Goosebumps - Mobil Hantu Bagian 1
1 AKU memiliki Chevy Impala '57 di kamarku. Warnanya biru
dua nada dengan lidah api merah-perak di bagian sisi dan sayap
belakangnya. Dan aku punya Firebird V-8 '92 bermesin twincam dengan
interior dari kulit hitam. Aku juga punya Camaro perak '83 yang
belum selesai kurakit. Ya, semuanya hanya mobil model. Rak-rak buku di sepanjang
dinding kamar tidurku penuh dengan mobil model yang kurakit.
Kata Dad, ia akan membangun rak di dinding seberang untuk
mobil-mobil modelku yang baru. Tapi rak itu akan menutupi posterposter mobil balapku.
Aku tidak ingin melakukannya. Aku sangat menyukai posterposter mobil balapku. Salah satunya bahkan bertandatangan Mario
Andretti. Kalau kau tidak tertarik dengan mobil, lebih baik kujelaskan
bahwa ia adalah pembalap mobil yang sangat terkenal. Malahan, ia
seorang legenda. Namaku Mitchell Moinian. Usiaku dua belas tahun, dan aku
juga semacam legenda. Karena aku tahu tentang mobil lebih dari siapa
pun di sekolahku. Terkadang aku dan teman-temanku, Allan dan Steve,
mengadakan kontes. Kami berdiri di tikungan di depan rumah dan
berusaha untuk paling dulu mengidentifikasi mobil-mobil yang
melintas. Aku selalu menang. Aku bisa mengenali mobil bahkan dengan
mata tertutup! Itu karena aku membaca bertumpuk-tumpuk majalah tentang
mobil. Dan kalau tidak sedang membaca tentang mobil atau merakit
model, aku senang menggambar mobil.
Tahu apa yang kuimpikan di malam hari" Benar" aku
bermimpi mengemudikan mobil.
Kurasa ceritaku dimulai pada suatu hari Sabtu siang yang
damai. Hujan turun sepanjang pagi, dan beberapa tetes yang tertiup
angin masih mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku.
Aku tidak peduli. Aku menyukai suara hujan kalau sedang
berada di kamar merakit model. Aku membungkuk di atas meja kerja,
mempelajari diagram-diagram Camaro perak itu.
Mobil model ini cukup rumit. Ada sejuta potongan. Maksudku,
kau tidak bisa hanya mengoleskan lem lalu menempelkan potongan A
ke potongan B, lalu menyebutnya Camaro!
Aku sudah berhasil merakit kerangkanya, dan tengah
menempelkan bagian-bagian karoseri dari serat kaca dengan hatihati"sewaktu adikku, Todd, menghambur masuk ke dalam kamar,
sambil menjerit-jerit sekuat tenaga.
"Hei!" Aku terlonjak"dan mematahkan bumper. Potongan
serat kaca itu patah menjadi dua dalam genggamanku.
"Dasar tolol!" jeritku. "Lihat akibat perbuatanmu!"
Todd bahkan tidak menunduk memandang bumper yang patah
itu. "Cepat! Tolong aku!" jeritnya. "Kau harus ikut"cepat!"
Todd berusia tujuh tahun. Ia tidak tertarik pada mobil. Aku
tidak tahu ia tertarik pada apa.
Kurasa ia tertarik menakut-nakuti dirinya sendiri. Ia menjadi
sangat aneh sejak kami pindah ke rumah tua yang mengerikan ini
tahun lalu. Kami dulu punya rumah yang sangat nyaman di toledo. Tapi
Dad mendapat pekerjaan baru dan kami harus pindah ke Forrest
Valley. Lalu Mom dan Dad membeli reruntuhan tua ini.
Rumah ini berdiri di puncak Hunter Hill. Kau bisa melihat
rumah kami dari kota di Forrest Valley, bahkan dari jarak sejauh itu,
rumah ini tampak seperti rumah hantu dalam film-film horor.
Kupikir mereka membeli reruntuhan ini karena Dad senang
membangun dan memperbaiki segala sesuatu. Ia selalu menonton
acara "Perbaiki Sendiri Rumahmu" di TV sambil berkata, "Aku bisa
melakukannya. Aku bisa melakukannya."
Tapi sebenarnya tidak. Mom selalu berkata, "Kalau soal keterampilan, ia kikuk sekali!"
Pokoknya, Todd bertingkah aneh sejak kami pindah kemari. Ia
yakin rumah ini berhantu. Ia melihat hantu di setiap ruangan.
Ia selalu menjerit-jerit dan membuat dirinya gila. Kalian
percaya" Bocah malang itu bahkan harus tidur dengan lampu
menyala! Dan sekarang ia berdiri gemetaran di ambang pintu kamarku,
memberi isyarat dengan panik dengan kedua tangannya, memintaku
mengikutinya. Ia begitu kurus, pirang, dan merah muda. Aku terpaksa
tertawa. Melihat caranya mengerjap-ngerjap dan gemetaran, ia seperti
anak kelinci yang ketakutan.
"Mitchell"cepat! Please!" jeritnya. "Ada hantu di kamarku!"
"Waduuh," aku mengeluh. Kulemparkan bumper yang patah itu
ke meja dan kupelototi adikku. "Todd, otakmu itu yang berhantu.
Berapa kali aku harus memberitahumu" Tidak ada hantu di rumah
ini!" "Please?" pintanya.
"Kau membaca buku-buku horor itu lagi?" tanyaku. "Kau tahu
kau terlalu muda untuk membaca buku-buku seperti itu."
"Tidak. Sungguh. Kali ini aku tidak mengada-ada," katanya
bersikeras. Ia berbalik dan memandang lorong, sambil gemetaran dari
ujung rambut ke ujung kaki. "Di"di sana."
"Oke, oke," gumamku. Aku berdiri sambil menggeleng. "Kau
sudah merusak bumper Camaro-ku. Sebaiknya kali ini hantunya
benar-benar ada." ''Ada,'' gumamnya. "Sungguh. Di lemari pakaianku. Aku
melihatnya." Ia melangkah ke samping agar aku bisa lewat. Aku memandang
lorong yang panjang dan gelap itu. Cahaya kelabu menebar dari
jendela mungil di ujung seberang. Dad sudah mulai memasang lampu
di langit-langit. Tapi ia memerlukan bantuan untuk memasang kabelkabelnya.
Sementara ini, lorong yang panjang itu selalu gelap. Kertas
dinding cokelat kuno di kedua sisi yang pecah-pecah dan terkelupas
tidak membuat suasana menjadi lebih baik.
Papan-papan lantai yang tua berderit terinjak kaki kami saat aku
memimpin jalan ke kamar tidur Todd.
"Ada hantu di lemari pakaianku," bisik Todd. "Aku tidak
mengada-ada." Ia tetap di belakangku, satu tangan memegangi T-shirt-ku. Aku
melirik ke balik bahuku. Wajahnya yang bagai anak kelinci
mengernyit, mata birunya membelalak ketakutan.
Sejak dulu Todd adalah anggota keluarga Moinian yang paling
aneh. Ia bahkan tidak mirip dengan kami. Mom, Dad, dan aku
jangkung dan berkulit gelap, dengan mata dan rambut berwarna
cokelat.ebukulawas.blogspot.com
Aku berhenti di ambang pintu kamar dan mengintip ke kamar
tidur Todd. Cahaya kelabu muram menerangi ruangan dari jendela
yang dibasahi tetes-tetes air hujan.
"Kau melihatnya" Kau melihatnya?" bisik Todd dengan penuh
semangat dari belakangku. Tangannya masih mencengkeram kausku
erat-erat. "Tentu saja tidak?" aku hendak berbicara.
Tapi lalu pandanganku jatuh ke pintu lemari pakaian Todd yang
separo terbuka. Dan aku melihat sosok bagai hantu yang melayang di
dalam lemari itu. 2 "WHOA,'' gumamku. Rasa takut merayapi tubuhku.
"Apa" Kau melihatnya" Apa itu?" tanya Todd dengan nada
mendesak, tinjunya menyodok-nyodok punggungku.
Aku memicingkan mata berusaha melihat dalam cahaya
temaram itu, berjuang memusatkan penglihatanku, mengawasi sosok
pucat yang tidak bergerak itu.
Perlu waktu beberapa detik sebelum aku sadar tidak sedang
melihat hantu. Aku melihat kantong cucian Todd yang separo terisi.
"Dasar tolol!" seruku. Aku berbalik dan mendorongnya dengan
kedua tangan. "Itu kantong cucianmu!"
Todd terhuyung-huyung ke belakang dan menghantam dinding.
"Well, siapa yang meletakkannya di sana?" tanyanya. "Dari mana aku
tahu itu bukan hantu?"
"Karena hantu itu tidak ada!" jeritku.
"Buktikan," jawabnya. Ia melipat lengannya yang kurus di
depan T-shirt X-Files yang dikenakannya.
"Buktikan apa?" semburku. "Buktikan bahwa hantu itu tidak
ada?" "The truth is out there," kata Todd dengan nada khidmat.
"Sebaiknya kau berhenti nonton film itu," aku memarahinya.
"Berhentilah membaca buku-buku horor dan berhentilah nonton The
X-Files, Todd. Kau bisa gila."
"Lihat rumah yang menyeramkan ini," Todd mendebat. "Rumah
seperti ini pasti ada hantunya. Pasti?"
"Mom dan Dad benar-benar mengkhawatirkanmu," kataku
menyela. "Menurut mereka kau sudah kehilangan kendali."
"Tidak mungkin, aku?" Todd mulai memprotes.
Tapi debuman keras mengguncang rumah.
Todd dan aku sama-sama melompat dan menjerit.
"Apa itu?" "Di lantai bawah!" kataku dengan napas tersentak.
Kami melesat menyusuri lorong, papan-papan lantai berderak
dan mengerang. Aku tiba di tangga terlebih dulu dan melesat turun,
mencondongkan tubuh ke pagar, melompati dua anak tangga
sekaligus. Di tengah-tengah tangga, aku menatap ruang duduk"dan
melihat sumber kegaduhan tadi. Sebuah rak buku jatuh dari dinding.
Rak buku yang baru akhir pekan lalu dibuat Dad.
Rak itu jatuh menimpa sofa kami. Buku, bingkai foto, serta vas
bunga bertebaran di lantai.
"Ada apa" Apa yang terjadi?"
Todd menyerbu turun dari tangga begitu cepat hingga
menabrakku. Aku menyambar pagar tangga agar tidak jatuh terguling
ke bawah. "Hati-hati!" raungku. "Hanya rak buku Dad."
Sambil mencengkeram pagar tangga dengan kedua tangannya,
Todd mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap ruang duduk.
"Hantu biasa melakukan hal-hal seperti ini," katanya.
Aku berbalik menghadapinya. "Maaf?"
''Hantu selalu jail," ia menjelaskan, pandangannya tertumpu
pada rak buku yang jatuh itu. "Hantu yang melakukannya, Mitchell.
Aku tahu!" Aku mengerang dan memutar bola mataku. "Todd, kau sinting,"
jawabku sambil mengertakkan gigi. ''Kau tahu bukan hantu yang
melakukannya. Kau tahu ini kesalahan Dad. Pernahkah Dad membuat
rak buku yang bertahan di dinding lebih dari seminggu?"
"Aku dengar itu!" terdengar seseorang berteriak.
Dad terhuyung-huyung masuk ke ruangan sambil mengusapusap tangannya dengan handuk. Kurasa ia sedang menangani suatu
proyek di ruang bawah tanah karena kedua tangannya ternoda minyak
dan dua jemarinya teriris.
Ia mengenakan celana jeans baggy yang ternoda cat dan kemeja
putih tua yang telah kehilangan beberapa kancing. Bagian depan
kemejanya juga ternoda minyak.
Ia menyapu rambutnya yang cokelat lurus dari kening dan
menatap rak buku yang jatuh itu sambil menggeleng. "Penahannya
salah,'' gumamnya sendiri.
"Menurut Todd hantu yang menjatuhkannya," kataku mengadu.
Sambil membersihkan tangan Dad berbalik memandang kami di
tangga. "Tidak. Aku menggunakan penahan yang salah," katanya.
"Todd, kau harus berhenti melihat hantu di mana-mana."
"Oke, Dad," jawab Todd cepat. Ia tidak ingin berdebat dengan
Dad. Temperamen Dad buruk, dan Todd tidak suka dibentak-bentak.
"Akan kucoba." Dad menatap Todd lama. Lalu ia melangkah mengitari sofa,
memegangi bagian atas rak buku, dan mendorongnya hingga berdiri.
Ia menyandarkan rak itu ke dinding dengan hati-hati.
"Satu vas dan beberapa bingkai foto pecah," gumamnya dengan
nada muram. "Mom tidak akan senang."
Todd dan aku turun dari tangga, memasuki ruang duduk. Aku
membungkuk dan memungut sejumlah buku dari lantai dan
meletakkannya di meja kopi.
"Kalian mau ikut denganku ke toko bangunan?" tanya Dad.
"Kita akan membeli penahan yang tepat. Tidak ada hal penting yang
harus kalian lakukan, bukan?"
"Aku bisa membeli lem dan serat kaca lagi?" tanyaku. "Todd
membuatku mematahkan model Camaro-ku."
"Bukan salahku!" rengek Todd. "Kenapa selalu aku yang
disalahkan?" ''Tenang, guys,'' kata Dad. "Ambil jaket kalian dan kita
berangkat." Beberapa detik kemudian, kami telah melangkah keluar. Hujan
sudah berhenti, tapi awan tebal berarak rendah di atas bukit. Halaman
rumput di depan rumah kami berkilau karena basah. Aku masih bisa
mendengar tetes air hujan jatuh dari pepohonan.
Halaman depan rumah kami menurun curam ke arah kota.
Kabut kelabu basah menutupi lembah, menyelimuti kota sehingga
tidak terlihat. Mobil diparkir di jalur masuk. Chrysler Lebaron berusia empat
belas tahun, warnanya hijau menjijikkan, reruntuhan mobil berbumper
karatan dan salah satu lampu depannya pecah. Dad jarang sekali mau
bersusah payah memasukkannya ke bengkel.
"Kapan kita akan membeli mobil baru?" kataku sambil
mengerang, naik ke kursi depan.
Dad mengerutkan kening. "Mitchell, haruskah kau
menanyakannya setiap kali naik ke mobil?"
"Aku duduk di depan kalau pulang nanti," rengek Todd. Ia
membanting pintu belakang begitu keras sehingga kupikir mobil tua
ini akan hancur berantakan.
Dad memutar kunci kontak dan mulai menginjak-injak pedal
gas. Mobil itu mengerang hidup pada usaha ketiga. Dad membiarkan
mesin mobil memanas sebentar, lalu memundurkan mobil dari jalur
masuk. "Mobil ini hampir tidak bisa dihidupkan. Lihat saja berapa lama
waktu yang diperlukan untuk memanaskan mesin," kataku mengeluh.
"Aku sudah membaca iklan-iklan mobil, Dad. Dad tidak perlu
membeli mobil baru. Dad bisa menyewanya."
Dad memutar bola matanya. "Aku tidak ingin mobil baru,"
jawabnya sambil mengertakkan gigi. "Aku bisa merawat mobil ini
dengan baik. Mobil ini lancar-lancar saja."
Ia mencondongkan tubuh di atas kemudi dan mengarahkan
mobil melewati tikungan-tikungan. Forrest Valley Road menurun
tajam, berliku-liku, hingga ke lembah di bawah.
Kabut kelabu bergulung-gulung di sekitar kami saat mobil
bergulir semakin rendah memasuki lembah. Dad menghidupkan
lampu depan. Tidak banyak membantu. Kabut memantulkan cahaya
kembali ke mobil. "Aku tak bisa melihat lebih dari satu meter," Dad menggerutu.
Ia memicingkan mata, berusaha memandang ke balik kaca depan yang
berkabut, kedua tangannya mencengkeram bagian atas roda kemudi.
"Hei!" jeritnya tajam.
Kakinya mulai menekan pedal rem, naik-turun sukuat tenaga.
Goosebumps - Mobil Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mulutnya ternganga. Wajahnya merah padam.
''Dad"ada apa?" jeritku.
Ia tidak menjawab. Ia terus menekan-nekan pedal rem dengan
panik. Mobil melaju semakin cepat, menuruni bukit lebih cepat lagi,
terlonjak-lonjak, melesat menembus kabut lebal.
"Remnya blong!" seru Dad. "Sulit dipercaya! Remnya blong!"
3 "OHHHH." Erangan ketakutan terlontar dari tenggorokanku.
Mobil terguncang keras. Dad membanting kemudi dengan
tajam. Aku jatuh merrghantam pintu dengan suara keras.
Kudengar Todd merengek-rengek di belakang.
Roda kemudi terlonjak-lonjak dalam genggaman Dad seakanakan hendak terlepas.
Kudengar raungan keras. Klakson mobil. Kami semua menjerit
sewaktu sebuah van hitam melesat ke arah kami dari balik dinding
kabut. Dad memutar roda kemudi. Mobil bergetar sewaktu van itu
meraung lewat. Kami meluncur di jalan. Semakin cepat. Semakin cepat.
Jalan menurun tajam berbahaya. Dad memutar roda kemudi ke
satu arah, lalu ke arah yang lain, sambil berjuang keras melihat
tikungan-tikungan dari balik kabut tebal.
Kami terguncang-guncang keras. Aku menjerit sewaktu
kepalaku membentur langit-langit mobil. Sabuk pengaman bagai
mengiris pinggangku. "Kita akan tabrakan! Kita akan tabrakan!" lolong Todd.
Kaki Dad bergerak naik-turun saat ia menginjak pedal rem.
"Tidaaak!" Mobil selip. Kami meluncur miring.
Roda-rodanya berdecit. Kudengar klakson mobil. Sebuah mobil kelabu melesat
melewati kami. Kami meluncur keluar dari jalan. Ke arah hutan dengan
pepohonan gelap. "Tidaaaak!" Kulihat tangan kanan Dad terlepas dari roda kemudi yang
melonjak-lonjak. Ia mencengkeram rem tangan dan menyentakkannya
ke atas. Aku memejamkan mata. Dan terguncang keras"ke depan lalu ke belakang"sewaktu
mobil menabrak. Kudengar derakan logam. Tajam berdenting. Suara kaca pecah.
Kepalaku menghantam dasbor. Lalu aku kembali terlempar ke
belakang. Kudengar lengkingan Todd.
Lalu sunyi. Kubuka mataku. Mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Perlu
beberapa saat sebelum aku sadar mobil telah berhenti.
Kami menabrak pohon. Telak. Kaca depan retak. Di baliknya,
kulihat kap mesin terlipat dan ringsek.
Jantungku bagai berlomba dalam dadaku. Aku bisa merasakan
darah mengalir deras di keningku.
"Kita... baik-baik saja?" Suara Dad terdengar sangat pelan,
hanya sedikit lebih keras dari bisikan. Sambil menggeleng untuk
menjernihkan kepalanya, ia berpaling ke belakang. "Todd?"
"Aku baik-baik saja, Dad," jawab Todd pelan.
"Aku juga," kataku sambil berusaha menelan ludah. Mulutku
tiba-tiba kering seperti ampelas.
"Aku"aku baru memperbaiki remnya minggu lalu," gumam
Dad. Lalu ekspresi wajahnya berubah. Matanya membelalak. Ia
mencabut sabuk pengamannya. Mendorong pintu mobil hingga
terbuka. "Dad?" seruku. Ia menerjang keluar dari mobil. Ia membungkuk, lalu muntahmuntah. Muntah-muntah dengan suara keras dan menakutkan, seluruh
tubuhnya bergerak-gerak naik-turun.
Kutunggu hingga ia berhenti. Lalu aku berseru, "Apa ini berarti
kita akan membeli mobil baru?"
************************ Aku sudah bangun dan berpakaian sewaktu koran Minggu tiba
keesokan paginya. Kubawa koran itu ke dalam rumah dan
mengesampingkan seluruh bagiannya sampai menemukan iklan
mobil. Lalu kubentangkan bagian itu di lantai ruang duduk dan mulai
melingkari iklan yang tampak bagus. Sewaktu Dad akhirnya turun
untuk sarapan pada pukul setengah sembilan, masih mengenakan
piamanya, aku telah siap.
"Coba Iihat ini," kataku sambil menyodorkan koran ke depan
wajahnya. ebukulawas.blogspot.com
Ia mengerjapkan mata dan menyingkirkan rambut berwarna
gelap yang menjuntai menutupi mata.
Mitchell"aku masih tidur." Ia mengerang dan menggosokgosok bahunya. "Badanku sakit, kurasa karena tabrakan itu.
Bagaimana denganmu?"
"Aku baik-baik saja. Coba lihat iklan ini," jawabku dengan
tidak sabar. "Bisakah aku menikmati kopi lebih dulu?" katanya sambil
mengerang. "Aku tidak bisa memusatkan perhatian. Sungguh."
"Oke. Akan kubacakan," kataku.
Kubacakan iklan itu untuknya: "Sedan sport baru langsung
pemilik. Kondisi sempurna. V-8, interior kulit putih, perlengkapan
keamanan. Harus dijual. Sebutkan harga penawaran."
Dad memicingkan mata memandangku sambil menggosokgosok wajahnya yang dihiasi jenggot yang baru tumbuh. "Kalimat
yang terakhir tadi apa?"
"Sebutkan harga penawaran," aku mengulangi.
"Itu pasti hanya pancingan," gumamnya.
"Kita bisa melihatnya?" jeritku. "Ada nomor telepon dan
alamatnya di sini. Wilbourne Street."
"Di lembah. Di sisi seberang kota," kata Dad.
"Apa yang kalian berdua bicarakan?" Mom muncul di puncak
tangga. Ia mengikatkan tali mantelnya. "Mitchell, kenapa kau bangun
sepagi ini" Apa kau lupa ini hari Minggu?"
"Dad dan aku akan melihat mobil," jawabku sambil tersenyum.
"Benar, Dad?" *****************************
Sesudah sarapan, Dad dan aku menuruni bukit menuju kota.
Todd ingin ikut juga, tapi ia harus mengikuti kursus karate pada hari
Minggu. Dad mengemudikan Ford Taurus putih yang disewanya sesudah
kecelakaan. "Aku agak menyukai mobil ini," katanya, sambil
tersenyum. "Mobil keluarga yang bagus."
"Tapi, Dad," kataku memprotes. "Mobil yang akan kita lihat
kedengarannya sangat hebat."
Matahari muncul dari sela awan yang memanjang bagai ularular putih, menyorotkan berkas-berkas cahaya ke pepohonan jangkung
yang berjajar di pinggir jalan. Kami dengan mudah menyusuri jalan
turun ke lembah kali ini dan melaju melintasi kota dengan hanya
beberapa kali berhenti di lampu lalu lintas.
Kota hampir kosong. Sebagian besar toko tutup pada hari
Minggu pagi. Satu-satunya tanda kehidupan hanyalah lapangan besar
di belakang sekolah menengah tempat pertandingan sepak bola tengah
berlangsung, dengan ratusan bocah, pelatih, dan orangtua yang
menjerit-jerit. "Alamatnya tadi di mana?" tanya Dad sambil mengurangi
kecepatan mobil melewati tiga remaja berhelm yang tengah
bersepeda. Kucabut iklan itu dari sakuku dan kubacakan alamatnya sekali
lagi. "Seharusnya hanya beberapa blok lagi dari sini," kata Dad
sambil membelokkan mobil memasuki blok rumah-rumah persegi
berpapan putih. "Sekarang dengarkan, Mitchell. Aku harus
memperingatkanmu. Kita hanya akan melihat mobil ini. Aku tidak
akan mengeluarkan buku cekku dan membelinya saat itu juga. Kau
mengerti?" "Tapi bagaimana kalau mobilnya hebat?" tanyaku. "Bagaimana
kalau mobilnya sangat sempurna?"
"Dengarkan aku," kata Dad sambil mengurangi kecepatan
mobil, memicingkan matanya memandang nomor-nomor rumah yang
tertera di kotak surat. "Perhatikan kata-kataku dengan baik, Mitchell.
Kita tidak akan membeli mobil hari ini. Kita hanya melihatnya."
"Tapi kalau itu mobil paling mengagumkan yang pernah kita
lihat?" kataku bersikeras.
Dad tidak menjawab. Ia membelokkan mobil memasuki jalur masuk berkerikil di
samping sebuah rumah kecil, persegi, dan berbingkai putih. "Ini dia,"
gumamnya. "Mobilnya pasti ada di garasi belakang."
Sebuah garasi, hanya sedikit lebih kecil dari rumahnya, ada di
ujung jalur masuk. Kami melaju hingga ke depan rumah. Pintunya terbuka. Dad
mengetuk pintu kaca antibadai.
Kudengar suara langkah kaki di dalam. Beberapa detik
kemudian, seorang pria jangkung, kurus, mengenakan overall denim
dan kemeja flanel merah-hitam, mendorong pintu antibadai hingga
terbuka. Ia memiringkan kepala dan memandang kami dengan
sepasang mata biru yang mungil.
Ia mengingatkanku pada seekor burung elang, atau mungkin
burung nazar, dengan mata yang tajam, dahi yang lebar, dan hidung
melengkung di atas bulatan mungil mulutnya. Ia menatap kami
dengan mata burungnya untuk waktu yang terasa sangat lama.
Dad akhirnya memecahkan kesunyian. "Mr. Douglas" Kami
yang tadi menelepon. Mengenai mobil."
Mr. Douglas memiringkan kepala ke arah lain. Ia mengangguk
dan berdeham. "Ada di belakang. Di garasi."
Aroma daging goreng menebar dari dalam rumah. Kucoba
untuk melihat ke dalam, tapi tubuh Mr. Douglas menghalanginya. Ia
melangkah ke serambi dan menutup pintu antibadai di belakangnya.
"Pagi yang indah," gumamnya sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang dihiasi rambut cokelat tipis saat melangkah melewati
kami menuju garasi. "Ya. Sesudah hujan," jawab Dad. "Ini Mitchell. Ia yang
menemukan iklan Anda di koran dan?"
Mr. Douglas berhenti di jalur masuk dan berbalik
memandangku. "Mitchell" Kau suka mobil?"
Aku mengangguk. "Ya. Aku suka mobil sport dan mobil klasik.
Aku merakit model," kataku.
Ia mengangguk. "Well... kupikir kau akan sangat menyukai
mobil ini, Mitchell."
Kami mengikutinya melangkah di jalur masuk, sepatu kami
berderak di atas kerikil. Mr. Douglas berhenti dekat garasi dan mulai
mencari-cari di dalam saku overall-nya.
Aku tersentak dan berpaling memandang Dad.
"Pintu garasinya," gumamku. "Kenapa digembok sebanyak
itu?" 4 "GEMBOK-GEMBOK itu?" Mr. Douglas memicingkan mata
burungnya memandangku. Aku bisa merasakan pipiku memerah. Aku tidak bermaksud ia
bisa mendengarku. "Aku harus menyimpan mobil ini baik-baik," katanya, sambil
menarik seikat kunci dari sakunya. "Lingkungan di sini cukup buruk.
Mobil tetanggaku dicuri minggu yang lalu."
Tapi begitu banyak gembok" pikirku. Kuhitung ada enam
gembok yang mengunci pintu garasi.
Mr. Douglas perlu waktu lama sekali untuk menemukan kunci
yang benar dan membuka semua gembok itu. Pada saat ia bisa
membuka pintu garasi, jantungku berdebar-debar penuh gairah.
Sewaktu pintunya terangkat, cahaya matahari bergulir menimpa
mobil. Bumper kromnya berkilau bagai emas, memantulkan kembali
cahaya matahari. Lengkungan tutup bagasinya kemilau, keperakan
ditimpa cahaya yang memancar.
"Wow!" seruku. Bahkan dari belakang, mobil ini benar-benar luar biasa!
"Rancang-bangun mobil ini sport," kata Mr. Douglas sambil
mengawasi reaksiku. "Tapi kursinya untuk empat orang."
"Kami sekeluarga berempat!" seruku.
Kunci-kunci gembok menjuntai di tangan Mr. Douglas. Ia
memasukkannya kembali ke saku overall-nya. "Seperti yang bisa
Anda lihat, tidak ada goresan di mobil ini," katanya pada Dad. "Dan
baru digunakan kurang dari sepuluh ribu mil. Jarang sekali
digunakan." "Luar biasa!" seruku.
Dad mengerutkan kening padaku. "Tenang, Mitchell," katanya
memperingatkan. Dad dan aku mengitari mobil itu. Aku mengelus bumpernya
yang halus. Mobil itu berwarna biru seluruhnya dengan interior dari
kulit berwarna putih. Rancangannya sangat rendah dan tampaknya
bisa melaju hingga sembilan puluh mil per jam bahkan dalam keadaan
diam! Mobil ini mengingatkanku akan Corvette baru. Rancangannya
ramping, tapi mobil ini memiliki kursi belakang.
"Wow!" seruku lagi, sambil mengintip seluruh panel petunjuk
dan kendalinya. Dad tergelak. "Kurasa Mitchell setuju," katanya pada Mr.
Douglas. Mr. Douglas menyapukan tangan ke rambutnya yang tipis.
Mulutnya yang kecil tetap membeku membentuk bulatan. Ia tidak
tersenyum. Pandangannya terpaku pada mobil.
Dad melangkah keluar dari garasi. "Apa ada yang tidak beres
dengan mobil ini?" tanyanya pada Mr. Douglas. "Kenapa Anda ingin
menjualnya?" "Tidak beres?" M r. Douglas memiringkan kepalanya.
Pandangannya berubah serius. "Tidak. Tidak ada yang salah dengan
mobil ini. Aku... aku tidak memerlukannya. Itu saja."
Ia berbalik. Kulihat tangannya gemetar sejenak. Ia bergegas
memasukkannya ke dalam saku-saku overall-nya.
Dad berjongkok dan memeriksa roda-rodanya. "Seperti baru,"
gumamnya. Ia mengelus penutup ban yang keperakan.
"Anda mau mencobanya?" tanya Mr. Douglas menawarkan.
"Ya!" seruku. Dad kembali mengerutkan kening ke arahku. Ia berbalik
menghadapi Mr. Douglas. "Ya. Bagaimana kalau Anda tunjukkan?"
"Oh, tidak!" seru Mr. Douglas. Ia mundur selangkah.
Kenapa ia tampak ketakutan" aku penasaran.
Ia berdeham dan mulai mencari-cari lagi dalam sakunya.
"Tidak. Maksudku... eh... lebih baik kalau Anda sendiri yang
mengemudikannya." Ia mengeluarkan kunci mobil dan menjejalkannya ke tangan
Dad. Aku melihat tangannya gemetaran. "Oke" Aku... kutunggu di
sini. Anda coba saja mobilnya."
Dad memicingkan mata memandangnya. "Anda yakin tidak
ingin ikut dan menunjukkannya pada kami?"
Mr. Douglas mendorong kunci mobil ke tangan Dad. "Tidak.
Goosebumps - Mobil Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku... masih ada yang harus kulakukan di sini. Eh... aku belum selesai
sarapan." "Oh. Maaf," jawab Dad. "Kami tidak bermaksud menyela...."
"Coba sajalah mobilnya. Silakan," Mr. Douglas bersikeras.
"Keluarkan saja dari garasi. Akan kutunggu di sini. Sesudah Anda
kembali nanti, kita bisa membicarakan harganya. Aku... aku tahu
Anda pasti menginginkannya. Mobil ini luar biasa."
Ia berbalik dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan
langkah-langkah panjang. Dad dan aku mengawasinya hingga menghilang ke dalam
rumah. "Aneh," gumamku.
Kubuka pintu penumpang dan duduk di kursi kulitnya yang
empuk. "Mmmmmm. Rasanya enak sekali."
Dad menyelinap ke belakang roda kemudi. Ia menyesuaikan
posisi kursi, lalu kaca spionnya.
"Kenapa orang itu tampak ketakutan?" tanyaku.
Dad mengangkat bahu. "Entahlah." Ia menarik sabuk pengaman
melewati bahunya. "Aku tidak tahu masalahnya. Tapi tidak apa-apa.
Kita coba saja mobilnya tanpa dia. Apa yang bisa terjadi?"
Ia memasukkan kunci dan memutarnya.
5 MOBIL itu seketika hidup. Mesinnya berderum lembut.
Dad menginjak pedal gas. Deruman mesin berubah menjadi
raungan stabil. "Kedengarannya bagus," kata Dad. "Sangat bersih." Ia meraih
tuas persneling dengan tangan kanan dan memindahkannya ke posisi
mundur. Mobil bergulir keluar dari garasi dan menuruni jalur
berkerikil. Aku bisa melihat Mr. Douglas mengawasi kami dari balik
jendela depan rumahnya. Ia menatap kami dengan kedua tangan di
saku, berdiri sekaku patung.
Dad memindahkan persneling ke maju, dan kami pun melaju. Ia
membelokkan mobil di tikungan, menambah kecepatan,
menguranginya lagi, menguji remnya, lalu menikung tajam ke kanan.
"Pengendaliannya bagus sekali," katanya mengomentari.
"Mobil ini boleh dikatakan mengemudi sendiri."
"Kita beli saja!" jeritku.
"Whoa. Tenang." Dad tertawa. "Mobil adalah pembelian yang
penting, Mitchell," ia menegurku. "Kau tidak bisa langsung membeli
mobil pertama yang kaulihat. Lagi pula, aku yakin kita tidak akan
mampu membeli mobil ini. Mr. Douglas mungkin meminta dua puluh
atau tiga puluh ribu dolar untuk mobil ini."
"Tapi iklan di koran mengatakan?" kataku.
"Itu tidak berarti apa-apa," jawab Dad. "Ini mobil yang benarbenar mewah, Mitchell. Kau lebih tahu tentang mobil daripada diriku.
Kau tahu mobil seperti ini jauh melebihi anggaran kita."
Kuelus kursinya yang halus. "Jelas mobil ini mengagumkan,"
gumamku. Dad menghidupkan radionya. Musik mengepung kami dari
keempat pengeras suaranya. Dad menguji lampu sein, lampu depan,
lalu pemanas dan pendingin.
"Semuanya sempurna," katanya sambil membelokkan mobil
memasuki Wilbourne. "Heran juga kenapa Mr. Douglas ingin menjual
mobil sehebat ini." "Heran juga kenapa ia tidak mau ikut bersama kita," tambahku.
Dad mengurangi kecepatan saat mobil tiba di jalur masuk
berkerikil. Ia menghentikan mobil di samping rumah dan mematikan
mesinnya. "Tanyakan saja harganya," desakku. "Tidak ada ruginya
bertanya"bukan?"
Dad mendesah. "Kurasa begitu. Tapi jangan terlalu berharap,
Mitchell. Mobil ini jauh melebihi kemampuanku."
Kubuka pintu mobil, turun, dan hampir-hampir menabrak Mr.
Douglas. "Oh. Maaf," gumamku.
Ia menatapku dengan mata burungnya yang biru pucat tapi tidak
mengatakan apa-apa. Ia mencabut saputangan putih dari saku
belakang dan mengusap kening.
Kenapa ia berkeringat" aku penasaran. Udara di luar dingin hari
ini. Aku bahkan bisa melihat napasku sendiri.
"Kalian kembali," katanya pada akhirnya sambil mengamati
Dad dengan teliti. Kenapa ia tampak begitu lega melihat kami" tanyaku dalam
hati. Apa menurutnya kami tidak akan kembali"
"Mobil yang bagus," kata Dad sambil menepuk-nepuk atap
birunya yang mengilat. "Sistem kemudinya sangat bagus."
Mr. Douglas mengangguk. "Anda menyukainya" Mobil
keluarga yang bagus, bukan" Apa istri Anda bisa mengemudikan
mobil?" "Ya," jawab Dad. "Kupikir ia?"
"Aku boleh mengemudi empat tahun lagi!" selaku. "Kalau aku
mengambil pelajaran mengemudi di sekolah. Aku sudah tahu caranya.
Dad mengizinkanku memegang kemudi sewaktu kami berada di
padang pasir Arizona."
Aku mengharapkan Mr. Douglas tersenyum mendengarnya.
Tapi yang membuatku terkejut, dagunya bergetar, dan aku melihat air
mata menggenangi matanya.
Ia berbalik dan meniup hidungnya ke saputangan. "Pasti kena
flu," gumamnya. "Well, aku menyukai mobil ini," kata Dad sambil menggarukgaruk rambut gelapnya yang lebat. "Tapi kami mencari yang tidak?"
"Akan kuberi harga yang benar-benar bagus," sela Mr. Douglas.
Ia memicingkan mata memandang mobil itu dan mengeraskan
rahangnya. "Aku benar-benar harus menyingkirkan mobil ini."
Ekspresinya membuatku merinding.
Dad melangkah mundur menjauhi mobil itu sambil
menggeleng. "Kurasa?"
"Apa lima ribu terlalu banyak?" tanya Mr. Douglas.
Dad menelan ludah dengan susah payah. "Lima ribu" Maksud
Anda sebagai uang muka?"
"Tidak. Lima ribu, total," jawab Mr. Douglas. "Ini mobil bekas.
Sekalipun kondisinya sempurna, aku tahu aku tidak bisa mendapatkan
harga penuh. Akan kujual pada Anda seharga lima ribu."
"Dad?" bisikku sambil menarik-narik lengan kemejanya.
"Ambil!" Aku ingin bersorak setinggi langit, meninju udara, melompatlompat.
Entah bagaimana aku berhasil menahan diri.
"Well..." Dad menggosok-gosok dagunya seakan-akan tengah
mempertimbangkannya. Tapi bisa kulihat matanya berkilau-kilau
penuh semangat. Aku tahu ia akan membelinya!
"Anda yakin tidak ada yang tidak beres dengan mobil ini, Mr.
Douglas?" tanyanya. "Tidak beres?" Mr. Douglas memiringkan kepalanya seakanakan berpikir. "Tidak. Tidak ada yang tidak beres. Tidak ada sama
sekali." Tapi pandangannya berubah muram. Dan wajahnya menjadi
gelap, seakan-akan ada bayangan yang jatuh ke sana. "Tapi kalau
Anda membelinya," katanya pelan, "Anda harus melakukan sesuatu."
"Sesuatu?" tanya Dad. "Apa itu?"
6 MR. DOUGLAS menunduk memandang mobilnya. "Anda
harus segera membawanya pergi," katanya. "Anda harus
membawanya pergi hari ini."
Dad dan aku bertukar pandang.
Orang ini benar-benar aneh, pikirku. Bisa kulihat Dad juga
berpikiran begitu. "Sudah kusiapkan surat-suratnya," kata Mr. Douglas, sambil
mengangguk ke arah rumah. "Semuanya sudah siap. Kalau Anda
membawa buku cek, aku bisa mengambilkan surat-suratnya dan
menyerahkan mobil ini pada Anda."
"Eh... well..." Dad ragu-ragu. Ia menatap tajam ke arahku, lalu
ke mobilnya. "Oke, Mr. Douglas. Setuju."
"Yaaaaaaay!" Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Aku
bersorak dan melompat-lompat karena gembira.
Dad melangkah hendak mengikuti Mr. Douglas ke dalam
rumah, tapi pria itu melambai meminta Dad tidak mengikutinya.
"Akan kuambilkan. Tidak perlu masuk ke dalam." Ia menghilang ke
dalam rumah. Pintu antibadai terbanting di belakangnya.
"Benar-benar orang aneh," gumam Dad. "Kenapa ia tidak ingin
kita masuk ke dalam?"
Aku begitu gembira sehingga rasanya akan meledak. "Dad! Ini
milik kita! Mobil ini milik kita! Ini"benar-benar luar biasa!"
Aku tidak bisa berdiam diri. Aku harus melakukan sesuatu
sebelum meledak! Kuangkat kedua tangan ke atas kepalaku"dan bersalto dua kali
melintasi rumput. Tapi aku keliru menghitung salto yang kedua"
tubuhku terdorong agak terlalu keras"dan mendarat pada
punggungku. "Aduh!" Aku mulai tertawa. Aku tidak bisa menahan diri. Aku
telentang begitu saja di rerumputan dan tertawa.
Dad juga tertawa. "Aku juga gembira," katanya mengakui.
"Tapi sebaiknya aku tidak bersalto."
Ia mendekat dan menarikku bangkit. "Kupikir kita berhasil
mendapatkan harga yang sangat bagus, Mitchell," katanya, sambil
tersenyum bahagia. "Benar-benar bagus."
*****************************
Pada saat makan malam, aku mengotori seluruh wajahku
dengan saus spageti dan menumpahkan jusku. Aku tidak bisa
menahan diri. Aku begitu gembira sehingga tidak bisa mengendalikan
diri. "Dad, apa kita bisa bermobil sesudah makan malam?" tanyaku.
"Bersihkan wajahmu," jawab Mom. "Kau makan spageti atau
mengenakannya?" "Bisa?" tanyaku sekali lagi sambil menyapukan serbet ke pipi
dan daguku. "Mitchell, kita sudah bermobil cukup lama siang tadi," kata
Dad. "Ada yang harus kulakukan malam ini. Aku tahu kau
menyukainya, tapi kita tidak bisa menghabiskan seluruh hidup kita di
mobil itu." "Mitchell ingin tinggal di mobil itu!" seru Todd. Lalu ia tertawa
terbahak-bahak seakan-akan telah melontarkan lelucon yang sangat
lucu. "Mungkin aku memang ingin tinggal di mobil itu!" balasku,
sambil mencondongkan tubuh di atas meja ke arahnya. "Memangnya
kenapa?" Todd menyeringai. "Bagaimana kalau kau mau ke kamar
kecil?" Dad tertawa. "Tidak lucu," sergah Mom. "Todd, kita sedang di meja makan,
ingat?" "Bagaimana kalau bermobil sebentar saja?" saranku. "Sekadar
menuruni bukit ke kota, lalu kembali?"
"Tidak. Kau harus menyelesaikan pekerjaan rumahmu," jawab
Mom tegas. "Besok hari sekolah" ingat?"
Kurobek roti menjadi dua dan kujejalkan ke dalam mulutku.
"Kita semua sangat bersemangat karena mobil baru itu," kata
Mom sambil mengulurkan mangkuk spageti pada Dad. "Tapi, ingat,
kita akan memiliki mobil itu dalam jangka waktu lama. Akan ada
banyak waktu untuk berjalan-jalan dengannya."
"Bagaimana kalau sekadar duduk saja di dalamnya?" pintaku.
"Aku hanya ingin duduk di belakang kemudi dan mungkin memutar
radio dan mencoba lampu depannya. Oke?"
"Tidak oke," kata Mom sambil menggeleng. "Pekerjaan rumah.
Tidak ada mobil. Tidak lagi."
Aku tahu lebih baik tidak mendebatnya. Kalau Mom mulai
berbicara dengan kalimat-kalimat pendek, berarti ia serius.
Yang lainnya terus bercakap-cakap sementara kami
menghabiskan makan malam, tapi aku tidak mendengarnya. Aku
terus-menerus memikirkan mobil baru itu. Memikirkan eksteriornya
yang biru keperakan. Kursi-kursi kulitnya yang empuk. Dengungan
mesinnya yang lembut dan mantap...
Setelah makan aku mencoba menyelesaikan pekerjaan rumah.
Tapi aku terus-menerus melompat bangkit dan melangkah ke jendela
kamar tidur, membungkuk keluar untuk bisa memandang mobil itu.
Dad memarkirnya di jalur masuk, dan aku bisa melihatnya dengan
jelas karena kamar tidurku menghadap ke depan.
Lampu jalan menyirami mobil itu dengan cahaya kekuningan
persegi, menyebabkan bumper kromnya berkilau dan karoseri birunya
yang ramping memancarkan sinar lembut bagai cahaya bulan.
Aku tidak mampu menahan diri.
Aku harus duduk di dalam mobil itu.
Aku menyelinap ke lorong. Kupastikan Todd tidak berada di
dekatku. Pengadu kecil itu pasti akan memberitahu Mom dan Dad.
Aku bisa mendengar suara musik, tembakan, dan ledakan dari
kamar tidurnya di ujung lorong. Kurasa ia sedang bermain videogame.
Diam-diam aku menuruni tangga, menempelkan tubuhku rapatrapat ke dinding agar anak tangga kayunya tidak berderak. Aku bisa
mendengar suara Mom bercakap-cakap melalui telepon di ruang
dalam. Aku berhenti di dasar tangga. Di mana Dad"
"Aduh!" Kudengar jeritan kemarahannya dari lorong belakang.
Aku berbalik hingga melihatnya sekilas, tengah berlutut di lantai,
peralatan bertebaran di sekitarnya.
Satu tangannya mengacungkan seutas kabel listrik. Kurasa
kabel itu yang ditanganinya sejak beberapa waktu ini.
Kudengar derakan keras. "Aduh!" Dad kembali menjerit. Ia
membuang kabelnya dan menggoyang-goyangkan tangan.
Kabel itu jelas belum beres.
Sambil menahan napas, aku berbalik dan berjingkat-jingkat ke
pintu depan. Beberapa detik kemudian, aku telah berada di luar.
Kausku berkibar-kibar tertiup angin kencang yang dingin. Sepotong
bulan pucat memudar di balik lapisan mendung tebal.
Aku menggigil. Terlambat untuk kembali ke dalam mengambil
mantel. Aku akan hangat di dalam mobil nanti.
Aku berlari kecil menyusuri jalur masuk. Mobil itu tampak
kemilau ditimpa cahaya lampu jalan.
Aku melangkah mengitarinya ke sisi pengemudi dan memegang
hendel kromnya. "Ayo," ada suara berbisik. "Naiklah."
7 "HAH" Siapa yang bicara?" seruku dengan suara berbisik bagai
tercekik. Aku berbalik. "Siapa di sana" Todd?"
Tidak ada. Tak ada seorang pun di belakangku. Tak ada seorang
pun di jalur masuk. Aku bergegas memutar ke sisi penumpang. Tidak ada yang
bersembunyi di balik mobil.
Sewaktu kembali melangkah ke pintu pengemudi, kudengar
suara berbisik itu lagi: "Masuklah. Kita pergi."
Aku ragu-ragu sementara tanganku masih memegang hendel
pintu. Aku merendahkan kepalaku dan mengintip ke kursi depan.
"Ada orang di dalam sana?"
Tidak ada. Hanya imajinasiku, pikirku.
Kubuka pintunya. Pintu itu bergerak begitu mudah sehingga
Goosebumps - Mobil Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasanya aku tidak perlu menariknya. Lampu langit-langitnya menyala,
membuat kursinya yang putih bagai memancarkan cahaya.
Aku bergegas duduk di belakang kemudi dan menutup pintunya
lagi. Aku tidak ingin lampu langit-langit menyala. Aku tidak ingin ada
yang melihatku dari dalam rumah.
Aku mengatur posisi dudukku dan mengelus roda kemudinya.
Halus dan sejuk. Kucengkeram tuas persneling di sebelahku. Kupindahkan
persneling dari posisi parkir ke netral, lalu kembali ke parkir.
Aku mencondongkan tubuh ke atas kemudi dan berpura-pura
mengemudikannya. Kuhidupkan lampu sein. Kupindahkan
persnelingnya lagi. Aku memutuskan untuk menjadi pembalap mobil. Muncul di
tikungan terjauh. Mendului mobil-mobil lain dan melaju ke posisi
nomor satu. Kuinjak pedal gasnya.
Kebut, Mitchell. Kebut. Sekarang! Aku kembali memindahkan persneling. Memutar roda kemudi.
Aku melewati tikungan yang sangat tajam. Selip. Meluncur
tanpa kendali. Ikuti! Ikuti! Kuputar kemudi mengikuti arah selip. Berhasil mendapatkan
kendali lagi. Meraung-raung melintasi jalur lurus. Aku bisa melihat
mereka mengibar-ngibarkan bendera hijau, memberi isyarat agar aku
masuk. Menang! Raungan mesin-mesin lain, sorakan penonton"memekakkan
telinga. Kuputuskan untuk memutari arena sekali lagi sebagai putaran
kemenangan. Kuinjak rem sewaktu lampu serambi menyala.
Aku tersentak dan mencengkeram roda kemudi erat-erat.
Kutatap lampu di balik kaca depan yang menerangi serambi depan.
Siapa yang menghidupkan lampu serambi" Mom" Dad" Apa
mereka mencariku" Sebaiknya aku turun dari mobil, pikirku mengambil keputusan.
Kuraih hendel pintu dan menariknya.
Pintunya tidak membuka. Kutarik-tarik hendel pintu sekali lagi dan kucondongkan
bahuku ke pintu mobil. Tidak. Pintu itu bergeming.
Terkunci. Pintunya pasti terkunci, aku menyadari.
Aku berputar dan mencari-cari tombol kecil untuk membuka
kunci pintu. Tidak ada. Kuselipkan tangan sepanjang pintu, mencari-cari kendali kunci.
Bagaimana pintunya bisa terkunci" Apa terkunci secara
otomatis" Aku tidak bisa menemukan apa pun yang bisa kugunakan untuk
membuka kunci pintu. Kusambar hendel pintu sekali lagi. Kucoba
untuk mendorongnya ke bawah. Tapi tidak bisa.
Kusentakkan tangkai pintu ke atas. Menyentakkannya ke atas
sekuat tenaga kali ini. Dan menekankan seluruh beban tubuhku ke
pintu. Tidak. Tidak ada hasilnya.
"Hei"bagaimana caraku keluar dari sini?" jeritku keras-keras.
Kupukul pengendali jendela. Menekannya, mencoba
menurunkan kaca jendelanya.
Tapi alat otomatisnya tidak berfungsi kalau mesinnya mati.
"Hei!" Kucoba hendel pintu sekali lagi. Kudorong pintunya. Kutampar
dengan dua tangan. Aku terkunci di dalam mobil. Terkunci.
Jantungku mulai berdebar-debar. Aku kembali mencari-cari
pengendali kuncinya. Aku berhenti sewaktu mendengar suara tawa.
Tawa lembut bernada tinggi. Tawa seorang gadis.
"Hei"siapa itu?" seruku sambil menahan napas.
Tawa itu terus berlanjut, pelan tapi dingin.
"Siapa yang tertawa?"
Aku berpaling memandang jendela sisi pengemudi. Menatap ke
kegelapan"dan melihat wajah yang menatapku.
8 SEORANG gadis. Rambut pirangnya yang mengombak memantulkan cahaya
lampu jalan. Matanya berwarna gelap, mirip mata kucing. Ia
menatapku seakan-akan aku ini orang Mars!
"Tarik pintunya!" teriakku, sambil memberi isyarat mati-matian
ke hendel pintu di sisi luar. "Macet!"
Ia mengangguk dan meraih hendel pintu.
Pintunya terayun membuka.
Ia mundur selangkah sewaktu aku melompat keluar dari mobil
sambil terengah-engah. "Kau baik-baik saja?" tanyanya. Suaranya pelan, mirip bisikan.
"Apa yang kaulakukan di dalam situ?"
"Kun... kuncinya macet," kataku tergagap. Kusingkirkan rambut
dari mataku dan kuamati dirinya dengan teliti.
Ia mengenakan rompi biru di balik kaus berleher V yang
terbuka. Celana jeans lurusnya robek di salah satu lutut. Sewaktu ia
mengibaskan rambut sebahunya ke belakang, kulihat ada tiga antinganting yang berbeda menjuntai di setiap daun telinganya.
"Ini mobil baru," aku menjelaskan. "Maksudku, kami baru
membelinya tadi pagi."
Ia mengangguk. Senyum merekah di wajahnya, menampilkan
lesung pipi di kedua belah pipinya.
Kuputuskan gadis ini benar-benar cantik. Ia mirip model atau
bintang TV. "Kau sedang mencobanya?" tanya gadis itu dengan suara pelan
yang mirip dengkuran. Aku mengangguk. "Yeah. Aku... suka mobil."
Ia menumpukan tangannya di bumper. Kuku-kukunya biru
mengilat, dan ia mengenakan dua atau tiga cincin di setiap jarinya.
"Kulihat kau mendapat masalah," katanya. "Untung saja aku
kebetulan lewat, ya?"
"Tentu saja," kataku menyetujui. "Trims." Lalu menambahkan,
"Kau siapa?" Entah kenapa, pertanyaanku membuatnya tertawa. "Namaku
Marissa Meddin," katanya.
Kuberitahukan namaku padanya.
"Ini lingkungan baruku," katanya, sambil mengelus-elus
bumper mobil seakan-akan menepuk-nepuknya dengan sayang. "Aku
sedang berjalan-jalan tadi. Kau tahu. Memeriksa situasi di sekitar
sini." "Kau baru pindah kemari?" tanyaku. Pertanyaan bodoh. Ia
sudah memberitahuku bahwa ini lingkungan barunya. "Rumah yang
mana?" Ia menunjuk dengan kepalanya. Ke arah rumah Faulkner tua di
balik tikungan. Tempat sampah tua itu" pikirku. Sudah bertahun-tahun tidak
ada yang menempati rumah itu.
"Kau akan sekolah di Forrest Valley Middle School di kota?"
tanyaku. "Mungkin," jawabnya, wajahnya mengerut masam. "Aku belum
tahu. Aku tidak suka pindah ke sekolah baru sesudah tahun ajaran
dimulai." "Di mana kau tinggal sebelum ini?" tanyaku.
"Di tempat lain," jawabnya, lalu tertawa kecil.
"Tidak. Sungguh," kataku bersikeras. "Apa kau pindah?"
Aku berhenti dan menjerit terkejut sewaktu seseorang
menubrukku dari belakang.
Aku berbalik. "Todd!"
Ia menyeringai padaku. "Apa yang kaulakukan di luar?" tanyaku.
"Apa yang kaulakukan di luar?" ia meniruku. "Kau menyelinap
keluar"benar, kan, Mitchell! Untuk duduk di dalam mobil. Akan
kulaporkan. Akan kulaporkan sekarang juga!"
"Jangan"tunggu!" jeritku.
"Akan kulaporkan"kecuali aku boleh duduk di kursi sopir
sebentar," kata Todd. Ia melangkah mendekati mobil, tapi aku
menariknya mundur. "Tidak bisa," kataku padanya. "Jauhi mobil baru itu. Kau akan
membuat kita berdua mendapat masalah besar."
"Kalau begitu aku akan lapor!" rengeknya.
Kucengkeram bahunya yang kurus. "Dengarkan aku, Todd. Kau
tidak bisa duduk di dalam mobil. Pintu-pintu mobilnya macet.
Pintunya?" "Bohong!" jeritnya.
"Tidak. Sungguh," kataku bersikeras. "Aku tadi terkunci di
dalam. Kalau Marissa tidak membukakan pintunya, aku pasti terkunci
di dalam mobil sepanjang malam."
"Siapa?" tanya Todd.
"Marissa," kataku padanya. Lalu berbalik. "Marissa?"
Marissa telah hilang. Todd mendorongku keras-keras. "Bohong!" raungnya.
"Shhh. Diam!" jeritku sambil mengangkat satu jari ke bibirku.
Aku melirik ambang pintu. "Kita seharusnya ada di dalam. Kita tidak
ingin Mom dan Dad menemukan kita di luar sini."
Todd melipat lengannya di depan jaket kulit imitasinya. "Kapan
aku bisa duduk di dalam mobil?"
"Besok. Aku berjanji," bisikku. "Sekarang, ayo."
Kuraih tangannya dan kubimbing ke serambi depan. Kudorong
pintu depan hingga terbuka dan dengan hati-hati aku mengintip ke
dalam. Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran Mom atau Dad.
Aku bisa mendengar suara TV dari ruang dalam.
"Cepat," bisikku.
Kami menyelinap masuk, dan dengan hati-hati kututup pintunya
di belakang kami. Kuberi isyarat agar kami menuju tangga di seberang
ruangan. Kami hampir tiba di sana sewaktu kudengar jeritan keras dari
lorong belakang. Aku bergegas maju tepat pada saatnya untuk melihat kilasan
cahaya putih yang membutakan.
Ada sosok menakutkan di dalam cahaya itu, terhuyung-huyung
ke arah kami, lengan-lengannya yang gemetar teracung tinggi.
"Itu dia!" lolong Todd. "Itu hantunya!"
9 "WHOOOOAAAAH!" Diselimuti cahaya putih yang berpijar, sosok itu mengerang
mengerikan sambil terhuyung-huyung mendekati kami.
"Todd"itu bukan hantu!" jeritku. "Itu Dad!"
Dad mencengkeram kabel listrik di satu tangan. Lengannya
tersentak naik-turun. Rambutnya berdiri tegak.
"Ia tersengat listrik!" jeritku.
Aku melesat di sepanjang lorong. Kulihat sepasang sarung
tangan kerja dari karet di lantai di sampingnya.
Semburan arus listrik putih berdesis dan melompat-lompat di
sekitarnya. Kusambar salah satu sarung tangan itu dan dengan tergesa-gesa
mengenakannya. Lalu aku melompat ke dinding. Kutemukan ujung
kabel yang lain. Kucabut stekernya.
Sunyi. Lalu terdengar debuman berat saat Dad jatuh ke lantai.
Ia mengerang. Aku berputar balik. Dad membungkuk dalam posisi merayap.
Rambutnya masih berdiri tegak. Wajahnya semerah tomat. Bibirnya
ungu. "Dad!" Aku tersentak. Kubuang sarung tangan karet dan aku
mendekatinya dengan tergesa-gesa.
Todd menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sekujur
tubuhnya gemetar. Mata Dad membelalak. Ia membuka mulutnya untuk berbicara,
tapi yang terdengar hanya erangan lemah. "Eh... eh..."
"Dad" Dad tidak apa-apa?"
Udara berbau asap, seakan-akan baru terjadi kebakaran.
Kudengar langkah kaki yang tergesa-gesa. Mom menerobos
masuk ke lorong. Mulutnya ternganga begitu melihat Dad dalam
posisi seperti itu. "Hah" Oh Tuhan! Apa yang terjadi?"
Dad menghela napas dalam. Ia mengubah posisinya, duduk, dan
mengangkat bahu. "Kurasa kabel ini masih belum beres," katanya
pelan. ************************ Malamnya, aku memimpikan mobil baru itu.
Mula-mula kulihat mobil itu terbungkus arus listrik yang
berderak-derak. Aku berdiri di luar. Mengulurkan tangan ke hendel
pintunya. Tapi sengatan arus listrik yang kuat membuatku terpental.
Aku mencoba lagi. Perlahan-lahan, perlahan-lahan, kuulurkan
tangan ke hendel pintu krom itu.
Dan, sekali lagi, kejutan berdesis mendorongku mundur. Sakit
menyengat melalui tangan, lengan, seluruh tubuhku.
Aku terjaga. Aku berbaring miring, lenganku terjepit di bawah tubuhku.
Kesemutan dan sakit. Aku berguling telentang dan menggoyang-goyangkan lenganku
hingga kesemutannya hilang. Tidak perlu waktu lama sebelum aku
kembali tertidur. Aku kembali memimpikan mobil itu.
Kali ini, aku duduk di belakang kemudi. Mula-mula, kukira
mobilnya terbang. Mobil itu meluncur dengan halus.
Tapi lalu aku melihat pepohonan gelap yang melintas lewat.
Aku membungkuk ke atas kemudi, menatap berkas putih
kembar lampu depan, memandu mobil dengan mudah. Kuinjak pedal
gas semakin dalam. Diiringi deruman lembut, mobil melaju semakin kencang.
Pepohonan berdesir lewat di kedua sisi.
Sorotan lampu depan membelah kegelapan. Kugerakkan
kemudi di antara kedua tanganku, kuikuti tikungan-tikungan jalan.
Semakin cepat. Deruman mesin berubah menjadi raungan pelan.
Pepohonan yang melintas berubah menjadi sosok- sosok
kehitaman yang samar dengan latar belakang langit kelabu.
Roda kemudi terlonjak-lonjak dalam genggamanku. Aku
mempererat cengkeramanku.
Kuangkat kakiku dari pedal gas.
Tapi mobilnya justru bertambah kencang.
Semakin kencang. Semakin kencang.
Jalan berbelok ke kanan, lalu menikung tajam ke kiri. Kuputar
roda kemudi, mati-matian berusaha agar tetap berada di atas aspal.
Semakin cepat. Sekarang aku hanya bisa melihat kegelapan yang berdesir
lewat. Pepohonan, langit, jalan hitam di depan"semuanya mencair
dalam bayang-bayang. Terjun semakin lama semakin cepat.
Goosebumps - Mobil Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu sorotan cahaya putih yang membutakan membuatku
menarik satu tangan dari roda kemudi yang terlonjak-lonjak untuk
melindungi mataku. Lampu depan mobil. Sebuah mobil tengah meraung-raung ke arahku" di sisi jalan!
Di belakang kemudi mobil itu"Marissa. Aku bisa melihatnya
dengan jelas. Melihat rambut pirangnya bergoyang-goyang di
belakangnya. Melihat senyum aneh di wajahnya.
"Marissa"tidak! Tidak!"
Kuputar roda kemudi. Mati-matian berjuang untuk menghindar.
Tapi Marissa tetap melaju ke arahku.
"Marissa"jangan!" jeritku sekuat tenaga. "Kita akan tabrakan!"
10 Aku terjaga bermandikan keringat.
Selimut dan seprai membelit kakiku. Kemeja piamaku
tergulung di sekeliling leher, mencekikku.
Aku duduk sambil gemetaran.
Sorotan cahaya putih lampu depan mobil masih benderang di
depan mataku. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba mengusir
cahaya itu. Akhirnya, mimpi itu memudar. Aku tengah menatap cahaya
jingga matahari pagi yang menerobos masuk melalui jendela kamar.
"Whoa," gumamku sambil menggeleng. "Mimpi yang hebat."
Sambil menghapus keringat dingin dari punggung leherku, aku
turun dari ranjang. Kaki-kakiku goyah dan lemah. "Benar-benar
mimpi hebat," ulangku.
Saat sarapan beberapa menit kemudian, kuceritakan mimpiku
pada Todd. Aku harus bercerita pada seseorang tentang mimpi itu.
"Siapa Marissa?" tanya Todd sambil mengunyah Frosted
Flakes. "Sudah kukatakan," sergahku. "Gadis yang menolongku keluar
dari mobil semalam."
"Aku tidak melihat siapa pun," kata Todd. Susu mengalir
membasahi dagunya. "Lalu?" jawabku.
Ia menjatuhkan sendok ke dalam mangkuk sereal dan
menyipitkan matanya menatapku. "Apa mimpi bisa jadi kenyataan?"
tanyanya. "Mungkin," jawabku. Kumiringkan gelas ke mulutku dan
kuhabiskan jus jeruk yang tersisa. Tanpa buah jeruk. Seperti
kesukaanku. "Maksudmu, mimpi itu bisa menjadi kenyataan?"
"Tidak mungkin," kataku padanya. "Bagaimana bisa" Aku
belum cukup tua untuk mengemudi, ingat?"
"Mungkin mimpi itu berarti peringatan," gumam Todd sambil
menyendok sereal lagi. "Hah" Peringatan macam apa?" tanyaku. Aku menyesal
menceritakan mimpi itu padanya. Aku bisa melihat mimpi itu
membuatnya tidak enak. Ia mengangkat bahu. Susu mengalir kembali di dagunya.
"Apa kau tidak bisa menyuap dengan benar?" Aku mencibir.
"Sebenarnya tidak sesulit itu. Atau ada lubang di dagumu?"
Aku tertawa. Todd membuka mulutnya lebar-lebar dan menjulurkan lidahnya
agar aku bisa melihat onggokan sereal terkunyah di sana.
Ia benar-benar menjijikkan.
"Apa yang terjadi kalau kau mati dalam mimpimu?" tanyanya.
Pertanyaan itu mengejutkanku. Aku hanya menatapnya dari
seberang meja, berusaha memahami maksudnya.
"Bagaimana kalau mobilmu tabrakan dalam mimpi" Bagaimana
kalau kau dan gadis ini benar-benar tabrakan dan kau mati" Apa kau
juga akan mati dalam kehidupan nyata?"
"Hah?" Aku mengerutkan kening memandangnya. "Tidak.
Kurasa tidak. Itu hanya mimpi, bukan" Kau tidak bisa mati karena
mimpi. Paling tidak, menurutku tidak bisa."
Aku melompat bangkit dari meja. "Todd, maafkan aku," kataku.
"Jangan bingung. Seharusnya aku tidak menceritakannya padamu. Itu
hanya mimpi bodoh, oke?"
"Oke," gumamnya pelan. Tapi bisa kulihat ia tengah berpikir
keras. "Sudah hampir waktunya berangkat," kataku, sambil melirik
jam di dapur. "Kau sudah memakai sepatu?"
Ia tidak pernah mengenakan sepatunya lebih dulu. Aku selalu
harus menunggunya. Pertanyaan-pertanyaan Todd terus terngiang-ngiang dalam
benakku Bagaimana kalau mimpi itu peringatan" Bagaimana kalau
kau tabrakan" Aku kembali memikirkan mobil baru itu. Aku sudah terjaga
sekitar satu jam, dan aku bahkan belum melihatnya!
Aku bergegas ke jendela depan. Mengintip ke dalam cahaya
matahari pagi yang terang benderang"dan terkesiap.
Mobilnya lenyap. 11 "MITCHELL, ada apa?"
Mom bergegas memasuki ruang duduk sambil mengancingkan
mantelnya. "Mobilnya?" kataku dengan suara tercekik sambil menunjuk
jalur masuk. "Ayahmu membawanya tadi pagi. Ada rapat pagi di kantornya,"
kata Mom. "Mrs. O'Connor akan mengantar kita."
Aku mendesah lega. Tapi tetap kecewa.
Setelah mimpi yang menakutkan, aku ingin melihat mobil itu
dan memastikan mobil itu baik-baik saja. Dan aku ingin pergi ke
sekolah dengan mobil itu, memamerkannya pada teman-temanku.
Sepanjang hari aku memikirkan mobil itu. Kurasa aku tidak
mendengar sepatah kata pun yang dikatakan Miss Grimm, guruku.
Tepat sebelum bel pulang sekolah berdentang, aku menengadah
di kursiku dan melihat Miss Grimm mengerutkan kening
memandangku. Lengannya terlipat erat di depannya dan ia mengetukngetukkan satu sepatu ke lantai.
"Mitchell"kau bisa menjelaskan itu?" tanya Miss Grimm. Ia
menunjuk kertas di depanku.
"Hah?" Aku menunduk memandang buku catatan sejarahku.
Dan menjerit terkejut. Tidak ada catatan. Tidak ada kata-kata apa pun.
Aku malah menggambar mobil baru itu. Aku menggambarnya
berulang-ulang, paling sedikit dua puluh kali"bahkan tanpa
menyadarinya. Bagaimana ini bisa terjadi" aku penasaran.
Bagaimana mungkin tanganku menggambar sketsa-sketsa ini
dengan sendirinya" ********************************
"Please, Dad"sebentar saja! Please?"
Aku tidak senang mengemis. Tapi Dad sudah menolak tiga atau
empat kali. Jadi apa lagi yang bisa kulakukan"
"Bisa kita selesaikan makan malam dengan tenang?" kata Mom
sambil mengerang. Ia membanting garpu dan pisaunya ke meja.
"Aku benar-benar tidak ingin mengajakmu berjalan-jalan
malam ini, Mitchell," kata Dad dengan sabar. "Hujan akan turun
dan?" "Dan Todd agak demam," tambah Mom.
"Ia tidak perlu ikut," kataku.
"Aku harus tinggal di rumah bersamanya," jawab Mom. "Jadi"
" "Jadi, hanya Dad dan aku, Dad!" seruku. "Bagaimana" Hanya
ke kota lalu kembali" Mungkin kita bisa beli aspirin untuk Todd atau
apa." Dad tertawa. "Todd tidak perlu aspirin." Ia mengusapkan serbet
ke mulutnya. "Tapi kita memang perlu susu," tambahnya.
"Dan es krim," tambah Todd dengan suara serak. "Es krim
untuk tenggorokanku yang sakit."
"Oke, oke." Dad bangkit, memundurkan kursinya, dan
meregangkan tubuhnya. "Mitchell dan aku akan berjalan-jalan ke kota
sebentar dengan mobil baru kita."
"YAAAAAY!" aku bersorak sambil meninju udara. Kutenggak
habis susuku dan aku berlari mengambil jaket.
***************************
Mendung gelap menggantung rendah di langit, menghalangi
bulan dan bintang. Kabut rendah menempel di tanah saat Dad
mengikuti jalan yang berliku-liku menuruni bukit menuju kota.
Tetesan air hujan menghantam kaca depan.
"Lihat, Mitchell." Dad melepaskan kemudinya dan
mengendalikan mobil dengan dua jari kirinya. "Power steering mobil
ini sangat canggih, kau hampir-hampir tidak perlu menyentuh
kemudinya." "Hebat," gumamku. "Mobil yang luar biasa, bukan, Dad?"
Ia mengangguk, senyum merekah di wajahnya. "Ya. Hebat. Dan
benar-benar murah!" Kami tidak menemui kesulitan hingga perjalanan pulang dari
kota. Hujan mulai turun dengan deras. Tirai hujan menghantam kaca
depan, mengaburkan cahaya lampu depan, membuatnya mustahil
untuk melihat. "Rasanya seperti bermobil di bawah air," gumam Dad sambil
mengurangi kecepatan mobil. Sambil membungkuk di atas kemudi, ia
mengendalikan mobil menggunakan tangan kiri. Tangan kanannya
mengaduk-aduk dasbor. "Aku tidak bisa menemukan tombol wiper," katanya jengkel.
"Kau melihatnya?"
Aku membungkuk ke depan sejauh mungkin dengan sabuk
pengaman terpasang. Kupicingkan mataku memandang dasbor.
Radio... pemanas... lampu sein...
"Tidak. Aku tidak melihatnya, Dad."
Dad mendesah frustrasi. Ia menghentikan mobil di tepi jalan.
Hujan menyapu mobil bagai gelombang laut, gelombang demi
gelombang. "Cepat"buka lacinya," perintah Dad. "Cari buku petunjuknya.
Di sana ada keterangan bagaimana mengendalikan wiper. Cepat."
Ia terus mencari-cari di dasbor. "Di mana" Di mana tombol
bodoh itu?" Dad benci hal-hal seperti ini. Ia selalu kehilangan kendali dalam
situasi darurat. "Akan kutemukan," kataku berusaha meyakinkannya. Kubuka
tutup laci dasbor. Sebuah lampu kecil menyala.
Aku mengintip ke dalam laci.
"Hei?" jeritku terkejut. Tidak ada buku petunjuk penggunaan
mobil di dalamnya. Tidak ada apa-apa. Kosong.
Kecuali secarik kertas putih.
"Apa itu?" tanya Dad sambil terus mencari-cari di dasbor.
Kuambil kertas itu dari laci dan, mengacungkannya ke depan
lampu yang remang-remang, membaca tulisan yang tertera di sana.
Dua kata: AKU JAHAT. 12 AKU JAHAT. Aku membacakannya untuk Dad.
"Lelucon tolol macam apa itu?" ujarnya.
Hujan menampar-nampar mobil. Gelombang besar dan gelap
menyapu kami. Mobil terguncang sedikit.
Dad berteriak. Aku mendengar suara gesekan dan melihat wiper
mulai bergeser di kaca depan. Di balik kaca depan, bisa kulihat berkas
kekuningan samar sorotan lampu depan kami.
"Aku menemukannya!" seru Dad. "Tombol bodoh itu ada di
poros roda kemudi." Wiper-nya perlahan-lahan naik, lalu kembali, membersihkan
kaca hanya sedetik sebelum air hujan kembali menyiramnya.
Kami menunggu sejenak di tepi jalan, mendengarkan raungan
hujan yang stabil, mengawasi wiper menyingkirkan air. Akhirnya,
hujan mereda sehingga kami bisa melihat dengan cukup jelas. Dad
memindahkan persneling ke posisi maju dan mengembalikan mobil ke
jalan. "Badai yang luar biasa," gumamnya saat kami mengikuti jalan
yang berliku-liku mendaki bukit.
"Yeah. Badai yang luar biasa," ulangku.
Aku tidak sedang memikirkan hujan. Aku masih memegang
kertas itu di tanganku dan menatapnya sepanjang perjalanan pulang.
AKU JAHAT. Kenapa ada orang yang menulis begitu" Kenapa meninggalkan
pesan seperti ini di laci dasbor kami"
*************************
Teman-temanku, Allan dan Steve, mampir keesokan malamnya
sesudah makan malam. Aku sedang berada di kamarku menggambar
sketsa mobil baru itu. Aku merencanakan untuk membuat mobil
modelku sendiri, lalu merakitnya.
"Berani taruhan sepuluh dolar Mitchell sedang menggambar
mobil," kudengar Allan berkata dari lorong di luar kamar.
"Tidak ada taruhan," jawab Steve. "Itu taruhan bodoh."
Mereka selalu bertaruh untuk segala sesuatu.
Mereka menyerbu masuk ke dalam kamar dan tertawa sewaktu
melihatku membungkuk di atas gambarku.
Mereka berdua bertubuh besar, lebih jangkung dariku dan
tampak atletis, dengan leher tebal seperti pemain rugby. Allan
berambut keriting kemerahan dan wajahnya dipenuhi bintik-bintik.
Kata Mom ia khas bocah Amerika, apa pun itu artinya.
Steve berambut hitam, dipotong sangat pendek, dan ia
mengenakan cincin perak di satu telinganya.
"Ada apa kalian kemari?" tanyaku sambil meletakkan pena.
"Kau terus membicarakan mobil barumu yang mengagumkan
tanpa henti," jawab Allan. "Jadi kami datang untuk melihatnya."
Steve meringis. "Kau membawa kuncinya, Mitchell" Kau mau
mengajak kami jalan-jalan?"
"Ha-ha," kataku sambil memutar bola mata. "Kalian benarbenar kacau." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Kau bilang, ayahmu mengizinkanmu mengemudikan mobil,"
Steve bersikeras sambil mengambil gambar mobilku dan
mengamatinya dengan teliti.
"Yeah, musim panas yang lalu. Tapi itu di tengah padang pasir
Arizona, dan tidak ada mobil lain dalam jarak seratus mil," jawabku.
Steve meletakkan gambar itu kembali ke meja dan menarik
lenganku. "Ayolah. Tunjukkan mobilnya."
Aku memimpin jalan ke tangga. Tentu saja kami bertemu
dengan Todd. Kalau teman-temanku datang, Todd selalu berada di
dekat kami. "Kalian mau ke mana?" tanyanya sambil menghalangi jalan ke
tangga. "Ke Brasil," kata Allan bergurau. "Menyingkirlah, atau kami
akan tertinggal pesawat."
"Aku ikut," Todd bersikeras sambil melipat lengannya yang
kurus di depan dadanya yang tipis.
"Kenapa kau ingin pergi ke Brasil?" tanya Allan padanya.
"Kalian bukan mau pergi ke Brasil. Kalian mau melihat mobil
baru," jawab Todd. "Oke, oke, kau boleh ikut." Aku mendesah. Aku tahu, sekalipun
Goosebumps - Mobil Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ditolak"ia akan tetap mengikuti.
Aku meraih jaket dan kami melangkah ke luar rumah. Malam
sejuk dan berawan. Tanah masih basah akibat hujan lebat malam
sebelumnya. Allan dan Steve berlari menduluiku ke mobil yang diparkir di
ujung jalur masuk. Cahaya lampu jalan menyiraminya, membuat cat
birunya kemilau. "Benar-benar hebat!" seru Allan.
Steve mengelus kap mesinnya, lalu membungkuk mengamati
penutup lampu depan. "Rendah sekali," komentarnya. "Seperti mobil
balap." "Suaranya juga mirip mobil balap," kataku. "Mesin V-8-nya
akan meraung kalau kau menginjak pedal gas sedalam-dalamnya."
"Hebat," gumamnya. Ia bangkit berdiri. "Kita bisa masuk?"
"Yeah. Kenapa tidak?" jawabku.
Kuraih hendel pintu sisi pengemudi dan kubuka pintunya.
Kenangan akan kunci pintu yang macet melintas dalam benakku.
Tapi hal itu tidak terjadi lagi, jadi aku tidak khawatir karenanya.
Dad mungkin sudah memperbaikinya di bengkel.
Aku menyelinap ke belakang kemudi. Allan naik ke sebelahku.
Todd dan Steve berjejalan di belakang. Kami menutup semua
pintunya. "Mmmm. Kursi kulit asli," ujar Steve.
"Hidupkan radionya," pinta Allan.
"Tidak bisa," kataku padanya. "Aku tidak membawa kuncinya.
"Well, ambil dulu," kata Allan bersikeras.
"Kurasa Dad tidak akan menyukainya," kataku. "Katanya, kalau
kau menghidupkan radio mobil tanpa menyalakan mesin, kau akan
menghabiskan akinya."
Kudengar kunci pintu berbunyi.
Suaranya membuatku terlompat.
Aku berpaling pada Allan yang duduk di sebelahku. "Kau
menekan tombol pengunci?"
Allan menggeleng. "Tidak."
Aku merinding. "Hei"di sini semakin dingin!" rengek Todd.
Ia benar. Aku bisa melihat napasku sendiri mengepul ke arah kaca depan.
Aku menggigil dan menarik ritsleting jaketku hingga ke atas.
Gelombang udara dingin menyapuku. Lalu embusan dingin
lain, yang bahkan lebih dingin lagi.
"Hei, Mitchell, matikan AC-nya," seru Steve sambil
membungkuk di atas kursi. "Aku bisa membeku di sini."
Sambil menggigil, aku berpaling memandangnya. "Pendingin
Pedang Pelangi 28 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Harpa Neraka 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama