Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Mata Mata 1

Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata Bagian 1


PERTARUNGAN MATA-MATA Ebook by Syauqy_arr Edited by Raynold (Re edited by Farid ZE) 1. Wanita Misterius Kejadiannya pada saat pemanasan.
Krak! Tiba-tiba saja bahu kiri Sporty terasa nyeri sekali, seperti ditusuk-tusuk
oleh ribuan jarum. Ia masih menyelesaikan gerakan terakhir, kemudian meringis
sambil menahan sakit. "Ada apa, Sporty?" pelatihnya langsung bertanya dengan cemas. "Kau cedera?"
Anak itu mengumpat perlahan, lalu berkata,"Tangan saya rasanya seperti mau
copot." "Ya ampun!" seru Pak Martin, pelatih Sporty. "Sebentar lagi pertandingan
dimulai. Coba saya lihat dulu!" "
Pemeriksaan bahu Sporty berlangsung di tepi arena. Sporty menjalaninya dengan
waswas. Anak itu sadar bahwa ia takkan bisa bertarung dalam keadaan seperti ini.
Berarti, ia sudah gugur -belum sempat turun ke gelanggang. Menyedihkan sekali,
sebab Sporty sebenarnya mempunyai peluang besar untuk menjuarai pertandingan
ini. "Hmm," Pak Martin bergumam, "cederanya tidak terlalu parah. Kelihatannya cuma
keseleo saja. Lenganmu takkan copot gara-gara ini. Tapi kau tidak bisa
bertarung. Apa boleh buat!"
Sporty kembali mengumpat. Ia kecewa sekali.
"Sudahlah," pelatihnya berusaha menghibur. "Calon-calon lawanmu pasti akan lega
sekali karena kejadian ini. Sekali-sekali mereka pun ingin merasakan nikmatnya
jadi juara." Sporty mencoba menggerakkan lengannya. Namun rasa nyeri segera mengalir seperti
gelombang.Beberapa di antara ke-50 pejudo yang hadir memandang ke arah Sporty
dan Pak Martin. Mereka nampak terheran-heran. Jarang-jarang seorang favorit
juara harus mundur karena kecelakaan konyol seperti yang dialami Sporty. Dengan
demikian peluang menjuarai pertandingan junior ini kembali terbuka lebar.
"Lenganmu harus segera mendapat perawatan," ujar Pak Martin. "Ayo, kita ke ruang
P3K." "Jangan di sini, deh!" Sporty menolak. "Saya mau pulang saja. Begitu turun dari
kereta, saya akan segera ke tempat praktek Dr. Jakob. Dia ahli cedera olahraga.
Saya sudah mengenalnya. Dr. Jakob pernah mengobati saya waktu saya jatuh dari
sepeda." "Hmm, Dr. Jakob memang hebat. Tapi kau jangan lupa, Sporty, sayalah yang
bertanggung jawab atas dirimu. Saya tidak bisa membiarkanmu pulang duluan apalagi dalam keadaan cedera! Kita datang bersama-sama, dan kita akan pulang
bersama-sama." Sporty menanggapi keberatan pelatihnya sambil nyengir lebar.
"Bapak kan tidak bisa disalahkan kalau saya menghilang secara diam-diam,"
katanya."Kenapa sih, kau tidak tunggu di sini saja" Kau tidak berminat
menyaksikan pertandingan?"
"Nongkrong di sini sambil mendongkol" Wah, terima kasih, deh! Lebih baik saya
pulang saja." "Baiklah! Kau boleh pulang duluan! Biar saya yang mengurus segala sesuatu di
sini. Tapi hati-hati di jalan, ya"! Dan jaga lenganmu! Jangan sampai cederanya
bertambah parah." Sporty mengangguk, lalu bergegas menuju ruang ganti. Ia segera melepaskan
pakaian judonya, kemudian mengenakan celana jeans, T-shirt, baju hangat berwarna
merah, dan sepatu kets. Sambil menenteng kantong pakaian, ia keluar lewat pintu
samping.Beberapa bis nampak berjajar di lapangan parkir di depan gedung
olahraga. Kendaraan-kendaraan itu digunakan untuk membawa para pejudo ke sini.
Sporty dan rekan-rekannya pun datang naik bis. Mereka menempuh perjalanan ke
lama hampir tiga jam untuk sampai di tempat pertandingan.
Untuk apa aku tinggal di sini kalau tidak bisa ikut bertanding"! ujar Sporty
dalam hati. Daripada bengong-bengong, lebih baik aku balik ke asrama.
Gedung olahraga itu terletak agak di luar kota. Di sebelah kanannya, ladangladang gandum menghampar sampai ke cakrawala. Di sebelah kirinya ada jalan bebas
hambatan. Jalan menuju N ke kota melintas di atasnya.Sporty mulai berjalan,
sambil mencoba untuk tidak menggerakkan lengannya yang cedera. Tujuannya adalah
stasiun kereta api. Sebelum mencapai jembatan atau jalan yang menuju ke kota tadi, Sporty harus
melewati belokan yang menuju ke autobahn (jalan bebas hambatan). Di pinggirnya
ia melihat sebuah papan petunjuk: RESTORAN-1 KM.Untuk sejenak anak itu raguragu. Namun kemudian ia mengubah arah dan melangkah dengan mantap.Kenapa harus
mengeluarkan uang kalau ada cara yang lebih hemat! Karcis kereta api memang
cukup mahal, tapi nyaris tak berarti dibanding dengan kerugian yang diderita
perusahaan kereta api selama ini. Sedangkan untuk membeli karcis, Sporty harus
merogoh kocek sendiri. Padahal uang sakunya pas-pasan saja!
Sebenarnya, tabungan anak itu sudah cukup banyak. Uangnya berasal dari hadiahhadiah dan imbalan-imbalan yang ia peroleh bersama anak-anak STOP yang lain,
karena mereka berhasil memecahkan beberapa kasus kejahatan. Sporty selalu
menabung bagiannya. Menghambur-hamburkan uang tak ada dalam kamus anak itu!
Cari tumpangan saja, deh! Sporty berkata dalam hati. Jalur autobahn ini lewat di
dekat sekolah asrama. Mudah-mudahan tampangku cukup mengibakan hati, sehingga
ada yang merasa kasihan dan mau mengajakku. Ia menyusuri tepi jalan. Rumput di
jalur hijau tampak kecokelatan seperti tembakau. Tiga sedan lewat begitu saja.
Setiap kali Sporty mengacungkan jempol, tanda ingin menumpang. Tapi para
pengemudi nampak terburu-buru.Lalu lintas di jalan bebas hambatan ternyata cukup
padat. Mobil-mobil sport melesat dengan kencang. Truk-truk gandengan
menggelinding dengan kecepatan yang lebih rendah. Di kejauhan sebuah helikopter
polisi berputar-putar di langit yang biru sambil memantau keadaan.
Sebuah kendaraan mendekat. Sporty menoleh dan melihat sebuah Mercedes tua yang
penuh karat. Mesin mobil itu terbatuk-batuk ketika pengemudinya berhenti di tepi
jalan. Astaga! pikir Sporty sambil geleng-geleng kepala.Memang sudah sepantasnya kalau
ia merasa kaget, sebab Mercedes itu berisi tujuh... bukan, delapan orang. Dan
semuanya gendut-gendut.Pengemudi serta para penumpang mobil itu berkulit cokelat
dan berambut hitam - sekelompok pekerja asing.
"Mau ikut?" si pengemudi bertanya."Tidak! Terima kasih! Saya hanya mau ke
restoran di depan sana."
"Oh, begitu! Sebenarnya sih masih muat satu orang lagi. Kalau kami bergesergeser sedikit, masih ada tempat untukmu.
"Hah, masih ada tempat" pikir Sporty. Di mana" Di atap" Bersama ketiga koper
itu" "Terima kasih," katanya. "Saya jalan kaki saja. Sudah dekat, kok."
Kedelapan orang di dalam mobil itu tersenyum ramah. Kemudian si pengemudi
kembali menginjak pedal gas. Perlahan-lahan Mercedes itu mulai meluncur lagi.
Mereka benar-benar baik hati, ujar Sporty dalam hati. Malahan terlalu baik,
sehingga melupakan faktor keamanan. Mobilnya sudah penuh sesak, dan keadaannya
pun mencurigakan. Mungkin saja remnya tiba-tiba blong. Biarpun menumpang, aku
tetap berhak untuk mencari kendaraan yang aman.
Beberapa menit kemudian ia sampai di restoran. Pemerintah Jerman Barat memang
mengizinkan para pengusaha untuk membuka restoran, pompa bensin, serta lapangan
parkir, di tepi jalan bebas hambatan antar kota. Dengan demikian para pengemudi
tidak perlu keluar dari jalan itu, jika mereka mau makan, mengisi bensin, atau
sekadar ingin melepas lelah.
Lapangan parkir di depan restoran ternyata kosong. Dan di pintunya ada
pengumuman: TUTUP SAMPAI...Wah, payah! pikir Sporty kesal. Mereka enak-enak
libur, sementara para pengemudi terpaksa menahan lapar dan haus. Kalau begitu,
aku ke pompa bensin saja. Mudah-mudahan saja tidak ikut-ikutan tutup.
Kekhawatiran Sporty ternyata tidak beralasan. Keadaan di pompa bensin lagi
ramai-ramainya. Puluhan mobil nampak menunggu giliran untuk dilayani. Para
petugas berseragam biru benar-benar sibuk: mengisi bensin, membersihkan kaca,
memeriksa oli, menerima uang...
Sporty sudah mau beranjak ketika ia melihat sebuah mobil menuju ke arahnya.
Mobil itu adalah sebuah Audi berwarna hijau daun. Pengemudinya seorang wanita.
Ia memperlambat kendaraannya, lalu berhenti di lapangan parkir. Rupanya ia belum
tahu bahwa restoran itu tutup. Baru setelah mematikan mesin mobil, wanita itu
melihat pengumuman yang tertempel di pintu restoran.Wajahnya langsung
mencerminkan kekecewaan. Apakah aku boleh numpang di mobilnya" Sporty bertanya dalam hati. Hmm,
kemungkinan besar sih tidak! Kaum wanita biasanya tidak mau memberi tumpangan
pada orang yang tidak dikenal. Mungkin saja orang yang diajak seorang pembunuh
berdarah dingin! Ayo, Sporty! Senyum, dong! Siapa tahu wanita ini seorang
pemberani. Cepat-cepat ia mengacungkan jempol kiri. Tapi senyum di bibir Sporty segera
terhapus, karena rasa nyeri kembali menyerang bahunya. Untuk ketiga kalinya anak
itu mengumpat tertahan. Perlahan-lahan ia menurunkan tangan.Wanita itu menoleh
ke arahnya. "Kau mau numpang?" ia bertanya melalui jendela yang terbuka.
"Ya! Saya..." "Ke mana?" Sporty menyebutkan tujuannya, dan wanita itu tersenyum ramah.
"Kebetulan sekali," katanya. "Saya juga mau ke sana. Ayo, silakan naik!" .
Sporty membuka pintu dan duduk di depan. Kantong pakaian diletakkannya di bangku
belakang. Sementara Sporty memasang sabuk pengaman, wanita itu sudah melewati
pompa bensin. Rupanya tangki bensinnya masih penuh.
"Terpaksa deh, saya tunggu sampai restoran berikut," wanita itu mendesah.
"Padahal saya benar-benar perlu secangkir kopi. Mata saya sudah susah diajak
berkompromi." "Anda pasti sudah menempuh perjalanan jauh," Sporty menduga-duga.
"Lumayan juga, 400 kilometer sih ada. Saya datang dari - Brussel, ibukota Belgia."
"Oh, ya, nama saya Peter Carsten."
"Saya Hilda Putz."
"Terima kasih atas kebaikan Anda, Nyonya Putz. Saya..."
"...Nona Putz," wanita itu memotong. "Saya masih single - belum menikah. Kau
sering menumpang seperti ini?"
"Hampir tidak pernah. Untung Pak Martin tidak tahu-menahu soal ini. Dia pelatih
judo saya. Kalau dia tahu bahwa saya tidak naik kereta, dia pasti marah-marah.
Tapi saya bisa menjaga diri - biarpun lagi cedera. Lengan kiri saya keseleo. Garagara..."Sporty lalu menceritakan nasib sial yang menimpanya.
Dan Nona Putz - walaupun lelah - mendengarkannya dengan penuh perhatian. Usia
wanita itu sekitar 30 tahun. Wajahnya cantik. Kedua matanya biru. Ia mengenakan
make-up dengan warna-warna segar. Rambutnya dipotong sesuai mode terakhir, dan
dicat merah. Menurut Sporty, warna itu tidak cocok untuk Nona Putz. Tapi itu sih
soal selera pribadi.Mereka kini melaju di jalan bebas hambatan. Jarum
speedometer - alat pengukur kecepatan - menunjuk ke angka 110. Setiap beberapa detik
Hilda melirik ke kaca spion.
Bagaimana caranya supaya dia jangan sampai ketiduran" pikir Sporty sambil
menatap Hilda, yang memang sudah mulai mengantuk. Setelah berpikir sejenak, anak
itu lalu bercerita mengenai keadaan di asrama, dan mengenai petualanganpetualangan yang ia alami bersama ketiga sahabatnya.Hilda telah menurunkan
kecepatan sampai 95 km/jam. Dengan susah payah ia berusaha menahan serangan
kantuk. Mungkin lebih baik kalau aku ikut Mercedes tadi, pikir Sporty. Keadaan mobil ini
memang lebih baik, tetapi keadaan pengemudinya justru lebih mengkhawatirkan.Hari
telah menjelang sore. Matahari berada tepat di depan mereka Hilda menurunkan
sunscreen (penghalang sinar matahari) dan mengenakan kacamata gelap.
Sporty mengedip-ngedipkan mata. Kemudian ia pun menurunkan sunscreen. Dengan
bantuan cermin kecil yang terpasang pada penghalang sinar matahari itu, Sporty
bisa memperhatikan keadaan jalan bebas hambatan di belakang mereka.Lalu lintas
masih padat. Hilda menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang. Mobil-mobil
lain terus menyusul. Tetapi tidak semuanya, sebuah Mercedes berwarna hitam di
belakang mereka kelihatannya juga tidak terburu-buru. Pengemudi serta penumpang
di sebelahnya nampak duduk dengan santai.
"...lenganmu masih sakit, Peter?" tanya Hilda.
"Sudah mendingan - asal jangan digerakkan aja. Tapi... ehm... panggil saya Sporty
saja, deh! Kalau saya dipanggil dengan nama Peter, saya selalu mengira orang
lainlah yang dimaksud."
Hilda tersenyum. "Lima kilometer lagi sampai ke restoran berikut," ujar Sporty setelah membaca
papan petunjuk di tepi jalan. "Wah, bau kopinya sudah kecium!"
"Awas kalau restoran itu tutup juga," Hilda mengancam. "Jangan sampai saya lupa
diri dan terpaksa berteriak-teriak di pinggir jalan!"
Untung saja restoran itu buka. Lapangan parkir di depannya penuh sesak. Tidak
ada tempat kosong sama sekali.Hilda terpaksa menjalankan mobilnya sampai ke
belakang bangunan itu. Di sana - agak tersembunyi - ada lapangan parkir kecil yang
dikelilingi semak-semak. Di ujungnya terdapat sebuah jalan satu jalur yang
langsung menuju ke jalan bebas hambatan.
Sebelum turun dari mobil, Sporty menoleh ke bangku belakang. Di samping kantong
pakaiannya ada sebuah tas kantor berwarna hitam.Baru sekarang Sporty menyadari
bahwa Hilda termasuk tinggi dan berbadan langsing.
Wanita muda itu mendengus-dengus,"Kau benar, Sporty. Bau kopinya sudah tercium."
"Bagaimana tidak" Kita kan berada tepat di depan jendela dapur."
Jendela itu berkaca buram, sehingga mereka tidak bisa melihat ke dalam. Namun
suara piring dan panci terdengar dengan jelas. Sosok-sosok berpakaian serba
putih nampak samar-samar. Sporty dan Hilda menuju ke depan. Sebelum masuk ke
restoran, Sporty melihat Mercedes hitam yang tadi berada di belakang mereka.
Pengemudinya sedang menoleh ke kiri dan kanan. Rupanya ia juga mencari tempat
parkir. Suasana di restoran itu ramai sekali. Para pengunjung seakan-akan berlomba-lomba
untuk mengalahkan suara dari meja sebelah Sebagian besar sedang makan dengan
lahap. Beberapa orang nampak berbincang-bincang sambil minum bir.
Mudah-mudahan saja mereka masih tahu batas, Sporty berharap.
Semua meja sudah terisi, sehingga Sporty dan Hilda terpaksa berbagi tempat
dengan sepasang remaja yang sedang asyik berpacaran. Kedua anak muda itu saling
menyuapkan makanan, sambil bertatapan dengan mesra.
Hilda lalu memesan secangkir kopi tanpa susu Sporty minta segelas CocaCola.
Sambil menunggu pesanan, Sporty mencoba mengangkat lengan kirinya. Ternyata
gerakan itu sempat menimbulkan salah pengertian: seorang pelayan merasa
dipanggil dan langsung menghampiri anak itu. Sporty terpaksa minta maaf dan
menjelaskan duduk perkaranya. Untuk selanjutnya anak itu memutuskan untuk diam
saja. Ia toh sudah tahu bahwa lengannya kini tidak begitu sakit lagi.
"Anda memang tinggal di Brussel?" Sporty lalu membuka percakapan.Hilda
mengangguk. "Kau pasti memperhatikan pelat nomor mobil saya, ya" Betul, saya bekerja di
sana." "Tapi Anda orang Jerman, bukan?"Sekali lagi Hilda mengangguk.
Tapi sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, pelayan tadi telah membawa pesanan
mereka. Dengan mata berbinar-binar. Hilda meraih cangkir kopinya, lalu
memasukkan lima sendok gula. Sporty memperhatikannya sambil geleng-geleng.
Kemudian mereka berbincang-bincang dengan santai, sambil menikmati minuman
masing-masing. Setelah selesai, Sporty cepat-cepat mengeluarkan dompetnya. Ia
ngotot hendak membayar - sebagai balas jasa atas kebaikan Hilda. Pertama-tama
wanita muda itu menolak. Tapi akhirnya ia tersenyum dan mengucapkan terima
kasih. Sporty dan Hilda berdiri lalu keluar dari restoran. Hilda nampak lebih segar
sekarang. Tapi Sporty merasa bahwa wanita muda itu jadi agak gelisah. Dengan
bingung ia menoleh ke segala arah, seakan-akan lupa di mana ia memarkir
mobilnya. "Kurang lebih satu jam lagi kita sudah sampai," ujar Sporty sambil berjalan ke
lapangan parkir di belakang restoran.
Matahari bersinar terik. Langit tampak biru, tanpa awan sama sekali.Di samping
mobil Hilda kini ada satu mobil lagi, Mercedes hitam yang telah dua kali menarik
perhatian Sporty.Mobil itu menghadap ke arah jalan keluar. Mesinnya dihidupkan.
Pengemudinya duduk di dalam. Pintu sebelah kanan terbuka lebar.
Sporty nyaris tak percaya pada penglihatannya. Rekan si pengemudi Mercedes telah
membongkar pintu mobil Hilda, dan mengambil tas kantor wanita itu dari bangku
belakang. Baru saja ia membalik dan hendak kembali ke mobil yang menunggunya.
Sporty segera bertindak. Ia seperti lupa bahwa lengannya sedang cedera. Seperti
panah terlepas dari busur anak itu melesat maju. Pencuri tas Hilda langsung
menyadari ancaman yang datang. Sambil memelototi Sporty, pria itu melompat ke
arah Mercedes yang siap berangkat. Dengan sigap ia masuk ke dalam. Rekannya
segera tancap gas. Tapi pada saat yang sama Sporty telah sampai di samping mobil
itu. Si pencuri nampak kebingungan. Gerakan-gerakannya tidak terkoordinasi


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan baik - mungkin karena terlalu terburu-buru. Badannya sudah berada di dalam
mobil. Tetapi tangan kanannya, yang menggenggam tas Hilda, masih ketinggalan di
luar. (Di Jerman, kemudi mobil di sebelah kiri). Dengan tergesa-gesa ia berusaha
menariknya. Namun Sporty lebih cepat. Anak itu segera menabrak pintu mobil
dengan bahu kanannya, sehingga tangan si pencuri kejepit. Pria itu berteriak
kesakitan. Tas kantor milik Hilda terpaksa dilepaskannya. Sporty langsung
melompat mundur. Untung saja, sebab Mercedes itu sudah mulai melaju dan nyaris
menyerempet Sporty. Beberapa detik kemudian anak itu baru sadar bahwa ia
terduduk di aspal. Tas kepunyaan Hilda ada di antara kedua kakinya.
Ternyata tanpa tangan kiri pun bisa! Sporty berkata dalam hati.
Kemudian ia menoleh ke arah Hilda. Wanita muda itu berdiri seperti patung - dengan
mata terbelalak dan satu kaki terangkat. Ia nampak seakan-akan membatu pada saat
melangkah. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Mulutnya menganga lebar, namun tidak
sempat mengeluarkan suara.
"Keadaan sudah aman!" kata Sporty sambil ketawa dan melambaikan tas milik Hilda.
Untuk itu ia harus menggunakan tangan kanan, sebab tasnya cukup berat. "Kali ini
kita masih beruntung."
Hilda menutup mulut, menapakkan kaki, lalu menghampiri Sporty.
Anak itu segera berdiri."Kurang ajar! Para pencuri semakin nekat saja. Coba
perhatikan bagaimana bajingan itu membongkar pintu mobil Anda. Pekerjaannya rapi
sekali, nyaris tanpa bekas. Tak ada bagian yang dirusak. Kelihatannya mereka
bukan pencuri amatiran."
Hilda berhenti di hadapan Sporty, meraih. tasnya, lalu menatap anak itu sambil
menggelengkan kepala. "Saya benar-benar berutang budi padamu, Sporty," katanya dengan suara serak.
"Entah bagaimana saya harus berterima kasih."
"Sudahlah, lupakan saja. Yang penting Anda tidak kehilangan tas. Kita tidak
boleh membuang-buang waktu. Jangan sampai kedua bajingan itu sempat kabur.
Mereka masih di jalan bebas hambatan sekarang. Saya masih ingat pelat nomor
Mercedes itu. Kita harus segera menelepon polisi dan..."
"Sporty!" Hilda mencegahnya. "Saya... saya tidak tahu bagaimana saya harus
menjelaskannya, tapi... ehm... saya minta dengan amat sangat... Jangan hubungi
Polisi!" Sporty segera mengerutkan kening terheran-heran ia menatap wanita di
hadapannya."Tapi... Nona Putz! Kedua bajingan itu hampir saja mencuri tas Anda."
Hilda mengangguk perlahan."Saya tahu. Tapi saya minta kau jangan telepon
polisi." "Permintaan Anda benar-benar tidak masuk akal! Memangnya Anda kenal mereka?"
Hilda menggeleng. Sporty lalu menunjuk tas di tangan wanita itu. "Ada sesuatu yang penting di
dalamnya?" Hilda kembali menggeleng."Hmm, Anda bilang bahwa Anda tidak bisa memberi
penjelasan. Artinya, Anda tidak mau memberi penjelasan, bukan?"
Kedua mata Hilda mulai berkaca-kaca. Sporty langsung merasa kikuk. Air mata
seorang wanita selalu membuatnya tak berdaya - begitu juga kali ini. Kecurigaannya
langsung pupus. "Baiklah! Terserah Anda saja. Tapi tolong jangan menangis. Anda sudah berbaik
hati dan menolong saya. Karena itu saya akan beranggapan bahwa Anda sebenarnya
sudah menikah, dan bahwa Anda diam-diam meninggalkan suami Anda. Mungkin itu
sebabnya Anda tidak mau berurusan dengan polisi. Tapi ada satu hal yang harus
saya tanyakan. Saya harap Anda mau menjawabnya dengan jujur: apakah Anda membawa
narkotik dalam tas Anda?"
"Tidak!" Sporty menatap Hilda dengan tajam. Kedua mata wanita itu nampak memerah. Tapi
sorot matanya menunjukkan bahwa ia tidak bohong. Setidak-tidaknya Sporty merasa
begitu. Kenyataan ini membuatnya agak tenang. Hilda tidak tersangkut dalam
urusan narkotik. Tapi bagaimana kalau tas itu berisi perhiasan curian, atau uang yang digelapkan,
atau... Ah, masa bodoh! Itu tanggung jawab Hilda sendiri. Sporty tidak perlu
ikut campur. Begitulah pendapatnya yang kemudian ternyata keliru sekali.
2. Si Pencuri Beraksi Kembali
Selama sisa perjalanan, Sporty dan Hilda hanya bicara seperlunya. Kejadian tadi
sama sekali tidak disinggung-singgung lagi.
Sambil membisu, Sporty berulang kali berusaha mengingat-ingat wajah si pencuri.
Ia memang hanya sempat melihatnya selama beberapa detik saja - tetapi dari dekat
sekali. Wajah bajingan itu takkan terhapus dari ingatan Sporty. Ciri-cirinya terlalu
menyolok, wajahnya berbentuk kotak dan berkesan garang. Matanya yang hitam
menyorot dingin. Ciri-ciri lain adalah dahi sempit, alis tebal, serta hidung
bengkok yang kelihatannya pernah patah. Potongannya kekar, tetapi gerakannya
cukup gesit. Ia berpakaian perlente, seperti seorang manajer tingkat atas. Hilda
nampak terpukul sekali. Tasnya tidak berisi narkotika.
Hmm. Tapi... Sporty mulai bimbang. Apakah kejadian mencurigakan tadi bisa
dianggap sebagai angin lalu saja" Apakah sikap seperti itu bisa
dipertanggungjawabkan" Barangkali lebih baik kalau hal ini dilaporkan pada
Komisaris Glockner. Namun di pihak lain - Sporty sudah berjanji untuk tidak
melibatkan polisi. Kalau ia sekarang menghubungi Pak Glockner, ia akan merasa
seperti seorang pengkhianat.
Mudah-mudahan aku tidak menyesal nanti, Sporty berkata dalam hati. Habis, aku
tak sanggup menghadapi air mata wanita. Apalagi kalau wanita itu memiliki
sepasang mata yang indah. Hmm, kalau dipikir-pikir, mata Hilda mirip mata Petra.
Mungkin karena itu... Oke, deh! Aku sudah janji! Tapi mata Petra masih lebih
biru. Dan dia takkan mengecat rambutnya dengan warna merah menyala.
"Sebentar lagi kita sudah sampai," ujar Hilda. "Kau mau turun di mana?"
"Anda menuju ke mana?"
"Ke arah pusat kota."
"Kebetulan sekali! Berarti kita akan lewat Gereja Santo Michael. Saya turun di
sana saja. Tempat praktek Dr. Jakob tidak jauh dari situ."
"Semoga saja kau lekas sembuh! Supaya kau bisa latihan lagi dan meraih gelar
juara di pertandingan berikutnya."
Sporty menanggapinya dengan ketawa."Terima kasih! Saya akan berusaha sebisabisanya." Mereka masuk ke kota, lalu ditelan oleh lalu lintas yang padat. Suasana di
sepanjang jalan protokol yang mereka lewati nampak meriah sekali. Para penduduk
kota rupanya tidak ingin menyia-nyiakan cuaca sebagus ini.
Sporty merasa seakan-akan telah pergi beberapa hari - bukan baru beberapa jam
saja.Tidak lama kemudian Nona Putz berhenti di depan Gereja Santo Michael.
Wanita itu tersenyum kaku, lalu berjabatan tangan dengan Sporty.Sepertinya ada
yang dia sembunyikan, anak itu berkata dalam hati.
"Terima kasih atas bantuanmu, Sporty."
"Sama-sama, Nona Putz!"Sambil menenteng kantong pakaiannya, Sporty berdiri di
pinggir jalan. Ia memperhatikan mobil Nona Putz sampai menghilang dari pandangan. Dalam sekejap
pelat nomor kendaraan itu sudah terukir di otaknya. Tiga kali ia mengulangi
deretan huruf dan angka itu. Siapa tahu nanti ada gunanya. Sporty menggerakgerakkan lengannya. Ternyata lancar-lancar saja. Kemudian ia mulai memutarmutarnya. Langsung saja rasa nyeri mulai menusuk-nusuk lagi. Tapi sudah tidak
separah tadi pagi. Nah, lumayan kan" Apa memang perlu pergi ke tempat praktek Dr. Jakob" Sporty
bertanya dalam hati. Rasanya sih, tidak perlu. Tapi apa jadinya kalau semua
orang berpikiran seperti ini" Bisa-bisa semua dokter terpaksa gulung tikar! Mau
makan apa mereka nanti" Ayo Sporty, Dr. Jakob sudah menunggu.
Ketika membalik, Sporty tiba-tiba melihat sebuah Mercedes hitam. Namun sebelum
ia sempat memastikan apakah mobilnya sama dengan mobil pencuri tadi, kendaraan
itu sudah lenyap dari pandangan.
Benarkah itu mobilnya" Jangan-jangan Sporty hanya salah lihat.Ia tidak sempat
membaca pelat nomor Mercy itu. Ia hanya melihat bahwa mobil itu berisi dua orang
pria.Sporty berpikir sejenak, kemudian sampai pada kesimpulan bahwa ia tidak
bisa berbuat apa-apa, dan bahwa kemungkinan besar ia salah lihat. Memang pelat
nomor mobil kedua bajingan menunjukkan bahwa mereka berasal dari sini. Tapi kota
ini besar dan luas. Penduduknya berjuta-juta. Mungkin saja ada dua buah
kendaraan yang mirip sekali satu sama lain.
Sporty menenteng kantong pakaiannya, lalu menuju tempat praktek Dr. Jakob.Pada
waktu ia mendaftarkan diri, gadis muda yang bekerja sebagai pembantu dokter
bertanya apakah Sporty sudah punya janji.
"Belum! Tapi ini kasus darurat. Saya baru saja mengalami kecelakaan."
"Kecelakaan lalu lintas?" gadis itu bertanya dengan terkejut.
"Bukan, kecelakaan olahraga!"
"Oooh, cuma itu!"
"Cuma itu bagaimana" Memangnya kecelakaan olahraga tidak perlu ditangani?"
"Bukan begitu maksudnya. Saya kira kau cuma main-main. Habis, kau kelihatannya
sehat-sehat saja," jawab gadis itu sambil tersenyum.
Sporty lalu dipersilakan masuk ke ruang tunggu. Ternyata sudah ada lima orang
yang menunggu giliran diperiksa oleh Dr. Jakob. Di antara kelima orang itu ada
dua pria berusia lanjut yang sedang asyik berbincang-bincang mengenai kesehatan
mereka. Keduanya mengaku sudah pernah menderita segala macam penyakit, dan
selalu lebih parah dibandingkan dengan lawan bicara masing-masing. Sungguh
mengherankan bahwa mereka masih hidup sampai sekarang.
Untuk mengisi waktu, Sporty mengambil sebuah majalah ilmiah dari tumpukan di
atas meja, lalu mulai membaca artikel mengenai ekologi (ilmu lingkungan hidup).
Jendela di ruang tunggu itu menghadap ke pekarangan belakang. Di bawah sinar
matahari yang cerah, tembok-tembok abu-abu yang mengelilingi pekarangan itu
hampir bisa dibilang menyenangkan. Burung-burung gereja nampak melompat-lompat.
Di kejauhan terdengar suara sirene. Rasa nyeri di bahu Sporty hampir tak terasa
lagi. Kekecewaan karena tidak bisa mengikuti pertandingan pun sudah
berkurang.Sporty terus membaca. Ia sama sekali lupa akan Hilda Putz.
*** Wanita muda itu dicekam ketakutan. Di tengah kepadatan lalu lintas, rasa
takutnya masih agak terkendali. Namun demikian, hatinya berdebar-debar. Jarijemarinya terasa dingin seperti es.
Kenapa kedua bajingan tadi mencoba mencuri tasnya" Dari mana mereka tahu" Dan
siapa mereka itu" Siapa yang menyuruh mereka" Ada apa dengan Bernard" Apakah
rencananya gagal" Atau kejadian tadi hanya suatu kebetulan saja" Barangkali
kedua bajingan tadi hanya pencuri biasa"
Hilda tahu persis: tanpa Bernard Wacker, pacarnya, ia takkan berani menjalankan
rencana ini. Semua ini ia lakukan untuk Bernard.Sekarang nasi telah menjadi
bubur. Hilda tidak bisa mundur lagi. Tapi dalam hati wanita muda itu merasa
seperti berdiri di tepi jurang - dengan sebelah kaki menggantung di udara.
Ia menekan pedal gas, menyelinap di antara kendaraan-kendaraan lain, dan
meninggalkan pusat kota. Tidak lama kemudian ia sudah berada di sebuah jalan
yang tenang.Jalan itu berada di pinggir kota, di suatu daerah perumahan kelas
menengah-bawah. Rumah-rumah sederhana di daerah ini dikelilingi oleh pekaranganpekarangan sempit. Bernard Wacker tinggal di salah satu rumah paling tua. Rumah itu nyaris tak
kelihatan dari jalan, sebab pekarangannya dikelilingi oleh pagar tanaman
setinggi orang.Mobil Bernard, sebuah VW Kodok warna putih, nampak di tepi jalan,
nyaris menempel pada pagar - sesuai rencana. Pintu pagar terbuka lebar. Garasinya
kosong.Sambil menarik napas panjang, Hilda membelokkan mobilnya.Setelah masuk ke
garasi, ia mematikan mesin. Suasana menjadi hening. Pohon-pohon di pekarangan
menghalangi cahaya matahari.
Aman, deh! Hilda berkata dalam hati. Tak ada yang tahu bahwa aku bersembunyi di
sini. Memang untuk sementara waktu ia harus menghilang dari peredaran. Mobilnya juga
tidak boleh keluar dari garasi. Namun Hilda tidak keberatan. Ini adalah harga
yang pantas untuk masa depan yang cerah bersama Bernard.
Hilda tersenyum, lalu mengarahkan kaca spion sehingga wajahnya kelihatan. Dengan
hati berbunga-bunga wanita muda itu mulai membenahi make-up-nya. Ia ingin tampil
secantik mungkin di hadapan pacarnya. Bernard pasti sudah mendengar suara
mobilnya. Tapi karena sedang demam - panasnya mencapai 40 derajat - memang sudah
sewajarnya kalau Bernard tetap tinggal di tempat tidur.
Ketika sedang memoleskan lipstik, Hilda tiba-tiba melihat bayangan itu.Bernard"
Ia menoleh ke kanan. Pada detik yang sama pintu mobil dibuka dari luar.Hilda tak sempat berteriak.
Moncong pistol berkaliber besar terarah ke keningnya.Sambil nyengir pria itu
membungkukkan badan. "Sst! Jangan ribut, Sayang! Jangan sampai aku harus menggunakan pistol ini. Kau
takkan lolos untuk kedua kalinya."
Walaupun tersenyum, wajah pria itu tetap seram. Alisnya tebal sekali. Hidung
bengkoknya menambah kesan angker. Pakaian perlente yang dikenakannya sama sekali
tidak cocok dengan wajahnya. Pakaian yang sesuai baginya hanyalah seragam
penjara. "Anda... Anda mau apa?" tanya Hilda. Suaranya gemetar.
"Jangan berlagak bodoh! Mana tas kantormu" Kejadian di lapangan parkir tadi
membuat aku semakin yakin bahwa kau membawa berkas-berkas itu. Hehehe, kau cukup
lihai tadi - itu harus diakui. Tapi sekarang semuanya sia-sia saja."
Pandangan Hilda menjadi gelap. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tidak
jatuh pingsan. Kini ia sadar bahwa kejadian tadi bukan sekadar kebetulan saja.
Kedua pria di Mercedes itu juga bukan pencuri biasa. Mereka tahu rencana
Bernard. Mereka mengenal Hilda. Mereka tahu apa yang dilakukan wanita itu. Dan
sekarang... Hilda mulai menggigil. Melalui kaca spion ia melihat seseorang berdiri di pintu
gerbang. Orang itu berambut pirang, malahan nyaris putih. Ya, dialah pengemudi
Mercedes hitam tadi. "Ayo, cepat!!!"
Dengan kasar si pemegang pistol merebut tas dari tangan Hilda, sekaligus
mendorong wanita itu sampai membentur kemudi. Kemudian ia membuka tas, memeriksa
isinya, lalu tersenyum puas.
"Nah, ini yang kucari! Sekarang dengar baik-baik: setelah kami pergi, kau tunggu
lima menit di dalam mobil. Habis itu kau boleh mengadu pada pacarmu. Sekalian
beri tahu dia bahwa kami akan menelepon nanti. Aku... Hmm, sebenarnya masih ada
lagi: siapa bocah yang nyaris memutuskan lenganku tadi, heh?"
"Saya... saya... dia hanya menumpang ke sini."
"Dia tidak bekerja sama dengan kalian?"Hilda menggeleng."Hmm, memang aneh kalau
bocah ingusan seperti itu sudah ikut-ikutan dalam bidang ini. Siapa namanya?"
"... saya lupa.?"Jangan bohong! Masa selama perjalanan dia tak menyebutkan
namanya"!" "Namanya... ehm... oh, ya! Dia minta dipanggil Sporty. Tapi itu hanya julukan
saja." "Sudah kuduga," si pencuri bergumam pelan, sehingga hampir tidak kedengaran,
"... masih ada urusan dengan dia. Tapi itu soal nanti."
Hilda berpegangan pada kemudi. Langkah-langkah terdengar menjauh. Pintu garasi
ditutup. Hilda duduk dalam kegelapan.Wanita muda itu mendekap mulutnya dengan
sebelah tangan agar tidak berteriak. Dalam posisi seperti itu ia duduk selama
dua, tiga, empat menit. Perasaannya benar-benar kacau-balau.
Baru beberapa saat kemudian Hilda akhirnya berani turun dari mobil. Ia membuka
pintu garasi, melangkah keluar, lalu menutupnya kembali. Mobilnya tetap tidak
boleh kelihatan. Ia sendiri juga harus bersembunyi. Dalam hal ini tidak ada
perubahan sama sekali. Paling lambat besok pagi seluruh Eropa akan mulai
mencarinya. Ia menyeberang pekarangan, melewati pohon-pohon tua, dan menuju ke
rumah. Bangunan tua itu benar-benar terlindung oleh pepohonan dan tanamantanaman di sekelilingnya. Sebagai pengaman tambahan, Bernard telah menutup semua
jendela dengan gorden yang tidak tembus pandang.Kunci pintu terselip di bawah
pot bunga. Hilda membuka pintu dan melangkah masuk.
"Hilda?"Suara pria itu berasal dari kamar tidur.
"Bernard! Aku sudah sampai!"
"Syukurlah! Aku sudah dengar suara mobilmu. Tapi aku tidak sanggup keluar untuk
menyambutmu. Begitu aku mau bangun, kepalaku langsung pusing lagi."
Hilda masuk ke kamar tidur. Bernard berbaring di tempat tidur. Seluruh badannya
tertutup selimut tebal sampai ke dagu. Wajahnya basah karena keringat. Matanya
berbinar-binar. Entah karena demam atau karena gembira melihat pacarnya.
Hilda segera mendekat. Pipi Bernard dikecupnya dengan mesra.
"Awas, nanti kau ketularan," ujar pria itu sambil tersenyum. "Dasar brengsek!
Kenapa justru sekarang aku kena demam" Ya, apa boleh buat. Aku masih harus
istirahat selama beberapa hari lagi. Tapi setelah itu kita langsung kabur dari
sini." Sambil mendesah Hilda duduk di tepi tempat tidur.
"Badanmu masih panas?" ia bertanya. "Terakhir masih 39,2 derajat." Hilda
mengangguk. "Bagaimana perjalananmu?" Bernard lalu bertanya.


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biasa saja." "Kau lelah?" "Ya.?" Tapi semuanya berjalan dengan lancar, bukan?"
Hilda kembali mendesah."Sebenarnya aku tidak sampai hati untuk menyampaikan
berita buruk ini, Bernard. Kau lagi sakit dan..."
"Ada apa?" pria itu langsung bertanya sambil mengerutkan kening. "Berkas-berkas
itu... hilang..." "Haaah?"?""Mobilku dibongkar orang waktu aku minum kopi di sebuah restoran di
jalan bebas hambatan. Mereka berdua. Hampir saja mereka berhasil mencuri tas
kantor berisi berkas-berkas itu. Untung saja rencana mereka digagalkan oleh
seorang pemuda berani yang menumpang mobilku. Aku pikir bahaya telah lewat, dan
kejadian itu hanya kebetulan saja. Tapi barusan, beberapa menit yang lalu, aku
disergap lagi oleh kedua bajingan itu - di garasimu! Mereka merampas berkas-berkas
itu. Kelihatannya mereka sudah tahu rencana kita. Apakah kau pernah
membicarakannya dengan orang lain?"
"Tidak!" Bernard berteriak dengan nada tinggi. Suaranya melengking. "Tidak,
tidak, tidak! Memangnya aku sudah gila"! Ya, Tuhan! Ini pasti hanya mimpi buruk!
Aku..." Ia terdiam. Napasnya tersengal-sengal. Keringatnya membanjir.
"Jangan marah-marah begitu, Sayang. Kau harus beristirahat dan..."
"Bagaimana aku tidak marah-marah?" Bernard kembali berteriak dengan sengit.
"Kalau berkas-berkas itu jatuh ke tangan orang lain, maka tamatlah riwayat kita!
Kau mengerti itu?" "Salah satu dari mereka mengatakan bahwa ia akan meneleponmu nanti."
Bernard menggertakkan gigi.
"Aku tidak mengerti," ia bergumam. "Dari mana mereka tahu... Hilda! Bagaimana
tampang kedua bajingan itu?"
Hilda langsung menyebutkan ciri-ciri mereka. Bernard membelalakkan mata. Sambil
mendesah panjang ia menutup wajahnya dengan kedua belah tangan.
"Gawat, Hilda! Ini benar-benar gawat! Aku kenal mereka! Yang berhidung patah - itu
Gregor Karsoff. Yang satu lagi bernama Leo Bulanski. Keduanya mata-mata kelas
kakap! Uanglah yang mereka incar! Hanya uang! Mereka mengkhususkan diri pada
rahasia-rahasia militer, yang kemudian dijual pada penawar tertinggi. Dulu aku
pernah kerja sama dengan mereka. Tapi kemudian kami bentrok. Sejak itu kami
saling menghindari. Artinya..."
Sambil termenung Bernard menatap dinding di seberang tempat tidurnya.
"Sekarang aku mengerti," ia berbisik dengan suara serak. "Mereka berhasil
mengetahui hubungan antara kau dan aku. Hmm, pantas saja mereka memata-matai
gerak-gerikmu. Begitu tahu tempat kerja serta kedudukanmu di Brussel, mereka
pasti langsung mengerti bahwa kita punya rencana besar. Tapi..." "
Ia kembali terdiam. Hilda membantunya."Aku tetap tidak mengerti dari mana mereka mengetahui rencana
kita. Coba kita ulangi setiap langkah, semalam aku meneleponmu dari Brussel. Aku
mengatakan bahwa kini ada kesempatan emas yang harus kita manfaatkan. Kita
memutuskan untuk mencuri berkas-berkas, itu. Aku melakukannya, lalu langsung
berangkat ke sini. Tahu-tahu aku sudah dikuntit oleh mereka. Seandainya pemuda
itu tidak membantu, berkas-berkasnya sudah hilang dalam perjalanan."
Dengan mata terbelalak Bernard menatap lurus ke depan. Ia tiba-tiba menyadari
sesuatu.Langsung saja pria itu memberi isyarat pada pacarnya agar
membungkuk.Ketika telinga Hilda menyentuh bibirnya, ia berbisik,"Pembicaraan
kita disadap. Tolong ambilkan kertas dan pensil."
Hilda nampak terkejut. Cepat-cepat ia menoleh ke belakang. Tapi Bernard
menggeleng. Kemudian wanita itu pergi ke ruang kerja di sebelah, dan kembali
sambil membawa kertas dan pensil.
Bernard menulis sambil berbaring. Tulisannya mirip cakar ayam, tetapi Hilda bisa
membacanya. Hanya ada satu kemungkinan: Karsoff dan Bulanski diam-diam masuk ke sini dan
memasang alat penyadap. Dalam hal ini mereka memang ahli. Kalau benar begitu,
mereka mendengar setiap kata yang kita ucapkan. Aku rasa pesawat teleponnya juga
disadap. Karena itulah mereka tahu rencana kita!!
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Hilda rasanya ingin menangis saja.
Semuanya sia-sia! Dan yang lebih gawat lagi: setelah ini mereka akan menjadi
buronan polisi, sementara Karsoff dan Bulanski bisa menikmati hasil penjualan
dokumen-dokumen rahasia itu dengan tenang.
Bernard memejamkan mata. Hilda menatap wajahnya. Demi pria inilah ia melakukan
semuanya. Karena ia begitu mencintainya. Seandainya rencana ini berhasil, mereka
akan kabur ke Amerika Selatan untuk mulai kehidupan baru dengan segala
kenyamanan. Bernard menarik napas dalam-dalam. Ia berusia 35 tahun. Waktu masih mahasiswa,
ia mengambil jurusan teknik industri. Tapi kini ia bekerja sebagai salesman
alat-alat rumah tangga. Sebenarnya, pekerjaan ini hanyalah suatu usaha
penyamaran. Bernard adalah seorang mata-mata.Ia mempunyai hubungan dengan semua
organisasi spionase yang bergerak di Jerman Barat. Gaya hidupnya selalu
menyerempet bahaya. Tapi justru itu yang dicari Bernard.
Ia berbadan tinggi dan langsing. Penampilannya tenang, seakan-akan tak berdosa.
Tapi kesan itu menyesatkan. Di balik wajah yang ramah terdapat watak yang tak
mengenal kasihan. Bagi Bernard, segala cara bisa dihalalkan - asalkan membawa
keuntungan baginya. Suara telepon berdering memecahkan keheningan.Baik Bernard maupun Hilda
tersentak dari lamunan masing-masing. Bernard segera mengangkat gagang.
"Halo?" Hilda membungkukkan badan, supaya bisa ikut menguping.
"Halo, Bernard!" ujar Gregor Karsoff di ujung saluran telepon. "Aku dengardengar, kau lagi bernasib sial, ya" Pacarmu yang mempertaruhkan segala sesuatu,
tapi yang meraih keuntungan justru sainganmu. Ya, begitulah kenyataan, selalu
ada yang menang dan ada yang kalah. Betul, tidak?"
"Bajingan!" ujar Bernard dengan tenang.
"Hus! Jangan emosi, dong! Ini urusan bisnis, bukan urusan pribadi."
"Bangsat! Mudah-mudahan kalian cepat mampus!"Karsoff hanya ketawa saja.
"Kalian mau apa lagi?" tanya Bernard. "Kalian kan sudah mendapatkan semuanya!"
"Memang! Dan harus kuakui, rencanamu benar-benar gila! Nilai berkas-berkas itu
paling tidak satu juta Mark. Atau barangkali kau malah mau minta lebih dari
itu?" Bernard tidak menjawab. "Oke, deh! Kita langsung pada inti pembicaraan saja," ujar Karsoff dengan nada
serius. "Kau sudah tahu, kan" Aku dan Leo selalu bekerja untuk penawar yang
paling tinggi. Berkas-berkas ini bisa kalian peroleh kembali. Tapi untuk itu
kalian harus ikut menawar. Harga awalnya satu juta! Hanya itu yang ingin
kusampaikan padamu. Sekian."
Klik! Dengan kesal Bernard membanting gagang teleponnya. Kemudian ia menulis.
Mereka akan menyesal. Aku takkan menyerah begitu saja. Kita akan merebut berkasberkas itu dari tangan mereka. Kalau perlu, aku akan menggunakan kekerasan.
Dua jam berikutnya mereka habiskan dengan mencari alat penyadap itu. Artinya,
Bernard memberi petunjuk dan Hilda yang mencari.
Mereka menemukan empat buah, masing-masing satu di setiap ruangan. Semuanya di
tempat yang tersembunyi. Alat penyadap kelima ditemukan Bernard di gagang
telepon. "Awas!" ia bergumam penuh dendam. "Aku tidak bisa diperlakukan seperti ini!"
3. Pengamen dan Monyet Arloji Sporty sudah menunjukkan pukul enam lewat seperempat ketika ia
meninggalkan tempat praktek Dr. Jakob. Namun berhubung musim panas, hari masih
terang. Dokter itu telah memeriksa bahu Sporty. Ternyata tidak ada tulang yang patah
maupun retak. Hanya ada satu otot yang keseleo. Kini, setelah disuntik dan
diurut, bahu Sporty terasa kaku. Tetapi yang lebih penting, rasa nyerinya sudah
hilang. Kini Sporty bisa menggerakkan lengan kirinya dengan leluasa. Namun untuk
sementara ia belum boleh berlatih judo. Sporty berjalan ke arah selatan.
Hmm, bagaimana kalau ke rumah Petra dulu" ia bertanya dalam hati. Atau ke rumah
Thomas" Mumpung masih ada waktu, nih!
Tetapi akhirnya Sporty memutuskan untuk langsung pulang ke asrama. Ia menuju ke
halte bis terdekat, lalu menumpang bis nomor 13 sampai ke halte terakhir di
pinggir kota. Dari sini ia harus jalan kaki.
Dengan langkah ringan anak itu menuju ke asrama. Jalan ke sana sepi sekali.
Hanya ada suara burung yang berkicau riang.
Sporty sampai di asrama, melewati pintu gerbang, dan bergegas ke bangunan utama.
Jam pelajaran tambahan telah selesai. Suasana di kamar-kamar ramai sekali.
Sebentar lagi anak-anak asrama akan menyerbu ruang makan untuk santap malam
bersama. Sporty segera naik ke SARANG RAJAWALI, kamar kecil yang ia tempati berdua dengan
Oskar. Di selasar ia berpapasan dengan Fabian Wirsing. Anak itu baru keluar dari
WC. Pakaiannya bau rokok.
"Lho, Sporty" Kok sudah pulang" Bagaimana hasilnya" Kau juara?"
"Tentu! Aku berhasil jadi juara dunia. Tapi bukan sebagai pejudo, melainkan
sebagai penonton." "Wah, kenapa bisa begitu?" Fabian bertanya sambil nyengir kuda. Ia selalu
nyengir seperti itu kalau kepergok habis merokok di WC.
"Aku tidak bisa ikut bertanding," Sporty menjelaskan. "Gara-gara cedera. Sial!
Tapi lain kali masih ada kesempatan."
"Mana cederamu?"
"Memangnya tidak kelihatan bahwa aku kehilangan sebelah kaki"!" balas Sporty
dengan ketus. Ia tidak menyukai Fabian. Anak itu dikenal sebagai tukang mengadu. Kecuali itu
dia juga dicurigai suka mengambil barang orang lain tanpa bilang.
"Matamu kebanyakan kena asap rokok, ya" Maka dari itu, lebih baik kau hirup
udara segar saja. Nanti penglihatanmu akan membaik lagi."
Tanpa menunggu tanggapan, Sporty lalu menuju SARANG RAJAWALI. Pelan, pelan
sekali ia menutup pintu. "Tenang saja!" ujar Oskar, ketika menyadari kedatangan sahabatnya. "Aku akan
segera membereskan semuanya. Tapi, kenapa sih kau sudah pulang" Aku pikir kau
sedang menghabisi lawan-lawanmu satu per satu sampai berhasil meraih gelar
juara." "Sedang apa kau?" Sporty balik bertanya.
Ia menunjuk kedua tempat tidur, meja belajar, serta lantai kamar mereka. Kepingkeping coklat tersebar di mana-mana. Jumlahnya pasti lebih dari seratus.
"Hmm," Oskar bergumam dengan wajah berseri-seri. Penuh rasa bangga ia lalu
berkata, "Inilah persediaan coklatku!"
"Wah, terima kasih atas penjelasanmu. Hampir saja aku mengira bahwa ini makanan
diet terbaru yang kaukumpulkan untuk menguruskan badan."
"Hus! Memangnya aku sudah bosan hidup" Tapi - kenapa sih, kau sudah pulang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Tadi pagi persediaan coklatmu tinggal...
paling-paling tinggal sepuluh keping. Kenapa sekarang melimpah seperti ini?"
"Itulah untungnya jadi anak pemilik pabrik coklat!" jawab Oskar sambil
membusungkan dada. "Kau benar, tadi pagi persediaanku tinggal sepuluh keping
saja - hanya cukup untuk dua atau tiga hari. Tentu saja aku langsung panik."
"Lalu apa yang kaulakukan?"
"Aku menelepon Georg."
Georg adalah sopir keluarga Sauerlich, sekaligus teman dekat Oskar.
"Hmm, sekarang aku mengerti," Sporty mendesah. "Georg segera datang dan membawa
dua karung penuh coklat. Ya ampun, Oskar! Apa kau tidak malu?"
"Malu" Kenapa aku harus malu" Aku takkan menghabiskan semuanya sekaligus, kok."
"Kenapa tidak" Kau sakit?"
"Ah, percuma saja aku mengharapkan pengertianmu. Tapi kau belum jawab
pertanyaanku tadi!" "Aku pulang duluan karena cedera," ujar Sporty.
"Hah, kau cedera pada babak penyisihan?"
"Masih mending kalau sampai babak penyisihan," jawab Sporty. "Lenganku keseleo
waktu aku melakukan pemanasan."
Ia menceritakan nasib sial yang menimpanya dan perjalanan menumpang mobil Hilda
Putz. Kelakuan aneh wanita itu juga ia singgung.
"Astaga! Aku jadi ikut uring-uringan," Oskar berkomentar sambil membuka sekeping
coklat. "Untuk menenangkan pikiran," anak itu cepat-cepat menambahkan ketika menyadari
tatapan sahabatnya. "Aku akan gembira sekali kalau kau bersedia menyingkirkan coklatmu dari tempat
tidurku, supaya aku bisa berbaring," ujar Sporty.
"Oh, sori! Sebentar, ya! Habis, aku tidak tahan, sih. Seratus keping coklat
merupakan pemandangan paling indah yang bisa kubayangkan."
Sporty mendesah, menunggu sampai Oskar selesai membereskan tempat tidur, lalu
merebahkan diri dan melemaskan otot bahu. Nanti malam, ia berkata dalam hati,
aku pasti susah tidur. "Bagaimana pendapatmu tentang wanita itu?" tanya Oskar. Yang dimaksudnya adalah
Hilda. "Aku dapat kesan bahwa dia menyembunyikan sesuatu. Karena itu dia tidak mau
melibatkan polisi. Aku sendiri tidak tahu apa yang dia rahasiakan. Yang pasti
sih, bukan narkotik - ataupun coklat."
"Ya, aku tahu, kau tidak suka coklat," kata Oskar sambil mengunyah. "Apa tidak
ada hal lain yang bisa kita bicarakan?"
"Oskar, sudah dong! Sebentar lagi kita makan malam!" Sporty memperingatkan
sahabatnya. "Aku tahu. Mana mungkin aku lupa. Aku juga tidak lupa bahwa kita diundang
makan." "Diundang makan" Oleh siapa" Kapan" Dan, di mana?"
"Oleh Monika Graf. Besok siang. Di rumahnya."
"Aha! Dalam rangka apa?"
Oskar nyengir, lalu mulai memasukkan keping-keping coklatnya ke dalam kardus
besar. "Besok pagi ayah Monika akan menerima medali penghargaan dari Pak
Walikota. Aku tidak tahu siapa lagi yang diundang selain kita berempat. Mestinya
sih, tidak terlalu banyak. Monika kan pemalu sekali. Eh Sporty, makanannya enakenak. Aku sudah menanyakannya tadi."
"Oke! Kalau begitu simpan coklatmu. Terus tidur tanpa makan malam Supaya kau
cukup lapar besok siang."
"Soal itu sih, kau tidak perlu khawatir! Aku takkan mengecewakan harapan
Monika." Hmm, ujar Sporty dalam hati. Dalam hal ini memang tak ada yang perlu
dikhawatirkan Oskar pasti akan menghabiskan jatah lima orang - seperti biasanya.
Untung saja semua orang sudah tahu sifatnya itu. Kalau belum, Petra, Thomas, dan
aku, bisa malu berat. "Jadi, ayah Monika akan menerima medali penghargaan atas keberaniannya?" ia
bertanya. Oskar mengangguk.Monika Graf berusia 15 tahun. Dia teman Petra. Mereka
berkenalan pada saat latihan renang. Keduanya anggota perkumpulan yang sama.
Ayah Monika, seorang ahli kimia, bekerja di sebuah perusahaan farmasi. Dia
dikenal sebagai ilmuwan yang cemerlang. Tapi ia sudah membuktikan bahwa ia juga
mempunyai rasa kemanusiaan yang sangat besar: dengan mempertaruhkan nyawa ia
menyelamatkan seorang wanita tua dari kematian yang mengerikan.
Kejadiannya tiga minggu yang lalu. Beritanya dimuat di semua koran.Tempat
kejadian: stasiun kereta bawah tanah. Waktu: pagi hari. Hanya dua orang berdiri
di peron: Robert Graf dan seorang wanita - seorang janda berusia 74 tahun.
Sebentar lagi kereta nomor U-8 akan memasuki stasiun. Lantai sudah terasa
bergetar. Suara menderu-deru terdengar semakin jelas.Tiba-tiba saja wanita tadi
kehilangan keseimbangan. Belakangan baru diketahui bahwa ia menderita penyakit
jantung. Sebelum Pak Graf - yang berdiri beberapa meter di sebelahnya - sempat
memberikan bantuan, wanita itu telah terjatuh ke rel. Sementara itu, lampu sorot
kereta sudah kelihatan. Wanita malang itu pasti akan terlindas. Hanya tersisa
beberapa detik untuk bertindak.Tanpa berpikir panjang Pak Graf melompat ke rel.
Kereta telah muncul dari mulut terowongan. Pak Graf mengangkat tubuh wanita itu
ke atas peron, kemudian menyusul naik - tepat pada detik-detik terakhir. Mantelnya
sempat sobek karena terserempet kereta.
"Luar biasa!" Sporty berkomentar. "Ayah Monika itu benar-benar berani.?"Padahal
risikonya besar sekali."
"Dalam keadaan seperti itu kita takkan sempat memperhitungkan risiko."Sambil
merenung, Oskar menggigit-gigit sekeping coklat.
"Untuk melakukan hal seperti itu dibutuhkan ketenangan dan kesigapan," ia
berkomentar. "Padahal penampilan Pak Graf justru sebaliknya. Dia kelihatan
seperti seseorang yang gampang bingung."
Sporty ketawa. "Aku tidak begitu kenal dia."
Waktu makan malam pun tiba. Oskar langsung menuju ke ruang makan. Sporty
menghubungi petugas piket dulu, untuk melaporkan bahwa ia sudah pulang.


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika ia masuk ke ruang makan, Oskar sudah duduk di meja. Anak-anak asrama
sedang makan dengan lahap. Tapi semuanya kalah bersemangat dibandingkan dengan
Oskar. Pada malam hari, Sporty hanya sekali terbangun. Dan itu pun bukan karena bahunya
terasa nyeri lagi, melainkan karena Oskar mendengkur dengan keras. Sebelah
kakinya nongol dari bawah selimut. Langsung saja Sporty menarik jempol kaki
sahabatnya. Oskar hanya menggerutu. Tanpa membuka mata, ia membalikkan badan dan
berhenti mendengkur. *** Siang hari berikutnya - seusai jam pelajaran. Begitu bel berbunyi, Thomas dan
Petra langsung mengambil sepeda dan pulang ke kota.Sedangkan Sporty segera naik
ke SARANG RAJAWALI untuk berganti baju. Ia mengenakan kemeja jeans bersih, lalu
memeriksa kukunya.Oskar sibuk menghitung persediaan coklatnya - untuk ketiga kali.
"Brengsek!" ia mengumpat. "Hasilnya kok beda terus. Mana yang benar, nih: 102,
103, atau 104 keping?"
"Ambil tengahnya saja!" Spporty mengusulkan sambil ketawa.
"Oke, deh! Begitu memang paling gampang!"Oskar membuka buku catatannya. Di bawah
tanggal hari ini, ia menulis angka 103.
"Eh," ujar Sporty, "kerah bajumu kotor, tuh. Masa kau mau bertamu ke rumah orang
dengan penampilan seperti itu?"
"Aku kan belum ganti baju.?"Kenapa belum"! Kita sudah hampir telat!"
Tidak lama kemudian kedua sahabat itu keluar dari gerbang pekarangan asrama.
Mereka mengendarai sepeda. Jalan menuju ke kota sepi-sepi saja Hanya sekalisekali Sporty dan Oskar disusul oleh murid kelas terakhir yang naik mobil atau
naik motor. Anak-anak STOP telah berjanji untuk ketemu di depan sebuah toko bunga di pusat
kota.Dari jauh Sporty sudah melihat Petra dan Thomas. Mereka menunggu sambil
bersandar pada sepeda masing-masing Petra telah membeli karangan bunga.
"Harganya 14 Mark," gadis itu berkata sambil membuka kertas pembungkus.
Oskar kurang tertarik. Ia percaya sepenuhnya pada selera Petra.
"Karangan bunga ini sudah jadi, atau kalian sendiri yang menyusunnya?" tanya
Sporty. "Ini hasil karya Petra," jawab Thomas.
"Karangan bunga ini pantas disebut karya seni," Sporty berkomentar sambil
nyengir. "Jangan mengejek, ya!" seru Petra dengan ketus.
"Aku tidak bermaksud mengejek," Sporty membela diri. "Aku sungguh-sungguh.
Sekali-sekalinya aku memujimu, kau malah tersinggung. Warna birunya benar-benar
bagus. Mirip sekali dengan matamu, Petra."
Penuh curiga gadis itu mengangkat alis. Kemudian ia berkata, "Sebelum lupa,
kalian masing-masing berutang tiga setengah Mark padaku."
"Sst," Thomas berbisik pada Sporty dan Oskar."Harga karangan bunga itu palingpaling hanya sepuluh Mark. Petra mau mengambil untung. Caranya cukup lihai,
tapi..." Thomas segera terdiam ketika Petra mulai menggulung lengan baju hangatnya.
Cepat-cepat ia menambahkan,"Aku hanya main-main! Masa kau tidak bisa diajak
bercanda, sih?" "Huh, memang susah berteman dengan kalian," Petra mendesah. "Tak ada yang tahu
sopan santun. Lingkungan seperti ini sebenarnya tidak cocok bagi seorang gadis
yang sedang beranjak dewasa."
Karangan bunga di tangannya kembali dibungkus. Dengan hati-hati Petra
meletakkannya ke dalam keranjang barang pada sepedanya.Sporty, Thomas, dan
Oskar, mengeluarkan dompet dan melunasi bagian mereka. Petra memasukkan uang itu
ke dalam kantong kulit yang ia gantungkan mengelilingi leher. Untuk kesempatan
ini, gadis itu mengenakan celana jeans putih, dan sepatu sandal berwarna biru.
Penampilannya cantik sekali.
"Kali ini, Bello terpaksa kutinggal di rumah," ujar Petra.
Yang dimaksud gadis itu adalah anjing spanilnya.
"Monika sebenarnya sayang sekali pada dia. Tapi aku tidak tahu apakah ayahnya
senang melihat Bello tidur di bawah meja pada waktu kita makan."
Mereka berangkat. Dalam perjalanan menuju ke rumah keluarga Graf, anak-anak STOP
melewati Lapangan Bismarck. Di sanalah awal daerah pusat perbelanjaan, yang
sekaligus daerah bebas kendaraan bermotor.Suara organ-putar terdengar sayupsayup. "Hei, ada pengamen keliling!" Petra langsung berseru.
Benar saja! Pengamen itu berdiri di pojok Jalan Blumenau - di tengah-tengah
kerumunan orang. Pengamen keliling dengan organ-putar memang sudah jarang
tampil. Tapi sekalinya muncul, orang-orang akan berkerumun untuk menyaksikan
pertunjukan itu.Organ-putar itu dipasang pada sebuah gerobak dorong yang dihiasi
dengan gambar-gambar berwarna-warni. Seekor monyet kecil bertopi hijau, dengan
T-shirt merah, duduk di atasnya. Kadang-kadang binatang itu mengangkat topinya sebagai ungkapan terima kasih kalau seseorang menyumbangkan beberapa keping
uang. "Kita nonton dulu, yuk!" Petra segera mengajak ketiga sahabatnya.
Mereka menuntun sepeda masing-masing. Organ-putar itu terus berbunyi. Lagu yang
dimainkannya adalah Vater Yakob. Sporty tahu bahwa pengamen seperti itu sudah
jarang muncul. Zaman keemasan mereka telah lama berlalu. Kini tinggal segelintir
saja yang masih menekuni bidang itu.
Pengamen yang ini masih muda. Ia tinggi dan kekar. Kulitnya nampak coklat
dibakar matahari.R ambutnya yang hitam dan panjang diikat dengan karet gelang.
Sebuah topi tinggi bertengger di atas kepala. Kacamata hitam yang dikenakan
pengamen itu cukup mahal Supaya penampilannya benar-benar menonjol, orang itu
mengenakan jas berwarna merah, yang dipadukan dengan celana jeans belel.Petra
segera menyumbang satu Mark. Monyet tadi kembali mengangkat topi. Rupanya
binatang itu sudah bisa membedakan keping-keping uang berdasarkan nilainya - sebab
ketika seseorang memberikan sepuluh sen, ia diam saja.
Sporty memperhatikan si pengamen Kacamata hitam yang dikenakan orang itu
memantulkan cahaya, sehingga matanya tidak kelihatan. Tapi pandangannya terarah
pada Sporty. Sekitar 15 orang mengelilingi pengamen itu Di antaranya ada
sejumlah gadis cantik. Tapi perhatian orang itu hanya tertuju pada Sporty.
Wajahnya mencerminkan kesan dendam. Sporty tidak kaget. Ia hanya sedikit heran.
Ketika si pengamen akhirnya menoleh ke arah lain, Sporty tidak tahu apakah ia
salah lihat - atau orang itu memang menaruh dendam padanya.
Barangkali aku keliru, ia berkata dalam hati Aku sama sekali tidak kenal orang
itu. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini. Dan dia juga belum pernah melihat
aku. Hei, Sporty! Jangan mengada-ada! Yang cedera bahumu, bukan otakmu!
Petra bertanya apakah ia boleh membelai monyet itu.Si pengamen menggeleng.
"Pekerjaan ini enak juga, ya," Oskar berbisik pada Thomas. "Kalau aku ternyata
tidak cocok sebagai direktur pabrik coklat, aku akan bekerja sebagai pengamen
saja." "Pekerjaan ini terlalu berat untukmu," Sporty menilai. "Jangan lupa, kotak musik
ini harus diputar terus agar berbunyi."
Karena monyetnya tidak boleh dipegang, Petra akhirnya tidak tertarik lagi.
Ketika anak-anak itu meneruskan perjalanan, Thomas segera memanfaatkan
kesempatan untuk mengomentari ucapan Oskar.
"Kalau kau mau mengikuti jejak pengamen tadi," ia mulai berkata, "pertama-tama
kau harus punya organ-putar dulu. Sedangkan orang yang membuat alat musik
seperti itu sudah hampir tidak ada. Kalaupun ada, kau harus mengeluarkan sekitar
7500 Mark. Kemudian kau harus minta izin usaha dari instansi pemerintah.
Harganya 50 Mark. Dengan izin itu, kau berhak menekuni bidang hiburan keliling
selama tiga tahun. Undang-undang ini sudah berlaku sejak tahun 1811. Jenis-jenis
pekerjaan yang termasuk bidang hiburan keliling disebutkan dalam pasal 139:
pemain boneka, tukang sulap, pengamen, dan semua orang yang berkeliling untuk
menampilkan keterampilan mereka dengan imbalan uang."
"Jadi, pengusaha coklat tidak termasuk kelompok ini?" Sporty bertanya.
"Pertanyaan konyol!" Oskar langsung marah-marah. "Pembuatan coklat bukan
hiburan, melainkan kebutuhan nyata. Tanpa pengamen pun dunia takkan kiamat. Tapi
bayangkan apa yang terjadi kalau tidak ada coklat?"
Teman-temannya ketawa. Sebelum meneruskan perjalanan, Sporty sempat menoleh ke
belakang, ia merasa seperti diperhatikan oleh seseorang.
Benar saja! Si pengamen tadi sedang memandang ke arah mereka. Untuk sesaat
mereka saling bertatapan. Sporty kembali mendapat kesan seakan-akan orang itu
ingin menyelesaikan suatu urusan dengannya - dan pasti bukan urusan yang
menyenangkan 4. Skandal Mata-mata di Markas Besar NATO
Ibu monika sudah meninggal. Dan sejak itu, Monika-lah yang menangani urusan
rumah tangga. Dengan wajah berseri-seri ia menyambut anak-anak STOP di pintu
rumah. "Selamat datang!. Oh, kalian bawa bunga!"
"Sebenarnya, bunga ini untuk ayahmu," ujar Petra. "Ini kan hari besar baginya."
"Ayahku pasti senang sekali. Sebentar lagi dia akan kembali dari Balaikota."
Monika masih mengenakan celemek. Ia langsing, dan agak lebih tinggi dibandingkan
Petra. Wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi menarik. Karena pembawaannya yang
ramah, gadis itu disukai di mana-mana.
Oskar langsung mengendus-endus ketika mencium bau masakan."Wah, baunya enak
sekali. Kalau masakanmu sama sedapnya dengan baunya, maka kau boleh seringsering mengundang aku."
"Oskar Sauerlich beraksi kembali," ujar Petra sambil ketawa. "Ini sih masih
mendingan, Monika. Biasanya dia langsung menuju dapur untuk mengintip ke dalam
panci-panci." "Sembarangan!" Oskar memprotes. "Aku bukan tukang intip! Aku justru senang
mendapat kejutan pada saat mulai makan. Apa sih yang kaumasak?"
"Hus! Itu rahasia perusahaan!" Monika membalas dengan riang.
Ruang makan terletak di samping ruang duduk. Monika telah menyiapkan meja untuk
enam orang. Rupanya ia tidak mengundang siapa-siapa lagi kecuali anak-anak STOP.
Setelah mempersilakan tamu-tamunya untuk duduk, gadis itu menghilang ke dapur.
Tapi ia segera kembali ketika mobil ayahnya berhenti di depan rumah.
Robert Graf melangkah masuk, dan langsung disalami oleh Sporty dan temantemannya. Senyum lembut seakan-akan terus menempel di wajahnya. Dengan gembira
ia menerima karangan bunga dari Petra. Namun kemudian ayah Monika kembali
serius. Sepertinya, ia sedang menghadapi masalah yang pelik.
Pak Graf lebih tinggi dari Sporty. Tetapi potongan badannya halus. Kepalanya
nyaris botak. Penampilannya cocok sekali dengan bayangan kebanyakan orang
tentang seorang ilmuwan. Bereksperimen di laboratorium - itulah dunianya.
"Upacara di Balaikota ternyata lebih resmi dari yang saya duga," Pak Graf
bercerita. "Sebenarnya, saya sendiri tidak terlalu berminat Membantu orang dalam kesulitan itu kan suatu keharusan. Mana mungkin saya membiarkan wanita malang itu
tergeletak di atas rel. Rupanya dia kemudian kirim surat ke Pak Walikota, agar
saya diberi penghargaan," ia menambahkan sambil mengangkat bahu.
"Maksudnya sih baik."
Ia menunjukkan medalinya, yang berada dalam kotak berlapis kulit. Kelihatannya
seperti emas mumi. "Nah, sekarang kita makan dulu!" ujar Pak Graf sambil tersenyum. "Coba kita
lihat apa yang telah disiapkan oleh Monika."
Oskar langsung menuju meja makan.
Makanan pembuka adalah sop asparagus. Setelah itu Monika menghidangkan bistik,
dengan kentang rebus dan jamur hutan. Sebagai pencuci mulut disajikan puding
coklat. Semuanya benar-benar lezat. Oskar tak henti-hentinya memuji masakan Monika.
Sambil tersenyum simpul, Sporty memperhatikan bahwa sahabatnya itu terus-menerus
menatap putri Pak Graf.Setiap gadis yang pandai memasak dapat dengan mudah
merebut hati Oskar. Memang - kecuali Monika sebenarnya masih ada gadis lain yang
menarik perhatiannya. Sekarang ini Oskar sedang jatuh hati pada seorang gadis
dari Berlin bernama Sonya. Mereka berkenalan melalui kolom kawan pena di suatu
majalah. Sonya mencantumkan bahwa ia suka makan coklat, dan Oskar langsung saja
menyurati gadis itu. Seusai makan, anak-anak STOP masih berbincang-bincang dengan Monika dan ayahnya.
Sporty didesak-desak agar bercerita mengenai pertandingan judo kemarin. Dengan
berat hati anak itu mengulangi ceritanya sekali lagi. Hanya soal Hilda Putz
tidak disinggungnya sama sekali.
Petra dan Thomas sudah mengetahuinya. Tadi pagi, sebelum jam pelajaran, Sporty
langsung melaporkan pengalamannya pada mereka.
"Bagaimana keadaan bahumu sekarang?" Pak Graf bertanya.
"Seandainya hari ini ada pertandingan lagi, saya pasti akan ikut," jawab Sporty
sambil ketawa."...dan menduduki tempat paling bawah,"
Petra segera menambahkan. "Pokoknya, sebelum bahumu benar-benar sembuh, aku
melarangmu untuk latihan judo - apalagi bertanding!"
"Bagus, Petra!" ujar Pak Graf. "Kau harus mengawasi teman-temanmu ini.
Petualang-petualang nekat seperti mereka hanya bisa dikendalikan dengan tangan
besi." Thomas dan Oskar segera duduk tegak. Mereka bangga karena dianggap sebagai
petualang nekat. "Wah," kata Petra sambil ketawa. "Mana mungkin saya mengawasi mereka. Justru
saya yang harus berhati-hati agar tidak menjadi korban keisengan mereka."
Ucapan ini segera mengundang protes.
"Ya ampun, Petra!" Sporty berseru. "Kami kan selalu menuruti kemauanmu. Kami
selalu berusaha untuk memenuhi setiap keinginanmu, bukan?"
"Betul!" Thomas menimpali. "Kami selalu memperlakukanmu seperti anggota
kehormatan. Penuh respek dan dengan sikap ksatria."
"Ya! Kami selalu bersikap lembut terhadapmu," ujar Oskar.
Petra menatap Monika sambil berlagak putus asa.
"Coba dengar itu!" katanya. "Begitu kenyang, mereka langsung lemah lembut. Tapi
jangan tanya bagaimana sikap mereka kalau lagi lapar!"
Pak Graf ikut ketawa. Sekali lagi Sporty memperoleh kesan bahwa ayah Monika harus memaksakan diri
untuk nampak riang. Apakah dia selalu seperti ini" Rasanya sih, tidak! Berarti
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Dan ini pasti tidak ada hubungannya
dengan pemberian medali penghargaan tadi. Hmm, barangkali ia mengalami kesulitan
dengan pekerjaannya. Mungkin juga ia mempunyai keinginan tersembunyi yang belum
sempat terpenuhi.Tentu saja keempat sahabat STOP menawarkan diri untuk membantu
Monika membereskan meja. Namun dalam pelaksanaan, ini berarti: Monika, Petra,
Sporty, dan Thomas, membawa piring, gelas, serta sendok-garpu ke dapur. Oskar
mengawasi agar semuanya dimasukkan dengan rapi ke dalam mesin cuci piring.
Kemudian ia menekan tombol untuk menjalankan mesin itu.
Pembagian tugas yang adil, ia berkomentar sambil nyengir.
Sementara itu Pak Graf duduk di kursi malas, dan membaca koran.
Sporty kebetulan melihat ke arahnya - lalu tiba-tiba terpaku di tempat. Ia
mengedip-ngedipkan mata karena takut salah lihat - namun ternyata tak ada yang
berubah. Pada halaman pertama koran yang sedang dibaca Pak Graf terpampang foto
seorang wanita.Wanita itu adalah - Hilda Putz!Judul cerita di bawahnya berbunyi:
Skandal Mata-mata di Markas Besar NATO!Sporty harus menahan diri untuk tidak
merebut koran itu dari tangan ayah Monika.
"Maaf, Pak! Boleh saya lihat halaman pertamanya sebentar" Wanita pada foto itu saya mengenalnya." "Mata-mata itu, maksudmu?" tanya Pak Graf sambil mengerutkan alis.
"Dia seorang mata-mata" Astaga! Kemarin saya masih ketemu dengan dia. Wanita itu
datang dari Brussel. Saya numpang di mobilnya. Di tengah jalan, dia hampir
kehilangan... Ya Tuhan! Sekarang saya baru mengerti."
"Kau tidak salah lihat?" Pak Graf bertanya ragu-ragu.Sebenarnya tak ada yang
perlu diragukan. Wanita itu memang Hilda Putz. Di bawah foto itu bahkan ada
namanya. Sambil tersenyum ia menghadap ke kamera.
"Inilah orangnya!" Sporty berseru. "Ya ampun! Sekarang saya bisa membayangkan
apa isi tas hitam itu. Bukan narkotika! Juga bukan... ehm... coklat! Isinya
dokumen-dokumen rahasia! Dan saya... Dasar tolol!... Saya malah membantunya!
Secara tidak langsung saya jadi ikut bersalah!"
"Apa" Itu wanita yang kauceritakan?" Petra bertanya mewakili- teman-temannya.
Sporty mengangguk. Pak Graf segera meletakkan koran di atas meja, supaya
semuanya bisa ikut membaca.
"Ngomong-ngomong, apa sih artinya NATO?" tanya Oskar. "Rasanya aku sudah pernah
dengar istilah itu, tapi aku lupa lagi, nih."
"Astaga! Maka dari itu, jangan tidur melulu di kelas!" Thomas menegur
sahabatnya. "NATO adalah singkatan dari North Atlantic Treafy Organization,
artinya: Pakta Pertahanan Atlantik Utara. Organisasi itu dinamakan demikian
karena dibentuk oleh negara-negara yang terletak di tepi Laut Atlantik, yaitu
Belgia, Belanda, Luxemburg, Republik Federal Jerman, Denmark, Perancis, Britania
Raya, Islandia, Itali, Kanada, Norwegia, Portugal, dan Amerika Serikat. Hanya
Yunani dan Turki yang merupakan perkecualian. Organisasi itu merupakan
perwujudan kerja sama di bidang militer. Tujuannya: menjamin kebebasan dunia
Barat - seandainya negara-negara di balik, tirai besi berniat untuk perang. Markas


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Besar NATO ada di Brussel."
"Oh, ya!" ujar Oskar sambil mengangguk. "Sekarang aku ingat lagi."
Sementara itu Sporty telah selesai membaca, kemudian mulai dari awal lagi.Benarbenar gila! Hilda Putz, usia 31 tahun, adalah sekretaris salah seorang pejabat
tinggi NATO di Brussel. Sudah enam tahun ia bekerja di sana. Selama itu, Hilda
Putz dikenal tekun, penuh tanggung jawab, dan dapat dipercaya. Karena itu, ia
diberi kepercayaan untuk menangani dokumen-dokumen, surat-surat, serta rencanarencana yang paling rahasia sekali.
Seorang sekretaris seperti dia, begitu ditulis di koran, biasanya lebih tahu
seluk-beluk di kantor daripada bosnya. Semua rahasia NATO harus melewati mejanya
dulu sebelum diedarkan ke instansi-instansi lain. Kemarin pagi Hilda Putz tibatiba memberitahu bahwa ia tidak bisa masuk kerja karena sakit. Pada sore harinya
baru ketahuan bahwa sejumlah dokumen yang sangat penting hilang dari lemari
besi. Antara lain kunci sandi intelijen, serta rencana-rencana sistem alarm dan
radar yang masih dalam tahap pengembangan.
Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan bahwa Hilda Putz telah menghilang. Semua
milik pribadi telah dipindahkan dari apartemennya. Kunci tempat tinggalnya
dimasukkan ke dalam kotak surat pengelola gedung apartemen. Dalam sebuah surat
yang ditemukan di apartemen Hilda Putz, wanita itu minta maaf atas perbuatannya,
tetapi menambahkah bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan demikian semuanya sudah jelas. Ini merupakan bencana besar, yang segera
membuat seluruh jajaran NATO kalang kabut. Para pejabat NATO segera melancarkan
aksi pencarian besar-besaran. Tetapi mereka hanya berhasil mengetahui bahwa
Hilda Putz terakhir kelihatan ketika mengendarai mobilnya ke arah perbatasan.
Diduga ia telah melarikan diri ke salah satu negara anggota Pakta Warsawa.
"Mereka keliru!" Sporty berseru. "Baru kemarin dia tiba di kota ini. Dan aku
tidak memperoleh kesan bahwa dia akan meneruskan perjalanan dengan pesawat
berikut. Kalau dia memang mau kabur, dia pasti mencari lapangan terbang yang
lebih dekat ke Brussel!"
"Betul!" ujar Thomas sambil melepaskan kacamata.
Terkagum-kagum Oskar menatap Sporty.
"Aku benar-benar heran," ia berkomentar. "Selalu saja kau terlibat dalam urusanurusan yang menegangkan."
"Bagaimana sekarang?" tanya Monika penuh semangat. "Apa yang harus kita lakukan
selanjutnya?" "Kasus ini sebaiknya ditangani oleh pihak Badan Koordinasi Keamanan Negara,"
kata Sporty. "Tapi pertama-tama aku akan menelepon ayah Petra dulu. Biar dia
saja yang menghubungi instansi bersangkutan."
Sporty langsung menelepon ke rumah Petra. Pada jam segini, Komisaris Glockner
biasanya masih di rumah setelah makan siang bersama istrinya.
"Halo, Pak Glockner" Ini saya, Sporty. Kami lagi di rumah Monika Graf. Saya baru
saja membaca berita mengenai skandal mata-mata di Markas Besar NATO. Begini Pak,
saya mengenal wanita bernama Hilda Putz itu. Kemarin saya masih berurusan
dengannya. Barangkali dia belum meninggalkan kota ini."
Komisaris Glockner terdiam sejenak. Kemudian ia berkata,"Saya baru mau berangkat
kerja lagi. Kalian tunggu saja di sana. Saya akan mampir dulu sebelum kembali ke
kantor." Sepuluh menit kemudian sebuah BMW putih berhenti di depan rumah Monika.Emil
Glockner berbadan tinggi besar. Sorot matanya tajam dan selalu berkesan
menyelidik. Anak-anak STOP akrab sekali dengannya. Komisaris polisi itu sudah
sering membantu dan dibantu oleh Sporty dan teman-temannya.
Pak Glockner dan Pak Graf pun sudah saling mengenal. Perkenalan mereka terjadi
di suatu pertandingan renang, di mana Petra dan Monika ikut ambil bagian.
Komisaris Glockner membawa sebuah alat perekam kecil, seperti yang biasa dipakai
oleh para wartawan pada saat melakukan wawancara.
"Supaya kau tidak perlu ikut ke kantor," Pak Glockner menjelaskan pada Sporty
"Ceritakanlah segala sesuatu yang kauketahui. Oke?"
Semuanya duduk mengelilingi meja ^vlat perekam dan mikrofon diletakkan di
hadapan Sporty. Wajah Monika nampak berbinar-binar.Pak Glockner menyalakan alat
perekam, memeriksa apakah semuanya berfungsi dengan baik, lalu mulai berbicara
ke dalam mikrofon. Ia menyebutkan tanggal, jam, tempat, serta tujuan rekaman
ini. Kemudian giliran Sporty.Anak itu bercerita secara singkat tetapi lengkap. Ia
hanya mengungkapkan hal-hal yang ia rasa langsung berhubungan dengan kasus matamata ini. Setiap keterangan penting - misalnya pelat nomor serta jenis mobil yang
dipakai Hilda Putz serta kedua bajingan kemarin - diucapkannya dengan sejelasjelasnya. Mengenai pengemudi Mercedes hitam itu, Sporty hanya tahu bahwa ia berambut
pirang. Tapi pria berhidung patah bisa ia gambarkan dengan teliti sekali.
Sambil memberi keterangan, pandangan Sporty kebetulan mengarah ke Pak Graf.
Hampir saja ia terdiam. Ada apa dengan ayah Monika itu"
Pak Graf nampak pucat pasi - persis seperti tembok yang baru selesai dikapur.
Dengan mata terbelalak ia menatap Sporty, yang baru saja mengakhiri
keterangannya.Pak Graf berdiri. Untuk sedetik ia terpaksa menyandarkan diri pada
tepi meja. "Maaf," ia bergumam. "Saya tidak enak badan."
Dengan langkah gontai ia menuju kamar tidurnya.Monika sebenarnya ingin menyusul,
tapi ayahnya menggelengkan kepala.
"Saya tidak apa-apa," kata ahli kimia itu. "Tolong temani tamu-tamu kita, ya!"
"Ayah saya menderita sakit lambung," ujar Monika setelah Pak Graf menutup pintu.
"Dia tidak tahan terhadap ketegangan. Dalam keadaan tegang, penyakitnya selalu
kumat lagi. Serangan kali ini lebih gawat dari biasanya."
Mendengar keterangan Monika, yang lain segera maklum. Beberapa saat kemudian,
Pak Graf keluar dari kamarnya, dan minta maaf karena kesehatannya kurang baik.
Kini Komisaris Glockner harus kembali ke kantor. Ia mohon diri, lalu berangkat
lagi. Setelah ayah Petra pergi, Pak Graf masuk ke ruang kerjanya. Anak-anak masih
terus berdiskusi mengenai dunia mata-mata. Mereka membahas masalah itu dari
berbagai sudut pandang, sampai akhirnya kehabisan bahan omongan.
Monika lalu mengatakan bahwa ia punya beberapa kaset baru yang hendak ia putar.
Yang lainnya setuju saja. Sementara Monika, Petra, Thomas, dan Oskar, bersantai
sambil mendengarkan lagu-lagu terbaru, Sporty malah sibuk memikirkan sesuatu.
Aku yakin, bukan sakit lambung yang membuat Pak Graf kelihatan pucat tadi, anak
itu berkata dalam hati. Pasti ada penyebab lain. Seperti sebuah kejutan besar,
misalnya. Ya, pasti itu sebabnya! Pak Graf mulai gemetar ketika aku bercerita
mengenai pria berhidung patah itu. Jangan-jangan dia mengenalnya...
Untuk beberapa saat Sporty terus merenung. Namun akhirnya ia berkesimpulan bahwa
Pak Graf tidak mungkin mengenal bajingan itu. Seorang ahli kimia dengan kedudukan seperti Pak Graf tidak mungkin bergaul
dengan seorang pencuri. Pencuri"Otak Sporty mulai bekerja terlalu cepat. Sekarang ia sudah tahu mengapa
Hilda Putz tidak mau menghubungi polisi. Tapi apakah kedua bajingan kemarin
'hanya pencuri biasa" Kemungkinan besar tas kantor di mobil Hilda Putz berisi
dokumen-dokumen rahasia yang diambilnya dari lemari besi di Markas Besar NATO.
Apakah mungkin, dua pencuri biasa langsung tahu bahwa isi tas itu sangat
berharga" Bukankah pencuri pertama-tama mengincar uang, perhiasan, atau barangbarang lain yang mudah dijual"
Hmm, aku takkan heran kalau kedua bajingan itu juga terlibat dalam urusan matamata, ujar Sporty dalam hati.
**** Demamnya sudah mulai turun. Tapi menjelang malam suhu badannya pasti naik lagi.
Bernard Wacker merasa lelah sekali. Tampangnya kusut. Rambutnya berantakan.
Semalam ia nyaris tidak tidur sama sekali. Tanpa perawatan pacarnya, ia mungkin
sudah menderita radang paru-paru sekarang. Dengan bantuan Hilda ia duduk di
tempat tidur, lalu mereguk teh panas yang dibuatkan oleh pacarnya itu.
"Penyakit sial!" ia bergumam. "Gara-gara penyakit ini rencana kita gagal total.
Kalau saja aku dalam keadaan sehat, aku pasti langsung berangkat setelah kau
menelepon. Kita bisa ketemu di tengah jalan... Karsoff dan Bulanski takkan bisa
berbuat apa-apa." "Bernard, kau jangan terlalu emosi! Percuma saja kau'marah-marah sekarang."
Pria itu mengangguk. "Aku sudah memikirkan rencana selanjutnya," ia berkata kemudian. "Hanya ada satu
jalan untuk merebut kembali surat-surat itu. Kita harus membereskan mereka Karsoff dan Bulanski, maksudku."
Hilda langsung mendekap mulutnya dengan sebelah tangan. Ia nampak terkejut
sekali."Kau... kau akan membunuh mereka?"
"Tentu saja tidak! Tidak ada istilah pembunuhan dalam kamusku - biarpun dunia
sebenarnya beruntung kalau kedua bajingan itu disingkirkan untuk selamalamanya." "Pokoknya Bernard, aku tidak mau sampai ada pertumpahan darah."
"Ya, aku tahu!" ujar Bernard sambil berusaha nyengir. "Sejak hari ini kau memang
mata-mata yang paling dicari-cari di seluruh Eropa, tetapi dalam hati kau tetap
anak manis, begitu bukan" Yang aku maksud dengan membereskan mereka: Karsoff dan
Bulanski harus diberi pelajaran. Mereka perlu dihajar - kalau perlu, sampai
dirawat di rumah sakit. Biar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dipermainkan
begitu saja. Setelah itu, mereka dengan senang hati akan bercerita di mana
mereka menyembunyikan dokumen-dokumen NATO itu."
"Kau yakin bahwa dokumen-dokumen itu disembunyikan?"
"Tentu saja! Barang berharga seperti itu kan tidak dibawa jalan-jalan.?"Tapi siapa yang akan menghadapi mereka" Kau tidak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan
seperti ini." "Sayang sekali! Tapi kalau kita menunggu sampai aku sembuh, semuanya sudah
terlambat. Karena itu akan menyuruh si Kroll dan si Prassel."
Hilda menatap pacarnya dengan pandangan bertanya-tanya.
"Mereka tukang pukul bayaran," Bernard menjelaskan. "Mereka mau melakukan apa
saja asal dibayar - tanpa banyak bertanya. Orang seperti merekalah yang kita
butuhkan sekarang." Hilda mengangguk, menuangkan teh, lalu menunggu.
"Tolong hubungi mereka," Bernard kembali berkata. "Uangnya sekalian kutitipkan
padamu. Soalnya mereka takkan bergerak sebelum diberi uang. Oh ya, aku harus
membuat surat pengantar dulu, supaya mereka percaya bahwa aku yang mengirim kau
ke sana." "Bernard! Aku tidak bisa keluar rumah. Setiap orang akan mengenali wajahku."
"Itu sudah kupikirkan. Kau harus menyamar. Rambut palsu yang kaupakai waktu
karnaval masih kusimpan di gudang. Dengan bantuan make-up dan kacamata hitam,
penampilanmu pasti berubah total. Kalau kau naik mobilku, kau bebas pergi ke
mana saja." "Hmm, mudah-mudahan kau benar."
Hilda Putz mulai dilanda ketakutan. Tapi ia sadar bahwa tidak ada pilihan lain.
Bernard sedang demam sehingga harus berbaring terus. Untuk sementara waktu dia
tidak bisa membantu apa-apa. Sedangkan keadaan sudah mendesak sekali. Begitu
Karsoff dan Bulanski menemukan pihak yang berminat pada dokumen-dokumen rahasia
itu, maka tak ada lagi yang bisa diharapkan. Itulah sebabnya Hilda harus
bertindak. Paling tidak ia harus menghubungi kedua tukang pukul itu.Tanpa terasa air
matanya mulai mengalir ketika ia mengingat-ingat rencana yang disusunnya bersama
Bernard. Pacarnya itu juga memiliki koneksi di kalangan mata-mata asing. Tanpa
kesulitan ia akan menjual rahasia-rahasia NATO itu. Dalam beberapa hari saja
urusannya pasti sudah beres. Dan setelah itu mereka akan kaya-raya, lalu pergi
ke Amerika Selatan - untuk selama-lamanya. Bernard bahkan sudah memesan paspor
palsu untuk Hilda. Bernard mulai tidak sabar."Apa lagi yang kau tunggu?"
Sambil mengangkat bahu, Hilda masuk ke kamar mandi. Sikap Bernard yang kasar
membuatnya bertambah sedih.
Setengah jam kemudian Hilda selesai berdandan. Penampilannya berubah sama
sekali.Ketika ia muncul di hadapan Bernard, pacarnya itu langsung bertepuk
tangan. "Hebat! Sempurna! Bahkan aku pun tidak mengenalimu!"
Ia langsung mengambil dompetnya, lalu mengambil dua lembar 500 Mark.
"Dengan bayaran seperti ini, Kroll dan Prassel akan menghajar siapa pun - tanpa
peduli siapa orangnya."
Bernard sempat menulis surat singkat sementara Hilda berdandan di kamar mandi.
Hilda memasukkan surat bersama uang itu ke dalam tas, lalu mengambil kunci mobil
pacarnya. "Freddy Kroll dan Thomas Prassel tinggal satu rumah," Bernard menjelaskan.
"Kroll di lantai dasar, Prassel persis di atasnya. Kau tidak perlu menerangkan
apa-apa. Aku sudah mencatat semua yang perlu mereka ketahui."
Ia lalu menyebutkan alamat kedua tukang pukul itu.Ketika Hilda keluar dari
pintu, ia masih sempat mendengar suara Bernard,"Tenang saja! Semua pasti beres!"
5. Tukang Pukul Bayaran Kumbang beterbangan di bawah pepohonan. Daun-daun menyaring cahaya matahari.
Sebuah pagar tanaman memisahkan pekarangan sempit itu dari jalan. Meskipun
demikian Hilda merasa seakan-akan menjadi tontonan orang-orang.Ia menuju ke
jalan. Ketika sampai di gerbang, wanita itu berhenti sejenak. Dengan waswas ia
memandang ke kiri dan kanan untuk memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa.
Sambil mengerahkan seluruh keberaniannya, Hilda masuk ke VW Kodok milik Bernard.
Mobil itu berbau asap rokok. Cepat-cepat Hilda membuka jendela.Sebenarnya, ia
berusaha menenangkan diri, aku cukup aman di sini. Aku tidak mengenal siapasiapa di kota ini. Tak ada yang mengetahui hubungan antara aku dan Bernard.
Kecuali Karsoff dan Bulanski, tentunya. Tapi mereka takkan memanfaatkan
informasi itu. Mana mungkin mereka menghubungi polisi" Bisa-bisa malah mereka
sendiri yang diciduk karena melakukan kegiatan mata-mata.
Jalan Agnes yang dituju Hilda terletak di daerah yang bisa dikatakan kumuh,
jalan-jalan sempit yang penuh lubang. Rumah-rumah tua yang tak terurus. Tak ada
satu pohon pun sejauh mata memandang. Pemandangan yang paling menyenangkan
adalah sejumlah pot bunga di depan beberapa jendela. Penghuni daerah ini
sebagian buruh kasar berkebangsaan asing. Mereka sudah puas dengan keadaan
seperti ini - begitu pendapat umum. Dan kalaupun mereka kurang berkenan, mereka
sebaiknya diam saja! Hilda menemukan alamat yang dicarinya, sebuah rumah sempit berlantai dua, dengan
dinding berwarna abu-abu kotor. Rumah sebelah digunakan sebagai warung oleh
seseorang yang berasal dari Yunani. Buah-buahan segar terpajang di depan
jendela. Kecuali itu, dia juga menjual sosis yang dijamin halal, serta berbagai
jenis anggur Yunani. Hilda parkir di tepi jalan. Sebelum turun dan mobil, ia melirik ke kaca spion
untuk memastikan bahwa rambut palsunya tidak meleset. Kemudian ia memasang
kacamata hitam. Di samping pintu rumah terdapat dua tombol bel - kedua-duanya tanpa keterangan
nama.Hilda ragu-ragu. Yang mana yang harus ia tekan" Ah, sama saja,
sebab...Tiba-tiba pintu membuka, dan seorang wanita muda muncul di hadapan
Hilda. Wanita itu rupanya akan pergi berbelanja, sebab ia membawa tas belanja
yang masih kosong. Selain itu, ia memakai make-up tebal dan mengunyah permen
karet. "Selamat siang!" Hilda menegurnya. "Saya ingin ketemu Tuan Kroll dan Tuan
Prassel." "Oh, ya?" jawab wanita di hadapannya sambil terus mengunyah. "Mereka lagi
pergi!" "Kira-kira kapan mereka kembali?"
"Ada urusan penting?"
"Penting sekali."
"Mereka tidak suka diganggu kalau lagi nongkrong di kedai minum."
Hilda tersenyum penuh pengertian."Apakah Anda bisa memberi tahu di mana saya
dapat menemui mereka?"
"Hmm, lebih baik jangan, deh! Sebelum pergi tadi, Freddy bilang bahwa dia mau
bersantai. Dia pasti marah kalau saya... Ada apa, sih?"
"Anda kenal baik dengan Freddy Kroll?"
"Tentu! Saya pacarnya!"
"Saya punya tugas untuk mereka!"
Hilda memaksakan diri untuk berkata dengan tegas. "Dan saya akan bayar tunai."
"Kenapa tidak bilang dari tadi" Freddy dan Thomas ada di kedai minum dekat sini.
Namanya Kedai Teratai. Dari sini lurus sampai ke pojok sana, terus belok kanan,
lalu kanan lagi." Hilda mengucapkan terima kasih, kemudian mempertimbangkan untuk jalan kaki.
Tetapi akhirnya ia memutuskan untuk naik mobil saja. Wanita muda tadi masuk ke
warung Yunani di sebelah. Dengan mudah Hilda berhasil menemukan Kedai Teratai.
Di tepi jalan di depan kedai itu ada sejumlah mobil tua dan sepeda motor baru.
Di antaranya ada beberapa yang masih mulus sekali.
Sambil memarkir VW Kodok kepunyaan Bernard, Hilda tiba-tiba teringat bahwa ia
tidak mengetahui ciri-ciri kedua tukang pukul yang sedang dicarinya. Dengan hati
berdebar-debar ia lalu memasuki kedai minum. Pengunjung Kedai Teratai ternyata
laki-laki melulu. Hilda adalah satu-satunya wanita di ruangan itu. Enam... tujuh


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda tanggung berdiri di depan meja layan. Mereka asyik menenggak bir. Seorang
pengunjung lain sedang bermain ding-dong di seberang ruangan. Pemilik kedai
minum yang berbadan gendut berdiri di belakang meja layan.
Ketika Hilda melangkah masuk, suasana mendadak hening. Semua mata memandang ke
arah wanita itu. Hilda mulai merasa salah tingkah.Ia menghampiri meja layan.
Para pemuda tanggung memelototinya tanpa malu-malu. Salah seorang dari mereka
mulai bersiul-siul.Hilda menganggukkan kepala ke arah pemilik kedai minum.
"Permisi, saya mencari Freddy Kroll dan Thomas Prassel."
Terheran-heran pria gendut itu mengerutkan kening. Kemudian ia menunjuk ke
seberang ruangan. "Itu Freddy!" "Terima kasih!"
Mesin ketangkasan itu cukup jauh, sehingga Freddy tidak mendengar apa-apa. Ia
sedang nyengir lebar, karena baru saja memperoleh bonus.Orangnya tidak tinggi,
tapi badannya kekar sekali. Rambutnya dipotong pendek seperti sikat. Sebuah
bekas luka nampak memanjang dari ujung mata kiri sampai ke telinga.Ketika Hilda
menghampirinya, Freddy segera menoleh.
"Selamat siang, Pak Kroll! Saya dikirim oleh Bernard Wacker. Ada yang perlu saya
bicarakan dengan Anda."
Freddy kembali nyengir. Giginya yang ompong kelihatan jelas.
"Halo, Sayang! Kenapa bukan Bernard sendiri yang datang?"
"Dia sakit." "Oh, ya" Kalau begitu Anda pasti juru rawatnya! Apakah Anda juga menangani
pasien lain" Hehehe, saya tidak keberatan dirawat oleh Anda."
Ya, Tuhan! pikir Hilda. Tempat macam apa ini" Kenapa Bernard menyuruh aku ke
sini" Si Kroll benar-benar memuakkan! Tapi apa boleh buat mau tidak mau aku
harus pasang tampang manis. Bernard dan aku membutuhkan jasa mereka. Ia
memaksakan diri untuk tersenyum.
"Nah?" Freddy bertanya. "Apa yang harus kita bicarakan?"
"Bernard ingin minta tolong pada Anda dan Thomas Prassel. Ada seseorang yang
perlu diberi pelajaran."
Freddy Kroll berlagak kaget."Wah, wah, wah! Maksud Anda, kami disuruh menghajar
orang itu?" Hilda mengangguk."Masa kami disuruh melakukan tugas seperti itu"! Anda pasti
salah alamat. Kami tidak pernah menggunakan kekerasan, betul kan, Thomas?"
Ucapan itu ditujukan pada seorang pria yang baru kembali dari kamar kecil, dan
kini mendekati mereka. Orangnya tinggi, langsing, dan masih muda. Ia kelihatan
lebih cerdik ketimbang temannya - tetapi juga lebih berbahaya
.Dengan dingin ia menatap Hilda. "Ada apa?"
Hilda mengulangi maksud kedatangannya, mengambil surat yang ditulis Bernard dari
tas, lalu menyerahkannya pada Thomas Prassel.
"Hmm, Karsoff dan Bulanski!" ia membaca keras-keras. Tanpa menunjukkan reaksi ia
menatap rekannya. "Kau kenal orang-orang ini, Freddy" Rasanya, aku pernah
mendengar nama-nama mereka."
"Entahlah!" jawab Freddy sambil mengangkat bahu. "Setiap hari begitu banyak nama
yang aku dengar. Mana mungkin aku ingat semuanya"!"
Thomas Prassel melambaikan surat Bernard."Di sini ada alamat mereka. Mudahmudahan alamatnya benar. Akibatnya bisa gawat kalau sampai ada kekeliruan. Tapi
seperti dikatakan Freddy tadi, Nona..."
"Nama saya Hilda."
"...seperti dikatakan Freddy tadi, Nona Hilda, kami biasanya selalu lemah lembut
dan cinta damai. Kami membenci kekerasan. Hanya karena sudah lama bersahabat
dengan Bernard, kami bersedia merontokkan gigi orang-orang yang namanya tertulis
di sini. Tapi jasa kami itu tidak gratis."
Hilda langsung meraih ke dalam tasnya. "Bernard menitipkan 1000 Mark untuk Anda
berdua." "Oooh!" Freddy Kroll langsung bergumam. Rupanya ia terkesan dengan jumlah uang
itu. "Dengan bayaran sebesar itu, kami takkan setengah-setengah. Karpoff dan
Bulhanski akan terbengong-bengong kalau..."
"Karsoff dan Bulanski!" Thomas membenarkan ucapan rekannya. "Ingat baik-baik!
Kasihan kan, kalau kita menghajar orang yang tak berdosa!"
Freddy Kroll nyengir lebar. Prassel menerima uang yang diserahkan Hilda, lalu
memberikan 500 Mark pada rekannya.
"Titip salam untuk Bernard, Manis! Katakan saja bahwa urusan ini boleh dianggap
beres."Kemudian ia menanyakan apakah Hilda mau ikut minum-minum. Namun wanita
muda itu menolak dan langsung meninggalkan kedai minum.Baru setelah duduk di
mobil dan menuju ke rumah Bernard, Hilda bisa menarik napas dengan lega.
*** Sejak semalam mereka benar-benar sibuk. Semua kenalan lama di kalangan anggota
organisasi mata-mata asing dihubungi lagi. Dokumen-dokumen rahasia NATO akan
dijual pada pihak yang mengajukan tawaran paling tinggi. Ini sudah disepakati
oleh Karsoff dan Bulanski.Tetapi keputusan ini bukan hanya tergantung pada
mereka semata. Karsoff dan Bulanski sebenarnya hanya pelaksana saja. Sebelum
mengambil tindakan, mereka harus menunggu persetujuan bos mereka, yang
menggunakan nama samaran Helmut. Orangnya jarang muncul. Tapi ia seakan-akan
berada di mana-mana, dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi. Helmut selalu
menuntut 40% dari keuntungan anak buahnya. Karsoff dan Bulanski masing-masing
memperoleh 30%. Namun itu pun masih lumayan - apalagi kalau surat-surat rahasia
itu berhasil dijual dengan harga satu juta Mark.Kini, menjelang sore, kedua
bajingan itu duduk-duduk di rumah yang mereka diami bersama.
Karsoff telah bercerai sejak lima tahun lalu. Istrinya tidak tahan hidup
bersamanya. Selama pernikahan mereka, ia bahkan tidak pernah tahu apa pekerjaan
suaminya itu. Karsoff adalah pemilik sebuah restoran kecil yang ia sewakan pada
orang lain. Berdasarkan catatan kantor pajak, itulah satu-satunya sumber
penghasilan dia. Leo Bulanski adalah seorang pria gemuk, dengan kumis dan kacamata tebal Tak satu
rambut pun tersisa di atas kepalanya. Ia sangat menderita karenanya. Kepalanya
yang botak menyebabkan dia merasa minder. Sedangkan rambut palsu yang selalu
dikenakannya juga tidak membantu.Sampai beberapa saat yang lalu, Bulanski masih
tinggal bersama ibunya yang sok kuasa. Ketika ibunya kemudian meninggal, ia
pindah ke rumah Karsoff. Di samping kegiatannya sebagai mata-mata, Bulanski juga
menekuni pekerjaan yang terhormat. Ia seorang juru potret yang merangkap sebagai
pemilik studio foto. "Aku tak menyangka bahwa urusannya akan serumit ini," ia sedang bergumam.
"Habis, bagaimana lagi?" jawab Karsoff sambil menggaruk-garuk dagu. "Satu juta
Mark bukan jumlah yang kecil. Tentu saja para calon pembeli minta kepastian
dulu. Kita harus bisa meyakinkan mereka bahwa harganya memang pantas. Rencanarencana NATO yang paling rahasia takkan bisa diperoleh di tempat lain."
Dengan kesal Bulanski menggelengkan kepala. "Kenapa sih, mereka harus selalu
curiga" Koran-koran kan sudah memberitakan semuanya. Secara panjang lebar
dijelaskan dokumen apa saja yang dicuri oleh Hilda Putz itu."
"Rupanya itu belum cukup untuk teman-teman kita. Tapi tenang saja. Kita tidak
perlu terburu-buru."
Yang dimaksud Karsoff dengan sebutan "teman-teman kita" adalah para agen rahasia
yang masuk hitungan sebagai calon pembeli.
"Sudah tiga orang yang kita hubungi," ujar Bulanski, "Max Wunderlich, Stanislav
Kobold, dan Franziska Hensch. Semuanya mau melihat contoh dulu."
"Siapa sih yang mau membeli kucing dalam karung" Aku pasti akan melakukan hal
yang sama seandainya aku di tempat mereka."
"Hmm!" Bulanski bergumam sambil memeriksa letak rambut palsunya. Kemudian ia
menoleh ke luar jendela. Sebuah mobil lewat di depan rumah. Di dalamnya ada dua laki-laki. Rupanya mereka
sedang memandang ke arah sini. Tapi berhubung lagi tidak pakai kacamata,
Bulanski tidak mengenali kedua orang itu. Ia hanya melihat bahwa mobil mereka
berwarna gelap.Karsoff malah tidak melihat apa-apa, karena duduk membelakangi
jendela. "Mulai sekarang kita harus hati-hati kalau menelepon, Leo," katanya. "Janganjangan pesawat telepon teman-teman kita sudah disadap oleh pihak keamanan,
maksudku. Lagi pula sulit untuk meyakinkan mereka lewat telepon."
"Terus bagaimana?"
"Kita fotokopi salah satu halaman dari rencana-rencana NATO itu."
"Lalu?" "Masing-masing dari mereka kita beri satu lembar. Halaman itu tidak bermanfaat
bagi mereka. Tapi sebagai bukti, aku rasa sudah cukup. Habis itu kita tunggu
tawaran dari mereka."
"Yah, begitu saja, deh! Lembaran-lembaran fotokopi itu akan kita sampaikan
melalui kotak pos mati - seperti biasa. Cara ini masih yang paling aman."
Mobil tadi kembali melintas di depan rumah, kini dari arah berlawanan. Bulanski
tidak memperhatikannya. "Kelihatannya kita lagi beruntung, Leo," ujar Karsoff. "Penjualan rencanarencana NATO akan membuat kita jadi kaya raya. Dan setelah itu kita masih bisa
memperoleh tambahan dari Robert Graf."
"Lho, aku kira proyek itu sudah batal?"
"Dia memang harus dipaksa sedikit," kata Karsoff sambil nyengir. "Untung saja
aku ingat. Sudah waktunya dia digertak lagi."
Karsoff berdiri, hendak menuju ke pesawat telepon. Kebetulan la melirik ke arah
jalan - tepat pada waktu mobil gelap tadi muncul untuk ketiga kalinya. Mobil itu
berhenti, lalu mundur ke depan garasi.
"Ada tamu, ya?" tanya Bulanski.
"Kelihatannya begitu," ujar Karsoff dengan tegang. Ia selalu ketakutan, janganjangan pihak keamanan telah berhasil melacak jejak mereka.
Namun kemudian ia menarik napas lega. "Oooh, ternyata Freddy dan Thomas."
Sebelum bel sempat berdering, Karsoff sudah membuka pintu.
"Halo!" ujar Kroll. Sambil nyengir ia mengacungkan kepalan tangan ke wajah
Karsoff. "Kami datang untuk menghajar kalian."
"Busyet! Pagi-pagi sudah mabuk" Ayo, masuk dulu!"Karsoff segera menyalami Freddy
dan Thomas. Kemudian kedua tukang pukul itu menyalami Bulanski.
"Mau minum bir?" Karsolf menawarkan.
"Boleh!" Freddy mengangguk "Gila, sulit benar sih cari tempat parkir di sini!
Terpaksa deh, aku parkir di depan garasi kalian "
Karsoff mengambil dua botol bir dan lemari es.
"Betul apa kata Freddy tadi," ujar Thomas sambil ketawa. "Kami berdua dibayar
1000 Mark untuk memberi pelajaran peda kalian. Hahaha, ini baru kejutan, bukan"
Orang yang menyuruh kami rupanya belum tahu bahwa kita berteman baik."
"Coba tebak siapa yang menyuruh kami?" tanya Freddy.
Karsoff berlagak memeras otak.
"Pasti Bernard Wacker," ia kemudian berkata dengan tegas.
Freddy Kroll dan Thomas Prassel saling bertatapan.
"Busyet! Lengkap juga informasimu!" Freddy berkomentar dengan heran. "Tebakanmu
tepat sekali. Yang menyuruh kami memang Bernard Wacker. Tapi bukan dia sendiri
yang menghubungi Thomas dan aku. Dia menyuruh seorang wanita bernama Hilda pacarnya, barangkali. Ada urusan apa sih kalian dengan si Wacker?"
"Ya, kenapa dia dendam pada kalian" Seingat aku, kalian kan pernah bekerja sama
dengan dia?" "Ehm... itu cerita lama," Karsoff berusaha menghindar. "Kami mengambil sesuatu
dari dia. Karena itu dia kesal. Sampai sekarang dia masih menginginkan barang
itu. Tapi kami tidak bermaksud mengembalikannya. Barangkali dia sangka kami akan
menyerah kalau dia menggunakan kekerasan."
Tidak lama kemudian Kroll dan Prassel berpamitan.
"Si Wacker sudah mulai berani macam-macam," ujar Karsoff, setelah kedua tukang
pukul itu pergi. "Kelihatannya, dia mengajak perang."
"Kalau memang itu yang dia inginkan, silakan saja. Tapi sebelumnya kita harus
bikin fotokopi dulu."
Bulanski langsung berdiri. Membuat fotokopi termasuk dalam lingkup tugasnya. Ia
turun ke ruang bawah tanah. Mesin fotokopi-nya ada di sana.
Untuk sesaat Karsoff berusaha mengingat-ingat apa yang hendak ia lakukan sebelum
Kroll dan Prassel datang. Oh, ya! Ia mau menelepon Robert Graf. Ahli kimia itu
harus digertak lagi. 6. Kotak Pos Mati Q-23/14
Hanya sebentar saja mereka tahan mendengarkan musik sambil duduk. Lagu-lagu yang
diputar Monika membuat kaki terjaga ingin bergoyang. Dengan sedikit usaha, Petra
dan Monika akhirnya berhasil membujuk yang lain untuk ikut berdansa.
Kini mereka sudah memasuki ronde keempat - begitu Sporty selalu menyebutnya. Ia
berpasangan dengan Petra. Sambil berangkulan, mereka mengikuti irama lagu.
Monika berpasangan dengan Thomas. Namun hanya sampai Oskar selesai beristirahat.
Kemudian anak itu segera menggantikan sahabatnya.
Rambut Petra yang pirang menggelitik telinga Sporty. Gadis itu menyebarkan bau
harum. Dengan ringan ia mengikuti langkah Sporty.
"Seharusnya kita lebih sering berdansa seperti ini," Sporty bergumam. "Ternyata
enak juga, ya." Petra diam saja Tapi sedetik kemudian ia berkata,"Aduh! Jangan main injak,
dong!" "Eh, sori! Aku tidak sengaja."
Tiba-tiba telepon berdering. Monika langsung memelankan musik, lalu bergegas
menuju pesawat telepon. "Halo" Ya, sebentar!" Kemudian ia berseru,"Ayah, ada telepon!"
Pak Graf keluar dari kamar kerjanya dan meraih gagang telepon. Perhatian Sporty
terus tertuju padanya. Anak itu segera menyadari perubahan pada raut wajah Pak
Graf. Perubahan kali ini bahkan lebih menyolok ketimbang di hadapan Pak Glockner
tadi. Ayah Monika sampai harus berpegangan pada tepi meja telepon.
"Ya," ia bergumam sambil menundukkan kepala. "Di Cafe Brand" Baik, saya akan
segera ke sana." Ia meletakkan gagang. Raut wajahnya jelas-jelas mencerminkan rasa putus asa yang
sangat mendalam. Tetapi kecuali Sporty tidak ada yang memperhatikannya.
Ada apa sih sebenarnya" anak itu bertanya-tanya.
Pak Graf mengenakan jaket, lalu muncul di ambang pintu kamar Monika."Anak-anak,
saya harus pergi sebentar! Sampai nanti, ya."
Melalui jendela Sporty lalu melihat mobil Pak Graf menjauh. Cafe Brand! Hmm,
restoran itu tidak terlalu jauh dari sini. Kalau lewat Taman Kota malah bisa
potong jalan. "Eh, Monika!" ujar Petra tiba-tiba. "Kau kan pernah janji untuk mengajarkan cara
merawat muka. Bagaimana kalau sekarang saja?"
"Oh, ya! Hampir aku lupa."
Wah, kebetulan sekali, pikir Sporty. Ia menunggu sampai kedua gadis itu kembali
ke kamar Monika, lalu berbisik pada Thomas dan Oskar,"Ayo, ikut aku! Ada urusan
penting! Nanti kujelaskan semuanya."
Dan pada Petra dan Monika ia berseru,"Kami juga pergi sebentar, ya! Aku ada
perlu. Kami takkan lama."
"Oke!" Monika membalas dan kamarnya. "Tolong tutup pintu depan."
Setelah keluar dan rumah, Sporty, Thomas, dan Oskar, segera mengambil sepeda
masing-masing. "Aku tidak tahu apakah kalian menyadarinya," ia berkata, "tapi kesanku Pak Graf
sedang menghadapi masalah berat. Kelihatannya dia tertekan sekali. Pasti ada
hubungannya dengan telepon tadi. Orang yang menelepon itu menyuruhnya untuk
datang ke Cafe Brand. Kalian lihat wajahnya waktu berangkat" Tampang Pak Graf
seperti orang yang akan menghadiri pemakamannya sendiri. Aku rasa ada baiknya
kalau kita cari tahu siapa yang ia temui di sana. Barangkali kita bisa
membantunya. Orangnya kan baik sekali."
"Ya, dia pantas jadi tuan rumah teladan," Oskar membenarkan.
"Aku juga menyadari bahwa ada yang tidak beres," ujar Thomas. "Tapi kukira itu
hanya karena sakit maag-nya kambuh lagi "
"Masa kau tidak memperhatikan bahwa dia langsung pucat ketika aku menggambarkan
si pencuri berhidung patah" Aku juga belum mengerti hubungannya, tapi siapa tahu
kita akan menemukan sesuatu."
Mereka mengambil jalan pintas lewat Taman Kota. Karena ada tanda dilarang naik
sepeda, ketiga sahabat itu terpaksa turun dan menuntun sepeda masing-masing.
Tapi tanpa tanda itu pun, anak-anak STOP harus jalan kaki, sebab jalan-jalan
setapak di Taman Kota penuh sesak dengan orang-orang yang ingin menikmati udara
segar. Cafe Brand terletak di tepi suatu jalan besar yang sangat ramai. Kue-kue yang
dibuat di restoran itu terkenal di seluruh kota. Di pojok jalan, sejumlah taksi
sedang menunggu penumpang. Di seberang Cafe Brand, pembangunan sebuah gedung
bertingkat sedang berjalan dengan giat.Sebuah pagar seng membatasi lokasi
pembangunan dari jalan. Orang-orang yang tidak berkepentingan dilarang masuk.
Sebuah papan pengumuman menyatakan bahwa para orangtua harus bertanggung jawab
penuh atas segala kerusakan yang ditimbulkan oleh anak-anak mereka.
Sementara Sporty dan Thomas mengelilingi bangunan setengah jadi itu dari sisi
belakang, Oskar menjaga sepeda-sepeda mereka. Ia lebih suka menunggu, ketimbang
harus berlari-lari.Buruh-buruh bangunan sedang bekerja di lantai tiga dan empat.


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi Sporty dan Thomas sama sekali tidak mereka perhatikan. Sambil berlindung di
balik pagar, kedua anak itu mengintip ke arah Cafe Brand.
"Pak Graf duduk di pinggir jendela sebelah kiri," ujar Thomas.
"Ya, aku melihatnya."
Ahli kimia itu baru saja memesan sesuatu pada seorang pelayan wanita.
"Orang yang akan ia temui belum datang," kata Sporty. "Aku..."
Tiba-tiba ia terdiam. Tanpa berkedip ia memperhatikan Mercedes hitam yang kini
berhenti di depan Cafe Brand.Itu kan... Sayangnya kaca mobil itu memantulkan
sinar matahari, sehingga Sporty belum bisa mengenali pengemudinya. Pelat
nomornya! terlintas di kepala anak itu. Ternyata pelat nomornya tidak sama
dengan pelat nomor kendaraan para pencuri.
Sporty hampir menoleh ke arah lain, ketika pengemudi mobil itu membuka pintu.
Sporty tersentak kaget. Pengemudi itu adalah si laki-laki berhidung patah.
"Thomas! Itu tuh... pengemudi Mercy di seberang jalan! Itu orang yang mencoba
mencuri tas Hilda Putz."
Thomas langsung terbelalak.
"Pelat nomor mobilnya lain," Sporty berbisik. "Barangkali dia selalu
menggantinya setiap kali ada rencana baru. Itu berarti, pengemudi Mercy itu
memang seorang penjahat profesional."
"Gila! Dia masuk ke Cafe Brand dan... Wah, brengsek!"
Terbengong-bengong Thomas menatap kaki celananya. Di bawah lututnya terdapat
sejumlah bercak.Ternyata di tempat ia berdiri di pagar seng tidak sampai
menyentuh tanah. Seekor anjing Boxer berdiri di seberang sambil mencium-cium
pagar. Anjing itu rupanya baru saja memberikan "tanda" bahwa ia pernah lewat di
sini. "Sial!" Thomas mengumpat tertahan. "Apa tidak ada tempat lain, sih?"
"Jangan dimasukkan ke dalam hati," ujar Sporty sambil nyengir. "Anjing itu kan
tidak tahu bahwa kau berdiri di balik pagar ini."
Ia kembali mengintip ke seberang jalan. Apa yang ia lihat membuktikan dugaannya.
Justru hal inilah yang ia cemaskanSi Hidung Patah sedang menghampiri meja Pak
Graf. Sambil nyengir lebar, penjahat itu mengulurkan tangan. Pertama-tama ayah
Monika diam saja. Tapi akhirnya ia berjabatan tangan sambil mengangguk
singkat.Tanpa menunggu dipersilakan, si penjahat menarik kursi dan duduk di
samping Pak Graf. Ia mulai berbicara - tanpa henti. Setiap beberapa detik ia
menoleh ke belakang, seakan-akan takut ada yang menguping. Pak Graf
mendengarkannya sambil terus membisu. Ia nampak semakin putus asa.
Astaga! ujar Sporty dalam hati. Dari mana Pak Graf mengenal penjahat itu" Apa
yang sedang mereka bicarakan"
"Benar-benar aneh," kata Thomas, "apa hubungan Pak Graf dengan bajingan itu?"
"Aku juga tidak tahu. Tapi kita akan mencari tahu. Perasaanku mengatakan bahwa
ini sebuah kasus untuk STOP."
Ketika ditanya mau pesan apa oleh pelayan wanita tadi, si Hidung Patah hanya
menggeleng. Segera setelah itu ia berdiri. Sambil tersenyum licik, penjahat itu
menepuk-nepuk bahu Pak Graf. Rupanya ia hendak memberi semangat pada ayah Monika
itu. Tapi sikap Pak Graf menunjukkan bahwa ia semakin bingung dan putus asa.
"Thomas, kita harus mengetahui siapa laki-laki itu!"
"Mana mungkin"! Sebelum kita sempat mengambil sepeda, dia pasti sudah pergi naik
mobil. Kita takkan sanggup mengikutinya naik sepeda."
"Benar juga. Dasar sial! Bagaimana... eh, taksi-taksi itu! Kau bawa uang?"
"Hanya sepuluh Mark."
"Aku juga punya segitu. Mestinya sih cukup. Mau tidak mau kita berkorban
sedikit." Mereka bergegas ke pintu pagar. Beberapa langkah ke sebelah kanan, keempat taksi
tadi masih menunggu. Sopir taksi yang paling depan ternyata seorang
wanita.Sporty langsung membuka pintu dan duduk di sebelahnya.
"Selamat siang! Kami ingin membuntuti sebuah mobil Anda tidak keberatan, bukan?"
Wanita itu menatapnya sambil mengerutkan kening.
"Pacarmu, ya?" ia bertanya dengan curiga."Tebakan Anda hampir tepat," Sporty
segera mencari akal. "Maksudnya, saya teriang berusaha agar dia mau menjadi
pacar saya. Sampai sekarang saya belum sempat berkenalan dengan dia. Saya hanya
tahu ayahnya Dan sekarang saya ingin mengikuti ayahnya, untuk mengetahui alamat
mereka. Anda bersedia?"
"Kenapa tidak?" jawab wanita itu sambil menghidupkan mesin dan argometer.
Kemudian ia menoleh ke belakang sebab Thomas baru saja membuka pintu."Dia juga
ikut?" "Ya, dia teman saya," ujar Sporty. "Dan dia mengincar gadis yang sama dengan
saya. Kami ingin bersaing secara sehat. Tuh, Mercy hitam itu yang harus kita
ikuti." Si Hidung Patah baru saja menjalankan mobilnya. Untung taksinya menghadap ke
arah yang sama. "Kalian berdua benar-benar cerdik," si pengemudi taksi berkata sambil melirik ke
kaca spion. "Ini harus saya ceritakan pada suami saya nanti malam. Rupanya masih
ada cinta pada pandangan pertama."
"Anaknya bermata biru dan berambut pirang," Sporty menjelaskan. "Kalau sudah
tahu namanya, saya akan menulis puisi untuk dia. Thomas, kau bantu aku, ya?"
"Beres!" jawab Thomas. Ia sedang sibuk membersihkan celananya dengan sepotong
tisu. "Asal aku boleh ikut tanda tangan di bawahnya. Mungkin saja kan, aku yang
dipilihnya." "Eh, jangan!" wanita di samping Sporty berkomentar. "Lebih baik puisinya ditulis
sendiri-sendiri. Itu kan lebih romantis."
"Oh, begitu"!" Sporty berlagak bodoh. Mercedes hitam di depan tak terlepas dari
pandangannya. "Terima kasih, kami akan mengingat nasihat Anda."
Si Hidung Patah rupanya tidak terburu-buru. Ia menuju ke arah barat. Makin lama,
lalu lintas semakin sepi. Keramaian di pusat kota tertinggal jauh di belakang.
Wanita pengemudi taksi pun merasa senang karena bisa membantu dalam urusan
asmara ini. Dengan gesit ia mengikuti si Hidung Patah. Kemudian, setelah lalu
lintas mulai sepi, ia memperbesar jarak dengan Mercedes hitam itu.Dengan cemas
Sporty memperhatikan angka pada argometer yang terus bertambah.Untung saja
perjalanan mereka segera berakhir. Argometer menunjukkan angka 12,60
Mark.Mercedes hitam itu memasuki pelataran parkir di depan Kuburan Lama, lalu
berhenti. "Wah!" si pengemudi taksi berkata "Usaha kalian kelihatannya tidak berhasil
Pasti bukan ini alamat gadis idaman kalian. Kecuali kalau ayahnya pengelola
kuburan ini." "Sebentar lagi kami akan mengetahuinya," ujar Sporty. Dengan perasaan tak
menentu ia memperhatikan si Hidung Patah turun dari mobil dan mengunci pintu.
"Terima kasih atas bantuan Anda."Ia mengeluarkan kembali sepuluh Mark dari
dompet. Thomas menambahkan sisanya.
Si Hidung Patah memasuki kuburan. Sporty dan Thomas segera turun dari taksi.
"Mudah-mudahan kalian berhasil," si pengemudi taksi berharap. "Tapi - pulangnya
nanti kalian naik apa?"
"Naik bis saja!" seru Sporty. Kemudian ia bergegas ke gerbang kuburan. Thomas
mengikutinya.Kuburan Lama sebenarnya juga pantas diberi nama Kuburan Cemara,
soalnya di mana-mana terdapat pohon-pohon cemara. Walaupun cukup luas, kuburan
ini sudah hampir penuh, karena banyak orang yang memilih Kuburan Lama sebagai
tempat peristirahatan terakhir. Di sini bahkan ada sejumlah makam yang berusia
lebih dari 250 tahun. Karena permintaan yang tinggi, pihak pengelola akhirnya
memutuskan bahwa orang-orang biasa hanya boleh berbaring selama 60 tahun.
Kemudian mereka harus memberi tempat pada orang lain.
Sporty dan Thomas mengendap-endap melewati gerbang yang terbuat dari besi cor.
Seketika mereka dikelilingi kesunyian. Beberapa jalan setapak, yang diapit oleh
deretan pohon cemara dan telah diaspal, bermula di sini. Sebuah gereja kecil
menempel di tembok yang mengelilingi kuburan.
"Barangkali dia ingin menemui seseorang di sini," Thomas menduga-duga. "Masa
sih, dia ke sini untuk berziarah?"
Mereka mengikuti pria itu sambil berjalan dengan cepat, namun tidak berlari.
Jalan setapak utama yang mereka susuri ternyata berbelok-belok jalan-jalan lain
yang lebih sempit bercabang dari jalan itu. Jumlahnya tak terhitung. Untuk
memudahkan para pengunjung, semuanya ditandai dengan kode Alfa-numerik (huruf
dan angka). Sporty dan Thomas melewati makam demi makam. Ada yang mewah, dan ada yang
sederhana. Bangku-bangku yang disediakan di tepi jalan setapak diduduki oleh
orang-orang tua. Mereka diam membisu sambil mengingat-ingat masa lalu. Beberapa
orang membawa peralatan untuk berkebun. Dengan tekun mereka memerangi rumput
liar yang tumbuh subur. Si Hidung Patah rupanya sudah tahu tujuannya. Ia berjalan dengan pasti, tanpa
perlu mencari jalan. Tak sekalipun ia menoleh ke belakang.Kedua sahabat STOP
semakin mendekat. Tanpa kesulitan mereka mengikuti laki-laki itu. Kalau perlu,
Sporty bisa segera melompat ke balik semak-semak. Sedangkan Thomas tidak perlu
bersembunyi, sebab Si Hidung Patah belum pernah ketemu dengannya.
Kini ia membelok ke jalan Q-23. Pepohonan di sini rindang sekali. Ia segera
menuju ke makam nomor 14. Sporty dan Thomas memperhatikannya sambil berlindung
di balik batu nisan. Si Hidung Patah berhenti Nama yang tertera pada salib kayu
pada makam itu sudah tak terbaca.Penjahat itu menoleh ke segala arah, untuk
memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Kemudian ia membungkuk,
dan mengambil sebuah kaleng dari tengah-tengah rumput liar yang menutupi makam
itu. Ia melepaskan tutupnya, lalu mengambil sehelai kertas terlipat dari kantong
baju. Kertas itu dimasukkannya ke dalam kaleng, yang kemudian dikembalikan ke
tempat semula.Sejenak ia kelihatan tersenyum puas. Setelah itu, ia berbalik dan
kembali ke arah gerbang. Dalam keheningan suara langkahnya masih terdengar
selama beberapa saat. "Kau mengerti apa yang dia lakukan di kubur itu?" tanya Thomas sambil menegakkan
badan."Ya! Aku punya dugaan kuat bahwa kubur ini berfungsi sebagai kotak pos
mati - suatu tempat rahasia yang biasa dipakai oleh para mata-mata untuk mengirim
berita." "Kotak pos mati?" ujar Thomas sambil mengerutkan kening. "Dalam kasus ini
istilahnya tepat sekali. Aku pernah membaca kenapa para agen rahasia menggunakan
cara seperti ini, yaitu supaya hubungan antara pihak pengirim dan penerima
berita tidak diketahui orang lain. Itulah sebabnya mereka tidak memanfaatkan
jasa pos." Sporty segera mendekati makam itu.Kaleng tadi ternyata disembunyikan dengan
baik, sehingga anak itu terpaksa mencarinya untuk beberapa saat. Kaleng itu
dulunya berisi teh. Sporty segera mengeluarkan isinya.Thomas mengintip, ketika
Sporty membuka kertas yang terlipat-lipat itu.
"Apaan, sih?" "Sebuah fotokopi mengenai.. Astaga, Thomas! Coba lihat kepala surat ini! Markas
Besar NATO! Wah! Dan isinya dalam bahasa Inggris!"
Lembaran kertas itu merupakan halaman 41, dan diketik rapat. Di setiap baris ada
istilah asing yang tidak dimengerti oleh kedua anak STOP. Namun secara garis
besar, mereka menyimpulkan bahwa naskah yang penuh angka itu membeberkan
keterangan-keterangan kemiliteran.
"Masalahnya sudah mulai jelas," ujar Sporty dengan suara serak karena tegang.
"Hilda Putz telah mengambil sejumlah dokumen rahasia dari Markas Besar NATO.
Kedua pencuri itu bermaksud merampas tasnya. Tapi ternyata mereka gagal. Nah,
lembaran ini rupanya salah satu - halaman dan sebuah dokumen NATO. Si Hidung
Patah ingin menyampaikannya pada seseorang. Berarti dia dan rekannya juga
berkecimpung dalam dunia mata-mata. Barangkali mereka memerlukan dokumen yang
diambil Hilda Putz untuk melengkapi dokumen ini. Atau... Hmm, ini yang masih
kurang jelas. Tapi aku rasa kita akan menghadapi suatu tragedi."
"Pak Graf, maksudmu?" Sporty mengangguk. "Kelihatannya sudah bisa dipastikan
bahwa dia terlibat dalam urusan ini Tapi di pihak lain, aku tidak bisa
membayangkan bahwa dia mau melakukan kejahatan. Masa sih, dia yang memberikan
lembaran ini pada si Hidung Patah?"
Thomas hanya mengangkat bahu "Sebelum menghubungi ayah Petra," Sporty kembali
berkata, "lebih baik kita bicara dulu dengan Pak Graf. Supaya adil."
"Aku setuju. Tapi bagaimana sekarang" Kita masih belum tahu siapa bajingan tadi
itu." "Hmm, tanpa kendaraan kita tikkan sanggup membuntutinya. Tapi aku yakin Pak Graf
bisa membantu. Sekarang kita tunggu di sini saja. Aku ingin tahu siapa yang akan
mengambil lembaran fotokopi ini."
Thomas pura-pura ketakutan. "Mudah-mudahan saja orang itu tidak membuang-buang
waktu. Pokoknya aku ingin sampai di rumah sebelum tengah malam. Pada malam hari
aku lebih senang berada di tempat tidur, ketimbang menunggu seseorang di samping
makam..."Ia membungkuk, menggeser kacamatanya, lalu membaca nama yang tertera
pada salib kayu."...Elfriede Handel - ya, itu namanya. Dia meninggal 18 tahun yang
lalu. Aku jamin- dia tak pernah membayangkan bahwa kuburnya kelak akan dipakai
sebagai kotak pos mati."
"Sayang sekali makamnya sudah tak terurus. Menyedihkan sekali. Barangkali dia
tidak punya sanak saudara di kota ini. Atau, mereka sudah melupakannya."Thomas
menunjuk ke makam sebelah."Kau sudah baca pengumuman itu" 'Masa sewa telah
habis.' Pengumuman itu dipasang oleh pihak pengelola kuburan. Setahuku, masa
sewa yang normal adalah 20 tahun Setelah itu kontraknya harus diperbarui. Kalau
tidak ada siapa-siapa lagi yang mengurus hal ini, maka istirahat yang seharusnya
kekal terpaksa diganggu untuk sementara. Tulang-belulang dari makam itu harus
dipindahkan ke tempat lain, supaya makamnya bisa ditempati orang lain.
Keterlaluan, sebenarnya!"
Sporty mengangguk."Ternyata pemakaman pun mengikuti hukum tak tertulis yang juga
berlaku untuk pembangunan gedung baru, semuanya semakin mahal dan langka.
Soalnya jumlah tanah yang tersedia tidak mungkin bertambah. Kenyataan ini
langsung dimanfaatkan oleh para pengusaha. Ayo, kita tunggu di tempat yang agak
jauh saja." 7. Tikus Tanah yang Aneh Mereka duduk di bangku taman dan menunggu. Burung-burung berkicau di puncak
pepohonan. Jauh di atas kota, sebuah Jumbo jet mulai bersiap-siap mendarat.
Seorang wanita tua berbadan bungkuk lewat di depan Sporty dan Thomas. Ia membawa
setumpuk daun kering ke tempat sampah.
Kedua sahabat STOP berbincang-bincang pelan. Untuk mengisi waktu, mereka
memecahkan teka-teki yang rumit. Sporty berhasil menjawab beberapa, Thomas lebih
banyak lagi.Sporty melirik arlojinya. Ternyata setengah jam telah berlalu tanpa
terasa. Kini ia mulai gelisah. Dalam keadaan seperti ini, Sporty memang tidak
sabar menunggu. "Petra dan Monika pasti heran karena kita belum juga kembali," kata Thomas. "Dan
Oskar pasti sudah uring-uringan. Eh, bukankah kalian harus kembali ke asrama
untuk mengikuti jam pelajaran tambahan?"
"Kami sudah minta izin," Pandangan Sporty menyusuri jalan setapak ke arah
gerbang pemakaman. Dua pekerja sedang menuju ke arah mereka. Yang pertama
mengenakan overall (pakaian kerja), dan membawa sekop serta cangkul Orang itu
diikuti oleh sebuah alat penggali berukuran mini, yang dikendalikan oleh pekerja
kedua. Kedua pekerja itu membelok ke jalan Q-23 dan berhenti di depan kubur
Elfriede Handel. "Mau apa mereka di sini?"Sporty dan Thomas segera berdiri dan mendekat.Pekerja
pertama sudah mulai membuat garis lurus mengelilingi kubur Q 23/14. Rekannya
sedang menempatkan alat penggali mini ke posisi yang benar.Terheran-heran Sporty
dan Thomas menyaksikan alat itu mulai bekerja.
"Ya, ampun!" Sporty berseru terkejut. "Mereka membongkar kubur itu!"
"Padahal masih dua tahun lagi sebelum masa sewanya habis!"
"Coba kita tanya dulu."Sporty segera menghampiri pekerja pertama.
"Permisi!" ia berteriak untuk mengalahkan suara mesin penggali. "Kenapa kubur
ini dibongkar?" Orang yang ditanya tersenyum ramah."Bu Handel akan dipindahkan," pekerja itu
menjelaskan. "Dia akan dimakamkan kembali di kota tempat tinggal putrinya. Di
sini makamnya sudah tak terurus. Memang lebih baik begitu."
Mesin penggali itu bekerja dengan cepat. Dalam sekejap saja tanah sudah mulai
membukit di samping kubur Elfriede Handel. Kaleng yang disembunyikan oleh si
Hidung Patah ada di bawah tumpukan tanah itu. Sporty dan Thomas saling
bertatapan. Brengsek! Ternyata rencana ini pun gagal lagi!
"Cukup, Erwin!" pekerja pertama berseru pada rekannya. "Sudah satu setengah
meter." Ia melompat ke dalam lubang itu, kemudian menusuk-nusuk tanah dengan
sekop "Sori, Win! Ternyata masih kurang."
Alat penggali kembali beraksi. Sporty dan Thomas menyaksikannya tanpa berkedip.
Proses penggalian itu memukau mereka walaupun pekerjaannya bukan sesuatu yang
menggembirakan. Setelah mencapai kedalaman 1,70 meter, pekerja pertama kembali
melompat ke dalam lubang kubur. Kali ini sekopnya mengenai sesuatu. Sporty
menyangka bahwa penggalian selanjutnya akan dilakukan dengan sekop, namun
ternyata ia keliru. Kedua pekerja itu tetap saja menggunakan mesin penggali
tetapi sekarang mereka lebih berhati-hati.Kayu lapuk mulai muncul di permukaan.
Sebuah pegangan besi yang penuh karat menyusul - pegangan peti mati Elfrieda
Handel.Dengan cermat pekerja pertama memindahkan isi peti itu ke dalam sebuah
kardus yang telah dipersiapkan sebelumnya.
"Tulang-belulang ini akan dimasukkan ke dalam tempat yang lebih pantas," ia


Detektif Stop - Pertarungan Mata Mata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskan pada kedua sahabat STOP. "Kalau tidak ada yang mengambilnya, kami
akan mengirim semuanya ke alamat yang bersangkutan dalam kasus ini putri Bu
Handel." "Anda sering mengerjakan tugas seperti ini?" tanya Thomas."Ya, kami sering
terpaksa membongkar kubur-kubur tua yang sudah habis masa sewanya."
Tiba-tiba saja Sporty menarik Thomas agar menjauh dari kubur itu. Ia nampak
terburu-buru sekali. "Jangan menoleh ke belakang," anak itu berbisik pada sahabatnya. "Laki-laki di
belakang kita kelihatannya mencurigakan."
Mereka berjalan beberapa langkah, kemudian bersembunyi di balik semak-semak dan
mengintip melalui dahan-dahan. Pembicaraan antara kedua pekerja tadi terdengar
dengan jelas. Pria yang dicurigai Sporty nampak kebingungan. Terbengong bengong
orang itu berdiri di samping alat penggali. Dengan mata terbelalak ia menatap
tumpukan tanah di hadapannya.
"Itu orang yang kita cari!" Sporty berbisik. "Untung saja kita tidak segera
kembali ke Cafe Brand."
"Apakah Anda saudara Bu Handel?" pekerja pertama tadi bertanya pada pria yang
baru datang. "Bagaimana" Oh, bukan! Ibu saya yang kenal baik dengannya. Kenapa kubur Bu
Handel dibongkar?" Si pekerja menjelaskannya. Laki-laki yang dicurigai Sporty mengangguk-angguk.
Tapi tampangnya menyatakan bahwa ia sebenarnya tidak peduli. Ia hanya datang
untuk mengambil kaleng teh itu. Orangnya tidak terlalu tinggi, tetapi berbadan
bulat. Setelan jas kotak-kotak yang ia kenakan sama sekali tidak cocok dengan
potongan badannya. Ia berwajah bulat, dengan mata yang kecil sekali. Alisnya
nyaris tidak kelihatan. Rambutnya yang pirang sudah mulai menipis. Dari jauh,
orang itu mirip anak babi yang siap disembelih.
Para pekerja telah menyelesaikan tugas mereka. Pekerja pertama mengangkat kardus
tadi ke atas mesin penggali, lalu meraih sekop dan cangkulnya. Setelah
mengangguk ke arah laki-laki gendut, ia menyusul rekannya yang sudah duluan
Tujuh Mata Dewa 2 Animorphs - 32 Pemisahan The Separation Misteri Penari Ronggeng 2

Cari Blog Ini