Ceritasilat Novel Online

Kejutan Di Shock Street 2

Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Bagian 2


punggung ke dinding gua. Di luar dugaanku, Marty tiba-tiba tertawa.
Aku menoleh, dan mencengkeram pundaknya.
"Ada apa sih, Marty" Kau baik-baik saja?"
"Tentu saja aku baik-baik saja." Ia melepaskan diri dariku dan
menghampiri serangga raksasa itu. "Kenapa kita mesti takut, Erin" Ini
cuma robot raksasa. Robot ini diprogram untuk berjalan ke arah trem."
"Hah" Tapi, Marty..."
"Ini semua cuma program komputer," katanya sambil menatap
kepala besar yang terus merunduk itu. "Ini bukan sungguhan. Ini
bagian dari atraksi tur."
Aku menatap makhluk itu. Tetes-tetes air liur mengalir dari
lidahnya yang tebal. Lalu bercipratan ke segala arah ketika jatuh ke
dasar gua. "T-tapi... ehm... kelihatannya seperti sungguhan," aku
bergumam. "Ayahmu memang jenius untuk urusan seperti ini!" Marty
berkata dengan yakin. "Nanti kita beritahukan padanya bahwa
belalang ini benar-benar hebat." Ia tertawa lagi. "Ayahmu kan
meminta pendapat kita. Nah, kurasa ini salah satu bahan laporanku."
Serangga itu menggosok-gosokkan kaki depannya, lalu
mengeluarkan suara melengking.
Aku segera menutup telinga. Suara bernada tinggi itu membuat
telingaku sakit! Aku masih menutup telinga ketika belalang lain muncul dari
balik batu besar. "Hei"ada lagi!" seru Marty sambil menunjuk. Ia menarik
lenganku. "Wow! Gerak-geriknya begitu halus. Sama sekali tidak
kelihatan bahwa mereka cuma mesin."
Kedua serangga itu berderik-derik, seakan-akan saling bercerita.
Mata mereka berputar-putar. Antena di kepala masing-masing
berayun-ayun dengan cepat.
Tetes-tetes air liur mengalir dan berjatuhan ke dasar gua.
Belalang kedua mengembangkan sayapnya yang keperakan, lalu
segera melipatnya kembali.
"Wah, keren!" seru Marty. Ia berpaling padaku. "Sebaiknya kita
kembali ke trem saja. Aku rasa tremnya bakal segera jalan lagi setelah
kemunculan serangga-serangga raksasa ini."
Kedua belalang itu masih berderik-derik. Lalu melompat maju
dan mendarat di dasar gua yang licin.
"Mudah-mudahan kau benar," kataku penuh harap. "Seranggaserangga ini terlalu meyakinkan. Aku sudah tidak sabar untuk keluar
dari sini." Aku mengikutinya berjalan ke trem.
Belalang pertama cepat-cepat melompat maju. Ia melompat ke
depan, sehingga menghalangi jalan kami.
"Hei"!" seruku.
Kami mencoba menghindarinya. Tapi belalang itu kembali
melompat untuk menghadang kami.
"D-ia tidak membiarkan kita lewat!" aku tergagap-gagap, dan
mengerang ketika makhluk besar itu tiba-tiba merunduk dan
membenturkan kepala ke dadaku. Serudukan keras itu membuatku
terjengkang. "Hei"jangan!" kudengar Marty berteriak. "Robot ini pasti
rusak!" Dengan mata menyala-nyala belalang itu merunduk lagi"dan
kembali mendorongku ke tengah gua.
Rekannya segera bergerak untuk menghadang Marty. Serangga
raksasa itu mulai mengambil ancang-ancang untuk menyeruduk Marty
Tapi Marty cepat-cepat mundur sambil mengangkat tangan untuk
melindungi diri. Ia bergegas menghampiriku.
Kudengar bunyi berkeresek. Lalu suara berderik-derik.
Aku berbalik dan melihat dua belalang lain muncul dari balik
batu-batu. Disusul dua lagi, dengan antena berayun-ayun. Semua
menjilat-jilat bibir dengan lidah mereka yang tebal kelabu.
Marty dan aku berdiri di tengah gua ketika makhluk-makhluk
itu melangkah dan melompat di sekeliling kami. Kemudian semua
bangkit, berdiri dengan kaki belakang. Mata mereka yang hitam
bersinar-sinar, sementara lengan mereka yang pendek berayun-ayun.
"K-kita terkepung!" aku memekik.
13 SERANGGA-SERANGGA raksasa itu mengerik-ngerik
berbarengan, seraya menggosok-gosokkan kaki depan. Seluruh gua
dipenuhi suara melengking yang bersahut-sahutan.
Mereka membentuk lingkaran di sekeliling kami, lalu bergerak
mendekat. Lidah mereka menjulur-julur. Tetes-tetes air liur berjatuhan
ke dasar gua. "Mereka lepas kendali!" seru Marty.
"Kita bakal diapakan?" seruku sambil menutup telinga.
"Barangkali mereka bisa dikendalikan lewat suara," ujar Marty.
Ia menengadah dan menghardik belalang-belalang itu: "Berhenti!
Berhenti!" Teriakannya tidak digubris.
Salah satu belalang memiringkan kepalanya yang keperakan,
membuka mulut, dan meludahkan gumpalan hitam. Gumpalan itu
mengenai sepatu kets Marty.
Ia langsung melompat mundur. Tapi sepatu kets-nya menempel
di dasar gua. Marty berusaha mati-matian melepaskan sepatunya.
"Idih! Awas, Erin! Cairan hitam ini lengket seperti lem!" serunya.
CROOOT. Belalang lain membuka mulut lebar-lebar dan meludahkan
gumpalan hitam yang lengket. Gumpalan itu mengenai bahuku.
"Aduh!" teriakku. Cairan kental itu temyata panas sekali"
bahuku serasa terbakar. Belalang yang lain mengerik-ngerik dan menggosok-gosokkan
lengan mereka yang berbulu. Lidah mereka menjulur-julur. Semua
bersiap-siap menyergap kami.
"Ambil pistol!" aku berseru sambil menarik tangan Marty.
"Barangkali kita bisa mengusir mereka dengan pistol-pistol itu!"
"Pistol itu cuma mainan!" Marty menyahut dengan panik.
CROOOT. Kaki Marty nyaris terkena gumpalan hitam.
"Lagi pula, pistol kita ada di trem!" Marty melanjutkan sambil
menatap makhluk-makhluk mengerikan yang mengelilingi kami.
"Mereka takkan membiarkan kita mendekati trem."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Sekonyong-konyong aku mendapat ide.
"Marty..." bisikku. "Apa yang biasa kita lakukan untuk
mengatasi gangguan serangga?"
"Hah" Erin"apa maksudmu?"
"Biasanya kita injak"ya, kan" Serangga yang mengganggu
biasanya kita injak."
"Tapi, Erin..." Marty memprotes. "Mereka terlalu besar. Bisabisa malah kita yang diinjak!"
"Tak ada salahnya dicoba!" ujarku.
Kuangkat sebelah kaki"lalu kuentakkan sekeras mungkin ke
kaki belalang yang paling dekat.
Serangga raksasa itu langsung mendesis nyaring dan melompat
mundur. Di sampingku, Marty menginjak kaki belalang lain dengan
tumit sepatu ketsnya. Belalang itu juga segera mundur lalu
mengangkat kepala sambil mendesis-desis kesakitan. Matanya
berputar-putar. Antenanya berdiri tegak.
Sekali lagi kuentakkan kaki. Diiringi erangan parau, belalang
besar itu jatuh terbalik. Keempat kakinya menendang-nendang ke atas.
"Ayo, lari!" aku berseru.
Aku berbalik dan menerobos kepungan serangga-serangga itu.
Aku tidak tahu harus lari ke mana. Aku cuma tahu bahwa aku harus
lari sekencang mungkin. Gua dipenuhi suara desis dan siulan melengking, derik-derik
gusar dan erangan-erangan parau. Aku menoleh dan melihat Marty
berlari di belakangku. Aku terus berlari tanpa menggubris suara-suara itu.
Berlari ke trem. Aku membungkuk lewat dinding samping dan menyambar
kedua pistol plastik yang tergeletak di bangku.
Aku berbalik lagi dan berlari menyusuri dinding gua yang
terbuat dari batu karang.
Ke mana aku harus kabur"
Bagaimana aku bisa lolos dari tempat ini"
Suara-suara di belakangku semakin keras. Bayangan seranggaserangga raksasa menari-nari di dinding gua. Dalam hati aku waswas
bayangan-bayangan itu bisa menangkapku.
Aku melirik ke belakang. Marty masih berlari di belakangku.
Belalang-belalang itu mengejar kami sambil melompat,
merangkak, dan melangkah terseok-seok.
Ke mana aku harus lari" Ke mana"
Tiba-tiba aku melihat lubang sempit di dinding gua. Sebenamya
bukan lubang, hanya sebuah celah.
Tapi kesempatan itu tidak kusia-siakan. Langsung saja aku
menyelinap ke dalam celah gelap di dinding batu.
Tahu-tahu aku sudah berada di sisi seberang. Cahaya matahari
yang pucat mengelilingiku.
Aku berada di luar! ebukulawas.blogspot.com
Kulihat pohon-pohon tumbuh di lereng bukit. Dan di bawah
tampak jalan yang menuju ke gedung-gedung studio.
Yes! Aku berhasil keluar dari gua!
Aku merasa begitu gembira. Begitu aman.
Tapi kegembiraanku tidak bertahan lama.
Napasku baru mulai tenang kembali ketika kudengar Marty
berteriak ngeri: "Erin"tolong! Tolong! Aku ditangkap! Aku dimakan
hidup-hidup!" 14 AKU berbalik sambil memekik tertahan.
Bagaimana aku bisa menolong Marty" Bagaimana aku bisa
mengeluarkannya dari gua"
Di luar dugaanku, ia sedang bersandar santai ke dinding gua.
Sebelah sikunya bertumpu ke batu karang. Ia menatapku sambil
nyengir lebar. "Ketipu!" katanya.
"YAAAIIII!" teriakku gusar. Kujatuhkan kedua pistol plastik
dan bergegas maju untuk memukulnya dengan tinjuku. "Dasar
brengsek! Kau memang keterlaluan. Kau bikin aku kaget setengah
mati!" Ia cuma tertawa dan mengelak ke samping ketika aku
mendekat. Pukulan yang kulayangkan tidak mengenai sasaran.
"Jangan konyol seperti itu!" aku membentaknya sambil bertolak
pinggang. "Tempat ini terlalu menakutkan! Serangga-serangga raksasa
tadi..." "Yeah. Belalang-belalang itu memang menakutkan," ia
mengakui. Senyumnya lenyap. "Semuanya seperti hidup! Bagaimana
cara mereka dibuat sampai bisa meludah?"
Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu."
Perutku serasa terisi batu. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi
aku mulai percaya bahwa semua makhluk yang kami lihat memang
makhluk hidup. Barangkali aku terlalu banyak menonton film horor. Tapi
belalang-belalang raksasa, cacing-cacing putih serta semua makhluk
dan monster tadi betul-betul seperti hidup.
Gerak-gerik mereka tidak seperti robot. Dan sepertinya mereka
juga bernapas. Mata mereka menatap Marty dan aku seakan-akan
benar-benar melihat kami.
Aku ingin mengemukakan pendapatku pada Marty. Tapi aku
tahu ia bakal menertawakan aku.
Ia begitu yakin bahwa semuanya cuma robot dan yang kami
lihat cuma efek khusus untuk film. Penjelasan itu memang lebih
masuk akal. Bagaimanapun juga, kami kan sedang mengikuti tur di
studio film. Aku berharap Marty benar. Aku berharap semuanya hanya
pura-pura. Tipuan film. Dad memang jenius dalam hal merancang robot dan atraksi
taman hiburan. Dan mungkin saja memang itu yang kami lihat.
Barangkali inilah hasil karya Dad yang terbaik.
Tapi perasaanku tetap tidak enak. Aku mendapat kesan bahwa
kami dalam bahaya. Bahaya sungguhan.
Aku mendapat kesan ada yang tidak beres di sini. Ada sesuatu
yang lepas kendali. Tiba-tiba aku berharap kami bukan dua anak pertama yang
mencoba tur ini. Aku tahu seharusnya mengasyikkan, bahwa selain
kami tidak ada siapa pun di sini. Tapi suasananya terlalu tenang.
Terlalu sepi. Terlalu menakutkan. Aku akan jauh lebih senang
seandainya kami bersama ratusan orang lain.
Semua ini ingin kuceritakan pada Marty. Tapi bagaimana
mungkin" Ia begitu memaksa untuk membuktikan bahwa ia lebih berani
daripada aku. Begitu keras ingin membuktikan bahwa ia tidak takut
pada apa pun. Aku tidak mungkin memberitahukan padanya apa yang
kupikirkan. Kupungut kedua pistol plastik yang tergeletak di tanah, satu
kuberikan pada Marty. Aku tidak mau membawa kedua-duanya.
Marty menyelipkan moncong pistol ke kantong celana jeansnya. "Eh, Erin"coba periksa di mana kita berada!" serunya. Ia berlari
melewatiku. Pandangannya tertuju lurus ke depan. "Kita periksa
sekarang!" Ia mulai berlari melintasi rumput. Aku berbalik dan
mengikutinya. Aku tidak mau ketinggalan terlalu jauh di belakangnya.
Langit telah bertambah gelap. Matahari telah menghilang di
balik lapisan awan tebal. Kabut kelabu tampak mengambang di udara
yang dingin. Sebentar lagi malam akan tiba.
Kami menyeberang jalan dan memasuki sebuah kota.
Maksudnya, sebuah kota buatan untuk syuting film. Kota kecil dengan
bangunan-bangunan berlantai satu dan dua, toko-toko kecil, serta
sebuah toko serba ada. Di balik deretan toko berdiri rumah-rumah tua
yang besar. "Apakah tempat ini benar-benar dipakai untuk syuting film?"
aku bertanya sambil bergegas mengejar Marty.
Ia berpaling padaku. Matanya yang gelap bersinar-sinar. "Masa
kau tidak mengenali tempat ini" Masa kau tidak tahu kita ada di
mana?" Dan kemudian aku melihat rumah besar yang setengah
tersembunyi di balik pepohonan. Di seberangnya terdapat pagar kayu
yang mengelilingi kuburan lama.
Seketika aku sadar kami berada di Shock Street.
"Wow!" seruku sambil berputar-putar. Rasanya aku ingin
melihat semuanya sekaligus. "Kita benar-benar di Shock Street. Di
sini tempat semua filmnya dibuat!"
"Tempatnya tidak seperti yang kubayangkan," ujar Marty.
"Aslinya ternyata lebih seram daripada di film!"
Ia benar. Sementara langit semakin gelap karena matahari sudah
mulai terbenam, bayangan-bayangan panjang menerpa bangunanbangunan yang kosong. Angin menderu-deru.
Marty dan aku menyusuri jalanan sambil berusaha melihat


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala sesuatu. Berulang kali kami menyeberang, mengintip ke
jendela-jendela toko yang berlapis debu"lalu berlari untuk
memeriksa pekarangan depan sebuah rumah tua yang tak terurus.
"Coba lihat tanah kosong itu!" ujarku sambil menunjuk. "Itu
kan tempat The Mad Mangier selalu mengintai korbannya. Masih
ingat" Di Shocker III" Ia membantai semua orang yang lewat di situ."
"Tentu saja aku ingat," balas Marty dengan ketus. Ia melangkah
ke tanah kosong itu. Alang-alang tinggi merunduk karena tertiup
angin yang menderu-deru. Bayangan-bayangan menari-nari pada
pagar di bagian belakang.
Aku tetap berdiri di trotoar dan memicingkan mata untuk
mencari apa yang menimbulkan bayangan-bayangan itu.
Jangan-jangan The Mad Mangier masih berkeliaran di sana"
Tanah kosong itu betul-betul kosong. Jadi bagaimana mungkin
ada bayangan-bayangan yang menari-nari pada pagar"
"Marty"jangan sok nekat," aku memohon. "Hari sudah mulai
gelap." Ia berbalik. "Kenapa" Kau takut, Erin?"
"Ini kan cuma tanah kosong," sahutku. "Untuk apa kita buangbuang waktu di sini."
"Semua orang menyangka ini cuma tanah kosong," jawab
Marty sambil merendahkan suara supaya berkesan seram. "Sampai
mereka disergap oleh The Mad Mangier dan dibantai di sini!" Ia
tertawa menakutkan. "Marty"kau sudah mulai tidak waras," ujarku sambil gelenggeleng.
Ia kembali ke trotoar dan kami menyeberangi jalan. "Coba aku
bawa kamera," katanya. "Aku ingin punya foto saat aku berdiri di
tanah kosong The Mangier." Matanya bersinar-sinar. "Atau lebih
asyik lagi..." Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja ia berlari
sekencang mungkin. "Hei"tunggu!" seruku.
Beberapa detik kemudian aku sudah tahu tujuannya. Ke
kuburan lama. Ia berlari ke gerbang kayu yang sudah retak-retak, lalu berbalik
ke arahku. "Lebih asyik lagi kalau aku punya foto saat aku berdiri di
tengah kuburan. Di tengah-tengah lokasi syuting film Cemetery on
Shock Street." "Kita tidak bawa kamera. Ayo, jangan macam-macam."
Marty tidak menggubrisku dan malah mulai membuka gerbang.
Bagian bawah gerbang tertahan rerumputan. Marty menarik keraskeras sampai terdengar bunyi berderak-derak. Akhirnya gerbang itu
bergerak sedikit. "Marty"ayo, dong," aku mendesak. "Sekarang sudah sore.
Ayahku sudah menunggu. Ia pasti kuatir karena kita belum kembali."
"Tapi ini kan bagian dari tur!" Marty berkeras. Ia menarik
gerbang kuburan yang berat hingga ada celah yang cukup lebar untuk
dilewati. "Marty"ayo! Jangan masuk!" aku memohon, lalu bergegas
menghampirinya. "Erin, ini cuma tempat syuting film. Kenapa kau tiba-tiba jadi
penakut?" "A-aku punya firasat buruk tentang kuburan ini," aku tergagapgagap.
"Ini bagian dari tur," ia mengulangi.
"Tapi tadi gerbangnya tertutup!" seruku. "Gerbangnya ditutup
supaya tidak ada yang masuk." Aku menoleh ke arah kuburan dan
melihat nisan-nisan tua menyembul dari permukaan tanah. "Aku
punya firasat buruk..."
Marty tidak menghiraukan alasanku. Ia kembali menarik
gerbang lalu menyelinap ke kuburan.
"Marty"jangan...!" Aku mencengkeram pagar yang rendah,
memperhatikan Marty. Ia berjalan tiga langkah ke arah kuburan-kuburan tua itu.
Kemudian ia mengangkat tangan tinggi-tinggi"dan menghilang dari
pandangan. 15 SAMBIL berkedip-kedip aku memandang ke kegelapan di
hadapanku. Aku menelan ludah. Satu kali. Dua kali.
Aku tidak percaya ia menghilang, lenyap begitu saja.
Angin menderu-deru di antara batu-batu nisan yang miring tak
beraturan. "Marty...?" Suaraku tak lebih dari bisikan parau. "Marty...?"
Aku begitu takut hingga tanpa sadar mencengkeram pagar
keras-keras. Tanganku sampai sakit. Aku tahu aku tidak punya
pilihan. Aku harus menyusul Marty dan mencari tahu apa yang terjadi
dengannya. Kutarik napas panjang, lalu menyelinap lewat celah antara
dinding dan gerbang. Tanahnya empuk. Sepatu ketsku seperti ditelan
oleh rerumputan tinggi. Aku maju selangkah. Selangkah lagi. Aku berhenti ketika mendengar suara Marty. "Hei"awas! Hatihati!"
"Hah?" Aku memandang berkeliling. "Di mana kau?"
"Di bawah sini."
Aku merunduk"dan menatap ke sebuah lubang yang dalam
dan gelap. Sebuah liang lahat yang menganga. Marty membalas
tatapanku dari bawah. Pipi dan T-shirt-nya tercoreng tanah merah. Ia
mengulurkan kedua tangan. "Bantu aku naik. Aku terperosok."
Mau tidak mau aku tertawa. Kelihatannya konyol sekali, Marty
berdiri di dalam lubang, berlepotan tanah.
"Apanya yang lucu" Jangan tertawa, bantu aku keluar dari sini,"
katanya tak sabar. "Kan sudah kubilang," ujarku. "Aku punya firasat buruk tentang
tempat ini." "Huh, baunya minta ampun di bawah sini," Marty menggerutu.
Aku membungkuk. "Bau apa, sih?"
"Bau tanah. Ayo, bantu aku, dong!"
"Oke, oke." Aku meraih kedua tangannya dan menarik keraskeras. Ia mengayunkan kaki dan berpijak pada tanah yang empuk.
Beberapa detik kemudian Marty sudah keluar. Cepat-cepat ia
menepis tanah yang melekat pada bajunya. "Wah, asyik juga,"
katanya. "Sekarang aku bisa cerita bahwa aku pernah masuk ke dalam
kuburan di Shock Street Cemetery."
Aku merinding ketika tiupan angin bertambah kencang. "Ayo,
kita pergi saja dari sini."
Sesuatu yang kelabu menyelinap tanpa suara di antara dua batu
nisan tua. Segumpal kabut" Atau seekor kucing abu-abu"
"Coba lihat kuburan-kuburan ini," kata Marty sambil menepis
tanah dari celana jeans-nya. "Semua sudah retak-retak dan pudar.
Nama yang tercantum hampir tak terbaca lagi. Keren, kan. Dan coba
lihat sarang labah-labah yang dipasang di deretan batu nisan sebelah
sana. Seram, ya?" "Marty"ayo, dong!" aku mendesak. "Ayahku pasti sudah
mulai kuatir. Mungkin tremnya juga sudah jalan lagi. Barangkali kita
bisa menemukannya." Ia tidak menggubrisku. Aku memperhatikannya membungkuk
di hadapan sebuah batu nisan untuk membaca nama yang terukir.
"Ben Joll," ujamya. "Delapan belas empat puluh sampai delapan belas
delapan tujuh." Ia tertawa. "Ben Joll, hahaha. Dan lihat nama-nama di
sebelahnya. Joe Get. Dicky Bulin. Ini semua nama-nama kocak!"
Aku ikut tertawa. Joe Get dan Dicky Bulin memang lumayan
lucu. Tapi tawaku segera terhenti ketika aku mendengar erangan
tertahan dari bagian belakang kuburan. Sekali lagi aku melihat
bayangan kelabu menyusup di balik batu nisan.
Aku menahan napas dan pasang telinga. Rumput yang tinggi
berdesir-desir tertiup angin.
Sayup-sayup terdengar suara melengking tinggi.
Suara kucing" aku bertanya-tanya. Apakah kuburan ini penuh
kucing" Atau itu suara anak kecil"
Marty juga mendengamya. Ia menyusuri deretan batu nisan dan
berhenti di sampingku. Matanya yang gelap bersinar-sinar. "Tur ini
benar-benar asyik. Kau dengar sound effect itu" Pasti ada pengeras
suara yang disembunyikan di sekitar sini."
Sekali lagi terdengar suara melengking.
Jelas-jelas suara manusia. Anak kecil"
Aku merinding. "Marty, kurasa sudah waktunya kita kembali
dan menemui ayahku. Kita sudah cukup lama di sini. Dan..."
"Tapi turnya belum selesai!" ia memprotes. "Belum semuanya
kita lihat!" Suara tadi terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Dan lebih dekat.
Seperti teriakan orang ketakutan.
Aku berusaha tidak peduli. Kurasa Marty benar. Suara-suara itu
pasti berasal dari pengeras suara yang dipasang di sekitar kami.
"Bagaimana cara kita menyelesaikan tur ini?" tanyaku. "Kita
seharusnya tetap di atas trem"ya, kan" Tapi sekarang tremnya..."
Aku memekik ketika sebuah tangan menyembul dari dalam
tanah di hadapan kami. Sebuah tangan berwarna hijau. Jari-jemarinya
yang panjang menggapai-gapai, seakan-akan hendak menjangkau
kami. "Hei!" seru Marty sambil mundur terhuyung-huyung.
Tangan hijau kedua muncul dari tanah. Kemudian dua lagi.
Puluhan pasang tangan menggapai-gapai dari kuburan-kuburan
di sekitar kami. Aku memekik ngeri. Tangan demi tangan menyembul di antara
alang-alang. Di sekeliling Marty dan aku. Jari-jemari yang panjang
menggapai-gapai. Marty mulai tertawa. "Gila, ini benar-benar hebat! Persis seperti
dalam film!" Tawanya mendadak terhenti ketika sebuah tangan muncul di
sampingnya dan menyambar mata kakinya. "Erin"tolong!" teriaknya.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa;
Sepasang tangan hijau lain juga mencengkeram mata kakiku
dan menarikku ke bawah, ke dalam kuburan.
16 "TUUURUUNNNNLAAAH," sebuah suara bergumam pelan.
"Tuuuruuunlaaah ke tempat kaaamiiii."
"Jangan!" aku memekik.
Tanganku melambai-lambai. Aku mencoba menendangnendang, tapi tangan yang mencengkeram kakiku terlalu kuat.
Dengan panik aku menggeliat-geliut dan meronta-ronta sambil
berusaha menjaga keseimbangan. Aku tahu kalau aku sampai jatuh,
maka tanganku juga akan disambar. Dan aku akan ditarik ke dalam
tanah. "Tuuuruuunlaaah. Tuuuruuunlaaah ke tempat kaaamiii."
Hei, ini bukan lelucon, aku tiba-tiba sadar. Tangan-tangan ini
tangan sungguhan. Aku benar-benar hendak ditarik ke dalam tanah.
"Tolong! Oh, tolong!" aku mendengar jeritan Marty. Kemudian
aku melihatnya jatuh. Ia jatuh berlutut di rumput.
Sepasang tangan hijau mencengkeram mata kakinya. Dua
tangan lagi menyembul dari tanah dan langsung menggenggam
pergelangan tangannya. "Tuuuruuunlaaah. Tuuuruuunlaaah ke tempat kaaamiii," ujar
suara bernada sedih itu. "Jangan! Jangaaan!" aku berteriak sambil meronta-ronta sekuat
tenaga. Di luar dugaanku, aku berhasil membebaskan diri.
Sebelah kakiku menginjak rumput yang empuk. Aku
memandang ke bawah. Rupanya sepatuku terlepas, dan kini masih
digenggam tangan hijau itu"tapi kakiku telah bebas.
Sambil bersorak gembira aku membungkuk, dan melepaskan
sepatuku yang satu lagi. Aku bebas. Bebas! Terengah-engah aku membungkuk, dan cepat-cepat melepaskan
kaus kakiku. Aku tahu akan lebih mudah berlari dengan kaki
telanjang. Kucampakkan kaus kakiku begitu saja, lalu bergegas
menghampiri Marty. Ia tergeletak dalam posisi telungkup. Tiga pasang tangan hijau
mencengkeram kaki dan tangannya erat-erat, dan menariknya dengan
keras. Seluruh tubuhnya menggeliat-geliut.
Ia mengangkat kepala ketika melihatku. "Erin" tolong aku!"
serunya parau. Aku langsung berlutut. Kuraih sepatu ketsnya dan segera
kucopot keduanya. Tangan-tangan hijau itu menggenggam sepatu Marty. Marty
menendang-nendang sampai kedua kakinya bebas, lalu mencoba
berlutut. Aku menyambar sebuah tangan hijau dan menariknya keraskeras agar terlepas dari pergelangan tangan Marty. Tapi tangan itu
malah menamparku. Saking kerasnya, tanganku sampai berdenyutdenyut kesakitan.
Tanpa memedulikan rasa nyeri, aku meraih tangan hijau
lainnya. Marty berguling-guling hingga terbebas dari cengkeraman
tangan-tangan hijau itu. Cepat-cepat ia berdiri. Seluruh tubuhnya
gemetaran. Mulutnya menganga. Matanya yang gelap membelalak
lebar. "Kaus kakimu...!" aku berseru kelabakan. "Lepaskan kaus
kakimu! Cepat!" Dengan panik ia membuka kaus kakinya.
Tangan-tangan itu masih menggapai-gapai. Lusinan tangan
menyembul dari tanah. Ratusan tangan berusaha menjangkau kami
dari balik rerumputan yang tinggi di kuburan.
"Tuuuruuunlaaah. Tuuuruuunlaaah ke tempat kaaamiii," suara
itu mengerang. "Tuuuruuunlaaah. Tuuuruuunlaaah ke tempat kaaamiii," suara
lembut dan sedih itu memanggil dari bawah tanah.
Marty dan aku terpaku di tempat. Aku seakan dihipnotis oleh
suara-suara lembut dan sedih itu. Kakiku mendadak serasa terbuat dari
batu. Dan kemudian kulihat sebuah kepala hijau menyembul dari
tanah. Lalu satu lagi. Dan satu lagi. Kepala-kepala hijau botak, tanpa
mata, dan dengan mulut tanpa gigi.
Disusul bahu-bahu, lalu lengan-lengan bermunculan. Semakin
lama semakin banyak kepala menyeruak ke luar. Sosok-sosok
berwarna hijau cerah keluar dari bawah tanah.
"M-Marty..." kataku parau. "Mereka mengejar kita!"
17 KUBURAN tua itu dipenuhi dengusan dan erangan ketika
makhluk-makhluk hijau yang mengerikan itu keluar dari dalam tanah.
Sekali lagi aku menatap baju mereka yang compang-camping,
lubang mata mereka yang hitam, dan mulut mereka yang meringis
tanpa gigi. Dan kemudian aku mulai berlari.
Marty dan aku serentak berlari tanpa mengucapkan sepatah kata
pun. Setiap kali melangkah, kakiku yang telanjang setengah terbenam
dalam tanah yang dingin, hampir tergelincir pada rumput yang tinggi
dan lembap. Marty yang lebih dulu tiba di gerbang kayu. Saking kencangnya
berlari, ia sampai menabrak pagar. Ia memekik kesakitan, lalu
menyelinap keluar ke Shock Street.
Erangan, dengusan dan seruan mengerikan membahana dari
makhluk-makhluk hijau di belakangku. Tapi aku tidak menoleh. Aku
melompat ke gerbang. Menyusup lewat celah. Lalu menutup gerbang
itu rapat-rapat.

Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba di jalan, aku berhenti untuk mengatur napas.
Aku membungkuk dan memegang lutut. Pinggangku serasa
ditusuk-tusuk. Mulutku megap-megap.
"Jangan berhenti!" teriak Marty. "Lari terus, Erin! Lari terus!"
Aku menarik napas dalam-dalam dan menyusul Marty
menyusuri jalan. Kaki kami yang telanjang berdebam-debam di aspal.
Suara-suara mengerikan masih terdengar di belakang kami.
Tapi aku terlalu takut untuk menengok.
"Marty"ke mana orang-orang?" seruku terengah-engah.
Shock Street tampak lengang. Semua rumah dan toko tampak
gelap. Bukankah seharusnya banyak orang di sini" aku bertanya-tanya.
Ini kan studio film besar" Ke mana orang-orang yang bekerja untuk
Shocker Studios" Ke mana orang-orang yang mengurus tur studio"
Kenapa tak ada orang yang bisa menolong kami"
"Ada yang tidak beres di sini!" jerit Marty sambil berlari sekuat
tenaga. Kami melewati The Horror Hardware Store dan Shock City
Electronics. "Robot-robot itu lepas kendali!"
Akhirnya Marty sependapat denganku. Akhirnya ia percaya
bahwa ada yang tidak beres.
"Kita harus cari ayahmu," kata Marty sambil berlari
menyeberang jalan ke rumah-rumah gelap di blok berikut. "Kita harus
beritahukan padanya bahwa ada masalah di sini."
"Kita harus cari trem," sahutku. Aku berusaha keras
mengimbangi kecepatan Marty. "Aduh!"
Kakiku yang telanjang menginjak sesuatu yang keras. Mungkin
sebongkah batu. Seketika rasa nyeri menjalar sampai ke pinggang.
Tapi aku tetap berlari, meskipun terpincang-pincang.
"Kalau kita bisa menemukan trem, kita akan dibawa kembali ke
tempat ayahku," seruku.
"Pasti ada jalan keluar dari Shock Street," kata Marty. "Ini kan
cuma tempat syuting film."
Kami berlari melewati rumah besar dengan dua menara. Rumah
itu mirip istana penyihir jahat. Rasanya rumah itu belum pemah
muncul dalam film-film Shocker.
Di balik rumah itu membentang tanah kosong yang luas. Dan di
bagian belakang tanah kosong itu berdiri tembok batu yang hanya
setengah meter lebih tinggi dari Marty dan aku.
"Lewat sini!" aku berseru pada Marty. "Kalau dinding itu bisa
kita panjat, kita pasti bisa melihat jalan ke gedung studio."
Sebenarnya sih aku cuma menduga-duga. Tapi tak ada salahnya
mencoba. Kami berlari ke tanah kosong itu.
Tanah empuk yang kami lewati terasa dingin dan lembap.
Dalam sekejap saja kaki kami sudah penuh gumpalan tanah.
Ayunan kakiku bertambah berat ketika tanahnya semakin
becek. Setiap kali melangkah, kakiku terbenam sampai ke mata kaki.
Marty dan aku sudah hampir sampai di tembok ketika kami
terperangkap dalam lumpur isap.
"Yaaaaiiii!" kami memekik berbarengan.
Lumpur itu seakan berdecap-decap ketika mengisap kami.
Aku langsung mengangkat kedua tangan dan berusaha meraih
sesuatu untuk berpegangan.
Tapi tak ada yang bisa kuraih.
Aku mulai diselubungi lumpur. Mula-mula sebatas mata kaki.
Lalu sampai ke betis. Terus naik melewati lutut.
Aku tenggelam, pikirku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku
tersekat di tenggorokan. Aku melirik Marty di sampingku. Tangannya melambai-lambai.
Seluruh tubuhnya menggeliat-geliut. Tapi tetap saja ia tenggelam
sedikit demi sedikit. Lumpur telah mencapai pinggangnya, dan masih
terus naik. Aku menendang keras-keras. Berusaha mengangkat lutut.
Tapi aku terperangkap. Terperangkap dalam lumpur gelap yang
siap menelanku. Tanganku yang berlepotan lumpur menepuk-nepuk permukaan.
Namun sia-sia. Lumpur naik sampai ke leherku. Dan sebentar lagi aku akan
lenyap tanpa bekas. 18 AKU menahan napas. Lumpur sudah mencapai ke daguku.
Aduh, sebentar lagi kepalaku bakal terbenam, kataku dalam
hati. Aku terisak. Lumpur semakin tinggi, melewati daguku. Aku mulai meludahludah ketika lumpur itu mencapai mulutku.
Dan kemudian kurasakan sesuatu meraih lenganku. Sepasang
tangan yang kuat menyelip ke bawah ketiakku. Kurasakan tangantangan itu menerobos lumpur.
Aku dicengkeram erat-erat.
Tubuhku ditarik ke atas, ditarik oleh seseorang yang sangat
kuat. Lumpur itu berbunyi plop ketika aku naik. Lumpur berjatuhan
dari dadaku, dari kakiku, dari lututku.
Dan tahu-tahu aku sudah berdiri di permukaan tanah, masih
dalam cengkeraman sepasang tangan kuat itu.
"Marty...!" aku memanggil. Lumpur yang menempel di bibirku
terasa asam. "Kau...?"
"Aku sudah naik!" jawabnya parau. "Aku tidak apa-apa, Erin."
Tangan yang kuat itu akhirnya melepaskanku. Kakiku
gemetaran. Tapi aku masih sanggup berdiri.
Serta-merta aku membalik untuk melihat siapa dewa
penyelamatku. Sepasang mata serigala berwarna merah manyala membalas
tatapanku. Sosok di hadapanku berwujud manusia tapi berwajah serigala.
Tangannya bercakar dan tertutup bulu hitam. Moncongnya panjang,
penuh gigi besar dan runcing. Telinganya lancip berbulu lebat.
Manusia serigala itu mengenakan baju ketat keperakan. Aku
hanya bisa melongo ketika ia membuka moncongnya dan melolonglolong.
Aku langsung mengenalinya. Wolf Girl!
Aku menoleh dan menatap rekannya"Wolf Boy. Ialah yang
menarik Marty dari lumpur isap. Seluruh tubuh Marty berlepotan
lumpur. Marty mencoba mengusap wajah, tapi wajahnya malah
semakin kotor. "Kalian"menyelamatkan kami! Terima kasih!" seruku, setelah
bisa berbicara lagi. Kedua manusia serigala itu menyahut dengan menggeramgeram.
"Kami"kami tidak bisa menemukan trem kami," aku
menjelaskan kepada Wolf Girl. "Padahal kami harus kembali. Ke
tempat tur ini dimulai."
Wolf Girl kembali menggeram. Kemudian ia mengertakkan
giginya yang runcing. "Tolong..." aku memohon. "Kalian bisa membantu kami
kembali ke trem" Atau mengantar kami ke gedung utama" Ayahku
menunggu di sana." Mata Wolf Girl yang merah tampak menyala-nyala. Sekali lagi
ia menggeram. "Kami tahu kalian cuma pura-pura!" Marty berseru dengan
suara melengking. "Tapi kami tidak mau ditakuti-takuti lagi. Sudah
terlalu banyak kejutan yang kami alami hari ini. Oke?"
Kedua manusia serigala itu tetap menggeram-geram. Ludah
putih menetes-netes dari bibir Wolf Boy yang hitam.
Tiba-tiba aku tak sanggup lagi menahan diri. "Sudah!" aku
menjerit. "Sudah! Marty benar! Kami tidak mau ditakut-takuti lagi.
Jadi jangan berlagak jadi manusia serigala"lebih baik kalian bantu
kami!" Kedua manusia serigala itu kembali menggeram. Wolf Girl
mengertakkan gigi. Ia menjulurkan lidah dan menjilat-jilat gigi,
seakan-akan kelaparan. "Cukup!" aku memekik. "Hentikan sandiwara ini! Hentikan!
Hentikan!" Aku begitu gusar, begitu marah"tanpa berpikir panjang aku
mengulurkan tangan, meraih bulu-bulu di kiri-kanan topeng Wolf
Girl. Lalu dengan sekuat tenaga kutarik topengnya.
Kutarik dengan kedua tanganku. Sekeras mungkin.
Kurasakan bulu-bulu sungguhan. Dan kulit yang hangat.
Yang kupegang temyata bukan topeng.
19 "OH!" Aku memekik tertahan, dan langsung menarik kedua
tanganku. Mata si manusia serigala menyala merah. Bibirnya yang hitam
membuka. Sekali lagi lidahnya menjilat-jilat giginya yang runcing dan
kuning. Seluruh badanku gemetar, aku mundur sampai membentur
tembok. "M-Marty... Mereka tidak pura-pura."
"Hah?" Marty berdiri kaku di hadapan Wolf Boy. Matanya yang
gelap membelalak lebar di wajahnya yang berlumuran lumpur.
Kedua manusia serigala menggeram-geram. Keduanya
merunduk, seakan siap-siap menyerang.
"Apa kubilang?" teriakku pada Marty "Sekarang kau percaya?"
Marty mengangguk. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Kurasa ia terlalu takut sampai tak sanggup bicara.
Air liur menetes dari mulut kedua manusia serigala. Mata
mereka menyala-nyala bagaikan api di tengah kegelapan. Dada
mereka yang berbulu lebat bergerak naik-turun. Bunyi napas mereka
bertambah keras dan parau.
Kurapatkan punggung ke tembok ketika keduanya
mendongakkan kepala dan mulai melolong-lolong. Aku langsung
merinding. Apa yang akan mereka lakukan"
Aku meraih tangan Marty dan menariknya ke tembok. "Naik!"
seruku. "Naik! Barangkali mereka tidak bisa menjangkau kita di atas
tembok." Marty melompat tinggi-tinggi sambil meraih ke atas.
Tangannya mencapai tepi atas tembok, lalu merosot lagi. Ia mencoba
sekali lagi, menekuk lutut, dan melompat. Berusaha meraih tepi
tembok. Merosot lagi. "Aku tidak bisa!" ia meratap. "Temboknya terlalu tinggi."
"Kau harus bisa!" aku memekik.
Aku menoleh dan melihat kedua manusia serigala mengambil
ancang-ancang lalu melompat. Keduanya menggeram dan
menyeringai. Air liur mereka mengalir dari sela-sela gigi.
"Naik!" teriakku.
Ketika Marty kembali melompat, aku cepat-cepat meraih
kakinya yang penuh lumpur. "Naik!" Dengan sekuat tenaga aku
mendorongnya ke atas. Tangan Marty melambai-lambai. Ia berhasil meraih tepi
tembok, lalu berpegangan erat-erat.
Kakinya yang telanjang menendang-nendang. Dengan susahpayah ia menarik tubuhnya ke atas.
Sambil berlutut di atas tembok, ia membalik dan meraih
tanganku. Aku melompat dan Marty segera menarik tanganku.
Dengan sekuat tenaga aku berjuang memanjat tembok.
Tapi lututku tidak mau naik.
Kini kakiku menendang-nendang. Lututku tergores-gores
tembok sementara Marty berusaha menarik.
"Aku tidak bisa! Aku tidak bisa!" aku memekik.
Kedua manusia serigala kembali melolong.
"Coba lagi!" ujar Marty. Tersengal-sengal, terus menarik
tanganku dengan sekuat tenaga.
Aku masih berjuang ketika kedua manusia serigala menyerang.
20 AKU mendengar mereka mengertakkan gigi.
Embusan napas panas mengenai telapak kakiku.
Kedua manusia serigala menerjang tembok.
Sambil memekik ketakutan, aku melompat tinggi-tinggi dan
berhasil memanjat tembok. Dengan napas terengah-engah aku
tergeletak di atas tembok.
Ketika menoleh, kulihat kedua manusia serigala menerjang lagi.
Moncong mereka menyambar-nyambar di depan wajahku. Keduanya
memelototiku dengan mata mereka yang merah, seakan kelaparan.
"Ahhh!" aku menjerit, lalu cepat-cepat berdiri.
Kedua manusia serigala melolong dengan gusar, siap-siap
menyerang lagi. Marty dan aku berdesak-desakan sambil memandang ke bawah.
Mereka melompat. Cakar mereka menggores-gores tembok. Bunyi yang terdengar
membuatku merinding. Keduanya jatuh kembali. Seketika mereka mengambil ancangancang lagi.
"Kita tidak bisa terus di sini!" seru Marty. "Tapi, apa yang bisa
kita lakukan?" Aku menatap kegelapan sambil memicingkan mata. Rasanya
aku melihat jalan ke gedung studio di seberang tembok.
Aduh, terlalu gelap untuk memastikan.
Kedua manusia serigala kembali melompat. Gigi-gigi runcing
menggores mata kakiku. Aku melompat mundur. Dan nyaris terjatuh dari tembok.
Tubuhku membentur Marty. Kami terus mengawasi kedua
makhluk mengerikan di bawah, yang tengah bersiap-siap untuk
menerjang lagi. Pistol! Pistol plastik kami!
Pistolku telah hilang entah ke mana. Mungkin tenggelam dalam
lumpur isap. Tapi aku melihat pistol Marty. Gagangnya menyembul
dari kantong celana jeans-nya.
Tanpa berkata apa-apa kuraih gagang pistol, dan kucabut
senjata itu dari kantong Marty.
"Hei"!" serunya. "Erin"mau apa kau?"
"Pasti ada sebabnya kita diberi pistol," aku terpaksa berteriak
untuk mengalahkan lolongan kedua manusia serigala. "Barangkali kita
bisa menghalau mereka dengan pistol ini."
"T-tapi ini cuma mainan!" sahut Marty tergagap-gagap.
Aku tidak peduli. Aku sudah kehabisan akal, lagi pula tak ada
salahnya dicoba. Barangkali pistol itu bisa membuat mereka takut. Atau paling
tidak, membuat mereka kaget. Mudah-mudahan saja mereka akan lari
terbirit-birit saking kagetnya.
Kubidikkan pistol itu ketika keduanya kembali menyerang.
"Satu"dua"tiga"TEMBAK!"
Aku menarik picu. Dan lagi. Lagi.
Lagi! 21 PISTOL di tanganku mendengung. Dari moncongnya keluar
berkas sinar kuning. Yes! aku berseru dalam hati. Yes!
Sinar itu akan menghalau mereka.
Ini pistol kejut"ya, kan" Dengungan dan berkas sinar yang
terang akan membuat mereka terkejut. Mereka akan berdiri bagaikan
patung"seperti Linda tadi"sehingga Marty dan aku bisa
menyelamatkan diri. Kutarik picunya keras-keras. Lagi. Lagi.
Tapi ternyata tembakanku tidak membuahkan hasil. Kedua


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia serigala sama sekali tidak terpengaruh. Kaget pun tidak.
Lompatan mereka semakin tinggi. Kurasakan cakar yang tajam
menggores kakiku, aku memekik kesakitan.
Pistol plastik Marty terlepas dari genggamanku, jatuh menimpa
kakiku, lalu terpental ke tanah.
Ternyata cuma mainan. Marty benar. Pistol itu bukan senjata
sungguhan. Pistol itu cuma mainan konyol.
"Awas!" Marty memekik ketika makhluk-makhluk itu kembali
menerjang. Mereka mencakar-cakar tembok"dan berhasil mencapai
puncak tembok. Dua pasang mata merah melotot ke arahku. Embusan
napas serigala yang panas menerpa kulitku.
"Ohhh!" Aku cepat-cepat mengangkat tangan ketika aku
kehilangan keseimbangan. Aku berusaha keras agar tidak terjatuh.
Tapi lututku menekuk. Kakiku tergelincir.
Aku mencoba meraih Marty. Namun gagal.
Tahu-tahu aku sudah jatuh. Sebelum menyadari apa yang
terjadi, aku sudah terempas di sisi seberang.
Dengan mata terbelalak kulihat Marty melompat ke sampingku.
Kedua manusia serigala sudah berada di atas tembok. Mata
mereka yang merah manyala menatap garang. Lidah mereka terjulur
keluar, napas mereka terengah-engah.
Mereka siap menerkam kami.
Marty membantuku berdiri. "Lari!" serunya parau. Matanya
terbelalak lebar karena ngeri.
Kedua manusia serigala menggeram-geram di atas tembok.
Dunia seakan berputar-putar di sekelilingku. Aku masih agak
pusing karena terjatuh tadi. "M-mereka bisa lari lebih cepat dari kita!"
aku mendesah. Lalu terdengar bunyi gemuruh.
Marty dan aku membalik. Sepasang mata kuning menyorot
tajam di kegelapan malam.
Mata kuning sesosok monster yang melangkah menghampiri
kami. Tapi tunggu, temyata bukan monster.
Samar-samar aku melihat sosoknya yang panjang dan ramping.
Trem kami! Rangkaian trem menyusuri rel. Temyata yang menyorot tajam
itu bukan mata, melainkan sepasang lampu. Trem semakin dekat.
Semakin dekat. Yes! Aku berpaling pada Marty. Apakah ia juga melihatnya" Ya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun kami berlari ke arah
jalan. Trem meluncur cepat. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi
kami harus bisa naik. Harus bisa!
Kedua manusia serigala melolong di belakang kami. Terdengar
bunyi berdebam ketika mereka melompat dari tembok.
Berkas sinar trem menerpa kami.
Kedua manusia serigala mengejar sambil menggeram-geram
dan melolong-lolong dengan gusar.
Marty berlari di depanku. Kepalanya merunduk, dan ia
mengayunkan kaki dengan sekuat tenaga.
Trem semakin dekat. Semakin dekat.
Sebentar lagi kedua manusia serigala berhasil menyusul.
Embusan napas mereka yang panas sudah terasa di tengkukku.
Beberapa detik lagi. Beberapa detik lagi"Marty dan aku berlari
sambil bersiap melompat ke atas trem.
Aku memperhatikan trem yang membelok dengan kencang.
Berkas sinar lampunya menerangi jalan yang gelap. Pandanganku
tertuju pada gerbong paling depan. Kutarik napas dalam-dalam, siap
melompat. Tapi tiba-tiba Marty terjatuh.
Kulihat ia mengangkat tangan, mulutnya menganga karena
kaget. Karena ngeri. Ia tersandung kakinya sendiri dan terjerembap di tanah.
Aku tidak sempat berhenti.
Aku menabrak Marty dan jatuh menimpanya.
Dan trem melesat melewati kami.
22 "Owoooooo!" Serempak kedua manusia serigala melolong panjang untuk
merayakan kemenangan mereka.
Aku cepat-cepat bangkit. Jantungku berdegup-degup. "Berdiri!
Ayo, berdiri!" Dengan panik kusambar kedua tangan Marty dan
kutarik keras-keras. Kami mengejar trem. Kaki kami yang telanjang berdebamdebam di aspal. Gerbong terakhir hanya berjarak dua meter di depan
kami. Aku yang lebih dulu mencapainya. Terburu-buru kuulurkan
tangan. Lalu meraih bagian belakang gerbong.
Aku melompat sekuat tenaga dan menarik tubuhku ke atas. Ke
bangku paling belakang. Napasku masih tersengal-sengal ketika aku menoleh dan
melihat Marty berlari-lari mengejar trem. Tangannya menggapaigapai. "A-aku tidak sampai!" serunya.
"Lari! Kau harus bisa!" aku menjerit.
Aku semakin panik karena kedua manusia serigala sudah
hampir menangkapnya. Marty mengerahkan seluruh tenaganya. Ia menyambar bagian
belakang gerbong dengan kedua tangan. Tubuhnya sempat terseret
sebentar"tapi kemudian ia berhasil menarik badannya naik, lalu
menjatuhkan diri di bangku di sampingku.
Yes! pikirku gembira. Kita berhasil! Kita lolos dari kejaran
kedua manusia serigala yang melolong tak henti-hentinya.
Tapi..." Jangan-jangan..."
Bagaimana kalau mereka ikut melompat ke trem"
Seluruh tubuhku gemetar ketika aku berbalik. Dan melihat
kedua manusia serigala menghilang di kejauhan. Mereka memang
sempat mengejar trem, tapi akhirnya menyerah. Keduanya berdiri
lunglai di tengah jalan, memperhatikan kami meloloskan diri.
Lolos. Betapa indahnya kata itu.
Marty dan aku berpandangan sambil nyengir. Napas kami
tersengal-sengal, dan kami sama-sama berlepotan lumpur. Tenagaku
terkuras habis. Kakiku yang telanjang berdenyut-denyut kesakitan.
Jantungku masih berdegup kencang karena pengejaran yang
mengerikan tadi. Tapi kami berhasil lolos. Dan sekarang kami telah aman di atas
trem, dalam perjalanan kembali menuju pelataran tempat kami
memulai petualangan ini. Kembali ke tempat Dad.
"Kita harus beritahu ayahmu bahwa tempat ini kacau-balau,"
ujar Marty terengah-engah.
"Yeah, memang ada yang tidak beres di sini," aku menimpali.
"Manusia serigala tadi"mereka tidak main-main," Marty
melanjutkan. "M-mereka manusia serigala sungguhan, Erin. Bukan
orang yang pakai kostum."
Aku mengangguk. Aku gembira sekali Marty akhirnya
sependapat denganku. Ia tak lagi berlagak berani. Ia tak lagi berkeras
bahwa semuanya cuma robot dan efek khusus.
Kami sama-sama sadar bahwa kami telah menghadapi bahaya
sungguhan. Dan monster sungguhan.
Kini telah terbukti bahwa ada yang tidak beres di Shocker
Studios. Sebelum Marty dan aku berangkat tadi, Dad sempat minta
laporan lengkap. Nah, aku akan memenuhi permintaannya!
Aku duduk bersandar dan berusaha menenangkan diri.
Tapi serentak aku duduk tegak ketika menyadari kami tidak
sendirian. "Marty"lihat!" Aku menunjuk ke bagian depan trem. "Ada
penumpang lain!" Ternyata semua gerbong trem dipenuhi orang.
"Ada apa ini?" Marty bergumam. "Ayahmu bilang cuma kita
yang ikut tur perdana. Tapi sekarang tremnya"OH!..."
Marty terdiam. Mulutnya menganga. Matanya membelalak
lebar. Aku pun menahan napas. Semua penumpang di depan menoleh berbarengan. Dan
tampaklah seringai mereka, lubang mata mereka yang gelap, dan
tulang tengkorak mereka yang kelabu.
Tulang-belulang. Semua penumpang lain itu ternyata tulang-belulang dengan
tengkorak yang meringis. Rahang mereka bergerak-gerak ketika mereka tertawa. Tawa
bengis. Tulang-belulang berderak-derak ketika mereka mengangkat
tangan untuk menuding kami.
Tengkorak-tengkorak itu terguncang-guncang ketika trem
menambah kecepatan, menerobos kegelapan.
Marty dan aku merosot di kursi masing-masing. Dengan tubuh
gemetar kami menatap tengkorak-tengkorak yang menyeringai,
sementara jari-jemari mereka menuding-nuding.
Siapa mereka" Bagaimana mereka bisa naik ke trem"
Dan ke mana mereka akan membawa kami"
23 MAKHLUK-MAKHLUK mengerikan itu terus tertawa-tawa.
Tulang-belulang mereka berderak-derak. Tengkorak mereka
terguncang-guncang seakan-akan tidak terpasang dengan kokoh pada
tulang leher. Trem terus melaju. Kami seolah-olah terbang menerobos
kegelapan. Aku memaksakan diri untuk menoleh dan memandang ke luar.
Di balik pepohonan kulihat gedung-gedung studio. Bangunanbangunan itu tertinggal semakin jauh, dan akhirnya hilang ditelan
kegelapan malam. "Marty"kita tidak kembali ke pelataran utama," bisikku. "Kita
menuju ke arah yang salah. Kita malah menjauh dari gedung-gedung
itu." Ia menelan ludah. Kulihat perasaan panik terpancar dari
matanya. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya dengan suara
parau. "Kita harus turun!" sahutku. "Kita harus lompat!"
Marty telah merosot sejauh mungkin di tempat duduknya.
Kurasa ia ingin bersembunyi dari makhluk-makhluk itu.
Kini ia mengangkat kepala dan mengintip lewat sisi trem.
"Erin"kita tidak bisa lompat! Kita melaju terlalu cepat."
Ia benar. Kami melesat bagaikan roket. Dan trem masih juga menambah
kecepatan. Saking kencangnya, pohon-pohon dan semak-semak yang
kami lewati tampak kabur semua.
Dan kemudian, ketika kami melewati tikungan tajam, sebuah
bangunan besar mendadak muncul di hadapan kami.
Sebuah kastil, bermandikan cahaya dari lampu-lampu sorot.
Seluruhnya bersinar kelabu keperakan. Sepasang menara menjulang
tinggi ke langit. Dinding batu yang kokoh melintang di tengah jalan.
Jalan yang kami lewati menuju ke dinding kastil. Dan berakhir
di situ. Sementara itu, kecepatan trem masih terus bertambah.
Kami melaju dengan kencang menuju kastil.
Makhluk-makhluk di depan masih tertawa-tawa. Mereka
terguncang-guncang di tempat duduk masing-masing. Tulangbelulang mereka berderak-derak.
Kami semakin dekat ke dinding kastil.
Semakin dekat. Sebentar lagi kami akan menabrak dinding batu.
24 KAKIKU gemetar. Jantungku berdegup-degup. Dengan susahpayah aku bangkit dari tempat dudukku.
Kuhirup udara dalam-dalam dan menahan napas. Lalu aku
memejamkan mata"dan melompat.
Aku terempas dengan keras, lalu terguling-guling.
Marty masih ragu-ragu. Tapi kemudian trem terguncang, dan ia
langsung menyusulku. Ia terjerembap ke tanah. Lalu terguling. Dan terguling.
Aku berhenti di bawah pohon. Cepat-cepat aku menoleh ke arah
kastil"dan melihat trem menerjang dinding batu.
Tanpa suara sedikit pun. Gerbong paling depan menabrak dinding kastil dan langsung
menerobosnya. Tanpa menimbulkan kegaduhan.
Tulang-belulang para penumpang trem tampak terguncangguncang.
Gerbong demi gerbong menerobos dinding kastil dan
menghilang dari pandangan"semuanya tanpa suara.
Beberapa detik kemudian seluruh rangkaian trem telah lenyap.
Keheningan terasa mencekam.
Lampu-lampu sorot pada dinding kastil meredup.
"Erin"kau tidak apa-apa?" Marty memanggil lemah.
Aku menengok dan melihatnya merangkak di seberang jalan.
Aku segera berdiri. Pinggangku lecet, tapi tidak terlalu sakit.
"Aku tidak apa-apa," sahutku. Aku menunjuk ke kastil. "Kau
lihat itu?" "Ya, aku lihat," jawab Marty. Pelan-pelan ia berusaha bangkit.
"Tapi aku tetap tidak percaya." Ia meregangkan badan. "Bagaimana
cara trem itu menembus dinding" Jangan-jangan kastil itu sebenarnya
tidak ada. Jangan-jangan semuanya cuma tipuan mata. Semacam trik."
"Hanya ada satu cara untuk memastikannya," ujarku.
Kami berdampingan menyusuri jalan. Daun-daun di pepohonan
berdesir-desir tertiup angin, seakan berbisik-bisik. Permukaan jalan
terasa dingin di bawah telapak kakiku yang telanjang.
"Kita harus cari ayahku,'" aku bergumam. "Aku yakin ia bisa
menjelaskan semua ini."
"Mudah-mudahan saja," balas Marty.
Kami menghampiri dinding kastil. Aku mengangkat kedua
tangan. Dalam hati aku membayangkan tanganku akan menembus
dinding itu. Tapi temyata aku memegang batu-batu yang kokoh.
Marty mencoba mendobrak dinding. Pundaknya menghantam
dinding dengan bunyi berdebam.
"Ini tembok sungguhan," Marty berkata sambil geleng-geleng.
"Tembok sungguhan. Jadi bagaimana mungkin trem itu bisa
menerobos begitu saja?"
"Itu trem hantu," aku berbisik sambil meraba-raba permukaan
dinding yang dingin. "Trem hantu berisi tengkorak."
"Tapi kita kan ikut naik!" seru Marty.
Kupukul dinding itu dengan kedua tangan, lalu berbalik. "Aku
sudah muak dengan segala misteri ini!" teriakku. "Aku muak
ketakutan terus! Aku muak dengan manusia serigala dan monster!
Seumur hidup aku tak bakal mau nonton film horor lagi!"
"Ayahmu pasti bisa menjelaskan semuanya," kata Marty pelan.
Ia masih geleng-geleng kepala. "Aku yakin ia bisa menjelaskannya."
"Aku tidak mau dengar penjelasan Dad!" seruku. "Aku cuma
mau pergi dari sini!"
Marty dan aku berjalan ke bagian samping kastil. Kami berjalan
berdampingan. Kami tidak mau terpencar lagi. Di belakang kami
terdengar suara-suara binatang yang aneh. Dan tawa menakutkan
memecahkan keheningan, berasal dari suatu tempat di atas kepala
kami. Semua suara itu tidak kuhiraukan. Aku tidak mau memikirkan


Goosebumps - Kejutan Di Shock Street di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah suara-suara itu dibuat oleh monster-monster sungguhan atau
robot-robot. Aku tidak mau mengingat makhluk-makhluk menakutkan
yang telah kami temui. Aku tidak mau merenungkan bagaimana Marty
dan aku berulang kali lolos dari lubang jarum.
Aku tidak mau berpikir sama sekali.
Jalanan ternyata muncul kembali di sisi belakang kastil.
"Mudah-mudahan ini jalan yang benar," aku bergumam sambil
menyusuri jalan yang membelok ke sebuah bukit.
"Yeah, mudah-mudahan," Marty menimpali pelan-pelan.
Kami mempercepat langkah, berusaha mengabaikan teriakanteriakan binatang, pekikan-pekikan melengking, lolongan-lolongan,
dan erangan-erangan yang seakan-akan membuntuti kami.
Jalan mulai menanjak. Marty dan aku mendaki bukit sambil
mencondongkan badan ke depan. Suara-suara menyeramkan itu masih
terus mengiringi kami. Sampai di puncak bukit, aku melihat beberapa bangunan
rendah. "Yes!" seruku. "Lihat, Marty! Kita sudah hampir sampai di
pelataran utama." Aku menghampiri bangunan-bangunan itu sambil
berlari kecil. Marty bergegas menyusulku.
Tapi kami segera berhenti ketika sadar di mana kami berada.
Kembali di Shock Street. Rupanya kami telah berjalan dalam lingkaran.
Kami melewati rumah-rumah tua dan toko-toko kecil. Shock
Street Cemetery muncul di hadapan kami. Ketika melihat pagar
kuburan itu, aku teringat tangan-tangan hijau yang menyembul dari
tanah. Aku teringat pundak-pundak hijau. Wajah-wajah hijau. Tangantangan yang berusaha menarik kami ke bawah.
Seluruh tubuhku gemetaran.
Aku tidak mau kembali ke situ. Aku tak mau lagi melihat jalan
yang mengerikan itu. Tapi aku tidak bisa berpaling dari kuburan. Pandanganku
terpaku pada batu-batu nisan di seberang jalan. Dan tiba-tiba aku
melihat sesuatu bergerak.
Gumpalan kelabu. Mirip awan kecil.
Gumpalan itu muncul di antara dua batu nisan tua yang sudah
miring, lalu mengambang di udara.
Dan kemudian muncul satu lagi. Dan satu lagi.
Aku melirik ke arah Marty. Ia berdiri di sampingku sambil
bertolak pinggang. Matanya tak berkedip. Rupanya ia juga
melihatnya. Gumpalan-gumpalan kelabu itu melayang tanpa suara, seperti
bola salju, atau kapas. Jumlahnya puluhan.
Semua melayang keluar dari kuburan, menuju ke jalan.
Melayang-layang di atas Marty dan aku. Rendah sekali.
Sementara kami mendongakkan kepala, gumpalan-gumpalan itu
bertambah besar. Mengembang, bagaikan balon-balon berwarna
kelabu. Dan di dalam gumpalan-gumpalan itu aku melihat wajah-wajah.
Wajah-wajah gelap, terselubung bayangan. Wajah-wajah itu menatap
kami sambil merengut. Semua memicingkan mata. Mengerutkan
kening. Aku meraih pundak Marty. Rasanya aku ingin segera kabur,
melarikan diri, menjauhi wajah-wajah itu.
Tapi bagaikan asap, gumpalan-gumpalan itu turun dan berputarputar mengelilingi Marty dan aku, sehingga kami terperangkap.
Wajah-wajah cemberut yang jelek itu berputar-putar di
sekeliling kami, semakin lama semakin kencang.
25 CEPAT-CEPAT kututup kedua mataku dengan tangan, supaya
tidak perlu melihat wajah-wajah itu.
Aku benar-benar panik. Aku tidak bisa berpikir. Tidak bisa
bernapas. Aku cuma mendengar suara angin ketika awan-awan
mengerikan itu mengelilingi kami.
Dan kemudian aku mendengar suara seorang laki-laki berseru
dengan lantang: "Cut! Terima kasih, semuanya! Adegan tadi bagus
sekali!" Perlahan-lahan aku menurunkan tangan dan membuka mata.
Aku mengembuskan napas. Seorang laki-laki menghampiri Marty dan aku. Ia mengenakan
jeans dan sweter kelabu di balik jaket kulit cokelat. Kepalanya ditutup
topi Dodgers putih-biru. Rambutnya yang pirang dikuncir.
Ia membawa clipboard. Di lehernya tergantung peluit perak. Ia
menatap Marty dan aku sambil tersenyum, lalu mengacungkan
jempol. "Hei, apa kabar" Saya Russ Denver. Akting kalian bagus sekali!
Kalian kelihatan benar-benar ketakutan tadi."
"Hah?" aku terbengong-bengong. "Akting" Kami memang
benar-benar ketakutan!"
"Aku lega sekali bisa ketemu manusia sungguhan!" Marty
menimpali. "Tur ini"tur ini kacau-balau!" aku memekik. "Makhlukmakhluk yang ada di sini"semua benar-benar hidup! Mereka mau
mencelakakan kami! Sungguh! Ini sama sekali tidak lucu! Sama sekali
tidak seperti yang saya bayangkan!" Ucapanku meluncur bagaikan
berondongan senapan mesin.
"Tur ini mengerikan! Kami dikejar-kejar manusia serigala yang
mau melahap kami hidup-hidup!" seru Marty.
Segera kami bercerita berbarengan. Semua kejadian
menakutkan yang kami alami tadi kami ceritakan pada pria bernama
Denver itu. "Hei! Tenang saja!" Ia mengembangkan senyum dan
mengangkat clipboard-nya bagaikan perisai. "Semua cuma efek
khusus. Kalian tidak diberitahu bahwa kami membuat film di sini"
Bahwa kami merekam reaksi kalian?"
"Tidak. Tak ada yang menjelaskan apa pun, Mr. Denver!"
sahutku gusar. "Ayah saya yang mengajak kami ke sini. Ia yang
merancang tur ini. Dan ia bilang kami orang pertama yang
mencobanya. Tapi ia tidak bilang apa-apa tentang film yang sedang
dibuat. Saya kira..."
Aku merasakan tangan Marty di pundakku. Aku tahu Marty
berusaha menenangkanku. Tapi, mana aku bisa tenang"
Aku benar-benar marah. Mr. Denver berpaling pada beberapa kru yang berdiri di jalan di
belakangnya. "Oke, kita istirahat tiga puluh menit. Kita makan malam
dulu." Mereka pergi. Mr. Denver kembali berpaling pada kami.
"Seharusnya ayahmu memberitahu kalian bahwa..."
"Tidak apa-apa. Sungguh," Marty memotong. "Kami cuma
sedikit bingung. Semua makhluk yang kami temui tadi terkesan begitu
hidup. Dan kami tidak melihat siapa pun. Anda orang pertama yang
kami lihat sepanjang sore."
"Ayah saya pasti cemas sekali," kataku pada sutradara film itu.
"Ia bilang ia akan menunggu kami di pelataran utama. Barangkali
Anda bisa memberitahu bagaimana kami bisa ke sana?"
"Tentu saja," jawab Mr. Denver. "Kalian lihat rumah besar
dengan pintu terbuka di sebelah sana?" Ia menunjuk dengan
clipboard-nya. Marty dan aku menatap rumah yang ditunjuknya di seberang
jalan. Sebuah jalan setapak tampak menuju ke rumah itu. Di balik
pintu depannya kami melihat cahaya berwarna kuning pucat.
"Itu Shockro's House of Shocks"Rumah Kejutan Shockro," si
sutradara menjelaskan. "Kalian tinggal memasuki pintu itu dan
berjalan melewati rumahnya."
"Tapi kami bakal tersengat listrik!" Marty memprotes. "Dalam
film, semua orang yang masuk rumah Shockro tersengat listrik dua
puluh juta volt!" "Itu kan cuma film," sahut Mr. Denver. "Rumah itu cuma
tempat syuting biasa. Semuanya aman. Setelah melewati rumah itu,
kalian akan melihat gedung utama di seberang jalan. Tenang saja,
kalian pasti akan menemukannya."
"Thank you!" seru Marty dan aku berbarengan.
Marty langsung membalik dan mulai berlari ke arah rumah itu.
Aku kembali berpaling pada Mr. Denver. "Maaf saya
membentak Anda tadi," ujarku. "Saya betul-betul bingung tadi, dan
saya pikir..." Aku menahan napas. Mr. Denver telah berbalik. Dan aku melihat kabel listrik yang
panjang"kabel listrik yang tercolok ke punggungnya.
Temyata ia pun bukan manusia. Ia bukan sutradara film. Ia
semacam robot. Ia hanya mesin seperti yang lainnya. Dan ia berbohong kepada
kami. Berbohong! Aku membalik dan melingkarkan tangan ke sekeliling mulut.
Sambil berlari aku memanggil Marty: "Jangan masuk ke situ! Marty"
berhenti! Jangan masuk ke rumah itu!"
Terlambat. Marty sudah berlari melewati pintu.
26 "MARTY"tunggu! Stop!" teriakku sambil berlari.
Aku harus bisa menghentikannya.
Sutradara film itu cuma robot. Dan aku tahu ia telah
membohongi kami. "Marty"jangan!"
Kakiku yang telanjang berdebam-debam di permukaan jalan
yang keras. Aku tiba di ujung jalan setapak ketika Marty hendak
melewati ambang pintu. "Jangan!" Aku melesat ke ambang pintu. Aku mengulurkan kedua tangan
dan berusaha menangkap Marty dari belakang.
Tapi gagal. Aku terjerembap di jalan setapak.
Begitu Marty memasuki rumah itu, terlihat kilatan cahaya putih.
Aku mendengar bunyi mendengung keras sekali, disusul bunyi kabel
listrik mendesis-desis. Seluruh ruangan diterangi cahaya menyilaukan. Saking
terangnya, aku sampai harus melindungi mata dengan tangan.
Ketika membuka mata, kulihat Marty tergeletak di lantai.
"Marty!" aku memekik ngeri.
Aku cepat-cepat bangkit dan berlari masuk. Bagaimana kalau
aku juga tersengat listrik"
Aku tidak peduli. Aku harus menolong Marty. Aku harus
membawanya keluar dari situ.
"Marty! Marty!" Berulang-ulang kuteriakkan namanya.
Ia tidak bergerak. "Marty"bangunlah!" Aku mencengkeram bahunya dan
mengguncang-guncangnya dengan keras. "Bangun, Marty! Bangun!
Marty!" Matanya tetap terpejam. Tiba-tiba aku merinding. Sebuah bayangan gelap melintas di
atasku. Dan aku sadar aku tidak sendirian di rumah itu.
27 AKU langsung berbalik. Jangan-jangan Shockro sedang mengintaiku. Atau makhluk
mengerikan lainnya" Sebuah sosok jangkung berdiri di hadapanku. Aku
memicingkan mata agar dapat melihat wajahnya dalam kegelapan.
"Dad!" aku berseru ketika aku bisa melihat dengan jelas. "Dad!
Aduh, aku lega sekali."
"Erin, sedang apa kau di sini?" ia bertanya dengan suara berat.
"M-Marty, Dad!" aku tergagap-gagap. "Dad harus tolong
Marty. Ia tersengat listrik dan ia"ia..."
Ayahku maju selangkah. Matanya yang cokelat menyorot
dingin di balik kacamatanya. Keningnya tampak berkerut-kerut.
"Tolong dia, Dad!" aku memohon. "Marty cedera. Ia tidak
bergerak. Ia tidak mau membuka mata. Tur studio ini mengerikan
sekali, Dad! Ada yang tidak beres di sini. Ada yang tidak beres!"
Dad tidak menyahut. Ia mengamati Marty dari dekat.
Dan begitu ia membungkuk, wajahnya diterangi cahaya lampu,
aku sadar sosok itu bukan ayahku!
"Siapa kau?" aku memekik. "Kau bukan ayahku! Kenapa kau
tidak mau menolongku" Kenapa kau tidak menolong Marty" Lakukan
sesuatu! Di mana ayahku" Di mana ia" Siapa kau" Tolonglah aku!
Tolong! Tolong AAAAAARRRRRRR. Tolong
MRRRRRRRRRRR.Dad"MRRRRRRRRRR.
DRRRRRRMMMMMMmmmmmmm."
28 MR. WRIGHT menatap Erin dan Marty. Ia menggelengkan
kepala dengan sedih, lalu memejamkan mata dan mendesah panjang.
Jared Curtis, salah satu teknisi studio, berlari masuk ke
Shockro's House of Shocks. "Mr. Wright, apa yang terjadi dengan
kedua robot anak-anak itu?" tanyanya.
Mr. Wright kembali mendesah. "Ada masalah program,"
gumamnya.ebukulawas.blogspot.com
Ia menunjuk robot Erin, yang terdiam sambil berlutut di
samping robot Marty. "Ia terpaksa kumatikan. Kurasa chip memorinya
rusak. Robot Erin ini seharusnya menganggap aku sebagai ayahnya.
Tapi baru saja ia tidak mengenaliku."
"Dan bagaimana dengan robot Marty?" tanya Jared.
"Rusak sama sekali," sahut Mr. Wright. "Kelihatannya sistem
listriknya terkena hubungan pendek."
"Sayang sekali," ujar Jared. Ia membungkuk dan membalik
tubuh robot Marty. Ia mengangkat T-shirt robot Marty dan mengotakatik beberapa tombol di punggung robot itu. "Hei, Mr. Wright,
membuat robot anak-anak untuk menguji tur studio ini adalah ide
yang bagus sekali. Kurasa robot-robot ini masih bisa diperbaiki."
Jared membuka panel di punggung Marty dan mengamati
sejumlah kabel merah dan hijau. "Semua makhluk, monster dan robot
lainnya bekerja dengan sempurna. Tak satu pun yang macet."
"Seharusnya sejak kemarin aku sudah sadar bahwa ada
masalah," kata Mr. Wright. "Kemarin kami berada di ruang kerjaku.
Dan robot Erin tiba-tiba menanyakan ibunya. Aku yang
menciptakannya. Ia tidak punya ibu."
Mr. Wright mengangkat kedua tangan. "Sudahlah. Tak jadi
soal. Kedua robot ini akan kita program ulang. Kita pasangi chip baru.
Selesai diperbaiki, kita gunakan mereka sekali lagi untuk menguji
coba tur Shocker Studios sebelum dibuka untuk umum."
Ia mengambil robot Marty dari tangan Jared dan
memanggulnya. Kemudian ia memungut robot Erin dan
memanggulnya di pundak yang satu lagi. Lalu, sambil bersenandung
pelan, ia membawa keduanya ke bengkel teknik.END
Manusia Meteor 2 Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Dewa Guntur 1

Cari Blog Ini