Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Bagian 5
Sebetulnya banyak sekali ajang pertunjukan seperti Poettry reading, lomba drama, festival band,
sampai Semuanya heboh dan menghibur kami. Tapi tak ada yang mengalahkan kemasyhuran
Class Six Show. Inilah pertunjukan di atas pertunjukan.
1 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Masih segar dalam ingatanku bagaimana senior kelas enam tahun lalu membuat gempar dengan
shotv mereka. Di tengah gelapnya aula, tahu-tahu sesosok tubuh terbang! Benar-benar terbang di
atas kepala penonton. Lebih hebat lagi, badannya diliputi api yang menyala-nyala.
Ini adegan yang mempersonifikasikan iblis yang melayang-layang siap membakar nafsu manusia.
Rahasia efek itu adalah membaluri baju pemadam kebakaran dengan spiritus untuk menyulut api,
dan mencantolkan baju berisi pemberat ini ke kabel berjalan.
Untuk keamanan, tentu saja t idak ada orang di dalam baju ini.
Selama berbulan-bulan, kami tidak bosan membahasnya.
Kelas enam tahun lalu bahkan disebut "The Fire Maker".
Gara -gara keunikan show tahun lalu itulah kami tersudut untuk membuat lebih bagus lagi dari
tahun lalu. Ini adalah masalah harga diri sebagai kelas tertinggi, puncak rantai makanan.
Besoknya rapat pertama semua kelas enam untuk membicarakan konsep acara shou/. Kami
kembali berkumpul di aula.
"Akhi, tugas berat kita adalah bagaimana membuat panggung yang lain dari sebelumnya dan tidak
terlupakan seumur hidup," kata Said yang maju ke depan t anpa dimint a.
Sejak dia menjadi bagian dari "T he Magnificent Seven", dia sekarang sudah dianggap
pemimpininformal kami kelas enam.
Karena itu juga kemarin kami telah memilihnya sebagai ketua show dan dia berhak memilih dan
memerint ahkan siapa pun untuk membantu.
Said segera membagi-bagi tugas. Karena punya reputasi sebagai pujangga dan kepala grup teater,
Atang diangkat menjadi direktur pertunjukan. Sementara aku kebagian sebagai bendahara. Nasib
orang Minang, selalu dianggap hitungan dan hemat sehingga cocok menjadi bendahara.
Hampir 3 jam kami gunakan untuk urun pendapat, merumuskan bentuk acara apa yang akan kami
buat. Papan tulis besar di d inding telah penuh corat-coret ide dan sketsa.
Tidak gampang mengakomodasi suara ratusan orang, tapi akhirnya kami sepakat dengan beberapa
mata acara penting dan penanggung jawabnya. Kami juga telah menyepakati jadw al latihan, desain
panggung dan kostum yang gebyar, sampai detail acara pada hari H. Tugas kami yang harus
membuat para penonton senang selama empat jam pertunjukan, sungguh akan menjadi proyek
yang melelahkan. Sudah sebulan penuh kami berlatih. Hari H tinggal 2 minggu. Beberapa kali terjadi bongkar pasang
mata acara. Ada pembukaan yang gebyar, nyanyi, tari, musik, lawak, pantomim sampai akrobat.
Kini kami cukup puas dengan versi terakhir.
Cuma ada satu yang masih belum tuntas dan membuat Atang semakin sering membetulkan letak
kacamatanya karena resah. Dia belum menemukan teknik yang benar-benar baru untuk
mementaskan int i acaranya, yaitu drama kolosal kisah perjalanan keliling dunia Ibnu Batutah
2 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
selama 30 tahun. Dia salah seorang world traveler pertama di dunia. Bahkan dia berpetualang lebih
jauh dari Marco Polo. Kisah perjalanan Ibnu Batutah ini disadur oleh Atang dari buku Tuhfah AlNuzar fi Ghara'ib Al Amsar
wa Ajaib Al-Asfar, Persembahan Seorang Pengamat tentang Kotakota Asing lanan yang
Mengagumkan, yang ditulis Ibnu jauzi. Atang ingin menggambarkan bagaimana pengembara
muslim ini menapaki bumi dari Maroko, Timur Tengah, India, Cina, bahkan pernah singgah di
Kerajaan Samudera Pasai, Aceh pada abad ke 14.
Dia telah punya berbagai macam gambar latar belakang yang diluk is di atas tripleks untuk
menggambarkan berbagai lansekap dunia, mulai dari padang pasir, Mekkah dan Madinah, Cina, Ind
ia dan sebagainya. Musik juga telah direkam di kaset dan disesuaikan dengan setiap latar budaya.
Tapi dia masih ingin memasukkan unsur yang lebih unik lagi ke dalam dramanya.
"Aku punya ide," kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hari H. "Jad i kawan-kawan, aku
ingin kita membuat teater yang panggungnya tidak terbatas di panggung di depan, tapi
panggungnya juga adalah tempat duduk penonton. Kalau Ibnu Batutah sedang berjalan menembus
topan badai, maka penonton akan ikut diterpa angin kencang, kalau dia sedang kena hujan tropis,
penonton ikut basah oleh percikan air, kalau dia sedang menembus kabut Himalaya, penonton juga
harus ikut tersesat bersamanya."
Ide cemerlang ini dia dapat dari sebuah buku tentang W alt Disney. Menurut buku itu, Disneyland
modern sekarang t elah mengembangkan teater yang melebihi sekadar hiburan buat indera visual.
Unt uk membuat penonton benar-benar merasakan ada di dalam sebuah scene, Disney
menciptakan impresi lain yang bisa ditangkap oleh indera penciuman, rasa, pendengaran.
Kami semua memasang telinga baik-baik mendengar ide brilian ini.
"Enak didengar, bagaimana caranya?" tanya Dulmajid sangsi.
"And sudah pikirkan. Kita buat semuanya manual. Kita sebar siswa kelas enam di tengah ribuan
penonton. Mereka nant i pakai baju hitam-hitam supaya tidak gampang terlihat."
Atang menghela napasnya yang habis karena terlalu bersemangat.
"Nah, nanti setiap orang akan dipersenjatai dengan semprotan air, pompa angin, dan asap. Tugas
mereka adalah menyemprotkan asap, air, dan angin kepada penonton, sesuai dengan adegan yang
ada di panggung." Kami suka dengan ide ini tapi juga terbengong-bengong bagaimana pelaksanaannya. Bagaimana
kami bisa ada d i tengah penonton dan menyiram mereka dengan air" Jelas kami juga tidak ingin
penonton merasa t erganggu karena kami ada di sekitar mereka dengan alat-alat ini.
Abdil, kawan dari Jakarta yang menjadi penanggung jawab panggung memberi usul. "Supaya tidak
mengganggu penonton. Aku usulkan pembagian posisi yang membuat mereka tersembunyi.
Posisinya ada yang meringkuk di bawah kursi, ada yang merapat ke dinding, bahkan ada yang
3 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
menggelantung dari langit-langit. Aku bisa mendesain pulau-pulau kecil dari trip leks dan karton di
beberapa sudut aula. Pulau ini akan ditutupi kain hitam, sehingga menyerupai batu karang di tengah ruangan."
Kami mengikut i skenario dari Abdil dengan penuh perhatian.
"Di dalam pulau ini kita tempatkan orang. Lalu dari sela-sela karton dan kain hitam ini akan aku
lobangi untuk berfungsi menyemburkan air, angin, dan asap ke sekelilingnya. Kalau kita menyebar
banyak pulau di lantai penonton, maka semua penonton sudah bisa merasakan efek-efek ini,"
karanya sambil mengedarkan pandangan kepada kami yang merubungnya.
Kami bertepuk tangan dan merasa ini ide yang menarik.
Suasana hati kami sudah lebih rileks. Pembagian tugas lebih spesifik. Raja dan Dulmajid
mengajukan diri menjadi pasukan pembuat asap. Sementara Baso yang ogah-ogahan akhir bisa
menjadi ceria setelah kami serahi tugas mengoreksi dan memeriksa semua teks drama, pidato dan
MC. Rencana Atang dan rancangan Abdil tampaknya akan membuat terobosan baru dalam sejarah
pagelaran seni di PM. Akan susah bagi kelas 5 sekarang untuk membuat pertunjukan yang lebih baik lagi tahun depan.
Kami sangat optimis. Seperti kata orang luar negeri yang aku baca, the devils is in detail. Apa yang kami setujui di rapat
kemarin ternyata tidak gampang untuk dilaksanakan. Semprotan air bisa d icari d i Ponorogo,
pompa juga, yang tidak ada adalah bahan pembuat asap.
"Setahuku ada alatnya. Tapi kalau mau bikin sendiri kita butuh karbon dioksida kering," kata Atang
dengan Wajah sok tahu. Dia selalu bangga sebagai lu lusan SMA jurusan fisika.
"Apa itu karbon kering.7
"Es padat dan kering atau dry ice. Jadi berupa karbon dioksida bersuhu rendah yang dipadatkan
sehingga apabila terkena udara sedikit saja, dia akan mengeluarkan asap mengepul-ngepul.
Istilahnya ada kondensasi yang kemudian kita lihat seperti kabut atau asap." Tampang Atang
berbinar-binar bisa mendapat kesempatan menerangkan sesuatu yang ilmiah.
Aku mengangguk-angguk saja, w alau bingung. Aku percaya saja.
Pagi-pagi hari Jumat, kami bertiga, aku, Said dan Atang mint a izin ke Ponorogo untuk membeli es
kering. Ustad Torik segera meneken tashrih, surat izin keluar sambil hanya b ilang,
"Begitu dapat, cepat kembali." Urusan perizinan jad i gampang, kalau menyangkut show ini.
Sialnya, telah tiga apotik besar kami datangi, semua apotekernya selalu menggeleng, "kami tidak
menjual karbon dioksida padat". Mereka menyuruh kami ke Surabaya untuk membeli barang ini.
4 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Kami berpandang-pandangan. Persoalannya kami hanya diberi izin pergi sebentar hanya untuk
tujuan ke Ponorogo. Sementara kalau pulang lagi ke PM hanya untuk memperbarui izin, akan
memakan waktu lama. Kalau mau hemat waktu dan tidak bertele-tele, kami harus segera ke
Surabaya. Kami berunding. Setelah beberapa argumen, akhirnya kami sepakat dengan pertimbangan Said:
kita langsung ke Surabaya. Toh pertimbangan ini datang dari seorang ketua keamanan pusat. Toh
ini juga buat kepentingan bersama kelas enam. Apalagi Ustad Torik sudah mengizinkan kami
keluar. Selama kami bisa kembali malam ini, seharusnya tidak apa-apa. Kami yakin Ustad Torik akan
memaklumi. Bismillah. Dengan menumpang bus umum yang berhenti di banyak tempat, kami sampai juga d i Surabaya
dalam waktu lima jam. Untunglah tidak sulit mendapatkan es kering di apotik kota besar ini. Jam tiga sore dengan
tergesa-gesa kami naik bus ke Ponorogo. Baru jam delapan malam kami sampai ke PM dan
menyerahkan kembali surat izin keluar ke kantor KP. Kami sebelumnya sudah sepakat kalau
ditanya Ustad Torik, kami akan beralasan bahw a barang susah dicari sehingga butuh waktu yang
lama. Untunglah tidak perlu berargumentasi.
Ustad Torik tidak di tempat dan lembaran izin kami diterima tanpa pertanyaan oleh Ustad Suny yang
bertugas piket malam ini.
Sejak dua hari lalu kami telah memagari sekeliling aula dengan tripleks. Pagar set inggi dua meter
ini untuk membuat kami bisa bekerja dengan tenang mempersiapkan dekor dan print ilan lain.
Selainitu kami juga ingin kejutan-kejutan interior tetap t erjaga sampai pertunjukan malam ini. Dari
antara kisi-kisi trip leks, adik-ad ik kelas mengint ip kami bekerja, sampai kemudian mereka lari
begitu melihat "The Magnificent Seven" berpatroli.
Karena konsep acara kami adalah "Perjalanan Mengelilingi Dunia dalam Semalam", desainint erior
kami sungguh int ernasional. Interior kami penuhi dengan pernak-pernik dari berbagai Negara, baik
Barat dan Timur. Bahkan ada miniatur bangunan terkenal seperti Piramida Giza, Taj Mahal, Temple
of Heaven di Cina yang dibuat dari tripleks, karton, dan gabus.
Sehabis shalat Isya malam Jumat, rombongan demi rombongan membanjiri aula. Dalam sekejap
kursi penonton di aula segera terisi penuh. Suara penonton riuh rendah menunggu aksi kami.
Karena ruangan dalam aula tidak cukup menampung ribuan siswa dan tamu, kursi k ayu juga d
ipasang di pinggir dan belakang aula. Di barisan depan, aku melihat Pak Kiai dan para guru senior
telah duduk. Tepat di sebelah mereka, duduk rombongan laki-laki bersafari dan ibu-ibu berkebaya
warna terang dan bersasak tinggi-tinggi. Mereka bercakap-cakap dengan muka penasaran sambil
menunjuk-nunjuk ke panggung. Aku yakinitulah rombongan pemda yang selalu senang kalau
diundang menonton acara kami. Pak Kiai dengan sabar menanggapi pembicaraan mereka.
Agak ke belakang ada rombongan keluarga para kiai dan ustad. Jantungku sempat menyentak
sekejap begitu aku temukan wajah Sarah menyeruak di antara mereka.
5 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Berkerudung hijau, manis seperti biasa, dan dia duduk berdekatan dengan ibunya. Bukankah
sekolahnya berjarak ratusan kilo meter dari sini" Apakah dia benar-benar penasaran dengan
acaraku - maksudku acara kami, sehingga harus datang jauh-jauh"
Hah, pikiran ge-er-ku datang.
Sebagai bendahara pertunjukan, aku tidak banyak terlibat di panggung. Jadi aku menyibukkan diri
untuk membuat laporan behind the scene untuk majalah Syams saja. Karena itu aku sibuk botakbalik dari belakang layar sampai ke kursi penonton untuk membuat reportase. Memang, aku dan
juga Dul merasa tidak berbakat t ampil di depan umum untuk acara pertunjukan yang menghibur. T
api Atang tampaknya kasihan melihat kami yang tidak punya masa depan dalam dunia panggung.
Dia lalu memberi kami berdua kesempatan untuk punya peran kecil di drama komedi pendek
sebelum show ut ama. Tugas aku dan Dul menjadi wartawan yang mewawancarai aktor utama.
Achng-nya cuma menyorong-nyorongkan tape kecil ke depan wajah tokoh utama sambil bertanya
bla-bla-bla. Itu pun cuma sekitar 15 detik saja. Peran kecil yang sekilas dan tidak penting. Tapi aku
bersedia saja, karena paling tidak aku nanti bisa cerita pernah ikut t ampil di panggung show ini.
