Ceritasilat Novel Online

Petualang Malam 1

Goosebumps - Petualang Malam Bagian 1


R.L. Stine Petualang Malam - Night Games
(Fear Street) Malam hari saat yang tepat untuk... bikin masalah
Gramedia Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 "ASTAGA!" Aku berhenti seraya menyambar lengan Lenny Boyle. "Lihat itu!"
Aku harus menudungi mataku dari lampu-lampu yang terang dan menyilaukan itu.
Lenny tertawa. Ia pura-pura sempoyongan di trotoar.
Cassie Wylant dan Jordan Townes berada setengah blok di belakang, sedang
cekcok lagi. Mereka sudah bertengkar semalaman, bahkan waktu mereka sedang
berdisko. Terkadang aku heran kenapa Cassie dan Jordan pacaran. Mereka selalu
putus, lalu baikan, lalu putus lagi.
"Halllooo!" teriakku, mencoba menarik perhatian mereka. "Istirahat dulu, kalian
harus melihat ini!" Mereka berhenti dan ternganga melihat pemandangan yang menakjubkan itu.
Bahkan Cassie pun harus tertawa. Sulit membuat Cassie tertawa. Ia sahabat yang
menyenangkan, tapi ia sedikit sekali memiliki selera humor. Ia adalah cewek
paling serius di kelompok kami. Selalu belajar, belajar, dan belajar. Senang
sekali melihat ia ceria berdisko di Red Heat malam ini. Rambutnya yang berwarna
tembaga melambai-lambai. Matanya yang berbentuk buah hazel memantulkan
cahaya yang menyilaukan. Kalau saja ia dan Jordan tidak bertengkar sepanjang waktu.
Jordan tampan sekali - dan ia tahu itu. Ia selalu mendekati gadis-gadis lain.
Kupikir itulah yang paling banyak menyulut pertengkaran mereka. Aku tidak tahu
persis sih. Aku dan Cassie berteman baik. Tapi Cassie termasuk anak yang tertutup. Ia tidak
pernah mengungkapkan apa yang sedang dipikirkannya - bahkan kepadaku.
Tapi sekarang, dalam perjalanan pulang dari diskotek, kami semua sedang
memikirkan hal yang sama. Bagaimana Mr. Crowell bisa melakukan ini di
halaman depan rumahnya"
Kami berempat berhenti memandang lampu-lampu pajangan hari Natal yang
paling terang, paling jelek, dan paling sinting yang pernah kami lihat!
Lampu-lampu merah dan hijau memancar dari atap, di sekeliling pintu-pintu dan
jendela-jendela, sepanjang talang air, dan semua pohon!
Mr. Crowell punya Santa dua muka, kereta-kereta luncur yang berkilauan, rusa
dengan hidung-hidung merah yang berkilat-kilat, peri-peri, gremlins, pembantupembantu Santa, tikus ungu cerah, orang-orangan salju putih dari lampu,
binatang-binatang dari neon yang bentuknya tak kukenali - dan lampu-lampu yang
berkelap-kelip, berkilatan dan berkilauan tersebar di mana-mana!
"Ini lebih ramai daripada di diskotek!" komentar Jordan sambil menggelenggelengkan kepalanya. Matanya yang gelap berkelap-kelip juga, memantulkan
cahaya lampu-lampu merah yang menyilaukan.
"Ia akan membutuhkan kalkulator untuk menghitung rekening listriknya!" selaku.
Semua orang tertawa. Mr. Crowell adalah guru matematika kami. Ia tidak
mengizinkan kami membawa kalkulator ke dalam kelas.
Lenny cemberut. "Kita seharusnya menghancurkan lampu-lampu itu," gumamnya.
Mr. Crowell bukan guru favorit Lenny.
Kenyataannya, Mr. Crowell bukan guru favorit semua orang. Setiap sekolah
biasanya punya seorang guru yang dibenci semua orang. Di Shadyside High, Mr.
Crowell-lah orangnya. Aku adalah tipe orang yang tidak peduli hal-hal seperti itu. Hubunganku dengan
semua guru baik-baik saja selama ini. Semuanya kecuali Mr. Crowell.
"Diane Browne, lengkapilah persamaan ini menjadi bentuk lima desimal."
Begitulah kuingat suaranya yang nyaring melengking. Suaranya selalu membuatku
merinding, seperti kapur yang digarutkan ke papan tulis.
Aku merapat ke tubuh Lenny. Kami berdua berkilauan tertimpa cahaya-cahaya di
halaman depan. Kuda kecil di telinga Lenny gemerlapan seperti bintang. Aku
mencium pipinya. Lenny yang malang. Mr. Crowell amat bersikap keras kepadanya.
Tapi memang semua guru bersikap keras padanya. Kukira karena Lenny amat
tidak peduli terhadap sekolah. Karena ia tidak mau mengikuti aturan. Ia tipe
orang yang keras. Kenapa aku bisa pacaran dengan cowok seperti Lenny" Cewek pendiam dan
berpikiran waras seperti aku ini"
Karena aku cukup mengenalnya, lebih dari sekadar tampak luarnya yang dingin.
Karena aku tahu ia sebenarnya anak yang baik. Tindak-tanduknya memang kasar tapi sebenarnya ia selembut salju.
Sebenarnya yang kuherankan kenapa Lenny mau pacaran denganku. Aku tidaklah
secantik gadis-gadis lain. Maksudku, aku tidak secantik Cassie. Rambutku pirang
tipis dan kering, hidungku agak bengkok. Aku tak bisa berpakaian rapi.
Tapi aku dan Lenny bisa merasakan saat-saat yang menyenangkan bersama-sama.
Saat ia tidak sedang jadi si kasar.
"Aku tak percaya si pemarah seperti Crowell memiliki begitu banyak semangat
Natal!" seru Cassie.
"Apakah kau pernah melihat sesuatu yang amat buruk?" tanya Jordan sambil
menyeringai. "Ya, aku suka itu! Aku ingin memasang lampu-lampu seperti ini di
halaman rumahku. Aku akan memasangnya selama setahun penuh!"
Aku tertawa. Cassie menggelengkan kepalanya tidak setuju.
"Kau tidak punya selera," ujarnya pelan.
"Aku tahu," Jordan balik menembak. "Itulah kenapa aku pacaran denganmu!"
Cassie mendorongnya ke pagar tanaman.
"Tidak. Aku serius." Jordan meringis. "Mr. Crowell seharusnya memenangkan hadiah
untuk ini." "Ia seharusnya ditahan," bisik Lenny pahit.
Jordan tertawa. "Ditahan" Untuk apa?"
Lenny mengangkat bahu. "Yah, karena membuat pemandangan tidak sedap,
mungkin." Kami tertawa. "Aku serius!" Lenny berkeras. "Aku benar-benar berpikir kita seharusnya
mengambil mobil ayahku, kembali ke sini, dan memaju-mundurkan mobil itu
untuk melindas semua lampu konyol, Santa-Santa, dan rusa-rusa itu. Ya,
meremukkan semua lampu itu."
"Astaga," gumamku. Aku menggamit lengan Lenny. "Sabar dong," bisikku. "Kami
semua benci orang itu. Tapi - "
"Tidak separah aku," teriak Lenny.
"Hei, kami semua punya cerita tentang Crowell," Cassie menyela. "Ingat waktu aku
kehilangan catatan matematikaku, dan ia mengurangi nilaiku" Ketika aku
menemukan catatan itu di dasar lokerku, aku memperlihatkan kepadanya, tapi ia
masih tidak mau mengubah nilaiku!" Cassie mengibaskan rambutnya yang
berwarna tembaga. "Ingat, kan" Padahal aku muridnya yang terpandai!"
"Ingat ketika aku ketahuan surat-suratan denganmu?" tanyaku kepada Lenny. "Mr.
Crowell merampasnya, menyuruhku maju ke depan kelas, dan membacakan surat
itu keras keras?" Memikirkan tentang itu saja membuat wajahku jadi panas.
"Hari itu adalah hari yang paling memalukan seumur hidupku!" kataku. "Aku ingin
membunuh Mr. Crowell!"
"Aku juga," gumam Lenny.
Jordan menarik Cassie ke jalanan. "Ayo keluar dari sini. Aku seperti tersengat
matahari di bawah lampu-lampu ini!"
Aku dan Lenny mengikuti mereka menyeberang jalan, kemudian berjalan di blok
itu. Butuh waktu sebentar untuk menyesuaikan mataku dengan kegelapan. Tak satu
pun rumah-rumah lain yang dihias.
Angin dingin yang kuat mengibar-ngibarkan rambutku. Aku menarik jaketku lebih
rapat dan mendekat ke tubuh Lenny ketika kami berjalan.
"Jam berapa ini?" Aku menguap.
"Belum terlalu malam. Tengah malam lewat dikit," sahutnya.
Di depan kami, Cassie dan Jordan sedang cekcok lagi.
"Aku benar-benar capek." Aku menghela napas. "Aku bekerja sepanjang siang di
mal. Lalu udara panas sekali di dalam diskotek...."
"Itu menyenangkan," kata Lenny sambil menyepak sebuah kaleng soda ke seberang
jalan. "Rasanya enak keluar dan berdisko."
Aku mengangguk. "Ya, memang."
Aku terkekeh. "Jordan kira dia yang paling jago di lantai disko," bisikku. "Tapi ia betulbetul kerja keras. Ya, kan" Ia berusaha jadi keren, tapi - "
Aku menahan napas. Aku melihat sesuatu. Sebuah bayangan. Sesuatu yang bergerak di samping sebuah
rumah. "Lenny - lihat!" Aku menyambar lengannya.
Ia juga melihat itu. Sesosok tubuh yang gelap. Sedang memanjat keluar dari jendela loteng.
"Ia - ia barangkali hendak mencuri!" aku tergagap.
Kami berempat menatap sosok itu ketika ia melompat ke tanah.
"Cepat - ayo pergi dari sini!" bisik Cassie.
Terlambat. Pencuri itu berdiri dengan cepat, berputar - Dan melihat kami.
Chapter 2 KENAPA kita tidak lari"
Aku tidak yakin. Jantungku berdebar-debar. Kakiku mendadak terasa seperti karet. Aku tidak yakin
bisa lari! "Hei!" Teriakan yang parau keluar dari kerongkonganku ketika sosok tubuh itu
berlari menghampiri kami. Ia memakai pakaian serba-hitam - kaus tebal berlengan
panjang hitam ditarik ke bawah menutupi celana jins hitam. Ia memakai topi
baseball hitam yang ditarik rendah sehingga menutupi sebagian wajahnya.
Cassie bersembunyi di sampingku, kedua tangannya diletakkan di atas rambutnya
yang berwarna tembaga. Lenny dan Jordan melangkah maju seakan-akan sedang melindungi kami. Tapi aku
bisa melihat ketakutan di wajah mereka juga.
Dan kemudian ekspresi wajah mereka berubah.
Lenny ber-high-five dengan sosok hitam itu. Jordan berteriak gembira.
"Hei, Spencer!"
"Hah?" Aku tercekik. Aku menyipitkan mataku, merasa silau karena cahaya lampu
jalanan. Dan mengenali wajah Spencer Jarvis yang keheranan.
"Sedang apa kalian di sini?" tanyanya bernada menuntut.
"Kau juga mau apa di sini?" Aku menembak balik.
Ia mengalihkan pandangannya kepadaku dan tersenyum. "Hei, Diane - apa kabar?"
"Aku tidak melihatmu hampir setahun!" teriakku. Aku menghambur ke arahnya dan
memeluknya. Ia melepaskan topi baseball-nya dan balas memelukku. Pipinya terasa
panas menyengat di pipiku. Aku dan Spencer dulu berteman baik sekali.
Sampai aku mulai pacaran dengan Lenny.
"Hei, Spencer - bagaimana kabarmu?" Lenny melangkah di antara kami. Ia menunjuk
rumah itu. "Kenapa kau memanjat keluar dari jendela itu?"
"Wow," gumam Jordan. "Apakah kau baru saja merampok rumah itu?"
Senyuman Spencer bertambah lebar. Ia mengangguk. "Yeah. Itulah kenapa kalian
tidak melihatku di sekolah. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk merampok
rumah-rumah sekarang."
Aku menelan ludah keras-keras. Spencer selalu menjadi cowok yang baik.
"Aku kini kaya raya," Spencer membual. "Aku adalah pencuri yang paling lihai di
Shadyside. Keluar-masuk seperti kilat." Ia mengedipkan matanya kepadaku. "Tak
pernah tertangkap. Tak akan pernah."
"Tapi, Spencer - " Cassie terengah-engah.
Tawa Spencer meledak. "Hai, aku bercanda... Habis kalian tolol sih."
"Yah, kami memang tolol," Lenny setuju. Ia menggelengkan kepalanya. "Aku tak
pernah dapat membedakan kau sedang serius atau sedang bercanda."
"Kau bukan pencuri, kan?" Jordan menyela.
Spencer menggelengkan kepalanya. "Tentu saja bukan." Ia menunjuk ke sebuah
rumah. "Itu rumahku. Aku tinggal di situ sekarang."
Lenny memandang Spencer dengan curiga. "Kau memanjat keluar dari jendela kamar
tidur rumahmu sendiri?"
Spencer mengangguk. "Ya."
"Bagaimana mungkin?" tanyaku. "Kenapa kau tidak lewat pintu saja?"
"Aku bukan manusia. Aku adalah android," sahut Spencer.
Tidak pernah mudah mendapatkan jawaban yang serius dari mulutnya. Ia
terkadang bisa membuatku gila!
"Aku sedang melakukan petualangan," ia menambahkan. "Kadang-kadang aku suka
menyelinap keluar setelah tengah malam."
Ia menyeringai. "Kalian tahu, aku berpetualang. Aku menyebutnya Petualangan
Malam." "Petualangan?" tanyaku.
"Apakah orangtuamu tidak khawatir - " Cassie mulai.
Cassie takut pada orangtuanya. Aku tak bisa membayangkan ia berani menyelinap
keluar rumah. "Selama orangtuaku tidak tahu, tidak akan menyakiti mereka," Spencer mencemooh.
Aku mempelajari wajahnya. Ia telah banyak berubah dalam satu tahun. Rambutnya
yang pirang keputihan dibiarkan tumbuh panjang sampai ke bahunya dan dibelah
tengah. Wajahnya kurus, janggut pirang tumbuh di dagunya.
Dulu Spencer agak gemuk. Sekarang ia kelihatan berotot, atletis. Cara ia memakai
kaus hitam lengan panjang agak aneh. Sama seperti Spencer yang dulu. Menurutku
ia lebih dari sekadar aneh.
"Apa yang terjadi padamu tahun lalu?" tanyaku kepadanya. "Aku menelepon rumahmu
sejuta kali. Kemudian perusahaan telepon mengatakan line sudah
diputus." Ia memandangku dengan menyipitkan matanya yang pucat. "Apa kau tidak
menerima suratku?" Aku menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tak pernah menerimanya."
Aku menangkap wajah Lenny yang cemberut. Ia tidak pernah mengerti bahwa aku
dan Spencer hanyalah teman biasa. Menurutku Lenny selalu agak cemburu pada
Spencer. "Aku mengirim surat untuk menjelaskan kenapa aku berangkat terburu-buru sekali,"
Spencer melanjutkan. "Kenapa aku berangkat tanpa mengucapkan selamat tinggal."
"Kenapa?" tanya Cassie.
"Well, kau ingat toko ayahku tutup?" jawab Spencer. "Beberapa minggu setelah
itu, nenekku di Washington sakit parah. Ia butuh seseorang untuk merawatnya
setelah operasi. Jadi, ayahku memutuskan untuk memindahkan kami semua ke
Washington. Semuanya begitu mendadak."
"Aku ingat nenekmu," kataku kepada Spencer. "Apakah ia baik-baik saja?"
Ia mengangguk. "Yeah. Agak baikan. Itulah sebabnya kami kembali ke Shadyside.
Ayahku berpikir akan lebih mudah mencari pekerjaan di sini." Matanya yang abuabu keperakan terpaku menatapku. "Senang tiba di rumah lagi. Aku rindu pada
kalian." "Kenapa kami tidak melihatmu di sekolah?" tanya Jordan sambil mengusap rambutnya
yang hitam berombak ke belakang.
"Orangtuaku mengirimku ke St. Ann," sahut Spencer sambil memandang ke bawah.
"Wow. Sekolah Negeri tidak cukup baik untukmu lagi, ya?" desak Lenny.
Maksudnya bergurau, tapi kedengarannya bukan seperti gurauan.
"Aku sangat rindu pada kalian," Spencer mengulangi. "Kenapa kau tidak ikut
bersamaku?" "Ikut kau ke mana?" tanya Cassie dengan curiga.
Spencer tersenyum. Matanya bersinar-sinar. "Untuk sebuah petualangan.
Petualangan Malam." "Petualangan macam apa?" Lenny mencemooh. "Kau berburu tupai dan kelinci?"
Jordan tertawa. "Yeah. Apa yang bisa begitu menakutkan di Shadyside?"
"Kenapa kalian tidak ikut mencari jawabannya?" tantang Spencer.
Aku menoleh pada Cassie. Ia mundur selangkah. Kedua lengannya disilangkan di
depan dadanya, seakan-akan untuk melindungi dirinya sendiri.
Cassie bukanlah tipe petualang. Begitu juga aku. Di samping aku benar-benar
capek karena telah bekerja sepanjang hari dan berdisko sepanjang malam.
Tapi aku tidak ingin Spencer menganggapku pengecut.
"Petualangan macam apa" " tanya Lenny.
"Kau tidak melakukan hal-hal yang konyol, ya kan?" tanya Cassie. Angin berembus
mengibar-ngibarkan rambutnya. Ia menggigil. "Maksudku, kau tidak melakukan
sesuatu yang ilegal, kan?"
Senyuman Spencer melebar. "Aku hanya melakukan petualangan," jawabnya pelan.


Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beberapa malam ini aku susah tidur. Kepalaku pusing sekali. Jadi aku menyelinap
keluar untuk melakukan Petualangan Malam. Petualangan-petualangan kecil diamdiam... di dalam kegelapan."
Ia berbalik sambil memakai topinya. Memasukkan tangannya yang besar ke dalam
saku jinsnya. "Kalian ikut?"
Aku mengangguk pada Cassie. Ia mengangkat bahu. Lenny dan Jordan sudah
mengikuti Spencer. "Yah, kami ikut," kataku pelan.
Kami mengikuti Spencer berjalan di jalanan yang gelap.
Kami tidak tahu. Tapi Petualangan Malam telah kami mulai.
Begitu juga teror itu. Chapter 3 KAMI mengikuti Spencer menyusuri jalan. Semua rumah gelap. Lampu-lampu
jalan membentuk bayangan kami menjadi panjang menakutkan di depan kami.
Cassie bergelayut pada Jordan ketika kami berjalan. Lenny mengayun-ayunkan
kepalanya berirama seakan-akan sedang mendengarkan musik. Sepatu-sepatu kami
berderak-derak di atas daun-daun yang berguguran.
Tak seorang pun di antara kami yang bicara. Ketika kami mengikuti Spencer
memutari simpangan, aku bertanya dalam hati apakah ia tahu ke mana ia akan
pergi. Atau apakah ia hanya keluyuran saja. Apa yang sedang ia cari"
Ia berhenti mendadak, mengangkat kedua tangannya untuk memberi isyarat kepada
kami agar berhenti juga. Aku dan Lenny melangkah ke sampingnya. Aku melihat ke mana Spencer sedang
memandang. Ke sebuah Taurus putih. Yang diparkir di sebuah jalan masuk rumah.
Jendela-jendelanya berembun, tapi cahaya lampu jalan yang terang
memperlihatkan kepada kami bayangan dua orang di jok depan.
Sepasang kekasih. Sedang bermesraan.
Aku melihat mata Spencer berkilat-kilat senang. Ia mengangkat jarinya ke
bibirnya, memberi isyarat pada kami agar diam.
Ia menarik sebuah senter dari saku belakangnya. Dan berjingkat-jingkat cepat
menghampiri mobil itu. "Kau mau apa...?" bisik Cassie.
Lenny dan Jordan menyeringai. Kami mengikuti Spencer.
Jantungku mulai berdegup kencang.
Spencer berdiri melebihi tinggi mobil itu. Terlalu dekat bagi cowok dan cewek di
dalam mobil itu untuk melihat wajah Spencer.
Tanpa memberi peringatan, Spencer memukul jendela pengemudi keras-keras.
Pukulannya sangat keras sehingga mobil itu bergoyang-goyang.
"Kalian ditahan!" teriaknya. Suara Spencer dalam. Suaranya sangat meyakinkan.
Kami mendengar suara teriakan tertahan dan terkejut dari dalam mobil itu. Aku
melihat cowok dan cewek itu melepaskan pelukannya.
Spencer mengarahkan senter itu ke jendela mobil.
"Hei!" cowok di dalam mobil berteriak.
"Keluarlah dengan tangan diangkat!" perintah Spencer.
"Apa yang telah kami lakukan" Apa yang kami lakukan?" jerit cewek itu.
"Kami...kami... baru akan pergi," cowok itu berteriak dengan suara gemetar.
"Aku... aku... tidak mengerti!" Kudengar cewek itu menangis. "Apa yang kami
lakukan?" "Aku akan melakukan sesuatu!" kata Spencer nyaring.
Pintu mobil itu terbuka, mendorong Spencer ke belakang. Seorang cowok
berambut hitam keluar dari mobil itu.
Spencer mengarahkan senternya ke mata cowok itu.
"Hei - kau bajingan!" protes cowok itu.
Spencer meletakkan senter itu di bawah dagunya. Ia menekuk wajahnya hingga
tampak menyeringai, dan tertawa panjang yang terdengar bengis.
"Kau daging busuk!" teriak cowok itu marah sekali.
Senyuman jahat Spencer bertambah lebar. Matanya berkilat-kilat senang.
"Ayo pergi!" teriak cowok itu pada kami.
Spencer berputar dan mulai lari. Topi hitamnya terbang lepas, tapi ia tidak
berhenti untuk mengambilnya.
Aku sangat ketakutan. Aku ingin melarikan diri dari sana. Tapi kakiku tak bisa
diajak kompromi. Lenny menyambar tanganku dan menarikku ke rerumputan.
Sebelum aku sadar, kami sudah berlari. Kami berlima. Berlari menembus malam.
Rambut kami melambai-lambai. Sepatu-sepatu kami berdebam berat di atas trotoar
yang penuh daun berguguran.
Aku melihat ke belakang sekilas. Kulihat cowok dan cewek itu berdiri di samping
mobil mereka. Si cowok sedang berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan
tinjunya kepada kami. Tapi ia tidak mengejar kami.
Lenny dan Jordan memberi selamat pada Spencer ketika kami berlari. Mereka
saling ber-high-five dan merayakan hal itu seakan-akan mereka telah
memenangkan sesuatu. Spencer mendongakkan kepalanya dan mengeluarkan lolongan hyena yang
panjang. Aku dan Cassie saling berpandangan, seakan mengatakan, apa sih hebatnya"
Maksudku, semua yang kami lakukan hanyalah menakut-nakuti seorang cowok
dan cewek selama beberapa detik.
Kami tidak berhenti berlari sampai kami tiba di halaman depan rumah Spencer.
Kemudian kami semua berhenti untuk mengambil napas.
Spencer melolong dengan suara binatang yang lain.
Lenny dan Jordan tertawa.
"Ayo kita janjian bertemu lagi," kata Spencer tanpa bernapas. Ia menyisir
rambutnya yang pirang keputihan itu dengan jarinya. Dadanya naik-turun. Matanya
memandang kami bergantian.
"Oke" Bagaimana tadi?" ia menuntut jawaban. "Senin selepas tengah malam" Kita
semua akan menyelinap keluar dan menikmati petualangan yang lebih seru lagi."
"Aku tidak setuju...," kata Cassie.
Tapi Lenny dan Jordan setuju dengan wajah ingin tahu.
Aku tak tahu apa yang harus kuucapkan. Aku sungguh tidak mengerti mengapa
mereka berpikir peristiwa tadi sangat menyenangkan.
Sesuatu dalam lolongan Spencer dan wajahnya yang bertampang liar benar-benar
membuatku cemas. Mengapa ia kelihatan begitu gembira" tanyaku dalam hati.
Mengapa ia begitu menikmati saat menakut-nakuti sepasang kekasih dalam mobil
tadi" Chapter 4 PADA hari Senin, kami semua mengikuti pelajaran matematika Mr. Crowell. Ia
berdiri di depan papan tulis sedang menggarutkan kapur pada persamaan aljabar.
Entah bagaimana rumus itu diperkirakan untuk mengukur tinggi tiang bendera
sekolah. Aku menguap. Mr. Crowell pasti orang yang paling membosankan di dunia.
Radiator di jendela berderak-derak. Udara panas sekali. Semua orang kelihatan
siap untuk tidur siang. Cassie membuat sketsa di catatan labnya. Gerakannya pelan, seperti kata-kata Mr.
Crowell. Aku menatap noda gelap di keliman sweter putihnya. Tak bisa kubayangkan dari
mana asal noda itu. Di depanku, Lenny dan Jordan sedang berbisik-bisik. Saat itulah awal masalah
itu. Lenny terkekeh mendengar sesuatu yang diucapkan Jordan. Mr. Crowell berputar
dari papan tulis begitu cepatnya sehingga kapur terbang dari tangannya. Kapur
itu menghantam jendela dan patah jadi dua.
Semua orang terlompat kaget.
"Apakah itu yang menarik perhatianmu?" Mr. Crowell membentak Lenny.
Aku mengawasi raut wajah Lenny yang berubah. Senyumannya memudar dengan
cepat. Kemarahan berkilat di matanya yang cokelat gelap.
"Katakan padaku, Lenny," kata Mr. Crowell. "Apanya yang lucu" Apakah kau
menemukan persamaan yang lucu?"
Lenny mendengus. "Ini keributan."
Aku memejamkan mataku. Kumohon, Lenny, pikirku. Diam sajalah. Jangan
mengatakan apa-apa. Jangan marah dan mempersulit dirimu sendiri.
"Apa maksudmu dengan keributan?" tuntut Mr. Crowell. "Bagian yang mana?"
Kelas jadi sunyi-senyap. Aku memejamkan mataku lebih kuat dan merapatkan jarijariku. Lenny tetap diam. "Kupikir kau tidak tahu bagian mana yang lucu sekali," Mr. Crowell menantang.
"Kupikir kau tidak punya ide apa yang akan terjadi di kelas ini."
Seseorang terkekeh. Aku membuka mataku tepat saat melihat Lenny menyeringai.
"Tak ada yang kaukatakan?" tantang Mr. Crowell.
Urat leher Lenny berubah merah. Ia menatap guru itu dengan tajam. Kulihat uraturat di pipinya bergerak-gerak.
Aku membenamkan diri di bangkuku. Mr. Crowell tak pernah tahu kapan
berhentinya. Dan ia selalu tahu bagaimana membungkam mulut Lenny.
"Tak ada kata-kata yang bijak?" ia menggoda Lenny. "Aku heran. Kau menemukan
cara untuk mengacau kelas ini setiap hari. Sekarang kau tidak punya sesuatu
untuk dikatakan" Apa yang tidak beres" Apakah kau sakit atau kenapa?"
Beberapa orang anak tertawa sembunyi-sembunyi. Cassie menatapku dengan
panik. "Saya tidak melakukan apa-apa," gumam Lenny.
"Kau tidak melakukan apa-apa sepanjang semester ini?" Mr. Crowell balas
membentak. Kulihat pembuluh darah halus di leher Lenny mulai berdenyut. Matanya menyipit.
Napasnya naik-turun. Tungkainya diayunkan keluar dari bawah mejanya.
Cassie mencondongkan tubuhnya ke depan. Aku tegang, mencoba memikirkan
suatu cara untuk menjinakkan bom yang hampir meledak.
Lenny tidak bergerak. Tapi kulihat dia meregangkan tubuhnya, bukan keluar dari
bangkunya. Aku tahu ia ingin melompat dan menerkam guru itu.
"Aku heran kau bahkan tidak peduli dengan sekolah," Mr. Crowell bergumam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berbalik ke papan tulis lagi, mencari-cari
kapur lain. Ruangan itu tetap sunyi. Lenny bangkit pelan-pelan.
Sekujur tubuhku menggelenyar. Aku ingin mengatakan sesuatu - apa pun - untuk
menenangkan Lenny. Tapi suaraku tersangkut di tenggorokanku.
Lenny menendang mejanya. Terdengar suara gedubrak keras di atas lantai kayu.
Buku-buku dan kertas-kertas beterbangan ke mana-mana.
Aku tak bisa bernapas. Sambil menatap gurunya dengan marah, Lenny berjalan ke depan kelas.
Mr. Crowell berbalik dari papan tulis dan berhadapan dengan Lenny. "Duduk,"
perintahnya. Aku mengulurkan tanganku untuk memegang lengan Lenny.
"Lenny - jangan!" bisikku.
Tapi ia mengibaskan tanganku dengan marah. Tangannya dikepalkan dan berjalan
pelan menghampiri Mr. Crowell.
Aku keluar dari bangkuku. Mencoba memegangi Lenny.
Menariknya ke belakang. Terlambat.
Lenny melangkah mendekati Mr. Crowell dan mengangkat tinjunya.
"Lenny - jangan!" teriakku. "Jangan!"
Chapter 5 LENNY membeku. Ia menoleh kepadaku. Mata kami saling bertatapan. Ia
menghela napas kesal, lalu menunduk memandang tinjunya sekilas. Tangannya
gemetar. Kemudian ia berteriak pendek penuh kemarahan, berbalik - dan menghambur
keluar kelas. Mr. Crowell menatapku. Aku menunduk. Aku bertanya dalam hati apakah
sebaiknya aku mengejar Lenny.
Jordan memberdirikan meja Lenny. Aku mengumpulkan kertas-kertas dan bukubukunya. Ketika kami sedang membereskan buku-buku itu, Mr. Crowell kembali ke papan
tulis dengan persamaan aljabarnya, seakan tidak terjadi apa-apa.
Aku menggelengkan kepalaku dengan sedih. Tidak adil Mr. Crowell sangat
membenci Lenny. Ia tidak pernah memberi Lenny kesempatan.
Lenny butuh perhatian. Guru itu dapat membuat sesuatu yang berakibat buruk buat
Lenny. Tahun lalu, ia membuat Lenny diskors dua kali dari sekolah. Sekali lagi
diskors, Lenny harus pindah sekolah.
Aku memperingatkan Lenny sebaiknya diam saja dan melaksanakan tugasnya.
Tapi Lenny tidak mendengarkan. Bahkan tidak mendengarkan pacarnya yang baik
dan bijaksana! Sebenarnya ia tidak mencari masalah. Tapi masalah itu tampaknya selalu
mencarinya. Terutama dalam pelajaran Mr. Crowell.
Aku tidak berusaha memperhatikan sisa pelajaran itu. Semua yang bisa kulakukan
hanyalah memikirkan Lenny.
Ketika bel akhirnya berbunyi, aku lari keluar kelas. Aku tahu Lenny akan
menunggu di lokerku. Aku bergegas melewati koridor yang ramai dan lari ke lantai
atas. Tak ada Lenny. Aku memutar kunci kombinasi untuk membuka lokerku. Tak ada pesan dari
Lenny. Di mana dia" Aku berbalik mendapati Cassie sedang bersandar di loker di samping lokerku.
"Lenny harus hati-hati, Diane," ujarnya pelan.
"Katakan padaku sesuatu yang tidak kuketahui," gumamku sambil memutar bola
mataku. "Mr. Crowell punya penyakit jantung," Cassie melanjutkan. "Aku hanya takut bahwa
suatu hari Lenny akan membuat dia terkena serangan jantung!"
"Bagus," kataku.
Kami berdua tertawa. " Ia memberiku serangan jantung setiap hari!" aku bergurau.
Cassie cemberut. "Apakah kau masih merencanakan untuk menyelinap keluar setelah
lepas tengah malam nanti?" tanyanya.
"Menurut Jordan itu adalah ide yang benar-benar oke. Aku tidak begitu kepengin.
Tapi kalau semua orang akan pergi..."
Aku berlutut untuk memeriksa bagian bawah lokerku.
"Aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan," aku mengakui. "Kalau orangtuaku
tahu aku menyelinap keluar tengah malam, mereka akan
membunuhku!" Cassie mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.
Aku menutup loker dengan membanting pintunya dan menoleh kepada Cassie.
"Kupikir aku akan menyelinap keluar nanti malam," aku memutuskan. "Paling tidak
aku akan punya kesempatan untuk bicara dengan Lenny."
Cassie mengangguk. "Oke. Aku akan pergi juga. Senang melihat Spencer lagi.
Meskipun ia jadi agak aneh."
"Ya. Ayo kita pergi," aku mengulangi meyakinkan diriku sendiri. "Kita kan cuma
buat kekonyolan" Sedikit bersenang-senang, tidak apa-apa, kan?"
Chapter 6 AKU dan Cassie bertemu di depan rumah Spencer selepas tengah malam.
"Apa kau kesulitan menyelinap keluar?" tanyaku pada Cassie.
Ia mengangguk. "Orangtuaku belum tidur sampai larut malam. Aku harus
berjingkat-jingkat turun, lantas keluar lewat jendela ruang baca."
"Aku beruntung," sahutku. "Orangtuaku penidur berat. Tak ada yang bisa
membangunkan mereka. Mereka tetap tidur meskipun gempa bumi."
Cassie menggigil dan menarik parkanya rapat-rapat. Cuaca malam ini buruk dan
dingin. Udara lebih terasa seperti musim dingin daripada musim gugur.
"Apakah kau sudah menghubungi Jordan dan Lenny?" tanyaku kepadanya. "Aku mencoba
menelepon Lenny sepanjang sore, tapi tak ada yang menjawab."
"Aku sudah menghubungi Jordan," sahut Cassie. "Katanya ia akan menjemput Lenny."
Kami mendongak melihat jendela kamar tidur Spencer. Sebuah lampu oranye yang
suram menyala redup di kamar itu. Tapi aku tidak melihat tanda-tanda adanya
Spencer. Beberapa detik kemudian, pohon berdaun hijau yang tinggi di samping jalan
masuk mobil bergoyang. Suara gemeresik mengagetkanku.
Aku berbalik - saat itu kulihat Jordan dan Lenny datang berderap menghampiri
kami. Uap putih keluar dari mulut mereka.
"Hei," gumam Lenny.
"Hei," Jordan mengikuti.
"Kenapa sih kau, Diane?" tanya Lenny.
Aku mengangkat bahu. "Ke mana kau sepulang sekolah?"
"Hanya keluyuran," sahut Lenny. "Aku tak tahu. Hatiku panas sekali. Aku hanya
menyetir mobil keliling-keliling."
Jordan menepuk punggung Lenny. "Ketika kau menggulingkan mejamu, kupikir Crowell


Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan kaget sekali." Lenny tidak tersenyum. "Kau harus menahan diri di pelajaran itu," aku memperingatkan Lenny. "Mungkin
kalau kau duduk di sana seperti patung, Crowell akan mengabaikanmu"
"Maaf saja ya," jawab Lenny dengan marah. "Aku bukan murid yang cukup baik
buatnya untuk dibiarkan begitu saja. Setiap kali punya kesempatan, ia akan
mencari-cari cara untuk memojokkan aku. Aku tak pernah merasa begitu
membenci seseorang seperti aku membenci laki-laki itu."
Sebuah suara menggarut yang lembut mengganggu kami. Aku mendongak melihat
jendela Spencer terdorong membuka.
Ia melambai kepadaku, kemudian ia merosot turun lewat talang hujan dengan
cepat. "Aku tahu kalian akan datang!" serunya sambil menyeringai. "Semua orang butuh
Petualangan Malam dari waktu ke waktu - iya, kan?"
Spencer mengikat rambutnya ke belakang membentuk ekor kuda yang tebal. Ia
mengenakan kaus berlengan panjang hitam dan celana chinos baggy hitam yang
sobek di kedua lututnya. Ia berbalik kepada Lenny. "Apa kabar?"
Lenny hanya melihat ke bawah. "Aku baik-baik saja."
"Crowell menyulitkan Lenny lagi di pelajaran aljabar," Jordan menjelaskan.
Spencer menggelengkan kepalanya. "Si tolol Crowell itu," geramnya,
mengejutkanku. "Ia selalu menyulitkanku juga. Aku benci orang itu."
"Jangan membicarakan soal itu lagi," sela Cassie. "Sekarang apa yang akan kita
lakukan di luar sini" Udara dingin sekali. Mengapa sih kita melakukan ini?"
"Teror murahan," jawab Spencer tanpa senyum. "Ayo pergi."
Ia berjalan cepat sekali. Kami berempat harus berlari-lari kecil untuk
mengejarnya. Udara terasa lebih dingin. Kutarik parka jaketku. Kabut dari sungai di dekat
kami mengapung dan berjalan ke atas pagar tanaman.
Suasana tampak begitu sunyi. Begitu tidak nyata. Berbeda... seakan Shadyside
adalah sebuah tempat yang berbeda di tengah malam. Semacam tempat fantasi dari
bayangan-bayangan hitam panjang perak dan kelabu.
Sesuatu lari cepat dari bawah semak-semak, lari memotong langkah kami. Aku
menjerit. Cassie dan Lenny tertawa.
"Tupai pembunuh!" ujar Cassie. Mereka menertawakanku.
"Larut malam, Shadyside milik kita!" Spencer memproklamasikan.
Pikiran yang aneh, kataku dalam hati.
"Seluruh dunia jadi milik kita pada malam hari," Spencer menambahkan.
Lenny terkekeh. "Apa kau mau jadi penyair?"
Spencer menggelengkan kepalanya. "Tidaklah ya. Aku akan jadi penyair kalau kau
jadi guru matematika!"
Kami semua tertawa mendengar gurauan itu, bahkan Lenny pun tertawa.
Aku menyelipkan lenganku di pinggang Lenny dan merapat mendekat padanya
ketika kami berjalan ke blok berikutnya. Aku tak bisa menduga ke mana Spencer
akan membawa kami - sampai kulihat cahaya lampu-lampu Natal.
Rumah Mr. Crowell! "Hei - kenapa kita kembali ke sini?" tanya Jordan tidak suka.
Sebuah senyuman mengembang di wajah Spencer, tapi ia tidak menyahut.
Matanya terpaku pada jendela depan rumah itu.
"Ayo jalan terus," Lenny menyarankan dengan tidak sabar. "Cukup sudah berurusan
dengan laki-laki itu. Sungguh."
Spencer mengalihkan pandangannya kepada Lenny. "Mungkin kita bisa
mendapatkan kesenangan dengannya," katanya pelan. "Ayo kita periksa rumah
Crowell. Siapa tahu ia punya rahasia-rahasia kotor."
"Hah" Maksudmu memata-matai dia?" semburku. Aku menangkap ekspresi cemas di
wajah Cassie. "Ayo kita lihat-lihat saja di sana," jawab Spencer. "Kau tahu. Mengintip.
Melihat apa yang dilakukan Crowell untuk ditertawakan di malam hari."
"Tapi ia akan melihat kita!" Cassie memprotes. "Halaman depan lebih terang
daripada siang hari!"
"Kita akan berhati-hati," kata Spencer kepadanya, matanya memperhatikan rumah
itu. "Ayo. Cepat."
Ia bergerak-tak bersuara di atas rerumputan menghampiri rumah itu sambil
memutari lampu-lampu dan hiasan-hiasan. Kami mengikuti dia, kemudian
merunduk di balik gerumbul semak-semak yang tumbuh di depan jendela ruang
tamu. "Kalau ia melihat keluar jendela, ia akan melihat kita," Cassie memperingatkan.
Ia menggigil. Embusan angin dingin membuatku menggigil juga.
Apa yang sedang kulakukan di sini" tanyaku pada sendiri sendiri. Selepas tengah
malam di sekolah, merunduk di depan jendela seorang guru.
Ini gila - tapi semacam gairah, aku mengakui pada diri sendiri. Kami mengangkat
kepala di atas semak-semak dan mengintip ke dalam jendela. Lampu-lampu
menyala, tapi diredupkan. Kudengar musik Natal sedang disetel.
Di dinding belakang, aku melihat Mr. Crowell sedang merangkai bunga keperakan di
sebuah pohon Natal. Ia menghias pohon itu larut malam sekali, pikirku. Yang kutahu umumnya para
guru tidur lebih awal karena mereka harus bangun pagi-pagi sekali.
Aku menyipitkan mata melihat ke ruangan yang berpenerangan redup. Kulihat
empat buah kotak terbuka di atas sofa. Kotak-kotak penuh hiasan Natal itu
disandarkan pada sisi sofa.
"Tak ada orang yang suka kesibukan saat ini," gumam Lenny. "Ngomong-ngomong
orang ini hidup dengan siapa?"
"Ia tidak punya anak atau keluarga atau siapa-siapa," Jordan menambahkan. "Ia
menghias semua ini sendirian."
"Aneh," kata Lenny dengan berbisik.
"Shh," Cassie memberi peringatan. "Ia bisa mendengar kita."
Kami mengawasi Mr. Crowell menghias pohonnya selama beberapa menit.
Kemudian ia mematikan lampu kamar tamu untuk menikmati kelap-kelip
dekorasinya. Ia duduk di sebuah kursi berlengan, minum dari kaleng soda, dan
menatap kreasinya dengan raut wajah puas.
"Bosan!" komentarku. "Semua yang dilakukannya adalah menatap pohonnya yang
jelek." Aku menoleh ke Spencer. "Ini sama sekali bukan petualangan."
"Yeah. Ayo pergi," Lenny mengiyakan. "Aku cukup melihat si brengsek itu
sepanjang hari ini. Aku tidak ingin melihatnya malam ini juga."
Lenny menarikku berlalu dari semak-semak. Cassie dan Jordan mengikuti kami.
Kami menjauh dari jendela dan mulai berjalan di jalan masuk yang berbatu
kerikil. Kupikir Spencer tepat berada di belakang kami. Tapi suara keras benda pecah
membuatku berputar. "Ya ampun!" aku berteriak ketika kulihat Spencer mengayunkan senternya yang
besar. Ia menghantamkan senter itu ke setan dan lampu-lampu merah dan hijau
yang berkelip-kelip. Lampu-lampu itu berserakan ketika pecah.
Spencer menarik lampu-lampu di kabelnya. Kemudian ia menerjang sebuah Santa
yang berlampu. Santa itu pecah dan roboh. Spencer menendangnya ke seberang
halaman berumput. "Hei - hentikan!" jeritku.
"Spencer - apa yang kaulakukan?" teriak Jordan.
Spencer tidak mengacuhkan kami. Ia menarik lampu lebih banyak lagi. Kemudian ia
mengambil sebuah rusa aluminium dari bawah - dan melemparkannya ke arah
rumah itu. "Spencer - hentikan!" aku dan Cassie menjerit.
Spencer seperti laki-laki liar. Ia mengayun-ayunkan senternya, menghancurkan
lampu-lampu, mulutnya mengeluarkan bunyi mengorok setiap kali mengayunkan
senternya, matanya liar, mulutnya terbuka.
"Ayo pergi dari sini!" teriakku.
Terlambat. Lampu beranda menyala. Pintu depan terbuka.
Mr. Crowell melangkah keluar ke beranda. "Aku melihatmu!" jeritnya.
Chapter 7 AKU panik sekali. Aku tak bisa bernapas. Lalu kutundukkan kepalaku dan lari.
Kami berlima berlari kencang. Sepatu kami berdebam-debam di trotoar. Suaranya
seperti penyerbuan sapi. Kudengar guru itu menjerit dengan marahnya dari serambi depan rumahnya.
Suaranya tinggi melengking menembus udara malam yang lembap.
Aku tidak menoleh. Apakah ia benar-benar melihat kami" Apakah ia mengenali kami"
Lenny jangkung sekali. Aku bertaruh ia mengenali Lenny.
Halaman rumput depan begitu terangnya, ia seharusnya melihat kami semua!
pikirku sambil menggigil ketakutan.
Cassie terhuyung-huyung ke Jordan tapi ia memperbaiki keseimbangannya dengan
cepat. Spencer memimpin di depan, berlari kencang, sambil mengayun-ayunkan
senternya tinggi-tinggi di depannya.
Seribu gambar berkelebat di benakku ketika aku mengikuti dia, lari sangat
kencang sampai pinggangku sakit.
Aku membayangkan polisi di pintu depan rumahku, menarikku ketika orangtuaku
mengawasiku dengan ketakutan.
Aku membayangkan diriku sendiri menjelaskan kepada orangtuaku mengapa aku
keluar tengah malam, menghancurkan hiasan Natal Mr. Crowell.
Aku membayangkan Mr. Crowell berdiri menjulang di atasku, menuduhku.
Menuduh kami semua. Kulihat Mr. Hernandez, kepala sekolah, menyerahkan arsip
catatan-catatan kepadaku, sambil mengatakan bahwa aku tidak pernah dapat
sekolah di Shadyside High lagi.
Mengerikan, bayangan-bayangan yang menakutkan.
Dan kemudian, ketika aku menggoyangkan bayangan-bayangan itu dari benakku,
aku mendengar suara tawa.
Aku kaget sekali, sehingga hampir berhenti berlari.
Aku mendengar suara tawa. Tawa Spencer. Tawa penuh kegembiraan.
"Mengagumkan!" teriaknya sambil mengayunkan senternya tinggi-tinggi.
"Mengagumkan!" Kemudian Lenny dan Jordan tertawa juga. "Apa kau lihat tampang Crowell?"
"Wajahnya jadi semerah hidung rusa!"
"Selamat Natal, Mr. Crowell!"
"Dan Selamat Tahun Baru!"
Cowok-cowok itu tertawa, saling mengucapkan selamat sambil menepuk
punggung Spencer, mengejek dan berteriak keras-keras.
Terlalu keras. Aku melihat ke sekelilingku, takut kalau kami membangunkan orang
di rumah-rumah terdekat. Sekali lagi, kami berhenti di depan rumah Spencer. Dua ekor kucing kelabu besar
menatap kami dari jalan masuk mobil. Mereka memiringkan kepala seakan-akan
mencoba mencari tahu mengapa lima orang remaja berada di luar larut malam
begini. "Spencer - itu mengerikan!" hardik Cassie. Ia terengah-engah, mencoba mengatur
napasnya. "Kau menyukainya!" Spencer balik menembak dengan gembira.
"Mengerikan!" Cassie mengulangi.
"Mengagumkan, tahu!" Spencer mendebat.
Lenny menoleh kepadaku sambil tersenyum. "Kuharap aku punya kamera,"
katanya pelan. "Bagaimana kalau ia melihat kita?" tanya Cassie.
"Tidak akan," Spencer berkeras. "Ia hanya dapat melihat punggung kita."
"Ia tak pernah dapat membuktikannya," Lenny menambahkan. "Meskipun ia melihat
kita. Meskipun ia mencurigai itu adalah kita. Ia tak punya bukti."
"Benar," Jordan mengiyakan. "Kita semua pulang dengan selamat dan mengorok di
ranjang kita." "Kupikir kita tak akan melakukan hal-hal yang ilegal," kata Cassie dengan marah.
"Yeah. Kau seharusnya memperingatkan kami," kataku kepada Spencer.
Ia tidak menjawab. "Kapan kalian ingin keluar lagi?" tanyanya. "Besok malam?"
"Hah" Keluar lagi?" teriak Cassie.
Spencer mengangguk. "Bagaimana kalau besok malam?"
"Bagus sekali!" seru Lenny. "Kau mau ngomong apa, Diane?"
Aku menelan ludah kuat-kuat. Tenggorokanku terasa kering. Jantungku masih
berpacu karena lari jauh tadi.
"Hanya satu syarat," sahutku. Aku berpaling kepada Spencer.
"Kau harus memberitahu kami sebelum melakukan sesuatu yang gila lagi," kataku
kepadanya. "Tak masalah," katanya. Ia menyeringai dan menggaruk rambutnya yang pirang
keputihan itu. "Apa maksudmu?" Aku menekankan. "Tak ada lagi kejutan-kejutan?"
Senyumannya bertambah lebar. "Aku janji," katanya sambil mengangkat dua jari
tangan kanannya. "Sumpah mati."
Chapter 8 LENNY menurunkan aku di rumahku. Aku mengendap-endap ke dalam, mencoba
untuk tidak menimbulkan suara.
Tapi ketika sampai di kamar tidurku, telepon berdering. Aku lari menyeberangi
tempat tidurku dan menyambar pesawat telepon.
"Halo?" bisikku.
"Diane, ini Bryan."
Bryan Hedges. Dia adalah cowok yang kuputuskan musim dingin lalu ketika aku
memutuskan ingin jalan dengan Lenny.
Akhir-akhir ini Bryan mengusikku, ingin balik lagi. Aku merasa bersalah telah
melukai perasaan Bryan. Harus kuakui, aku tersanjung punya dua cowok yang
tertarik kepadaku. Tapi aku tidak ingin pacaran dengan Bryan lagi. Tentu saja aku tidak ingin dia
meneleponku tengah malam begini.
"Sekarang terlalu malam untuk menelepon,Bryan," bisikku. Kulirik jam alarmku
sekilas. "Ada apa" Hampir jam tiga pagi. Orangtuaku akan menyingkirkan
teleponku kalau kau membangunkan mereka."
"Sori," ia balik berbisik. "Aku hanya ingin bicara."
"Well, aku tak bisa bicara sekarang." Aku menembak balik dengan marah.
"Sungguh, Bryan. Aku tak ingin kau menelepon. Aku - "
"Kita benar-benar harus bicara," Bryan menekankan. "Bagaimana kalau Jumat malam
setelah pertandingan basket...."
"Tidak!" Aku menyela. "Beri aku kesempatan, oke" Kau tahu aku sekarang pacaran
dengan Lenny." "Lenny itu brengsek," gumam Bryan. "Kau dan aku - "
"Selamat malam, Bryan," aku mengerang. "Akan kuputus sekarang. Dari jangan
menelepon lagi. Aku tidak main-main."
Suara Bryan tiba-tiba berubah mengancam. "Kau akan menyesal," katanya.
"Apa?" "Kau akan menyesal, Diane," ia mengulangi. "Kalau kau tetap menemui Lenny."
"Apa itu ancaman?" teriakku nyaring. "Bryan, apa kau sudah gila betulan?"
Aku tidak menunggu jawabannya. Kubanting pesawat telepon itu. Jantungku
berdegup kencang. Tanganku terkepal membentuk tinju yang kuat. Aku merasa
sangat marah. Aku ingin menjerit.
Apa hak Bryan harus meneleponku tengah malam begini dan mengancamku"
"Oh!" Aku berteriak ketika telepon itu berdering lagi.
Kusambar gagang telepon dengan geram dan mengangkatnya ke telingaku. "Bryan, aku
memperingatkanmu - "
"Diane, aku melihatmu malam ini," sebuah suara berbisik dengan suara parau.
"Bryan - hentikan!" teriakku.
"Aku melihatmu malam ini, Diane. Aku tahu tentang Petualangan Malammu,"
suara itu berbisik. "Tutup teleponnya, Bryan!" jeritku. "Kau tidak lucu. Ini kau, kan..." Bryan"
Bryan?" MUSIM DINGIN YANG LALU Chapter 9 SPENCER menghela napas dalam-dalam ketika ia membelokkan mobil tua itu ke
jalan masuk rumah pamannya.
Kabin ski itu berdiri di ujung sebuah jalan pegunungan yang panjang dan berlikuliku. Spencer hampir celaka karena terlalu banyak tikungan dalam perjalanan ke
atas. Aku beruntung tidak tergelincir dari bukit dalam mobil rongsokan ini, pikirnya.
Kenapa mereka tidak memasang pagar di tikungan-tikungan itu"
Ia masih gemetar karena jalan yang berbahaya itu. Tapi sekarang ia sudah sampai.
Ia bisa santai. Ia menungu Diane, Lenny, Cassie, dan Jordan bergabung dengannya
untuk berakhir pekan.

Goosebumps - Petualang Malam di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pamannya menjanjikan akan ada banyak makanan di kabin, dan kayu untuk
menyalakan perapian. Juga TV kabel. Dan pohon Natal tiruan pamannya
menunggu untuk dihias. Spencer tak sabar menunggu teman-temannya muncul. Setelah salju turun tadi
malam, lereng gunung akan sempurna.
Semua orang akan terkesan dengan kabin pamannya. Satu-satunya cara supaya
akhir pekan ini bisa lebih baik adalah kalau ia punya pacar.
Spencer benci menjadi satu-satunya orang tanpa pacar.
Menurut teman-temannya ia pemalu. Mereka selalu menggodanya soal ini.
Terutama Lenny. Mereka tidak mengerti. Spencer tahu ia bisa mencari seseorang untuk menjadi pacarnya. Tapi ia pemilih.
Pacarnya harus cerdas, cantik, dan menyenangkan. Seseorang yang sempurna.
Seseorang seperti Diane. Memikirkan soal Diane, Spencer cemberut.
Ketika Diane putus dengan Bryan, Spencer yakin Diane akan menjadi pacarnya.
Mereka telah berteman selama bertahun-tahun, dan ia tahu Diane menyukainya.
Tapi Spencer terlambat mendekatinya.
Lenny yang lebih dulu mengajak Diane. Kemudian itulah sebabnya Diane dan
Lenny selalu bersama-sama sepanjang waktu.
Spencer keluar dari mobil tua itu dan melambai ke arah lampu besar Jeep Jordan.
Jordan berasal dari keluarga kaya. Pasti menyenangkan mendapat mobil sebagai
hadiah ulang tahun, pikir Spencer. Hadiah ulang tahun yang terakhir diterimanya
adalah sepasang sepatu karet yang sudah ketinggalan mode dari toko ayahnya.
Ketika Jordan berhenti di jalan masuk yang tertutup salju, ia meraung-raungkan
mesin mobilnya. Roda-roda mencipratkan salju ke tubuh Spencer.
Salju itu seperti mencambuk wajahnya, menyengat pipinya, dan membasahi bulubulu parkanya. Spencer mengerang dan mengusap air dari matanya. Ia melihat Diane dan Cassie di
jok belakang. Mereka menunjuk ke arahnya sambil tertawa cekikikan.
Jordan melompat dari jip. "Hei - bidikanku jadi lebih baik!" sumbarnya sambil
tertawa. Lenny keluar berikutnya. "Hei, Spence!" panggilnya. "Kami melihat mobilmu agak
miring ke kiri." Gurauan itu membuat Spencer marah. Memang kenapa kalau ia agak gemuk"
Siapa yang memberi hak pada Lenny untuk menjadikan dia bahan olok-olokan di
depan Diane" Lenny memang berengsek, kata Spencer dalam hati dengan marah. Berengsek
sekali. Diane keluar dari Jeep. Ia mulai mengeluarkan tas-tas dari belakang mobil.
Spencer mengawasi dengan diam. Ia mencoba meyakinkan Diane bahwa pacarnya
yang baru adalah kabar buruk.
Tapi kata Diane, ia tidak butuh nasihatnya.
Bagian yang terburuk adalah Diane mengajak Lenny ke mana-mana. Ke bioskop.
Ke Pete's Pizza. Ke mal. Ke kabin paman Spencer.
"Hei - ini bagus sekali!" suara Cassie membuyarkan lamunan Spencer. "Trims sudah
mengundang kami." Spencer merasa agak baikan. Cassie selalu bisa membuatnya ceria. "Tak masalah,"
katanya pelan. Ia menghampiri cewek-cewek itu dan merangkulnya.
Ia melihat Lenny berdiri kaku ketika ia melewatinya. Sikap Lenny membuatnya
tersenyum. "Ayo nyalakan api," Spencer mengusulkan kepada Diane dan Cassie.
Ia membuka pintu kabin itu dengan menariknya. Gelap. Dan sangat dingin.
Spencer mencari-cari tombol di dinding dan membanjiri tempat itu dengan cahaya.
Kabin pamannya indah. Dengan tempat perapian dari batu yang lebar, jendelajendela di dinding dari lantai ke langit-langit, dan sebuah loteng yang
menyenangkan. "Indah sekali!" seru Diane. Ia mempelajari ruangan itu sambil melepas sarung
tangan dan topi skinya. "Astaga!" Jordan berteriak ketika ia menjatuhkan tas ranselnya ke sofa di ruang
tamu. "Pamanmu pasti kaya raya. Lihat stereo set itu!"
"Aku tahu Paman Jarvis-mu kaya sekali!" Lenny mengiyakan. "Hei, Spence,
bagaimana dengan pinjaman?"
Diane memukulnya dengan main-main. "Beri Spencer kesempatan," hardiknya.
Yeah. Beri Spencer kesempatan, pikir Spencer pahit. Berjalan-jalanlah yang lama
di salju, Lenny. Dan jangan kembali.
"Spencer," panggil Cassie. "Dingin sekali di sini. Menyalakan api adalah ide
yang bagus." Spencer mengangguk. "Tentu. Aku harus membuat ruangan ini hangat dalam
beberapa menit." Ia menunjuk ke gang. "Kabin ini punya tiga kamar tidur. Kalian boleh memilih.
Duduklah sementara aku menyalakan api."
Teman-temannya menghilang, memeriksa semua kamar itu.
Spencer menyalakan api di perapian dengan hati-hati. Ia berkonsentrasi
menyalakan api. Tapi beberapa detik kemudian, suara Lenny yang kedengaran marah dari ruangan
memecah lamunan Spencer. "Berhentilah mengatakan padaku apa yang harus kulakukan, Diane!" Lenny
memperingatkan. "Aku tidak ingin ke sini sejak pertama kali. Aku ikut kau."
"Kau tidak harus ikut," Spencer mendengar jawaban Diane. "Kau tidak harus
mengikutiku ke mana aku pergi."
"Kau mengikuti aku. Aku tidak mengikutimu," Lenny berkeras.
Spencer mendengar Jordan menengahi perdebatan itu. "Maukah kalian berhenti
berdebat" Kita seharusnya bersenang-senang akhir minggu ini."
Spencer mendengar beberapa kata gumaman. Ia tak dapat mendengar jelas. Ia
mendengar Lenny menyebut-nyebut namanya. Kemudian ia mendengar Jordan
tertawa. Apakah mereka menertawakan aku" tanya Spencer dalam hati.
Spencer merasa pipinya berubah merah. Sebelum Lenny bergabung dengan grup
mereka, Jordan benar-benar teman yang baik.Apakah Jordan sedang menertawakan dia
sekarang" Diane dan Cassie kembali ke ruang tamu sambil bercakap-cakap dengan pelan.
Spencer menunduk di atas api. Ia tak ingin mereka tahu bahwa ia telah menguping
percakapan mereka. Di tengah-tengah ruangan itu ada dua buah sofa besar dari kulit berwarna hijau
yang saling berhadapan. Pasangan-pasangan itu masing-masing menjatuhkan diri ke
atas sofa-sofa itu. Mereka langsung menyalakan televisi berlayar lebar.
Lenny ingin melihat pertandingan hoki. Jordan ingin melihat salah satu film
Lethal Weapon. Cewek-cewek itu ingin menyaksikan kompetisi figure-skating.
Spencer duduk di atas lantai dan tetap diam. Ia tahu Lenny selalu ingin dituruti
kemauannya. Sebuah lolongan yang keras menembus kabin itu. Pintu belakang terempas terbuka
diembus angin yang bertiup tiba-tiba dan menghantam dinding dengan kerasnya.
Lampu-lampu berkedip sesaat. Kemudian seluruh kabin itu gelap gulita.
Untuk sejenak tak seorang pun yang bicara. Kemudian Lenny mengerang. "Oh,
hebat," katanya dengan menghela napas. "Lampu mati."
"Tak masalah," kata Spencer. "Kita punya lilin dan lentera."
"Apakah kau punya TV berkekuatan lilin?" Jordan bergurau.
Spencer tidak mengacuhkannya. Ia berdiri dari karpet dan berjalan ke dapur untuk
mengambil lentera gas. Ia perlu waktu sebentar untuk mencari lentera itu dalam
kegelapan. Kemudian Spencer meletakkannya di atas meja kopi dan
menyalakannya. Ruangan itu berkelip dengan cahaya oranye.
"Nah. Itu lebih baik." Spencer melihat Lenny sekilas. Wajahnya cemberut marah.
Diane menyilangkan lengannya dan menatap lurus ke depan.
Bertengkar lagi. Mereka pasti sudah mulai cekcok sementara ia keluar dari
ruangan itu. "Bukan aku yang pertama kali ingin ke sini, Diane," gumam Lenny.
Lenny menatap Spencer lurus-lurus ketika bicara. Seakan-akan ia tidak peduli
sama sekali dengan perasaan Spencer.
Diane menjauh dari Lenny di sofa. "Aku benar-benar bosan dengan keluhanmu,"
bentaknya. "Sikapmu seperti bayi. Kalau keadaan di sini tidak enak, kenapa kau
tidak keluar dan duduk di dalam mobil?"
Spencer hampir tertawa keras. Ia suka melihat Lenny diempaskan. Mungkin Diane
mendepak Lenny akhir minggu ini.
Lenny berdiri. "Baik!" hardiknya. "Kalau kau ingin begitu, aku akan duduk di
Jeep." Ia menyambar mantelnya dan menghambur ke luar, membanting pintu kabin di
belakangnya. "Apakah tidak sebaiknya kau mengikuti dia?" tanya Cassie kepada Jordan.
Jordan menggelengkan kepalanya. "Ia akan kembali sebelum ia menyadarinya dingin sekali di luar! Yang ia perlukan hanya menghirup udara panas. Sekarang
itu jadi hal yang paling baik bagi kita semua."
"Ngomong-ngomong apa masalahnya?" tanya Spencer sambil duduk di samping Diane.
"Sekolah," sahut Jordan. "Apa lagi?"
"Bisakah kita bicara sesuatu selain Lenny?" Cassie menyela. "Aku yakin Diane
akan suka." Spencer mengalihkan pandangannya ke arah Diane. "Kau baik-baik saja?"
Ia mengangkat bahu. "Yeah. Baik." Ia lalu beralih memandang api oranye yang
menari-nari di perapian. Beberapa menit kemudian, Jordan dan Cassie tampak sedang bermesraan di sofa
mereka. Diane menatap lurus ke depan, pura-pura tidak memperhatikan.
Tapi pemandangan itu membuat Spencer tidak nyaman. Ia memutuskan untuk
mengambil beberapa kayu dari gudang. "Aku akan mengambil beberapa kayu lagi
untuk membuat api," ia menjelaskan.
"Boleh aku ikut denganmu?" tanya Diane pelan.
"Tentu," jawabnya.
Diane bergegas mengambil mantelnya dari kamar tidur. Kemudian meninggalkan
Cassie dan Jordan yang sedang bermesraan.
Spencer menggandeng lengan Diane ketika mereka berjalan kaki di atas salju.
Setelah sampai di gudang tempat paman Spencer menyimpan kayu bakar, Spencer
berhenti untuk menyalakan lentera yang tergantung di pasak.
Ia melihat Diane menggigil. Ia memandang pohon-pohon hijau lebat yang
mengitari gudang itu. Spencer memasukkan ranting-ranting kayu bakar sementara Diane duduk di balok
yang digunakan untuk membelah kayu.
Diane menghela napas. "Menurutku Cassie dan Jordan itu menyebalkan,"
gumamnya sambil memandang pepohonan.
"Apa maksudmu?" tanya Spencer.
"Kau tahu. Bertengkar sepanjang waktu. Tapi sekarang, Lenny dan aku..."
Suaranya melemah. "Ngomong-ngomong apa masalahnya?" desak Spencer.
Diane menghela napas. "Aku tak tahu," jawabnya. "Aku benar-benar tak tahu.
Terkadang kami mengalami saat-saat yang indah. Tapi terkadang ia tidak masuk
akal. Seperti malam ini."
Ia berhenti menyibakkan rambutnya yang pirang dan lurus yang menutupi
matanya. "Ia selalu putus asa," Diane melanjutkan. "Terutama ketika kami tidak melakukan
apa yang diinginkan Lenny."
"Ia yang harus pegang kendali?" tanya Spencer.
Diane mengangguk. Diane tampak sedih sekali sehingga Spencer menjatuhkan karung ranting-ranting
itu dan menghampiri cewek itu. Dengan lembut Spencer mengangkat dagu Diane.
Ditatapnya mata cokelat Diane yang lembut.
Diane mengerjapkan matanya dan tersenyum.
Sebelum Spencer menyadari apa yang sedang dilakukannya, ia mencondongkan
tubuhnya ke Diane. Pelan-pelan. Sampai wajah mereka bersentuhan. Sampai bibir
mereka bersentuhan. Sebuah tangan menarik bahu Spencer dengan kasar. Memutarnya.
Spencer menatap wajah Lenny yang marah.
Spencer hendak bicara, tapi ketika ia mulai membuka mulutnya, ia tidak punya
waktu untuk mengatakan apa-apa.
Lenny memukul mulutnya dengan keras. Rasa sakit membakar rahang Spencer. Ia
terjengkang. Ditatapnya Lenny. Terpaku. Merasakan darah hangat menetes ke dagunya.
Lenny menghampirinya lagi.
Tapi Diane melangkah di antara mereka. "Cukup!" teriaknya. "Lenny - apa kau gila?"
Lenny mencoba mendorong Diane. Ia menghalang-halangi Lenny, cukup lama
untuk memaksanya berhenti.
"Menyingkirlah dari Diane!" Lenny menjerit. "Atau kau akan menyesal! Kau akan
menyesal!" Spencer menatap Lenny, kemarahannya muncul. Ia menunduk memandang salju.
Melihat darah dari mulutnya yang sobek menggenang hitam di kakinya. Darah
gelap di atas salju yang putih bersih. Berkilauan tertimpa cahaya lentera.
Ketika Spencer mendongak, Lenny sedang menarik Diane kembali ke kabin.
Spencer merasa kemarahannya bangkit.
Ini tidak benar, Lenny, pikirnya. Tidak benar sama sekali.
Kau tak bisa memperlakukan orang seperti ini.
Aku tak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.
Aku tak bisa. MUSIM DINGIN Chapter 10 AKU dan Cassie pergi ke Pete's Pizza sepulang sekolah hari Selasa. Ia memaksaku
mencoba piza vegetarian surprise.
Kami memesan sebuah pie yang besar. Tapi begitu kami mulai makan, aku
berharap memilih pepperoni yang biasa kupesan. Jenis itu tidak sehat. Tapi
paling tidak aku tidak akan mengunyah potongan-potongan wortel setengah matang
setiap beberapa detik. "Diane, kau kelihatan stres," kata Cassie sambil mengusap keju dari dagunya Aku
menghela napas. "Sori. Aku hanya sedang memikirkan Bryan."
Mulut Cassie terbuka karena terkejut. "Apa" Bryan. Bryan kenapa?"
"Ia menelepon aku tadi malam," kataku kepadanya. Aku memotong piza itu dan
memakannya. Cassie menatapku. "Kau bercanda, ya" Dia mau apa?"
"Kembali padaku lagi. Apa lagi sih yang diinginkan Bryan?"
Cassie mencondongkan tubuhnya di atas meja. "Well, apa yang kaukatakan
kepadanya?" Aku menghela napas. "Aku mengatakan itu tidak akan terjadi."
"Apakah ia mempercayaimu?"
"Aku tak tahu, Cassie. Lalu ia jadi aneh. Ia mulai mengancam aku. Mengatakan
padaku bahwa aku akan menyesal kalau aku tetap dengan Lenny. Ia berbisik,
katanya ia tahu tentang Petualangan Malam kita."
Cassie membiarkan potongan pizanya jatuh ke piringnya. "Apa" Bagaimana ia tahu
soal itu?" Aku mengangkat bahu. "Aku tak punya waktu untuk mencemaskan Bryan. Aku
punya masalah lebih besar untuk dicemaskan. Seperti Lenny."
"Apakah kalian berdua punya masalah?" tanya Cassie.
"Tidak serius sih," sahutku. "Aku hanya mencemaskan dia. Ia pemarah sepanjang
waktu. Aku takut ia tidak akan bisa mengendalikan diri akhir-akhir ini dan
Naga Pamungkas 1 Perjanjian Dengan Maut Appointment With Death Karya Agatha Christie Perburuan Busur Maut 2

Cari Blog Ini