Ceritasilat Novel Online

Bergaya Sebelum Mati Dua 2

Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 Bagian 2


Sepatu ketsku berdebam-debam di lantai keras. Otakku bekerja
keras. Aku memikirkan Mr. Saur. Dan kamera itu. Aku harus
menyimpannya di dalam locker sampai ia masuk lagi, aku
memutuskan. Sebenarnya aku telah berjanji pada Jon bahwa aku akan
meminjamnya sehari saja. Tapi aku tidak punya pilihan.
Aku membelok di ujung lorong"dan menabrak Brian dan
Donny. "Hei...," Brian menggeram.
"Hei...," Donny menyapaku.
Mereka sering berkata "hei." Aku rasa itu kata kesukaan
mereka. "Kalian sudah telat," aku berkata sambil berusaha melewati
mereka. Tapi mereka menghalangi jalanku dengan tubuh mereka yang
besar dan kekar. "Si Muka Masam tidak masuk," Donny berkata sambil nyengir.
"Dia lagi sakit. Jadi kita dapat guru pengganti."
"Kalau itu sih aku sudah tahu," aku bergumam.
"Jadi kami tidak terburu-buru," ujar Brian. "Kenapa kita harus
buru-buru untuk guru pengganti?"
Aku mencoba menyelinap di antara mereka. Tapi mereka terlalu
gesit. Mereka segera merapatkan badan, dan aku terpental ke
belakang. "Donny dan aku akan bertukar tempat," Brian berkata sambil
nyengir. "Aku akan mengaku sebagai Donny. Dan Donny akan
mengaku sebagai aku."
"Bagus," aku menanggapinya. "Bagus sekali. Tapi boleh aku
lewat sekarang?" "Nanti dulu," kata Donny sambil membusungkan dada.
"Kau harus bayar tol dulu kalau mau lewat," Brian menimpali.
Dengan mengulurkan tangannya yang besar untuk menerima uangku.
"Berapa tolnya?" tanyaku sambil mendesah.
"Berapa uangmu?" balas Brian.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal, lalu ber-high-five.
"Aku harus ke locker-ku," aku menjelaskan.
Sekali lagi aku berusaha melewati mereka"tapi Brian malah
merebut kamera itu dari tanganku.
"Hei!" aku mencoba meraihnya kembali. Tapi Brian
mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepalanya.
"Wah... Greg membawa kamera ajaibnya ke sekolah," ia
berkata kepada Donny. "Uhhh... aku jadi ngeri!" sahut Donny dengan nada mengejek.
Ia berlagak gemetaran. "Tapi kamera ini berbahaya!" seru Brian tanpa menurunkan
tangan. "Ada kutukannya, Donny. Masih ingat laporan Greg kemarin,
kan?" Donny nyengir lebar. "Maksudmu, laporan yang diberi nilai F
itu?" Mereka kembali tergelak. "Coba kita lihat," ujar Brian. "Ayo senyum, Greg."
Ia merapatkan kamera ke matanya dan membidikkannya ke
arahku. "Jangan... jangan!" aku memohon. Aku berusaha merampas
kamera itu dari tangannya.
Tapi Donny menyergapku dan menahan kedua tanganku. "Ayo.
Jepret saja," ia menyuruh Brian. "Biar Greg kena kutukan. Ayo, potret
dia." 15 "JANGAN! Jangan!" aku memohon-mohon.
Donny merangkulku dengan tangannya yang besar.
"Kamera itu betul-betul ada kutukannya!" aku memprotes.
"Kalian tidak sadar apa yang kalian lakukan! Jangan!"
Brian tentu saja tidak menggubris protesku. Ia memandang
melalui lubang intip"dan bersiap-siap menekan tombol kamera.
"Brian... jangan!" aku meratap.
Ujung jarinya semakin dekat ke tombol itu.
Kemudian ada suara berseru lantang, "Ada apa ini, anak-anak?"
Brian memekik kaget. Kamera itu nyaris terlepas dari
tangannya. Donny melepaskanku dan mundur sampai menabrak
dinding. "Mr. Grund!" seruku.
Mr. Grund adalah kepala sekolah Pitts Landing Middle School.
Ia masih muda. Rambutnya pirang dan berombak, serta kulitnya
kecokelatan karena matahari. Ia lebih mirip pemain selancar daripada
kepala sekolah. Semua murid cewek di sekolahku naksir dia.
Sekali ini aku bersyukur karena ia muncul.
"Di mana kalian seharusnya berada sekarang?" Mr. Grund
bertanya sambil melirik jam di dinding.
"Ehm... kami baru mau ke ruang kelas Mr. Saur," jawab Donny.
Wajahnya merah padam. "Kami cuma membantu Greg dengan kameranya," Brian
menambahkan. Ia mengembalikan kamera itu padaku.
"Kelihatannya seperti kamera tua yang mahal," Mr. Grund
berkomentar. "Sebaiknya kau berhati-hati dengan kamera itu, Greg."
"Ya," ujarku. "Saya rasa saya akan menyimpannya di locker
saja." Aku melewati Sumo Satu dan Sumo Dua, dan bergegas
menyusuri lorong. Ketika sampai di lokerku, aku mendengar Mr.
Grund memarahi mereka, "Cepat masuk kelas. Dan jangan
merepotkan guru pengganti kalian, oke?"
"Oke," Brian berjanji.
"Beres," Donny menimpali.
*****************************
Seusai jam pelajaran aku bertemu Shari, dan kami pulang
bersama-sama. "Ada berita apa?" aku bertanya padanya.
"Ulangan matematikaku dapat A" ia memberitahuku.
"Itu sih bukan berita. Ulangan matematikamu selalu dapat A"
aku mengingatkannya. "Sombong sedikit boleh dong."
Badanku terasa agak aneh. Agak capek. Lesu. Aku berhenti
kira-kira setengah blok dari rumahku dan melepaskan ransel.
"Ada apa sih?" tanya Shari. "Kenapa kau terus mengotak-atik
ranselmu?" "Sepertinya ada yang iseng dengan talinya," aku berkata sambil
mengendurkan tali pengikat. "Tadinya sudah enak. Tapi sekarang
terlalu kencang." "Mana mungkin?" Shari berkomentar. Ia meniup balon permen
karet sampai hampir sebesar kepalanya.
Aku langsung mengacungkan jari dan meletuskannya.
"Ih!" ia berseru ketika permen karet itu menutupi seluruh
wajahnya. "Hebat, kan" Itu balon paling besar yang pernah kubuat," ia
berkata. "Coba kalau aku sempat memotretnya."
"Jangan bicara soal potret-memotret," aku menggerutu. "Jangan
sebut-sebut kata foto atau kamera." Waktu istirahat makan siang tadi,
aku sudah bercerita bahwa Mr. Saur tidak masuk.
"Mana kameranya sekarang?" ia bertanya sambil membersihkan
rambutnya dari permen karet.
"Kusimpan di locker-ku." Aku menoleh dan melihat Michael
dan Bird berlari menyusuri trotoar ke arah kami.
"Kau sudah memberitahu mereka tentang kamera itu?" aku
bertanya pada Shari. Ia menggelengkan kepala. "Belum. Mereka pasti kaget sekali.
Setelah kejadian-kejadian mengerikan tahun lalu, mereka sudah kapok
berurusan dengan kamera itu. Dan aku juga," ia menambahkan sambil
memelototiku. "Hei... tunggu dong!" seru Bird. Saking kerasnya ia menepuk
punggungku, aku sampai terdorong dari trotoar.
Michael tertawa. "Kalian sudah punya acara?"
"Belum," jawabku sambil mengatur ransel. Rasanya belum pas
juga. "Kalau begitu ambil sepeda," Michael mendesak. "Ayo.
Cuacanya lagi enak untuk jalan-jalan."
"Oke, boleh juga," kataku. Aku mau melakukan apa saja untuk
mengalihkan pikiranku dari Mr. Saur dan kamera brengsek itu.
"Nanti kita ketemu di rumahku saja," Shari mengusulkan. "Aku
harus minta izin ibuku dulu."
Michael dan Bird bergegas ke rumah masing-masing. Shari dan
aku melintasi jalan. Rumah kami berdampingan.
Mom dan Dad sedang di kantor. Terry belum pulang sekolah.
Aku menaruh ranselku di ruang depan. Kemudian aku mengambil
minuman kotak dari lemari es dan menghabiskannya dengan
mengisapnya lewat sedotan.
Aku tetap merasa agak lesu. Agak kurang bersemangat. Tapi
aku pikir jalan-jalan naik sepeda bakalan bisa memulihkan energiku.
Celana jeans-ku terasa tidak nyaman. Sedikit terlalu ketat. Aku
berlari ke kamarku dan menggantinya dengan celana pendek yang
benar-benar gombrong. Mom dan Dad suka menggodaku karena
celana pendek itu. Mereka bilang celana itu cukup besar untuk dua
orang. Tapi aku suka. Celana pendek itu nyaman sekali. Aku jarang
memakainya untuk bersepeda. Kaki celananya begitu panjang dan
menggembung, sehingga bisa tersangkut rantai sepeda.
Aku bergegas keluar. Shari, Michael, dan Bird ternyata sudah
menunggu dengan sepeda masing-masing. "Ayo, Greg," Bird
mendesak. "Sudah mulai mendung nih."
Aku membuka pintu garasi dan melangkah masuk. Dengan hatihati aku menghindari bercak-bercak oli di lantai. Sepedaku tersandar
ke dinding. Aku mengambilnya dan menuntunnya ke luar.
Kemudian aku melakukan trik akrobat favoritku. Aku
berpegangan pada setang sepeda, berjumpalitan di udara, lalu
langsung duduk di sadel. Aku meloncat. Mendorong badanku ke atas. Mengayunkan kaki
tinggi-tinggi. Terduduk tepat di sadel.
Dan kedua ban sepedaku meledak.
Aku mendengar letusan, disusul bunyi mendesis sampai kedua
ban kempis sama sekali. "Hei... ada apa ini?" seruku.
16 "Wow!" seru Shari.
Michael dan Bird tertawa.
"Lihat tuh banmu!" kata Michael.
"Kelihatannya kau harus mulai diet!" Bird menimpali.
"Hah" Diet?" aku mengulangi sambil menelan ludah. Aku tahu
Bird cuma bercanda. Tapi ucapannya membuat bulu kudukku berdiri.
Aku teringat foto itu. Foto jelek yang diambil kamera terkutuk
itu. Aku membayangkan diriku serbabengkak dan menggembung.
Bagaikan balon raksasa berisi air.
Wajahku terasa panas dan aku sadar bahwa aku tersipu-sipu.
Aku sadar teman-temanku terus menatapku. Aku turun dari sepeda.
"Mungkin lompatanku terlalu tinggi," aku bergumam.
"Mungkin kau seharusnya naik sepeda roda tiga," Michael
berkomentar. Tak ada yang tertawa. Lelucon Michael tak pernah bisa
memancing tawa. Aku jongkok dan memeriksa ban sepeda. Aku meraba-raba
permukaan ban, dan menemukan dua lubang besar. Padahal bannya
masih baru! Kudorong sepedaku kembali ke garasi. "Aku naik sepeda Terry
yang lama saja," aku berkata kepada teman-temanku.
Sebenarnya aku memang lebih senang naik sepeda kakakku
daripada naik sepedaku sendiri. Sepeda Terry punya dua belas gigi,
sepedaku cuma sepuluh. Terry hampir tak pernah lagi memakainya
sejak mendapat SIM. Tapi ia tetap tidak suka kalau aku
meminjamnya. "Awas, jangan diduduki!" kata Bird. "Mungkin lebih baik kalau
sepedanya kautuntun saja!" Ia dan Michael tertawa dan ber-high-five.
"Ha-ha," ujarku. "Kalian sama lucunya seperti ban kempis."
"Bukan, kami sama lucunya seperti dua ban kempis," Michael
berkelakar. "Barangkali kau butuh sepeda gunung," kata Bird. "Sepeda
yang lebih mantap." "Barangkali kau ingin kena jotos yang mantap?" aku
menggertak. "Asal kau jangan menduduki aku!" Michael berseru sambil
mengangkat kedua tangan seakan-akan hendak menggunakannya
sebagai perisai. "Kita jadi jalan-jalan atau tidak?" tanya Shari. Ia memandang
langit yang semakin gelap. "Kalau terus buang-buang waktu begini,
kita bakal terjebak hujan."
Dengan hati-hati aku menaiki sepeda Terry. Kemudian aku
menyusul teman-temanku yang sudah lebih dulu sampai di jalan.
Kami berkeliling-keliling tanpa tujuan tertentu. Ketika kami
sampai di taman panjang yang berjarak beberapa blok dari sekolah,
kami langsung naik ke rumput dan memacu sepeda masing-masing
sekencang mungkin. Bird mempunyai sepeda yang paling baik dan kaki yang paling
panjang. Jadi ia selalu keluar sebagai pemenang setiap kali kami
balapan. Kira-kira sejam kemudian, gerimis mulai turun, jadi kami
segera pulang. Aku lega juga. Kakiku terasa berat. Semua ototku
nyeri. Waktu kami melaju menembus gerimis, aku mendadak sadar
bahwa Shari memperhatikanku. Ia mengamatiku dengan saksama.
Meskipun keningku dibasahi keringat, aku tiba-tiba merinding.
Kenapa ia memandangku seperti itu" aku bertanya dalam hati.
Kenapa" **************************
Keesokan paginya aku terbangun dan langsung teringat dua
kata: Mr. Saur. Hari inilah aku akan memperlihatkan kamera itu padanya, aku
berkata dalam hati sambil menguap dan meregangkan otot-otot.
Aku turun dari tempat tidur dan kembali menguap. Aku
mengusap-usap mata. Dan melihat bantalku terjatuh ke lantai
semalam. Ketika membungkuk untuk memungutnya, aku merasakan
bagian depan piamaku seperti ditarik-tarik. Semua kancingnya
mendadak copot dan berserakan di lantai.
"Hah?" Aku terbengong-bengong"lalu mendengar bunyi
kreeek. Baru beberapa detik kemudian aku menyadari celana piamaku
robek di bagian belakangnya.
"Oh, ya ampun," aku mengerang tertahan.
Leherku seakan-akan tercekik kerah piama. Aku menggerakgerakkan kepala untuk melonggarkan kerah"dan kedua lengan piama
terkoyak di bagian pundak!
Jantungku berdegup kencang. Aku kembali berdiri tegak dan
berjalan menuju cermin. Seluruh tubuhku gemetaran ketika aku berdiri di depan kaca.
Aku memejamkan mata. Aku tidak berani melihat.


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi tak ada pilihan lain. Aku harus memaksakan diri untuk
melihat. Aku harus tahu. Perlahan-lahan aku membuka sebelah mata, lalu yang satu lagi.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengamati bayanganku di
cermin. Apakah foto itu menjadi kenyataan" Apakah berat badanku kini
mencapai dua ratus kilo"
17 AKU memandang ke cermin dan mengamati bayanganku
dengan saksama. Oh, untung saja. Badanku ternyata belum membengkak sampai
dua ratus kilo. Bayanganku tidak terlalu berbeda. Mungkin sedikit lebih
gemuk. Pipiku sedikit lebih bulat. Pundakku sedikit lebih lebar.
Aku mundur beberapa langkah agar seluruh tubuhku
kelihatan"dan Mom muncul di kamarku. "Sedang apa, Greg" Kau
bisa terlambat ke sekolah."
Aku cepat-cepat berpaling dari cermin. "Mom... aku tambah
besar semalam!" seruku. "P-piamaku sampai robek."
Ibuku memicingkan mata dan memperhatikan lengan piama
yang robek. "Greg, kau tidak mungkin bertambah besar dalam
semalam," ia berkata tenang. "Piama itu memang sudah agak
kekecilan untukmu." Aku langsung menghadap ke cermin lagi. "O ya?"
Mungkin ibuku benar. Mungkin aku tidak bertambah besar.
Mungkin aku cuma berkhayal.
Aku kembali berpaling pada ibuku. "Bagaimana tampangku?"
Ibuku angkat bahu. "Kau kelihatan baik-baik saja."
"Maksudku, apakah aku kelihatan lebih gemuk?"
Ia mengamatiku sejenak. "Hmm, sebenarnya..." Ia terdiam.
"Sebenarnya apa?" tanyaku tak sabar.
"Mungkin Mom akan menuangkan susu nonlemak untuk
serealmu nanti," sahutnya.
************************ "Hai, Greg. Sepertinya kau tambah gemuk, ya?"
Begitulah Mr. Saur menyapaku ketika aku menghampiri
mejanya sebelum jam pelajaran bahasa Inggris dimulai.
Ucapannya membuatku merinding. Tapi aku berusaha tidak
menghiraukannya. Aku menyodorkan kamera ke hadapannya. "Mr.
Saur, saya ingin memperlihatkan sesuatu."
Ia mengamati kamera itu, lalu mengerutkan kening. "Kau mau
memotret saya" Saya sudah dipotret untuk buku tahunan, Greg."
"Bukan," jawabku. "Ini kameranya, Mr. Saur. Ini kamera yang
saya ceritakan..." Ia mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhku diam.
"Jangan sekarang, Greg," ujarnya sambil bangkit dari kursi.
"Tapi, Mr. Saur...," aku memprotes.
Ia memandang ke belakangku. Aku berbalik dan melihat Mr.
Grund berdiri di ambang pintu. Mr. Saur segera menghampirinya
untuk mengatakan sesuatu.
Mereka berbicara sampai bel berdering. Kemudian Mr. Saur
kembali ke depan kelas untuk memulai pelajaran. "Maaf saya tidak
bisa datang kemarin," ia mengumumkan. "Tapi saya dengar kalian
telah mendapat kesempatan untuk mempelajari subjunctive tense."
Aku masih berdiri di samping mejanya sambil memegangi
kamera dengan dua tangan. Ia berjalan ke papan tulis, berbalik, dan
melihatku. "Greg, silakan kembali ke tempat dudukmu," ia berkata. "Masih
banyak yang harus kita kerjakan hari ini."
"Tapi, Mr. Saur," aku memprotes. Aku mengangkat kamera itu.
"Duduklah," ia berkeras.
Aku tidak punya pilihan. Sambil mendesah kecewa aku menuju
ke kursiku di bagian belakang ruang kelas.
Bagaimana aku bisa membuktikan ceritaku benar kalau ia tidak
mau mendengarkanku" aku bertanya dalam hati.
"Hari ini kita akan kembali mendengar laporan mengenai
kejadian-kejadian nyata yang pernah kalian alami," Mr. Saur berkata
kepada kami. Ia berpaling kepada cewek di baris paling depan.
"Marci, kalau tidak salah sekarang giliranmu. Apa yang akan
kaulaporkan kepada kita?"
Marci Ryder berdiri. "Saya akan bercerita tentang kucing saya,
Waffles. Saya akan menceritakan semua hal lucu yang dikerjakannya
di sekitar rumah." Aku mengerang tertahan. Mem-bo-san-kan! pikirku. Beberapa
anak lain juga mengerang.
Tapi Mr. Saur malah tersenyum. Untuk pertama kalinya ia
tersenyum. Sepertinya ia senang sekali! "Saya suka kucing," ia berkata
kepada Marci. "Saya punya enam kucing di rumah."
Oh, idih! pikirku. Enam kucing!
Aku tak bakal tahan mendengarkan laporan konyol tentang
kucing konyol! aku berkata dalam hati.
Seketika aku mengacungkan tangan dan melambailambaikannya. "Mr. Saur" Mr. Saur?"
Senyum di wajah guruku itu langsung lenyap. "Apa lagi
sekarang, Greg?" ia bertanya.
"Ehm... sebelum Marci mulai," kataku, "bolehkah saya
memperlihatkan kamera ini" Itu lho, kamera yang saya ceritakan
kemarin. Anda bilang, kalau saya membawanya dan membuktikan
kamera ini jahat, Anda akan mengubah nilai saya."
Mr. Saur mengerutkan kening dan menggosok-gosok dagu.
"Sekarang giliran Marci," katanya tegas. "Saya yakin kita semua
sudah tak sabar mendengar cerita tentang Waffles."
"Tapi, Mr. Saur... Anda sudah janji!" seruku.
Beberapa anak tertawa cekikikan. Suaraku begitu melengking,
sehingga hanya anjing yang bisa mendengarnya.
"Greg, saya takkan berubah pikiran," Mr. Saur berkeras.
"Tapi saya bisa membuktikannya!" aku memohon. "Saya bisa
membuktikan kamera ini memang punya kekuatan jahat."
Lagi-lagi ada yang tertawa cekikikan.
"Greg sendiri yang jahat!" seru Donny.
Seisi kelas langsung terbahak-bahak.
"Greg jaaahaaat!" anak lain menimpali.
Suara tawa membahana. Mr. Saur menggedor papan tulis dengan penghapus. "Tenang,
semuanya tenang." Ia menghela napas dan memanggilku ke depan.
"Oke, Greg. Satu menit. Sebenarnya ini tidak adil untuk yang lain, tapi
kau saya beri waktu satu menit untuk memperlihatkan kameramu."
Satu menit! Itu lebih dari cukup. Aku meraba-raba kantong baju untuk memastikan foto Jon
masih terselip di dalamnya. Aku yakin si Muka Masam akan percaya
kalau ia sudah melihat foto itu dan mendengar kejadian apa yang
menimpa Jon malam itu. "Cepat, Greg," Mr. Saur mendesak. "Waktumu hanya semenit."
"Sebentar," kataku. Aku berusaha bangkit dari tempat dudukku.
Berusaha sekali lagi. Dan sekali lagi. Setiap kursi di sekolah kami dilengkapi meja kecil di bagian
depannya. Dan aku tersangkut di kursiku. Aku terlalu gendut untuk
berdiri! 18 APA yang terjadi denganku" aku bertanya-tanya. Perasaan
panik seakan-akan mengaduk-aduk perutku yang mendadak bengkak
dan menggembung. Waktu aku duduk tadi tidak ada masalah apa-apa. Itu baru
sejam yang lalu. Dan sekarang aku terjebak. Sepertinya berat badanku
bertambah lima puluh kilo sementara aku duduk di sini!
"Greg, teman-temanmu sudah menunggu." Mr. Saur
menggeleng-gelengkan kepala dan mengetuk-ngetuk papan tulis.
Aku harus berusaha empat kali sebelum berhasil berdiri. Aku
menuju depan sambil menggenggam kamera.
"Ini kamera yang saya ceritakan waktu itu," aku berkata kepada
Mr. Saur. "Teman-teman saya dan saya menemukannya di rumah
kosong. Persis seperti yang saya ceritakan dalam laporan saya.
Kamera ini mengandung kutukan, dan..."
Mr. Saur mengambil kamera itu dari tanganku dan
mengamatinya. Ia memutar-mutarnya dan memperhatikannya dari
segala arah. Kemudian ia memandang melalui lubang intip.
"Jangan!" pekikku. "Jangan dipencet!"
Ia menurunkan kamera itu. "Kalau saya tidak memotret,
bagaimana saya bisa tahu kamera ini memang memiliki kekuatan
jahat?" Aku meraih ke kantong bajuku. "Saya sudah membawa foto,"
kataku. "Foto ini akan membuktikan bahwa saya tidak mengada-ada."
Tapi saking gendutnya jariku, aku nyaris tak bisa merogoh
kantong baju. Tanganku terasa tebal dan lembek bagaikan gumpalan
adonan kue. Tanganku terlalu tebal untuk dikepalkan!
Kantong bajuku nyaris robek ketika aku berusaha mengeluarkan
foto Jon. Akhirnya aku berhasil mengambilnya dan menyodorkannya ke
depan hidung Mr. Saur. "Ini. Silakan lihat!"
Mr. Saur meraih foto itu dan mengamatinya.
"Anak itu bernama Jon," aku memberitahunya. "Foto ini
diambil dua malam lalu. Waktu itu dia baik-baik saja. Tapi fotonya
memperlihatkan Jon dengan kaki tertembus paku. Dan dua menit
kemudian foto itu menjadi kenyataan. Kaki Jon benar-benar tertembus
paku, dan dia langsung dibawa ke rumah sakit oleh ayahnya."
Mr. Saur tergelak. Lagi-lagi kejutan untukku. Ini pertama kalinya ia tertawa di
depan kelas! "Ini tidak lucu," ujarku tegas. "Jon begitu kesakitan. Dia..."
"Saya sudah pernah melihat paku tipuan seperti itu," Mr. Saur
berkata sambil menatap foto di tangannya.
"Hah?" Aku tidak mengerti.
Ia mengembalikan foto itu padaku. "Saya pernah punya anak
panah tipuan," ia berkata. "Kalau dipasang, kelihatannya seperti ada
anak panah yang menembus kepala saya. Jangan kausangka saya tidak
tahu tipuan seperti ini."
"Tapi ini sungguhan!" aku berseru. "Coba perhatikan betapa
kesakitan Jon! Coba perhatikan wajahnya!"
"Temanmu ini memang pemain sandiwara yang hebat," Mr.
Saur menyahut. "Bukan!" aku memekik. "Dia bukan teman saya! Saya bahkan
tidak kenal dia! Anda harus percaya! Harus!"
Mr. Saur melirik jam di atas papan tulis. "Waktumu sudah
habis." "Tapi Anda sudah berjanji...!" seruku.
"Greg, kembali ke tempat dudukmu," ia berkata tegas. "Kau
tidak bisa mengelabui saya dengan kamera tua dan foto tipuan."
"Kau kalah, Greg!" seru Donny.
"Kau jahat, Greg!" Brian menimpali.
Semuanya tertawa. Wajahku terasa panas membara. Aku yakin
mukaku pasti merah padam.
Aku seakan-akan siap meledak. Aku malu dan sakit hati dan
kesal"semuanya sekaligus.
"Kau akan saya beri nilai A untuk usaha," Mr. Saur berkata
dengan dingin. "Tapi laporanmu tetap akan saya beri nilai F. F untuk
falsu!" Aduh, aku tidak tahan lagi. Sekarang ia bahkan bisa bercanda.
Semua anak kembali terbahak-bahak.
Aku memekik gusar"dan berlari ke pintu.
Paling tidak, aku bermaksud lari. Tapi aku terlalu berat untuk
bergerak gesit. Aku cuma bisa melangkah pelan seperti bebek.
"Greg... mau ke mana kau?" aku mendengar Mr. Saur
memanggilku. Aku berlagak tidak mendengarnya dan tetap menuju pintu.
Kameranya kukepit di bawah lenganku yang membengkak. Aku
membuka pintu. Dan aku melangkah keluar ke lorong yang lengang dan sunyi.
Aku mendengar Mr. Saur memanggil-manggilku dari dalam
ruang kelas. Dan aku juga mendengar anak-anak yang lain tertawatawa dan berseru-seru.
Aku membanting pintu dan terus berjalan tanpa menoleh ke
belakang. Aku tidak tahu ke mana hendak pergi. Aku tidak punya rencana
apa pun. Aku begitu kesal. Rasanya aku ingin berteriak dan menangis
dan memukul-mukul dinding.
Aku membelok di ujung lorong"dan melihat Shari berjalan
dari ujung seberang. "Greg!" ia berseru heran melihatku. "Ada apa?"
Ia mengenakan rok pendek hitam dan celana ketat biru. Ia mulai
berlari menghampiriku. Ia berlari sekitar empat langkah"lalu mendadak memekik,
karena roknya merosot! 19 "ADUH, ini sudah keterlaluan!" seru Shari.
Kami sama-sama menatapnya roknya yang telah merosot
sampai ke mata kakinya. Biasanya aku pasti tertawa terbahak-bahak. Tapi ia kelihatan
begitu terpukul, sehingga aku diam saja.
"B-berat badanku terus berkurang," ia tergagap-gagap sambil
mengangkat roknya. "Tadi pagi aku baru habis menimbang. Berat
badanku turun empat kilo dalam semalam!"
"Oh, wow!" Aku menggeleng-gelengkan kepala. Kenapa berat
badannya bisa turun"
Aku berusaha menghiburnya. "Ehm... empat kilo kan tidak
terlalu banyak," ujarku. Aku sadar bahwa kata-kata itu takkan banyak
membantu. Tapi tak ada lagi yang terpikir olehku.
"Greg... berat badanku cuma 45 kilo!" ia membalas dengan
ketus. "Dan sekarang tinggal 41. Rok yang kupakai ini merosot terus.
Dan semua pakaianku kedodoran!"
"Barangkali kalau kau makan siang yang banyak...," aku mulai
berkata. "Ah, kau memang tidak bisa diajak bicara serius!" hardiknya.
"Coba lihat aku!" aku berseru sambil merentangkan lengan,
supaya ia bisa melihat perutku yang membengkak. "Sepertinya berat
badanku naik seratus kilo dalam semalam! Beberapa menit lalu, aku
bahkan tidak sanggup bangkit dari kursiku!"
Ia mengamatiku dengan saksama. Saking paniknya karena
bertambah kurus, ia belum sempat memperhatikanku.
Ia menatapku sambil memicingkan mata. Kemudian ia tertawa
terbahak-bahak. "Oh, idih. Kau kelihatan aneh sekali!"
"Terima kasih," aku berkata sambil menghela napas.
"Apa yang harus kita lakukan?" Shari bertanya padaku.
"Kenapa kita jadi begini?"
Aku hendak menjawab"tapi tiba-tiba terdengar bunyi langkah
mendekat di lorong. Shari juga mendengarnya. "Ayo," ia mendesak. "Cepat"bantu
aku memunguti buku-bukuku."
Aku membungkuk untuk membantunya"dan bagian belakang


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

celana jeans-ku robek diiringi bunyi kraaak.
********************* Seusai jam pelajaran, Bird dan Michael serta beberapa anak lain
bermain softball di lapangan belakang sekolah. Aku sebenarnya tidak
berminat ikut. Aku tidak ingin siapa pun tahu betapa gendutnya aku.
Tapi mereka menyeretku ke lapangan dan memaksaku menjaga
base pertama. Barangkali mereka takkan sadar ada sesuatu yang aneh, pikirku.
Aku mengatupkan tangan dan berdoa dalam hati. Barangkali mereka
takkan sadar bahwa aku bertambah gemuk"sejak tadi pagi!
T-shirt-ku menempel ketat di perutku yang menggembung.
Saking ketatnya, aku nyaris tidak bisa menggerakkan tangan. Dan
celana jeans-ku yang robek terasa bagaikan celana pembalap sepeda di
pahaku. Barangkali mereka takkan sadar, aku berkata dalam hati sambil
mencoba berlari ke base pertama. Barangkali mereka tidak
memperhatikannya. "Hei, Greg...," Bird memanggil dari gundukan pelempar. "Kau
nambah terus ya kalau makan?"
Semuanya bersorak-sorai dan tertawa. Beberapa anak bahkan
berguling-guling di rumput sambil cekikikan.
Michael menunjukku. "Hei... dia jadi Sumo Tiga!" serunya.
"Sumo Tiga dan Empat!" anak lain menimpali.
Tawa mereka semakin keras.
"Hei, sudahlah," aku bergumam kesal.
"Ya, sudahlah, nanti dia jadi lapar lagi!" seru Michael.
Leluconnya tidak lucu. Tapi semuanya tetap tertawa.
Mereka berkumpul di sekelilingku, dan menatapku sambil
geleng-geleng. "Aneh," Bird bergumam. "Bagaimana caranya berat
badanmu bisa naik seratus kilo dari kemarin?"
Aku tidak berminat membicarakannya. "Kita jadi main atau
tidak?" aku bertanya dengan nada tidak sabar.
Sebenarnya aku ingin memberitahu Bird dan Michael kenapa
tubuhku bisa membengkak seperti ini. Aku ingin memberitahu mereka
bahwa aku telah mengambil kamera terkutuk itu. Bahwa Shari sempat
memotretku. Bahwa foto itu memperlihatkan aku dengan berat badan
paling tidak dua ratus kilo.
Dan sekarang semuanya menjadi kenyataan.
Tapi aku tidak berani menceritakannya. Mereka telah
memperingatkanku untuk tidak pergi ke rumah Coffman. Dan mereka
telah memohon-mohon agar aku jangan mengambil kamera itu.
Kalau aku bercerita apa adanya, mereka pasti akan
menganggapku bodoh sekali.
Jadi aku diam saja dan berusaha memusatkan perhatian pada
permainan softball. Hasilnya cukup baik"sampai aku mendapat giliran memukul
bola pada babak ketiga. Bolanya kupukul ke arah penjaga base kedua,
dan kemudian aku berjalan pelan-pelan ke base pertama.
Napasku terengah-engah ketika aku sampai. Tapi bolanya masih
terus menggelinding di daerah luar lapangan. "Ayo, lari terus," rekanrekanku berseru. "Ayo, Greg... lari ke base kedua."
Jadi, sambil terengah-engah, aku mengayunkan kaki dan
berusaha mencapai base kedua.
"Loncat! Loncat!" semuanya bersorak-sorai.
Jadi aku meloncat dan meluncur ke base kedua. Selamat!
Tapi kemudian aku tidak sanggup berdiri.
Tenagaku tidak cukup untuk mengangkat tubuhku yang berat.
Aku pasti kelihatan seperti gajah bengkak, pikirku.
Aku berusaha menggelinding. Aku menggelinding ke kirikanan.
Dan akhirnya aku minta bantuan teman-temanku.
********************** Aku benar-benar letih ketika sampai di rumah. Keringat
membasahi keningku serta mengalir di pipi dan daguku yang bulat.
Pakaianku jadi begitu ketat, sehingga aku nyaris tak dapat
bernapas. Celana jeans-ku robek. T-shirtku menempel di kulit. Kakiku
pun terasa seperti terjepit di dalam sepatu!
Gawat! Aku harus mencari baju yang nyaman, aku berkata
dalam hati. Kemudian aku teringat pada celana pendekku yang gombrong.
Celana pendek yang kupakai bersepeda waktu itu.
Dengan susah payah aku menghampiri lemari pakaian. Sambil
mengerang aku membungkuk dan mengeluarkan celana pendek itu.
Aku berusaha memakainya. Aku menarik, lalu menarik lebih keras lagi. Kemudian aku
menahan napas karena ngeri.
Celana pendek gombrong itu menempel ketat di pahaku!
20 HARI itu berat badanku bertambah sekitar 150 kilo. Ketika
malam tiba, aku sudah hampir tak sanggup berjalan.
"Ini pasti semacam reaksi alergi," kata Mom.
Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Hah" Apa itu?"
"Kau makan sesuatu yang menimbulkan alergi," Ia menjawab.
"Tak ada orang yang membengkak bagaikan balon dalam semalam."
Dad memperhatikanku sambil memicingkan mata. Ia mencoba
bersikap tenang, tapi aku tahu ia sebenarnya kuatir. "Barangkali kau
terlalu banyak permen cokelat sehabis sekolah?" ia bertanya.
Mom menggeleng. "Kalaupun makan seribu permen cokelat
sehari, dia takkan membengkak seperti ini!" katanya.
"Sebaiknya Greg kita bawa ke dokter ahli alergi," Dad
bergumam sambil mengusap-usap dagu.
"Sebelumnya kita bawa dia ke Dr. Weiss dulu," ujar Mom. "Dr.
Weiss bisa memberitahu kita dokter mana yang harus memeriksa
Greg." Mereka mulai berdebat ke dokter mana aku hendak dibawa.
Aku meninggalkan ruangan. Aku harus mengerahkan seluruh
tenaga sekadar untuk mengangkat kakiku yang berukuran raksasa.
Daguku berlipat-lipat dan nyaris menyentuh dadaku. Perutku yang
besar berayun-ayun menduluiku.
Aku sadar tak ada dokter yang bisa menolongku. Aku tahu
penyebabnya bukan alergi. Dan aku yakin bahwa aku tidak
membengkak karena terlalu banyak makan cokelat.
Foto dari kamera terkutuk itulah yang menyebabkan tubuhku
bengkak sampai sebesar gunung.
Tak ada dokter yang bisa membuatku langsing kembali. Tak
ada gunanya berdiet. Akhirnya aku memohon-mohon pada Mom dan Dad agar aku
boleh tinggal di rumah saja. "Tolong jangan paksa aku pergi ke
sekolah dalam keadaan seperti ini besok," kataku. "Semua anak akan
menertawakanku. Aku pasti bakal malu sekali."
"Kau harus tetap masuk sekolah," Dad berkeras. "Bagaimana
kalau kau memerlukan waktu berminggu-minggu untuk kembali
normal?" "Takkan ada yang menertawakanmu," Mom menambahkan.
"Teman-temanmu akan mengerti kau sedang sakit."
Aku memohon-mohon dan mengiba-iba. Aku sampai berlutut di
lantai agar mereka mengubah pendirian.
Tapi maukah mereka mengabulkan permintaanku" Tidak.
****************************
"Kau tak perlu malu," Dad berpesan ketika aku hendak
berangkat sekolah keesokan paginya.
Tak perlu malu" Aku sudah meminjam celana training Dad"dan celana itu
masih juga sempit untukku.
Aku berjalan menyusuri jalan sambil menanggung malu. Setiap
kali ada mobil lewat, aku yakin para penumpangnya menoleh ke
arahku. Menoleh sambil menertawakan si gendut yang tak bisa
melihat di mana kakinya menapak.
Sebenarnya aku tidak mau berjalan kaki ke sekolah. Tapi mobil
orangtuaku Honda Civic"dan tidak bisa memuatku!
Semua anak menengok ketika aku masuk lewat pintu depan
Pitts Landing Middle School. Tapi semuanya bersikap baik padaku.
Tak ada yang mencemooh atau mengejekku. Malahan tak ada yang
mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Aku rasa mereka tidak berani menghampiriku. Mungkin mereka
takut aku bakal jatuh dan menimpa mereka! Aku benar-benar mirip
balon raksasa yang biasa ikut pawai Thanksgiving Day!
Jam pelajaran pertama berjalan cukup lancar. Begitu pula jamjam pelajaran berikutnya. Aku menyendiri dan mencoba bersembunyi
di sudut-sudut. Tapi itu tidak mudah. Untung saja tak ada yang
mengusikku. Sampai aku masuk ke ruang kelas Mr. Saur.
Mukanya tampak masam seperti biasanya. Dan ia
mempermalukanku di depan seluruh kelas.
"Greg, saya rasa kau takkan muat di kursimu," ia berkata sambil
memutar-mutar tongkat penunjuk yang dipegangnya. "Sebaiknya kau
berdiri di dekat jendela saja."
Aku diam saja. Sambil membisu aku berjalan ke deretan
jendela. Suasananya mendadak hening. Tak ada yang tertawa.
Sepertinya semua anak sadar bahwa ada yang tidak beres denganku.
Tapi Mr. Saur terus saja mencecarku.
"Greg, mungkin lebih baik jangan berdiri di depan jendela," ia
berkata. "Kalau berdiri di depan jendela, kau akan menghalangi
seluruh sinar matahari." Kemudian ia tersenyum.
Sekali lagi tak ada yang tertawa. Aku rasa anak-anak yang lain
kasihan padaku. Bahkan Donny dan Brian pun tidak mengolokolokku.
"Greg, saya kira kau perlu ke ruang P3K," Mr. Saur berkata.
"Saya ingin kau membahas makanan empat sehat dengan juru rawat di
situ. Sepertinya kau terlalu lahap makan keempat-empatnya!"
Lagi-lagi ia gagal memancing tawa.
Aku berbalik dan menatapnya. Apakah ia serius" Apakah ia
benar-benar bermaksud menyuruhku menemui juru rawat sekolah"
"Ayo, jalan," ia berkata sambil menunjuk pintu.
Aku kembali berpaling dan melangkah ke arah pintu. Aku
menduga Donny akan mengulurkan kaki dan mencoba menjegalku,
seperti yang biasa dilakukannya.
Tapi ia cuma memandang lurus ke depan. Ia tak bergerak dan
membisu, sama seperti anak-anak lainnya.
Dalam hati aku mengucap syukur. Seandainya sampai jatuh,
aku yakin aku takkan sanggup bangun lagi.
Aku menyusuri lorong sekolah sambil menggerutu dalam hati.
Aku benar-benar kesal pada Mr. Saur. Kenapa ia harus mengolokolokku di depan seluruh kelas" Kenapa ia begitu kejam"
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa kujawab. Lagi pula, aku
terlalu gusar untuk berpikir dengan kepala dingin. Suatu hari aku akan
membuat perhitungan dengannya. Itulah yang kukatakan pada diriku
sendiri. Aku akan membalas dendam padanya. Aku akan
mempermalukan si Muka Masam di hadapan semua orang.
Aku masih terus menggerutu sendiri ketika aku sampai di ruang
P3K. Tapi lamunanku langsung buyar ketika aku melihat anak cewek
yang duduk di kursi di ruang tunggu. Aku berhenti di ambang pintu
dan menatapnya sambil melongo.
Shari! Aku tidak segera mengenalinya.
Celana jeans dan T-shirt-nya tampak kedodoran sekali, seakanakan ukurannya sepuluh kali terlalu besar! Lengannya kurus bagaikan
tusuk gigi. Wajahnya pucat dan pipinya cekung. Kepalanya juga telah
mengerut. Dari jauh kelihatannya cuma sebesar buah jeruk.
"Greg," ia berbisik pelan-pelan, "kaukah itu?"
"Shari!" seruku. "Berat badanmu turun lagi, ya?"
"Ya, t-tapi aku tidak tahu berapa kilo," ia tergagap- gagap.
"Lihatlah, Greg. Aku semakin kurus. Aku begitu ringan. Tadi pagi aku
menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai ke sekolah, soalnya
aku terus terdorong mundur karena angin!"
"Kau sakit?" tanyaku.
Ia menatapku sambil mengerutkan kening. "Aku tidak sakit, dan
kau juga tidak," ia menyahut dengan suaranya yang kecil. "Aku
mengerut, dan kau mengembang"semuanya gara-gara foto-foto yang
kita ambil." Aku menghela napas dan mengangkat perutku dengan kedua
tangan, supaya bisa melewati pintu. "Apa yang harus kita lakukan,
Shari?" aku berbisik. "Ini semua memang karena foto-foto itu. Kau
benar. Tapi apa yang harus kita lakukan?"
21 AKU dijemput Dad seusai sekolah. Ia terpaksa menyewa mobil
van, karena Honda Civic-nya tidak bisa memuatku. Dad membantu
mendorongku melewati pintu. Badanku menghabiskan seluruh bangku
belakang. Sabuk pengamannya kurang panjang untuk melintang di
perutku, jadi akhirnya kubiarkan saja.
"Dad yakin kau akan segera pulih setelah kita menemui Dr.
Weiss," ujar ayahku. Ia mencoba bersikap ceria. Tapi aku tahu ia
benar-benar bingung dan cemas.
Mobil van itu dikemudikannya pelan-pelan menuju tempat
praktek Dr. Weiss. Ia tidak bisa menambah kecepatan karena muatan
yang dibawa terlalu berat, yaitu aku!
Dr. Weiss pria setengah baya yang ramah. Matanya biru, dan
rambutnya sudah putih semua. Semua anak yang datang ke tempat
prakteknya diajak bicara seperti anak dua tahun. Ia masih juga
memberiku permen loli setelah selesai memeriksaku, padahal aku kan
sudah dua belas tahun! Tapi hari ini aku yakin aku takkan diberi permen loli.
Dr. Weiss berdecak-decak ketika aku naik ke timbangan. Tapi
ia gagal mengukur berat badanku. Angka-angka yang tertera masih
kurang banyak! Ia juga mengalami kesulitan ketika hendak memeriksa detak
jantungku. Stetoskopnya terus tersangkut lipatan-lipatan lemak di
dadaku. Ia melakukan segala macam tes, dan roman mukanya tegang
dan serius. "Sampel-sampel darah ini akan saya kirim ke lab," ia
berkata padaku. "Hasil pemeriksaannya akan kita terima beberapa hari
lagi." Ia menggelengkan kepala dan mengerutkan kening. Matanya
yang biru tampak meredup. "Saya belum pernah menemui kasus
seperti ini, Greg," katanya pelan-pelan. "Saya benar-benar bingung."
********************** Aku tidak bingung. Aku tahu persis apa masalahnya.
Begitu sampai di rumah, aku masuk ke kamarku dan meraih
gagang telepon. Aku harus mengerahkan segenap tenagaku untuk
mengangkat lenganku yang gembrot dan menempelkan gagang
telepon ke wajahku yang bengkak.
Aku menekan nomor telepon Shari. Tiga kali aku harus
mengulangnya. Saking gendutnya jari telunjukku, aku berkali-kali
menekan dua tombol sekaligus.
Shari menyahut pada dering ketiga. "Halo?" Suaranya begitu
kecil dan lemah, sehingga aku nyaris tak bisa mendengarnya.
"Aku ke rumahmu, ya?" ujarku. "Kameranya kubawa sekalian."
"Jangan teriak-teriak dong!" ia berkata dengan suaranya yang
kecil. "Cepat, Greg. Berat badanku sudah turun dua setengah kilo lagi.
Aku takut aku bakal melayang-layang kalau terus begini."
"Aku segera ke sana," kataku. "Kita akan mencari jalan untuk
menyelamatkan diri."
Aku meletakkan gagang telepon. Kemudian aku mengambil
kamera dari bawah tumpukan singlet di laci pakaian dalamku. Aku


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus membungkuk agar dapat meraih ke dalam laci. Aku terengahengah, dan megap-megap untuk menarik napas.
Aku bisa meledak kalau aku tambah gemuk lagi, aku berkata
dalam hati. Kamera itu kugenggam erat-erat ketika aku menuruni tangga.
"Aku mau ke rumah Shari," aku memberitahu orangtuaku.
Mereka ada di ruang duduk, dan sedang membahas apa yang
dikatakan Dr. Weiss pada ayahku.
"Sekarang lagi hujan," seru Mom. "Bawa payung saja."
"Aku cuma ke sebelah kok!" sahutku.
Lagi pula, payungnya toh terlalu kecil untuk melindungi seluruh
tubuhku. Aku mengintip ke luar. Ternyata cuma gerimis.
Aku mengepit kamera itu di bawah lenganku yang berlipatlipat, membuka pintu depan, dan melangkah keluar. Tapi aku segera
berhenti ketika melihat anak laki-laki berambut gelap membelok ke
pekarangan kami. Jon! "Oh, gawat!" aku bergumam. Aku tahu kenapa ia datang. Ia
mau meminta kameranya kembali.
Tapi aku belum bisa mengembalikannya. Aku
membutuhkannya untuk menyelamatkan Shari dan aku.
Aku memperhatikannya berjalan pelan-pelan sambil
menundukkan kepala karena hujan.
Apa yang harus kulakukan" aku bertanya dalam hati. Aku tidak
bisa membiarkannya membawa kamera itu.
Aku akan bersembunyi di dalam, aku memutuskan.
Aku berusaha mundur. Berusaha memaksa tubuhku yang
bengkak kembali ke dalam rumah.
Tapi terlambat. Jon sudah melihatku.
22 IA melambaikan tangan padaku dan mempercepat langkahnya.
Kamera itu kupegang dengan dua tangan. Perlahan-lahan aku
menaruhnya di lantai teras. Kemudian aku maju sedikit untuk
menutupinya. Aku yakin kamera itu takkan terlihat di balik tubuhku
yang gembrot. Tapi apa yang harus kukatakan pada Jon" Bagaimana aku bisa
membujuknya untuk meminjamkan kamera itu beberapa waktu lagi"
"Hai!" ia memanggil.
"Hai," aku menyahut. Suaraku kurang jelas akibat teredam
lipatan-lipatan lemak di sekitar wajahku.
"Aku mencari anak laki-laki yang tinggal di sekitar sini," Jon
berkata sambil melangkah ke teras. "Namanya Greg, rambutnya
pirang, dan umurnya kira-kira sama denganku. Kau kenal dia" Ia
meminjam kameraku." Aku menatapnya sambil melongo. Kali ini daguku yang
berlipat-lipat benar-benar menyentuh dadaku.
"Siapa namanya?" tanyaku.
"Greg," Jon menyahut. "Aku tidak tahu nama belakangnya.
Apakah dia tinggal di sekitar sini?"
Ia tidak mengenaliku! aku berseru dalam hati. Saking
gembrotnya aku, ia tidak mengenaliku!
"Ehm... yeah. Rasanya aku tahu siapa yang kaumaksud," ujarku.
"Memang ada anak bernama Greg di sini. Rumahnya di sebelah sana."
Aku menunjuk ke ujung jalan.
"Kira-kira empat blok dari sini," aku berbohong. "Rumahnya
besar dan berwarna merah. Kau tak mungkin keliru. Cuma ada satu
rumah merah di jalan ini."
"Hei, thanks," kata Jon. Hujan mendadak bertambah deras. Ia
berbalik dan bergegas ke jalan.
Uih, hampir saja, pikirku.
Sebenarnya aku merasa tidak enak karena membohongi Jon.
Tapi aku tak punya pilihan. Aku tak bisa mengembalikan kamera
itu"sampai kapan pun. Kamera itu terlalu berbahaya.
Aku memperhatikan Jon sampai ia menghilang di balik pagar
hidup pekarangan tetanggaku. Kemudian aku memungut kamera
dengan tanganku yang bengkak, dan menuju rumah Shari.
*************************
Shari menyambutku di pintu depan. Ia membelalak ketika
melihat betapa gendutnya aku sekarang.
Aku sendiri juga terkejut, dan malah sampai memekik kaget.
Bagaimana tidak" Ia mulai mirip orang-orangan sawah yang terbuat
dari gagang sapu! Ketika kami menuju kamarnya, ia berulang kali terserimpet
celananya sendiri. Ia juga telah mengikatkan tali di sekeliling
pinggangnya yang mungil, agar celananya tidak merosot terus.
"Kalau sampai mengerut lagi, aku terpaksa memakai baju
boneka!" ia meratap.
"Kau juga dibawa ke dokter oleh orangtuamu?" aku bertanya
sambil tersengal-sengal. "Tentu saja," ia menyahut dengan suaranya yang kecil.
"Dokternya berpesan aku harus minum milk shake lima kali sehari!"
"Coba kalau dokterku yang bilang begitu," aku bergumam
sambil menghela napas. Dengan hati-hati aku menurunkan badan ke tempat tidurnya.
Aku sengaja pelan-pelan, karena takut tempat tidurnya roboh. Tapi
begitu aku duduk, tempat tidurnya langsung berderak-derak.
Dan seketika tempat tidurnya ambruk ke lantai.
"Tidak apa-apa," ujar Shari pelan-pelan. "Aku toh sudah tidak
kuat naik ke tempat tidurku."
"Kalau badanku bertambah besar lagi, aku bakal tidak bisa
keluar dari rumah ini. Pintunya takkan cukup kulewati."
Shari menyilangkan lengan di depan dada. Saking kecilnya,
jarinya jadi mirip cakar burung. Dengan rambutnya yang hitam dan
badannya yang seperti tiang bendera, ia lebih mirip gagang untuk
mengepel daripada orang! "Apa yang harus kita lakukan?" ratapnya.
Aku menepuk-nepuk kamera dengan tanganku yang gemuk.
"Aku bawa ini," kataku. "Aku pikir mungkin..."
"Apa gunanya kamera konyol itu?" seru Shari. "Aku menyesal
pernah melihatnya!" "Aku punya ide," kataku. Aku menjentikkan lalat yang hinggap
di salah satu lipatan daguku.
Shari merangkul badannya yang kurus kering. "Ide apa?"
"Kita bikin foto baru saja," kataku. "Barangkali kita akan
kelihatan normal dalam foto baru itu. Barangkali kita bisa menjadi
normal kembali." Shari menatapku sambil mengerutkan kening. Sepertinya ia
sedang berpikir keras. "Sebenarnya agak berbahaya"ya, kan?" ia
akhirnya berkata. "Memangnya kau punya ide yang lebih baik?" tanyaku.
Ia kembali memeras otak. Kemudian ia menatap kamera di
tanganku. "Oke," ujarnya. "Kita coba saja."
EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM 23 EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM AKU berjuang untuk bangkit. Tapi tangan dan kakiku kurang
kuat untuk mengangkat badanku yang besar.
Sebelum aku sempat beranjak dari tempat tidur, Shari sudah
melintasi kamar. Ia merebut kamera itu dari pangkuanku.
"Oh!" pekiknya. Kamera itu nyaris terlepas dari genggamannya.
"Rasanya berat sekali!"
"Soalnya kau begitu enteng," aku berkata padanya. Sekali lagi
aku mencoba berdiri. Dan gagal lagi.
"Jangan bergerak," Shari memerintahkan. "Aku mau
memotretmu dulu." "Oke," ujarku. "Moga-moga aku bakal kelihatan kurus nanti."
Aku berusaha mengatupkan tangan untuk mengharap keberuntungan.
Tapi telapak tanganku terlalu gendut untuk dirapatkan.
"Ayo, senyum," Shari berkata sambil membidikkan kamera ke
arahku. "Jangan bercanda," aku menegurnya.
Ia mengintip melalui lubang kamera. Menaruh jarinya di
tombol. Kemudian ia menurunkan kamera sambil menghela napas. "Iini terlalu berbahaya," ia tergagap-gagap.
"Shari... potret aku!" aku mendesak. "Coba lihat seperti apa kita
sekarang! Apa pun yang terjadi tidak mungkin lebih parah dari ini"
ya, kan?" Ia mengangguk-angguk. Lalu, dengan berat hati, ia kembali
membidik. Kamera itu terasa begitu berat di tangannya, sehingga ia
terpaksa memegangnya dengan dua tangan.
"Oke, siap-siap," ia berkata pelan-pelan. "Mudah-mudahan saja
kau bakal kelihatan normal lagi."
Ia menjepretkan kamera. Kilatan lampu blitz membuatku
berkedip-kedip. Sedetik kemudian selembar kertas bujursangkar putih muncul
dari celah bagian bawah kamera. Shari membawanya ke tempat tidur
dan duduk di sampingku. "Coba kita lihat!" aku berseru sambil meraih foto itu.
"Hati-hati!" Shari memperingatkan. "Aku bisa remuk kalau kau
sampai terjungkir dan menimpaku!"
Aku memekik tertahan. Ia benar. Duduk di sampingku ternyata
lebih berbahaya dari yang kusadari.
"Mungkin lebih baik kalau kau berdiri saja," aku mengusulkan.
Ia bangkit, tapi kemudian terhuyung-huyung karena belum
terbiasa dengan badannya yang begitu ringan. "Gambarnya sudah
mulai kelihatan!" ia memberitahuku.
Ia menyodorkan foto ke hadapanku, agar kami bisa
memperhatikannya bersama-sama. Warna kuningnya muncul lebih
dulu. Aku memicingkan mata dan berusaha mengenali wajahku.
Apakah aku masih kelihatan gemuk di foto itu" Ataukah aku
sudah kembali normal"
Warna kuningnya terlalu pucat. Wajahku sama sekali tidak
kelihatan. Shari dan aku sama-sama diam seperti patung sambil
mengamati bujursangkar kecil di tangannya. Kami diam tanpa
bergerak sedikit pun. Bahkan tanpa berkedip.
Dan tiba-tiba aku bisa melihat diriku.
Wajahku yang bulat. Tubuhku yang bulat bagaikan balon.
Tetap gendut. Tetap gembrot.
"Aduuuuh!" aku meraung-raung. "Aduuuh! Aku ingin kembali
seperti semula!" Shari menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih. Ia masih
menatap foto itu. "Eh, apa itu di wajahmu?" serunya. "Idih!"
Kurebut foto itu dari tangannya dan mengamatinya dengan
saksama. "Oh, aduh!" aku mengerang. "Kulitku"kulitku bersisiksisik. Aku kelihatan seperti buaya atau sebangsanya!"
Shari mengambil foto itu lagi dan memperhatikannya. "Di
lenganmu juga ada," ia berkata. "Kelihatannya seperti semacam kulit
reptil." Dan begitu ia berkata, kulitku mulai terasa gatal.
Aku menoleh dan melihat lenganku penuh sisik berwarna
merah. Sisik merah yang gatal. Aku langsung menggaruk-garuk. Tapi
gatalnya malah bertambah parah.
Kulitku mulai terkelupas.
"Oh, oh!" aku mengerang-erang. "Gatalnya minta ampun!"
Aku menggaruk-garuk lengan. Kemudian aku menggaruk-garuk
wajah. Semakin banyak kulit kering yang mengelupas.
Shari mundur selangkah. Foto baru itu terlepas dari tangannya
dan jatuh ke karpet. "Oh, ini mengerikan!" katanya. "Kau tetap
bengkak"dan sekarang kulitmu mengelupas semuanya!"
"Ohh! Punggungku gatal sekali!" aku meratap. "Tapi aku tidak
bisa menggaruknya." "Aku tidak mau menggaruknya untukmu!" ujar Shari cepatcepat. "I-ini terlalu menjijikkan!"
Aku menarik sepotong kulit kering berwarna merah yang
mengelupas dari punggung tanganku. "Kau mau kupotret sekarang?"
aku bertanya pada Shari. "Siapa tahu kau lebih beruntung dari aku?"
"Tidak! Tidak usah!" serunya. Ia mundur beberapa langkah lagi.
"Aku tidak mau dipotret lagi. Nanti keadaanku malah tambah gawat."
Wajahnya tampak berkerut-kerut karena jijik. Ia menelan ludah.
"Sori, Greg," katanya terbata-bata, "tapi aku jadi mual melihatmu."
Aku berusaha menggaruk tengkukku. Tapi tanganku terlalu
gemuk. Aku tidak bisa menjangkau ke belakang.
Aku menggosok-gosok kening. Sepotong kulitku terlepas dan
melayang ke lantai. "Bagaimana kalau foto-foto itu kita sobek saja!" seru Shari.
"Hah?" aku menatapnya sambil terbengong-bengong.
Ia membungkuk untuk memungut fotoku yang baru. "Kita
sobek saja semuanya," ia mendesak. "Aku yakin kita bakal langsung
kembali normal kalau begitu."
Sejenak aku berhenti menggaruk-garuk. "Kau yakin" Kau yakin
itu cukup untuk memulihkan kita?"
"Mungkin," sahut Shari. "Tak ada salahnya dicoba, bukan?"
Aku mengeluarkan kedua foto pertama dari kantong. Klise yang
memperlihatkan Shari dan foto yang memperlihatkanku dengan badan
menggembung. "Aku akan menyobek foto-foto ini," kataku. "Kausobek yang
itu. Kita lihat saja apa yang terjadi nanti."
Kami sama-sama memegang foto. Aku sudah mau mulai
merobek"tapi kemudian berubah pikiran.
"Jangan-jangan kita malah lenyap sama sekali kalau foto-foto
ini kita robek!" seruku.
Shari dan aku berpandangan. Tangan kami masih terangkat,
siap mengoyak-ngoyak ketiga foto itu.
Apa yang harus kami lakukan"
24 "JANGAN!" Shari memekik. "Jangan dirobek!"
Kami sama-sama menurunkan tangan.
"Kau benar," kataku. Seluruh tubuhku gemetaran. "Ini terlalu
berbahaya." "Kalau foto-foto ini kita robek, bisa-bisa kita sendiri juga ikut
terkoyak-koyak," ujar Shari. "Atau mungkin juga kita akan lenyap dan
tidak kembali lagi."
Aku merinding. "Sudahlah, jangan pikirkan apa yang mungkin
terjadi pada kita," aku mengerang. "Coba lihat keadaan kita. Kaupikir
ada yang lebih buruk dari ini?"
"Siapa tahu?" Shari menyahut sambil menghela napas. "Kita
harus mencari jalan untuk menyelamatkan diri, Greg. Kita harus
berpikir positif." Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Apa katamu?"
"Aku bilang, berpikir positif," ia mengulangi.
Berpikir positif. "Shari... aku baru saja mendapat ide yang bagus sekali!" aku
berseru. * * ************** Foto-foto itu kami bawa ke Kramer's, toko kamera tempat
kakakku bekerja. Perjalanan ke sana ternyata tidak mudah. Setiap beberapa
langkah aku harus berhenti untuk mengatur napas. Dan kulitku yang
bersisik dan mengelupas terus minta digaruk. Dan aku juga harus
menahan Shari agar jangan sampai terbawa angin.
Jarak ke Kramer's sebenarnya hanya delapan blok. Tapi
perjalanan ke sana makan waktu lebih dari sejam.


Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kami akhirnya masuk ke toko itu, aku hampir putus asa.
Terry tidak kelihatan. "Dia lagi di lab cuci-cetak," Mr. Kramer memberitahuku. Ia
terus menatap Shari dan aku. Penampilan kami memang cukup aneh.
Yang satu kurus kering seperti tiang listrik, yang satu lagi bengkak
bagaikan gajah. Aku menarik Shari ke lab yang terletak di bagian belakang toko
dan mengetuk pintu. Pintu lab cuci-cetak tidak boleh dibuka
seenaknya. Kalau sampai ada cahaya masuk, semua film yang ada di
dalam bisa rusak. Kami menunggu sekitar lima menit. Kemudian Terry keluar.
Mula-mula ia tidak mengenaliku. Sepertinya ia lupa bahwa berat
badanku telah naik dua ratus kilo dalam beberapa hari terakhir.
"Idih. Ada apa dengan kulitmu, Greg?" ia bertanya sambil
mengerutkan muka. "Kau kena ruam atau sebangsanya?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu," jawabku sedih. "Aku perlu
minta tolong, Terry."
Ia mengangkat bahu. "Minta tolong bagaimana?"
Aku memperlihatkan kedua foto pertama. Klise Shari dan foto
diriku seberat satu ton. "Bisa kaubalikkan ini untuk kami?"
Terry menatap kedua kertas bujursangkar di tanganku. "Apa sih
maksudmu?" ia lalu bertanya.
Aku menghela napas. "Apakah kau bisa membuat foto dari
klise, dan klise dari foto ini?"
Shari memekik tertahan. Baru sekarang ia memahami
rencanaku. Barangkali tubuh kami akan kembali normal kalau gambargambar itu dibalik.
Terry akan membuat foto dari klise Shari, dan Shari akan
kembali ke keadaan semula. Kemudian fotoku akan dibuat klise, dan
aku pun akan pulih. Rasanya cukup masuk akal. Lagi pula tak ada jalan lain.
Terry meraih kedua bujursangkar itu. Ia mengamati keduanya
dengan saksama. Ia menggaruk-garuk kepala. "Mestinya bisa," ia
akhirnya berkata. "Tapi aku lagi sibuk sekali nih. Kapan harus
selesai?" "SEKARANG!" seru Shari dan aku berbarengan.
Terry menatap kami, lalu kembali mengamati kedua foto.
Aku menggaruk-garuk tengkuk. Saking gendutnya lenganku,
aku nyaris tak mampu mengangkatnya setinggi itu. Aku yakin dalam
beberapa jam aku bakalan terlalu berat untuk berjalan. Aku bakalan
harus digotong dengan gerobak"atau malah dua gerobak!
"Tolonglah!" aku memohon.
"Aku tidak punya waktu," ujar Terry.
"Aku akan memberikan uang sakuku selama dua bulan!" aku
berseru. "Oke. Aku akan mengusahakannya," balas Terry. "Tunggu di
sini saja." Ia masuk ke lab. Kami berdiri di depan pintu dan menunggu.
Dan menunggu. Dan menunggu. Kami menunggu setengah jam, tapi rasanya seperti berabadabad.
Sebentar-sebentar Mr. Kramer menoleh ke arah kami dari balik
meja layan di depan. Shari dan aku berusaha tidak menghiraukannya.
Aku ingin sekali duduk. Kakiku terasa sakit karena harus
menopang badanku yang begitu berat. Tapi mana ada kursi yang
sanggup menahan beban dua ratus kilo" Dan kalaupun berhasil duduk,
aku pasti takkan sanggup berdiri lagi.
Jadi Shari dan aku tetap berdiri di depan pintu lab. Kami
menunggu sambil merenung.
Apakah rencana baru ini bakalan sukses" Apakah kami akan
pulih kembali" Akhirnya pintu lab membuka dan Terry melangkah keluar.
"Nih," katanya. Ia menyerahkan dua foto baru padaku. "Jangan lupa
janji soal uang sakumu."
"Beres," kataku. "Thanks, Terry."
Aku mengamati kedua foto itu. Permintaanku telah dikerjakan
dengan sempurna oleh Terry. Shari terlihat tersenyum ke arah kamera.
Sedangkan aku tampak dalam bentuk klise, dengan badan
menggembung bagaikan balon.
"Sekarang pergilah," ujar Terry sambil melirik ke arah Mr.
Kramer. "Ayo. Cepat. Sebelum aku dipecat gara-gara kalian."
Aku meraih tangan Shari dan menariknya ke pintu depan.
Aku merasa kasihan padanya. Ia benar-benar seringan bulu.
Tampangnya bahkan lebih pucat dan kurus dibandingkan ketika kami
masuk tadi. Tangannya terasa seperti tulang rapuh.
Kami meninggalkan toko itu dan berhenti di pojok jalan.
Kemudian aku memperlihatkan kedua foto itu kepada Shari.
"Sudah ada pengaruhnya?" tanyaku. "Kau sudah merasakan
perbedaannya?" "Belum," ia menyahut.
"Aku juga belum," ujarku pelan-pelan.
Paling tidak setengah jam kami berdiri di pojok jalan itu.
Menunggu dan menunggu. Tapi tidak terjadi apa-apa.
Kami tidak berubah sedikit pun.
"Celaka," aku bergumam sedih. "Benar-benar celaka."
Sepotong kulit terlepas dari keningku dan melayang ke trotoar.
25 KEESOKAN harinya aku bangun pagi-pagi, sebelum wekerku
berdering. Aku meregangkan badan dan menguap lebar-lebar.
Kemudian aku berbalik dan berusaha agar tubuhku yang besar bisa
turun dari tempat tidur. "Ayo!" aku berseru sambil mengencangkan semua otot.
Dan kemudian aku terbang melintasi kamarku!
"Aduh!" aku mengerang ketika aku menubruk dinding. Aku
terpental dan jatuh ke lantai.
"Ada apa ini?" seruku.
Cepat-cepat aku menghampiri cermin. Dan menatap bayangan
wajahku yang lama. Tubuhku yang lama.
Tak ada lagi lemak yang berlipat-lipat. Tak ada lagi pipi yang
bulat atau perut yang menggembung.
Aku telah kembali normal!
Aku meremas-remas lengan. Mengusap-usap wajah. Menariknarik rambut.
Aku begitu bahagia, karena telah menjadi diriku lagi!
Aku meloncat ke tempat tidur dan mulai meloncat-loncat
sambil mengayun-ayunkan tangan dan bersorak-sorai.
"Berhasil! Berhasil!"
Rencanaku ternyata berhasil dengan gemilang.
Mom dan Dad muncul di kamarku. Keduanya masih memakai
kimono. Keduanya tampak cemas sekali. "Greg... ada apa?"
Dan kemudian mereka terdiam dengan mulut menganga dan
mata terbelalak. Mom memekik kaget. Dad menatapku tanpa sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau... kau sudah normal lagi!" Mom akhirnya berseru.
"Kau... kau... kau..." Dad berusaha mengatakan sesuatu, tapi
tidak berhasil. Ia cuma menunjukku sambil tergagap-gagap.
Dan kemudian keduanya menghampiriku dan memelukku eraterat.
"Mom memang sudah menduga kau salah makan," Mom
berkata dengan gembira. "Kau keracunan makanan."
"Cuma reaksi alergi," Dad menambahkan. "Dad memang yakin
kau akan sembuh dengan sendirinya dalam satu atau dua hari."
"Kami yakin kau akan segera pulih," ujar Mom.
"Yeah. Aku juga," kataku.
Padahal itu bohong besar!
"Kau luar biasa waktu menghadapi cobaan ini, Greg," Mom
memujiku sambil menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Kau
begitu tabah." "Yeah. Ehm... aku selalu mencoba berpikir positif," sahutku.
************************ Terburu-buru aku menghabiskan sarapanku. Kemudian aku
bergegas ke rumah sebelah untuk menemui Shari. Aku baru mau
menghampiri pintu belakangnya ketika ia melangkah keluar. Ia
tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku.
"Berhasil! Kita berhasil, Greg!" serunya riang.
Sambil tertawa ia berlari ke arahku. Rambut hitamnya berkibarkibar. Seperti biasanya.
Kami telah kembali normal.
Kami berdua menari-nari sambil bersorak-sorai di pekarangan
belakang Shari. Ia berpaling padaku ketika kami berhenti karena kehabisan
napas. "Eh, kita bisa terlambat ke sekolah nih. Aku sudah tidak sabar
memperlihatkan kepada semua orang bahwa aku sudah normal lagi."
"Aku juga!" seruku. "Tapi tunggu sebentar. Ada sesuatu yang
harus kuambil di kamar. Aku akan segera kembali."
Aku berbalik dan bergegas melintasi rumput.
"Apa sih yang ketinggalan?" Shari bertanya sambil
mengikutiku. "Kameranya," sahutku.
Ia mempercepat langkahnya. Menyusulku. Lalu memegang
pundakku dan menghentikanku. "Apa, Greg" Kamera itu" Untuk apa
kau perlu kamera itu?"
Aku menatapnya sambil memicingkan mata. Roman mukaku
jadi serius. "Untuk balas dendam," aku berkata sambil berbisik.
26 "GREG... jangan!" Shari memohon.
Imbauannya tidak kugubris. Aku tahu apa yang akan kulakukan.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Aku berlari naik ke kamarku. Dengan setiap langkah aku
melewati dua anak tangga sekaligus. Cepat-cepat kukeluarkan kamera
itu dari tempat aku menyimpannya. Kemudian aku bergegas keluar
lagi. Shari menungguku di trotoar. "Greg... jangan nekat," ia
mewanti-wanti. "Apa yang akan kaulakukan?"
Aku tidak sanggup menahan senyum jail yang muncul di
wajahku. "Aku akan mengambil foto Mr. Saur," aku memberitahunya.
"JANGAN!" ia memekik. "Greg... kau tidak boleh berbuat
begitu!" "Lihat saja nanti," aku menyahut sambil cengar-cengir.
"Tapi... tapi... tapi...," ia tergagap-gagap.
Aku mulai berjalan dengan langkah panjang. Kamera itu
kugenggam erat-erat dengan dua tangan.
"Greg... nanti ada kejadian mengerikan lagi!" Shari memprotes.
"Aku tahu," ujarku. Aku tidak bisa berhenti nyengir. "Biar si
Muka Masam tahu rasa."
"Tapi, Greg...," ia terus berusaha mencegahku. Tapi aku
mempercepat langkahku dan meninggalkannya di belakang.
"Dia pantas mendapat ganjaran," aku membela diri. "Dia tidak
mau percaya bahwa ceritaku benar. Dia menyebutku pembohong di
depan seluruh kelas. Dan dia memberiku nilai F. Padahal laporanku
begitu bagus." "Tapi, Greg...," Shari mencoba lagi.
Aku tidak memberi kesempatan padanya. Aku terlalu
menggebu-gebu. Semakin dekat ke sekolah, aku semakin bersemangat
dengan rencana balas dendamku.
"Gara-gara dia liburanku jadi berantakan," aku terus
menggerutu. "Dia tidak adil, tidak adil, tidak adil. Dan, waktu
badanku jadi bengkak, si Muka Masam benar-benar kejam padaku.
Dia mengolok-olokku di depan semua temanku. Aku benar-benar
malu, Shari. Benar-benar malu."
"Greg..." "Dia sengaja menyinggung perasaanku," aku berkata sengit.
Gedung sekolah sudah mulai kelihatan di depan. "Dia sengaja
mempermalukanku di depan seluruh kelas. Jadi sudah sepantasnya
kalau aku balas dendam."
"Jadi apa yang akan kaulakukan?" Shari bertanya sambil
tersengal-sengal. Aku berhenti di pojok jalan. "Dia menantangku untuk
membuktikan kamera ini memang punya kekuatan gaib yang jahat.
Jadi aku akan membuktikannya"sekaligus membuat perhitungan
dengan dia." Aku masuk ruang kelas ketika bel terakhir berdering. Anakanak yang lain sudah duduk di tempat masing-masing.
Mr. Saur membelakangiku. Ia sedang menulis sesuatu di papan
tulis. Aku menghampirinya, lalu menunggu sampai ia berbalik.
Jantungku berdegup-degup. Aku nyaris tak sanggup memegang
kamera. Aku menarik napas dalam-dalam dan menahannya.
Inilah saatnya. Kesempatan yang kutunggu-tunggu.
"Mr. Saur...?" aku berkata pelan-pelan.
Ia berbalik seakan-akan aku meneriakkan namanya. "Greg!"
serunya. "Kau kelihatan langsing sekali."
Aku tidak menghiraukan komentarnya.
Waktunya balas dendam, aku berkata dalam hati.
"Saya membawa kamera yang saya ceritakan waktu itu," ujarku.
Suaraku melengking tinggi. "Anda minta agar saya membuktikan
kekuatan gaibnya. Jadi itulah yang akan saya lakukan sekarang."
Aku membidik wajahnya yang tampak kaget.
Menempelkan telunjuk ke tombol kamera.
Tapi ia merebut kamera itu dari tanganku.
"Oh, ya! Kamera yang jahat!" ia berkata sambil mengamatinya.
"Jangan buang-buang film untuk saya. Lebih baik kita potret seluruh
kelas!" "Jangan!" aku berseru.
Ia melambaikan tangan. "Donny dan Brian... coba merapat
sedikit." Kemudian ia mendorongku ke depan mereka. "Kau juga ikut,
Greg." "Jangan!" aku memohon. "Mr. Saur... jangan!"
"Ayo, senyum semuanya!"
Lampu blitz menyala. Beberapa detik kemudian fotonya muncul dari celah di bagian
bawah kamera. Mr. Saur menatapku sambil tersenyum. "Rasanya saya berhasil
memotret semua murid yang ada di sini," katanya. "Nah, sekarang
bagaimana kelanjutannya?"
Aku menelan ludah. "Ehm... kita lihat saja nanti," sahutku.
"Kita lihat saja nanti.
END Topan Di Borobudur 1 Jodoh Rajawali 10 Pedang Jimat Lanang Pendekar Guntur 15

Cari Blog Ini