Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo Bagian 1
Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Satu Kata Maaf Penulis: Ruddy Raharjo Pemenang Kedua Sayembara Mengarang Cerber femina
2004 Aku harus belajar memaafkan, belajar menyayangi,
belajar melupakan yang sudah terjadi....
Siantan, Pontianak 20 Juli 2004 Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur
tubuhnya. Komplikasi penyakit jantung, darah tinggi, dan
paru-paru menggerogoti bobotnya yang dulu subur berisi.
Dari balik selimut terlihat jelas tulang-belulangnya
tersembul. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak
mencari aliran udara, menghirup, dan mengeluarkan napas
dengan tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.
Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk.
Bukan saja karena takut, tapi juga karena enggan. Enggan
melihat kondisi sakitnya, enggan bertegur sapa dengan
orang-orang yang mungkin ada di dalam ruangan itu, dan
enggan berdamai dengan perasaan sakit hati yang selama
belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku. Tak mudah
menghapus luka lama. Siang ini aku baru saja sampai di Jakarta, setelah tiga hari
mengikuti pameran di Bali. Taksi yang kutumpangi dari
bandara sudah berhenti di depan rumah. Ponselku tibatiba berbunyi. "Pulanglah, Mei Cen.
Waktunya sudah tiba,"
suara yang sudah sangat kukenal langsung menyergap
pendengaranku. Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak
sabar, hendak menagih ongkos. "Jangan keraskan hati
lagi, sudah saatnya mengakhiri semua kebencian.
Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup!" suara
itu kembali terdengar, kali ini nadanya menyakitkan.
Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama
didengungkan terus oleh sang penelepon. Aku sudah
katakan padanya, tak perlu repot-repot membujuk lagi. Aku
tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi
keinginannya. Titik. Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya
aku sibuk mengamati pernak-pernik kegiatan pameran,
aku malah sering terbengong-bengong. Seperti mantra, isi
pesan telepon itu berbalik menghantui, membuat setiap
detik hidupku menjadi seperti bara api. Batinku bergolak
hebat. Antara rasa sayang dan dendam. Antara rasa iba
dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa sangat
letih menanggung beban ini. Mungkin, Tuhan memang
1 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
khusus merencanakan saat ini untuk mempertemukan kami
berdua. Saat kami harus bicara tentang kepahitan masa
lalu. Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku
menghitung dalam hati. Sudah berapa lama kenangan
buruk itu menyiksaku" Lebih dari lima belas tahun. Sama
sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam lubuk
hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya. Mulai
belajar memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi, belajar
melupakan segala sesuatu yang telah terjadi, belajar untuk
memiliki hati dan jiwa yang baru. Ya, aku harus segera
memulainya. Sekarang. Dengan mantap, aku meminta
sopir taksi memutar kembali mobilnya dan mengantarku ke
bandara. Karena ada kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam
barulah pesawat mendarat di Pontianak. Untuk sampai di
rumah sakit tempat Mama dirawat, aku masih harus
meneruskan perjalanan sekitar empat puluh menit lagi
menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap
karena asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku
kembali mempertanyakan niat hatiku. Bagaimana jika
Mama menolak bertemu denganku" Bagaimana jika
ternyata seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu
mengusirku" Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku
akan remuk dua kali, tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan,
sudah benarkah keputusanku kali ini"
Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah
mondar-mandir tak keruan. Ternyata, bukan hal mudah
untuk masuk ke dalamnya, lalu menyapa, "Apa kabar,
Mama" Aku sudah datang!" Untuk menenangkan jantungku
yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku segera
menyingkir ke ujung lorong yang redup. Dengan gelisah
aku bersandar di tembok, sambil berulang kali
mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.
Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu
teganya aku membiarkan dia terkapar sendirian di dalam
sana, sekarat menghadapi ajal. Padahal, aku sudah
mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu, tapi tak
pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi
mendampingi di saat-saat terakhirnya.
Tapi, hei... tunggu dulu! Jahat" Aku jahat" Bukankah
wanita itu jauh lebih jahat" Lihat saja apa yang selama ini
dia lakukan padaku! Dia bukan saja tidak mengasihiku,
tapi juga ingin melenyapkanku dengan segala macam
cara. Dia ingin membunuhku! Aku, darah dagingnya
sendiri! Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir, yang
terhebat, dan yang paling tak bisa kulupakan. Setiap suku
2 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
katanya bahkan masih aku hafal dengan jelas.
"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen.
Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah,
cuma kamu yang dapat masalah" Kamu tidak pikirkan
bagaimana keadaan Mama" Enak saja kamu bicara,
sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian pakai
dan makan itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu sama
sekali tidak tahu terima kasih. Tidak tahu balas budi! Anak
tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa sial!"
Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial, itulah ungkapan yang paling
sering aku terima selama tinggal di rumah ini.
"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai sekarang,
tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan mengganti
setiap rupiah yang Mama pakai untuk membiayai hidupku
selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan
pernah menginjak rumah ini lagi! Akan kubuktikan, aku
bisa hidup tanpa kalian!" jeritku membabi buta, lalu
menerjang kamar, dan mengemas barang-barangku.
"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu
minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini tertutup
buatmu! Kamu dengar itu" Dasar anak sinting! Sejak di
kandungan saja sudah bikin pusing, sudah besar tambah
bikin masalah! Anak kurang ajar, anak durhaka! Makin
cepat kamu keluar dari rumah ini, makin baik!" teriak
Mama, melengking tinggi. Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi
ranjang. Malang benar nasibku. Lahir tak dikehendaki,
hidup pun tak punya arti. Berjam-jam lamanya aku
menangisi diri, sambil memasukkan barang-barangku
yang tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana.
Tapi, keinginanku saat itu hanya satu. Pergi jauh dan tidak
kembali lagi. Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata.
Kejadian yang lalu itu menyisakan dendam dan kebencian
luar biasa di antara aku dan Mama. Aku bertekad, tak ingin
lagi menggoreskan namanya dalam hidupku. Begitu juga
sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng pembenaran
diri sendiri.Aku berjuang luar biasa keras demi memenuhi
sesumbar sumpahku, tanpa pernah berpikir untuk kembali
ke kota ini lagi. Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat.
Sampai akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk
menatap langit, tak tahu harus berbuat apa. Bulan di ujung
rimbunan pohon rupanya sedang malas menyembulkan
sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan
gemetar. Air mataku menetes lagi.
3 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
September 1968 Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan ini
tak sama dengan yang kemarin. Tidak ada mainan bola
yang digantung di atas kepala. Tidak ada gambar ikan
berenang dilukis di tembok. Tidak ada balon warna-warni
melambai di dekat jendela. Sambil menggeliat
melemaskan otot yang masih agak kaku, aku menelengkan
kepala. Kenapa sepi sekali" Mana teman-temanku"
Bukankah semestinya mereka juga ada di sini, berbaring
berjajar dalam boks yang bersekat-sekat" Biasanya
teriakan mereka membuat aku marah. Berisik sekali.
Walaupun agak menyebalkan, aku sayang pada mereka.
Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya,
wanita berbaju dan bertopi putih selalu datang untuk
memandikan dan mendandaniku dengan bedak wangi.
Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil
menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku
mulai menggesek-gesekkan kaki, terasa lengket. Kenapa,
sih, tidak ada yang mengganti popokku" Basah dan dingin
menempel di kulit, belum lagi ditambah tiupan angin dari
jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu sebentar lagi,
siapa tahu wanita berbaju dan bertopi putih akan muncul
dan menyapaku seperti biasa, "Halo manis, sudah
bangun?" Tapi, setelah lama menunggu, pintu itu tetap
tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar lagi!
Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku
spontan berteriak kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa
wanita ini" Kenapa dia tidak berbaju dan bertopi putih"
Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku mencoba
mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir dia akan
segera menggendong dan memberiku minum, tapi .... Hei,
dia kembali berjalan ke arah pintu, membuka, dan
menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada tangisanku.
Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan kedinginan
seperti ini" Huh, lebih enak tinggal di perut Ibu. Mau
makan, tinggal isap. Makanan akan langsung sampai di
depan mulut. Mau berhangat-hangat, tinggal bergelung di
selimut cairan ketuban. Semua serba enak, tidak perlu
capai-capai menangis jika ingin sesuatu.
Ups! Tunggu dulu! Ibu" Apakah wanita yang tadi datang itu
ibuku" Bisa jadi. Berarti, aku sudah ada di rumah dan ini
kamarku" Asyik juga, paling tidak aku tidak perlu repot
berdesak-desakan tempat dengan teman-teman lain
seperti kemarin. Tidak perlu berebut minum, mainan, dan
berebut minta perhatian. Aku sendirian. Hore! Aku jadi
raja! Enak juga, ya, punya ibu. Tapi, mana dia" Oh, itu dia
datang lagi. Tapi, kenapa, sih, dia selalu membuka dan
menutup pintu de-ngan suara sekeras itu" Telingaku jadi
4 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sakit. Aku menangis lagi.
Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan
menyekaku dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku
karena buang air besar. Lalu bagaimana lagi" Umurku kan
baru 5 hari" Aku belum bisa membersihkan kotoranku
sendiri. Minumnya mana, Bu" Yah, kok, susunya dingin....
Tapi, biarlah, daripada tidak sama sekali. Karena
kelaparan dan hanya disuguhi sedikit, aku melengkingkan
suara, tanda minta tambah. Walau dengan muka galak dan
mulutnya mengomel, dia memberiku sedikit susu lagi.
Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan
menyeka dengan air hangat. Aku asyik memerhatikan
wajahnya. Rasanya, wanita berbaju dan bertopi putih yang
selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga harum.
Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak gemuk dan
memiliki raut wajah keras. Pakaiannya mirip seperti
gorden. Tapi, tak apa, dia adalah ibuku. Hmm... enaknya
aku panggil apa, ya" Ibu, Mama, Mami, atau Bunda" Lebih
enak Mama. Mudah mengucapkannya.
Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih
kedinginan. Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut kain
bedong, tanpa kaus kaki. Bawa aku berjemur di luar,
Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk disapa pagi
ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku sebentar di dada
Mama, karena aku ingin kehangatan.
Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan
senyum termanisku, berharap ia akan tertawa dan
menggelitiki pipiku. Tapi, Mama malah membenahi ember
dan baju kotor, lalu kembali menghilang dari balik pintu.
Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap ia mau
bermain denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu Mama
hanya menjengukku tiga kali. Datang melongok untuk
mengganti popok dan menyodorkan botol susu yang isinya
tak banyak. Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia
hanya mengayunku sebentar, tidak memberi pelukan
selamat tidur atau ciuman. Aku menangis sedih karena
ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta, tapi
yang kudapat adalah cubitan kecil di kaki. Sakitnya....
Lagi-lagi aku menjerit. Makin melengking suaraku, makin
dalam Mama menekuk tubuhnya.
Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari dengan
terlalu banyak tangisan, akhirnya aku tertidur dengan
mengulum jempol tanganku. Ini hari pertamaku datang ke
rumah, bertemu sosok Mama yang sudah sembilan bulan
mengisi bagian hidupku, tapi aku sudah merasa tertolak.
5 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Januari 1972
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku menginjak
tiga tahun. Walau setiap malam aku tidur dengan Mama,
aku hampir tak pernah mendapat pelukan dan ciuman
sayang. Paling-paling hanya usapan di kepala. Kata-kata
manis, nyanyian kecil, atau dongeng pengantar tidur juga
tak aku dapatkan. Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek
dan nadanya datar, kadang-kadang agak membentak.
Padahal, aku ingin tahu rasanya bermanja-manja, apalagi
jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh tak enak,
tidur tak nyenyak, makan pun tak suka. Kalau saja Mama
mau sedikit memanjakan aku dengan pelukan, aku sudah
cukup terhibur. Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama
bersikap pelit, soal keperluanku yang lain juga begitu.
Makan dijatah, minum susu dibatasi. Kalau masih lapar,
minum saja air putih banyak-banyak, begitu kata Mama.
"Di rumah ini bukan cuma kamu yang butuh makan, Mei
Cen. Masih ada enam kakak, dua kakak ipar, Tante Lin,
Oma, dan Mama. Kita harus saling berbagi, jelas?" tegur
Mama galak, ketika suatu kali aku merengek minta porsi
daging gorengku ditambah.
Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari, sekerat
kecil daging dan separuh bagian telur satu kali seminggu,
sementara sisanya adalah sayur-mayur saja. Mula-mula,
tentu saja aku menolak aturan itu dengan tangisan merajuk
dan mulai menga-muk. Tapi, setelah merasakan panasnya
sabetan tangan Mama di pantatku, lama-kelamaan aku jadi
terbiasa dan bisa belajar menahan lapar lebih lama.
Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu cuci
muka saja sepanjang minggu. Irit air, irit sabun. Kalau
kutanya mengapa, jawab Mama singkat saja, "Karena kita
bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah sedikit." Tentu
saja aku belum bisa mengerti apa arti perkataan itu,
seperti juga ketidakmengertianku tentang kondisi tangan
dan kakiku. Kedua kakiku selalu ditutup kain menyerupai sepatu dan
tidak boleh dilepas kecuali mandi atau tidur. Tanganku
juga. Padahal, aku sudah bilang pada Mama bahwa aku
kepanasan. Mama berkeras mengatakan bahwa tangan
dan kakiku sedang tumbuh membesar. Jadi, harus
dibungkus dengan telaten supaya pertumbuhan tulangnya
bagus. Seperti buah mangga saja, katanya. Rapat-rapat
dibungkus supaya cepat masak.
Kalau kain yang melilit tangan dan kaki itu sering dibuka,
nanti pertumbuhannya terganggu, begitu Mama berpesan.
Masih belum cukup dengan penjelasannya, Mama merasa
6 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
perlu untuk mengancam akan memukuli dan mengunciku di
kamar gelap berhari-hari, jika aku berani membuka ikatan
di tangan dan kakiku, tanpa seizinnya. Jadi, dengan sangat
terpaksa aku mengangguk mengiyakan.
Pekerjaanku setiap hari hanya duduk bermain di pojok
kamar, ditemani dua boneka bekas yang sudah kumal.
Mama tidak mengizinkanku keluar rumah. Tak pernah aku
merasakan nikmatnya jalan-jalan pagi, melihat kerumunan
burung, berkejaran di tanah lapang, atau naik sepeda di
sore hari. Hari-hariku diisi dengan sepi, tak punya teman
bicara. Seisi rumah terlalu si-buk untuk diajak bermain.
Mama dan adiknya, Tante Lin, harus banting tulang
mencari uang karena Papa sudah tak ada.
Mohan Liaw, ayahku yang berdarah Dayak-Tionghoa itu,
semasa hidupnya bekerja sebagai penggali sumur. Ia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku masih
berada dalam kandungan. Dua kakak laki-laki tertua sudah
menikah, tapi masih tinggal serumah. Empat kakak lain
punya urusan sendiri karena mereka sudah beranjak
remaja dan lebih senang bermain dengan teman pria
daripada bermain masak-masakan dengan aku.
Setiap hari pukul dua pagi, Mama dan dua kakak lakilakiku sudah beranjak pergi ke peternakan di
luar kota untuk membeli puluhan ayam. Pulang ke rumah, mereka
dibantu empat kakak perempuan mencabuti bulu-bulu
ayam dan memotongnya. Pukul lima pagi, Mama dan dua
kakak ipar membawanya ke pasar untuk dijual. Pulang ke
rumah saat menjelang sore, Mama sudah kelihatan sangat
lelah dan aku tidak boleh mengganggunya dengan
rengekan untuk menemaniku bermain. Aku juga tidak boleh
mengganggu Tante Lin yang sudah lelah karena setiap hari
harus membuat kue-kue untuk dijual.
Bermain dengan Oma" Yang benar saja, umur Oma sudah
84 tahun. Kakinya lumpuh, bicaranya sudah tak jelas,
telinganya pun tak berfungsi baik. Kerjanya sama
denganku. Setiap hari hanya duduk-duduk melamun saja di
kursi. Walau begitu, Oma baik karena setiap hari dia pasti
memberiku uang, sekadar lima puluh atau seratus rupiah.
Aku rajin menyimpannya dalam kotak kecil yang
kuamankan di kolong ranjang.
Dibandingkan Mama yang banyak bepergian, Tante Lin
lebih memungkinkan untuk menemaniku berlama-lama di
rumah. Mengajariku bicara, membacakan buku cerita,
menyuapi makan, bahkan membopongku ke kamar mandi
karena aku belum bisa berjalan. Hal yang mengherankan.
Karena, aku sering melongok dari jendela dan melihat
beberapa anak tetangga seumurku sudah pandai berjalan,
bahkan berlari mengejar layang-layang. Sedangkan aku...
7 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
berjalan saja tidak bisa. Kalau aku mencoba berdiri, pasti
jatuh. Sakit dan ngilu sekali rasanya.
"Mestinya aku sudah bisa berjalan kan, Ma?" tanyaku suatu
sore. Tampaknya, Mama tidak mendengar sehingga aku
harus mengulang pertanyaanku beberapa kali. Kali
keempat barulah Mama mengangkat wajah dari tumpukan
baju kotor yang tengah dicucinya. Ia terdiam sebentar, lalu
menjawab lirih, "Kakimu belum kuat untuk diajak berjalan."
"Karena kakiku bengkok?"
"Bukan! Umurmu masih kecil, jadi belum bisa jalan sendiri."
"A Ming dan Budi seumur denganku, tapi mereka sudah
pandai berjalan." "Mereka lain! Mereka anak laki-laki, kaki mereka lebih
kuat." "Oh...." Aku mencoba mencerna penjelasan Mama.
Mungkin, betul juga penjelasan Mama. Aku percaya
padanya, Mama tak mungkin bohong.
"Lalu, kapan kakiku kuat, Ma?"
"Nanti, kalau kamu sudah besar."
"Kapan aku besar, Ma?"
"Nanti, kalau sudah berumur lima tahun."
"Oh...." Aku menghitung-hitung dalam hati. Itu berarti aku
harus menunggu dua tahun lagi. Hmm... tidak terlalu lama.
"Lalu, tanganku" Kenapa tanganku juga harus selalu
ditutup, Ma?" Kali ini Mama menghela napas, sambil menghapus
keringat di dahi dengan punggung tangannya. "Supaya
tanganmu tidak kedinginan, Mei Cen. Kalau kedinginan,
tanganmu sering kram."
"Kram itu apa?"
"Kejang, susah bergerak."
"Tapi, nanti tanganku bisa sembuh?"
"Ya, kalau kamu sudah besar."
"Kalau aku sudah berumur lima tahun?"
"Ya." "Tidak perlu pakai kain lagi?"
"Ya." "Sungguh" Mama tidak bohong, 'kan" Mama janji?"
kejarku dengan nada menuntut. Dalam hati, aku gembira
bukan alang kepalang. Asyik, sebentar lagi aku bisa
berjalan! Aku begitu sangat merindukan datangnya hari ulang
tahunku yang kelima. Berharap bisa berjalan dan berlari
sekuat macan, dan tanganku tak lagi disarungi kain seperti
bantal. Sambil menunggu saat yang Mama janjikan itu, aku
tetap berusaha belajar berjalan. Minta ampun susahnya!
Mencoba berdiri dengan berpegangan pada semua benda
yang ada, lalu menyeret kaki untuk melangkah satu dua.
8 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sakitnya jangan ditanya, tapi aku tetap memaksakan diri.
Lutut dan siku sudah lebam biru keunguan terkena
benturan setiap kali aku terjatuh. Tidak cuma itu. Aku juga
sulit menggerakkan jemari tangan untuk mengambil
sesuatu, apalagi barang yang kecil. Memegang sendok
atau menjumput kancing, misalnya. Jari-jari tangan rasanya
kaku dan aneh. Dan, lagi-lagi Tante Lin datang sebagai penyelamat. Ia
berbaik hati meluangkan waktu istirahatnya untuk melatihku
menggerakkan kaki dan tangan, sementara Mama dan
kakak-kakakku tidak bisa terlalu diharapkan. Karena terlalu
memaksa diri berlatih, aku jadi sering menangis karena
kesakitan dan kelelahan. Tapi, setiap kali itu juga ucapan
Mama bahwa pada umurku yang kelima aku akan bisa
berjalan, datang menyemangatiku.
Setiap hari aku rutin mencoreti kalender dengan spidol
merah, menghitung hari demi hari, takut kalau ulang
tahunku yang kelima bakal terlewat. Nanti aku akan
memakai baju terbagus dan mengundang semua teman
tetanggaku untuk merayakannya, sambil bermain kejarkejaran di halaman rumah. Pasti
menyenangkan sekali. Cepatlah datang, cepatlah datang! Aku sudah tidak sabar
menanti. Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih
kedinginan. Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut kain
bedong, tanpa kaus kaki. Bawa aku berjemur di luar,
Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk disapa pagi
ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku sebentar di dada
Mama, karena aku ingin kehangatan.
Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan
senyum termanisku, berharap ia akan tertawa dan
menggelitiki pipiku. Tapi, Mama malah membenahi ember
dan baju kotor, lalu kembali menghilang dari balik pintu.
Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap ia mau
bermain denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu Mama
hanya menjengukku tiga kali. Datang melongok untuk
mengganti popok dan menyodorkan botol susu yang isinya
tak banyak. Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia
hanya mengayunku sebentar, tidak memberi pelukan
selamat tidur atau ciuman. Aku menangis sedih karena
ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta, tapi
yang kudapat adalah cubitan kecil di kaki. Sakitnya....
Lagi-lagi aku menjerit. Makin melengking suaraku, makin
dalam Mama menekuk tubuhnya.
Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari dengan
terlalu banyak tangisan, akhirnya aku tertidur dengan
9 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengulum jempol tanganku. Ini hari pertamaku datang ke
rumah, bertemu sosok Mama yang sudah sembilan bulan
mengisi bagian hidupku, tapi aku sudah merasa tertolak.
Januari 1972 Seluruh kejadian itu berulang terus hingga aku menginjak
tiga tahun. Walau setiap malam aku tidur dengan Mama,
aku hampir tak pernah mendapat pelukan dan ciuman
sayang. Paling-paling hanya usapan di kepala. Kata-kata
manis, nyanyian kecil, atau dongeng pengantar tidur juga
tak aku dapatkan. Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek
dan nadanya datar, kadang-kadang agak membentak.
Padahal, aku ingin tahu rasanya bermanja-manja, apalagi
jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh tak enak,
tidur tak nyenyak, makan pun tak suka. Kalau saja Mama
mau sedikit memanjakan aku dengan pelukan, aku sudah
cukup terhibur. Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama
bersikap pelit, soal keperluanku yang lain juga begitu.
Makan dijatah, minum susu dibatasi. Kalau masih lapar,
minum saja air putih banyak-banyak, begitu kata Mama.
"Di rumah ini bukan cuma kamu yang butuh makan, Mei
Cen. Masih ada enam kakak, dua kakak ipar, Tante Lin,
Oma, dan Mama. Kita harus saling berbagi, jelas?" tegur
Mama galak, ketika suatu kali aku merengek minta porsi
daging gorengku ditambah.
Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari, sekerat
kecil daging dan separuh bagian telur satu kali seminggu,
sementara sisanya adalah sayur-mayur saja. Mula-mula,
tentu saja aku menolak aturan itu dengan tangisan merajuk
dan mulai menga-muk. Tapi, setelah merasakan panasnya
sabetan tangan Mama di pantatku, lama-kelamaan aku jadi
terbiasa dan bisa belajar menahan lapar lebih lama.
Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu cuci
muka saja sepanjang minggu. Irit air, irit sabun. Kalau
kutanya mengapa, jawab Mama singkat saja, "Karena kita
bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah sedikit." Tentu
saja aku belum bisa mengerti apa arti perkataan itu,
seperti juga ketidakmengertianku tentang kondisi tangan
dan kakiku. Kedua kakiku selalu ditutup kain menyerupai sepatu dan
tidak boleh dilepas kecuali mandi atau tidur. Tanganku
juga. Padahal, aku sudah bilang pada Mama bahwa aku
kepanasan. Mama berkeras mengatakan bahwa tangan
dan kakiku sedang tumbuh membesar. Jadi, harus
dibungkus dengan telaten supaya pertumbuhan tulangnya
bagus. Seperti buah mangga saja, katanya. Rapat-rapat
10 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dibungkus supaya cepat masak.
Kalau kain yang melilit tangan dan kaki itu sering dibuka,
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nanti pertumbuhannya terganggu, begitu Mama berpesan.
Masih belum cukup dengan penjelasannya, Mama merasa
perlu untuk mengancam akan memukuli dan mengunciku di
kamar gelap berhari-hari, jika aku berani membuka ikatan
di tangan dan kakiku, tanpa seizinnya. Jadi, dengan sangat
terpaksa aku mengangguk mengiyakan.
Pekerjaanku setiap hari hanya duduk bermain di pojok
kamar, ditemani dua boneka bekas yang sudah kumal.
Mama tidak mengizinkanku keluar rumah. Tak pernah aku
merasakan nikmatnya jalan-jalan pagi, melihat kerumunan
burung, berkejaran di tanah lapang, atau naik sepeda di
sore hari. Hari-hariku diisi dengan sepi, tak punya teman
bicara. Seisi rumah terlalu si-buk untuk diajak bermain.
Mama dan adiknya, Tante Lin, harus banting tulang
mencari uang karena Papa sudah tak ada.
Mohan Liaw, ayahku yang berdarah Dayak-Tionghoa itu,
semasa hidupnya bekerja sebagai penggali sumur. Ia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku masih
berada dalam kandungan. Dua kakak laki-laki tertua sudah
menikah, tapi masih tinggal serumah. Empat kakak lain
punya urusan sendiri karena mereka sudah beranjak
remaja dan lebih senang bermain dengan teman pria
daripada bermain masak-masakan dengan aku.
Setiap hari pukul dua pagi, Mama dan dua kakak lakilakiku sudah beranjak pergi ke peternakan di
luar kota untuk membeli puluhan ayam. Pulang ke rumah, mereka
dibantu empat kakak perempuan mencabuti bulu-bulu
ayam dan memotongnya. Pukul lima pagi, Mama dan dua
kakak ipar membawanya ke pasar untuk dijual. Pulang ke
rumah saat menjelang sore, Mama sudah kelihatan sangat
lelah dan aku tidak boleh mengganggunya dengan
rengekan untuk menemaniku bermain. Aku juga tidak boleh
mengganggu Tante Lin yang sudah lelah karena setiap hari
harus membuat kue-kue untuk dijual.
Bermain dengan Oma" Yang benar saja, umur Oma sudah
84 tahun. Kakinya lumpuh, bicaranya sudah tak jelas,
telinganya pun tak berfungsi baik. Kerjanya sama
denganku. Setiap hari hanya duduk-duduk melamun saja di
kursi. Walau begitu, Oma baik karena setiap hari dia pasti
memberiku uang, sekadar lima puluh atau seratus rupiah.
Aku rajin menyimpannya dalam kotak kecil yang
kuamankan di kolong ranjang.
Dibandingkan Mama yang banyak bepergian, Tante Lin
lebih memungkinkan untuk menemaniku berlama-lama di
rumah. Mengajariku bicara, membacakan buku cerita,
menyuapi makan, bahkan membopongku ke kamar mandi
11 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
karena aku belum bisa berjalan. Hal yang mengherankan.
Karena, aku sering melongok dari jendela dan melihat
beberapa anak tetangga seumurku sudah pandai berjalan,
bahkan berlari mengejar layang-layang. Sedangkan aku...
berjalan saja tidak bisa. Kalau aku mencoba berdiri, pasti
jatuh. Sakit dan ngilu sekali rasanya.
"Mestinya aku sudah bisa berjalan kan, Ma?" tanyaku suatu
sore. Tampaknya, Mama tidak mendengar sehingga aku
harus mengulang pertanyaanku beberapa kali. Kali
keempat barulah Mama mengangkat wajah dari tumpukan
baju kotor yang tengah dicucinya. Ia terdiam sebentar, lalu
menjawab lirih, "Kakimu belum kuat untuk diajak berjalan."
"Karena kakiku bengkok?"
"Bukan! Umurmu masih kecil, jadi belum bisa jalan sendiri."
"A Ming dan Budi seumur denganku, tapi mereka sudah
pandai berjalan." "Mereka lain! Mereka anak laki-laki, kaki mereka lebih
kuat." "Oh...." Aku mencoba mencerna penjelasan Mama.
Mungkin, betul juga penjelasan Mama. Aku percaya
padanya, Mama tak mungkin bohong.
"Lalu, kapan kakiku kuat, Ma?"
"Nanti, kalau kamu sudah besar."
"Kapan aku besar, Ma?"
"Nanti, kalau sudah berumur lima tahun."
"Oh...." Aku menghitung-hitung dalam hati. Itu berarti aku
harus menunggu dua tahun lagi. Hmm... tidak terlalu lama.
"Lalu, tanganku" Kenapa tanganku juga harus selalu
ditutup, Ma?" Kali ini Mama menghela napas, sambil menghapus
keringat di dahi dengan punggung tangannya. "Supaya
tanganmu tidak kedinginan, Mei Cen. Kalau kedinginan,
tanganmu sering kram."
"Kram itu apa?"
"Kejang, susah bergerak."
"Tapi, nanti tanganku bisa sembuh?"
"Ya, kalau kamu sudah besar."
"Kalau aku sudah berumur lima tahun?"
"Ya." "Tidak perlu pakai kain lagi?"
"Ya." "Sungguh" Mama tidak bohong, 'kan" Mama janji?"
kejarku dengan nada menuntut. Dalam hati, aku gembira
bukan alang kepalang. Asyik, sebentar lagi aku bisa
berjalan! Aku begitu sangat merindukan datangnya hari ulang
tahunku yang kelima. Berharap bisa berjalan dan berlari
sekuat macan, dan tanganku tak lagi disarungi kain seperti
12 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bantal. Sambil menunggu saat yang Mama janjikan itu, aku
tetap berusaha belajar berjalan. Minta ampun susahnya!
Mencoba berdiri dengan berpegangan pada semua benda
yang ada, lalu menyeret kaki untuk melangkah satu dua.
Sakitnya jangan ditanya, tapi aku tetap memaksakan diri.
Lutut dan siku sudah lebam biru keunguan terkena
benturan setiap kali aku terjatuh. Tidak cuma itu. Aku juga
sulit menggerakkan jemari tangan untuk mengambil
sesuatu, apalagi barang yang kecil. Memegang sendok
atau menjumput kancing, misalnya. Jari-jari tangan rasanya
kaku dan aneh. Dan, lagi-lagi Tante Lin datang sebagai penyelamat. Ia
berbaik hati meluangkan waktu istirahatnya untuk melatihku
menggerakkan kaki dan tangan, sementara Mama dan
kakak-kakakku tidak bisa terlalu diharapkan. Karena terlalu
memaksa diri berlatih, aku jadi sering menangis karena
kesakitan dan kelelahan. Tapi, setiap kali itu juga ucapan
Mama bahwa pada umurku yang kelima aku akan bisa
berjalan, datang menyemangatiku.
Setiap hari aku rutin mencoreti kalender dengan spidol
merah, menghitung hari demi hari, takut kalau ulang
tahunku yang kelima bakal terlewat. Nanti aku akan
memakai baju terbagus dan mengundang semua teman
tetanggaku untuk merayakannya, sambil bermain kejarkejaran di halaman rumah. Pasti
menyenangkan sekali. Cepatlah datang, cepatlah datang! Aku sudah tidak sabar
menanti. Untuk apa punya kaki kalau tak bisa berjalan" Untuk apa
punya tangan jika tak bisa digunakan" Ketika tali ikatan
kaki dan tanganku terbuka, aku terpukul, nyaris berteriak
histeris. September 1973-1983 Sayangnya, mimpi itu tak pernah jadi kenyataan. Tepat di
hari ulang tahunku yang kelima, saat ayam masih belum
berkokok, aku sudah bangun. Kunyalakan lampu, turun dari
ranjang, lalu me-rayap, sambil berpegangan pada besi
tempat tidur. Sesampainya di depan lemari kaca, aku
mencoba berdiri tegak dan berjalan. Tapi, baru beberapa
langkah, aku jatuh dan menabrak meja. Suara dentuman
keras langsung membangunkan Mama, berbarengan dengan jatuhnya botol-botol kaca dan gelas.
"Apa-apaan, sih, Mei Cen?" teriak Mama, ketika melihatku
terduduk di antara remukan kaca. Mama memapahku
kembali ke ranjang. Aku menangis keras. "Aku tak bisa jalan! Aku tetap tidak
bisa jalan!" "Kamu kenapa" Kalau mau ambil sesuatu, bilang pada
Mama, nanti Mama ambilkan! Lihat, tuh, barang-barang
13 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pecah semua!" suara Mama tinggi. Mungkin, ia gusar
karena tidurnya terganggu. Sudah dua hari Mama tidak
berjualan karena sakit flu.
"Hari ini ulang tahunku, Ma!"
"Iya, lalu kenapa?" bentak Mama, sambil memunguti beling.
Tangisku menghebat. Ia tidak ingat janjinya.
"Mama bohong! Mama bohong!" teriakku, sambil
melempar bantal dan guling ke arahnya. Tiba-tiba Mama
mendekati aku. Tanpa kuduga, ia menampar mulutku dua
kali. "Bisa diam tidak" Subuh-subuh begini teriak-teriak seperti
orang gila! Diam! Diam tidak?" Tangan Mama masih
teracung di udara, siap menampar lagi. Raut wajahnya
bengis. Aku merapat ke tembok dan menangis tanpa
suara. Takut, marah, kecewa, dan sedih.
"Kenapa Mama bohong?" tanyaku, pelan.
"Bohong apa, sih?" jawab Mama, galak.
"Dulu Mama bilang, aku pasti bisa jalan kalau berumur lima
tahun. Kata Mama, aku belum bisa jalan karena aku anak
perempuan. Masih kecil, masih tiga tahun. Nanti kalau
sudah umur lima tahun, baru bisa jalan seperti si Aming.
Waktu itu Mama janji, 'kan" Sekarang tanggal 9
September, Ma. Umur Mei Cen lima tahun. Tapi, kenapa
Mei Cen masih jatuh kalau berjalan?" Aku menangis lagi.
"Mama bilang begitu?" tanyanya, seakan lupa. Seolah tak
terjadi apa-apa, Mama memutar badan dan kembali
menyapu. "Mungkin, para dewa masih belum
mengizinkannya." Aku bengong, tak mengerti.
"Kamu harus lebih banyak berdoa pada para dewa, Mei
Cen. Supaya dewa-dewa senang dan menyembuhkan
tangan dan kakimu. Kalau kamu rajin sembahyang dan
tidak nakal, pasti dewa akan cepat menyembuhkan,"
jawaban Mama terdengar meyakinkan.
"Betul begitu" Mama tidak bohong?"
Mama menggeleng, lalu memaksaku merebahkan diri.
"Sekarang, kamu tidur lagi. Ayo!" perintahnya.
"Kenapa kita tidak sembahyang sekarang saja, Ma" Lebih
cepat kita sembahyang, lebih cepat dewa
menyembuhkanku, 'kan?"
"Nanti siang saja. Mama masih mengantuk," katanya.
Mama menguap lebar-lebar lalu menggulingkan badan di
sisiku. Jarum jam berdetak mengiringi gerakan bola mataku yang
tak bisa dipejamkan lagi. Di dalam hati aku memendam
begitu banyak pertanyaan. Kenapa dewa memberiku
penyakit ini" Kenapa orang lain tidak" Penyakit apa ini"
Ketika jarum jam menunjukkan angka delapan pagi, aku
14 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menarik-narik selimut Mama. "Sudah siang, Ma! Ayo, kita
sembahyang!" Walau agak susah dibangunkan, sambil terkantuk-kantuk
Mama mau juga membopongku ke ruang tengah. Di sana
ada altar kecil dipenuhi dupa dan lilin merah yang setiap
hari menyala. Dupa dan lilin-lilin itu mengapit beberapa
botol kecil berisi abu leluhur keluarga. Aku mengambil tiga
batang hio dan menyalakannya, lalu membungkukkan
badan dalam-dalam, tanda hormat kepada dewa dan
arwah leluhur. "Para dewa dan arwah leluhur,
sembuhkanlah aku agar aku bisa berjalan," teriakku,
lantang. Sepanjang hari, di sela-sela kegiatanku berlatih berjalan,
aku berdoa dengan suara keras, takut dewa tidak
mendengar suaraku. Aku menaruh beberapa piring berisi
apel dan jeruk sebagai sesajen.
Lepas beberapa hari, aku mulai gelisah. Akhirnya,
kuputuskan untuk tidak meninggalkan altar barang sekejap
pun. Seisi rumah menertawakan dan mengolok-olok. Tapi,
aku tidak peduli. Aku ingin tidur di depan altar saja supaya
bisa berdoa kapan pun aku mau. Mulanya, Mama marah,
tapi belakangan dia diam saja.
Aku sungguh-sungguh berdoa. Tak jarang aku menangis
karena begitu ingin bisa menggerakkan kakiku. Aku tidak
mengerti apa penyebab sakitku ini, tapi aku
mengharapkan kemurahan para dewa dan arwah leluhur
agar mau mengasihaniku. Hampir setahun aku terus membungkukkan badan di
depan altar dan berteriak-teriak sampai suaraku serak.
Tapi, mimpiku belum terwujud. Aku mulai jemu. Sepertinya,
dewa tidak memperhatikan kerasnya usahaku. Mungkin,
dewa terlalu sibuk mengurusi hal penting dan tidak mau
mengurusi permohonan anak kecil.
Di umurku yang ketujuh, aku makin rendah diri mendengar
ejekan orang sekampung. Kata-kata seperti 'Itu Si
Pincang!' atau 'Hei, Ayam Buntung lewat!' atau 'Kasihan,
cantik-cantik, kok, cacat!' memerahkan telinga dan juga
menghancurkan hatiku. Mama tidak ambil pusing dengan
keluhanku. "Ah, mereka itu nakal, suka iseng. Biarkan saja,
nanti akan diam sendiri," katanya, pendek.
Komentar Tante Lin lebih baik. "Kamu tidak pincang, tidak
buntung. Kamu bisa berjalan sedikit, 'kan" Bilang saja,
kakimu sekarang memang sakit, tapi akan segera
sembuh." Tak tahan terus diganggu rasa penasaran, suatu hari aku
nekat membuka sepatu kain dan sarung yang
menyelubungi tangan dan kakiku. Dalam kamar terkunci,
susah payah aku menggunakan gigi untuk menarik tali kecil
15 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang membelit gulungan kain di tangan. Apa yang kulihat
sangat membuatku terpukul dan nyaris histeris.
Tangan yang sejak dulu terlihat begitu aneh, tetap pada
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bentuknya. Tak ada perubahan. Tak ada pertumbuhan
tangan yang indah seperti penari, seperti yang Mama
janjikan. Masing-masing tangan harus puas hanya punya
tiga jari. Jumlah kuku pun tak lengkap.
Aku membuka ikatan yang membelit kaki sepanjang betis.
Pemandangan sangat tidak sedap pun kembali
menerpaku. Kakiku memang ada dua, tapi tidak
sempurna. Bentuknya ganjil. Kanan dan kiri tidak sama.
Kakiku tidak bertelapak dan berjari. Yang disebut telapak
pada kaki kiriku adalah segumpal daging tanpa kuku, tak
berbentuk. Kaki kananku masih lebih baik. Telapak kaki
masih sedikit berbentuk, walau tak panjang. Tapi, hanya
berjari tiga dan berkuku dua. Sayangnya, kaki kanan yang
agak lumayan itu melesak bengkok ke arah dalam.
Aku menangis meraung-raung. Apa gunanya punya tangan,
kalau tak bisa dipakai" Apa gunanya punya kaki, kalau tak
bisa berjalan" Kini aku sadar mengapa semua orang
menghinaku. Mereka semua benar! Aku seperti ayam
buntung pincang berwajah manusia. Aku cacat! Cacat!
Seharian aku mengunci diri di kamar. Tak mau makan dan
minum. Hanya bergolek, terisak di tempat tidur. Tak
kupedulikan teriakan Mama dan Tante Lin yang
menggedor pintu seperti orang kesetanan, berteriak
memanggil namaku. Lewat pukul tujuh malam, aku
merangkak lemas menggapai pintu dan meraih kunci.
Bukan karena lapar atau haus. Aku ingin bertanya pada
Mama, kenapa selama ini ia berbohong.
Begitu aku membuka pintu, tangan Mama yang besar
langsung merenggut rambutku dan membenturkan ke
dinding berulang-ulang. Masih belum cukup, aku
dihadiahinya tamparan di pipi kiri dan kanan.
"Anak sialan! Untuk apa mengunci pintu seharian" Coba
bilang, ngapain kamu di dalam" Ngapain?" teriak Mama.
Air mataku meleleh lagi. Tapi, aku tak bisa melawan. Tante
Lin mencoba memapahku bangun. Kakak-kakakku hanya
menonton. Sedikit pun mereka tak tergerak untuk
mengulurkan tangan. Wajahku yang memar berpaling
memandangi mereka. Kenapa mereka tidak mencegah
ketika Mama menghajarku" Kenapa mereka tidak
menghiburku, memeluk, dan melindungiku" Aku adalah
adik mereka. Atau, mereka menganggapku makhluk aneh
yang tidak pantas jadi manusia"
Dengan mata nanar kutatap wajah Mama. Perlahan aku
menyorongkan kedua belah tanganku ke hadapannya.
"Kenapa Mama bohongi Mei Cen lagi?" desahku. Mama
16 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dan Tante Lin langsung terkesiap, sadar bahwa tangan dan
kakiku tidak lagi terbalut ikatan kain. Rona kaget mereka
tak bisa ditutupi. Mereka menoleh ke belakang. "Siapa
yang buka" A Ling" Atau, kamu, Heng?" tanya Mama.
Satu per satu mereka menggeleng, lalu beranjak pergi.
Mama menatap lama ke dalam mataku. Kupikir ia akan
menghajarku lagi. Tapi, ia bangkit menuju ruang dalam dan
kembali dengan sepiring nasi di tangan.
"Makanlah dulu. Kamu pasti lapar. Sesudah makan,
langsung tidur," katanya, acuh tak acuh.
"Tangan dan kaki Mei Cen kenapa, Ma" Kenapa
bentuknya seperti ini?"
"Tidak sekarang," Mama bergegas menjauh, diikuti Tante
Lin yang sempat mencium pipiku. Aku termangu
memandangi nasi di depanku, tanpa berniat
menyentuhnya. Kejadian hari ini terlalu pedih, membunuh
selera makanku. Hari-hari berikutnya Mama bersikap seolah tak ada apaapa. Tante Lin juga berusaha menghindari
pertanyaanku, tapi tetap melayaniku. Bagaimana mungkin Mama begini,
setelah kemarin menyiksaku sampai babak belur"
Tidakkah Mama tahu bahwa peristiwa itu terekam dalam
jiwaku, menimbulkan luka emosi yang mengobarkan
kebencianku" p>Suatu siang, ketika aku sedang duduk melamun di
depan rumah, seorang anak tetangga lewat dan mulai cari
gara-gara. Setelah beradu mulut yang diakhiri kontak fisik,
aku masuk ke rumah. Melihat lengan bajuku terkoyak dan
pipi merah, alis Mama terangkat. Situasi langsung diambil
alih Tante Lin. "Kenapa" Kok, seperti habis dipukuli?" tanya Tante Lin,
bergegas memeriksa lukaku. Aku menggigit bibir,
menahan tangis. "Memang dipukuli," jawabku, pelan.
"Siapa yang memukuli?"
"Wanto. Ia mengatai aku ayam buntung. Aku tidak mau
dikatai seperti itu. Wanto marah, tidak terima. Tahu-tahu,
dia langsung memukul aku."
Aku menghambur ke arah Mama. "Kenapa tangan dan kaki
Mei Cen begini, Mama?" isakku, lirih.
"Ini sudah takdir, Mei Cen. Sabarlah. Jangan dengarkan
omongan tetangga. Mereka juga akan diam sendiri."
"Ceritakan apa yang terjadi padaku, Ma...."
"Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kita ke dokter saja, ya?"
Mama masih berusaha mengelak. Aku menggeleng
berulang-ulang. "Tidak, Mama harus cerita. Cerita yang
sebenarnya." Beberapa menit kami berpandangan. Perlahan, Mama
17 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mau juga bercerita. Sambil mengibaskan kemoceng di
sela-sela kursi, ia bertutur dengan suara yang hampir tak
terdengar. "Dulu, sewaktu kamu masih ada di perut Mama, pagi-pagi
Mama pergi ke pasar membeli ayam. Menurut orang
Tionghoa, kalau sedang mengandung pantang memotong
ayam, apalagi kakinya. Kata orang tua zaman dulu, bayi
yang dikandung bisa cacat. Hari itu Mama lupa pada
pantangan. Ketika kamu lahir cacat, Mama menyesal
karena melanggar pantangan itu."
"Aku cacat cuma karena Mama memotong ayam sewaktu
hamil?" jeritku, tak percaya.
"Percaya atau tidak, itulah yang terjadi."
"Apakah tak ada yang bisa mengobati cacatku?"
"Dokter di kota bilang, kamu harus dioperasi. Badanmu
disayat, dipotong-potong. Biayanya mahal sekali. Kita
tidak punya cukup uang untuk itu, Mei Cen. Kalaupun bisa,
rumah ini harus dijual. Lalu, kita harus tinggal di mana"
Karena tidak punya uang dan tidak tega melihatmu
dioperasi, Mama membungkus kaki dan tanganmu supaya
tidak ada yang tahu keadaanmu."
"Itu sebabnya aku tidak boleh main dan bersekolah seperti
anak lain" Karena Mama malu?"
"Mama takut kamu dihina."
Dihina. Ucapan itulah yang melecut semangatku. Kupaksa
Mama mendaftarkanku ke sekolah. Miskin dan cacat
adalah dua hal yang tak bisa kuubah, tapi aku tak mau
menambah satu lagi kekuranganku: menjadi bodoh.
Tergerak oleh tekadku, Mama membeli sepasang sepatu
besi khusus untuk penyandang cacat. Jika memakainya,
kakiku terasa berat sekali. Tapi, aku harus mencobanya.
Siapa tahu, telapak kakiku perlahan-lahan bisa normal.
Di sekolah aku makin sering menangis. Tak ada seorang
teman pun yang mau bergaul denganku. Aku sering
kesulitan menulis cepat karena jari-jari tanganku tak
sebanyak orang lain. Biarpun sudah berlatih keras,
hasilnya tetap mengecewakan. Bila tiba jam olahraga, aku
hanya gigit jari dan tinggal di kelas, sementara teman lain
berlarian bermain bola kasti.
Untunglah, keterbatasan fisik tidak memengaruhi
kemampuan berpikirku. Walau aku terlambat bersekolah,
tidak berarti aku lambat dalam menangkap pelajaran.
Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima keadaanku.
Tidak masalah, aku yakin bisa mengatasinya. Nilai raporku
selalu jauh di atas rata-rata. Di akhir tahun pelajaran aku
tersenyum bangga karena prestasiku melebihi orang yang
tak cacat. Sayang, Mama kurang terkesan dengan
keberhasilanku itu. Ia hanya mengangguk, tanpa
18 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
memberikan pujian sedikit pun. Ah... begitu sulitnya aku
merebut hati Mama. Menginjak remaja, kegiatanku di rumah tak banyak
berubah. Tak mungkin aku membantu Mama memotong
dan mencabuti bulu ayam. Kupilih membantu Tante Lin
membuat kue. Mula-mula, hanya mengocok telur, menuang
terigu, dan mengaduk adonan. Lama-kelamaan aku bisa
mencetak aneka bentuk kue kering. Iseng-iseng, aku
menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Hasilnya
kutabung sedikit demi sedikit.
Sayang, hubunganku dengan Mama tak banyak berubah.
Kami masih tidur pada satu ranjang. Tapi, rasanya ia
begitu jauh. Seperti ada tembok tebal yang menghalangi
terciptanya kasih di antara kami. Aku sering menatap
wajahnya yang terlelap di sampingku. Ingin berbicara,
selayaknya ibu dan anak. Ingin mencurahkan seluruh isi
hatiku. Tapi, entah kenapa, aku tak bisa.
Hubunganku dengan semua kakak pun kurang harmonis.
Sejak kecil aku terbiasa dijadikan kambing hitam.
Keadaan rumah berantakan, aku yang kena marah.
Dagangan Mama tidak habis terjual, aku dapat omelan.
Uang kakak hilang, aku dituding sebagai pelaknya.
Pokoknya, tiada hari tanpa daftar kesalahanku.
Di rumah kuno sebesar ini, aku merasa begitu kecil. Begitu
tak bernilai. Terlebih setelah Oma meninggal. Rasa
kehilangan makin menerpa. Saat Oma masih hidup, aku
terbiasa menungguinya di ranjang, menyuapi, dan
membersihkan badannya. Hanya Oma satu-satunya orang
yang memerlukan kehadiranku. Sedikit banyak itu
membuatku merasa berarti. Namun, arti yang sedikit itu
pun terampas tatkala Oma tiada. Aku kembali menjadi
katak dalam tempurung, sepi terasing dalam kesendirian.
Oktober 1986 Jarum jam mendekati angka 5. Tergesa-gesa kuoleskan
lipstik warna pink, merapikan gaun, lalu memakai sepatu.
Aku berdandan agak istimewa untuk menghadiri ulang
tahun Dewi, teman sebangku.
Ketika bercermin, aku bersyukur karena wajahku bisa
dikatakan cantik. Gaun merah muda yang kupakai sangat
cantik. Milik Mei Lan, kakak termudaku, yang terpaksa
merelakannya. Aku masih ingat sorot mata dan komentarnya yang
merendahkan, "Memangnya, temanmu yang ulang tahun
cacat juga, sampai merasa perlu mengundang kamu"
Jangan-jangan, kamu yang memaksa minta diundang?"
Aku hanya bisa menelan ludah. Tebakan Mei Lan kurang
lebih benar. Dewi hanya menyampaikan berita lisan
19 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kepadaku, bukan kartu undangan. Aku tahu, itu cuma basabasi, karena selama ini aku
membantunya menghasilkan nilai 7 dalam setiap pelajarannya.
Tetapi, masa bodoh. Diundang atau tidak, aku tetap pergi.
Apalagi, aku sudah menyiapkan sepatu putih dengan
taburan mutiara imitasi di sekelilingnya. Aku rela
membobol tabunganku demi sepatu cantik ini. Sepatu yang
kuharapkan bisa menimbulkan kesan berbeda bagi kedua
kakiku. Untuk malam ini, selamat tinggal sepatu besi!
Karena rumah Dewi agak jauh, kami harus berkumpul di
sekolah dan kemudian akan berangkat bersama. Aku
berjalan kaki secepat mungkin. Tak kuhiraukan gerimis
kecil yang mulai turun. sampai di sekolah tak satu teman
pun terlihat. Setengah menangis aku melihat jam di pergelangan
tangan. Ya, ampun! Lewat 7 menit dari waktu yang
ditentukan! Mereka bilang akan menunggu dengan batas
toleransi 15 menit. Bagaimana mungkin mereka tega
berbuat begini" Malam itu aku terseok-seok pulang. Sakit hati dan sangat
kecewa. Sambil terisak, aku memukuli kedua kakiku.
Kenapa aku tidak bisa berjalan lebih cepat" Semua garagara kaki sialan ini, kaki brengsek! Kaki
cacat yang tidak berguna! Bukan cuma karena itu aku marah. Untuk ulang tahun Dewi,
aku sengaja berdandan seteliti mungkin karena di situ ada
Wisnu, sepupu Dewi. Aku ingin terlihat istimewa di
depannya. Kaki sialan ini sudah merusak acaraku!
Sampai di rumah, tampak Mama dan Tante Lin sedang
duduk mengobrol di meja makan, ditemani beberapa
stoples kue kenari buatanku. Melihatku basah kuyup,
Mama hanya menoleh sekilas.
"Tidak jadi pergi?"
"Ketinggalan mobil," ujarku, tersendat.
"Oh," hanya itu komentarnya. Sungguh, dadaku sakit sekali.
Tak bisakah Mama bersikap lebih peduli pada
perasaanku, lebih menghargai" Sedikit saja" Agaknya, ia
lebih tertarik mengunyah kue kenari. Tak bisakah ia
bertanya dengan sikap lebih keibuan"
Kuhabiskan sepanjang malam dengan simbahan air mata.
Tangan dan kaki yang buruk rupa adalah sumber bencana
dalam hidupku. Tak pernah aku bahagia. Di rumah
diperlakukan seperti orang lain, di sekolah seperti makhluk
asing. Lengkap sudah penderitaanku!
Aku ingin merasakan kerlap-kerlip suasana pesta,
bergembira, dan bernyanyi. Aku ingin bertemu pria pujaan.
Siapa tahu, ada yang tertarik mengajakku berdansa. Aku
ingin merasakan manisnya jadi gadis remaja. Salahkah
20 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
keinginan itu" Sejak peristiwa Sabtu malam itu, aku jadi makin sensitif.
Aku makin menarik diri dari lingkungan mana pun. Melihat
sikapku yang aneh, Mama marah. Mama menghabiskan
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
waktu dengan menyumpahi dan mencercaku, kegiatan
yang mungkin dirasanya lebih bermanfaat ketimbang
memeluk atau menanyakan keadaanku.
Dalam keadaan tertekan, aku tenggelam dalam
kesibukanku sendiri. Pergi sekolah sebelum orang lain
bangun. Siang hari aku berdiam di ruang praktikum atau di
perpustakaan, membaca. Di sore hari kuhabiskan waktu
berjam-jam untuk membuat kue, disambung dengan belajar
sampai larut malam. Aku ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, tapi
Mama punya pandangan sendiri.
"Buat apa, Mei Cen" Tidak ada gunanya. Buang-buang
uang saja! Lebih baik uangnya ditabung, untuk biaya usaha
atau kawin." "Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh lulusan
SMU, Ma. Paling-paling jadi pegawai toko atau pekerja
pabrik. Gajinya kecil. Kalau Mei Cen kuliah, kesempatan
kerja pasti akan lebih luas," bantahku.
"Sok tahu kamu! Memangnya, kalau tidak kuliah tidak bisa
hidup" Semua kakakmu tidak ada yang kuliah. Tapi,
buktinya mereka bisa hidup."
"Iya, hidup, sih, hidup. Tapi, tidak ada kemajuan sama
sekali. A Heng berdagang ayam di pasar, dari dulu sampai
sekarang. Mei Lan jadi kasir di toko Ko Bun Liong dan Mei
Ling jadi pelayan di rumah makan. Sekarang Mama suruh
Mei Cen berjualan kue sampai tua?" suaraku meninggi.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina mereka"
Mereka sudah menyumbang untuk biaya kamu sekolah,
tahu! Jangan mimpi! Kuliah cuma untuk orang kaya! Kamu
mau bayar kuliah pakai apa" Mama sudah tidak punya
uang lagi!" suara Mama tidak kalah menggelegar.
Sulit. Jika sudah bicara soal uang, aku mati kutu. Biaya
kuliah tidak murah. Aku juga harus merantau ke kota besar.
Butuh biaya perjalanan, kontrak rumah, plus biaya hidup.
Runyam. Sungguh runyam. Lebih runyam lagi kalau aku
harus membuat kue sampai bongkok. Aku tidak boleh
menyerah! Pasti akan ada jalan keluar. Sabar saja!
Aku berjanji akan mengembalikan setiap rupiah yang
pernah dikeluarkan Mama untuk membiayai hidupku.
Harus! ei 1987 Ketika ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan
tinggi sudah dekat, aku memaksimalkan seluruh waktu
21 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang tersiksa untuk berlatih soal-soal.
Di kamar bekas Oma, yang akhirnya menjadi kamar
pribadiku, aku tergeletak letih, setelah menggarap
setengah buku latihan fisika. Sudah pukul satu dini hari.
Mataku penat luar biasa. Terdorong isi kandung kemih
yang penuh karena dua cangkir kopi, aku melangkah ke
kamar kecil. Sejenak langkahku terhenti, berganti menjadi
rasa ingin tahu, ketika sayup-sayup kudengar suara
percakapan dari kamar Tante Lin.
"Kau tidak perhatikan bahwa dia makin tertutup dan makin
menjauh dari kita sejak peristiwa itu?"
"Ah... itu karena dia terlalu cengeng. Dia harus belajar
menghadapi kerasnya hidup, harus belajar menerima
kegagalan." "Jangan terlalu keras padanya, Giok. Bukan salah Mei Cen
dia lahir cacat, 'kan" Dia pasti sangat menderita karena
keadaannya. Mestinya, kau bisa bersikap lebih baik,
karena dia menderita akibat kesalahanmu dulu. Kalau saja
kau tidak gegabah minum segala macam ramuan obat dari
sinse itu, pasti tidak akan begini kejadiannya!"
"Aku tidak pernah tahu bakal begini kejadiannya! Sinse
Wang paling terkenal di daerah ini, obat-obatnya selalu
manjur. Tidak ada yang pernah menyangka anak itu lahir
cacat, Lin! Sudahlah, jangan diingat-ingat lagi. Pedih
rasanya. Setiap kali mengingatnya, aku teringat pada pria
gila itu. Aku melakukannya karena terpaksa. Kau tahu,
'kan" Aku terpaksa, aku takut, aku tidak punya pilihan lain."
Cepat-cepat kubekap mulutku sendiri, sebelum jeritannya
keluar. Lututku lemas dan saling beradu, hampir tak kuat
menyangga tubuh. Astaga, jadi ini rahasia besar yang
selama ini sengaja disembunyikan mereka berdua" Mama
berniat menggugurkan kandungan. Itu berarti, dia ingin
membunuhku, melenyapkanku" Anaknya sendiri"
Bagaimana mungkin dia tega berbuat begitu"
Sampai kokok ayam terdengar nyaring di pagi hari, aku
masih tergolek dengan mata sembap. Semalaman aku
tidak bisa memejamkan mata. Benakku dipenuhi banyak
pertanyaan, ketidakpuasan, ketidakpahaman. Cintakah
Mama padaku" Mengapa ia bisa setega itu" Mengapa
tidak langsung dibunuhnya aku ketika lahir dulu" Bukankah
ia terbebas dari masalah" Tapi, masalah apa yang
membuat Mama bisa mengambil tindakan senekat itu"
Apa hubungannya dengan seorang pria yang disebutnya
kemarin" Keadaan rumah kebetulan sedang sepi ketika kutemui
Mama di dapur pagi itu. Sambil mengiris sayuran, sesekali
ia mengaduk se-panci besar bubur di atas kompor. Aku
berdiri mematung, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia
22 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melihat padaku sekilas, tapi Mama tetap asyik dengan
kegiatannya, tak terusik oleh kehadiranku.
"Kenapa selama ini Mama berbohong padaku?"
"Bohong apa?" "Mama berbohong tentang cacatku! Mama pernah bilang,
tangan dan kakiku tak berkembang karena aku anak
perempuan yang pertumbuhannya tak sepesat anak lakilaki. Lalu, Mama berganti cerita bahwa aku
cacat karena waktu sehamil dulu Mama melanggar pantangan
memotong kaki ayam. Tapi, kenyataannya, cacat ini terjadi
karena disengaja. Betul begitu, 'kan?"
"Hei, kamu ngomong apa, sih" Pagi-pagi sudah meracau!"
"Sekarang, Mama mau mengarang cerita baru lagi"
Sudahlah, terus terang saja! Mama pernah ingin
menggugurkanku, bukan?"
Saat itulah Mama berbalik menghadapku. Kedua
tangannya berkacak pinggang, lalu menudingku lurus-lurus.
"Hei, jangan asal kalau ngomong! Siapa yang bilang
begitu?" "Tak perlu berkelit lagi, Ma. Mei Cen sudah dengar semua
percakapan Mama dan Tante Lin tadi malam. Sebenarnya,
obat apa yang Mama makan sampai aku lahir begini"
Obat yang sengaja Mama pesan pada Sinse Wang supaya
janin di perut Mama tidak berkembang lagi" Obat yang
sengaja Mama beli, Mama minum setiap hari, supaya janin
itu mati seketika" Tapi, sayangnya, janin itu tidak mati,
bukan" Janin itu membesar, tidak mempan oleh obat.
Janin itu tetap hidup, dengan segala kekurangan. Mei Cen
ingin tahu, bagaimana perasaan Mama sewaktu melihat
bayi cacat itu untuk pertama kalinya?" Mukaku memerah
ketika mulai mengucapkan dakwaan.
Dengan raut wajah tegang Mama terpaku. Sesaat kupikir
dia akan menamparku, seperti kebiasaannya kalau
sedang marah. Dalam tempo singkat, Mama berhasil
menguasai kekagetannya dan berucap dengan nadanya
yang khas, datar tanpa emosi.
"Kau tidak akan bisa mengerti."
"Apa yang tidak aku mengerti" Bahwa Mama tidak
menghendaki aku lahir" Bahwa Mama sengaja ingin
membunuhku?" "Kamu tidak bisa mengerti! Mama sebenarnya sayang
padamu." "Sayang" Coba katakan sekali lagi. Sayangkah namanya
jika menggugurkan anak sendiri" Sayangkah namanya jika
membohongiku selama ini" Sayangkah namanya jika
selama ini Mama bersikap tidak adil padaku" Aku mohon,
jangan bohong lagi. Aku cuma ingin tahu, kenapa" Apa
salahku" Apa salahku sampai Mama ingin membunuhku?"
23 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
aku memekik. "Salahmu adalah karena kau lahir bukan di saat yang
tepat!" bentak Mama menggelegar, sambil memukul meja.
"Papamu yang gila perempuan itu pergi begitu saja
meninggalkan rumah ini, kawin lagi di kota lain. Dua bulan
kemudian, Mama baru sadar bahwa Mama hamil. Dalam
keadaan bingung, datanglah kabar bahwa papamu
meninggal karena kecelakaan. Mama makin bingung dan
panik, karena ternyata ia tidak meninggalkan warisan apaapa, selain rumah tua ini. Masih belum
cukup, rupanya papamu sering main judi dan utangnya bertumpuk di manamana. Kalau kamu jadi Mama, apa yang akan kamu
lakukan" Seorang janda dengan enam anak, ditambah
satu calon anak di kandungan, tanpa penghasilan sama
sekali. Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Kalau
kamu dibiarkan lahir, kamu hanya akan menderita dalam
kemiskinan." "Mama mengorbankanku?" Aku tercekat dengan pahit.
"Mama bingung, tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang
tidak punya, sementara semua orang di rumah ini perlu
makan, belum lagi memikirkan soal utang. Mama tidak
sanggup menambah beban lagi dengan mengurusi bayi."
Begitu tenangnya Mama bicara. Aku ternganga, nyaris tak
percaya. Air bening dari pelupuk mataku berjatuhan satusatu.
"Aaa... apakah Mama sedih melihat keadaanku waktu
itu?" Sejenak Mama diam, lalu katanya, "Ya, Mama sedih. Tapi,
jangan dibicarakan lagi. Lupakan saja. Yang lalu biar saja
berlalu." Hah, enak saja Mama bilang begitu! Apa dia tidak sadar
bahwa perbuatannya itu mengakibatkan tangan dan kakiku
cacat" Hati dan jiwaku juga tergoncang" Apa dia lupa,
gara-gara perbuatannya itu, sepanjang hidupku aku harus
dijejali oleh segala macam hinaan dan olok-olok"
Dengan lunglai dan tertunduk, aku kembali ke kamar,
membenamkan diri sepanjang hari di sana. Tanpa perlu
diberi tahu pun, aku sudah paham bahwa pembicaraan ini
sudah usai. Jelas sekali bahwa Mama tidak mau mengakui
kesalahannya, malah memasang tameng pembelaan diri
dengan rupa-rupa alasan yang mengatasnamakan
'kemanusiaan'. Sungguh indah!
Baru aku sadar, dari dulu seolah ada tembok penghalang
antara aku dan Mama. Ternyata, Mama menolak
kehadiranku. Bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku
dengan sepenuh hati, bila ia tak pernah mengharapkan
kelahiranku" Ini pukulan terhebat yang pernah kualami.
Rasa kecewa karena tidak dicintai oleh teman dan
saudara kandung masih bisa kuatasi. Tapi, tidak dicintai
24 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
oleh ibu sendiri" Tidak, aku tidak sanggup
menanggungnya! Setelah konfrontasi yang mengejutkan itu berlalu,
hubunganku dengan Mama makin berantakan. Setiap kali
berpapasan, aku membuang muka. Makanan yang
disediakannya pun tak pernah kusentuh lagi. Sebisa
mungkin, aku menghabiskan waktu lebih banyak di
sekolah.Tapi, apa daya, konsentrasiku pecah.
Pekerjaan rutinku kini hanyalah bergelung memeluk bantal
dan menangisi nasib. Sejak kecil aku senantiasa diolok,
diperlakukan seperti makhluk aneh, dijauhi seolah aku
adalah penderita penyakit yang menyebarkan virus
mematikan. Tak punya teman, tak punya kekasih.Aku tak
perlu mengalami semua ini, kalau Mama tidak mencoba
menggugurkan kandungannya dulu. Itu sebuah upaya
pembunuhan. Itu suatu kesalahan, bukan"
Berbagai pikiran buruk berebut datang menghampiri.
Masa depan, apakah engkau masih menyisakan sedikit
tempat bagiku" Kalaupun ada, yang seperti apa" Menjadi
penghuni panti cacat seumur hidup, sendirian dan
kesepian" Atau... menadahkan tangan, menjadi pengemis
di pinggir jalan" Apakah kelak ada pria yang mau
menikahiku" Di manakah kesembuhan" Di manakah
keadilan" Aku tak punya keberanian untuk menggapai
impian. Aku sangat takut, benar-benar takut!
Juni 1987 Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran kacau-balau.
Aku menjawab soal-soal sekenanya. Aku tak bernafsu
untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus saja sudah
bagus. Aku bukan saja kehilangan cita-cita, tapi juga
semangat dan daya juang. Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung sendiri,
aku jadi uring-uringan. Tiada hari tanpa muka masam dan
keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya tidak menyikat
lantai kamar mandi atau lupa mencuci piring kotor saja,
kami bisa bertengkar hebat. Sejujurnya, aku tak kuat lagi
dan ingin angkat kaki dari sini.
"Kenapa sekarang sikapmu jadi berubah, Mei Cen" Dulu
kamu tidak kurang ajar begini," tegur Tante Lin suatu kali.
"Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak berkelahi
Kasihan mamamu. Ia kanseharian bekerja keras" lanjutnya
lagi. "Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang tua itu
pernah punya niat ingin membunuhku, maaf saja! Aku tidak
bisa," dengusku, sambil memecahkan telur satu per satu
ke dalam adonan. "Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan diingat-ingat
25 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
terus." "Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak hidup
seorang anak yang dirampas ibunya sendiri, masalah anak
yang terlahir cacat karena kesalahan ibunya. Apakah sang
ibu mengakui kesalahannya" Tidak. Apakah sang ibu
menyesali perbuatannya" Tidak. Apakah sang ibu pernah
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
meminta maaf kepada anaknya" Juga tidak. Lalu, kenapa
Tante memaksaku menghormati orang tua yang demikian"
Hanya karena dia sudah memberiku makan setiap hari?"
Aku nyaris membanting baskom berisi adonan.
"Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu
karena umurnya yang sudah tidak muda. Dia mengalami
perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit. Untuk
membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual
perhiasannya. Paling tidak, hormatilah pengorbanannya
itu!" Tante Lin mencoba menasihati.
"Oh... jadi sekarang dia menuntut penghormatan?"
"Bukan begitu, tapi...."
"Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma pasti tahu
ketika Mama berniat untuk menggugurkan kandungan,"
cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku lemah, tapi tidak
menjawab. "Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya" Atau, malah
justru membantu dengan senang hati?" tanyaku, sinis.
"Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali punya
keinginan, tidak ada orang lain yang bisa melawannya.
Sifatnya keras sekali. Kami tak bisa berbuat apa-apa,"
kata Tante Lin, berdalih.
"Ceritakan Tante, seberapa keras keinginan Mama untuk
melenyapkan aku?" Aku segera duduk di depannya. Tante
Lin terperangah, menyadari kata-katanya yang salah, lalu
meralatnya. "Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang sebenarnya.
Jangan khawatir, aku tak akan mati terkejut," desakku lagi.
"Coba ceritakan, apa lagi yang dilakukannya?"
Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika
matanya bertabrakan dengan mataku, ia akhirnya
menyerah. "Dia... dia... pernah membanting-banting
tubuhnya sendiri di lantai, memukuli perutnya dengan
kayu...," ujar Tante Lin terbata-bata.
"Apa lagi?" bisikku, mencoba menguatkan hati.
"Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum gugur
juga, dia nekat pergi ke dukun. Segala macam alat
digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai... dukun
itu berdiri di perut mamamu, lalu menginjak-injaknya...,"
kata Tante Lin. "Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah menyangka kau
akan terlahir cacat dan menanggung malu seumur
26 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hidup...." "Apakah... Mama menyesal ketika melihat keadaanku?"
"Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus
bagaimana. Dia sempat menawarkan kepada orang lain
untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau menerima
bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri karena
tidak siap menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia
mulai menyesal dan berniat untuk membesarkanmu."
Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya. Di
wajahnya terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal.
"Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak
pergi meninggalkannya, ini tidak akan terjadi. Dia
mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima
pengkhianatan papamu."
Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali setiap
kata yang barusan kudengar. Kemudian, tanpa berkata
apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan menyendiri di kamar.
Membayangkan detail kisah itu tidak saja membuat jiwaku
tersiksa, tapi aku juga merasa tak berharga sama sekali.
Kini aku tahu, kenapa Mama sulit menerima kehadiranku
sebagai anak. Penghalang utamanya adalah kebenciannya
yang begitu dalam pada Papa. Itulah yang ditumpahkannya
padaku. Kenapa aku yang dijadikan alat pelampiasan sakit
hatinya" Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga. Tak
ada nilainya. Tak ada artinya. Selama beberapa hari,
hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di otakku.
Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya sinar
kehidupan. Tiba-tiba, jalan keluar mulai terlihat, menggoda
hatiku untuk melakukannya. Lama-kelamaan, pikiran itu
makin mendekati kenyataan ketika kemudian aku
menemukan semprotan obat nyamuk di pojok kamar.
Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup.
Baik, aku akan membantunya sesegera mungkin
mewujudkan keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada,
kebencian Mama pada Papa mungkin bisa lenyap.
Tanggungan hidup Mama juga akan berkurang satu karena
dia tak perlu repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku.
Kalau aku mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam
pusaran dendam pada ibu kandungku sendiri. Aku
mencintainya, aku tak ingin membencinya....
Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan
cairan berbau itu ke dalam kerongkonganku. Rasa panas
yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha
menarik apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda
beterbangan jatuh. Suaranya berisik. Pandangan mataku
mengabur, lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku
terempas, sempat kuingat ada tangan yang merogoh
27 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mulutku, sementara tangan yang lain menekan tengkukku
dengan kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang
amat sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku
terkapar. Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari
benakku. Ketika membuka mata, aku mendapati diriku
tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher. Setelah
pandangan berkunang-kunang yang mengganggu itu
hilang, aku menyeret kaki dan memaksanya keluar dari
kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang,
menandakan sudah pukul satu dini hari.
"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi?" gumamku lirih,
dengan tubuh lemas, bersandar di tembok dapur. Mama
tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu. Buktinya, ia
masih meneruskan kegiatannya menjerang air untuk
menyeduh kopi. "Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi" Biar dendam
Mama terbalas. Biar hati Mama puas. Biar hidup Mama tak
lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama ini"
Kematianku?" cecarku, sambil bergerak maju
menghampiri. Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang
dipegangnya ke lantai. Cipratan kopi panas mengenai
kakiku yang telanjang. "Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih, diungkit-ungkit
terus" Tidak bisakah kita hidup tanpa saling
menyalahkan?" Tampak sekali Mama berusaha menekan
amarah. Mukanya tegang dan bibirnya gemetar.
"Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi," ujarku,
sinis. "Jangan kurang ajar, Mei Cen!"
"Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya" Setelah
usaha yang Mama dulu lakukan gagal, mestinya Mama
berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan
itu. Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama tinggal
bilang saja, mau pakai cara apa" Terjun dari gedung
tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi" Dengan senang
hati aku akan melakukannya untuk Mama."
Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama
mengacungkan telunjuknya di depan hidungku.
"Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada di
kepalamu" Setiap hari kita bertengkar tentang hal yang ituitu juga! Kenapa Mama begini, kenapa
Mama begitu. Berkali-kali dijelaskan tentang situasi yang menjepit waktu
itu, kamu masih tidak bisa mengerti juga. Mama tidak
punya pilihan lain waktu itu, Mei Cen. Mengertilah sedikit!
Pikirmu, cuma kamu yang susah, cuma kamu yang dapat
masalah" Kamu tidak pikirkan bagaimana keadaan
28 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Mama" Seorang wanita setengah tua, yang ditinggal mati
suaminya tanpa warisan" Sendirian bekerja untuk
menghidupi seisi rumah dengan penghasilan pas-pasan.
Apakah itu beban yang ringan?"
"Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu sebagai
kesalahan. Itu masalahnya!" jeritku, sakit hati.
"Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat"
Tidak ada manusia yang bisa menentang kehendak takdir.
Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada yang
menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak
mampu membiayaimu berobat. Lihat sendiri keadaan kita,
Mei Cen. Untuk makan saja kita harus berhemat, belum
lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain. Sekarang kamu
bicara dengan lagak orang paling pintar sedunia! Main
tuding. Ini salah, itu salah! Hei, kamu sadar tidak" Semua
yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama.
Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima kasih, tidak tahu
balas budi! Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak
pembawa sial!" Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial. Itulah ungkapan yang paling
sering aku terima selama tinggal di rumah ini.
"Mama tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai sekarang,
tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan mengganti
setiap rupiah yang Mama pakai untuk membiayai hidupku
selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan
pernah menginjak rumah ini lagi. Aku tidak akan pernah
mengganggu hidup keluarga ini lagi karena aku tidak
pernah diharapkan ada di sini! Akan kubuktikan, aku bisa
hidup tanpa kalian!" jeritku membabi-buta, menerjang
kamar dan langsung mengambil tas di atas lemari.
"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu
minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini tertutup
buatmu! Kamu dengar itu" Dasar anak sinting! Sejak di
kandungan saja sudah bikin pusing. Sudah besar malah
tambah bikin masalah! Anak kurang ajar! Anak durhaka
kamu! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin
baik!" teriak Mama, tak kalah seram, kali ini dengan
melempar beberapa piring ke arah pintu kamarku.
Sambil terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku
pelajaran, ijazah dan surat-surat penting, tiga helai baju
yang kubeli dengan uangku sendiri, dan selimut tua milik
Oma. Aku harus keluar dari rumah ini. Harus! Tak ada lagi
yang bisa menahanku lebih lama di sini. Aku cuma
seorang manusia cacat tak berguna. Benalu yang
membebani. Kenapa Yang Kuasa tidak mencabut nyawaku
saja" Tak ada arti lagi hidupku kini.
Selama beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang
29 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
keputusanku untuk pergi. Masalahnya, aku tidak punya
tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya. Dengan
menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku
membulatkan tekad untuk keluar dari rumah ini. Menjelang
matahari terbit, dengan lunglai aku menyampirkan tas di
bahu dan beranjak membuka pintu depan. Derit suaranya
yang khas membuatku terkesima. Mungkin, ini saat terakhir
aku bersentuhan dengan pintu kayu yang besar ini. Tanpa
sadar kuusap cat cokelatnya yang sudah terkelupas.
Perlahan aku berjalan menjauhi rumah, tempat aku
dibesarkan, meninggalkannya setapak demi setapak.
Kedua tanganku menggenggam erat secarik kertas
bertuliskan sebuah alamat.
Aku sudah melunasi seluruh utangku kepada Mama.
Untuk apa lagi aku datang mengunjunginya" Tidak perlu.
Tidak sekarang. Tidak juga nanti.
Yogyakarta Juni 1987 - 1993 Mulutnya menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu dilepas.
Ia menatap, menyelidik. Beberapa detik kemudian, ia
membuka gerendel pintu. "Mei Cen?" tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk kuatkuat sambil menggigil kedinginan. Hujan
lebat membuat pakaianku melekat di sekujur kulit. Perutku terus berbunyi,
lantaran belum diisi sejak kemarin.
"Pasti ada sesuatu yang sangat serius sehingga kamu
menemui Ibu di sini," katanya, heran dan curiga. Ia
menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan
menyuruhku membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha
menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam. Ia
adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi, karena selalu
memberiku semangat. Sayangnya, ia harus pindah tugas
ke Yogyakarta. Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng teri,
aku duduk di depan Ibu Minarni yang menunggu ceritaku.
Dengan getir aku mengulang kisah hidupku, sejak lahir
hingga detik-detik terakhir pertengkaranku dengan Mama.
Kedua mata Ibu Minarni tampak berkaca-kaca.
"Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya
tinggal di sini sampai mendapat pekerjaan. Saya janji,
tidak akan membuat Ibu susah. Saya akan mengerjakan
semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, cuci
baju, semuanya, apa saja, asalkan diizinkan menumpang
di sini, Bu. Tidur di lantai WC pun tak apa-apa. Ibu tak perlu
memberi saya makan. Ibu boleh memperlakukan saya
sebagai pembantu," tuturku. Setelah beberapa menit
berlalu tanpa ada reaksi apa-apa, aku mendongak.
30 Sepasang Rajah Naga m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ibu Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku. "Ibu
tahu perasaanmu, Mei Cen. Tapi, melarikan diri bukan
jalan keluar yang baik. Keluargamu pasti sangat khawatir.
Apalagi, mamamu...."
"Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama
tidak melarangku, bahkan mengusirku."
"Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melontarkan kata-kata yang bukan maksudnya."
Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu Minarni,
aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.
"Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan permintaanku,"
kataku. "Kamu mau ke mana?" Ibu Minarni ikut berdiri.
"Pergi." "Lho" Bukankah kamu ingin menemui Ibu?"
"Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, 'kan" Ibu
tidak percaya cerita saya, 'kan?" sergahku, sengit.
"Jangan buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa tidak
enak dengan keluargamu, jangan-jangan mereka
menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari
rumah. Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap
orang tuamu." "Percayalah, Bu. Mama tidak akan pernah merasa
kehilangan. Ia tidak mungkin mencari, apalagi lapor
kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih
menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti
saya." "Hus, jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan manusia
dengan segala kebaikan, menurut rupa dan teladan-Nya.
Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang tidak berguna.
Baik, kau boleh (http://cerita-silat.mywapblog.com)
31Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
tinggal di sini. Ibu akan menganggapmu
sebagai anak. Ingat itu! Tapi, asal kamu tahu, Ibu bukan
orang kaya. Artinya, kamu harus menerima ikan asin dan
tempe sebagai makanan sehari-hari. Setuju?"
"Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan
menyusahkan Ibu. Tidak akan pernah!" tekadku.
"Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Ibu
akan tetap memberi tahu keluargamu," katanya, tegas.
Sejak itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan mulai
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ketika Ibu Minarni
bangun, rumah sudah rapi dan sarapan sudah terhidang.
Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu menjajakannya
ke beberapa warung dan toko. Dari 30 tempat yang
kudatangi, hanya satu yang bersedia menampung kue-kue
buatanku. Dalam beberapa bulan, aku berhasil menjaring dua toko
lagi. Uangnya aku gunakan untuk membayar rekening
listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun kemudian, Ibu
Minarni mengajakku berbicara dengan raut muka serius.
Aduh, inilah saat yang paling kutakuti! Ibu Minarni pasti
mengusirku! Mungkin, ia akan mengontrakkan rumah ini
kepada orang lain atau mungkin membuka kos-kosan.
"Mei Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih
kembali. Itu bagus. Tapi, Ibu ingin agar kamu bisa lebih
mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin...," Ibu Minarni sengaja
memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan
dugaanku" "Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya
minta maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau saya
harus pergi, saya ingin...," kataku terbata-bata, menahan
isak. "Kamu ngomong apa, sih" Ibu ingin kamu kuliah...."
"Kuliah" Di sini" Tapi...."
"Ibu ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu.
Sayang jika masa depanmu lewat begitu saja. Otakmu
cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu Minarni,
lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.
"Jangan pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu,
belajar sungguh-sungguh supaya bisa lulus dengan nilai
baik. Supaya kamu bisa datang menemui mamamu dan
mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai
sebuah kebanggaan," katanya, sambil mengusap
rambutku. Kuliah" Aku tidak sedang bermimpi bertemu malaikat
kebajikan, 'kan" Sesaat aku ragu, tapi senyuman Ibu
Minarni menggambarkan ketulusannya.
1 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Tahun pertama kuliah terasa sangat menegangkan.
Perasaan minder yang hebat kembali timbul dan
membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke
mana saja aku melangkah, rasanya setiap mata mengikuti.
Hanya segelintir teman yang benar-benar bisa menerima
keadaanku. Aku sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa
bertemu sosok penolong seperti Ibu Minarni. Dia begitu
rajin memperkenalkanku dengan Tuhan, yang tidak pernah
kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh
kesahku dan giat menyemangatiku. Akan kubuktikan pada
Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa dianggap
remeh. Di tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu banyak
dikejar-kejar berbagai tugas, Ibu Minarni menyuruhku
mengikuti bermacam kursus. Mulai dari komputer, bahasa
Inggris, sampai kursus keterampilan. Bersama dua teman
yang punya minat sama, kami belajar membuat lilin hias
dalam bentuk dan warna menarik, lalu menjualnya saat
bazar kampus. Di luar dugaan, semuanya laris terjual.
Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di antara
ratusan orang yang diwisuda. Terpincang-pincang aku
menerima ijazah dan ucapan selamat dari para dosen.
"Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!" Ibu
Minarni memelukku erat-erat, sambil tersenyum puas.
"Terima kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa
kebaikan Ibu bisa saya balas," kataku, penuh haru. Ibu
Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia seperti
teringat sesuatu. "Kamu harus segera memberi tahu keluargamu di Siantan.
Harus! Tidak boleh tidak!" tegas Ibu Minarni. Aku seperti
terkena tembakan tepat di jantung. "Ah, tidak, Bu! Nanti
saja! Saya belum siap bertemu mereka."
"Kau tidak akan pernah siap selama hatimu terus
dipelihara oleh dendam dan kebencian, Mei Cen.
Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu satusatunya jalan." Aku memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah... sayang,
Ibu berhati malaikat ini bukan orang tua kandungku.
Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh kasih seperti
dia. Seandainya saja aku punya kebebasan untuk memilih
siapa yang melahirkanku ke dunia.
"Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!" tegasku. Kali
ini dengan nada dingin yang tak bisa kututup-tutupi. Tak
sadar, rahangku mengeras karena desakan kemarahan
yang tiba-tiba muncul ke permukaan. Memaafkan Mama"
Mungkin, itu satu-satunya hal yang akan kulakukan jika
langit runtuh. 2 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jakarta September 2003 Tampaknya, penduduk kota ini selalu kesetanan setiap hari
Senin. Buktinya, pukul tujuh pagi, jalan-jalan sudah dipadati
kendaraan. Ditambah genangan air di sana-sini, sisa hujan
semalam. Jika tidak telanjur janji dengan Pak Bramanto
untuk menyelesaikan proposal proyek, aku tidak rela harus
terjebak macet seperti ini.
Sudah hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta.
Pertemuanku dengan Otto Schmidt, orang Jerman yang
tertarik pada pernak-pernik buatanku, membuka sedikit
pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi stan
kami di acara pameran kecil di Yogya. Perbincangan kami
lalu berlanjut ke tahap penjajakan kerja sama dalam bidang
art & craft. Ia menyediakan sebagian besar modal dan
bertanggung jawab atas pemasaran. Aku dan dua temanku
menangani manajemen dan produksi. Malah, kami juga
mengembangkan sayap ke bidang dekorasi rumah dan
gedung. Sampai di kantor, Mona sudah menghadangku. Tangannya
menggenggam buku agenda dan beberapa surat. "Maaf,
Bu, Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat ditunda
hingga pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru
melahirkan," katanya, cepat.
"Oh, ya?" ujarku, mengembuskan napas kesal.
"Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit sekali
menghubungi Ibu." "Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?"
"Pukul sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen
Perindustrian. Pukul empat sore Ibu diundang ke
peresmian mal baru," jelas Mona. Setelah menyerahkan
beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku
menyampirkan blazer hijau lumut pada sandaran kursi
putar, lalu menekan beberapa angka di mesin telepon.
"Ibu, ada apa?"
"Mei Cen, selamat ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan
memberkatimu dengan rahmat dan kebijakan," sapa Ibu
Minarni di ujung sana. "Hadiahnya ada di mejamu."
Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai
penerbangan menarik perhatianku. Isinya, selembar tiket
pesawat. "Pontianak?" "Kau tidak ingin menengok keadaan Mama" Kau tidak
ingin menjemputnya supaya bisa melihat kehidupanmu
sekarang?" Astaga, lagi-lagi topik yang sangat tidak kusukai itu
muncul. 3 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tidak sekarang, Bu," jawabku pendek, sambil menaruh
amplop itu di dalam laci dan menguncinya.
"Kenapa kau senang mengulur waktu, Mei Cen" Tidak baik
memelihara dendam. Kamu sudah dewasa, sudah tahu
yang benar dan yang salah. Jangan berkubang di dalam
masa lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih,
kerugian yang akan kau dapatkan kalau memberi maaf
pada ibu kandungmu sendiri?" Suara Ibu Minarni meninggi.
"Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini, 'kan" Saya
baru saja terjebak macet selama tiga jam dan belum
sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa, sih, Ibu
belum bosan juga membahas masalah ini?"
"Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari
Erwan?" "Tidak ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada Erwan,
jawabanku tetap sama. Aku tidak akan pulang menemui
mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti. Titik."
"Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di
atas pasir," keluh Ibu Minarni. Kau sedang mengerjakan hal
yang sia-sia. Berdiri di tempat pijakan yang sama sekali
tidak kokoh, malah makin menenggelamkan kakimu.
Jangan beri tempat untuk amarah. Ingat itu baik-baik!" Ibu
Minarni memutuskan hubungan. Aku termangu, mencerna
setiap ucapannya. Erwan. Kenapa nama itu harus terdengar lagi" Pria yang
katanya mencintaiku apa adanya itu lebih memilih ibunya
daripada bersanding denganku.
Otto Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku
sebagai pengusaha properti yang masih lajang di usia 38.
Setahun lamanya kami berteman, hingga suatu malam ia
mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu saja, aku
bersedia, karena ia bersumpah akan benar-benar
menerima semua kekurangan yang aku miliki.
"Tidak malu punya istri cacat?" tanyaku, sungguh-sungguh.
"Ah, yang penting kan kecantikan hati!" tegasnya. Ia bilang,
kekuatan cinta kami akan sanggup mengalahkan semua
perbedaan yang ada. Saat Tahun Baru, Erwan mengajakku makan malam di
rumahnya. Ketika melihat pandangan mata ibunya yang
terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi masalah
serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya
rumah bergegas pamit ke kamar dengan alasan kurang
enak badan. "Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang
tuamu?" tanyaku, sambil melempar serbet.
"Sudah, tapi tidak detail," jawab Erwan, salah tingkah.
"Tenanglah, aku, toh, sudah memilihmu. Aku akan
membicarakannya dengan Mama," janji Erwan. Aku tidak
4 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menemukan kejujuran di matanya.
Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah kusut
masai, aku tahu bahwa hubungan kami tinggal tumpukan
abu. "Maafkan aku." Cuma itu.
Untuk kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak
yang kalah. Pihak yang tidak berhak menerima sebongkah
cinta. Satu-satunya orang yang patut disalahkan adalah
Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut
kebahagiaanku" Kenapa dia begitu kejam merampas
hakku untuk hidup seperti perempuan normal lainnya"
Makin aku memikirkan jawabannya, aku jadi makin gila.
Dan, makin membenci Mama.
Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. "Maaf, Bu,
ada seorang ibu mau bertemu dengan Ibu. Namanya Lin."
"Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa diganggu."
Kejutan. Dari mana Tante Lin tahu alamatku" Pasti dari Ibu
Minarni. Hmm, mau apa dia datang ke sini menemuiku"
Sendiri atau bersama... ah, masa bodoh! Aku sudah
bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan
mereka lagi. Aku tak mau menemuinya!
Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap menghadiri
peresmian gerai baru kami di sebuah mal, Mona
menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih setia
menunggu di ruang tamu. "Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!"
"Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan
Satu Kata Maaf Karya Ruddy Raharjo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menginap di sini." "Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia macam-macam!"
bentakku jengkel. Apa, sih, maunya Tante Lin"
Selama tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan, wanita
itu tetap tidak beranjak dari kursinya. Ia tetap ingin bertemu
denganku. Penting sekali, katanya. Di hari keempat, aku
terpaksa mengalah, membuka pintu ruang kerjaku dan
mengundangnya masuk. Tante Lin berjalan pelan, sambil
mengedarkan pandangan. Kami duduk berhadapan
seperti orang asing, saling menunggu lawan bicaranya
buka mulut terlebih dulu. Akhirnya, aku tak bisa menahan
diri lebih lama. "Ada apa, Tante" Uang yang aku kirim kurang" Kurang
berapa?" Tante Lin menatapku gusar. "Bukan masalah uang. Tapi,
masalah kesombonganmu! Kamu sengaja tidak mau
menemui Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu
berhari-hari. Kamu benar-benar keterlaluan!"
"Salah siapa" Aku tidak pernah mengundang Tante Lin.
Jadi, kalau aku tidak mau menemui tamu yang tidak aku
kehendaki, wajar, 'kan?" cetusku, sambil menyipitkan
mata. 5 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang kaya,
Mei Cen. Tapi, jangan kurang ajar pada keluarga sendiri.
Jangan lupa diri. Jangan mentang-mentang...."
"Kirana. Namaku sekarang Kirana," ujarku, meralat.
"Sudahlah, Tante, kurang berapa?" potongku jemu, lalu
menarik laci meja di sebelah kananku. Aku mengeluarkan
segepok uang, lalu menaruhnya di meja. "Ini, lima juta."
"Kamu betul-betul keterlaluan!" Tante Lin mengacungkan
telunjuknya di depan hidungku. "Tante datang cuma untuk
menyampaikan kabar bahwa mamamu sedang sakit.
Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh.
Dia sangat mengharapkanmu pulang."
"Untuk apa" Aku, toh, bukan anaknya!"
"Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei Cen.
Sudah kewajibanmu sebagai anak untuk merawat orang
tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar."
Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang
merayap. "Aku sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan
aku mengirimkan uang sebagai pengganti semua biaya
yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan yang dia minta"
Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku tidak punya
urusan apa-apa lagi. Silakan ambil uang itu, Tante! Aku
masih banyak pekerjaan," ucapku, sambil melangkah ke
arah pintu. "Kami tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat! Kau
pikir, dengan mengganti nama dan identitas, kamu bisa
melupakan asal-usulmu begitu saja" Kau ingin
melenyapkan masa lalu" Tidak mau berhubungan dengan
kami lagi" Sungguh besar dendammu pada kami!"
Bagai disiram bensin berliter-liter, amarahku tersulut. "Ya,
aku memang dendam! Dendam seorang anak yang
hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat tanganku!
Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua" Apakah Mama
pernah mengakui kesalahannya, satu kali saja" Apakah
pernah dia minta maaf padaku atas percobaan
pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu" Apakah dia
peduli pada masa depanku dan kebahagiaanku yang
terampas?" teriakku, kalap. Tante Lin terenyak mundur.
Sambil berlinang air mata, aku meratap lirih, "Siapa yang
pernah peduli pada perasaanku" Selalu dianggap tak ada.
Bahkan, kalian sepakat mengecapku sebagai anak
pembawa sial yang harus diusir keluar dari rumah. Tante
tahu, bagaimana perasaanku selama belasan tahun" Sakit
sekali. Padahal, aku hanya minta satu hal. Aku hanya ingin
Mama menyampaikan penyesalan. Cuma itu! Terlalu
kurang ajarkah permintaan itu?"
"Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia ingin...."
6 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Maaf, banyak pekerjaan yang menunggu." Cepat-cepat
aku mengeringkan mata, lalu membuka pintu lebar-lebar.
Sesaat Tante Lin ternganga, kaget melihat sikapku.
Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah bungkusan
tipis dan menyerahkannya padaku.
"Hadiah ulang tahun dari Mama."
Aku menatap bungkusan itu dengan sinis. "Tumben, dia
ingat ulang tahunku. Bilang padanya, terima kasih untuk
kadonya yang sangat berharga. Tapi sayang, aku tak mau
menerimanya." "Mei Cen!" "Maaf, Tante. Selamat siang!"
Tante Lin memandangku dengan marah. Setelah puas
beradu mata, ia berbalik pergi. Saat bayangannya
menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya, sukmaku mati
rasa. Kenapa setiap kali aku ingin melupakan semuanya, selalu
ada yang kembali mengungkit luka itu" Tak bisakah aku
kini membangun kembali puing-puing keruntuhan hidup,
tanpa harus direcoki percikan-percikan api masa silam"
Siantan, Pontianak 21 Juli 2004 Derit kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat
lewat di depanku mendorong seorang kakek yang
terbaring di ranjang beroda. Aku mengerjapkan mata,
menyusun kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran di
kursi. Semalaman aku bolak-balik mengintip keadaan
Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya
keberanian untuk menemuinya.
Ketika mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit
menyesal karena tidak langsung menanggapi telepon dari
Tante Lin, yang sudah menghubungiku selama sebulan
terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku tahu,
mungkin tak banyak lagi waktu tersisa.
Aku beranjak menuju ruang perawat. Informasi yang
kudapat sungguh mengejutkan. Keluarga sudah membawa
Mama pulang satu jam yang lalu.
"Memangnya, sudah sembuh?" tanyaku, penasaran.
"Keluarganya ingin merawat di rumah saja," kata seorang
perawat. "Kenapa?" tanyaku lagi.
"Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal
menunggu waktu saja," ucap perawat itu.
Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan.
Menunggu waktu. Maut sudah di ambang pintu. Mati.
Akhirnya, langkah kaki membawaku kembali ke pintu kayu
yang sudah kusam dan terkelupas itu. Mataku berkacakaca. Inilah rumah yang pernah kutinggali
7 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dulu, saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu perlahan. Sepi, tak ada
siapa-siapa. Aku melambatkan langkah, menyusuri jejak
masa kecilku. Beberapa pojok ruangan tampak kotor dan
tak terawat. Rupanya, seluruh anggota keluarga sedang berkumpul.
Mata mereka terbelalak ketika melihatku. Tanpa berkata
apa-apa, aku mendekat ke pembaringan. Bau kotoran
manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan
bau apak. Entah siapa yang mengomando, satu per satu
mereka keluar. Dengan pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari balik
selimut tipis, aku melihat tonjolan tulangnya. Mukanya tirus.
Kedua matanya terpejam. Tangannya terlipat di dada.
Lima belas menit aku hanya memandangi wajah Mama.
Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke
telinganya dan berbisik menyapanya. Sungguh, saat ini tak
tersisa benci dan dendam dalam diriku. Aku sudah
melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata dengan
Mama, menghiburnya, menjaganya.
"Mama, bisa dengar suaraku" Aku ingin minta maaf.
Semestinya, aku bisa datang lebih cepat. Aku takut kita
akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut Mama akan
mengusirku lagi." Kuusap tangan Mama yang keriput.
Kubelai wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari
tangan. Hal yang tidak mungkin aku lakukan dulu.
Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama hanyalah
angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya.
Tapi, ironisnya, dia tak sadarkan diri.
"Mama, banyak hal yang ingin kuceritakan. Mama tahu, aku
tidak lagi menjual kue seperti dulu. Aku sudah tamat kuliah.
Aku ingin minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah
kulakukan. Aku sering membuat Mama marah...." Aku
terus berupaya membangunkan Mama.
Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa henti.
Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh bahuku.
"Dia sudah meninggal tadi pagi...," bisik Tante Lin. Bisikan
itu sangat lembut, tapi efeknya sangat luar biasa. Sesaat
aku termangu. Rasanya, sekujur tubuhku kosong. Hampa
dan sunyi. Baru kusadari, kepergian Mama membawa pergi sebelah
hatiku. Belum sempat kami merekatkan kepingankepingan yang terko-yak, Tuhan memanggilnya.
Aku menguatkan hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran
air mata jatuh juga di pangkuanku.
"Dia pergi sambil membawa penyesalan," ujar Tante Lin,
serak. "Penyesalan karena kau tidak pernah tahu bahwa ia
sudah menyadari kesalahannya, karena kau menolak
8 Si Naga Merah Bangau Putih m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
hadiah darinya." "Hadiah" Hadiah apa?" aku memalingkan wajah pada
Tante Lin. "Aku membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun
lalu. Kau sama sekali tidak mau menerimanya, bukan?"
ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku menggeleng
lemah. "Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah lumpuh.
Bicara tidak jelas. Ia minta disediakan kertas dan tinta.
Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata itu dengan
tangan kirinya. Ia berpesan, surat ini harus sampai di
tanganmu. Harus. Surat ini hadiah ulang tahunmu. Ia ingin
kau tahu, sebenarnya ia menyayangimu."
Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil sesuatu,
lalu mengangsurkan sebuah bungkusan.
Tak sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan
kertas di dalamnya. Tangisku tak terbendung. Pertahanan
diriku bobol sudah. Alangkah egoisnya aku! Alangkah
jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar suaraku" Aku
mohon, beri aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon!
Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini saja!
Sambil terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi
kertas dalam genggaman tanganku. Tulisan yang tertera di
kertas itu tampak dibuat dengan susah payah. Bentuknya
acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih buram itu hanya
bertuliskan satu kata: M A A F
Tamat (http://cerita-silat.mywapblog.com)
9 Empat Pemburu Harta 1 Ghost Campus Karya Crimson Azzalea Arus Balik 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama