Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Bagian 16
anjing (Kau-cap-ceng) semua!" jengek si wanita she Bwe.
"Ya, aku memang Kau-cap-ceng?" kata Boh-thian.
Wanita itu sampai melengak. Ia menjadi geli dan tertawa
terpingkal-pingkal dengan suaranya yang tajam melengking.
"Sudahlah, cukup!" kata Bok-tocu.
Meski singkat saja ucapannya, tapi suaranya keras berwibawa,
si wanita she Bwe tertegun dan bungkam seketika.
"Ilmu pedang ciptaan Bwe-lihiap secara jujur memang harus
diakui masih kalah bagus daripada Swat-san-kiam-hoat," kata
Liong-tocu kemudian. "Cuma Bwe-lihiap dapat menciptakan
ilmu pedang baru, bakat dan kecerdasan Bwe-lihiap tentunya
lain daripada yang lain pula. Sebab itulah kami telah
mengundangnya datang kemari untuk ikut menyelami rahasia
lukisan aneh itu." "Jika demikian, jadi Bwe Hong-koh tidak pernah datang ke
Liong-bok-to sini?" tanya pula si wanita she Bwe.
"Ya, tidak," sahut Liong-tocu.
Seketika Bwe-lihiap menjadi lesu, ia duduk kembali dengan
lemas dan menggumam sendiri, "Cici... ciciku telah
meninggalkan pesan agar... mencarikan putrinya itu."
"Coba kau selidiki untuknya," tiba-tiba Liong-tocu berkata
kepada murid baju kuning nomor satu yang berdiri di barisan
kanan. Murid itu mengiakan dan segera menuju ke belakang. Sebentar
saja ia sudah keluar kembali dengan membawa beberapa jilid
buku. Setelah membalik-balik beberapa halaman, tiba-tiba ia
menunjuk suatu catatan dan membacanya, "Bwe Hong-koh,
ciangbunjin dari Bwe-hoa-kun. Ayah she Ting, sejak kecil ikut
ibu belajar ilmu silat akhirnya tinggal mengasingkan diri di
bukit Koh-chau-nia, di Him-ni-san wilayah Provinsi Holam...."
"Hah! Jadi dia tinggal di Him-ni-san" Dari mana kau mendapat
tahu?" tanya Ting Put-si dan si wanita she Bwe berbareng.
"Aku sih tidak tahu, tapi beginilah apa yang tercatat di dalam
buku ini," sahut murid baju kuning itu.
"Sampai aku sendiri pun tidak tahu, mengapa buku ini dapat
mencatat seluk-beluknya?" ujar Put-si dengan sangsi.
"Liong-bok-to selamanya membela keadilan dan menegakkan
kebenaran, menghukum dan mengganjar secara adil dan
bijaksana," kata Liong-tocu, "Untuk mana setiap gerak-gerik
kawan Bu-lim dengan sendirinya harus kami catat seperlunya
dengan sejelas-jelasnya untuk diperiksa dan dibuat bukti
bilamana perlu." "O, kiranya demikian," ujar Bwe-lihiap. "Jadi sudah terang Bwe
Hong-koh berdiam di... di bukit Koh-chau-nia di lereng Him-nisan?"
"Ya, jika di antara para hadirin masih ada pertanyaanpertanyaan
boleh silakan lagi," sahut Liong-tocu.
"Bicara ke sana kemari, tegasnya maksud undangan Liong-tocu
kepada kami adalah untuk mempelajari lukisan bersyair kuno
itu. Sebenarnya barang apakah itu" Bolehkah kita melihatnya?"
kata Pek Cu-cay. Serentak Liong dan Bok-tocu berbangkit, sahut mereka, "Ya,
justru kami ingin minta bagian para hadirin yang cerdik
pandai." Segera empat murid Liong-bok-to menuju ke samping, mereka
memegang tepi pintu angin dari kanan dan kiri, ketika mereka
tarik perlahan, mendadak di belakang ruangan gua itu terlihat
ada sebuah jalan lorong yang panjang.
"Silakan semua!" kata Liong-tocu. Segera bersama Bok-tocu
mereka mendahului jalan ke depan dengan diikuti oleh para
kesatria. Setelah belasan meter jauhnya, sampailah mereka di depan
sebuah pintu batu. Seorang murid baju kuning lantas
mendorong buka pintu batu itu. Lalu Liong-tocu berkata, "Di
dalam gua ini ada 24 kamar batu, para hadirin boleh
mengunjungi dan menelitinya secara bebas, jika merasa jemu
boleh silakan jalan-jalan keluar gua. Tentang makanan dan
minuman seluruhnya sudah tersedia lengkap di dalam kamarkamar
itu. Bila perlu silakan makan-minum sesukanya dan
jangan sungkan?" "Hm, segala apa boleh sesukanya dan bebas, sungguh sangat
ramah sekali. Tapi hanya "tidak bebas untuk meninggalkan
pulau ini" saja, bukan?" jengek Ting Put-si.
"Hahahaha! Mengapa Ting-siansing bicara demikian?" sahut
Liong-tocu dengan terbahak-bahak. "Kunjungan kalian ke sini
adalah sukarela, jika mau pergi, siapa lagi yang berani
menahan kalian" Di pantai sudah siap perahu kecil dan kapal
besar, setiap saat bila dikehendaki kalian boleh berangkat
dengan bebas." Bab 47. Rahasia Lukisan Dinding di Liong-bok-to
Para kesatria melengak, sama sekali mereka tidak menduga
pihak Liong-bok-to ternyata sedemikian baik hati. Segera ada
beberapa orang mengajukan pertanyaan, "Dan kalau saat ini
juga kami hendak berangkat, boleh atau tidak?"
"Tentu saja boleh!" sahut Liong-tocu. "Memangnya kalian
anggap aku dan Bok-hiante orang macam apa" Pelayanan kami
yang kurang sempurna ini sudah membikin kami malu,
masakan sekarang kami berani menahan para tamu?"
Perasaan semua orang menjadi lega. "Jika pihak Liong-bok-to
sudah menyatakan demikian, rasanya tidak mungkin mereka
menjilat ludahnya sendiri. Macam apakah lukisan kuno yang
dimaksudkan itu agaknya tiada halangannya ikut melihatnya."
Begitulah beramai-ramai mereka lantas memasuki ruangan gua
itu. Pada kamar pertama mereka melihat dinding batu di
sebelah timur tergosok dengan halus dan licin, di atas dinding
itu ada ukiran lukisan dan tulisan. Di dalam kamar itu sudah
ada belasan orang, ada yang sedang merenung, ada yang lagi
semadi, ada pula yang memejamkan mata sambil komat-kamit
entah apa yang sedang digumamkan sendiri. Malahan ada tigaempat
orang lagi yang sedang berdebat.
Tiba-tiba Pek Cu-cay mengenali seorang di antaranya, serunya
terkejut, "Un-samko, kiranya kau... kau berada di sini?"
Yang ditegur itu adalah seorang kakek berbaju hitam yang
sedang mondar-mandir di depan lukisan dinding itu. Namanya
Un Jin-ho, Ketua Pat-sian-kiam di Soatang. Dia adalah sahabat
karib Pek Cu-cay. Dengan tersenyum ia hanya menjawab, "Ya,
mengapa baru sekarang kau ia datang?"
"Belasan tahun yang lalu kudengar engkau telah diundang ke
Liong-bok-to sini, kukira engkau sudah... sudah wafat, siapa
duga...." "Aku tetap sehat walafiat dan sedang meyakinkan ilmu silat
tertinggi di sini, siapa bilang aku sudah mati?" sahut Un Jin-ho.
"Sungguh sayang kau datang terlambat. Coba lihat, lukisan ini
menurut keterangan yang tercatat di sini mengatakan...."
Begitulah sambil bicara ia terus menunjukkan huruf-huruf kecil
yang terukir di atas dinding itu kepada Pek Cu-cay.
Namun Pek Cu-cay buru-buru ingin tanya keadaan sang
sahabat yang berpisah sekian lamanya itu, maka kembali ia
tanya, "Un-samko, bagaimana hidupmu di sini selama sepuluh
tahun ini" Mengapa sama sekali kau tidak mengirim kabar ke
rumah" Eh, Un-samko, ini adalah cucu menantuku. Coba lihat,
lumayan bukan orangnya" Hayo, cah, lekas memberi hormat
kepada Un-samyaya." Ciok Boh-thian lantas melangkah maju dan menjura kepada Un
Jin-ho sambil menyapa. Un Jin-ho hanya menjawab acuh tak acuh saja, memandang
saja sungkan, dia masih terus sibuk merenungkan arti lukisan
dinding sambil bergaya dengan tangannya. Mendadak ia
memukul ke depan sambil berseru, "Pek-heng, mungkin
beginilah caranya menurut lukisan ini...."
Pek Cu-cay menjadi ikut-ikut memerhatikan lukisan dinding itu
dengan catatan-catatan di pinggirnya. Setelah komat-kamit
membaca sendiri, ia merenung sejenak, kemudian berkata,
"Un-samko, menurut pendapatku seharusnya begini...."
"Tidak bisa," mendadak Un Jin-ho membantah, "di situ
tertulis...." Begitulah Ciok Boh-thian menjadi kesal karena tidak paham
apa yang didebatkan kedua orang tua itu, memangnya ia pun
buta huruf sehingga tidak dapat membaca apa yang tertulis di
dinding. Saking isengnya ia coba mendatangi kamar batu
kedua. Begitu masuk segera terasalah sambaran angin senjata
yang tajam, ternyata ada tujuh pasang orang sedang
bertanding pedang. Semuanya belum dikenalnya, terang bukan
orang-orang yang ikut dalam perjamuan tadi, ia menduga
tentu tokoh-tokoh persilatan yang diundang datang pada
perjamuan yang lebih dahulu. Ilmu pedang yang dimainkan
orang-orang itu tiada yang sama, tapi semuanya sangat bagus
dan aneka macam perubahannya.
Tertampak dua orang di antaranya telah bergebrak beberapa
jurus pula, lalu berhenti. Seorang tua berjenggot putih lantas
berkata, "Laute, jurus pemikiranmu tadi apa tidak keliru"
Hendaklah ingat inti kekuatan ilmu pedang terletak pada...."
"Ah, rupanya Toako terlalu berat sebelah dan melupakan titik
lain yang lebih penting," demikian bantah kakek lain yang
berjenggot hitam. "Bukankah di situ tertulis...."
Begitulah kembali Boh-thian mendengar perdebatan sengit
karena selisih paham tentang arti lukisan di dinding. Ia coba
mendekati dua orang yang lain. Tertampak kedua orang ini
bertarung dengan cepat sekali, tapi sejenak kemudian mereka
pun lantas berhenti dan mulai berbantahan seperti pasanganpasangan
tadi. Sesudah dekat dinding, Boh-thian melihat di atas dinding itu
penuh terukir huruf-huruf kecil. Memangnya dia buta huruf,
maka ia pun tidak ambil pusing huruf apakah itu. Hanya di
antara huruf-huruf itu terukir pula beberapa puluh pedang.
Bentuk pedang-pedang itu ada yang panjang, ada yang
pendek, ada yang ujungnya mengacung ke atas dan ada yang
mengarah ke bawah, ada yang miring seakan-akan sedang
melayang, ada yang melintang seperti jatuh ke bawah.
Untuk membaca dia tidak dapat, tapi melihat gambar tidaklah
sukar bagi Ciok Boh-thian. Ia coba melihat terus sampai
pedang ke-12, sekonyong-konyong "ki-kut-hiat" di bahu kanan
terasa "nyos" panas, suatu arus hawa panas seakan-akan
bergolak. Waktu ia memerhatikan pedang ke-13, arus hawa
panas itu lantas menyalur ke "ngo-li-hiat", ketika memandang
pedang ke-14, arus panas itu terus menyusur ke "kiok-ti-hiat".
Begitulah hawa panas itu makin lama makin bergolak dan terus
membanjir dari dalam perut.
Diam-diam Boh-thian merasa heran, "Sejak aku berlatih
menurut garis urat nadi yang terlukis di boneka kayu itu,
tenaga dalamku lantas tambah kuat, tapi selamanya tidak
pernah bergolak seperti sekarang ini, entah apakah sebabnya"
Rasa perutku panas seperti dibakar, besar kemungkinan racun
di dalam Lap-pat-cok itu telah mulai bekerja."
Teringat akan racun di dalam jenang itu, mau tak mau ia
menjadi khawatir. Tapi waktu dia pandang ukiran pedang di
atas dinding pula, segera tenaga dalamnya lantas berjalan
menurut urat nadinya, hawa panas dalam perutnya lambat laun
tersebar merata di seluruh hiat-to tubuhnya. Segera ia
mengulangi lagi mulai dari ukiran pedang yang pertama dan
ternyata tenaga dalam itu lantas berjalan dengan lancar
menurutkan garis hiat-to secara teratur dan berakhir sampai di
siang-yang-hiat di bagian tangan.
Ia pikir ukiran pedang itu kiranya ada hubungannya dengan
cara menyalurkan tenaga dalam, cuma sayang aku tidak bisa
baca, kalau tidak tentu aku akan dapat meyakinkan semacam
ilmu pedang menurut keterangan di atas dinding ini. Ah, benar,
Pek-yaya sedang berlatih di kamar pertama sana, biarlah
kuminta penjelasan padanya.
Berpikir begitu ia lantas datang kembali ke kamar batu
pertama. Dilihatnya Pek Cu-cay dan Un Jin-ho masih asyik
bergebrak dengan menggunakan pedang kayu, setiap berapa
jurus lalu berhenti dan saling berdebat menurut pendapat
masing-masing. Pada suatu kesempatan Ciok Boh-thian coba menarik-narik
lengan baju Pek Cu-cay dan bertanya, "Yaya, apakah arti
tulisan-tulisan itu?"
Dengan acuh tak acuh Pek Cu-cay memberi penjelasan
beberapa kalimat. Tapi Un Jin-ho lantas menyela, "Salah,
salah! Pek-heng, meski ilmu silatmu cukup tinggi, tapi aku
sudah tinggal belasan tahun di sini, masakah sia-sia saja
latihanku selama ini" Beberapa bagian di antaranya pastilah
kau belum bisa memahaminya. Coba lihat ini...."
Boh-thian menjadi kesal lagi melihat mereka berdebat terusmenerus.
Pikirnya, "Rupanya tulisan yang terukir di dinding ini
sedemikian sukarnya untuk dipahami sehingga selama
berpuluh tahun orang-orang kosen dan kaum cerdik pandai
yang telah diundang kemari oleh Liong dan Bok-tocu toh masih
belum dapat memecahkan arti yang sebenarnya. Aku sendiri
buta huruf, buat apa aku mesti ikut pusing-pusing memikirkan
seperti mereka?" Ia coba mengelilingi ruangan itu, dilihatnya orang-orang yang
berada di situ semuanya lagi berbantahan dan saling
mempertahankan pandangannya sendiri-sendiri. Karena iseng,
ia coba melihat gambar yang terukir di atas dinding. Ternyata
lukisan di kamar pertama ini bukan dalam bentuk pedang, tapi
adalah seorang pelajar muda, lain tidak. Ia merasa gambar itu
sangat indah sehingga tanpa merasa ia memandangnya
beberapa kali. Tapi mendadak "yan-ek-hiat" di lambung kanan
mendadak berdenyut, suatu arus hawa panas lantas timbul dari
siau-yang-keng, urat nadi di bagian kaki, terus menyalur ke
atas tubuh. Boh-thian menjadi girang. Ia coba meneliti pula lukisan dinding
itu, ternyata setiap garis dan setiap gores lukisan itu satu sama
lain berhubungan. Ia pikir goresan lukisan ini kiranya sesuai
dengan jalan nadi di dalam tubuh manusia, biarlah aku
melatihnya menurut garis-garis yang pernah aku hafalkan dari
boneka kayu dahulu. Nanti kalau Pek-yaya sudah berhasil
meyakinkan ilmu silat yang tinggi segera kami dapat pulang
bersama. Begitulah ia lantas mengikuti goresan-goresan gambar itu,
yang seluruhnya meliputi 9x9=81 garis. Tapi baru 30-an gores
saja Boh-thian sudah merasa lapar. Ia istirahat sejenak,
dilihatnya di atas meja di pojok kamar situ ada disediakan
penganan dan minuman, segera ia menggasaknya hingga
kenyang. Kemudian meneruskan latihannya pula menurut
garis-garis lukisan. Bila lelah ia lantas mengaso, kalau
mengantuk lantas tidur, jika lapar sudah ada makanan, ia tidak
tahu sudah lewat beberapa hari, namun akhirnya 81 garis
lukisan itu benar-benar telah dilatihnya dengan masak. Waktu
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia pergi mencari Pek Cu-cay, ternyata kakek itu sudah tiada di
dalam kamar. Ia berlari ke kamar kedua, ternyata Pek Cu-cay sedang
bertanding pedang di situ dengan seorang tosu tua.
Tampaknya ilmu pedang mereka sangat lamban dan jelek, tapi
membawa suara angin yang mendesis-desis, nyata mereka
telah mencurahkan lwekang ke batang pedang. Suatu ketika,
terdengar suara "krek", pedang kayu di tangan Pek Cu-cay
telah patah menjadi dua. "Bagaimana?" ujar si tosu tua dengan tersenyum.
Namun Pek Cu-cay masih penasaran, jawabnya, "Gu-teh
Totiang, ilmu pedangmu memang lebih mahir daripadaku,
sungguh aku merasa kagum. Cuma jurus ini adalah ajaran asli
Bu-tong-pay kalian dan bukan ilmu pedang yang dimaksudkan
lukisan dinding ini."
"Habis bagaimana menurut pendapatmu?" tanya Gu-teh
Totiang. "Menurut kalimat syair itu...." begitulah Pek Cu-cay mulai
membantah pula sehingga kembali terjadi perdebatan yang
bertele-tele. Ciok Boh-thian merasa lega karena dapat menemukan sang
kakek, ia coba menyela, "Yaya, marilah kita pulang saja?"
"Apa katamu?" tanya Pek Cu-cay dengan aseran.
"Menurut Liong-tocu, katanya setiap saat bila mau kita boleh
pergi dari sini," kata Boh-thian. "Di pantai sana sudah tersedia
kapal, marilah kita berangkat saja."
"Ngaco-belo! Kenapa mesti buru-buru?" bentak Cu-cay dengan
gusar. Boh-thian menjadi takut melihat sang kakek marah-marah.
Tapi ia berkata pula, "Nenek sedang menunggu engkau,
katanya akan menunggu sampai tanggal 8 bulan satu nanti.
Jika sampai harinya Yaya belum pulang juga segera beliau
akan membunuh diri dengan terjun ke dalam laut."
"Hah, tanggal delapan bulan satu?" Pek Cu-cay menegas
dengan melenggong. Tapi ia lantas menyambung, "Ah, kita
baru beberapa hari berada di sini, kita mempunyai waktu satu
bulan lamanya, biarlah kita tinggal lagi beberapa hari, kenapa
mesti khawatir?" Mestinya Boh-thian sudah rindu kepada A Siu, kalau bisa
sungguh ia ingin terbang kembali ke tepi pantai sana. Tapi
rupanya Pek Cu-cay benar-benar sudah tenggelam dalam ilmu
silat dan ingin menyelami rahasia lukisan dinding itu, sebelum
berhasil rasanya sukar disuruh berhenti. Terpaksa Boh-thian
tidak berani bicara lagi, ia coba menuju ke kamar batu ketiga.
Ternyata di situ sudah ada tiga orang tua dengan dandanan
yang ringkas kencang dan lagi berlari-lari dengan
menggunakan ginkang yang tinggi. Sambil berlari ketiga orang
tiada hentinya berbicara pula, yang dibicarakan rupanya adalah
pendapat masing-masing tentang lukisan dinding di situ. Tapi
rupanya ketiga orang itu pun tiada mendapatkan kesatuan
paham. Boh-thian coba melihat lukisan apa di dinding kamar itu.
Kiranya adalah gambar seekor kuda bagus dengan gayanya
yang gagah dan tangkas sedang berlari, di bawah telapak kaki
terlukis pula garis-garis yang menandakan mega sehingga
binatang itu seakan-akan sedang melayang di angkasa. Waktu
dia mengamat-amati lebih lanjut goresan-goresan gambar
kuda itu, sekonyong-konyong tenaga dalamnya bergolak lagi,
tanpa kuasa ia lantas angkat kaki dan ikut berlari-lari.
Begitulah berturut-turut Ciok Boh-thian lantas mendatangi
kamar batu keempat, kelima, keenam dan seterusnya sehingga
semua lukisan di dinding kamar-kamar itu dapat diselaminya
semua. Kiranya lukisan-lukisan dinding dari 24 kamar batu itu masingmasing
diberi penjelasan dengan 24 bait syair kuno. Tapi
semuanya sebenarnya merupakan rumus-rumus ilmu pedang,
ginkang, lwekang dan sebagainya yang sangat tinggi.
Terkadang Ciok Boh-thian dapat memahami dengan sangat
cepat, tapi sering juga macet dan makan waktu. Namun
demikian tanpa merasa akhirnya lukisan dari 23 kamar batu itu
sudah dapat dilatihnya dengan baik. Ia sendiri tidak ingat
sudah lewat berapa hari, cuma setiap dua-tiga hari sekali tentu
dia pergi mendesak Pek Cu-cay untuk pulang. Akan tetapi Pek
Cu-cay merasa makin besar hasil pelajarannya terhadap rumus
ilmu silat di dinding itu, maka makin lama makin keranjingan.
Bila Ciok Boh-thian mengganggunya, sering kali ia lantas
mendamprat, sampai akhirnya ia menjadi gemas, bila pemuda
itu mendekat terus dihantam dan ditendangnya supaya enyah.
Terpaksa Ciok Boh-thian pergi mencari Hoan It-hui, Ko Samniocu,
dan lain-lain untuk berunding. Tak terduga orang-orang
itu pun sudah keranjingan semua asyik menyelami ilmu silat
menurut ukiran di dinding batu, bahkan mereka lantas minta
penjelasan dan petunjuk kepada Ciok Boh-thian tentang di
mana letak rahasia pelajaran yang belum juga diketemukan
itu. Diam-diam Boh-thian terkesiap, pikirnya, "Meski Liong dan
Bok-tocu telah mengundang tokoh-tokoh persilatan ke sini
untuk menyelami ilmu silat lukisan dinding ini, ternyata selama
puluhan tahun ini tiada seorang pun yang meninggalkan pulau
ini dan pulang ke Tionggoan, hal ini menandakan ilmu silat di
atas lukisan dinding ini benar-benar membikin setiap orang
menjadi keranjingan dan lupa daratan. Untunglah
kepandaianku rendah, pula buta huruf, tentu aku takkan
keranjingan seperti mereka sehingga lupa untuk pulang."
Maka ketika ia, hendak diajak tukar pikiran oleh Hoan It-hui
dan lain-lain, cepat saja ia meninggalkan mereka. Ia pikir
sedikitnya sudah lebih 20 hari tinggal di Liong-bok-to, lewat
beberapa hari lagi tidak boleh tidak harus lekas-lekas
berangkat pulang. Dari 24 kamar batu itu sudah dikunjungi 23
kamar, hanya tinggal satu kamar terakhir saja belum didatangi,
bila ukiran dinding kamar terakhir itu pun sudah dilihatnya dan
jika Pek Cu-cay masih tetap tidak mau pulang, terpaksa ia
sendiri akan berangkat lebih dulu supaya Su-popo dan lain-lain
mendapat tahu apa yang terjadi di atas pulau.
Begitulah ia lantas menuju ke kamar ke-24. Begitu masuk ke
situ lantas tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu sedang duduk
bersila di atas kasuran kecil dengan menghadap dinding dan
lagi merenung dengan segenap pikiran.
Boh-thian sangat menghormat kepada kedua tocu itu, ia berdiri
saja dari jauh. Waktu ia pandang dinding kamar itu, ia menjadi
kecewa. Jika dinding kamar-kamar yang lain di samping
tulisan-tulisan tentu ada lukisan pula, ternyata dinding kamar
terakhir ini tiada sesuatu lukisan apa-apa melainkan tulisan
melulu. "Jika tiada sesuatu lukisan yang dapat dilihat, biarlah sekarang
juga aku permisi kepada Pek-yaya dan segera berangkat
pulang saja," demikian pikirnya. Teringat beberapa hari lagi
sudah dapat bertemu kembali dengan Su-popo, Ciok Jing dan
istrinya, terutama A Siu yang sudah dirindukannya itu, maka ia
menjadi sangat senang. Segera ia memberi hormat kepada
Liong dan Bok-tocu dan mohon diri, "Banyak terima kasih atas
pelayanan kedua Tocu selama ini, biarlah hari ini juga hamba
ingin permisi untuk pulang."
Namun Liong dan Bok-tocu tetap memusatkan perhatian
mereka ke arah dinding dan seperti tidak mendengar
ucapannya. Waktu Boh-thian ikut memandang ke arah dinding, sekonyongkonyong
ia merasa huruf-huruf di atas dinding itu seperti
berputar-putar sehingga kepalanya merasa pusing. Ia coba
pejamkan mata dan tenangkan pikiran, lalu memandang lagi,
tapi kembali kepala terasa pusing. Ia merasa heran, aneh
benar huruf-huruf ini, bila dipandang lantas kepala terasa
puyeng. Karena rasa ingin tahu, ia tidak kapok, kembali ia memandang
pula. Ia lihat setiap garis, setiap gerakan huruf itu seakan-akan
berubah semua menjadi beradu atau cebong dan sedang
bergerak di atas dinding. Tapi bila cuma diperhatikan satu garis
saja, maka cebong itu lantas tidak bergerak lagi.
Di waktu kecilnya Ciok Boh-thian tinggal di atas gunung yang
sunyi, di musim semi ia suka menangkap cebong di sungai
pegunungan, lalu dipiara di empang kecil yang dibuatnya
sendiri untuk melihat cara bagaimana cebong itu berubah
menjadi katak. Sekarang dapat melihat lagi barang mainan di
waktu kanak-kanak dulu, saking senangnya ia lantas
memerhatikan setiap gerak-gerik cebong itu.
Setelah memerhatikan sejenak, mendadak "ci-yang-hiat" di
bagian punggung terasa berdenyut. Ia sampai terkejut, "Eh,
kiranya cebong-cebong di atas dinding ini sebenarnya ada
hubungannya dengan saluran tenaga dalam."
Waktu ia memandang cebong yang kedua, kembali "koan-kihiat"
di bagian punggung berdenyut pula. Cuma saja tenaga
dalam antara ci-yang-hiat dan koan-ki-hiat itu sukar
dihubungkan. Ketika ia memerhatikan cebong ketiga, tapi
sampai sekian lamanya hawa murni di dalam tubuh sama sekali
tiada bergerak. "Ciok-pangcu memerhatikan "Thay-hian-keng" ini, kiranya
adalah seorang ahli huruf cebong," demikian tiba-tiba tegur
seorang dengan nada dingin.
Waktu Boh-thian menoleh, kiranya adalah Bok-tocu yang
sedang memandangnya dengan sorot mata yang tajam. Muka
Boh-thian menjadi merah, jawabnya dengan tergagap, "O, ti...
tidak, hamba sama sekali tidak bisa membaca. Cuma gambar
cebong-cebong kecil ini tampaknya sangat menyenangkan,
maka aku telah memandanginya."
"Ya, memangnya aku pun merasa heran masakah Ciok-pangcu
yang masih begini muda dapat memahami huruf kuno yang
amat sukar dipelajari ini," kata Bok-tocu.
"Jika demikian biarlah aku takkan memandangnya lagi, supaya
tidak mengganggu kedua Tocu," sahut Boh-thian.
"Tidak, kau tidak perlu pergi, boleh kau melihat sesukamu di
sini dan juga takkan mengganggu kami," ujar Bok-tocu. Lalu
matanya terpejam pula. Mestinya Boh-thian hendak meninggalkan kamar batu itu, tapi
khawatir Bok-tocu merasa kurang senang. Ia pikir biarlah
kupandang sebentar lagi baru keluar dari sini.
Tak terduga waktu dia memandang ukiran cebong lagi,
mendadak "tiong-cu-hiat" di bagian perut berdenyut dengan
keras seperti ada kodok melompat di dalam perut, Pikirnya,
"Aneh, cebong-cebong kecil ini benar-benar aneh, belum
menjadi katak sudah lantas melompat-lompat."
Karena tertarik, ia lantas memerhatikan lagi setiap cebong itu,
berulang-ulang hiat-to di tubuhnya juga lantas bergerak-gerak
dan melonjak-lonjak aneh, terkadang dua-tiga tempat hiat-to
bisa bertembusan dan hawa murni lantas berjalan dengan
lancar, rasa badan menjadi segar sekali. Saking kesengsemnya
ia sampai lupa daratan, tak kenal lelah dan waktu. Asal merasa
lapar ia lantas makan penganan yang tersedia di situ, habis itu
lantas berlatih pula. Makin berlatih makin banyak hiat-to di
dalam tubuhnya yang dapat dihubungkan. Ia merasa cebongcebong
kecil itu telah berpindah semua ke dalam urat nadinya
dan seperti sudah berubah menjadi katak dan melompatlompat
di dalam tubuhnya. Untuk selanjutnya ia benar-benar seperti kesurupan setan, dia
hanya memandangi huruf-huruf cebong di atas dinding. Jika
lelah ia mengaso sebentar, lalu berlatih lagi. Ia benar-benar
sudah keranjingan terhadap beribu-ribu dan berlaksa-laksa
cebong kecil di atas dinding itu.
Entah sudah lewat berapa hari lagi, sekonyong-konyong hawa
murni di dalam tubuh terasa bergolak hebat dan berturut-turut
telah menembus beberapa bagian yang tadinya macet. Habis
itu lantas bergerak dengan dahsyatnya laksana air bah
melanda, dari perut hawa murni itu lantas menerjang ke ubunubun
kepala, lalu dari ubun-ubun turun kembali ke perut,
makin mengalir makin cepat.
Terkejut dan girang pula Ciok Boh-thian, seketika ia menjadi
bingung pula cara bagaimana harus diperbuatnya. Ia merasa
sekujur badannya penuh tenaga yang tak tersalurkan. Tanpa
merasa kaki dan tangannya lantas bergerak-gerak, ia mainkan
ilmu pukulan dari garis-garis lukisan yang dilihatnya di kamar
batu pertama itu, lalu memainkan ilmu pedang menurut
goresan gambar di kamar kedua dan begitu seterusnya,
sekaligus ia telah keluarkan segenap ilmu yang telah
dilihatnya, baik ilmu pedang, ilmu pukulan, ginkang, lwekang
dan sebagainya. Habis itu bahkan tenaga dalamnya masih terus bergolak, tanpa
merasa ia terus mainkan segenap kepandaian yang
dipelajarinya sebelumnya, baik ilmu pukulan jahat ajaran
ibunya, Yam-yam-kang ajaran Cia Yan-khek, lwekang yang
diperolehnya dari boneka kayu, kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting
Tong, Swat-san-kiam-hoat, Kim-oh-to-hoat dan ilmu golok
campur pedang ciptaannya sendiri, semuanya dikeluarkan. Di
mana dia ingat, di situ juga lantas dimainkan, semuanya timbul
sendiri tanpa banyak pikir dan dapat dilakukannya dengan
bebas sesukanya. Makin main makin senang, sampai akhirnya Ciok Boh-thian
terbahak-bahak sendiri dan berteriak, "Hahahaha! Bagus!"
"Ya, memang bagus!" tiba-tiba ada orang ikut menanggapi.
Boh-thian terkejut dan cepat berhenti main. Dilihatnya Liongtocu
dan Bok-tocu masing-masing sudah berdiri di pojok
ruangan dan sedang memandangnya dengan rasa kejut dan
girang. Cepat Boh-thian minta maaf, "Hamba telah berlaku sembrono,
harap kedua Tocu jangan marah."
Ternyata kedua tocu itu penuh air keringat, bajunya basah
kuyup, tempat di mana mereka berdiri juga penuh tetesan air.
Maka Liong-tocu telah berkata, "Bakat Ciok-pangcu yang aneh,
sungguh harus dipuji. Terimalah ucapan selamat kami!"
Habis berkata dia lantas menjura. Cepat Bok-tocu ikut memberi
hormat. Keruan Ciok Boh-thian terkejut, lekas-lekas ia pun berlutut dan
balas menjura. Katanya, "Mengapa kedua Tocu menjalankan
penghormatan se... setinggi ini, mana hamba berani terima!"
"Ciok-pangcu sil... silakan bangun!" kata Liong-tocu.
Boh-thian menurut dan merangkak bangun. Dilihatnya Liongtocu
juga hendak berbangkit kembali, tapi mendadak tergeliat
dan jatuh terduduk di atas lantai. Begitu pula kedua tangan
Bok-tocu tampak menahan tanah dan juga tidak kuat
berbangkit. "He, kenapakah kalian?" seru Boh-thian dengan khawatir.
Cepat ia memayang bangun Liong-tocu. Lalu membangunkan
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bok-tocu pula. Liong-tocu tampak goyang-goyang kepala dan tersenyum. Lalu
pejamkan mata dan mengumpulkan tenaga. Bok-tocu juga
lantas semadi mengumpulkan semangat.
Boh-thian tak berani mengganggunya. Selang agak lama
barulah terdengar Bok-tocu menghela napas lega terus
melompat bangun dan mendekati Liong-tocu serta
merangkulnya. Liong-tocu juga lantas membuka mata, kedua orang lantas
saling berpelukan sambil bergelak tertawa, tampaknya girang
tak terhingga. Sudah tentu Boh-thian tidak tahu apa sebabnya kedua orang
itu sedemikian riang gembira, dia hanya ikut menyengir saja.
Perlahan-lahan Liong-tocu lalu berdiri, katanya, "Ciok-pangcu,
sudah berpuluh tahun kami berdua dirundung oleh suatu
pertanyaan besar, tapi hari ini engkau telah dapat
memecahkannya, sungguh kami merasa sangat berterima
kasih." "Aku... aku memecahkan apa?" tanya Boh-thian dengan
bingung. "Buat apa Ciok-pangcu mesti merendah hati?" ujar Liong-tocu
dengan tersenyum. "Engkau sudah berhasil menyelami lukisan
bersyair Hiap-khek-heng yang terukir di dinding batu ini, bukan
saja engkau adalah orang pertama di dunia persilatan dewasa
ini, bahkan selain orang kosen angkatan tua yang mengukirkan
lukisan ini sendiri, mungkin sejak dulu kala hingga sekarang
jarang ada orang lain yang mampu memadai Ciok-pangcu."
"Ah, mana hamba berani menerima pujian setinggi itu?" sahut
Boh-thian dengan gugup. "Ucapan Liong-tocu ini bila didengar
oleh Pek-yaya, tentu beliau akan sangat marah."
"Apakah sebabnya?" tanya Liong-tocu dengan tertawa.
"Sebab Pek-yaya ingin disebut sebagai "jago pedang nomor
satu, jago lwekang nomor satu, pendek kata serbanomor satu",
sebaliknya hamba sedikit pun tidak becus apa-apa, mana dapat
dibandingkan dengan Pek-yaya?"
"Haha, jadi "tokoh nomor satu" dunia persilatan selama ini
adalah Pek Cu-cay dari Swat-san-pay" Hahahaha!" tukas Liongtocu
dengan tertawa. Dan sesudah saling pandang sekejap
dengan Bok-tocu, lalu ia tanya kepada Boh-thian, "Tapi
bagaimana menurut anggapan Ciok-pangcu sendiri?"
Boh-thian merenung sejenak, kemudian menjawab, "Ilmu silat
Pek-yaya sudah tentu sangat tinggi, tapi kalau mengaku
sebagai jago nomor satu rasa rasanya sih belum dapat."
"Ya, memang," kata Liong-tocu. "Melulu bicara tentang ilmu
pedang, ilmu pukulan dan lwekang saja Ciok-pangcu sendiri
sudah sepuluh kali lebih tinggi daripada Pek-yayamu. Tentang
huruf cebong di atas dinding ini, apa yang kami ketahui boleh
dikata belum ada satu bagian daripada seluruhnya, entah Ciokpangcu
sudi memberi petunjuk atau tidak?"
Untuk sejenak Ciok Boh-thian memandangi Liong-tocu, lalu
memandang Bok-tocu pula. Wajah kedua orang itu tampak
sangat serius, sangat sungguh-sungguh, tapi mengandung rasa
khawatir-khawatir cemas pula seakan-akan takut kalau dirinya
tak mau menerangkan rahasia rumusan lukisan itu. Maka ia
lantas menjawab, "Tentu saja akan kuterangkan seluruhnya
kepada kalian. Mula-mula aku memerhatikan cebong ini,
seketika "tiong-cu-hiat" lantas berdenyut, waktu kupandang
pula cebong yang itu, kontan "ci-yang-hiat" lantas melonjak...."
Begitulah ia terus memberi penjelasan sambil menunjuk
gambar-gambar berudu itu.
Keruan Liong dan Bok-tocu merasa bingung dan tidak
mengerti. Melihat kedua orang tua itu mengunjuk rasa heran, segera
Boh-thian bertanya, "Bagaimana, apakah uraianku salah?"
"Kiranya apa yang dilihat oleh Ciok-pangcu adalah... adalah
gambar-gambar cebong belaka, jadi engkau tidak membaca
tulisannya" Tapi mengapa Ciok-pangcu dapat pula
mengerjakan seluruh "Thay-hian-keng" ini?" tanya Liong-tocu.
"Tidak, hamba tidak membacanya, sejak kecil hamba tidak
sekolah, sampai sekarang masih buta huruf, sungguh sangat
memalukan," sahut Boh-thian dengan wajah merah jengah.
"Hahh, kau... kau buta huruf?" tanya Liong-tocu dan Bok-tocu
sambil melonjak berbareng.
"Ya, aku tidak dapat membaca," jawab Boh-thian. "Tapi
sesudah pulang nanti tentu aku akan... akan minta A Siu
mengajar membaca padaku. Kalau tidak tentu aku akan selalu
ditertawai orang." Melihat sikap pemuda itu sangat jujur dan tulus, sedikit pun
tiada tanda-tanda membohong mau tak mau kedua tocu itu
harus percaya juga. Sungguh mereka tidak habis mengerti
mengapa bisa terjadi demikian. Segera Liong-tocu bertanya
pula, "Jika kau buta huruf, mengapa kau dapat menyelami
catatan-catatan di dalam ke-23 kamar batu sana, siapakah
yang menjelaskan artinya kepadamu?"
"Tiada orang yang menjelaskan padaku," sahut Boh-thian.
"Kudengar Pek-yaya membaca beberapa kalimat dan Hoantoaya
dari Kwantang itu pun mengucapkan beberapa kalimat,
begitu pula paman-paman dan mamak-mamak yang lain, tapi
semuanya aku tidak paham, maka aku tidak menaruh
perhatian. Aku... aku hanya melihat gambarnya saja, dalam
keadaan ruwet mendadak hawa murni dalam tubuhku lantas
bergolak dan berjalan menurut setiap goresan gambar yang
kuperhatikan." "Kau buta huruf, tapi dapat membaca rumusan dalam lukisan
itu, ini mana... mana bisa?" ujar Bok-tocu.
"Ya, jangan-jangan sudah suratan takdir atau Ciok-pangcu ini
memiliki pembawaan yang genius?" kata Liong-tocu.
Sejenak kemudian mendadak Bok-tocu membanting kaki
sambil berseru, "Aha, tahulah aku, pahamlah aku! Toako,
kiranya demikianlah halnya!"
Untuk sejenak Liong-tocu tertegun. Tapi segera ia pun paham
duduknya perkara. Seketika mereka berdua saling rangkul lagi,
air muka mereka tampak cemas-cemas girang tercampur
gegetun. Liong-tocu lantas menoleh dan tanya Ciok Boh-thian pula,
"Ciok-pangcu, untunglah engkau tidak bisa membaca, maka
dapatlah memecahkan persoalan yang penuh teka-teki ini.
Sekarang mati pun kami dapat tenteram dan takkan menyesal
di alam baka." "Mati pun dapat ten... tenteram apa maksud kedua Tocu?"
tanya Boh-thian dengan bingung.
Liong-tocu menghela napas perlahan, katanya, "Kiranya
tulisan-tulisan yang begitu banyak sesungguhnya tiada
gunanya semua, setiap kalimatnya sengaja menyesatkan bagi
siapa pun yang membacanya. Akan tetapi setiap orang yang
ingin memahami arti lukisan-lukisan itu sudah tentu ingin
mempelajari arti daripada keterangan-keterangan yang
tercatat di situ." "Jadi engkau maksudkan tulisan-tulisan itu sebenarnya tiada
gunanya?" Boh-thian menegas dengan heran.
"Ya, bukan saja tak berguna, bahkan bisa bikin celaka," sahut
Liong-tocu. "Jika tidak demikian, tentu tidak percumalah jerih
payah selama ini." "Ternyata tulisan yang kita anggap sebagai kitab "Thay-hiankeng"
ini sebenarnya bukan huruf cebong, tapi hanya... hanya
garis-garis yang menunjukkan tempat hiat-to yang
bersangkutan," kata Bok-tocu. "Ai, empat puluh tahun, empat
puluh tahun telah lalu dengan percuma."
Begitulah kedua tocu itu saling pandang dengan penuh
penyesalan, lesu sekali semangat mereka, sedikit pun tiada
sikap kereng dan berwibawa seperti waktu perjamuan Lap-patcok
tempo hari. Sebaliknya Ciok Boh-thian masih merasa bingung, ia tanya
pula, "Orang itu sengaja menulis sebanyak ini di atas dinding
untuk menyesatkan orang, entah apa tujuannya?"
"Apa maksud tujuannya memang sukar dikatakan," ujar Liongtocu.
"Boleh jadi Locianpwe itu tidak ingin angkatan muda
dapat mempelajari ilmu tinggalannya secara mudah, atau
catatan-catatan itu sengaja ditambahkan lagi oleh seorang lain,
mungkin juga Locianpwe itu tidak suka orang sekolahan, maka
sengaja memasang perangkap demikian supaya orang yang
jujur dan polos sebagai Ciok-pangcu mendapatkan pusaka
tinggalannya ini." "Ya, maksud tujuan Locianpwe itu benar-benar sangat
mendalam dan sukar diterka," tukas Bok-tocu.
Melihat kedua tocu itu sangat lesu dan gegetun, Boh-thian
menjadi rikuh, katanya segera, "Kedua Tocu, jika ilmu yang
kuperoleh ini memang berguna, biarlah seluruhnya akan aku
uraikan kepada kalian. Marilah kita kembali ke kamar batu
pertama, tentu akan kujelaskan tanpa merahasiakannya sedikit
pun." "Maksud baik Ciok-pangcu kami terima di dalam hati saja,"
sahut Liong-tocu dengan tersenyum getir. "Seorang muda yang
berjiwa tulus sebagai saudara cilik memang sudah sepantasnya
mendapatkan ganjaran baik pula, perkembangan dunia
persilatan di kemudian hari tentu pula akan banyak diharapkan
tenagamu. Dengan demikian jerih payah kami selama ini
tidaklah menjadi sia-sia."
"Benar, teka-teki rumusan lukisan dinding ini sekarang sudah
terpecahkan, cita-cita kami sudah terkabul. Baik saudara cilik
yang berhasil meyakinkan atau kami adalah sama saja,"
demikian Bok-tocu menambahkan.
"Jika begitu, apakah seluk-beluk gambar-gambar cebong ini
saja yang kuterangkan pada kalian?" kata Boh-thian dengan
sungguh-sungguh. "Ilmu sakti ini toh sudah mendapatkan ahli warisnya yang
sejati, gambar-gambar itu sudah waktunya untuk berakhir,"
kata Liong-tocu dengan tersenyum haru. "Saudara cilik,
cobalah lihat lagi."
Waktu Boh-thian berpaling dan memandang ke dinding,
seketika ia terperanjat. Ternyata bubuk batu tampak rontok
sedikit demi sedikit dari dinding batu itu, huruf-huruf cebong
yang memenuhi dinding itu sekarang sudah tak keruan jadinya
dan hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih jelas.
"He, meng... mengapa bisa demikian?" serunya kaget.
"Soal ini biarlah kita bicarakan nanti," ujar Bok-tocu. "Sekarang
marilah kita menemui dulu para kesatria untuk mengumumkan
kejadian ini." Segera mereka bertiga keluar dari kamar batu itu dan menuju
ke ruangan depan. Liong-tocu lantas memerintahkan para
muridnya berkumpul dan mengundang para kesatria yang
tersebar di berbagai kamar batu itu.
Kiranya tadi sesudah Ciok Boh-thian berhasil memecahkan
rumus ilmu sakti menurut lukisan dinding, tanpa merasa ia
lantas mulai main. Liong dan Bok-tocu menjadi terkejut dan
heran, segera Liong-tocu maju mencobanya. Tapi saat itu Bohthian
sudah seperti keranjingan setan, begitu merasa diserang
orang secara otomatis ia lantas melayani. Hanya beberapa
jurus saja Liong-tocu sudah merasa kewalahan, cepat Bok-tocu
ikut maju mengerubut. Namun dengan ilmu silat kedua orang
yang sudah tiada bandingannya di dunia persilatan itu ternyata
masih tidak mampu melawan ilmu sakti yang baru saja
dipahami Ciok Boh-thian. Semakin dahsyat mereka menyerang,
semakin hebat pula perlawanan Ciok Boh-thian. Angin dan
tenaga pukulan mereka bertiga semuanya tersampuk ke atas
dinding kamar sehingga permukaan dinding yang berukiran itu
tergetar sehingga ambrol.
Begitulah sesudah mereka bertiga sampai di ruangan depan
dan ambil tempat duduk masing-masing, para tamu dan
muridnya berturut-turut juga sudah kumpul, Sekarang di
ruangan besar itu telah berjubel-jubel dengan tokoh-tokoh Bulim
yang pernah mengunjungi Liong-bok-to selama 30-an
tahun ini, selain sebagian kecil yang telah wafat karena usia
lanjut, sisanya kini sudah ikut hadir di situ.
Bab 48. Ciok Boh-thian Anak Anjing atau Anak Manusia"
[TAMAT] Setelah para hadirin sudah datang semua, Liong-tocu lantas
bisik-bisik memberi pesan kepada murid pertamanya, begitu
pula Bok-tocu. Kedua murid pertama mereka tampak
tercengang sambil mendengarkan perintah sang guru. Dan
sesudah minta penjelasan pula seperlunya, kemudian kedua
murid pertama itu lantas menuju ke belakang bersama belasan
orang sute mereka. Liong-tocu lantas mendekati Ciok Boh-thian, katanya dengan
suara tertahan, "Adik cilik, tentang kejadian di kamar batu
terakhir tadi janganlah sekali-kali kau katakan kepada orang
lain. Kalau tidak, sepanjang hidupmu tentu akan timbul
macam-macam kesukaran dan macam-macam bahaya."
Ciok Boh-thian mengiakan saja walaupun tidak mengerti sebab
musababnya. Namun Liong-tocu lantas menerangkan, "Kau telah memiliki
ilmu sakti yang tiada taranya di dunia ini, orang Bu-lim tentu
ada yang kagum dan ada yang iri, dari iri menjadi benci, atau
ada pula yang datang minta belajar padamu, mungkin pula
dengan macam-macam akal kau akan dipaksa mengaku
rahasia kepandaianmu, pendek kata macam-macam kesukaran
akan menimpa dirimu. Sebab itulah pengalamanmu tadi jangan
sekali-kali diketahui oleh orang luar."
"Ya, banyak terima kasih atas petunjuk Tocu ini," sahut Bohthian.
Selesai memberi pesan seperlunya, kemudian Liong-tocu
kembali ke tempat duduknya semula. Lalu berkata kepada para
kesatria, "Sobat-obat sekalian, kita dapat berkumpul di pulau
ini, betapa pun dapatlah dianggap kita ini ada jodoh. Tapi
sampai sekarang masa berkumpul kita sudah berakhir dan
terpaksalah kita harus berpisah."
Para kesatria tercengang heran, beramai-ramai mereka
bertanya, "He, ada apakah?" " "Telah terjadi apakah, Tocu?"
Di tengah suara berisik itu, sekonyong-konyong dari ruangan
belakang sana terdengarlah suara letusan yang gemuruh.
Seketika para kesatria terdiam, mereka melenggong karena
tidak tahu apa yang terjadi.
"Para sobat, kalian berkumpul di sini adalah dengan harapan
dapat memecahkan rahasia ilmu sakti lukisan dinding itu,
namun sayang waktunya sudah tidak mengizinkan lagi, Liongbokto ini dalam waktu singkat sudah akan tenggelam," kata
Liong-tocu pula. "Hah, sebab apa" Apakah gempa bumi" Atau ada gunung
berapi akan meletus" Dari mana Tocu mendapat tahu?"
demikian beramai-ramai para kesatria menjadi ribut.
"Ya, tadi aku dan Bok-hiante telah melihat pusar pulau ini
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai bergolak dan segera akan terjadi letusan gunung berapi,
bila meletus tentulah pulau ini akan menjadi lautan api.
Sekarang suara gemuruh sudah mulai dahsyat, para sobat
silakan lekas pergi dari sini."
Namun para kesatria itu masih ragu-ragu. Ada yang sudah
terlalu keranjingan ilmu silat yang terukir di dinding itu, maka
mereka lebih suka menghadapi bahaya daripada tinggal pergi
begitu saja. "Jika kalian tidak percaya, boleh silakan kalian periksa lagi
kamar-kamar batu yang sudah retak dan runtuh itu, andaikan
gunung berapi tidak jadi meletus juga tiada gunanya lagi kalian
tinggal di sini," ujar Liong-tocu.
Mendengar itu, para kesatria benar-benar terkejut, beramairamai
mereka berlari ke kamar batu masing-masing, begitu
pula Boh-thian ikut lari ke belakang. Benar juga kamar-kamar
batu itu sudah retak, ukiran di dinding itu sudah ambrol semua.
Boh-thian tahu ukiran dinding itu tentu dirusak atas perintah
kedua tocu, diam-diam ia merasa dirinya yang bersalah
sehingga menimbulkan gara-gara ini.
Para kesatria itu pun menganggap rusaknya kamar-kamar batu
itu tidak wajar, terang dilakukan oleh manusia dan bukan
lantaran gempa bumi. Beramai-ramai mereka lantas berlari
kembali ke ruangan depan dengan maksud menegur kedua
tocu. Tapi baru saja sampai di ambang pintu lantas terdengar
suara tangis orang yang ramai dan sedih. Keruan para kesatria
tambah kaget, Tertampak Liong-tocu dan Bok-tocu berduduk di
tempatnya dengan mata terkatup. Para muridnya berlutut di
sekelilingnya sambil menangis.
Seketika jantung Ciok Boh-thian seakan-akan terbetot keluar.
Cepat ia menyusup maju di antara orang banyak sambil
berseru, "Liong-tocu, Bok-tocu, ken... kenapakah kalian?"
Tapi air muka kedua orang tua itu tampak sudah pucat kaku,
nyata sudah meninggal dunia. Boh-thian menoleh dan coba
tanya Thio Sam dan Li Si, "Kedua Tocu baru saja masih baikKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
baik, mengapa dalam sekejap saja sudah wafat?"
"Waktu wafat, kedua Suhu menyatakan cita-cita beliau sudah
terkabul, walaupun meninggalkan dunia fana ini, namun
tenanglah ha... hati beliau-beliau itu," sahut Thio Sam sambil
terguguk-guguk. Karena terharu, Boh-thian sampai ikut menangis. Ia tidak tahu
bahwa sesudah pertarungan di dalam kamar batu tadi kedua
tocu itu sudah kehabisan tenaga seperti pelita kehabisan
minyak. Ditambah lagi usia mereka memang sudah lanjut,
sekarang cita-cita sudah terkabul, maka mereka lantas
mangkat dengan tenang. Si murid utama baju kuning segera berseru, "Para tamu yang
mulia, menurut pesan Suhu, kalian disilakan lekas
meninggalkan pulau ini. Tentang medali wasiat yang pernah
diterima kalian itu boleh disimpan baik-baik, boleh jadi kelak
masih ada gunanya. Bila di kemudian hari kalian ada sesuatu
kesukaran, silakan datang ke kampung nelayan di pantai
selatan itu dengan membawa medali wasiat, mungkin kami
akan dapat memberi bantuan seperlunya. Sekarang kapalkapal
sudah siap di tepi pantai, silakan kalian lantas berangkat
saja." Mendengar itu para kesatria yang merasa kecewa itu menjadi
terhibur. Beramai-ramai mereka lantas memberi penghormatan
terakhir kepada jenazah Liong dan Bok-tocu.
"Selamat jalan, Samte," kata Thio Sam dan Li Si kepada Bohthian.
"Semoga kita akan berjumpa pula."
Setelah mengucapkan selamat tinggal, dengan rasa berat Bohthian
lantas mohon diri dan beramai-ramai ikut Pek Cu-cay,
Hoan It-hui, dan lain-lain menuju ke pantai.
Pulangnya sekarang mereka menggunakan kapal layar yang
besar, sebuah kapal dapat memuat ratusan orang. Maka hanya
lima-enam buah kapal saja para kesatria itu sudah terangkut
semua. Segera mereka mengangkat sauh dan berlayar
meninggalkan Liong-bok-to.
Makin lama pulau itu makin kecil kelihatannya. Sekonyongkonyong
Ciok Boh-thian teringat sesuatu sehingga berkeringat
dingin. Teriaknya sambil membanting-banting kaki, "Wah,
celaka, celaka! He, Yaya, hari ini tang... tanggal berapakah?"
Pek Cu-cay juga lantas terkejut. Ia pun berteriak, "Wah,
celaka! Aku ti... tidak tahu hari ini tanggal be... berapa?"
Sekilas Ciok Boh-thian melihat Ting Put-si lagi tertawa
mengejek di sebelah sana, cepat ia tanya, "Ting-siyaya, apakah
engkau ingat sudah berapa lama kita datang ke Liong-bok-to
sini?" "Mungkin 70 hari, mungkin 99 hari, siapa ambil pusing?" sahut
Put-si. Boh-thian menjadi kelabakan dan hampir-hampir menangis. Ia
coba tanya Ko Sam-niocu, "Kita sampai di sini pada tanggal 8
bulan 12, hari ini tentunya baru tanggal muda bulan satu
bukan!" Ko Sam-niocu lantas menekuk jari dan berhitung, "Kita sudah
tinggal 57 hari di pulau ini. Hari ini kalau bukan tanggal 6
tentulah tanggal 7 bulan dua."
"Hahhhh, bulan dua?" jerit Pek Cu-cay dan Ciok Boh-thian
berbareng. "Ya, terang sudah bulan dua," sahut Ko Sam-niocu.
"Wah, celaka, celaka!" teriak Pek Cu-cay sambil memukulmukul
dadanya sendiri. "Wah, untung, untung!" timbrung Ting Put-si dengan bergelak
tertawa malah. "Ting-siyaya, mengapa engkau malah tertawa," omel Bohthian.
"Kata nenek, jika sampai tanggal 8 bulan satu Yaya
belum pulang, maka beliau akan bunuh diri dengan terjun ke
laut. Ya, malahan A Siu" A Siu juga akan terjun ke laut."
"Dia akan terjun ke laut?" Ting Put-si melengak. "Dia akan
tunggu sampai tinggal 8 bulan satu" Tapi... tapi sekarang
sudah bulan dua...."
"Ya, makanya... bagaimana baiknya ini?" kata Boh-thian sambil
menangis. "Watak Siau-jui sangat keras, jika dia bilang menunggu sampai
tinggal 8 bulan satu, maka pasti dilakukannya pada hari itu,
padahal sekarang sudah lewat lebih 20 hari, tentu sudah lama
dia membunuh diri," kata Put-si dengan gusar. "Dasar kau, Pek
Cu-cay, kau bangsat keparat piaraan biang anjing kau... kau
kenapa tidak pulang sejak dulu-dulu" Bangsat!"
"Ya, benar, aku memang bangsat keparat!" teriak Pek Cu-cay
sambil tiada hentinya menghantam dada sendiri.
"Su Siau-jui adalah istri orang, apakah dia masih hidup atau
sudah mampus peduli apa dengan kau, mengapa kau ikut ribut
dan memaki orang?" tiba-tiba suara seorang wanita yang tajam
melengking mendamprat Ting Put-si. Itulah suara si wanita she
Bwe. Mendengar itu seketika Ting Put-si menjadi bungkam.
Sebaliknya Pek Cu-cay lantas menyalahkan Ciok Boh-thian,
"Jika sudah tahu nenekmu akan terjun ke laut pada tanggal 8
bulan satu, mengapa tidak kau beri tahukan padaku sejak
dulu?" Karena hatinya sedih, Boh-thian tidak ingin membantahnya, ia
biarkan orang tua itu mengomel sesukanya.
Dalam pada itu kapal mereka telah laju dengan pesatnya
karena mendapat angin buritan, Pek Cu-cay masih terus
mencaci maki Ciok Boh-thian, sedangkan Ting Put-si suka
mengolok-oloknya, beberapa kali mereka hampir-hampir
berkelahi, tapi dapatlah dilerai oleh kawan-kawan sekapal.
Sampai petang hari ketiga, dari jauh tertampaklah daratan
pantai selatan, seketika bersoraklah semua orang. Namun Pek
Cu-cay masih terus melotot memandangi ombak laut yang
mendebur-debur seakan-akan mencari jenazah Su-popo dan A
Siu. Makin lama makin dekatlah, Boh-thian melihat pemandangan
pantai itu masih tetap sama seperti waktu dia berangkat. Di
tepi pantai berderet-deret pohon nyiur. Pada puncak tebing
karang yang menonjol di sebelah kiri sana tumbuh tiga batang
pohon kenapa. Ia masih ingat waktu itu Su-popo, A Siu dan lain-lain
mengantar kepergiannya dengan berdiri di tepi pantai,
sekarang dirinya pulang dengan selamat, namun gurunya dan
A Siu itu sudah menjadi isi perut ikan laut, sampai jenazah pun
tak tertinggal lagi. Teringat demikian, tanpa merasa air
matanya lantas meleleh. Kapal mereka masih terus laju menuju ke tepi pantai. Pada
waktu sudah dekat, sekonyong-konyong terdengar suara
jeritan orang, dari atas tebing karang itu tampak melayang ke
dalam laut dua sosok tubuh orang. Mata Ciok Boh-thian cukup
jeli, sekilas dikenalnya orang-orang yang terjun ke laut itu taklaintak-bukan adalah Su-popo dan A Siu.
Kecut dan girang Ciok Boh-thian sungguh tak terhingga. Pada
saat demikian sudah tentu tak terpikir olehnya mengapa kedua
orang itu belum mati. Segera ia angkat sepotong papan terus
dilemparkan sekuatnya ke arah tempat jatuhnya kedua orang,
menyusul ia kumpulkan segenap tenaga ke ujung kaki, sekali
loncat, seketika tubuhnya melayang ke depan secepat anak
panah. Di sinilah dia telah perlihatkan manfaat ilmu sakti yang
diperolehnya dari lukisan dinding batu di Liong-bok-to itu.
Ketika melayang turun, sebelah kakinya tepat menginjak di
atas papan yang terapung di permukaan air sehingga meluncur
ke depan dengan lebih cepat. Pada saat itu dengan cepat sekali
tubuh A Siu sedang terjun ke bawah dan tepat berada di
sampingnya. Tanpa pikir lagi tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menjulur,
pinggang nona itu tepat kena dirangkul olehnya. Karena bobot
kedua orang ditambah daya terjun si A Siu, seketika papan
yang diinjak Boh-thian itu tertekan ke bawah. Pada waktu itu
juga Su-popo tampak jatuh ke bawah tepat di sebelah
kanannya, untuk menyambar tubuh nenek itu terang tidak
dapat, terpaksa tangan kanan Boh-thian meraih punggung Supopo
dan sekalian didorong ke atas, kembali ia keluarkan ilmu
sakti lukisan dinding Liong-bok-to, segera tubuh Su-popo
melayang ke arah kapal. Orang-orang di atas kapal sama berteriak-teriak. Pek Cu-cay
dan Ting Put-si lantas memburu ke haluan kapal, melihat Supopo
melayang tiba, berbareng kedua orang menjulurkan
tangan hendak menangkapnya.
"Enyah kau!" bentak Pek Cu-cay sambil memukulkan sebelah
tangan kepada Ting Put-si.
Mestinya Ting Put-si hendak menangkis, tak terduga si wanita
she Bwe mendadak mendorongnya dari belakang, tanpa ampun
lagi ia lantas kecebur ke dalam laut.
Pada saat itu juga Pek Cu-cay sudah dapat menangkap badan
Su-popo. Namun melayang datangnya itu membawa tenaga
dorongan Ciok Boh-thian yang mahakuat, Cu-cay tidak dapat
berdiri tegak, ia terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh
terduduk dengan masih tetap memeluk Su-popo sekencangkencangnya.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian sambil memondong A Siu
dengan pinjam daya luncur papan juga sudah mendekati kapal,
sekali lompat ia sudah berada kembali di atas kapal.
Untung juga Ting Put-si mahir berenang sehingga tidak sampai
mati tenggelam. Segera kelasi-kelasi kapal melemparkan
tambang ke bawah untuk mengereknya naik ke atas. Di
sebelah sana orang ribut membicarakan kejadian-kejadian
yang mendadak itu, di sebelah sini dengan basah kuyup Ting
Put-si sedang memandangi si wanita berkerudung she Bwe
dengan kesima, tiba-tiba ia berseru, "Kau... kau bukan adik
perempuannya, tapi kau adalah dia, adalah dia sendiri!"
Wanita itu tertawa dingin dan menjawab, "Hm, asal kau tahu
saja. Sungguh besar amat nyalimu, di hadapanku kau masih
berani memeluk Su Siau-jui?"
Ketika mendadak ia menyingkap kerudungnya, maka
tertampaklah mukanya yang penuh keriput dan amat pucat,
mungkin lantaran terlalu lama diberi kurudung dan tidak
pernah terkena cahaya matahari.
"O, Bun-sing, ternyata memang betul adalah kau," kata Ting
Put-si dengan terharu. "Mengapa kau mem... membohongi aku
bahwa kau sudah meninggal dunia?"
Kiranya wanita berkerudung muka itu bernama Bwe Bun-sing,
bekas kekasih Ting Put-si di masa mudanya. Namun Ting Put-si
tergila-gila kepada Su Siau-jui dan meninggalkan dia, tak
terduga sesudah beberapa puluh tahun kemudian bisa
berjumpa pula. Sekonyong-konyong tangan kiri Bwe Bun-sing menyambar ke
depan, seketika telinga Ting Put-si kena dijewer olehnya,
jeritnya melengking, "Kurang ajar! Jadi kau berharap-harap
agar aku lekas mati saja supaya kau bisa bebas dan senang,
ya?" Karena merasa berdosa, Ting Put-si tidak berani melawan,
jawabnya dengan meringis kesakitan, "E-e-eh, lekas lepas
tangan! Kan malu dilihat para kesatria itu!?"
"Biarkan kau tahu rasa!" sahut Bun-sing dengan menjewer
semakin keras. "Di manakah Hong-koh, hayo kembalikan dia!"
"Lekas, lekas lepaskan tanganmu!" seru Ting Put-si.
"Liong-tocu mengatakan dia tinggal di Koh-chau-nia di lereng
Him-ni-san, marilah sekarang juga kita pergi mencarinya."
"Ya, marilah kita pergi mencarinya, jika tidak ketemu biar
kujewer putus kedua kupingmu!" omel Bwe Bun-sing.
Di tengah ribut-ribut itu kapal pun sudah menepi. Ciok Jing dan
istrinya, Pek Ban-kiam dan orang-orang Swat-san-pay sama
menyambut kedatangan mereka dengan girang. Hanya Seng
Cu-hak, Ce Cu-le, dan Nio Cu-cin bertiga yang merasa kecewa,
tapi terpaksa mereka harus mengucapkan selamat juga atas
pulangnya ciangbunjin. "Ayah, seperti sudah dinyatakan oleh ibu, hari ini adalah Ciagwe
Je-pek (bulan satu tanggal , karena ayah belum
kelihatan pulang, pada waktu anak sedikit lena, kesempatan itu
lantas digunakan oleh ibu dan A Siu untuk terjun ke laut. Tapi
syukurlah akhirnya mereka telah dapat diselamatkan, coba
kalau ayah datang terlambat sedikit saja tentu takkan
berjumpa lagi dengan ibu untuk selamanya," demikian tutur
Pek Ban-kiam. "Apa katamu" Kau bilang hari ini adalah Cia-gwe Je-pek?" Cucay
menegas. "Benar, hari ini memang Je-pek," sahut Ban-kiam.
Cu-cay menggaruk-garuk kepala dengan bingung. Ia
menggumam sendiri, "Pada Cap-ji-gwe Je-pek (bulan 12
tanggal kami sampai di Liong-bok-to. Kami tinggal lebih 50
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hari di sana, mengapa hari ini baru Cia-gwe Je-pek?"
"Aha, agaknya ayah sudah lupa bahwa tahun yang lalu adalah
Lun-cap-ji-gwe, bulan panjang, bulan kabisat ke-12," kata Bankiam.
Mendengar itu barulah Pek Cu-cay sadar. Segera ia rangkul
Ciok Boh-thian dan berseru, "Hahaha, mengapa tidak kau
katakan sejak dulu-dulu, cah" Hahahaha, Lun-cap-ji-gwe ini
benar-benar sangat bagus!"
"Apakah Lun-cap-ji-gwe itu?" tanya Boh-thian.
"Lun-cap-ji-gwe artinya dalam setahun ada dua bulan ke-12,"
sahut Pek Cu-cay dengan tertawa. "Tapi peduli apa dengan lun
segala, asal bini tidak mati sudahlah cukup!"
Maka bergelak tertawalah semua orang.
Waktu Cu-cay menoleh, mendadak ia berseru pula, "He, di
manakah tua bangka Ting Put-si itu, mengapa menghilang?"
"Kau peduli apa dengan dia?" semprot Su-popo. "Dia telah
dijewer Bwe Bun-sing dan diajak pergi mencari putrinya yang
bernama Bwe Hong-koh!"
"Hahhh, kau bilang Bwe Hong-koh?" demikian Ciok Jing Bin Ju
menegas berbareng dengan terkejut. "Ke manakah mereka
hendak mencarinya?" "Waktu di atas kapal tadi kudengar wanita she Bwe itu bilang
akan mencari putri mereka ke Koh-chau-nia di lereng Him-nisan,"
jawab Su-popo. "O, Thian, akhirnya dapatlah kami mengetahui jejak orang itu,
Engkoh Jing," kata Bin Ju dengan suara gemetar. "Ma...
marilah sekarang juga kita susul ke sana."
"Baik," sahut Ciok Jing dan segera mereka berdua mohon diri
kepada Pek Cu-cay dan lain-lain.
"Kita sedang ramai-ramai bergembira ria, sedikitnya kita harus
merayakannya barang beberapa hari, kalian jangan pergi
dulu," ujar Pek Cu-cay.
"Agaknya Pek-supek tidak tahu bahwa Bwe Hong-koh itu
adalah musuh pembunuh anak kami yang telah lama kami cari
itu," tutur Ciok Jing. "Syukurlah sekarang kami telah
mengetahui tempat sembunyinya, kami harus lekas-lekas
menyusul ke sana. Jika terlambat bukan mustahil dia akan
melarikan diri dan sembunyi pula di lain tempat."
"Kau bilang wanita itu telah membunuh putramu?" Cu-cay
menegas. "Hah, kurang ajar! Ya, dia harus dicincang untuk
menebus dosanya. Urusanmu adalah urusanku, hayo
berangkat, kita semua ikut berangkat. Tentu tua bangka TingPut-si dan Bwe Bun-sing itu akan membantu putri mereka,
kalian juga harus membawa bala bantuan supaya dapat
menuntut balas." Karena dapat bertemu dan kumpul kembali dengan Su-popo
dan A Siu sesudah mengalami macam-macam rintangan, maka
perasaannya menjadi amat gembira. Dalam keadaan demikian
apa pun yang orang minta padanya tentu akan diluluskan
olehnya. Maka tanpa diminta juga secara sukarela dia
menyatakan ingin membantu Ciok Jing.
Mengingat Bwe Hong-koh tentu akan dibela oleh Ting Put-si,
sakit hatinya memang sukar dibalas, maka Ciok Jing dan Bin Ju
merasa kebetulan juga jika Pek Cu-cay suka membantunya.
Segera mereka mengucapkan terima kasih.
Ketua Siang-jing-koan sebenarnya belum tiba karena
rombongan mereka berada di kapal yang lain, namun Ciok Jing
dan istrinya buru-buru ingin menuntut balas, maka tanpa
menunggu lagi segera mereka berangkat lebih dulu. Ciok Bohthian
dengan sendirinya juga ikut bersama mereka.
Sepanjang jalan tiada mengalami aral rintangan, akhirnya
sampailah mereka di lereng Him-ni-san. Pegunungan itu seluas
beberapa ratus li sehingga sukar dicari di manakah letak Kohchaunia, bukit rumput kering.
Sampai beberapa hari lamanya mereka mencari kian-kemari di
lereng-gunung itu, lama-lama Pek Cu-cay menjadi kesal, ia
mengomeli Ciok Jing, "Ciok-laute, kalian Hian-soh-siang-kiam
kan bukan kaum keroco biarpun bukan tandinganku, masakah
putranya sendiri juga tidak mampu menjaga sehingga kena
dibunuh oleh bangsat perempuan itu" Ada permusuhan apakah
antara bangsat wanita itu dengan kau, sampai-sampai anakmu
juga dibunuh olehnya?"
"Ai, urusan ini mungkin sudah suratan nasib sehingga sukar
diterangkan," sahut Ciok Jing sambil menghela napas.
"Engkoh Jing, jangan-jangan kau seng... sengaja menyesatkan
kita supaya tidak menemukan dia untuk membalas sakit hati
Anak Kian?" tiba-tiba Bin Ju berkata dengan air mata
berlinang-linang. "Aneh, mengapa suamimu sengaja menyesatkan kita supaya
tidak menemukan musuh kalian?" Cu-cay menegas dengan
heran. Tapi ia lantas berseru, "Ah, tahulah aku! He, Ciok-laute,
tentunya bangsat wanita itu sangat cantik dan dahulu pernah...
pernah main gila dengan kau, betul tidak?"
Ciok Jing menjadi kemalu-maluan, sahutnya, "Pek-supek suka
berkelakar ini!" "Tapi tentu begitulah halnya," kata Cu-cay pula sambil
menatap Ciok Jing. "Tentu disebabkan bangsat wanita itu
cemburu padamu, maka sengaja membunuh putra dari
perkawinanmu dengan Bin-lihiap."
Jika mengenai urusannya sendiri Pek Cu-cay suka anginKang
Zusi http://cerita-silat.co.cc/
anginan dan linglung, tapi kalau mengulas urusan orang lain
ternyata sangat jitu, sekali tebak lantas kena.
Maka Ciok Jing menjadi bungkam. Namun Bin Ju lantas
menyela, "Pek-supek, bukanlah Engkoh Jing mempunyai
hubungan gelap dengan dia, tapi... tapi perempuan she Bwe
itulah yang rindu sepihak dan tergila-gila kepada Engkoh Jing,
dari cinta timbul cemburu dan menjadi dendam pula, akhirnya
putra kami menjadi korban keganasannya."
"Hehhh!" pada saat itulah mendadak Ciok Boh-thian berteriak
heran. Lalu katanya, "Aneh, mengapa... mengapa kita bisa
sampai di sini?" Habis berkata ia terus angkat kaki dan berlari-lari ke atas bukit
yang berada di sebelah kiri sana.
Kiranya mendadak dia merasa pemandangan di sekitar bukit
situ sudah sangat hafal baginya, ternyata bukan lain adalah
tempat kediamannya sejak kecil. Cuma dahulu dia turun dari
balik bukit sebelah sana, maka dia tidak bisa lantas mengenal
keadaan bukit itu. Dengan ginkangnya yang mahahebat sekarang, dalam sekejap
saja ia sudah sampai di atas bukit itu. Sesudah memutar ke
sebelah hutan sana, sampailah dia di depan sebuah rumah
gubuk. Segera terdengar suara anjing menyalak, seekor anjing
kuning telah berlari keluar dari rumah gubuk itu terus
menubruk padanya. Cepat Boh-thian merangkul anjing itu sambil berteriak girang,
"Kuning, si Kuning! Kiranya kau sudah pulang lebih dulu! Di
manakah ibuku" He, ibu, ibu!"
Maka tertampaklah dari dalam rumah gubuk itu muncul tiga
orang. Seorang yang berdiri di tengah itu berwajah sangat
buruk dan aneh, siapa lagi dia kalau bukan ibunya Ciok Bohthian.
Sedangkan kedua orang yang berdiri di kanan-kirinya
adalah Ting Put-si serta Bwe Bun-sing.
"Ibu!" sapa Boh-thian dengan girang sambil mendekatinya
dengan memondong si Kuning.
"Ke mana perginya kau, sampai sekarang baru pulang?"
semprot wanita jelek itu.
Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong
suara Bin Ju telah menyela di belakangnya, "Bwe Hong-koh,
biarpun kau menyamar dan ganti rupa juga takkan dapat
mengelabui mataku! Sekalipun kau lari sampai di ujung langit
juga akan... akan...."
Boh-thian terperanjat, cepat ia berpaling dan berseru, "He,
Ciok-hujin, ke... kelirulah kau! Dia adalah ibuku dan bukan
musuh pembunuh putramu itu."
Ciok Jing dan Bin Ju juga terperanjat sekali demi mendengar
Ciok Boh-thian mengatakan wanita jelek itu adalah ibunya,
"Wanita ini benar-benar ibumu?" Ciok Jing menegas.
"Ya," sahut Boh-thian tegas, "Sejak kecil aku hidup bersama
ibu. Mendadak pada hari itu ibu telah hilang, aku lantas pergi
mencarinya bersama si Kuning, tapi akhirnya aku kesasar dan
si Kuning juga hilang. Coba lihat, bukankah si Kuning itu
berada di sini!" Segera ia angkat anjing kuning itu ke atas dengan gembira.
Namun Ciok Jing lantas berkata kepada wanita bermuka jelek
itu, "Hong-koh, jika kau sendiri juga punya anak, mengapa
dahulu kau tega membunuh putraku?"
Wanita bermuka jelek itu memang betul Bwe Hong-koh
adanya. Dia tertawa-tawa dingin. Sebelum menjawab, tiba-tiba
Boh-thian menyela, "Ibu, apakah betul putranya Ciok-cengcu
dan Ciok-hujin telah... telah kau bunuh" Apa... apa sih
sebabnya?" "Hm, aku suka membunuh siapa segera kubunuh, peduli sebab
apa segala?" jawab Hong-koh dengan mendengus.
Perlahan-lahan Bin Ju lantas melolos pedang, katanya kepada
sang suami, "Engkoh Jing, aku tidak ingin mempersulit dirimu,
silakan kau berdiri di samping saja. Jika aku tidak mampu
membunuh dia, hendaklah kau pun tidak perlu membantu
padaku." Ciok Jing mengerut kening, ia merasa serbasusah dan runyam.
"Ting-losi," tiba-tiba Pek Cu-cay menimbrung, "biarlah kita
bicara di muka dulu. Jika kalian suami-istri diam-diam
menonton saja di samping, maka kita semua pun akan
menonton saja. Tapi kalau kalian akan membantu putri
mestikamu itu, maka biarlah kalian mengetahui bahwa
kedatangan kami ke sini ini tidak cuma untuk melancong saja."
Melihat jumlah pihak lawan sangat banyak, mendadak Ting
Put-si mendapat akal, jawabnya, "Baik, kita boleh berjanji
untuk tidak saling membantu. Biarlah kedua pihak sama-sama
terdiri dari satu lelaki dan satu perempuan untuk menentukan
kalah atau menang. Di pihak kalian adalah suami-istri Ciokcengcu,
di sebelah sini biar mereka ibu dan anak yang maju."
Sudah beberapa kali ia bergebrak dengar Ciok Boh-thian, ia
tahu ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi daripada Ciok Jing
berdua, dengan bantuan Ciok Boh-thian pastilah Bwe Hong-koh
akan dapat mengalahkan lawannya.
Bin Ju memandang sekejap kepada Boh-thian, tanyanya, "Adik
cilik, apakah kau tidak mengizinkan aku menuntut balas?"
"Ciok-hujin, aku... aku...." kata Boh-thian dengan tergagapgagap.
Mendadak ia berlutut dan menjura kepada nyonya Ciok
sambil berkata, "Biarlah aku meminta maaf padamu, hendaklah
kau jangan mencelakai ibuku."
"Berdiri, Kau-cap-ceng! Siapa yang suruh kau mintakan ampun
kepada perempuan hina itu?" bentak Bwe Hong-koh dengan
bengis. Mendadak hati Bin Ju tergerak. Ia tanya, "Mengapa kau
memanggil demikian kepadanya" Kan dia adalah putra
kandungmu" Jangan-jangan... jangan-jangan...." Ia menoleh
kepada sang suami dan berkata, "Engkoh Jing, adik cilik ini
mirip benar dengan anak Giok, jangan-jangan dia adalah
putramu dari hubungan gelap dengan Bwe-siocia?"
Dasarnya dia memang ramah tamah dan halus budi, walaupun
menghadapi perkara besar demikian bicaranya tetap sopan
santun. Maka cepat Ciok Jing menjawab, "Tidak, tidak! Mana bisa
terjadi demikian?" Namun Pek Cu-cay sudah lantas terbahak-bahak, katanya,
"Hahaha, kau tidak perlu mungkir lagi. Sudah tentu dia adalah
putra haram kalian berdua ini, kalau tidak masakah ada
seorang ibu tega menyebut putranya sendiri sebagai "Kau-capceng?"
Rupanya Nona Bwe ini teramat benci padamu!"
Mendadak Bin Ju menaruh pedangnya ke atas tanah, lalu
berkata, "Baiklah, silakan kalian bertiga berkumpul kembali.
Aku... aku akan pergi saja."
Habis berkata ia terus putar tubuh hendak berangkat.
Cepat Ciok Jing menarik tangannya, serunya cemas, "Adik Ju,
jika kau juga menyangsikan diriku, biarlah kubunuh dulu
perempuan hina ini untuk membuktikan kemurnian hatiku."
"Tapi... tapi anak ini memang sangat mirip dengan anak Giok,
bahkan juga sangat mirip engkau," sahut Bin Ju dengan suara
lembut. Tanpa bicara lagi pedang Ciok Jing terus menusuk ke arah Bwe
Hong-koh. Tak tersangka Bwe Hong-koh itu sama sekali tidak
berkelit, bahkan membusungkan dada menerima ajal.
Tampaknya tusukan itu segera akan menembus dadanya,
mendadak jari Ciok Boh-thian menyelentik, "cring", pedang
Ciok Jing tergetar patah menjadi dua.
"Bagus, Ciok Jing, kau sengaja hendak membunuh aku, ya?"
tanya Bwe Hong-koh dengan tersenyum pedih.
"Benar, Hong-koh," kata Ciok Jing tegas. "Biarlah kukatakan
sekali lagi secara blakblakan bahwa di dunia ini hatiku hanya
terisi Bin Ju seorang. Selama hidupku ini tiada pernah
mempunyai perempuan yang kedua. Jika kau suka padaku, itu
berarti pula kau membikin susah diriku. Ucapanku ini sudah
kukatakan pada 22 tahun yang lalu, hari ini tetap demikian
ucapanku." Sampai di sini mendadak suaranya berubah menjadi ramah,
katanya, "Hong-koh, putramu sendiri pun sudah begini
besarnya. Adik cilik ini adalah seorang baik, seorang jujur, ilmu
silatnya tiada bandingannya, dalam waktu beberapa tahun
namanya tentu akan mengguncangkan Kangouw dan menjagoi
Bu-lim. Sebenarnya siapakah ayahnya, mengapa tidak kau
terangkan padanya?" "Ya, ibu, sebenarnya siapakah ayahku?" segera Boh-thian
menyela. "Aku she apa" Ka... katakanlah padaku. Mengapa
engkau selalu memanggil aku sebagai "Kau-cap-ceng?""
"Siapakah ayahmu, di dunia ini hanya akulah yang tahu," sahut
Hong-koh dengan tersenyum pilu. Lalu ia berpaling kepada
Ciok Jing, "Ya, sudah lama aku pun tahu bahwa di dalam
hatimu hanya terdapat Bin Ju seorang. Maka dari itu dahulu
aku telah merusak wajahku sendiri."
"Kau... kau merusak wajah sendiri, buat apa sih?" Ciok Jing
menggumam haru. "Buat apa" Buat apa" Wajahku dahulu dengan wajah Bin Ju
sebenarnya siapa lebih cantik?" tanya Bwe Hong-koh.
Untuk sejenak Ciok Jing menjadi ragu-ragu sambil memegangi
tangan sang istri, akhirnya ia menjawab, "Pada 20 tahun yang
lalu engkau adalah wanita cantik yang termasyhur di dunia
persilatan. Meski wajah istriku tidaklah jelek, tapi tak dapat
menandingi kau." Bwe Hong-koh tersenyum dan mendengus satu kali.
Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebaliknya Ting Put-si lantas berteriak, "Itu dia, dasar kau Ciok
Jing ini memang anak bergajul, sudah tahu wajah Hong-koh
kami sangat cantik dan jarang ada bandingannya, mengapa
kau tidak suka padanya?"
Ciok Jing tidak menjawab, ia pegang tangan Bin Ju dengan
lebih kencang seakan-akan khawatir sang istri menjadi marah
dan hendak tinggal pergi lagi.
"Lalu tentang ilmu silatku dahulu kalau dibandingkan Bin Ju
siapa yang lebih tinggi?" tanya Hong-koh pula.
"Bwe-hoa-kun keluargamu ditambah dengan macam-macam
ilmu silat aneh dari keluarga Ting sudah tentu kepandaian
istriku yang belum sempurna waktu itu tak dapat menandingi
engkau," sahut Ciok Jing.
"Dan tentang ilmu kesusastraan siapa lagi yang lebih pandai?"
tanya Hong-koh lagi. "Engkau pandai mengarang dan mahir bersyair, kami suamiistri
mana dapat menandingi kau," sahut Ciok Jing.
Diam-diam Boh-thian sangat heran. Jika sang ibu sedemikian
serbapandai, mengapa sedikit pun tidak pernah mengajarkan
padanya" Dalam pada itu dengan tertawa dingin Bwe Hong-koh telah
berkata, "Jika begitu, mungkin pekerjaan tangan dan
kepandaian di dapur adik Bin ini lebih mahir daripada diriku."
"Tidak, memegang jarum saja istriku tak bisa, menggoreng
telur saja dia juga tidak mahir, mana dia dapat menandingi
keterampilanmu," sahut Ciok Jing sambil menggeleng.
"Habis apa sebabnya bila bertemu dengan aku sedikit pun kau
tidak memperlihatkan sikap yang ramah, sebaliknya jika
berada bersama Bin-sumoaymu lantas banyak omong banyak
tertawa" Sebab apa... sebab apa...?" sampai di sini suara
Hong-koh sampai gemetar. "Aku sendiri pun tidak tahu, Nona Bwe," sahut Ciok Jing
perlahan. "Segala apa engkau melebihi Bin-sumoay, bahkan
melebihi aku. Bila berada bersama kau aku merasa rendah dan
merasa tidak sesuai mempersunting dikau."
Untuk sekian lamanya Bwe Hong-koh termangu-mangu,
mendadak ia menjerit terus berlari ke dalam rumah gubuk.
Cepat Bwe Bun-sing dan Ting Put-si menyusul ke dalam.
"Engkoh Jing," kata Bin Ju sambil menggelendot di tubuh sang
suami. "Nona Bwe seorang yang bernasib malang, biar dia
sudah membunuh anakku, namun aku masih lebih bahagia
daripada dia. Aku tahu di dalam hatimu selalu hanya terisi
diriku seorang. Marilah kita pergi saja, sakit hati ini tak perlu
dibalas lagi." "Kita tidak menuntut balas?" Ciok Jing menegas.
"Ya, sekalipun kita membunuh dia juga Anak Kian tak dapat
hidup kembali," kata Bin Ju.
Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar teriakan Ting
Put-si, "Anak Hong, mengapa kau membunuh diri" Biar
kulabrak keparat she Ciok itu!"
Ciok Jing dan lain-lain sama terkejut. Tertampaklah Bwe Bunsing
berjalan keluar dengan memondong tubuh Bwe Hong-koh.
Lengan baju kiri Hong-koh tampak tersingsing tinggi sehingga
kelihatan kulit badannya yang putih halus. Di atas lengan
terdapat setitik andeng-andeng merah. Itulah "siu-kiong-seh"
(merah cecak) pertanda masih perawan (menurut cerita kuno,
cecak diberi makan obat-obat tertentu sehingga sekujur badan
berubah menjadi merah, diambil darahnya dan dicocokkan di
atas badan anak gadis dan jadilah setitik andeng-andeng
merah. Jika hilang kesucian perawannya, lenyap pula andengandeng
merah itu). "Ini bukti Hong-koh masih suci bersih, sampai sekarang masih
tetap perawan, dengan sendirinya Kau-cap-ceng ini bukanlah
anaknya," demikian Bwe Bun-sing berteriak.
Serentak sorot mata semua orang beralih ke arah Ciok Bohthian,
pikir mereka, "Ya, jika Bwe Hong-koh masih perawan
suci, dengan sendirinya bukan ibu pemuda ini. Lalu siapakah
ibunya dan siapa pula ayahnya" Mengapa Bwe Hong-koh mau
mengaku sebagai ibunya?"
Ciok Jing dan Bin Ju sama berpikir, "Jangan-jangan mayat Anak
Kian yang dikirim kepada kami oleh Hong-koh itu bukanlah
Anak Kian yang sesungguhnya, tapi adalah mayat anak orang
lain, sebaliknya Anak Kian telah dibesarkan oleh Hong-koh dan
jadilah pemuda ini" Kalau tidak, buat apa Hong-koh
memanggilnya sebagai "Kau-cap-ceng", apalagi mukanya juga
sangat mirip sekali dengan anak Giok?"
Ciok Boh-thian sendiri pun merasa bingung dan penuh
pertanyaan, "Siapakah ayahku" Siapakah ibuku" Siapa pula
diriku sendiri?" Tapi karena Bwe Hong-koh sudah mati membunuh diri, dengan
sendirinya pertanyaan-pertanyaan itu tiada seorang pun dapat
memberi jawaban. Hanya para pembaca yang cerdik kami
yakin telah dapat menduga dan memberi jawaban yang
tepat..... .: TAMAT :. Pendekar Sakti 15 Legenda Kematian Karya Gu Long Pendekar Gila 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama