Ceritasilat Novel Online

Berkelana 2

Lima Sekawan 05 Berkelana Bagian 2


"Betul! Lihatlah - itu dia! Agak masuk ke sisi bukit! Kelihatannya memang nyaman
di situ! Tempat yang cocok untuk berkemah - dan bukan main indahnya pemandangan
di sini. Wah!" Pemandangan di situ memang benar-benar indah. Mereka bisa melayangkan pandangan
menyusur lereng bukit terjal, lurus sampai ke danau. Dari kejauhan danau itu
nampak licin dan halus permukaannya, seperti sebuah cermin besar. Sebuah cermin
ajaib! Dari tempat mereka berada, mereka bisa melihat sampai tebing danau yang
di seberang. Danau itu luas sekali!
"Birunya luar biasa!" seru Anne yang tidak bosan-bosannya memandang. "Bahkan
lebih biru dari langit! Aduh, senang rasanya bisa menikmati pemandangan seindah
ini setiap hari selama kita ada di sini!"
Julian mengundurkan kedua caravan, masuk ke dalam lembah di lereng bukit. Tempat
itu penuh dengan tumbuhan liar, menutupi tanah seperti permadani ungu yang
empuk. Cocok sekali rasanya berkemah di situ!
Pendengaran George ternyata memang sangat tajam. Ia mendengar bunyi air
mengalir. Dengan segera ia mencari. Tak lama kemudian dipanggilnya ketiga
saudara sepupunya. "He! Di sini ada lagi mata air, muncul dari dalam bukit. Air untuk minum dan
mencuci sudah tersedia! Kita benar-benar bernasib mujur!"
"Betul!" jawab Julian. "Tempat ini indah - dan tak ada orang lain yang
mengganggu kita!" Tapi perkiraannya itu ternyata keliru.
Bab 9 PERJUMPAAN YANG TIDAK MENYENANGKAN
SENANG rasanya berkemah dalam lembah sisi bukit yang enak itu. Kedua caravan
dijajarkan di dalamnya. Kedua ekor kuda dibawa ke sebuah lapangan luas tempat
menaruhkan kuda-kuda milik pertanian apabila selesai bekerja di ladang. Trotter
dan Dobby kelihatannya senang berada di lapangan yang hijau dan landai itu. Di
situ ada mata air yang mengalir lewat sebuah palung yang terbuat dari batu.
Dengan segera kedua ekor kuda itu minum di situ.
"Nah, urusan kuda kita sudah beres," kata Julian. "Nanti kita katakan pada
petani, dia bisa meminjam mereka kalau perlu. Sebentar lagi musim panen, dan
mungkin Dobby dan Trotter akan sangat berguna baginya selama beberapa hari. Dan
kedua kuda itu pasti senang, bisa bergaul dengan kuda-kuda lain!"
Di depan lembah terdapat sebongkah batu besar yang menonjol ke luar semacam
serambi. "Ini tempat yang paling baik untuk menikmati pemandangan danau," kata Anne, lalu
duduk di situ. "Wah, batunya hangat karena sinar matahari. Asyiik!"
"Kusarankan kita kalau makan di sini saja," kata George sambil ikut duduk di
atas batu. "Serambi ini cukup lapang. Lagipula permukaannya datar! Jadi piring
dan mangkok bisa kita letakkan di sini, tanpa risiko tumpah. Dan memang benar pemandangan dari sini indahnya luar biasa! Ada yang bisa melihat tempat
perkemahan sirkus dari sini?"
"Di sana ada asap mengepul," kata Dick sambil menunjuk. "Kurasa di situlah
tempat perkemahan mereka. Dan lihatlah! - Ada perahu menuju ke tengah danau!
Kecil sekali kelihatannya, ya?"
"Mungkin itu Nobby," kata Anne. "Kita tidak membawa teropong, Julian" Kalau
tidak salah, kita membawanya."
"Memang," kata Julian sambil mengingat-ingat. "Kuambil saja sebentar." Ia pun
masuk ke dalam caravan hijau. Mengaduk-aduk isi beberapa laci sebentar, lalu
muncul kembali sambil menjinjing teropong.
"Ini dia!" katanya, lalu mendekatkan teropong ke matanya. "Ya - sekarang perahu
itu bisa kulihat dengan jelas - dan betul, itu Nobby! - Tapi siapa yang
menemani" Wah, si Pongo!"
Semua berebutan ingin melihat Nobby dan Pongo di perahu.
"Sebetulnya kita bisa minta pada Nobby agar memberi isyarat dari perahu, apabila
ia ingin memberitahukan bahwa Lou dan pamannya sedang tidak ada di perkemahan,"
kata Dick. "Dengan begitu kita akan tahu bahwa keadaan aman, lantas kita bisa
pergi ke perkemahan sirkus untuk melihat-lihat di sana."
"Ya, bagus sekali gagasanmu itu," sambut George. "Kemarikan teropong itu, Dick.
Timmy juga ingin ikut melihat!"
"Konyol! Dia kan tidak bisa melihat lewat teropong," kata Dick. Tapi
diserahkannya juga teropong pada George, yang mendekatkan benda itu ke mata
anjingnya. Timmy menatap dengan sikap serius, seolah-olah tahu apa yang harus
dilihat. Akhirnya ia memalingkan kepala sambil menggonggong singkat satu kali.
"Katanya, ia melihat Nobby dan Pongo," kata George. Saudara-saudaranya tertawa.
Anne bahkan agak percaya juga, bahwa Tim bisa melihat Nobby dan Pongo di perahu.
Maklumlah, anjing luar biasa!
Hari itu panas sekali. Anak-anak merasa tak mampu untuk berbuat sesuatu - bahkan
menuruni bukit untuk mandi-mandi di danau saja pun tidak! Mereka merasa
bersyukur karena berkemah di atas bukit. Di tempat itu setidak-tidaknya masih
bertiup angin lembut yang menghembus sekali-sekali. Mereka tidak memperkirakan
akan melihat Nobby lagi hari itu. Tapi diharapkan anak itu akan datang ke atas
keesokan harinya. Kalau ternyata tidak, mereka akan turun dan mandi-mandi di
danau. Mudah-mudahan saja kemudian mereka akan berjumpa dengan anak kocak itu.
Duduk di atas serambi batu, lama-lama tidak enak. Terlalu panas di situ. Keempat
remaja itu berteduh di bawah pohon-pohon birk. Mereka membawa buku bacaan. Timmy
ikut berteduh. Lidahnya terjulur ke luar dan napasnya terengah-engah, seperti
habis lari jauh. Sebentar-sebentar anjing itu minum di mata air. Anne mengisi
sebuah basi besar dengan air dingin, lalu meletakkannya di tempat yang berangin
dekat mereka duduk. Ia juga menyediakan sebuah mangkok minum. Hari itu tak
henti-hentinya mereka merasa haus. Enak rasanya minum air dingin yang berasal
dari mata air. Hari itu danau nampak biru sekali. Permukaannya licin tak bergerak, seperti
permukaan cermin. Perahu Nobby tak nampak lagi di atas air. Rupanya sudah pergi
lagi. "Bagaimana jika kita ke danau sore ini, apabila sudah tidak begitu panas seperti
sekarang" Kita mandi-mandi," ajak Julian pada saat minum teh. "Sehari ini kita
tak banyak bergerak. Ada baiknya jika kita berjalan ke kaki bukit, lalu
berenang-renang sebentar. Timmy jangan kita bawa serta, karena siapa tahu nanti
berjumpa dengan Lou atau Dan. Dia pasti akan langsung menyerang mereka! Kita
sendiri bisa berjaga-jaga dan menghindar - tapi kalau Timmy, begitu kedua lakilaki itu nampak, pasti akan langsung diserang. Dan mungkin saja saat itu kita
sedang dalam air, sehingga tak sempat mencegah."
"Pokoknya, Timmy bisa menjagakan caravan untuk kita," kata Anne. "Baiklah!
Sekarang kucuci dulu piring-piring serta mangkok-mangkok ini. Masih ada yang mau
makan lagi?" "Terlalu panas," kata Dick sambil menggulingkan tubuh sehingga ia telentang.
"Aku kepingin saat ini kita sudah ada di danau! Aku akan langsung terjun ke
air." Pukul setengah tujuh petang, hawa tidak begitu panas lagi. Tapi matahari belum
terbenam, karena saat itu musim panas. Dalam bulan Agustus, di daerah tempat
pelancongan anak-anak itu matahari baru terbenam sekitar pukul sembilan malam.
Anak-anak berangkat menuruni bukit. Tim marah dan tersinggung karena merasa
ditinggal pergi. "Kau menjaga di sini, Tim," perintah George tegas. "Ingat! Jangan boleh ada
orang lain mendekati caravan kita. Jaga baik-baik, Timmy!"
Timmy menggonggong dengan suara suram. Ekornya diselipkan di sela kaki belakang.
Menjaga caravan! Masakan George tidak tahu bahwa mustahil caravan bisa keluyuran
sendiri. Dia kan juga kepingin mandi-mandi di danau"
Tapi anjing itu patuh. Ia berdiri di atas serambi batu, memperhatikan anak-anak
turun sampai lenyap dari penglihatannya. Telinganya ditegakkan, menangkap suara
mereka yang sibuk bicara. Ekornya masih mengarah ke bawah, tanda bahwa ia masih
jengkel. Kemudian anjing itu membaringkan diri ke kolong caravan yang ditempati
George. Dengan sabar ditunggunya kepulangan tuan-tuannya.
Anak-anak menuruni bukit, membawa perlengkapan berenang. Mereka mengambil jalan
memintas, melompat ke sana ke mari seperti kambing gunung. Waktu mendaki dengan
caravan, rasanya perjalanan itu jauh sekali. Tapi ketika berjalan kaki ke bawah,
ternyata tak sebegitu jauh! Apalagi mereka kini menyusur jalan tikus, dan
mengambil jalan memintas kapan saja mereka mau.
Salah satu pintasan ternyata terlalu terjal, sehingga mereka terpaksa ke jalan
semula. Mereka mengikuti jalan sempit itu, sampai di sebuah tikungan tajam yang
mengitari sebuah tebing curam. Mereka kaget dan cemas, ketika tahu-tahu Lou dan
Tiger Dan muncul di depan mereka.
"Jangan pedulikan," kata Julian dengan suara pelan. "Jalan berkelompok, tanpa
menoleh! Kita harus pura-pura Timmy ada di belakang kita."
"Tim, Tim!" panggil George seketika itu juga.
Lou dan Dan sama kagetnya seperti keempat remaja itu. Keduanya berhenti sambil
melotot. Tapi Julian menyuruh saudara-saudaranya mempercepat langkah.
"He! Tunggu dulu!" seru Dan. "Kusangka kalian sudah pergi - lewat puncak bukit!"
"Maaf, tak sempat berhenti," balas Julian. "Kami harus bergegas."
Lou celingukan, mencari Timmy. Ia tak bermaksud marah dan mulai berteriakteriak, karena siapa tahu anjing edan yang kemarin malam muncul lagi. Dengan
suara lantang diajaknya anak-anak berbicara. Dipaksakan dirinya agar nampak
ramah. "Mana caravan kalian?" tanyanya dengan keramahan yang dibuat-buat. "Kalian
berkemah di sekitar sini?"
Tapi anak-anak berjalan terus, sehingga kedua laki-laki itu terpaksa membuntuti
supaya kata-kata mereka masih bisa didengar.
"He! Ada apa" Kami takkan menyakiti kalian! Kami cuma ingin tahu, apakah kalian
berkemah di sini. Kan di bawah lebih baik."
"Jalan terus," gumam Julian pada saudara-saudaranya. "Jangan bilang apa-apa pada
mereka. Kenapa mereka sekarang mengatakan lebih baik berkemah di bawah saja,
padahal kemarin kita diusir-usir dari sana" Dasar sinting!"
"Tim! Timmy!" seru George sekali lagi, dengan harapan agar kedua laki-laki itu
berhenti membuntuti karena mendengar anak-anak memanggil anjing mereka.
Dan harapannya terkabul! Kedua laki-laki itu berhenti melangkah. Mereka juga
tidak berseru-seru lagi. Dengan paras marah mereka berpaling, lalu melanjutkan
perjalanan semula. "Nah, akhirnya mereka mundur juga," kata Dick lega. "Kau tak perlu ketakutan,
Anne. Aku ingin tahu, apa yang mereka cari di atas bukit ini. Melihat potongan
tampang mereka, mustahil hanya karena ingin jalan-jalan belaka."
"Kita kan takkan mengalami petualangan lagi, ya Dick?" tanya Anne sekonyongkonyong. Air mukanya memelas. "Aku tak mau mengalami petualangan sekali ini. Aku
hanya menginginkan liburan biasa, liburan yang tenang!"
"Tentu saja kita tidak akan mengalami petualangan seru," kata Dick meremehkan.
"Hanya karena kita berjumpa dengan dua laki-laki pemarah dari perkemahan sirkus,
kamu lantas menyangka kita akan mengalami bahaya. Anne, Anne! Sebetulnya aku mau
saja menghadapi petualangan. Selama ini setiap liburan kita selalu terlibat
dalam pengalaman seru! Dan terus terang sajalah - kau kan juga senang bicara
mengenainya setelah itu, dan mengingat-ingatnya kembali!"
"Ya, memang! Aku senang mengingat-ingatnya kembali. Tapi pada saat sedang
terlibat di dalamnya, aku tak begitu senang," kata Anne. "Kurasa aku ini bukan
tergolong anak yang menggemari petualangan."
"Betul," kata Julian sambil membantu Anne melewati suatu bagian yang sangat
terjal. "Tapi kau anak manis, jadi janganlah khawatir. Lagipula, kau juga tak
mau jika sampai tak ikut dalam petualangan kita, kan?"
"Tentu saja!" jawab Anne. "Aku harus ikut! He, lihatlah! - Kita sudah sampai di
kaki bukit - dan itu dia danaunya. Airnya kelihatan dingin sekali!"
Beberapa saat kemudian keempat-empatnya sudah berendam dalam air. Dan sekonyongkonyong Nobby muncul sambil melambai dan berteriak-teriak.
"Aku ikut! Lou dan pamanku sedang pergi, entah ke mana mereka saat ini. Horee!"
"Kami tadi berjumpa dengan Lou dan pamanmu, ketika sedang menuruni bukit," seru
George menjawab. "Jangan berteriak-teriak terus, Nobby - ada yang hendak
kukatakan padamu. Nah, begitulah! Kukatakan tadi, kami berjumpa dengan mereka naik ke atas bukit."
"Ke atas bukit?" kata Nobby seperti burung beo. Ia tercengang. "Untuk apa mereka
naik ke atas bukit" Bukan mereka yang bertugas berbelanja ke tempat pertanian.
Para wanita kami yang melakukannya, setiap pagi."
"Yah, pokoknya kami tadi berjumpa dengan mereka," kata Dick sambil berenang
mendekat. "Mereka terkejut sekali melihat kami tiba-tiba muncul di depan hidung
mereka. Mudah-mudahan saja kami tak mengalami gangguan mereka lagi."
"Aku sial hari ini," kata Nobby, sambil menunjukkan lengannya yang memar kebirubiruan. "Aku dipukul Paman, karena bergaul dengan kalian. Katanya aku tak boleh
lagi sembarangan bicara dengan orang-orang tak dikenal."
"Kenapa tidak boleh?" kata Dick. "Pamanmu itu sirik, selalu mementingkan diri
sendiri! Tapi nampaknya kau sekarang tak mempedulikan larangannya itu!"
"Tentu saja tidak!" kata Nobby. "Dia kan sedang di atas bukit. Yang penting aku
harus hati-hati, jangan sampai ketahuan bersama-sama kalian. Orang-orang di
perkemahan sirkus takkan ada yang mengadukan diriku - mereka semua benci pada
Lou dan Tiger Dan." "Kami tadi siang melihat kau berperahu di sini bersama Pongo," kata Julian yang
sementara itu ikut menggabungkan diri. "Kami lantas berpendapat, jika kau ingin
memberi isyarat pada kami, sebetulnya mudah saja! Kau naik perahu ke tengah
danau, lalu melambai-lambaikan sapu tangan atau barang lain serupa itu. Kami
membawa teropong, jadi akan mudah bisa melihatmu di sini. Begitu ada isyarat
darimu, kami akan langsung turun. Karena kami akan tahu, di sini aman."
"Akur!" kata Nobby. "Yuk, kita berlomba berenang. Taruhan, aku yang paling dulu
sampai di pinggir." Tapi tentu saja bukan dia yang paling dulu sampai, karena ia tidak begitu pandai
berenang. Bahkan Anne saja bisa mengalahkannya. Sesampai di tepi, mereka
langsung mengeringkan tubuh dengan handuk.
"Aduh, lapar sekali rasanya sekarang!" kata Julian. "Yuk, ikut dengan kami ke
atas, Nob! Kita makan malam bersama-sama."
Bab 10 PERUBAHAN SIKAP YANG ANEH
NOBBY sebenarnya kepingin sekali ikut naik ke atas dan makan malam bersama
sahabat-sahabat barunya. Tapi ia takut berpapasan dengan Lou serta pamannya pada
saat mereka kembali dari atas bukit itu.
"Kita kan bisa dengan mudah berjaga-jaga, dan memperingatkan jika mereka nampak
atau terdengar," kata Dick. "Dan kau bisa bersembunyi di balik semak, sampai
mereka lewat. Kau boleh percaya deh, kami sendiri juga tak kepingin bertemu lagi
dengan mereka!" "Kalau begitu aku ikut!" kata Nobby. "Akan kuajak Barker dan Growler karena
mereka sudah kepingin berjumpa lagi dengan Timmy."
Mereka berlima berangkat mendaki bukit diiringi kedua anjing piaraan Nobby.
Mula-mula mengambil jalan memintas, tapi tak lama kemudian napas mereka sudah
terengah-engah karena capek. Karena itu mereka lantas memilih jalan yang biasa.
Walau lewat situ lebih jauh, tapi juga lebih mudah didaki.
Mereka terus berjaga-jaga, tapi kedua laki-laki pemarah tadi ternyata tak
kelihatan. "Sebentar lagi kita akan sudah sampai di caravan," kata Julian. Kemudian
didengarnya Timmy menggonggong di kejauhan. "He! Kenapa Timmy menggonggong
seperti itu" Jangan-jangan kedua orang itu datang ke caravan kita!"
"Untung Timmy kita suruh menjaga di situ," kata Dick. "Kalau tidak, bisa saja
kita kecurian!" Baru saja kata-kata itu diucapkannya, muka Dick langsung menjadi merah padam. Ia
teringat, laki-laki yang dicurigainya itu paman Nobby. Mungkin saja anak itu
merasa tersinggung mendengarnya berbicara, seolah-olah menuduh Tiger Dan
melakukan pembongkaran. Tapi Nobby sama sekali tak merasa tersinggung.
"Kau tak perlu menyesali kata-katamu mengenai pamanku," katanya dengan suara
yang masih tetap riang. "Aku juga tahu, dia memang jahat. Lagipula dia bukan
benar-benar pamanku. Ketika ayah dan ibuku meninggal dunia, aku diwarisi uang
sedikit. Dan ternyata mereka meminta Tiger Dan agar aku diasuhnya. Ia lantas
mengambil uangku dan menyebut dirinya paman. Sejak itu aku harus ikut terus
dengan dia." "Kalau begitu, ia satu sirkus dengan ayah ibumu?" tanya Julian.
"Memang - ayahku dulu juga pelawak, seperti Tiger Dan," kata Nobby. "Keluargaku
sedari dulu selalu menjadi badut sirkus. Tapi tunggu saja sampai aku sudah cukup
dewasa. Aku akan minggat! Aku akan menggabungkan diri dengan sirkus lain, di
mana aku akan diperbolehkan mengurus kuda-kuda. Aku paling senang dengan kuda!
Tapi petugas di sirkus kami jarang mengijinkan aku mendekati binatang-binatang
itu. Kurasa ia cemburu, karena aku pandai mengurus kuda!"
Anak-anak memandang Nobby dengan kagum. Bagi mereka, anak itu benar-benar luar
biasa: berjalan-jalan dengan simpanse jinak, pandai melatih serombongan anjing
sirkus, tinggal bersama kepala pelawak, pandai berjumpalitan, dan ingin sekali
mengadakan pertunjukan bersama kuda-kuda! Benar-benar anak istimewa. Dick agak
iri terhadap Nobby.

Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau pernah sekolah?" tanyanya pada Nobby. Anak itu menggeleng.
"Belum pernah! Aku tak bisa menulis. Kalau membaca, bisa juga sedikit-sedikit.
Kebanyakan orang sirkus memang begitu, jadi tak ada yang mempersoalkannya. Tapi
kalian pasti pintar sekali! Wah, kurasa bahkan Anne yang kecil ini saja sudah
pintar membaca buku!"
"Ah, sudah sejak bertahun-tahun aku pandai membaca," kata Anne agak bangga. "Dan
dalam berhitung, kami sekarang sudah mulai dengan angka pecahan."
"Huh! Apa itu - pecahan" Yang pecah apanya, sehingga harus dihitung-hitung?"
tanya Nobby heran. "Tak ada yang pecah," jawab Anne geli. "Maksudku menghitung angka-angka yang
lebih kecil dari satu! Seperti seperempat, setengah, tujuh perdelapan dan
sebagainya. Tapi aku lebih kepingin bisa berjumpalitan seperti kamu, Nobby daripada tahu caranya menghitung pecahan!"
"Kenapa Timmy masih menggonggong terus?" tanya George heran, sementara mereka
semakin dekat ke rumpun pohon birk. Kemudian langkahnya tertegun. Dilihatnya dua
orang berbaring di rumput, di bawah pohon-pohon itu. Lou - dan Tiger Dan!
Nobby tak sempat lagi bersembunyi. Kedua laki-laki itu sudah melihatnya. Mereka
bangkit, dan menunggu sampai anak-anak mendekat. George bersyukur dalam hati,
karena Timmy ada di dekat situ. Pasti akan langsung datang jika dipanggil dengan
siulan, atau seruan. Julian memandang kedua laki-laki itu. Ia heran, karena nampaknya mereka bersikap
ramah sekarang. Tiger Dan merengut sekejap ketika melihat Nobby. Tapi hanya
sekejap saja. Setelah itu air mukanya manis lagi. Semanis cuka diberi gula!
"Selamat malam," sapa Julian ketus. Maksudnya hendak melewati tanpa berkata apaapa lagi, tapi Lou melangkah dan menghadangnya.
"Kami lihat kalian berkemah di sini rupanya," katanya. Ia nyengir, menampakkan
sebaris gigi kuning. "Aku tak perlu membicarakan urusan kami denganmu, atau dengan kawanmu," kata
Julian. Sikapnya saat itu seperti orang dewasa saja. "Kalian menyuruh kami pergi
dari bawah, dan kami sudah pergi. Apa yang kami lakukan sekarang, tak ada
hubungannya dengan kalian."
"O ya, tentu saja ada!" balas Tiger Dan. Kedengaran jelas bahwa ia memaksakan
diri bersikap sopan. "Kami ke atas ini karena mencari tempat yang cocok untuk
binatang-binatang kami. Dan kami tak ingin membahayakan kalian!"
"Kami takkan mengalami bahaya," kata Julian meremehkan. "Tempat di bukit-bukit
ini cukup lapang untuk kalian bersama binatang-binatang sirkus, dan juga untuk
kami. Kalian takkan bisa menakut-nakuti kami, jadi jangan mencoba-coba. Kami
akan tinggal di sini selama kami mau - dan jika kami memerlukan bantuan, dekat
sini ada petani beserta pembantu-pembantunya. Belum lagi anjing kami!"
"Anjingmu kalian suruh menjaga di sini?" tanya Lou, ketika terdengar Timmy
menggonggong lagi. "Anjing itu seharusnya dibunuh. Dia berbahaya!"
"Dia hanya berbahaya bagi bandit-bandit dan orang jahat," kata George mencampuri
percakapan. "Sebaiknya kalian jauh-jauh saja dari caravan kami, jika Timmy
sedang menjaga. Kalau berani mendekat, bisa habis nanti digigitnya."
Lou mulai marah. "Bagaimana, kalian masih mau pergi atau tidak?" katanya keras. "Sudah kami
katakan tadi, kami memerlukan tempat ini. Kalian bisa berkemah lagi dekat danau,
jika kalian mau." "Ya - pindah saja ke sana," kata Tiger Dan pada anak-anak yang semakin merasa
heran. "Datang saja ke bawah! Kalian bisa mandi-mandi di danau setiap hari - dan
Nobby bisa mengajak melihat-lihat sirkus. Kalian akan bisa berkenalan dengan
semua binatang yang ada di sana."
Sekarang giliran Nobby tercengang.
"Astaga! Padahal tadi aku dipukul sampai biru, karena ingin berteman dengan
anak-anak ini," katanya. "Apa sebetulnya niat Paman" Binatang-binatang sebelum
ini, kan tak pernah dibawa ke atas bukit! Paman..."
"Tutup mulutmu!" bentak Tiger Dan keras. Begitu keras, sehingga anak-anak
terlompat. Lou menyikut Tiger Dan, dan seketika itu juga sikapnya kembali
berubah. Pura-pura ramah!
"Kami tak ingin Nobby bersahabat dengan anak-anak kaya seperti kalian," katanya.
"Tapi jika kalian sendiri nampaknya ingin berteman dengan dia - silakan. Kami
tak melarang! Kalian turun saja dan berkemah dekat danau, lalu Nobby bisa
mengajak melihat-lihat perkemahan kami. Mau apa lagi?"
"Masih ada alasan lain, kenapa kalian mengajukan usul ini?" kata Julian ketus.
"Sayang, rencana kami sudah pasti, dan aku tak berniat membicarakannya dengan
kalian." "Yuk, kita datangi saja Timmy," kata Dick. "Ia menggonggong-gonggong karena
mendengar suara kita! Sebentar lagi pasti dia akan menyerbu ke mari. Nanti sukar
kita menahannya, jangan sampai menyerang kedua orang ini."
Keempat anak itu mulai berjalan lagi. Nobby masih ragu-ragu. Ia memandang
pamannya. Ia tidak tahu sebaiknya ikut dengan anak-anak itu atau tidak. Lou
menyikut Tiger Dan lagi. "Kalau mau ikut dengan mereka, pergilah," kata Tiger Dan, sambil berusaha
tersenyum ramah pada Nobby yang keheranan. "Bergaul sajalah dengan sobat-sobatmu
yang mentereng itu! Akan banyak gunanya bagimu!" Senyuman lenyap digantikan
pandangan marah. Tapi Nobby lebih cepat. Ia meloncat mengelakkan tangan pamannya
yang bergerak hendak memegangnya.
Nobby bergegas menyusul teman-temannya. Timmy datang menyongsong sambil ribut
menggonggong, sementara ekornya yang berbulu lebat dikibas-kibaskan tanda
gembira. "Anjing manis! Anjing manis!" kata George berulang-ulang sambil menepuk-nepuk
kepala Timmy. "Pandai sekali kau menjaga. Kau pasti tahu aku akan bersiul
memanggil jika memerlukan bantuanmu, ya Tim" Anjing baik!"
"Akan kupersiapkan makanan sekarang," kata Anne. "Kita semua sudah sangat lapar.
Nanti kita bisa ngobrol sambil makan. George, tolong aku sebentar! Julian,
ambilkan beberapa botol limun jahe. Dan Dick, isikan air dalam basi itu
untukku." Anak-anak yang laki-laki saling mengedipkan mata. Menurut mereka, Anne kocak
sekali kalau sedang memberi komando seperti saat itu. Tapi semua mematuhi
perintahnya dan sibuk bekerja.
Nobby membantu Anne. Mereka merebus sepuluh butir telor dalam panci kecil.
Kemudian Anne membuat roti berisi daging ditumis, lalu mengeluarkan kue yang
didapat dari isteri petani. Anne kemudian teringat, mereka juga mempunyai sirup
yang dibuat dari buah frambus. Sedaaap!
Tak lama kemudian kelima remaja itu sudah duduk-duduk di atas serambi batu yang
terasa masih hangat. Mereka memandang matahari terbenam di balik danau. Petang
itu indah sekali. Danau berwarna biru pekat, sementara langit dihiasi awan
bergumpal kemerah-merahan. Mereka memandang sambil makan dengan nikmat. Satu
tangan memegang telor rebus yang sudah dikupas kulitnya, sedang tangan yang satu
lagi berulang kali menyodorkan roti berlapis mentega ke mulut. Di depan mereka
ada garam yang ditaruh dalam mangkok, sebagai penyedap telor rebus.
"Entah kenapa, tapi rasanya hidangan pada saat piknik selalu lebih nikmat
daripada yang kita makan di rumah sendiri," kata George. "Misalnya saja kalau
kita makan roti dengan mentega serta telor rebus di rumah, rasanya pasti tak
seenak sekarang." "Kalian semua mampu makan dua telor rebus?" tanya Anne. "Aku merebuskan dua
butir untuk tiap orang. Kecuali itu masih ada pula kue - serta roti lagi dan
buah prem yang kita petik tadi pagi."
"Belum pernah aku makan seenak sekarang," kata Nobby, sambil mengambil telor
rebusnya yang kedua. "Dan belum pernah pula aku makan bersama teman-teman sebaik
saat ini!" "Terima kasih," kata Anne. Sedang saudara-saudaranya, semua berseri-seri
parasnya. Mungkin saja Nobby tidak begitu mengenal kebiasaan bersopan-santun,
tapi kata-katanya selalu menyenangkan untuk didengar.
"Untung saja pamanmu tidak memaksamu ikut dengan dia dan Lou," kata Dick. "Aneh
- pikiran bisa berubah-ubah seperti dia."
Anak-anak lantas sibuk membicarakan soal itu. Julian merasa benar-benar bingung
disebabkannya. Ia bahkan mulai berpikir-pikir, apakah tidak lebih baik jika
mencari tempat perkemahan lain saja di balik bukit. Tapi dengan segera saudarasaudaranya memprotes. "JULIAN!" seru mereka serempak. "Kita bukan penakut! Kita harus tetap di sini."
"Apa, pergi dari sini - untuk apa" Kita tidak mengganggu orang lain, tak peduli
apa kata mereka tadi!"
"Masa bodoh kata orang lain, aku tak mau memindahkan caravanku!" Tentu saja
George yang berkata begitu.
"Jangan! Kalian jangan pergi dari sini," kata Nobby mencampuri. "Jangan
pedulikan Lou serta pamanku. Kalian takkan diapa-apakan oleh mereka. Mereka
hanya mau mengganggu saja. Kalian di sini saja - nanti kuajak melihat-lihat
perkemahan kami." "Aku bukannya hendak menuruti perintah mereka," kata Julian. "Cuma soalnya - aku
kan yang bertanggung jawab atas kita semua - dan aku agak waswas melihat Lou dan
Tiger Dan - lalu, yah..."
"Sudahlah, ini telor untukmu! Lupakan saja gagasan itu," kata Dick. "Kita akan
bertahan dalam lembah bukit ini, tak peduli apakah Dan dan Lou ingin agar kita
pergi dari sini. Tambahan lagi, aku ingin sekali mengetahui sebabnya mereka
begitu mendesak agar kita pergi. Rasanya benar-benar aneh!"
Matahari terbenam, diiringi pancaran sinar merah bercampur jingga. Air danau
berkilauan, memantulkan warna seperti api. Dengan perasaan enggan, Nobby bangkit
dari tempatnya duduk selama itu. Barker dan Growler yang selama itu bermain-main
dengan Timmy, ikut berdiri.
"Aku harus pergi sekarang," kata Nobby. "Masih ada pekerjaan menunggu di bawah.
Bagaimana jika kalian turun ke bawah besok, untuk melihat-lihat binatang kami"
Kalian pasti akan senang pada Nyonya Tua. Itu nama gajah kami. Dia manis sekali!
Dan Pongo - si konyol itu pasti akan senang melihat kalian datang lagi."
"Tapi mungkin besok pamanmu sudah berubah pikiran lagi, dan kami tak
diijinkannya masuk ke perkemahan," kata Dick.
"Yah - kalau begitu besok akan kuberikan isyarat pada kalian," kata Nobby. "Aku
akan ke tengah danau, lalu melambai-lambaikan sapu tangan. Dengan begitu kalian
akan tahu, bisa atau tidak kalian ke kemah kami. Yah - jadi sampai besok!"
Bab 11 MELIHAT-LIHAT PERKEMAHAN SIRKUS
KEESOKAN paginya ketika Anne sedang sibuk berbenah bersama George sehabis
sarapan, dan Dick sedang ke tempat pertanian untuk membeli apa saja yang
disediakan oleh isteri petani yang baik hati untuk mereka, Julian menyibukkan
diri dengan teropong. Ia duduk di atas serambi batu. Teropong diarahkannya ke
danau, untuk memperhatikan kalau Nobby muncul dengan perahu di situ.
Sementara itu Dick berlenggang kangkung sambil bersiul-siul, pergi ke tempat
pertanian. Isteri petani gembira sekali melihat ia datang. Ditunjukkannya dua
buah keranjang besar, penuh berisi makanan. Mata Dick bersinar-sinar melihatnya.
"Berapa harus saya bayar?" tanyanya. Diurusnya pembayaran, lalu diambilnya kedua
keranjang itu. Isteri petani, Bu Mackie namanya, memasukkan sebuah bungkusan ke
dalam kantong Dick. "Cuma manisan saja, bikinanku sendiri," kata Bu Mackie. Itulah hadiahnya untuk
anak-anak. Dick tersenyum meringis.
"Yah, aku takkan menawarkan untuk membayarnya, karena takut digebuk dengan
penggiling adonan," katanya berkelakar. "Tapi pokoknya, terima kasih banyak."
Dick pergi dengan gembira. Dibayangkan betapa senangnya Anne nanti, pada saat
mengeluarkan bahan makanan dari keranjang. Pasti adiknya itu akan gembira
sekali, karena bisa menaruhkan semuanya dalam tempat penyimpanan makanan dan
menaruh mentega di piring yang direndam dalam basi berisi air dingin! Dan telortelor, diatur rapi pada rak yang khusus untuk itu. Ketika ia sampai di
perkemahan, Julian memanggilnya.
"Nobby ada di danau dengan perahunya. Lihat saja sendiri! Dia melambai-lambaikan
sesuatu - tapi tak mungkin selembar sapu tangan. Mungkin seperai tempat
tidurnya!" "Nobby kalau tidur tidak memakai seperai," kata Anne. "Ia tak tahu apa gunanya
ketika melihatnya di pembaringan kita. Kurasa mungkin itu taplak meja."
"Pokoknya sesuatu yang lebar, untuk mengisyaratkan pada kita bahwa kita bisa
dengan aman turun ke perkemahan mereka," kata Julian. "Kita sudah siap semua?"
"Belum," kata Anne, sambil mengeluarkan barang-barang makanan dari keranjang
yang dibawa Dick. "Aku harus menyimpan ini dulu - dan kalian tidak ingin membawa
makanan untuk piknik nanti" Sebab kalau mau, aku harus menyiapkannya dulu. Wah banyaknya makanan ini!"
Saudara-saudaranya berdatangan ingin ikut melihat.
"Bu Mackie memang baik hati," kata Anne, sambil mengeluarkan isi kedua keranjang
satu per satu. "Dan ini hadiah - manisan buatan sendiri," kata Dick lagi sambil mengambil
bungkusan dari kantongnya. "Kalian mau juga?"
Setengah jam kemudian Anne sudah selesai dengan pekerjaannya. Anak-anak
menyiapkan hidangan piknik untuk mereka, dan sekaligus juga untuk Nobby. Mereka
tak lupa membawa pakaian mandi serta handuk.
"Bagaimana Timmy kita ajak atau tidak?" kata George bimbang. "Sebetulnya aku
ingin membawanya. Tapi kedua laki-laki itu nampaknya berminat terhadap caravancaravan kita. Karena itu mungkin lebih baik Timmy menjaga lagi di sini. Jangan
sampai kalau kita kembali nanti caravan-caravan dirusak, atau isinya dicuri."
"Wah, gawat!" kata Dick. "Barang-barang itu bukan kepunyaan kita, begitu pula
caravan-caravan ini. Kita kan cuma meminjam saja, jadi harus memelihara baikbaik. Kurasa lebih baik Timmy kita suruh menjaga saja di sini! Bagaimana
Julian?" "Betul," kata Julian dengan segera. "Caravan-caravan ini sangat mahal harganya,
jadi kita tak boleh sembarangan saja meninggalkannya. Siapa tahu, ada
gelandangan lewat lalu timbul pikiran iseng! Walau sebetulnya kita bisa saja
menguncinya. Yah! Pokoknya Timmy kita tinggal saja hari ini untuk menjaga lagi.
Kasihan Timmy!" Timmy kelihatannya murung. Seolah-olah sedih. Apa - anak-anak akan pergi lagi
dengan tidak mengajak dia" Anjing itu mengerti apa arti 'menjaga'. Jadi dia
harus tinggal di situ menemani kedua rumah beroda, sampai anak-anak pulang.
Padahal ia sudah kepingin sekali berjumpa dengan Pongo. Telinga dan ekor Timmy
terkulai. Benar-benar menyedihkan kelihatannya saat itu.
Tapi apa boleh buat! Anak-anak beranggapan bahwa caravan-caravan tidak bisa
ditinggalkan tanpa penjagaan, karena mereka masih ragu-ragu tentang Lou dan
Tiger Dan. Mereka menepuk-nepuk Timmy yang malang dan mengelus-elusnya, lalu
mengucapkan selamat tinggal. Anjing itu kemudian pergi ke serambi batu. Di situ
ia duduk sambil membelakangi anak-anak, tidak mau menyaksikan mereka pergi.
"Lihatlah, ia merajuk," kata George. "Kasihan si Timmy!"
Dalam waktu yang tak begitu lama mereka sudah sampai di perkemahan. Nobby sudah
menunggu di situ, ditemani oleh Pongo, Barker dan Growler. Nobby meringis karena
gembira. Nyaris terbelah dua mukanya - begitu lebar senyumnya saat itu!
"Jadi kalian melihatku memberi isyarat?" katanya. "Paman ternyata tidak berubah
pikiran lagi! Ia kelihatannya bahkan senang sekali pada kalian sekarang, dan aku
disuruhnya mengantar kalian melihat-lihat apa saja yang ingin kalian ketahui.
Aku tadi melambai-lambai dengan kemejanya. Menurut pendapatku, jika aku memberi
isyarat dengan kain yang besar sekali, kalian akan tahu bahwa sama sekali tak
ada bahaya untuk datang ke mari."
"Pakaian mandi dan keranjang piknik ini enaknya ditaruh di mana, sementara kita
melihat-lihat perkemahan?" tanya Anne. "Kalau bisa, tempatnya harus teduh."
"Taruh saja dalam caravanku," kata Nobby, lalu mendului pergi ke sebuah caravan.
Tempat tinggal beroda itu dindingnya dicat biru dan kuning, sedang roda-rodanya
merah. Anak-anak ingat pernah melihatnya ketika iring-iringan sirkus lewat di
depan rumah kira-kira satu atau dua minggu yang lalu.
Mereka menjenguk ke dalam. Ternyata tak senyaman caravan mereka. Lebih sempit
dan sangat acak-acakan. Kelihatannya juga kotor. Ruangan itu bau sekali. Anne
sama sekali tak senang melihatnya.
"Tidak sebagus punya kalian!" kata Nobby. "Aku kepingin punya caravan sebagus
kepunyaan kalian. Rasanya seperti pangeran saja kalau bisa diam di situ! Nah
sekarang apa yang paling dulu ingin kalian lihat" Gajah" Yuk, kita ke
tempatnya." Anak-anak berjalan menuju pohon di mana Nyonya Tua ditambatkan. Gajah itu
membelitkan belalainya ke pinggang Nobby, sementara matanya yang kecil tapi
cerdas menatap anak-anak.
"Nah, Nyonya Tua!" kata Nobby. "Kau ingin mandi?"
Gajah itu bersuara keras seperti bunyi terompet, sehingga anak-anak kaget
dibuatnya. "Nanti kau kuajak," kata Nobby berjanji. "Sekarang - hop hop hop!"
Mendengar aba-aba itu, Nyonya Tua mempererat lilitan belalainya ke pinggang
Nobby. Anak itu dijunjung tinggi ke udara, lalu diletakkannya dengan hati-hati
sekali ke tengkuknya. Napas Anne tersentak karena kaget.
"Aduh!" serunya. "Tidak sakit, Nobby?"
"Tentu saja tidak!" kata Nobby dari atas. "Nyonya Tua takkan mau menyakiti siapa


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun." Saat itu seorang laki-laki bertubuh kecil datang mendekati mereka. Orang itu
matanya berkilat-kilat, seperti digosok licin. Ia tersenyum lebar.
"Selamat pagi," katanya menyapa anak-anak. "Kalian senang melihat Nyonya Tua"
Ingin melihat dia main bola?"
"O ya!" seru anak-anak serempak. Laki-laki bertubuh kecil itu mengambil sebuah
pemukul, lalu menyodorkannya pada Nyonya Tua. Gajah itu menerimanya dengan
belalai, lalu mengayun-ayunkan kian ke mari. Dengan cekatan Nobby turun lagi ke
tanah. "Biar aku saja yang main dengannya, Larry," kata anak itu. Diambilnya bola yang
tadinya dipegang laki-laki itu, lalu dilambungkannya ke arah Nyonya Tua. Pemukul
terayun, dan PLAK - bola melayang lewat kepala anak-anak!
Julian mengambil bola, lalu dilemparkannya ke arah gajah. Sekali lagi belalai
terayun - dan sekali lagi bola mental jauh sekali. Dengan segera semuanya sudah
ikut asyik bermain bola dengan Nyonya Tua.
Beberapa anak kecil datang menonton. Tapi ketika diajak bicara oleh Julian atau
George, mereka ketakutan dan langsung lari masuk ke caravan mereka. Anak-anak
itu kelihatannya kotor dan pakaiannya compang-camping. Tapi kebanyakan bagus
sekali matanya dan berambut tebal berombak-ombak. Sayang, kelihatannya jarang
dicuci dan disikat! Nobby pergi menjemput Pongo. Simpanse itu sudah ribut menandak-nandak dalam
kurungannya. Ia menyangka sudah dilupakan anak-anak. Ketika dilepas, nampaknya
gembira sekali! Dengan segera Anne dirangkulnya. Ditariknya rambut George, lalu
disembunyikannya muka di balik tangannya sambil mengintip di celah-celah jari.
Nakal sekali simpanse itu!
"Dia memang bandel sekali - bukankah begitu, Pongo?" kata Nobby. "Jangan
minggat, Pongo, nanti kukurung lagi dalam kandang. Mengerti?"
Kemudian mereka mendatangi kandang anjing, lalu melepaskan semuanya. Anjinganjing itu kebanyakan jenis terrier, atau jenis campuran. Kelihatannya pintarpintar dan tahu aturan. Mereka melonjak-lonjak mengelilingi Nobby. Nampak jelas
binatang-binatang itu sangat sayang pada anak itu, dan mempercayainya.
"Kalian mau melihat mereka bermain bola?" tanya Nobby. "Ke sini, Barker - ambil
bola. Cepat!" Barker melesat ke caravan Nobby. Pintu caravan itu tertutup. Tapi Barker tidak
kurang akalnya. Anjing itu tegak pada kaki belakang, lalu menyentakkan tuas
pintu ke bawah dengan hidungnya. Pintu terbuka, dan dengan segera Barker
menyelinap ke dalam. Sesaat kemudian muncul kembali membawa bola, yang didorongdorong dengan hidung. Bola itu tergulir, menuruni tangga dan menggelinding ke
lapangan. Anjing-anjing berebutan mengejar sambil melolong-lolong karena
gembira. Bola itu ramai diperebutkan, sementara Nobby berdiri dengan kaki terbentang
lebar. Dia menjadi gawang, kedua tungkainya merupakan tiang-tiangnya!
Barker dan Growler menjadi pihak penyerang sedang anjing-anjing lain bertugas
mempertahankan gawang. Pertandingan mereka kocak sekali! Pada suatu ketika
Barker berhasil memasukkan bola ke dalam gawang. Caranya luar biasa. Bola
ditubruk sehingga mental masuk di antara kedua kaki Nobby. Tapi tahu-tahu Pongo
mencampuri pertandingan. Simpanse itu melompat dengan cepat. Bola disambarnya,
lalu dibawa lari. "Curang! Curang!" teriak Nobby. Anjing-anjing semuanya memburu simpanse bandel
itu. Tapi Pongo melompat ke atap sebuah caravan. Di situ bola dilambunglambungkannya, sambil nyengir ke bawah. Seolah-olah menertawakan anjing-anjing
yang ribut menggonggong dengan marah.
"Aduh! Aduh! Sakit perutku karena tertawa," kata Anne sambil menekan-nekan
pinggang. Dihapusnya air mata yang meleleh karena kebanyakan tertawa.
Nobby terpaksa memanjat ke atas caravan, untuk mengambil bola. Dengan segera
Pongo meloncat turun dari sebelah sana, tapi bola ditinggalkannya di atas.
Ditaruhnya menutupi lobang cerobong! Simpanse itu memang nakal sekali!
Kemudian anak-anak pergi melihat kuda. Semuanya kelihatan bagus, semua berbulu
indah mengkilat. Saat itu mereka sedang dilatih berbaring mengelilingi lapangan
luas. Pelatih mereka seorang pemuda bertubuh jangkung. Namanya Rossy. Kuda-kuda
itu menuruti setiap perintahnya.
"Bolehkah aku menunggang Ratu Hitam, Rossy?" tanya Nobby kepingin. "Boleh ya!"
"Baiklah," kata Rossy. Rambutnya hitam, berkilat-kilat seperti bulu kuda-kuda
itu. Kemudian Nobby melakukan sesuatu yang menyebabkan teman-temannya melongo
karena kagum. Anak itu meloncat dan langsung berdiri di atas punggung seekor
kuda besar berbulu hitam. Sementara Nobby masih tetap berdiri, kuda itu berlarilari mengelilingi lapangan!
"Jatuh dia nanti!" pekik Anne ngeri. Tapi tentu saja Nobby tak mungkin jatuh.
Malahan tiba-tiba saja ia jungkir balik, dan menunggang Ratu Hitam dalam posisi
terbalik. Kaki ke atas dan kepala ke bawah. Ia bertopang ke punggung kuda dengan
kedua tangannya! "Bagus, bagus!" seru Rossy. "Kau pandai menunggang kuda, Anak muda! Sekarang
coba menunggangi Fury!"
Kuda yang dimaksudkannya bertubuh kecil. Tapi kecil-kecil cabe rawit! Matanya
bersinar-sinar, menandakan sifat senang membangkang. Nobby lari menghampiri,
lalu langsung melompat ke punggungnya. Fury berdiri pada kaki belakang sambil
mendengus-dengus, berusaha melemparkan Nobby ke tanah. Tapi Nobby tak semudah
itu bisa dilemparkan. Apa pun yang dicoba oleh Fury, Nobby tetap melekat di
punggungnya seperti lintah.
Akhirnya Fury bosan meronta-ronta, lalu mulai lari meligas berkeliling lapangan.
Kemudian kuda itu mulai menderap. Larinya kencang. Tapi sekonyong-konyong
berhenti! Maksudnya hendak menjungkirkan Nobby!
Tapi anak itu sudah mengenal tipu muslihatnya. Dengan cepat disentakkannya
tubuhnya ke belakang, sehingga tidak kehilangan keseimbangan.
"Bagus! Bagus!" seru Rossy. "Tak lama lagi pasti ia akan menurut padamu, Nobby.
Anak pintar!" "Kau benar-benar pintar, Nobby!" seru Anne. "Aku kepingin sekali bisa seperti
kamu. Sungguh, aku kepingin sekali."
Nobby turun dari punggung Fury. Mukanya berseri-seri. Enak rasanya, bisa pamer
di hadapan teman-temannya yang 'kalangan tinggi' itu. Tapi kemudian ia
celingukan. "He! Pongo ke mana?" katanya. "Pasti sudah iseng lagi! Yuk, kita mencarinya."
Bab 12 KEGEMBIRAAN YANG AKHIRNYA MENYEDIHKAN
TAK LAMA kemudian mereka sudah melihat simpanse itu. Pongo muncul dari balik
salah satu caravan. Kelihatannya puas! Dihampirinya Anne lalu disodorkannya
tangannya pada anak itu, sambil bersuara sayang. Nguknguknguk!
Anne menerima benda yang disodorkan, lalu diperhatikannya.
"Telor rebus! Aduh, Nobby - dia merampok keranjang piknik kita!"
Dan ternyata dugaan Anne tepat! Dua telor rebus lenyap, begitu pula beberapa
tomat. Nobby menampar Pongo, lalu menyeretnya kembali ke kandang. Simpanse itu
sedih. Suaranya seperti menangis, sementara mukanya ditutup dengan kedua belah
tangan. Anne merasa kasihan.
"Ia betul-betul menangis?" katanya prihatin. "Maafkan sajalah, Nobby. Dia tadi
tidak bermaksud nakal."
"Ah, dia tidak sungguh-sungguh menangis - hanya pura-pura saja," kata Nobby.
"Dan ia memang sengaja nakal. Aku kenal kunyuk yang satu ini!"
Sepagi itu anak-anak asyik melihat-lihat binatang piaraan sirkus. Tahu-tahu
sudah saatnya makan siang, padahal mereka belum sempat melihat monyet-monyet.
"Nanti saja kita ke sana," kata Nobby. "Sekarang kita makan dulu. Yuk, kita
makan di tepi danau."
Selama itu anak-anak sama sekali tak melihat Lou, begitu pula Tiger Dan.
Bukannya mereka kepingin bertemu dengan mereka! Bahkan sebaliknya.
"Mereka ke mana?" tanya Julian. "Pergi sepanjang hari?"
"Ya, syukurlah," kata Nobby. "Mereka pergi, untuk salah satu urusan rahasia
mereka. Kalau kami sedang berkeliling dari tempat yang satu ke tempat lain,
pamanku kadang-kadang menghilang malam-malam. Kadang-kadang aku terbangun - dan
ia tak ada di pembaringannya."
"Ke mana perginya?" tanya George.
"Aku tak berani menanyakannya," jawab Nobby. "Pokoknya, dia dan juga Lou hari
ini takkan muncul. Menurut perasaanku, baru malam nanti mereka kembali."
Anak-anak berpiknik di tepi danau. Airnya berkilauan, biru dan tenang sekali.
Seperti mengajak mereka mandi-mandi di situ.
"Kita berenang yuk!" ajak Dick, setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya.
Julian melirik arlojinya.
"Tak baik berenang sehabis makan kenyang," katanya. "Kau kan juga mengetahuinya,
Dick. Kita harus menunggu sebentar."
"Betul juga," kata adiknya itu sambil merebahkan diri. "Aku ingin tidur sebentar
- atau lebih baik sekarang saja melihat monyet-monyet?"
Kelima remaja itu tidur-tiduran sebentar. Setelah itu mereka pergi, hendak
melihat kandang monyet. Tapi waktu tiba di perkemahan, nampak orang-orang ramai
berkumpul sambil berteriak-teriak.
"Ada apa?" tanya Nobby kaget. "Astaga, monyet-monyet itu lepas semuanya!"
Benarlah! Ke mana saja anak-anak memandang, nampak monyet kecil berbulu coklat
ribut mengoceh. Di atas caravan, di atas tenda - di mana-mana!
Seorang wanita berkulit coklat yang tajam tatapan matanya datang menghampiri
Nobby. Dipegangnya bahu anak itu, lalu digoncang-goncangnya.
"Lihatlah, apa yang dilakukan simpansemu itu!" katanya. "Kau memasukkannya ke
dalam kurungan, tapi pintunya tak kaukunci dengan benar. Sebagai akibatnya ia
keluar, lalu membuka pintu kandang monyet sehingga semuanya lepas. Dasar
simpanse bandel - kalau berhasil kutangkap, akan kupukul dengan gagang sapu!"
"Mana Lucilla?" tanya Nobby, sambil melepaskan diri dari cengkeraman wanita yang
marah-marah itu. "Tidak bisakah ia menyuruh monyet-monyet itu masuk lagi ke
kandang?" "Lucilla sedang ke kota," kata wanita itu. Ia masih marah-marah. "Pasti dia
nanti akan gembira sekali, jika kembali dan mendengar kejadian ini!"
"Ah, jangan ributkan monyet-monyet itu!" kata Nobby. "Mereka takkan apa-apa.
Mereka pasti menunggu sampai Lucilla datang."
"Siapakah Lucilla itu?" tanya Anne. Menurut perasaannya, hidup dalam perkemahan
sirkus mengasyikkan sekali.
"Dia pemilik monyet-monyet itu," jawab Nobby. "Nah, itu dia - Lucilla sudah
kembali! Sekarang semuanya akan beres."
Seorang wanita tua yang sudah keriput datang bergegas-gegas. Menurut perasaan
Anne, banyak sekali kemiripannya dengan monyet-monyet piaraannya. Tubuh wanita
tua itu kecil dan bungkuk. Matanya tajam dan bersinar-sinar. Tangannya yang
kecil memegang erat selendang merah yang mengerudunginya.
"Monyet-monyet lepas!" seru anak-anak sirkus berebut-rebut. "LUCILLA! Monyetmonyet lepas!" Lucilla mendengar seruan itu. Dengan suaranya yang melengking tinggi,
dimarahinya semua yang ada di tempat itu. Kemudian ia berdiri, tak bergerak sama
sekali. Hanya kedua lengannya saja yang dibentangkan lebar-lebar. Dengan suara
pelan diucapkannya beberapa patah kata dalam suatu bahasa yang tak dikenal
Julian serta saudara-saudaranya. Kata-kata mantera, demikian sangkaan Anne
kemudian. Satu per satu monyet-monyet yang tadinya berkeliaran itu berdatangan. Ada yang
turun dari atap caravan, ada yang dari atas tenda - semua menghampiri Lucilla
sambil mengoceh ramai. Seolah-olah mengucapkan selamat datang padanya. Mereka
bergantungan ke pundak wanita tua itu, merapatkan diri ke dalam pelukannya seperti anak-anak kecil bertubuh coklat. Tak ada seekor monyet yang tertinggal.
Semua mendatangi Lucilla seperti disihir!
Dengan langkah pelan Lucilla menuju ke kandang monyet. Ia berjalan sambil
menggumam terus. Semua menyaksikan sambil membisu.
"Lucilla aneh sekali," kata wanita berkulit coklat pada Nobby. "Ia sayangnya
cuma pada monyet-monyet itu - dan yang menyayanginya juga cuma mereka saja.
Hati-hati saja jangan sampai dia memukul simpansemu, karena tadi nakal dan
membuka pintu kandang monyet!"
"Pongo akan kubawa ke danau mandi-mandi bersama Nyonya Tua," kata Nobby cepatcepat. "Kalau kami kembali nanti, pasti Lucilla akan sudah lupa lagi."
Mereka menjemput Nyonya Tua. Saat itu mereka melihat Pongo. Simpanse nakal itu
bersembunyi di kolong sebuah caravan. Mereka lantas cepat-cepat pergi ke danau.
Nyonya Tua kelihatannya gembira, karena akan dimandikan. Gajah memang suka mainmain di air. "Kurasa hal-hal seperti tadi pasti merupakan kejadian biasa dalam perkemahan
sirkus," kata Anne. "Lain sekali dengan kehidupan biasa!"
"O ya?" kata Nobby heran. "Bagiku beginilah kehidupan yang biasa!"
Air di danau terasa sejuk. Mereka asyik sekali berenang-renang dan main siramsiraman di situ. Pongo tak mau diajak terlalu jauh masuk ke air. Tapi semua yang
berani mendekat pasti habis disiramnya. Pongo keasyikan bermain air. Sekali
Nyonya Tua dikejutkannya, ketika tiba-tiba saja ia meloncat ke punggungnya
lantas menarik salah satu telinganya yang besar.
Nyonya Tua mencelupkan belalai ke dalam air dan menyedotnya sampai banyak
sekali. Kemudian diarahkannya belalai itu ke punggungnya. Sekali itu kebandelan
Pongo mengalami pembalasan! Ia kaget setengah mati, ketika tiba-tiba disemprot
dengan air yang memancar dari belalai. Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal,
lebih-lebih lagi ketika melihat Pongo terjungkir dari punggung Nyonya Tua.
Simpanse itu masuk ke air. Sekujur tubuhnya basah kuyup! Padahal ia paling benci
apabila bulunya sampai basah.
"Salahmu sendiri, bandel!" seru Nobby. "He, sudah! Cukup, Nyonya Tua! Aku tak
perlu ikut-ikut kausemprot!"
Tapi rupanya gajah itu kini keasyikan sendiri dengan leluconnya itu. Ia tak mau
disuruh berhenti. Anak-anak terpaksa menjauh, karena Nyonya Tua jitu sekali
bidikannya! "Seumur hidupku, belum pernah aku sesenang saat ini!" kata Anne sambil
mengeringkan tubuhnya kemudian. "Setiap malam aku pasti akan mimpi tentang
monyet-monyet, gajah, kuda dan simpanse bandel!"
Nobby memamerkan keahliannya berjumpalitan seperti roda di tepi danau. Hanya
begitu saja - karena merasa sangat gembira! Dan Pongo tidak mau kalah, ia ikutikut berjumpalitan. Ternyata ia lebih pandai daripada Nobby. Anne ingin mencoba
juga. Tapi hasilnya - hidungnya mencium pasir pantai!
Mereka kembali ke perkemahan sirkus.
"Sayang aku tidak bisa mengajak kalian minum teh," kata Nobby agak menyesal.
"Tapi kami orang sirkus memang tidak biasa menyajikan hidangan teh pada sore
hari. Aku juga masih kenyang, karena makan banyak sekali tadi siang. Kalian
juga?" Ternyata semua masih merasa kenyang. Anne membagi-bagikan permen yang dibuat
sendiri oleh Bu Mackie. Pongo juga dibagi sebuah. Permen itu lengket menempel ke
giginya yang sebelah atas dan bawah. Pongo ketakutan! Kocak sekali tampangnya
ketika menyadari bahwa mulutnya ternyata tidak bisa dibuka lagi. Anak-anak
terpingkal-pingkal. Pongo terduduk, lalu mengayun-ayunkan tubuh. Ia mengerang-erang dengan suara
sedih. Tapi tak lama kemudian permen di mulutnya meleleh, dan Pongo bisa membuka
mulutnya lagi. Diisap-isapnya sisa permen yang masih ada. Tapi ketika ditawari
satu lagi, simpanse konyol itu menolak. Ogah, ah!
Anak-anak berkeliling sekitar perkemahan, melihat-lihat berbagai caravan. Tak
ada lagi yang terlalu mempedulikan mereka sekarang. Bagi orang-orang sirkus,
Julian dan saudara-saudaranya dianggap teman-teman Nobby. Biar termasuk
'kalangan mewah', tapi toh teman-teman Nobby! Beberapa anak kecil mengintip dari
balik pintu, lalu menjulurkan lidah. Tapi begitu Nobby berteriak, mereka
langsung menghilang lagi.
"Tak tahu aturan!" kata Nobby. "Tapi sebenarnya mereka anak-anak baik!"
Akhirnya mereka sampai di tempat wagon-wagon besar. Di situlah disimpan segala
macam peralatan sirkus. "Pada saat istirahat di perkemahan seperti sekarang ini, semua peralatan kami
biarkan saja tersimpan dalam wagon," kata Nobby menjelaskan. "Kami toh tak
memerlukannya di sini. Salah satu tugasku pada saat berkemah untuk mengadakan
pertunjukan, adalah membantu pembongkaran peralatan. Bangku-bangku harus
dikeluarkan semua, lalu diatur letaknya dalam tenda utama - maksudku tenda
sirkus. Pada saat-saat itu kami sibuk sekali!"
"Apa isi kereta ini?" tanya Anne, ketika mereka sampai di sebuah wagon kecil
yang ditutupi kain terpal yang terpasang rapat.
"Aku tidak tahu," jawab Nobby. "Kereta ini kepunyaan pamanku. Aku belum pernah
diijinkannya ikut membongkar isinya. Aku tak tahu apa yang disimpannya di situ.
Aku pernah bertanya pada diri sendiri, mungkin barang-barang yang di situ dulu
milik orang tuaku. Aku kan pernah bercerita, kedua orang tuaku sudah meninggal.
Pokoknya, kemudian aku memberanikan diri dan mengintip ke dalam. Tapi ketahuan
oleh Paman Dan. Aku dipukuli sampai babak belur!"
"Tapi kalau benar dulu milik orang tuamu, mestinya sekarang menjadi
kepunyaanmu," kata George.
"Anehnya, kereta ini kadang-kadang penuh isinya," kata Nobby lagi. "Tapi kadangkadang tidak! Mungkin Lou juga menaruhkan beberapa dari barang-barangnya di


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

situ!" "Yah, sekarang pasti tak ada yang bisa dimasukkan lagi!" kata Julian. "Nampaknya
sudah penuh sesak." Perhatian mereka pada wagon kecil itu lenyap, lalu meneruskan acara melihatlihat. Julian melirik arlojinya. Ia kaget, karena ternyata mati.
"Pukul berapa sekarang, Dick?" tanyanya pada adiknya.
"Astaga, sudah malam!" seru Dick setelah melihat arlojinya. "Pukul tujuh!
Pantas, perutku terasa lapar. Sudah waktunya kita kembali ke atas bukit. Kau
ikut, Nobby" Kalau mau kau bisa makan malam bersama kami di atas. Kau pasti bisa
menemukan jalan turun, walau sudah gelap."
"Aku akan mengajak Pongo serta Barker dan Growler," kata Nobby. Ia senang sekali
diajak naik. "Aku bisa saja tersesat, tapi mereka - tidak mungkin!"
Beramai-ramai mereka mendaki bukit. Mereka agak capek, karena seharian
bersenang-senang. Sambil berjalan, Anne sibuk merencanakan hidangan nanti.
Ketika mereka mendekati caravan-caravan, terdengar Timmy menggonggong tidak
henti-hentinya. Nyaring sekali suaranya!
"Kedengarannya seperti marah," kata Dick. "Kasihan si Timmy! Pasti ia menyangka
kita sudah lupa padanya!"
Begitu mereka sampai, Tim segera menyambut George seakan-akan sudah berpisah
selama bertahun-tahun. Barker dan Growler ikut gembira berjumpa lagi dengan
Timmy. Pongo seperti biasa, tidak mau ketinggalan kalau ada ramai-ramai.
Berulang kali digoncang-goncangnya ekor Timmy. Simpanse itu kecewa, karena Timmy
tak mengacuhkannya. "He! Barker sedang makan apa?" kata Dick sekonyong-konyong. "Daging mentah! Dari
mana ia mendapatnya" Mungkinkah petani tadi ke mari, lalu memberikan daging
sedikit pada Timmy" Tapi kalau begitu, kenapa Timmy tidak memakannya?"
Anak-anak memandang Barker yang sedang asyik makan daging yang terletak di
tanah. Growler lari mendekati. Tapi Timmy tidak mau, begitu pula halnya dengan
Pongo. Timmy menyelipkan ekornya ke sela paha belakang, sedang Pongo
menyembunyikan muka di balik kedua belah tangannya.
"Aneh," kata anak-anak, heran melihat tingkah kedua binatang itu. Namun
sekonyong-konyong mereka tahu alasannya. Tiba-tiba Barker mendengking. Sekujur
tubuhnya gemetar, lalu roboh ke tanah.
"Astaga! Daging itu diberi racun!" teriak Nobby. Disepaknya Growler, supaya
menjauh. Barker diangkatnya dengan hati-hati. Anak-anak sedih sekali, melihat
Nobby menangis. "Ia mati," kata anak itu dengan suara tersendat-sendat. "Barker yang malang!"
Nobby yang malang! Ia menuruni bukit sambil menggendong tubuh Barker, sedang
Growler dan Pongo ikut di belakangnya. Anak-anak tak ada yang sampai hati
mengikutinya. Daging tadi ternyata diracuni orang! Benar-benar perbuatan yang
keterlaluan jahatnya. Bab 13 RENCANA JULIAN TUBUH George gemetar. Kakinya terasa lemas, seakan-akan tak kuat lagi menahan
berat badannya. Ia terhenyak duduk di serambi batu. Timmy dipeluknya erat-erat.
"Aduh, Timmy! Daging itu sebenarnya untukmu! Syukurlah kau cukup cerdik, tak mau
menyentuhnya! Nyaris saja kau diracun orang."
Saudara-saudaranya berdiri dengan pandangan kosong. Semuanya nampak bingung.
Kasihan Barker! Betul matikah dia" Bagaimana kalau yang makan daging tadi Timmy"
Mereka meninggalkannya sendirian. Mungkin saja dia tadi memakan daging beracun
itu, dan kemudian mati tanpa diketahui oleh mereka.
"Kau takkan pernah lagi kutinggal sendiri di sini!" kata George.
"Kiranya siapa yang menaruh daging itu di sini?" kata Anne. Suaranya ketakutan.
"Siapa lagi, kalau bukan Lou dan Tiger Dan!" kata George ketus.
"Satu hal sudah jelas," kata Julian. "Mereka ingin kita pergi dari sini. Tapi
apa sebabnya?" "Atau mungkin pula Timmy yang ingin mereka singkirkan," kata Dick. "Tapi sekali
lagi - kenapa?" "Apa istimewanya tempat ini, sehingga mereka ingin menyingkirkan kita dari
sini?" kata Julian terheran-heran. "Mereka berdua benar-benar bandit! Kasihan si
Nobby - pasti tak enak hidupnya bersama mereka. Dan sekarang mereka bahkan
meracuni anjingnya."
Malam itu tak ada yang bernafsu makan. Mereka masih kaget setelah mengalami
kejadian yang begitu mengerikan. Padahal siangnya mereka masih tertawa-tawa
senang! Mereka cepat sekali masuk ke tempat tidur Ketika Julian mengatakan akan mengunci
pintu kedua caravan, tak ada yang membantah.
"Aku bukannya beranggapan bahwa Lou dan Dan akan datang malam ini," katanya
menenangkan saudara-saudaranya. "Tapi lebih baik kita berjaga-jaga, karena siapa
tahu!" Anak-anak tidak tahu apakah kedua laki-laki itu kemudian muncul, atau tidak.
Memang pada saat tengah malam Timmy tiba-tiba menggonggong keras sekali, sambil
menggaruk-garuk pintu caravan George yang terkunci. Tapi ketika Julian membuka
pintu dan menyorotkan senternya ke luar, tidak kelihatan apa-apa di situ.
Setelah itu Timmy tidak menggonggong lagi. Ia tidur dengan tenang, walau
telinganya yang satu tetap tegak. Julian berbaring sambil berpikir-pikir di
tempat tidurnya. Mungkin saja Lou dan Dan datang menyelinap dalam kegelapan,
karena mengira Timmy sudah keracunan setelah makan daging. Tapi ketika mendengar
anjing itu menggonggong, mereka lantas mengetahui bahwa Timmy tidak apa-apa.
Karenanya mereka pergi lagi. Sekarang apa lagi yang akan mereka rencanakan
berikutnya" "Pasti ada sesuatu di balik segala kejadian ini," pikir Julian berulang kali.
"Tapi apa" Kenapa mereka begitu menginginkan kami pergi dari tempat ini?"
Julian tak mampu menebaknya. Akhirnya ia tertidur, setelah mendapat suatu
gagasan yang masih agak samar. Besok ia akan menceritakan gagasan itu pada
saudara-saudaranya. Barangkali saja, jika ia bisa menyebabkan Lou dan Dan
menyangka mereka pergi seharian - bersama Timmy - padahal sebetulnya ia tinggal
sambil bersembunyi di tempat itu - barangkali saja ia akan berhasil mengetahui
lebih banyak, apabila Lou dan Dan ternyata datang kemudian.
Julian terlelap ketika sedang sibuk-sibuknya menyusun rencana. Seperti saudarasaudaranya, ia mimpi tentang gajah-gajah yang menyemburi dirinya dengan air,
tentang Pongo yang menguber-nguber kawanan monyet, anjing-anjing yang ribut
bermain bola - tapi tiba-tiba muncul daging beracun, merusak impian jenaka itu.
Seram! Anne tiba-tiba terbangun. Ia bermimpi, ada orang memasukkan racun ke dalam telor
rebus yang hendak mereka makan. Ia berbaring dengan tubuh gemetar lalu
memanggil-manggil George,
"George! Aku tadi mimpi buruk!"
George bangun, sedang Timmy menggeliat. George menyalakan senternya.
"Aku tadi juga mimpi seram," katanya. "Aku bermimpi, kedua laki-laki itu
mengejar Timmy. Kita biarkan saja senter ini menyala sebentar, sementara kita
bercakap-cakap. Kurasa kita bermimpi tadi karena terlalu capek bersenang-senang
satu hari penuh, lalu diakhiri dengan kejadian yang begitu mengerikan. Tapi itu kan cuma mimpi saja!"
Akhirnya mereka tidur lagi, sampai pagi.
Cuaca keesokan harinya tidak begitu panas. Langit mendung. Anak-anak tak seorang
pun yang merasa gembira, karena selalu teringat pada Nobby dan Barker yang
malang. Boleh dikatakan tak ada yang bicara ketika sarapan.
"Pagi ini aku yang ke tempat pertanian," kata Julian sehabis sarapan. "Dick, kau
menjaga di serambi. Jangan lupa membawa teropong. Mungkin saja Nobby akan muncul
di danau dengan perahunya, lalu melambai-lambai ke sini. Kurasa pagi ini ia
takkan ingin agar kita turun ke perkemahan sirkus. Apabila ia mencurigai Paman
Dan dan Lou bahwa mereka yang meletakkan daging yang meracuni Barker, besar
kemungkinannya ia bertengkar dengan mereka."
Kemudian Julian berangkat ke tempat pertanian, membawa dua buah keranjang
kosong. Bu Mackie sudah menunggu kedatangannya. Kecuali membeli bahan makanan
yang dibayar kontan, Julian juga menerima hadiah berupa kue jahe berbentuk
lingkaran. Masih hangat, karena baru saja dikeluarkan dari tungku pemanggangan.
"Orang-orang sirkus sering ke mari untuk membeli makanan, Bu?" tanya Julian
sambil menyerahkan sejumlah uang pada Bu Mackie.
"Kadang-kadang," kata Bu Mackie. "Aku tak berkeberatan kalau kaum wanita atau
anak-anak mereka yang datang. Tapi ada dua laki-laki mereka yang paling tak
kusukai. Tahun lalu mereka mengacau di sini, sehingga suamiku terpaksa mengusir
mereka." Seketika itu juga Julian tertarik pada cerita wanita tua itu.
"Dua laki-laki?" katanya. "Rupanya seperti apa?"
"Jelek!" kata Bu Mackie ketus. "Satu di antaranya, giginya kuning sekali! Keduaduanya cepat marah. Mereka menyelinap ke mari malam-malam. Kami sudah takut
saja, jangan-jangan mereka mau mencuri ayam. Biar mereka bersumpah-sumpah bukan
datang untuk mencuri - tapi untuk apa lagi mereka ke mari tengah malam?"
"Entah ya, Bu," kata Julian. Ia merasa yakin, kedua orang yang dimaksudkan Bu
Mackie itu Lou dan Tiger Dan. Untuk apa mereka berkeliaran di atas bukit pada
malam hari" Julian kembali ke caravan. Ketika sudah dekat, Dick memanggilnya.
"He, Julian! Ke marilah cepat. Coba kaulihat ke danau dengan teropong. Nobby
muncul dengan perahu bersama Pongo! Tapi aku tak tahu apa yang mereka
lambaikan!" Julian meraih teropong dari tangan adiknya, lalu mengarahkannya ke danau. Jauh
di bawah bukit dilihatnya perahu Nobby terapung-apung di tengah danau. Nobby
duduk di dalamnya, bersama Pongo. Dan ternyata kedua-duanya melambai-lambaikan
sesuatu yang merah warnanya.
"Tak bisa kulihat jelas apa yang mereka lambaikan itu," kata Julian. "Tapi itu
tidak penting. Pokoknya mereka melambaikan benda berwarna merah - bukan putih.
Merah berarti bahaya. Ia hendak memperingatkan kita!"
"Wah, tak terpikir ke situ aku tadi. Konyol!" kata Dick, jengkel terhadap
dirinya sendiri. "Betul! - merah tanda bahaya. Ada apa ya?"
"Yah - sudah jelas lebih baik kita jangan turun ke perkemahan hari ini," kata
Julian. "Jelas pula bahayanya cukup gawat - karena Pongo juga disuruh melambailambaikan benda berwarna merah. Jadi bahayanya dua kali lipat!"
"Kau ternyata memang cerdas sekali, Julian." sela George, yang selama itu ikut
mendengarkan. "Kau satu-satunya dari kita yang bisa menarik kesimpulan begitu.
Bahaya lipat dua! Bahaya apa ya?"
"Mungkin artinya di perkemahan berbahaya, dan di sini juga," kata Julian sambil
berpikir-pikir. "Mudah-mudahan saja Nobby tidak apa-apa. Tiger Dan jahat sekali
terhadapnya. Sejak tadi malam saja, kurasa pasti ia beberapa kali dipukul orang
itu." Dick marah membayangkan temannya dipukul. Ia mengomel.
"Jangan bilang pada Anne, kita menghadapi bahaya dua kali lipat," kata Julian,
ketika melihat Anne datang kembali sehabis mencuci di mata air. "Nanti ia
ketakutan! Ia kepingin sekali selama liburan ini kita tidak terlibat dalam
petualangan. Tapi sekarang nampaknya tahu-tahu kita sudah berada di tengahtengah pengalaman tegang. Ah, kurasa sebaiknya kita pergi saja dari bukit-bukit
ini, dan berkemah di tempat lain."
Tapi ia tidak sungguh-sungguh bermaksud begitu, karena ia kepingin sekali
mengetahui rahasia aneh yang tersembunyi di balik tingkah laku Lou dan Tiger
Dan. Sedang Dick dan George juga takkan mau, jika kata-katanya tadi memang
bersungguh-sungguh. "Kita tidak bisa pergi dari sini! Jangan jadi pengecut, Ju!"
"Aku tak mau pergi. Timmy juga tidak mau!"
"Diam!" kata Julian. "Anne sudah datang."
Ketiga-tiganya terdiam. Julian masih memperhatikan Nobby sebentar dengan
teropong. Kemudian anak sirkus itu berdayung menuju pantai, dan lenyap dari
pandangan. Ketika mereka sudah duduk bersama-sama di serambi, Julian lantas mengajukan
rencana yang dipikirkan olehnya kemarin malam.
"Aku ingin mengetahui keistimewaan tempat ini, sehingga menarik bagi Lou dan
Dan," katanya. "Di dekat-dekat sini pasti ada sesuatu, yang menyebabkan kedua
laki-laki itu ingin agar kita pergi. Sekarang, bagaimana jika kita berempat
serta Timmy turun ke bawah dan lewat dekat perkemahan, lalu berseru pada Nobby
bahwa kita semua - jadi kita berempat bersama Timmy - hari ini akan ke kota.
Kalian bertiga benar-benar pergi. Tapi aku menyelinap, naik lagi ke mari. Siapa
tahu Lou dan Dan nanti datang. Aku akan bersembunyi supaya tak ketahuan. Dengan
begitu aku akan bisa melihat apa sebenarnya yang mereka inginkan!"
"Jadi maksudmu, kita berempat pura-pura pergi ke kota. Tapi sebenarnya hanya
kami bertiga saja yang benar-benar berangkat, sementara kau menyelinap lagi ke
mari dan bersembunyi," kata Dick. "Aku mengerti. Baik sekali gagasanmu itu!"
"Kau bersembunyi di salah satu tempat, menunggu kedua laki-laki itu datang,"
sambung George. "Tapi jangan sampai ketahuan mereka, Julian - karena nanti kau
tak ditemani Timmy. Kalau mereka mau, bisa habis kau dicincang mereka!"
"Aku juga tahu," kata Julian geram. "Tapi aku akan bersembunyi sebaik mungkin!"
"Kenapa tidak sekarang saja kita memeriksa sekeliling tempat ini"!" usul Dick.
"Mungkin saja kita akan menemukan lobang gua, atau apa pun juga yang ingin
didatangi kedua laki-laki itu. Kalau mereka bisa menemukannya, kita juga
sanggup!" "Kita tidak tahu, apakah yang mereka cari itu memang lobang gua," kata Julian.
"Kita sama sekali tidak tahu apa sebetulnya yang menarik mereka untuk naik ke
mari. Kata Bu Mackie tadi, tahun lalu mereka juga ke mari, lalu suaminya
terpaksa mengusir mereka. Saat itu Dan dan Lou dikira hendak mencuri ayam. Tapi
kurasa memang tidak! Ada sesuatu di bukit sini yang menyebabkan keduanya
menginginkan kita pergi!"
"Kita cari saja yuk!" ajak George. "Timbul lagi keinginanku terlibat dalam
petualangan." "Aduh," keluh Anne. Tapi diam-diam, ia juga merasa tertarik. Mereka semua
berdiri, diikuti oleh Timmy. Anjing itu mengibas-ngibaskan ekor, senang karena
pagi itu tidak ditinggal untuk menjaga sendirian di atas.
"Kita berpencar-pencar," kata Julian. "Ke atas, ke bawah dan ke samping kiri dan
kanan. Aku ke atas."
Keempat remaja itu mulai memeriksa secara terpisah-pisah. George tentu saja
bersama Timmy. Mereka sibuk memeriksa sisi bukit, kalau-kalau saja di situ ada
lobang gua. Atau mungkin bahkan sejenis tempat persembunyian. Timmy menyusupkan
kepala ke setiap lobang kelinci yang nampak. Anjing itu rasanya seperti sibuk
sekali. Setelah kira-kira setengah jam, terdengar Julian berteriak. Saudara-saudaranya
berlarian ke caravan, karena merasa yakin Julian menemukan sesuatu.
Tapi ternyata tidak! Ia cuma sudah bosan saja mencari-cari tanpa hasil. Ia hanya
menggelengkan kepala, ketika saudara-saudaranya bergegas datang sambil berseruseru menanyakan apa yang ditemukannya.
"Tak ada apa-apa," katanya. "Aku cuma bosan saja mencari terus. Di sekitar sini
sama sekali tak ada lobang gua! Ada yang menemukan sesuatu?"
"Tidak," kata saudara-saudaranya dengan kecewa. "Sekarang apa yang kita lakukan
selanjutnya?" "Kita laksanakan rencana tadi," kata Julian dengan segera. "Biar mereka saja
yang menunjukkan sendiri, apa sebetulnya yang mereka cari di sini. Sekarang kita
turun ke bawah, lalu berseru pada Nobby untuk mengatakan bahwa kita akan pergi
sehari penuh. Mudah-mudahan saja terdengar oleh Lou dan Tiger Dan!"
Bab 14 TEMPAT PERSEMBUNYIAN YANG BAIK
MEREKA menuruni bukit, bersama Timmy. Julian memberikan petunjuk-petunjuk pada
Dick. "Kalian nanti makan siang di kota," katanya. "Jangan pulang sebelum sore, supaya
kedua laki-laki itu ada waktu untuk naik ke atas. Pergilah ke kantor pos, dan
tanyakan di sana apakah ada surat-surat untuk kita. Beli buah buahan dalam
kaleng. Enak juga sekali-sekali makan buah dalam kaleng."
"Beres, Boss!" kata Dick. "Dan kau sendiri, harap hati-hati di sini. Mereka
takkan segan-segan mencelakakanmu - karena keduanya sama-sama cepat marah."
"Jaga Anne dan George baik-baik," kata Julian lagi. "Terutama George, jangan
sampai ia berbuat sesuatu yang aneh!"
Dick nyengir saja mendengarnya.
"Siapa mampu melarangnya, jika George sudah kepingin melakukan sesuatu" Aku sih
tidak mampu!" Sementara itu mereka sudah sampai di kaki bukit. Perkemahan sirkus letaknya
tidak jauh dari situ. Anak-anak bisa mendengar suara anjing-anjing menggonggong
serta teriakan Nyonya Tua yang kedengarannya seperti bunyi terompet.
Mereka mencari-cari Nobby, tapi anak itu tidak nampak. Sial! Bagi mereka tak ada
gunanya payah-payah pergi ke kota, jika tidak bisa mengatakannya pada Nobby.
Tentu saja dengan suara yang cukup keras, supaya ikut terdengar oleh Lou dan
Tiger Dan! Anak-anak tak ada yang berani masuk ke perkemahan itu. Julian teringat pada kain
merah dua lembar yang dilambai-lambaikan Nobby dan Pongo. Bahaya lipat dua!
Tidak - pagi itu lebih baik mereka tidak datang ke perkemahan. Julian tertegun


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebentar, ragu-ragu apa yang harus dilakukan. Kemudian ia membuka mulut, lalu
berteriak keras-keras, "Nobby! NOBBY!"
Tak ada yang menjawab. Dan Nobby tetap tak muncul. Tapi orang yang mengurus
gajah mendengar panggilannya, lalu datang mendekat.
"Kalian mencari Nobby?" katanya. "Tunggu, kupanggilkan sebentar."
"Terima kasih," kata Julian.
Laki-laki bertubuh kecil itu pergi sambil bersiul-siul. Tak lama kemudian Nobby
muncul dari belakang sebuah caravan. Anak itu kelihatannya agak takut-takut. Ia
tak mau menghampiri Julian, melainkan berdiri agak jauh. Mukanya pucat,
nampaknya gelisah. "Nobby!" seru Julian sekuat-kuatnya. "Kami akan ke kota, sampai nanti sore.
Kami..." Tiba-tiba Tiger Dan muncul di belakang Nobby, lalu mencengkeram lengan anak itu.
Nobby mengangkat tangannya untuk melindungi mukanya, seolah-olah takut ditampar.
Julian berteriak sekali lagi,
"Kami akan ke kota, Nobby! Baru nanti sore kami kembali. Kaudengar kataku tadi"
KAMI AKAN KE KOTA!" Bukan hanya Nobby, seluruh perkemahan pasti mendengar suara Julian yang
terjerit-jerit itu. Tapi Julian tak peduli. Pokoknya sekarang Tiger Dan pasti
tahu mereka akan ke kota. Sampai sore!
Nobby mencoba untuk membebaskan diri dari cengkeraman pamannya. Ia membuka
mulut, hendak meneriakkan sesuatu. Tapi Tiger Dan lebih cepat! Disekapnya mulut
Nobby dengan tangannya. Anak itu kemudian diseretnya pergi, sambil digoncanggoncang dengan kasar. "BAGAIMANA DENGAN BARKER?" seru Julian. Tapi Nobby sudah lenyap, diseret masuk
ke dalam caravan pamannya. Tapi pengasuh gajah mendengar pertanyaan itu.
"Parah," katanya. "Belum mati - tapi sudah nyaris! Belum pernah seumur hidupku,
aku melihat anjing yang begitu menderita. Nobby gelisah sekali!"
Anak-anak pergi diikuti oleh Timmy. Selama itu George harus memegang kalung
leher anjingnya kuat-kuat. Karena begitu Timmy melihat Dan, ia langsung
menggeram tanpa henti. Ia memberontak hendak melepaskan diri dari pegangan
George. "Syukurlah jika Barker tidak jadi mati," kata Anne. "Mudah-mudahan saja bisa
sembuh kembali." "Kemungkinannya kecil sekali," kata Julian. "Daging yang dimakannya kemarin,
pasti penuh dengan racun. Kasihan si Nobby! Tersiksa, karena tertindas orang
jahat seperti Tiger Dan."
"Aku tak bisa membayangkannya menjadi pelawak - maksudku Tiger Dan," kata Anne.
"Pelawak biasanya kan selalu riang gembira."
"Itu kan kalau sedang mengadakan pertunjukan," kata Dick menjelaskan. "Seorang
pelawak tidak selalu harus lucu dalam kehidupannya sehari-hari. Jika
kauperhatikan foto-foto para pelawak pada saat sedang menjadi manusia biasa,
muka mereka biasanya sedih."
"Kalau Tiger Dan, tampangnya sama sekali tidak sedih. Lebih cocok jika dikatakan
jahat, jelek, buas, kejam dan galak," kata Anne. Pada saat berbicara begitu, air
mukanya ikut berubah menjadi galak.
Saudara-saudaranya tertawa melihatnya. Dick berpaling untuk melihat, apakah ada
orang memperhatikan mereka berjalan ke tempat perhentian bis. Dari tempat itu
bis berangkat menuju kota.
"Lou memperhatikan kita," katanya. "Bagus! Nampakkah perhentian bis dari
tempatnya berada, Ju?"
Julian menoleh sebentar, lalu menjawab,
"Bisa! Dia pasti akan memperhatikan terus sampai kita masuk ke dalam bis - jadi
sebaiknya aku ikut naik dulu. Nanti pada perhentian berikut turun lagi, lalu
naik ke atas bukit lewat jalan lain."
"Setuju," kata Dick. Ia merasa senang, karena akan menipu Lou, si akrobat
cemberut. "Yuk, bisnya sudah datang. Kita harus bergegas."
Mereka cepat-cepat naik. Lou masih memperhatikan terus. Kelihatannya kecil,
karena tempat berdirinya jauh. Dick sudah iseng lagi, ingin melambaikan tangan
pada Lou. Tapi tidak jadi!
Bis kemudian berangkat. Anak-anak membeli karcis: tiga sampai ke kota dan satu
sampai perhentian berikut. Untuk Timmy juga dibelikan satu karcis, yang kemudian
digantungkan pada kalung lehernya. Timmy senang sekali naik bis.
Pada perhentian berikut. Julian turun lagi.
"Sampai nanti sore!" serunya. "Kalau kalian kembali, suruh Timmy berjalan dulu
ke caravan. Siapa tahu, mereka masih ada di sekitar situ, dan aku tak bisa
memperingatkan kalian!"
"Baiklah," jawab Dick. "Hati-hati, Julian!"
Julian melambaikan tangan, lalu berjalan kembali ke arah yang baru saja dilewati
dengan bis. Kemudian dilihatnya sebuah jalan kecil menuju puncak bukit.
Diputuskannya untuk mengambil jalan itu. Jalannya ternyata melewati tempat yang
tak jauh dari rumah Bu Mackie. Jadi dengan segera Julian tahu di mana ia berada.
Ia kembali ke lembah tempat kedua caravan mereka. Setibanya di situ, ia bergegas
menyiapkan bekal makanan yang akan dibawa ke tempat persembunyiannya. Mungkin
cukup lama juga ia harus menunggu nanti!
"Sekarang, di mana enaknya aku bersembunyi?" pikirnya kemudian. "Tempatnya harus
begitu rupa, supaya aku bisa memandang ke jalan. Begitu Lou dan Tiger Dan
datang, aku harus segera melihat mereka. Aku juga harus bisa melihat apa yang
sedang mereka lakukan di sekitar ini. Enaknya di mana ya?"
Di atas pohon" Tidak, dekat tempat itu tak ada pohon yang cukup rimbun daunnya.
Di belakang semak" Tidak, nanti mudah ketahuan. Julian melihat sebuah semak yang
nampaknya cukup lebat. Ia sudah hampir bersembunyi di situ, tapi tidak jadi.
Daun-daunnya berduri tajam.
"Aku harus cepat-cepat memilih," pikirnya. "Kalau tidak, mungkin sebelum aku
sempat bersembunyi, mereka akan sudah ada di sini."
Tiba-tiba Julian mendapat ilham. Ia begitu gembira, sehingga bersorak sendiri.
Tentu saja! Tempat yang paling cocok!
"Aku bersembunyi di atap salah satu caravan," katanya pada diri sendiri. "Takkan
ada yang bisa melihat aku di situ - bahkan menyangka pun tidak! Benar-benar
gagasan gemilang. Dari situ aku bisa melihat ke jalan dengan jelas, dan juga
memandang ke sekeliling tempat ini!"
Ternyata tak begitu mudah memanjat ke atas caravan. Ia harus mengambil seutas
tali, lalu membuat jerat di satu ujungnya. Dengan tali itu ia menjerat cerobong
asap. Berhasil! Dengan cepat Julian memanjat ke atap, setelah melemparkan bekal
makanan terlebih dulu ke situ.
Sesampai di atas, ia langsung bertiarap. Ia merasa yakin, takkan ada orang yang
bisa melihatnya dari bawah. Tentu saja apabila kedua orang itu mendaki bukit
agak lebih tinggi lagi lalu memandang ke arah caravan-caravan yang ada di bawah,
dengan mudah ia akan kelihatan. Tapi itu risiko yang harus dipikulnya.
Ia berbaring diam-diam, sambil memandang ke arah danau. Ditajamkannya mata dan
telinga, kalau-kalau ada orang mendaki bukit. Ia merasa bersyukur hari itu tidak
begitu panas. Jika di langit kebetulan tidak ada awan saat itu, pasti sebentar
saja ia akan sudah seperti dipanggang di atas atap caravan itu. Sayang ia lupa
membawa air dalam botol. Sekarang ia tidak bisa minum, jika merasa haus.
Ia melihat asap mengepul-ngepul tipis dari arah perkemahan sirkus, jauh di bawah
bukit. Nampak beberapa buah perahu di danau, agak jauh ke tengah. Pasti orang
sedang memancing, pikir Julian. Diperhatikannya dua ekor kelinci dari sebuah
liang, lalu bermain-main di lereng bukit tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Sepuluh menit kemudian matahari muncul dari balik awan. Julian mulai kepanasan.
Tapi untunglah - matahari menghilang lagi di balik gumpalan awan berikut.
Tiba-tiba terdengar ada orang bersiul. Julian sudah berharap-harap, Lou dan
Tiger Dan muncul saat itu. Tapi ternyata cuma seseorang yang datang dari tempat
pertanian, menuruni bukit sambil bersiul-siul. Orang itu berjalan agak jauh dari
tempat anak-anak berkemah. Siulannya terdengar jelas, karena saat itu udara
tenang sekali. Julian mulai merasa bosan. Kedua ekor kelinci yang bermain-main tadi masuk lagi
ke dalam liang mereka. Sedang kupu-kupu sekalipun, tak ada yang melintas. Yang
ada cuma seekor burung, berkicau tak henti-hentinya. Julian sampai jengkel
mendengarnya. Tiba-tiba burung itu berteriak kaget, lalu terbang. Rupanya takut karena
mendengar sesuatu. Julian juga mendengar bunyi itu. Matanya terpaku ke jalan yang menuju ke atas.
Jantungnya berdebar-debar keras. Ia melihat dua orang laki-laki. Mungkinkah itu
Lou dan Dan" Julian tidak berani mengangkat kepala untuk melihat ketika mereka sudah dekat,
karena takut kelihatan. Tapi jika sudah cukup dekat, ia akan bisa mengenali
kembali suara mereka! Dan memang - ternyata yang datang itu Lou dan Tiger Dan. Tak mungkin keliru
lagi. Cuma mereka yang suaranya begitu kasar. Mereka langsung menuju ke lembah
tempat kedua caravan. Julian bisa menangkap percakapan mereka.
"Betul, tak ada siapa-siapa di sini. Akhirnya anak-anak itu pergi juga seharian
- dan anjing mereka ikut dibawa."
"Sudah kukatakan tadi, aku melihat mereka semua masuk ke dalam bis," kata Lou
dengan suaranya yang parau. "Sehari ini takkan ada orang di sini. Kita bisa
mengambilnya sekarang."
"Kalau begitu kita ambil saja," kata Dan.
Julian menunggu sebentar, sebelum memberanikan diri mengintip. Tapi kedua lakilaki itu tidak meninggalkan lembah. Rupa-rupanya mereka masih di samping
caravan. Julian tidak berani melihat ke bawah, untuk mengetahui apa yang mereka
lakukan. Untung jendela dan pintu sudah dikunci semuanya.
Kemudian terdengar bunyi aneh, seperti ada yang diseret-seret. Didengarnya napas
kedua laki-laki itu terengah-engah. Caravan tempat Julian bersembunyi tergoyanggoyang sedikit. "Mereka sedang berbuat apa?" pikir Julian keheranan. Ia tidak kuat lagi menahan
rasa ingin tahu. Ia menggeser tubuh sampai ke tepi atap caravan, lalu mengintip
ke bawah. Padahal tadinya ia sudah bertekad tidak akan melakukannya.
Julian memandang ke tanah. Tak ada siapa-siapa di situ. Mungkin mereka di sisi
yang satu lagi. Julian menggeserkan tubuh ke seberang atap, lalu mengintip lagi
ke bawah. Caravan masih bergoyang-goyang, seolah olah kedua laki-laki tadi
membentur-benturnya. Tapi di sebelah sana juga tidak ada orang. Aneh!
"Wah! Mungkin mereka di kolong caravan," pikir Julian. Ia kembali ke tengahtengah atap. "Di kolong! Mencari apa mereka di sana?"
Mustahil ia bisa melihat ke bawah kolong dari tempatnya bersembunyi. Jadi ia
terpaksa berbaring saja diam-diam, sambil bingung memikirkan apa yang dikerjakan
Dan dan Lou di bawah. Keduanya terdengar mendengus-dengus dan mengerang.
Terdengar bunyi mengorek-ngorek dan mencongkel. Tapi selain itu, tak terjadi
apa-apa. Kemudian Julian mendengar mereka keluar lagi dari kolong. Kedengarannya
jengkel tercampur kecewa.
"Coba kasih rokok sebatang," kata Lou dengan suara kesal. "Aku sudah bosan.
Caravan itu terpaksa kita geser. Anak-anak itu sangat menjengkelkan. Kenapa
mereka memilih tempat ini?"
Julian mendengar bunyi korek api dinyalakan. Tercium olehnya bau asap rokok
menusuk hidung. Sekonyong-konyong ia kaget. Caravan tempatnya bersembunyi mulai
bergerak. Astaga! Mungkinkah kedua laki-laki itu berniat hendak mendorongnya dari serambi
ke bawah bukit" Bab 15 BEBERAPA KEJADIAN BERUNTUN
SEKONYONG-KONYONG Julian ketakutan setengah mati. Ia sudah berpikir-pikir,
apakah tidak lebih baik jika ia meluncur saja turun dari atap, lalu cepat-cepat
lari. Apabila benar kedua laki-laki itu bermaksud hendak menjatuhkan caravan ke
bawah bukit, wah - gawat! Kecil sekali harapannya akan bisa selamat.
Tapi Julian tak bergerak dari tempatnya. Dengan kedua belah tangan ia
berpegangan pada cerobong asap, sementara kedua laki-laki itu mendorong caravan
dengan sekuat tenaga. Caravan itu bergerak sedikit ke arah tepi serambi. Tapi kemudian terhenti.
Julian merasa keningnya basah karena keringat dingin. Dilihatnya kedua tangannya
gemetar. Ia malu pada dirinya sendiri karena merasa takut. Tapi kenyataannya
memang begitu. Julian ketakutan setengah mati.
"He! Jangan sampai jatuh ke bawah!" kata Lou kaget. Hati Julian lega
mendengarnya. Ternyata kedua laki-laki itu tidak bermaksud untuk menghancurkan
caravan! Mereka hanya menggesernya saja, karena ingin mengambil sesuatu yang ada
di bawahnya. Tapi apakah benda itu" Julian memeras otak. Diusahakannya
mengingat-ingat, bagaimana rupanya tanah di lembah itu ketika ia mengundurkan
kedua caravan ke situ. Sepanjang ingatannya, cuma lekukan biasa, penuh dengan
tumbuhan liar yang rendah.
Sekarang kedua laki-laki itu sudah mulai mengorek-ngorek lagi, dekat tangga di
bagian belakang caravan. Julian nyaris tak kuat lagi menahan rasa ingin tahu.
Tapi ia juga tidak berani berkutik sedikit pun. Nanti saja jika Lou dan Dan
sudah pergi, ia masih sempat melihat rahasia mereka. Sementara itu ia harus
sabar menunggu. Kalau tidak, bisa kacau semuanya!
Julian mendengar kedua laki-laki itu berbicara dengan suara pelan. Tapi tak
terdengar jelas kata-kata mereka. Sekonyong-konyong - sepi. Tak terdengar lagi
orang bicara. Tak ada benturan ke dinding caravan. Tak ada suara mendengus atau
terengah-engah. Sunyi sepi!
Julian masih belum berani bergerak. Mungkin saja kedua orang itu masih ada. Ia
tak mau sampai ketahuan. Agak lama juga Julian berbaring diam-diam, sambil
menunggu dengan perasaan heran. Tapi tak ada lagi yang didengarnya.
Kemudian dilihatnya seekor burung hinggap pada sebuah semak. Burung itu
mengepak-ngepakkan sayap, sambil mencari remah-remah roti. Julian tahu, burungburung jenis itu tidak terlalu jinak. Burung-burung itu sering beterbangan
mendekati, apabila anak-anak sedang makan. Tapi mereka baru mau turun ke bawah,
kalau anak-anak sudah pergi.
Kemudian muncul seekor kelinci dari sebuah liang di sisi bukit. Kelinci itu
melompat-lompat kian ke mari, dan tiba-tiba lari ke arah lekukan.
"Yah," pikir Julian. "Sudah jelas kedua laki-laki tadi tak ada lagi di sini,
karena kalau tidak binatang-binatang itu takkan mau muncul. Itu ada seekor
kelinci lagi. Rupanya Lou dan Dan sudah pergi - walau entah ke mana! Kurasa aku
sekarang bisa mengintip dengan aman."
Julian menggeser tubuhnya ke tepi atap sebelah belakang caravan, lalu memandang
ke bawah. Tapi di tanah tak nampak apa-apa. Di situ tak ada bekas-bekas, yang
menunjukkan apa yang dilakukan kedua laki-laki tadi - dan ke mana mereka
sekarang pergi! Semak-semak rendah di situ tumbuh sesubur tempat sekitarnya. Tak
ada bekas-bekas sedikit pun, yang menunjukkan apa yang begitu menyibukkan Dan
dan Lou selama itu. "Benar-benar aneh," pikir Julian. Ia mulai berpikir, jangan-jangan ia cuma mimpi
saja. "Kedua laki-laki itu tak ada lagi - seakan-akan lenyap begitu saja!
Bagaimana jika aku turun dan memeriksa sebentar" Ah, lebih baik jangan! Mungkin
saja kedua orang tadi tiba-tiba muncul lagi. Sudah jelas mereka akan sangat
marah jika menjumpai aku di sini. Mungkin aku beserta kedua caravan ini akan
didorong jatuh ke kaki bukit! Hih, seram! Padahal tebing di sini curam."
Julian berbaring di atap caravan sambil berpikir-pikir. Tiba-tiba ia merasa
lapar dan haus. Untung saja terpikir olehnya tadi, untuk membawa makanan sebagai
bekal. Setidak-tidaknya sekarang ia bisa makan, sambil menunggu Lou dan Dan
muncul lagi. Kalau mereka muncul!
Julian mulai memakan rotinya. Rasanya enak sekali! Selesai roti disikat,
menyusul kue jahe bikinan Bu Mackie. Sedap! Untung Julian tidak lupa membawa
buah prem. Kalau tidak, pasti ia akan kehausan sekali. Sambil makan buah,
dilemparkannya biji-bijinya ke bawah. Tiba-tiba ia kaget sendiri.
"Astaga! Kenapa aku melakukannya" Kalau Lou dan Dan melihatnya, mungkin mereka
akan teringat bahwa tadi tak ada biji buah prem berserakan di tanah. Tapi
untunglah kebanyakan lenyap dalam semak!"
Matahari muncul dari balik awan. Julian agak kepanasan. Ia mengharapkan kedua
laki-laki tadi muncul lagi, lalu turun ke bawah bukit. Ia sudah capek,
menelungkup terus di atap yang keras. Ia juga merasa sangat mengantuk. Julian
menguap lalu memejamkan matanya.
Ia tidak tahu berapa lama ia tidur. Tapi sekonyong-konyong ia terbangun karena
caravan didorong orang lagi. Dengan takut dipegangnya cerobong erat-erat, sambil
mendengarkan dua orang itu berbicara dengan suara pelan.
Mereka menyeret caravan ke tempat semula. Kemudian Julian mendengar korek api
dinyalakan, disusul bau asap rokok menusuk hidung.
Lou dan Tiger Dan duduk di atas batu yang menyerupai serambi. Mereka
mengeluarkan makanan yang dibawa. Julian tak berani mengintip, walau mereka
duduk sambil membelakanginya. Keduanya makan sambil bicara dengan suara pelan.
Julian kaget sekali ketika kedua orang itu kemudian merebahkan diri di atas batu
dan langsung tidur! Ia tahu mereka tidur, karena terdengar suara mendengkur.
"Mungkinkah aku harus sehari penuh di atas atap ini?" pikir Julian. "Kejang
rasanya tubuhku, karena berbaring menelungkup terus seperti begini. Aku ingin


Lima Sekawan 05 Berkelana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

duduk sebentar!" Lou dan Dan masih terus mendengkur. Julian merasa sekarang pasti tak berbahaya
baginya jika duduk sebentar. Kedua laki-laki itu jelas sedang tidur. Karenanya
Julian lantas duduk. Ia menggeliat sepuas-puasnya.
Dipandangnya kedua laki-laki yang tidur menelentang dengan mulut ternganga. Di
sisi mereka nampak dua buah karung yang kelihatannya kuat dan berisi penuh.
Julian bertanya-tanya pada diri sendiri, apa isi kedua karung itu. Sudah pasti
tadi belum mereka bawa ketika naik ke atas bukit.
Julian menatap lereng bukit dengan kening berkerut. Ia tak habis berpikir, ke
mana kedua laki-laki itu tadi serta apa yang mereka lakukan di atas bukit Tiba-tiba Julian terlonjak kaget. Matanya melotot, seakan-akan tak mempercayai
penglihatannya sendiri. Dari tengah semak sebelah sana muncul muka yang jelek sekali. Mukanya itu nyaris
tak berhidung, tapi mulutnya lebar sekali. Siapakah dia" Mungkinkah sedang
mengintai Lou dan Tiger Dan" Tapi mukanya jelek sekali - tak mungkin muka
manusia sejelek itu. Kemudian muncul tangan mengusap muka itu. Julian melihat, tangan itu berbulu
tebal. Ia kaget, karena seketika itu juga ia tahu muka siapa yang dilihatnya di
tengah semak itu. Pongo, simpanse bandel! Tak mengherankan, apa sebabnya Julian
merasa tak mungkin itu muka manusia. Ternyata memang bukan! Kalau simpanse boleh
saja mempunyai muka sejelek itu. Kelihatannya malah manis. Tapi kalau manusia manusia yang jelek sekali!
Pongo menatap Julian dengan pandangan serius. Julian menatap kembali sementara
otaknya berputar keras. Apa yang dilakukan Pongo di sini" Apakah dia bersama
Nobby" Kalau ya, Nobby dalam bahaya - karena setiap saat kedua laki-laki itu
bisa bangun lagi. Tapi kalau ia berseru memperingatkan anak itu, Lou dan Dan
pasti akan terbangun. Pongo kelihatannya senang melihat Julian. Baginya, atap caravan bukan tempat
aneh untuk duduk. Simpanse itu sendiri sudah sering naik ke atap caravan. Pongo
mengangguk ke arah Julian sambil mengedip-ngedipkan mata. Kemudian ia menggarukgaruk kepala, lama sekali.
Kemudian muncul muka Nobby di samping Pongo. Julian menatap wajah yang bengkakbengkak, berlinang air mata. Tiba-tiba dilihatnya Julian memandang dari atap
caravan. Mulut Nobby menganga karena kaget, nampaknya seakan-akan berseru. Tapi
cepat-cepat Julian menggelengkan kepala untuk melarang, sambil menunjuk-nunjuk
ke bawah. Maksudnya hendak memperingatkan Nobby, bahwa di situ ada orang!
Tapi rupanya Nobby tak mengerti maksudnya. Anak itu meringis. Julian kaget dan
ketakutan, ketika Nobby mulai mendaki sisi bukit - menuju batu yang menonjol
seperti serambi. Dan dan Lou masih tidur di situ. Julian ngeri, karena
dilihatnya Nobby mungkin akan naik ke batu dan kemudian tepat menimpa mereka!
"Awas!" serunya dengan suara tertahan. "Awas, goblok!"
Tapi terlambat! Nobby menjunjung tubuhnya ke atas batu. Ia kaget sekali, ketika
tiba-tiba sudah menindih Tiger Dan! Nobby menjerit dan berusaha menyelinap pergi
- tapi Dan sudah bangun. Tangannya terulur cepat, mencengkeram Nobby.
Lou ikut terbangun. Kedua laki-laki itu menatap Nobby dengan mata melotot. Anak
itu gemetar, minta-minta ampun.
"Sungguh! Aku tak tahu Paman ada di sini! Lepaskan, lepaskan aku. Aku ke mari
hanya karena ingin mencari pisauku yang hilang kemarin!"
Dan menggoncang-goncangnya dengan keras.
"Sudah berapa lama kau ada di sini" Kau mengintip, ya!"
"Tidak, tidak! Aku baru saja datang! Sepagi tadi aku terus ada di perkemahan tanya saja pada Larry dan Rossy. Aku tadi membantu mereka."
"Ah! Kau mengintip kami selama ini," kata Lou. Suaranya dingin dan tajam,
sehingga Julian yang ikut mendengarnya merinding sekujur tubuhnya. "Seminggu ini
kau sudah sering kena pukul, tapi rupanya masih belum cukup juga, ya! Nah, di
sini tak ada orang lain yang bisa mendengar teriakan-teriakanmu! Akan kami
tunjukkan, bagaimana penghajaran yang sesungguhnya! Aku akan heran, apabila
sehabis itu kau masih bisa berjalan sendiri pulang ke perkemahan."
Nobby sangat ketakutan. Ia minta ampun, ia berjanji akan melakukan apa saja yang
disuruh kedua laki-laki itu, ia berusaha menjauhkan mukanya yang sudah bengkakbengkak dari tangan Tiger Dan yang keras.
Julian tak tahan lagi. Ia tak mau ketahuan bahwa ia sebenarnya yang selama itu
mengintip. Ia sebenarnya juga tak kepingin berkelahi melawan kedua laki-laki
itu, karena tahu pasti akan kalah. Tapi ia juga tak tahan berbaring saja di atap
caravan, menonton seorang remaja diperlakukan dengan begitu kasar. Ia
membulatkan tekad. Ia akan menerpa dari atas caravan, untuk menolong Nobby
sebisa-bisanya. Nobby menjerit ketakutan, ketika Lou mulai memukulnya dengan ikat pinggang
kulit. Tapi sebelum Julian sempat turun untuk menolong, sudah datang bantuan!
Bantuan itu datang sambil menunjukkan gigi serta diiringi suara marah. Lengan
bantuan itu jauh lebih kuat daripada lengan Lou atau Dan. Ia mengamuk, karena
sayang sekali pada Nobby yang malang. Takkan dibiarkannya lagi anak itu dipukuli
terus. Bantuan itu bernama Pongo. Selama itu ia memperhatikan adegan di depannya. Pongo
selama itu bersembunyi terus dalam semak, karena ia juga takut pada Lou dan Dan.
Tapi sekarang, setelah mendengar Nobby menjerit ketakutan, Pongo lupa akan rasa
takutnya. Ia meloncat ke luar semak, langsung menyerbu kedua orang jahat itu.
Digigitnya lengan Lou keras-keras. Kemudian digigitnya tungkai Tiger Dan. Kedua
laki-laki itu menjerit kesakitan, lebih keras lagi daripada jeritan Nobby tadi.
Lou mengayunkan ikat pinggangnya, mengenai bahu Pongo. Simpanse itu berteriak
dengan suara melengking tinggi, lalu menerpa Lou dengan lengan terbentang.
Dipitingnya orang itu kuat-kuat, sambil berusaha menggigit lehernya.
Tiger Dan lari pontang-panting menuruni bukit, karena takut diserang simpanse
yang sedang mengamuk. Lou memekik memanggil Nobby.
"Suruh dia pergi! Mati aku dibunuhnya!"
"Pongo!" panggil Nobby. "Stop, Pongo! Ayo ke mari! Pongo!"
Pongo berpaling memandang Nobby dengan heran.
"Apa?" Begitulah hendak dikatakan simpanse itu dengan pandangannya. "Kau tak
mengijinkan aku menghukum orang yang menyiksamu tadi" Yah - kalau kaubilang
begitu, terserah!" Tapi simpanse itu masih sempat menggigit Lou sekali lagi, sebelum melepaskannya.
Lou menyusul Dan menuruni bukit, lari secepat kemampuannya. Julian mendengarnya
menabrak-nabrak semak, seakan-akan sedang diburu seratus ekor simpanse.
Nobby terduduk. Ia gemetar. Pongo tidak tahu pasti, apakah temannya itu marah
padanya atau tidak. Ia merayap mendekati, lalu meletakkan tangan ke lutut Nobby.
Pongo mengoceh gembira, ketika Nobby memeluknya.
Julian turun dari atap caravan, lalu menghampiri Nobby. Ia duduk di samping anak
itu, dan memeluknya. "Aku sudah siap menolongmu, ketika tiba-tiba Pongo muncul dan langsung
mengamuk," kata Julian.
"Sungguh?" kata Nobby. Mukanya yang bengkak berseri-seri. "Kau benar-benar
sahabat sejati. Sama baiknya seperti Pongo."
Julian merasa bangga, karena dinilai sama tabahnya seperti simpanse itu!
Bab 16 PENEMUAN YANG TAK TERSANGKA
"HE - ada orang datang!" kata Nobby. Pongo menggeram. Terdengar suara-suara dari
arah kaki bukit. Disusul gonggong anjing.
"Itu kan Timmy, dengan saudara-saudaraku," kata Julian. Ia merasa lega, karena
mereka sudah kembali. Ia berdiri, lalu memanggil-manggil,
"Halo! Cepat naik ke atas!"
George, Timmy, Dick dan Anne berlari-lari naik.
"Halo!" seru Dick. "Sudah kami kira di atas aman, karena tadi kelihatan Lou dan
Dan di kejauhan, sedang lari di kaki bukit. He! - Pongo ada di sini!"
Pongo bersalaman dengan Dick. Setelah itu ia mendekati kaki belakang Timmy,
maksudnya hendak menyalami ekor anjing itu. Tapi kini Timmy lebih cepat. Sambil
mundur, diangkatnya kaki depannya. Kocak sekali kelihatannya, ketika kedua
binatang itu saling bersalaman. Serius sekali!
"Halo, Nobby!" kata Dick. "Astaga! Kenapa mukamu" Kelihatannya seperti habis
berperang!" "Yah, bisa juga dikatakan begitu," jawab Nobby sambil tersenyum lemah. Ia masih
kaget, dan karenanya tidak bangkit. Pongo mendatangi Anne, dan mencoba untuk
merangkul anak itu. "Aduh Pongo - jangan keras-keras," kata Anne. "Ada kejadian di sini tadi,.
Julian" Datangkah orang-orang itu" Ada kabar baru?"
"Banyak," jawab Julian. "Tapi mula-mula aku ingin minum dulu, karena seharian
belum minum. Enaknya, limun jahe!"
"Kita semua haus. Kuambilkan lima botol - ah, tidak! Enam, karena kurasa Pongo
juga kepingin." Pongo suka sekali minum limun jahe. Simpanse itu duduk menemani anak-anak di
atas serambi batu. Disambutnya gelas yang disodorkan Anne padanya, persis
seperti anak kecil. Timmy agak cemburu melihatnya. Tapi ia tidak sampai ributribut, karena ia toh tidak suka limun jahe.
Julian mulai menceritakan pengalamannya sehari itu. Mulai dari bersembunyi di
atas atap caravan, lalu kedatangan kedua laki-laki - yang menyusup ke kolong
caravan - lalu menggeserkannya. Anak-anak mendengarkan dengan mata terbelalak
keasyikan Hebat benar pengalamannya!
Kemudian giliran Nobby bercerita.
"Aku tiba-tiba muncul, sehingga nyaris saja semuanya berantakan," katanya ketika
Julian sampai pada penuturannya tentang Lou dan Dan yang tidur mendengkur. "Tapi
soalnya, aku harus ke mari untuk memberi tahu kalian. Lou dan Dan bersumpah
bahwa mereka harus meracuni Timmy, juga apabila untuk itu mereka sebelumnya
harus membiusnya, lalu membawanya ke perkemahan dalam karung. Atau kalau tidak,
mereka akan mencoba dengan jalan mengetok kepalanya."
"Coba saja kalau berani!" kata George dengan suara segalak-galaknya, sementara
lengannya merangkul Timmy. Pongo ikut-ikutan merangkul anjing itu.
"Dan kata mereka, caravan-caravan kalian juga akan dimusnahkan - mungkin dengan
jalan menyalakan api di kolong. Biar terbakar habis!" kata Nobby melanjutkan
laporannya. Keempat temannya menatapnya dengan rasa ngeri.
"Tapi mereka kan tidak bisa berbuat begitu?" kata Julian, setelah agak surut
kagetnya. "Kalau mereka melakukannya juga, pasti akan berurusan dengan polisi."
"Yah, aku cuma meneruskan kata-kata mereka," sambung Nobby. "Kalian belum begitu
mengenal Lou dan Tiger Dan, seperti aku. Mereka tak kenal mundur kalau sudah
menginginkan sesuatu - atau menyingkirkan seseorang. Bukankah mereka sudah
mencoba untuk meracuni Timmy" Tapi yang menjadi korban malah Barker?"
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Anne prihatin. "Sudah sembuh lagi?"
"Tidak," jawab Nobby. "Kurasa ia akan mati. Sudah kuserahkan pada Lucilla agar
diobati. Lucilla pandai sekali merawat binatang-binatang yang sakit. Growler
kukumpulkan bersama anjing-anjing lain, supaya aman."
Nobby memandang teman-temannya. Bibirnya gemetar, sedang suaranya tersendatsendat. "Aku tak berani pulang," katanya pelan. "Tak berani. Pasti aku akan dipukuli
sampai setengah mati."
"Kau tidak perlu kembali, itu sudah pasti," kata Julian dengan tegas. "Kau di
sini saja bersama kami. Kami bergembira sekali bisa menerimamu. Kau sudah begitu
baik, mau ke mari untuk memperingatkan kami - tapi sial, akhirnya ketahuan. Kau
sekarang sahabat kami - dan kita harus bersatu-padu."
Nobby diam saja, tapi matanya bersinar-sinar. Ia mengusap-usap matanya. Kemudian
nyengir, seperti biasanya lagi. Kepalanya terangguk-angguk, tapi tak bisa
mengatakan apa-apa. Anak-anak merasa, Nobby sangat baik hati. Kasihan Nobby!
Mereka minum limun jahe sampai habis. Kemudian Julian bangkit dari tempat
duduknya. "Sekarang kita harus mencari sebentar," katanya. "Kita harus mengetahui ke mana
kedua orang itu tadi pergi!"
"O ya!" kata George, yang sudah merasa bosan karena terlalu lama duduk diamdiam. "Kita harus menyelidikinya! Apakah kita harus menyusup ke kolong caravan,
Julian?" "Kurasa memang perlu," jawab Julian. "Kau duduk di sini saja, Nobby. Kau
berjaga-jaga, siapa tahu Lou atau Dan datang lagi."
Sebetulnya ia tidak berpendapat bahwa Nobby perlu menenangkan diri dulu. Tapi
Nobby berpendapat lain! Ia ingin turut dalam petualangan teman-temannya!
"Timmy sudah cukup sebagai penjaga, ditambah lagi dengan Pongo," katanya. "Kalau
ada orang datang, masih setengah kilometer dari sini pun akan sudah mereka
dengar. Aku ikut!" Dan ternyata dia benar-benar ikut. Nobby menyusup-nyusup ke kolong caravan yang
rendah, ikut mencari-cari.
Tapi sukar sekali mencari dalam semak, karena lantai caravan sangat rendah. Tak
ada tempat bagi mereka untuk bergerak dengan agak leluasa. Seperti Lou dan Dan
sebelumnya, tak lama kemudian mereka merasa perlu menggeserkan caravan itu dulu.
Mereka harus berlima, ditambah dengan Pongo yang ikut mendorong, untuk
memindahkan caravan beberapa meter dari tempatnya semula. Kemudian mereka
merebahkan diri kembali ke tanah.
Tumbuhan liar di situ mudah sekali dicabut, karena sudah dicabut lebih dulu oleh
Lou dan Dan yang kemudian menanamnya kembali. Anak-anak membersihkan tanah yang
garis tengahnya sekitar satu setengah meter. Begitu tempat tersebut bersih dari
semak-semak, mereka terkejut.
"Lihatlah! Di bawahnya ada beberapa lembar papan!"
"Tersusun rapi sekali. Untuk apa ditaruh di situ?"
"Singkirkan saja!"
Anak-anak mengangkat papan-papan itu selembar demi selembar, lalu menumpukkannya
di tempat lain. Ternyata papan-papan itu menutupi sebuah lubang yang dalam.
"Kuambil senter dulu," kata Julian, sambil pergi ke caravan. Ia kembali membawa
senter, lalu menyorotkannya ke dalam lubang.
Nampak sebuah lubang yang menjorok dalam ke perut bukit. Pada tepi lubang itu
ada sederet tempat berpijak. Anak-anak duduk mengelilingi lubang, tercengang Datuk Lembah Neraka 2 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Pendekar Pedang Sakti 5

Cari Blog Ini