Ceritasilat Novel Online

Di Kota Hantu 2

Lima Sekawan Di Kota Hantu Bagian 2


"Lebih baik kita memeriksa dalam dua kelompok," kata George. "Dengan begitu kan
hebih cepat!" Julian setuju. Ia akan memeriksa bersama Anne. Timmy memilih ikut Dick dan
George. "Sebaiknya kita tentukan saja, berapa lama kita masing-masing memeriksa" kata
Julian serius. "Setengah jam lagi kita sama-sama harus berbalik dan berkumpul
lagi di sini." Setelah itu mereka berpisah. Anne ikut dengan Julian memasuki lorong yang
sebelah kanan, sementara George, Dick, dan Timmy menghilang ke dalam lorong
kiri. Timmy berlari-lari mendului dengan gembira.
"Itu pertanda baik," kata George. "Ia pasti merasa bahwa di depan ada sesuatu!"
Dick tidak seyakin George. Tapi Ia diam saja. Tapi kemudian ternyata bahwa
dugaan George memang tepat. Setelah beberapa waktu menyusur dalam lorong itu,
tahu-tahu terdengar gonggongan Timmy yang sudah agak jauh berada di depan. Aneh!
Gonggongan itu kedengarannya seperti menggema! Seolah-olah - Dick dan George
tidak berpikir panjang lagi. Keduanya bergegas-gegas lari menyusul. Apa yang
nampak kemudian menyebabkan kedua remaja itu bersorak-sorai. Di depan mereka
terbentang sebuah ruangan yang lapang. Nampak jelas bahwa ruangan itu buatan
manusia! "Wah!" seru Dick. "Kelihatannya kita sampai di ruangan tempat kebaktian.
Lihatlah, George! Meja, batu besar itu kan altar... dan yang mi bangku-bangku
tempat duduk." "Dan di sana ada lampu minyak berjejer-jejer!" kata George menambahkan.
Dihampirinya lampu-lampu itu, yang terletak di semacam relung.
Kedua remaja itu sibuk memeriksa ke sana dan kemari sambil berseru-seru dengan
penuh semangat. "Ini bukti nyata!" seru George. "Hitam atau tidak - tapi jelas bahwa di sini
pernah ada manusia. Peninggalan ini merupakan bukti yang sangat jelas!"
Gonggongan Timmy datang dari balik altar. George dan Dick menyusul ke situ.
Ternyata di balik tempat suci itu ada gang lagi.
"Sayang kita tidak punya waku lagi" kata Dick sambil memandang arlojinya.
"Setengah jam yang kita sepakatkan tadi sudah lama lewat. Kita harus segera
kembali!" Mereka kembali ke gua. Ternyata Anne dan Julian sudah lebih dulu ada di sana.
Keduanya nampak lega ketika melihat Dick dan George muncul dan lorong gelap.
"Lorong kami buntu!" seru Julian menyongsong mereka- "Tidak lama setelah tadi,
kami sudah kembali lagi kemari!"
Diceritakannya jalan yang tadi ditempuh bersama Anne.
"Mula-mula kami harus mendaki dengan susah payah, karena lorong itu menanjak.
Setelah melewat tikungan tajam, tahu-tahu ada batu besar menghadang. Kami tidak
bisa melewatinya. Karena itu kami terpaksa kembali."
"Itu tidak apa!" kata George dengan gembira. "Kami lebih beruntung!" Lalu Ia
bercerita tentang pengalamannya bersama Dick dan Timmy.
"Luar biasa!" seru Julian bersemangat. "Yuk - kita cepat-cepat ke sana!"
Mereka berlari-lari menyusur lorong yang sebelah kiri. Beberapa saat kemudian
sampai dalam ruang yang ada altar batunya. Sekarang Julian pun sudah tidak
sangsi lagi. Apa yang nampak di situ memang merupakan bukti bahwa tempat itu
pernah didiami orang. Sayang saat itu sudah hampir sore. Anak-anak memutuskan untuk melanjutkan
penyelidikan mereka keesokan harinya. Ke manakah lorong di belakang altar itu
akan membawa mereka"
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi. Tapi sial - di
tengah jalan mereka berjumpa dengan Bob dan Philip. Kedua pemuda itu rupanya
memang sengaja menunggu mereka. Bob berdiri sambil membersihkan kuku tangannya
dengan pisau. Sikapnya acuh tak acuh. Sedang Philip menggenggam tongkat.
George langsung sadar bahwa sekali itu Timmy pasti kalah.
"Jangan kauserang, Tim!" bisiknya pada anjing itu. Anne menatap kedua pemuda itu
dengan perasaan gelisah. Anak itu tidak bisa dibilang pemberani. Tapi ia bisa
bersikap tabah, walau Iututnya terasa lemas.
Namun kedua pemburu gelap itu ternyata tidak bermaksud mencegat mereka. Dibiarkan saja keempat remaja itu lewat bersama Timmy.
Setelah agak jauh, barulah keduanya mengikuti dari belakang. Karenanya anak-anak
tidak bisa masuk ke gua. Mereka agak bingung.
Akhirnya Anne yang pertama-tama men dapat akal. Dengan suara agak gemetar Ia
memanggil George. "Di mana tempat bunga-bunga itu tumbuh, yang kemarin hendak kita petik untuk
Bibi Fanny?" serunya. "Di sini tidak kelihatan?"
Dengan cepat George memahami maksud Anne. Anak itu bermaksud hendak mengalihkan
perhatian, katanya dalam hati.
"Memang bukan di sini tempatnya!" balas George. "Kita masih harus agak mendaki
sedikit lagi!" Keempat remaja itu meneruskan pendakian, makin tinggi ke atas gunung. Selama
beberapa jam setelah itu mereka asyik memetik bunga, bermain-main dengan Tirnmy,
kemudian berbaring-baring di rumput. Bob dan Philip yang mengawasi dari jauh
nampak makin lama makin gelisah.
Menjelang sore anak-anak bersepeda kembali ke Klyness.
"Kita tadi berhasil mengelabui kedua orang itu," kata George. "Tapi dengan
begini, kita takkan bisa maju-maju. Jika mereka terus-menerus mengawasi, bisa
kita lupakan saja gua serta petualangan kita kali ini!"
Bab VIII MENCARI JALAN Kejadian dua hari berikutnya menyebabkan kejengkelan anak-anak semakin memuncak,
begitu pula rasa kecewa mereka. Mereka sudah bertindak dengan hati-hati sekali.
Tapi Bob dan Philip masih saja bisa membuntuti.
"Mungkin sebaiknya kita pura-pura bosan mencari" kata Julian mengusulkan.
"Dengan begitu mungkin mereka bisa tertipu."
"Aku tidak setuju!" bantah George. "Karena dengan begitu terlalu banyak waktu
terbuang nanti. Liburan kan tinggal beberapa hari lagi. Aku lebih setuju jika
kita ..meneruskan malam hari!"
"Pasti Paman dan Bibi takkan mengijinkan!" kata Anne.
"Kenapa harus bilang pada mereka"' kata George dengan mata berkilat-kilat.
"Maksudku dengan malam tadi itu sebenarnya petang hari. Lagi pula, kita tidak
setiap malam berkeliaran dalam gua. Sayang kan kalau kesempatan baik ini tidak
kita pergunakan. Kau bisa memotret gambar-gambar menarik itu nanti, Julian!"
George sengaja berkata begitu, karena ia tahu bahwa Julian gemar memotret.
Apalagi kalau ada obyek yang begitu menarik! Dan benarlah - Julian langsung
setuju. Pertama kalinya mereka berangkat malam-malam, suasananya agak aneh. Keempat
remaja itu menyelinap pergi dari rumah dengan perasaan tidak enak. Mereka merasa
bahwa perbuatan itu sebenarnya tidak baik, karena tidak memberi tahu terlebih
dulu. Bahkan Timmy pun kelihatannya berperasaan sama, karena Ia berjalan dengan
ekor terkulai masuk di antara kedua kaki belakangnya.
Dalam perjalanan menuju ke gua, mereka berulang kali menoleh ke belakang. Bulu
tengkuk mereka merinding. Jangan-jangan Bob dan Philip sudah mengintai untuk
kemudian menyergap! Bahaya itu memang bukan mustahil.
Tapi mereka mencapai rongga yang ada gambar-gambar di dindingnya tanpa mengalami
apa-apa di tengah jalan. Julian langsung sibuk memotret gambar-gambar itu, yang
di samping adegan berburu juga menampakkan serombongan pemusik dan penari
bergaun panjang. Begitu asyik Ia memotret sampai akhirnya ketiga saudaranya
sudah tidak sabar lagi. "Nah - sekarang kita terus!" kata Julian sambil mengemaskan alat fotonya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka langsung menuju ruangan tempat altar.
"Rupanya ini tempat Orang Hitam dulu melakukan upacara keagamaan," kata Julian
menduga. "Ya, pendapatku juga begitu" sambut George.
Mereka memasuki lorong yang di balik altar. Anak-anak membawa senter dengan
baterai yang masih baru. Tapi walau begitu Julian berkeras hendak menandai jalan
dengan uluran tali. Ia agak gelisah, tanpa mengetahui penyebabnya....
Mungkin karena mereka tadi berangkat dengan diam-diam, tanpa memberi tahu
terlebih dulu" Itu mungkin saja!
Setelah kira-kira dua puluh meter berjalan dalam lorong itu, mereka sampai pada
suatu persimpangan. "Kita membentuk dua regu, seperti waktu itu," kata Dick mengusulkan.
"Jangan," kata Julian. "Sekali ini kita jangan berpisah lagi."
Lain dari biasanya, George saat itu sama sekali tidak membantah. Mereka lantas
memasuki cabang yang sebelah kanan. Baru saja berjalan beberapa langkah,
ternyata menemui jalan buntu. Lorong itu berakhir pada dinding batu. Keempat
remaja itu berbalik ke persimpangan, lalu mencoba lorong yang satu lagi. Tanpa
berbicara mereka maju, selangkah demi selangkah.
Julian semakin gelisah. Bagaimana kalau Paman Quentin tahu bahwa mereka tidak
ada di rumah.... Pikiran suram itu terputus oleh teriakan George.
"Di sini juga buntu!" seru anak itu dengan jengkel. Di depannya nampak dinding
batu yang tegar. Anak-anak berpandang-pandangan dengan perasaan kecut.
"Ternyata cuma sampai di sini saja petualangan kita," keluh Dick dengan kecewa.
"Kita tidak bisa terus."
"Yuk, kita pulang," ajak Anne.
"Jangan!" seru George dengan sengit. "Aku tidak mau percaya bahwa lorong ini
berakhir sampai di sini saja. Kita sudah menemukan bukti bahwa ada sekelompok
manusia yang dulu pernah bertempat tinggal dalam gunung ini. Tapi tempat mereka
baru sebagian kecil saja yang kita temukan. Kita harus mencari lembah yang
hilang itu sampai dapat - begitu pula kota mereka!"
George berhenti mengomel, karena tiba-tiba Anne mengangkat tangannya menyuruh
diam. Anak itu memiringkan kepala, seperti sedang mendengar sesuatu. Timmy yang
ada di sisinya juga begitu.
"Kenapa kau ...?" tanya Dick. Tapi Anne langsung mendesis.
"Ssst!" bisik anak itu. "Ke sinilah sebentar! Coba kalian tempelkan telinga ke
dinding batu ini. Ada yang kalian dengar atau tidak?"
Ketiga saudaranya melakukan seperti yang disuruh.
"Ya, aku mendengarnya," kata Julian. "Suara bergemuruh, tapi pelan!"
"Seperti deru air." sambung George.
"Itu dia yang kita cari!" seru Dick sambil melonjak dengan gembira. "Air Marah!
Masih ingat tidak Temulka berarti 'Air Marah'!"
"Lembah yang hilang itu rupanya ada di balik dinding batu ini," kata George
yakin. Julian tidak begitu gembira. Soalnya, lorong itu buntu. Langkah mereka dihadang
dinding batu yang tidak mungkin bisa ditembus. Biar pun kota kuno yang misterius
itu benar-benar ada di belakangnya, tapi mereka tidak mungkin bisa terus.
Akhirnya mereka pulang saja. Mereka sudah capek sekali.
Begitu berada di tempat tidur masing-masing semua langsung terlelap.
Keesokan paginya mereka bangun dengan perasaan tidak enak. Mereka merasa
bersalah. Lagi pula tubuh mereka pegal-pegal. Tak seorang pun yang ingin
mengulangi petualangan malam-malam itu.
Suasana semakin tidak enak, karena saat itu turun hujan lebat. Sepanjang hari
mereka terkurung dalam rumah. George mengajak saudara-saudaranya berunding,
merencanakan tindakan selanjutnya. Bagaimana jika penemuan itu mereka beritakan
pada Paman, kata Julian. Beberapa orang dewasa mungkin sanggup menggeser batu
besar yang menintangi jalan. Kecuali itu jika ada orang dewasa menemani, mereka
tidak perlu takut diganggu lagi oleh Bob dan Philip. Kedua pemuda itu takkan
berani berbuat apa-apa jika menghadapi orang dewasa!
Anne langsung setuju, sementara Dick kelihatannya agak bimbang. Sedang George
menolak dengan tandas! "Selama ini kita sendiri selalu berhasil mengatasi segala macam kesulitan!"
katanya tegas. Kemudian ia mengubah taktik. "Kita coba satu kali saja lagi,ya"
Kita periksa dinding batu yang menghalangi itu dengan seksama. Apabila lorong
itu benar jalan masuk ke lembah, mungkin ada cara tertentu untuk menggeser batu
itu." "Maksudmu seperti pada makam raja-raja Mesir Kuno, yang diperlengkapi dengan
pintu geser atau sorong yang bisa digerakkan dengan suatu alat tersembunyi?"
kata Julian. "Ya, makam para Firaun biasanya kan begitu!" kata George bersungguh-sungguh.
Kemungkinan itu membakar semangat mereka lagi. Akhirnya semua setuju, hari
berikut mereka akan mencoba sekali lagi.
"Kurasa tidak apa-apa jika kita melakukannya siang hari," kata Dick "Bob dan
Philip rasanya tidak usah kita khawatirkan lagi. Kemarin dan hari ini kita tidak
datang ke gunung - jadi pasti mereka kini beranggapan bahwa kita sudah bosan."
Perkiraannya itu memang masuk akal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Mereka membawa
keranjang berisi bekal makanan yang disiapkan oleh Joan. Udara pagi itu cerah.
Matahari bersinar terang. Anak-anak bersikap waspada. Mereka tidak melalui desa
Killan, melainkan memilih jalan di tengah ladang yang letaknya terasing. Dengan
begitu lebih besar kemungkinannya bahwa tidak ada yang melihat mereka menuju ke
gua. Sesampai di sana Julian bergegas menyingkirkan, batu-batu yang menimbuni,
dibantu oleh Dick dan George. Sedang Anne berjaga-jaga. Ia gelisah, karena
merasa seperti ada yang mengamat-amati setiap gerak-geriknya. Tapi semua
berjalan dengan aman. Mereka berhasil masuk tanpa ada yang mengganggu. Setelah
masuk lubang gua mereka tutupi lagi denga tumpukan batu. ltu gunanya untuk
menghilangkan jejak. Setelah itu mereka cepat-cepat menyusur liang yang menuju
ke tengah gunung. Mereka berjala terus, sampai terhalang lagi oleh batu besar.
"Sekali lagi kita tidak bisa terus," kata Dick mengomel. "Bagaimana jika kita
serukan 'Terbukalah Sesam!' Seperti pada kisah Ali Baba. Mungkin bisa dengan
cara begitu!" "Jangan mengoceh," kata George sambil tertawa geli. "Lebih baik kau ikut
mendorong batu ini."
Dengan sekuat tenaga mereka berusaha mendorong batu besar itu ke belakang. Tapi
sedikit pun tak bergerak. Mereka mendorong cli sebelah atas. Lalu sebelah kiri.
Sebelah kanan. Bawah Tapi sia-sia saja. Dinding batu itu sedikit pun tak
bergerak. Rupanya memang bukan pintu!
Mereka mengusap keringat yang membasahi kening. Semua menghenyakkan diri duduk
di tanah.' Sekarang bagaimana"
Timmy tampaknya tidak senang melihat anak-anak begitu lesu. Anjing itu meloncatloncat sambil lari kian kemari untuk mengajak mereka bermain-main. Tahu-tahu Ia
terpeleset. Kepalanya membentur dinding batu, kena pada bagian yang dekat dengan
dasar lorong. - Tahu-tahu dinding batu itu bergerak! Batu besar itu terungkit ke atas seperti
pintu garasi teriring bunyi gemeretak.
Bab IX DI KOTA MATI Anak-anak berlompatan bangun. Di balik dinding batu yang sudah tergeser ke atas
nampak lubang gelap. Jalan sudah terbuka! George dan Dick sudah melangkah hendak
masuk, tapi Julian cepat-cepat melarang mereka.
"Jangan buru-buru masuk!" serunya. "Bagaimana kalau batu ini tahu-tahu tertutup
lagi" Kita akan terjebak di dalam!" Ia membungkuk. "Sebelum masuk, terlebih dulu
kita periksa bagaimana cara kerja pintu ini."
Ternyata sangat sederhana. Julian mendorong sisi atas pintu batu itu ke depan.
Itu menyebabkan pintu turun dengan pelan-pelan. Sedang kalau bagian bawah yang
ditekan, pintu terbuka lagi.
Dari belakang kerjanya juga sama saja. Setelah memastikan hal itu pintu batu itu
ditutup dari dalam, dan anak-anak bergegas meneruskan langkah dalam lorong
gelap. Semakin jauh mereka berjalan ke dalam, semakin nyaring saja bunyi gemuruh yang
terdengar. Bunyinya menderu-deru di telinga. Tiba-tiba lorong yang dilewati
menikung tajam. Saat berikutnya anak-anak tertegun dengan mulut ternganga. Mereka sudah sampai
di tujuan. Di depan mereka terbentang lembah yang hilang!
Tempat itu benar-benar berupa lembah, diapit sebelah kiri dan kanan oleh tebing
curam dan diterangi cahaya remang-remang menyeramkan. Anak-anak memadamkan
senter yang selama itu tetap menyala. Ternyata cahaya yang menerangi tempat itu
datang dari atas. Anak-anak mendongak. Mereka melihat sepotong langit biru di
tengah kegelapan. Rupanya di atas ada celah pada permukaan gunung. Dan cahaya
matahari masuk lewat celah itu.
Di sebelah kiri mereka terdapat air tenjun yang besar. Airnya jatuh ke lembah,
membentuk sungai berarus deras melewati batu-batu. ltulah yang menimbulkan bunyi
gemuruh yang didengar selama itu. LamaKkelamaan anak-anak terbiasa juga dengan
bunyi dahsyat itu. Tapi mereka tetap harus berteriak-teriak kalau hendak
mengatakan sesuatu, sebab kalau tidak pasti tidak terdengar oleh yang lain.
"Air terjun! Siapa menyangka dalam gunung ada air terjun!"
"Alangkah derasnya arus sungai ini."
"Akhirnya kita berhasil juga menemukan Temulka!"


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hore - ini dia, lembah yang hilang!"
"Guk guk!" Timmy menggonggong-gonggong. Ia tidak mau kalah. Ia pun ingin
menyatakan kegembiraannya!
Julian memandang berkeliling, memperhatikan lembah yang diterangi cahaya samar
dari atas. "Lihat!" katanya sambil menunjuk. "Di sebelah sana ada sejumlah bangunan."
Sungai deras di dalam gunung itu melintasi sepanjang lembah. Tidak ada apa-apa
pada sisi di mana anak-anak saat itu berada. Tapi di sisi seberang sungai nampak
sejumlah bangunan batu berbentuk aneh. Kemungkinannya itu dulu merupakan tempat
tinggal penduduk situ, yang dalam hikayat disebut Orang Hitam. Bangunan itu
semuanya diperlengkapi dengan lubang pintu dan jendela berbentuk sederhana. Tapi
bangunan-bangunan itu sendiri yang menyebabkan anak-anak heran, karena berbentuk
menara bundar. "Kota gaib Orang Hitam!" bisik Dick penub kekaguman.
George sudah tidak sabar lagi.
"Yuk, kita ke bawah," ajaknya. "Aku ingin melihat-lihat dari dekat."
Didului oleh Timmy, keempat remaja itu dengan berhati-hati turun dari sisi atas
tebing yang merupakan ujung lorong yang selama itu mereka telusuri.
Dengan segera mereka sudah sampai di tepi sungai yang mengalir dengan deras.
Tapi kemudian timbul masalah yang sulit dipecahkan: bagaimana caranya
menyeberang" Di sebelah kiri ada air terjun dengan pusaran yang berputar-putar di dasarnya.
Tidak mungkin mereka bisa lewat situ. Sedang jauh di sebelah kanan, sungai
mengalir dengan deras masuk ke dalam sebuah lubang yang menganga di kaki tebing.
Jadi lewat situ pun tidak mungkin!
"Sialan!"kata Dick mengumpat-umpat. "Berenang ke seberang juga tidak bisa,
karena sungai ini terlalu lebar. Selain itu jika kita tetap nekat, nanti pasti
hanyut terseret arus!"
"Memang," kata Julian dengan lesu. "Aku ingin tahu, bagaimana cara orang-orang
yang bertempat tinggal di sini dulu menyeberang dari tepi yang satu ke tepi yang
lain. Mungkin di sini pernah ada jembatan. yang kemudian rusak dilanda banjir!"
Anak-anak menatap ke sisi seberang yang kelihatannya mustahil bisa dicapai.
George yang paling sedih di antara mereka. Sudah terbayang-bayang olehnya
berbagai harta yang serba menarik dalam rumah-rumah batu itu - tapi yang tidak
mungkin bisa dicapai! Jarak yang memisahkan tidak begitu jauh. Tapi mereka saat
itu seakan-akan berada di planet lain
Tahu-tahu anak itu menepuk keningnya.
"Aku punya akal!" serunya, mengalahkan deru sungai.
"Kalau tidak, aku malah kecewa" kata Dick sambil tertawa. Ia mengagumi sepupunya
itu, yang selalu ada-ada saja akalnya.
"Apa maksudmu, George?" tanya Julian.
"Tunggu saja - ini baru gagasan saja. Harus kulihat dulu apakah bisa
dipraktekkan. Yuk, ikut aku!"
Dengan langkah-langkah ringan gadis pemberani itu berjalan mendatangi air
terjun. Julian, Dick. dan Anne tegopoh-gopoh menyusul, sementara Timmy berjalan
mendampingi tuannya sambil menggonggong-gonggong dengan gembira. George
membentuk corong dengan kedua tangannya, lalu meneriakkan gagasannya pada ketiga
saudaranya yang menyusul.
Gagasan itu mulanya terasa gila-gilaan. Khas gagasan yang berasal dari George.
Mustahil itu bisa dilaksanakan! Tapi kemudian Julian dan kedua adiknya
mengangguk. Teringat oleh mereka bahwa ada kalanya antara air terjun dan dinding
batu terdapat bagian-bagian yang menonjol, hal mana memungkinkan orang lewat di
situ dengan jalan meloncat dan batu ke batu. Risiko sama sekali tidak ada kecuali menjadi basah kuyup!
"Yuk, kita harus mencobanya!"
Tanpa merasa gentar mereka menghampiri air terjun yang gemuruh. Bunyinya
memekakkan telinga. Tahu-tahu Dick bersorak gembira sambil menuding-nuding. Di
depan mereka nampak jalan sempit, antara air yang menghambur dan dinding batu.
Seperti biasanya, George dan Timmy yang paling dulu maju. disusul oleh Dick, dan
baru setelah itu Julian yang berjalan sambil menggenggam tangan Anne.
Jalan batu yang mereka lewati basah dan sangat licin. Mereka harus berjaga-jaga,
jangan sampai terpeleset. Untungnya jalan penyeberangan itu tidak panjang.
Begitu sampai di seberang, Timmy langsung menggonggong dengan gembira. Anak-anak
yang basah kuyup berpandang-pandangan dengan perasaan puas. Rintangan terakhir
berhasil mereka Ialui dengan selamat!
Julian mengusulkan untuk beristirahat sejenak. Saudara-saudaranya setuju, walau
mereka juga ingin cepat-cepat menuju ke kota mati yang menunggu di depan mata.
Tapi perut yang kosong perlu diisi dulu.
"Dan sekarang" kata George sambil bangkit begitu selesai makan, "sekarang kita
memeriksa isi rumah-rumah itu!"
Saat selanjutnya benar-benar mengasyikkan. Seperempat jam kemudian mereka
mencapai bangunan menara yang paling dekat. Bangunan itu terbuat dari batu
tatahan. Walau sudah tua sekali, tapi nampak masih sangat kokoh. Berabad-abad
lagi pun pasti masih utuh.
Mereka memasuki bangunan itu dengan jantung berdebar keras. Tapi ruangan yang
dimasuki ternyata kosong sama sekali. Tidak ada apa-apa di situ. Tidak ada
kursi, tidak ada meja atau lemari, begitu pula tempat tidur.
Di rumah itu sama sekali tak nampak perabotan! Yang ada hanya tempat perapian
yang terbuat dari batu. "Bayangkan - tempat ini dulu pernah ditinggali orang," gumam Anne terharu.
"Aku ingin tahu, apakah mereka yang tinggal dalam perut gunung ini dulu juga
bercocok tanam di sini," kata Dick sambil merenung.
"Kurasa itu mereka lakukan di luar, lalu hasil panennya mereka angkut kemari
lewat lorong rahasia tadi," kata Julian.
"Sekarang ternyata bahwa hikayat kuno itu memang benar," desah George. "Orang
Hitam penghuni tempat ini lenyap tak berbekas, hilang ditelan gempa!"
"Kenapa ditelan gempa?" kata Dick Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Dan mana kau
bisa memastikannya?"
George menunjuk ke tanah.
"Kauperhatikan saja tanah di tempat mi, Dick!" katanya. "Di situ nampak tandatanda jelas. Tidak kaulihatkah bekas-bekas lumpur kering di mana-mana" Kita
berjalan di atasnya sejak kita mulai masuk ke lembah ini. Kau mau tahu kenapa
begitu" Karena dulu sungai tadi pernah meluap. Banjir yang terjadi waktu itu
pasti bukan main dahsyatnya. Sedang penghuni yang malang dari kota tersembunyi
ini semuanya tewas dilanda banjir itu. Atau terseret air sungai yang mengamuk,
masuk ke dalam lubang menyeramkan yang di sana itu."
"Kurasa kau benar, George," kata Julian setelah menimbang-nimbang sebentar. "Ini
memang lumpur kering. Ini merupakan petunjuk yang sangat jelas mengenai nasib
yang menimpa penghuni kota ini."
Anne memandang berkeliling. Ia bergidik.
"Kota mati yang penghuninya tumpas terseret banjir mengerikan..." Anak itu tidak
mampu meneruskan kata-katanya.
"Ah - mungkin ada juga yang bisa menyelamatkan diri," kata Julian berusaha
melipur kesedihan adiknya. "Lalu mereka pergi dari lembah ini, mencari pemukiman
di tempat lain." Kata-kata itu berhasil agak mengurangi kesedihan Anne. Tapi bayangan bencana
yang dulu pernah menimpa lembah dalam gunung itu membuat suasana menjacli suram.
Bahkan Timmy pun seakan-akan merasakannya. Telinganya terkulai ke bawah.
Anak-anak melanjutkan pemeriksaan, dan rumah ke rumah. Tapi tak seorang pun
berbicara. "Kurasa untuk hari ini kita sudah cukup lama melihat-lihat di sini" kata Julian
dengan tiba-tiba. "Kita pulang saja sekarang!"
Anak-anak yang lain langsung setuju. Mereka seakan-akan lega meninggalkan tempat
yang menyedihkan itu. Penemuan dalam gunung tidak menimbulkan kegembiraan. Bangsa yang dinamakan Orang
hitam, yang dulu pernah menghuni lembah dalam gunung itu, kini sudah tidak ada
lagi. Perasaan gembira baru timbul lagi ketika anak-anak sudah berada dalam perjalanan
pulang. "Besok kita periksa lagi peninggalan jaman kuno itu dengan lebih cermat" kata
George. "Setuju!" kata Julian. "Dan untuk itu kita perlu membawa sekop serta linggis.
Mungkin di bawah endapan lumpur kering ada benda-benda yang masih utuh.
"Kita pasti harus bekerja keras, karena lumpur kering itu tentunya sudah
mengeras," kata Dick. "Bahkan mungkin sekeras batu!"
"Walau begitu tetap saja kita coba!"
"Tanah yang keras kan bisa dilembekkan dengan air," kata Anne mengusulkan.
"Ya, betul !" kata George bersemangat. "Jadi jangan lupa membawa ember plastik
besok! Itu tadi ide yang bagus sekali, Anne!"
Wajah Anne memerah karena senang. George biasanya tidak cepat memuji.
Bab X PENEMUAN MENGGEMPARKAN Keesokan harinya mereka kembali lagi ke lembah itu. Mereka tetap waspada.
Setelah memasuki gua di lereng gunung, jalan masuk ke situ mereka sumbat lagi
dengan batu yang ditumpuk-tumpukkan.
Dengan cepat mereka sudah sampai dalam rongga yang ada gambar-gambar di
dindingnya, karena sudah hafal jalan ke situ. Pintu dorong pun bisa dibuka
dengan gampang. Melewati titian sempit di balik air terjun, akhirnya mereka
berada kembali di kota mati yang tersembunyi dalam gunung.
Sewaktu berkemas sebelum berangkat, Anne mengusulkan agar mereka membawa jaket
kuning yang kedap air, supaya nanti jangan basah kuyup ketika menyeberang di
balik air terjun. Untuk Timmy dibawakan lembaran plastik yang lebar.
Begitu sampai di sisi seberang, mereka lantas menuju ke bangunan yang letaknya
paling jauh dan sungai. Menurut Julian, di tempat itu paling besar kemungkinannya bisa ditemukan apaapa, karena endapan lumpur di situ tentunya paling tipis.
"Kita harus hati-hati sekali bekerja, supaya jangan sampai rusak benda yang
mungkin nanti kita temukan," katanya sambil mulai menggali dengan linggis.
Anne mengambil air dari sungai dengan ember yang dibawa, lalu menyiram tanah
yang kering dengannya. Lambat laun tanah menjadi lunak dan setelah itu dikeruk
secara berhati-hati dengan sekop.
Dick yang pertama-tama menemukan sesuatu. Ia melihat suatu benda di tengah
lumpur. Benda itu memancarkan cahaya kemilau! Dick cepat-cepat mengambilnya.
"Lihatlah!" serunya bergairah. "Ini kan gelang!"
"Kurasa itu dari emas!" kata George sambil meneliti dari dekat.
Julian menimang-nimang benda perhiasan itu di telapak tangannya.
"Gelang ini jelas terbuat dari emas," katanya kemudian sambil mengangguk. "Itu
sudah pasti, karena tembaga tidak begini kemilau cahayanya. Lagi pula tembaga
kalau kena air akan berubah warnanya."
Temuan itu mendorong mereka untuk lebih rajin lagi rnencani. Bahkan Timmy pun
ikut bersemangat. Sambil mendengus-dengus digalinya tanah yang masih keras. Dan
ternyata Ia yang kemudian menemukan benda kuno berikutnya....
"Guk! Guk guk!"
"He - Timmy menemukan sesuatu!" seru George sambil menoleh. "Coba kulihat, Tim!"
Dengan sinar mata bangga Timmy memandang tuannya, sementara ekornya dikibaskibaskan dengan bersemangat. Di depannya, masih agak tertimbun tanah, nampak
seuntai kalung emas yang indah, dengan bentuk yang tidak biasa dilihat. George
mengangkat kalung itu tinggi-tinggi.
"Ini pasti sangat benharga!" soraknya. Kalung itu dibersihkannya dengan air
dalam ember. "Coba saja kalian perhatikan buatannya - begitu indah dan halus
sekali. Tapi berat!"
"Kelihatannya emas bagi Orang Hitam yang dulu hidup di sini merupakan logam
biasa saja," Kata Julian menduga, "sebab banyak mereka pakai untuk dijadikan
berbagai macam benda!"
"Ternyata hikayat itu lagi-lagi benar!" seru Dick bersemangat. "Kalian masih
ingat kan - Orang Hitam ini katanya mengenal rahasia pembuatan emas!"
"Hm," kata Julian sambil mengangkat bahu, "siapa bilang emas ini mereka buat.
Kan mungkin saja mereka banyak memiliki logam mulia ini. Tapi yang jelas, emas
bagi mereka kelihatannya bukan barang mahal. Yuk, kita teruskan mencari!"
Di rumah itu juga kemudian mereka menemukan benda-benda serta perkakas rumah
tangga berupa mangkuk-mangkuk serta perkakas dapur yang terbuat dari batu.
Sayang tak ada lagi perhiasan yang ditemukan.
"Kumpulan yang hebat sekali!" seru Dick dengan bangga.
"Tapi kelihatannya tidak ada apa-apa lagi yang bisa ditemukan di sini," kata
Julian. "Kita pindah sekarang ke rumah sebelah!"
Anak-anak begitu sibuk mencari. Sampal makan pun mereka lakukan secara terburuburu. Penggalian di rumah sebelah menghasilkan temuan berupa beberapa benda yang
mungkin jimat, tergantung pada rantai halus. Anne menemukan anting-anting yang
juga terbuat dari emas. "Kita apakan temuan yang tak ternilai harganya ini?" tanya Dick ketika mereka
bersiap-siap hendak berangkat pulang ke rumah.
"Mangkuk-mangkuk tembikar serta perkakas dan batu sebaiknya kita kumpulkan saja
dalam satu rumah menara ini," kata Julian setelah menimbang-nimbang sebentar.
"Hanya perhiasan dan emas saja yang kita bawa pulang. Kita menyimpannya sampai
saat misterii Orang Hitam berhasil kita ketahui semuanya." Wajahnya berseri-seri
ketika la menyambung, "Mungkin saja kita kemudian juga akan menemukan patung
Ratu Sulmai yang terbuat dan emas itu."
"Wah - ratu yang ceritanya memiliki kekuatan gaib" ujar George bergairah. "Kalau
patungnya berhasil kita temukan, kemudian harus kita sebarkan kabar itu ke
seluruh dunia!" Wajah gadis remaja itu bersinar-sinar membayangkan kemungkinan menggairahkan
itu. Sebetulnya apakah dengan patung emas itu atau tidak, penemuan sampal saat
itu saja sudah cukup menggemparkan.
Seluruh perhatian mereka tertuju pada kesibukan pencarian di Temulka. Keesokan
harinya George menemukan sesuatu yang sangat berarti. Ia menemukan tongkat alat
musik gesek. Dawainya tentu saja sudah tidak ada lagi. Tapi dan bentuknya nampak
jelas bahwa itu tongkat alat gesek! Anak-anak bersorak gembira ketika George
menemukannya, karena benda itu terbuat dari emas murni!
"Tongkat ini pun dari emas!" seru Dick. "Ini merupakan bukti jelas bahwa
penghuni kota ini dulu banyak sekali memiliki emas!"
"Dan tennyata pula bahwa mereka biasa bermain musik," kata Anne.
"Menurut pendapatku" kata George, "mungkin saja mereka memang merupakan suatu
suku bangsa pengembara, seperti yang kita kenal jaman sekarang ini. Hikayat itu
mengatakan bahwa warna kulit mereka sawo matang. Salah satu gambar pada dinding
gua yang sudah kita lihat menampakkan beberapa penari bergaun panjang. Dan kini
kelihatannya dulu di sini tinggal orang-orang beranting-anting emas yang gemar
main biola. Para pria kaum pengembara jaman sekarang pun juga begitu. Jadi
cocok, kan?" George duduk di tanah, lalu meneruskan penuturan dugaannya,
"Menurutku, kejadiannya begini. Kita kan tahu, sejak dulu kaum pengembara selalu
saja tidak disukai di mana-mana, hanya karena mereka lain dari penduduk
setempat. Sikap begitu, jahat sebetulnya - tapi itulah kenyataannya. Nah!
Mungkin saja kelompok yang disebut Orang Hitam ini pada suatu waktu kebingungan
karena terkepung musuh. Mereka lantas menyembunyikan diri dalam lembah rahasia
ini." George menuturkan kemungkinan itu dengan mata bersinar-sinar.
"Itu mungkin saja," kata Julian sependapat. "Yang jelas, uraianmu masuk akal!"
"Kurasa bukan mungkin lagi" kata Dick bersemangat. "Kau sudah menemukan jawaban
atas misteri itu, George!"
Anak-anak bersiap untuk pulang. Mereka merasa kaya raya, karena begitu banyak
harta yang terkumpi berupa benda-benda peninggalan jaman kuno. Mereka tidak ragu
lagi bahwa patung Raw Sulmai pasti akan mereka temukan pula. Tinggal soal waktu
saja lagi! Mereka sampai di pintu lorong. Julian mendoron sebelah atasnya sampai pintu itu
terbuka. Setelah semua lewat, ditutup lagi.
Tiba-tiba sikap Timmy berubah. Sikapnya menegang. Ia mengendus dasar lorong
sambil menggeram. "Ada apa, Tim?" bisik George yang langsung melihat adanya perubahan itu. Ia
membungkuk. Dilihatnya ada pisau tergeletak di depan Timmy. Dengan segera Ia
mengenali benda ini. "Ini kepunyaan Bob," desisnya. "Dengan pisau ini ia waktu itu mengancam Timmy!"
Air muka Anne langsung pucat.
"Rupanya mereka tadi ada di sini!" kata Dick. Anak-anak yang lain menduga
seperti dia pula, tapi ialah yang mengucapkannya.
Julian merasa kecut ketika membayangkan kedua pemuda pemburu gelap itu mula-mula
menemukan jalan masuk ke gua sebelah depan, lalu setelah itu rongga bergambar,
ruang altar, dan akhirnya sampai di depan batu besar yang sebenarnya merupakan
pintu rahasia. "Untung kita tidak lupa menutup pintu." Wajah George mencerminkan rasa cemas
bercampur marah. "Bayangkan, jika jalan masuk ini kita biarkan terbuka."


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah - pasti mereka akan sudah menerobos masuk sampai ke lembah," kata Dick.
Suaranya terdengar suram.
Tiba-tiba Anne kaget. Terbayang kemungkinan menakutkan dalam pikirannya.
"Jangan-jangan saat ini mereka sedang mengintai kita," ujarnya berbisik-bisik.
"Kalau mereka ada di sini, sikap Timmy pasti akan lain," kata George. "Kurasa,
mereka bahkan tidak tahu bahwa kita ada di sini. Lagi pula, mereka tadi
terhalang pintu batu yang tidak mungkin bisa dibuka kalau tidak diketahui
rahasianya." "Tapi kalau semuanya ini sudah mereka lihat, pasti mereka akan kembali lagi
besok," kata Julian dengan gelisah. "Ini kan bukti-bukti nyata bahwa kota gaib
itu benar-benar ada! Kita besok tidak boleh sampai berjumpa sendiri dengan
mereka di sini, karena itu terlalu berbahaya! Malam ini juga kita harus
menceritakan pengalaman selama ini pada Paman Quentin! Bob dan Philip, kedua
pemuda berandal itu pasti akan membuntuti kita - dan dengan begitu akan sampai
di lembah tadi! Mereka kan juga mengenal hikayat tentang harta emas Orang Hitam.
Andaikan mereka memang secara kebetulan saja menemukan tempat ini, tapi
akibatnya kemudian akan tetap sama."
"Kurasa mereka masuk kemari karena terdorong keserakahan," kata Julian
selanjutnya. "Mereka pasti sudah membayangkan bahwa patung emas legendaris itu
tentu akan jatuh ke tangan mereka. Mereka sendiri tidak bisa apa-apa. Karenanya
mereka mengintai kita, dengan maksud agar kita membawa mereka ke tempat harta
itu." "Kau benar, Ju. Kita perlu memberi tahu Paman Quentin!" kata Anne. Ia merasa
lega mendengar usul abangnya itu. "Itu satu-satunya jalan yang harus kita
ambil." Tapi seperti biasa, George tidak mau menerima saran itu. Ia sendiri sebenarnya
juga agak cemas. Tapi ia tidak mau membuka rahasia itu, karena merasa sudah
hampir mencapai tujuan. Ia tidak mau menyerah. Tidak! Lima Sekawan harus
berhasil dengan usaha sendiri, tanpa campur tangan orang dewasa!
"Begitu ayahku mengetahui urusan ini, pasti ia akan langsung memberi tahu pihak
yang berwenang. Lalu segala-galanya akan mereka ambil alih. Mereka akan
melancarkan aksi penggalian besar-besaran dengan mengerahkan segala macam
peralatan teknik. Kita takkan diberi kesempatan lagi untuk menemukan patung ratu
itu. Kita malah dianggap mengganggu saja nanti! Kau mau begitu?"
Yah - bagaimana sekarang" George memang benar. Kalau Paman Quentin diberi tahu,
akan tamatlah riwayat petualangan mereka. Ketiga saudara gadis itu menganggukkan
kepala dengan lesu. Sebenarnya apabila Bob dan Philip tidak tahu-tahu muncul di
situ, Julian setuju jika usaha pencarian dilanjutkan. Tapi sekarang" Ia bukan
mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri, tapi karena merasa bertanggung
jawab atas saudara-saudaranya. Karena itulah Ia mengajukan usulnya tadi.
George melihat adanya kebimbangan itu, lalu berusaha membujuk sekali lagi.
"Kedua pemburu gelap itu tidak sebegitu berbahaya seperti sangkaanmu, Ju!"
katanya. "Mereka itu kan tolol-tolol! Jika mulai sekarang kita lebih waspada,
aku merasa pasti bahwa usaha pencarian kita ini akan berakhir dengan memuaskan.
Sebentar lagi kita akan berhasil. Percayalah!"
Julian mengangguk. Rupanya Ia sudah mengambil keputusan.
"Aku sebenarnya tetap berpendapat bahwa kita nekat apabila meneruskan pencarian
sendiri tanpa memberitahukan pada Paman," katanya. "Tapi kata-katamu tadi juga
benar! Karena itu begini sajalah. Kita melanjutkan pencarian selama satu hari
lagi. Dengan diam-diam, tanpa orang dewasa. Jika kita belum juga berhasil
menemukan patung itu, kemudian kita memberi tahu ayahmu. Setuju?"
Dick dan Anne mengangguk tanda menyetujui usul itu.
"Ya, baiklah," kata George segan-segan. "Tapi batas waktu yang kautentukan itu
terlalu singkat! Rasanya nyaris mustahil kita bisa menemukannya dalam waktu yang
begitu singkat. Tapi biarlah - setidak-tidaknya dengan begitu kita bisa satu
hari lagi berada di lembah tersembunyi itu, tanpa ada orang lain!"
Kekhawatiran Anne tadi ternyata tidak terbukti. Mereka keluar dari dalam gunung
tanpa bertemu dengan Bob dan Philip di tengah jalan. Pintu masuk ke gua terbuka.
Batu-batu yang semula ditumpukkan menutupinya nampak berserakan. Rupanya kedua
pemburu gelap itu sama sekali tak menduga bahwa anak-anak ada di dalam.
"Nah! Apa kataku tadi!" ujar George puas. "Mereka tidak tahu bahwa kita ada di
dalam tadi. Jadi besok kita bisa kembali tanpa perlu merasa takut!"
Bab XI RATU SULMAI Anak-anak belum pernah sewaspada hari berikutnya, ketika berangkat menuju Gunung
Killan. Mereka tidak henti-hentinya memperhatikan lingkungan yang dilalui.
Soalnya Bob dan Philip bisa saja mengintai di segala tempat. Tapi mereka
berhasil mencapai gua di tebing gunung tanpa mengalami pencegatan.
"Jangan-jangan mereka menunggu kita dalam salah satu gua di sebelah dalam," kata
Anne takut-takut. "Itu mungkin saja," kata George. "Karenanya kita harus tetap waspada. Jika
mereka ternyata mengintai di salah satu tempat, Timmy pasti akan segera memberi
tahu." Tapi Timmy yang seperti biasa mendului mereka kelihatannya tidak mencium adanya
bahaya yang mengancam. Karena itu anak-anak bergegas membuka pintu rahasia lalu
menutupnya kembali dan dalam. Setengah jam kemudian mereka sudah melanjutkan
penggalian di kota kuno yang tak berpenghuni lagi.
Ketika sudah tengah hari mereka berhenti sebentar. Mereka duduk-duduk di tepi
sungai sambil menikmati bekal makanan. Di sela kesibukan mengunyah, mereka
membicarakan benda-benda yang berhasil mereka temukan pagi itu: gagang pisau,
sebuah kotak kecil serta tiga untai kalung, semuanya terbuat dari emas. Dan di
samping itu lebih dari selusin mangkuk dan piring tembikar.
"Tapi kita masih tetap belum berhasil mengetahui di mana patung emas Ratu
Sulmai," kata Dick sambil mengeluh.
"Kurasa kecil sekali kemungkinannya kita masih bisa" kata Julian dengan nada
pesimis, "karena untuk mencarinya diperlukan waktu yang tidak sebentar."
Anne termangu. Ia memperhatikan George yang termenung dengan pandangan menatap
lurus ke depan. Tapi tahu-tahu saudara sepupunya itu buru-buru bangun lagi.
"Aku tahu sekarang!" serunya bersemangat. "Jika patung Sulmai itu memang benarbenar ada, maka pasti kita takkan menemukannya di sini - di salah satu rumah
tempat kediaman penduduk! Ia kan ratu, jadi tinggalnya harus di istana. Atau
setidak-tidaknya rumah menara yang lebih besar ukurannya daripada yang lainlain. Di sanalah kita harus mencari! Masa tidak bisa kita temukan!"
Saudara-saudaranya kaget. George memang benar. Itulah jawabannya! Mereka
berloncatan bangun, lalu mulai membanding-bandingkan ukuran besar masing-masing
bangunan. Tapi kelihatannya semua boleh dibilang sama besar!
"Mungkin pula patung emas yang memiliki kekuatan menyembuhkan itu dianggap
keramat. Dan kalau begitu tempatnya tentu dalam semacam altar. Misalnya dalam
sebuah relung ..." Tidak jelas bagaimana kelanjutan kalimatnya itu, karena terpotong oleh George.
"Air terjun!" seru anak itu. "Dinding batu di belakangnya banyak lubanglubangnya. Tentunya kalian juga melihat setiap kali kita lewat di sana. Lubanglubang itu kan seperti relung wujudnya. Jadi mungkin saja satu di antaranya
berisi patung dewi emas itu!"
Sementara masih berbicara, George sudab berlari menuju air terjun, disusul oleh
saudara-saudaranya. Di balik air terjun, tepat di bagian tengah ada semacam gua yang diselimuti
lumut serta tumbuh-tumbuhan lain yang biasa ditemukan di tempat yang sangat
lembab. Hanya di situlah patung yang dicari-cari selama itu mungkin berada.
Dengan tangan gemetar anak-anak menyibakkan tumbuhan menjulur yang menutupi.
Akhirnya mereka berhadap-hadapan dengan Sulmai! Patung emas yang menurut hikayat
mengandung kekuatan gaib. Ukurannya sedikit lebih besar daripada Anne dan
seluruhnya terbuat dari emas.
Anak-anak memandang benda indah itu dengan penuh perasaan kagum.
"Bukan main indahnya," bisik Anne.
Mereka terpesona memandang kehalusan raut muka patung ratu itu, begitu pula
senyumnya yang memancarkan kebaikan budi. Ratu Sulmai yang sebenarnya pasti
cantik jelita. Cahaya yang tersaring tirai air menyebabkan muka patung indah itu
kemilau kehijau-hijauan, membangkitkan kesan penuh ketenangan.
"Memang, sangat cantik," kata Julian sambil mengangguk.
"Tapi melihat besarnya patung mi, kita pasti akan mengalami kesukaran kalau
hendak membawanya pergi" sela George dengan segera. "Beratnya pasti beribu-ribu
kilo!" "Biar saja, pokoknya kita tidak bisa membiarkannya di sini." kata Dick, "karena
nanti ditemukan oleh kedua pemburu gelap itu!"
Julian mencoba mengangkat patung emas itu.
"Awas!" seru DiCk. "Kau pasti takkan mampu, karena terlalu berat untukmu! Nanti
terguling!" Peringatannya terlambat, karena Julian sudah mengangkatnya. Tapi patung itu
tidak terguling. Dick cepat-cepat datang membantu.
"Ayo, bantu kami!" seru Julian pada George dan Anne. "Patung ini memang berat,
tapi kalau berempat kita pasti mampu mengangkutnya dari sini!"
Patung ratu yang tersenyum manis itu ternyata tidak seberat sangkaan anak-anak
semula. Hanya kira-kira separuh berat tubuh Anne. Anak-anak menggotongnya ke
tepi b?rat sungai. Sesampai di situ mereka meletakkannya dengan hati-hati sekali
ke tanah. "Ajaib!" kata Dick berkali-kali sambil menggeleng- gelengkan kepala. "Padahal
kalau melihat ukurannya, patung ini seharusnya jauh Iebih berat!"
"Memang," kata Julian. "Tapi kurasa aku tahu sebabnya. Hikayat lama itu
memberitakan bahwa patung ini dari emas. Memang dari emas, tapi bagian dalamnya
berongga!" "Berongga?" seru Anne kaget.
"Ya, betul - di dalamnya ada lubang. Sebab kalau tidak begitu, mana mungkin kita
sanggup menjunjung lalu mengangkutnya kemari tadi. Dan menurutku rongga itu
pasti ada isinya. Sesuatu yang sangat penting!"
"Hore! Ada harta lagi!" seru Anne senang.
"Yuk, kita jungkirkan saja, lalu kita periksa dasarnya!" kata George
bersemangat. Ia sudah tidak sabar lagi.
Begitu dijungkirkan, ketahuanlah rahasia patung itu. Dasar kakinya ditutup
dengan semacam pelat yang dipasang rapat. Ketika sudah dilepaskan, ternyata dt
atasnya ada semacam lubang.
"Di dalamnya ada apa-apa!" kata George sambil mengintip ke dalam lubang itu.
Ketiga saudara sepupunya memperhatikan dengan napas tertahan, sementara anak itu
meraih ke dalam. Ia mengeluarkan sebuah tabung logam yang tertutup. Ketika
diguncang-guncang, terdengar bunyi benda yang rupanya ada di dalam.
Tabung itu agak sukar dibuka. Tapi akhirnya Julian berhasil setelah mencoba
sekuat tenaga. Agak lama juga Ia memutar-mutar tutup tabung, sampai akhirnya
terlepas. Seketika itu juga jatuh..
Gulungan kertas, penuh dengan tulisan asing yang tidak bisa mereka baca.
"Ini pasti semacam prasasti," kata Julian terpesona.
"Ya, dan tertulis dalam bahasa asing" kata Dick dengan suara melengking.
"Riwayat Orang Hitam!" seru George. "Naskah ini beribu kali lebih berharga dari
seluruh emas permata. Dan juga lebih menarik!"
"Kita kembalikan saja gulungan ini ke dalam tabungnya, lalu kita masukkan lagi
ke kaki patung," kata Dick.
"Setuju!" ujar Julian. "Kita bungkus patung Ratu Sulmai ini dengan jaket-jaket
kita, lalu kita gotong beramai-ramai untuk dibawa pulang ke rumah. Kalau sudah
sampai di sana, lalu kita serahkan pada Paman Quentin. Petualangan kita sudah
berakhir..." "...dengan gemilang!" sambung Dick. Ia melambungkan din tinggi-tinggi untuk
menyatakan kegembiraannya. Disambarnya kaki depan Timmy. Anjing itu diajaknya
menandak-nandak. Perbuatannya yang kocak itu langsung ditiru sauclarasaudaranya. Bahkan Julian yang biasanya serba tenang pun ikut bersorak-sorak
seperti anak kecil. "Yippiii !" George berpegangan tangan dengan Anne, lalu menari-nari mengelilingi patung emas
itu. Keempat remaja itu merayakan saat yang membahagiakan itu dengan jalan
bersorak-sorak dan menari. Timmy ikut bergembira. Ia menggonggong-gonggong
sepuas hatinya, sampai akhirnya terbatuk-batuk sendiri.
Tapi tahu-tahu kegembiraan itu lenyap dengan seketika. Tarian langsung terhenti,
sementara suara yang hendak bersorak tersangkut di tenggorokan.
Mereka terpaku di depan patung Ratu Sulmai!
Bab XII PENYERGAPAN Tahu-tahu Bob dan Philip sudah berdiri di depan mereka. Keduanya disertai dua
orang lagi yang bertubuh kekar serta bertampang penjahat.
"Kalian pasti sudah melupakan kami, ya?" ejek Philip. "Kasihan! Padahal kalian
sudah bersusah payah berusaha menghindari kami - tapi akhirnya percuma saja!
Selama ini kami selalu mengintai, bergantian dengan Paul dan Joe, kedua teman
kami ini. Kadang-kadang kami terpaksa memakai teropong agar tidak ketahuan.
Pintu batu di lorong tadi memang agak menyulitkan - tapi seperti kalian lihat
sendiri, itu pun akhirnya bisa kami atasi...."
"Kami sengaja mengajak Paul dan Joe untuk membantu kami nanti mengangkut patung
yang kalian temukan," kata Bob sambil nyengir. "Terima kasih atas kebaikan budi
kalian, sehingga kami tidak perlu berpayah-payah lagi mencari. Nah, kecuali ini
harta apa lagi yang berhasil kalian gali, yang kira-kiranya ada gunanya bagi
kami?" Dengan perasaan ingin tahu ia memandang ke arah lembah, air terjun, sungai yang
deras, serta bangunan-bangunan yang berbentuk menara bundar.
Suasana saat itu benar-benar tidak enak bagi George beserta ketiga saudara
sepupunya. Mereka merasa seperti sedang bermimpi buruk. Mereka berhadapan dengan
empat orang penjahat, diterangi cahaya remang kehijauan yang memancar dan celah
gunung di sebelah atas. Hanya patung Ratu Sulmai saja yang masih tetap tersenyum
ramah. Bahkan George pun tidak mampu mengatakan apa-apa saat itu. Segala jerih payah
ternyata sia-sia belaka! Timmy yang ada di sampingnya menggeramgeram. Anjing
setia itu menunggu isyarat dari tuannya. Begitu isyarat itu datang, dengan
segera akan diserangnya keempat penjahat itu. Julian dan Dick hanya bisa menatap
Bob serta kawanannya sambil membisu.
Tapi Anne yang paling cepat takut di antara mereka berempat, tahu-tahu lupa pada
rasa takutnya. Memang begitulah watak anak yang selalu lemah lembut itu. Dalam
keadaan gawat, ketabahan hatinya pasti bangkit!
"Tidak tahu malu!" tukasnya sambil menatap keempat penjahat itu lurus-lurus.
"Mentang-mentang lebih besar, berani mengancam anak-anak! Lagi pula, kalian sama
sekali tidak berhak atas patung ini. Kami yang menemukannya! Kami hendak minta
tolong pada Paman Quentin untuk menyerahkannya pada pihak yang berwajib. Kalau
kalian berani merampas, itu berarti bahwa kalian ini cuma pencuri yang tidak
tahu malu!" Orang yang bernama Philip tertawa terbahak-bahak mendengar Anne mengamuk.
"Aduh, galaknya!" katanya sambil tertawa terus. "Dikiranya kita takut,
barangkali! Paul, Joe - gotong patung ini. Kita pergi! Nanti kalau mereka ini
mengadu, bilang saja tidak tahu apa-apa. Itu soal gampang!" Ia tertegun, lalu
menyambung, "Eh! Apa-apaan ini?"
Reaksi itu ditimbulkan oleh sikap Julian. Remaja bertubuh kekar itu berdiri di
depan patung Ratu Sulmai, seolah-olah hendak melindungi. George yang sudah pulih
dari kekagetannya tadi kemudian bersikap khas George: seperti jagoan! Tak
dipedulikannya lagi segala risiko. Ia menyerang Bob yang berdiri paling dekat.
"Timmy! Serang!"
Seruan itu yang ditunggu-tunggu Timmy sejak tadi. Ia langsung menyambar lawan.
Dick menerpa kaki Paul sehingga orang itu jatuh terjerembab. Anne menjerit
ketakutan ketika melihat Joe menghampiri dengan tangan terangkat.
Pertarungan berjalan dengan sengit. Tapi apalah yang bisa dilakukan oleh George
beserta ketiga saudaranya, karena yang dihadapi empat orang penjahat yang nekat
hendak merampas patung berharga itu"
Bahkan dengan bantuan Timmy yang berkelahi dengan sengit pun mereka masih tetap
kalah kuat. Paul berdiri lagi dengan cepat, lalu memilin lengan Dick ke belakang. Philip
merampas patung yang dipeluk erat-erat oleh Julian. Joe tidak perlu memukul Anne
yang sadar bahwa tidak ada gunanya melawan. Anak itu membiarkan kaki dan
tangannya diikat. Tinggal Bob saja yang masih sibuk diserang oleh George, yang dibantu Timmy.
Dalam keadaan terdesak, anak itu masih saja menendang dan memukul dengan sengit,
sementara Timmy menggigit tungkai orang itu.
Bob tidak menunggu bantuan datang. Ia mengambil sebuah kaleng dan kantungnya,
lalu menekan tombol yang ada di sebelah atas. Semburan gas tepat mengenai muka
George. Pedih sekali rasanya! Air mata langsung mengucur.
George menutupi mukanya dengan kedua belah tangan. Ia tidak bisa melihat apaapa, kena gas air mata yang disemburkan. Bob berpaling dengan cepat. Tombol pada
kaleng ditekan, dan seketika itu juga Timmy tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Anjing malang itu melolong kesakitan sambil lari berputar-putar. Gas air mata


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang disemprotkan ternyata menyerang saraf penciumannya!
Tapi sementara itu di tempat lain menyusul adegan yang tidak kalah serunya!
Julian ternyata sama sekali belum menyerah. Remaja itu bertubuh kekar dan kuat.
Tanpa mempedulikan keselamatan dirinya, Ia menerjang Philip sambil mengayunkan
kepalan tinjunya ke arah dagu orang itu.
Philip sama sekali tidak menduga bahwa Julian akan berani menyerang. Karena
kaget, Ia terpeleset. Sambil menggeram ia berdiri dengan cepat, lalu menerpa
Julian yang berdiri membelakangi sungai. Philip bertindak tanpa memperhitungkan
kelincahan lawannya! Dengan cepat Julian meloncat ke samping untuk mengelakkan
serangan. Philip menangkap angin dan... tercebur ke dalam air yang mengalir
deras. Kejadian itu berlangsung begitu cepat sehingga yang lain hanya bisa memandang
dengan mulut ternganga saja. Mereka baru menyadari kegawatan situasi ketika
terdengar jeritan Philip.
"Toloong! Aku tenggelam!"
Philip meronta-ronta dalam air yang menyeretnya. Gerakannya yang liar serta
usahanya yang sia-sia untuk mencapai tepi menyadarkan semua yang ada di situ
bahwa orang itu terancam bahaya maut. Philip tidak bisa berenang!
"Arus terlalu deras! Ia terseret!" seru Julian gugup.
Bob gemetar. "Ia pasti mati!" serunya panik. "Tapi jika aku masuk ke air untuk menolongnya,
pasti aku nanti ikut hanyut!"
Julian mencari-cari ke segala arah. Ia bingung. Coba di situ ada tongkat yang
cukup panjang, sehingga bisa mencapai orang yang sedang terancam bahaya
tenggelam itu! Atau kalau tidak, seutas tali!
Philip sudah tidak berteriak-teriak lagi. Ia kini berjuang sekuat tenaga,
berusaha mencapai tepi. Tapi arus terlalu deras baginya. Ia hanyut semakin jauh.
Anne menutupi mukanya dengan kedua tangan yang terikat. Ia tidak mau melihat
peristiwa mengerikan itu. Joe dan Paul berdiri mematung. Mereka tidak sanggup
berbuat apa-apa kecuali bergumam bingung.
"Ia pasti tenggelam! Aduh ia pasti tenggelam!" Tiba-tiba terdengar suara Dick
berseru dengan nyaring, "Lilhat! Ia berhasil berpegangan ke batu!" Arus sungai menyeret Philip ke tepi
seberang, di mana setelah berjuang sekuat tenaga, akhirnya ia berhasil
berpegangan pada batu yang menonjol di atas permukaan. Tapi arus air yang deras
menarik-narik tubuhnya. Kelihatannya tidak mungkin Philip sanggup bertahan lamalama di situ. "Ia pasti hanyut lagi nanti," kata Dick dengan suara bergetar karena ngeri.
Julian mengambil pisau lipat dari sakunya. Dengannya ia memotong tali yang
mengikat tangan adiknya. "Ayo, cepat - kita ke seberang lewat belakang air terjun!" katanya pada Dick.
Sambil lari ia berseru pada Bob beserta kedua kawannya, "Kalian juga ikut! Aku
perlu bantuan paling sedikit tiga orang untuk menarik
teman kalian ke luar!"
Julian tidak bisa diam saja melihat ada orang berjuang mempertahankan nyawa,
walau sebenarnya ia sadar bahwa kemungkinan baginya untuk bisa menolong kecil
sekali. Tak mungkin ia bisa mencapai tempat itu pada waktunya! Tapi walau
demikian ia harus berusaha. Orang yang terbenam dalam air yang sangat dingin itu
pasti sudah hampir kehabisan tenaga sekarang!
Julian lari ke arah air terjun, diikuti oleh Dick, Joe, Bob, dan Paul. Anne
masih berdiri di tempatnya semula. Tubuhnya gemetar. Nyawa Philip kini
tergantung pada Julian. Mudah-mudahan saja abangnya itu bisa cepat-cepat datang
menolong! Tiba-tiba Anne dikagetkan oleh George dan Timmy. Sudah bisa melihat lagikah
keduanya" Mendengar Philip menjerit-jerit, George memaksa diri untuk membuka matanya. Air
mata yang masih mengucur terus agak mengurangi rasa pedih. Ia hanya bisa melihat
dengan samar-samar. Tapi ia berhasil mengenali sosok tubuh Philip yang memeluk
batu besar di tengah arus yang deras. Seketika itu juga George menyadari bahaya
yang mengancam jiwa orang itu. Segala kebencian langsung lenyap d pikirannya.
Tekadnya saat itu hanya satu nyelamatkan Philip!
"Ayo, Tim!" serunya lalu langsung lari ke ke sungai. Apa yang hendak
dilakukannya saat sebetulnya merupakan perbuatan nekat. Tapi George tidak
peduli. Ia mau mempertaruhkan nyawa sendiri untuk menolong musuh yang sedang
terancam bahaya maut. George memang jago berenang. Kondisi tubuhnya sempurna. Di Kirrin Ia sering
berenang-renang di laut. Tapi yang dihadapi saat iti arus yang deras dan
berputar-putar - menuju lubang gelap di kaki tebing di sebelah kanan lembah.
Walau begitu gadis pemberani itu tidak sedetik pun merasa ragu. Dengan gerakan
cepat dilepaskannya sepatu dan kaki, lalu terjun ke dalam air yang sedingin es
rasanya. Ia tahu bahwa Timmy pasti menyusul. Dan kenyataannya memang begitu.
Anne terpekik ngeri melihatnya. Pekikan itu terdengar oleh Julian serta yang
lain-lainnya. Mereka semua menoleh dan melihat George yang sementara itu sudah
mulai berenang. "George!" teriak mereka beramai-ramai- "Kembali, George! George!"
Tapi teriakan itu tidak mungkin bisa didengarnya lagi. George berenang dengan
gerakan lambat tapi pasti. Ia berjuang melawan arus yang hendak menyeret. Pelanpelan Ia maju, menuju ke batu yang masih dipeluk Philip.
Julian yang paling dulu sadar dan kagetnya. "Ayo, cepat" serunya pada mereka
yang ada belakangnya. "Kita harus ke sana!"
Semua lari lagi tanpa berani menoleh. Hanya satu pikiran yang ada saat itu:
secepat mungkin sampai seberang!
George berjuang sekuat tenaga. Berulang kali merasa seakan-akan tak mampu lagi.
Arus sungai begitu deras, menarik ke arah lubang gelap yang menganga di kaki
tebing. Tapi anak itu pantang menyerah. Beberapa kali kepalanya terbenam
dihantam ombak. Tapi sesaat kemudian sudah muncul lagi, sedikit maju ke depan.
Timmy berenang di sisinya.
Akhirnya George sampai di tempat Philip. Pemuda itu sudah kehabisan tenaga.
Sebentar lagi pegangannya pasti terlepas. Ia memandang George dengan mata
terbelalak, seakan tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Jangan menyerah! Tabahkan hatimu!" seru George tersengal-sengal. Tangannya yang
satu berpegang ke batu, sementara dengan tangan yang lain ia menahan tubuh
Philip. Dengan begitu pemuda itu tidak perlu berpegang sekuat tenaga lagi. Tapi
sebagai akibatnya, keadaan George sendiri bertambah sukar.
Timmy ada di dekatnya. Anjing setia itu mengayuh kakinya sekuat tenaga supaya
tidak terseret arus. Ia ingin membantu tuannya. Tapi bagaimana caranya"
Tenaganya sendiri makin lama makin berkurang.
Aku tadi benar-benar goblok, kata George dalam hati. Ia menyesal, kenapa Timmy
tadi disuruh ikut. Bagaimana jika Timmy tenggelam"
Tapi Timmy ternyata anjing yang cerdas. Ia berenang menghampiri Philip.
Digigitnya celana pemuda itu dekat bagian pinggang, lalu berenang melawan arus.
Seketika itu juga terasa oleh George bahwa bebannya tidak begitu berat lagi
seperti tadi. Kita harus bertahan terus, kata George dalam hati.
"Jangan putus asa!" serunya pada Philip. "Bantuan sebentar lagi datang. Jangan
lepaskan peganganmu!"
Akhirnya Julian serta yang lain-lain tiba di tempat itu. Mereka langsung
bertiarap. Julian dan Dick menarik George dan Philip ke luar dan air, sementara
kaki mereka dipegangi oleh teman-teman Philip supaya mereka sendiri tidak
tercebur ke dalam sungai. Akhirnya usaha penyelamatan berhasil.
Saat itu nampak suatu hal yang menggelikan, walau tidak ada yang tertawa
mengenainya. Ketika Philip ditarik ke darat, ternyata Timmy ikut terbawa. Anjing
cerdik itu masih selalu menggigit celana pemuda itu. Rupanya Ia tahu bahwa itu
cara yang paling pasti untuk ikut diselamatkan!
Suasana gembira menyusul setelah itu. Dick dan Julian memeluk George, lalu
merangkul Timmy. Bob, Paul, dan Joe menepuk-nepuk bahu Philip yang masih lemas.
Semua berbicara untuk menyatakan rasa lega.
Bab XIII MISTERI TERSINGKAP "Aduh, George! Nekat sekali kau tadi!"
"Seperti jagoan saja!"
"Wah, kami tadi benar-benar cemas melihatmu, Philip!"
Timmy tidak mau ketinggalan. Ia menggonggong-gonggong .
Anne yang berada di seberang sungai bertepuk tangan sambil melonjak-lonjak
dengan gembira. Philip masih gemetar tubuhnya. Dan air mukanya nampak bahwa Ia masih ngeri
membayangkan dirinya nyaris saja mati terseret arus. Ia berdiri, lalu mendatangi
George. "Terima kasih atas pertolonganmu tadi," katanya terharu. "Kau benar-benar hebat.
Kalau tidak ada kau beserta anjingmu tadi, saat ini aku pasti sudah mati!"
Suaranya menjadi lirih ketika la menyambung, "Jika kau mau memaafkan aku, aku
berjanji akan mengubah watakku." Ia terdiam.
George mengulurkan tangannya sambil tersenyum cerah.
"Setuju! Mulai saat ini kita berteman. Dan sebagai bukti kau sudah menjadi orang
baik, tolong kami menggotong patung ratu yang di sana itu ke luar dari sini."
Teman-teman Philip terkesan melihat sikap George yang ternyata bukan pendendam.
Mereka menyalami gadis remaja itu, tanda bahwa mereka pun tidak ingin bermusuhan
lagi. "Kita harus cepat-cepat," kata Julian. "George dan Philip basah kuyup. Mereka
harus banyak bergerak agar jangan sakit."
Ia lari mendului ke seberang. Sesampai di sana mereka disambut Anne yang berdiri
dengan air mata berlinang-linang membasahi pipi. Ketegangan tadi ternyata sangat
menyiksa dirinya. Dengan bantuan keempat pemuda yang kuat-kuat itu, tidak lama kemudian patung
emas sudah berhasil dibawa sampai ke luar.
Ternyata tadi Joe datang dengan mobil kecil. Ia menawarkan untuk mengantar
George, Timmy dan Julian pulang dengan segera, sambil mengangkut patung emas
sekaligus. Setelah itu Ia akan kembali lagi untuk menjemput Dick, Anne, serta
sepeda anak-anak. Sedang Philip, Bob, dan Paul pulang sendiri.
Perjalanan pulang Itu berjalan lancar. Sesampai di villa, George dan Julian
menurunkan patung Ratu Sulmai dan mobil. Begitu sudah turun, Joe langsung pergi
lagi tanpa mengatakan apa-apa. George dan Julian saling berpandang-pandangan
sebentar, lalu tertawa terpingkal-pingkal.
"Rupanya Ia tidak ingin dilihat ayahmu," kata Julian geli.
"Aku juga tidak," kata George sambil mengeluh. "Lihat saja, pakaianku basah
kuyup! Padahal seperti kau tahu sendiri, ayahku galak. Yah - apa boleh buat..."
"Ganti saja dulu pakaianmu," kata Julian. "Setelah itu kita menunggu kedatangan
Anne dan Dick. Kalau mereka sudah datang, nanti beramai-ramai kita mengusung
ratu kita ini ke dalam rumah. Lalu jaket-jaket yang menyelubungi kita buka.
Sebaiknya Bibi Fanny saja yang pertama-tama kita beri tahu tentang soal ini.
Biar ia yang kemudian meneruskannya pada ayahmu!"
Mereka bertindak mengikuti saran Julian. Dan ternyata gagasannya memang tepat.
Paman Quentin sama sekali tidak sempat marah. Ia terlalu terpesona melihat
patung ratu yang tersenyum lembut serta naskah kuno yang tersembunyi dalam
rongga di bagian kakinya, begitu pula benda-benda perhiasan yang terbuat dari
emas. Apalagi ketika mendengar kisah tentang kota kuno yang ditemukan George
serta saudara-saudaranya dalam lembah tersembunyi di perut gunung.
"Ini benar-benar berita yang luar biasa," kata ilmuwan itu. "Kalian pasti akan
disanjung-sanjung pers sebagai penemu kota gaib Orang Hitam yang misterius itu.
Radio dan televisi tentu tidak mau ketnggalan!"
Dugaannya ternyata tidak meleset. Selama hari-hari selanjutnya George, Dick,
Julian, Anne - dan tentu saja juga Timmy - menjadi pembicaraan orang ramai.
Para ahli ilmu purbakala serta ilmu bangsa-bangsa berdatangan ke lembah Temulka
untuk mengadakan penyelidikan di kota kuno. Para ahli bahasa sibuk kerja,
berusaha menafsirkan isi naskah prasasti misterius yang ditemukan dalam patung
Ratu Sulmai. Pada suatu pagi yang cerah di Klyness diadakan acara jumpa pers
besar-besaran, dalam mana Lima Sekawan tampil sebagai tamu kehormatan. Jumpa itu
diadakan untuk mengumumkan riwayat Orang Hitam yang dulu pernah menghuni Lembah
Temulka. Tulisan misterius dan naskah prasasti sudah diketahui maknanya.
George beserta saudara-saudaranya bangga sekali. Berkat petualangan mereka,
rahasia yang menyelubungi Orang Hitam kini tersingkap!
Selesai menghadiri acara jumpa pers mereka pulang ke rumah. Joan merayakan hari
menggembirakan itu dengan caranya sendiri. Ia menaruh meja dan kursi di kebun,
lalu menghidangkan makanan yang enak-enak untuk anak-anak. Sambil menikmati
hidangan itu mereka asyik mengobrol, bercerita tentang pengalaman yang baru saja
lewat. "Jadi hikayat kuno itu ternyata memang benar" kata Anne merenung. "Memang ada
lembah tersembunyi dalam gunung yang dulu didiami suatu kelompok bangsa yang
disebut Orang Hitam. Dan ratu mereka bernama Sulmai."
"Ya - tapi mereka tidak bisa membuat emas," sambut Dick. "Emas mereka berasal
dari tambang yang ada di lembah tersembunyi itu."
"Sedang anjing-anjing mereka tidak menggonggong karena memang sengaja dilatih
begitu, supaya tidak ketahuan oleh musuh...."
"Dengan sembunyi-sembunyi mereka menyelinap ke luar dari dalam gunung untuk
berburu atau mencari rempah-rempah, dengan mana Ratu Sulmai membuat obat."
"Orang Hitam itu juga gemar bermain musik.."
"...dan melukis! Ingat saja gambar-gambar indah yang kita jumpai dalam rongga
gunung waktu itu!" "Entah benapa banyak benda indah yang kemudian musnah dirusak banjir...."
Sesaat anak-anak termangu, sedih membayangkan akhir riwayat bangsa misterius
itu, punah dilanda "Air Marah". Tapi tidak terlalu lama mereka begitu.
"Kabarnya ada rencana untuk mendirikan museum khusus di Klyness sini," kata
Julian. "Pasti akan banyak wisatawan datang, karena ingin melihat patung Ratu
Sulmai serta karya seni rakyatnya yang sekarang sudah tidak ada lagi"
George termenung. Ditatapnya saudara-saudaranya satu demi satu.
"Kalau untukku, yang paling menyenangkan dari petualangan kita selama ini ialah
bahwa Bob serta kawan-kawannya kini menjadi orang baik. Bagiku itu jauh lebih
penting daripada harta yang mana pun juga!"
Scan by tagdgn www.tag -dgn.blogspot.com
Convert & edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pahlawan Dan Kaisar 22 Pedang Langit Dan Golok Naga Yi Tian Tu Long Ji Ie Thian To Liong Kie Karya Chin Yung Misteri Bayangan Setan 10

Cari Blog Ini