Ceritasilat Novel Online

Mata Mata Di Pentagon 1

Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon Bagian 1


Hardy Boys Franklin W Dixon Mata-mata di Pentagon ==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 Mata-mata, kapal selam, dan perahu layar
"Ini perkara yang rumit, anak-anak," kata Fenton Hardy, detektif ulung itu. Ia
baru saja duduk dengan enaknya di kursi meja kerjanya. "Ini menyangkut negara
kita. Mungkin juga kekuatan asing. Spionase di Washington! Itulah yang nampak
sampai sekarang!" Kedua anaknya, Frank dan Joe yang duduk di hadapannya, tersentak mendongak.
"Coba ceritakan lebih lanjut, ayah. Ataukah termasuk rahasia?" tanya Frank,
seorang murid SMA yang berambut hitam.
"Kalau memang rahasia, kami tak akan menanyakan lebih jauh," sambung Joe,
adiknya yang berambut pirang. Tetapi suaranya terdengar kecewa.
Pak Hardy tersenyum. "Aku telah mintakan izin bagi kalian dari Kementerian
Pertahanan," katanya. "Mungkin kalian akan dilibatkan, kalau-kalau aku memerlukan bantuan."
"Asyiiik!" seru Joe bergairah. "Perkara apa itu, ayah?"
"Mata-mata di Pentagon!" jawab ayahnya.
Kakak beradik itu saling berpandangan keheranan.
"Bagaimana seorang mata-mata bisa lolos dari penjagaan?" tanya Frank. "Padahal
mereka memeriksa siapa pun dengan ketat! Dari jendral sampai bawahan!"
Pak Hardy mengangguk. "Itulah sebabnya, mengapa Kementerian Pertahanan minta aku
untuk menyelidikinya. Bagaimana mungkin, seorang mata-mata dengan leluasa
beroperasi di bawah hidung mereka?"
"Sudah ada yang dicurigai?" tanya Joe. Seperti kakaknya, ia pun selalu ingin
tahu tentang perkara rahasia.
Pak Hardy mengangguk. "Seorang pegawai sipil Angkatan Laut bernama Clifford
Hunter telah menghilang. Ikut hilang pula sebuah dokumen AL yang sangat rahasia.
Rupanya Hunter telah mencuri dokumen itu, lalu menyelundupkan keluar dari
Pentagon." Frank bersiul. "Wauw! Tentunya ia berkepala dingin. Sudah ada petunjuk-petunjuk,
ayah?" "Ya, pihak FBI telah melacaknya sampai di teluk Chesapeake. Ia telah menaiki
sebuah perahu layar di sana. Setelah itu tak diketahui beritanya lagi. AL telah
meminta kepadaku menangani perkara ini, sebab aku pernah melakukan beberapa
penyelidikan bagi mereka!"
"Tolong ceritakan tentang Hunter lebih jauh, ayah," Frank meminta.
Fenton Hardy menjelaskan, bahwa si tersangka adalah seorang ahli fisika. Ia
bekerja di bagian komputer yang merencanakan alat pengendalian bawah air.
"Ini adalah suatu hasil karya yang sungguh hebat dari para ahli di AL. Dengan
alat itu, para kapten kapal selam nuklir dapat melakukan navigasi yang tepat
selagi menyelam hingga beberapa ratus meter di bawah air. Biarpun untuk
mengelilingi bumi kita."
"Oho!" seru Joe. "Kalau begitu sebuah kapal selam dapat menyelam dari Bayport
dan baru muncul di pulau Paska, tanpa menyembul satu kali pun! Aku berani
bertaruh semua patung batu di atas pulau itu pasti akan mengangguk heran melihat
hal itu!" Ia teringat pulau Paska, di mana terdapat banyak patung dari jaman
purba. Pak Hardy tersenyum melihat anaknya sangat antusias. "Segi-segi ilmiahnya jauh
lebih menarik lagi, Joe! Tetapi kalian tentu menyadari, bagaimana kesulitan yang
dihadapi AL kita. Dokumen yang dicuri Hunter harus dapat ditemukan kembali sebelum jatuh ke
tangan negara asing."
"Ada agen-agen rahasia asing terlibat dalam perkara ini?" kata Joe seolah
bertanya. Ia selalu tidak sabaran dibanding kakaknya.
Frank takkan segera menarik kesimpulan demikian. Kakak beradik itu secara
bersama-sama telah sering memecahkan perkara-perkara, dan sering pula membantu
ayahnya dalam berbagai penyelidikan. Pak Fenton dulu adalah anggota polisi kota
New York. Kini ia menjadi detektif swasta di kota Bayport. Ia bahkan telah
termasyhur di negerinya karena telah banyak menangkap musuh-musuh rakyat.
Kata-kata Joe tadi membuat sang ayah mengernyitkan alisnya.
"Mungkin juga ada agen-agen rahasia asing yang terlibat," katanya. "Karena itu
aku memerlukan bantuan kalian. Jika Hunter berusaha untuk menyerahkan dokumen
itu kepada mereka, itulah harus kita cegah. Nah, inilah tanda pengenal bagi
kalian. Bawalah selalu kemana kalian pergi!"
Ia memberikan dua buah kartu tanda pengenal kepada kedua anaknya, lengkap dengan
gambar potret mereka. Tepat waktu itu nyonya Hardy masuk ke kamar. Ia adalah seorang ibu yang menarik
dan ramah. Tetapi ia sering merasa cemas terhadap suami dan kedua anaknya yang
sedang menangani sesuatu perkara.
"Pap," katanya. "Tasmu sudah kusiapkan, untuk keperluanmu selama satu minggu."
"Terimakasih, mam," jawab detektif tua itu. Sambil berdiri ia memberikan secarik
kertas kepada Joe. "Inilah nomor teleponku di Pentagon. Teleponlah aku besok
pagi. Akan kuberitahu kalian,tentang perkembangan perkara Hunter."
Ia beranjak pergi. Tetapi ia seperti teringat sesuatu, lalu berpaling kepada
kedua anaknya. "O, ya," katanya, "sebenarnya aku sedang menunggu seorang tamu bernama John
Hammerley pagi ini. Sampaikan permintaan maafku kepadanya."
Ia lalu keluar dari kamar. Tidak lama kemudian suara mobilnya terdengar,
menunjukkan bahwa ia telah berangkat menuju ke lapanganterbang untuk naik
pesawat ke Washington. Frank dan Joe masih asyik membicarakan misteri mata-mata di Pentagon yang telah
menghilang bersama hilangnya dokumen rahasia AL.
"Aku ingin tahu ke mana ia pergi," berkata Frank dengan serius. "Tentunya ia
takkan dapat pergi jauh dengan menggunakan perahu layar.
"Banyak orang yang hanya dengan perahu layar sampai ke Eropa, Frank," kata Joe
mengingatkan. "Dengan membawa dokumen rahasia?" sahut Frank sambil menggelengkan kepala. "Itu
mustahil! Tetapi mungkin ia menemui agen negara asing di luar teluk."
"Yah, kita takkan tahu sebelum menerima kabar dari ayah besok," kata Joe. "Nah,
baru kemudian kita harus siap untuk ikut bertindak."
"Kuharap itu tak perlu," ibunya menyela.
"Ah, kan tidak apa-apa, bu," kata Frank menghibur ibunya. "Ayah didukung oleh
seluruh AL kita. Kuyakin, ia takkan mengecewakan AL kita."
Adik pak Hardy yang tinggal bersama mereka muncul dari balik pintu.
"Nah, apaan tuh ada mata-mata, kapal selam, perahu layar," serunya. "Apa lagi
berikutnya?" Kedua anak muda itu menyeringai. Mereka tahu bibi sangat mencintai mereka. Meski
lidahnya sangat tajam dan sering memperolok-olok mereka.
"Bagaimana kalau berikutnya sepotong puding coklat, bi Gertrude?" jawab Joe
tertawa. "Nah! Itu jelas lebih baik untuk kalian. Daripada terlibat segala macam matamata!" kata bibi Gertrude. Ia tersenyum, lalu pergi ke dapur. Segera ia menunjukkan
kebolehannya sebagai juru masak ulung kepada kedua kemenakannya.
"Kalian jaga baik-baik di rumah," perintah bibi. "Aku dan ibumu pergi
berbelanja." "Oke! Jangan khawatir!" kata Joe sambil beranjak mengambil sebotol limun dari
dalam lemari es. *** Limabelas menit kemudian, terdengar bunyi lonceng pintu.
Frank bangkit untuk membuka pintu. Seorang berpakaian coklat dan nampak
berwibawa berdiri di luar. Ia memakai topi pemburu yang tinggi dan berlekuk di
bagian depannya. "Ia tentu meminjam topi itu dari Sherlock Holmes," pikir Frank.
Sambil mengangguk ia tersenyum menyambut tamunya.
Orang itu membuka topinya. "Di sini rumah tuan Hardy?" tanyanya.
"Betul, tuan," jawab Frank.
Orang itu menyodorkan sebuah kartu nama bertuliskan: John Hammerley, Lancaster,
Pensylvania. "Anak muda, bolehkan aku masuk?" katanya bernada khawatir.
"Tentu saja, tuan Hammerley. Kami memang sedang menunggu kedatangan tuan." Frank
melangkah ke samping, mempersilakan tamunya masuk ke ruang tamu. Ia
memperkenalkan adiknya, dan bertiga lalu duduk.
"Saya seorang petani dari Pensylvania, berkantor di kota Lancaster dan berdagang
gandum," berkata Hammerley. "Saya datang kemari hendak bertemu detektif. Fenton
Hardy." Frank menjelaskan kepada tamunya, bahwa ayahnya dengan tiba-tiba mendapat tugas.
"Ayah meminta kepada kami untuk menyampaikan permintaan maaf kepada tuan. Ia
terpaksa tak dapat menantikan kedatangan tuan karena tugas rahasia dari
pemerintah." Tuan Hammerley nampak sangat kecewa. "Sayang sekali. Saya justru memerlukan ayah
kalian agar menangani perkara saya. Jauh-jauh dari Pensylvania khusus datang
kemari hendak menemuinya."
"Tuan Hammerley, apakah perkara itu?" tanya Joe.
"Penunjuk arah angin!" seru Hemmerley.
Kakak-beradik itu heran. "Ada hubungan apa" Penunjuk arah angin dengan kejahatan?" Frank bertanya.
"Alat-alat itu telah dicuri orang!" Hammerley menjelaskan.
Joe menggaruk kepala. "Siapa yang mau mencuri penunjuk angin" Untuk apa mereka
curi?" Tamu itu mengangkat kedua tangan dengan keheranan.
"Anak muda," katanya, "kulihat kalian belum tahu. Ini bukan alat penunjuk angin
yang biasa. Alat-alat itu berasal dari daerah Dutch Pensylvania. Di sana alat
penunjuk angin dipasang di setiap rumah, gudang, gereja dan gedung-gedung
pemerintah." "Di sekitar Bayport juga ada beberapa yang memasang penunjuk arah angin." kata
Joe. "Ya saya tahu di sini juga ada," Hammerley mengiakan. "Tetapi penunjuk arah
angin Pensylvania adalah istimewa. Banyak berupa pusaka yang berbentuk indah dan
berumur sampai dua ratus tahunan. Alat yang sangat berharga sebagai barang
antik. Penunjuk arah angin tetanggaku yang hilang berbentuk penunggang kuda.
Disebut The Galloping Rider (Si Pembalap). Nilainya dapat mencapai duapuluh ribu
dolar. Jika berhasil diselundupkan ke luar negeri, tentu lebih tinggi lagi
nilainya. Barang antik Amerika dijual sebagai dolar!
" Joe bersiul. "Duapuluh ribu dolar! Hanya alat untuk tahu kemana arah angin."
"Itu yang menarik minat para penjahat!" kata Frank.
"Benar," kata Hammerley. "Saya mewakili sekelompok penduduk daerahku yang telah
kehilangan alat penunjuk arah angin mereka yang berharga. Mereka ingin
menemukannya kembali."
"Apa tuan juga kehilangan?"
Tamu itu menggeleng. "Penunjuk angin milikku masih tetap di tempatnya. Disebut
The Flashing Arrow (Panah Kilat), berupa anak panah yang dicengkeram oleh burung
elang. Besarnya enam puluh senti. Barang itu seluruhnya terbuat dari kuningan yang
ditempa. Hasil karya seni yang indah. Pencuri dapat menjualnya dengan harga sangat
mahal." "Lalu, mengapa tidak tuan turunkan saja?" tanya Joe. "Dengan demikian takkan ada
yang mencurinya. " Hammerley memandang Joe dengan pandangan cerdik. "Saya telah memasang alat
perangkap. Kepala tukang kusuruh tidur di loteng gudang. Ia tentu akan membunyikan tanda
bahaya apabila seseorang mencoba mencuri The Flashing Arrow. Telah banyak orang
yang kehilangan alat milik mereka yang berharga itu. Kuharap ayah kalian dapat
menemukan barang-barang berharga tersebut. Sebelum hilang dan menjadi milik
pengumpul barang antik, atau diselundupkan ke luar negeri."
"Kapan barang-barang itu dicuri orang" Dan bagaimana cara mencurinya?" tanya
Frank. "Pencuri yang beroperasi di daerahku bekerja dengan cepat dan tepat," jawab
petani itu. "Mereka telah melakukan pencurian empat malam secara beruntun. Mencuri barang
itu sebelum pemiliknya menyadari. Mereka sepertinya tahu benar apa yang harus
dilakukan, sebab hanya mencuri yang paling berharga."
"Bagaimana cara mereka menurunkan barang itu dari atas atap rumah?" tanya Joe
penasaran. "Seperti yang telah terjadi di gedung pengadilan, pencuri menggunakan tangga.
Kemudian masuk dengan memecah kaca jendela. Kalau tidak, mereka menggunakan
sebuah tangga panjang dengan menyandarkannya di luar. Dengan cara itulah mereka
mencuri The Galloping Rider. Polisi menemukan bekas-bekas kaki tangga di tanah."
Hammerley mengeluh, lalu meneruskan: "Beberapa orang pemiliknya sedang bepergian
ketika penunjuk arah angin rumahnya dicuri orang. Sedangkan yang lain tidak
menyadari bahwa atap rumahnya telah kosong tidak ada lagi penunjuk arah angin.
Orang-orang lalu marah-marah karena kehilangan dan memanggil polisi. Berita
kehilangan itu bahkan disiarkan lewat radio. Sherif bersama para pembantunya
memeriksa setiap tempat tanpa menemukan jejak atau petunjuk para pencurinya.
Yang sulit, kami di sana kekurangan petugas untuk menanganinya. Karena itu saya
memerlukan seorang detektif swasta."
"Sayang sekali ayah tidak ada di rumah," kata Frank.
"Saya sangat menyesal," Hammerley mengeluh. "Saya sangat mengharapkan ayah
kalian!" "Barangkali ayah dapat menangani perkara ini, bila sudah selesai dengan tugasnya
sekarang," kata Joe Hammerley menggeleng gusar. "Anak muda! Kami di sana tak sabar menunggu. Jejak
pencuri akan segera menjadi dingin dan pencuri-pencurinya sudah melarikan diri.
Kami memerlukan penanganan detektif sekarang juga!
Ia menimang-nimang topinya. Memandangi kedua kakak-beradik tersebut dengan
tajam. Lalu serunya: "Ha! Kudengar kalian juga detektif!"
"Kami berdua sering dapat tugas," jawab Joe merendah. Ia tak menyebutkan bahwa
bersama kakaknya pernah menangani lebih dari duapuluh perkara.
"Kudengar kalian telah berhasil memecahkan berbagai macam perkara," kata
Hammerley memancing. "Yah! Begitulah!" Frank mengaku.
Hammerley nampak gairah penuh harapan. "Barangkali kalian bersedia ambil perkara
ini" Melihat hasil yang sudah-sudah, kuyakin kalian dapat menangani perkara ini."
Frank lalu menjelaskan, bahwa ia bersama adiknya harus merundingkannya dulu
dengan ayah mereka. "Jika ayah tidak memerlukan tenaga kami, saya bersedia
menerima." "Begitu pun saya," kata Joe. "Ingin sekali saya menjerat The Galloping Rider
untuk tuan." "Setuju," kata Hammerley. "Kapan kalian memulai?"
"Jika kami menerimanya," kata Frank dengan memberi tekanan kata "kami", "saatnya
tergantung ayah. Ia pesan agar besok pagi kami siap untuk dihubungi dia."
Wajah Hammerley menjadi cerah. "Kalau begitu, kalian dapat memulai besok lusa!"
"Barangkali," Joe mengiakan. "Bagaimana kami dapat menghubungi tuan?"
"Begitu pun saya," kata Joe. "Ingin sekali saya menjerat The Galloping Rider
untuk tuan." Tuan Hammerley mengeluarkan peta jalan daerah Pensylvania dari dalam sakunya,
lalu membentangkannya di atas meja.
"Terbanglah ke Lancaster," katanya. "Lalu ambillah Jalan 222 arah selatan menuju
ke Quarryville. Satu mil lewat kota itu, kemudian belok ke kanan, masuk ke jalan
tanah yang diapit pohon-pohon cemara yang tinggi. Kira-kira sepuluh mil kalian
akan melihat papan yang bertuliskan "Perumahan Hammerley". Bawalah mobil kalian
sampai ke depan rumah. Saya akan menunggu kalian."
"Tuan tinggal di tengah-tengah Dutch Pensylvania!" kata Frank tersenyum. "Di
sana orang-orang suka naik kereta kuda, bukan?"
"Benar," kata Hammerley. "Orang-orang Amish. Kami sangat bangga memiliki mereka
di tengah-tengah kami."
Kakak-beradik Hardy masih terus melayani Pak Hammerley, membicarakan bangsa
Jerman yang memasuki daerah jajahan William Penn pada abad ke delapanbelas.


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun mereka itu bangsa Jerman, tetapi lebih dikenal sebagai orang "Dutch" (=
Belanda), sebab mereka lebih senang disebut dengan bahasanya sendiri, yaitu
Deutsch. "Orang-orang Pennsylvania Dutch masih terdapat di sana," kata Hammerley kepada
kakak-beradik itu. ''Orang-orang Amish merupakan kelompok yang suka membatasi
diri di antara mereka. Mereka mengajarkan agar memisahkan diri dari dunia luar.
Mereka tak senang berperang, bersumpah, atau membuka kantor umum. Mereka selalu
berusaha hidup sederhana, tanpa mau menggunakan alat-alat dan teknologi modern."
"Saya tahu, bahkan telepon dan listrik pun mereka tak mau menggunakan di
pertanian mereka;" kata Joe.
Tuan Hammerley mengangguk. "Jika milik salah seorang mereka mendapat kerusakan,
seluruh kelompok bergotongroyong memperbaikinya. Gudang yang kini menjadi
milikku, seabad yang lalu mereka mendirikan secara gotongroyong."
Tuan Hammerley bangkit berdiri. "Lebih baik saya pamit sekarang. Jika kalian
hendak menelepon, nomor telepon ada pada kartu namaku." Dan sebelum ia berjalan
ke pintu, ia agak ragu sebentar. "Saya kira masih perlu menyampaikan sesuatu
pada kalian," sambungnya. "Apa itu, tuan?" tanya Joe ingin tahu.
Suara petani itu menurun menjadi bisikan serak. "Berhati-hatilah terhadap gunaguna!" Chapter 2 Guna-guna Joe mengernyitkan alis dengan rasa heran. "Guna-guna?" katanya mengulang. "Itu
semacam ilmu sihir, bukan?"
Hammerley mengangguk. "Benar! Guna-guna dapat untuk membunuh atau menyembuhkan."
Frank nampak menjadi bingung. "Apa masih ada orang yang percaya ilmu gaib?"
Hammerley menjawab dengan nada serius. "Guna-guna ini mungkin lebih kuat dari
yang kausangka. Banyak kejadian gaib di daerah Dutch Pennsylvania. Penduduk
mengatakan pengaruh guna-guna."
"Tetapi apa kaitannya dengan pencurian penunjuk arah angin?" Joe bertanya ingin
tahu. "Banyak bangunan di daerahku memiliki gambar-gambar tanda guna-guna. Demikian
pun gudang milikku," kata Hammerley melanjutkan. "Anehnya, mereka yang
kehilangan penunjuk arah angin, gambar tanda guna-guna itu ikut hilang pula. Mereka menganggap si pencuri
menggunakan guna-guna yang lebih kuat. Karena itu pencurian selalu berhasil. Ada
lagi tukang sihir yang melakukan ilmu sihirnya. Ilmu putih penyembuh penyakit
dan ilmu hitam pembawa korban. Banyak orang mengira paling tidak pencuri-pencuri
mendapat bantuan seorang tukang sihir."
Hammerley memperbaiki letak topinya dengan bercermin di kaca dinding. "Kalian
berani menghadapi guna-guna?" tanyanya.
Frank dan Joe meringis. "Kira-kira demikian," jawab Frank.
"Bagus! Nah, aku mengharapkan berita lebih lanjut dari kalian," berkata
Hammerley kemudian, lalu keluar dari pintu.
Frank dan Joe kembali ke ruang duduk.
"Nah, kak! Bagaimana pendapatmu tentang segala macam guna-guna ini?" tanya Joe,
lalu menjatuhkan diri di kursi.
"Mari kita pelajari," jawab Frank. Ia masuk ke dalam kamar kerja ayahnya. Ia
kembali membawa sebuah buku tebal tentang cerita rakyat mengenai mistik.
Ditemukan bab tentang guna-guna, lalu dibentangkannya di atas meja. Joe ikut
melihat melalui pundaknya.
Mereka mendapat penjelasan, bahwa guna-guna berasal dari Jerman. Orang-orang
percaya bahwa gambar guna-guna dapat menolak sihir yang ditujukan kepada mereka.
Atau gambar itu digunakan menundukkan sihir lawan. Para pendatang dari Jerman
membawa ilmu itu ke Amerika pada jaman kolonial. Sampai kini kepercayaan
demikian masih ada di daerah Pensylvania.
Frank membaca: "Burung hantu adalah lambang ilmu sihir. Dan burung hantu yang
dapat "bicara" adalah hewan kesayangan tukang sihir."
"Burung hantu "bicara"," gumam Joe. "Aku jadi heran, bagaimana cara burung
berbicara!" "Tuwit-sirr, tuwit-sirr, burung sihirr," Frank melawak.
Kemudian ia membalik-balik beberapa halaman lagi dan menemukan halaman yang
memuat gambar-gambar tanda guna-guna. Segi-empat di dalam segitiga, matahari
terbit di dalam bujur-sangkar, dan sebagainya. Gambar tanda utama adalah
pentagram, yaitu bintang segilima.
"Ya, kita juga telah diajarkan membuat gambar segilima," berkata Joe. "Tetapi
tak pernah diberitahu bahwa bintang segilima itu tanda gambar sihir."
"Memang tidak selalu itu tanda gambar sihir," Frank menjelaskan. "Tetapi sebagai
tanda gambar sihir, itu adalah penolak bala. Seperti halnya kaki kelinci."
"Kalau tak ditujukan padamu," kata Joe. "Itu pun menurut buku ini. Bila dua
orang menggunakan tanda tersebut, kukira, tukang sihir yang lebih kuat yang
menang." "Seperti halnya pencuri penunjuk angin itu," gumam Frank, lalu menutup buku.
"He! Bagaimana ya, kalau mereka mencuri barang milik kita?" tanya Joe.
"Maksudmu, panah penunjuk arah angin di atas atap laboratorium kita itu" Yang
terbuat dari timah putih?" Frank tertawa terkekeh. "Bibi membelinya di loakan.
Akan kulepas bila ditawar tiga dolar."
"Aku tidak berani menawarnya!"
Pada saat itu terdengar telepon berdering.
"Barangkali dari ayah!" seru Frank. Ia melompat bangun, lalu mengangkat gagang
telepon. "Apa di sini keluarga Hardy yang masyhur itu?" terdengar suara di telepon yang
mudah dikenali. Frank tersenyum. "Yang paling termasyhur! Ada ada, Chet?"
"Panah!" jawab teman itu. "Aku telah mahir menembak dengan panah. Tepat mengenai
titik tengah berturut-turut hingga sepuluh kali."
"Benar begitu" Ya, kau memang telah belajar cukup lama, bukan?"
"Wah, kau memang pintar ngeledek orang," berkata Chet tersinggung. "Tetapi
seorang pemanah yang paling ahli pun takkan mungkin secara beruntun dapat
mengenai titik tengah hingga sepuluh kali setiap hari!"
"Oke, oke! Teriring ucapan selamat atas hasilmu yang gemilang! Ingin medali emas
dari kami?" "Bukan begitu! Tetapi kalian dapat ikut serta, bagaimana Frank" Tak lama lagi
ada lomba panahan di sini."
Frank berunding sebentar dengan Joe. Kemudian akan memberi jawaban kepada Chet
dalam waktu limabelas menit.
Chet Morton adalah teman karib mereka. Ia seorang yang gemuk pendek, lebih
senang menghadapi makanan daripada bahaya.
Tetapi kakak-beradik itu tahu benar bahwa temannya tersebut tak pernah
meninggalkan mereka dalam bahaya. Chet telah membuktikan sifat setia kawan itu
dalam beberapa peristiwa penyelidikan yang gawat.
"Barangkali Chet bersedia ikut terlibat dalam perkara penunjuk arah angin ini,"
usul Joe. Sementara itu mereka berdua mengendarai mobilnya menuju ke rumah
sahabatnya itu. Frank tertawa. "Kau jangan main-main! Apa yang menarik perhatiannya hanya
makanan melulu." Mereka memasuki halaman rumah keluarga Morton. Terlihat oleh mereka sebuah
sasaran panah yang besar di halaman depan rumah itu. Sejumlah anak panah
menancap pada sasaran itu. Beberapa orang teman lain sedang berdiri di dekat
pagar melihat Chet yang bersemangat menggerak-gerakkan kedua belah tangannya.
Frank mematikan mesin mobilnya, lalu keluar bersama adiknya.
"Haha! Kakak-beradik Hardy telah datang!" seru Chet ketika melihat kedua
sahabatnya datang. "Sekarang kita dapat memulai!"
Chet mengenakan celana jengki dengan baju beledu. Dua buah kancing bajunya
terbuka karena memang tak dapat dikancing oleh perutnya yang gendut bulat itu.
Sebuah tempat anak panah tersandang di bahu, berisi selusin anak panah. Sebuah
topi baseball hinggap di kepalanya.
Rupanya Chet sedang menjadi pimpinan lomba panahan. "Ayo, Phil," katanya,
"tunjukkan kemahiranmu!"
Phil Cohen, pemuda langsing berambut hitam. Ia suka olahraga maupun membaca. Ia
pun terkenal cekatan dan gerakannya gesit. Ia lepaskan anak panahnya, dan
mengenai lingkaran ketiga pada sasaran.
"Yah, kurang baik," katanya menggumam kecewa.
"Jangan kecewa! Kau semakin maju!" kata Tony Prito memberi hati. "Beberapa menit
yang lalu kau tak mengenai sasaran!"
"Terimakasih, bung," sahut Phil sambil menengok ke Tony. "Kau mau sebarluaskan
kebodohanku" Sudah kukatakan, tadi aku kurang konsentrasi!"
Tony menyeringai. "Gombal! Kau hampir saja melukai Biff!"
"Dia yang menghadang sasaranku!" bantah Phil.
Biff Hooper, seorang pemain rugby yang tangguh dari SMA Bayport. Ia menyipitkan
matanya. "Kukira kau melakukan dengan sengaja, karena rotimu kumakan tadi."
Chet menengahi dua temannya yang sedang bersitegang. Ia acungkan tangannya
meminta perhatian. "Kita di sini bukan untuk bercanda. Tetapi belajar seni panahan!" katanya. "Joe,
bagaimana kalau kau pun mencoba memanah sasaran!"
Joe sempat melirik kepada Iola, adik Chet yang cantik. Dara berambut hitam yang
lincah itu sudah sering dipacarinya. Di hadapan gadis pujaannya, mau tidak mau
ia harus tampil dengan baik.
"Ayo, Joe," Tony menggoda. "Itu Iola mau lihat bahwa kau pemanah yang
mengerikan!" Joe mengangkat pundak, lalu mengambil busur. Ia pasang anak panah, membidik
sebentar dan melepaskan anak panah itu. Tepat mengenai bulatan hitam di tengah,
meskipun tidak di pusat bulatan.
Anak-anak muda itu bersorak. "Tembakan yang bagus, Joe!"
"Bagus untuk saat ini," Tony tambahkan.
"Yang terbagus belum datang," sela Chet. "Lihat saja. Inilah tembakan terbagus
itu!" Ia menuju ke tengah-tengah kelompok peserta. Dengan penuh gaya ia mendorong
topinya agak ke belakang, melemaskan otot-otot jari sambil melirik ke sasaran.
"Sudah siap, Robin Hood?" Frank menggoda.
"Ayo tunjukkan bahwa anak panahmu dapat membelah anak panah Joe," Iola turut
menggoda. "Itu kan yang selalu Robin Hood lakukan?"
"Jangan ganggu!" kata Chet. "Olahraga panahan memerlukan konsentrasi penuh."
Setelah mengencangkan tali busurnya, Chet mementil-mentilnya hingga berbunyi
seperti dawai gitar. Melalui pundaknya ia ambil sebatang anak panah. Dengan gaya
seorang ahli yang sedang mengajar murid-muridnya, ia angkat busur, lalu
membidik. Teman-temannya menunggu dengan penuh perhatian. Mata mereka terpaku pada
sasaran. Beberapa detik berlalu, tetapi tak terjadi sesuatu.
"Ada yang kurang beres dengan anak panah ini," kata Chet sambil menurunkan
busurnya. "Yaah," Biff mengeluh.
"Gugup, ya," Tony menggoda.
"Ah, diam! Aku tak menghiraukan godaan kalian!" Chet berkata dengan bergaya. Ia
ambil anak panah yang lain. Sekali lagi ia membidik, sementara teman-temannya
diam memperhatikan. Chet tetap tenang. Ia ubah letak kakinya, mencari keseimbangan yang baik. Tibatiba ia menginjak tempat yang becek. Ia terpeleset dan jatuh terlentang.
Pegangan anak panah terlepas.
Ziiingng! Tali busur melenting dan anakpanah melesat tinggi melewati atap rumah.
Chet mengaduh kecewa, disusul teriakan melengking dari halaman belakang rumah.
"Seseorang terkena anak panah." Joe menjerit ketakutan. "Ayo, kita lihat ke
belakang!" Ia berlari mengitari rumah, disusul oleh teman-temannya.
Chapter 3 Terperangkap di Tenda Tak nampak seorang pun di halaman belakang kecuali pembantu pertanian Morton,
pak Osborn. Ia berdiri di pinggir petak tanaman semangka. Kedua tangannya
berkacak pinggang dan wajahnya sangat marah nampaknya.
Setelah rombongan anak muda itu mendekat, tangan Osborn lalu menunjuk sebuah
semangka yang besar. Semangka itu terbelah sebatang anak panah.
"Siapa yang berbuat ini?" bentaknya menggeledek. "Apa maksudnya ini! Merusak
tanaman kebunku?" "A-aku terpeleset. Sasaranku meleset!" jawab Chet terbata-bata. "Tep-tetapi aku
tak sengaja, Osborn."
Orang itu menggeleng tak mau percaya. "Sasaran apa" Aku lagi menyiangi kebun ini
ketika anak panah itu mendesing. Hampir aku terkena!"
"Begini saja, Chet," Phil menengahi. "Kau selesaikan saja pekerjaan pak Osborn
menyiangi kebun. Barangkali saja ia memberi kau ampun."
Osborn merasa senang mendengar usul itu dari pada bersitegang dengan Chet. "Nah,
bagus begitu. Kebetulan sudah sangat pegal punggungku. Kalau kau mau gantikan
aku menyiangi kebun, labu di sana itu akan kubawa ke rumah. Biar isteriku
membuatnya kue pastei. Nanti kalian kuundang makan kue pastei itu."
Mata Chet menjadi cerah kembali. "Akurr!" katanya. Lalu dengan berpaling kepada
teman-temannya: "Kalian mau bantu aku, bukan?"
Untuk menggoda Chet, mereka pura-pura hendak pergi. Tetapi mereka segera memberi
bantuan. Sementara bekerja, kakak-beradik Hardy menceriterakan tentang tuan
Hammerley dengan peristiwa pencurian penunjuk arah angin. Mereka menyebut benda
antik pertanian tuan Hammerley The Flashing Arrow.
"Kedengarannya peristiwa yang menarik," kata Chet. "Aku ingin ikut kalian!"
"Itu memang sudah seharusnya, Chet," ejek Biff sinis. "Kau pemanah yang ahli."
"Sudahlah! Jangan ejek aku lagi!" Chet mengalah.
Frank tersenyum. "Jangan buru-buru! Jika nanti kami berdua memerlukan bantuan,
pasti kami akan memberitahu kalian!"
Esok harinya, setelah sarapan pagi, kakak-beradik Hardy memasang alat pengacau
suara pada pesawat telepon mereka. Jika ada seseorang yang hendak menyadap
pembicaraan, tidak akan mungkin dapat mengikuti percakapan. Joe berdiri di dekat
kakaknya. Dengan demikian mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan ayah mereka.
Kemudian Frank memutar nomor telepon ayah mereka. Detektif itu segera
menyahutnya. "Nah, senang sekali kalian meneleponku," kata ayah mereka di seberang. "Baru
saja aku hendak keluar!"
"Bagaimana, ada kemajuan tentang perkara itu, ayah?" Frank bertanya.
"Sejauh ini, baik-baik saja. Aku sedang melacak suatu petunjuk. Karena itu aku
harus keluar untuk sementara waktu."
"Apa ayah memerlukan bantuan?"
"Saat ini, belum! Ceriterakan tentang pertemuan kalian dengan Hammerley. Apa
keperluannya?" Frank menjelaskan peristiwa pencurian alat-alat petunjuk arah angin. Kemudian Ia
" menghendaki agar kami pergi ke tanah pertaniannya besok. Jika ayah belum
memerlukan bantuan kami untuk beberapa hari ini, bolehkah kami berdua menangani
perkara itu?" "Kerjakanlah," kata ayah mereka. "Tetapi berhati-hatilah. Komplotan pencuri itu
mungkin berbahaya, karena melibatkan keuangan yang besar. Di mana aku dapat
menghubungi kalian, bila aku memerlukan?"
Frank menyebutkan nomor telepon Hammerley. Ia menambahkan bahwa tanah pertanian
itu cukup dekat dengan kota Washington. Mereka berdua dapat segera ke sana jika
dibutuhkan. "Bagus!" kata ayah mereka. "Selamat bekerja!"
Setelah gagang telepon diletakkan, Joe kemudian menelepon tuan Hammerley.
Mengatakan bahwa ia bersama kakaknya akan datang esok hari. Hammerley lega
mendengar berita itu. "Sampai kini belum ada usaha untuk mencuri The Flashing Arrow," katanya. "Dan
aku sungguh gembira kalian mau menangani perkara ini."
"Apa tuan berkeberatan bila kami membawa seorang teman lagi?" Joe bertanya. "Ia
beberapa kali telah membantu kami."
"Tentu saja tidak. Lebih banyak orang, lebih menggembirakan!" jawab Hammerley
tertawa. Esok paginya, Frank, Joe dan Chet terbang ke Lancaster.
Sampai di tempat mereka menyewa sebuah mobil Frank pegang kemudi, Joe duduk di
sebelahnya, sedang Chet duduk di jok belakang.
Ia membeberkan peta agar dapat mengikuti perjalanan mereka. Tidak lama kemudian,
mereka telah melaju di Jalan 222. Kanan kiri jalan adalah daerah tanah


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanian. Mereka melewati sebuah gudang bertanda gambar sebuah segitiga hijau di dalam
sebuah segi-empat warna biru. Di keempat sudut-sudutnya terdapat garis-garis
lurus. "Itulah tanda gambar sihir atau guna-guna," kata Joe.
Chet jadi curiga. "Apa maksudnya?"
Kakak-beradik lalu menjelaskan, bahwa bentuk-bentuk geometrik itu oleh penduduk
Dutch Pennsylvania dimaksudkan untuk penolak bala.
"Seperti aku yang tak senang!" kata Chet. "Kedengarannya angker!"
"Biasakanlah," Frank menasihati. "Kita akan lebih banyak lagi menghadapi gambargambar demikian." Mereka melihat dua batang pohon cemara yang disebut oleh pak Hammerley. Frank
lalu menuju ke timur, melalui jalan tanah. Di kiri kanannya pohon-pohonan sangat
lebat. Kira-kira satu mil kemudian mereka melihat debu mengepul di depan sana.
"Ya ampun!" seru Chet. "Rupanya ada tornado!"
"Tenang," kata Joe. "Tornado tidak hanya bertiup di atas jalan saja!"
Frank meminggirkan mobilnya, lalu berhenti di bawah pohon.
"Tunggu sebentar. Lihat dulu, apa itu sebenarnya."
Debu semakin dekat. Akhirnya nampak serombongan kereta kuda datang. Kaki-kaki
kuda itulah yang mengepulkan debu itu.
Kereta-kereta itu dikusiri oleh orang-orang yang berjanggut lebat, berpakaian
petani sederhana. Di samping mereka duduk nyonya mereka, berpakaian gaun abu-abu
panjang dan memakai topi kain model kuno.
"Orang Amish," kata Frank.
Iringan-iringan kereta itu lewat, dan penumpang-penumpangnya melambai-lambaikan
tangan. Ketiga pemuda itu membalasnya.
Semuanya ada duabelas buah kereta yang lewat, lalu menghilang di kejauhan.
"Orang-orang yang ramah," komentar Chet. Baru saja ia berkata demikian, di depan
terdengar lagi suara telapak kuda. Sebuah kereta agak reot datang, lalu berhenti
di depan mereka. Kudanya berbusa, kepalanya bergerak-gerak hingga bulu surinya berkibaran.
Ketiga pemuda itu heran melihat penumpangnya. Seorang nyonya bermata lebar
dengan rambut awut-awutan diterpa angin.
"Apakah kalian penduduk sini, atau orang luar?" ia bertanya menantang.
"Orang luar," jawab Frank. "Kami dari Bayport."
"Kalau begitu, kembalilah!" kata nyonya itu marah. Kalau tidak, kutukan gunaguna akan menimpa kalian! Jangan lupa peringatan si Maggie Sinting ini!"
"Siapa itu, Maggie Sinting?" tanya Chet.
"Ya aku!" kata nyonya itu sambil tertawa mengerikan. Ia menyambuk kudanya hingga
kudanya melesat di jalan.
"Ia tentu seorang tokoh di sini," kata Frank.
"Cocok benar namanya!" kata Joe. "Tampangnya tepat kalau disebut Maggie
Sinting!" Chet menyeka peluh di dahinya. "Ia menyihir kita. Ayo, kita kembali ke Bayport
saja!" Frank menghidupkan mesin mobilnya. "Chet," katanya. "Kita telah berjanji kepada
pak Hammerley, bahwa kita tak takut akan sihir."
"Engkau yang berjanji," Chet menggerutu. "Aku tak pernah berjanji demikian!"
Mereka melanjutkan perjalanan. Di kiri kanan terdapat ladang dan padang rumput,
membentang bermil-mil luasnya. Asap mengepul dari cerobong rumah-rumah petani.
Para petani sedang membajak ladangnya, atau sedang memasukkan hasil panen ke
lumbung, yang selalu bertanda gambar penolak bala berwarna-warni.
Sebuah tenda besar berdiri di tepi jalan, dengan tali temali yang kuat terikat
pada pasak-pasaknya. Banyak orang keluar-masuk melalui lubang pintunya.
Di atas lubang pintu terdapat papan bertuliskan:
JOSHUA KORBO, JURU LELANG
Chet melihat sebuah tenda kecil tempat menjual minuman di sampingnya. "Aku
usul," katanya. "Kita beli hotdog dulu dan air soda. Setuju?"
"Oke," kata Frank dan Joe. Frank memarkir mobilnya di rumputan, lalu berjalan ke
tenda penjualan itu. "Ada apa ini?" tanya Joe pada penjual minuman itu.
"Lelang besar untuk tahun ini. Banyak orang yang datang dari daerah ini."
Ia membalik sebuah hamburger, lalu melayani pembeli lain.
"Mari kita lihat-lihat sebentar," usul Frank. Setelah selesai makan, mereka
masuk ke tenda besar. Sejumlah kursi lipat disusun menjadi dua deret, masingmasing kira-kira limapuluh buah kursi. Di antara deretan kursi itu terbentuk
sebuah gang. Di pertengahan gang itu berdiri tiang penegak tenda. Banyak orang
yang mondar-mandir sambil bercakap-cakap setengah berbisik.
Mereka melihat tiga buah kursi yang kosong di belakang, lalu duduk. Dengan jelas
mereka dapat melihat panggung, tempat juru lelang melakukan tugasnya. Juru
lelang itu memakai kacamata berbingkai baja, diangkat di dahinya. Sebuah tanda
di atas sakunya berbunyi: Joshua Korbo.
Seorang pembantu mengambilkan barang-barang dari bagian belakang, dibawanya ke
panggung, lalu ditawarkan oleh Korbo. Di antara barang-barang itu terdapat
sejumlah benda antik. Barang pecah belah, lukisan, patung-patung dan permata
yang indah-indah. "Rupanya persediaan barang cukup banyak," kata Chet. "Cukup untuk mengisi Toko
Serba Ada di Bayport!"
"Kalau saja bibi Gertrude ada di sini!" kata Joe. "Ia paling senang dengan
lelangan." Frank menggeleng. "Uangnya bisa habis. Barang-barang ini harganya terlalu
tinggi." Ketika itu, seperangkat piring-cangkir perak bikinan zaman kolonial dilepas
seharga sepuluh ribu dolar. Selanjutnya pembantu lelang meletakkan sebuah lampu
antik di meja Korbo. Juru lelang itu mengetuk meja dan mulai menawarkan. Banyak
yang mengacungkan tangan ikut menawar. Korbo menaikkan harga secara berangsurangsur dengan cepatnya. "Limaratus enamratus tujuhratus! Siapa mau menawar delapanratus" Tak ada"
Lepas ...." " Tiba-tiba seekor lalat mendengung di telinga Chet. Ia menghalaunya dengan
tangannya. "Lepas!" teriak Korbo. "Terjual untuk delapanratus kepada tuan muda di belakang
itu!" Ia menunjuk dengan tongkatnya kepada Chet. "Silakan maju, tuan!"
Wajah Chet menjadi pucat pasi! Ia terpesona ketika Korbo menunjuk dia dengan
tongkatnya. Dengan gontai Chet bangkit, lalu berjalan lunglai ke panggung. Kedua
temannya mengikuti dari belakang.
"Silakan menulis cek untuk delapanratus dolar, tuan muda. Lampu ini milik tuan!"
kata Korbo memerintah. Chet menelan ludah. "Te-te-tapi saya tidak menawar."
"Sudah jelas tuan menawar!" kata Korbo keras. "Saya melihat tuan mengangkat
tangan!" "Te-te-tapi saya hanya menghalau lalat," kata Chet.
"Betul, pak," kata Frank. "Ia memang sedang menghalau lalat."
Perang mulut terjadi! Korbo bersikeras, bahwa Chet harus membayar. Tetapi kakak
beradik itu juga bersitegang, bahwa juru lelang itu salah sangka. Akhirnya Korbo
dapat diyakinkan. Dengan kecewa ia minta ketiga pemuda itu mundur, lalu mulai
lagi menawarkan barang-barangnya.
Lega karena pertengkaran telah selesai, ketiga pemuda itu kembali ke tempat
mereka. Chet menyeka dahinya. "Terimakasih atas bantuan kalian, bung!"
"Lupakan saja," kata Frank. "Kami hanya menolong engkau."
Ketika ia berbicara demikian, ia melihat bayangan orang pada dinding tenda.
Rupanya ada orang di luar, berjalan hati-hati menyingkiri tali-tali tenda. Frank
memperhatikannya, hingga bayangan itu sampai di pintu. Seseorang masuk ke dalam.
. Orang itu bertubuh kecil, berpakaian petani. Ia duduk di dekat mereka, lalu
memandangi Frank dan Joe dengan penuh perhatian.
Chet ngeloyor ke depan lagi, menghilang di kerumunan orang.
Frank berbisik kepada adiknya. "Orang itu rupanya mengawasi kita."
Joe melirik orang itu. "Untuk apa" Kita tak kenal dia."
Frank mengangkat bahu. "Aku juga tak mengerti."
Tiba-tiba Chet menyela dari ujung belakang. Ternyata ia sedang berdiri di dekat
setumpuk kursi, barang pecah belah, permadani dan alat-alat olahraga. "He, kita
dapat menggunakan alat-alat ini untuk regu baseball kita!" katanya. Tangannya
meraba-raba sarung-sarung tangan, topeng dan sepatu berpaku.
Frank dan Joe mendekat, lupa akan orang yang mengawasi mereka. Joe melihat
sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia menggeser sebuah meja kecil, lalu
mengangkat benda yang menarik perhatiannya itu, lalu menunjukkannya kepada Frank
dan Chet. "He, lihat!" katanya tegang.
Ia memegangi sebuah alat penunjuk arah angin, berbentuk orang menunggang kuda.
Di bawahnya tertera tulisan: The Galloping Rider.
"Ini penunjuk arah angin yang dicuri," kata Frank. "Apa tindakan kita sekarang?"
"Mari kita tawar saja!" usul Joe.
"Aku tidak mau!" Chet menolak. "Aku tak mau menawar apa-apa lagi! Walaupun hanya
sepotong kue!" Sebelum sempat melakukan sesuatu, mereka mendengar langkah kaki. Mereka menoleh,
melihat si petani kecil mendatangi, melompat dari kursinya, menyerbu ke arah
mereka! Orang itu menubruk Joe, dan merebut penunjuk arah angin itu dari tangannya. Joe
jatuh terjengkang, menimpa tubuh kakaknya, jatuh terguling bersama-sama. Chet
menubruk dan memiting penyerang itu.
Tetapi orang itu dapat melepaskan diri, lalu memukul kepala Chet dengan penunjuk
arah angin itu. Mata Chet berkunang-kunang sejenak.
Orang itu lari sambil memegangi rampasannya. Sambil menyikut orang-orang di
kanan kirinya ia mendesak-desak mencari jalan keluar.
"Tahan pencuri itu!" teriak Chet. "Jangan lolos!"
Menyadari, bahwa tak seorang pun yang tahu apa yang terjadi, Frank dan Joe lari
mengejar. Chet menyusul. Dengan kalang-kabut mereka mendesak-desak mencari jalan. Chet
tersandung, jatuh tertelungkup, menimpa tiang penyangga tenda. Seketika tenda
itu bergoyang, lalu roboh bagaikan balon yang kempes!
Chapter 4 Alat-alat penunjuk arah angin yang hilang
Jerit-lolong terdengar hiruk-pikuk, menyertai jatuhnya tenda bagaikan awan gelap
menyelubungi para pengunjung.
"Keluarkan aku!" jerit seorang nyonya.
"Kita mati lemas tak bisa bernapas," teriak seseorang. Suaranya melengking
mengatasi jeritan-jeritan yang ketakutan.
Frank mengangkat kain tenda ke atas kepalanya, menengok ke kanan dan ke kiri
mencari teman-temannya. "Ayo! Kita merangkak keluar," ia mengajak. Dengan
merangkak-rangkak ia maju, diikuti Chet dan Joe. Sesampai di tepi tenda, mereka
menyelusup keluar. Frank mencabut pasak penahan tali tenda, lalu mengangkat bagian tenda yang
terlepas itu ke atas kepalanya. "Semuanya kemari!" ia berteriak.
Mereka yang terperangkap berdesakan, keluar, dibantu oleh ketiga pemuda Bayport.
"Akal yang bagus!" seru seseorang memuji. "Berkat tindakan kalian, kukira tak
seorang pun yang cedera," kata orang lain.
Korbo yang masih di panggung ketika tenda runtuh, keluar yang terakhir. Ia
segera memaki-maki Chet, yang dilihatnya menabrak tiang tenda hingga runtuh.
"Sudahlah! Apa yang dilakukan Chet belum seberapa jika dibanding dengan melelang
barang curian!" Frank membalas.
"Apa" Yang kulelang semuanya barang yang sah!" bentak Korbo.
"Lalu" Bagaimana dengan The Galloping Rider, penunjuk arah angin itu?"
"Tak ada sebuah pun penunjuk arah angin yang kulelang! Lihat sendiri!" Ia
menunjukkan daftar barang-barang yang dilelang. Frank memeriksanya. "Kereta,
panci, mesin cuci, kereta dorong, meja tulis,"
Frank membaca. "Memang, penunjuk arah angin itu tak tertera. Baiklah, kami minta
maaf kepada anda, pak Korbo!"
"Tetapi, penunjuk arah angin itu ada di tenda tadi," kata Joe ngotot. Ia
menjelaskan, bagaimana ia menemukannya, dan bagaimana si petani kecil
merampasnya. "Aku tak tahu apa-apa tentang penunjuk arah angin. Juga si petani kecil," tukas
Korbo. "Yang jelas, aku tahu siapa yang merobohkan tendaku!" Ia menunjuk ke arah Chet
yang menjadi merah wajahnya.
"Kami akan mendirikannya kembali," usul Frank. Korbo menerima usul itu dengan
hanya mengangguk. Ketiga pemuda itu segera bekerja mendirikan tenda kembali.
Mereka merangkak masuk ke bawah tenda sampai ke bagian tengah. Tiang tenda itu
terkapar miring, tetapi ujungnya masih terikat erat pada titik tengah atap
tenda. Dengan tenaga sepenuhnya mereka mendirikan tiang itu kembali. Pangkalnya
diletakkan pada tempatnya semula. Dibantu oleh beberapa orang muda lainnya,
mereka lalu mengatur kursi-kursi kembali. Tali-temali pengikat dipasang kencang
kembali pada pasaknya. Pelelangan diteruskan, sementara pemuda-pemuda Bayport itu melanjutkan
perjalanan ke rumah pak Hammerley.
"Mungkin petani tadi pencuri penunjuk arah angin itu," kata Joe. "Ia membawa ke
tenda untuk menyembunyikannya. Kemudian ia datang untuk mengambilnya, tetapi
kita mendahului dia."
"Kalau memang begitu, jelaslah mengapa barang itu disembunyikan di belakang
meja," kata Frank setuju.
Sebuah papan nama nampak di depan: RUMAH HAMMERLEY
Frank membelokkan mobil menuju ke rumah yang besar itu, sebuah gudang bersambung
dengan lumbung yang tinggi, berada di samping rumah. Pada tiang di atap gudang
terdapat sebuah penunjuk arah angin berwarna tembaga, berupa seekor burung elang
yang mencengkeram sebatang anak panah.
"The Flashing Arrow", seru Joe.
Frank mengangguk. "Tugas kitalah untuk menjaga alat itu tetap ada di atap!" Ia
memarkir mobil di depan rumah, lalu mereka turun menuju ke pintu depan. Chet
menekan bel dan pak Hammerley keluar.
Ia tersenyum gembira melihat siapa yang datang. Frank memperkenalkan Chet
sebagai teman yang akan membantu.
Pak Hammerley nampak cerah wajahnya. "Tambahan seorang pembantu tentu menambah
kekuatan," katanya. Ia terkejut ketika mendengar cerita Joe tentang The
Galloping Rider. "Maksudmu, pencuri-pencuri itu hendak melelangnya?" ia bertanya
dengan suara keras. "Tetapi tak tertulis di daftar pak Korbo," Frank menjelaskan. "Bahkan katanya ia
tak tahu, bagaimana barang itu bisa sampai di sana."
Pak Hammerley menghela napas. "Sayang sekali kalian tak dapat menangkap pencuri
itu. Nah, mari ke gudang. Akan kutunjukkan milikku yang berharga, yang ada di atap!"
Ia menunjukkan jalan melintas di halaman. Ketiga pemuda itu melihat para pekerja
sedang membongkar jagung dari sebuah truk.
Jagung itu ditaruh di ban berjalan yang memasukkannya ke dalam lumbung.
Di tempat agak jauh, beberapa ekor kuda menjulurkan kepalanya dari kandang. Di
dekatnya, ada sebuah kandang ayam yang terdengar suaranya berkotek-kotek. Di
awan, seekor burung elang melayang-layang tenang.
Mereka berhenti di depan gudang. "Di sini disimpan jerami, makanan ternak dan
perkakas pertanian," kata pak Hammerley. Ia mendongak ke atas, dan ketiga pemuda
itu melihat tanda gambar guna-guna di atas pintu. Sebuah segitiga merah di dalam
bujur sangkar putih, dengan bingkai lingkaran hitam.
"Pemiliknya yang dulu memasang gambar itu untuk melindungi gudang ini," pak
Hammerley menjelaskan,. "Apakah ia juga bisa melindungi The Flashing Arrow?" tanya Frank.
Pak Hammerley memberengut. "Barangkali juga. Tetapi ada guna-guna yang lebih
kuat dari semuanya itu. Aku tak mau ambil risiko, mungkin pencuri itu akan
mengambil tanda gambar itu pula. Mari, ikuti aku."
Ia mendahului berjalan mengelilingi gudang. Sambil berkata, karena tingginya,
orang yang hendak naik ke atap gudang itu harus menggunakan tangga yang tinggi.
"Di dalam ada tangga yang menuju ke sebuah jendela tingkap di bawah cucuran
atap. Itulah jalan satu-satunya untuk sampai ke atap."
Ketiga pemuda itu menjulurkan leher untuk melihat apa yang ditunjukkan. Mereka
melihat seseorang sedang memandang ke bawah dari jendela tingkap. Wajahnya
menyeramkan, dan cepat menghilang ketika dilihat oleh ketiga pemuda itu.
"Aku tak ingin bertemu dengan dia di tempat yang gelap," Chet menggerutu.


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan khawatir," kata Joe memberi semangat. "Di peternakan ini tidak ada ganggang yang gelap." "Tidak lucu!" Chet menggerutu pula.
Mereka mengitari gudang dan tiba kembali di pintu depan.
"Kalian tahu, bagaimana alat-alat penunjuk angin itu bisa hilang," kata pak
Hammerley. "Barang-barang itu tidak dijaga. Di sini, selama ada orang yang menjaganya di
loteng gudang, The Flashing Arrow itu tetap aman. Selama beberapa malam ini
mandorku selalu tidur di gudang."
Pada saat itu orang yang tadi nampak di jendela tingkap keluar dari pintu. Pak
Hammerley memperkenalkan dia, mandor Crow Morven.
"Saya semalaman ada di loteng," mandor itu melapor. "Saya kira, para penjahat
itu tak berani mencurinya."
"Jangan-jangan hanya siasat," kata Chet. "Membuat kita lengah. Tetapi pada suatu
saat, hup, The Flashing Arrow lenyap!"
"Itu teorimu, he, anak pintar?" mandor itu menggerutu. "The Flashing Arrow
selalu aman selama aku masih menjadi mandor! Kalian mau bertaruh?"
"Tak perlu bertaruh, Crow," kata pak Hammerley. "Coba, bawa para tamu ini ke
atap, untuk memeriksa The Flashing Arrow."
Petani itu kembali ke rumah, sementara Morven menunjukkan jalan masuk ke dalam
gudang. Mereka naik tangga ke loteng, yang berupa ruangan luas dengan langit-langit yang
rendah. Di suatu sudut terdapat setumpuk jerami, dan jendela tingkap itu
memasukkan cahaya ke dalam
Morven membuka jendela tingkap. Ketiga pemuda itu melihat, bagaimana curamnya
atap itu miring sampai ke talang. Di bawah talang, tak ada apa-apa lagi yang
menghalang sampai di tanah.
Mandor itu menyeringai kepada ketiga pemuda itu. "Mau ikut saya ke luar sana?"
"Oke," jawab Frank.
Chet menjulurkan kepalanya keluar jendela. Ia ngeri melihat ke bawah, cepatcepat menarik diri kembali. "Aku tak mau ikut ah," katanya. "Mendingan aku
memeriksa loteng ini!"
Frank dan Joe memanjat keluar dari jendela tingkap, mengikuti mandor yang tak
ramah itu. Kaki mereka mencari pijakan yang kuat pada talang. Sambil membungkuk mereka
merangkak di atas atap, dengan kedua tangannya berpegangan erat-erat pada sirap.
Meskipun Morven sudah biasa di gudang, tetapi ia kalah cepat memanjat atap
daripada Frank dan Joe. Joe berada di paling depan.
Sebuah genting sirap putus di tangannya, tetapi ia berhasil menjaga
keseimbangan. Sesampai di bubungan, mereka lalu berdiri. Dengan jelas mereka dapat melihat ke
sekeliling. Sebuah kali meliuk-liuk di hutan, dan di belakangnya nampak sederet
bukit-bukit kecil. "Cukup" Mari kembali," kata Morven. "Aku tak punya waktu untuk seharian tinggal
di sini!" "Kami hendak memeriksa penunjuk arah angin dulu," kata Frank. "Pak Hammerley
yang menghendakinya."
"Memangnya ada alasan, mengapa kami tidak boleh mendekatinya?" tanya Joe dengan
curiga, "Tentu saja tidak," tukas Morven. "Silakan!"
Kakak beradik itu sudah terbiasa di tempat tinggi. Mereka telah berlatih mendaki
gunung. Bahkan pada beberapa penyelidikannya, mereka harus berada di udara jauh
di atas tanah. Namun kini mereka cukup khawatir juga.
Untuk mencapai penunjuk arah angin, mereka harus merangkak di sepanjang
bubungan. Di kiri kanan mereka menganga kedalaman yang mengerikan. Jika
terpeleset ..Akhirnya mereka
" sampai pada The Flashing Arrow.
Benda itu dibuat oleh tukang dari Dutch Pensylvania. Sebuah lempengan loyang
yang ditempa menjadi burung elang. Kepalanya mendongak menantang dengan paruhnya
terbuka seperti hendak menyerang. Kedua sayapnya terentang, seperti hendak
ancang-ancang untuk terbang. Kedua cakarnya mencengkeram sebatang anak panah.
Ujung panah itu runcing, sedangkan bagian belakangnya dibentuk seperti bulubulu. Tiang penyangganya menembus anak panah tersebut tepat di tengah-tengah.
Frank dan Joe merangkak maju mendahului Morven, lalu duduk sebelah menyebelah
The Flashing Arrow. Dengan demikian, mereka dapat bersama-sama memeriksanya.
Mereka kagum akan keindahan dan kehalusan butannya.
"He, lihat! Ini terlepas!" seru Frank, dan mengangkat alat itu dari tiang
penyangganya. "Mengapa bisa demikian?"
"Mana kutahu," kata Morven sambil mengangkat bahu acuh.
"Seharusnya ada cincin pengunci di ujung tiang itu."
"Di mana itu sekarang?"
"Tidak tahu," jawab Morven. "Barangkali tukangnya yang lupa memasangnya!"
Frank memasang kembali The Flashing Arrow pada tiangnya.
Ia tetap dapat berputar tanpa ada tanda-tanda akan jatuh. Joe memutar, hingga
arahnya menunjuk kepadanya.
Ia merangkak di depan Morven, lalu duduk dengan kaki menjuntai di kedua sisi
bubungan. Dengan ujung-ujung jarinya ia memeriksa ujung panah yang runcing itu. "He,"
katanya. "Kepala panah ini tidak dipatri pada batangnya. Hanya disekrupkan!" Dengan
memegangnya di antara ibu jari dan telunjuk, ia memutarnya.
"Coba lihat," kata Morven. Ia bangkit, lalu membungkukkan tubuhnya melalui
pundak Joe. Tiba-tiba salah satu kakinya terpeleset, dan tubuhnya menimpa Joe. Dengan
berteriak terkejut ia menegakkan tubuhnya, tetapi Joe terbentur olehnya hingga
hilang keseimbangannya. Ia jatuh terguling-guling dari bubungan ke bawah.
Frank memandanginya penuh ketakutan. Adiknya menggelincir ke bawah, dan tubuhnya
berguling-guling melewati talang!
==============================
Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com)
Gudang Ebook http://www.zheraf.net
==============================
Chapter 5 Di ujung tanduk Tanpa ragu-ragu, sambil duduk Frank merosot ke bawah, hingga kakinya dapat
bertumpu pada talang. Ia melihat, ujung-ujung jari Joe berpegangan pada tepi
talang. Karena cepatnya Joe menggeleincir, tubuhnya terayun melewati talang, dan
kakinya terbentur pada tembok. Tanpa disengaja, telapak kakinya mendapat tumpuan
pada bingkai pengikat pipa talang di dinding.
Dengan cepat Frank menangkap pergelangan tangan adiknya.
Joe mengayunkan salah satu lututnya ke atas talang. Dibantu oleh kakaknya, ia
mengangkat tubuhnya masuk ke dalam talang. Ia berbaring sebentar dengan napas
tersengal-sengal! Ia terlepas dari bahaya maut!
"Hebat juga engkau meluncur," kata kakaknya tegang.
"Syukur, tak perlu sampai di finis sana!" jawab adiknya dengan napasnya masih
berat. Setelah napasnya tenang kembali, ia menyusul kakaknya ke bubungan. Morven tetap
menunggu di atas. "Maafkan aku, sampai engkau jatuh," kata mandor itu menyesal. "Kakiku
terpeleset. Tak apa-apakah engkau?"
"Jangan khawatir!" jawab Joe dingin. "Selama ini aku selalu tak apa-apa!" Ia
curiga, bahwa hal itu bukan kecelakaan semata-mata.
Dengan hati-hati ia kembali merangkak ke penunjuk arah angin. Diteruskannya ia
membuka kepala panah. Dilihatnya, bahwa batang anak panah itu berupa tabung yang
panjang. "Makanya, ia begitu ringan hingga mudah berputar ditiup angin," katanya. Ia
mengintip ke dalam tabung itu, kosong tak berisi apa-apa. Kepala panah itu lalu
dipasang kembali. Setelah merasa cukup apa yang dilihat, mereka memutuskan untuk kembali. Bersama
Morven mereka turun, lalu masuk ke loteng melalui jendela tingkap. Chet, yang
tinggal di loteng pucat wajahnya, menyaksikan Joe terlepas dari musibah.
Tangannya sampai gemetaran.
"Engkau benar-benar pandai membuat orang ngeri!" katanya. Ia berusaha keras
untuk menutupi rasa kekhawatirannya.
"Menyesal sekali," kata Joe. "Aku tak mengira, bahwa engkau penonton yang setia!
Apa yang kau ketemukan di loteng ini?"
"Tak ada apa-apa, kecuali sebuah telepon," jawab Chet.
Tangannya menunjuk ke sebuah pesawat telepon, yang dipasang pada tembok. "Sudah
kuperkirakan. Itu berhubungan dengan rumah induk. O ya, sebenarnya pak Hammerley
tadi minta, agar kalian menelepon dia."
Frank mengangkat telepon, dan pak Hammerley menyambutnya.
"Dapat menemukan apa-apa?" tanyanya.
"Ada! The Flashing Arrow terpasang lepas di tiangnya. Saya dapat mencopotnya.
Mengapa bisa begitu?"
Pak Hammerley bingung. "Aku tak mengerti! Seharusnya ada cincin penguncinya.
Nanti kutanyakan kepada Crow. Katakan padanya, agar dia ikut kalian ke rumah."
Ketiganya masuk melalui pintu depan, dan pak Hammerley mempersilakan mereka
duduk di ruang tamu. Ia memerintahkan Morven, agar segera memasang cincin
pengunci. Mandor itu berjanji, akan memasangnya besok pagi.
"Apakah tindakan kita selanjutnya?" tanya pak Hammerley.
"Besok kami akan mengunjungi mereka yang kehilangan penunjuk arah angin," kata
Frank. "Sementara itu lebih baik kami tidur di loteng gudang. Kukira pak Morven tak
berkeberatan cuti dari tugas untuk sementara waktu."
Pak Hammerley setuju, dan Morven tak menunjukkan keberatan. Mandor itu mengambil
sebuah senter dari rak di dinding, lalu memasukkannya ke dalam saku. Ia
mengatakan, hendak memeriksa sapi-sapi padang penggembalaan. Sambil beranjak
pergi ia menoleh dan berkata sambil mengejek kepada ketiga pemuda tersebut:
"Selamat tidur! Mimpilah yang indah-indah!"
Pak Hammerley menunjukkan mereka keliling rumah. Setelah itu ia menceritakan
dongengan-dongengan mengenai Dutch Pennsylvania, serta adat istiadat orang Amish
yang sederhana. Ia juga tertarik, ketika mendengar bahwa tamu-tamunya juga telah bertemu dengan
serombongan orang Amish. "Kami juga bertemu dengan si Maggie Sinting," kata Frank.
Tetapi ia tidak menceritakan tentang peringatan nyonya tua itu.
"O," kata pak Hammerley. "Nyonya tua itu tak mengkhawatirkan. Tak seorang pun
yang memperhatikan dia dengan sungguh-sungguh."
Frank tak ingin menyelidiki nyonya itu lebih jauh lagi. Tiba-tiba Chet
menegakkan tubuhnya. Matanya membelalak, dan hidungnya kembang-kempis.
"Ada apa, Chet?" tanya Frank khawatir.
"Masakan!" seru Chet. "Aku mencium baunya. Aku baru ingat, bahwa kita belum
makan sehari ini!" Bau daging bakar menyelusup dari dapur, dan kakak beradik itu menyeringai.
"Pak, maafkan teman kami ini," kata Frank. "Ia memang sangat ahli tentang
masakan ...." "Aku maklum," kata pak Hammerley tertawa. "Aku yakin, keahliannya akan diuji
sebentar lagi!" Sejam kemudian mereka dijamu sop bawang dalam sebuah pinggan yang besar. Setelah
itu disajikan daging panggang dengan sayuran dan kentang. Akhirnya, nyonya Smith
sebagai pengurus rumah tangga menyajikan es krim. Chet selalu mengambil dua
porsi dari setiap hidangan!
Pak Hammerley terheran-heran melihatnya. "Ya ampun, anak muda! Engkau sungguh
pandai menilai makanan!"
"Memang, pak," kata Joe. "Chet adalah ahlinya soal makanan!"
Setelah malam mulai gelap, ketiga pemuda itu meninggalkan rumah induk menuju ke
gudang. Mereka naik ke loteng, lalu membicarakan siasat selanjutnya. Mereka akan
berganti-ganti berjaga. Mula-mula Joe, kedua Chet dan kemudian Frank. Setelah itu kembali kepada yang
pertama. Mereka berdiri di dekat jendela tingkap, mengintip keluar.
Awan-awan hitam melayang menutupi wajah bulan purnama.
Bayangan pohon-pohonan menjadi nampak menyeramkan. Jauh di bawah, terdengar
melengking suara kucing hutan mencari mangsa.
Kelelawar beterbangan di udara suram, berseliwaran tak bersuara.
Jauh di sana, terdengar bunyi lonceng gereja.
"Jangan nyalakan lampu," usul Frank sambil hendak duduk. "Lampu yang terang
dapat mengusir pencuri."
"Tetapi aku takut kegelapan," kata Chet yang keberatan. "Tempat ini memang
menakutkan bagiku." "Mau tidur di rumah induk sana?" Frank mengejek.
Chet memandangi Frank dengan lesu, tetapi tak menjawab. Akhirnya ia berkata:
"Bagaimana kalau penjahat-penjahat itu terlalu banyak jumlahnya bagi kita?"
"Ada telepon untuk minta bantuan," jawab Frank. "Di samping itu, tanda gambar
guna-guna itu akan melindungi kita!"
Teringat tanda gambar, Chet nampak bertambah kecut hatinya.
Melihat hal itu Frank dan Joe semakin menggoda temannya. Mereka mulai
membicarakan, bagaimana ahli sihir menggunakan guna-guna untuk menyihir lawanlawannya. "Ada hal-hal ajaib yang dapat terjadi di perempatan-perempatan jalan, jika bulan
gelap," kata Joe. Hal itu pernah dibacanya dari buku cerita rakyat.
Chet bergidik. "Sudahlah! Kita bicarakan saja yang lain-lain. Aku hanya
ingin .." " Tetapi teman-temannya tak tahu apa yang diinginkannya. Sebab sebelum kalimat itu
selesai, terdengar suara aneh di atap! Mereka melompat bangun, dan dengan
secepatnya membuka jendela tingkap.
Baru saja mereka hendak memanjat ke atap, nampaklah penyebab suara aneh itu.
Seekor burung Kukubeluk hinggap di dekat elang loyang. Ia memandang ke arah
mereka, lalu berbunyi: "kukukukuk bellluuuk!" Ia membentangkan sayapnya, lalu
terbang tanpa bersuara di kegelapan.
Frank dan Joe tertawa lega. "Lagi-lagi pencuri sinting!" Joe menggerutu.
"Yang jelas, itu mengganggu ketenangan sarafku!" Chet menggerutu pula. Ia
menyeka peluh di dahinya.
Mereka duduk kembali, menunggu di kegelapan. Chet menguap. Ia mengais-ngais
jerami di sudut, menyiapkan tempat untuk tidur. "Aku mau tidur!" katanya sambil
merebahkan diri. Ia menutup matanya, dan segera terdengar suara mendengkur yang memecah kesunyian
di loteng. Joe melirik ke arloji tangannya yang menyala kehijauan. "Sudah waktunya aku
jaga," katanya. "Tidurlah engkau, Frank, kalau mau."
"Baik," jawab kakaknya. "Aku memang perlu memejamkan mata sebentar."
Tetapi sebelum ia dapat memejamkan mata, suara berderik terdengar dari bawah.
"Stt." ia memperingatkan sambil memegang lengan Joe. Mereka duduk diam sambil
memasang telinga. "Suara pintu," bisik Joe. "Barangkali ada angin," Tetapi kemudian mereka
mendengar suara langkah kaki berderik di tangga bawah, satu langkah lagi, dan
seterusnya. "Bukan angin," Frank mendesis. "Ada orang yang naik di tangga!"
Dalam tugas-tugas mereka, mereka telah mengembangkan teknik-teknik untuk
menghadapi keadaan demikian. Tanpa bersuara mereka berjingkat ke balik pintu.
Masing-masing mengambil posisi sebelah-menyebelah pintu.
Langkah mengendap-endap itu semakin mendekat, lalu berhenti di serambi luar.
Frank dan Joe merasa sarafnya menegang. Mereka bernapas tertahan-tahan, sedang
pandangan mereka terpaku ke pintu.
Pintu mulai menguak perlahan-lahan, sesenti demi sesenti.
Setelah setengah terbuka, sesosok bayangan hitam masuk ke dalam.
Kedua pemuda itu melihat seorang laki-laki, tetapi tak dapat mengenalinya.
Mereka serempak bertindak. Joe menangkap dua sikunya, lalu menariknya ke
belakang. Sementara itu Frank menangkap pinggangnya.
Tetapi lawan itu lincah dan kuat. Ia menggeliat lepas dari tangkapan Joe,
kemudian berhasil pula melepaskan diri dari Frank. Ia segera berlari ke arah
pintu, tetapi Frank berhasil menggaet kakinya.
Keduanya segera berguling-guling di lantai, kemudian menggelinding turun tangga!
Suara gaduh itu membangunkan Chet. Bersama dengan Joe, ia menghambur turun.


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa detik kemudian Chet telah berhasil memiting tengkuk lawan!
Chapter 6 Helikopter perompak "Oke, aku menyerah!" orang itu berkata terengah-engah. "Lepaskanlah."
Suara itu mereka kenal! Mereka segera mendorong tangkapan itu ke loteng, lalu
menyalakan lampu. Nampak wajah Crow Morven!
"Setan alas! Untuk apa engkau kemari?" Frank meledak.
"Untuk mengambil jaketku," jawab mandor itu. "Kukira tertinggal di loteng."
"Mengapa harus mengendap-endap?" tanya Joe tajam. "Mengapa tidak mengetuk pintu
dan memberitahu, agar kami tahu bahwa engkau ingin masuk?"
"Kukira kalian sudah tidur. Aku tak ingin mengganggu. Apakah perlu, kalian
memperlakukan aku demikian?"
"Engkau sendiri beberapa kali memukul kami," Chet menuduh. "Kalau engkau
memberitahu lebih dulu, tak terjadi bilur-bilur itu!"
"Aku sadar," Morven menggagap. "Tetapi begitu kalian menubruk, aku menjadi
sangsi. Jangan-jangan pencuri. Siapa tahu, kalau kalian telah mereka ringkus. Sudahlah!
Apakah kalian melihat jaketku?"
"Engkau pakai, sewaktu ke rumah induk!" kata Joe. "Aku lihat sendiri, engkau
memasukkan larnpu senter ke saku jaketmu!"
"O .iya! Aku baru ingat. Kalau begitu, tentu tertinggal di padang gembalaan,"
kata " Morven sambil menepuk dahinya. "Aku menyesal atas terjadinya bilur-bilur itu.
Sampai esok pagi!" Sambil berkata demikian, ia berbalik lalu pergi.
Joe mematikan lampu. "Aku tak mempercayai orang itu!" katanya. "Sudah jelas ia
tidak lupa akan jaketnya. Ia tentu bermaksud jahat hendak mencuri masuk kemari."
"Ingat, ketika ia hendak menghalangi kita memeriksa The Flashing Arrow," kata
Frank. "Mengapa harus berlaku demikian, jika ia memang jujur" Mungkin dialah yang
membuka kunci pengaman, lalu menghalangi kita untuk memeriksa hal itu!"
Chet mengangguk. "Joe, ketika ia membentur engkau, itu bukan suatu kecelakaan!
Barangkali ia sengaja hendak menjatuhkan engkau!"
"Aku sudah merasa sejak semula," Joe mengiakan.
Mereka setuju, untuk selanjutnya mengawasi mandor itu.
Setelah habis berkelahi, minat mereka untuk tidur jadi lenyap. Frank ingat,
mungkin ada baiknya unutk memeriksa gudang itu seluruhnya.
"Mungkin saja Morven meninggalkan sesuatu di bawah, sebelum ia naik ke loteng,"
katanya. "Salah seorang sebaiknya tinggal di sini, sementara yang dua
menyelidiki." Mereka sepakat, Joe tinggal menjaga, sedangkan Frank dan Chet yang menyelidiki
di bagian bawah. Frank mengeluarkan senter sakunya. Dengan bantuan sinar kecil
itu ia bersama Chet turun ke bawah.
Di lantai bawah mereka melihat tangga batu, lalu menuruninya.
Mereka sampai di ruang bawah tanah, yang dibangun dari abu arang yang dipres.
Chet menjerit ketika ada sesuatu yang merayapi kakinya.
Frank meneranginya, dan seekor tikus lari menjauh.
Mereka melihat beberapa mesin pertanian. Sebuah meja panjang berisi alat-alat
perkakas mesin. "Barangkali ini ruang reparasi," kata Frank. Chet menepuk-nepuk sebuah traktor.
"Ingin sekali aku mengendarai si mungil ini di ladang. Akan kutunjukkan,
bagaimana seharusnya membuat alur-alur tanaman!"
Ia duduk di tempat pengemudi. Tangannya yang gatal segera kutak-kutik di
kegelapan, sementara Frank menyinari langit-langit untuk menemukan sesuatu.
Rreengng! Tiba-tiba mesin traktor itu hidup dan mulai bergerak maju. Sebelum
Chet sempat menginjak rem, traktor itu telah menubruk setumpuk peti kosong.
Semua itu hanya terjadi dalam beberapa detik, sehingga Frank hanya dapat
memandangi temannya dengan terpukau. Kepala Chet penuh jerami yang tumpah dari
sebuah peti. Tumpukan peti itu sendiri kini miring, mengancam kepalanya.
Chet hanya terbelalak melihat sebuah peti yang hancur di depannya.
"Aku hanya memutar kunci kontak! Tetapi traktor itu berjalan sendiri!" katanya
membela diri. "Engkau telah memasukkan persneling, tanpa kausadari," kata Frank menahan
tertawa. "Mungkin," kata Chet. Ia segera mengembalikan traktor itu ke tempatnya semula,
lalu melompat turun memeriksa peti-peti yang ditabraknya. "Untung, hanya satu
yang pecah," katanya dengan lega. "Masih dapat digunakan sebagai kayu bakar," kata temannya menenteramkan.
Chet membersihkan kepalanya dari jerami, demikian pula yang ada di leher
bajunya. Kemudian mereka berdua meneruskan penyelidikan. Sinar senter memperlihatkan debu
dan sarang laba-laba di mana-mana. Hanya pada satu blok abu arang pres yang
nampaknya lebih bersih. Semen untuk memasangnya rupanya telah dikorek orang.
"Ha, ini rupanya suatu tempat untuk bersembunyi!" seru Frank. "Mari kita lihat,
ada apa di dalamnya."
Berdua mereka mengungkit batu-batu abu arang itu, terlepas dari tembok. Frank
menerangi ke dalam, dan mereka melihat sebuah bungkusan dari kertas.
"Jangan-jangan sebuah bom," kata Chet ketakutan.
"Aku tak mau ambil risiko," kata Frank. Ia mengambil sebatang kayu panjang dari
lantai. Ia berdiri di samping lubang, lalu mengais-ngais dengan tongkatnya, hingga
kertas pembungkus itu terbuka. Kini nampak sesuatu berwarna putih, berukuran
limabelas kali limabelas senti.
"Bukan bom," kata Frank, lalu meraih dengan tangannya.
Diambilnya benda itu, diperiksanya sebentar, lalu tertawa. Yang berwarna putih
itu adalah kertas pembungkus berlapis lilin. Setelah dibuka, ternyata isinya
beberapa tangkup roti berisi!
"Ada tukang yang menyembunyikannya di sini, supaya tidak dimakan tikus!" kata
Frank. Ia mengembalikan roti itu ke tempatnya. Kemudian, bersama Chet, ia mengembalikan
batu-bata abu arang itu kembali menutup lubang. Mereka melanjutkan penyelidikan
ke pintu belakang. Pintu itu terkunci. Perlahan-lahan mereka berjalan di
sepanjang dinding, hingga kembali sampai di tangga batu.
"Mari kita naik ke lantai dasar," kata Frank. "Kukira sudah tak ada apa-apa lagi
di bawah sini." Chet mengangguk, dan mereka naik ke tangga batu untuk memeriksa di lantai dasar.
Bagian ini digunakan untuk menyimpan biji-bijian untuk benih. Dengan hati-hati
mereka berjalan di antara peti-peti besar berisi biji gandum, gandum hitam,
jelai dan jagung. Pada ujung deretan peti-peti, Frank dibantu sinar senternya membelok ke kanan.
Chet yang ada di belakang, lengan bajunya terkait pada sebuah paku. Ia berhenti
sebentar untuk melepaskannya, kemudian menyusul Frank di kegelapan. Sinar senter
sudah terlalu jauh untuk dilihatnya. Sambil meraba-raba ia berjalan hingga di
ujung deretan peti, kemudian membelok ke kiri, dengan harapan dapat menyusul
Frank. Tiba-tiba ia merasa pundaknya ditepuk. Ia berhenti karena terkejut.
"Engkau ini, Frank," bisiknya gemetar.
Tak ada jawaban. Ia menjulurkan tangannya, dan menyentuh sesuatu. Ia merabaraba. Dengan perasaan lega ia mulai mengerti.
Rupanya ada sebuah karung berisi biji yang merosot tergeser. Sudut karung itulah
yang mengenai pundaknya! Ia menyeka peluh dari wajahnya lalu bergegas maju. Di depan nampak remang-remang
pada dinding gudang. Ia mengira sebuah pintu menuju ke bagian lain. Tentunya
Frank ada di sana! Dengan segera ia melangkah masuk. Disertai teriakan takut ia
jatuh di kegelapan, menimpa setumpuk jagung di dalam lumbung.
Dengan terhuyung-huyung ia bangun. Menyadari bahwa lubang masuk itu terlalu
tinggi baginya, ia berteriak: "Frank! Tolong, Frank!"
Frank baru selesai berkeliling, mendengar suara temannya, lalu bergegas
menghampiri. Lampu senternya diarahkan ke dalam lubang. Nampak Chet berdiri dengan kakinya
terbenam dalam tongkol-tongkol jagung, mulut ternganga dan mata terbeliak sayu.
"Chet! Engkau memeriksa jagung makanan ternak?" tanya Frank sambil tertawa.
"Sudahlah! Tolong aku keluar!" Chet minta dengan memelas.
Frank melihat seutas tali pada katrol pengangkat karung. Ujungnya dilemparkan ke
dalam lubang, sedangkan ujung yang lain ditariknya untuk mengangkat Chet ke
atas. "Aku sudah muak di sini," kata Chet lesu. "Aku hendak keluar. Sekarang juga!"
"Nanti dulu! Kita belum selesai menyelidiki," kata Frank. "Masih ada lantai
dua." "Yah baiklah," Chet menggerutu. "Tetapi jangan tinggalkan lagi!"
Mereka naik lagi ke lantai di atasnya, dan dengan cepat melakukan pemeriksaan.
Isinya hanya perkakas ringan untuk pertanian: sekop, arit, garpu tanah dan
sebagainya. "Tak ada apa-apa di sini," kata Frank. "Kita kembali ke loteng. Lihat, apa yang
dilakukan Joe." Ketika mereka tiba di loteng, Joe tak nampak batang hidungnya!
"Setan alas! Di mana dia?" seru Frank khawatir. Ia menerangi ke sekeliling. "Ia
tak boleh meninggalkan tempat ini tanpa memberitahu lebih dulu!"
"Jangan-jangan telah disergap para pencuri! Ketika tadi kita menyelidik," kata
Chet gugup. "Bisa jadi," jawab Frank muram. "Kita terlalu lama di bawah. Cukup waktu untuk
membawa dia turun tanpa kita ketahui. Aku akan mengejarnya. Engkau tinggal di
sini. Aku akan keluar untuk melihat apa yang terjadi."
Frank menuju ke pintu. Sesosok bayangan hitam nampak menyolok di keremangan
bulan di atas atap. Bayangan itu mengangkat kedua lengannya, seperti hendak
melompat masuk melalui jendela tingkap.
"Frank!" teriak Chet gemetar. "Jangan pergi!"
Frank berbalik. "Ada apa?"
Tanpa bersuara Chet menunjuk ke atap. Ketika mereka memandanginya, bayangan itu
berayun masuk melalui jendela tingkap. Itulah Joe!
"Kukira burung hantu tadi merusakkan keseimbangan The Flashing Arrow, " katanya.
"Aku keluar untuk memeriksanya, sebelum ia jatuh ke tanah. Hal itu akan lebih
memudahkan para pencuri! Kalian menemukan apa-apa di bawah?"
"Tidak ada apa-apa," jawab kakaknya. "Chet malah memeriksa lumbung segala!"
Chet si bulat menggeliat-geliat ketika Frank menceritakan peristiwa yang menimpa
dia. "Sudah - sudah! Jangan ceritakan lagi!" katanya memelas.
"Jangan khawatir. Kita tahu, selalu mengharap bantuanmu," Frank menghibur. "Nah,
kini giliranmu yang jaga!"
Chet lalu duduk bersandar di tembok, sementara kedua temannya berbaring di
jerami untuk beristirahat. Melalui jendela tingkap, Chet melihat mega-mega
melayang melintasi bulatan bulan.
Angin mulai bertiup sepoi-sepoi, menimbulkan sura gemerisik di genteng sirap.
Chet bergidik, tetapi merasa lega karena dia tak seorang diri di loteng gudang.
Menit-menit berlalu dengan lambat. Segala sesuatu sunyi belaka, dan Chet mulai
terangguk-angguk. Tak lama kemudian ia mulai mendengkur! Ia tak mendengar, bahwa
di udara terdengar suara mendengung sayup-sayup, semakin dekat semakin keras.
Tiba-tiba suara berdentang keras di atap membangunkan mereka. Suara gemuruh
lewat menjauh, kemudian mendekat lagi memekakkan telinga, menggetarkan seluruh
gudang. Frank dan Joe melompat ke jendela, sedangkan Chet sendiri menyelusup ke dalam
jerami. Suara itu menjauh sekali lagi, dan kakak beradik itu naik ke atap. Di keremangan
bulan, mereka melihat sebuah helikopter berputar untuk mendekat lagi. Sekali
lagi suara berdentang memekakkan telinga!
"Mau apa heli itu?" teriak Frank, mencoba mengatasi suara gemuruhnya.
"Tak tahulah," teriak adiknya kembali. "Pilot itu tentu sinting! Bisa-bisa
nabrak gudang ini, dia!"
Kini helikopter itu tepat menuju ke arah mereka. Seseorang di dalamnya
mengulurkan seutas tali pada katrol, menjulur kira-kira tiga setengah meter ke
bawah. Pada ujungnya berayun-ayun sebuah jangkar berkait empat.
"Hee! Ada jangkar berkait!" teriak Frank. "Mereka hendak mengait The Flashing
Arrow." Heli itu bergerak lambat-lambat, dan jangkar itu berayun menuju ke penunjuk arah
angin. Salah satu kaitnya mengenai burung loyang dengan suara berdentang. Meleset! Heli
terbang lewat perlahan-lahan, menjauh untuk dapat berputar, lalu mendekat lagi
sedikit lebih rendah. Joe melihat dengan jelas nomor daftar heli itu di sisinya:
JF 333! Kakak beradik itu bergegas ke bubungan, untuk mendahului mengambil The Flashing
Arrow. Tiba di bubungan, mereka merangkak ke penunjuk arah angin. Di kegelapan, hal ini
lebih berbahaya lagi. Tetapi kedua detektif muda itu menggertakkan gigi, sambil
memeras tenaga untuk dapat bergerak secepat mungkin. Frank berada di depan.
Ketika ia hampir sampai ke The Flashing Arrow heli itu kembali lagi terbang
mendekat, tepat ke arahnya. Sedemikian dekatnya, hingga wajah pilotnya nampak di
kaca jendela. Tetapi karena remang-remang, ia tak dapat mengenalinya.
Frank sudah hampir tiba di tempat Flashing Arrow, ketika heli itu mendatangi
dari arah berlawanan. Jangkar berkait itu berayun di bawah batang panah,
mengaitnya lalu talinya ditarik oleh orang yang menarik katrol.
Tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam Frank menerkam ke depan! Kedua
tangannya merentang, dan jari-jarinya mencoba menangkap The Flashing Arrow.
Tinggal beberapa senti lagi! Tetapi The Flashing Arrow terangkat lepas dari
tiangnya. Katrol berputar, dan The Flashing Arrow berayun masuk ke dalam heli!
Sedetik kemudian heli itu terbang menanjak, menghilang di kegelapan malam!
Chapter 7 Di ujung tanduk lagi Frank menelungkup lunglai di bubungan, napasnya tersengal-sengal. Joe hampir
hilang keseimbangannya karena dorongan angin dari baling-baling heli. Beberapa
saat lamanya mereka berdua terdiam di tempat. Kemudian turun kembali masuk ke
loteng."Bangsat, kita harus melaporkan hal ini kepada pak Hammerley," Frank menggumam.
"Aku mengerti," kata Joe. "Tetapi tak ada pilihan lain. Ia mengangkat gagang
telepon dan mendengarkan, diguncang-guncangkannya "Putus!" ia berseru.
Frank melangkah ke jendela tingkap, lalu menarik kabelnya.
"Dipotong! Melihat panjangnya, tentu dipotong di bawah sana. Aku akan ke rumah
induk, melaporkan hal ini kepada pak Hammerley. Engkau dan Chet tetap tinggal di
sini!" Frank lari turun dari gudang lalu menuju ke rumah induk. Ia menekan bel. Karena
tak ada tanggapan, ia menekannya beberapa kali lagi. Kemudian ia memukul-mukul
pintu sambil memanggil-manggil:
"Pak Hammerley! pak Hammerley!" tetapi tetap tak ada jawaban dari dalam.
Frank mengitari rumah, sambil mengetuk-ngetuk setiap jendela dan pintu. Semua
tak ada hasilnya! Ia tertegun sejenak, memikirkan apa yang akan dilakukan
selanjutnya. Tiba-tiba dari sudut matanya ia melihat sesuatu yang bergerak di
semak-semak. Seseorang sedang menyelinap pergi!
Frank berseru agar berhenti, tetapi justru ia mulai berlari. Ia mengejar,
mengikuti suara langkah buruannya. Limabelas meter masuk di hutan, Frank
berhasil menyusulnya. Dengan terengah-engah orang itu membalikkan diri. Nampaklah seketika itu
wajahnya di cahaya senter Frank.
Ternyata Crow Morven! "Untuk apa engkau bersembunyi di semak-semak?" tanya Frank.
"Aku sedang mau pulang. Ketika aku melihat engkau mengitari rumah, kukira
seorang penjahat. Aku lalu mengintip."
"Engkau tidak mendengar aku memanggil-manggil pak Hammerley" Engkau tidak
mengenali suaraku?" tanya Frank.
Mandor itu hanya menggeleng, lalu melepaskan tangannya dari pegangan Frank.
Frank sadar, bahwa ia tak mempunyai wewenang untuk menahan mandor itu, dan
membiarkan ia pergi masuk ke dalam hutan. Fajar sedang mulai merekah.
"Morven adalah tersangka pertama kita," kata Joe, setelah mendengar kisah
kakaknya. Frank setuju. "Celakanya, kita belum punya bukti-bukti!"
Bertiga memutuskan, tak ada gunanya lagi tinggal di loteng, karena penunjuk arah
angin sudah terlanjur hilang. Mereka pergi ke rumah induk, lalu duduk-duduk di
kursi rotan hingga pukul 8.00, waktu pengurus rumah datang. Nyonya itu membuka
pintu lalu membersilakan mereka masuk. Ia juga heran bahwa majikannya belum
bangun. "Biasanya ia sudah bangun kalau aku datang," katanya sambil menggelenggeleng, lalu naik ke atas untuk membangunkan majikannya.


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya petani itu muncul, dengan napas yang berat dan berwajah merah. Sambil
menguap ia mempersilakan mereka untuk sarapan bersama. "Ada sesuatu yang
penting" Apakah ada sesuatu yang penting" Apakah ada sesuatu yang terjadi tadi
malam?" ia bertanya.
"Kami khawatir demikian," jawab Frank ragu-ragu. "The Flashing Arrow (Si Panah
Kilat) dicuri orang!"
"Apa?" suara pak Hammerley kaget.
Frank menjelaskan, bagaimana para pencuri itu berhasil menggaet penunjuk arah
angin itu. Ia melihat wajah merah pak Hammerley dengan rasa khawatir.
"Kalian tahu, bahwa pencuri-pencuri itu berusaha mencuri! Mengapa kalian biarkan
mereka mencuri di depan hidung kalian?" kata petani itu menggeledek.
"Kami tak pernah menyangka akan berhadapan dengan helikopter!" Chet menjelaskan.
"Demikian pula anda!"
Pak Hammerley menjadi agak tenang. "Itu memang suatu alasan. Baru kali ini aku
mendengar, suatu perampokan menggunakan helikopter!" Ia mengernyit berpikir,
lalu duduk di atas meja. "Jadi, penjahat-penjahat itu telah merubah cara operasi
mereka! Apa gambar guna-gunaku masih ada?"
"Masih," kata Joe memastikan. "Mereka tak mempunyai kesempatan untuk
mengambilnya." "Kami telah berusaha menelepon anda," kata Frank. "Tetapi kabelnya telah
diputuskan." Ia menjelaskan, bagaimana ia berusaha menyampaikan berita itu secara pribadi.
Tetapi ia hanya menemukan kesunyian di rumah ini.
"Aku heran, mengapa aku tak mendengar engkau," kata petani itu. "Biasanya aku
mudah terbangun. Tetapi aku pun tak mendengar helikopter yang kausebutkan.
Bahkan aku kesiangan pagi ini! Rasanya enggan ketika dibangunkan nyonya Smith.
Ini mengherankan!" "Tidak mengherankan, kalau anda memang dibius," kata Frank.
Ia mengamati petani itu dengan teliti. "Anda bernapas lambat ketika turun tadi.
Wajah anda pun merah," sambungnya. "Itu adalah gejala-gejala dari khloral yang
dicampurkan pada alkohol. Apakah anda minum sesuatu sebelum tidur?"
"Hanya coklat. Seperti biasanya."
"Di mana cangkirnya?"
"Di atas meja, di dekat tempat tidur. Mungkin nyonya Smith sudah membawanya ke
dapur sekarang." "Kami ingin melihatnya, sebelum dicuci."
Pak Hammerley menunjukkan jalan ke dapur. Pengurus rumah tangga itu justru
sedang akan mencucinya. "Nanti dulu, nyonya Smith!" kata Joe. "Bolehkah kami melihat cangkir itu
sebentar?" Nyonya itu memberikannya. Pada dasar cangkir itu terdapat endapan sisa coklat.
"Kuambil dulu kotak alat-alat," kata Joe, lalu naik ke kamarnya.
Ia kembali membawa kotak detektif kecil mereka, yang selalu dibawa dalam
melakukan tugas. Ia mengeluarkan pipet tetes obat mata yang berisi cairan kimia.
Obat itu diencerkan dengan air sedikit, lalu diteteskan kedalam cangkir berisi
sisa coklat. Maka terbentuklah kristal-kristal yang transparan.
"Haa! Ini Khloral hidrat!" seru Joe. "Pak Hammerley! Anda telah dibius!"
"Dengan dosis yang kuat," sambung Frank. "Siapakah yang membuat coklat ini untuk
anda?" "Nyonya Smith. Seperti biasa," jawab pak Hammerley.
Wajah nyonya itu menjadi pucat. "Aku tak menaruh apa-apa ke dalam coklat tuan
Hammerley!" katanya.
Chet menenteramkannya. "Kami tidak menuduh anda, nyonya."
"Kita coba pula coklat di teko itu," usul Frank. Ia melakukan percobaan yang
sama. Ternyata pada teko juga terdapat obat bius. "Ini berarti, ada orang yang sengaja
menaruh obat bius itu," katanya sebagai kesimpulan.
"Itu tentu terjadi kemarin," kata pak Hammerley. "Sebab aku telah minum dari
teko itu kemarin dulu, dan jelas belum ada apa-apa!"
"Ingatkah anda, siapa yang datang kemarin?" tanya Joe.
Pak Hammerley mengernyitkan dahi. "Hanya beberapa pedagang gandum dari
Lancashire dan beberapa tokoh politik, yang minta suaraku untuk pemilihan yang
akan datang." "Crow Morven juga ada di sini," kata Chet.
"Ya, tetapi hanya di ruang depan," kata pak Hammerley. "Ia tidak masuk ke
dapur." "Ia dapat menyelinap masuk, kalau tak ada yang melihat," Joe memperingatkan.
"Morven tak akan melakukan hal yang demikian!" kata pak Hammerley melindungi
mandornya. "Aku mempercayai dia."
"Ia telah menyelinap ke gudang kemarin malam," Joe mengingatkan lagi. "Ia bahkan
bersembunyi di semak-semak ketika heli itu datang!"
Pak Hammerley hanya mengangkat bahu. "Ia mengira bahwa jaketnya tertinggal.
Malah ia mengatakan kepada kalian bahwa ia hendak pulang. Sampai saat ini ia
memang sering tinggal sampai malam, untuk memeriksa apakah semuanya telah
beres." Frank memberi isyarat kepada Joe agar jangan terlalu mendesak. Rupanya petani
itu terlalu mempercayai mandornya.
Mereka memerlukan bukti-bukti untuk meyakinkan dia tentang kesalahan mandornya.
Pada saat itu mandor masuk. Ketika mendengar apa yang telah terjadi, ia mengejek
kedua kakak beradik. "Kalian memang sekelompok detektif besar! Dikibuli oleh
sebuah helikopter!" Ia mendesak majikannya, agar mau memecat kedua detektif muda itu. Sudah
terbukti, tak dapat menghalangi pencurian.
"Bagaimana pun," katanya, "penunjuk arah angin itu selalu aman ketika saya yang
menjaganya!" "Barangkali engkau lebih tahu tentang heli itu!" kata Chet menantang.
Morven melotot kepada Frank. "Aku ada di bawah ketika heli itu datang. Engkau
melihat aku! Ingat?"
"Benar," Frank mengaku.
Pak Hammerley menengahi pertengkaran itu. "Sebaiknya, apa yang harus kita
lakukan sekarang?" "Kita telah kehilangan The Flashing Arrow," kata Joe. "Tetapi kami telah
bertekad, untuk menemukannya dan membawanya kembali!"
"Dari mana akan kaumulai?" tanya pak Hammerley ragu-ragu.
"Kami mempunyai petunjuk. Kami telah melihat nomor heli itu: JF 333. Apakah anda
dapat mengatakan apa artinya?"
"Mungkin dari Juniper Field," jawab pak Hammerley. "Sebuah lapangan terbang
kecil, lima mil dari sini. Kalian dapat bermobil ke sana, kalau hendak
menyelidiki." "Tak ada gunanya bermobil!" saran Morven. "Jembatan di jalan itu telah hanyut
oleh banjir yang lalu. Sampai kini belum dibetulkan. Kalau memutar, mengelilingi
bukit-bukit, bertambah limapuluh mil lagi. Sedangkan kalau jalan kaki hanya lima
mil." "Ke mana arahnya?"
"Melintas padang gembala, ke arah pohon mapple besar di tepi sana. Kemudian
ikuti jalan setapak di antara dua buah batu yang besar, kalian akan sampai di
Juniper Field." Ia menyambung, bahwa masih ada tugas-tugas yang perlu
dilakukannya, lalu pergi.
"Kalau begitu kita jalan kaki saja," kata Joe. "Bagaimana kalian berdua?"
Frank segera menyetujui, tetapi Chet nampak ragu-ragu. Untuk berjalan kaki lima
mil ia betul-betul tidak menyukainya. Tetapi ditinggalkan di rumah tak ikut
menyelidiki, lebih tak menyenangkan lagi! Jadi ia terpaksa ikut jalan kaki.
Ketika mereka melewati gudang, Morven berada di jendela tingkap, tersenyum geram
sambil mengacungkan tinju kepada mereka.
"Ia tahu lebih banyak daripada yang dikatakan," pikir Frank. "Kita harus
mengawasinya dengan ketat!"
Mereka menyeberangi tanah pertanian Hammerley. Setelah berjalan di antara
ladang-ladang yang sedang dibajak, mereka sampai pada pagar kawat berduri, yaitu
batas dari padang gembalaan. Di dekat pintu pagar terdapat sebuah kandang
terbuka, yang terbuat dari papan-papan yang tebal. Seekor banteng raksasa yang
ada di dalamnya memandangi mereka dengan mata yang ganas. Sambil menggentakgentakkan kaki di tanah, ia melenguh keras, lalu menggeratak pagar dengan
tanduknya. "Syukur bahwa sapi itu tidak lepas," kata Chet dengan rasa ngeri.
"Sama dengan pikiranku!" kata Joe.
Mereka melalui pintu pagar dan masuk ke dalam padang rumput. Pohon mapple yang
nampak di batas seberang menjadi penunjuk arah mereka. Dengan langkah-langkah
yang cepat mereka berjalan ke arah itu. Kini luasnya padang, kadang-kadang hanya
dipecahkan oleh sebatang pohon atau semak.
Chet kembali lagi mempercakapkan Morven. "Rupanya kita ini bukan kesayangan
dia," katanya. "Barangkali ia hanya hendak menggoda kita dengan menyuruh berjalan kaki
ke Juniper Field. Apakah tidak lebih baik kalau balik saja, lalu naik mobil?"
"Tak mungkin," Frank hanya tersenyum. "Biarlah kita berkendaraan kaki saja."
"Tak ada alasan bagi Morven untuk menggoda kita," kata Joe. "Bagaimana pun kita
tentu dapat menemukan tempat itu. Kita pun tahu bahwa ia berdusta. Dia tak akan
menyesatkan kita, kecuali ada maksud tertentu."
"Aku sungguh-sungguh berharap, semoga ada mobil yang lewat, agar kita dapat
membonceng," Chet mengeluh.
Mereka berada di pertengahan padang, ketika bumi tiba-tiba terasa berguncang. Di
belakang segera terdengar derap kaki yang mendekat.
Ketika menoleh, mereka terkejut melihat banteng itu sudah ada di luar kandang,
berlari kencang ke arah mereka. Matanya menyala-nyala, dan uap air memancur dari
lubang hidungnya. Tanduknya berayun-ayun ganas sambil berlari seperti kereta api
ekspres! Chet berjalan agak menyamping dari kedua temannya. Rupanya banteng itu justru
memilih dia sebagai sasaran!
Chet berbalik, lalu mulai berlari. Tetapi ia tersandung sebuah batu, lalu jatuh.
Banteng itu merendahkan kepalanya sambil melaju, siap untuk menanduk!
Chapter 8 Samaran Dalam sekejap Frank melepaskan bajunya yang berwarna merah bata. Dilambailambaikannya di sisi tubuhnya, seperti mantel seorang matador. Usaha itu
berhasil mengalihkan perhatian banteng. Ia membelok, menyerbu ke arah baju,
menyerempet Chet hanya beberapa senti.
Frank melambaikan bajunya sambil menjauh dari temannya, dan sekali lagi banteng
itu menyerbunya. Frank berhasil menggiring banteng dengan mengikuti bajunya, dan Chet
berkesempatan untuk merayap bangun. Ia lari ke pohon yang terdekat, lalu
memanjat ke atas, bersembunyi di balik daun-daunan.
Frank terus bermain matador. Selangkah demi selangkah ia mundur, sambil
memainkan bajunya dari satu sisi ke sisi yang lain.
Dengan perlahan tetapi pasti, ia menggiring ke arah kandangnya.
Serbuan yang terakhir membuat banteng itu nyelonong masuk ke kandangnya. Joe,
yang selama itu mengikuti gerak-gerik kakaknya, dengan sigap memasang palang
pintu kandang. "Engkau seharusnya menjadi matador, Frank," serunya.
"Terimakasih! Tak usah ya! Aku tak ingin ada di sini kalau banteng itu lepas
lagi." Joe berusaha menguatkan kunci kandang itu, tetapi tak berhasil.
"Sekrupnya kendor!" serunya. "Tak dapat menutup dengan pas. Jangan-jangan ada
orang yang sengaja mengendorkannya! Aku sangsi, apakah Morven yang berbuat ini!"
"Mungkin ia memang ada maksud tertentu, dengan menyuruh kita berjalan kaki di
sini," kata Frank. "Ia lalu mengendorkan sekrup itu. Tetapi kita tak mempunyai buktibukti!" Joe mengeluarkan sebuah obeng serbaguna dari sakunya.
Sementara itu Frank memeriksa bajunya. Ternyata hanya sobek sedikit, tergores
tanduk banteng. Sambil mengenakan baju ia menghampiri Chet yang masih tetap ada
di atas pohon. "Apakah sudah aman untuk turun?" tanya Chet takut-takut.
"Aman dan damai," jawab Frank.
Ketiga pemuda melanjutkan perjalanan. Di dekat pohon mapple mereka melihat pintu
pagar dan jalanan menuju ke hutan. Mereka pun mengenali dua buah batu besar yang
disebut oleh Morven. Sebuah pesawat kecil mendengung rendah di atas mereka,
menghilang di balik puncak pohon-pohon. Mereka juga mendengar suara mesin
pesawat yang sedang dipanasi.
Ketika mencapai tepi hutan, mereka telah berada di wilayah lapangan terbang.
Pesawat yang mereka lihat tadi, kini sedang berhenti melandas di depan menara
pengawas. Sebuah lagi sedang berputar menuju ke landasan hendak tinggal landas. Sejumlah
pesawat ringan berjajar di sekitar pinggiran lapangan.
Sebuah helikopter berdiri di belakang menara pengawas, bertanda JF 333 pada
sisi-sisinya. "Nah, itulah helinya!" kata Joe. "Yang kita lihat menggaet Fhe Flashing Arrow."
"Mari kita periksa," kata Chet sambil berjalan menuju ke heli itu.
Frank menahannya. "Jangan dulu. Kita harus minta izin dulu di kantor. Kalau
tidak, kita dapat ditahan, jika pemiliknya meniup peluit!"
Di kantor, Frank bertanya kepada petugas,siapa pemilik heli itu.
"Itu milik kami," jawabnya. "Juniper Field. Heli itu disewakan."
"Apakah heli itu telah disewa baru-baru ini?"
"Baru malam tadi. Mengapa bertanya begitu?"
Untuk menghindarkan kecurigaan Frank berkata: "Kami sendiri mungkin akan
menyewanya. Bolehkah kami melihat-lihatnya?"
"O, silakan!" kata petugas itu.
"Dapatkah anda mengatakan, siapa yang menyewanya tadi malam?"
"Seorang yang jangkung berjanggut hitam, memakai kacamata hitam." Petugas itu
membalik-balik buku catatannya. "Namanya, menurut Surat Izin Terbangnya, John
Jones. Setelah mendarat terus membayar sewa dan pergi."
Mereka keluar dari kantor, dan Frank berkata: "Nampaknya seperti memakai
samaran. Nama itu pun mungkin juga nama samaran."
"Yang jelas, tidak mungkin si Crow Morven," kata Chet. "Morven ada di darat
ketika heli itu datang."
Helikopter itu model kecil. Kokpitnya yang berkaca tahan pecah memberikan
pandangan ke segala arah, dan berisi dua tempat duduk bagi pilot dan kopilot.
Ruang di belakangnya dapat pula memuat orang yang duduk meringkuk.
Ruang itu memuat sebuah katrol, berupa sebuah roda yang bekerja secara hidrolis.
Bagian ekor terbentuk dari batang-batang baja, yang memberikan keseimbangan yang
sempurna. Alat pendaratnya berupa tiga buah roda, dua di depan dan satu di belakang.
Pesawat itu nampak baru saja digunakan. Tetesan-tetesan minyak pelumas nampak di
badan pesawat di bawah kotor, sedangkan roda-rodanya berlumpur kering.
"Tadi malam tentu ada dua orang yang menaikinya," kata Frank. "Pilot, dan orang
yang menarik katrol."
Chet naik ke tempat duduk belakang, lalu memutar-mutar katrol. "Tak ada kabel
atau jangkarnya," ia memberitahu Frank dan Joe. Keduanya duduk di depan. "Tentu
sudah mereka bawa!" "Ya. Bersama dengan The Flashing Arrow.
" Kakak beradik itu merupakan pilot-pilot yang cukup berpengalaman. Mereka
memeriksa papan instrumen. "Ingin sekali aku menerbangkannya," kata Frank. "Aku
yakin, pesawat ini dapat terbang sangat manis!"
"Itu telah kita saksikan tadi malam," Joe mengingatkan. "Kalau mau, pilotnya
dapat mendaratkannya di pangkuan kita! Mudah-mudahan saja ia meninggalkan kartu
pengenal di sini." Selama setengah jam mereka menggeledah pesawat. Tetapi yang mereka temukan hanya
kartu-kartu peraturan terbang, peraturan lapangan dan petunjuk-petunjuk
perawatan. "Tak ada apa-apa," kata Frank kecewa. "Mari kita turun."
Ketika ia akan turun, bajunya menyapu tempat duduk. Secarik kertas kecil
terlipat jatuh ke lantai pesawat. Sesuatu yang berwarna merah melintas di mata
Joe. Ia memungut kertas itu, dan terkejut melihat tanda gambar guna-guna!
Gambar itu berupa sebuah segilima merah di dalam segiempat putih, dilingkari
lingkaran hitam. Mereka melihatnya dengan terpesona.
"Itu tanda gambar pak Hammerley! seru Chet.
"Apakah ada apa-apanya di sebaliknya?" tanya Frank.
Joe membalik kertas tersebut. Tertulis dengan huruf besar: CHESAPEAKE CROSSING.
Selain itu tak ada tulisan apa-apa lagi.


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chet menggaruk-garuk kepala. "Aku belum pernah mendengar nama Chesapeake
Crossing. Apakah itu nama kota?"
"Memang. Di Teluk Chesapeake," jawab Joe. Mereka turun dari pesawat, lalu
kembali ke kantor. Mereka mengatakan pada petugas, bahwa tak jadi menyewa heli.
Kemudian mereka pergi ke kantor polisi di kota yang terdekat, menanyakan alatalat penunjuk arah angin yang telah dicuri.
"Kami belum menemukan titik terang mengenai perkara-perkara ini," kata polisi
yang bertugas. "Tidak ada petunjuk sama sekali?" tanya Frank.
"Satu-satunya yang kami dengar dari seorang informan hanyalah, ada tukang tadah
untuk barang-barang tersebut di daerah Chesapeake, wilayah Maryland."
Ketiga pemuda itu heran, tetapi tak mengungkapkan petunjuk yang mereka dapatkan.
"Informan kami itu belum tahu di mana tempat tukang tadah tersebut," kata sersan
itu. "Tetapi polisi Maryland sedang menyelidikinya. Hanya itulah yang dapat
kukatakan." Setelah keluar, Joe berkata: "Lebih baik kita pergi ke Chesapeake Crossing.
Mungkin The Flashing Arrow ada di sana, bersama-sama dengan yang lain-lain yang
hilang. " Frank mengangguk. Di samping itu, ayah ada di Washington. Masih cukup dekat
untuk " membantu ayah jika diperlukan."
Mereka berjalan-jalan di kota, dan sampai pada musium kebudayaan daerah.
Gedungnya bertingkat satu, dengan bagian kiri-kanannya ada sayap tambahan.
Papan di atas pintu depan berbunyi: Pameran Alat-alat Penunjuk Arah Angin.
"Mari kita masuk," usul Frank. "Mungkin dapat memberikan pikiran-pikiran baru
bagi kita!" Ternyata, hanya mereka bertiga pengunjungnya!
Kurator musium itu keluar dari kantornya. Orangnya gemuk dan periang, mengenakan
celana lenan putih, kemeja putih dan memakai kacamata berbingkai tanduk. Ia
memperkenalkan diri, bernama Gaspard Clay. Kebiasaannya selalu mendehem jika
sedang berbicara. "Nah, kalian, hmm, merupakan pengunjung pertama, karena itu, hmm, biarlah kubawa
berkeliling," katanya menawarkan diri. "Kalian dapat, hmm, melihat seluruh
isinya, kecuali, hmm, ruang di sayap barat. Sebab, hmm, itu sedang diperbaiki."
"Kami ingin melihat pameran penunjuk arah angin," Joe memberitahu.
"Nah, ikutilah aku. Pameran itu ada di , hmm, sayap timur."
Sekitar seratus penunjuk arah angin tergantung di dinding, atau dipasang pada
meja yang panjang. Bermacam-macam bentuk dan ukurannya. Ada yang terbuat dari
kayu, ada pula yang dari logam.
Kebanyakan berupa bentuk hewan.
Tetapi ada pula yang berbentuk bintang, bulan sabit atau matahari terbit.
Pak Clay mengajak berkeliling, sambil menjelaskan dengan bersemangat tentang
pentingnya alat-alat penunjuk arah angin.
"Sebelum ada radio dan televisi, hmm, para petani sangat menggantungkan diri
pada, hmm, pada mereka. Merekalah yang, hmm, menunjukkan arah bertiupnya angin.
Dengan demikian, hmm, para petani dapat membuat, hmm, kesimpulan, apakah akan
turun hujan. Tentu saja,"
katanya sambil tersenyum, "alat-alat itu, hmm, tak dapat meramalkan jauh-jauh
sebelumnya. Tetapi, hmm, mereka sangat berguna untuk, hmm, meramal sehari-hari."
Sebelum mereka keluar meninggalkan pameran, Joe mengatakan tentang pencurianpencurian alat-alat itu yang sedang banyak terjadi. "Pak Clay, apakah anda tahu
tentang alat-alat yang telah dicuri itu?"
"Hmm, tentu saja aku tahu. Aku selalu mengikuti, hmm, perkembangan setiap
penunjuk arah angin di, hmm, sini. Beberapa di antaranya, hmm, yang kuingat
sebagai yang terbaik, hmm, telah hilang."
"Tetapi tentunya anda tidak tahu siapa yang mencurinya, bukan?"
"Tidak. Kukira, hmm, kalian tentu sudah mendengar tentang, hmm, Galloping Rider,
bukan" Menyedihkan, bahwa benda sebagus itu telah, hmm, dicuri orang!"
"Memang," Frank mengiakan. "Kami sedang menyelidiki pencurian-pencurian itu."
"Kami telah melihat The Galloping Rider di pelelangan!" seru Chet. Ia
menceritakan peristiwa itu.
"Kalau begitu, hmm, kuharap saja kalian akan, hmm, lebih berhasil untuk
selanjutnya," kata pak Clay. "Orang yang mencurinya, seharusnya di hmm, penjara. Nah, kalau
ada orang " yang, hmm, mencoba membawa The Galloping Rider itu ke musium ini, hmm, kalian
akan kuberitahu!" "Anda dapat menghubungi kami di pertanian Hammerley," kata Joe.
"Wah! Gudangnya dengan, hmm, The Flashing Arrow! Itu barang antik yang sangat
indah, dan, hmm, berharga!"
"Itu juga telah dicuri! Malam tadi!"
Pak Clay menggeleng-geleng dengan kecewa. "Sayang sekali! Hmm, itu adalah yang
paling, hmm, bagus di daerah ini."
"Apakah nama Chesapeake Crossing mempunyai arti tertentu bagi anda?" tanya Joe
tiba-tiba. Kurator itu tersenyum. "Tentu saja!" serunya.
Chapter 9 Tersangka Dengan terkejut mereka memandanginya. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah
ini merupakan petunjuk yang sedang mereka nanti-nantikan"
"Di sana adalah tempat yang paling bagus untuk, hmm, kepiting!" kata pak Clay
dengan riangnya. "Aku selalu, hmm, pergi ke sana setiap ada, hmm, kesempatan.
Mulai dari sana, hmm, ada duaratus mil sepanjang teluk yang, hmm, penuh dengan
kepiting!" Sekali lagi kakak beradik itu kecewa!
Hanya Chet yang nampak gembira mendengar ucapan pak kurator. Kata kepiting membayangkan kepiting rebus yang sedap baginya!
"Di sana, hmm, ada sebuah marina di dermaga," kata pak Clay selanjutnya. "Kalian
dapat menyewa sebuah perahu, dan pergi ke teluk-teluk karang. Hmm, kepitingkepiting itu tinggal, hmm, dipunguti. Apa yang kalian perlukan, hanyalah, hmm,
sebuah jaring. Aku biasanya, hmm, mengukus sebagian dari hasilku di, hmm pantai.
Sebagian lagi kubawa, hmm, pulang. Aku mempunyai resep khusus, kalau, hmm,
kalian ingin mengetahuinya!"
Mata Chet berbinar! Tetapi Frank dan Joe dengan cepat berkata: "Jangan sekarang, pak. Kami harus
pulang dulu ke pertanian pak Hammerley."
Pak Clay menjabat tangan mereka dengan ramah. "Jika kiranya aku dapat, hmm,
membantu kalian, beritahulah!" ia menawarkan diri.
Ketiga pemuda itu berjanji, kemudian meninggalkan musium.
Mereka kembali ke Juniper Field. Dari sana sekali lagi mereka harus berjalan
kaki jauh ke pertanian. Chet sudah tersengal-sengal ketika sampai. Mukanya
merah, kakinya terasa sakit.
Nyonya Smith mengatakan, bahwa pak Hammerley sedang ada di padang gembalaan. Ia
juga mengatakan, bahwa pak Hammerley telah menelepon polisi, melaporkan
pencurian dan pembiusan. Dua orang polisi telah datang, dan melakukan penggeledahan. Tetapi mereka pergi
tanpa menemukan sesuatu. Melihat mereka kecapaian dan kepanasan, nyonya itu menyediakan seteko limun dan
sepiring kue-kue. Dengan rasa terimakasih mereka segera melahapnya. Tiba-tiba
telepon berdering. Ternyata pak Fenton Hardy.
"Apa saja yang telah kalian lakukan selama ini?" tanya pak Hardy. "Ada
perkembangan tentang perkara penunjuk arah angin itu?"
Frank menceritakan perihal pencurian The Flashing Arrow.
"Penjahat-penjahat itu sungguh cerdik," kata pak Hardy. "Apakah kalian berhasil
melacak heli itu?" Joe menjelaskan bagaimana mereka menemukan pesawat itu di Juniper Field.
Demikian pula penemuan secarik kertas berisi gambar guna-guna dan nama
Chesapeake Crossing. "Chesapeake Crossing!" seru pak Hardy. "Ha, di sanalah tempat Clifford Hunter
dilihat orang terakhir kali!"
"Apakah perahu layarnya belum diketemukan?" tanya Frank.
"Belum. Pihak AL bukan saja hanya mengawasi Chesapeake Crossing, tetapi bahkan
seluruh pantai timur! Mereka mengawasinya dengan ketat semenjak ia menghilang.
Tetapi belum juga diketemukan."
"Apakah pemilik Marina, di mana ia menitipkan perahunya, sudah ditanyai?"
"Sudah. Ia pun tak dapat memberikan petunjuk. Pada mulanya orang belum menaruh
perhatian tentang tidak pulangnya Hunter. Sebab ia memang sering berlayar di
Teluk Chesapeake untuk beberapa hari. Di samping itu, mereka juga tahu bahwa
cuaca sangat bagus. Jadi tak ada alasan bahwa perahu itu tenggelam dalam topan."
"Barangkali kandas pada salah satu pulau di teluk itu," kata Joe.
"Nampaknya mustahil," jawab ayahnya. "Hunter terkenal sebagai orang yang ahli.
Sangat hafal setiap sudut di teluk. Tetapi AL masih tetap mengirimkan pesawat
pengintai untuk mencarinya, dan belum juga berhasil. Sekarang aku akan ke
Chesapeake Crossing untuk menyelidiki."
"Kami juga akan ke sana," kata Frank. Kalau begitu kita adakan pertemuan, untuk
membanding-bandingkan petunjuk-petunjuk."
Ayahnya tertawa. "Jangan dulu. Kalian akan mendapat tugas lain terlebih dulu.
Aku telah mengatur, agar kalian mendapat penjelasan di Pentagon. Jangan lupa
membawa kartu pengenalmu."
"Apa yang harus kami lakukan di sana?" tanya Joe.
"Mintalah bertemu dengan Joeseph Wickerson. Ia adalah kepala bagian di AL tempat
Clifford Hunter bekerja. Ia akan memberikan perincian-perincian mengenai dokumen
yang hilang. Setelah mendapat penjelasan, pergilah ke Chesapeake Crossing. Kita
akan bertemu di sana, untuk mendapatkan cara memecahkan perkara ini. Barangkali
saja kita beruntung, sekaligus dapat memecahkan perkara penunjuk arah angin
pula. Aku akan tinggal di Motel Sunset."
Setelah beberapa menit mengadakan percakapan, pak Hardy meletakkan gagang
teleponnya. Frank dan Joe kembali menemui Chet.
Melalui pintu dapur mereka melihat nyonya Smith sedang mencuci alat-alat dapur.
Ia sedang memegang sebuah teko coklat.
Frank memberi isyarat kepada adiknya, lalu berbisik: "Aku mendengar dari pak
Hammerley, bahwa coklat itu disimpan di tempat penyimpanan kue dan dikunci. Jadi
tak seorang pun yang dapat membubuhkan obat bius."
"Tentunya nyonya Smith mempunyai kunci dari tempat penyimpanan kue itu, yang
tidak diketahui oleh pak Hammerley," bisik Joe kembali. "Mari, kita intip dia."
Nyonya Smith beranjak dari tempat cuci, lalu keluar dari dapur.
Kakak beradik itu mengikutinya ke atas. Ternyata nyonya Smith menuju ke sebuah
kamar tidur. "Itu tentu kamar tidur pak Hammerley," bisik Frank. "Nyonya Smith sedang membuat
coklat untuk malam ini. Jangan-jangan juga sudah dibubuhi obat bius!"
"Kalau demikian berarti, bahwa nyonya itu juga anggota komplotan, dan mereka
sedang merencanakan sesuatu!"
Frank mengangguk. Bersama-sama mereka berjingkat-jingkat ke pintu, lalu
mengintip ke dalam. Nyonya Smith sedang berdiri membelakangi mereka di dekat
sebuah meja kecil. Ia masih memegangi teko coklat. Dengan menahan napas kedua
pemuda itu menunggu tindakan nyonya itu selanjutnya. Mereka berharap, dapat
menangkap basah nyonya itu sedang membubuhkan obat bius.
Ketika mereka asyik mengawasi, pengurus rumah tangga itu membungkukkan tubuhnya
ke arah suatu rak di dinding dekat tempat tidur. Ternyata nyonya itu menyiramkan
isi tekonya pada sebuah pot berisi tanaman!
Kakak beradik itu meringis kecewa. Mereka baru saja hendak pergi dengan diamdiam, ketika nyonya itu membalikkan tubuhnya dan melihat mereka.
"Aku hendak mengatakan sesuatu kepada kalian," katanya.
"Celaka!" pikir Frank. "Inilah upahnya kami mengintip dia!"
"Mengenai kemarin malam," sambung nyonya itu.
"Mengenai apa?" tanya Joe.
"Ya, ketika aku sedang membawa teko coklat kemari, aku seperti mendengar
langkah-langkah orang. Hal itu mengherankan, sebab tuan Hammerley sedang ada di
kamar tidurnya, sedangkan para pegawai sudah pulang semua. Pada mulanya aku
hanya mengira, bahwa aku hanya berkhayal. Tetapi aku lalu melihat sesuatu di
dapur." "Apa itu, nyonya Smith?" tanya Frank ingin tahu.
"Salah satu jendela dapur tidak dikunci. Padahal aku selalu mengunci semua
jendela sebelum aku menghidangkan coklat ke kamar tidur. Aku berpikir, tentu ada
seseorang yang masuk ke dapur selama aku sedang ada di atas! Pikiran itu belum
timbul padaku tadi pagi, terdesak oleh kehebohan-kehebohan tadi. Kini aku baru
teringat!" "Lalu" Apa yang nyonya lakukan?" tanya Joe.
"Jendela itu kukunci lagi. Aku lalu memeriksa seluruh isi rumah, untuk
meyakinkan diriku, bahwa tak ada seorang pun yang masih ada di dalam. Kemudian
aku baru pulang." "Kalau begitu, siapa pun yang mencuri masuk ke dapur, tak mungkin lagi
membubuhkan obat bius pada coklat, karena sudah anda bawa ke kamar tidur," kata
Frank. Joe menjentikkan jari-jarinya hingga berbunyi. "Aku mengerti sekarang! Orang
yang membubuhkan obat bius itu menyelinap masuk dan membuka jendela. Dengan
demikian, malamnya ia dapat masuk kembali untuk menghilangkan bukti-bukti.
Tetapi anda telah mengakali dia, nyonya! Dia tentu menjadi kalap ketika tahu
bahwa jendela telah terkunci kembali! Anda telah menyelamatkan bukti yang
penting, tanpa nyonya sadari!"
Pengurus rumah tangga itu nampak senang ketika ikut kakak beradik turun ke
bawah. Ia merasa bangga, ikut terlibat dalam memecahkan perkara itu.
Ketika pak Hammerley datang, ia mendengarkan rencana-rencana pemuda-pemuda itu
untuk pergi ke Chesapeake Crossing.
"Aku tak mengenal sama sekali tempat itu," ia mengaku. "Tetapi aku tak
berkeberatan kalian pergi ke sana. Asal saja kalian dapat mengembalikan The
Flashing Arrow. Kapan kalian berangkat?"
"Besok pagi," jawab Frank. Ia tak mengatakan, bahwa mereka akan singgah dulu ke
Washington, karena tak ingin menggelisahkan pak Hammerley dengan ikut serta
mereka dalam memecahkan perkara mata-mata di Pentagon.
"Apakah ada yang perlu kalian ketahui sebelum berangkat?" tanya pak Hammerley.
"Apakah ada yang anda curigai dari pegawai-pegawai anda, yang kira-kira terlibat
dalam komplotan pencuri?" tanya Frank.
"Aku tak mencurigai siapa pun," jawab pak Hammerley. "Tetapi dua minggu yang
lalu aku telah memecat seorang. Kulihat ia mondar-mandir di sekitar ini, dan aku
menangkap basah ketika ia sedang mencuri makanan. Tetapi aku tak pernah
menyangka, bahwa ia mencuri penunjuk arah angin itu. Namanya Ed Bryle."
"Di mana kami dapat menemukan dia?" tanya Joe.
"Aku tak tahu. Aku membayar gajinya, dan ia pergi tanpa menyebutkan tujuannya."
"Apakah anda mempunyai potretnya?" tanya Frank.
Pak Hammerley mengangguk. Ia pergi ke meja tulisnya lalu mengambil sebuah potret
dari laci. Potret itu diberikannya kepada Frank untuk dilihatnya. Chet dan Joe
ikut melihatnya melalui pundak Frank. Bryle bertubuh pendek, wajahnya keriput
dan mengenakan baju terusan.
"Inilah orang yang kami lihat di pelelangan!" seru Frank.
"Dialah yang merebut The Galloping Rider dari tangan Joe. Lalu melarikan diri!"
Telepon berdering. Nyonya Smith mengatakan ada telepon untuk kakak beradik
Hardy. "Tentu ayah lagi," Frank menerka. Ia menyambutnya, dan adiknya berdiri di
sampingnya untuk ikut mendengarkan.
Terdengar suara parau tajam memperingatkan: "Anak-anak Hardy, awaslah terhadap
guna-guna!" Chapter 10 Serangan di jalan pelataran
Telepon langsung ditutup. Frank masih memeganginya sejenak dengan terheranheran. Kemudian diletakkannya dan berpaling kepada adiknya. "Engkau mengenali
suaranya?" Joe menggeleng. "Terdengarnya aneh. Aku belum pernah mendengar suara yang
demikian." "Aku juga. Tetapi komplotan itu rupanya tak henti-hentinya berusaha, agar kita
menghentikan penyelidikan kita."


Hardy Boys Mata Mata Di Pentagon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu berarti, bahwa untuk selanjutnya kita harus selalu waspada. Mungkin mereka
akan menggunakan tukang pukul, untuk menghentikan usaha kita."
Mereka memberitahukan peringatan itu kepada Chet dan pak Hammerley. Keduanya
nampak sangat terkejut. "Aku tak mengenal orang yang suaranya seperti yang kalian sebutkan," kata pak
Hammerley. "Apakah itu bukan hanya olok-olok saja?"
Frank mengangkat bahu. "Kita harus dapat memecahkan perkara ini, sebelum dapat
menjawab pertanyaan itu."
*** Esok paginya, Chet menerima telepon dari Iola. Ia mengatakan bahwa Chet terpilih
untuk mewakili SMA Bayport dalam lomba panahan senegara bagian. Karena
mengetahui, bahwa Chet ingin sekali ikut dalam perlombaan tersebut, Frank dan
Joe membujuk temannya agar dia mau ikut serta.
"Kami toh akan bertemu ayah," kata Joe. "Dia tentu akan membantu kami."
"Usahakanlah agar engkau menang," sambung Frank. "Demi kehormatan kota kita
Bayport. Sebaiknya engkau ikut kami ke Washington, lalu pulang naik pesawat dari sana."
Setelah sarapan, mereka keluar menuju ke mobil sewaan mereka. Seorang pegawai
pertanian telah menyiapkannya di jalan masuk halaman di depan rumah. Pada saat
itu datang sebuah mobil pickup, dikendarai oleh Crow Morven, ketika mereka masih
berdiri di samping mobil sambil bercakap-cakap dengan pak Hammerley.
Pickup itu berhenti di jalan masuk yang menurun, dan Morven melompat turun lalu
menghampiri mereka. Tiba-tiba pickup itu mulai bergerak. Makin lama semakin cepat di jalanan yang
menurun. Arahnya langsung menuju ke tempat mereka!
Frank hampir saja tak sempat memberitahu teman-temannya.
Chet dan pak Hammerley melompat ke dalam semak-semak. Joe, yang paling dekat
dengan pickup, melompat ke atas kendaraan tersebut. Dengan segera ia membuka
pintu, lalu menyerobot masuk dan duduk di belakang kemudi. Kakinya segera
menginjak rem. Morven sendiri belari-lari di belakang pickup sambil berteriak-teriak. Ketika ia
sampai di tempat mereka, Frank memandanginya dengan tajam: "Engkau sengaja
mengarahkan pickup itu kepada kami!"
Mandor itu membantah dengan ngotot. "Aku lupa memasang rem tangan! Itu bukan
kesengajaan! Percayalah!" Tetapi mulutnya menyeringai ketika mengucapkan
demikian. Chet mengacung-acungkan tinjunya di depan hidung Morven.
"Lain kali, awas ya! Tiada maaf lagi, akan terjadi tabrakan antara tinjuku
dengan hidungmu! Mengerti?"
Pak Hammerley melihat pertengkaran itu sambil mengernyitkan dahi. "Morven, aku
yakin engkau tidak sengaja. Tetapi untuk selanjutnya, engkau harus hati-hati,
jangan mencelakai orang lain."
"Tentu, tuan Hammerley," jawabnya tak acuh sambil ngeloyor pergi.
Joe memarkir pickup, lalu kembali ke tempat teman-temannya.
Mereka naik ke mobil sewaan, berpamitan kepada tuan rumah, lalu berangkat.
Joe yang menyetir. Kira-kira tiga mil di perjalanan, mereka melihat sebuah kereta datang dari
depan. Untuk menghindari kecelakaan, Joe memarkir mobilnya di pinggir jalan,
dengan mesin tetap hidup. Kereta itu berhenti di tengah kepulan debu.
Ternyata si nyonya tua bermata liar. Rambutnya awut-awutan.
"Itu Mad Maggie! Si Maggie Sinting!" seru Frank.
"Betul! Aku si Maggie Sinting!" teriak nyonya sinting itu. "Aku juga ditemani
kawanku, tahu?" Ia menunjukkan sebuah sangkar burung di tempat duduk sebelahnya.
Seekor burung kukuk beluk yang besar membelalak memandangi mereka dari dalam
sangkar. "Apakah itu burung hantu tukang sihir?" tanya Joe.
"Iya. Betul!" "Apakah ia dapat berbicara?"
"Iya. Ia bisa berbicara! Dengar." Ia membungkuk ke sangkar lalu berkata kepada
burung itu: "Nah, manis! Apa katamu kepada anak-anak Bayport yang datang kemari
ini?" Burung itu mengepak-ngepakkan sayapnya lalu berbunyi.
Chet merasa ngeri, seolah-olah sebuah tangan yang dingin sedang memegangi
pundaknya. Ia menelan ludah ketika suara burung itu memarut telinganya. "A-apa
artinya itu?" ia bertanya.
"Ia berkata, guna-guna telah mulai bekerja! Seharusnya kalian segera pulang
ketika si Maggie Sinting memperingatkan!"
Chet mengerling ke arah Joe. Pikirnya: "Kuharap Joe lekas menjalankan mobilnya,
sebelum tukang sihir itu terbang naik gagang sapunya!"
Burung itu berbunyi lagi dengan suara perlahan, kemudian berhenti dengan tibatiba. "Kalian tahu maksudnya?" tanya si Maggie Sinting. "Maksudnya: jika cuaca
berangin, arah penyelidikan kalian akan berantakan!"
Joe terpukau. Apakah kata-kata angin dan arah itu ada hubungannya dengan perkara
penunjuk arah angin"
"Pembalap akan ngebut dan panah-panah berkilatan!" sambung Maggie Sinting.
Frank memandangi dia. "Apakah engkau berkata tentang The Galloping Rider dan The
Flash Arrow" ia bertanya.
"Ya. Itulah maksudku! Barang-barang itu telah hilang terbang dari sini.
Begitulah kata burung hantuku."
"Ke mana mereka terbang" Dapatkah kau mengatakan kepada kami?"
Maggie membungkuk lagi dan berbisik ke telinga burungnya, sementara matanya
tetap mengawasi ketiga pemuda. Kali ini burung itu tak mau berbunyi, bahkan
menutup matanya. Rupanya ia tidur. "Tempat itu rahasia," Maggie mendesis. Sambil berkata demikian, tangannya
menggerakkan tali kekang, dan keretanya segera ngebut.
Joe meneruskan perjalanan ke arah yang berlawanan. "Apakah kau berpendapat, ia
tahu benar tentang sesuatu?" ia bertanya.
Kakaknya mengangkat bahu. "Rupanya ia telah mendengar tentang pencurianpencurian itu. Tetapi hal itu sudah diketahui semua orang!"
"Jangan-jangan dialah yang menelepon dengan suara parau itu," kata Chet.
"Mungkin," jawab Frank. "Barangkali komplotan itu menggunakan dia untuk menakutnakuti kita!" "Dalam hal itu ia telah berhasil! Setidak-tidaknya terhadapku," Chet menyatakan.
"Aku girang, bahwa kita akan keluar dari sini!"
Mereka sampai di tempat pelelangan. Beberapa orang sedang melipat kain tenda dan
mencabuti pasak-pasak. Sekelompok lagi sedang menyimpan barang-barang yang tidak
terjual. Joshua Korbo sedang menunjukkan izin lelang kepada seorang petugas yang
jangkung. "Bagaimana hasilnya lelang?" kata Joe memberi salam. Ia menghentikan mobil di
sebelahnya. Tukang lelang itu menaikkan kacamatanya ke dahi. "Bagus sekali," tukasnya.
"Meski ada sedikit gangguan telah dilakukan oleh temanmu itu!"
Merasa terhina, Chet hendak menukas kembali. Tetapi Frank mendahuluinya: "Apakah
anda melihat sesuatu tentang The Galloping Rider."
"Tidak. Aku sangsi, apakah benda itu pernah ada di sini!" jawabnya.
"Tetapi kami melihatnya sendiri!" kata Chet dengan ngotot.
"Itu katamu!" Korbo mengangkat bahu, lalu berpaling dan bercakap-cakap dengan
seorang pembantunya. Prahara Di Gunung Kematian 2 Pendekar Hina Kelana 32 Pembalasan Maha Durjana Iblis Sungai Telaga 2

Cari Blog Ini