Ceritasilat Novel Online

Peperangan Raja Raja 5

Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin Bagian 5


membuktikan kehebatanku lagi, dan setiap kekalahan berarti
hilangnya satu kuda lagi dan satu baju zirah lagi, yang pasti
butuh ditebus atau diganti. Biayanya tidak dapat ditanggung.
211 Akhirnya aku bersikeras agar kami pulang, tapi di sana
masalah segera saja bertambah buruk daripada sebelumnya.
Aku tak mampu lagi membayar juru masak dan pemain harpa,
sementara Lynesse selalu mengamuk saat aku mengusulkan
untuk menggadaikan permatanya.
"Selebihnya" aku melakukan hal-hal yang memalukan
untuk dibicarakan. Demi emas. Agar Lynesse tetap dapat
memiliki permatanya, pemain harpanya, dan juru masaknya.
Pada akhirnya aku harus kehilangan segalanya. Waktu
kudengar Eddard Stark akan datang ke Bear Island, aku sudah
tak punya kehormatan lagi sehingga bukannya tinggal dan
menghadapi hukuman dari sang Nadir Utara, aku membawa
istriku ke pengasingan. Tak ada yang berarti selain cinta kami,
aku meyakinkan diri. Kami melarikan diri ke Lys, tempat aku
menjual kapalku untuk memenuhi kebutuhan kami."
Suara Ser Jorah pekat dengan kesedihan, dan Dany
enggan mendesaknya lebih jauh, tapi dia mesti tahu akhir
cerita itu. "Apakah Lynesse mati di sana?" tanyanya lembut.
"Hanya bagiku," jawab Ser Jorah. "Dalam waktu setengah
tahun simpanan emasku habis, dan aku terpaksa mengabdi
sebagai prajurit bayaran. Selagi aku bertarung melawan bangsa
Braavos di Rhoyne, Lynesse pindah ke kediaman megah
seorang pangeran saudagar bernama Tregar Ormollen. Mereka
bilang Lynesse selir utamanya sekarang, dan bahkan istri lelaki
itu pun takut padanya."
Dany terperangah. "Apa kau membencinya?"
"Nyaris sebesar aku mencintainya," Ser Jorah menjawab.
"Maafkan aku, ratuku. Rasanya aku sangat lelah."
Dany mengizinkannya pergi, tapi saat kesatria itu
mengangkat tutup tenda, dia tak mampu menahan diri untuk
memanggilnya dengan satu pertanyaan terakhir. "Seperti apa
rupanya, Lady Lynesse-mu?"
Ser Jorah tersenyum sedih. "Yah, dia agak mirip
denganmu, Daenerys." Lelaki itu membungkuk rendahrendah. "Tidurlah yang nyenyak, ratuku."
212 Dany menggigil, lalu merapatkan kulit singa yang
membungkus tubuhnya. Lynesse mirip denganku.?Itu menjelaskan
banyak hal yang sebelumnya tidak benar-benar dia pahami.?Ser
Jorah menginginkanku, dia menyadari.?Dia mencintaiku seperti dia
mencintai Lynesse, bukan sebagai kesatria yang mencintai ratunya
tapi sebagai lelaki yang mencintai perempuan. Dany mencoba
membayangkan dirinya dalam pelukan Ser Jorah, menciumnya,
memuaskannya, membiarkan lelaki itu memasukinya. Tidak
berhasil. Saat dia memejamkan mata, wajah lelaki itu terusmenerus berubah menjadi wajah Drogo.
Khal Drogo adalah matahari-dan-bintang-nya, lelaki
pertama Dany, dan barangkali harus menjadi yang terakhir.
Maegi Mirri Maz Duur telah bersumpah bahwa Dany takkan
pernah mengandung anak yang hidup, dan lelaki mana yang
menginginkan istri mandul" Lelaki mana pula yang punya
peluang menandingi Drogo, yang mati dengan rambut tak
pernah dipotong dan saat ini berkuda melintasi kerajaan
malam, dengan bintang-bintang sebagai khalasar-nya"
Dany mendengar kerinduan dalam suara Ser Jorah ketika
membicarakan Bear Island.?Dia takkan pernah memilikiku, tapi
suatu hari nanti aku bisa mengembalikan rumah dan kehormatannya.
Setidaknya itu yang dapat kulakukan untuknya.
Tak ada hantu yang mengusik tidur Dany malam itu.
Dia memimpikan Drogo dan perjalanan pertama yang mereka
lakukan berdua pada malam pernikahan mereka. Dalam mimpi
itu bukan kuda yang mereka tunggangi, melainkan naga.
Keesokan paginya, Dany memanggil para penunggang
sedarahnya. "Darah dari darahku," katanya kepada mereka
bertiga, "Aku membutuhkan kalian. Masing-masing dari kalian
akan memilih tiga kuda, yang paling tangguh dan paling sehat
yang masih tersisa. Bawa sebanyak mungkin air dan makanan
yang sanggup diangkut kuda kalian, dan pergilah mewakiliku.
Aggo akan menuju barat daya, Rakharo ke selatan. Jhogo, kau
akan mengikuti shierak qiya ke tenggara."
"Apa yang mesti kami cari, Khaleesi?" tanya Jhogo.
213 "Apa pun yang ada," jawab Dany. "Cari kota-kota
lainnya, yang hidup dan mati. Cari kafilah dan orang-orang.
Cari sungai, danau, dan laut asin yang luas. Cari tahu sejauh
apa tanah tandus ini terbentang di hadapan kita, dan apa yang
menunggu di sisi seberang. Saat meninggalkan tempat ini, aku
tidak ingin pergi dengan buta lagi. Aku harus tahu ke mana
aku menuju, dan cara terbaik untuk tiba di sana."
Maka mereka pergi, lonceng-lonceng di rambut mereka
berdenting lembut, sementara Dany tinggal bersama rombongan
kecil penyintasnya di tempat yang mereka namai Vaes Tolorro,
kota tulang-belulang. Hari berganti malam berganti hari. Para
perempuan mengumpulkan buah dari taman orang mati. Para
lelaki merawat kuda-kuda dan memperbaiki pelana, sanggurdi,
serta tapal kuda. Anak-anak berkeliaran di gang-gang berliku
dan menemukan koin-koin perunggu tua, pecahan kaca ungu,
dan teko batu dengan pegangan yang dipahat menyerupai
ular. Seorang perempuan disengat kalajengking merah, tapi
itu kematian satu-satunya. Kuda-kuda mulai berdaging lagi.
Dany sendiri yang merawat luka Ser Jorah, dan lukanya mulai
sembuh. Rakharo yang pertama kembali. Ke arah selatan, tanah
tandus ini membentang tak berkesudahan, lapornya, sampai
berakhir pada pantai suram di tepi air racun. Antara tempat ini
dan pantai itu hanya ada pasir yang berpusar-pusar, bebatuan
yang terpapar angin, dan tanaman-tanaman berduri tajam.
Dia melewati kerangka seekor naga, sumpahnya, begitu besar
sampai-sampai dia bisa mengendarai kuda memasuki rahang
hitam yang menganga lebar. Selain itu, dia tak melihat apa-apa
lagi. Dany menugaskan selusin lelaki paling kuat di bawah
tanggung jawab Rakharo, dan memerintahkan mereka
membongkar alun-alun untuk menyingkap tanah di bawahnya.
Jika rumput iblis bisa tumbuh di antara batu-batu hampar,
rumput lainnya akan tumbuh saat batu-batu itu hilang. Mereka
punya cukup banyak sumur, tidak kekurangan air. Jika ada
214 benih, mereka bisa membuat alun-alun itu rimbun dengan
tanaman. Aggo yang kembali berikutnya. Tanah di barat daya
tandus dan gersang, dia bersumpah. Dia menemukan
reruntuhan dua kota lagi, lebih kecil daripada Vaes Tolorro
tapi selain itu sama. Satu kota dipagari lingkaran tengkorak
yang dipancangkan pada tombak besi berkarat sehingga dia tak
berani masuk, tapi dia menjelajahi kota kedua selama yang dia
bisa. Dia menunjukkan gelang besi yang dia temukan kepada
Dany, berhias batu opal api yang belum diasah seukuran
ibu jari Dany. Ada perkamen-perkamen juga, tapi sangat
kering dan rapuh maka Aggo meninggalkannya di tempat dia
menemukannya. Dany berterima kasih kepada lelaki itu dan memintanya
mengawasi perbaikan gerbang. Jika musuh-musuh pernah
melintasi tanah tandus ini untuk menghancurkan kota-kota
itu pada masa lalu, kemungkinan besar mereka akan datang
lagi. "Kalau sampai terjadi, kita harus siap," tegas Dany.
Jhogo pergi begitu lama sampai Dany khawatir
dia tersesat, tapi akhirnya saat mereka nyaris berhenti
menunggunya, lelaki itu datang berkuda dari tenggara. Salah
seorang penjaga yang ditempatkan Aggo melihatnya pertama
kali lalu berteriak mengumumkan, dan Dany berlari ke tembok
untuk melihatnya sendiri. Memang benar. Jhogo datang, tapi
tidak sendirian. Di belakangnya berkuda tiga orang asing
dengan pakaian aneh, menunggangi binatang-binatang jelek
berpunuk yang menjulang melebihi kuda mana pun.
Mereka menarik kekang di depan gerbang kota, dan
menengadah untuk menatap Dany yang berdiri di puncak
tembok. "Darah dari darahku," Jhogo berseru, "aku sudah
mendatangi kota besar Qarth, dan kembali bersama tiga orang
yang ingin melihatmu dengan mata mereka sendiri."
Dany menunduk menatap orang-orang asing itu. "Aku
berdiri di sini. Lihatlah, jika itu yang kalian inginkan" tapi
215 pertama-tama sebutkan nama kalian."
Lelaki pucat dengan bibir biru menyahut dalam bahasa
Dothraki parau, "Aku Pyat Pree, penyihir hitam yang agung."
Lelaki botak dengan batu-batu permata di hidung
menjawab dalam bahasa Valyria khas Kota-kota Merdeka, "Aku
Xaro Xhoan Daxos Ketiga Belas, saudagar kaya dari Qarth."
Perempuan dengan topeng kayu yang dipernis berkata
dalam Bahasa Umum Tujuh Kerajaan, "Aku Quaithe sang
Bayangan. Kami datang mencari naga."
"Tak perlu mencari lagi," Daenerys Targaryen berkata.
"Kalian sudah menemukannya."
j 216 JON P ohon Putih, nama desa itu pada peta tua Sam. Jon tidak
menganggapnya layak disebut desa. Empat rumah tanpa
kamar yang bobrok dari batu tanpa mortar berdiri mengelilingi
kandang domba kosong dan sebuah sumur. Rumah-rumah itu
beratap rumput, jendela-jendelanya ditutup dengan potongan
kulit compang-camping. Dan di atas keempat rumah itu
menjulanglah dahan-dahan pucat dan dedaunan merah gelap
dari pohon weirwood yang amat besar.
Itu pohon terbesar yang pernah dilihat Jon Snow, lebar
batangnya hampir dua setengah meter, cabang-cabangnya
menyebar begitu jauh sehingga seluruh desa terlindung di
bawah kanopinya. Tapi yang lebih mengusik Jon adalah wajah
di pohon itu, bukan ukurannya" terutama bagian mulutnya,
bukan sekadar celah sederhana, tapi lubang bergerigi yang
cukup lebar untuk menelan seekor domba.
Tapi yang ada di mulut itu bukan tulang domba. Dan yang
terkubur dalam abu bukan tengkorak domba.
"Pohon tua." Mormont duduk di kudanya, mengerutkan
dahi.? "Tua," si raven membenarkan dari bahunya.?"Tua, tua,
tua." "Dan kuat." Jon dapat merasakan kekuatan pohon itu.
Thoren Smallwood turun dari kuda di samping batang
217 pohon itu, tampak gelap dalam balutan pelat dan zirah rantai.
"Lihat wajah itu. Pantas saja orang-orang takut padanya, waktu
mereka pertama kali datang ke Westeros. Aku sendiri ingin
mengapak pohon sialan ini."
Jon berkata, "Ayahku percaya tak ada yang bisa berkata
bohong di hadapan pohon utama. Dewa-dewa lama tahu saat
manusia berbohong." "Ayahku juga percaya itu," ujar Beruang Tua. "Coba
kulihat tengkoraknya."
Jon turun dari kuda. Longclaw tersandang di
punggungnya dalam sarung bahu dari kulit hitam, pedang
satu setengah tangan yang diberikan Beruang Tua kepada Jon
karena sudah menyelamatkan nyawanya.?Pedang haram untuk
anak haram, rekan-rekannya bercanda. Gagang pedang itu
sudah diperbarui untuk Jon, ujungnya berhias kepala serigala
dari batu pucat, tapi pedangnya sendiri dari baja Valyria, tua,
ringan, dan ketajamannya mematikan.
Dia berlutut dan mengulurkan satu tangan bersarung
ke dalam rahang binatang itu. Bagian dalam tengkorak merah
terkena getah kering dan menghitam terbakar api. Di bawah
tengkorak itu dia melihat tengkorak lain, lebih kecil, rahangnya
patah. Setengah terkubur dalam abu dan potongan tulang.
Ketika dia membawa tengkorak itu kepada Mormont, si
Beruang Tua mengangkatnya dengan dua tangan dan menatap
rongga mata yang kosong. "Kaum wildling membakar sesama
mereka yang mati. Kita sudah tahu itu. Sekarang aku berharap
pernah menanyakan alasannya, waktu sebagian kecil dari
mereka masih ada untuk ditanyai."
Jon Snow ingat saat mayat itu bangkit, matanya berkilau
biru di wajah mati yang pucat. Dia yakin dia tahu alasannya.
"Andai tulang-tulang itu bisa bicara," gerutu Beruang
Tua. "Orang ini bisa memberitahu banyak hal pada kita.
Bagaimana dia mati. Siapa yang membakarnya, dan kenapa.
Ke mana para wildling pergi." Dia menghela napas. "Anak-anak
hutan katanya bisa berbicara pada orang mati. Tapi aku tidak
218 bisa." Dia melempar tengkorak itu kembali ke dalam mulut
pohon, yang mendarat diiringi kepulan abu halus. "Periksa
semua rumah ini. Raksasa, naiklah ke puncak pohon, pantau
sekeliling kita. Bawalah anjing-anjing juga. Barangkali jejaknya
kali ini akan lebih segar." Nada suaranya tak menunjukkan
bahwa dia berharap banyak untuk kemungkinan terakhir.
Dua lelaki memeriksa setiap rumah, untuk memastikan
tidak ada yang terlewat. Jon dipasangkan dengan Eddison
Tollett yang masam, seorang squire dengan rambut kelabu dan
sekurus seligi, yang oleh saudara-saudara lainnya dijuluki Edd
Sengsara. "Sudah cukup buruk waktu orang mati bangkit lagi,"
katanya kepada Jon saat mereka menyusuri desa, "sekarang si
Beruang Tua juga ingin mereka bicara" Takkan ada kebaikan dari
hal semacam itu, aku jamin. Dan kata siapa tulang-tulang tidak
mungkin bohong" Kenapa kematian harus membuat manusia
jadi jujur, atau bahkan cerdas" Orang mati kemungkinan besar
membosankan dan hanya sibuk mengeluh"tanahnya terlalu
dingin, nisanku seharusnya lebih besar, kenapa dia mendapat
lebih banyak cacing daripada aku?"?
Jon mesti membungkuk untuk melewati pintu yang
rendah. Di dalam rumah, dia menemukan lantai tanah yang
padat. Tidak ada perabot, tidak ada tanda-tanda pernah ada
kehidupan di sini selain tumpukan abu di bawah lubang asap
di atap. "Sungguh tempat yang menyedihkan untuk ditinggali,"
dia berkata. "Aku lahir di rumah yang mirip seperti ini," sergah Edd
Sengsara. "Itu masa-masa yang indah bagiku. Belakangan aku
didera banyak kesulitan." Alas tidur dari jerami kering mengisi
salah satu sudut ruangan. Edd menatapnya penuh damba.
"Aku rela memberikan seluruh emas di Casterly Rock jika bisa


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur di ranjang lagi."
"Kau menyebut itu ranjang?"
"Kalau lebih empuk daripada tanah dan ada atap
yang menaungi, aku menyebutnya ranjang." Edd Sengsara
mengendus udara. "Aku mencium kotoran hewan."
219 Baunya amat samar. "Kotoran lama," sahut Jon. Rumah
itu seakan-akan sudah kosong untuk waktu yang sangat
lama. Dia berlutut lalu mengorek-ngorek tumpukan ilalang
untuk melihat apakah ada yang disembunyikan di bawahnya,
kemudian berkeliling menyusuri dinding rumah. Tak butuh
waktu lama untuk melakukannya. "Tidak ada apa-apa di sini."
Tak ada yang sesuai dengan harapannya; Pohon Putih
adalah desa keempat yang mereka lewati, dan semua desa
keadaannya sama. Penduduknya pergi, menghilang bersama
segelintir harta benda dan hewan apa pun yang mungkin mereka
miliki. Tak satu pun desa yang menunjukkan tanda-tanda
pernah diserang. Desa-desa itu hanya" kosong. "Menurutmu
apa yang terjadi pada mereka semua?" Jon bertanya.
"Sesuatu yang lebih buruk daripada yang bisa kita
bayangkan," jawab Edd Sengsara. "Yah, aku mungkin bisa
membayangkannya, tapi lebih baik tidak usah. Sudah cukup
buruk mengetahui bahwa kita akan menemui akhir yang
mengerikan tanpa harus memikirkan hal itu sebelumnya."
Dua dari kawanan anjing mengendus-endus di sekitar
pintu saat mereka keluar lagi. Anjing-anjing lainnya berkeliling
ke sepenjuru desa. Chett mengumpat anjing-anjing itu dengan
lantang, suaranya disesaki kemarahan yang seolah tak pernah
reda. Cahaya yang menerobos dedaunan merah weirwood
membuat bisul-bisul di wajahnya terlihat lebih meradang
daripada biasanya. Ketika melihat Jon, matanya menyipit;
mereka tak pernah saling menyukai.
Rumah-rumah lainnya tidak menghasilkan apa pun.
"Hilang," pekik raven Mormont, terbang ke pohon weirwood
dan bertengger di atas mereka.?"Hilang, hilang, hilang."
"Baru setahun lalu ada orang-orang wildling di Pohon
Putih." Thoren Smallwood terlihat lebih menyerupai seorang
lord dibandingkan Mormont, terbungkus dalam zirah rantai
hitam mengilap dan pelat dada berpola timbul milik Ser
Jaremy Rykker. Jubah tebalnya berpinggiran kulit musang yang
mewah, dan dikencangkan dengan palu bersilang lambang
220 Klan Rykker, ditempa dari perak. Dulunya jubah Ser Jaremy"
tapi mayat hidup merenggut Ser Jaremy, dan Garda Malam tak
pernah menyia-nyiakan barang.
"Setahun lalu Robert masih bertakhta, dan kerajaan
ini damai," tandas Jarman Buckwell, lelaki pendiam dan kolot
yang memimpin regu pengintai. "Banyak yang bisa berubah
dalam waktu setahun."
"Satu hal belum berubah," Ser Mallador Locke
bersikeras. "Lebih sedikit wildling berarti lebih sedikit masalah.
Aku takkan berduka, apa pun yang terjadi pada mereka.
Mereka itu gerombolan penjarah dan pembunuh."
Jon mendengar bunyi berdesir dari dedaunan merah di
atas. Dua cabang terkuak, dan dia melihat lelaki kecil bergerak
dari dahan ke dahan semudah seekor tupai. Tinggi Bedwyck
tak lebih dari 152 cm, tapi larik-larik kelabu di rambutnya
menunjukkan usianya. Penjelajah lain menjulukinya Raksasa.
Dia duduk pada percabangan pohon di atas kepala mereka dan
berkata, "Ada air di sebelah utara. Danau, mungkin. Beberapa
bukit batu api menjulang di barat, tidak terlalu tinggi. Hanya
itu yang terlihat, tuan-tuan."
"Kita bisa berkemah di sini malam ini," usul Smallwood.
Si Beruang Tua menengadah, mencari sekelumit langit
di antara dahan-dahan yang pucat dan dedaunan merah
pohon weirwood. "Tidak," putusnya. "Raksasa, berapa lama lagi
sebelum hari gelap?"
"Tiga jam, my lord."
"Kita akan terus ke utara," Mormont memutuskan.
"Kalau kita tiba di danau itu, kita bisa berkemah di pantainya,
barangkali menangkap beberapa ikan. Jon, ambilkan kertas,
sudah lewat waktunya aku menulis untuk Maester Aemon."
Jon mengambil perkamen, pena bulu, dan tinta dalam
tas pelananya dan membawakan benda-benda itu untuk
sang Komandan. Di Pohon Putih, Mormont menulis.?Desa
keempat. Semuanya kosong. Orang-orang wildling sudah pergi.?"Cari
Tarly dan pastikan dia mengirim surat ini," kata Mormont
221 sembari menyerahkannya kepada Jon. Ketika dia bersiul,
si raven mengepak-ngepak turun dan mendarat di kepala
kudanya.? "Jagung," pinta si raven sambil mengangguk-angguk.
Kudanya meringkik. Jon menaiki kuda garron-nya, berbalik arah, dan berderap
pergi. Di luar naungan weirwood nan agung, para anggota
Garda Malam berdiri di bawah pohon-pohon yang lebih kecil,
mengurus kuda-kuda mereka, mengunyah carikan daging asin,
buang air, menggaruk-garuk, dan mengobrol. Ketika perintah
diberikan untuk bergerak lagi, obrolan terhenti, dan mereka
kembali ke pelana. Regu pengintai Jarman Buckwell maju
lebih dulu, dengan barisan depan di bawah pimpinan Thoren
Smallwood yang mengepalai barisan dengan rapi. Disusul si
Beruang Tua dengan pasukan utama, Ser Mallador Locke
dengan gerobak-gerobak barang dan kuda-kuda beban, terakhir
Ser Ottyn Wythers serta pengawal belakang. Dua ratus orang
seluruhnya, dengan jumlah kuda satu setengah kali lipatnya.
Pada siang hari mereka mengikuti jejak binatang
buruan dan dasar sungai yang kering, "jalan penjelajah"
yang menuntun mereka semakin jauh ke dalam belantara
daun dan akar. Pada malam hari mereka berkemah di bawah
langit berbintang dan memandangi komet di atas sana. Para
saudara hitam meninggalkan Kastel Hitam dalam suasana hati
yang riang, saling bercanda dan bertukar cerita, namun lamakelamaan Hening hutan yang muram sepertinya membuat
mereka semua murung. Lelucon semakin sedikit dan kesabaran
semakin pendek. Tak ada yang mau mengaku merasa takut"
bagaimanapun mereka adalah anggota Garda Malam"tapi Jon
dapat merasakan kegelisahan itu. Empat desa kosong, tidak ada
wildling di mana pun, bahkan binatang buruan seolah minggat.
Hutan angker tidak pernah terlihat seangker ini, bahkan para
penjelajah veteran mengakuinya.
Selagi berkuda, Jon mencopot sarung tangan untuk
menganginkan jari-jarinya yang terbakar. Jelek sekali jari-jari
ini.?Tiba-tiba dia ingat betapa dulu dia selalu mengacak-acak
222 rambut Arya. Adik perempuannya yang sekurus tongkat. Dia
bertanya-tanya bagaimana Arya menghadapi semua ini. Dia
jadi agak sedih memikirkan bahwa dia mungkin takkan pernah
mengacak-acak rambut gadis itu lagi. Dia mulai melenturkan
tangan, membuka dan menutup jemari. Jika membiarkan
tangan pedangnya menjadi kaku dan canggung, dia tahu itu
bisa membawa maut baginya. Orang membutuhkan pedangnya
di luar Tembok Besar. Jon menemukan Samwell Tarly bersama para pengurus
yang lain, sedang memberi minum kuda-kudanya. Ada tiga
kuda yang mesti diurusnya: kudanya sendiri serta dua kuda
beban, masing-masing mengangkut satu kandang besar dari
anyaman kawat dan ranting yang penuh burung raven. Burungburung itu mengepakkan sayap mereka saat Jon mendekat,
dan memekik-mekik kepadanya dari balik jeruji. Beberapa
pekikan secara mencurigakan terdengar seperti kata-kata. "Apa
kau mengajari mereka berbicara?" tanyanya kepada Sam.
"Beberapa kata. Tiga di antara mereka bisa bilang snow."
"Satu burung yang berkoak menyebut namaku sudah
cukup buruk," sahut Jon, "dan salju bukanlah hal yang ingin
didengar saudara hitam." Salju kerap berarti kematian di utara.
"Apakah ada sesuatu di Pohon Putih?"
"Tulang, abu, dan rumah-rumah kosong." Jon
menyerahkan gulungan perkamen kepada Sam. "Si Beruang
Tua ingin mengirim kabar untuk Aemon."
Sam mengambil seekor burung dari salah satu kandang,
membelai bulu-bulunya, mengikatkan pesan itu, dan berkata,
"Terbanglah pulang, burung pemberani. Pulang." Raven itu
balas berkoak mengatakan sesuatu yang tak dapat dimengerti,
dan Sam melontarkannya ke udara. Burung itu membubung
ke langit menerobos pepohonan. "Seandainya dia bisa
membawaku bersamanya."
"Masih?" "Yah," sahut Sam, "benar, tapi" aku tidak setakut dulu,
sungguh. Waktu malam pertama, setiap kali aku mendengar
223 seseorang bangun untuk buang air, kupikir itu wildling yang
mengendap-endap untuk menggorok leherku. Aku takut kalau
menutup mata, aku mungkin takkan pernah membukanya
lagi, tapi" yah" ternyata fajar tetap datang." Dia memaksakan
seulas senyum lesu. "Aku mungkin penakut, tapi aku tidak
bodoh.?Aku kesakitan dan punggungku nyeri karena berkuda
dan tidur di tanah, tapi aku hampir-hampir tidak takut. Lihat."
Dia mengulurkan tangan agar Jon melihat betapa mantapnya
tangan itu. "Aku terus mengerjakan peta-petaku."
Dunia ini aneh, pikir Jon. Dua ratus lelaki pemberani
meninggalkan Tembok Besar, dan satu-satunya yang tidak
bertambah takut adalah Sam, lelaki yang mengakui dirinya
pengecut. "Sebentar lagi kami bisa menjadikanmu penjelajah,"
dia bercanda. "Sesudah itu, kau bakal ingin menjadi pengawal
pasukan seperti Grenn. Apa aku perlu bicara dengan Beruang
Tua?" "Jangan berani-berani!" Sam menaikkan tudung jubah
hitamnya yang besar dan merayap dengan canggung kembali
ke punggung kuda. Itu kuda bajak yang besar, lamban, dan
kikuk, tapi lebih mampu menahan beban Sam dibandingkan
kuda garron kecil yang ditunggangi para penjelajah. "Tadinya
aku berharap kita bisa bermalam di desa ini," katanya murung.
"Pasti menyenangkan bisa tidur di bawah atap lagi."
"Terlalu sedikit atap untuk kita semua." Jon menaiki
kuda lagi, menyunggingkan senyum perpisahan kepada Sam,
dan berderap pergi. Barisan itu sudah jauh bergerak, sehingga
dia memutari desa lebar-lebar, menghindari bagian barisan
yang terpadat. Dia sudah cukup banyak melihat Pohon Putih.
Ghost muncul dari semak dengan begitu mendadak
sampai-sampai kuda garron Jon tersentak mundur dan
mendompak. Serigala putih itu berburu amat jauh dari
rombongan, tapi dia tidak lebih beruntung dibandingkan
regu pencari makan yang dikirim Smallwood untuk mengejar
binatang buruan. Hutan itu sekosong desa-desanya, tutur
Dywen suatu malam di depan api unggun. "Kita rombongan
224 yang besar," Jon waktu itu berkata. "Binatang buruan mungkin
kabur ketakutan mendengar keributan rombongan kita."
"Kabur ketakutan karena sesuatu, pastinya," ujar Dywen.
Begitu kuda tenang kembali, Ghost berlari menjajari
dengan mudah di sampingnya. Jon menyusul Mormont saat
sang Komandan tengah memutari gerumbul semak berduri.
"Burungnya sudah pergi?" tanya si Beruang Tua.
"Ya, my lord. Sam mengajari mereka berbicara."
Si Beruang Tua mendengus. "Dia akan menyesalinya.
Burung-burung sialan itu berisik sekali, tapi tak pernah
mengatakan hal yang layak didengar."
Mereka berkuda tanpa bersuara, sampai Jon berkata,
"Kalau pamanku juga menemukan desa-desa ini kosong?"
?"dia pasti akan bertekad mencari tahu penyebabnya,"
Lord Mormont menyelesaikan kalimat Jon, "dan kemungkinan
besar seseorang atau sesuatu tidak ingin penyebabnya diketahui.
Yah, jumlah kita akan menjadi tiga ratus saat Qhorin bergabung
dengan kita. Siapa pun musuh yang menunggu di luar sini
akan mendapati bahwa kita tidak mudah dihabisi. Kita akan
menemukan mereka, Jon, aku berjanji."
Atau mereka yang akan menemukan kita, pikir Jon.
j 225 ARYA S ungai itu laksana pita biru-hijau yang berkilau tertimpa
matahari pagi. Alang-alang reed tumbuh lebat dalam air
dangkal di sepanjang tepiannya, dan Arya melihat seekor ular
air melintas di permukaan, riak-riak menyebar di belakangnya
selagi binatang itu meluncur. Di atas sana seekor elang terbang
dalam lingkaran-lingkaran malas.
Sepertinya ini tempat yang damai" sampai Koss melihat
orang mati itu. "Di sana, di alang-alang." Dia menunjuk,
dan Arya melihatnya. Mayat seorang prajurit, tak berbentuk
dan bengkak. Jubah hijaunya yang basah kuyup menjuntai
pada batang kayu lapuk, dan kawanan ikan perak mungil
menggigiti wajahnya. "Sudah kubilang ada mayat," Lommy
mengumumkan. "Aku bisa merasakannya di air itu."
Ketika Yoren melihat mayat tersebut, dia meludah.
"Dobber, lihat apakah dia punya sesuatu yang layak untuk
diambil. Zirah rantai, pisau, sedikit koin, apa saja." Dia
memacu kuda kebirinya dan berderap menuju sungai, tapi
kuda itu kesulitan menapaki lumpur yang lembek dan setelah
hamparan alang-alang, airnya bertambah dalam. Yoren kembali
dengan marah, kudanya berlumur lumpur cokelat sampai ke
lutut. "Kita tidak akan menyeberang di sini. Koss, kau ikut
denganku ke hulu sungai, mencari arungan. Woth, Gerren,
226 kalian ke hilir. Yang lain menunggu di sini. Siagakan satu
penjaga." Dobber menemukan kantong koin dari kulit di sabuk
orang mati itu. Di dalamnya terdapat empat koin tembaga dan
saputangan kecil berisi rambut pirang yang diikat dengan pita
merah. Lommy dan Tarber melucuti pakaian dan mencebur ke
air, Lommy meraup segenggam lumpur licin dan melemparnya
ke Pai Panas sambil berteriak, "Pai Lumpur! Pai Lumpur!"
Di bagian belakang pedati mereka, Rorge mengumpat dan
mengancam, menyuruh mereka melepaskan rantainya
sementara Yoren pergi, tapi tidak ada yang memedulikannya.
Kurz menangkap ikan dengan tangan telanjang. Arya melihat
cara Kurz melakukannya, berdiri di genangan yang dangkal,
setenang air dalam, tangannya melesat secepat ular ketika ikan
itu berenang di dekatnya. Sepertinya tidak sesulit menangkap
kucing. Ikan tidak punya cakar.
Sudah tengah hari ketika yang lain kembali. Woth
melaporkan ada jembatan kayu setengah mil ke hilir, tapi


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang sudah membakarnya. Yoren mencomot daun masam
dari bal. "Mungkin kita bisa menyeberangkan kuda-kuda
dengan mengarungi air, mungkin keledai-keledai juga bisa,
tapi tidak mungkin kita bisa menyeberangkan pedati-pedati
itu. Dan ada asap di sebelah utara dan barat, lebih banyak api,
barangkali sisi sungai ini adalah tempat yang aman untuk kita."
Dia memungut ranting panjang dan menggambar lingkaran
di lumpur, lalu menarik satu garis ke bawah. "Itu Mata Para
Dewa, dengan sungai yang mengalir ke selatan. Kita di sini."
Dia menusukkan satu lubang di samping garis sungai, di bawah
lingkaran. "Kita tidak bisa berputar di sebelah barat danau,
seperti yang kukira. Timur membawa kita kembali ke jalan
raja." Dia menggerakkan ranting ke tempat garis dan lingkaran
bertemu. "Lebih dekat dari yang kuingat, ada kota di sini. Kubu
pertahanannya dari batu, dan ada bangsawan rendah yang
berkuasa di sana, hanya rumah menara, tapi dia pasti punya
penjaga, mungkin satu atau dua kesatria. Jika menyusuri sungai
227 ke utara, kita bisa tiba di sana sebelum gelap. Mereka pasti
punya beberapa perahu, jadi aku bermaksud menjual semua
yang kita miliki dan menyewa satu perahu." Dia menggoreskan
ranting menembus lingkaran danau, dari bawah ke atas. "Jika
para dewa berbaik hati, arah angin akan mendukung dan kita
bisa berlayar menyeberangi Mata Para Dewa ke Harrentown."
Dia menancapkan ujung rating ke bagian atas lingkaran. "Kita
bisa membeli kuda-kuda baru di sana, atau menumpang tinggal
di Harrenhal. Itu pusat kekuasaan Lady Whent, dan dia selalu
berteman dengan Garda."
Mata Pai Panas membelalak. "Ada hantu-hantu di
Harrenhal?" Yoren meludah. "Itu untuk hantu-hantumu." Dia
melemparkan ranting ke lumpur. "Naik ke kuda."
Arya ingat kisah-kisah yang diceritakan Nan Tua tentang
Harrenhal. Raja Harren yang zalim mengurung diri di dalam
kastel, maka Aegon melepaskan naga-naganya dan mengubah
kastel itu menjadi api unggun besar. Nan bilang roh-roh
berapi masih menghantui menara-menara yang menghitam.
Kadang-kadang orang tidur dengan aman di ranjang mereka
dan ditemukan mati pada pagi hari, hangus terbakar. Arya
tidak memercayainya, lagi pula semua itu sudah terjadi lama
berselang. Pai Panas konyol sekali; bukan hantu yang ada di
Harrenhal, tetapi kesatria-kesatria.?Arya bisa mengungkapkan
jati dirinya kepada Lady Whent, dan para kesatria akan
mengawalnya pulang serta menjaganya tetap aman. Itulah yang
dilakukan kesatria; mereka menjaga kita tetap aman, terutama
jika kita perempuan. Mungkin Lady Whent bahkan bersedia
menolong si gadis menangis.
Jalur sungai bukanlah jalan raja, namun tidak terlalu
buruk jika dibandingkan, dan sekali ini pedati-pedati
meluncur dengan lancar. Mereka melihat rumah pertama satu
jam sebelum malam turun, pondok kecil beratap jerami yang
nyaman, dikelilingi ladang-ladang gandum. Yoren berkuda
mendahului rombongan, memanggil-manggil, tapi tidak ada
228 jawaban. "Mati, mungkin. Atau bersembunyi. Dobber, Rey,
ikut aku." Ketiga lelaki itu masuk ke pondok. "Periuk-periuk
menghilang, tidak ada tanda-tanda koin yang ditinggalkan,"
gerutu Yoren saat mereka kembali. "Tidak ada binatang.
Kemungkinan besar kabur. Bisa jadi kita sempat bertemu
mereka di jalan raja." Setidaknya rumah dan ladangnya
tidak dibakar, dan tidak ada mayat bergelimpangan. Tarber
menemukan kebun di belakang, dan mereka memetik
bawang serta lobak lalu mengisi karung dengan kubis sebelum
melanjutkan perjalanan. Sedikit lebih jauh dari sana, mereka melihat pondok
pekerja hutan, dikelilingi pepohonan tua dan tumpukan
rapi gelondong kayu yang siap dibelah, sesudah itu rumah
panggung yang condong di atas sungai bertopang tiang-tiang
setinggi tiga meter, kedua rumah itu kosong. Mereka melewati
ladang-ladang lagi, gandum, jagung, dan jelai yang bernas di
bawah sinar matahari, tapi di sini tidak ada yang duduk di
pepohonan, atau berjalan di antara barisan tanaman dengan
membawa sabit. Akhirnya kota itu muncul dalam pandangan;
sekelompok rumah putih menyebar di sekeliling tembok kubu
pertahanan, sebuah kuil besar beratap sirap, rumah menara
sang penguasa kota memuncaki bukit kecil di sebelah barat...
dan tidak terlihat ada orang di mana pun.
Yoren duduk di kudanya, merengut di balik janggut
yang kusut. "Tidak suka," tukasnya, "tapi tempat itulah yang
kita tuju. Kita akan memeriksanya. Memeriksa dengan cermat.
Siapa tahu ada orang yang bersembunyi. Siapa tahu mereka
meninggalkan perahu, atau senjata yang dapat kita gunakan."
Saudara hitam itu meninggalkan sepuluh orang untuk
menjaga pedati-pedati dan si gadis kecil yang menangis, lalu
membagi sisanya menjadi empat kelompok berisi lima orang
untuk memeriksa kota itu. "Buka mata dan telinga lebar-lebar,"
dia memperingatkan mereka sebelum berderap menuju rumah
menara untuk melihat apakah ada tanda-tanda kehadiran sang
bangsawan maupun para pengawalnya.
229 Arya mendapati dirinya sekelompok dengan Gendry,
Pai Panas, dan Lommy. Woth yang pendek dan gemuk dengan
perut sebulat periuk pernah mengayuh dayung di kapal besar,
menjadikannya anggota rombongan yang paling mendekati
pelaut, maka Yoren menyuruhnya membawa mereka ke tepi
danau dan melihat apakah mereka bisa menemukan perahu.
Sewaktu mereka bergerak di antara rumah-rumah putih yang
sunyi, bulu-bulu halus di lengan Arya berdiri. Kota kosong ini
menakutinya nyaris sebesar kubu pertahanan hangus tempat
mereka menemukan gadis yang menangis itu dan perempuan
berlengan satu. Mengapa orang pergi meninggalkan rumah
mereka dan segalanya" Apa kiranya yang membuat mereka
begitu ketakutan" Matahari sudah condong ke barat, dan rumah-rumah itu
menerakan bayang-bayang gelap yang panjang. Bunyi bantingan
mendadak membuat Arya meraih Needle, tapi ternyata hanya
daun jendela yang tertiup angin. Setelah wilayah tepi sungai
yang terbuka, kungkungan kota membuatnya resah.
Ketika melihat danau di depan sana di antara rumahrumah dan pepohonan, Arya menempelkan lutut ke kudanya,
mencongklang melewati Woth dan Gendry. Dia melaju
memasuki hamparan rumput pendek di tepi danau yang
berkerikil. Matahari terbenam membuat permukaan air yang
tenang berkilauan bagai selembar tembaga pipih. Itu danau
terbesar yang pernah dia lihat, dan pantai di seberangnya
sama sekali tidak tampak. Dia melihat penginapan pengelana
di sebelah kirinya, dibangun di atas air bertopang tiang-tiang
kayu tebal. Di sebelah kanannya dermaga panjang menganjur
ke danau, dan ada dermaga-dermaga lain lebih jauh ke timur,
bagaikan jari-jari kayu yang terentang dari kota. Tapi satusatunya perahu yang terlihat adalah perahu dayung terbalik
yang ditelantarkan pada bebatuan di bawah penginapan,
bagian lunasnya sudah sangat lapuk. "Mereka sudah pergi,"
kata Arya dengan masygul. Apa yang mesti mereka lakukan
sekarang" 230 "Ada penginapan," Lommy berkata, saat yang lain sudah
menyusul. "Menurut kalian mereka meninggalkan makanan"
Atau ale?" "Kita lihat saja," usul Pai Panas.
"Tidak usah meributkan penginapan," bentak Woth.
"Yoren bilang kita harus mencari perahu."
"Mereka membawa semua perahu." Entah bagaimana
Arya tahu itu benar; mereka bisa saja menggeledah seluruh
kota, tapi mereka hanya akan menemukan perahu dayung
terbalik itu. Dengan putus asa, Arya turun dari kuda dan
berlutut di tepi danau. Air memukul-mukul lembut di sekeliling
kakinya. Beberapa serangga api-api bermunculan, titik-titik
cahaya mereka berkedip-kedip. Air yang hijau sehangat air
mata, tapi tidak terasa asin. Rasanya seperti musim panas,
lumpur, dan hal-hal yang tumbuh. Arya mencelupkan wajah
ke air untuk membilas debu, kotoran, dan keringat sepanjang
hari itu. Ketika dia mengangkat kepala lagi, air menetes-netes
ke tengkuk dan ke bawah leher. Rasanya menyenangkan. Dia
berharap bisa melucuti pakaiannya dan berenang, meluncur di
air yang hangat seperti berang-berang merah muda yang kurus.
Barangkali dia bisa berenang sampai ke Winterfell.
Woth meneriakinya untuk membantu mencari, maka
dia pun mencari, melongok ke dalam rumah-rumah perahu
dan gudang-gudang sementara kudanya merumput di pinggir
danau. Mereka menemukan beberapa layar, beberapa paku,
ember-ember berisi ter yang mengeras, dan seekor induk kucing
dengan anak-anaknya yang baru lahir. Tapi tidak ada perahu.
Kota itu sudah segelap hutan ketika Yoren dan yang
lain muncul lagi. "Menaranya kosong," dia berkata. "Sang lord
pergi berperang, mungkin, atau membawa rakyatnya ke tempat
aman, kita tak mungkin tahu. Tak ada kuda atau babi yang
tersisa di kota, tapi kita akan makan. Aku lihat seekor angsa
berkeliaran tadi, dan beberapa ayam, juga ikan yang bagus di
Mata Para Dewa." "Semua perahu menghilang," lapor Arya.
231 "Kita bisa menambal bagian lunas perahu dayung itu,"
ujar Koss. "Mungkin hanya cukup untuk empat orang," sahut
Yoren. "Ada paku," Lommy mengingatkan. "Dan pohon di
mana-mana. Kita bisa membuat perahu untuk kita semua."
Yoren meludah. "Kau paham soal membuat perahu,
bocah pencelup?" Wajah Lommy tampak kosong.
"Rakit," usul Gendry. "Siapa pun bisa membuat rakit,
dan galah-galah panjang untuk mendorong."
Yoren tampak merenungkannya. "Danau terlalu dalam
untuk diseberangi dengan mendorong galah, tapi kalau kita
tetap berada di air yang dangkal dekat tepiannya" itu berarti
pedati-pedati harus ditinggal. Barangkali itu yang terbaik. Akan
kupikirkan malam ini."
"Bisakah kita bermalam di penginapan?" tanya Lommy.
"Kita akan bermalam di kubu pertahanan, dengan
gerbang dipalang," lelaki tua itu menyahut. "Aku senang
merasakan dinding batu melindungiku saat aku tidur."
Arya tak dapat menahan diri. "Kita tak boleh tinggal
di sini," semburnya. "Orang-orang ini tidak tinggal. Mereka
semua melarikan diri, bahkan lord mereka."
"Arry takut," seru Lommy, terkekeh-kekeh.
"Tidak," sergah Arya, "tapi mereka takut."
"Bocah pintar," kata Yoren. "Masalahnya, orangorang yang tinggal di sini sedang berperang, suka atau tidak.
Sedangkan kita tidak. Garda Malam tidak melibatkan diri, jadi
kita tak punya musuh."
Dan tak punya teman, Arya membatin, tapi kali ini dia
menahan lidah. Lommy dan yang lain mengamatinya, dan dia
tak ingin terlihat ketakutan di depan mereka.
Gerbang kubu pertahanan itu dipasangi paku-paku
besi. Di dalam, mereka menemukan sepasang palang besi
seukuran pohon muda, dengan lubang-lubang tonggak di
232 tanah dan penopang logam pada gerbang. Saat palang-palang
itu dipasang pada penopang, terbentuklah penahan berbentuk
X besar. Ini bukan Benteng Merah, Yoren mengumumkan
saat mereka menjelajahi kubu pertahanan dari atas ke bawah,
tapi lebih baik dibandingkan sebagian besar tempat, dan amat
layak untuk ditinggali satu malam. Dindingnya dari batu kasar
tanpa mortar setinggi tiga meter, dengan jalan sempit dari kayu
di bagian dalam tembok bergerigi. Ada gerbang samping di
sebelah utara, dan Gerren menemukan pintu tingkap di bawah
tumpukan jerami dalam gudang kayu tua yang mengarah ke
terowongan sempit berliku-liku. Dia menyusurinya cukup jauh
di bawah tanah dan muncul di tepi danau. Yoren menyuruh
mereka mendorong pedati sampai menutupi pintu tingkap,
untuk memastikan tidak ada yang datang dari arah itu. Dia
membagi mereka menjadi tiga kelompok jaga, lalu mengirim
Tarber, Kurz, dan Cutjack ke rumah menara yang kosong
untuk mengawasi dari ketinggian. Kurz membawa sangkakala
berburu untuk ditiup jika bahaya mengancam.
Mereka membawa pedati-pedati dan kuda-kuda ke dalam
lalu memalang gerbang di belakang mereka. Gudang itu sudah
bobrok, tapi cukup besar untuk menampung setengah hewan
di kota. Rumah singgah, tempat penduduk kota berlindung
pada masa-masa sulit bahkan lebih besar lagi, bangunan batu
yang rendah dan panjang dengan atap jerami. Koss keluar dari
gerbang samping dan kembali dengan membawa angsa serta
dua ekor ayam, dan Yoren mengizinkan mereka menyalakan api
untuk memasak. Ada dapur besar di dalam kubu pertahanan,
walaupun semua periuk dan ceret sudah dibawa pergi.
Gendry, Dobber, dan Arya membagi tugas memasak. Dobber
menyuruh Arya mencabuti bulu unggas sedangkan Gendry
membelah kayu. "Kenapa bukan aku yang membelah kayu?"
tanyanya, tapi tak ada yang mendengarkan. Dengan gusar dia
mulai mencabuti bulu ayam sementara Yoren duduk di ujung
bangku, menajamkan parangnya dengan batu asah.
Ketika makanan sudah siap, Arya menyantap sepotong
233 paha ayam dan sedikit bawang bombai. Tak ada yang banyak
bicara, bahkan Lommy. Gendry memisahkan diri sesudahnya,
memoles helm dengan ekspresi wajah seakan-akan dia tidak
sedang berada di sana. Si gadis menangis merengek dan tersedusedu, tapi waktu Pai Panas menawarkan sepotong daging angsa
dia melahapnya dan meminta lagi.
Arya mendapat jatah tugas jaga kedua, jadi dia memilih
kasur jerami di rumah singgah. Tidur tidak segera datang, maka
dia meminjam batu Yoren dan mulai mengasah Needle. Syrio
Forel pernah bilang bahwa pedang yang tumpul seperti kuda
yang lemah. Pai Panas berjongkok di kasur di sebelah Arya,
mengawasinya bekerja. "Dari mana kau dapat pedang bagus
seperti itu?" tanyanya. Ketika melihat tatapan tajam Arya, dia
mengangkat tangan tanda membela diri. "Aku tak pernah
bilang kau mencurinya, aku hanya ingin tahu dari mana kau
mendapatkannya, itu saja."
"Pemberian saudara lelakiku," gumam Arya.
"Aku tidak tahu kau punya saudara lelaki."
Arya berhenti untuk menggaruk di balik tuniknya. Ada
kutu di kasur jerami, walaupun dia sadar tak ada bedanya
beberapa tambahan kutu lagi. "Aku punya banyak saudara


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lelaki." "Oh ya" Lebih besar darimu, atau lebih kecil?"
Seharusnya aku tidak bicara seperti ini. Yoren bilang aku
harus tutup mulut.?"Lebih besar," dustanya. "Mereka juga punya
pedang, pedang panjang yang besar, dan mereka mengajariku
cara membunuh orang yang menggangguku."
"Aku cuma bicara, bukan mengganggu." Pai Panas
meninggalkannya dan Arya meringkuk di kasur jerami.
Dia bisa mendengar si gadis menangis dari sisi jauh rumah
singgah.? Seandainya dia bisa diam. Kenapa dia harus menangis
tanpa henti" Arya pasti tertidur, walaupun dia tak ingat kapan
memejamkan mata. Dia bermimpi ada serigala melolong, dan
suaranya begitu menggentarkan sehingga langsung membuatnya
234 terjaga. Arya duduk tegak di kasur dengan jantung berdebar.
"Pai Panas, bangun." Arya terhuyung-huyung berdiri. "Woth,
Gendry, kalian tidak dengar?" Dia mengenakan sebelah sepatu
bot. Di sekelilingnya, lelaki-lelaki dewasa dan bocah-bocah
bergerak di kasur mereka. "Ada apa?" tanya Pai Panas. "Dengar
apa?" Gendry bertanya. "Arry bermimpi buruk," seseorang
berkata. "Tidak, aku mendengarnya," dia menyergah. "Serigala."
"Arry mengkhayalkan serigala," ejek Lommy. "Biar
saja mereka melolong," ujar Gerren, "mereka di luar sana,
kita di sini." Woth setuju. "Tak pernah lihat ada serigala bisa
menerobos kubu pertahanan." Pai Panas berkata, "Aku tidak
dengar apa-apa." "Itu serigala." Arya berseru kepada mereka sambil
memasang sepatu bot yang sebelah lagi. "Ada yang salah, ada
orang datang, cepat bangun!"
Sebelum mereka sempat mengolok-oloknya lagi, suara
itu merobek keheningan malam"hanya saja kali ini bukan
suara serigala, tapi Kurz yang meniup sangkakala berburu,
memperingatkan bahaya. Dalam satu debaran jantung, mereka
semua memakai baju dan menyambar senjata apa pun yang
mereka miliki. Arya berlari ke gerbang saat sangkakala berbunyi
lagi. Saat dia melesat melewati gudang, Biter menyentaknyentak rantainya dengan marah, dan Jaqen H"ghar berteriakteriak dari bagian belakang pedati mereka. "Bocah! Bocah
manis! Apakah ini perang, perang merah" Bocah, bebaskan
kami. Kami bisa bertarung.?Bocah!" Arya mengabaikan mereka
dan terus berlari. Saat itu dia dapat mendengar bunyi kuda dan
teriakan di luar dinding.
Dia merayap naik ke jalan dinding. Baluartinya
agak terlalu tinggi dan Arya agak terlalu pendek; dia mesti
menyelipkan jari-jari kaki ke lubang di antara batu untuk
melihat ke bawah. Sesaat dia mengira kota itu dipenuhi
serangga api-api. Lalu dia menyadari bahwa itu rombongan
235 orang yang membawa obor, berderap kencang di antara rumahrumah. Dia melihat satu atap meletup, api menjilati perut
malam dengan lidah-lidah jingga panas saat jerami terbakar.
Disusul atap berikutnya, lalu berikutnya lagi, dan tak lama
kemudian api berkobar di mana-mana.
Gendry memanjat naik ke sampingnya, mengenakan
helm. "Berapa banyak?"
Arya mencoba menghitung, tapi mereka berkuda
terlalu kencang, obor-obor berputar di udara saat mereka
melemparkannya. "Seratus," dia berkata. "Dua ratus, entahlah."
Di antara raungan api, dia dapat mendengar teriakan. "Mereka
akan segera mendatangi kita."
"Itu," kata Gendry sambil menunjuk.
Pasukan penunggang kuda bergerak di antara bangunanbangunan terbakar menuju kubu pertahanan. Pantulan cahaya
api mengerlap pada helm-helm logam, memerciki zirah rantai
serta pelat mereka dengan pendar jingga dan kuning. Satu
orang membawa panji yang terikat di lembing tinggi. Menurut
Arya panji itu merah, tapi sulit memastikannya pada malam
hari, dengan api yang meraung-raung di sekitarnya. Segala hal
seolah berwarna merah, hitam, atau jingga.
Api melompat dari satu rumah ke rumah lain. Arya
melihat sebatang pohon terbakar, api merambati cabangcabangnya sampai pohon itu tegak berlatar langit malam
berselubung jubah jingga yang hidup. Semua orang sudah
bangun sekarang, berjaga di jalan dinding atau berjuang
mengendalikan binatang-binatang yang ketakutan di bawah
sana. Dia bisa mendengar Yoren meneriakkan perintah.
Sesuatu menubruk kaki Arya, dia menunduk dan mendapati
si gadis menangis mencengkeramnya. "Menyingkirlah!" Arya
mengguncangkan kaki hingga lepas dari gadis itu. "Apa yang
kaulakukan di atas sini" Cepat lari dan cari tempat sembunyi,
bodoh." Didorongnya gadis itu pergi.
Para penunggang kuda berhenti di depan gerbang.
"Kalian di dalam kubu!"?seru seorang kesatria berhelm tinggi
236 dengan puncak berpaku. "Buka, atas nama sang raja!"
"Aye, dan raja yang manakah itu?" Reysen tua balas
berseru, sebelum Woth membekapnya agar tidak bersuara.
Yoren naik ke tembok bergerigi di samping gerbang,
jubah hitamnya yang kusam diikatkan ke tongkat kayu. "Kalian
tak perlu maju lagi!"?dia berteriak.?"Penduduk kota sudah pergi."
"Dan siapakah kau, pak tua" Salah satu pengecut
pengikut Lord Beric?" seru kesatria dengan helm berpaku.
"Kalau Thoros gendut yang tolol itu ada di dalam sana,
tanyakan apakah dia suka api ini."
"Tak ada orang bernama itu di sini," Yoren balas berseru.
"Hanya beberapa pemuda untuk Garda. Tak ada urusannya
dengan perang kalian." Dia menaikkan tongkat agar mereka
semua bisa melihat warna jubahnya. "Lihatlah. Ini hitam,
lambang Garda Malam."
"Atau hitam lambang Klan Dondarrion," seru lelaki
yang membawa panji musuh. Arya bisa melihat warnanya
dengan lebih jelas sekarang dalam cahaya kota yang terbakar:
singa emas berlatar merah. "Simbol Lord Beric adalah kilatan
petir dengan latar hitam."
Tiba-tiba Arya teringat pagi ketika dia melempar jeruk ke
wajah Sansa dan cairannya mengotori gaun sutra putih gading
yang tolol itu. Ada bangsawan muda dari selatan di turnamen
perang, dan Jeyne, teman kakaknya yang tolol, jatuh cinta
pada pemuda itu. Bangsawan itu membawa perisai bergambar
kilatan petir dan Ayah mengirimnya untuk memancung kakak
si Anjing. Sekarang rasanya sudah seribu tahun berlalu, sesuatu
yang terjadi kepada orang lain dalam kehidupan yang lain"
kepada Arya Stark putri Tangan Kanan Raja, bukan Arry si
bocah yatim piatu. Mana mungkin Arry mengenal para lord
dan semacamnya" "Apa kau buta, Bung?" Yoren melambai-lambaikan
tongkatnya, membuat jubah itu berkibar. "Apa kau melihat
kilatan petir terkutuk?"
"Pada malam hari semua panji terlihat hitam," ujar
237 kesatria dengan helm berpaku. "Buka, atau kami akan
menganggap kalian pelanggar hukum yang berkomplot dengan
musuh-musuh Raja." Yoren meludah. "Siapa pemimpinmu?"
"Aku." Pantulan rumah-rumah terbakar berkilau
pudar pada zirah kuda perangnya saat yang lain menyingkir
untuk membiarkannya lewat. Dia lelaki kekar dengan simbol
manticore pada perisainya, dan hiasan dengan pola melingkar
terpampang pada pelat dada dari baja. Dari klep terbuka di
helmnya, wajah pucat serupa babi menatap ke atas. "Ser
Amory Lorch, pengikut Lord Tywin Lannister dari Casterly
Rock, Tangan Kanan Raja. Raja yang sah, Joffrey." Suaranya
tinggi dan tipis. "Atas nama sang raja, kuperintahkan kalian
membuka gerbang ini."
Di sekeliling mereka, kota terbakar. Udara malam penuh
asap, dan bara merah yang melayang-layang mengalahkan
jumlah bintang di langit. Yoren membersut. "Tak melihat
ada perlunya. Lakukan saja apa yang kau mau pada kota itu,
tak ada artinya bagiku, tapi jangan ganggu kami. Kami bukan
musuh kalian." Lihat dengan matamu, Arya ingin berteriak pada orangorang di bawah sana. "Tak bisakah mereka melihat kita bukan
lord atau kesatria?" dia berbisik.
"Kurasa mereka tak peduli, Arry," Gendry balas berbisik.
Lalu Arya menatap wajah Ser Amory, dengan cara yang
diajarkan Syrio kepadanya, dan dia menyadari bahwa Gendry
benar. "Kalau kalian bukan pengkhianat, buka gerbangnya,"
Ser Amory berseru. "Kami akan memastikan kalian berkata
jujur lalu pergi dari sini."
Yoren mengunyah daun masam. "Sudah kubilang, tak
ada siapa-siapa di sini selain kami. Kau bisa percaya padaku."
Kesatria dengan helm berpaku tertawa. "Si gagak
menyuruh kita percaya padanya."
"Kau tersesat, pak tua?" ejek salah seorang penombak.
238 "Tembok Besar masih jauh ke utara dari sini."
"Kuperintahkan sekali lagi, atas nama Raja Joffrey,
untuk membuktikan kesetiaan yang kauucapkan dan membuka
gerbang ini," kata Ser Amory.
Untuk waktu yang lama Yoren merenungkannya sambil
mengunyah. Lalu dia meludah. "Kurasa tidak."
"Baiklah kalau begitu. Kau menolak perintah sang raja,
dan dengan demikian menyatakan diri sebagai pemberontak,
jubah hitam atau bukan."
"Di sini ada anak-anak," Yoren berteriak ke bawah.
"Anak-anak dan orang tua sama saja matinya." Ser
Amory mengangkat tinju yang lemah, dan sebuah tombak
terlontar dari bayang-bayang seterang api di belakangnya.
Yoren pasti menjadi target, tapi tombak itu malah mengenai
Woth di sampingnya. Kepala tombak menghunjam lehernya
dan tembus hingga ke belakang, gelap dan basah. Woth
mencengkeram gagang tombak, lalu jatuh tanpa nyawa dari
jalan dinding. "Serbu tembok itu dan bunuh mereka semua," Ser
Amory memerintah dengan suara bosan. Lebih banyak
tombak beterbangan. Arya menarik Pai Panas ke bawah dengan
menyambar bagian belakang tuniknya. Dari luar terdengar
kertak-kertak baju zirah, goresan pedang pada sarung, hantaman
tombak pada perisai, berbaur dengan kata-kata umpatan dan
derap kaki kuda yang berlari. Sebuah obor melayang berputarputar di atas kepala mereka, menyeret sulur-sulur api saat obor
itu berdebuk jatuh ke tanah di halaman kastel.
"Anak-anak!"?Yoren berteriak. "Menyebar, pertahankan
dinding di mana pun mereka menyerang. Koss, Urreg, jaga
pintu samping. Lommy, tarik tombak itu dari leher Woth dan
gantikan tempatnya berjaga."
Pai Panas menjatuhkan pedang pendeknya saat berusaha
mengeluarkan senjata itu dari sarung. Arya mendorong kembali
pedang itu ke tangannya. "Aku tak tahu cara bertarung dengan
pedang," katanya dengan mata membelalak.
239 "Mudah saja," sahut Arya, tapi kebohongan itu tertelan
kembali saat sebuah tangan mencengkam puncak baluarti.
Dia melihatnya dalam cahaya kota yang terbakar, begitu jelas
sehingga waktu seakan-akan berhenti. Jari-jari di tangan itu
kasar, kapalan, bulu-bulu hitam kusut tumbuh di antara buku
jari, ada kotoran di bawah kuku ibu jarinya. Rasa takut mengiris
lebih dalam ketimbang pedang, Arya mengingat-ingat selagi
puncak helm bulat muncul di belakang tangan itu.
Dia menebas kuat-kuat, dan baja Needle yang ditempa
di kastel menetak jemari yang mencengkam, di antara bukubuku jari. "Winterfell!"?pekiknya. Darah menyembur, jarijari beterbangan, dan wajah berhelm itu menghilang secepat
munculnya. "Di belakang!" Pai Panas berteriak. Arya berputar.
Lelaki kedua berjanggut dan tanpa helm, parangnya digigit
agar kedua tangannya bebas memanjat dinding. Saat lelaki
itu mengayunkan kaki melewati baluarti, Arya menodongkan
ujung pedang ke matanya. Needle tak pernah menyentuh lelaki
itu; dia terhuyung mundur dan jatuh.?Kuharap dia jatuh dengan
muka lebih dulu dan lidahnya terpotong.?"Awasi mereka, bukan aku!"
dia meneriaki Pai Panas. Kali berikutnya seseorang mencoba
memanjat bagian tembok mereka, Pai Panas menghantam
tangannya dengan pedang pendek sampai lelaki itu terjatuh.
Ser Amory tak punya tangga, tapi dinding kubu
pertahanan permukaannya kasar dan tidak dimortar, mudah
dipanjat, sehingga musuh berdatangan seolah tanpa akhir.
Untuk setiap orang yang ditebas, ditikam, atau didorong oleh
Arya, orang lain menggantikannya naik ke dinding. Kesatria
dengan helm berpaku tiba di dinding pertahanan, tapi Yoren
melilitkan panji hitamnya di paku lelaki itu, dan menusukkan
ujung parang menembus zirahnya sementara lelaki itu
berjuang melawan kain. Setiap kali Arya menengadah, lebih
banyak obor beterbangan, menyeret lidah-lidah api panjang
yang menjulur di belakang matanya. Dia melihat singa emas
pada panji merah dan memikirkan Joffrey, berharap raja bocah
itu ada di sini agar dia bisa menusukkan Needle ke wajah
240 culasnya. Ketika empat lelaki menyerang gerbang dengan
kapak, Koss menumbangkan mereka dengan panah, satu demi
satu. Dobber bergulat menjatuhkan seorang lelaki dari jalan
dinding, dan Lommy menghantam kepalanya dengan batu
sebelum lelaki itu bisa bangkit lagi, lalu bersorak-sorak sampai
dia melihat pisau di perut Dobber dan menyadari bahwa
temannya juga tidak akan bangkit. Arya melompati pemuda
mati yang tidak lebih tua dari Jon, tergeletak dengan lengan
putus. Arya merasa bukan dia yang membunuhnya, tapi dia
tidak yakin. Dia mendengar Qyle memohon ampun sebelum
seorang kesatria dengan perisai bertanduk menghantam
wajahnya dengan gada berpaku. Segala hal berbau darah, asap,
besi, dan urine, tapi setelah beberapa waktu sepertinya hanya
ada satu bau. Arya tidak melihat bagaimana lelaki kurus itu
bisa melompati dinding, tapi saat dia melakukannya, Arya
menyerbu lelaki itu bersama Gendry dan Pai Panas. Pedang
Gendry memecahkan helm lelaki itu, merenggutkannya
dari kepala. Di balik helm, lelaki itu botak dan wajahnya
ketakutan, dengan gigi tanggal dan janggut kelabu yang kotor,
tapi meskipun merasa iba padanya Arya tetap membunuhnya,
sambil memekik "Winterfell! Winterfell!" sementara Pai Panas
berseru "Pai Panas!"?di sampingnya selagi dia menebas leher
kurus lelaki itu. Setelah lelaki kurus itu mati, Gendry mencuri pedangnya
lalu melompat turun ke halaman untuk bertarung lagi. Arya
memandang melewatinya, dan melihat bayang-bayang baja
berlari melintasi kubu pertahanan, kilau cahaya api memantul
dari zirah rantai dan pedang, dan dia tahu bahwa mereka


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menerobos dinding di suatu tempat, atau mendobrak
masuk melalui pintu samping. Dia melompat turun ke
samping Gendry, mendarat dengan cara yang diajarkan Syrio
kepadanya. Malam riuh dengan dentang baja serta jeritan
orang-orang yang terluka dan sekarat. Untuk sesaat Arya
berdiri dengan ragu, tidak tahu arah mana yang harus dituju.
Kematian mengepungnya. 241 Kemudian Yoren datang, mengguncangnya, menjerit
di depan wajahnya.?"Buyung!"?dia berteriak, seperti dia selalu
meneriakkannya. "Keluar, sudah selesai, kita kalah. Kumpulkan
semua yang kau bisa. Kau, dia, dan yang lain, bocah-bocah itu,
bawa mereka keluar. Sekarang!"
"Bagaimana?" cetus Arya.
"Pintu tingkap," jerit Yoren. "Di bawah gudang."
Dalam sekejap lelaki itu sudah menghilang, siap
bertarung lagi, dengan pedang di tangan. Arya menyambar
lengan Gendry. "Dia menyuruh pergi," teriaknya, "gudang,
jalan keluar." Dari celah di helmnya, mata si Banteng
berpendar dengan pantulan api. Pemuda itu mengangguk.
Mereka memanggil Pai Panas agar turun dari dinding dan
menemukan Lommy Tangan Hijau di tempatnya tergeletak
berdarah akibat tombak yang menancap di betis. Mereka juga
menemukan Gerren, tapi dia terluka terlalu parah untuk
bergerak. Sewaktu mereka berlari menuju gudang, Arya melihat
si gadis menangis duduk di tengah kerusuhan itu, dikelilingi
asap dan pembantaian. Dia menyambar tangan gadis itu dan
menariknya berdiri sementara yang lain terus berlari. Gadis itu
tak mau berjalan, bahkan setelah ditampar. Arya menyeretnya
dengan tangan kanan sementara tangan kirinya mencengkeram
Needle. Di depan sana, malam merah membara. Gudang
terbakar, pikirnya. Lidah api menjilati sisi-sisi gudang tempat
sebuah obor jatuh di jerami, dan dia bisa mendengar jeritan
binatang-binatang yang terperangkap di dalam. Pai Panas
melangkah keluar dari gudang. "Arry, cepatlah!?Lommy sudah
pergi, tinggalkan gadis itu kalau dia tak mau ikut!"
Dengan keras kepala, Arya menyeretnya semakin kuat,
menghela si gadis menangis bersamanya. Pai Panas berlari
kembali ke dalam, meninggalkan mereka... tapi Gendry
kembali, api memantul begitu cemerlang pada helm yang
mengilap sehingga kedua tanduknya seakan-akan berpijar
jingga. Gendry berlari mendekat lalu membopong si gadis
menangis di bahunya.?"Lari!"
242 Menerjang masuk dari pintu gudang rasanya seperti
berlari ke dalam tungku pembakaran. Udara berpusar-pusar
dengan asap, dinding belakang bagaikan tirai api dari tanah
ke atap. Kuda dan keledai mereka menendang-nendang,
mendompak, dan menjerit. ?Binatang-binatang malang, pikir
Arya. Kemudian dia melihat pedati itu, serta tiga lelaki yang
dibelenggu ke lantainya. Biter menyentakkan rantainya kuatkuat, darah mengaliri lengan dari tempat besi mencengkeram
pergelangan tangannya. Rorge berteriak mengumpat-umpat,
menendangi kayu. "Bocah!" panggil Jaqen H"ghar. "Bocah
manis!" Pintu tingkap yang terbuka tinggal beberapa meter lagi,
tapi api menyebar dengan cepat, melahap kayu tua dan jerami
kering lebih cepat daripada yang bisa dia percaya. Arya teringat
wajah rusak si Anjing yang mengerikan. "Terowongannya
sempit," Gendry berteriak. "Bagaimana cara membawa gadis
ini keluar?" "Tarik dia," sahut Arya. "Dorong dia."
"Bocah-bocah pintar, bocah-bocah baik," panggil Jaqen
H"ghar terbatuk-batuk.
"Lepaskan rantai sialan ini!"?Rorge menjerit.
Gendry mengabaikan mereka. "Kau duluan, lalu gadis
ini, lalu aku. Cepatlah, perjalanannya panjang."
"Waktu kau membelah kayu," Arya teringat, "di mana
kau menaruh kapaknya?"
"Di luar dekat rumah singgah." Dia melirik lelaki-lelaki
yang dirantai. "Aku lebih baik menyelamatkan keledai. Tidak
ada waktu." "Bawa gadis ini!" seru Arya. "Keluarkan dia! Lakukanlah!"
Api menumbuk punggung Arya dengan sayap merah
panas saat dia berlari meninggalkan gudang yang terbakar.
Dinginnya terasa begitu melegakan di luar, tapi di sekelilingnya
orang-orang sekarat. Dia melihat Koss melemparkan pedang
tanda menyerah, dan dia melihat mereka membunuhnya
di tempat pemuda itu berdiri. Asap di mana-mana. Yoren
243 tak terlihat di mana-mana, tapi kapak itu berada di tempat
Gendry meninggalkannya, dekat tumpukan kayu di luar
rumah singgah. Sewaktu dia menarik kapak, tangan berzirah
mencengkeram lengannya. Arya berputar dan menancapkan
kepala kapak kuat-kuat di antara kaki lelaki itu. Dia tak pernah
melihat wajahnya, hanya darah gelap yang merembes di antara
rantai tunik zirahnya. Kembali ke dalam gudang itu adalah hal
tersulit yang pernah dilakukan Arya. Asap mengepul keluar
dari pintu yang terbuka seperti ular hitam yang menggeliat,
dan dia bisa mendengar jeritan binatang-binatang malang di
dalam sana, keledai, kuda, dan manusia. Dia menggigit bibir,
lalu melesat melewati pintu, membungkuk rendah di tempat
asap tidak terlalu tebal.
Seekor keledai terperangkap dalam lingkaran api,
meringkik ketakutan dan kesakitan. Dia bisa mencium bau
sangit rambut yang terbakar. Atap juga sudah terbakar dan
benda-benda berguguran, potongan kayu membara, serpihan
jerami dan rumput kering. Arya menutup mulut dan hidung
dengan tangannya. Dia tidak dapat melihat pedati karena
tersaput asap, tapi dia masih bisa mendengar Biter menjerit.
Dia merayap ke arah suara itu.
Kemudian satu roda pedati menjulang di atasnya.
Pedati itu terlonjak dan bergerak lima belas senti saat Biter
kembali melemparkan tubuhnya melawan ikatan rantai. Jaqen
melihat Arya, tapi saat itu terlalu sulit untuk bernapas, apalagi
berbicara. Dia melemparkan kapak ke dalam pedati. Rorge
menangkap dan mengangkat kapak itu ke atas kepala, keringat
berjelaga mengaliri wajahnya yang tak berhidung. Arya berlari,
terbatuk-batuk. Dia mendengar baja kapak menghantam kayu
yang sudah tua, lagi, dan lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi
krak sekeras guntur, dan lantai pedati robek dalam ledakan
serpih kayu. Arya berguling dengan kepala lebih dulu ke dalam
terowongan lalu jatuh sejauh satu setengah meter. Mulutnya
kemasukan tanah tapi dia tak peduli, rasanya baik-baik saja,
244 rasa lumpur, air, cacing, dan kehidupan. Di bawah permukaan
tanah sejuk dan gelap. Di atas sana tak ada apa-apa selain
darah, kobaran api, asap menyesakkan, dan jeritan kuda-kuda
sekarat. Dia memutar sabuk supaya Needle tidak menghalangi
gerakannya, lalu mulai merayap. Setelah bergerak tiga setengah
meter di bawah terowongan dia mendengar suara itu, bagai
raungan seekor binatang buas, dan kepulan asap panas serta
abu hitam bergumpal-gumpal di belakangnya, berbau neraka.
Arya menahan napas, mencium lumpur di dasar terowongan
dan menangis. Untuk siapa, dia tak dapat menjawabnya.
j 245 TYRION S ang ratu tidak bersedia menunggu Varys. "Pengkhianatan
sudah cukup keji," tukasnya murka, "tapi ini kejahatan
terang-terangan yang tidak tahu malu, dan aku tidak butuh
orang kasim kemayu itu memberitahuku apa yang harus
dilakukan terhadap penjahat."
Tyrion mengambil surat-surat dari tangan sang kakak
dan membandingkannya berdampingan. Ada dua salinan,
kata-katanya persis sama, walaupun ditulis oleh tangan yang
berbeda. "Maester Frenken menerima surat pertama di Kastel
Stokeworth," Maester Agung Pycelle menjelaskan. "Salinan
kedua datang melalui Lord Gyles."
Littlefinger membelai janggut. "Jika Stannis mau repotrepot mengirimi mereka, sudah pasti semua lord lain di Tujuh
Kerajaan juga menerima surat ini."
"Aku ingin surat-surat ini dibakar, semuanya," titah
Cersei. "Kabar tentang surat ini tidak boleh sampai ke telinga
putraku, atau ayahku."
"Menurutku saat ini Ayah bukan hanya mendengar
kabar tentangnya," sahut Tyrion datar. "Tidak diragukan lagi
Stannis mengirim burung ke Casterly Rock, juga ke Harrenhal.
Mengenai pembakaran surat, apa gunanya" Lagu sudah
246 dinyanyikan, anggur sudah tumpah, si perawan sudah hamil.
Dan sebenarnya ini tidak semengerikan yang terlihat."
Cersei berpaling menatapnya dengan mata hijau yang
berkilat marah. "Apa kau benar-benar dungu" Kau membaca
apa yang dia katakan" Bocah Joffrey, dia menyebutnya. Dan dia
berani menuduhku melakukan inses, zina, dan pengkhianatan!"
Hanya karena kau bersalah. Sungguh menakjubkan melihat
betapa marahnya Cersei menanggapi tuduhan-tuduhan yang
dia tahu memang benar adanya. Jika kami kalah perang, Cersei
harus mencoba bermain sandiwara, dia sangat berbakat. Tyrion
menunggu sampai kakaknya selesai lalu berkata, "Stannis
pasti punya alasan untuk membenarkan pemberontakannya.
Memangnya apa yang kauharap akan dia tulis" "Joffrey adalah
anak kandung dan ahli waris kakakku, tapi aku bermaksud
merebut takhtanya terlepas dari semua fakta tersebut?""
"Aku tidak akan tinggal diam disebut pelacur!"
Tapi, Kak, dia tak pernah mengatakan Jaime membayarmu.
Tyrion berlagak mencermati surat itu lagi. Ada bagian dari
surat itu yang mengusiknya" "Dibuat dalam Cahaya sang
Penguasa," dia membaca. "Sungguh pilihan kata yang aneh."
Pycelle berdeham. "Kata-kata ini sering muncul dalam
surat dan dokumen dari Kota-kota Merdeka. Artinya sama saja
seperti, misalnya, ditulis di hadapan dewa. Dewa para pendeta
merah. Itu tradisi mereka, kurasa."
"Varys pernah memberitahu kita beberapa tahun lalu
bahwa Lady Selyse menjadi pengikut seorang pendeta merah,"
Littlefinger mengingatkan.
Tyrion mengetuk surat itu. "Dan sekarang sepertinya
suaminya melakukan hal serupa. Kita bisa menggunakan itu
untuk melawannya. Desak Septon Agung untuk menyatakan
betapa Stannis telah berbalik menentang para dewa sekaligus
rajanya yang sah..."
"Ya, ya," tukas sang ratu tak sabar, "tapi pertama-tama
kita harus mencegah fitnah ini menyebar lebih luas. Majelis
harus mengeluarkan maklumat. Siapa pun yang terdengar
247 membicarakan inses atau menyebut Joff anak haram akan
kehilangan lidahnya."
"Tindakan yang bijaksana," ujar Maester Agung Pycelle,
rantai ordonya berdencing saat dia mengangguk-angguk.
"Tindakan bodoh," desah Tyrion. "Bila memotong lidah
seseorang, kita bukan membuktikan bahwa dia berbohong,
tapi malah mengumumkan bahwa kita takut pada apa yang
mungkin dia katakan."
"Jadi menurutmu apa yang mesti kita lakukan?" tuntut
sang kakak. "Tidak banyak. Biarkan mereka berbisik-bisik, tak lama
lagi mereka bakal bosan dengan kisah itu. Setiap orang dengan
sedikit saja akal sehat akan menyadari bahwa itu upaya asalasalan untuk membenarkan perebutan takhta. Apakah Stannis
punya bukti" Mana mungkin, jika itu tak pernah terjadi?"
Tyrion memberi sang kakak senyum termanis.
"Begitulah," jawab Cersei setengah hati. "Tetap saja?"
"Yang Mulia, pendapat adik Anda ada benarnya." Petyr
Baelish mengatupkan jemari. "Kalau mencoba membungkam
omongan ini, kita hanya menguatkan kebenarannya. Lebih baik
menanggapi dengan muak, layaknya menghadapi kebohongan
menyedihkan. Dan sementara itu, lawan api dengan api."
Cersei menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Api
macam apa?" "Kisah tentang hal yang kurang lebih sama, mungkin.
Tapi lebih mudah dipercaya. Hampir sepanjang pernikahannya,
Lord Stannis hidup terpisah dari istrinya. Bukan berarti aku
menyalahkannya. Aku pasti akan berbuat serupa jika menikah
dengan Lady Selyse. Meski begitu, jika kita menyebarkan
rumor bahwa putrinya anak haram dan Stannis diselingkuhi
istrinya, yah" rakyat jelata selalu senang memercayai hal
terburuk tentang lord mereka, terutama lord yang kaku, masam,
dan angkuh seperti Stannis Baratheon."
"Dia tak pernah terlalu disukai, itu benar." Cersei
mempertimbangkannya sejenak. "Jadi kita membayarnya
248 kembali dengan koinnya sendiri. Ya, aku suka ini. Siapa
yang bisa kita sebut sebagai kekasih Lady Selyse" Dia punya
dua saudara lelaki, kalau aku tidak salah. Dan salah seorang
pamannya selalu mendampingi di Dragonstone selama ini?"
"Ser Axell Florent adalah pengelola kastelnya."
Meskipun Tyrion enggan mengakuinya, rencana Littlefinger
memang menjanjikan. Stannis tak pernah terpikat pada
istrinya, tapi dia akan marah luar biasa jika kehormatannya
ternoda dan pada dasarnya mudah curiga. Jika mereka bisa
menabur perselisihan antara Stannis dan pengikutnya, itu
dapat membantu tercapainya tujuan mereka. "Anak itu punya
telinga khas Florent, kabarnya."
Littlefinger menggerakkan tangan dengan malas.
"Seorang utusan dagang dari Lys pernah memberitahuku
bahwa Lord Stannis pasti sangat mencintai putrinya, sebab
dia mendirikan ratusan patung anak itu di sepanjang dinding
Dragonstone. "My lord," aku terpaksa menjelaskan, "itu
patung-patung gargoyle"." Dia terkekeh. "Ser Axell mungkin
pantas dijadikan ayah Shireen, tapi menurut pengalamanku,
semakin aneh dan mencengangkan suatu kisah, semakin besar
kemungkinan untuk tersebar. Stannis memelihara seorang
pelawak yang sangat aneh, lelaki bodoh dengan wajah bertato."
Maester Agung Pycelle melongo menatapnya,
terperanjat. "Tentunya kau tidak bermaksud menyebarkan
kabar bahwa Lady Selyse membawa seorang pelawak bodoh ke
ranjangnya?" "Kau harus jadi orang bodoh untuk mau tidur dengan
Selyse Florent," sahut Littlefinger. "Wajah Belang pasti


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingatkannya pada Stannis. Dan kebohongan terbaik
mengandung sekelumit kebenaran di dalamnya, cukup untuk
membuat pendengarnya terdiam. Kebetulan sekali, si pelawak
sangat setia pada gadis itu dan mengikutinya ke mana-mana.
Rupa mereka bahkan agak mirip. Wajah Shireen juga bebercak
dan setengah beku." Pycelle tampak terguncang. "Tapi itu karena wabah
249 kelabu yang nyaris membunuhnya waktu bayi, anak malang."
"Aku lebih suka kisahku," ujar Littlefinger, "begitu
pula rakyat jelata. Kebanyakan dari mereka percaya bahwa jika
perempuan makan kelinci waktu sedang hamil, anaknya akan
lahir dengan telinga panjang terkelepai."
Cersei menyunggingkan senyum yang biasanya dia
simpan untuk Jaime. "Lord Petyr, kau sungguh makhluk yang
keji." "Terima kasih, Yang Mulia."
"Dan pembohong yang paling hebat," Tyrion
menambahkan, dengan tak terlalu hangat. Ini lebih berbahaya
daripada yang aku tahu, renungnya.
Mata hijau Littlefinger bertatapan dengan mata si cebol
yang tak serasi tanpa sedikit pun sorot gelisah. "Kita semua
punya bakat masing-masing, my lord."
Sang ratu terlalu hanyut dalam pembalasan dendamnya
untuk menyadari tatapan itu. "Diselingkuhi oleh pelawak
tolol! Stannis bakal ditertawakan di setiap kedai minum di sisi
laut sempit yang ini."
"Kisah ini tak boleh berasal dari kita," ujar Tyrion, "atau
nanti akan terlihat seperti kebohongan yang dibuat-buat untuk
menyelamatkan diri." Dan itu memang benar, tentu saja.
Sekali lagi Littlefinger menyediakan jawaban. "Para
pelacur senang bergosip, dan kebetulan aku punya satu atau
tiga rumah bordil. Dan Varys pasti bisa menanam benih di
kedai-kedai minum dan warung-warung makan."
"Varys," kata Cersei sambil mengerutkan dahi. "Di
mana Varys?" "Saya sendiri bertanya-tanya tentang hal itu, Yang
Mulia." "Si Laba-laba memintal jaring rahasianya siang dan
malam," cetus Maester Agung Pycelle dengan masam. "Aku
tidak percaya pada orang itu, tuan-tuan."
"Padahal dia selalu bicara baik-baik tentangmu." Tyrion
250 menghela tubuh turun dari kursi. Kebetulan dia tahu apa yang
sedang dilakukan si orang kasim, tapi anggota majelis lainnya
tak perlu tahu. "Maafkan aku, tuan-tuan. Masih ada urusan
lain." Cersei langsung curiga. "Urusan Raja?"
"Bukan sesuatu yang perlu kaukhawatirkan."
"Biar aku yang menentukannya."
"Apa kau mau menggagalkan kejutanku?" Tyrion
menyahut. "Aku sedang memesan hadiah untuk Joffrey. Rantai
kecil." "Untuk apa dia butuh rantai lagi" Dia sudah punya rantai
emas dan perak lebih banyak daripada yang bisa dipakainya.
Kalau kau berpikir bisa membeli cinta Joff dengan hadiah?"
"Wah, tentu saja aku punya cinta sang raja, seperti
dia memiliki cintaku. Dan aku yakin rantai ini suatu hari
nanti akan dia hargai lebih dari segalanya." Lelaki kecil itu
membungkuk lalu terkedek-kedek ke pintu.
Bronn sudah menunggu di luar ruang majelis untuk
mengawalnya kembali ke Menara Tangan Kanan Raja. "Para
pandai besi berada di ruang pertemuanmu, menunggu untuk
menghadap," dia berkata selagi mereka melintasi halaman
tertutup. "Menunggu untuk menghadap. Aku suka mendengarnya,
Bronn. Kau hampir terdengar seperti penghuni istana yang
terhormat. Mungkin berikutnya kau akan berlutut."
"Kutimpa kau nanti, Cebol."
"Itu tugas Shae." Tyrion mendengar Lady Tanda
memanggilnya dengan riang dari puncak tangga yang
melingkar-lingkar. Dia pura-pura tidak mendengarnya, dan
terkedek-kedek sedikit lebih cepat. "Pastikan tanduku sudah
siap, aku akan meninggalkan kastel begitu urusanku selesai di
sini." Dua orang Saudara Bulan menjaga pintu menara. Tyrion
menyapa mereka dengan ramah, dan mengernyit sebelum
menaiki tangga. Pendakian ke kamar membuat kakinya nyeri.
251 Di dalam kamar dia mendapati bocah dua belas tahun
sedang meletakkan pakaian di tempat tidur; squire-nya, kalau
bisa dibilang begitu. Podrick Payne begitu pemalu sehingga
selalu bekerja dengan sembunyi-sembunyi. Tyrion tidak pernah
bisa menyingkirkan kecurigaan bahwa ayahnya menugaskan
bocah itu kepadanya sebagai lelucon.
"Pakaian Anda, my lord," bocah itu bergumam ketika
Tyrion masuk, menunduk menatap sepatu botnya. Bahkan saat
dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk berkata-kata,
Pod tak pernah sanggup menatap lawan bicaranya. "Untuk
pertemuan. Dan rantai Anda. Rantai Tangan Kanan Raja."
"Bagus sekali. Bantu aku berpakaian." Baju doubletnya berupa beledu hitam bertabur kancing emas berbentuk
kepala singa, rantainya berupa rangkaian tangan dari emas
padat, jemari setiap tangan menggenggam pergelangan tangan
berikutnya. Pod membawakan jubah dari sutra merah tua
berpinggiran emas, dipotong sesuai tinggi tubuh Tyrion. Pada
orang normal, jubah itu hanya akan menjadi mantel setengah
badan. Ruang pertemuan pribadi Tangan Kanan tidak sebesar
milik Raja, dan tidak ada apa-apanya dibandingkan luas
ruang takhta, namun Tyrion menyukai karpet-karpet Myr
di ruangan itu, tapestri-tapestri, dan aura akrabnya. Saat dia
masuk, pengurus rumah tangganya berseru, "Tyrion Lannister,
Tangan Kanan Raja." Dia juga suka itu. Sekumpulan pandai
besi, pembuat senjata, dan pedagang logam yang dikumpulkan
Bronn langsung berlutut. Dia menghela tubuh ke kursi tinggi di bawah jendela
emas bundar dan menyuruh mereka berdiri. "Saudara-saudara
yang baik, aku tahu kalian semua sibuk, jadi aku akan singkat
saja. Pod, tolong." Bocah itu menyerahkan karung kanvas
kepadanya. Tyrion menarik tali pengikat dan menjungkirkan
karung itu. Isinya tumpah ke karpet diiringi bunyi redam
logam menimpa wol. "Aku minta dibuatkan ini di bengkel
tempa kastel. Aku minta seribu lagi yang seperti ini."
252 Salah seorang pandai besi berlutut untuk memeriksa
benda itu: tiga mata rantai besar dari baja, dipuntir menjadi
satu. "Rantai yang besar."
"Besar, tapi pendek," sahut si cebol. "Agak mirip
denganku. Aku ingin yang jauh lebih panjang. Kau punya
nama?" "Mereka memanggilku Perut Besi, m'lord." Pandai besi
itu bertubuh pendek dan lebar, berpakaian sederhana dari wol
dan kulit, namun lengannya setebal leher banteng.
"Aku minta setiap bengkel tempa di King's Landing
bekerja membuat mata rantai ini dan menggabungkannya.
Semua pekerjaan lain harus ditunda. Aku minta setiap orang
yang menguasai seni menempa logam turun tangan untuk tugas
ini, baik dia master, pekerja harian, atau pekerja magang. Saat
berkuda menyusuri Jalan Baja, aku ingin mendengar palu-palu
berdentam, siang atau malam. Dan aku ingin satu orang, satu
orang yang kuat, memastikan tugas ini diselesaikan. Apakah
kau orangnya, Saudara Perut Besi?"
"Bisa jadi, m'lord. Tapi bagaimana dengan pesanan zirah
rantai dan pedang yang diminta Ratu?"
Pandai besi lainnya berbicara. "Yang Mulia
memerintahkan kami membuat zirah rantai, pedang, belati,
dan kapak, semua dalam jumlah besar. Untuk mempersenjatai
pasukan jubah emasnya yang baru, m'lord."
"Pekerjaan itu bisa menunggu," Tyrion berkata.
"Rantainya dulu."
"M'lord, mohon maaf, Yang Mulia berkata barang siapa
tidak memenuhi target, tangannya akan diremukkan," desak
pandai besi yang cemas itu. "Dihancurkan di paron mereka
sendiri, katanya." Cersei yang manis, selalu berusaha keras membuat rakyat jelata
mencintai kami. "Tidak ada yang tangannya akan dihancurkan.
Kalian bisa memegang janjiku."
"Besi mulai langka," Perut Besi mengumumkan, "dan
rantai ini akan membutuhkan banyak besi, juga kokas, untuk
253 api tungku." "Lord Baelish akan memastikan kalian mendapat
koin yang dibutuhkan," janji Tyrion. Setidaknya dia bisa
mengandalkan Littlefinger untuk itu, mudah-mudahan. "Akan
kuperintahkan Garda Kota membantu kalian mencari besi.
Melebur semua tapal kuda di kota ini bila perlu."
Seorang lelaki tua maju, pakaiannya mewah berupa
tunik damas dengan kait-kait perak serta jubah berpinggiran
bulu musang. Dia berlutut untuk memeriksa mata rantai baja
yang ditumpahkan Tyrion ke lantai. "My lord," dia berkata
serius, "ini bisa dibilang pekerjaan yang kasar. Tidak ada
seninya. Tugas yang cocok untuk pandai besi biasa, tentunya,
untuk orang-orang yang membengkokkan tapal kuda dan
menempa ceret kita, tapi saya master pembuat senjata, jika
tuanku berkenan. Ini bukan pekerjaan untuk saya, begitu pula
rekan-rekan master saya. Kami membuat pedang setajam lagu,
zirah yang cukup bagus untuk dipakai dewa. Bukan ini."
Tyrion menelengkan kepala dan menatap tajam lelaki
itu dengan mata berbeda warna. "Siapa namamu, master
pembuat senjata?" "Salloreon, jika tuanku berkenan. Bila Tangan Kanan
Raja mengizinkan, saya akan merasa sangat terhormat jika bisa
menempa untuknya baju zirah yang pantas bagi Klan serta
jabatan pentingnya." Dua pandai besi lainnya terkekeh geli,
tapi Salloreon terus bicara, tidak mengindahkan mereka. "Pelat
dan sisik, saya rasa. Sisik-sisiknya berkilau seterang matahari,
pelatnya dilapisi email merah tua Lannister. Saya menyarankan
kepala iblis untuk helmnya, dipuncaki tanduk-tanduk emas
tinggi. Saat Anda maju ke medan perang, semua musuh akan
berkerut ketakutan."
Kepala iblis, pikir Tyrion penuh sesal, apakah maksud
gambaran itu tentang aku" "Master Salloreon, aku bermaksud
memerangi semua pertempuranku yang berikutnya dari kursi
ini. Mata rantai itu yang kubutuhkan, bukan tanduk iblis. Jadi
mari kuterangkan kepadamu seperti ini. Kau akan membuat
254 rantai, atau kau akan memakainya. Pilihan ada padamu."
Tyrion berdiri, dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh
lagi. Bronn sudah menunggu di depan gerbang dengan
tandu serta kawalan beberapa anggota Telinga Hitam yang
menunggang kuda. "Kau tahu ke mana tujuan kita," Tyrion
berkata kepadanya. Dia menerima uluran tangan yang
membantunya naik ke dalam tandu. Dia sudah berusaha
semampunya untuk memberi makan kota yang lapar ini"
dia menyuruh beberapa ratus tukang kayu untuk membuat
perahu nelayan alih-alih katapel tempur, membuka hutan raja
untuk pemburu mana pun yang berani menyeberangi sungai,
bahkan mengirim pasukan jubah emas untuk mengumpulkan
makanan ke barat dan selatan"namun dia tetap melihat
pandangan menuduh ke mana pun dirinya pergi. Tirai tandu
melindunginya dari pandangan tersebut, selain itu juga
memberinya kesempatan untuk berpikir.
Saat mereka bergerak lambat menyusuri Jalan Bayang
Hitam yang berliku-liku ke kaki Bukit Tinggi Aegon, Tyrion
merenungkan kejadian-kejadian pagi ini. Kemarahan Cersei
membuatnya melewatkan arti penting surat Stannis Baratheon.
Tanpa bukti, tuduhan-tuduhan lelaki itu tidak ada artinya;
yang penting adalah dia menobatkan diri sebagai raja. Dan
bagaimana Renly akan menanggapinya" Mereka tak mungkin
menduduki Takhta Besi berdua.
Setengah melamun, Tyrion menyingkap tirai beberapa
senti untuk mengintip ke jalan. Kawanan Telinga Hitam
berkuda mengapit tandu, kalung mereka yang mengerikan
melingkar di leher, sementara Bronn mendahului di depan
untuk membuka jalan. Dia mengamati orang-orang di jalan
yang mengawasinya, memainkan permainan kecil dengan diri
sendiri, berusaha mengenali mata-mata di tengah orang biasa.
Mereka yang terlihat paling mencurigakan kemungkinan besar tidak
bersalah, putusnya. Orang-orang dengan wajah tak berdosalah yang
perlu kuwaspadai. 255 Tempat yang Tyrion tuju berada di balik Bukit Rhaenys,
dan jalanannya amat sangat padat. Hampir satu jam berlalu
sebelum tandu berayun sampai berhenti. Tyrion terkantukkantuk, tapi kemudian langsung terjaga begitu gerakan tandu
berhenti. Dia menggosok-gosok matanya yang berat, dan
menerima uluran tangan Bronn untuk turun dari tandu.
Rumah itu tingginya dua lantai, batu di bawah dan kayu
di atas. Menara kecil bundar menjulang dari salah satu sudut
bangunannya. Banyak jendelanya yang dipasangi teralis timah.
Di atas pintu tergantung lampu hias, bulatan dari logam
bersepuh emas dan kaca merah darah.
"Bordil," Bronn berkata. "Apa yang hendak kaulakukan
di sini?" "Apa yang biasanya dilakukan orang di bordil?"
Prajurit bayaran itu tertawa. "Shae tidak cukup?"
"Dia cukup cantik untuk seorang penghibur di
perkemahan, tapi aku sudah tidak di perkemahan. Lelaki kecil
punya nafsu yang besar, dan aku diberitahu gadis-gadis di sini
pantas untuk seorang raja."
"Apakah bocah itu sudah cukup umur?"
"Bukan Joffrey. Robert. Ini rumah bordil favoritnya."
Walaupun Joffrey mungkin memang sudah cukup umur. Itu gagasan
yang menarik. "Kalau kau dan para Telinga Hitam ingin
menghibur diri, silakan saja, tapi gadis-gadis Chataya harganya
mahal. Kau bisa menemukan rumah-rumah bordil yang lebih
murah di sepanjang jalan ini. Tinggalkan satu orang di sini
yang tahu di mana harus mencari yang lain saat aku hendak
pulang." Bronn mengangguk. "Kalau itu maumu." Orang-orang
Telinga Hitam menyeringai lebar.


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di balik pintu, perempuan tinggi dalam balutan sutra
melambai sudah menanti Tyrion. Kulitnya segelap kayu eboni
dan matanya sewarna kayu cendana. "Aku Chataya," dia
mengumumkan seraya membungkuk dalam-dalam. "Dan kau
adalah?" 256 "Sebaiknya kita tidak usah memedulikan nama. Nama
itu berbahaya." Udara beraroma rempah-rempah eksotis,
dan lantai di bawah kaki Tyrion menampilkan mozaik dua
perempuan yang berpagut dalam cinta. "Kau punya tempat
yang menyenangkan." "Aku bekerja keras dalam waktu lama untuk
membuatnya. Aku senang Tangan Kanan merasa puas." Suara
perempuan itu bagai ambar yang mengalir, cair dengan aksen
Kepulauan Musim Panas yang jauh.
"Jabatan bisa sama berbahayanya dengan nama," Tyrion
memperingatkan. "Tunjukkan beberapa gadismu."
"Dengan sangat senang hati. Kau akan mendapati bahwa
mereka semua manis selain cantik, dan ahli dalam segala seni
bercinta." Chataya melenggang dengan anggun, meninggalkan
Tyrion terkedek-kedek mengikuti secepat yang dia bisa dengan
kaki yang panjangnya hanya setengah dari kaki perempuan itu.
Dari balik sekat indah buatan Myr yang dipahat dengan
bunga-bunga, dunia khayal, dan perawan-perawan rupawan,
mereka menatap tanpa terlihat ke ruang bersama tempat seorang
lelaki tua tengah memainkan lagu riang dengan seruling.
Dalam ceruk beralaskan kasur empuk, seorang lelaki Tyrosh
yang mabuk dengan janggut ungu menimang perempuan
muda bertubuh montok. Dia sudah membuka korset gadis
itu dan sedang memiringkan cawannya untuk menuangkan
anggur ke dada si gadis agar bisa menghirupnya. Dua gadis lain
duduk beralas ubin di depan jendela kaca berteralis timah.
Gadis dengan wajah berbintik mengenakan rangkaian bunga
biru di rambutnya yang sewarna madu. Gadis satunya memiliki
kulit sehalus dan sehitam batu jet mengilap, mata gelap yang
lebar, dan payudara kecil yang kencang. Mereka berpakaian
sutra melambai yang dikencangkan di pinggang dengan sabuk
bermanik-manik. Cahaya matahari yang menyorot dari kaca
berwarna memetakan tubuh muda yang manis di balik kain
tipis itu, dan Tyrion merasakan desakan di selangkangannya.
"Dengan segala hormat aku akan menyarankan gadis
257 yang berkulit gelap," ujar Chataya.
"Dia masih muda."
"Sudah enam belas tahun, my lord."
Umur yang bagus untuk Joffrey, pikirnya, teringat
perkataan Bronn. Pelacur pertama Tyrion bahkan lebih muda
lagi. Dia ingat betapa gadis itu tampak sangat malu saat dia
meloloskan gaun dari kepala waktu kali pertamanya. Rambut
gelap panjang dengan mata biru yang mampu menghanyutkan,
dan Tyrion memang terhanyut saat itu. Sudah begitu lama"
Betapa tolol dan sialnya kau, Cebol. "Apa gadis ini berasal dari
kampung halamanmu?" "Darahnya adalah darah musim panas, my lord, tapi
putriku lahir di sini di King"s Landing." Kekagetan Tyrion
pasti terlihat di wajahnya, sebab Chataya melanjutkan,
"Bangsaku percaya bahwa tidak ada aib yang bisa ditemukan
dalam rumah cinta. Di Kepulauan Musim Panas, mereka yang
ahli memberikan kenikmatan sangatlah dihargai. Banyak anak
bangsawan dan perawan yang melayani selama beberapa tahun
setelah mencapai kedewasaan untuk menghormati para dewa."
"Apa hubungannya para dewa dengan ini?"
"Para dewa menciptakan tubuh sekaligus jiwa kita,
bukan" Mereka memberi kita suara, agar kita bisa memuja
mereka dengan lagu. Mereka memberi kita tangan, agar kita
bisa membangun kuil untuk mereka. Dan mereka memberi
kita hasrat, agar kita bisa berkawin dan memuja mereka dengan
cara itu." "Ingatkan aku untuk memberitahu Septon Agung,"
kata Tyrion. "Kalau boleh berdoa dengan kawin, aku bakal
jauh lebih religius." Dia melambaikan tangan. "Aku dengan
senang hati akan menerima saranmu."
"Akan kupanggilkan putriku. Mari."
Gadis itu menemuinya di dasar tangga. Lebih tinggi
daripada Shae, walaupun tidak setinggi ibunya, gadis itu mesti
berlutut sebelum Tyrion bisa menciumnya. "Namaku Alayaya,"
dia berkata, aksen ibunya hanya terdengar samar-samar.
258 "Silakan, my lord."
Dia menggandeng tangan Tyrion dan membawanya
naik dua baris tangga, lalu menyusuri koridor yang panjang.
Desah dan pekik kenikmatan terdengar dari balik salah satu
pintu tertutup, tawa genit dan bisik-bisik terdengar dari balik
pintu lainnya. Celana Tyrion mengetat. Ini bisa memalukan,
pikirnya selagi mengikuti Alayaya menaiki satu tangga lagi ke
ruang menara. Hanya ada satu pintu. Gadis itu menuntunnya
ke dalam dan menutup pintu. Di dalam kamar terdapat
ranjang besar berkanopi, lemari tinggi berhias pahatan erotis,
dan jendela sempit dengan kaca berteralis timah dalam pola
berlian merah dan kuning.
"Kau cantik sekali, Alayaya," Tyrion berkata saat mereka
hanya berdua. "Dari kepala sampai kaki, semua bagian dirimu
begitu indah. Tapi saat ini bagian yang paling menarik bagiku
adalah lidahmu." "Tuan akan mendapati lidahku sangat terdidik. Waktu
kecil aku belajar kapan harus menggunakannya, dan kapan
tidak menggunakannya."
"Aku senang mendengarnya." Tyrion tersenyum. "Jadi
apa yang harus kita lakukan sekarang" Barangkali kau punya
usul?" "Ya," sahut Alayaya. "Jika tuanku berkenan membuka
lemari itu, dia akan menemukan apa yang dicarinya."
Tyrion mencium tangan gadis itu, lalu naik ke dalam
lemari yang kosong. Alayaya menutup pintu lemari di
belakangnya. Tyrion meraba-raba panel belakang, merasakan
panel itu bergeser di bawah jemari, lalu mendorongnya
jauh-jauh ke samping. Ruang kosong di belakang dinding
gelap gulita, tapi dia mencari-cari sampai merasakan logam.
Tangannya mencengkeram anak tangga itu. Dia menemukan
anak tangga berikutnya dengan kaki, lalu mulai turun. Jauh di
bawah permukaan jalan, lubang itu membuka ke terowongan
tanah yang miring, tempat dia mendapati Varys tengah
menunggu dengan lilin di tangan.
259 Varys sama sekali tak terlihat seperti dirinya. Wajah
berparut dan pangkal janggut gelap terlihat di bawah topi
baja berpaku, dan dia mengenakan zirah rantai melapisi kulit
samakan, parang dan pedang pendek tergantung di sabuknya.
"Apakah gadis Chataya memuaskanmu, my lord?"
"Nyaris terlalu memuaskan," Tyrion mengakui. "Kau
yakin perempuan ini bisa dipercaya?"
"Tidak ada yang kuyakini di dunia yang plin-plan dan
khianat ini, my lord. Tapi Chataya tak punya alasan untuk
mencintai sang ratu, dan dia tahu dia harus berterima kasih
padamu karena telah menyingkirkan Allar Deem. Kita
berangkat?" Dia mulai menyusuri terowongan.
Bahkan cara jalannya pun berbeda, Tyrion mengamati.
Bau anggur masam dan bawang melekat pada Varys, bukannya
wangi lavendel. "Aku suka penampilan barumu ini," pujinya
selagi mereka berjalan. "Pekerjaan yang kulakukan tidak mengizinkanku
menjelajah jalanan dengan kawalan sepasukan kesatria. Jadi
saat meninggalkan kastel, aku memakai samaran yang lebih
cocok, dan dengan begitu bisa hidup untuk melayanimu lebih
lama." "Pakaian dari kulit cocok untukmu. Kau harus datang
seperti ini ke pertemuan majelis berikutnya."
"Kakakmu tidak akan setuju, my lord."
"Kakakku bakal bergairah melihatnya." Tyrion
tersenyum dalam gelap. "Aku tidak melihat ada mata-matanya
yang membuntutiku." "Aku senang mendengarnya, my lord. Beberapa
orang bayaran kakakmu juga orang bayaranku, tanpa
sepengetahuannya. Aku pasti tidak suka jika mereka bekerja
dengan begitu ceroboh sampai bisa terlihat."
"Yah, aku tidak suka jika harus masuk ke lemari dan
menderita karena nafsu yang tak tersalurkan tanpa ada
gunanya." 260 "Tentu saja ada gunanya," Varys meyakinkan. "Mereka
tahu kau di sini. Aku tidak tahu apakah ada yang cukup nekat
untuk memasuki rumah Chataya dengan menyamar sebagai
tamu, tapi menurutku lebih baik keliru tapi aman."
"Bagaimana bisa rumah bordil punya pintu rahasia?"
"Terowongan ini digali untuk Tangan Kanan Raja yang
lain, yang kehormatannya menghalangi dia memasuki rumah
semacam itu dengan terang-terangan. Chataya menjaga rapatrapat rahasia keberadaannya."
"Tapi kau tetap tahu."
"Burung-burung kecil terbang melintasi banyak
terowongan gelap. Hati-hati, tangganya curam."
Mereka muncul melalui pintu tingkap di bagian belakang
sebuah istal, setelah menempuh jarak kurang lebih tiga blok di
bawah Bukit Rhaenys. Seekor kuda meringkik di kandangnya
ketika Tyrion membiarkan pintu terbanting menutup. Varys
meniup lilin lalu meletakkannya pada sebuah balok, Tyrion
mengedarkan pandang. Seekor keledai dan tiga ekor kuda
menempati kandang-kandang. Dia berjalan menghampiri
kuda kebiri berwarna belang dan mengamati giginya. "Tua,"
dia berkata, "dan aku ragu tentang kecepatannya."
"Dia bukan kuda yang bisa membawamu ke medan
perang, itu benar," sahut Varys, "tapi dia bisa diandalkan, dan
tidak menarik perhatian. Begitu pula yang lain. Sedangkan
para pengurus istal hanya melihat dan mendengar binatangbinatang ini."
Si orang kasim mengambil jubah dari kaitan. Jubah
itu dari kain sederhana, kusam terpapar matahari, dan tipis,
tapi potongannya sangat lebar. "Kalau kau mengizinkanku."
Ketika dia menyampirkannya di bahu Tyrion, jubah itu
membungkusnya dari kepala sampai kaki, dengan tudung
meruncing yang bisa ditarik ke depan untuk menutupi wajah.
"Orang melihat apa yang ingin mereka lihat," Varys berkata
sambil merapikan dan menarik-narik. "Orang cebol lebih
261 jarang terlihat daripada anak-anak, jadi anak-anaklah yang akan
mereka lihat. Bocah lelaki dengan jubah tua menunggangi
kuda ayahnya, mengurus keperluan sang ayah. Walaupun lebih
baik kalau kau sering-sering datang saat malam."
"Itu rencanaku" setelah hari ini. Tapi sekarang Shae
sudah menunggu." Tyrion menempatkan gadis itu dalam
sebuah rumah megah berdinding tinggi di ujung timur laut
King"s Landing, tidak jauh dari laut, tapi dia tidak berani
mengunjunginya di sana kalau-kalau ada yang mengikutinya.
"Kuda mana yang kaupilih?"
Tyrion mengangkat bahu. "Yang ini juga cukup bagus."
"Akan kupasangi pelana untukmu." Varys menurunkan
pakaian kuda dan pelana dari kaitan.
Tyrion membenarkan posisi jubah yang berat itu dan
mondar-mandir dengan gelisah. "Kau melewatkan pertemuan
majelis yang seru. Stannis sepertinya sudah menobatkan diri
sendiri." "Aku tahu." "Dia menuduh kedua kakakku melakukan inses. Aku
ingin tahu dari mana dia mendapatkan kecurigaan itu."
"Barangkali dia membaca buku dan melihat warna
rambut seorang anak haram, seperti yang dilakukan Ned
Stark, dan Jon Arryn sebelumnya. Atau barangkali seseorang
membisiki dirinya." Tawa si orang kasim tak terkikik seperti
biasa, tapi lebih berat dan parau.
"Orang sepertimu, mungkin?"
"Apakah aku dicurigai" Bukan aku orangnya."
"Kalau iya, apakah kau mau mengakuinya?"
"Tidak. Tapi untuk apa aku membuka rahasia yang
sudah kusimpan sekian lama" Menipu seorang raja berbeda
dengan bersembunyi dari jangkrik di antara ilalang di lantai
kamar dan burung kecil di cerobong asap. Lagi pula, anak-anak
haram itu bisa dilihat semua orang."
"Anak-anak haram Robert" Ada apa dengan mereka?"
262 "Dia punya delapan, sejauh yang bisa kuketahui," Varys
berkata sambil berjuang memasang pelana. "Ibu-ibu mereka
berambut warna tembaga dan madu, cokelat kemerahan
dan pirang pucat, tapi bayi-bayinya semua berambut sehitam
raven... dan bernasib sama buruknya, sepertinya. Jadi ketika
Joffrey, Myrcella, dan Tommen meluncur keluar dari sela paha
kakakmu, semua dengan rambut emas seterang matahari,
kebenaran tidak sulit dilihat."
Tyrion menggeleng-geleng. Seandainya sang kakak hanya
melahirkan satu anak untuk suaminya, itu pasti cukup untuk
membungkam kecurigaan" tapi tentu saja itu bukan sifat Cersei.
"Kalau bukan kau pembisiknya, lalu siapa?"
"Seorang pengkhianat, pastinya." Varys mengencangkan
tali pelana. "Littlefinger?"
"Aku tidak menyebut nama."
Tyrion membiarkan si orang kasim membantunya
menaiki kuda. "Lord Varys," dia berkata dari pelana, "kadangkadang aku merasa kau sahabat terbaik yang kumiliki di
King"s Landing, tapi kadang-kadang aku merasa kau musuh
terbesarku." "Aneh sekali. Aku beranggapan sama tentangmu."
j 263 BRAN L ama sebelum jari-jari pucat cahaya pertama menerobos
daun jendela Bran, matanya sudah terbuka.
Ada sejumlah tamu di Winterfell, pengunjung yang
datang untuk pesta panen. Pagi ini mereka akan menombak
tiang sasaran di halaman. Dulu prospek itu pasti sudah
membuatnya girang, tapi itu masa sebelum.
Sekarang tidak. Kedua bocah Walder akan bertanding
dengan para squire pasukan pengawal Lord Manderly, tapi Bran


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan ambil bagian. Dia harus bertindak seperti pangeran
di ruangan ayahnya. "Dengarkan, dan barangkali kau akan
belajar sesuatu tentang arti menjadi penguasa," Maester Luwin
berkata. Bran tak pernah minta menjadi pangeran. Menjadi
kesatrialah yang selalu dia impikan; zirah mengilap dan
panji-panji berkibar, lembing dan pedang, kuda perang di
antara kaki. Kenapa dia harus menyia-nyiakan waktu untuk
mendengarkan lelaki-lelaki tua membicarakan berbagai hal
yang hanya sedikit dia pahami" Karena kau rusak, suara dalam
dirinya mengingatkan. Seorang lord di kursi empuknya boleh
saja cacat"bocah-bocah Walder mengatakan kakek mereka
begitu lemah sehingga harus ditandu ke mana-mana"tapi itu
terlarang untuk kesatria di punggung kuda perang. Lagi pula,
264 ini tugasnya. "Kau pengganti kakakmu dan anggota keluarga
Stark di Winterfell," Ser Rodrik berkata, mengingatkan
bagaimana Robb selalu duduk bersama ayah mereka ketika
para pengikut sang ayah datang menemuinya.
Lord Wyman Manderly tiba dari White Harbor dua hari
lalu, menaiki kapal barkas dan tandu, sebab dia terlalu gemuk
untuk menunggang kuda. Bersamanya ikut rombongan besar
pengikut: kesatria, squire, bangsawan laki-laki dan perempuan
yang lebih rendah, bentara, musisi, bahkan pemain akrobat,
semua berkilap-kilap dengan panji dan baju luar bersimbol
yang sepertinya terdiri atas seratus warna. Bran menyambut
kedatangan mereka di Winterfell dari kursi tinggi ayahnya yang
terbuat dari batu dengan pahatan direwolf di lengan kursi, dan
sesudahnya Ser Rodrik mengatakan dia sudah berlaku dengan
sangat baik. Andai tugasnya hanya sampai di situ, dia pasti
tidak keberatan. Tapi itu baru permulaan.
"Pesta ini menjadi alasan yang pantas," Ser Rodrik
menjelaskan, "tapi orang tidak menempuh ratusan kilometer
untuk menikmati seiris bebek dan seteguk anggur. Hanya
mereka yang punya urusan penting untuk disampaikan kepada
kita yang mau melakukan perjalanan sejauh itu."
Bran memandang langit-langit batu yang kasar di atas
kepalanya. Dia tahu Robb pasti akan memintanya untuk tidak
bersikap seperti anak-anak. Dia nyaris bisa mendengar nasihat
kakaknya, juga ayah mereka. Musim dingin akan datang, dan kau
hampir menjadi lelaki dewasa, Bran. Kau punya tugas.
Ketika Hodor masuk ke ruangan, tersenyum dan
bersenandung tanpa nada, dia mendapati bocah itu sudah
pasrah dengan nasibnya. Bersama-sama mereka memandikan
dan mendandani Bran. "Doublet wol putih hari ini," perintah
Bran. "Dan bros perak. Ser Rodrik pasti ingin aku tampil
seperti penguasa." Sebisa mungkin, Bran lebih suka berpakaian
sendiri, tapi ada beberapa tugas yang menyulitkannya, seperti
memakai celana, menalikan sepatu bot. Mereka bisa lebih
cepat dengan bantuan Hodor. Begitu sudah diajari melakukan
sesuatu, Hodor melakukannya dengan tangkas. Tangannya
265 selalu lembut, walaupun kekuatannya mencengangkan. "Kau
seharusnya bisa jadi kesatria juga, aku yakin," kata Bran
kepadanya. "Kalau para dewa tidak mengambil kecerdasanmu,
kau pasti akan jadi kesatria yang hebat."
"Hodor?" Hodor berkedip menatapnya dengan mata
cokelat yang polos, mata yang hampa dari pemahaman.
"Ya," sahut Bran. "Hodor." Dia menunjuk.
Pada dinding di samping pintu tergantung sebuah
keranjang, dibuat dengan kukuh dari anyaman ranting
dan kulit, dilengkapi dua lubang untuk kaki Bran. Hodor
menyusupkan lengan ke tali keranjang lalu mengikatkan sabuk
lebar kuat-kuat di dadanya, kemudian berlutut di samping
tempat tidur. Bran menggunakan palang-palang yang ditanam
di dinding untuk menopang tubuh selagi dia mengayunkan
kaki lumpuhnya ke dalam keranjang dan keluar dari lubang.
"Hodor," Hodor berkata lagi sambil berdiri. Pengurus
istal itu tingginya hampir 210 sentimeter. Berada di
punggungnya, kepala Bran nyaris mengenai langit-langit. Dia
merunduk rendah-rendah saat mereka melewati pintu. Suatu
kali Hodor mencium bau roti dipanggang dan berlari ke dapur,
akibatnya Bran terluka parah sampai-sampai Maester Luwin
harus menjahit kulit kepalanya. Mikken sudah memberinya
helm tua berkarat tanpa penutup mata dari gudang senjata,
tapi Bran jarang mau repot-repot memakainya. Kedua bocah
Walder tertawa setiap kali melihat benda itu di kepalanya.
Bran meletakkan tangan di bahu Hodor selagi mereka
menuruni tangga yang melingkar-lingkar. Di luar, dentang
pedang, perisai, dan kuda sudah meramaikan seluruh halaman.
Bunyinya bagaikan musik yang manis. Aku hanya akan melihat,
pikir Bran, melihat sebentar saja.
Bangsawan-bangsawan dari White Harbor baru akan
muncul belakangan pagi itu, bersama para kesatria dan prajurit
mereka. Sampai mereka tiba, halaman dikuasai oleh squire
mereka, yang usianya terentang dari sepuluh sampai empat
puluh tahun. Bran berharap dia salah satu dari mereka, begitu
266 ingin sampai-sampai perutnya sakit karena mendamba.
Dua sasaran telah didirikan di halaman, masing-masing
berupa tiang kukuh yang menopang palang berputar dengan
perisai di salah satu ujungnya dan target dari karung isi di
ujung satunya. Perisai-perisai tersebut dicat merah dan emas,
walaupun gambar singa Lannister-nya tampak berantakan dan
sudah tergores-gores oleh bocah-bocah pertama yang mencoba
menombaknya. Pemandangan Bran dalam keranjang menarik perhatian
beberapa orang yang belum pernah melihatnya, tapi dia sudah
belajar mengabaikan pandangan itu. Setidaknya dia bisa
menonton dengan jelas; di punggung Hodor, dia menjulang
di atas semua orang. Dia melihat kedua bocah Walder
menunggang kuda. Mereka memang membawa zirah yang
bagus dari Twins, pelat perak berkilauan dengan ukiran biru
berlapis email. Puncak helm Walder Besar dibentuk seperti
kastel, sementara Walder Kecil memilih pita-pita sutra biru
dan abu-abu. Perisai dan baju luar mereka juga membedakan
mereka dari yang lain. Walder Kecil menyandingkan lambang
menara kembar Frey di baju luarnya dengan babi hutan belang
lambang klan neneknya dan pembajak tanah lambang klan
ibunya: Klan Crakehall dan Klan Darry. Sementara lambanglambang yang disandingkan Walder Besar adalah pohon-danraven milik Klan Blackwood serta ular melilit milik Klan Paege.
Mereka pasti lapar akan penghormatan, Bran membatin saat
mengawasi mereka mengangkat lembing. Seorang Stark hanya
butuh direwolf. Kuda abu-abu berbintik yang mereka tunggangi gesit,
kuat, dan sangat terlatih. Mereka berdampingan, menyerang
tiang sasaran. Keduanya mengenai perisai dengan jitu dan jauh
sebelum karung isi sempat berputar menghantam mereka.
Walder Kecil menombak dengan lebih kuat, tapi menurut
Bran, Walder Besar adalah penunggang yang lebih baik. Dia
rela memberikan kedua kaki lumpuhnya demi kesempatan
bertanding melawan salah satu dari mereka.
267 Walder Kecil melempar lembingnya yang pecah, melihat
Bran, dan menarik tali kekang. "Itu baru namanya kuda jelek,"
katanya mengomentari Hodor.
"Hodor bukan kuda," tukas Bran.
"Hodor," timpal Hodor.
Walder Besar berderap maju untuk bergabung dengan
sepupunya. "Yah, dia tidak secerdas kuda, itu sudah pasti."
Beberapa pemuda White Harbor saling colek dan tertawa.
"Hodor." Hodor tersenyum ramah dan menatap kedua
bocah Frey bergantian, tidak menyadari ejekan mereka. "Hodor
hodor?" Kuda Walder Kecil meringkik. "Lihat, mereka
mengobrol. Mungkin hodor artinya "aku cinta padamu' dalam
bahasa kuda." "Tutup mulutmu, Frey." Bran dapat merasakan
wajahnya memerah. Walder Kecil membawa kudanya mendekat, menabrak
Hodor sehingga lelaki itu terdorong mundur. "Apa yang akan
kaulakukan kalau aku menolak?"
"Dia akan menyuruh serigalanya mengejarmu, Sepupu,"
Walder Besar memperingatkan.
"Coba saja. Aku selalu ingin punya jubah kulit serigala."
"Summer bakal mencopot kepala gendutmu," Bran
menyergah. Walder Kecil memukulkan tinju bersarung rantai ke
pelat dada. "Apa serigalamu punya gigi baja, bisa menggigit
menembus pelat dan rantai?"
"Cukup!" Suara Maester Luwin menggelegar selantang
guruh, mengalahkan keriuhan di halaman. Berapa banyak
yang dia dengar, Bran tidak dapat memastikan" yang jelas
cukup untuk membuatnya marah. "Ancam-mengancam ini
tidak pantas, dan aku tak mau mendengarnya lagi. Seperti
inikah perilaku kalian di Twins, Walder Frey?"
"Kalau aku mau." Dari punggung kudanya, Walder
Kecil membersut pada Luwin, seolah hendak mengatakan,
268 Kau hanya seorang maester, berani-beraninya menegur seorang Frey
dari Pelintasan" "Yah, bukan seperti itu perilaku yang diharapkan
dari anak asuh Lady Stark di Winterfell. Ada masalah apa
sebenarnya?" Sang maester menatap anak-anak itu bergantian.
"Aku bersumpah, salah satu dari kalian harus menjawabku,
atau?" "Kami tadi mengolok-olok Hodor," Walder Besar
mengakui. "Aku minta maaf kalau kami menyinggung
Pangeran Bran. Maksud kami hanya bercanda." Dia setidaknya
punya kesopanan untuk terlihat malu.
Walder Kecil hanya terlihat jengkel. "Aku juga," katanya.
"Aku juga hanya bercanda."
Bran bisa melihat bagian botak di puncak kepala sang
maester sudah memerah; sepertinya Luwin lebih marah
daripada biasanya. "Penguasa yang baik menghibur dan
melindungi orang-orang lemah dan tak berdaya," dia berkata
kepada kedua Frey. "Takkan kubiarkan kalian menjadikan
Hodor sasaran olok-olok kejam, dengar" Dia pemuda yang
baik hati, setia dan patuh, pujian yang tak bisa kuberikan pada
kalian berdua." Sang maester menggoyangkan satu jari pada
Walder Kecil. "Dan kau harus menjauhi hutan sakral sekaligus
serigala-serigala itu, atau kau akan menanggung akibatnya."
Diiringi kibasan lengan baju, sang maester berbalik dan
berjalan gusar beberapa langkah, lalu menoleh ke belakang.
"Bran. Ayo. Lord Wyman menunggu."
"Hodor, ikuti sang maester," Bran memerintah.
"Hodor," sahut Hodor. Langkah-langkah panjangnya
menjajari kaki sang maester yang menyentak murka menaiki
tangga Menara Utama Kastel. Maester Luwin menahan pintu
agar tetap terbuka, dan Bran memeluk leher Hodor lalu
merunduk selagi mereka lewat.
"Kedua Walder?" dia memulai.
"Aku tidak mau mendengar lagi, sudah selesai." Maester
Luwin tampak letih dan rapuh. "Kau berbuat benar dengan
269 membela Hodor, tapi seharusnya kau tidak berada di sana.
Ser Rodrik dan Lord Wyman sudah sarapan lebih dulu sambil
menunggumu. Haruskah aku sendiri yang menjemputmu,
seperti menjemput anak kecil?"
"Tidak," jawab Bran malu. "Aku minta maaf. Aku hanya
ingin?" "Aku tahu apa yang kauinginkan," Maester Luwin
berkata dengan lebih lembut. "Seandainya bisa seperti itu,
Bran. Apa kau punya pertanyaan sebelum kita memulai
pertemuan ini?" "Apakah kita akan membicarakan perang?"
"Kau tidak akan membicarakan apa pun." Suara Luwin
kembali tajam. "Kau masih anak umur delapan tahun?"
"Hampir sembilan!"
"Delapan," ulang sang maester tegas. "Jangan
membicarakan apa pun selain basa-basi kecuali Ser Rodrik
atau Lord Wyman mengajukan pertanyaan."
Bran mengangguk. "Akan kuingat."
"Aku tidak akan menyinggung kejadian antara kau dan
anak-anak Frey pada Ser Rodrik."
"Terima kasih."
Mereka menempatkan Bran di kursi ayahnya yang terbuat
dari kayu ek dengan bantalan beledu abu-abu, di belakang meja
panjang yang bisa dibongkar. Ser Rodrik duduk di sebelah
kanannya dan Maester Luwin di sebelah kiri, bersenjatakan
pena-pena bulu, botol tinta, dan setumpuk perkamen kosong
untuk menuliskan semua yang terjadi. Bran menyusurkan satu
tangan pada kayu meja yang kasar dan memohon maaf kepada
Lord Wyman karena terlambat.
"Oh, tidak ada pangeran yang terlambat," sang penguasa
White Harbor menjawab dengan ramah. "Yang tiba sebelum
dia itu karena mereka datang terlalu cepat, itu saja." Wyman
Manderly memiliki tawa menggelegar yang mengesankan.
Tak heran dia tidak dapat duduk di pelana; kelihatannya
seakan-akan dia lebih berat dibandingkan sebagian besar
270 kuda. Dengan kegemaran bicara yang sama besar dengan
ukuran tubuhnya, dia memulai dengan meminta Winterfell
mengesahkan petugas-petugas cukai yang dia tunjuk untuk
White Harbor. Petugas-petugas yang lama terbukti menyimpan
perak untuk King"s Landing alih-alih membayarkannya kepada
Raja di Utara yang baru. "Raja Robb juga membutuhkan uang
logamnya sendiri," dia menegaskan, "dan White Harbor adalah
tempat yang tepat untuk mencetaknya." Dia menawarkan diri
untuk mengurus masalah tersebut, jika sang raja berkenan, dan
selanjutnya berbicara tentang bagaimana dia telah memperkuat
pertahanan pelabuhan, menguraikan biaya untuk semua
perbaikan. Selain mencetak uang logam, Lord Manderly juga
menawarkan untuk menyiapkan armada perang bagi Robb.
"Kita tidak punya kekuatan di laut selama ratusan tahun, sejak
Brandon sang Pembakar menghanguskan kapal-kapal ayahnya.
Berikan emasnya kepadaku dan dalam waktu satu tahun aku
akan meluncurkan kapal-kapal yang tangguh untuk merebut
Dragonstone serta King"s Landing sekaligus."
Minat Bran tergugah mendengar pembicaraan tentang


Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kapal perang. Tidak ada yang bertanya kepadanya, tapi
menurut Bran ide Lord Wyman sungguh luar biasa. Dalam
mata benaknya dia sudah dapat melihat kapal-kapal itu. Dia
bertanya-tanya apakah pernah ada orang cacat yang menjadi
nakhoda kapal perang. Tapi Ser Rodrik hanya berjanji
Manusia Srigala 7 Lima Sekawan Patung Dewa Aneh Pendekar Super Sakti 23

Cari Blog Ini