Lima Sekawan Sarjana Misterius Bagian 3
masuk lewat jendela yang sempit seperti celah. Dalam keremangan malam, Julian
masih bisa melihat bahwa saat itu ia memandang dari serambi ke bawah, ke sebuah
kamar yang gelap di tingkat dua atau tiga. Ditaksir dari tinggi tangga pilin
yang didaki tadi, mestinya tingkat tiga. Kamar yang di bawah itu gelap.
Julian menarik Anne, supaya ke luar. Yang lain-lain menyusul. Tempat itu sunyi.
"Kita sekarang berada pada sebuah serambi," bisik Julian, "letaknya mengelilingi
sebuah kamar yang ada di bawah. Mungkin kamar itu di tingkat dua, karena langitlangit ruangan tingkat pertama kan runtuh. Atau bisa juga kamar tingkat tiga!"
"Kurasa tingkat tiga," bisik Dick. "Tadi cukup tinggi kita naik tangga."
"Bagaimana caranya naik lebih tinggi lagi?" desis George. "Ada jalan tidak dari
serambi ini?" "Kita periksa saja sambil berkeliling," kata Julian. "Tapi jangan ribut-ribut!
Kurasa di sini tak ada orang - tapi siapa tahu! Dan jalan dengan hati-hati,
karena mungkin ada bagian-bagian yang sudah rapuh."
Julian mendului berjalan, menyusur serambi sempit yang melingkar itu. Mungkinkah
pada jaman dulu ruang menara ini merupakan tempat mengadakan pertunjukan" Dan
mungkin serambi yang sedang mereka lalui itu tempat para penonton" Ingin sekali
Julian bisa kembali sebentar ke jaman dulu, untuk ikut melihat peristiwa yang
berlangsung di ruangan bawah - ketika puri masih didiami orang banyak.
Setelah menempuh jarak sekitar tiga perempat lingkaran, anak-anak sampai pada
tangga rendah yang menuju ke ruangan di bawah. Dan tak jauh dari tangga ada lagi
pintu di tembok. Persis seperti pintu rendah, dari mana mereka keluar tadi.
Pegangannya juga berupa gelang yang terbuat dari besi. Julian memutarnya lambatlambat. Tapi sama sekali tak bergerak. Mungkinkah pintu itu terkunci" Sebuah
anak kunci yang besar terselip di lubangnya. Julian memutar anak kunci itu. Tapi
pintu masih tetap tidak mau terbuka. Baru saat itu Julian melihat bahwa pintu
itu digerendel. Wah! Kalau begitu, mungkin ada orang terkurung di baliknya. Mungkinkah orang itu
yang mukanya mereka lihat di belakang jendela" Julian berpaling, lalu berbisik
dekat telinga Anne. "Di sini ada pintu! Pintu itu digerendel. Kelihatannya sebentar lagi kita akan
berhadapan dengan si Muka. Bilang pada George, agar Timmy disuruh kemari."
Anne membisikkan pesan itu pada George. George lantas mendorong Timmy ke depan.
Anjing itu menghampiri Julian. Ia sudah bisa merasakan ketegangan yang terjadi
dengan tiba-tiba itu. "Mungkin sekarang kita akan sampai di tangga yang menuju ke kamar menara - kamar
tempat orang yang aku lihat mukanya di jendela," pikir Julian sambil
menyorongkan pasak gerendel dengan hati-hati ke belakang. Setelah itu
ditolakkannya daun pintu. Ternyata bisa terbuka sekarang. Julian tertegun
sejenak, sambil memasang telinga. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyalakan
senter. Dugaannya tadi tepat! Di belakang pintu ada tangga batu terjal, mengarah ke
atas. Dan di atas itulah terdapat orang tawanan Orang yang muncul di balik
jendela menara! "Kita naik ke atas," kata Julian pelan. "Tapi jangan ada yang berisik!"
Bab 17 PERJUMPAAN MENGEJUTKAN Timmy sudah mau cepat-cepat saja naik. Tapi Julian
memegang kalung lehernya. Kemudian ia mulai mendaki tangga yang curam dan sempit
itu. Anak-anak mengikuti dengan langkah menyelinap. Semua memakai sepatu bersol
karet, kecuali Jo. Anak itu sama sekali tak bersepatu. Timmy yang paling berisik
saat itu. Berketak-ketuk bunyi kukunya di atas batu.
Di ujung atas tangga ada pintu lagi. Dari belakang pintu terdengar bunyi aneh.
Seperti bunyi menggergaji kayu - tapi lebih berat. Timmy menggeram pelan. Mulamula Julian tak bisa menebak, bunyi apa yang terdengar itu. Tapi kemudian ia
tahu. "Itu bunyi dengkur orang tidur," katanya berbisik. "Wah, kalau begitu kita
mujur. Aku bisa mengintip sebentar, melihat siapa yang tidur di dalam. Mestinya
kita kini sudah sampai di puncak menara."
Pintu di depannya tidak terkunci. Julian mendorong daun pintu sampai terbuka.
Lalu dijengukkannya kepala ke dalam, sementara tangannya masih memegang kalung
leher Timmy. Cahaya bulan masuk ke dalam kamar, lewat jendela yang sempit. Muka orang yang
tidur diterangi olehnya. Julian menatap muka orang itu dengan jantung berdebar
keras. Alis itu! Ya - .itulah dia muka yang dilihatnya muncul di balik jendela!
"Aku tahu siapa dia! Dia Terry-Kane!" pikir Julian, sambil menyelinap masuk ke
dalam kamar. "Tampangnya persis seperti potretnya dalam koran. Mungkin sarjana
yang satu lagi juga ada di sini."
Julian memandang berkeliling. Tapi ia tak melihat siapa-siapa lagi, walau bisa
saja masih ada orang lain di tempat yang paling gelap. Julian memasang telinga,
mendengarkan dengan seksama.
Di dalam kamar itu, hanya bunyi dengkur saja yang terdengar. Julian tak
mendengar bunyi napas orang lain. Sementara masih memegang kalung leher Timmy,
ia menyalakan senter dan menyorotkannya ke sekeliling kamar. Semua pojok gelap
diperiksa. Tapi cuma seorang laki-laki saja yang dilihatnya ada di situ. Julian kaget
sekali, ketika menyadari bahwa orang itu diikat dengan tali. Lengannya terikat
dalam keadaan tertarik ke belakang. Kedua kakinya juga diikat dengan tali. Kalau
dugaannya benar bahwa orang itu Terry-Kane, maka pendapat Paman Quentin ternyata
tidak keliru! Orang itu bukan pengkhianat, ia lenyap karena diculik, lalu
ditawan di atas menara puri Faynights.
Sementara itu anak-anak sudah masuk semua, dan menatap orang yang tertidur.
Orang itu mendengkur terus, dengan mulut ternganga.
"Apa yang akan kaulakukan sekarang, Julian?" bisik George. "Kaubangunkan dia?"
Julian mengangguk. Dihampirinya laki-laki yang sedang tidur, lalu digoncanggoncang bahunya. Orang itu bangun dengan seketika. Ditatapnya Julian dengan
bingung. Kemudian ia berusaha duduk.
"Siapa Anda?" katanya. "Bagaimana Anda bisa masuk ke mari dan siapa orang-orang
yang ada di tempat gelap itu?"
"Anda Pak Terry-Kane?" tanya Julian.
"Betul! Tapi Anda siapa?"
"Kami serombongan anak-anak yang sedang berkemah di bukit seberang puri ini,"
kata Julian. "Ketika kami sedang meneropong burung-burung yang beterbangan di
sekitar menara ini, secara kebetulan terlihat muka Anda di balik jendela. Lalu
kami ke mari, untuk mencari Anda."
"Tapi - dari mana kalian tahu aku ini siapa?" tanya laki-laki itu, yang rupanya
masih terus bingung. "Kami membaca berita tentang hilangnya Anda dalam surat kabar," kata Julian
menjelaskan. "Berita itu disertai dengan potret Anda. Alis Anda yang tebal
sangat menarik perhatian kami dan ketika Anda kami lihat lewat teropong, kami
mengenali alis itu kembali."
"He - bisakah kaubuka tali yang mengikatku ini?" kata orang itu dengan nada
mendesak. "Aku mesti lari dari sini. Besok malam musuh-musuhku bermaksud
menyelundupkan aku dari sini dengan mobil ke pantai. Di sana sudah menunggu
sebuah perahu sewaan, yang akan mengangkutku ke daratan Eropa. Mereka bermaksud
memaksa agar aku mau membeberkan rahasia percobaan ilmiahku yang paling baru.
Tentu saja aku tidak mau! Tapi karena itu mereka pasti akan merongrong terus."
"Akan kuputuskan tali-tali pengikat Anda," kata Julian, sambil mengambil pisau
lipat dari kantongnya. Dengan cepat dipotongnya tali yang mengikat pergelangan
tangan dan kaki Pak Terry-Kane.
Sementara itu Timmy siap siaga. Begitu orang itu melakukan sesuatu yang
mencurigakan, ia pasti langsung menerjang!
"Nah, begini kan lebih enak," kata laki-laki itu sambil meluruskan tangan,
ketika tali pengikat sudah terlepas semua.
"Bagaimana Anda bisa sampai di jendela?" tanya Julian, sambil memperhatikan
orang itu mengurut-urut tangan dan kaki.
"Setiap sore salah seorang penawarku datang mengantarkan makanan dan minuman ke
mari," kata Terry-Kane. "Lalu tali-tali pengikat dilepaskan olehnya, supaya aku
bisa makan. Sementara aku makan, ia duduk menunggu sambil merokok. Aku sama
sekali tak diacuhkan olehnya selama itu. Aku biasa pergi ke dekat jendela, untuk
menghirup udara segar. Tapi aku tidak bisa lama-lama di situ - karena tentu saja
selesai makan aku diikat kembali. Tak kusangka ada orang bisa melihat mukaku
dari luar, karena dinding tebal sekali!"
"Kami melihat Anda lewat teropong," kata Julian. "Teropong itu kuat sekali
lensanya. Untung saja Anda saat itu muncul di balik jendela untuk menghirup
udara segar. Coba tidak - pasti kami takkan tahu bahwa Anda ada di sini!"
"Julian!" sela Jo dengan tiba-tiba. "Aku mendengar sesuatu." Anak itu telinganya
tajam sekali. Bunyi yang paling pelan pun terdengar olehnya. Julian kaget.
"Di mana?" katanya sambil menoleh.
"Di bawah." bisik Jo. "Tunggu - akan kulihat ke sana sebentar."
Jo menyelinap ke luar, lalu menuruni tangga dan akhirnya sampai di balik pintu
yang ada di bawah, yaitu pintu yang membuka ke serambi.
Pendengarannya tadi ternyata benar. Ada orang datang, menyusur serambi. Jo
berpikir secepat kilat. Jika ia kembali cepat-cepat ke atas untuk memperingatkan
kawan-kawan, bisa saja orang yang datang itu juga ke atas. Pasti mereka akan
terjebak di sana. Dengan gampang orang itu bisa menggerendel pintu atas dari
luar, dan mereka takkan mungkin bisa ke luar lagi. Jo memilih lebih baik
bersembunyi saja di serambi, tak jauh dari pintu.
Terdengar langkah nyaring menyusur serambi, menuju ke pintu. Kemudian langkah
itu terhenti. Rupanya orang yang baru datang itu mendapati gerendel pintu
terbuka, lalu tertegun karena heran. Orang itu berdiri dekat pintu, tanpa
bergerak sedikit pun. Mungkin ia sedang memasang telinga. Jo sudah khawatir saja
orang itu bisa mendengar jantungnya yang berdebar keras. Anak itu tak berani
berseru memperingatkan kawan-kawannya. Karena jika ia berteriak, Julian dan
saudara-saudaranya pasti turun - dan langsung masuk ke dalam perangkap!
Kemudian Jo mendengar Julian berseru pelan dari ujung atas tangga. "Jo! Jo! Ke
mana lagi kau pergi?" Jo merasa seakan mendengar langkah Julian menuruni tangga.
"Aduh, jangan turun, Ju," desis Jo pelan. "Jangan turun!"
Tapi Julian tetap saja turun - diikuti oleh Terry-Kane dan Dick, serta Anne,
George dan Timmy. Mereka hendak lari.
Laki-laki yang memasang telinga di depan pintu yang di bawah, bukan main
tercengangnya ketika mendengar bunyi langkah dan suara anak-anak itu. Tapi tibatiba ia membanting pintu sehingga tertutup, dan langsung digerendel olehnya.
Anak-anak yang sedang menuruni tangga, berhenti seketika itu juga.
"Jo! Kaukah itu?" seru Julian dari dalam. "Buka pintu!"
Tapi yang menjawab bukan Jo, melainkan laki-laki yang baru datang.
"Pintu sudah kukunci dengan gerendel," serunya galak. "Siapa kalian?"
Sesaat tak terdengar jawaban dari dalam. Kemudian Terry-Kane menjawab.
"Jadi kau muncul lagi, Pottersham! Buka pintu!"
Nah - rupanya sarjana yang satu lagi, yang bernama Jeffrey Pottersham, ada pula
di sini, pikir Julian. Rupanya dialah yang menculik Terry-Kane dan menawannya
dalam kamar menara. Tapi Jo ke mana"
Laki-laki yang berdiri di depan pintu, kelihatannya agak bingung. Tak tahu apa
yang harus dilakukan! Jo memasang telinga, sambil merunduk di sudut serambi yang
gelap. "Kau dibebaskan oleh siapa?" tanya orang yang di bawah. "Dan siapa yang ada
bersamamu sekarang?"
"Aku sudah bosan dengan kekonyolan ini, Pottersham," tukas Terry-Kane yang masih
ada di tangga, "kau sudah sinting rupanya berbuat seperti ini! Aku kaubius, lalu
kauculik - dengan maksud hendak menyelundupkan diriku dengan perahu layar ke
daratan Eropa! Bersamaku saat ini ada empat orang anak. Mereka melihat mukaku di
balik jendela menara, lalu datang ke mari untuk menyelidiki, lalu..."
"Anak-anak"!" kata Pottersham. Kedengarannya kaget sekali. "Bagaimana mereka
sampai bisa masuk ke sini" Cuma aku yang tahu jalannya."
"Pottersham!" teriak Terry-Kane dengan marah dari dalam. "Cepat, buka pintu
ini!" la menendang-nendang pintu. Tapi percuma. Daun pintu tak bisa didobrak
dengan tendangan, karena terlalu kokoh buatannya.
"Percuma saja!" kata Pottersham mengejek. "Lebih baik naik saja lagi ke kamar
menara! Aku pergi sebentar, untuk menanyakan perintah baru. Rasanya anak-anak
itu akan terpaksa ikut dibawa, Terry-Kane! Pasti mereka menyesal melihat mukamu
di jendela menara, seperti kaukatakan tadi! Di tempat tujuan kita nanti, mereka
pasti akan mengalami nasib tidak enak!"
Setelah berkata begitu, Pottersham berpaling lalu pergi. Menurut dugaan Jo,
orang itu pasti menempuh jalan turun lewat lorong yang mereka temukan secara
kebetulan. Jo menunggu sebentar. Ketika ia merasa keadaan sudah aman, ia lantas
bergegas" menghampiri pintu.
"Dick! Dick! Turun! Kau di mana?" serunya bingung. Didengarnya suara menjawab
dari arah atas tangga di balik pintu, disusul langkah lari menuruni tangga.
"Jo!" seru Dick dari balik pintu. "Buka gerendelnya - cepat!"
Jo menarik gerendel ke belakang. Tapi pintu tetap tak bisa dibuka. Sementara itu
Julian juga sudah sampai di bawah, ia berseru-seru, memberi petunjuk pada Jo.
"Putar kuncinya, Jo! Mungkin ia tadi juga mengunci pintu ini!"
"Julian! Anak kuncinya tak ada lagi!" seru Jo bingung, sambil menarik-narik
gelang pegangan pintu. "Rupanya dibawa laki-laki tadi. Aduh, bagaimana aku
sekarang bisa mengeluarkan kalian dari situ?"
"Memang tak bisa, Jo," kata Dick. "Tapi setidak-tidaknya, kau masih bebas, Jo.
Kau bisa pergi melaporkan pada polisi! Cepat - kau kan tahu jalannya?"
"Tapi aku tak punya senter," keluh Jo. Betul juga! Hanya Julian dan saudarasaudaranya saja yang memiliki senter.
"Aduh! Dan kami tidak bisa memberikan salah satu yang ada di sini padamu," keluh
Dick. "Kalau begitu kau terpaksa menunggu sampai besok pagi, Jo - karena jika
kaucoba juga sekarang, ada kemungkinannya kau akan tersesat dalam lorong-lorong
yang gelap di sini. Ya - tunggu saja sampai hari sudah pagi."
"Tapi lorong-lorong tersembunyi di sini masih akan gelap terus," kata Jo. Ia
mengambil keputusan berani. "Lebih baik aku berangkat sekarang juga ke polisi!"
"Jangan!" kata Julian melarang. "Kau harus menunggu pagi!" Ia takut kalau Jo
sampai tersesat dalam lorong yang tak dikenal, sehingga tidak bisa ditemukan
lagi nantinya! Anak itu bahkan bisa saja kemudian terjebak masuk ke dalam ruang
kurungan bawah tanah. Hih - seram rasanya membayangkan kemungkinan itu!
"Baiklah, aku akan menunggu sampai pagi," kata Jo. "Sementara itu aku tidur saja
dulu di serambi sini. Di sini tidak dingin."
"Tapi lantainya keras," kata Dick. "Kami akan kembali ke atas sekarang, Jo.
Kalau ada perlu apa-apa, panggil saja kami. Aduh, untung kau masih bebas!"
Jo kemudian merebahkan diri di lantai serambi. Tapi ia tidak bisa tidur. Karena
selain keras, lantai batu itu juga sangat dingin. Tiba-tiba Jo teringat pada
kamar sempit yang mereka masuki tadi. Kamar sempit, di mana mereka menemukan
kendi, pisau belati dan kertas pembungkus coklat. Pasti lebih enak tidur di
situ, karena ada bangku. Jo berdiri lagi. Ia berpikir sebentar, mengingat-ingat jalan ke sana. 0 ya! Ia
harus menyusur serambi dulu, sampai ke pintu kecil yang menuju ke tangga pilin.
Kalau tangga pilin itu dituruni, ia pasti akan sampai dalam ruang kecil yang
tersembunyi itu. Jo menyelinap, menuju pintu tadi. Tangannya meraba-raba, sampai menemukan gelang
besi. Diputarnya pegangan itu, untuk membuka pintu. Tempat itu gelapnya bukan
main! Jo tak bisa melihat apa-apa di depannya, ia beringsut-ingsut, meraba-raba
dengan jari-jari kaki. Apakah ia sudah sampai di anak tangga teratas dari tangga
pilin" Setelah meyakinkan bahwa ia sudah ada di tangga yang dicari, Jo lantas
menyentuhkan kedua tangannya ke dinding kiri dan kanan yang mengapit tangga
pilin. Anak itu menuruni tangga dengan hati-hati sekali.
"Aduh, benarkah ini tangganya?" pikir Jo gelisah. "Rasanya tangga ini tinggi
sekali. Tak enak perasaanku - tapi aku harus terus!"
Bab 19 PENGALAMAN JO Akhirnya Jo sampai juga di kaki tangga. Kini ia berada
dalam lorong yang datar. Anak itu ingat, dari situ ia akan sampai dalam ruang
tersembunyi yang dituju. Bagus! Sebentar lagi ia akan sudah bisa berbaring di
atas bangku. Tanpa diketahui olehnya, tahu-tahu ia sudah melalui ambang pintu kamar sempit
yang dicari. Hal itu tidak mengherankan, karena tempat itu gelap gulita. Jo
berjalan sambil meraba-raba terus. Tahu-tahu ia menyenggol pinggiran bangku.
"Ah, aku sudah sampai," kata Jo dengan suara lega. Tapi detik berikutnya ia
kaget setengah mati, karena dengan tiba-tiba saja ada sepasang lengan kokoh yang
meringkusnya. Jo berteriak dan meronta-ronta. Siapakah orang yang menangkapnya
itu" Aduh, coba jika di tempat itu ada lampu!
Sesaat kemudian ruangan menjadi agak terang. Ada senter dinyalakan, lalu
disorotkan ke muka Jo. "Hah! Kau ini rupanya yang bernama Jo," kata orang yang memegangnya. Dari
suaranya, Jo menduga orang itu pasti Pottersham. "Aku tadi sudah bingung, ketika
anak-anak yang di tangga berteriak-teriak memanggil namamu! Sudah kusangka,
pasti ada satu anak lagi berkeliaran di sini.
Dan karena kau pasti harus lewat ruangan ini jika mau ke luar, aku lantas
menunggu di bangku ini."
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lepaskan aku!" jerit Jo sambil mengamuk. Tapi pegangan orang itu erat sekali.
Tiba-tiba Jo menundukkan kepala, lalu menggigit tangan yang memegangnya. Orang
itu menjerit kesakitan. Pegangannya melonggar sesaat. Nyaris saja Jo berhasil
membebaskan diri. Tapi laki-laki itu ternyata cukup cekatan. Jo diringkusnya
lagi, lalu digoncang-goncangkannya.
"Kau rupanya anak liar!" kata laki-laki itu dengan geram. "Tapi jangan coba-coba
lagi, jika tidak mau celaka!"
Jo bukan Jo, jika ia tidak mencoba lagi. Digigitnya tangan laki-laki itu sekali
lagi, dan lebih keras lagi. Laki-laki itu melepaskan pegangannya, dan Jo dengan
cepat melesat ke arah pintu. Tapi sayang!Orang itu cepat sekali. Jo gagal
melarikan diri. "Sebaiknya kau kuikat saja," kata laki-laki itu sengit. "Akan kuikat erat-erat,
sampai kau tak mampu berkutik sedikit pun! Lalu kau akan kutinggal sendiri di
sini, sampai aku kembali lagi nanti!"
Laki-laki itu menarik tali yang rupanya sengaja dililitkan ke pinggangnya. Jo
diikatnya kuat-kuat, sehingga nyaris tak bisa bergerak sama sekali. Tangannya
diikat ke belakang, sedang lutut dan pergelangan kaki juga terkebat. Jo
berguling-guling di lantai, sambil memaki-maki orang yang mengikatnya.
"Sekarang kau tak bisa lari lagi," kata laki-laki yang bernama Pottersham itu,
sambil mengisap darah dari tangannya yang luka tergigit. "Aku
pergi sekarang! Selamat berbaring di lantai yang keras, anak liar!" y
Jo mendengar langkah orang itu menjauh la mengumpat-umpat dirinya sendiri dalam
hati. Kenapa tidak sampai terpikir olehnya, bahwa mungkin saja orang itu menunggu di
suatu tempat untuk menyergap! Sekarang ia tidak bisa lagi menolong kawankawannya yang terkurung dalam kamar menara. Keadaannya kini bahkan lebih parah
daripada mereka, ia tergeletak di lantai dalam keadaan terikat - sedang mereka
tidak! Jo yang malang! Akhirnya ia tertidur, karena capek meronta-ronta, ia berbaring
menempel ke dinding. Letaknya sama sekali tidak enak, sehingga sebentar-sebentar
terbangun. Beberapa lama kemudian, Jo mendapat akal. Ia teringat pada artis ahli
membebaskan diri dari ikatan. Bukankah ia sudah sering melihat orang itu
memamerkan keahliannya" Mungkinkah pengalaman itu bisa menolongnya sekarang"
"Jika artis itu yang terikat di sini, pasti dalam dua menit saja ia sudah akan
bebas kembali!" pikir Jo. Ia lantas mulai menggeliat-geliat. Tapi Jo bukan artis
pembebas diri dari ikatan. Setelah satu jam sibuk berusaha melepaskan diri dari
ikatan, akhirnya ia kehabisan tenaga. Jo tertidur kepayahan.
Ketika bangun kembali, anak itu merasa sudah lebih segar. Dengan bersusah-payah,
akhirnya ia berhasil membetulkan sikap, sampai ke posisi duduk. Setelah itu ia
mulai berpikir dengan tenang.
"Mula-mula lepaskan dulu satu simpul yang mengikat," katanya pada diri sendiri,
sambil mengingat-ingat ajaran artis kenalannya itu. "Pada awalnya, tidak bisa
diketahui simpul mana yang sebaiknya lebih dulu harus dibuka. Jika itu sudah diketahui, dalam waktu dua menit saja semua
ikatan pasti sudah terlepas. Tapi pertama-tama, cari dulu simpul yang harus
paling dulu dilepaskan!"
Jo berkata begitu pada dirinya sendiri, sementara ia sibuk mencari-cari simpul
yang mungkin bisa dilonggarkan olehnya. Akhirnya ditemukan satu, yang rasanya
agak longgar. Simpul itu mengikat pergelangan tangan kirinya ke yang kanan. Jo
memutar pergelangannya, sampai ibu jarinya bisa diselipkan ke simpul, ia
mencongkel-congkel dengannya, sehingga akhirnya semakin longgar. Nah - sekarang
tangannya sudah bisa lebih leluasa digerak-gerakkan. Sayang ia tidak membawa
pisau! Kalau ada, ia pasti bisa menjepitnya dengan jari, untuk diiriskan
memotong simpul berikut. Tiba-tiba Jo hilang kesabarannya, ia meronta-ronta, berusaha menarik-narik tali.
Gerakannya begitu liar, sehingga kepalanya terdorong ke bangku dan membentur
sesuatu. Benda yang terbentur itu jatuh ke lantai. Terdengar bunyi gemerincing.
Bunyi apa itu" Jo bingung sejenak. Tapi setelah mengingat-ingat sejenak, ia lantas tahu lagi.
"Pisau belati!" katanya dalam hati. "Pisau patah yang sudah berkarat itu! Aku
harus menemukannya - supaya bisa dipakai sebagai alat!"
Jo menggeser-geser di lantai, sampai terasa tubuhnya menyentuh barang yang
dicari, ia lantas merebahkan diri dan berusaha memungut pisau itu. Akhirnya
berhasil juga. Jo duduk lagi. Dibungkukkannya badan ke depan, sambil berusaha menggesergeserkan mata pisau yang sudah berkarat pada tali yang mengikat kedua tangannya
di punggung. Geraknya kaku sekali, karena kedua tangannya itu masih terikat
erat. Tapi Jo pantang menyerah!
Setelah beberapa saat, anak itu kehabisan tenaga, ia beristirahat agak lama.
Kemudian mencoba lagi - disusul dengan istirahat beberapa waktu.
Dalam percobaan untuk ketiga kalinya, akhirnya ia bernasib mujur! Tali tiba-tiba
robek jalinannya, lalu putus. Jo menyentak-nyentakkan tangan. Ternyata ikatan
sekarang sudah jauh lebih longar. Ia lantas mulai lagi mencungkil-cungkil simpul
berikut. Lama sekali anak itu harus berjuang keras. Tapi akhirnya Jo menang! Tali
pengikat kedua pergelangan tangannya terlepas sama sekali. Tangannya gemetar
karena capek. Karena itu mula-mula ia tak mampu membuka simpul tali yang
mengikat lutut dan pergelangan kaki. Jo memaksa diri untuk beristirahat agak
lama. Setelah itu ia mulai lagi - dan beberapa saat kemudian kakinya juga bebas
dari ikatan! "Wah, untung aku memperhatikan dengan tekun, ketika artis tali memamerkan
keahliannya," kata Jo pada dirinya sendiri. "Bayangkan kalau tidak - pasti
sampai saat ini aku masih terikat erat!"
Jo tidak tahu, pukul berapa saat itu. Ruangan gelap-gulita. Jo bangkit, ia agak
heran menyadari bahwa lututnya gemetar. Dicobanya berjalan beberapa langkah,
lalu duduk lagi. ia belum mampu berjalan. Rupanya peredaran darahnya masih belum
lancar lagi. Tapi setelah beberapa saat, ia mencoba lagi, dan ternyata sudah mampu.
"Sekarang aku harus mencari jalan ke luar," katanya. "Aduh, alangkah baiknya
jika saat ini aku punya senter!"
Sambil beringsut-ingsut mencari jalan, Jo menuju ke tangga batu yang menurun.
Setelah berhasil menuruni tangga itu, ia sampai di lorong lebar yang melintang
di bawah pekarangan puri. Ia menyusur lorong dengan perasaan agak lega, karena
tempat itu datar. Kemudian ia tiba di dasar tangga yang menuju ke atas lagi.
Dinaikinya tangga itu dengan perasaan tenang, ia tahu, walau terus menyusur
kegelapan, ia berada di jalan yang benar.
Kini ia sampai di lorong yang berlangit-langit rendah, ia harus melaluinya
sambil membung-kuk-bungkuk. Inilah lorong yang menyusur di tengah-tengah tembok
luar puri. pikir Jo dengan lega. Pasti sebentar lagi ia akan sampai di rongga
bekas batu tembok yang sudah jatuh. Pasti sebentar lagi ia akan bisa memandang
ke luar. Beberapa langkah lagi sebelum sampai di tempat itu, Jo melihat cahaya remangremang di depannya. Mula-mula ia bingung melihatnya, tapi setelah itu....
"Itu sinar matahari! Aduh, syukurlah, hari sudah pagi!" katanya. Jo mempercepat
langkah, sampai di rongga sebelah belakang lubang bekas batu. Cepat-cepat ia
menuju ke lubang yang menuju ke luar, lalu duduk di situ sebentar untuk
beristirahat. Jo agak pusing, karena tiba-tiba berada di tempat terang setelah begitu lama
merayap-rayap dalam lorong gelap. Setelah beberapa saat, barulah disadarinya
bahwa letak matahari sudah condong ke barat. Wah! Kalau begitu, saat itu paling
sedikit pasti sudah siang!
Jo menjengukkan kepala dengan hati-hati ke luar. Ia sudah dekat sekali pada
kebebasan sekarang! la tak mau tertangkap lagi. Karena itu ia mengintip dulu,
siapa tahu ada penjaga di luar. Tapi ternyata tak ada orang di situ. Dengan
cekatan Jo meloncat turun dari lubang yang agak tinggi letaknya, lalu langsung
lari menuruni bukit yang terjal. Anak itu memang lincah sekali, ia lari sambil
meloncat-loncat -- untuk mencegah supaya jangan sampai terguling-guling, ia lari
terus, sampai tiba di jalan yang menyusur kaki bukit. Diseberanginya jalan itu,
lalu menuju ke pintu pagar lapangan tempat perkemahan. Tapi tiba-tiba Jo
tertegun. Julian tadi mengatakan, ia harus pergi ke polisi. Tapi Jo takut pada polisi.
Kaum kelana, biasanya memang ngeri terhadap polisi. Mereka tidak pernah meminta
bantuan pada polisi. Jo merasa seram, begitu membayangkan bahwa ia harus
berhadapan dengan seorang polisi yang bertubuh tinggi kekar.
"Tidak!" pikirnya. "Lebih baik aku mendatangi Paman Fredo. Ia pasti tahu jalan
nanti!" Jo lantas meneruskan langkah, menuju perkemahan orang-orang pasar malam. Ketika
sedang mendaki lereng, dilihatnya dari jauh bahwa di sana ada seorang asing.
Siapakah orang itu" Mungkin orang yang menyekapnya dalam kamar tersembunyi di
puri" Walau ia belum bisa mengenali dengan jelas, Jo sudah khawatir saja.
Dilihatnya orang itu sedang berbicara secara mendesak pada orang-orang pasar
malam. Mereka itu mendengarkan pembicaraannya dengan sopan. Tapi nampak dari
sikap mereka, bahwa mereka menganggap orang itu agak aneh.
Ketika ia sudah lebih dekat ke tempat karavan-karavan, Jo bisa mendengar katakata orang tak dikenal itu. Ia menanyakan, di mana Julian serta saudarasaudaranya berada. Orang itu marah-marah, karena orang-orang pasar malam tetap
mengatakan bahwa mereka tidak tahu ke mana anak-anak yang dicari.
"Pasti dia itulah yang bersama Pottersham," kata Jo pada dirinya sendiri, lalu
cepat-cepat bersembunyi ke bawah kolong salah satu karavan. "Rupanya ia ke sini
untuk menyelidiki, apa saja yang kami ceritakan tentang muka yang muncul di
menara puri." Jo menunggu, sampai orang itu pergi, berjalan dengan muka merah padam karena
marah menuruni lereng. Orang itu berteriak-teriak, katanya akan melaporkan pada
polisi. Jo merangkak keluar dari tempat persembunyiannya. Orang-orang pasar malam
langsung mengerumuninya. "Ke mana saja kau selama ini?" tanya mereka berebut-rebut. "Dan di mana anakanak yang lain" Orang tadi, macam-macam saja pertanyaannya tentang kalian!
Kelihatannya ia tidak begitu waras!"
Lalu Jo menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat, ia bercerita mulai
dari tengah-tengah, lalu kembali ke asal mula kejadian sambil menyisipkan halhal yang lupa. diceritakan sebelumnya - pokoknya caranya bercerita aneh sekali,
sehingga pendengarannya bingung dibuatnya. Ketika Jo selesai bercerita, semuanya
menatap dengan penuh minat. Memang, mereka tak tahu
persis ada apa sebetulnya. Tapi ada juga beberapa peristiwa yang bisa mereka
mengerti. "Maksudmu, anak-anak itu sekarang terkurung di puncak menara yang itu?" tanya
Pak Alfredo tercengang. "Dan ada seorang mata-mata bersama mereka!"
"Bukan - bukan dia yang mata-mata! Dia orang baik," kata Jo, berusaha
menjelaskan. "Dia pintar sekali! Seorang sarjana!"
"Loh! Orang yang baru saja pergi tadi, katanya ia juga apa namanya tadi - anu surjana," kata Skippy. Kata itu memang baru sekali itu didengarnya. Jadi tak
mengherankan, jika ia salah menyebutkannya.
"Dia itu orang jahat," kata Jo tegas. "Mungkin bahkan mata-mata! Dialah yang
menculik sarjana yang sekarang terkurung di ruang menara. Maksudnya hendak
melarikan orang itu ke negara lain. Aku juga diikat olehnya, seperti kukatakan
tadi. Nih lihat - bekas ikatan pada pergelangan tangan dan kakiku!"
Jo memamerkan bekas-bekas ikatan tali pada pergelangannya. Orang-orang
memandang, tanpa mengatakan apa-apa selama beberapa saat. Tiba-tiba Buffalo
melecutkan cemetinya. Bunyinya yang keras menyebabkan orang-orang kaget.
"Kita akan menyelamatkan mereka!" kata Buffalo. "Ini bukan pekerjaan polisi,
melainkan urusan kita!"
"He, lihat! - Surjana itu datang lagi," kata Skippy tiba-tiba. Semua memandang
ke jalan. Benarlah! Orang tadi bergegas mendaki lereng. Rupanya masih belum puas
dengan jawaban-jawaban yang diperolehnya tadi!
"Kita menyergapnya," gumam Buffalo. Orang-orang membisu, menunggu kedatangan
laki-laki yang menghampiri mereka dari bawah. Ketika sudah dekat, orang-orang
lantas menyongsong dan mengapitnya naik ke atas. Orang itu tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Ia diapit terus sampai ke belakang sebuah karavan. Ketika
kerumunan orang bercerai lagi - tahu-tahu orang itu sudah tergeletak di tanah,
ia berbaring di situ dalam keadaan terikat. Dan yang mengikatnya tertawa menang.
"Kau sudah berhasil diringkus," kata artis tali. "Sekarang, kami akan meneruskan
dengan tindakan selanjutnya!"
Bab 20 ARTIS-ARTIS BERAKSI Laki-laki yang berhasil diringkus itu dimasukkan ke
dalam sebuah karavan yang kebetulan sedang kosong. Pintu dan jendela karavan itu
ditutup rapat-rapat, karena orang yang disebut 'sarjana' oleh Skippy itu
berteriak-teriak keras. Tapi kemudian pawang ular mendapat akal hebat. Dibukanya
pintu karavan, lalu dimasukkannya salah seekor ular sanca ke dalam. Seketika itu
juga orang itu berhenti berteriak-teriak. Bahkan tak terdengar apa-apa lagi di
dalam karavan. Pawang ular membuka pintu karavan lagi, dan ular besar menggeleser ke luar. Tapi
dalam karavan tetap sepi. Ternyata laki-laki tadi sudah mengerti, kalau ia
ribut-ribut lagi maka ular besar itu pasti akan masuk kembali.
Sementara itu orang-orang yang di luar berunding. Mereka tak bersikap buru-buru.
Dari semula sudah diputuskan, mereka baru akan bertindak jika hari sudah malam.
"Kalau kita bertindak siang hari, polisi pasti muncul nanti," kata Pak Alfredo.
"Lalu mereka campur tangan! Mereka takkan mau percaya pada keterangan kita.
Belum pernah polisi mau mempercayai kata-kata kita."
"Tapi bagaimana cara kita menyelamatkan anak-anak?" tanya Skippy, istri Buffalo.
"Apakah harus melewati lorong-lorong gelap, serta tangga-tangga terjal" Hih,
rasanya tidak enak harus lewat di situ!"
"Memang," kata Jo setuju. "Lagipula tak ada gunanya. Sudah kukatakan tadi, pintu
sebelah atas yang menuju ke kamar menara terkunci. Dan anak kuncinya dibawa oleh
orang tadi." "Aha!" kata Buffalo, sambil bangkit dengan segera. "Kau tadi tidak mengatakannya
pada kami! Jadi anak kunci ada pada orang itu" Gampang - akan kuambil sebentar!"
"Betul juga, tak sampai ke situ pikiranku tadi," kata Jo. Sementara itu Buffalo
sudah bergegas masuk ke dalam karavan. Sejenak kemudian ia ke luar lagi.
"Padanya tak ada anak kunci," katanya, "Ia mengatakan, anak kunci itu tak pernah
ada padanya. Kita dikatakannya sinting semua, dan akan dilaporkannya pada
polisi." "Tapi saat ini ia takkan bisa pergi ke polisi," kata Alfredo sambil tertawa
terkikik, "Mungkin anak kunci itu sudah dibuangnya - atau diserahkan pada salah
seorang anggota komplotan?"
"Yah, dengan begitu jelas bahwa kita tidak bisa masuk lewat pintu itu," kata
pawang ular. Rupanya orang itu lebih cepat bisa memahami duduk perkara suatu
persoalan, dibandingkan dengan kawan-kawannya. "Masih adakah jalan lain untuk
masuk ke kamar menara?"
"Satu-satunya jalan lain, lewat jendela," kata Jo. "Kalian lihat jendela sempit
di sana itu" Tentu saja tak mungkin bisa dicapai dengan tangga, karena letaknya
terlalu tinggi. Kecuali itu, sebelumnya kita harus masuk dulu ke pekarangan
puri. Kita harus memanjat tembok luar yang tinggi itu."
"Ah, kalau itu perkara gampang," kata Pak Karet. "Tembok setinggi apa pun, pasti
akan bisa kupanjat. Tapi kalau dinding menara, mungkin aku tak mampu."
"Bisakah orang menyusup masuk lewat lubang jendela sesempit itu?" tanya Buffalo,
sambil menatap ke bukit seberang dengan mata terpicing.
"Bisa saja - karena lubang itu tak sesempit kelihatannya," jawab Jo. "Tembok di
situ tebal sekali, walau tak setebal di bagian kaki menara. Tapi bagaimana orang
bisa mencapai jendela itu, Buffalo?"
"Bisa saja," jawab Buffalo. "Soal itu tidak begitu sulit! Bisakah kami meminjam
tangga tali, Jekky?" Pertanyaan itu ditujukannya kepada artis tali, yang bernama
Jekky. "Tentu saja," jawab Jekky. Jo tahu apa yang dimaksudkan oleh Buffalo dengan
tangga tali. Barang itu berupa seutas tali yang tebal dan panjang, yang disisipi
pasak-pasak pada jarak-jarak tertentu. Tangga tali seperti itu biasa dipakai
para artis untuk memanjat pada waktu mengadakan pertunjukan.
"Tapi bagaimana caranya menaikkan tangga itu sampai ke jendela?" tanya Jo, yang
masih tetap tak mengerti.
"Pokoknya bisa," kata Buffalo lagi. Sementara orang-orang yang berkumpul
berunding terus, tiba-tiba Jo teringat bahwa ia belum makan. Perutnya sudah
lapar sekali, ia lantas pergi, untuk makan dulu. Dan ketika ia kembali, rupanya
perembukan sudah beres. "Kita berangkat malam ini, begitu sudah gelap," kata Buffalo pada anak itu. "Kau
tak usah ikut, Jo! Ini urusan orang dewasa!"
"Tidak bisa - aku harus ikut!" kata Jo. Ia tak mengerti, masakan orang-orang itu
bisa mengatakan bahwa ia tak perlu ikut! "Mereka itu kawan-kawanku! Jadi aku
harus ikut!" "Tidak," kata Buffalo berkeras. Jo langsung pergi saja. Ia hendak bersembunyi di
salah satu tempat, menunggu orang-orang itu berangkat. Begitu mereka menuju ke
puri, ia akan mengikuti dari belakang dengan sembunyi-sembunyi.
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu waktu sudah pukul enam sore. Buffalo ikut dengan Jekky, masuk ke
dalam karavannya. Agak lama juga keduanya sibuk di dalam. Jo mengintip di celah
pintu, karena ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tapi ia diusir.
"Ini bukan urusanmu lagi," kata kedua laki-laki itu sambil menyuruhnya pergi.
Ketika hari sudah gelap, nampak serombongan kecil berangkat meninggalkan
perkemahan. Mereka mencari-cari Jo, untuk meyakinkan bahwa ia tidak ikut. Tapi
anak itu menghilang. Buffalo berjalan mendului. Tubuhnya memberi kesan gemuk, karena pada pinggangnya
dililitkan tangga tali yang panjang. Kemudian menyusul Pak Slither. Seekor ular
sanca dibawanya serta. Di belakangnya berjalan manusia karet, bersama Pak
Alfredo. Buffalo membawa cemetinya, orang-orang tidak tahu, untuk apa barang itu dibawa.
Tapi ke mana pun Buffalo pergi, cemeti tak pernah dilupakannya. Barang itu
seakan-akan sudah merupakan bagian dari dirinya. Jadi karena itu tak ada yang
bertanya-tanya. Jo menyelinap-nyelinap di belakang rombongan kecil orang-orang pasar malam itu.
Apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang itu" Tadi ia terus-menerus mengamatamati jendela menara. Ketika hari sudah gelap, dilihatnya ada cahaya di sana.
Cahaya itu berkelip-kelip - hidup lalu mati lagi, berulang-ulang.
Pasti itu Julian atau Dick yang memberi isyarat, kata Jo dalam hati. Tentunya
mereka sudah bertanya-tanya, apa sebabnya aku belum muncul kembali di sana
dengan membawa bantuan. Mereka tak tahu bahwa aku sempat disergap dan kemudian
diikat! Wah, pasti mereka akan tercengang apabila kejadian itu kuceritakan
kemudian! Begitulah pikiran Jo sambil menatap ke jendela menara.
Sementara itu rombongan orang pasar malam sudah menyeberang, dan kini menyusur
jalan terjal yang menuju ke puri. Mereka sampai di depan tembok luar. Pak Karet
mengambil ancang-ancang, lalu meloncat naik. Kelihatannya begitu cekatan
geraknya, seperti lari di dinding tembok. Sesampai di atas ia meloncat - dan
lenyap! Ia sudah berhasil sampai di balik tembok!" kata Buffalo "Enak rasanya jadi orang
seperti Pak Karet! Kurasa ia takkan merasa sakit kalau jatuh!"
Dari balik tembok terdengar bunyi suitan. Buffalo melepaskan seutas tali kecil
yang tadi terlilit ke pinggang, ia mengikatkan sebongkah batu pada tali, lalu
melemparkannya ke seberang. Tali kecil itu ikut tertarik, menelusur tembok
seperti cacing yang panjang geraknya.
Terdengar bunyi batu jatuh ke tanah, di seberang tembok. Disusul suitan sekali
lagi, tanda bahwa Pak Karet telah menemukan batu yang dilemparkan tadi. Buffalo
lantas melepaskan tangga tali dari pinggangnya, dibantu oleh kawan-kawannya yang
mengulurkan. Ujung tangga tali itu terikat pada tali kecil yang sebagian sudah
ada di balik tembok. Setelah itu Pak Karet mulai menarik tali yang ada di tangannya. Tangga tali ikut
tertarik ke seberang. Sementara itu Jo memperhatikan dari tempat
persembunyiannya. Wah, hebat juga akal Buffalo, pikirnya. Dengan begitu akan
mudah mereka menyeberangi tembok luar. Tapi melemparkan tangga tali ke jendela
menara, takkan semudah tadi.
Saat itu terdengar bunyi suitan untuk ketiga kalinya. Buffalo melepaskan tangga
tali yang selama itu masih terus dipegang sambil diulur-ulur. Tangga itu
terayun, lalu menempel ke sisi tembok. Buffalo menyentak-nyentak ujungnya,
seperti hendak menguji kekokohannya. Ternyata kokoh! Rupanya ujung yang ada di
balik tembok sudah diikatkan oleh Pak Karet pada sesuatu. Sekarang tangga tali
itu sudah aman untuk dipanjat.
Buffalo naik paling dulu, sambil berpijak pada pasak demi pasak, serta menarik
diri ke atas lewat tali. Orang-orang itu semuanya cekatan geraknya memanjat. Jo
menunggu dulu sampai yang terakhir sudah agak naik. Setelah itu ia pun meloncat
naik ke atas tangga tali.
Anak itu memanjat dengan cekatan. Dari atas tembok ia langsung meloncat ke
bawah, ia jatuh di samping Buffalo. Ahli cemeti itu sangat kaget, lalu
mengayunkan tangan untuk menempeleng. Tapi Jo mengelak dengan cepat, dan berdiri
di tempat yang agak jauh untuk memperhatikan, ia ingin tahu, bagaimana orangorang itu hendak mencapai jendela yang paling atas dari menara! Barangkali saja
ia bisa membantu. Jo ingin sekali bisa membantu!
Keempat orang pasar malam sudah tak memperhatikan dia lagi. Mereka berdiri
sambil mendongak, memandang ke arah puncak menara. Diterangi sinar bulan,
keempat orang itu sibuk berunding sebentar dengan suara pelan. Kemudian Pak
Karet melepaskan tali kecil yang tadi terikat pada tangga tali, lalu
menggulungnya. Tapi tidak digulung kecil-kecil, melainkan dibuatnya berbentuk
jerat. Sedang tali tangga dibiarkan di tembok.
Saat itu Jo mendengar bunyi mobil meluncur di jalan yang terdapat di kaki bukit.
Mobil itu berhenti di suatu tempat, lalu mundur sedikit. Perhatian Jo kini
terpecah. Sebagian pada keempat orang yang sedang bersiap-siap melakukan
sesuatu, dan sebagian lagi pada mobil yang baru datang.
Kemudian mesin mobil terdengar dimatikan. Setelah itu di bawah sunyi. Jo
melupakannya sesaat. Tapi setelah itu perhatiannya terarah lagi ke lereng bukit
yang di bawah, ia merasa seakan mendengar suara orang bercakap-cakap dengan
pelan. Jo menajamkan pendengarannya. Nah, itu!
Didengarnya lagi suara tadi - suara beberapa orang berbicara menggumam.
Jo menahan napas. Mungkinkah laki-laki jahat yang bernama Pottersham sempat
meminta pada kawan-kawannya yang juga penjahat, untuk mengambil Pak Terry-Kane
beserta anak-anak dari kamar menara malam itu juga" Mengambil mereka, untuk
kemudian diangkut ke tepi laut" Mungkin saja mereka sudah menyewa perahu dari
nelayan, untuk kemudian melarikan diri ke luar negeri!
Itulah pikiran yang melintas dalam kepala Jo. Pottersham pasti cukup waktu untuk
menanyakan perintah yang baru lalu mengurus segala-galanya, sebelum ia kembali
ke perkemahan dan kemudian disekap artis-artis! Jo Bingung. Ingin rasanya
memberitahukan pada Pak Alfredo, yang saat itu sedang sibuk berembuk dengan
kawan-kawannya. Tapi begitu aku berani mendekat, pasti aku ditamparnya, pikir Jo s mbil
mengusap-usap telinga kirinya, yang tadi masih kena tamparan Buffalo sedikit.
Aku tahu, mereka pasti takkan mau mendengar. Tapi walau begitu, akan kucoba
juga! Dengan takut-takut, Jo menghampiri keempat orang itu. Dilihatnya Buffalo
menghunus sebilah pisau yang tersisip di pinggangnya, lalu mengikatkannya ke
ujung tali kecil yang dipegang Pak Karet. Seketika itu juga Jo sudah bisa
menduga apa yang hendak dilakukan oleh Buffalo. Ia lantas lari mendekat.
"Jangan, Buffalo!" seru Jo ketakutan. "Jangan kaulemparkan pisau itu ke atas!
Nanti kena salah seorang dari mereka! Jangan, Buffalo. Aku takut ada yang luka
nanti!" "Minggir!" bentak Buffalo. Tangannya terangkat, hendak menampar. Jo cepat-cepat
menjauh, lalu mendatangi pamannya.
"Paman Fredo," kata anak itu, "dengarlah dulu! Aku mendengar suara orang-orang
datang... mungkin mereka..."
Tapi Pak Alfredo mendorongnya dengan kasar.
"Kau ingin dipukul rupanya, Jo!" bentak Pak Alfredo. "Bisamu cuma merecoki
saja!" Pak Slither memanggilnya.
"Jo, kemarilah sebentar! Kalau kau ingin membantu, tolong pegangkan si Manis, ia
cuma akan mengganggu kebebasan gerak kami saja nanti!"
Pak Slither lantas menggantungkan ular sanca yang besar itu seperti selendang ke
bahu Jo. Si Manis mendesis, lalu mulai melilit tubuh anak itu. Jo cepat-cepat
menyambar ekornya, lalu memegangnya erat-erat. Ia senang pada si Manis - tapi
saat itu ular itu cuma merepotkan saja baginya!
Sambil berdiri agak menepi, Jo memperhatikan kesibukan Buffalo. Hatinya
khawatir, karena ia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Buffalo akan
melontarkan pisau ke dalam kamar menara, lewat celah jendela sempit. Cuma
Buffalo saja yang mampu melakukannya, karena bidikannya selalu tepat!
Tapi jika pisau sudah melayang masuk ke dalam, ada kemungkinan akan mengenai
salah seorang di antara keempat kawannya yang ada di atas, pikir Jo gelisah.
Atau mengenai Pak Terry-Kane!
Saat itu Jo kembali mendengar suara beberapa orang berbicara berbisik-bisik.
Kini kedengarannya dari balik tembok! Rupanya orang-orang itu hendak pergi ke
kamar menara, lewat lorong-lorong rahasia! Dan kalau dugaan Jo itu tepat, maka
ada kemungkinan orang-orang itu tiba lebih dulu, sebelum Buffalo serta kawankawannya sempat menjalankan rencana mereka. Jo membayangkan keempat kawannya
diseret bersama Pak Terry-Kane ke bawah. Mungkinkah Timmy akan membela" Pasti!
Tapi orang-orang itu tentu akan mampu menghadapinya. Mereka tentunya tahu di
atas ada anjing, karena malam sebelumnya terdengar Timmy menggonggong.
Jo bingung sekali saat itu. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Tapi apa"
Bab 20 PISAU BUFFLO Tiba-tiba Jo membulatkan tekat, ia akan mengikuti orangorang yang baru datang itu menyusur lorong-lorong, lalu nanti menunggu
kesempatan untuk berteriak memperingatkan kawan-kawan jika ia sudah dekat ke
kamar menara. Begitu kira-kira rencananya, ia sendiri belum pasti - tapi
pokoknya, ia harus menolong! Buffalo dengan kawan-kawannya pasti akan terlambat
datang. Jo lari kembali ke tembok. Secepat kilat dipanjatnya tangga tali yang masih
tergantung di situ, lalu turun lagi ke seberang tembok. Dari situ ia menuju ke
lubang bekas batu tembok yang sudah jatuh.
Si Manis, ular sanca kepunyaan Pak Slither, kaget ketika tahu-tahu dicampakkan
ke tanah. Ular itu tidak biasa diperlakukan begitu, ia menggeliat-geliat. Ke
manakah perginya anak itu" Si Manis suka pada Jo - karena selalu dielus-elus.
Si Manis menggeleser, menyusul Jo. Dengan mudah dilampauinya tembok luar, tanpa
perlu memanjat tangga tali seperti anak itu tadi. Si Manis cepat sekali geraknya
- kalau dia mau! Kemudian ia sampai di lubang bekas batu di tembok. Ah ia menyukai lubang seperti
itu! Dengan cepat ular itu menyusup masuk, lalu menjalar dengan cepat menyusul Jo.
Anak itu sudah berhasil disusulnya di ujung lorong sempit, karena Jo harus
berjalan terbungkuk-bungkuk di situ. Si Manis menyusup di sela kedua kaki Jo,
lalu melilitkan tubuhnya ke tungkai anak itu.
Jo terpekik karena kaget. Tapi segera disadarinya apa yang membelit tungkainya.
"Manis!" katanya pelan. "Kau nanti dimarahi Pak Slither, karena menyusulku! Ayo
kembali - dan jangan melilit-lilit lagi. Aku ada urusan lain, urusan penting!"
Tapi Si Manis bukan Timmy, Ular itu hanya mau menurut jika dianggapnya perlu.
Dan sekali ini ia tidak mau menurut!
"Ya deh, kau boleh ikut," kata Jo kemudian, setelah berkali-kali berusaha
mendorong si Manis dengan sia-sia. "Kurasa ada baiknya jika kau menemani aku.
Tapi jangan mendesis-desis terus, Manis! Kedengarannya seperti mesin uap, dalam
lorong sesempit ini."
Jo kemudian menuruni tangga curam, yang menuju ke lorong di bawah pekarangan
puri. Si Manis ikut meluncur ke bawah. Keduanya lantas melewati lorong yang
lebih lebar di situ. Si Manis kini menggeleser lebih dulu, disusul oleh Jo.
Beberapa kali Jo tersandung ekor ular itu.
Kemudian mereka naik tangga lagi, masuk ke dalam tembok bangunan puri yang
tebal. Tiba-tiba Jo tertegun, ia melihat sinar terang di depan. Dipasangnya
telinga. Tapi ia tak mendengar apa-apa. Setelah itu ia maju lagi dengan berhatihati, sampai di ruangan sempit di mana ia disekap sebelum itu. Ternyata di situ
ada sebuah lentera menyala. Rupanya ditinggalkan oleh orang-orang yang berjalan
duluan. Jo melihat pisau belati berkarat, tergeletak di lantai, ia nyengir sendiri,
ketika melihat tali yang putus-putus berserakan.
Jo meneruskan perjalanan, menyusur lorong yang menuju ke tangga pilin. Saat itu
ia merasa seperti kembali mendengar sesuatu. Cepat-cepat dinaikinya tangga yang
berputar-putar, ia sempat jengkel pada si Manis, karena ular itu mendesaknya
sambil menjalar ke atas sehingga nyaris saja Jo jatuh tunggang-langgang
dibuatnya. Jo sampai di pintu sempit yang menuju ke serambi melingkar. Bagaimana sekarang beranikah ia membuka pintu itu" Tapi bagaimana jika orang-orang tadi ada di
serambi" Jo memberanikan diri. Lambat-lambat didorongnya daun pintu sampai terbuka.
Serambi gelap gulita. Tapi Jo sudah tahu jalan. Tiba-tiba si Manis naik dan
melilitkan tubuhnya pada diri Jo. Jo tak bisa melepaskan lilitan itu. Karenanya
ia lantas melangkah ke serambi, dengan ular melilit badan.
Saat berikutnya Jo kaget setengah mati. Ia mendengar bunyi berisik. Apakah yang
sedang terjadi" Didengarnya suara orang ribut. Suara Buffalo-kah itu" Dan itu apakah itu bunyi tembakan pistol"
Apakah yang terjadi di pekarangan puri, ketika Jo menghilang ke balik tembok
bersama si Manis" Keempat orang yang sedang sibuk di situ, tak tahu bahwa tibatiba Jo sudah tidak ada lagi. Mereka terlalu sibuk dengan rencana mereka.
Buffalo bertugas menggunakan keahliannya melempar pisau. Tapi tidak dengan cara
seperti biasa! Pisaunya harus dilontarkan tinggi-tinggi ke atas, lalu masuk ke
dalam kamar menara lewat jendela sempit.
Buffalo memang ahli kalau disuruh melempar pisau - atau melempar apa saja. Ia
berdiri di tengah-tengah pekarangan, sambil menatap jendela menara yang
menjulang tinggi di atas. Ia memicingkan mata, menaksir jarak dan arah. Tapi
tiba-tiba bulan menghilang di balik awan. Tangan yang sudah siap melempar,
diturunkan kembali, ia tidak mau mengambil risiko melempar dalam gelap. Takut
meleset! Tak lama kemudian, bulan muncul kembali dari balik awan. Buffalo tidak menyianyiakan waktu lagi. Sekali lagi ia membidik sebentar dengan mata terpicing.
Sejenak setelah itu pisau sudah melayang di udara, membawa tali kecil yang
diikatkan ke hulunya Pisau itu mengenai ambang jendela menara dan jatuh lagi. Dengan sigap Buffalo
menangkapnya. Diterangi cahaya bulan, nampak jelas bahwa ujungnya tidak runcing.
Rupanya Buffalo sudah mengikirnya sehingga tumpul. Jadi Jo tadi tidak perlu
mengkhawatirkan kemungkinan ada salah seorang dalam kamar menara mengalami
cedera, karena tertusuk ujung pisau yang runcing!
Sekali lagi Buffalo membidikkan pisaunya. Dan sekali lagi pisau itu melesat ke
atas, berkilat kilat kena cahaya bulan. Sekali itu lemparannya jitu! Pisau masuk
lewat lubang jendela, menggeleser pada ambang batu lalu jatuh ke lantai di dalam
kamar! Jatuhnya pisau itu menimbulkan keheranan di situ. Pak Terry-Kane, Julian beserta
ketiga saudaranya meringkuk di sudut, untuk menghangatkan tubuh. Timmy juga ada
di situ. Mereka semuanya kedinginan. Perut mereka sudah lapar sekali. Tak ada
orang datang mengantarkan makanan, dan tak ada yang bisa menghangatkan tubuh
mereka, kecuali selembar selimut tua yang selama itu dipakai oleh Pak TerryKane. Sepanjang hari itu mereka terus berada di atas. Kadang-kadang memandang ke
luar lewat jendela, dan kadang-kadang berteriak serempak minta tolong dengan
sekeras mungkin. Tapi semua sia-sia belaka. Tak ada yang melihat atau mendengar
mereka. "Kenapa Jo belum muncul-muncul juga dengan bantuan?" Begitu sering mereka saling
bertanya-tanya, sepanjang hari. Mereka tidak tahu bahwa Jo sendiri selama
beberapa jam sibuk berusaha membebaskan diri dari ikatan, dalam kamar yang
tersembunyi di dinding menara.
Berkali-kali mereka memandang ke arah perkemahan karavan di bukit seberang, di
mana. nampak orang-orang pasar malam sedang sibuk dengan urusan masing-masing.
Dilihat dari jauh, kelihatannya seperti semut yang sedang hilir mudik di lereng
bukit. Mereka tidak bisa memastikan apakah Jo juga ada di antara orang-orang
itu, karena jarak terlalu jauh.
Ketika hari sudah gelap, Julian pergi ke jendela, lalu menyorotkan senternya
berkali-kali ke arah perkemahan. Setelah itu mereka semua lantas meringkuk
sambil saling merapat di sudut kamar, karena kedinginan. Anak-anak merasa
sengsara. Timmy bingung. Anjing itu tidak mengerti, apa sebabnya anak-anak terus
berada dalam kamar itu. "Timmy pasti sudah haus sekali," kata George. "Kalau sudah menjilat-jilat
moncong seperti begitu, biasanya ia ingin minum."
"Aku juga mau saja menjilat-jilat mulut, jika dengan begitu rasa hausku bisa
hilang," kata Dick. Mereka sudah tidur-tidur ayam, ketika dengan tiba-tiba saja ada pisau melayang
dan jatuh ke lantai kamar. Timmy langsung meloncat bangkit, sambil menggonggonggonggong. Sementara itu matanya menatap pisau yang nampak berkilat-kilat ditimpa
cahaya bulan yang masuk dari jendela.
"Ada pisau!" kata George tercengang. "Pisau dengan tali terikat ke hulunya!"
"Ujungnya tumpul," kata Julian, sambil memungut benda itu. "Ujungnya sudah
dikikir, sehingga tidak runcing lagi. Apa maksudnya ini" Dan kenapa tali ini
diikatkan ke hulunya?"
"Awas - siapa tahu ada pisau lagi yang menyusul," kata Pak Terry-Kane memberi
peringatan. "Tidak," jawab Julian. "Kurasa pisau ini ada sangkut-pautnya dengan Jo. Anak itu
tidak jadi melapor pada polisi, tapi mendatangi orang-orang pasar malam. Lalu
meminta agar mereka menolong kita. Aku yakin, ini pasti pisau kepunyaan
Buffalo!"
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak-anak mengerubungi Julian, untuk memeriksa pisau yang ada di tangannya.
"Aku akan menjulurkan tubuh ke luar," kata Julian sambil pergi menghampiri
jendela. "Aku ingin melihat ke bawah, ke pekarangan puri. Dick, tolong pegang
kakiku, supaya aku jangan jatuh."
Julian naik ke ambang jendela yang lebar, lalu merangkak sampai ke tepi luarnya.
Sementara ia menjengukkan kepala ke bawah, kakinya dipegang kuat-kuat oleh Dick.
Anak itu sudah takut saja ambang itu rapuh, sehingga abangnya terjatuh ke tanah.
"Ada empat orang di tengah pekarangan," kata Julian sambil memperhatikan. "Wah,
syukur! Aku melihat Pak Alfredo, Buffalo - sedang yang dua lagi tidak bisa
kukenali dengan jelas." Julian lantas berseru keras-keras, menarik perhatian
keempat orang yang berada di bawahnya.
Keempat orang itu mendongak. Mereka melihat kepala Julian muncul dari balik
tembok. Keempat-empatnya melambaikan tangan, untuk memberi isyarat bahwa mereka
sudah melihatnya. "Tarik tali ke dalam!" seru Buffalo dari bawah. Ujung tali kecil yang ada di
bawah sudah diikatkan pada tangga tali lain, yang juga dibawa oleh Buffalo.
Tangga tali itu sudah direntangkan, dan kini dijunjung oleh Pak Alfredo beserta
kedua kawannya, supaya bisa dengan mudah ditarik naik ke atas.
Julian beringsut mundur, masuk kembali ke kamar.
"Tali ini rupanya terikat pada tali lain yang lebih besar," katanya bersemangat.
"Aku akan menariknya ke atas. Dengan tali yang lebih kuat itu, nanti kita bisa
meluncur turun ke tanah."
Julian lantas mulai menarik tali. Setelah beberapa saat, terasa beban yang
tergantung lebih berat, ia lantas tahu, yang ditariknya itu sudah tali yang
lebih besar. Tarikannya menjadi lebih lambat. Dengan segera Dick datang
membantu. Tak lama kemudian ujung tangga tali muncul dari balik ambang. Anak-anak belum
pernah melihat tangga tali seperti itu. Mereka hanya mengenal yang biasa. Tapi
Pak Terry-Kane mengenalnya.
"Ini namanya tangga pasak," katanya. "Tangga begini biasanya dipakai artis-artis
di sirkus, karena lebih ringan dan lebih mudah dibawa-bawa, kalau dibandingkan
dengan tangga tali yang biasa. Ujungnya ini harus kita ikatkan pada sesuatu yang
kokoh, supaya bisa menahan berat badan kita sewaktu turun nanti."
Anne memandang tangga pasak itu dengan kecut. Sama sekali tidak enak
perasaannya, membayangkan harus menuruni tali yang pasti akan terayun-ayun
terus, selama ia melangkah pasak demi pasak ke bawah. Tapi yang lain-lain
memandang tali itu dengan bersemangat. Mereka melihat kemungkinan untuk
melarikan diri, pergi dari kamar menara yang dingin!
Pak Terry-Kane memandang berkeliling, ia mencari-cari sesuatu, yang bisa
dijadikan tempat mengikatkan ujung tangga tali pasak itu. Nah - di satu sisi
kamar ada gelang besi yang besar. Gelang itu terpasang kokoh ke dinding batu.
Entah apa gunanya gelang itu pada jaman dulu. Tapi itu bukan persoalan sekarang.
Pokoknya, gelang itu besar sekali manfaatnya untuk mereka!
Pak Terry-Kane dan Julian memotong tali kecil yang terikat di ujung atas tangga
pasak. Setelah itu tali besar diselipkan ke gelang, lalu ditarik sampai pasak
kayu yang paling atas tersangkut padanya. Kemudian tali besar itu diikatkan
kuat-kuat ke gelang besi, supaya tidak bisa lepas lagi.
Begitu selesai mengikat, Julian lantas memegang tali besar dan menariknya sekuat
tenaga, ia hendak menguji kekuatan simpul pengikatnya ke gelang.
"Cukup kuat untuk menahan beban selusin orang sekaligus," katanya senang. "Saya
yang turun dulu, ya Pak?" katanya pada Pak Terry-Kane. "Nanti jika sudah sampai
di tanah, saya bisa membantu yang lain-lain turun. Sedang Anda bersama Dick
menolong George serta Anne memanjat ke luar."
"Bagaimana dengan Timmy?" tanya george dengan segera.
"Timmy kita bungkus dengan selimut ini, lalu kita ikat erat-erat. Setelah itu
diulurkan ke bawah dengan tali kecil ini," kata Dick. "Tali ini, biar kecil tapi
kokoh!" "Aku turun saja sekarang," kata Julian sambil berjalan menuju jendela. Tapi
tiba-tiba ia tertegun. Terdengar langkah orang bergegas-gegas menaiki tangga
batu yang ada di luar kamar. Sesaat kemudian bunyi langkah itu sudah semakin
mendekat - kini sampai di depan pintu. Siapakah yang datang itu"
Bab 21 KETEGANGAN MEMUNCAK Pintu terbuka dengan tiba-tiba. Di ambangnya berdiri
seorang laki-laki. Napasnya terengah-engah. Tiga orang lagi muncul di
belakangnya. "Pottersham!" seru Pak Terry-Kane kaget. "Kau sudah kembali!"
"Ya - aku sudah kembali lagi!" tukas orang yang baru datang. Timmy menggonggong,
sambil meronta-ronta, ingin lepas dari pegangan George. Ia menyeringai
menampakkan taring, sedang bulu tengkuknya tegak. Potongannya saat itu benarbenar galak! Pottersham langsung mundur selangkah. Ngeri juga melihat tampang Timmy.
"Jika anjing itu kaubiarkan menyerang, aku takkan segan-segan menembaknya!" kata
orang itu mengancam. Tahu-tahu, tangannya sudah menggenggam pistol!
George berusaha sekuat tenaga menahan Timmy, lalu memanggil Julian agar
membantu. "Julian! Tolong aku memegang Timmy!" katanya cemas. "Aku tak kuat lagi - Timmy
ingin menyerang orang itu!"
Dengan segera Julian ikut memegang Timmy, dan bersama dengan George berusaha
lagi menenangkan Timmy. Ia takut anjing kesayangannya itu ditembak.
"Kau tak bisa seenaknya saja, Pottersham," kata Pak Terry-Kane. Tapi Pottersham
memotong dengan ketus. "Kita tidak bisa membuang-buang waktu lagi. Kalian akan kami bawa sekarang juga!
Kau, Terry-Kane - serta salah seorang di antara keempat anak ini. Anak ini bisa
dijadikan sandera, jika kelenyapanmu ternyata sangat menimbulkan keributan. Anak
ini saja," kata Pottersham sambil mengulurkan tangan ke arah Dick. Anak itu
langsung mengayunkan tinjunya ke dagu Pottersham. Ia berani melakukannya, karena
di sekolah ia biasa berlatih adu tinju. Tapi detik berikutnya, Dick sudah
terkapar di lantai. Ternyata orang-orang itu tidak main-main!
"Sergap anak itu," kata Pottersham. Salah seorang pembantunya yang berdiri di
belakang segera maju, lalu meringkus Dick. Pak Terry-Kane juga dipegang, dengan
lengan tertekan ke punggung.
"Bagaimana dengan nasib anak-anak ini?" bentak Pak Terry-Kane dengan marah.
"Kalian kan tak bermaksud meninggalkan mereka terkunci dalam kamar ini?"
"Memang begitulah niat kami," jawab Pottersham. "Kami akan meninggalkan surat
untuk nenek penjaga pintu. Dalam surat itu kami tulis bahwa anak-anak ada di
atas menara. Biar saja polisi menyelamatkan mereka - kalau bisa!"
"Kau ini memang...." kata Pak Terry-Kane mengumpat, lalu cepat-cepat menunduk,
ia mengelakkan pukulan Pottersham.
Sementara itu Timmy masih menggonggong-gonggong terus. Julian dan George nyaris
saja tak mampu menahannya. Anjing itu sudah marah sekali, apalagi ketika melihat
Dick dipukul. Nyaris saja Timmy terlepas saat itu.
"Bawa mereka," kata Pottersham. "Ayo cepat - bawa mereka ke bawah!"
Ketika pembantu sarjana jahat itu mendorong Pak Terry-Kane dan Dick ke arah
pintu. Tapi tiba-tiba semua orang di kamar itu kaget, lalu berpaling ke jendela.
Dari arah itu terdengar suara seseorang yang berseru dengan keras.
Anne tersentak. Tahu-tahu dilihatnya Buffalo sudah muncul di jendela! Rupanya
pemuda itu tadi merasa heran, apa sebabnya tidak ada yang turun lewat tangga
tali. Ia lantas naik ke atas, untuk memeriksa. Buffalo sama sekali tidak
menyangka bahwa dalam kamar menara terjadi kegaduhan!
"He! Ada apa di sini?" serunya, sambil turun dari ambang jendela. Di tangannya
tergenggam cemeti. "Buffalo!" seru anak-anak serempak. Pak Terry-Kane, yang tangannya masih
terpilin ke belakang, cuma bisa memandang sambil melongo.
"Apa-apaan ini?" teriak Pottersham. Ia kaget sekali, melihat Buffalo tiba-tiba
muncul. "Bagaimana dia bisa masuk kemari?"
Buffalo melirik ke arah pistol di tangan Pottersham, sambil mengayun-ayunkan
cemetinya seperti bermain-main.
"Buang senjatamu itu," katanya pada Pottersham. "Kau kan mestinya tahu sendiri,
tak boleh bermain-main dengan senjata jika ada anak-anak. Ayo cepat - buang!"
Buffalo melecutkan cemetinya. Pottersham marah, lalu mengarahkan pistol pada
Buffalo - tapi saat itu juga terjadi sesuatu yang luar biasa.
Pistol itu terlepas dari tangan Pottersham, melayang di udara dan ditangkap
dengan cekatan oleh Buffalo! Dan hal itu terjadi dengan satu lecutan cemeti
saja! TARR! Dan pistol terlepas, sementara ujung cemeti menyambar jari-jari tangan
Pottersham. Orang itu menjerit kesakitan, lalu terbungkuk-bungkuk memegang
tangannya yang kena lecutan.
Pak Terry-Kane tersentak napasnya, ia kagum melihat keahlian Buffalo - tapi
sempat pula terpikir olehnya, bahwa perbuatan itu sangat berbahaya! Bagaimana
jika pistol tadi sempat ditembakkan oleh Pottersham! Tapi pokoknya keadaan
sekarang sudah terbalik. Sekarang Buffalo yang memegang pistol, dan bukan
Pottersham lagi. Tampang sarjana jahat itu pucat pasi. Ia cuma bisa menatap saja
dengan nanar, tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Lepaskan mereka!" bentak Buffalo, sambil menganggukkan kepala ke arah Dick dan
Pak Terry-Kane. Ketiga pembantu Pottersham cepat-cepat melepaskan kedua sandera
itu, lalu bergerak mundur. Mereka tidak mau kena sambaran cemeti, seperti yang
dialami Pottersham. "Kelihatannya kita perlu juga memanggil polisi," kata Buffalo dengan suara
biasa. Melihat sikapnya saat itu, seakan-akan kejadian begitu bukan merupakan
peristiwa yang luar biasa baginya.
"Kalau kau mau, lepaskan saja anjing itu sekarang, Julian!"
"Jangan!" jerit Pottersham ketakutan. Tepat pada saat itu bulan tertutup awan
berarak. Kamar menara tinggal diterangi cahaya lentera. Lentera itu dibawa oleh
Pottersham sewaktu naik tadi, dan diletakkannya di lantai ketika hendak
meringkus Dick dan Pak Terry-Kane.
Pottersham melihat kesempatan melarikan diri. Dengan sekonyong-konyong kakinya
menendang ke depan. Lentera terpental mengenai Buffalo lalu padam, sehingga
kamar menjadi gelap gulita. Buffalo tidak berani menembak, ia takut salah
tembak, mengenai anak-anak atau Pak Terry-Kane!
"Lepaskan anjing!" serunya. Tapi sudah terlambat! Daun pintu sudah cepat-cepat
ditutup dan digerendel dari luar, ketika Timmy memburu ke situ. Terdengar
langkah orang bergegas-gegas menuruni tangga batu yang gelap di luar, beberapa
kali ada yang terpeleset.
Buffalo menggeram kesal. Bulan sudah muncul lagi, dan dilihatnya wajah lima
orang yang kaget dan kecewa menatapnya.
"Wah, kita gagal," katanya. "Mereka berhasil lari!"
"Ya - tapi tanpa kita," jawab Pak Terry-Kane, sementara Julian sibuk membuka
tali yang mengikat tangan sarjana itu ke punggungnya. "Mereka pasti lari lewat
lorong-lorong rahasia. Mereka akan sudah bisa ke luar, sebelum kita sendiri
sempat mencapai tanah. Sial! Sekarang kita terpaksa turun lewat tangga tali,
karena pintu digerendel dari luar!"
"Kalau begitu kita turun saja sekarang, sebelum terjadi apa-apa lagi," kata
Julian. Ia lantas meluncur ke luar, sambil berpegang erat-erat pada tali.
Ternyata mudah saja turun ke bawah dengan tangga itu. Tapi tak enak rasanya,
ketika ia sekali menoleh ke bawah. Pekarangan puri nampak jauh sekali.
Setelah itu menyusul Anne yang turun. Anak itu sebenarnya takut sekali. Tapi ia
tak menunjukkannya, ia pintar memanjat, jadi baginya pun turun lewat tangga tali
sama sekali tidak sulit. Walau begitu ia lega sekali, ketika akhirnya
menjejakkan kaki ke tanah, di samping Julian yang sudah menunggu di bawah.
Kemudian tiba giliran George. Anak itu turun membawa berita.
"Ada sesuatu yang terjadi dengan keempat penculik tadi," katanya. "Tapi entah
apa, kami juga tidak tahu di atas. Mereka masih ada dalam menara. Terdengar
suara mereka berteriak-teriak, sambil lari berkeliling serambi."
"Biar saja," kata Julian. "Kalau mereka masih agak lama lagi berada di tempat
itu, kita akan punya waktu untuk pergi ke lubang di tembok luar! Dengan .begitu
kita bisa menyergap mereka satu per satu, jika nanti muncul di sana!"
"Sekarang giliran Timmy diturunkan," kata George. "Ia sudah kubungkus baik-baik
dalam selimut lalu kuikat kuat-kuat. Dick yang akan mengulurkan ke bawah. Tali
kecil tadi kami lipat dua, supaya lebih kuat! Nah - itu dia turun! Kasihan si
Timmy - pasti ia kebingungan!"
Timmy diulurkan pelan-pelan ke bawah, sambil terayun-ayun sedikit. Saban kali
badannya terantuk ke dinding luar menara, anjing itu mendengking pelan. George
sudah khawatir saja, jangan-jangan anjing kesayangannya itu nanti benjol-benjol
badannya karena terantuk batu. George mendongak dengan perasaan tegang,
sementara Timmy diulurkan makin lama makin rendah.
"Timmy mestinya sementara ini sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini," kata
Julian. "Kan sudah sering ikut bertualang dengan kita. Ya - pelan! Pelan! Anjing
manis - kau pasti akan senang, jika sebentar lagi bisa menyentuh tanah!"
Begitu bungkusan berisi Timmy sampai di tanah, dengan cepat George
membebaskannya. Anjing itu berjalan beberapa langkah dengan hati-hati, seakanakan hendak menguji kekokohan tempatnya berpijak. Setelah itu ia melonjak ke
arah George, sambil menggonggong dengan gembira.
"Sekarang Dick yang turun," kata Julian. Ketika tali tangga terayun sedikit,
dengan cepat Pak Alfredo menyambar ujungnya supaya bisa tenang kembali. Pak
Alfredo, begitu pula Pak Karet dan Pak Slither kelihatannya memperhatikan
sesuatu Perhatian mereka begitu terpusat pada persoalan itu, sampai boleh
dibilang tak berbicara sepatah kata pun dengan anak-anak yang sudah turun.
Ketiga orang pasar malam itu tiba-tiba menyadari bahwa Jo dan si Manis sudah
tidak ada lagi di situ! Kalau pawang ular, ia sebenarnya sama sekali tak peduli
tentang Jo. Tapi ia mengkhawatirkan nasib si Manis, ular sancanya yang sangat
disayangi olehnya! la bahkan sudah mencari-cari di sekitar pekarangan, tapi siasia belaka! "Jika ternyata Jo membawanya kembali ke karavan, akan kujambak rambut anak itu
nanti!" gerutu pawang ular. Julian menoleh dengan heran. Apa sebetulnya yang
menyebabkan Pak Slither mengomel-ngomel"
Setelah Pak Terry-Kane, akhirnya tiba giliran Buffalo turun. Ahli cemeti itu
dengan enak meluncur menuruni tali, tanpa menginjakkan kaki sama sekali pada
pasak-pasak yang merupakan anak tangga. Ketika sudah dekat ke tanah, ia langsung
meloncat turun. Buffalo memandang mereka sambil nyengir.
"Ada ribut-ribut di atas!" katanya. "Terdengar suara orang berteriak dan
menjerit-jerit, diiringi bu nyi langkah berlari kian ke mari. Entah kena apa
mereka itu di sana! Kalau sekarang kita cepat-cepat pergi ke lubang di tembok
luar, nanti kita akan bisa menyergap mereka dengan gampang apabila keluar lewat
sana. Kurasa sebentar lagi mereka muncul. Yuk - kita ke sana!"
Bab 22 JO DAN SI MANIS Memang ada sesuatu yang menyebabkan Pottersham bersama
ketiga pembantunya berteriak-teriak di atas. Setelah menutup dan menggerendel
pintu kamar menara, mereka lantas bergegas-gegas menuruni tangga - lalu keluar
ke serambi melingkar. Tapi sebelum sempat sampai di tangga pilin yang ada di balik pintu yang satu
lagi, Pottersham terjatuh. Kakinya tersandung pada sesuatu. Sesuatu yang
mendesis-desis seperti mesin uap, lalu melilit tungkai orang itu.
Pottersham menj"erit ngeri, sambil memukul-mukul. Mula-mula ia mengira kakinya
disambar oleh seseorang yang sudah mengintai di tempat itu. Tapi begitu
tangannya membentur kulit yang licin, dengan segera ia tahu bahwa kakinya bukan
disambar tangan orang. Dan manusia tak mungkin mendesis-desis seperti begitu!
Salah seorang anak buahnya yang membawa senter, menyorotkan sinarnya ke lantai
serambi, ia hendak melihat, apa yang menyebabkan Pottersham ketakutan. Dan detik
berikutnya, orang yang menyenter itu sendiri terpekik keras. Nyaris saja
senternya terjatuh dari pegangan.
"Ular!" jeritnya ketakutan. "Kau disambar ular, Pottersham! Ular yang besar
sekali!" "Tolong! Tolong1" teriak Pottersham, sambil memukul-mukul ular. "Remuk kakiku
nanti dipitingnya!" Ketiga pembantunya datang menolong. Begitu mereka menarik-narik, ular itu
melepaskan lilitannya, lalu menggeleser ke tempat gelap.
"Ke mana perginya ular tadi?" kata Pottersham dengan napas tersengal-sengal.
"Nyaris remuk kakiku tadi dililitnya! Dari mana datangnya secara tiba-tiba?"
Keempat orang itu melangkah lagi. Tapi ternyata ular itu bukan lari, tapi
mengintai mereka! Orang-orang yang hendak melarikan diri itu jatuh bergulingan
ke lantai, karena kaki mereka disenggol tubuh ular yang begelung-gelung.
Kemudian binatang besar itu melilit salah seorang di antara mereka.
Keempat orang itu terpekik-jerit ketakutan! Ke arah mana saja mereka bergerak,
di situ ular sudah menunggu - bergelung-gelung dan melilit tubuh!
Ular itu si Manis. Dan tentu saja Jo yang menyuruhnya supaya keempat penjahat yang mau lari
dihadang. Ketika dalam kamar menara di atas sedang terjadi ribut-ribut, Jo
berdiri sambil mendengarkan di serambi. Si Manis dikalungkannya ke lehernya. Jo
bingung, tak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di atas.
Kemudian didengarnya bunyi pintu dibanting, disusul geseran gerendel mengunci
pintu. Lalu langkah orang lari terpeleset-peleset menuruni tangga batu! Jo
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
langsung menduga pasti mereka itu orang-orang yang suaranya terdengar olehnya
tadi di balik tembok luar.
"Nah - sekarang kau mendapat giliran beraksi. Manis!" kata Jo, sambil menurunkan
ular besar yang tersampir di bahunya. Ular itu menggeleser turun dengan gerakan
meluncur, menuju ke arah keempat orang yang saat itu muncul di serambi. Dan
setelah itu si Manis keasyikan! Semakin keras pekik-jerit yang terdengar,
semakin asyik ular itu beraksi.
Jo menyandar ke dinding serambi. Anak itu tertawa keras-keras, sampai basah
pipinya kena air mata. Jo tahu, si Manis sebenarnya tak berbahaya, asal jangan
diberi kesempatan melilit terlalu keras. Jo tidak bisa melihat apa yang sedang
terjadi. Tapi dari suara-suara ribut, ia bisa menduganya.
"Buk! Nah, ada satu lagi yang jatuh tersandung," katanya dalam hati. "Dan itu
satu lagi. Aduh, sakit perutku karena tertawa! Si Manis biasanya tak
diperbolehkan berbuat seperti sekarang. Pasti ia juga tertawa besar - kalau bisa
tertawa!" Akhirnya keempat orang itu tak sanggup lagi.
"Cepat, kembali ke kamar menara!" seru Pottersham. "Aku tak mau lewat loronglorong gelap itu, karena ternyata di sini banyak ular! Awas, jangan sampai
dipatuk - nanti mati!"
Jo tidak bisa menahan gelak. Ya, mungkin bagi keempat orang itu terdapat kesan
di situ banyak ular - karena ke mana pun mereka lari, si Manis sudah lebih dulu
sampai di situ. Dan si Manis mematuk" Si Manis bukan ular berbisa, yang suka
mematuk. Keempat penjahat itu berhasil mengelakkan diri dari gangguan si Manis, lalu
cepat-cepat naik dan masuk ke kamar menara. Tapi si Manis sendiri, sementara itu
juga sudah bosan bermain-main dengan mereka. Ketika dipanggil oleh Jo, dengan
segera ia datang. Jo mengalungkannya kembali ke lehernya.
Terdengar bunyi pintu kamar menara ditutup dengan tergesa-gesa. Jo lantas
menyelinap naik tangga. Sesampai di ujungnya, ia meraba-raba dalam gelap.
Mencari pasak gerendel pintu. Begitu pasak terpegang, dengan hati-hati
didorongnya ke samping. Nah, sekarang keempat orang itu terjebak! Dan kalau
mereka toh mencoba turun lewat tangga tali yang pasti sudah terpasang di tembok
luar menara, di bawah sudah menunggu beberapa orang!
"Yuk, Manis - kita pergi," kata Jo. Ia keluar dari serambi, lalu menuruni tangga
pilin yang gelap. Tapi kemudian ia teringat, dalam kamar tempatnya terkurung
tadi masih ada lentera kecil yang ditinggalkan oleh Pottersham. Seketika itu
juga perasaannya menjadi lega.
Si Manis menggeleser di lantai batu, mendului Jo. Ular itu rupanya sudah hafal
jalan itu. Setiba di kamar yang sempit, dengan perasaan gembira Jo mengambil
lentera, ia menatap ke bawah, memandang ular sanca besar yang memandangnya
dengan mata yang berkilat-kilat tanpa pernah berkedip sekali pun. Tubuhnya yang
panjang bergelung-gelung, kelihatan coklat mengkilat kena sinar lentera.
"Aku mau saja memeliharamu sebagai binatang rumah, jika tubuhmu tidak sebesar
itu," kata Jo pada si Manis. "Aku tidak mengerti, kenapa orang-orang ada yang tidak suka pada
ular. Aduh, Manis - aku geli lagi kalau teringat bagaimana orang-orang tadi
terpekik-jerit kaupermainkan!"
Sambil cekikikan sendiri, Jo menyusur lorong sambil menjunjung lenteranya
tinggi-tinggi. Cuma di lorong terakhir saja hal itu tidak bisa dilakukannya,
karena di situ ia harus berjalan sambil membungkuk. Ketika sudah hampir sampai
di lubang yang menuju ke luar, si Manis berhenti merayap. Ular itu mendengar
sesuatu di luar. Jo keluar lebih dulu. Anak itu kaget setengah mati, ketika tiba-tiba ada yang
menubruk lalu meringkusnya. Jo meronta-ronta sambil berteriak-teriak. Akhirnya
ia menggigit tangan orang yang meringkus kuat-kuat. Orang itu menjerit
kesakitan. Tiba-tiba ada senter dinyalakan, lalu diarahkan ke mukanya. Seketika itu juga
terdengar suara berseru kaget.
"Rupanya Jo yang kita sergap! Jo, ke mana saja kau tadi! Lihat, berdarah
tanganku kaugigit - jika kaulakukan sekali lagi, kutempeleng kau nanti!"
"Buffalo! Aduh, maaf - tapi kenapa kau tadi menyergap?" seru Jo kaget. Bulan
yang selama itu menghilang di balik awan, saat itu muncul kembali. Tempat
kejadian itu menjadi agak terang. Julian serta kawan-kawannya yang lain
bergegas-gegas datang. "Jo!" seru Pak Alfredo. "Kau tidak apa-apa" Kami sudah cemas memikirkan nasibmu.
Ke mana saja kau tadi?"
Jo tidak mengacuhkan pertanyaan pamannya itu. Ia lari menyongsong Dick serta
kawan-kawannya. "Kalian berhasil melarikan diri!" seru Jo gembira. "Kalian tadi turun lewat
tangga tali?" "Sekarang tak ada waktu untuk mengobrol," kata Buffalo, sementara matanya tak
lepas memandang lubang di tembok luar. "Bagaimana dengan orang-orang tadi" Kami
hendak menghadang mereka di sini" Kau tahu di mana mereka sekarang?"
"O ya," jawab Jo, "karena aku tadi mengikuti mereka. Wah, benar-benar kocak..."
kata Jo, lalu mulai tertawa lagi. Buffalo menggoncang-goncang bahu anak itu,
menyuruhnya berhenti tertawa. Tapi tidak bisa. Jo tertawa terus! Dan pada saat
itu, si Manis menggeleser keluar dari lubang.
Pak Slither melihat ular kesayangannya itu muncul.
"Manis!" serunya gembira. "Jo! Kau tadi membawanya ke atas! Anak nakal! Ke sini.
Manis." Ular itu merayap menghampiri Pak Slither, lalu melilitkan tubuhnya ke pinggang
pawang ular itu. "Aku tidak nakal," kata Jo tersinggung. "Si Manis sendiri yang ingin ikut tadi tapi kemudian ia menghadang keempat orang yang diatas, lalu..."
Jo tidak bisa menyelesaikan ceritanya, karena ia sudah tertawa lagi. Dick ikut
meringis. Jo lucu sekali kalau sudah tertawa.
Pak Alfredo menggoncang-goncang bahu Jo, menyuruhnya berhenti.
"Ceritakan apa yang kauketahui tentang orang-orang itu," perintahnya dengan
garang. "Apakah mereka kini menuju ke mari" Di mana mereka sekarang?"
"Aduh - ya, orang-orang itu," kata Jo mengusap-usap air mata, berusaha berhenti
tertawa. "Si Manis tadi mengusir mereka naik kembali ke kamar menara, lalu aku
menarik gerendel sehingga mereka terkunci di dalamnya. Kurasa mereka masih ada
di sana - kecuali jika mereka turun dari jendela dengan tangga tali. Tapi mereka
takkan mungkin berani!"
Buffalo tertawa sebentar.
"Kau hebat, Jo," pujinya. "Kau dan si Manis!"
Pak Alfredo dan manusia karet kemudian disuruhnya kembali ke kaki menara, untuk
berjaga-jaga kalau keempat penjahat yang di atas berani turun lewat tangga tali.
"Kurasa sebaiknya kita panggil saja polisi sekarang," kata Pak Terry-Kane.
"Orang yang bernama Pottersham itu sangat berbahaya, ia pengkhianat yang harus
ditangkap, sebelum sempat menjual segala rahasia percobaan yang kulakukan
bersama dia." "Baik," kata Buffalo. "Kami juga berhasil meringkus seorang lagi. Orang itu kami
kurung dalam sebuah karavan kosong."
"Loh! Dia tidak melarikan diri?" kata Jo tercengang. "Kukira orang bernama
Pottersham yang kini terkurung dalam kamar menara, adalah orang yang sebelumnya
terkurung dalam karavan."
"Orang yang kami kurung, masih tetap terkurung di tempat semula," kata Buffalo
gemas. "Kalau begitu, siapakah dia?" tanya Terry-Kane dengan bingung.
"Sebentar lagi akan kita ketahui juga," jawab Buffalo. "Kita pergi saja
sekarang. Malam sudah larut, dan kalian pasti sudah sangat lapar! Salah seorang
harus pergi ke polisi, dan aku ingin kembali ke perkemahan.
"Alfredo dan Pak Karet tinggal di sini, menjaga tangga tali," kata Pak Slither,
yang masih terus mengelus-elus si Manis. "Sedang kita tak perlu lebih lama lagi
berada di tempat ini."
Mereka lantas berjalan menuruni bukit sambil mengobrol dengan ramai. Pak TerryKane langsung pergi ke kantor polisi. Setelah itu ia menelepon. Katanya, ia
harus menghubungi seorang 'pejabat tinggi'. Sedang anak-anak, cuma satu saja
yang diingini saat itu. Makan dan minum sekenyang-kenyangnya!
"Kita lihat saja dulu, apakah kalian mengenal laki-laki yang kami kurung dalam
karavan ini," kata Buffalo, ketika mereka sampai di perkemahan. "Cuma dia
sendiri saja yang belum jelas hubungannya dalam kejadian ini!"
Buffalo pergi ke karavan yang tak dipakai, lalu membuka pintu.
"Ayo keluar!" serunya ke dalam. "Kami ingin tahu, siapa kau sebenarnya!"
Sementara ia menjunjung lentera yang tadi sempat diambil, sesosok tubuh
melangkah pelan-pelan ke pintu.
Detik berikutnya terdengar teriakan kaget dari mulut anak-anak.
"Paman Quentin!" seru Julian dan kedua adiknya serempak.
"Ayah!" teriak George kaget. "Kenapa Ayah ada di sini?"
Bab 23 BERSENANG-SENANG Beberapa saat lamanya, semua cuma bisa melongo
keheranan. Bayangkan, ayah George dikurung dalam karavan, karena dikira penjahat
Yang salah tentu saja Jo - karena ia merasa pasti orang itu Pottersham, sarjana
jahat! "Julian," kata Paman Quentin. Ia berusaha menjaga gengsi, walau sebetulnya
sangat marah. "Tolong panggilkan polisi! Aku tadi diserang, lalu dikurung dalam
karavan ini - tanpa tahu apa sebab-sebabnya!"
Buffalo nampak gelisah, lalu menoleh memandang Jo.
"Kenapa tidak kaukatakan tadi, dia ini ayah George?" katanya.
"Aku juga tidak tahu," kata Jo membela diri. "Aku belum pernah berjumpa dengan
dia, dan lagi pula aku tadi menyangka...."
"Masa bodoh dengan sangkaanmu," kata Paman Quentin, sambil memandang anak
perempuan yang kelihatan kotor itu dengan kesal. "Pokoknya aku tetap meminta
dipanggilkan polisi!"
"Kurasa ini cuma kekeliruan belaka. Paman Quentin," kata Julian. "Dan Pak TerryKane sendiri sudah pergi ke polisi."
Paman Quentin menatap Julian sambil melongo.
"Terry-Kane?" katanya heran. "Mana dia" Apa yang sebetulnya terjadi di sini"
Jadi ia sudah berhasil ditemukan?"
"Betul - tapi ceritanya panjang. Paman," jawab Julian. "Asal mulanya, ketika
melihat muka orang di balik jendela menara. Aku lantas menceritakannya pada Bibi
Fanny ketika aku menelepon ke Pondok Kirrin. Kata Bibi, ia akan meneruskannya
pada Paman, jika Paman sudah kembali dari London. Kemudian ternyata yang muncul
di balik jendela itu Pak Terry-Kane!"
"Aku juga sudah mengira begitu! Kukatakan pada Bibi Fanny, aku punya firasat
bahwa yang kalian lihat itu pasti dia," kata Paman Quentin. "Karena itulah aku
lantas cepat-cepat ke mari. Tapi kalian ternyata tak ada di sini. Apa sebetulnya
yang terjadi dengan kalian?"
"Itu termasuk kisahnya. Paman," jawab Julian dengan sabar. Paman Quentin memang
paling sulit diajak bicara. Biarpun sebagai sarjana ia sangat pintar, tapi
sebagai paman, yah -- "Wah, perut kami sudah lapar sekali!" kata Julian lagi. "Kami ingin makan karena sejak kemarin kami terpaksa berpuasa!"
Dengan begitu, untuk sementara pembicaraan mereka berakhir. Ibu Alfredo sibuk
mondar-mandir menyiapkan makanan. Tak lama kemudian, lima orang anak sudah duduk
mengelilingi api unggun, lalu makan dengan nikmat. Bu Alfredo tidak setengahsetengah memanjakan mereka. Bahkan Timmy pun tidak dilupakannya.
Seluruh perkemahan ikut bergembira, karena anak-anak telah kembali dengan
selamat. Sebentar-sebentar ada yang datang, membawakan makanan ini-itu bagi
mereka. Akhirnya mereka tak sanggup makan lagi. Perut rasanya sudah nyaris meletus,
karena terlalu penuh. Julian lantas mulai menceritakan pengalaman mereka,
disambung oleh Dick. George ikut-ikut menambah, sedang Jo setiap kali menyela
dengan bumbu-bumbu yang menimbulkan tertawa. Bahkan Timmy pun ikut-ikut dengan
gonggongannya. Cuma Anne saja yang tidak mengatakan apa-apa. Anak itu sudah
tertidur pulas, sambil menyandarkan diri ke lengan pamannya.
"Luar biasa!" kata Paman Quentin berulang-ulang. "Benar-benar luar biasa!
Bayangkan, Pottersham hendak melarikan Terry-Kane ke luar negeri! Dari semula
aku sudah tahu, Terry-Kane tak mungkin mau berkhianat. Kalau Pottersham, aku
memang tidak senang pada orang itu. Tapi teruskan saja cerita kalian!"
Orang-orang pasar malam ikut asyik mendengarkan kisah petualangan anak-anak.
Mereka mengerubung semakin mendekat, ketika kisah sudah sampai ke bagian yang
menyangkut lorong rahasia, kamar tersembunyi, tangga batu dalam tembok dan
sebagainya. Mereka ikut bersemangat mendengar adegan ketika Buffalo tiba-tiba
muncul dari balik jendela, lalu dengan satu gerakan saja berhasil melecut pistol
sehingga terlepas dari genggaman Pottersham. Paman Quentin tertawa terbahakbahak mendengarnya. "Huahahaha!" Paman tertawa keras, sampai kepalanya mendongak ke belakang. "Wah,
pasti orang itu kaget setengah mati! Aku ingin melihat tampangnya saat itu.
Aduh, pengalaman kalian ini memang benar-benar luar biasa!"
Kemudian tiba giliran pada Jo untuk menceritakan pengalamannya. Anak itu mulai
tertawa lagi sambil bercerita. Tak lama kemudian seluruh perkemahan sudah ikut
tertawa terbahak-bahak. Cuma Paman Quentin saja yang kelihatan agak suram. Rupanya ia teringat lagi pada
pengalamannya sewaktu diringkus oleh orang-orang pasar malam. Karena ia tidak
berhenti berteriak-teriak, orang-orang itu lantas memasukkan seekor ular sanca
ke dalam karavan. Saat itu Paman Quentin hampir mati ketakutan!
"Pak Slither," kata Jo menyela kisahnya, "tolong bawakan si Manis kemari. Dia
benar-benar hebat tadi. Kurasa dia ikut senang, bisa mempermainkan keempat
penjahat itu. Pasti ia sudah tertawa terbahak-bahak - jika ular bisa tertawa!"
Kasihan Paman Quentin! la tidak berani memprotes, ketika pawang ular itu
mengambil ular sanca kesayangannya. Bukan cuma satu, melainkan kedua-duanya
sekaligus. Yang lebih menyeramkan lagi bagi Paman Quentin, kedua ular itu bahkan
lantas dipangku, dielus-elus dan entah diapakan lagi oleh orang banyak. Dan
kedua ular itu nampaknya senang diperlakukan begitu!
"Aku boleh memegang si Manis sebentar ya, Pak Slither," kata Jo kemudian.
Diambilnya ular yang besar itu, lalu dikalungkannya ke leher. Seperti selendang!
Paman Quentin tak tahan lagi melihatnya, ia pasti akan sudah cepat-cepat pergi
dari situ, apabila Anne tidak tidur sambil menyandarkan diri ke pundaknya. Dan
Paman Quentin tidak sampai hati membangunkan keponakannya yang lembut hati itu.
"Kawan-kawan George macam-macam saja," kata Paman Quentin dalam hati. "Kurasa
mereka orang baik-baik semua - tapi toh aneh-aneh! Main pisau, melecut-lecutkan
cemeti - ah, macam-macam saja!"
"Ada orang datang!" kata Jo dengan tiba-tiba. "nanti dulu ah, rupanya Pak TerryKane, bersama tiga orang polisi."
Paman Quentin langsung bangkit, begitu ia melihat Pak Terry-Kane datang.
Keduanya lantas saling bersalaman dengan gembira. Paman Quentin menggoncanggoncang tangan sahabatnya itu kuat-kuat, sehingga Pak Terry-Kane merasa capek
sebagai akibatnya. "Aduh, lega hati saya melihat Anda selamat," kata Paman Quentin. "Sudah saya
katakan dari semula, tak mungkin Anda mau berkhianat. Tak mungkin! Saya bahkan
sampai menghadap ke London, untuk menyatakan pendapat saya itu. Untung Anda
selamat juga akhirnya!"
"Ya - berkat bantuan anak-anak," kata Pak Terry-Kane. Kasihan, sarjana itu
nampak sudah kepayahan. "Saya rasa Anda pasti sudah mendengar kisah kejadiannya,
bukan?" "Ya! Benar-benar luar biasa, sehingga jika saya membacanya dalam buku cerita,
tak mungkin saya akan bisa mempercayainya," kata Paman Quentin. "Dan kini, malah
Anda sendiri yang mengalaminya! Anda sekarang pasti capek sekali!"
"Memang," kata Pak Terry-Kane, "tapi saya belum mau beristirahat, selama
Pottersham serta kawanan penjahatnya belum dikurung di balik terali penjara.
Maaf, Anda saya tinggal sebentar. Saya masih harus kembali ke puri bersama
ketiga polisi ini. Kami harus menangkap para penjahat itu. Saya tadi mampir ke
mari, karena ingin meminta salah satu anak untuk ikut dengan kami. Soalnya
karena saya tadi mendengar bahwa untuk naik ke atas menara, harus melewati
lorong-lorong gelap, naik turun tangga batu dan sebagainya."
"Loh - Anda waktu itu tidak lewat sana, ketika dibawa oleh Pottersham untuk
dikurung dalam kamar menara?" tanya Dick heran.
"Memang, mestinya aku juga lewat jalan itu," jawab Pak Terry-Kane. "Tapi selain
mataku ditutup dengan sapu tangan, aku juga dibius oleh mereka. Aku sama sekali
tak tahu, ke mana arah perjalanan waktu itu. Tapi kalau Pottersham, dia mengenal
baik seluruh lorong dan ruang tersembunyi di sana! Kan dia pernah mengarang
beberapa buku tentang puri-puri kuno. Ternyata pengetahuannya itu, dipakai
olehnya untuk maksud jahat!"
"Biar aku saja yang ikut," kata Jo. "Aku sudah empat kali mondar-mandir lewat
lorong-lorong itu - jadi sudah hafal sekarang! Sedang yang lain baru sekali."
"Ya, kau saja yang pergi," kata Buffalo.
"Ajak Timmy," kata George bermurah hati. Biasanya, takkan mau ia membiarkan
Timmy ikut dengan Jo.
Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tak perlu mengajak siapa-siapa!" kata Jo. "Dengan tiga orang polisi yang
besar-besar ini, aku pasti aman! Aku senang pada polisi, asal bukan aku yang
dikejar-kejar oleh mereka."
Kemudian anak itu pergi bersama Pak Terry-Kane serta ketiga polisi yang
mengiringi. Jo berjalan sambil menggagah-gagahkan sikap, ia merasa dirinya
pahlawan cilik! Julian dan ketiga saudaranya masuk ke karavan mereka, karena sudah terlalu
capek. Sedang Paman Quentin masih duduk-duduk menghadapi api unggun, ia ingin
menunggu kedatangan Pottersham serta kawanan penjahatnya.
"Nah, selamat tidur," kata Julian. "Sebetulnya aku ingin menunggu sampai orangorang datang kembali. Tapi rasanya sudah mengantuk sekali! Jangan-jangan nanti
tertidur sambil berdiri!"
"Kalau begitu sampai besok!" kata saudara-saudaranya.
Keesokan paginya mereka bangun agak lambat. Jo sudah bangun jauh lebih pagi
daripada mereka. Anak itu tak sabar lagi menunggu mereka muncul dari dalam
karavan masing-masing, ia ingin bercerita tentang penangkapan Pottersham beserta
ketiga kaki tangannya. Dan waktu itu Jo ikut terus, sampai ke kantor polisi.
Tapi Bu Alfredo melarangnya membangunkan anak-anak.
Akhirnya anak-anak bangun juga. Dengan segera mereka sudah meloncat turun dari
karavan, karena ingin mendengar berita terbaru. Dan Jo langsung menceritakan
pengalamannya kemarin malam, setelah anak-anak masuk ke dalam karavan.
"Mereka sama sekali tidak melawan sewaktu ditangkap," katanya mengakhiri cerita.
Kedengarannya ia agak kecewa. "Tapi mungkin mereka tak berani lagi, setelah
mengalami kejadian dengan si Manis!"
"Ayo sudah, jangan mengobrol dulu!" seru Bu Alfredo. "Ini, sudah kusiapkan
sarapan untuk kalian."
Tentu saja mereka tidak menunggu sampai dipanggil dua kali. Jo ikut
menggabungkan diri, walau sebetulnya ia sudah sarapan. Paman
Quentin menemani mereka. Sebentar-sebentar ia memandang berkeliling. Kelihatan
sekali, Paman Quentin merasa asing di lingkungan seperti itu.
Buffalo kelihatan sibuk berlatih lagi dengan jerat dan cemetinya. Manusia karet
menggeliat-geliat, menyusup di sela-sela jari-jari roda karavannya. Pak Slither
sedang memoles kedua ular sancanya.
Pak Alfredo datang menghampiri anak-anak yang sedang sarapan, ia membawa dua
buah tongkat, serta sebuah mangkok logam.
"Anda ingin melihat aku menelan api?" katanya pada Paman Quentin. Paman melongo.
"Pak Alfredo ini artis penelan api. Paman," kata Dick menjelaskan duduk perkara.
"O, begitu! Wah, tidak - lain kali saja!" kata Paman dengan sopan tapi tegas.
Pak Alfredo kelihatan kecewa. Padahal maksudnya hendak menghidangkan sesuatu
yang istimewa bagi sarjana aneh itu, sebagai balasan atas kekeliruan yang
terjadi sehingga sarjana itu dikurung dalam karavan! Pak Alfredo pergi dengan
sedih. Belum cukup sebegitu saja kekecewaannya - Bu Alfredo masih merasa perlu
pula berteriak-teriak memarahi.
"Dasar goblok!" seru wanita berbadan kecil mungil itu. "Siapa sih yang kepingin
melihat aksimu menelan api" Memang laki-laki tak punya otak! Tolol, goblok,
bandel! Sana - jauh-jauh kalau mau menelan api!"
Setelah itu Ibu Alfredo masuk lagi ke dalam karavannya. Pak Quentin menatap ke
arah itu. Ia semakin melongo, heran melihat wanita itu tiba-tiba marah.
"Orang-orang ini memang luar biasa," katanya. "Aneh! Dan kejadian-kejadian yang
kalian alami di sini, juga tidak bisa dibilang normal. George, aku akan pulang
hari ini juga. Kalian semua tidak ingin pulang bersamaku" Kurasa tidak baik bagi
kalian, terlibat dalam begitu banyak kejadian aneh."
"Aduh - jangan. Ayah," kata George kaget. "Pulang - sekarang" Padahal kami baru
saja mulai akrab dengan orang-orang sini. Tidak, kami tidak ingin pulang
sekarang! Kan tidak ada yang mau pulang sekarang?" katanya, sambil menatap anakanak satu per satu. Dengan segera Julian menjawab.
"Kata George tadi benar. Paman," katanya. "Kami baru saja mulai merasa senang di
sini. Betul kan?" "Betul," seru anak-anak serempak. Sampai Timmy pun ikut menyatakan pendapatnya.
Anjing itu menggonggong sekali, sambil memukulkan ekornya dengan keras ke tanah.
"Baiklah, kalau begitu," kata Paman Quentin sambil bangkit. "Yah, aku harus
berangkat sekarang juga, supaya tidak ketinggalan bis yang menuju ke stasiun."
Anak-anak mengantarkannya sampai ke perhentian bis. Tak lama kemudian bis
datang, dan paman mereka langsung masuk.
"Selamat tinggal," kata Paman dari pintu bis. "Ada pesan untuk ibumu, George"
Pasti ia ingin mendengar kabar tentang kalian berlima."
"Bilang saja," seru anak-anak serempak, sementara bis mulai bergerak, "bilang
saja - Lima Sekawan sedang bersenang-senang di sini!
Selamat jalan, Ayah! Selamat jalan. Paman Quentin!"
Anak-anak lantas berbalik, mendaki lereng yang landai menuju perkemahan karavan.
Kembali ke tempat Jo serta para artis pasar malam.
TAMAT Antara Budi Dan Cinta 1 Gento Guyon 3 Sang Cobra Ancaman Dari Utara 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama