Lima Sekawan 05 Berkelana Bagian 1
FIVE GO OFF IN A CARAVAN by Enid Blyton LIMA SEKAWAN BERKELANA Alihbahasa: Agus Setiadi Penerbit: PT Gramedia Cetakan kelima: November 1982
Bab 1 LIBUR PANJANG "AKU paling senang, kalau awal liburan musim panas," kata Julian. "Rasanya
selalu masih lama sekali, seperti tak habis-habisnya hari libur."
"Mula-mula hari-hari libur itu lewat dengan lambat," sambut Anne. "Tetapi
kemudian makin lama makin cepat. Akhirnya seperti balapan saja."
Yang lain-lain tertawa. Mereka tahu apa yang dimaksudkan adik Julian itu. Bahkan
Timmy pun ikut memberikan komentarnya. Tapi karena anjing, tidak bisa tertawa.
Karena itu Timmy hanya menggonggong saja. George menepuk-nepuk anjingnya,
diikuti oleh Dick. Keempat remaja itu sedang berbaring-baring di atas rumput sebuah kebun,
menikmati kehangatan sinar matahari. Saat itu baru minggu pertama masa liburan
musim panas. Biasanya kalau sekolah libur mereka selalu ke rumah Georgina di
Kirrin. Tapi sekali ini tidak. Sekarang Georgina yang ikut Julian, Dick dan Anne
ke rumah mereka. Julian yang paling tua dari mereka berempat. Anaknya jangkung, berbadan tegap
dengan paras gagah tapi ramah. Urutan berikutnya Dick dan Georgina. Georgina
sebetulnya anak perempuan, tapi tingkah lakunya seperti anak laki-laki.
Rambutnya yang ikal dipotong pendek, seperti laki-laki. Ia tidak mau dipanggil
Georgina, lebih suka jika disebut George. Bahkan para guru di sekolahnya juga
menyapanya dengan George. Lalu yang paling muda, Anne. Ia selalu merasa dianggap
anak bawang. Karena itu ia gembira sekali ketika tubuhnya mulai memanjang.
"Kata Ayah tadi pagi, kita bisa memilih mau apa, jika tidak kepingin di sini
terus selama liburan," kata Anne. "Kalau aku, lebih baik di sini saja terus."
"Tidak ada salahnya, jika kita bepergian ke tempat lain selama dua minggu
misalnya," kata Dick. "Supaya jangan bosan."
"Bagaimana kalau ke Kirrin, tinggal bersama orang tua George selama beberapa
waktu?" usul Julian, karena mengira George mungkin kepingin. Tapi sangkaannya
keliru. "Ah tidak!" kata anak itu dengan segera. "Liburan pertengahan semester lalu aku
sudah pulang. Dan waktu itu kata Ibu, Ayah baru saja mulai dengan eksperimen.
Entah eksperimen apa - tapi pokoknya kalian tahu sendiri apa artinya kalau
begitu. Kalau kita ke sana, kita akan harus berjalan berjingkat-jingkat, ngomong
bisik-bisik, jangan sampai ayahku sampai merasa terganggu pekerjaannya."
"Itulah tidak enaknya jika punya ayah sarjana," kata Dick. Ia berbaring
menelentang. Matanya terpejam, menahan silau. "Yah, ibumu pun tidak bisa
sekaligus mengurus kita dan ayahmu yang sedang sibuk-sibuknya bereksperimen.
Pasti nanti akan ribut."
"Aku senang pada Paman Quentin," kata Anne. "Tapi kalau ia sedang marah-marah,
aku takut padanya. Habis, kalau marah suka berteriak-teriak."
"Dengan begitu sudah pasti kita tidak ke Kirrin," kata Julian sambil menguap
lebar-lebar. "Setidak-tidaknya, selama masa liburan ini. Kau bisa saja
mendatangi ibumu untuk seminggu, George, jika kau ingin pulang. Jadi apa yang
akan kita lakukan sekarang" Di sini terus sampai akhir masa liburan?"
Sekarang keempat-empatnya berbaring menelentang, dengan mata tertutup. Panas
sekali siang itu! Timmy duduk tegak di sisi George. Lidahnya yang merah terjulur
ke luar. Napasnya terengah-engah.
"Jangan begitu, Tim," kata Anne melarang. "Kau kedengarannya seperti habis lari
jauh. Aku rasanya jadi semakin kepanasan saja."
"Sebetulnya asyik juga, apabila kita boleh bepergian sendiri," kata George. Ia
menggigit-gigit sebatang rumput, sambil memicingkan mata menatap langit biru.
"Misalnya paling asyik ketika kita sendirian pergi ke Pulau Kirrin. Tidak
bisakah kita sekarang bepergian lagi sendiri?"
"Tapi ke mana?" tanya Dick. "Dan dengan apa" Maksudku, kita belum cukup umur
untuk menyupir mobil sendiri - walau berani bertaruh aku pasti bisa. Naik sepeda
tidak begitu asyik, karena Anne tidak akan mampu menyamai kecepatan kita."
"Dan pasti nanti ada saja yang bannya bocor," kata Julian.
"Kalau bisa melancong naik kuda, tentu akan menyenangkan," kata George lagi.
"Cuma payahnya, seekor kuda saja kita tidak punya."
"Siapa bilang"!" bantah Dick. "Kan ada Dobby, yang sedang merumput di lapangan.
Dobby kan kita punya. Dulunya dipakai untuk menarik kereta kami. Tapi karena
kami sekarang tak pernah mempergunakan kereta lagi, ia dibiarkan saja merumput."
"Konyol! Seekor kuda mana bisa ditunggangi oleh kita berempat sekaligus," kata
George. Mereka terdiam. Masing-masing asyik termenung memikirkan liburan itu. Timmy
iseng, mencoba menyambar seekor lalat lewat. Gigi anjing itu beradu dengan suara
nyaring. "Aku kepingin bisa menangkap lalat seperti Timmy," kata Dick sambil mengusir
seekor lalat hijau. "Tangkapkan yang seekor ini, Tim!"
"Bagaimana dengan hiking?" kata Julian, setelah beberapa saat lamanya terdiam.
Ia mengajak melancong sambil jalan kaki. Terdengar suara tiga orang anak
mengerang serempak. "Apa" Jalan kaki" Pada saat udara sepanas ini" Kau edan!"
"Mudah-mudahan tidak diijinkan!"
"Ya deh, ya deh," kata Julian mengalah. "Kalau begitu cari sendiri gagasan yang
lebih baik." "Aku ingin pergi ke suatu tempat di mana kita bisa mandi-mandi," kata Anne.
"Umpamanya saja ke sebuah danau jika kita tidak bisa pergi ke laut."
"Asyik juga gagasanmu itu," sambut Dick. "Aduh, mengantuk sekali rasanya. Ayolah
cepat-cepat saja kita selesaikan urusan ini sebelum aku tertidur."
Tapi urusan itu tidak bisa diselesaikan dengan mudah. Tak ada yang kepingin
menginap di hotel atau di penginapan. Pasti nanti ada orang dewasa yang ikut
untuk mengawasi mereka. Dan dalam cuaca sepanas saat itu, juga tak ada yang
kepingin melancong jalan kaki atau bersepeda. Cuaca masa libur panjang dalam
bulan Agustus, biasanya memang panas.
"Kalau begitu kelihatannya kita akan harus terus saja di rumah selama liburan
ini," kata Julian. "Yah - aku kepingin tidur-tiduran sebentar."
Dua menit kemudian mereka semua sudah tertidur di rumput. Cuma Timmy saja yang
tetap bangun. Anjing itu merasa berkewajiban menjaga tuan-tuannya yang sedang
tidur. Ia duduk dengan telinga ditegakkan dan mata bersinar-sinar. Napasnya
sudah terengah-engah lagi tapi sekali itu tak ada yang mendengarnya. Keempat
remaja kita tidur lelap berselimut cahaya matahari yang panas. Warna kulit
mereka semakin coklat. Kebun di mana mereka berada, terletak di lereng sebuah bukit. Dari tempatnya
duduk, Tim bisa memandang jauh sekali ke dua arah jalan yang terbentang di depan
rumah. Jalan itu lebar, tapi tak begitu ramai karena orang tua ketiga sepupu
George tinggal di daerah luaran.
Tim mendengar anjing menggonggong di kejauhan. Telinganya bergerak-gerak ke arah
suara itu. Kemudian bergerak lagi karena mendengar orang-orang di jalan. Setiap
bunyi tertangkap oleh pendengarannya yang tajam. Juga seekor burung murai, yang
terbang menyambar ulat yang sedang merayap di dahan sebuah semak, tak jauh dari
situ. Tim menggeram. Bukan karena marah, tapi untuk memperingatkan burung itu
agar jangan berisik! Tiba-tiba sekujur tubuh Tim bergetar. Hidungnya mengendus-endus berbagai bau
aneh yang datang dari arah jalan besar. Dilihatnya arak-arakan panjang, disertai
bunyi bising roda-roda berputar. Arak-arakan itu bergerak pelan sekali didului
oleh sesuatu yang sangat aneh.
Tim tak tahu, makhluk apa itu. Sebenarnya cuma seekor gajah - tapi Tim memang
belum pernah melihat gajah. Ia mencium baunya yang keras. Ia tak senang mencium
bau itu. Ia juga mencium bau monyet-monyet yang terkurung dalam kandang-kandang
beroda, dan didengarnya gonggongan anjing-anjing.
Tim merasa ditantang, dan langsung menjawab dengan suaranya yang galak. Tapi
gonggongannya cuma berakibatkan kemarahan tuannya saja.
"Diam, Tim!" bentak George, karena merasa terganggu tidurnya. Tapi Tim tak mau
diam. Kaki depannya menggaruk-garuk George, memaksanya duduk. Dan George
terduduk. Begitu ia melihat arak-arakan yang datang, seketika itu juga ia
berseru keras, "Hei, bangun! Ada rombongan sirkus lewat. Lihatlah!"
Ketiga saudara sepupunya terbangun dengan seketika. Mereka memperhatikan iringiringan kereta yang bergerak pelan. Terdengar suara nyaring seekor binatang,
disusul oleh gonggongan anjing.
"Coba lihat gajah itu," kata Anne. "Sendirian saja menarik kereta yang besar.
Pasti kuat sekali tenaganya."
"Yuk, kita nonton dari tepi pagar," ajak Dick. Mereka bergegas menuruni kebun,
mengitari rumah, lalu lari menuju ke jalan raya. Saat itu arak-arakan lewat di
depan rumah. Asyik sekali pemandangan saat itu. Kereta-kereta dicat berwarna-warna menyolok,
kelihatannya bersih sekali. Tirai-tirai kecil berkembang-kembang tergantung di
jendela. Laki-laki atau wanita yang mendiami masing-masing kereta, duduk di
bagian depan keretanya. Mereka memegang tali kendali kuda yang menarik kereta.
Hanya kereta paling depan saja yang ditarik seekor gajah. Selebihnya, semua
ditarik kuda. "Aduh, asyik sekali kelihatannya," kata George. "Aku kepingin jadi anggota
sirkus, yang sepanjang tahun kerjanya berkeliling terus ke mana-mana. Hidup
seperti begitu yang paling kusenangi."
"Mana mungkin kau diterima dalam sirkus," kata Dick mengejek saudara sepupunya.
"Jumpalitan seperti roda saja tidak bisa!"
"Seperti apa itu?" tanya Anne.
"Itu, seperti yang sedang dilakukan anak itu," kata Dick. Ia menunjuk seorang
anak yang sedang berjumpalitan cepat sekali, berputar-putar seperti roda. Cepat
sekali kaki dan tangannya bergerak, baru saja menyentuh tanah langsung terayun
kembali ke udara. Kelihatannya mudah saja, tetapi sebenarnya sama sekali tidak!
Dick tahu betul, berjumpalitan seperti yang dipamerkan anak dari sirkus itu
memerlukan latihan yang tidak sedikit.
"Aku kepingin bisa seperti dia," kata Anne terkagum-kagum. Anak yang dikaguminya
datang mendekat, lalu meringis. Dua ekor anjing terrier menyertainya. Tim mulai
menggeram. George cepat-cepat memegang kalungnya.
"Jangan terlalu mendekat," seru George. "Tim tidak begitu percaya!"
"Kami takkan menyakiti dia," kata anak itu sambil meringis lagi. Mukanya jelek,
penuh bintik-bintik coklat. Rambutnya gondrong acak-acakan. "Takkan kubiarkan
anjing-anjingku memakan habis Timmy-mu itu."
"Ah, seperti biasa saja!" tukas George mencemooh. Tapi kemudian ia tertawa.
Kedua ekor anjing terrier itu terus membuntuti tuan mereka. Anak itu mendecakkan
lidah dan dengan segera kedua pengikutnya mengangkat kaki depan. Mereka
melangkah di belakangnya, dengan langkah-langkah pendek dan kocak.
"Wah! Mereka ikut main juga dalam sirkus?" tanya Anne. "Mereka punyamu?"
"Ya, yang dua ini punyaku," jawab anak itu. "Yang ini namanya Barker, dan yang
itu Growler. Aku memelihara mereka sejak masih kecil sekali. Mereka pintarpintar!" Rupanya anak itu memberi nama pada kedua anjingnya menurut kebiasaan
mereka, karena Barker senang menggonggong dan Growler selalu menggeram.
Tim menggonggong pelan. Kedengarannya seperti kesal dan tak suka melihat ada
anjing-anjing berjalan dengan cara yang begitu aneh. Tak pernah terpikir
olehnya, ada anjing yang bisa berjalan dengan kaki belakang saja.
"Di mana pertunjukan kalian yang berikut?" tanya George penuh ingin tahu. "Kami
ingin menonton." "Kami sekarang mau istirahat dulu," kata anak itu. "Ke atas bukit yang di
lembahnya ada danau. Kami diberi ijin untuk singgah dan berkemah di situ bersama
binatang-binatang kami. Tempat itu tidak didiami orang, jadi takkan ada yang
akan merasa terganggu. Kami akan berkemah di sana dengan caravan-caravan kami."
Yang dimaksudkannya dengan 'caravan' adalah kereta-kereta yang sedang bergerak
beriring-iring di depan mereka. Caravan kelihatannya seperti gerbong kereta api.
Rombongan sirkus selalu memakainya untuk tempat tinggal para anggotanya, karena
dengan caravan mereka bisa mudah berpindah-pindah tempat.
"Kedengarannya mengasyikkan," kata Dick. "Caravanmu yang mana?"
"Itu, yang sekarang sedang ke mari," kata yang ditanya sambil menunjuk sebuah
kereta dengan cat serba menyolok. Sisi-sisinya berwarna biru dan kuning, sedang
roda-rodanya merah semua. "Aku tinggal di situ bersama Paman Dan. Dia kepala
pelawak rombongan sirkus kami. Itu dia, yang duduk di depan memegang tali
kendali kuda penghela."
Anak-anak memperhatikan orang, yang kata anak itu kepala pelawak. Menurut
perasaan mereka, belum pernah mereka melihat orang yang tampangnya sama sekali
tak menyerupai pelawak. Orang itu memakai celana panjang flanel kelabu yang
kotor, serta kemeja kotor berwarna merah. Kancing paling atas terlepas,
menampakkan leher yang juga kotor.
Kalau melihat tampangnya, anak-anak merasa ia takkan bisa menceritakan lelucon,
atau berbuat sesuatu yang jenaka. Nampaknya seperti seseorang yang cepat marah!
Ia merengut sambil menggigit tangkai pipa tua. Anne ketakutan melihatnya. Tapi
orang itu sama sekali tidak memandang ke arah Anne beserta saudara-saudaranya.
Ia memanggil anak yang tadi berjumpalitan.
"Nobby!" serunya dengan suara tajam. "Ayo masuk ke dalam, bikinkan aku teh!"
Anak yang dipanggil Nobby itu mengedipkan mata ke arah anak-anak, lalu lari ke
caravan. Terasa jelas bahwa Paman Dan sangat mengekangnya. Nobby menjulurkan
kepala dari jendela yang kecil di caravan lalu berkata,
"Sayang aku tak bisa mengundang kalian minum teh. Dan anjing kalian itu - Baker
dan Growler kepingin sekali berkenalan dengannya."
Caravan itu bergerak terus, dengan pelawak yang cemberut serta Nobby yang selalu
meringis di atasnya. Anak-anak memperhatikan kereta-kereta selanjutnya lewat.
Rupanya sirkus yang sedang lalu di depan hidung mereka itu tergolong sirkus
besar. Mereka melihat kandang-kandang berisi monyet, seekor simpanse yang sedang
tidur sambil duduk di pojok sebuah kandang gelap, serombongan kuda yang langsing
dan berkilat-kilat bulunya, lalu sebuah wagon besar yang mengangkut bangkubangku berbagai bentuk serta tenda-tenda, lalu caravan-caravan tempat tinggal
para anggota sirkus, serta banyak sekali orang-orang yang serba menarik
kelihatannya. Mereka duduk-duduk di tangga caravan masing-masing, atau berjalan
seiring dengan arak-arakan untuk melemaskan otot-otot kaki yang terasa kaku
karena kebanyakan duduk. Akhirnya rombongan sirkus itu berlalu. Dengan langkah pelan anak-anak kembali ke
tempat mereka yang tadi di kebun. Sesampai di situ mereka merebahkan diri - tapi
langsung terduduk tegak ketika mendengar ucapan George.
"Aku tahu, apa yang bisa kita lakukan dalam liburan ini! Kita menyewa sebuah
caravan, lalu melancong dengannya. Kita sendiri saja!"
Bab 2 GAGASAN GEORGE KETIGA saudara sepupunya menatap wajah George yang berseri-seri.
"Wah, bagus sekali gagasanmu itu! Kenapa tak terpikir sedari tadi?"
"O ya, melancong sendiri dengan caravan! Asyiiik!" seru Anne girang. Begitu
girang perasaannya, sehingga mukanya menjadi merah. Matanya bersinar-sinar.
"Itu memang belum pernah kita lakukan," kata Julian. Dalam hati ia bertanyatanya, mungkinkah mereka melakukannya. "He - pasti akan menyenangkan jika kita
bisa berkelana dengannya ke bukit-bukit - yang ada danaunya, seperti dikatakan
anak tadi! Kita bisa mandi-mandi di situ, dan barangkali saja kita akan bisa
berkenalan dengan orang-orang sirkus. Aku sedari dulu sudah ingin mengenal
seluk-beluk kehidupan sirkus."
"Wah, Julian! Gagasanmu itu lebih hebat lagi," kata George sambil menggosokgosokkan kedua telapak tangannya. "Aku senang melihat anak yang bernama Nobby
itu. Kalian?" "Ya," kata ketiga sepupunya serempak.
"Tapi aku tak suka pada pamannya," kata Dick. "Kelihatannya jahat! Aku berani
taruhan, Nobby pasti selalu dipaksa untuk menuruti kemauannya."
"Julian, kaurasa mungkinkah kita akan diijinkan bepergian sendiri dengan
caravan?" tanya Anne bersungguh-sungguh. "Menurut perasaanku, itulah gagasan
kita yang paling hebat sampai sekarang."
"Yah - kita bisa saja menanyakannya," jawab Julian. "Bagaimanapun, aku sudah
cukup besar. Jadi sudah bisa mengawasi kalian."
"Huhh!" kata George. "Aku tak perlu dijaga, seperti anak kecil saja! Lagipula,
kalau kita memerlukan penjagaan, kan ada Tim. Tanggung ayah dan ibumu akan
senang jika kita tak ada di sini untuk seminggu atau dua. Bagi mereka, liburan
musim panas rasanya selalu terlalu lama."
"Dobby bisa kita bawa, untuk menarik caravan!" kata Anne sekonyong-konyong.
Selama itu ia memandang ke lapangan, di mana Dobby sedang merumput sambil
mengibas-ngibaskan ekor mengusir lalat yang mengganggu. "Pasti kuda kita itu
akan senang. Aku selalu merasa bahwa dia kesepian, karena harus hidup sendiri di
Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lapangan, hanya sekali-sekali bisa pergi apabila dipinjam orang."
"Tentu saja - Dobby bisa kita bawa," kata Dick. "Jadi soal itu beres. Tapi
caravannya, kita peroleh dari mana" Mudahkah caranya menyewa sebuah caravan?"
"Entah," kata Julian. "Di sekolah aku punya kenalan - kau pasti ingat padanya,
Dick, anak bertubuh besar yang namanya Perry - setiap liburan ia biasa melancong
dengan caravan bersama orang tuanya. Aku tahu, mereka menyewa caravan yang
mereka pakai. Aku bisa menanyakan padanya, pada siapa mereka menyewanya."
"Ayah pasti tahu," kata Anne. "Atau Ibu! Hal-hal seperti itu, biasanya diketahui
orang-orang dewasa. Aku kepingin caravan bagus yang besar - berwarna merah dan
biru - dengan sebuah cerobong asap yang kecil, serta jendela-jendela di sisi
kiri dan kanan, pintu di belakang, lalu tangga untuk naik ke dalam, lalu..."
Yang lain-lain memotong karena juga ingin mengetengahkan keinginan masingmasing. Tak lama kemudian semuanya sudah ribut berbicara. Begitu ributnya,
sehingga tak sadar bahwa ada orang datang. Orang itu berdiri dekat mereka. Ia
tertawa mendengar mereka berebut-rebut bicara.
Timmy menggonggong sopan. Pada saat itu, cuma dia saja yang ada perhatian pada
hal-hal lain. Mendengar gonggongannya, anak-anak menoleh.
"Ah, Ibu," kata Julian. "Ibu datang tepat pada waktunya. Kami ingin menceritakan
suatu gagasan yang baru saja timbul."
Ibunya tersenyum, lalu duduk.
"Kalian kedengarannya begitu bersemangat," katanya. "Gagasan apa itu?"
"Begini soalnya, Bu," kata Anne sebelum saudara-saudaranya sempat membuka mulut.
"Kami sudah sependapat, ingin melancong sendiri dalam liburan ini. Dengan
caravan! Aduh Bu - pasti asyik!"
"Kalian sendiri saja?" kata ibunya agak ragu. "Yah, aku tak tahu - "
"Julian kan bisa menjaga kami," kata Anne.
"Dan Timmy juga," sambung George, sementara Tim memukul-mukulkan ekor ke tanah.
Tentu saja dia akan menjaga anak-anak! Bukankah itu sudah dilakukannya sejak
bertahun-tahun. Pokoknya beres!
"Aku harus membicarakannya dulu dengan Ayah," kata Ibu. "Jangan kecewa dulu soal begini tidak bisa kuputuskan sendiri secara tergesa-gesa. Tapi mungkin saja
bisa, karena aku tahu Ayah harus pergi ke Utara untuk beberapa waktu. Dan ia
ingin aku ikut! Jadi bisa saja ia akan berpendapat melancong dengan caravan
merupakan gagasan baik. Aku akan berunding dengannya nanti malam."
"Dobby akan bisa kami pakai untuk menarik caravan," kata Anne dengan mata
bersinar-sinar. "Bisa kan, Bu" Pasti dia akan senang, karena kehidupannya saat
ini sangat membosankan baginya."
"Kita lihat saja nanti," kata Ibu sambil bangkit. "Nah, sekarang kalian
sebaiknya mandi dulu. Sebentar lagi saat minum teh."
Orang Inggris mempunyai kebiasaan tradisional, yang dalam bahasa mereka disebut
tea time, atau secara singkat tea. Meski artinya memang minum teh, tapi bukan
seperti kita minum teh pada waktu sore. Pada saat tea, dihidangkan makanan! Jadi
untuk mereka, saat minum teh merupakan waktu makan sore Mereka sukar sekali
meninggalkan tradisi ini. Biar apa juga yang sedang dikerjakan, pada saat tea
mereka istirahat sebentar untuk menikmatinya.
Ibu memandang Anne, lalu berkata lagi,
"Aduh, rambutmu kenapa begitu acak-acakan, Anne" Apa yang kauperbuat tadi"
Jungkir balik di tanah?"
Anak-anak bergegas masuk ke rumah, untuk membersihkan badan. Mereka merasa
gembira. Ibu tadi tidak mengatakan TIDAK. Ia bahkan merasa, mungkin saja bisa.
Mereka sudah membayangkan keasyikan melancong sendiri dengan caravan. Memasak
dan mencuci sendiri, ditemani Dobby dan Timmy. Alangkah indahnya!
Ayah anak-anak pulang malam sekali. Menjengkelkan, karena mereka tak tahan lagi
menunggu keputusan boleh tidaknya mereka bercaravan sendiri. Ketika Ayah
akhirnya pulang juga, tinggal Julian yang masih belum berada di tempat tidur.
Tapi ketika berangkat tidur, masih belum ada yang bisa dilaporkan olehnya.
Kepala Julian muncul di celah pintu yang dibuka sedikit olehnya.
"Ayah capek. Saat ini ia sedang makan, dan Ibu tak mau mengganggunya sampai ia
sudah merasa lebih enak sedikit. Karena itu baru besok kita bisa mengetahuinya.
Sial!" George dan Anne mengeluh. Bagaimana mereka bisa tidur, kalau pikiran penuh
dengan ingatan indah pada caravan - tanpa mengetahui apakah mereka akan
diijinkan melancong sendiri atau tidak!
"Sialan!" kata George. "Aku pasti takkan bisa tidur malam ini."
Tapi ketika mereka bangun, kabar baik sudah menunggu. Sekali itu tepat pada
waktunya mereka muncul di meja makan untuk sarapan. Julian memandang ibunya,
matanya penuh harap. Ibu tersenyum, lalu menganggukkan kepala.
"Ya, kami telah merundingkannya," kata Ibu. "Kata Ayah, ia tidak melihat alasan
untuk melarang kalian melancong dengan caravan. Menurut pendapatnya, ada baiknya
jika kalian bepergian dan mengurus diri sendiri selama beberapa waktu. Tapi
kalian memerlukan dua caravan, bukan cuma satu saja. Satu caravan akan terlalu
sempit untuk kalian berempat. Ditambah lagi Timmy!"
"Tapi Dobby takkan kuat menarik dua caravan, Bu," kata Anne cemas.
"Kita bisa saja meminjam seekor kuda lagi," kata Julian. "Bukankah begitu, Bu"
Terima kasih, Ayah, karena telah baik hati mau mengijinkan kami pergi."
"Betul!" kata Dick yang selalu tak mau kalah.
"Hebat!" seru George. "Kapan kami boleh berangkat" Besok?"
"Tentu saja tidak!" kata Julian. "Caravan-caravannya masih harus datang dulu!
Kita juga masih harus meminjam kuda, lalu berkemas-kemas. Pokoknya masih banyak
yang harus diurus!" "Minggu depan kalian bisa berangkat pada saat aku berangkat ke Utara bersama
Ibu," kata Ayah. "Tapi setiap hari kalian harus mengirim surat, menceritakan
keadaan kalian serta di mana kalian sedang berada saat itu."
"Kedengarannya asyik sekali," kata Anne. "Aku rasanya tak lapar kali ini, Bu."
"Wah, jika begitu pengaruh melancong dengan caravan terhadap dirimu, kurasa
lebih baik kau tidak ikut saja," kata ibunya. Tanpa disuruh dua kali, Anne
segera menghabiskan bubur gandumnya. Seketika itu juga selera makannya timbul
kembali. Tapi pikirannya masih tetap terpaku pada acara pelancongan yang akan
datang. Benar-benar menyenangkan melancong dengan dua caravan yang ditarik dua
ekor kuda, tidur mungkin di atas bangku, lalu memasak di uar - dan....
"Kau yang nanti memegang tanggung jawab sepenuhnya," kata Ayah pada anaknya yang
tertua. "Mengerti, Julian" Sekarang kau sudah cukup besar, jadi sudah bisa
benar-benar bertanggung jawab. Yang lain harus tahu kau yang memimpin, dan
mereka harus menuruti kata-katamu."
"Ya, Ayah," jawab Julian. Ia merasa bangga. "Akan kujaga agar semuanya beres."
Semuanya serba menggembirakan pada saat itu. Begitu mereka selesai sarapan,
anak-anak langsung pergi untuk membicarakannya sesama mereka.
"Kuusulkan, kita pergi dengan caravan ke bukit-bukit yang dikatakan anak itu,
yang ada danau di lembahnya," kata Julian. "Di sana kita berkemah. Kita tidak
akan sendiri di sana, karena orang-orang sirkus juga istirahat di tempat itu.
Tapi kita jangan terlalu dekat dengan perkemahan mereka, karena mungkin saja
mereka tak suka jika ada orang lain mengganggu. Pokoknya asal cukup dekat
sehingga bisa melihat gajah berjalan-jalan setiap hari, serta anjing-anjing
sedang berlatih...."
"Dan kita akan bersahabat dengan Nobby," sambung Anne. "Aku suka pada anak itu.
Tapi kita jangan dekat-dekat dengan pamannya. Menurut perasaanku, aneh jika
orang yang tampangnya selalu cemberut seperti dia itu bisa menjadi kepala
rombongan pelawak sirkus."
"Aku kepingin tahu, kapan dan di mana Ibu akan menyewa caravan," kata Julian.
"Wah, pasti asyik apabila caravan-caravan itu tiba di sini."
"Yuk, kita ceritakan pada Dobby!" kata Anne. "Pasti dia juga akan ikut gembira!"
"Konyol, mana dia bisa mengerti!" kata George. Tapi walau begitu ia ikut juga
dengan Anne. Tak lama kemudian Dobby diberitahukan tentang rencana pelancongan
mereka. Brrr, dengus kuda itu. Ia merasa gembira, karena akan diajak berjalanjalan. Bab 3 CARAVAN-CARAVAN DATANG AKHIRNYA tiba juga saatnya kedua caravan yang dipesan datang. Berjam-jam lamanya
keempat anak itu berdiri menunggu di pinggir jalan.
Ternyata Ibu meminjam dari seorang kenalan lamanya. Anak-anak berjanji untuk
merawat dengan cermat, serta menjaga agar tidak ada yang rusak. Dan kini mereka
berdiri di depan rumah, tak sabar lagi menunggu kedatangan kedua caravan itu.
"Caravan sekarang ditarik dengan mobil," kata Julian. "Tapi masih bisa juga
ditarik kuda. Aku ingin tahu bagaimana bentuknya, dan apa warnanya."
"Mungkinkah seperti kereta kuda orang-orang Cigana yang rodanya besar-besar?"
tanya Anne. Yang dimaksudkannya suku pengembara yang banyak berkelana di
Inggris, daratan Eropa dan juga di Amerika Utara. Orang Cigana asal-usulnya dari
India. Julian menggeleng. "Ah, tidak! Kata Ibu, kita akan dipinjami caravan-caravan yang modern. Serba
lengkap peralatannya. Dan juga tidak terlalu besar, karena seekor kuda takkan
kuat menghela kereta yang terlalu berat."
"Mereka datang, mereka datang! Aku sudah bisa melihatnya!" seru George dengan
tiba-tiba, sehingga ketiga saudaranya terlonjak karena kaget. "Lihatlah, itu kan
yang kelihatan di sana?"
Mereka semua menajamkan mata, menatap ke kejauhan. Tapi mata mereka tak setajam
George, jadi yang nampak cuma sebuah bintik bergerak. Tapi George bisa mengenali
dua buah caravan yang berjalan beriringan.
"George betul," kata Julian sambil terpicing matanya. "Itu caravan-caravan kita,
masing-masing ditarik sebuah mobil kecil."
"Satu merah, dan yang satu lagi hijau," kata Anne. "Cup, aku memilih yang merah.
Ayo, cepatlah sedikit!"
Akhirnya kedua kendaraan itu sudah cukup dekat, sehingga bisa dilihat jelas.
Anak-anak berlarian menyongsong. Kelihatannya bagus sekali! Modern dan langsing
potongannya. Pasti enak tinggal di situ!
"Lantainya rendah sekali, nyaris menyentuh tanah!" kata Anne. "Dan lihat rodarodanya, begitu rapi terpasang di sisi. Aku paling senang yang merah. Cup! Aku
pilih yang merah!" Kedua caravan itu masing-masing diperlengkapi dengan sebuah cerobong asap kecil,
jendela empat persegi panjang di kedua sisinya, serta satu jendela lagi
berukuran kecil di sebelah depan. Di bagian belakang ada pintu yang lebar dengan
dua anak tangga untuk turun. Tirai-tirai kecil yang bagus berkibar di jendela
yang terbuka. "Caravan yang hijau bertirai merah, sedang yang merah bertirai hijau!" kata Anne
lagi. "Aduh, aku kepingin melihat-lihat sebelah dalamnya."
Tapi ia tidak bisa masuk, karena pintu terkunci. Jadi ia hanya bisa ikut-ikutan
dengan saudara-saudaranya yang berlari-lari mengikuti kedua caravan itu yang
menuju ke rumah. Sambil berlari Anne berseru-seru,
"Ibu! Ibu! Caravan-caravan sudah datang!"
Ibu bergegas menuruni tangga rumah, karena ingin melihat. Beberapa saat kemudian
pintu-pintu caravan sudah dibuka. Dengan segera anak-anak masuk ke dalam.
Terdengar seruan-seruan gembira dari sebelah dalam kedua caravan itu.
"Di satu sisinya ada pembaringan - di situkah kita tidur nanti. Wah, asyik!"
"Lihatlah bak cuci yang kecil ini - kita akan bisa mencuci piring di sini. He!
Air mengucur dari keran-kerannya."
"Dan juga ada kompor sungguhan untuk masak. Tapi aku lebih senang jika kita
memasak di luar saja dengan api unggun. He! Coba lihat tempat-tempat
penggorengan ini - begitu mengkilat! Dan cangkir-cangkir serta piringnya juga
tersedia." "Kelihatannya seperti rumah sungguhan, tapi kecil. Di sini lapang, ya" Ibu,
susunannya bagus sekali ya! Ibu tidak kepingin ikut dengan kami?"
"He - kalian tahu airnya datang dari mana" Dari tangki yang terpasang di bawah
atap itu. Rupanya tempat menampung air hujan. Dan lihat alat pemanas air ini.
Hebat ya!" Lama sekali keempat remaja itu sibuk meneliti kedua caravan untuk mengetahui
semua kehebatannya. Kedua-duanya baik sekali perlengkapannya, bersih serta
sangat lapang. George sudah tidak sabar lagi, ingin segera berangkat.
"Tidak, kita masih harus menunggu kuda yang satu lagi," kata Julian menyabarkan.
"Baru besok datangnya."
Kuda yang satu lagi bernama Trotter - Penderap. Badannya kecil berbulu hitam.
Pemiliknya tukang susu. Kuda itu sering dipinjamkannya pada orang lain. Anakanak kenal baik dengan Trotter. Mereka suka padanya, karena kuda itu penurut. Di
sekolah anak-anak diajar cara menunggang kuda serta merawatnya. Jadi mereka
takkan mengalami kesulitan mengurus Dobby dan Trotter.
Ibu juga senang sekali melihat caravan-caravan itu. Ia memandang dengan tatapan
mata kepingin. "Kalau aku tidak kebetulan akan pergi dengan Ayah, sebetulnya mau saja aku ikut
dengan kalian," katanya. "Kau tak perlu kaget, Anne - aku takkan ikut."
"Kita benar-benar mujur, bisa memperoleh caravan-caravan sebaik ini," kata
Julian. "Sebaiknya kami hari ini langsung saja berkemas, ya Bu - karena caravancaravan sudah datang. Dan besok berangkat!"
"Kalian tak perlu berkemas," kata Ibu. "Cukup masukkan saja barang-barang ke
dalam lemari dan laci-laci. Yang kalian perlukan cuma pakaian, serta buku-buku
dan beberapa permainan. Siapa tahu, mungkin saja hujan turun selama pelancongan
kalian." "Pakaian yang perlu kami bawa kan cuma pakaian tidur saja, ya?" kata George.
Anak yang satu ini jika diijinkan, bisa saja setiap hari mengenakan pakaian yang
itu-itu saja. Baju kaos dan celana pendek.
"Kalian perlu membawa baju kaos yang cukup banyak, serta masing-masing satu
celana pendek lagi. Siapa tahu kehujanan! Lalu mantel hujan, pakaian berenang,
handuk, sepasang sepatu lagi, pakaian tidur, serta beberapa potong kemeja
tipis," kata Ibu. Anak-anak mengeluh.
"Aduh, banyak sekali!" kata Dick. "Tak ada tempat untuk pakaian sebanyak itu."
"Tentu saja ada!" bantah ibunya. "Kalian menyesal nanti jika pakaian yang dibawa
terlalu sedikit. Bisa saja kalian basah kuyup, lalu tak ada pakaian lain yang
bisa dipakai. Lalu terserang pilek, sehingga tidak bisa menikmati liburan yang
begini indah!" "Yuk, kita ambil barang-barang itu," ajak Dick. "Kalau Ibu sudah mulai bicara
tentang pilek, kita tidak tahu Ibu akan menyuruh kita membawa apa lagi. Masih
ada lagi yang lain, Bu?"
"Anak bandel!" kata Ibu. Tapi ia tersenyum. "Ya, pergilah sana - kumpulkan
barang-barang yang perlu dibawa. Akan kutolong nanti memasukkannya ke dalam
lemari dan laci-laci. Hebat sekali - semuanya bisa dilipatkan rapat ke dinding
caravan! Rasanya untuk apa saja ada tempat. Lemari-lemarinya rata dengan
dinding, sehingga tidak kelihatan seperti lemari!"
"Aku akan mengurus supaya semuanya tetap bersih," kata Anne. "Ibu kan tahu, aku
senang bermain rumah-rumahan. Sekali ini aku akan mengurus rumah yang sungguhsungguh. Aku sendiri yang akan mengurus kebersihan kedua caravan ini."
"Kau sendiri"!" seru ibunya. "Ah, tentunya kedua abangmu akan ikut membantu sedang George dengan sendirinya harus melakukannya."
"Ah, anak laki-laki," kata Anne mencemoohkan kedua abangnya. "Mencuci dan
mengelap cangkir dengan benar saja mereka tak mampu! Dan George tak pernah
menyukai pekerjaan begitu. Jika aku tidak membereskan tempat tidur dan mencuci
piring dan gelas, pasti semua akan terbengkalai. Aku tahu pasti!"
"Yah, untunglah di antara kalian ada seorang yang bijaksana," kata Ibu. "Tapi
lihat saja nanti, pasti semua akan ikut bekerja, Anne. Sekarang ambil saja
barang-barang kalian. Pertama-tama bawa ke mari semua jas hujan."
Dengan gembira keempat anak-anak itu mengangkut barang-barang yang diperlukan ke
caravan serta mengemaskannya di situ. Dalam caravan ada rak untuk beberapa buku
serta alat-alat permainan. Karenanya Julian mengambil beberapa permainan kartu
dan permainan lain, serta empat atau lima buku. Kecuali itu diambilnya pula
beberapa peta daerah itu, karena ia berniat mengatur lebih dulu tujuan
pelancongan mereka. Hendak ditentukannya jalan-jalan terbaik yang akan dilalui.
Ayah memberinya sebuah buku kecil. Buku itu besar gunanya, karena di dalamnya
tertera tempat-tempat pertanian yang mau menerima pelancong bercaravan menginap
di ladang mereka. "Sebisa-bisanya kalian harus selalu memilih ladang yang ada airnya," kata Ayah,
"karena Dobby dan Trotter perlu minum."
"Jangan lupa memasak air minum," kata Ibu mengingatkan. "Itu penting sekali!
Usahakan untuk memperoleh susu sebanyak yang mau diberikan oleh para petani. Dan
jangan lupa, dalam tempat penyimpanan di bawah lantai caravan kedua sudah
kutaruh limun jahe."
"Asyik!" kata Anne, sambil melihat ke dalam tempat penyimpanan limun jahe itu.
"Rasanya sukar percaya, besok kami akan benar-benar berangkat."
Tapi mereka benar-benar akan berangkat besok, naik dua buah caravan yang akan
ditarik oleh Dobby dan Trotter. Bagi kedua ekor kuda itu, pelancongan pasti juga
akan menyenangkan sekali.
Tim tidak begitu mengerti apa sebabnya anak-anak begitu ribut dan bergairah.
Tapi walau begitu ia tentu saja tak mau ketinggalan! Sambil mengibas-ngibaskan
ekor, diperiksanya seluruh caravan dari ujung ke ujung. Ia menemukan selembar
Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hamparan. Ia senang pada baunya! Karena itu ia langsung berbaring di atasnya.
Seakan-akan hendak menyatakan, itu tempatnya. Jika anak-anak akan bepergian
dengan rumah aneh yang ditarik kuda ini, ia menuntut tempat khusus untuk dirinya
sendiri. "Kita di caravan yang merah, George," kata Anne. "Anak laki-laki bisa di yang
hijau. Mereka kan tak perduli terhadap warna - tapi aku senang pada warna merah.
Tentunya enak tidur di pembaringan itu. Kelihatannya nyaman sekali!"
Akhirnya tiba juga hari esok. Tukang susu datang membimbing seekor kuda kecil
berbulu hitam. Itulah Trotter! Julian menjemput Dobby dari lapangan. Kedua ekor
kuda itu saling mengendus, seakan-akan hendak berkenalan.
"Mereka pasti akan bersahabat," kata Anne. "Lihat saja, mereka saling mengendus.
Trotter, kau yang nanti menarik caravanku."
Kedua ekor kuda itu tegak dengan sabar, sementara tali kekang dipasang. Sekalisekali Dobby menyentakkan kepala ke atas, seolah-olah ingin cepat-cepat
berangkat. Kuda itu mengentak-ngentakkan kaki ke tanah.
"Aku juga sudah tidak sabar lagi, Dobby!" kata Anne. "Kau juga kan, Dick - dan
Julian?" "Terang dong," kata Dick sambil meringis lebar. "Ayo ke mari sedikit, Dobby nah, begitu yang baik! Julian, siapa nanti yang menjadi kusir" Kita saling
bergantian, ya?" "Kalau caravan kami, aku yang menjadi kusir," kata George tegas. "Anne pasti
tidak bisa melakukannya dengan baik, walau nanti sekali-sekali dia akan
kuperbolehkan juga. Mengendalikan kuda merupakan pekerjaan laki-laki."
"Kau kan cuma anak perempuan!" kata Anne jengkel. "Bukan laki-laki. Anak lakilaki saja juga bukan!"
George langsung cemberut. Ia kepingin menjadi anak laki-laki. Ia menganggap
dirinya sendiri laki-laki, dan paling tidak senang jika diingatkan bahwa
sebenarnya ia anak perempuan. Tapi pada pagi yang menggembirakan itu, bahkan
George yang suka merajuk itu pun tidak bisa lama-lama cemberut. Tak lama
kemudian ia sudah mencak-mencak lagi, tertawa-tawa dan berteriak seperti
saudara-saudaranya. "Siap! Kita sudah siap berangkat!"
"Ya! Kita berangkat saja sekarang! JULIAN! Goblok, dia malah masuk lagi ke
rumah, sementara kita sudah siap akan berangkat!"
"Dia cuma mau mengambil kue-kue yang dibuatkan untuk kita tadi pagi. Makanan
kita banyak dalam tempat penyimpanan. Wah, sekarang saja aku sudah lapar!"
"Ini dia Julian! Ayo cepat - kalau tidak kau kami tinggalkan. Selamat tinggal,
Bu! Kami berjanji akan mengirim surat setiap hari. Sungguh!"
Julian duduk di bangku yang ada di depan caravannya, yang berwarna hijau.
Didecakkannya lidah, menyuruh Dobby bergerak.
"Ayo jalan, Dobby! Kita berangkat. Selamat tinggal, Bu!"
Dick duduk di sampingnya. Anak bandel itu tertawa lebar, begitu bahagia
perasaannya saat itu. Kedua caravan beriringan bergerak menuju jalan besar.
George yang jadi kusir kereta kedua. Anne duduk di sampingnya. Anak itu
melambai-lambaikan tangan dengan bersemangat.
"Selamat tinggal, Bu! Akhirnya kami berangkat juga, memulai petualangan baru.
Hore! Hore! HOREEE!"
Bab 4 BERANGKAT KEDUA caravan itu bergerak dengan pelan, menyusur jalan yang lebar. Julian
merasa senang sekali. Ia menyanyi sekuat-kuat suaranya, ditimpali oleh saudarasaudaranya yang mengiringi dengan suara bersama. Tim menggonggong-gonggong.
Anjing itu duduk mendampingi George. Anak yang kelaki-lakian itu terjepit di
tengah, karena Anne duduk di sisinya yang satu lagi. Tapi soal-soal kecil
seperti itu tak terasa mengganggu pada hari yang demikian gemilang.
Dobby berjalan dengan langkah-langkah pelan. Kuda itu seolah-olah ikut menikmati
kehangatan sinar matahari, serta hembusan angin lembut yang menegakkan surainya.
Trotter menyusul tak jauh di belakang caravan pertama. Kuda itu rupanya sangat
tertarik pada Timmy. Setiap kali anjing itu menggonggong atau turun dari bangku
karena ingin lari-lari sebentar, Trotter pasti memalingkan kepalanya. Enak
rasanya melancong ditemani dua ekor kuda dan seekor anjing. Apalagi anjing
seperti Timmy! Anak-anak sudah sepakat, mereka akan menuju ke bukit-bukit. Di sana mereka
berharap akan berjumpa dengan rombongan sirkus. Julian sudah mencari tempat itu
di peta. Ia merasa yakin tempat itu benar, karena ada danau di lembah di
kakinya. "Lihatlah," katanya pada saudara-saudaranya sambil menunjuk. "Ini dia - Danau
Merran. Tanggung kita akan menjumpai rombongan sirkus berkemah di dekat-dekat
situ. Tempatnya baik sekali untuk binatang-binatang piaraan mereka - tak ada
orang lain yang mengganggu, air banyak untuk manusia maupun binatang. Dan
mungkin pula di situ ada tempat-tempat pertanian, di mana mereka bisa memperoleh
makanan." "Kita juga perlu mencari tempat pertanian yang baik malam ini," kata Dick. "Di
situ kita minta ijin agar diperbolehkan menginap. Untung kita mempunyai buku
kecil pemberian Ayah, sehingga bisa kita ketahui di mana sebaiknya bertanya."
Anne sudah asyik saja kalau mengingat malam nanti. Mereka akan berkemah di
ladang, memasak makanan, duduk-duduk di depan api unggun sampai terasa
mengantuk, lalu tidur dalam pembaringan yang sempit. Ia tidak tahu, mana yang
lebih menyenangkan baginya: menyusur jalan dengan caravan-caravan yang bergerak
pelan, atau bersiap-siap untuk bermalam di salah satu tempat. Tapi yang pasti,
liburan sekali itu yang paling asyik dan menyenangkan baginya!
"Kalau kamu bagaimana?" tanyanya pada George yang sedang sibuk menjadi kusir di
sampingnya. Saat itu Timmy sedang berlari-lari di sisi caravan, jadi tempat
duduk mereka agak lapang. "Kebanyakan liburan kita selama ini selalu penuh
petualangan! Memang, mengasyikkan sekali - tapi sekali-sekali aku kepingin juga
mengalami liburan biasa - yang tidak terlalu menegangkan."
"Ah, kalau aku senang mengalami petualangan," kata George. Digerak-gerakkannya
tali kendali, menyuruh Trotter menderap sebentar. "Aku tak berkeberatan, jika
kita mengalami petualangan lagi. Tapi kali ini kurasa takkan ada petualangan,
Anne. Rasanya tak mungkin!"
Pukul setengah satu siang mereka berhenti sebentar untuk makan. Perut mereka
sudah keroncongan! Dobby dan Trotter dilepaskan. Kedua ekor kuda itu menuju ke
sebuah parit kecil. Di situ tumbuh rumput yang tebal. Dengan segera kedua hewan
penghela caravan mereka sudah mengunyah-ngunyah rumput dengan nikmat.
Anak-anak berbaring di tepi jalan, sambil makan dan minum. Anne memperhatikan
saudara sepupunya. "Liburan sekali ini mukamu nampak lebih penuh bintik-bintik, George," katanya.
"Masa bodoh!" kata George. Anak itu tak pernah mempedulikan tampangnya. Ia
bahkan kesal terhadap rambutnya yang dianggap terlalu keriting, sehingga terlalu
kelihatan bahwa ia anak perempuan. "Kemarikan roti yang berisi tomat, Anne! Wah,
kalau kita terus-terusan lapar seperti sekarang, kita akan terpaksa membeli
telor, daging, susu dan mentega di setiap tempat pertanian yang kita lewati!"
Setelah kenyang, mereka berangkat lagi. Sekarang giliran Dick menjadi kusir.
Julian berjalan di sisi caravan mereka, melonggarkan otot-otot yang terasa agak
kaku. George masih ingin terus memegang tali-tali kendali Trotter. Tapi Anne
terlalu mengantuk, sehingga menganggap tidak aman jika duduk terus di depan.
"Jika mataku terpejam, pasti aku akan terjatuh," katanya. "Lebih baik aku masuk
saja ke dalam dan tidur sebentar."
Anne masuk sendiri. Ruangan di dalam sejuk dan remang-remang gelap. Anne naik ke
salah satu pembaringan yang ada di situ, lalu merebahkan diri di atasnya.
Matanya dipejamkan, dan tak lama kemudian ia sudah tidur pulas. Sementara itu
caravan terus berjalan. Julian mengintip sebentar ke dalam. Ia tertawa geli. Tim ingin ikut-ikut
melihat, tapi tak diperbolehkan. Julian khawatir Anne akan terbangun karena
terganggu oleh Timmy. "Lebih baik kau berjalan saja di sampingku, Tim," katanya. "Kau kelihatannya
mulai menjadi gendut. Perlu latihan jasmani!"
"Timmy tidak gendut," kata George terhina. "Bentuk badannya bagus. Jangan
dengarkan omongan Julian, Tim."
Timmy menggonggong seakan-akan ikut jengkel. Tapi ia toh berlari-lari
mendampingi Julian. Jauh juga perjalanan yang ditempuh kedua caravan pada hari itu, walau kedua ekor
kuda yang menghela tidak berjalan cepat Ternyata Julian sama sekali tak pernah
keliru memilih jalan. Ia pandai membaca peta. Anne kecewa karena menjelang sore
masih belum nampak bukit-bukit yang hendak didatangi.
"Wah, bukit-bukit itu masih jauh sekali. Berkilometer jauhnya dari sini!" kata
Julian. "Baru empat atau lima hari lagi kita akan tiba di sana. Konyol! Sekarang
kita harus mencari sebuah tempat pertanian di dekat-dekat sini. Tentunya ada
tempat di mana kita bisa minta ijin untuk menginap satu malam."
Dan mereka meneruskan perjalanan. Setelah beberapa menit, terdengar George
berkata, "Itu ada satu!"
George mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah bangunan beratap merah, nampak
terang disinari matahari sore. Dekat rumah ada lumbung-lumbung berlapis lumut.
Ayam berkeliaran di halaman, sambil berkotek-kotek. Dua ekor anjing berdiri
dekat pintu pagar, memperhatikan kedatangan mereka.
"Ya, itu dia!" kata Julian sambil memperhatikan peta. "Namanya Longman's Farm.
Tak jauh dari sini mestinya ada sebuah sungai kecil. Nah! Itu dia - di tengah
ladang. Sekarang kalau kita diijinkan menginap di sini, hebat!"
Julian mendatangi tempat itu, ingin bicara dulu dengan petani yang memilikinya.
Anne ikut, karena mau minta telor. Ternyata petani sedang tidak ada. Tapi
isterinya mengijinkan mereka berkemah malam itu di ladang, dekat sungai. Ia
senang melihat Julian yang jangkung dan bersikap sopan.
"Aku tahu kalian takkan mengotori tempat itu, atau menguber-nguber binatang,"
kata isteri petani. "Atau membiarkan pintu pagar terbuka, seperti pekemahpekemah yang tak tahu aturan. Dan kau tadi minta apa, Nak" O ya - telor segar.
Tentu saja boleh!" Sambil mengambil daging dari tempat penyimpanan, Anne mengatakan akan
menggorengkan daging dan telor untuk semuanya. Ia bangga, karena sudah bisa
memasak. Selama hari-hari terakhir ia sibuk belajar memasak, dan sudah tidak
sabar lagi menunggu kesempatan untuk memamerkan keahliannya itu.
Julian berpendapat dalam caravan terlalu panas untuk memasak. Karenanya
dibuatkannya api unggun untuk Anne di tengah ladang. Dick melepaskan tali kekang
Dobby dan Trotter. Kedua ekor kuda itu menuju ke sungai, langsung masuk sampai
lutut mereka terendam dalam air. Timmy tidak mau ketinggalan. Ia pun ikut masuk.
Ketiga binatang itu minum sepuas-puasnya.
"Wangi ya bau daging gorengku?" kata Anne pada George, yang sedang sibuk
mengambil piring dan mangkok dari caravan merah. "Minumnya limun jahe saja,
George. Aku haus sekali He! Kalian lihat - bagaimana aku meretakkan kulit telor
ini di pinggir mangkok! Isinya pasti tetap utuh, sehingga bisa kubuat telor mata
sapi yang bagus." Dipecahkannya telor dengan jalan membenturkannya ke tepi mangkok. Tapi sial,
isinya bukan masuk ke dalam - tapi tumpah di sebelah luarnya. Muka Anne merah
padam, sementara saudara-saudaranya tertawa terpingkal-pingkal.
Tanpa menunggu dipanggil lagi, Timmy langsung datang dan menjilat telor yang
tumpah itu sampai licin tandas.
"Kau ini pantasnya menjadi keranjang sampah saja, Tim," kata Anne. "Ini, kuberi
sisa daging sedikit."
Tapi ternyata Anne memang sudah pintar menggoreng daging dan telor. Saudarasaudaranya mengagumi, termasuk George. Mereka menyikat hidangan Anne sampai
piring nampak licin, karena sisa-sisa lemak yang menempel disapu dengan
potongan-potongan roti. Dengan begitu, piring-piring akan lebih gampang dicuci.
Sehabis makan mereka masih agak lama juga duduk-duduk mengelilingi api unggun.
Akhirnya Julian menganggap sudah waktunya bagi mereka untuk tidur. Tak ada yang
memprotes, karena semua kepingin mencoba tidur di pembaringan yang kelihatannya
empuk itu. "Sebaiknya aku mencuci badan di sungai, atau di bak tempatku mencuci piring
tadi?" tanya Anne. "Aku tak tahu, mana yang lebih enak."
"Di sungai, air lebih banyak," jawab Julian. "Ayo cepat sedikit! Aku masih harus
mengunci pintu caravan, supaya kalian bisa tidur dengan aman."
"Mengunci pintu!" kata George tersinggung. "Jangan coba-coba! Aku tak mau
dikunci dari luar. Siapa tahu, aku nanti ingin jalan-jalan di bawah sinar bulan,
atau perlu lainnya."
"Ya, tapi mungkin saja nanti ada gelandangan...." Baru saja Julian hendak
mengemukakan alasannya, langsung dipotong dengan nada meremehkan oleh George.
"Bagaimana dengan Timmy" Kau kan juga tahu, ia takkan membiarkan ada orang
mendekati caravan kita - apalagi masuk ke dalamnya! Aku tak mau dikunci dari
luar, Julian. Aku tak tahan terkurung! Dengan Timmy lebih aman daripada pintu
yang terkunci." "Kurasa betul juga," kata Julian. "Ya deh - kau tak perlu melotot lagi, George!
Kalau kepingin jalan-jalan di bawah terang bulan, silakan - tapi aku yakin malam
ini tak ada bulan. Huahh, rasanya mengantuk sekali!"
Setelah mencuci badan di sungai, mereka berempat masuk ke caravan. Mereka
berganti pakaian, lalu masuk ke pembaringan yang sudah menunggu. Di situ
tersedia selembar seperai untuk menutup tubuh, ditambah lagi dengan satu selimut
tipis serta satu selimut tebal. Tapi anak-anak melemparkan kedua lembar selimut
mereka ke lantai. Malam itu panas, jadi mereka menganggap sudah cukup jika tidur
dengan berselimutkan seperai tipis saja.
Mula-mula Anne mencoba tidur di pembaringan sebelah bawah, sedang George di
pembaringan atas. Tapi karena merasa terganggu oleh Timmy yang ingin ikut tidur
di pembaringan, mereka lantas bertukar tempat. Anne di atas, sedang George di
bawah. Setelah itu Timmy tidak mengganggu lagi. Anjing itu tidur di kaki
pembaringan George. Anne berbaring di tempat tidur sebelah atas. Ia mencoba menahan rasa mengantuk,
karena masih ingin menikmati perasaan berada dalam caravan yang berhenti dekat
sungai di tengah ladang. Terdengar suara burung hantu bersahut-sahutan. Tim menggeram pelan. Suara air
sungai kemercik terdengar jelas saat itu, begitu sunyinya malam di tempat itu.
Anne merasa kelopak matanya semakin berat, tak mampu ditahannya lagi agar tetap
terbuka. Tanpa terasa, ia terlelap.
Tapi sekonyong-konyong ada sesuatu yang menyebabkan ia terbangun dengan kaget.
Tim menggonggong keras sekali, sehingga Anne dan George nyaris jatuh dari
pembaringan karena ketakutan. Ternyata ada sesuatu membentur dinding caravan
mereka sehingga tergetar keras! Mungkinkah ada orang yang hendak mencoba masuk"
Timmy segera lari ke pintu yang dibiarkan terbuka sedikit oleh George karena
hawa di dalam panas sekali. Kemudian terdengar suara Dick dan Julian.
"Ada apa" Tunggu, kami datang!" Dick dan Julian berlari-lari di atas rumput yang
lembab karena embun. Julian menubruk sesuatu yang keras dan hangat. Ia terpekik.
Dengan segera Dick menyalakan senter. Begitu melihat benda yang menyebabkan
Julian berteriak kaget, Dick tertawa terpingkal-pingkal.
"Dobby yang kautubruk! Lihatlah, dia melotot memandangmu. Rupanya dia tadi yang
keluyuran di tengah malam gelap, lalu menubruk-nubruk dinding caravan. He!
Kalian yang di dalam tak perlu takut lagi - tadi itu cuma si Dobby saja!"
Mereka lantas tidur lagi. Mereka tidur sampai pagi. Ketika Trotter ikut-ikutan
keluyuran malam dan mengendus-endus sisi caravan, tak ada yang terbangun
karenanya. Bab 5 JALAN KE DANAU MERRAN MENURUT perasaan keempat remaja itu, selama tiga atau empat hari berikutnya
benar-benar sempurna. Langit biru, matahari bersinar cerah, di tepi jalan ada
sungai di mana mereka bisa mandi-mandi. Dan ke mana pun mereka pergi, selalu ada
dua rumah beroda yang mengiringi. Jauh sekali mereka sudah bepergian, melewati
jalan-jalan yang masih asing bagi mereka. Apa lagi yang masih kurang untuk empat
remaja yang melancong sendirian"
"Aku lebih senang berlibur seperti begini, dibandingkan dengan liburan-liburan
kita sebelumnya," kata Anne. Saat itu ia sedang sibuk memasak sesuatu dalam
panci. "Menarik, tanpa mengalami ketegangan! Dan walau Julian menyangka dialah
yang memimpin rombongan kita, sebenarnya aku yang menjadi kepala! Kalian takkan
pernah beres mengatur tempat tidur, atau memasak makanan, atau membersihkan
caravan. Untung saja ada aku!"
"Jangan menyombong!" kata George. Padahal ia agak merasa bersalah, karena memang
Anne yang melakukan sebagian besar dari tugas sehari-hari.
"Aku bukan menyombong!" kata Anne tersinggung. "Aku cuma menyatakan kebenaran.
Kau sendiri George, mana pernah sekali saja membereskan tempat tidurmu. Aku
bukannya keberatan - aku senang bisa mengurus dua rumah beroda."
"Kau memang pengurus rumah tangga yang baik," kata Julian memuji. "Kalau kau tak
ada, pasti kami tak mampu melakukannya."
Air muka Anne menjadi merah karena bangga. Diangkatnya panci dari api unggun,
lalu dituangkan isinya ke empat buah piring. "Ayo, cepat makan sementara masih
hangat."
Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suaranya memanggil saat itu persis seperti suara Ibu.
"Aku lebih suka makanan yang dingin," kata George. "Tapi rasanya tak mau dingindingin juga, walau hari sudah sore."
Mereka sudah empat hari dalam perjalanan. Anne sudah tidak lagi terus-terusan
menanyakan mana bukit-bukit tempat rombongan sirkus berkemah, karena masih belum
nampak juga. Dalam hati ia bahkan mengharap takkan menemukan bukit-bukit. Ia
sudah senang setiap hari menyusur daerah pedalaman yang begitu indah.
Sementara Anne dibantu George mencuci piring di sebuah selokan yang coklat
airnya, Julian mengambil peta. Ia menelitinya, diperhatikan oleh Dick.
"Kita sekarang kira-kira ada di sini," kata Julian sambil menunjuk satu tempat
tertentu di peta. "Kalau begitu, kelihatannya besok kita akan sudah sampai di
bukit-bukit yang ada danau di lembahnya. Jadi besok mungkin kita akan berjumpa
dengan rombongan sirkus."
"Bagus!" sambut Dick. "Mudah-mudahan saja Nobby ada di sana. Dia pasti senang
mengantarkan kita melihat-lihat. Mungkin pula akan bisa menunjukkan tempat
perkemahan yang baik untuk kita."
"Ah, itu bisa kita temukan sendiri," kata Julian. Ia saat itu merasa agak
bangga, karena tempat-tempat perkemahan yang dipilihnya ternyata selalu
menyenangkan. "Lagipula aku tak ingin terlalu dekat dengan sirkus, karena
mungkin baunya akan agak terlalu menusuk. Aku lebih senang di bukit, di atas
mereka. Nanti akan kita cari tempat yang indah pemandangannya."
"Betul," kata Dick, sementara Julian melipat petanya lagi. Kedua anak perempuan
kembali dengan perabot makan yang sudah tercuci bersih. Anne mengaturnya dengan
rapi di atas rak yang ada dalam caravan merah. Trotter yang senang berteman
dengan Timmy, mencari anjing itu. Mungkin hendak diajak bermain-main. Tapi Timmy
sedang berbaring di bawah caravan. Lidahnya terjulur.
Anjing itu tak mau keluar walau Trotter mengendus-endus dekatnya. Lalu Trotter
mencoba hendak menyusup ke kolong caravan. Tentu saja tidak bisa, karena
tubuhnya terlalu besar. Akhirnya kuda itu merebahkan diri di balik bayangan
caravan sedekat mungkin ke tempat Timmy berbaring kepanasan.
"Si Trotter itu kuda yang kocak," kata Dick. "Pantasnya ikut main dalam sirkus!
Kalian lihat bagaimana ia bermain kejar-kejaran dengan Timmy kemarin?"
Kata 'sirkus' mengingatkan keempat remaja itu pada Nobby dan rombongan sirkus.
Mereka mulai mengobrol dengan asyik tentang binatang-binatang yang ada di situ.
"Aku senang melihat gajah mereka," kata George. "Namanya siapa ya" Aku juga
kepingin memegang seekor monyet."
"Simpanse mereka pasti cerdik," kata Dick. "Aku ingin tahu, apa pendapat Timmy
tentang simpanse itu. Mudah-mudahan saja ia bisa bergaul dengan binatangbinatang di sana, terutama anjing-anjing mereka."
"Mudah-mudahan kita tidak akan terlalu sering ketemu dengan paman Nobby," kata
Anne. "Orangnya selalu cemberut, seolah-olah setiap orang yang berani membantah
akan langsung dipukulnya."
"Kalau aku pasti takkan dipukul olehnya," kata Julian. "Kita jauh-jauh saja dari
dia. Tampangnya memang tidak bisa dibilang ramah. Tapi mungkin saja dia takkan
ada di sana." "Timmy! Ayo keluar dari kolong!" panggil George. "Tempat kami duduk ini teduh
dan sejuk. Ke marilah!"
Anjing itu datang dengan terengah-engah. Dengan segera Trotter ikut bangkit dan
mendatangi anak-anak. Ketika Timmy berbaring, kuda itu pun ikut berbaring sambil
mendekatkan hidungnya pada sahabatnya. Timmy menjilat hidung kuda itu, lalu
memalingkan kepala. Kelihatannya seperti bosan.
"Trotter memang kocak," kata Anne. "Aku kepingin tahu bagaimana pendapat Timmy
tentang binatang-binatang yang di sirkus. Mudah-mudahan saja besok kita akan
berjumpa dengan mereka. Apakah kita akan pergi sampai ke bukit-bukit itu,
Julian" Aku tidak keberatan jika kita tidak ke sana - karena begini pun sudah
menyenangkan sekali."
Keesokan harinya keempat-empatnya menajamkan mata. Mencari-cari mana bukit yang
hendak didatangi, sementara kedua caravan bergerak terus dengan pelan menyusur
jalan kecil, ditarik oleh Trotter dan Dobby. Sorenya barulah bukit-bukit itu
nampak, samar-samar membiru di kejauhan.
"Itu bukit-bukitnya!" seru Julian. "Tentunya itulah Bukit-bukit Merran - sedang
Danau Merran terletak di kakinya. Mudah-mudahan saja kedua kuda kita cukup kuat
menarik caravan-caravan mendaki bukit. Kalau kita mendaki cukup tinggi, kita
akan bisa melihat pemandangan danau yang indah sekali."
Mereka meneruskan perjalanan, semakin dekat dengan bukit-bukit. Nampaknya
tinggi, indah kelihatannya disinari matahari sore. Julian memandang arlojinya.
"Kita tak punya waktu lagi untuk mendaki bukit-bukit itu lalu mencari tempat
berkemah untuk malam ini di sana," katanya agak menyesal. "Sebaiknya kita cari
tempat menginap tak jauh dari sini, lalu besok pagi melanjutkan perjalanan naik
bukit." Mereka sampai di sebuah tempat pertanian yang diapit sebuah sungai yang deras
airnya. Seperti biasa, Julian pergi untuk minta ijin berkemah dengan ditemani
Dick. Sementara itu Anne dan George mempersiapkan makan malam.
Julian dengan mudah mendapat ijin. Kemudian mereka berbelanja telor, daging,
susu dan mentega di tempat pertanian itu.
"Tahukah kamu, apakah ada sirkus berkemah di bukit-bukit sana?" tanya Julian
pada anak petani yang melayani mereka berbelanja, seorang anak perempuan lucu
bertubuh bundar. "Mestinya di dekat danau."
"O ya, mereka lewat di sini sekitar satu minggu yang lalu," kata anak perempuan
itu. "Mereka biasa berkemah di sana setiap tahun, untuk istirahat. Aku selalu
senang melihat iring-iringan mereka lewat. Di tempat sepi seperti di sini,
jarang nampak keramaian seperti itu. Tahun lalu ada singa-singanya! Malam-malam
terdengar jelas auman binatang-binatang itu. Seram! Nyaris keriting tulang
punggungku mendengarnya."
Dick dan Julian minta diri, lalu pergi sambil cekikikan. Mereka geli
membayangkan tulang punggung anak gendut itu nyaris 'keriting' karena auman
singa. "Wah, kelihatannya besok kita akan berjumpa dengan perkemahan rombongan sirkus,"
kata Julian. "Aku sendiri lebih senang berkemah di atas bukit. Kurasa udara di
atas lebih sejuk, karena ada angin bertiup di atas bukit."
"Mudah-mudahan tulang punggung kita tidak keriting mendengar suara binatangbinatang sirkus di malam hari," kata Dick sambil nyengir. "Sekarang tubuhku yang
seperti dipanggang matahari rasanya."
Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan, yang menurut keempat remaja itu
mudah-mudahan merupakan tahap terakhir. Mereka akan mencari tempat berkemah yang
nyaman di bukit, lalu tinggal di situ sampai saat mereka harus kembali ke rumah.
Julian selama itu tidak lupa mengirim kartu pos pada orang tuanya setiap hari,
untuk mengabarkan di mana mereka berada dan bahwa mereka sehat-sehat saja. Dari
anak perempuan yang di tempat pertanian diketahuinya alamat tepat daerah itu. Ia
berniat hendak menguruskan ke kantor pos terdekat agar menyimpankan surat-surat
yang datang untuk mereka. Selama itu tentu saja mereka tak bisa menerima surat,
karena selalu bergerak terus dengan caravan.
Dobby dan Trotter melangkah beriringan, menyusur jalan sempit yang menuju ke
bukit-bukit. Tiba-tiba George melihat sesuatu yang kelihatannya biru berkilatkilat di sela pepohonan. "Lihat! Itu danaunya! Danau Merran!" serunya. "Ayo, Ju, suruh Dobby berjalan
lebih cepat. Aku sudah kepingin sekali melihat danau itu dari dekat."
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah lapangan berumput. Lapangan itu
melandai ke bawah, sampai ke tepi sebuah danau besar. Airnya yang biru berkilatkilat disinari cahaya matahari musim panas.
"Aduh, bagus sekali danau itu," kata Dick. "Yuk, kita turun saja ke tepi danau!"
Saudara-saudaranya tak perlu diundang dua kali. Mereka bergegas masuk ke caravan
untuk mengganti pakaian dengan pakaian berenang. Tanpa sempat ingat untuk
membawa handuk, mereka berlarian ke tepi danau. Mereka sudah tak tahan lagi,
ingin cepat-cepat merendam diri dalam air yang sejuk.
Air di sebelah tepi terasa hangat. Tapi di tempat yang lebih dalam, sejuknya
menyegarkan tubuh. Keempat remaja itu sudah pandai berenang. Mereka berceburceburan, berteriak-teriak karena senang. Dasar danau berpasir, sehingga airnya
nampak jernih sekali. Ketika sudah capek berenang-renang, mereka menjemur tubuh di tebing pasir.
Dengan cepat tubuh mereka kering kembali. Begitu merasa terlalu kepanasan,
cepat-cepat mereka menceburkan diri kembali ke dalam air. Asyiiik!
"Enak sekali, setiap hari bisa mandi-mandi di sini!" kata Dick. "Lihatlah. Timmy
juga ikut asyik berenang-renang."
"Ya, dan Trotter juga ingin ikut masuk ke air," seru Julian. "Lihatlah! Caravan
ditariknya sampai ke tepi danau. Kalau tidak cepat-cepat kita tahan, pasti akan
masuk ke air!" Mereka memutuskan untuk piknik di tepi danau. Kuda-kuda dilepaskan, agar bisa
mandi jika kepingin. Tapi Dobby dan Trotter cuma ingin minum saja, lalu
merendamkan kaki sampai setinggi lutut dalam air.
"Mana perkemahan sirkus?" kata George tiba-tiba, ketika sedang mengunyah roti
berisi daging dan tomat. "Kenapa tidak kelihatan?"
Anak-anak memandang ke sekeliling danau yang luas itu. Akhirnya mata George yang
tajam melihat asap mengepul tipis ke udara, sekitar satu atau dua mil dari
tempat mereka. "Mestinya mereka berkemah di lembah sebelah sana, di kaki bukit," kata George.
"Kurasa jalan yang tadi menuju ke sana. Bagaimana jika menyusur jalan itu, lalu
naik ke bukit yang di belakangnya?"
"Setuju," kata Julian. "Masih banyak waktu kita untuk bicara dengan Nobby, lalu
mencari tempat berkemah yang baik sebelum malam tiba. Dan juga mencari tempat
pertanian, di mana kita bisa membeli makanan. Pasti Nobby nanti akan kaget
melihat kita!" Bab 6 PERKEMAHAN SIRKUS TAK LAMA kemudian mereka sudah bisa melihat perkemahan rombongan sirkus. Seperti
yang dikatakan George, perkemahan itu terletak di sebuah lembah yang nyaman di
kaki bukit. Tempat itu sepi, jauh dari tempat kediaman manusia. Di situ
binatang-binatang mereka bisa cukup leluasa bergerak, serta dilatih tanpa
mengalami gangguan. Caravan-caravan mereka diatur membentuk sebuah lingkaran besar. Di sana-sini
nampak tenda terpasang. Gajah yang besar diikatkan dengan seutas tali yang kuat
pada sebatang pohon yang kekar. Beberapa ekor anjing berlari kian ke mari,
sedang di sebuah lapangan luas dekat situ kelihatan sebaris kuda berbulu
mengkilat sedang dilatih berparade.
"Itu mereka!" seru Anne bergairah. Ia berdiri di bangku kusir, supaya bisa
melihat lebih jelas lagi. "Wah, simpansenya dilepas begitu saja! Ah, tidak! ada yang memegangnya, dengan tali. Bukankah itu Nobby?"
"Ya, betul! Asyik juga bisa jalan-jalan dengan simpanse seperti dia," kata
Julian. Anak-anak memperhatikan segalanya dengan penuh perhatian, sementara caravancaravan mereka bergerak semakin mendekati perkemahan sirkus. Pada sore yang
panas itu tak nampak banyak orang berkeliaran di situ. Ada Nobby dengan
simpanse, lalu sekitar dua atau tiga wanita sedang memasak di atas api unggun
yang kecil nyalanya. Cuma mereka itu saja yang kelihatan.
Anjing-anjing sirkus mulai ribut menggonggong, ketika kedua caravan yang hijau
dan merah mendekat. Beberapa orang laki-laki keluar dari tenda mereka, lalu
memandang ke jalan yang menuju ke perkemahan. Mereka menunjuk-nunjuk caravan
yang membawa anak-anak. Nampaknya mereka heran.
Nobby keluar dari perkemahan, sambil membimbing simpanse. Disongsongnya kedua
caravan itu, karena ingin tahu siapa yang datang. Julian menyapanya,
"Hai, Nobby! Kau pasti tak mengira akan berjumpa dengan kami di sini, ya?"
Nobby tercengang mendengar namanya disebut. Mula-mula ia tak mengenali kembali
keempat remaja yang datang. Tapi kemudian ia berseru girang,
"Astaga, kalian kan yang kulihat di tepi jalan beberapa waktu yang lalu! Apa
yang kalian lakukan di sini?"
Timmy mulai menggeram-geram. George berkata pada Nobby,
"Anjingku belum pernah melihat simpanse. Mungkinkah mereka bisa berteman?"
"Entah," jawab Nobby ragu-ragu. "Si Pongo ini senang pada anjing-anjing sirkus
sini. Pokoknya jaga baik-baik! Jangan sampai anjingmu menyerang Pongo, nanti dia
akan habis disikat! Simpanse kuat sekali, tahu!"
"Kaurasa, kalau aku bisakah berteman dengan Pongo?" tanya George. "Kalau
simpanse itu mau menyalami aku, Timmy nanti akan tahu bahwa aku teman Pongo.
Lalu dia takkan apa-apa lagi. Maukah Pongo berteman dengan aku?"
"Tentu saja dia mau!" jawab Nobby. "Pongo ini simpanse yang paling ramah - ya
kan, Pongo" Ayo, salaman dengan nona itu."
Anne sama sekali tak kepingin mendekati simpanse, tapi George sedikit pun tidak
merasa takut. Didekatinya binatang yang bertubuh besar itu sambil mengulurkan
tangan. Dengan segera simpanse itu menyambut tangannya, lalu mendekatkannya ke mulut. Ia
pura-pura hendak menggigit, tapi sambil bersuara ramah.
George tertawa. "Dia ramah sekali, ya?" katanya. "Timmy, ini Pongo. Dia teman. Pongo baik, Pongo
manis!" Ditepuk-tepuknya bahu Pongo untuk menunjukkan pada Timmy bahwa ia senang pada
simpanse itu. Dengan segera Pongo membalas, menepuk-nepuk bahu George sambil
nyengir ramah. Kemudian ditepuk-tepuknya pula kepala George, lalu ditariknya
seberkas rambutnya yang keriting.
Ekor Timmy mengibas-ngibas sedikit. Kelihatannya ia masih sangat ragu. Binatang
aneh apa itu, yang nampaknya sangat disenangi tuannya. Ia maju selangkah
mendekati Pongo. "Ayo Timmy, beri salam pada Pongo," suruh George. "Begini!" Disalaminya simpanse
itu sekali lagi. Tapi sekali itu Pongo tidak mau melepaskan tangan George,
melainkan digoncang-goncangnya terus. Seolah-olah lengan George dijadikannya
pompa air! "Ia tak mau melepaskan tanganku," kata George.
"Jangan nakal, Pongo!" kata Nobby dengan suara garang. Dengan segera Pongo
melepaskan tangan George, lalu menutupi mukanya seolah-olah malu. Tapi anak-anak
melihat bahwa Pongo mengintip lewat celah jari-jarinya. Matanya yang nakal
bersinar lucu. "Dasar monyet!" kata George sambil tertawa.
"Dia bukan monyet, tapi simpanse," kata Nobby. "Ah, sekarang Timmy datang untuk
berkenalan. Astaga, lihatlah - mereka bersalaman!"
Kata Nobby benar. Begitu mengambil keputusan bahwa Pongo bisa dijadikan teman,
Timmy lantas ingat pada ajaran George. Ia mengangkat kaki depannya mengajak
bersalaman. Pongo memegang kaki depan itu, lalu digoncangnya kuat-kuat beberapa
kali. Kemudian simpanse itu mengitari Timmy, lalu menyalami ekornya. Timmy
bingung dibuatnya! Anak-anak tertawa terbahak-bahak, sedang Timmy duduk sambil menyembunyikan ekor.
Kemudian berdiri lagi sambil mengibas-ngibaskan ekor. Ternyata Barker dan
Growler datang mendekat. Timmy masih ingat pada kedua ekor anjing itu, sedang
Barker dan Growler juga masih ingat padanya.
"Nah, mereka ternyata mau juga berteman," kata Nobby. Ia merasa senang.
"Sekarang mereka akan mengajak Timmy berkenalan dengan anjing-anjing lain yang
ada di sini. Jadi takkan terjadi keributan lagi. He! Awas - si Pongo!"
Dengan sembunyi-sembunyi Pongo menyelinap ke belakang Julian, dan menyelipkan
tangannya ke kantong anak itu. Dengan segera Nobby menghampiri, lalu memukul
tangan simpanse itu keras-keras.
"Nakal! Jahat! Pencopet!"
Anak-anak tertawa lagi melihat simpanse itu menutupi mukanya dengan kedua belah
tangan, pura-pura malu. "Kalau dekat Pongo, kalian harus hati-hati," kata Nobby. "Dia paling senang
mengambil barang-barang dari kantong. He! Itu caravan-caravan kalian" Bagus
sekali!" "Kami meminjamnya," kata Dick. "Ketika melihat rombongan sirkus kalian lewat
dengan caravan-caravan yang nampaknya serba meriah, kami lantas mendapat gagasan
untuk meminjam caravan lalu melancong dengannya dalam liburan ini."
"Dan karena kau dulu bercerita ke mana kalian akan pergi, kami lantas memutuskan
untuk menyusul, lalu memintamu agar mau mengajak kami melihat-lihat perkemahan,"
kata Julian. "Mudah-mudahan kau tak keberatan."
"Aku malah bangga," kata Nobby, sementara air mukanya menjadi merah. "Tak sering
ada orang mau berteman dengan anak sirkus seperti aku ini - maksudku anak-anak
golongan berada macam kalian! Aku akan senang sekali apabila bisa mengantar
kalian melihat-lihat di sini - dan kalian akan bisa berkenalan dengan semua
monyet, anjing serta kuda kepunyaan sirkus kami."
"Terima kasih," seru keempat anak-anak yang baru datang dengan serempak.
"Kau baik sekali," sambung Julian. "Wah, lihat simpansemu itu - dia mencoba lagi
bersalaman dengan ekor Timmy. Kalau sedang beraksi di arena pasti dia lucu
sekali, ya?" "Bisa sakit perutmu karena tertawa," kata Nobby membenarkan. "Kau harus
melihatnya kalau sedang tampil bersama pamanku, Paman Dan. Dia kepala pelawak
Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sirkus ini. Pongo sama kocaknya seperti pamanku - kalau mereka sudah melawak
bersama-sama, wah! - seakan nyaris runtuh tenda sirkus, begitu keras orang-orang
tertawa!" "Aku ingin sekali melihat mereka," kata Anne. "Maksudku jika sedang beraksi di
tengah arena sirkus. Apakah pamanmu tidak akan berkeberatan, jika kauajak kami
melihat-lihat di sini?"
"Kenapa dia harus keberatan"!" kata Nobby. "Kita tak usah bertanya dulu padanya!
Tapi kalian jangan lupa bersikap sopan terhadapnya, ya" Kalau sedang marah dia
lebih galak daripada harimau! Ia mendapat julukan Tiger Dan - Dan si Harimau karena sifatnya yang cepat marah!"
Mendengar julukan itu saja - Tiger Dan - Anne sudah merinding. Kedengarannya
galak dan buas. "Mudah-mudahan ia tak ada di sini sekarang," katanya gelisah, sambil celingukan
memandang berkeliling. "Tidak, ia sedang pergi," kata Nobby. "Ia senangnya menyendiri terus. Di sirkus
tak ada yang menjadi temannya. Kecuali Lou, akrobat kami. Itu dia, yang bernama
Lou." Orang yang ditunjuk oleh Nobby itu kaki dan tangannya serba panjang dan longgar
persendiannya. Mukanya jelek, dengan rambut ikal hitam mengkilat. Orang itu
sedang duduk di anak tangga sebuah caravan, membaca koran sambil mengisap pipa.
Menurut perasaan Anne serta saudara-saudaranya, Tiger Dan cocok sekali
berpasangan dengan Lou. Keduanya nampak cepat marah, selalu cemberut. Sama
sekali tidak ramah! Dalam hati mereka bertekad, sedapat mungkin selalu menjauhi
Tiger Dan yang pelawak, serta Lou jago akrobat.
"Hebatkah dia sebagai akrobat?" tanya Anne dengan suara pelan, walau Lou
duduknya terlalu jauh sehingga tak mungkin bisa mendengar.
"Bukan hebat lagi - jagoan nomor satu!" kata Nobby. Suaranya menandakan
kekaguman. "Apa pun bisa dipanjatnya. Kalau pohon itu saja, dalam sekejap mata
ia pasti sudah ada di puncak! Aku pernah melihat dia memanjat pipa air hujan
yang terpasang di sisi sebuah gedung tinggi. Cekatan sekali, seperti kucing! Dia
benar-benar menakjubkan. Kalian mesti melihatnya kalau sedang menari di atas
tali yang direntangkan di atas arena!"
Anak-anak memandang takjub ke arah Lou. Orang itu merasa diperhatikan orang,
lalu menoleh sambil merengut.
"Mungkin saja dia akrobat terhebat," pikir Julian, "tapi tampangnya jahat
sekali. Susah memilih siapa yang lebih kelihatan kejam, dia atau Tiger Dan!"
Lou bangkit dari tempatnya duduk. Tubuhnya melentur, seperti kucing. Geraknya
halus dan cekatan, mendekati Nobby. Ia masih tetap merengut.
"Siapa anak-anak ini?" katanya. "Kenapa mereka ada di sini?"
"Kami tidak bermaksud mengganggu," kata Julian dengan sopan. "Kami datang untuk
menjenguk Nobby. Kami pernah berjumpa dengan dia."
Lou memandang Julian, seolah-olah anak itu sampah yang bau. Hidungnya
menggernyit. "Itu caravan-caravan kalian?" katanya sambil menyentakkan kepala ke arah kedua
caravan yang merah dan hijau.
"Betul," kata Julian.
"Kalian hebat ya?" kata Lou lagi sambil mengejek.
"Ah, tidak," kata Julian. Ia masih tetap sopan.
"Ada orang dewasa yang ikut?" tanya Lou.
"Tidak! Aku yang memimpin," jawab Julian. "Tapi kami punya anjing galak. Setiap
orang yang tak disenangi, langsung diserang olehnya."
Dan Tim, jelas tak menyenangi Lou. Anjing itu mendekat sambil menggeram. Lou
mengayunkan kaki, hendak menendang.
Untung George cepat memegang kalung leher Tim.
"Jangan, Tim!" serunya. Kemudian ia berpaling menatap Lou, dengan mata menyalanyala. "Jangan berani-berani menendang anjingku," serunya marah. "Kalau kau
mengganggunya lagi, akan langsung diserangnya!"
Lou meludah ke tanah dengan sikap menghina, lalu berpaling hendak pergi.
"Kalian pergi dari sini," katanya. "Kami tak ingin ada anak-anak berkeliaran dan
mengganggu kami. Aku juga tidak takut pada anjing itu. Aku tahu caranya
menghadapi anjing galak."
"Apa maksudmu?" seru George. Ia masih marah terus. Tapi Lou tak mau menjawab
lagi. Ia masuk ke caravannya, lalu membantingkan pintu keras-keras. Tim
menggonggong marah. Ia berusaha melepaskan diri, tapi George memegang kalung
lehernya kuat-kuat. "Sekarang rusak acara kita," kata Nobby penuh sesal. "Kalau Lou melihat kalian
ada di sini lain kali, pasti akan diusirnya. Dan kalian harus berhati-hati
dengan anjing kalian itu. Jaga baik-baik, jangan sampai lenyap."
George marah, tapi juga agak takut.
"Lenyap?" katanya. "Apa maksudmu" Kaukira Timmy mau saja dicuri orang"!
Perkiraanmu itu keliru!"
"Ya deh, ya deh! Jangan langsung marah! Aku cuma memperingatkan saja!" kata
Nobby. "Astaga, lihat simpanse itu. Ia masuk ke salah satu caravan kalian!"
Keributan yang baru saja terjadi dilupakan dengan segera. Semua lari bergegas ke
arah caravan yang hijau. Pongo sudah di dalam, asyik makan permen yang ditaruh
dalam sebuah kaleng. Begitu melihat anak-anak muncul, dengan segera Pongo
mengerang-erang sambil menutupi mukanya. Tapi sementara itu mulutnya sibuk
terus, mengulum permen! "Pongo! Kau jahat! Ke mari!" perintah Nobby. "Minta dipukul, ya!"
"Jangan, jangan dipukul," kata Anne. "Dia memang nakal, tapi aku senang padanya.
Permen kami masih banyak. Kau juga mau, Nobby?"
"Tentu saja! Terima kasih," kata Nobby sambil mengambil permen. Ia nyengir
ketika memandang keempat anak-anak itu. "Enak, punya teman seperti kalian.
Bukankah begitu, Pongo?"
Bab 7 TAMU YANG DIUNDANG DAN YANG TIDAK
SAAT ITU anak-anak tidak bisa dibilang kepingin melihat-lihat perkemahan,
setelah Lou bersikap begitu tidak enak terhadap mereka. Sebagai gantinya, mereka
yang mengajak Nobby melihat-lihat kedua caravan mereka. Nobby tidak habishabisnya kagum, karena belum pernah melihat caravan-caravan seindah itu.
"Astaga! Kelihatannya seperti istana!" katanya. "Maksudmu begitu keran itu
diputar, airnya akan langsung mengucur" Bolehkah aku mencoba" Selama hidup, aku
belum pernah memutar keran air!"
Berkali-kali ia membuka dan menutup keran, dan setiap kali berseru kagum pada
saat air mengalir keluar. Dipukul-pukulkannya kepalannya ke kasur pembaringan,
untuk menguji keempukannya. Dikaguminya hamparan-hamparan empuk di lantai, serta
barang pecah belah yang berkilat-kilat. Menyenangkan sekali kedatangan tamu
seperti dia. Anak-anak semakin senang saja pada Nobby. Mereka pun menyukai
Barker dan Growler. Kedua anjing sirkus itu tingkah lakunya sopan, penurut dan
periang. Pongo tentu saja ingin ikut-ikut membuka dan menutup keran. Seperai-seperai yang
menutupi pembaringan ditariknya sehingga terlepas, karena ia ingin melihat ada
apa di bawahnya. Bukan itu saja, ia juga mengambil cerek dari atas kompor, lalu
ditempelkannya cerek ke bibirnya yang tebal. Pongo minum dengan bunyi
bergeleguk-geleguk. "Kau lupa sopan santun, Pongo!" seru Nobby kaget, sambil menyentakkan cerek dari
tangan simpanse itu. Anne tertawa terpekik. Ia suka sekali pada Pongo, dan
nampaknya binatang itu juga senang pada Anne. Ke mana saja anak itu pergi, Pongo
selalu membuntuti sambil mengusap-usap rambutnya.
"Nguk-nguk," terdengar suaranya, seperti hendak menyatakan rasa sayang.
"Maukah kamu minum teh bersama kami?" tanya Julian sambil melirik ke arlojinya.
"Sudah waktunya sekarang."
"Wah - aku tak biasa minum teh," kata Nobby. "Ya, tentu saja aku mau! Tapi
kalian tak keberatan jika aku di sini" Aku tak biasa bersopan-sopan seperti
kalian. Lagipula aku agak kotor, pokoknya lain dari kalian. Tapi kalian baik
budi." "Kami senang sekali jika kamu mau tinggal untuk minum teh," kata Anne
bergembira. "Akan kupersiapkan roti dulu ya! Kau suka roti dengan tumis daging?"
"Tentu saja," kata Nobby. "Pongo juga suka! Jangan biarkan dia dekat-dekat,
nanti habis semua disikatnya!"
Perjamuan teh sore itu menyenangkan. Mereka duduk-duduk di padang rumput, di
sisi caravan yang teduh. Barker dan Growler duduk bersama Timmy. Pongo menemani
Anne, dan dengan sopan sekali diterimanya potongan-potongan roti yang
disodorkan. Nobby kelihatan sangat menikmati hidangan saat itu. Makannya banyak
sekali, sambil bicara terus dengan mulut penuh.
Anak-anak tergelak-gelak karena tingkahnya yang kocak. Ia menirukan Paman Dan
yang sedang melawak. Ia berjumpalitan mengelilingi caravan, sambil menunggu Anne
mempersiapkan hidangan roti lagi. Kemudian ia makan roti dengan kepala di bawah
dan kaki menjulang ke atas. Tim melongo melihatnya. Anjing itu mengelilinginya
beberapa kali sambil mengendus-endus muka Nobby. Seolah-olah hendak berkata,
"Aneh! Kakinya tidak ada! Ada sesuatu yang tidak beres dengan anak ini!"
Akhirnya semua kenyang. Nobby bangkit, hendak pergi. Ia merasa waswas, mungkin
saja ia sudah terlalu lama di situ.
"Aku senang sekali di sini, sampai melupakan waktu," katanya kikuk. "Pasti aku
sudah terlalu lama bertamu! Cuma kalian saja terlalu sopan, tak mau mengusir
aku. Wah, tehnya tadi nikmat sekali! Terima kasih, Non, karena telah menghidangkan roti yang begitu enak. Tingkah lakuku tidak sesopan kalian, tapi
biar begitu terima kasih banyak!"
"Kau sangat sopan," kata Anne dengan hangat. "Kau tamu yang menyenangkan. Jangan
segan-segan datang lagi!"
"Terima kasih, aku pasti datang," kata Nobby. Ia sudah lupa lagi pada
kekikukannya yang datang dengan tiba-tiba tadi. Ia memandang berkeliling dengan
wajah berseri-seri. "Mana Pongo" Coba lihat kunyuk itu! Ia mengambil selembar
sapu tangan milik kalian, dan sekarang sedang membersihkan hidung dengannya!"
Anne tertawa geli. "Biar untuk dia sajalah," katanya. "Toh sudah usang!"
"Kalian akan lama berkemah di sini?" tanya Nobby.
"Yah - sebetulnya bukan di sini," kata Julian. "Kami berniat naik agak tinggi
sedikit, ke atas bukit. Hawa di sana lebih sejuk. Tapi mungkin kami akan
menginap di sini malam ini. Sebetulnya kami bermaksud naik ke atas sore ini
juga, tapi sekarang lebih baik kami di sini dulu, dan besok baru ke atas.
Mungkin besok pagi kami akan bisa melihat-lihat perkemahan sirkus."
"Wah, kalau ada Lou tidak bisa," kata Nobby. "Kalau ia sudah sekali menyuruh
pergi, ia tidak main-main! Tapi kalau dia tidak ada, bisa saja. Aku akan datang
nanti untuk memberitahukan."
"Baiklah," kata Julian. "Aku tidak takut pada Lou - tapi kami tak ingin kamu
mengalami kesulitan karena kami, Nobby. Jika besok Lou ada di perkemahan, kami
akan langsung naik ke bukit. Kamu kan bisa mengisyaratkan pada kami jika ia
meninggalkan perkemahan, dan kami bisa turun kapan saja. Dan ingat, kapan saja
kau mau, harap datang menjenguk kami."
"Dan jangan lupa membawa Pongo," kata Anne menambahkan.
"Tentu dong!" jawab Nobby. "Nah - sampai lain kali!"
Ia pun pergi, sambil membimbing Pongo dan dibuntuti oleh Barker dan Growler.
Pongo sama sekali tak kepingin pergi dari situ. Ia menarik-narik tangan Nobby,
persis seperti anak kecil yang bandel.
"Aku suka pada Nobby dan Pongo," kata Anne. "Aku ingin tahu apa kata Ibu, jika
sampai tahu bahwa kita berkenalan dengan seekor simpanse. Pasti kaget!"
Sekonyong-konyong Julian kelihatan ragu-ragu. Tidak salahkah tindakannya,
menyusul sirkus dan membiarkan Anne serta yang lain-lainnya bergaul dengan
orang-orang serta binatang yang serba asing itu. Tapi Nobby sangat ramah. Dan
mereka bisa dengan mudah menjauhi Tiger Dan dan Lou si akrobat cemberut itu.
"Masih cukupkah persediaan kita untuk makan nanti malam, serta sarapan pagi
besok?" tanyanya pada Anne. "Soalnya, dekat-dekat sini nampaknya tak ada tempat
pertanian yang bisa cepat kita datangi. Tapi kata Nobby, di atas bukit sebelah
sana ada satu. Orang-orang sirkus juga mengambil perbekalan dari sana, kalau
tidak dijual di kota terdekat. Rupanya salah seorang dari mereka pergi
berbelanja setiap hari!"
"Coba kulihat sebentar dalam tempat penyimpanan," kata Anne sambil bangkit.
Sebetulnya ia tahu persis apa yang ada di sana. Tapi ia merasa lebih dewasa dan
penting, apabila pergi melihat sebentar. Enak rasanya bisa berperasaan seperti
itu, apabila biasanya selalu merasa kecil dan paling muda, sementara saudarasaudaranya begitu besar dan banyak sekali yang diketahui mereka.
Dari tempat penyimpanan makanan, ia berseru pada saudara-saudaranya,
"Di sini masih ada telor, tomat dan daging yang dimasak tumis. Lalu roti banyak
sekali, kemudian kue yang kita beli hari ini, serta mentega satu pon."
"Baiklah kalau begitu," kata Julian. "Jadi malam ini kita tidak perlu repotrepot pergi ke tempat pertanian."
Akhirnya hari gelap juga. Untuk pertama kalinya sejak mereka berangkat, langit
malam itu berawan. Tak ada bintang berkelip, dan bulan juga tidak kelihatan.
Malam gelap gulita. Sebelum naik ke pembaringan, Julian masih memandang sebentar
ke luar lewat jendela caravannya. Di luar tidak kelihatan apa-apa, bahkan air
danau pun tidak nampak. Julian menutup tubuhnya dengan seperai. Di caravan yang satu lagi, Anne dan
George sudah tidur nyenyak. Timmy menempati posnya yang biasa, dekat kaki
tuannya. Tiba-tiba anjing itu menegakkan telinga. Kepalanya terangkat dengan hati-hati.
Kemudian terdengar geraman berat dalam kerongkongannya. Anjing itu mendengar
langkah-langkah kaki, datang dari dua arah berlainan. Kemudian didengarnya
suara-suara orang berbicara - hati-hati sekali, berbisik-bisik pelan.
Timmy menggeram lagi, sekali ini agak lebih keras dari tadi. George terbangun,
lalu meraih kalung leher anjingnya.
"Ada apa?" bisiknya. Timmy menajamkan telinga, diikuti oleh tuannya. Keduaduanya mendengar suara orang-orang yang berbisik di luar.
Dengan hati-hati George menyelinap turun dari pembaringan, lalu menuju ke pintu
caravan yang setengah terbuka. Ia tidak bisa melihat apa-apa, karena di luar
sangat gelap. "Ssst, jangan sampai terdengar mereka, Tim," bisik George. Dan Tim segera
mengerti. Ia tidak menggeram lagi. Tapi George bisa merasa bulu tengkuk
anjingnya berdiri. Suara-suara berbisik itu kedengarannya tidak jauh. Mestinya ada dua orang lakilaki yang sedang bercakap-cakap, demikian pikir George. Kemudian didengarnya
bunyi geretan dinyalakan. Berkat nyala api yang sekejap itu, ia melihat dua
orang laki-laki sedang menghidupkan rokok mereka dari api yang sama. Dan
keduanya langsung dikenalinya kembali: paman Nobby yang julukannya Tiger Dan,
serta Lou si akrobat cemberut!
Apa yang mereka lakukan di situ" Mungkinkah di situ tempat mereka biasa bertemu
- atau mungkinkah mereka datang karena hendak mencuri sesuatu dari caravan"
George kepingin sekali bisa memberi tahu Julian dan Dick. Tapi ia segan keluar,
karena khawatir akan terdengar oleh kedua laki-laki itu.
Mula-mula ia tak bisa mendengar percakapan mereka. Nampaknya sedang
memperbincangkan sesuatu dengan serius. Kemudian seorang dari mereka bicara agak
keras, "Baiklah - jadi soal itu beres!"
Kemudian terdengar lagi bunyi langkah orang, sekarang menuju caravan di mana
George sedang merunduk sambil mendengarkan. Kedua orang itu berjalan langsung
mengarah ke sisinya. Tiba-tiba terdengar seruan kaget tercampur rasa sakit.
Orang yang terantuk itu meraba-raba benda yang ditubruknya.
"Eh! Caravan mewah yang tadi sore!" terdengar suara Lou berseru tertahan.
"Mereka masih di sini! Padahal tadi sudah kusuruh pergi!"
"Siapa mereka?" tanya Tiger Dan heran. Rupanya hari sudah gelap ketika ia
kembali, dan karenanya tidak tahu anak-anak ada di tempat itu.
"Beberapa orang anak, kenalan Nobby," kata Lou dengan nada marah. Diketoknya
dinding caravan keras-keras, sehingga Anne kaget dan terbangun. George juga ikut
terlompat karena ketakutan. Tim menggonggong marah.
Julian dan Dick terbangun. Dengan segera Julian menyalakan senter, lalu menuju
ke pintu. Cahaya senternya menerangi sosok tubuh kedua laki-laki yang berdiri
dekat caravan George dan Anne.
"Ada apa kalian di situ malam-malam begini?" tanya Julian dengan suara keras.
"Ribut-ribut lagi! Ayo pergi!"
Julian keliru mengucapkan kata-kata itu terhadap Dan dan Lou. Keduanya bersifat
pemarah, dan beranggapan bahwa tempat perkemahan di situ kepunyaan rombongan
sirkus. "Kaukira kau bicara dengan siapa, hah?" teriak Dan dengan marah. "Kalian yang
harus pergi dari sini! Mengerti?"
"Bukankah tadi sore aku sudah bilang kalian harus pergi"!" bentak Lou. Ia juga
mulai marah. "Kau harus menuruti perintahku, Bandit Kecil! Kalau tidak, akan
kukerahkan anjing-anjing, biar kalian pontang-panting dikejar mereka!"
Anne menangis karena takut. George gemetar tubuhnya, karena menahan marah. Tim
tak berhenti-hentinya menggeram. Julian membuka mulut lagi, ia berbicara dengan
tenang tapi penuh tekad. "Kami akan berangkat besok pagi, seperti sudah direncanakan. Kalian keliru, jika
Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengira bisa memaksa kami pergi sekarang juga. Kami berhak untuk berkemah di
tempat ini, sama saja seperti kalian. Sekarang pergi, dan jangan ganggu kami
lagi!" "Kuhajar kamu nanti, Jago Kate!" kata Lou mengancam. Ia melepaskan ikat
pinggangnya. Saat itu George melepaskan kalung leher Tim yang sedari tadi terus digenggamnya.
"Serang mereka, Tim!" perintahnya. "Tapi jangan sampai digigit, cukup ditakuttakuti saja!" Teriring gonggongan gembira, anjing itu meloncat turun ke tanah dan langsung
menerpa kedua laki-laki itu. Ia tahu apa yang diinginkan George agar dilakukan
olehnya. Ia tidak menggigit, walau sebenarnya sudah kepingin sekali membenamkan
taring-taringnya yang runcing ke paha kedua orang jahat itu. Tapi ia pura-pura
hendak menggigit, sambil menggeram-geram. Setengah mati kedua orang itu
ketakutan! Lou mengayunkan tinju, seolah-olah hendak membinasakan Tim. Tapi anjing itu tak
mempan ancaman yang seperti itu. Disambarnya kaki celana Lou yang sebelah kanan,
lalu ditariknya kuat-kuat. Celana itu langsung robek sampai ke lutut.
"Anjing ini gila!" teriak Dan. "Kita pasti disambarnya, jika tidak cepat-cepat
pergi! Suruh dia mundur," katanya pada anak-anak. "Kami akan pergi dari sini.
Tapi ingat, besok pagi kalian harus betul-betul berangkat. Kalau tidak, kami
akan memaksa kalian. Lain kali, pasti kami akan membalas dendam."
Ketika melihat kedua laki-laki itu benar-benar akan pergi, George bersiul
memanggil Timmy. "Timmy, ke mari! Jaga baik-baik, sampai mereka benar-benar sudah pergi Kalau
berani datang lagi, serbu saja!"
Tapi kedua laki-laki itu segera pergi - dan tak ada yang bisa menyebabkan mereka
datang kembali. Mereka sudah jera berhadapan satu kali dengan Timmy malam itu!
Bab 8 DI ATAS BUKIT KEEMPAT remaja itu bingung dan gelisah, karena tingkah laku aneh kedua laki-laki
tadi. George menceritakan betapa ia terbangun karena Timmy menggeram, lalu
mendengar kedua laki-laki itu bicara dengan suara pelan.
"Kurasa mereka bukan datang untuk mencuri," katanya. "Kurasa mereka ke mari
karena hendak mengadakan perembukan rahasia. Mereka tak tahu caravan-caravan
kita masih ada di sini. Buktinya, tadi mereka menubruk."
"Mereka orang-orang kasar yang cepat marah," kata Julian. "Dan aku tak peduli
apa yang akan kaukatakan, George, tapi malam ini pintu caravan kalian akan
kukunci. Aku tahu, Timmy menemani kalian! Tapi ada Timmy atau tidak, aku tak mau
menanggung risiko jika orang-orang itu datang lagi."
Anne begitu ketakutan, sehingga George menerima saja keputusan Julian itu. Timmy
ikut di dalam caravan. Kedua anak laki-laki kembali ke caravan mereka, yang
langsung dikunci dari dalam oleh Julian.
"Aku baru akan merasa lega apabila sudah berada di atas bukit," katanya. "Selama
kita masih ada di dekat perkemahan mereka, aku belum merasa aman."
"Sehabis sarapan kita akan langsung berangkat," kata Dick sambil duduk di
pembaringannya. "Untung ada Timmy menemani George dan Anne malam ini. Kedua
laki-laki tadi kelihatannya sungguh-sungguh ketika hendak menyerangmu, Ju."
"Memang! Dan aku takkan mungkin bisa melawan mereka berdua," jawab Julian.
"Keduanya berbadan kekar dan kuat."
Keesokan harinya keempat remaja itu bangun pagi-pagi sekali. Tak ada yang
berniat untuk baring terus sambil bermalas-malasan. Semua ingin cepat-cepat
berangkat, sebelum Lou dan Dan muncul lagi.
"George dan Anne, kalian mengurus sarapan - sementara aku dan Dick mengambil
kuda-kuda kita dan memasangkan ke caravan," kata Julian. "Dengan begitu selesai
sarapan kita akan bisa langsung berangkat."
Setelah sarapan, mereka berkemas. Mereka sudah duduk di bangku kusir dan siap
akan berangkat, ketika nampak Lou dan Dan berjalan ke arah mereka.
"Ah! Kalian berangkat juga rupanya," kata Dan. Ia tersenyum. Mukanya kelihatan
semakin jahat saja. "Bagus! Senang rasanya melihat anak-anak yang mau menurut.
Kalian akan ke mana?"
"Ke bukit," kata Julian. "Tapi sebetulnya bukan urusan kalian, ke mana kami akan
pergi." "Kenapa kalian tidak mengitari kaki bukit saja?" tanya Lou. "Konyol - lewat
sebelah atas. Kuda-kuda kalian nanti akan kepayahan menghela caravan-caravan
itu." Nyaris saja Julian mengatakan bahwa ia tidak bermaksud pergi ke seberang bukit
lewat puncaknya. Tapi tidak jadi! Tidak - biar saja kedua laki-laki itu mengira
mereka akan melanjutkan perjalanan. Kalau sampai tahu bahwa anak-anak bermaksud
hendak berkemah di atas bukit, mungkin saja kedua laki-laki jahat itu nanti
datang untuk mengganggu lagi.
Julian mendecakkan lidah, menyuruh Dobby mulai berjalan.
"Kami bebas mengambil jalan yang kami ingini," katanya ketus pada Lou. "Dan kami
ingin melintasi bukit. Sekarang minggir!"
Karena Dobby menderap lurus menuju mereka, kedua laki-laki itu terpaksa melompat
ke tepi. Mereka memandang anak-anak dengan mata melotot dan muka masam. Kemudian
terdengar langkah orang berlari-lari. Nobby muncul, seperti biasa diikuti oleh
Barker dan Growler. "He!" serunya kaget. "Kalian mau ke mana sepagi ini" Kutemani sebentar."
"Tidak!" bentak pamannya, sambil menempeleng. Nobby yang sudah kaget, menjadi
semakin kaget karenanya. "Anak-anak itu sudah kusuruh pergi, dan sekarang mereka
berangkat. Aku tak suka ada orang-orang asing iseng berkeliaran dalam perkemahan
kita. Dan kau, jangan mengira mereka ingin berteman denganmu! Ayo, sekarang kau
harus melatih anjing-anjing itu. Kalau tidak, kutempeleng lagi nanti - biar
matamu berkunang-kunang!"
Nobby menatap pamannya sebentar. Ia marah, tapi juga merasa takut. Ia tahu
sekali sifat pamannya yang lekas marah. Karena itu tak membantah. Nobby
berpaling dengan wajah masam, dan berjalan kembali ke perkemahan. Beberapa detik
kemudian ia disusul oleh kedua caravan yang bergerak ke arah sama. Julian
menyapanya dengan suara pelan,
"Jangan sedih, Nobby! Kami menunggu kedatanganmu di atas bukit. Tapi jangan
bilang pada Lou dan pamanmu. Biar saja mereka mengira kami langsung pergi.
Kapan-kapan, ajak Pongo ke atas!"
Nobby nyengir gembira. "Betul!" katanya. "Aku juga bisa mengajak anjing-anjing ini berlatih di sana.
Tapi jangan hari ini! Hari ini aku tidak berani. Dan begitu kuketahui mereka
berdua pergi satu hari penuh, kalian akan kuajak turun ke perkemahan untuk
melihat-lihat! Setuju?"
"Akur," kata Julian sambil melanjutkan perjalanan. Baik Lou maupun Dan tak
mendengar percakapan antara Julian dengan Nobby itu. Mereka bahkan sama sekali
tak mengira kedua anak itu bercakap-cakap, karena Nobby cukup hati-hati. Anak
itu ketika bicara tidak menghentikan langkahnya. Ia bahkan tak sekali pun
menoleh ke arah caravan. Jalan yang dilalui kedua caravan berkelok-kelok mendaki bukit. Mula-mula belum
terjal, melainkan meliuk sepanjang sisi bukit. Kira-kira setengah jalan, mereka
menyeberangi sebuah jembatan yang terbuat dari batu. Di bawahnya ada sungai yang
deras arusnya. "Wah! Arusnya seperti tergesa-gesa mengalir!" kata George sambil memperhatikan
golakan air yang mengalir ke bawah. "Lihatlah! Dari sanakah datangnya - dari
lereng bukit itu?" George menunjuk ke suatu tempat di sisi bukit. Kelihatannya memang seakan-akan
sungai yang mengalir deras di bawah mereka dengan tiba-tiba saja muncul dari
tempat yang ditunjuk olehnya itu.
"Tapi tak mungkin sungai besar sederas ini sumbernya di situ!" kata Julian,
sambil menyuruh Dobby berhenti di seberang jembatan. "Coba kita lihat saja ke
sana. Aku haus, dan jika ternyata di sana ada mata air, pasti airnya dingin dan
jernih! Kita bisa meminumnya dengan aman. Ayolah kita lihat saja sebentar!"
Tapi di tempat itu tak ada mata air. Sungai deras itu tidak secara sekonyongkonyong saja berawal di situ, melainkan muncul dari sebuah lubang di sisi bukit.
Di situ pun sungai sudah selebar dan sederas di bawah jembatan. Keempat remaja
itu membungkukkan tubuh, mengintip ke dalam lubang dari mana air mengalir ke
luar. "Datangnya dari dalam bukit," kata Anne tercengang. "Ajaib, ada sungai mengalir
dalam bukit! Tentunya sekarang senang, karena bisa menemukan jalan keluar!"
Mereka tidak jadi minum di situ, karena ternyata tidak ada mata air yang segar
dan jernih seperti diperkirakan semula. Tapi tak jauh dari situ mereka menjumpai
sebuah mata air yang muncul dari bawah batu. Airnya dingin dan jernih. Mereka
minum sepuas-puasnya. Menurut perasaan mereka saat itu, belum pernah mereka
minum air seenak di situ. Dick menyusur aliran airnya ke bawah. Ternyata
kemudian bergabung dengan sungai yang muncul dari bawah bukit.
"Kurasa dari sini mengalir ke danau," katanya. "Ayo, kita terus! Kita masih
harus mencari tempat pertanian, Julian. Tadi rasanya aku mendengar jago
berkokok. Jadi mestinya tak jauh dari sini ada tempat pertanian."
Setelah melewati sebuah tikungan, mereka melihat tempat pertanian itu. Beberapa
bangunan tua berserakan di lereng bukit. Beberapa ekor ayam betina lari ke sana
ke mari sambil berkotek-kotek. Di atas bukit nampak beberapa ekor biri-biri
sedang merumput, sedang di lapangan dekat situ ada sapi-sapi sedang memamah
biak. Seorang laki-laki sedang bekerja dekat situ. Julian menyapanya,
"Selamat pagi! Bapak yang memiliki tempat ini?"
"Bukan! Petaninya ada di sana," kata orang itu sambil menunjuk ke sebuah lumbung
dekat rumah. "Tapi hati-hati, ada anjing!"
Kedua caravan itu bergerak lagi, ke arah rumah petani. Pemiliknya mendengar
kedatangan mereka lalu keluar dengan anjing-anjingnya. Ia nampak tercengang
ketika melihat yang datang dengan dua caravan itu hanya anak-anak saja.
Julian anaknya sopan dan tahu aturan, sehingga menyenangkan orang-orang dewasa.
Tak lama kemudian ia sudah sibuk berbicara dengan petani itu. Dan hasilnya
sangat memuaskan! Petani itu bersedia menyediakan hasil-hasil pertanian apa saja
yang mereka perlukan. Mereka juga boleh membeli susu sebanyak-banyaknya. Petani
itu merasa yakin isterinya pasti akan mau memasakkan makanan apa saja yang
diinginkan, serta membuatkan kue.
"Saya rasa urusan pembayarannya saya bicarakan saja dengan dia," kata Julian.
"Saya ingin membayar kontan."
"Baik sikapmu itu, Nak," kata petani. "Biasakan diri untuk tidak berhutang,
supaya tidak mengalami kesulitan di kemudian hari. Sekarang pergi saja ke
isteriku. Ia senang pada anak-anak, dan kalian pasti akan disambutnya dengan
gembira. Kalian akan berkemah di mana?"
"Kami ingin mencari tempat, dari mana nampak pemandangan indah ke arah danau,"
kata Julian. "Dari sini danau itu tidak kelihatan. Mungkin sedikit lebih jauh
lagi akan ada pemandangan yang kami inginkan."
"Betul! Terus saja sampai kira-kira setengah kilometer dari sini," kata petani.
"Jalan ini sampai ke tempat itu. Nanti kalian akan melihat serumpun pohon birk.
Di situ ada sebuah lembah kecil, terlindung di sisi bukit. Dari situ kalian bisa
menikmati pemandangan indah ke arah danau. Caravan-caravan kalian bisa ditaruh
di lembah itu, dan kalian akan terlindung dan tiupan angin."
"Terima kasih," seru keempat anak itu serempak. Menurut pendapat mereka, petani
tua itu sangat baik hati. Lain sekali dari Lou dan Dan, yang bisanya cuma marahmarah dan mengancam! "Sebaiknya sekarang kami pergi dulu mendatangi isteri Bapak," kata Julian.
"Setelah itu baru melanjutkan perjalanan, dan singgah di lembah bukit yang Bapak
sarankan. Nanti kami akan datang lagi."
Mereka mendatangi isteri petani, seorang wanita yang juga sudah tua. Orangnya
gemuk berpipi bundar. Matanya kecil bersinar jenaka. Kedatangan keempat remaja
itu disambutnya dengan ramah-tamah. Mereka diberi roti kismis yang baru saja
dikeluarkan dari tempat pembakaran. Mereka juga disuruhnya memetik sendiri buah
prem dari pohonnya yang ada dekat rumah. Dengan gembira anak-anak mengambili
buah-buahan berwarna ungu itu.
Julian menyatakan bahwa mereka akan membayar kontan semua bahan makanan yang
akan mereka beli setiap hari. Harga yang diminta isteri petani rasanya murah
sekali, tapi ia tak mau dibayar lebih banyak.
"Aku senang sekali melihat wajah kalian yang manis-manis muncul di ambang
pintu," katanya. "Itu sudah merupakan pembayaran juga bagiku! Melihat kelakuan
dan tindak-tanduk kalian yang baik, aku tahu kalian anak-anak yang tahu aturan.
Aku yakin, kalian takkan menyebabkan kerusakan di sini - atau berbuat yang
tidak-tidak!" Anak-anak pergi berbekal segala macam makanan, mulai dari telor dan daging,
sampai-sampai kue jahe pun ikut dibekali. Ketika Anne minta diri, wanita tua itu
menyodorkan sebuah botol berisi sirup frambus ke tangannya. Ketika Julian hendak
membayar, isteri petani marah.
"Aku bisa semauku memberi hadiah!" katanya. "Kau memang keterlaluan... ini harus
dibayar, itu harus dibayar! Setiap kali kalian ke mari, akan kusediakan sesuatu
yang istimewa. Jangan coba-coba berani membayarnya, nanti kupukul dengan
penggiling adonan roti ini!"
"Ramah sekali Bu Petani itu, ya?" kata Anne, ketika mereka berjalan kembali ke
caravan. "Bahkan Timmy sampai ikut-ikutan mengajak bersalaman dengannya! Padahal
tak ada yang menyuruh. Dia kan tak mau melakukannya terhadap sembarang orang, ya
George?" Semua perbekalan makanan yang dibeli mereka kemaskan di tempat penyimpanan.
Setelah itu mereka meneruskan perjalanan.
Kira-kira setengah kilometer dari tempat pertanian, mereka sampai di tempat
pohon-pohon birk yang tumbuh serumpun.
"Dan dekat situ ada lembah sempit yang terlindung," kata Julian.
Kutukan Sang Badik 2 Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul Banjir Darah Di Bukit Siluman 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama