Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu Bagian 1
1 "AKAN kulakukan apa pun yang Dad katakan, tapi, jangan
kirim aku ke sana." "Dustin, rencana kami sudah pasti." Dad menggelengkan
kepalanya dengan kesal. "Ini untuk kebaikanmu sendiri."
"Kalau Dad mengirimku ke sana, pasti sesuatu yang
mengerikan akan terjadi. Perasaanku mengatakan begitu."
"Kau kan bukannya mau masuk penjara, Dustin. Kau itu akan
ikut perkemahan musim panas...." Dad menghela napas.
"Ke penjara. Penjara." Logan, adikku yang berusia delapan
tahun, melompat-lompat di tempat tidurku sambil menyanyi-nyanyi.
"Diam, Logan." Aku bersimpuh di lantai, memandangi tas
pakaian berwarna abu-abu terang di dekat kakiku.
Tulisan DUSTIN MINIUM tercetak dengan rapi di bagian
depan tasku. Mom yakin cap yang dipakainya tak bakalan terhapus
oleh air. Aku menatap baju-bajuku yang terlipat rapi di atas tempat tidur.
Setumpuk T-shirt, jins, celana pendek. Mom menuliskan namaku di
semua bajuku. Bahkan di celana dalamku juga.
"Dustin mau masuk penjara." Logan melompat tinggi-tinggi.
"DIAM, Logan!" kuhardik dia.
Dad meraih tumpukan T-shirt, lalu menjejalkannya ke dalam
tas. Aku melirik poster Hulk Hogan, atlet favoritku, yang
tergantung di atas meja belajarku. Selama empat minggu aku tak bakal
melihatnya. Empat minggu yang mengerikan di perkemahan...
Kok tega-teganya Mom dan Dad melakukan ini padaku!
Tega benar mereka mengirimku ke sana selama empat minggu"
Aku tak bakal selamat, kataku dalam hati.
Aku tak bisa bergaul. Aku terlalu pemalu.
Aku juga terlalu bego untuk berolahraga.
Barangkali kalau tubuhku seperti Hulk Hogan, aku mau
mengikuti perkemahan itu. Lengannya kekar. Kakinya berotot. Atlet
yang baik, pasti begitu. Nyatanya aku tak seperti itu. Tubuhku sangat kurus. Tangan
dan kakiku betul-betul lurus. Tanpa otot sedikit pun. Bahkan,
rambutku yang berwarna cokelat pun setipis badanku.
Aku betul-betul atlet yang buruk. Si Lemah. Melumatkan lalat
saja aku tak bisa. Lalat. Banyak lalat tidak ya di perkemahan itu"
Aku benci serangga. Pasti di perkemahan itu banyak serangga yang menjijikkan.
Kutu-kutu yang akan mengeriap di bawah kulit dan mengisap
darahmu. Nyamuk-nyamuk yang akan menyebabkan otak meledak saat
mereka mengisap darahmu. "Uh, apakah di sana banyak serangga?" tanyaku.
Mom dan Dad memutar bola mata mereka.
"Penjara. Penjara. Dustin mau dipenjara."
"DIAM, LOGAN!" teriakku.
"Dustin mau dipenjara." Logan melompat tinggi-tinggi, sampai
hampir menyentuh langit-langit. "Dan aku akan menempati
kamarnya!" "Ini kamarku! Jangan berani-berani masuk selama aku pergi!"
"Ini sekarang kamarku." Logan memukul-mukul kasur dengan
kakinya. "Milikku. Milikku. Milikku."
Aku melompat dari lantai, merangsek ke tubuh adikku.
"Hentikan, Dustin! Jauhi aku!" teriaknya. "Ada labah-labah di
lenganmu!" Aku melompat turun dari tempat tidur sambil memukul-mukul
tanganku. "Mana" Mana?" jeritku ketakutan.
"Hah, kau ini betul-betul pengecut." Logan mendengus.
"Mestinya aku yang ikut perkemahan itu. Bukan kau."
Logan turun dari tempat tidur, lalu beringsut-ingsut mendekati
tasku. "Logan, menjauhlah." Mom menarik tangan adikku. "Kau nanti
juga akan ke sana. Sabar saja. Kau berangkat dua minggu lagi."
"Kenapa tidak sekarang saja?" rengeknya.
"Karena hanya Dustin yang bisa mendapat tempat dalam
program empat minggu. Kami sudah menjelaskannya, kan" Kau ikut
program dua minggu," kata Dad. "Sekarang masuk ke kamarmu.
Semua perlengkapan Dustin sudah siap. Dia harus tidur."
"Aku mau ke sana besok," protes Logan saat dia keluar dari
kamar. "Kenapa Dustin selalu lebih beruntung dariku?"
Beruntung" Huh, pikirku saat naik ke tempat tidur.
Aku menaikkan selimut sampai ke daguku. Kubenamkan
kepalaku dalam-dalam ke bantal. Lalu kupejamkan mataku.
Sampai sejam kemudian aku masih belum bisa tidur.
Memikirkan perkemahan itu.
Memikirkan tak punya teman selama liburan musim panas.
Memikirkan makanan yang tidak enak.
Memikirkan pembimbing yang jahat.
Aku pasti sudah tertidur setelah itu. Karena kejadian yang
kuingat selanjutnya adalah aku berdiri di depan rumahku, dengan tas
pakaian di sisiku. Aku menunggu bus perkemahan itu menjemputku.
Pagi itu cerah, matahari bersinar terang. Rerumputan di
halaman depan berkilauan oleh embun pagi.
Sebuah bus kuning besar menderu saat berbelok di sudut rumah.
Aku membaca tulisan hitam di sisinya: CAMP FULL MOON.
Ini dia, aku berpikir dengan sedih. Tepat sekali datangnya.
Bus itu berhenti di tepi jalan tepat ketika Mom, Dad, dan Logan
keluar untuk mengucapkan selamat jalan padaku.
"Aku mau ikut," Logan mengeluh saat aku menyeret tasku ke
pintu bus. Pintu bus terbuka Aku naik selangkah. Lalu menatap sopirnya"
Dan terkejut! Wajahnya kemerahan dan bengkak"penuh kutu.
Di dahinya ada bisul merah menggembung. Rupanya baru saja
digigit kutu. Lecet. Bernanah.
Aku melihat ke rambutnya"
Lalu menjerit. Rambutnya bergerak! Kutu-kutu hidup memenuhi rambutnya! Beratus-ratus kutu
bersarang di kepalanya. Kutu-kutu itu berkeriap di rambut si sopir yang berwarna
cokelat, lalu turun ke pipinya dan segera menembus ke bawah kulit.
Aku menatap ngeri saat seekor kutu merayap di atas hidungnya,
lalu menggerogoti kulitnya, semakin lama semakin dalam, hingga
darahnya mengucur. Dan sebelum aku sempat bergerak, sopir bus itu sudah
melompat dari tempat duduknya.
Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam terjulur.
Bukan. Bukan sarung tangan.
Seluruh tangannya pun tertutup kutu.
"Mau ke CAMP FULL MOON, ya?" tanyanya dengan nada
menggeram. Lalu diraihnya tubuhku. Dicengkeramnya lenganku dengan jari-jarinya yang penuh kutu.
"Lepaskan!" aku menjerit.
Aku meronta-ronta"sehingga kutu-kutu di jari-jarinya
berloncatan. Dan pindah ke lenganku. Menggerigiti kulitku"menyantapnya.
2 "LEPASKAN aku!"
Kusentakkan lenganku dari cengkeraman si sopir bus.
Kukibaskan kutu-kutu di lenganku dengan penuh ketakutan.
Tapi binatang-binatang kecil itu menembus semakin dalam ke bawah
kulitku. "Jauhkan mereka dariku!" aku menjerit-jerit. Kuayunkan
lenganku ke sana kemari dengan panik. "Jauhkan mereka dariku!
Jauhkan..." Seseorang mencengkeram bahuku. Mengguncangnya dengan
keras. "Dustin, Dustin."
Kubuka mataku. Mom membungkuk di atasku, mengguncangguncang bahuku. Membangunkan aku. "Kau bermimpi."
Aku segera duduk. "Ya," aku mengerang. "Mimpi buruk
tentang sopir bus perkemahan yang mengerikan. Tubuh orang itu
tertutup kutu." Mom duduk di tempat tidurku. "Dustin, kau selalu saja mimpi
buruk tentang apa pun." Digelengkannya kepalanya. "Kau harus
memeranginya. Berhentilah takut pada apa pun."
"Habis bagaimana lagi?" jawabku. "Aku memang begitu,
Mom." "Yah, ini kesempatanmu untuk berubah. Kau akan pergi ke
perkemahan yang baru, dengan anak-anak yang belum kaukenal.
Cobalah berubah, jadi anak pemberani. Kalau kau berpikir bahwa kau
pemberani, kau akan jadi berani," jelas Mom.
"Yeah. Pasti," aku merengut, masih membayangkan kutu-kutu
itu. "Aku akan berubah. Jadi pemberani," gumamku saat bus
perkemahan itu berbelok ke blok kami. "Aku akan berubah. Jadi anak
pemberani." Bus itu berhenti di tepi jalan. Ketika pintunya membuka, aku
teringat mimpiku semalam. Kutahan napasku"lalu pelan-pelan aku
mendongak, memandang sopirnya.
Sopirnya masih muda. Dia mengenakan jins dan T-shirt
berwarna biru laut. Di bagian depan kausnya, tercetak dalam huruf
kuning: CAMP FULL MOON. Kuamati wajahnya. Nggak ada serangga.
Kutatap rambutnya yang pirang. Nggak ada serangga.
Dengan cepat kuperiksa tangannya. Nggak ada serangga.
Kulepaskan napasku. "Masuklah!" senyumnya. Dimasukkannya tasku, lalu berangkat.
Bus itu penuh dengan anak-anak. Beberapa di antara mereka
sedang membaca. Tapi kebanyakan sedang tertawa. Mereka bercanda.
Kelihatannya banyak di antara mereka yang sudah saling kenal.
Kupilih bangku paling belakang
Kupandangi anak-anak itu. Siapa di antara mereka yang akan
sepondok denganku" Adakah yang mau jadi temanku"
"Kita akan menjemput anak terakhir," si sopir mengumumkan.
"Habis itu, kita langsung ke CAMP FULL MOON."
Semua bersorak. Bus berhenti lagi. Pintunya membuka. Seorang anak berusia
dua belas tahun, sebaya denganku, masuk. Dia memakai celana
pendek cokelat, T-shirt hitam, sepatu kets Nike tanpa kaus kaki.
Rambutnya yang berwarna cokelat keluar dari bawah topi
basket, yang dipakainya menghadap ke belakang. Wajahnya berbintikbintik. Matanya yang besar berwarna hijau. Tingginya sama
denganku. Bedanya, dia berotot.
Dia duduk di sebelahku. "Hai. Aku Ari Davis," katanya memperkenalkan dirinya.
Aku pun menyebutkan namaku, lalu kami mulai mengobrol.
Dia asyik sekali. Betul-betul ramah. Dan seorang pesenam. Itu
sebabnya tubuhnya berotot.
Dia juga baru pertama kali ini ke CAMP FULL MOON.
"Yuk, kita main tebak-tebakan," ajaknya.
"Oke," jawabku.
"Pilih yang susah," pintanya. "Soalnya aku cukup jeli."
Aku melihat ke luar jendela. Saat itu bus kami mendekati kantor
pemadam kebakaran. "Mobil pemadam kebakaran," kataku.
"Gampang!" Ari tersenyum. "Tebak-tebak."
"Apa di sana?" tanyaku.
"Mobil pemadam kebakaran!"
"Mobil pemadam kebakaran apa?"
"Mobil pemadam kebakaran yang siap untuk pergi!" tunjuknya.
"Kau sukanya permainan yang gampang-gampang, ya?"
katanya. Dilepasnya topi basketnya, lalu dilontarkannya ke tempat
barang di atas kami. "Aku sebenarnya jarang bermain," aku mengakui.
"Jarang?" Ari menaikkan alisnya, tak percaya pengakuanku.
"Aku selalu bermain dan bercanda. Bahkan hari terakhir di sekolah
aku menjaili guruku."
"Apa yang kauperbuat?"
"Aku melepas engsel pintu lemari alat-alat prakarya. Waktu
guruku membukanya, pintu itu jatuh menimpanya!"
Aku tertawa. "Kau lalu dihukum, ya?"
"Ya. Tapi bukan karena itu." Ari nyengir. "Aku disetrap karena
aku melem laci-lacinya."
Aku menatap ke luar jendela. Bus kami sudah meninggalkan
kota. Kami kini menuju CAMP FULL MOON.
Aku tak sempat lagi memikirkan perkemahan itu. Ari
memberiku berbagai macam tebakan. Dua jam berlalu dengan cepat
sebelum aku menyadarinya.
"Hei! Aku punya ide," kata Ari ketika kami hampir tiba. "Yuk,
kita permainkan pembimbing kita di sana."
"Bagaimana caranya?"
"Kita bertukar identitas. Kau jadi aku. Aku jadi kau. Kita lihat,
berapa lama mereka bisa kita bohongi."
"Kurasa itu bukan ide yang bagus," kataku gemetar.
"Ayo deh! Pasti asyik sekali!" Ari meninju lenganku dengan
akrab. Sebentar. Mungkin ini memang ide cemerlang, pikirku.
Mom berkata ini kesempatanku untuk berubah. Mungkin kalau
aku berpura-pura jadi orang lain, aku bisa jadi pemberani.
"Oke," aku berkata. "Ayo bertukar."
Kuberikan ranselku padanya, dia memberikan ranselnya
padaku. Kami juga bertukar tas pakaian masing-masing.
Bus kami mendekati bukit berumput yang dikelilingi
pepohonan, lalu berhenti.
"Kita sudah sampai," sopir bus mengumumkan. "Perhentian
terakhir. Camp Full Moon. Semua keluar!"
Ari menyerahkan topi basketnya saat kami melangkah keluar
dari bus. Aku memakainya dengan cara yang sama seperti dia,
menghadap ke belakang. "Sekarang, aku Ari," kuingatkan diriku saat melangkah turun.
"Aku Ari."ebukulawas.blogspot.com
Tapi, bisakah aku benar-benar berubah"
3 "TOPIMU bagus, Nak." Seorang lelaki bertubuh besar dengan
perut bundar menggebuk punggungku. Aku nyaris saja terjungkal.
Lalu diputarnya topiku"hingga kepalaku hampir copot dibuatnya!
"Siapa sih dia?" bisikku pada Ari waktu orang itu berlalu.
"Itu Paman Lou," Ari balas berbisik. "Aku melihat potretnya di
brosur perkemahan ini. Dia yang mengelola Camp Full Moon."
Paman Lou kelihatan lebih tua dari ayahku. Kacamata bulat
Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil yang dipakainya, melorot sampai tengah hidungnya. Kumisnya
sangat lebat, dan alisnya mencuat ke atas. Kecuali rambut hitam yang
berjumbai di atas kupingnya, kepalanya nyaris botak.
Paman Lou mengenakan kaus perkemahan yang sama dengan si
sopir bus. Tapi kausnya terlalu kecil untuk perutnya yang besar.
Celana pendeknya berwarna cokelat kaki. Sandalnya juga
berwarna cokelat dan dia mengenakan kaus kaki selutut. Salah satu
kaus kakinya berlubang. Jempolnya yang besar tersembul.
Paman Lou memegang klipbord yang ditumpukannya ke
perutnya yang besar itu. "Oke, perhatian semuanya," perintahnya. "Ada tempat untuk
segalanya. Dan segalanya ada di tempat. Mengerti maksudku?"
Tak seorang pun menjawab.
"Kelompok Full Mooners"berdiri di sebelah kananku,"
serunya lagi. "Kelompok New Mooners di sebelah kiriku."
"Kita masuk kelompok yang mana?" tanyaku pada Ari.
"New Mooners, pasti," terkanya.
Aku memandang ke sekeliling perkemahan itu sementara kami
bergabung dalam kelompok masing- masing. Ada sederetan pondok
bercat hijau yang dibangun mengelilingi danau yang airnya
berkilauan. Di tepi danau terjulur sebuah papan loncat indah. Di tepi
lainnya ada sebuah dermaga. Di tepi dermaga itu terapung-apung
enam sampan. Di kejauhan kulihat gedung berdinding batu. Mungkin itu aula.
Di sebelahnya ada lapangan baseball.
Perkemahan ini dikelilingi hutan lebat. Di beberapa pohon
tergantung papan sasaran panahan.
"Semua peserta, ikuti aku!" Paman Lou memimpin kami ke
arah danau. Tanah di bukit ini tertutup oleh dedaunan cemara, sehingga
udara menguarkan bau manis dan segar.
Paman Lou berhenti di depan deretan pondok.
Dia memanggil nama-nama yang ada di daftarnya, menentukan
pondok-pondok yang harus ditempati.
"Wah, kasihan sekali yang dapat pondok itu." Ari menunjuk
satu-satunya pondok yang menghadap ke hutan. Pondok itu miring,
sebab salah satu kakinya menempel di tanah. Sebagian besar
jendelanya pecah. Beberapa atap sirapnya hilang. Pada tanda yang
tergantung miring di pintu depan ada tulisan: PONDOK CHEROKEE.
"Dustin Minium!" Paman Lou meneriakkan namaku.
Aku hampir saja menjawab, tapi Ari segera mengangkat
tangannya. "Yo!"
Paman Lou memeriksa daftar di papannya. "Pondok Cherokee."
Dianggukkannya kepalanya ke arah pondok di dekat hutan itu.
Ari langsung mengerang. "Peserta baru selalu ditempatkan di pondok itu," bisik seorang
anak berambut merah, bermata besar, dengan wajah berbintik-bintik.
"Itu pondok paling jelek di perkemahan ini."
Sial. Aku mungkin dapat pondok itu juga, pikirku.
"Tapi mungkin di dalamnya lebih baik," kataku sambil
memandang pondok yang miring itu.
"Dalamnya malah lebih buruk dari luarnya," jawab anak itu.
Ari mengerang lebih keras lagi.
"Noah Ward," Paman Lou memanggil.
"Pondok Apache, kan?" seru anak berambut merah itu.
"Betul, Noah." "Aku tahu aku pasti menempati pondok itu," kata Noah
kepadaku. "Aku selalu mengikuti perkemahan ini. Dan aku pasti dapat
pondok yang terbaik."
"Ari Davis," Paman Lou berteriak lagi.
Kunaikkan tanganku. "Kulihat dulu." Melalui kacamatanya, Paman Lou meneliti
daftar di papannya. "Nah, ini dia. Pondok Apache."
Hah" "Kok kau bisa dapat pondok yang bagus itu?" Ari mengerang.
"Kau kan juga New Mooners, seperti aku."
"A-aku nggak tahu," jawabku.
Ari memandang Pondok Apache, pondok yang paling dekat
dengan aula. Atap sirapnya yang berwarna hijau tampaknya baru
dicat. Daun jendelanya berwarna putih. Dan berserambi, lagi.
Ini nggak adil, pikirku. Seharusnya aku menempati Pondok
Cherokee, seperti peserta baru lainnya.
Tapi Ari tak mengusulkan untuk bertukar identitas lagi. Jadi aku
diam saja. "Hei, kau Ari Davis, ya?" Noah mengajakku ber-high five.
"Wow! Asyik!" Noah berpaling kepada dua anak yang berdiri di sampingnya.
"Ben! Jason! Ada Ari di tempat kita!"
"Hei! Kita dapat Ari!" Ben bersorak. "Sip!" Ben bertubuh
pendek gemuk, rambutnya keriting berwarna cokelat.
"Yo! Ari!" Ben juga mengajakku ber-high five.
"Ari"Kau-lah si Terpilih!" Jason mendorong Ben yang
menghalangi jalannya. Tubuh Jason besar seperti pemain basket. Lengan dan kakinya
panjang. Kepalanya yang berambut pirang terlihat menjulang di antara
peserta lainnya. Jason mengajakku ber-high five dua kali.
"Ari! Ari! Ari!" ketiganya bersorak.
Ada apa sih dengan ketiga anak ini" aku bertanya-tanya.
Aku melirik Ari. Dia kelihatan sedih.
Mungkin aku harus menghentikan permainan kami, aku
berpikir. Mungkin aku harus berterus terang pada Paman Lou bahwa
kami berdua bertukar identitas.
"Paman Lou?" aku mulai berkata pada pengelola perkemahan
itu. Tapi sebelum aku menyadari apa yang terjadi, ketiga teman
sepondokku beramai-ramai mengangkatku.
"Ari! Ari! Ari!" teriak mereka.
Ada apa sih" Aku terbengong-bengong sementara mereka
menggotongku ke Pondok Apache.
Kenapa mereka begitu gembira bertemu dengan Ari"
4 "HEI, tempat ini betul-betul asyik." Ketiga cowok itu
menurunkan aku. Kuedarkan mataku ke sekeliling ruang dalam
pondok itu. Ada dua tempat tidur bertingkat. Dua lemari pendek berlaci. Di
salah satu sisi dinding tergantung poster Mark McGwire. Di sisi
lainnya tergantung papan panahan.
"Tempat tidur pembimbing yang mana?" tanyaku.
"Tak ada pembimbing di Pondok Apache," kata Noah. "Kan
sudah kubilang"Pondok Apache adalah pondok yang paling sip!"
"Aku kasihan pada Dustin, temanmu itu." Jason menggelengkan
kepalanya. "Nyamuk-nyamuk di pondok itu akan melahapnya hiduphidup."
"Masih mending kalau cuma nyamuk," bantah Noah. "Kutukutu di tempat tidurnya lebih ganas lagi."
Nyamuk" Kutu" Pasti saat ini Ari keki sekali padaku. Tapi ini
semua idenya. Bukan ideku, aku berkata pada diriku, mencoba
menghilangkan rasa bersalah yang melanda.
"Ari, mana tas pakaianmu" Kubantu kau membereskannya."
Ben merebut tasku, lalu mulai mengosongkan isinya.
"Kau boleh memakai dua laci teratas," kata Noah. "Pokoknya,
kau dapat yang terbaik."
Aku bengong saat Noah mengambil semua T-shirt dan celana
pendekku dari Ben, lalu menatanya dengan rapi di dalam laci.
Kenapa sih mereka ini" aku berpikir lagi. Apa mereka selalu
bersikap baik pada setiap orang"
Sementara Ben dan Noah memberesi barang-barangku, aku
mengamati kedua tempat tidur bersusun itu. Tempat tidur yang di atas
kelihatan betul-betul enak. Bahkan salah satunya terletak di tepi
jendela. Tempat tidur yang di bawah juga nggak jelek. Tapi salah
satunya sungguh tak enak, karena terletak di sudut yang gelap.
Aku pasti menempati tempat tidur itu, pikirku. Aku anak baru di
sini, pasti aku dapat tempat tidur yang nggak enak.
Ah, nggak apa-apa, pikirku lagi. Mana mungkin aku"toh,
teman-temanku di pondok ini sangat baik padaku"
Aku duduk di tempat tidur yang gelap itu.
"Hei"kau jangan tidur di situ!" protes Jason.
"Maaf." Aku melompat turun.
"Itu tempat tidurmu." Jason menunjuk tempat tidur di atas, yang
dekat jendela. Yang paling baik di pondok ini.
"Be-bener nih?" gagapku.
"Ya, betul," kata Ben. "Sebab Kau si Terpilih!"
Ben dan Noah sudah selesai memasukkan semua
perlengkapanku. Ketiganya lalu ber-high five lagi denganku.
"Ari! Nih, tangkap!"
Aku berbalik, dan menangkap permen yang dilemparkan Jason
padaku. Sambil melepas pembungkusnya, Jason menarikku ke sebuah
koper besar. "Lihat isinya," katanya.
Kubuka koper itu, lalu melongok isinya. "Wow!" Koper itu
penuh dengan permen, cokelat, limun, dan kue-kue kering.
"Ini semua untukmu." Jason nyengir.
"Hah" Untukku?" ulangku, takjub.
"Yap." Jason memasukkan tangannya ke dalam koper, meraih
segengam permen. Diulurkannya permen-permen itu kepadaku. "Kau
si Terpilih! Apa pun yang kauinginkan"beritahu kami!"
"Apa saja," Ben mengulang. "Kau tinggal bilang pada kami."
"Kami sangat beruntung. Kami tak bisa mempercayai, kaulah
yang menempati pondok ini." Noah melempar kepalan tangannya ke
udara. "Ada apa sih, sebenarnya?" aku bertanya.
Semua diam. Senyum menghilang dari wajah mereka.
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berkata-kata. Mereka
berdiri, memandangiku dengan tatapan aneh.
Jason menurunkan tatapannya ke lantai.
Ben melipat tangannya di dada.
Ruangan menjadi senyap. Sampai-sampai detak jam di
pergelanganku pun bisa kudengar.
Kumasukkan tanganku ke saku celana. Kutumpukan kakiku
yang satu ke kaki yang lain, menunggu jawaban dari mereka.
Akhirnya, Noah berkata, "Kau tahu kenapa kau di sini, betul
kan" Kau tahu kau harus berbuat apa. Betul kan, Ari?"
Aku menatap mereka. Jantungku berdegup keras.
"Uh... betul," jawabku.
"Oke!" Ben menurunkan tangan dari dadanya.
Jason melempar sekaleng limun padaku.
Lalu ketiganya mulai membongkar barang-barang mereka.
Bercanda. Sambil makan permen.
Aku naik ke tempat tidur, menatap mereka sambil berdiam diri.
Apa maksud mereka" aku bertanya-tanya.
Perbuatan apa yang harus kulakukan"
5 "KITA mau ke mana?" tanyaku pada Noah malam itu.
"Ikuti saja kami," katanya.
Noah, Ben, dan Jason menarikku ke luar pondok. Aku
memandang pondok-pondok di sekitar danau itu. Pepohonan di tepi
hutan. Seluruhnya kini diselimuti oleh bayang-bayang gelap.
"Ayo, kembali dulu," ajakku. "Aku mau mengambil senter."
"Kita tak memerlukannya," kata Ben. "Kami tahu arah kok."
"Uh"memangnya kita mau ke mana?" aku bertanya lagi,
berusaha supaya suaraku tak terdengar ketakutan.
"Kau akan tahu." Jason berjalan di belakangku. Dia mendorong
punggungku. "Jalan terus."
Kami memutari danau. Kudengar dengung keras seranggaserangga malam. Aku tak bisa melihatnya karena suasana terlalu
gelap. Namun kelihatannya mereka ada di mana-mana; beterbangan di
dahan-dahan pohon di atasku; bersarang di rerumputan di kakiku.
Kudengar suara berkaok-kaok, mengerik-ngerik.
Kutampar seekor nyamuk yang berdengung di telingaku.
Ke mana mereka membawaku" Jantungku mulai berpacu.
Noah memimpin kami melintasi bagian depan aula.
Begitu kami memutari sudut gedung batu itu, sebuah sinar
kemerahan terlihat menyala di kegelapan malam.
"Oh, api unggun," aku menarik napas lega.
"Ini tradisi Camp Full Moon," kata Ben. "Kami selalu
mengadakan api unggun pada malam pertama di perkemahan."
Terlihat api berkobar-kobar di tengah lingkaran bebatuan.
Seluruh penghuni perkemahan ada di sana"peserta perkemahan dan
seluruh pembimbing. Juga Paman Lou.
Sebagian anak berdiri mengelilingi api unggun. Sebagian lagi
duduk bersila di rumput. Sambil menikmati hot dog dan fruit punch.
Di sisi lain ada sebuah meja panjang penuh berisi aneka
makanan. "Kau duduk saja di sana." Noah menunjuk sebuah batu besar.
"Kami akan mengambilkanmu makanan."
Aku tak ingin duduk. Aku memandang berkeliling. Mencari
Ari. Tapi ia tak ada di antara kerumunan peserta perkemahan.
"Aku ikut." Aku melompat, lalu berjalan menuju meja
makanan. "Jangan," larang Jason. "Kami yang akan membawakanmu
sepiring penuh makanan. Santai saja."
Ketiganya kembali ke tempatku sambil membawa beberapa hot
dog, kentang goreng, juga jus. Sebelum aku menghabiskan hot dog-ku
yang pertama, Noah sudah bangkit lalu mengambilkan lagi untukku.
Mereka memandangiku saat aku makan.
"Bagaimana, semua oke?" tanya Ben. "Kau mau mustard lagi?"
"Tidak. Terima kasih," jawabku.
"Apakah aku menuang mustard terlalu banyak di hot dog-mu?"
Noah bangkit lagi. "Sini, akan kukurangi."
"Sudah pas kok. Betul," kataku.
Aku menggigit hot dog kedua"dan... seekor lebah raksasa
hinggap di atasnya. Aku hampir saja menjerit.
Tapi ketiga teman sepondokku menatapku lekat-lekat.
Kutelan jeritanku. Kucoba menenangkan jantungku yang
berdebar keras. Aku sekarang Ari, kuingatkan diriku. Aku sudah berbeda. Aku
tak takut lagi pada lebah.
Aku menarik napas dalam-dalam"lalu kutiup lebah itu.
Tapi lebah lain terbang mendekati kami. Lalu muncul satu lagi.
Akhirnya berpuluh-puluh lebah mengelilingi kami.
Sepertinya ada yang sudah mengganggu sarang lebah-lebah
itu"sekarang lebah-lebah itulah yang mengganggu kami.
Mereka hinggap di makanan-makanan. Berputar di sekitar botol
jus. Menempel di kentang goreng.
Mereka berdengung-dengung di kepalaku.
Inilah mimpi burukku yang paling menyeramkan.
Aku ingin lari. Tapi aku sekarang Ari. Aku memandang dua lebah yang
Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdengung-dengung mengelilingi hot dog-ku. Aku tak takut pada
lebah. Aku tak takut... "ARI!" Ari yang sebenarnya memanggilku. Sambil berjalan
menghampiriku, dia menggaruk tangannya, kakinya, lalu tangannya
lagi. "Dustin! Aku mencari-carimu dari tadi!" seruku. Kuletakkan
hot dog-ku, lalu melompat bangkit.
"Kami akan kembali." Noah bangkit. "Kami akan mengambil
jus lagi untukmu." "Dan marshmallow," Jason menambahkan. "Akan
kupanggangkan untukmu. Kau suka yang bagaimana" Renyah dan
kecokelatan"atau hangat dan liat?"
"Uh"renyah," kataku.
"Dia mau memanggangkan marshmallow untukmu?" Ari
kelihatan heran. Dia menarikku mendekat. "Dustin, kurasa permainan
ini harus kita akhiri. Aku ingin kembali bertukar tempat." Dia
menggaruk pipinya. "Tidak bisakah kita melakukannya sedikit lebih lama lagi?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Ini nggak adil.Pondokku
bobrok. Atapnya berlubang. Lantainya bau. Dan kasurnya, penuh
kutu." Digaruknya kepalanya.
Hih! Kutu. Aku sedikit menjauhinya.
"Aku tahu ini nggak adil. Kita akan bertukar kembali beberapa
hari lagi. Aku sangat senang menjadi dirimu. Ayolah," aku memohon.
"Cuma beberapa hari kok."
"Tunggu sebentar," kata Ari, lalu dia membungkuk, menggaruk
mata kakinya. "Kurasa kutunya beranak nih."
"Ayolah, beberapa hari saja lagi," pintaku.
Ari menghela napas. "Oke. Tapi cuma beberapa hari ya."
Dia memandang ke meja makanan. Di sana tampak Noah, Ben,
dan Jason sedang mengisi penuh piringku.
"Akulah yang seharusnya mendapat perlakuan istimewa itu"
bukan kau," protesnya.
"Kenapa mereka sangat menyukai dirimu?" tanyaku seraya
memandang ketiga anak itu.
"Aku nggak tahu." Ari mengangkat bahunya.
"Hei, Dustin," salah seorang teman sepondok Ari memanggil.
"Aku sudah siap."
"Itu Melvin." Ari mengerang. "Mendingan aku pergi. Dia mau
memamerkan koleksi tali sepatunya padaku."
Ari melangkahkan kakinya, sambil menggaruki tengkuknya.
Aku duduk di rumput, menunggu ketiga teman sepondokku
kembali. Aku melirik seorang anak yang tak kukenal. Dia duduk
beberapa meter dariku. Anak itu sedang menjejalkan segenggam
kentang goreng ke mulutnya.
Dua lebah hinggap di piringnya.
Dia memandangi lebah-lebah itu.
Perlahan-lahan senyumnya mengembang.
Lalu, dengan hati-hati, ditangkapnya lebah-lebah itu dengan
kedua telapak tangannya. Diangkatnya tangannya ke telinganya. Didengarkannya
dengung histeris kedua serangga itu.
Lalu diarahkannya tangannya ke bibirnya.
Dimasukkannya lebah-lebah itu ke mulutnya" dan segera
ditelannya. 6 BETULKAH apa yang kulihat barusan" Kukedipkan mataku
keras-keras. Benarkah anak itu menelan dua ekor lebah"
Kugelengkan kepalaku. Tidak. Dia tidak menelan lebah-lebah
itu, aku meyakinkan diriku. Tak ada manusia makan lebah. Itu pasti
hot dog. Dua potongan hot dog.
"Yo! Mooners! Semua berkumpul!" Paman Lou berdiri di
depan api unggun. "Kata orang sih, waktu tak bisa menunggu! Jadi"
sekarang kita mulai!"
Mulai apa" Aku duduk di depan lingkaran batu, memandangi api unggun.
Lidah api yang berwarna oranye dan kuning menjilat-jilat udara.
Terdengar bunyi meretih saat kayunya terbakar.
Kutarik napasku dalam-dalam, lalu mengembuskannya dalam
udara yang berbau asap. Mungkin perkemahan musim panas ini tak begitu mengerikan,
pikirku. Selama aku berpura-pura menjadi Ari.
"Oke! Sekarang kita mulai penyambutan ala Full Moon Camp!"
Paman Lou mengumumkan. Ditariknya celana pendeknya sampai ke bagian atas perutnya
yang besar. Lalu diangkatnya sebuah peluit ke bibirnya, dan ditiupnya
peluit itu dengan kencang dan lama.
Semua peserta perkemahan berdiri. Mereka menengadahkan
kepala ke arah bulan, lalu melolong. Setelah itu mereka bersorak: "Old
Mooners. Full Mooners. Mari kita dengarkan cerita itu lagi, untuk
menyambut NEW MOONERS!" Lalu mereka melolong lagi.
Ari duduk di belakangku. "Semua orang di perkemahan ini
betul-betul ramah." Dia mencondongkan tubuhnya, berbisik di
telingaku. "Tadinya kupikir peserta baru akan diperlakukan seperti
sampah." "Ucapkan selamat datang khusus bagi Ari Davis!" Paman Lou
melemparkan tinjunya ke udara.
Hah" "Ari! Ari! Ari!" seluruh peserta berteriak.
Pipiku memanas. "Ari! Ari! Ari!" mereka bersorak, menjejak-jejakkan kaki
mereka, memenuhi kegelapan malam dengan lolongan yang
melengking "Hukum Pondok Apache!" Noah berteriak.
Ada apa sih" Kenapa mereka semua bersikap seperti itu"
"Seharusnya mereka bersorak untukku." Ari memajukan
tubuhnya lagi. "Ini nggak adil," bisiknya dengan sedih.
"Kita akan segera bertukar lagi," aku berjanji.
Seorang pembimbing bertubuh tinggi kurus membawa sebuah
bangku ke dekat api. Giginya depannya tonggos dan jarang-jarang.
Diletakkannya bangku itu di samping Paman Lou.
"Nate, salah satu di antara kita harus kehilangan berat 30 kilo,"
canda Paman Lou. Lalu dia duduk di bangku itu.
"Kurasa Paman Lou akan memulai ceritanya," kata Ben.
Semua peserta berangsur diam.
"Cerita tentang apa?" tanyaku.
Tapi aku tak mendengar apa jawabannya. Sebab kudengar
bunyi siulan dari hutan. Aku memutar tubuhku dan memandang ke kegelapan
pepohonan yang mengelilingi api unggun.
Ada sesuatu di sana. Aku melihat kilau sepasang mata merah. Mata menyala-nyala
seekor binatang di antara pepohonan.
Lalu kulihat seberkas cahaya. Lagi kilau sepasang mata merah.
Lalu seberkas cahaya lagi.
Berpuluh-puluh mata merah yang menyala. Berkerlip-kerlip di
hutan. Mengintai kami. Bulu kudukku meremang ketika menyadari hutan yang gelap itu
berkerlip-kerlip oleh cahaya yang mengerikan.
Apa yang ada di sana" batinku.
Apa pun itu, mereka telah mengepung kami!
7 "INI legenda tentang Si Pemangsa," Paman Lou memulai
ceritanya. Semua terdiam. Api unggun meretih di belakang Paman Lou.
Suaranya dalam dan pelan. Tapi aku bisa mendengarnya dengan
jelas. Sambil mencondongkan tubuh, semua peserta duduk dengan
khidmat. Mereka mendengarkan cerita Paman Lou.
Aku menatap tajam ke arah hutan. Mata-mata merah menyala
itu masih berkerlipan di antara pepohonan.
Aku ingin menanyakan hal itu pada salah satu ketiga teman
sepondokku. Mungkin saja mereka tahu itu apa. Tapi Noah, Ben, dan
Jason pun mencondongkan tubuh mereka, berkonsentrasi pada kisah
Paman Lou. Kupalingkan mataku dari mata-mata yang berkilauan itu.
Kucoba untuk melupakan bahwa mereka ada di sana,
memandangi kami"mengintai kami.
"Ketika bulan purnama muncul"dia datang," suara Paman Lou
semakin pelan. "Siapa yang datang?" bisikku pada Noah. "Apakah aku
kelewatan tadi?" "Sssttt!" Noah menempelkan jari ke bibirnya. "Dengarkan baikbaik, Ari."
"Kembalilah bersamaku." Paman Lou memejamkan matanya.
"Menelusuri kejadian dua puluh lima tahun yang lalu"ke hari yang
cerah di bulan Juli. Saat diresmikannya sebuah perkemahan baru.
"'Perkemahan yang seharusnya tak boleh diadakan, kata
penduduk setempat. Mereka tahu bahaya apa yang mengincar. Tapi
tak seorang pun yang mendengarkan nasihat mereka.
"Peserta perkemahan datang sepanjang hari. Mereka
membongkar barang-barang mereka. Tertawa gembira. Membicarakan
api unggun yang akan diadakan malam itu, sebagai acara pembukaan
perkemahan ini. "Dan ini adalah hari yang bersejarah untuk Johnny Grant. Ini
adalah hari pertamanya di perkemahan.
"'Selamat bersenang-senang!' kata ayah Johnny sambil
membaur-baurkan rambut anaknya. 'Sampai bertemu lagi bulan
Agustus!' "Ibu Johnny menciumnya, mengucapkan selamat tinggal.
"Dia tak tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana mungkin" Tak
seorang pun mengetahuinya."
"Apa yang tidak mereka ketahui?" Kudengar Ari bertanya pada
seseorang. Seseorang menyuruh Ari diam.
"Akhirnya, matahari pun terbenam," lanjut Paman Lou. "Saat
itu adalah senja yang hangat di musim panas. Bulan purnama muncul
di langit. Danau kelihatan berkilau di bawah sinarnya yang
keemasan." Sementara Paman Lou bercerita, kuarahkan mataku ke danau"
dan terkesiap. Danau itu bersinar. Aku menengadah ke langit"
memandang bulan purnama yang tergantung di atas sana.
Ini cuma cerita khayal, aku berkata pada diriku. Namun, aku
mulai merinding. "Api unggun menyala," lanjut Paman Lou. "Para peserta
berkumpul di sekelilingnya. Mereka memanggang marshmallow.
Merasa sangat gembira berada di perkemahan. Begitu senang karena
merekalah peserta pertama Camp Full Moon."
Terdengar suara-suara gumaman. Paman Lou menunggu sampai
semua tenang kembali. Lalu diteruskannya kata-katanya,
"Setelah semua selesai makan dan api mulai mati, para
pembimbing menyalakan lentera. Para peserta perkemahan duduk di
antara lentera-lentera itu. Ketika mereka menyanyi, sekelompok rubah
merah berkumpul di hutan.
"Perlahan-lahan, mereka bergerak mendekati tepi hutan. Tak
seorang pun menyadari kehadiran mereka.
"Mereka mengintai dari balik pepohonan. Menatap para peserta
perkemahan." Aku langsung teringat pada mata-mata merah di hutan tadi.
Tapi aku terlalu takut untuk mengecek, apakah mereka masih di sana
atau tidak. Aku memandang lurus pada Paman Lou.
Paman Lou menarik napas dalam-dalam.
"Johnny Grant bangkit menjauhi api unggun. Dia begitu
gembira berada di perkemahan. Dan ingin sekali menjelajah
sekitarnya. Dia menuju ke pepohonan.
"Beberapa anak melihat kepergiannya. Tapi tak seorang pun
memanggilnya. Tak seorang-pun mencegahnya.
"Tiba-tiba, terdengar jeritan dari balik pepohonan. 'Tolooong!'
Disambung dengan jerit kesakitan.
"Semua berlari ke hutan.
"Mereka melihat rubah-rubah itu.
"Tapi salah satunya bukan rubah sesungguhnya.
"Dialah Si Pemangsa.
"Penduduk di sekitar lokasi tahu mengenai Si Pemangsa. Ia
makhluk jahat berbentuk rubah. Dia menyamar di antara rubah-rubah
itu, mencari mangsa di hutan. Mencari korban-korban baru.
"Sekarang, Johnny tahu bahwa Si Pemangsa memang ada. Hari
pertamanya di perkemahan"adalah hari terakhirnya. Sejak itu dia tak
pernah terlihat lagi."
"Waspadalah pada Si Pemangsa," bisik Paman Lou. "Dia bisa
berbentuk apa saja. Dia selalu mengintai. Selalu."
Paman Lou membuka matanya. "Oke. Cerita selesai."
Aku memandang peserta-peserta lainnya. Menatap ekspresi
ketakutan di wajah mereka.
Kenapa mereka begitu ketakutan"
Aku pun ketakutan. Tapi kisah-kisah hantu memang selalu
menakutkan, bukan" "Ceritanya bagus," komentar salah satu peserta. "Paman Lou
selalu mengisahkan cerita horor yang asyik-asyik."
"Ini kisah nyata," salah seorang pembimbing memberi
peringatan. "Lebih baik kalian berhati-hati. Setiap tahun, ada satu anak
hilang dari perkemahan ini. Dibawa oleh Si Pemangsa"mereka tak
pernah muncul lagi."
"Ya, betul." Seorang anak tertawa. "Lihat nih, aku gemetar."
Perlahan-lahan para peserta mulai meninggalkan api unggun.
Kembali ke pondok mereka.
Kupandangi api unggun di depanku. Menatap bara api
berkerlip-kerlip sebelum akhirnya padam.
Ketika aku mulai bergerak meninggalkan api unggun, seseorang
mencengkeramku dari belakang.
Aku mencoba berteriak"namun sebuah tangan dengan keras
membekap mulutku. Aku menendang-nendang dan meronta-ronta"tapi tetap tak
bisa melepaskan diriku. Tangan-tangan itu mencengkeramku dengan
kuat. Dan menarikku dengan kasar ke arah hutan.
8 "LEPASKAN aku!" sekuat tenaga aku berusaha menjerit.
Tetapi tangan di mulutku menekan semakin kuat. Begitu kuatnya,
sampai-sampai bibirku menempel di gigiku.
Aku menendang-nendang. Meronta-ronta.
Namun tak cukup kuat untuk melawannya.
Aku diseretnya semakin jauh masuk ke dalam hutan.
Menjauhi api unggun. "Oke. Lepaskan dia," bisik sebuah suara.
Tangan-tangan itu melepaskan cengkeramannya pada diriku,
Kuputar tubuhku"Jason! Noah dan Ben berdiri di sampingnya.
"Sori, Ari. Mudah-mudahan saja aku tak menyakitimu," kata
Jason. Kedua kakiku gemetar.
Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kalian seret aku kemari?" seruku, mencoba
menyembunyikan ketakutanku.
"Ada yang ingin kami bicarakan denganmu," kata Noah. "Dan
kami tak ingin ada seorang pun yang mendengar." Noah mengawasi
pohon-pohon di sekeliling kami.
"Memangnya ada sesuatu yang penting?" tanyaku.
Noah maju selangkah ke hadapanku. "Kami ingin
membicarakan tentang Si Pemangsa."
Hah" "Cerita konyol itu?"
"Kenapa kau berkata begitu?" tanya Ben.
"Karena yah"itu kan cuma kisah-kisah seram yang biasa
diceritakan pada saat berkemah," jawabku.
"Oh, aku tahu." Jason tersenyum padaku. "Kau ingin bercanda
dengan kami, kan?" "Benarkah, Ari" Betulkah kau ingin bercanda?" tuntut Ben.
Aku diam saja. Kuarahkan pandanganku ke bawah. Kutendang
sebuah batu. "Kau bilang kau mengerti." Noah melangkah mendekatiku.
"Sore tadi di pondok, kaukatakan kau tahu apa yang harus
kaulakukan." Matanya menyipit. Otot-otot di wajahnya mengeras.
"Jangan terlalu keras padanya." Jason berusaha menenangkan
Noah. "Ari pasti tahu. Betul, kan?"
"Kau tahu tidak?" Noah maju lagi selangkah mendekatiku.
Mereka membicarakan hal apa sih" Kepalaku mulai berdenyutdenyut. Bagaimana aku harus menjawabnya"
Aku melangkah mundur ke sebatang pohon.
Ketiga anak itu melangkah maju.
Mereka mulai mengepungku.
Apa yang mereka inginkan dariku" Jantungku mulai berdebar.
Dengan panik aku memandang berkeliling.
Hutan ini sangat gelap. Tak ada orang lain, kecuali kami.
Mereka melangkah semakin dekat.
Adakah yang mendengar bila aku menjerit"
"Kau Si Terpilih, Ari," kata Ben. "Kau Si Terpilih!"
Mereka semakin mendekati diriku.
Tanpa pikir panjang lagi aku pun kabur menjauhi mereka.
Menembus pepohonan, menuju ke deretan pondok di
perkemahan. Aku berlari secepat mungkin"menuju tanah terbuka. Atau
danau. Atau aula. Tapi tak kutemukan tanda-tanda adanya perkemahan.
Aku berhenti. Memandang sekelilingku.
Di mana-mana cuma ada pepohonan.
Di mana perkemahan itu"
Salah arahkah aku" Ke mana seharusnya aku berlari"
Di hutan itu banyak sekali nyamuk. Mereka berdengungdengung di wajahku. Berputar-putar di depan mataku. Menggigiti
leherku, pipiku. Aku mulai berlari lagi. Dengan mulut terbuka. Napas terengah-engah.
Kutampar nyamuk-nyamuk yang menggangguku.
Kuterjang kumpulan agas. Mereka beterbangan di sekitar
mulutku. Dan kupingku. Kugoyangkan kepalaku ke kiri ke kanan.
Lalu lari, lari. Rasa sakit yang tajam tiba-tiba menikam sisi tubuhku.
Aku berhenti dengan napas megap-megap. Kugosok-gosok
tulang igaku yang terasa nyeri.
Lalu, kudengar bunyi ranting berderak di belakangku.
Aku terpaku. Perlahan-lahan kuputar tubuhku"
Seekor rubah menatapku dengan tajam!
Rubah merah! Binatang itu menggeram-geram kelaparan.
Matanya menyala-nyala. 9 AKU terjungkal ke belakang.
Tapi aku terus memandang rubah itu.
Si Pemangsa. Kata itu melintas di otakku.
Itu cerita bohong, kuyakinkan diriku. Cuma sebuah cerita
konyol di perkemahan. Sepasang mata yang lain bergerak di antara pepohonan.
Lalu sepasang lagi. Kini, hutan yang mengelilingku penuh dengan mata-mata merah
yang berkilauan. Kilaunya yang menakutkan itu menjadi semakin jelas ketika
mereka bergerak mendekati.
Dadaku terasa sesak. Kulihat sepasang mata yang cahayanya lebih berpijar
dibandingkan yang lain. Yang kilaunya setajam sinar laser.
Itukah mata Si Pemangsa"
Sepasang mata lain bergerak mendekatiku.
Atau yang ini" Jantungku berpacu keras. Keringat dingin mengucur,
membasahi bajuku. Ke mana pun aku berpaling, kulihat mata-mata merah menyala.
Itu cuma cerita biasa, kalimat itu kuulang-ulang. Cuma cerita
biasa... Kuputar tubuhku. Mencoba untuk kabur.
Terdengar geram kemarahan.
Aku menjerit keras saat seekor rubah menerjangku, sambil
mengangkat cakarnya. Rahangnya terbuka, mengeluarkan suara lolongan.
Lalu diarahkannya kukunya yang tajam ke dadaku.
10 TERDENGAR suara KREEKK yang keras saat cakar yang
tajam itu merobek T-shirt-ku.
"Tolooong!" Sambil menggeram rubah itu bergerak mundur. Bersiap-siap
menerkamku lagi. Kulihat rubah-rubah lain di belakangnya. Mereka semua
bergerak mendekati. Dengan kepala direndahkan mereka menggeram,
mengancam, lalu berlompatan keluar dari balik pepohonan.
"Toloong!" aku berteriak kencang. "Toloong! Tolooong!" Tapi
teriakanku tertutup oleh geram kemarahan binatang-binatang buas itu.
Rubah pertama menerkamku lagi. Kukunya yang runcing
merobek T-shirt-ku. Benturan antara tubuhku dan tubuhnya mengakibatkan aku
terjungkal lagi. Rubah-rubah lain segera menyergapku. Mereka berlompatan ke
atas tubuhku. Dengan rahang-rahang terbuka, mereka mencakar-cakar
diriku dengan ganas. Aku menjerit keras lagi. Meronta-ronta. Mengeliat-geliatkan tubuhku dengan membabibuta.
"Ari! Bertahanlah!"
Noah! Kulihat dia berlari menerjang pepohonan, sambil menggenggam
sebatang dahan. Diayun-ayunkannya dahan itu ke arah rubah-rubah
yang mengeroyokku, sambil berteriak mengusir mereka.
Ditendanginya binatang-binatang itu.
Tetap menggeram, rubah-rubah itu berlari masuk kembali ke
dalam hutan. Ketika yakin binatang-binatang buas itu sudah pergi, Noah
membuang dahan yang dipegangnya, lalu dibantunya aku berdiri.
Kakiku gemetar. Kucengkeram lengannya, agar bisa berdiri
tegak. "Wow! Kau baik-baik saja?" tanyanya.
Kuamati diriku. Kausku koyak-koyak. Celana pendekku robek.
Dan tubuhku berlumpur. "Ari, kau jangan ke tempat ini sendirian. Kau belum siap
berhadapan dengan Si Pemangsa. Tidak sekarang." Noah
menggelengkan kepalanya. Aku merasa pusing. Aku tak mengerti apa maksud kata-katanya.
Aku bersandar di sebatang pohon. "Noah"kau bicara apa sih?"
"Kau betul-betul nggak tahu, ya?" Matanya membesar karena
terkejut. "Kami kan sudah mengatakannya padamu. Kaulah Si
Terpilih!" Dia nyengir. "Kau satu-satunya!"
"Berhentilah mengatakan itu padaku!" kataku. "Aku betul-betul
tidak tahu apa maksudnya. SEKARANG, jelaskan padaku!"
"Oke, oke." Noah menatapku. "Kalau kau memang belum tahu,
akan kuberitahu." "Aku betul-betul bingung," kataku lagi.
"Ari," kata Noah, " kau telah terpilih sebagai korban Si
Pemangsa tahun ini."
11 KUTATAP teman sepondokku itu. "Kau bercanda. Ya, kan?"
Dia diam saja. "Noah"ini kan cuma leluconmu pada peserta baru. Ya, kan?"
aku menegaskan. Digelengkannya kepalanya. Dia memutar tubuhnya, mulai
berjalan melalui pepohonan.
"Noah"tunggu!" Kucengkeram bahunya. "Katakan yang
sebenarnya padaku!" tuntutku.
Dia menatap lurus padaku. "Aku sudah mengatakan yang
sebenarnya kepadamu, Ari," bisiknya. "Si Pemangsa memang ada.
Dan kaulah yang dipilihnya tahun ini. Setiap musim panas, dia selalu
mencari korban baru."
"Tapi"tapi?" aku tergagap-gagap.
"Tahun ini, kau korbannya," jawab Noah pelan. Dia berbalik
lagi, meneruskan langkahnya.
Kami tiba di tepi hutan. Dari balik pepohonan kulihat danau itu.
Danau yang bersinar aneh di bawah bulan purnama. Persis seperti
cerita Paman Lou. Aku memikirkan binatang-binatang buas tadi. Rubah-rubah
merah dengan mata yang menyala-nyala.
Persis seperti yang dikisahkan oleh Paman Lou.
Betulkah kisah itu nyata" aku bertanya-tanya. Betulkah korban
berikutnya adalah Ari"
Tapi aku bukan Ari! Tak ada jalan lain, aku harus mengatakan yang sebenarnya
kepada mereka. "Yo, guys. Kami kembali." Noah membuka pintu pondok.
"Hei, man. Kau kelihatan parah sekali." Ben memandang kaus
dan celana pendekku yang robek.
Jason membuka tempat permennya. Diambilnya limun untuk
dirinya dan dilemparkannya satu padaku.
Tanganku gemetar saat membuka tutupnya. Kutenggak limun
itu sebanyak-banyaknya. "Dengar, guys. Aku ingin mengatakan sesuatu pada kalian," aku
mulai berkata. Tak ada yang bicara, semua menunggu aku melanjutkan katakataku.
"Aku sebetulnya bukan Ari."
Kuceritakan pada mereka segalanya. Dari saat pertemuanku
dengan Ari di bus. Sampai saat kami setuju untuk bertukar identitas.
"Menurut Ari, pasti lelucon ini mengasyikkan. Begitu juga
menurutku. Tapi sekarang, ini nggak lucu lagi."
Tak seorang pun berkata-kata.
Mereka menatapku dengan tajam.
"Oke. Jadi kau Dustin," kata Noah. "Dan aku Paman Lou!"
Noah menyambar bantal Jason, lalu menjejalkannya ke balik Tshirt-nya. "Lihat nih. Aku Paman Lou!"
Jason tertawa geli, sampai-sampai soda di mulutnya
menyembur. "Kata orang nih," Noah berteriak, persis seperti Paman Lou,
"jika kau menyemburkan air ke atas, kepalamu akan basah!"
Jason dan Ben tertawa terbahak-bahak.
"Tunggu. Aku baru saja menyadari sesuatu." Ben memutar
tubuhnya ke arahku. "Kau tidak mungkin Dustin."
"Kenapa kau berkata begitu?" tanyaku.
"Sebab akulah Dustin!" Ben mulai menggaruki dada dan
kakinya. Dia menampar-nampar lengannya, pura-pura sedang
memukuli nyamuk. "Lihat! Aku-lah Dustin."
"Tolong, dengarkan aku dulu!" seruku. "Aku serius!"
"Ari." Noah melingkarkan lengannya di seputar bahuku. "Kau
harus berani." "Tapi aku memang bukan Ari!" kutekankan lagi hal itu. "Kalian
harus percaya padaku. Aku Dustin. Telah kuceritakan hal yang
sebenarnya pada kalian!"
"Maaf. Hal itu takkan menolongmu." Noah menggelengkan
kepalanya. "Kau tak mungkin lepas dari Si Pemangsa walaupun kau
berpura-pura menjadi orang lain."
Aku mengeluh. Mereka kelihatannya tak percaya sama sekali
padaku. Kami semua lalu naik ke tempat tidur.
Ben mematikan lampu. "Hei, Paman Lou! Kembalikan bantalku!" teriak Jason pada
Noah. Kedua anak itu lalu saling memukul dengan bantal. Tertawatawa. Bersenang-senang.
Aku belum juga tertidur saat pergumulan dengan bantal itu
berhenti. Aku masih bahkan masih tetap terjaga ketika semuanya
sudah tertidur. Aku akan mencari Ari pagi ini. Akan kukatakan padanya bahwa
sudah saatnya kami bertukar kembali.
Apakah hal-hal yang mengerikan ini akan menimpa Ari juga"
aku bertanya-tanya. Tapi Ari kan memang ingin bertukar kembali, pikirku. Dia
ingin menempati pondok yang lebih baik. Dia ingin menjadi Ari lagi.
Jadi akan kuikuti kemauannya.
Kupejamkan mataku. Tapi aku tidak mengantuk.
Dan terduduk tegak di tempat tidurku ketika kudengar suara
menggaruk. Mulanya pelan. Makin lama makin keras.
Ada binatang! Binatang itu mencakar-cakar jendela.
Ada sesuatu di luar"dia berusaha masuk.
Rubahkah itu" Si Pemangsa" Kutarik selimutku sampai menutupi kepala.
Besok aku akan bertukar tempat lagi dengan Ari. Setelah itu,
semua pasti beres, aku berkata dalam hati.
Aku tidak mencoba untuk tidur lagi.
Aku tahu, aku tak bakalan bisa tidur sebelum bisa menjadi
Dustin lagi. 12 "OKE, kurasa sudah saatnya kita akhiri permainan ini."
Saat itu kami sedang duduk di aula, untuk sarapan. Ari sibuk
melahap panekuk, dua potong sekali telan.
Goosebumps - Kembali Ke Perkemahan Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sendiri tak nafsu makan.
"Ayo. Kita bertukar identitas lagi," aku menegaskan.
Ari mengangkat wajahnya. "Nggak, ah. Kita teruskan saja. Aku
Dustin." "Apa kau bilang?" Aku terkejut. "Bukannya kemarin
kaukatakan kau ingin bertukar kembali" Jadi ayo, kita sudahi lelucon
ini." Ari menjejalkan dua panekuknya yang terakhir ke dalam mulut.
Sirup bertetesan ke dagunya. "Aku Dustin. Dan akan tetap jadi
Dustin." Diangkatnya piringnya. "Tunggu sebentar. Aku mau tambah
lagi." Kenapa dia bersikap begitu" Aku bingung. Rasa panik membuat
perutku mual. Padahal kemarin dia kelihatan tak sabar lagi untuk
bertukar identitas. Ari kembali dengan bertumpuk-tumpuk panekuk di piringnya.
Aku menatapnya saat dia melahap penekuk-penekuk itu.
"Oh, aku tahu!" aku berseru padanya. "Kau pasti sudah dengar,
kan" Kau pasti sudah tahu bahwa kaulah korban Si Pemangsa tahun
ini!" "Kau ngomong apa sih?" Ari melompat berdiri. "Ayolah. Para
peserta lama sedang berkumpul di rumah kapal. Kita nanti telat!"
"Kenapa" Sedang apa mereka di rumah kapal?" tanyaku.
"Kita kan akan bersampan" Ingat nggak?"
Aku tak ingat. Bahkan aku tak begitu yakin sampan itu
sebetulnya apa. Ari dan aku terus berdebat sepanjang perjalanan ke rumah
kapal. Apa pun yang kukatakan, dia tetap menolak untuk bertukar
kembali. "Dua orang satu sampan! Holopis kuntul baris!" Paman Lou
berdiri di depan rumah kapal, meneriakkan perintahnya.
Ben, Jason, dan Noah sudah ada di sana. Begitu pula sebagian
besar peserta perkemahan. Mereka mengeluarkan sampan dari rumah
kapal, lalu membawanya ke hutan.
"Hei, guys, kalian terlambat." Paman Lou menggelengkan
kepalanya. "Kalian tidak tahu ya, siapa cepat dia dapat!"
Ari dan aku mengangkat sebuah sampan yang panjang dan
sempit. "Kenapa kita membawa sampan ini ke hutan?" tanyaku pada
Ari. "Ada sebuah sungai yang melintas di tengah hutan itu," jawab
Ari. "Kau betul-betul tak tahu apa-apa, ya?"
"Aku tahu siapa diriku!" Kujatuhkan ujung sampan yang
kupegang. "Aku Dustin. Dan aku ingin kembali jadi Dustin lagi!"
"Guys, ada masalah apa?" Paman Lou mendekati kami.
"Aku bukan Ari!" teriakku marah. "Aku Dustin. Ari dan aku
telah bertukar identitas di bus. Tapi kini dia tak mau bertukar lagi!"
"Sungguhkah itu?" Paman Lou menatap Ari dari balik
kacamatanya. "Tidak," jawab Ari. "Aku dapat membuktikannya."
Ari mengeluarkan dompet dari kantong belakang celananya.
"Lihat. Ini kartuku. Ada nama dan alamatku di situ. Dustin Minium,
Jalan Westbrook 2425."
Paman Lou mengambil kartu itu. "Yap. Begitulah yang tertulis
di kartu ini." "Tentu saja!" teriakku. "Itu dompetku!"
"Lihat." Ari melepas T-shirt-nya. "Bacalah namaku yang
tertulis di situ." Diulurkannya T-shirt itu ke Paman Lou.
"Dustin Minium," Paman Lou membacanya dengan keras.
"Mom menuliskan namaku pada semua barang-barangku." Ari
tersenyum. "Mau lihat celana dalamku?" Dia mulai melepas celana
pendeknya. "Tidak perlu, Dustin."
Paman Lou menarikku ke sisinya. Dilingkarkannya lengannya
yang gemuk itu ke bahuku. "Kau harus berani, Ari. Jangan minta anak
lain untuk menggantikan tempatmu."
"Tidak!" aku menegaskan. "Anda harus percaya padaku, Paman
Lou. Aku betul-betul bukan Ari!"
Paman Lou menghela napas dalam-dalam. "Kata orang sih,
kalau kita sok berani, keberanian itu akan datang. Tahu artinya?"
Aku menggelangkan kepala. "Tidak."
"Sederhana saja." Paman Lou menatapku dengan tajam.
"Jangan jadi pengecut."
Aku melirik Ari. Dia dan seorang peserta perkemahan sedang berduel dengan
dayung masing-masing. Keduanya tertawa-tawa.
Dia bersenang-senang di perkemahan ini, kataku dalam hati,
sementara aku akan jadi korban Si Pemangsa karena makhluk itu
mengira aku Ari. Tidak adil. Tak seorang pun yang percaya bahwa aku Dustin.
Pasti ada cara lain. Tapi apa" 13 KAMI membawa sampan-sampan itu ke sungai. Setiap sampan
didesain untuk dua orang, dengan dua kokpit, depan dan belakang.
Aku sebetulnya tak ingin bersampan dengan Ari, tetapi anakanak lain sudah memiliki pasangan masing-masing. Aku tak punya
pilihan lagi. "Jangan lupa skirt-mu," kata Ari.
"Apa?" "Spray skirt-mu. Kenakan itu, lalu cantelkan ke pinggir kokpit.
Jadi air takkan masuk ke dalam sampan."
"Jangan pura-pura baik padaku," kataku padanya.
"Ah, tidak." Dia tersenyum.
"Kalau begitu, ayo kita bertukar lagi."
"Yah, kalau begitu aku memang pura-pura baik deh." Ari
tertawa. Semua peserta masuk ke dalam sampan, lalu kami mulai
meluncur. Kelihatannya tak seeorang pun merasa terganggu oleh
ribuan agas yang beterbangan di sekitar kami. Jadi, aku pun mencoba
untuk tidak peduli. Aku duduk di belakang Ari. Selama ini aku belum pernah
bersampan. Aku ingin melihat bagaimana caranya mendayung.
Dengan cepat aku menguasainya.
Dan aku pun mulai menikmati acara ini.
Enam sampan Camp Full Moon meluncur di air. Rasanya begitu
damai. Melintas di tengah-tengah rimba. Sambil mendengarkan bunyi
berkecipak saat dayung kami menyentuh air.
Lalu, aku mendengar suara lain.
Ramai sekali. Dari hutan di seberang sungai.
"Apakah di sana ada perkemahan lain?" tanyaku pada Nate,
pembimbing yang yang bersampan di sebelah kami.
"Tidak ada," jawabnya sungguh-sungguh. "Perkemahan lain
jauhnya bermil-mil dari sini. Ayo, teruslah berdayung."
"Kau dengar suara-suara itu, tidak?" aku bertanya pada Ari.
"Tadinya kupikir iya," jawab Ari.
Kami mendayung lagi"sampai akhirnya terdengar suara
menjerit. Jeritan melengking yang menakutkan.
Jantungku berdetak kencang saat jeritan itu menggema dari
dalam hutan. "Siapa"siapa di sana?" tanyaku.
"Itu pasti Si Pemangsa," kata Nate. "Jangan berjauhan, Anakanak."
Bercandakah dia" Kuamati wajahnya. Menunggu pembimbing kami itu tersenyum.
Tapi, dia diam saja. Kucengkeram dayungku lebih erat"lalu terdengar lagi jeritan
yang menyeramkan tadi. Kali ini lebih pendek"terputus oleh suara berdeguk dan
tercekik. Aku menatap ke pepohonan.
Kulihat sesuatu bergerak-gerak di antara dedaunan.
Apa itu" Kutajamkan pandanganku. "Oh," aku mengerang ketakutan. "Seekor rubah."
14 "TEBAK-TEBAK." "Sudahlah, Ari. Aku sedang tak ingin bercanda." Kami sedang
Guna Guna Tombak Api 2 Pedang Penakluk Iblis ( Sin Kiam Hok Mo) Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama