Ceritasilat Novel Online

Petualangan Disungai Ajaib 1

Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib Bagian 1


Petualangan di Sungai Ajaib
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1, EMPAT ANAK YANG MERASA SENGSARA
"Kasihan!" Suara pelan dan sedih itu berkeluh-kesah di balik pintu kamar tidur
anak-anak. "Kasihan Polly! Bersihkan hidungmu, Polly yang malang!"
Terdengar bunyi seperti orang menyedot-nyedot ingus, disusul suara batuk-batuk.
Setelah itu sepi. Seakan-akan yang berada di balik pintu itu memasang telinga,
menunggu kalau-kalau ada jawaban dari dalam. Jack menegakkan tubuhnya di tempat
tidur, lalu memandang Philip yang berbaring di seberang.
"Bagaimana, Philip kau rasanya akan bisa tahan atau tidak, jika Kiki diizinkan "masuk" Ia kedengarannya begitu sedih!"
Philip mengangguk. "Baiklah," katanya. "Asal ia nanti tidak menjerit, atau terlalu berisik.
Kepalaku sekarang sudah tidak begitu pusing lagi. Untung saja!"
Jack turun dari tempat tidurnya, lalu menghampiri pintu dengan langkah gontai,
ia dan Philip, begitu pula kedua adik mereka, saat itu mulai sembuh dari
serangan influensa yang cukup berat. Mereka masih merasa agak lemas. Philip yang
paling parah sakitnya. Selama itu ia tidak tahan jika Kiki ada di kamar tidur.
Burung iseng itu menirukan bunyi batuk dan bersin mereka.
Walaupun Philip sebenarnya penyayang binatang termasuk burung tapi kalau sudah
" "begitu ia rasanya kepingin sekali melempari Kiki dengan sandal, buku, atau apa
saja. Padahal burung kakaktua itu sama sekali tidak merasa bersalah. Terang saja
ia bingung, apa sebabnya Philip marah-marah padanya.
Kiki masuk beringsut-ingsut, ketika pintu sudah dibukakan oleh Jack. Jambul
burung itu rebah ke belakang.
"Kasihan," kata Jack. Kiki langsung terbang ke bahu tuannya. "Baru sekarang ini
kau mengalami tidak diperbolehkan masuk, ya" Itulah, jangan suka berisik! Tidak
ada yang suka mendengar segala bunyi-bunyimu, jika kepala sedang pusing sekali,
Kiki. Philip benar-benar tidak tahan lagi, ketika kau menirukan bunyi pesawat
terbang yang mengalami kerusakan mesin!"
"Aduh, jangan kauingatkan itu!" kata Philip, Ia menggeleng-gelengkan kepala,
sambil mendesah seperti kepedasan. "Rasanya aku tak mampu lagi tertawa mendengar
bunyi-bunyi yang ditirukan Kiki." ia batuk, lalu mencari-cari sapu tangan di
bawah bantal. Kiki ikut batuk. Tapi pelan-pelan sekali. Jack tersenyum.
"Sudahlah, Kiki," katanya. "Kau tidak terserang flu, jadi tidak ada gunanya
berpura-pura." "Flu, flu. siafa ferlu," kata Kiki dengan segera, lalu terkekeh-kekeh. Tapi
tertawanya itu juga tidak keras-keras.
"Jangan, Kiki! Saat ini kami rasanya belum mampu tertawa mendengar kata-kata
konyolmu," kata Jack sambil naik lagi ke tempat tidur. "Tidak bisakah kau
berkelakuan sopan seperti layaknya jika menjenguk orang sakit" Bicara dengan
suara tenang, sambil mengangguk-angguk dengan sikap kasihan" Pokoknya sikap yang
begitulah!" "Polly yang malang," kata Kiki. ia merapatkan diri ke leher Jack, lalu mendesah.
Embusan napasnya panjang sekali.
"Jangan ke leherku dong!" kata Jack. "Kau merasa kasihan pada dirimu sendiri
rupanya, ya" Sudah, jangan sedih. Kami hari ini merasa sudah lebih enak, dan
tidak demam lagi. Tidak lama lagi pasti sembuh kembali. Bibi Allie tentu akan
senang, karena selama ini repot sekali mengurus empat anak sakit yang
menderita." Saat itu pintu terbuka lambat-lambat. Bibi Allie menjenguk ke dalam.
"Ah kalian berdua sudah bangun," katanya. "Bagaimana rasanya" Ada yang mau minum"air jeruk lagi?"
"Tidak, Bibi Allie, terima kasih," kata Jack. "Bibi mau tahu, aku ini tiba-tiba
saja ingin apa" Aku ingin makan telur rebus dengan roti yang diolesi mentega!
Tahu-tahu saja keinginan itu datang. Tidak ada yang lebih kuingini saat ini,
kecuali makan itu!" Bibi Allie tertawa. "Kalau begitu kau benar-benar sudah sembuh, Jack! Kau juga ingin telur rebus,
Philip?" "Tidak, terima kasih, Bu," kata Philip. "Aku tidak ingin apa-apa."
"Anak malang, Anak yang malang," kata Kiki. ia mengangkat kepala, lalu memandang
Philip. Burung konyol itu terkekeh.
"Tutup mulut!" kata Philip. "Aku sekarang belum tahan jika ditertawakan, Kiki.
Kau akan dikeluarkan lagi dari sini, jika terlalu banyak mengoceh."
"Diam, Kiki!" kata Jack. sambil menepuk paruh burung kakaktua itu. Kiki langsung
merunduk, sambil merapatkan diri ke leher tuannya, ia tidak keberatan disuruh
diam, asal boleh menemani Jack yang disayanginya.
"Bagaimana keadaan Dinah dan Lucy-Ann?" tanya Jack.
"Sudah jauh lebih baik," kata Bibi Allie. "Lebih baik daripada kalian berdua!
Mereka sudah bisa main kartu. Mereka ingin tahu, apakah nanti malam mereka sudah
bisa datang untuk mengobrol dengan kalian di sini."
"Kalau aku, mau sekali," kata Jack dengan gembira. "Tapi kau mungkin tidak ya,
Philip?" "Kita lihat saja nanti!" kata Philip dengan masam. "Saat ini rasanya aku masih
gampang marah. Apa boleh buat!"
"Biasanya memang begitu, Philip," kata ibunya. "Tapi kau sudah mulai sembuh jadi
"kurasa besok kau sudah seperti biasa lagi!"
Ternyata Bu Cunningham benar. Esok malamnya Philip sudah merasa segar sekali.
Kiki puasnya, ia bahkan diizinkan meniru bunyi kereta cepat yang meluncur di
dalam terowongan. Mendengar bunyi itu, Bu Cunningham bergegas-gegas datang.
"Aduh, jangan!" katanya. "Jangan kautirukan bunyi itu di dalam rumah, Kiki! Aku
tidak tahan!" Dinah memandang ibunya, lalu memegang tangannya.
"Bu Ibu pasti repot sekali mengurus kami berempat selama ini. Untung Ibu tidak
"ikut terserang flu. Tapi Ibu kelihatannya pucat sekali. Jangan-jangan sekarang
"Ibu yang sakit!"
"Ah, tidak," kata ibunya. "Aku cuma agak capek, karena bolak-balik naik turun
tangga mengurus kalian berempat. Tapi sebentar lagi kalian sudah boleh ke luar
lagi dan kembali bersekolah!?""Kata-kata itu disambut erangan empat anak dan disusul suara kelima. Kiki
"merasa asyik mendengar bunyi serempak itu; lalu menirukan-nya. Erangannya yang
terdengar paling keras! Ih sekolah!" kata Jack dengan sebal. "Kenapa Bibi mengingatkan kami padanya,
"Bibi Allie" Tidak enak rasanya mulai bersekolah di tengah-tengah semester yang
"sudah berjalan. Rasanya hampir seperti murid baru, karena teman-teman yang lain
semuanya sudah sempat membiasakan diri kembali."
"Aduh, kalian ini rupanya merasa kasihan pada diri sendiri, ya?" kata Bu
Cunningham sambil tertawa geli. "Teruskan saja permainan kalian tapi jangan
"kalian biarkan Kiki menirukan suara pesawat terbang, kereta api, mobil, atau
mesin pemotong rumput."
"Baik, Bibi," kata Jack, lalu berbicara dengan sikap galak pada Kiki. "Kaudengar
itu tadi, Kiki" Bersikaplah yang sopan sebisa-bisamu!"
?"Ibu kelihatannya memang agak pucat, ya?" kata Philip, ketika ibunya sudah
pergi, ia membagi-bagikan kartu. "Mudah-mudahan Bill akan mengajaknya pergi
berlibur, jika ia sudah kembali dari perjalanannya."
"Bill pergi ke mana sih" Ada di antara kalian yang mendapat kabar dari dia?"
tanya Dinah, sambil memungut kartu-kartunya.
"Kau kan tahu bagaimana Bill selalu menjalankan tugas rahasia untuk pemerintah,"
"kata Philip. Kurasa selain Ibu, tidak ada lagi yang tahu ke mana ia pergi.
"Kalau Ibu, ia selalu diberi tahu! Kapan-kapan Bill pasti akan muncul, dengan
tiba-tiba." Bill itu suami Bu Cunningham. Mereka menikah beberapa waktu yang lalu.
Sebelumnya ibu Philip dan Dinah masih bernama Bu Mannering, yang hidup menjanda
bersama kedua anaknya itu. Pak Mannering, suaminya, dan ayah Philip serta Dinah,
sudah meninggal dunia. Sedang Jack dan Lucy-Ann sudah dianggap menjadi anakanaknya sendiri. Mereka sudah tidak punya orang tua lagi. Keempat anak itu
sangat sayang pada Bill yang pintar dan selalu bersikap tegas, dan yang
pekerjaannya sering menyebabkan ia menghadapi bermacam-macam bahaya.
"Moga-moga saja Bill sudah kembali sebelum kita harus bersekolah lagi," kata
Jack. "Sudah lama kita tidak melihatnya. Sebentar sekarang sudah hampir bulan
"Oktober ketika ia tahu-tahu harus pergi, saat itu awal September."
?"Dengan menyamar!" kata Lucy-Ann mengingat-ingat. "Ingat tidak kalian" Waktu itu
ia pergi dengan menyamar sebagai orang yang sudah tua. Aku sampai heran, karena
tidak mengenali laki-laki tua dan bungkuk yang duduk di samping Ibu malam itu.
Bahkan rambutnya pun kelihatan lain!"
"Bill memakai rambut palsu," kata Jack. "Ayo, cepatlah sedikit, Dinah sekarang
"kan giliranmu. Kau punya king atau tidak?"
Dinah meletakkan kartunya, lalu memutar tombol radio yang ada di dekat situ.
"Kita hidupkan radio, ya?" katanya. "Aku kepingin mendengar musik. Kau tahan
atau tidak, Philip?"
"Aku tidak perlu terlalu dikasihani lagi sekarang," kata Philip. "Aku sudah
sembuh. Wah malu rasanya sekarang kalau kuingat betapa sengsaranya perasaanku
"sewaktu masih sakit! Aku takkan heran, jika saat itu tahu-tahu aku menangis!"
"Kau memang menangis satu kali," kata Jack. "Aku melihatmu saat itu. Tampangmu
"aneh sekali!" "Tutup mulut," sergah Philip. "Jangan suka berbohong. Dinah radio belum kausetel
" dengan benar. Sini, biar aku saja anak-anak perempuan memang tak pernah bisa "beres, jika melakukan hal-hal seperti ini! Biar aku saja yang menyetelnya,
"Dinah. Minggir! Sialan!"
"Nah ternyata dia memang sudah kembali menjadi Philip yang asli," kata Jack,
"melihat pertengkaran yang sudah tidak asing lagi itu. "Nah sekarang setelannya
"sudah tepat, Philip. Eh itu kan suara John Jordans. Pasti ini lawakan tentang
"pencurian itu! Yuk, kita dengarkan kata orang lawaknya lucu sekali!"
"Acara lawakan itu memang lucu. Bu Cunningham yang saat itu sedang beristirahat
di tingkat bawah, senang mendengar suara anak-anak ramai tertawa di atas. Tapi
kemudian kening Bu Cunningham berkerut, karena terdengar bunyi peluit yang
nyaring dan panjang. Hhh kakaktua itu menjengkelkan!
"Tapi yang menimbulkan bunyi itu bukan Kiki, melainkan John Jordans dalam acara
lawakan. Aktor itu berperan sebagai polisi di dalamnya, dan saat itu ia meniup
peluit polisinya. Setelah itu ada yang berteriak-teriak, "Polisi! Polisi!",
disusul bunyi peluit lagi.
"Polisi, polisi!" Kiki ikut berteriak-teriak, lalu menirukan bunyi peluit.
Bunyinya sangat mirip! "Fiiieeet! Polisi! Polisi! Fiiieeet!"
"Diam, Kiki! Nanti polisi benar-benar datang, kalau kau terus berteriak-teriak
dan bersuit-suit senyaring itu!" kata Jack. "Aduh mudah-mudahan saja Kiki tidak
"lantas biasa meniru-nirukan bunyi peluit polisi. Bisa repot kita nantinya!
Kiki jika kau sekali lagi berani berteriak Polisi', akan kuikat kau di ujung
" "bawah ranjang ini."
Sebelum Kiki sempat menjawab, tahu-tahu ada yang mengetuk pintu kamar. Anak-anak
terkejut, karena ketukan itu keras sekali.
"Siapa memanggil polisi?" kata seseorang dengan suara nyaring dari balik pintu.
"Polisi sudah datang. Buka pintu, atas nama hukum!"
Pintu kamar terbuka lambat-lambat, sementara anak-anak yang terkejut hanya bisa
memandang sambil melongo. Ada apa ini" Benarkah ada polisi datang"
Kemudian muncullah wajah seseorang dari balik pintu. Wajah yang cerah dan ramah,
yang sangat dikenal anak-anak.
"Bill!" seru mereka serempak. Keempat anak itu berhamburan turun dari tempat
tidur, mendatangi laki-laki bertubuh tinggi kekar itu. "Wah, kau sudah pulang,
Bill! Kami sama sekali tidak mendengar tadi. Halo, Bill!"
Bab 2, AJAKAN YANG TAK TERSANGKA-SANGKA
Bill masuk ke dalam, lalu duduk di ranjang Jack. Kiki terkekeh senang, lalu
terbang ke bahu Bill. Burung itu mencubit cuping telinga Bill dengan paruhnya.
Bibi Allie ikut masuk, ia tersenyum bahagia, ia nampak lain sekali sekarang,
setelah Bill kembali. "Nah apa yang kudengar tadi, tentang empat anak sakit yang merasa sengsara?"
"kata Bill. Dirangkulnya Dinah dan Lucy-Ann. "Sekarang kalian harus bangun,
karena aku sudah pulang. Tidak bisa kubiarkan kalian bermalas-malas saja di
tempat tidur, seperti ini."
"Kami memang sudah akan keluar lagi besok petang, pada saat minum teh," kata
Lucy-Ann. "Ke mana saja kau selama ini, Bill" Ceritakan dong!"
"Wah sayang, aku tidak boleh menceritakannya," kata Bill.
?"Sangat rahasia, kalau begitu," kata Dinah kecewa. "Dan sekarang kau akan
tinggal di rumah?" "Ya, begitulah sepanjang pengetahuanku," jawab Bill. "Mudah-mudahan saja begitu!"Menurutku, perlu ada seseorang yang mengurus ibu kalian sekarang.
Lihatlah badannya kurus! Kenapa kalian harus keempat-empatnya sekaligus
"terserang flu, sehingga tidak ada yang bisa membantunya?"
"Ya, kami memang hanya mengingat diri sendiri saja," kata Jack. "Dan bahkan kau
pun juga pergi, Bill! Tapi sudahlah kini semuanya sudah beres lagi, karena kau
"sudah pulang. Ya kan, Bibi Allie?"
Bu Cunningham mengangguk.
"Ya, semuanya!" katanya. "Bagaimana jika kita makan dengan santai di sini saja,
Anak-anak supaya kita bisa mengobrol dengan Bill?"
"Anak-anak tentu saja langsung setuju. Asyik sekali makan di kamar tidur. Kiki
timbul lagi penyakit konyolnya. Sebentar-sebentar ditirukan-nya bunyi peluit
polisi. Akhirnya semua bosan mendengarnya termasuk Bill.
?"Bill! Bill, minum pil, Bill pengupil, Bill pengupil!" teriak Kiki. Jack
menjentik paruhnya. "Jangan kurang ajar, ya!" katanya. "Tahu aturan sedikit, Kiki."
Kiki terbang ke lantai, ia merasa tersinggung.
"Kasihan Kiki, kasihan, kasihan," gumam burung itu pada dirinya sendiri, lalu
menyusup masuk ke kolong tempat tidur, ia menemukan sandal tua di situ. Selama
setengah jam berikutnya ia asyik mematuk-matuknya.
Penyakit influensa rupanya sudah dilupakan. Semua asyik mengobrol sambil
tertawa-tawa. Semua merasa berbahagia. Tapi ketika sudah pukul setengah sepuluh
malam, tahu-tahu wajah Lucy-Ann mejadi pucat sekali, ia merebahkan diri di
tempat tidur. "Kita lupa daratan!" kata Bill. "Aku lupa bahwa anak-anak baru saja sembuh dari
sakit berat. Yuk, Lucy-Ann kugendong kau ke tempat tidurmu! Kau bisa berjalan
"sendiri, Dinah?"
Keesokan harinya Pak Dokter datang lagi. ia senang melihat perkembangan keempat
anak yang baru saja sembuh dari sakit itu.
"Hari ini kalian boleh meninggalkan tempat tidur untuk minum teh dan besok,
"setelah sarapan pagi," katanya. "Setelah itu, seperti biasanya."
"Kapan mereka sudah boleh bersekolah lagi, Dokter?" tanya Bu Cunningham.
Pak Dokter memberi jawaban yang sama sekali tak terduga oleh anak-anak.
"Sementara ini belum," katanya. "Mereka perlu beristirahat dulu untuk memulihkan
tenaga di tempat lain katakanlah selama sepuluh hari, atau dua minggu. Mereka
"harus beristirahat di tempat yang panas, yang banyak sinar mataharinya! Flu yang
menyerang mereka tergolong jenis yang gawat. Sepanjang musim dingin mereka akan
tetap merasa lesu, jika sekarang tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat di
daerah berhawa panas. Bisakah Anda mengurusnya, Bu Cunningham?"
"Itu bisa saja," kata Bill. "Tapi takkan saya biarkan istri saya pergi dengan
mereka, Dokter, ia sendiri juga perlu beristirahat sekarang, sesudah sekian lama
repot mengurus anak-anak. Baginya takkan merupakan istirahat, jika pergi bersama
keempat berandal ini. Biar saya saja yang mengurus hal itu."
"Baiklah," kata Pak Dokter, lalu menyambung, "Nah, Sabtu nanti aku akan datang
lagi, hanya untuk melihat apakah di sini segala-galanya beres. Aku pergi saja
sekarang." "Berlibur!" kata Dinah dengan gembira, begitu pintu kamar sudah ditutup kembali.
"Wah kita benar-benar mujur! Semula kusangka bahwa kita akan harus langsung "bersekolah kembali!"
Setelah itu mereka berembuk, untuk membicarakan apa yang sebaiknya dilakukan.
"Besok sudah bulan Oktober," kata Bill, "dan menurut ramalan keadaan cuaca tidak
bagus. Hujan, angin, dan berkabut! Payah, iklim daerah kita ini! Sayang anakanak tidak bisa berlibur ke luar negeri, Allie."
"Memang lebih baik jangan, jika tidak ditemani seseorang yang penuh tanggung
jawab," kata istrinya. "Jadi kita terpaksa memilih salah satu tempat di pesisir
selatan, dan mengirim mereka ke sana."
Segala rencana yang telah disusun, kemudian tiba-tiba saja mengalami perubahan.
Jumat malam telepon berdering di rumah. Saat itu hari sudah larut malam.
Bunyinya membangunkan Bill dan istrinya. Kiki juga ikut terbangun. Pendengaran
burung kakaktua itu sangat tajam, ia menirukan bunyi deringan itu dengan suara
pelan. Tapi ia tidak membangunkan Jack dan Philip. Kiki mendengarkan, dengan
kepala dimiringkan. Didengarnya Bill berbicara dengan suara pelan pada telepon
sambungan yang ada di kamar tidur. Kemudian terdengar bunyi berdenting, tanda
bahwa gagang telepon dikembalikan ke tempatnya.
"Ting!" kata Kiki menirukan dengan suara pelan. "Ting tong! Ting!" Setelah itu
ditelusupkannya kembali kepalanya ke bawah sayap. Burung itu tidur lagi, sambil
bertengger dengan nyaman pada bingkai perapian. Anak-anak semuanya tidur
nyenyak. Mereka sama sekali tidak menduga akan ada perubahan besar dalam rencana


Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

liburan mereka, yang disebabkan oleh pembicaraan telepon malam itu!
Keesokan paginya Bill tidak ikut sarapan. Anak-anak turun semuanya. Lucy-Ann
bahkan sudah lebih dulu, untuk membantu mengatur meja. Wajah keempat anak itu
nampak masih pucat dan agak lesu. Tapi mereka bergembira, karena membayangkan
akan berlibur meski tempat yang dipilih rasanya tidak begitu mengasyikkan.
"Sebuah desa kecil yang tenang, di tepi laut.
"Mana Bill?" tanya Dinah. ia heran, melihat Bill tidak ada di tempatnya. "Aku
tadi tidak mendengarnya bersiul-siul ketika bercukur. Apakah ia sudah keluar
untuk berolahraga pagi atau begitu?"
?"Tidak tengah malam tadi ia harus buru-buru pergi," kata ibunya dengan wajah
"suram, "ia ditelepon kalian tidak terbangun karena deringnya" Rupanya ada urusan
"gawat yang harus segera ditangani. Dan untuk itu sangat diperlukan saran-saran
Bill. Biasa! Setelah itu ia langsung berangkat, naik mobil. Kurasa pukul sebelas
nanti ia sudah kembali. Mudah-mudahan saja urusan ini tidak berarti ia harus
segera berangkat lagi dengan tujuan yang dirahasiakan, lalu selama bermingguminggu tidak ada kabar berita dari dia. Padahal ia kan baru saja kembali. Payah,
kalau begitu urusannya!"
Bill kembali sekitar pukul setengah dua belas siang. Setelah menaruh mobil di
garasi, ia masuk ke rumah lewat pintu samping, sambil bersiul-siul. Anak-anak
bergegas menyongsongnya. "Ke mana kau tadi, Bill" Kau tidak harus pergi lagi, kan?" seru Dinah.
"Aduh kalian ini seperti lintah saja, menempel terus," kata Bill sambil
"melepaskan diri dari rangkulan. "Mana ibumu, Dinah?"
"Di ruang duduk," kata Dinah. Cepatlah ke sana kami juga ingin mendengar
" "beritanya."
Bill masuk ke ruang duduk. Tapi pintu kemudian ditutup olehnya. Keempat anak itu
berpandang-pandangan. "Aku berani bertaruh, Bill pasti harus berangkat lagi, menjalankan tugas rahasia
baru," kata Jack dengan lesu. "Kasihan Bibi Allie ia sudah senang sekali, akan "bisa berlibur berdua saja dengan Bill!"
Setengah jam sudah lewat. Tapi perembukan yang dilakukan dengan suara pelan dan
serius di ruang duduk masih juga belum selesai. Namun akhirnya pintu dibuka
kembali. Bill berseru, memanggil anak-anak.
"Di mana kalian, Anak-anak" Masuklah kami sudah selesai berembuk."
"Anak-anak masuk beramai-ramai. Dan seperti biasanya, Kiki bertengger di bahu
Jack, sambil mengoceh dengan suara pelan, "Kanan-kiri, makan sendiri, kanan
sendiri, makan kiri!"
"Diam, Kiki," kata Jack. "Awas, kalau nanti mengganggu!"
"Begini, Anak-anak," kata Bill, ketika anak-anak sudah duduk semua. "Aku harus
pergi lagi." Ucapannya itu disambut keluhan serempak.
"Aduh, Bill!" kata Lucy-Ann. "Itu sudah kami khawatirkan tadi. Padahal kau kan
baru saja kembali!" "Kau harus berangkat ke mana?" tanya Jack.
"Itu belum kuketahui dengan pasti," jawab Bill. "Tapi singkatnya ingat, ini
"rahasia, ya! aku ditugaskan mengamat-amati seseorang yang dicurigai pemerintah
"kita. Sementara ini belum jelas, apa yang hendak dilakukan orang itu. Mungkin
juga ia tidak akan berbuat apa-apa tapi lebih baik bersikap waspada, daripada
"menyesal kemudian. Selama beberapa hari aku ditugaskan untuk mengamati orang itu
di tempat ia berada sekarang, untuk mengumpulkan beberapa keterangan mengenai
dirinya. Aku harus terbang ke sana."
"Wah kalau demikian, tidak begitu lama, ya?" kata Philip.
?"Itu belum kuketahui. Mungkin selama tiga sampai empat hari, tapi bisa pula dua
minggu," kata Bill. "Pokoknya, ada dua hal yang penting dalam urusan ini. Tidak
boleh ada seorang pun di tempat itu yang menduga bahwa aku berada di situ atas
penugasan pemerintah kita. Sedang hal penting kedua, iklim di tempat yang akan
kudatangi itu panas dan banyak sinar mataharinya. Karena itu aku berpendapat,
ada baiknya jika kalian semua ikut!"
Semua terdiam selama beberapa saat, sibuk mencernakan arti kata-kata yang
terakhir itu lalu disusul pekik jerit dan seruan ramai. Lucy-Ann berdiri, lalu
"merangkul Bill. "Kami semua" Jadi Bibi Allie juga, Bill" Aduh, asyik! Tapi bolehkah kau mengajak
kami semua?" "Seperti sudah kukatakan tadi tidak boleh sampai ada yang curiga, bahwa aku ini
"penyelidik," kata Bill. "Karenanya, jika aku muncul di sana sebagai kepala
keluarga, bersama sejumlah anak-anak yang baru sembuh dari sakit, serta istri
yang perlu beristirahat, itu kurasa sudah cukup sebagai kedok untuk menutupi
kenyataan bahwa aku ini sebenarnya datang ke sana dengan mengemban tugas
rahasia." Anak-anak memandang Bill. Mereka sangat gembira. Bayangkan berlibur ke luar
"negeri, bersama Bill serta Bibi Allie! Apa lagi yang bisa lebih mengasyikkan
dari itu" Lucy-Ann bahkan sampai khawatir, jangan-jangan itu hanya mimpinya
saja! "Ke mana tadi, katamu, kita akan pergi" Ah, betul juga, kau tidak mengatakannya!
"Apakah kita nanti akan tinggal di hotel" Lalu apakah yang harus dikerjakan di
sana" Akan berbahayakah tugas itu, Bill berbahayakah bagimu?"
" Pertanyaan demi pertanyaan datang bertubi-tubi. Sedang Bill hanya menggelenggeleng terus, sambil menutupi telinga.
"Percuma saja aku kalian tanyai saat ini," katanya. "Aku sendiri baru mengetahui
garis besarnya saja! Tapi aku sudah mengatakan bahwa kalian semua akan kubawa
sebagai kedok samaranku. Aku akan tampil di sana selaku kepala keluarga. Saranku itu kelihatannya
diterima, jadi kuserahkan saja pada pihak atasan untuk mengatur yang selebihnya.
Sungguh, cuma itu saja yang kuketahui saat ini. Dan awas jangan kalian bicarakan"urusan ini, kecuali dengan berbisik-bisik."
"Tentu saja, Bill," kata Lucy-Ann dengan serius. "Urusan ini akan tetap
merupakan rahasia." "Rahasia!" jerit Kiki dengan tiba-tiba, sambil menandak naik turun meja. ia
merasakan adanya kegairahan saat itu. "Rahasia! Rahasia atasan! Jauh tinggi di
langit, bersihkan kaki, buang rahasiamu!"
"Jika nanti ternyata ada yang membocorkan rahasia, maka itu pasti Kiki!" kata
Bill sambil tertawa. "Tidak bisakah kau menjaga mulut, Kiki?"
Kiki takkan bisa tapi kalau anak-anak, mereka jelas bisa diandalkan. Itu sudah
"pasti! Mereka bergegas meninggalkan ruang duduk, lalu naik ke tingkat atas,
menuju ke sebuah gudang kecil. Setelah menutup pintu dari dalam, mereka
berpandang-pandangan dengan mata bersinar sinar.
"Wah, asyik!" kata Philip, sambil mengembuskan napas panjang. "Untung kita
terserang flu! Nah, sekarang kita berembuk tapi ingat, kita harus berbisik!"
" "Bab 3, BERANGKAT
Suasana akhir pekan itu ramai, penuh dengan kesibukan. Telepon tidak hentihentinya berdering. Akhirnya pada hari Senin malam datanglah sebuah mobil kecil
yang tidak menyolok. Tiga orang laki-laki turun, lalu menghampiri pintu pagar
kebun. Bill yang membukakan, dan mengajak ketiga pria itu masuk.
"Philip! Jack!" seru Bill memanggil. "Coba kemari sebentar! Masuklah ke mobil
itu. Kalian menjaga di situ. Kurasa tidak ada siapa-siapa di sekitar sini tapi
"siapa tahu! Mereka ini tamu penting, dan walaupun rasanya tak mungkin ada yang
tahu bahwa mereka datang kemari, tapi tidak ada salahnya jika kalian berjagajaga di luar. "Jack dan Philip menerima tugas itu dengan bersemangat. Dengan menyelinap mereka
mendatangi mobil itu, lalu duduk di dalamnya. Mereka menjaga dengan sepenuh
hati. Setiap bayangan yang bergerak diperhatikan. Setiap kali ada mobil memasuki
jalan yang lengang itu, mereka langsung tegang. Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan
mereka dengan perasaan iri dari jendela tingkat atas. Mereka ingin bisa ikut
menjaga di dalam mobil. Tapi ternyata sama sekali tidak terjadi sesuatu yang mendebarkan. Jack dan
Philip sangat kecewa. Akhirnya mereka bahkan merasa sangat bosan, setelah
menjaga selama dua sampai tiga jam. Mereka merasa lega, ketika kemudian
terdengar bunyi pintu pagar dibuka dengan pelan, disusul langkah orang berjalan
menuju mobil. "Tidak ada yang perlu dilaporkan, Bill," bisik Jack. Ia hendak masuk kembali ke
rumah bersama Philip. Tapi saat itu Kiki rupanya merasa bahwa ia sudah boleh
mengoceh lagi. Sebelumnya ia merajuk, karena disuruh diam terus selama berada di
dalam mobil. Kini ia melampiaskan kekesalannya!
"Polisi! Panggil polisi! Fiiiettt!" Kiki bersuit dengan nyaring, Bunyinya persis
seperti peluit polisi. Semua langsung kaget. Ketiga tamu Bill memandang
berkeliling dengan heran, seperti mencari-cari.
"Maaf," kata Jack. "Itu tadi cuma kebiasaan Kiki yang paling baru. Maaf, Bill!"
Ia bergegas masuk ke rumah, bersama Philip. Kiki terbang menjauh. Rupanya ia
merasa bahwa Jack marah padanya. Burung itu terbang ke ruang duduk, lalu masuk
ke dalam keranjang sampah besar yang ada di situ. ia mendekam di situ, tanpa
sedikit pun berbunyi. Di luar terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Kendaraan
itu berangkat Bunyinya pelan sekali. Bill masuk lagi ke dalam rumah.
"Kenapa Kiki tadi tahu-tahu begitu berteriak-teriak memanggil polisi?" katanya. "Matanya dikejap-kejapkan, karena silau kena lampu ruang duduk yang terang. "Kami
tadi sampai kaget sekali mendengarnya! Apalagi bunyi peluitnya! Mana Kiki
sekarang" Burung konyol itu perlu diomeli!"
"Ia bersembunyi entah di mana," kata Jack. "Ia tahu, ia sebetulnya tidak boleh
"berteriak seperti tadi. ia baru kemarin malam mendengarnya dan sejak itu tidak
"henti-hentinya memanggil-manggil polisi, dan menirukan bunyi peluit melengking
itu. Ada kabar baru, Bill?"
"Ya, ada," kata Bill, sambil mengisi pipanya dengan tembakau. "Bahkan banyak!
Semuanya kabar baik. Wah bisa asyik kita nanti, Anak-anak!"
?"O, ya?" kata istrinya. "Apa maksudmu, Bill?"
"Yah tempat yang akan kita datangi itu aku tidak menyebut namanya sekarang,
" "karena jika Kiki ada di sekitar sini, ia nanti menjerit-jerit
meneriakkannya tempat itu jauh sekali dari sini. Tapi itu tidak menjadi
"persoalan, karena kita akan naik pesawat terbang ke sana. Selanjutnya 'mereka
yang di atas' sudah memutuskan bahwa untuk kita akan disediakan sebuah perahu
motor kecil. Kita bisa mengarungi sungai naik perahu itu, melihat-lihat
pemandangan sementara aku akan bisa melakukan penyelidikan!"
?"Asyik sekali kedengarannya!" kata Philip. Matanya bersinar-sinar. "Benar-benar
hebat! Perahu motor, untuk kita sendiri! Wah hebat sekali liburan kita kali
"ini!" "Kedengarannya memang menarik," kata ibunya. "Kapan kita berangkat, Bill"
Pakaian musim panas kita harus kukeluarkan lagi."
?"Kita akan berangkat dengan pesawat terbang, hari Rabu malam," kata Bill. "Kau
sudah bisa siap sampai saat itu" Kalau di sana, segala-galanya sudah ada yang
mengatur jadi kau tidak perlu repot-repot lagi."
"Setelah itu semuanya ribut bercakap-cakap dengan gembira. Semua merasa
bergairah. Ketika mereka berhenti sebentar, tahu-tahu terdengar bunyi terceguk.
"Itu Kiki!" kata Jack dengan segera. "Kiki selalu begitu jika malu atau kikuk.
Pasti ia merasa tidak enak, setelah ribut-ribut di kebun tadi. Mana dia, ya?"
Mereka tidak menemukan Kiki di semak yang tebal. Di bawah kursi atau meja, juga
tidak ada. Semua memandang berkeliling dengan bingung, ketika kemudian terdengar
suara terceguk sekali lagi.
"Di mana sih, Kiki" Kita sudah mencari ke mana-mana. Ayo ke luar, Kiki. Burung
konyol kau sama sekali tidak tersedak. Kau cuma pura-pura saja!"
?"Kasihan Polly!" Suara sedih dan pilu itu datang dari dalam keranjang sampah.
"Polly-wolly-molly sepanjang hari, kasihan Polly!" Ocehan itu disusul suara
desahan panjang. "Kiki ada di dalam keranjang sampah!" seru Lucy-Ann, lalu mencari-cari di antara
kertas-kertas yang dibuang di situ. Ya ternyata Kiki memang ada di situ,
"mendekam di dasarnya! Kiki memanjat ke luar dengan kepala terkulai, ia berjalan
dengan gerakan kikuk menghampiri Jack, lalu memanjat tubuh tuannya, sampai ke
bahu. "Kau sudah lupa bagaimana caranya terbang, ya!" kata Jack dengan geli.
"Sudahlah, Konyol angkat lagi jambulmu! Jangan berlagak sedih. Tapi awas kalau " "kau masih berani berteriak-teriak memanggil polisi, dan menirukan bunyi peluit
mereka!" "Kita akan bepergian, Kiki," kata Dinah. Tapi burung kakaktua itu masih tetap
pura-pura merasa sedih, ia menyembunyikan kepalanya ke balik kerah baju Jack.
Tapi tidak ada yang memperhatikannya lagi. Karenanya dengan segera ia sudah
bersikap biasa lagi, dan ikut mencampuri percakapan.
Tiba-tiba Bu Cunningham kaget.
"Astaga tahukah kalian, sudah pukul berapa sekarang?" serunya. "Sudah hampir
"tengah malam padahal kalian baru saja sembuh! Bagaimana sih, aku ini" Kalau kita
"tidak berhati-hati, tahu-tahu mereka sudah meringkuk lagi di tempat tidur. Ayo
cepat tidur, Anak-anak!"
Keempat anak itu naik ke tingkat atas, sambil tertawa-tawa dengan gembira. Sudah
tidak ada lagi bekas-bekas perasaan muram yang menghinggapi mereka ketika masih
sakit influensa dulu. Apalagi karena kini mereka akan mengadakan perjalanan yang
mengasyikkan, berlibur di negeri asing!
"Aku ingin tahu, ke mana kita akan berlibur, kata Jack pada Philip. "Bill tadi
tidak mau mengatakannya, karena khawatir kalau didengar Kiki."
"Bill selalu berhati-hati tentang segalanya, sampai kita betul-betul sudah
berangkat," kata Philip. "Jadi tidak ada gunanya ia didesak-desak Lagi pula, itu
kan tidak begitu penting! Kan asyik seperti sekarang ini, akan berangkat entah
ke mana dan bukan harus segera kembali bersekolah."
?"Lucy-Ann pasti tidak suka jika mendengarnya tapi bagiku, ini pasti akan
"merupakan petualangan hebat!" kata Jack. "Sudahlah, tidur saja sekarang. Kurasa
kau sudah seratus kali lebih menggosok masing-masing gigimu."
Selama dua hari selanjutnya, keadaan di rumah itu sibuk sekali. Pakaian musim
panas dikeluarkan lagi dari lemari, anak-anak sibuk mencari mainan yang hendak
dibawa, dan seperti biasa semuanya sibuk mencari-cari anak kunci yang hilang.
Ributnya bukan main, akibatnya Bu Cunningham sampai pusing mendengarnya.
"Ribut!" kata Kiki menirukan, ketika didengarnya Bu Cunningham mengucapkan kata
itu sewaktu mengeluh pada Bill. "Ribut, bat-bit-ribut! Panggil dokter, ribut!"
"Aduh, Kiki kau ini selalu saja membuat orang tertawa," kata Bu Cunningham. "Kau
"sendiri juga ribut. Berisik, tahu?"
Ketika Rabu malam tiba, kopor-kopor sudah selesai dikemas dan bisa dibilang
"dengan rapi sedang semua anak kunci dititipkan pada Bill, untuk disimpan di
"dalam dompetnya. Begitu pula sudah ada yang dimintai tolong membersihkan rumah,
selama mereka tidak ada. Bill mengeluarkan mobil dari garasi. Akhirnya tiba juga
saat berangkat. Bill mengemudikan mobil, menuju ke bandar udara. Asyik rasanya tiba malam-malam
di tempat itu, karena begitu banyak lampu berwarna-warni yang menyala. Terdengar
suara seorang wanita mengumumkan dengan suara lantang lewat pengeras suara,
"Pesawat dari Roma sudah mendarat. Pesawat dari Roma sudah mendarat."
"Keberangkatan pesawat ke Jenewa mengalami pengunduran sepuluh menit."
"Pesawat dari Paris sudah mendarat, dua menit lebih cepat dari jadwal."
Rombongan Bill Cunningham duduk di ruang tunggu. Anak-anak mulai merasa
mengantuk di ruangan yang hangat itu. Kepala Lucy-Ann sudah terangguk-angguk.
Tibat-tiba Bill berdiri, ketika terdengar lagi pengumuman lewat pengeras suara.
"Itu pesawat kita! Yuk," katanya. "Kita jangan sampai memencar. Jaga baik-baik,
Jack jangan sampai Kiki terbang, atau menjerit. Lebih baik ia kaumasukkan saja "ke dalam jasmu."
Kiki mengomel-ngomel, karena merasa terkurung di dalam jas. Tapi hanya pelanpelan saja, karena ia sebenarnya agak bingung juga mendengar deru pesawat setiap
kali mendarat atau tinggal landas. Tidak lama kemudian mereka berenam sudah
duduk di kursi masing-masing. Mereka merasa nyaman sekali, apalagi karena
pramugari dengan segera menghidangkan makanan dan minuman.
Mereka tidak bisa melihat apa-apa di luar, karena pesawat terbang menembus
kegelapan malam. Cuaca saat itu cerah dan tenang. Keempat anak itu tidur nyenyak
sambil bersandar ke punggung kursi yang direbahkan ke belakang. Kiki juga tidur,
sambil mendekam di dalam jas.
Sementara pesawat masih terus mengarungi angkasa, bintang-bintang di langit
mulai memudar cahayanya. Fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Langit berubah
warna, yang semula biru pekat berangsur-angsur menjadi keperak-perakan, dan
kemudian kuning keemasan. Akhirnya matahari menampakkan diri. Anak-anak
terbangun satu demi satu. Semula mereka agak bingung, karena tidak ingat di mana
mereka berada saat itu. "Dua atau tiga jam lagi, kita sudah akan sampai," kata Bill. "Ada yang ingin
makan sesuatu" Itu, pramugari kita yang ramah sudah datang lagi."
"Kepingin rasanya punya rumah di dalam pesawat terbang," kata Jack, ketika
pramugari sudah datang dengan hidangan sarapan sebaki penuh. "Kenapa ya, makanan
di pesawat rasanya selalu enak" Coba lihat saja, buah persik yang begini besar!
Aku rasanya belum pernah makan roti sandwich seenak ini!"
"Sedap!" kata Lucy-Ann, sambil meraih sandwich yang keempat. "Jack! Jangan
kaubiarkan Kiki mengambil persik lagi itu sudah yang kedua! Lihatlah, air
"sarinya berceceran. Aku basah dibuatnya!"
Ya sekali ini untung Bill harus melakukan tugas lagi, dan karenanya anak-anak
"boleh ikut! Bab 4, DI BAGIAN DUNIA SEBELAH MANAKAH TEMPAT INI"
Sesudah itu lama sekali anak-anak asyik memandang ke luar lewat jendela,


Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan bumi yang terbentang di bawah. Pesawat mereka saat itu terbang
tinggi, dan sering melintas di atas hamparan awan putih. Kelihatannya seperti
hamparan salju yang sangat luas. Lewat lubang-lubang yang terdapat pada beberapa
tempat, jauh sekali di bawah nampak bukit-bukit, sungai-sungai, serta kota atau
desa-desa. Semuanya kelihatan serba kecil!
Suasana menjadi ramai ketika pesawat akhirnya mendarat di landasan yang panjang.
Banyak orang berlari-lari menuju ke pesawat. Tangga-tangga beroda didorong
mendekat, barang-barang diturunkan, para penumpang berbondong-bondong keluar,
ada yang disambut dengan meriah oleh handai taulan yang datang menjemput. Bill
beserta keluarganya dijemput dengan mobil besar yang dikemudikan seorang lakilaki berkulit sawo matang.
"Segalanya sudah diatur," kata Bill menjelaskan, sementara mobil meninggalkan
bandar udara. Dari sini kita ke suatu kota kecil. Nama kota itu Barira. Untuk
"kita sudah dipesankan tempat di sebuah hotel yang sangat nyaman di sana. Aku
tidak mau tinggal di tempat yang besar, untuk menghindari kemungkinan ada yang
mengenali diriku. Mulai saat ini aku akan selalu memakai kaca mata gelap."
Kota kecil yang disebutkan oleh Bill itu ternyata letaknya jauh dari bandar
udara. Tiga jam kemudian barulah mereka tiba di sana, setelah melewati jalan
yang di beberapa bagian sangat berbenjol-benjol, melalui daerah yang kadangkadang berhutan lebat, atau kadang-kadang gundul seperti gurun. Tapi akhirnya
mereka sampai juga di tempat tujuan. Mobil besar itu berhenti di depan sebuah
hotel. Bangunannya rendah, tapi melebar. Seluruh dinding luarnya dicat putih.
Manajer hotel itu sendiri yang datang menyambut mereka. Orangnya gemuk pendek,
dan hidungnya sangat besar, ia membungkuk dalam-dalam di depan mereka, lalu
dengan keras menyerukan perintah dalam bahasa yang tidak dikenal oleh anak-anak.
Beberapa pelayan datang untuk menurunkan barang-barang dari mobil. Keringat
mereka bercucuran, karena harus bekerja di bawah sinar matahari yang terik.
"Barangkali Anda ingin menyegarkan diri sebentar, Nyonya?" kata manajer hotel
pada Bu Cunningham. "Segalanya sudah disiapkan dengan sempurna, dan kami
mengucapkan selamat datang pada Anda berenam."
Sambil membungkuk, manajer itu mempersilakan mereka masuk ke hotel, dan langsung
mengantarkan ke kamar-kamar yang sudah dipesan. Kamar-kamar itu lapang dan
segar, dengan perabotan yang sangat sederhana. Anak-anak senang, ketika melihat
bahwa masing-masing kamar dilengkapi dengan ruang mandi yang memakai pancuran.
Jack langsung membuka pakaian, lalu mandi di bawah siraman air yang ternyata
tidak dingin. "Di mana sebenarnya kita sekarang ini" Kau tahu, Philip?" seru Jack sambil
mandi. "Aku tahu, Bill mengatakan bahwa kota ini bernama Barira. Tapi baru
sekali ini aku mendengar nama itu."
Saat itu Bill masuk ke kamar mereka.
"Nah semuanya beres di sini?" katanya. "Mana Dinah dan Lucy-Ann" Ah kamar mereka" "bersebelahan dengan kamar kalian" Bagus! Kamar kami di seberang tangga jika
"kapan-kapan kalian mencari kami. Kira-kira seperempat jam lagi kita akan makan.
Tolong beri tahu kami jika kalian sudah siap."
"He, Bill," seru Jack dari ruang mandi. "Di bagian dunia sebelah manakah kita
sekarang ini" Orang-orang yang kita lihat sejak dari bandar udara tadi, semuanya
bertampang seperti orang Arab."
Bill tertawa. "Kau tidak tahu di mana kita sekarang ini?" katanya. "Kita berada di suatu
tempat, agak jauh dari perbatasan dengan Suriah di daerah yang sudah sangat tua
"peradabannya! Tolong beri tahu anak-anak perempuan, agar mereka secepat mungkin
"menggabungkan diri dengan kalian, ya?"
Hotel kecil itu ternyata sangat menyenangkan. Bahkan Kiki pun disambut dengan
ramah, setelah manajer pulih dari rasa kaget, ketika melihat ada burung kakaktua
bertengger di bahu Jack. "Eh ada burung apa namanya" O ya, kakaktua!" kata laki-laki pendek gendut itu.
" " ?"Burung manis, ya?"
"Bersihkan kakimu!" kata Kiki, menyebabkan manajer itu tercengang. "Tutup
pintu!" Laki-laki itu bingung, apakah perintah itu harus dipatuhi atau tidak.
"Burung lucu!" katanya. "Pintar sekali pandai bicara. Polly, Polly!"
?"Polly masak air," kata Kiki lagi, lalu menjerit sekuat-kuatnya. Mendengar
teriakan itu, manajer hotel cepat-cepat keluar.
Kecuali mereka berenam, tidak ada lagi tamu di hotel itu. Anak-anak duduk di
keteduhan beranda yang dinaungi tumbuhan berbunga merah menyala. Kupu-kupu yang
besar-besar beterbangan di sekitar situ. Kiki memperhatikan dengan penuh minat,
ia mengenal kupu-kupu, karena di rumah juga banyak. Tapi kupu-kupu yang di sini
kelihatannya lain. Kiki berbicara pada dirinya sendiri. Para pelayan yang lewat
memandangnya dengan kagum. Kebetulan salah satu dari mereka batuk. Kiki langsung
menirukannya. Orang itu ketakutan, lalu cepat-cepat lari.
"Jangan suka pamer, Kiki," kata Jack dengan mata setengah terpejam. "Dan jangan
bergerak-gerak terus. Diam sedikit kenapa sih!"
Keesokan harinya diatur rencana untuk mengadakan pesiar lewat sungai. Menurut
rencana, pesiar itu akan memakan waktu paling sedikit seminggu. Bill mengambil
peta, untuk memperlihatkan alur sebuah sungai yang berkelok-kelok, ia
menunjukkan beberapa tempat di tepi sungai itu.
"Kita berangkat dari sini," katanya. "Di situlah kita ditunggu perahu motor
kita. Lalu mula-mula kita ke sini ini, ke tempat ini! Lalu ke kota ini aku tidak" "tahu bagaimana cara menyebut namanya yang benar kalau tidak salah Ala-ou-iya.
"Pokoknya kurang lebih begitulah! Nah, di situ kalian akan kutinggal, karena aku
"harus mengadakan penyelidikan tentang orang yang harus kuamat-amati. Tapi
mungkin juga Jack dan Philip bisa ikut."
"Siapa nama orang itu?" tanya Jack.
"Raja Uma," kata Bill. "Tidak ada yang tahu apakah itu namanya yang benar atau
bukan. Dan tidak ada pula yang mengetahui ia itu sebenarnya bangsa apa. Tapi
kami mengetahui bahwa ia perlu diamat-amati, karena suka menimbulkan keributan.
Sementara ini kami belum tahu, untuk tujuan apa ia ada di sini. Mungkin saja ia
tidak punya niat untuk berbuat apa-apa. Tapi mengingat tindak-tanduknya selama
ini, kurasa itu tidak mungkin. Pokoknya, aku hanya bertugas menemukan orang itu,
lalu menyelidiki apa yang dilakukannya di sini, dan melaporkan hasil
penyelidikanku. Hanya itu saja! Jadi sama sekali tidak berbahaya. Sebab kalau
berbahaya, kalian pasti takkan kuajak ikut."
"Kalau ada bahaya pun, kami tidak takut!" kata Philip. "Justru bahayalah yang
membuat petualangan menjadi asyik, Bill!"
"Kau ini dengan petualangan kalian!" kata Bill sambil tertawa. "Tapi sekarang
"dengar baik-baik. Orang yang bernama Uma itu tidak mengenal diriku, ia belum
pernah berjumpa dengan aku. Tapi ada kemungkinan ia sudah diberi tahu bahwa
tindak-tanduknya di sini sedang diselidiki. Jadi bisa saja ia sudah waspada,
terhadap orang yang mungkin hendak mengamat-amati dirinya. Jadi, jika nanti ada
yang bertanya-tanya, jawab dengan segera bahwa kalian habis sakit, dan kalian
kemari untuk beristirahat agar mendapat sinar matahari. Pokoknya yang begitulah!
Itu kan benar, sehubungan dengan diri kalian sendiri."
"Ya, memang," kata Jack. "Uma itu seperti apa tampangnya?"
"Ini ada beberapa fotonya," kata Bill, sambil meletakkan sejumlah foto. Anak"anak memandang foto-foto itu dengan heran.
"Tapi ini kan foto beberapa orang," kata Dinah. "Tidak ada dua yang sama."
"Kelihatannya memang begitu tapi semuanya ini foto teman kita itu, Uma," kata
"Bill. "ia memang ahli dalam soal menyamar. Satu-satunya tanda yang sulit
ditutupi cuma bekas luka memanjang di lengan kanannya sebelah atas. Bekas luka
itu bentuknya melengkung, seperti badan ular yang langsing. Tapi itu bisa
ditutup dengan mudah, yaitu jika ia memakai kemeja lengan panjang, atau jas atau
"pakaian apa saja yang berlengan panjang."
Bill mengumpulkan foto-foto itu, lalu menyimpan semuanya kembali ke dalam
dompet. "Kecil sekali kemungkinannya kalian akan bisa mengenali Uma apabila sewaktuwaktu bertemu dengannya," katanya. "Jadi, jangan langsung mencurigai setiap
orang yang kalian jumpai. Itu malah hanya akan mengganggu keasyikan liburan
kalian! Aku tahu di mana harus kutemui orang-orang yang mengenalnya, dan ada
kemungkinan bahwa aku akan menerima kabar tentang dia. Tapi di lain pihak, bisa
saja kini ia tidak ada lagi di sini mungkin sudah terbang ke Amerika, atau ke "Australia. Orang itu memang luar biasa dengan seenaknya saja berkeliaran ke
"mana-mana. Sebentar di sini, lalu saat berikut tahu-tahu sudah ada di tempat
lain." Saat itu ada sesuatu bertubuh panjang dan lentur menggeleser di dekat kaki Bill,
lalu menghilang ke tengah semak yang ada di dekat situ. Bill terkejut, lalu
cepat-cepat menahan Philip ketika anak itu hendak mengejar.
"Jangan mungkin itu tadi ular berbisa! Lebih baik jangan kaucoba menjinakkan
"satwa liar daerah sini."
Dinah terpekik. "Tadi itu ular?" jeritnya. "Ih, seram! Bill, kau tidak mengatakan bahwa di sini
ada ular. Aku paling benci pada ular. Awas kalau kau berani menangkap mereka,
"Philip! Aku akan menjerit sekuat-kuatnya!"
"Anak konyol!" tukas Philip. Tapi ia duduk lagi. Baiklah, Bill aku berjanji
"takkan menangkap dan memelihara ular berbisa. Tapi yang tadi itu kelihatannya
bagus. Jenis apa itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Bill. "Aku ini bukan ahli soal ular. O ya, kau sebaiknya
juga berhati-hati dengan serangga-serangga yang ada di sini, Philip karena
"beberapa di antaranya sangat berbahaya sengatannya. Jangan mengantungi terlalu
banyak!" Dinah sudah tidak begitu gembira lagi sekarang, setelah mendengar bahwa di situ
ada ular. Kalau berjalan matanya selalu menatap ke tanah. Begitu melihat ada
sesuatu yang bergerak walau itu hanya selembar daun saja ia langsung meloncat.
" "Manajer hotel melihat sikapnya itu, lalu menghampiri.
Di sini memang banyak ular " kata laki-laki bertubuh pendek gemuk itu, ular
" " "besar-besar, yang tidak menggigit dan yang kecil, yang sangat beracun. Yang
"paling berbisa, namanya ular bargua. Jangan sekali-kali menyentuh ular itu!"
"Ih!" kata Dinah sambil bergidik, ia bertanya, "Seperti apa ular itu?"
"Warnanya hijau, berbintik-bintik."
"Bintik-bintiknya berwarna apa?" tanya Dinah lagi.
"Merah dan kuning," jawab manajer hotel. "Dan kalau mematuk cepat
sekali begini!" ia menggerakkan tangannya, seolah-olah ular yang hendak mematuk
"Dinah. Dinah terpekik, sambil cepat-cepat mundur.
"Ah kau ketakutan!" ujar manajer hotel, ia merasa bersalah. Jangan takut!
"Sebentar kuambilkan sesuatu untukmu!"
"Ia bergegas pergi, lalu kembali dengan sebuah piring berisi manisan.
"Kuberikan maafku padamu," kata orang itu dalam bahasa Inggris yang ngawur. "Dan
juga permintaan ampun."
Dinah terpaksa tertawa mendengar kata-kata itu.
"Itu tidak perlu," katanya. "Aku tadi tidak benar-benar ketakutan melainkan
"hanya kaget saja. Tapi terima kasih atas pemberian manisan ini."
Setelah manajer hotel pergi, anak-anak mencicipi manisan yang dihadiahkan.
Mereka langsung merasa agak mual, karena manisan itu kecuali sangat lengket dan
berlemak, rasanya juga sangat manis. Tapi Kiki tidak peduli, ia makan terus
dengan nikmat, lalu mengeluarkan bunyi terceguk dengan keras. Seorang pelayan
yang kebetulan lewat tertawa geli mendengarnya.
"Diam, Kiki," kata Jack. "Jangan suka macam-macam."
Tapi sekali ini Kiki benar-benar kecegukan. ia agak heran, ketika ternyata bahwa
ia tidak bisa berhenti terceguk-ceguk.
"Maaf," katanya setiap kali terceguk. Anak-anak terpingkal-pingkal, karena
burung konyol itu mengucapkannya dengan nada terheran-heran.
"Itulah lain kali jangan terlalu rakus!" kata Jack. "He besok kita akan mulai " "pesiar dengan perahu motor! Cup sekali-sekali aku akan mengemudikannya!"
"Kiki langsung menirukannya.
"Cup, aku! Cup, aku!" ocehnya sambil melonjak-lonjak. "Cup, cup, cup! Cup, aku!
Eh maaf!" "Bab 5, MENGARUNGI SUNGAI
Keesokan harinya mereka berangkat dengan mobil ke sungai, melewati jalan yang
nampak putih. Jalan itu berkelok-kelok. Penduduk setempat yang ada di jalan
buru-buru minggir, begitu mobil besar itu lewat.
"Mereka kelihatannya seperti orang-orang yang dikisahkan dalam Alkitab," kata
Lucy-Ann. "Yah itu tidak aneh, karena orang-orang yang dituturkan itu banyak yang berasal
"dari daerah sini," kata Bill. "Dan dalam beberapa hal, penduduk sini maupun
desa-desa mereka, tidak banyak mengalami perubahan, kecuali beberapa jenis benda
hasil perkembangan zaman modern yang merembes kemari seperti radio, arloji, dan
"kadang-kadang juga sanitasi modern. Dan tentu saja juga film. Di mana-mana bisa
ditemukan gedung bioskop."
"He, Bill! Orang itu tampangnya persis gambar Abraham, yang ada di dalam Alkitab
bergambarku yang dulu!" kata -Lucy-Ann sambil menunjuk dengan anggukan kepala ke
arah seorang laki-laki berjubah putih, yang melangkah dengan sikap berwibawa di
pinggir jalan. "Dan lihatlah wanita yang menjunjung pot eh, maksudku kendi di
" " "atas kepalanya! ia kelihatannya persis gambar yang kumiliki, yang menggambarkan
Rebeka sedang pergi mengambil air ke sumur."
"He, lihatlah ada kawanan unta!" seru Philip dengan tiba-tiba. "Dan itu ada yang
"masih bayi. Baru sekali ini kulihat bayi unta. Ingin aku memilikinya, untuk
kujadikan peliharaan."
"Yah kalau dia kaupelihara, masih mendingan karena tidak bisa kaukantungi
" "seperti ular, atau tikus," kata Dinah. "Masam sekali tampang unta-unta itu!"
"Memang," kata Bill. "Unta memang selalu bertampang masam. Yang di sana itu,
sikapnya memandang kita seolah-olah muak melihat mobil ini."
"Mungkin memang begitu," kata Dinah. "Bau bensin pasti sangat tidak enak
baginya! Wah, ia benar-benar mencibir! Sudah, janganlah semacam itu mukamu,
"Unta!" Mereka juga berpapasan dengan iring-iringan keledai, yang dengan sabar berjalan
sambil memanggul keranjang yang besar-besar. Muatan yang dibawa nampaknya sangat
berat, sehingga anak-anak heran melihat keledai-keledai itu masih mampu
berjalan. "Coba buku bergambarku tentang unggas sedunia jadi kubawa, aku akan bisa
mengetahui nama-nama segala burung yang cemerlang warna bulunya itu," kata Jack
dengan sedih. "Aku sebenarnya sudah berniat akan membawanya, tapi kemudian
tertinggal di meja kamarku."
"Kau takkan diizinkan masuk ke pesawat jika buku berukuran raksasa itu kaubawa,"
kata Bill. "Tapi kulihat kau membawa teropongmu. Banyak sekali nanti yang bisa
kaulihat dengan alat itu."
"Itukah sungainya?" kata Dinah tiba-tiba, ketika ia sekilas melihat sebidang air
di sela pepohonan yang dilewati. "Ya, betul! Wah lebar sekali sungai di tempat "ini!"
Tepi seberang sungai itu memang jauh sekali kelihatannya. Perahu motor yang
dipesan sudah siap menunggu mereka. Perahu itu tidak besar, tapi apik.
Pengemudinya, seorang penduduk setempat berpenampilan rapi, memberi hormat
ketika para penumpang datang. Perahu itu ditambatkan di tepi pangkalan yang
kecil. Bill memeriksa perahu motor itu. Setelah puas, ia mengangguk pada lakilaki itu. "Saya Tala," kata laki-laki itu sambil membungkukkan badan. "Tala mengurus
kapal, dan juga mengurus tamu-tamu, Tuan."
Tala mempersilakan tamu-tamunya turun ke perahu. Kendaraan sungai itu kecil,
tapi cukup lapang untuk mereka. Hawa di dalam kabin panas dan pengap. Tapi tidak
apa, karena memang tidak ada yang berniat tinggal lama-lama di situ! Tempat
berbaring-baring terdapat di bawah dek. Nampaknya tidak enak tidur di situ,
karena hawanya juga panas dan pengap. Tapi Bill mengatakan bahwa mereka bisa
tidur di atas dek, asal jangan lupa memasang kelambu. Angin semilir yang sekalisekali mengembus, terasa sangat nyaman.
"Tuan mau kita berangkat sekarang ini juga?" tanya Tala sambil memperhatikan
para penumpang satu demi satu. Orang itu giginya putih sekali. Matanya berkilatkilat Jenaka, menyebabkan anak-anak langsung suka padanya.
Bill mengangguk. "Ya, kita berangkat sekarang! Tolong jelaskan untuk apa segala instrumen ini,
supaya bila ingin aku bisa menggantikan mengemudi."
Dengan mulus perahu motor itu mulai bergerak meninggalkan pangkalan. Bunyi
mesinnya sangat lembut, hampir-hampir tidak kedengaran. Begitu perahu sudah
berjalan, hawa langsung terasa lebih sejuk, karena ada angin dari depan. Anakanak duduk di dek, memperhatikan pemandangan yang dilewati pada kedua tepi
sungai. Bu Cunningham turun ke bawah, untuk memeriksa bekal makanan apa saja yang
dibawa. Tidak lama kemudian terdengar suaranya memanggil Bill.
"Boleh juga kau, Bill!" katanya. "Bekal ini pasti cukup untuk satu pasukan dan
"semuanya enak-enak! Ada pula lemari es di sini, berisi mentega serta susu segar.
Kau ini orang penting rupanya, kalau melihat apa saja yang dipersiapkan demi
kesenanganmu!" Bill tertawa saja. "Sudahlah, naik saja ke dek supaya pipimu bisa agak merah kena sinar matahari!"
"katanya. "He kenapa anak-anak itu?"
"Saat itu perahu mereka melewati sebuah desa kecil. Anak-anak desa itu bergegasgegas ke tepi sungai, untuk memperhatikan perahu lewat. Mereka melambai-lambai


Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berseru-seru dengan gembira. Keempat anak yang ada di atas perahu
membalas lambaian itu. "Apa nama sungai ini, Tala?" tanya Philip.
"Namanya, Sungai Abenca," jawab Tala, sementara matanya terus ditatapkan ke
sungai di depannya. "Adventure" Sungai Adventure" He, Anak-anak!" seru Philip. "Kata Tala, sungai "ini namanya Sungai Adventure! Asyik, ya" Sungai Petualangan!"
?"Abenca! Abenca," kata Tala membetulkan ucapan Philip. Tapi anak itu mengira
bahwa Tala hendak mengucapkan kata "Adventure", yang memang berarti Petualangan
Tapi cara pengucapannya saja yang keliru. Soalnya, Tala memang sering mengalami
kesulitan dalam mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris.
"Ya, Tala kami sudah mengerti," kata Philip. "Mama itu bagus Sungai Petualangan.
" "Dan ini memang merupakan petualangan, bagi kami!"
Hari pertama pesiar itu berlangsung dengan tenang dan tenteram. Mereka
mengarungi sungai selama berjam-jam. Bill menggantikan memegang kemudi, ketika
Tala harus turun ke bawah untuk menyiapkan makanan. Anak-anak ingin sekali tahu,
hidangan seperti apa yang akan disajikan nanti. Mereka sudah sangat lapar.
Kemudian Tala muncul lagi, dengan hidangan yang hebat sekali. Menurut Dinah,
sebutan hidangan saja tidak pantas untuk itu karena masih kurang hebat. Rasanya
"lebih cocok jika dikatakan perjamuan. Atau bahkan pesta!
Tala rupanya menyajikan hidangan hasil ciptaannya sendiri, yang diramunya dengan
bahan-bahan dari beberapa kaleng yang dibukanya. Hidangan sedap itu dilengkapi
acar, serta bermacam-macam saus. Dan ada pula roti segar sebagai pengiring,
serta buah-buahan baik yang segar, maupun buah kalengan. Lucy-Ann langsung
"menyambar sebuah persik yang besar.
"Jangan kaumakan dengan kulitnya, Lucy-Ann!" kata Bill, ketika melihat anak itu
langsung hendak menggigit persiknya. "Buah-buahan di sini harus dikupas dulu
sebelum dimakan. Itu harus selalu kalian ingat! Jangan sampai lupa!"
Bu Cunningham benar-benar menikmati hari yang berjalan dengan tenang itu,
mendengarkan kecipak air memukul haluan perahu, serta melihat desa-desa yang
dilewati, serta sekali-sekali berpapasan dengan perahu-perahu lain di tengah
sungai yang biru kehijauan itu.
Sinar matahari senja yang hangat dan embusan angin menyebabkan mereka semua
merasa mengantuk. Mereka langsung tertidur, begitu merebahkan diri di lantai
dek. Tala menepikan perahu, lalu menambatkannya. Setelah itu ia pun merebahkan
diri di pembaringannya, yang terletak di buritan.
Sebelum terlelap, Jack masih sempat heran, kenapa bintang-bintang di langit
kelihatan begitu besar dan terang. Malam itu semuanya tidur nyenyak. Tidak ada
yang mendengar apa-apa. Mereka juga tidak mendengar suara seekor burung malam,
yang bunyinya merupakan campuran antara teriakan dan suara burung hantu.
Sebenarnya ada juga yang mendengar suara itu, yaitu Kiki! Burung itu membuka
sebelah matanya. Sejenak ia sudah berniat untuk menjawab teriakan itu dengan
suara yang serupa. Tapi tidak jadi karena pasti Bill akan marah-marah lagi!
"Keesokan paginya, sungai kelihatan lebih indah. Warna airnya biru pudar. Jack
sangat tertarik, melihat kawanan burung air yang kecil-kecil mengambang sambil
berenang-renang di sekitar perahu.
"Burung-burung ini, apa namanya?" tanyanya pada Tala, sambil menuding ke arah
burung-burung kecil yang bulunya berwarna biru bercampur kuning.
"Tala tidak tahu," jawab yang ditanya, sambil mengangkat bahu. Ternyata Tala
tidak tahu apa-apa tentang burung, serangga, maupun bunga. Tidak satu pun yang
ia tahu namanya. Seluruh minatnya terarah pada mesin perahu, serta bagaimana
merawatnya. "Sebentar lagi kita sampai di tempat besar," kata Tala petang itu. Sikapnya
nampak lebih gembira. "Nama tempat itu Kota Fellem."
"Kota Fellem?" tanya Bill dengan heran. "Kurasa kau keliru, Tala. Tidak ada kota
besar di sepanjang sungai ini. Yang ada hanya kota-kota kecil saja. Kota Fellem"
Belum pernah kudengar nama itu. Yang jelas, di petaku tidak tertera!"
Tapi Tala mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tegas.
"Ya, Kota Fellem," katanya dengan sikap yakin. "Tala tahu! Setengah jam lagi,
kita akan lihat Kota Fellem."
Bill mengeluarkan petanya, lalu menelusuri gambar sungai yang tertera di situ.
Sambil menggeleng-geleng, diperlihatkannya peta itu pada Tala.
"Kau keliru," kata Bill. "Tidak ada di sini yang namanya Kota Fellem. Lihat saja
sendiri. Di mana tempatnya?"
Tala meletakkan jari telunjuknya pada satu bagian dari peta itu, di mana sungai
digambarkan agak membelok.
"Kota Fellem di sini," katanya. "Tuan lihat saja nanti. Tala pasti benar. Tala
sudah pernah ke sana. Kota besar sekali. Banyak orang di sana. Menara besarbesar, setinggi langit."
Keterangannya itu benar-benar mengherankan. Bill sampai merasa bingung. Apa
sebabnya 'kota besar sekali' itu tidak diterakan pada peta" Padahal desa-desa
kecil saja ada! Kota kecil yang menjadi tujuan mereka saat itu, letaknya dekat
-sekali dengan tikungan sungai tempat Kota Fellem terletak menurut Tala."Bill mengangkat bahu. Tala pasti mengada-ada. Menara-menara setinggi langit"
Omong kosong! Malam tiba, bintang-bintang bermunculan menghias langit. Berkelap-kelip, dengan
cahaya yang terang dan misterius. Air sungai kelihatan berubah menjadi hitam
pekat, sedangkan pantulan cahaya bintang-bintang di langit berwarna ke-perakperakan "Itu tikungan sungai yang kumaksudkan, Tuan lalu sesudah itu, Kota Fellem," kata
"Tala bersemangat. "Tuan lihat nanti!"
Perahu memasuki tikungan dan sekejap kemudian Bill serta yang lain-lainnya
"melihat pemandangan yang benar-benar menakjubkan! Di depan mereka nampak sebuah
kota besar, di tepi sungai sebelah barat. Kota yang penuh dengan cahaya terang,
serta suara ramai. Kota dengan menara-menara yang menjulang tinggi. Persis
seperti yang dikatakan oleh Tala!
Sambil memandang, Bill hanya bisa melongo, ia tidak mengerti. Di depan mata
nampak sebuah kota besar, yang tidak tertera di peta. Padahal peta itu terbitan
paling baru. Belum sampai setahun! Mana mungkin ada kota dibangun dalam waktu
tidak sampai setahun. Baru sekali ini Bill benar-benar bingung, ia memandang
dengan mata terbelalak, seolah-olah tidak bisa mempercayai penglihatannya
sendiri. "Tala boleh ke Kota Fellem malam ini?" tanya Tala dengan nada mengharap. "Tala
suka Kota Fellem. Boleh ya, Tuan" Perahu aman kan ada Tuan di sini!"
?"Ya, ya, pergilah," kata Bill, setelah agak pulih dari kebingungannya. "Ini
benar-benar luar biasa! Sebuah kota yang besar dan ramai, dengan gedung yang
besar-besar tapi tidak tertera di peta. Tidak seorang pun di London yang
"mengatakan apa-apa padaku mengenai kota ini. Apa artinya ini?"
"Kita melihat-lihat ke sana, ya, Bill?" kata Jack mengajak.
"Jangan malam ini," kata Bill. "Kita ke sana besok, jika hari sudah siang. Tapi
bukan main terangnya tempat ini! Dan bangunannya juga besar-besar! Aku benarbenar tidak mengerti. Benar-benar aneh!"
Bab 6, 'KOTA FELLEM' Malam itu semuanya tidur enak. Sebelumnya, sampai larut mereka masih memandang
lampu-lampu gemerlapan yang menerangi 'Kota Fellem' yang menakjubkan itu. Tala
sudah pergi. Orang itu kelihatannya senang sekali. Dengan sekali loncat saja ia
sudah sampai di darat. Dan ia belum kembali ketika yang lain-lain sudah
merebahkan diri untuk tidur di dek yang sejuk. Bill agak gelisah, karena tidak
tahu kapan Tala akan kembali.
Tapi keesokan harinya, pagi-pagi Jack terbangun karena mendengar orang mengutikutik mesin perahu. Ternyata orang itu Tala! ia sedang membersihkan busi-busi.
Tampangnya agak kuyu. Rupanya karena semalam kurang tidur, ia memandang Jack
sambil nyengir, ketika anak itu berdiri lalu menggeliat.
"Tala ke Kota Fellem," kata orang itu, sambil mengangguk ke arah tepi sungai.
Jack langsung teringat pada kejutan yang tiba-tiba nampak malam sebelumnya, ia
bergegas ke pinggir seberang perahu, untuk memandang ke arah Kota Fellem yang
misterius itu. Apa yang dilihatnya begitu mengherankan, sehingga Jack merasa
perlu memanggil Bill. "Bill Kemarilah, Bill! Coba kaulihat!"
Bill bangun mendengar namanya dipanggil, lalu menghampiri Jack. Mereka memandang
ke arah kota yang luas itu. Bill ternyata juga tercengang.
"Ada yang aneh dengan kota ini," katanya. "Lihat saja menara-menara itu!
Kelihatannya tidak seperti menara sungguhan lalu apa itu, yang di " "sana kelihatannya seperti istana, atau begitu! Itu juga kelihatan agak aneh.
"Dari sini, kelihatannya seperti satu sisinya tidak ada! Mana teropongmu, Jack"
Coba kupinjam sebentar."
Bill mengamat-amati kota itu dengan teropong yang disodorkan Jack padanya.
"Wah aku semakin bingung jadinya," katanya kemudian, sambil menurunkan teropong.
?"Kota itu terdiri dari berbagai bangunan yang serba aneh ada pondok-pondok dan
"gubuk-gubuk yang kelihatannya seperti gudang, lalu rumah-rumah model kuno,
menara-menara, lalu istana itu, serta sesuatu yang nampaknya mirip sebuah kuil
kuno dan di sana-sini orang ramai berkerumun, serta iring-iringan unta, dan...
"pokoknya, aku bingung melihatnya."
"Yuk, kita melihat ke sana setelah sarapan," kata Jack.
"Ya, tentu saja kita perlu melihatnya," kata Bill. "Tempat bernama Kota Fellem
ini bukan desa karena terlalu besar untuk itu! Tapi kenapa tidak tertera pada
"petaku" Kemarin malam aku sempat mempelajari peta lain. Tapi di situ pun tidak
ada. Bangunkan yang lain-lain, Jack."
Tidak lama kemudian mereka sudah sarapan beramai-ramai. Bu Cunningham juga
merasa heran, melihat wujud kota aneh di tepi sungai itu.
"Istana itu kelihatannya masih baru," kata Lucy-Ann sambil memandang ke arah
bangunan yang dibicarakan. "Padahal mestinya sudah ribuan tahun umurnya! Jadi
mestinya sudah lama runtuh, dan tinggal puing-puingnya saja."
Selesai sarapan mereka semua turun ke darat. Tala ditinggal, karena harus
menjaga perahu. Kiki tentu saja diajak. Seperti biasanya, ia bertengger di bahu
Jack. ia mengoceh terus. Penduduk setempat yang berpapasan dengan mereka geli
mendengarnya. "Tutup pintu!" seru Kiki dengan galak. "Panggil dokter, Polly pilek." Setelah
itu Kiki bersin dengan keras. Bunyinya begitu meyakinkan, sehingga hampir saja
Lucy-Ann menyodorkan sapu tangan padanya. Akhirnya Jack menyuruh burung kakaktua
itu diam, karena ia melihat segerombolan anak-anak kecil berjalan mengikuti
mereka sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk ke arah Kiki.
Ketika kota yang dituju sudah dekat, Bill berseru, "Ini kota tiruan! Menaramenara, candi, dan juga istana itu semuanya tiruan! Lihat saja yang itu yang ada" "kan cuma dinding depannya saja! Bagian belakangnya tidak ada!"
Semua memandang dengan heran. Ucapan Bill memang benar. Yang nampak memang hanya
dinding depan yang ringkih kalau dilihat dari jauh, nampaknya memang persis
"candi yang asli. Tapi di belakang dinding depan yang ternyata terbuat dari papan
dan terpal itu hanya ada tempat terbuka. Dinding depan palsu itu sendiri hanya
ditopang dengan kerangka yang terbuat dari sejumlah tiang.
Bill dan rombongannya meneruskan langkah. Mereka sampai di sebuah bangunan
gudang yang kokoh. Di dalamnya ada bermacam-macam barang yang baru sekali itu
dilihat oleh anak-anak. Mereka juga melihat pondok-pondok yang dibangun asal
jadi saja. Pondok-pondok itu merupakan warung-warung. Ada yang menjual rokok,
ada yang menjual minuman ringan, dan ada lagi yang menawarkan beraneka ragam
keperluan sehari-hari. Orang-orang yang mereka jumpai, beraneka ragam pula penampilannya. Pria dan
wanita hilir mudik bergegas-gegas, kebanyakan mengenakan pakaian Barat yang
kelihatan lusuh. Tapi tidak sedikit pula yang mengenakan pakaian penduduk
setempat. Di mana-mana nampak anak-anak kecil berkeliaran, dengan pakaian
seadanya. Di balik suatu tikungan nampak pemandangan yang semakin membuat Bill dan
rombongannya terheran-heran. Mereka melihat arak-arakan yang terdiri dari kaum
pria berbusana megah. Mereka melangkah dengan tenang dan lambat, sambil
menyanyikan lagu dengan khidmat. Di tengah arak-arakan itu ada tempat yang
kosong. Tempat kosong itu diisi sesuatu yang kelihatannya seperti tempat tidur,
dikelilingi sejumlah wanita yang mengenakan jubah berpotongan zaman dulu. Tempat
tidur yang dikelilingi itu diusung oleh empat orang laki-laki bertubuh tinggi
kekar, dan berkulit hitam. Dan di atasnya berbaring seorang wanita yang sangat
cantik! Sementara rombongan dari perahu pesiar memandang sambil melongo, tiba-tiba Bill
berpaling, ia mendengar bunyi desiran yang aneh. ia langsung berseru, begitu
melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Anak-anak, dan juga Bu Cunningham,
menoleh ke arahnya. Mereka melihat Bill tertawa lebar.
"Sekarang aku mengerti!" katanya. "Heran kenapa selama ini tidak ada pikiranku
"ke arah situ. Sebabnya 'Kota Fellem' ini tidak tertera di peta, mungkin karena
belum ada ketika peta itu diterbitkan setahun yang lalu! Kalian lihat kamerakamera yang besar di sana itu" Mereka sedang merekam adegan untuk film, dan..."
ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu anak-anak langsung
ribut berbicara dengan serempak.
"Ah, tentu saja! Ya kota ini dibangun khusus untuk membuat film yang ceritanya
"tentang zaman dulu!"
"Kenapa tidak ke situ pikiran kita, ya" Itu sebabnya candi itu hanya berupa
dinding depannya saja!"
"Dan itu sebabnya kenapa di sini banyak orang dengan pakaian yang macam-macam!"
"Sekarang aku baru mengerti! Mamanya 'Kota Film' dan bukan 'Kota Fellem',
"seperti sangkaan kita selama ini," kata Jack. "Sebuah kota yang dibangun khusus
untuk membuat film. Kota Film!"
"Kelihatannya sangat menarik!" kata Philip bergairah. "Bolehkah kami berkeliling
sendiri untuk melihat-lihat, Bill" Lihatlah di sana ada yang sedang
"mempertunjukkan permainan akrobat! Nah, sekarang ia membungkukkan badan ke
belakang, lalu memegang pergelangan kakinya dari belakang!"
Bill tertawa. "Baiklah," katanya. "Sana pergilah melihat-lihat! Kurasa tempat ini menarik "banyak artis, karena merasa akan bisa mendapat penghasilan dengan pertunjukan
mereka. Mungkin kalian nanti akan bisa melihat sesuatu yang menarik. Tapi hatihati, jangan sampai memencar. Jack, Philip kalian menjaga ya, jangan sampai
"kedua adik kalian terpisah. Aku akan pergi melihat-lihat sendiri bersama ibumu,
Philip! Siapa tahu, mungkin aku di sini bisa mendapat keterangan yang berguna
untuk penyelidikanku."
Anak-anak langsung mengerti. Bill mengharapkan akan bisa memperoleh keterangan
tentang Raja Uma. Memang ada saja kemungkinannya bahwa orang itu juga ada di
Kota Film! Keempat anak itu berjalan sambil melihat-lihat, diikuti sekelompok kecil anakanak penduduk setempat yang tertarik melihat mereka. Pedagang kaki lima
berpakaian lusuh berseru-seru menawarkan dagangan ketika keempat anak itu lewat.
Ada yang menjual manisan yang ditaruh di atas tampah. Dinah dan Lucy-Ann
bergidik karena jijik, ketika melihat manisan yang ditawarkan itu dikerumuni
lalat. Lalu ada pula yang menawarkan buah-buahan segar, yang ditaruh di dalam
keranjang. Barang-barang mainan yang murah, seperti yang banyak ditawarkan di
pasar malam. Gambar-gambar berbagai bintang film, yang mungkin ikut tampil dalam
film yang sedang dibuat di situ. Pokoknya bermacam-macamlah yang ditawarkan pada
mereka. Tapi tidak satu pun yang menarik selera anak-anak untuk membelinya.
Semua orang di situ kelihatannya menguasai bahasa Inggris. Bahkan penduduk
setempat pun berbahasa Inggris. Atau lebih tepat dikatakan berbahasa Amerika,
karena yang sedang membuat film itu merupakan salah satu perusahaan film yang
paling besar di Amerika. Tidak sulit mengenali mana yang orang Amerika atau
Eropa, karena kecuali cara mereka berjalan lebih bergegas-gegas, suara mereka
kalau berbicara juga lebih lantang.
Keempat anak itu berkeliaran ke mana-mana, melihat candi-candi dan menara-menara
palsu, sambil menduga-duga film apa yang saat itu sedang dibuat. Mungkin salah
satu kisah dari Perjanjian Lama.
Kemudian mereka menghampiri beberapa pondok. Di sana nampak seseorang yang
sedang mempertunjukkan keahliannya, dikerumuni sekelompok penonton. Orang itu
melakukan sesuatu yang benar-benar menakjubkan, ia sedang memanjat tangga, yang
jenjangnya terdiri dari jajaran pisau!
Sementara dua orang pembantunya menyanyikan lagu yang aneh, orang itu terus
memanjat. Dengan tenang dipijakkannya kakinya yang telanjang ke mata pisau yang
dijadikan jenjang, mengikuti irama gendang. Anak-anak ikut menonton dengan mulut
ternganga karena heran. Akhirnya orang yang memanjat itu meloncat turun ke tanah. Sambil nyengir
diperlihatkannya telapak kakinya. Telapak kaki itu tetap utuh. Sedikit pun tidak
nampak luka. Kemudian dipersilakannya penonton untuk memeriksa ketajaman pisaupisau yang dijadikannya tempat berpijak tadi. Beberapa penonton maju, lalu
meraba mata pisau-pisau itu dengan ujung jari mereka. Orang yang kelihatannya
kebal itu menggamit keempat anak yang menonton. Mereka menghampiri tangga yang
berjenjang pisau, lalu meraba mata alat-alat pemotong itu. Wah ternyata memang
"sangat tajam! Mereka memandang orang itu dengan kagum, lalu memasukkan uang
sekadarnya ke dalam kantung yang disodorkan. Mereka hanya membawa uang Inggris.
Tapi orang itu kelihatannya tidak keberatan. Rupanya uang itu nanti bisa
ditukarkannya dengan mata uang yang berlaku di situ, di salah satu pondok reyot
yang ada di sekitar situ.
"Luar biasa caranya mencari nafkah," kata Lucy-Ann. "Memanjat pisau-pisau tajam,
tanpa alas kaki! Eh, itu ada tukang sulap dengan bola!"
"

Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tukang sulap itu sangat terampil memamerkan keahliannya. Enam bola yang berwarna
kemilau dilambung-lambungkannya dengan serempak dan dengan cepat sekali,
sehingga sulit sekali rasanya mengikuti segala gerak-geriknya. Dan kemudian
ditangkapnya kembali dengan cekatan, sampai anak-anak ternganga kagum. Setelah
itu diambilnya enam buah piring yang kemudian dengan lincah dijadikannya
permainan, dilempar dari tangan yang satu ke tangan lainnya lewat bahu dan di
antara kakinya yang dibentangkan susul-menyusul dengan cepat, tanpa ada satu "piring pun yang jatuh atau pecah.
Anak-anak bertepuk tangan dengan kagum. Tahu-tahu Jack merasa ada tangan
menyusup masuk ke dalam kantung kemejanya, ia berpaling dengan cepat, menyambar
seorang anak laki-laki yang dekil. Tapi anak kecil itu menggeliat, dan berhasil
melepaskan diri. "He awas kalau berani melakukannya lagi!" seru Jack dengan marah, sambil meraba
"kantungnya. Rasanya tidak ada yang hilang. Untung tadi ia lebih cepat dari si
pencopet cilik. Walau demikian, itu merupakan pelajaran baginya, dan juga bagi
anak-anak yang lain. "Rupanya kita tidak boleh terlalu asyik menonton, sehingga lupa menjaga keamanan
kantung," kata Jack. "Kenapa kau tadi tidak melihat perbuatan kunyuk kecil itu,
Kiki" Kalau melihat, kau kan bisa berteriak, 'Awas copet!'"
"Awascopet, awascopet, awascopet!" teriak Kiki dengan cepat. Dikiranya harus
begitulah mengucapkannya, disambung menjadi satu. Teriakannya mengherankan
orang-orang yang lewat, sehingga semua berhenti dan memandang ke arah anak-anak.
Seorang anak perempuan cepat-cepat lari menjauh.
"Anak itu rupanya mengira bahwa ialah yang dimaksudkan oleh Kiki," kata Philip
sambil nyengir. "Kurasa tadi ia bermaksud mencopet isi tasmu, Lucy-Ann."
Saat itu terdengar bunyi musik yang aneh, melengking tinggi. Keempat anak itu
berhenti lagi. "Kedengarannya seperti musik tari ular!" kata Philip dengan gembira. "Yuk cepat
"ke sana! Sejak dulu aku kepingin melihat pawang ular beraksi. Ayo cepat!"
Bab 7, KENYATAAN YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA
Jack, Philip, dan Lucy-Ann bergegas menuju ke arah suara musik itu. Tapi Dinah
tidak ikut. "Ular! Ih aku tidak ingin melihat," katanya. "Aku tidak suka pada ular! Aku
"tidak mau ikut."
"Kau harus bersama-sama dengan kami, Dinah," kata Philip dengan sikap tidak
sabar. "Bill yang mengatakan begitu tadi. Kau tidak perlu ikut melihat. Kau
berdiri membelakang saja nanti. Tapi kau harus ikut dengan kami."
"Ya deh, ya deh," kata Dinah mengomel. "Aku heran, mau-maunya kalian menonton
ular. Binatang jelek saja ditonton!"
Dinah mengikuti dengan langkah lambat, tapi tetap menjaga agar tidak terlalu
jauh terpisah dari anak-anak yang mendului. Ketika sudah sampai di dekat
kerumunan orang yang mengelilingi pawang ular, ia cepat-cepat membalikkan tubuh.
Perutnya terasa agak mual, karena sebelum membelakang masih sempat melihat
seekor ular tersembul dari sebuah keranjang. Ular itu muncul sambil menggerakgerakkan kepalanya kian kemari. Setelah meneguk ludahnya beberapa kali Dinah
merasa seperti biasa lagi. Tapi ia tidak berani membalikkan tubuh, menghadap ke
arah pawang ular. ia memperhatikan orang banyak yang lalu alang, dengan pakaian
yang beraneka ragam. Anak-anak yang tiga lagi ikut berkerumun mengelilingi pawang ular. Orang itu
agak dekil kelihatannya, dengan sorban terlilit di kepala, serta sarung
membungkus tubuh sebelah bawah. Matanya buta sebelah. Tapi matanya yang sehat
menatap tajam ke sekelilingnya, sehingga Lucy-Ann merasa tidak enak melihatnya.
Habis tidak pernah mengejap, seperti mata ular!"Pawang ular itu didampingi seorang anak laki-laki yang masih kecil. Pembantunya
itu hanya memakai semacam cawat. Tubuhnya sangat kurus. Lucy-Ann yang
memperhatikannya merasa dengan gampang bisa menghitung tulang rusuknya yang
menonjol ke luar. Mata anak laki-laki itu tajam dan bersinar menurut Lucy-Ann
"bukan seperti mata ular, tapi lebih mirip mata burung murai. Anak laki-laki
pembantu pawang ular itu berbicara dengan cepat sekali, tentang ular-ular yang
ada di dalam keranjang. Ia berbicara dalam bahasanya sendiri, dicampur dengan bahasa Amerika. Ketiga
anak yang menonton hanya bisa menangkap separuhnya saja. Tapi itu sudah cukup
untuk mengetahui bahwa ular-ular yang ada di dalam keranjang itu berbahaya.
Gigitan mereka beracun, sehingga orang dewasa pun jika dipatuk bisa mati dalam
waktu dua belas jam. "Geraknya begini," kata anak laki-laki dengan suara seperti bernyanyi, sambil
menggeliatkan lengannya menirukan gerak ular, "lalu mematuk dengan cepat, cepat,
cepat..." Pawang ular yang duduk bersila menghadapi keranjang bundar mulai memainkan
sulingnya lagi. Terdengar kembali musik aneh tanpa nada tertentu yang beberapa
menit sebelumnya sudah mengalun. Ular yang tadi dilihat Dinah muncul, kini
menyembulkan kepalanya lagi. Napas para penonton tersentak, melihat bentuk
kepala yang menyeramkan itu.
"Jack," bisik Lucy-Ann, "itu kan ular yang disebutkan oleh manajer hotel kita!
Lihatlah warnanya hijau, berbintik-bintik merah dan kuning. Apa katanya, nama
"ular itu?" "Eh bargua, kalau tidak salah," kata Jack, sambil memperhatikan ular itu. "Wah,
"bagus sekali tapi kelihatannya galak! Lihatlah caranya menggerak-gerakkan
"kepala seolah-olah memperhatikan semua yang ada di sini. Astaga, itu ada seekor
" "lagi!" Sementara itu memang ada seekor ular lain yang tersembul dari dalam keranjang,
ia mengangkat kepalanya lambat-lambat, sambil menggerak-gerakkannya seperti
memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang di antara penonton mendesak maju
karena ingin melihat lebih dekat. Tapi dengan segera anak laki-laki pembantu
pawang berteriak, Mundur, mundur! Kalian ingin dipatuk, ya" Serangannya cepat
"sekali! Sangat cepat!"
Orang-orang yang semula sudah maju cepat-cepat mundur lagi, karena takut
dipatuk. Sedang pawang ular terus saja memainkan sulingnya, sementara matanya
yang hanya satu mengamat-amati segala gerak-gerik penonton yang berkerumun.
Tahu-tahu muncul lagi seekor ular dari dalam keranjang. Binatang itu melambailambaikan kepalanya kian kemari, seakan-akan mengikuti irama lagu yang ke luar
dari lubang suling. Pembantu pawang mengetuk kepala ular yang ketiga itu dengan
tongkat. Ular itu masuk lagi ke dalam keranjang.
"Ular itu jahat, tidak aman," kata anak laki-laki itu dengan sikap bersungguhsungguh. Sementara itu kedua ekor ular yang pertama masih saja bergerak-gerak seperti
menari. Tahu-tahu pawang ular mengubah irama lagunya. Lebih lantang, dan lebih
cepat. Salah satu ular yang sedang menari nampak bertambah cepat gerak ayunan
kepalanya. Pembantu pawang mengacungkan sepotong tongkat di atas kepalanya,
seakan-akan hendak menghentikan gerakannya.
Tahu-tahu ular itu mematuk tongkat! Dan sebelum ada yang sempat berbuat apa-apa,
binatang berbisa itu sudah menggeleser ke luar dari keranjang, lalu meluncur
dengan cepat ke arah penonton. Orang ribut berteriak dan memekik, menjeritjerit. Semuanya berebutan ingin lari menjauh. Pembantu pawang lari mengejar ular
yang hendak minggat itu. Ular itu ditangkap, diangkat, lalu dicampakkan kembali
ke dalam keranjang. Orang-orang yang melihat berseru kagum. Terdengar tepuk
tangan ramai serta seruan memuji-muji. Pawang ular berdiri dengan gerakan
lambat, lalu menepuk-nepuk kepala pembantunya. menyambung dengan beberapa patah
kata dalam bahasanya sendiri yang diucapkan dengan cepat. "Anak ini berani. Ular
tadi bisa saja mematuknya, anak tabah," katanya sekali lagi.
"What a kid!" seru salah seorang penonton. Dari logatnya ketahuan bahwa ia orang
Amerika. Dan terdengar jelas pula bahwa ia merasa sangat kagum. "Nih,
Nak untukmu!" katanya, sambil menyodorkan selembar uang bernilai satu dollar. "Anak laki-laki itu melesat maju secepat ular untuk menerima uang itu, yang
diambilnya dengan diiringi anggukan kepala sebagai ganti ucapan terima kasih.
Melihat itu para penonton lainnya lantas ikut melemparkan uang sebagai hadiah
untuk pembantu pawang ular itu. Sedang yang diberi dengan cekatan memungut uang
yang berhamburan di sekelilingnya, dan memasukkan semuanya ke balik lipatan
cawatnya. Pawang ular bersikap tidak acuh. ia menutup keranjang tempat ular dan
bersiap-siap hendak meninggalkan tempat itu.
Jack merogoh kantung, hendak mengambil uang. ia heran, karena tahu-tahu Philip
melarangnya. "Jangan kauberi," kata Philip. "Tadi itu tipuan belaka!"
Dengan heran, Jack memalingkan muka ke arah Philip.
"Tipuan, katamu" Mana mungkin anak itu betul-betul berani! Kau sendiri kan men
"dengar apa kata manajer hotel kita ular bargua sangat berbisa!?""Percaya sajalah tadi itu tipuan," kata Philip dengan suara tertahan. "Kuakui,
"ular-ular itu memang ular bargua, dan ular bargua jelas berbahaya tapi tidak
"satu pun dari ketiga ekor ular tadi yang bisa membahayakan siapa pun juga."
"Apa maksudmu?" tanya Lucy-Ann dengan heran.
"Kita menjauh saja dulu nanti kukatakan," kata Philip. Mereka menghampiri Dinah,
"lalu bersama-sama pergi dari situ. Setelah agak jauh, Jack memandang Philip
dengan sikap tidak sabar.
"Sekarang katakan apa sebabnya kau berpendapat tadi itu tipuan!"
?"Kalian lihat tidak tadi, ketika ular-ular itu menggerak-gerakkan kepala, mulut
mereka selalu tertutup," kata Philip. "Tidak pernah dibuka, biarpun sekejap.
Lidah mereka tidak dijulurkan ke luar! Juga ketika kepala seekor di antaranya
diketuk dengan tongkat! Padahal ular kalau dibegitukan pasti marah, dan langsung
mengambil sikap menyerang!"
"Ya, memang kalau kuingat-ingat kembali, mulut ular-ular itu memang selalu
"tertutup," kata Jack. "Tapi itu kan tidak ada hubungannya sama sekali dengan
tipuan, seperti yang kaukatakan! Ular yang lari tadi kan bisa saja langsung
menyerang, begitu melihat ada kesempatan. Aku heran, kenapa pembantu pawang tadi
tidak dipatuk olehnya!"
"Dengar dulu dong!" kata Philip. "Aku tadi mulai curiga, ketika menyadari bahwa
ular-ular itu tidak pernah kelihatan mengangakan mulut mereka! Jadi ketika ular
tadi lari dan kejadian itu menurut aku memang sudah diatur nah, ketika ular itu
" "meluncur ke arah kita, aku memperhatikannya dengan teliti. Kalian boleh percaya
atau tidak tapi mulut ular yang malang itu ternyata dijahit."
"Anak-anak yang lain memandangnya dengan perasaan ngeri.
"Dijahit"!" kata Lucy-Ann. "Aduh, kejamnya! Jadi itu berarti bahwa pawang ular
itu tentu saja aman. ia tidak mungkin bisa dipatuk, karena ular-ularnya tidak
bisa membuka mulut untuk menyerang."
"Tepat," kata Philip. "Selama ini aku tidak tahu, bagaimana cara pawang ular
bekerja. Ular yang tadi dibuat seolah-olah minggat itu, mulutnya jelas-jelas
dijahit! Aku sempat melihat jahitannya. Kurasa sewaktu dijahit, ular itu dibius
dulu." "Tapi kalau begitu, ular itu tidak bisa lagi makan maupun minum," kata Lucy-Ann.
ia merasa lemas. "Itu kan kejam! Kenapa tidak ada yang melakukan sesuatu untuk
melarangnya?" "Kalau begitu anak tadi tidak bisa dibilang berani," kata Jack.
"Memang! Itulah yang sejak tadi hendak kukatakan padamu," kata Philip. "Anak itu
sudah dilatih untuk memainkan adegan tadi berbuat seolah-olah sangat berani!
"Kalian kan melihat sendiri, betapa lincahnya ia mengumpulkan uang yang
dihamburkan ke arahnya! Semuanya tipuan belaka, penipuan tanpa perasaan!
Menjahit mulut ular, untuk kemudian dijadikan alat mencari nafkah ih,
"menjijikkan!" "Untung aku tidak jadi memberi uang padanya," kata Jack.
"Dan untung aku tidak ikut menonton," kata Dinah menimpali.
"Aku merasa kasihan pada ular-ular itu," kata Lucy-Ann. "Tidak enak perasaanku
mengingat nasib mereka."
"Aku juga begitu," kata Philip. "Padahal warna mereka bagus-bagus hijau cerah,
" dengan bintik-bintik merah dan kuning yang berkilat-kilat. Ingin rasanya
memelihara seekor." Dinah memandang abangnya dengan mata melotot.
"Philip!" tukasnya. "Awas, kalau kau berani memelihara ular apalagi yang "berbisa!"
"Jangan langsung panas, Di," kata Jack dengan geli. "Kau kan tahu sendiri, mana
mungkin Bill akan mengizinkannya memelihara ular bargua yang berbisa! Sudahlah,
jangan marah-marah terus."
"Bagaimana ya aman atau tidak, kalau kita membeli es krim di sini?" kata Lucy"Ann dengan tiba-tiba. ia merasa sanggup menyikat tiga mangkuk es krim sekaligus.
"Mulutku kering sekali rasanya!"
"Kita cari saja tempat yang kelihatan bersih," kata Jack. "Bagaimana kalau yang
di sana itu?" Mereka menghampiri restoran kecil itu, lalu memperhatikan keadaan di bagian
dalamnya. Nampaknya cukup bersih. Di situ ada sejumlah orang Amerika, serta
beberapa pemain film yang masih dalam pakaian untuk peranan yang dimainkan.
"Kurasa di sini bersih," kata Philip, lalu mendului masuk. Orang-orang yang
sudah lebih dulu ada di situ memandang ke arah mereka. Perhatian mereka terutama
terarah pada Jack, karena ada Kiki yang bertengger seperti biasa di bahunya.
Di atas setiap meja ada sebuah lonceng kecil. Tamu yang hendak memesan sesuatu
harus membunyikan lonceng itu untuk memanggil pelayan. Jack mengangkat lonceng
yang terletak di atas meja mereka, lalu membunyikannya.
"Teng, teng, teng," oceh Kiki menirukan bunyi lonceng. "Kucing di atas genteng.
Panggil dokter!" Burung konyol itu terkekeh-kekeh, lalu mengoceh lagi. "Kucing
di atas genteng, ngeong, ngeong pus, pus, pus! Teng, teng, teng!"
"Restoran itu langsung sunyi. Semua menatap dengan heran ke arah burung kakaktua
itu, yang kini terbatuk-batuk menirukan suara domba yang sudah tua. Jack menepuk
paruhnya. "Ayo, Kiki jangan suka pamer!"
?"Astaga!" Seorang laki-laki berlogat Amerika yang duduk di dekat anak-anak
memandang mereka dengan geli. "Hebat sekali kakaktua itu, Anak muda! Kau mau
menjualnya?" "Tentu saja tidak!" kata Jack. ia merasa tersinggung. "Ayo diam, Kiki! Ini bukan
tempat untuk memamerkan kepandaianmu!"
Tapi Kiki tidak peduli. Burung iseng itu senang melihat bahwa ia diperhatikan,
lalu mulai mengumbar segala kepandaiannya. Tahu-tahu seorang laki-laki masuk ke
restoran itu lalu duduk di meja anak-anak!
?"Halo!" sapa orang itu. "Kurasa, kalian ini kukenal! Kalian kan termasuk
rombongan Bill" Ia ada di sini sekarang?"
Bab 8, LAGI-LAGI PAWANG ULAR ITU
Anak-anak menoleh dengan heran. Mereka menatap orang itu. ia berpakaian rapi,
sedang air mukanya nampak segar. Kulitnya kecoklat-coklatan. ia tersenyum pada
mereka, menampakkan deretan gigi yang rapi dan bersih.
Sesaat semuanya diam. Kemudian Kiki menelengkan kepalanya ke samping, lalu
mengoceh. Ocehannya ditujukan pada orang yang baru datang itu.
"Bill! Bill pengupil, minum pil, billy-bill!"
"Pintarnya kakaktua ini!" kata orang itu. ia mengulurkan tangannya, hendak
mengelus jambul Kiki. Tapi Kiki rupanya tidak mau. Dipatuknya tangan orang itu
dengan cepat. Orang itu langsung cemberut, menyebabkan tampangnya berubah sama
sekali. "Nah?" katanya kemudian sambil mengusap-usap jarinya yang kena patukan, ia
memandang anak-anak sambil tersenyum. "Kalian tahu-tahu bisu, ya" Aku bertanya,
dengan siapa kalian di sini" Kalian bersama Bill, kawan lamaku?"
Dengan sembunyi-sembunyi Jack dan Philip menendang kaki adik-adik mereka di
bawah meja, untuk mengingatkan mereka pada nasihat Bill. Mereka dilarang
mengatakan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain, jika ada yang
bertanya-tanya. "Kami di sini bersama ibu kami," kata Philip. "Kami baru saja sembuh, dan
sekarang tetirah di sini. Kami baru saja pesiar sebentar di sungai, naik perahu
motor." "Begitu ya," kata orang itu. "Kalau begitu kalian tidak kenal dengan orang yang
bernama Bill?" "O, kenal saja," kata Dinah. Sementara Jack dan Philip yang kaget belum sempat
memotong, ia sudah meneruskan, "Kami punya kenalan, namanya Bill Hilton! Diakah
yang Anda maksudkan?"
"Bukan," kata orang asing itu.
"Lalu ada pula Bill Jordans," sambung Dinah. Dari sinar matanya, Jack dan Philip
langsung tahu bahwa anak itu hanya mengarang-ngarang saja. Mereka lantas ikutikutan berbicara. "Atau mungkin yang dimaksudkan itu Bill Ponga! Betul dia yang Anda tanyakan, "Pak?"
"Atau mungkin juga Bill Tipps itu, yang punya empat buah mobil yang besar-besar,
"serta dua buah mobil kecil! Bill itukah yang Anda maksudkan?"
"Atau mungkin maksudnya Bill Kent. Kau tahu kan, Jack itu, tukang membersihkan
"cerobong asap, yang biasa dipanggil Ibu!"
"Atau maksud Anda Bill Plonk, Pak" Mungkin Anda mengenalnya pemilik pabrik
"biskuit yang biskuitnya..."
"Bukan, bukan dia yang kumaksudkan begitu pula bukan Bill-Bill yang kalian
"sebutkan tadi!" tukas orang itu. "Tidak ada orang bernama Bill bersama kalian di
sini?" "Tidak! Seperti Anda lihat sendiri, cuma kami saja yang ada di sini," kata Jack.
"Di mana perahu motor kalian?" tanya orang itu lagi. Wah keadaan mulai gawat
"sekarang! Jack mencari-cari akal untuk mengakhiri percakapan yang mulai tidak


Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenakkan itu. Dengan tiba-tiba ia memandang Lucy-Ann, lalu berbicara dengan
nada kaget. "Eh kau kelihatannya agak mulas, ya" Cepat ke luar, kalau begitu!"
"Untungnya Lucy-Ann langsung mengerti. Anak itu berdiri sambil memasang tampang
seperti sedang merasa mual.
"Tapi aku rasanya tidak mampu berjalan sendiri," katanya dengan suara dilemaslemaskan. ia dibimbing ketiga anak lainnya, diajak ke luar.
"Cepat lari!" kata Philip, begitu mereka sudah berada di luar. "Kurasa ia takkan
mengejar tapi siapa tahu! Kau hebat tadi, Jack bersikap seolah-olah Lucy-Ann " "tahu-tahu tidak enak badan!"
Anak-anak lari ke balik bangunan itu, lalu masuk ke sebuah gudang yang kosong.
Di situ ada sebuah jendela yang kacanya kotor. Mereka mengintip dari balik
jendela itu, untuk mengamat-amati apakah orang yang terlalu ramah tadi ke luar
untuk mengejar. Tiba-tiba Lucy-Ann mengeluarkan bunyi aneh.
"Kurasa Jack tadi memang benar aku merasa agak mulas," katanya. Tapi itu rupanya
"hanya sangkaannya saja, karena dengan segera ia sudah tidak apa-apa lagi.
"Itu teman kita keluar," kata Jack, sambil mengintip dari balik kaca jendela
yang kotor, "ia berdiri sambil memandang ke segala arah. Sekarang ia menuju ke
sebuah mobil sekarang duduk di belakang kemudi. Nah, syukurlah, ternyata ia
" "pergi dengan mobil itu. Ngebut!"
"Menurutmu, mungkinkah dia itu Raja Uma?" tanya Dinah.
"Kurasa bukan," kata Jack. "Tapi giginya memang sangat putih kalian sempat
"memperhatikannya atau tidak tadi" Dan menurut Bill, Raja Uma sangat menyolok
giginya, karena putih sekali. Aku tadi tidak bisa melihat apakah di lengannya
ada bekas luka atau tidak, karena ia memakai jas berlengan panjang."
"Banyak juga Bill yang kita sebutkan padanya tadi," kata Dinah sambil tertawa.
Anak-anak itu menghampiri pintu, lalu mengintip lagi ke luar.
"Sudah aman atau belum, kalau kita keluar sekarang?" tanya Dinah. Jack
mengangguk "Kurasa sudah," katanya. "Orang itu takkan berusaha memancing-mancing lagi. ia
tahu bahwa kita mempermainkannya tapi ia tidak tahu apakah itu karena kita
"berhati-hati, atau cuma karena iseng saja. Kejadian ini perlu kita laporkan pada
Bill. Kita lihat saja, apa katanya nanti! Kurasa tidak ada kesangsian lagi,
orang itu pasti mendapat kabar bahwa ada yang datang untuk mengadakan
penyidikan dan karenanya berjaga-jaga, kalau ada pendatang baru."
"Anak-anak keluar dari gudang kosong itu, lalu meneruskan langkah, melihat-lihat.
Mereka kemudian menjumpai sekelompok gubuk reyot yang dihuni penduduk setempat.
Pondok-pondok itu kelihatannya sudah lama ada di situ, dan bukan dibangun untuk
keperluan pembuatan film.
"Yuk, kita kembali," ajak Jack. "Tempat ini agak tidak enak baunya. Eh, apa
"itu?" Pendengarannya yang tajam, dengan tiba-tiba mendengar suara teriakan, ia
memasang telinga. Ternyata anak-anak yang lain juga mendengar teriakan itu.
Mereka juga mendengar bunyi lain, yang lebih tidak enak lagi. Mereka mendengar
bunyi tongkat yang dipakai sebagai pemukul! Setiap pukulan dengan tongkat itu
diikuti jeritan melengking. Jeritan karena sakit atau takut.
?"Yang menjerit itu anak kecil!" kata Philip. "Dari bunyinya, ia dipukul habishabisan. Yuk ini tidak bisa kita biarkan saja. Kita harus berbuat sesuatu!"
"Keempat anak itu lari ke balik pondok-pondok. Mereka sampai ke suatu tempat
terbuka. Di sana terdapat sejumlah peti dan kotak tua yang berserakan. Di bagian
belakang tempat itu ada seorang laki-laki, yang sedang memukuli seorang anak
dengan tongkat besar. Di situ ada pula beberapa orang lain. Tapi tak seorang pun
kelihatannya berniat untuk menghentikan pemukulan itu.
"He itu kan pawang ular yang tadi!" kata Jack. "Dan yang dipukulnya anak kecil
"yang memungut uang yang dilemparkan penonton ke arahnya. Lihatlah ia sudah
"terguling-guling di tanah!"
Keempat anak itu dengan cepat menghampiri pawang ular yang nampak sedang marah
itu. Philip memegang lengan orang itu, sementara Jack merenggut tongkat yang
dipegangnya. Orang itu berbalik dengan marah. Sambil berteriak dalam bahasa yang
tidak dimengerti oleh anak-anak, ia berusaha merebut kembali tongkatnya. Tapi
Philip menjauhkan benda itu dari jangkauannya.
"Tidak! Kau kejam, menghajar anak sekecil itu! Apa kesalahannya?"
Pawang ular itu berseru sekali lagi, sementara matanya yang tinggal satu
berkilat-kilat mengancam. Sambil melindungi kepala dengan tangan, anak kecil
yang tadi dipukuli berbicara dengan terisak-isak.
"Katanya, aku menyembunyikan uangnya. Katanya aku mencuri. Tapi itu tidak benar.
Lihatlah!" Ia membuka kain yang melilit pinggangnya, lalu mengibas-ngibaskannya.
Kemudian ia menuding si pawang ular.
"Semuanya sudah kuserahkan padanya. Semua! Katanya sebagian kupakai sendiri.
Kemudian aku dipukulnya!"
Anak itu menutupi mukanya dengan lengannya yang kurus, lalu menangis lagi.
Pawang ular maju ke arahnya, dengan sikap seperti hendak memukul lagi. Tapi
Philip langsung melompat, menyela dengan tongkat siap di tangan.
"Jangan kaupukul anak ini! Awas kalau masih berani juga, nanti kuadukan!" "Itu hanya gertakan belaka, karena Philip tidak tahu pada siapa urusan seperti
itu harus diadukan. Tapi ia bertekad, tidak akan membiarkan anak kecil itu
dipukul lagi. Mata pawang ular yang tinggal satu menatap ke arahnya dengan
marah. Tahu-tahu ia melangkah ke arah keranjang ularnya, yang terletak di tanah
dekat situ. Tutup keranjang itu ditendangnya sehingga terpental. Seketika itu
juga ular-ular yang ada di dalam mengangkat kepala mereka ke luar, kaget
bercampur marah. "Lari! Lari!" teriak pawang ular dalam bahasa Inggris. "Kalau tidak, kusuruh
ular-ularku mematuk kalian!"
Dinah langsung lari. Tapi yang lain-lain tidak beranjak dari situ. Jika kata
Philip benar, bahwa ular-ular itu tidak bisa menyerang karena mulut mereka
dijahit, maka mereka tidak perlu lari. Dua ekor ular ke luar dari dalam
keranjang, lalu menggeleser dengan cepat ke arah mereka. Tahu-tahu Philip
melakukan perbuatan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Tongkat yang dipegang
dilemparkannya pada Jack. Setelah itu ia berjongkok, sambil mendesis-desis.
Suara yang ke luar dari mulutnya biasa dipergunakannya jika ia hendak
menjinakkan ular yang berkeliaran di antara rerumputan di rumah.
Kedua ular yang menggeleser itu langsung berhenti. Mereka mengangkat kepala
sebentar lalu menghampiri Philip. Mereka mengusap-usapkan mulut ke tangannya.
"Seekor di antaranya membelitkan tubuhnya ke lengan Philip, merayap naik, lalu
membelit leher anak itu. Pawang ular hanya bisa memandang sambil melongo. Nampak jelas bahwa ia sangat
heran. Astaga belum pernah ada ularnya yang berbuat begitu padanya! Mereka
"selalu berusaha menghindar, ia belum pernah melihat ada ular liar yang mau
mendekati orang, seperti yang kini terjadi dengan anak laki-laki yang mendesisdesis di depannya itu! Dan anak laki-laki itu sedikit pun tidak merasa takut!
"Ular mematuk! Gigit, gigit!" katanya, ia mengentak-entakkan kakinya ke tanah.
Maksudnya hendak mengejutkan kedua ular itu, agar mematuk walau dengan mulut
"terjahit rapat. "Mereka tidak bisa," kata Philip sambil mencibir. Disentuhnya mulut ular yang
menggelungkan diri di lehernya. "Kau menjahit mulut mereka! Di negara kami,
untuk perbuatan kejam seperti ini kau akan dihukum, dan dipenjarakan!"
Pawang ular semakin marah, ia berteriak-teriak, dalam bahasanya sendiri. Anak
laki-laki yang tadi dipukuli lari menghampiri Philip.
"Pergi! Pergi! ia memanggil kawan-kawannya, dan mereka nanti akan menyerangmu!
Cepat, pergi!" Dengan cepat Philip meletakkan ular-ular itu ke tanah.' ia memikirkan
keselamatan Dinah dan Lucy-Ann. Mereka harus segera pergi dari tempat itu.
Jangan sampai kawan-kawan si pawang ular datang, lalu kemudian terjadi
keributan. "Lebih baik kita cepat-cepat pergi saja dari sini," katanya pada Jack.
Tapi sudah terlambat! Tiga orang remaja penduduk setempat muncul sambil berlarilari, karena mendengar panggilan pawang ular. Mereka mengepung keempat anak itu.
Dinah yang berdiri agak jauh, didorong ke tengah. Philip mendatangi ketiga
remaja itu, dengan memasang tampang berani.
"Minggir!" katanya dengan mantap. "Minggir kalau tidak ingin berurusan dengan "polisi!"
Tapi ketiga remaja itu malah semakin merapat. Philip dan Jack mulai ngeri,
karena sadar bahwa mereka takkan mampu menghadapi ketiga remaja itu apalagi
"ditambah dengan si pawang ular!
Tapi masih ada Kiki! Kakaktua itu merasa bahwa tuannya dalam bahaya, ia
melonjak-lonjak dengan marah di atas bahu Jack, sambil menjerit sekuat-kuatnya.
"Polisi! Polisi! Panggil Polisi!" jeritnya, lalu menirukan bunyi peluit polisi.
"Fiiieeet! Fiiieeet! Fiiiiettt!"
BAB 9 SAAT MAKAN SIANG Ketiga remaja yang mengepung kaget sekali. Dengan mata
terbelalak, mereka memandang burung kakaktua yang luar biasa itu. Kemudian,
dengan serempak mereka lari pontang-panting, diikuti si pawang ular. Orang itu
masih sempat menyambar keranjangnya. Ular-ularnya sebelum itu sudah masuk lagi
ke dalamnya. Sayang, kata Philip dalam hati. Keempat anak yang tadi terkepung
memandang orang-orang yang lari ketakutan itu dengan perasaan lega.
Kiki terkekeh-kekeh. Anak-anak ikut tertawa.
"Terima kasih, Kiki!" kata Jack, sambil menggaruk-garuk jambul
burung kakaktuanya yang keasyikan.
"Kau tadi mendengar Philip menyebut-nyebut polisi, dan langsung ingat akan
kepan- daianmu yang baru menirukan bunyi peluit. Untung saja kau ingat!"
?"Tapi tidak ada polisi yang datang," kata Lucy-Ann. "Kau hebat, Kiki! Belum
pernah kau bersuit sebagus tadi bahkan masih lebih bagus daripada bunyi peluit
"kereta api yang biasa kautirukan."
"Kurasa kita pulang saja ke perahu, karena sudah saatnya makan siang," kata
Philip. "Aku tidak ingin anak-anak perempuan terlibat dalam urusan seperti
tadi. Kita pasti akan dimarahi habis- habisan oleh Bill, Jack jika tadi terjadi
"sesuatu yang gawat."
Ketika mereka hendak pergi dari situ, tahu-tahu anak kecil yang mereka tolong
tadi muncul dari balik sebuah pondok, la bergegas menghampiri Philip, lalu
mememang tangannya. "Aku ikut, Tuan! Aku ditinggal Bula. la pergi dengan ularularnya. Aku tidak punya uang. la orang jahat! Aku tidak suka padanya. Aku ikut
dengan Tuan, ya?" "Wah, tidak bisa," kata Philip. Dengan pelan dilepaskannya tangan anak itu.
"Tapi kalau uang, itu bisa kuberi."
"Aku tidak minta uang. Aku ingin ikut denganmu, Tuan! Oola boleh ikut, ya!" kata
anak kecil itu meminta-minta.
"Tidak bisa, Oola kami tidak bisa membawamu," kata Philip.
?"Bisa saja! Oola akan bekerja untukmu, Tuan!" kata anak kecil
itu, sambil memegang tangan Philip lagi. "Kau suka ular, Tuan" Oola bisa
menang-kapkan!" "Coba dengar dulu, Oola! Aku memang suka pada ular tapi bukan yang mulutnya "dijahit," kata
Philip. "Sedang kalau menangkap yang bisa mematuk, itu bisa
berbahaya! Kau tidak punya keluarga, yang bisa mengurusmu?"
"Cuma Bula saja! Dia itu pamanku," kata Oola sambil terus memegang tangan
Philip, sehingga ia mulai merasa tidak enak.
Oola mengatakan lagi, "Bula itu jahat, suka memukul. Ini, lihatlah!"
Diperlihatkannya bekas-bekas pukulan yang nampak di sekujur tubuhnya.
Tahu-tahu Lucy-Ann terisak pelan. "Oola yang malang," katanya lirih. "Tidak
bisakah kita mengajaknya, Philip?"
"Itu tidak bisa, Lucy-Ann," kata Philip. "Mana mungkin semua
anak-anak atau hewan yang kelihatan sengsara dan tersiksa di sini kita
bawa! Itu anjing yang di sana itu lalu bayi kecil dan sangat kurus, yang
" "tadi kita lihat tergeletak di atas tikar kotor ingat tidak"
"Semuanya memerlukan bantuan! Tapi tidak mungkin kita mengajak
mereka semuanya, dan kita beri makan. Tidak, Oola, apa boleh
"buat kau tidak bisa ikut!"
?"Bagaimana aku sekarang?" keluh anak kecil itu berulang-ulang. "Begini sajalah!
Kau akan kami bawa ke Kemah Klinik Kesehatan," kata Philip. "Kalau aku tidak
salah lihat, klinik itu ada di dekat-dekat sini. Mereka yang
bertugas di situ akan merawatmu, Oola dan mungkin setelah itu bisa memberi
"pertolongan." Oola mengikuti mereka dengan lesu. la berjalan dengan kepala tertunduk.
Langkahnya terseret- seret. Tapi begitu dilihatnya bahwa mereka menuju ke sebuah
tenda yang bersih, dan di depan tenda itu berdiri seorang perawat dengan seragam
putih bersih Oola langsung berpaling, lalu cepat-cepat lari! Anak-anak
"mendengar bahwa Oola menangis.
Dengan mata berkaca-kaca, Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan anak kecil
setengah telanjang itu, yang menghilang ke balik sebuah pondok.
"Ih, tidak enak hatiku rasanya," kata Jack mengumpat dirinya
sendiri. "Aku merasa bersalah, karena membiarkan Oola menghadapi nasibnya
"Tapi apa boleh buat, aku tidak tahu cara untuk menolongnya!"
"Yuk kita kembali saja ke perahu," kata Philip. "Pukul satu siang kita kan sudah
"harus ada lagi di sana, dan sekarang sudah hampir pukul satu." Keempat anak itu
berjalan dengan lunglai, kembali ke tepi sungai.
Sambil berjalan Philip bersikap waspada, kala k lau berjumpa lagi
dengan laki-laki yang menanyai mereka tadi. Tapi ia tidak
melihatnya. Anak-anak kembali ke perahu dengan selamat, disambut dengan gembira
oleh Tala. Ketika mereka masuk ke perahu, terdengar suara Bill menyapa. "Kalian agak
terlambat! Kami sudah mulai gelisah. Ayo cepat cuci tangan! Kita makan
sekarang!" Sambil makan, anak-anak bercakap-cakap dengan Bill. "Ada keterangan yang
berhasil kauperoleh tentang orang yang bernama Raja Gma itu?" tanya Philip, la
berbicara dengan suara dipelankan, agar Tala tidak bisa ikut mendengar.
"Sama sekali tidak," jawab Bill. "Tapi kurasa nanti pasti ada
juga. jika kita sudah sampai di Alaouiya. Kami tadi hanya berkelilingkeliling saja untuk melihat kesibukan pembuatan film. Kami berjumpa dengan
seorang kenalan, dan kemudian kembali lagi ke sini. Jadi biasabiasa saja, tidak ada yang menarik. Bagaimana dengan kalian" Apa saja yang
kalian lihat tadi?" Bill nampak kaget, ketika anak-anak bercerita tentang laki-laki
yang mendatangi mereka di tempat es krim, lalu bertanya-tanya pada mereka.
"la tidak menyebut nama belakangmu, Bill," kata Jack. "la cuma
menyebut-nyebut 'Bill' saja. Apakah mungkin ia tidak tahu nama belakangmu?"
"Tidak. Tapi kalau nama depanku, itu mungkin saja diketahuinya," kata Bill.
"Kalian tadi kan tidak menyebutkan nama belakangku?"
"Tentu saja tidak," kata Jack dan Philip serempak, dengan
nada tersinggung. "Tapi kami menyebutkan sejumlah Bill yang lain, sambil menanyakan
apakah Bill itu yang dimaksudkan olehnya," kata Jack menambahkan sambil
tertawa geli. "Apa maksudmu?" tanya Bill. la agak bingung. "Yah kami bertanya padanya,
" apakah Bill yang dimaksudkannya itu Bill Hilton atau Bill "Jordans atau Bill Ponga atau Bill Tipps, yang memiliki empat mobil besar dan dua
" "mobil kecil," kata Jack.
"Atau mungkin juga Bill Kent, tukang membersihkan cerobong asap langganan Ibu,"
kata Dinah menyela, "atau Bill Plonk, pemilik pabrik biskuit."
Bill tertawa terbahak-bahak. "Kalian ini benar-benar kunyuk semuanya," katanya
sambil tertawa. "Dan semua Bill itu hanya karangan kalian saja, mestinya! Lalu,
bagaimana setelah itu?"
"la bertanya, di mana perahu motor kita karena sebelumnya aku bercerita
"bahwa kita pesiar mengarungi sungai, untuk beristirahat memulihkan tenaga
setelah sakit selama ini," kata Philip. "Kami sebenarnya sudah merasa tidak
enak, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Untung Jack tahu
akal! la bersikap pura-pura kaget dan cemas, karena Lucy-Ann
nampaknya kurang enak badan. Dengan segera Lucy-Ann kami ajak ke luar untuk
"menghirup udara segar. Begitu sampai di luar, kami langsung lari menyembunyikan
diri." Bill terbahak-bahak lagi.
"Aku kasihan pada orang yang menghadapi kalian sebagai lawan," katanya dengan
geli. "Kalian terlalu licin dan cerdik! Yah, nampaknya orang yang menanyai
"kalian tadi itu kaki tangan Raja Uma. Seperti apa tampangnya?"
Anak-anak menceritakannya.
"Kurasa ia bukan Uma," kata Bill. "Kecuali kalau kita ingat akan giginya! Tapi
"tidak, kurasa tidak mungkin ia si Uma. Jika ia berani tampil
terang-terangan seperti yang terjadi tadi, maka itu berarti bahwa
kehadirannya di sini bukan untuk urusan penting. Soalnya, kalau muncul terangterangan begitu, ia kan bisa dengan mudah diamat-amati! Tapi nampaknya Uma
memang ada di sini, dan ada temannya yang melihat kalian, lalu orang itu datang
pada kalian untuk bertanya- tanya tentang seseorang yang bernama
Bill. Untung kalian tadi tidak menyebut nama belakangku. Terima
kasih, Anak-anak!"

Lima Sekawan 08 Petualangan Di Sungai Ajaib di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada cerita lain, kecuali itu?" tanya Bu Cunningham. "Apa lagi
yang kalian lakukan ketika berjalan-jalan tadi?"
"Ih ular-ular tadi!" kata Dinah. la bergidik, membayangkan binatang-binatang
"melata itu. "Kau saja yang menceritakannya, Philip!"
Philip menuturkan seluruh kejadian yang mereka alami,
termasuk bagaimana Kiki akhirnya berteriak-teriak memanggil polisi,
sambil bersuit-suit menirukan bunyi peluit polisi.
Kening Bill langsung berkerut "Itu sebetulnya tidak boleh terjadi,
Anak-anak," katanya. "Soalnya, kalian bisa mengalami kesulitan
serius karenanya. Lain kali jangan ke sana lagi!"
"Tapi, Bill kami kan tidak bisa membiarkan orang itu memukuli Oola!" kata Jack.
?"Kami wajib mencegahnya!"
"Kan bisa saja kau dan Philip yang maju, sementara Dinah dan Lucy-Ann cepatcepat lari mencari bantuan," kata Bill. "Dengan begitu mereka tidak perlu ikut
menghadapi bahaya! Ingat, Jack dan Philip kalian berdua, pertama-tama harus
"selalu memikirkan keselamatan adik-adik kalian dulu. Jika kalian ingin
berkelahi silakan, asal jangan sampai Dinah dan Lucy-Ann ikut
"terancam bahaya. Mengerti?"
"Ya, kami mengerti," kata kedua anak laki-lak itu. Muka mereka agak merah.
"Maaf, Bill!" "Maaf, Bill," oceh Kiki menirukan. "Maaf, Bill! Billbol!"
Semua tertawa mendengarnya.
Setelah itu Bill mengalihkan pembicaraan. "Tempat ini benar-benar luar biasa,"
katanya, sambil menggerakkan kepala ke arah Kota Film. "Segala bangunan itu
didirikan, hanya untuk keperluan selama enam bulan saja! Kalian
tadi melihat pasar malam yang juga ada di sana?" "
Tidak," jawab anak-anak dengan heran. "Rupanya terlewat tadi."
"Ramai juga suasana di situ. Ada stan-stan tempat mengadu
ketangkasan, permainan adu untung, pertunjukan tari-tarian, pertunjukan
penembak jitu, dan macam-macam lagi," kata Bill. "Kurasa pawang ular yang
berurusan dengan kalian tadi, termasuk rombongan pasar malam itu. Kusangsikan
ia berani datang lagi, setelah mendengar Kiki menjerit-jerit
memanggil polisi.. Ngomong-ngomong, di tempat itu juga. ada tukang
sulap, yang memamerkan kepandaiannya menelan api."
"Menelan api?" seru Philip. "Wah aku kepingin melihatnya, Bill! Kita ke sana, "yuk!"
"Kurasa tidak ada waktu lagi," jawab Bill. "Kita harus melanjutkan perjalanan,
ke Alaouiya. Aku berharap, di sana nanti aku akan bisa mendapat berita tentang
Gma. Lain kali saja kalian melihat pertunjukan tukang sulap menelan
api. O ya, kalian tadi melihat pertunjukan orang yang memanjat
tangga yang jenjang-jenjangnya terdiri dari pisau-pisau bermata
tajam atau tidak" Kami melihat pertunjukannya ketika kembali kemari tadi."
"Ya, kami juga melihatnya," kata Jack. "Aku kepingin waktu kita lebih banyak,
supaya kita bisa lebih lama melihat-lihat Kota Film ini. Tempat ini sebetulnya
jelek, tapi sangat menarik!" Bill berdiri, lalu memanggil Tala. "Kami sudah
selesai makan, Tala!" katanya. "Sejam lagi kita berangkat, menuju Alaouiya.
Sekitar pukul enam sore kita harus sudah tiba di sana. Kita bermalam di situ.
Tapi tidak perlu merapat.
Kita berlabuh di tengah saja." "Baik, Tuan!" balas Tala, lalu datang untuk
membereskan meja makan. Anak-anak duduk-duduk sambil membaca di bawah
sebuah tenda yang dipasang di atas dek. Bill memberi mereka
beberapa buku tentang daerah yang mereka datangi. Peradaban di situ ternyata
sudah sangat tua. Sudah ribuan tahun umurnya. Pelayaran mengarungi sungai siang
itu menyenangkan. Perahu motor mereka meluncur dengan
Menjelang pukul enam sore, Tala berseru dari belakang kemudi. "Kita mendekati
Ala-ou-iya!" serunya. Nama kota itu disebutnya dengan nada
bergelombang, kedengarannya seperti menyanyi. "Anda tahu kota tua itu, Tuan"
Ala-ou-iya itu berarti Gerbang Raja-raja!"
"Bab 10, MALAM ITU Dengan cekatan Tala mengemudikan perahu motor, menghampiri sebuah pangkalan
kecil yang terbuat dari kayu, lalu menambatkannya pada sebuah tonggak. Beberapa
buah perahu nelayan sudah lebih dulu bersandar di pangkalan itu. Tepi sungai di
tempat itu penuh dengan pepohonan yang tumbuh sampai ke tepi air. Di belakang
pepohonan nampak rumah-rumah penduduk yang rendah dan dikapur putih bersih. Asap
mengepul ke langit sore, menjulang tegak lurus ke atas. Saat itu tidak ada angin
mengembus. "Apa maksud Tala tadi" ia mengatakan, Ala-ou-iya itu Gerbang Raja-raja," kata
Dinah. "Itu juga tertera di dalam buku-buku yang kauberikan pada kami, Bill tapi
"tanpa disertai penjelasan lebih lanjut."
"Menurutku, itu memang namanya sejak zaman dulu," kata Bill. "Sejak daerah sini
merupakan pusat peradaban purba, ribuan tahun yang silam!"
"Sama tuanya dengan Ur, kota yang diceritakan di dalam Perjanjian Lama?" tanya
Lucy-Ann. "Ya, setua kota Ur atau bahkan mungkin masih lebih tua lagi," kata Bill sambil
"tertawa. "Di daerah sini mestinya sudah ada istana dan kuil yang hebat-hebat,
sebelum kemudian terjadi bencana banjir besar, dan Nabi Nuh berlayar
menyelamatkan diri dengan bahteranya!"
"Wah! Kalau begitu nama 'Gerbang Raja-raja' pasti punya makna tertentu!" kata
Dinah. "Mungkin dulu di sini ada gerbang gemerlapan, sebagai ambang jalan menuju
ke sebuah istana atau mungkin juga kuil. Aneh ya, Bill, kalau dipikirkan
"seandainya kita melayari sungai ini tujuh atau delapan ribu tahun yang lalu,
kita mungkin akan melihat bangunan-bangunan yang serba hebat dan megah sepanjang
perjalanan! Semuanya menjulang tinggi, dan kemilau kena sinar matahari!"
"Mungkin juga kita bisa melihat Menara Babil, yang menjulang tinggi seperti
hendak menggapai langit," kata Lucy-Ann. "Mungkinkah itu, Bill?"
"Tidak, kalau dari sungai ini. Kota Babylon itu letaknya jauh dari sini," kata
Bill. "Nah sekarang hari sudah gelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan di
"langit!" "Dan kini kita bisa melihat nyala api tempat memasak di luar rumah-rumah
penduduk. Itu, kelihatan di sela-sela pepohonan," kata Dinah. "Aku suka suasana
menjelang malam, di sini. Rumah-rumah penduduk nampak bertambah bagus, jika
dilihat dari sini. Padahal kalau didekati, baru ketahuan bahwa keadaannya sudah
serba rusak dan kotor. Sayang!"
"Syang!" kata Kiki menimpali dengan segera. "Syang, syang-sying-syung! Cuh!"
Kiki menirukan bunyi orang meludah.
"He, jangan begitu, Kiki!" tukas Dinah. "Aku tadi mengatakan, 'sayang'! Aku sama
sekali tidak meludah!"
"Syang!" kata Kiki lagi, lalu mengulangi dengan nada semakin meninggi. "Syang,
sying, syung! Cuh!" "Diam!" kata Jack sambil menepuk kepala Kiki.
"Cuh!" teriak Kiki sekali lagi, lalu tertawa menjerit-jerit. Tala tertawa
mendengar kekonyolan Kiki.
Semua kaget mendengarnya, karena suara tertawa Tala keras sekali. Bagi orang
itu, Kiki merupakan binatang paling kocak yang pernah dijumpainya, ia selalu
memberinya makanan. Dan kini ia menyodorkan sepotong nenas. Kiki menerima
pemberian itu, lalu mengguncang-guncangkan kaki untuk membuang air nenas yang
menempel. "Aduh jangan Kiki!" seru Dinah. "Kaukira enak, kena cipratan air. nenas! Ayo "Kiki, jangan nakal! Kau kan burung manis!"
"Manis, manis, manisnis," oceh Kiki sambil mematuk-matuk potongan nenas yang
dicengkeramnya. "Anak manis, Kiki manis, nenas manis..."
Bill melambaikan tangannya menyuruh Tala pergi, karena orang itu terbahak-bahak
lagi. Mungkin jika dibiarkan, ia bisa sepanjang malam asyik menonton kekonyolan
Kiki. "Kapan kau akan turun ke darat, Bill" Malam ini juga, atau baru besok?" tanya Bu
Cunningham. "Kurasa sebaiknya malam ini juga," kata Bill. "Orang yang ingin kutemui itu,
mungkin besok akan pergi sepanjang hari. Lagi pula, aku lebih suka menjumpainya
malam-malam, agar tidak diketahui orang lain."
Sekitar pukul sembilan Bill turun ke darat, ia menyelinap pergi, berjalan di
bawah bayangan pepohonan, ia sudah diberi tahu di mana akan bisa menjumpai orang
yang hendak ditemuinya. Orang itu tinggal di sebuah rumah yang dibangun
bersebelahan dengan sebuah bangunan gudang yang besar. Jalan ke situ akan
ditanyakannya nanti pada penduduk yang kebetulan berpapasan.
Dinah sudah beberapa kali menguap. Kasurnya, dan juga kasur Lucy-Ann, yang
kedua-duanya diselubungi kelambu, diletakkan di atas dek, tidak jauh dari
pembaringan Bu Cunningham. Jack dan Philip belum merasa mengantuk. Mereka
bercakap-cakap dengan berbisik-bisik, sambil berdiri menggelantung di pinggir
perahu. Tala sudah terdengar mendengkur di buritan.
"Bagaimana kita tunggu sampai Bill pulang nanti?" tanya Jack. "Aku ingin tahu
"hasil penyelidikannya."
"Kurasa tidak usah kita tunggu karena mungkin baru larut malam ia kembali,"
"jawab Philip. "Kita tidur sajalah. Sekarang sudah sekitar setengah sebelas. Mana
kelambumu" Ah, itu dia, kaubawa. Yuk, kita tidur!"
"Setelah memasang kelambu, kedua anak itu berbaring di atas kasur masing-masing.
Enak rasanya berbaring di dek yang sejuk, setelah sepanjang hari kepanasan
terus. Mereka mendengarkan bunyi kecipak air sungai, serta suara burung malam
yang berbunyi dengan tiba-tiba, dan bunyi air ketika ada seekor ikan meloncat.
Jack terlelap. ia bermimpi tentang istana-istana yang serba megah, serta
gerbang-gerbang yang bersinar keemasan, dan gudang-gudang luas berisi harta.
Sedang Philip belum bisa tidur, ia menunggu Bill pulang. Nah itu pasti Bill! "Philip mendengar langkah menyelinap, naik ke perahu. Ditunggunya Bill,
menyalakan korek api. Bill biasanya merokok dulu, sebelum tidur. Tapi bunyi itu
tidak terdengar. Rupanya Bill sekali itu hendak langsung tidur.
Tiba-tiba Philip kaget. Didengarnya bunyi lain. Apakah dia itu Bill" Tapi tidak
mungkin Bill kan bertubuh besar dan berat. Biar ia berusaha sesedikit mungkin
"menimbulkan bunyi, selalu masih juga terdengar. Tidak mungkin ia bisa sepelan
itu! Jadi kalau bukan Bill siapakah itu"
Si Kangkung Pendekar Lugu 11 Walet Emas 04 Dewa Mimpi Merajalela Manusia Siluman 1

Cari Blog Ini