Ceritasilat Novel Online

Protes 1

Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo Bagian 1


Protes! Protes! Protes! Oleh: Ekky Al Malaky dan Bambang Joko Susilo Djvu: syauqy_arr http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
PT. Lingkar Pena Kreativa Jl. Keadilan Raya No. 13 Blok XVI
Depok 16418 Email: lingkarpena@lndo.net.id Telp/Fax: (021) 7712100
Editor: Birulaut Ilustrasi isi dan sampul: Telia Desain sampul: M. Lutfi
dan Intraja Layout: Tim Kreatif Pracetak MMU
Diterbitkan pertama kali oleh PT. Lingkar Pena Kreativa Depok, Agustus
2004 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Al Malaky, Ekky Protes! protes! protes! / Ekky Al Malaky dan Bambang Joko Susilo;
editor, Bahtiar HS. - Depok : PT. Lingkar Pena Kreativa, 2004. 114 him. ;
18 cm. ISBN 979-3651-12-1
I. Judul. II. Joko Susilo, Bambang
III. Birulaut Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jl. Cinambo
(Cisaranten Wetan) No. 146
Ujung Berung Bandung 40294 Telp. (022) 7815500, Faks. (022)
7802288 email: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Daftar isi Sang Demonstran Busuk Selingkuh Kapak Merah "Anjing!" Menyambut Mati Malam-Malam Sepi Begini Masjid Pinangan Lebaran Wanita yang Terperangkap Malam
SANG DEMONSTRAN -Ekky Al Malaky Rumah itu masih terlihat besar, tapi tampak sederhana. Attar, si sulung
yang berbadan tambun datang menjenguk ayah dan ibunya. Maklum,
setelah punya rumah baru yang diperolehnya dengan cara mencicil, dan
disibukkan pekerjaannya sebagai redaktur di Harian Layar Perak, Attar
jarang berkunjung ke rumah tempat dia dibesarkan itu.
Tapi sore itu tampak aneh. Baru saja Attar menginjakkan kakinya di
beranda depan, terlihat sosok yang unik. Sosok itu mirip dengan
pahlawan film anak-anak, Power Ranger atau Ultraman. "Satu, dua, tiga,
ciat! Satu, dua, tiga, ciat!" Terdengar teriakan penuh semangat, keluar
dari bibir sosok aneh itu. Bagaimana tidak aneh, tampak seorang
perempuan, sepertinya memakai jilbab, tetapi ada helm besar di
kepalanya. Helm itu berwarna hitam bertuliskan KAMMI, lengkap
dengan kaca di depannya. Bajunya juga unik, seperti seragam silat.
Tangan dan kakinya bergerak-gerak, layaknya sedang memperagakan
gerakan-gerakan silat aliran Partai Pengemis dari Utara. Lengkap
dengan 'Tongkat Penggebuk Anjing', yang pernah dikuasai Oey Young,
tokoh dalam S/77 Tiaw Eng Hiong alias Si Pendekar Pemanah Rajawali.
Tongkat itu dipakai, tampaknya untuk menghadang pukulan lawan, atau
memukul bagian bawah sang musuh. Dengan penuh semangat, sosok itu
memperagakan gerakan bela diri dan menyerang secara bergantian.
Attar menatap sosok aneh itu dengan pandangan takjub. Seolah tahu
kalau dirinya ada yang mengamati, sosok ajaib tadi langsung
menghentikan latihan silatnya.
Attar tiba-tiba sadar dan tergelak sendiri.
"Walah... walah... dikirain ada pendekar dari Pulau Bunga Persik.
Ternyata adikku tersayang," ujarnya, sambil menahan tawa.
Ratna, sang adik, segera menghentikan latihannya dan mencibir,
"Huuu...dasar Bocah Tua Nakal."
Mereka tertawa. Sudah lama keduanya tidak bercengkerama karena
sibuk oleh kegiatan masing-masing.
"Lagi latihan apaan, sih" Teater ya?" Attar pura-pura tidak tahu.
"Ah, Abang. Ya, latihan buat demo besok dong. Gimana, sih! Apa gak
lihat penampilanku yang udah heboh gini ?" jelas Ratna, sambil memainmainkan tongkatnya. "Oooh...," mata Attar bersinar nakal.
"Udah, jangan ngeledek aku terus. Masuk dulu deh, ada Mama tuh."
"Ntar dulu, ah. Mau ngadem dulu di luar."
"Ya, udah." Ratna membuka helmnya. Gadis itu lalu menaruh helm dan tongkatnya di
garasi, tak jauh dari tempat sang Abang berdiri.
"Emangnya, kali ini apaan yang didemo?"
"Sekarang sih soal politikus busuk."
"Oh...kamu jadi apa?"
"Maksudnya?" "Jadi korlap, mau orasi atau apa?" "Apaan" Kolak?"
"Ya ampun. Ini dia nih adikku. Korlap, koordinator lapangan. Belum
pernah demo, ya?" "Iyalah. Aku kan baru semester satu, jadi belum pernah demo."
"Belum pernah lihat demo" Kan di TV banyak."
"Maklumlah, hehe...," Ratna cengar-cengir tidak karuan, "demonya
besok, di bundaran HI. Ngumpul dari kampus masing-masing"
Adik Attar satu-satunya itu lantas memberikan selembar kertas, yang
tampaknya berisi daftar barang-barang yang hendak dibeli.
"Apa lagi nih" Daftar belanja?"
"Barang-barang yang mau dibeli buat keperluan besok."
Sekali lagi, muka takjub hadir di wajah Attar.
"Apaan nih" makanan, minuman" Mau piknik, Mpok?" celetuk Attar.
"Wah, belum tau dia. Ini namanya pemikiran jangka panjang. Demonya
kan sampai sore, malah bisa sampai magrib. Kalau aku lapar, gimana?"
Ratna membela diri. "Perut terus yang dipikirkan, hehehe. Aku yang gempal aja gak gitu-gitu
amat" "Gempal" Gemuk, kali?" Ratna tertawa kecil.
"Terus, ini kaca mata hitam" Jas hujan...," Attar meneruskan
pertanyaannya. "Ini namanya visioner. Kacamata biar tidak silau, Man. Jas hujan, sudah
jelas kan fungsinya?"
"Payung?" "Fungsinya, ya sama aja...menghindari terik matahari. Gitu, lho."
"Nah, kalau krim pelembab?"
"Menghindari sinar ultra violet, dong. Menjaga tubuh buat calon suami
nanti." "Busyet, calonnya aja belum ada. Nikahnya juga belum tau kapan."
"Ah, dasar lelaki. Tidak biasa merawat tubuh ya" Payah, ah."
Attar tertawa begitu mendengar penjelasan adiknya.
"Baguslah. Berjuanglah demi nusa dan bangsa! Berjihadlah demi agama
dan keadilan!" "Gimana. Ada yang kurang, nggak?" tutur Ratna, minta masukan.
"Ehm... pasta gigi dan jilbab cadangan. Just in case jilbabmu basah atau
harus diganti karena kotor."
"Pasta gigi" Memangnya gigiku kurang putih" Kan aku gak pake acara
nginep." "Walah, Dik, Dik...kamu ini. Kamu pernah gak merasakan enaknya gas air
mata waktu nyelonong ke mata?"
"Perih, ya Bang?"
"Nggak sih. Gurih," jelas Attar.
Air muka Ratna sedikit berubah kaget.
"Ya perih lah. Nah, ini odol bisa buat menghilangkan perih," jelas Attar
lagi. "Ooh, gitu caranya?"
"Taruh di sekitar mata. Kayak Indian gitu."
"Yaa... jadi jelek dong mukaku."
"Busyet dah. Masih aja mikirin penampilan. Emangnya mau ngeceng sama
siapa" Oh, ya. Air minum bisa juga menetralisir lho."
"Oh gitu. Thanks ya. Bang!"
"Sama-sama, Dik. That's what big brother is for."
Keesokan siangnya. Attar kembali ke rumah besar yang sederhana itu.
Rupanya ada barang yang tertinggal di sana. Seperti kemarin, Ratna
beraktivitas di beranda depan rumah. Tapi kali ini terlihat normal.
"Ada yang kelupaan. Bang?" tanya Ratna.
"Iya nih. Disket lupa aku bawa. Di laptopmu, kemarin itu, lho."
"Oh. Pantesan, aku bingung. Ini disket siapa" Isinya tulisan tentang film
melulu, hehe...." "Iya nih. Beberapa tulisanku buat majalah edisi besok ada di sana. Eh,
ngomong-ngomong ngapain di sini. Bukannya katanya sampai sore?"
"Gak jadi." "Lho kok batal" Kan sudah latihan serius?"
"Tadi pagi, pas aku mau pergi demo, eh ada mata kuliah tambahan
siangnya. Ternyata itu ujian mendadak. Ya udah, batal deh."
"Sia-sia dong masukan-masukan berharga dari abangmu ini?"
"Masukan" Gak juga, siapa tau berguna buat demo berikutnya."
"Masih belum kapok ya?" "Iya dong! Kan krim pelembabnya belum
dipakai" Si Abang hanya bengong saja mendengar antusiasme sang adik.
Dua pekan kemudian. Attar kembali hadir ke rumah yang banyak
menyimpan masa lalunya itu. Sudah dua pekan dia tidak menginjakkan
kakinya di sana. Maklum, selain pekerjaannya sebagai wartawan yang
supersibuk, sekarang dia juga nyambi bikin buku biografi seorang tokoh
politik terkenal. Lumayanlah, dari segi keuangan dan jaringan kerja.
Baru saja kaki Attar melangkah, dia dihentikan oleh sosok yang kali ini
tidak begitu aneh, tetapi tetap saja heboh. Adiknya berdiri di sana,
menghadap cermin, sementara tangan kirinya sibuk menunjuk-nunjuk
kepada ruang kosong. Mulutnya terlihat komat-kamit, dan tangan
kanannya mengepal-ngepalkan tinju. Di kepalanya ada ikatan kain hitam
bertuliskan 'Anti Jilbab" No Way!'.
Hmm, tampaknya sang adik sedang latihan demonstrasi lagi.
"Ehm... ehm...," Attar pura-pura batuk, bikin kaget Ratna.
"Eh, Abang. Lagi sakit. Bang?" tanya Ratna, polos.
"Iya, nih. Sakit kantong kering," jawab Attar, setengah tertawa.
Ratna hanya tersenyum. Rupanya dia sedang serius berkonsentrasi.
"Mau demo lagi, nih?"
"Iya dong! Berjihad!" seru Ratna, mantap.
"Wah, bagus, dong. Siapa dulu abangnya?"
"Kok malah abangnya?"
Attar tertawa geli. "Ngomong-ngomong tentang apa?"
Maka, tak perlu menunggu waktu lama, mulut Ratna langsung berceloteh
panjang lebar soal apa yang bakal dia lakukan kali ini. Yaitu, dia akan
berdemo soal pelarangan jilbab di Perancis. Yang lebih asyik lagi, dia
terpilih sebagai orator. Hebat, kan"
"Orator?" "Iya, Bang! Kan, peserta demonya perempuan semua. Aku mewakili
kampusku ngasih orasi. Aku deg-degan, nih. Soalnya mau pidato di depan
ribuan demonstran." "Wah, seru tuh. Bisa masuk televisi, dong?"
"Hus! Aku kan ikhlas lillaahi ta'alaa."
"Lho, ikhlas kok bilang-bilang."
"Hehehe... bisa aja si Abang," Ratna tersipu-sipu, "eh, Bang, ada
masukan gak?" "Masukan apa, nih?"
"Nih, liat naskah orasiku!"
Attar sekilas sok sibuk membaca naskah yang disodorkan adiknya.
Beberapa detik kemudian dia kembali bicara.
"Kalau mau orasi, mending jangan pakai naskah, dihapal saja!"
"Dihapal?" "Ya dong," tukas Attar, sok serius, "terus kamu juga harus interaksi
sama penonton. Tau gak interaksi?"
"Tau dong. Aku kan udah mahasiswi, Bang. Please, dong!"
"Oh iya, ya," ujar Attar sambil menggaruk-garukkan kepalanya yang
tidak gatal. "Interaksi itu, misalnya, gimana tuh. Bang"
"Iya, kayak Aa Gym. Setiap kamu selesai bicara, kamu bilang 'bukan,
begitu", atau 'betul, tidak"'. Semacam itulah!"
"Oh, gitu...." "Terus jangan banyak ayat-ayat Al-Qur'an atau haditsnya."
"Lho, kok" Ini kan anak-anak musala yang bikin?"
"Iya, ngerti. Tapi kamu jangan samain dengan yang lain. Orator yang lain
pasti dong keluarin tuh ayat-ayat. Masak kamu mau sama dengan
mereka" Lagian, kamu kan mau ngomong sama orang Prancis" Pakai isu
HAM, Deklarasi PBB. Eh, iya, jangan lupa Pembukaan dan Pasal 29 UUD
'45. Penting tuh!" "UUD '45?" "Iya. Mengenai kebebasan menjalankan agama, sesuai keyakinan masingmasing. Lumayan buat narik simpati pemerintah, kan?"
"Bantuin, dong. Ajarin caranya orasi dan interaksi tadi. Ya?"
"Wah, aku gak bisa, lama-lama, nih. Dua jam lagi harus ke kantor."
"Ya, Abang, ini kan penting juga. Bang. Ya" Please!"
Akhirnya, hati Attar luluh juga. Mantan aktivis mahasiswa saat
reformasi 1998 itu pun, rela mengajarkan cara orasi yang 'baik dan
benar'. Mulai dari cara pengucapan sampai aksi di atas panggung.
Penjelasan itu kadang-kadang masih berlanjut, hingga saat makan
malam, sewaktu Attar membicarakan rencana pernikahannya dengan
kedua orang tuanya. Tiga hari kemudian. Attar, untuk kesekian kalinya datang ke rumah besar yang sederhana
itu. Kali ini hari Sabtu, hari libur bagi seisi penghuni. Tujuannya ke
rumah tempat masa lalunya bersemayam itu, tentu saja untuk melihat
sejauh mana 'ajaran' yang dia turunkan begitu efektif saat
demonstrasi. Sejauh mana pengorbanannya, dengan mulut yang berbusabusa dan bolos rapat redaksi, membantu sang adik. Maka, setelah
menyalami Ayah dan Ibu, segera Attar menghampiri Ratna yang sedang
demonstrasi masak di dapur.
"Halo adik favoritku, apa kabar?"
"Baik, Bang. Tumben pake nyamperin ke dapur segala."
"Aku pengen cari tahu tentang ilmu-ilmu demo yang aku ajarin. Gimana?"
"Hmm... gimana, ya?"
"Gimana komentar teman-temanmu" Pada nanya gak siapa yang
ngajarin." "Hmm... gimana, ya?" "Kok aku gak liat kamu orasi di televisi?"
"Hmm... gimana, ya?"
"Lho, kok gimana-gimana terus jawabannya?"
"Hmm... gimana, ya" Aku aku gak jadi orasi Bang," Ratna malu-malu
mengeluarkan pernyataan itu.
"Apa" Emangnya kenapa?"
"Aku gak pede. Bang. Yang datang ribuan orang. Akhirnya, temanku yang
ketua keputrian yang orasi. Habisnya, Abang gak ngajarin ilmu pede,
jadinya aku," Ratna nyerocos menjelaskan keadaannya dengan semangat
dan seolah tak mau disalahkan.
Attar hanya bengong. Busyet, dah!
BUSUK -Ekky AL Malaky Ini hikayat tentang politikus busuk. Ini
hikayat tentang poligami. Syahdan, ada dua orang sahabat di Wisma
Awan Putih. Mereka sudah sekitar lima belas tahun tidak bertemu. Di


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah langit biru mereka bercengkerama. Yang satu seorang pria
bernama Donny, yang satu seorang wanita bernama Samira. Keduanya
tengah terlibat dalam perdebatan yang sengit namun hangat. Keduanya
bertemu untuk kedua kalinya, dalam waktu dekat, setelah pertemuan
pertama mereka saat aksi massa anti politisi busuk beberapa saat lalu.
"Kita bertemu lagi, akhirnya," Donny membuka pembicaraan. Bajunya
bergerak-gerak tertiup angin.
"Akhirnya...." Samira tak banyak bicara. Syalnya juga bergerak-gerak
mengikuti arah angin. "Silakan jelaskan tentang maksud perilakumu tempo hari!"
"Perilaku yang mana. Sobat?"
"Saat di pertemuan anti politikus busuk itu."
"Oh, maksudmu saat aku bilang, bahwa salah satu ciri politikus busuk
adalah berpoligami?"
"Benar. Aku bangga dengan pernyataan itu."
"Boleh aku tekankan lagi. Maksudmu, politisi yang poligami adalah politisi
busuk?" "Benar." "Jadi, poligami itu busuk" "Saya tidak menyatakan itu." "Tetapi
menurutmu, seseorang yang berpoligami adalah busuk?"
"Benar." "Mengapa kamu bisa menyimpulkan hal sedemikian, Sobat?"
"Karena poligami itu bentuk kekerasan terhadap perempuan."
"Maksudmu" Poligami disamakan dengan menampar istri atau
memperlakukan istri secara buruk?"
"Benar. Bisa jadi malah lebih buruk lagi."
"Mengapa bisa demikian?"
"Saya bekerja di LSM Perempuan. Banyak sekali, bahkan semua kasus
poligami menghancurkan keluarga. Semua istri yang suaminya poligami,
apakah dia istri pertama, kedua atau ketiga, pasti keluarganya hancur
lebur, anak-anaknya tidak terawat. Tidak ada kebahagiaan disana.
Bukankah inti berkeluarga adalah kebahagiaan?"
"Semua, Sobatku?"
"Ya! Semua!" "Berapa banyak kasusnya?"
"Ada sekian ribu, saya tidak hafal. Tapi nanti, saya kasih datanya?"
"Apa kamu yakin, kalau itu semua terjadi" Siapa tahu itu hanya sekian
persen dari orang yang berpoligami. Siapa tahu jutaan orang yang
berpoligami, hanya ribuan alias sekian persen saja, yang mengadu ke
kamu." "Tentu saja banyak sekali yang malu atau enggan untuk melaporkannya."
"Oh tentu, tentu."
"Bukan tentu. Pasti!"
"Bagaimana pun, mengeneralisir adalah sesuatu yang lapuk dan sudah
usang" Yang tidak bisa dipertahankan" Kalau saya cari satu saja, orang
yang poligami dan bahagia, berarti teori "semua orang berpoligami'
kamu akan runtuh." "Paling tidak, semua yang melaporkan kepada LSM saya."
Angin berhembus sepoi-sepoi. Sementara awan mendung di atas
mengiringi percakapan mereka yang kian menghangat.
"Sebentar! Bukannya poligami, sebagaimana masalah perkawinan, adalah
masalah privat" Tunggu sampai ada pengaduan dong, baru terbukti
busuk atau tidak." "Hampir semua yang mengadu kepada saya memperlihatkan pelaku
poligami yang busuk. Maaf, bukan hampir, tapi semua."
"Apa anda menjamin, bahwa semua yang poligami pastilah busuk"
Keluarga yang berpoligami tetapi tidak mengadu karena mereka bahagia,
pasti ada dong." "Saya curiga, jangan-jangan anda penganut poligami?"
"Sebagai muslim, sebaiknya kita berdua tidak anti kepada poligami."
"Nah! Kamu pro-poligami, sudah jelas. Dan Kamu laki-laki."
"Lantas?" "Tentu saja, laki-laki menginginkan poligami dipertahankan."
"Kok bisa?" "Masalah poligami adalah masalah power, kekuasaan laki-laki. Apalagi
kondisi masyarakat yang patriarkis. Ketika laki-laki menjadi yang utama,
maka perempuan hanya pelengkap saja."
"Bukan begitu."
"Ah, poligami ini hanya masalah seks, seks, dan seks."
"Saya menikah juga, salah satunya, karena masalah seks. Tidak ada
masalah!" "Tetapi tidak ada poliandri dalam Islam."
"Nanti dulu, kalau Kamu bilang poligami itu busuk, berarti sama saja
dengan poliandri, bukan?"
"Yang jelas saya tidak setuju dengan poligami."
"Apa Kamu berani menantang ayat al-Qur'an, yang sudah jelas-jelas
membolehkan poligami?"
"Ah, itu masalah penafsiran saja. Kebetulan Kamu yang menafsirkan
bahwa poligami itu boleh."
"Jangan salah duga. Teman. Saya termasuk yang tidak mau berpoligami."
"Nah, apa lagi yang kita perdebatkan. Kita sudah bersepakat."
"Nanti dulu. Saya jadi teringat debat panjang antara Agus Salim dengan
Sukarno." "Apa itu?" "Agus Salim pro dengan poligami, sementara Soekarno anti poligami.
Suatu saat mereka berdebat sengit. Tapi sejarah membuktikan, bahwa
Agus Salim tetap beristri satu, sementara Soekarno beristri banyak."
"So, the moral of the story is...."
"Saya tidak mau berpoligami. Selain karena menghormati budaya atau
urf di negeri ini yang monogami, dan urf adalah salah satu sumber
hukum dalam ushul fiqh."
"Wah, kamu jago agama juga rupanya."
"Terima kasih. Izinkan saya melanjutkan!"
"Silahkan, sobat."
"Saya tidak mau berpoligami, bukan berarti saya tidak pro poligami.
Saya tidak mau poligami, selain karena budaya lokal tadi, juga karena
saya merasa tidak mampu berlaku adil. Surat an-Nisa ayat 129 jelas
menyatakan, dan kamu tidak akan pernah dapat berlaku adil antara
istri-istri kamu, sekali pun kamu sangat berkeinginan. Oleh karena itu
janganlah kamu terlalu condong." "Ya, sudah. Buat apa diskusi ini kalau
kita sudah sepakat. Bisa kontraproduktif"
"Tunggu dulu. Sebagai seorang yang moderat, saya tidak melarang
penafsiran orang yang membolehkan, dan bahkan sudah melakukan
poligami. Itu penafsiran mereka. Saya sangat menghargainya. Lagi pula
persoalan ini adalah persoalan pilihan hidup yang sangat personal. Jika
kamu bersikeras melarang politikus berpoligami, berarti kamu tidak
menolerir perbedaan pendapat, padahal kamu mengklaim kaum pluralis
dan liberal." "Lebih baik begitu, daripada masyarakat dirusak oleh politikus busuk?"
Angin kali ini berhembus lebih keras. Agaknya hujan mulai turun dari
langit, satu demi satu. "Oke! Mungkin ini pertanyaan terakhir buatmu dan LSM tempat kamu
bekerja." "Silahkan!"
"Bagaimana dengan para politikus yang berzina" Yang seks bebas, pergi
ke pelacuran, dan kaum lesbian?"
"Ada apa dengan mereka?"
"Apakah kamu berani mengatakan bahwa mereka busuk?"
"Itu urusan pribadi. Sementara poligami pengaruhnya tidak hanya
individu atau personal, tetapi ke istri, anak, keluarga besar, dan
masyarakat luas." "Poligami juga urusan pribadi. Sobat. Jangan salah, berzina itu
pengaruhnya sangat luas di masyarakat. Tidak hanya itu. Tindakan seks
bebas, pelacuran, dan homo seksual sekarang sudah menjadi tindakan
kriminal." Samira tidak menjawab. Dia tiba-tiba pergi. Tanpa pamit. Dan daundaun pun berguguran. Satu bulan kemudian, di Wisma Awan Putih itu, muncul sebuah surat
dari sebuah LSM perempuan tempat Samira bekerja. Di antara isinya
terdapat pernyataan berikut:
2. Bahwa Poligami berpotensi untuk merusak keluarga
3........ 4. Bahwa perdebatan soal poligami berkaitan dengan politikus busuk
tidak efektif dan kontraprodukti, selain masih banyak urusan yang lebih besar yang harus
dikerjakan dan diselesaikan Daun-daun tetap berguguran. Sementara
angin tetap berembus, dan politikus busuk, apa pun definisi dan cirinya,
masih saja berkeliaran dengan bebas dan tanpa beban.
SELINGKUH -Ekky AL Malaky Pukul 03.00 dini hari, Malam itu, rembulan tampak begitu pucat, seperti
merisaukan sesuatu. Suara angin mendesis menyuarakan rasa waswas
kepada jangkrik, kupu-kupu dan makhluk malam lainnya. Angin malam itu
bersaing dengan suara ngorok seorang pria di sebuah kamar. Di kamar
itu tampak seseorang mengendap-endap. Seorang perempuan, rupanya.
Dengan masih memakai piyama, perempuan itu mengendap-endap ke arah
pria yang sepertinya adalah suaminya. Dia agaknya sedang mencari
sesuatu. Si suami tampaknya tidak menyadari, karena sedang nyenyak
dan mendengkur. Tak lama berselang, perempuan itu melihat sesuatu yang dicarinya,
sebuah handphone. Dengan gerakan perlahan sekali, diambilnya benda
itu. Dibukanya menu message, lalu text message, lalu sent item.
Dalam diam, serta hanya diiringi angin malam dan dengkur sang suami,
perempuan itu memeriksa SMS satu demi satu. Dia melihat beberapa
SMS suaminya untuk seseorang yang bernama Mungil, mendominasi
pesan di sent item. Beberapa pesan yang mesra dan berbunga-bunga
terbaca di sana. Perempuan itu lantas membuka menu inbox. Di sana, SMS balasan dari si
Mungil tampak berderet. Rupanya pacar gelap suaminya, begitu pandai
merangkai kata-kata yang menggelorakan api cinta. Tidak sedikit
ungkapan nada nakal menghiasi kalimat-kalimat tersebut.
Tiba-tiba Anton, demikian nama suami perempuan itu, terbangun. Angin
malam pun, sebagaimana suara dengkur, hilang dan menyelinap entah ke
mana. Anton menengok kiri-kanan. Tak ada siapa-siapa. Dengan detak
jantung yang makin kencang, Anton mencari-cari handphone-nya. Ah,
rupanya masih ada di bawah bantal. Lelaki itu langsung melihat menu
inbox dan sent item. "Ah! Rupanya hanya mimpi. Syukurlah!" ujar Anton pelan, sambil
menghela napas, "semua kebusukan, juga pengkhianatanku tak
terdeteksi istri." Cepat Anton menghapus semua pesan-pesan, yang mengarah kepada
perbuatan serongnya. "Ah, Mungil. Kamu memang mampu memompa getaran-getaran cinta dan
rindu, sesuatu yang sudah lama tak kurasakan. Mungil, kamu memang
pintar mengisi kekosongan hatiku, walaupun belum genap berusia tujuh
belas tahun." Sejenak, Anton menengok sosok di sebelahnya. Hmm, walau pun
diselubungi selimut, tapi Anton hafal betul ciri-ciri fisik istrinya.
Untunglah, dia masih nyenyak, batin Anton berkata.
Anton melanjutkan tidurnya, dan berharap agar mimpinya lebih indah
dari sebelumnya. Suara dengkur pun terdengar, kali ini dengan irama
yang lebih teratur. Pukul 02.00 dini hari, satu jam sebelumnya.
Malam tidak begitu hening. Sebab suara dengkur Anton dan gelisah
angin malam, tampak berlomba dengan rintik hujan yang kian menderas.
Udara malam itu lebih dingin dari biasanya. Bahkan nyamuk pun terusir
karena rendahnya derajat celcius.
Malam itu, seorang perempuan masih dengan menggunakan piyama,
mengendap-endap di sebuah kamar. Sang perempuan, yang ternyata istri
Anton, berjalan pelan-pelan. Anton tidak mengetahui, karena sedang
nyenyak, ngorok. Tampak perempuan itu mencari-cari sesuatu di sekitar
Anton, masih dalam diam dan pelan, pelan sekali. Tak lama Perempuan itu
menemukan apa yang dicarinya, handphone Anton.
Sesaat setelah melihat handphone suaminya, dia membuka menu
message, lalu text message, lalu sent item. Di menu sent item, terlihat
beberapa SMS mesra suaminya yang ditujukan kepada seseorang,
Mungil. Bahkan ada juga puisi-puisi dan canda nakal.
Hmm, laki gue doyan daun muda, rupanya, batin perempuan itu bicara
penuh dengan kekesalan dan kemarahan, persis seperti waktu dia
pedekate dengan diriku lima belas tahun yang lalu.
Perempuan itu lantas membuka menu inbox. Dilihat jawaban-jawaban
mesra pacar gelap suaminya. Api cemburu pun langsung bangkit, tak mau
kalah dengan rasa sakit hati, dan air mata yang ingin luruh segera.
Sementara di luar, air hujan tumpah sederas-derasnya. Suaranya makin
berisik. Tak lama, si perempuan berpiyama memandang geram membaca pesanpesan itu. Dia segera, tetap dengan pelan-pelan dan mengendap-endap,
menaruh kembali handphone ke tempatnya semula, di bawah bantal sang
suami. Dia memang tidak menghapus pesan-pesan itu. Sudah kadung
eneg, mungkin. Masih dengan geram, dia beranjak ke arah almari. Dia masukkan
beberapa pakaian ke dalam tasnya. Demikian pula dengan sepatu-sepatu
koleksinya, terus saja dimasukkan ke dalam tas kresek. Begitu pun
dengan peralatan kosmetiknya.
Tak sampai setengah jam, sang perempuan yang tengah dirundung geram
itu selesai mengepak semua barangnya. Segera dia mengambil kunci
mobil suaminya, dan langsung kabur, masih diam-diam.
Suasana hening. Tak sampai lima menit, si perempuan yang masih
berbalut geram masuk kembali ke kamar. Masih tetap mengendapendap, segera dia beranjak ke meja rias. Diambilnya lipstik yang
tergeletak di sana, dan langsung menulis di kaca rias. Sebuah kalimat
yang dibuatnya besar-besar: Aku Ingin Cerai!
Tak lupa, sebelum beranjak pergi, diselimutinya bantal dan guling.
Diletakkan dengan posisi sedemikian rupa, sehingga tampak seperti
dirinya sedang tertidur lelap, di bawah naungan selimut. Tak sampai
satu menit, wanita itu pun menghilang dalam kegelapan malam.
Nyaris jam 04.00 dini hari.
Malam itu, rembulan tampak begitu pucat, seperti merisaukan sesuatu.
Suara angin mendesis menyuarakan rasa was was kepada jangkrik, kupukupu, dan makhluk malam lainnya. Angin malam itu bersaing dengan suara
ngorok seorang pria di sebuah kamar.
Tiba-tiba terdengar suara SMS masuk ke handphone-nya.
Ah rupanya dari si Mungil, laki-laki itu membatin.
Dengan penuh rasa yang membuncah di dada, segera dibukanya SMS itu.
Maaf y say. aku g bs kyk gini trs.tnyata slingkuh itu g enak. tdr g
nyenyak. curiga n waswas mll. g bs nikmatin hidup. Dosanya jg byk. kita
putus aja ya" smg kamu jg ikutan tobat kyk aku. sori ya"
KAPAK MERAH -Ekky AL Malaky Siang itu, seperti biasa, Jakarta macet. Macet total, bahkan. Jalan
reguler macet. Jalan tol bahkan lebih macet lagi. Malah, justru mobil-mobil yang
ingin masuk ke gerbang tol itulah, yang membuat jalanan reguler macet.
Sungguh mengesalkan memang. Tapi mau bagaimana lagi" Siang itu hujan
turun rintik-rintik. Dan seperti biasa, hujan telah membuat jalanan
makin macet. Entah mengapa, saat hujan turun, jalanan macet lebih
dahsyat dari biasanya. Hingga sekarang, belum ada jawaban yang benarbenar memuaskan, mengapa bisa demikian. Masih tetap menjadi misteri.
Puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan mobil berbagai merek dan
tahun produksi antri, sebagian pengendaranya sabar dan lainnya tidak.
Ada yang memencet-mencet klakson, ada yang berbicara sendiri entah


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaki siapa, ada yang kegerahan. Memang, terik matahari meradang,
memanggang siapa saja tanpa kecuali. Hujan yang turun pelan-pelan, tak
mampu menahan panas ultra violet yang dipancarkan sinar matahari.
Kata orang , hujan di tengah terik matahari seperti itu adalah salah
satu sumber penyakit. Bram, seorang eksekutif muda yang tampak sedang menerima telepon
menjadi bagian dari kegerahan itu. Muka geramnya yang seolah-olah
ingin segera memuntahkan emosi, agak teredam dengan rentetan suara
dari ujung telepon. Ah, rupanya istrinya tengah sibuk memberinya
petuah-petuah rutin. "Alasan! Selalu telat! Selalu telat!"
"Maaf, Sayang, soalnya aku...." "Apa" Macet lagi" Ketemu redaktur lagi"
Atau koordinator liputan?" "Soalnya...."
"Urus Royalti" Cari ide" Dasar penulis, tukang ngarang cerita...."
"Bukan begitu. Jalanannya ma...."
"Apa lagi alasannya" Macet lagi" Ini bukan satu-dua kali! Sering banget!
Disiplin dikit kek jadi orang! Kalau tahu macet, ya lebih pagian, atau
gimana caranya?" "Iya, Sayang. Maaf. Tapi sekarang lagi hujan, dan jalanan...."
"Aku tidak mau tahu. Lebih baik aku naik taksi aja! Tahu gini bilang dari
tadi, aku kan gak buang-buang waktu nungguin kamu!"
"Tapi aku udah deket lagi sam...."
"Masa bodo! Sebel banget!"
Geram, sebal, tertekan, disepelekan, didominasi, dan berbagai perasaan
emosi tingkat tinggi lainnya, menukik dan mengocok-ngocok
kemarahannya. Ingin membalas lewat telepon genggam, susah sekali.
Istrinya kuat betul kalau sedang ngambek. Nyerocos tak ada hentinya.
"Pokoknya aku gak mau terima alasan apa pun."
Sang istri masih memberikan petuah kehidupan dari ujung telepon di
seberang. Bram diam saja. Tak ada gunanya melawan. Dia memang punya
saham kesalahan, walaupun punya alasan yang kuat. Yah, sebelumnya dia
harus mengantar ibunya ke rumah sakit yang mendadak terkena migrain.
Tapi apa boleh buat, dirinya sudah berkali-kali telat menjemput
istrinya, dan tampaknya wajar bila sang istri ngomel-ngomel dan protes.
Dia hanya menelan ludah, mengusap keringat yang makin menderas,
sambil mengganti posisi telepon genggamnya ke tangan kanan. Namun
gejolak di dadanya makin berkecamuk. Emosinya makin susah terkendali,
dan harga dirinya sudah terobral habis.
Di lampu merah-, entah apa masih bisa membedakan antara berhenti
karena lampu merah dan tidak bisa bergerak karena macet total, Bram
yang masih saja mendengarkan istrinya lewat telepon genggamnya
menghentikan mobil. Bram masih belum mendapat kesempatan untuk
menjelaskan. Sebaliknya, semprotan dari istrinya seakan bagai perigi
tak berujung. Di saat dia menahan-nahan rasa sabar yang mulai enggan
bersemayam di hati nuraninya, terasa ada yang membentak di telinga
kanannya. "Handphone! Handphone! Cepat serahkan handphone!"
Seseorang mengancam Bram dengan kapak merah, sambil menggedorgedor kaca kanan mobilnya. Seseorang yang biasa, dengan suara agak
gemetar dan gaya yang diseram-seramkan, meminta telepon genggam
yang sedang dipakainya mendengarkan keluh-kesah sang istri.
"Cepat. Jangan bengong aja! Lempar, kalau gak gua habisin lu!"
Secara refleks, telepon genggam yang masih berbunyi suara istrinya,
diserahkannya kepada orang itu. Perasaan ingin mendamprat istrinya
makin memuncak, dan kini ditambah dengan rasa ingin melumatkan sang
penodong. Setelah mengambil telepon genggam dari Bram, sang penodong yang
gemetar dengan wajah tertutup itu, segera beranjak pergi dengan
gerakan tergesa-gesa. Bram yang sedang di puncak kemarahan yang kemuntahannya tinggal
menunggu waktu, keluar dengan tergesa-gesa dari mobilnya. Sedetik
sebelum keluar, tangannya merogoh-rogoh bagian bawah mobil, dan kini
kunci inggris yang panjang dan kokoh sudah di tangannya. Segera Bram
mengejar sang penodong yang tak sadar dibuntuti. Malah dengan
seenaknya, penodong itu memperlambat larinya dan berlari ke warung
terdekat. Mungkin hendak membeli air mineral.
Dari belakang, tanpa menunggu apa-apa lagi, Bram segera
menghantamkan kunci inggris ke kepala bagian belakang sang penodong.
Demi harga diri yang terkoyak-koyak, dia memuntahkan amarah untuk
istrinya kepada sang kriminal. Satu, dua, tiga, entah berapa kali Bram
menghujamkan kunci Inggris itu. Yang jelas, sang penodong sudah
tersungkur di aspal panas dengan darah mengucur tak henti-henti.
Bram cepat mengambil telepon genggamnya, dan berusaha kabur dari
kerumunan massa yang siap melabraknya. Segera dia menuju mobilnya.
Tapi terlambat. Mobilnya sedang terlalap api kemarahan massa.
Hmm, di Indonesia asyik juga, ya" Atas nama massa, kita boleh
membunuh dan merusak apa saja.
Di tengah-tengah darah yang mengucur merah mengental, pikiran sang
kriminal melayang-layang. Melewati darah yang mendanau dan rasa sakit
yang sulit diungkapkan dengan kata-kata, dia teringat-ingat satu jam
sebelumnya. Saat itu, di sebuah rumah yang jelas tidak besar dan kurang baik bagi
kesehatan, tampak seorang wanita muda dan seorang wanita setengah
baya sedang berbicara kepada Armin, sang penodong itu. Di ruangan
pengap, sempit dan tak sedap dipandang mata Armin diceramahi oleh
istri dan mertuanya, tentang bagaimana mengatur kehidupan. Pendek
kata, dia dimarahi istrinya karena sudah menganggur berbulan-bulan.
"Penulis besar mana" Kapan?" istrinya berteriak-teriak.
"Sudah. Terima saja jadi penulis skenario film misteri! Lumayan satu
episode bisa buat nyicil rumahmu, yang utangnya masih segudang!" kali
ini ibu mertuanya yang angkat bicara, "tiga belas episode udah lunas deh
tuh utang lu!" "Idealisme...idealisme...! Anti pelacuran intelektual. Benci pelacuran
kebudayaan. Apaan tuh" Tuh, susu anak lu, udah abis! Uang sekolah si
Mamat, tiga bulan nunggak!" sang istri terus nyerocos.
"Sabar dong. Sayang. Namanya juga rezeki. Sebentar lagi duit dateng,
deh. Skenarionya sudah di-locked, sudah draft-draft akhir. Nanti kan
kamu juga yang senang, kalau nama suamimu terpampang di bioskop,"
Armin berusaha menjawab. "Walah, lagakmu Min," kali ini sang Mertua yang menyambar ucapannya,
"tanggung jawab materi ke anak istrimu, dong. Jangan cuma ngomong.
Mau kerja apaan, terserah lu! Tapi yang kongkrit dong duitnya!"
"Terus, novel-novelmu mana" Mana" Lagian bikin novel setahun cuma
sekali, itu juga nunggu royaltinya cuma dua kali setahun."
"Aku kan gak mau asal bikin novel. Harus benar-benar bagus, Ma."
"Gayamu, min. Sok! Mendingan bantuin bini lu masak buat warteg gue!
Duitnya dikit, tapi jelas. Daripada elu! Malu dong, masak anak udah dua
masih nyusu sama Mak lu."
Seraya beranjak ke dapur, sang istri bergumam, pelan tapi terdengar
jelas di telinga kanan Armin.
"Cita-cita kok jadi penulis skenario. Jadi bintang film kek, bintang iklan,
selebritis, gitu. Kalau ngetop kan duit ngalir. Muka lu kan gak jelek-jelek
amat." Geram, malu, sebal, empet, eneg, marah. Semuanya bercampur jadi satu.
Emosi menggelegak. Apa salahnya dengan idealisme" Apa salahnya menunggu sejenak, untuk
menjadi penulis yang mempersembahkan karya terbaik dan bermanfaat
dunia akherat, demi kemanusiaan, teriaknya, dalam hati. Suatu saat
nanti, sejarah akan membuktikan!
Namun dalam kenyataan, apa dayanya" Semua yang diucapkan istri dan
mertuanya, ada benarnya juga. Bagaimana pun, dialah kepala rumah
tangga yang harus bertanggung jawab atas istri dan kedua anaknya.
Tetapi, mau bagaimana lagi" Dari ojek sampai tukang kebun sudah
dijalaninya, sambil terus menjajagi mimpi menjadi penulis besar, yang
memang butuh waktu lama. Sementara cerita pendek yang dikirimnya ke
media dan penerbit, serta skenario untuk sinetron yang dibuatnya, tidak
membuahkan hasil, kecuali email dan surat penolakan. Dengan alasan
yang menurutnya terlalu dibuat-buat: Tidak ada ruang. Menunggu
giliran. Tema kurang aktual. Tidak layak versi siapa" Masih untung ada
jawaban penolakan. Lebih banyak lagi tulisan-tulisannya yang tak tentu
rimbanya, alias tidak ada jawaban sama sekali. Huh!
Maka dengan perasaan malu, geram, marah, sebal, dan lainnya entah apa
lagi, Armin menuruti perintah ibu mertuanya. Dia ke dapur, membantu
istrinya memasak, mengupas kentang, memotong daging, menanak nasi.
Dan di tengah-tengah harga diri yang tercabik-cabik, dia melihat koran
bekas bungkusan cabai, ada berita tentang kapak merah. Demi harga
diri yang tercabik-cabik, dia melihat sebuah ide yang menggelayuti
hatinya yang sedang mendung. Serta-merta juga, diambilnya ide itu.
Setahun kemudian, koran dan media berlomba-lomba menulis:
Pembunuh Armin Dihukum Tiga Tahun.
Skenario Film "Lelah" karya Armin, adalah karya terbaik sepanjang
sejarah dunia film Indonesia Baru.
Novel "Perigi" karya Bram raih Buku Terbaik 2004.
Film "Lelah", sebuah cerita yang penuh kejutan. Penulis skenarionya
sungguh jenius! Penulis membunuh penulis, sebuah tren" Penulis Novel
"Perigi" Siap Naik Banding.
-Jakarta, 10 Januari 2004
"ANJING!" -Ekky AL Malaky Perkenalkan, namaku Lei. Aku tinggal di sebuah rumah yang sederhana.
Yah,lumayanlah untuk sehari-hari. Aku menumpang di rumah orang yang
baik hati mau menampungku. Kalau tiba-tiba ada yang bertanya,
mengapa aku tiba-tiba muncul, lebih baik jangan tanya aku. Mengapa aku
yang dipilih" Tanya saja kepada penulisnya, atau kepada yang punya ide.
Maklum, aku cuma sebuah karakter. "Anjing!"
Terdengar makian kasar dari seberang jalan. Malam itu, di saat bulan
tidak terlihat dan gerimis berjatuhan satu demi satu, seorang preman
tampak terlibat perang mulut dengan rekannya. Entahlah, mungkin
karena soal uang judi, atau pembagian jatah putaw, atau malah hal
sepele seperti harga diri yang diinjak-injak. Padahal kenyataannya, cuma
kesenggol tak sengaja atau beradu mata. Entahlah.
Ini untuk ketiga kalinya, di hari ini, aku mendengar makian tersebut.
Para preman di ujung jalan ini memang kelewatan. Bukan karena
perbuatan semena-mena mereka, meski itu juga kelewatan. Cuma aku
tidak habis pikir, mengapa mereka menggunakan jenis 'anjing' untuk
memaki-maki" 'Anjing' adalah sebuah makian yang amat kasar, bahkan untuk telingaku
sekali pun. Kasihan sekali bangsa anjing. Mereka tidak salah apa-apa,
tetapi selalu disebut-sebut jika ada manusia yang ingin menumpahkan
amarahnya. Padahal ada jenis binatang lain. Tetapi mengapa anjing,
selain babi dan bangsat, yang dipakai untuk menyimbolkan hal yang
paling terkutuk" Anjing adalah ciptaan yang tidak punya kebebasan memilih, kreativitas,
dan kesadaran, tentu saja lebih rendah dari pada manusia. Tetapi, ah
sudahlah. Gerakan Animal Liberation di negeri ini masih dianggap
kemewahan, dan jauh di bawah pembebasan kaum perempuan, atau
pembebasan kaum buruh. Lucu juga dipikir-pikir, ya" Anjing dan binatang lainnya, melakukan
tindakan apa pun, dikategorikan 'kejahatan' oleh manusia, karena
tindakan instingnya sebagai hewan. Bukan karena kebebasan atau
kesadarannya. Tetapi manusia yang diberikan kebebasan dan bisa
berkehendak sesuka hatinya, lebih memilih istilah 'anjing'. Apakah
anjing sedemikian buruk" Mengapa anjing, yang tak punya kebebasan
yang dipilih untuk menyimbolkan hal-hal terkutuk hasil dari kehendak
bebas manusia" Memang, ada yang menggunakan 'kampret' atau
'jangkrik' untuk memaki. Namun kepuasan lebih tertumpah, saat kata
'anjing' diteriakkan ke lawan bicara.
Anjing!. Lagi-lagi ungkapan itu diucapkan. Tapi kali ini nuansanya lain.
Kata 'anjing' diucapkan, kali ini di sebuah rumah sederhana. Kali ini, di
sebuah ruang tamu, yang baru saja dimasuki oleh segerombolan anak
muda. "Anjing, jago banget si Peter Jackson, tuh. Kalau dia gak dapet piala
Oscar, berarti Academy Award bohong banget, tuh!" terdengar Adi,
anak tertua di rumah itu berbicara kepada teman-temannya. Kayaknya
mereka habis menonton film Lord of the Rings: Return of the King.
"Gila! Lihat gak CGI-nya! Waktu Legolas naik ke gajah raksasa, itu.
Anjing! Gue penasaran banget gimana cara buatnya, ya?" Rudy, si bungsu
angkat bicara. "Kalau film ini gak jadi best picture, wah... gak tau deh tuh gimana cara
ngitungnya," kali ini Agus, yang tertua di ruangan itu, yang menimpali.
Kali ini anjing jadi sebuah pujian, mungkin paling tinggi yang pernah
dilontarkan oleh mulut seorang manusia. Seorang dosen filsafat menulis
cerita pendek, aku dengar setengah-setengah di suatu malam,
menggunakan kata anjing untuk sebuah pujian.
"Anjing, jago banget lu main gitar!"
Aku pernah dengar ada yang berkata begitu di rumah ini, dan sepertinya
sebuah pujian. Pujian yang tulus. Aneh juga ya manusia. Kali ini sebuah
kata jadi pujian, kali lain menjadi makian.
"Lu gak liat si Arwen. Anjrit, cakep banget!" kali ini Amir, sang tetangga
yang berkomentar. Nah, ini modifikasi lain dari 'anjing'. Maknanya kira-kira 'gila!'. Manusia
memang pintar dalam hal singkat-menyingkat kalimat, atau memodifikasi
kata-kata, atau membuat istilah baru, hampir setiap hari. Luar biasa
kreativitas makhluk yang bernama manusia ini.
"Anjir! Bisa aja lu! Liat ceritanya, isinya, gimana dahsyatnya Tolkien. Ini
cewek melulu yang di otaknya."
Derai tawa membahana memenuhi seisi ruangan.
Tuh, kan. Baru saja dibahas, eh sudah muncul istilah baru dalam bahasa
Indonesia. Manusia Indonesia memang pintar. Mengapa kepintarannya
dipakai untuk menjelek-jelekkan, atau mengeksploitasi sifat
kebinatangan seekor anjing, yang memang binatang itu, ya" Lebih baik
menciptakan istilah yang netral, bukan berasal dari makhluk Tuhan, yang
memang fitrahnya seperti itu. Bahkan, kejahatan manusia lebih dahsyat
daripada kejahatan anjing. Sebab anjing hanya menjalankan apa-apa
yang sudah digariskan, sedangkan manusia mempunyai kekuatan untuk
membuat takdirnya sendiri.
Aku, yang sedari tadi terduduk di teras dan hanya mendengarkan senda
gurau Adi dan gerombolannya, mulai mendatangi mereka secara perlahan
tapi pasti. Satu lagi, mengapa juga manusia gemar mengumpat, mencaci, dan
menghina, ya" Kalau dalam bahasa anjing, jika tidak guk guk guk, paling
juga kaing kaing kaing. Tidak ada upaya kaum anjing, sepengetahuanku,
untuk merendah-rendahkan sesama anjing dengan menyebut spesies
lain. Apa salahnya seekor anjing, hingga harus diabadikan sebagai
sebuah umpatan" "Eh, anjing!" Seseorang mengelusku. Lembut. Oh rupanya salah satu wanita dari
rombongan Adi yang memang lembut.
"Namanya Lei. Memang tidak banyak bicara, tetapi sangat lucu. Karena
hemat bicara itu, kami namakan Lei, Hua Ce Lei," Adi menjelaskan.
Kembali derai tawa bergaung di ruangan.
Nah, ini baru seorang manusia menggunakan kata anjing pada tempatnya.
Tumben! Malam kian larut. Gerimis makin menderas, dan rombongan Adi, tak lama
kemudian membubarkan diri.
Sekali lagi, jangan protes kalau aku yang dimunculkan dalam cerita ini.
Jangan tanya. Please, tanya ke pengarangnya, atau yang punya ide.
Tetapi, kalau memang tokohnya seekor anjing seperti aku, so what, gitu
lho" -15 Februari 2004

Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

MENYAMBUT MATI -Bambang Joko Susilo Lelaki itu menggali lubang kubur di belakang rumahnya. Ia terus
menggali, menggali dan menggali tanpa memedulikan gunjingan orangorang di sekelilingnya. Matahari di langit panas membakar. Tak sepotong
awan pun menghalangi sinarnya. Tubuh lelaki itu bermandi keringat.
"Apa yang kau buat itu?" tiba-tiba datang seorang sahabatnya, berdiri
tegak di tepi lubang kubur yang digalinya, dan langsung bertanya.
"Lubang "jawabnya pendek.
"Lubang apa?" "Lubang ya lubang!"
"Ya, tapi untuk apa?"
Lelaki itu diam. Ia menghentikan pekerjaannya. Disekanya peluh yang
meleleh di kening. Lalu dipandangi lubang yang digalinya itu, yang
kedalamannya kini telah mencapai batas pinggang. Tanah bekas galian
berserak di sekelilingnya. Ia sedikit ragu. Haruskah ia menerangkan,
untuk apa sebenarnya lubang itu dibuat"
"Kenapa tak menjawab pertanyaanku!" sahabatnya kembali bertanya
ketika ia tercenung. "Meskipun kujelaskan berulangkali, engkau takkan mengerti."
"Asal keteranganmu masuk akal, tentu tak ada alasan bagiku untuk tidak
mengerti!" sahut sahabatnya.
Lelaki itu kembali terdiam.
"Dengar! Lubang yang kubuat ini bukan lubang sembarangan. Ini adalah
lubang untuk rumah masa depan."
"Ha" Lubang untuk rumah masa depan"!" sahabatnya itu terperanjat.
Matanya sedikit membelalak. "Gila! Bukankah itu berarti liang kubur?"
Lelaki itu tersenyum. Mengangguk pelan. "Untuk siapa?" sahabatnya
menyelidik. "Untuk diriku."
"Edan! Jadi engkau sudah ingin mati?"
Sekali lagi lelaki itu tersenyum.
"Kawan, tak seorang pun menginginkan dirinya mati sesegera mungkin
kecuali orang yang benar-benar sudah putus asa. Dan tak seorang pun
tahu kapan kematian akan datang."
"Lalu kenapa membuat lubang kubur ini sekarang?"
"Ini hanya persiapan untuk menyambut kematian, kalau sewaktu-waktu
datang menjemputku," jawabnya pendek.
Sahabat itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dipandangnya lelaki itu
penuh dengan ketidakmengertian.
"Engkau memang aneh! Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Mengapa
untuk menyambut datangnya mati saja harus membuat lubang sendiri"
Sinting!" kata sahabatnya lagi sambil berlalu.
Lelaki itu tak peduli. Dipegang kembali cangkulnya. Diteruskan
pekerjaannya. Ia sudah memperkirakan berapa kedalaman lubang yang
harus digali. Ia juga sudah membuat ukuran, berapa panjang dan lebar
lubang yang harus ia buat.
Sejenak ia membayangkan peti mati yang telah disiapkannya.
"Hm. Pasti posisinya pas dengan lubang ini."
Terbayang kelak tubuhnya terbujur kaku dalam peti mati, lalu beramairamai orang memasukkan peti itu ke dalam lubang. Kemudian ditimbun
dengan tanah. Sebuah batu nisan akan tertancap di atasnya. Lengkap
dengan nama, catatan kelahiran dan tanggal kematiannya.
Atau mungkin tanggal kelahiran dan kematian itu tak perlu dicatat
dalam batu nisan, sebab selama ini ia sendiri sudah lupa kapan tepatnya
ia dilahirkan. Catatan kelahiran dan kematian sudah tidak penting lagi
baginya, sama tidak pentingnya dengan makna kelahiran dan kematian
yang telah ditemukannya. Manusia lahir dan mati, hakekatnya adalah sama. Manusia berasal dari
sunyi, kelak ia akan kembali ke sunyi. Kesunyian adalah kekosongan,
kekosongan adalah kehampaan, dan kehampaan adalah ketiadaan tak
bermakna. Di dalam ketiadaan yang tak bermakna itu, tak ada lagi yang
namanya manusia, apalagi kehidupan. Kehidupan pada akhirnya hanyalah
kesunyian, kekosongan, kehampaaan dan ketiadaan itu sendiri.
Kemudian setelah tubuhnya terkubur, bunga-bunga akan ditaburkan di
atas makamnya. Atau barangkali bunga-bunga itu tak usah ditaburkan
saja. Bukankah orang mati tak lagi membutuhkan bunga"
Lalu orang-orang itu akan mendoakan dengan doa terakhir, agar Tuhan
mengampuni segala kesalahannya, juga supaya arwahnya diterima dengan
baik di sisi-Nya. Begitulah upacara kematian selalu berjalan. Setelah
segalanya selesai, satu-persatu orang-orang akan pergi
meninggalkannya. Sekarang ia seorang diri berada di makam yang sunyi itu. Ah, sebuah
kesendirian yang benar-benar sendiri. Sebuah kesunyian yang benarbenar sunyi. Sebuah kegelapan yang benar-benar gelap. Barangkali
sebuah kehampaan yang tak terdeteksi.
Membayangkan itu, si lelaki kembali bekerja penuh semangat.
Keringatnya bercucuran. Matahari di atas kepalanya bersinar terik. Tapi
lelaki itu terus menggali, hingga tanahnya semakin banyak yang
berceceran di sekelilingnya.
Tanpa ia sadari, beberapa penduduk kampung tiba-tiba berdiri
mengelilinginya. Lelaki itu merasa agak terganggu oleh kedatangan
mereka. Terpaksa ia menghentikan pekerjaannya.
"Kami dengar engkau sedang membuat lubang kubur untuk diri sendiri.
Benar begitu?" tanya salah seorang penduduk dengan tatapan penuh
selidik. "Apakah yang kukerjakan ini aneh?" ia balik bertanya dengan nada
jengkel. "Itu tidak aneh, cuma tak logis."
"Tak logisnya di mana?"
"Mana ada orang masih hidup membuat lubang kuburnya sendiri?"
"Ini bukan perkara logis atau tak logis, Kawan. Tapi ini menyangkut
prinsip!" tegasnya. "Prinsip?" orang-orang mengernyitkan kening. Mereka saling
berpandangan. Heran. Jawaban itu menggelitik telinga mereka.
"Benar. Coba kalian lihat, seumur hidupnya manusia hanya disibukkan
oleh urusan dunia. Betapa sedikit yang berpikir ke arah mati. Padahal
datangnya mati merupakan kepastian. Tak satu pun makhluk bernyawa di
alam ini yang bisa mengelak darinya. Semua yang berjiwa, cepat atau
lambat, kelak pasti mati. Salahkah aku bila mempersiapkan diri sebaik
mungkin untuk menyambut kedatangannya" Dan alasanku, kalian tahu,
aku membuat lubang ini selain untuk mengingat mati juga karena aku
tidak mempunyai apa-apa lagi di dunia yang pantas dibanggakan. Harta
aku tidak punya. Istri dan anak telah lama menghadap Tuhan. Saudarasaudaraku banyak yang tewas menjadi korban peperangan. Jadi,
mengapa aku harus menyusahkan orang lain bila kelak aku mati"
Bukankah itu tidak adil" Maka, agar tak merepotkan, aku
mempersiapkan segalanya. Kuharap kalian mau memahami ini." demikian
ia memberi penjelasan panjang lebar sambil menatap satu-persatu
wajah orang yang mengelilinginya.
Demi mendengar jawaban lelaki itu, penduduk kampung kembali saling
berpandangan. Beberapa orang menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian meluncurlah berbagai komentar dari mulut mereka.
"Prinsip hidup yang nyeleneh!"
"Tidak hanya nyeleneh, tapi pandangan semacam itu hanya mungkin
dikeluarkan oleh orang yang pikirannya sedang konslet!"
"Ah, mungkin itu hanya untuk alasan saja!" tiba-tiba salah seorang
nyeletuk. "Untuk alasan?"
"Siapa tahu ia membuat lubang ini bukan untuk mengingat mati, tapi ada
tujuan lain. Untuk mencari pesugihan, misalnya. Di tengah zaman yang
porak-poranda seperti sekarang ini, bukankah itu bisa saja dilakukan
sebagai jalan pintas?"
Orang-orang kembali saling berpandangan. Beberapa di antara mereka
mengangguk-angguk. "Bisa jadi ucapanmu itu benar. Dia tidak bisa memperoleh kekayaan
dengan cara halal, maka digunakannya jalan sesat."
"Wah, kalau begitu kawan kita ini tersesat!"
"Sebaiknya pekerjaannya kita hentikan."
"Diam!" tiba-tiba lelaki itu membentak dengan suara keras. Kupingnya
memerah terasa panas. Dadanya menggemuruh. Belum pernah ia
mendengar kata-kata demikian menyakitkan. Lalu dengan garang ia
berkata, "Dengar! Kalian boleh bicara apa saja. Itu hak kalian. Tapi beri
pula hak kepada orang lain untuk melaksanakan kehendak yang
disukainya dalam hidup ini selama kehendak itu tidak mengganggu
kehidupan umum. Ingat, ini tanah milikku, kubeli dengan sah lewat
cucuran keringatku. Aku punya hak apa saja di sini selama yang aku
kerjakan tidak mengganggu orang lain. Bahkan aku juga berhak mengusir
kalian kalau aku mau!"
"Tapi, bagaimana mungkin yang kamu kerjakan itu tidak mengganggu
orang lain kalau nyatanya benar untuk mencari pesugihan?" seseorang
menyela. "Tutup mulutmu! Jangan bicara sembarangan! Ini negara hukum, kau
bisa dituntut karena tuduhan yang tak berdasar itu. Atau bicaralah
sekali lagi kalau ingin mulutmu nyonyor oleh cangkulku ini!" lelaki itu
benar-benar tersulut emosinya. Ia tak bisa lagi menahan amarah. Sambil
berkata begitu, diacungkannya cangkulnya.
Orang-orang itu mundur beberapa langkah. Mereka kini sadar, lelaki itu
tidak main-main dengan ancamannya. Beberapa saat mereka bungkam.
"Jadi benar, lubang ini kau buat untuk kuburmu sendiri?"
"Pernahkah kalian lihat selama ini aku main-main dengan apa yang
kukerjakan?" jawab lelaki itu.
"Tapi ini sama sekali di luar kebiasaan!"
"Sesuatu dikatakan tak logis karena orang itu tidak memahami hakekat
pekerjaan yang dilakukan seseorang. Semua yang dikatakan biasa pada
awalnya juga berasal dari tidak biasa atau di luar kebiasaan. Percayalah!
Tidak ada sesuatu yang tidak pernah terjadi di dunia ini. Dan tidak ada
sesuatu pun yang dapat dikatakan logis kecuali kelogisan itu sendiri!"
tukas lelaki itu dengan cepat.
Orang-orang itu kembali saling berpandangan. Mereka dibuat bingung
oleh perkataan lelaki itu.
"Sinting! Orang ini benar-benar sudah sinting. Aku tidak mengerti apa
yang diucapkannya!" "Benar. Hanya orang sinting yang mau menggali lubang kuburnya sendiri.
Teman-teman, mari kita tinggalkan dia. Buat apa mengurusi orang
keblinger?" "Jangan-jangan otaknya sudah keracunan tempe bongkrek!"
Orang-orang tertawa terbahak-bahak. Lalu menyingkir satu persatu
meninggalkan lelaki itu dengan gumamannya masing-masing.
"Kasihan, gara-gara zaman yang semakin sulit, otaknya jadi miring."
"Mungkin dia memang sudah bosan hidup!" Orang-orang tertawa lagi.
Lelaki itu tercenung. Kini tinggal ia sendiri di kebunnya. Untuk beberapa
saat ia tepekur. Dipandanginya lubang yang kedalamannya kini telah
mencapai batas leher. Salahkah yang dikerjakannya"
"Tidak. Aku tidak salah, hanya mereka yang tidak mengerti. Mungkin
memang tidak akan pernah mengerti," gumamnya perlahan. Lalu
diteruskannya pekerjaannya
MALAM-MALAM SEPI BEGINI -Bambang Joko Susilo ROZY Sudah lama aku tak berkirim surat padamu. Selain kau tak memiliki
alamat tetap, juga karena situasi
di negeri ini belum memungkinkan bagi kita untuk berakrab-akrab
seperti dulu. Bagaimana kabarmu sekarang" Kau tentu baik-baik saja,
bukan" Kuharap demikian. Alhamdulillah, keadaanku di sini tak
kekurangan suatu apa pun.
Saat kutulis cerita ini, sebuah kerusuhan kecil kembali terjadi di sudut
kota. Demonstrasi mahasiswa tak juga kunjung reda. Sementara perang
dan pembunuhan masih terus berlangsung di belahan benua lain.
Alangkah tidak nyamannya bumi yang kita tempati ini. Mungkinkah
sebentar lagi dunia akan kiamat"
Malam-malam sepi begini, Zy. Aku berusaha mencari rumahmu di sebuah
gang yang sempit dan becek itu. Hujan baru saja turun sore tadi.
Rumahmu yang terselip di antara rumah-rumah petak di daerah
pemukiman berpenduduk padat itu, tampak temaram di mataku. Puluhan
tahun sudah lamanya kau berjuang di kota ini, nasibmu belum juga
berubah. Kau masih suka berpindah-pindah dari satu kontrakan ke
rumah kontrakan lainnya. Sementara teman-teman kita yang lain banyak
yang telah memiliki kendaraan pribadi. Dan kudengar, kau pun masih
aktif berjuang dalam pengajian yang ingin mendirikan Negara Islam.
Benarkah" Malam-malam sepi begini, Zy. Kau tahu, tiba-tiba hatiku sedikit rusuh.
Kesepian yang coba kubunuh dengan berbagai kegiatan ternyata tak
mampu meredam kegelisahan. Itu sebabnya aku datang kemari
mencarimu. Namun ketika kuketuk pintu rumahmu, hatiku bertambah
kisruh, ternyata rumahmu kosong. Bohlam listrik lima belas Watt yang
sengaja terus dinyalakan di ruang tamu, yang sekaligus kaujadikan
kamar tidurmu, tampak suram di mataku.
Semula kubayangkan, dengan mengunjungimu setelah lama kita tak
bertemu, barangkali pertemuan kita dapat membawa suasana baru.
Dengan mengobrol santai seperti dulu sambil minum kopi dan
mengomentari berita-berita politik di TV, barangkali kerusuhan hatiku
dapat sedikit terobati. Tapi ternyata rumahmu kosong.
Malam-malam sepi begini, Zy. Kau tahu, hatiku tiba-tiba bertambah
sepi. Barangkali kau kurang bisa memahami apa arti sebuah sepi, dan
bagaimana perasaan hati seseorang yang ditinggal pergi oleh sahabatsahabatnya. Alangkah pahit akhir persahabatan yang hanya dilandasi
oleh uang. Sangat mustahil di zaman sekarang mencari sahabat yang
berhati tulus murni. Persahabatan lebih banyak dilandasi oleh pamrih.
Ketahuilah, Zy. Perkawinanku dengan Yuni telah kandas di tengah jalan.
Aku teringat dengan apa yang kau katakan tentang diri Yuni beberapa
tahun yang lalu, sebelum aku memutuskan menikahinya. Ternyata apa
yang kau ceritakan tentang sifat-sifat gadis itu semuanya benar. Kau
seperti paranormal saja, dapat menebak watak seseorang. Mungkin aku
tak perlu menyesal berpisah dengannya. Semua sudah takdir, bahwa
perjodohan kami tak berumur panjang. Mungkin selama ini aku hanya
tertarik pada kecantikan lahiriahnya saja.
Dan kau, Zy" Bagaimana dengan dirimu" Mengapa kau tak juga menikah"
Apa kau trauma melihat perselingkuhan pacarmu dulu, yang terangterangan berpeluk ria di depan hidungmu, sehingga kau jera
berhubungan lagi dengan makhluk yang namanya wanita" Pengkhianat!
Begitu kau mengumpat setiap kali teringat kejadian itu. Lalu kau pun
memandang semua wanita sebagai pengkhianat. Ah, dunia kan tidak
selebar daun kelor, Zy. Apa kau masih senang mencaci-maki keadaan sekarang, yang sering kau
sebut zaman jahiliyah super edan"
Semula kubayangkan, begitu mengetuk pintu rumahmu, kau akan
menyambutku dengan ekspresi tenang. Tenang, itulah ciri khasmu.
Tenang, bagai ketegaran batu karang di tengah lautan, yang tetap kukuh
meskipun badai datang menerjang.
"Ke mana saja, Bud" Kok nggak muncul-muncul?" mungkin begitu kau
bertanya. Dan aku sebetulnya sudah siap menjawab pertanyaanmu
dengan sebuah cerita yang panjang, sangat panjang. Kalau perlu akan
kuceritakan kisah petualanganku hingga pagi, sampai kau terkantukkantuk, dan apa yang menyebabkan aku lama tak muncul-muncul di
rumahmu. "Ayo, masuk!" Aku sudah menduga. Kau akan segera menggelar tikar, sibuk
membuatkan kopi, lalu menyetel televisi, atau mendengarkan siaran
berita radio BBC London pukul delapan malam. Lewat pintu rumahmu
yang sengaja kau buka lebar-lebar, dan lewat cahaya listrik temaram di


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggir jalan. Mungkin kau bertanya melihat kendaraan yang kuparkir di
ujung jalan. "Kok sudah ganti. Mana BMW-mu?" tanyamu pula sambil mengamati
Kijang tua bercat lusuh yang sudah berhari-hari tak kumandikan.
Aku yakin pada saat bertanya seperti itu, pasti ekspresimu tenang,
setenang waktu aku pertama kali membawa sedan BMW ke rumahmu
beberapa tahun yang lalu.
Ekspresi di wajahmu itulah yang membuatku selama ini diam-diam
mengagumimu. Watakmu bertolak belakang denganku. Aku suka
meledak-ledak, temperamental dan senang petualangan yang
menyerempet-nyerempet bahaya. Tapi kau" Hidupmu yang tidak
berubah seolah merupakan pantulan ketenangan batinmu, yang selama ini
lebih sering kuanggap sebagai sikap monoton. Puluhan tahun berjuang,
kau masih hidup dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.
Sedangkan aku sudah melanglang buana ke mancanegara. Kadang sukar
kupahami dengan otak waras, bagaimana kau bisa menikmati kenyamanan
semacam ini bertahun-tahun lamanya. Tapi, benarkah kau masih aktif
dalam pengajian gerakan politik bawah tanah yang ingin mendirikan
Negara Islam, yang diadakan secara sembunyi-sembunyi itu"
Sebetulnya aku ingin bercerita padamu, mengapa aku akhirnya dipecat
dari jabatan di bank terkenal itu. Kedudukan basah dan uang berlimpah
yang kuperoleh ternyata telah membuatku lena. Tidak kusadari kalau
kedudukan seseorang sewaktu-waktu bisa jatuh. Aku tidak menyadari
kalau hidup di kota berlaku hukum rimba.
Ketahuilah, Zy. Aku terlibat kredit macet. Posisi basah yang kuperoleh,
telah kumanfaatkan untuk mengeruk uang bank sebanyak-banyaknya.
Dengan menggunakan berbagai fasilitas, aku bersama teman-teman
berhasil mendirikan perusahaan property di kota ini. Namun saat
bisnisku itu berkembang pesat dan sampai pada puncak kejayaannya,
teman-teman menggerogoti uang perusahaan, melakukan tindak
penyelewengan di sana-sini, bahkan akhirnya mereka membawa kabur
kekayaanku ke luar negeri.
Aku ambruk, Zy. Tiga rumah mewah dan lima mobil sedanku terpaksa
dijual untuk melunasi hutangku pada bank. Itu tidak cukup. Untuk
menebus dosa-dosa akibat penyelewenganku itu, selain dipecat dengan
tidak hormat, aku juga harus meringkuk di penjara. Inilah resiko hidup
dari petualangan yang kusebut menyerempet-nyerempet bahaya itu. Dan
yang lebih menyedihkan, setelah aku jatuh dari kedudukan puncak
tersebut, Yuni minta cerai. Betapa menyakitkan! Untunglah aku
dipenjara tidak lama, sebab ada seorang pejabat yang dulu pernah
kubantu melakukan kolusi dengan atasanku, datang menolong. Ia
membebaskan aku dengan uang tebusan.
Hampir tiga tahun lamanya aku hidup menggelandang. Rasa frustasi coba
kubunuh dengan belajar melukis pada seorang seniman tua di Yogja.
Seperti seniman gembel lainnya, aku mencoba menikmati kehidupan kere
di pinggir Jalan Malioboro. Setelah itu aku diajak seorang pelukis dari
Bogor dan mencoba-coba mengikuti jejaknya, dengan mengadakan
pameran kagetan. Tapi tak seorang pun mengagumi karyaku, apalagi
membelinya. Aku sadar, bagaimana mungkin seseorang dapat menjadi
seniman handal hanya dalam waktu tiga tahun" Meskipun sejak kecil aku
sudah punya bakat melukis, tapi untuk menjadi seniman sejati, tentu
butuh waktu yang panjang, bukan" Bakat saja kalau tidak diasah juga
percuma. Dan keterasinganku bertambah lengkap, ketika kudengar Yuni
telah kawin lagi dengan seorang pengusaha kaya, menjadi istri kedua.
Hallo, Zy. Apa kabar" Kau tentu sehat-sehat saja, bukan" Syukurlah
kalau tak kekurangan suatu apa pun.
Malam-malam sepi begini, Zy, tiba-tiba aku teringat kau lagi. Hatiku
bertambah sepi ketika melihat rumahmu kosong. Sebenarnya aku ingin
bercerita banyak tentang petualanganku yang lain. Atau seperti dulu,
membicarakan situasi politik dalam negeri. Kau biasanya selalu penuh
gairah bila diajak diskusi tentang hal itu.
Indonesia adalah negeri kamus besar yang huruf-hurufnya terbalik dan
definisinya kacau-balau, katamu waktu itu. Ini negeri yang para
pemimpin dan kaum rohaniawannya, selalu menyeru warganya dengan
suara hampir serak, agar hidup berbudi pekerti luhur dan bermoral
Pancasila. Namun sebaliknya kebiadaban yang paling biadab justru
terjadi di sini. Jangan maling, katanya, tapi koruptor-koruptor kelas kakap malah
bebas dari penjara dan hidup berkeliaran seenak udelnya. Kasihan si
Ujang, gara-gara nyolong sebungkus Supermi karena kelaparan,
terpaksa mati digebuki massa di pojok pasar hingga mataya mencothot
keluar. Sementara kaum koruptor enak-enak ongkang kaki dengan
perutnya yang bertambah melar.
Jangan berzina, katanya, tapi kumpul kebo di sini sudah jadi budaya dan
orang yang merasa kelebihan duit piara gundik di mana-mana. Lalu anakanak kecil diperkosa orang-orang tua yang pusing tujuh keliling setelah
menonton parade paha di televisi dan media cetak. Tak dapat ditutupi
juga, bahwa gadis-gadis sering perlu dijinakkan dulu di kamar-kamar
pengap sebelum dijual dagingnya dengan harga kiloan, atau dipamerkan
di layar-layar lebar sebagai bukti kedermawanan.
Jangan berjudi, katanya, tapi di lorong-lorong gelap para taoke dan
bandar judi main kucing-kucingan dengan petugas kamtib, dan setiap
penggerebekan selalu diakhiri dengan KUHP, alias Kasih Uang Habis
Perkara! Akhirnya sistim suap, sogok, kolusi di negeri ini sudah dianggap
hal yang rutin dan biasa. Belum lagi soal penyelundupan yang sering lolos
dari pengawasan. Dan satu lagi, jangan mabuk katanya. Tapi peredaran minuman keras
tetap saja gencar, meskipun pemerintah sudah mengeluarkan surat
pelarangan yang ditindaklanjuti dengan sikap setengah-setengah. Di sini,
katamu, dapat dijumpai orang sedang mabuk di setiap ujung gang
berdampingan dengan tempat-tempat pelacuran, mulai dari kelas teri
hingga hotel berbintang. Mereka bergoyang sambil menghisap pil ekstasi
dan berkhayal membangun rumah di bulan, serta berkencan dengan
bidadari cantik yang turun dari kahyangan.
Ya. Inilah negeri kamus besar yang huruf-hurufnya terbalik dan
definisinya kacau-balau, katamu. Sebab di sini sangat sulit dibedakan
mana moralitas mana kebejatan, mana perikemanusiaan mana
kebiadaban, mana keadilan mana kezaliman, mana pahlawan mana sikap
pengecut, mana kasih sayang mana nafsu binatang. Dan sangat tipis
batas antara arti persahabatan, persaudaraan dan aksi sebuah
perampokan. Semua terbungkus amat rapi dalam gaya bahasa yang
samar dan slogan-slogan memabukkan.
Di zaman materalisme sekarang ini semua serba hedonistik.
Keberhasilan seseorang lebih banyak diukur lewat materi dan hampir
semua aktivitas manusia berorientasi untuk mengejar kenikmatan
duniawi. Berbagai fenomena baru muncul, berbaur menjadi satu. Bagai
air keruh yang diaduk-aduk hingga sulit dibedakan mana hitam mana
putih, mana perak mana emas, mana kebenaran mana kebatilan, mana
kesombongan mana kerendahan hati, dan mana kejahatan mana
kebaikan. Ya, inilah negeri kamus besar yang huruf-hurufnya terbalik
dan definisinya kacau-balau. Ah, Zy. Kata-katamu itu selalu mengiangngiang di telingaku. Kau bisa saja bikin istilah!
Hallo, Zy! Masih membaca ceritaku ini" Mungkin kau malas mendengar
celotehku yang selalu berbau kepincangan. Boleh jadi kau lebih tertarik
kalau aku bercerita tentang situasi politik di negeri ini, yang sekarang
sedang mengarah ke disintegrasi bangsa Padahal kita tidak
menginginkan perpecahan itu, kan" Atau membicarakan krisis yang tak
kunjung henti, atau mencoba mencarikan jalan keluar bagi
kesejahteraan hidup kaum buruh di pabrik-pabrik yang nasibnya
terlunta. Mereka terjepit tak berdaya, bahkan sudah ribuan yang jadi
korban PHK akibat bangkrutnya ratusan perusahaan. Sementara itu
badai reformasi terus saja meniup kencang tanpa jeda.
Kau selalu bersemangat bila diajak bicara tenang nasib orang-orang
tertindas. Di negeri ini, katamu, kehidupan yang ada adalah hubungan
antara majikan dan buruh. Di mana-mana begitu, majikan dan buruh.
Selama masyarakat masih hidup dalam kelas-kelas, katamu pula, maka
selama itu pula pergolakan revolusi takkan selesai. Dan aku sebetulnya
sedikit ngeri melihat konsep hidup yang kau pegang, yang tenyata mirip
teori Karl Marx. Aku takut kau menjadi seorang Marxis revolusioner. Meskipun paham
komunis di negeri ini sudah dikubur dalam-dalam, tapi sebagai bahaya
laten, ia tetap perlu diwaspadai, begitu kata para pejabat itu. Namun
kepercayaanmu selama ini yang begitu teguh pada Tuhan. Juga
ketaatanmu, membuatku tidak ragu-ragu untuk terus bersahabat
denganmu, dan menganggapmu sebagai orang yang tidak neko-neko.
Meskipun Indonesia saat ini sedang dilanda krisis multidimensional,
ternyata kau tetap optimis dan mengatakan bahwa Indonesia kelak akan
menjadi bangsa besar, pusat perdamaian dan peradaban dunia. Aku
sendiri tidak tahu, kau punya prediksi macam begini atas dasar apa.
Mudah-mudahan saja ramalanmu bukan sekadar igauan orang sakit, yang
pikirannya sedang kacau karena pahitnya himpitan penderitaan.
Tapi malam ini, Zy. Ya, pada malam-malam sepi begini, tatkala hujan
telah kembali turun rintik-rintik dibarengi embusan angin dingin
merentakkan tulang. Di mana aku merasa sedang berada di puncak
kesendirian, aku benar-benar terkejut mendengar kabar tentang dirimu.
Ketika aku akan beranjak meninggalkan rumah kontrakanmu, tiba-tiba
seorang ibu tua berbadan gemuk berdiri di belakangku.
"Om mencari siapa?" tanyanya penuh selidik. Matanya awas menatapku.
Mungkin ia tetangga sebelahmu, atau bibimu, atau siapa tahu induk
semangmu. "Nama saya Budi. Saya mencari Rozy. Sudah lama saya tidak jumpa
dengannya. Ke mana dia?" jawabku.
"Om siapanya Rozy?" tanya ibu itu lagi penuh kewaspadaan.
"Saya temannya. Teman biasa waktu sekolah di Solo."
"Apa Om belum mendengar kabar tentang Rozy?"
"Memangnya kenapa dia?" kataku sedikit heran.
"Sekarang dia ada dipenjara. Mas Rozy dikabarkan ikut terlibat
jaringan teroris internasional. Sebentar lagi dia dihukum mati!"
Zy, tahukah bagaimana perasaanku setelah mendapat kabar tentang
dirimu" Kekhawatiranku selama ini akhirnya jadi kenyataan. Aku tak
menyangka kau ikut-ikutan jadi konyol. Atau kau ingin jadi pahlawan"
Malam-malam sepi begini, Zy. Kau tahu, dengan pikiran kusut tak
menentu aku meninggalkan rumahmu. Benakku menderamkan galau
seribu tanya meminta jawaban. Jawaban antara apa yang kau cari
dengan apa yang telah kutelusuri. Hidup pada akhirnya menjadi sebuah
lingkaran teka-teki. -Amanah, No. 34 TH XVI Januari 2003.
MASJID -Bambang Joko Susilo Di desaku ada seorang haji yang tekun beribadah. Haji Miun namanya.
Ia sudah cukup tua. Kutaksir usianya di atas tujuh puluh. Hampir setiap
hari pekerjaannya tidak lain hanya salat, berzikir dan bertasbih.
Kebetulan rumahnya berdempetan dengan masjid. Dan dunianya seharihari hampir tidak lebih dari rumah dan masjid itu. Tapi belakangan,
justru karena ketekunannya dalam beribadah itulah yang membuat
penduduk desa kemudian tidak menyukainya. Bahkan ada yang
menganggapnya gila. Mengapa"
Apabila Anda berkunjung ke desaku dan ingin menemuinya, sungguh
tidak sulit. Sebab setiap tiba waktu salat pasti dia ada di masjid itu
menjadi imam. Setengah jam sebelum tiba waktu salat, ia sudah berada
di sana, melakukan salat sunnah dan berzikir sambil menunggu makmum.
Apabila Anda menemuinya, harap jangan tanya macam-macam. Maklum,
selain sudah tua, ia juga tidak akan mengerti bila disodori masalah
politik atau persoalan dunia yang pelik. Apalagi disuruh menganalisa soal
inflasi atau krisis multidimensi yang melanda bangsa ini. Tapi kalau
disuruh menjabarkan tentang pentingnya arti salat dan bagaimana cara
menjadi mukmin yang baik, atau tentang doa-doa mustajab, ia akan
betah menerangkannya berjam-jam.
Meskipun orang sedesa menganggapnya biasa-biasa saja, dalam arti
pengetahuan agamanya mereka pandang cuma sebatas itu, namun
mereka sangat hormat. Hormat, karena mereka sadar Haji Miun usianya
lebih tua dari mereka. Dan meskipun Haji Miun tidak pernah menjabat
atau memimpin suatu perkumpulan apa pun di desa, kami tetap
menganggapnya sebagai sesepuh. Itu sebabnya, wajar bila sesekali kami
minta nasihat atau pandangannya, terhadap kegiatan-kegiatan remaja
masjid yang kami lakukan.
Dengan matanya yang sudah sedikit rabun, ia masih sanggup mengajari
anak-anak membaca Al Quran. Nyatanya memang banyak anak-anak
mengaji padanya setelah selesai salat Magrib. Dan ia tidak pernah minta
imbalan. Demikianlah, kami menghormati Haji Miun dan memaklumi
keberadaannya. Sebagaimana ia maklum bahwa meskipun masjid itu
adalah miliknya, peninggalan dari orangtuanya yang telah lama
meninggal, kini telah menjadi milik kami bersama, tempat untuk ibadah
dan mengagungkan asma Allah.
Namun akhir-akhir ini ada gelagat aneh yang membuat kami tidak
mengerti. Karena gelagat ini pula ia menjadi gunjingan di sana-sini,
menjadi bahan olokan anak-anak kecil, bahkan rasa hormat dan segan
kami kepadanya kini kadarnya menurun. Bagi yang mengerti, mungkin
akan bisa memaklumi. Tapi yang tak mengerti, tentu menganggap Haji
Miun mulai diserang penyakit anak-anak, seperti penyakit pikun
menyerang orang-orang jompo.
Ulah apa yang diperbuat Haji Miun sehingga ia dianggap aneh"
Sebetulnya tidak aneh. Seseorang yang telah meleburkan dirinya pada
kecintaan Illahi, setiap hari bangun pada pukul tiga dinihari dan
membaca Al-Quran di masjid, barangkali bukan perbuatan istimewa atau
aneh, apalagi kalau dibarengi dengan salat tahajud. Hanya saja, sejak
masjid tua yang berdampingan dengan rumahnya itu dipugar, ibadah Haji
Miun menjadi lain dan terasa mengganggu istirahat kami.
Masjid itu tadinya memang sangat sederhana dan tidak sebagus
sekarang. Alasnya hanya semen berhampar tikar. Dindingnya setengah
tembok, jendelanya tak berkaca dan tidak ada eternitnya. Bila hujan
turun, ada saja bagian yang bocor.
Berkat swadaya masyarakat yang rajin menabung dan mengumpulkan
dana selama bertahun-tahun, serta adanya bantuan dari Pak Camat,
masjid itu kini telah berubah menjadi anggun dan menarik meski
ukurannya tidak begitu besar. Di dalamnya ada kipas angin. Berjendela
kaca dan berlantai keramik. Yang lebih hebat lagi, sekarang masjid
dilengkapi dengan pengeras suara yang sebelumnya tidak ada. Dengan
pengeras suara itu kini adzan terdengar ke kampung sebelah.
Rupanya alat pengeras suara inilah yang menjadi pangkal perkara. Sebab
dengan alat itu kini Haji Miun semakin rajin mengaji dan berzikir.
kemudian dilanjutkan dengan bertahlil. Dan tahlilnya sudah tentu ia
salurkan lewat alat pengeras suara hingga terdengar ke mana-mana.
Haji Miun tampaknya senang dan sayang sekali pada alat hasil teknologi
mutakhir itu. Tak ubahnya anak balita yang baru menemukan mainan
bonekanya. Mula-mula kami memaklumi. Mungkin Haji Miun sedang mencoba
kecanggihan alat itu. Atau sedang mengetes sampai di mana kemerduan
suaranya. Namun ketika ia semakin menggila dengan tahlilnya, kami mulai
dibuat bertanya-tanya: tak waraskah haji ini" Betapa tidak. Sebab ia
betah bersuara di alat itu berjam-jam lamanya. Tidak hanya dalam
membaca Al-Quran, tapi semua bacaan. Mulai dari zikir, tahmid, tasbih,
takbir, tahlil, hingga shalawat nabi, terus ia kumandangkan lewat
loudspeaker. Sebelum dan sesudah waktu salat Subuh. Tentu saja hal ini
mengganggu ketenangan kami. Apalagi bila hal tersebut ia lakukan
tengah malam, saat kami sedang tidur nyenyak.
Tak heran kalau ulahnya itu mengundang reaksi penduduk, terutama
orang-orang yang tinggalnya berdekatan dengan masjid. Kami tidak saja
terganggu, juga merasa seolah-olah kesakralan dalam beribadah mulai


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hilang, dan berubah menjadi semacam pemujaan-pemujaan primitif.
Sejak itulah orang-orang bergunjingan di sana-sini membicarakan ulah
Haji Miun. "Saya tahu. Haji Miun itu sangat cinta kepada Allah. Tapi apakah pantas
ekspresi kecintaan itu ia lakukan dalam bentuk demikian?" kata Mang
Usro suatu hari di Kedai Bik Unah.
Saat itu banyak orangtua dan anak muda yang berprofesi macam-macam
duduk di tempat tersebut sambil menikmati kopi pagi. Sedangkan aku
yang sedang memesan nasi uduk untuk sarapan sebelum berangkat
sekolah, diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka.
"Maksud Mang Usro?" tanya Bang Udin yang sehari-hari dikenal sebagai
penjual kembang. "Coba saja lihat! Tiap hari kerjanya memuja-muji Allah seolah Allah itu
gila pujian, dan berteriak-teriak menyebut nama Allah seolah Allah itu
tuli. Padahal Allah kan tidak gila pujian dan tidak tuli. Apa kau kira Allah
cukup hanya dengan dipuja-puji begitu?" jawab Mang Usro.
"Inilah kesalahan orang-orang sekarang!" timpal Mas Jono yang datang
dari Solo, "mereka melaksanakan salat dan ngaji hanya sebatas untuk
cari pahala biar masuk surga. Padahal tujuan salat itu kan untuk
mencegah perbuatan keji dan munkar. Apa artinya salat kalau kekejian
dan kemungkaran tetap merajalela, bahkan semakin bertambah banyak
di sekeliling kita" Apakah mereka tidak sadar kalau di balik kegiatan
ritual sebetulnya ada makna yang universal?"
"Itulah yang tidak mereka pahami, termasuk Haji Miun itu," sahut Mang
Usro lagi, sambil mengepul-ngepulkan asap rokoknya, "membaca kitab
suci setiap hari, kalau tidak tahu arti dan maknanya, menurutku juga
percuma. Seperti berteriak dan berjalan dalam gelap!"
"Betul Mang. Sejak masjid itu dipugar dan Haji Miun mengaji malammalam pakai pengeras suara, tidurku jadi berkurang. Akibatnya, siang
hari pekerjaanku banyak yang terbengkalai karena ngantuk," timpal Alwi
yang bekerja di bengkel motor.
"Habis bagaimana, ya" Mau ditegur, gak enak. Didiamkan saja, kuping
jadi bising. Benar-benar keterlaluan Engkong Miun itu!" timpal yang lain.
"Maklumin, aja deh. Pak. Dia kan sudah pikun," Bik Unah ikut nimbrung.
"Pikun sih pikun, tapi sepikun-pikunnya orang kan seharusnya tahu
pekerjaan yang bisa bikin orang lain terganggu," sahut Mang Usro
dengan kesal. Demikian, pembicaraan tentang Haji Miun terus berlangsung, sampaisampai mereka menyatakan penyesalannya atas perombakan masjid itu.
Rupanya tidak hanya orang-orang tua saja yang kesal terhadap ulah Haji
Miun. Anak-anak pun jadi latah mengikutinya. Hampir dalam setiap
permainan, anak-anak itu menirukan apa yang diucapkan Haji Miun.
Haji Miun selain berzikir, kadang juga berpidato lewat pengeras suara.
Pidatonya semacam ceramah berisi nasihat agar kita meningkatkan
ibadah salat. Siapa pun mengakui, ceramah itu tujuannya bagus. Tapi
karena dikumandangkan pada tengah malam saat orang masih nyenyak
tidur, maka ceramah itu terdengar ganjil dan mengganggu.
"Wong edan! Ceramah kok sendirian di tengah malam. Barangkali
kuntilanak yang disuruh mendengar." komentar Mas Ngateman, perantau
yang berprofesi sebagai tukang kredit.
Akibat ulah Haji Miun yang ganjil dan di luar kebiasaan itu, akhirnya ia
tidak hanya dibenci dan menjadi bahan gunjingan, tapi jamaah masjidnya
pun sedikit demi sedikit berkurang.
Dulu, sewaktu masjid pertama kali digunakan setelah diadakan
perbaikan, jamaahnya melimpah. Hampir setiap tiba waktu salat, tak
pernah kosong. Juga waktu salat Subuh, tidak hanya orang-orang tua
saja yang memenuhi masjid, anak-anak pun ikut salat berjamaah. Tapi,
kini, jamaah masjid semakin berkurang jumlahnya, malah nyaris kosong.
Mereka lebih senang salat di rumah atau pindah ke masjid lain. Mungkin
sebagai protes atas ketidaksenangan mereka terhadap ulah Haji Miun.
Katakanlah semacam boikot. Bahkan anak-anak pun mereka larang pergi
ke masjid itu. Lain yang dirasakan penduduk, lain pula yang dipikirkan Haji Miun. Mulamula Haji Miun belum menyadari perubahan yang terjadi pada jamaah
masjidnya. Memasuki minggu ke empat setelah usainya perombakan
masjid, barulah ia bertanya-tanya, mengapa orang-orang tidak ada lagi
yang datang ke masjid. Setiap tiba waktu salat, makmumnya cuma satu,
atau paling banyak tiga orang. Seandainya lebih, maka mereka adalah
musafir atau pendatang baru yang tidak tahu-menahu duduk
persoalannya. Tapi setelah mereka menyadari tingkah laku Haji Miun,
mereka pun ikut malas pergi ke masjid.
Melihat perubahan itu, Haji Miun bukan mengendurkan ulahnya, malah
semakin menjadi-jadi. Ceramahnya bertambah gencar. Ia terus
mengingatkan akan pentingnya salat berjamah di masjid. Bahkan suatu
hari, tepatnya pukul tiga malam, ketika orang-orang sedang nyenyaknyenyaknya tidur, lewat pengeras suara Ia mengomeli penduduk yang
malas datang ke masjid. Lalu memberi cap munafik pada orang-orang
yang rumahnya berdekatan dengan masjid, tapi tidak mengerjakan
ibadah itu di masjid. Mendengar omelan Haji Miun, penduduk bukannya bertambah hormat,
tapi justru menertawakannya. Ada yang menganggap penyakit Haji Miun
semakin kronis. Tidak sedikit pula yang merasa sakit hati atas tuduhan
yang dilontarkan Haji Miun. Mereka menarik kesimpulan dan sepakat,
menganggap Haji Miun sudah tidak waras lagi.
Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung. Hingga suatu hari, seusai
aku melaksanakan salat Subuh bersamanya, selama ini hanya aku yang
masih setia menjadi makmumnya, kujumpai haji tua itu menangis
terisak-isak di atas sajadah.
Aku cuma duduk termangu. Tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Setelah
disadarinya aku belum juga beranjak, mendadak Haji Miun menoleh dan
menatapku. "Mamat, kau tahu, mengapa aku menangis?" tanyanya dengan berlinang
air mata. Aku menggeleng.
"Aku menangis bukan karena jamaahku menyingkir satu per satu,"
ujarnya tersendat-sendat sambil terus menangis, "tapi karena manusia
sekarang ini banyak yang tidur. Padahal aku sudah berteriak-teriak
membangunkan mereka setiap hari, tapi tidur mereka malah bertambah
pulas. Aku takut, Mat. Aku takut terhadap masa depan umat ini."
Aku termangu-mangu, bertambah bingung memahami arah ucapannya.
-Majalah Amanah, 7 Oktober 1999.
PINANGAN LEBARAN -Bambang Joko Susilo Lebaran tahun ini aku ragu-ragun untuk pulang. Ragu, karena aku merasa
tidak ada sanak famili yang begitu penting untuk kukunjungi. Seandainya
ada, maka, mereka adalah kakek dan nenekku. Tapi kakek nenekku sudah
lama meninggal, dan kuburannya baru setahun yang lalu kuziarahi.
Mestikah tahun ini aku kembali pulang untuk menziarahinya"
Aku sudah terbiasa hidup sendiri di kota. Kukatakan sendiri, karena
sejak kecil aku terpisah dari orangtua. Mereka bercerai saat aku
berumur lima tahun. Ayah dan ibuku sudah kawin lagi, dan masing-masing
dikaruniai lima anak. Jadi sebetulnya aku punya sepuluh adik meskipun
mereka adik tiri. Tapi aku tidak pernah berkumpul dengan mereka,
sebab masa kecil kuhabiskan di desa. Sejak kedua orangtuaku cerai, aku
dititipkan pada kakek dan nenek. Setelah tamat SMA, barulah aku
merantau ke kota. Sekarang, Lebaran tinggal beberapa hari lagi. Aku belum bisa
memutuskan, apakah pulang atau tidak.
Di desa sebetulnya aku punya sanak famili cukup banyak. Ada Bude,
Pakde, Bulik, Paman dan kakak-kakak keponakanku. Hubungan dengan
mereka pun cukup dekat. Sedang kedua orangtuaku, yang telah menikah
lagi kini tinggal di lain kota. Aku enggan mendatangi mereka, karena
sejak kecil tak pernah diurusnya. Lagi pula, mereka tentu lebih sibuk
mengurusi anak-anaknya yang jumlahnya cukup banyak itu ketimbang
memikirkan aku yang cuma seorang.
Aku sendiri merasa serba salah setiap menghadapi mereka. Sebab bila
datang ke ayah kandungku, maka aku harus berhadapan dengan ibu tiri.
Sebaliknya, bila aku datang ke ibu kandungku, harus berhadapan dengan
ayah tiri. Ayah tiri dan ibu tiri bagiku sama-sama menimbulkan kesan
dan bayangan yang kurang menyenangkan. Apalagi saat berhadapan
dengan adik-adik tiriku yang rata-rata nakal itu.
Aku pernah mencoba tinggal bersama mereka, tapi seminggu, rasanya
seperti sudah berabad-abad. Itu sebabnya, aku lebih senang hidup
sendiri, mengontrak rumah sendiri. Terasa lebih nyaman.
Sebetulnya aku ingin sekali setiap Lebaran pulang, menengok kampung
halaman dan jumpa dengan sanak famili di desa. Hanya setiap pulang aku
kadang merasa rikuh dan malu, sebab saudara-saudaraku di kampung
selalu bertanya, kapan aku menikah" Maklumlah, usiaku sekarang hampir
mendekati kepala empat. Uban sudah mulai tumbuh satu-dua, sementara
aku masih juga senang melajang. Bahkan tampak tenang-tenang.
"Kapan kamu kawin, Wisnu" Lihat, teman-teman sebayamu sudah hampir
punya cucu. Kenapa sih kamu senang membujang?" ujar Budeku tahun
lalu. "Tenang saja. Bude. Jodoh takkan lari ke mana," jawabku.
"Betul. Tapi kalau tak dikejar mana mungkin tertangkap?"
Aku hanya tertawa mendengar ucapan itu.
"Lagi-lagi pulang sendiri, mana pasangannya?" tanya Bulik pula ketika aku
bertandang ke rumahnya. "Pasangannya kan ada di sini. Tuh, sedang main congklak!" tunjukku pada
Fitri, anak tunggal Bulikku yang baru duduk di kelas dua SMA.
Bulik tersenyum-senyum. Sementara Fitri, yang mendengar gurauanku,
tertawa. Setahun yang lalu, pada saat mengambil cuti, aku pernah menginap
beberapa hari di rumah Bulikku. Siang harinya aku pergi jalan-jalan ke
Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri dan ke Kebun Binatang Sriwedari di
Kota Solo, ditemani Fitri. Liburan yang sangat menyenangkan waktu itu.
Fitri yang masih ABG, tampak lincah dan bersemangat, saat kuajak
jalan-jalan. Dia seperti tidak pernah mengenal lelah. Dari Fitri aku
mendapat kabar, bahwa aku memperoleh warisan dari Kakek, sepetak
kebun yang cukup luas. Rupanya sebelum meninggal, Kakek telah
membuat surat wasiat. Itu sebabnya keberadaanku di desa dianggap
penting oleh saudara-saudaraku. Tapi tentu saja, aku tak terlalu
berharap tentang warisan itu.
Seandainya Lebaran ini aku pulang, pasti mereka kembali bertanya.
Mana pasanganku, kapan kawin, wanita model apa aku yang dicari" Dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak jauh dari persoalan itu. Terus
terang, aku tidak tahu lagi bagaimana harus menjawabnya.
Aku lelaki normal. Aku juga punya hasrat ingin segera kawin. Namun
setiap kali teringat perceraian kedua orangtuaku, dan bagaimana
renggangnya hubungan dengan mereka, maka aku selalu berpikir, buat
apa cepat-cepat menikah kalau nantinya cerai" Bukankah seandainya
terjadi perceraian, akhirnya yang menderita anak juga" Karena itu,
lebih baik kawin terlambat asal selamat.
Dulu, aku pernah ditawari kawin oleh Bude. Wanita yang dijodohkan
untukku itu masih ada hubungan famili. Ketika dipertemukan dengannya,
sebetulnya hatiku tertarik, tapi entah mengapa akhirnya kutolak. Aku
merasa harga diriku sebagai lelaki diremehkan, seolah-olah tak mampu
mencari pasangan sendiri. Padahal di kota, kalau mau, banyak wanita
yang siap untuk kunikahi. Artinya, meskipun tidak serius benar, aku juga
pernah pacaran seperti anak-anak muda pada umumnya. Tapi entah
kenapa, begitu mulai serius, aku selalu mengurungkan niat untuk
selekasnya menikah. Aku seakan punya firasat, bahwa dia bukan
jodohku. Tentu saja wanita itu kecewa, dan akhirnya ia menikah dengan
pria lain. Selalu saja begitu.
Sekarang kalau aku pulang, lalu saudara-saudaraku kembali bertanya,
mana pasanganku, kapan aku kawin, model apa yang kucari, dan
sebagainya. Bagaimana aku harus menjawab"
Lebaran tiba. Aku memutuskan tidak pulang tahun ini. Seperti biasa,
pagi-pagi aku bangun dan salat Id di masjid terdekat. Selesai salat,
kami bersalam-salaman, saling memaafkan antara tetangga, rekan dekat,
atau orang-orang lain yang kebetulan bertemu di masjid.
Aku tidak menyediakan apa-apa di rumah, kecuali minuman jeruk dan
roti kaleng untuk persiapan kalau-kalau ada teman yang datang. Tapi
pagi itu, sepulang dari salat Id, aku justru mendapat kiriman ketupat
sayur dari seorang tetangga depan rumahku. Ketupat sayur dengan gulai
paha ayam yang gurih itu, langsung kusantap hingga perutku kenyang.
Yang pertama-tama kulakukan adalah keliling kompleks, menyalami para
tetangga satu-per satu. Setelah itu kembali duduk di rumah dan nonton
televisi. Beberapa anak muda remaja masjid datang menyalami, ngobrolngobrol sebentar, setelah itu mereka pergi.
Kemudian Joni, teman sekantorku yang rumahnya di ujung gang, datang
bersama anak istrinya. "Kami akan mengunjungi orangtua di Bogor,"
katanya. Tak lama kemudian ia pun berlalu
"Engkau tidak silaturahim ke orangtuamu?" tanya Joni sebelum pamit.
Pertanyaan Joni sempat membuatku tercenung. Lama aku berpikir.
Tanpa sadar aku menitikkan air mata. Aku teringat pada Ibu. Wajahnya
tiba-tiba menyembul di hadapanku. Rasa rindu dan kebencian kembali
menyeruak. Rindu, karena biar bagaimana pun dia adalah ibu yang
melahirkanku. Benci, karena teringat pada perceraian dan masa kecilku
yang seperti disia-siakan. Tapi akhirnya aku sadar, apa pun yang terjadi
dengan mereka, keduanya tetap orangtuaku. Karena itu aku berjanji,
suatu saat akan mengunjungi mereka. Entah kapan.
Bosan tinggal di rumah, aku pergi jalan-jalan. Kebetulan di Grand Mal
Bekasi ada pertunjukan binatang-binatang langka, yang katanya hasil
perkawinan antara manusia dengan makhluk halus Genderuwo, atau kera
jelmaan manusia yang konon menjadi korban pesugihan. Huh! Ada-ada
saja cara orang mencari duit.
Aneh juga. Orang lain menggunakan hari Lebaran untuk saling
silaturahim, aku malah pergi jalan-jalan, sendirian pula.
Ramai sekali yang datang ke tempat pertunjukan. Umumnya bersama
keluarga. Sedang yang muda-muda bergandengan tangan dengan
pasangannya. Hanya aku yang benar-benar berjalan sendiri. Perasaan
sepi begini sudah sering kualami. Sepi di tempat keramaian.
Kadang merasa aneh, bagaimana mungkin bisa merasa sepi di tengah
keramaian. Tapi itu yang kualami. Untunglah, kemudian aku akrab dengan
suasana sepi. Bukankah penyakit orang kota selama ini selalu merasa
takut kalau dirinya kesepian"
Setelah itu aku mengunjungi kepala kantorku yang rumahnya kebetulan
tidak begitu jauh. Kami berbincang-bincang cukup lama. Sore hari baru
aku pulang. Dan malamnya aku tertidur pulas.
Pagi-pagi sekali aku terbangun, ketika terdengar ada orang mengetuk
pintu. Buru-buru aku bangkit dari tempat tidur, dan langsung terkejut
setelah mengetahui siapa yang datang.
"Bulik" Paklik?" ujarku seperti tak percaya, "dan engkau...Dik Fitri?"
desisku seperti orang tolol.
Mereka tersenyum-senyum. Aku yang masih mengenakan kain sarung
segera mempersilakan mereka masuk, lalu cepat pergi ke kamar mandi.
Aku sama sekali tak menyangka. Lebaran tahun ini justru Bulik dan
Paklik yang datang berkunjung.
"Sengaja kami datang pada hari lebaran kedua, Wisnu. Selain yakin
bahwa tahun ini kau tak pulang, juga untuk menghindari kemacetan di
jalan," ujar Bulik. "Sudah lama kami ingin melihat-lihat keadaan Kota Jakarta, Wisnu. Kau
tentu mau mengantar kami jalan-jalan, bukan" Kebetulan Fitri tahun ini
lulus sekolah," kata Paklik yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Tentu saja aku senang mendengar niat mereka. Setelah istirahat
sebentar, siang harinya kuajak mereka pergi ke Tugu Monas, lalu ke
Kebun Binatang Ragunan. Esoknya, karena kantor-kantor masih libur,
kami ke Taman Mini Indonesia Indah. Mereka senang sekali. Terlebihlebih Fitri. Rupanya baru pertama kali ini dia datang ke Jakarta.
Ternyata kedatangan mereka tak sekadar ingin bertamasya melihat


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan Jakarta. Malam harinya, ada pembicaraan sangat penting yang
disampaikan kepadaku. Dan inilah yang sama sekali di luar dugaanku.
"Keluarga di kampung semua sudah setuju. Niat kami hanya ingin
mengumpulkan kembali tulang-belulang yang berserakan. Engkau setuju
bila dikawinkan dengan Fitri, kan?" demikian ujar Bulik.
Aku terhenyak mendengar tawaran itu. Aku tak tahu, bagaimana
melukiskan perasaanku. Lama aku tertunduk karena tidak tahu
bagaimana harus menjawab.
"Yah. Barangkali Fitri-memang jodohmu, Nu," kata paklik pula, pelan.
Aku masih terdiam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam benakku. Di
ruang tamu, kulihat Fitri, sedang asyik nonton televisi. Gadis manis yang
masih terbilang adik sepupu dan merupakan anak tunggal Bulikku itu
memang sudah besar, tubuhnya bongsor.
Aku teringat, bagaimana dulu kami pernah pergi jalan-jalan ke Waduk
Gajah Mungkur dan Taman Sriwedari. Kami pernah berboncengan naik
sepeda meniti jalan setapak pinggir desa, lalu terpeleset masuk sawah.
Pakaian kami belepotan kena lumpur. Kami tertawa-tawa.
Saat itu sebetulnya aku telah merasakan getaran aneh. Tapi berusaha
menepisnya jauh-jauh, sebab kupikir mana mungkin" Fitri, bagaimanapun
jika melihat urutan keluarga masih tergolong adik sepupu. Usianya masih
muda, baru 18 tahun. Sedangkan aku"
-Warta Kota, 23 November 2003.
WANITA YANG TERPERANGKAP MALAM
-Bambang Joko Susilo Malam ini Jamal tak bisa tidur. Matanya terus terpicing. Seperti ada
sepenggal kayu yang mengganjal kedua kelopaknya sehingga mata itu tak
dapat terkatup. "Kalau malam tak bisa tidur, itu tandanya kau minta pasangan. Mal.
Cepatlah kawin lagi. Buat apa menduda lama-lama. Kulihat wanita lajang
yang tinggal di depan rumahmu cukup oke," canda Badri siang tadi di
kantor. Badri, sahabat karibnya itu memang senang menggoda. Apa hubungannya
tidak bisa tidur dengan status duda"
Sudah empat tahun ini Jamal memang menduda. Istrinya terpaksa ia
cerai, karena Yuni, demikian nama wanita itu, ternyata bukanlah tipe
istri setia. Dia berselingkuh dengan lelaki lain saat Jamal sedang
bekerja. Jamal merasa cintanya dikhianati. Dan lebih menyakitkan lagi,
lelaki yang diajaknya nyeleweng itu bekas pacarnya yang pertama dulu.
Padahal perkawinan Jamal dan Yuni belum berjalan satu tahun.
Sekarang Jamal sudah terbiasa hidup sendiri. Status menduda justru
terasa membuatnya lebih bebas. Jamal bukannya tak ingin kawin lagi.
Seandainya mau, banyak wanita yang menginginkan dirinya. Tapi luka di
hatinya belum sembuh. Ia tidak ingin terperosok ke lubang yang sama
untuk kedua kali. Selain itu, kebetulan sampai sekarang, belum ada lagi
wanita yang mampu menggugah hatinya.
Lalu, bagaimana dengan gadis tetangga depan rumahnya" Badri memang
tidak salah menilai, wanita itu manis. Narti namanya. Tubuhnya tinggi
semampai. Berambut panjang, dan berkulit kuning langsat. Setiap lelaki
normal, pasti akan segera jatuh cinta begitu bertatapan dengannya. Ia
bekerja di perusahaan swasta. Berangkat pagi, pulang sore. Narti profil
wanita karier, sangat sibuk setiap hari.
Jamal pernah bertemu dengannya dalam satu bus dan mencoba
bercakap-cakap. Tapi sayang, sikap wanita itu dingin bagal bongkahan
es. Ada dua alternatif yang dirasakan Jamal atas sikap Narti. Pertama,
mungkin memang punya watak demikian, dingin seperti wanita frigid.
Kedua, siapa tahu sikap seperti itu sengaja diperlihatkan Narti, sebagai
ekspresi ketidaksukaannya kepada Jamal.
Tapi, ternyata tidak. Setelah berkali-kali Jamal bertandang ke rumah
Narti, akhirnya Jamal tahu, wanita itu baru saja mengalami patah hati.
Pacarnya kawin dengan wanita lain.
Ah, kasihan dia. Apa salahnya bila hati yang sama-sama luka disatukan
untuk saling menyembuhkan" Jamal membatin.
Sayang, sedikit pun Narti tak membuka celah di hatinya untuk Jamal.
Alhasil, sudah sekian bulan mereka bertetangga, hubungan keduanya
tidak lebih sebatas tetangga biasa. Mereka jarang bercakap karena
sama-sama sibuk. Narti pulang malam. Dan esoknya, pagi-pagi sekali,
gadis itu sudah menghilang dari rumahnya.
Hm...dia memang cantik. Lagi Jamal cuma bisa membatin. Namun di saat
lain Jamal pun bergumam, apa enaknya punya istri seperti dia" Lalu
Jamal mengutuki dirinya, sebab perkataan itu seperti sebuah ungkapan
untuk menutupi kelemahannya, atas kegagalannya dalam menarik simpati
gadis itu. Akhirnya Jamal melupakan Narti.
Anehnya, semakin ia berusaha melupakan gadis itu, semakin melekatlah
bayang-bayang Narti di hadapan Jamal. Terlebih setiap kali Jamal
berpapasan, wajah Narti tampak begitu muram. Tubuhnya semakin
kurus. Seperti ada beban berat menghimpit hidupnya. Entah apa. Betapa
ingin rasanya Jamal meringankan beban itu. Tapi sayang, hati Narti sulit
ditebak. Mungkinkah bayang-bayang wajah Narti yang muram, yang membuat
Jamal malam ini tak dapat tidur" Entahlah. Pernah sekali Narti memberi
sesungging senyum pada Jamal ketika berpapasan di jalan, namun
senyum itu tampak misterius. Inilah yang membuat Jamal penasaran.
Beberapa tahun lalu, pada hari-hari pertama berpisah dengan Yuni,
Jamal gelisah. Kegelisahan itu dirasakan bagai siksaan. Tapi setelah ia
meleburkan diri dalam kesibukan dan bekerja sekeras mungkin di siang
hari, hasrat-hasrat manusiawinya dapat teredam. Apalagi setelah
meneruskan kuliah di malam hari mengambil S-2, Jamal semakin tidak
punya waktu untuk memikirkan wanita. Akhirnya ia terbiasa tidur
sendiri berteman buku-buku bacaan, diktat kuliah dan berkas-berkas
tugas kantornya. "Aku masih muda." Jamal menghitung usianya yang tahun ini memasuki
tiga pukul sembilan. Ia berkata demikian, sebab ada beberapa temannya
yang lebih tua sampai sekarang masih melajang. Bukankah jodoh di
tangan Tuhan" Bagi Jamal, hidup berumah tangga tanpa ikatan cinta yang murni,
mustahil dapat berjalan aman. Tapi untuk mendapatkan cinta yang tulus
murni, di zaman sekarang ini betapa sulitnya. Semua hubungan pasti ada
pamrihnya. Semakin bertambah usia seseorang, semakin tinggi jenjang
karir dan pendidikan yang dilaluinya, serta meningkat status sosialnya,
maka semakin banyak kriteria yang diminta dari calon pasangannya.
Tapi, apakah Narti, wanita yang mengontrak di depan rumahnya itu, juga
memasang syarat-syarat demikian" Seandainya memasang, apa
kekurangan Jamal di mata gadis itu" Jamal sudah memiliki rumah
sendiri, pekerjaannya mapan, pendidikan sarjana. Soal tampang" Tentu
saja Jamal merasa dirinya tampan. Hanya saja Jamal memang sering
merenung, mengapa Yuni tega menipu dirinya. Setelah mendapatkan
semua yang diinginkannya, wanita itu diam-diam tetap menjalin hubungan
dengan pacarnya yang pertama. Begitu mereka terpergok, Yuni bukannya
takut atau meminta maaf, justru seperti sengaja menunggu reaksi
Jamal. Dan begitu Jamal memutuskan menceraikannya, ternyata itu
yang ditunggu-tunggu Yuni. Menyakitkan! Jamal merasa, betapa
lemahnya ia. Seharusnya ia membunuh lelaki itu, atau kalau perlu
membunuh keduanya sebagai balasan atas harga dirinya yang diinjakinjak. Tapi sayang, Jamal lebih senang mengalah. Ia berusaha
mnghindari konflik yang berdarah-darah.
Lalu bagaimana dengan Narti" Mengapa akhir-akhir ini gadis itu tampak
begitu lesu dan wajahnya selalu pucat"
Keheranan Jamal bertambah ketika suatu malam, Narti pulang diantar
mobil sedan. Seorang lelaki muda tampak mengiringi langkahnya dari
belakang. Alangkah terkejutnya Jamal ketika melihat sosok lelaki itu.
Ternyata ia pacar pertama Yuni. Mau apa lelaki itu ke rumah Narti"
Begitu tiba di dalam, mereka terlibat perang mulut. Ribut-ribut itu
berhenti setelah terdengar sebuah tamparan dan benda pecah
berkeping-keping di lantai, lalu terlihat lelaki itu tergesa-gesa
meninggalkan rumah Narti. Setelah itu terdengar isak tangis Narti.
Menyaksikan peristiwa itu Jamal terbengong-bengong. Apa yang terjadi
dengan Narti" Mengapa ia bisa berhubungan dengan pacar Yuni"
Ataukah Narti telah menjadi kekasih lelaki itu" Lalu dikemanakan Yuni"
Benak Jamal diliputi tanda tanya.
Malam harinya Jamal semakin tak bisa tidur. Waktu ia terlena sebentar,
ia bermimpi wanita itu mendatanginya dengan wajah lusuh. Tapi gadis itu
tak berucap sepatah pun. Ia hanya menatap Jamal dengan pandangan
kosong. Alamat apa ini"
Keesokan harinya di kantor, Jamal menceritakan kepada Badri peristiwa
yang dia lihat dan mimpi yang dialaminya. Sahabat karibnya itu hanya
tertawa-tawa. "Sepertinya wanita itu sedang mengalami problem berat, Dri," kata
Jamal. "Apa kataku. Coba engkau melamarnya dari dulu-dulu, tentu tak ada
kejadian begitu. Kau lelaki, Mal. Lelaki itu dikodratkan mengejar. Kejar
terus kalau kau memang menyukainya, niscaya ia bisa tertangkap. Sikap
dingin yang ditunjukkan wanita secara lahiriah, belum tentu dingin
secara batiniah," kata Badri.
"Tapi nampaknya sekarang dia sedang berhubungan dengan lelaki lain,
Dri. Dan lelaki itu...."
"Itulah! Itu karena kau kurang gencar mengadakan pendekatan,
akhirnya lelaki lain yang menggaetnya. Jamal, kau ini sebetulnya punya
banyak kelebihan, tapi perasaanmu ternyata lebih dominan ketimbang
akalmu. Terang saja Yuni berselingkuh," kata Badri terus tertawa.
"Jangan ungkit-ungkit masa laluku. Sekarang aku sedang serius
memikirkan Narti. Bagaimana menurutmu tentang mimpiku itu?" tanya
Jamal lagi seperti orang tolol.
"Yah, siapa tahu itu pertanda baik. Ia mengharap kau datang. Belum
tentu lelaki itu pacarnya. Siapa tahu dia bosnya, teman sekerja, atau
lelaki bajingan yang ingin memerasnya. Bukankah sekarang ini memang
banyak lelaki yang jadi bajingan" Nah, sekarang, kesempatanmu untuk
menolongnya!" Badri menjawab ringan.
Sore, sepulang kerja, Jamal berpapasan dengan Narti di sebuah gang.
Gadis itu melangkah tergesa. Sepertinya ia baru saja berbelanja di
sebuah toko. Tangannya membawa bungkusan plastik. Ketika ia menyapa,
wanita itu tak menjawab, melainkan hanya menunduk. Narti langsung
berlari mendahului Jamal. Tampangnya tampak tidak karuan, persis
dalam mimpinya. Jamal semakin dibuat terheran-heran. Masalah apa
yang sedang dihadapi wanita itu" Mengapa ia tak masuk kerja" Mengapa
wajahnya begitu pucat"
Karena penasaran, selesai mandi dan berganti pakaian, malamnya Jamal
langsung berkunjung ke rumah wanita itu. Hatinya berdebar-debar.
Jantungnya berdegup kencang. Ia seperti mendapat firasat tak enak.
Begitu tiba di depan rumah Narti, dijumpainya pintu rumah itu terkunci.
Kamar tamu Narti tampak gelap. Suasana sunyi. Diketuknya berkali-kali.
Tak ada jawaban. Jamal menjadi curiga. Dan kecurigaannya mencapai
puncaknya ketika hidungnya mencium bau aroma keras dari dalam kamar.
Jamal mendobrak pintu rumah itu. Ia langsung menyerbu ke kamar
Narti. Dinyalakannya lampu. Jamal terperanjat! Ternyata ada dua
wanita tergeletak di tempat tidur dengan mulut berbusa. Sebuah botol
cairan obat nyamuk tergeletak di samping mereka. Wanita yang
tergeletak ternyata Narti, sedang yang satunya lagi... Astaga! Jamal
tidak percaya dengan penglihatannya. Wanita itu ternyata...Yuni!
Jamal seperti orang linglung. Cepat ia berlari ke teras depan.
"Ada wanita bunuh diri! Ada wanita bunuh diri!" teriaknya.
"Mal!" "Ada wanita bunuh diri!"
"Mal, bangun Mal! Kau bermimpi, ya,"sebuah tangan menggoyang-goyang
tubuh Jamal yang tertidur di kursi.
Jamal terbangun. Matanya merah. Ia tampak seperti orang bingung.
Dilihatnya Badri berdiri di hadapannya. Jamal mengucak-ucak mata, lalu
dia tatap sahabatnya itu dengan pandangan kebingungan. Badri
tersenyum. "Itulah akibatnya kalau semalaman begadang, akhirnya kau tertidur di
kantor. Kau bermimpi. Mal. Bahkan sampai mengigau segala. Makanya,
cepat-cepat kawinlah!" ujar Badri sambil pergi meninggalkan meja kerja
Jamal. -Pelita, 28 Juni 2003. TENTANG PENULIS Tentang Ekky Pria bernama asli Ekky Imanjaya ini lahir di Jakarta, 31 Agustus 1973.
Kini menjadi redaktur majalah d'Maestro. Lulus S2 Ilmu Filsafat UI
setelah melewati jenjang S1 di jurusan Sastra Arab FSUI. Bukunya,
antara lain Serial Tokoh Filsafat: Ali Syariati (Penerbit Teraju, 2004),
Why Not: Remaja Doyan Nonton (Dar! Mizan, 2004), Dari Sayid Quthb,
Ali Syari'ati, The Lord of the Rings hingga Bollywood: Kumpulan Tulisan
Film dan Filsafat Populer (Penerbit LEntera, 2003) , Why Not: Remaja
Doyan Filsafat, Ngomongin Islam, Budaya Pop dan Gen X (Dar!Mizan,
Bandung, 2003), Andai Ia Tahu: Kupas Tuntas Proses Pembuatan Film
(editor bersama Akmal Nasery Basral, LAViE Production,2003), Filsafat
untuk Semua, Pengantar Mudah Menuju Dunia Filsafat (Penerbit
Lentera, 2001) dan kumcer
bersama adik-adiknya. Wasiat Terakhir Bapak (Penerbit FBA Press,
2000). Tulisannya tersebar di Gatra, Republika, Koran Tempo, Djakarta,
Jakarta Review of Books sampai Sabili, Annida, Ishlah, Hidayatullah,
dan Saksi. Juga di berbagai antologi seperti Dian Sastro for President
#2 Reloaded . (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Batu Merayu
Rembulan (Batu Marga, Jakarta, 2003), Graffiti Gratitude. Literature
cyber anthology, (Yayasan Multimedia Indonesia, 2001), serta Dan
Malaikat Pun Rukuk. (Penerbit Syaamil Bandung, 2000). Bukunya, Remaja
Anti Korupsi, Siapa Takut" akan segera beredar menjelang pemilu
presiden. Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat ini juga aktif di Komunitas
Musyawarah Burung dan layarperak.com. bisa dikontak di
eimanjaya@yahoo.com, di friendster.com juga boleh.
Tentang Bambang Joko Susilo
Lahir di Sragen, Jawa Tengah, 14 Juli 1964. Pendidikan terakhir
Sekolah Tinggi Publishik Jakarta, jurusan Ilmu Jurnalistik (19851989). Pernah bekerja sebagai pegawai negeri di
sebuah BUMN Cilegon, mengelola majalah perusahaan. Kemudian
bekerja sebagai wartawan free lance dan penulis lepas di beberapa
media, di antaranya Suara Pembaruan. Penulis yang punya hobi melukis
ini namanya ikut tercatat dalam buku Leksikon Susastra Indonesia
(Balai Pustaka 2000). Tulisannya berupa cerita anak-anak, cerpen remaja dan dewasa pernah
dimuat di Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Merdeka, Prioritas,
Amanah, Famili, Gadis, Hai, Sahabat Pena, Mutiara, Psikologi Populer
Anda, Rakyat Merdeka, Warta Kota, Pelita, Republika, Nova, Majalah
Sastra, dll. Kumpulan cerpennya adalah Ketika Matahari Tak Tampak (Balai Pustaka,
1997), Kejantanan di Ujung Maut (Balai Pustaka). Noveletnya Renungan
Perjalanan mendapat penghargaan dari Departemen Agama RI tahun
2002 dalam Lomba Mengarang Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan.
Kemudian dalam lomba yang sama kategori novel anak Suatu Hari di
Stasiun Bekasi menjadi juara pertama tingkat nasional tahun 2003.
Buku cerita anak yang telah ditulis adalah Bebek dari Kakek (Balai
Pustaka, 1997), Aku Mawar Merah, Berburu Belut (Gunung Jati, 2000),
Di Puncak Bukit Gagak (Grasindo, 2003).
Saat ini penulis bekerja di majalah periklanan Info Gading dan menjadi
redaktur Buletin Warta IKAPI Jakarta.
Djvu: syauqy_arr http://hanaoki.wordpress.com
Edit & Convert Jar, Txt, Pdf: inzomnia
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com


Protes! Protes! Protes! Karya Ekky Al Malaky Dan Bambang Joko Susilo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biang Biang Iblis 3 Wiro Sableng 149 Si Cantik Dari Tionggoan Ching Ching 13

Cari Blog Ini