Lima Sekawan 19 Karang Setan Bagian 2
"Maaf, Tim," katanya. "Cerita Kakek Jeremiah tadi begitu menarik, sampai aku
lupa membawamu jalan-jalan. Tapi sekarang kita akan melakukannya."
"Tapi kita mampir dulu di toko penjual rokok," kata Julian. "Kita harus membawa
oleh-oleh untuknya, sebagai imbalan untuk ceritanya tadi. Entah seberapa
daripadanya yang benar - tapi pokoknya ia pandai sekali bercerita!"
"Tentu saja semuanya benar!" kata George. "Untuk apa ia bohong?"
"Yah - mungkin saja dia sedang kehabisan tembakau, kan?" kata Julian sambil
tersenyum. "Tapi aku tidak menyalahkannya! Ceritanya sangat menarik - tapi kau
jangan lantas membayangkan, di sekitar sini masih ada harta karun yang
tersembunyi, George! Percuma kalau kau menyangka begitu."
"Tapi aku percaya!" tukas George dengan sikap menantang. "Kurasa ia tadi
bercerita dengan sebenarnya, tak peduli perlu tembakau atau tidak! Bagaimana
pendapatmu, Tik?" "Rasanya juga begitu," jawab si Utik. "Tunggu saja sampai kalian melihat gua-gua
yang ada di sekitar sini! Huahh - mungkin saja di sana tersimpan harta karun
berpeti-peti, tanpa diketahui oleh siapa-siapa! Dulu aku pernah mencari - tapi
gua-gua itu menyeramkan! Ketika aku batuk, bunyinya menggema kembali sampai
nyaris seratus kali. Aku lari pontang-panting karena ketakutan - dan tercebur
dalam genangan air!"
Semua tertawa mendengar pengalamannya yang kocak itu.
"Yuk, kita cepat-cepat saja berbelanja dulu," kata Dick setelah itu. "Dan
kemudian, bagaimana jika kita mengembara sedikit di sekitar sini?"
"Wah, aku tidak mau jika disuruh berjalan kaki bermil-mil sambil membawa barangbarang belanjaan," kata George. "Jadi lebih baik kita jalan-jalan dulu! Setelah
itu kita kembali, makan es krim, berbelanja - dan kemudian langsung pulang ke
mercu suar." "Setuju!" kata Julian. "Yuk. Timmy! Kita jalan-jalan sekarang!"
Bab 13 BERJALAN-JALAN "Ke mana kita enaknya?" kata George, sementara mereka menyusur desa "He - di
atas pintu toko kecil itu tertulis 'Toko Rokok Tom'. Yuk ,kita beli tembakau
dulu, sementara masih ingat."
Julian masuk ke dalam toko. Di situ tak ada orang. Karenanya ia mengetuk-ngetuk
meja penjualan: Saat berikutnya seorang laki-laki bertubuh kecil tahu-tahu
muncul dari suatu sudut gelap.
"Saya ingin membeli tembakau pipa, untuk Kakek Jeremiah Boogle," kata Julian.
"Anda tentunya tahu merek yang biasa diisap olehnya."
"Betul," kata orang yang bernama Tom itu, lalu mengambil tembakau dari sebuah
rak. "Tembakau yang sudah diisap oleh orang tua itu sejak aku berjualan di sini,
kurasa cukup banyak untuk membuat api unggun yang menyala bertahun-tahun. Nih tembakaunya!" "Dia pintar bercerita," kata Julian, sambil membayar harga tembakau. Tom
tertawa. "Pasti ia bercerita lagi tentang Bart, Nosey dan orang-orang jaman dulu,"
katanya. "Kakek Jeremiah itu orangnya aneh! Ingatannya tajam sekali. Tak pernah
melupakan sesuatu, biar kejadiannya sudah lebih dari delapan puluh tahun yang
lalu! Dan dia juga sangat pendendam. Ada dua orang di desa sini yang selalu
diludahinya, setiap kali berpapasan dengannya. Dia memang orang tua yang
bandel." "Apa sebabnya dia begitu mendendam terhadap mereka?" tanya Dick heran.
"Yah - mereka itu kerabat musuh lamanya, One-Ear Bill," kata Tom. "Pasti Kakek
juga bercerita tentang orang itu!"
"Memang," kata Julian. "Tapi urusan pencolengan itu, kejadiannya kan sudah lama
sekali! Masak Kakek Jeremiah masih mendendam terus - lagipula pada orang-orang
yang kebetulan keturunan One-Ear Bill!"
"Tapi 'kenyataannya memang begitu," kata Tom. "Soalnya, kedua orang yang selalu
diludahi olehnya itu bekerja sebagai pemandu wisata di gua-gua yang ada di
sekitar sini, terutama di Gua Pencoleng! Dan kurasa Kakek Jeremiah masih selalu
memikirkan harta karun yang disembunyikan dulu oleh One-Ear Bill. Ia khawatir,
jangan-jangan kedua orang itu pada suatu waktu berhasil menemukannya! Bayangkan,
menemukan harta karun itu! Padahal kejadiannya kan sudah nyaris tujuh puluh
tahun yang lalu. Sedang mercu suar yang di sana itu, dibangunnya sekitar enam
puluh tahun yang silam, setelah di sini sering terjadi perampokan kapal-kapal
yang pecah. Sekarang takkan ada lagi yang bisa menemukan harta karun itu!"
"Ah, mungkin saja, " kata George, "tergantung di mana disembunyikan! Kalau
ditaruh dalam tempat yang kering dan tidak bisa dimasuki air kan tidak apa-apa.
Emas dan perak kan tidak bisa menjadi busuk"! Jadi pasti masih ada di tempat
persembunyian yang semula."
"Orang-orang yang bertamu kemari, memang selalu berkata begitu," kata Tom. "Dan
Ebenezer dan Jacob juga mengatakan hal yang sama. Mereka itulah kedua musuh
Kakek, yang menjadi pemandu di gua-gua. Tapi mereka berkata begitu kan supaya
para wisatawan merasa tertarik! Sama saja dengan Kakek Jeremiah. Yah - terserah
jika kalian mau percaya - tapi kalian takkan mungkin berhasil menemukan harta
karun yang mana juga! Kurasa laut sudah merenggutnya sejak dulu-dulu. Nah,
selamat pesiar. Nanti kalau Kakek Jeremiah mampir, akan kuberikan tembakau ini
padanya!" "Ini benar-benar menarik," kata Dick, setelah anak-anak keluar dari toko penjual
rokok itu. "Kurasa orang tadi mungkin benar! Sebabnya harta karun itu tidak bisa
ditemukan sampai sekarang adalah karena tempat penyembunyiannya digenangi air
laut. Dalam semacam liang atau sebangsanya."
"Aku masih tetap mengira harta itu tersimpan di suatu tempat yang aman," kata
George. "Dan si Utik juga begitu pendapatnya."
"Yah - kurasa Timmy mungkin juga sependapat denganmu," kata Dick. "Pikirannya
kan juga kekanak-kanakan '"
Seketika itu juga Dick menerima hadiah pukulan keras dari George. Dick tertawa.
"Ya deh - jangan marah," katanya. "Kami akan memberikan kesempatan padamu untuk
berburu harta karun. Ya kan, Julian" Begitu ada kesempatan, kita akan
mengunjungi Gua Pencoleng. Sekarang kita berjalan-jalan di tepi atas tebing.
Barangkali saja kita nanti bisa menemukan tempat di mana lampu suar yang lama
dulu ditempatkan, untuk memberi tahu pada kapal-kapal di laut agar menjauhi
Karang Setan." Beberapa saat kemudian mereka sampai di tempat tiang bendera yang terpancang
tinggi di atas tebing. Benderanya yang besar berwarna merah, berkibar-kibar
ditiup angin. Di dekatnya ada papan keterangan. George menghampirinya, lalu
membaca tulisan yang tertera di situ.
"Bendera ini berkibar untuk memperingatkan kapal-kapal pada siang hari agar
menjauhi Karang Setan. Saat malam, tanda bahaya diberikan oleh mercu suar besar
di High Cliff, yang letaknya tidak jauh dari sini. Pada jaman dulu sebuah lampu
dinyalakan di tempat ini sebagai tanda di malam hari. Kemudian dibangun sebuah
mercu suar kecil, di atas Karang Setan. Bangunan itu sekarang masih ada, tapi
tidak dipakai lagi."
"Nah - ternyata mereka kelirui" kata si Utik, sambil menuding kalimat terakhir.
"Kan kita masih memakainya sekarang. Kuubah saja keterangan ini!" Dan dia benarbenar mengeluarkan sebatang pinsil dari kantong, untuk mencoret kalimat itu.
Untung Julian cepat merebutnya.
"Jangan goblok!" tukas Julian. "Kau tidak boleh seenaknya saja dengan papan
keterangan umum. Jangan-jangan kau ini tergolong anak-anak yang suka mencoretcoret di sembarang tempat!"
Si Utik mengulurkan tangannya, meminta pinsilnya dikembalikan.
"Ya deh, aku tidak jadi mencoretnya," katanya. "Aku tadi cuma ingin membetulkan
kekeliruan itu. Aku bukan anak yang suka mencoret di mana-mana!"
"Baguslah, kalau begitu," kata Julian. "Tik, bisakah kita melihat Karang Setan
dari sini" Maksudku karang yang sesungguhnya, di mana mercu suarmu berada."
"Tidak!" jawab s1 Utik. "lihatlah, tebing ini di sebelah kiri membelok ke dalam,
dan Karang Setan itu letaknya di balik tikungan ini - jika kau mengerti
maksudku! Karena itulah kapal-kapal harus menjauhi garis pesisir di sini, karena
nanti akan membentur karang itu. Jelas bahwa jika pencoleng-pencoleng
memindahkan lampu tanda yang dulu dipasang di sini ke sebelah sana, jadi pada
salah satu tempat yang kita lewati tadi, maka kapal-kapal akan bergerak terlalu
jauh mendekati daratan, dan tahu-tahu sudah membentur karang."
"Kurasa kalau aku hidup waktu itu, aku pun akan seperti Kakek Jeremiah bencinya
pada One-Ear-Bill," kata George. Ia membayangkan kapal-kapal yang begitu bagus
pecah berantakan, hanya karena ada seseorang yang tamak, yang ingin merampok
barang-barang yang terdampar ke pantai dari kapal yang pecah itu'
"Kurasa lebih baik kita pulang saja sekarang," kata Julian, setelah melirik
arlojinya. "Ingat, kita masih harus berbelanja! Ayo, cepatlah - kelihatannya
sebentar lagi hujan akan turun."
Katanya itu ternyata benar. Ketika mereka sampai di desa, hujan pun turun dengan
lebat. Mereka masuk ke sebuah restoran kecil, lalu memesan kopi dengan roti.
Roti yang mereka makan ternyata enak sekali. Karenanya mereka memesan lagi,
untuk dibawa pulang ke mercu suar. Kemudian Anne teringat pada kartu pos.
"He, kita juga harus membeli kartu pos," katanya, "dan satu dikirim hari ini.
Lebih baik sekarang saja kita beli, lalu diposkan sementara kita masih di sini."
Dick pergi membeli kartu pos, dan beberapa saat kemudian kembali dengan setumpuk
kartu pos bergambar yang warnanya menyolok sekali.
"Beberapa di antaranya dihiasi gambar mercu suar kita," katanya. "itu saja yang
kita kirim! Kau juga memilih satu, Tik, untuk dikirimkan pada ayahmu."
"Ah, nanti cuma membuang-buang kartu pos saja," jawab anak itu, "karena ia toh
takkan membacanya." "Yah-kalau begitu kirimkan pada ibumu," kata Anne.
"Ibuku sudah meninggal," kata si Utik "Dulu, sewaktu aku dilahirkan. Karena
itulah aku selalu ikut ke mana-mana dengan ayahku."
Anak-anak merasa kasihan kepada si Utik. Pantas tingkah lakunya aneh! Ia sudah
tidak beribu lagi, sedang ayahnya terlalu sibuk dengan penyelidikannya.
"Mau roti lagi, Tik?" tanya Anne. Ingin rasanya menghibur anak yang malang itu.
"Atau mau es-krim" Nanti kubayar! Si Iseng juga boleh mengambil satu."
"Kita semua makan roti lagi masing-masing satu, dan sesudah itu disusul dengan
es-krim" kata Julian. "Timmy dan si Iseng juga. Setelah itu kita berbelanja,
lalu pulang. Pulang ke mercu suar. Kedengarannya hebat, ya!"
Anak-anak menulisi tiga lembar kartu pos. Satu untuk orang tua George, satu
untuk Joan, dan satu lagi untuk Pak Profesor.
"Sekarang mereka akan tahu bahwa kita selamat dan bersenang-senang di sini!"
kata Anne, sambil menempelkan prangko.
Sementara itu hujan sudah berhenti. Mereka pergi berbelanja sebentar. Setelah
itu turun, menuju dermaga.
"Sebentar lagi pasang berbalik," kata Julian, sementara mereka berlompatan turun
dari dermaga ke pantai yang berbatu. "Yuk - kita cepat-cepat melintasi pantai,
kembali ke mercu suar. Hati-hati, Tik - jangan sampai kantong berisi telur itu
jatuh!" Mereka berjalan di atas batu-batu yang pada saat pasang naik digenangi air laut.
Sekali-sekali mereka terpaksa meloncati tempat yang basah, serta menghindari
bagian-bagian yang licin karena lumut. Mercu suar nampak tinggi, ketika mereka
sudah mendekatinya. "Tapi kalau dibandingkan dengan yang baru di High Cliff, kecil sekali," kata si
Utik. "Kalian kapan-kapan harus melihatnya! Lampu suar yang berputar di
puncaknya, benar-benar hebat! Cahayanya terang sekali, nampak sampai bermil-mil
ke tengah laut." "Bagiku, saat ini mercu suar ini saja sudah lumayan," kata Dick, sambil mendaki
tangga batu menuju ke pintu kayu yang terdapat di kaki menara. "He! Di ujung
tangga ada dua botol susu! Rupanya tukang susu tadi mampir kemari."
"Dia memang biasa datang, sewaktu kami tinggal di sini dulu," kata si Utik.
"Tapi hanya apabila pasang sedang surut pada pagi hari, karena ia tidak punya
perahu. Kurasa ia mendengar bahwa kita ada di sini. lalu ia datang, untuk
menanyakan apakah kita memerlukan susu. Karena kita sedang pergi,
ditinggalkannya dua botol susu di sini. Karena siapa tahu, mungkin kita memang
ingin memesan." "Pintar juga orang itu," kata Julian. "Keluarkan anak kuncimu, Tik - dan buka
pintu." "Aku tak merasa tadi menguncinya, ketika kita pergi dari sini," kata si Utik,
sambil mencari-cari anak kunci dalam kantongnya. "Mestinya kutinggalkan dalam
lubangnya di balik pintu. Nanti dulu - ," ia mengingat-ingat sebentar, "kemarin
malam kita menguncinya, dan anak kunci itu kita biarkan dalam lubangnya. Jadi
mestinya tadi pagi aku yang membukanya lagi, ketika kita akan berangkat."
"Betul - tapi setelah itu kau langsung lari ke bawah bersama George, sedang kami
menyusul," kata Julian "Anne yang paling akhir keluar. Kau menguncinya lagi,
Anne?" "Tidak!" jawab Anne. "Aku cuma menutup pintu saja, lalu lari menyusul kalian.
Jadi tentunya anak kunci itu masih terselip di balik pintu."
"Kalau pintu ini kita dorong, pasti akan terbuka!" kata Julian sambil nyengir.
"Yuk, kita masuk saja!"
Didorongnya daun pintu kuat-kuat - dan ternyata memang benar, pintu langsung
terbuka. Julian merogoh-rogoh ke balik pintu, mencari anak kunci. Tapi anak
kunci itu ternyata tidak ada. Julian berpaling, memandang anak-anak yang lain
dengan kening berkerut. "Tadi ada orang kemari. Ia melihat bahwa pintu tidak terkunci, lalu mengambil
anak kunci - dan mungkin juga barang-barang lain! Kita harus memeriksa dengan
segera!" "Tunggu - di atas keset ada sesuatu," kata Dick, lalu memungut barang itu.
Sepucuk surat dari Kirrin.
"Ternyata tukang pos tadi juga kemari. Jadi paling sedikit ada dua orang yang ke
sini, sewaktu kita sedang pergi. Tapi mustahil mereka yang mengambil anak kunci
- dan mungkin juga barang-barang kita yang lain."
"Kita lihat saja nanti!" kata Julian dengan geram. Ia bergegas mendaki tangga,
menuju ke bilik-bilik yang di atas.
Bab 14 PETA KUNO Julian dan Dick memeriksa setiap bilik mercu suar itu. Aduh, kenapa mereka tadi
tidak berhati-hati, dan mengawasi apakah si Utik sudah mengunci pintu dan
mengantongi anak kuncinya!
Ya - ternyata beberapa barang mereka hilang.
"Selimutku tidak ada," kata George.
"Dan dompetku," kata Anne. "Tadi kutinggalkan di atas meja. Rupanya juga
diambil!'' "Wekerku yang kecil pun hilang," keluh Julian. "Aduh, kenapa aku membawanya" Kan
aku sudah punya arloji!"
Kecuali itu masih ada lagi beberapa barang kecil yang lenyap.
"Jahat sekali orang itu, menyelinap masuk kemari pada saat kita sedang pergi,
lalu mencuri barang-barang kita," kata Anne. Ia sudah hampir menangis. "Siapa
dia, ya" Mestinya kan bisa kelihatan dari dermaga!"
"Ya - betul juga katamu itu," kata Julian. "Namun mungkin pencuri itu menyelinap
masuk ketika sedang hujan tadi, pada saat mana di dermaga tidak ada orang!
Kurasa lebih baik kita melaporkan kejadian ini pada polisi. Yuk, kita makan
dulu. Setelah itu aku akan naik perahu ke desa. Saat itu pasang sudah tinggi,
jadi tidak bisa lagi berjalan kaki melewati karang. Sialan pencuri itu - padahal
sore ini aku ingin enak-enak membaca bu ku!"
Sehabis makan, Julian naik perahu menuju ke dermaga. Sesampai di sana ia
langsung pergi ke pos polisi. Seorang polisi yang tampangnya kelihatan pendiam
menerima laporannya. Ia menulis dengan lambat-lambat dalam buku notesnya.
"Kau tahu siapa kira-kira pencuri itu?" tanya petugas hukum itu kemudian. "Atau
begini saja - adakah orang yang datang ke mercu suar, ketika kalian sedang
pergi"'" "Yah, melihat tanda-tandanya tadi ada dua orang datang ke sana," jawab Julian,
"Yang seorang tukang susu. Kami kaget ketika pulang tadi, karena tahu-tahu ada
dua botol susu di depan pintu. Dan yang satu lagi tukang antar surat Di atas
keset terletak sepucuk surat untuk kami. Kecuali itu saya tidak tahu lagi siapa
yang datang." "Sepanjang pengetahuanku, tukang susu dan tukang antar surat jujur sekali," kata
Polisi. Ia menggaruk-garuk dagunya dengan pinsil. "Mungkin saja ada orang lain
datang, jadi bukan yang dua itu tadi. Akan kuselidiki nanti, apakah tadi pagi
ada orang di dermaga, dan kebetulan melihat si pencuri berjalan menuju Karang
Setan. Kau sendiri, adakah orang yang kaucurigai?"
"Wah - tidak ada Pak," jawab Julian. "Kami belum mengenal siapa-siapa di sini kecuali Kakek Jeremiah Boogle, serta Tom yang di toko penjual rokok."
"Tidak, kalau mereka berdua tidak mungkin," kata polisi itu sambil tersenyum.
"Yah - aku akan berusaha menyelidikinya. Kalau ada perkembangan baru, nanti
kalian kuberi tahu. Selamat siang! 0 ya - masih ada lagi yang perlu kukatakan.
Mercu suar tidak bisa kalian tinggalkan dalam keadaan tak berpenjaga sekarang,
karena anak kunci pintunya kan diambil oleh pencuri."
"Ya, soal itu juga sudah saya pikirkan tadi," kata Julian. "Kalau kami sedang
ada di situ, daun pintu bisa diganjal dari dalam dengan sesuatu - tapi kalau
kami pergi, itu tidak bisa dilakukan."
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah, begitulah! Kelihatannya dalam hari-hari berikut ini akan sering turun
hujan," kata polisi. "Jadi mungkin mau tidak mau, kalian akan terpaksa tidak
bisa pergi. Mudah-mudahan saja kalian senang di mercu suar. Aneh, ada yang mau
tinggal di situ." "Keadaan kami nyaman di sana, Pak," kata Julian sambil tersenyum. "Kapan-kapan
mampir ya. " "Terima kasih," kata Polisi itu, sambil mengantarkan Julian ke pintu.
Ucapannya mengenai keadaan cuaca, ternyata tepat. Sore itu hujan turun terusmenerus. Anak-anak melewatkan waktu dalam mercu suar sambil main kartu. Dick dan
Julian menemukan sepotong kayu yang berat dalam kamar gudang, yang kemudian
dipakai untuk mengganjal daun pintu dari dalam. Setelah itu mereka merasa lebih
aman. Kini tak ada yang bisa menyelinap masuk, tanpa menimbulkan keributan!
"Aduh, kakiku pegal karena kebanyakan duduk," kata George setelah beberapa lama.
"Kepingin rasanya lari naik-turun tangga, supaya darah mengalir kembali."
"Pergilah," kata Dick. "Kan tak ada yang melarang !"
"Bangunan ini sampai seberapa jauhnya masuk ke dalam karang, Tik?" tanya George
"Kita selalu langsung naik ke atas, tanpa sempat memikirkan berapa dalam
masuknya fondasi bangunan ini di karang. Dalam sekali, ya?"
"Ya," kata si Utik, yang saat itu sedang asyik membaca buku. "Menurut ayahku
ketika mercu suar ini dibangun, sebelumnya dilakukan penggalian dulu di karang,
sampai dalam sekali. Dalam lubang itu kemudian dibuat fondasinya. Ayah juga
bercerita, di dasar karang ini banyak sekali lubang-lubang Alat pembor saban
kali terperosok ke tempat yang berlubang."
"0 ya?" kata Dick penuh minat. "Selama ini tak terpikir olehku apa yang perlu
dilakukan untuk membangun mercu suar yang aman terhadap gangguan badai. Tentu
saja fondasinya harus dalam sekali!"
"Ayahku waktu itu menemukan peta kuno di sini," kata si Utik lagi. "Kelihatannya
peta itu dibuat pada saat mercu suar ini dibangun."
"Seperti gambar denah yang dibuat arsitek kalau hendak membangun rumah?" tanya
Anne. "Betul - peta semacam itu," jawab si Utik. "Terus-terang saja, aku tidak begitu
ingat lagi. Pokoknya di situ digambar semua ruangan mercu suar ini, dihubungkan
dengan tangga putar. Begitu pula kamar lampu yang besar di atas. Sedang di
bagian bawah ada gambar lubang fondasi."
"Bisakah kita turun memasuki lubang itu?" tanya Dick. "Ada tangga atau tidak di
situ?" "Entah - aku tidak tahu," jawab si Utik. "Selama ini tak pernah terpikir olehku
untuk menyelidikinya."
"Kau tahu di mana peta itu sekarang?" tanya Julian. "Di mana ayahmu
menyimpannya?" "Ah, kurasa sudah dibuang," kata si Utik. Tapi kemudian ia tertegun. "Nanti dulu
- mungkin ada di kamar lampu! Aku ingat lagi sekarang, dia pernah membawanya ke
atas, karena di situ juga ada gambar tentang cara kerja lampu suar."
"Kalau begitu akan kucari sebentar ke atas," kata Julian. "Yuk, Tik! Wah untung kau sekarang sudah tidak lagi saban kali menjelma menjadi mobil!"
Mereka berdua naik ke kamar lampu yang terletak di puncak mercu suar. Saat itu
hujan berhenti sebentar. laut nampak menggelora, ditiup angin kencang.
Si Utik mencari-cari dalam celah yang gelap di bawah lampu suar. Akhirnya
berhasil! Ia memegang segulung kertas putih, dan dilambai-lambaikannya pada
Julian. "Ini dia petanya. Sudah kukira akan kutemukan di sini."
Peta itu dibawa ke bawah, lalu dibentangkan di atas meja. Nampak gambar denah
mercu suar. "Arsitek pintar sekali menggambar, ya?" kata George dengan kagum. "Apakah mereka
menjadi arsitek karena pandai menggambar, atau mereka pandai menggambar karena
pekerjaannya sebagai arsitek?"
"Kurasa kedua-duanya ada benarnya," jawab Julian, sambil meneliti denah. "Ah,
ini dia gambar fondasinya. Aduh, lubangnya dalam sekali masuk ke karang!"
"Bangunan yang besar dan tinggi selalu berfondasi dalam dan kokoh," kata Dick.
"Di sekolah kami pernah belajar tentang ...."
"Ah, sekarang jangan ngomong soal sekolah," kata Anne. "Tak lama lagi kita kan
sudah harus kembali lagi! Tik - bisakah kita turun ke dalam lubang fondasi
sini?" "Kan sudah kukatakan tadi, aku tidak. tahu," jawab si Utik. "lagipula tempat itu
pasti tidak enak. Gelap, bau, sempit dan ...."
"Yuk, kita melihatnya sebentar," kata George sambil bangkit. "Saat ini aku bosan
sekali di sini! Jika kita tidak berbuat apa-apa, nanti tahu-tahu aku tertidur
sampai seratus tahun."
"Konyol," kata Dick. "Tapi sebetulnya bagus juga idemu itu, George. Kami akan
bisa menikmati ketenangan, selama kau tidur! Aduh!" Dick berteriak, karena
dipukul oleh George. "Yuk, kita ke bawah," kata George. "Kita melihat, ada apa dalam lubang fondasi."
Anne sebenarnya tidak mau ikut. Tapi yang lain-lain sudah bergegas menuruni
tangga, diikuti oleh Timmy. Dengan segera mereka sudah sampai di ruang dasar, di
mana terdapat pintu ke luar. Si Utik menyorotkan senternya ke sebuah lubang yang
tertutup di lantai. "Jika penutupnya kita buka, akan nampak lubang fondasi," katanya.
Mereka mengangkat penutup lubang itu, yang terbuat dari papan berbentuk
lingkaran. Setelah terbuka, mereka menjenguk ke bawah. Tapi tidak kelihatan apaapa. lubang itu gelap sekali! Julian menyorotkan senternya ke situ. Ternyata
pada sisi lubang ada tangga besi. Julian menuruninya sedikit, lalu memperhatikan
dinding lubang. "Terbuat dari beton!" serunya ke atas. "Pasti sangat tebal. Aku turun ke bawah
sekarang." Anak itu menuruni tangga lebih lanjut ke bawah. Sambil turun ia berpikir, apa
sebabnya lubang itu tidak dimampatkan saja. Tapi mungkin fondasi beton berongga
lebih kokoh daripada fondasi padat! Entahlah, Julian tidak tahu.
Akhirnya ia hampir sampai di dasar lubang. Tapi kakinya tidak dilangkahkan lebih
lanjut. Dari sebelah bawah terdengar bunyi aneh. Semacam bunyi menggeleguk.
Apakah itu" Begitu ia menyorotkan senter ke bawah untuk melihat, seketika itu pula mulutnya
menganga karena heran. Di bawah tangga tampak air berputar-putar. Itulah yang
tadi terdengar berbunyi menggeleguk. Tapi dari mana datangnya"
Sementara Julian masih memandang dengan heran, tiba-tiba air itu lenyap - lalu
datang lagi. Julian menyorotkan senternya ke segala arah, untuk melihat dari
mana air bisa masuk ke lubang fondasi.
"Rupanya di bawah ada semacam liang atau lorong, yang berhubungan dengan laut,"
pikirnya. "Sekarang laut sedang pasang tinggi - dan karena itulah airnya naik
sampai ke sini. Aku ingin tahu, apakah pada saat pasang surut lubang ini kering.
Atau selalu tergenang air" Aku kembali saja ke atas untuk memberi tahu anak-anak
- serta meneliti peta tadi sekali lagi!"
Julian naik lagi ke atas. Ia merasa lega, karena bisa keluar dari lubang fondasi
yang gelap dan berbau tidak enak itu. Anak-anak yang lain masih ada di atas.
Semua memandang ke bawah. Mereka agak gelisah, karena rasanya lama sekali Julian
pergi. "Nah - itu dia muncul," kata George. "Kau melihat sesuatu yang menarik di bawah,
Ju?" "Ya, betul," kata Julian sambil keluar. "Peta tadi ada di sini" Aku kepingin
melihat sesuatu di situ,"
"Kita naik saja ke atas," kata Dick. "Di sana lebih terang, jadi kita bisa
melihat lebih jelas. Ada apa di bawah, Ju?"
"Tunggu saja sampai kita sudah di ruang duduk," jawab Julian. Dan begitu tiba di
ruangan itu, diambilnya peta dari tangan si Utik lalu duduk untuk
mempelajarinya. Jari tangannya bergerak menyusur lubang fondasi sampai ke
dasarnya lalu menuding sebuah tanda bundar yang tergambar di situ.
"Kalian lihat tanda ini?" kata Julian pada anak-anak yang berkerumun
mengelilingi. "Ini lubang yang ada di dasar fondasi. lewat lubang ini air laut
mengalir ke dalam. Sekarang pasang sedang naik, jadi di bawah digenangi air.
Tapi cuma kira-kira sampai betis tingginya. Kalau laut sedang pasang surut,
tempat itu pasti kering. Aku ingin melihat ke mana arah liang tempat air lewat
itu! Mungkin muncul di tengah karang. Atau bisa juga menyusur terus di dalamnya,
menuju tempat lain."
"Terowongan di bawah dasar laut!" kata George. Matanya berkilat-kilat. "Kenapa
tidak kita selidiki saja pada saat pasang sedang surut?"
"Yah - sebelumnya kita harus memastikan dulu bahwa tidak ada bahaya tenggelam
pada saat kita sedang menelusurinya," kata Julian sambil menggulung peta
kembali. "'Menarik juga, ya" "Kurasa lubang itu sengaja dibiarkan ada. Sebab
kalau ditutup, mungkin desakan air laut pada saat pasang naik lama-kelamaan akan
menyebabkan fondasi runtuh. lebih baik lubang fondasi tergenang air, daripada
dirongrong air pasang setiap kali."
"Yah -" kata Anne. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Matanya
membelalak ketakutan, karena tiba-tiba terdengar seseorang berseru dengan suara
nyaring dari bawah tanggga.
"He - ada orang di rumah?"
Bab 15 JACOB DICURIGAI "Siapa itu?" tanya Anne ketakutan. "Jangan- jangan ada perampok!"
"Ah - mana mungkin," jawab Julian. Dihampirinya lubang tangga, lalu berteriak ke
bawah, "Siapa di situ" Mau apa ke sini?"
"Ini polisi!" jawab orang yang di bawah.
"O! Kalau begitu, naik saja," kata Julian lega. Terdengar langkah orang
berdentang-dentang menginjak anak tangga, teriring napas terengah-engah. Sesaat
kemudian muncul topi polisi di tengah lubang, disusul orangnya sendiri. Ia
berdiri di tengah ruangan, sambil memandang anak-anak dengan wajah berseri-seri.
Napasnya masih agak sengal-sengal, sehabis mendaki begitu tinggi.
"Bagaimana Anda bisa masuk tadi?" tanya George. "Padahal daun pintu sudah kami
ganjal." "Yah - tapi aku berhasil menggesernya sampai terbuka," kata polisi itu. Ia
menyeka keningnya, sambil tersenyum terus. Polisi itulah yang dijumpai Julian
tadi siang. "Ganjalan begitu tidak memadai sebagai perlindungan. Kalian perlu
membuatkan kunci yang baru"
"Tapi bagaimana Anda bisa kemari - kan laut sedang pasang naik," kata Julian.
"Bukan berjalan kaki lewat karang, kan?"
"Memang tidak! Aku meminjam perahu kepunyaan Jem Hardy," kata polisi itu. "0 ya
- ngomong-ngomong, namaku Sharp. Sersan Sharp."
"Nama yang cocok untuk seorang polisi," kata Julian sambil tertawa. Ia
mengatakan begitu, karena 'sharp' berarti tajam. Dan memang cocok apabila
seorang polisi bersifat tajam. Tajam pikiran dan penglihatannya!
"Nah - apakah Anda sudah berhasil menangkap pencuri yang mengambil barang-barang
kami?" tanya Julian.
"Belum. Tapi kira-kira aku sudah tahu siapa orangnya," kata Sersan Sharp. "Aku
tak berhasil menemukan seseorang yang kebetulan duduk-duduk di dermaga ketika
kalian sedang tidak ada di sini. Tapi di pihak lain kujumpai seorang wanita yang
tinggalnya di dekat situ. Jendela rumahnya menghadap ke pangkalan. Dan kebetulan
sekali ia tadi melihat seseorang berdiri di situ. Katanya, orang itu kemudian
menyeberang, ke mercu suar."
"Siapa dia" Tukang susu, atau tukang antar surat?" tanya Dick.
"Bukan. Tadi sudah kukatakan pada temanmu ini, mereka berdua orang baik-baik,"
kata Sersan Sharp. Kelihatannya ia agak kaget. "Tidak, orang itu - bagaimana ya
- pokoknya dia itu tergolong orang jahat."
"Siapa dia?" tanya Julian. Ia sudah khawatir saja, jangan-jangan orang itu Kakek
Jeremiah. Tapi dia kan tidak jahat!
"Kalian tidak kenal padanya," kata Sersan Sharp lagi. "Dia itu termasuk suatu
keluarga yang tidak baik namanya di sini. Orangnya sendiri bernama Jacob. Jacob
Loomer. Keturunan keluarga yang jaman dulu terkenal sebagai pencoleng, dan...."
"Pencoleng" Kakek Jeremiah sudah bercerita pada kami tentang pencoleng-pencoleng
jaman dulu!" kata Dick. "Seorang di antaranya bernama Nosey. Satu lagi, Bart.
Keduanya keluarga seorang pencoleng besar, bernama One-Ear ...One-Ear...."
"Bill," sambung Sersan Sharp. "Ya - One-Ear Bill! Hidupnya jaman dulu, ketika
Kakek Jeremiah masih muda. Nah, kalau tidak salah Jacob yang dilihat pergi ke
mercu suar itu salah seorang cicitnya. Atau mungkin juga anak cicitnya,
entahlah! Pokoknya, menurut Kakek Jeremiah, tampang Jacob Loomer itu mirip
sekali dengan One-Ear Bill. Dan rupanya yang menurun bukan itu saja, tapi juga
wataknya yang jahat!"
"Kata Anda tadi, Jacob yang datang ke mercu suar. Kenapa tidak ditangkap saja?"
kata Julian. "lalu kita suruh dia mengembalikan kunci serta barang-barang kami
yang diambil olehnya!"
"itu bisa saja kulakukan, asal kau ikut dengan aku untuk mengenali barang-barang
kalian yang ada di tempatnya," kata sersan polisi itu. "Tapi bisa juga barangbarang itu sudah disembunyikan sekarang: Atau mungkin pula sudah dibagi-bagikan
pada orang lain. Jacob terkenal royal. Kecuali jahat, dia juga agak tolol! Ah,
kalau ia hidup pada jaman dulu, pasti ia sudah menjadi pencoleng. Cocok sekali
dengan wataknya!" "Aku ikut saja sekarang," kata Julian. "Anak-anak yang lain kan tidak perlu
ikut?" "Tidak - kau saja sudah cukup," kata polisi itu. Keduanya. lantas menuruni
tangga putar. Sesaat kemudian terdengar bunyi pintu tertutup dengan keras. Anakanak yang ditinggal berpandang-pandangan.
"Wah! Bayangkan - seorang keturunan One-Ear Bill ternyata masih hidup dan
tinggal di rumah pencoleng jaman dulu itu!" kata Dick. "Dan dia pun termasuk
orang jahat. Jangan-jangan sejarah berulang!"
"Sedapat mungkin kita ke Gua Pencoleng besok, yuk!" kata George. "Kata Kakek
Jeremiah, ia mau mengantarkan kita ke sana."
"Aku mau saja - asal di sana tidak masih ada seorang pencoleng jaman dulu," kata
Anne sambil bergidik. "lebih tua lagi dari Kakek Jeremiah, dengan janggut
panjang sampai ke kaki. Semacam makhluk laut yang tua - dengan suara parau
menyeramkan, serta mata melotot kayak mata ikan !"
"Sudah, Anne!" kata George kaget. "Kalau kau terus begitu, nanti aku tidak
berani lagi masuk ke sana."
"Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh Julian sekarang," kata si Utik.
Si Iseng melonjak-lonjak sambil bertengger di bahu anak itu. "Jangan, Iseng!
Sesak napasku kalau kau melonjak-lonjak terus."
Saat itu Julian sudah sampai di rumah Jacob. Dan benarlah - barang-barang yang
dicurinya masih ada di situ. Selimut, weker, serta dompet kepunyaan Anne. Tapi
isinya sudah tidak ada lagi.
"lalu mana anak kunci pintu mercu suar?" tanya Sersan Sharp dengan suara galak.
"Mengaku sajalah bahwa kau yang mengambilnya, karena kami toh sudah tahu.
Kemarikan kunci itu, Jacob!"
"Bukan aku yang mengambil," tukas Jacob dengan masam.
"Aku harus menangkapmu, Jacob," kata Sersan Sharp. "Nanti di pos polisi kau akan
digeledah. Jadi lebih baik serahkan saja sekarang!"
"Geledahlah, kalau tidak percaya!" tukas orang itu. "Toh takkan menemukan anak
kunci itu pada diriku. Sungguh, bukan aku yang mengambilnya. Apa gunanya anak
kunci itu bagiku!" "Yah - gunanya seperti yang biasa," jawab Sersan Sharp. "Supaya bisa masuk dan
mencuri dengan leluasa! Baiklah, Jacob. Jika kau tidak mau mengembalikannya, kau
akan kusuruh geledah di pos polisi. Ayo ikut!"
Tapi setelah digeledah, ternyata anak kunci itu, memang tidak ada padanya,
Sersan Sharp mengangkat bahu, lalu menatap Julian. .
"Kunasihatkan, sebaiknya kunci pintu itu diganti saja," katanya. "Anak kunci itu
pasti disembunyikan Jacob di salah satu tempat. Dan nanti begitu tahu kalian
pergi, dengan segera ia akan datang lagi ke mercu suar."
"Ah - kalian ini masih terus saja mengoceh tentang anak kunci," kata Jacob
dengan kasar. "Bukan aku yang mengambilnya. Tadi sama sekali tidak ada anak
kunci.. ." "Ayo ikut, Jacob!" kata Sersan Sharp. Ia berpaling sebentar pada Julian, sambil
berkata: "Yah, begitu sajalah untuk sementara! Nanti rumahnya akan kami periksa
dengan teliti. Kemungkinannya anak kunci itu disembunyikan olehnya pada suatu
tempat di situ. Si Jacob ini memang licik sekali orangnya!"
Julian kembali ke mercu suar dengan perasaan gelisah. Mungkin diperlukan waktu
beberapa hari untuk menukar kunci pintu dengan yang baru. Sementara itu cuma ada
dua pilihan bagi mereka. Mengurung diri terus di situ - atau pergi meninggalkan
pintu yang bisa dibuka dengan gampang!
Begitu sampai di mercu suar, dengan segera anak-anak mengerumuninya untuk
mendengar ceritanya. Mereka merasa lega karena barang-barang berhasil ditemukan
kembali. Hanya Anne yang sedih, karena uangnya yang dalam dompet hilang.
"Sekarang kita harus menukar kunci pintu dengan yang baru," kata Julian.
"Bagaimanapun, mercu suar ini kan cuma dipinjamkan saja pada kita. Jadi kita
bertanggung jawab atas keamanannya selama ini, termasuk segala isinya. Untung
saja cuma barang-barang kita yang diambil, dan bukan milik Profesor Hayling!"
"He - hari sudah sore," kata Anne sambil meloncat bangkit. "Kita belum minum
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
teh! Sebentar, nanti kusiapkan dengan segera. Ada yang ingin makan roti dengan
selai?" Ternyata tidak ada yang menolak. Karena itu Anne lantas menghidangkannya. Roti
sepiring penuh. Sambil makan dan minum teh, anak-anak melanjutkan percakapan
mereka. "Bagaimana jika kita mendatangi Kakek Jeremiah besok," kata George. "Kita
tanyakan padanya, apakah ia juga mendengar tentang kejadian yang kita alami di
sini Sekaligus kita tanyakan pendapatnya."
"Selain itu kita juga minta agar diantarkan melihat-lihat Gua Pencoleng," kata
Julian. "Ngomong-ngomong, siapa nama kedua laki-laki yang pekerjaannya menjadi
pemandu wisata di gua-gua itu" Aku tahu pasti, seorang di antaranya Jacob."
"Betul katamu - dan yang satu lagi bernama Ebenezer,'" kata Dick. "Yah - mudahmudahan saja Jacob ditahan sekarang! Jadi kita bisa melihat-lihat gua dengan
aman. Kalau dia masih ada di sana, pasti akan marah sekali melihat kita!"
"Kita balas menatapnya dengan marah pula," tukas George. Ia memandang dengan
masam, sehingga Timmy mendengking karena merasa tidak enak. George menepuk-nepuk
anjing kesayangannya itu. "Jangan takut, Timmy - aku bukan merengut terhadapmu!"
"Sebaiknya besok pagi kita ke sana,pada saat air laut sedang surut," kata
Julian. "Dan aku perlu mencari tukang kunci, yang bisa membuatkan pasangan kunci
yang baru dengan cepat!"
"Mengapa tidak sekarang saja?" kata Dick. "Aku ikut, karena ingin menghirup
udara segar sebentar. Kalian mau ikut?" tanyanya pada Anne dan George.
"Tidak ah - aku ingin membaca buku ini sampai selesai," kata Anne. George juga
ingin menyelesaikan bukunya dulu. Sedang si Utik tidak mau ikut, karena sedang
asyik bermain-main dengan si Iseng.
"Yah, di sini pasti aman - karena dijaga oleh Timmy dan si Iseng," kata Julian,
lalu turun bersama Dick Tukang kunci yang didatangi, berjanji akan datang besok atau lusa
"Saat ini aku tidak bisa meninggalkan toko," katanya. "Kebetulan sedang tidak
ada orang lain! Dan kurasa untuk membuat kunci yang baru, aku memerlukan waktu
beberapa hari. Apa boleh buat!"
"Wah, gawat!" kata Julian. "Padahal kami sudah kemalingan sekali! Sekarang kami
tidak bisa pergi, meninggalkan mercu suar dalam keadaan kosong!"
Mereka kembali dengan perahu ke mercu suar. Setelah mengganjal daun pintu
sebisa-bisanya, mereka naik lagi ke atas. Timmy menyambut kedatangan mereka
dengan gonggongan ribut. Si Iseng yang saat itu sedang bertengger di punggung
sebuah kursi, melompat ke bahu Dick.
"Selama beberapa hari ini pintu tidak bisa dikunci," kata Dick. Ia duduk, lalu
bermain-main dengan si Iseng. Digelitiknya monyet itu, sambil menggeliat-geliat
keasyikan. "Sebetulnya aku kepingin sekali pergi melihat-lihat gua besok.
Terutama Gua Pencoleng! Tapi tempat ini tidak bisa kita tinggalkan begitu saja,
tanpa penjaga." Saat itu Timmy menggonggong.
"Katanya, kenapa tidak dia saja ditinggal di sini untuk menjaga," kata George.
Dan benarlah Timmy menggonggong sekali. Seolah-olah hendak menegaskan kata
tuannya. Anak-anak tertawa. Dick menepuk-nepuk kepala Timmy, serta menggaruk-garuk
telinganya. "Baiklah, Timmy - kau yang menjaga mercu suar ini," katanya. "Nanti kami beri
tulang yang sedap, sebagai imbalannya!"
"Jadi soal itu beres," kata Julian. "Kita jadi berangkat ke gua, sedang Timmy
ditinggal di sini sebagai penjaga. Nah, besok pasti tinggal seorang pemandu
wisata yang mengantar orang melihat-lihat dalam gua - karena Jacob tidak
muncul!" "Pasti orang yang satu lagi itu akan memandang kita dengan masam. Siapa namanya"
0 ya - Ebenezer," kata Anne. "Kita perlu hati-hati besok jangan sampai didorong
olehnya ke dalam genangan air yang dalam!"
"0 ya - betul juga," kata Julian, "siapa tahu, jika ia sangat marah. Pokoknya,
kita harus berjaga-jaga! "
Bab 16 DALAM GUA Keesokan paginya George terbangun karena dikagetkan oleh sesuatu. Ternyata Timmy
mendorong-dorongkan hidungnya
"Ada apa, Tim?" tanya George. Timmy menggonggong, lalu lari ke lubang tempat
tangga putar. "Bilang saja pada Julian dan Dick," kata George yang masih mengantuk. Karena itu
Timmy lantas turun, masuk ke kamar tempat anak-anak laki-laki tidur. Didorongdorongnya Julian dengan hidungnya. Tapi Julian tidur nyenyak sekali. Bergerak
sedikit pun tidak! Kemudian Timmy menggaruk-garuknya dengan kaki depan. Julian kaget, lalu
terbangun dan langsung duduk.
"Ah - kau rupanya, Tim," katanya. "Mau apa" Ada sesuatu yang terjadi di atas?"
Timmy menggonggong, lalu lari menghampiri tangga putar. Ia langsung turun sambil
menggonggong-ganggang. "Sialan - Timmy mendengar seseorang di bawah!" kata Julian sambil menguap. "Yah,
kalau orang itu Ebenezer atau Jacob - tidak, tidak mungkin Jacob - akan
kukatakan pendapatku padanya tentang orang yang suka mencuri!"
Julian menggeser ganjal pintu lalu membukanya. Ternyata di luar ada dua botol
susu! "Aduh, Tim - masak aku kaubangunkan, hanya karena tukang susu datang," kata
Julian, sambil mengambil kedua botol itu. "Baik juga orang itu! Aku ingin tahu,
apakah ia naik perahu tadi kemari. Air laut tinggi juga kelihatannya. Tapi
rasanya ia masih bisa berjalan kaki."
Pada saat sarapan, anak-anak teringat lagi pada niat kemarin, bahwa hari itu
mereka hendak pergi ke gua. Si Iseng mulai iseng lagi. Ia memasukkan cakarnya ke
dalam botol selai. Ketika dimarahi, monyet bandel itu lari ke segala arah.
Sebagai akibatnya, di mana-mana ada bekas selai!
"Aduh, monyet ini!" kata Anne dengan jengkel. "Sekarang kita terpaksa
membersihkan seluruh ruangan dengan lap basah. Iseng, Bandel!"
Monyet itu sedih karena diomeli. Ia melompat ke bahu si Utik. Dirangkulnya
lengannya yang berlumur selai ke leher anak itu.
"Hebat, hebat," kata si Utik. "Ya, lapkan saja cakarmu yang kena selai itu ke
badanku. Dasar monyet!"
"Kita mencuci badan dulu di bak, sedang kalian yang laki-laki membereskan kamarkamar," kata Anne. "Sesudah itu kita pergi beramai-ramai. Cuaca baik hari ini."
"Tapi agak berangin," kata Dick. "Bagaimana pendapatmu, Tim?" Timmy sependapat
dengannya. Dipukul-pukulnya ekornya ke lantai. Si Iseng melihatnya, lalu
menerpa. Detik berikut, kedua binatang itu sudah asyik bermain-main. Sejam
kemudian mereka sudah siap berangkat.
"Sebelumnya, kita menulis surat dulu pada Bibi Fanny," kata Anne. "Supaya tugas
itu selesai untuk hari ini'. Tapi jangan bercerita apa-apa tentang barang-barang
kita yang dicuri! Jangan-jangan Bibi nanti gelisah, lalu menyuruh kita pulang.
Kalau sampai begitu, apalah kata Paman Quentin dan Profesor Hayling?"
"Pasti sekarang mereka sedang asyik, berdebat sepanjang hari, menghitung-hitung
dan menelaah berbagai catatan!" kata Julian. "Dan aku juga yakin, pasti Bibi
Fanny harus dua puluh kali memanggil untuk makan sebelum mereka akhirnya
muncul!" Anne menulis surat untuk Bibi Fanny pada sepucuk kartu pos, lalu membubuhkan
prangko. "Sekarang aku siap berangkat," katanya sambil berdiri. Timmy lari ke lubang
tangga. Ia merasa gembira, karena anak-anak nampaknya berangkat sekarang. Ia
senang sekali jika diajak berjalan-jalan. Tapi sekali itu ia dikecewakan.
"Timmy manis," kata George, "sayang, sekali ini kau terpaksa kami tinggal di
sini, untuk menjaga barang-barang! Soalnya, kami tidak punya anak kunci untuk
pintu yang di bawah - dan daun pintu tidak bisa diganjal dari luar, karena
takkan ada gunanya. Jadi kau harus menjaga di sini, Tim! Kau mengerti kan"
Jaga!" Seketika itu juga ekor Timmy terkulai. Ia mendengking pelan. Tidak enak rasanya
ditinggal - apalagi ditinggal berjalan-jalan. Dengan kaki depan digaruk-garuknya
George, seolah-olah hendak berkata, "Aku ikut dong!"
"Sekarang jaga, Tim!" perintah George. "Kau yang bertanggung jawab atas mercu
suar ini. Jangan perbolehkan orang lain masuk ke sini. Sebaiknya kau berbaring
di atas keset, di belakang pintu."
Timmy memandang dengan sedih. Ia berlari pelan-pelan, di belakang Julian serta
anak-anak yang lain. "Sekarang kau berbaring di sini," kata George, sambil menepuk kepala anjingnya.
"lain kali kau kami ajak, dan salah seorang dari kami yang harus tinggal menjaga
mercu suar. Tapi sekali ini, kami semua ingin pergi. Jadi jaga ya, Tim!"
Timmy berbaring di atas keset. Sambil merebahkan kepala ke kaki depannya, ia
mendongak memandang George.
"Anjing setia" kata anak itu, sambil mengacak-acak bulu kepala Timmy, "kami
takkan lama-lama!" Pintu ditutup, dan anak-anak pergi menuruni tangga batu yang menuju ke tepi air.
Air laut saat itu masih belum tinggi. Jadi mereka bisa mengarungi jarak yang
memisahkan mercu suar dan dermaga dengan berjalan kaki.
"Kita harus sudah kembali lagi, sebelum air pasang tinggi," kata Julian. "Kalau
kita terlambat, nanti terpaksa menunggu sampai pasang sudah surut kembali."
"Sesampai di darat, mereka berjalan-jalan sepanjang pantai. Di situ mereka
berjumpa dengan Jeremiah Boogle. Kakek itu sedang duduk-duduk di sebuah bangku
batu, sambil mengisap pipa dan merenung menatap ke tengah laut.
"Selamat pagi, Kek," kata Dick dengan sopan. "Mudah-mudahan tembakau yang kami
belikan itu cocok." "0 ya," kata Kakek, sambil mengepulkan asap berbau keras. '''Nah, monyet kecil kau mau duduk di atas bahuku lagi, ya" Ada kabar apa dari negeri monyet?"
Anak-anak tertawa, karena si Iseng langsung mengoceh dalam, bahasanya sendiri.
"Kek, kami hari ini ingin melihat-lihat gua," kata Julian, "dan terutama Gua
Pencoleng." "Kenapa tidak minta diantarkan oleh Ebenezer," kata orang tua itu dengan segera.
"Hari ini kalian takkan bisa berjumpa dengan Jacob di sini. Hahh - aku tahu apa
yang terjadi dengan dia. Biar tahu rasa, orang itu! Itulah, kalau biasa
mengambil milik orang lain. Tapi Ebenzer sebetulnya sama saja. Dia licik sekali
- barang apa saja tidak aman kalau ada dia! He - bagaimana jika aku saja yang
mengantar kalian melihat gua-gua itu" Aku mengenal baik tempat-tempat itu. Nanti
bisa kutunjukkan hal-hal, yang sama sekali tidak diketahui oleh Ebenezer yang
jahat itu '" "Yah - sebenarnya kami sendiri pun lebih suka diantar Anda, dan bukan oleh
Ebenezer," kata Julian. "Soalnya, orang itu mungkin marah pada kami, karena kami
melaporkan pada polisi bahwa saudaranya mencuri barang-barang kami. Jika Anda
mau menjadi penunjuk jalan, nanti kami belikan tembakau lagi."
"Kalau begitu sekarang saja kita berangkat!" kata Kakek Jeremiah. Ia bangun
dengan gerakan lincah. "lewat sini!"
Rombongan itu berangkat, menyusur jalan desa. Si Iseng tetap bertengger di atas
bahu Kakek Jeremiah. Orang tua itu senang sekali, karena mereka menjadi tontonan
orang banyak. Anak-anak dibawanya mengitari kaki tebing yang menjulang tinggi ke atas.
Akhirnya mereka sampai ke pantai yang berbatu-batu. Mereka melintasinya.
"Nah - itu jalan masuk ke gua," kata Kakek Jeremiah, sambil menuding sebuah
lubang yang besar di kaki sebuah tebing, tak jauh dari tempat mereka berhenti
"Kalian membawa senter?"
"Kami masing-masing membawanya," kata Julian, sambil menepuk-nepuk kantong.
"Apakah harus membayar untuk masuk ke situ?"
"Tidak! Ebenezer biasanya diberi persen sedikit apabila ia mengantar orang
melihat-lihat ke dalam. Jacob juga, jika kebetulan dia ada," kata Kakek
Jeremiah. "Tapi kalau Ebby memprotes, biar aku menghadapinya. Kalian jangan
membuang-buang uang, untuk membayar penjahat itu!"
Begitu masuk ke dalam lubang, mereka sampai dalam gua yang pertama. Gua itu
luas. Di sana-sini tergantung lentera yang menyala. Tapi cahaya yang diberikan
redup sekali. "Sekarang hati-hati - di sini banyak tempat licin," kata Kakek memperingatkan.
"Kita lewat sini !"
Gua itu dingin dan lembab. Anak-anak melangkah dengan berhati-hati, mengelakkan
genangan air laut yang ada di beberapa tempat. Tiba-tiba Kakek Jeremiah membelok
di sebuah tikungan, menuju arah yang sama sekali berlainan. Arahnya menurun!
"He - apakah kita sekarang menuju ke laut?" tanya Julian tercengang. "Jadi
ternyata gua-gua itu letaknya di bawah dasar laut, dan bukan di dalam tebing?"
"Betul," kata Kakek Jeremiah. "Pesisir sini sangat berbatu-batu. lewat sini kita
memasuki sebuah lorong yang menuju ke gua-gua di bawah batu. lihat saja ke atas
- langit-langit di sini semuanya dari batu. Dan jika kalian dengarkan baik-baik,
bisa didengar bunyi laut. Di atas kita ini dasar laut!"
Seram juga membayangkan hal itu. Dengan takut Anne mendongak, memperhatikan
langit-langit batu di atas kepala. Disorotkannya cahaya senternya ke situ. Ia
sudah takut saja, jangan-jangan nanti nampak retak-retak, dari mana air laut
mengucur ke dalam lorong. Tapi tidak! Yang nampak cuma batu yang agak lembab.
Selain dari itu, tak ada apa-apa yang bisa menimbulkan kekhawatiran.
"Masih jauhkah Gua Pencoleng dari sini?" tanya George. "Jangan mengoceh terus,
Iseng! Di sini tak ada apa-apa yang perlu kautakutkan!
Monyet kecil itu tidak senang diajak jalan-jalan di tempat yang dingin dan gelap
itu. Ia merepet dengan nada ketakutan. Tiba-tiba ia menjerit. Terdengar
melengking tinggi. "Aduh, jangan berteriak! Kaget aku karenanya!" kata Anne. "Wah - teriakannya
tadi menggema di sini - seolah-olah ada seratus monyet yang sedang ribut
mengoceh. Dan suara kita pun menggema! "
Si Iseng takut sekali mendengar suara-suara monyet sebegitu banyak dalam lorong
gelap itu. Ia mulai menangis. Kedengarannya seperti tangisan bayi. Dipeluknya si
Utik erat-erat, seperti tidak mau melepaskannya lagi.
"Kurasa si Iseng mengira tempat ini penuh dengan monyet yang ribut berteriakteriak," kata Anne. Ia merasa kasihan pada binatang yang sedang ketakutan itu.
"itu kan cuma gema, Iseng!"
"Ah - sebentar lagi dia kan sudah biasa juga," kata si Utik sambil memeluk
monyet kecil itu. "Kalian harus mendengar gema yang ada di balik tikungan di depan itu!" kata
Kakek Jeremiah, sambil mengelus-elus si Iseng. Dan ketika rombongan tiba di
tikungan, tiba-tiba Kakek berseru dengan lantang!
Suaranya menggema kembali sepuluh kali lebih nyaring lorong menjadi penuh dengan
suara lantang bersahut-sahutan. Anak-anak saja kaget dibuatnya - apalagi si
Iseng! Monyet itu melonjak ketakutan, lalu lari pontang-panting sambil menjeritjerit. lari terus dan menghilang di balik tikungan. Si Utik kaget.
"Iseng! Ayo kembali Iseng - tersesat kau nanti!" serunya memanggil-manggil.
Seruannya menggalau. "Kau tak perlu khawatir tentang monyetmu itu," kata Kakek menenangkan. "Aku
sudah sering memelihara monyet - mereka selalu kembali kalau lari!"
"Aku akan menunggu di sini sampai si Iseng kembali," kata si Utik dengan suara
agak gemetar. Mereka melanjutkan perjalanan, sampai di sebuah gua lagi. Tempat itu juga
diterangi beberapa buah lentera, tapi cahayanya redup sekali. Ketika anak-anak
menghampiri tempat itu, terdengar gumam suara beberapa orang bercakap-cakap.
Ternyata kecuali mereka masih ada tiga orang wisatawan lain yang juga sedang
melihat-lihat di situ. Mereka ditemani seorang laki-laki bertubuh kekar. Rambut
orang itu hitam pekat. Matanya cekung, sedang garis bibirnya masam. Tampangnya
mirip sekali dengan Jacob. Julian langsung menduga, orang itu pasti Ebenezer!
Begitu Ebenezer melihat Kakek Jeremiah datang bersama anak-anak, ia pun langsung
berseru dengan marah, "Keluar! Ini pekerjaanku. Kau harus keluar - aku yang akan mengantar anak-anak
itu melihat-lihat di sini!"
Setelah itu terjadi percekcokan yang berisik sekali. Anak-anak seakan tuli
karenanya apalagi suara kedua orang yang berbantah-bantah itu menggema berulang
kali. Ketiga wisatawan yang tadi diantar Ebenezer langsung lari ke arah luar.
Mereka khawatir akan terjadi perkelahian. Anne juga ketakutan sekali. Ia
berpegang erat-erat pada Julian.
Ebenezer menghampiri Kakek Jeremiah dengan tangan terangkat, seperti hendak
memukul. "Bukankah sudah seratus kali kukatakan, kau tidak boleh masuk ke gua-gua sini"
Kan sudah sering kukatakan, akulah yang menjadi pemandu wisata di sini - bersama
Jacob?" "Jangan acuhkan dia'" kata Kakek Jeremiah, sambil membelakangi orang yang sedang
marah-marah itu. "Dia itu cuma mulutnya saja yang besar - kayak saudaranya,
Jacob!" "Awas'" seru Julian dengan tiba-tiba, karena melihat Ebenezer datang hendak
memukul. Bab 17 SI ISENG MENDATANGKAN KEJUT AN
Jeremiah masih sempat melihat laki-laki yang marah itu datang hendak memukul.
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sigap ia mengelak ke samping. Ebenezer tidak bisa menahan laju geraknya.
Kakinya terinjak pada lumut - sehingga ia jatuh telentang !
"Hah!" seru Kakek girang. "Hebat, Ebenezer! Ayo bangun, dan coba pukul aku
lagi!" "Kalau dia sampai berani, nanti kulaporkan pada polisi," kata Julian mengancam.
"Biar kedua-duanya berurusan dengan hukum. Kemarin Jacob - dan hari ini
Ebenezer." Ebenezer berdiri lagi dengan masam. Ditatapnya Jeremiah sambil melotot. Kakek
membalas tatapannya dengan cengiran senang.
"Nah - mau mencoba lagi, Ebby?" tanya Kakek. "Asyik ya, memukul seorang yang
sudah tua!" Tapi Ebenezer tidak berani lagi, karena takut Julian benar-benar mengadukan pada
polisi jika ia memukul Kakek Jeremiah. Diusap-usapnya bahunya yang sakit karena
terbentur batu. Nampak bahwa ia agak bingung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Yuk, sekarang kalian kuantarkan ke Gua Pencoleng" kata Kakek Jeremiah pada
anak-anak. "Ebby juga boleh ikut, apabila ia tidak bandel. Tapi mungkin ia lebih
suka lari ke rumah, supaya bahunya yang sakit itu bisa dirawat!"
Ejekan itu memanaskan hati Ebby! Sekarang ia bertekat mengikuti rombongan yang
dipimpin oleh Kakek. Ia membuntuti mereka, sambil mengata-ngatai terus. Anakanak menyesal, tadi tidak bisa mengajak Timmy ikut. Coba anjing itu ada di situ,
pasti Ebenezer yang lancang mulut itu dengan segera bisa dibungkam!
"Jangan pedulikan dia," kata Julian. "Kita terus, Kek! Wah - gelap juga lorong
ini, ya. Untung kita tidak lupa membawa senter."
Akhirnya mereka sampai di sebuah gua yang biasa keadaannya. langit-langitnya
tinggi sekali. Pada sisi-sisinya terdapat bagian-bagian yang menonjol ke depan,
membentuk semacam rak. Pada rak-rak itu terletak kotak-kotak yang sudah tua dan
kotor. Kecuali itu nampak pula beberapa peti serta sejumlah karung.
"Apa itu?" tanya Dick, Sambil menyorotkan senternya ke arah benda-benda itu.
"Yah -. seperti yang kaulihat sendiri - kotak dan karung," kata Kakek Jeremiah.
"Ebenezer dan Jacob yang menaruh di situ, untuk mengecoh orang. Kalau ada orang
diantar kemari, mereka berdua selalu mengatakan, itulah barang-barang yang
diambil pencoleng dari kapal-kapal pecah, ,bertahun-tahun yang lalu!" Kakek
Jeremiah tertawa terbahak-bahak. Tawanya menggema dalam ruang gua yang luas.
"Hohoho! Orang yang mau percaya pada ocehan itu, sudah sepantasnya kena tipu.
Barang-barang ini semua berasal dari belakang rumah si Ebby. Aku sendiri melihat
sewaktu masih terletak di sana! Hohoho'"
Ebenezer yang berdiri agak jauh, menggeram-geram dengan .marah. Kedengarannya
seperti anjing yang hendak menyerang.
"Aku tidak mau menipu anak-anak ini," kata Kakek lagi. "Kau - dengan karung dan
petimu! Hahh! Aku akan menunjukkan di mana ada barang-barang hasil pencolengan
yang sebenarnya! Ya - aku akan menunjukkan tempatnya pada mereka."
"Barang-barang itu takkan lebih menarik daripada peti-peti serta karung-karung
ini," tukas Ebenezer. "Kau bohong, Jeremiah! Kau tidak tahu apa-apa !"
"Kita terus saja," kata Dick. "Tentunya sesudah ini masih ada gua-gua yang lain.
Asyik sekali tempat ini! Benarkah di sini tempat para pencoleng dulu
menyembunyikan barang-barang yang mereka rampas dari kapal-kapal yang pecah"
Atau itu cuma dongeng belaka?"
"Tidak! Ini memang gua mereka. Cuma sekarang ditambah-tambah oleh si Ebby ini,"
kata Kakek. "Tapi aku mengenal gua-gua yang ada setelah ini - sedang Ebby tidak!
Dia tidak berani pergi lebih jauh, masuk ke bawah dasar laut. Ya kan, Ebby?"
Ebenezer menggumamkan sesuatu yang kedengarannya seperti cercaan. Sementara itu
Julian berkata, "Yuk, kita terus - apabila tidak berbahaya!"
"Pokoknya aku akan terus," sela si Utik dengan tiba-tiba. "Si Iseng belum
kembali - jadi tentunya tersesat! Aku hendak mencarinya!" .
Julian melihat bahwa anak itu sudah bulat tekatnya.
"Baiklah," kata Julian, "kami ikut! Anda jalan duluan, Kek! Tapi tidak terlalu
berbahaya, kan" Maksudku - jangan sampai tahu-tahu kita terjebak air laut yang
mengalir masuk ke dalam!"
"Pasang belum naik, jadi untuk sementara waktu kita aman," kata Kakek Jeremiah.
"Tapi nanti air masuk ke lorong, sampai di batas Gua Pencoleng. Tempat itu sudah
terlalu tinggi, jadi tak pernah tergenang air. Mulai sini lorong menurun dengan
terjal, menembus bagian bawah fondasi mercu suar tempat kalian. Sudah pernah
melihatnya, di dasar lubang fondasi?"
"0 - ya, sudah," jawab Julian. "Aku pernah turun sampai ke bawah. Kulihat air
laut berputar-putar, mengalir keluar-masuk sebuah lubang yang ada di dasar
fondasi. Maksud Anda, pada saat pasang tinggi air laut masuk ke lubang fondasi
di sana, dan juga mengalir ke lorong ini?"
"Ya, betul," jawab Kakek. "Dari sini orang bisa terus berjalan sampai ke dasar
lubang fondasi mercu suar. Tapi tak ada yang berani melakukannya. Air pasang
masuk dengan begitu cepat, sehingga kita bisa terjebak lalu mati tenggelam!"
Saat itu Ebenezer menyerukan sesuatu. Kedengarannya seperti menyuruh Kakek ikut
tenggelam saja. "Yuk, kita terus," kata Dick.
Rombongan itu meneruskan langkah. Aneh dan seram rasanya, mendengar deburan laut
samar-samar di atas kepala. Cahaya senter menerangi dinding lorong yang licin
berlumut. Di sana-sini nampak relung-relung.
"Tempat ini baik sekali untuk menyembunyikan harta karun," kata Julian. Ia
menengok ke atas memperhatikan sebuah lubang gelap yang terdapat di langitlangit. "Tapi mencarinya sulit sekali! Hih - di sini dingin!"
"Tidak mengherankan, karena cahaya matahari tidak pernah masuk kemari," kata
Dick. "Wah - bunyi laut jelas sekali terdengar sekarang!"
"Mana sih, si Iseng kenapa belum muncul-muncul," kata Anne pada Goerge.
"lihatlah si Utik. Kasihan, ia menangis. Ia berusaha menahannya, tapi ketika
sinar senterku kebetulan terarah kemukanya, kulihat air mata meleleh di pipi."
Anak-anak berhenti sebentar, memperhatikan sesuatu di lantai lorong. Ebenezer
yang berjalan terus, tahu-tahu menubruk Dick. Dengan segera anak itu berpaling
dengan marah. "Jangan dekat-dekat," sergahnya. "Ikuti kami jika kau mau, tapi jangan dekatdekat. Kami tidak suka padamu!"
Ebby tak peduli. Ia terus berada di dekat mereka. Kemudian Dick menyadari, orang
itu mungkin takut! Setelah melewati sebuah tikungan lagi, nampak ada lagi gua di depan mereka.
Tiba-tiba si Utik berseru keras, gemanya memantulkan ke segala arah.
"Iseng! Lihatlah - itu dia di sana! Iseng!" Benarlah , Monyet kecil itu
meringkuk di bawah batu yang agak menonjol ke depan. Binatang itu gemetar
ketakutan. Ia bahkan tidak mau menghampiri si Utik. Jadi terpaksa si Utik yang
menjunjung, lalu memeluknya.
"Iseng Kasihan - kau ketakutan tadi?" katanya. "Badanmu gemetar! Siapa suruh
lari tadi! Kan berbahaya - bisa tersesat di sini untuk selama-lamanya!"
Si Iseng menggenggam sesuatu. Sambil mengoceh pada si Utik, dibukanya cakar yang
tergenggam - dan sesuatu benda jatuh berdencing ke lantai batu.
"Apa itu yang kaujatuhkan, Iseng?" tany Dick. Ia menyorotkan senternya ke tempat
benda tadi terjatuh. Nampak sesuatu yang berkilat-kilat di atas batu Bulat dan
berkilat-kilat. Semua menatap benda itu. Julian yang kebetulan berdiri paling
dekat, kaget. "Uang emas!" serunya, sambil memungut benda itu. "Di mana kau menemukannya,
Iseng" Lihatlah, Dick - lihat, George, ini kan emas!"
Dengan segera anak-anak berkerumun. Hanya satu pikiran yang memenuhi kepala
mereka saat itu. Harta karun! Rupanya si Iseng menemukan harta karun. Uang emas
yang terletak di tangan Julian nampak sudah tua sekali. Uang emas kuno! Di
manakah si Iseng menemukannya tadi"
"Yuk, kita memeriksa lebih jauh ke dalam!" seru Dick. "Kek, pasti si Iseng
menemukan harta karun yang lenyap itu. Dia pasti mau menunjukkan tempatnya pada
kita!" Tapi si Iseng tak kepingin tersesat lagi. Ia tetap bertengger di bahu si Utik,
sambil memeluk leher anak itu erat-erat. Tidak enak rasanya sendirian dalam
gelap. Kakek Jeremiah juga tidak mau terus. Ia menggeleng.
"Tidak," katanya, "jangan hari ini! Sebentar lagi air laut akan masuk ke sini.
Alirannya lebih deras daripada kecepatan langkah kita! Lebih baik kita kembali
sekarang, sebelum terjebak di sini. Para wisatawan yang kemari banyak yang
kemudian terpaksa lari pontang-panting, ketika arus air pasang tiba-tiba
membanjir masuk!" Telinga George yang tajam mendengar bunyi air mengalir. Rupanya pasang sudah
mulai naik. "Yuk -. kita turuti saja kata Kakek," katanya cemas. "Air laut sudah masuk ke
dalam lorong. Sebentar lagi pantai pasti sudah tertutup, termasuk lubang masuk
di tebing tadi. Nanti kita terjebak di tengah-tengah!"
"Kita tidak perlu takut," kata Kakek Jeremiah. "Sekarang masih cukup waktu. He ke mana Ebenezer tadi?"
"Astaga - rupanya dia mendengar kita ribut-ribut tentang uang emas yang
ditemukan si Iseng," kata George. "Aku tadi sama sekali lupa dia ada di sini!
Aduh - sekarang dia tahu si Iseng menemukan uang emas! Pasti ia yakin, harta
karun ada di dalam sini. Dan begitu ada kesempatan baik, ia datang untuk
mencarinya! Kenapa kita tadi tidak bisa bicara dengan pelan-pelan?"
"Aku juga lupa bahwa dia ada di dekat kita," keluh Dick. "Yah, kurasa sekarang
seisi desa Karang Setan sudah tahu bahwa monyet ini menemukan harta karun. Pasti
persembunyiannya di suatu tempat yang kering, karena uang emas itu tetap bersih
kelihatannya!" "Yuk - kita lekas-lekas kembali," kata Julian. "Coba lihat, Kakek Jeremiah
sangat bergairah! Pasti ia sedang merencanakan untuk mencari secepat mungkin."
"Kenapa kita tidak melakukannya pula besok," kata Dick. Ia bersemangat
membayangkan keasyikan mencari harta karun. "Kau hebat, Iseng! lebih hebat
daripada penyelidik yang mana juga."
Mereka menyusur lorong kembali, asyik memperembukkan berbagai macam rencana.
Bab 18 KEMBALI DI MERCU SUAR
Kakek Jeremiah sangat tergugah perasaannya. Tapi ia tidak banyak berbicara.
Marahnya timbul, setiap kali teringat bahwa tadi Ebenezer ikut menjadi saksi
penemuan mereka. Kakek tidak percaya pada Ebby. Pada Jacob juga tidak!
"Nih, Kek - uang untuk membeli tembakau," kata Julian sambil menyodorkan uang
pada orang tua itu. "Dan jangan terlalu berharap-harap akan bisa menemukan harta
karun. Mungkin uang emas yang ditemukan oleh si Iseng itu hanya satu-satunya
yang ada di sini." "Terima kasih," kata Kakek sambil menerima uang itu. "Mengenai harta karun, aku
tidak menginginkannya untukku sendiri. Aku cuma tidak mau Ebby dan Jacob yang
memperolehnya. Sekarang mereka pasti akan sibuk mencari!"
Semua merasa lega, ketika sudah sampai di luar lagi. Saat itu matahari tidak
kelihatan lagi, tertutup awan mendung. Hujan lebat, diiringi angin kencang.
"Yuk, kita cepat-cepat kembali, nanti tidak bisa lagi mencapai mercu suar dengan
berjalan kaki!" kata Julian dengan cemas. Untung angin yang bertiup mendorong
air laut ke tengah. Jadi mereka masih bisa mengarungi air, berjalan sampai ke
kaki tangga batu. "itu kan suara Timmy menggonggong," kata si Utik. "Rupanya ia mendengar kita
datang!" Memang - anjing itu berbaring di atas keset, dengan telinga dirapatkan ke celah
di bawah daun pintu. Tak ada orang datang selama anak-anak pergi. Timmy hanya
mendengar bunyi ombak dan angin, serta teriakan beberapa ekor burung camar yang
terbang melayang di dekat mercu suar.
"Kami sudah kembali, Timmy!" seru George, sambil mendorong pintu supaya terbuka.
Dan begitu pintu terbuka, Timmy langsung meloncat ke luar. Nyaris saja George
jatuh ditubruknya. Si Iseng naik ke punggung Timmy, sambil mengoceh dengan
ribut. "Si Iseng pasti bercerita tentang uang emas yang ditemukannya tadi," kata si
Utik sambil tertawa. "Aduh, sayang kau tidak ikut tadi, Timmy. Asyik deh'"
"Rasanya lama sekali kita pergi," kata George. "Padahal hari belum begitu siang
sebenarnya. Atau arlojiku yang terlambat. Masa bodoh, pokoknya aku lapar
sekarang! Yuk kita makan, sambil mengobrol tentang rencana kita setelah ini."
Sambil makan dan minum, anak-anak mengobrol.
"Kita harus secepat mungkin kembali ke gua tadi," kata George. "Aku yakin Jacob
dan Ebby pasti akan ke sana begitu'" air laut surut, untuk mencari uang emas."
"Satu hal sudah pasti - hari ini kita tidak bisa lagi ke sana," kata Dick. "Air
sedang pasang tinggi, dan kelihatannya sebentar lagi akan ada badai. Dengar
saja, begitu keras angin bertiup!"
Timmy duduk merapat pada George. Perasaannya tidak enak, selama anak itu tadi
pergi tanpa mengajak dia. George duduk sambil makan biskuit. Ia merangkul
anjingnya. Sekali-sekali diberinya Timmy sepotong biskuit. Si Utik juga begitu.
Ia memberikan sebagian dari biskuitnya pada si Iseng.
Anak-anak bertanya-tanya sesama mereka, di manakah monyet itu tadi menemukan
mata uang kuno itu" Apakah kebetulan jatuh dalam gua, atau dihanyutkan arus air
laut ke dalam" Atau mungkin juga berasal dari sebuah peti kayu yang sudah rusak
dimakan waktu! Tidak habis-habisnya mereka berbicara, sementara mata tertatap
terus ke mata uang emas yang terletak di atas meja di depan mereka.
"Mungkin jika kita berhasil menemukannya, tahu-tahu itu harta karun," kata Dick.
"Maksudku, umurnya sudah tua sekali, sehingga tak ada lagi pemiliknya. Jadi
harus diserahkan pada negara."
"Kurasa kita akan diperbolehkan mengambil beberapa buah untuk kita sendiri,"
kata George. "Ah, kepingin rasanya berangkat sekarang juga dan mulai mencari di
sana! Aku tak sabar lagi menunggu lama-lama!"
"Guk," gonggong Timmy. Seolah-olah hendak mengatakan setuju. Padalah ia tak
mungkin mengerti, apa yang sedang sibuk diperembukkan anak-anak saat itu!
"Aduh - dengarlah, deburan ombak menghantam karang!" kata Julian. Di luar
terdengar bunyi berdebur keras "Rupanya benar-benar ada badai!"
"Memang sudah sejak beberapa hari ini sudah diramalkan akan datang cuaca buruk,"
kata Dick dengan suram. "Sialan! Kalau begini, naik perahu ke pantai juga
terlalu berbahaya. Sedang berjalan kaki di dermaga pada saat pasang surut pun
kurasa tidak bisa, karena angin kencang mendorong air laut sehingga meninggi."
"Janganlah sesuram itu tampangmu!" kata Anne.
"Kau senang jika kita terkurung terus dalam mercu suar ini?" tanya Dick.
"Tak apa - kan makanan di sini banyak," kata Anne. ,
"Tidak! Jangan lupa, kita berlima," sanggah Dick. "Kecuali itu masih ada pula
Timmy dan si Iseng."
"Sudahlah, Dick," kata Julian. "Kau ini cuma menakut-nakuti Anne dan si Utik
saja. Badai sebentar lagi pasti berlalu. Besok kita tentu bisa ke luar dan pergi
berbelanja." Tapi badai bukannya mereda, malah semakin mengamuk. langit begitu gelap,
sehingga Anne terpaksa menyalakan lampu-lampu. Terdengar bunyi air hujan
menghantam mercu suar. Angin berderu-deru di luar.
Anne pergi ke jendela, memandang ke luar. Ia ketakutan ketika melihat ombak
bergulung-gulung datang dan memecah pada karang di kaki bangunan itu.
Percikannya memancar begitu tinggi bahkan sampai membasahi kaca jendela tempat
Anne sedang berdiri di baliknya Anak itu kaget, lalu mundur selangkah.
"Kalian tahu apa yang baru saja membentur kaca jendela?" katanya. "Percikan
ombak yang besar!" "Aduh!" kata Julian kagum, lalu datang ke jendela. Pemandangan di luar benarbenar menakjubkan. laut nampak kelabu, tidak biru lagi. Ombak bergulung-gulung
menuju pantai, berbuih-buih puncaknya. Sampai di tengah laut air menggelora,
buih memutih ditiup angin keras. Saat itu hanya beberapa ekor burung camar saja
yang masih kelihatan, terbang melayang-layang dibawa angin.
"Hari ini aku menjadi burung camar," kata Dick. "Pasti enak rasanya melayang
diterbangkan badai. Pantas mereka berteriak-teriak - keasyikan rupanya!"
Suara burung-burung itu mengeong-ngeong, seperti kucing lapar.
"Aku kasihan pada kapal-kapal yang ada di laut dalam cuaca begini," kata Julian.
"Wah - bayangkan kapal-kapal layar pada jaman dulu, terjebak di pesisir
berkarang dalam badai kayak sekarang. Ini kan sudah nyaris topan!"
"Dan bayangkan One-Ear Bill!' yang jahat, menyeringai senang sambil memandang
sebuah kapal layar yang semakin mendekati karang!" kata George. "Ia bahkan
memindahkan lampu tanda bahaya "dari atas tebing ke dekat sini, untuk memastikan
bahwa kapal yang sedang berlayar akan langsung menuju karang, dan - KRAK!"
"Aduh, jangan," kata Anne ketakutan, "tak enak rasanya membayangkan hal-hal
seperti itu!" "Yuk, kita main kartu," ajak Julian. "Bawakan lampu ke meja, Dick. Gelap sekali
di sini. Kita jangan bercakap-cakap lagi tentang kapal-kapal pecah. lebih baik
membayangkan hal-hal yang menyenangkan! Misalnya saja makan, atau tentang harta
karun...." "Kurasa takkan sulit menemukan harta itu," kata Dick, sambil membawa lampu ke
meja. "Si Iseng cerdik sekali! Pasti ia sanggup mengingat kembali di mana ia
menemukan mata uang emas tadi, lalu mengantar kita ke tempat itu."
"Tapi bisa juga itu berasal dari kantong seseorang, dan jatuh di situ ketika ia
sedang berjalan untuk menyembunyikan harta rampasannya," kata Anne.
"Ya, mungkin saja - tapi kurasa harta itu takkan begitu jauh letaknya dari
tempat si Iseng menemukan mata uang," kata Dick.
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yah - jika kita hendak berburu harta karun, kita harus berangkat pada saat
pasang sedang surut," kata Julian. "Aku tidak mau merangkak-rangkak dalam gua
dan lorong di bawah dasar laut, apabila pada saat itu aku tahu setiap saat air
akan mengalir ke dalam."
Dick duduk dengan kening berkerut. Kelihatannya sedang memikirkan sesuatu.
"Ju," katanya kemudian "kau masih ingat arah yang ditempuh begitu kita masuk ke
bawah tanah tadi pagi" Kalau tidak salah ke kiri, kan?"
"Betul," kata si Utik dengan segera. "Aku punya kompas yang selalu kubawa-bawa.
Ini dia, terpasang pada arlojiku! Kita tadi terus menuju ke barat."
"Jadi ke arah mercu suar ini," kata Julian.
Dengan cepat ia membuka gambar denah daerah itu. "Nih - ini mercu suar. Dan di
sini lubang masuk ke tebing. Dan ini jalan yang kita lalui, membelok kembali ke
arah laut, di bawah dasar pantai karang - begini - di sini ada gua, lalu lorong
- lalu gua lagi - selalu menikung dengan tajam ke kiri...."
"Sedikit lagi, dan kita tadi sampai di bawah dasar mercu suar ini," kata Dick
tercengang. "Betul," kata Julian. "Mungkin pada jaman dulu sebelum mercu suar ini dibangun
dan di sini sering terdampar kapal-kapal, dari tempat ini ada lorong yang
bersambung dengan lorong yang kita lewati tadi pagi. Lewat situ, dengan mudah
para pencoleng bisa menyembunyikan segala barang berharga yang mereka temukan
dalam kapal yang pecah, tanpa kelihatan orang lain!"
"Aduh! Maksudmu mereka menunggu dulu sampai kapal sudah pecah berantakan dan
setelah itu mengarungi pantai menuju kemari seperti kita lakukan tadi. Sesampai
di sini lantas merampok, lalu menghilang ke dalam sebuah lorong untuk
menyembunyikan barang-barang rampasan."
"Dan setelah itu muncul di darat, lewat lorong tadi!" kata Anne.
George memandang Julian dengan mata bersinar-sinar. "Mungkin lorong tua itu
masih ada, di bawah karang ini!" katanya. "Yang jelas, kita tahu air laut bisa
masuk ke situ. Yuk, kita memeriksa besok, Julian. Kurasa kau benar! Mungkin di
celah-celah karang di sini ada sebuah lubang, menuju ke lorong di mana kita
berada tadi pagi." Setelah itu tak ada lagi yang masih ingin main kartu. Perasaan mereka semua
terlalu gelisah. Berulang kali mereka mengamat-amati gambar denah yang dibuat
Julian. Mereka mengucapkan syukur, berkat kompas si Utik mereka tahu bahwa arah
yang ditempuh tadi lurus ke barat, menuju karang tempat mercu suar.
"Mungkinkah orang-orang di desa sudah lupa pada lubang masuk yang ada di sini?"
kata Dick. "Soalnya, tak ada yang berbicara mengenainya
dengan kita, Kakek Jeremiah juga tidak! Mungkinkah lubang itu kini tersumbat?"
"Ya, mungkin saja," kata Julian, setelah berpikir sebentar. "Memang aneh, Kakek
sama sekali tidak akan mengatakan apa-apa mengenainya. Yah - pokoknya besok kita
akan mencarinya." "Dan jika sudah ketemu, kita langsung masuk ke situ untuk mencari harta yang
hilang," kata si Utik dengan mata bersinar-sinar. "Wah - Ebenezer dan Jacob
pasti kaget jika kita berhasil lebih dulu menemukannya !"
Bab 19 TERJEBAK! Ternyata badai sudah mereda kembali sore itu juga. Cuaca keesokan paginya jauh
lebih tenang. langit masih mendung, dan hujan masih turun sekali-sekali. Tapi
anak-anak sudah bisa ke luar dan menuruni tangga batu, pergi ke karang.
"Bagaimana - apakah kita berbelanja dulu, atau mencari lubang masuk ke lorong?"
tanya Julian. "Mencari lubang dulu," kata Dick dengan segera. "Angin masih kencang, dan bisa
saja nanti badai mengamuk kembali. lihat saja awan yang bergulung-gulung di
atas! Nanti apabila laut bertambah menggelora, kita tidak bisa lagi berkeliaran
di atas batu-batu." Anak-anak menyebar, lalu berjalan dengan hati-hati di atas karang tempat mercu
suar. Pada saat pasang surut, karang itu nampak menonjol tinggi di atas air.
Mercu suar dibangun di tempat yang paling tinggi di situ. Kelihatannya menjulang
jauh di atas kepala anak-anak yang sedang sibuk mencari-cari lubang, yang
kelihatannya mungkin menuju ke lorong yang ada di bawah.
"Di sini ada lubang!" seru Anne dengan tiba-tiba. Anak-anak yang lain bergegas
datang ke tempatnya. Timmy juga tidak mau ketinggalan. Julian memandang ke
bawah, ke lubang yang dituding oleh Anne.
"Ya - kelihatannya cukup besar untuk dimasuki orang dewasa," kata Julian. "Coba
aku turun sebentar untuk memeriksanya."
Dengan segera ia menyusup ke dalam lubang itu, sambil berpegangan ke batu-batu
yang menonjol di sana-sini. Anak-anak yang lain memperhatikan dengan tegang.
Timmy menggonggong, karena merasa tidak enak melihat Julian tahu-tahu
menghilang. Tapi saat itu juga sudah terdengar anak itu berseru dari bawah.
"Tidak - lubang ini buntu! Aku sudah meraba-raba dengan kaki, tapi tidak
menemukan lanjutannya di mana-mana."
Anak-anak merasa kecewa. "Sial!" umpat Dick. Ia merebahkan diri ke batu, lalu menjulurkan tangan ke dalam
lubang untuk membantu Julian naik. "Padahal aku sudah berharap-harap tadi. Nih kubantu kau naik!" "Trims - memang agak repot juga sedikit," kata Julian. Ia naik ke atas dengan
susah-payah. "Tidak enak rasanya, apabila sampai tersangkut di sini!" katanya,
"Apalagi pasang sedang naik sekarang!"
"Hujan sudah mulai turun lagi!" kata Anne. "Kita pergi berbelanja sekarang atau lebih baik menunggu sebentar?"
"Kita menunggu dulu," kata George. "Sekarang tubuhku basah dan kedinginan. Kita
kembali ke mercu suar, dan minum kopi dulu. Aduh, mengecewakan sekali! Tapi tak
apalah - kita masih bisa menyusur lorong yang kita masuki kemarin dan mencaricari di situ! Barangkali saja si Iseng akan menunjukkan pada kita, di mana ia
menemukan mata uang emas!"
Mereka kembali ke mercu suar. Begitu mereka semua sudah masuk, dengan segera
Julian mengganjal pintu lagi dari dalam.
"Mudah-mudahan saja tukang kunci jadi datang," katanya. "Jika kita turun lagi ke
gua-gua yang kemarin, sekarang kita akan terpaksa meninggalkan Timmy untuk
menjaga kembali di sini. itu kan tidak menyenangkan baginya!"
Timmy menggonggong, menyatakan bahwa ia juga berpendapat begitu. Kemudian anakanak berbondong-bondong ke atas, dan dengan segera Anne mulai memasak kopi.
Ketika mereka sedang minum kopi panas-panas, tiba-tiba Timmy bangun dan
menggeram dengan galak. Semua kaget mendengarnya. Kopi Anne bahkan sampai tumpah
karenanya. "Timmy' Ada apa?" tanya George. Timmy berdiri menghadap pintu kamar yang
tertutup. Bulu tengkuknya berdiri. Kelihatannya galak sekali saat itu!
"Ada apa, Timmy?" tanya Julian, lalu pergi ke pintu. "Tak mungkin ada orang di
bawah - karena pintu sudah kuganjal dari dalam!"
Tapi begitu Julian membuka pintu, Timmy langsung menerobos ke luar lalu lari
menuruni tangga putar. Larinya begitu tergesa-gesa, sehingga ia tersandung dan
jatuh berguling-guling ke bawah. George menjerit ngeri.
"Timmy! Kau cedera?"
Tapi Timmy langsung bangkit kembali, lalu lari ke pintu masuk. Ia menggeramgeram dengan galak, sehingga Anne benar-benar ketakutan mendengarnya. Julian
bergegas menyusul turun. Ternyata pintu masih tertutup rapat, diganjal dari
dalam. "Aduh, Timmy - mungkin yang datang itu cuma tukang susu," kata Julian, sambil
menggeserkan pengganjal pintu. Setelah itu diputarnya gagang pintu, hendak
dibukanya. Tapi ia kaget, karena ternyata tidak bisa! Julian menarik-narik dan menyentakkan
kuat-kuat, tapi percuma. Pintu tidak bisa dibuka.
Sementara itu anak-anak sudah menyusul turun semuanya.
"Sini - aku yang mencobanya," kata Dick. "Mungkin daun pintu macet!"
Namun Dick juga tidak berhasil. Julian memandang anak-anak yang lain dengan air
muka suram. "Aku khawatir - benar-benar khawatir - ada orang yang mengunci pintu ini, dengan
maksud untuk mengurung kita di dalam," katanya.
Sesaat tak ada yang berbicara. Semua kaget mendengar kata-kata Julian. Tapi
kemudian George meledak kemarahannya.
"Mengurung kita" Beraninya berbuat begitu! Siapa yang melakukannya?"
"Yah - kurasa bisa kita tebak sendiri," kata Julian. "Yaitu orang yang datang ke
sini sewaktu kita pergi, dan kemudian mencuri anak kunci pintu.
"Ebenezer! Bukan, bukan - Jacob!" seru Dick menebak. "Pokoknya, salah seorang
dari mereka. Jahat sekali mereka itu! Sekarang bagaimana" Kita tidak bisa
keluar! Untuk apa mereka melakukan perbuatan konyol - perbuatan jahat ini?"
"Kurasa karena mereka khawatir kita akan pergi mencari harta itu - dan
menemukannya," kata Julian. "Kita kan merasa yakin, si Iseng akan mengantarkan
kita ke sana. Nah, kurasa mereka juga berpendapat begitu. Jadi ini merupakan
perbuatan mereka, supaya cukup waktu mereka guna mencari harta itu, mendului
kita!" "Aduh, jahatnya mereka itu!" seru George gemas. Dipegangnya gagang pembuka pintu
dan ditarik-tariknya. "Kita terkurung!"
"Jangan sampai lepas kautarik-tarik, George," kata Julian. "Toh percuma saja!
lebih baik kita kembali saja ke atas untuk berembuk. Kita harus memikirkan jalan
keluar dari kesulitan ini!"
Mereka kembali ke atas, lalu berkumpul di ruang duduk. Ya - sekarang mereka
tertawan di situ! "Apa yang kita lakukan sekarang"'. kata Dick. "Keadaan kita benar-benar gawat,
Julian." "Ya, memang," kata Julian. Tampangnya nampak gelisah. "Kita tidak bisa keluar
dari bangunan ini. itu sudah pasti! Sekarang soalnya, bagaimana kita bisa minta
pertolongan orang lain" Di sini tidak ada pesawat telepon. Berteriak, takkan ada
yang bisa mendengar. Takkan ada yang bisa tahu bahwa kita terkurung di sini.
Orang-orang di darat biasa melihat kita keluar-masuk mercu suar. Apabila pada
suatu saat kita tidak muncul lagi, pasti akan dikira kita sudah pulang, dan di
sini tidak ada siapa-siapa!"
"Kita akan mati kelaparan!" keluh Anne. "Tidak mungkin! Kita pasti akan
menemukan jalan ke luar," kata Dick ketika melihat adiknya itu benar-benar
ketakutan. "Tapi walau begitu, keadaan begini mengesalkan sekali! Kita tidak
bisa ke luar, sedang orang lain tidak bisa ke dalam. Sebab orang yang mengunci
pintu ini tadi, pasti membawa anak kuncinya."
Mereka berembuk terus, tanpa menemukan penyelesaian. Kemudian terasa bahwa perut
mereka mulai lapar. Mereka pun makan. Tapi makanan dihemat, karena khawatir
bekal akan terlalu cepat habis.
"Aduh, aku masih lapar," keluh George. "Selama di sini, aku selalu merasa
lapar." "Itulah yang sudah kukatakan waktu itu," kata si Utik. "Entah kenapa, tapi
tinggal di mercu suar selalu menimbulkan rasa lapar!"
"Kita harus mencoba menghubungi tukang susu, apabila ia datang lagi besok," kata
Julian dengan tiba-tiba. "Nanti dulu - bagaimana jika kita menulis surat lalu
kita selipkan ke luar lewat celah di bawah daun pintu. Dengan begitu tukang susu
akan melihatnya, apabila ia datang besok. Kita tuliskan kalimat, 'Tolong - kami
terkurung di dalam'."
"Pasti akan lenyap diterbangkan angin," kata George. "Kau kan juga tahu hal itu
akan terjadi." "Bisa kita tindih kertas itu di sebelah dalam sini." usul Anne. "Jadi cuma
sebagian saja yang tersembul ke luar."
"Yah, kita coba saja," kata Dick. Dengan segera ia menulis kalimat itu pada
secarik kertas lebar. Kemudian ia lari ke bawah. Kertas surat itu satu tepinya
disematkan pada keset. Setelah itu tepi yang lepas didorong lewat celah di bawah
daun pintu ke luar. Kemudian ia lari lagi ke atas.
"Kurasa dalam cuaca sekarang ini, tukang susu takkan mungkin berani berjalan
lewat karang kemari," katanya. "Tapi kita harapkan sajalah!"
Setelah itu tak ada lagi yang bisa dilakukan. Hari itu cepat gelap, karena awan
mendung sudah bergulung-gulung lagi di langit. Angin bertiup semakin kencang.
Bahkan burung camar pun nampaknya memilih lebih baik tidak terbang mencari makan
dalam cuaca seburuk itu. Malam itu anak-anak berusaha menghibur diri dengan bermain kartu serta
berkelakar. Tapi dalam hati, semua merasa gelisah. Bagaimana jika cuaca buruk
berlangsung selama berhari-hari, dan di desa tak ada yang menyangka mereka
terkurung dalam mercu suar. Sedang tukang susu tidak bisa datang, sehingga tidak
melihat surat yang terselip di bawah daun pintu - dan makanan sudah habis,
sehingga.... "Kita tidak boleh berkecil hati," kata Julian, melihat tampang yang serba suram
di sekeliling meja, "kita kan sudah pernah mengalami keadaan yang lebih gawat
lagi daripada sekarang!"
"Kurasa belum pernah," kata Anne. "Aku sama sekali tidak melihat jalan keluar
bagi kita dari kerumitan ini!"
Setelah itu anak-anak membisu lagi. Hanya desahan berat Timmy yang terdengar
saat itu, seolah-olah ia pun ikut gelisah! Cuma si Iseng saja yang kelihatan
tetap gembira. Monyet kecil itu jungkir-balik, lalu duduk sambil memandang ke
arah anak-anak. Dikiranya mereka akan tertawa melihat tingkah lakunya yang
kocak. Tapi sekali itu tidak ada yang tertawa. Bahkan kelihatannya tak ada
seorang pun yang sempat memperhatikan. Si Iseng berkecil hati, lalu mendekati
Timmy minta dihibur. "Ada satu jalan yang mungkin bisa berhasil," kata Julian, setelah agak lama
merenung. "Sedari tadi aku memikirkannya Tapi aku tidak tahu, bisa tidaknya!
Pokoknya jika sampai besok masih belum juga datang pertolongan, bisa saja kita
mencobanya." "Apa maksudmu?" tanya yang lain-lain.
"Begini," kata Julian memulai penjelasannya, "kalian kan masih ingat, aku pernah
menuruni lubang fondasi mercu suar ini. Nah - mungkin saja lubang fondasi dibuat
pada lubang yang semula sudah ada! Pembangun mercu suar ini memilih tempat itu,
karena sudah ada lubang yang bisa dipakai - lubang yang menembus batu karang,
lubang itu diperkokoh tepinya dengan beton, supaya mercu suar itu tidak roboh
dilanda ombak dan angin'"
Anak-anak merenung, memikirkan kemungkinan itu. Kemudian Dick memukulkan
tangannya ke atas meja, menyebabkan anak-anak yang lain terlompat karena
kaget. . "Betul, Julian!" serunya. "Fondasi bangunan ini dibuat pada sebuah lubang yang
sudah ada sebelumnya. Dan lubang inilah yang kita cari-cari selama ini. Inilah
lubang yang menembus ke lorong di mana kita berada tadi pagi! Pantas kita tidak
berhasil menemukannya, walau sudah dicari ke mana-mana di luar. Ternyata sudah
dijadikan lubang fondasi!"
Anak-anak terdiam lagi. Semua memikirkan kemungkinan itu, termasuk si Utik pula.
Julian memandang berkeliling, lalu tersenyum.
"Nah - sudah terbayang oleh kalian semua sekarang?" tanyanya. "Jika ternyata
benar lubang yang kita cari-cari tadi ada di bawah bangunan ini, maka bagaimana
jika salah seorang dan kita turun ke bawah untuk menyelidiki, apakah memang dan
situ kita bisa masuk ke lorong di mana kita berada tadi pagi?"
"Dan dari situ ke luar, lewat lubang masuk yang ada di kaki. tebing di pantai!"
kata George. "Kalau ternyata bisa, wah - hebat, Julian! Dengan begitu kita bisa
membebaskan diri dari kurungan Ini. Pasti Ebby dan Jacob akan kaget nanti. Ya kita akan melakukannya !"
Bab 20 MASUK KE LORONG Anak-anak bergairah sekali, membayangkan kemungkinan lubang fondasi yang
berlapis beton itu berhubungan dengan lorong gua. Julian melihat air berputarputar di dasar lubang itu, ketika pasang sedang naik. Mungkin jika mereka turun
ke bawah pada saat pasang surut, tidak ada bahaya terjebak air di situ!
Sementara itu cuaca semakin memburuk. Hujan lebat sekali malam itu. Apalagi
pasang sedang tinggi. Ombak bertalu-talu menghantam karang, percikan air laut
nyaris mencapai puncak menara. Tengah malam Julian terbangun, lalu memandang ke
luar jendela kamar tidur dengan perasaan kagum bercampur cemas.
"Mudah-mudahan saja malam ini tidak ada kapal di luar," katanya. Tiba-tiba ia
berseru kaget. "Apa itu" Tadi ada sesuatu yang terang, melintas di langit."
"itu kan cahaya mercu suar baru, yang terdapat di High Cliffs," kata Dick, yang
saat itu ikut terbangun. "Aku melihatnya kemarin malam. Wah - ternyata lampu
yang ada di sana kuat sekali, karena pada malam segelap ini pun masih nampak
cahayanya." Keduanya memandang cahaya mercu suar itu selama beberapa saat. Kemudian Julian
menguap "Yuk kita tidur lagi," katanya. "Yah - mulanya kita akan mengira akan bisa
berlibur dengan tenang di sini. Tapi tahu-tahu sudah terjadi lagi petualangan !"
"Tapi mudah-mudahan saja bisa berakhir dengan menyenangkan" kata Dick. Ia
merebahkan diri lagi di atas pembaringannya yang terbuat dari beberapa lapis
selimut. "Terus-terang saja, saat ini aku merasa agak terasing dari dunia luar.
Selamat tidur, Julian."
Keesokan paginya badai masih tetap merajalela. Angin masih tetap bertiup dengan
kencang. Julian turun ke bawah, untuk melihat apakah tukang susu sudah datang.
Ternyata tidak. Surat mereka masih terselip di bawah pintu, menggelepar-gelepar
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kena angin. Rupanya pagi itu tukang susu tidak berani datang!
Dick memandang ke luar, untuk melihat apakah perahu masih tetap tertambat di
tempat semula. Ia sangat kaget, karena ternyata tidak ada lagi. Si Utik pun ikut
kaget, ketika mendengarnya.
"Ke mana perahuku" Dicuri orang rupanya!"
"Mungkin - tapi bisa juga hancur berantakan terhempas ke batu karena dilanda
badai," kata Julian. "Pokoknya, sudah tidak ada lagi di tempat semula. Sayang!"
Si Utik sedih sekali. Si Iseng berusaha menghibur dengan jalan melakukan
berbagai perbuatan yang kocak untuk memancing tawa. Tapi si Utik tidak bisa
tertawa saat itu. Ia sungguh-sungguh sedih.
Sarapan pagi itu sederhana sekali. Anak-anak makan sambil membisu. Selesai
sarapan, Julian memanggil mereka berkumpul.
"Sekarang kita harus mengambil keputusan mengenai percobaan menuruni lubang
fondasi seperti yang sudah kita bicarakan tadi malam ," katanya. "Aku sendiri
yang akan turun!" "Kita undi saja," kata Dick dengan segera. "Soalnya, kenapa bukan aku yang
turun" Atau bagaimana jika kita berdua! Supaya ada yang bisa menolong, jika
salah - satu dari kita mengalami kesulitan!"
"Baik juga idemu itu," kata Julian. "Tapi di pihak lain, dengan begitu tidak ada
yang tinggal di sini untuk melindungi anak-anak perempuan dan si Utik. "
"Guk!" Timmy menggongong dengan nada tersinggung. Anjing itu langsung bangun.
Julian tertawa, lalu menepuk-nepuk punggungnya.
"Kau tidak perlu marah, Timmy," katanya. "Aku tadi cuma ingin tahu, apakah kau
merasa akan bisa menjaga mereka baik-baik. Jadi soal itu beres! Aku akan turun
bersama Dick. lebih cepat, lebih baik. Kita harus turun sementara air laut
sedang surut. Bagaimana kalau sekarang, Dick?"
Anak-anak pergi beramai-ramai, menuruni tangga besi yang melingkar-lingkar
sampai ke tingkat dasar, di mana terdapat tingkap yang menutupi lubang masuk ke
liang fondasi. Julian mengangkat tingkap kayu itu, lalu memandang ke dalam
kegelapan yang terdapat di bawahnya. Ia menyorotkan senternya ke situ. Tapi
dasar lubang tidak nampak dari atas.
"Nah - aku turun sekarang," katanya, lalu menyusup ke bawah. Kakinya merabaraba, mencari jenjang tangga besi yang paling atas.
"Kalian tak perlu khawatir. Kita pasti akan berhasil mencapai lorong, dan dari
situ menuju ke lubang masuk di kaki tebing. Dan dengan segera kami akan kembali
dengan membawa bala bantuan!"
"Hati-hati, Julian," kata Anne. Suaranya agak. gemetar. Sementara itu Julian
sudah agak jauh turun ke bawah. Senternya diselipkan di antara giginya. Sesaat
kemudian Dick menyusul. Anak-anak yang masih ada di atas menyorotkan senter
mereka ke bawah. Tapi tak lama kemudian Dick dan Julian sudah tidak kelihatan,
karena sudah terlalu jauh turun. Hanya suara mereka saja yang masih terdengar
sekali-sekali. Kedengarannya aneh, bergaung.
"Kami sudah sampai di dasar," seru Julian setelah beberapa saat. "Ternyata di
sini sedang kering, sama sekali tidak berair. Dasar lubang ini batu karang - dan
di sini memang ada semacam lorong. Sekarang kami akan masuk ke dalamnya. Nah sampai nanti. Jangan khawatir!"
Setelah itu sunyi. Dari bawah tak terdengar apa-apa lagi. Timmy mulai melolong
dengan pelan. Ia tidak mengerti, apa yang terjadi saat itu.
Julian dan Dick merasa puas. Dengan gampang mereka memasuki lorong yang ada di
sisi lubang di dasar liang fondasi. Kini mereka berada dalam lorong yang gelap
dan sempit. langit-langitnya begitu rendah sehingga kadang-kadang mereka
terpaksa sangat membungkuk sambil berjalan. Tercium bau lembab. Tapi udara cukup
banyak. Kadang-kadang bahkan terasa hembusan angin di situ.
"Akan lega perasaanku jika kita sudah sampai di suatu tempat yang sudah
kukenal," kata Julian, setelah berjalan agak lama di situ. "Mestinya kita
sekarang sudah dekat ke tempat yang kita datangi kemarin. He - apa ini" Dick lihatlah!" Dick memandang ke arah yang diterangi sorotan senter yang dipegang Julian.
Seketika itu juga ia berseru.
"Mata uang emas! Rupanya kita sudah sampai ke dekat tempat si Iseng lari
kemarin, lihatlah - di sini ada beberapa buah lagi! Dari mana datangnya?"
Kedua anak itu menyorotkan senter mereka ke sekeliling tempat itu. Akhirnya
mereka melihat dari mana mata uang itu berasal. Di atas kepala mereka ada sebuah
lubang gelap. Ketika mereka sedang menerangi lubang itu, ada lagi sebuah mata
uang emas jatuh ke dasar lorong dari situ.
"Di sinilah si Iseng menemukan mata uang emas itu," seru Dick. "Ju - rupanya di
atas situ ada peti atau sebangsanya yang sudah rusak, sehingga keping uang yang
ada di situ berjatuhan ke bawah."
"Siapalah yang akan menduga tempat penyembunyian seperti itu!" kata Julian
dengan heran, sementara ia meyorotkan senter ke atas. "Cuma lubang gelap saja
yang kelihatan. Kecuali itu, tidak ada apa-apa, baik peti maupun barang lain.
Rupanya tempat harta itu didorong masuk ke sebuah rongga yang terdapat di sisi
lubang di atas, oleh seseorang yang mengenal baik tempat ini."
"Tolong junjung aku ke atas supaya aku bisa memasukkan tangan dan meraba-raba di
situ," kata Dick. "Wah - ini benar-benar menegangkan! Ayo, cepatlah sedikit."
Dengan bantuan Julian, Dick berhasil memasukkan kepala dan lengannya ke dalam
lubang gelap itu. Ia meraba-raba ke satu sisi. Tidak ada apa-apa di situ.
Dicobanya ke sisi yang lain. Tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras.
Mungkin simpai besi! Diteruskannya meraba-raba. Terasa olehnya sesuatu yang
lembut dan rapuh. Mungkin itu kayu yang sudah tua, yang hanya berkat simpai besi
tadi belum hancur berantakan. Diteruskannya menggapai-gapai dalam lubang. Tibatiba terdengar Julian berseru kaget.
"He - aku kehujanan mata uang! Aduh, belum pernah aku melihat keping-keping
sebanyak ini!" "Ju - kurasa di atas terdapat lebih dari satu peti," kata Dick sambil meloncat
turun. Dipandangnya tumpukan mata uang yang berkilauan di dasar lorong. "Mungkin
kita menemukan harta karun itu! Sebaiknya kita biarkan dulu lubang itu seperti
sekarang. Cuma kita saja yang tahu mengenainya. Tapi uang yang berceceran ini
perlu kita kumpulkan. Siapa tahu, Ebby masuk kemari!"
Keping-keping uang emas itu mereka kantongi. Setelah itu dilanjutkan perjalanan
menyusur lorong. Mereka senang sekali, ketika tidak lama kemudian berhasil
mengenali kembali tempat yang sedang dilewati. Kemarin mereka sudah sampai ke
situ! "Mulai sekarang, gampang," kata Dick dengan gembira. "Sebentar lagi kita akan
sudah sampai di luar, dan sesudah itu kita datangi tukang kunci supaya dia
menolong kita membukakan pintu mercu suar!"
"Ssst!" desis Julian dengan tiba-tiba. "Aku tadi seperti mendengar sesuatu."
Keduanya memasang telinga sebentar. Tapi tak kedengaran apa-apa. Karena itu
perjalanan lantas diteruskan.
Mungkin Julian salah dengar.
Tapi ternyata tidak! Ketika mereka membelok di suatu tikungan yang menuju ke
sebuah gua, tiba-tiba ada orang menerpa. Julian langsung jatuh, disusul oleh
Dick. Tapi anak itu masih sempat melihat bahwa orang yang menerpa itu Ebenezer,
beserta seseorang lagi. Mungkin Jacob!
Ketika Dick jatuh, beberapa keping uang emas tercecer dari kantong nya. Ebenezer
berteriak kaget, lalu memungutnya. Julian hendak memanfaatkan kesempatan itu
untuk melarikan diri Tapi orang yang satu lagi ternyata sigap.
Ditangkapnya Julian dan didorongnya, sehingga jatuh terjengkang.
"Di mana kalian menemukan uang itu! Ayo bilang - kalau tidak, menyesal nanti!"
seru Ebenezer. Suaranya menggema berulang-ulang, "menyesal nanti - sal nanti nanti - nanti!" "lari, Dick!" kata Julian dengan napas tersengal-sengal. "Cuma itu satu-satunya
harapan kita." Ebenezer didorongnya kuat-kuat, sehingga orang itu menubruk kawannya, yang
ternyata memang Jacob. Seketika itu juga Julian dan Dick lari secepat-cepatnya,
kembali ke arah mereka datang tadi.
"Ayo kembali!" teriak Ebenezer dengan marah. Terdengar langkah kakinya mengejar.
"Cepat!" seru Dick dengan cemas. "Kalau kita berhasil mencapai lubang fondasi,
kita akan selamat!" "Tapi karena terlalu gugup, mereka salah membelok, dan tahu-tahu sampai di
sebuah gua yang belum pernah mereka datangi. Sedang Ebenezer dan Jacob lari
terus, tanpa melihat mereka.
"Kita sembunyi dulu di sini," kata Julian. "Biar mereka jauh dulu."
Mereka merunduk dalam gua itu. Setelah menunggu agak lama, barulah mereka
memberanikan diri ke luar lagi dan berusaha menemukan jalan kembali yang benar.
"Wah - jika kita sampai tersesat di sini, habislah riwayat kita!" kata Julian.
"Dan begitu pasang naik lagi, keadaan bisa benar-benar repot! Kita harus
berusaha keluar lewat lubang di kaki tebing - atau lewat lubang fondasi. Kita
tidak boleh sampai berpisah, Dick, apa pun yang terjadi nanti!"
Mereka berjalan terus, tanpa mengetahui apakah arah yang ditempuh mereka benar
atau tidak. Rasanya tidak habis-habisnya mereka menyusur lorong dan keluar-masuk
gua. Rupanya di bawah dasar laut terdapat rongga dan liang yang sangat
bercabang-cabang. Beberapa saat kemudian, kedua anak itu mendengar suara orang
bercakap-cakap. "itu suara Ebby - dan Jacob!" bisik Julian. "Mereka menuju kemari. Kita harus
bersembunyi di sini. Jangan sampai ketahuan!"
Mereka lantas bersembunyi, sambil memasang telinga untuk menangkap kata-kata
Ebby dan Jacob. "Kedua anak laki-laki itu harus lewat di sini lagi," kata Ebby. "Kita tunggu di
sini. Jangan berbunyi sedikit pun!"
"Wah - kalau begitu kita terpaksa nekat, lari menerobos hadangan mereka," bisik
Julian pada adiknya. "Yuk! Kalau tidak cepat-cepat, nanti terhadang air pasang!"
Keduanya lantas muncul dari tempat bersembunyi, lalu lari ke arah Ebby dan
Jacob. Kedua orang itu kaget melihat kemunculan mereka dengan begitu tiba-tiba,
sehingga tidak sempat bertindak.
Sementara itu Dick dan Julian lari terus. Kaki dan lengan mereka terbenturbentur ke batu. Tapi mereka terus lari, sementara senter disorotkan ke depan
untuk menerangi jalan. Mereka lari, dikejar dari belakang oleh Ebby dan Jacob.
"Aduh, aku rasanya kayak sedang mimpi buruk," kata Dick sengal-sengal. Tiba-tiba
ia berseru dengan kaget, "Julian! lihat - ada air masuk dalam lorong ini! Air
laut mulai naik!" "Ayo terus," kata Julian, "kurasa kita sudah tidak jauh lagi dari lubang
fondasi. Rasanya aku mengenal lorong dan gua ini. Ayo Dick, kita harus buru-buru
sampai di tangga'" "lihatlah - itu dia lubang fondasi!" seru Dick setelah beberapa lama berlari.
"Yuk, kita masuk ke sana! Cepat, Ju - air sudah mencapai mata kakiku!"
Mereka menyusup masuk lewat lubang sempit di dasar lubang, dari mana air
mengalir masuk ke dasar fondasi. Keduanya mulai memanjat tangga besi. Tapi
kemudian berhenti sebentar, untuk mengetahui apakah Ebby dan Jacob masih
mengejar terus. Saat itu mereka mendengar suara berteriak-teriak.
"Ebby! Kembali! Air laut masuk ke lorong!" Setelah itu terdengar Ebby menjawab
dengan nada marah. "Baik, aku kembali! Anak-anak tadi lari terus! Pasti sebentar lagi mereka akan
tenggelam!" Dick meringis mendengarnya.
"Yuk; Ju - kita naik! Aku bisa melihat cahaya terang yang masuk lewat lubang
tingkap di atas. Untung saja anak-anak meninggalkannya dalam keadaan terbuka!"
Tak lama kemudian mereka sudah muncul di tingkat dasar mercu suar, disambut oleh
Timmy yang menggonggong-gonggong dengan gembira. Sedang ketiga anak yang
ditinggal di situ tidak kalah gembiranya.
"Apakah yang terjadi tadi" Kalian tidak berhasil menemukan jalan ke luar untuk
mencari bantuan" Kedua orang penjahat itu ada di sana" Apakah yang terjadi?"
"Wah, banyak yang terjadi tadi," kata Julian. "Tapi untung kami tidak sampai
tertangkap oleh Ebby dan Jacob. Mereka mengintai untuk menyergap kami. Yuk, kita
ke atas - nanti akan kuceritakan segala-galanya."
"Apakah yang sebetulnya terjadi?" desak George. "Kalian kelihatannya begitu
bergairah! Apakah yang terjadi di bawah tadi?"
"Kami menemukan harta karun," kata Julian. "Tapi nantilah kuceritakan, kalau
kita sudah di atas."
Tak lama kemudian Julian dan Dick sudah sibuk bercerita, sementara anak-anak
yang tadi ditinggal mendengarkan dengan asyik.
"Rupanya itulah harta yang dicari-cari selama ini," seru mereka sambil menandaknandak, karena tidak bisa menahan kegembiraan. "Aduh, Ju - bagaimana perasaanmu
tadi, ketika tiba-tiba kejatuhan keping-keping uang emas?"
"Dengan sendirinya aku sangat gembira!" kata Julian. "Aduh, jangan tarik-tarik
rambutku, Iseng! Nah - bagaimana keadaan cuaca di luar" Kami tidak tahu apa-apa,
selama di bawah!" "Wah, buruk kembali, Ju!" kata Anne. "Kelihatannya akan datang badai lagi. lihat
saja awan hitam yang bergulung-gulung itu!"
"Ya - kelihatannya parah," kata Julian. Kegembiraannya menyurut. "Jadi biarpun
kita bisa ke luar lewat pintu, hari ini kita sudah jelas tidak bisa meninggalkan
tempat ini!" "Ju - si Utik menemukan radio transistor tua milik ayahnya dalam sebuah lemari,"
kata Anne, "tapi masih baik! Kami mendengarkan ramalan cuaca. Tadi ada
peringatan bagi semua kapal yang sedang berlayar di laut atau dekat pantai.
Semua disuruh cepat-cepat berlindung di tempat yang aman!"
"Sekarang aku tidak tahu harus berbuat apa," kata Julian, sambil memandang ke
luar. "Bagaimana caranya memberitahukan pada orang-orang bahwa kita terkurung
dalam mercu suar ini" Kita harus mencari akal!"
Tapi bagaimana caranya meminta bantuan, apabila tidak ada jalan untuk memberi
tahu" Bagaimana caranya keluar dari mercu suar, apabila anak kunci saja tidak
ada" Sedang jalan lari lewat dasar laut terhambat air pasang!
Bab 21 GAGASAN CEMERLANG "Aku haus," kata si Utik. "Kuambil limun ah!"
"He, jangan mengobral minuman," kata Dick. "Kita kan tidak tahu berapa lama kita
akan terkurung di sini - sedang persediaan makanan dan minuman terbatas'"
Si Utik menoleh dengan cemas ke arahnya. "Mungkinkah kita akan terkurung di sini
sampai berminggu-minggu?" tanya anak itu.
"Mungkin saja, apabila orang-orang menyangka kita sudah pulang ke rumah, karena
cuaca di sini buruk terus," kata Julian dengan serius. "Kalau begitu takkan ada
orang yang peduli, karena menyangka kita sudah aman di rumah."
"Tapi Ibu pasti akan cemas, jika beberapa hari tidak menerima kabar dari kita,"
kata George. "Kita kan sudah berjanji akan mengirim kartu pos padanya setiap
hari. Jadi apabila ia tidak menerimanya sampai dua hari berturut-turut, Ibu
pasti akan mulai waswas, dan menyuruh orang kemari."
"Syukurlah jika benar begitu," kata Dick dengan lega. "Tapi walau begitu aku tak
ingin terkurung lama-lama di sini tanpa bekal makanan. Tapi ada yang sangat
banyak di sini. Air hujan!"
"Mestinya ada jalan keluar dari kesulitan ini," kata Julian, yang selama itu
sibuk termenung sendiri. "Tidak bisakah kita mengirim pesan ke luar, dengan
salah-satu cara" Adakah bendera-bendera di sini, Tik - dengan mana kita bisa
melambai-lambai dari jendela?"
"Tidak, aku belum pernah melihat ada bendera di sini," jawab si Utik. "Tapi
bagaimana dengan taplak meja berwarna putih" Kalau itu, kami punya selembar."
"Ya - itu pun boleh juga," kata Julian. "Tolong ambilkan, Tik!"
Si Utik mengangkat taplak putih dari meja, lalu menyerahkannya pada Julian.
Dengan taplak itu Julian pergi ke jendela. Ia memandang kaca jendela yang kabur
kena percikan ombak. "Kurasa takkan ada yang akan melihat taplak yang dilambai-lambaikan dari jendela
ini," katanya. "Tapi baiklah, kucoba juga! Astaga - sulit benar membuka jendela.
Macet rupanya!" Tapi akhirnya ia berhasil juga membukanya. Seketika itu juga angin kencang
menghembus ke dalam. Barang-barang beterbangan dihembusnya. Kertas-kertas, bukubuku, hamparan lantai. Kursi-kursi bergulingan, sedang si Iseng bahkan sampai
terpelanting ke sudut ruangan. Timmy menggonggong ketakutan. Ia berusaha
menyambar kertas-kertas yang beterbangan di depan hidungnya. Dan taplak meja
terenggut dari tangan Julian, langsung hilang diterbangkan angin. Dengan susahpayah Julian berhasil menutup jendela kembali. Keadaan dalam ruangan pulih
menjadi tenang seperti semula.
"Huahh," desah Julian. "Tak kusangka sekeras itu angin bertiup dari luar. Taplak
tadi, mestinya sudah terbang jauh dari sini. Burung-burung camar tentunya kaget,
kalau tiba-tiba melihat ada kain putih menggelepak-gelepak dibawa angin di depan
mereka!" Walau ketakutan, tapi mau tak mau George tertawa juga mendengar ucapan Julian
itu. "Aduh, untung kau tidak ikut diterbangkan angin, Ju," katanya. "Wah, badai
benar-benar mengamuk! Ajaib, mercu suar ini tidak apa-apa."
"Tapi terasa juga bergetar sekali-sekali," kata Dick. "Nah, itu-terasa, kan"
Mungkin disebabkan hempasan ombak ke karang, atau karena hembusan angin pokoknya aku merasa bangunan ini tergetar sedikit."
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
'''Omong kosong! Jangan suka main-main" tukas Julian, ketika melihat Anne
ketakutan. "Kau tahu pasti, mercu suar ini tidak bisa tumbang ditiup angin?" tanya Anne
dengan suara lirih. "Pakai akal sehatmu dong," kata Julian. "Masak bangunan ini masih ada sampai
sekarang, jika tidak kuat menahan topan yang lebih dahsyat dari sekarang ini?"
"Si Iseng juga ketakutan," kata si Utik. "lihatlah, dia juga bersembunyi."
"Yah - biar saja," kata Julian. "Dengan begitu kaleng biskuit dan bungkusan
permen kita bisa aman! Aku kepingin tahu, sudah berapa saja permen yang
dimakannya." Saat itu datang angin yang keras sekali memukul dinding mercu suar. Timmy kaget,
lalu menggeram-geram. Hujan menampar-nampar kaca jendela. Kedengarannya seperti
ada yang melempari dengan batu.
Julian sangat gelisah. Kelihatannya cuaca buruk itu akan lama juga. Mungkin
berhari-hari. Sedang persediaan makanan tak mungkin akan tahan selama itu.
Memang makanan dalam kaleng masih ada. Dan persediaan air pun banyak, karena
hujan turun terus-menerus. Tapi anak-anak seakan-akan tidak habis-habisnya
merasa lapar! "Jangan sesuram itu, Ju," kata George, ketika melihat tampang Julian.
"Perasaanku memang sedang begitu," kata Julian. "Biar aku berpikir-pikir sampai
sakit kepala, toh tak bisa kutemukan cara untuk pergi dari sini-atau untuk minta
tolong. Kita tidak mempunyai apa-apa untuk memberi isyarat...."
"Sayang lampu suar sudah tidak pernah dipakai lagi," kata si Utik. "Itukan alat
pemberi isyarat yang baik sekali."
Ia kaget sekali ketika tiba-tiba Julian berseru keras, melompat ke arahnya lalu
menepuk punggungnya dengan begitu keras sehingga ia nyaris terjatuh dari
kursinya. "He! Ada - ada apa?" kata si Utik terbata-bata, sambil menggosok-gosok punggung
yang terasa pedas kena tepukan Julian.
"Masak tidak mengerti"! Barangkali saja kita bisa menyalakan lampu suar itu lagi
- tentu saja bukan untuk memberi isyarat pada kapal-kapal, tapi untuk
menyadarkan orang-orang bahwa kita masih ada di sini!" kata Julian dengan
bersemangat. "Tik, apakah kau tahu mungkin tidaknya lampu suar itu kita nyalakan
lagi?" "Kurasa bisa," jawab si Utik. "Ayahku pernah menunjukkan cara kerjanya padaku.
Dan kurasa, aku masih ingat caranya. 0 ya - kecuali itu ada lonceng di atas,
yang bisa dibunyikan!"
"lebih baik lagi!" kata Julian. "Di mana sekarang barang itu?"
"Sudah dibuka dan disimpan," kata si Utik. "Kalau dulu, lonceng itu tergantung
di beranda luar. Di sana ada kaitan untuknya"
"0, jadi di luar," kata Julian. "Kalau begitu kita harus ke luar untuk
menggantungkannya lagi. Hmm - padahal tiupan angin saat ini kecepatannya ada
sekitar seratus lima puluh kilometer sejam. Berbahaya! Tapi biarlah - kita cari
saja dulu lonceng itu."
Ternyata benda itu disimpan dalam kamar gudang, ditutupi dengan kain terpal.
Dulunya lonceng itu diperlengkapi dengan palu yang digerakkan dengan peralatan
yang menyebabkannya bergerak memukul sisi lonceng pada waktu-waktu tertentu.
Tapi alat penggerak itu kini sudah dibongkar, tidak bisa dipakai lagi.
"Kita angkut lonceng ini ke atas," kata Julian. "Aduh, ternyata berat sekali!
Tolong aku sebentar, Dick!"
Berdua mereka mengangkat lonceng ke ruang duduk, sedang si Utik membawa palu
pemukulnya. "Coba pukul, Tik," kata Julian, sementara ia bersama Dick menjunjung tinggitinggi. "Aku ingin tahu nyaring atau tidak bunyinya."
Si Utik mengayunkan palu, dan - DOONGGG!
Bunyi lonceng menggema dalam ruangan, menyebabkan Timmy dan si Iseng lari
pontang-panting ke luar dan jatuh berguling-guling di tangga putar. Anak-anak
pun kaget. Mereka berpandang-pandangan dengan takjub. Gema bunyi lonceng masih
merambat dalam ruangan. Telinga anak-anak mendenging rasanya. Mereka
menggoncang-goncang kepala, berusaha menghilangkan dengingan itu dari telinga
mereka. Akhirnya Julian memegang tepi lonceng. Seketika itu juga bunyinya
lenyap. "Hebat sekali lonceng ini!" katanya kagum. "lihatlah, ternyata sudah tua sekali!
Di sini tertera, 'Pengecoran tahun 1896'! Wah - jika kita bisa menggantungkannya
ke kaitan di beranda, pasti bunyinya akan terdengar sampai ke desa!"
Si Utik mengangkat palu untuk memukul sekali lagi. Tapi buru-buru dicegah oleh
Dick. "Jangan! Kau kan sudah melihat tadi - Timmy dan si Iseng sangat ketakutan
mendengarnya! Mungkin jika lonceng kita bunyikan lagi, keduanya akan meloncat ke
luar jendela!" "Kita tunggu dulu sampai angin agak reda," kata Julian. "Setelah itu kita
mencoba menggantungkannya di luar. Sekarang kita memeriksa lampu suar. Mungkin
perlu diisi dengan minyak, Tik!"
"Mungkin juga - tapi kurasa ketika mercu suar ini ditinggalkan dulu, di dalamnya
masih ada minyak sedikit," kata si Utik. "Tapi itu bukan soal, karena dalam
kamar gudang banyak minyak."
"Bagus," kata Julian. Perasaannya tidak sesuram tadi lagi. "Nah - apabila badai
ini agak reda, nanti kita mencoba menggantungkan lonceng di luar. Kalau sudah,
akan langsung kita bunyikan, tanpa menunggu sampai lampu sudah menyala."
Tapi badai bukannya mereda, melainkan semakin menggila saja. Julian bahkan mulai
sangsi, bisa tahankah mercu suar dihantam angin sekeras itu terus-menerus.
Apakah tidak lebih baik jika anak-anak disuruhnya pindah semua ke kamar gudang,
untuk berjaga-jaga. "Akan kulakukan, jika badai semakin mendahsyat," katanya dalam hati. "Tapi jika
mercu suar sampai tumbang, biar di mana pun kita berada pasti akan celaka!" ?
Sorenya mereka naik ke bilik lampu, untuk melihat lampu suar yang ada di situ.
Si Uik menjelaskan cara kerjanya.
"Dulu bisa berputar-putar dengan sendiri," katanya. "Di sini - dan di sini, ada
tabir, sehingga nyala lampu kelihatan seperti berkedip-kedip kalau diperhatikan
dari kapal. Padahal sebenarnya menyala terus. Tapi kalau berkedip-kedip, lebih
besar kemungkinannya akan diperhatikan orang."
Tabir pengedip itu sudah rusak semuanya. Dalam lampu masih ada minyak sedikit,
tapi ditambah lagi oleh Julian. Sumbunya nampak masih baik. Sekarang jika lampu
itu bisa dinyalakan tanpa padam lagi, pasti akan ada orang melihatnya. Dan
bertanya-tanya, apa sebabnya lampu mercu suar yang sudah tidak dipakai lagi itu
tiba-tiba menyala! Julian merogoh kantong, mencari korek api. Bilik lampu tertutup kaca
sekelilingnya, jadi tidak sukar untuk menyalakan korek api di situ. Begitu
menyala, langsung disentuhkan oleh Julian ke sumbu yang berminyak. Dan - lampu
suar menyala! Cahayanya sangat menyilaukan. Dick bersorak-sorak girang.
"Kita berhasil!" serunya. "Malam ini kau akan bekerja lagi, hai mercu suar!"
Mereka menunggu di situ, sampai tiupan angin agak mereda.
"Sekarang kita gantungkan lonceng di luar," kata Julian kemudian. Dengan hatihati dibukanya pintu yang menuju ke beranda. Setelah itu bersama Dick
dijunjungnya lonceng dan digantungkan ke kaitan yang ada di luar. Begitu sudah
tergantung, Julian pun mengangkat palu untuk memukul - tapi tepat pada saat itu
datang hembusan angin kencang! Julian terhuyung-huyung, nyaris saja terlempar
jatuh ke bawah. Untung ada sandaran di sekeliling beranda itu! Dick cepat-cepat memegang lengan
abangnya, dan dengan dibantu George ditariknya Julian ke dalam kamar lampu!
Ketiga-tiganya pucat pasi tampangnya!
"Aduh, hampir saja celaka," kata George. Badannya gemetar. "Kita harus berhatihati jika keluar lagi nanti! Mungkin lebih baik jika kita mencoba dengan lampu
saja." "Kurasa sekarang kita minum teh saja dulu di bawah," kata Julian. Kakinya terasa
lemas, ketika ia berjalan menuruni tangga putar. Ia kaget sekali, karena
sebetulnya ia jarang merasa takut seperti saat itu.
Tapi kegembiraan pulih dengan segera, begitu anak-anak sudah merasakan
kehangatan teh panas mengalir masuk ke dalam perut, disertai biskuit jahe
beberapa potong. "Aku ingin hari lekas gelap, supaya kita bisa melihat betapa terang sinar lampu
suar," kata Dick. "Tapi hari ini pasti akan cepat gelap!"
Dan katanya benar. Dengan cepat sekeliling mercu suar sudah gelap sekali,
sehingga sinar mercu suar memancar dengan terang-benderang!
Dan mengalahkan deru angin dan gelombang, terdengar bunyi nyaring berdentangdentang. Julian memukulkan palu berulang kali ke lonceng, sementara Dick
memeganginya erat-erat supaya tidak terdorong angin lagi seperti tadi. Sekarang
- mungkinkah ada orang yang mendengar bunyi itu" Adakah yang melihat sinar
terang yang menembus kegelapan malam badai"
Bab 22 AKHIR PETUALANGAN Malam itu orang-orang di desa Karang Setan menutup jendela rapat-rapat dengan
tirai. Api pediangan dinyalakan. Semua bersyukur, karena tidak harus berada di
luar dalam keadaan cuaca seburuk itu.
Kakek Jeremiah Boogle sedang duduk menghadapi api pediangan yang berkobar-kobar
di rumahnya. Ketika sedang mengisi pipa dengan tembakau, tiba-tiba didengarnya
suatu bunyi yang aneh, tapi tidak asing baginya. Korek api yang sudah menyala
terlepas dari tangannya. Orang tua itu memasang telinga dengan heran.
DOONGG! DONGG! DOOONGGG! "Bunyi lonceng! lonceng yang tak pernah lagi kudengar bunyinya selama empat
puluh tahun!" kata Kakek Jeremiah. Ia berdiri. Sukar rasanya mempercayai
pendengarannya sendiri. "Tidak, tidak mungkin itu bunyi lonceng mercu suar. Kan
sudah sejak bertahun-tahun tak pernah terdengar lagi!"
DONGGG! Kakek Jeremiah bergegas ke jendela, lalu menyingkapkan tirai yang menutupi. Ia
menatap ke luar. Astaga! Ia berteriak, karena sangat kaget.
"Millie! Millie! Coba ke sini sebentar! lihatlah, lampu suar menyala lagi.
Millie! Ke mana lagi cucuku itu"! Millie!"
"Ada apa, Kek?" Seorang wanita bertubuh gemuk bergegas-gegas masuk.
"Lihatlah - apakah aku tidak salah lihat" Betulkah di luar nampak sinar memancar
dari mercu suar yang tua?" tanya Kakek Jeremiah.
"Yah - jauh tinggi di atas beting Karang Setan nampak cahaya terang," kata
Millie. "Tapi aku belum pernah melihat lampu mercu suar yang di sana menyala,
Kek! Dan bunyi apa itu yang berdentang-dentang - seperti bunyi lonceng besar?"
"itu bunyi lonceng tua yang ada di mercu suar!" kata Kakek. "'Tak mungkin aku
keliru! Sudah sering aku mendengarnya dulu, memperingatkan kapal-kapal agar
jangan berlayar mendekati Karang Setan! Tapi itu tidak mungkin, Millie - lonceng
itu sudah tidak ada lagi di sana. Dan lampunya juga sudah tak menyala lagi.
Apakah yang sedang terjadi?"
"Entahlah, Kek," jawab Millie ketakutan. "Sepanjang pengetahuanku tak ada siapasiapa dalam mercu suar itu!"
Kakek menghantamkan tangannya ke ambang jendela, sampai sebuah pot kembang
terjatuh. "Ada orang di sana! Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Serta seekor
monyet dan seekor anjing."
"Astaga!" kata Millie kaget. "Mau apa mereka di sana" Merekakah yang menyalakan
lampu dan membunyikan lonceng?" Tepat pada saat itu terdengar lagi dentangannya.
DONGG! "Nah itu, terdengar lagi! Nyaring sekali bunyinya. Anak-anak yang sudah
tidur pasti terbangun lagi karenanya!"
Ucapan Millie ternyata tepat. Anak-anak di desa terbangun dari tidur, sedang
semua orang dewasa tercengang-cengang mendengarnya. Termasuk Jacob dan Ebenezer.
Kedua orang itu terlompat ketika pertama kalinya terdengar bunyi lonceng. Mereka
melongo ketika memandang ke luar, dan melihat nyala mercu suar di kejauhan.
Mereka mendengar langkah orang berlari-lari di depan rumah mereka, menuju ke
dermaga Karang Setan. Mereka juga mendengar suara Kakek Jeremiah Boogle yang
nyaring berseru-seru. "itu anak-anak yang menginap di mercu suar!" seru orang tua itu. "Mereka
membunyikan lonceng dan menyalakan lampu. Rupanya ada sesuatu yang tidak beres.
Mereka memerlukan pertolongan! Mereka dalam bahaya!"
Dan Ebenezer tahu dengan pasti, apa yang tidak beres di mercu suar. Begitu pula
halnya dengan Jacob. Anak-anak terkurung di sana, tidak bisa ke luar! Mungkin
mereka sakit atau cedera. Mungkin pula kelaparan, tapi tidak bisa pergi ke luar
untuk meminta pertolongan.
Sementara itu seluruh desa sudah tahu. Mereka bertekat akan mengirim sebuah
perahu keesokan paginya, untuk menyelidiki apa yang terjadi
Malam itu juga Ebby dan Jacob pergi meninggalkan desa dengan diam-diam. Mereka
bukan takut pada Sersan Sharp, tapi pada penduduk desa! Tapi mereka takkan bisa
melarikan diri. Pasti akan tertangkap juga nanti. Dan jika tertangkap, takkan
ada yang merasa kasihan pada mereka.
Ketika akhirnya fajar menyingsing, orang-orang berbondong-bondong datang ke
dermaga, siap untuk menyeberang ke karang mercu suar. Angin masih tetap bertiup
dengan kencang, mendorong ombak bergulung-gulung menyelaputi karang tempat mercu
suar berdiri. Dengan segera sebuah perahu diturunkan ke air, ditumpangi oleh Kakek Jeremiah,
Sersan Sharp serta dokter desa. Perahu bergerak diombang-ambingkan ombak, menuju
ke beting karang. Begitu sampai, ketiga orang itu bergegas-gegas menaiki tangga batu, lalu
menggedor-gedor pintu. Terdengar suara Julian dari dalam.
"Pintu terpaksa didobrak dari luar. Ebby atau Jacob menguncinya dari luar,
sedang anak kuncinya dibawa pergi. Kami tidak bisa keluar, sedang persediaan
makanan sudah menipis."
"Baiklah!" Jawab Kakek Jeremiah. "Sekarang mundur dulu. Aku akan mendobrak
pintu, bersama Sersan Sharp!"
Kakek itu memang sudah tua, tapi tubuhnya masih tetap kekar. Dan Sersan Sharp
tidak kalah kekar. Keduanya mendorong berulang kali. Akhirnya kunci jebol dan
pintu terbuka dengan keras.
Kakek Jeremiah dan polisi itu terdorong masuk, menubruk anak-anak yang berdiri
di belakang pintu sehingga terpelanting. Timmy kaget lalu menggonggong. Sedang
si Iseng lari pontang-panting ke atas tangga!
Tak lama kemudian semua duduk di atas. Julian menuturkan pengalaman mereka. Anne
menghidangkan teh panas. Kakek Jeremiah mendengarkan cerita Julian dengan mulut
ternganga, sementara Sersan Sharp sibuk mencatat. Pak Dokter ikut mendengarkan
sambil menghirup tehnya. Ia merasa lega, karena ternyata tidak ada yang cedera.
"Kami tidak tahu bagaimana kami harus keluar," kata Julian menjelang akhir
laporannya. "Karena itu kami lantas menyalakan lampu suar, menggantungkan
lonceng di luar dan membunyikannya. Tapi saya tidak tahan berdiri di beranda,
karena angin di situ kencang sekali! Saya membunyikannya selama setengah jam,
dan setelah itu digantikan oleh Dick. Begitu terus, silih berganti sampai kami
tak tahan lagi karena kedinginan. Tapi lampu suar tidak menyala sepanjang malam.
Menjelang pagi padam!"
"Tapi baik lonceng maupun lampu itu ternyata berguna, Nak," kata Kakek Jeremiah.
Saat itu ia nampak menjadi dua puluh tahun lebih muda, karena semangatnya yang
berkobar-kobar. "Ah-melihat lampu suar menyala, dan mendengar lonceng tua
berdentang lagi - kukira aku sedang mimpi saat itu!"
"Kami akan mengejar Ebenezer dan Jacob sampai tertangkap," kata Sersan Sharp,
sambil menutup buku catatannya. "Sekarang lebih baik jika kalian pulang saja
semua. Cuaca kelihatannya akan terus-menerus begini selama beberapa waktu. Jadi
tak ada gunanya bertahan di sini terus, kan?"
"Yah - sebetulnya ada sesuatu yang menahan kami di sini," jawab Julian. Ia
berpaling pada Kakek Jeremiah. "Anda masih ingat, Kek tentang harta karun para
pencoleng yang hilang! Nah, kami berhasil menemukannya!"
Kakek Jeremiah begitu kaget, sehingga sesaat ia tidak bisa mengatakan apa-apa.
Ia cuma menatap Julian terus dengan mata terbelalak, sementara mulutnya membuka
dan menutup tanpa bersuara.
Julian merogoh kantong, mengambil beberapa keping uang emas lalu menyodorkannya
pada ketiga laki-laki itu.
"Ini dia!" katanya. "Kami tahu di mana beribu-ribu keping semacam ini tersimpan!
Semua ditaruh dalam peti-peti bersimpai besi yang terselip-di sebuah lubang
dalam salah satu lorong di bawah dasar laut. Nah, apa kata kalian" Kami belum
bisa pergi dari sini, sampai seluruh harta itu sudah kami serahkan pada polisi.
Semuanya sekarang kan menjadi milik negara?"
"Betul," kata Sersan Sharp sambil menatap mata uang emas yang berkilat-kilat
itu. "Tapi kalian semua akan menerima hadiah! Di mana harta karun itu" Sebaiknya
sekarang juga kuambil. "
"Yah - Anda mula-mula harus menuruni lubang fondasi mercu suar ini," kata Julian
dengan serius, tapi dengan kilatan mata jenaka "setelah itu menyusup ke dalam
sebuah lorong yang ada di dasarnya. Anda harus terus menyusur lorong itu - tapi
harus berhati-hati, jangan sampai terjebak air yang naik pada saat pasang tinggi
dan kemudian Anda akan sampai di...."
Sersan Sharp berhenti mencatat. Nampaknya ia kaget. Julian tertawa.
Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarlah, Pak! Saya dan -Julian yang akan mengambilnya hari ini juga! Semuanya
akan kami serahkan pada Anda," katanya. "Kita tidak perlu menuruni lubang
fondasi, karena ada jalan lain menuju ke situ lewat jalan yang Anda tunjukkan
pada kami, Kek! Kami akan ke sana pagi ini juga - untuk mengalami petualangan
asyik untuk terakhir kali. Setelah itu, pulang! Maukah Anda menolong kami"
Tolong teleponkan ke bengkel mobil di desa Kirrin, memesankan mobil untuk
menjemput kami pukul dua belas nanti?"
"Bagus!" kata Anne dengan gembira. "Aku selalu senang mengalami petualangan tapi sekali ini kurasa sudah cukup banyak yang kita alami! Apalagi cuaca begini
buruk! Awas Pak Sersan - monyet itu mengambil peluit Anda!"
Sebelum Sersan Sharp sempat bertindak, peluitnya sudah disambar oleh si Iseng,
yang langsung meniupnya, sehingga kini monyet kecil itu yang terkejut.
"Selamat tinggal, Kek," kata Julian dengan ramah. "Terima kasih atas kebaikan
hati Anda, datang menyelamatkan kami. Kapan-kapan kita pasti bertemu lagi. Yuk,
Pak Sersan - kita mengambil harta itu sekarang." .
"Aku lebih baik tidak ikut saja," kata Anne. Dia memang paling tidak senang pada
tempat-tempat yang gelap dan berbau pengap. "Aku akan berkemas-kemas di sini."
"Aku juga membantu, bersama Timmy," kata George. Ia tahu saudara sepupunya itu
tidak senang apabila ditinggal sendirian di mercu suar itu.
Anak-anak yang laki-laki ikut dengan Kakek Jeremiah, Sersan Sharp dan dokter
desa, menyeberang ke dermaga. Sesampai di sana Kakek dan Pak Dokter berpisah
dengan mereka. Tinggal ketiga anak laki-laki bersama Sersan Sharp yang akan
mengambil harta karun. Mereka terpaksa menerobos kerumunan orang banyak, yang
datang ke situ karena ingin tahu apa sebabnya lampu mercu suar menyala tadi
malam, dan kenapa lonceng berdentang-dentang.
"Bolehkah kami lewat?" pinta Sersan Sharp dengan sopan pada orang-orang itu.
"Semuanya beres. Anak-anak ini kemarin malam terkurung dalam mercu suar dan
tidak bisa keluar. Harap minggir. Anda semua tidak perlu gelisah!"
"Satu lagi petualangan kita berakhir, Julian," kata. Dick. "Wah - kadang-kadang
hatiku berdebar-debar juga, apabila situasi sedang gawat. Tapi akan enak rasanya
apabila kita sudah kembali berada di Pondok Kirrin, dikelilingi ketenangan."
"Kau lupa rupanya bahwa di sana ada Paman Quentin beserta kawannya," kata Julian
sambil nyengir. "Dengan adanya mereka di sana, keadaan tidak mungkin bisa
tenang! Kurasa mereka takkan gembira melihat kita muncul kembali."
Tapi sekali ini dugaan Julian meleset. Kedua sarjana itu gembira sekali melihat
anak-anak pulang. Apalagi setelah mendengar kisah petualangan mereka yang begitu
mendebarkan hati. Serta melihat keping-keping uang emas yang berkilat-kilat.
Satu di antaranya dijadikan kalung Timmy. Sebagai tanda terima kasih atas
jasanya, menjaga anak-anak dengan baik!
TAMAT http://tagtag.com/tamanbacaan
Pusaka Negeri Tayli 1 Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor Bidadari Dari Sungai Es 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama