Ceritasilat Novel Online

Sari Otak 2

Goosebumps - 2000 12 Sari Otak Bagian 2


mengarah ke jendela ruang santai.
"Semak-semak...," seru Nathan. "Semak-semaknya semua diinjak-injak."
"Lihat bolanya, tidak?" seru Brenda yang melompat-lompat tak sabar.
"Lemparkan bolanya padaku."
Nathan mengambil bola itu di bawah semak-semak yang sudah terinjak-injak.
"Iiih." Ia cepat-cepat menarik tangannya.
"Apa itu yang lengket-lengket?" tanya Lindy.
Nathan mengangkat tangannya. Lendir kuning yang kental menetes di
jemarinya. "Iiih, baunya minta ampun," erangnya.
Ia berlutut dan melihat genangan-genangan lendir basah di bawah jendela ruang
santai. Bola Brenda bergulir ke salah satu genangan itu.
"Ada bekas-bekas yang menempel di jendela," kata Lindy. "Lihat. Dua bekas.
Seperti ada dua makhluk yang menempelkan wajah mereka di kaca."
Nathan berdiri dan memeriksa lendir lengket di jemarinya, lalu ia menatap bekasbekas di jendela itu. "Menurutmu apa ada binatang yang mengawasi kita?"
"Tapi binatang apa?" seru Lindy. "Kenapa mereka ada di sini" Di luar jendela
kita?" Ia merinding. "Aku takut, Nathan. Benar-benar takut."
13 Seminggu kemudian Nathan sedang berdiri di depan lokernya, mengisi ransel, siapsiap untuk pulang.. "Hei, bagaimana kabarnya?" ia berseru pada temannya, Eddie
Frinkes, yang berdiri di loker seberang.
Eddie cuma mengangguk. "Mau main komputer di rumahku?" tanya Nathan.
Eddie menyeringai. "Tidak ah."
"Ayolah kenapa tidak?" Nathan memohon.
Eddie angkat bahu "Aku tidak bisa main apa pun denganmu. Kau terlalu pintar.
Kau selalu menang." "Tapi..." Eddie menutup pintu lokernya dan cepat-cepat pergi.
Sebelum Nathan sempat mengejarnya, Stan dan Wardell serta tiga anak lainnya
muncul dari belokan. Mereka berhenti ketika melihat Nathan dan mengepungnya.
"Hei, Nathan coba ucapkan Pidato Gettysburg," kata Stan dengan nada
mengejek. "Ceritakan beberapa mitos Yunani," tuntut Wardell.
"Beritahukan semua kesalahan yang kautemukan di buku matematika!"
"Ceritakan bagaimana kau memprogram ulang semua komputer di lab."
"Sudahlah," kata Nathan.
"Apa kau benar-benar sudah hafal isi seluruh buku sejarah?" tanya seorang anak.
"Hmm... ya." Nathan merasa wajahnya mulai panas. "Aku membacanya, dan
isinya langsung menempel di kepalaku."
"Apa kau benar-benar membuat laporan sepuluh buku untuk mendapat nilai
ekstra?" tanya Stan sambil mendekat dengan sikap mengancam.
"Yaa... mungkin." Nathan mencoba mundur, tapi tertumbuk loker. "Hei... sini...
kembalikan!" serunya ketika Wardell menyambar ranselnya.
Wardell lari sambil membawa ransel Nathan. Dengan tertawa-tawa yang
lainnya ikut lari. "Kau kan pintar," kata Wardell. "Cari akal untuk mendapatkan ranselmu
kembali." Nathan mendesah dan hendak mengejar mereka, tapi langkahnya terhenti ketika ia
melihat Lindy berjalan lesu ke arahnya. Rambut Lindy tampak kusut dan
jatuh bergumpal di dahinya. Matanya merah.
"Lindy, ada apa" Kau menangis?" tanya Nathan sambil cepat-cepat
menghampirinya. "Ya." Lindy membalikkan tubuh dengan malu. Dadanya turun-naik. Baru
beberapa saat kemudian ia bisa menarik napas dengan tenang.
"Ada apa?" tanya Nathan pelan.
"Oh... Gail dan Erika," kata Lindy yang masih terisak. "Mereka... mereka tidak
mau main denganku lagi."
"Ha?" Nathan tercekat. "Mereka kan teman baikmu ada apa?"
"Kata mereka aku aneh," sahut Lindy dengan suara gemetar. "Mereka bilang aku
jadi aneh karena pintar. Mereka bilang... mereka bilang mereka itu padaku."
"Tapi itu konyol sekali!" protes Nathan. "Masa kau pintar..."
Kalimatnya terhenti dan ia ternganga melihat ke lorong.
Ia dan Lindy sama-sama terkejut ketika dua sosok melangkah cepat dari balik
bayang-bayang. 14 "MOM! Dad! Kenapa datang kemari?" seru Lindy.
Orangtua mereka menyeberangi lorong, menghampiri mereka dengan ekspresi
serius. Nathan merasa perutnya mulas oleh rasa cemas.
"Ada yang tidak beres?"
"Mungkin kau bisa menjawab pertanyaanmu sendiri," sahut ayahnya sambil
menatap tajam. "Mr. Tyssling menelepon ibumu dan aku, meminta kami
datang." "Apa kalian mendapat masalah?" tanya Mrs. Nichols.
"Masalah" Tidak, rasanya tidak," sahut Nathan sambil berpikir keras
"Kami tidak berbuat apa-apa!" protes Lindy dengan suara nyaring
"Ayo ikut," kata Mr Nichols "Kita mesti ke kantor Mrs. Lopez"
"Mrs. Lopez?" seru Nathan. "Kenapa mesti ke kantor Kepala Sekolah" Ada
apa?" Tak lama kemudian mereka sudah masuk ke kantor bagian depan. Ruang depan
kosong. Waktu itu hampir pukul empat dan semua sekretaris sudah pulang.
Mrs. Lopez menyambut mereka di pintu kantor belakang. Ia seorang wanita
bertubuh pendek gemuk, dengan rambut hitam yang disanggul tinggi. Anakanak menyukainya, sebab ia memiliki senyum hangat dan ramah, dan ia tahu
nama setiap anak di sekolah.
Tapi Nathan melihat Mrs. Nichols (yang benar adalah Mrs. Lopez-editor) tidak
tersenyum saat ini. Ia mengajak mereka semua ke dalam dan menyilakan
mereka duduk di depan meja kayu yang panjang di tengah ruangan.
Mr. Tyssling sudah duduk di salah satu kursi. Ia berdiri dan menyapa Mr. dan
Mrs. Nichols. Lalu ia memperkenalkan Mr. Haywood, guru pembimbing di
sekolah itu. Mr. Haywood mengangguk serius pada Nathan dan Lindy. Ia berwajah pucat,
hampir botak, tubahnya kurus seperti jarum, dan sepertinya ia selalu memakai
setelan kelabu dan dasi biru tipis yang sama setiap hari.
Setelah menutup pintu, Mrs. Lopez berdiri di belakang kursi di ujung meja.
"Terima kasih atas kedatangannya, Mr. dan Mrs. Nichols," katanya. "Saya,
meminta kedatangan Anda berdua karena kami punya masalah yang aneh."
"Masalah?" tanya Mrs. Nichols. Ia mengerutkan kening pada Nathan dan Lindy.
"Apa mereka membuat ulah?" tanya Mr. Nichols.
Mrs. Lopez duduk di kursinya sambil mengatupkan kedua tangannya "Tidak ini bukan
masalah disiplin," sahutnya.
Lalu ia menatap Nathan dan Lindy. "Saya tidak tahu mesti mulai dari mana,"
katanya "Tapi sebaiknya saya katakan saja."
Mr. Tyssling memainkan helai benang yang lepas di lengan sweater- nya . Mr.
Haywood berdeham-deham dan bergerak-gerak gelisah di kursinya.
"Nathan dan Lindy membuat anak-anak lain merasa tidak nyaman," Mrs Lopez
memulai. "Dan saya khawatir mereka juga membuat guru-guru merasa
demikian." "Tunggu...," kata Nathan.
Mrs. Lopes mengangkat tangan, menyuruhnya diam. "Kedua anak Anda
tampaknya jenius," ia melanjutkan. "Entah kenapa kami terlambat menyadari hal
ini. Tapi dalam dua minggu belakangan ini, hal itu menjadi sangat jelas."
"Jenius?" Mr Nichols menggosok-gosok dagunya sambil memandangi kedua
anaknya. Mrs. Lopez mengangguk "Mereka selalu mendapat nilai sepuluh dalam .setiap
ulangan. Mereka sudah hafal isi seluruh buku pelajaran. Mereka membaca
banyak sekali buku, dan menulis karangan dua puluh halaman untuk mendapat nilai
ekstra." "Tapi. . itu kan bagus sekali!" kata Mrs. Nichols. "Saya tahu mereka belajar
sangat giat setiap malam"
"Dengan menyesal saya mengatakan bahwa ini sama sekali tidak bagus," kata Mrs.
Lopez pelan. "Nathan dan Lindy terus-menerus mengoreksi guru- guru
mereka. Mereka menemukan kesalahan-kesalahan di buku-buku pelajaran.
Anak-anak lain sangat terganggu dengan ulah mereka. Mereka merasa tidak bisa
bersaing dengan Nathan dan Lindy. Saya rasa anak-anak lain merasa ada
sesuatu yang aneh dan... tidak wajar."
"Nathan dan Lindy tidak bermaksud membuat masalah," kata Mr. Tyssling
sambil membungkuk ke dekat meja "Tapi mau bagaimana lagi" Mereka tahu
terlalu banyak. Jauh lebih banyak daripada anak-anak dua belas tahun lainnya di
planet ini. Dan akibatnya anak-anak lain jadi terganggu."
"Saya perhatikan mereka dijauhi anak-anak lain," Mr Haywood menambahkan
"Saya tidak ingin mengatakannya... tapi saya rasa banyak murid kami yang
merasa takut pada Nathan dan Lindy."
Sekonyong-konyong Nathan menyadari bahwa semua mata tertuju pada dirinya
dan Lindy. Jantungnya berdebar kencang. Benarkah ini sungguh-sungguh
terjadi" Apa kami jadi mendapat masalah karena kami terlalu pintar"
Ia merinding. Apa aku menjadi manusia aneh" pikirnya.
Aku tidak punya teman. Semua anak membenciku.
Dan kurasa guru-guru pun begitu.
Apa yang akan terjadi padaku"
Ia menoleh ke arah Lindy. Kepala Lindy tertunduk, kedua tangannya terkatup erat
di pangkuan. Nathan tahu Lindy pasti merasa sedih dan takut juga, seperti
dirinya. "Kami bisa menjelaskan" seru Lindy tiba-tiba. "Kami bisa menjelaskan
semuanya." "Lindy tunggu" Nathan mencengkeram lengan Lindy. "Kita sudah janji pada
Paman Frank, tidak akan cerita pada siapa pun."
"Kita mesti memberitahukannya!". Lindy bersikeras. Ditariknya lengannya
"Memberitahukan apa?" tanya ibunya.
"Kami minum Sari Otak," kata Lindy
"Lindy, jangan ," pinta Nathan.
Tapi Lindy tak bisa dicegah lagi "Paman Frank memberikan sebotol Sari Otak pada
kami, untuk membuat kami lebih cerdas Kami meminumnya
dan ternyata berhasil. Sari Otak itu membuat kami menjadi jenius."
Mrs. Nichols ternganga Mr. Nichols menyipitkan mata pada Lindy,
mengamatinya tanpa bicara.
Lama semuanya berdiam diri.
Lalu Mrs. Lopez memecahkan keheningan itu dengan mendesah "Aku tidak
tahu ramuan ajaib apa yang membuat kalian menjadi jenius," katanya pelan.
"Tapi satu hal sudah pasti. Kalian mesti keluar dari sekolah ini. Kalian tidak
bisa tetap di sini."
15 BEBERAPA hari kemudian, Nathan dan Lindy duduk dengan murung di ruang
santai, menonton tayangan tentang mereka di siaran berita TV.
"Kedua anak ini sedang bersengketa dengan dewan sekolah," kata sang reporter.
"Apa benar mereka terlalu pintar untuk bersekolah" Pihak sekolah mengatakan ya,
tapi orangtua mereka mengatakan tidak. Jadi, pertikaian ini terus
berlanjut..." Di belakangnya Nathan mendengar ibu Lindy sedang menelepon. "Kata
pengacara kami, kami punya peluang bagus. Tapi kami juga sedang mencari
sekolah swasta. Tidak. Tidak... Paman Frank mereka sedang berada di Swiss
bersama istrinya. Di hutan belantara. Tak bisa dihubungi."
Bel pintu depan berbunyi.
Nathan melompat untuk membukakan pintu tapi mengurungkannya.
Mungkin yang datang itu reporter lagi, ingin mengajukan pertanyaan yang itu-itu
juga. Sudah belasan kali ia dan Lindy dinterviu (diwawancarai-editor).
Dulu ia mengira pasti menyenangkan diwawancara untuk TV dan radio. Tapi
ternyata sama sekali tidak begitu. Apalagi kalau mereka dianggap aneh oleh
orang-orang. Mereka terpaksa diam di rumah, karena pihak sekolah sudah menolak mereka.
Dan mereka juga tidak punya teman untuk melihat mereka tampil di TV.
Sari Otak itu merusak seluruh hidupku, pikir Nathan getir. Sekarang semua orang
di dunia tahu tentang mereka.
Ia pergi ke lorong depan, mendengarkan ibu tirinya yang sedang berdebat
dengan wanita yang datang itu. "Tidak. Tidak bisa," katanya pada wanita itu.
"Kami tidak tertarik dengan minuman buah Sari Otak. Ya. Ya. Aku yakin perusahaan
Anda membuat minuman yang bagus dan sehat, tapi anak-anakku
tidak berminat menjual minuman di iklan TV."
Nathan kembali ke ruang santai Di tengah suara TV ia masih bisa mendengar ibu
tirinya berdebat dengan wanita itu.
"Siapa yang datang itu?" tanya Lindy dengan lesu.
"Orang yang ingin kita menjual sesuatu," keluh Nathan.
Kemarin seorang pria datang, mengatakan ingin menjadi agen mereka. Ia punya
rencana-rencana besar - produk sepatu merek Anak Pintar, permen Anak-Cerdas,
sereal Jagung Manis... mungkin malah film kartun untuk hari Sabtu pagi.
"Kita bisa kaya!" seru Nathan kemarin. "Dan terkenal."
"Iya, terkenal sebagai orang aneh," keluh Lindy "Orang-orang akan mengenali kita
dan mengejek kita. Kita tidak akan pernah menjadi anak-anak normal lagi."
"Tapi kita akan kaya," bantah Nathan.
Mata Lindy berkaca-kaca. "Aku.., aku cuma ingin bersekolah lagi," ratapnya,
"Aku ingin punya teman, lagi."
Orangtua mereka memutuskan untuk menunggu dan berhati-hati, serta tidak
menandatangani kontrak apa pun. Setidaknya sampai pertikaian dengan pihak
sekolah bisa diselesaikan.
Tapi orang-orang masih saja berdatangan. Reporter, agen, salesmen, anak-anak
yang minta dibantu membuatkan PR, orang-orang tak dikenal yang mengatakan mereka
perlu nasihat dari orang yang pintar.
Sore itu Nathan dan Lindy sedang mengajak Brenda bermain di pekarangan
belakang, ketika sebuah truk hitam berhenti di depan rumah. Dua pria jangkung
bersetelan gelap melangkah ke pintu depan.
Nathan menjatuhkan Frisbee-nya ke rumput dan mengikuti Lindy ke rumah,
untuk melihat apa yang diinginkan orang-orang itu.
"Mrs. Nichols, kami sudah bicara pada suami Anda tentang masalah tes itu,"
kata salah seorang pria tersebut.
"Tes?" Mrs. Nichols mengerutkan kening.
"Ya," sahut pria itu. "Kami dari lab riset universitas di pusat kota. Kami perlu
membawa kedua anak Anda ke lab, untuk mengikuti serangkaian tes. Tes
kecerdasan dan lain-lain"
Pria satunya menatap Nathan dan Lindy. "Kami cuma ingin tahu, seberapa
cerdas anak-anak Anda. Mungkin mereka bisa berguna untuk pemerintah.
Kalian ingin mengabdi pada negara, bukan?"
Nathan dan Lindy tidak menjawab, cuma memandangi kedua pria berwajah
serius itu. "Aku... entahlah." Ibu mereka ragu-ragu.
"Kami cuma meminjam mereka beberapa jam," kata salah satu pria itu. "Kami akan
memberikan tes tertulis, lalu mereka akan diwawancarai oleh beberapa orang
dokter. Dan akan ada pembedahan juga."
"Pembedahan?" seru Mrs. Nichols.
"Ya. Kami perlu mengambil sedikit contoh tisu otak."
16 "TIDAK mau!" Nathan dan Lindy berteriak berbarengan. Lalu mereka lari melintasi
pekarangan. "Hei. Frisbee-nya dilempar dong," seru Brenda.
Tapi Nathan dan Lindy tidak menoleh. Keduanya lari melompati pagar tanaman yang
membatasi pekarangan mereka dan pekarangan tetangga. Terus berlari.
Mereka melewati rumah-rumah tetangga, lalu berbelok tajam dan mengarah ke bagian
belakang. Nathan mendengar kedua pria itu memanggil-manggil mereka.
Ia merunduk dan menerobos sebuah lubang sempit di pagar tetangga.
Tanpa memelankan laju lari dan tanpa berkata-kata, ia dan Lindy terus lari
menerobos pekarangan-pekarangan belakang, melewati sebuah gang sempit,
lalu menyeberangi jalan yang menuju jalan utama di kota. Terus melintasi
pekarangan-pekarangan belakang lagi.
Akhirnya, empat-lima blok dari rumah, mereka berhenti dengan napas terengahengah. Nathan membungkuk dan tangannya bertumpu di lututnya, sambil
berusaha menarik napas.

Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di mana kita sekarang?" tanya Lindy dengan megap-megap. "Apa kedua orang itu
masih mengejar kita?"
Nathan melayangkan pandang. "Kurasa tidak." Ia merasa mengenali rumah
kelabu di depan mereka. "Hei... itu kan rumah Wardell."
Mereka cepat-cepat lari ke pintu belakang rumah itu.
Nathan menggedor-gedor jendelanya. "Hei, ada orang di rumah?"
Tak lama kemudian Wardell membuka pintu. Ia tampak heran. "Hei, ada apa?"
tanyanya. "Boleh kami masuk?" tanya Lindy terengah-engah. Ia menoleh ke belakang.
"Mungkin ada yang mengejar kami"
"Yah... " Wardell mundur memberi jalan. Ellen dan Stan sedang duduk di depan
meja dapur yang penuh buku dan kertas. Keduanya juga tampak kaget.
"Kunci pintu!" kata Lindy pada Wardell.
"Ada apa sih?" tanya Wardell.
Nathan angkat bahu. Ia membuka ritsleting jaketnya. Meski udara dingin,
dahinya basah oleh keringat.
"Kami mesti mengungsi," kata Lindy. "Keadaan di rumah kami agak kacau saat ini."
Mereka berjalan ke meja. "Sedang apa kalian?" tanya Nathan sambil memandangi kertas-kertas dan buku-buku
itu. Hening sejenak. "Belajar untuk ulangan sejarah," sahut Ellen akhirnya. "Susah sekali. Bahannya
meliputi seluruh semester."
Stan membuat balon dengan permen karetnya, lalu menelannya lagi. "Kalian
akan sekolah lagi?" tanyanya.
"Mungkin," sahut Nathan.
"Entah ya," kata Lindy.
Hening lagi. Nathan memasukkan kedua tanganriya ke saku. "Eh... bagaimana kabar di
sekolah?" tanyanya. "Biasa saja," kata Wardell. Ia masih juga memandangi mereka, seolah mereka orang
planet. "Begitu-begitu saja," gumam Ellen.
"Aku melihat kalian di siaran berita," kata Stan. "Lumayan." Ia tampak malu.
"Sebenarnya... maksudku... menurutku kalian diperlakukan tidak adil."
"Yeah. Aku juga berpendapat begitu," kata Ellen pelan sambil menunduk
memandangi meja. "Kami benar-benar ingin sekolah lagi," kata Lindy pada mereka.
"Aku heran Mrs. Lopez berbuat begitu," kata Ellen sambil geleng-geleng
kepala. "Mau minum Coke?" tanya Wardell sambil beranjak ke kulkas. "Aku juga
punya jus apel. Gatorade."
"Kami ingin pinjam telepon untuk menghubungi rumah," kata Nathan sambil
memandang ke luar jendela dapur.
"Yeah. Boleh," sahut Wardell. Ia menunjuk telepon di tembok dapur. "Aku...
eh.. ." Ia ragu-ragu.
Lindy dan Nathan menunggu.
"Sori kalau aku suka iseng pada kalian di sekolah," gumam Wardell dengan
nada cepat. "Aku tidak bermaksud apa-apa. Sungguh. Aku cuma iseng."
"Tidak apa-apa," kata Nathan. "Bukan salahmu kami dikeluarkan dari sekolah."
Suaranya sedih. Mendadak ia merasa begitu tertekan dan sedih.
Senang rasanya bisa berada bersama teman-teman dan menjadi normal lagi,
pikirnya. Bagaimana kalau kedua orang itu benar-benar membawa aku dan Lindy ke lab
mereka dan membedah otak kami"
Ia mengambil telepon dan menghubungi rumahnya. Ibu Lindy menjawab pada
deringan kedua. "Nathan, kau di mana?" tanyanya. "Apa Lindy ada
bersamamu?" "Kami ada di rumah Wardell," sahut Nathan. "Apa mereka sudah pergi" Orang-orang
dari lab itu?" "Tehtu saja sudah," sahut ibu Lindy. "Aku menyuruh mereka pergi."
"Jadi jadi mereka tidak akan membedah otak kami?"
"Tidak. Tidak akan ada yang mengapa-apakan otak kalian," sahut ibu Lindy.
"Kenapa kalian kabur begitu" Kalian mestinya tahu, aku tidak akan membiarkan
kalian dibawa pergi."
"Aku. .. kurasa kami cuma panik," kata Nathan terbata-bata. Lalu ia
membalikkan tubuh. Wardell, Stan, dan Ellen sedang memandanginya
"Kami akan segera pulang," kata Nathan pada ibu tirinya.
"Ya. Cepatlah," sahut ibu Lindy. "Aku ingin kalian menolong menjaga Brenda.
Dad dan aku mesti bertemu dengan dewan sekolah."
"Oke. Sebentar lagi kami pulang." Nathan menutup telepon "Semuanya beres,"
katanya pada Lindy "Mereka sudah pergi. Ayo pulang."
Ia beranjak ke pintu. "Trims, Wardell."
"Sampai ketemu," sahut Wardell.
"Coba kami bisa belajar dengan kalian," kata Lindy dengan sedih.
"Sampai jumpa," seru Ellen.
"Yeah Sampai jumpa," Stan dan Wardell berkata berbarengan.
Setelah memakai jaket, Nathan dan Lindy keluar dan berlari-lari kecil melewati
gang-gang dan pekarangan-pekarangan belakang.
Setengah jalan ke rumah, mereka dihadang oleh dua makhluk asing yang
muncul dari balik sebuah pagar tanaman.
17 NATHAN terenyak ketika kedua makhluk itu maju menghampirinya. Lindy
hampir menabrak mereka, karena ia berlari sambil menunduk.
Nathan menyambar lengannya dan menariknya supaya berhenti.
Lindy mengangkat wajah... dan menjerit ngeri.
Nathan juga ingin menjerit... tapi tak bisa.
Mereka... jelek sekali! pikirnya. Belum pernah aku melihat makhluk sejelek itu.
Kedua makhluk hijau besar itu mendekat. Mata mereka yang kuning bersinar
basah. Mulut mereka mengerut-membuka karena senang. Tampak empat deret
gigi yang tajam ketika mereka membuka mulut. Sulur mereka yang basah dan
berkilauan membuka dengan cepat dan terjulur hendak menarik Nathan dan
Lindy. Di ujung sulur-sulur itu ada katup berwarna ungu yang menjijikkan,
membuka dan menutup seperti mulut.
Makhluk yang lebih jangkung mempunyai gading melengkung. Ia menjilatnya
dengan dua lidah ungu yang gemuk. Makhluk yang lebih gendut melompatlompat di kakinya yang pendek, perutnya yang hijau menampar-nampar rumput.
"Si... siapa kalian?" tanya Nathan akhirnya. "Apa kalian... memakai kostum?"
Lindy merapat kepada Nathan, matanya terbelalak ketakutan. Keduanya
memandangi tetesan keringat yang meluncur di tubuh hijau kedua makhluk itu,
jatuh ke rerumputan. "Buat apa kami pakai kostum?" tanya yang lebih gemuk sambil menoleh pada
rekannya. Makhluk yang mempunyai gading menggelengkan kepala. "Kami bukan berasal
dari planet kalian," katanya, mata kuningnya terarah pada Nathan. "Jadi, bentuk
kami beda dengan kalian."
"Untungnya begitu," gumam rekannya.
Lindy ternganga. "Ini cuma lelucon, kan?" bisiknya pada Nathan. "Tolong..."
Nathan memandang lurus ke depan. Dengan gemetar ia mengamati kedua
makhluk yang melompat-lompat dan berkeringat itu. "Ini bukan lelucon,"
bisiknya pada Lindy. "Mereka... sungguhan."
Nathan menarik napas panjang. "Kami mesti pulang," katanya pada kedua
makhluk itu. Dicobanya supaya terdengar berani. Tapi suaranya gemetar juga.
"Tidak. Kalian tidak boleh pulang," kata makhluk yang jangkung. Kedua
lidahnya menjilati gading-gadingnya.
"Apa maksudmu?" seru Lindy ketakutan. "Kalian mau apa" Siapa kalian?"
"Kami adalah majikan kalian yang baru," sahut makhluk yang jangkung dengan mulut
sebelah atasnya. "Kalian akan menjadi budak bagi raja kami," kata makhluk yang lebih gemuk.
"Budak?" Nathan melongo, sementara pikirannya berkecamuk. "Ini cuma
lelucon, kan" Benar?"
"Kami tidak pernah bercanda," makhluk yang jangkung menjawab dingin.
"Kalau kalian datang dari planet lain, kenapa kalian bisa bahasa kami?" tanya
Lindy curiga. "Bahasa kalian adalah bahasa primitif yang masih kasar," sahut makhluk yang
jangkung dengan mengejek. "Kami cuma perlu satu-dua jam untuk
mempelajarinya. Bahasa kalian sederhana sekali. Dalam bahasa kami ada tujuh
ratus huruf." "Untuk halo saja kami punya empat ratus kata," si gemuk membual.
"Mereka pasti bercanda, ya?" bisik Lindy.
Nathan tidak menjawab. Jantungnya berdebar kencang. Perutnya mulas oleh
rasa takut. "Aku tidak percaya," katanya kemudian. "Pokoknya aku tidak percaya."
Si gemuk menoleh pada rekannya.
"Buktikan saja," sahut rekannya. "Buktikan pada mereka bahwa kita memang
berasal dari planet lain."
Nathan tercekat ketika si gemuk menjulurkan salah satu sulurnya ke pohon di
belakang mereka, mengambil seekor burung yang sedang bertengger disitu.
Burung itu bercericit pelan. Si makhluk gemuk mendekatkan burung itu ke
mulut bawahnya, lalu memakannya.
"Iiih, memuakkan!" Lindy mengerang dan membenamkan wajahnya di jaket
Nathan "Perlu bukti lain?" tanya makhluk yang jangkung. Ia tidak menunggu mereka
menjawab. Dengan satu gerakan cepat ia mencambukkan sulurnya yang panas dan basah ke arah
Lindy, lalu menariknya ke mulutnya yang terbuka.
18 "TIDAAAK!" Lindy menjerit ketakutan. Suaranya bergema di pekaranganpekarangan belakang. "Tolong!" teriak Nathan. "Tolong kami!"
Ia menyerbu kearah Lindy dan menyambar sulur yang menjepit Lindy. Ditariktariknya sulur itu sekuat tenaga.
Tapi tangannya tergelincir di kulit yang basah dan berkeringat itu.
Pelan-pelan sulur itu mengendur dan melepaskan Lindy.
Lindy terhuyung mundur, lalu jatuh berlutut.
"Bangunlah. Dan jangan menjerit-jerit begitu... Kami tidak akan memakan
kalian," kata si jangkung.
"Saat ini belum," si gemuk menambahkan sambil tertawa kecil dan melompatlompat membal seperti anjing laut.
"Kami tidak mau Cairan Pengaktif Otak milik kami terbuang sia-sia. Sekarang
kalian sudah pintar, dan kami tidak akan memakan kalian."
"Apa?" seru Nathan dengan tersengal. Keringat makhluk itu menempel di kedua
tangannya, dan ia m?nyapukannya di kaki celananya.
"Otak... apa?" tanya Lindy sambil bangkit pelan-pelan. Sulur itu meninggalkan
bekas lebar yang basah di mantelnya.
"Ramuan yang kami berikan pada kalian," sahut si jangkung. "Supaya kalian lebih
pintar." "Tapi Paman Frank...," kata Lindy.
Kedua makhluk itu menggeleng. "Dia cuma memberi kalian sari anggur. Tapi
kami memberikan yang sebenarnya."
"Tapi... kenapa?" tanya Nathan.
"Supaya kalian jadi cerdas, sehingga bisa menjadi budak untuk raja kami. Raja
kami ingin budak-budaknya gesit dan pintar. Dia tidak percaya manusia bisa cukup
cerdas untuk dijadikan budak. Maka dia mengirim kami kemari, untuk
menyelidiki apakah itu mungkin."
"Kalau percobaan dengan kalian berhasil, kami akan kembali ke planet ini,"
sahut si gemuk. "Dan kami akan mengambil ribuan budak dari sini."
"Namaku Gobbul," kata makhluk yang mempunyai gading. "Dan ini rekanku
Morggul. Kami akan menjadi tuan kalian, sampai kalian kami serahkan pada
sang raja." Tidak, pikir Nathan sambil memandangi kedua makhluk jelek itu. Tidak.. tidak..
. tak mungkin ini benar-benar terjadi.
"Kalian mesti ikut ke pesawat kami," perintah Gobbul. Ia menunjuk ke arah hutan.
Katup-katup ungu di sulur-sulurnya mengeluarkan embusan udara berbau asam.
"Perjalanan ke planet kami lama sekali. Kita mesti berangkat sekarang juga."
Tidak... tidak... pikir Nathan
Ia menoleh pada Lindy. Lindy meremas lengan Nathan tanpa menyadarinya.
Seluruh tubuhnya gemetar ketakutan.
Tidak... ini tak boleh terjadi.
Cepat berpikir, perintah Nathan pada dirinya sendiri. Pikirkan rencana yang
bagus untuk kabur dari kedua makhluk ini.
Ia menarik napas panjang dan berbisik pada Lindy, "Lari!"
Lindy mengangguk. Mereka langsung ambil langkah seribu.
19 NATHAN lari sekitar tiga langkah, tapi tahu-tahu dijerat oleh sulur makhluk itu.
"Tidaaak!" Ia menjerit marah dan jatuh tersungkur.
Sulur itu menjerat kakinya.
Nathan mendarat di siku dan lututnya. Rasa sakit menjalari seluruh tubuhnya,
tapi ia tidak merasakannya dan langsung berguling telentang.
Ditendangkannya kedua kakinya hingga lepas dari jeratan sulur itu. Lalu ia
berdiri lagi dan sambil terengah-engah ia melompati sebuah semak-semak
pendek dan terus berlari.
Ia melihat Lindy lan di depan sana, menginjak petak-petak bunga yang mati karena
musim dingin, melompati pagar pendek, dan masuk ke sebuah gang
sempit. Rambutnya berkibar-kibar, dan ia terus lari tanpa menoleh.
Tiba di pekarangan belakang mereka, keduanya terengah-engah, kaki dan perut
mereka sakit. Ibu Lindy sedang berdiri di undak-undak belakang. Satu tangannya memegang kunci
mobil, satunya lagi bertolak pinggang. "Kenapa lama sekali?" bentaknya.
"Kami... kami... " Nathan berusaha bicara, tapi paru-parunya seperti akan
meledak. "Sudah kubilang aku sedang terburu-buru. Sudah kubilang aku minta kalian
menjaga Brenda," kata Mrs. Nichols dengan marah.
"M.. monster!" seru Lindy.
"Ada dua makhluk planet," kata Nathan dengan tersengal. "Mereka mau
menculik kami." Mrs. Nichols mendengus dan menggelengkan kepala. "Cari alasan yang lebih
bagus!" katanya. "Mom... dengar!" Lindy memohon. "Kami dapat masalah. Kami..."
"Aku tahu kalian sedang mendapat masalah," sela ibunya. "Itu sebabnya aku mesti
bicara dengan dewan sekolah." Ia menunjuk ke arah rumah. "Cepat
masuk! Brenda sudah menunggu. Dan aku sudah terlambat.
"Tapi... ," protes Lindy.
Tapi ibunya sudah masuk ke dalam mobil.
"Mom... kami tidak bercanda!" ratap Lindy.
"Mereka ingin membawa kami" seru Nathan.
Mrs. Nichols mengucapkan sesuatu dari balik jendela mobil, tapi suaranya tidak
kedengaran. "Dengarkan kami!" pinta Lindy.
Tapi ibunya sudah memundurkan mobil.
Sambil mendesah Nathan membuka pintu dapur, masuk ke rumah, dan
mengunci pintu. Dapur itu harum oleh wangi cokelat. Mom pasti baru membuat kue, pikir
Nathan. "Brenda, kau di mana?" panggilnya.
"Di sini!" Nathan hendak mengikuti arah suara itu ke ruang tamu, tapi Lindy menahannya
"Kita mesti bagaimana?" bisiknya panik.
Nathan angkat bahu. "Entahlah. Kita mesti berpikir. Tapi jangan sampai Brenda
ketakutan." Lindy mengangguk setuju "Mungkin kita bisa membujuknya untuk nonton
video. Jadi, kita bisa berpikir, membuat rencana, atau menghubungi seseorang
untuk membantu kita."
Mereka masuk ke ruang tamu. Brenda sedang telungkup di lantai, dikelilingi
boneka-boneka Barbienya. "Kalian dari mana?" tuntutnya "Aku ingin kalian
menemaniku main boneka."
"Kami.. ." Nathan ragu-ragu.
"Kau mau nonton video baru, tidak?" tanya Lindy. "Tentang gadis kecil yang


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pindah ke..." "Tidak" sela Brenda "Sudah kubilang aku mau main boneka."
"Tapi Lindy dan aku..."
Tahu-tahu terdengar suara keras, dan Nathan langsung tahu suara apa itu.
Suara pintu dapur yang dihantam terbuka.
"Apa itu?" teriak Brenda.
Tak ada waktu untuk menjawab.
Kedua makhluk planet itu masuk ke dalam. Mata kuning mereka memandangi
Nathan dan Lindy. Mata itu sangat dingin. Mulut mereka merengut mengejek.
"lih!" seru Brenda. "Siapa mereka?"
"Hei, budak, kalian mesti ikut kami," kata Gobbul dengan suara menggelegar.
"Kami tidak mau mehgejar-ngejar kalian di seantero planet ini."
"Tidak!" Lindy menjerit.
"Kami tidak mau ikut!" teriak Nathan. "Tidak!"
Gobbul mendesah. "Kurasa kami terpaksa mesti membujuk kalian." Ia
mengganguk pada Morggul. Morggul bergerak cepat. Ia langsung melompat melintasi ruangan dan
mengangkat Brenda dari lantai dengan dua sulurnya.
"Turunkan aku!" teriak Brenda sambil menendang-nendang, mencoba
menghantam makhluk itu. "Tolong aku! Nathan! Lindy! Suruh dia menurunkan
aku!" Nathan bergerak hendak menolong Brenda. Tapi Gobbul mengayunkan satu
sulurnya ke leher Nathan dan menjeratnya.
Nathan terhenti, berusaha untuk bernapas.
"Kau mau apa?" jerit Lindy.
"Membujukmu supaya mau ikut dengan sukarela," Gobbul menyahut tenang.
Lalu ia berpaling pada Morggul. "Makanlah si kecil itu," katanya.
Morggul menjulurkan lidah dengan lapar. Liur kental menetes ke lantai. "Ya,
bagus!" katanya. "Sisakan satu kakinya untukku," kata Gobbul. "Kau tahu aku suka kaki."
Brenda menjerit-jerit. Morggul mengangkatnya dengan mudah dan menurunkannya ke dekat
wajahnya, mulutnya membuka lebar . semakin lebar.
"Stop!" teriak Nathan "Stop!"
"Jangan makan dia," kata Lindy. "Kami akan ikut dengan kalian. Kami janji tidak
akan lari. Tapi jangan makan dia."
Senyum kejam terpampang di kedua mulut Gobbul. "Sudah terlambat,"
bisiknya. 20 Bagian dalam pesawat makhluk itu berwarna keperakan dan sangat terang,
hingga Nathan dan Lindy mesti menudungi mata mereka ketika baru
memasukinya. Sambil memicingkan mata, Nathan melihat belasan kotak kecil di pesawat itu.
Seperti kotak tempat tinggal lebah, pikirnya.
Sebelum ia bisa melihat lebih jelas, Gobbul dan Morggul sudah mendorong
mereka ke sebuah kotak kecil. Jeruji keperakan yang berkilauan membentuk
tembok-tembok, lantai, dan langit-langit. Lalu terdengar suara pintu dikunci.
"Ini kandang," kata Lindy dengan kaget. "Mereka mengurung kita di dalam
kandang." Kedua makhluk itu menghilang ke sebuah lorong keperakan. Nathan dan Lindy
bersandar di tembok kandang, menunggu sampai mata mereka bisa
menyesuaikan diri, dan sampai jantung mereka tidak berdegup kencang lagi.
"Pesawat ini akan segera mengangkasa," bisik Lindy. "Kita tidak akan melihat
rumah dan orangtua kita lagi. Juga teman-teman kita. Atau siapa pun." Ia
terisak. Nathan menggeleng dengan sedih "Setidaknya kita berhasil menyelamatkan
Brenda." "Makhluk gendut menjijikkan itu sudah menelan kepala Brenda," kata Lindy
dengan ekspresi muak. Tubuhnya gemetar. "Sedikit lagi saja dan..."
"Dan dia akan menggigit kepala Brenda," sambung Nathan "Kalau kita tidak
memohon-mohon dan berjanji akan menjadi budak yang baik..." Suaranya
makin pelan. Lindy mengerang. "Aku merasa muak. Sungguh. Waktu dia melepaskan Brenda
dari mulutnya dan aku melihat kepala Brenda tertutup lendir kuning itu.
Rambutnya lengket dan menempel di kepalanya"
"Sudah," bentak Nathan. "Kita kan sudah menyelamatkan dia. Sekarang.
bagaimana dengan kita?"
"Yeah" Lindy mendesah sambil berpegangan pada jeruji kandang "Bagaimana
dengan kita?" "Kita mesti cari jalan keluar dari sini," bisik Nathan "Kalau pesawat ini
berangkat, kita tidak akan melihat rumah lagi."
Ia melayangkan pandang di kandang yang berkilauan itu "Aku... aku bahkan
tidak tahu di mana pintunya," katanya terbata-bata
Lindy memandang ke luar. "Yang kulihat cuma kandang di mana-mana,"
ratapnya "Kandang-kandang yang saling bertumpukan"
Nathan menyapukan tangannya sepanjang jeruji itu. "Tunggu" serunya. "Kurasa aku
sudah menemukan pintu kandangnya"
Ia menarik dan mendorong dan menggeser. "Tak bisa kugerakkan," keluhnya.
"Mungkin kalau kita sama-sama mencoba mendorongnya... ," usul Lindy.
"Ini terbuat dari logam padat," kata Nathan. "Dan dikunci. Dan aku tidak tahu di
mana lubang kuncinya."
Lindy berseru ketakutan. "Kita mestinya sudah jadi jenius, kan?"
Nathan mengangguk. "Ya. Kita tahu kita sangat pintar."
"Jadi, mestinya kita bisa mencari jalan."
Nathan melongok dari balik jeruji gemerlapan itu dan melihat Gobbul sedang
memandanginya. "Sebentar lagi kita berangkat," kata makhluk itu. "Cobalah santai
sedikit. Dan jangan bicara keras-keras. Aku dan Morggul bisa mendengar
percakapan kahan dari dek kontrol."
"Lepaskan kami," pinta Lindy. "Tolonglah."
"Kami tidak akan bisa menjadi budak yang bagus," seru Nathan "Rajamu tidak akan
senang. Dia akan sangat marah. Aku dan Lindy bukan anak manis."
Tapi Gobbul sudah, kembali ke dek kontrol.
Sambil berpegangan pada jeruji kandang, Nathan dan Lindy mendesah sedih.
"Kita mesti kasih alasan apa." desah Nathan. "Yang tadi itu sama sekali tidak
meyakinkan" "Ayolah," kata Lindy "Berpikirlah. Kita kan jenius. Mestinya kita bisa pakai
otak kita untuk kabur."
Ia menatap Nathan dengan tajam.
Nathan balas menatapnya. "Ya. Otak kita," katanya. "Itu sebabnya mereka ingin
membawa kita, bukan" Karena otak kita?"
Lindy mengangguk. Mereka berdiam diri. Lama, sambil memandangi kotak keperakan di depan
mereka. Lalu keduanya saling pandang.
"Pikir ," gumam Lindy. "Pikirkan sesuatu."
"Wow," kata Nathan sambil geleng-geleng kepala "Aku... aku tidak bisa
berpikir. Tidak punya rencana satu pun."
"Aku juga," kata Lindy "Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Otakku
seperti keberatan beban."
Nathan menelan ludah. Matanya terbelalak lebar saat ia berpaling pada Lindy.
"Sari Otak itu. .. kurasa efeknya mulai pudar," serunya.
Nathan mencengkeram jeruji kandang yang mulai bergoyang-goyang.
Terdengar suara derum di bawahnya, lalu seluruh pesawat itu bergetar.
"Kita berangkat!" serunya "Sekarang bagaimana?"
20 "MUNGKIN kita bisa mengakali mereka kalau sudah sampai," kata Lindy
dengan suara gemetar. "Mungkin kita bisa meyakinkan mereka untuk
memulangkan kita." "Bagaimana caranya?" tanya Nathan lemah. Ia menempelkan dahunya di jeruji yang
keperakan "Aku tidak merasa pintar lagi, Lindy Aku sama sekali tidak bisa
berpikir jernih." "Aku juga sama," kata Lindy. "Tapi ini mungkin karena kita ketakutan.
Mungkin kalau kita tenang..." Suaranya makin pelan.
"Mereka mengharapkan kita ini super cerdas," kata Nathan sedih. "Bagaimana kalau
mereka tahu kita tidak pintar?"
Lindy tidak sempat menjawab Morggul sudah muncul di depan mereka. Kulitnya yang hijau bersinar basah
dalam cahaya terang itu. "Gobbul dan aku bisa mendengar kebohongan kalian,"
geramnya "Ramuan kami adalah yang terbaik di alam raya. Efeknya tak
mungkin pudar." "Tapi kenyataannya begitu," kata Nathan. "Otak kami..."
"Diam, budak!" .perintah Morggul. "Kalian tak bisa membodohi kami." Ia
menyodorkan setumpuk kertas pada mereka.
Nathan mengambilnya. "Apa ini?" tanyanya.
"TTS,". sahut Morggul. "Perjalanan kita lama. Kalian perlu menyibukkan otak."
Nathan memandangi tumpukan kertas itu. "TTS" Dari mana kalian tahu kami
suka TTS?" "Kami sudah mengamati kalian dengan saksama," sahut Morggul. Ia
menyodorkan beberapa batang pensil dengan sulurnya pada Nathan. "Aktifkan otak
kalian," perintahnya "Sang raja ingin semua budaknya cerdas."
"Tapi... tapi...," kata Nathan.
"Kau membuat kesalahan besar," seru Lindy. "Kembalikan kami ke bumi. Kami tak
bisa menjadi budak. Kau tidak boleh berbuat begini."
Morggul tidak menjawab. Ia berbalik dan kembali ke dek kontrol.
"Dia... dia tidak percaya pada kita," keluh Nathan "Dia menolak percaya bahwa
Sari Otak itu sudah tidak berfungsi."
"Kita mesti bagaimana?" ratap Lindy.
Nathan memandangi pertanyaan TTS yang pertama dan membacakannya pada
Lindy. "Lawan kata pergi," katanya. "Enam huruf."
Lindy menggosok-gosok dagunya. "Hmmm.. ." Ia berpikir... lama. "Apa tadi
pertanyaannya" Aku lupa."
Nathan membacakannya lagi. "Lawan kata pergi. Susah ya... ?"
"Lompati saja. Yang berikutnya," usul Lindy.
"Binatang yang mengeong," kata Nathan "Enam huruf."
Mereka berpikir sambil berdiam diri.
"Coba tulis anjing," kata Lindy akhirnya. "Pasti pas."
Nathan menuliskannya. "Tulisnya di kotak yang putih atau yang hitam?"
tanyanya. "Kurasa yang putih," sahut Lindy.
"Tapi... pensilnya tidak bisa dipakai menulis!" seru Nathan.
Lindy menyipitkan mata padanya "Kau terbalik memegangnya," katanya. "Kau
menulis dengan bagian setipnya."
"Masa?" Nathan memandangi pensil itu lama sekali. "Setip itu apa sih?"
tanyanya. Mereka saling pandang dengan terbelalak. Nathan menjatuhkan pensil dan TTS
itu ke lantai. "Kita... jadi bodoh lagi," katanya.
Lindy merinding, lalu mengerang pelan. "Ya. Sari Otak itu sudah tidak
berfungsi. Dan sekarang kita malah jadi lebih bodoh."
Nathan menggeleng-gelengkan kepala dengan ekspresi ketakutan.
"Bagaimana kita bisa kabur" Kita terlalu bodoh untuk membuat rencana apa
pun." Lindy menelan ludah. "Bagaimana kita bisa bertahan hidup?"
22 MEREKA duduk di lantai sambil memandang kosong ke tembok. Mendadak
Gobbul dan Morggul muncul "Kita sudah mendarat," kata Gobbul.
Nathan dan Lindy menggeleng-gelengkan kepala, seperti mencoba terbangun.
"Kami kok tidak merasa," gumam Lindy "Aku tidak mendengar apa-apa."
"Berapa lama perjalanan kita?" tanya Nathan. "Aku tidak tahu jam lagi."
Lindy melihat arlojinya. "Kurasa benda ini berguna untuk mengetahui waktu,"
katanya pada Nathan. "Tapi aku tidak ingat caranya."
Nathan menarik tangan Lindy dan mendekatkan arloji itu ke wajahnya. "Mana jarum
besar dan mana jarum kecilnya?" tanyanya
"Kita tidak punya waktu untuk semua kekonyolan ini," kata Gobbul tak sabar.
"Kami tahu kalian sangat pintar." Ia menempelkan satu sulurnya di bagian
depan kandang. Terdengar suara klik keras. Dan suara dengung. Lalu kandang itu terbuka.
Kedua makhluk itu bernapas keras, katup di ujung sulur mereka berdenyutdenyut, membuka dan menutup dengan cepat.
"Aku tegang sekali," kata Morggul.
"Sebab kami akan mempersembahkan kalian pada raja kami," kata Gobbul.
"Kami juga tegang," sahut Nathan. Ia menyipitkan mata. "Raja itu apa sih?"
Lindy menggaruk-garuk kepalanya. "Rasanya dulu aku tahu kata itu: Coba beri
petunjuk." "Jangan berlama-lama lagi," geram Gobbul. "Keluar dan ikuti kami. Pesawat ini
sudah mendarat di bawah istana sang raja,"
"Di bawah?" tanya Nathan. "Di bawah itu di sebelah mana ya?"
"Diam!" bentak Gobbul "Ingat, kalian ini budak. Kalian hanya bicara kalau diajak
bicara." "Tapi... kami mesti mengerjakan apa?" tanya Nathan dengan suara nyaring
karena panik. "Sebagai budak pribadi Raja, kalian akan mengerjakan matematika untuk
beliau," sahut Gobbul. "Juga semua hitungan yang sulit-sulit. Kalian akan..."
"Matematika" Maksudnya angka-angka?" tanya Lindy.
"Tentu saja," seru Gobbul tak sabar.
"Tapi kita terlalu bodoh untuk mengerjakan angka-angka!" bisik Nathan pada
Lindy. "Sssh." Lindy menaikkan satu jarinya ke bibir. "Mungkin kita bisa pura-pura."
Morggul menoleh pada Gobbul. "Kenapa mereka jadi begini?"
"Mereka cuma ketakutan," sahut Gobbul. "Jangan dihiraukan. Kita tahu mereka
pintar sekali. Raja akan melihat nanti."
"Ini penerjemah kalian," kata Morggul. Ia mengalungkan sebuah rantai perak di
leher Nathan dan Lindy. "Supaya kalian mengerti bahasa kami."
"Cepat," perintah Gobbul. "Ikut kami. Kalian mesti dibersihkan dulu."
"Ha" Dibersihkan?" Nathan tercekat.
Mereka dibawa menyusuri sebuah lorong panjang keperakan. Segalanya seakan dibuat
dari krom dan cermin. Semuanya bersinar terang.
Langkah mereka bergema keras saat mereka berjalan. Nathan dan Lindy mesti
bergerak cepat untuk mengimbangi kedua makhluk itu.
Mereka berhenti di depan sebuah pintu ganda mengilap. Kedua pintu itu
membuka, dan mereka masuk ke dalam sebuah kotak keperakan.
"Lift ini akan membawa kita ke ruang pembersihan," kata Gobbul. "Ingat,
kalian ini budak. Kalian tidak boleh bicara pada siapa pun."
Lalu kedua pintu menutup dan lift itu mulai naik dengan cepat.
"Tidak akan ada yang percaya kalau nanti melihat dua makhluk ini," kata
Morggul dengan mengejek. "Cuma punya dua lengan dan satu mulut."
"Ya , mereka menjijikkan untuk dilihat," sahut Gobbul "Tapi mereka bisa menjadi
budak yang bagus" Pintu lift membuka Nathan dan Lindy dibawa ke sebuah lorong yang lebih
terang lagi. Begitu terang, sampai-sampai Nathan mesti memejamkan mata.
Rasa takut dan panik meliputi dirinya. Hanya dengan susah payah ia bisa
menarik napas. Kami berada di planet lain, pikirnya.
Kami diculik. Untuk dijadikan budak. Lorong itu melebar menjadi sebuah ruangan luas Tembok-temboknya berupa
kotak-kotak seperti kotak TTS. Ratusan jumlahnya.
Itu pintu atau jendela" pikirnya.
Sulur-sulur hijau meliuk keluar dari banyak kotak itu.
"Seluruh tembok itu seperti hidup," bisik Nathan pada Lindy.
Lindy memandangi sulur-sulur di kotak-kotak itu dengan ternganga.
"Kenapa mereka begitu" Apa mereka tinggal di balik kotak-kotak itu?"
Sejumlah makhluk hijau - yang bentuknya seperti Morggul - lewat dan menatap
kaget pada Nathan dan Lindy.
"Makhluk apa itu" tanya salah satu makhluk dengan heran.
"Mereka itu manusia," sahut Gobbul sambil mendorong Nathan dan Lindy ke
depan: "Uh," kata salah satu makhluk:
"Wajah mereka seram," kata satu makhluk lain.
"Cepat," desak Gobbul pada kedua anak yang ketakutan itu. "Raja tidak boleh


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibiarkan menunggu."
Mereka melewati sebuah tembok kotak-kotak lagi. Sulur-sulur hijau meliuk
keluar dari dalamnya. Di kejauhan Nathan mendengar musik yang aneh, seperti dengung lebah
bercampur bunyi gergaji listrik membelah kayu.
"Ini dia ruang pembersihan," kata Gobbul dengan tajam. "Belok kanan."
Nathan berhenti dan menoleh sana-sini dengan kebingungan. "Kanan itu
sebelah mana?" tanyanya.
Lindy mengangkat kedua tangannya dan memandanginya bergantian. "Satu
tanganku kanan, satu lagi kiri," gumamnya. "Tapi mana yang kanan dan mana yang
kiri?" "Hentikan. Lewat sini!" seru Gobbul. Ia mendorong mereka ke sebuah ruangan besar
dan terang. Meja-meja perak yang panjang disusun di tengah ruangan.
Sepanjang tembok, makhluk-makhluk hijau sibuk mengoperasikan sebuah
mesin listrik yang aneh. Tembok itu panjang sekali dan semua makhluk hijau itu tampak sibuk.
Gobbul mendekati satu makhluk jangkung yang memiliki gading dan
mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak dimengerti Nathan.
Setelah itu, Gobbul menoleh kembali pada Nathan dan Lindy. "Sang Raja ingin
segera melihat kedua budaknya yang baru," katanya. "Tapi kalian mesti
dibersihkan dulu, supaya layak dibawa menghadap."
Dua makhluk gendut seperti singa laut menarik slang-slang panjang dan
tembok. Nathan dan Lindy tercekat melihatnya Slang- slang itu besar dan lebar, seperti
slang pemadam kebakaran. Di ujungnya ada semprotan besar berwarna perak,
sebesar kotak makanan. "I... itu... buat... apa?" tanya Nathan.
"Bagian dalam kalian mesti dibersihkan," sahut Gobbul. Ia memberi isyarat pada
kedua makhluk itu "Buka mulut kalian," perintah Gobbul."Kita mesti melakukan pembersihan di
dalam." Nathan tertegun ngeri "Slang-slang itu akan dimasukkan ke mulut kami?"
"Mungkin agak tidak menyenangkan," sahut Gobbul. "Tapi setelah sekitar
setengah jam, kalian akan terbiasa."
23 "TIDAK!" teriak Nathan. Kedua makhluk itu menyeret slang tersebut lebih dekat.
"Kami akan tercekik," seru Nathan.
Ia menyambar pergelangan tangan Lindy dan berbalik.
Tanpa sadar mereka lari melewati meja-meja keperakan itu, ke tengah ruangan, di
antara makhluk-makhluk planet yang ternganga.
"Whump whump whummp!" Seruan-seruan marah terdengar di ruangan luas itu.
Makhluk-makhluk itu berteriak dan menunjuk-nunjuk dari jalur jalan di langitlangit. Nathan menoleh dan melihat Morggul serta Gobbul mengejar mereka.
Nathan menarik Lindy keluar dari ruangan itu, masuk ke lorong yang bercahaya
sangat terang, hingga matanya berair.
"Kita mau ke mana?" seru Liridy dengan suara pelan terengah.
"Entah ya," kata Nathan. "Aku tidak bisa melihat."
"Ohh." Ia merasa sesuatu melingkari kakinya.
Semacam tali" Sulur tanaman" Ular" Lalu satu lagi melingkari pinggangnya.
"Tidaaak!" Ia menjerit dan meronta-ronta.
Tapi ia terperangkap. Ketika menoleh, ia melihat Lindy dicekal di tembok yang
bersinar. Ditahan oleh...
Sulur-sulur panjang hijau.
Sulur-sulur itu muncul dari kotak-kotak di tembok. Katup-katup ungu
membuka-menutup dengan cepat, meniupkan napas yang panas dan asam di
sekitar mereka. Gobbul dan Morggul melangkah cepat dengan sulur terayun-ayun di udara.
Keempat mulut mereka merengut marah.
"Kalian tidak bisa kabur, budak," kata Gobbul. "Kalian pikir kalian mau ke
mana?" Morggul tertawa kecil. "Kalian tidak bisa pulang ke rumah dari sini!" serunya.
Gobbul menoleh lagi pada makhluk-makhluk di pintu yang menuju ruang
pembersihan. "Siapkan slang-slangnya," perintahnya. "Pembersihan akan
dimulai... sekarang."
Dua makhluk jangkung dengan gading di mulut mereka menarik. Nathan dan
Lindy kembali ke ruang pembersihan. Dua makhluk lain menyeret slang-slang tadi
dan mengangkat ujungnya di atas mulut kedua anak itu.
Makhluk-makhluk lainnya berhenti bekerja untuk menonton. Ruangan itu sunyi
senyap. Hanya terdengar dengung dan bunyi mesin tersebut.
"Kita... kita akan mati," bisik Nathan. "Habislah kita."
Lindy terisak pelan. Makhluk itu menekankan ujung slang ke mulut Nathan. "Buka lebih lebar,"
perintah Gobbul. Ujung slang itu terasa dingin di lidah Nathan dan memenuhi mulutnya. Mulai
menggelitik bagian belakang tenggorokannya.
"Semprotkan asam pembersih!"perintah Gobbul.
24 Asam" Pikir Nathan. Rasa ngeri merayapi dirinya. Lututnya lemas dan ia mulai jatuh.
Terdengar suara gemuruh slang yang mulai terisi.
Asam" Nathan memejamkan mata. Tapi mendadak sebuah suara menggelegar di ruangan luas itu: "MANA DIA BUDAKBUDAKKU YANG BARU?" "Mereka sedang dibersihkan," sahut Gobbul, matanya terarah pada pengeras suara
keperakan di tembok. "TIDAK USAH DIBERSIHKAN!" kata suara tadi dengan sangat keras.
"BAWA MEREKA PADAKU... SEKARANG JUGA!"
"Kita selamat." bisik Lindy.
"Untuk berapa lama?" balas Nathan.
*** Ruangan sang raja terang sekali oleh cahaya putih yang berpendar-pendar.
Nathan berteriak dan menutupi matanya dengan lengan, menunggu sampai rasa perih
itu mereda. Lalu pelan-pelan Ia membuka mata dan mencoba
menyesuaikan diri dengan cahaya membutakan itu.
Setelah matanya terfokus, ia melihat sekelompok makhluk hijau berkerumun di
ruangan itu. Bentuknya macam-macam. Ada yang jangkung dan memiliki
gading. Ada yang pendek gemuk dan berkeringat. Semuanya bergumam dalam
bahasa yang aneh dan menjulurkan sulur mereka ke arah kedua manusia itu.
Nathan merapat pada Lindy yang masih mengerjap-ngerjapkan mata karena
silau. Sambil menyipitkan mata Nathan memandang ke sekeliling ruangan luas itu.
Tembok-temboknya dari cermin berkilau, tiang-tiangnya keperakan, langitlangitnya tinggi dan berkubah, gemerlap seperti dihiasi permata.
Lalu Nathan melihat sang raja berdiri di depan sebuah singgasana keperakan.
Nathan langsung mengenalinya, sebab Ia lebih tinggi daripada makhlukmakhluk lainnya. Ia berdiri sangat tegak, keringat menetes di tubuhnya yang
hijau. Gadingnya panjang dan tebal, melengkung dikedua sisi mulutnya, seperti
kumis yang lebar. Nathan menatap mahkota sang raja. Mahkota itu juga berwarna keperakan. Dan
ketika sang raja menunduk, Nathan baru menyadari bahwa mahkota itu tumbuh di
kepala sang raja. Di belakang sang raja berdiri dua pengawal yang tampak garang. Masingmasing membawa senjata panjang dan putih, berbentuk tabung. Mereka berdiri dalam
posisi siap, sambil mengamati semua yang ada di ruangan itu
Sekali lagi Nathan mencengkeram pergelangan tangan Lindy. Kedua tangannya
sendiri dingin dan gemetar.
Nathan dan Lindy mundur ketika Gobbul dan Morggul maju ke depan. Gobbul
tersenyum senang dengan kedua mulutnya.
Ia membungkuk rendah pada sang raja. Morggul membungkuk hormat dengan
sikap aneh dan canggung. "Ini mereka, manusia yang akan menjadi budak Anda," kata Gobbul .
Sang raja menatap mereka dengan mata melotot.
Mereka semua memandangi kami, pikir Nathan. Ratusan makhluk planet
memandangi kami, seakan-akan kami ini binatang di kebun binatang.
Atau budak mereka. Nathan merinding. "Hmm.. . tampang mereka tidak terlalu bagus. Coba kita lihat, apa mereka
cukup pintar." Sang raja berkata pada Gobbul, "Tunjukkan bahwa ramuan
kalian berfungsi pada mereka."
"Dengan senang hati, Yang Mulia," sahut Gobbul sambil membungkuk lagi. Ia
menoleh pada kedua anak itu. "Pergi ke tembok di belakang kalian."
Nathan memandanginya "Di belakang kami" Sebelah mana itu?" tanyanya
Lindy menggelengkan kepala dengan bingung. "Kami mesti ke mana?"
tanyanya dengan sangat bingung.
"Ke belakang kalian! Ke belakang kalian!" seru Gobbul tak sabar.
Nathan maju ke depan, sementara Lindy menoleh. Mereka bertumbukan.
"Ow!" Lindy mengusap-usap dahinya. "Hati-hati, dong."
"ADA APA INI?" tanya sang raja dengan marah. Pada Gobbul.
"Ha ha, mereka cuma bercanda," kata Gobbul yang memaksakan diri tersenyum lebar.
"Katamu kau membuat makhluk-makhluk ini menjadi pintar," tantang sang raja.
"Ya," Gobbul mengiyakan dengan cepat. Butir-butir keringat mengalir di
tubuhnya. "Mereka pintar, kok. Pintar sekali."
"Pintar sekali?" seru Nathan. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
"Itu hinaan, ya?" tanyanya pada Lindy.
"Nathan, diamlah," bentak Lindy. "Jangan sampai mereka tahu kita tidak pintar
lagi." "APA KATAMU?" tanya sang raja.
Mendadak ruangan itu dipenuhi bisik-bisik dan gumaman tegang para makhluk hijau.
"Tapi aku tidak bisa apa-apa," protes Nathan pada Lindy. "Aku jadi bodoh."
"Sssh. Aku juga," kata Lindy. "Tapi kita mesti pura-pura."
"Aku lebih bodoh daripada kau," kata Nathan.
"Tidak!" bantah Lindy "Aku dua kali lebih bodoh daripada kau."
"Dua kali?" Nathan memandanginya "Itu lebih banyak atau lebih sedikit?"
"CUKUP!" teriak sang raja. Ia mengamuk pada Gobbul dan Morggul. "Kalian
pikir kahan bisa MEMBODOHI aku" Manusia-manusia ini goblok sekali."
"Tidak "Gobbul hendak memprotes.
Tapi tidak ada suara lain yang keluar.
Sang raja memberi isyarat pada kedua pengawal, yang langsung mengangkat
senjata mereka. Nathan melihat dua kilasan cahaya terang. Gobbul dan Morggul tertegun
sejenak, lalu kepala mereka tertengadah dan sulur-sulur mereka terkulai lemas.
Nathan terkesiap ketika kedua makhluk itu menjadi lumer. Kulit mereka yang hijau
mencair dan tulang-tulang mereka, lalu tulang-tulang itu juga hancur menjadi
bubuk Sebentar saja tak ada lagi yang tersisa.
Tak ada.... Sang raja menoleh pada kedua pengawal, sambil menunjuk Nathan dan Lindy.
"Hancurkan mereka juga," perintahnya.
25 "TIDAAAAK" Nathan menjerit ngeri. Ia mencengkeram bahu Lindy dan
mendorongnya ke lantai . Lalu ia sendiri tiarap di samping Lindy.
Dua berkas cahaya putih melesat di atas kepala mereka.
Dengan terengah Nathan bangkit berdiri, matanya menyapu ruangan itu dengan
cepat, mencari jalan keluar.
Tidak ada... Kalau kami lari ke tengah kerumunan makhluk itu, kami akan tertangkap
dengan cepat. Kalau kami tetap disini...
"Merunduk!" teriaknya.
Dua cahaya terang melesat lagi di atas mereka. Panasnya yang membakar terasa
oleh Nathan. "Lewat sini." seru Lindy. Ia bergerak ke arah sang raja.
Sesaat Nathan ragu-ragu. Kedua pengawal itu memutar senjata mereka.
Nathan berlari menyusul Lindy. Mereka terus menyerbu ke arah sang raja yang
terkejut. Sang raja membuka mulutnya dan berteriak marah sekali. Keempat sulurnya
terangkat di atas kepalanya.
Nathan dan Lindy berlari merunduk ke belakang singgasana yang lebar. Sebersit
cahaya putih melesat lagi di atas mereka.
Di balik singgasana itu mereka memeriksa tembok belakang... dan melihat
ambang pintu yang terbuka di salah satu sudutnya.
"Bisa kita coba, tidak?" tanya Nathan.
"Mesti dicoba," sahut Lindy dengan terengah.
Nathan meharik napas panjang dan menahannya. Lalu sambil merunduk ia
berlari zigzag dengan cepat di lantai yang mengilap.
Seruan-seruan marah mengiringi derap langkah kaki makhluk-makhluk yang
mengejar mereka. Seluruh ruangan itu seakan bergerak-gerak ketika sang raja dan
para pengikutinya mengejar mereka.
Nathan dan Lindy masuk ke ambang pintu itu bersama-sama.
Lalu Nathan berseru keras dan berhenti. Lindy terlambat berhenti dan menabrak
tembok. "Ini lemari," kata Nathan.
Mereka membalikkan tubuh.
"Kita terjebak," kata Lindy "Kita lari ke dalam lemari."
"Cepat keluar," kata Nathan.
Tapi sudah terlambat. Sosok sang raja memenuhi ambang pintu. Matanya menatap mereka bergantian, dan ia
tersenyum lebar... senyum kernenangan di kedua mulutnya.
"Lepaskan kami," seru Lindy dengan suara gemetar.
Sang raja tertawa terbahak-bahak Suaranya serak dan jahat. "Baiklah," katanya
"Kalian boleh pergi."
Ia mengulurkan satu sulurnya ke sebuah tuas perak di tembok dan
menurunkannya. "Tidaaaak!" Nathan menjerit ketika lantai di bawahnya melesak.
Tidak ada yang bisa dijadikan pegangan.
Tidak ada lantai... tidak ada lantai...
Ia dan Lindy meluncur jatuh sambil menjerit-jerit.
Terus meluncur dalam kegelapan semakin cepat dan semakin cepat.
Meluncur menyambut nasib mereka.
26 "TIDAAAK" Jeritan nyaring mereka menggema dalam kegelapan.
Sekonyong-konyong tampak cahaya terang Nathan melihat sebuah lubang
membuka di bawah mereka. Mereka meluncur melewati lubang itu dan mendarat keras dalam posisi duduk di
lantai yang berupa cermin.
Lalu turun jeruji-jeruji mengelilingi mereka, dan pintu ditutup.
Apakah ini sel penjara" Atau kandang lagi" Dengan jantung berdebar kencang dan
leher sakit karena menjerit-jerit, Nathan menatap ke cahaya putih itu. Pelanpelan matanya mulai terfokus.
"Di mana kita?" tanya Lindy dengan berbisik "Apa kita sudah mati?"
Nathan mengguncangkan tubuhnya, seperti mencoba mengenyahkan perasaan
jatuh yang mengerikan itu. Susah payah ia berusaha menjernihkan kepalanya.
Terdengar suara gemuruh di bawah mereka. Lalu jeruji keperakan itu mulai
bergetar, juga lantainya.
"Kita dimasukkan ke pesawat lagi," kata Nathan pada Lindy. "Kita akan lepas
landas." Lindy menelan ludah. Ia menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkinkah mereka mengirim kita pulang?" tanyanya. "Mungkinkah kita
seberuntung itu?" *** Dua hari kemudian mereka sudah berada di rumah Paman Frank, mencoba
menjelaskan apa yang telah mereka alami. Mereka bicara berberengan tanpa
menarik napas. "Whoa. Pelan-pelan," kata Paman Frank sambil menggaruk-garuk pipinya yang merah.
"Satu per satu, oke?"
Untuk kesekian kalinya ia memeluk mereka. "Aku senang sekali kalian selamat.
Bibimu dan aku langsung terbang pulang dari Swiss. Kami cemas sekali waktu


Goosebumps - 2000 12 Sari Otak di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian menghilang." "Kami tak mengira bisa pulang lagi," kata Lindy. "Mereka tidak menginginkan
kami," Nathan menjelaskan: "Kami tidak cukup pintar. Jadi, mereka memulangkan
kami." Paman Frank menyipitkan mata pada mereka. "Mula-mula kalian menjadi
sangat pintar," katanya. "Lalu efek ramuan itu pudar?"
"Ya," sahut Nathan dan Lindy berbarengan. "Kami jadi semakin bodoh," kata
Nathan. "Tapi begitu dipulangkan, kami jadi normal lagi."
Paman Frank menepukkan kedua tangannya.
"Wow! Cerita kalian hebat!" serunya "Kita mesti panggil reporter dan
wartawan. Kita mesti..."
"Tidak!" kata Nathan dan Lindy "Tidak bisa."
"Apa kata kalian?" tanya Paman Frank.
"Kami ingin menjadi anak normal lagi," kata Nathan "Kami tidak ingin
dianggap aneh, dipandangi oleh orang-orang, tidak dipercayai, diejek karena kami
berbeda." "Ya, benar," Lindy menimpali "Kami ingin punya teman lagi dan bersekolah
lagi. Kami tidak ingin ada yang tahu bahwa kami diculik makhluk angkasa
luar." Paman Frank menggosok-gosok dagunya sambil berpikir. "Oke, oke," desahnya
"Aku mengerti."
Ia memandang papan tulis di tembok. Papan itu penuh dengan angka dan
persamaan. "Berhubung kalian sudah selamat, mungkin aku bisa meneruskan
menyelesaikan persamaan itu," katanya sambil menggelengkan kepala.
Mereka mendengar ketel berbunyi di dapur.
"Duduklah, anak-anak," kata Paman Frank "Nanti aku akan membawakan
cokelat panas yang sudah kujanjikan"
Ia bergegas keluar dari ruangan itu
Nathan berjalan ke papan tulis, mengambil kapur, dan mengamati soal
persamaan itu sejenak. Lalu ia mulai menulis dengan cepat "Nah," katanya setelah beberapa saat "Aku
bisa menyelesaikannya."
"Nathan" tegur Lindy dengan tercekat. "Hapus tulisanmu! Cepat!" Ia lari ke
samping Nathan dan menyodorkan penghapus padanya. "Cepat. Tidak boleh
ada yang tahu. Ingat" Kita mesti dianggap normal lagi sekarang."
"Aku tahu, aku tahu," erang Nathan. Ia mulai menghapus tulisannya tadi. "Tapi
bagaimana, ya?" bisiknya. "Aku tidak tahan sih, tidak menggunakan otakku.
Waktu kita masih di planet itu, susah sekali pura-pura bertingkah bodoh"
"Tapi dengan begitu kita jadi bisa pulang, kan?" kata Lindy. "Rencana kita bagus
sekali. Tapi mulai sekarang kita mesti sangat hati-hati. Kalau kita ingin hidup
normal, tidak boleh ada yang tahu bahwa kita sangat cerdas."
Begitu Nathan selesai menghapus, Paman Frank muncul dengan membawa
nampan berisi minuman. "Ini," katanya. Ia menyodorkan mug-mug cokelat
panas pada Nathan dan Lindy.
"Paman sendiri minum apa?" tanya Nathan sambil menunjuk gelas tinggi di
tangan pamannya. "Ini?" Paman Frank mengangkat gelas itu sambil tersenyum lebar. "Ini sari
anggur. Seperti yang kuberikan pada kalian. Aku sudah minum delapan kali
sehari. Tidak apa-apa, kan?"
End Ebook by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pulau Seribu Setan 3 Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Medali Wasiat 16

Cari Blog Ini