak. "Kau... kau
menembaknya!" jeritku.
"Dr. D.! Dr. D.!" Aku dan Sheena bergegas menghampiri
Paman. Pamanku duduk tegak. "T-tombak itu meleset!" Ia tampak terkejut. Tapi kemudian ia
segera berdiri. "Masuk ke sekoci, anak-anak!" serunya.
Seekor burung camar memekik. Aku mendengar Adam
berteriak. Mel berbalik untuk menolongnya.
Aku mengambil ancang-ancang, memejamkan mata, lalu
melompat dari kapal. PLOP! Aku mendarat di perahu karet yang empuk. Sheena
segera menyusul. Lalu Dr. D.
"Stop, atau kalian kutembak!" ancam Dr. Ritter. Ia meraih
senapan tombak Mel dan membidikkannya ke arah kami.
Sayap salah satu burung camar menyambar lengannya, sehingga
senjata itu terjatuh ke laut.
Kami segera mulai mendayung dengan tangan untuk menjauhi
kapal Dr. Ritter. "Kalian tak bisa lolos!" Dr. Ritter berteriak-teriak sambil
mengacungkan tinju. "Kalian akan merasakan akibatnya!"
Dr. D. meraih dayung yang tergeletak di dasar sekoci. Ia mulai
mendayung dengan sekuat tenaga. Arus laut juga ikut mendorong.
Ombak berbuih tampak berkejar-kejaran di sekeliling kami.
Angin bertambah kencang, dan dalam sekejap saja kami sudah
terbawa ke tengah laut. Kapal Dr. Ritter menghilang di kejauhan.
"Hmm, kita berhasil lolos," ujar Sheena sambil menghela napas.
"Tapi mau ke mana kita sekarang?"
Di sekeliling kami sama sekali tidak terlihat daratan. Tak ada
tanda-tanda kapal lain. Tak ada apa pun selain laut. Laut yang
bergolak dan ombak yang bergulung-gulung.
Perahu karet kami terombang-ambing dipermainkan
gelombang. "Awas, anak-anak," seru Dr. D. "Ada ombak besar!"
Aku berpegangan pada bibir sekoci ketika sekoci kami
terangkat gelombang itu. GUBRAK! Kami terempas di lembah antara dua gelombang.
Lalu kami tersapu gelombang berikutnya.
Aku menggigil. Bajuku basah kuyup.
"Semuanya baik-baik saja?" tanya Dr. D. Aku dan Sheena
mengangguk. Kemudian gelombang besar menerjang kami dari belakang.
Sekoci kami terangkat tinggi ke udara. Aku berpegangan erat-erat.
Tapi tangan Sheena tergelincir. Ia terlempar - lalu hilang
ditelan buih putih. "Sheena!" jeritku. "Dia jatuh ke laut!"
Kepalanya menyembul ke permukaan. "T-t-tolong!" ia megapmegap. Ia kembali
terbenam, lengannya menggapai-gapai.
Aku menunggu agar ia muncul lagi.
Menunggu. Menunggu. Ayo dong, ujarku dalam hati.
Dan kemudian aku melihatnya. Aku mencondongkan badan ke
depan. Semakin jauh. Semakin jauh...
Aku meraih tangannya dan menariknya kembali ke sekoci.
"Kau tak apa-apa, Sheena?" tanya Dr. D.
Adikku terbatuk-batuk. Air mengalir di wajahnya. "Rasanya sih
tak apa-apa." Dr. D. memeluk kami ketika gelombang berikutnya menerjang.
Kami meringkuk di sekoci. Kami semua basah, menggigil,
lapar, dan capek. Air menggenang di dasar sekoci. Rasanya seperti
duduk di kolam dangkal untuk anak kecil.
Langit semakin gelap. Sebentar lagi malam akan turun.
Kusadari kami harus bermalam di sini. Di tengah lautan luas.
Dan kami takkan bisa beristirahat. Ombaknya terlalu besar.
Kalau kami lengah sebentar saja, bisa-bisa kami terlempar ke laut.
Kami tidak punya persediaan makanan maupun air minum.
"Keadaan kita tak mungkin tambah parah lagi dari ini, kan?"
aku bertanya. "Ya, kan?"
Sheena bersin. Dr. D. diam saja.
Keadaan tak mungkin bertambah parah, aku berkata dalam hati.
Tapi ternyata aku keliru.
Chapter 24 LANGIT menjadi gelap gulita. Lalu petir mulai menyambarnyambar.
DUAAAR! Gemuruh guntur membuat sekoci terguncang-guncang.
Hujan turun dengan deras. Air hujan terasa dingin sekali.
"Aduh, sekarang ini, lagi!" Sheena meratap. Ia menyingkirkan
rambut basah yang menempel pada wajahnya.
Kami duduk termenung di sekoci yang menjadi bulan-bulanan
ombak. Angin bertiup kencang. Hujan terus mengguyur kami.
Petir membelah kegelapan malam.
Dr. D. menatap lapisan awal yang tebal. Ia mengerutkan kening.
"Badai ini bakal lama," katanya.
Brengsek. Sementara itu, sekoci semakin penuh air.
Dr. D. berusaha menciduk air dengan tangan. "Bantu Paman,
anak-anak!" ia memerintahkan. "Kita akan tenggelam kalau airnya
terlalu banyak!" Sambil kalang kabut kami mulai membuang air. Tapi hujan
terlalu deras, sehingga air di dalam sekoci tidak berkurang sedikit pun.
Apa yang harus kami lakukan"
Aku membuka sebelah sepatuku dan menggunakannya sebagai
ciduk. Lumayan, daripada memakai tangan. Dr. D. dan Sheena segera
mengikuti contohku. Selama berjam-jam hujan tak kunjung mereda. "Aku capek
sekali," ujarku. Kucampakkan sepatuku dengan kesal. "Aku tak kuat
lagi. Aku tak kuat."
"Jangan menyerah, Billy," Dr. D. menegurku. "Kita pasti
berhasil." Tapi sepertinya ia sendiri meragukan ucapannya itu.
"Jangan kuatir," ia berseru untuk mengalahkan gemuruh guntur.
"Kita pasti selamat."
Mana mungkin, pikirku dengan perasaan galau. Kalu tidak mati
kelaparan, kami bakal tenggelam. Tak ada siapa pun di sini yang bisa
menyelamatkan kami. Tak ada siapa pun...
Akhirnya hujan berhenti. Malam telah tiba, dan kami
diselubungi kegelapan yang pekat. Tak ada bulan. Tak ada bintang.
Hanya langit hitam yang tertutup awan tebal.
"Aku kedinginan," Sheena merengek.
"Aku lapar," aku menambahkan.
"Dan Paman mabuk laut!" Dr. D. berterus terang.
"Aku merasakan semuanya," ujarku. "Ditambah haus, capek,
dan basah kuyup." Kami semua tertawa. Apa lagi yang bisa kami lakukan"
Kalau keadaan menjadi seburuk ini, segalanya mendadak
berkesan konyol! Kami duduk merapat untuk saling menghangatkan. Perutku
keroncongan. Tapi aku sangat capek... capek sekali. Aku tidak kuat memaksa
mataku agar tetap terbuka. Lama-lama aku pun tertidur.
Aku terbangun karena kaget. Sekoci kami menabrak sesuatu.
Aku membuka mata. Dan menatap dunia yang serba keperakan
dan pucat. Ini pasti cuma mimpi, pikirku. Kembali kupejamkan mataku.
Tapi kemudian aku merasa bajuku yang basah melekat pada
kulitku. Bukan, aku menyadari. Ini bukan mimpi.
Aku membuka mata. Sheena dan Dr. D. juga sudah bangun.
Mereka sedang menguap sambil meregangkan otot-otot.
"Apa yang terjadi?" Sheena bergumam.
"Sekoci ini tak bergerak," jawabku. "Kita berhenti."
Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh laut di sekeliling
kami. Tapi ternyata jariku mengenai pasir.
Daratan! "Hei!" seruku. "Kita sampai di daratan!"
Langit mulai terang. Matahari baru mau terbit. Samar-samar
aku melihat keadaan di sekeliling kami.
"Daratan!" seru Sheena. Ia langsung melompat-lompat
kegirangan. "Hore! Daratan! Kita selamat! Kita selamat!"
Dr. D. bangkit dan meluruskan kaki. "Wow! Rasanya enak
benar." Matahari semakin cerah. Aku menjatuhkan diri ke pasir.
"Bersinarlah seterang-terangnya, matahari!" ujarku sambil menarik
napas lega. "Hmm, di mana kita?" Dr. D. bergumam sambil memandang
berkeliling. "Moga-moga ada makanan di sini," Sheena menambahkan.
Sekoci kami terdampar di pantai berpasir. Tidak jauh dari batas
air ada beberapa pohon palem. Tapi selain itu tidak ada apa-apa. Tidak
ada dermaga, tidak ada kapal, tidak ada rumah.
"Tak ada tanda-tanda kehidupan," ujar Dr. D. "Paman akan
memeriksa keadaan." "Aku ikut," kataku.
"Aku juga!" seru Sheena.
Kami mengikuti Dr. D. Bertiga kami menyusuri tepian air.
"Lihat! Ada pohon kelapa!" Sheena menunjuk pohon tinggi di
pantai. Di bawahnya ada beberapa buah kelapa yang tergeletak di
pasir. "Coba kupas satu," Sheena mendesak. "Aku lapar sekali!"
Dr. D. meraih salah satu kelapa dan membenturkannya ke batu
karang. Buah itu langsung terbelah. Aku dan Sheena makan dengan
lahap. "Bagaimana?" tanya Dr. D. "Sudah lebih enak?"
Aku menyeka air kelapa yang menetes-netes dari daguku.
"Lumayan sih," kataku. "Tapi aku bakal lebih senang lagi kalau bisa
makan hamburger. Apalagi ditambah kentang goreng dan saus tomat."
"Atau piza," Sheena menambahkan.
"Nanti kita cari ikan," Dr. D. berjanji. "Kita akan membuat api
unggun untuk memanggang hasil tangkapan kita."
Kami lalu mengelilingi pulau.
"Siapa tahu ada restoran di sini," Sheena berharap-harap.
Tapi sekitar sepuluh menit kemudian, Dr. D. tiba-tiba
mengerang. "Oh, gawat."
"Ada apa?" tanyaku.
"Lihat saja." Ia menunjuk ke depan.
Sekoci kami. Kami telah kembali ke tempat kami berangkat
tadi. "Jadi cuma segitu pulau ini?" tanyaku. "Kita sudah melihat
seluruh pulau dalam waktu sepuluh menit?"
"Kelihatannya begitu," Dr. D. mendesah. "Pulau ini ternyata
kecil sekali." Sheena juga mendesah. "Aku masih lapar. Tapi aku tak mau
makan kelapa lagi!" "Kelihatannya kita terdampar di pulau yang tak berpenghuni,"
ujar Dr. D. "Tapi jangan kuatir. Kita pasti akan mendapatkan sesuatu


Goosebumps - Masalah Besar 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk dimakan." Aku menyentuh wajahku. Kulitku terasa panas sekali. Mulamula sinar matahari
memang terasa enak - tapi sekarang aku sudah
mulai gosong. Sebenarnya ada satu pertanyaan lagi yang berkecamuk dalam
benakku. Tapi saking laparnya, aku berusaha menyingkirkannya dari
pikiranku. "Billy, coba lari ke pohon palem itu," Dr. D. menyuruhku.
"Coba lihat apakah kau bisa mengumpulkan kayu untuk membuat api
unggun." Aku bergegas untuk mencari kayu bakar. Tapi ternyata hanya
sedikit yang kutemukan. Yang banyak hanya tanaman rambat.
Dan pertanyaan tadi masih juga menghantui pikiranku.
Kami terdampar di pulau kecil, dan kendaraan yang kami miliki
cuma perahu karet. Dan pertanyaan yang enggan kuajukan keras-keras adalah:
Bagaimana kami bisa pergi dari sini"
Chapter 25 AKU menemukan beberapa tongkat dan membawa semuanya
ke pantai. Dr. D. sedang menggali lubang untuk api unggun.
"Bagus, Billy." Ia mengambil alih kayu bakar yang kubawa.
"Untuk sementara ini cukup."
Sheena berjalan-jalan di air dangkal. Aku sendiri duduk di
pasir. "Dr. D....," aku angkat bicara. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang" Apakah kita jauh dari Cassandra?"
Dr. D. menghela napas. "Terus terang, Paman tak tahu di mana
kita berada," ia mengakui.
"Jadi... bagaimana selanjutnya" Apakah kita harus sampai
bulukan di pulau ini?" Aku tahu kami takkan sanggup bertahan lama.
Sampai sekarang kami belum mendapatkan makanan apa pun selain
kelapa. Dr. D. menggosokkan dua ranting kayu untuk membuat api
unggun. "Barangkali ada yang melihat api unggun kita. Mungkin ada
pesawat yang melintas, atau kapal yang lewat di sini. Atau mungkin
ada yang menemukan Cassandra dalam keadaan kosong lalu mencari
kita." Aku merebahkan diri di pasir dan menatap langit yang kosong.
"Tapi itu bakal makan waktu!" seruku. "Tak seorang pun tahu kita
hanyut! Kecuali Dr. Ritter - dan aku tak mau ditemukan dia!"
Tiba-tiba terdengar pekikan. Aku menoleh dan melihat Sheena
berlari-lari di pantai sambil melambai-lambaikan sesuatu dengan
sebelah tangan. "Lihat! Hei... coba lihat ini!" ia berseru. "Aku dapat ikan! Aku
berhasil menangkap ikan dengan tangan kosong!"
Ia memperlihatkan ikan kecil yang menggeliat?geliut.
"Wah, kecil sekali," aku berkomentar.
"Memangnya kau bisa menangkap yang lebih besar?" kata
Sheena. Dr. D. meraih ikan itu dan menaruhnya di pasir. "Lebih baik
daripada tak ada sama sekali."
"Aku akan menangkap ikan yang lebih besar," aku menegaskan.
Aku dan Sheena berlari ke air. Kami maju sampai air setinggi
pinggang. Beberapa ikan kecil berenang di sekitar kami.
"Semuanya kecil-kecil," aku mengeluh. "Kita perlu plankton
Dr. Ritter supaya ikan-ikan ini bertambah besar."
"Aku takkan mau makan ikan raksasa itu," Sheena berkomentar
sambil meringis. "Idih."
"Mungkin kita harus ke air yang lebih dalam untuk
mendapatkan ikan yang lebih besar," aku menduga-duga.
Kami maju pelan-pelan. Seekor ikan keperakan dengan garis
hitam berenang melewatiku.
"Yang itu agak lebih besar," kataku. Aku berusaha
menangkapnya. Tapi meleset.
Aku mencoba sekali lagi. Aku berenang menjauhi pantai untuk
mengejar ikan itu. Sekonyong-konyong kakiku terasa nyeri sekali.
Mula-mula kupikir aku dicubit Sheena.
Tapi rasa sakit itu segera menjalar sampai ke paha.
"Hei... ada apa ini?" teriakku.
Aku memandang ke bawah - dan menjerit ngeri.
Chapter 26 "OH! Aduuuh!" erangku.
Aku memandang ke dalam air - memandang makhluk yang
merayap di dasar laut itu.
Aku melihat punggung berbulu. Cangkang berwarna cokelat
keunguan. Dan sepasang capit yang besar sekali.
Seketika aku tahu bahwa aku ditangkap kepiting raksasa!
Kepiting itu seukuran meja untuk main kartu. Dan ibu jari
kakiku dijepitnya dengan capitan yang sebesar kunci Inggris!
"Tolong!" jeritku. "Ohhh, tolong!"
Kepiting itu menggerak-gerakkan capitnya. Aku memanfaatkan
kesempatan itu untuk menarik kaki. Secepat mungkin aku kembali ke
pantai. "Ada kepiting raksasa!" teriakku. "Hei... awas! Dia
mengejarku!" Sheena memekik. Terburu-buru ia keluar dari air.
Kepiting raksasa itu naik ke pasir. Makhluk tersebut berjalan
menyamping. Kakinya tampak bergerak cepat.
"Astaga!" seru Dr. D.
Kepiting itu menghampiri kami dengan kecepatan luar biasa.
Capitnya menyambar-nyambar. Klik... klik... KLIK.
"Lari ke pepohonan! Cepat!" Dr. D. memberi instruksi.
Kami berlari ke rumpun pohon palem. Aku segera memanjat
salah satu batang pohon, keluar dari jangkauan kepiting itu. Sheena
naik di belakangku. Dr. D. memilih batang pohon lain.
Kepiting itu mengawasi kami dari bawah. Makhluk itu
mengangkat capitnya yang berbulu, seakan-akan hendak menjangkau
kami. Klik... KLIK! "Kalau saja kepiting itu bisa kita masak!" Sheena berseru
kelaparan. "Hasilnya pasti cukup untuk seminggu!"
"Kepiting itu pasti makan plankton ciptaan Dr. Ritter! Dia jadi
besar dan lapar sekali!"
Kepiting itu masih terus menggerakkan capit untuk menangkap
kami. Tubuhnya tampak kembang-kempis secara berirama.
Rasanya makhluk itu berdiri selama berjam-jam di bawah
pohon. "Apa dia tak pernah menyerah?" tanyaku.
Dr. D. mengangkat bahu. "Entahlah."
Tiba-tiba terdengar bunyi krak.
Mula-mula kupikir itu bunyi capit si kepiting. Sekali lagi, krak.
Terlalu dekat untuk bunyi capit. Bunyi itu berasal tepat dari bawahku
dan Sheena. Batang pohon itu.
Krak. Serta-merta aku sadar bahwa aku dan Sheena terlalu berat untuk
batang pohon itu. Batangnya bakal patah.
Dan aku dan adikku bakal disambut capit kepiting yang sudah
menunggu dari tadi. Chapter 27 AKU memekik kaget dengan mengangkat kedua tangan. Aku
berusaha meraih dahan di atas kami. Tanganku menggapai...
menggapai... Aduh. Lenganku terlalu pendek.
"K-kita jatuh!" Sheena memekik.
Kraaaaak. Kami meluncur ke bawah... berjumpalitan di udara... menimpa
punggung kepiting yang penuh bulu. Tapi bukan.
Kami jatuh ke pasir yang panas.
"Hah?" Aku memekik kaget dan langsung berbalik. Kepiting itu
telah menjauh. Aku melihatnya bergegas kembali ke air.
Sheena duduk tegak. Ia tampak kebingungan. Dr. D. turun dari
pohon. "Kalian tak apa-apa?" Kami memperhatikan makhluk raksasa
itu kembali ke tempat asalnya.
"Aku tak mau masuk air lagi," ujarku. "Siapa tahu masih ada
monster lain yang menunggu di sana!"
"Tapi bagaimana kita bisa menangkap ikan kalau begitu?"
Dr. D. tidak menghiraukan kami. Ia telah berbalik dan berjalan
menyusuri pantai. "Oh, ya ampun!" ia berseru. "Laut sudah mulai
pasang! Sekoci kita!"
Kami langsung berlari ke tempat kami meninggalkan sekoci.
Tapi perahu karet itu telah lenyap.
Aku menatap ke laut - dan melihat satu titik kuning di
kejauhan. Sekoci kami. Sekoci kami telah terbawa arus pasang.
"Sekarang kita tak bakal bisa meninggalkan pulau brengsek
ini!" gerutuku. Dr. D. tidak menyahut. Ia tidak perlu mengatakan apa-apa.
Tampang cemas yang dipasangnya sudah menjawab semua
pertanyaanku. **********************************
Sisa hari itu kami lewatkan di tempat teduh sambil makan
kelapa. "Aku tak mau lagi makan kelapa," Sheena merengek. "Biarpun
berbentuk permen!" Kami tidak banyak bicara. Rasanya memang tidak ada yang
perlu dibicarakan. Malam pun tiba. Kami menyaksikan langit berubah warna dari
biru menjadi ungu lalu hitam.
Dr. D. mendadak duduk tegak. "Kalian dengar itu?" ia bertanya.
Aku ikut duduk tegak. Dan pasang telinga.
"Ada apa?" tanya Sheena.
"Suara itu berasal dari pantai," ujar Dr. D.
Kami segera menuju ke tepi laut. Dua hewan besar tampak
bermain-main di air. "Paus!" seru Sheena.
"Bukan... bukan paus," balas Dr. D. "Itu lumba-lumba!"
Aku tahu lumba-lumba itu pasti juga habis makan plankton.
"Hei, mereka main-main dengan benda kuning," ujar Sheena.
"Kelihatannya seperti..."
"Ya!" seruku. "Sekoci kita! Mereka membawanya kembali ke
sini." Tali penambat sekoci melilit di perut salah satu lumba-lumba.
Ke mana pun lumba-lumba itu berenang, sekoci kami mengikutinya.
"Ayo, kita selamatkan!" seru Dr. D. Tanpa pikir panjang ta
masuk ke air. Aku dan Sheena segera menyusul. Kami tidak punya
waktu untuk memikirkan kepiting raksasa. Kami harus mengamankan
sekoci. Kami berenang ke tempat kedua lumba-lumba bermain.
Sepertinya mereka sama sekali tidak takut dengan kedatangan kami.
Dan kenapa mereka harus takut" Mereka jauh lebih besar dari
kami! Itu cuma lumba-lumba, kataku dalam hati. Lumba-lumba tak
pernah menyakiti orang. Tapi aku tetap agak ngeri. Terutama setelah kejadian dengan
kepiting raksasa tadi. Dr. D meraih pinggiran sekoci. Aku dan Sheena segera naik
"Sekarang kita tinggal melepaskan tali yang melilit di perut
lumba-lumba itu...," ujar Dr. D.
Ia menarik talinya. Lumba-lumba itu mulai berenang.
"Aduh, kita terseret!" kata Sheena. "Tunggu, lumba-lumba!
Berhenti!" Lumba-lumba itu tidak berhenti. Ia malahan menambah
kecepatan dan berenang semakin kencang. Dr. D. ikut naik ke sekoci.
Pulau tadi tertinggal jauh di belakang. Kami takkan sanggup
berenang ke sana! Lumba-lumba itu telah membawa kami ke tengah
laut. "Ya sudah. Kita nikmati saja perjalanan ini," kata Dr. D. "Tak
ada lagi yang bisa kita lakukan selain itu."
**********************************
Si lumba-lumba menarik kami sepanjang malam. Untung saja
laut sudah kembali tenang, sehingga kami bisa tidur di sekoci.
Ketika aku terbangun, semuanya tampak kelabu. Berkabut.
Aku mendengar suara si lumba-lumba. Makhluk itu berceloteh,
seakan-akan hendak mengajak kami bicara.
Matahari baru akan terbit. Laut terselubung lapisan kabut tebal.
Si lumba-lumba mengintip ke dalam sekoci. Tali yang semula
melilit di perutnya sudah terlepas. Ia telah bebas.
Lumba-lumba itu mengibaskan ekornya dan berenang menjauh.
Dalam sekejap saja kami sudah tidak bisa melihatnya karena terhalang
kabut. Aku memicingkan mata. Saking tebalnya kabut, ujung sekoci
pun nyaris tidak kelihatan. Kami masih di tengah-tengah laut. Tapi
sepertinya aku melihat sesuatu di dekat kami. Sesuatu yang besar dan
putih. Kelihatannya seperti kapal.
Aku langsung lemas. Oh-oh, pikirku. Rasanya aku sudah pernah melihat kapal ini.
Aku memejamkan mata sambil berharap aku cuma bermimpi.
Sesaat kemudian aku kembali membuka mata. Tapi kapal itu
tetap ada. Aduh! Tak mungkin! Ini keterlaluan!
Aku mengguncang-guncang Dr. D. "Bangunlah!" seruku. "Coba
lihat di mana kita!"
Dr. D. membuka mata. "Hah?" ia bergumam. "Di mana kita?"
"Lumba-lumba itu membawa kita kembali!" aku meratap.
"Kembali ke kapal Dr. Ritter!"
Chapter 28 "ADUH!" rengek Sheena. "Kok jadi begini!"
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku.
"Ssst!" bisik Dr. D. "Tenang dulu. Mereka tak tahu kita di sini.
Barangkali kita bisa kabur lagi."
"Kabur?" seruku tertahan. "Kabur ke mana?"
"Aku sudah tak tahan naik sekoci ini!" kata Sheena. "Aku mau
pulang." "Ini semua karena lumba-lumba konyol itu!" gerutuku.
"Tadinya kupikir lumba-lumba begitu pintar Bisa-bisanya dia menarik
kita ke kapal Dr. Ritter."
Kabut mengelilingi kami bagaikan tirai kelabu Kabut itu
kadang-kadang menebal, kadang-kadang menipis, sehingga kapal Dr.
Ritter pun bergantian muncul dan menghilang dari pandangan
Sekoci kami terdorong arus ke arah kapal Dr Ritter. Aku hampir
bisa menyentuh haluannya Rasanya aku melihat sebuah kata tertulis di situ Ya, benar.
Nama kapal itu. Aku memicingkan mata untuk membacanya Huruf-huruf yang
pertama tampak samar-samar. C-A-S...
Hah" "Dr. D!" seruku. "Ini bukan kapal Dr. Ritter. Ini kapal kita! Ini
Cassandra!" Dr. D. memicingkan mata. "Ya!" serunya. "Kau benar, Billy!"
Kami selamat! Aku dan Sheena langsung bangkit dan
melompat-lompat kegirangan.


Goosebumps - Masalah Besar 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita selamat! Selamat! Selamat!" kami menyanyi-nyanyi.
Sekoci kami sampai oleng. "Hei!" aku berseru. Kami nyaris
terbalik! "Duduklah, anak-anak," kata Dr. D. "Sebentar lagi kita sudah
aman. Jangan cari perkara!"
Kami merapatkan perahu karet ke samping kapal dan segera
naik ke geladaknya. Aku capek sekali. Tapi aku tetap menari-nari begitu
menjejakkan kaki di geladak Cassandra.
Sheena mengajakku ber-high five. "Tak ada yang bisa
menghalangi kita!" serunya dengan gembira. "Biar ada badai di tengah
laut, biar kita terdampar di pulau terpencil, kita tetap pantang
menyerah!" Dr. D. tertawa. "Paman sudah tak sabar untuk mandi dan tidur.
Tapi sebelumnya - Paman akan menyiapkan sarapan untuk kita
semua." "Kue dadar!" aku mengusulkan.
"Kue dadar dan wafer!" Sheena menimpali.
"Sepertinya sarapan kalian terpaksa ditunda dulu," terdengar
suara berat. Kami semua langsung terdiam.
Dr. Ritter keluar dari kabin.
"Tapi jangan kuatir," katanya sambil menyeringai. "Sebentar
lagi kalian sudah takkan merasa lapar."
Chapter 29 "AKU tak tahan kalau begini!" Sheena meratap. Air matanya
mulai menggenang. "Diam!" Dr. Ritter membentaknya.
Dr. D. meraih pundak Sheena untuk menenangkannya. "Mana
anak buahmu?" ia bertanya pada Dr. Ritter.
"Itu bukan urusanmu. Untuk sementara aku tak memerlukan
mereka. Kalian bisa kuurus sendiri," sahut Dr. Ritter. "Kalian semua
pasti capek dan letih, kan" Termasuk kau, Dr. Deep. Begitulah
akibatnya kalau kau tak makan selama dua hari."
Aku melirik ke arah Dr. D. Ternyata memang benar. Pamanku
tampak letih sekali. "Ayo," Dr. Ritter menantang. "Kembalilah ke sekoci. Silakan."
Aku menatap perahu karet itu. Dr. Ritter tahu persis apa yang
dilakukannya. Aku lebih suka makan isi perut ikan campur acar
daripada kembali ke sekoci.
"Kau mau apa, Ritter?" suara Dr. D. terdengar letih, namun
marah. "Kenapa kau menunggu kami di sini?"
Dr. Ritter tampak marah. "Aku tak bisa membiarkan kalian
hidup. Kalian tahu terlalu banyak tentang plankton ciptaanku."
"Kami sudah berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun!" seru
Sheena. "Lihat... aku bersumpah!" Ia membuat gerakan menyilang di
dadanya lalu mengangkat tangan.
Dr. Ritter tertawa. "Kau lucu sekali. Aku menyesal karena kita
harus berpisah seperti ini. Sungguh."
Sinar matahari akhirnya berhasil menerobos lapisan kabut. Aku
menggigil. Sebenarnya aku sudah tidak kedinginan dan basah. Tapi
Dr. Ritter membuatku bergidik.
"Semuanya... turun ke lab!" Dr. Ritter memerintahkan. "Cepat!"
Ia menggiring kami ke bawah. Ke lab pamanku. Dr. Ritter
berhenti di depan salah satu lemari-lemari yang berisi botol-botol
plankton. "Sepertinya inilah contoh-contoh plankton yang kaukumpulkan,
Dr. Deep," ia berkata. "Betul, tidak?" Dr. D. mengangguk.
"Oke. Nah, kau sempat menanyakan efek sampingan
eksperimenku, Dr. Deep. Tentang masalah-masalah yang belum
berhasil kuatasi. Kukira sudah waktunya untuk memperlihatkan
semuanya padamu." Dr. Ritter membuka pintu lemari kaca itu. "Kalau plankton ini
dimakan ikan, ikan tersebut akan tumbuh jadi besar sekali." Ia
menunjuk deretan botol di rak.
"Kau sudah sempat melihatnya, kan" Nah, kira-kira apa yang
akan terjadi kalau plankton ini dimakan manusia" Billy" Kau bisa
menebaknya?" tanya Dr. Ritter.
Aku mencoba menjawab. "Ehm... apakah orang itu jadi
raksasa?" "Salah!" seru Dr. Ritter. "Sheena" Bagaimana menurutmu?"
Sheena mengangkat bahu. "Aku tak peduli."
"Jangan begitu, Sheena," ujar Dr. Ritter. "Sebab itu juga akan
terjadi pada dirimu."
Ia berpaling pada pamanku. "Dr. Deep" Kau punya dugaan"
Ataukah kau sudah menemukan jawabannya melalui penelitianmu?"
"Katakan saja apa yang akan terjadi, Ritter," Dr. D. menyahut
dengan ketus. "Baiklah. Aku akan memberitahu kalian. Kalau plankton
ciptaanku dimakan manusia, orang itu akan berubah jadi ikan!"
"Apa?" seruku. "Dongeng macam apa ini?" pamanku berkomentar.
Dr. Ritter tidak menghiraukan kami. "Orang itu akan berubah
menjadi ikan!" ulangnya. "Hampir seketika itu juga! Dan dia akan
tetap berwujud ikan - sepanjang hidupnya."
"Tak mungkin!" Dr. D. memprotes. "Kau sudah gila, Ritter.
Biarkan kami membawamu ke darat, supaya kau bisa mendapatkan
perawatan yang kaubutuhkan."
"Jangan sembarangan menuduh," balas Dr. Ritter. "Akan
kubuktikan bahwa aku benar!"
Ia mencengkeram tengkukku.
"Hei! Lepaskan aku!" teriakku.
Dr. Ritter tidak menanggapiku. Ia menggiringku ke lemari kaca.
Kemudian ia merapatkan wajahku ke deretan botol. Botol demi botol
berisi plankton berwarna cokelat keruh.
"Ambil satu botol, Billy," ia memerintahkan. "Yang mana saja."
Ia kembali mendorongku, sampai keningku nyaris menjatuhkan
sebuah botol. Kemudian ia melepaskanku.
"Ayo," ia berkata sekali lagi. "Pilih salah satu."
"Untuk apa?" tanyaku. "Kenapa aku harus memilih satu botol?"
"Mau tahu kenapa?" balas Dr. Ritter. "Karena kau akan
mereguk isinya, Billy. Sampai habis."
Chapter 30 AKU menatap deretan botol di hadapanku.
"Ambil satu, Billy," Dr. Ritter mendesak. "Atau aku yang akan
mengambilnya dan menuangkan isinya ke mulutmu."
Aku tidak punya pilihan. Aku mengulurkan tangan dan mengambil botol terakhir dari rak
tengah. Aku menatap isinya - gumpalan menjijikkan berwarna cokelat
kehijauan. "Hormon pertumbuhan menghasilkan reaksi yang aneh pada
plankton," Dr. Ritter menjelaskan. "Begitu mereguknya, Billy akan
berubah menjadi ikan. Proses perubahannya hanya makan waktu satu
atau dua menit." Ia mengambil botol itu dari tanganku. Kemudian membukanya
dan mengembalikannya padaku. "Minum."
Botol itu kutempelkan ke bibir.
"Jangan!" pekik Sheena.
Dr. D. menutupi mulut botol dengan tangannya. "Tunggu,
Billy," katanya. "Ini tak masuk akal, Dr. Ritter. Hentikanlah kegilaan
ini. Dan biarkan kami pergi."
"Tak bisa. Alasannya sudah kujelaskan tadi," sahut Dr. Ritter.
"Kau butuh pertolongan, Dr. Ritter," ujar Dr. D. "Kau tak bisa
berpikir dengan jernih. Kau orang yang cemerlang. Sebenarnya kau
mampu menjadi ilmuwan yang luar biasa."
"Aku memang ilmuwan yang luar biasa," Dr. Ritter berkeras.
"Dan aku akan membuktikannya sekarang juga. Minum, Billy!"
Tangan Dr. D. tetap menutupi mulut botol itu.
"Bagaimana mungkin kau menganggap dirimu ilmuwan besar
kalau kau mencelakakan orang lain," Dr. D berkeras. "Lepaskan kami.
Kami akan mengupayakan pertolongan yang kaubutuhkan. Setelah itu
kau bisa mengubah dunia."
"Kau memang bodoh, Dr. Deep," Dr. Ritter mencemooh.
"Setelah ini giliranmu berubah menjadi ikan. Begitu urusanku dengan
Billy selesai." Ia menepis tangan Dr. D. "Habiskan plankton itu, Billy.
Sekarang juga," ia memerintahkan. "Atau kalian semua akan
kulemparkan ke laut."
Aku menggoyangkan cairan cokelat di dalam botol.
Kemudian menelan ludah. Kelihatannya benar-benar menjijikkan.
Tapi aku harus bagaimana" Tenggelam atau minum...
Tanganku gemetaran ketika aku menempelkan botol itu ke
bibirku. Dan mereguk isinya sampai habis.
Chapter 31 AKU meringis. Seluruh tubuhku gemetaran.
Kemudian aku berdiri kaku. Setiap ototku menegang. Aku
menunggu. Yang lainnya menatap tanpa berkedip. Tak seorang pun
bergerak. Dagu Sheena gemetaran. "Aku tak rela kalau kau berubah jadi
ikan, Billy! Kenapa kau minum plankton itu" Kenapa kau tak
membuangnya ke lantai saja?"
"Kalaupun kulemparkan, dia tinggal mengambil botol lain
buatku," aku menjawab dengan parau. Aku masih bisa merasakan
cairan itu di lidahku. Satu menit berlalu. Dan satu menit lagi.
"Oke," ujar Dr. Ritter. "Perubahannya akan terjadi - sekarang!"
Ia menunjuk. Aku tetap berdiri. Aku tetap berwujud anak lakilaki.
"Rasanya tak ada perubahan," Dr. D. berkomentar.
"Tunggu semenit lagi," Dr. Ritter berkeras. "Aku tahu ini akan
berhasil. Semalam aku sudah mengujikannya pada asistenku - Mel.
Sekarang dia sedang berenang di laut dan bermain kejar-kejaran
dengan ikan marlin biru!"
Suasana menjadi hening ketika semua orang menunggu aku
berubah menjadi ikan. Perutku terasa agak kurang enak. Tapi selain itu tidak ada reaksi
apa-apa. Aku menghela napas. "Sudah lebih dari lima menit, Ritter," kata Dr. D.
"Kelihatannya planktonmu tak seampuh yang kaukira."
Dr. Ritter memasang tampang cemberut. "Tak mungkin!
Planktonku mujarab! Mujarab!"
Ia menyambarku dan mengguncang-guncangku. "Ikan! Kau
harus berubah jadi ikan!"
Aku mendorongnya. Ia mundur terhuyung-huyung.
Dr. D. segera menerjangnya. "Kena kau!"
Dr. Ritter mengelak. Cepat-cepat ia meraih sebotol plankton.
Botol itu diangkatnya tinggi-tinggi.
"Awas, Dr. D.!" pekik Sheena.
Dr. Ritter mengayunkan botol itu.
Dr. D. merunduk. Aku merebut botol itu dari tangan Dr. Ritter.
Pamanku menerjang Dr. Ritter. Tapi Dr. Ritter mengelak dan
bergegas keluar dari lab.
"Dia naik ke geladak!" seru Sheena.
Kami berlari mengejarnya. Dr. D. menyergap Dr. Ritter dari
belakang. Dr. Ritter berguling ke samping, lalu menerjang Dr. D.
Mereka bergulat. Botol plankton itu kutaruh di geladak.
"Lepaskan dia!" seruku. Aku berusaha menarik Dr. Ritter dari
pamanku. Dr. Ritter menyikutku. Dr. D. mencengkeramnya. Mereka
berguling-gulingan di geladak.
"Dr. D.... awas!" teriakku. Ia nyaris terjatuh ke laut.
Dr. D. bangkit sambil mengerang. Sekali lagi ia menerjang Dr.
Ritter, dan kali ini berhasil melumpuhkan lawannya.
"Cepat! Ambil tali, Billy!" perintahnya.
Aku meraih tali pertama yang kulihat. "Ikat dia!" ujar Dr. D.
"Sheena... bantu Paman menahannya."
Sheena mengambil ancang-ancang dan melompat ke perut Dr.
Ritter. "Aduh!" erang Dr. Ritter.
Sheena lalu mendudukinya. Dr. D. memegangi tangannya. Dan
aku mengikat pergelangan tangannya dengan tali tambang.
Pada liburan musim panas tahun lalu, Dr. D. telah mengajariku
bagaimana membuat simpul pelaut. Sekarang aku berusaha
mengingat-ingatnya. Bagaimana caranya" pikirku dengan panik. Lewat atas, lewat
bawah, berputar" Dr. Ritter meronta-ronta. "Cepat, Billy!" kata Sheena dengan
galak. "Aku sudah berusaha!" sahutku.
"Semuanya sudah berakhir, Ritter," kata Dr. D. "Kau akan kami
serahkan pada Patroli Keamanan Laut Internasional."
Lewat atas, lewat bawah, lewat atas"
"Hah, kata siapa!" seru Dr. Ritter. Ia kembali memberontak, dan
berhasil menjatuhkan Sheena. Sheena jatuh ke geladak.
Dr. Ritter melepaskan tali dari pergelangannya, lalu mendorong
Dr. D. keras-keras. Simpul yang kubuat sama sekali tidak berguna.
Dr. D. berusaha menangkap Dr. Ritter. Tapi Dr. Ritter
menghindar dengan gesit. Cepat-cepat ia menyambar botol plankton
yang kutaruh di bawah. Ia bangkit dan mengacung-acungkan botol itu. "Kalian takkan
bisa menyerahkanku pada polisi!" serunya.
Kemudian ia membuka botol itu, menempelkannya ke mulut,
dan mereguk isinya sampai habis.
Chapter 32 "PLANKTONKU mujarab!" seru Dr. Ritter. "Akan
kubuktikan!" Ia mencampakkan botol yang telah kosong. Botol itu pecah
berantakan di geladak. "Kau tak bisa mengelabui kami, Dr. Ritter," kata Sheena. "Kami
sudah tahu plankton itu tak berkhasiat apa-apa. Buktinya, Billy tetap
Billy." Tapi tubuh Dr. Ritter mulai gemetaran. Dalam sekejap saja
kulitnya menggelap. Warnanya berubah menjadi kelabu kebiruan.
"Dia mulai berubah!" seru Dr. D.
Kulit Dr. Ritter mulai bersisik. Kami melihatnya berkilau-kilau
terkena sinar matahari. Tubuhnya mengerut. Pakaiannya berjatuhan. Rambutnya
rontok. Kepalanya menjadi pipih. Seluruh tubuhnya mengecil dan
menjadi gepeng. "Ternyata bisa!'' seruku tertahan. "Dia berubah jadi ikan!"
Lengan Dr. Ritter berubah menjadi sirip. Kakinya menyatu dan
membentuk ekor ikan. Ia jatuh ke geladak. Sebelah matanya memandang ke atas ketika
ia menggoyang-goyangkan ekor.


Goosebumps - Masalah Besar 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia jadi ikan!" seru Sheena. "Ya ampun!"
Ikan di hadapan kami menggelepar-gelepar, lalu terjun ke laut.
Kami memperhatikannya menyelam ke laut yang dalam.
"Tahan dia!" seruku. "Dia mau kabur! Dia tak boleh lolos!"
Cepat-cepat aku mengambil peralatan selamku.
Tapi aku dicegah Dr. D. "Jangan, Billy. Biarkan saja."
"Hah" Kenapa?"
"Kaudengar sendiri apa yang dikatakannya tadi. Dr. Ritter akan
berwujud ikan untuk selama-lamanya," Dr. D. menjelaskan. "Dia tak
bisa mencelakakan siapa pun."
Aku menatap ikan keperakan itu.
"Wow," ujar Sheena. Kedua tangannya menempel pada pipinya.
Dr. D. memeluk kami. "Kelihatannya petualangan ini sudah
berakhir," katanya sambil menghela napas. "Seumur hidup, Paman
belum pernah setakut ini."
Aku dan Sheena sependapat dengannya. "Aku ngeri - dan
sekaligus takjub," aku berkata pada pamanku. "Segala hal aneh yang
kita lihat selama seminggu ini takkan pernah kulupakan."
Kami mengikuti Dr. D. ke bawah untuk membantunya
menyiapkan sarapan. Ia mampir di labnya.
"Huh, berantakan sekali," gerutunya. "Tapi nanti saja Paman
bereskan." Sheena menghampiri lemari yang berisi botol-botol plankton. Ia
berpaling padaku dan menatapku sambil memicingkan mata. "Hei,
Billy... kau juga minum sebotol plankton, kan?"
Kuangkat bahuku. "Ya. Kenapa memangnya?"
"Kenapa kau tak berubah jadi ikan seperti Dr. Ritter?" ia
bertanya. "Kau tahu apa sebabnya," sahutku sambil nyengir.
"Aku tak tahu."
"Jangan pura-pura. Kau tahu aku bukan manusia biasa. Aku
manusia super." Ia menonjok perutku. "Ayo, ceritakan alasan sebenarnya."
Dr. D. menyilangkan tangan di depan dada. "Ya, Billy. Paman
juga ingin tahu." Aku nyengir lebar. "Ehm, sebenarnya ini semua berkat kau,
Sheena." "Berkat aku?" "Ya. Aku kesal sekali waktu kau berhasil mengelabuiku dengan
menaruh kepala boneka di tempat ikan emasku."
Sheena cekikikan. "Ha-ha. Lucu sekali. Setelah itu aku terus memutar otak untuk
balas dendam." "Seperti biasa," Sheena berkomentar.
. Aku mengetuk-ngetuk pintu lemari kaca. "Akhirnya aku
mendapat ide bagus. Kuambil salah satu botol plankton dan kubuang
isinya." Dr. D. langsung meringis. "Apa?"
"Maaf, Dr. D.," ujarku. "Kupikir persediaan Paman cukup
banyak, sehingga Paman takkan tahu kalau botol-botol itu berkurang
satu." "Aku tetap belum mengerti," kata Sheena. "Bagaimana
kelanjutannya?" "Botol itu kucuci. Kemudian kuisi dengan es teh," aku
menjelaskan. "Tadinya mau kubawa ke kabinmu, supaya aku bisa
bilang, 'Hei, Sheena! Mau lihat aku minum plankton"' Habis itu aku
akan menenggak es teh itu sampai habis, biar kau jadi mual!"
"Kata siapa aku bakal mual kalau begitu?" Sheena memprotes.
"Hah, kau pasti bakal muntah-muntah!"
"Enak saja!" Dr. D. menyela, "Kautaruh botol berisi es teh itu di lemari
plankton. Dan waktu Dr. Ritter menyuruhmu mengambil salah satu
botol..." "Ya!" seruku. "Kupilih botol yang berisi es teh!" Sheena
tertawa. Saking kerasnya tertawa, ia nyaris tersedak.
"Aku tahu ini memang lucu," kataku. "Tapi kau tak perlu
terbahak-bahak seperti itu!"
"Aduh, Billy!" serunya sambil berusaha menahan tawa.
"Ternyata pikiran kita semakin sama."
"Apa maksudmu?"
"Aku merencanakan trik yang sama untuk mengelabuimu!"
sahutnya. "Trik yang persis sama! Aku juga menaruh es teh di dalam
botol. Lihat!" Ia mengambil salah satu botol, membuka tutupnya, dan
mereguk isinya sampai habis.
Dr. D. dan aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Sheena memasang tampang aneh. Matanya terbelalak. Ia
memegangi perutnya. "Oh, wow," erangnya. "Jangan-jangan aku salah mengambil
botol!"END Kelana Buana 6 Wiro Sableng 104 Peri Angsa Putih Dewi Siluman Bukit Tunggul 1

Cari Blog Ini