Ceritasilat Novel Online

The Hunger Games 1

The Hunger Games Karya Suzanne Collins Bagian 1


The Hunger Games Suzanne Collins situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Bab 1 BAGIAN 1 PARA PESERTA Saat aku terbangun, bagian ranjang sebelahku ternyata dingin. Jemariku terulur,
mencari kehangatan Prim tapi hanya menemukan kain kanvas kasar yang menutupi
kasur. Dia pasti mengalami mimpi buruk dan naik ke ranjang ibu kami. Tentu saja,
dia pasti mimpi buruk. Hari ini hari pemungutan. Aku bertumpu pada sikuku. Ada cukup cahaya dikamar
tidur sehingga aku bisa melihat mereka. Adik perempuanku, Prim, bergelung
menyamping, menyelusup menempel pada tubuh ibuku, pipi mereka bersentuhan.
Dalam tidurnya, ibuku tampak lebih muda, masih kelihatan capek tapi tidak
tampak kelelahan setengah mati. Wajah Prim sesegar tetesan hujan, semanis bunga
primrose, seperti namanya. Ibuku dulu juga sangat cantik. Begitulah yang mereka
ceritakan. Duduk dilutut Prim, menjaganya, adalah kucing paling jelek di dunia. Hidungnya
pesek, setengah dari satu telinganya hilang, warna matanya seperti ketela busuk.
Prim menamainya Buttercup, berkeras menyatakan bahwa warna bulunya yang
berwarna kuning lumpur mirip seperti warna bunga yang cerah.
Kucing itu membenciku. Atau paling tidak dia tidak percaya padaku. Meskipun
sudah bertahun-tahun berlalu, kurasa dia masih ingat bagaimana aku berusaha
menenggelamkannya di dalam ember ketika Prim membawa pulang. Kucing
kudisan, dengan perut penuh cacing dan digerogoti kutu.
Hal terakhir yang kubutuhkan adalah mahkluk lain yang harus kuberi makan. Tapi
Prim memohon dengan amat sangat, bahkan sampai menangis, sehingga aku harus
mengizinkan kucing itu tinggal. Hasilnya ternyata lumayan. Ibuku berhasil
menyingkirkan kuman dari tubuhnya dan kucing itu pandai menangkap tikus.
Bahkan kadang-kadang bisa menangkap tikus-tikus besar. Kadang-kadang sehabis
berburu, kuberikan isi perut binatang buruanku Buttercup. Dia sudah tidak lagi
mendesis marah setiap kali melihatku.
Isi perut binatang. Tidak ada desisan. Inilah hubungan termesra yang bisa kami
jalani. Aku mengayunkan kedua kakiku turun dari ranjang dan memakai sepatu bot
berburuku. Sepatu itu berbahan kulit lentur yang sudah tercetak dengan kakiku.
Kupakai celana panjang, kemeja, dan kuselipkan kepang rambut panjangku yang
berwarna gelap kedalam topi, lalu kuambil tas berburuku. Di atas meja, dibawah
mangkuk kayu, untuk melindunginya dari tikus dan kucing kelaparan, tersembunyi
sepotong kecil keju kambing yang terbungkus daun basil. Hadiah Prim untukku
pada hari pemungutan. Kusimpan keju itu dengan hati-hati ke dalam sakuku ketika
aku menyelinap keluar. Bagian wilayah kami di Distrik 12 ini dijuluki Seam, pada jam sepagi ini biasanya
disesaki para penambang batu bara yang sedang menuju tempat kerja memulai
shift pagi. Pria dan wanita dengan bahu-bahu bungkuk, buku-buku tangan yang
bengkak, sudah lama berhenti berusaha mencungkil sisa-sisa lapisan arang batu
bara yang terselip di antara kuku mereka yang patah, atau di garis-garis wajah
mereka yang cekung. Tapi hari ini jalan-jalan yang hitam karena sisa arang tampak kosong. Daun-daun
jendela di rumah-rumah kelabu kecil tampak kosong. Daun-daun jendela di rumahrumah kelabu kecil tampak tertutup. Pemungutan berlangsung jam dua siang.
Lebih baik tidur saja lagi. Seandainya kau masih bisa tidur.
Rumah kami nyaris berada di ujung Seam. Aku hanya perlu melewati beberapa
pagar untuk tiba dilapangan tak terurus yang disebut Padang Rumput. Memisahkan
Padang Rumput dari hutan, dan yang melingkungi seluruh Distrik 12, adalah
rangkaian pagar besi tinggi dan puncaknya dipasangi kawat berduri. Secara teori,
seharusnya pagar itu dialiri arus listrik selama 24 jam sehari untuk menghalau
binatang-binatang pemangsa yang hidup dihutan -kawanan anjing liar, macan
kumbang yang berburu sendirian, dan beruang- yang dulu mengancam jalananjalanan kota kami. Tapi sejak kami bisa dibilang cukup beruntung jika mendapat
listrik selama dua atau tiga jam pada malam hari, pagar ini biasanya jadi aman
untuk dipegang. Meskipun begitu, aku selalu menunggu sejenak seraya
mendengarkan apakah ada dengungan yang berarti pagar ini dialiri listrik.
Sekarang, pagar ini setenang batu. Kukempiskan perutku dan kusorongkan
tubuhku ke bawah bagian pagar yang longgar sekitar setengah meter. Celah itu
sudah ada selama bertahun-tahun, namun tertutup dibawah sesemakan. Masih ada
beberapa bagian longgar di pagar ini, tapi celah yang satu ini paling dekat dengan
rumah sehingga aku hampir selalu masuk ke hutan lewat bagian ini.
Ketika aku berada di antara pepohonan, aku langsung mengambil busur dan anakanak panah dari batang kayu yang berongga. Entah dialiri listrik atau tidak, pagar
itu berhasil menjaga binatang pemakan daging agar tetap berada diluar Distrik 12.
Di dalam hutan, mereka berkeliaran bebas, dan masih ada pula tambahan
kekuatiran lain seperti ular-ular berbisa, anjing-anjing gila, dan tak ada jejak yang
bisa diikuti. Tapi ada juga makanan jika kau tahu bagaimana menemukannya.
Ayahku tahu dan dia mengajariku sebagian caranya sebelum dia meledak
berkeping-keping dalam ledakan tambang. Bahkan jasadnya nyaris tak tersisa
untuk bisa dikuburkan. Umurku sebelas waktu itu. Lima tahun kemudian, aku
masih terbangun sambil berteriak pada ayahku agar lari dari tambang.
Walaupun melanggar batas dan memasuki hutan dianggap perbuatan ilegal dan
berburu tanpa izin bisa dihukum berat, tapi banyak orang berani mengambil risiko
itu jika mereka memiliki senjata. Tapi kebanyakan orang tidak punya cukup nyali
untuk keluar hanya bermodalkan pisau. Panahku adalah benda langka, dibuat oleh
ayahku bersama sejumlah benda lain yang kusembunyikan dengan baik di hutan,
kubungkus dengan hati-hati dengan pembungkus tahan air. Ayahku bisa mendapat
uang banyak jika dia mau menjualnya, tapi jika pihak yang berwenang
mengetahuinya dia bisa dieksekusi didepan umum karena menghasut
pemberontakan. Sebagian besar Penjaga Perdamaian menutup mata pada segilintir kami yang
berburu karena mereka juga lapar daging sama seperti semua orang.
Sesungguhnya, mereka pelanggan-pelanggan terbaik kami. Tapi gagasan bahwa
ada orang yang mungkin saja bisa mempersenjatai Seam selamanya takkan pernah
diperbolehkan. Pada musim gugur, beberapa orang yang memiliki jiwa pemberani menyelinap ke
hutan untuk memanen apel. Tapi masih dalam jarak pandang bisa melihat Padang
Rumput. Selalu cukup dekat untuk bisa berlari melesat dalam lindungan keamanan
Distrik 12 jika timbul masalah.
"Distrik Dua Belas. Di sana kau bisa mati kelaparan dalam keadaan aman,"
gumamku. Kemudian aku menoleh cepat kebelakang. Bahkan disini, ditengah
antah berantah, kau merasa kuatir ada orang yang bisa mendengarmu.
Ketika umurku masih muda, aku membuat ibuku benar-benar ketakutan dengan
kata-kata yang kuocehkan tentang Distrik 12, tentang orang-orang yang menguasai
kami, Panem, dari kota nun jauh di sana bernama Capitol. Pada akhirnya aku
paham bahwa ocehan semacam itu hanya akan membuat kami semakin dalam
tertimpa masalah. Jadi aku menggigit lidahku lalu menampilkan wajah cuek dan
tak pedulian sehingga tak seorang pun bisa mendengar pikiranku. Melakukan
pekerjaanku dengan tenang disekolah. Hanya bicara basa-basi sedikit demi
kesopanan di pasar umum. Mendiskusikan sedikit lebih banyak tentang hal di luar
perdagangan di Hob, yaitu pasar gelap tempatku banyak menghasilkan uang.
Bahkan di rumah, di tempat yang tidak terlalu menyenangkan buatku, aku
menghindari obrolan tentang topik-topik yang rumit, seperti pemungutan, atau
kekurangan makanan, atau Hunger Games. Prim mungkin saja mengulangi katakata yang kuucapkan dan bagaimana nasib kami jika itu terjadi"
Di dalam hutan sudah menunggu satu-satunya orang yang bisa membuatku
menjadi diriku sendiri. Gale. Aku bisa merasakan otot-otot wajahku mulai santai,
langkahku semakin cepat ketika aku mendaki perbukitan menuju birai batu, tempat
pertemuan kami yang dari sana memperlihatkan pemandangan di bawah bukit.
Semak-semak berry yang tebal melindunginya dari mata-mata orang-orang yang
tidak di inginkan. Melihatnya berdiri menunggu di sana membuatku tersenyum.
Gale bilang aku tak pernah tersenyum kecuali saat aku berada di hutan.
"Hei, Catnip," panggil Gale. Nama asliku Katniss, tapi ketika pertama kali aku
menyebutkan namaku padanya, suaraku tidak lebih keras daripada bisikan. Jadi dia
pikir aku bilang namaku Catnip. Kemudian ada lynx-kucing liar besar ukuran
sedang-yang sinting dan mulai mengikutiku selama di hutan menunggu sisa
buruanku, maka nama Catnip resmi jadi nama julukanku. Aku akhirnya terpaksa
membunuh lynx itu karena dia menakuti buruanku. Aku nyaris menyesalinya
karena binatang itu teman yang lumayan. Tapi aku memperoleh harga yang
memadai atas kulit bulunya.
"Lihat apa yang kupanah." Gale mengangkat sebongkah roti dengan panah di
tengahnya, dan aku tertawa. Itu roti sungguhan buatan tukang roti, bukan roti tawar
bantat dan keras yang kami buat dari gandum hasil ransum kami. Kuambil roti itu,
kutarik lepas panahnya, dan kutempelkan hidungku pada bagian roti yang
berlubang, kuhirup aroma yang membuat mulutku dibanjiri liur. Roti enak seperti
ini untuk acara khusus. "Mm, masih hangat," kataku. Gale pasti sudah ada di toko roti subuh dini hari
untuk membarternya. "Apa yang kautukar untuk mendapatkannya?"
"Hanya seekor tupai. Kurasa lelaki tua itu agak sentimental pagi ini," kata Gale.
"Bahkan mengucapkan semoga beruntung padaku."
"Yah, kita semua merasa nyaris habis keberuntungan hari ini, ya kan?" kataku,
bahkan tanpa perlu repot untuk memutar bola mataku. "Prim menyisakan keju
untuk kita." Aku mengeluarkan kejuku. Wajah Gale langsung cerah melihat hadiah dari Prim "Terima kasih, Prim. Kita
akan pesta sungguhan."
Mendadak aksen Gale berubah jadi aksen ala Capitol ketika dia meniru Effie
Trinket, wanita heboh penuh semangat yang datang setahun sekali untuk
membacakan nama-nama saat pemungutan "Aku hampir lupa! Selamat Hunger
Games!" Gale memetik beberapa buah blackberry dari semak-semak di sekitar kami, "Dan
semoga keburuntungan-" Dia melempar sebutir berry dalam lemparan melengkung
yang sangat tinggi kearahku.
Kutangkap buah itu dengan mulutku dan kuremukkan kulit buah yang tipis itu
dengan gigiku. Rasa pahit-manis yang tajam meledak di lidahku. "-selalu berpihak
padamu!" Kuselesaikan kalimatnya dengan semangat yang sama. Kami harus bisa bercanda
tentang hal ini karena pilihan lain selain bercanda adalah merasa ketakutan
setengah mati. Selain itu, aksen Capitol sangat penuh kepura-puraan, sehingga
nyaris setiap kata yang diucapkan terdengar lucu.
Aku memperhatikan Gale mengeluarkan pisaunya dan memotong roti. Dia bisa
saja menjadi kakak lelakiku. Rambutnya hitam lurus dengan kulit putih kuning
pucat, kami bahkan sama-sama memiliki warna mata kelabu. Tapi kami bukan
bersaudara, paling tidak bukan bertalian darah. Kebanyakan keluarga yang bekerja
di tambang mirip satu sama lain seperti ini.
Itulah sebabnya mengapa ibuku dan Prim, dengan rambut mereka yang berwarna
pirang dan bermata biru, selalu tampak salah tempat. Karena sesungguhnya mereka
memang salah tempat. Orangtua ibuku merupakan kelas pedagang kecil yang melayani pejabat, Penjaga
Perdamaian, dan kadang-kadang pelanggan dari Seam. Mereka memiliki toko obatobatan di wilayah yang lebih bagus dari Distrik 12. Karena nyaris tak seorangpun
sanggup membayar dokter, ahli obat-obatan ini menjadi dokter kami.
Ayahku mengenal ibuku karena dalam perburuannya kadang-kadang dia
menemukan tumbuh-tumbuhan obat dan dia menjualnya di toko ibuku agar bisa
diramu jadi obat. Ibuku pasti sangat mencintai ayahku hingga rela meninggalkan
rumahnya untuk tinggal di Seam.
Aku berusaha mengingat semua itu ketika aku hanya bisa melihat wanita yang
duduk diam, kosong, dan tak terjangkau, sementara anak-anaknya kelaparan
hingga tinggal tulang berbalut kulit. Aku berusaha memaafkannya demi ayahku.
Tapi sejujurnya, aku bukan tipe orang yang pemaaf.
Gale mengoleskan keju kambing yang halus di atas potongan-potongan roti,
dengan hati-hati menaruh daun basil di atas setiap roti sementara aku mengobrakabrik sesemakan untuk mencari buah berry. Kami duduk santai di celah di antara
bebatuan. Dari tempat ini, kami tidak kelihatan tapi bisa mendapat sudut pandang
yang jelas ke arah lembah, penuh dengan kehidupan musim panas, ikan berwarnawarni di bawah sinar matahari. Hari tampak cemerlang, dengan langit biru dan
embusan angin sepoi-sepoi. Makanannya lezat, dengan keju yang meresap kedalam
roti yang hangat dan buah-buah berry yang meletup didalam mulut kami.
Segalanya akan sempurna jika ini benar-benar liburan, jika sepanjang hari libur ini
berarti menjelajahi pegunungan bersama Gale, berburu untuk makan malam. Tapi
kami harus berdiri di alun-alun pada jam dua siang menantikan nama-nama yang
akan disebutkan. "Kau tahu, kita bisa melakukannya," kata Gale pelan.
"Apa?" tanyaku "Meninggalkan distrik. Lari. Tinggal di hutan. Kau dan aku, kita bisa berhasil,"
sahut Gale Aku tidak tahu harus menjawab apa. Gagasan ini terlalu sinting.
"Jika saja kita tidak punya begitu banyak anak," imbuh Gale cepat.
Tentu saja, mereka bukan anak-anak kandung kami. Tapi bisa kami anggap seperti
itu. Dua adik lelaki dan satu adik perempuan Gale. Prim. Dan sekalian juga
tambahkan ibu-ibu kami, karena bagaimana mungkin mereka bisa bertahan hidup
tanpa kami" Siapa yang bisa mengisi perut mereka yang selalu minta tambah"
Meskipun kamu berburu setiap hari, masih saja ada malam-malam ketika hasil
buruan kami harus ditukar dengan minyak, tali sepatu, atau kain wol, masih ada
malam-malam ketika kami tidur dengan perur berkeruyuk.
"Aku tidak kepingin punya anak," kataku
"Aku mungkin saja kepingin. Jika aku tidak tinggal di sini," ujar Gale.
"Tapi kau tinggal disini," tukasku kesal.
"Lupakan saja," sahutnya.
Rasanya seluruh percakapan ini terdengar salah. Pergi" Bagaimana aku bisa pergi
meninggalkan Prim, yang merupakan satu-satunya orang di dunia yang tanpa
keraguan sedikitpun kucintai setengah mati" Dan Gale berbakti pada keluarganya.
Kami tidak bisa pergi, jadi kenapa repot-repot membicarakannya" Bahkan jika
kami bisa pergi... bahkan jika kami pergi... dari mana asal omongan tentang
kepingin punya anak ini" Antara aku dan Gale tak pernah ada hibungan romantis.
Saat kami pertama kali bertemu, aku hanyalah anak kurus berusia dua belas tahun,
dan walaupun Gale hanya dua tahun lebih tua daripadaku, dia sudah tampak seperti
lelaki dewasa. Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa berteman, untuk berhenti
saling menawar atas setiap pertukaran dan mulai saling membantu.
Lagi pula, kalau dia kepingin punya anak, Gale tidak akan kesulitan mencari istri.
Dia tampan, cukup kuat untuk bekerja di tambang, dan bisa berburu. Kau bisa
melihat bagaimana gadis-gadis bergosip tentang Gale ketika melihatnya berjalan di
sekolah dan betapa mereka menginginkannya. Hal itu membuatku cemburu tapi
bukan dengan alasan yang dipikirkan orang-orang. Pasangan berburu yang baik
sukar ditemukan. "Apa yang ingin kau lakukan?" tanyaku.
Kami bisa berburu menangkap ikan, atau mengumpulkan makanan.
"Ayo kita menangkap ikan di danau. Kita tinggalkan galah kita dan mengumpulkan
makanan di hutan. Mencari sesuatu yang enak untuk nanti malam," kata Gale.
Malam ini. Setelah hari pemungutan, semua orang seharusnya merayakan hari ini.
Dan banyak orang yang memang melakukannya, karena lega anak mereka lolos
dari maut selama setahun lagi. Tapi paling tidak ada dua keluarga yang akan
menutup daun jendela mereka, mengunci pintu, dan berusaha mencari tahu
bagaimana mereka bisa melewati minggu-minggu menyakitkan yang akan datang.
Hasil kami lumayan bagus. Binatang pemangsa mengabaikan kami pada hari
ketika mangsa yang lebih mudah dan lebih nikmat berlimpah. Menjelang siang,
kami berhasil mengumpulkan selusin ikan, sekantong sayuran hijau, dan yang
terbaik di antara segalanya, segalon stroberi. Aku menemukan sebidang tanah
beberapa tahun lalu, tapi Gale yang punya ide untuk mengikat mata jala di
sekelilingnya untuk menjaga binatang agar tidak masuk.
Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Hob, pasar gelap yang terdapat di
gudang terbengkalai yang dulu jadi tempat penyimpanan batu bara. Ketika mereka
menemukan sistem yang lebih efisien untuk mengangkut batu bara langsung dari
tambang ke kereta api, gudang itu perlahan-lahan menjadi Hob. Sebagian besar
toko tutup pada hari pemungutan, tapi pasar gelap masihlah sibuk. Dengan mudah
kami menukar enam ekor ikan dengan roti lezat, dan dua ekor lainnya dengan
garam. Greasy Sae, wanita tua bertubuh kurus yang menyediakan sup panas dalam
ceret besar dan menjualnya dalam mangkuk-mangkuk, mau menerima setengah
sayuran hijau kami dan menukarnya dengan bongkahan-bongkahan lilin. Di tempat
lain kami mungkin bisa melakukan pertukaran dengan lebih baik, tapi kami
berusaha untuk menjaga hubungan baik dengan Greasy Sae. Dia satu-satunya
orang yang bisa diharapkan untuk membeli anjing liar. Kami tidak melukainya
secara sengaja, tapi kalau kau diserang dan kau membunuh satu atau dua ekor
anjing, daging tetaplah daging.
"Kalau sudah di dalam sup, aku menamainya daging sapi," kata Greasy Sae sambil
mengedipkan mata.

The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada seorang pun di Seam yang jijik makan daging paha anjing liar, tapi para
Penjaga Perdamaian yang datang ke Hob punya uang lebih untuk memilih
makanan lain. Ketika urusan kami dipasar telah selesai, kami berjalan menuju pintu belakang
rumah Wali Kota untuk menjual setengah buah stroberi kami, karena kami tahu dia
menggemarinya dan sanggup membayar harga yang kami minta.
Putri Wali Kota, Madge, membuka pintu untuk kami. Dia berada di angkatan yang
sama denganku disekolah. Dengan menjadi putri Wali Kota, orang-orang pasti
mengira dia bakalan sombong, tapi dia ternyata menyenangkan. Dia penyendiri
dan tidak suka ikut campur urusan orang. Seperti aku.
Karena tak satupun dari kami benar-benar memiliki kelompok teman, tampaknya
kami jadi sering bersama-sama di sekolah. Makan siang, duduk berdampingan di
ruang pertemuan, berpasangan untuk kegiatan olahraga. Kami jarang bicara, dan
itu cocok buat kami. Hari ini seragam sekolahnya yang membosankan sudah diganti dengan gaun putih
mahal, dan rambut pirangnya di gelung ke atas dengan pita pink. Pakaian hari
pemungutan. "Gaun yang cantik," kata Gale.
Madge melotot memandangnya, berusaha mencari tahu apakah pujian tadi tulus
atau Gale hanya menyindir. Gaun itu memang cantik, tapi dia takkan memakainya
pada hari biasa. Madge mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat kemudian
tersenyum. "Yah, jika aku akhirnya harus pergi ke Capitol, aku ingin kelihatan
cantik, kan?" Sekarang giliran Gale yang kebingungan. Apakah Madge serius dengan
perkataannya" Atau Madge hanya menggodanya. Kurasa gadis itu hanya
mengejek. "Kau takkan pergi ke Capitol," kata Gale tenang. Matanya tertuju pada pin bundar
kecil yang menghiasi gaun Madge. Emas sungguhan. Perhiasan yang terukir indah.
Benda itu bisa membeli roti untuk sebuah keluarga selama berbulan-bulan. "Kau
memasukkan berapa nama" Lima" Aku memasukkan enam nama saat umurku baru
dua belas." "Itu bukan salahnya," kataku.
"Ya, itu bukan salah siapa pun. Karena memang aturannya begitu," tukas Gale.
Wajah Madge tampak gusar. Dia menaruh uang untuk membayar stoberi ke
tangabku. "Semoga beruntung, Katniss."
"Kau juga," kataku, lalu menutup pintu.
Kami berjalan menuju Seam tanpa bicara. Aku tidak suka Gale menusuk Madge
seperti tadi, tapi dia benar. Sistem pemungutan ini tidak adil, karena orang miskin
mendapat kemungkinan terburuk dari pemungutan ini. Namamu disertakan dalam
pemilihan pada saat kau berulang tahun kedua belas. Pada tahun itu, namamu
dimasukkan satu kali. Pada umur tiga belas, namamu dimasukkan dua kali. Dan
begitu seterusnya sampai umurmu delapan belas, tahun terakhir kau bisa ikut
pemungutan, saat namamu tujuh kali masuk ke undian. Itulah yang terjadi pada
semua warga di dua belas distrik dalam seantero negara Panem.
Tapi ada udang dibalik batu. Misalkan kau miskin dan kelaparan seperti kami, kau
bisa memasukkan namamu lebih banyak untuk ditukar dengan tessera. Setiap
tessera bisa ditukar dengan persediaan setahun gandum dan minyak untuk satu
orang. Kau juga bisa melakukan ini untuk anggota keluargamu yang lain. Jadi pada
usia dua belas tahun, namaku dimasukkan empat kali. Satu, karena memang
diharuskan, dan tiga nama lagi untuk tessera untuk gandum dan minyak bagiku,
Prim, dan ibuku. Sesungguhnya, setiap tahun aku harus melakukan hal ini. Dan
setiap tahun nama yang dimasukkan bersifat kumulatif. Jadi kali ini, pada usia
enam belas tahun, namaku dimasukkan dua puluh kali dalam pemungutan. Gale,
yang berusia delapan belas dan membantu atau bisa dibilang seorang diri
menafkahi keluarganya yang terdiri atas lima orang selama tujuh tahun, tahun ini
akan memasukkan namanya 42 kali.
Yah, jadi bisa dimaklumi kenapa orang seperti Madge, yang tak pernah
membutuhkan tessera, bisa membuat Gale naik darah. Kemungkinan nama Madge
terambil dalam pemungutan sangat kecil dibanding dengan kami yang tinggal di
Seam. Bukannya tidak mungkin, tapi kecil sekali. Walaupun peraturan tersebut
diterapkan oleh Capitol, bukannya oleh distrik masing-masing dan jelas bukan oleh
keluarga Madge, sulit rasanya untuk tidak kesal pada mereka yang tidak perlu
mendaftar untuk tessera. Gale tahu kemarahannya pada Madge salah alamat. Pernah dulu, jauh di dalam
hutan, aku mendengarnya mengoceh tentang tessera sebagai cara lain untuk
menimbulkan penderitaan di distrik kami. Suatu cara untuk menananmkan
kebencian antara para pekerja yang kelaparan di Seam dengan mereka yang tiap
malam bisa makan dan pada akhirnya membuat kami takkan bisa saling percaya.
"Memecah belah kita adalah demi keuntungan Capitol," katanya hanya kepadaku,
itu pun setelah memastikan tak ada telinga lain yang mendengarkan.
Jika saja hari ini bukan hari pemungutan. Jika saja gadis dengan pin emas dan tidak
perlu mendaftar untuk tessera tidak perlu mengatakan apa yang kuyakini sebagai
komentar tanpa maksut jahat.
Saat kami berjalan, aku menoleh memandang wajah Gale yang tampak masih
membara dengan kejengkelan di balik ekspresinya yang tegar. Kemarahannya
tampak tak ada gunanya bagiku, meskipun aku tak pernah mengatakannya.
Bukannya aku tak sependapat dengannya. Aku setuju dengannya. Tapi apa
gunanya berteriak tentang Capitol di tengah hutan. Itu takkan mengubah apa pun.
Itu juga tidak membuat keadaan jadi adil. Itu tidak membuat perut kami kenyang.
Nyatanya, teriakan itu membuat takut buruan kami. Tapi kubiarkan saja dia
berteriak. Lebih baik dia berteriak di hutan dari pada di distrik.
Aku dan Gale membagi hasil buruan kami, sisa dua ekor ikan, beberapa potong roti
bagus, sayuran, seperempat bagian stroberi, garam, parafin, dan sedikit uang kami
bagi dua. "Sampai bertemu di alun-alun," kataku
"Pakai baju yang cantik," sahut Gale datar.
Di rumah, aku melihat ibuku dam adikku sudah siap berangkat. Ibuku mengenakan
gaun indah bekas peninggalan masa ketika dia bekerja di toko obat. Prim
mengenakan pakaian hari pemungutan yang pertama, rok dan blus berkerut-kerut.
Pakaian itu agak terlalu besar untuknya, tapi ibuku membuatnya pas dengan peniti.
Meski begitu, bagian belakang blus Prim masih tampak longgar.
Seember air hangat sudah disiapkan untukku. Aku menyeka debu dan keringat
sehabis dari hutan, bahkan sempat mencuci rambut. Yang membuatku terkejut,
ibuku sudah mengeluarkan salah satu gaun indahnya untukku. Gaun biru yang
halus lengkap dengan sepatu yang serasi.
"Ibu yakin?" aku bertanya. Aku berusaha melewati keingiman untuk menolak
tawaran bantuan dari ibuku. Sesaat, aku merasa sangat marah, aku tidak
membiarkan ibuku melakukan apa pun untukku. Dan gaun ini merupakan benda
istimewa. Pakaian-pakaian ibuku dari masa lalu sangat berharga untuknya.
"Tentu saja. Ayo kita gelung rambutmu juga," kata ibuku.
Kubiarkan ibuku mengeringkan rambutku dengam handuk, mengepangnya, lalu
menggelungnya ke atas. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri saat
memandang bayanganku di cermin retak yang disandarkan di dinding.
"Kau tampak cantik," ujar Prim dengan suara berbisik.
"Dan sama sekali tidak mirip diriku," jawabku. Kupeluk Prim, karena kutahu
beberapa jam berikutnya akan sangat sulit dan berat. Hari pemungutan pertamanya.
Dia bisa dibilang aman, karena namanya hanya dimasukkan satu kali. Aku tidak
mengizinkannya menukar tessera. Tapi Prim menguatirkanku. Dan membayangkan
kejadian terburuk yang mungkin saja terjadi.
Aku melindungi Prim dengan segala cara yang bisa kulakukan, tapi aku tak
berdaya melawan pemungutan. Kemarahan yang selalu kurasakan saat Prim
menderita membuncah dalam dadaku dan sebentar lagi akan tampak di wajahku.
Kuperhatikan bahwa bagian belakang blusnya keluar dari roknya dan kutahan
diriku agar tetap tenang.
"Masukkan ekormu, bebek kecil," kataku, seraya meluruskan blusnya ke dalam
rok. Prim tergelak dan berkata pelan, "Kwek."
"Kwek sendiri sana," sahutku sambil tertawa kecil. Jenis tawa yang hanya bisa
dihasilkan Prim pada diriku.
"Ayo kita makan," kataku dan kucium puncak kepalanya dengan cepat.
Ikan dan sayuran sudah direbus, tapi itu disimpan untuk makan malam. Kami
memutuskan untuk menyimpan stroberi dan roti tukang roti untuk makanan malam
nanti, supaya makan malam jadi istimewa. Kami minum susu Lady, kambing milik
Prim, dan makan roti kasar yang dibuat dari gandum tessera, meskipun tak satupun
dari kami masih punya nafsu makan.
Pada pukul satu, kami menuju alun-alun. Kehadiran kami di sini wajib hukumnya
kecuali kau dalam keadaan sekarat. Nanti malam, para petugas akan datang
memeriksa apakah kau hadir atau tidak. Jika tidak, kau akan dipenjara.
Sungguh sayang mereka mengadakan pemungutan di alun-alun-satu dari sedikit
tempat di distrik 12 yang bisa jadi tempat menyenangkan. Alun-alun dikelilingi
banyak toko, dan pada hari pasar, terutama saat cuaca cerah, suasananya terasa
seperti liburan. Tapi hari ini, walaupun banyak umbul-umbul cerah yang digantung
di gedung-gedung, ada nuansa suram di udara. Kru-kru kamera yang nangkring di
atap-atap seperti elang menambah efek suram yang ada.
Orang-orang mendaftar dan masuk tanpa bicara. Hari pemungutan juga
kesempatan yang baik bagi Capitol untuk mengetahui jumlah penduduk. Pemudapemudi berusia dua belas hingga delaban belas tahun digiring menuju area yang
sudah dibatasi berdasarkan usia, mereka yang paling tua berada di depan,
sementara yang muda, seperti Prim, berbaris di belakang. Anggota-anggota
keluarga berkerumun di dekat garis batas, berpegangan tangan dengan orang-orang
disebelah mereka. Tapi ada juga orang-orang yang tidak memiliki orang yang
mereka cintai dalam undian pemungutan itu, atau mereka yang tidak lagi peduli,
yang berada di antara kerumunan, bertaruh pada nama dua anak yang akan diambil
dalam pemungutan. Kemungkinan selalu lebih besar pada mereka yang usianya
lebih tua, tidak peduli mereka warga Seam atau pedagang, apakah mereka luluh
dan menangis. Banyak orang yang menolak berurusan dengan pemeras tapi mereka
juga harus hati-hati dan waspada. Orang-orang ini biasanya juga informan, dan
siapa yang tak pernah melanggar hukum tinggal di tempat ini" Aku bisa ditebak
setiap hari karena berburu, tapi nafsu makan mereka berusaha melindungiku. Tidak
semua orang bisa mendapat perlakuan yang sama.
Aku dan Gale sependapat bahwa jika kami harus memilih antara mati kelaparan
dan mati karena peluru di kepala, peluru akan jadi kematian yang jauh lebih cepat.
Tempat ini jadi seolah makin sempit, semakin banyak orang yang datang
membuatnya sesak. Alun-alun ini lumayan luas, tapi tidak cukup untuk
menampung sekitar delapan ribuan warga Distrik 12. Orang-orang yang datang
belakangan diarahkan menuju jalan-jalan di dekat alun-alun, di sana mereka bisa
menonton peristiwa yang berlangsung di layar-layar televisi karena acara ini
disiarkan secara langsung oleh negara.
Aku berdiri di antara gerombolan remaja berusia enam belas tahun dari Seam.
Kami saling mengangguk cepat lalu memusatkan perhatian kami pada panggung
non-permanen yang dibangun di depan gedung pengadilan. Di sana ada tiga kursi,
podium, dan bola kaca ukuran besar, satu bola untuk nama lelaki dan satu lagi
untuk anak perempuan. Ku perhatikan baik-baik kertas-kertas nama dalam bola
anak perempuan. Dua puluh diantaranya bertuliskan nama Katniss Everdeen
dengan tulisan tangan yang indah.
Dua dari tiga kursi itu diisi oleh ayah Madge, Wali Kota Undersee-yang bertubuh
jangkung dan mulai botak, dan Effie Trinket, pengiring Distrik 12, dikirim
langsung dari Capitol lengkap dengan seringainya yang putih menakutkan, rambut
berwarna merah jambu, dan pakaian berwarna hijau cerah. Mereka bergumam pada
satu sama lain kemudian memandang kursi kosong yang tersisa dengan pandangan
cemas. Ketika jam kota menunjukkan tepat pukul dua, sang wali kota melangkah ke
podium dan mulai membaca. Kisah yang sama setiap tahunnya. Dia menceritakan
sejarah Panem, negara yang muncul dari sisa-sisa tempat yang dulunya bernama
Amerika Utara. Dia mengurutkan daftar malapetaka, kekeringan, badai, kebakaran,
perang brutal demi memperebutkan sedikit makanan yang tersisa. Hasilnya adalah
Panem, Capitol yang bersinar dikelilingi tiga belas distrik, yang membawa
perdamaian dan kemakmuran pada warga negaranya. Kemudian tiba Masa
Kegelapan, gejolak kebangkitan perlawanan distrik terhadap Capitol. Dua belas
distrik dikalahkan, dan distrik ketiga belas dimusnahkan. Perjanjian Pengkhianatan
memberi kami undang-undang baru untuk menjamin perdamaian, dan sebagai
pengingat setiap tahunnya agar Masa Kegelapan itu tak terulang lagi, Capitol
memberi kami Hunger Games.
Peraturan Hunger Games sebenarnya sederhana. Sebagai hukuman atas perlawanan
kami, masing-masing distrik harus menyediakan satu anak lelaki dan satu anak
perempuan, yang dinamakan sebagai para peserta, untuk berpatisipasi. Dua puluh
empat peserta akan dipersenjatai di arena luar yang luas, yang berupa padang pasir
tandus yang panas menyengat hingga tanah pembuangan yang dingin membeku.
Selama beberapa minggu, mereka harus bersaing dalam pertarungan sampai mati.
Peserta terakhir yang masih hidup adalah pemenangnya.
Mengambil anak-anak dari distrik kami, memaksa mereka untuk saling membunuh
sementara kami menontonnya- ini adalah cara Capitol untuk mengingatkan kami
betapa sesungguhnya kami berada dibawah belas kasihan mereka. Betapa kecil
kemungkinan kami bisa selamat jika timbul pemberontakan lain. Apapun kata-kata
yang mereka gunakan pesan yang mereka sampaikan jelas.
"Lihat bagaimana kami mengambil anak-anakmu dan mengorbankan mereka, dan
tak ada yang bisa kau lakukan untuk menghalanginya. Kalau kau sampai berani
mengangkat satu jari saja, kami akan menghancurkan semuanya. Sebagaimana
yang kami lakukan di Distrik Tiga Belas."
Untuk membuatnya lebih memalukan dan menyiksa, Capitol memaksa kami
memperlakukan Hunger Games sebagai perayaan, peristiwa olahraga yang
membuat satu distrik berkompetisi dengan distrik lainnya. Peserta terakhir yang
hidup akan menikmati hidup enak saat pulang nanti, dan distrik mereka akan
dilimpahi berbagai hadiah, yang kebanyakan berupa makanan. Sepanjang tahun,
Capitol akan menunjukkan bagaimana distrik yang jadi pemenang menerima
hadiah gandum, minyak, bahkan makanan lezat seperti gula sementara distrikdistrik lain harus berjuang agar tidak mati kelaparan.
"Waktunya untuk penyesalan dan berterimakasih," kata Wali Kota dengan nada
mendayu. Kemudian dia membacakan daftar pemenang tahun sebelumnya dari Distrik 12.
Dalam 74 tahun, distrik kami hanya pernah dua kali menang. Hanya tinggal satu
yang masih hidup. Haymitch Abernathy, lelaki gendut setengah baya, yang pada
saat ini sedang mengoceh tidak jelas, terhuyung-huyung naik ke panggung, dan
jatuh terduduk di kursi ketiga. Dia mabuk. Teler berat. Kerumunan orang
menyambutnya dengan tepuk tangan, tapi dia kebingungan dan berusaha memeluk
Effie Trinket erat-erat, sementara wanita itu berusaha mengenyahkannya.
Effie Trinket yang selalu cerah ceria menjejakkan kaki ke podium dan
menyampaikan salamnya yang terkenal, "Selamat mengikuti Hunger Games!
Semoga keberuntungan menyertaimu selalu!" Rambutnya yang berwarna merah
jambu pasti cuma wig karena ikalnya agak berubah letak sejak dia ditabrak
Haymitch. Dia masih berceloteh tentang betapa terhormatnya dia bisa berada di
sini, meskipun semua orang tahu bahwa Effie sebenarnya sudah tidak sabar untuk
bisa pindah ke distrik lain dengan pemenang-pemenang yang layak tampil sebagai
pemenang, bukan pemabuk-pemabuk yang melecehkannya di depan sepenjuru
negeri. Di antara kerumunan massa, aku melihat Gale memandangku dengan senyum
samar. Sepanjang berlangsungnya pemungutan, ada sedikit hiburan dalam
pemungutan kali ini. Tapi mendadak aku memikirkan Gale dan 42 namanya yang
terdapat dalam bola kaca besar itu dan betapa probabilitas tidak berpihak padanya,
apalagi jika dibandingkan dengan banyak anak lelaki lain. Mungkin dia juga
memikirkan hal yang sama tentang diriku karena wajahnya berubah muram dan dia
memalingkan wajah. "Tapi masih ada ribuan kertas disana." Aku berharap bisa membisikkan kata-kata
itu di telinganya. Waktunya menarik undian. Effie Trinket mengucapkan kalimat yang selalu
diucapkannya, "Anak perempuan lebih dulu!" dan berjalan menuju bola kaca yang
berisi nama anak perempuan. Dia mengulurkan tangan, mengaduk-aduk ke dalam
bola kaca, dan menarik selembar kertas. Kerumunan massa sama-sama menahan
napas dan heningnya bisa membuat kau mendengar suara peniti jatuh, dan aku
merasa mual saat mati-matian berharap semoga bukan namaku, bukan namaku,
bukan namaku. Effie Trinket kembali ke podium, meluruskan kertas itu, dan membacakan nama
yang tertera di sana dengan lantang. Dan memang bukan namaku.
Tapi Primrose Everdeen. Bab 2 Pernah suatu ketika aku tidak bisa melihat apa-apa dari pohon, menunggu tanpa
bergerak hingga binatang buruanku lewat, lalu aku ketiduran dan jatuh dari
ketinggian tiga meter, dan mendarat dengan punggungku. Benturan itu seakan
membuat semua udara tersembur keluar dari paru-paruku, dan aku hanya bisa
terbaring di tanah berusaha keras untuk bisa menarik napas, untuk bisa melakukan
apa saja. Itulah yang kurasakan sekarang, berusaha mengingat bagaimana cara bernapas,


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak sanggup bicara, terpana tak kuasa bergerak ketika nama yang disebutkan
memantul-mantul dalam tengkorakku. Seorang anak lelaki dari Seam memegangi
lenganku, rasanya aku mungkin nyaris terjatuh dan dia menahanku.
Pasti ada kesalahan. Ini tak mungkin terjadi. Kertas bertuliskan nama Prim hanya
ada satu di antara ribuan! Kemungkinan namanya terpilih teramat sangat kecil
sehingga aku bahkan tidak menguatirkannya. Bukankah aku sudah melakukan
segalanya" Aku yang mengambil tessera, dan melarangnya melakukan itu"
Selembar nama. Selembar nama di antara ribuan. Probabilitas pemilihan ini sangat
menguntungkan baginya. Tapi itu sudah tidak penting lagi.
Nun jauh di sana, aku bisa mendengar kerumunan massa bergumam tak
bersemangat sebagaimana yang selalu mereka lakukan saat yang terpilih adalah
anak berusia dua belas tahun karena tak seorang pun menganggap ini adil.
Kemudian aku melihat Prim, wajahnya pias, kedua telapak tangannya terkepal
keras disamping tubuhnya, jalannya kaku, dengan langkah-langkah kecil menuju
panggung, melewatiku, kemudian aku melihat bagian belakang blusnya lagi-lagi
keluar dan menggantung di atas roknya. Hal kecil inilah, blus yang tak dimasukkan
sehingga tampak seperti ekor bebek, yang membuatku kembali ke kenyataan.
"Prim!" Pekikan tertahan keluar dari mulutku, dan otot-ototku mulai bergerak lagi.
"Prim!" Aku tidak perlu mendesak kerumunan. Anak-anak lain segera membuka jalan dan
membiarkanku langsung berjalan menuju panggung. Aku tiba disamping Prim
tepat ketika dia hendak menaiki tangga. Dengan sekali dorong, aku mendesak Prim
ke belakang tubuhku. "Aku mengajukan diri!" pekikku. "Aku mengajukan diri sebagai peserta!"
Ada sedikit kekacauan dipanggung. Sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada yang
mengajukan diri jadi peserta di Distrik 12 dan protokolnya agak berkarat.
Peraturannya adalah setelah nama peserta ditarik dari bola, anak lelaki lain, jika
anak lelaki yang baru dibacakan, atau anak perempuan lain, jika nama anak
perempuan yang baru dibacakan, bisa maju dan menggantikan tempat anak yang
disebutkan namanya. Di beberapa distrik yang menganggap memenangkan
pemilihan ini adalah kehormatan besar, dan orang-orang bernafsu untuk
mengorbankan diri, adanya orang yang sukarela mengajukan diri jadi peserta
malah menjadi masalah rumit. Tapi di Distrik 12, dimana kata peserta kurang lebih
sinonim dengan kata mayat, orang yang mengajukan diri bisa dibilang mahkluk
langka. "Bagus sekali!" kata Effie Trinket. "Tapi menurutku ada masalah kecil antara
memperkenalkan pemenang terpilih dan menanyakan apakah ada yang mau jadi
sukarela jadi peserta, dan jika ada yang mau sukarela jadi peserta kemudian kita,
hmm..." Suaranya perlahan-lahan menghilang, bingung harus bicara apa lagi.
"Apa masalahnya?" tanya sang wali kota. Dia memandangku dengan ekspresi
sedih di wajahnya. Sebenarnya dia tidak mengenalku, tapi samar-samar dia tahu
siapa aku. Akulah anak perempuan yang membawakannya stroberi. Anak
perempuan yang kadang-kadang diajak ngobrol oleh putrinya. Anak perempuan
yang berdiri berdempetan dengan ibu dan adik perempuannya lima tahun lalu. Dan
sebagai anak tertua, anak perempuan itu menerima medali tanda keberanian dari
sang wali kota. Medali atas nama ayahnya, yang tewas menguap di tambang.
Apakah wali kota mengingat semua itu"
"Apa masalahnya?" ulang sang wali kota dengan suara serak. "Biarkan saja dia
maju." Prim menjerit histeris di belakangku. Kedua lengannya yang kurus memelukku tak
mau lepas. "Jangan, Katniss! Jangan! Kau tidak boleh pergi!"
"Prim, lepaskan aku," bentakku kasar, karena hal ini membuatku gusar dan aku
tidak mau menangis. Nanti malam saat mereka menayangkan ulang acara
pemilihan, semua orang akan mengingat tangisanku, dan aku akan di cap sebagai
sasaran mudah. Orang lemah. Aku tak mau memberi mereka kepuasan itu.
"Lepaskan!" Aku bisa merasa ada orang yang menarik Prim dari punggungku. Aku menoleh dan
melihat Gale menarik Prim hingga kakinya terangkat dari tanah sambil merontaronta dalam pelukan Gale.
"Naik sana, Catnip," katanya, dengan suara yang berusaha ditagannya agar tetap
tegar, kemudian dia membopong Prim ke ibuku. Kukuatkan diriku dan kunaiki
tangga menuju panggung. Aku menelan ludah dengan susah payah. "Katniss Everdeen." kataku.
"Aku berani taruhan tadi adik perempuanmu. Kau tidak mau dia jadi jagoan ya"
Ayo, semuanya! Berikan tepuk tangan yang meriah untuk peserta terbaru kita!"
seru Effie Trinket. Penduduk Distrik 12 memang patut dipuji, karena tak ada seorang pun bertepuk
tangan. Bahkan orang-orang yang memegang kertas taruhan pun tidak ada yang
bertepuk tangan, padahal mereka biasanya paling tidak pedulian. Mungkin karena
mereka mengenalku dari Hob, atau mengenal ayahku atau pernah bertemu dengan
Prim, yang selalu disukai semua orang. Jadi bukannya menerima tepuk tangan, aku
berdiri tak bergerak di panggung sementara mereka menunjukkan penolakan
terberani yang bisa mereka lakukan. Diam. Mereka menyatakan bahwa mereka
tidak setuju. Mereka tidak memaafkan. Semua ini salah.
Kemudian terjadi sesuatu yang tak terduga. Paling tidak aku tidak menduganya
karena aku tidak menganggap Distrik 12 sebagai tempat yang peduli padaku. Tapi
terjadi perubahan sejak aku menggatikan posisi Prim, dan sekarang aku tampaknya
menjadi seseorang yang berharga. Mulanya hanya satu orang, kemudian ada yang
lain, lalu hampir semua orang yang ada di kerukunan menyentuhkan tiga jemari
tengah kanan kiri ke bibir mereka kemudian mengulurkan jemari mereka ke
arahku. Gerakan ini adalah gerakan lama dan jarang di gunakan di distril kami, kadangkadang dilakukan oleh beberapa orang di pemakaman. Gerakan ini artinya
terimakasih, penghormatan, salam selamat tinggal pada orang yang kau kasihi.
Sekarang aku benar-benar tidak bisa menahan tangis, tapi untungnya Haymitch
memilih saat ini untuk terhuyung-huyung melintasi panggung dan memberikan
selamat padaku. "Lihat dia. Lihat yang satu ini!" teriaknya, satu lengannya memeluk bahuku. Untuk
pemabuk lusuh, pegangannya ternyata kuat. "Aku menyukainya!"
Napasnya bau minuman keras dan entah kapan terakhir kalinya dia mandi.
"Banyak... " Sejenak dia tidak bisa memikirkan kata apa yang hendak
diucapkannya. "Nyali!" katanya dengan penuh kemenangan. "Lebih dari kalian!"
Haymitch melepasku dan menuju bagian depan panggung.
"Lebih dari kalian!" teriaknya, menunjuk langsung ke arah kamera.
Apakah ucapannya ditujukan untuk penonton atau saking mabuknya dia
sesungguhnya mengejek Capitol" Aku tak pernah tahu apa maksudnya karena
ketika Haymitch membuka mulut untuk melanjutkan, dia ambruk di panggung dan
langsung tak sadarkan diri.
Pria itu menjijikan, tapi aku bersyukur. Karena kamera mereka tertuju padanya,
aku jadi punya waktu berdeham kecil mengeluarkan rasa sesak di tenggorokanku
dan menenangkan diriku kembali. Kulipat tanganku ke belakang dan tatapanku
tertuju ke kejauhan, masih bisa kulihat perbukitan yang kudaki bersama Gale pagi
tadi. Sesaat, aku mendambakan sesuatu... gagasan bahwa kami meninggalkan distrik...
hidup mandiri di hutan... tapi aku benar dengan memilih untuk tidak melarikan
diri. Karena siapa lagi yang mau sukarela menggantikan Prim"
Haymitch dibawa pergi dengan usungan, dan Effie Trinket berusaha melanjutkan
acara. "Hari yang seru!" ocehnya sambil berusaha meluruskan rambut palsunya,
yang terlalu miring ke kanan. "
Tapi masih ada yang lebih seru lagi! Waktunya memilih peserta laki-laki! Wanita
itu jelas masih berusaha memperbaiki keadaan rambutnya, dengan satu tangan di
kepala dia berjalan menuju bola yang berisi nama anak laki-laki dan mencomot
kertas pertama yang disentuhnya. Dia bergegas kembali ke podium, dan aku
bahkan tidak sempat berharpa semoga Gale anan ketika dia membacakan nama di
kertas. "Peeta Mellark!"
Peeta Mellark! Oh tidak, pikirku. Jangan dia. Karena aku mengenali namanya, meskipun aku tak
pernah bicara langsung dengan pemilik nama itu. Peeta Mellark.
Ternyata, keberuntungan tak di pihakku hari ini.
Kuperhatikan dia saat berjalan menuju panggung. Tinggi tubuhnya sedang, sedikit
gempal, rambutnya pirang abu yang jatuh bergelombang di dahinya. Keterkejutan
yang dirasakan Peeta atas kejadian ini tertera di wajahnya, aku bisa melihat
perjuangannya untuk memperlihatkan wajah tanpa emosi, tapi mata birunya
menunjukkan kewaspadaan yang sering kulihat di mata mangsa buruan. Namun dia
tetap naik ke panggung dengan langkah mantap dan mengambil tempat yang
disediakan untuknya. Effie Trinket bertanya apakah ada yang mau sukarela menggantilan Peeta, tak ada
serorang pun yang muncul. Aku tahu dia punya dua kakak laki-laki. Aku pernah
melihatnya di toko roti, tapi salah satu kakaknya mungkin terlalu tua untuk
sukarela menggantikannya dan satu lagi tidak mau melakukannya. Bagi
kebanyakan orang rasa bakti terhadap keluarga ada batasnya pada hari
pemungutan. Apa yang kulakukan adalah perbuatan radikal.
Wali kota mulai membacakan Perjanjian Pengkhianatan yang panjang dan
membosankan sebagaimana yang selalu di lakukannya setiap tahun-bacaan ini
adalah keharusan-tapi tidak sepatah kata pun masuk ke telingaku.
Kenapa dia" Pikirku. Lalu aku berusaha meyakinkan diriku sendjri bahwa tidak
ada masalah. Aku tidak bersahabat dengan Peeta Mellark. Bahkan kami tidak
hidup bertetangga. Kami tidak saling bicara. Satu-satunya hubungan nyata antara
kami terjadi beberapa tahun lalu. Dia mungkin sudah melupakannya. Tapi aku
tidak lupa dan aku tahu akan takkan pernah melupakannya...
Kejadiannya berlangsung pada masa terburuk. Ayahku tewas dalam kecelakaan di
tambang tiga bulan sebelumnya pada bulan Januari dalam musim dingin terparah
yang bisa diingat semua orang. Perasaanku yang mati rasa atas kematian ayahku
sudah berlalu, dan rasa sakit itu mendadak menyerangku entah dari mana, dalam
kepedihan yang berlipat ganda, dan mengguncang tubuhku dengan isakan. Dimana
kau" Jeritku dalam hati. Ke mana kau pergu" Tentu saja tak pernah ada jawaban
atas pertanyaan-pertanyaanku.
Distrik memberi kami sedikit uang sebagai jasa kematian ayahku, cukup untuk
sebagai biaya hidup selama satu bulan masa dukacita, dan setelah itu ibuku
diharapkan sudah memperoleh pekerjaan. Namun ternyata dia tidak melakukannya.
Ibuku tidak melakukan apa-apa selain duduk bersandar di kursi, atau lebih sering
lagi, berbaring di tempat tidur meringkuk di bawah selimut, matanya tertuju pada
titik di kejauhan. Sesekali ibuku bergerak, terbangun seolah karena ada urusan
penting, namun kemudian jatuh lagi dalam diamnya. Permohonan Prim yang
bertubi-tubi tampaknya tidak berpengaruh padanya.
Aku ketakutan setengah mati. Sekarang aku bisa berpikir bahwa ibuku mungkin
terkunci dalam semacam dunia kesedihan yang kelam, tapi pada saat itu, yang
kutahu adalah aku tidak hanya kehilangan ayahku, tapi juga ibuku. Pada usia
sebelas tahun, dan Prim baru berusia tujuh tahun, aku mengambil peran sebagai
kepala keluarga. Tidak ada pilihan lain. Aku membeli makanan di pasar dan
memasaknya sesanggup yang bisa aku lakukan dan berusaha menjaga diriku dan
Prim agar berpenampilan layak. Karena jika ketahuan bahwa ibuku tidak bisa
merawat kami lagi, distrik akan mengambil kami dari ibuku dan menempatkan aku
dan Prim di rumah komunitas.
Di sekolah, aku melihat anak-anak yang tinggal di rumah itu. Aku melihat
kesedihan, tangan yang marah menyisakan bekas di wajah mereka,
ketidakberdayaan yang membuat mereka lemah lunglai. Aku tidak bisa
membiarkan itu terjadi pada Prim. Prim yang manis dan mungil, yang ikut
menangis saat aku menangis bahkan sebelum dia tahu alasanku menangis, yang
menyikat dan mengepang rambut ibuku sebelum kami berangkat ke sekolah, yang
setiap malam masih memoles cermin yang digunakan ayahku untuk bercukur
karena ayahku tidak suka melihat lapisan debu batu bara yang menempel di segala
penjuru Seam. Rumah komunitas akan menghancurkan Prim seperti serangga yang
remuk. Jadi aku menyimpan rahasia kesulitan hidup kami rapat-rapat.
Tapi kami kehabisan uang dan perlahan-lahan kami kelaparan hingga nyaris mati.
Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. Aku terus-menerus mengatakan pada
diriku sendiri agar aku bisa bertahan sampai bulan Mei, hanya sampai tanggal 8
Mei, saat umurku tepat dua belas tahun dan aku bisa mendaftar untuk tessera lalu
memperoleh gandum dan minyak yang berharga itu agar kami bisa makan. Akan
tetapi aku masih harus melewati beberapa minggu lagi. Pada saat itu kami mungkin
sudah mati. Kelaparan bukanlah kejadian yang biasa di Distrik 12. Siapa yang tak pernah
melihat korban-korban kelaparan" Orang-orang tua yang tidak bisa bekerja. Anakanak dari keluarga yang memiliki terlalu banyak mulut untuk diberi makan.
Mereka yang terluka di tambang. Berusaha mengais-ngais di jalanan. Dan suatu
hari kau akan menemukan mereka sedang duduk tak bergerak bersandar pada
dinding atau berbaring di padang rumput, kau mendengar tangisan dari rumah, dan
Penjaga Perdamaian di panggil untuk mengambil jenazah itu. Kelaparan tak pernah
jadi penyebab kematian secara resmi. Selalu ada penyebab lain seperti flu, terlalu
lama berada di udara terbuka, atau pneumonia. Tapi penyebab bohongan itu tidak
bisa menipu siapapun. Pada sore hari pertemuan pertamaku dengan Peeta Mellark, hujan deras sedingin es
menghantam bumi dengan bengis. Aku sedang berada di kota, berusaha menukar
pakaian bayi milik Prim yang sudah tipis kainnya di pasar umum, tapi tidak ada
seorang pun yang mau. Walaupun aku pernah ke Hob beberapa kali bersama
ayahku, aku terlalu takut untuk pergi menjelajah ke tempat yang kasar dan keras
itu seorang diri. Hujan sudah menembus hingga ke balik jaket berburu ayahku, dan
membuatku menggigil kedinginan hingga ke tulang. Selama tiga hari, kami hanya
minum air yang dididihkan dengan daun-daun mint kering yang kutemukan
dibelakang lemari dapur. Pada saat pasar tutup, aku gemetar begitu hebat sehingga
menjatuhkan buntalan pakaian bayi itu ke genangan lumpur. Aku tidak
memungutnya karena takut aku bakal jatuh terjungkal dan tak bakalan sanggup lagi
bangkit berdiri. Selain itu, tak ada seorang pun yang menginginkan pakaian
tersebut. Aku tidak bisa pulang. Karena di rumah ada ibuku yang matanya tidak
menunjukkan tanda kehidupan dan adik perempuanku, dengan pipinya yang
cekung dan bibir pecah-pecah. Aku tidak bisa melangkah masuk ke dalam ruangan
dengan api berasap tebal dari ranting-ranting lembap yang berhasil kupungut dari
tepi hutan setelah kami kehabisan batu bara, dan tanganku sudah kosong kehabisan
harapan. Aku berjalan terhuyung-huyung di jalanan becek di belakang toko-toko yang
melayani orang-orang terkaya di kota. Para pedagang biasanya tinggal di bagian
atas tempat usaha mereka. Aku ingat pokok-pokok tanah di kebun mereka belum
ditanami untuk musim semi, ada satu atau dua ekor kambing di kurungan, seekor
anjing yang basah kuyup terikat di tiang, duduk membungkuk dalam keadaan
kotor. Segala bentuk pencurian dilarang di Distrik 12. Pencuri bisa dihukum mati. Tapi
terlintas di pikiranku mungkin ada sisa-sisa makanan di tong sampah, dan mengais
tong sampah bukan perbuatan terlarang. Mungkin sisa tulang hasil sampah tukang
daging atau sayuran busuk di tong sampah penjual barang pokok, sisa-sisa yang tak
mau dimakan oleh siapa pun kecuali keluargaku yang sudah putus asa untuk
makan apa saja. Sialnya, tong-tong sampah itu baru saja di kosongkan.
Ketika melewati toko roti, aroma roti segar memenuhi udara sampai-sampai aku
merasa pusing. Panggangan roti berada di belakang dan kilau keemasan mengintip
dari pintu dapur yang terbuka. Aku mengangkat penutup tong sampah tukang roti
dan melihat isinya kosong melompong.
Tiba-tiba aku mendengar orang berteriak kepadaku dan aku melihat istri tukang
roti, menyuruhku pergi dari sana atau dia akan menghubungi Penjaga Perdamaian
dan betapa menjijikkan baginya melihat anak nakal dari Seam mengorek-ngorek
tempat sampahnya. Kata-kata yang diucapkannya tidak enak didengar dan aku
tidak bisa membela diri. Ketika aku menutup tong sampah dan mundur dengan
hati-hati, aku memperhatikannya, seorang anak laki-laki beramput pirang
mengintip dari belakang punggung ibunya. Aku pernah melihatnya di sekolah. Dia
seangkatan denganku, tapi aku tidak tahu siapa namanya. Dia biasa bermain
bersama anak-anak dari kota, jadi bagaimana aku bisa mengenalnya" Ibunya
masuk lagi ke toko roti sambil menggerutu, tapi anak lelaki itu pasti
memperhatikanku ketika aku berjalan ke belakang kurungan babi milik mereka dan
bersandar di bawah pohon apel yang sudah tua. Kesadaran bahwa aku tidak punya
apa-apa untuk di bawa pulang akhirnya menghantamku. Kedua lututku goyah dan
aku merosot dari sandaranku di batang pohon hingga jatuh ke akarnya. Aku tak
sanggup lagi. Aku terlalu sakit, lemah, dan letih, oh, betapa letihnya aku. Biar saja
mereka menghubungi Penjaga Perdamaian dan membawa kamu ke rumah
komunitas, pikirku. Atau lebih baik lagi, biarkan aku mati di sini di bawah siraman
hujan. Terdengar suara berkelontangan di dalam toko roti dan aku mendengar wanita itu
berteriak lagi diiringi suara pukulan, dan samar-samar aku penasaran dengan
peristiwa yang sedang berlangsung. Kudengar langkah kaki menginjak lumpur ke
arahku dan kupikir, Dia datang. Wanita itu datang untuk mengusirku dengan kayu.
Tapi bukan wanita itu yang datang. Ternyata anak lelakinya. Dia membawa dua
roti berukuran besar yang pasti jatuh ke dalam api karena kulitnya hangus
kehitaman. Ibunya berteriak, "Beri makan babi sana, dasar anak tolol! Sekalian saja! Tak ada


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang mau membeli roti hangus!"
Anak lelaki itu mulai mencungkil bongkahan roti di tangannya dan
melemparkannya ke antara jeruji kurungan kemudian bel pintu toko roti
berdentang dan sang ibu menghilang masuk ke toko untuk melayani pembeli.
Tak sekalipun anak lelaki itu melirik ke arahku, tapi aku memperhatikannya lekatlekat. Karena roti di tangannya, karena tanda berwarna merah di pipinya. Dengan
apa wanita itu memukul anaknya" Orangtua kami tak pernah memukul. Aku
bahkan tak bisa membayangkannya. Anak lelaki itu menoleh sekali ke toko roti
seakan memastikan bahwa situasi sudah aman, kemudian sembari memperhatikan
babi di kurungan dia melemparkan roti ke arahku. Diikuti roti kedua dengan cepat,
lalu dia berjalan lambat ke toko roti, dan menutup pintu dapur rapat-rapat di
belakangnya. Aku tidak percaya memandangi dua roti besar yang di lemparnya. Roti-roti ini
bagus, sempurna sebenarnya, kecuali bagian yang hangus. Apakah dia sengaja
membuangnya untukku" Pasti begitu. Karena roti ini sekarang ada di dekat kakiku.
Sebelum ada orang yang menyaksikan kejadian ini aku buru-buru menyelipkan dua
roti ini ke balik kausku, membungkus tubuhku rapat-rapat dengan jaket berburu
ayahku, dan bergegas menjauh pergi. Panasnya roti ini membakar kulitku, tapi aku
memeganginya makin erat, berpegangan padanya seperti menggantungkan
nyawaku. Pada saat aku tiba di rumah, entah bagaiamana roti-roti itu sudah mendingin, tapi
bagian dalamnya masih hangat. Saat aku menaruh roti itu di meja, tangan Prim
sudah terulur untuk menyobek sepotong besar roti itu, tapi aku menyuruhnya
duduk dulu, memaksa ibuku untuk bergabung di meja makan dan menuangkan teh
hangat. Kukorek lalu kubuang bagian hangus dan kupotong roti itu. Kami makan
satu roti besar itu sepotong demi sepotong. Roti yang lezat mengenyangkan, di
dalamnya ada kismis dan kacang.
Aku mengeringkan pakaianku di dekat api, naik ke ranjang dan tidur nyenyak
tanpa mimpi. Baru keesokan paginya terlintas dalam pikiranku bahwa anak lelaki
itu mungkin sengaja menghanguskan roti-roti itu kedalam api, walaupun tahu dia
bakal dihukum, lalu memberikannya padaku. Tapi aku mengenyahkan pikiran ini.
Pasti roti itu hangus tanpa sengaja. Buat apa dia melakukannya" Dia bahkan tidak
mengenalku. Namun, melemparkan roti-roti itu kepadaku adalah kebaikan tak
terkira yang bisa membuatnya dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa membuatnya
dipukul jika ketahuan. Aku tidak bisa menjelaskan alasan perbuatannya.
Kami makan beberapa potong roti untuk sarapan lalu berangkat ke sekolah.
Seolah-olah musim semi tiba dalam semalam. Udara hangat yang manis. Awanawan empuk. Disekolah, aku melewati anak lelaki itu di lorong, pipinya bengkak
dan matanya memar kehitaman. Dia bersama teman-temannya dan tampak tidak
mengenaliku. Tapi saat aku menjemput Prim dan berjalan pulang pada siang itu,
kulihat dia memandangiku dari seberang lapangan sekolah. Hanya sedetik mata
kami bertemu, kemudian dia memalingkan wajahnya. Aku menunduk, malu, dan
saat itulah aku melihatnya. Bunga dandelion pertama tahun itu. Bunyi peringatan
berdentang dalam benakku. Aku teringat pada waktu yang kuhabiskan di hutan
bersama ayahku dan aku tahu bagaimana kami akan bertahan hidup.
Hingga hari ini, aku takkan pernah bisa menghilangkan hubungan antara lelaki ini,
Peeta Mellark, dan roti yang memberiku harapan, serta dandelion yang
mengingatkanku bahwa aku belum sampai ajal. Beberapa kali, aku menoleh di
lorong sekolah dan mendapati tatapannya sedang tertuju padaku, tapi kemudian
buru-buru dialihkannya. Aku merasa seperti berutang seperti itu. Mungkin jika aku
sempat berterima kasih padanya, aku tidak akan merasa sebingung sekarang. Aku
pernah berniat mengucapkan terima kasih padanya satu-dua kali, tapi tak pernah
ada kesempatan untuk itu. Dan sekarang kesempatan itu takkan pernah ada lagi.
Karena kami akan dilempar di arena pertarungan untuk bertarung sampai mati.
Bagaimana aku bisa bilang terima kasih dalam situasi semacam itu" Entah ya, tapi
terima kasihku bakal tampak tidak tulus jika aku mengatakannya sembari hendak
menggorok lehernya. Wali kota akhirnya selesai juga membacakan Perjanjian Pengkhianatan dan
mengisyaratkan aku dan Peeta agar berjabat tangan. Jabatan tangannya mantap dan
hangat seperti roti-roti yang diberikannya padaku. Peeta memandang mataku lekatlekat dan meremas tanganku, kupikir maksud remasan itu adalah untuk
menentramkan hatiku. Atau mungkin juga tangannya kedutan karena tegang.
Kamu kembali berdiri menghadap kerumunan massa ketika lagu kebangsaan
Panem dinyanyikan. Ya sudahlah, pikirku. Ada dua puluh empat orang nanti. Kemungkinan ada orang
lain yang lebih dulu membunuhnya.
Akan tetapi, belakangan ini segala bentuk hitungan kemungkinan tidak bisa
diandalkan lagi. Bab 3 Saat lagu kebangsaan berakhir, kami dibawa untuk diamankan. Kami memang
tidak diborgol atau semacamnya, tapi sekelompok Penjaga Perdamaian menggiring
kami memasuki pintu depan Gedung Pengadilan. Mungkin dulu banyak peserta
yang berusaha melarikan diri. Meskipun aku tak pernah melihat kejadian semacam
itu. Selama berada di dalam, aku dimasukkan ke ruangan dan ditinggal sendirian di
sana. Ini tempat termewah yang pernah kumasuki, dengan karpet tebal, kursi-kursi,
dan sofa berlapis beludru. Aku tahu seperti apa beludru karena ibuku memiliki
gaun dengan kerah berbahan itu. Sewaktu duduk di sofa, aku tidak tahan untuk
tidak mengelus beludru itu berkali-kali. Sentuhan itu membantu menenangkanku
ketika aku menyiapkan diri untuk menghadapi saat-saat berikutnya. Waktu yang
diberikan kepada para peserta untuk mengucapkan salam perpisahan dengan orangorang yang mereka sayangi. Aku tidak bisa merasa merana, lalu keluar dari
ruangan ini dengan mata bengkak dan hidung sembap. Menangis bukanlah pilihan.
Akan ada lebih banyak kamera di stasiun kereta api.
Yang pertama datang adalah adik dan ibuku. Kuulurkan tangan pada Prim dan dia
naik ke pangkuanku, kedua lengannya memeluk leherku, kepalanya di bahuku,
sebagaimana yang sering dilakukannya saat dia masih balita. Ibuku duduk di
sampingku dan memeluk kami berdua. Selama beberapa menit, tak ada yang bicara
di antara kami. Kemudian aku mulai memberitahu segala hal yang harus mereka
ingat untuk dikerjakan, karena sekarang aku takkan berada di sana untuk
melakukannya. Prim tidak boleh mengambil tessera. Jika mereka hati-hati mereka bisa bertahan
hidup dengan menjual keju dan susu kambing milik Prim dan menjalankan usaha
toko obat kecil yang sekarang diurus ibuku untuk penduduk Seam. Gale akan
mencarikan tanaman obat yang tidak bisa ditanam sendiri oleh ibuku, tapi ibuku
harus hati-hati menggambarkannya pada Gale karena pemahamannya pada
tanaman obat tidak seperti aku. Gale juga akan membawakan sisa daging buruan
untuk mereka-aku dan dia sudah berjanji soal ini sekitar setahun lalu-dan tidak
akan meminta bayaran, tapi mereka akan berterima kasih pada Gale dengan
memberinya barang-barang seperti susu atau obat-obatan.
Aku tidak mau repot-repot menyarankan Prim untuk belajar berburu. Aku pernah
mengajarinya beberapa kali dan hasilnya kacau-balau. Dia ketakutan berada di
dalam hutan. Setiap kali aku memanah sesuatu, matanya berkaca-kaca dan dia
mengatakan bahwa kami mungkin bisa mengobati binatang itu jika kami bergegas
pulang secepatnya. Tapi dia punya hubungan baik dengan kambingnya, jadi aku
berkonsentrasi pada hal itu.
Setelah aku selesai memberi pengarahan tentang bahan makanan, cara berdagang,
dan agar Prim tetap bersekolah, aku berpaling pada ibuku dan mencekal lengannya
kuat-kuat. "Dengarkan aku. Ibu mendengarku?"
Dia mengangguk, terkejut dengan keseriusanku. Dia pasti tahu apa yang hendak
kukatakan. "Ibu tidak boleh menghilang lagi," kataku.
Mata ibuku tertunduk memandang lantai. "Aku tahu. Aku takkan melakukannya.
Aku tidak bisa menahan apa yang-"
"Yah, kali ini ibu harus menahannya. Ibu tidak bisa cabut begitu saja dan
meninggalkan Prim sendirian. Sekarang tak ada aku yang bisa menjaga kalian agar
tetap hidup. Tak peduli apa pun yang terjadi. Apa pun yang Ibu lihat di layar TV,
Ibu harus berjanji padaku bahwa Ibu lihat dilayar TV, Ibu harus berjanji padaku
bahwa ibu akan terus berjuang!" Suaraku meninggi hingga berteriak. Dalam
suaraku terdapat segenap kemarahan, segenap ketakutan yang kurasakan ketika dia
meninggalkanku. Ibuku menarik lengannya dari cekalanku, dan jadi ikutan marah. "Dulu aku sakit.
Aku bisa mengobati diriku sendiri jika memiliki obat yang kupunyai sekarang."
"Kalau begitu minum obatnya. Dan urus dia!" sergahku.
"Aku akan baik-baik saja, Katniss," kata Prim, seraya menangkup wajahku dengan
kedua tangannya. "Kau juga harus jaga diri. Kau sangat cepat dan berani. Mungkin
kau bisa menang." Aku tidak bisa menang. Prim pasti sadar betul hal itu dalam hatinya. Pertarungan
pasti akan jauh di atas kemampuanku. Anak-anak dari distrik yang lebih kaya, di
mana kemenangan adalah kehormatan besar, sudah berlatih sepanjang hidup
mereka untuk pertarungan ini. Anak laki-laki yang ukuran tubuhnya dua kali lebih
besar daripada tubuhku. Anak perempuan yang tahu dua puluh cara membunuhmu
dengan pisau. Oh, tentu saja bakal ada orang-orang seperti aku nanti. Orang yang
dihabisi sebelum pertarungan makin seru.
"Mungkin," jawabku, karena aku tidak mungkin bisa bilang pada ibuku untuk tetap
berjuang jika aku sendiri sudah menyerah. Selain itu, bukan sifatku untuk kalah
tanpa bertarung, bahkan saat kemungkinan untuk menang tampak begitu tipis.
"Lalu kita akan kaya raya seperti Haymitch."
"Aku tidak peduli kita kaya atau tidak. Aku hanya ingin kau pulang. Kau akan
berusaha, kan" Sungguh-sungguh berusaha?" tanya Prim.
"Sungguh-sungguh berusaha. Sumpah," kataku. Dan aku tahu, demi Prim, aku
akan harus sungguh berusaha.
Kemudian Penjaga Perdamai berada di ambang pintu, memberi tanda waktunya
sudah habis, lalu kami semua berpelukan sangat erat sampai sakit rasanya dan yang
terus ku ucapkan adalah "Aku menyayangimu. Aku menyayangi kalian."
Dan mereka membalas kata-kataku, kemudian Penjaga Perdamaian memerintahkan
mereka keluar dan pintu pun tertutup. Kubenamkan kepalaku di salah satu bantal
beludru seakan apa yang kulakukan ini bisa membendung segala yang terjadi.
Orang lain memasuki ruangan, dan ketika mendongak, aku kaget saat melihat
ternyata yang datang adalah tukang roti ayah Peeta Mellark. Aku tidak percaya dia
datang mengunjungiku. Bisa jadi aku bakalan berusaha membunuh anak lelakinya
sebentar lagi. Tapi kami lumayan saling mengenal, dan dia bahkan lebih mengenal
Prim. Saat Prim menjual keju kambingnya di Hob, dia selalu menyisakan dua
batang untuk tukang roti dan sebagai gantinya dia memberikan banyak roti. Kalau
ingin melakukan pertukaran dengannya, kami selalu menunggu saat istrinya yang
jahat sedang tidak ada karena suaminya jauh lebih baik. Aku merasa yakin dia
tidak pernah memukul anaknya karena membuat roti hangus seperti yang
dilakukan istrinya. Tapi kenapa dia datang menemuiku"
Tukang roti itu duduk dengan canggung di salah satu kursi empuk di ruangan ini.
Dia lelaki bertubuh besar dengan bahu lebar dan bekas luka bakar di tangannya
hasil bertahun-tahun di dekat oven. Dia pasti baru mengucapkan salam perpisahan
dengan putranya. Dia mengeluarkan kantong kertas putih dari saku jaketnya lalu mengulurkannya ke
arahku. Kubuka kantong itu dan kulihat ada kue di dalamnya. Kue adalah
kemewahan yang takkan pernah bisa kuperoleh.
"Terima kasih," kataku. Tukang roti itu sering kali lebih banyak diam, dan hari ini
dia tampak kehabisan kata-kata. "Aku makan roti Anda tadi pagi. Temanku Gale
menukarnya dengan tupai pagi ini."
Dia mengangguk, seakan mengingat-ingat tupainya.
"Bukan pertukaran yang menguntungkan Anda," kataku.
Lelaki itu mengangkat bahu seakan menganggapnya sebagai hal sepele.
Selanjutnya aku tidak bisa memikirkan topik pembicaraan lainnya, jadi kami
duduk dalam keheningan sampai Penjaga Perdamaian memanggilnya. Dia bangkit
dan batuk untuk melegakan pernapasannya. "Aku akan mengawasi gadis kecilmu.
Memastikan dia bisa tetap kenyang."
Aku merasa beban yang mengimpit dadaku langsung terangkat mendengar
perkataannya. Orang-orang biasanya berdagang denganku, tapi mereka dengan
tulus menyukai Prim. Mungkin akan ada cukup rasa suka yang mengupayakan
Prim tetap hidup. Tamuku berikutnya juga di luar dugaan. Madge berjalan langsung ke arahku. Dia
tidak tampak cengeng atau menghindar, malahan ada ketergesaan dalam nada
suaranya yang membuatku terkejut. "Mereka akan mengizinkanmu memakai satu
barang dari distrikmu di dalam arena pertarungan. Satu benda yang
mengingatkanmu pada rumah. Maukah kau memakai ini?"
Dia mengulurkan pin emas bundar yang tersemat digaunnya tadi siang.
Sebelumnya aku tidak terlalu memperhatikannya, tapi sekarang aku melihat
lambang burung yang sedang terbang.
"Pin milikmu?" tanyaku. Memakai tanda mata dari distrikku nyaris tak terlintas
dalam benakku. "Sini kupakaikan di gaunmu ya?" Madge tidak menunggu jawabanku, dia langsung
menyematkan pin burung itu di pakaianku.
"Katniss, janji ya kau akan memakainya di arena?" tanya Madge. "Janji?"
"Ya," kataku. Kue. Pin. Aku dapat banyak hadiah hari ini. Madge memberiku
hadiah lain. Ciuman di pipi. Kemudian dia pergi dan aku berpikir mungkin selama
ini sebenarnya Madge adalah sahabatku.
Akhirnya, Gale datang. Mungkin memang tidak ada unsur romantis dalam
hubungan kami, tapi saat dia merentangkan kedua lengannya, aku sama sekali
tidak ragu untuk masuk kepelukannya. Tubuhnya terasa tidak asing lagi-caranya
bergerak, aroma kayu yang terbakar, bahkan suara detak jantungnya yang kukenal
dari momen-momen sunyi saat berburu-tapi ini pertama kalinya aku sungguhsungguh merasakannya, otot yang liat dan keras menempel pada tubuhku.
"Dengar," katanya. "Memperoleh pisau seharusnya urusan mudah, tapi kau harus
bisa mendapat panah. Itu kemungkinan terbaikmu."
"Mereka tidak selalu punya panah," sahutku, dan aku teringat pada tahun ketika
hanya ada tongkat berduri yang dimiliki para peserta untuk saling menghantam
satu sama lain. "Kalau begitu buat saja sendiri," tukas Gale. "Bahkan busur yang lemah lebih baik
daripada tak memilikinya sama sekali."
Aku pernah mencoba meniru busur panah buatan ayahku tapi hasilnya jelek sekali.
Ternyata tidak semudah itu. Bahkan ayahku kadang-kadang harus membuang
busur buatannya sendiri. "Aku juga tidak tahu apakah bakal ada kayu di sana nanti," kataku. Pada tahun
yang lain, mereka melempar semua orang ke daerah yang hanya ada batu-batu
besar, pasir dan semak-semak. Aku benci pertarungan tahun itu. Banyak peserta
digigit ular berbisa atau jadi gila karena kehausan.
"Selalu ada kayu," kata Gale. "Sejak tahun itu ketika setengah peserta mati karena
kedinginan. Tidak banyak hiburan dari tayangan tahun itu."
Memang benar. Kami pernah menonton para peserta dalam Hunger Games
kedinginan sampai mati pada malam hari. Kau nyaris tida kbisa melihat mereka
karena mereka hanya berbaring menggelung dan tidak ada kayu untuk dibuat api
atau obor atau apalah. Tahun itu dianggap tahun yang antiklimaks bagi Capitol,
hanya melihat kematian-kematian yang tenang dan tanpa darah. Sejak saat itu,
biasanya selalu tersedia kayu untuk membuat api.
"Ya, biasanya memang ada," kataku.
"Katniss, ini hanya perburuan. Kau pemburu terbaik yang kukenal," kata Gale.
"Ini bukan sekedar perburuan. Mereka bersenjata. Dan mereka bisa berpikir,"
jawabku. "Kau juga. Dan kau lebih sering latihan. Latihan sungguhan," katanya. "Kau tahu
bagaimana membunuh."
"Bukan membunuh manusia," kataku.
"Sesulit apa sih?" tanya Gale muram.
Yang membuatku bergidik adalah jika aku bisa lupa bahwa mereka manusia, maka
tidak ada bedanya sama sekali.
Para Penjaga Perdamaian datang lebih awal dan Gale minta waktu lebih, tapi
mereka menariknya pergi dan aku mulai panik. "Jangan biarkan mereka
kelaparan!" Aku menjerit memegangi tangan Gale.
"Tidak akan pernah! Kau tahu aku takkan membiarkannya. Katniss, ingat aku..."
katanya. Kemudian mereka memisahkan kami dengan paksa lalu menutup pintu
dan aku takkan pernah tahu apa yang ingin Gale katakan agar bisa kuingat.
Perjalanan dari Gedung Pengadilan sampai stasiun kereta api cukup singkat. Aku
tak pernah naik mobil. Naik kereta kuda pun jarang. Di Seam, kami biasanya
berjalan kaki. Tidak menangis adalah keputusan benar. Stasiun kereta api penuh dengan
wartawan lengkap dengan kamera mereka yang seperti serangga pengganggu
diarahkan padaku. Tapi aku sudah sering berlatih menghapus segala bentuk emosi
agar tidak terpampang di wajahku dan aku melakukannya sekarang. Sekilas kulihat
diriku di layar televisi di dinding yang menyiarkan kedatanganku secara langsung
dan aku bersyukur bisa tampil dengan wajah bosan seperti itu.
Sebaliknya, Peeta Mellark jelas habis menangis dan yang menarik darinya adalah
dia tidak berusaha menutupinya. Aku langsung berpikir apakah ini strateginya
untuk Hunger Games kali ini. Dengan tampil lemah dan ketakutan, dia meyakinkan
peserta-peserta lain bahwa dia bukanlah lawan yang patut di perhitungkan, baru
kemudian dia muncul sebagai jagoan. Hal ini berhasil buat anak bernama Johanna
Mason dari Distrik 7 beberapa tahun lalu. Dia kelihatannya cuma anak pengecut


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan cengeng tak di perdulikan oleh semua orang sampai ketika tinggal beberapa
peserta yang tersisa. Ternyata anak perempuan itu bisa membunuh dengan keji.
Caranya bermain sangat cerdik. Tapi ini tampaknya strategi yang aneh dari Peeta
Mellark karena dia putra tukang roti. Selama bertahun-tahun dia mendapatkan
cukup makanan, lagi pula mengangkat nampan-nampan roti kesana kemari
membuat bahunya kekar dan kuat. Dia harus menangis sampai tersedu-sedu tanpa
henti untuk meyakinkan siapa pun agar mau menganggap enteng dirinya.
Kami harus berdiri di ambang pintu kereta selama beberapa menit sementara
kamera televisi melahap wajah kami bulat-bulat, kemudian kami diizinkan masuk
dan untunglah pintu segera menutup di belakang kami. Seketika kereta api pun
bergerak. Kecepatan kereta api ini membuatku tercengang. Tentu saja, aku tak pernah naik
kereta, karena melakukan perjalanan antar disttik termasuk kegiatan terlarang
kecuali untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperintahkan negara. Bagi distrik
kami, tugas ini terutama mengangkut batu-bara. Tapi ini bukan kereta batu bara
biasa. Ini salah satu kereta milik Capitol yang berkecepatan tinggi, dengan
kecepatan rata-rata 250 mil per jam. Perjalanan kami ke Capitol akan makan waktu
kurang dari sehari. Di sekolah, mereka memberitahu kami bahwa Capitol dibangun di tempat yang
dulu dinamai Pegunungan Rocky. Distrik 12 adalah wilayah yang dikenal sebagai
Appalachia. Bahkan ratusan tahun lampau, mereka menambang batu bara disini.
Itulah sebabnya para penambang kami harus menggali sangat dalam.
Entah bagaimana pelajaran di sekolah selalu kembali ke batu bara. Selain buku
bacaan dasar dan matematika kebanyakan pelajaran yang kami terima berhubungan
dengan batu bara. Kecuali untuk kelas mingguan tentang sejarah Panem.
Kebanyakan sih omong kosong tentang apa saja utang kami terhadap Capitol. Aku
tahu pasti banyak yang tidak mereka beritahukan tentang kejadian yang
sesungguhnya terjadi pada masa pemberontakan. Tapi aku tidak menghabiskan
banyak waktu untuk memikirkannya. Apa pun kebenarannya, aku tidak melihat itu
sebagai cara yang bisa membantuku mencari makan.
Kereta peserta ini lebih mewah dibanding ruangan di Gedung Pengadilan. Masingmasing orang diberi kamar sendiri lengkap dengan kamar tidur, ruang pakaian, dan
kamar mandi pribadi dengan air keran yang bisa mengucurkan air dingin dan
panas. Di rumah kami tidak punya air panas, kecuali kami memasaknya.
Ada laci-laci yang penuh berisi pakaian-pakaian bagus. Effie Trinket
memberitahuku agar melakukan apa yang ingin kulakukan, memakai pakaian apa
pun yang kuinginkan, segalanya yang ada disini bisa kupakai. Hanya saja kau
harus siap untuk makan malam dalam waktu satu jam. Aku melepaskan gaun biru
ibuku lalu mandi air hangat dari pancuran. Aku tak pernah mandi dengan air
pancuran. Rasanya seperti di bawah siraman hujan, hanya saja lebih hangat. Aku
memakai kemeja hijau tua dan celana panjang.
Pada saat terakhir, aku teringat pin emas Madge. Untuk pertama kalinya aku bena
rbenar memperhatikan pin itu. Ada perhiasan kecil bergambar burung emas dengan
lingkaran emas di sekelilingnya. Burung itu menempel dengan lingkaran hanya di
bagian ujung sayapnya. Tiba-tiba aku mengenali burung ini. Burung Mockingjay.
Mereka jenis burung yang lucu dan menampar wajah Capitol. Selama masa
pemberontakan, Capitol membiakkan serangkaian hewan rekayasa genetika
sebagai senjata. Istilah umum bagi hewan-hewan itu adalah mutan, atau kadangkadang disingkat dengan sebutan mutt. Salah satunya adalah burung istimewa
disebut jabberjay yang memiliki kemampuan untuk mengingat dan mengulang
seluruh percakapan manusia. Mereka adalah burung yang bisa terbang pulang ke
sarang, semuanya jantan, yang dilepaskan ke wilayah-wilayah yang dikenal
sebagai tempat persembunyian musuh Capitol. Setelah burung-burung itu
mengumpulkan kata-kata yang didengarnya, mereka terbang pulang ke markas
untuk direkam. Butuh waktu beberapa saat bagi orang-orang untuk menyadari apa
yang terjadi pada distrik-distrik tersebut, bagaimana percakapan-percakapan
pribadi bisa sampai ke telinga Capitol. Tentu saja kemudian para pemberontak
mengibuli Capitol dengan kebohongan-kebohongan besar dan mereka tertipu
habis-habisan. Sehingga markas yang jadi sarang burung itu pun ditutup dan
burung-burung itu dibiarkan begitu saja agar punah di alam liar.
Hanya saja mereka tidak pernah punah. Malahan, burung-burung jabberjay itu
kawin dengan mockingbird betina menciptakan spesies baru yang bisa meniru
siulan burung dan melodi manusia. Mereka telah kehilangan kemampuan untuk
mengulang kata-kata tapi masih bisa meniru suara manusia sampai tingkat tertentu,
mulai dari suara merdu bernada tinggi milik anak-anak hingga suara berat orang
dewasa. Dan burung-burung ini bisa menciptakan ulang lagu. Bukan hanya
beberapa nadanya, tapi seluruh lagu dengan berbagai versi berbeda, jika kau punya
kesabaran untuk menyanyikannya pada burung-burung itu dan jika mereka
menyukai suaramu. Ayahku sangat menyukai burung mockingjay. Sewaktu kami berburu, biasanya
Ayah akan bersiul atau menyanyikan lagu yang rumit pada mereka, dan setelah
jeda yang sopan, burung-burung itu selalu balas bernyanyi. Tidak semua orang
mendapat kehormatan semacam itu. Tapi setiap kali ayahku bernyanyi, semua
burung di sana akan diam dan mendengarkan dengan saksama. Suaranya begitu
indah, bernada tinggi dan jernih dan penuh dengan getar kehidupan sehingga
membuat orang yang mendengarnya ingin tertawa dan menangis pada saat yang
bersamaan. Aku tak pernah sanggup melanjutkan latihan nyanyiku setelah ayahku
tewas. Namun, entah bagaimana burung-burung kecil itu memberikan semacam
kenangan. Seakan-akan ada bagian dari ayahku yang bersamaku, melindungiku.
Kupasang pin itu ke kemejaku, dan dengan kain berwarna hijau gelap sebagai latar
belakang, aku nyaris bisa membayangkan burung mockingjay terbang di antara
pepohonan. Effie Trinket datang menjemputku untuk makan malam. Kuikuti langkahnya
melewati koridor sempit dan bergoyang-goyang menuju ruang makan dengan
dinding berpanel kayu yang dipelitur. Di sana terdapat meja dengan piring-piring
yang mudah pecah. Peeta Mellark duduk menunggu kami kursi di sampingnya
kosong. "Di mana Haymitch?" tanya Effie Trinket dengan nada ceria.
"Terakhir kulihat dia, dia bilang mau tidur siang," sahut Peeta.
"Yah, ini memang hari yang melelahkan," kata Effie Trinket. Menurutku dia
tampak lega tanpa kehadiran Haymitch, dan aku tidak menyalahkannya.
Makan malam disajikan satu demi satu. Sup wortel kental, salad sayuran, daging
domba dan kentang tumbuk, keju dan buah-buahan, kue cokelat. Sepanjang makan,
Effie Trinket mengingatkan kami untuk menyisakan ruang di perut karena masih
ada lagi makanan yang akan disajikan. Tapi aku makan sebanyak-banyaknya
karena aku tak pernah makan makanan seperti ini, begitu lezat dan begitu banyak,
dan karena mungkin saja hal terbaik yang bisa kulakukan sampai saat pertarungan
tiba adalah menambah bobotku beberapa kilogram.
"Paling tidak kalian berdua masih punya sopan santun," kata Effie saat kami
menghabiskan makanan utama. "Pasangan tahun lalu makan segalanya dengan
tangan seperti orang-orang tak beradab. Aku sampai tidak nafsu makan
melihatnya." Pasangan tahun lalu adalah dua anak dari Seam yang tak pernah melewati satu hari
pun dengan makan kenyang. Dan saat mereka melihat makanan, sopan santun di
meja makan pasti sudah tak dipikirkan lagi. Peeta adalah anak tukang roti. Ibuku
mengajari aku dan Prim untuk makan dengan benar, jadi ya, aku bisa
menggunakan pisau dan garpu dengan baik. Tapi aku amat membenci komentar
Effie Trinket sampai-sampai aku sengaja menghabiskan sisa makan malamku
dengan menggunakan tangan. Lalu aku mengelap kedua tanganku dengan taplak
meja. Perbuatanku membuat bibirnya terkatup makin rapat.
Kini setelah selesai makan, aku berusaha keras untuk menjaga agar makananku
tidak naik lagi. Aku melihat muka Peeta juga agak pucat. Perut kami berdua tidak
terbiasa dengan makanan-makanan lezat seperti tadi. Tapi jika aku bisa tahan
makan sup dengan daging tikus, jeroan babi, dan kulit pohon-terutama di musim
dingin-aku bertekad untuk bisa menahan makananku agar tetap di lambung.
Kami menuju gerbong lain untuk menonton tayangan ulang pemungutan di
seantero Panem. Mereka berusaha mengatur acara itu berlangsung sepanjang hari
agar satu orang bisa menonton seluruh pemungutan secara langsung, tapi hanya
orang-orang yang berada di Capitol yang bisa menonton seluruhnya, karena
mereka tidak perlu menghadiri pemungutan.
Satu demi satu, kami melihat pemungutan di distrik lain, nama-nama yang
disebutkan, para sukarelawan yang maju menggantikan, atau lebih seringnya lagi
tak ada yang mau menjadi sukarelawan. Kami memperhatikan wajah-wajah
mereka yang akan menjadi lawan-lawan kami. Ada beberapa yang sulit kulupakan.
Anak lelaki mengerikan yang berlari maju untuk menjadi sukarelawan dari Distrik
2. Gadis berwajah rubah dengan rambut merah lurus dari Distrik 5. Anak laki-laki
yang kakinya pincang dari Distrik 10. Dan yang paling menakutkan, gadis berusia
dua belas tahun dari Distrik 11. Dia memiliki mata cokelat gelap, tapi selain itu
ukuran tubuh dan tingkah polahnya mirip Prim. Hanya ketika dia naik ke panggung
dan mereka bertanya apakah ada sukarelawan, yang bisa kudengar hanyalah
embusan angin kencang di antara gedung-gedung kumuh di sekitarnya. Tak ada
seorang pun yang mau menggantikan tempatnya.
Terakhir, mereka menampilkan Distrik 12. Nama Prim disebutkan, aku berlari
maju untuk menjadi sukarelawan. Kau tidak bisa mendengar keputusasaan dalam
suaraku saat mendorong Prim ke belakang tubuhku, seakan aku takut tak seorang
pun mendengarku dan mereka akan membawa Prim pergi. Tapi tentu saja mereka
mendengarnya. Aku melihat Gale menarik Prim menjauh dariku dan melihat diriku
naik ke panggung. Para komentator tidak tahu harus berkata apa ketika melihat
kerumunan massa menolak tepuk tangan. Salam hormat tanpa suara. Salah satu
komentator mengatakan Distrik 12 selalu ketinggalan zaman tapi kebiasaan
masyarakat setempat itu bisa tampak menawan. Seakan mendapat aba-aba,
Haymitch jatuh di panggung dan mereka mengerang kocak. Nama Peeta ditarik,
dan dengan tenang dia mengambil tempatnya. Kami berjabat tangan. Mereka
sampai ke bagian lagu kebangsaan lagi, dan acara pun berakhir.
Effie Trinket menggurutu tentang keadaan wignya. "Mentor kalian harus belajar
banyak tentang penampilan. Juga banyak belajar tentang bagaimana bersikap saat
disorot televisi." Tanpa disangka Peeta tertawa. "Dia mabuk," kata Peeta. "Dia mabuk setiap
tahun." "Setiap hari," tambahku. Aku tidak bisa tidak takut menyeringai. Cara Effie
Trinket mengatakannya seakan-akan Haymitch cuma bersikap kasar dan sikap
lelaki itu bisa diperbaiki dengan beberapa tips darinya.
"Ya," desis Effie Trinket. "Kalian anggap ini lucu ya. Kalian tahu mentor kalian
adalah penyambung hidup kalian kepada dunia luar dalam Hunger Games ini.
Orang yang memberi kalian saran, mencarikan sponsor, dan menentukan hadiahhadiah apa yang diberikan. Haymitch bisa jadi orang yang menentukan hidup dan
mati kalian!" Tepat pada saat itu, Haymitch terhuyung-huyung masuk ke dalam gerbong. "Aku
ketinggalan makan malam ya?" katanya dengan suara tidak jelas. Kemudian dia
muntah di atas karpet mahal dan jatuh ke kotorannya sendiri.
"Silahkan tertawa!" kata Effie Trinket. Dia melompat dalam sepatu berhak
lancipnya mengitari kubangan muntahan dan meninggalkan ruangan.
Bab 4 Selama beberapa saat, aku dan Peeta memandangi pembimbing kami yang
berusaha bangun dari cairan lengket menjijikan yang menempel di perutnya. Bau
muntah dan minuman keras yang tengik nyaris membuat makan malamku naik ke
kerongkongan. Kami bertukar pandang. Jelas Haymitch tidak bisa diandalkan, tapi Effie Trinket
benar tentang satu hal, setelah kami memasuki arena pertarungan hanya dia yang
kami miliki. Seakan ada persetujuan bersama yang tak terucap, aku dan Peeta
masing-masing memegangi lengan Haymitch dan membantunya berdiri.
"Aku kepeleset ya?" tanya Haymitch. "Baunya nggak enak," Haymitch menyeka
tangannya ke hidung, mencoreng wajahnya dengan muntahan.
"Ayo ke kamar," kata Peeta. "Kita bersihkan tubuhmu."
Kami setengah membopong setengah menyeret Haymitch kembali ke gerbongnya.
Karena kami tidak bisa menaruhnya di atas seprai berbordir cantik, kami
menariknya ke bathtub dan menyalakan pancuran menyiraminya. Haymitch hampir
tidak menyadarinya. "Sudah, tinggalkan saja," kata Peeta padaku. "Biar kuurus dia."
Aku bersyukur karena aku enggan menelanjangi Haymitch, membasuh muntahan
dari bulu dadanya, dan membaringkannya di ranjang. Mungkin saja Peeta sedang
berusaha menjadi favoritnya saat Hunger Games dimulai. Tapi melihat keadaan
Haymitch saat ini, dia takkan punya ingatan tentang hal ini besok.
"Baiklah," sahutku. "Aku bisa memanggil orang dari Capitol untuk membantumu."
Ada beberapa orang dari Capitol di kereta ini. Memasak untuk kami. Melayani
kami. Mengawal kami. Menjaga kami adalah tugas mereka.
"Tidak. Aku tidak mau dibantu mereka," tukas Peeta.
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamarku sendiri. Aku mengerti bagaimana
perasaan Peeta. Aku sendiri tidak tahan melihat orang-orang dari Capitol. Tapi
membuat mereka mengurus Haymitch mungkin bisa jadi semacam balas dendam.
Aku jadi memikirkan alasan kenapa dia berkeras mengurus Haymitch seorang diri
dan mendadak aku berpikir, Itu karena dia memang baik. Perbuatan baik yang
sama seperti ketika dia memberiku roti.
Pemikiran itu membuatku terenyak. Peeta Mellark yang jahat. Orang baik memliki
cara untuk menyelinap masuk dalam diriku dan membusuk di sana. Dan aku tidak
bisa membiarkan Peeta melakukan ini. Mengingat tempat seperti apa yang kami
tuju. Jadi mulai sekarang aku memutuskan untuk tidak terlalu sering berhubungan
dengan anak tukang roti ini.
Saat aku kembali ke kamarku, kereta berhenti di peron untuk menambah bahan
bakar. Buru-buru aku membuka jendela dan melempar biskuit yang diberikan ayah
Peeta keluar kereta, langsung menutup jendela itu. Tidak ada lagi. Tidak ada lagi
hubungan dengan mereka. Sayangnya, kemasan biskuit jatuh menghantam tanah dan pecah terbuka sehingga
isinya tersebar membentuk rupa bunga dandelion. Aku hanya melihatnya sesaat,
karena kereta bergerak lagi, tapi sesaat itu sudah cukup. Cukup untuk
mengingatkanku pada dandelion lain yang kulihat dibelakang halaman sekolah
beberapa tahun lalu... Aku baru saja memalingkan wajahku dari wajah Peeta Mellark yang lebam ketika
melihat dandelion tersebut dan aku tahu harapanku belum musnah total. Kupetik
bunga itu dengan hati-hati dan bergegas pulang. Aku mengambil ember dan
menarik tangan Prim lalu berjalan menuju Padang Rumput dan ya, di sana penuh
dengan titik-titik rumpun berwarna keemasan. Setelah kami memanen bungabungaan itu, mencari-cari di sekitar bagian dalam pagar sampai sejauh satu mil
hingga ember kami penuh dengan dedaunan, tangkai, dan bunga-bunga dandelion.
Malam itu, kami puas melahap salad dandelion dan sisa roti dari toko roti.
"Apa lagi?" Prim bertanya padaku. "Makanan apa lagi yang bisa kita temukan?"
"Segala macam makanan." Aku berjanji padanya. "Aku hanya perlu mengingat apa
saja yang bisa dicari."
Ibuku memiliki buku yang dibawanya dari toko obat. Halaman-halamannya terbuat
dari perkamen tua dan penuh dengan coretan-coretan tinta bergambar tumbuhtumbuhan. Tulisan tangan yang ditulis dengan huruf balok menjelaskan nama
tumbuhan itu, di mana mencarinya, kapan tumbuhan itu berbunga, dan apa saja
kegunaan medisnya. Tapi ayahku menambahkan entri-entri lain dalam buku itu.
Tumbuhan-tumbuhan yang bisa dimakan, bukan untuk pengobatan. Dandelion,
pokeweed, bawang liar, cemara. Aku dan Prim menghabiskan sisa makan malam
itu dengan membaca isi buku tersebut dengan tekun.
Keesokan harinya, kami bolos sekolah. Selama beberapa saat aku hanya
berkeliaran di sekitar ujung Padang Rumput, tapi akhirnya aku berhasil
mengumpulkan keberanian untuk melewati bagian bawah pagar. Untuk pertama
kalinya aku berada di sana sendirian, tanpa senjata ayahku yang bisa jadi
pelindung. Tapi aku bisa mengambil busur kecil dan panah yang dibuatkan Ayah
untukku dari pohon berongga. Mungkin aku tidak masuk ke hutan lebih dari dua
puluh meter hari itu. Aku menghabiskan lebih banyak waktu di atas dahan pohon
oak tua, berharap buruanku lewat. Setelah beberapa jam, aku beruntung bisa
membunuh kelinci. Sebelumnya, aku pernah memanah kelinci dari arahan ayahku.
Tapi kali ini aku melakukannya sendiri.
Sudah berbulan-bulan kami tidak makan daging. Melihat kelinci tampaknya
memunculkan sesuatu dalam diri ibuku. Dia bangkit berdiri, menguliti bangkai
kelinci itu, dan membuat rebusan daging yang di campur dengan daun-daunan
yang berhasil di kumpulkan Prim. Kemudian dia bertingkah bingung lagi dan
kembali ke tempat tidur, tapi ketika rebusan daging itu matang, kami memaksanya
makan semangkuk. Hutan menjadi penyelamat kami, dan makin hari aku masuk makin dalam ke
hutan. Mulanya perlahan, tapi aku bertekad untuk memberi makan kami
sekeluarga. Aku mencuri telur dari sarang burung, menangkap ikan dengan jala,
dan kadang-kadang berhasil memanah tupai atau kelinci untuk dibuat rebusan
daging, dan mengumpulkan berbagai tumbuhan yang mekar di bawah kakiku.
Mengumpulkan tumbuhan lebih rumit. Banyak tumbuhan yang bisa dimakan, tapi
sekali salah makan kau bisa tewas seketika. Aku berkali-kali memeriksa tumbuhtumbuhan yang berhasil kukumpulkan dengan membandingkannya dengan
gambar-gambar yang dibuat ayahku. Aku menjaga kami sekeluarga tetap hidup.
Awalnya, bila merasakan ada tanda bahaya, lolongan di kejauhan, dahan patah
tiba-tiba, aku pasti langsung melesat lari ke pagar. Kemudian aku mulai berani
memanjat pohon-pohon agar bisa kabur dari kejaran anjing-anjing liar yang
biasanya cepat bosan lalu pergi. Beruang dan macan hidup jauh didalam hutan,
mungkin mereka tidak menyukai bau jelaga dari distrik kami.


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada tanggal 8 Mei aku pergi ke Gedung Pengadilan, mendaftar untuk jatah
tessera, membawa pulang gandum dan minyak pertamaku yang jumlahnya tak
seberapa dalam gerobak mainan Prim. Pada tanggal delapan setiap bulan, aku
berhak mengambil jatahku. Tentu saja, aku tidak bisa berhenti berburu dan
mengumpulkan makanan. Gandum yang kami terima tidak cukup untuk kebutuhan
hidup, dan masih banyak barang yang harus dibeli, seperti sabun, susu, dan
benang. Makanan-makanan yang tak perlu kami makan, mulai kutukar di Hob.
Rasanya mengerikan masuk ketempat itu tanpa didampingi ayahku, tapi orangorang di sana menghormatinya, dan mereka menerimaku. Hasil buruan tetaplah
hasil buruan, tidak peduli siapa yang membunuhnya. Aku juga menjual hasil
buruanku lewat pintu belakang rumah orang-orang kaya di kota, berusaha
mengingat-ingat apa yang pernah diberitahu ayahku sambil belajar trik-trik baru.
Tukang daging mau membeli kelinci tapi tidak mau tupai. Tukang roti menyukai
tupai tapi hanya mau menukarnya dengan roti jika tidak ada istrinya. Pemimpin
Penjaga Perdamaian suka kalkun liar. Sang wali kota menyenangi stroberi.
Pada akhir musim panas, aku sedang mandi di kolam ketika aku memperhatikan
tumbuh-tumbuhan mulai tumbuh di sekelilingku. Tumbuhan jenis rimpang dengan
dedaunan yang lancip. Bunga-bunganya bermekaran dengan tiga kelopak putih.
Aku berlutut di dalam air, jemariku menggali lumpur lembut, dan menarik akar
umbi-umbian dari sana. Umbi kecil berwarna kebiru-biruan dengan tampilan tidak
menarik tapi bila direbus atau dipanggang rasanya selezat kentang.
"Katniss," kataku lantang. Ini jenis tanaman yang menjadi asal-usul namaku. Dan
bisa kudengar canda ayahku yang berkata, "Selama kau bisa menemukan dirimu,
kau takkan pernah kelaparan."
Selama berjam-jam aku mengaduk tepi-tepi kolam dengan ujung jari-jari kakiku
dan tongkat kayu, lalu mengumpulkan umbi yang terangkat ke permukaan. Malam
itu, kami berpesta ikan dan umbi katniss sampai kami merasa kenyang, perasaan
yang akhirnya bisa kami rasakan setelah berbulan-bulan.
Pelan-pelan, ibuku kembali pada kami. Dia mulai membersihkan, memasak, dan
mengawetkan sebagian makanan yang kubawa pulang untuk persediaan musim
dingin. Orang-orang melakukan barter atau membayar kami dengan uang untuk
ramuan ibuku. Suatu hari, kudengar ibuku bernyanyi.
Prim gembira ibuku kembali, tapi tetap mengawasi ibuku, menunggunya
menghilang dari kami lagi. Aku tidak mempercayainya. Dan sisi beringas dalam
diriku membencinya karena sikap lemah ibuku, karena melalaikan kami, selama
berbulan-bulan yang harus kami lalui. Prim memaafkannya, tapi aku mengambil
langkah mundur dari ibuku, membangun dinding untuk melindungi diriku agar
tidak membutuhkannya, dan keadaan di antara kami tak pernah sama lagi.
Kini aku akan mati tanpa punya kesempatan memperbaiki keadaan itu. Aku
teringat bagaimana aku membentak ibuku tadi siang di Gedung Pengadilan. Tapi
aku juga bilang aku sayang padanya. Jadi mungkin kata-kata itu bisa jadi
penyeimbang. Selama beberapa saat aku berdiri memandang ke luar jendela kereta, berharap aku
bisa membuka jendela lagi, tapi aku tidak yakin dengan kemungkinan yg bisa
terjadi jika aku membuka jendela ketika kereta bergerak secepat ini. Di kejauhan,
aku melihat cahaya dari distrik-distrik lain. Distrik 10" Aku tidak tahu. Aku
memikirkan orang-orang yang berada di dalam rumah mereka, bersiap-siap tidur.
Aku membayangkan rumahku, dengan jendela yang ditutup rapat. Apa yang
sedang dilakukan Prim dan ibuku sekarang" Apakah mereka sanggup makan
malam" Menu malam ini adalah ikan kukus dan stroberi. Ataukah mereka
membiarkan makanan itu tak tersentuh di piring" Apakah mereka menonton
tayangan ulang rangkuman acara hari ini di TV tua yang ditaruh di atas meja
menempel pada dinding" Tentu akan ada air mata lagi. Apakah ibuku bisa tetap
bertahan, tetap kuat demi Prim" Atau apakah dia mulai menghilang lagi"
Menempatkan beban dunia pada bahu adikku yang rapuh"
Aku yakin Prim akan tidur dengam ibuku malam ini. Membayangkan Buttercup
yang budukan itu memposisikan dirinya di ranjang untuk mengawasi Prim
membuatku tenang. Jika Prim menangis, binatang itu akan berjalan ke pelukan
adikku dan bergelung di sana sampai Prim tenang dan tertidur lagi. Aku lega tidak
menenggelamkan kucing itu dulu.
Membayangkan rumah membuat hatiku perih dengan rasa kesepian. Hari ini
seakan tak pernah berakhir. Apa benar aku dan Gale baru tadi pagi makan
blackberry" Rasanya seperti kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang lampau.
Seperti mimpi yang panjang berubah menjadi mimpi buruk. Mungkin jika aku
tidur, aku akan terbangun di Distrik 12, tempatku seharusnya berada.
Mungkin di laci-laci kamar ini terdapat banyak gaun tidur, tapi aku hanya
melepaskan kemeja dan celana panjangku lalu naik ke ranjang hanya dengan
pakaian dalam. Seprainya terbuat dari bahan yang halus seperti sutra. Selimut tebal
dan empuk langsung memberikan kehangatan.
Jika aku ingin menangis, sekaranglah saat untuk melakukannya. Besok pagi, aku
bisa membasuh bekas-bekas air mata dari wajahku. Tapi tidak ada air mata yang
keluar. Aku terlalu lelah atau kebas untuk menangis. Satu-satunya hak yang
kudambakan adalah berada di tempat lain. Jadi kubiarkan kereta ini membuaiku
hingga terlena. Cahaya kelabu membias di antara tirai ketika suara ketukan membangunkanku.
Kudengar suara Effie Trinket, menyuruhku bangun. "Bangun, bangun, bangun!
Hari ini hari besaaaaaar!"
Sesaat aku membayangkan seperti apa rasanya berada dalam kepala wanita itu.
Apa isi pikirannya saat dia terjaga" Mimpi apa yang menyambanginya pada malam
hari" Aku sama sekali tidak tahu.
Kupakai baju hijau yang sudah kupakai sebelumnya karena bajunya masih bersih,
hanya sedikit kusut karena semalaman teronggok di lantai. Jemariku menelusuri
lingkaran di sekelilimg hiasan mockingjay emas dan aku teringat pada hutan, dan
ayahku, saat Prim dan ibuku terbangun, dan segera bergegas dengan kesibukan.
Aku tertidur dengan rambut masih dikepang, hasil kepangan ibuku untuk Hari
Pemungutan, dan bentuknya tidak terlalu berantakan, jadi kubiarkan saja rambutku
masih terkepang. Tidak masalah. Capitol pasti tidak jauh lagi. Dan setelah kami
tiba di kota, penata busanaku pasti akan mengatur penampilanku. Kuharap aku
tidak mendapat penata gaya yang beranggapan bahwa telanjang adalah tren busana
terbaru. Ketika aku memasuki ruang makan, Effie Trinket berjalan melewatiku dengan
membawa secangkir kopi pahit. Dia menggerutu pelan soal kecabulan. Haymitch,
yang dengan wajah bengkak dan merah karena kejadian kemarin, tampak tergelak.
Peeta memegang roti dan tampak malu.
"Duduk! Duduk!" seru Haymitch, melambaikan tangan padaku agar mendekat.
Saat aku duduk di kursiku, piring-piring berisi makanan melimpah langsung tersaji
dihadapanku. Telur, daging, tumpukan kentang goreng. Semangkuk besar buahbuahan yang ditaruh di atas es agar tegap dingin. Seranjang roti yang ditaruh di
depanku bisa memberi makan keluargaku selama seminggu. Ada segelas jus jeruk,
pada Tahun Baru ketika ayahku membelikan kami sebuah jeruk sebagai hadiah
istimewa. Secangkir kopi. Ibuku amat menyukai kopi, yang nyaris tak sanggup
kami beli, tapi rasa kopi di lidahku hanya pahit dan encer. Dan ada secangkir entah
apa berisi cairan cokelat yang tak pernah kulihat.
"Ini namanya cokelat panas," kata Peeta. "Rasanya enak."
Aku meminum seteguk cairan panas, manis, kental itu dan langsung bergidik.
Meskipun makanan lain memanggilku untuk mencicipinya, aku mengabaikan
panggilan itu hingga aku menghabiskan cokelatku. Lalu aku memasukkan semua
makanan yang bisa kutelan ke mulutku, banyak-banyak. Tapi berlemak. Pernah
ibuku bilang padaku bahwa aku selalu makan seolah-olah aku ketakutan tak bisa
melihat makanan lagi. Dan kujawab "Ya, betul, kecuali aku pulang membawa
makanan." Ibuku langsung terdiam.
Ketika perutku rasanya nyaris pecah, aku duduk bersandar dan memperhatikan
rekan-rekan sarapanku. Peeta masih makan, memecah rotinya dan
mencelupkannya ke dalam cokelat panas. Haymitch tampak tidak peduli pada
makanan di piringnya, tapi dia menenggak segelas jus berwarna merah yang
ditambahkan cairan bening dari botol. Dari bau yang tercium, pasti cairan itu
semacam minuman keras. Aku tidak kenal Haymitch, tapi aku sering melihatnya di
Hob, melemparkan segepok uang ke meja kepada wanita yang menjual cairan
bening. Dia pasti bakal teler berat pada saat kami tiba di Capitol.
Aku sadar bahwa aku membenci Haymitch. Tidak heran para peserta dari Distrik
12 tak pernah punya kesempatan menang. Bukan karena kami kurang makan dan
kurang latihan. Beberapa peserta dari distrik kami cukup kuat untuk menghadapi
pertarungan. Tapi kami jarang mendapat sponsor dan Haymitch-lah alasan utama
kenapa kami tidak memperolehnya. Orang-orang kaya yang mendukung pesertaentah karena mereka bertaruh atas diri sang peserta atau hanya demi bisa pamer
bisa memilih pemenang yang tepat-mengharapkan orang yang lebih elegan
dibanding Haymitch untuk diajak bekerja sama.
"Kau seharusnya memberi kami nasihat," kataku pada Haymitch.
"Ini nasihat untukmu. Usahakan tetap hidup," sahut Haymitch kemudian dia
tertawa terbahak-bahak. Aku bertukar pandang dengan Peeta sebelum aku sadar aku tidak mau berurusan
lagi dengannya. Aku kaget melihat ketegasan di matanya. Biasanya Peeta tampak
begitu lembut. "Lucu sekali," kata Peeta.
Mendadak Peeta menepis keras gelas di tangan Haymitch. Gelas itu pecah
berantakan di lantai, membuat cairan berwarna merah darah itu mengalir hingga ke
bagian belakang kereta. "Tapi buat kami tidak lucu."
Haymitch berpikir sejenak, kemudian meninju rahang Peeta, hingga membuatnya
terjatuh dari kursi. Ketika dia mengulurkan tangan untuk mengambil minuman
kerasnya, aku menusukkan pisau ke meja, ke antara tangan dan botol minumannya,
nyaris mengenai jemari Haymitch. Kusiapkan diri untuk mengelak hantaman
Haymitch, tapi dia tidak membalas. Malahan dia duduk bersandar dan menyipitkan
mata memandang kami. "Hm, ada apa rupanya?" tanya Haymitch. "Apakah aku mendapatkan petarung
sejati tahun ini?" Peeta bangkit dari lantai dan meraup es dari bawah mangkuk buah, kemudian
menempelkan es itu ke bagian memar di rahangnya.
"Jangan," kata Haymitch menghentikan Peeta. "Biarkan memar itu kelihatan.
Penonton akan mengira kau sudah bertarung dengan peserta lain sebelum sampai
ke arena pertarungan."
"Tapi itu melanggar peraturan," jawab Peeta.
"Hanya jika mereka menangkapmu. Memar itu menunjukkan kau berkelahi, tapi
kau tidak tertangkap, itu lebih baik lagi." kata Hatmitch. Dia berpaling
memandangku. "Bisakah kau menggunakan pisau itu selain untuk menusuk
meja?" Busur dan panah adalah senjataku. Tapi aku juga sering menghabiskan waktu
dengan melemparkan pisau. Kadang-kadang, aku melukai binatang dengam pisau
ke tubuh binatang itu sebelum aku mendekatinya. Aku sadar jika aku ingin
menarik perhatian Haymitch, sekaranglah saatnya. Kutarik pisau dari meja,
kupegang erat gagangnya, lalu kulempar ke dinding di seberang ruangan.
Sebenarnya aku cuma berharap pisau itu bisa tertancap kuat di dinding, tapi pisau
itu tersangkut di ruang sempit di antara dua papan, membuatku tampak lebih jago.
"Berdiri disini. Kalian berdua," kata Haymitch, mengangguk ke bagian tengah
ruangan. Kami mematuhinya dan dia berjalan mengitari kami, mengamati kami
seperti yang kadang-kadang dilakukan binatang, memperhatikan otot-otot kami,
mengamati wajah kami. "Hm, kalian tidak seluruhnya tanpa harapan. Tampak kuat.
Dan setelah penata busana mendandani kalian, kalian pasti akan kelihatan
menarik." Aku dan Peeta tidak mempertanyakan hal ini. Hunger Games bukanlah kontes
kecantikan, tapi peserta yang kelihatan paling tampan atau cantik selalhu bisa
menarik lebih banyak sponsor.
"Baiklah, aku akan membuat perjanjian dengan kalian. Kalian jangan
menggangguku kalau aku ingin minum dan aku akan menjaga diri supaya tegap
sadar untuk membantu kalian," kata Haymitch. "Tapi kau harus melakukan apa
yang kuperintahkan."
Perjanjian ini memang tidak terlalu menguntungkan tapi bila mengingat sepuluh
menit yang lalu, ini jauh lebih baik daripada tidak ada petunjuk sama sekali.
"Baik," sahut Peeta.
"Jadi bantulah kami," kataku. "Ketika kami sampai ke arena, apa strategi terbaik di
Cornucopia untuk orang yang..."
"Satu-satu dulu. Beberapa menit lagi kita akan tiba di stasiun. Kau akan berada di
tangan penata busana. Kau takkan menyukai apa yang akan mereka lakukan
padamu. Tapi apapun yang terjadi jangan melawan," kata Haymitch.
"Tapi..." aku hendak protes.
"Tidak ada tapi. Jangan melawan," ujar Haymitch, dia mengambil botol minuman
keras dari meja dan meninggalkan ruang makan. Ketika pintu menutup
dibelakangnya, ruang makan berubah gelap. Masih ada sedikit cahaya di dalam,
tapi di luar seakan-akan malam kembali menelan bumi. Kami pasti berada dalam
terowongan yang menembus pegunungan memasuki Capitol. Pegunungan
membentuk penghalang alami antara Capitol dan distrik-distrik sebelah timur.
Nyaris tidak mungkin memasuki Capitol dari arah timur selain melewati
terowongan. Keuntungan geografis ini adalah faktor utama penyebab kekalahan
distrik-distrik ini dalam perang yang membuatku sekarang jadi peserta pertarungan
hari ini. Karena para pemberontak harus memanjat pegunungan, mereka jadi
sasaran mudah bagi angkatan udara Capitol.
Aku dan Peeta Mellark berdiri tanpa bicara ketika kereta api melaju cepat.
Terowongan itu seakan tanpa akhir dan aku memikirkan berton-ton batu
memisahkan diriku dengan langit, dadaku langsung terasa sakit
membayangkannya. Aku benci terperangkap dalam batu seperti ini. Aku jadi
teringat pada tambang dan ayahku, terjebak, tidak bisa menemukan cahaya
matahari, terkubur selamanya dalam kegelapan.
Kereta akhirnya mulai melambat dan mendadak cahaya terang membanjiri
ruangan. Kami tidak bisa menahan diri. Aku dan Peeta langsung berlari ke jendela
untuk melihat apa yang biasanya cuma kami lihat di televisi, Capitol kota yang
mengendalikan negara Panem. Kamera tidak menipu saat menggambarkan
kemegahannya. Jika pun ada yang tidak tertangkap kamera adalah betapa besarnya
gedung-gedung berkilau dengan warna-warna pelangi yang menjulang ke angkasa,
mobil-mobil mengilat yang hilir-mudik di jalan-jalan lebar beraspal, orang-orang
berpakaian asing dengan tata rambut aneh dan wajah-wajah yang dilukis yang
tampaknya tidak pernah kekurangan makan. Semua warnanya tampak palsu, warna
pinknya terlalu pink, warna hijaunya terlalu terang, warna kuningnya menyakitkan
mata, seperti warna permen lolipop yang tak pernah sanggup kami beli di toko
kecil di Distrik 12. Orang-orang mulai menunjuk ke arah kami dengan penuh semangat ketika mereka
mengenali kereta peserta pertarungan memasuki kota. Aku melangkah mundur
menjauhi kereta, muak melihat antusiasme mereka, tahu bahwa mereka tidak sabar
lagi menonton kami mati. Tapi Peeta tetap bertahan, dia bahkan melambai dan
tersenyum pada kerumunan orang. Dia baru berhenti melambai dan tersenyum
ketika kereta memasuki stasiun, dan membuat kami terhalang dari pandangan.
Dia melihatku sedang memelototinya dan mengangkat bahu.
"Siapa tahu?" katanya. "Salah seorang dari mereka mungkin orang kaya."
Aku telah salah menilainya. Aku memikirkan segala tindakannya sejak
pemungutan. Caranya menggenggam tanganku. Ayahnya datang membawa kue
dan berjanji untuk memberi makan Prim... apakah Peeta yang menyuruhnya" Air
matanya di stasiun kereta. Mengajukan diri untuk memandikan Haymitch tapi
kemudian menantang lelaki itu pagi ini ketika pendekatan baik-baik tampaknya
gagal. Dan sekarang dia melambai di jendela, berusaha mengambil hati penonton.
Semua potongan itu kini berusaha kusatukan, tapi kurasakan Peeta sedang
menyusun rencana. Dia tidak menerima kematiannya. Dia sedang berusaha keras
untuk tetap hidup. Dan itu berarti Peeta Mellark yang baik hati, yang memberiku
roti, sedang berusaha keras untuk membunuhku.
Bab 5 BRETTTTT! Aku merapatkan gigi ketika Venia, wanita dengan rambut biru cerah
dan tato emas di atas alisnya, menarik lembaran kain dari kakiku dan mencabut
bulu yang menempel di sana. "Maaf!" katanya dengan suara melengking tolol khas
logat Capitol. "Kau banyak bulunya sih!"
Kenapa orang-orang di sini bicara dengan nada melengking tinggi seperti ini"
Kenapa mulut mereka nyaris tidak terbuka saat bicara" Kenapa mereka mengakhiri
kalimat dengan nada yang naik seakan-akan mereka mengajukan kalimat
pertanyaan" Huruf vokal yang aneh, kata-kata yang terpotong dan huruf s yang
diiringi desisan... tidak heran jika orang-orang tidak tahan untuk tidak
menirukannya. Venia memperlihatkan wajah yang seharusnya menunjukkan rasa simpatinya.
"Tapi kabar baiknya, ini yang terakhir. Siap?"
Kupegang erat-erat kedua ujung meja dekat tempatku duduk dan mengangguk.
Sapuan terakhir langsung mencabut bulu kakiku dalam sekali sentakan yang
menyakitkan. Aku sudah berada di Pusat Tata Ulang selama lebih dari tiga jam tapi aku belum
bertemu penata gayaku. Jelas dia tidak minat menemuiku hingga Venia dan
anggota tim persiapan lain membereskan sejumlah masalah yang kelihatan jelas.
Kegiatan persiapan ini antara lain menggosok tubuhku dengan sabun berpasir yang
tidak hanya mengangkat kotoran tapi juga mengangkat tiga lapisan kulitku,
membentuk kukuku dalam bentuk yang seragam, dan yang terutama, mencabuti


The Hunger Games Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bulu-bulu dari tubuhku. Kedua kaki, lengan, dada, ketiak, dan beberapa bagian dari
alisku, membuatku seperti ayam yang dibului, siap dipanggang. Aku tidak
menyukainya. Kulitku rasanya ngilu, nyeri, dan mudah terluka. Tapi aku
memegang janjiku pada Haymitch, tak ada keluhan sedikitpun keluar dari
mulutku. "Kau anak yang oke," kata seorang lelaki bernama Flavius. Dia menggoyanggoyangkan rambut ikalnya yang berwarna oranye dan memulaskan lipstik
berwarna ungu ke bibirnya. "Kami paling tidak tahan pada anak yang suka
mengeluh. Minyaki dia!"
Venia dan Octavia, wanita bertubuh montok yang seluruh tubuhnya disepuh
dengan warna hijau kacang polong, menggosok tubuhku dengan losion yang
mulanya terasa menyengat tapi kemudian menyejukkan kulitku yang pedih.
Kemudian mereka menarikku turun dari meja, melepaskan jubah tipis yang
kupakai dan kulepas berkali-kali. Aku berdiri telanjang sementara mereka bertiga
mengelilingiku, memegang penjepit untuk mencabuti buluku yang tersisa. Aku
tahu aku seharusnya malu, tapi rupa mereka tidak mirip manusia membuatku tidak
bisa merasa risi, seolah-olah aku berdiri di depan tiga ekor burung eksentrik yang
berwarna aneh dan sedang mematuk makanan di dekat kakiku.
Mereka bertiga mundur dan mengagumi hasil karya mereka.
"Bagus sekali! Kau hampir kelihatan seperti manusia sekarang!" kata Flavius, lalu
mereka pun tertawa. Kupaksakan bibirku membentuk senyuman untuk menunjukkan aku berterima
Naga Sasra Dan Sabuk Inten 8 Raja Petir 19 Persembahan Raja Setyagara Pedang Ular Mas 13

Cari Blog Ini