Ceritasilat Novel Online

Dalam Lorong Pencoleng 1

Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Bagian 1


DALAM LORONG PENCOLENG Enid Blyton Lima Sekawan Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2004 FIVE GO DOWN TO THE SEA by Enid Blylon All rights reserved. Illustration copyright C 1988 Hodder & Stoughton limited
First published in 1953 by Hodder & Stoughton Ltd.
LIMA SEKAWAN: DALAM L0R0NG PENCOLENG
Alih bahasa: Agus Setiadi
GM 305 97 707 Hak cipta teriemahan indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33 - 37. Jakarta 10270
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI Jakarta. November 1980
Cetakan kesepuluh : Agustus 2002
Cetakan kesebelas : September 2004
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
BLYTON, Enid Dalam Lorong Pencoleng/Enid Blyton:
alih bahasa: Agus Sctiadi -Cet.7-Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
256 hlm: 18 cm. - (Seri Lima Sekawan)
Judul asli: Five Go Down To The Sea
ISBN 979 - 605 - 707 - 7 I.Judul II. Setiadi, Agus II. Seri
Di cetak oleh Percetakan Duta Prima, Jakarta
Isi di luar tanggungjawab Percetakan
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Daftar Isi 1. Liburan Dimulai 7 2. Tremannon Farm 19 3. Malam Pertama 32 4. Ke Teluk 45 5. Yan - dan Kakeknya 58 6. Kisah Aneh 72 7. Keluar Malam-malam 84 8. The Barneys Datang! 98
9. Cahaya di Menara 111 10. Bersiap-siap 124 11. The Barneys - dan Clopper 137
12. Pergi ke Menara 151 13. Dalam Menara Pencoleng 164
14. Lorong Rahasia 176 15. Terkurung Dalam Gua 189
16. Lorong Pencoleng 202 17. Lewat Tengah Malam 215
18. Dick Mendapat Akal 228
19. Peranan Clopper 239 1. Liburan Dimulai SIAL - banku bocor!"kata Dick mengumpat. "Kenapa justru sekarang, sih!"
Julian memandang ban belakang sepeda Dick sekilas, lalu melirik arlojinya.
"Masih ada waktu sedikit untuk memompanya kembali," katanya.
"Mudah-mudahan saja tahan sampai ke stasiun. Masih ada waktu tujuh menit sebelum
kereta api berangkat."
Dick turun dan sepeda, lalu mengambil pompanya. Saudara-saudaranya mengelilingi
anak itu. Mereka ingin melihat, apakah ban yang bocor itu masih bisa dipompa
atau tidak. Saat itu mereka sedang berada dalam perjalanan ke Stasiun Kirrin. Mereka akan
pergi berlibur naik kereta api. Barang-barang mereka sudah dikirim lebih dulu.
Karena itu mereka menyangka cukup banyak waktu untuk bersepeda ke stasiun,
menyerahkan sepeda-sepeda ke bagian bagasi, lalu naik kereta api. Mereka
menyangka akan bisa tenang-tenang saja. Sama sekali tak ada yang menduga ban
sepeda Dick akan bocor di tengah jalan.
"Kita tidak boleh terlambat!" kata George sambil merengut. Anak itu paling
jengkel kalau ada sesuatu yang tidak beres.
"Ah, boleh saja!" kata Julian. Ia nyengir, geli melihat tampang George yang
galak. "Bagaimana pendapatmu, Timmy?"
Timmy menggonggong dengan keras. Seolah-olah hendak mengatakan setuju. Ia
menjilat-jilat tangan George. George menepuk-nepuk kepala anjing yang
disayanginya ini. Wajahnya kembali cerah ketika melihat ban yang kempis itu bisa
dipompa lagi. Dick menekan-nekan bannya sebentar Ia mengembuskan napas lega,
lalu mengembalikan pompa ke tempatnya.
"Huahh! Sampai berkeringat aku memompa," katanya, lalu meloncat lagi ke atas
sadel. "Mudah-mudahan sampai di stasiun nanti masih tahan! Aku tadi sudah
khawatir saja, jangan-jangan kalian terpaksa berangkat tanpa aku."
"Tidak mungkin kami berangkat sendiri," jawab Anne, adiknya. "Kita kan bisa saja
naik kereta yang berikut. Yuk, Tim!"
George dan ketiga sepupunya cepat-cepat mengayuh sepeda menuju stasiun, diikuti
oleh Timmy. Mereka memasuki pekarangan stasiun berbarengan dengan naiknya palang
kereta. Itulah tanda kereta api akan masuk. Petugas bagasi kenalan mereka datang
menghampiri, sambil tersenyum gembira.
"Barang kalian sudah siap diangkut," katanya. "Kenapa bawaan kalian tidak
banyak" Cuma satu koper kecil."
"Selama liburan, kami tidak banyak memerlukan pakaian," jawab Julian. "Tolong
cepat-cepat pasang label ke sepeda kami, ya, Pak" Kereta sebentar lagi masuk."
Petugas itu memasangkan label ke sepeda mereka. Ia tidak bergegas-gegas. Ia
yakin kereta api takkan berangkat sebelum pekerjaannya selesai. Sementara itu
kereta api sudah muncul di tikungan.
"Ah - rupanya kalian akan berlibur ke daerah Cornwall," kata petugas itu. "Ke
Tremannon, lagi! Hati-hati kalau berenang di sana. Di situ ombaknya besarbesar." "Anda mengenal daerah itu?" tanya Anne. Ia tidak menyangka petugas itu pernah ke
Cornwall. "Bagaimana - bagus tidak tempatnya?"
"Bagus tidaknya, tidak bisa kukatakan," kata si petugas bagasi. Bicaranya
dinyaringkan, untuk mengatasi deru lokomotif yang saat itu masuk ke dalam
stasiun. "Dulu aku sering ikut pamanku di sana. Pamanku nelayan! Daerah itu
sunyi dan liar Menurut perasaanku tidak cocok sebagai tempat berlibur. Apa-apa
tidak ada. Tidak ada dermaga tempat hiburan, tidak ada penjual es krim,
pertunjukan musik, bioskop...."
"Bagus!" kata Julian senang. "Memang bukan itu yang kami cari. Kami ingin
berenang-renang di laut, menyewa perahu untuk memancing, melancong, naik sepeda
di daerah pesisir. Liburan begitu yang kami sukai!"
Timmy menggonggong, sambil mengibas-ngibaskan ekor.
"Ya, untukmu juga, Tim," kata George sambil mengusap-usap kepala Timmy. "Yuk,
kita naik ke kereta."
"Sepeda kalian akan kuurus," kata petugas bagasi. "Selamat berlibur! 0 ya kalau kalian kebetulan berjumpa pamanku, bilang saja kalian kenal padaku.
Namanya sama, seperti namaku. John Polpenny!"
"Rupanya nama depan orang Cornwall banyak yang berawalan lie, Pol, atau Pen,"
kata Julian, sambil naik ke kereta api "Terima kasih, John. Kalau sempat, kami
akan mencari paman Anda itu."
Keempat anak itu masing-masing menempati tempat duduk di pojok. Itu bisa mereka
lakukan, karena kereta agak kosong. Timmy meletakkan kedua kaki depannya di
ambang jendela yang terbuka, lalu menjulurkan hidungnya ke luar. Rupanya anjing
itu ingin berdiri begitu terus sepanjang pcrjalanan. Ia memang paling senang
merasakan angin bertiup. "Ayo, turun," kata George.
Tapi Timmy tak mengacuhkan perintah itu. Ia merasa bahagia. Liburan sudah
datang, dan ia bisa berkumpul dengan anak-anak yang disukainya lagi. Mereka akan
melancong bersama-sama. Mungkin di tempat berlibur ada kelinci yang bisa
dikejar. Timmy belum pernah sekali pun berhasil menangkap binatang cerdik itu.
Tapi siapa tahu! Begitulah harapan Timmy.
"Nah, kita berangkat lagi!" kata Julian, sambil duduk dengan santai cli
tempatnya. "Aku paling suka pada saat-saat awal liburan. Bersiap-siap untuk
berangkat, mempelajari peta, merencanakan perjalanan - dan akhirnya berangkat!"
"Ya pada hari seindah sekarang!" sambung Anne. "George, dari mana ibumu tahu
tentang Tremannon Farm?"
"Sebetulnya bukan ibu, tapi Ayah yang mendengar," jawab George. "Kau tahu kan Ayah banyak kenalan sarjana yang gemar pergi ke tempat-tempat sepi. Di tempat
tenang dan damai, mereka lebih bisa mengembangkan buah pikiran. Nah, satu di
antara sarjana-sarjana itu pernah mendatangi Tremannon Farm, karena ia mendengar
kabar bahwa itulah tempat yang paling sepi di sini. Kata Ayah, waktu pergi ke
sana temannya kurus kering. Tapi sewaktu kembali, tubuhnya sudah gempal.
Pokoknya sehat! Lalu kata ibu, rasanya tempat itu paling cocok bagi kita dalam
liburan sekarang ini !"
"Bibi Fanny benar!" kata Dick "Aku juga merasa kurus kering sekarang, sehabis
belajar habis-habisan selama tiga bulan belakangan ini. Ada baiknya jika aku
menjadi agak gemuk!"
Saudara-saudaranya tertawa keras mendengar ucapannya itu.
"Mungkin saja kau merasa kurus kering, Dick," kata Julian, "tapi potonganmu tak
sesuai dengan perasaanmu itu. Kau malah harus agak banyak bergerak, supaya agak
langsing. Dan menurut rencana, kita memang akan hanyak bergerak. Jalan-jalan,
bersepeda, berenang, mendaki...."
"Dan makan," sambung George cepat-cepat. "Timmy, kau harus bersikap sopan
terhadap anjing-anjing yang ada di pertanian, ya! Kalau tidak, bisa repot kau
nanti!" "Dan ingat - jika ingin pergi bermain-main di luar sebelumnya minta izin dulu
pada anjing-anjing itu, bolehkah kau menguber kelinci-kelinci mereka," tambah
Dick dengan tampang serius.
Timmy memukul-mukulkan ekor ke lutut Dick. Moncongnya dingangakan sedikit,
sementara lidahnya terjulur ke luar. Saat itu Timmy kelihatan seperti sedang
tertawa. Dan mungkin saja ia memang geli mendengar lelucon Dick!
"Ah, liburan sekali ini aku tidak ingin mengalami petualangan," kata Anne dengan
nada tegas. "Aku cuma ingin berlibur lain tidak! Kita bersenang-senang, tanpa
mencari-cari keanehan - atau bertualang dan menyelidiki kejadian-kejadian
misterius!" "Setuju!" kata Julian. "Sekali ini kita takkan mengadakan petualangan. Sama
sekali tidak! Kalau terjadi sesuatu, kita anggap sepi saja. Akur?"
"Ya," kata Anne.
"Baiklah," kata George agak sangsi.
"Kenapa tidak?" kata Dick menyetujui.
Julian malah melongo. "Wah, kalian mi benar-benar payah," katanya kecewa. "Tapi jika semua sudah
sependapat, aku menurut saja. Jadi, bila kita nanti tahu-tahu menghadapi suatu
kejadian yang sangat menarik, kita akan membuang muka lalu pergi. Begitu, ya?"
"Yah - aku tak tahu pasti apakah. ..," kata George ragu-ragu. Anak-anak tak bisa
mengetahui apa yang membuat George ragu karena saat itu kereta api terguncang
sedikit. Timmy terjatuh dan tempat duduk. Tapi anjing itu langsung naik lagi
lalu menjulurkan kepalanya kembali ke luar jendela.
"Kita harus menariknya ke dalam dan menutup jendela," kata George. "Nanti
matanya kemasukan debu!"
"Jangan!" bantah Julian tegas. "Kalau jendela ditutup, kita bisa mati kepanasan
nanti. Kalau Timmy tidak bisa dilarang, biar saja ia merasakan sendiri
akibatnya." Persoalan itu ternyata beres dengan sendirinya, karena tepat pada saat itu
terdengar bunyi peluit kereta. Kereta api masuk ke dalam terowongan yang gelap
gulita. Timmy kaget. Ia berusaha naik ke pangkuan George, karena ketakutan.
"Kau ini seperti anak kecil saja, Tim," kata George. "ini kan cuma terowongan!
Ju, tolong turunkan Timmy dan pangkuanku. Hawa sudah begini panas di sini,
ditambah lagi dengan Timmy yang minta dibujuk. Sudahlah, Tim! Kan sudah
kukatakan - ini cuma terowongan biasa!"
Perjalanan mereka rasanya lama sekali. Dua kali mereka harus berganti kereta.
Hawa tetap panas. Timmy terengah-engah. Lidahnya terjulur ke luar. Pada tiap
tempat pergantian kereta, George sibuk mencarikan air untuk Timmy.
Anak-anak membawa bekal makanan, tapi mereka sama sekali tidak berselera makan.
Mereka merasa semakin haus, karena limun yang dibawa sudah cepat habis diminum.
Tubuh pun rasanya semakin kotor.
"Huhh!" keluh Julian kepanasan sambil mengipas-ngipas. dirinya dengan majalah.
"Kepingin mandi rasanya! Timmy, jangan dekat-dekat, hawa di sini semakin panas
karena napasmu!" "Pukul. berapa kita tiba nanti?" tanya Anne.
"Kita harus turun di Halte Polwily," kata Julian. "Itu stasiun kereta yang
paling dekat dengan Tremannon Farm. Kita ke situ naik sepeda. Kalau semua
berjalan lancar, sekitar saat minum teh kita akan sudah sampai di sana."
"Seharusnya kita bawa minum lebih banyak," keluh Dick. "Saat in! aku rasanya
seperti orang yang sudah berminggu-minggu tersesat di tengah gurun pasir"
Mereka merasa lega sekali ketika kereta berhenti di Halte Polwilly. Mereka muiamula sama sekali tidak menyangka baliwa tempat itu merupakan perhentian kereta
api, karena yang ada di situ cuma suatu pangkalan sempit, terbuat dari kayu.
Karenanya Julian serta saudara-saudaranya tetap duduk dengan sabar, menunggu
kereta api meneruskan perjalanan. Mereka tak melihat pangkalan yang ada di sisi
kereta. Juga tak tampak papan kecil yang bertuliskan "HALTE POLWILLY".
Sesaat kemudian terdengar langkah bergegas-gegas di atas lantai papan, disusul
munculnya wajah kondektur dari balik jendela. Muka kondektur itu basah karena
keringat. "Bagaimana" Kalian tidak mau turun?" tukasnya. "Mau duduk-duduk terus sepanjang
hari di sini?" "Astaga! Ini Polwilly?" kata Julian kaget, sambil meloncat bangkit. "Maaf - kami
tidak menyangka bahwa ini halte. Baik, Pak, kami akan segera turun."
Begitu mereka turun dan menutup pintu kereta, kereta langsung berangkat.
Ternyata hanya mereka yang turun di situ. Sepeda-sepeda mereka tampak dijejerkan
di ujung pangkalan. Halte itu terpencil letaknya, dikelilingi padang rumput dan bukit-bukit rendah.
Ke mana pun mata memandang, tidak satu pun tampak bangunan.
Tiba-tiba mata George yang tajam melihat sesuatu yang indah, tidak begitu jauh
di sebelah barat. Ia menarik lengan Julian.
"Julian, lihatlah! Itu laut! Itu, di sana - di sela punggung kedua bukit itu.
Kau tak melihatnya" Aku yakin, yang tampak di sana itu laut. Wah, bukan main
indah warna birunya."
"Di daerah Cornwall, laut memang sangat biru warnanya," kata Dick. "Ah, enak
rasaku sekarang melihat laut. Yuk, kita naik sepeda saja sekarang dan pergi ke
Tremannon Farm. Sudah tak tahan lagi hausnya."
Anak-anak Lantas menaiki sepeda masing-masing. Sebelumnya, Dick menekan-nekan
ban belakangnya sebentar. Terasa agak kempis, tapi masih bisa dinaiki. Kalau
nanti semakin kempis, ia bisa memompanya kembali dengan mudah.
"Berapa jauh Tremannon dan sini?" tanyanya.
Julian mengambil buku catatannya.
"Turun di Halte Polwilly," katanya sambil membaca. "Lalu bersepeda empat mil ke
Tremannon Farm, menyusuri jalan-jalan sempit. Desa terletak satu mil sebelum
pertanian." Julian berhenti membaca. "Lumayanlah. Nanti sesampainya cli desa itu, mungkin kita bisa membeli limun.
Bahkan mungkin pula es krim."
Mendengar Julian menyebut kata es krim, dengan segera Timmy menggonggonggonggong. "Kasihan si Timmy!" kata Anne. "Dia pasti kepanasan sekali, karena harus lari
terus mengiringi kita yang naik sepeda. Lebih baik kita pelan-pdan saja."
"Siapa bilang aku ingin berpacu," kata Dick. "Aku akan bersepeda sepelan yang
kauinginkan, Anne." Berempat mereka bersepeda menyusuri lorong sempit, diikuti Timmy yang lari
dengan lidah terjulur. Di sisi kiri-kanan mereka tumbuh pagar tanaman yang
tinggi. Anak-anak bersepeda sepelan mungkin. Mereka merasa kasihan pada Timmy.
Anjing itu berlari terus dengan tabah. Ia pantang menyerah.


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saat itu sekitar pukul lima sore. Cuaca indah sekall, tapi sangat panas. Mereka
tak berpapasan dengan siapa pun. Dan tak terdengar suara burung berkicau.
Rupanya burung-burung ikut merasa kepanasan. Angin sama sekali tak bertiup.
Suasana saat itu sunyi sepi. Aneh rasanya!
Julian yang bersepeda paling depan menoleh ke belakang sambil nyengir.
"Suasana begini cocok sekali untuk petualangan," katanya riang. "Terasa sekali
olehku, kita saat ini mengarah ke situ! Tapi tidak - kalau ada kejadian aneh,
kita akan membuang muka sambil berkata, 'Kami tidak mau bertualang kali ini!'
Begitu kan janji kita?"
2. Tremannon Farm ASYIK rasanya bersepeda pelan-pelan, menuju Tremannon Farm. Sepanjang jalan
mereka melihat bunga-bunga bermekaran, menghamburkan bau wangi semerbak. Tanaman
jagung sudah turnbuh tinggi di ladang. Warnanya sudah menguning, bercampur baur
dengan merahnya warna bunga apiun.
Akhirnya mereka sampai di desa Tremannon. Untuk disebut sebagai desa, sebenarnya
terlalu hebat. Yang ada cuma jalan berkelok-kelok, dengan beberapa toko dan
rumah di bagian tengah desa. Kemudian beberapa rumah lagi yang berpencaran di
kedua ujungnya. Lebih jauh lagi, di daerah bukit-bukit, tampak beberapa rumah
pertanian, dengan tembok batu berwarna kelabu agak kemilau ditimpa sinar
matahari sore. Anak-anak menuju ke toko serba ada, lalu masuk ke dalam. Mereka sial. Es krim
tidak ada! Tapi kalau limun, ada. Dan cukup dingin, karena disimpan di ruang
bawah tanah toko itu. "Kalian ya, yang akan berlibur di pertanian Bu Penruthlan," kata pemilik toko.
"Kedatangan kalian sudah ditunggu olehnya. Kalian orang asing, ya?"
"Sebetulnya bukan," jawab Julian. Ia teringat, banyak orang asli Cornwall
beranggapan bahwa semua orang yang bukan asli daerah itu, tergolong orang asing.
"Ada seorang saudara perempuan nenekku yang seumur hidupnya tinggal di sini, di
Cornwall maksudku. Jadi kami kan tidak bisa dibilang orang asing lagi, Bu."
"Ah - kalian sih memang orang asing," kata wanita tua yang sudah bungkuk itu
sambil menatap Juhian dengan menyeidik. "Caramu ngomong pun asing. Kalian
seperti orang laki- laki yang sebelum ini menginap di tempat Bu Penruthlan.
Menurut kami orang itu gila - tapi tidak sampai mengganggu orang."
"O ya?" kata Julian, menuangkan limun untuk ketiga kalinya ke dalam gelas. "Yah,
orang itu sarjana. Dan sarjana yang benar-benar hebat memang harus agak sinting!
Setidak-tidaknya, begitulah kata orang. Wah, enak sekali rasa limun ini. Aku
minta sebotol lagi, Bu!"
Tiba-tiba wanita tua itu tertawa. Kedengarannya seperti suara ayam betina yang
berkotek-kotek karena geli.
"Bu Penruthlan sebetulnya sudah menyiapkan makanan enak bagi kalian," katanya
sambil tertawa terus, "tapi tampaknya kalian nanti tidak bisa makan lagi, karena
kebanyakan minum di sini. Tuh - kudengar bunyinya berkecipak dalam perut
kalian!" "Wah, terdengar bunyinya ya, Bu?" kata Julian dengan tampang serius. "Perut kami
memang tidak tahu aturan. Pengaruh adat asing rupanya. Yah - berapa harus kami
bayar, Bu. Limun ini memang enak sekali."
Sehabis membayar, anak-anak lantas bersepeda lagi. Sebelumnya mereka sudah
diberi petunjuk jalan ke arah pertanian yang akan menjadi tempat tlnggal mereka
selama berlibur. Timmy kelihatan segar kembali, setelah minum sepuas-puasnya
selama empat menit tanpa henti.
"Kurasa air dalam perutmu sekarang pasti bisa dipakai untuk mengisi bak mandi,
Tim," kata Julian sambil tertawa pada anjing yang berlari-lari di sebelahnya.
Setelah itu ia mendongak, menatap langit yang cerah. "Wah, kalau cuaca tetap
cerah seperti sekarang, dengan cepat kulit kita akan menjadi cokelat terbakar
matahari!" Perjalanan menuju Tremannon Farm mendaki terus. Tapi akhirnya mereka sampai juga
di sana. Ketika mereka memasuki gerbang yang terbuka, terdengar suara anjing
menggonggong dengan ribut. Empat ekor anjing besar-besar datang berlari-lari
menyongsong. Bulu tengkuk Timmy langsung berdiri. Ia menggeram-geram, untuk memperingatkan.
Ia tegak dengan kaku, sementara matanya memandang dengan sengit.
Seorang wanita menyusul di belakang keempat anjing itu. la tersenyum cerah,
sambil berseru-seru memanggil keempat anjingnya satu per satu.
"Kalian tidak perlu takut, Anak-anak," katanya ramah "Begitulah cara mereka
mengucapkan, 'Selamat datang di Tremannon Farm'!"
Keempat anjing itu bagus-bagus. Tiga anjing Collie, dan seekor lagi jenis
Scotch-terier berbulu hitam. Mereka mengelilingi anak-anak yang baru datang
sambil mengibas-ngibaskan ekor. Timmy memperhatikan mereka satu per satu. George
memegang kalung lehernya. Ia berjaga-jaga! Siapa tahu Timmy merasa hebat dan
ingin menantang keempat anjing itu sekaligus.
Tapi kekhawatiran George tidak beralasan. Timmy bersikap tahu adat. Ekornya
mengibas dengan sopan. Bulu tengkuknya pun sudah tidak tegak lagi. Anjing yang
hitam datang mendekati, lalu mengendus-endus hidung Timmy. Timmy mengendus
kembali, sementara ekornya semakin sibuk mengibas kian kemari.
Kemudian ketiga anjing Collie ikut mendekat. Anak-anak merasa lega ketika
melihat keempat anjing di pertanian ilu tidak bermaksud memperlakukan Timmy
sebagai "anjing asing"!
"Sekarang mereka sudah saling berkenalan," kata Bu Penruthlan. "Yuk, masuk.
Tentunya kalian capek dan lapar. Serta haus! Aku sudah menyiapkan hidangan teh
untuk kalian." Logat Bu Penruthlan tidak seperti logat penduduk asli Cornwall. Kelihatannya ia
senang melihat kedatangan Julian serta ketiga saudaranya. Sambutannya sangat
ramah. Mula-mula mereka diajaknya naik ke atas, ke kamar mandi yang luas tapi
sangat sederhana perlengkapannya. Di situ cuma ada satu keran air. Cuma air
dingin saja yang ada dan keluarnya pun lambat sekali!
Tapi dingin. Enak rasanya mencuci badan dengan air sedingin itu. Anak-anak mandi
berganti-ganti. Untuk mereka disediakan dua kamar tidur. Tiap kamar untuk dua orang. Satu untuk
George dan Anne, yang satu lagi ditempati oleh Julian dan Dick. Ukurannya tidak
begitu besar. Jendelanya kecil-kecil. Sedikit sekali cahaya matahari yang bisa
masuk. Sehingga pada sore yang cerah itu pun, kedua kamar itu gelap.
Perabot kedua kamar itu sangat sederhana pula. Masing-masing dengan dua tempat
tidur, sebuah kursi, sebuah bufet berlaci, sebuah lemari dan dua lembar karpet.
Cuma itu saja. Tapi dari kedua kamar itu anak-anak bisa menikmati pemandangan
yang sangat indah. Sejauh mata memandang tampak pemandangan ladang gandum, lapangan rumput, jalanjalan sempit berkelok-kelok diapit pagar tanaman tinggi. Dan di kejauhan tampak
laut yang biru tua warnanya. Indah sekali!
"Yuk - kita bersepeda ke laut kalau nanti sudah ada waktu!" ajak Dick, yang saat
itu sedang sibuk melicinkan beberapa lembar rambut yang tumbuh kaku di ubunubun. "Di pesisir sini banyak guanya. Kita akan menjelajahinya. Aku ingin tahu,
apakah Bu Penruthlan mau menyiapkan bekal makanan untuk kita, supaya kapan-kapan
bisa bepergian sehari penuh."
"Pasti ia mau," kata Julian yakin. "Orangnya baik hati. Belum pernah kualami
sambutan seramah tadi. Nah - semua sudah selesai mandi" Kalau sudah, kita turun
yuk! Perutku sudah keroncongan."
Hidangan pengiring minuman teh yang disediakan Bu Penruthlan luar biasa enaknya.
Anak-anak sampai bingung, mau mulai dengan yang mana.
"Semuanya boleh kami makan, Bu?" tanya Dick dengan mata bersinar-sinar.
"Tentu saja boleh," jawab Bu Penruthlan. Ia tersenyum melihat Dick tampak
senang. "Aku tahu, bagaimana selera anak-anak yang sedang lapar! Anakku sendiri
tujuh orang. Tapi sekarang sudah besar-besar.. Semua sudah menikah, jadi tidak
tinggal lagi cli sini. Sekarang anak-anak orang lain yang kumanjakan, jika
mereka datang ke sini."
"Kami merasa beruntung, kami yang datang ke sini!" kata Dick, sambil mulai
makan. "Jangan khawatir, Bu - Anda pasti akan sibuk terus. Kami senang makan!"
"Ah, aku belum pernah berjumpa dengan anak-anak yang selera makannya seperti
anak-anakku," kata wanita itu. Kedengarannya seperti agak menyesal. "Aku juga
belum pernah kenal laki-laki yang bisa makan sebanyak suamiku. Senang rasanya
melihat suamiku makan. Sebentar lagi ia datang!"
"Mudah-mudahan ini masih cukup baginya," kata Anne, sambil memandang piringpiring yang sudah setengah kosong di meja. "Pantas kawan paman kami, maksudku
sarjana yang pernah berlibur di sini, ketika kembali badannya montok!"
"Ya - kasihan," kata Bu Penruthlan, yang sementara itu sudah sibuk menuangkan
susu ke dalam gelas anak-anak. "Tubuhnya kurus kering, seperti gagang sapu.
Kalau ditawari apa-apa, selalu menolak. Tapi aku tidak kurang akal! Kalau suatu
kali ia tidak menghabiskan makanan yang kuhidangkan, aku diam saja. Makanan
kubawa kembali ke dapur. Tapi sepuluh menit sesudah itu kuhidangkan lagi ke meja
makan, sambil menyilakan, 'Makan slang, Pak! Semoga Anda berselera!' Ia lantas
mulai makan lagi, dan biasanya sampai licin tandas!"
"Tapi masa ia tidak ingat bahwa ia baru saja makan?" kata Julian tercengang.
"Astaga, rupanya orang itu linglung!"
"Pernah aku menghidangkan makanan yang itu-itu juga, sampai tiga kali," kata Bu
Penruthian. Jadi hati-hati saja, mungkin aku juga akan berbuat begitu pada
kalian!" "Boleh saja, Bu!" kata Julian, sambil nyengir. Dan ia lantas menambah makanan
lagi ke piringnya. Saat itu terdengar langkah orang berjalan di lantai serambi yang terbuat dari
batu. Pintu dibuka dan luar, dan seorang laki-laki masuk ke dalam. Anak-anak
memandangnya dengan kagum.
Orang itu kelihatannya sangat luar biasa. Bertubuh tinggi kekar. Mungkin dua
meter tingginya. Kulitnya cokelat tua, terbakar matahari. Rambutnya lebat dan
ikal, berwarna hitam pekat. Matanya sehitam warna rambutnya.
"Ini Pak Penruthlan - suamiku," kata Bu Penruthlan. Anak -anak langsung berdiri
untuk bersalaman dengannya. Mereka agak takut-takut melihat laki-laki yang
tubuhnya seperti raksasa itu.
Pak Penruthlan menganggukkan kepala dan mengajak mereka bersalaman. Tangannya
besar sekali, penuh ditumbuhi bulu hitam lebat. Tanpa mengatakan apa-apa, ia
langsung duduk. Istrinya sibuk melayani.
"Nah, Pak" kata isterinya, "bagaimana keadaan sapi kita?"
"Ah," gumam Pak Penruthlan sambil meraih piring yang berisi daging asap yang
diiris tipis-tipis. Anak-anak tercengang memandangnya. Bukan main. Sekali makan,
habis tujuh atau delapan iris sekaligus. Ini dia yang namanya jago makan!
"Syukurlah, kalau sehat-sehat saja," kata Bu Penruthlan lagi sambil membenahi
piring-piring bekas. "Anaknya pasti manis sekali - dan warnanya bagaimana?"
"Ah," kata petani itu sambil mengangguk dan mengunyah.
"Wah, belang putih-merah, seperti induknya!" kata istrinya lagi. Anak-anak
mendapat kesan, Bu Penruthlan rupanya bisa memahami jawaban suaminya yang selalu
mengatakan "Ah!" itu.
"Lalu kita beri nama apa?" tanya istrinya lagi. Nyaris saja anak-anak serempak
mengatakan "Ah". Tapi tak ada yang berani. Dan ternyata Pak Penruthlan sekali
itu tidak mengatakan "Ah" - tapi kata lain yang kedengarannya seperti "Kok".
"Baiklah, kita beri nama Buttercup," kata istrinya sambil mengangguk. "Gagasanmu
selalu cocok, Pak Penruthlan."
Anak-anak jadi agak heran mendengar Bu Penruthlan menyapa suaminya sendiri
dengan nama lengkap. Tapi mereka juga tidak bisa membayangkan manusia sebesar
Pak Penruthlan dipanggil dengan nama kecil, seperti Jack atau Jim. Anak-anak
meneruskan makan sambil memperhatikan Pak Peruthlan yang asyik bersantap. Cepat
sekali makannya, menyikat segala hidangan yang ada di meja. Bu Penruthlan
melihat anak-anak memperhatikan suaminya.
"Makannya banyak, ya?" kata wanita itu bangga. "Anak-anakku semua seperti dia
selera makannya. Ketika mereka masih ada di rumah, aku terus-menerus sibuk! Tak
enak rasanya sekarang, karena tinggal Pak Penruthlan saja yang harus kulayani.
Karena itulah aku senang jika ada tamu menginap di sini. Kalian masih lapar?"
Anak-anak tertawa. Lapar" Mereka nyaris tak mampu bergerak lagi - begitu kenyang
rasanya saat itu. Tiba-tiba Pak Penruthlan mengeluarkan bunyi aneh dan mulutnya, lalu merogohrogoh kantong belakang celananya. "Uh-ah!" katanya sambil menyodorkan secarik
kertas kumal yang terlipat pada istrinya. Bu Penruthlan membuka lipatan, lalu
membaca tulisan yang tertera pada kertas itu. Selesai membaca, dipandangnya
anak-anak sambil tersenyum.
"Nah - ini dia acara menarik!" katanya. "The Barneys akan datang minggu ini!
Kalian pasti senang!"
"The Barneys" Siapa mereka itu?" tanya George. Ia heran melihat Bu Penruthlan
tampak begitu senang dan bersemangat.
"Mereka itu serombongan artis yang mengadakan pertunjukan keliling," kata Bu
Penruthian menjelaskan. "Mereka biasa bermain dalam lumbung-lumbung besar. Di
daerah dekat-dekat sini sama sekali tidak ada bioskop. Jadi pertunjukan The
Barneys selalu disambut dengan hangat."
"Oh, mereka dinamakan The Barneys, karena mainnya selalu dalam lumbung," kata
Anne. Dalam bahasa Inggris, 'lumbung' disebut barn. Jadi masuk akal, bahwa
rombongan artis yang tampilnya selalu dalam barn, lantas mendapat julukan
barneys. "Ya, tentu saja kami akan senang menonton pertunjukan mereka, Bu! Apakah kalau
datang ke daerah ini, mereka tampilnya dalam lumbung pertanian di sini?"
"Betul! Kalau rombongan The Barneys datang, seluruh penduduk pedesaan akan
datang beramai-ramai ke sini." kata Bu Penruthlan dengan wajah berseri-seri
karena gembira. "Dan mungkin orang-orang dan desa Trelin akan datang juga. Wah,
kalian pasti akan senang nanti!"
"Ah," sela Pak Penruthlan, sambil mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya ia juga
menyukai pertunjukan rombongan artis The Barneys. Tiba-tiba ia tergelak, sambil
mengucapkan sesuatu. Singkat saja kata-katanya, dan sama sekali tak bisa
dimengerti oleh anak-anak.
"Kata Pak Penruthlan, kalian pasti akan menyukai Clopper." kata Bu Penruthian,
sambil tertawa. "Clopper itu seekor kuda, yang ikut dalam pertunjukan The
Barneys. Kuda itu pandai macam-macam. Misalnya duduk dengan bersilang kaki. Yah
- pokoknya kalian lihat saja nanti. Kuda itu luar biasa!"
Apa" Kuda yang bisa duduk sambil menyilangkan kaki" Julian mengerdipkan mata
pada Dick. Sudah jelas, mereka harus menonton pertunjukan The Barneys.
3. Malam Pertama KENYANG sekali perut mereka. Anak-anak merasa segan berbuat apa-apa lagi. Dick
sebetulnya ingin menambal ban sepedanya yang bocor. Tapi ia tidak yakin, apakah
ia masih bisa membungkuk. Pasti perutnya yang penuh berisi makanan akan
mengganjal! Bu Penruthlan sibuk membenahi meja makan dan menumpuk piring-piring kotor.
George dan Anne menawarkan diri untuk membantunya.
"Kalian baik hati, Anne dan Georgina," kata istri petani itu. "Tapi kalian pasti
capek sekarang. Lain kali saja kalian membantu, ya! Ngomong-ngomong, aku belum
tahu persis - mana yang Anne dan mana yang Georgina?"
"Aku Anne," kata Anne.
"Dan namaku George, bukan Georgina," kata George. "Jadi harap jangan panggil
dengan nama itu. Aku paling tidak suka pada nama Georgina. itu kan nama
perempuan. Aku ingin menjadi anak laki-laki, karena itu aku cuma mau dipanggil
dengan nama George."
"Maksud dia, ia takkan mau menjawab jika tidak dipanggil dengan nama George,"
kata Anne. "Bu, jika kami tak perlu membantu di sini, kami akan keluar bersama
Julian dan Dick." Keduanya lantas berjalan ke luar. George potongannya memang lebih mirip anak
laki-laki, dengan celana jeans kelabu serta kemeja, dan rambut ikal dipotong
pendek. Anak itu memasukkan tangan ke dalam saku celana. Jalannya menirukan gaya
Dick yang selalu melangkah dengan seenaknya!
Sementara itu Dick sibuk dengan ban sepedanya yang bocor. Dengan cepat ia
berhasil menemukan lubang yang menyebabkan kebocoran, lalu lubang itu
ditambalnya. Saat itu Pak Penruthlan lewat. Ia memanggul jerami untuk sapi
betina yang baru saja beranak. Dick dan Julian memandang petani itu dengan
kagum. Pak Penruthlan dengan mudah memanggul tumpukan jerami begitu banyak.
Kalau dimasukkan dalam gerobak, mungkin hampir penuh! Besar sekali tenaga orang
itu. Pak Penruthlan lewat tanpa mengatakan apa-apa. Ia cuma menganggukkan
kepala. "Kenapa ia tak pernah ngomong?" kata Dick heran. "Mungkin anaknya yang tujuh
orang itu semuanya kayak ibu mereka, senang ngomong! Jadi Pak Penruthlan tidak
pernah mendapat kesempatan berbicara selama mereka masih di sini. Dan sekarang
sudah terlambat - Pak Penruthian sudah lupa bagaimana caranya berkata-kata."
Keduanya lantas tertawa geli.
"Bukan main besarnya orang itu," kata Julian. "Kalau sudah dewasa nanti, aku
ingin berbadan sebesar dia."
"Kalau aku, tidak mau. Apa enaknya, kalau tidur kaki terjulur melewati tepi
bawah pembaringan!" kata Dick. "Nah, banku sudah beres lagi. Nih lihat, pakunya!
Rupanya menancap ke ban tadi pagi, sewaktu kita bersepeda ke stasiun."
"Lihat - si Timmy!" kata Julian, "Asyik benar bermain-main dengan anjing-anjing


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Tingkah lakunya seperti anak anjing saja!"
Timmy lari kian kemari, mengejar lalu lari lagi, melompati keempat anjing itu
berganti-ganti. Mereka bermain-main dan bergumul dengan asyik. Anjing terrier
yang kecil tidak mau ketinggalan, ikut ramai dengan kawan-kawannya yang berbadan
Iebih besar. "Timmy akan senang tinggal di sini," kata Dick. "Dan jika makannya banyak
seperti kita, sebentar lagi pasti akan gendut."
"Kita ajak dia jika kita melancong naik sepeda," kata Julian. "Kalau sering
harus berlarian terus, perutnya tak mungkin bisa gendut!"
Saat itu Anne dan George datang. Keduanya diikuti oleh seorang anak kecil.
Seorang anak laki-laki berambut gondrong. Ia tidak bersepatu. Kelihatannya kotor
sekali! "Siapa dia?" tanya Dick.
"Entah," jawab George. "Tahu-tahu sudah ada di belakang kami, lalu mengikuti
terus. Disuruh pergi, tidak mau!"
Anak itu memakai celana jeans yang sudah lusuh, serta baju kaus lengan panjang
yang juga sudah kumal. Matanya hitam legam. Kulitnya cokelat tua kena sinar
matahari. Anak itu berdiri tidak jauh dan mereka, sambil memandang terus.
"Kau siapa?" tanya Dick padanya.
Anak itu ketakutan, Lalu mundur beberapa langkah. Ia menggelengkan kepala.
"Aku tadi tanya, kau ini siapa?" kata Dick sekali lagi. "Atau begini sajalah!
Namamu siapa?" "Yan," jawab anak itu singkat.
"Yan?" kata Dick. "Nama aneh!"
"Mungkin maksudnya Jan," kata George.
Anak kecil itu mengangguk.
"He-eh! Yan," katanya.
"Mungkin "he-eh" itu artinya ya," kata Anne. "Baiklah, Yan. Kau pergi saja
sekarang." "He-eh - aku sini," kata anak itu dengan tampang serius. Dan ia memang tak
beranjak dan tempat itu. Diikutinya anak-anak ke mana saja mereka pergi, sambil
menatap terus dengan rasa ingin tahu. Seakan-akan seumur hidupnya dia belum
pernah melihat anak lain!
"Dia ini kayak nyamuk saja," kata Dick.
"Tidak bosan-bosannya mengelilingi kita terus. Malah aku yang bosan! He, Yan!"
"Eh!" "Ayo pergi! Mengerti, tidak" Pergi, ngabur, ngacir, minggat!" tukas Dick galak.
Tapi Yan cuma melongo. Saat itu Bu Penruthlan keluar. Didengarnya Dick marah-marah.
"Yan mengganggu kalian?" tanya wanita itu. "Ia memang selalu ingin tahu.
Pulanglah, Yan. Ini ada oleh-oleh untuk Kakek. Dan ini untukmu sendiri."
Yan bergegas menghampiri Bu Penruthlan. Diterimanya bungkusan berisi makanan
yang disodorkan oleh istri petani itu, serta sepotong kue untuknya sendiri.
Setelah itu ia langsung lari, tanpa mengatakan apa-apa. Langkahnya ringan
sekali, sama sekali tak kedengaran di atas tanah.
"Siapa anak itu?" tanya George. "Kenapa begitu kumal?"
"Yan anak yang malang," kata istri petani. "Tidak punya sanak keluarga lagi,
kecuali kakek ayahnya. Kakeknya itu sudah tua renta. Perbedaan umurnya dengan
Yan lebih dari delapan puluh tahun! Kakeknya bekerja pada kami, sebagai
penggembala biri-biri. Kalian lihat bukit yang di sebelah sana itu" Nah, pondok
Yan dengan kakeknya ada di balik bukit itu. Mereka hidup di situ sepanjang
tahun." "Mestinya ia sudah bersekolah," kata Julian. "Sekolahkah ia?"
"Ah, mana!" kata Bu Penruthlan. "Sekolah sih sekolah, tapi hampir selalu
membolos. Kalian pergi saja mendatangi kakek penggembala itu. Ayahnya dulu
termasuk kaum pencoleng daerah pesisir sini. Banyak ceritanya tentang masa lalu
yang aneh-aneh. Seram!"
"Wah, kalau begitu kami akan mendatanginya," kata Dick. "Aku lupa bahwa daerah
pesisir Cornwall ini dulu tempat kaum pencoleng. Mereka jahat sekali! Menyalakan
lampu suar palsu, supaya kapal-kapal yang lewat tertipu lalu mendekat ke pantai
- sehingga kapal itu lalu pecah berbenturan dengan karang yang banyak bertebaran
di sini. Ya kan, Bu?"
"Betul, dan setelah itu mulailah para pencoleng beraksi," kata Bu l?nruthlan.
"Kapal yang sudah tidak berdaya dirampok habis-habisan! Menurut cerita, para
pencoleng sangat kejam. Orang-orang kapal yang tenggelam, sama sekali tidak
mereka pedulikan. Masa itu memang sangat kejam!"
"Berapa lama kalau naik sepeda dari sini ke pantai?" tanya George. "Laut bisa
kulihat dan jendela kamar tidur kami."
"Ah, paling-paling sepuluh menit," kata Bu Penruthian. "Kalau ingin ke sana,
lebih baik besok saja. Sekarang kalian kelihatannya sudah capek sekali. Kenapa
tidak jalan-jalan sebentar, dan setelah itu langsung tidur" Nanti kalau kalian
pulang, hidangan ringan untuk makan malam akan sudah selesai kusiapkan."
"Aduh, malam ini kami pasti tidak mampu makan lagi, Bu," kata Dick cepat-cepat.
"Tapi kalau jalan-jalan, boleh juga! Kami ingin melihat-lihat sekeliling
pertanian ini." Setelah Bu Penruthlan masuk kembali ke rumah, Dick lantas memandang saudarasaudaranya. "Makan malam, katanya!" ujar Dick. "Tak kusangka, aku bisa ngeri mendengar
perkataan itu. Tapi malam ini aku betul-betul tak mampu makan lagi! Kalau Pak
Penruthlan - pasti jika ia kembali nanti, ia akan makan lagi. Yuk, kita jalanjalan!" Anak-anak berjalan-jalan dengan santai, melihat-lihat pertanian itu. Petang itu
indah. Angin sejuk mengembus dan arah bukit. Asyik rasanya melihat-lihat
pertanian itu. Bebek berenang-renang dalam kolam. Beberapa ekor ayam betina
masih tampak berkeliaran di pekarangan. Biri-biri berbulu kelabu merumput di
lereng bukit. Beberapa ekor sapi memamah biak dengan tenang. Seekor kuda beban
yang sudah tua menghampiri pagar dan menatap anak-anak.
Mereka mengusap-usap hidung kuda yang berbulu halus. Kuda itu melengkungkan
lehernya ke bawah, mencium-cium Timmy yang belum dikenalnya. Timmy membalas,
mengendus-endus pula. Setelah itu anak-anak menuju ke lumbung-lumbung. Mereka menengok ke dalam,
melihat-lihat ruangan gelap yang berbau jerami. Macam-macam barang tampak
disimpan di situ. Menurut Dick, rombongan artis The Barneys pasti akan
mengadakan pertunjukan mereka dalam lumbung yang paling besar.
"Kurasa pertunjukan mereka pasti payah," katanya, "tapi walau begitu, asyik!
Kurasa enak sekali hidup seperti itu! Mengembara ke mana-mana, hanya dengan satu
atau dua koper, dan membuat orang desa kagum dengan pertunjukan nyanyi, tari,
dan akting. Aku ingin ikut mencoba-coba! Aku bisa main sulap, misalnya."
"Betul," kata Anne mengiyakan. "Pasti asyik jika kita bisa ikut mengadakan
pertunjukan satu kali saja, kalau diizinkan oleh The Barneys!"
"Kurasa takkan mungkin diperbolehkan," kata Dick sambil nyengir, "karena kita
ini kan 'orang asing'." Tiba-tiba ia memicingkan mata, supaya bisa lebih jelas
melihat ke tempat yang lebih gelap. "He! Apa itu yang di balik karung sebelah
sana?" Timmy langsung memeriksa tempat itu. Ia berdiri di depan karung yang dimaksudkan
oleh Dick sambil menggonggong-gonggong. Anak-anak datang menghampiri.
"Ah - lagi-lagi si Yan," kata Julian kesal. Ditariknya anak yang bersembunyi itu
ke luar. "Kenapa kau terus-terusan mengikuti kami, tolol?" tukasnya. Kami tidak
senang diikuti terus. Ayo pulang ke tempat Kakek, sebelum oleh-oleh Bu
Penruthlan untuknya tadi kaumakan habis. Ayo, pergilah sekarang."
Didorongnya anak itu keluar dan lumbung. Anak itu pergi ke lapangan yang
letaknya bersebelahan dengan pertanian itu.
"Nah, sekarang ia benar-benar pergi," kata Julian. "Kurasa Yan agak dungu.
Kapan-kapan kita datangi kakeknya, yuk! Kita lihat saja, apakah pak tua itu
benar-benar punya banyak cerita yang menarik tentang kaum pencoleng daerah
sini." "Kita balik saja ke rumah," kata Dick, sambil menguap lebar-lebar. "Sudah cukup
banyak aku melihat-lihat tempat ini. Aku sudah tahu, aku pasti akan senang di
sini. Dan aku juga akan senang berbaring di tempat tidurku malam ini."
Saudara-saudaranya setuju. Mereka sibuk menguap, ketularan Dick. Semua sudah
ingin cepat-cepat masuk ke tempat tidur. Mereka lantas kembali ke rumah. Timmy
membuntuti, diikuti oleh keempat anjing lainnya.
Dalam rumah, suami-istri Penruthlan sedang duduk-duduk dengan santai, sambil
mendengarkan radio. Ketika anak-anak mengucapkan selamat tidur, Bu Pennuthlan
bangkit hendak mengantar mereka ke atas. Tapi mereka mengatakan tidak usah.
Pak Penruthlan membalas ucapan selamat tidur dengan dengusan pendek.
"Ah" katanya, tanpa memandang ke arah mereka. Ia terus saja mendengarkan acara
radio. Anak-anak lantas naik ke atas, menuju kamar tidur masing-masing.
Julian sudah hampir terlelap di tempat tidurnya ketika tiba-tiba didengarnya
bunyi menggeresek di luar, di balik jendela kamar. Dibukanya mata sedikit,
sambil menajamkan pendengaran. Mudah-mudahan bukan tikus, pikirnya. Kalau yang
menggeresek-geresek itu tikus, Anne pasti ketakutan. Belum lagi Timiny! Anjing
itu tentu akan ribut menggonggong, membangunkan seisi rumah!
Bunyi itu terdengar lagi. Dengan hati-hati Julian memanggil Dick.
"Dick! Dick! Kau masuh bangun" Kau dengar bunyi di jendela itu?"
Tapi Dick tidak menjawab. Ia sudah tidur, dan saat itu sedang bermimpi telapak
kakinya bocor, sehingga tidak bisa berjalan selama belum ditambal!
Sambil berbaring di tempat tidur, Julian mendengarkan terus. Nah - terdengar
lagi bunyi yang sama. Nanti dulu! Rasanya seperti ada orang di luar, berusaha
mengintip ke dalam lewat jendela sempit.
Julian menyelinap turun dari tempat tidur, lalu menghampiri jendela. Tembok luar
ditumbuhi tanaman menjalar yang lebat. Rupanya orang itu masih ada, karena
Julian melihat dedaunan bergerak-gerak.
Dengan sekonyong-konyong Julian menjulurkan kepalanya ke luar. Ia menatap muka
seseorang yang ada di dekatnya. Dilihatnya sepasang mata yang terbelalak
ketakutan. "Yan." desis Julian. Memang, yang mengintip tadi anak kecil itu. "Mau apa kau di
sini" Seenaknya saja mengintip-intip orang! Kupukul kau nanti! Apa yang aneh
pada diri kami?" Yan ketakutan setengah mati. Tahu-tahu ia meluncur ke bawah dengan cepat, lalu
lari secepat-cepatnya. Saat berikut ia sudah lenyap dalam keremangan petang.
"Mudah-mudahan saja ia tidak terus-terusan begitu," pikir Julian, naik lagi ke
tempat tidur. Kuhajar dia, nanti. Ah, sial - gara-gara dia, hilang kantukku"
Tapi tak lama kemudian Julian sudah tidur senyenyak Dick. Keduanya tidur terus,
sampai seekor ayam jantan berpendapat sudah waktunya membangunkan seisi rumah.
Ayam itu berkokok keras-keras, dan, di bawah jendela anak-anak.
"KUKURUYUUUUK!"
Julian dan Dick kaget, lalu terbangun. Sinar matahari pagi menerobos ke dalam
kamar tidur mereka. Julian menengok arlojinya. Wah - masih pagi! Tapi di tingkat
bawah sudah terdengar orang mondar-mandir. Pasti Bu Penruthlan sudah sibuk
bekerja lagi. Dan Pak Penruthlan juga!
Julian tertidur kembali. Ia terbangun ketika pintu kamar diketuk keras-keras dan
luar. Terdengar suara Bu Penruthlan memanggil-manggil.
"Anak-anak, bangun! Sekarang sudah setengah delapan. Sarapan akan siap pukul
delapan. Ayo, bangun!"
Enak sekali rasanya bangun di tempat asing pada awal liburan, sambil
membayangkan keasyikan mandi-mandi, melancong dan piknik naik sepeda. Segala
urusan sekolah, termasuk ulangan, peraturan, dan juga hukuman, saat itu boleh
dilupakan! Anak-anak bangun sambil menggeliat. Dengan perasaan senang, mereka
menatap pemandangan cerah di luar.
Ketika mereka turun ke bawah, sarapan sudah menunggu.
"Hmm - enak!" kata Dick sambil menelan ludah. Meja makan penuh hidangan yang
serba sedap. "Bu Penruthlan, anak-anak Anda yang tujuh orang itu pasti menyesal
pergi dari sini. Kalau aku jadi mereka, seumur hidup aku ingin tinggal di sini
terus!" 4. Ke Teluk SELAMA tiga hari pertama berlibur di Tremannon Farm mereka bermalas-malasan.
Tidak banyak kejadian yang mereka alami saat itu. Hari-hari cerah, makanan enak,
bermain-main dengan anjing-anjing di situ. Dan si Yan cilik!
Anak-anak jengkel sekali kepadanya. Ke mana saja mereka pergi, si Yan selalu
membuntuti. Tahu-tahu ia sudah muncul dari balik pagar tanaman. Atau ikut
menyusuri jalan. Kalau mereka piknik, tak lama kemudian anak itu sudah berdiri
di dekat mereka, sambil menatap dengan penuh perhatian.
"Percuma saja menyuruh dia pergi," keluh Julian. "Dia toh menghilang di balik
pagar sini, tapi kemudian muncul lagi dan balik pagar sebelah sana. Seharusnya
kan dia sudah bosan, terus-terusan membuntuti kita. Lagi pula, buat apa?"
"Tak ada," kata George, "cuma ingin tahu saja. Yang tidak kumengerti, sikap
Timmy lain terhadap anak itu. Mestinya kan menggeram , atau menggonggong. Tapi
tidak! Ia mau saja diajak bermain-main, diguling-gulingkan kayak anjing kecil."
"Aku berniat akan mendatangi kakek ayahnya besok," kata Jullan, "dan akan
kukatakan agar Yan jangan dibiarkan pergi dari sisinya. Habis, anak itu benarbenar mengesalkan! Ingin rasanya menamparnya - kayak menampar nyamuk yang
mendenging-denging terus dekat telinga! Astaga - tuh, ia sudah muncul lagi!"
Sepasang mata hitam menatap mereka dan balik pohon, tersembunyi di sela dedaunan
yang lebat. Timmy berlari-lari menghampiri anak itu dengan gembira. Caranya
melonjak-lonjak di sekitar Yan menimbulkan kemarahan George.
"Timmy! Ayo kemari!" perintahnya ketus. "Kau tidak mengerti ya bahwa kau
bertugas mengusir anak itu jika ia datang" Bukan malah mengajaknya bermain-main!
Aku malu melihat tingkahmu, Tim."
Dengan ekor terkulai, Timmy kembali ke George, lalu duduk terenyak di
sampingnya. Dick tertawa melihat sikap anjing itu.
"Timmy merajuk." katanya geli. "Lihatlah, ia tidak mau memandangmu, George! Ia
malah membuang muka!"
Julian mengejar Yan, sambil mengancam akan menamparnya apabila ia berhasil
menangkapnya. Tapi anak kecil itu sangat lincah.
Tahu-tahu ia sudah lenyap, seperti ditelan bumi. Anak itu memang luar biasa.
Tiba-tiba muncul entah dari mana - lalu secara tiba-tiba menghilang lagi.
"Aku tak suka pada anak itu," kata Julian. "Merinding bulu kudukku jika tibatiba saja ia muncul di suatu tempat."
"Tapi kelihatannya ia tidak nakal dan jahat, buktinya Timmy suka padanya," kata
Anne. Menurut perasaannya, penilaian Timmy tentang orang yang belum dikenal
selalu tepat. "Timmy tidak pernah suka pada orang jahat!"
"Yah - rupanya Timmy sekali ini keliru," kata George, yang masih kesal terhadap
anjingnya itu. "Timmy tolol!"
"Yuk, kita ke laut," ajak Dick. "Kita naik sepeda ke sana! Yan takkan mungkin
bisa mengikuti." Anak-anak lantas mengambil sepeda masing-masing, lalu berangkat ke pantai. Bu
Penruthian menyiapkan bekal sandwich, kue-kue, dan minuman untuk mereka. Sewaktu
berangkat, Yan tampak memperhatikan dari balik pagar semak.
Anak-anak menuju ke laut lewat sebuah lorong sempit. Jalan itu berkelok-kelok,
sehingga anak-anak tidak bisa cepat-cepat bersepeda.
Ketika melewati tikungan yang kesekian kalinya di lorong sempit itu, tiba-tiba
Dick berseru gembira. "Itu dia laut!" serunya. Lorong itu menyusuri tebing tinggi di sisi kiri dan
kanan. Dan di depan mereka terbentang sebuah teluk kecil. Ombak bergulung-gulung
masuk ke dalamnya, lalu pecah membentur tebing. Air laut menyembur tinggi ke
atas. Anak-anak meninggalkan sepeda mereka di ujung jalan, lalu pergi ke belakang
setumpuk batu besar. Mereka berganti pakaian di situ. Cepat-cepat mereka memakai
pakaian renang. Setelah selesai, Julian memandang ke arah laut. Permukaannya tampak tenang di
tengah teluk. Tapi dekat pantai, gelombang menggelora, membentur batu-batu. Tak
mungkin mereka berenang di situ.
Anak-anak lantas berjalan sedikit, mengitari batu-batu. Mereka tiba di suatu
palung berbatu. Air laut menggenang di situ, membentuk kolam alam.
"Ini dia yang kita cari!" seru George gembira. Ia langsung mencebur ke kolam
itu. "Huahh - airnya dingin sekali!"
Sebetulnya air di situ hangat kena sinar matahari. Tapi sekali-sekali ada ombak
besar datang masuk ke dalam kolam, membawa air yang dingin. Asyik rasanya
menunggu-nunggu ombak besar datang! Anak-anak berenang sepuas hati, begitu pula
Timmy. Kemudian mereka makan sambil duduk di atas beting. Ombak memercik di sekeliling
mereka. Setelah itu mereka pergi melihat-lihat ke kaki tebing.
"Aduh, asyik!" seru George. "Di mana-mana ada gua. Dan banyak sekali teluk kecil
di sini. Kurasa jika sedang pasang, air di teluk-teluk ini akan setinggi bahu."
"Ya, betul," kata Julian, sambil memperhatikan gerak air dengan cermat. "Dan
gua-gua di sini akan banyak yang terbenam. Pantas tadi Bu Penruthlan
memperingatkan kita, agar berhati-hati terhadap air pasang. Kita jangan sampai
terjebak, sebab nanti kita harus memanjat permukaan tebing itu."
Anne mendongak. Tepi atas tebing tampak jauh di atas kepala mereka. Anne


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergidik karena seram. "Astaga!" seru Dick tiba-tiba. "Si Yan yang menjengkelkan itu sudah sampai di
sini pula!" Ia menuding ke sebuah batu yang diselimuti rumput laut. Terlihat Yan
mengintip dari balik batu itu!
"Rupanya sepanjang jalan ia berlari terus untuk mencari kita," kata Julian
kesal. "Nah, biar saja ia seorang diri di sini. Kita harus pergi sekarang,
karena pasang mulai naik. Biar tahu rasa anak itu - sesampainya di sini,
ternyata kita sudah pergi!"
"Tahukah dia tentang air pasang?" kata Anne. Anak itu agak cemas. "Maksudku,
tahukah dia bahwa pasang sedang naik, dan bahayanya jika terjebak?"
"Tentu saja ia tahu," kata Julian. "Ia kan anak sini! Tapi jika kau masih
khawatir juga, kita bisa saja minum teh dulu di ujung belakang teluk, dekat
lorong. Cuma jalan itu saja yang bisa ia lalui untuk menghindarkan diri dari
sergapan air pasang. Atau memanjat permukaan tebing! Tapi kurasa ia tak senekat
itu." Sewaktu makan siang tadi, mereka sudah menyisakan sedikit kue dan biskuit untuk
teman minum teh. Mereka mencari tempat yang enak, dekat tempat sepeda.
Pasang naik dengan cepat. Tak lama kemudian bunyi ombak besar membentur tebing
semakin menggelora. "Yan masih belum muncul-muncul juga," kata Anne.
"Kalau ia masih di bawah, pasti saat ini sudah basah kuyup," kata Dick. "Kita
lihat saja sebentar ke sana. Biar tak begitu suka padanya, aku tidak ingin anak
itu tenggelam." Julian dan Dick lantas turun ke teluk sampai sejauh mungkin, lalu memandang ke
arah tempat Yan bersembunyi tadi. Tapi pemandangan di situ sudah berubah sama
sekali! "Wah, pantai sudah tidak kelihatan lagi," kata Julian tercengang. "Sekarang bisa
dibayangkan, betapa mudahnya terjebak air pasang! Lihat tidak gelombang yang
baru datang tadi, Dick" Gelombang itu langsung menghambur masuk ke dalam gua
yang kita masuki tadi."
"Apa yang terjadi pada Yan?" kata Dick dengan suara cemas. "Di mana-mana tidak
kelihatan. Dan ia pasti tidak keluar dari teluk. Karena kalau keluar, kita pasti
melihatnya tadi. Di mana anak itu?"
Julian mulai ikut menasa ngeri. Ia ragu-ragu sejenak. Bagaimana jika mereka
memeriksa agak lebih jauh, berjalan di atas batu yang sudah mulai terbenam.
Sambaran ombak besar yang masuk saat itu, menggagalkan niatnya. Berjalan di atas
beting, merupakan perbuatan nekat! Kalau datang lagi ombak besar seperti tadi,
pasti ia dan Dick akan tersapu dari batu besar tempat mereka berdiri.
"Awas! Ada ombak besar datang! Lebih besar dari yang tadi!" seru Julian. Kedua
anak itu cepat-cepat meloncat turun dari batu, lalu lari sekencang mungkin ke
ujung teluk yang letaknya lebih tinggi. Kaki mereka masih sempat basah dijilat
ujung ombak. Julian dan Dick kembali ke tempat Anne dan George.
"Anak itu tidak kelihatan," kata Julian. Ia berbicara dengan suara biasa, walau
dalam hati sebetulnya merasa cemas. "Seluruh pantai, sudah digenangi laut. Guagua di bawah juga sudah penuh air"
"Ia - ia kan tidak tenggelam?" tanya Anne ketakutan.
"Ah, kurasa Yan bisa menjaga dirinya sendiri," jawab Julian. "Ia sudah biasa
hidup di sini. Yuk, sudah waktunya kita pulang."
Mereka lantas bersepeda kembali, Timmy berlari-lari di sisi mereka. Dalam
perjalanan pulang, anak-anak tak ada yang berbicara. Dalam hati, semua merasa
gelisah memikirkan Yan. Apakah yang terjadi pada anak itu"
Akhirnya mereka tiba kembali di pertanian, lalu menyimpan sepeda masing-masing.
Setelah itu mereka masuk ke rumah, mencari Bu Penruthlan. Mereka menceritakan
Yan pada wanita itu. "Eh, mungkinkah ia terseret arus, lalu tenggelam?" tanya Anne.
Bu Penruthlan tertawa. "Astaga, tentu saja tidak! Anak itu sangat mengenal daerah sini, termasuk
pesisirnya. Ia Iebih cerdas daripada sangkaan kalian! Apa pun juga, selalu
diketahui olehnya. Nasibnya memang malang - tapi ia bisa mengurus dirinya
sendiri!" Anak-anak agak lega mendengar keterangan itu. Mungkin Yan akan muncul lagi, lalu
menatap mereka dengan matanya yang nyaris tak pernah berkedip.
Sore itu mereka berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan desa, ditemani lima ekor
anjing sekaligus. Kemudian mereka duduk-duduk sebentar di pagat Dick kebetulan
membawa permen. Ia membagi-bagikan pada saudara-saudaranya.
"Lihatlah!" seru George tiba-tiba. "Kalian lihat, tidak" Itu!" Ia menggoyangkan
kepala ke arah sebatang pohon ek yang tidak begitu jauh dari mereka. Ketiga
saudara sepupunya memandang ke arah itu.
Sepasang mata hitam legam membalas tatapan mereka.
Yan! Rupanya anak itu sudah mulai lagi membuntuti mereka, lalu bersembunyi di atas
pohon ek untuk memperhatikan apa yang mereka lakukan. Anne yang merasa begitu
lega melihat anak itu, menyapanya dengan ramah.
"He, Yan! Mau permen?"
Dengan cepat Yan turun dari pohon, lalu datang menghampiri. Diulurkannya
tangannya, untuk mengambil permen yang disodorkan Anne padanya. Baru saat itulah
kelihatan Yan tersenyum. Tampangnya yang kumal seketika itu juga menjadi
menarik. Anne menatap anak itu. Ah, anak ini manis, pikirnya. Matanya
berkilauan, sedang di pipi kiri-kanannya tampak lesung pipi.
"Nih - kukasih lagi," kata Dick, yang juga merasa lega mengetahui anak itu
selamat. Dengan cepat Yan menyambar permen dari tangan Dick. Jelas anak itu
jarang makan permen. Timmy seperti biasa, mulai bermain-main lagi dengan anak itu. Yan tertawa-tawa,
dan jatuh menimpa Timmy ketika anjing itu melonjak, menyebabkan ia terguling.
Julian, Dick, dan Anne menonton sambil tertawa.
Hanya George saja yang tidak senang. Timmy anjingnya, dan George tidak suka jika
anjingnya itu bermain-main dengan orang yang tidak disukainya. Ia memang merasa
lega mengetahui bahwa Yan selamat - tapi walau begitu, Ia masih tetap tak
menyukai anak itu! Karenanya George merengut. Julian menyikut Dick. Maksudnya,
supaya adiknya itu melihat tampang George yang masam. Tapi saudara sepupunya
ikut melihat senggolan itu. Tampang George malah semakin cemberut.
"Kalian pasti akan menyesal, telah memberi permen padanya," katanya. "Dia akan
semakin kerap merecoki kita sekarang."
Beberapa saat kemudian, Yan berhenti bercanda dengan Timmy. Sambil mengulum
beberapa buah permen sekaligus, ditatapnya keempat anak yang sedang
memperhatikan dia. "Yuk, ke tempat Kakek," katanya serius. Ucapannya semakin tidak jelas, karena
mulutnya penuh dengan gula-gula. "Aku sudah cerita tentang kalian. Dia akan
cerita macam- macam."
Ia berhenti sebentar sambil menatap mereka dengan serius.
"Kakek juga senang permen," katanya setelah itu. "Eh! Suka sekali!"
Julian tertawa. "Baiklah," katanya. "Kami akan ke sana besok sore. Sekarang pergi. Kalau tidak,
kami tak mau memberimu permen lag!. Mengerti?"
"He-eh," kata Yan sambil mengangguk-angguk. Diambilnya permen yang sedang
dikulum. Diperhatikannya, sudah berapa banyak yang larut. Setelah itu
dimasukkannya kembali ke dalam mulut.
"Ayo, sekarang pergi," kata Julian lagi. "Eh, tunggu dulu! Bagaimana caramu
pergi dari pantai tadi siang" Kau memanjat tebing?"
"Tidak," kata Yan, sambil menggeser permen dalam mulutnya. "Lewat Lorong
Pencoleng, Kakek yang mengajari lewat situ."
Yan langsung pergi sebelum anak-anak sempat mengajukan pertanyaan lagi. Mereka
berpandang-pandangan. "Kalian mendengar apa katanya?" kata Julian. "Ia tadi lewat Lorong Pencoleng!
Apa itu, ya" Rupanya kita tadi mendatangi pantai, yang zaman dulu tempat para
pencoleng beraksi." "Ya, kurasa begitu." kata Dick. "Aku ingin tahu lebih banyak tentang lorong yang
disebutkannya itu. Sekarang aku semakin yakin, besok kita harus mendatangi
Kakek. Mungkin ada hal-hal menarik yang bisa diceritakannya pada kita."
"Baiklah - kita akan pergi ke tempatnya," kata George, sambil berdiri. "Tapi
ingat-ingat saja apa kataku tadi. Si Yan itu akan semakin merepotkan kita,
karena tadi diberi hati."
"Ah - tidak, cuma kuberi permen kok," jawab Dick sambil nyengir.
"Kurasa ia sebenarnya anak baik," tambahnya, ketika teringat betapa Yan tibatiba tersenyum sewaktu diberi permen. "Dan jika ia berhasil membujuk kakeknya
agar mau membeberkan rahasia Lorong Pencoleng pada kita, bisa asyik kita nanti
memeriksa tempat itu. Bagaimana pendapatmu, Ju?"
"Kita mungkin bahkan akan menemukan petualangan nantinya," jawab Julian. Ia
tertawa melihat tampang Anne tiba-tiba menjadi suram. "Sudahlah, Anne - kau tak
perlu khawatir terus. Di Tremannon sini sama sekali tak tercium bau petualangan.
Aku tadi kan cuma bercanda!"
"Kurasa kau keliru, Ju," kata Anne. "Mungkin kau tak mencium bau petualangan di
sini. Tapi aku menciumnya. Aku tidak mau, tapi toh tercium olehku bau itu!"
5. Yan dan Kakeknya KEESOKAN harinya, hari Minggu. Tapi bagi suami-istri Penruthlan, kenyataan itu
sama sekali tak ada artinya. Hari libur atau tidak mereka tetap bangun pagi-pagi
sekali. Kata Bu Penruthlan, ternak peliharaan mereka tidak suka sarapan agak
lambat pada hari Minggu! Setiap hari, binatang-binatang itu ingin makan tepat
pada waktunya. "Kalian pergi ke gereja nanti?" tanya Bu Penruthian. "Berjalan kaki dari sini ke
gereja Tremannon menyenangkan. Dan kalian pasti menyukai Pak Pendeta. Orangnya
ramah!" "Ya, Bu, kami akan ke gereja," kata Julian. "Selama itu Timmy akan kami ikat di
luar. Timmy sudah biasa menunggu bila kami sedang menghadiri kebaktian. Dan sore
ini kami juga ingin mendatangi penggembala biri-biri Anda. Kami ingin tahu,
kisah apa saja yang bisa diceritakan olehnya."
"Yan akan menunjukkan jalan ke tempatnya," kata Bu Penruthlan sambil bersiapsiap untuk masak. "Aku akan menyiapkan hidangan yang enak untuk makan siang
nanti. Kalian suka buah-buahan segar dengan krim?"
"0 ya!" seru anak-anak serempak.
"Bisakah kami membantu, Bu?" kata Anne menawarkan diri. "Baru saja kulihat
kacang polong yang masih harus dikupas. Dan banyak sekali - bertumpuk-tumpuk!
Atau barangkali membantu Anda dengan melepas kismis-kismis itu dari tangkainya?"
"Yak kurasa kalian masih punya waktu sedikit sebelum pergi ke gereja," kata Bu
Penruthlan dengan wajah senang. "Hari ini aku tak berkeberatan - kalau kalian
membantu. Tapi anak laki-laki, tidak usah!"
"Loh, kenapa begitu?" tukas George. "Tidak adil! Kenapa lantaran mereka anak
laki-laki, lantas tidak perlu membantu?"
"Jangan naik darah, George." kata Dick sambil nyengir "Kau tak perlu khawatir,
kami juga ikut membantu. Kami juga senang mencicipi kacang polong. Masa kau saja
yang bisa enak-enak memakannya sambil mengupas!"
Dick selalu pandai membuat lelucon bila dilihatnya George sudah mulai marahmarah. Mau tidak mau, George tersenyum geli. Anak itu selalu merasa iri terhadap
Julian dan Dick, karena sebenarnya ia ingin menjadi anak laki- laki. Ia dan Anne
lalu menghampiri. sebuah panci berisi kacang polong yang harus dikupas.
Tak lama kemudian, keempat anak itu sudah duduk berjejer di tangga dapur. Mereka
sibuk bekerja sambil menikmati sinar matahari yang hangat. Timmy memperhatikan
kesibukan anak-anak itu. Tapi tidak lama, karena beberapa saat setelah itu,
keempat anjing teman-temannya muncul. Si anjing terier hitam agak ketinggalan,
karena langkahnya kalah panjang dengan ketiga anjing Collie yang besar-besar.
"Guk!" kata Collie yang paling besar, dalam bahasa anjing. Timmy menjawab sopan
sambil mengibaskan ekor. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya di sisi anakanak. "Guk!" kata anjing pertama sekali lagi, sambil melompat-lompat sedikit.
"Timmy! Anjing itu mengajakmu bermain," kata George. "Kau tidak mau" Di sini kau
toh tidak bisa membantu kami."
Ketika mendengar ia boleh pergi, dengan segera Timmy melompat turun dengan
gembira. Ditubruknya anjing terier yang kecil sampai terguling-guling. Setelah
itu ditantangnya ketiga anjing Collie sekaligus. Anjing-anjing itu bertubuh
besar dan kuat. Tapi bukan tandingan Timmy!
"Lihatlah si Timmy!" kata George bangga. "Semua dilawannya dengan satu tangan
saja." "Satu kaki, maksudmu," kata Dick. "Timmy lebih cepat daripada anjing Collie yang
paling besar. Dan lebih kuat dari keempat anjing itu sekaligus. Timmy memang
hebat! Jasanya besar dalam beberapa petualangan kita yang sudah-sudah."
"Dan kurasa ia masih akan berjasa lagi." kata Julian. "Aku lebih senang ditemani
Timmy sendiri, daripada dua ekor anjing polisi."
"Kurasa kupingnya pasti terasa panas karena kita membicarakannya," kata Anne.
"Wah! Maaf, Dick - biji kacang itu tahu-tahu melejit!"
"Sudah dua kali kau melakukannya," kata Dick, sambil merogoh-rogoh ke dalam
kemeja. "He! Itu kan Yan!" kata Anne sambil menunjuk.
Anak laki-laki itu datang beringsut-ingsut, tampangnya kumal seperti biasanya.
Tahu-tahu Ia tersenyum, membuat tampangnya yang suram berubah sama sekali. Ia
menyodorkan tangan, dengan telapak menghadap ke atas. Sambil berbuat begitu, ia
mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas.
"Apa katanya?" tanya Dick. "O, aku tahu! Ia minta permen."
"Jangan dikasih!" larang Julian dengan cepat. "Jangan biasakan dia memintaminta. Suruh ia berbuat sesuatu kali ini, jika ingin diberi permen. Yan! Kalau
ingin permen, tolong kami mengupas kacang polong ini."
Tahu-tahu Bu Penruthlan muncul dan dalam dapur.
"Tapi suruh dia mencuci tangannya yang kotor itu dulu," katanya, lalu masuk
lagi. Yan memandang kedua tangannya sesaat, lalu menyelipkannya ke bawah ketiak.
"Ayo, cuci tangan," kata Julian. Tapi Yan menggeleng, lalu duduk agak menjauh.
"Baiklah! Jangan cuci tanganmu. Jangan kupas kacang polong dan jangan minta
permen?" kata George ketus.
Yan menatap George sanbil merengut. KeIihatannya ia tak suka pada George, sama
saja seperti George yang tidak suka pada Yan. Anak itu menunggu sampai ada biji
kacang polong yang melejit. Ketika ada beberapa butir terlempar ke tanah, dengan
cepat dipungut olehnya dan langsung dimakan. Gerakannya gesit sekali!
"Kata Kakek kalian harus datang," katanya kemudian. "Aku yang mengantar."
"Baik" jawab Julian. "Kami akan ke sana sore nanti. Kami akan minta bekal untuk
makan sore pada Bu Penruthlan. Kami akan piknik di bukit. Kau boleh ikut asal
sebelumnya mencuci tangan dan muka."
"Kurasa anak ini seumur hidupnya belum pernah mandi," kata George. "Nah, itu
Timmy sudah kembali. Aku tak suka jika ia bermain-main dengan anak kotor itu. Ke
sini, Tim!" Tapi Timmy malah lari menghampiri Yan. Ia menggaruk-garuk kaki anak itu,
mengajaknya bermain. Keduanya lantas berguling-guling di tanah.
"Jika kalian masih ingin ke gereja, harus bersiap-siap sekarang," kata Bu
Penruthlan, yang muncul dan dapur. Kedua lengannya penuh berlumur tepung sampai
ke siku. "Aduh, banyak sekali kacang polong yang sudah kalian kupas!"
"Sayang tak ada waktu lagi untuk mengerjakan kismis," kata Anne. "Tapi kalau
kacang polongnya, sudah hampir selesai, Bu. Kurasa ada beribu-ribu yang kami
kupas!" "Ya - Pak Penruthlan gemar sekali makan kacang polong," kata istri petani itu.
"Sekali makan, bisa habis satu basi penuh!" Setelah itu ia masuk lagi ke dapur
sementara anak-anak berpakaian untuk pergi ke gereja.
Gereja daerah itu kecil dan tua, tapi indah. Yan membuntuti terus, sampai ke
ambang pintu gereja. Ketika dilihatnya George mengikatkan Timmy pada sebuah
tonggak, Yan lantas duduk di samping anjing itu. Wajahnya berseri-seri. Tapi
George malah cemberut. Sekarang Yan bisa mengajak Tirnmy bermain-main dengan
leluasa, sementara ia di dalam gereja.
Ruangan di dalam gereja sejuk dan agak gelap. Anak-anak merasa silau sesaat
ketika keluar, setelah kebaktian selesai. Timmy menggonggong dengan gembira,
menyambut mereka. Yan masih ada di situ. Ia duduk sambil merangkul leher Timmy.
Ia tersenyum dengan tiba-tiba, lalu melepaskan tali yang mengikat anjing itu.
Begitu merasa dirinya bebas kembali, Timmy langsung bersikap gila-gilaan. Ia
melesat lari dari pekarangan gereja. Kalau diukur, kecepatannya berlari saat itu
mungkin mencapai seratus kilometer sejam. Timmy selalu begitu, sehabis terikat
untuk beberapa waktu. "Yuk ke Kakek," kata Yan pada Dick, sambil menarik lengannya.
"Nanti sore," kata Dick, "Kau yang menunjukkan jalan ke sana. Datang saja nanti,
sehabis makan siang."
Siang itu, anak-anak makan enak sekali. Anne takjub melihat Pak Penruthlan
makan, Menurut perasaannya, kacang polong saja mungkin ada sebasi penuh yang
disikat olehnya sendiri. Sayang petani itu tidak banyak bicara. Ia cuma
mengeluarkan bunyi-bunyi aneh "Ah", "kok", dan suara-suara semacam itu. Sulit


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali mengajak Pak Penruthlan mengobrol. Tidak seperti istrinya!
Ternyata Yan menepati janji. Sehabis makan siang, anak itu muncul kembali untuk
mengantar Julian beserta ketiga saudaranya ke tempat kakeknya.
"Kalian akan ke tempat Kakek dengan Yan." tanya Bu Penruthian. "Kalau begitu
kubekalkan pula beberapa potong kue untuknya. Dan juga untuk Kakek."
"Untuk kami jangan banyak-banyak, Bu," kata Dick. "Sore nanti kami masih ingin
makan lagi!" Tapi bukan Bu Penruthlan namanya kalau keranjang bekal anak-anak tidak diisinya
penuh-penuh! Mungkin dikiranya anak-anak akan lemas apabila sekali tidak makan
sampai kenyang! Jauh juga perjalanan merintis padang, menuju pondok gembala. Yan berjalan
mendului dengan bangga. Mereka melintasi ladang demi ladang, melewati pagarpagar pembatas, menyusuri jalan-jalan sempit, dan akhirnya sampai di sebuah
bukit berbentuk kubah. Biri-biri merumput dengan tenang di situ. Beberapa ekor
anak biri-biri yang sudah agak besar tampak asyik bermain sambil meloncatloncat. Tapi tiba-tiba mereka berubah sikap, berjalan dengan tenang. Rupanya
sadar, mereka sudah hampir dewasa. Malu dong - dilihat anak-anak!
Kakek si Yan yang sebetulnya kakek ayah anak itu sedang duduk di depan
pondoknya, sambil mengisap pipa yang terbuat dari tanah liat. Orang itu sudah
keriput, seperti buah apel yang terlalu lama disimpan. Tapi ia sangat ramah.
Anak-anak langsung menyukainya. Ia mempunyai kebiasaan seperti Yan. Tiba-tiba
saja ia tersenyum, menyebabkan matanya yang biru bersinar secerah warna langit.
Jika ia tersenyum, kerut di mukanya semakin bertambah. Alisnya yang tebal,
jenggotnya yang keriting, juga rambutnya, sudah beruban semuanya. Putih dan
ikal, seperti bulu biri-biri yang digembalakan olehnya.
"Selamat datang," ucapnya lambat-lambat dengan logat penduduk setempat. "Yan
sudah banyak bercerita tentang kalian"
"Kami membawa oleh-oleh dari Bu Penruthlan, untuk minum teh bersama kami nanti."
kata Dick. "Kek, benarkah ayah Anda pada zaman dulu termasuk kaum pencoleng?"
Pak tua itu mengangguk-angguk. Julian mengambil sekantong permen, lalu
menawarkannya pada Kakek. Dengan gerak cepat Kakek mengambil sebuah. Yan
langsung mendekat, lalu diberi pula satu.
Kemudian terdengar bunyi gemeretuk gigi beradu permen. Ternyata gigi Kakek masih
sempurna. Setelah permen habis dikunyah, ia lantas mulai bercerita. Bicaranya
pelan dan kaku, seperti cara Yan berbicara. Kadang-kadang berhenti, mencari-cari
kata yang diperlukan. Rupanya pergaulan sepanjang umur dengan biri-biri saja menyebabkan pak Wa itu
agak kikuk berbicara, pikir Julian. Diperhatikannya laki-laki tua itu. Matanya
awas dan bijaksana! Rupanya ia merasa lebih enak bergaul dengan biri-biri
daripada dengan manusia. "Kalian kan sudah melihat sendiri batu karang yang terdapat di depan Pantai
Tremannon." kata Kakek memulai kisahnya. "Karang itu sangat berbahaya. Seakanakan selalu menunggu mangsa - kapal dan nyawa manusia! Sudah banyak kapal pecah
di sana. Pecah dengan sengaja! Ya, kalian boleh saja tidak percaya, tapi
kenyataannya memang begitu."
"Bagaimana kapal-kapal itu bisa pecah dengan sengaja?" tanya Dick, "Apakah
dipancing ke situ dengan salah satu tipuan?"
Kakek segera berbicara lebih pelan. Seakan-akan ia khawatir, ada orang lain ikut
mendengar. "Di pesisir sini juga, tapi agak jauh dan sini, lebih dari seratus tahun yang
lalu ada sebuah mercu suar. Tugas mercu itu menuntun kapal-kapal, agar selamat
lewat perairan di sini. Kapal-kapal yang melihat cahaya suar lantas berlayar ke
arahnya, setelah itu menyusuri pantai untuk mengelakkan gosong karang yang
membujur agak di tengah. Dengan begitu, mereka bisa selamat. Tapi pada malammalam cuaca buruk, sering dinyalakan suar palsu kira-kira dua mil ke sebelah
selatan dari mercu suar sebenarnya. Maksud suar palsu ini untuk membingungkan
kapal yang lewat, dan menjebak mereka supaya terdampar ke batu karang yang
banyak terdapat di sekitar teluk-teluk Tremannon."
"Aduh, jahatnya!" seru Anne dan George serempak. "Sampai hati benar orang yang
melakukannya." "Manusia memang aneh," kata Kakek, sambil mengangguk-angguk. "Misalnya saja
ayahku. Orangnya baik budi dan saleh. Rajin pergi ke gereja, dan aku selalu
diajaknya serta. Tapi dialah yang selalu memasang suar palsu, serta menyuruh
orang-orang memperhatikan kalau ada kapal yang terpancing lalu berlayar menuju
batu karang yang sudah menunggu."
"Anda - Anda pernah melihat kapal pecah membentur karang?" tanya Dick. Ia sudah
membayangkan kapal-kapal layar yang pecah berderak-derik, serta pekik-jerit
awaknya yang terlempar ke dalam laut yang sedang menggelora.
"Ya - aku pernah melihatnya," jawab Kakek. Matanya merenung, mengingat masa
silam. "Bersama yang lain, aku disuruh ikut ke teluk. Aku bertugas memegang
lentera, untuk membuat awak kapal yang sedang mengarah ke batu karang semakin
bingung. Kasihan! Kapal itu terdengar seperti mengerang kesakitan, ketika
terlempar ke gosong karang yang runcing lalu pecah. Keesokan harinya aku disuruh
lagi ke teluk, untuk membantu mengumpulkan barang-barang yang berserakan di
mana-mana. Banyak sekali yang mati tenggelam malam itu, dan..."
"Bagian yang itu tak usah diceritakan," kata Dick cepat-cepat. Ia tidak tahan
mendengar cerita tentang penderitaan manusia. "Mercu suar palsu itu dinyalakan
dari mana" Dari bukit-bukit di sini atau dan salah satu tempat di atas tebing di
pantai?" "Kutunjukkan pada kalian, di mana ayahku memasang suar palsu!" kata Kakek sambil
bangun lambat-lambat. "Dari bukit-bukit di sini cuma ada satu tempat di mana
sinar bisa tampak dari laut. Para pencoleng harus mencari tempat yang
tersembunyi, supaya sinar palsu mereka tidak bisa terlihat dari daratan. Sebab
kalau sampai terlihat, polisi pasti akan langsung bertindak"
Anak-anak diajak Kakek ke balik bukit. Sesampainya di suatu tempat, ia lantas
menuding ke arah pantai. Di kejauhan tampak atap sebuah rumah di sela dua buah
bukit. Di atas atap itu menjulang sebuah menara. Dan menara itu hanya bisa
dilihat dari tempat mereka berdiri saat itu. Dick hendak menguji hal itu. Ia
melangkah ke kiri sedikit. Ternyata rumah itu langsung tak tampak lagi,
terlindung di balik bukit yang satu. Melangkah ke kanan - sama saja. Hilang di
balik bukit yang satu lagi.
"Aku sendiri yang tahu, suar palsu itu bisa dilihat dari darat," kata Kakek, sambil menuding ke arah menara yang berbentuk
persegi empat itu dengan tangkai pipanya. "Pada suatu malam aku sedang menjaga
biri-biri di sini. Tiba-tiba kulihat ada sinar memancar dari sana, Kemudian
kudengar kabar, malam itu juga ada kapal terdampar di pesisir Tremannon. Segera
aku tahu, para pencoleng beraksi kembali."
"Anda sering melihat sinar memancar dari sana sewaktu sedang menggembalakan
biri-biri di sini?" tanya George.
"Wah - sudah sering sekali," kata pak tua itu. "Dan selalu pada malam-malam
bercuaca buruk. Di tengah badai, pada saat kapal-kapal sedang mengalami
kerumitan menahan serangan badai, dan mencari-cari cahaya mercu suar yang akan
membimbing mereka menuju pantai yang aman. Pada saat-saat seperti itu, kalau
tiba-tiba tampak cahaya terang memancar dan sana, aku lantas berdoa, 'Semoga
Tuhan menolong para pelaut malam ini, karena pasti tak ada orang yang mau
menolong mereka!'" "Aduh, seram" seru George. Ia kaget dan ngeri mendengar kisah kejahatan manusia
itu. "Tentunya Anda merasa lega sekarang - karena tak pernah lagi melihat sinar
jahat memancar dari sana pada malam-malam badai!"
Kakek memandang George. Sinar matanya aneh. Seperti ketakutan. Kemudian ia
berbicara, sambil memelankan suaranya.
"Nak," katanya. "Sekarang pun, pada malam-malam yang gelap dan cuaca sedang
buruk, di sana masih memancar sinar aneh! Tempat itu sudah menjadi puing
reruntuhan. Menaranya dijadikan sarang hurung gagak. Tapi tahun ini saja, sudah
tiga kali aku melihat cahaya memancar dari sana. Kalau ada badai lagi, pasti
suar palsu akan menyala kembali. Firasatku kuat, Nak - aku yakin akan melihat
sinar itu lagi!" Dan Kakek mengangguk-angguk, menegaskan ucapannya itu.
6. Kisah Aneh MATAHARI saat itu memancarkan sinarnya yang hangat. Tapi keempat anak itu
menggigil seperti kedinginan mendengar kata-kata Kakek yang paling akhir.
Benarkah kata-katanya itu" Betulkah sinar suar pencoleng masih tampak menyala di
atas menara kuno pada malam-malam badai" Tapi, mana mungkin! Kan sudah tidak ada
lagi kaum pencoleng di daerah pesisir sunyi itu"
Akhirnya Dick berbicara, menyuarakan pikiran mereka semua.
"Tapi kini kan sudah tidak ada lagi kapal yang terdampar di sini, Kek" Bukankah
tak jauh dan sini ada mercu suar yang terang cahayanya, untuk memperingatkan
kapal-kapal agar menjauh?"
Kakek mengangguk. "Betul! Sekarang ada mercu suar di sini. Dan sejak lama, sudah tidak ada lagi
kapal yang terdampar. Tapi sungguh - suar palsu itu kadang-kadang tampak menyala
lagi, seperti zaman dulu. Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Biarpun aku ini
sudah tua, tapi mataku masih awas."
"Aku juga pernah melihatnya," sela Yan dengan tiba-tiba.
Kakek menoleh ke arah anak kecil itu dengan kesal.
"Jangan banyak omong," katanya ketus. "Kau tak pernah melihatnya. Kalau malam,
kau pasti sudah tidur nyenyak."
"Aku pernah melihatnya," kata Van berkeras kepala. Ia cepat-cepat menyingkir
sedikit, karena Kakek mengangkat tangannya seperti hendak menampar.
Dick cepat-cepat mengganti pokok penbicaraan.
"Kek - apakah yang Anda ketahui tentang Lorong Pencoleng?" tanyanya. "Apakah itu
jalan rahasia untuk turun ke teluk dari daratan sini" Apakah kaum pencoleng
biasa lewat jalan itu?"
Kakek mengerutkan kening.
"Itu rahasia," katanya singkat. "Ayahku dulu yang menunjukkan padaku! Aku sudah
berjanji, takkan membuka rahasia. Kami semua yang mengetahui, harus bersumpah
takkan membuka rahasia Lorong Pencoleng!"
"Tapi kata Yan, Anda menunjukkan jalan itu padanya," kata Dick bingung.
Seketika itu juga Yan menghilang di balik semak, diikuti pandangan Kakek yang
melotot ke arahnya. "Si Yan lagi! Dasar anak bandel" gerutu pak tua itu. "Ia tidak tahu apa-apa
tentang Lorong Pencoleng! Jalan rahasia itu sudah dilupakan orang. Tinggal aku
saja yang masih tahu. Si Yan cuma mengada-ada! Mungkin ia pernah mendengar kisah
tentang Lorong Pencoleng, tapi ia tidak tahu di mana letaknya."
"O, begitu," kata Dick kecewa. Ia sebenarnya berharap Kakek mau memberitahu di
mana Lorong Pencoleng. Ia ingin menyelidikinya, bersama saudara-saudaranya. Tapi
mereka bisa saja mencari jalan itu. Pasti akan mengasyikkan!
Julian kembali menanyakan soal sinar yang tampak memancar dari menara tua di
tepi pantai. Ia agak bingung.
"Tapi siapa yang menyalakan suar di sana?" tanya Julian pada Kakek. "Anda
mengatakan, rumah yang di sana itu sudah lama runtuh. Anda yakin bukan cahaya
kilat yang Anda lihat itu" Kata Anda, sinar terang itu memancar pada malam angin
ribut." "Bukan kilat yang kulihat," jawab Kakek singkat. "Aku pertama kali melihat sinar
itu hampir sembilan puluh tahun yang lampau. Dan percayalah, tahun ini aku
kembali melihatnya tiga kali! Di tempat yang sama, dan sinarnya juga sama, dalam
keadaan cuaca sama seperti dulu! Sinar suar itu tidak dinyalakan oleh tangan
manusia yang masih hidup. Percayalah!"
Anak-anak terdiam mendengar kata-kata yang luar biasa itu. Anne menatap ke arah
menara di kejauhan, yang tampak di sela dua bukit. Aneh! Hanya dari tempat
mereka berdiri saat itu menara itu bisa terlihat dari arah darat. Para pencoleng
itu cerdik, memilih tempat yang begitu tersembunyi untuk menyalakan suar palsu
mereka. Tak ada orang lain kecuali Kakek yang tinggal di atas bukit itu saja
yang bisa melihatnya. Hanya ia sendiri yang tahu apa yang sedang terjadi pada
saat sinar itu memancar. Ia - serta para pencoleng yang kejam!
Kakek mengingat-ingat terus, menggali kenangan lama. Semua diceritakan olehnya.
Kisah-kisah masa silam, kisah-kisah aneh dan ajaib! Satu di antaranya tentang
seorang wanita tua. Kata orang dia tukang sihir! Macam- macam yang dibuat wanita
itu! Anak-anak mendengarkan segala kisah itu sambil melongo. Mereka membayangkan
tukang sihir, kurcaci, pembunuh, dan pencoleng masa silam itu, yang seakan hidup
kembali lewat kisah Kakek.
Kemudian saat minum teh tiba. Begitu Julian membuka tutup keranjang bekal,
dengan segera Yan muncul lagi. Mereka sudah kembali ke pondok Kakek, lalu dudukduduk di depan. Di sekeliling, biri-biri asyik merumput. Beberapa ekor anak
biri-biri yang sudah agak besar datang menghampiri, lalu mengendus-endus Kakek.
Kakek mengusap-usap bidung mereka.
"Aku sendiri yang membesarkan semua biri- biri ini," kata Kakek menjelaskan.
"Kuberi makan dengan botol! Mereka takkan pernah melupakannya!"
Yan makan dengan lahap. la mengerling Anne sambil tersenyum sekilas, menampakkan
lesung pipinya. Anne membalas senyumannya itu. Kini ia suka pada anak itu, dan
juga agak kasihan padanya. Menurut perasaan Anne, Yan pasti tidak cukup diberi
makan oleh kakeknya! Kemudian terdengar dentang lonceng gereja. Matahari sudah
rendah di ufuk barat. "Kita harus pulang," ujar Julian pada saudara-saudaranya. "Perjalanan kita
kembali cukup jauh. Terima kasih atas keramahtamahan Anda menerima kami, Kek.
Pasti Anda merasa lega bahwa kami akan pergi sekarang, sehingga Anda bisa
mengisap pipa dengan tenang sambil ditemani biri-biri."
"Ya, betul," jawab Kakek berterus terang. "Aku memang lebih suka menyendiri,
duduk sambil merenung. Aku mengenang masa silam, ke masa hampir seabad yang
lalu. Jika aku kepingin ngomong, aku ngomong dengan biri-biriku. Mereka pintar
sekali mendengarkan."
Anak-anak tertawa. Tapi Kakek tetap serius. Rupanya Ia bersungguh-sungguh. Anakanak membereskan keranjang bekal, lalu minta diri pada pak tua itu.
"Nah - bagaimana pendapat kalian mengenai ceritanya tadi?" kata Dick dalam
perjalanan pulang. "Maksudku, tentang sinar suar palsu yang sekali-sekali masih
tampak memancar dari menara tua" Benar-benar ajaib. Benarkah ceritanya itu?"
"Cuma ada satu jalan untuk memastikannya!" kata George dengan mata bersinarsinar. "Kita tunggu sampai ada lagi badai pada malam hari, lalu kita periksa
sendiri!" "Tapi, lain bagaimana dengan kesepakatan kita?" kata Julian dengan serius.
"Kalau kelihatannya akan terjadi sesuatu yang menarik, kita harus dengan segera
- memalingkan diri. Begitu kan tekad kita" Masa kalian sudah lupa?"
George bersikap tak peduli. Ia mencibir.
"Kesepakatan itu harus kita pegang," kata Anne bimbang. Ia tahu pasti, saudanasaudaranya tidak sependapat!
"He! Siapa mereka itu?" ujar Dick tiba-tiba. Saat itu mereka sedang memanjat
pagar, hendak melintasi suatu jalan dan masuk ke ladang berikut.
Anak-anak duduk di atas pagar, sambil memperhatikan. Beberapa gerobak lewat di
depan mereka. Gerobak bertudung, tapi saat itu tudungnya dibuka semua. Baru
sekali itu anak-anak melihat gerobak-gerobak yang begitu kuno. Sama sekali tidak
mirip karavan kaum kelana.
Sekitar sepuluh atau sebelas orang ada dalam gerobak-gerobak itu. Mereka
mengenakan pakaian zaman dulu! Ada yang berjalan kaki, dan selebihnya duduk di
atas gerobak. Ada yang sudah setengah umur, dan ada pula yang masih muda, dan
semuanya tampak riang gembira!
Anak-anak memandang rombongan itu dengan penuh perhatian. Orang-orang yang lewat
berpakaian zaman dulu itu cocok sekali dengan cerita-cerita Kakek tentang masa
silam. Selama sesaat Anne merasa seperti hidup dalam zaman dulu, ketika Kakek
masih kecil. Tentunya ia dulu juga berpakaian seperti orang-orang yang lewat
itu. "Siapakah mereka?" tanya Anne dalam hati. Kemudian lewat gerobak yang paling
besar. Di sisi gerobak itu ada tulisan besar-besar berwarna merah.
THE BARNEYS "Ah, mereka ini rupanya rombongan The Barneys. Ingat cerita Bu Penruhtlan
tentang mereka?" ujar Anne. "Rombongan artis keliling, yang mengadakan
pertunjukan berpindah-pindah dari lumbung ke lumbung. Asyiik!"
Rombongan artis itu melihat anak-anak yang sedang memperhatikan mereka, lalu
melambai-lambai. Seorang laki-laki berpakaian seperti bangsawan, dengan pedang
tergantung di pinggang serta rambut palsu bergelung-gelung, melemparkan beberapa
lembar kertas selebaran ke arah anak-anak. Mereka menyambutnya dengan cekatan,
lalu membaca dengan penuh minat.
THE BARNEYS DATANG! Kalimat-kalirnat di bawah tulisan itu ternyata memperkenalkan tokoh-tokoh
rombongan artis. Anak-anak semakin tertarik.
Mereka akan bernyanyi, menari dengan jenaka.
Mereka akan beraksi derni kesenangan Anda.
Edith Wells, biduan semerdu bulbul.
Bonnie Garter, penari unggul.
Janie Coster beraksi dengan biolanya.
John Walters, penyanyi tenor tiada tara.


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan George Roth - si badut jenaka.
Serta artis-artis lainnya!
Kami juga akan menampilkan Clopper, kuda paling jenaka dan terpintar!
THE BARNEYS SUDAH DATANG!
"Wah, asyik!" kata George gembira, lalu menyapa rombongan yang sedang lewat.
"Kalian akan main di Tremannon Farm?"
"Betul!" jawab seorang laki-laki, yang matanya bersinar riang. "Di daerah ini
kami selalu main di tempat itu. Kalian kini sedang liburan di sana?"
"Ya," jawab George. "Kami akan menunggu menunggu kedatangan kalian. Sekarang mau
ke mana dulu?" "Malam ini kami tampil di Poltelly Farm," kata orang itu. "Kemudian kami akan
muncu di Tremannon."
Rombongan itu berlalu, lenyap di balik tikungan.
"Mungkin saja pertunjukan mereka tidak begitu hebat." kata Dick, "tapi pasti
kocak! Tampang mereka saja kehhatan sangat riang."
"Ya, kecuali kusir gerobak paling depan. Kalian meihatnya tadi?" kata Anne.
"Tampangnya seram."
Tapi saudara-saudaranya tak ada yang memperhatikan orang itu.
"Mungkin dia pemimpin mereka," kata Dick "Pemimpin biasanya bertampang serius
karena tanggung jawabnya sangat besar. Segala-galanya harus dia yang mengurus.
Yuk - kita jalan lagi! He - mana Timmy?"
Anak-anak memandang berkeliling. Seketika itu juga tampang George cemberut.
Ternyata Yan sudah membuntuti lagi, dan saat itu Timmy sedang bermain-main
dengan dia Aduh, si Yan memang keterlaluan! Apakah mereka akan terus-menerus
diikuti olehnya" Anak-anak sampai kembali ke pertanian Bu Penruthlan. Suasana di situ masih tetap
seperti biasa. Ayam berkotek-kotek, bebek ribut mencari makan. Seekor kuda
meringkik sambil mengentak-entakkan kaki.
Terdengar langkah mendekat. Ternyata Pak Penruthlan. Ia mendengus ketika lewat,
lalu masuk ke dalam sebuah lumbung. Anne berbisik-bisik.
"Aku bisa membayangkan Pak Penruthlan hidup di masa silam," katanya, "dan
termasuk kaum pencoleng. Aku bisa membayangkannya."'
"Ya, aku mengerti maksudmu balas Dick "Tampangnya galak. Ah, ada satu kata yang
tepat untuk melukiskan potongan orang seperti Pak Penruthlan - nah, aku tahu
sekarang! Bengis! Ya, betul - bengis! Ia cocok sekali sebagai pencoleng!"
"Menurut pendapatmu, mungkinkah zaman sekarang ini masih ada pencoleng?" tanya
George. "Dan apakah suar yang dilihat Kakek dinyalakan untuk menipu kapal-kapal
agar terdampar ke karang?"
"Yah, aku tidak bisa membayangkan sekarang masih ada pencoleng di negeri ini,"
kata Dick. "Mustahil hal seperti itu masih bisa terjadi, tanpa ditindak dengan
segera! Tapi kalau suar itu benar-benar memancar - lalu untuk apa?"
"Kata Kakek tadi, sudah sejak lama tidak ada lagi kapal yang terdampar di
pesisir sini," kata Julian. "Kurasa pak tua itu agak kacau ingatannya. Kejadian
zaman dulu, dikatakannya terjadi sekarang."
"Tapi kata Yan, ia juga melihatnya," kata Anne.
"Aku tidak yakin pada perkataannya," kata Julian.
"Lalu apa sebabnya Kakek mengatakan sinar suar yang sekarang bukan manusia yang
menyalakan?" tanya George heran. "Kalau bukan manusia, siapa dong" Apakah ia
mengira ayahnya yang menyalakan suar itu?"
Anak-anak terdiam sesaat.
"Kita bisa mengetahuinya dengan mudah kalau kita mendatangi menara itu," kata
Dick. Mereka terdiam kembali. "Kusangka kita sudah bersepakat takkan mencari-cari kejadian yang misterius,"
kata Anne. "Ini kan sama sekali tidak misterius," bantah Dick. "Kita cuma mendengar
kenangan lama seorang laki-laki yang sudah tua. Aku sendiri tidak percaya, kalau
suar itu masih tetap memancarkan sinar pada malam-malam bercuaca buruk. Kurasa
yang dilihat Kakek pasti cahaya kilat atau sebangsanya! Nah, kenapa tidak kita
cari saja kepastiannya dengan jalan memeriksa rumah tua bermenara itu?"
"Aku sih setuju saja," kata George tegas. "Dan semula aku sudah tidak begitu
setuju terhadap ide menjauhkan diri dari hal-hal luar biasa itu! Kan ada Timmy?"
"Ya deh." kata Anne mengalah. "Kalau kalian benar-benar kepingin, kita pergi
sajalah ke sana." "Nah - begitu dong, Anne," kata Dick ber gembira sambil menepuk punggung adiknya
itu. "Tapi kau sendiri tidak perlu ikut kalau tidak mau! Kenapa tidak tinggal
saja di rumah" Nanti kalau kami kembali, akan kami ceritakan pengalaman kami
padamu." "Ah, siapa yang mau"!" kata Anne jengkel. "Mungkin aku tidak begitu senang
bertualang seperti kalian, tapi aku juga tidak mau ditinggal kalau kalian
berbuat apa-apa." "Kalau begitu, beres!" kata Julian. "Begitu sempat, kita akan pergi ke sana.
Besok, kalau mungkin!"
Saat itu Bu Penruthlan memanggil mereka makan. Ketika anak-anak hendak masuk ke
dalam rumah, tiba-tiba langit menjadi gelap. Julian kaget, lalu mendongak
menatap langit. "Bukan main hitamnya awan itu!" katanya. "Pasti sebentar lagi akan ada badai!
Dan tadi sudah kukira, karena hawa sangat panas hari ini."
"Badai?" kata George. "Nyala suar itu memancar pada malam badai! He, Julian mungkinkah malam ini akan memancar lagi" Bagaimana jika kita pergi malam ini
juga?" 7. Keluar Malam-malam SEBELUM anak-anak selesai makan, ruangan dapur yang luas itu, yang juga
merupakan ruang duduk, sudah menjadi gelap sekali, awan hitam bergulung-gulung
datang dari arah barat. Kemudian mulai terdengar bunyi guruh, mula-mula masih
sayup-sayup sampai. Anjing terier cepat-cepat meringkuk ke dekat Bu Penruthlan. Ia tidak suka
mendengar bunyi guruh. Sementara istri petani itu membujuk-bujuk anjingnya
supaya tenang, suaminya tiba-tiba tertawa. Pokoknya, kedengaran seperti tertawa.
Ia juga mengatakan sesuatu, yang berakhir dengan "us".
"Ia tidak penakut seperti tikus," kata Bu Penruthlan. Wanita itu mahir sekali
menafsirkan bunyi-bunyi aneh yang keluar dan sela-sela jenggot lebat suaminya.
"Ia cuma tidak suka pada bunyi guruh. Malam ini ia tidur di kamar kita."
Suaminya menggumamkan beberapa patah kata lagi, yang didengarkan dengan saksama
oleh Bu Penruthlan. "Baiklah! Jika Pak Penruthlan masih perlu mendatangi Jenny malam ini, si Benny
ini akan kusuruh diam," katanya kemudian. Setelah itu Ia berpaling pada anakanak. "Kalian tidak usah gelisah jika mendengar Benny menggonggong nanti malam,"
katanya. "Ia cuma mendengar Pak Penruthlan pergi ke luar untuk menengok kuda
kami." Saat itu terdengar bunyi halilintar, diiringi sambaran kilat. Detik berikut,
hujan turun dengan teramat deras. Bunyinya menderu-deru menimpa atap rumah.
Keempat anak itu mengambil kartu, lalu bermain dengan diterangi cahaya lampu
minyak. Di Tremannon Farm tidak ada listrik.
"Yah, kurasa sudah waktunya kita tidur sekarang." kata Julian setelah bermain
beberapa waktu. Ia tahu, suami-istri Penruthlan biasa cepat tidur, karena mereka
harus bangun pagi-pagi sekali. Dan karena kedua orang itu belum akan tidur
selama anak-anak belum naik ke alas, maka Julian selalu menyuruh saudarasaudaranya cepat tidur. Setelah mengucapkan selamat tidur pada suami-istri Penruthlan, anak-anak lantas
pergi ke kamar tidur mereka yang sempit di tingkat atas. Jendela-jendela masih
terbuka. Begitu pula tirai-tirai masih tersingkap. Dengan begitu sekali-sekali
tampak bukit-bukit, pada saat diterangi cahaya kilat yang menyanbar. Anak-anak
berdiri di depan jendela, sambil memandang keluar. Apalagi Dick! Badai sangat
mengesankan baginya. Terasa hebat dan gagah. Bunyi guruh dan petir bertalu-talu,
kilat menyambar-nyambar seakan-akan membelah langit.
"Julian, bagaimana jika kita sekarang pergi ke tempat yang ditunjukkan Kakek
tadi, untuk melihat apakah suar menyala malam ini?" tanya George "Tadi ketika
kutanyakan, kau cuma tertawa saja."
"Dan sekarang aku tertawa lagi !" balas Julian. "Tentu saja tidak bisa, George!
Dengan segera kita akan basah kuyup. Dan aku tak kepingin berdiri di atas bukit
gundul itu, sementara kilat masih terus menyambar-nyambar"
"Baiklah," kata George. "Terus terang saja, aku juga tidak kepingin pergi
sekarang, karena malam terlalu gelap."
"Ya, memang," kata Julian. "Yuk, Dick! Kita tidur saja sekarang."
Sementara itu hujan deras masih terus mengguyur disertai bunyi guruh dan petir.
Anne dan George dengan cepat tertidur. Tapi Julian dan Dick masih tetap nyalang.
Kamar mereka yang sempit, terasa panas dan pengap.
"Dick," kata Julian tiba-tiba, "yuk - kita keluar! Hujan sudah- berhenti. Aku
kepingin melihat, apakah suar misterius menyala malam ini. Menurut Kakek, cuaca
seperti sekarang cocok sekali untuknya."
"Oke," jawab Dick, lalu bangun sambil mencari-cari pakaiannya. "Aku toh tidak
bisa tidur. Padahal tadi rasanya sudah ngantuk sekali."
Mereka mengenakan pakaian seperlunya saja, karena malam itu panas sekali. Dick
masih mencari-cari senternya, sedangkan Julian sudah siap.
"Ah, ketemu juga," kata Dick kemudian. "Kau sudah siap" Kalau begitu, kita turun
sekarang. Kita harus berjalan menyelinap di depan kamar Bu Penruthlan. Kalau
tidak, nanti anjing terier itu terbangun dan menggonggong. Jangan lupa, malam
ini ia tidur di sana."
Keduanya lantas berjingkat-jingkat dalam lorong, melewati kamar suami-istri
Penruthlan, menuju ke tangga. Sewaktu sedang turun, tiba-tiba sebuah anak tangga
berderik keras. Julian dan Dick berhenti. Mereka sudah khawatir saja kalau
anjing yang ada dalam kamar tiba-tiba menggonggong.
Tapi ternyata tidak. Syukurlah! Mereka melanjutkan langkah, menuruni tangga.
Senter dinyalakan, supaya mereka bisa melihat di tempat gelap itu. Akhirnya
mereka sampai di kaki tangga.
"Kita keluar lewat pintu depan atau belakang, Ju?" bisik Dick.
"Pintu belakang," jawab Julian. "Pintu depan sukar dibuka, karena terlalu
berat." Mereka lantas menuju pintu belakang, yang terdapat cli dapur. Pintu itu dikunci
Geger Perawan Siluman 3 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Pendekar Kelana 9

Cari Blog Ini