Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars Bagian 1
Chapter 1 ADIKKU, Brandy, minta acara berburu telur untuk merayakan
ulang tahunnya yang kesepuluh. Dan setiap permintaan Brandy pasti
dipenuhi. Dia tinggal mengembangkan senyumnya, senyum yang
membuat lesung pipinya kelihatan. Habis itu dia pasang tampang tak
berdosa dan membuka matanya yang hijau lebar-lebar, sambil
memilin-milin rambutnya yang merah dan keriting. "Aku minta acara
berburu telur untuk pesta ulang tahunku, ya" Boleh, ya" Boleh, ya?"
Kalau sudah begitu, ayah dan ibuku tak pernah bisa menolak.
Seandainya Brandy minta burung unta berwarna merah-putihbiru untuk kado ulang
tahunnya pun, Daddy pasti langsung membeli
cat untuk membuat burung unta jadi berwarna-warni.
Brandy memang jago mengambil hati. Benar-benar jago. Dan
aku kakaknya, Dana Johnson, terus terang sulit juga bilang tidak kalau
Brandy minta sesuatu. Aku tidak mungil dan lucu seperti adikku. Rambutku hitam
lurus, dan selalu menutupi keningku. Dan aku pakai kacamata. Dan
aku agak gendut. Mom selalu bilang bahwa tampangku terlalu serius.
"Dana lebih dewasa dari umurnya," begitu Grandma Evelyn
sering berkomentar. Aku sih tidak merasa dewasa. Tapi mungkin maksud nenekku,
aku lebih serius dari anak-anak umur dua belas lainnya.
Bisa jadi itu benar. Tapi sebenarnya aku tidak selalu serius lho.
Hanya saja memang rasa ingin tahuku besar sekali. Aku sangat
tertarik pada ilmu pengetahuan. Aku suka meneliti serangga, tanaman,
dan binatang. Aku punya sarang semut dalam akuarium di kamarku.
Aku juga punya dua labah-labah tarantula.
Selain itu aku punya mikroskop sendiri. Semalam aku baru
mengamati kuku kaki. Mengamati kuku kaki jauh lebih asyik daripada
yang kausangka. Kalau sudah besar nanti, aku mau jadi ilmuwan yang
melakukan bermacam-macam penelitian. Aku bakal punya lab sendiri,
dan aku akan mempelajari segala sesuatu yang ingin kuketahui.
Daddy seorang ahli kimia. Dia bekerja di perusahaan parfum,
mencampurkan macam-macam cairan untuk menciptakan wangiwangian baru. Dia
menyebutnya fragrances. Sedangkan Mommy, sebelum ketemu Daddy, bekerja di sebuah
lab. Dia sering berurusan dengan tikus putih.
Jadi, kedua orangtuaku senang melihatku berminat pada ilmu
pengetahuan. Mereka selalu mendukungku. Tapi itu tidak berarti aku
mendapatkan apa saja yang kuminta.
Coba tebak, apa yang bakal dikatakan Daddy seandainya aku
minta burung unta berwarna merah-putih-biru untuk ulang tahunku.
Dia pasti bilang, "Kenapa kau tidak pinjam burung unta adikmu saja?"
Tapi oke, Brandy minta acara berburu telur untuk pesta ulang
tahunnya. Dia berulang tahun seminggu sebelum Paskah, jadi
permintaannya tidak terlalu aneh.
Halaman belakang rumah kami luas sekali, membentang sampai
ke sebuah sungai kecil. Halaman itu penuh semak dan pohon dan rumpun-rumpun
bunga. Lalu masih ada rumah-rumahan untuk anjing, padahal kami
tidak punya anjing. Pokoknya, ada banyak tempat yang cocok untuk
menyembunyikan telur. Seperti biasa, orangtuaku tidak bisa menolak permintaan
Brandy. Dan dia lalu mengundang semua teman sekelasnya.
Barangkali kaupikir berburu telur tidak seru.
Tapi percayalah, acara berburu telur di ulang tahun Brandy lain
dari yang lain. ***********************************
Ulang tahun Brandy jatuh pada hari yang hangat dan cerah.
Hanya ada beberapa awan berarak di langit. (Aku juga suka
mengamati awan.) Sehabis sarapan, Mom langsung ke halaman belakang sambil
menggotong sekeranjang telur. "Aku akan membantu Mom
menyembunyikan semuanya," ujarku.
"Kalau begitu tidak adil, Dana," sahut ibuku. "Kau nanti juga
akan ikut berburu telur, ya, kan?"
Aku hampir lupa. Biasanya Brandy tidak suka aku ikut-ikutan
kalau teman-temannya main di rumah kami. Tapi kali ini dia
mengizinkan aku ikut berburu telur. Sahabatku, Anne Gravel, juga
boleh ikut. Anne tinggal di sebelah rumahku. Mom bersahabat dengan
ibunya. Mrs. Gravel bilang pekarangan belakang mereka juga boleh
dipakai untuk menyembunyikan telur. Jadi sudah sepantasnya kalau
Anne juga boleh ikut berburu.
Anne bertubuh kurus jangkung. Rambutnya panjang, berwarna
cokelat kemerahan. Dia hampir satu kepala lebih tinggi dari aku.
Semua orang menyangka dia sudah lebih besar. Tapi sebenarnya dia
baru dua belas, seperti aku.
Anne lucu sekali. Dia selalu menceritakan lelucon. Dia suka
mengolok-olokku, karena aku begitu serius. Tapi aku tidak
tersinggung. Aku tahu dia cuma main-main.
Sore itu, Anne dan aku berdiri di depan garasi, memperhatikan
teman-teman Brandy berdatangan. Brandy menyerahkan keranjang
kecil kepada setiap tamunya.
Mereka senang sekali waktu Brandy bilang bahwa bakal ada
acara berburu telur. Dan anak-anak cewek semakin bersemangat
waktu mereka dengar bahwa hadiah utamanya adalah boneka
American Girl yang mahal.
Anak-anak cowok tentu saja langsung mulai menggerutu.
Seharusnya Brandy menyediakan hadiah yang juga cocok untuk anak
cowok. Beberapa anak cowok mulai memakai keranjang masingmasing untuk bermain
Frisbee. Malah ada yang bergulat di rumput.
"Mereka masih kekanak-kanakan sekali," aku bergumam
kepada Anne. "Kau pasti juga begitu waktu kau sepuluh tahun," balas Anne.
"Waktu itu kau tergila-gila pada kura-kura Ninja."
"Enak saja!" aku memprotes.
"Ya kok," Anne berkeras. "Setiap hari kaupakai T-shirt Kurakura Ninja ke
sekolah." Aku menendang batu-batu kerikil di depan garasi. "Oke, aku
memang pakai T-shirt itu, tapi tidak berarti aku tergila-gila pada Kurakura
Ninja." Anne menyibakkan rambutnya yang panjang sambil mencibir.
Aku paling sebal kalau dia begitu. "Dana, waktu pesta ulang tahunmu
yang kesepuluh, semua cangkir dan piring bergambar Kura-kura
Ninja. Taplaknya juga. Dan acaranya adalah permainan lemparlemparan Piza Kurakura Ninja." "Tapi itu tidak berarti aku tergila-gila!" ujarku dengan ketus.
Tiga anak cewek teman sekelas Brandy berlari melintasi rumput
pekarangan depan. Aku langsung mengenali anak-anak itu. Mereka
kujuluki Tiga Anak Salon. Sebenarnya mereka tidak ada hubungan
dengan salon. Tapi setiap hari sehabis sekolah mereka berkumpul di
kamar Brandy untuk saling mendandani rambut.
Daddy berjalan perlahan menghampiri mereka, dengan kamera
video menempel di mukanya. Tiga Anak Salon melambaikan tangan
ke arah kamera dan berseru, "Happy Birthday, Brandy!"
Ayahku selalu merekam acara ulang tahun, liburan, dan harihari penting lainnya.
Semua kaset videonya disimpannya di rak
khusus di ruang santai. Tapi rekaman-rekamannya tak pernah diputar
lagi. Matahari bersinar cerah. Rumput di pekarangan menyebarkan
bau yang harum dan segar. Kuncup-kuncup daun musim semi di
pohon-pohon baru mulai mengembang.
"Oke - semuanya ikut aku ke belakang!" Brandy memberi abaaba.
Anak-anak langsung mengelompok dua-dua dan tiga-tiga,
masing-masing membawa keranjang. Anne dan aku mengikuti mereka
ke pekarangan belakang. Daddy berjalan mundur, tanpa berhenti
merekam. Brandy mengajak semua tamunya ke pekarangan belakang.
Mom sudah menunggu di situ. "Telurnya disembunyikan di manamana," ia mengumumkan
sambil melambaikan tangan. "Di semua
tempat yang mungkin terbayang oleh kalian."
"Oke, semuanya!" seru Brandy. "Pada hitungan ketiga, kita
mulai berburu! Satu...."
Anne membungkuk dan berbisik ke telingaku. "Aku berani
taruhan lima dolar bahwa aku bakal dapat lebih banyak telur daripada
kau." Aku tersenyum. Anne selalu tahu bagaimana caranya membuat
sesuatu lebih menarik. "Dua...." "Oke, boleh!" sahutku.
"Tiga!" seru Brandy.
Semua anak bersorak-sorai dengan gembira. Acara berburu
telur telah dimulai. Mereka mulai bergegas melintasi pekarangan belakang, kian
kemari. Sebentar-sebentar mereka membungkuk untuk memungut
telur. Ada yang merangkak di rumput. Ada yang mencari telur sambil
bergerombol. Ada juga yang berusaha seorang diri.
Aku membalikkan tubuh dan melihat Anne sedang
membungkuk. Dengan gesit dia menyusuri dinding garasi. Di
keranjangnya sudah ada tiga butir telur.
Dia tidak boleh menang! pikirku. Aku langsung mulai beraksi.
Aku berlari ke sekelompok anak cewek yang bergerombol di
sekitar rumah-rumahan anjing. Aku terus berlari.
Aku ingin mendapatkan tempat yang belum didatangi anakanak lain. Tempat aku bisa
memungut setumpuk telur tanpa perlu
berebutan. Aku menerobos alang-alang, menuju ke ujung pekarangan
belakang. Setelah sampai di dekat sungai, aku mulai mencari. Tak ada
siapa-siapa di sekitarku.
Aku melihat sebutir telur yang disembunyikan di balik batu
kecil. Aku harus bergerak cepat. Soalnya aku mau memenangkan
taruhanku dengan Anne. Aku membungkuk, memungut telur itu, dan langsung
memasukkannya ke dalam keranjang.
Kemudian aku berlutut, menaruh keranjangku di tanah, dan
mulai mencari telur-telur lain.
Tapi aku tersentak kaget ketika aku mendengar seseorang
menjerit. Chapter 2 IIIIIHHHHH!" Teriakan nyaring itu mengalahkan semua suara lainnya.
Aku berbalik ke arah rumah. Salah satu dari si Tiga Anak Salon
sedang mengayun-ayunkan tangan sambil memanggil temantemannya. Aku langsung
meraih keranjangku dan bergegas
menghampirinya. "Ih, telurnya masih mentah!" aku mendengarnya berseru ketika
aku mendekat. Dan kemudian aku melihat kuning telur yang menetesnetes dari Tshirt-nya yang putih. "Telur-telurnya tidak sempat direbus," Brandy mengumumkan.
"Juga tidak sempat dicat. Seharusnya memang tidak begitu, tapi aku
benar-benar tidak sempat."
Aku menoleh ke arah rumah. Mom dan Dad sudah masuk.
"Hati-hati!" Brandy memperingatkan para tamunya. "Kalau
telurnya sampai retak...."
Dia belum selesai bicara ketika aku mendengar bunyi ceprot.
Bunyi itu disusul tawa berderai-derai.
Rupanya ada anak cowok yang menimpuk rumah-rumahan
anjing dengan telur. "Asyik!" seru salah satu tamu cewek.
Stubby, anjing herder Anne, keluar dari rumah-rumahan itu.
Aku tak pernah mengerti kenapa dia suka tidur di situ. Dia hampir
sebesar rumah-rumahan itu.
Tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan Stubby.
Ceprot. Satu telur lagi pecah, kali ini di dinding garasi. Lagi-lagi para
tamu Brandy terpingkal-pingkal. Mereka menganggapnya benar-benar
lucu. "Perang telur! Perang telur!" dua anak cowok mulai berseruseru.
Aku menunduk ketika sebutir telur melayang di atas kepalaku.
Telur itu jatuh di depan garasi, langsung pecah.
Semakin banyak telur beterbangan. Aku cuma bisa terbengongbengong.
Tiba-tiba terdengar jeritan melengking. Aku menoleh dan
melihat rambut dua anak dari Tiga Anak Salon berlepotan kuning
telur. Mereka memekik-mekik sambil berusaha membersihkan rambut
masing-masing. Ceprot! Sebutir telur menghantam garasi.
Krak! Telur-telur melesat ke segala arab.
Aku membungkuk, sambil mencari Anne. Dia pasti sudah
pulang, pikirku. Anne memang senang bercanda, tapi dia sudah dua
belas. Dia sudah terlalu besar untuk perang telur yang kekanakkanakan seperti
ini. Hmm, ternyata aku keliru.
"Hei, Dana! Tangkap!" Anne berseru dari belakangku. Aku
langsung tiarap. Dan untung saja. Rupanya dia melemparkan dua telur
sekaligus padaku. Kedua-duanya melintas di atas kepalaku, lalu jatuh
ke rumput. "Berhenti! Berhenti!" aku mendengar Brandy memekik-mekik.
"Kalian merusak pestaku! Berhenti!"
Ceprot! Sebutir telur menghantam dada Brandy.
Semua anak terbahak-bahak. Di mana-mana terlihat genangan
berwarna kuning yang lengket.
Aku menoleh kepada Anne. Dia menatapku sambil nyengir. Dia
sudah mau menimpukku lagi.
Sudah waktunya aku beraksi. Aku meraih ke dalam
keranjangku dan mengambil satu-satunya telur yang ada di situ.
Aku mengangkat tangan, mengambil ancang-ancang - lalu
berhenti. Telur itu. Aku menurunkan tangan dan menatap telur yang ada dalam
genggamanku. Aku sampai mengerutkan kening.
Rasanya ada yang tidak beres dengan telur itu. Ya, aku yakin
ada yang tidak beres. Chapter 3 TELUR itu terlalu besar. Lebih besar dari telur biasa. Kira-kira
seukuran bola sofbol. Aku memutar-mutarnya dan mengamatinya dengan saksama.
Warnanya juga aneh. Tidak seperti telur, putih krem. Atau
kecokelatan. Warnanya hijau pucat. Aku sampai mengangkatnya ke matahari
untuk memastikan aku tidak salah lihat. Ya. Hijau.
Dan kulitnya retak-retak.
Aku menelusuri garis-garis gelap itu dengan jari telunjuk.
Bukan, ternyata bukan retakan. Semacam pembuluh darah.
Pembuluh-pembuluh darah berwarna ungu kebiruan yang malangmelintang pada kulit
Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telur yang berwarna hijau.
"Aneh!" aku bergumam.
Teman-teman Brandy berseru-seru dan memekik-mekik. Telurtelur beterbangan ke
segala arah. Sepatuku juga kena, dan langsung
berlepotan kuning telur. Tapi aku tidak peduli. Aku terus memutar-mutar telur aneh di tanganku itu. Aku
mendekatkannya ke wajahku, mengamati pembuluh-pembuluhnya
yang ungu kebiruan. "Ooh!" aku memekik kaget ketika telur itu berdenyut.
Ya, pembuluh-pembuluh itu benar-benar berdenyut. Dan
berirama! Deg. Deg. Deg. "Oh wow! Telur ini hidup!" seruku.
Aku terheran-heran. Telur apa ini" Hmm, aneh sekali. Aku
sudah tak sabar ingin membawanya ke meja kerjaku dan
memeriksanya. Tapi sebelumnya aku mau memperlihatkannya kepada Anne
dulu. "Anne! Hei - Anne!" seruku. Aku berlari menghampirinya,
sambil mengangkat telur itu tinggi-tinggi dengan kedua tangan.
Pandanganku melekat pada telur ajaib itu. Aku tidak melihat
Stubby, si anjing herder raksasa, berlari di depanku.
"Aduh!" Aku memekik ketika menabraknya.
Dan aku terjatuh, menimpa telur itu.
Chapter 4 AKU langsung bangkit lagi. Stubby menjilat-jilat mukaku. Huh,
napasnya minta ampun baunya!
Aku mendorongnya ke samping, lalu membungkuk untuk
memeriksa telurku. "Hei!" seruku. Aku terheran-heran. Ternyata telur itu tidak
pecah. Aku memungutnya dengan hati-hati dan mengamatinya dari
segala arah. Wah, ternyata retak pun tidak.
Kulitnya keras sekali! pikirku. Tadi aku jatuh menimpa telur
itu. Telurnya sampai setengah masuk ke tanah. Tapi kulitnya tidak
pecah. Kupegang telur itu erat-erat.
Kurasakan denyutnya yang berirama.
Jangan-jangan di dalamnya ada anak burung yang siap
menetas" aku bertanya-tanya. Burung apa kira-kira" Pasti bukan
ayam. Telur itu jelas-jelas bukan telur ayam.
Ceprot! Satu telur lagi menghantam dinding garasi. Aku menoleh dan
melihat beberapa anak bergulat di tengah genangan kuning telur di
rumput. Lalu ada satu anak cowok yang memecahkan telur dengan
membenturkannya ke kepala anak lain.
"Berhenti! Berhenti!"
Brandy berteriak-teriak sekencang mungkin. Dia berusaha keras
untuk menghentikan perang telur sebelum semua telur hancur
berantakan. Aku menoleh dan melihat ayah-ibuku berlari melintasi
pekarangan. "Hei, Anne - !" aku berseru. Aku berdiri sambil memegang
telur ajaibku dengan hati-hati. Anne sedang melempar-lemparkan telur
ke arah tiga anak cewek. Anak-anak itu membalas serangannya. Tiga
lawan satu - tapi Anne tidak mundur sejengkal pun.
"Anne - lihat!" seruku sambil bergegas menghampirinya. "Aku
menemukan telur ajaib!"
Aku melangkah ke samping Anne, lalu menyodorkan telurku ke
depan mukanya. "Hei, jangan - !" aku memekik.
Terlambat. Anne menyambar telurku, dan melemparnya ke arah tiga anak
cewek itu. Chapter 5 "JANGAN - stop!" aku memekik.
Dengan mata terbelalak aku melihat salah satu dari ketiga anak
cewek itu menangkap telurku - lalu melemparnya kembali ke arah
Anne. Aku langsung menerjang maju, dengan kepala lebih dulu, dan
berhasil menangkap telur itu sebelum membentur tanah.
Pasti pecah, aku berkata dalam hati.
Tapi ternyata tidak. Kulitnya seperti terbuat dari baja! pikirku. Aku berdiri sambil
menggenggam telur itu dengan hati-hati. Di luar dugaanku, telurnya
terasa panas. Panas membara.
"Hei!" Hampir saja aku menjatuhkannya.
Dug. Dug. Dug. Telur itu berdenyut-denyut di tanganku.
Sebenarnya aku ingin menunjukkannya kepada ayah dan ibuku,
tapi mereka sedang sibuk menghentikan perang telur.
Wajah Daddy tampak merah padam. Dia sedang memarahi
Brandy sambil menunjuk bercak-bercak kuning yang mengotori
dinding garasi. Mommy berusaha menenangkan dua anak cewek yang sedang
menangis. Keduanya berlepotan kuning telur, mulai dari rambut
sampai ke sepatu. Aku bahkan melihat kuning telur menetes-netes dari
alis mereka. Mungkin itu sebabnya mereka menangis.
Di belakang mereka, Stubby sedang kegirangan. Dia berlari
mondar-mandir, menjilat-jilat telur dari rumput, dan mengibasngibaskan ekor
dengan gembira. Pestanya kacau-balau! Aku memutuskan untuk membawa telur ajaibku ke dalam. Aku
ingin menelitinya, kalau suasana sudah lebih tenang nanti. Barangkali
aku bisa mencungkil sebagian kulit telur dan mengamatinya di bawah
mikroskop. Dan habis itu aku akan membuat lubang kecil dan
mengintip ke dalamnya. Dug. Dug. Dug. Telur itu masih berdenyut-denyut dan tetap terasa panas.
Mungkin telur kura-kura, aku menduga-duga. Aku berjalan
dengan hati-hati sambil menggenggam telur itu dengan kedua tangan.
Suatu pagi di musim gugur tahun lalu, Anne menemukan kurakura besar di trotoar
di depan rumahnya. Dia membawanya ke
pekarangan belakang, lalu segera memanggil aku. Dia tahu aku pasti
berminat meneliti kura-kura itu.
Kura-kuranya cukup besar. Kira-kira sebesar kotak sepatu.
Anne dan aku terheran-heran bagaimana kura-kura itu bisa ada di
trotoar di depan rumah Anne.
Aku punya buku tentang kura-kura di kamarku. Dan aku yakin
buku itu akan membantuku menentukan jenis kura-kura tersebut. Aku
langsung pulang untuk mengambilnya. Tapi setelah itu, ibuku
melarangku keluar lagi. Aku terpaksa tetap di dalam rumah sampai
sehabis makan siang. Ketika aku kembali ke pekarangan belakang rumah Anne, kurakura itu sudah hilang.
Jadi, siapa bilang kura-kura tidak bisa bergerak cepat"
Dan sekarang aku menemukan sesuatu yang mungkin saja telur
kura-kura. Tapi kenapa permukaannya begitu panas" Penuh pembuluh
aneh lagi" Seharusnya telur tidak punya pembuluh - ya, kan"
Kusembunyikan telur itu di laci lemari pakaianku, lalu
kukelilingi dengan beberapa pasang kaus kaki yang digulung-gulung
untuk melindunginya. Kemudian kututup laci itu pelan-pelan, dan
kembali ke pekarangan belakang.
Semua tamu Brandy sudah mau pulang ketika aku keluar.
Semuanya berlepotan telur. Mereka sama sekali tidak kelihatan
gembira. Brandy juga begitu. Dia sedang dimarahi ayahku, yang
menghardiknya sambil mengayun-ayunkan tangan dan menunjuknunjuk bercak-bercak
telur yang terlihat di mana-mana.
"Kenapa kau membiarkan ini terjadi?" seru Daddy. "Kenapa
kau tidak menghentikannya?"
"Aku sudah berusaha!" Brandy meratap. "Aku sudah berusaha
menghentikan mereka!"
"Garasi harus dicat ulang," Mommy bergumam sambil gelenggeleng. "Dan siapa yang
akan membersihkan rumput?"
"Ini pesta paling kacau yang pernah kuadakan!" Brandy
berseru. Dia membungkuk dan mencomot serpihan-serpihan kulit telur
dari tali sepatunya. Kemudian dia menatap ibuku dengan sengit. "Ini
semua salah Mommy!" "Hah?" ibuku sampai melongo. "Salahku?"
"Ya, soalnya Mommy lupa merebus telur-telur itu," Brandy
menuduh. "Jadi ini salah Mommy."
Mom sudah mau memprotes - tapi akhirnya diam saja.
Brandy berdiri. Serpihan-serpihan kulit telur di tangannya
dijatuhkannya ke bawah. Kemudian dia menampilkan senyumnya
yang khas. "Untuk pesta ulang tahunku tahun depan, kita bikin acara
makan es krim yang meriah, ya?"
*****************************************
Sebenarnya, malam itu aku ingin meneliti telur hijauku yang
aneh. Tapi kami harus berkunjung ke rumah kakek dan nenekku,
mengajak mereka makan malam di luar. Mereka selalu sibuk kalau
Brandy ulang tahun. Pertama-tama, Brandy diminta membuka kado-kadonya.
Grandma membelikan sepasang sandal bulu berwarna pink yang
takkan pernah dipakai oleh Brandy. Paling-paling sandal itu akan
diberikannya kepada Stubby untuk digigit-gigit.
Setelah itu Brandy membuka kotak yang paling besar. Isinya
ternyata piama berwarna pink dan putih. Brandy berlagak girang,
mengatakan bahwa dia benar-benar membutuhkan piama. Dia
memang pandai bersandiwara.
Kadonya yang terakhir adalah kupon belanja senilai 25 dolar
dari toko CD di mal. Nah, ini baru lumayan. "Nanti aku ikut ke sana
deh," aku menawarkan, "supaya kau tidak memilih CD yang
kampungan." Brandy berlagak tidak mendengarku.
Dia merangkul Kakek dan Nenek. Setelah itu kami semua
berangkat ke restoran Itali yang baru di pojok jalan.
Apa yang kami bicarakan waktu makan" Pesta ulang tahun
Brandy yang kacau-balau, tentu saja. Grandma dan Grandpa tertawa
terpingkal-pingkal, ketika mendengar cerita tentang perang telur di
rumah kami. Tadi sore tak ada yang bisa ketawa. Tapi beberapa jam
kemudian, mau tidak mau kami mengakui bahwa kejadian itu
sebenarnya lucu juga. Daddy pun tidak sanggup menahan senyum.
Aku terus memikirkan telur di laci lemari pakaianku. Pada
waktu kami pulang nanti, jangan-jangan aku akan menemukan bayi
kura-kura di situ. Acara makan malam tak kunjung selesai. Grandpa Harry
menceritakan semua kisah golfnya yang lucu-lucu. Kisah-kisah itu
diulang-ulang setiap kali kami berkunjung. Tapi kami tetap tertawa.
Malam sudah larut ketika kami akhirnya sampai kembali di
rumah. Brandy tertidur di mobil. Aku sendiri nyaris tak kuat melek.
Aku tahu aku bakal terlelap begitu kepalaku menempel di bantal.
Kutepuk-tepuk bantalku supaya empuk. Kemudian aku naik ke
tempat tidur dan menarik selimut sampai ke dagu.
Aku baru berbaring sebentar ketika mendengar suara itu.
Dug. Dug. Dug. Berirama, seperti detak jantung. Cuma lebih keras. Jauh lebih
keras. DUG. DUG. DUG. Saking kerasnya, laci-laci lemari pakaianku ikut bergetar.
Aku duduk tegak. Rasa kantukku mendadak hilang. Tanpa
berkedip aku menatap lemari pakaianku. DUG. DUG. DUG.
Aku menurunkan kaki dari tempat tidur.
Haruskah aku membuka laci"
Aku duduk dalam kegelapan. Aku sampai gemetaran karena
penasaran, dan juga karena ngeri.
Aku terus mendengarkan bunyi itu.
Haruskah aku membuka laci dan mencari sumber suara itu"
Atau justru kabur sejauh mungkin"
Chapter 6 DUG, dug, dug. Semakin lama aku semakin penasaran. Aku harus tahu apa yang
ada di dalam laciku. Apakah telur itu telah menetas" Apakah kura-kuranya
membentur-bentur sisi laci karena mau keluar"
Tapi bagaimana kalau ternyata bukan kura-kura" Bagaimana
kalau yang ada di situ malah makhluk aneh yang mengerikan"
Tiba-tiba saja aku jadi ngeri sendiri.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu berdiri pelan-pelan.
Lututku gemetaran saat berjalan melintasi kamar. Mulutku mendadak
kering kerontang. Dug, DUG, dug. Aku menyalakan lampu. Mataku berkedip beberapa kali agar
terbiasa dengan cahaya yang terang.
Perlahan-lahan aku menghampiri lemari pakaian. Bunyi di
dalam laci bertambah keras ketika aku mendekat. Detak jantung, aku
berkata dalam hati. Detak jantung makhluk di dalam telur.
Kupegang gagang laci dengan kedua tangan. Lalu aku kembali
menghela napas dalam-dalam.
Dana, ini kesempatan terakhir untuk angkat kaki, kuperingatkan
diriku sendiri. Ini kesempatan terakhir untuk membiarkan laci ini tetap
tertutup. Dug, dug, dug, dug, dug. Aku menarik laci dan mengintip dengan waswas.
Ternyata belum ada yang berubah. Telur itu masih utuh, dan
masih berada di tempat aku menaruhnya.
Pembuluh-pembuluh berwarna ungu kebiruan pada kulitnya
masih berdenyut-denyut seperti sebelumnya. Perasaanku langsung
lebih tenang. Aku memberanikan diri untuk meraih telur ajaibku.
"Aduh!" Hampir saja telur itu terlepas dari tanganku. Kulitnya panas
membara. Aku memegangnya dengan dua tangan dan meniup-niupnya.
"Ini benar-benar aneh," gumamku.
Mom dan Dad harus diberitahu, pikirku. Sekarang juga.
Barangkali mereka tahu telur apa ini.
Mereka belum tidur. Suara mereka masih terdengar, dari kamar
di ujung lorong. Telur itu kubawa dengan hati-hati, dengan kedua tangan. Pintu
kamar orangtuaku kuketuk dengan siku. "Mom" Dad?" kataku. "Ini
aku." "Ada apa, Dana?" Daddy menggerutu. "Kami mau istirahat.
Kita semua capek sekali hari ini."
Aku membuka pintu kamar mereka, sedikit saja.
"Aku punya telur yang mau kuperlihatkan kepada Mommy,
juga Daddy."
Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh, jangan sebut-sebut soal telur!" mereka berseru
berbarengan. "Kita sudah cukup repot karena telur," ibuku menambahkan.
"Tapi telur ini aneh sekali," aku berkeras. "Aku tidak tahu telur
apa ini. Barangkali..."
"Selamat tidur, Dana," Dad menyela.
"Dan jangan bicara soal telur lagi, oke?" Mom menimpali.
"Ehm, aku..." Aku memperhatikan telur ajaib yang berdenyutdenyut di tanganku.
"Sebentar saja kok. Kalau Dad dan Mom bisa...."
"Dana!" hardik ayahku. "Kenapa tidak kauerami saja telur itu
sampai menetas!" "Hus, Clark - jangan marah-marah begitu dong," tegur ibuku.
"Dia sudah dua belas. Dia tahu aku cuma main-main," Daddy
membela diri. Mereka mulai berdebat tentang apa yang pantas dan apa yang
tidak pantas diucapkan kepada anak-anak.
Aku bilang selamat malam, lalu kembali ke kamarku.
Aku bisa membaca gelagat.
Dug. Dug. Telur itu terus berdenyut di tanganku.
Rasanya ingin kupecahkan saja telur ajaibku untuk melihat apa
yang ada di dalamnya. Tapi tentu saja aku tidak mungkin berbuat
begitu. Aku berhenti di depan kamar Brandy. Aku sudah tak sabar
untuk memperlihatkan telur itu kepada seseorang. Aku mengetuk
pintu kamarnya. Tak ada jawaban. Aku mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras. Brandy memang
sulit dibangunkan kalau sudah tertidur lelap.
Tetap tidak ada jawaban. Aku mulai mengetuk untuk ketiga kalinya - dan kali ini
pintunya membuka. Brandy menyambutku sambil menguap lebar.
"Ada apa" Kenapa kaubangunkan aku?"
"Aku mau memperlihatkan telur ini padamu," aku berkata.
Dia menatapku sambil memicingkan mata. "Hah, telur" Setelah
kejadian di pestaku tadi" Setelah pesta ulang tahun paling kacau
dalam sejarah Amerika Serikat, kau mau memperlihatkan telur
padaku?" Aku mengangkat telur itu. "Yeah. Ini dia."
Dia langsung membanting pintu.
"Jadi, kau tidak mau melihatnya?" aku memanggil. Tak ada
jawaban. Oke, sepertinya dia juga tidak mau diganggu. Kubawa telur itu
kembali kamarku, dan kutaruh di laci lemari pakaian dengan hati-hati
sekali. Kemudian aku menutup laci dan kembali ke tempat tidur.
Dug. Dug. Dug. Bunyi berirama itu menjadi pengantar tidurku. Keesokan
paginya, telur ajaibku menetas.
Chapter 7 AKU terbangun karena mendengar bunyi berderak yang keras.
Sambil mengerdip-ngerdipkan mata, aku menumpu badanku
dengan siku. Aku masih terkantuk-kantuk, tapi sepertinya aku
mendengar Brandy mengertakkan buku-buku jarinya.
Itu salah satu bakat terpendam yang dimiliki Brandy. Jarang ada
yang tahu bahwa dia bisa begitu. Dia tak pernah melakukannya di
depan orang dewasa. Tapi kalau lagi sendirian, dia bisa membuat
suara yang ramai sekali. Sekali lagi terdengar bunyi "krak". Aku langsung terjaga
sepenuhnya. Lemari pakaian. Bunyi itu berasal dari dalam lemari pakaian.
Aku mendengar bunyi sreeeek yang panjang, seperti kalau
orang membuka ikat sepatu dari Velcro. Lalu bunyi berderak lagi.
Seperti bunyi tulang. Pasti telur itu, aku berkata dalam hati.
Jantungku mulai berdegup kencang. Aku melompat turun dari
tempat tidur. Menyambar kacamata dan menaruhnya di hidung.
Kakiku terbelit selimut, menyebabkan aku nyaris terempas ke lantai.
Terburu-buru aku menghampiri lemari pakaian. Telur itu
sedang menetas - dan aku harus menyaksikannya.
Aku meraih gagang laci, membukanya. Saking semangatnya,
aku menarik terlalu keras, sehingga laci itu nyaris copot dari lemari!
Aku mundur selangkah, menahan laci dengan kedua tangan, dan
menatap telur yang ada di dalam. Kraaak.
Pembuluh-pembuluh yang berwarna ungu-kebiruan tampak
berdenyut-denyut. Aku melihat retakan panjang pada kulit telur yang
hijau. Uhh, uhh. Dari dalam telur terdengar bunyi mendenglets-dengus. Dengus
makhluk kecil yang sedang berjuang untuk keluar.
Uhh. Sepertinya dia sedang mengerahkan seluruh tenaganya.
Kedengarannya bukan seperti kura-kura, aku berkata dalam
hati. Barangkali ini sejenis burung" Burung nuri, mungkin" Atau
burung flamingo" Tapi bagaimana telur flamingo bisa ada di pekarangan
belakangku" Bagaimana mungkin ada telur ajaib di pekarangan belakangku"
Uhh. Uhh. Kraaak. Bunyi-bunyi itu membuatku merinding.
Aku menggosok-gosok mata dan menatap telur itu. Telurnya
tampak berayun-ayun dan berkedut-kedut.
Semua pembuluhnya berdenyut-denyut. Retakan lain muncul di
bagian depan. Dan lendir kuning yang kental tumpah ke laci,
membasahi semua kaus kakiku.
"Idih!" aku memekik.
Telur itu bergoyang-goyang. Kulitnya retak lagi. Semakin
banyak lendir kuning mengalir ke luar.
Telurnya berkedut-kedut. Aku kembali mendengar suara
mendengus-dengus. Uhh. Uhh. Setiap kali ada suara, telur itu ikut
bergetar. Lendir kuning terus mengalir ketika retakan-retakan pada kulit
telur bertambah lebar. Kemudian sebagian kulit telur terlepas dan jatuh ke dasar laci.
Bentuknya segi tiga. Aku membungkuk untuk mengintip lewat lubang pada telur
ajaibku. Tapi isinya tidak kelihatan jelas. Aku cuma melihat gumpalan
berwarna kuning. Uhh uhhhhh. Sekali lagi terdengar suara mendengus - dan kemudian seluruh
kulit telur pecah. Cairan kuning kental bercipratan ke segala arah.
Aku menahan napas ketika makhluk aneh itu muncul dari
telurnya. Bentuknya tidak jelas, seperti gumpalan, dan warnanya serba
kuning. Anak ayam" Bukan. Aku tidak melihat kepala. Atau sayap. Atau kaki.
Aku membelalakkan mata sambil memegang laci. Makhluk
aneh itu menyingkirkan sisa kulit telur yang masih melekat. Ini benarbenar
mencengangkan! Makhluk itu menggelinding di antara
gulungan kaus kaki. Sebuah gumpalan. Sebuah gumpalan kuning yang lengket dan
mengilap. Kelihatannya seperti gumpalan telur dadar setengah matang.
Hanya saja seluruh tubuhnya penuh pembuluh darah kecil
berwarna hijau. Dadaku serasa mau meledak. Lalu aku teringat bahwa aku harus
bernapas. Langsung saja aku menarik napas panjang. Jantungku
berdegup-degup. Gumpalan kuning itu berdenyut-denyut sambil mengeluarkan
bunyi seruput yang menjijikkan.
Makhluk itu berputar pelan-pelan. Aku melihat sepasang mata
berwarna hitam di bagian atas tubuhnya.
Tak ada kepala. Tak ada wajah. Hanya dua mata hitam
mengilap di bagian atas tubuh yang kuning.
"Kau bukan ayam," aku bergumam. Suaraku terdengar parau.
"Jelas-jelas bukan ayam."
Tapi kalau begitu, apa dong"
"Hei - Mom! Dad!" aku berseru.
Mereka harus melihat makhluk itu. Ini temuan ilmiah terbesar
dalam seratus tahun terakhir!
"Mom! Dad! Cepat!"
Tak ada jawaban. Makhluk itu menatapku. Tubuhnya berkedut-kedut. Pembuluhpembuluhnya berdenyutdenyut. Seluruh tubuhnya ikut bergetar.
"Mom" Dad?"
Hening. Aku menatap ke dalam laci.
Apa yang harus kulakukan"
Chapter 8 AKU sudah tak sabar untuk memperlihatkan makhluk itu
kepada orangtuaku. Laci lemari pakaian kututup rapat-rapat supaya
makhluk itu tidak bisa kabur. Kemudian aku bergegas menuruni
tangga sambil berseru-seru.
Kaki celana piamaku terpilin, sehingga aku nyaris terjatuh.
"Mom! Dad! Di mana kalian?"
Tak ada jawaban. Pengisap debu telah dikeluarkan dari lemari,
tapi tak ada yang menjalankannya.
Aku berlari ke dapur. Barangkali mereka masih sarapan"
"Mom" Dad" Brandy?"
Tak ada siapa-siapa. Sinar matahari masuk lewat jendela-jendela dapur. Peralatan
makan bekas sarapan - tiga mangkuk sereal dan dua cangkir kopi telah ditumpuk di tempat cuci piring.
Ke mana mereka" aku bertanya-tanya. Jantungku berdegupdegup. Bagaimana mungkin
mereka pergi, padahal aku ingin
memperlihatkan temuan paling penting dalam sejarah jagat raya"
Aku sudah hendak pergi ketika aku melihat pesan yang
ditempelkan ke lemari es. Pesan itu ditulis ibuku dengan tinta biru.
Aku segera membacanya: "Kami mengantar Brandy ke tempat les piano. Masih ada sereal
untuk sarapan. Salam sayang, Mom."
Sereal" Sereal" Mana mungkin aku memikirkan sereal pada waktu seperti ini"
Hmm, apa yang mesti kulakukan sekarang"
Aku menempelkan keningku ke lemari es yang dingin, berusaha
mencari akal. Makhluk telur itu tak mungkin kudiamkan di dalam laci
sepanjang pagi. Barangkali dia butuh udara segar. Barangkali dia
butuh tempat yang luas untuk bergerak. Barangkali dia butuh
makanan. Makanan" Aku menelan ludah. Apa makanannya" Dan apakah
dia bisa makan" Dia cuma segumpal telur dadar bermata.
Aku harus membawanya ke luar, pikirku. Aku harus
memperlihatkannya kepada orang lain.
Seketika aku teringat Anne.
"Yes!" aku berseru dengan gembira. Makhluk itu akan kubawa
ke sebelah, ke rumah Anne. Dia punya anjing. Dia sudah biasa
mengurus binatang piaraan. Barangkali dia tahu apa yang harus
kulakukan. Aku bergegas ke atas, lalu mengenakan jins dan T-shirt yang
semalam kulempar ke lantai. Kemudian aku menghampiri lemari
pakaian dan membuka lacinya.
"Idih!" Gumpalan telur itu duduk di tengah genangan lendir berwarna
kuning. Seluruh tubuhnya berdenyut-denyut. Matanya yang kecil dan
bulat menatapku tanpa berkedip.
"Kau akan kubawa ke rumah Anne," aku memberitahunya.
"Barangkali kami berdua bisa tahu makhluk apa kau sebenarnya."
Hanya ada satu masalah. Bagaimana caranya membawa makhluk itu ke sebelah"
Aku mengusap-usap dagu dan memeras otak. Barangkali bisa
kubawa pakai piring. Tapi jangan deh. Nanti malah jatuh.
Pakai mangkuk" Jangan. Stoples" Jangan. Nanti dia tidak bisa bernapas.
Kotak. Ya. Aku akan memasukkannya ke dalam kotak, aku berkata
dalam hati. Aku membuka lemari, berlutut di lantai, lalu mengobrakabrik barangbarang yang menumpuk di dasar lemari.
Begitulah caraku membereskan kamar. Semua barang
kumasukkan ke dalam lemari, dan setelah itu aku tinggal menutup
pintu. Kamarku paling bersih di antara semua kamar di rumah kami.
Masalahnya cuma kalau aku perlu mencari sesuatu di dalam
lemari. Kadang-kadang aku menghabiskan waktu berhari-hari untuk
mencari baju yang ingin kupakai.
Tapi hari ini aku beruntung. Aku langsung menemukan barang
yang kucari. Sebuah kotak sepatu. Kotak bekas sepatu ketsku yang
baru. Kuraih kotak itu, lalu kembali berdiri tegak. Kemudian
kudorong barang-barang yang lain, agar lemarinya bisa ditutup lagi.
"Oke!" seruku dengan gembira. Aku kembali menghampiri
makhluk telur itu. "Kau akan kumasukkan ke dalam kotak ini, dan
setelah itu kau akan kubawa ke rumah Anne. Siap?"
Aku tidak mengharapkan jawaban. Dan makhluk itu juga diam
saja. Aku melepas tutup kotak itu, menaruhnya di atas meja.
Kemudian kotaknya kurapatkan ke laci.
"Sekarang bagaimana?" aku bertanya pada diriku sendiri.
Bagaimana caranya untuk memindahkan makhluk itu ke dalam
kotak" Apakah aku harus mengangkatnya"
Mengangkatnya dengan tangan"
Kupegang kotak itu dengan tangan kiri, sementara tangan
kananku masuk ke laci. Tapi akhirnya tanganku kutarik keluar lagi.
Jangan-jangan aku digigitnya nanti" aku bertanya-tanya.
Mana mungkin" Dia kan tidak punya mulut.
Leherku serasa tercekik. Tanganku mulai gemetaran. Makhluk
itu begitu menjijikkan - begitu lembap dan menggumpal.
Angkat saja, Dana, aku berkata dalam hati. Jangan terlalu
pengecut. Ingat - kau seorang ilmuwan. Kau harus berani. Kau harus
nekat. Aku tahu itu benar. Ilmuwan tidak boleh mundur kalau
menghadapi sesuatu yang menjijikkan.
Aku menarik napas dalam-dalam.
Dan menghitung sampai tiga.
Kemudian tanganku kujulurkan lagi ke dalam laci.
Chapter 9 KETIKA tanganku mendekat, makhluk itu mulai gemetaran.
Seluruh tubuhnya gemetar seperti agar-agar.
Kutarik keluar lagi tanganku.
Jangan, aku memutuskan. Jangan dengan tangan. Mungkin
Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlalu berbahaya. Makhluk itu gemetaran dan berdenyut-denyut. Gelembunggelembung udara bermunculan
di kulitnya. Apakah dia takut padaku" aku bertanya-tanya. Atau dia justru
memberi peringatan agar aku tidak mendekat"
Aku harus mendapatkan sesuatu untuk mengangkat makhluk
itu. Aku berpaling memandang berkeliling. Akhirnya aku melihat
sarung tangan baseball yang kutaruh di atas rak buku.
Barangkali aku bisa memakai sarung tangan baseball untuk
mengangkat makhluk tersebut dan memasukkannya ke dalam kotak
sepatu. Tapi kemudian aku berubah pikiran. Aku tidak mau sarung
tanganku jadi basah dan lengket.
Lebih baik pakai serokan saja, aku berkata dalam hati.
Kuhampiri lagi lemari pakaian. Makhluk telur itu masih gemetaran tak
terkendali. Aku menutup laci. Siapa tahu dia akan kembali tenang
kalau gelap, pikirku. Aku turun ke ruang bawah tanah. Semua peralatan kebun
disimpan di situ. Aku menemukan sekop kecil dari logam,
membawanya naik ke kamarku.
Ketika laci lemari kubuka, makhluk telur itu ternyata masih
gemetaran juga. "Jangan takut," ujarku. "Aku ilmuwan. Aku takkan
menyakitimu." Sepertinya makhluk itu tidak mengerti bahasa Inggris. Ketika
aku berusaha mengangkatnya dengan sekop, pembuluh-pembuluh di
tubuhnya yang gemetaran malah mulai berdenyut-denyut.
Makhluk mungil itu sampai terguncang-guncang. Matanya yang
hitam terbelalak lebar. Aku sampai kuatir dia akan meledak.
"Tenang saja, tenang saja," aku berbisik.
Dengan hati-hati kutaruh sekop di sampingnya. Lalu aku mulai
menciduknya, pelan-pelan sekali. "Nah, berhasil," kataku.
Makhluk itu bergoyang-goyang ketika kuangkat dari laci.
Kotak sepatunya ada di atas meja. Sekop itu kupegang dengan
tangan kanan. Terpaksa kuraih kotak sepatuku dengan tangan kiri.
Naik. Naik. Pelan-pelan. Dengan hati-hati kudekatkan makhluk
itu ke kotak sepatu. Sedikit lagi. Sedikit lagi.
Hampir sampai. Tiba-tiba makhluk itu menggeram padaku!
Dia menggeram bagaikan anjing yang sedang marah.
"Ohhh!" aku memekik kaget. Sekopnya terlepas dari tanganku.
"Aduh!" aku memekik lagi saat sekopnya jatuh ke lantai - dan
makhluk telur itu menimpa sepatuku.
Tanpa pikir panjang aku membungkuk dan meraihnya.
Aku memegangnya! aku menyadari. Jantungku berdegup
kencang. Aku memegangnya! Aduh, bagaimana sekarang"
Chapter 10 TERNYATA tidak terjadi apa-apa.
Aku tidak tersengat listrik. Kulitku tidak gatal-gatal secara
mendadak. Tanganku pun tidak copot.
Makhluk itu terasa hangat dan lembek, persis seperti telur dadar
setengah matang. Baru kemudian aku sadar bahwa aku menggenggamnya eraterat. Jangan-jangan terlalu
erat" Langsung saja kukendurkan
genggamanku. Aku memasukkannya ke dalam kotak sepatu, lalu segera
kututup. Kotaknya kutaruh di atas meja, dan setelah itu kuperiksa
tanganku dengan saksama. Telapak tanganku terasa lembap dan
lengket. Tapi kulitnya tidak mendadak kuning atau melepuh atau
sebagainya. Aku mendengar makhluk itu berdenyut-denyut di dalam kotak
sepatu. "Jangan menggeram lagi," aku berkata padanya. "Kau
membuatku kaget." Aku mengambil beberapa lembar tisu untuk menyeka tanganku.
Mataku terus tertuju ke kotak sepatu. Makhluk di dalamnya masih
terus bergerak-gerak. Binatang apa itu sebenarnya" aku bertanya-tanya.
Seandainya saja Mommy dan Daddy ada di rumah. Aku benarbenar sudah tak sabar
ingin memperlihatkan makhluk itu pada mereka.
Aku melirik jam radio di samping tempat tidurku. Oh, rupanya
baru jam sembilan. Kemungkinan besar Anne masih tidur. Dia selalu
bangun siang pada hari Sabtu. Aku tidak tahu kenapa. Dengan cara
itu, katanya, waktu berjalan lebih cepat. Anne memang ajaib.
Kotak sepatu itu kuangkat dengan kedua tangan. Makhluk telur
itu ternyata lebih berat dari yang kuduga. Aku meyakinkan diri bahwa
tutupnya sudah terpasang rapat-rapat. Kemudian kotak itu kubawa
turun, aku keluar lewat pintu belakang.
Udara terasa hangat, matahari pun bersinar cerah. Angin yang
berembus pelan membuat daun-daun bergoyang. Mr. Simpson, yang
tinggal dua rumah di sebelah kanan kami, sudah mulai memotong
rumput di pekarangan belakangnya. Di dekat garasi, sepasang burung
gereja sedang memperebutkan seekor cacing tanah yang gemuk.
Kugotong kotak sepatuku ke pintu belakang rumah Anne.
Pintunya terbuka. Aku mengintip melalui pintu kawat nyamuk.
"Hai, Dana. Silakan masuk," ibu Anne menyapa dari tempat
cuci piring. Sambil menahan kotak sepatu itu dengan dada, aku mendorong
pintu lalu melangkah ke dapur.
Anne duduk di meja. Dia memakai T-shirt biru gombrong dan
celana pendek hitam untuk bersepeda. Rambutnya yang merah
kecokelatan diikat. Coba tebak apa yang dimakannya untuk sarapan. Betul sekali.
Telur dadar. "Ya, Dana!" sapanya. "Ada apa?"
"Ehm..." Mrs. Gravel pindah ke kompor. "Sudah sarapan, Dana" Mau
dibuatkan telur dadar?"
Perutku langsung serasa diaduk-aduk. Aku menelan ludah.
"Ehm, tidak usah deh."
"Telurnya masih segar lho," Mrs. Gravel berusaha
membujukku. "Dibuat mata sapi juga boleh, kalau kau mau."
"Tidak usah, terima kasih," sahutku.
Makhluk telur di dalam kotak sepatuku kembali berkedut-kedut.
"Aku mau tambah, Mom," Anne berkata pada ibunya.
"Telurnya enak sekali."
Mrs. Gravel memecahkan sebutir telur pada tepi penggorengan.
"Saya sendiri juga mau."
Aduh, telur lagi, telur lagi. Aku jadi mual.
Anne menghabiskan air jeruknya. "Hei - apa tuh yang
kaubawa" Sepatu kets baru?"
"Ehm... bukan," jawabku. "Coba lihat ini, Anne. Kau pasti
takkan percaya melihat apa yang kutemukan."
Aku sudah tak sabar ingin memamerkan temuanku! Penuh
semangat aku melintasi dapur.
Dan lagi-lagi kakiku tersandung Stubby!
Anjing konyol itu selalu menghalangi jalanku. "Hei!" teriakku
saat terjatuh. Kotak sepatuku langsung melayang, terlepas dari
tanganku. Aku jatuh menimpa Stubby.
Dengan kalang kabut aku berusaha bangkit.
Aku menoleh dan melihat makhluk telur itu terlempar dari
kotaknya, jatuh ke piring Anne.
Anne terbengong-bengong. Kemudian dia mengerutkan
wajahnya karena jijik. "Oh, idih!" dia memekik. "Telur busuk! Ihhh!
Telur busuk!" "Bu-bukan!" seruku. "Dia hidup!"
Tapi sepertinya tak ada yang mendengarkan aku. Stubby
menerjangku ketika aku mulai menjelaskan duduk perkaranya,
sehingga aku nyaris terjatuh lagi.
"Turun, Stubby! Turun!" Mrs. Gravel memarahinya. "Jangan
nakal, Stubby!" "Singkirkan ini!" Anne berseru sambil mendorong piringnya
menjauh. Ibunya memeriksa piring itu, kemudian menatapku sambil
mengerutkan kening. "Ada apa ini, Dana" Ini tidak lucu. Karena
ulahmu, telur ini tidak. bisa dimakan lagi."
"Ya, aku jadi tidak bisa sarapan dengan tenang!" Anne
menambahkan dengan gusar.
"Ta-tapi...," aku tergagap-gagap.
Aku kurang cepat. Mrs. Gravel mengangkat piring itu, dan membawanya ke
tempat cuci piring. Kemudian dia menyalakan alat penghancur
sampah dan sisa makanan - hendak membuang makhluk telur itu ke
dalam lubang pembuangan yang berderu-deru.
Chapter 11 "JANGAAAAN!" Aku memekik nyaring - segera melesat ke
tempat cuci piring. Aku menerjang dan menarik makhluk itu dari lubang
pembuangan. Oh, bukan. Yang kutarik ternyata segumpal telur dadar!
Makhluk itu masih berguling-guling di tempat cuci piring,
mulai mengarah ke lubang pembuangan yang berderu-deru. Sertamerta kulepaskan
gumpalan telur dadar yang kupegang, dan terburuburu kusambar makhluk tersebut
sebelum dia tercincang oleh alat itu.
Makhluk itu terasa panas di tanganku. Semua pembuluhnya
berdenyut-denyut. Seluruh tubuhnya gemetaran.
Aku mengamatinya dengan saksama. Sepertinya semua
bagiannya masih utuh. "Hei, aku menyelamatkanmu," aku berkata
padanya. "Uih! Hampir saja kau celaka!"
Aku memegangnya dengan hati-hati. Makhluk itu terus
gemetaran. Butir-butir cairan mulai timbul di sisi tubuhnya. Matanya
yang hitam menatapku tanpa berkedip.
"Apa sih itu?" tanya Anne sambil bangkit dari kursinya. Dia
merapikan rambutnya yang dikuncir. "Boneka dari kaus kaki bekas,
ya?" Sebelum aku sempat menjawab, Mrs. Gravel sudah
menggiringku ke arah pintu dapur. "Bawa keluar benda itu, Dana,"
katanya dengan tegas. "Benda itu menjijikkan sekali." Dia menunjuk
ke bawah. "Lihat tuh, lendirnya menetes-netes."
"A-aku menemukannya di belakang," ujarku. "Aku juga tidak
tahu ini apa, tapi...."
"Keluar," Mrs. Gravel berkeras. Dia membukakan pintu kawat
nyamuk untukku. "Ayo keluar. Nanti seluruh lantai harus dipel lagi."
Aku tak punya pilihan. Dengan berat hati makhluk telur itu
kubawa ke pekarangan belakang. Tapi sepertinya dia sudah lebih
tenang sekarang. Paling tidak, dia tak lagi berdenyut-denyut dan
gemetaran sekeras tadi. Anne mengikutiku. Sinar matahari yang cerah membuat
makhluk telur itu tampak berkilau-kilau. Tanganku terasa licin dan
basah. Aku tidak ingin meremasnya terlalu keras. Tapi aku juga tidak
ingin dia sampai jatuh. "Itu boneka, ya?" tanya Anne. Dia membungkuk untuk
mengamatinya dari dekat. "Ih. Ini hidup, ya?"
Aku mengangguk. "Aku tidak tahu ini apa. Tapi yang jelas,
makhluk ini hidup. Aku menemukannya kemarin. Waktu Brandy bikin
pesta." Anne terus menatap gumpalan kuning itu. "Kau
menemukannya" Di mana?"
"Aku menemukan sebutir telur di dekat sungai," jawabku.
"Telurnya aneh sekali. Kubawa pulang, dan tadi pagi telurnya
menetas. Dan inilah yang keluar."
"Tapi ini apa?" Anne kembali bertanya. Dia menyentuhnya
dengan ujung jari, pelan-pelan sekali. "Oh, idih. Badannya serba basah
dan lembek." "Yang pasti bukan ayam," ujarku.
"Aduhhh," Anne berkata sambil geleng-geleng kepala. "Kau ini
memang pintar sekali."
"Tadinya kupikir telur kura-kura," kataku tanpa menghiraukan
cemoohnya. Anne memicingkan matanya. "Eh, barangkali ini kura-kura
tanpa rumah. Barangkali kura-kura belum punya rumah pada waktu
menetas." "Rasanya sih punya," sahutku.
"Atau mungkin juga ini semacam kesalahan alam," Anne
menduga-duga. "Sejenis keajaiban. Seperti kau!" Dia tertawa
terpingkal-pingkal. Anne memang tukang bercanda.
Sekali lagi dia menyentuh makhluk telur itu. Makhluk itu
mengembuskan napas pelan-pelan. "Barangkali kau berhasil
menemukan spesies baru," kata Arine. "Jenis binatang baru yang
belum pernah dilihat orang."
"Bisa jadi," aku menanggapinya. Aku langsung bersemangat
ketika membayangkannya. "Kalau begitu, nama binatang ini akan diambil dari namamu,"
Anne meneruskan. "Dia akan diberi nama Dodo!" Dia kembali
tertawa. "Serius sedikit dong," aku berkata dengan ketus. "Jangan
bercanda melulu." Tiba-tiba aku mendapat ide.
"Eh, kau tahu apa yang akan kulakukan?" ujarku sambil
memegang makhluk telur itu dengan hati-hati. "Aku akan
membawanya ke lab ilmiah."
Anne mengerutkan kening. "Lab ilmiah yang mana?"
"Yang itu lho," sahutku tak sabar. "Lab kecil di Denver Street.
Cuma tiga blok dari sini."
"Sori, tapi aku tidak biasa keluar-masuk lab," balasAnne.
Sepertinya dia agak kesal.
"Aku juga tidak," kataku. "Tapi aku selalu lewat di depannya
kalau berangkat sekolah. Ya, makhluk ini akan kubawa ke sana. Di
sana pasti ada yang tahu, makhluk apa ini sebenarnya."
"Aku tidak mau ikut," kata Anne sambil menyilangkan tangan
di depan dada. "Aku banyak urusan lain yang lebih penting."
"Memangnya siapa yang mengajakmu?" ujarku dengan ketus.
Dia menjulurkan lidah padaku.
Aku rasa dia iri karena aku yang menemukan makhluk
misterius ini, dan bukan dia.
"Tolong ambilkan kotak sepatuku," aku berkata. "Tadi
ketinggalan di dapur. Aku mau berangkat sekarang juga."
Anne masuk sebentar dan kembali dengan membawa kotak
sepatu itu. "Bagian dalamnya lengket sekali," ujarnya sambil meringis.
"Aku tidak tahu makhluk apa itu, tapi yang jelas, dia keringatan
terus." "Aku rasa dia berkeringat dingin karena ngeri melihat
tampangmu!" kataku. Hah, sekarang giliran aku yang ketawa.
Biasanya aku selalu serius. Aku jarang berkelakar. Tapi kali ini
komentarku cukup jitu. Anne tidak menggubrisnya. Dia terus memperhatikan aku
Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketika aku memasukkan makhluk itu ke dalam kotak sepatu.
Kemudian dia kembali menatapku. "Ah, ini pasti cuma mainan yang
bisa diputar. Kau cuma mau mengelabuiku - ya, kan, Dana?"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Ini bukan lelucon. Kalau
aku sudah pulang dari lab, aku akan mampir di sini dan
memberitahumu apa kata orang-orang di sana."
Aku memasang tutup kotak itu. Kemudian bergegas ke garasi
untuk mengambil sepeda. Aku sudah tak sabar, ingin segera sampai di lab.
Ternyata ini justru kesalahan besar. Seharusnya aku menjauhi
tempat tersebut. Tapi mana mungkin aku tahu apa yang menantiku di situ"
Chapter 12 "AWAS!" Anjing herder Anne melintas di depan sepedaku ketika aku
mulai meluncur ke trotoar.
Aku langsung menekan rem tangan. Ban sepedaku sampai
berdecit-decit - dan kotak sepatu itu nyaris terlempar melewati setang.
"Stubby - dasar bodoh!" aku marah-marah.
Anjing itu kabur ke pekarangan belakang. Aku rasa dalam hati
dia menertawakan aku. Sepertinya dia paling senang menjegalku
setiap kali ada kesempatan.
Aku menunggu sampai jantungku berhenti berdegup-degup.
Kemudian aku membetulkan posisi kotak sepatu pada setang
sepedaku. Aku mulai mengayuh sepeda menyusuri trotoar. Sebelah tangan
memegang setang, sebelah lagi memegang kotak sepatu.
"Para ilmuwan di lab pasti tahu makhluk apa ini," aku berkata
pada diriku sendiri. "Mereka harus tahu."
Biasanya aku sering ngebut. Tapi kali ini aku bersepeda pelanpelan. Aku berhenti
di setiap perempatan untuk memastikan tak ada
mobil melintas. Aku berusaha menghindari lubang-lubang di jalan. Tapi
masalahnya, di jalan tempatku tinggal ada banyak sekali lubang.
Setiap kali ban sepedaku masuk lubang, makhluk telur di dalam kotak
sepatu itu terguncang-guncang.
Asal jangan sampai terlempar ke luar saja, aku berkata dalam
hati. Aku membayangkan makhluk itu terpental dari kotaknya, jatuh
ke jalan, lalu terlindas mobil.
Aku langsung berhenti untuk membetulkan posisi kotak sepatu
itu. Kemudian aku melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali.
Beberapa teman sekolahku sedang bermain sofbol di lapangan.
Mereka memanggilku. Sepertinya mereka mengajakku bermain.
Tapi aku pura-pura tidak mendengar. Aku tidak punya waktu
untuk bermain sofbol. Ada tugas ilmiah yang harus kukerjakan. Tanpa
menoleh aku terus mengayuh sepedaku.
Ketika aku membelok ke Denver Street, sebuah bus kota
melewatiku dengan kecepatan tinggi. Angin yang ditimbulkan bus itu
nyaris membuatku terjatuh.
Aku berjuang sebisa mungkin menjaga keseimbanganku. Tibatiba aku melihat tutup
kotak sepatu terangkat sedikit.
Makhluk telur itu berusaha kabur!
Cepat-cepat kukencangkan tutup kotak itu. Aku menambah
kecepatan. Sebentar lagi aku sudah akan sampai di lab.
Makhluk itu kembali mendorong tutup kotak. Aku kembali
mengencangkan tutupnya. Aku tidak mau meremukkan makhluk itu. Tapi aku juga tidak
ingin dia sampai lolos. Makhluk itu terus memberontak. Mendorong-dorong tutup
kotak. Aku menahan tutupnya dengan sebelah tangan.
Sebuah station wagon penuh anak-anak menyusulku. Salah
seorang dari anak-anak itu menyerukan sesuatu, tapi aku tidak
mendengarkannya. Seluruh perhatianku terpusat pada makhluk ajaib
di dalam kotak sepatu. Aku menerobos lampu merah. Aku bahkan tidak sadar bahwa
ada lampu merah. Untung saja tidak ada mobil yang melintas.
Akhirnya aku melihat tempat tujuanku di depan. Lab itu berada
di sebuah gedung berwarna putih. Gedungnya pendek, hanya satu
lantai, tapi memanjang. Di bagian depannya ada sederetan jendela
kecil. Sepintas lalu kelihatannya seperti gerbong kereta.
Aku naik ke trotoar, melintasi pekarangannya. Aku melompat
turun dari sepeda sekaligus meraih kotak itu. Sepedaku kubiarkan
jatuh ke rumput. Kedua rodanya masih berputar ketika aku menuju ke
pintu depan. Sambil menggenggam kotak sepatuku erat-erat, aku
menghampiri pintu. Di samping pintu ada bel, aku segera menekannya. Satu kali.
Dua kali. Tak ada jawaban. Aku meraih gagang pintu dan mendorongdorongnya. Lalu menariknarik. Hmm. Pintunya terkunci. Aku mencoba mengetuk pintu. Lalu aku menggedor-gedornya
dengan tangan terkepal. Kemudian aku kembali menekan bel.
Kenapa tidak ada yang membukakan pintu.
Aku sudah hendak menggedor lagi ketika kulihat tanda di atas
pintu. Sebuah tanda putih dengan tulisan hitam yang membuatku
patah semangat. SABTU DAN MINGGU TUTUP. Chapter 13 SAMBIL mendesah, aku mengepit kotak sepatuku. Aku kecewa
sekali. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan makhluk
telur yang aneh itu. Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih. Kemudian
aku berbalik untuk mengambil sepeda. Aku sedang melintasi
pekarangan rumput ketika mendengar pintu depan membuka.
Seketika aku berpaling lagi dan melihat laki-laki agak tua
dengan jas lab berwarna putih. Rambutnya sudah putih semua, dibelah
di tengah, dan disisir licin ke kiri-kanan. Kumisnya tebal sekali.
Matanya berwarna biru muda. Dia menatapku sambil mengerutkan
kening. Senyumnya membuat kulit di sekitar matanya berkerut-kerut.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Ehm... yeah," aku tergagap-gagap, kembali menghampiri
pintu. Makhluk telur di dalam kotak masih terus memberontak.
"Apa itu yang kaubawa" Burung yang sakit, ya?" orang itu
bertanya sambil menatap kotak di tanganku. "Maaf, kalau begitu saya
tidak bisa membantu. Ini laboratorium ilmiah. Saya bukan dokter
hewan." "Bukan, bukan burung," aku menyahut cepat-cepat. Jantungku
berdegup-degup. Entah kenapa, aku merasa gugup sekali.
Barangkali karena aku senang sekali bisa bertemu dengan
ilmuwan sungguhan. Aku benar-benar merasa hormat dan kagum pada
kaum ilmuwan. Barangkali juga karena aku akhirnya bakal tahu makhluk apa
yang menetas dari telur ajaib itu. Dan karena aku bakal diberitahu apa
yang mesti kulakukan. Laki-laki itu kembali mengembangkan senyumnya yang begitu
ramah dan hangat, membuatku merasa lebih tenang. "Hmm, bukan
burung. Kalau begitu, kira-kira apa, ya?" dia bertanya pelan-pelan.
"Saya justru berharap Anda bisa memberitahu saya!" jawabku.
Kuulurkan kotak itu ke hadapan laki-laki itu, tapi dia tidak meraihnya.
"Saya menemukan makhluk aneh," aku segera menambahkan.
"Maksud saya, saya menemukan sebutir telur. Kemarin. Di
pekarangan belakang rumah saya."
"Sebutir telur" Telur apa, Nak?"
"Entahlah, saya tidak tahu," aku berterus terang. "Tapi telurnya
besar sekali. Dan kulitnya penuh pembuluh yang berdenyut-denyut.
Seakan-akan bernapas."
Dia menatapku sambil memicingkan mata. "Hmm, telur yang
bernapas." Aku mengangguk. "Ya. Semalam saya menyimpannya di laci
lemari pakaian saya. Dan tadi pagi telurnya menetas. Dan..."
"Silakan masuk, Nak," orang itu berkata. Roman mukanya
berubah. Matanya berbinar-binar. Tiba-tiba dia kelihatan tertarik
sekali. Dia menggenggam pundakku dan mengajakku masuk ke
laboratorium. Aku harus berkedip-kedip beberapa kali dan menunggu
sampai mataku terbiasa dengan suasana yang remang-remang di
dalam. Semua dindingnya berwarna putih. Aku melihat sebuah meja
tulis dan sejumlah kursi. Lalu masih ada meja rendah dengan
setumpuk majalah ilmiah di atasnya. Hmm, rupanya ruang tunggu,
aku berkata dalam hati. Semuanya serba bersih dan berkesan modern.
Di mana-mana ada kaca dan perabot berlapis krom dan jok kulit
berwarna putih. Orang itu terus memperhatikan kotak di tanganku. Dia
mengusap-usap kumisnya. "Saya Dr. Gray," dia memperkenalkan diri.
"Saya pimpinan lab ini."
Aku memindahkan kotak sepatu ke tangan kiri supaya bisa
bersalaman dengannya. "Saya bercita-cita jadi ilmuwan kalau sudah
besar," aku berkata tanpa pikir panjang, dan wajahku langsung terasa
panas. "Siapa namamu, Nak?" tanya Dr. Gray.
"Oh. Ehm. Dana Johnson. Saya tinggal beberapa blok dari sini.
Di Melrose." "Selamat datang di lab saya, Dana," ujar Dr. Gray, sambil
merapikan jas labnya. Dia menghampiri pintu depan. Kemudian dia
menutupnya, menguncinya, dan memasang gerendel.
Hei, aneh, aku berkata dalam hati. Aku mulai merasa agak
ngeri. Kenapa pintunya mesti digerendel"
Kemudian aku teringat bahwa labnya memang tutup pada akhir
pekan. Jadi sudah sewajarnya kalau pintu depan dikunci dan
digerendel. "Mari ikut saya," Dr. Gray berkata. Dia mengajakku melewati
lorong sempit yang serba putih. Aku mengikutinya ke sebuah lab
kecil. Aku melihat meja panjang yang penuh tabung reaksi, stoples
berisi spesimen, dan peralatan elektronik.
"Letakkan kotakmu di sini," Dr. Gray memberi instruksi, sambil
menunjuk tempat kosong di atas meja.
Aku menaruh kotak sepatuku. Dr. Gray mengulurkan tangan
untuk mengangkat tutup kotak. "Jadi kau menemukannya di
pekarangan belakang rumahmu?"
Aku mengangguk. "Di dekat sungai."
Dia melepaskan tutup. "Oh, astaga!" dia bergumam.
Chapter 14 MAKHLUK telur itu menatap kami berdua. Dia menempel ke
sisi kotak, seluruh tubuhnya gemetaran. Di dasar kotak ada genangan
lendir berwarna kuning. "Hmm, rupanya ada satu lagi," Dr. Gray bergumam sambil
memiringkan kotak sepatu. Makhluk itu menggelinding ke sisi
lainnya. "Satu lagi?" aku mengulangi. "Jadi Anda tahu makhluk apa
ini?" "Saya kira saya sudah berhasil mengumpulkan semuanya,"
sahut Dr. Gray sambil mengusap-usap kumis. Dia menoleh ke arahku.
"Tapi kelihatannya ada satu yang lolos."
"Makhluk apa ini?" tanyaku.
Dia mengangkat bahunya. Dia kembali memiringkan kotak itu,
sehingga makhluk telur itu pun kembali menggelinding. Kemudian dia
menyentuh punggung makhluk aneh itu dengan hati-hati. "Hmm, yang
ini masih muda," dia bergumam.
"Ya, tapi makhluk apa ini sebenarnya?" aku bertanya tak sabar.
"Telur-telurnya berjatuhan di seantero kota," Dr. Gray
menjelaskan sambil menyodok-nyodok makhluk itu. "Bagaikan hujan
meteor. Dan hanya di kota ini."
"Hah"!" seruku. "Maksudnya, telur-telur itu jatuh dari langit?"
Aku terbengong-bengong. Tadinya kupikir Dr. Gray bisa menjawab
pertanyaanku, tapi ternyata aku justru bertambah bingung.
Dr. Gray berpaling padaku dan menggenggam pundakku
dengan sebelah tangan. "Kami menduga telur-telur itu berasal dari
Planet Mars, Dana. Dua tahun yang lalu Mars dilanda badai besar.
Badai itu menimbulkan semacam hujan meteor, dan sekaligus
meniupkan telur-telur ini ke ruang angkasa."
Mulutku sampai melongo mendengar penjelasannya. Aku
menatap gumpalan kuning yang gemetaran di dalam kotak sepatu.
"Jadi i-ini makhluk dari Mars?" aku tergagap-gagap.
Dr. Gray tersenyum. "Kami menduga begitu. Kami menduga
telur-telur itu melintasi ruang angkasa selama dua tahun."
"Ta-tapi," aku kembali tergagap-gagap. Jantungku berdegup
kencang. Tanganku mendadak dingin seperti es.
Betulkah aku sedang menatap makhluk dari Mars"
Betulkah aku sempat menyentuh makhluk dari Mars"
Kemudian sesuatu yang lebih aneh lagi melintas dalam
pikiranku: aku menemukannya. Aku menemukannya di pekarangan
belakang rumahku. Apakah itu berarti makhluk itu milikku"
Apakah aku pemilik makhluk Mars"
Dr. Gray mengguncang-guncangkan makhluk di dalam kotak makhluk milikku. Pembuluh-pembuluh makhluk itu berdenyutdenyut. Dia menatap kami
dengan matanya yang hitam. "Kami belum
tahu bagaimana telur-telur tersebut berhasil menerobos atmosfir
bumi," Dr. Gray kembali angkat bicara.
"Maksud Anda, telur-telur itu seharusnya hangus terbakar?"
Ilmuwan itu mengangguk. "Hampir semua benda terbakar habis
saat memasuki atmosfir kita. Tapi sepertinya telur-telur ini luar biasa
kuat." Makhluk telur itu berdeguk-deguk, lalu menabrak-nabrak sisi
kotak sepatu. Dr. Gray ketawa kecil. "Yang ini lucu sekali."
"Memangnya masih ada lagi?" tanyaku.
"Mari ikut saya, Dana. Ada yang ingin saya perlihatkan
padamu." Sambil membawa kotak itu, Dr. Gray mengajakku melewati
pintu logam yang besar. Pintu itu berdentang keras ketika menutup di
belakang kami. Sebuah lorong panjang - dengan dinding dicat putih - melewati
beberapa ruangan kecil. Jas lab Dr. Gray berkeresak-keresak setiap
kali dia melangkah. Setelah sampai di ujung lorong, kami berhenti di
depan sebuah jendela lebar.
"Di dalam situ," Dr. Gray berkata pelan-pelan. Aku menatap ke
jendela. Aku sampai mengerutkan kening dan memicingkan mata agar
dapat melihat lebih jelas.
Apakah dia sudah tidak waras" Ataukah dia ingin
mempermainkanku" "S-saya tidak melihat apa-apa."
Goosebumps - 42 Monster Telur Dari Mars di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chapter 15 " TUNGGU sebentar. Saya lupa sesuatu," ujar Dr. Gray.
Ilmuwan itu melangkah menghampiri dinding, lalu memencet sakelar
lampu. Lampu di langit-langit lorong menyala, dan aku pun bisa
melihat menembus jendela.
"Oh, wow!" aku berseru tertahan ketika mengamati ruangan
besar di balik jendela. Di ruangan itu ada segerombolan makhluk
telur. Beberapa lusin. Gumpalan-gumpalan kuning. Dan semuanya gemetaran. Tubuh
mereka penuh pembuluh hijau yang berdenyut-denyut.
Makhluk-makhluk telur itu meringkuk di lantai keramik yang
berwarna putih. Sepintas lalu kelihatannya seperti gumpalan adonan
kue yang siap dipanggang. Lusinan pasang mata yang bulat dan hitam
menatap kami tanpa berkedip.
Rasanya seperti dalam mimpi!
Aku terbengong-bengong. Dengan mata terbelalak kupandangi
makhluk-makhluk itu. Dalam hati aku berkata bahwa itu semua cuma
boneka. Tapi nyatanya bukan. Makhluk-makhluk itu hidup. Mereka
bernapas. Mereka gemetaran dan berkedut-kedut.
"Kau ingin masuk?" tanya Dr. Gray.
Ilmuwan itu tidak menunggu jawabanku. Dia mengeluarkan
remote control kecil berwarna hitam dari sakunya, lalu menekan
sebuah tombol. Aku mendengar bunyi "klik", dan pintunya membuka.
Dr. Gray membuka pintu lebar-lebar dan menggiringku ke dalam.
"Oh!" aku memekik kaget karena disambut udara dingin.
"Ihhhh, dingin sekali di sini!" aku berseru.
Dr. Gray tersenyum. "Suhunya sengaja kami buat rendah.
Sepertinya makhluk-makhluk itu lebih suka udara dingin."
Dia memegang kotak sepatuku dengan sebelah tangan.
Tangannya yang satu lagi menunjuk makhluk-makhluk telur yang
bergerombol di hadapan kami. "Setelah menetas, mereka tidak suka
hawa panas. Mereka akan meleleh kalau suhunya terlalu tinggi,"
jelasnya lebih lanjut. Kotak sepatuku diletakkannya di lantai. "Dan kami tidak ingin
mereka meleleh," Dr. Gray menambahkan. "Kalau mereka meleleh,
kami tidak bisa meneliti mereka."
Dia membungkuk dan mengeluarkan makhluk telur yang
kutemukan. Dengan hati-hati dia menaruhnya di samping tiga atau
empat makhluk telur lai?nya. Semua gumpalan kuning itu mulai
bergetar-getar. Dr. Gray mengangkat kotakku, kembali berdiri tegak. Dia
menatap makhluk baru itu sambil tersenyum. "Kau tidak ingin ia
meleleh, bukan?" ujarnya. "Mereka harus tetap sehat. Karena itu
udaranya harus dibuat sedingin mungkin."
Aku menggigil dan menggosok-gosok lenganku. Kulitku
sampai merinding. Aku tidak tahu apakah karena kulitku yang dingin,
atau karena aku terlalu bersemangat.
Tapi yang jelas, aku menyesal cuma memakai T-shirt yang
tipis! Makhluk-makhluk telur itu terus bergetar dan berayun-ayun.
Aku tidak sanggup mengalihkan pandangan. Habis, makhluk-makhluk
itu berasal dari Mars! Tiba-tiba semuanya bergerak ke arah kami, cepat sekali.
Kisah Tiga Kerajaan 24 Pendekar Misterius Karya Gan Kl Anak Rajawali 18
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama