Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin Bagian 1
A GAME OF THRONES 2 PEPERANGAN RAJA-RAJA karya George R.R. Martin Original edition copyright ? 1999, George R.R. Martin
Hak terjemahan Bahasa Indonesia
ada pada Penerbit Fantasious
Penerjemah: Barokah Ruziati & Angelic Zaizai
Penyunting: Mery Riansyah
Pemeriksa Aksara: Westeros Indonesia
Pewajah Sampul dan Isi: Yhogi Yhordan
Cetakan pertama, November 2015
Penerbit Fantasious PT Sembilan Cahaya Abadi Jl. Kebagusan III. Komplek Nuansa Kebagusan 99.
Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. 12520
Telp: (021) 78847081, 78847037 | Faks: (021) 78847012
Twitter: @fantasiousID | Facebook: Fantasiousbooks
Instagram: Fantasious_books | e-mail: redaksi.fantasious@gmail.com
website: www.fantasiousid.com
Distribusi & Penjualan:
PT. Cahaya Duabelas Semesta
Jl. Kebagusan III. Komplek Nuansa Kebagusan 99. Kebagusan,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. 12520
Telp: (021) 78847081, 78847037 | Faks: (021) 78847012
e-mail: cds.headquarters@gmail.com
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
R.R. Martin, George A Game of Thrones 2/George R.R. Martin; " Cet. II " Jakarta:
Fantasious, 2015 XLIV + 1200 hlm; 13 x 20,5 cm
ISBN 978-602-72989-3-4 1. Novel Terjemahan I. Judul II. Mery Riansyah III. Seri 823 II Untuk John dan Gail untuk semua makanan dan minuman yang
kita nikmati bersama. III IV V VI PROLOG E kor komet membentang membelah fajar, goresan merah
membara di atas tebing terjal Dragonstone bagaikan luka
di langit merah muda dan ungu.
Sang maester berdiri di balkon berangin di luar
kamarnya. Di sinilah burung-burung raven datang setelah
penerbangan panjang. Kotoran mereka bebercak pada gargoyle
yang berdiri hampir empat meter di kedua sisi lelaki itu,
berwujud anjing neraka dan wyvern"naga bertubuh reptil
berkaki dua"dua dari ribuan gargoyle yang mencangkung
menaungi dinding-dinding benteng kuno tersebut. Ketika
pertama kali datang ke Dragonstone, pasukan patung batu
menyeramkan itu membuat sang maester gelisah. Namun
setelah bertahun-tahun, dia menjadi terbiasa pada mereka.
Kini mereka dianggapnya sebagai teman-teman lama. Ketiganya
mengamati langit bersama-sama dengan dibayangi firasat.
Sang maester tidak memercayai pertanda. Namun" di
usia setua dirinya, Cressen belum pernah melihat komet yang
terangnya setengah saja, belum pernah pula dia melihat warna
itu, warna mengerikan itu, merah darah, api, dan matahari
terbenam. Dia bertanya-tanya apakah gargoyle-gargoyle-nya
VII pernah melihat yang seperti itu. Mereka telah menetap di sini
jauh lebih lama dibandingkan dirinya, dan akan tetap di sini
lama setelah dia tiada. Andai lidah batu bisa bicara"?
Konyol sekali. Sang maester bersandar pada tembok
bergerigi, laut berdebur di bawahnya, batu hitam terasa kasar
di bawah jemarinya. Gargoyle berbicara dan ramalan di langit.
Aku lelaki tua yang ketakutan, kembali seperti anak kecil. Apakah
kebijaksanaan seumur hidup yang diperolehnya dengan susah
payah ikut pergi bersama kesehatan dan kekuatannya" Dia
seorang maester, dilatih dan dikalungi di Citadel Oldtown
yang megah. Apa jadinya dirinya jika takhayul memenuhi
kepalanya seakan-akan dia buruh tani yang bodoh"
Tapi" tapi" komet itu membara bahkan pada pagi
hari sekarang, sementara asap kelabu pucat membubung dari
kawah-kawah Dragonmont di belakang kastel, dan kemarin pagi
seekor raven putih membawa kabar dari Citadel sendiri, kabar
yang telah lama ditunggu namun tak kurang menakutkannya,
kabar tentang akhir musim panas. Semua itu pertanda. Terlalu
banyak untuk diabaikan.?Apa arti semua itu" dia ingin berteriak.
"Maester Cressen, ada tamu." Pylos berkata pelan,
seolah benci harus mengganggu renungan khidmat Cressen.
Andai mengetahui omong kosong apa yang memenuhi kepala
sang maester, dia pasti akan berseru. "Sang putri ingin melihat
raven putih itu." Pylos selalu bertindak benar, dia memanggil
gadis itu putri sekarang, sebab ayahnya adalah seorang raja.
Raja dari karang hangus di laut lepas, tapi tetap saja seorang
raja. "Pelawaknya bersamanya."
Si lelaki tua berpaling dari langit fajar, bertopang pada
patung wyvern untuk memantapkan diri. "Bantu aku ke kursiku
dan persilakan mereka masuk."
Pylos menggandeng lengan Cressen dan menuntunnya
masuk. Semasa muda, Cressen selalu berjalan cepat, tapi tak
VIII lama lagi akan tiba hari penamaannya yang kedelapan puluh,
dan kakinya sudah lemah serta goyah. Dua tahun silam, dia
jatuh dan pinggulnya patah, yang hingga kini tak pernah benarbenar pulih. Tahun lalu saat dia jatuh sakit, Citadel mengirim
Pylos keluar dari Oldtown, hanya beberapa hari sebelum
Lord Stannis menutup pulau kecil tersebut" katanya untuk
membantu pekerjaan Cressen, tapi dia tahu yang sebenarnya.
Pylos datang untuk menggantikannya saat dia mangkat nanti.
Cressen tidak keberatan. Seseorang mesti menggantikan
tempatnya, dan lebih cepat daripada yang dia inginkan"
Dibiarkannya lelaki yang lebih muda itu
mendudukkannya di belakang buku-buku dan kertas-kertas.
"Bawa dia masuk. Tidak baik membiarkan seorang lady
menunggu." Cressen melambaikan tangan, isyarat lemah dari
lelaki yang tak mampu lagi bergegas. Daging Cressen keriput
dan bebercak, kulitnya setipis kertas sampai-sampai dia bisa
melihat jaringan urat dan bentuk tulang-tulang di bawahnya.
Dan betapa gemetarnya kedua tangan itu, tangan yang dulu
pernah sangat mantap dan cekatan"?
Ketika Pylos kembali, gadis itu ikut bersamanya,
masih saja malu-malu. Di belakangnya, si pelawak mengikuti,
menyeret langkah dan melompat-lompat dengan cara jalannya
yang miring dan aneh. Di kepalanya bertengger helm bohongan
dari ember kaleng lama, dengan tanduk rusa menempel di
puncaknya dan digantungi lonceng-lonceng sapi. Seiring setiap
langkahnya yang menyentak, lonceng-lonceng itu berdenting,
masing-masing dengan bunyi berbeda, klang-klang tong-tong tingting klong klong klong.
"Siapa yang menemui kita sepagi ini, Pylos?" Cressen
bertanya. "Ini aku dan Belang, Maester." Mata biru yang jujur
berkedip kepadanya. Sayangnya, wajah itu tidak cantik. Anak
IX itu mewarisi rahang persegi ayahnya yang menonjol dan telinga
ibunya yang ganjil, beserta kecacatannya sendiri, bekas serangan
wabah kelabu yang nyaris menewaskannya saat dia masih bayi.
Di sepanjang setengah pipinya dan jauh merambati lehernya,
daging gadis itu kaku dan mati, kulitnya retak dan menyerpih,
bebercak hitam dan kelabu, sekeras batu saat disentuh. "Pylos
bilang kami boleh melihat raven putih itu."
"Tentu saja boleh," Cressen menyahut. Seakan dia bisa
menolaknya saja. Gadis itu sudah terlalu sering ditolak selama
hidupnya. Namanya Shireen. Umurnya sepuluh pada hari
penamaan berikutnya, dan dia anak paling sedih yang pernah
dikenal Maester Cressen.?Kesedihannya adalah aibku, pikir si
lelaki tua, satu lagi bukti kegagalanku.?"Maester Pylos, tolong
turunkan burung itu dari sarangnya untuk Lady Shireen."
"Dengan senang hati." Pylos lelaki muda yang sopan,
belum melewati 25 tahun, namun seserius lelaki berumur
enam puluh. Andai dia punya lebih banyak selera humor,
lebih banyak kehidupan dalam dirinya; itulah yang dibutuhkan
di sini. Tempat-tempat yang muram membutuhkan keceriaan,
bukan keseriusan, dan Dragonstone jelas tempat yang muram,
Citadel kesepian di tanah tandus yang basah, dikelilingi badai
dan garam, dengan bayangan berasap gunung di belakangnya.
Seorang maester harus pergi ke mana dia dikirim, maka Cressen
datang kemari bersama lord? junjungannya dua belas tahun
silam, dan dia telah mengabdi dengan sangat baik. Namun dia
tak pernah mencintai Dragonstone, tak pernah juga merasa
benar-benar kerasan. Belakangan ini, ketika terbangun dari
mimpi-mimpi gelisah yang di dalamnya si perempuan merah
datang mengusik, dia kerap tak tahu di mana dirinya berada.
Si pelawak menolehkan kepalanya yang berpola belangbelang untuk mengawasi Pylos mendaki tangga besi curam
ke sangkar raven. Lonceng-loncengnya berdenting mengikuti
X gerakan itu. "Di bawah laut, burung-burung punya sisik
menggantikan bulu," dia berkata, kelinting kelinting.?"Aku tahu,
aku tahu, oh, oh, oh."
Bahkan untuk seorang pelawak, Wajah Belang sungguh
menyedihkan. Barangkali dulu dia pernah memancing derai
tawa dengan lelucon, namun laut telah merenggut kemampuan
itu darinya, beserta setengah kecerdasannya dan seluruh
ingatannya. Dia lembek dan kegemukan, selalu berkedut dan
gemetar, lebih sering bingung daripada tidak. Hanya gadis itu
yang menertawainya sekarang, satu-satunya yang peduli apakah
dia hidup atau mati. Gadis kecil buruk rupa dan pelawak menyedihkan, ditambah
maester sebagai pelengkap" itu kisah yang akan membuat para lelaki
menangis. "Duduklah denganku, Nak." Cressen memanggil
gadis itu. "Ini masih pagi sekali, bahkan belum lewat fajar.
Seharusnya kau sedang terlelap di ranjangmu."
"Aku mimpi buruk," Shireen berkata. "Tentang naganaga. Mereka datang untuk memakanku."
Anak itu selalu dihantui mimpi buruk selama yang dapat
diingat Maester Cressen. "Kita sudah pernah membicarakan
ini," ujarnya lembut. "Naga-naga itu tak mungkin hidup lagi.
Mereka diukir dari batu, Nak. Pada masa lalu, pulau kita
merupakan pos terluar di ujung barat Perserikatan Valyria
nan digdaya. Bangsa Valyria-lah yang membangun Citadel
ini, dan mereka punya keahlian mengukir batu yang tidak
lagi kita miliki. Sebuah kastel harus punya menara di setiap
sudut yang mempertemukan dua dinding, untuk pertahanan.
Bangsa Valyria membuat menara-menara ini dalam bentuk
naga agar benteng mereka terlihat lebih menakutkan, seperti
halnya mereka memuncaki dinding benteng dengan seribu
gargoyle bukannya tembok bergerigi yang sederhana." Cressen
menggenggam tangan merah muda gadis itu dengan tangannya
XI yang lemah dan bebercak, lalu meremasnya lembut. "Percayalah,
tak ada yang perlu ditakuti."
Shireen tampak ragu. "Bagaimana dengan benda di
langit" Dalla dan Matrice mengobrol di samping sumur, dan
Dalla bilang dia mendengar perempuan merah memberitahu
Ibu bahwa benda itu adalah napas naga. Kalau naga bisa
bernapas, bukankah itu artinya mereka hidup?"
Perempuan merah, pikir Maester Cressen masam. Sudah
cukup buruk perempuan itu memenuhi kepala sang ibu dengan kegilaan,
apa dia juga harus meracuni mimpi-mimpi putrinya"?Cressen harus
menegur Dalla, memperingatkan untuk tidak menyebarkan
dongeng semacam itu. "Benda di langit itu komet, anak manis.
Bintang berekor, tersesat di alam semesta. Sebentar lagi benda
itu akan lenyap, takkan muncul lagi seumur hidup kita. Lihat
saja." Shireen memberi anggukan kecil yang berani. "Ibu
bilang raven putih berarti musim panas telah berakhir."
"Itu benar, my lady. Burung-burung raven hanya terbang
dari Citadel." Jari-jari Cressen menyentuh kumpulan rantai
yang melingkari lehernya, setiap mata rantai ditempa dari logam
berbeda, masing-masing melambangkan keahliannya dalam
satu cabang pengetahuan; kalung maester, lambang ordonya.
Dalam kebanggaan masa muda, dia mengenakan kalung itu
dengan mudah, tapi sekarang kalung itu seolah memberatkan,
logamnya terasa dingin di kulit. "Mereka lebih besar daripada
raven lain, dan lebih pintar, dibiakkan khusus untuk membawa
pesan penting. Raven yang satu ini datang untuk mengabarkan
bahwa Konklaf telah bertemu, mempertimbangkan laporan
dan penilaian dari para maester di seluruh kerajaan, dan
menyatakan bahwa Musim Panas Panjang akhirnya usai. Dua
tahun, dua periode, dan enam belas hari musim ini bertahan,
musim panas terpanjang yang bisa diingat orang hidup."
XII "Apakah mulai sekarang akan dingin?" Shireen adalah
anak musim panas, dan tak pernah mengenal dingin yang
sesungguhnya. "Pada waktunya," sahut Cressen. "Jika para dewa
bermurah hati, mereka akan menganugerahi kita musim gugur
yang hangat dan panen berlimpah, sehingga kita bisa bersiap
menghadapi musim dingin yang akan datang." Rakyat jelata
mengatakan musim panas yang panjang berarti musim dingin
yang lebih panjang lagi, tapi sang maester tak melihat alasan
untuk menakuti anak ini dengan dongeng semacam itu.
Wajah Belang mendentingkan lonceng-loncengnya. "Di
bawah laut selalu musim panas," dia berlagu. "Manusia duyung
menyematkan nennymoan di rambut mereka dan menenun
gaun dari rumput laut perak. Aku tahu, aku tahu, oh, oh, oh."
Shireen terkekeh. "Aku mau punya gaun dari rumput
laut perak." "Di bawah laut, salju turun," kata si pelawak, "dan
hujannya sekering tulang. Aku tahu, aku tahu, oh, oh, oh."
"Apakah salju benar-benar akan turun?" tanya anak itu.
"Pasti," jawab Cressen. Tapi semoga masih bertahun-tahun
lagi, dan tidak terlalu lama. "Ah, ini dia Pylos dengan si burung."
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Shireen memekik gembira. Cressen harus mengakui
burung itu tampak mengesankan, seputih salju dan lebih besar
dibandingkan elang mana pun, dengan mata hitam cemerlang
yang menandakan burung itu bukan sekadar albino melainkan
ras murni raven putih dari Citadel. "Sini," Cressen memanggil.
Raven itu mengembangkan sayapnya, melompat ke udara, dan
mengepak-ngepak ribut ke seberang ruangan lalu mendarat
pada meja di samping Cressen.
"Akan kusiapkan sarapanmu sekarang," Pylos
mengumumkan. Cressen mengangguk. "Ini Lady Shireen,"
katanya pada si raven. Burung itu mengangguk-anggukkan kepala
XIII pucatnya, seolah menunduk hormat.?"Lady," kuaknya.?"Lady."
Mulut anak itu melongo. "Dia bicara!"
"Beberapa kata. Seperti kubilang, burung-burung ini
pintar." "Burung pintar, lelaki pintar, pelawak yang sangat
pintar," kata Wajah Belang ditingkahi denting lonceng.
"Oh, pelawak yang sangat sangat sangat pintar." Dia mulai
bernyanyi.?"Bayangan datang untuk menari, my lord, menari my
lord, menari my lord," senandungnya, melompat dari satu kaki
ke kaki lain lalu kembali lagi.?"Bayangan datang untuk tinggal,
my lord, tinggal my lord, tinggal my lord."?Dia menyentakkan
kepala seiring setiap kata, lonceng-lonceng pada tanduk rusa
berkerincing ribut. Raven putih itu memekik dan mengepak pergi,
bertengger pada palang besi di tangga yang menuju sangkar.
Shireen seolah mengerut. "Dia menyanyikannya sepanjang
waktu. Aku memintanya berhenti tapi dia tak mau. Lagu itu
membuatku takut. Suruh dia berhenti."
Dan bagaimana aku bisa melakukannya" pikir si lelaki
tua.? Dulu aku mungkin bisa mendiamkan si pelawak selamanya,
tapi sekarang"? Wajah Belang datang kepada mereka waktu masih
anak-anak. Lord Steffon yang dicintai menemukan anak itu
di Volantis, di seberang laut sempit. Raja"sang raja tua, Aerys
II Targaryen, yang saat itu belum terlalu gila"mengirim lord
junjungan Cressen untuk mencari pengantin bagi Pangeran
Rhaegar, yang tak punya saudara perempuan untuk dinikahi.
"Kami menemukan pelawak paling luar biasa," sang lord
menulis kepada Cressen, dua minggu sebelum dia kembali dari
misi sia-sianya. "Hanya seorang anak, tapi segesit kera dengan
kecerdikan setara selusin penasihat raja. Dia bisa berakrobat,
bermain teka-teki, dan melakukan sulap, dia juga bisa menyanyi
XIV dengan indah dalam empat bahasa. Kami sudah membeli
kebebasannya dan berharap membawanya pulang bersama
kami. Robert pasti senang padanya, dan barangkali suatu saat
nanti dia bahkan bisa mengajari Stannis untuk tertawa."
Mengingat surat itu membuat Cressen sedih. Tak ada
yang pernah mengajari Stannis untuk tertawa, apalagi si
bocah Wajah Belang. Badai mendadak datang, melolong, dan
Teluk Penghancur Kapal membuktikan kebenaran namanya.
Kapal sang lord, Laju Angin yang bertiang dua, hancur dalam
jarak pandang kastelnya. Dari baluarti kastel, dua putra
tertuanya menyaksikan saat kapal ayah mereka menghantam
karang dan ditelan laut. Seratus pendayung dan pelaut ikut
tenggelam bersama Lord Steffon Baratheon beserta istrinya,
dan selama berhari-hari sesudahnya setiap gelombang pasang
meninggalkan tumpukan mayat bengkak pada pantai di bawah
Storm"s End. Bocah itu terdampar pada hari ketiga. Maester Cressen
turun bersama yang lain, membantu mengenali para korban
tewas. Ketika mereka menemukan pelawak bocah itu
telanjang, kulitnya putih, berkerut, dan berlumur pasir basah.
Cressen mengira dia juga sudah mati, tapi ketika Jommy
mencengkeram pergelangan kakinya untuk diseret ke gerobak
penguburan, bocah itu memuntahkan air dan duduk. Sampai
hari kematiannya, Jommy bersumpah bahwa daging Wajah
Belang dingin sekali. Tak ada yang bisa menjelaskan tentang dua hari yang
dilewatkan si pelawak di laut. Para nelayan mengarang cerita
bahwa ada manusia duyung yang mengajari bocah itu bernapas
di air dengan imbalan benihnya. Wajah Belang sendiri tak
mengatakan apa pun. Bocah cerdik dan pintar yang diceritakan
Lord Steffon tak pernah sampai di Storm"s End; bocah yang
mereka temukan adalah orang lain, dengan tubuh dan pikiran
XV rusak, nyaris tak mampu berbicara, apalagi memamerkan
kecerdikan. Namun wajah konyolnya jelas menunjukkan siapa
dia. Sudah menjadi kebiasaan di Kota Merdeka Volantis untuk
menato wajah budak dan pelayan; dari leher sampai kepala,
kulit bocah itu digambari pola kotak-kotak merah dan hijau.
"Pemuda celaka ini sinting, dan kesakitan, dan tak
berguna bagi siapa pun, apalagi dirinya sendiri," tegas Ser
Harbert, pengelola kastel Storm"s End pada masa itu. "Hal
terbaik yang dapat kaulakukan untuknya adalah mengisi
cangkir dengan sari bunga opium. Tidur tanpa rasa sakit, dan
itu akan mengakhirinya. Dia akan berterima kasih padamu
andai masih waras." Tapi Cressen menolak, dan pada akhirnya
dia menang. Dia tak pernah tahu apakah Wajah Belang
gembira dengan kemenangan itu, bahkan hingga hari ini,
bertahun-tahun kemudian. "Bayangan datang untuk menari, my lord, menari my
lord, menari my lord," si pelawak bernyanyi, mengayunkan
kepala dan membuat lonceng-loncengnya berdenting serta
berkerincing.?Tong tong, cring cring, tong tong.
"Lord," raven putih memekik.?"Lord, lord, lord."
"Seorang pelawak bernyanyi sesuka hatinya," Maester
Cressen berkata kepada sang putri yang gelisah. "Tak perlu
kaumasukkan kata-katanya ke hati. Besok dia mungkin akan
ingat lagu yang berbeda, dan lagu yang ini takkan terdengar
lagi."?Dia bisa menyanyi dengan indah dalam empat bahasa, Lord
Steffon dulu menulis"
Pylos berderap memasuki pintu. "Maaf, Maester."
"Kau lupa buburnya," ujar Cressen keheranan. Itu sama
sekali tidak seperti Pylos.
"Maester, Ser Davos kembali tadi malam. Mereka
membicarakannya di dapur. Kupikir kau pasti ingin segera
tahu." XVI "Davos" tadi malam, katamu" Di mana dia?"
"Bersama Raja. Mereka bertemu hampir sepanjang
malam." Dulu, Lord Stannis pasti sudah akan membangunkan
Cressen, tak peduli pukul berapa, meminta kehadirannya untuk
memberikan nasihat. "Seharusnya aku diberitahu," keluh
Cressen. "Seharusnya aku dibangunkan." Dia melepaskan
jemarinya dari jemari Shireen. "Maaf, my lady, tapi aku harus
bicara dengan ayahmu. Pylos, ulurkan lenganmu. Ada terlalu
banyak tangga di kastel ini, dan sepertinya selalu bertambah
setiap malam, sekadar untuk membuatku jengkel."
Shireen dan Wajah Belang mengikuti mereka keluar,
tapi sesaat kemudian anak itu sudah tak sabar dengan langkah
merayap si lelaki tua dan berlari mendahului mereka, si
pelawak melesat menyusulnya dengan lonceng-lonceng yang
berkerincing ribut. Kastel bukan tempat yang ramah untuk orang lemah,
Cressen diingatkan selagi menuruni tangga Menara Naga Laut
yang melingkar-lingkar. Lord Stannis pasti berada di Ruang Meja
Berlukis, di puncak Drum Batu, menara utama Dragonstone,
dinamai demikian sebab dinding-dinding kunonya berdentum
dan bergemuruh saat badai. Untuk mendatanginya, mereka
harus melintasi serambi panjang berhias pilar-pilar, melewati
tembok tengah dan dalam dengan gargoyle-gargoyle penjaga dan
gerbang besi hitam, lalu menaiki lebih banyak tangga daripada
yang bersedia dipikirkan Cressen. Lelaki yang lebih muda
menaiki dua anak tangga sekaligus; bagi lelaki tua dengan
pinggul rusak, setiap anak tangga bagaikan siksaan. Tapi Lord
Stannis tak mungkin terpikir untuk mendatanginya, maka
sang maester memasrahkan diri pada cobaan itu. Setidaknya
ada Pylos yang bisa membantunya, dan untuk itu dia amat
bersyukur. XVII Mereka merayap menyusuri serambi panjang,
melintas di depan barisan jendela tinggi melengkung dengan
pemandangan halaman luar kastel, tembok pelindung, dan
desa nelayan di luarnya. Di halaman, para pemanah membidik
sasaran latihan mengikuti aba-aba "Pasang, tarik, tembak."
Panah-panah mereka terdengar seperti kawanan burung yang
mengepak-ngepak terbang. Para penjaga menyusuri lorong di
puncak tembok pelindung, mengamati rombongan besar yang
berkemah di luar dari sela-sela gargoyle. Udara pagi berkabut
dengan asap dari banyak api unggun, selagi tiga ribu lelaki
menyantap sarapan di bawah panji-panji lord mereka. Sesudah
hamparan perkemahan, pelabuhan penuh sesak dengan
kapal. Selama setengah tahun terakhir ini, semua kapal yang
memasuki jarak pandang Dragonstone tak diizinkan untuk
pergi lagi. Amarah milik Lord Stannis, kapal perang bertingkat
tiga dengan tiga ratus dayung, hampir-hampir terlihat kecil di
antara sejumlah kapal dagang dan kapal berlayar lebar yang
mengelilinginya. Para penjaga di luar Drum Batu mengenali kedua
maester dan membiarkan mereka lewat. "Tunggu di sini,"
Cressen memberitahu Pylos begitu mereka sudah di dalam.
"Lebih baik aku menemuinya sendirian."
"Tangganya tinggi sekali, Maester."
Cressen tersenyum. "Kaupikir aku lupa" Aku begitu
sering menaikinya sampai mengenal nama setiap anak tangga."
Di tengah pendakian, dia menyesali keputusannya. Dia
sedang berhenti untuk mengatur napas dan meredakan rasa
sakit di pinggul ketika mendengar gesekan sepatu bot pada
batu. Dia berhadapan dengan Ser Davos Seaworth yang tengah
menuruni tangga. Davos bertubuh kecil, asal usulnya sebagai rakyat jelata
tergambar jelas di wajahnya yang sederhana. Jubah hijau
XVIII usang bernoda garam dan percikan air serta pudar terpapar
matahari membalut bahunya, melapisi baju doublet dan celana
cokelat yang serasi dengan mata dan rambut cokelatnya. Di
lehernya menggantung kantong kulit usang dari tali kulit.
Janggut kecilnya berhiaskan uban, dan dia mengenakan sarung
tangan kulit pada tangan kirinya yang buntung. Ketika melihat
Cressen, dia merapikan pakaian.
"Ser Davos," sang maester berkata. "Kapan kau kembali?"
"Pagi buta tadi. Waktu favoritku." Kabarnya tak ada yang
bisa mengendalikan kapal pada malam hari selihai Davos Jari
Puntung. Sebelum Lord Stannis memberinya gelar bangsawan,
dia adalah penyelundup paling tersohor dan paling licin di
seluruh Tujuh Kerajaan. "Dan?" Lelaki itu menggeleng. "Persis yang kauperingatkan
padanya. Mereka tidak mau berperang, Maester. Tidak
untuknya. Mereka tidak mencintainya."
Tidak, pikir Cressen.?Dan tidak akan pernah. Stannis kuat,
cakap, hanya" yah, hanya sedikit melewati batas kebijaksanaan"
namun itu tidak cukup. Tidak pernah cukup. "Kau sudah bicara
dengan mereka semua?"
"Semua" Tidak. Hanya yang bersedia menemuiku.
Mereka juga tidak mencintaiku, para bangsawan ini. Bagi
mereka, aku akan selalu menjadi Kesatria Bawang." Tangan
kirinya mengatup, jari-jari buntung mengepal menjadi tinju;
Stannis memenggal ujung-ujung jari itu pada sendi terakhir,
semuanya kecuali jempol. "Aku makan bersama Gulian Swann
dan si tua Penrose, sementara klan Tarth setuju melakukan
pertemuan tengah malam di hutan. Yang lain"yah, Beric
Dondarrion menghilang, ada yang bilang dia mati, sementara
Lord Caron bersama Renly. Bryce si Jingga, dari Garda Pelangi."
"Garda Pelangi?"
XIX "Renly membentuk Pengawal Raja sendiri," mantan
penyelundup itu menjelaskan, "tapi ketujuh pengawal itu
tidak berpakaian putih. Masing-masing punya warna sendiri.
Komandan mereka Loras Tyrell."
Itu jelas jenis gagasan yang menarik bagi Renly Baratheon;
ordo kesatriaan baru yang seronok, dengan pakaian baru nan
indah sebagai penandanya. Bahkan sejak kecil, Renly sudah
menyukai warna-warna cerah dan kain mewah. Dia juga sangat
menyukai permainannya. "Lihat aku!" dia berseru sambil
berlari dan tertawa-tawa menyusuri lorong-lorong Storm"s End.
"Lihat aku, aku naga," atau "Lihat aku, aku penyihir," atau
"Lihat aku, lihat aku, aku dewa hujan."
Bocah pemberani dengan rambut hitam berantakan
dan mata penuh tawa itu kini telah menjadi lelaki dewasa, 21
tahun, tapi masih saja asyik dengan permainannya.?Lihat aku,
aku raja, pikir Cressen sedih.?Oh, Renly, Renly, anak manis, kau
tahu apa yang kaulakukan" Dan apakah kau peduli kalau tahu"
Adakah yang peduli padanya selain aku"?"Apa alasan penolakan
para lord itu?" tanyanya pada Ser Davos.
"Yah, soal itu, sebagian memberiku kata-kata manis dan
sebagian bicara blakblakan, sebagian memberi alasan, sebagian
berjanji, sebagian hanya berbohong." Dia mengangkat bahu.
"Pada akhirnya kata-kata lebih mudah daripada tindakan."
"Kau tak bisa membawakan harapan untuknya?"
"Hanya harapan palsu, dan aku tak akan melakukan
itu," sahut Davos. "Dia hanya mendapat kebenaran dariku."
Maester Cressen ingat hari ketika Davos diberi gelar
bangsawan, sesudah pengepungan Storm"s End. Lord
Stannis dan satu garnisun kecil mempertahankan kastel
itu selama hampir satu tahun, melawan pasukan besar Lord
Tyrell dan Lord Redwyne. Bahkan laut tertutup juga tidak
menguntungkan mereka, diawasi siang dan malam oleh kapalXX kapal Redwyne yang mengibarkan panji-panji klan dari Arbor.
Di dalam Storm"s End, kuda-kuda sudah lama dimakan, anjing
dan kucing telah lenyap, dan garnisun terpaksa memakan
akar-akaran serta tikus. Lalu datanglah malam ketika bulan
baru dan awan hitam menyembunyikan bintang. Berjubah
kegelapan, Davos si penyelundup dengan nekat menembus
kepungan Redwyne sekaligus karang-karang Teluk Penghancur
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kapal. Kapal kecilnya memiliki lambung hitam, layar hitam,
dayung hitam, serta perut kapal yang disesaki bawang bombai
dan ikan asin. Tidak banyak, namun berhasil menjaga garnisun
tetap hidup cukup lama sampai Eddard Stark tiba di Storm"s
End dan mengakhiri pengepungan.
Lord Stannis menghadiahi Davos dengan pilihan
tanah di Cape Wrath, kastel kecil, dan gelar kesatria" namun
dia juga menitahkan bahwa Davos harus kehilangan satu
sendi pada setiap jari tangan kiri, sebagai hukuman untuk
penyelundupannya bertahun-tahun ini. Davos mengalah,
dengan syarat Stannis sendiri yang mengayunkan pisau itu;
dia tak bersedia menerima hukuman dari tangan yang lebih
rendah. Sang lord menggunakan pisau daging besar, lebih
bagus untuk memotong dengan bersih dan rapi. Sesudahnya,
Davos memilih nama Seaworth untuk klannya yang baru, dan
sebagai panjinya dia memilih gambar kapal hitam berlatar abuabu pucat"dengan sebutir bawang bombai pada layar. Mantan
penyelundup itu senang mengatakan bahwa Lord Stannis
sudah memberinya bantuan, dengan mengurangi empat kuku
untuk dibersihkan dan digunting.
Tidak, pikir Cressen, lelaki seperti itu tak mungkin
memberikan harapan palsu, atau melunakkan kenyataan yang
pahit. "Ser Davos, kebenaran bisa menjadi obat yang pahit,
bahkan untuk lelaki seperti Lord Stannis. Dia hanya berpikir
untuk kembali ke King"s Landing dengan kekuatan penuh,
XXI untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mengklaim apa
yang menjadi haknya. Tapi sekarang?"?
"Jika dia membawa pasukan kecil ini ke King"s Landing,
hanya kematian yang akan menanti. Dia tak punya kekuatan.
Aku bilang begitu padanya, tapi kau tahu seperti apa harga
dirinya." Davos mengangkat tangannya yang bersarung. "Jarijariku mungkin sudah tumbuh sebelum lelaki itu mengalah
pada akal sehat." Si lelaki tua menghela napas. "Kau sudah berbuat
semampumu. Sekarang aku mesti menambahkan suaraku pada
suaramu." Dengan letih, Cressen melanjutkan pendakian.
Suaka Lord Stannis Baratheon berupa ruangan bundar
besar dengan dinding batu hitam telanjang serta empat jendela
sempit dan tinggi yang menghadap ke empat penjuru kompas.
Di tengah ruangan terdapat meja besar yang menjadi asal
nama ruangan tersebut, sebongkah besar kayu berukir yang
dibuat atas perintah Aegon Targaryen pada hari-hari sebelum
Penaklukan. Meja Berlukis panjangnya lebih dari lima belas
meter, lebar di titik terlebarnya mungkin setengah dari itu, tapi
tak sampai satu setengah meter di titik tersempit. Para tukang
kayu Aegon mengukirnya mengikuti bentuk wilayah Westeros,
menggergaji setiap teluk dan semenanjung sampai meja itu
sama sekali tidak lurus. Pada permukaannya, digelapkan oleh
pernis selama hampir tiga ratus tahun, terlukis Tujuh Kerajaan
seperti keadaannya pada era Aegon; sungai-sungai dan gununggunung, kastel-kastel dan kota-kota, danau-danau dan hutanhutan.
Ada sebuah kursi dalam ruangan itu, ditempatkan
dengan hati-hati persis di tempat yang diduduki Dragonstone
di ujung pesisir Westeros, dan ditinggikan untuk memberi
pemandangan jelas ke seluruh permukaan meja. Seorang lelaki
duduk di kursi itu dalam balutan rompi kulit bertali ketat dan
XXII celana cokelat dari wol yang dipintal kasar. Ketika Maester
Cressen masuk, dia mengangkat kepala. "Sudah kukira kau
akan datang, pak tua, entah kupanggil atau tidak." Tak ada
kehangatan dalam suaranya; memang jarang ada.
Stannis Baratheon, Lord Dragonstone dan dengan
berkat para dewa, ahli waris yang sah dari Takhta Besi Tujuh
Kerajaan Westeros, berbahu lebar dengan tungkai dan lengan
berotot. Wajah dan tubuh kakunya laksana kulit yang dijemur
di bawah matahari sampai menjadi sekuat baja. Keras adalah
kata yang digunakan orang saat membicarakan Stannis,
dan dia memang keras. Meskipun belum berusia 35 tahun,
hanya seberkas rambut hitam tipis yang tersisa di kepalanya,
melingkar di belakang telinga bagaikan bayangan mahkota.
Kakaknya, mendiang Raja Robert, menumbuhkan janggut
selama tahun-tahun terakhirnya. Maester Cressen belum
pernah melihatnya, tapi kata orang janggut itu sungguh buas,
tebal dan menyeramkan. Seakan untuk melawan, Stannis
menjaga janggutnya sendiri selalu terpangkas rapi dan pendek.
Janggut itu bertengger seperti bayangan biru-hitam melingkupi
rahang persegi dan pipi tirusnya. Mata Stannis bagaikan luka
terbuka di bawah alis yang tebal, birunya segelap laut pada
malam hari. Mulutnya akan membuat putus asa pelawak
paling lucu sekalipun; mulut yang diciptakan untuk merengut,
membersut, dan melontarkan perintah bernada tajam, dengan
bibir tipis yang pucat dan otot-otot tegang, mulut yang telah
lupa cara tersenyum dan tak pernah tahu cara tertawa. Kadangkadang saat dunia menjadi sangat tenang dan sunyi pada
malam hari, Maester Cressen merasa dia bisa mendengar Lord
Stannis mengertakkan gigi dari jarak setengah kastel jauhnya.
"Dulu Anda pasti sudah membangunkan saya," si lelaki
tua berkata. "Dulu kau masih muda. Sekarang kau tua dan sakit, dan
XXIII butuh tidur." Stannis tak pernah belajar melembutkan katakata, menyembunyikan perasaan, atau memuji; dia mengatakan
apa yang dipikirkan, dan mereka yang tidak suka silakan pergi
ke neraka. "Aku tahu kau pasti akan segera mendengar apa
yang sudah disampaikan Davos. Selalu begitu, bukan?"
"Saya takkan berguna bagi Anda jika tidak begitu,"
sahut Cressen. "Saya bertemu Davos di tangga."
"Dan dia menceritakan semuanya, kurasa" Seharusnya
kupotong lidah lelaki itu bersama jari-jarinya."
"Kalau begitu dia akan menjadi utusan yang buruk
untuk Anda." "Dia memang utusan yang buruk dalam kondisi apa
pun. Para penguasa badai tak mau maju untukku. Sepertinya
mereka tak suka padaku, dan tujuan muliaku tak berarti apa
pun bagi mereka. Mereka yang pengecut memilih duduk di
belakang tembok kastel, menunggu ke arah mana angin bertiup
dan siapa yang kemungkinan menang. Mereka yang berani
sudah menyatakan dukungan untuk Renly. Untuk Renly!" Dia
meludahkan nama itu seperti racun di lidahnya.
"Adik Anda sudah menjadi Lord Storm"s End selama tiga
belas tahun terakhir. Para lord ini adalah pengikut setianya?"
"Pengikutnya," Stannis menyela, "padahal seharusnya
mereka pengikutku. Aku tak pernah meminta Dragonstone.
Aku tak pernah menginginkannya. Aku mengambilnya karena
musuh-musuh Robert ada di sini dan dia memerintahku
mengusir mereka. Aku membangun armadanya dan
melakukan tugasnya, patuh seperti layaknya adik pada kakak,
seperti yang seharusnya dilakukan Renly padaku. Dan apa
balasan dari Robert" Dia menggelariku Lord Dragonstone,
dan memberikan Storm"s End beserta pendapatannya kepada
Renly. Storm"s End dimiliki Klan Baratheon selama tiga ratus
tahun; demi keadilan seharusnya diserahkan kepadaku saat
XXIV Robert menduduki Takhta Besi."
Itu kekecewaan lama, yang sangat mendalam, dan tak
pernah lebih menyakitkan daripada sekarang. Di sinilah titik
kelemahan lord-nya; Dragonstone, meskipun sudah tua dan
kuat, hanya didukung kesetiaan segelintir lord rendah, yang
kastel-kastel pulau karangnya dihuni terlalu sedikit orang
untuk membentuk pasukan yang dibutuhkan Stannis. Bahkan
dengan prajurit-prajurit bayaran yang dibawanya menyeberangi
laut sempit dari Kota-kota Merdeka Myr dan Lys, pasukan
yang berkemah di luar kastelnya jelas terlalu kecil untuk
mengalahkan kekuatan Klan Lannister.
"Robert tak bersikap adil pada Anda," Maester Cressen
menanggapi dengan hati-hati, "tapi dia punya alasan yang
bagus. Dragonstone telah lama menjadi singgasana Klan
Targaryen. Dia membutuhkan kekuatan seorang lelaki untuk
memerintah di sini, dan Renly hanyalah bocah."
"Dia masih bocah," tukas Stannis, kemarahannya
bergemuruh dalam ruangan yang kosong, "pencuri kecil yang
berniat merebut mahkota dari kepalaku. Apa jasa Renly hingga
dia pantas menduduki takhta" Dia duduk dalam majelis dan
bersenda gurau dengan Littlefinger, sementara di turnamen
perang dia mengenakan baju zirah indah dan membiarkan
dirinya dijatuhkan dari kuda oleh lelaki yang lebih andal.
Itulah adikku Renly, mengira dia pantas menjadi raja. Kutanya
padamu, kenapa dewa membebaniku dengan kakak dan adik?"
"Saya tak bisa menjawab untuk para dewa."
"Seingatku, akhir-akhir ini kau jarang menjawab. Siapa
yang menjadi maester untuk Renly" Barangkali aku harus
memanggilnya, mungkin aku akan lebih menyukai nasihatnya.
Menurutmu apa yang dikatakan maester ini waktu adikku
memutuskan untuk mencuri mahkotaku" Nasihat apa yang
ditawarkan kolegamu pada pengkhianat ini, darah dagingku
XXV sendiri?" "Saya malah heran jika Lord Renly meminta nasihat,
Yang Mulia." Si bungsu dari ketiga putra Lord Steffon telah
tumbuh menjadi lelaki berani namun ceroboh, yang bertindak
mengikuti dorongan hati alih-alih perhitungan matang. Dalam
hal itu, seperti dalam banyak hal lainnya, Renly mirip Robert,
dan sama sekali tidak mirip Stannis.
"Yang Mulia," ulang Stannis getir. "Kau mengejekku
dengan panggilan seorang raja, tapi aku ini raja apa"
Dragonstone dan beberapa karang di laut sempit, itulah
kerajaanku." Dia menuruni tangga kursi untuk berdiri di
depan meja, bayangannya menutupi mulut Sungai Air Hitam
dan lukisan hutan yang kini menjadi lokasi King"s Landing.
Di sana dia berdiri, menaungi kerajaan yang hendak dia
kuasai, begitu dekat namun begitu jauh. "Malam ini aku akan
makan bersama para lord pengikutku, jika bisa dibilang begitu.
Celtigar, Velaryon, Bar Emmon, seluruh rombongan tak
berguna itu. Kumpulan yang menyedihkan, terus terang saja,
tapi hanya mereka yang disisakan adikku untukku. Si bajak
laut dari Lys, Salladhor Saan, akan hadir dengan membawa
perhitungan terbaru jumlah utangku padanya, dan Morosh
si orang Myr akan memperingatkanku tentang pasang dan
badai musim gugur, sementara Lord Sunglass berkomat-kamit
penuh kesalehan tentang kehendak Tujuh Wajah. Celtigar
akan bertanya penguasa badai mana yang bergabung dengan
kita. Velaryon akan mengancam untuk membawa pulang
pasukannya kecuali kita menyerang sekarang juga. Aku mesti
bilang apa pada mereka" Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Musuh sejati Anda adalah Klan Lannister, my lord,"
Maester Cressen menyahut. "Jika Anda dan adik Anda mau
bersatu melawan mereka?"
"Aku tak mau membuat kesepakatan dengan Renly,"
XXVI Stannis menjawab dalam nada yang tak bisa dibantah. "Tidak
selama dia menyebut dirinya raja."
"Jangan Renly, kalau begitu," sang maester mengalah.
Lord-nya keras kepala dan angkuh; jika sudah membuat
keputusan, tak mungkin berubah lagi. "Yang lain juga bisa
memenuhi kebutuhan Anda. Putra Eddard Stark sudah
diproklamirkan sebagai Raja di Utara, dengan seluruh
kekuatan Winterfell dan Riverrun di belakangnya."
"Bocah ingusan," cetus Stannis, "dan satu lagi raja
palsu. Apa aku harus menerima kerajaan yang tercerai-berai?"
"Tentunya setengah kerajaan lebih baik daripada tidak
ada," sahut Cressen, "dan jika Anda membantu bocah itu
membalaskan kematian ayahnya?"
"Kenapa aku harus membalaskan dendam Eddard Stark"
Dia bukan siapa-siapa bagiku. Oh, Robert menyayanginya, tentu
saja. Menyayanginya seperti adik kandung, betapa sering aku
mendengar itu. Aku adik kandungnya, bukan Ned Stark, tapi kau
takkan pernah menduga dari cara Robert memperlakukanku.
Aku mempertahankan Storm"s End untuknya, menyaksikan
orang-orang baik kelaparan sementara Mace Tyrell dan Paxter
Redwyne berpesta di luar kastelku. Apa Robert berterima kasih"
Tidak. Dia berterima kasih pada Stark, karena mengakhiri
pengepungan saat kami sudah terpaksa memakan tikus dan
lobak. Aku membangun armada atas perintah Robert, merebut
Dragonstone atas namanya. Apa dia menjabat tanganku dan
berkata, Bagus sekali, Dik, apa yang harus kulakukan tanpamu"
Tidak, dia menyalahkanku karena membiarkan Willem
Darry melarikan Viserys dan bayi itu, seakan-akan aku bisa
menghentikannya. Aku duduk dalam majelisnya selama lima
belas tahun, membantu Jon Arryn memerintah kerajaannya
sementara Robert minum dan main perempuan, tapi ketika
Jon mati, apakah kakakku mengangkatku menjadi Tangan
XXVII Kanan-nya" Tidak, dia cepat-cepat pergi mendatangi temannya
tersayang Ned Stark, dan menawarinya kehormatan itu. Dan
ternyata tak banyak gunanya bagi mereka berdua."
"Mungkin memang demikian adanya, my lord," Maester
Cressen berkata lembut. "Anda telah diperlakukan dengan
buruk, tapi masa lalu biarlah berlalu. Masa depan masih dapat
dimenangkan jika Anda bergabung dengan Klan Stark. Ada
beberapa orang lain juga yang bisa Anda dekati. Bagaimana
dengan Lady Arryn" Jika sang ratu membunuh Jon, dia tentu
menginginkan keadilan untuk suaminya. Dia punya putra yang
masih kecil, ahli waris Jon Arryn. Jika Anda mempertunangkan
Shireen kepadanya?" "Anak itu lemah dan sakit-sakitan," protes Lord Stannis.
"Bahkan ayahnya menyadari hal itu, waktu dia memintaku
mengasuh putranya di Dragonstone. Tugas sebagai page1
mungkin akan bagus untuknya, tapi perempuan Lannister
terkutuk itu meracuni Lord Arryn sebelum rencana tersebut
sempat terlaksana, dan sekarang Lysa menyembunyikannya di
Eyrie. Dia takkan mau berpisah dengan anak itu, aku yakin."
"Kalau begitu Anda harus mengirim Shireen ke Eyrie,"
sang maester mendesak. "Dragonstone rumah yang muram
untuk seorang anak. Biarkan si pelawak ikut dengannya, agar
dia punya wajah yang familier di dekatnya."
"Familier dan mengerikan." Stannis mengerutkan dahi,
berpikir. "Meski begitu" barangkali layak dicoba?"
"Apakah Penguasa sejati Tujuh Kerajaan harus
memohon pertolongan dari para janda dan perebut takhta?"
suara seorang perempuan bertanya tajam.
Maester Cressen menoleh, dan merundukkan kepala.
"My lady," dia berkata, merasa menyesal karena tidak
mendengarnya masuk. 1. Anak lelaki dalam pelatihan menjadi kesatria, tingkatnya di
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah squire sebagai pelayan pribadi seorang kesatria.
XXVIII Lord Stannis meradang. "Aku tidak memohon. Pada
siapa pun. Ingat itu baik-baik, Perempuan."
"Aku senang mendengarnya, my lord." Lady Selyse
setinggi suaminya, bertubuh kurus dan berwajah tirus, dengan
telinga menonjol, hidung tajam, dan kumis teramat tipis pada
bibir atasnya. Dia mencabutinya setiap hari dan mengutuknya
tanpa henti, namun kumis itu selalu muncul kembali. Matanya
pucat, mulutnya kaku, suaranya bagai cambuk. Dia sedang
melecutnya sekarang. "Lady Arryn berutang kesetiaan padamu,
begitu pula Klan Stark, adikmu Renly, dan yang lainnya.
Kau adalah raja mereka. Tidak pantas memohon dan tawarmenawar dengan mereka untuk sesuatu yang sudah menjadi
hakmu atas restu dewa."
Dewa, katanya, bukan para dewa.?Perempuan merah
telah memenangkan hati dan jiwanya, mengalihkannya dari
dewa-dewa Tujuh Kerajaan, yang lama maupun baru, untuk
memuja dewa yang mereka sebut Penguasa Cahaya.
"Dewamu boleh menyimpan restunya," tukas Lord
Stannis, yang tak memercayai keyakinan baru istrinya. "Yang
kubutuhkan pedang, bukan restu. Apa kau punya pasukan
tersembunyi di suatu tempat yang tak kauberitahukan padaku?"
Tidak ada kasih sayang dalam suaranya. Stannis tak pernah
merasa nyaman di dekat perempuan, bahkan istrinya sendiri.
Ketika pergi ke King"s Landing untuk bertugas di majelis
Robert, dia meninggalkan Selyse di Dragonstone bersama
putri mereka. Surat-suratnya hanya sedikit, kunjungannya lebih
sedikit lagi; dia melakukan tugasnya di ranjang perkawinan
satu atau dua kali setahun, tapi tidak menikmatinya, dan putraputra yang pernah dia harapkan tak kunjung datang.
"Saudara-saudara lelakiku, paman-pamanku, dan
sepupu-sepupuku punya pasukan," ujar Selyse. "Klan Florent
akan bersatu mengikuti panjimu."
XXIX "Klan Florent paling banyak hanya bisa mengumpulkan
dua ribu prajurit." Stannis dikenal mengetahui kekuatan setiap
klan di Tujuh Kerajaan. "Dan keyakinanmu pada saudarasaudara dan paman-pamanmu jauh lebih besar daripada
keyakinanku, my lady. Wilayah Klan Florent terlalu dekat
dengan Highgarden bagi pamanmu untuk mengambil risiko
menghadapi kemarahan Mace Tyrell."
"Ada cara lain." Lady Selyse beringsut mendekat.
"Lihat ke luar jendelamu, my lord. Itu petunjuk yang kaunantinantikan, terpampang di langit. Merah, tak salah lagi, merah
api, merah untuk hati membara dewa sejati. Itu panjinya"
dan panjimu! Lihat bagaimana panji itu terbentang di langit
bagaikan napas panas seekor naga, dan kau Lord Dragonstone.
Itu artinya waktumu telah tiba, Yang Mulia. Tak ada yang lebih
pasti. Kau ditakdirkan untuk berlayar dari karang terpencil ini
seperti Aegon sang Penakluk pernah berlayar, untuk menyapu
semua yang menghalangi jalanmu seperti yang pernah dia
lakukan. Ucapkan saja kata itu, dan rangkullah kekuatan
Penguasa Cahaya." "Berapa banyak prajurit yang akan diberikan Penguasa
Cahaya padaku?" tuntut Stannis lagi.
"Semua yang kaubutuhkan," istrinya berjanji. "Para
prajurit Storm"s End dan Highgarden sebagai permulaan, serta
semua lord pengikut mereka."
"Davos akan mengatakan hal yang berbeda," ujar
Stannis. "Prajurit-prajurit itu bersumpah setia pada Renly.
Mereka mencintai adikku yang menawan, seperti mereka
dulu mencintai Robert" dan seperti mereka tak pernah
mencintaiku." "Ya," sahut istrinya, "tapi kalau Renly mati?"
Stannis menyipit pada istrinya, sampai Cressen tak
mampu menahan lidahnya. "Itu tak sepatutnya dipikirkan.
XXX Yang Mulia, kebodohan apa pun yang telah dilakukan Renly?"
"Kebodohan" Aku menyebutnya pengkhianatan." Stannis
kembali menghadap istrinya. "Adikku masih muda dan kuat,
dia juga dikelilingi pasukan yang besar, serta para kesatria
pelanginya." "Melisandre sudah melihat ke dalam api, dan melihat
Renly mati." Cressen terperangah. "Pembunuhan saudara" my lord,
ini jahat, tak terbayangkan" tolong, dengarkan saya."
Lady Selyse menatapnya tajam. "Dan apa yang
akan kaukatakan kepadanya, Maester" Bagaimana dia bisa
memenangkan setengah kerajaan jika dia menemui Klan Stark
dengan berlutut dan menjual putri kami kepada Lysa Arryn?"
"Aku sudah mendengarkan nasihatmu, Cressen," Lord
Stannis berkata. "Sekarang aku akan mendengarkan nasihat
istriku. Kau boleh pergi."
Maester Cressen menekuk satu lutut yang kaku. Dia
dapat merasakan tatapan Lady Selyse pada punggungnya saat
tersaruk-saruk melintasi ruangan. Sewaktu tiba di dasar tangga,
dia nyaris tak mampu berdiri tegak. "Bantu aku," katanya
kepada Pylos. Saat sudah kembali dengan aman di ruangannya, Cressen
menyuruh lelaki yang lebih muda itu pergi lalu terpincangpincang lagi ke balkon, untuk berdiri di antara gargoyle?-nya
dan menatap ke laut. Salah satu kapal perang Salladhor Saan
meluncur melewati kastel, lambung bergaris-garis meriah
membelah air hijau-kelabu selagi barisan dayungnya naik
dan turun. Dia mengawasi sampai kapal itu menghilang ke
balik tanjung. Seandainya ketakutanku bisa menghilang semudah
itu.?Apakah dia diberi usia begitu panjang untuk menyaksikan
ini" Ketika seorang maester mengenakan medali, dia
XXXI menyisihkan harapan untuk memiliki anak, namun Cressen
kerap merasa seperti seorang ayah. Robert, Stannis, Renly...
tiga putra yang dia besarkan setelah laut yang murka menelan
Lord Steffon. Apakah dia membesarkan mereka dengan begitu
buruk sehingga sekarang harus melihat yang satu membunuh
yang lain" Dia tidak dapat membiarkan ini, tidak akan
membiarkannya. Perempuan itulah yang menjadi masalah. Bukan
Lady Selyse, tapi perempuan satunya. Perempuan merah,
para pelayan menyebutnya, karena tak berani mengucapkan
namanya. "Aku akan mengucapkan namanya," kata Cressen
pada patung anjing neraka. "Melisandre. Dia." Melisandre dari
Asshai, penyihir, penjinak bayangan, dan pendeta perempuan
R"hllor, Penguasa Cahaya, Jantung Api, Dewa Bara dan
Bayangan. Melisandre, yang kegilaannya tak boleh dibiarkan
menyebar ke luar Dragonstone.
Ruangan Cressen tampak gelap dan suram setelah dia
memasuki terangnya pagi hari. Dengan meraba-raba, lelaki tua
itu menyalakan lilin dan membawanya ke ruang kerja di bawah
tangga sarang raven, tempat salep-salep, ramuan-ramuan, dan
obat-obatan berjajar rapi di rak. Pada rak terbawah di belakang
barisan salep, dalam stoples-stoples pendek dan gemuk, dia
menemukan botol kecil dari kaca indigo, tak lebih besar
dibandingkan jari kelingkingnya. Botol itu berderak saat dia
mengguncangnya. Cressen meniup lapisan debu dan membawa
botol itu kembali ke meja. Dia mengenyakkan tubuh ke kursi
lalu menarik tutup botol dan menumpahkan isinya. Selusin
kristal, tak lebih besar dibandingkan biji-bijian, bekertakkertak pada perkamen yang sedang dia baca. Kristal-kristal itu
berkilau bagai permata dalam cahaya lilin, begitu ungu sampaisampai sang maester mendapati dirinya berpikir bahwa dia tak
pernah melihat warna itu sebelumnya.
XXXII Rantai di sekeliling lehernya terasa sangat berat. Dia
menyentuh ringan salah satu kristal dengan ujung kelingking.
Benda yang begitu kecil untuk menggenggam kekuatan hidup dan
mati. Kristal itu dibuat dari tanaman tertentu yang hanya
tumbuh di kepulauan Laut Giok, setengah dunia jauhnya.
Daun-daunnya harus sudah tua, direndam dalam larutan
kapur dan air gula serta rempah-rempah langka tertentu dari
Kepulauan Musim Panas. Sesudahnya bahan-bahan itu bisa
dibuang, tapi ramuannya harus dikentalkan dengan abu dan
dibiarkan mengkristal. Prosesnya lambat dan sulit, bahanbahannya mahal dan sukar didapat. Namun para alkemis
dari Lys tahu caranya, begitu pula Kaum Tak Berwajah dari
Braavos" dan para maester dari ordonya, meskipun itu bukan
sesuatu yang dibicarakan di luar tembok Citadel. Seluruh
dunia tahu bahwa seorang maester menempa rantai peraknya
saat dia mempelajari seni penyembuhan"tapi dunia memilih
untuk lupa bahwa orang-orang yang tahu cara menyembuhkan
juga tahu cara membunuh. Cressen tak ingat lagi nama yang diberikan orang Asshai
untuk daun itu, atau nama yang diberikan peracun Lys untuk
kristal itu. Di Citadel, benda itu hanya disebut pencekik.
Bila dilarutkan dalam anggur, kristal itu akan membuat otototot leher seseorang mencengkeram lebih kencang daripada
kepalan tangan mana pun, menutup batang tenggorokannya.
Mereka bilang wajah si korban berubah seungu biji kristal kecil
yang menjadi sumber kematiannya, tapi begitu pula orang yang
tersedak potongan makanan.
Dan malam ini Lord Stannis akan bersantap dengan para
pengikutnya, istrinya" dan si perempuan merah, Melisandre
dari Asshai. Aku harus beristirahat, Maester Cressen membatin.?Aku
harus mengumpulkan segenap kekuatan saat malam tiba. Tanganku
XXXIII tak boleh gemetar, keberanianku tak boleh goyah. Ini perbuatan
yang mengerikan, tapi harus dilakukan. Jika memang ada dewadewa, mereka pasti akan memaafkanku. Belakangan ini Cressen
tak cukup tidur. Tidur siang akan menyegarkannya untuk
cobaan berat yang menanti. Dengan letih, dia tertatih-tatih ke
tempat tidur. Namun ketika memejamkan mata, dia masih bisa
melihat cahaya komet itu, merah membara dan begitu hidup
di tengah kegelapan mimpi-mimpinya.?Barangkali itu kometku,
akhirnya dia berpikir setengah mengantuk, sesaat sebelum
tidur menguasainya.?Pertanda darah, meramalkan pembunuhan"
benar" Saat dia terjaga hari sudah gelap gulita, kamarnya hitam,
dan setiap sendi di tubuhnya nyeri. Cressen menghela tubuhnya
duduk, kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mencengkam
tongkat, dia berdiri dengan limbung. Sudah larut, pikirnya.
Mereka tidak memanggilku. Dia selalu dipanggil untuk perjamuan
makan, didudukkan dekat pertengahan meja, tak jauh dari
Lord Stannis. Wajah lord-nya menari-nari di depannya, bukan
lelaki dewasa seperti sekarang tapi bocah lelaki yang dulu,
berdiri kedinginan dalam bayang-bayang sementara matahari
menyinari kakaknya. Apa pun yang dilakukan Stannis, Robert
sudah melakukannya lebih dulu, dan dengan lebih baik. Bocah
malang" Cressen harus bergegas, demi keselamatan bocah itu.
Sang maester menemukan kristal-kristal itu di tempat
dia meninggalkannya, lalu meraupnya dari perkamen. Cressen
tak memiliki cincin berlubang, seperti yang katanya disukai
para peracun dari Lys, tapi kantong-kantong besar dan kecil
dijahitkan di bagian dalam lengan jubahnya yang longgar. Dia
menyembunyikan biji-biji pencekik dalam salah satu kantong,
membuka pintu kamar, dan memanggil, "Pylos" Di mana
kau?" Ketika tak terdengar jawaban, dia memanggil lagi, lebih
lantang. "Pylos, aku butuh bantuanmu." Tetap tak ada jawaban.
XXXIV Aneh sekali; kamar maester muda itu hanya setengah putaran
menuruni tangga, benar-benar dalam jarak pendengaran.
Pada akhirnya, Cressen harus berseru memanggil para
pelayan. "Cepatlah," perintahnya. "Aku sudah tidur terlalu
lama. Mereka pasti sedang bersantap sekarang" seharusnya
aku dibangunkan." Apa yang terjadi pada Maester Pylos"
Cressen sungguh tak mengerti.
Sekali lagi dia harus melintasi serambi yang panjang.
Angin malam berbisik menerobos jendela-jendela besar,
tajam dengan bau laut. Obor-obor berkeredep di sepanjang
dinding Dragonstone, dan pada perkemahan di luar sana,
dapat dilihatnya ratusan api unggun menyala, seakan-akan ada
ladang bintang yang jatuh ke bumi. Di atas, komet membara
merah dan dengki.?Aku terlalu tua dan bijak untuk menakutkan
hal semacam itu, sang maester membatin.
Pintu-pintu ke Aula Besar dipasang di mulut sebentuk
naga batu. Dia menyuruh para pelayan meninggalkannya di
luar. Lebih baik masuk sendirian; dia tak boleh terlihat lemah.
Dengan bertopang sepenuhnya pada tongkat, Cressen menaiki
beberapa undakan terakhir dan terpincang-pincang di bawah
gigi yang membuka. Sepasang penjaga membuka pintu merah
yang berat di depannya, melepaskan semburan mendadak
bunyi-bunyian dan cahaya. Cressen melangkah memasuki
kerongkongan sang naga. Di antara denting pisau dan piring serta gumam
rendah obrolan di seputar meja, dia mendengar Wajah Belang
bernyanyi, ?"menari, my lord, menari, my lord," diiringi
kerincing lonceng-lonceng sapi. Lagu mengerikan serupa yang
dia nyanyikan tadi pagi. "Bayangan datang untuk tinggal, my
lord, tinggal my lord, tinggal my lord." Meja-meja yang lebih
rendah penuh sesak dengan para kesatria, pemanah, dan
pemimpin prajurit bayaran, menyobeki bongkah-bongkah roti
XXXV hitam untuk dicelupkan ke dalam rebusan ikan. Di sini tidak
ada tawa keras, tidak ada teriakan parau yang bisa mengganggu
martabat perjamuan orang lain; Lord Stannis tak mengizinkan
yang semacam itu. Cressen berjalan menuju panggung tinggi tempat para
lord duduk bersama sang raja. Dia harus melangkah lebar
memutari Wajah Belang. Asyik menari, dengan lonceng
berdenting-denting, si pelawak tak melihat maupun mendengar
kedatangannya. Sewaktu melompat dari satu kaki ke kaki lain,
Wajah Belang menubruk Cressen, menjatuhkan tongkat dari
genggamannya. Mereka roboh bersama-sama dengan suara
berisik, dalam belitan lengan dan kaki, sementara gelak tawa
mendadak terdengar di sekeliling mereka. Tak diragukan lagi
itu pemandangan yang menggelikan.
Wajah Belang telentang setengah menindihnya, wajah
warna-warni yang konyol itu menempel ke wajahnya. Si
pelawak kehilangan helm kalengnya yang berhias tanduk rusa
dan lonceng-lonceng. "Di bawah laut, kau jatuh ke atas," dia
mengumumkan. "Aku tahu, aku tahu, oh, oh, oh." Sambil
cekikikan, si pelawak berguling turun, melompat berdiri, lalu
menari sedikit. Berusaha tetap tenang, sang maester tersenyum lemah
dan berjuang untuk bangkit, tapi pinggulnya begitu nyeri
sehingga untuk sesaat dia sempat takut bahwa dia sudah
mematahkannya lagi. Dia merasakan tangan-tangan kuat
menopangnya di bawah lengan dan mengangkatnya hingga
berdiri. "Terima kasih, Ser," gumamnya, berpaling untuk
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melihat kesatria mana yang sudah datang membantu...?
"Maester," ujar Lady Melisandre, suara beratnya
dibumbui musik dari Laut Giok. "Kau harus lebih hati-hati."
Seperti biasa, perempuan itu memakai warna merah dari kepala
sampai kaki, gaun longgar panjang dari sutra halus seterang api,
XXXVI dengan lengan gaun menjuntai dan sayatan-sayatan pada korset,
memperlihatkan kilasan kain merah darah yang lebih gelap di
baliknya. Di lehernya melingkar kalung dari emas merah yang
lebih ketat daripada kalung maester mana pun, bertatahkan
sebutir batu mirah besar. Rambutnya bukan berwarna jingga
atau stroberi seperti umumnya orang berambut merah, tapi
berwarna tembaga gelap mengilap yang bersinar di bawah
cahaya obor. Bahkan matanya pun merah" tapi kulitnya mulus
dan putih, tak bernoda, sepucat krim. Tubuhnya ramping,
anggun, lebih tinggi daripada kebanyakan kesatria, dengan
dada penuh, pinggang kecil, dan wajah berbentuk hati. Mata
para lelaki yang pernah menatapnya tidak langsung beralih,
bahkan mata sang maester. Banyak yang menyebutnya cantik.
Dia tidak cantik. Dia merah, dan jahat, dan merah.
"Aku" terima kasih, my lady."
"Lelaki seusiamu harus hati-hati saat melangkah,"
Melisandre berkata sopan. "Malam gelap dan penuh dengan
kengerian." Cressen tahu kalimat itu, semacam doa dalam
kepercayaan si perempuan merah. Itu tidak penting, aku punya
kepercayaan sendiri. "Hanya anak-anak yang takut gelap,"
dia menyahut. Namun saat mengucapkan kata-kata itu,
didengarnya Wajah Belang bernyanyi lagi. "Bayang-bayang
datang untuk menari, my lord, menari, my lord, menari my lord."
"Nah ini memang teka-teki," Melisandre berkata.
"Pelawak yang pintar dan lelaki bijak yang bodoh." Dia
membungkuk dan memungut helm Wajah Belang di tempat
helm itu jatuh lalu memasangkannya di kepala Cressen.
Lonceng-lonceng sapi berdenting pelan saat ember kaleng itu
meluncur melewati telinganya. "Mahkota untuk melengkapi
rantaimu, Lord Maester," perempuan itu mengumumkan. Di
sekeliling mereka, orang-orang tertawa.
XXXVII Cressen mengatupkan bibir dan berjuang meredam
kemarahan. Perempuan itu mengira Cressen lemah dan tak
berdaya, tapi dia akan tahu yang sebenarnya sebelum malam
ini berakhir. Dia mungkin tua, tapi tetap seorang maester dari
Citadel. "Aku tak butuh mahkota tapi kebenaran," katanya
kepada Melisandre seraya melepas helm dari kepala.
"Ada banyak kebenaran di dunia ini yang tidak diajarkan
di Oldtown." Melisandre berpaling darinya diikuti putaran
sutra merah gaunnya dan berjalan kembali ke meja tinggi,
tempat Raja Stannis dan ratunya duduk. Cressen menyerahkan
ember kaleng bertanduk kepada Wajah Belang, lalu menyusul
ke meja. Maester Pylos sudah menduduki tempatnya.
Lelaki tua itu hanya dapat berhenti dan menatap.
"Maester Pylos," akhirnya dia berkata. "Kau" tidak
membangunkanku." "Yang Mulia menyuruhku membiarkanmu beristirahat."
Pylos cukup punya rasa malu untuk tersipu. "Beliau bilang kau
tidak dibutuhkan di sini."
Cressen menatap para kesatria, kapten, dan lord yang
duduk tanpa suara. Lord Celtigar, tua dan masam, mengenakan
mantel bermotif kepiting-kepiting merah bertatahkan batu
garnet. Lord Velaryon yang tampan memilih sutra hijau laut,
hiasan kuda laut dari emas putih di lehernya serasi dengan
rambut panjangnya yang berwarna terang. Lord Bar Emmon,
bocah gemuk empat belas tahun, berpakaian beledu ungu
berpinggiran bulu anjing laut putih, Ser Axell Florent tetap
bersahaja bahkan dalam balutan kain tenun sederhana dan
bulu rubah, Lord Sunglass yang saleh mengenakan batu bulan
di leher, pergelangan tangan, dan jari, sementara kapten Lys,
Salladhor Saan, bagai semburan terang satin merah tua, emas,
dan permata. Hanya Ser Davos yang berpakaian sederhana,
XXXVIII jaket doublet cokelat dengan mantel wol hijau, dan hanya Ser
Davos yang membalas tatapan Cressen, dengan sorot mata iba.
"Kau terlalu sakit dan terlalu bingung untuk bisa
berguna bagiku, pak tua." Kedengarannya sangat mirip suara
Lord Stannis, tapi itu mustahil, mustahil. "Untuk selanjutnya
Pylos yang akan menjadi penasihatku. Sekarang pun dia sudah
bekerja dengan burung-burung raven, karena kau tak bisa lagi
naik ke sangkar. Aku tak ingin kau terbunuh saat melayaniku."
Maester Cressen berkedip. Stannis, lord-ku, bocah
murungku yang sedih, putra yang tak pernah kumiliki, kau tak boleh
melakukan ini, tak tahukah kau betapa aku telah mengurusmu, hidup
untukmu, menyayangimu apa pun yang terjadi" Ya, menyayangimu,
bahkan lebih daripada Robert, atau Renly, sebab kaulah yang tidak
disayang, yang paling membutuhkanku. Namun dia hanya berkata,
"Bila itu keinginan Anda, my lord, tapi" tapi saya lapar. Tak
bolehkah saya mendapat tempat di meja Anda?" Di sampingmu,
tempatku adalah di sampingmu.
Ser Davos bangkit dari bangku. "Saya merasa terhormat
jika Maester bersedia duduk di samping saya, Yang Mulia."
"Silakan saja." Lord Stannis berpaling untuk mengatakan
sesuatu kepada Melisandre, yang mendudukkan diri di sebelah
kanannya, tempat kehormatan. Lady Selyse duduk di sebelah
kiri Stannis, menyunggingkan senyum secerah dan segetas
batu-batu permatanya. Terlalu jauh, pikir Cressen kecewa, menatap ke tempat
Ser Davos duduk. Setengah lord pengikut berada di antara
si penyelundup dan meja tinggi. Aku harus lebih dekat dengan
perempuan itu jika ingin memasukkan pencekik ke cawannya, tapi
bagaimana" Wajah Belang sibuk melonjak-lonjak selagi sang maester
berjalan pelan memutari meja menghampiri Davos Seaworth.
"Di sini kita makan ikan," si pelawak berseru riang, melambaiXXXIX lambaikan ikan cod seperti tongkat kerajaan. "Di bawah laut,
ikan memakan kita. Aku tahu, aku tahu, oh, oh, oh."
Ser Davos bergeser untuk memberi ruang di bangku.
"Kita semua seharusnya berpakaian warna-warni malam ini,"
ujarnya muram selagi Cressen duduk, "karena yang kita hadapi
ini urusan konyol. Si perempuan merah melihat kemenangan
di dalam api, maka Stannis bermaksud memaksakan klaimnya,
tak peduli berapa jumlah pasukannya. Sebelum perempuan itu
selesai, aku khawatir kita semua akan melihat apa yang dilihat
Wajah Belang"dasar laut."
Cressen menyusupkan tangan ke dalam lengan jubah
seolah mencari kehangatan. Jemarinya menyentuh gumpalangumpalan keras yang dibentuk butiran kristal di dalam wol.
"Lord Stannis."
Stannis berpaling dari si perempuan merah, tapi Lady
Selyse yang menjawab. "Raja Stannis. Jangan lancang, Maester."
"Dia sudah tua, pikirannya ke mana-mana," sang raja
berkata tajam. "Ada apa, Cressen" Bicaralah."
"Karena Anda hendak berlayar, sangat penting bagi Anda
untuk bekerja sama dengan Lord Stark dan Lady Arryn?"?
"Aku tidak bekerja sama dengan siapa pun," ucap
Stannis Baratheon. "Sama halnya seperti cahaya tak mungkin bekerja
sama dengan kegelapan." Lady Selyse menggenggam tangan
suaminya. Stannis mengangguk. "Klan Stark bermaksud mencuri
setengah kerajaanku, sama seperti Klan Lannister mencuri
takhtaku, dan adikku tersayang mencuri prajurit, kesetiaan,
serta benteng-benteng yang seharusnya milikku. Mereka semua
perebut takhta, dan mereka semua musuhku."
Aku sudah kehilangan dia, pikir Cressen putus asa. Andai
entah bagaimana dia dapat mendekati Melisandre tanpa
XL terlihat" dia butuh akses langsung ke cawannya. "Anda adalah
ahli waris yang sah dari kakak Anda Robert, Penguasa sejati
Tujuh Kerajaan, dan Raja bangsa Andal, bangsa Rhoynar, serta
Kaum Pertama," katanya putus asa, "meski demikian, Anda
tak mungkin berharap menang tanpa sekutu."
"Dia punya sekutu," sahut Lady Selyse. "R"hllor,
Penguasa Cahaya, Jantung Api, Dewa Bara dan Bayangan."
"Dewa-dewa adalah sekutu yang tak pasti," si lelaki tua
berkeras, "dan yang satu itu tak punya kekutan di sini."
"Tidak punya katamu?" Batu mirah di leher Melisandre
menangkap cahaya saat dia menoleh, dan untuk sesaat batu itu
seolah bersinar seterang komet. "Kalau hendak bicara sebodoh
itu, Maester, sebaiknya kaupakai lagi mahkotamu."
"Ya," Lady Selyse sepakat. "Helm Wajah Belang. Sangat
cocok untukmu, pak tua. Pakai lagi, kuperintahkan padamu."
"Di bawah laut, tak ada yang pakai topi," Wajah Belang
berkata. "Aku tahu, aku tahu, oh, oh, oh."
Mata Lord Stannis tampak gelap di bawah alis tebalnya,
mulutnya mengatup rapat sementara rahangnya bergerak tanpa
suara. Dia selalu mengertakkan gigi saat marah. "Pelawak,"
akhirnya dia menggeram, "Istriku memberi perintah. Berikan
helmmu pada Cressen."
Tidak, pikir sang maester tua, ini bukan dirimu, bukan
caramu, kau selalu adil, selalu keras tapi tak pernah kejam, tak
pernah, kau tidak mengerti olok-olok, sama seperti kau tidak mengerti
tawa. Wajah Belang berjoget mendekat, lonceng-loncengnya
berdenting, klang-klang, klining klining, kling-klang-kling-klang.
Sang maester duduk diam selagi si pelawak memasangkan
ember bertanduk di keningnya. Cressen menundukkan
kepala di bawah beban itu. Lonceng-loncengnya berdentang.
"Barangkali mulai sekarang dia sebaiknya menyanyikan
XLI nasihatnya," cetus Lady Selyse.
"Itu kelewatan, Perempuan," Lord Stannis menukas.
"Dia sudah tua, dan selama ini dia melayaniku dengan baik."
Dan aku akan melayani sampai akhir, lord-ku tercinta, putra
malangku yang kesepian, pikir Cressen, karena tiba-tiba saja dia
melihat caranya. Cawan Ser Davos berada di depannya, masih
setengah penuh dengan cairan merah masam. Dia memungut
sekeping kristal keras dalam lengan jubah, memegangnya
erat-erat antara ibu jari dengan telunjuk sewaktu dia meraih
cawan. Gerakan yang mulus, sigap, aku tak boleh gemetar sekarang,
dia berdoa, dan para dewa berbaik hati. Dalam sekejap mata,
jari-jarinya kosong. Tangannya tak pernah semantap ini
selama bertahun-tahun, atau secekatan itu. Davos melihat,
tapi yang lain tidak, dia yakin. Dengan cawan di tangan, dia
berdiri. "Barangkali saya memang bodoh. Lady Melisandre,
maukah kau berbagi cawan anggur denganku" Secawan untuk
menghormati dewamu, Penguasa Cahaya" Secawan untuk
bersulang bagi kekuatannya?"
Si perempuan merah mengamatinya. "Kalau itu yang
kauinginkan." Cressen dapat merasakan mereka semua mengawasinya.
Davos menggapainya saat dia meninggalkan bangku, merenggut
lengan jubahnya dengan jari-jari yang sudah dipendekkan Lord
Stannis. "Apa yang kaulakukan?" bisiknya.
"Hal yang harus dilakukan," Maester Cressen menjawab,
"demi kerajaan ini, dan demi jiwa lord-ku." Dia mengguncang
lepas tangan Davos, menumpahkan setetes anggur ke ilalang
di lantai. Perempuan itu menemuinya di bawah meja utama,
tatapan semua orang tertuju pada mereka. Tapi Cressen hanya
melihat perempuan itu. Sutra merah, mata merah, batu mirah
di lehernya, bibir merah yang melengkung dalam senyum
XLII tipis selagi perempuan itu meletakkan tangan di atas tangan
Cressen, melingkari cawan. Kulit perempuan itu terasa panas,
seperti demam. "Belum terlambat untuk menumpahkan
anggurnya, Maester."
"Tidak," bisik Cressen parau. "Tidak."
"Kalau itu yang kauinginkan." Melisandre dari Asshai
mengambil cawan dari tangan si lelaki tua dan meneguk
banyak-banyak. Hanya tersisa setengah teguk anggur ketika dia
mengembalikan cawan kepada Cressen. "Sekarang giliranmu."
Tangan sang maester bergetar, tapi dia menguatkan
diri. Seorang maester dari Citadel tak boleh takut. Anggur
itu terasa masam di lidahnya. Dia membiarkan cawan kosong
terlepas dari jemarinya dan pecah di lantai. "Dia memang punya
kekuatan di sini, my lord," perempuan itu berkata. "Dan api
membersihkan." Di lehernya, batu mirah berkilau merah.
Cressen berusaha menjawab, namun kata-katanya
tersangkut di tenggorokan. Batuknya menjadi siulan lemah
yang mengerikan sewaktu dia berjuang menghirup udara.
Jari-jari besi mencengkeram lehernya. Saat jatuh berlutut, dia
tetap menggeleng-geleng, menolak perempuan itu, menolak
kekuatannya, menolak sihirnya, menolak dewanya. Dan
lonceng-lonceng sapi terkulai di tanduknya, bernyanyi bodoh,
bodoh, bodoh sementara si perempuan merah menunduk
menatapnya dengan iba, api lilin menari di matanya yang
sangat sangat merah. j XLIII XLIV ARYA D i Winterfell mereka menjulukinya "Arya Muka Kuda"
dan dia kira tak mungkin ada yang lebih buruk lagi,
tapi itu sebelum bocah yatim piatu Lommy Tangan Hijau
menjulukinya "Kepala Bengkak".
Kepalanya memang terasa bergumpal saat dia
menyentuhnya. Sewaktu Yoren menyeretnya ke dalam gang,
Arya mengira lelaki itu bermaksud membunuhnya, tapi
ternyata lelaki tua yang masam itu hanya memeganginya kuatkuat, memangkas rambutnya yang lepek dan kusut dengan
belati. Arya ingat bagaimana angin meniup segenggam rambut
cokelat kotor melintasi jalan batu, ke arah kuil tempat ayahnya
tewas. "Aku membawa lelaki dewasa dan anak-anak dari kota,"
Yoren menggeram selagi baja tajam itu menggores kepala Arya.
"Sekarang diamlah, Buyung." Saat dia selesai, kulit kepala Arya
hanya menyisakan berkas-berkas pangkal rambut.
Sesudahnya Yoren memberitahu bahwa selama
perjalanan ke Winterfell Arya akan menjadi Arry si bocah
yatim. "Gerbang pasti tidak sulit, tapi jalanan lain ceritanya.
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau menghadapi perjalanan panjang dengan teman-teman
yang buruk. Aku membawa tiga puluh orang kali ini, lelaki
1 dewasa dan anak-anak yang akan pergi ke Tembok Besar, dan
jangan mengira mereka seperti kakak harammu itu." Yoren
mengguncangnya. "Lord Eddard menyuruhku memilih di
antara penghuni penjara, dan aku tak menemukan tuantuan muda di bawah sana. Gerombolan ini, setengah dari
mereka akan menyerahkanmu kepada Ratu secepat meludah
demi pengampunan dan mungkin beberapa keping perak.
Setengahnya lagi akan melakukan hal serupa, tapi mereka
bakal memerkosamu dulu. Jadi jangan berteman dengan siapa
pun dan buang airlah di hutan, sendirian. Itu bakal jadi bagian
yang paling berat, buang air, jadi jangan minum melebihi yang
kaubutuhkan." Meninggalkan King"s Landing memang mudah, seperti
yang dikatakan Yoren. Para penjaga Lannister di gerbang
menghentikan semua orang, tapi Yoren mengenal salah
satunya dan pedati mereka diizinkan lewat. Tak ada yang
melirik Arya sekali pun. Mereka mencari gadis bangsawan,
putri Tangan Kanan Raja, bukan anak lelaki kurus dengan
rambut nyaris botak. Arya tak pernah menoleh lagi. Dia
berharap arus datang dan menyapu seluruh kota, Bokong
Kutu, Benteng Merah, Kuil Agung, semua tempat, juga semua
orang, terutama Pangeran Joffrey dan ibunya. Tapi dia tahu itu
takkan terjadi, lagi pula Sansa masih ada di kota dan bakal
tersapu juga. Ketika mengingat itu, Arya memutuskan untuk
mengharapkan Winterfell saja.
Tapi Yoren salah tentang buang air. Itu bukan bagian
terberat; Lommy Tangan Hijau dan Pai Panas adalah bagian
terberat. Bocah-bocah yatim. Yoren memungut beberapa
orang dari jalanan dengan janji makanan untuk perut mereka
dan sepatu untuk kaki mereka. Sisanya dia temukan dalam
keadaan terikat. "Garda butuh orang-orang unggulan," dia
memberitahu saat mereka berangkat, "tapi kami harus puas
2 dengan kalian." Yoren juga mengambil lelaki-lelaki dewasa dari penjara.
Para pencuri, pemburu gelap, pemerkosa, dan sejenisnya. Yang
terburuk adalah tiga lelaki yang ditemukannya dalam sel-sel
hitam, orang-orang yang pasti membuat dia sekalipun takut,
sebab dia menempatkan mereka di bagian belakang pedati
dengan tangan dan kaki terbelenggu, serta bersumpah bahwa
mereka akan tetap terikat sepanjang perjalanan ke Tembok
Besar. Salah satu dari mereka tak punya hidung, hanya lubang
di wajah tempat organ itu terpotong, sementara lelaki gemuk
menjijikkan berkepala botak dengan gigi runcing dan luka-luka
basah di pipi memiliki mata yang tak menyerupai manusia.
Mereka membawa lima pedati meninggalkan King"s
Landing, penuh sesak dengan persediaan untuk Tembok Besar:
lembaran-lembaran kulit dan gulungan-gulungan kain, batangbatang besi cor, sesangkar burung raven, buku-buku dan kertas
dan tinta, sebundel daun masam, botol-botol minyak, serta
peti-peti obat dan rempah-rempah. Kuda-kuda bajak menarik
pedati mereka, dan Yoren membawa dua kuda cepat serta
setengah lusin keledai untuk para bocah. Arya lebih menyukai
kuda sungguhan, tapi keledai lebih baik daripada menumpang
di pedati. Para lelaki dewasa tak mengacuhkan Arya, tapi dia
kurang beruntung dengan bocah-bocah itu. Dia dua tahun
lebih muda dibandingkan anak yatim termuda, belum lagi
lebih kecil dan lebih kurus, dan Lommy serta Pai Panas
menganggap sikap diamnya berarti dia takut, bodoh, atau tuli.
"Coba lihat pedang si Kepala Bengkak," kata Lommy suatu pagi
saat mereka bergerak lambat melewati kebun-kebun buah dan
ladang-ladang gandum. Lommy bekerja magang pada seorang
pencelup sebelum dia tertangkap mencuri, dan lengannya
bebercak hijau sampai ke siku. Saat tertawa, dia meringkik
3 seperti keledai yang mereka tunggangi. "Dari mana tikus got
seperti Kepala Bengkak mendapatkan pedang?"
Arya menggigit bibir dengan amarah tertahan. Dia bisa
melihat bagian belakang jubah hitam Yoren yang usang di
depan barisan pedati, tapi dia bertekad tidak akan merengekrengek kepadanya meminta pertolongan.
"Mungkin dia squire kecil," Pai Panas menyahut. Ibunya
adalah pembuat roti sebelum meninggal, dan bocah itu
sepanjang hari berseru "Pai panas! Pai panas!" sambil mendorong
gerobak di jalanan, "Bocah squire dari lord terhormat, pasti."
"Dia bukan squire, coba lihat dia. Aku berani bertaruh
itu bahkan bukan pedang sungguhan. Pasti hanya pedang
mainan dari kaleng."
Arya benci mereka mengolok-olok Needle. "Ini
ditempa di kastel, bodoh," hardiknya, berputar di sadel untuk
memelototi mereka, "dan sebaiknya kalian tutup mulut."
Bocah-bocah yatim itu berteriak mengejek. "Dari mana
kau dapat pedang seperti itu, Wajah Bengkak?" Pai Panas ingin
tahu. "Kepala bengkak," ralat Lommy. "Barangkali dia
mencurinya." "Tidak!" sergah Arya. Jon Snow yang memberinya
Needle. Mungkin dia harus membiarkan mereka memanggilnya
Kepala Bengkak, tapi dia takkan membiarkan mereka menyebut
Jon pencuri. "Kalau dia mencurinya, kita bisa mengambilnya dari
dia," ujar Pai Panas. "Lagi pula itu bukan miliknya. Pedang
seperti itu bisa berguna untukku."
Lommy memanas-manasi. "Ayo, rebut darinya,
kutantang kau." Pai Panas menendang keledainya dan berderap mendekat.
"Hei, Wajah Bengkak, serahkan pedang itu." Rambutnya
4 sewarna jerami, wajah tembamnya terbakar matahari dan
mengelupas. "Kau tidak tahu cara menggunakannya."
Ya, aku tahu, Arya bisa saja berkata. Aku membunuh seorang
bocah, bocah lelaki gemuk seperti kau, aku menikam perutnya dan
dia mati. Aku juga akan membunuhmu kalau kau menggangguku
terus.?Tapi dia tidak berani. Yoren tidak tahu tentang bocah
pengurus kandang itu, tapi Arya mengkhawatirkan apa yang
mungkin dilakukan Yoren kalau sampai tahu. Arya sangat
yakin beberapa lelaki lainnya juga pembunuh, tiga orang yang
dibelenggu itu sudah pasti, tapi sang ratu tidak mencari mereka,
jadi situasinya tidak sama.
"Coba lihat dia," ringkik Lommy Tangan Hijau. "Aku
yakin dia bakal menangis sekarang. Kau mau menangis, Kepala
Bengkak?" Arya menangis dalam tidurnya kemarin malam,
memimpikan ayahnya. Esok paginya, dia bangun dengan mata
merah dan kering, serta tak mampu meneteskan air mata lagi
bahkan jika nyawanya bergantung pada itu.
"Dia bakal kencing di celana," Pai Panas menimpali.
"Jangan ganggu dia," ujar bocah berambut hitam kusut
yang berderap di belakang mereka. Lommy menjuluki bocah
itu Banteng, karena helm bertanduk miliknya yang selalu
dipoles tapi tak pernah dipakai. Lommy tidak berani mengejek
si Banteng. Dia lebih tua, dan bertubuh besar untuk orang
seusianya, dengan dada bidang serta lengan yang tampak kuat.
"Sebaiknya kauserahkan pedang itu pada Pai Panas,
Arry," Lommy berkata. "Pai Panas sangat menginginkannya.
Dia pernah menendang seorang anak sampai mati. Aku yakin
dia akan melakukan hal serupa padamu."
"Aku merobohkannya dan menendangi buah zakarnya,
lalu terus menendanginya sampai dia mati," Pai Panas membual.
"Aku menendanginya sampai hancur. Buah zakarnya pecah
5 dan berdarah, burungnya jadi hitam. Sebaiknya kauserahkan
pedang itu." Arya menarik pedang latihannya dari sabuk. "Kau boleh
ambil yang ini," katanya pada Pai Panas, tak ingin berkelahi.
"Itu cuma tongkat." Dia berderap mendekat dan
berusaha meraih pangkal Needle.
Arya membuat tongkat itu berdesing sewaktu dia
menggebuk pinggang keledai Pai Panas. Binatang itu meringkik
dan mendompak, menjatuhkan Pai Panas ke tanah. Arya
melompat turun dari keledainya sendiri lalu menusuk perut
Pai Panas ketika bocah itu berusaha berdiri, dan dia terduduk
kembali sambil mengerang. Kemudian Arya menghantam
wajahnya dan hidung bocah itu berbunyi krak seperti ranting
patah. Darah menetes dari lubang hidungnya. Saat Pai Panas
mulai melolong, Arya berputar ke arah Lommy Tangan Hijau,
yang duduk di punggung keledainya dengan mulut menganga.
"Kau juga mau merasakan pedang?" serunya, tapi bocah itu
tidak mau. Lommy mengangkat tangannya yang bebercak hijau
di depan wajah dan memekik-mekik menyuruh Arya pergi.
Si Banteng berteriak, "Di belakangmu," dan Arya
berbalik. Pai Panas berlutut, tangannya mengepal menggenggam
batu besar bergerigi. Arya membiarkan bocah itu melemparnya,
merundukkan kepala saat batu itu melayang lewat. Kemudian
dia menerjang. Pai Panas mengangkat satu tangan dan Arya
memukulnya, lalu pipinya, setelah itu lututnya. Pai Panas
menyambarnya, dan Arya berkelit lalu mengayunkan tongkat
kayu ke bagian belakang kepala bocah itu. Pai Panas roboh
lalu bangkit dan terhuyung-huyung mengejar Arya, wajah
merahnya tercoreng tanah dan darah. Arya mengambil posisi
kuda-kuda penari air dan menunggu. Ketika Pai Panas sudah
cukup dekat, Arya menyerang, tepat di antara kedua kakinya,
begitu keras sehingga jika pedang kayunya berujung runcing
6 pasti sudah menembus tengah-tengah bokongnya.
Saat Yoren menarik Arya menjauh, Pai Panas tergeletak
di tanah dengan celana yang berubah cokelat dan bau, terisakisak selagi Arya menghajarnya tanpa henti. "Cukup," saudara
hitam itu meraung, merenggut pedang kayu dari jemari Arya,
"kau mau membunuh anak bodoh ini?" Ketika Lommy dan
beberapa bocah lainnya mulai menjerit, lelaki itu mendamprat
mereka juga. "Tutup mulut kalian, atau aku yang akan
menutupnya. Kalau sampai terulang lagi, akan kuikat kalian
semua di belakang pedati dan menyeret kalian ke Tembok
Besar." Dia meludah. "Dan itu berlaku dua kali lipat untukmu,
Arry. Kau ikut denganku, Buyung. Sekarang."
Mereka semua menatap Arya, bahkan tiga lelaki yang
dirantai dan dibelenggu di bagian belakang pedati. Lelaki yang
gendut mengertakkan gigi-gigi runcingnya dan mendesis, tapi
Arya mengabaikannya. Lelaki tua itu menyeret Arya menjauh dari jalan
dan memasuki kerimbunan pohon sembari mengutuk dan
menggerutu. "Andai aku punya setitik saja akal sehat, pasti
sudah kutinggalkan kau di King"s Landing. Kaudengar itu,
Buyung?" Yoren selalu menghardikkan kata itu, menambahkan
nada tajam agar Arya benar-benar mencernanya. "Buka tali
celanamu dan turunkan. Ayo, tidak ada yang melihat di sini.
Cepat lakukan." Dengan menahan amarah, Arya menuruti
perintahnya. "Di sebelah sana, menempel ke pohon ek. Ya,
seperti itu." Arya memeluk batang pohon itu dan menekankan
wajahnya ke kayu yang kasar. "Menjeritlah sekarang. Menjerit
yang keras." Tidak akan, pikir Arya keras kepala, tapi saat Yoren
mengayunkan kayu ke bagian belakang paha telanjangnya,
jeritan itu mau tak mau terlontar. "Kaupikir itu sakit?"
katanya. "Coba yang ini." Kayu itu mendesing. Arya menjerit
lagi, mencengkeram pohon agar dia tidak roboh. "Sekali lagi."
7 Arya berpegangan keras-keras, menggigit bibirnya, mengernyit
saat mendengar desing kayu. Pukulan itu membuatnya
terlonjak dan melolong. Aku takkan menangis, pikirnya, aku
takkan melakukan itu. Aku Stark dari Winterfell, lambang klan
kami direwolf, direwolf tidak menangis.?Dia dapat merasakan
tetesan tipis darah mengaliri kaki kirinya. Paha dan bokongnya
terbakar rasa nyeri. "Barangkali aku mendapat perhatianmu
sekarang," ujar Yoren. "Kali berikutnya kau mengayunkan
tongkat itu pada salah satu saudaramu, kau akan mendapat
balasan dua kali lipat, mengerti" Pakai lagi celanamu."
Mereka bukan saudaraku, Arya membatin sewaktu
membungkuk untuk menaikkan celana, tapi dia tahu sebaiknya
dia diam saja. Tangannya gemetaran saat mengaitkan sabuk
dan tali. Yoren menatapnya. "Kau terluka?"
Setenang air dalam, dia membatin, seperti yang diajarkan
Syrio Forel. "Sedikit."
Yoren meludah. "Bocah pai itu terluka lebih parah.
Bukan dia yang membunuh ayahmu, Non, bukan pula Lommy
si pencuri. Memukuli mereka takkan menghidupkan ayahmu."
"Aku tahu," gumam Arya geram.
"Ini satu hal yang tidak kauketahui. Seharusnya
kejadiannya tidak seperti itu. Aku sudah siap pergi, pedatipedati sudah dibeli dan dimuati, lalu seorang lelaki datang
membawa bocah lelaki untukku, serta sekantong koin, dan
sebuah pesan, tak penting dari siapa. Lord Eddard akan
bergabung dengan Garda Malam, katanya padaku, tunggu, dia
akan pergi bersamamu. Kaupikir kenapa aku ada di sana" Tapi
keadaan tak berjalan sesuai rencana."
"Joffrey," bisik Arya. "Seseorang harus membunuhnya!"
"Akan ada yang membunuhnya, tapi bukan aku, dan
bukan juga kau." Yoren melemparkan kembali pedang kayu itu
8 kepada Arya. "Ambil daun masam di belakang pedati," katanya
saat mereka berjalan kembali ke jalan. "Kunyah beberapa
lembar, untuk meredakan nyerinya."
Memang membantu, sedikit, walaupun rasanya
memuakkan dan membuat ludahnya terlihat seperti darah.
Meski begitu, dia berjalan sepanjang sisa hari itu, dan hari
berikutnya, dan hari berikutnya lagi, terlalu nyeri untuk duduk
di punggung keledai. Pai Panas lebih parah; Yoren harus
memindahkan beberapa tong agar bocah itu bisa berbaring di
bagian belakang pedati beralaskan karung-karung jelai, dan dia
merintih setiap kali roda pedati melindas batu. Lommy Tangan
Hijau bahkan tidak terluka, tapi dia menjaga agar selalu berada
sejauh mungkin dari Arya. "Setiap kali kau menatapnya, dia
gemetar," si Banteng memberitahu sewaktu Arya berjalan di
samping keledainya. Arya tidak menyahut. Sepertinya lebih
aman jika tidak berbicara pada siapa pun.
Malam itu Arya berbaring beralaskan selimut tipisnya di
tanah yang keras, menengadah menatap komet merah besar.
Komet itu menakjubkan sekaligus menakutkan. "Pedang
Merah," si Banteng menamainya; dia bilang komet itu mirip
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pedang, bilahnya masih merah membara setelah ditempa.
Bila menyipitkan mata dengan cara yang tepat, Arya juga
bisa melihat pedang, tapi itu bukan pedang baru melainkan
Ice, pedang agung ayahnya, baja Valyria yang bergelombang,
dan warna merahnya adalah darah Lord Eddard pada pedang
setelah Ser Ilyn sang Algojo Raja memenggal kepalanya. Yoren
memaksanya melihat ke arah lain saat pemenggalan terjadi, tapi
menurut Arya, Ice pasti terlihat seperti komet itu sesudahnya.
Ketika akhirnya tertidur, Arya memimpikan rumah. Jalan
raja berliku melewati Winterfell sebelum berlanjut ke Tembok
Besar, dan Yoren sudah berjanji akan meninggalkan Arya di
sana tanpa seorang pun pernah tahu siapa dia sebenarnya.
9 Dia tak sabar ingin bertemu ibunya lagi, juga Robb, Bran, dan
Rickon... tapi Jon Snow-lah yang paling sering dia pikirkan. Dia
berharap entah bagaimana mereka bisa melewati Tembok Besar
sebelum Winterfell, agar Jon dapat mengacak-acak rambutnya
dan memanggilnya "adik kecil". Arya akan berkata, "aku rindu
padamu," dan Jon juga mengatakannya pada saat yang sama,
seperti dulu ketika mereka kerap berbicara bersamaan. Arya
sangat menginginkannya. Dia menginginkannya melebihi apa
pun. j 10 SANSA C uaca pada hari penamaan Raja Joffrey pagi itu cerah
dan berangin, dengan ekor panjang komet besar terlihat
di balik arak-arakan awan tinggi di langit. Sansa tengah
mengamatinya dari jendela menara saat Ser Arys Oakheart
tiba untuk mengantarnya turun ke arena turnamen perang.
"Menurutmu apa artinya?" tanya Sansa kepadanya.
"Kejayaan untuk tunanganmu," Ser Arys langsung
menyahut. "Lihat bagaimana komet itu membara di langit
pada hari penamaan Yang Mulia, seakan-akan para dewa
sendiri mengibarkan panji untuk menghormatinya. Rakyat
menyebutnya Komet Raja Joffrey."
Sudah pasti itulah yang mereka katakan pada Joffrey;
Sansa sendiri tidak terlalu yakin. "Kudengar para pelayan
menyebutnya Ekor Naga."
"Raja Joffrey duduk di tempat Aegon sang Naga pernah
duduk, dalam kastel yang dibangun oleh putranya," tutur Ser
Arys. "Dia adalah ahli waris naga"dan merah adalah warna
Klan Lannister, pertanda lainnya. Komet ini dikirim untuk
merayakan kenaikan Joffrey ke takhta, aku yakin sekali. Artinya
dia akan mengalahkan musuh-musuhnya."
11 Benarkah" Sansa bertanya-tanya.?Mungkinkah para dewa
sekejam itu"?Ibunya salah satu musuh Joffrey sekarang, kakaknya
Robb juga. Ayahnya mati atas perintah sang raja. Apakah Robb
dan Ibu yang harus mati berikutnya" Komet itu memang merah,
tapi Joffrey berdarah Baratheon selain Lannister, dan lambang
klan mereka adalah rusa hitam berlatar emas. Bukankah para
dewa seharusnya mengirim komet emas untuk Joff"
Sansa menutup daun jendela dan cepat-cepat berpaling
dari jendela. "Kau tampak sangat menawan hari ini, my lady,"
Ser Arys berkata. "Terima kasih, Ser." Mengetahui bahwa Joffrey
akan meminta Sansa menghadiri turnamen perang untuk
menghormatinya, gadis itu merias wajah dan memilih
pakaiannya dengan saksama. Dia mengenakan gaun sutra
ungu pucat dan jaring rambut dari batu bulan yang merupakan
hadiah dari Joffrey. Gaun itu berlengan panjang untuk
menyembunyikan memar-memar di lengannya. Itu juga hadiah
dari Joffrey. Sewaktu mereka memberitahu Joffrey bahwa
Robb sudah memproklamirkan diri sebagai Raja di Utara,
kemarahannya sungguh mengerikan, dan dia mengirim Ser
Boros untuk memukuli Sansa.
"Kita turun sekarang?" Ser Arys mengulurkan lengan dan
Sansa membiarkan lelaki itu membawanya keluar dari kamar.
Kalau dia harus dituntun salah satu Pengawal Raja, lebih baik
orang itu Ser Arys. Ser Boros mudah marah, Ser Meryn dingin,
dan mata hampa Ser Mandon yang aneh membuatnya gelisah,
sementara Ser Preston memperlakukannya seperti anak tolol.
Arys Oakheart sopan, dan berbicara ramah pada Sansa. Dia
bahkan pernah menolak saat Joffrey menyuruhnya memukul
Sansa. Pada akhirnya dia tetap memukul Sansa, tapi tidak
sekeras pukulan Ser Meryn atau Ser Boros, dan setidaknya
12 dia mendebat dulu. Yang lain mematuhi perintah itu tanpa
bertanya" kecuali si Anjing, tapi Joff tak pernah meminta si
Anjing menghukum Sansa. Dia menggunakan lima pengawal
lainnya untuk itu. Ser Arys memiliki rambut cokelat terang dan wajah
yang tidak buruk untuk dipandang. Hari ini penampilannya
cukup memikat. Jubah sutra putihnya dikencangkan di bahu
dengan bros daun emas, dan gambar pohon ek yang rimbun
tersulam pada bagian dada tuniknya dengan benang emas
mengilap. "Menurutmu siapa yang akan memenangkan juara
kehormatan hari ini?" Sansa bertanya selagi mereka menuruni
tangga dengan lengan saling mengait.
"Aku," jawab Ser Arys sambil tersenyum. "Tapi aku
khawatir kemenangan itu tak dapat dinikmati. Ini arena yang
kecil dan menyedihkan. Petarungnya tak lebih dari empat
puluh orang, termasuk squire dan prajurit bayaran. Tidak ada
kehormatan dalam mengalahkan bocah-bocah ingusan."
Turnamen perang terakhir jauh berbeda, pikir Sansa.
Raja Robert menyelenggarakannya untuk menghormati ayah
Sansa. Para bangsawan terhormat dan petarung termasyhur
berdatangan dari seluruh kerajaan untuk bertanding,
dan seluruh kota hadir untuk menyaksikan. Sansa ingat
kemegahannya: hamparan tenda di sepanjang sungai dengan
perisai kesatria digantung di depan setiap pintu, barisan
panjang panji-panji sutra yang berkibar tertiup angin, kemilau
cahaya matahari pada baja mengilap dan taji-taji bersepuh
emas. Siang hari diramaikan dengan bunyi trompet dan debam
kuku kuda, sementara malam hari dipenuhi pesta dan lagu. Itu
adalah hari-hari paling menakjubkan dalam hidup Sansa, tapi
sekarang bagaikan kenangan dari masa yang berbeda. Robert
Baratheon sudah tiada, begitu pula ayah Sansa, dipenggal
13 karena berkhianat di undakan Kuil Agung Baelor. Sekarang
ada tiga raja di negeri ini, dan perang berkecamuk di seberang
sungai Trident sementara kota dipenuhi orang putus asa. Tidak
heran jika mereka terpaksa menggelar turnamen Joff di balik
dinding-dinding tebal Benteng Merah.
"Apakah menurutmu Ratu akan hadir?" Sansa selalu
merasa lebih aman jika ada Cersei yang bisa mengendalikan
putranya. "Sepertinya tidak, my lady. Majelis sedang rapat, ada
urusan penting." Ser Arys memelankan suara. "Lord Tywin
memilih bermarkas di Harrenhal bukannya membawa
pasukannya ke kota seperti perintah sang ratu. Yang Mulia
marah besar." Lelaki itu terdiam saat barisan pengawal
Lannister berderap lewat, dalam balutan jubah merah tua dan
helm berpuncak singa. Ser Arys senang bergosip, tapi hanya
saat dia yakin tidak ada yang mendengar.
Para tukang kayu sudah mendirikan tribune dan pagar
tinggi di halaman luar kastel. Memang arena yang menyedihkan,
dan gerombolan kecil yang berkumpul untuk menonton hanya
memenuhi separuh tribune. Sebagian besar penonton adalah
pengawal berjubah emas dari Garda Kota atau berjubah merah
dari Klan Lannister; bangsawan yang datang hanya segelintir,
beberapa lord dan lady yang masih bertahan di istana. Lord
Gyles Rosby yang berwajah pucat batuk-batuk ke saputangan
sutra merah muda. Lady Tanda diapit kedua putrinya, Lollys
yang tenang dan membosankan serta Falyse yang berlidah
tajam. Jalabhar Xho yang berkulit gelap adalah orang buangan
tanpa pilihan tempat bernaung lain, Lady Ermesande masih
anak kecil yang duduk di pangkuan ibu susunya. Kabarnya tak
lama lagi dia akan dinikahkan dengan salah satu sepupu sang
ratu, sehingga Klan Lannister bisa mengklaim tanahnya.
14 Sang raja terlindung di bawah kanopi merah tua, satu
kaki ditumpangkan asal-asalan ke lengan kursi dari kayu
berukir. Putri Myrcella dan Pangeran Tommen duduk di
belakangnya. Di belakang tempat duduk keluarga kerajaan,
Sandor Clegane berdiri siaga, tangannya diletakkan di sabuk
pedang. Jubah putih Pengawal Raja menyungkupi bahu lebarnya
dan dikencangkan dengan bros bertatahkan permata, jubah
seputih salju itu entah bagaimana terlihat tak wajar bersanding
dengan tunik cokelat dari kain tenun kasar dan rompi kulit
berpaku-paku. "Lady Sansa," si Anjing mengumumkan singkat
saat dia melihatnya. Suara lelaki itu sekasar bunyi gergaji
pada kayu. Luka bakar di wajah dan leher membuat satu sisi
mulutnya berkedut saat dia bicara.
Putri Myrcella menganggukkan salam malu-malu saat
mendengar nama Sansa, tapi Pangeran Tommen kecil yang
montok melompat dengan antusias. "Sansa, kau sudah dengar"
Aku akan bertarung di turnamen hari ini. Kata Ibu boleh."
Tommen baru delapan tahun. Dia mengingatkan Sansa pada
adiknya sendiri, Bran. Mereka seumuran. Bran berada di
Winterfell. Cacat, tapi aman.
Sansa bersedia memberikan apa pun untuk bisa
bersamanya. "Aku iba pada musuhmu," Sansa berkata khidmat
kepada Tommen. "Musuhnya akan berisi jerami," tukas Joff seraya
berdiri. Sang raja mengenakan pelat dada bersepuh emas
dengan singa mengaum terukir di bagian depan, seolah-olah
dia mengharapkan perang akan mengepung mereka sewaktuwaktu. Dia berusia tiga belas tahun hari ini, dan termasuk
tinggi untuk pemuda seusianya, dengan mata hijau dan rambut
emas khas Lannister. "Yang Mulia," ujar Sansa sambil menekuk lutut.
15 Ser Arys membungkuk. "Saya undur diri, Yang Mulia.
Saya harus bersiap-siap untuk pertarungan."
Joffrey melambai singkat untuk mengizinkannya pergi
sembari mengamati Sansa dari kepala sampai kaki. "Aku
senang kau memakai permata dariku."
Jadi sang raja memutuskan untuk bersopan-sopan hari
ini. Sansa lega. "Aku berterima kasih untuk hadiah ini" dan
untuk ucapan yang murah hati. Kudoakan hari penamaanmu
penuh keberuntungan, Yang Mulia."
"Duduk," perintah Joff, menunjuk kursi kosong di
sampingnya. "Kau sudah dengar" Raja Pengemis mati."
"Siapa?" Untuk sesaat Sansa takut yang dimaksud adalah
Robb. "Viserys. Putra bungsu Raja Gila Aerys. Dia sudah
berkeliaran di Kota-kota Merdeka sejak sebelum aku lahir,
menyebut dirinya raja. Yah, Ibu bilang bangsa Dothraki akhirnya
memahkotai dia. Dengan emas cair." Joffrey tertawa. "Itu lucu,
bukan" Naga adalah lambang mereka. Hampir sama bagusnya
seperti jika ada serigala membunuh kakak pengkhianatmu.
Mungkin dia akan kuumpankan pada serigala setelah aku
menangkapnya. Apa aku sudah bilang, aku bermaksud
menantangnya dalam pertarungan satu lawan satu?"
"Aku ingin sekali melihatnya, Yang Mulia."?Lebih dari
yang kaukira. Sansa menjaga suaranya tetap tenang dan sopan,
meski begitu mata Joffrey menyipit sewaktu dia berusaha
memastikan apakah Sansa meledeknya. "Apakah kau ikut
bertarung hari ini?" tanyanya cepat-cepat.
Sang Raja merengut. "Ibuku bilang itu tidak pantas,
karena turnamen ini untuk menghormatiku. Kalau tidak pasti
aku yang menang. Benar kan, anjing?"
Mulut si Anjing berkedut. "Melawan orang-orang ini"
16 Kenapa tidak?" Si Anjing yang menang dalam turnamen perang ayahnya,
kenang Sansa. "Apa kau bertarung hari ini, my lord?" tanya
Sansa. Suara Clegane sarat dengan kemuakan. "Tidak setimpal
dengan kerepotan memakai zirah lengkap. Ini turnamen kutu."
Sang raja tertawa. "Anjingku gonggongannya galak.
Barangkali aku harus memerintahkannya melawan pemenang
hari ini. Sampai salah satu mati." Joffrey senang menyuruh
orang berkelahi sampai mati.
"Kau akan kehilangan satu kesatria." Si Anjing tak
pernah mengucapkan sumpah kesatria. Kakaknya seorang
kesatria, dan dia membenci kakaknya.
Bunyi trompet membahana. Sang raja menyamankan
diri di kursinya dan meraih tangan Sansa. Dulu tindakan itu
pasti sudah membuat jantung Sansa berdebar, sebelum Joffrey
menjawab permohonan ampunnya dengan menyerahkan
kepala sang ayah. Sekarang sentuhan pemuda itu membuat
Sansa jijik, tapi dia tahu sebaiknya tidak menunjukkannya. Dia
memaksa diri duduk sangat tenang.
"Sery Meryn Trant dari pasukan Pengawal Raja," seorang
bentara mengumumkan. Ser Meryn masuk dari sisi barat arena, dibalut pelat
putih gemerlap berhias emas dan menunggangi kuda seputih
susu dengan surai kelabu berkibar-kibar. Jubahnya melambai
di belakang bagaikan hamparan salju. Dia membawa lembing
sepanjang hampir empat meter.
"Ser Hobber dari Klan Redwyne, dari Arbor," si bentara
berlagu. Ser Hobber berderap masuk dari timur, menunggangi
kuda jantan hitam berselubung kain merah gelap dan biru.
Lembingnya dicat dengan warna serupa, dan perisainya
17 bergambar setandan anggur lambang Klan Redwyne. Si kembar
Redwyne merupakan tamu-tamu Ratu yang datang dengan
terpaksa, seperti Sansa. Dia bertanya-tanya atas kehendak siapa
mereka ikut dalam turnamen perang Joffrey. Bukan kehendak
mereka, pikirnya. Mengikuti aba-aba dari master perayaan, para petarung
menurunkan lembing dan menyentuhkan taji ke tunggangan
mereka. Terdengar sorak-sorai dari para pengawal yang
menonton serta para lord dan lady di tribune. Kedua kesatria
bertemu di tengah arena diiringi benturan hebat kayu dan
baja. Lembing putih dan berwarna meledak dalam pecahan
kayu dengan jeda satu detik antara keduanya. Hobber Redwyne
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terhuyung akibat benturan itu, namun entah bagaimana
berhasil tetap duduk. Setelah memutar kuda mereka di ujung
jauh pagar, kedua kesatria melemparkan lembing yang rusak
dan menerima penggantinya dari squire mereka. Ser Horas
Redwyne, saudara kembar Ser Hobber, berteriak menyemangati
kembarannya. Tapi pada aduan kedua, Ser Meryn mengayunkan ujung
lembingnya menusuk dada Ser Hobber, merobohkannya dari
sadel dan jatuh menghantam tanah. Ser Horas mengumpat
dan berlari untuk menolong saudaranya yang terluka keluar
dari arena. "Mengecewakan," seru Raja Joffrey.
"Ser Balon Swann, dari Stonehelm di daerah Pengawas
Merah," terdengar suara lantang si bentara. Sayap-sayap putih
lebar menghiasi helm besar Ser Balon, sementara angsa hitam
dan putih bertarung di ukiran perisainya.?"Morros dari Klan
Slynt, ahli waris Lord Janos dari Harrenhal."
"Lihat si tolol yang bertingkah itu," Joff berteriak, cukup
keras untuk didengar separuh arena. Morros, hanya seorang
18 squire dan itu pun baru diangkat, tampak kesulitan menangani
lembing dan perisai. Lembing adalah senjata kesatria, Sansa
tahu, sementara keluarga Slynt adalah rakyat jelata. Lord
Janos tak lebih dari pemimpin Garda Kota sebelum Joffrey
mengangkatnya ke Harrenhal dan ke majelis.
Aku harap dia jatuh dan mempermalukan dirinya, pikir
Sansa getir. Aku harap Ser Balon membunuhnya.?Ketika Joffrey
mengumumkan kematian ayah Sansa, Janos Slynt-lah yang
memegang kepala putus Lord Eddard pada rambutnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi agar dapat dilihat sang raja
dan kerumunan penonton, sementara Sansa menangis dan
menjerit-jerit. Morros mengenakan jubah kotak-kotak emas-dan-hitam
melapisi zirah hitam berhias pola-pola spiral dari emas. Pada
perisainya terpampang tombak berdarah yang dipilih ayahnya
sebagai lambang klan baru mereka. Tapi sepertinya dia tidak
tahu harus diapakan perisai itu selagi memacu kudanya
maju, dan ujung lembing Ser Balon menusuk perisai itu
tepat di tengah. Morros menjatuhkan lembingnya, berjuang
menyeimbangkan diri, dan gagal. Satu kakinya tersangkut di
sanggurdi saat dia jatuh, dan kudanya kabur dengan menyeret
pemuda itu ke ujung arena, kepalanya terantuk-antuk di tanah.
Joff berseru mengejek. Sansa terperanjat, bertanya-tanya
apakah para dewa mendengar doanya yang penuh dendam.
Tapi ketika mereka memisahkan Morros Slynt dari kudanya,
pemuda itu ternyata masih hidup walaupun berdarah-darah.
"Tommen, kami memilih musuh yang salah untukmu," kata
sang raja pada adiknya. "Kesatria jerami lebih jago berduel
daripada yang satu itu."
Berikutnya giliran Ser Horas Redwyne. Dia tampil
lebih baik dibandingkan kembarannya, menaklukkan kesatria
19 berumur yang kudanya dihias meriah dengan gambar griffin
perak berlatar garis-garis biru-putih. Meskipun terlihat gagah,
lelaki tua itu bertarung dengan buruk. Joffrey mengerucutkan
bibir. "Ini pertunjukan yang payah."
"Aku sudah memperingatkan," sahut si Anjing. "Kutu."
Sang raja mulai bosan. Sansa menjadi gelisah. Dia
merundukkan mata dan bertekad untuk tidak bersuara,
apa pun yang terjadi. Saat suasana hati Joffrey Baratheon
memburuk, sepatah kata saja bisa memicu amukannya.
"Lothor Brune, prajurit bayaran yang melayani Lord Baelish,"
seru si bentara.?"Ser Dontos sang Merah, dari Klan Hollard."
Si prajurit bayaran, lelaki kecil yang mengenakan pelat
penyok tanpa perlengkapan, dengan patuh muncul di ujung
barat arena, tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran lawannya.
Akhirnya seekor kuda jantan cokelat kemerahan berderap
masuk dalam balutan sutra merah tua dan merah darah, tapi
Ser Dontos tak ada di punggungnya. Kesatria itu muncul sesaat
kemudian, mengumpat-umpat dan limbung, mengenakan
pelat dada dan helm berhias bulu tanpa membawa apa-apa lagi.
Kakinya pucat dan kurus, kejantanannya bergayut-gayut tak
senonoh selagi dia mengejar kudanya. Para penonton bersorak
dan meneriakkan olok-olok. Setelah berhasil menangkap
kekang kuda, Ser Dontos berusaha menaikinya, tapi kuda itu
tak mau berdiri diam dan sang kesatria begitu mabuk sehingga
kaki telanjangnya terus-terusan meleset dari sanggurdi.
Saat itu penonton sudah tertawa melolong-lolong"
semuanya kecuali sang raja. Mata Joffrey menyorotkan tatapan
yang sangat diingat Sansa, tatapan serupa yang dilihatnya di
Kuil Agung Baelor pada hari dia mengumumkan kematian Lord
Eddard Stark. Akhirnya Ser Dontos sang Merah menghentikan
usaha payahnya, duduk di tanah, dan mencopot helm berbulu.
20 "Aku kalah," teriaknya. "Ambilkan anggur untukku."
Sang raja berdiri. "Satu gentong dari gudang bawah
tanah! Aku ingin melihat dia ditenggelamkan di dalamnya."
Sansa mendengar dirinya terkesiap. "Jangan, tidak
boleh." Joffrey menoleh. "Apa katamu?"
Sansa tak percaya dia sudah bersuara. Apa dia gila"
Mengatakan tidak pada sang raja di hadapan setengah penghuni
istana" Dia tak bermaksud mengatakan apa pun, hanya... Ser
Dontos mabuk, konyol, dan tak berguna, tapi lelaki itu tak
bermaksud jahat. "Kau bilang tidak boleh" Kau bilang begitu?"
"Tolong," Sansa berkata, "aku hanya bermaksud" itu
bisa membawa nasib buruk, Yang Mulia... jika, jika membunuh
orang pada hari penamaanmu."
"Kau bohong," tukas Joffrey. "Aku akan
menenggelamkanmu bersamanya, kalau kau begitu peduli
padanya." "Aku tak peduli padanya, Yang Mulia." Kata-kata itu
terlontar dengan putus asa. "Tenggelamkan saja dia atau
penggal kepalanya, bunuhlah dia besok, kalau kau mau, tapi
tolong" jangan hari ini, jangan pada hari penamaanmu. Aku
tak ingin kau bernasib buruk" nasib yang mengerikan, bahkan
untuk para raja. Semua penyanyi bilang begitu?"
Joffrey membersut. Dia tahu Sansa bohong, Sansa dapat
melihatnya. Joffrey akan membuatnya berdarah karena ini.
"Gadis itu bicara benar," si Anjing berkata parau. "Apa
yang ditanam seseorang pada hari penamaannya, akan dia tuai
sepanjang tahun." Suara lelaki itu datar, seolah dia sama sekali
tak peduli sang raja percaya atau tidak padanya. Mungkinkah
itu benar" Sansa tidak tahu. Dia hanya mengatakannya karena
21 berusaha menghindari hukuman.
Merasa kesal, Joffrey bergerak-gerak di kursi dan
menjentikkan jemari ke arah Ser Dontos. "Bawa dia pergi.
Akan kubunuh dia besok, dasar pelawak tua."
"Benar sekali," sahut Sansa. "Pelawak. Kau sungguh
pintar karena bisa melihatnya. Dia lebih cocok menjadi pelawak
daripada kesatria, bukan" Kau seharusnya mendandani dia
dengan pakaian warna-warni dan menjadikannya badutmu.
Dia tak pantas menerima kemurahan hati dengan kematian
yang cepat." Sang raja mengamati Sansa sejenak. "Barangkali kau
tidak sebodoh yang dikatakan Ibu." Joffrey mengeraskan
suara. "Kau dengar kata tunanganku, Dontos" Mulai hari ini,
kau pelawak baruku. Kau bisa tidur dengan Bocah Bulan dan
berpakaian warna-warni."
Ser Dontos, yang mendadak sadar karena nyaris
bersentuhan dengan kematian, merangkak untuk berlutut.
"Terima kasih, Yang Mulia. Dan Anda, my lady. Terima kasih."
Selagi sepasang pengawal Lannister menggiringnya
pergi, master perayaan menghampiri tempat duduk Raja. "Yang
Mulia," dia berkata, "apakah saya harus memanggil penantang
baru untuk Brune, atau melanjutkan dengan duel berikutnya?"
"Tidak dua-duanya. Mereka semua kutu, bukan
kesatria. Seharusnya mereka semua dihukum mati, tapi ini
hari penamaanku. Turnamen perang sudah selesai. Singkirkan
mereka semua dari hadapanku."
Sang master perayaan membungkuk, tapi Pangeran
Tommen tidak sepatuh itu. "Seharusnya aku bertarung
melawan orang jerami."
"Tidak hari ini."
"Tapi aku ingin bertarung!"
22 "Aku tak peduli apa yang kauinginkan."
"Ibu bilang aku boleh bertarung."
"Dia bilang begitu," Putri Myrcella membenarkan.
"Ibu bilang," ejek sang raja. "Jangan kekanakan."
"Kami memang anak-anak," tukas Myrcella angkuh.
"Sudah seharusnya kami kekanakan."
Si Anjing tertawa. "Dia benar sekali."
Joffrey terpojok. "Baiklah. Bahkan adikku sekalipun
tak mungkin lebih buruk daripada orang-orang ini. Master,
keluarkan sasarannya, Tommen ingin jadi kutu."
Tommen berseru gembira dan pergi untuk
mempersiapkan diri, kaki-kaki kecilnya yang montok berlari
kencang. "Semoga beruntung," Sansa berseru kepadanya.
Mereka mendirikan sasaran di ujung jauh arena
sementara kuda poni sang pangeran dipasangi sadel. Lawan
Tommen adalah pejuang dari kulit seukuran anak-anak yang
diisi jerami dan ditancapkan pada pasak, dengan perisai di
satu tangan dan gada berbantalan di tangan satunya. Seseorang
sudah menempelkan sepasang tanduk rusa di kepala kesatria
itu. Ayah Joffrey, Raja Robert, mengenakan tanduk rusa di
helmnya, Sansa mengingat-ingat" tapi begitu pula paman
Joffrey, Lord Renly, adik Robert yang kini menjadi pengkhianat
dan mengangkat dirinya sebagai raja.
Dua squire membantu sang pangeran mengenakan zirah
gemerlap berwarna perak dan merah tua. Sehelai bulu merah
panjang mencuat dari puncak helmnya, sementara singa
Lannister dan rusa Baratheon bermain-main di perisainya.
Kedua squire membantunya naik ke kuda, dan Ser Aron
Santagar, master laga Benteng Merah, melangkah maju lalu
menyerahkan pedang panjang perak dengan bilah tumpul
berbentuk daun kepada Tommen, dibuat khusus agar pas di
23 tangan anak delapan tahun.
Tommen mengangkat pedang tinggi-tinggi. "Casterly
Rock!" dia berseru dengan suara tinggi kekanakan sembari
menyentuhkan tumit ke kuda poninya dan melaju melintasi
tanah keras ke arah sasaran. Lady Tanda dan Lord Gyles
bersorak tak serempak, dan Sansa menambahkan suaranya ke
dalam sorakan mereka. Sang raja merengut tanpa suara.
Tommen memacu kuda poninya hingga berderap cepat,
mengayunkan pedang dengan bersemangat, dan mengenai
perisai sang kesatria buatan dengan hantaman keras saat dia
lewat. Target latihan berputar, gada berbantalan berayun dan
menyambar bagian belakang kepala sang pangeran. Tommen
terlempar dari sadel, zirah barunya berkelontang seperti
sekarung panci tua sewaktu dia jatuh ke tanah. Pedangnya
terbang, kuda poninya meligas pergi ke seberang halaman, dan
gelombang cemoohan terdengar. Raja Joffrey tertawa paling
lama dan paling keras di antara semuanya.
"Oh," Putri Myrcella berteriak. Dia tergopoh-gopoh
keluar dari tempat duduk dan berlari menghampiri adiknya.
Sansa mendapati dirinya diliputi keberanian ganjil yang
memusingkan. "Kau harus ikut dengan Myrcella," katanya
pada sang raja. "Adikmu mungkin terluka."
Joffrey mengangkat bahu. "Kalau iya memangnya
kenapa?" "Kau harus membantunya berdiri dan mengatakan
betapa hebatnya dia bertarung." Sansa seakan tak mampu
menghentikan diri. "Dia terlempar dari kudanya dan jatuh ke tanah," sang
raja mengingatkan. "Itu tidak hebat."
"Lihat," si Anjing menyela. "Anak itu berani. Dia akan
mencoba lagi." 24 Mereka sedang membantu Pangeran Tommen menaiki
kuda poninya.?Kalau saja Tommen yang putra sulung dan bukan
Joffrey,?Sansa membatin. Aku takkan keberatan menikah dengan
Tommen. Suara-suara dari kubu gerbang mengagetkan mereka.
Rantai-rantai berderak saat pintu besi dikerek naik, dan
gerbang besar itu terbuka diiringi keriut engsel-engsel besi.
"Siapa yang menyuruh mereka membuka gerbang?" tuntut
Joff. Dengan berbagai masalah yang terjadi di kota, gerbang
Benteng Merah sudah berhari-hari ditutup.
Barisan penunggang kuda muncul dari bawah pintu
besi diiringi dentang baja dan keletak kuku kuda. Clegane
beringsut mendekati sang raja, satu tangan menyentuh gagang
pedang panjangnya. Para pengunjung itu lunglai, kurus kering,
dan berdebu, namun panji yang mereka bawa adalah singa
Lannister, emas berlatar merah tua. Beberapa di antara mereka
mengenakan jubah merah dan zirah rantai prajurit Lannister,
tapi lebih banyak yang merupakan prajurit bayaran, dengan
zirah compang-camping dan bertaburan baja tajam" lalu ada
yang lainnya, orang-orang liar menyeramkan seperti dalam
dongeng-dongeng Nan Tua, gerombolan ganas yang selalu
disukai Bran. Mereka berpakaian kulit samakan yang sudah
lusuh, dengan rambut panjang dan janggut lebat. Beberapa
orang dibalut perban berdarah di dahi atau lengan mereka,
yang lain kehilangan mata, telinga, dan jari-jari.
Petualangan Di Dua Dunia 3 Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Maya Misteri Dunia 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama