Ceritasilat Novel Online

Negeri Lima Menara 4

Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 4


"Alhamdulillah. Saya kira ada yang salah Tad. Siap saya akan lakukan."
"Awas jangan terlambat, jam 8 pas. Khalas. Sudah, kamu boleh pergi."
"Syukran Tad..."
Aku pulang dengan riang dan tidak bisa berhenti tersenyum. Bukannya dihukum, malah aku
mungkin akan dapat rezeki bertemu Sarah. Nama yang bersenandung itu.
Para Sahibul Menara t idak bisa menyembunyikan rasa iriny a ketika aku ceritakan tugasku besok
hari. Aku kembali mengenakan baju terbaikku. Kali ini ditambahkan dengan minyak w angi dari Said. Dan
aku sudah berdiri gagah di depan rumah Ustad Khalid jam 7.50.
Sebetulnya sudah setengah jam aku ada di sini, tapi berhubung tidak enak terlihat begitu antusias,
aku menunggu di sudut belakang rumahnya. Di leherku menggantung kamera yang siap diajak
bertempur. Tangan kananku memegang tripod.
"Maaf merepotkan kamu pagi-pagi begini. Sudah sarapan"
Istri saya baru memasak gudeg," tanya Ustad Khalid yang mengenakan jas terbuka dengan baju
putih. Kumis tebalnya tampak rapi. Istrinya berdiri di sampingnya mengenakan baju kurung hijau
dengan tutup kepala sew arna.
"Sudah Tad, saya malah senang bisa membant u, apalagi....."
Kata-kataku t idak selesai. Di belakang Ustad Khalid muncul Sarah. Jilbab pink melingkar di
15 online di cerita-silat.mywapblog
wajahnya yang bulat putih.
Baju kurung dan rok panjangnya sepadan dengan warna tutup kepalanya. "Assalamulaikum Kak.
Terima kasih telah datang,"
katanya pendek sambil tersenyum malu-malu. Aku menyahut salamnya samb il pura-pura sibuk
membetulkan tripod. Ujung-ujung jariku seperti disiram es.
Aku meminta keluarga kecil ini untuk berpose di taman belakang rumah mereka yang penuh pohon,
bunga dan rumput hijau. Seperti di beranda, taman ini d ipenuhi bunga mawar beraneka warna.
"Semua mawar ini adalah ko leksi istri dan anak saya," jelas Ustad Khalid.
Aku segera memasang kamera di kepala tripod. Seperti teknik yang aku pelajari, aku memakai
lensa normal dengan bukaan besar untuk mendapatkan potret berefek bokeh54
yang indah, subyek t ajam dengan latar belakang kabur. Sinar pagi akan jatuh di samping muka
mereka setelah diperlunak oleh daun dan dinding. Pencahayaan yang indah buat keluarga kecil
yang indah ini. "Ustad sama Ibu, boleh senyum sedikit, dimiringkan mukanya ke kanan dikit," arahku dari belakang
kamera. "Y a. Betul. Ehmmm... Sa... Sarah silakan menatap ke arah kamera. Syukran," lagakku sambil
membidik dari balik viewfinder dan mulai menjepret dengan asyik.
Sudah belasan jepretan aku tembakkan, sampai tiba-tiba aku sadar, angka di kameraku tidak
berubah. Dari tadi hanya tetap angka 0. Aku rogoh kantong celana depan. Sebuah benda berbentuk
silinder ada di sana. Alamak! Aku lupa mengisi film.
"Ustad, mohon maaf, ada kesalahan teknis. Filmnya belum dipasang," kataku. Mukaku merah
seperti kepiting dibakar.
Aku menangkap getar di kumisnya, tapi wajah Ustad Khalid tidak berubah. Istrinya bilang "T idak
apa-apa". Yang paling aku khawatirkan bagaimana aku di mata Sarah. Alisnya terangkat sebentar,
lalu senyum dikulum. Dia mungkin tahu bagaimana gugupnya aku.
Tanganku gelagapan menjangkau film. Hap, tanganku mengail benda penting ini. Butuh beberapa
kali usaha sampai aku bisa mengeluarkan fdm dari silinder plastik putih ini.
Biasanya dengan sebelah t angan sambil mata terpicing pun ini masalah kecil buatku. T api dengan
t angan berpeluh, tiba-tiba ini menjadi sulit.
Akhirnya pemotretan selesai. Mungkin karena kasihan melihat aku yang gugup, aku diajak bicara
agak santai oleh Ibu Saliha.
"Kalau lihat logatnya, ananda Alif bukan dari J awa. Dari Sumatera kah?"
"Iya Bu. Saya dari Sumatera Barat, tepatnya di Maninjau, di pinggir danau tempat Buya Hamka
lahir." Aku memberi informasi sebanyak mungkin tentang diriku. Ujung mataku berusaha
menangkap ekpresi Sarah. 16 online di cerita-silat.mywapblog
Tiba-tiba Sarah menyeletuk, "Aku pernah melihat foto Danau Maninjau yang bagus itu di buku
geografi. Kata guruku, di sana ada pembangkit listrik tenaga air yang besar sekali ya?" Dia bertanya
dengan bahasa Indonesia yang beraksen Arab. Sejak kecil merant au ke Arab memang berhasil
membuat aksen yang unik. Belum lagi aku menjawab, dia berjalan cepat ke arah peta Indonesia yang tergantung di dinding.
Telunjuk kanannya mencoba mencari-cari di mana Danau Maninjau. Sesaat dia berputar-putar dan
tampaknya tidak pasti. Dari jauh aku tunjukkan lokasi kampungku.
Ustad Khalid yang dari tadi diam melihat dengan rasa ingin tahu yang besar.
"Saya juga punya teman dari Maninjau ketika belajar d i Mesir, namanya Gindo Marajo."
"Masya Allah, Pak Etek Gindo itu paman saya, Ustad!" jawabku kaget bercampur senang.
"W ah, benarkah" Dunia memang makin kecil. W aktu di Kairo, Sarah ini keponakan kesayangan
Gindo. Setiap datang pasti bawa sekantong jeruk buat dia. Ya kan Sarah?"
Sarah mengangguk-angguk. Suasana menjadi lebih cair dan aku menerima tawaran sarapan gudeg dengan keluarga Ustad
Khalid di sebuah meja bulat di samping t aman. Ternyata setelah dikenal lebih dekat, keluarga ini
hangat. Kesan serius Ustad Khalid hilang begitu dia mengeluarkan lelucon yang membuat kami
tergelak. Dia bahkan punya banyak cerita yang lucu tentang pamanku.
Sarah sendiri ternyata tipe gadis yang periang, aktif, dan tidak malu menyampaikan pendapat.
Aku sempat ragu-ragu. Tapi kemudian aku memberanikan diri untuk meminta izin berfoto bersama
dengan mereka sekeluarga. Alasanku, untuk kenang-kenangan dan dikirimkan ke Pak Etek Gindo.
Ustad Khalid sama sekali tidak keberatan.
Dengan menggunakan t imer, aku ikut di dalam frame. Jepret!
Wahai Raja, siap-siaplah dengan jatah makrunah sebulan! Aku akan bilang ke Raja bahw a aku
bukan lagi si punguk merindukan bulan. Tapi aku adalah seekor garuda yang terbang tinggi dan
mendarat di bulan. Waktu aku pamit, Ustad Khalid sendiri yang mengantarku ke halaman.
"Ahki, terima kasih banyak. Foto keluarga ini sangat berarti bagi keluarga kecil kami. Selama ini
kami selalu bertiga. Tapi mulai bulan ini kami akan hanya berdua. Sarah kami kirim ke pondok
khusus putri di Yogya untuk tiga tahun," katanya sambil menyalamiku.
Aku tiba-tiba merasa menjadi garuda yang tidak jadi ke bulan dan mendarat darurat di bumi lagi.
17 online di cerita-silat.mywapblog
"Jangan lupa salam saya buat Gindo," katanya melambaikan tangan.
........... beranda rumahnya. Berharap dia sedang libur dan menyiram koleksi mawarnya. Sayangnya, bukan
Sarah yang muncul. Yang sering kudapati di depan berandanya adalah kucing belang tiga yang
sedang mengejar seekor ayam jago yang kebetulan sedang mengejar seekor ayam betina yang lari
terbirit-birit. Kotek... kotek... kotek.
Di bawah menara, kawan-kawanku seperti tidak percaya melihat selembar foto glossy yang aku
pamerkan. "Wah, si punguk bisa juga bertemu sang bulan," kata Atang tergelak sambil melirik Raja yang
pura-pura lengah. Kami semua tahu dia harus mentraktirku makrunah selama sebulan.
Parlez Vous Francais"
Pondok Madani diberkati oleh energi yang membuat kami sangat menikmati belajar dan selalu ingin
belajar berbagai macam ilmu. Lingkungannya membuat orang yang tidak belajar menjadi orang
aneh. Belajar keras adalah gaya h idup yang fun, hebat dan selalu dikagumi. Karena itu, cukup sulit
untuk menjadi pemalas di PM.
Banyak kampiun-kampiun belajar yang menjadi legenda di PM. Ada ustad yang dikabarkan
menguasai kamus bahasa Arab paling canggih bernama Munjid, ada yang menguasai ribuan hadist,
ada yang bisa mengaji Al-Quran dengan berbagai lagu. Ada yang telah menamatkan semua
rekaman suara Sukarno dan mempelajari berbagai macam style pidato orang lain. Salah satu
kampiun pembelajar bahasa ternyata Ustad Salman. Aku tidak tahu itu sampai kemudian Kak Is
pernah bertanya siapa wali kelasku. Begitu aku menyebut Ustad Salman, dia langsung berseru,
"beruntung sekali ya akhi. Dia adalah legenda hidup dalam mempelajari bahasa. Dia menguasai
bahasa Arab, Inggris, Perancis dan Belanda. Dan semuanya, katanya dilakukan oto-didak."
Suatu hari di kelas, aku mengkonfirmasi rumor ini.
"Ustad, apakah benar antum suka membaca kamus?"
"Bukan cuma suka, itu buku favorit saya. Membuka kunci ilmu."
"Kamus apa saja?"
"Ada dua, pertama Oxford Advanced Learner's Dict ionary, dan kedua AlMunjid, kamus Arab paling
legendaris. Keduanya sudah saya khatam 2-3 kali."
"Khatam?" "Iya, bukan Al-Quran saja yang saya tamatkan. Untuk kamus Oxford, saya mulai membacanya dari
halaman depan sampai halaman belakang, tanpa melewatkan satu halaman pun. Bagi saya, kamus
bukan hanya buat mencari kata, tapi sebagai buku yang untuk dibaca dari awal sampai akhir."
18 online di cerita-silat.mywapblog
"Tapi bagaimana menghapalnya?"
"Jangan dipaksakan untuk menghapal. Kalau sudah tamat sekali, ulang i lagi dari awal sampai
akhir. Lalu ulangi lagi, kali ini samb il mencontreng setiap kosa kata yang sering dipakai.
Lalu tuliskan juga di buku catatan. Niscaya, kosa kata yang dicontreng di kamus tadi dan yang
sudah dituliskan ke buku tadi tidak akan lupa. Sayidina Ali pernah bilang, ikatlah ilmu dengan
mencatatnya. Proses mencatat itulah yang mematri kosakata baru di kepala kita."
Wah luar biasa, bagaimana antum bisa dapat cara ini?"
Dengan membaca. Saya baca buku kisah hidup Malcom X, tokoh The Nation of Islam yang
kemudian menjadi muslim sejati. Dia waktu itu masuk penjara. Dalam penjara dia banyak merenung
dan ingin menulis. Tapi begitu akan menuliskan pemikirannya, isinya sangat dangkal. Dia frustrasi
karena dia tak punya kemampuan untuk menggambarkan apa yang ada di kepalanya. Akhirnya dia
bertekad untuk membaca kamus, halaman demi halaman. Hasilnya, tulisannya kuat, dalam dan
memuaskan." "Minggu depan kita punya proyek besar. Berfoto bersama,"
umum Said di depan kelas.
"Di mana... d i mana... kapan... kapan...." Wajah-wajah pencinta lensa kami bertanya-tanya. Tidak
perlu alasan buat apa, yang penting bisa tampil.
Masa ujian kenaikan kelas sudah mendekat. Dan sudah menjadi tradisi, suatu hari dikhususkan
untuk foto bersama satu kelas. Latar belakangnya rupa-rupa, mulai dari masjid, aula, asrama dan
kelas, sampai lapangan. Yang kami tunggu-tunggu adalah Kiai Rais sendiri hadir untuk diajak foto
bersama. Foto bersama adalah sebuah ajang kompetisi. Setiap kelas harus membuat spanduk
masing-masing yang kira-kira tulisannya, "kami keluarga kelas sekian". Kami berlomba-lomba
membuat yang terbagus. Ada yang menghiasi dengan kertas warna-warni, ada yang dengan
sarung, ada yang menulis kelasnya dengan tulisan Arab sambil memamerkan kehebatan kaligrafi.
Sebagian lagi menuliskan dengan bahasa Inggris. Tapi semuanya jadi sama, kalau bukan Inggris,
ya Arab. Seperti biasa, Ustad Salman ingin berbeda. Menjelang foto bersama besok, dia mengumpulkan
kami. "Menurut saya, untuk bisa maju dan berprestasi, kita tidak boleh biasa-biasa saja. Harus mencari
yang lebih baik dan berbeda. Setuju?"
"Setuju..." Kami mengangguk-angguk, sudah biasa mendengar bagian ini.
19 online di cerita-silat.mywapblog
"Karena itu, kita akan bikin spanduk kelas kita dalam bahasa lain, yang belum pernah ada di PM,
yaitu bahasa Perancis!"
"Wahhh...... kami semua bergumam. A ntara kagum dengan pandangannya dan tidak mengerti
bagaimana bahasa Perancis.
"Jangan khawatir, saya sudah menerjemahkan ke Bahasa Perancis. Silakan kalian tulis dan bikin
spanduk yang baik,"katanya.
"Tulisannya nanti: "Nous sommes la grande famile de la classe 1 B, Pondok Madani, Indonesie".
Artinya adalah, kami keluarga besar kelas 1 B". Dia menuliskan kata-kata berbunyi aneh ini di
papan tulis. Sampai tengah malam kami masih berkumpul di kelas membuat spanduk bersama. W
alau tidak ada yang tahu tahu cara membaca bahasa Perancis yang aneh itu, kami merasa berbeda
dan keren. Besoknya, di sesi foto bersama, kami dengan bangga mengarak tinggi-tinggi spanduk kami. Semua
orang melihat dengan berkerut kening, tidak mengerti dengan apa yang kami tulis. Bahkan tukang
potret kami sampai perlu bertanya untuk memastikan spanduk kami tidak salah tulis. Moment yang
paling membanggakan adalah ketika kami berfoto dengan Kiai Rais di samping rumahnya. Supaya
tidak berdesakkan, kami dibagi dua barisan. Barisan belakang berdiri di atas kursi yang sudah
disusun dan di bagian depan anak yang berbadan lebih kecil, termasuk aku. Sedangkan yang
duduk di tengah, di atas kursi, diapit oleh Ustad Salman dan Said adalah kiai t ercinta kami, Kiai
Rais. "Felicitation, kalian telah memperlihatkan apa yang disebut i'malu fauqa ma amilu. Berbuat lebih dari
apa yang diperbuat orang lain. Semoga kalian sukses," kata beliau set elah melihat spanduk kami.
Hati kami meloncat-loncat bangga. Ustad Salman menggenggam tangan Kiai Rais.
Rendang Kapau Bentuknya sederhana saja. Hanya sebuah panel kayu yang diberi 2 kaki yang ditanam ke t anah,
tepat di sebelah gedung sekretaris PM. Di atasnya ada atap seng mungil untuk memayungi panel ini
dari hujan. Panel kayu ini d ilapisi kaca, dan di bagian dalamnya terpampang beberapa lembar
kertas ketikan, yang di beberapa tempat berlepotan tip-ex.
Ditempelkan pakai paku payung warna-warni. Kalau malam hari, sebuah neon kecil yang redup
mengintip dari bawah atap seng.
W alau sederhana, panel kayu ini menjadi salah satu pusat perhatian kami seant ero PM. Selain
masjid, pusat gravitasi kami adalah panel ini. Selalu d ikerubungi oleh murid PM, pagi, siang, dan
malam. T ulisan kecil di at as panel ini: Money order of the day - wesel hari ini. Nama-nama yang
tertulis di kertas-kertas yang ditempel adalah para penerima wesel kiriman orang tua. Manusia
paling beruntung hari itu.
Terhitung hari ini, sudah dua minggu wesel yang kurindu belum juga datang. Aku sudah berhutang
sana-sini. Jajan telah dihent ikan. Sudah dua minggu ini, set iap hari aku rajin berdesak-desakkan di
depan panel wesel tadi. Bahkan bisa beberapa kali sehari, walau aku tahu, daftar itu tidak akan
20 online di cerita-silat.mywapblog
berubah sampai besok. Tapi demi ketentraman batin dan kedamaian kantong, mataku tidak bosan
mengadakan ritual membaca ulang daft ar naik, turun, naik lagi, sampai hapal.
Tetap saja namaku tidak. Mengikuti gaya Said, tadi sehabis Maghrib aku melapor kepada T uhan kalau telah jatuh muflis.
Bangkrut . Dan doaku cuma satu: ya Tuhan, datangkanlah wesel buatku hari ini, setelah selesai
shalat Maghrib di masjid, aku ke panel ini.
Petugas wesel selalu memasang daft ar penerima hari ini ketika kami masih shalat Maghrib di
masjid. Ketika sampai di panel, suasana sudah telah beberapa menit berdesakkan, aku pas di depan panel.
Aku pun segera ke sekian kalinya. Said juga bersamaku, yang tinggi, dia tidak perlu berdesakkan
sampai maju kedepan. Tidak lama kemudian Said menemukan namainya sebagai penerima paket,
bukan wesel. Namaku tetap dukkan kepala diam dan keluar dari kerumunan untuk kembali ke
asrama. Paling tidak sehari lagi aku harus bertahan tanpa duit. Semoga hari esok membawa wesel.
Tiba-tiba Said berteriak, "Lif, nama anta ada" Darahku tersirap.
"Mana, mana mungkin, tadi sudah aku baca tiga kali"
"Ini... ini... bukan wesel, tapi di bawah daftar paket." Hah, berdoa wesel dapat paket" Daripada
tidak sama sekali, paket juga tidak apa, pikirku. Apapun yang Engkau beri, aku terima dengan ikhlas
ya Rabbi. Kami berdua bergegas masuk ke mengurus penyerahan wesel dan kepada kakak petugas
administrasi yang mengurus penyerahan wesel dan paket. "Alif Padang". Laporku kepada kakak
petugas Administrasi. Dia segera menghilang kebawah loket untuk mengambil paketku yang
berserakan di lantai. Kepalanya muncul lagi, kali ini tangannya memegang sebuah kardus besar. Aku terima paket yang
dibungkus kertas batang padi ini dengan berbinar-binar. Sebuah tulisan kecil di sudut kiri atas. Sip:
Amak. Said sendiri menerima kardus yang lebih besar.
Seperti memenangkan piala dunia, masing-masing kardus latai arak ke kamar. Di bawah kerubutan
kawan-kawan, aku meletakkan paket di tengah kamar. Semua penasaran dan menahan napas.
Siapa pun penerima paket di kamar kami, berarti membawa kebahagiaan buat semua.
Sret... sret..., bungkus aku robek dengan terburu-buru. Di dalam bungkus ini ada sebuah kardus.
Begitu kardus aku buka, aroma harum makanan khas Minang langsung meruap.
Jakunku naik turun. Bau yang aku sangat akrab dan sering aku kangeni. Satu plastik besar rendang
padang berwarna hitam kecokelatan aku angkat Bongkol-bongkol daging yang menghitam
bercampur dengan kentang-kentang seukuran kelereng bercampur dengan serbuk rendang yang
telah mengering. Ini dia rendang kapau asli. Dengan tidak sabar, aku benamkan t elunjuk ke dalam
21 online di cerita-silat.mywapblog
plastik itu dan menjilatnya.
Hmmmmm..... amboi, rasa yang menerbangkan aku kembali ke masa kecilku di Man injau set iap
kali Amak memasak rendang buat kami sekeluarga.
Teman sekamarku berteriak girang, dan mereka segera merubung dengan piring kosong t erulur ke
arahku. Satu potong rendang buat satu orang. Sudah t radisi kami, siapa pun yang menerima rezeki
paket dari rumah, maka d ia harus berbagi dengan kami semua sebagai lauk tambahan di dapur
umum nanti. Sama rasa sama rata, seperti gaya sosialis.
Selain rasa rendang yang membuat aku melayang, yang juga menyenangkan hatiku adalah ada
sebuah amplop dfi ket ini. Secarik surat dari Amak. Isinya singkat saja: Ananda Alif Amak bikinkan
randang kariang jo kant ang. Sudah dua hari dipanaskan, semoga cukup kering dan menghitam,
seperti selera ananda. Selamat menikmati rendang. Bagilah dengan kawan-kawan.
Maaf atas keterlambatan wesel Amak dan Ayah kesulitan sekarang karena adik-adik ananda baru lu
lus banyak kebutuhan. Insya Allah, wesel akan dikirim besok. : Teriring doa Amak, ayah dan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adik-adik Alhamdulillah, sudah dapat rendang, akan dapat wesel juga. Akhirnya aku bisa bayar hut ang.
Giliran Said yang membuka paketnya. Sekarang aku ikut berkerumunan di sekitarnya. Begitu
kardus terbuka, yang tampak adalah sepasang sepatu bola. Kami semua maklum.
Tim Al-Barq masuk final Piala Madani, dan sebagai penyerang ut ama Suijm tuh sepatu baru. Di
bawah sepatu, ada setumpuk celana dalam baru berwarna biru, putih dan merah tua.
"Y aahh.....; suara koor kecewa bergema. "Mau jualan atau bagi bagi celana dalam n ih?" kata
temanku dari belakang. Gelak tawa menyambut komentar ini.
Setelah mengeluarkan sekitar selusin celana dalam, Said akhirnya mengangkat tinggi-tinggi
beberapa plastik kripik ceker, biskuit dan kopi. Cukup untuk stok cemilan kami sekamar beberapa
hari ke depan. Rupanya, kebahagiaan hari ini lengkap di pihak kami.
Beberapa hari kemudian, setelah menerima wesel, aku mengajak Sahibul Menara jajan ke kantin.
Aku mengedarkan kopiah untuk mengumpulkan duit dan membeli menu favorit kami: sepiring besar
mahunah goreng dan sepiring tempe goreng dengan cabe rawit. Untuk minum, kami memilih es
dawet. Enak sekali rasanya makan dari satu piring bersama sambil bersenda gurau seperti ini. Aku
sendiri tidak bisa sering-sering ke kantin karena tidak selalu punya uang jajan.
Untung ada Said yang rajin mentraktir kami.
Jumat ini kami tidak ke mana-mana. Hanya tinggal di PM
menikmati hari libur. Setelah kerja bakti menyapu dan mengepel kamar bersama, Said
mengeluarkan kopi dan plastik biskuitnya sambil berteriak, "Kayaknya enak kalau minum kopi
22 online di cerita-silat.mywapblog
bersama sambil makan biskuit. Ada yang mau bergabung?"
Tawarannya disambut riuh dan seisi kamar duduk melingkar di tengah kamar yang baru dipel. Aku
menyumbang gula. Sedangkan Kurdi bergerak sigap mengambil air panas dengan sebuah ember yang biasa d ia pakai
unt uk mencuci baju. T idak ada yang protes untuk masalah ember ini. Tujuannya praktis saja,
supaya seduhan kopi cukup untuk 30 orang. Kurdi menuang satu plastik kopi dan gula ke ember
berisi air panas dan meng'aduknya dengan penggaris. Setelah mencicipi sesendok adukannya dan
berteriak, "Manisnya pas, tapi akan lebih ena! dicampur susu. Ada yang punya?" tanya Kurdi.
Misbah, kawanku dari Kalimantan membuka lemariny a mengeluarkan sekaleng susu kental manis
Cap Nona, Kurdi menuangkan susu kental manis ini sebagai sentuhan terakhir untuk sajian
kopinya. "Silakan akhi, siap dinikmati," katanya puas sambil meletakkan ember kopi yang
mengepul-ngepul di tengah kamar, tepat di tengah kami yang duduk melingkar.
Dengan gelas masing-masing kami menyauk kopi dari t f ber dan menyeruput minuman hangat
sambil mengobrol; bersenda gurau santai. Minum kopi bersama mi kerap kami lakukan dengan rasa
kopi bermacam-macani, mulai dari kopi aceh; kopi medan, kopi lampung, sampai kopi toraja.
Tergantung siapa yang menerima paket dan dari mana kiriman kopi.
Piala di Dipan Puskesmas Tidak terasa, musim ujian datang lagi. Aku dan segenap siswa sibuk kembali belajar keras dan juga
sahirul lail. Ujian akhir tahun mirip dengan pertengahan tahun, cuma bahannya lebih banyak, dan
hampir semua bahan berbahasa Arab dan Inggris. Ini membuatku benar-benar harus bekerja keras
untuk bisa menjawab soal tulis, maupun soal lisan.
Dengan susah payah, dua minggu masa ujian hampir berlalu dan hanya tinggal satu ujian yang
menggantung: ilmu hadist Hadist adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad selama
beliau menjadi Rasulu llah. Karena itu hadist dianggap sebagai sumber hukum Islam setelah
AlQuran. Untunglah sebagian besar soalnya tentang metodologi pemahaman hadist. Aku dimint a
menjabarkan bagaimana penggolongan hadist serta sejarah pendokumentasiannya dari dulu
sampai sekarang. Aku menuliskan secara garis besar jenis hadist berdasarkan keasliannya, antara
lain had ist shahih, artinya punya isi yang sejalan dengan Al-Quran, kuat dan otentik alur
penyampaian dari zaman Nabi sampai sekarang, lalu hadist hasan yang kualitasnya di bawah
shahih, lantas hadist dhaif atau lemah antara lain karena ada penyampaiannya yang diragukan dan
yang terakhir adalah hadist maudhu' atau palsu. Masing-masing aku berikan contoh potongan
hadistnya. Aku cukup optimis untuk teori dan metodologinya, tapi kurang puas dengan
contoh-contoh hadist yang aku berikan.
Walau sudah belajar keras, kadang-kadang sampai pagi dan diskusi panjang lebar tentang berbagai
mata pelajaran dengaft Baso dan Raja, menuliskan khulashah - kesimpulan dari pek ajaran
setengah tahun di buku catatan, berdoa khusyuk siang malam, aku tetap merasa hasil ujian selama
dua pekan ini tidak sempurna. Tapi apa pun hasilnya nant i, yang penting sekarang semuanya
23 online di cerita-silat.mywapblog
sudah berakhir. W aktunya libur panjang akhir tahun - berpuasa sebulan penuh dan berlebaran di
rumah masing-masing. Kami baru kembali masuk sekolah pertengahan bulan Syawal.
"Hore, selesai juga akhirnya. Sekarang aku bisa konsentrasi latihan sepak bola untuk finali" sorak
Said merayakan lari kemerdekaannya dari ujian. Final Piala Madan i-kompetisi terbesar di
PM - memang sengaja dilangsungkan setelah ujian agar para pemain dan penonton bisa menikmati
permainan tanpa terganggu oleh ujian dan jadw al belajar yang ketat.
Seperti biasa, sebelum libur panjang, kami punya waktu bebas selam? satu minggu untuk
menunggu hasil ujian dibagikan.
Setelah bertanding sepanjang tahun, tanpa disangka sangka asrama Al-Barq berhasil mencapai f
inal set elah menaklukkan tim-tim tangguh. Kami beruntung punya penyerang lincah seperti Said
dan kiper hebat seperti Kak lskandar yang kurus tinggi. Bukan main bangganya aku sebagai bagian
dari tim sepakbola ini walau hanya duduk sebagai pemain cadangan, lawan kami di final tidak
main-main juara dua kali Piala Madani, asrama Al-Manar. Asrama siswa senior ini punya banyak
pemain bagus. Bahkan setengah timnya adalah pemain Madani Select ion, Tim sepakbola PM.
Salah satu pemain yang paling ditakuti di tim lawan adalah Tyson. Iya, Tyson yang bagian
keamanan pusat itu. Tyson yang horor nomor satu kami itu. Seperti fungsinya di bag ian keamanan,
di dalam lapangan dia adalah bek yang penuh disip lin, sulit ditembus dan tidak kom-promi. Badan
yang kukuh dan geraknya yang cepat dan keras adalah horor bagi penyerang mana pun.
Sore ini jadw al terakhir kami latihan sebelum final. W alau guruh yang sekali-sekali menggeram dan
hujan turun, kami tetap berlatih penuh semangat di lapangan becek. Sebagai-tim kuda hitam, kami
tidak punya beban dan berlatih dengan rileks.
Matahari pagi bangun dengan tidak leluasa. Segera dipagut awan gulita. Tidak lama kemudian
guruh kembali bersahut -sahutan mengepung langit. Gerimis berganti menjadi hujan yang bagai
dicurahkan dari ember raksasa. Kami menatap ke Langit kelabu dengan w as-was. Ini hari Jumat.
Hari final sepak bola. Bagaimana kondisi lapangan"
Untunglah hujan lebat ini cepat reda. T inggal gerimis tipis saja. Bersama tim sepakbola Al-Barq,
aku berangkat ke dapur umum lebih awai. Di tengah udara pagi yang dingin, ruang ma* kan
dipenuhi keriuhan. Semua orang t idak sabar menant i per-tandingan final. Beberapa teman
mengangkat tangan ke arah kami, "Ayo Al-Barq tunjukkan kemampuan kalian!" Di sudut bin ada
yel-yel meneriakkan kejayaan lawan kami, Al-Manaf.
Aku duduk di depan Said yang makan seperti angin puring beliung. Mint a tambahan nasi dua kali
dan melibas semua yang ada dengan cepat dan tandas.
"Ayo Lif, sikat saja, kita harus makan yang banyak. Lawan kita tidak ringan hari ini," katanya sibuk
mengacau sambal hijau yang berminyak wangi di nasi hangatnya. Sambal khas dapur kami ini
memang membuat air liur meleleh-le leh.
"Aku tidak mau kekenyangan dan t idak bisa tari," jawabku sekenanya. Toh aku cukup tahu diri,
24 online di cerita-silat.mywapblog
sebagai pemain cadangan, aku t idak akan diturunkan di pertandingan puncak ini.
"Y a sudah, kalau begitu tambah dengan ini, supaya kuat,"
katanya sambil terus makan. Said merogoh kantong plastik hitam di samp ingnya. Dia mengeiuiant
ari empat butir telur ayam kampung, empat sachet madu, dan sebuah kotak multiviramin.
"Ingat resep rahasiaku, kan" Kita butuh semua energi untuk bisa mengalahkan Al Manar. Satu
untuk pagi? satu,lagi buat siang nant i," katanya mengangsurkan dua butir telur ment ah dan dua
plastik kecil madu ke tandanku.
Aku mengikuti sarannya memecah telur, memisahkan putihnya dan memasukkan kuningnya ke
dalam gelas kosong. Setelah dicampur dengan madu, kuning telur itu mengental dan berubah warna menjadi cokelat. Ini
Dalam sekejap cairan manis ini tandas. Said percaya resep ini manjur untuk apa saja. Mulai dari
dari ujian sampai menghadapi final Liga Madani-Menjelang shalat Jumat gerimis akhirnya pergi.
Tapi lapangan Kami agak botak ini sudah terlanjur basah. Hujan tadi pagi membuatnya becek dan
lic in. Aku jadi ingat permainan sepak bola di sawah ketika SD dulu. Satu hal: pertandingan di PM
tidak pernah ditunda dengan situasi apa pun. Jadwal adalah jadwal.
Setelah shalat Ashar, murid-murid berbondong-bondong ke lapangan sepakbola yang semakin
penuh. T idak hanya murid, para guru dan bahkan Kiai Rais ikut duduk di kursi yang disediakan di
pinggir lapangan. Sementara para murid berdiri atau duduk di tanah yang telah dilapisi plastik
supaya tidak mengotori pakaian. Sebagian besar memakai pakaian olahraga, kaos dan celana
training panjang. Sebagian kecil memakai sarung dan kopiah dengan tangan kanan memegang
Al-Quran. Sahibul Menara tentu hadir dengan lengkap. Atang, Raja, Dulmajid dan Baso duduk di barisan
paling depan, dekat gawang. Atang yang kreatif Membawa selimut "batang padi"
yang bermotif strip hitam putih dari kamarnya dan mengembangkannya di pinggir lapangan. Di atas
selimut itu dia menem-pelkan kertas W arna-warni yang membentuk tulisan: "Kelas Satu Juara
Satu. Ayo Al-Barq". Aku dan Said yang duduk di sudut pemain ketawa melihat ulahnya. Kami saling melambaikan
tangan. Semua anggota tim, baik yang int i dan cadangan, telah berganti baju. Kaos merah menyala
dengan tulisan besar di punggung, AlBarq Football dipadu dengan celana training pack panjang
berwarna hitam. Kak Is bertepuk tangan mengajak kami berkumpul d i sekelilingnya.
"Akhi, inilah puncaknya! Awal tahun lalu kita cuma menargetkan lolos penyisihan grup. Kini kita ada
di final. Jauh lebih baik dari target kita. Final ini adalah bonus. Karena langkan semua beban.
Berikan permainan terbaik kalian. Mari kita nikmati pertandingan ini. Bersedia?" kata Kak Is
memompa semangat kami. "BERSEDIA!" jawab kami bersama-sama.
"Baik, sebelum bertanding, mari berdoa dan membaca Al Fatihah. Al Fatihah..."
25 online di cerita-silat.mywapblog
Sejenak kami menunduk sambil komat-kamit dan menangkupkan telapak tangan ke muka
masing-masing. Tak lama kemudian, tim kami memasuk i lapangan yang agak becek diiringi sorak sorai anggota
Al-Barq. Raja, Atang, Dul dan Baso ada d i barisan paling depan tersenyum lebar, meloncat-loncat
dan mengibarkan spanduk dari selimut mereka.:
"Ashaabi, kita sambut Al-Barq!" seru Kak Amir Sani, siswa kelas enam bersuara Sambas yang
tampil sebagai komentator pertandingan. Tentu saja dengan bahasa Arab. "T im pendatang baru,
anak-anak baru, dengan top scorer Said Jufri dan kiper bertangan lengket, Iskandar Matrufi..."
Lanjutan kalimat Kak Amir tenggelam oleh sorakan heboh asrama kami dan teriakan huuu dari
pendukung Al Manar. Pendukung kami kalah jauh dibanding pendukung Al Manar yang mewakili siswa lama. .
"Dan juara bertahan dua kali, Al Manaaaaaaaaaaar.
Dipimpin oleh bek kanan sekuat beton, Rajab Sujai dan penyerang cepat Mamat Surahman..."
Rajab Sujai adalah nama asli T yson.
Kali ini lapangan seperti akan meledak oleh yel-yel anak iwtocih Berbagai spanduk warna-warni
berkibar di pinggir lapangan.
Kak Surya dari bagian olahraga menjadi wasit dan meniup peluit mulai. Tim Al-Barq dengan Said di
depan dan Kak !s sebagai kiper mulai beraksi di lapangan. Saling serang dan berkelit di lapangan
yang licin. Sementara aku, duduk di pinggir lapangan, seperti biasa sebagai pemain cadangan.
"...T im kejutan tahun ini, Al-Barq menguasai bola, Nahar melancarkan serangan dari sudut kiri...
Sebuah umpan lambung mencari strilcer ut amanya, Said Kontrol dada yang bagus oleh Said... Kali
ini Said mencoba melepaskan tendangan... Tapi ada Fatah bek Al Manar menghadang... Said
berkelit... melompat-sliding lawan... Fatah tergelincir... Said mengambil ancang-ancang dia...
sebuah tendangan geledek dilepas... bola meluncur cepat sekali... Rah im, kiper Al Manar terbang
ke kiri... menangkap angin... dan... GOL... GOL... Satu kosong untuk Al-Barq!!!" Suara Kak Amir
kembali; tenggelam oleh tepukan dan teriakan anggota asrama kami.
Said bersalto di udara dan d ikerubuti tim. Di pinggir lapangan, aku bersama tim cadangan berdiri
dan melonjak-lonjak gembira.
Final berjalan ketat dan berat. Kedua tim terus saling menyerang. Kondisi lapangan yang licin
membuat pemain dari kedua tim berkali-kali jatuh, Satu per satu pemain ditandu keluar, baik karena
jatuh sendiri atau di-taekie. Babak pertama ditutup dengan skor 2-2.
"Sekarang Al Manar membangun serangan balik yang cepat... Bola langsung dikirim ke t engah...
Gelandang Isnan langsung mencocor ke tengah?. Dua pemain belakang Al Barq
menghadang...Tapi Isnan berliku-liku dia... ... Terus mendekati gawang... Tendangan kencang
diiepaskannn Ke arah kiri... Tapiiii , ashaabi, kiper Iskandar dengan manis memetik bola di udara...
26 online di cerita-silat.mywapblog
Kedudukan masih imbang dua-dua!"
Kedudukan 2-2 terus bertahan. Tinggal 5 menit lagi waktu habis dan pertandingan akan ditentukan
oleh penalti. Aku meremas-remas tanganku tegang. Kondisi d i lapangan tampak kurang baik.
Selain licin, beberapa genangan air menghambat para pemain. Berkali-kali mereka jatuh terpeleset.
Kedua belah pihak seperti baru mandi di kubangan. Beberapa pemain AlBarq telah berjalan
tcrpincang-pincttfig sambil meringis. Rinai rinai gerimis mulai t urun.
Melihat situasi ini, kapt en dan merangkap pelatih kami, Kak Is tidak punya pilihan lain. Dia
melambaikan tangan kepada kami. Dia meneriakkan nama Yudi, Muft i dan Alif untuk segera
menggantikan tiga pemainint i kami yang cedera. Aku"
Dimint a menggantikan Husnan di sayap kanan"
Otot-ototku tiba-tiba mengencang, Untuk pertama kaliny l aku turun di pertandingan resmi. Dan
langsung di partai yang sangat menentukan. Aku mencoba menguatkan diri bahw a aku pasti bisa.
Toh lapangan rumput yag tidak rata bukan halangan? aku pernah bermain di sawah. Apalagi aku
telah makan resep telur madu dari Said. Dengan mengucap bis millah, aku masuk lapangan. Aku
akan memberikan; yang terbaik. Gerimis berubah jadi hujan ringan. Kacamataku buram dihujani
tetest air. Para penonton yang tidak punya payung bubar mcncari t empat ber-teduh.
Di menit terakhir aku mendapati operan dari Muft i yang menjadi bek. Bola sampai juga walau
sempat melantun-lantun tidak lurus me lewati beberapa genangan air. Belum sempat aku
menggiring bola, seorang pemain lawan yang napasnya sudah naik t urun menghadang gerakanku.
Aku praktekkan trik lama y ang aku pelajari di sawah dulu, bila lapangan becek dan berair, gunakan
bola atas. Aku berkelit dan bola aku cungkil ke atas melewati ubun-ubunnya dan imiss, aku berlari
melewatinya. Melihat itu, suporter Al Barq bersorak-sorak memekakkan telinga. Napasku memburu
karena bersemangat. Tiba-tiba di depanku telah berdiri Tyson, palang pintu Al Manar yang tidak kenal kompromi.
Badannya yang kekar mem-buatku jeri. Apakah aku maju terus menggiring bola atau mengirim bola
ke belakang" Apakah dia bisa diperdaya dengan trik tadi" Ah sudahlah, jangan terlalu banyak
analisa, kata diriku sendiri. Lakukan sesuatu!
Sambil menarik napas dalam, aku bayangkan diriku selincah Maradona dan sekuat Ruud Gullit. Aku
ingin memberikan umpan ke depan gawang. Said berdiri bebas di sayap kiri. Tapi Tyson t elah
mulai bergerak menutup lariku. Bola aku gulirkan ke belakang dan aku hentikan dengan ujung kaki.
Lalu aku mundur dua langkah mengambil: ancang-ancang untuk menendang melint asi lapangan
langsung ke Said. Kaki sudah aku ayunkan ke sisi bola. Tapi bersamaan dengan itu, ujung mataku
melihat kaki Tyson sudah keburu melakukan slid ing.
Sudah terlalu terlambat untuk menghindar. Aku nekad meneruskan ayunan kakiku sambil
memejamkan mata sejenak, berharap kaki Tyson meleset.
Dukk... getaran di ujung kaki menandakan bola berhasil tendang. Sepersekian detik kemudian
kakiku kembali bergetar. Aku terjungkal. Ngilu menghentak-hentak. Sliding Tyson celah menghajar betisku. Wasit yang
27 online di cerita-silat.mywapblog
sedang sibuk di sayap kiri t idak meniup peluit
Meski rebah di tanah, sudut mataku melihat Said berhasil menerima umpanku. Setelah mengontrol
dengan dada, dia langsung mengirim tendangan geledeknya yang terkenal itu.
Bola terbang dengan liar, kiper menangkap angin, bola merobek gawang Al-Manar.
"GOOOLL... Saudara-saudara!!! Umpan silang yang hebat; kontrol dada yang tenang dan
tendangan mematikan dari Said menaklukkan kiper Al Manar. Dan, oohh, ini bersamaan dengan
peluit w asit. W aktu habis. Dan sambut lah juara baru kita. AL BARRRRQ!H" teriak Kak Amir.
Aku mengangkat kedua tangan dan berteriak sekeras-kerasnya, antara senang dan kesakitan. Said
dan teman tim berlari-lari tidak tentu arah di lapangan, merayakan kemenangan di menit terakhir ini.
Aku yang masih rebah dikerubuti dan diarak bersama Said. Sorak-sorai dari pendukung kami tidak
putus-putus. Di antara gelombang penonton yang berjingkrak-jingkrak itu kulihat wajah Raja, Atang,
Dul dan Baso merah padam karena terl
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
28Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
alu banyak berteriak. Mereka berempat menepuk-nept? punggungku ketika aku terpincang-pincang
menaiki panggung. "Hidup AlBarq, hidup Sahibul Menara!" teriak Raja. Di atas panggung, Kiai Rais
telah menunggu dengan Piala Madani di tangannya.
Gerimis semakin tipis. Selama dua hari aku harus istirahat di Puskesmas PM, ditemani Dul yang selalu set ia kawan. Kata
dokter, t idak ada yang patah, tapi betisku dibebat karena ototnya memar. Tamu pertama, Said
dengan senyum lebar datang bersama om Semua menyelamatiku dan memuji umpan silang
kemarin. Lalu piala kebanggaan itu ditaruh di samping dipanku dan kami memasang senyum terbaik
menghadap ke arah fotografer yang khusus dibawa Kak Is.
Hari kedua, Tyson tiba-tiba masuk ke kamarku. Aku terlonjak kaget di atas dipan. Otakku langsung
berputar mencari-cari apa kesalahan yang telah aku lakukan.
*Laa takhaf ya akhi. Jangan takut. Saya datang bukan karena pelanggaran. Hanya untuk meminta
maafkan atas tackling kemarin," katanya Menyodorkan telapak tangan.
Ragu-ragu aku sambut uluran tangannya. Dia mengayun genggamannya dua kali sambil tersenyum
tipis. Sebelum aku sempat berkomentar, dia telah menghilang di balik pintu.
W alau sangar, dia ternyata sportif.


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemenangan ini benar-benar mengangkat moral kami para anak baru. Kami belajar bahw a dalam
kompetisi yang fair, siapa saja bisa menang, asal mau bertarung habis-habisan.
Selama empat hari terakhir sebelum libur, pembicaraan di asrama tidak lepas dari perjuangan
heroik kami. Aku bahkan sampai lupa kekhawatiranku t entang nilai y ang keluar hari ini.
Hasilnya ternyata cukup mengejutkan. Nilaiku sangat memuaskan. Atang dan Dulmajid juga
mendapat angka yang lumayan bagus. Sementara, Said, dengan segala kesibukan olahraga,
sangat bersyukur masih bisa mendapatkan nilai yang memungkinkan dia naik kelas. Sedangkan
Baso dan Raja sudah tak perlu diragukan lagi. Mereka kembali mendapat nilai tertinggi di kelas
kami. Lemari-lemari kami t elah kosong. Isinya berpindah ketas-tas yang sekarang kami jejerkan di depan
asrama. Bus-bus carteran telah berjajar rap i d i depan aula, berbaris berdasarkan daerah Majuan.
Organisasi pelajar PM telah mengatur proses kepulangan dengan sangat baik. Suasana riuh rendah
ketika kami saling bersalaman dan berangkulan.
Tahun ajaran depan anak baru akan disebar ke beberapa asrama anak lama. W alau begitu, kami,
Sahibul Menara saling berjanji unt uk tetap bersatu.
Pikiranku melayang ke kampungku di pinggir Danau Maninjau yang permai. Dalam beberapa hari
1 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
lagi, aku akan bertemu Amak, Ayah, Laili dan Safya. Dan juga Randai. Satu tahun yang sangat
sibuk ini terasa begitu singkat Libur akan sangat menyenangkan. Tapi diam-diam aku merasa tidak
sabar untuk segera kembali ke PM bulan Syawal depan.
A Date on the Atlantic Samudera Atlantik, Desember 2003
"Would you like something to drink, Sir?" tawar sebuah suara merdu beraksen British yang lengket.
Aku tergeragap dan mengucek-ngucek mata. Pelan-pelan bagai lensa auto focus, pandanganku
menajam. Seorang perempuan berambut merah sebahu berdiri dengan mengibarkan senyum.
Tangan kirinya memegang poci kopi dan kanannya poci teh. Kedua ujung poci mengepulkan asap
tipis-tipis. "A cup of tea would be lovely" sahut ku. Aku agak memaksa menggunakan gaya orang British yang
katanya suka menggunakan kata "lovely".
"Certainly, Sir." Dia mencurahkan isi poci putihnya .ke cangkirku. Aroma teh camomile yang nyaman
meruap, menyentuh hidungku. Aku seruput minuman hangat ini lambat-lambat.
Masya Allah, nikmatnya tak terkata.
Kenikmatan ini lengkap dengan pilihan in-flight entertainment yang lengkap. Aku mengambil
earphone dan sibuk dengan remote control, mengabsen acara yang menarik hati.
Penerbangan W ashington DC - London dengan British Airways sungguh nyaman. Aku tertidur
nyenyak hampir 4 jam. Sebuah tidur yang penuh mimpi. Mimp i yang deras dengan kenangan hidupku masa lalu bersama
5 orang bocah nusant ara yang terdampar di sebuah kampung di Jawa dalam misi merebut mimpi
mereka. Tiba-tiba layar kecil d i depanku berhenti menayangkan Lalu terdengar pengumuman.
"This is the Captain speaking, Ketinggian 35,000 feet, tepat di atas M^^H tiga jam, kita akan
mendarat di HeaMSK pengumuman sang kapten mengalir ke (Ma|3| sumpalkan di kedua daun
telinga, Beberapa jam lagi, aku akan bertemu denga&fl itu. Sebuah kesempatan yang sangat kraH akan
menerima hadiah sayembara besar dan tiba-tiba.
Si rambut merah datang lagi dengan i customer service yang sama.
"Sir, kami punya beberapa pilihan ciejseit afti9| Apakah Anda tertarik mencoba?"
"What do you have to offer?"
2 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
"Kami punya chocolate baklava, qatayef with cheese dan Arabian ice cream with date."
"Sepertinya yang terakhir enak, boleh minta yang itu"
"Certainly, Sir."
Dengan rapi dia meletakkan sebuah es krim berwarna krem, ditaburi hazelnut dan dipuncaki sebutir
korma yang mengkilat-kilat. Sebuah kartu kecil bercorak gambar kubah menemani pesananku.
Tulisannya: This Ajwa date is imported from a natural farm off Jeddah. Believed b muslims as the
favorite fruit of the Prophet Muhammad. Enjoy your dessert".
"Hmmm... kurma ajwa, kurma kesukaan Rasulullah". Ku-kudap sebiji kurma ini. Rasa manisnya
yang segar meresap ke saraf lidahku. Rasa ini d iproses di otak yang berkelebat
mencari simpul koneksi yang sama dalam memoriku. Seketika rasa ini melempar ingatanku kembali
ke PM, ketika kami naik kelas enam, kelas pemuncak di PM.
Puncak Rantai "Cepat... cepat, kita tidak bisa terlambat!" paksa Arang sambil berjalan seperti berlari menuju dapur
umum, baju putih-putih bersih kami - Sahibul Menara berbaris tertib.
Masing-masing membawa piring dan gelas makanan. Di ujung antrian, petugas dapur menanti tamu
penting, dari balik pembatas seperti loket tiket. Giliranku tiba. Mbok W arsi, perempuan berwajah
senyum ini menggerakkan tangannya seperti sebuah traktor pengangkat pasir, memindahkan
sebongkah gunung nasi ke piringku "Ta fadhal' Mas," katanya beraksen Jawa medok.
Aku bergeser ke mbok satu lagi. Setelah menerima kupon makanku hari ini, dia mengail-ngail wajan
besar dan mengangkat sebongkah daging semur dan menumpuknya diatas Gelas plastik merah
aku sorongkan. Dia mencurahkan susu cokelat encer sampai berlimbak-limbak. Aku bergeser lagi
ke kanan. Misbah, kawan sekelasku sendiri yang berada dibalik terali, dia adalah penguras dapur
sekarang. "Good moming my friend, kita naik kelas enam, kami menyediakan kurma hari ini untuk pencuci
mulut," katanya tersenyum lebar menyodorkan 3 buah hitam berkilat-kilat.
"Syukron ya akhi, gitu dong, sering-sering kita dikasih bonus," sahutku senang hati. Hanya pada
hari spesial saja kami dapat Jatah makan mewah dengan daging, susu dan kurma. Misalnya
menjelang ujian, hari raya, atau hari kami naik kelas enam.
Hari itu kami pesta kurma. Hari ini juga hari besar bagi kami, karena inilah posisi puncak dari etape
terakhir reli panjang kami menjelajah padang ilmu di PM. Hari ini kami akan menerima amanat
penting dari Kiai Rais. Setelah itu kami berbondong-bondong masuk ke aula. Di atas panggung telah terpampang spanduk
3 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
besar dan indah bertu-liskan: Selamat Naik ke Kelas Puncak. Kiai Rais dan guru-guru senior telah
menempati kursi mereka masing sambil membagi-bagi senyum dan guyon.
Suasana sangat menyenangkan dan membanggakan.
Naik kelas enam berarti k ami telah melejit ke puncak rant ai makanan. Kami adalah murid paling
senior, paling berkuasa, paling bebas, dan tidak ada lagi keamanan yang memburu*
Yang berhak menghukum hanyalah para ustad dari Kantor Pengasuhan. Kami adalah su iivivor dari
seleksi alam bertahun-tahun merasai hidup militan di PM. Boleh disebutkan dengan bangga, kami
manusia pilihan untuk ukuran PM.
Kekuasaan kami sangat riil dan meliputi semua bidang, mulai dari urusan penyediaan makan buat w
arga PM, masalah wesel sampai keamanan. Pendeknya, mandat kami adalah menjalankan roda
kegiatan PM dari hulu ke hilir. Tampuk kekuasaan ini kami dapatkan ketika naik kelas 5, set elah
pergantian organisasi pengurus siswa. Kini jabatan ini akan segera kami serahkan ke adik kelas
kami dua bulan lagi. Sedangkan kami siswa kelas 6 disuruh fokus semata untuk belajar mempersiapkan ujian akbar.
Pelajaran dari kelas 1-6 diujikan dalam ujian maraton 15 hari.
Kiai Rais tampil di mimbar dengan air muka sejernih telaga.
"Anak-anakku semua. Mari kita bersyukur kita telah diberi jalan oleh Tuhan untuk bersama
melangkah sampai sejauh ini.
Selamat atas naik ke kelas enam. Tujuan akhir kalian tidak jauh lagi. Terminal sudah t ampak di
ujung sana." Seperti biasa beliau menyapa kami dengan lemah lembut dan intim.
"Selainitu kalian telah mempraktikkan motto siap memimpin dan siap dipimp in. Kini kalian berada di
lant ai tettit^gl pembangunan jiwa dan raga di PM," kata beliau membuka kedua tangannya
lebar-lebar dan menutup sambutan ini dengan salam. Kami bertepuk riuh menyambut ucapan ini.
"Padahal sebetulnya kita yang harus bangga punya guru beliau," bisikku kepada Dulmajid yang
selalu terbius oleh kata-kata Kiai Rais.
"Tapi ada tugas yang penting dan berat. Yaitu pertama meneruskan tugas kalian menjadi pengurus
PM beberapa bulan lagi sebelum diserahkan ke kelas V.
Kedua, menyelenggarakan pertunjukan besar Class Six Show. Ini saatnya kalian memperlihatkan
segala kemampuan, seni, organisasi dan kepercayaan diri. Segenap w arga PM dan undangan
tidak sabar melihat kebolehan kalian.
Kami bertempik sorak. Said di sebelahku sampai berdiri dan bertepuk-tepuk seperti anak kecil dapat
mobi -mobikuv Dulmajid sampai perlu menarik-narik ujung bajunya menyuruh duduk. Show ini acara
yang kami tunggu-tunggu. Ini kesempatan kami memperlihatkan diri tidak kalah dengan pertunjukan
kelas enam tahun lalu. Memang persaingan prestis antara-dua kelas tertinggi, kelas 5 dan kelas 6
selalu hangat. Ingin merebut hati adik adik kelas dan para guru dan memperlihatkan yang t erbaik. Tahun lalu, w
4 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
aktu kami kelas 5, kami punya Class Five Show yang membuat semua orang kagum dan membuat
kakak kelas kami tertekan. Kami tidak mau dalam posisi tertekan ini secelah kelas 5 beberapa bulan
lalu membuat show yang luar biasa juga.
Kiai Rais sampai perlu melambai-lambaikan tangan untuk meminta kami tenang.
"Anak-anak, jangan senang dulu. Ada yang lebih penting dari itu semua. Y aitu imtilum, ujian akhir
kelas enam. Semua mata pelajaran yang pemah diajarkan dari kelas satu sampai kelas enam akan
diujikan. Tidak ada pilihan lain, kalian harus belajar keras, sekeras kalian mempersiapkan Class Six
Show!" Kali ini, kami semua memasang muka memelas. Suara "ooooo" pun berkumandang. Kami
membayangkan perjuangan panjang belajar siang malam menghadapi ujian. Di PM, ujian selalu
heboh dan berat. Tapi di antara itu semua, ujian kelas enam dianggap yang paling berat. Kami telah
menyaksikan selama ini bagaimana kakak-kakak kelas 6 bertarung sengit untuk menaklukkan ujian
penghabisan. Sebuah "ujian di atas ujian."
Hanya Baso yang tampak antusias dan bertepuk tangan.
Dia memang selalu menjadi minoritas dan melawan arus.
Kiai Rais tersenyum melihat kami memasang muka rusuh.
"Anak-anakku. Ini akan jadi tahun tersibuk dan terbaik kalian. Kami yakin kalian mampu
menjalankannya. Mulailah dengan bismiliah dan selalu amalkan man jadda w ajada"
Kiai kami tercint a memang selalu tahu bagaimana membujuk dan melambungkan semangat kami.
Kami berdiri dan bertepuk tangan menghormati beliau dan mensyukuri kenyataan menjadi kelas
enam. What a big deal Naik ke kelas enam membuat kami bisa melihat hidup di PM seperti seekor
burung yang melihat daratan dibawahnya.
Berbeda sekali dengan saat kelas satu yang melihat PM besar dari perspektif seekor katak kecil.
Terkaget kaget dengan gemuruh PM yang terasa besar sekali.
Sekarang aku merasa PM adalah dunia yang lebih tentram, besar, lapang dan lebih bebas. Kami
tetap harus mempertahankan, tapi kami tidak perlu takut lagi dengan serbuan-serbuan orang
semacam Tyson. Kami sendiri kini Tyson bagi junior kami. Kami dipanggil "Kak" oleh ribuan adik
kelas. Mereka memandang kami dengan hormat atau iri, atau mungkin Apa pun itu, kami tidak
begitu peduli karena kami benar-benar merasa di atas angin.
Aku membayangkan, kami bagai kafilah besar yang telah berkelana ribuan kilo di tengah padang
pasir. Telah banyak gerombolan anjing menyalak yang kami usir, perangi atau kami anggap angin
lalu. Kini, ketika kaki mulai letih dan armada onta mulai goyah, samar-samar kami melihat oase nun
di ujung horizon. Pucuk-pucuk daun palem yang hijau tampak melambai-lambai. Tinggal sedikit lagi.
Dalam perjalanan panjang ini kami t elah belajar banyak idin merasa menjadi lebih dewasa dan
matang secara mental Dari sisi ilmu, kami semakin percaya diri dengan pengetahuan yang kami
dapat. Apalagi kami sekarang cukup nyaman menggunakan secara aktif dua kunci jendela dunia
5 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
bahasa Arab dan Inggris. Malam ini kami merayakan kenaikan kelas dengan acara ngumpul bersama, di atap gedung
asrama. Kami berkumpul, ngomong ngalor-ngidul, ditemani seember kopi, seember mie dan
seplastik kacang sukro. Pembicaraan paling seru adalah bagaimana kami akan membuat Class S ix
Show yang terbaik sepanjang masa. Sampai jauh malam, kami masih tetap bingung dengan ide
awal acaranya. Ini jad i tantangan besar kami beberapa bulan ke depan. Sementara tidak ada satu
orang pun yang berani memulai membicarakan ujian di atas ujian tadi. Mungkin Baso mau, tapi kali
ini d ia tidak beran i melawan mayoritas yang sedang bahagia.
Kehebohan anak kelas enam baru susut menjelang dentang lonceng 12 kali, menandakan tengah
malam telah sampat Inilah hari yang dibuka dengan korma dan ditutup dengan tawa.
Lembaga Sensor "Kami ikhlas mendidik kalian dan kalian ikhlas pula berniat untuk mau dididik."
Inilah kalimat penting pertama yang disampaikan Kiai Rais di hari pertama aku resmi menjadimurid
PM tiga tahun silam. Keikhlasan" W aktu itu, aku tidak terlalu mafhum makna dibalik itu. Bahkan aku curiga, kalau ini
hanya bagian dari lip service saja.
Tapi kini, set elah tiga tahun mendengar kata keikhlasan berulang-ulang, aku mulai mengerti W
awancaraku dengan Ustad Khalid dulu tentang konsep mewakafkan diri m pikiranku. Aku kini
melihat keikhlasan adalah perjanjian tidak tertulis antara guru dan.muridf .Keikhlasan bagai kabel
listrik yang menghubungkan guru dan murid. Dengan kabel ini, ilmu lancar mengucur. Sementara
aliran pahala yang melingkupi para guru yang budiman dan nikmatnya hanya demi memberi
kebaikan tepipL seperti yang diamanatkan Tuhan. Hubungan tanpa imbal jasa, karena yakin Tuhan
Sang Maha Pembalas terhadap pengkhidmatan ini. Keikhlasan ialah sebuah pakta suci.
Inilah energi yang terus memutar mesin sekolah kami, aura tebal yang menyelimut i segala penjuru,
danruh yang menguasai kami semua. Apa pun kegiatan, selalu dilipur dan dihibur dengan potongan
kalimat : "ikhlas kan ya akhi..." Dan begitu potongan itu disebut, rasanya hati menjadi plong dan
badan menjadi segar, seperti habis menenggak ST MJ. Sebuah prinsip yang sakti dan manjur.
Aku pernah terkulai kecapekan sampai dini hari menulis majalah d inding waktu di tahun pertama
dulu. Majalah ini harus dipampangkan di depan aula begitu matahari naik.
Padahal masih satu halaman lagi yang harus ditulis tangan indah menjelang azan Subuh
berkumandang. Aku t idak kuasa lagi melawan cengkraman kantuk.
Lalu Kak Iskandar datang dan menepuk-nepuk punggungku, "Ya akhi, ikhlaskan niatmu". Seketika
itu juga capek hilang dan semangat memuncak. Di lain kesempatan, aku tertangkap jasus, dan
masuk mahkamah. Setelah menjatuhkan hukuman dan menyerahkan tiket jasus, kakak bagian
keamanan dengan mata menyelidik bertanya, anta ikhlas gak jadi jasus" Dengan agak terpaksa
6 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
aku bilang, "Ikhlas Kak". Ajaib, setelah menjawab itu hati pun jadi lebih tenang. Bahkan pun ketika aku
mengucapkannya setengah hati. Kata ikhlas bagai obat yang manjur, yang merawat hati dan
memperkuat raga. Yang paling lucu tentulah Said. Di saat bertarung seru dengan kantuk ketika kami jadi bulis lail, dia
b ilang dengan setengah sadar, "Aku ikhlas ngantuk dan tertidur". Lalu dia tidur dengan pulas t anpa
t akut dilabrak T yson. Sebuah praktek keikhlasan yang unik dan aneh.
Jiwa keikhlasan dipertontonkan setiap hari di PM. Guru-guru kami yang tercinta dan hebat-hebat
sama sekali tidak menerima gaji untuk mengajar. Mereka semua tinggal di dalam PM dan diberi
fasilitas hidup yang cukup, tapi tidak ada gaji. Dengan tidak adanya ekspektasi gaji dari semenjak
awal, niat mereka menjadi khalis. Mengajar hanya karena ibadah, karena perintah Tuhan. Titik.
Begitu niat ikhlas terganggu, seorang guru biasanya merasakannya dan langsung mengundurkan
diri. Akibat seleksi ikhlas ini, semua guru dan kiai punya tingkat keikhlasan yang terjaga tinggi yang
artinya juga energi tertinggi. Dalam ikhlas, sama sekali tidak ada transaksi yang merugi Not hing t o
lose. Semuanya dikerjakan all-out dengan mutu terbaik. Karena mereka t ahu, cukuplah Tuhan sendiri
yang membalas semua. Tidak ada transfer duit dan materi di PM. Hanya t ransfer amal doa dan pahala. Indah sekali. Sosok
Ustad Khalid kembali muncul di pelupuk mataku.
Inilah yang aku pelajari dan pahami tentang keikhlasan.
Dan aku tahu, hampir semua kami di kelas enam meresapi dan memahaman ini.
"Kullukum ra'in wakullukum.masulun an raiyatihi", ini penting untuk leadership di PM. Setiap orang
adalah pemimpin tidak peduli siapa pun, paling t idak untuk diri mereka sendai, Aku merasakan PM
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kami untuk mempraktekkan diri menjadi pemimpin
dan menjadi yang dipimpin. Levelnya pun beraneka ragam, dari yang paling sederhana sampai
yang berat. Dalam prakteknya ada ribuan jabatan ketua tersedia set iap tahun. Mulai dari ketua
kamar, ketua kelas, ketua klub olahraga sampai ketua majalah dinding, jabatan ketua ini terus
dipergantikan sehingga diharapkan setiap siswa PM pernah merasakan menjadi ketua sepanjang
hidupnya di PM. Aku mengawali hari pertama di PM sebagai anggota asrama yang patuh pada aturan. Lalu
pelan-pelan kami, anak baru, mendapat giliran menjadi anggota yang diberi wewenang, manajer,
pemimpin, bahkan sampai pembuat aturan. Puncak tanggung jawab adalah ketika kami menjadi
siswa senior di kelas 5 dan 6.
Seorang kepala asrama adalah seorang anak senior kelas lima. Dia didampingi tim keamanan dan
tim penggerak bahasa. Mereka semua bertanggung jawab mengawasi sekitar 400 anggota
asramanya. Membant u anggota untuk berdisiplin, menggunakan bahasa dengan benar sampai
urusan tetek bengek seperti aturan mencuci, jemur baju, dan jam tidur.
7 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Tidak jarang anak muda tanggung ini menjadi tempat curhat anggotanya yang bermasalah. Sebuah
pekerjaan yang sibuk dan memakan waktu. Tidak heran kadang-kadang kepala asrama terlalu sibuk
mendedikasikan waktu dan pikirannya buat anggota dan ketinggalan belajar. Di sinilah keikhlasan
dan kepemimpinan digandengkan untuk membuat diri kami seorang pemimpin.
Kalau pengurus asrama bisa diibaratkan pemerint ah daerah, sedangkan pengurus pusat adalah
pemerint ah pusat. Pengurus pusat bertanggung jawab untuk melayani ribuan orang penduduk PM sekaligus.
*** Tahun lalu, ketika duduk di kelas lima, kami mu la tampuk kepemimpinan ini, menerima penyerahan
kekuasaan dari kelas 6 yang telah menjabat setahun dan segera baku mempersiapkan ujian akhir.
Dalam sebuah minggu yang kami sebut "pekan penyerahan kekuasaan", berganti-ganti kami
dipanggil ke KP untuk diberi tanggung jawab baru. Baik sebagai pengurus asrama atau pengurus
pusat. Penentuan fit and proper berliku-liku.
Organisasi setiap daerah menominasikan putra daerah terbaik.


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KP lalu mendapatkan masukan dari wali kelas, pengurus asrama dan melihat track record
pelanggaran yang mereka dokumentasikan dengan rapi sejak hari pertama set iap orang masuk
PM. Dari sanalah kemudian muncul rekomendasi dan menentukan siapa yang paling tepat
melakukan apa. Di antara Sah ibul Menara, yang pertama terpanggil adalah Said. Dengan muka berbinar-binar opt
imis dan dia menghadap Ustad Torik.
Sejam kemudian Said keluar dari kantor itu dan melapor kepada kami yang telah menunggu di
bawah menara. Kawanku yang optimis, atletis, periang, dan heboh
"Aku menjadi ketua tukang sensor!" katanya tersenyum memperlihatkan sebuah surat bersampul
cokelat. Kami tertawa dan menepuk-nepuk punggungnya, memberi selamat atas jabatan baru itu :
menjadi anggota elit "The Magnificent Seven" tujuh orang terpilih pembela keamanan dunia PM.
Ini sesuai dengan cita-citanya dulu di depan panel koran.
Dialah badan sensor koran, seperti yang diidam-idamkan, Dialah tuan besar ketertiban dan
menunggangi sepeda hitam mengkilat bersenjatakan sejadah dan sebuah senter besar bagai
pedang sinar yang membutakan mata. Persis di posisi Tyson yang sekarang telah tamat sekolah.
Aku tidak heran. Dengan postur t inggi besar seperti Muhammad Ali bercampur Arnold Schwarzenegger, tidak ada
yang lebih tepat berada di posisi ini. Dia pasti jadi momok anak-anak baru dan segera menempati
posisi public enemy number one. Ini juga posisi yang kurang nikmat.
Keamanan yang tugasnya menjaga disiplin ironisnya selalu dianggap mengganggu ketenangan,
rigid dan tidak kompromi. Wajah pun harus dibuat lebih serius dan t idak boleh senyam-senyum
8 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
sembarangan. Bayangkan setahun bertugas tanpa senyum!
Tapi aku yakin Said tidak keberatan menjadi musuh bersama.
Dia siap bertugas hanya demi ridho Ilahi. Aku tahu di balik tampang Arnoldnya, dia punya jiwa
Tyson yang ikhlas. Aku dan Atang sedang dapat tugas piket menyapu aula ketika sebuah sepeda hitam melesat
kencang ke arah masjid. Walau sekilas, aku tahu badan besar yang mengayuh sepeda itu Said. Ini hari pertamanya bertugas
sebagai bagian keamanan pusat. Said segera memarkir sepeda hitam mengkilatnya di samping
tangga masjid yang lebar. Dia memakai kopiah hitam, jas hitam, dan sarung hitam. Di bahu
kanannya t ersampir sajadah merah tuanya. Ujungnya berkibar ditiup angin sore. Dia berdiri tegap
dengan dagu sedikit naik.
Tidak seberkas pun senyum muncul dari wajahnya. Matanya yang beralis tebal kini tajam
mengawasi gelombang ribuan anak yang naik ke lantai dua masjid. Tangannya kanannya
mengibas-ngibas menyuruh semua orang berjalan lebih cepat.
Ya Tuhan, dia bahkan jauh lebih menyeramkan dari Tyson.
Melihat ada seorang anggota "The Magnificent Seven"
sudah standby, beberapa anak yang berjalan santai k ini berlari serabut an menuju masjid. Mereka
tidak berani sampai terlambat semenit pun di depan sosok serba hitam ini. Tiga tahun mengenal
Said sebagai sebuah pribadi riang.
Senyumnya , lebar dan kerlingan matanya yang iseng selama ini tidak hilang. Baru sekali ini aku
melihat dia puasa senyum lebih dari lima menit. Iseng, kami mencoba melambaikan tangan kearah
Said yang sedang sibuk bertugas. Hanya dibalas dengan anggukan kecil saja. Lucu sekali melihat
Said mempertahankan w ibawa dengan berjuang menutupi senyum lebarnya.
Hari berikut nya giliran Raja yang dipanggil ke KP. Ketika keluar ruangan dia senyum-senyum
sendiri kepada kami Sahibul Menara.
"Kalian t ebaklah, jadi apa aku ini?"
"Jadi bagian informasi pusat?"
"Bukan." "Ketua bahasa untuk asrama Al-Barq?"
"Bukan. Aku dipercaya jadi anggota The Three Musketeers," katanya bersemangat. Three
Musketeers adalah julukan kami di PM bagi tiga orang penggerak bahasa pusat. Mereka yang
menjaga program pengembangan bahasa dan menjaga kedisiplinannya. Mereka hakim tertinggi
untuk menghukum para pelanggar bahasa. Tiga orang ini punya kemampuan bahasa Arab dan
9 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Inggris yang superior dan menjadi role model untuk semua murid.
Bagiku, Raja telah lama menjadi role model. Sejak di PM, dia seorang yang sangat menggebu
mendalami aneka bahasa, khususnya bahasa Inggris. debat adalah bidang lain yang dia asah.
Berkali-kali dia menyabet juara dalam lomba public speaking antar asrama dan kelas, baik bahasa
Indonesia, Inggris atau Arab.
Aku, Atang, Baso dan Dulmajid harap-harap cemas. Apakah kami akan diberi kepercayaan juga
duduk di kepengurusan elit atau jadi pengurus asrama, atau bahkan jadi proletar, julukan bagi murid
yang tidak dapat jabatan formal. Aku sendiri berpikir, akan bagus dapat kesempatan, tapi kalau
tidak, aku juga siap menjadi proletar - dengan ikhlas. Kesempatan sangat banyak untuk mendalami
berbagai macam ilmu karena waktu akan lebih banyak buat diri sendiri.
Akhirnya panggilan itu datang juga dalam bentuk pengumuman setelah shalat Dzuhur. Aku, Atang,
Baso, Dulmajid dan beberapa orang lain dimint a datang jam 2 siang menghadap Ustad Torik.
Kami berempat duduk berjejer di lantai. Ustad KP tampak memilah-milah tumpukan map yang ada
di kirinya. Tampaknya mencari catatan kehidupan kami selama ini. Tangannya sekarang memegang
4 map besar. Dia memandang kami dengan mata sembilunya.
"Kalian t elah tahu kenapa dipanggil ke sini?"
Kami menggeleng. Tidak ada yang berani memastikan pasal apa yang akan dibicarakan kalau di
KP. Kebanyakan adalah masalah disip lin dan pelanggaran. Sesekali saja kabar gembira.
Tampaknya kali ini kabar gembira. W alau matanya tetap tajam, senyumnya muncul sekilas.
"Kalian telah bertahun-tahun belajar dipimp in, sekarang saatnya kami memint a kalian belajar
memimpin. Apakah ada yang keberatan dan tidak ikhlas d isuruh memimpin?" tanyanya sambil
mengedarkan matanya ke setiap wajah kami.
Kami sekali lagi menggeleng serempak. Seperti kawanan itik kecil yang manis-manis. .
"Baik, kalian akan saya beri masing-masing surat di amplop tertutup. Silakan dibaca, dipahami dan
kalau ada pertanyaan atau keberatan, segera tanyakan sekarang juga. Kalau kalian setuju, segera
tandatangani surat persetujuan terlampir" katanya sambil membagikan amplop
Dalam hening, kami membuka amplop dan masing-masing. Surat yang memakai stempel biru diriku
berbunyi: Assalamualaikum Wr Wb. Ananda Alif Fikri, Setelah melalui proses pertimbangan yang menawarkan kepada ananda untuk ikhlas membantu
10 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
PM selama setahun sebagai salah satu dari dua posisi di bawah ini: 1. Penggerak Bahasa Asrama
Cordova 2. Redaktur Majalah Syams
Mohon dipertimbangkan pilihan ananda. Terima kasih atas keikhlasan dan kesediaan ikut berjuang
membela PM. M Wassalam, Kantor Pengasuhan PM selalu berkomunikasi dengan sopan murid. Aku bersyukur dan berterima kasih diberi
kepercayaan. Tapi aku bingung untuk memilih satu di antaranya. Aku suka mengembangkan
bahasa, tapi aku juga menjadi penulis.
Pilihan yang sulit. Lebih dari itu, ada bagian dariku yang mengingatkan kalau aku kurang pant as menjadi pengurus
karena hatiku masih belum bulat.
Aku merasa telah bertumbuh dan berubah dalam 3 tahun ini Dari set engah hati, menjadi mulai
menikmati hidupku di sini. Aku mencoba berdamai dengan diriku dan ke-afan. Dan aku telah mohon
ampun kepada A mak. Mungkin memangang jalan nasibku harus di PM. Tapi cita-cita masa kecil
susah dimatikan. Setiap melihat orang berseragam abu-abu SMA, hariku berdesir. Masih ada yang
mengganjal. Tapi kalau ditanya masalah bahasa. Aku sangat suka belajar bahasa Inggris dan Arab. Menjadi
penggerak bahasa adalah pilihan yang tepat. Tapi aku juga suka menulis dan menjadi redaktur
majalah. Melan jutkan karier reporter sejak kelas satu dulu.
Melihat aku bingung memilih, tidak biasanya Ustad Torik kooperatif, "Kalau masih bingung bisa
dicoba dulu barang sebulan". Akhirnya aku sepakat akan mencoba menjadi penggerak bahasa
selama 1 bulan. Atang yang pernah bercita-cita menjadi bagian penerimaan tamu, mendapat kepercayaan menjadi
Dewan Kesenian Pusat. Selama beberapa tahun ini, jiwa seni yang mengalir deras d i tubuh Atang terus berkembang. Dia
tidak membatasi diri dengan teater saja. Dia menerobos seni lain dengan belajar musik, seni
kaligrafi, sampai pantomim. Tahun lalu, dia bahkan masuk ke dunia lain lagi, mendalami apa itu seni
tasafuw dan sufi melalu i buku-buku Al-Ghazali. Kombinasi un ik antara seniman dan sufi ini
membuat karya teaternya sekarang lebih spritual. Satu W yang masih membuat dia w aswas adalah
dia masih harus bekerja keras untuk menajamkan hapalan dan bahasa Arabnya.
Dulmajid, kawan Maduraku yang lugu dapat jabatan yang mungkin paling tepat: salah seorang dari
lima redaktur majalah Syams. Selama ini dia adalah sosok yang selalu seriu s dan keras hati untuk
merebut t arget-targetnya. Misalnya, dia rela 1 bulan berturut-turut di perpustakaan hanya untuk
mendalami zanah sejarah Marco Polo dan Ibnu Batutah. Kerja keras konsistensi melayari
pulau-pulau ilmu seperti inilah yang melejitkan intelektualitasnya. Dari keluasan perbendaharaan
11 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
bwp an, teori dan informasi ini, dia menulis dengan gegap gempita. Tulisan ilmiahnya bertebaran di
berbagai media sekolah kami.
Dia juga menggagas forum diskusi yang karya pemikir mulai dari Ghazali, Sardar, Iqbal,
MawducflfejW B riati, Karen Amstrong, Schimmel, sampai Nurcholish Madjid. Sedangkan karier
bulut angkisnya tidak berkembang banyak walau tetap menjadi mitra latih Ustad Torik.
Bagaimana dengan kawanku berwajah pelaut diari Gow a, Baso sekarang adalah Baso yang jauh
berbeda dibanding waktu dikelas satu dulu. Pertama, dia t idak pernah lagi latihan bahasa Inggris
denganku, karena dia telah sukses menghilangkan dengung dan qalqalah dari pronounciation-nya.
Dia juga seHg^B telah bisa menyeimbangkan antara belajar dan kegiatan lain. Dari segi
kecemerlangan otak, dia terus mengejutkan kami Ternyata tidak hanya hapalan yang dia kuasai, dia
juga mantap dalam analisis masalah dan matematika. Makanya kalau belajar bersama sebelum
ujian tanpa dia, kami t idak cukup pede. Dia selalu menjadi manaji - referensi terpercaya, kalau
kami mentok dengan sebuah mata pelajaran. Satu lagi kelebihannya dia mulai berolahraga teratur,
w alau cuma lari. Alasan dia memilih lari: karena tidak bakat olahraga lain.
Di t engah kecemerlangan ot aknya, kekurangan Baso adalah sifat pelupa. Akibatnya selama ini dia
menjadi langganan mahkamah hanya karena sering lupa pakai papan nama, lupa pakai papan
nama ke masjid, lupa menulis teks pidato dan lupa-lupa yang lain. Bahkan pernah Tyson marah luar
b iasa gara-gara Baso juga lupa kalau dia harus masuk mahkamah.
Tapi dia punya masalah yang lebih besar lagi. Beberapa kali dia berbicara dari hati ke hati
denganku. "Aku suka dengan suasana dan pertemanan di sini. Tapi di sini juga terlalu ramai," katanya.
"]angan pedulikan kesibukan ini, kita kan bisa menyepi di pinggir sungai atau di bawah jemuran
baju," jawabku sekenanya.
"Aku merasa tidak punya cukup tenaga dan waktu untuk mendalami Al-Quran."
"Lho, yang kita lakukan set iap hari kan bagian dari mengenal Al Quran?"
"Aku ingin bisa menghapal - benar-benar hapal set iap huruf dari depan sampai belakang dan
memahaminya sekaligus. Ini butuh waktu dan ketenangan. Itu yang aku tidak punya di sini.
Aku mulai t idak betah."
W alau kelihatannya tidak fokus, tapi tidak pernah ketinggalan pelajaran. Kosa katanya sangat kaya,
tata bahasanya luar b iasa dan aksen Arabnya luar biasa basah.
Karena kelebihan inilah dia kemudian dimint a KP untuk menjabat sebagai "Penggerak Bahasa
Pusat", bersama Raja.
Sebuah jabatan yang menurutku sangat pantas.
12 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Raja dan Baso adalah kebanggaan kami. Ingatanku terbang ke dua tahun lalu ketika Raja dan Baso
menorehkan sejarah dan menjadi legenda PM. Mereka berdua, ketika itu kelas t iga, membuat
pengumuman kepada khalayak: mereka akan m kamus lnggris-Arab-Indon"sia khusus buat pelajat.
mereka, kamus yang ada sekarang terlalu tebal cocok untuk orang yang baru belajar bahasa dasar.
Pe; derhanakan sesuai kebutuhan. Tapi, menyusun kamus" dua anak berumur 16
tahun." Sebelia itu." Banyak yang tidak percaya, tergelak, atau hanya menyumbang senyum,
mengaanggap ide ini sebuah mimpi yang keterlaluan.
Tapi mereka maju terus. Ya, itu yang mereka lakukan dengan cara yang paling manual.
Masing-masing membagi tugas. Raja menuliskan ent ry Inggris dan Baso untuk Arab.
Selama set ahun siang malam mereka mengerjakan pemilihan kata yang benar benar cocok untuk
para pelajar. Aku ingat beberapa kali bangun tengah malam untuk shalat Tahajud. Setiap bangun menyaksikan
di t engah kesunyian dan gelapnya malam, Raja duduk bersila ditemani sebuah lampu teplok yang
apinya melenggak lenggok karena sudah hampir kehabisan minyak. Di depan mereka bertumpuk
berbagai kamus referensi, dan di depan masing-masing, sebuah buku tulis tebal telah penuh an
Arab dan Inggris. Mereka terus menulis dan menulis tidak kenal lelah. Pagi-pagi aku melihat jempol,
telunjuk dan jari t engah mereka bengkak-bengkak dan membiru karena dipakai memegang pulpen
tiada henti. Tapi hasilnya berbicara. Dua tahun setelah memproklamirkan proyek ambisius ini,
kamus mereka dicetak di percetakan PM.
Kini "Kamus Arab-Inggris-Indonesia" karya Baso Salahudin dan Raja Lubis ini tersedia di t oko buku
kami. Kalau dulu kami harus berkoar koar belajar pidato dan membuat naskah. Kini kami juga ditugaskan
menjadi pemeriksa naskah dan pengawas latihan pidato. Hanya dengan tanda tangan kamilah
seorang murid bisa berpidato.
Bagi yang sedang tidak dapat giliran mengawas, kami berkumpul di aula untuk melakukan diskusi
ilmiah dengan tema-tema yang sudah disiapkan. Kami juga sudah mendapat hak untuk mengajar
anak kelas bawah, khusus untuk pelajaran sore. Semuanya terasa alamiah, karena apa yang kami
ajarkan adalah yang kami t erima 2-3 tahun lalu.
W alau kini ada d i puncak rant ai makanan yang menyenangkan, aku diam-diam t etap merasa
gamang. Jauh di pedalaman hati, bagai api di dalam sekam, aku terus bertanya-tanya ke mana aku
pergi setelah PM" Sekam Itu Bernama ITB Seperti janjiku pada Ustad Torik, aku mencoba menjalankan tugas sebagai penggerak bahasa
asrama. Tugasku adalah memastikan disiplin bahasa ditegakkan, kata baru dan memeriksa catatan
anggota asrama. Selainitu juga '
13 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
merangkap sebagai hakim di mahkamah bahasa. Posisiku hanya untuk satu asrama, sementara
"Three Musketeers"
mengatur disip lin bahasa unt uk segenap penduduk PM.
Kini aku menjadi hakim di depan murid-murid muda yang masuk ke dalam ruangan mahkamah
dengan takut-takut. Aku menyuruh mereka duduk pasrah di tengah kamar yang kosong. Aku
bertanya apa kesalahan mereka. Kalau mereka menggeleng, maka karcis laporan jasus aku
bacakan. Lalu mereka kuhukum supaya jera. Selain mendapat tugas.
pelanggar lain, hukuman buat mereka untuk berdiri mematung di tengah koridor yang penuh orang
yang lalu lalang. Mereka harus berteriak-teriak, "Aku tidak akan lagi" selama setengah jam. Tapi
setelah beberapa kali menjadi hakim bahasa seperti ini, aku t ahu kalau aku mengadili dan
menghukum orang. Aku segera melapor ke Ustad Torik dahkan aku ke majalah Syams, bergabung dengan Dulmajid
yang telah 2 minggu tinggal di kantor majalah, sebuah ruangan yang sangat strategis di sebelah
tempat penerimaan tamu. Tempatnya yang tinggi di lantai dua memungkinkan kami melihat situasi
PM. Aku baru saja pulang dari percetakan untuk memastikan plat untuk majalah kampus yang akan naik
cetak telah beres. Ketika lewat di depan sekretariat, Mukhlas, temanku yang bertugas di bagian surat menyurat
melambai-lambaikan sebuah amplop.
"Alif, dari Padang nih. Sayang cuma surat saja, tidak ada wesel," katanya bercanda
Tanpa membaca, aku sudah tahu ini surat Randai.
Tulisannya yang besar-besar dan miring ke kiri tidak mungkin disamai orang lain. Tahun lalu,
Randai gencar menulis surat, bercerita kalau dia sudah kelas 3 SMA.
Sebelumnya, dia bercerita telah memutuskan pilihan universitas yang cocok dengan bakarnya.
Pilihan pertamanya adalah Teknik Mesin 1TB, Fakultas Kedokteran Unpad dan sebagai pilihan
amannya adalah Sastra Inggris Unpad. Kenapa di Bandung semua" Entah kenapa, orang Minang
lebih suka mengirim anaknya sekolah ke Bandung daripada ke kota lain.
Seperti ada love affair antara Minangkabau dan tanah Parahiyang-an. Entah kebetulan, di Minang
juga ada wilayah yang disebut Periangan. Tapi alasan praktisnya mungkin karena Bandung cukup
dekat dan lebih murah. Yogya murah tapi jauh, Jakarta dekat, tapi mahal.
Aku goyang-goyang amplop putih itu untuk meloloskan kertas ke satu sisi, dan sisi lainnya aku
robek. Hanya selembar surat dengan tulisan besar-besar.
"Alif, syukur ALHAMDULLILLAH, aku telah DITERIMA di TEKNIK MESIN ITB, persis seperti yang
aku harapkan. 14 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Sekolahnya Bung Karno dan Pak Habibie...."
Aku hentikan membaca sampai di situ. Aku lipat surat ini. Lalu aku panjatkan syukur kepada Allah
atas karuniaNya ini kepada Randai. Sebagai kawan, aku senang kawanku mimpinya jad i
kenyataan. Tapi jantungku berdenyut keras.
Dan sekam yang tidak pernah pudar dalam 3 tahun akhirnya me letik-letik dan menyala jadi api. Ada
iri yang meronta ronta di dadaku. Semua yang didapat Randai adalah mimpiku juga. Mahasiswa ITB
dan bercita-cita jadi Habibie.
Kini kawanku . mendapatkan semuanya kontan. Sedangkan aku masih harus mengangsur 1 tahun
lagi sebagai murid kelas 6 di PM.
Karena aku masuk set elah tamat SLTP, PM mewajibkan tambahan 1 tahun untuk kelas persiapan,
sehingga untuk lulus, aku perlu 4 tahun'. Artinya: Randai kelas 3 SMA, aku baru kelas 5 di PM.
Randai masuk kuliah, aku masih kelas 6.
Batinku perang. Dari sepucuk surat, kegelisahan d i pedalaman hati ini menjalar ke permukaan dan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat mempengaruhi semesta pikiranku.
Tahu-tahu dunia ini terasa kelabu dan dingin.
Di puncak gedung asrama, dikelilingi oleh gantungan cucian aku berdiri sebatang kara menatap
langit yang rusuh. Aku kemr bangkan sajadah di atas lantai beton cor ini. Aku lanjutkan membaca
surat Randai yang telah keriput aku remas. Isinya aku tenungkan dalam-dalam. Ini sebuah surat
persahabatan dan pemberitahuan. Kenapa sebagian diriku ragu"
Sebagian hatiku berbisik bahw a surat ini "mengejek" dan mempertanyakan keputusanku masuk ke
PM. Mempertanyakan! Bahkan setelah tiga tahun berlalu.
Betapa kurang kerjaan si Randai ini! Tapi kenapa aku jadi terpengaruh dengan surat ini" Atau...
jangan-jangan aku memang telah salah langkah. Jangan-jangan aku telah terlambat merangkul
cita-cita masa kecilku yang telah dibawa lari oleh kawanku sendiri. Suara-suara aneh berlomba
berbisik di set iap sudut kepalaku. Semakin kuat dan semakin menjadi.
Aku menangkupkan kedua tangan ke wajahku. Kalut . Angin berdesau-desau, membuat suara aneh
ketika mengibarkan baju, sarung, baju dalam, sing let di sekitarku. Angin yang berbau sabun dan
blau. Togap, seorang kawan sekelasku yang berasal dari Medan bahkan telah memutuskan pulang 'ala
dawam, pulang selamanya, ketika kami masih kelas lima. W aktu aku tanya kenapa, dia bilang
karena dia harus mempersiapkan diri ujian persamaan SMA dan UMPTN. Tujuannya adalah jurusan
ekonomi USU, kalau tidak lulus, dia akan coba IKIP. Kalau tidak lulus juga, dia akan masuk IAIN,
yang relatif gampang ditembus murid PM.
15 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Aku termenung. Bukankah cerita Togap ini bagai mengulang protes Amak dulu" Orang masuk
sekolah agama hanya karena tidak lulus ujian masuk sekolah umum"
Bagaimana kita bisa mengharapkan ahli agama yang cemerlang kalau yang belajar ilmu agama itu
banyak dari orang-orang terbuang" Sebuah kenyataan yang pedih. Dan mungkin aku dalam posisi
akan melakukan hal itu juga.
Akhirnya pertanyaan itu meledak juga keluar: bagaiman kalau aku keluar dari PM, sekarang juga"
Agar aku mimp i seperti Randai. Menjadi mahasiswa dan bukan di jalur pelajaran agama. Tapi
artinya aku akan jadi orang yang kalah karena pulang ketika perang belum usai. Aku tidak
menyelesaikan apa yang aku mulai. Apa kata alam semesta" pulang saat ini sudah terlalu
terlambat. Ujian persamaan sudah lewat dan UMPTN
sudah usai. Aku telah ketinggalan kereta. Paling tidak aku harus menunggu sedikitnya 6 bulan lagi
kalau benar-benar mengambil keputusan radikal ini.
Dentang lonceng membangunkanku dari lamunan. Aku beranjak ke masjid untuk menunaikan
Maghrib. Pikiran tentang pulang ini hilang timbul di kepalaku, seperti gerimis yang datang dan pergi
di sore hari, sesuka hati.
Kereta Angin Kuning "Lif- Alif, bangun... bangun...". Ganggu sebuah suara yang yang panik. Aku yang baru saja
melayang ke alam mimp i Jumat sore itu mencoba membuka mataku yang berat. Wajah Dul yang
terengah-engah muncul dari balik lemariku.
"Apa kesalahan kamu?" todongnya.
"Kesalahan apa?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata dengan malas.
"Kamu dipanggil KP sekarang juga!"
Dul menyerahkan memo panggilan kepadaku. Semua panggilan ke KP selalu menggoyang jantung.
Lebih sering daripada tidak, urusannya adalah masalah disip lin dan hukuman. Akhirnya lebih sering
adalah vonis bersalah, hukuman botak, bahkan pemulangan tidak hormat. Dengan agak gugup, aku
mencoba mengingat-ingat apa kesalahan fatal yang kulakukan dalam beberapa hari ini. Terlambat
shalat pernah, tapi hanya beberapa menit, berbahasa Indonesia sudah lama tidak, tidak ghosab,
tidak juga keluar tanpa izin. Sejauh ingatanku, aku telah menjadi orang yang baik. Aku benar-benar
tidak t ahu apa kesalahanku.
Dengan wajah cemas, aku menghadap Ustad Torik yang duduk menunggu di kantornya. Dia
dengan sant ai membolak balik sebuah buku besar tebal berwarna hitam. Aku sekilas melihat
sampulnya: "Catatan Perilaku Angkatan 1988
Seperti biasanya, Wajah Ustad T orik selalu siaga hingga aku semakin khawatir, nasib buruk apa
yang jemputku hari ini. "Ijlis, ya akhi," katanya menyuruh duduk dengan sinat Mata sembilunya mengawasiku sebentar, lalu
kembali ke buku hitamnya. Aku mengambil kursi yang t erjauh. Lalu sepi. Hanya bunyi kertas
16 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
dibolak-balik dan kitiran angin berdesau-desau di langit-langit.
Akhirnya, setelah mendehem beberapa kali dia mengangkat kepala dan melihat ke arahku.
"Isma' ya akhi. Dengarkan. Kami telah memperhatikanmu beberapa waktu terakhir ini...".
Badanku menegang mengantisipasi semua kemungkinsigj Awal yang menggelisahkan. Apa yang
dia perhatikan" Kesalahan apa pula yang dia temukan" Aku sudah mencoba jadi anak baik kok.
"Kami juga telah mendapat masukan dan penilaian dari para gurumu, termasuk wali kelas..." Dia
terus mengobrol pembukaan yang tidak jelas mau ke mana. Di bawah meja aku menggenggam
ujung jariku yang semakin dingin.
"Saya sendiri menilai, berdasarkan catatan" membuka kitab hitam di depannya. Dan melihat tangan
nya yang kurus mengetuk-ngetuk satu halaman yang aku pikir adalah halaman diriku. Ya Tuhan, dia
membuka buku dosaku. Selamatkanlah aku, Tuhan.
."Walau prestasi sekolah lumayan baik, kedua bahasa baik terutama Inggris, tapi
pelanggaran-pelanggaran disip lin yang kamu lakukan dalam 3 tahun terakhir ini juga ada. Karena
itu kami memutuskan....." Dia menggantung suaranya samb il memandang mencorong kepada
mataku. Dia seperti benar-benar menikmati permainan berputar-putar ini. "...unt uk mencoba
memberi kepercayaan kepadamu untuk menjadi
"Student Speaker" dalam bahasa Inggris." Otot mukanya kali ini melemas. Senyum tipis hinggap
sebentar di bawah kumis suburnya, lalu hilang lagi.
Aku ternganga tidak percaya.
Untuk memastikan aku tidak salah dengar, aku bertanya:
"Stu... student Speaker, kapan Ustad?"
"Minggu depan, hari Jumat jam 3 sore. Di depan Mr.
McGregor, Dubes Inggris."
Alhamdulillah, terima kasih Tuhan. Setelah semua proses menegangkan ini, aku ternyata malah
diberi kepercayaan besar.
"Student Speaker" adalah sebuah kehormatan. Setiap ada tamu penting yang datang ke PM akan
diterima di aula oleh kiai dan guru serta para murid. Setelah Kiai mengucapkan selamat datang,
akan ada satu wakil dari murid yang berpidato menyambut tamu ini tanpa membaca teks. Pidato
bisa dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, tergantung tamunya dari mana. Terpilih sebagai
speaker adalah hasil seleksi dan pengamatan t erhadap kemampuan berpidato dan bahasa. Hanya
yang terbaik saja y ang terpilih. Raja tahun lalu pernah terpilih menjadi speaker ketika menyambut
rombongan duta besar Mesir. Sejak itu aku belajar hebat, untuk bisa juga dipilih. Setiap kesempatan
latihan pidato dan diskusi berbahasa Inggris, aku membuat persiapan maksimal.
17 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Rupanya usahaku tidak sia sia, hari ini usahaku dibayar kontan.
Sesuai janji, aku harus membuat konsep dan persiafjjm pidato lima menit ini. Dalam dua hari aku
harus sudah mendemonstrasikan pidato ini di depan para ustad KP.
Penampilan pertamaku membuat kening Ustad Torik berkerut-kerut.
"Akhi, bahasa sudah bagus, tapi isinya belum bagus, coba perbaiki lagi. Ingat, waktunya tinggal 5
hari lagi" komentarnya.
Selama 3 hari 3 malam, ditemani Sahibul Menara sebagai konsultan, aku berlatih dan berlatih, di
sebelah SipiH Bambu. Aku berteriak tanpa lelah kepada air, belukar, melatih lidahku supaya fleksibel untuk membawakdj|
pidatoku yang berjudul, "When East Greets West". Ketika aku peragakan lagi pidato 5
menitku di depan Ustad Toriq mengangguk-angguk setuju.
Aku lega tapi juga tegang. Dua hari lagi adalah hari H aku tampil di depan mata ribuan murid, para
guru, kiai dan tamu agung dari Inggris itu. Bagaimana jika pada hari H suaraku hilang, atau sakit
gigi, atau grogi, atau lupa hapalan p idatoku, atau... tidurku jadi t idak nyenyak.
Pagi Jumat ini aku sangat senewen. Semua persiapan yang perlu sudah kulakukan. Teks pidato
sudah berkali-kali kuhapalkan. Jas, dasi dan kopiah hitam sudah rapi tersampir diatas lemariku. T
api tetap saja aku ketar-ketir. Ini penampilan pertamaku di depan ribuan orang. Aku pernah
membawakan makalah di depan 500 orang dan itu dalam bahasa Indonesia.
Tapi, di depan ribuan orang dan bahasa Inggris"
Di depan kaca, aku temukan wajahku sendiri yang terjerat bangga dan grogi. Aku pandang mataku
sendiri, dan lamat-lamat aku lafalkan nasihat Kiai Rais suatu kali: "Jangan pernah takut dan tunduk
kepada siapa pun. Takutlah hanya kepada Allah. Karena yang membatasi kita atas dan bawah
hanyalah t anah dan langit."
"Bismillah, ya Tuhan, sudah aku kerahkan segala usaha, sekarang aku serahkan penampilanku
kepadaMu dengan segala ikhlas,* gumamku.
Sekali lagi aku rapikan sisiranku yang sudah licin dan aku tenggak sebutir multi vitamin untuk
memastikan aku segar nanti di panggung.
"Your excellency, one of our students would like to welcome you. Mr. Ali Fikri..." Undang MC sambil
menganggukkan dagu kepadaku yang duduk mengkerut di ujung aula. Tiba-tiba kerongkonganku
terasa kering dan dasiku terasa mencekik.
18 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Tapi tidak ada pilihan lain, selain berjalan ke podium.
Suasana hening sehingga aku bisa mendengar plet ak-pletok sepatuku melantun-lantun di lantai.
Kiai, Duta Besar, dan hadirin memanjangkan leher, mencoba menangkap wajahku.
Ini semua menambah kegugupan. Pundakku rasanya seperti menumpu gajah. Tapi segera
kugenggam lagi kepercayaan diriku. Jangan pernah takut kepada siapa pun dan situasi apa pun.
Takutmu hanya pada Tuhan. Hatiku bertakbir, Allahu Akbar. Suara takbir di dalam dadaku
membuatku berani. Aku telah berusaha keras dan aku berhak untuk berhasil. Langkah aku percepat
ke podium. Aku kini tampil di atas podium. Aku bayangkan rasanya berada diruang muhadharah, ruang yang
membuatku bisa melontarkan dan mengekspresikan pidato tanpa beban. Aku lagi nasehat Raja,
untuk menguasai hadirin dengan menged|m pandangan ke setiap sudut. Mataku terakhir tertumbuk
kepada -Kiai Rais dan Duta Besar. Dengan anggukan kecil kepada mereka, aku membuka
penampilan dengan salam terfasih dan terbaikku.
Mendengar koor jawaban salam dari ribuan orang, guku pun meruap. Itulah kekuatan sebuah
salam. Aku bisa mengendalikan ruangan ini dengan sebuah salam. Lalu aku mulai melontarkan
semua hapalan teksku yang int inya bercerita bahwa hubungan Timur dan Barat harus dipelihara
dan dilandasi saling percaya serta saling menghargai. Aku lirik, Dubes itu mengangguk-angguk
sambil mengawasiku. Kiai Rais tersenyum tenang seperti biasa.
Di akhir pidato, aku selipkan sebuah rayuan gombal.
"Untuk terus memajukan hubungan krusial ant ara Barat dan Timur, tidak hanya cukup Pak Dubes
yang berkunjung ke PM, bahkan PM sebagai wakil Timur pun siap berkunjung Anda.
Saling berkunjung, saling menyapa, saling lah kunci hubungan Timur Barat yang indah."
Aku hadapkan wajahku kepada Dubes. Dia tersenyum terangguk-angguk. Matanya berbinar,
bahkan dia menuliskan; sesuatu di buku catatannya. Bayangkan, dia bahkan mencanfl pidatoku!
Siapa tahu dia sedang mencatat sebuah beasiswa buatku.
Di akhir acara, aku sempat bersalaman dan berfoto bersama Pak Dubes dan Kiai Rais. Tanganku
tenggelam di dalam tangan Dubes yang besar dan empuk. Diayun-ayunkan tanganku beberapa kali
samb il berkata, "Indeed, a very good speak. I like your idea on how t o strengthen the relationship
between west and east".
Aku tersenyum-senyum sambil berulang-ulang menyebut...
thank you Sir, thank you Sir...
Foto bertiga inilah yang menjadi andalanku. Segera aku kirim ke Randai dan Ayah juga Amak di
rumah. Kata Amak, Ayah sampai memajang foto ini di papan pengumuman balerong dengan
bangga. Selain Duta Besar Inggris, PM kerap dikunjungi tamu luar dan dalam negeri. Selainitu tentulah
19 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
keluarga para murid sendiri. Dan set iap tamu ini hampir selalu tur keliling PM, seperti yang aku
rasakan pertama kali datang dulu. Kami dengan segenap kegiatan kami yang padat adalah
tontonan para pengunjung ini.
Raja yang paling sarkastik dengan hal ini. "Kita perlu berempati kepada para penghuni taman safari
yang asli. Di PM, aku merasa kita mirip warga taman safari. Lihat saja, set iap hari libur, taman itu
dikunjungi banyak orang, yang mengagumi dan memuji mereka dari jauh. Sesekali tangan diulurkan
unt uk membelai dan melempar sepotong wortel atau beberapa butir kacang ke mulut para
penghuninya. Lalu pengunjung dengan wajah puas dan gembira pulang ke rumah masing-masing."
Karena metode pendidikannya unik, PM kerap menjadi tujuan "wisata". Berbagai macam bus dan
mobil datang silih berganti. Lalu, bagian penerimaan tamu akan mengajak mereka t ur. Awalnya,
aku dan teman-teman cukup t erganggu den hadiran t amu ini. Mereka dengan Wajah penuh heran
dan tahu melihat kami belajar, latihan pidato, menghapal mahfud bahkan dihukum jewer. T api
lama-lama menjadi b iasa. boleh sibuk mengamati, tapi kami tetap sibuk dengar buku dan pelajaran
kami, keamanan sibuk dengan disiplinnya, jasus sibuk dengan buruannya, yang muflis sibuk
berdebar-debar menunggu wesel. Kami menjadi kebal, dan tamu kemudian hanya angin lalu.
Jenis tamu juga beragam. Mulai dari seorang wali murid dari Kertosono, gubernur, menteri,
presiden, duta besar manca negara, ahli sosio logi dari Australia, penyair, pelukis, direktur bank,
milite r, ibu negara, rektor universitas, sampai konglomerat.
Walau kami telah kebal terhadap tamu, sebetulnya ada beberapa t amu yang tidak bisa kami
abaikan. Pertama adalah tamu remaja putri. Bagaimana pun PM adalah kerajaan ribuan laki laki.
Setiap kedatangan perempuan adalah rahmat. Maka kalau ada teman sekamar yang kedatangan
saudara perempuannya, kami akan saling meledek siapa yang akan beruntung dikenalkan.
Suatu sore setelah Ashar setahun yang lalu, sebuah sepeda kuning meluncur kencang ke asrama
kami. Sepeda kuning selalu tanda kebaikan, karena hanya dikendarai oleh bagian penerimaan tamu
yang datang dengan sebuah misi: mengabarkan ada yang kedatangan tamu. Kali ini, Soleh,
kawanku yang dapat posisi di bagian penerimaan tamu langsung ke
Dia membaca kertas nota tamunya. " Ya akhi, Zamzam?"
Zamzam berteriak mengangkat t angan. Kawanku ini tipikal orang Sunda yang putih bersih, apik,
lemah lembut, dan tampan.
"Orang tua dan adik-adik menunggu di bagian tamu sekarang."
Besoknya, Zamzam mendampingi keluarga besarnya mengunjungi asrama kami. Di taman di depan
asrama dia sibuk menerangkan kegiatan sehari-hari, sement ara kami duduk-duduk di kejauhan
memandang mereka dengan penuh antusiasme. Zamzam dikelilingi empat orang perempuan. Satu
orang sudah berumur, aku kira ibunya. Dan tiga orang muda belia, aku kira sepantaran denganku.
Mereka bertiga berwajah putih bersih, penuh senyum dan manis-manis.
"Y a salam, beruntung sekali si Zamzam ini, punya keluarga cant ik-cantik," kata Atang. Dia optimis
20 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
gampang bergaul dengan mereka karena merasa asli Sunda.
"Semoga Zamzam sekeluarga diberkahi Allah," sambung Said.
"Aku paling suka melihat yang berkerudung hijau," kata Dul malu-malu. Aku mengangguk
mengiyakan. Entah kenapa aku juga malu untuk terus terang mengungkapkan preferensi.
Sementara di tengah taman, bagai burung-burung cantik yang sedang menikmati alam, tiga
perempuan belia ini tertawa, tersenyum, ceria, pura-pura tidak merasa ada yang melihat mereka.
Tiga hari tiga malam, perbincangan kami sekamar tidak pernah jauh dari saudari-saudari bening si
Zamzam ini. Kami meributkan siapa yang disetujui Zamzam untuk berkenalan dengan saudaranya.
Zamzam hanya b isa cengar-cengir saja.
Tamu lain yang menyedot perhatian kami adalah kunjungan persahabatan dari pondok-pondok
khusus putri. Biasanya ada waktu untuk diskusi antar siswa. Senang sekali rasanya ngobrol dengan
bahasa Arab, tapi lawan bicara kali ini perempuan. Kalau biasa kami menggunakan kata ganti orang
ketiga laki-laki "anta", kini kami bisa menggunakan kata ganti "anti".
Kami dengan mata berbinar-binar akan melayani mereka walau bahasa Arabnya terpatah-patah. Di
akhir kunjungan biasanya ada foto bersama. Tapi tidak pernah foto berdua tentunya. Dan sebelum
berpisah ada saja yang bertukar alamat, sambil mengendap-endap supaya tidak ketahuan KP.
Bagi murid yang datang dari jauh seperti aku, Raja, dan Baso, kunjungan tamu adalah sebuah
peristiwa besar saking jarangnya. Said dan Tatang yang relatif dekat masih sering dapat kunjungan.
Kalau penasaran bagaimana rasanya mendapat tamu, aku mengajak Raja dan B aso untuk
melewati kantor bagian penerimaan tamu. Iseng saja, mau melihat siapa saja yang dapat tamu dan
siapa saja tamunya. W alau bukan tamu sendiri, melihat teman dapat t amu juga sudah senang.
Kilas 70 Selain Sahibul Menara, kawan karibku adalah diari-diariku.
Aku sudah menulis diari sejak berumur 12 tahun. Selama satu tahun, aku bisa menamatkan satu
sampai dua buku diari. Awalnya aku melihat Amak rajin menulisi sebuah buku tebal yang kemudian aku lihat judulnya
"Agenda 1984 Entah kenapa kemudian aku juga tertarik dengan ide untuk menuliskan macam-macam hal dalam
sebuah buku yang bisa diisi set iap hari. Lalu aku mulai mencoba membuat diari dengan sebuah
buku tulis isi 100 halaman. Isi awalnya: kesan-kesan tentang guru dan teman, potongan kliping
koran khususnya tentang sepakbola dan film, jadw al main bola, ringkasan pelajaran di sekolah, dan
karikatur-karikatur seadanya rekaan tanganku.
Aku ingat suatu hari ketika masih sekolah di Maninjau.
Setelah pulang sekolah sore hari, aku dengan tidak sabar mengambil diari dan siap menuliskan
21 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
sebuah pengalaman pei ini: ada murid baru perempuan di kelasku, dia pindahan Padang, sebuah
kota besar menurut ukuranku anak kamp"
Tapi diariku penuh, bahkan sampai ke balik halaman belakang.
Sedangkan waktu itu sudah mulai gelap dan hujan lebat.
berpikir panjang, aku keluar rumah menembus hujan dan naik angkutan antar desa malam-malam
hanya untuk membeli baru di desa sebelah yang punya t oko alat sekolah. Aku ketagihan menulis
diari. PM kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya daku dimensi lain menulis. Menulis bukan


Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya di diari dan buat diri sendiri, menulis juga buat orang lain dan ada medianya.
Hal baru ini sangat menarik perhatianku: dunia penulis dan wartawan. Inilah yang mendorongku
kemudian bergabung dengan majalah kampus Syams dan mengikuti pelatihan wartawannya. Dan
sekarang bahkan aku dipercaya menjadi redaktur: Syams, majalah dwi bulanan kampus PM.
Aku sangat terkesan dengan kerja wartawan, seperti yang digambarkan di buku-buku yang kubaca.
W artawan melihat dunia seperti rata dan bisa berada di mana saja untuk menuliskan kajbgg? buat
masyarakat luas. Aku juga semakin tertarik dengan dunia fotografi yang memungkinkan seorang
fotografer mengambil gambar dan kemudian menunjukkan kepada khalayak sebuah kenyataan
hidup dari tempat dan negeri yang jauh.
"Kita akan bikin gebrakan. Kalian siap-siap untuk langsung start" kata Ustad Salman kepada kami
dengan semangat meluap-luapnya seperti biasa. Dia mengumpulkan kami para redaktur Syams di
ruang perpustakaan guru selepas Maghrib.
Menurut Ustad Salman, PM akan mengadakan syukuran akbar dengan menggelar berbagai acara
mulai dari seminar nasional sampai bazaar, mengundang tokoh nasional mulai dari presiden,
cendekia sampai konglomerat, dan mengadakan pertandingan mulai dari sepakbola antar pondok
sampai antar asrama. Semua kegiatan ini dikemas dengan judul "Milad 70 tahun PM". Semua acara
ini berlangsung selama lebih dari satu bulan.
"Bisa kalian bayangkan, betapa sibuk, ramai dan meriahnya PM mulai minggu depan. Kita punya
pilihan untuk membuat acara ini semakin sukses
Kita perlu bikin koran harian supaya semua orang t ahu apa yang terjadi. Syams terbit setiap dua
bulan. Tidak cukup cepat menuliskan hard news," usulnya. Acara kolosal ini patut diket ahui semua
orang, karena itu perlu ada sarana membagi menulis dan informasi harian kepada ribuan murid
yang tidak bisa terlibat langsung dengan berbagai susunan acara ini.
Karena dana dan tenaga, bentuknya koran dinding dan ditempatkan di beberapa sudut penting PM,
sehingga semua orang tahu apa yang teijadi.
"Kapan kita tahu ini jadi Tad," tanyaku penasaran. Aku begitu bersemangat dengan tantangan ini.
"Sabar, malam ini saya akan menghadap Kiai Rais untuk mint a izin. Besok pagi kita bisa berkumpul
lagi di sini jam 6 22 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
pagi?" tanyanya. Kami semua mengangguk antusias. Siapa yang tidak mau membuat sebuah
gebrakan baru sekaligus belajar jadi wartawan harian dan kenal dengan orang-orang besar"
Aku sangat mau. "It's official, we are good to go" seru Ustad Salman samb il melempar kepalannya ke udara. "Kiai
Rais setuju kita punya Kilas 70 '
"Alhamdulillah," kataku sambil bertepuktepuk. Yang lain juga berteriak senang.
Sejak hari itu, kami adalah wartawan harian Kilas 70. kantor kami di ruangan kecil sebelah kamar
Ustad Salman. Perlengkapan redaksi kami tiga mesin ketik tua, dua tape recorder kecil, satu kamera dan semangat
yang mendesak-desak. Edisi pertama kami kacau balau. Dua mesin ketik menghasilkan tulisan dengan huruf a yang selalu
meloncat ke atas setengah centi. Dul lupa menekan t ombol record di tape nya sehingga
wawancara dengan gubernur Jawa Timur hilang.
Tulisanku tidak lengkap karena steno ciptaanku sendiri tidak bisa aku baca lagi. Dan Taufan tidak
bisa mencuci foto acara hari ini dengan cepat, sehingga edisi hari ini terlambat satu hari. Edisi
kedua baru kami selesaikan jam 5 subuh. Padahal targetnya kami harus sudah terbit jam 12 malam.
Isinya 5 berita di atas kertas HVS putih dan 3 foto. Kertas ini kami tempel di papan tripleks yang lay out-nya
telah didesain seperti koran. Di ujung atasnya label besar "Kilas 70
Aku yakin, Ustad Salman yang merencanakan ini semua tidak membayangkan betapa beratnya
membuat berita setiap hari. Kami bukan wartawan profesional, apalagi masih ada kelas dan
pelajaran yang harus kami hapal, masih ada kelas yang harus diajar Ustad Salman. W aktu kami
benar-benar habis. Dan memakan energi besar. Capek sekali.
Hidup kami hampir berpusat di ruang kecil di kompleks guru ini. Tidur, makan dan istirahat selalu di
sini. Beberapa hari kami tidak terbit karena tidak berhasil mengejar deadline sampai hari berikut
nya. Beberapa kelas terpaksa kami tinggalkan. Sebagian dengan gembira dan sukacita. Untung
Ustad Salman selalu bisa mengurus izinnya.
Barulah setelah dua minggu, kami berenam mulai mendapatkan ritme yang tepat. Membuat berita
lebih cepat dan bersih karena mesin tik telah diganti. Kami bahkan sekarang sudah kenal dengan
beberapa wartawan luar yang khusus ditugaskan meliput Milad 70 ini. Setiap hari ada saja
wartawan koran nasional dan lokal datang berkunjung untuk meliput rangkaian acara. Aku sangat
menyukai gaya para wartawan ini. Santai, sebuah note kecil di t angan, sebuah tape kecil. Aroma
percaya diri, dan sedikit keangkuhan, terpancar dari muka mereka. Sebuah kartu tersisip di dada
mereka. 23 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Tertulis di sana besar-besar: PERS. Gagah sekali.
Kartu pers ini hanya disediakan PM bagi wartawan luar yang datang. Tapi Ustad Salman berhasil
melobi panitia harian Milad 70 yang diketuai oleh Ustad Torik. Ustad Salman bersikeras timnya juga
punya hak yang sama dengan wartawan dari luar.
W alau hanya tim partikelir, paruh waktu, tapi kerjanya juga mencari berita dan melaporkan. Karena
itu layak dapat akses sama dan mendapat t anda pengenal yang sama pula. Panitia takluk dan
memberi kami kartu yang sama. Aku dengan bangga memakai kartu pers yang dicetak di karton
biru ini. PERS Harian Kilas 70. Lalu di bawahnya tertulis namaku dan foto. Ketika kartu ini digantung di
leher, dadaku terasa membusftlM lebih besar. Rasanya set iap orang melihatku iri.
Pegal dan capek rasanya t elah dicabut dari badanku.
Aku merasakan semangat dan energi yang besar terlibat dalam kegiatan ini. Rubrik favorit pembaca
kami ada tiga: head-line tentang acara besar apa hari ini, profil alumn i sukses yang sedang berkunjungan ke PM
dan cerita dan foto lucu seputar peringatan ini. Setiap hari kami bergantian meliput dan menulis
acara besar hari ini. Hari ini aku dapat tugas penting, meliput dan mewawancarai Panglima ABRI Jenderal Subono yang
akan hadir dalam seminar pendidikan agama dan stabilitas nasional.
Jenderal ini amat ditunggu-tunggu, apalagi dia sosok yang sedang naik daun dengan komentarnya
yang tegas tentang dw i fungsi ABRI. Ustad Salman bilang "do your best". Aku sendiri belum punya
strategi untuk melakukan t ugas ini.
Aku lalu berdiri d i pinggir aula bersama belasan wartawan media nasional yang tampak sangat
antusias. Pak Panglima yang bertubuh tinggi besar dan berbalut pakaian militer penuh emblem dan
bintang berkilat-kilat ini keluar dari jip berwarna hijau tua khas tentara. Wajahnya yang tegas dan
penuh otoritas menjadi lebih rileks ketika disambut kiai dan guru di tangga aula. Lalu mereka
bersama memeriksa barisan murid.
membawa plang nama asal daerahnya, mulai dari Aceh sampai Papua. Dia terus dirubung oleh
rombongan pengantarnya dan para guru. Aku gelisah kapan bisa melempar pertanyaan kepadanya.
Telapak tanganku yang mencengkram t ape kuat-kuat terasa licin oleh keringat dingin.
Tiba-tiba saja belasan wartawan yang berdiri bersamaku bagai kawanan singa gurun bergerak ligat
mengepung Panglima. Aku si bocah hijau ini tersaruk-saruk mengekor di belakang gerombolan
mereka. Tapi aku melihat celah. Tubuh kecilku meliuk dan menyelinap menembus pagar manusia
dan segera berada tepat di depan Pak Panglima yang sibuk menjawab pertanyaan wartawan lain
yang bertubi-tubi. Pertanyaan mereka adalah problem dwifungsi ABRI. Padahal aku tidak tertarik isu dwi fungsi!
24 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Sementara wajah Panglima berlipat-lipat menjawab lemparan pertanyaan dari kiri kanan. Suaranya
tegas menekan. Para wartawan terus mencecar bawel. Sedangkan aku terjebak di tengah hiruk
pikuk ini - hopeless. Tapi hati kecilku berkata, kalau aku tidak berbuat sesuatu, aku hanya akan
menjadi kambing congek. Aku tahu harus membuat impresi yang berbeda kalau mau didengarnya.
Lalu dengan mengumpulkan semua keberanian, aku menengadah ke panglima tinggi besar ini dan
berteriak kencang. "ASSALAMUALAIKUM PAK PANGLIMA!"
Kaget dengan teriakanku, dia menunduk melihat ke arahku dengan takjub. Para wartawan yang
hiruk mendadak diam dengan mulut melongo. Mungkin heran melihat ada seorang anak kecil,
kurus, berkacamata, berwajah tegang, memberi salam dengan t eriakan. Dengan Wajah bingung
Pak Panglima menjawab, "Alaikum salam, tapi siapa kamu?" Nadanya menuntut.
Aku mencoba menguasai diri dan memberikan jawaban terbaik, "Pak Panglima yang diberkati Al ah.
Saya Alif dari Harian Kilas 70, Pondok Madani," Tanganku yang memegatt teracung ke atas. Tanpa
jeda, aku langsung menyambung,!
Saya punya pertanyaan penting. Banyak murid di PM ini mengagumi sosok pimpinan seperti Bapak.
Kami ingin tahu, siapakah t okoh muslim idola Bapak?"
Mukanya sekilas kaget tidak mengira mendapat perranya-ini. Tapi dengan tangkas dia menjawab,
kali ini dengan nya lebar, gigi-gigi besarnya tersibak jelas.
"Wah saya tidak menyangka ada wartawan cilik d isini Hmmmm, pertanyaan bagus.... Saya sangat
terinspirasi oleh kepemimpinan Tharik bin Ziad yang kemudian namanya menjadi Selat Gibraltar.
Dia seorang pemimpin milite r hebat, penuh strategi dan disiplin, Dik."
Tangannya yang sebesar gada ditumpangkan di bahuku.
Aku telah menaklukkan panglimaku. Hanya dua pertanyaan yang sempat aku ajukan sebelum para
w artawan lain kembali mengambil alih sang Panglima. Pertanyaanku, "Apa yang mengesankan di
PM" dan Apakah siswa PM bisa masuk ABRI?"
Para wartawan ini melirikku kesal karena membelokkan pertanyaan rentang dwifungsi. Tapi aku ikh
las seikhlas-ikhlasnya dilirik begitu. Tiga pertanyaan pentingku telah dijawab tuntas oleh seorang
Panglima sesuai harapan. Duh, senangnya bisa menyelesaikan tugas jurnalistik pent ingku dengan
sukses. Sambil bersiu l aku ketik judul headline beritaku: "Panglima ABRI: T hariq bin Ziad Idolaku."
Di penghujung peringatan Milad PM, reputasi kami berada di dt ik tertinggi. Animo pembaca
demikian besar sampai setiap hari terjadi h impit-himp itan di depan koran dinding kami.
Akhirnya kami merasa perlu membuat dua duplikat Harian Kilas 70 di tempat yang berbeda.
Konsistensi terbit harian ini membuat kami sekarang mendapat kantor baru di dekat masjid. Kantor
ini bahkan dilengkapi komputer dan printer yang memudahkan kami bekerja lebih ligat lagi.
25 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Kami berenam juga dikagumi karena berfoto dan mewawancarai langsung rupa-rupa tokoh terkenal.
Kami semua lelah, tapi puas. Ustad Salman sangat senang dengan perkembangan kami yang
sekarang bisa memproduksi Kilas 70 dengan lebih cepat.
"RI Satu akan datang. Kita akan bikin gebrakan lagi,"
proklamir Ustad Salman suatu sore. Untuk acara penutupan
acara milad maraton ini, Presiden sendiri telah setuju untuk hadir.
"Kejutan apa lagi Tad?" tanyaku. Kawan-kawan lain juga ber-tanya-tanya.
"Y ang memperlihatkan kesigapan dan penghargaan. Kita bikin Kilas 70 instant!"
"Maksudnya Tad?"
"Kita berburu dengan waktu. Kita bikin Presiden bisa menerima dan membaca liputan kunjungan
dan fotonya, bahkan sebelum dia turun panggung."
Wajah kami melongo. Sekarang saja kami harus berjuang supaya bahan selesai sebelum jam 12
malam. Sekarang kira mau membuat yang instant"
"T api bagaimana caranya?" tanya Dul dengan muka putus asa.
"Can it be done" Sure. Ini agak mission imposib le, man jadda wajada ya akhi. Insya Al ah kita
bisa." Kami manggut-manggut. "Ini rencana saya. Taufan bertugas mengambil foto Presiden begitu menginjakkan kaki di PM. Lalu
langsung ngebut naik mot or ke Ponorogo untuk mencuci foto. Alif membuatkan liputan sampai p
idato sambutan pertama dan langsung mengetik laporannya. Dalam setengah jam laporan dan foto
sudah W H disetor ke sini. Kita tinggal jilid dan serahkan kepada Presiden dan Pak Kiai.
Seharusnya, dalam hitungan 30-40 menit, kita sudah bisa menyerahkan harian Kilas 70 kepada
mereka." Selama satu jam kemudian kami sibuk mematangkan rencana operasi ini. Rasa sangsi dan optimis
bercampur aduk di dadaku.
Sejak kemarin PM di-sweeping oleh pasukan intel untuk memastikan semua aman menyambut
Presiden. Mereka melongok longok, mulai dari dapur, kamar mandi, asrama dan ruang kelas. Hari
ini, hampir seluruh penduduk PM berkumpul di lapangan sepakbola, menyaksikan helikopter
Presiden mengapung sebentar sebelum hinggap ringan di ujung lapangan tempat kami biasa
latihan tendangan penalti.
26 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
Setelah mendapat sambutan meriah dengan berbagai tarian, parade, dan marching band, Presiden,
Kiai Rais, Pak Gubernur dan segenap rombongan pejabat menaiki panggung berdesak-desakkan
dengan rombongan wartawan bersiaga d i bawah panggung. Dia segera menjepret.
Presiden sedang berjalan berdampingan. Segera dia bergegas menyeberang lapangan dan
meloncat ke sebuah motor yang sudah dihidupkan mesinnya. Dalam sekejap, motor ini melaju
kencang. Dia harus kembali dalam 30 menit kalau ingin kami t etap bisa membuat kejutan.
Sementara aku tekun mendengarkan sambutan kedua pimpinan ini. Selain merekam dengan tape,
aku juga mencatat di note kecil. Terlalu banyak risiko kalau hanya mengharapkan tape. Setelah
mendapatkan pesan inti dari keduanya, aku bergegas naik sepeda ke kantor kami d i dekat masjid.
Dengan segenap kecepatan yang aku punya, aku gedor keyboard untuk segera menghasilkan
laporan hangat. Ujung kursor berkedip-kedip menunggu perintah Ctrl-S untuk men-save di program
Wordstar ini. Tulisan berjudul, "Presiden Nyatakan PM sebagai Cenrer of Excellence" kemudian aku
print ke print er dotmatrix. Naskah utama sudah selesai. Rubrik-rubrik lain seperti "Y ang Alumni
Yang Terkenal", "Jadw al Kegiatan Penting", "Mimpi Murid Madani" sudah kami siapkan sejak
malam. Yang kurang hanya foto presiden. Semoga Taufan tidak terlambat.
Deruman motor dan rem yang mencicit di luar membuat kami lega. Taufan menghambur masuk
dengan wajah sepera disapu angin ribut.
"Aku sampai bilang ini urusan Negara supaya bisa memotong antri cetak foto yang panjang.
Untunglah yang difoto memang Kepala Negara," katanya terengah-engah.
Foto segera aku t empel di atas tulisan tadi. Sebanyak lima berita hari ini kami satukan. Hhhh....
selesai sudah Kilas 70 instant kami. Tapi ini sebetulnya baru awal dari babak yang menurutku
lumayan heroik. Ustad Salman akan menyerahkan langsung kepada Presiden dan Kiai Rais. Dia
ingin memperlihatkan; orang PM bisa bergerak cepat dan berani.
Kami berlari-lari lapangan lagi, supaya tidak kehilangan momen melihat peristiwa ini terjadi.
Aku kembali ke lapangan, bergabung dengan Dul dan kawan-kawan lain. "Ini lembar pidatonya
yang kesepuluh," bisik DuL Dia dari tadi menghitung ada 10 lembar kertas yang dipegang Presiden. Akhirnya sampai
juga d i lembar terakhir dan Presiden tampak bersiap-siap menutup pidatonya. Kami merapat ke
dinding panggung bagian samping. Begitu Presiden mengucap? kan salam, Ustad Salman
langsung berkelebat dan berlari kecil melint asi lapangan hijau yang luas, langsung menuju
panggung kehormatan. Di tangannya tergenggam dua bundel Kilas 70 edisi instant kami.
Tepuk tangan buat Presiden masih membahana ketika Ustad Salman dengan penuh keyakinan
terus mendekati daerah po? dium kehormatan. Presiden tampak menyerahkan kertas pidatonya ke
ajudannya yang sigap. Kiai Rais, Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Camat dan bapak-bapak
berpakaian safari dan milite r lainnya serentak berdiri menyambut Presiden yang kembali berjalan
ke tempat duduknya. Beberapa detik itu terasa lambat sekali, slow motion.
Ribuan hadirin sempat terdi
27 Voltaire - Si Lugu baca di cerita-silat.mywapblog
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
28Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
am dan t idak mengerti kenapa ada orang kurus berlari-lari melint as lapangan menuju panggung.
Sedangkan pasukan paspampres yang penuh siaga tidak menyangka ada penyelusup seperti ini.
Mereka terlambat beraksi. Sebelum sibuk dengan radio, dan yang lain merogoh ke balik baju yang
menyembulkan pistol. Tapi terlambat sudah, Ustad Salman sudah mendaki tangga panggung.
Dengan terbungkuk-bungkuk, dia menyalami Presiden yang berjalan dari podium ke kursinya.
Presiden tampak kaget dan ragu-ragu. Ustad Salman segera menyerahkan Kilas 70 kami langsung
ke tangan penguasa negeri ini. Terlihat mereka beberapa saat bicara dan tersenyum. Ustad Salman
juga menyerahkan satu laporan lagi ke Kiai Rais yang tidak kalah terperangahnya.
Ustad Salman lalu berlalu dengan senyum terlebarnya yang pernah ada. Tangannya
melambai-lambai kepada kami yang bersorak-sorak penuh kemenangan. Kerja mission impossible
kami sampai ke tangan Presiden. Beliau sekarang tampak mengangguk-angguk tersenyum ketika
membolak balik Kilas 70 kami. Kiai Rais tampak ikut senang sambil menunjuk-nunjuk ke arah kami.
Malam itu kami merayakan kemenangan misi ini dengan pesta makrunah dan kacang sukro.
It's Show Time Pokoknya terserah kalian. Yang penting, buktikan kalian pant as jadi murid paling senior. Dan tidak
kalah dengan kelas enam tahun lalu," kata Ustad Torik bombastis. Dia mengedar pandang,
menantang mata 400 murid kelas enam sejenak, memastikan kami meresapi tantangannya. Setelah
uluk salam dia meninggalkan ruangan, membiarkan kami menguruki diri sendiri.
Kami terdiam dan agak tertekan.
Said menggigit-gigit bibir atasnya. Atang yang merasa punya pengalaman dalam dunia pertunjukan
mulai mencoret-coret bu-ku tulisnya tak tentu arah. Entah gugup entah mencari ide. Aku yang
selama ini kurang berbakat dalam pentas seni seperti ini hanya bisa menyumbangkan dan
memperlihatkan rasa prihatin dengan mengetuk-ngetuk meja kayu dengan jariku.
Tradisi turun temurun di PM, kelas enam harus mempersembahkan pagelaran multi seni terhebat
yang bisa mereka produksi kepada almamater tercinta. Acara megah ini sangat dinanti-nantikan
oleh ribuan penonton, mulai dari mbok sampai ustad, kiai dan adik kelas. Bahkan pamong desa dan
aparat pemda kabupaten selalu menagih diundang.
Dendam Iblis Seribu Wajah 12 Pendekar Hina Kelana 27 Dendam Dalam Darah Golok Maut 1

Cari Blog Ini