Ceritasilat Novel Online

Beraksi Kembali 1

Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali Bagian 1


FIVE GO ADVENTURING AGAIN
by Enid Blyton LIMA SEKAWAN BERAKSI KEMBALI Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT Gramedia Cetakan Ketujuh: Januari 1985
I LIBURAN NATAL MASA SEKOLAH menjelang Natal tinggal seminggu lagi. Anak-anak perempuan di
"Gaylands School", sebuah sekolah internat putri di Inggris sudah tak sabar lagi
menunggu saat mulainya liburan Natal. Pada suatu pagi ketika Anne hendak duduk
di tempatnya untuk sarapan, dilihatnya ada sepucuk surat di atas meja. Surat itu
dialamatkan padanya. "He - apa ini?" ujarnya pada Georgina yang duduk di sebelahnya. Georgina saudara
sepupunya, dan satu sekolah dengan Anne. "Surat dari Ayah! Padahal baru kemarin
kuterima surat dari dia dan Ibu."
"Mudah-mudahan bukan kabar buruk," kata George. George itu Georgina. Tetapi ia
tak mau dipanggil dengan namanya yang asli, karena tak senang menjadi anak
perempuan. Bahkan para guru di sekolah pun sudah ikut-ikutan memanggilnya dengan
nama George. Georgina, atau George, memang tidak mirip anak perempuan. Rambutnya
yang ikal dipotong pendek, sedang kelakuannya agak kelaki-lakian.
George memandang Anne dengan was-was, sementara saudara sepupunya itu membaca
surat. "Ya ampun, George! Liburan ini kita tidak bisa pulang ke rumahku," kata Anne
sedih. "Ibuku ketularan penyakit jengkering. Sebagai akibatnya Ayah harus masuk
karantina. Jadi di rumah tak ada orang, dan kita tidak bisa pulang."
"Aduh, sayang!" kata George. Ia merasa kasihan pada Anne. Tetapi juga kecewa,
karena sebetulnya ibu Anne mengundangnya datang untuk berlibur di rumah saudarasaudara sepupunya selama liburan Natal itu. Ia dijanjikan akan diajak melihat
bermacam-macam hal yang belum pernah dilihatnya. Misalnya saja pertunjukan
pantomim dan sirkus! Ibu Anne juga hendak mengadakan pesta meriah, dengan pohon
Natal yang cemerlang. Tetapi sekarang semuanya tidak jadi!
"Apa kata abang-abangku nanti?" kata Anne. Maksudnya Julian dan Dick, kedua
abangnya. "Mereka pun tidak bisa pulang."
"Kalau begitu ke mana kalian selama liburan nanti?" tanya George. "Bagaimana
kalau ikut aku saja, ke Pondok Kirrin" Pasti Ibu akan senang, jika kalian
menginap di tempat kami lagi. Waktu kalian datang berlibur musim panas yang
lalu, asyik sekali kita bermain-main."
"Tunggu - biar kuselesaikan membaca surat ini dulu," kata Anne sambil meneruskan
membaca. "Kulihat dulu apa kata Ayah. Kasihan Ibu! Mudah-mudahan penyakitnya tidak
parah." Dibacanya kalimat-kalimat berikut. Sekonyong-konyong ia berseru kegirangan!
George dan teman-teman perempuan yang semeja dengannya memandang Anne dengan
perasaan tak sabar. Mereka ingin tahu, mengapa ia tiba-tiba gembira.
"Wah, George! Kami memang akan menginap lagi di rumahmu. Tapi tunggu - sialan!
Benar-benar sialan! Selama liburan mendatang akan ada pelajaran tambahan. Ayah
menghendaki bahwa kami didampingi oleh seorang guru pribadi. Di satu pihak agar
ibumu tidak terlalu repot mengurus kami, dan di pihak lain untuk membimbing
Julian dan Dick. Selama masa sekolah yang sekarang ini mereka dua kali sakit
flu. Jadi pelajaran mereka akan tertinggal."
"Seorang guru! Uah, menyebalkan! Kelihatannya aku juga harus ikut belajar pula."
George kecewa. "Kalau orangtuaku melihat angka-angka raporku, mereka akan
melihat bahwa aku sangat tertinggal dalam pelajaran. Maklumlah, baru sekarang
aku bersekolah benar-benar. Banyak pelajaran yang belum pernah kuterima selama
ini." "Liburan macam apa itu, jika terus-menerus didampingi seorang guru pribadi,"
ujar Anne murung. "Kalau aku sendiri, kurasa angka-angka raporku akan bagus.
Prestasiku dalam ujian baik. Tapi tak enak rasanya, jika cuma aku sendiri yang
tak perlu belajar selama liburan. Tapi aku bisa saja pergi bermain-main dengan
Tim. Dia tak perlu belajar."
"O ya, dia harus belajar," sahut George dengan segera. Ia tak senang mendengar
bahwa Anne hendak pelesir tiap pagi dengan anjing yang sangat disayanginya itu.
Sedang dia harus belajar keras, bersama Julian dan Dick.
"Ah, kau ini konyol, George! Masakan Tim harus belajar," kata Anne.
"Dia bisa saja duduk dekat kakiku, sementara aku belajar," kata George. "Rasanya
akan lebih enak, jika Tim ada di situ. Ayohlah, cepat habiskan susismu. Sebentar
lagi lonceng sekolah akan berbunyi, sedang kau sama sekali belum sarapan."
"Untung keadaan Ibu tidak sebegitu parah," kata Anne sambil cepat-cepat
melanjutkan suratnya. "Kata Ayah, dia sudah menulis surat pula pada Dick dan
Julian. Dan pada ayahmu ia sudah minta tolong dicarikan seorang guru bagi kami.
Ahh, benar-benar mengecewakan! Aku bukannya tak senang akan pergi lagi ke Pondok
Kirrin, dan berkunjung ke Pulau Kirrin. Tapi bagaimanapun juga, di sana tak ada
pertunjukan pantomim dan sirkus. Dan juga tak ada pesta-pesta."
Akhir masa sekolah datang dengan cepat. Anne dan George sibuk berkemas. Sibuk
sekali keadaan anak-anak yang hendak berlibur. Sekolah hiruk-pikuk, karena
semuanya sudah ingin cepat-cepat pulang. Ketika bis sekolah yang besar datang
untuk menjemput, mereka bergegas masuk.
"Kita ke Kirrin lagi!" ujar Anne. "Ayoh Tim, kau boleh duduk di antara aku dan
George." Di sekolah mereka, anak-anak diijinkan membawa binatang-binatang kesayangan
masing-masing. Tim, anjing keturunan campuran kepunyaan George, sangat disenangi
seisi internat. Anjing itu juga tidak nakal. Kecuali sekali, ketika ia mengejar
tukang sampah dan meremas pengki dari tangannya. Kemudian alat penampung sampah
itu dilarikannya melintasi pekarangan sekolah, langsung sampai ke dalam kelas di
mana George sedang belajar. Hanya sekali itulah Tim bandel.
"Aku yakin, rapormu pasti bagus, Tim," ujar George sambil memeluk anjingnya.
"Kita akan pulang. Kau senang?"
Anjing itu menggonggong, seolah-olah menjawab. Ia berdiri sambil mengibaskibaskan buntut. Anak perempuan yang duduk di belakang mereka menjerit kaget, lalu berkata,
"George! Suruh Tim duduk. Topiku terpelanting kena kibasan ekornya!"
Tak lama kemudian bis sudah sampai di London. Anne, George dan Tim diantar
sampai ke kereta yang akan membawa mereka ke Kirrin.
"Aku kepingin kedua abangku juga mulai libur hari ini," kata Anne sambil
menghela napas panjang. "Jadi kita bisa bersama-sama berangkat ke Kirrin.
Asyiik!" Tetapi sekolah Julian dan Dick baru mulai libur keesokan harinya. Mereka akan
menyusul ke Pondok Kirrin. Anne sudah sangat rindu kepada kedua abangnya. Masa
bersekolah antara dua waktu libur rasanya sangat lama. Anne gembira ketika
George disekolahkan bersamanya. Selama liburan musim panas yang lalu, ia bersama
kedua abangnya berlibur di rumah orangtua George. Mereka mengalami kejadiankejadian ramai di pulau kecil yang letaknya di depan pantai. Di pulau itu ada
sebuah puri yang sudah tua. Dan dalam ruangan-ruangan bawah puri kuno itu anakanak mengalami petualangan yang mendebarkan hati.
"Asyik ya, kita bisa menyeberang lagi ke Pulau Kirrin," ujar Anne pada saudara
sepupunya, sewaktu mereka sudah duduk dalam kereta api yang membawa mereka ke
arah barat. "Kali ini tidak bisa," jawab George. "Di musim dingin, laut sekitar pulau
berombak besar. Terlalu berbahaya untuk menyeberang dengan perahu."
"Aduh, sayang," kata Anne kecewa. "Padahal aku sudah berharap-harap akan
mengalami petualangan lagi di sana."
"Di Kirrin, kalau musim dingin tak ada kejadian yang mengasyikkan," ujar George.
"Di sana hawanya dingin. Kami kadang-kadang terkurung salju yang terkurung dan
ditiup angin laut sampai tertumpuk tinggi. Bahkan berjalan kaki ke desa pun
tidak bisa!" "Wah, kedengarannya mengasyikkan!" ujar Anne.
"Ah, sebetulnya sama sekali tidak asyik," kata George. "Bahkan sebaliknya membosankan! Sepanjang hari duduk-duduk di rumah, atau ke luar membawa sekop
untuk menyingkirkan salju yang bertumpuk-tumpuk sekeliling rumah."
Lama juga perjalanan sampai ke stasiun desa Kirrin. Tetapi akhirnya kereta api
mereka memperlambat jalannya, lalu berhenti di sisi peron yang pendek. Kedua
anak perempuan itu bergegas turun, sambil memandang ke kanan kiri mencari
penjemput. Ya, betul - itu Bibi Fanny, ibu George!
"Halo George Sayang! Halo Anne!" seru wanita itu, lalu merangkul kedua anak
perempuan yang turun dari kereta api. "Anne, Bibi ikut sedih mendengar kabar
tentang ibumu. Tetapi jangan khawatir, keadaannya sudah agak membaik."
"Syukurlah!" kata Anne. "Terima kasih karena Bibi mau menerima kami selama
liburan ini. Kami berjanji takkan merepotkan! Bagaimana dengan Paman Quentin"
Tidakkah ia akan terganggu, jika ada empat orang anak di rumah" Dan musim dingin
lagi! Kami takkan bisa begitu sering ke luar rumah seperti di musim panas."
Paman Quentin, ayah George seorang sarjana. Orangnya sangat pintar, tetapi
galak. Ia tak sabar menghadapi anak-anak. Kadang-kadang George, Anne serta kedua
abangnya merasa takut sekali berhadapan dengannya di musim panas yang lalu.
"Paman masih sibuk sekali mengarang buku," kata Bibi Fanny. "Dia menyusun suatu
teori rahasia, dan memaparkannya dalam buku itu. Katanya kalau sudah selesai
diterangkan dalamnya, buku itu akan diserahkannya pada salah satu badan yang
berkuasa. Sudah itu gagasannya tersebut akan dimanfaatkan demi kepentingan
negara." "Wah, Bibi Fanny! Kedengarannya menarik sekali," kata Anne. "Apakah rahasianya?"
"Anak tolol," sahut Bibi sambil tertawa. "Itu kan rahasia! Aku sendiri juga
tidak mengetahuinya. Ayohlah, kita pulang. Lama-lama dingin juga di sini.
George, Tim kelihatannya gemuk dan sehat."
"Wah, dia sangat senang di sekolah," kata George. "Ada-ada saja kenakalannya.
Sekali ia menggigit-gigit sandal tua kepunyaan juru masak sampai rusak...."
"Dan setiap kali ia melihat kucing yang tinggal dalam kandang, tak pernah tidak
dikejarnya," kata Anne.
"Lalu sekali ia berhasil masuk ke tempat menyimpan bahan makanan. Pergedel
daging sepiring besar habis disikatnya. Dan sekali dia...."
"Astaga, George! Jangan-jangan internat tak mau lagi menerima Tim kalau sekolah
sudah dimulai lagi sehabis Natal," kata ibunya kaget dan cemas. "Tentunya dia
dihukum! Mudah-mudahan saja - anjing bandel!"
"Tidak - bukan dia yang kena hukum," kata George. Mukanya berubah menjadi merah.
"Soalnya, kami yang bertanggung jawab atas binatang-binatang peliharaan kami.
Jadi kalau Tim nakal, aku yang dikenai hukuman. Karena tak menjaganya baikbaik." "Kalau begitu tentunya kau sering dihukum," kata Bibi sambil menyuruh kuda
berjalan. Kereta kuda beroda dua yang mereka naiki mulai bergerak di jalan yang
licin karena berlapis es. "Kurasa ide itu tidak jelek! Ada baiknya jika kuikuti.
Setiap kali Tim bandel, kau yang dihukum!" Mata Bibi Fanny bersinar jenaka.
Kedua anak perempuan yang duduk di sampingnya tertawa geli. Mereka merasa senang
dan bersemangat. Liburan selalu mengasyikkan! Apalagi datang kembali ke Kirrin.
Besok Julian dan Dick akan datang. Dan sesudah itu - perayaan Natal!
"Pondok Kirrin!" seru Anne, ketika rumah kuno yang bagus itu muncul di depan
mereka, "Dan lihat di sana - itu Pulau Kirrin!" Kedua anak perempuan itu
memandang ke arah laut. Di pulau itu nampak puri kuno, di mana anak-anak
mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan dalam musim panas yang lalu!
Mereka masuk ke rumah. "Quentin!" seru ibu George memanggil-manggil. "Quentin! Anak-anak perempuan
sudah datang!" Paman Quentin muncul dari kamar kerjanya. Menurut perasaan Anne, pamannya itu
nampak semakin jangkung dan suram. Dan lebih cemberut, kata Anne dalam hati.
Mungkin saja Paman Quentin sangat pintar, tetapi Anne lebih suka pada orang yang
periang dan gemar tersenyum. Seperti ayahnya sendiri! Anne berjabatan tangan
dengan Paman, sedang George mengecup pipi ayahnya itu.
"Nah," kata Paman pada Anne. "Kabarnya aku harus mencarikan seorang guru untuk
membimbing kalian belajar selama liburan. Setidak-tidaknya untuk kedua abangmu.
Wah, kalian harus berkelakuan baik, jika diawasi guru!"
Maksud Paman hendak berkelakar. Tetapi Anne dan George tidak senang
mendengarnya. Orang yang menghendaki anak-anak berkelakuan baik terus, biasanya
sangat keras dan menjemukan. Kedua anak itu merasa lega, ketika Paman sudah
masuk lagi ke kamar kerjanya.
"Akhir-akhir ini Ayah terlalu banyak bekerja," kata Bibi Fanny pada George. "Ia
sangat capek. Untung bukunya sudah hampir selesai sekarang. Mula-mula ia
berharap akan bisa menyelesaikannya menjelang Natal, supaya ia bisa ikut
bersenang-senang sesudah itu. Tetapi sekarang katanya ia tidak bisa."
"Sayang," kata Anne dengan sopan. Tetapi dalam hati ia mengucap syukur. Tak
lucu, jika Paman Quentin ikut-ikut bermain dengan mereka. Bayangkan saja, Paman
yang galak tidak berhasil menebak kata yang harus dicari! "Bibi Fanny, saya
sudah kepingin berjumpa lagi dengan Julian dan Dick - dan pasti mereka pun akan
gembira, bisa bertemu dengan George dan Tim! Bibi Fanny, di sekolah tak ada yang
memanggil George dengan nama Georgina. Bahkan guru kelas kami pun memanggilnya
George. Sebetulnya saya sudah berharap-harap bahwa mereka akan menyapanya dengan
nama Georgina. Saya kepingin melihat apa yang terjadi, apabila George tak mau
menjawab! Kau kan senang bersekolah, George?"
"O ya," jawab George. "Dulu kukira aku akan tak senang berkumpul beramai-ramai
dengan anak-anak lain. Tapi kemudian ternyata mengasyikkan! Ibu, sayang raporku
tak begitu bagus. Angka-angkaku jelek untuk berbagai mata pelajaran yang dulu
belum pernah kukenal."
"Tentu saja! Kan baru sekarang kau belajar di sekolah yang sungguh-sungguh,"
kata ibunya. "Kalau Ayah marah, nanti kuterangkan padanya. Sekarang lekaslah
bersihkan badan kalian. Kita akan segera minum teh. Tentunya kalian sudah sangat
lapar!" Kedua anak perempuan itu pergi ke kamar mereka di tingkat atas.
"Untung aku tak sendirian selama liburan ini," ujar George. "Sejak aku mengenal
kalian bertiga, aku merasa senang sekali. He! Ke mana Tim?"
"Dia tadi pergi ke luar, sambil mencium-cium. Rupanya dia ingin meyakinkan,
bahwa ini memang benar-benar rumah tempatnya tinggal dulu!" kata Anne sambil
tertawa cekikikan. "Ia hendak memeriksa apakah bau dapur masih sama. Begitu pula
kamar mandi, dan keranjang tempat tidurnya. Pasti ia sesenang kita, bisa pulang
selama liburan!" Kata Anne itu benar. Tim senang berada di rumah lagi. Ia lari menghampiri Bibi
Fanny lalu mencium-cium sepatunya. Tim senang berjumpa kembali dengan Bibi
Fanny. Kemudian ia lari masuk ke dapur. Tetapi sedetik kemudian sudah ke luar
lagi, karena di sana ada seseorang yang belum dikenalnya. Joan, juru masak yang
baru. Wanita bertubuh gemuk yang selalu terengah-engah napasnya, memandang Tim
dengan curiga. "Kau boleh masuk ke dapur satu kali sehari, untuk makan," kata Joan. "Dan cuma
sekali itu saja, mengerti! Sedapat-dapatnya harus kuhindarkan kemungkinan
lenyapnya daging, susis dan potongan-potongan ayam dari dapur. Aku mengenal baik
watak anjing!" Tim masuk ke sepen, lalu mencium-cium pula di situ sebentar. Ia lari ke kamar
makan dan ke kamar duduk. Senang rasanya, karena baunya di mana-mana masih tetap
sama. Kemudian didekatkannya hidung ke pintu kamar kerja ayah George, lalu
mencium-cium dengan hati-hati. Tim sama sekali tak bermaksud hendak masuk. Ia
juga selalu waspada seperti anak-anak, jangan sampai didamprat Paman Quentin
yang galak! Kemudian ia naik ke atas, masuk lagi ke kamar George dan Anne. Mana keranjang
tempat tidurnya" Ah, itu dia - di samping kursi dekat jendela. Bagus! Jadi dia
akan tidur lagi dalam kamar anak-anak perempuan itu. Tim melingkar dalam
keranjangnya, sedang buntutnya memukul-mukul lantai. Tim merasa puas.
II BERKUMPUL KEMBALI JULIAN dan Dick tiba keesokan harinya. Anne dan George pergi menjemput mereka
dengan kereta kuda. George yang menjadi kusir, sedang Tim diperbolehkan duduk di
sampingnya. Anne sudah tak sabar lagi menunggu masuknya kereta api di stasiun.
Ketika kereta api yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, ia berlari-lari
sepanjang peron, mencari-cari Julian dan Dick, dalam setiap gerbong penumpang
yang lewat. Kemudian nampak kedua abangnya itu. Mereka menjulurkan kepala dari jendela
gerbong paling belakang, sambil melambai dan berteriak-teriak.
"Anne! Anne! Kami di sini! Halo George! He, itu Tim!"
"Julian! Dick!" seru Anne. Tim meloncat-loncat sambil menggonggong dengan
sibuknya. Benar-benar mengasyikkan saat itu!
"Wah, Julian! Senang sekali rasanya, bisa bertemu lagi dengan kalian berdua!"
seru Anne sambil memeluk kedua abangnya. Tim melonjak-lonjak. Ia juga ingin
memberi salam. Tim sangat gembira, karena sekarang keempat anak yang
disayanginya sudah berkumpul lagi.


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anne sibuk berbicara dengan kedua abangnya, sementara tukang barang menurunkan
begasi mereka dari kereta api. Tim menyertai pembicaraan sambil mengibaskibaskan ekor karena gembira. Tiba-tiba Anne teringat pada George, lalu
memandang berkeliling. Saudara sepupu mereka itu tak kelihatan di mana-mana.
Padahal ia tadi juga berdiri di peron, bersama Anne.
"Mana George?" tanya Julian. "Ketika kujulurkan kepala dari jendela gerbong
tadi, ia masih nampak ada di sini."
"Rupanya sudah pergi ke kereta kuda," kata Anne. "Julian, kauminta pada tukang
barang supaya koper-koper kalian dibawanya ke sana. Ayohlah kita mencari
George." Ternyata George memang sudah berada di kereta. Ia berdiri dengan kepala
tertunduk di samping kuda. Menurut perasaan Anne, saudara sepupunya itu nampak
agak sedih. Kedua anak laki-laki yang baru datang segera menghampirinya.
"Halo, George! Apa kabar?" seru Julian sambil memeluknya. Dick juga menyatakan
kegembiraannya bertemu kembali.
"Ada apa?" tanya Anne dengan heran, melihat George tiba-tiba tak mau lagi
ngomong. "Kurasa George merasa agak dikesampingkan!" kata Julian sambil nyengir. "Kau
masih tetap Georgina yang konyol."
"Jangan panggil aku Georgina!" kata anak perempuan itu dengan galak. Kedua anak
laki-laki itu tertawa geli.
"Betul! Ia masih tetap George yang galak," kata Dick sambil menepuk bahu saudara
sepupunya dengan ramah. "Wah, George! Senang rasanya bertemu lagi denganmu. Kau
masih ingat pengalaman-pengalaman kita yang asyik musim panas yang lalu?"
Pelan-pelan, George tidak merasa kikuk lagi. Tadi ia memang merasa agak
dikesampingkan, ketika melihat betapa ramai dan akrab pertemuan Julian dan Dick
dengan adik perempuan mereka. Tetapi menghadapi kedua anak laki-laki itu, ia tak
bisa lama-lama merajuk. Mereka tak pernah membiarkan ada teman yang merasa
dikesampingkan, merasa kikuk atau merajuk.
Keempat anak itu naik ke kereta kuda. Tukang barang memasukkan koper-koper ke
tempat begasi. Dengan begitu tempat di kereta sudah penuh. Tim terpaksa duduk di
atas koper-koper. Ekornya mengibas kian ke mari dengan sibuk. Lidahnya terjulur
ke luar. Napasnya terengah-engah karena gembira. Anjing memang biasanya begitu.
"Kalian berdua untung, bisa membawa Tim ke internat," ujar Dick sambil menepuknepuk kepala Tim. "Kalau di sekolah kami, tidak diperbolehkan membawa binatang
peliharaan. Sangat menyedihkan bagi anak-anak yang senang memelihara binatang."
"Thompson Minor memelihara tikus-tikus putih dengan sembunyi-sembunyi," kata
Julian. "Tapi pada suatu hari tikus-tikus itu lari. Kebetulan saat itu Ibu
Asrama lewat, dan bertemu dengan tikus-tikus yang sedang berlarian di pojok
gang. Wah, bukan main ributnya Ibu Asrama berteriak-teriak. Ia sangat
ketakutan." Anne dan George tertawa geli. Kedua anak laki-laki itu selalu ada saja ceritanya
yang lucu-lucu, jika mereka pulang.
"Dan Kennedy - ia memelihara keong," kata Dick. "Kalian kan tahu, keong biasanya
tidur di musim dingin. Tapi Kennedy menaruh binatang-binatang itu di tempat yang
terlalu panas. Lalu keong-keong itu merayap keluar dari kotak mereka dan naik di
dinding. Bayangkan saja betapa keras kami tertawa, ketika guru ilmu bumi
menyuruh Thompson menunjukkan kota Cape Town di atas peta! Di mana-mana ada
keong." Mereka tertawa lagi. Senang rasanya berkumpul kembali. Keempat anak itu tak
berbeda jauh umurnya. Julian berumur dua belas tahun, George dan Dick sebelas,
sedang Anne sepuluh tahun. Mereka menghadapi hari-hari yang menyenangkan:
liburan, dan perayaan Natal! Karenanya tidaklah mengherankan apabila mereka
senang tertawa. Bahkan lelucon yang paling konyol sekalipun, dianggap mereka
sangat lucu saat itu. "Untung Ibu kini sudah agak sembuh dari penyakitnya," kata Dick, sementara kuda
yang menarik kereta mereka berlari menderap sepanjang jalan menuju ke rumah.
"Terus terang saja, mula-mula aku kecewa tak bisa pulang ke rumah. Aku ingin
melihat pertunjukan Aladdin dengan Lampu Wasiat. Dan aku juga kepingin pergi ke
Sirkus. Tapi walau begitu senang juga rasanya bisa datang lagi ke Pondok Kirrin.
Mudah-mudahan saja kita akan mengalami kejadian-kejadian yang mengasyikkan lagi.
Tapi kelihatannya kali ini harapan untuk itu tipis sekali."
"Liburan kali ini ada pengganggunya," kata Julian. "Maksudku guru yang akan
membimbing dalam belajar. Kudengar kita akan mendapat guru pribadi selama
liburan ini, karena aku dan Dick sering sakit selama masa sekolah yang lalu. Dan
dalam musim panas yang akan datang, kami akan menghadapi ujian-ujian yang
penting." "Memang," jawab Anne. "Aku ingin tahu, seperti apa guru itu nanti. Mudah-mudahan
saja orangnya ramah. Hari ini Paman Quentin akan memilih satu dari beberapa
calon yang melamar."
Julian dan Dick saling mencibir. Mereka merasa yakin, guru pembimbing yang
dipilihkan oleh Paman Quentin pasti tak ramah. Menurut pendapat Paman, seorang
guru mesti keras, suram dan menakutkan.
Tetapi biarlah! Datangnya baru sehari atau dua hari lagi. Dan mungkin saja
orangnya ramah. Perasaan kedua anak laki-laki itu menjadi agak cerah. Mereka
menarik-narik bulu Tim. Anjing itu pura-pura menggeram dan menggigit. Ia sama
sekali tak khawatir terhadap kedatangan seorang guru pembimbing. Tim enak
hidupnya! Kemudian mereka sampai di Pondok Kirrin. Julian dan Dick sungguh-sungguh merasa
senang berjumpa kembali dengan bibi mereka. Keduanya merasa agak lega ketika
mendengar bahwa Paman belum kembali.
"Ia pergi untuk mewawancarai dua atau tiga orang yang melamar pekerjaan sebagai
guru pembimbing," kata Bibi. "Sebentar lagi Paman pasti kembali."
"Ibu, aku kan tidak perlu ikut belajar selama liburan?" tanya George.
Orangtuanya belum mengatakan apa-apa tentang hal itu, dan ia ingin tahu.
"O, ya, George," kata ibunya. "Ayah sudah melihat angka-angka rapormu.
Sebetulnya tidak begitu jelek, dan kami pun memang tidak meminta rapor yang
gilang-gemilang. Tetapi walau begitu nampak juga bahwa dalam beberapa mata
pelajaran kau tertinggal, jika dibandingkan dengan umurmu. Takkan ada salahnya
jika kau mendapat bimbingan tenaga ahli."
Seketika itu juga air muka George berubah menjadi murung. Sebetulnya ia sudah
bisa menduga jawaban ibunya. Tetapi walau begitu, ia masih tetap merasa kesal.
Lumrah! "Hanya Anne saja yang tak perlu belajar selama liburan," katanya.
"Aku akan ikut juga belajar," kata Anne menjanjikan, "Mungkin tidak setiap hari,
George. Misalnya saja jika cuaca sedang cerah! Tapi aku akan ikut menemani
belajar." "Terima kasih," jawab George. "Tapi itu tak perlu. Aku akan ditemani oleh Tim."
Bibi Fanny agak ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti, diperbolehkan guru atau tidak," ujar Bibi.
"Jika guru mengatakan Tim tak boleh ada dalam kamar di mana kami belajar, aku
tak mau belajar selama liburan," tukas George dengan galak. Ibunya tertawa
mendengarnya. "Nah! Ini dia, George yang galak dan pemarah!" katanya. "Julian dan Dick,
cepatlah ke atas. Cuci tangan, dan sisir rambut rapi-rapi. Kalian kelihatannya
sangat kotor, kena debu dalam kereta api!"
Anak-anak naik ke atas, diikuti oleh Tim. Asyik rasanya, bisa berlima lagi. Tim
selalu ikut dihitung sebagai kawan oleh mereka. Anjing itu ke mana-mana selalu
ikut. Dan dari tingkah lakunya, terdapat kesan seolah-olah ia memahami setiap
perkataan yang dibicarakan.
"Aku kepingin tahu, guru macam bagaimana yang dipilih oleh Paman Quentin," kata
Dick sambil membersihkan kuku. "Mudah-mudahan saja ia memilih orang yang tepat;
seorang yang periang dan senang bersenda gurau, yang tahu bahwa belajar di waktu
libur sama sekali tidak menyenangkan. Dan karenanya berusaha menghibur kita.
Tidak galak sewaktu mengajar. Kurasa kita akan harus belajar setiap pagi."
"Ayoh, cepatlah sedikit! Aku sudah ingin makan dan minum teh," kata Julian.
"Ayoh Dick, kita turun. Nanti kau akan tahu juga, bagaimana guru pembimbing kita
itu." Mereka turun lalu duduk mengelilingi meja makan. Juru masak membuatkan roti
bundar sepiring penuh, dan sebuah tarcis yang besar. Tetapi tak banyak lagi yang
tersisa ketika keempat anak itu selesai makan!
Saat itu Paman Quentin kembali. Nampaknya merasa puas. Disalaminya Julian dan
Dick, sambil menanyakan keadaan mereka selama di sekolah.
"Paman sudah mendapat guru untuk kami?" tanya Anne. Ia melihat bahwa saudarasaudaranya sudah sangat ingin mengetahui.
"Ah ya - benar! Aku sudah mendapatnya," kata Paman. Ia duduk, sementara Bibi
Fanny menuangkan teh secangkir untuknya. "Aku mewawancarai tiga calon. Nyaris
saja kuterima lamaran calon terakhir, ketika seorang calon lagi datang bergegasgegas. Katanya ia baru saja melihat iklanku yang mencari guru. Ia cepat-cepat
datang, dengan harapan semoga belum terlambat."
"Dan Paman mengambilnya?" tanya Dick.
"Ya," kata Paman. "Kelihatannya ia yang paling cerdas. Ia bahkan tahu siapa aku,
dan apa kerjaku! Sedang surat-surat keterangan yang dibawanya, semua berisikan
hal-hal yang sangat baik mengenai dirinya."
"Kurasa anak-anak tak perlu mengetahui soal-soal itu," gumam Bibi. "Jadi kau
memintanya datang?" "Ya," jawab Paman Quentin. "Umurnya agak lebih tua dari ketiga calon lainnya.
Mereka masih termasuk muda. Orang yang kupilih kelihatannya tahu tanggung jawab,
dan juga cerdas. Aku yakin kau pasti akan menyukainya, Fanny. Dia akan cocok
sekali di sini. Kurasa akan enak juga untuk sekali-sekali mengobrol dengan dia
malam hari." Mau tak mau, anak-anak mendapat kesan bahwa guru pembimbing itu pasti
menakutkan. Paman tersenyum ketika melihat anak-anak berwajah suram.
"Kalian akan menyukai Pak Guru Roland," katanya. "Ia tahu bagaimana caranya
mendidik anak-anak. Kalau perlu ia bisa tegas. Ia akan mengusahakan sehingga
pada akhir liburan kalian akan sudah menjadi lebih pintar daripada sekarang."
Kata-katanya itu semakin mengecutkan hati anak-anak. Mereka berempat sangat
menyesalkan, mengapa bukan Bibi Fanny saja yang memilih guru bagi mereka!
"Kapan dia datang?" tanya George.
"Besok," jawab ayahnya. "Kalian berempat bisa pergi ke stasiun bersama-sama
untuk menjemputnya. Pasti ia akan senang, disongsong dengan ramah."
"Sebetulnya kami ingin berbelanja untuk persiapan perayaan Natal," ujar Julian,
ketika dilihatnya Anne kecewa.
"Tidak, kalian harus menjemput Pak Guru Roland," kata Paman. "Sudah kukatakan
padanya, kalian yang akan menjemput. Dan dengarkan baik-baik! Kalian berempat
jangan bermain-main kalau sedang belajar. Patuhi katanya! Kalian harus belajar
rajin-rajin, karena tidak sedikit yang harus dikeluarkan ayah kalian untuk
membayarnya. Aku membayar sepertiga bagian dari gajinya, karena aku juga ingin
agar George ikut dibimbing olehnya. Jadi George, kau harus belajar rajin-rajin!"
"Akan kucoba," jawab George. "Kalau orangnya baik, aku akan berusaha sebaikbaiknya." "Tak peduli kau menganggap dia baik atau tidak, kau harus berusaha sebaikbaiknya," kata Paman dengan kening berkerut. "Ia akan tiba besok, dengan kereta
api pukul setengah sebelas. Kalian harus hadir di stasiun pada waktunya."
"Mudah-mudahan saja ia tak terlalu keras," kata Dick malam itu, ketika mereka
sendirian berlima selama beberapa saat. "Kalau ada orang yang terus-menerus
galak terhadap kita, bisa rusak liburan ini! Mudah-mudahan saja ia senang pada
Tim." Mendengar itu, dengan seketika George mendongak.
"Senang pada Tim!" katanya kaget. "Tentu saja dia akan senang pada Tim! Kenapa
sampai bisa tidak senang?"
"Yah - musim panas yang lalu ayahmu juga tak begitu senang padanya," ujar Dick.
"Aku juga tidak bisa mengerti kenapa ada orang yang tak suka pada Tim yang manis
ini - tapi dalam kenyataannya memang ada orang yang tak suka pada anjing,
George." "Kalau Pak Guru Roland tidak suka pada Tim, aku tak mau berbuat apa-apa
untuknya," kata George. "Apa pun juga, aku tak mau!"
"Nah, George sudah galak lagi sekarang," kata Dick sambil tertawa. "Kalau Pak
Guru Roland berani tak suka pada Tim - wah, bisa gawat dia nanti!"
III GURU BARU KEESOKAN HARINYA langit cerah. Kabut dari laut yang menyelubungi selama dua hari
berturut-turut sudah lenyap. Pulau Kirrin nampak jelas di mulut Teluk Kirrin.
Anak-anak memandang puri kuno yang tinggal reruntuhannya lagi di pulau itu.
"Aku kepingin sekali bisa pergi ke Puri," kata Dick. "Laut nampaknya cukup
tenang hari ini, George."
"Tapi sekeliling pulau masih berombak besar," ujar George. "Keadaannya selalu
begitu di musim sekarang ini. Aku tahu. Ibu pasti tak mengijinkan kita
menyeberang ke sana."
"Bagus sekali pulau itu - dan kita sendiri yang memilikinya," ujar Anne. "Kau
kan mengatakan bahwa kau akan membaginya dengan kami untuk selama-lamanya,
George?" "Memang betul," kata George. "Dan kita akan memilikinya sampai ke ruanganruangan bawah tanah. Semua milik kita bersama! Ayohlah! Kita masih harus
mengeluarkan kereta kuda. Kita akan terlambat sampai di stasiun nanti, jika
terus-terusan berdiri sendiri sambil memandang ke pulau!"
Dengan segera dipasangkan kuda ke kereta, lalu mereka berkereta menelusuri jalan
yang beku karena hawa dingin. Pulau Kirrin lenyap di balik bukit-bukit batu,
ketika kereta mereka membelok ke arah stasiun yang terletak agak jauh ke
pedalaman. "Apakah tanah sekitar sini dulu milik keluargamu semuanya?" tanya Julian.
"Ya, semua pernah menjadi milik keluargaku," kata George. "Sekarang tak ada lagi
yang kami miliki, kecuali Pulau Kirrin, rumah yang kami diami. Dan tanah
pertanian yang nampak di sebelah sana itu. Namanya Kirrin Farm, jadi tanah
pertanian Kirrin." Sambil menerangkan, George menunjuk dengan cemetinya. Anak-anak melihat sebuah
rumah pertanian di atas sebuah bukit yang agak jauh, di seberang padang yang
hijau dengan tumbuh-tumbuhan. Rumah itu sudah tua, tetapi kelihatannya menarik.
"Siapa yang tinggal di sana?" tanya Julian.
"Ah, seorang petani tua dengan isterinya," ujar George. "Mereka baik sekali
padaku, sewaktu aku masih kecil. Kalau kalian mau, kapan-kapan bisa kita ke
sana. Kata ibu mereka tidak lagi mengusahakan tanah pertanian. Di musim panas
mereka menyewakan kamar-kamar pada para pelancong yang ingin berlibur di sini."
"He! Dengar - itu bunyi peluit kereta api dalam terowongan!" ujar Julian tibatiba. "Astaga, cepatlah sedikit, George! Kita terlambat nanti."
Keempat anak itu melihat kereta api keluar dari lubang terowongan, dan masuk ke
stasiun. Kuda penarik kereta mereka meligas dengan cepat. Mereka akan sampai
pada waktunya untuk menyongsong.
"Siapa yang nanti menyongsong di peron?" tanya George, ketika kereta kuda mereka
masuk ke pekarangan depan stasiun. "Aku tidak bisa karena harus menjaga Tim dan
kereta kita." "Aku tak mau," kata Anne. "Aku menunggu di sini dengan George."
"Kalau begitu biar kami saja yang menyongsong," kata Julian. Ia meloncat turun
dari kereta, diikuti oleh Dick. Mereka lari ke peron, ketika kereta api berhenti
di situ. Penumpang yang turun tidak begitu banyak. Seorang wanita turun membawa
keranjang. Seorang pemuda meloncat ke luar sambil bersiul-siul. Dia anak tukang
roti dari desa. Kemudian menyusul seorang laki-laki tua, turun tertatih-tatih.
Tak mungkin satu dari mereka itu Pak Guru!
Kemudian turun pula seseorang laki-laki dari gerbong sebelah depan. Kelihatannya
agak aneh. Orangnya pendek gempal, berjanggut tebal seperti pelaut. Rambutnya
yang tebal sudah agak beruban. Matanya yang biru bersinar tajam. Ia memandang
kian ke mari di peron, lalu memanggil tukang angkat barang.
"Mestinya dia itu Pak Guru Roland," ujar Julian pada Dick. "Ayohlah - kita
tanyakan saja. Cuma dia saja yang mungkin."
Kedua anak laki-laki itu datang menghampiri orang yang berjanggut tebal.
"Anda Pak Guru Roland?" tanya Julian.
"Betul," jawab orang itu. "Dan kalian tentu Julian dan Dick."
"Ya, Pak," kata kedua anak itu serempak. "Kami membawa kereta kuda, untuk
mengangkut barang-barang Bapak."
"Terima kasih," ujar Pak Guru. Matanya yang biru cerah menatap kedua anak itu
dengan teliti. Kemudian ia tersenyum. Julian dan Dick senang melihatnya, karena
nampaknya periang dan budiman.
"Anak yang dua lagi juga ada di sini?" tanya Pak Guru Roland sambil berjalan
sepanjang peron, menuju pintu ke luar. Tukang barang mengikuti dari belakang,
sambil menjinjing koper-koper.
"Ya - George dan Anne menunggu di luar, di kereta," ujar Julian.
"George dan Anne," ujar Pak Guru. Kedengarannya agak heran. "Kukira yang dua
lagi anak-anak perempuan. Aku tak tahu bahwa sebetulnya yang laki-laki tiga
orang anak."

Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, George seorang anak perempuan," kata Dick sambil tertawa. "Namanya yang
betul adalah Georgina."
"Namanya bagus sekali," kata Pak Guru mengomentari.
"Tapi George tidak menyenangi nama itu," sambut Julian. "Kalau dipanggil dengan
nama Georgina, ia tak mau menyahut. Jadi sebaiknya Bapak memanggilnya dengan
George!" "O ya?" kata Pak Guru dengan nada suara agak dingin. Julian melirik ke orang
itu. "Ternyata dia tak seramah tampangnya!" pikirnya.
"Tim juga menunggu di luar," kata Dick.
"Oh! Dan Tim itu seorang anak perempuan, atau laki-laki?" tanya Pak Guru dengan
hati-hati. "Seekor anjing!" jawab Dick sambil nyengir.
Pak Guru mereka yang baru itu nampak kaget.
"Anjing?" katanya. "Aku tak tahu bahwa di rumah kalian ada anjing. Paman kalian
sama sekali tak bercerita tentang anjing."
"Bapak tidak senang anjing?" tanya Julian dengan heran.
"Tidak!" jawab yang ditanya dengan singkat. "Tapi kurasa anjing kalian itu
takkan terlalu merepotkan diriku. Nah - ini dia kedua anak perempuannya. Apa
kabar?" George sama sekali tak senang disebut anak perempuan. Ia selalu berusaha untuk
bertingkah laku seperti anak-anak laki. Dengan tidak mengatakan apa-apa,
diulurkannya tangan untuk bersalaman. Sedang Anne tersenyum memandang Pak Guru.
Orang itu merasa, Anne yang paling ramah di antara kedua anak perempuan itu.
"Tim! Beri salam pada Pak Guru Roland!" ujar Julian pada Tim. Anjing itu memang
pandai memberi salam. Biasanya kalau disuruh, lantas diangkatnya kaki kanan
depan dengan sikap yang sangat sopan. Pak Guru Roland memandang anjing yang
besar itu, sedang Tim membalas pandangannya.
Kemudian anjing itu melakukan sesuatu yang luar biasa. Dengan pelan tetapi
tegas, Tim memutar tubuh lalu naik ke kereta. Anak-anak memandang kelakuannya
dengan tercengang-cengang.
"Tim! Ada apa?" seru Dick. Anjing itu merapatkan telinganya ke kepala. Tetapi ia
tetap tak mau beranjak dari tempatnya.
"Tim tak suka pada Bapak," kata George sambil menatap Pak Guru Roland. "Benarbenar aneh! Biasanya ia suka pada manusia. Tapi mungkin Bapak sendiri tidak suka
pada anjing?" "Memang," kata Pak Guru. "Sewaktu aku masih kecil, aku pernah digigit seekor
anjing. Dan sejak itu aku kurang suka pada anjing. Tapi pelan-pelan, Tim kurasa
akan senang juga padaku."
Mereka naik ke kereta kuda. Mereka harus duduk bersesak-sesak. Tim memandang
pergelangan kaki Pak Guru. Kelihatannya seperti ingin menggigit. Anne tertawa.
"Aneh benar kelakuan Tim kali ini!" katanya. "Untung saja Pak Guru bukan datang
untuk mengajarnya!" Anne tersenyum pada Pak Guru Roland. Orang itu membalas
senyumnya. Nampak gigi-giginya yang sangat putih. Matanya yang biru secerah mata
George. Anne menyukai guru pembimbing itu. Sementara kereta mereka berjalan menuju ke
Pondok Kirrin, Pak Guru berkelakar dengan kedua abangnya. Anak-anak mulai
bertukar pendirian. Nampaknya Paman Quentin toh tak salah memilih.
Hanya George saja yang membisu. Anak itu merasa bahwa guru pembimbing mereka tak
menyukai Tim. Dan George tak mau menyenangi orang yang langsung tak suka pada
Tim sejak perjumpaan pertama. George juga merasa aneh, kenapa Tim tak mau
mengangkat kaki depan kanannya untuk memberi salam pada orang itu.
"Tim seekor anjing yang cerdik," pikir George. "Ia tahu bahwa Pak Guru Roland
tak menyukainya. Karena itu ia tak mau memberi salam. Kau tak bisa
kupersalahkan, Tim. Aku pun takkan mau bersalaman dengan orang yang tak
menyukaiku!" Begitu datang di Pondok Kirrin, Pak Guru lalu diantarkan ke kamarnya. Kemudian
Bibi Fanny turun lagi dan mendatangi anak-anak.
"Kelihatannya ia sangat ramah. Nampaknya masih tergolong muda, lagipula
periang!" "Muda?" seru Julian heran. "Wah, dia kan sudah tua sekali! Paling sedikit sudah
empat puluh tahun umurnya!"
Bibi Fanny tertawa. "Menurutmu, dia kelihatannya sudah tua?" tanya Bibi. "Yah, tak peduli tua atau
tidak, aku yakin dia akan baik terhadap kalian."
"Bibi Fanny," tanya Julian dengan agak was-was, "Apakah kami sudah harus mulai
belajar dari sekarang" Maksud saya, sebelum perayaan Natal?"
"Tentu saja!" jawab Bibi. "Hari Natal masih seminggu lagi. Kalian kan tak
mengira kita minta Pak Guru datang dan tak berbuat apa-apa sampai setelah harihari Natal"!" Anak-anak mengeluh. "Kami masih ingin berbelanja untuk Natal," kata Anne.
"Itu kan bisa kalian lakukan sore hari," kata Bibi. "Kalian hanya perlu belajar
pagi hari, selama tiga jam. Itu kan tidak terlalu berat!"
Saat itu guru mereka datang menuruni tangga rumah. Bibi Fanny mengajaknya
bertemu dengan Paman Quentin. Sesudah beberapa waktu Bibi ke luar lagi. Air
mukanya berseri-seri. "Pak Guru Roland akan menjadi teman serumah yang baik bagi Paman," ujarnya pada
Julian. "Kurasa mereka akan cocok. Kelihatannya ia banyak mengetahui soal-soal
yang bersangkutan dengan pekerjaan pamanmu."
"Kalau begitu, mudah-mudahan saja mereka akan sering sibuk berdua," ujar George
pelan-pelan. "Ayoh, kita berjalan-jalan," usul Dick. "Cuaca hari ini sangat bagus. Pagi ini
kami kan belum perlu belajar, Bibi?"
"Tidak," jawab bibinya. "Kalian belajar mulai besok. Pergilah jalan-jalan
sebentar - karena tak setiap hari cuaca akan secerah sekarang!"
"Bagaimana kalau kita pergi ke Kirrin Farm," kata Julian. "Kelihatannya tempat
itu bagus. Kau yang menunjukkan jalan ke sana, George."
"Baik!" jawab George. Ia bersiul memanggil Tim. Anjing itu berlari-lari
menghampiri mereka. Kemudian mereka berangkat berlima. Mula-mula melalui jalan
besar, sudah itu melewati jalan setapak yang melintasi padang dan menuju ke
rumah pertanian yang terdapat di atas bukit.
Enak rasanya berjalan-jalan disinari cahaya matahari musim dingin. Sepatu mereka
menimbulkan bunyi berderak-derik karena menginjak tanah yang membeku. Kuku-kuku
kaki Tim berketak-ketik, sementara anjing itu berjalan di samping mereka. Tim
sangat gembira, karena bisa berkumpul kembali dengan keempat teman kecilnya.
Sesudah berjalan agak lama melintasi padang, anak-anak itu sampai di rumah
pertanian yang dituju. Rumah itu dibuat dari batu putih. Bangunannya indah dan
kokoh, tegak di lereng bukit. George membuka pintu pagar tempat pertanian, lalu
mendului masuk ke dalam. Kalung leher Tim dipegangnya erat-erat, karena di
tempat itu ada dua ekor anjing lain.
Dekat lumbung nampak seseorang yang sedang sibuk. Orang itu sudah tua. George
menyapanya, "Halo, Pak Sanders! Apa kabar?"
"Eh, Master George datang!" seru laki-laki tua itu sambil tertawa lebar. George
ikut nyengir. Pak tua itu menyapanya dengan sebutan 'Master', yang berarti 'tuan
muda'. George lebih senang disebut 'Master,' daripada 'Miss' yang berarti
'nona'. "Mereka ini saudara-saudara sepupuku," teriak George keras-keras. Kemudian ia
berpaling pada saudara-saudaranya. "Pak Sanders agak tuli," katanya. "Kalian
harus berteriak keras-keras, supaya terdengar olehnya."
"Namaku Julian," seru Julian sekuat tenaga. Kedua adiknya juga ikut menyebutkan
nama masing-masing. Semuanya berteriak keras-keras. Petani itu memandang mereka
dengan wajah berseri-seri.
"Masuklah ke dalam untuk mengucapkan salam pada isteriku," serunya. "Ia akan
senang sekali melihat kalian datang. Kami sudah mengenal Master George sejak ia
masih bayi. Ibunya pun sudah kami kenal sejak bayi. Bahkan neneknya juga kami
kenal." "Kalau begitu Bapak ini mestinya sudah sangat tua," kata Anne.
Petani itu tersenyum memandangnya.
"Setua lidahku, dan sedikit lebih tua dari gigiku," katanya sambil tertawa
terkekeh-kekeh. "Ayoh, masuklah ke dalam."
Mereka masuk berbondong-bondong ke dalam ruangan dapur yang luas dan hangat.
Seorang wanita yang juga sudah tua sibuk bekerja di situ. Sibuknya seperti ayam
jago sedang mencari makanan. Wanita itu gembira sekali melihat kedatangan
keempat anak itu. Sama gembiranya seperti suaminya tadi.
"Eh, ada tamu rupanya!" kata wanita tua itu.
"Sudah berbulan-bulan aku tak melihatmu, Master George. Kudengar kau sekarang
bersekolah di internat."
"Memang," kata George. "Tapi selama liburan, aku pulang ke rumah. Bolehkah Tim
kulepaskan di sini, Ibu Sanders" Kurasa dia takkan apa-apa, jika anjing-anjing
Ibu Sanders juga tenang."
"Ya, lepaskan saja," ujar wanita tua itu. "Nanti dia bisa asyik bermain-main di
pekarangan, bersama Ben dan Riki. Sekarang, kalian mau minum apa" Susu panas"
Coklat" Kopi" Baru saja kemarin aku membuat kue-kue mentega. Akan kuhidangkan
juga bagi kalian." "Ya, isteriku sibuk sekali seminggu ini. Memasak, dan macam-macam lagi," kata
petani tua, sementara isterinya pergi ke sepen. "Dalam hari-hari Natal ini kami
akan kedatangan tamu."
"O ya?" kata George heran. Ia tahu bahwa suami isteri tua itu tak mempunyai
anak. "Siapa yang datang" Kukenal orangnya?"
"Dua seniman, dari kota London!" ujar pak petani. "Mereka menulis surat untuk
menyatakan keinginan mereka menginap untuk tiga minggu selama hari-hari Natal.
Mereka juga menyatakan bersedia membayar sewa yang tidak sedikit. Jadi sekarang
isteriku harus sibuk bersiap-siap."
"Apakah mereka akan melukis di sini?" tanya Julian tertarik. Ia juga gemar
menggambar, dan merasa dirinya seorang seniman. "Mudah-mudahan saja kapan-kapan
aku bisa berkunjung dan mengobrol dengan mereka. Aku juga bisa menggambar.
Barangkali saja mereka mau memberikan petunjuk-petunjuk yang berguna bagiku."
"Datang sajalah kapan kau mau," kata Ibu Sanders sambil sibuk membuat minuman
coklat dalam kendi besar. Sebuah piring diisinya dengan kue mentega sampai
penuh. Anak-anak makan dengan lahap.
"Kurasa kedua seniman itu akan merasa kesepian di sini, di daerah pedusunan
sewaktu Natal," kata George. "Ada kenalan mereka di sini?"
"Kata mereka tak ada seorang pun," ujar Ibu Sanders. "Tapi maklumlah, senimanseniman tergolong manusia aneh. Dulu pernah ada seniman-seniman yang menginap
juga di sini. Kelihatannya mereka senang menyendiri. Aku merasa pasti bahwa
mereka akan bahagia di sini."
"Tentu saja, karena begitu banyak makanan enak-enak yang kaubuatkan untuk
mereka," kata suaminya sambil tersenyum. "Nah, aku mesti mengurus biri-biriku
lagi. Kapan-kapan datang lagi, ya?"
Pak tua itu ke luar. Ibu Sanders ramai berceloteh dengan anak-anak, sambil sibuk
mondar-mandir di dapurnya yang besar. Tim masuk ke dalam, lalu berbaring di atas
permadani dekat api. Tiba-tiba dilihatnya seekor kucing berbulu belang-belang. Kucing itu berjalan
menyelinap sepanjang dinding. Bulunya tegak, karena takut melihat seekor anjing
yang tak dikenal. Sambil menyalak gembira, Tim meloncat bangun dan memburu
kucing itu. Kucing lari dari dapur dan masuk ke serambi dalam yang dindingnya
berlapis kayu. Tim mengejar. Sama sekali tak dipedulikannya seruan George yang
hendak melarangnya. Kucing itu berusaha meloncat ke atas jam lonceng tua yang terdapat di serambi
itu. Sambil menggonggong, Tim ikut meloncat. Tubuhnya membentur sekeping papan
pelapis dinding. Dan seketika itu juga terjadi sesuatu yang menakjubkan!
Papan itu lenyap - dan sebuah lubang gelap menganga di dinding serambi! George
yang mengejar Tim ke situ, berteriak kaget melihatnya.
"Lihatlah! Ibu Sanders, ke marilah - lihat ini!"
IV PENEMUAN MENARIK KETIKA terdengar suara George berteriak, Ibu Sanders bergegas ke serambi dalam
dengan diikuti oleh ketiga anak yang masih menemani di dapur.
"Ada apa?" seru Julian. "Apa yang terjadi?"
"Tadi Tim meloncat hendak menangkap kucing. Tapi meleset, lalu jatuh membentur
papan pelapis dinding," kata George. "Papan itu tergeser, dan sebagai akibatnya
lihatlah sendiri - di dinding ada lubang!"
"Rupanya papan itu pintu rahasia!" seru Dick sambil mengintip ke dalam lubang.
"Astaga! Ibu Sanders tahu bahwa di sini ada lubang rahasia?"
"O ya," jawab yang ditanyai. "Rumah ini penuh dengan hal-hal aneh seperti itu.
Aku selalu berhati-hati sewaktu mengelap papan di situ, karena jika kutekan
sedikit terlalu keras pojok atasnya, papan itu selalu tergeser ke pinggir?"
"Ada apa di belakang papan itu?" tanya Julian. Lubang yang menganga di depan
mereka lebarnya cuma sekepala. Ketika Julian memasukkan kepalanya ke dalam, ia
tak bisa melihat apa-apa karena gelap. Dinding yang sebenarnya dari serambi itu
terdapat sekitar dua puluh sentimeter di belakang papan pelapis. Dinding itu
terbuat dari batu. "Ambil Ulin! Ambil lilin!" kata Anne penuh gairah. "Anda mempunyai senter, Ibu
Sanders?" "Tidak," jawab perempuan tua itu. "Tapi kalau kalian mau, aku mempunyai lilin.
Di atas perapian di dapur ada sebatang."
Anne melejit ke dapur untuk mengambilnya. Dengan segera lilin itu dinyalakan
oleh Julian, lalu dimasukkannya ke dalam lubang di balik papan pelapis. Anakanak yang lain berdesak-desakan karena ingin ikut mengintip ke dalam.
"He, jangan mendesak-desak," ujar Julian dengan kesal. "Kita harus bergiliran,
tolol! Biar aku yang melihat paling dulu."
Julian memasukkan kepala ke dalam lubang dan memperhatikan keadaan di situ
dengan seksama. Tetapi sebetulnya tak banyak yang bisa dilihat. Yang ada cuma
kegelapan, dan dinding batu. Lilin diserahkannya pada Dick. Sudah itu anak-anak
silih berganti mengintip ke dalam. Sementara itu Ibu Sanders sudah kembali ke
dapurnya. Ia sudah tak heran lagi melihat papan pelapis yang bisa menggeser itu.
"Kata Ibu Sanders tadi, rumah ini penuh dengan hal-hal aneh," kata Anne. "Apa
saja misalnya, menurut pendapat kalian" Mari kita tanyakan saja padanya."
Papan penutup lubang mereka kembalikan ke tempatnya semula. Sesudah itu mereka
mendatangi Ibu Sanders di dapur.
"Ibu Sanders, barang aneh macam apa lagi yang ada di rumah ini?" tanya Julian.
"Misalnya saja di tingkat atas ada sebuah lemari yang dinding belakangnya
berlapis dua," kata Ibu Sanders. "Kalian tak perlu buru-buru membayangkan yang
bukan-bukan, karena dalam rongga antara kedua dinding tak ada apa-apa! Lalu
dalam perapian itu ada sebuah batu besar. Jika batu itu diangkat, di bawahnya
terdapat sebuah lubang. Menurut pendapatku, di jaman dulu orang memerlukan
tempat-tempat rahasia untuk menyembunyikan barang-barang mereka."
Anak-anak berlarian ke batu yang dimaksudkan oleh Ibu Sanders. Pada batu itu
terdapat sebuah gelang besi. Ketika gelang ditarik, batu ikut terangkat ke atas
dengan mudah. Di bawahnya nampak sebuah kotak kecil. Walau rongga itu sekarang
kosong, namun anak-anak masih tetap tertarik melihatnya.
"Lalu lemarinya di mana?" tanya Julian.
"Aku ini sudah tua. Aku sudah capek, tak kuat lagi naik turun tangga pagi ini,"
ujar isteri petani itu. "Tapi kalian boleh naik ke atas. Ikuti tangga ke tingkat
atas, lalu belok ke kanan dan masuk ke kamar nomor dua dari tangga. Lemari yang
kumaksudkan letaknya di seberang pintu kamar. Buka pintu lemari dan raba-rabakan
jari di dasar sampai kalian menemukan lekukan dalam kayu. Tekan keras-keras di
situ. Nanti dinding belakang yang palsu akan menggeser dengan sendiri ke
pinggir." Keempat anak itu bergegas naik tangga, diikuti oleh Tim. Pagi ini benar-benar
mengasyikkan! Mereka menemukan lemari yang dimaksudkan oleh Bibi Sanders, lalu segera membuka
pintunya. Mereka berempat meraba-raba dasar lemari untuk menemukan lekukan. Anne
yang berhasil lebih dulu.
"Ini dia!" seru anak itu. Ia menekan keras-keras. Tetapi jarinya kurang kuat
untuk menggerakkan alat yang akan menggeser dinding belakang. Karena itu Julian
harus membantu. Tiba-tiba terdengar bunyi berderak, dan anak-anak melihat dinding belakang
lemari yang palsu mulai tergeser ke samping. Di baliknya nampak rongga yang
cukup lapang, dan bisa dimasuki oleh seorang dewasa yang berbadan kurus.
"Wah, ini tempat persembunyian yang bagus sekali," kata Julian. "Siapa saja bisa
bersembunyi di sini, dan takkan ada orang lain yang akan tahu!"
"Sekarang aku masuk ke dalam. Kalian menutup lagi dari luar," kata Dick. "Pasti
asyik!" Anak itu masuk ke dalam rongga belakang. Julian mengembalikan dinding palsu ke
tempat semula, dan - Dick lenyap dari pandangan!
"Wah, agak sempit!" serunya dari dalam. "Lagipula sangat gelap. Aku mau ke
luar!"

Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah itu anak-anak silih berganti masuk ke dalam rongga di balik dinding
palsu, yang kemudian ditutup. Anne merasa kurang enak terkurung di situ.
Sesudah semua mendapat giliran, mereka turun kembali ke dapur yang hangat.
"Lemarinya mengasyikkan, Ibu Sanders," kata Julian. "Aku kepingin tinggal di
rumah seperti ini, yang penuh rahasia."
"Bolehkah kami datang lagi, untuk bermain-main dalam lemari itu?" tanya George.
"Sayang tidak bisa lagi, Master George," ujar Ibu Sanders. "Kamar yang berlemari
di dindingnya itulah yang akan disewa kedua tamuku."
"Sayang," ujar Julian dengan kecewa. "Apakah Anda akan bercerita tentang dinding
belakang yang bisa digeser itu pada mereka, Ibu Sanders?"
"Ah, kurasa tidak perlu," jawab wanita tua itu. "Cuma anak-anak seperti kalian
saja yang merasa tertarik pada hal-hal seperti itu. Orang dewasa seperti kedua
tamuku takkan terlalu mempedulikannya."
"Orang dewasa memang aneh," ujar Anne heran. "Kalau aku, biar sudah berumur
seratus tahun nanti, pasti masih akan tertarik melihat pintu yang tiba-tiba
menggeser, atau melihat pintu jebakan di lantai."
"Aku juga," sambut Dick. "Bolehkah aku melihat papan pelapis yang di serambi
dalam sekali lagi, Ibu Sanders" Lilin kubawa serta."
Dick sendiri juga tidak tahu, mengapa ia tiba-tiba ingin melihat lubang itu
sekali lagi. Sekonyong-konyong saja timbul keinginannya. Saudara-saudaranya tak
ada yang ikut, karena tak ada yang bisa dilihat di balik papan pelapis kecuali
dinding batu yang sudah tua.
Dick mengambil lilin, lalu pergi ke serambi dalam. Ditekannya tepi atas papan
pelapis. Papan itu tergeser ke samping. Sesudah meletakkan lilin dalam lubang,
Dick memasukkan kepala untuk melihat sekali lagi. Tak ada yang bisa dilihat di
dalam situ. Dick menarik kepalanya ke luar. Sekarang berganti tangannya yang
dimasukkan ke dalam. Ia meraba-raba dinding, sampai sejauh jangkauan lengannya.
Baru saja ia hendak menarik tangan ke luar, ketika jari-jarinya menyentuh sebuah
lubang di dinding batu. "Aneh!" kata Dick pada dirinya sendiri. "Kenapa di situ ada lubang dalam
dinding?" Dimasukkannya jari-jarinya ke dalam lubang itu, dan dirabanya sekeliling rongga.
Di dinding terasa ada semacam tongkat kecil, seperti batang tempat hinggap
burung. Jarinya mengorek-korek tempat sekeliling tongkat itu. Tetapi tak terjadi
apa-apa. Kemudian dipegangnya tongkat, lalu ditariknya keras-keras.
Batu tempat tongkat itu terpasang lepas ditariknya. Dick sangat terkejut,
sehingga batu berat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai di balik
papan pelapis. Bunyinya berdebam nyaring!
Anak-anak berlarian ke serambi dalam.
"Apa lagi yang kaulakukan, Dick?" tanya Julian. "Ada barang yang kaurusakkan?"
"Tidak," jawab Dick. Mukanya merah karena kaget dan heran. "Sewaktu aku
memasukkan tangan ke dalam lubang ini, aku menemukan lubang lagi dalam batu
dinding sebelah belakang. Jari-jariku menyentuh semacam tongkat di situ, lantas
kutarik. Tahu-tahu batu terlepas! Aku kaget, sehingga batu terlepas dari
peganganku. Yang kalian dengar tadi bunyi batu jatuh ke lantai!"
"Astaga!" kata Julian, sambil berusaha mendesak Dick dari lubang di papan. "Coba
kulihat sebentar!" "Tidak!" kata Dick sambil mendorong abangnya. "Aku yang menemukan lubang itu.
Tunggu sampai aku selesai memeriksa, kalau-kalau ada sesuatu di dalamnya. Sukar
mencapai lubang itu!"
Anak-anak yang lain menunggu dengan tidak sabar. Julian sudah kepingin mendorong
adiknya supaya minggir. Dick memasukkan lengannya sejauh mungkin. Kemudian
dibengkokkannya tangan, agar bisa masuk ke dalam rongga yang terdapat di
belakang tempat batu yang terjatuh ke lantai. Jari-jarinya meraba-raba, lalu
memegang sesuatu benda. Rasanya seperti buku. Benda itu dikeluarkannya dengan
pelan dan berhati-hati. "Sebuah buku kuno!" serunya.
"Apa isinya?" seru Anne ingin tahu.
Mereka membalik-balik halaman buku itu dengan hati-hati. Kertasnya sudah sangat
kering dan rapuh, sehingga beberapa lembar di antaranya hancur menjadi debu.
"Kurasa ini buku resep," ujar Anne. Matanya sangat awas. Beberapa perkataan yang
ditulis tangan dengan tinta yang sudah coklat dan pudar karena tuanya, berhasil
dibaca olehnya. "Kita tunjukkan saja pada Ibu Sanders."
Keempat anak itu masuk lagi ke dapur, untuk menunjukkan buku yang mereka temukan
pada Ibu Sanders. Wanita tua itu tertawa ketika melihat wajah mereka berseriseri. Diambilnya buku itu lalu diperiksa olehnya. Ibu Sanders tetap tenang.
"Ya, betul," katanya kemudian. "Ini buku resep. Lihat nama yang tertulis di
depan - Alice Mary Sanders. Mestinya ia ibu nenekku. Menurut kabar, ia terkenal
karena ahli dalam hal jamu-jamuan. Kata orang dulu, ia bisa menyembuhkan setiap
penyakit manusia atau binatang. Tak peduli penyakit apa, selalu sembuh diobati
olehnya." "Sayang sulit sekali membaca tulisan tangannya," ujar Julian kecewa. "Buku ini
pun sudah hampir hancur. Pasti sudah sangat tua."
"Menurut pendapatmu, masih adakah barang lain dalam tempat persembunyian itu?"
tanya Anne. "Julian, coba kau saja yang memasukkan lengan ke dalam. Lenganmu
lebih panjang dari Dick."
"Rasanya tadi tak ada barang lagi di dalam," kata Dick. "Tempatnya sangat
sempit. Cuma sebuah rongga yang dalamnya beberapa senti, di belakang batu atau
batu bata yang terjatuh ke lantai."
"Yah, kucoba saja memasukkan tanganku ke dalam," kata Julian. Anak-anak
berbondong-bondong kembali ke serambi dalam. Julian memasukkan lengannya ke
balik papan yang terbuka, lalu meraba-raba sampai ke tempat batu yang terlepas.
Tangannya dimasukkan ke rongga yang ada di situ. Jari-jarinya yang panjang
mencari-cari barang yang mungkin ada di dalamnya.
Ternyata memang ada! Sesuatu yang lembut dan pipih. Rasanya seperti terbuat dari
kulit. Cepat-cepat dipegangnya benda itu, lalu dikeluarkannya dengan hati-hati.
Julian khawatir benda itu akan hancur, karena sudah terlalu tua.
"Aku menemukan sesuatu!" serunya, sedang matanya bersinar-sinar gembira.
"Lihatlah - apa ini?"
Saudara-saudaranya berkerumun melihat.
"Nampaknya seperti kantong tembakau kepunyaan Ayah," kata Anne sambil merabaraba benda itu. "Bentuknya sama. Ada isinya?"
Ternyata benda itu memang kantong tembakau. Warnanya coklat tua, terbuat dari
kulit lembut. Nampaknya sudah sangat usang. Dengan hati-hati Julian membuka
tutup kantong, lalu melihat isinya.
Di dalamnya masih ada sisa-sisa tembakau berwarna hitam. Tetapi kecuali itu
masih ada benda lain yang ditemukan. Di dasar kantong tergulung secarik kain
linen. Julian mengeluarkannya lalu membentangkan kain itu di atas sebuah meja
yang terdapat di serambi.
Anak-anak memandangnya dengan heran. Di atas kain tertera berbagai tanda yang
dibuat dengan tinta hitam yang boleh dikatakan sama sekali belum pudar. Tetapi
mereka berempat tak berhasil mengenali tanda-tanda itu.
"Ini bukan peta," kata Julian. "Nampaknya seperti tanda-tanda sandi atau semacam
itu. Apa artinya, ya" Aku kepingin bisa menguraikannya. Mestinya ini semacam
rahasia." Anak-anak memandang secarik kain tua itu dengan hati berdebar-debar.
Kelihatannya sudah sangat tua, dan memuat salah satu rahasia. Apakah rahasia
itu" Mereka lari lagi ke dapur, untuk menunjukkannya pada Ibu Sanders. Wanita tua itu
sedang mempelajari isi buku resep tua. Dengan wajah berseri-seri ia memandang
anak-anak yang masuk beramai-ramai.
"Buku ini benar-benar ajaib!" katanya. "Tulisannya nyaris tak terbaca lagi
olehku. Tapi ini ada sebuah resep untuk sakit punggung. Aku kepingin mencobanya.
Malam hari, punggungku selalu terasa ngilu. Coba kalian dengarkan...."
Tetapi anak-anak itu tak bermaksud mendengarkan resep kuno untuk sakit punggung.
Kain linen bertanda rahasia mereka sodorkan ke pangkuan wanita tua itu.
"Lihatlah - ini apa, Ibu Sanders" Anda tahu apa artinya" Kami menemukannya dalam
kantong tembakau yang tersimpan dalam rongga di balik papan pelapis dinding
serambi." Ibu Sanders membuka kacamatanya. Dibersihkannya sebentar, lalu ditaruhkannya
lagi di depan matanya. Diperhatikannya dengan seksama tanda-tanda aneh yang
tertera di atas kain linen itu. Kemudian ia menggeleng.
"Entahlah - aku tak bisa menebaknya. Tapi apa ini" Kelihatannya seperti kantong
tempat tembakau yang sudah tua. John, suamiku, pasti akan senang. Kepunyaannya
sudah sangat usang, hampir-hampir tak bisa dipakai lagi untuk tempat menaruh
tembakau. Ini juga sudah usang, tetapi masih bisa cukup lama dipakai."
"Anda juga memerlukan kain tua ini?" tanya Julian dengan perasaan was-was. Ia
ingin membawanya ke rumah dan mempelajarinya di sana. Ia merasa yakin tandatanda pada kain itu menyimpan suatu rahasia yang menarik. Karena itu ia
khawatir, jangan-jangan Ibu Sanders mengingininya.
"Kalau mau ambil saja, Master Julian," kata Ibu Sanders sambil tertawa. "Aku
mendapat buku resep kuno ini, sedang John akan mendapat kantong tembakau. Kalau
kau mau, ambil saja kain tua itu. Aku cuma heran, kenapa kau ingin memilikinya.
Ah, itu John datang!"
Ibu Sanders menyaringkan suara, agar terdengar oleh suaminya yang sudah agak
tuli. "He John! Ini ada kantong tempat tembakau untukmu. Anak-anak menemukannya dalam
sebuah rongga yang terdapat di balik papan pelapis serambi yang bisa tergeser!"
Petani tua itu menerima kantong yang disodorkan, lalu memperhatikannya dengan
seksama. "Kelihatannya aneh," katanya. "Tapi pokoknya masih lebih bagus daripada
kepunyaanku yang sekarang. Nak, aku bukan hendak mengusir kalian - tetapi
sekarang sudah pukul satu! Kalau sudah hampir saat makan siang bagi kalian,
sebaiknya cepat-cepat saja pulang!"
"Astaga!" seru Julian kaget. "Kita pasti terlambat! Terima kasih Ibu Sanders,
untuk kue mentega yang enak tadi. Dan juga untuk kain tua ini. Kami akan
berusaha menguraikan sandinya. Kalau berhasil, akan kami ceritakan pada Anda.
Ayoh, kita harus bergegas pulang! Mana Tim" Ayoh Tim, kita sudah terlambat!"
Kelimanya lari bergegas-gegas. Mereka memang sudah terlambat. Karenanya mereka
harus lari cepat-cepat. Jadi sukar untuk bicara. Tetapi mereka begitu banyak
mengalami hal-hal menarik sepagi itu, sehingga sambil lari mereka masih sempat
berbicara dengan napas terengah-engah.
"Aku ingin tahu, apa maksud tanda-tanda pada kain tua ini," ujar Julian dengan
suara terputus-putus. "Aku akan menyelidiknya nanti. Pasti isinya merupakan
salah satu rahasia."
"Apakah akan kita ceritakan pada orang lain?" tanya Dick.
"Jangan!" larang George. "Kita simpan saja rahasia itu."
"Kalau Anne kelihatannya akan terlanjur membuka rahasia, tendang saja kakinya di
bawah meja! Seperti yang kita lakukan musim panas yang lalu," kata Julian sambil
nyengir. Anne yang malang! Anak perempuan itu sukar sekali disuruh menyimpan
rahasia. Sering dia harus disenggol atau ditendang, kalau sudah nyaris
membeberkan rahasia. "Aku takkan mengatakan apa-apa," ujar Anne tersinggung. "Dan jangan coba-coba
menendang kakiku. Kalau kalian lakukan juga, aku bisa berteriak kesakitan.
Kemudian orang-orang dewasa akan ingin tahu, kenapa aku berteriak."
"Tanda-tanda pada kain tua ini akan menyibukkan kita sehabis makan siang," ujar
Julian. "Kutanggung kita akan berhasil mengetahui maknanya. Asal saja kita
memusatkan pikiran!"
"Nah, kita sudah sampai," kata George. "Dan kita belum terlambat untuk makan
siang. Ibu, kami akan cepat-cepat mencuci tangan! Asyik sekali kami tadi!"
V PESIAR YANG MENJENGKELKAN
SEHABIS makan siang, anak-anak berkumpul di kamar Julian dan Dick. Kain linen
tua yang bertanda-tanda aneh mereka bentangkan di atas meja. Di sana-sini ada
kata-kata yang tertulis dengan huruf acak-acakan. Juga terdapat gambar mata
angin, dengan huruf T yang jelas sebagai tanda arah timur. Kecuali itu masih ada
pula delapan gambar bujur sangkar yang tidak rapi buatannya. Tepat di tengah
salah satu bujur sangkar itu nampak gambar sebuah silang, atau salib. Semuanya
memberikan kesan yang penuh rahasia.
"Kurasa kata-kata ini ditulis dalam bahasa Latin," ujar Julian sambil berusaha
mengejanya. "Tapi tulisannya tak begitu jelas. Dan kurasa kalaupun aku bisa
membacanya, artinya toh takkan kumengerti. Coba kita kenal seseorang yang bisa
memahami bahasa Latin seperti tulisan-tulisan yang tertera di sini."
Bahasa Latin, di Eropah merupakan bahasa penting untuk ilmu pengetahuan. Di
jaman dulu, berbagai bidang ilmu pengetahuan mempergunakan istilah-istilah
bahasa Latin. Bahkan banyak buku-buku terpelajar ditulis dalam bahasa kuno itu.
Sampai sekarang pun ilmu kedokteran misalnya, masih mempergunakan istilahistilah Latin. Karena itu di Eropa bahasa Latin tergolong bahasa yang perlu
dipelajari orang-orang yang hendak menuntut ilmu. Di samping bahasa Inggris
tentunya! "Ayahmu bisa bahasa Latin, George?" tanya Anne.
"Kurasa bisa," jawab George. Tetapi anak-anak enggan minta tolong pada Paman
Quentin. Jangan-jangan nanti kain tua itu akan diambilnya, lalu dilupakannya.
Atau bahkan dibakar! Sarjana biasanya suka berbuat yang aneh-aneh.
"Bagaimana kalau Pak Guru Roland?" tanya Dick. "Dia kan guru, jadi bisa
berbahasa Latin." "Jangan tanyakan dulu padanya, sebelum kita sendiri berhasil menyelidiki lebih
mendalam," kata Julian. Ia bersikap hati-hati. "Kelihatannya dia memang periang
dan ramah - tapi siapa tahu! Jangan-jangan kesan itu keliru. Sialan! Kepingin
benar rasanya mengetahui makna tanda-tanda ini."
"Di bagian teratas ada dua buah kata," ujar Dick sambil berusaha mengeja. "VIA
OCCULTA. Nah - menurut perkiraanmu, apa arti kata-kata itu, Julian?"
"Yah, aku harus menebak! Via berarti jalan, sedang occulta - kalau tidak salah
artinya rahasia. Jadi barangkali kata-kata itu berarti JALAN RAHASIA. Kurang
lebih begitulah!" jawab Julian dengan kening berkerut. Ia sendiri tidak yakin
akan terjemahannya itu. "JALAN RAHASIA!!" seru Anne dengan mata bersinar-sinar. "Wah, mudah-mudahan saja
memang itu artinya! Jalan rahasia! Bukan main, mendebarkan hati. Kira-kiranya
rahasia apa, Julian?"
"Konyol benar engkau ini, Anne!" kata Julian. "Bagaimana aku mengetahuinya" Aku
bahkan tak tahu apakah artinya memang benar-benar 'Jalan Rahasia'. Aku tadi kan
cuma menebak saja!" "Kalau artinya memang itu - maka mungkin tanda-tanda di kain ini merupakan
petunjuk-petunjuk untuk menemukan Jalan Rahasia itu," kata Dick. "Entah apa yang
dimaksudkan dengan Jalan Rahasia! Wah, benar-benar kesal rasanya - tidak bisa
memahami tanda-tanda ini. Ayoh, Julian! Cobalah sebisa-bisamu. Kau kan sudah
lebih banyak mengetahui kata-kata Latin daripada aku."
"Susah sekali membaca tulisan kuno yang aneh ini," ujar Julian. Tetapi ia masih
mencoba juga, namun sia-sia. "Tidak - aku tak bisa mengejanya sama sekali."
Saat itu terdengar suara orang berjalan menaiki tangga. Kemudian pintu kamar
terbuka, dan kepala Pak Guru Roland muncul di celahnya.
"Di sini kalian rupanya," kata Pak Guru. "Dari tadi kucari-cari. Bagaimana kalau
kita berjalan-jalan sebentar ke bukit batu yang di pinggir laut?"
"Baik, kami datang," jawab Julian sambil menggulung kain linen.
"Apa itu?" tanya Pak Guru sambil menunjuk ke kain yang sedang digulung. "Barang
menarik?" "Itu - " Anne hendak menjawabnya, tetapi dengan segera anak-anak mulai ngomong
dengan ribut. Mereka khawatir kalau-kalau Anne membocorkan rahasia.
"Memang enak berjalan-jalan siang ini!"
"Ayo, kita mengenakan pakaian tebal."
"Tim, tim! Di mana lagi engkau sekarang?" George bersiul keras-keras. Tim yang
saat itu sedang berbaring di bawah tempat tidur, dengan segera meloncat ke luar.
Muka Anne menjadi merah padam. Ia menyadari, mengapa saudara-saudaranya tibatiba begitu ribut ngomong.
"Tolol," umpat Julian dengan suara tertahan. "Bayi!"
Untung saja Pak Guru Roland tak mengatakan apa-apa lagi tentang kain linen yang
nampak olehnya sedang digulung oleh Julian. Perhatiannya sudah teralih ke Tim.
"Kurasa dia mesti ikut juga berjalan-jalan," katanya. George menatapnya dengan
sikap agak tersinggung. "Tentu saja!" kata anak itu. "Kami belum pernah pergi ke mana-mana, dengan tidak
mengajak Tim." Pak Guru mendului turun ke bawah, sedang keempat anak itu sibuk mengenakan
mantel masing-masing. George nampak cemberut mukanya. Ia marah, karena Pak Guru
seolah-olah hendak mengusulkan agar Tim ditinggal saja.
"He, Konyol!" kata Dick dengan ketus pada Anne. "Nyaris kau tadi membocorkan
rahasia kita." "Aku tak berpikir panjang," jawab adiknya itu. Ia agak malu terhadap
kecerobohannya itu. "Tapi Pak Guru kelihatannya ramah sekali. Rasanya kita bisa
menanyakan padanya, apakah dia bisa membantu kita memahami kata-kata asing itu."
"Serahkan keputusan mengenainya padaku," kata Julian dengan jengkel. "Kau jangan


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani-berani membuka mulut."
Keempat anak itu berangkat bersama Pak Guru, diikuti oleh Tim. Pak Guru tak
perlu merasa khawatir mengenai Tim, karena anjing itu tak mau berjalan dekatnya.
Benar-benar aneh! Ia selalu menjauhi guru pembimbing itu. Bahkan ketika diajak
bicara pun, ia pura-pura tak mendengar.
"Biasanya Tim tidak begitu," kata Dick. "Ia sebetulnya sangat baik hati."
"Yah! Karena aku harus tinggal serumah dengan anjing itu, aku harus berusaha
berteman dengannya," kata Pak Guru. "He, Tim! Ke marilah sebentar! Aku punya
biskuit." Kuping Tim menegak ketika mendengar kata 'biskuit'. Tetapi ia tetap tak mau
memandang ke arah Pak Guru. Buntutnya diselipkan di antara kedua kaki
belakangnya, lalu ia mendekati George. Anak itu menepuk-nepuk kepalanya.
"Kalau Tim tak senang pada seseorang, ia takkan mau datang jika dipanggil. Juga
tidak, walau dibujuk dengan biskuit atau tulang," kata George.
Pak Guru Roland menyerah. Biskuit yang tadinya disodorkan pada Tim,
dimasukkannya kembali ke dalam kantong jasnya.
"Aneh tampang anjingmu itu," katanya pada George. "Anjing kampung! Terus terang
saja, aku lebih senang pada anjing keturunan yang mumi."
Muka George merah padam. "Tim tidak aneh tampangnya," katanya tergagap-gagap karena marah. "Pak Guru
sendiri yang aneh tampangnya! Dia bukan anjing kampung sembarangan. Tim adalah
anjing terbaik di dunia!"
"Kau agak kurang ajar," ujar Pak Guru Roland dengan sikap kaku. "Tak kuijinkan
murid-muridku bermulut lancang, Georgina."
George menjadi semakin marah, karena disapa dengan nama Georgina. Mukanya masam,
seperti asinan kebanyakan cuka. Langkahnya menjadi lamban. Ia berjalan agak di
belakang, seiring dengan Tim. Saudara-saudaranya merasa kurang enak. Mereka tahu
bahwa George kalau sudah merajuk sulit diajak berbaik kembali. Selama itu
sifatnya sudah menjadi jauh lebih ramah, sejak berkenalan dengan ketiga saudara
sepupunya musim panas yang lalu. Waktu itu untuk pertama kalinya Julian beserta
kedua adiknya datang menginap di Pondok Kirrin. Mudah-mudahan saja George tidak
menjadi konyol lagi dan mencari-cari pertengkaran. Kalau itu sampai terjadi,
rusaklah suasana hari-hari raya Natal nanti.
George tidak diacuhkan lagi oleh Pak Guru Roland. Pak Guru berjalan di depan
bersama Julian dan kedua adiknya, sambil berkelakar. Cerita-ceritanya lucu
sekali, sehingga Julian dan Dick tertawa-tawa mendengarnya. Pak Guru membimbing
tangan Anne. Anak perempuan itu berjalan di sampingnya sambil melonjak-lonjak.
Anne senang berjalan-jalan sambil mengobrol dengan kocak.
Julian merasa kasihan pada George. Tak enak rasanya kalau dikesampingkan, dan ia
tahu George paling tidak suka tersisih. Julian memikirkan kemungkinan sikap Pak
Guru, jika ia berani membela saudara sepupunya itu. Jangan-jangan nanti marah!
Tetapi Julian memberanikan diri, karena suasana akan lebih enak nanti.
"Pak Guru," katanya dengan hati-hati. "Maukah Anda menyapa saudara sepupu saya
dengan nama yang disukainya, yaitu George" Ia benci pada nama Georgina. Dan ia
sangat sayang pada Tim. Ia tidak suka, apabila ada orang mengatakan hal-hal yang
tidak enak mengenai anjing kesayangannya itu."
Pak Guru Roland kelihatan kaget mendengar perkataan Julian.
"Julian, aku yakin maksudmu baik," katanya dengan suara tawar. "Tapi aku tak
membutuhkan nasihatmu mengenai murid-muridku. Aku akan mengikuti kemauanku
sendiri dalam urusan dengan Georgina, dan takkan menuruti pendapatmu. Aku ingin
berteman dengan kalian semua, dan aku yakin kita akan berteman baik. Tapi
Georgina harus mau menurut kata, seperti kalian bertiga."
Julian merasa terpukul ketika mendengar jawaban itu. Mukanya menjadi merah.
Dipandangnya Dick, yang membalas dengan meremas lengan abangnya itu. Kedua anak
laki-laki itu tahu bahwa George memang kadang-kadang konyol dan berwatak sulit,
apalagi jika ada orang yang mengatakan tak suka pada anjingnya. Tetapi menurut
pendapat mereka, Pak Guru Roland pun seharusnya menunjukkan pengertian yang
lebih besar. Dick memperlambat langkah, lalu berjalan seiring dengan George.
"Kau tak pergi menemani aku," kata George dengan segera. Matanya berkilat-kilat
marah. "Jalan saja dengan sobat kalian, Pak Roland."
"Kau jangan konyol," kata Dick. "Dia bukan temanku."
"Aku tidak konyol," balas George dengan suara tegang. "Kan aku bisa mendengar
kalian tertawa-tawa dan berkelakar dengan dia. Ke depanlah lagi, dan tertawatawa dengan orang itu. Aku sudah ditemani Tim."
"George, sekarang ini menjelang perayaan Natal," kata Dick menyabarkan. "Tak
baik marah-marah terus. Rusak suasana Natal karenanya."
"Aku tak suka pada orang yang tidak menyenangi Tim," ujar George. Ia tetap
berkeras kepala. "Tapi tadi Pak Guru kan sudah mencoba dan hendak memberinya biskuit," kata Dick.
Ia masih terus mencoba untuk menenangkan perasaan George yang sedang sebal.
Tetapi anak itu diam saja Mukanya masam. Dick mencoba sekali lagi.
"George - bagaimana kalau kau mencoba ramah sampai hari-hari raya Natal sudah
lewat," usulnya. "Jangan sampai suasana Natal yang tenang menjadi rusak karena
tingkahmu. Ayohlah, George."
"Baiklah!" kata George pada akhirnya. "Akan kucoba."
"Kalau begitu marilah berjalan seiring dengan kami," kata Dick. George menurut.
Dicobanya untuk tidak kelihatan merajuk. Pak Guru Roland merasa bahwa Dick tadi
berusaha membujuk George agar tidak merajuk. Karena itu diajaknya anak perempuan
itu bercakap-cakap. Ia tak berhasil membuat George tertawa, tetapi setidaktidaknya anak itu mau memberikan jawaban secara sopan.
"Itukah Kirrin Farm?" tanya Pak Guru, ketika rumah pertanian itu nampak di depan
mereka. "Betul! Anda mengenalnya?" tanya Julian dengan heran.
"Tidak, tidak," kata Pak Guru cepat-cepat. "Aku pernah mendengar namanya, dan
karenanya aku kepingin tahu apakah itu tempatnya."
"Kami ke sana tadi pagi," kata Anne. "Tempatnya mengasyikkan." Ia memandang
saudara-saudaranya. Apakah mereka akan tidak setuju, kalau ia bercerita tentang
hal-hal yang mereka lihat di sana pagi itu" Julian berpikir sejenak. Tak ada
salahnya apabila Pak Guru mendengar cerita tentang batu yang bisa diangkat di
dapur, serta dinding palsu di sebelah belakang lemari. Ibu Sanders pun bisa
menceritakannya pada orang-orang lain. Ia juga bisa bercerita tentang papan
pelapis yang bisa tergeser di serambi dalam, serta menceritakan tentang buku
resep yang mereka temukan di situ. Tetapi tak perlu disinggung-singgung tentang
kain linen. Julian dan saudara-saudaranya bercerita tentang hal-hal menarik yang mereka
lihat di rumah pertanian tua itu. Tetapi tak sepatah kata pun yang keluar
tentang kain linen yang ada tulisan rahasianya. Pak Guru mendengarkan dengan
penuh minat. "Ajaib," katanya. "Benar-benar ajaib! Menarik sekali. Kata kalian kedua orang
tua itu tinggal sendirian di sana?"
"Dalam hari-hari Natal ini mereka akan kedatangan dua orang tamu," kata Dick.
"Dua orang seniman. Julian kepingin datang ke sana dan mengobrol dengan mereka.
Julian pandai menggambar."
"O ya?" kata Pak Guru Roland. "Kalau begitu, ia harus menunjukkan beberapa hasil
lukisannya padaku. Tapi kurasa lebih baik kau jangan mengganggu kedua seniman
yang menginap di rumah pertanian. Mungkin mereka tak suka dikunjungi orang."
Kata Pak Guru Roland itu membuat Julian menjadi keras kepala. Dibulatkannya
tekat untuk pergi ke sana dan mengobrol dengan kedua seniman itu, begitu ia
mendapat kesempatan! Pesiar mereka sore itu bisa dikatakan menyenangkan. Hanya sayangnya George tak
banyak bicara, sedang Tim tak mau dekat-dekat dengan Pak Guru. Ketika mereka
sampai di suatu telaga yang beku airnya, Dick melemparkan ranting-ranting ke
tengah telaga dan kemudian menyuruh Tim mengambilnya. Anak-anak tertawa gelakgelak melihat anjing itu lari terpeleset-peleset di atas es yang licin!
Keempat anak itu silih berganti melemparkan ranting. Dan semua ranting diambil
oleh Tim. Cuma yang dilemparkan oleh Pak Guru Roland saja yang tidak mau
diambilnya. Ketika guru pembimbing itu melemparkan sebatang ranting, Tim hanya
memandang sebentar. Sudah itu tak mau peduli lagi. Seolah-olah ia hendak
mengatakan, "Apa, tongkatmu" Aku tak sudi mengambilnya!"
"Sekarang kita pulang ke rumah," ujar Pak Guru Roland. Ia merasa jengkel pada
Tim, tetapi tak dinampakkannya. "Kita akan datang bertepatan waktunya dengan
saat minum teh!" VI BELAJAR DENGAN PAK GURU KEESOKAN harinya anak-anak agak murung.
Mereka harus belajar. Uah - menjengkelkan sekali, hari belajar dalam liburan!
Tetapi Pak Guru Roland tak begitu keras sikapnya. Malam sebelumnya orang itu tak
menemani anak-anak di ruang duduk, karena ia mengobrol dengan Paman Quentin.
Karenanya George dan ketiga saudara sepupunya sempat mengeluarkan kain linen
yang mengandung rahasia, dan berusaha menyelidiki rahasia itu.
Tetapi usaha mereka sia-sia belaka. Tak ada yang berhasil menyibakkannya barang
sedikit. Jalan Rahasia" Apakah yang dimaksudkan dengan perkataan itu" Apakah
tanda-tanda di atas kain linen tua itu memang benar-benar merupakan petunjukpetunjuk tentang suatu Jalan Rahasia" Kalau betul, lalu di mana jalannya" Dan
mengapa dirahasiakan" Mereka tak berhasil memecahkan pertanyaan-pertanyaan itu.
Benar-benar menjengkelkan!
"Kurasa tak lama lagi kita akan terpaksa meminta tolong," ujar Julian sambil
mengeluh. "Aku sudah tak tahan menghadapi rahasia ini untuk lebih lama lagi.
Pikiranku terus-menerus ke situ saja."
Malam sebelumnya Julian bahkan memimpikannya. Tetapi saat itu ada soal lain yang
lebih penting. Mereka akan belajar, dengan bimbingan seorang guru. Julian ingin
tahu, mata pelajaran apa yang akan pertama-tama dibahas bersama Pak Guru Roland.
Mungkin saja bahasa Latin. Kalau begitu, akan bisa ditanyakannya arti kata 'VIA
OCCULTA'. Pak Guru sudah melihat semua rapor mereka, dan mencatat dalam mata pelajaran
yang mana saja anak-anak lemah. Satu di antaranya adalah bahasa Latin, sedang
yang lain bahasa Perancis. Angka rapor Dick dan George sama-sama jelek untuk mata pelajaran Matematika. Jadi mereka harus menerima
bimbingan dalam belajar Matematika. Sedang Julian paling lemah dalam mata
pelajaran Ilmu Ukur. Anne sebenarnya tidak memerlukan bimbingan.
"Tapi kau akan kuberi tugas menggambar," ujar Pak Guru dengan pandangan mata
jenaka. Ia senang pada Anne, karena anak itu tidak rewel dan perengut seperti
George. Anne tidak suka merajuk!
Anne senang menggambar. "O ya," katanya bergembira, "saya senang jika disuruh menggambar. Saya bisa
menggambar bunga, Pak. Saya akan menggambar beberapa bunga berwarna biru dan
merah." "Kita akan mulai pukul setengah sepuluh," kata Pak Guru. "Kita akan bekerja di
kamar duduk. Bawa buku-buku sekolah kalian ke sana, dan harap datang tepat pada
waktunya." Jadi pukul setengah sepuluh anak-anak sudah siap menunggu. Mereka duduk
mengelilingi meja, menghadapi buku-buku pelajaran. Anne berbekal cat air dengan
kuas dan airnya sekaligus. Saudara-saudaranya memandang dengan iri. Beruntung
benar Anne! Ia boleh menggambar, sementara mereka harus memeras otak mempelajari
hal yang sulit-sulit seperti Latin dan Matematika!
"Mana Tim?" tanya Julian setengah berbisik. Mereka sedang menunggu Pak Guru
masuk ke ruangan. "Di bawah meja," kata George dengan suara menantang. "Aku tahu pasti, ia takkan
bergerak-gerak di situ. Jangan bilang pada Pak Guru bahwa Tim ada di bawah meja.
Aku ingin ia ada di dekatku. Kalau Tim tak boleh di sini, aku tak mau belajar!"
"Kenapa dia tak boleh ada di sini bersama kita?" kata Dick. "Dia kan tidak
bandel! Sst! Diam - Pak Guru datang!"
Guru pembimbing datang. Janggutnya yang hitam lebat kelihatan menyeramkan pagi
itu. Matanya menyorot tajam. Sinar matahari musim dingin yang pucat menerangi
kamar itu. Anak-anak disuruhnya duduk kembali.
"Mula-mula aku ingin melihat buku latihan kalian dulu," katanya. "Aku kepingin
tahu sampai di mana pelajaran kalian selama masa sekolah yang lalu. Kau dulu,
Julian." Tidak lama kemudian kelas yang kecil itu sudah sibuk belajar. Anne asyik
menggambar bunga-bunga, berwarna biru dan merah. Pak Guru Roland sangat
mengagumi kepandaiannya. Menurut perasaan Anne, Pak Guru baik sekali.
Tiba-tiba dari bawah meja terdengar suara desahan nyaring. Rupanya Tim sudah
bosan disuruh berbaring diam-diam. Pak Guru mengangkat kepalanya. Ia kaget
mendengar suara aneh itu. Seketika itu juga George mengeluh dalam-dalam, sambil
berharap mudah-mudahan Pak Guru akan mengira dialah yang mendesah tadi.
"Kau kedengarannya sudah capek, Georgina," ujar Pak Guru. "Pukul sebelas nanti
kita akan beristirahat sebentar."
Kening George berkerut. Ia benci jika disapa dengan nama Georgina. Dengan hatihati diletakkannya kaki ke badan anjingnya, untuk memperingatkan agar jangan
bersuara lagi. Tim menurut. Anak-anak melanjutkan belajar.
Beberapa waktu kemudian, ketika anak-anak sedang asyik-asyiknya belajar, tibatiba Tim merasa punggungnya sangat gatal. Ia kepingin menggaruk-garuk punggung.
Tim bangkit sebentar, lalu merebahkan diri dengan keras dan sambil mendengus.
Tim mulai menggaruk-garuk badannya. Anak-anak mulai berisik, untuk mengalahkan
keributan yang sedang terjadi di bawah meja.
George mengetuk-ketukkan sepatu ke lantai. Julian terbatuk-batuk. Disenggolnya
sebuah buku pelajarannya, sehingga terjatuh. Dick menggoyang-goyang meja, lalu
mengajak Pak Guru berbicara.
"Waduh, soal hitungan ini sukar sekali. Sungguh, sukar sekali! Saya sudah
membuatnya berulang-ulang, tapi masih tetap saja tidak cocok."
"Kenapa kalian tiba-tiba menjadi ribut?" tanya Pak Guru dengan heran. "Georgina,
jangan mengetuk-ketuk lantai."
Untung saja saat itu Tim berhenti menggaruk. Anak-anak menarik napas lega.
Mereka tenang kembali. Pak Guru menyuruh Dick datang membawa buku Matematikanya.
Pak Guru menerima buku yang disodorkan padanya, lalu menyandarkan punggung ke
kursi agar lebih leluasa duduk sambil menerangkan. Kakinya diluruskan ke bawah
meja. Tahu-tahu kakinya menyentuh suatu benda yang empuk dan hangat - dan detik
berikutnya pergelangan kakinya digigit! Pak Guru mengaduh kesakitan. Ditariknya
kaki cepat-cepat dari bawah meja.
Anak-anak menatapnya. Pak Guru membungkuk, lalu melihat ke bawah meja.
"Anjing itu rupanya," katanya mendongkol. "Pergelangan kakiku digigitnya.
Celanaku bolong sebagai akibatnya. Ayoh, keluarkan anjingmu itu, Georgina."
Georgina diam saja, seolah-olah tak mendengar. Ia bernama George!
"Kalau dipanggil dengan nama Georgina, ia tak mau menjawab," kata Julian
mengingatkan. "Dengan nama apa pun aku menyapa, ia harus menjawab," ujar Pak Guru Roland
dengan suara berat karena marah. "Aku tak mau anjing itu ada di sini. Kalau kau
tak mengeluarkannya saat ini juga, Georgina - aku akan melaporkan pada ayahmu."
George memandang Pak Guru. Ia tahu dengan pasti, bahwa jika Tim tidak dibawa ke
luar, dan Pak Guru pergi melaporkan pada Ayah, maka Ayah akan menyuruh Tim
tinggal dalam kandang anjing di kebun. Dan hal itu sama sekali tak diingininya!
Jadi baginya tak ada jalan lain, kecuali menurut. George bangkit dengan muka
merah dan kening berkerut. Mukanya masam sekali.
"Ayoh, Tim - kita ke luar! Aku sama sekali tak heran, bahwa kau tadi
menggigitnya. Kalau aku ini anjing, aku juga akan melakukannya."
"Kau tak perlu bersikap kurang ajar, Georgina," ujar Pak Guru dengan marah.
Anak-anak yang lain memandang George dengan kaget. Mereka tak mengira ia akan
berani berkata begitu. Rupanya kalau George sedang marah, sikapnya lantas kasar
sekali. Tak peduli siapa yang dihadapi!
"Kalau anjing itu sudah kaukeluarkan, cepat kembali ke sini," ujar Pak Guru
lagi. George merengut, tetapi beberapa menit kemudian ia sudah kembali. Ia merasa
terjepit. Ayahnya ramah terhadap Pak Guru, dan ia juga tahu watak George yang
sulit. Jadi apabila ia membangkang, maka yang menderita nanti Tim. George merasa
sudah sepatutnya ia bersikap melawan terhadap guru pembimbing yang tak
disukainya itu. Tetapi sebagai akibatnya, nanti Tim akan diusir ke luar rumah.
Karena itu demi kepentingan Tim, George menuruti kehendak Pak Guru Roland.
Tetapi sejak saat itu ia juga membenci orang itu.
Ketiga saudara sepupunya merasa kasihan terhadap George dan Tim. Tetapi mereka
tak membenci guru pembimbing, seperti George. Guru itu kocak. Mereka sering
tertawa dibuatnya. Orangnya juga sabar, jika mereka membuat kesalahan sewaktu
belajar. Tetapi ia tidak hanya membimbing dalam pelajaran saja. Ia juga mau
mengajari cara membuat panah kertas dan kapal-kapalan, serta memamerkan
permainan sulap yang lucu-lucu. Julian dan Dick menyukai pertunjukan-pertunjukan
itu. Mereka mengingat-ingatnya, agar bisa dipamerkan pada teman-teman kalau
mereka sudah kembali ke sekolah nanti.
Sehabis belajar pagi itu, anak-anak bermain selama setengah jam di luar.
Matahari bersinar, tetapi hawa tetap dingin. George memanggil Tim.
"Tim yang malang!" ujarnya. "Kasihan, kau harus keluar dari kamar! Tapi kenapa


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaugigit pergelangan kaki Pak Guru" Aku sebenarnya setuju dengan perbuatanmu tapi aku tak tahu kenapa kau sampai berbuat begitu!"
"George, dengan Pak Guru ini kau tidak bisa main-main," kata Julian
memperingatkan. "Kau akan mengalami kerepotan saja sebagai akibatnya. Orangnya
tegas. Ia tak mau dipermain-mainkan. Tetapi kalau kita ramah padanya, kurasa dia
bisa baik hati." "Yah, kalau begitu silakan saja kau ramah padanya," kata George agak mengejek.
"Aku sendiri tak mau. Kalau aku tak senang pada seseorang, aku tak mau ramah
padanya. Dan aku tak senang pada Pak Guru Roland."
"Kenapa" Apakah karena dia tak senang pada Tim?" tanya Dick.
"Sebagian besar memang itulah sebabnya - tapi juga karena aku kesal melihatnya,"
jawab George. "Aku tak suka melihat bentuk mulutnya yang jahat."
"Tapi kau kan tak bisa melihatnya," bantah Julian. "Mulutnya tak nampak di balik
kumis dan janggut lebat."
"Aku pernah melihat bentuk bibirnya," kata George mengotot. "Tipis dan kejam
bentuknya! Kau lihat saja sendiri. Aku tak suka pada orang berbibir tipis,
karena mereka pendengki dan berhati batu. Dan aku juga tak senang melihat
matanya yang tak ramah. Kalau kalian mau menjilat, silakan. Aku tak sudi!"
Julian menyabarkan diri ketika mendengar kata-kata anak perempuan yang keras
kepala itu. Ia tertawa. "Kami bukan hendak menjilat," katanya, "Kami hanya memakai akal sehat belaka.
Dan kau juga harus begitu, George."
Tetapi kalau George sudah sekali menentukan sikap, tak bisa diubah lagi. Ia
sudah bertekad akan tetap membenci guru pembimbing. Tetapi ia gembira lagi
ketika mendengar bahwa mereka semua akan naik bis untuk belanja barang-barang
keperluan Natal. Dan Pak Guru Roland tidak ikut! Ia hendak melihat suatu
percobaan ilmiah yang akan ditunjukkan Paman Quentin padanya.
"Kalian akan kuajak ke kota yang terdekat," kata Bibi Fanny pada keempat anak
itu. "Di sana kalian akan bisa berbelanja sepuas-puas hati. Sudah itu kita akan
minum teh dan jajan di sebuah restoran, lalu pulang lagi dengan bis pukul enam
sore." Acara mereka sangat mengasyikkan! Mereka berangkat dengan bis siang hari. Bis
itu berjalan tergoncang-goncang lewat jalan-jalan kampung sampai ke kota. Di
sana toko-toko kelihatan sangat meriah dan terang dengan lampu-lampu berwarnawarni. Anak-anak berbekal uang simpanan mereka. Keempat-empatnya sibuk sekali,
berbelanja macam-macam. Banyak sekali orang yang harus dihadiahi!
"Kurasa kita juga perlu membeli sesuatu sebagai hadiah untuk Pak Guru Roland,"
kata Julian. "Aku memang sudah berniat," ujar Anne. "Aku akan membelikan rokok satu bungkus
untuknya. Aku tahu merek rokok yang diisapnya."
"Waduh! Kau membelikan hadiah untuk Pak Guru!" ujar George sambil mencibir.
"Kenapa tidak boleh, George?" ujar ibunya dengan heran. "Ya ampun, kuharap kau
mau bersikap wajar terhadapnya, dan tidak sangat membenci orang malang itu. Aku
tak mengingini kemungkinan bahwa dia akan mengadukan kelakuanmu pada Ayah."
"Apa yang akan kaubelikan untuk Tim, George?" tanya Julian. Ia cepat-cepat
mengalihkan pembicaraan dari persoalan yang rumit itu.
"Tulang terbesar yang ada di tukang daging," jawab George. "Dan kau, apa yang
akan kaubelikan untuknya?"
"Kurasa kalau Tim mempunyai uang, pasti kita semua akan dibelikannya hadiah,"
kata Anne sambil mengelus-elus bulu leher Tim yang tebal. "Dia memang anjing
yang paling baik di dunia!"
George dengan segera memaafkan kata-kata Anne tentang niatnya hendak membelikan
hadiah bagi Pak Guru Roland, karena anak itu mengatakan bahwa Tim anjing yang
paling baik di dunia. Ia tak merajuk lagi, lalu mulai menceritakan niatnya
membeli hadiah-hadiah untuk setiap orang.
Sehabis berbelanja, mereka minum teh dan makan kue di sebuah restoran. Kemudian
mereka berangkat pulang naik bis pukul enam sore. Sesampai di rumah, Bibi Fanny
pergi melihat apakah juru masak telah menyediakan teh beserta hidangannya bagi
Paman dan Pak Guru. Bibi keluar dari ruang kerja dengan wajah berseri-seri.
"Wah, belum pernah kulihat Paman seriang sekarang," katanya pada Julian dan
Dick. "Kelihatannya ia cocok sekali dengan Tuan Roland. Bermacam-macam percobaan
dipamerkannya pada guru pembimbing kalian. Menyenangkan baginya, ada orang yang
bisa diajak bicara tentang bidang penyelidikannya."
Malam itu Pak Guru mengajak anak-anak melakukan bermacam-macam permainan. Tim
ada dalam ruangan di mana mereka sedang sibuk bercengkerama itu. Pak Guru
mencoba beramah-tamah dengannya, tetapi anjing itu tetap tak mau mempedulikan.
"Wah, perajuknya sama seperti tuannya!" ujarnya. Sambil tertawa ia memandang
George. Anak itu sedang memperhatikan betapa Tim tak mau mempedulikan guru
pembimbing mereka. George kelihatannya agak senang memandang sikap Tim.
Sewaktu diajak bicara oleh Pak Guru, George hanya membalas dengan pandangan
masam. "Bagaimana pendapatmu - apakah kita tanyakan saja padanya apakah 'VIA OCCULTA'
memang berarti 'Jalan Rahasia"'" tanya Julian pada Dick, sewaktu mereka sedang
berganti pakaian malam itu sebelum masuk ke tempat tidur. "Aku ingin tahu,
apakah artinya memang begitu. He, bagaimana pendapatmu tentang Pak Guru, Dick?"
"Entahlah," jawab Dick. "Banyak hal mengenai dirinya kusenangi - tapi tiba-tiba
saja aku lantas tak senang padanya. Aku tak senang melihat matanya. Dan kata
George mengenai bibirnya, ternyata memang benar! Bibirnya sangat tipis, nyaris
tak ada." "Menurut pendapatku, dia itu baik," kata Julian.
"Ia cuma tak suka dipermainkan. Aku sendiri tak berkeberatan untuk menunjukkan
kain tua kita, dan meminta padanya agar menafsirkan makna tanda-tanda yang
tertera di situ." "Kusangka kau dulu mengatakan kita akan tetap menyimpannya sebagai rahasia,"
kata Dick mengingatkan. "Aku tahu - tapi apa gunanya rahasia, jika kita sendiri tak mengetahui
maknanya?" balas Julian. "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan! Kita menanyakan
makna kata-kata itu padanya, dengan tidak menunjukkan kainnya."
"Tapi beberapa di antara kata-kata itu sama sekali tak bisa kita baca," kata
Dick. "Jadi percuma saja! Kita terpaksa menunjukkan kain itu padanya, dan
menceritakan di mana kita menemukannya."
"Kita lihat sajalah nanti," ujar Julian sambil naik ke tempat tidur.
Keesokan harinya mereka belajar lagi, mulai pukul setengah sepuluh sampai
setengah satu siang. George datang, dengan tidak mengajak Tim. Ia merasa jengkel karena terpaksa
menuruti kehendak Pak Guru. Tetapi ia juga merasa tak ada gunanya bersikap
menantang, dan menolak ikut belajar kalau Tim tak diperbolehkan masuk ke dalam
ruang belajar. Tim sudah jelas berbuat salah, karena menggigit Pak Guru, Jadi
Pak Guru memang berhak melarang Tim ikut ke dalam kelas. Tetapi walau begitu,
George tetap merajuk. Dalam pembahasan pelajaran bahasa Latin, Julian memakai kesempatan baik itu
menanyakan hal yang sangat ingin diketahuinya selama itu.
"Pak, bolehkah saya bertanya sedikit?" tanyanya. "Apakah arti 'VIA OCCULTA"'"
"'VIA OCCULTA'?" kata Pak Guru Roland, keningnya berkerut. "Artinya 'Lorong
rahasia', atau 'Jalan rahasia'. Pokoknya suatu jalan yang tersembunyi. Kenapa
kau menanyakannya?" Anak-anak menajamkan telinga. Hati mereka berdebar-debar. Ternyata tebakan
Julian benar! Kain linen tua itu ternyata memang mengandung petunjuk-petunjuk
dari suatu jalan atau lorong rahasia. Tetapi jalan ke mana" Di mana awal, dan di
mana ujungnya" "Ah - saya kepingin tahu begitu saja," jawab Julian mengelakkan, "Terima kasih,
Pak." Ia mengejapkan mata ke arah saudara-saudaranya. Ia juga merasa tegang, seperti
saudara-saudaranya. Asal mereka berhasil menguraikan makna tanda-tanda
selebihnya, mereka akan bisa memecahkan rahasia itu. Yah! Mungkin dalam sehari
dua hari nanti, ia akan terpaksa bertanya pada Pak Guru Roland. Pokoknya,
rahasia harus dipecahkan!
"Jalan rahasia," gumam Julian pada dirinya sendiri, sambil sibuk membuat soal
Ilmu Ukur, "Jalan Rahasia! Biar bagaimana, aku akan menemukannya."
VII PETUNJUK JALAN RAHASIA BEBERAPA hari berikutnya anak-anak tak banyak waktu untuk mengingat-ingat Jalan
Rahasia. Perayaan Natal sudah di ambang pintu, dan banyak sekali yang harus
dilakukan untuk menyongsongnya.
Mereka harus menggambar dan mewarnai kartu-kartu Natal untuk orangtua masingmasing serta teman-teman. Rumah masih harus dihiasi. Mereka ke luar bersama Pak
Guru Roland, untuk mencari ranting-ranting holly, yaitu semacam tumbuhan yang
selalu berdaun hijau, dan buahnya merah bergugus-gugus. Bahkan di musim dingin
Gelang Kemala 9 Mrs Mcginty Sudah Mati Mrs Mcgintys Dead Karya Agatha Christie Misteri Pulau Neraka 4

Cari Blog Ini