Akhirnya datang juga waktunya. Tepat jam 7.30 malam: It's show time. Sebuah gong besar dipukul
oleh Said di belakang panggung. Bunyinya yang jumawa dan bergaung ke setiap sudut ruangan
bagai menyedot semua bunyi-bunyi lain. Suara penonton yang tadi riuh, hilang pelan-pelan. Semua
kini hening. Semua mata menatap panggung. Lampu redup pelan-pelan.
Atang memberi aba-aba ke belakang panggung, dan perlahan-lahan layar dikerek ke atas.
Panggung yang gelap, sedikit-sedikit menjadi terang. Memperlihatkan panggung berlatar belakang
pa-dang pasir dan gunung-gunung pasir yang terbuat dari karung-karung berisi k apas. Beberapa
pohon palem dalam pot di tempatkan di pinggir, untuk mewakili pohon-pohon kurma.
Tiga orang berdiri mematung di tengah setting ini. Raja memakai jas panjang hitam dan dasi,
sement ara rambutnya berminyak berkilat-kilat disibak ke belakang. Kurdi dengan baju teluk
belanga, kopiah hitam, dan sarung yang dilipat setengah membelit pinggang. Teguh di dalam balut
an jubah putih terusan yang gombrong dan surban yang diikat bulatan hitam di kepala. Mereka
mengantarkan acara malam ini dengan bahasa Inggris, Indonesia dan Arab.
Setelah koor yang membawakan lagu Father and Son dari Cat Stevens, dan drama komedi singkat
yang aku terlibat sekilas, layar diturunkan. Semua lampu kami matikan. Inilah acara puncak malam
ini. Drama dengan judul "The Great Adventure of Ibnu Batutah".
Pelan-pelan layar disingkap diiringi bunyi angin bersiut -siut keluar dari kaset. Tepat di tengah
panggung tampak siluet seorang yang termenung duduk di pelana seekor kuda. Badan Malik,
pemeran Ibnu Batutah, yang semampai dibalut baju putih panjang yang gombrong. Dia memakai
tutup kepala mirip Pangeran Diponegoro. Ujung kain tutup kepalanya menjuntai sampai ke
punggung dan berkibar-kibar d iterjang angin. Gagah sekali. Cerita dibuka dengan sang tokoh
mengikuti sebuah kafilah, untuk memulai perjalanannya dari Maroko ke tanah Hijaz, wilayah di
pesisir barat Semenanjung Arab, tempat Mekkah dan Madinah berada. Tujuannya untuk naik haji.
Angin ribut dan topan padang pasir sedang berkecamuk. Angin datang dari kipas besar di samping
panggung. Ada pun kuda adalah pinjaman dari Pak Simin, tukang andong yang biasa mangkal d i
gerbang PM. Masuk setengah jalan pertunjukan, Abdil mengangkat tangan. Seketika, lampu besar di atas
panggung berkerjap-kerjap seperti blitz raksasa. Ini artinya aba-aba unt uk memulai efek empat
6 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
dimensi yang sudah dirancang Abdil. Lalu, seiring dengan kipas-kipas besar dari panggung
mengibarkan baju-baju pemeran, kawan-kawan yang sudah kami tempatkan di set iap pulau
mengeluarkan kipas listrik dan mengarahkan ke orang-orang di sekitarnya. Penonton yang tidak
siap dengan efek ini berteriak kaget. Mereka terkesiap, terkesima, tiba-tiba merasa seperti t ertiup
angin gurun padang pasir. Ustad Torik sampai harus memegangi sorban arafatnya supaya tidak
diterbangkan hembusan angin buatan ini. Sound effect bunyi angin gurun terus berbunyi,
memperkuat efek inderawi. Kini seakan-akan topan angin padang pasir melanda seluruh aula,
panggung dan tempat penonton. Layar turun pelan-pelan.
Tepuk tangan bergemuruh mengapresiasi pendekatan teater kami yang unik ini. Kami telah
menggenggam hati para penonton.
Setelah intermezo, layar kembali dikerek. Berlangsung adegan ketika Ibnu Batutah menghadapi
badai hujan tropis ketika sampai di Samudera Pasai. Abdil kembali mengangkat tangan. Dan hujan
turun di mana-mana. Lampu tembak diarahkan ke segala penjuru, menghasilkan kilatan-kilatan
laksana petir. Penonton pun menerima semburan percikan air dari pulau-pulau yang sudah kami
siapkan. Tidak sampai membikin basah kuyup, tapi cukup membuat penonton ikut merasa dalam
adegan Batutah berjalan-jalan d i tanah Gayo selama beberapa hari.
Penonton semakin mencintai kami. Aku yakin itu.
Dan sebagai penutup, kami memperlihatkan perjalanan Ibnu Batutah memasuki daratan Cina
melalui sungai yang lebar dengan latar belakang gunung berlapis-lapis yang indah.
Sebuah lukisan besar memperlihatkan sungai meliuk-liuk d i antara punggung gunung dan
memasuki daerah yang penuh kabut. Inilah saatnya kami beraksi dengan es kering. Tiba-tiba lantai
penonton dialiri oleh kabut yang awalnya seperti permadani, menyelimut i lantai, lalu semakin tebal
dan membuat penonton merasa ikut hilang dalam pengembaraan ini.
Pertunjukan ditutup dengan Batutah kembali pulang ke kampungnya di Maroko set elah mengelilingi
dunia selama 30 tahun. Kiai Rais dan para guru bertepuk tangan dengan semangat sambil berdiri. Para aparat
pemda dan istrinya t idak mau ketinggalan, sambil berdecak kagum dan menggeleng-gelengkan
kepala. Para adik kelas kami bersuit-suit t iada henti.
Hanya kelompok kelas lima yang bertepuk ragu-ragu. Mereka mungkin mulai b ingung bagaimana
membuat lebih hebat lagi tahun depan.
Kiai Rais langsung maju ke panggung dan memuji semua penampilan kami.
"Sebuah hasil dari upaya kerja keras dan kreatifitas tinggi.
Terima kasih telah menghibur kami dan saya memberi nilai 9
untuk semua ini," kata beliau sambil bertepuk tangan. Sudah menjadi tradisi, set iap akhir acara,
Kiai akan memberi nilai lisan kepada pertunjukan. Kami yang berkumpul di belakang layar
melonjak-lonjak gembira samb il berpelukan. Kerja keras kami hamp ir 2 bulan rasanya terbayar
7 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
berlipat ganda mendengar pujian Kiai Rais.
Di ant ara kabut buatan yang mulai t urun, aku melihat Sarah bersama ibunya beranjak pulang
dengan wajah puas. Ent ah Sarah melihatku atau t idak, tapi aku cukup senang dia ada di sini.
Shaolin Temple Tidak kering-kering rasanya bibir kami kelas enam membicarakan betapa suksesnya show kemarin.
Ceritanya beraneka rupa dari yang sebenarnya terjadi sampai yang diragukan kesahihannya. Mulai
dari Khair yang sempat akan dicubit seorang penonton perempuan yang marah karena merusak
sanggulnya dengan hembusan kipas angin, Malik pemeran Ibnu Batutah yang benjol kepalanya
karena t erant uk mik yang menggantung, sampai cerita beberapa ibu-ibu pamong praja yang
menyatakan niatnya tertarik mengambil anak kelas 6 sebagai menantunya kelak. Yang pasti sahih
adalah kami mengarak Atang, Said dan Abdil lalu kami ceburkan ke bak kamar mandi.
Tiga hari kemudian, ketika kami sudah melepas lelah, kami bertemu lagi d i aula untuk evaluasi dan
pembubaran panitia.
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ustad Torik, guru pembimbing yang biasanya bermuka dingin, kali ini royal berbagi senyum, walau
tipis-tipis saja. Pengarahannya lebih banyak berisi pujian dan sedikit kritik untuk persiapan kami yang tidak tuntas
sampai hari H. Sedangkan dari kami sendiri, banyak kawan menganggap kekurangan skow kemarin adalah tidak
mantapnya perencanaan teknis, sehingga perubahan acara dan teknis masih terus terjadi beberapa
hari sebelum hari H. "Iya, contohnya ketika kita tiba-tiba harus ke Surabaya untuk membeli es kering. Kalau sudah kita
rencanakan dari awal, kita tidak perlu tergesa-gesa seperti itu," kataku sambil mengenang
perjalanan ini. Surabaya" Daun t elinga Ustad T orik langsung t egak berdiri.
Dia tampak mencoba mengail-ngail ingatan kalau pernah ada penugasan ke Surabaya.
Dua hembusan napas kemudian, dia segera bertanya galak,
"Surabaya" Kapan itu"
Aku mencium bencana dari kejauhan. Ragu-ragu aku menjawab,"Tiga hari sebelum show, Tad...."
"Siapa yang ot orisasi kalian ke sana?" serbunya dengan nada tinggi.
Kami semua terkesiap. Bencana itu sedang mengetok-ngetok pintu. Aku merasa sekian sorot mata
kini menghujatku. 8 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Said yang masih menjabat keamanan sampai bulan depan mencoba mengusai keadaan.
"Kami mint a izin ke Ponorogo, tapi barangnya hanya ada d i Surabaya. Untuk kelancaran acara,
waktu sudah tidak mungkin kembali ke PM. Jadi kami t erus ke Surabaya..."
"Jawab pertanyaan saya: siapa yang otorisasi?"
"Inisiatif kami, Tad."
"Sejak kapan kalian melebihi KP?"
"Maaf T ad, suasana mendesak sekali. Kami harus bertindak cepat."
"Kalian bisa pulang ke sini mint a izin dulu."
"T akut terlambat Tad, waktunya sempit sekali...."
Dengan nada dan tatapan dinginnya. Ustad Torik memotong. "Itu bukan alasan. Menunggu sampai
pagi pun masih b isa. Kalian sudah tahu aturan adalah aturan. Semua yang ikut ke Surabaya saya
tunggu di kantor. SEKARANG JUGA."
Muka Said langsung rusuh. Tampaknya dia tahu benar kalau d ia salah besar. Dalam buku
pegangan keamanan, pergi keluar tanpa izin yang resmi adalah pelanggaran berat.
Sungguh ganjil melihat komandan "The Magnificent Seven"
yang ditakuti murid-murid kini berada dalam posisi tersudut.
Atang hanya bisa pasrah. Aku merutuk diri karena salah ucap.
Kawan-kawan menepuk-nepuk punggung kami, mencoba membagi simpati.
Era 50 Kami bertiga bergerombol duduk di lantai. Ruangan ini berlangit-langit t inggi. Dinding d iisi
rak-rak buku kaca yang berisi bundel-bundel dokumen yang tebal. Menurut rumor, di sini t erdapat
semua laporan dan catatan perilaku set iap orang yang ada di PM dan alumni. Di tengah ruangan
ada karpet tipis berwarna merah, tempat kami duduk. Dan persis d i depan karpet ini berdiri kokoh
sebuah meja kayu panjang tanpa pelituran. Di belakang meja inilah tiga ustad KP duduk dengan
aura angker. Ustad Torik dengan wajah besi mendehem serak sebelum buka suara.
"Baru kemarin dipuji-puji, tapi kini kalian memalukan.
Sebagai kelas tertinggi, kalian yang harus jadi teladan adik-adik kelas. Saya kecew a sekali."
Sedangkan pikiranku berlari ke sana-sini, mencoba mencari-cari celah pengampunan. Apalagi aku
merasa pernah cukup berjasa dan pernah bekerja sama dengan Ustad Torik untuk persiapan
menjadi student speaker wakru kedatangan Duta Besar Inggris. Bapak Dubes sampai berkali-kali
menunjukkan betapa senangnya dia terhadap pidatoku kala itu. Bukankah itu sesuatu sumbangsih
9 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
yang besar buat PM. Semoga aku dimaafkan dengan pertimbangan ini.
Said tampaknya juga sedang mencoba menggali-gali memorinya, apa saja yang mungkin bisa
dijadikan kalimat pembelaannya.
Sementara Atang yang baik dan lurus, selalu telah merasa bersalah terlebih dahulu dan tidak
banyak membuat perlawanan kalau memang merasa bersalah. Bagi dia ketaatan kepada hukum itu
sangat penting. "Kalian tahu, dan saya juga tahu, kalian sudah bantu pondok," seolah-olah bisa membaca pikiran
kami. "Tapi ingat, di sini adalah tempat memberikan jasa, bukan mint a dan mengingat jasa. Dan
kepastian hukum adalah yang pertama kita jaga supaya ini terus melekat ke diri kalian, kapan dan
di mana pun. Kepastian hukumlah yang membuat PM menjadi sekolah yang baik."
Tidak berlama-lama, dia menyuruh kami berdiri dengan suara mengguntur.
"Berdiri dan menghadap ke dinding," katanya dingin.
Kami segera patuh dan memutar menghadap dinding, membelakangi mereka bertiga.
Aku pasrah dan memejamkan mata, apa pun yang akan terjadi terjadilah. W alau aku mencoba
mengantisipasi apa saja, degup jantungku terus berdentam-dentam. Stereo pula.
Dan, tiba-tiba benda sedingin es segera menyentuh kudukku, membuat aku merinding di kuduk dan
tangan. Dan erik... erik... erik... dengan lapar sebuah gunting memangkas rambutku. Mulai dari
kuduk, terus naik ke ubun-ubun dan setelah itu bergerak ke kiri dan ke kanan tidak beraturan.
Potongan rambutku yang lurus-lurus berguguran menjatuhi lantai, bercampur dengan potongan
rambut keriting Said yang berdiri di sebelahku. Dalam beberapa menit kami telah menjelma bagai
murid shaolin yang punya kepala berbinar-binar.
Tidak ada yang bicara di antara kami bertiga. Said yang gagah perkasa tak kuasa menegakkan
badan. Atang hanya dapat menunduk seakan kepala seberat batu karang. Aku sendiri bertarung
dengan rasa malu. "Semoga ini menjadi pelajaran buat kalian seumur hidup, dan kalian ikh las
menerima hukuman ini," pesan Ustad Torik melepas kami di pintu kantornya.
Pintu terkuak. Kami bagai murid Shaolin yang baru keluar dari gerbang padepokan. Kami manusia
berkepala botak yang memantul cahaya matahari gilang gemilang ke segala arah.
Adik-adik kelas yang melihat kami lewat terlongo-longo.
Sebagian lain tampaknya menyembunyikan senyum. Mungkin mereka tidak habis mengerti
bagaimana mungkin seorang penjaga kedisiplinan seperti Said bisa kena tulah botak. Said semakin
tertunduk. 10 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Kembali ke aula, kami d isambut tepuk tangan oleh teman-teman kelas enam. Sedangkan kami
bertiga mengelus-ngelus kepala botak kami, memelas. Bagaimana pun kami salah, kami dianggap
pahlawan yang membela kepentingan bersama show kami.
Seharusnya aku bersyukur kehilangan rambut saja. Said selain kehilangan rambut, juga kehilangan
jabatan. Kasus ini membuat dia menjadi orang bebas lebih cepat sebulan daripada semestinya.
Hukum di sini tidak pandang rambut. Salah sedikit, gunting bertindak.
Said yang telah berhasil menemukan optimisme normalny a lalu menggamit kami berdua. "Ya akhi,
sebelum ke asrama, kita ke studio foto dulu yuk. Kapan lagi tiga orang berkepala shaolin berfoto
pakai sarung." Said memang selalu tahu bagaimana mengambil sisi positif dari setiap bencana.
W alau sudah dibuldozer habis oleh Ustad Torik, kepala kami belum botak tuntas. Di sana-sini
masih ada rambut dan pulau-pulau rambut yang t idak rata. Lebih jelek daripada bot ak licin.
Kesimpulanku: Ustad Torik bukan seorang t ukang botak yang baik. Inilah saatnya Pak Narto turun
tangan. Laki-laki kuru s berusia 50-an tahun ini adalah tukang cukur resmi PM. Dia menguasai nasib
ribuan kepala penduduk PM. Kepada tangannya yang bergerak lincah kami percayakan model dan
gaya rambut kami. Sayangnya, hanya satu gaya yang tersedia: gaya cepak pendek!
Pak Narto yang selalu memakai kemeja putih yang sudah menguning ini membuka layanannya di
emperan aula bag ian belakang. Dia punya peralatan sederhana: sepotong kaca berbingkai kayu
tua yang sudah kusam, sebuah lemari kayu kecil yang berengsel karatan, dan sebuah kursi kayu
set inggi pinggang dengan tumpuan tangan di kiri dan kanannya.
Lemari kayu kecil ini sekaligus menjadi meja kerjanya. Di mejanya berderet lima pe-ragat: gunting
cukur yang kurus, mesin cukur manual dengan geligi tajam, sebuah pisau cukur lipat, sebuah sisir
plastik, dan sebuah sikat dari ijuk halus.
Kalau sedang antri panjang menunggu giliran dicukur, aku suka memperhatikan cara kerja Pak
Narto. Yang selalu membuatku kagum adalah kecepatan tangannya bergerak mengayuh gunting.
Aku suka terpekik-pekik kecil melihat ujung guntingnya bergerak lincah ke mana-mana. T akut kalau
memakan ujung kuping pelanggannya. Tapi selama ini dia sukses bekerja tanpa korban kuping. Alat
favoritku adalah mesin cukur manual yang ujungnya mirip kepala semut raksasa bergigi tajam itu.
Crik... crik... crik... paling lama sepuluh menit saja, pesanan kepala berambut pendek selesai.
Sedangkan untuk kasus kepalaku yang botak, dia tidak menggunakan gunting, tapi pisau lipat yang
lebih dulu digesek-gesekkan ke sebuah ikat pinggang kulit butut yang digantung di sebelah kaca.
"Supaya pisaunya tajam dan tidak melukai kulit kepala, Nak," katanya ketika aku t anya kenapa kulit
bekas. Mengambil kesimpulan prestasi Pak Narto ini, aku menjuluki Pak Narto sebagai "Penjagal 3000
Kepala". 11 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Rahasia Baso Setelah Class Six Show, kami menyerahkan semua pengurus dan organisasi di PM ke murid kelas
lima. Tugas kami kini hanya satu: belajar untuk menyambut ujian t erberat yang pernah ada, ujian
kelulusan PM. Ujian akan berlangsung maraton dua pekan yang akan mengujikan semua pelajaran
dari kelas satu sampai kelas enam. Bentuknya dua, ujian esai dan ujian lisan.
Di antara kami berenam, kalau ada pemilihan gelar juara rajin dan juara p int ar, maka kemenangan
mut lak untuk kedua gelar itu akan direbut oleh Baso. Khusus untuk kategori kerajinan, juara dua,
tiga, dan seterusnya adalah aku, Raja, Dulmajid, Atang dan Said. Beda kami tipis-tipis saja.
Sementara untuk kategori kepintaran, dengan sedikit otoriter, juara duanya aku boleh bilang: Raja
dan aku, sementara Atang, Said dan Dulmajid bolehlah berbagi juara ketiga.
Hampir set iap waktu kami melihat Baso membaca buku pelajaran dan Al-Quran dengan
sungguh-sungguh. Itulah yang membuat kami heran. Dengan kesaktian photographic memorinya
kami t ahu pasti bahwa tanpa belajar habis-habisan seperti ini dia akan tetap mudah menaklukkan
ujian. Tapi dia tetap saja menghabiskan waktu untuk belajar-mengaji-shalat, lalu
bel-ajar-mengaji-shalat. Baru akhir-akhir ini saja dia mulai berolahraga, itu pun bukan olahraga permainan. Tapi cuma lari.
Dan samb il membawa buku. Dia bilang karena inilah olahraga paling praktis, dan bisa dia lakukan
kapan saja, bahkan ketika pakai sarung sekali pun. Dan bisa sambil membawa buku. Logika yang
menurutku agak aneh. Sampai pada suatu hari, aku melihatnya dengan baju olahraga duduk di pinggir lapangan basket
tempat kami sedang bermain. Tidak ada tanda-tanda buku di tangannya.
Baso tanpa buku! Baso tanpa belajar! Di saat menyambut ujian kelas enam ini! Aneh. Wajahnya
memelas dan dia menumpukan dagunya di kedua t elapak tangan sambil duduk di bangku kayu
penonton. Dia memandang tanpa minat ke lapangan basket.
Dia t idak peduli dengan kehebatan Said yang menjebloskan bola berkali-kali. Atau menertawakan
kebodohanku yang selalu kena serobot sebelum berhasil menembakkan bola ke keranjang.
Aku melambaikan tangan dan berteriak mengajaknya ikut main. Baso melihat ke arahku sejurus,
lalu tersenyum hambar sambil menggeleng. Ada apa dengan Baso"
Aku mengambil kesimpulan sekenanya dengan cepat: mungkin gusinya bengkak. Apalagi" Selama
ini hanya sakit gigilah yang bisa membunuh animo belajarnya.
Selesai main basket , aku menghampirinya dan menawarkan diri untuk menemaninya ke klinik PM
yang berada di sebelah kompleks olahraga.
"Kurang sehat" Sakit gigi" Yuk kita ke klinik," ajakku Dia menggeleng. Matanya masih diliputi kabut.
"Jangan t akut kawan, dokter ini tidak suka main sunt ik. Dia pating kasih pil ant i sakit."
12 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Pelan-pelan kepalanya berputar ke arahku. "Aku tidak sakit", jawabnya pendek. Agak kesal dan
risau. "Kalau begitu, kenapa tidak ikut main dengan kita tadi,"
tanya Said yang baru bergabung, sambil menyeka peluh di kepalanya yang masih gundul dengan
lengan kaosnya. "Ana khair, terima kasih, aku tidak apa-apa," katanya sambil berlalu gont ai menuju asrama. Kami
berpandang-pandangan dengan muka bingung. Selama ini memang Baso lah kawan kami yang
paling pendiam, pemalu dan tertutup.
Kami berjalan mengikut inya pulang ke asrama. Setelah lepas dari berbagai jabatan, kini kami
tinggal di asrama Cordoba, di kamar yang sama.
Sampai di kamar, Baso mendekati kami dengan muka menyesal.
"Afwan ya akhi, maafkan t adi aku kesal. Aku pusing karena benar-benar sedang muflis, bangkrut,
gak punya uang." "Sudah dua bulan aku tidak bayar uang makan." Ini bukan hal baru, 3 tahun di sini, berkali-kali d ia
dalam kondisi defisit. "Aku bisa pinjamkan," Said segera menyambut.
"T api bukan uang yang aku risaukan. T anpa uang pun tidak apa," katanya dengan nada keras.
Harga dirinya selalu tinggi kalau masalah pinjam meminjam. Dia selalu percaya tangan di atas
selalu yang terbaik. W alau sesusah apa pun, tidak sekalipun dia mau meminjam.
PM selama ini tidak pernah mengeluarkan murid hanya karena tidak bayar uang sekolah. Memang,
walau PM tidak meng-gembar-gemborkan ada beasiswa, sesungguhnya sekolah kami banyak
memberikan beasiswa tanpa kami sadari.
Begitu seorang murid diterima, maka selama d ia mau, dia b isa terus belajar di sini. Bahkan dengan
gratis. Tidak kuat bayar uang sekolah dan uang makan" Tidak akan pernah disuruh keluar atau
berhenti. Yang penting sekolah terus, duit soal belakang.
PM punya mekanisme subsidi silang antara anak yang mampu dan yang kurang mampu. Selainitu
mesin ekonomi PM juga lumayan besar. Beras tidak pernah beli, karena berhektar-hektar sawah
milik PM mengirim padi yang kemudian digiling di huller sendiri. Semuanya self sufficient .Mandiri.
"Anta perlu beli buku lebih banyak?" tanyaku setengah bercanda. Muka Baso malah keruh. Aku
segera menyesal karena ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk guyon.
Baso mengajak kami duduk di sudut kamar yang sepi, di sebelah lemari k ayu kecilnya. Mukanya
menghadap kami satu-satu. Suaranya rendah dan sendu.
13 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
"Aku tidak pernah ceritakan hal ini kepada orang lain.
Hanya keluarga dekat yang tahu. Dan kalian adalah keluargaku di sini," katanya memandang kami
lagi. Aku merinding disebut keluarga dekat Baso. Memang kami selama ini sering bersama, tapi dengan
gayanya yang sibuk belajar dan ding in, aku tidak pernah mengira dia menganggap kami keluarga.
Said malah membuang muka ke jendela samb il mengusap-usap kepala botaknya. Dia memang
kesulitan bereaksi dengan hal-hal yang berbau emosional seperti ini.
"Ibuku meninggal waktu aku lahir dan ayahku meninggal karena sakit ketika aku berumur empat
tahun. Tinggal aku sendiri sebatang kara," katanya. Di ujung kelopak matanya aku menangkap kilau
air yang siap luruh. Suaranya kini bergetar.
"Aku hanya punya foto ini...."
Dia menguakkan pintu lemari kecilnya. Di pintu bagian dalam, sehelai foto hitam putih yang
sudut-sudutnya telah menguning menempel dengan paku payung. Seorang laki-laki muda dan
seorang perempuan muda tampak tersenyum bahagia dengan pakaian jas dan kebaya rapi. Mereka
duduk di kursi yang penuh rumbai dan hiasan. Puluhan orang mengelilingi mereka, sama-sama
tersenyum ke arah kamera.
"Foto mereka ketika menikah. Inilah satu-satunya yang mengingatkanku kalau aku pernah punya
orangtua. Aku tidak akan pernah sempat berbakti langsung kepada mereka."
Aku menumpangkan telapak tangan di bahunya, mencoba berbagi simpati. Begitu juga
kawan-kawanku yang lain. "Alhamdulillah, aku masih punya seorang nenek yang menampungku. Dia punya warung nasi kecil
di halaman rumah dan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Dengan kondisi itu, aku bahkan tidak
berani membayangkan sekolah lebih tinggi dari SMP, apalagi bisa berlayar jauh ke Jawa untuk
sekolah. Kalau aku sekarang bisa d i PM ini karena dibantu oleh Pak Latimbang, seorang nelayan tetangga
kami yang menyisihkan beberapa sebagian tangkapannya untuk membantu kami.
Karena itulah aku belajar keras tanpa istirahat, karena aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan
ini..." Kami semua diam dan tertunduk. Sibuk mencerna cerita Baso dan bingung bagaimana harus
menyikap inya. Aku bisa merasakan apa yang Baso rasakan. Dengan kondisi ekonomi orangtuaku,
kadang-kadang wesel terlambat datang. Tapi aku masih punya kedua orangtua. Aku masih punya
kepastian wesel datang dari orangtua. Sedangkan Baso tidak punya siapa pun. Hanya seorang
tetangga dermawan yang juga tidak berkelebihan banyak. Aku bersyukur untuk diriku sendiri dan
berdoa untuk Baso. Baso memecah kesunyian yang tidak mengenakkan hati ini.
"Y ang sekarang merisaukan hatiku, keluarga satu-satuku nenekku sendiri, yang aku anggap seperti
bapak dan ibuku, sekarang sedang sakit tua. Dia tidak punya anak lagi, orang terdekatnya adakah
14 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
aku. Dia tidak bisa lagi berjualan dan hanya beristirahat di dalam rumah. Makannya saja diurus oleh
keluarga Pak Latimbang. Mungkin sudah saatnya aku membalas jasanya..,."
Pandangannya jauh menembus jendela kamar, dan lalu jatuh terpekur ke foto tadi.
"Aku sedang berpikir-p ikir kapan aku harus mengambil keputusan untuk merawat Nenek dan
pulang, mungkin selamanya...."
Pulang" Dia menyebut-nyebut akan pulang selamanya. Aku pernah berpikir pulang hanya karena
surat Randai. Dia ingin pulang karena ingin berbakti kepada neneknya. Hatiku tidak enak dan malu
sendiri. "Kalian tahu aku sudah habis-habisan mencoba menghapal Al-Quran. Sudah selama ini, aku baru
hapal 10 juz, atau sekitar 2000 ayat. Aku ingin semuanya, lebih dari 6000 ayat.
Tahukah kalian, ada sebuah hadist yang mengajarkan bahw a kalau seorang anak menghapal
Al-Quran, maka kedua orangtuanya akan mendapat jubah kemuliaan di akhirat nanti.
Keselamatan akhirat buat kedua orangtuaku..." Dia berhenti.
Kilau t adi akhirnya luruh. Menyisakan jejak basah di pipinya.
"Hanya hapalan... hanya hapalan Quran inilah yang bisa aku berikan untuk membalas kebaikan
mereka kepadaku. Aku ingin mereka punya jubah kemuliaan di depan Al ah nant i,"
katanya sambil mematut-matut foto itu, seakan baru pertama kali melihatnya.
Perasaanku tergetar. Untuk pertama kalinya aku sadari bahw a motivasi besar Baso menghapal
Al-Quran adalah pengabdian kepada orangtua. Aku yakin teman-temanku yang lain juga baru tahu.
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selain itu, aku mendengar, orang yang hapal Al-Quran bisa mendapatkan beasiswa penuh untuk
kuliah di Mad inah dan Mekkah, tempat yang aku mimpikan untuk belajar nanti. Siapa tahu memang
ada jalan...," katanya sekali lagi menerawang.
Baso terus memegang teguh niatnya untuk sekolah ke Arab, seperti yang kami mimpikan di bawah
menara menjelang Maghrib.
"T api sudah beberapa tahun ini berpikir, aku tidak punya cukup waktu dan ketenangan untuk
menghapal seluruh AlQuran di sini. Jadi aku bingung."
"Itulah ceritaku. Dan aku diam karena aku sedang sedih.
Banyak yang aku pikirkan, duit, ya pelajaran, ya hapalan AlQuran dan sekarang nenekku yang
sakit. Sedangkan aku jauh di sini," gumamnya lirih. Dia memeluk lut utnya yang dilipat ke dada.
"Syukran ya akhi, telah mau mendengarkan keluh kesah ini," katanya lirih. Kilau lainnya kembali
luruh dari sudut matanya. Basah.
15 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Kawanku yang hebat ini, berwajah tangguh khas pelaut Sulawesi ini, kini tampak lebih tenang.
Mungkin karena persoalan beratnya telah dibagi kepada kami, yang sudah dianggapnya keluarga
terdekatnya. Kami mendekat dan merangkul bahunya. Dalam hari aku berjanji akan membantunya sekuat
mungkin. Baso mengangguk-angguk berterima kasih sambil meniup-niup hidungnya yang tersumbat duka. T
iba-tiba hidungku juga ikut berair seperti orang pilek.
Sepasang Jubah Surgawi Seminggu berlalu sejak Baso bercerita tentang hidupnya.
Pelan-pelan kami mulai lupa karena sibuk dengan kegiatan membaca berbagai macam buku
pelajaran dari kelas satu sampai kelas enam nonstop. Ujian hanya menghitung bulan.
Bertumpuk-tumpuk buku menggunung di atas lemari kami, menunggu dibaca.
Tapi seminggu berlalu tampaknya belum meredakan kekalut an Baso. Sore itu di bawah menara,
dia kembali berbagi cerita. Sambil memegang secarik surat yang ditulis tinta biru dia bertanya.
"Kalian ingat Pak Latimbang yang aku pernah ceritakan"
Yang bantu aku ke sini?"
Kami mengangguk-angguk. "Hari ini aku menerima surat kilat khusus dari dia. Isiny a penting sekali."
Wajah kami memandangnya bertanya-tanya. Entah kenapa jant ungku jadi berdegup cepat.
"Ada kabar buruk dan ada kabar baik. Yang buruknya, nenekku makin sakit dan tidak bisa bangun
dari tempat t idur. Dan Nenek terus menyebut-menyebut namaku. Aku mohon bantuan doa kalian agar nenekku
sembuh." Bagai koor, kami mengamini doanya.
"T api juga ada kabar baik buatku."
Kami penasaran. Atang kembali ke kebiasaan memperbaiki letak kacamatanya yang tidak salah.
"Di desa di sebelah kampungku di Gowa ada sekolah yang membutuhkan guru untuk mengajarkan
bahasa Arab dasar. 16 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Pak Latimbang jadi pengurus di sana dan mengusulkan aku untuk mengambil posisi ini. Bahkan
sekolahku tidak akan putus karena aku bisa mengikuti ujian persamaan SMA di sana. Sebagai guru,
aku akan dapat honor dan jatah beras.
Dengan begitu, aku bisa menjaga nenekku juga."
Dia berhenti sebentar, dan melanjutkan dengan suara lebih bersemangat
"Y ang lebih menggembirakan, sekolah ini adalah madrasah khusus untuk menghapal Quran.
Dipimpin oleh seorang hafiz yang terkenal di daerahku, Tuanku Haji Guru Mukhlas Lamaming.
Kalau aku mau mengajar beberapa jam bahasa Arab di sana, aku akan bisa berguru kepada
Tuanku untuk menghapal Al-Quran, seperti mimpiku selama ini."
"T api anta tidak akan mengikuti sarannya, kan?" tanya Atang.
"Aku mungkin akan pulang beberapa hari lagi," jawabnya tegas. Sorot matanya mantap, raut
wajahnya kukuh. "Ini baktiku kepada nenek yang masi idup. Siapa tahu kepulanganku bisa menjadi obat nenekku.
Sedangkan hapalan Al-Quran adalah hadiah buat almarhum bapak dan ibuku, yang hanya aku
kenal lewat foto saja."
Aku terperanjat dengan keputusan Baso ini. Said menggeleng-geleng bingung. Atang dan Dul
memasang wajah melongo. Raja menggamit tangan rekannya dalam menulis kamus sambil
berkara, "Kenapa harus sekarang" T idak sampai set ahun lagi kita lulus. Bertahan sedikit lagi lah.
Baso menatap Raja lekat, dan dengan suara rendah dia berkata, "Siapa yang menjamin nenekku
bisa menunggu" Dia satu-satunya tempat aku mengabdi sekarang."
"T api kan setelah Nenek sembuh, anta bisa kembali lagi ke PM?"
Baso menggeleng pendek. "Aku sudah membuat keputusan.
Bahkan aku sudah shalat Istikharah untuk meminta keputusan terbaik dari Allah. Hatiku sudah
mantap." Lalu dia berbisik lirih, "Walau hatiku sedih sekali berpisah dengan kalian dan PM yang telah
membesarkan aku selama ini.
Beberapa saat hanya ada hening di ant ara kami. Kami tidak punya apa-apa untuk melawan
alasannya yang sangat emosional dan dalam. Bagaimana caranya melawan keinginan suci seorang
anak membawa sepasang jubah surgawi buat bapak dan ibunya" Bagaimana melawan bakti
seorang cucu kepada nenek yang telah membesarkannya" Jawabannya mungkin ada.
Awan hitam digayuti mendung yang bergulung-gulung.
Matahari sore semakin susut ke Barat. Alam seperti setuju dengan kekalutan kami. Dan itu terjadi
17 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
begitu saja. Dua hari kemudian, kami Sahibul Menara, berdiri di kaki menara. Bukan untuk bersenda gurau dan
membagi mimpi kami. Tapi untuk membebaskan sebuah mimpi dari kawan kami. Baso tetap
dengan keputusan besarnya: merawat neneknya yang sakit dan mengikuti mimpinya menjadi
seorang hafiz. Duka tampak menggayut di wajah Baso ketika melayangkan pandangan ke sekeliling PM. Tapi
tekadnya pulang lebih kuat.
Raut mukanya berubah-ubah antara sedih dan wajah yang ditegar-tegarkan. Baso tidak mau terlihat
cengeng. Said tidak bisa cengeng. Aku tidak dibolehkan cengeng dalam budaya keluargaku.
Dulmajid tidak kenal kata itu. Kami semua merasakan perpisahan yang berat. Tapi setiap tekanan
ini menjalar ke mata, kami tekan jauh ke dalam hati. Kuat-kuat.
Hanya Atang dan Raja yang bisa mempraktekkan kesedihan ini dengan baik dan benar. Mereka
memerah air mata samb il memeluk Baso.
Rangkulan dan tepukan di bahu yang bisa aku berikan dengan sebongkah doa, semoga Baso
mendapatkan mimpinya. Baso melambaikan tangan dari jendela mobil L300
yang separo terbuka. Mobil yang membawanya berlalu mengejar mimp inya d i Sulawesi.
Meninggalkan kami yang masih mengerami mimpi kami di sini.
Bila diizinkan Al ah, kita akan bertemu lagi di suatu masa dan di suatu tempat yang sudah
diaturNya!" teriaknya sambil melambai. Kami melambai kembali. Debu dan asap knalpot
menelannya tangan Baso yang sayup-sayup tampak masih terus melambai.
Selamat jalan sahabat. Semoga jalanmu adalah jalan yang diberkati T uhan. Jalan pengabdian
pada nenek, orang tua dan agama. Ma'assalamah.
Sebuah puncak menara telah tiada, tapi dia tidak hilang dan tidak runtuh. Hanya sedang tumbuh
dibangun di tempat lain. Perang Batin Rasanya hari itu aneh sekali. Rasanya seperti baru selesai cabut gigi geraham. Proses
membongkar gigi tidak lama dan tidak terlalu menyakitkan. Barulah setelah beberapa jam setelah
obat kebal hilang, nyeri mulai menghentak-hentak.
Lalu, selama beberapa minggu, lidah akan bolak-balik memeriksa rongga yang ditinggal gigi tadi.
Rasa-rasanya gigi itu masih ada di sana, tapi ternyata tidak ada. Aku pernah membaca, kalau
menurut orang yang bisa membaca aura, setiap barang yang pernah ada di suatu tempat dan
kemudian dipindahkan, maka masih ada jejak aura di tempatnya semula.
Itulah yang kami rasakan sehari setelah Baso ruju' ala dawam. Pulang untuk selamanya. Duduk di
bawah menara, kami lebih banyak diam dan termenung. Hanya helaan-helaan napas berat yang
dikeluarkan lew at mulut yang terdengar. Aku merasa kami semua baru sadar betapa sakitnya
18 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
kehilangan teman. Kami bagai rahang yang kehilangan sebuah gigi geraham. Rasanya Baso masih
ada d i sini, tapi dia tidak ada.
Hanya ada sebuah sudut berlubang di bawah menara ini dan di pedalaman hati kami.
Bagiku, keberanian Baso untuk nekad pulang tidak hanya mengejutkan, tapi juga menginspirasi.
Dulu, keinginan keluar dari pondok bagai ide yang jauh dan samar. K ini setelah Baso
melakukannya, ide keluar itu terang benderang dan ada di depan mataku.
Selain aku, tidak ada seorang pun di ant ara Sahibul Menara lain yang merasa goyah dan
berpikir-pikir untuk keluar.
Kebanyakan mereka senang dan siap menamatkan PM.
Apalagi Baso yang selalu rajin belajar.
Kegelisahanku yang naik turun ini karena aku memulai perjalanan ke PM dengan setengah hati.
Sejujurnya, tiga tahun di J|?1 membuat aku jatuh hati merasa amat beruntung dikirim ke sini.
Berkali-kali aku katakan pada diri sendiri: aku akan menuntaskan sekolah di sini. Tapi aku juga t
ahu, cita-cita lamaku tidak pernah benar-benar padam. Cita-cita ingin sekolah non agama. W alau
sibuk dan senang dengan kegiatan PM, aku kadang-kadang terbangun malam set elah bermimpi
keluar dari PM. Apalagi, kawanku, Randai, selalu berkabar dan menjadi tolok ukur bagiku atas apa
yang terjadi di luar sana.
Kepergian Baso kali ini membangkitkan penyakit lamaku itu.
Surat Randai menyuburkannya. Aku baru saja menerima sebuah suratnya lagi. Kali ini datang dari
Bandung, dengan amplop bergambar gajah duduk, lambang almamater kebanggaannya, ITB. Dia
dengan riang bercerita bagaimana bangga dan senangnya merant au di Bandung. Bersama
beberapa teman orang Minang juga, Randai menyewa kamar kos di sebuah gang sempit di dekat
kebun binatang dengan alasan dekat dengan kampus. Yang membuatnya paling bangga adalah
ketika disambut di kampus oleh alumni-alumn i ITB yang terkenal Indonesia dengan ucapan yang
menegakkan bulu roma, "kalian adalah generasi terbaik Indonesia".
Gerimis itu datang lagi, dan kali ini menjadi hujan badai d i kepalaku. Sebagian hatiku membisikkan
bahwa menyelesaikan sekolah di PM adalah hal yang t erbaik. Pendidikan di sini salah satu yang
terbaik, dan aku t elah belajar banyak filosofi h idup dan hikmah dari para guru-guru yang ikhlas.
Tapi di sudut hatiku yang lain, yang tidak pernah diam, ada pemberontakan.
Apakah pergi ke PM cita-citaku sebenarnya" Apakah keinginanku sendiri atau untuk
menyenangkan kedua orangtuaku"
Malam itu, sebelum tidur, ditemani lampu teplok, aku menulis sepucuk surat kepada Amak dan
Ayah. Kali ini aku menyampaikan perasaanku apa adanya. Iya benar, aku pernah berjanji akan
menyelesaikan PM, tapi perang batinku terus berkecamuk. Dan perang ini sekarang dimenangkan
oleh keinginan drop-out dari PM. Kalau t erus di PM, aku tidak akan bisa melanjutkan sekolah ke
jalur umum dengan mulus. Dari awal PM sudah menyatakan tidak memberikan ijazah untuk masuk
sekolah umum. Ijazah PM bahkan tidak diakui di beberapa perguruan tinggi Islam. Walau, ijazah PM
19 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
malah diakui di Mesir, Arab Saudi, Pakistan dan beberapa negara lainnya.
Selang seminggu kemudian, suratku segera berbalas dengan sebuah telegram. Isinya pendek:
"Amak sedih membaca surat. Jangan pulang dulu. Ayah akan datang segera."
Ttd Ayah Tiga hari kemudian surat kilat khusus sampai. Kali ini ditulis Amak sendiri. Dengan tulisan halus
kasarnya yang miring ke kanan di atas kertas surat bergaris-garis.
'Sejak beberapa tahun terakhir ijazah PM sudah d iakui pemerint ah.
"....Amak t idak pernah lupa ketika ananda mencium tangan Amak sebelum berangkat masuk
sekolah agama d i Jawa tiga tahun lalu. T idak terkatakan bahagianya hati Amak. Inilah cita-cita
Amak sejak ananda masih sebulan dalam kandungan Amak. Waktu itu Amak berniat, kalau Amak
diberi anak laki-laki, Amak akan mendidiknya menjadi seorang pemimpin agama. Melakukan amar
ma'ruf nahi mungkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.
Amak bermimpi ananda nant i akan bisa menerangi jalan umat Islam, seperti yang telah dilakukan
Buya Hamka. Amak sedih melihat kualitas pemimpin agama kita menurun. Amak ingin memberikan
anak yang terbaik untuk kepentingan agama. Ini tugas mulia untuk akhirat.
Sejak itu, tidak lepas-lepasnya doa Amak kirimkan untuk kesuksesan ananda belajar di Jawa.
Tidak terkatakan pula sedihnya Amak menerima surat waang seminggu lalu. Selama ini Amak
sudah tenang karena dari membaca surat-surat ananda sebelummya, pondok ini cocok dan cukup
menyenangkan buat ananda. Amak bertanya-tanya kenapa ananda sekarang berubah dari tenang
menjadi gelisah" Masuk sekolah agama tidak kalah hebat dibanding sekolah umum. Bahkan belajar
agama itu lebih ut ama dan lebih mulia.
Maafkan Amak telah menyuruh-nyuruh ananda untuk sekolah agama. Tapi ini untuk kebahagiaan
kita semua dunia dan akhirat Karena dengan sepenuh hati, Amak mint a ananda bertahan sampai
tamat di pondok. Ini permintaan Amak.
Tolonglah ananda pertimbangkan matang-matang.
Untuk masalah ijazah SMA dan kuliah nanti, Ayah akan segera datang...."
Aku menarik napas panjang dan berat setelah membaca surat ini. Aku bisa merasakan kalau Amak
menulis surat ini dengan airmata. Aku tergugah, tapi sekaligus bingung.
Semangatku masuk kelas tiba-tiba h ilang. Dengan suara yang diserak-serakkan aku menghadap
ke w ali kelasku Ustad Mubarak, untuk minta tashrih, surat sakit. Sungguhnya tidak ada yang sakit
dengan badan fisikku. Selama tiga hari aku hanya bergolek-golek saja d i kamar. Tamarrad.
Pura-pura sakit. 20 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Begitu bel masuk kelas berdentang, tinggallah aku sendiri terbaring malas di kamar. Sunyi. Sambil
menatap langit-langit kamar yang dikapur putih, mereka-reka apa yang akan disampaikan Ayah.
Posisiku semakin jelas, aku ingin keluar secepatnya, mengikuti ujian persamaan, dan segera
mendaftar tes perguruan tinggi. Kalau Ayah memaksaku menyelesaikan PM, artinya aku t idak bisa
kuliah t ahun ini, dan harus sabar menunggu setahun lagi. Tapi aku tidak mau bersabar set ahun
lagi Aku akan tertinggal dua tahun dari Randai. Mungkin aku bisa memberontak kepada Ayah dan
bilang bahw a anaknya juga punya keinginan sendiri.
Para Sahibul Menara beberapa kali datang merubungi aku yang berbaring di kasur tipis. Aku telah
menceritakan semua kegundahanku kepada mereka. Kawan-kawanku yang baik ini mencoba
membangkitkan semangatku. Raja dan Dul paling berapi-api mengompori aku tetap menyelesaikan
PM. "Sudahlah Lif. Saya tidak ingin melihat dua kawan dekatku hilang dalam sebulan," kata Raja dengan
suara galak agak mengancam. Said dan Atang tidak banyak bicara. Sebagai lulusan SMA, mungkin
mereka lebih dewasa dan mengerti yang aku rasakan.
Dan seminggu kemudian, seorang petugas penerima tamu datang melayang dengan sepeda
kuningnya. Mendapatkanku di sudut kamar sedang merenung. Dia menyerahkan sebuah memo
tamu, tertulis di sana: Siswa: Alif Fikri Tamu: Fikri Katik Parpatiah Nan Mudo. Ayah datang!
Aku segera menuju tempat penerimaan tamu. Sudah set ahun aku tidak bertemu Ayah. Dalam
penglihatanku, wajahnya tidak banyak berubah, tapi ubannya makin banyak menyeruak, khususnya
di kedua sisi kepalanya yang berambut tipis. Lebih jauh lagi, bahkan uban sekarang telah menjajah
sampai ke kumis dan cambangnya. Wajahnya tampak letih setelah perjalanan lint as Jawa dan
Sumatera. Aku cium tangan beliau dan duduk di sampingnya, agak lesu. Ayah hanya tertawa tanpa bunyi dan
berkata," Di kampung lagi musim durian". Lalu apa hubungannya dengan kedatangan beliau" Tidak
ada. Aku tahu betul, kalau Ayah berbicara di luar konteks, berarti dia sedang gelisah dan mencari
cara untuk memulai pembicaraan.
Tapi urusan durian adalah salah satu tali penghubung antara kami berdua. Sejak kecil aku dan
Ayah selalu menyambut musim durian dengan seluruh jiwa raga. Kami, dua laki-laki di keluarga,
adalah pencinta durian. Berdua saja kami b isa menghabiskan belasan buah. Bukan cuma membeli
durian di p inggir jalan, kami berburu buah nikmat ini ke hut an di Bukit Barisan. Banyak pohon
durian yang telah ditanam sejak dulu oleh nenek moyang keluarga ayahku di ladang di pinggir hutan
ini. Ayah selalu percaya, durian terbaik datang dari kampungnya, dan yang terbaik di kampungnya
adalah durian dari tanah ladangnya. Dan yang terbaik di ladangnya adalah durian yang matang di
pohon, lalu jatuh dengan sendirinya dan langsung dipungut di bawah pokok pohonnya.
Memakai topi anyaman pandan yang lebar dan menyelipkan parang di pinggang, kami biasanya
naik bukit di pagi hari. Ditemani koor sikumboh71 yang bergaung dan uir-uir72 hut an yang melengking bersahut -sahutan
21 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
kami duduk berjam-jam di dangau di tengah ladang durian. Menunggu. Kalau kami beruntung, di
tengah keheningan hutan, kami akan mendengar suara seperti tali put us, disusul suara krosak
daun-daun dan gedebuk di tanah. Kami segera berlompatan keluar dari dangau dan mencari asal
bunyi gedebuk tadi. Begitu menemukan durian yang jatuh itu, Ayah langsung membelah kulit
durinya yang keemasan. Bau wangi langsung meruap dari dagingnya yang kuning dan lembut.
Kami memakannya hangat-hangat pakai tangan. Sebuah pengalaman ayah-anak yang tidak akan
aku lupakan. Hanya berlangsung beberapa menit saja, tapi sungguh nikmat. Inilah momen "durian
runtuh" yang sebenarnya.
Yang tidak kami lakukan adalah menjaga durian runtuh malam hari. Ayah bilang bahw a malam hari
berbahaya, karena inilah waktu inyiak, atau sebutan kami buat Harimau Sumatera, berkeliaran di
dekat ladang untuk menunggu durian runtuh.
Awalnya aku merasa dibohongi, masak harimau suka durian. Tapi suatu ketika Ayah
memperlihatkan sebuah durian yang terkoyak di bawah pohon dengan bekas kaki-kaki bercakar
besar di sekelilingnya. "Inyiak rupanya baru pesta durian juga," kata Ayah serius. Aku merinding.
Entah benar entah tidak. Saat aku masih SD, Ayah suka bercerita tentang kakeknya, Datuak
Tungkek Ameh, yang dianggap berilmu tinggi dan mampu mengobat berbagai penyakit. Ayah
adalah cucu kesayangannya dan sering diajak ke rumahnya yang terpencil di lereng Bukit Barisan.
Pernah suatu malam Datuak Tungkek Ameh mengantar Ayah pulang kembali ke rumahnya di
pinggir danau. Malam itu sangat kelam dan perjalanan cukup jauh menuruni bukit. Sebelum
berangkat, kakeknya memint a Ayah untuk duduk tenang-tenang, menutup mata dan tidak bicara,
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
supaya cepat sampai. Ayah patuh dan menutup mata.
Lalu Ayah merasa digendong Kakek dan didudukkan di atas sebuah badan besar. Kakek duduk di
belakangnya. Dengan de-cakan lidah dari Kakek, badan besar ini mu lai melompat-lompat cepat
dengan gerakan empuk. Angin bersiut -siut di kupingnya, badan besar ini berlari makin cepat
dengan menggeram-geram halus. Tangan Ayah menyentuh bulu binatang yang terasa kasar tapi
bersih. Dalam tempo pendek mereka sampai di tujuan. Ayah bertanya kepada Kakek, "Kita naik apa
tadi nambo". Kata nambo-nya, "kita naik inyiak".
Menurut legenda, inyiak, atau harimau dianggap adalah peliharaan yang patuh kepada orang-orang
sakti di Minang. "Tanda orang yang punya inyiak adalah, matanya tajam dan tenang, dan mempunyai jenggot yang
tumbuh di tengah leher," kata Ayah. Kata Ayah, kakeknya punya itu semua.
Kami pindah duduk ke kantin. Sambil pelan-pelan menyeruput kopi kental, akhirnya Ayah tidak lagi
berbicara tentang durian.
"Kami sudah daft arkan nama waang untuk ikut ujian persamaan delapan bulan lagi. Karena itu, t
idak ada salahnya tetap bertahan di sini. Selesaikanlah apa yang sudah dimulai,"
22 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
kata Ayah sambil menatapku lekat-lekat.
Tanpa kesadaran penuh, kepalaku mengangguk. Berbagai skenario argumentasi yang aku
persiapkan menguap. Aku tidak tahu apa yang membuat perlawananku runtuh dengan mudah. Apakah karena hatiku
perang dan tidak ada pemenang yang sesungguhnya antara tetap tinggal di PM atau keluar" Toh di
tengah segala galau aku juga menemukan dunia yang menyenangkan di PM" Ataukah kekuatan
diplomasi durian Ayah yang membuatku lemah" Atau pengorbanan beliau melint as Sumatera dan
Jawa, hanya untuk memastikan aku tetap tinggal di PM. Atau karena mendengar akan ada ujian
persamaan dalam 8 bulan" Atau semuanya" Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, mulai detik itu, di
meja kantinitu, di depan Ayah, aku berjanji: aku harus menamatkan PM.
Terngiang-ngiang petuah Kiai Rais dulu: keluarlah dari PM dengan fuunul khatimah, akhir yang
baik. Ayah tersenyum lebar melihat aku mengangguk.
Mempertontonkan geliginya yang dihiasi jejak-jejak hitam hasil minum kopi puluhan tahun. Ayah lalu
menyalamiku, agak kaku, mungkin untuk memastikan aku siap berkomitmen. Kami kemudian
menghabiskan hari untuk kembali bercerita tentang dunia durian y ang selama ini secara aneh
mengikat hubungan kami anak beranak.
Ayah hanya tinggal tiga hari di PM. Misinya telah berhasil membuat aku berjanji tetap di sini. Dalam
tiga bulan ke depan, aku akan menghadapi ujian terberat dalam kehidupan PM: imtiha ihai, ujian
penghabisan. Hanya bebetapa bulan lagi aku mencapai garis f inish. Man shabara zhafira. Siapa
yang sabar akan memetik hasilnya. Aku harus bisa bertahan.
Sekarang, tinggal bagaimana aku bisa tetap semangat dan termotivasi.
Di PM ada beberapa ustad yang ahli memot ivasi dan mampu membuat semangat murid yang
sedang loyo mencelat-celat. Para ahli mot ivasi ini punya "jam praktek", biasanya sebelum makan
malam atau setelah subuh. Durasi acara pembakaran semangat ini mulai dari 15 menit sampai 1
jam. Kami menyebut ustad ini sebagai "ahli setrum".
Hari ini aku membuat janji dengan Ustad Nawawi, seorang tukang setrum papan atas di PM. Dia
adalah mantan wali kelasku tahun lalu. Dia dengan simpatik memulai sesi dengan bertanya kenapa
aku menjadi loyo. Setelah tahu masalahnya, suaranya yang tadi t enang berubah menjadi penuh
semangat. Pelan-pelan dia menuntunku untuk bangkit, mandiri dan menang. Begitu keluar dari ruang Ustad
Nawawi aku merasa dunia tiba-tiba terasa berbinar-binar dan lapang. Aku bagai mendapatkan
suntikan energi dosis tinggi dan bisa melakukan apa saja. Bahkan ubun-ubunku rasanya berasap
saking bersemangatnya. Kamp Konsentrasi 23 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Langit malam ini berisi bulan sabit dan gugusan bintang oli berkelap-kelip. Angin semilir bulan
September mengalir sejuk sampai ke hati. Setelah kedatangan Ayah yang menjanjikan ujian
persamaan SMA, aku menjadi sangat bersemangat menghabiskan bulan-bulan terakhirku di PM.
Tidak terkecuali menyambut malam bersejarah ini.
Kami, semua kelas enam, berkumpul di aula untuk mendengar petuah penting Kiai Rais. Suara
ocehan kami yang seperti sepasukan lebah madu t iba-tiba senyap seperti dihalau angin. Seorang
maju ke podium. "Kalau PM adalah seorang ibu, maka PM sekarang sedang hamil tua. Mari kita rawat kehamilan
bersama sampai melahirkan," buka Kiai Rais dengan air muka berbinar.
"Anak-anakku, kalianlah jabang bayi yang sedang dikandung PM. Kalau lulus, kalian lahir dari rah
im PM untuk berjuang dan membawa kebaikan untuk masyakat. Dan proses persalinan yang
menentukan adalah imtihan nihai - ujian pamungkas. Inilah ujian yang paling berat yang anak-anak
temui di PM, dan bahkan mungkin sepanjang hidup kalian."
Setelah berdiam diri sebentar, Kiai Rais melanjutkan.
"Untuk mendukung persiapan ujian ini, membuat suasana belajar dan saling membantu, kita akan
mengadakan sebuah pusat persiapan ujian. Mulai malam ini, semua murid kelas enam, harus
pindah ke aula ini. Anggap ini adalah ruang belajar, ruang diskusi, ruang kelas, bahkan kamar t idur
kalian. Selama sebulan, setiap hari kalian berkumpul di aula ini sambil dibimbing para guru senior. Selama
sebulan ke depan, tidak akan ada ada kelas..."
Kata-kata Kiai Rais tenggelam oleh riuh tepuk t angan kami semua. Tidak ada kelas selama sebulan
adalah kenikmatan luar biasa.
Kiai Rais kemudian menutup sambutannya dengan memimpin doa bersama unt uk kami semua. "Al
ahumma tfdna ilman warzucjna fahman... Tuhan tambahkan ilmu kami dan anugerahkan
pemahaman kepada kami..."
Koor amin yang panjang dan khusyuk kami lantunkan dengan penuh perasaan dan harapan.
Sejak malam itu, kami bolak-balik membawa berbagai barang mulai buku sampai kasur ke rumah
baru kami yang luas: aula. Gedung ini telah memainkan peran penting dalam kehidupan kami. Mulai
dari menjadi tempat acara pekan perkenalan PM tiga tahun lalu, panggung lomba pidato, saksi
kekalahan Icuk Sugiarto, tempat kami menerima tamu-tamu penting sampai menjadi saksi sejarah
kehebatan aksi panggung kami di Class S ix Show. Kali ini, aula mendapat julukan baru: Kamp
Konsentrasi. Aku mendapat kelompok belajar dengan lima orang teman dari kelas lain. Kami d iberi k avling t
empat di sudut barat aula.
Di kavling inilah kami akan menghabiskan waktu sebulan ke depan. Buku-buku sampai kasur lipat
kami boyong ke kavling yang ditandai dengan meja-meja belajar yang disusun membentuk segi
24 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
empat. Lantai kosong di tengah segi empat itu menjadi ruang t idur kami. Setiap kelompok
didampingi oleh seorang ustad pembimbing yang selalu menyediakan waktu jika kami bertanya
tentang pelajaran apa saja yang belum kami mengerti. Dan ustad ini juga memastikan kami hadir d i
kamp ini dan memberikan mot ivasi kalau diperlukan.
Pembimbing kelompokku ternyata Ustad Nawawi, sang tukang set rum.
Aula ini terus berdengung dengan suara ratusan orang yang belajar untuk menghadapi ujian akhir.
Semarak dan riuh rendah. Sekilas menyerupai kamp pengungsian para ilmuw an.
Ke mana mata aku edarkan, yang tampak adalah meja yang dipenuhi tumpukan buku, gelas kopi
dan baju-baju yang digantung dan anak-anak muda yang sibuk berdiskusi bersama atau khusyuk
membaca buku pelajaran. Unt uk lebih menyemarakkan suasana, kami juga menempelkan spanduk
berbagai kata motivasional d i dinding aula. Misalnya: "man thalabal ula sah iral loyali74
Detak kehidupan di aula ini benar-benar 24 jam. Ada yang belajar siang dan malam tidur, tapi ada
juga yang kebalikannya lebih suka belajar malam dan siang tidur. Yang jelas, kami dipaksa untuk
fokus belajar. Tidak ada kegiatan lain yang dibolehkan buat kami selain belajar dan olahraga
menjelang Maghrib. Kalau capek belajar, kami boleh tidur-tiduran sebentar, asal t etap berada di
dalam aula. Kalau sudah semakin banyak kepala
Siapa yang ingin mendapatkan kemuliaan, akan bekerja sampai jauh malam y ang layu k arena
mengantuk, Ustad Torik memutar musik dengan beat kencang untuk menyegarkan semangat kami.
Di kiri meja belajarku, tiga tumpukan buku menggunung tinggi. Inilah semua buku pelajaran dari
kelas satu yang harus aku baca ulang untuk menghadapi ujian akhir. Sementara di sebelah kanan,
suplai energi untuk belajar keras. Ada kotak kopi, gula, multi vitamin dan madu. Di bawah meja ada
satu kardus mie, kalau perut lapar setelah siang malam belajar.
Selama masa persiapan ujian yang melelahkan secara fisik dan mental, aku memang cukup
terobsesi dengan vitamin dan makanan tambahan. Sudah beberapa hari ini aku mengikuti resep
Said untuk menjaga stamina belajar. Yaitu setiap setelah sarapan pagi melahap kuning telur yang
sudah dicampur madu. Amis telur dinetralisir manisnya madu.
Masih terbawa rasa senang dengan kunjungan Ayah kemarin, aku menghadapi kamp konsentrasi
ini dengan optimis. Tapi setelah beberapa hari berkutat terus dengan buku dan melihat tumpukan
buku yang w ajib aku baca masih tinggi, semangat ini berganti dengan cemas. Aku merasa cukup
cemas tidak punya waktu untuk mempersiapkan ujian terakhir yang terkenal berat ini.
Selama ini pengalaman menunjukkan kalau kemampuan hapalanku sangat lemah. Padahal
beberapa pelajaran penting sangat erat berhubungan dengan hapalan. Untuk AKJuran, Hadist, dan
beberapa mata pelajaran, mau tidak mau hapalan harus bagus. Apakah aku sanggup menghadapi
ujian yang akan mengujikan pelajaran dari kelas satu" Semakin cemas, semakin tidak bisa aku
konsentrasi dengan pelajaran. Bahkan, satu-satu sariawanku tumbuh. Kecil-kecil tapi perih.
Pertanda aku mulai stres.
Sambil makan malam d i dapur umum, aku diskusikan kecemasanku kepada Sahibul Menara.
Kecuali Raja, tampaknya kami semua merasakan hal yang sama. Kami meringis tegang
25 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
membayangkan ujian maraton sebulan penuh.
Atang mencoba menghibur menyemangati dirinya sendiri dan kami semua.
"Seperti kata Kiai Rais, mari kita kerahkan semua kemampuan kita. Setelah itu kita bertawakal."
"Kita perbanyak juga ibadah, karena ilmu yang sedang kita pelajari itu kan nur. Cahaya. Dan nur
hanya bisa ada di tempat yang bersih dan terang," timpal Dulmajid.
"Seandainya Baso masih ada, aku cukup percaya diri menghadapi ujian ini," kataku dengan mulut
miring ke kiri. Saria-wanku yang membesar di sebelah kanan membuat mulut ku tidak bisa lurus.
Kawan-kawan mengangguk-angguk ikut prihatin. Baso selama ini adalah referensi terhebat kami
untuk masalah pelajaran selain Bahasa Inggris. Tidak itu saja, dia pintar untuk menerangkan
pelajaran dengan bahasa sederhana dan menyemangati kita untuk memahami dan menghapalkan.
Said yang dari tadi diam dengan muka serius, tampak hanyut dalam pikirannya sendiri. Aku
menepuk bahunya, "Oiiii, kaifa ya akhi?"
"Aku sedang berpikir-pikir. Semakin lama di PM, aku semakin sadar bahw a inti hidup itu adalah
kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa dan t awakkaL Ingat kan kata Kiai Rais, ikhlaskan semuanya,
sehingga t idak ada kepentingan apa-apa selainibadah. Kalau tidak ada kepentingan, kan
seharusnya kita tidak tegang dan kaget," katanya mulai dengan gaya dewasanya. Umurnya
memang sudah 23 tahun. W alau sok bergaya dewasa, sebetulnya aku selalu berusaha mendengar
Said. Aku menganggap dengan usia 4 tahun lebih tua, dia lebih dewasa dan aku pantas belajar
kepadanya. "Jadi maksud anca...?" tanyaku.
"Iya, rugi kalau stress, mending kita bekerja keras. W ali kelasku pernah memberi motivasi yang
sangat mengena di hati. Katanya, kalau ingin sukses dan berprestasi dalam bidang apa pun, maka
lakukanlah dengan prinsip "saajtahidu fauqa mustawa air akhar". Bahwa aku akan berjuang dengan
usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain. Fahimta. Ngerti, kan?"
"Iya, tapi itu kan biasa saja, semua kita tahu."
"Aku sangat terkesan dengan prinsip ini. Coba renungkan lebih dalam untuk merasakan kekuatan
prinsip sederhana ini. Ingatlah, sang juara dan orang sukses itu kan jauh lebih sedikit daripada yang t idak sukses. Apa
sih yang membedakan sukses dan tidak" Belum t entu faktor pembeda itu otak yang lebih
cemerlang, hapalan yang lebih kuat, badan yang lebih besar, dan orang tua yang lebih kaya."
Dia menarik napas. Menggeser duduknya lebih dekat ke kami. Suaranya lebih bersemangat dari t
adi. 26 Dewi Penjaring Cinta lihat di cerita-silat.mywapblog
Tapi yang membedakan adalah usaha kita. Selama kita berusaha dan bekerja keras di atas orang
kebanyakan, maka otomatis kita akan menjadi juara!"
"Lihatlah, berapa perbedaan antara juara satu lari 100 meter dunia" Cuma 0, 00 sekian detik
dibanding saingannya. Berapa beda jarak juara renang dengan saingannya" Mungkin hanya satu
ruas jari! Unt uk juara hanya butuh sedikit lebih baik dari orang kebanyakan! Sudah lebih terasa
kekuatannya. Kepala kami mengangguk-angguk sambil menatap Said. Dia semakin dewasa saja.
"Maksudku, kalau k ita berusaha sedikiiiiiiiiiiiit saja lebih baik dari orang kebanyakan, maka kita jadi
juara. Ingat, filosofinya: sedikit saja lebih baik dari orang lain. Itu artinya perbedaan se-persekian
detik, satu ruas jari tadi. Kita bisa dan kita mampu jadi juara kalau mau!" kata Said menggebu-gebu.
Dia sekarang bahkan sudah berdiri samb il mengayun-ayun tangannya. Kepalanya yang belum
kembali berambut sampai berkeringat.
"Kalau begitu, kalau kita mau berhasil ujian ini, kita belajar sedikit lebih lama dari kebanyakan
teman-teman di kamp konsentrasi," simpulku.
"Persis. Kita perlu bertekad belajar lebih banyak dari orang kebanyakan.
Kalau umumnya orang belajar pagi, siang dan malam, maka aku akan menambah dengan bangun
lagi dini hari untuk mengurangi ketinggalan dan menutupi kelemahanku dalam hapalan. Di atas
semua itu, ketika semua usaha telah kita sempurnakan, kita berdoa dengan khusyuk kepada Al ah.
Dan hanya setelah usaha dan doa inilah kita bertawakal, menyerahkan semuanya kepada Al ah,"
tandas Said. Pidato Said ini menyalakan semangat kami. Rasanya beban menghadapi ujian menjadi ringan,
pikiran jadi lebih jernih, dan rencana apa yang harus dilakukan semakin jelas. Yang jelas aku akan
memperpanjang waktu belajarku dibanding orang lain. Selainitu aku juga telah sepakat dengan
Atang, untuk melakukan shalat Tahajud setiap jam 2 malam, sebelum kami memulai sesi malam.
Selama ini Atang adalah sosok yang paling bisa dipercaya untuk bisa bangun malam. Sedangkan
kami termasuk kelompok abu naum, atau orang yang suka tidur.
Tantanganku, selain hapalan yang banyak, juga bagaimana mengerti dengan baik buku pelajaran
yang kebanyakan berbahasa Arab dan Inggris.
Kami memang tidak dibolehkan membaca buku terjemahan, karena intinya adalah mempe
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
27Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
lajari sebuah konsep dalam bahasa aslinya. Karena itu, selama di au la, kami wajib didampingi dua
benda. Yang pertama kamus alMunjid karangan Louis Ma'luf dan Bernard Tottel yang terbit di Mesir. Buku
ini setebal bantal yang beratnya seperti tumbukan batu bata. Buku ini adalah ensiklopedia dan
kamus bahasa Arab yang menguraikan arti kosakata bahasa Arab dalam bahasa Arab juga. Untuk
melengkapi keterangan, kamus ini dilengkapi banyak ilustrasi warna-warni. Karena sangat
komprehensif, kamus inilah salah satu referensi ut ama para penerjemah dari bahasa Arab ke
berbagai bahasa dunia. Beberapa kali aku melihat kamus ini benar-benar menjadi bant al
teman-teman yang begadang belajar dan t idak kuat menahan kantuk.
Sedangkan buku yang kedua adalah padanan kamus alMunjid dalam bahasa Inggris. Judulnya
Chcford Advanced Leamers Dict io-nary of Current English karangan AS Hornby.
Inilah kamus yang menjadi obsesi Raja dari kelas satu. Kamus ini juga menjelaskan kosakata dalam
bahasa Inggris pula. T api ketebalannya kalah dengan alMunjid dan tidak punya banyak ilu strasi.
Kalau kedua buku ini ditumpuk, beratnya minta ampun. Tapi kami selalu lupa dengan beratnya,
karena kedua kamus ini juga lambang status telah berada di kelas tinggi yang berhubungan dengan
kosakata tingkat tinggi pula.
Bangga rasanya menenteng kamus-kamus melewati rombongan adik-adik kelas yang memandang
kami dengan wajah terkagum-kagum.
Akhirnya hari pertama imtihan nihai itu datang juga. Warga PM menyebutnya "ujian di atas ujian".
Sariawanku masih terus mekar dan berdenyut-denyut perih. Sangat mengganggu kenikmatan
makan dan konsentrasi belajar. K ami terus tinggal di kamp konsentrasi untuk bisa memusatkan
perhatian menghadapi ujian. Tidak gampang memaksakan diri terus belajar siang dan malam.
Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian kelas enam kami harus berpakaian rapi layaknya
seorang penguji. PM ingin kami melihat ujian ini sebagai sebuah kesempatan untuk mendiskusikan semua ilmu yang
sudah dipelajari dengan para penguji. Bukan semata-mata kami menjawab pertanyaan saja.
Hari ini aku berkemeja putih rapi, yang dimasukkan ke dalam celana katun, dililit ikat pinggang kulit
imitasi. Dan tentu saja mengenakan seutas dasi.
Ujian pertama adalah ujian lisan untuk Arabiyah, yaitu kumpulan berbagai subyek pelajaran bahasa
Arab yang pernah kami dapat dari kelas satu sampai sekarang. Bahan bacaannya
bertumpuk-tumpuk di mejaku, dan sudah berhari-hari aku cic il untuk membacanya. Aku menjalani
1 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
ujian pertama dengan setengah percaya diri dan setengah lagi pening. Yang membuat pening
adalah terlalu banyak yang harus aku pahami dan hapal dalam kurun beberapa hari.
*T afadhal ya akhi," undang Ustad Ahsan ketika aku mengetok mang ujian lisan. Di luar dugaanku,
suasananya sangat cair, se-perti diskusi antara dua orang kawan lama tentang perjalanan keilmuan
mereka. Tidak ada pertanyaan menyudutkan untuk menjawab iya dan t idak. Pertanyaan lebih
menggiring aku untuk memperlihatkan pemahaman besarku terhadap sebuah ilmu. Misalnya, "coba
sebutkan sebuah kalimat lengkap berbahasa Arab dan uraikan fungsi dan tata bahasa kalimat itu
sejelas mungkin". Secara global aku bisa menjawab, tapi begitu masuk ke detail dan contoh konkrit,
aku harus berjuang memaksa mesiningatanku bekerja keras.
Keluar dari ruangan ujian lisan ini, aku berkali-kali membisikkan alhamdulillah. Sebuah tantangan
besar telah aku lewati dengan lumayan meyakinkan.
Sepuluh hari ujian lisan aku se lesaikan juga dengan terengah-engah. Kami punya waktu istirahat
sebelum ujian tulis. Kesimpulanku setelah ujian lisan: aku perlu membaca ulang beberapa buku
khususnya yang berhubungan dengan Arabiyah, supaya lebih siap untuk ujian tulis.
Selang beberapa hari kemudian, kami masuk ke babak akhir dari perjuangan thalabul ilmi kami di
PM: ujian tulis. Aku merasa jauh lebih tenang menyambut ujian tulis, dibanding ujian lisan. W alau
semua pertanyaan nanti berbentuk esai, tapi bagiku, menulis adalah proses yang baik unt uk
merekonstruksi semua materi yang pernah aku baca. Dan ada cukup waktu untuk berpikir tanpa
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus ditatap dengan mata tidak sabar oleh penguji ujian lisan.
Minggu pertama ujian tulis aku lewati dengan cukup baik.
Paruh keduanya mulai terseok-seok karena stamina sudah terkuras dan bosan sudah datang.
Benar adanya istilah "ujian diatas ujian".
Imtihan nihai bukan hanya sekadar membuktikan seberapa banyak ilmu yang telah diserap ot ak,
tapi seberapa kuat seorang siswa melawan tekanan waktu, kebosanan, psikologis dan fisik. Siapa
yang bisa mengatasi semua faktor itu, maka dia adalah pemenang.
Setelah sebulan yang melelahkan, ujian kelulusan ini ditutup dengan ujian Peradaban Islam,
sebuah pelajaran yang sangat aku sukai. Para ustad pengawas mengedarkan kertas soal dalam
posisi t erbalik di meja, tepat di depan kami masing-masing. Begitu lonceng berdentang, terdengar
suara k resekan kertas ketika semua orang membalik kertas soal dengan harap-harap cemas.
Apakah hapalan semalam akan d itanya, apakah soal pernah dibahas dengan teman-teman
sebelumnya" Aku telah merasa belajar banyak untuk ujian ini, bahkan membaca berbagai referensi tambahan di
perpustakaan. Aku membalik kertas soal dengan percaya diri. W alau begitu, tidak urung aku kaget
juga melihat apa yang ada di kertas soal ini.
Di tengah kertas soal yang putih, hanya ada sebuah tanda tanya besar. Dan sebuah pertanyaan:
"Apa kisah sejarah Islam yang paling menginspirasimu" Beri kritik."
2 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
Seperti gaya mengajarnya yang inventif, Ustad Surur juga memberikan soal ujian yang tidak lazim.
Hanya satu soalnya itu saja dan tidak ada petunjuk lain. Kami bebas menulis selama 1 Vi jam untuk
menjawab soal ini. Aku termenung sejenak. Pertanyaan yang menantang dan menggairahkan. Begitu banyak yang
menginspirasi, begitu banyak buku yang telah aku baca beberapa bulan ini, begitu banyak cerita
Ustad Surur yang inspiratif. Tapi yang manakah yang akan aku pilih"
Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita tentang topik yang selalu membuatku terpukau. Yaitu
tentang masa keemasan Islam di ranah Eropa pada abad ke-8 sampai ke-I5.
W aktu itu kota-kota penting Islam di Spanyol seperti Toledo, Valencia, Granada, Cordoba, Malaga
dan Seville mencapai puncak peradaban dan Universitas Cordoba dan Palacio de la Madraza di
Granada menjadi t ujuan orang Eropa untuk belajar ilmu mulai kedokteran sampai ilmu falak.
Aku juga menuliskan sosok Ibnu Rusyd yang sungguh keterlaluan pintarnya. DiAllahir di Spanyol
pada abad ke-I2 dan ikut berperan mempengaruhi filosofi pemikiran Thomas Aquinas dan Albert t
he Great. Dikenal di Eropa dengan nama Averrous, dia dianggap tokoh yang mampu
mempertemukan agama dengan filosofi. Dia sosok ilmuw an super dan multi talenta: selain ahli
hukum, dia juga dikenal menguasai ahli aritmatika dan kedokteran. Untuk bidang kedokte ran, Ibnu
Rusyd menulis 16 jilid buku Kulliyah fi Thibb yang lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan
judul General Rules of Medicine dan dipakai di sekolah-sekolah Eropa. Total buku karangannya 78
buah yang melingkupi bidang ilmu falak, matematika, astronomi, filsafat, logika, fiqh, dan sastra.
Seseorang yang sungguh ajaib! Bahkan salah satu bukunya, Bidayatul Mujtahid yang membahas
perbandingan berbagai mazhab kami pakai sehari-hari d i kelas. Bayangkan! Aku berguru kepada
seorang jenius Muslim dari abad ke-12.
Nah, sekarang untuk bagian kritik, aku meminjam pendapat orang pint ar yang "keterlaluan" lainnya,
Ibnu Khaldun. Lahir di Spanyol abad ke-13, dia adalah ahli hukum, sejarah, sosiologi, sekaligus
filsuf. Dalam buku terkenalnya, Mukaddimah dia menerangkan pasang surut suatu dinasti mengikuti
sebuah hukum universal. Menurut hukum itu, suatu budaya baru selalu dimulai dari semangat solidaritas kelompok yang
sangat kuat. Kelompok ini lalu menjadi penguasa dan membangun budaya dan peradaban yang
kokoh. Tapi begitu kekuasaan terbentuk, mereka menjadi lengah, muncul kecemburuan dan satu
sama lain berebut kekuasaan. Fase berikut nya, mereka menjadi lemah dan gampang ditaklukkan
oleh sebuah kelompok yang baru. Yang punya semangat solidaritas kelompok yang lebih baru lag i,
seperti yang pernah mereka punyai dulu. Dan siklu s ini terjadi berkali-kali. Ambruknya peradaban
Islam di Spanyol juga terjadi karena kesalahan yang sama.
Aku menuliskan di lembar jawaban esaiku, bahwa sungguh mengasyikkan mempelajari kejayaan
Islam zaman dulu mula i dari masa Dinasti Nasrid di Spanyol, Safavid di Iran, Mogul di India,
Ottoman di Anatolia, Syria, Afrika dan Timur Tengah.
Tapi juga menyedihkan karena semua ini berkesudahan dengan kemunduran. Dan lebih
menyedihkan lagi adalah kebiasaan umat Islam bernostalgia dengan kejayaan tua yang mangkrak
itu. 3 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
Sebagai penutup, aku menuliskan bahw a sudah saatnya romantisme ini dilihat dari sisi yang lain.
Bukan untuk dikenang dan dibangga-banggakan, tapi untuk mengambil hikmah dari masa lalu dan
berjuang untuk membangun peradaban yang lebih kokoh lagi.
Berlembar-lembar kertas lancar kuhabiskan.
Semoga Ustad Surur terkesan dengan jawaban dan kritikku ini.
Kalau beberapa ujian sebelumnya aku lewati dengan mengecewakan, ujian yang terakhir ini
memberi optimisme bahw a aku memang telah belajar dengan baik. Begitu bel berdentang
menandakan waktu habis, kami semua bersorak dan berdiri merayakan keberhasilan
menyelesaikan ujian maraton sebulan penuh ini. Ujian Peradaban Islam ini sungguh telah
mengobati hatiku. Lembar jawaban aku serahkan kepada ustad pengawas dengan senyum lega. Rasanya hari ini
adalah hari pembebasan dan kemerdekaan. Rasanya seperti melunasi hutang besar dengan tunai.
Selesai sudah perjalanan panjangku empat tahun di PM, selesai sudah ujian maraton yang
melelahkan jiwa dan raga.
Yang jelas hatiku puas dan tentram karena merasa telah melakukan yang terbaik, berusaha berbuat
di atas rata-rata orang dan telah berdoa dan bertawakkal. Hanya Allah yang Maha Mengatur segala
hal. Kini saatnya aku melihat hari ini dan esok. Ke mana aku setelah PM"
Suasana di bawah menara sore itu meriah. Dari tadi kami tidak henti-henti tersenyum dan tertawa
terpingkal-pingkal mendengar cerita Said dan Atang yang mengaku pernah tertidur di ruang ujian.
Raja, Dul dan aku bercerita bagaimana kami telah mengurangi mandi selama ujian karena tidak
mau kehilangan waktu antri panjang di depan kamar mandi. Tapi tidak seorang pun yang mau
membicarakan soal ujian lagi.
"Kalau begini, aku kangen mendengar Baso ribut membolak-balik buku untuk memastikan jawaban
ujiannya benar," kata Raja tersenyum tanpa suara. Dia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan
secarik kertas putih. Dia mengangsurkan ke tangan kami. "Nih, baru sampai. Surat buat kita"
Sebuah surat bertuliskan Arab gundul yang rapi. Dari Baso.
Aku membacakan buat kawan-kawan.
".....Saudara-saudaraku. Kalau ingatanku tidak salah, kalian tentu sekarang sudah hampir
menyelesaikan "pesta" ujian akhir. Aku doakan kalian lulus semua. Sayang sekali aku tidak bisa ikut
pesta ini. Sejujurnya, aku kangen dengan ujian di PM.
Nenekku masih sakit, tapi kedatanganku untuk merawatnya membuat dia tampak lebih kuat .
Hari-hariku juga cukup sibuk.
Setiap pagi aku berjalan ke desa sebelah untuk mengajar Bahasa Arab dan mendalami hapalan
AlQuran dengan T uanku Haji Gut u Mukhlas Lamaming. Menjelang zuhur aku kembali pulang untuk
4 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
menyuapi nenek. Malam harinya aku habiskan untuk membaca buku untuk persiapan ujian
persamaan dan tentunya menghapal Al-Quran. Alhamdulillah, kemajuan hapalanku luar biasa,
sekarang sudah hampir 20 juz.
Aku yakin, Tuhan akan mempertemukan kita lagi suatu hari kelak....."
Aku melipat surat Baso sambil tersenyum. Kawan-kawanku yang lain mengangguk-angguk kecil
mengulum senyum. Rupanya rahang yang kehilangan gigi geraham sudah mula i sembuh.
Malam itu, kami kembali berkumpul di aula, yang kali ini sudah dirombak dari kavling kelompok
belajar menjadi kursi dan meja yang berjejer-jejer. Muka belajar kami yang tegang kini berganti
gelak dan tawa yang pecah di sana-sini. Kiai Rais dan para guru duduk di panggung, menghadap
kami. Kebiasaan di PM, sebuah ujian dibuka dan ditutup dengan pertemuan yang dipimpin Kiai Rais.
Inilah Malam Syukuran Ujian Akhir.
Dengan wajah bercahaya, Kiai Rais mengangkat kedua tangan seakan menyambut pahlawan dari
medan perang. "Selamat datang para pejuangku. Yang telah sukses berjuang menaklukkan ujian akhir yang
panjang... Anak-anakku semua adalah pemenang..."
Kami bertempik sorak, melepaskan segala sisa-sisa ketegangan ujian.
"Dengan bahagia, selaku pimpinan pondok, saya laporkan bahw a sama sekali t idak ada korban
jiwa dalam ujian kali ini,"
candanya. Kami tertawa terbahak-bahak.
"Dan kalian lebih baik daripada Napoleon Bonaparte, yang tidak pernah mau ikut ujian."
Sekali lagi kami t ertawa.
Pepatah andalan Kiai Rais yang selalu mengundang geerr dan terus muncul di setiap acara
syukuran habis ujian dan menjelang libur adalah, "Dulu menjual mengkudu sekarang menjual
durian, dulu tidak laku sekarang jadi rebutan. Dengan bertambahnya ilmu kalian di sini, kalian akan
semakin dibutuhkan di masyarakat."
Beratus Ribu Jabat Erat Sudah dua minggu berlalu sejak kami merayakan selesainy a ujian. Dua minggu yang paling sant ai
yang pernah kami nikmati di PM. Kami melakukan berbagai macam kegiatan, mulai dari bulis lail,
turnamen olahraga antara kelas 6 dan guru, sampai menghadiri berbagai seminar pembekalan bagi
5 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
calon alumni. Said melampiaskan hasratnya untuk berolahraga lagi. Raja, Atang dan aku sibuk
bolak-balik ke perpustakaan mengumpulkan berbagai informasi universitas mana saja yang
mungkin kami masuki set elah tamat PM. Kami melihat-lihat brosur kuliah ke Timur Tengah,
khususnya ke Al-Azhar dan Madinah University dan juga informasi sekolah di Eropa, Amerika dan
tentunya universitas dalam negeri. Dulmajid mengoleksi fotokopi cara membuat silabus sekolah
untuk digunakan kalau dia merealisasikan niatnya untuk menjadi pendidik dan mungkin kembali ke
kampungnya mengajar. Salah satu kegiatan yang paling menarik di m inggu terakhir kami adalah rihlah iqt ishadiyah.
Dengan bus carteran, selama lima hari, segenap murid kelas enam berkeliling Jawa Timur.
Kami mengunjungi pabrik kerupuk di Trenggalek, budidaya ikan laut di Pacitan, toko bahan
bangunan di Tulung Agung, koperasi simpan pinjam Islami di Jombang, dealer mobil dan pabrik
semen di Gresik, industri batik di Sidoarjo, sampai pusat perawatan kapal besar di Surabaya.
Selama kunjungan ini kami berdialog dengan wiraswastawan dan pemilik b isnis dan bertanya
bagaimana mereka memulai usahanya.
Tujuan perjalanan ini memang untuk membuka mata bahw a dunia wirausaha sangat luas dan bisa
menjadi tujuan kami di masa depan. Perjalanan yang melelahkan, tapi membuat kami puas.
Sepanjang jalan kembali ke PM aku dan Sahibul Menara sibuk berandai-andai, akan punya usaha
apa kami nant i. Petuah Kiai Rais selalu mengiang-ngiang, "Jangan puas jadi pegawai, tapi jadilah
orang yang punya pegawai".
"Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa dilihat di aula," seru Said sebagai ketua angkatan
kami berteriak-teriak setelah subuh. W alau masih pegal-pegal dengan perjalanan keliling Jawa
Timur kemarin, kami tidak sabar untuk datang berbondong-bondong ke aula. W alau sudah
bertawakal sepenuh hati, tetap saja hatiku berdebur-debur ketika melihat pengumuman yang
ditempel di aula. Mataku nanar mengikut i jari yang mencoba mencari-cari namaku di papan pengumuman. Dan itu
dia. Namaku, Alif Fikri, dan di sebelahnya tertulis huruf nun, jim dan ha. Artinya LULUS.
Alhamdulillah. Seperti banyak teman lainnya, aku segera sujud syukur di aula, berterima kasih
kepada Allah untuk kelulusan ini. Ternyata para Sahibul Menara lulus semua. Kami
berpeluk-pelukkan penuh syukur. Tidak sia-sia aku meregang semua otot kerja kerasku sampai
daya lent ing tertinggi. Resep yang selalu dikhot bahkan Said berhasil.
Ajtahidu fauqa mustaml akhar. Berjuang di atas rata-rata usaha orang lain. Menurut pengumuman
ini, hanya kurang dari sepuluh orang yang tidak lulus dan mereka dapat kesempatan untuk
mengulang setahun lagi. Setelah makan pagi, kelas enam dikumpulkan di depan rumah Kiai Rais. Dalam ke
lompok-kelompok kecil kami dipanggil untuk menerima transkrip nilai dan diberi nasehat langsung
oleh Kiai Rais dan para guru senior.
"Dengan ini kami sempurnakan amanah orangtua kalian untuk mendidik kalian dengan
sebaik-baiknya. Berkaryalah di masyarakat dengan sebaik-baiknya. Ingat, di kening kalian sekarang
ada stempel PM. Junjunglah stempel ini. Jadilah rahmat bagi alam semesta. Carilah jalan ilmu dan
jalan amal ke setiap sudut dunia. Ingadah nasihat Imam Syaf ii: Orang yang berilmu dan beradab
tidak akan diam di kampung halaman.Tinggalkan negerimu dan merant aulah ke negeri orang.
Selamat jalan anak-anakku," ucap Kiai Rais dalam nasehat terakhirnya. Sepasang matanya
6 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
berpendar menatap kami. Juga berkaca-kaca. Suasana begitu hening dan syahdu.
Malamnya diadakan acara yudisium dan khutbatul wada.
Khutbah perpisahan. Setelah beberapa sambutan pendek dan doa syukur, kami semua anak kelas
enam yang berjumlah ratusan dimint a berdiri memanjang seperti ular d i aula. Aku berdiri berjejer
bersama Sahibul Menara. Saling meletakkan tangan di bahu teman, di kiri kanan.
Lalu Kiai Rais menjangkau mikrofon.
Anak-anakku, pada hari ini kami sempurnakan memberikan ilmu kepada kalian semua.
Pergunakanlah dengan baik dan ia-wadhuk. Kami bangga kepada kalian dan bahagia telah menjadi
guru-guru kalian. Ingat selalu, selama kalian ikhlas, maka selamanya Allah akan menjadi penolong
kita. Innallah Maa'na. Tuhan bersama kita. Selamat jalan anak-anak, selamat berjuang."
Kiai Rais berpesan dengan nada suara yang bergetar-getar sampai ke ulu hati kami. Suasana
hening pecah oleh isakan-isakan kecil di sana-sini. Udara disesaki keharuan. Beberapa hidung
temanku tampak merah dan basah, termasuk Atang yang berdiri persis di sebelahku.
Lalu dipimpin Kiai Rais dan para guru menjabat t angan dan memeluk kami satu persatu sambil
mengucap selamat jalan dan berjuang. Tiba giliranku, Kiai Rais memberikan pelukan erat,
seakan-akan akulah anak kandung satu-satunya dan akan berlaga d i medan perang. "Anakku,
selamat berjuang. Hidup sekali, hiduplah yang berarti," bisiknya ke kupingku. Aku hanya bisa mengucapkan, "Mohon
restu Pak Kiai, terima kasih atas semua keikhlasan antum". Aku menggigit bibirku yang mulai
bergetar-getar, tersentuh oleh pelukan guru yang sangat aku hormati ini.
Inilah malam ketika semua dendam kesumat kami bakar habis. Para ustad dari Kantor Pengasuhan
yang selama ini menjadi penegak hukum yang sangar, tidak ketinggalan memberi selamat.
Wajah-wajah keras mereka tiba-tiba berubah lembut. Bahkan wajah horor Ustad Torik berubah
sembab. Mungkin sedih ditinggalkan para anak asuhannya yang nakal-nakal. "Alif, mohon maaf
lahir batin, ma'an najah.
Semoga sukses," kata Ustad Torik sambil mendekapku.
Selanjurnya, giliran ribuan adik kelas kami memberikan selamat dan jabat tangan. "Selamat
berjuang Kak, doakan kami menyusul" adalah doa standar adik kelas kepada kami.
Inilah malam terjadinya jabat t angan terbanyak dalam sejarah, lebih dari 2500 orang akan
menyalami 400 tangan, artinya terjadi lebih ratusan ribu kali jabat tangan malam itu. Tidak heran
kalau telapak tanganku terasa panas dingin dan pegal-pegal.
Sebagai pamungkas semuanya, terakhir adalah giliran kami sesama kelas enam saling berpelukan
dan berjabat tangan. Suasana menjadi heboh karena 400 orang saling berangkulan dan memberi selamat. Kami semua
lebur dalam perpisahan yang penuh emosi.
Kami para Sahibul Menara berangkulan bersama. Hidup penuh suka duka selama 4 t ahun di PM
7 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
telah merekatkan kami semua dalam sebuah pengalaman dan persaudaraan yang tak akan lekang
oleh waktu. Aku tidak punya banyak kata-kata untuk mengucapkan selamat jalan kepada kaw
an-kawanku ini. Kami hanya saling berangkulan erat beberapa lama. Said yang paling besar mengembangkan t
angannya dan memagut kami semua lebih kencang. Badan Atang terlonjak-lonjak menahan isak
tangisnya. Tidak lama kemudian, lensa kacamataku berembun dan hidungku seperti selesma.
Esok paginya, PM diselimut i kabut . Hembusan angin pagi menusuk kulit. Tapi aku dan Sahibul
Menara t elah siap dengan koper-koper kami. Beberapa bus dengan tujuan masing-masing sudah
menunggu di depan aula. Aku dan Raja naik bus jurusan Sumatera, Atang ke Bandung, sementara
Dulmajid ikut mobil keluarga Said ke Surabaya. Di tengah kabut tipis, kami sekali lagi bersalaman
dan berangkulan dan berjanji akan saling berkirim surat. Entah kapan aku akan melihat
kawan-kawan terbaikku ini.
Pikiranku tidak menentu. Sedih berpisah dengan kawan, guru dan sekolahku. Tapi aku senang dan
bangga menjadi alumni pondok ini. Sebuah rumah yang sesak dengan semangat pendidikan dan
keikhlasan yang dibagikan para kiai dan guru kami. Dalam hati, aku berkali-kali mengucapkan
berterima kasih kepada Amak yang telah mengirim dan memaksaku ke PM. Aku akan sampaikan
terima kasih ini langsung kepada Amak nanti. Aku yakin Amak akan tersenyum bahagia.
Hari ini tidak ada lagi penyesalan yang tersisa di hatiku.
Empat tahun terakhir adalah pengalaman terbaik yang bisa didapat seorang anak kampung
sepertiku. Saatnya kini aku melangkah maju, mengatasi kebingungan masa depan. Akan ke mana
aku melangkah" Bus carteran jurusan Bukittinggi menderum meninggalkan PM. Hampir semua kepala kami
menengok ke belakang. Menara masjid tetap menjulang gagah mengingatkan segala kenangan indah bersama Sahibul
Menara. Kabut -kabut tipis masih merambat di tanah, membuat seolah-olah bangunan-bangunan
sekolahku melayang di udara. Inilah pemandangan yang pertama aku lihat ketika sampai empat
tahun yang lalu di PM. Dan ini pula pemandangan yang kulihat di hari terakhirku di PM. Kampung di
atas awan. Trafalgar Sguare London, Desember 2003 Bunyi gemeretak terdengar set iap sepatuku melindas onggokan salju tipis yang menutupi
permukaan trotoar. T idak lama kemu-dian aku sampai di Trafalgar Square, sebuah lapangan beton
yang amat luas. Dua air mancur besar memancarkan air tinggi ke udara dan mengirim tempias
8 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
dinginnya ke wajahku. Square ini dikelilingi museum berpilar tinggi, gedung opera, dan
kantor-kantor berdinding kelabu, tepat di tengah kesibukan London. Menurut buku tourist guide
Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang aku baca, National Gallery yang tepat berhadapan dengan square ini mempunyai koleksi kelas
dunia seperti T he Virgin of t he Rocks karya Leonardo Da Vinci, Sunflowers karya Van Gogh dan
The W ater-Lily Pond karya Monet. Hebatnya, semua ini bisa d ilihat dengan gratis.
Gigiku gemeletuk. London yang berangin terasa lebih menggigil daripada W ashington DC. Tapi
langitnya biru benderang dan buminya bermandikan warna matahari sore yang kekuning-kuningan.
Uap panas berbentuk asap-asap putih menyelinap keluar dari lubang-lubang drainase di trotoar,
jalan besar dan di belakang gedung-gedung. Deruman dan decitan dari mobil, bus merah bertingkat
dua, dan taksi hitam khas London bercampur baur dengan suara warga kota dan turis yang lalu
lalang. Hampir "emuanya membalut diri mereka dengan jaket, sweater dan syal tejjal. Termometer
digital raksasa yang menempel di dinding sebuah gedung berpendar menunjukkan minus 3 derajat
celcius. Napasku bagai asap putih.
Yang paling mencolok dari square ini adalah sebuah menara granit yang menjulang lebih 50 meter
ke langit. Pondasinya dijaga empat ekor singa tembaga sebesar perahu. Di pucuk menara berdiri
patung pahlawan perang Inggris Admiral Horatio Nelson yang bertangan satu dan bermata satu.
Sosok ini memakai jubah milite r angkatan laut yang bertabur bint ang dan tanda pangkat.
Celananya mengerucut ketat di lutut.
Kepalanya disongkok oleh t opi yang mirip kipas tangan anak dam* di pelaminan. Masih menurut
buku tourist guide, menara ini didirikan untuk mengenang kematiannya ketika berperang melawan
Napoleon Bonaparte pada tahun 1805.
Kaki menara dengan empat singa ini adalah tujuanku, tempat kami berjanji bertemu.
Seorang anak kecil berambut jagung dengan jaket merah hati ayam tiba-tiba berlari di depanku.
Arahnya adalah puluhan merpati yang sedang merubung remah-remah roti yang ditebar seorang
pengemis. Dalam sekejap, kawanan merpati ini buncah, membumbung ke udara, menutupi
pemandanganku. W alaupun dihalangi kepakan kawanan merpati ini, mataku tetap bisa
mengenalinya. Gaya jalannya tidak berubah, energik dan me-ledak-ledak, hanya lebih gendut. Aku
lambaikan tangan kepada Raja yang baru saja turun dari bus double decker merah menyala dan
menuju ke landmark termashyur di London ini. Dia tergesa-gesa melepaskan sarung tangan
kulitnya. "Kaifa haluk, ya akhi"
katanya sambil menggenggam tanganku keras. Kami lalu berpelukan erat melepas kangen 11
tahun perpisahan. Selang beberapa menit kemudian, sebuah kepala yang sangat aku kenal seakan tumbuh dari
tanah, ketika dia keluar dari pintu exit stasiun kereta bawah t anah, atau tube Charing Cross.
Gayanya masih dengan kacamata melorot. Hanya kali ini lensanya lebih tebal dan framenya lebih
tipis dan trendi. Dan dia k ini memelihara jenggot yang meranggas dan tumbuh jarang-jarang. Tidak salah lagi, dia
Atang. Dia memeluk kami dan menepuk-nepuk punggungku yang dilapisi jaket tebal.
Senyum lebar tidak lepas-lepas dari wajahnya yang kedinginan.
9 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Pertemuan bersejarah, di tempat yang bersejarah, di jantung Kota London! Alhamdulillah," katanya.
Aku menunjuk ke langit sambil bergumam.
"Ternyata ini dia Nelson's column yang disebut-sebut di buku reading kita waktu kelas t iga dulu. Le
bih besar dan lebih tinggi dari yang aku bayangkan."
Atang dan Raja ikut menengadah. Menatap Admiral Nelson yang tegak kukuh dengan pedang di
tangan kiri dan gundukan tambang kapal di belakangannya. Bayangannya jatuh di badan kami
Beberapa gumpal awan tersisa di langit yang semakin sore.
Sebuah menara dan sebuah senja! Suasana dan pemandangan yang terasa sangat lekat di hatiku.
Belasan tahun lalu, di samp ing menara masjid PM, kami kerap menengadah ke langit menjelang
sore, berebut menceritakan impian -impian gila kami yang set inggi langit: Arab Saudi, Mesir, Eropa,
Amerika dan Indonesia. Aku tergetar mengingat segala kebetulan-kebetulan seperti ini.
Malam itu kami menginap di apartemen Raja d i dekat St adion Wembley, stadion kebanggaan tim
sepakbola nasional Inggris. Raja tinggal berdua dengan Fatia, istrinya yang lulusan pondok khusus
putri di Mantingan. Sudah sebelas tahun kami tidak bertemu sambil ngopi.
Tidak ada seember kopi, makrunah, dan kacang sukro.
Penggantinya, Fatia menyuguhi kami kopi panas ditemani kofta, kebab dan kacang pistachio.
Malam kami habiskan bercerita tiada henti tentang apa yang kami jalani set elah tamat di PM.
Atang, kawanku yang dulu selalu rajin mencatat alamat orang, mempunyai informasi lengkap
tentang kabar Sahibul Menara yang lain. Yang jelas, kami tidak berenam lagi. Kami semua sudah
menikah. Atang mendapat kabar kalau kini Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri di Pasar
Ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid bekerja sama mendirikan
sebuah pondok dengan semangat PM di Surabaya.
Atang bahkan punya kabar tentang Baso, si otak cemerlang yang mengundurkan diri dari PM
karena ingin merawat neneknya dan menghapal Al-Quran untuk almarhum orang tuanya. Al ah
memperjalankan Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah. Dengan modal hapal luar kepala segenap
isi AlQuran, dia mendapat beasiswa penuh dari pemerint ah Arab Saudi.
Sedangkan Atang sendiri telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi
mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadist di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja berkisah
kalau dia telah satu tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan kuliah hukum Islam dengan
gelar "License" di Madinah. Dia akan berada di London selama dua tahun memenuhi undangan
komunitas Muslim Indonesia d i kota ini untuk menjadi pembina agama. Raja, dengan dibantu Fatia,
antara lain bertanggung jawab menjalankan kegiatan masjid, madrasah akhir pekan dan pengajian
rutin. Dia juga mengambil kelas malam d i London Metropolitan University untuk bidang linguistik.
10 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
"Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Bisa mengabdi membantu umat di sini, sekaligus kuliah di
tempat yang dulu aku impikan," katanya.
Alangkah indah. Senda gurau dan doa kami di bawah menara dulu menjadi kenyataan. Aku tidak
putus-putus membatin, "Terima kasih Allah, Sang Pengabul Harapan dan Sang Maha Pendengar
Doa". Bercerita dengan kawan-kawan lama membuat kami tidak ingat waktu.
Tiba-tiba, laptop kepunyaan Raja mengumandangkan azan Subuh. Kami bertiga segera mengambil
wudhu. Aku ragu-ragu, tapi Atang telah memulai apa yang juga aku pikirkan. Dia mulai
mengalunkan syair itu..."Ilahi lastu lil firdausi ah la, w ala saqwa ala nari jahimi..." Syair Abu Nawas
yang mendayu-dayu ini menyiram hatiku.
Dengan penuh haru kami bertiga dan disusul Fatia yang telah bangun, bersama-sama melantunkan
syair yang menegakkan bulu roma itu, seperti yang biasa kami lakukan d i PM sebelum shalat
berjamaah. Permohonan tobat atas dosa kami yang sebanyak pasir di laut di hadapan satu-satunya
Sang Pengampun. Syair ini juga terasa menarik-narik jiwaku untuk melihat kelebatan-kelebatan kenangan tentang
kampungku yang permai di Maninjau, PM yang berjasa, orangtuaku tercinta, dan Indonesia. Setelah
selesai shalat, aku bergumam tak tentu kepada siapa.
"jadi ingin pulang ya."
Raja dan Atang langsung mengangguk-angguk mengiyakan.
"Negaraku surgaku, bila tiba waktunya, kita wajib pulang mengamalkan ilmu, memajukan bangsa
kita," balas Atang. Aku yakin kami semua sepakat dengan Atang.
Di luar apartemen, gelap dan angin dingin terus menggigit.
Salju tipis kembali luruh dari langit. Hinggap di rumput dan daun.
Dulu kami melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Aku melihat
awan yang seperti benua Amerika, Raja bersikeras awan yang sama berbentuk Eropa, sementara
Atang tidak yakin dengan kami berdua, dan sangat percaya bahwa awan itu berbentuk benua
Afrika. Baso malah melihat semua ini dalam konteks Asia, sedangkan Said dan Dulmajid sangat
nasionalis, awan itu berbentuk peta negara kesatuan Indonesia. Dulu kami tidak takut bermimpi,
walau sejujurnya juga tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami
mengerahkan segala ikht iar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke
pelukan masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata. Kami berenam telah berada di lima
negara yang berbeda. Di lima menara impian kami. Jangan pernah remehkan impian, walau set
11 Raja Naga Tujuh Bintang lengkap di cerita-silat.mywapblog
inggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.....
Alhamdulillah Bintaro, 27 April 2009, 7.30 pagi.
TAMAT ReEdited by imanboer (http://cerita-silat.mywapblog.com)
12 Penguasa Bukit Karang Bolong 1 Animorphs - 49 The Diversion Neraka Lembah Tengkorak 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama