Ceritasilat Novel Online

Tersulut Catching Fire 2

Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins Bagian 2


"Ayo. Kita harus menghadiri makan malam," kata Haymitch.
Aku berdiri dibawah pancuran selama yang diizinkan sebelum aku harus keluar
untuk menyiapkan diri. Tim persiapan seakan tak menyadari serangkaian kejadian
yang berlangsung hari ini. Mereka semua bersemangat mengikuti makan malam
ini. Acara semacam ini di distrik-distrik merupakan acara yang penting untuk
dihadiri, sementara di Capitol mereka nyaris tak pernah mendapat undangan ke
pesta-pesta bergengsi. Sementara mereka berusaha menerka makanan apa saja
yang akan disajikan, benakku membayangkan kepala pria tua itu diledakkan
peluru. Aku bahkan tak memperhatikan apa yang dilakukan tim padaku sampai
ketika aku hendak pergi dan aku melihat bayanganku di cermin. Gaun pink pucat
dengan punggung terbuka menerpa sepatuku. Rambutku dijepit ke belakang dan
tergerai ke punggung dalam bentuk mengikal.
Cinna menghampiriku dari belakang dan memakaikan jubah perak mengilap
menutupi bahuku. Dia menangkap tatapan mataku di cermin. "Suka?"
"Cantik. Seperti biasa," jawabku.
"Mari kita liat seperti apa kalau ditambah senyum," katanya dengan lembut. Ini
adalah caranya untuk mengingatkanku bahwa sebentar lagi kami akan berhadapan
dengan kamera lagi. Aku berhasil menaikkan sudut-sudut bibirku. "Mari."
Ketika kami semua berkumpul untuk turun menuju acara makan malam, aku bisa
melihat Effie tampak kesal. Haymitch tentu tak menceritakan pada Effie tentang
kejadian dialun-alun tadi siang. Aku takkan kaget kalau Cinna dan Portia tau, tapi
tampaknya ada perjanjian tak tertulis untuk tak memberitahukan kabar buruk pada
Effie. Namun tak butuh waktu lama bagi Effie untuk mendengar masalah ini.
Effie mengulang jadwal malam ini lalu membuang kertas itu kesamping. "Lalu,
untunglah, kita bisa naik kereta dan segera pergi dari tempat ini," katanya.
"Apakah ada masalah, Effie?" tanya Cinna."Aku tak suka cara kita diperlakukan.
Kita dijejalkan di truk dan dilarang berada di peron. Lalu, sekitar 1 jam yang lalu,
aku memutuskan berkeliling di sekitar Gedung Pengadilan. Kau tau kan, aku ini
bisa disebut sebagai pakar di bidang desain arsitektur," katanya.
"Oh, ya, kudengar begitu," tukas Portia.
"Jadi, aku cuma mau lihat-lihat karena gedung-gedung tua di distrik sedang
digemari tahun ini, ketika 2 orang Penjaga Perdamaian muncul dan
memerintahkanku kembali ke ruangan kita. Bahkan salah satu dari mereka
menyodokku dengan senapannya!" kata Effie.
Mau tak mau aku jadi berpikir ini bisa jadi karena aku, Haymitch dan Peeta
menghilang siang tadi. Namun aku agak tenang karena Haymitch mungkin benar,
bahwa tak ada seorangpun yang mengawasi kubah berdebu tempat kami bicara.
Meskipun aku yakin mereka sedang mengawasi kami sekarang.
Effie tampak gelisah sehingga secara spontan aku memeluknya. "Mengerikan,
Effie. Mungkin kita sebaiknya tak perlu menghadiri makan malam. Paling tidak,
sampai mereka minta maaf."
Aku tau Effie takkan pernah menyetujui gagasan ini, tapi sikapnya langsung ceria
mendengar saranku, yang menunjukkan bahwa aku mengiyakan keluhannya.
"Tidak perlu, aku sanggup menghadapinya. Sudah jadi bagian dari tugasku untuk
bisa melewati semua hal yang menyenangkan dan yang tidak. Tapi terima kasih
atas tawarannya, Katniss."
Effie mengatur barisan untuk turun ke ruang makan. Pertama tim persiapan, lalu
dia, kemudian para penata gaya. Tentu saja, aku dan Peeta berada paling belakang.
Di bawah sana, para pemusik mulai bermain. Saat gelombang pertama barisan
kami mulai menuruni tangga, aku dan Peeta bergenggaman tangan.
"Haymitch bilang aku salah membentakmu tadi. Kau hanya bertindak sesuai
perintah-perintahnya," kata Peeta. "Dan aku juga bukannya tak pernah menyimpan
rahasia darimu di masa lalu."
Aku teringat pada keterkejutan yang kualami saat mendengar Peeta menyatakan
cintanya padaku di depan seantero Panem. Haymitch tau tentang itu dan dia tak
memberitahuku. "Kalau tak salah aku juga memecahkan barang sehabis
wawancara itu." "Cuma jambangan," jawab Peeta.
"Dan tanganmu luka. Tak ada gunanya lagi tidak bersikap jujur pada satu sama
lain, ya kan?" tanyaku.
"Tak ada gunanya," jawab Peeta.
Kami berdiri di puncak tangga, memberi Haymitch jeda 15l angkah di depan kami
sebagaimana yang diperintahkan Effie. "Apakah cuma sekali itu kau mencium
Gale?" Aku tak menyangka bakal ditanyai pertanyaan ini sehingga langsung menjawab.
"Ya." Dengan segala kejadian yang berlangsung hari ini, apakah cuma itu pertanyaan
yang menghantui pikirannya sejak tadi"
"Sudah lima belas. Ayo sekarang giliran kita," kata Peeta.
Lampu menyorot kami dan aku langsung memasang senyum paling memesona
yang bisa kulakukan. Kami menuruni tangga dan tersedot ke dalam rangkaian makan malam, upacara
dan perjalanan kereta api. Setiap hari kegiatannya serupa. Bangun. Berpakaian.
Berkendara melewati penonton yang bersorak-sorai. Mendengarkan pidato untuk
menghormati kami. Sebagai balasannya kami mengucapkan pidato terima kasih,
tapi hanya membacakan pidato yang diberikan Capitol, tak pernah ada
penambahan lagi sekarang. Kadang-kadang tur singkat: melihat laut di satu distrik,
hutan-hutan yang menjulang di distrik lain, pabrik-pabrik jelek, ladang gandum,
pabrik penyulingan yang bau. Berdandan dengan gaun malam. Menghadiri makan
malam. Kereta api. Selama upacara-upacara itu kami bersikap serius dan penuh hormat tapi selalu
bergandengan. Pada saat makan malam, kami berpesta pora dalam cinta kami
terhadap satu sama lain. Kami berciuman, berdansa, tertangkap basah keluar untuk
berduaan. Di kereta api, diam-diam kami sengsara ketika mempertimbangkan apa
efek yang mungkin saja kami hasilkan.
Bahkan tanpa ucapan-ucapan pribadi kami untuk memicu ketidakpatuhan"pidato
kami di Distrik 11 sudah diedit sebelum disiarkan"kau bisa merasakan ada
sesuatu di udara, seperti ada yang menggelegak menunggu hendak meledak. Tidak
disemua tempat. Sebagian penonton menunjukkan perasaan letih yang biasanya
ditampilkan oleh Distrik 12 pada upacara-upacara para pemenang. Tapi di distrikdistrik lain"terutama distrik 8, 4 dan 3"ada kegembiraan sungguhan di wajah
orang-orang yang melihat kami dan di balik kegembiraan itu ada kemarahan.
Ketika mereka mengelu-elukan namaku, yang terdengar lebih berupa pekikan balas
dendam bukannya sorak-sorai gembira. Ketika para Penjaga Perdamaian bergerak
untuk menenangkan massa, bukannya mundur mereka malah merapat. Dan aku tau
tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah semua ini. Tak ada pertunjukan cinta
sebesar apapun akan bisa mengubah gelombang ini. Jika tindakanku saat itu
dengan mengeluarkan buah-buah berry dianggap sebagai kegilaan sementara,
orang-orang ini juga bisa masuk kategori gila semacam itu.
Cinna mulai mengecilkan bagian pinggang pakaian-pakaianku. Tim persiapan
mulai cerewet mengenai lingkaran dibawah mataku. Effie mulai memberiku pil
tidur, tapi tak ada satupun yang bisa membuatku tidur. Aku tertidur hanya untuk
terbangun dengan mimpi buruk yang makin lama makin mengerikan dan makin
sering kualami. Peeta, yang lebih sering menghabiskan malam hari dengan berjalan-jalan di kereta,
mendengarku menjerit-jerit ketika aku berusaha melepaskan diri dari pengaruh
obat-obatan yang hanya memperpanjang mimpi-mimpi mengerikan itu. Peeta
berhasil membangunkan dan menenangkanku. Kemudian dia naik ke ranjang,
memelukku sampai aku tertidur kembali.
Setelah itu, aku menolak pil tidur.Tapi setiap malam aku membiarkan Peeta naik
ke ranjangku. Kami mengatasi kegelapan seperti ketika kami bersama-sama di
arena, berpelukan, saling menjaga satu sama lain dari bahaya yang bisa muncul
kapan saja. Tak ada yang terjadi, tapi apa yang kami lakukan ini segera menjadi
bahan gosip di kereta. Ketika Effie menyampaikannya padaku, kupikir, Bagus. Mungkin akan sampai ke
telinga Presiden Snow. Kukatakan pada Effie bahwa kami akan berusaha lebih
hati-hati, tapi kami tetap melakukannya.
Penampilan kami secara berurutan di Distrik 2 dan 1 memiliki keburukan
tersendiri. Cato dan Clove, peserta dari Distrik 2, mungkin bisa berhasil pulang
dengan selamat jika aku dan Peeta gagal. Dengan tanganku sendiri aku membunuh
Glimmer dan anak lelaki dari Distrik 1. Ketika aku berusaha menghindar untuk tak
memandang keluarga anak lelaki itu, aku baru tau namanya Marvel. Bagaimana
mungkin aku tidak mengetahuinya" Kurasa sebelum Hunger Games dimulai aku
tak memperhatikannya, dan setelahnya aku tidak tahu.
Pada saat kami tiba di Capitol, kami sudah putus asa. Tak ada bahaya akan
timbulnya pemberontakan disini, di antara mereka yang berkecukupan, yang
namanya tak pernah ada di undian pemilihan, yang anak-anaknya tak perlu mati
atas dasar kejahatan yang dituduhkan pada beberapa generasi sebelumnya. Kami
tak perlu meyakinkan siapapun di Capitol tentang cinta kami.
Ketika berada ditempat yang dulu huni di Pusat Latihan, akulah yang mengusulkan
agar Peeta melamarku di depan umum. Peeta setuju untuk melakukannya tapi
kemudian dia menghilang lama sekali masuk ke kamarnya. Haymitch menyuruhku
untuk membiarkannya sendirian dulu.
"Kupikir dia juga mau," kataku.
"Tapi tak seperti ini," jawab Haymitch. "Dia ingin yang sungguhan."
Aku kembali ke kamarku dan berbaring dibawah selimut, berusaha untuk tidak
memikirkan Gale dan memikirkan yang lain.
Malam itu, dipanggung di depan Pusat Latihan, kami sampai mabuk ketika harus
menghadapi rentetan pertanyaan. Caesar Flickerman memakai jas biru gelap yang
berkilauan, rambutnya, kelopak matanya dan bibirnya berwarna biru cerah dan dia
membimbing kami dalam wawancara tanpa cela. Saat dia bertanya pada kami
tentang rencana masa depan, Peeta langsung berlutut dengan 1 kaki, menumpahkan
isi hatinya dan memohon padaku agar aku mau menikah dengannya. Tentu saja
aku menerimanya. Caesar langsung kegirangan, penonton di Capitol histeris, teriakan-teriakan
penonton di seantero Panem menunjukkan bahwa negara ini diliputi kebahagiaan.
Presiden Snow bahkan melakukan kunjungan mendadak untuk memberi selamat
kepada kami. Dia menangkup tangan Peeta dan memberinya tepukan setuju di
bahu. Sang Presiden memelukku, membuat hidungku mencium aroma darah dan
bunga mawar, lalu dia mencium pipiku. Ketika dia menjauhkan diri, kuku-kuku
jemarinya menancap di kedua lenganku, wajahnya tetap menampilkan senyum
padaku, kuberanikan diri untuk mengangkat kedua alisku, menanyakan apa yang
tak bisa diucapkan bibirku. Berhasilkah aku" Apakah cukup" Apakah
menyerahkan segalanya padamu, mengikuti semua permainan dan berjanji
menikah dengan Peeta sudah cukup"
Sebagai jawabannya, Presiden Snow memberikan gelengan yang teramat samar.
Bab 6 DENGAN satu gerakan kecil itu, aku melihat akhir harapan, awal dari kehancuran
segala yang kusayangi di dunia ini. Aku tak bisa menebak apa bentuk hukuman
yang akan diberlakukan, seberapa jumlah korbannya, tapi saat segalanya selesai,
kemungkinan besar takkan ada lagi yang tersisa. Pasti banyak yang mengira pada
saat ini aku merasakan putus asa yang teramat sangat. Tapi anehnya.. yang paling
kurasakan adalah perasaan lega. Bahwa aku bisa melepaskan permainan ini.
Akhirnya pertanyaan apakah aku berhasil melewati perbuatan berbahaya ini
terjawab sudah, meskipun jawabannya adalah tidak. Jika tindakan drastis
dibutuhkan pada saat-saat yang genting, maka aku bebas bertindak sedrastis yang
kumau. Hanya saja bukan disini tempatnya dan bukan sekarang. Penting bagiku untuk
kembali ke Distrik 12, karena bagian utama dari rencanaku melibatkan ibuku dan
adikku, serta Gale dan keluarganya. Dan Peeta, jika aku bisa mengajaknya ikut
kami. Aku juga menyertakan Haymitch dalam daftar pelarianku. Inilah orangorang yang harus kubawa saat aku masuk ke hutan liar. Bagaimana aku bisa
meyakinkan mereka, ke mana kami akan pergi ketika musim dingin menggigit
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Tapi paling tidak
sekarang aku tau apa yang harus kulakukan.
Jadi bukannya aku meringkuk di tanah dan menangis tersedu-sedu, aku malah
berdiri lebih tegak dan lebih percaya diri dibanding yang kurasakan selama
beberapa minggu terakhir. Senyumku, meskipun tampaknya sinting, tidaklah
kulakukan dengan terpaksa. Dan ketika Presiden Snow menyuruh penonton diam
dan berkata, "Bagaimana pendapat kalian kalau kita mengadakan pesta pernikahan
untuk mereka di Capitol?" tanpa ragu aku langsung berjingkrak kegirangan.
Caesar Flickerman menanyakan apakah sang Presiden punya tanggal yang pas
untuk pernikahan. "Oh, sebelum kita menetapkan tanggal, lebih baik kita menyelesaikan urusan
dengan ibu Katniss," kata sang Presiden. Penonton tertawa terbahak-bahak ketika
Presiden Snow merangkulku. "Mungkin jika seluruh negri serius
mengharapkannya, kita bisa membuatmu diizinkan menikah sebelum umurmu tiga
puluh." "Anda mungkin harus meloloskan Undang-Undang baru," kataku sambil terkikik.
"Jika memang perlu," sahut Presiden sambil bergurau penuh arti.
Oh, betapa gembiranya kami bersama-sama.
Pesta yang diadakan di ruang perjamuan di rumah Presiden Snow tak ada
bandingannya. Langit-langit yang berjarak 12 meter dari lantai telah diubah
menjadi langit malam dan bintang-bintang di sana tampak seperti bintang-bintang
yang kulihat dirumah. Mungkin bintang-bintang itu memang tampak sama bila
dilihat dari Capitol, siapa tau, kan" Sekitar setengah dari lantai dan langit-langit,
para pemusik seolah-olah mengambang di atas awan putih yang lembut, tapi aku
tak tau apa yang membuat mereka bisa mengambang. Sofa-sofa dan kursi-kursi
empuk, sebagian mengelilingi perapian, yang lain ditempatkan di samping tamantaman bunga atau kolam-kolam ikan yang diisi dengan ikan-ikan eksotis, jadi para
tamu bisa makan, minum dan melakukan apapun yang ingin mereka lakukan
senyaman mungkin. Ada area luas berubin di tengah ruangan yang terdiri atas
tempat dansa, panggung tempat atraksi hiburan, sampai tempat mengobrol bagi
tamu-tamu yang berpakaian flamboyan.
Tapi bintang utama malam itu adalah makanannya. Meja-meja memuat beragam
makanan lezat. Daging sapi, babi dan kambing panggang masih berputar diatas api
panggangan. Piring-piring berukuran raksasa menampung sejenis unggas yang
dijejali berbagai buah-buahan dan kacang-kacangan yang nikmat. Binatangbinatang laut dibalur dengan berbagai saus. Berbagai jenis keju, roti, sayuran,
manisan yang tak terhitung banyaknya, anggur berlimpah dan aliran minuman
keras yang bisa terbakar jika kena api.
Nafsu makanku sudah kembali bersama dengan hasratku untuk melawan. Setelah
berminggu-minggu merasa terlalu cemas untuk makan, aku kini kelaparan
setengah mati. "Aku ingin mencicipi semua yang ada di ruangan ini," kataku pada Peeta.
Aku bisa melihatnya berusaha membaca ekpresi wajahku untuk mencari tau
penyebab perubahan diriku. Dia tak tau bahwa Presiden Snow menganggap aku
sudah gagal, dia hanya bisa berasumsi bahwa kami berhasil. Bahkan, mungkin ada
sedikit kegembiraan yang benar-benar kurasakan atas pertunangan kami. Matanya
memperlihatkan keheranannya tapi hanya sebentar, karena kami sedang disorot
kamera."Kalau begitu, kau harus buru-buru," katanya.
"Oke, hanya satu gigitan untuk setiap makanan," kataku.Tekadku hampir goyah di
meja pertama yang menyajikan kurang-lebih dua puluh jenis sup, ketika aku
menemukan sup labu kental yang ditaburi cincangan kacang dan biji-biji wijen
hitam. "Aku bisa makan ini sepanjang malam!" aku berseru. Tapi aku tak melahap
semuanya. Aku tergoda lagi melihat kuah daging bening berwarna hijau yang
rasanya hanya bisa kujabarkan seperti musim semi dan sekali lagi ketika aku
mencoba sup berbusa berwarna pink dengan hiasan potongan-potongan buah
raspberry. Wajah-wajah muncul, nama disebutkan, berfoto-foto, saling cium pipi. Ternyata
pin mockingjay-ku telah menimbulkan gelombang fashion terbaru, karena
beberapa orang mendatangiku untuk menunjukkan aksesori mereka. Burungku
telah dibuat replikanya untuk kepala ikat pinggang, dibordir di saputangan sutra,
bahkan ditato.Semua orang ingin memakai tanda mata sang pemenang. Aku bisa
membayangkan seperti apa kesalnya Presiden Snow. Tapi apa yang bisa dia
lakukan" Pertarungan kemarin jadi hiburan paling populer disini dan buah berry
hanya menjadi simbol gadis yang putus asa berusaha menyelamatkan kekasihnya.
Aku dan Peeta tak perlu berusaha mencari teman bicara tapi terus-menerus
dihampiri. Kami adalah pasangan yang dicari di pesta ini. Aku berakting senang,
tapi aku sama sekali tak tertarik pada orang-orang Capitol. Mereka hanya pengalih
perhatian dari makanan. Setiap meja menyajikan godaan-godaan baru, bahkan dengan batasan hanya
mencicipi satu sendok tiap makanan, tak lama aku mulai merasa kenyang. Aku
mengambil burung panggang kecil, menggigitnya dan lidahku langsung dibanjiri
rasa saus jeruk. Lezat. Tapi kusuruh Peeta makan sisanya karena aku masih ingin
mencoba makanan lain dan membayangkan aku membuang makanan seperti yang
dilakukan dengan santai oleh orang-orang di Capitol, membuatku jijik. Setelah
sepuluh meja, aku kenyang dan kami hanya mencicipi secuil-cuil makanan yang
tersedia. Pada saat itulah tim persiapan kami datang. Mereka nyaris tak fokus lagi karena
alkohol yang mereka minum dan kegembiraan karena berada di pesta mewah ini.
"Kenapa kau tak makan?" tanya Octavia.


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah dan aku tak sanggup makan lagi," jawabku.
Mereka semua tertawa seakan itu hal paling konyol yang pernah mereka dengar.
"Tak ada yang menghentikan mereka makan!" seru Flavius.
Mereka mengajak kami ke meja yang diatasnya terdapat gelas-gelas anggur mungil
yang terisi cairan bening. "Minum ini!"
Peeta mengambil segelas dan sebelum meminumnya, mereka segera
membuangnya. "Jangan disini!" pekik Octavia.
"Kau harus melakukannya disana," kata Venia, menunjuk pintu-pintu yang
mengarah ke toilet. "Kalau tidak, akan mengotori lantai!"
Peeta memandangi gelas itu lagi dan paham. "Maksudmu, minuman ini akan
membuatku muntah?" Tim persiapanku tertawa histeris.
"Tentu saja, kau bisa terus makan," kata Octavia. "Aku sudah ke sana 2 kali.
Semua orang melakukannya. Kalau tidak, bagaimana kita bisa bersenang-senang di
pesta?" Aku terpana, memandangi gelas-gelas kecil yang cantik dan apa artinya semua ini.
Peeta meletakkan gelasnya ke meja dengan amat hati-hati seakan menaruh bom.
"Ayo, Katniss, kita berdansa."
Musik tersaring melalui awan-awan ketika dia menarikku menjauh dari tim kami,
meja berisi gelas-gelas tadi dan menuju lantai dansa. Kami hanya tau beberapa
gerakan dansa di distrik rumah kami, jenis dansa yang butuh gesekan biola, flute
dan tempat yang sangat luas.Tapi Effie pernah menunjukkan pada kami dansa yang
populer di Capitol. Musiknya pelan dan mengalun bak mimpi, jadi Peeta
menarikku dalam pelukannya dan kami bergerak berputar nyaris tanpa langkahlangkah dansa sama sekali. Kami diam selama beberapa saat. Lalu Peeta bicara
dengan suara yang tegang.
"Kau mengikuti permainan ini, berpikir bahwa kau bisa mengatasinya, berpikir
bahwa mungkin ini tak terlalu buruk. Kemudian kau.." Peeta tak meneruskan katakatanya.
Yang bisa kupikirkan adalah tubuh-tubuh anak-anak yang kurus kering di meja
dapur kami ketika ibuku meresepkan apa yang tak bisa diberikan oleh orangtua
mereka. Lebih banyak makanan. Sekarang setelah kami kaya, ibuku memberi
mereka makanan untuk dibawa pulang. Tapi sering kali di masa lalu, tak ada
makanan yang bisa diberikan dan anak itu tak bisa diselamatkan. Tapi disini di
Capitol mereka memuntahkan makanan demi kenikmatan untuk bisa mengisi perut
mereka berkali-kali. Diharapkan untuk dilakukan. Bagian dari kegembiraan.
"Peeta, mereka membawa kita kemari untuk bertarung sampai mati demi hiburan
buat mereka," kataku. "Tapi sungguh yang ini tak ada apa-apanya jika mau
dibandingkan." "Aku tahu. Aku mengerti. Tapi kadang-kadang aku tak tahan lagi. Hingga sampai
titik... aku tak tau lagi apa yang bisa kulakukan." Peeta berhenti sebentar, lalu
berbisik, "Mungkin kita salah, Katniss."
"Tentang apa?" tanyaku.
"Tentang berusaha meredam keadaan di distrik-distrik," katanya.
Kepalaku langsung menoleh cepat kekiri dan kekanan, tapi tak ada seorangpun
yang tampaknya mendengar. Kru kamera teralih perhatiannya ke meja kerangkerangan, sementara pasangan yang berdansa di sekitar kami entah terlalu mabuk
atau terlalu tak peduli untuk memperhatikan.
"Maaf," kata Peeta.
Ya, seharusnya memang Peeta minta maaf. Ini bukanlah tempat yang tepat untuk
menyuarakan pikiran-pikiran semacam itu.
"Simpan untuk di rumah," aku memberitau Peeta.
Pada saat itulah Portia muncul bersama pria bertubuh besar yang tampaknya tak
asing lagi. Portia memperkenalkannya sebagai Plutarch Heavensbee, ketua Juri
Pertarungan yang baru. Plutarch bertanya pada Peeta apakah dia bisa meminjamku
untuk berdansa. Peeta segera menampilkan wajah kameranya dan dengan ramah
menyerahkanku kepadanya, lalu memperingatkan pria itu agar tak terlalu dekatdekat denganku.
Aku tidak mau berdansa dengan Plutarch Heavensbee. Aku tak mau merasakan
sentuhan tangannya, satu memegang tanganku, satu lagi dipinggangku. Aku tak
terbiasa disentuh, kecuali oleh Peeta atau keluargaku dan aku menempatkan para
Juri Pertarungan di bawah belatung bila aku harus menganalogikan mereka dengan
binatang yang ingin kusentuh. Tapi dia tampaknya merasakan hal ini dan menjaga
jarak denganku hampir selengan ketika kami berputar di lantai dansa.
Kami mengobrol tentang pesta, tentang hiburan, tentang makanan dan dia bergurau
tentang menghindari mangkuk minuman sejak latihan. Aku tak memahami
leluconnya dan saat itulah aku ingat. Dia adalah pria yang terpeleset mundur
mengenai mangkuk minuman ketika aku menembakkan panah ke arah Juri
Pertarungan pada masa latihan. Sebenarnya tidak persis begitu. Aku memanah apel
dari mulut babi panggang, tapi aku membuat mereka terlonjak kaget.
"Oh, anda yang..." Aku tertawa, mengingatnya mundur menabrak mangkuk
minuman. "Ya. Dan kau akan senang mengetahui aku tak pernah pulih dari kejadian itu," kata
Plutarch. Aku ingin mengatakan bahwa dua puluh dua peserta yang tewas takkan pernah
pulih dari Pertarungan yang dia bantu rancang. Tapi aku hanya berkata, "Baguslah.
Jadi anda ketua Juri Pertarungan tahun ini" Pasti itu menjadi kehormatan besar."
"Antara kita saja, tak banyak orang yang mau mengambil pekerjaan ini," katanya.
"Terlalu banyak tanggung jawab mengenai hasil dari Hunger Games."
Yeah, dan pria terakhir yang menduduki jabatan itu tewas, pikirku. Dia pasti tau
tentang nasib Seneca Crane, tapi dia tampaknya tak kuatir sedikitpun.
"Apakah anda sudah siap merencanakan Quarter Quell Games?" tanyaku.
"Oh, ya. Tentu saja, sudah disiapkan selama bertahun-tahun. Arena pertarungan tak
dibangun dalam satu hari. Tapi bisa dibilang citrarasa Pertarungan sedang
ditentukan sekarang. Percaya atau tidak, aku harus menghadiri rapat strategi
malam ini," jawabnya.
Plutarch mundur lalu mengeluarkan jam emas yang dirantai ke saku rompinya. Dia
membuka penutupnya, melihat waktu. Lalu mengeryitkan dahi. "Aku harus segera
pergi." Dia memutar jamnya sehingga menghadap kearahku. "Rapatnya dimulai
tengah malam." "Rasanya terlalu larut..," kataku, tapi perhatianku teralih. Ibu jari Plutarch
mengelus permukaan kristal jamnya dan selama beberapa saat muncul gambar,
bersinar seakan dinyalakan cahaya lilin. Mockingjay lain. Sama persis dengan pin
di gaunku. Hanya saja yg ini bisa menghilang. Dia langsung menutup jamnya
."Cantik sekali," kataku.
"Oh, bukan hanya cantik. Tapi ini satu-satunya," ujar Plutarch. "Kalau ada yang
menanyakan keberadaanku, bilang aku pulang dan tidur. Rapat ini seharusnya
rahasia. Tapi kupikir aman jika kuberitaukan padamu."
"Ya. Rahasia anda aman di tanganku," sahutku.
Ketika kami berjabat tangan, dia membungkuk kecil, gerakan yang umum
dilakukan di Capitol. "Kalau begitu, sampai ketemu lagi pada musim panas
berikutnya di Hunger Games, Katniss. Selamat untuk pertunanganmu dan semoga
beruntung dengan ibumu."
"Aku bakal membutuhkan keberuntungan," kataku.
Plutarch menghilang dan aku berjalan di antara lautan manusia, mencari Peeta,
ketika ada orang yang tak kukenal memberi selamat. Atas pertunanganku, atas
kemenanganku di Hunger Games, atas pilihan warna lipstikku. Aku menjawabnya,
tapi sesungguhnya aku memikirkan Plutarch yang menunjukkan jam cantik dan
satu-satunya padaku. Ada sesuatu yang aneh tadi. Nyaris misterius. Tapi kenapa"
Mungkin dia pikir ada orang yang bakal mencuri idenya dengan ikutan menaruh
burung mockingjay yang bisa menghilang dipermukaan jam. Ya, dia mungkin
membayar mahal untuk mockingjay itu dan sekarang dia tidak bisa
menunjukkannya pada semua orang karena dia takut ada orang yang membuat
versi murahan dan palsunya. Hanya di Capitol.
Aku menemukan Peeta sedang mengagumi meja yang penuh dengan kue yang
dihias. Tukang-tukang roti datang dari dapur khusus untuk bicara tentang hiasan
gula dengan Peeta dan kau bisa melihat mereka berebutan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan Peeta. Berdasarkan permintaan Peeta, mereka
mengumpulkan beragam kue kecil untuk dibawa pulang ke Distrik 12, agar Peeta
bisa mengamati hasil kerja mereka dengan tenang.
"Effie bilang kita harus segera berada di kereta. Kira-kira jam berapa ya
sekarang?" tanya Peeta sambil menoleh kekiri kanan.
"Hampir tengah malam," jawabku. Jemariku mencabut bunga coklat dari kue lalu
menggigitinya, sudah tak peduli lagi pada sopan-santun.
"Waktunya mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan!" Effie berseru
nyaring di dekat sikuku. Ini adalah salah satu momen ketika aku mencintai ketepatan waktunya. Kami
menjemput Cinna dan Portia, lalu dia mengawal kami untuk mengucapkan selamat
tinggal pada orang-orang penting, lalu menggiring kami semua menuju pintu.
"Bukankah kita harus berterima kasih pada Presiden Snow?" kata Peeta, "Ini kan
rumahnya." "Oh, dia bukan orang yang suka pesta. Terlalu sibuk," jawab Effie. "Aku sudah
mengatur agar catatan-catatan dan hadiah-hadiah yang diperlukan bisa dikirim
padanya besok. Nah, itu dia!" Effie melambai pada dua pelayan yang membopong
Haymitch yang sudah mabuk berat.
Kami melewati jalan-jalan di Capitol dengan mobil berkaca gelap. Gerombolan
orang yang merayakan keberadaan kami membuat jalanan penuh sesak hingga
mobil berjalan lambat. Tapi Effie sudah menghitungnya secara cermat dan persis
jam 1 kami sudah berada di kereta yang bergerak meninggalkan stasiun.
Haymitch dibaringkan di kamarnya. Cinna memesan teh dan kami semua duduk
mengelilingi meja sementara Effie sibuk dengan kertas-kertas jadwalnya dan
mengingatkan kami bahwa kami masih dalam tur. "Ada festival panen di Distrik 12
yang harus dipikirkan. Jadi kusarankan agar kita minum teh lalu segera tidur."
Tak ada seorangpun yang membantah.
Ketika aku membuka mata, hari sudah menjelang siang. Kepalaku bersandar di
lengan Peeta. Aku tak ingat dia masuk ke kamar tadi malam. Aku berbalik,
berusaha untuk tak membangunkannya, tapi dia sudah terlanjur bangun.
"Tidak ada mimpi buruk," katanya.
"Apa?" tanyaku.
"Kau tidak mimpi buruk tadi malam," katanya.
Dia benar. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku bisa tidur pulas
sepanjang malam. "Tapi aku bermimpi," kataku, sambil mengingat-ingat. "Aku mengikuti nyanyian
seekor mockingjay yang masuk ke hutan. Lama sekali. Sesungguhnya itu Rue.
Maksudku, ketika burung itu bernyanyi, suara yang keluar adalah suara Rue."
"Kemana dia membawamu?" tanya Peeta, sambil merapikan rambut dari dahiku.
"Aku tak tau. Kami tak pernah tiba di tempat tujuan," kataku. "Tapi aku merasa
bahagia." "Yah, kau tidur seolah-olah kau bahagia," kata Peeta.
"Peeta, kenapa aku tidak pernah tahu kapan kau mimpi buruk?" tanyaku.
"Aku tidak tahu. Kurasa aku tidak menjerit atau meronta-ronta atau semacam
itulah. Aku hanya lumpuh dalam ketakutan," katanya.
"Kau seharusnya membangunkanku," kataku, dalam hati aku berpikir bagaimana
aku menyela tidurnya dua atau tiga kali di malam yang buruk. Sama seperti waktu
yang diperlukannya untuk menenangkanku.
"Tidak perlu. Mimpi-mimpi burukku biasanya tentang kehilangan dirimu," kata
Peeta. "Aku baik-baik saja setelah aku sadar kau ada di sini."
Uh! Peeta membuat komentar semacam ini tanpa pikir panjang dan rasanya seperti
kena tonjok di uluhati. Dia hanya jujur. Dia tak menekanku untuk menjawab
serupa. Tapi aku masih merasa tak enak, seakan aku sudah memanfaatkannya
dengan teramat buruk. Benarkah itu yang kulakukan" Aku tak tau. Aku cuma tau
untuk pertama kalinya, aku merasa tak bermoral sepanjang bersama Peeta.
Sesungguhnya jadi ironis karena kami sudah bertunangan secara resmi sekarang.
"Bakal buruk saat kita kembali ke rumah dan aku tidur sendiri lagi," kata Peeta.
Memang benar kami hampir tiba di rumah.
Jadwal kami untuk Distrik 12 termasuk makan malam di rumah Walikota Undersee
malam ini dan pawai kemenangan di alun-alun pada Festival Panen besok. Kami
selalu merayakan Festival Panen pada hari terakhir Tur Kemenangan, tapi biasanya
itu berarti makan di rumah atau makan di luar dengan beberapa teman jika kau
punya uang. Tahun ini Festival Panen akan jadi acara umum dan karena Capitol
yang membiayainya, semua orang di distrik ini akan bisa makan kenyang.
Sebagian besar persiapan kami dilakukan di rumah Walikota. Kami hanya sebentar
di stasiun kereta api. Tersenyum dan melambai ketika kami berdesakkan masuk ke
mobil. Kami bahkan tak sempat bertemu keluarga kami sampai makan malam
nanti. Aku senang persiapanku dilakukan di rumah Walikota bukannya di Gedung
Pengadilan, tempat upacara penghormatan untuk ayahku diadakan, tempat mereka
membawaku setelah pemungutan untuk mengucapkan selamat tinggal yang
menyesakkan pada keluargaku. Gedung Pengadilan terlalu penuh dengan
kesedihan. Tapi aku suka rumah Walikota Undersee, terutama sekarang setelah putrinya,
Madge dan aku berteman. Persahabatan kami menjadi resmi saat Madge datang
untuk mengucapkan selamat tinggal padaku sebelum aku pergi bertarung. Saat dia
memberiku pin mockingjay untuk keberuntungan. Setelah aku pulang dari Hunger
Games, kami mulai sering menghabiskan waktu bersama. Awalnya agak canggung
karena kami tak tau harus berbuat apa. Aku dan Madge tak suka bergosip dan
bicara tentang pakaian membuatku bosan. Lalu, aku sadar bahwa dia ingin diajak
masuk hutan. Jadi aku mengajaknya beberapa kali ke sana dan mengajarinya
memanah. Dia berusaha mengajariku main piano, tapi sering kali aku memilih
mendengernya main piano. Kadang-kadang kami makan di rumah satu sama lain
bergantian. Madge lebih menyukai rumahku. Orangtuanya tampak baik tapi
menurutku Madge jarang melihat mereka. Ayahnya harus mengurus Distrik 12 dan
ibunya sering sakit kepala berat sehingga memaksanya untuk istirahat di tempat
tidur selama berhari-hari.
"Mungkin aku harus membawa ibumu ke Capitol," kataku ketika mendengar
ibunya sakit kepala lagi. "Aku yakin mereka pasti bisa mengobatinya."
"Ya. Tapi kau tak pergi ke Capitol kecuali mereka yang mengundangmu," kata
Madge sedih. Bahkan hak-hak Walikota pun ada batasnya.
Ketika tiba di rumah Walikota, aku hanya sempat memeluk Madge sebentar
sebelum Effie mendorongku ke lantai tiga untuk bersiap-siap. Setelah aku bersiapsiap dan berpakaian gaun perak panjang, aku masih punya waktu satu jam sebelum
makan malam. Jadi, aku menyelinap untuk mencari Madge.
Kamar Madge ada di lantai dua bersama dengan beberapa kamar tamu dan ruang
kerja ayahnya. Aku melongokkan kepala di ruang kerja untuk menyapa sang
walikota tapi ruangan itu kosong. Televisi menyala dan aku berhenti untuk
menonton gambar aku dan Peeta di pesta Capitol tadi malam. Dansa, makan,
berciuman. Adegan ini diputar di setiap rumah di Panem sekarang. Para penonton
pasti muak setengah mati melihat pasangan kekasih yang bernasib malang dari
Distrik 12. Aku sendiri muak.
Aku sedang berjalan meninggalkan ruangan ketika bunyi bip menarik perhatianku.
Aku menoleh ke belakang dan melihat layar televisi menggelap. Lalu kata-kata
"PERKEMBANGAN DI DISTRIK 8" mulai berkedip-kedip. Secara naluriah aku
tau aku tak boleh menonton ini dan tayangan ini ditujukan khusus untuk walikota.
Aku harus pergi. Sekarang. Tapi yang terjadi malahan aku berjalan mendekati
layar televisi. Pembaca berita yang tak pernah kulihat muncul di layar kaca. Perempuan dengan
uban di sana-sini dan suara yang serak dan tegas. Dia memberi peringatan bahwa
keadaan makin memburuk dan peringatan level 3 sudah ditetapkan. Tentara-tentara
tambahan sudah dikirim ke Distrik 8 dan semua produk tekstil dihentikan.
Gambar berpindah dari wanita itu ke alun-alun utama di Distrik 8. Aku mengenali
tempat itu karena aku baru berada disana minggu lalu. Masih ada bendera-bendera
dengan gambar wajahku yang melambai dari atap-atap rumah. Dibawahnya, ada
adegan kekerasan. Alun-alun dipenuhi orang-orang yang berteriak, wajah-wajah
mereka tertutup kain dan masker buatan sendiri dan mereka melemparkan batubatu. Gedung-gedung terbakar. Para Penjaga Perdamaian menembaki kerumunan
massa, membunuh siapa saja yang terkena tembakan peluru.
Aku tak pernah melihat yang seperti ini, tapi aku pasti sedang menyaksikan satu
kejadian. Inilah yang disebut pemberontakan oleh Presiden Snow.
Bab 7 TAS kulit yang dipenuhi makanan dan setermos teh panas. Sepasang sarung tangan
bulu yang ditinggalkan Cinna. Tiga ranting patah dari pohon-pohon yang gundul,
terjatuh di salju, menunjukkan arah yang harus kutuju. Inilah tanda yang biasanya
kuberikan untuk Gale di tempat pertemuan kami yang biasanya pada minggu
pertama sesudah Festival Panen.
Aku terus melangkah menuju hutan yang dingin dan berkabut, membuka jalan
yang asing bagi Gale tapi mudah bagi kakiku. Jalan itu menuju ke danau. Aku tak
lagi percaya pada tempat-tempat pertemuan kami yang biasanya. Hari ini aku
memerlukan tempat yang amat rahasia agar bisa mencurahkan semua isi hatiku
pada Gale. Tapi apakah dia akan datang" Kalau dia tak datang, aku tak punya
pilihan selain datang ke rumahnya pada tengah malam. Ada hal-hal yang harus
diketahuinya... Hal-hal yang perlu bantuannya agar bisa kupahami...
Setelah pengertian dari apa yang kulihat di televisi walikota menghantamku, aku
berhasil berjalan keluar. Tepat pada waktunya karena tak lama kemudian sang
walikota menaiki tangga. Aku melambaikan tangan padanya.


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mencari Madge?" tanyanya dengan nada ramah.
"Ya, aku ingin menunjukkan gaunku padanya," jawabku.
"Yah, kau tau dimana dia berada." Tepat pada saat itu rangkaian bunyi bip
terdengar dari ruang kerjanya. Wajahnya langsung muram. "Permisi," katanya. Dia
berjalan menuju ruang kerjanya dan menutup pintu rapat-rapat.
Aku menunggu di lorong sampai aku berhasil menenangkan diri. Aku
mengingatkan diri untuk bersikap normal. Kemudian aku menemukan Madge di
kamarnya, duduk di meja riasnya, menyisir rambut pirangnya yang bergelombang
di depan cermin. Dia mengenakan pakaian putih cantik yang dipakainya pada hari
pemilihan. Dia melihat pantulanku di cermin dan tersenyum. "Lihatlah dirimu. Kau
seperti baru kembali dari jalan-jalan di Capitol."
Aku berjalan mendekat. Jemariku menyentuh pin mockingjay. "Bahkan pinku juga.
Berkat dirimu, mockingjay jadi tren menghebohkan di Capitol."
"Kau yakin, kau tak mau pin ini kukembalikan?" tanyaku.
"Jangan bodoh, itu kan hadiah," tukas Madge. Dia mengikat rambutnya dengan
pita emas yang meriah. "Dimana kau mendapatkan pin ini?" tanyaku.
"Itu milik bibiku," jawabnya. "Tapi kurasa pin itu sudah ada di keluargaku sejak
lama." "Mockingjay ini pilihan yang lucu," kataku. "Maksudku, karena apa yang terjadi
pada pemberontakan. Dengan burung jabberjay yang malah jadi bumerang bagi
Capitol." Burung jabberjay juga mutan, burung-burung jantan yang secara genetik
ditingkatkan kemampuannya oleh Capitol sebagai senjata untuk memata-matai
para pemberontak di distrik-distrik. Mereka bisa mengingat dan mengulang
kalimat-kalimat panjang ucapan manusia, jadi mereka dikirim ke wilayah-wilayah
pemberontak untuk mencuri dengar kata-kata kami dan mengulangnya lagi di
Capitol. Para pemberontak mengetahui niat ini dan membuat burung-burung itu
salah memberi informasi pada Capitol. Ketika Capitol mengetahui siasat ini,
burung-burung jabberjay dibiarkan mati.Beberapa tahun kemudian, burung-burung
jabberjay punah di alam liar, namun sebelumnya mereka sempat kawin dengan
burung-burung mockingbird betina, lalu menciptakan spesies burung yang baru.
"Tapi mockingjay tak pernah jadi senjata," kata Madge. "Mereka kan cuma burung
penyanyi." "Ya, kurasa begitu," jawabku. Tapi itu tak benar. Mockingbird memang cuma
burung penyanyi biasa. Mockingjay adalah hewan yang tak pernah sengaja
diniatkan untuk ada. Sekarang, ketika aku sedang berjalan di salju dengan susah payah, aku melihat
burung-burung mockingjay melompat-lompat diatas dahan ketika mereka
menangkap melodi-melodi burung lain, menirunya, lalu menciptakan melodi itu
menjadi suatu melodi yang baru. Seperti biasa, mereka mengingatkanku pada Rue.
Jalan menanjak menuju danau. Jika Gale memutuskan untuk mengikutiku, dia pasti
bakal menyerah karena harus capek-capek begini. Ketidakhadirannya pada acara
makan malam di rumah Walikota tampak mencolok karena seluruh keluarganya
hadir. Hazelle bilang Gale sedang sakit dirumah, yang jelas-jelas bohong. Aku juga tak
menemukan Gale di Festival Panen. Vick bilang Gale keluar berburu. Itu mungkin
yang benar. Beberapa jam kemudian, aku tiba di rumah tua di ujung danau. Tempat itu hanya
terdiri atas 1 kamar, besarnya empat meter persegi. Ayahku berpikir mungkin dulu
ada banyak bangunan di tempat ini"masih bisa dilihat sejumlah tiang
pancangnya"dan orang-orang datang untuk bermain dan menangkap ikan di
danau. Rumah ini masih berdiri dibanding yang lain karena terbuat dari beton. Ada
satu dari empat kaca dijendela yang tersisa, bergelombang dan menguning karena
waktu. Tak ada air atau listrik, tapi perapian masih berfungsi dan ada tumpukan
kayu disudut ruangan yang dikumpulkan oleh aku dan ayahku beberapa tahun lalu.
Kunyalakan api kecil, berharap kabut bisa menyamarkan asap yang menunjukkan
jejak. Sementara api tersulut, aku menyapu salju yang terkumpul di bawah jendelajendela yang terbuka dengan sapu ranting yang dibuat ayahku untukku. Lalu aku
duduk di perapian kecil dari beton, api mencairkan kebekuan sementara aku
menunggu Gale. Dalam waktu yang jauh lebih singkat daripada yang kukira, Gale muncul. Panah
tersampir di bahunya, kalkun liar yang sudah mati yang pasti ditemuinya dalam
perjalanan tergantung di ikat pinggangnya. Dia berdiri di ambang pintu seakan
berpikir apakah dia ingin masuk atau tidak. Di tangannya ada tas kulit berisi
makanan yang belum dibuka, termos dan sarung tangan dari Cinna. Hadiah-hadiah
yang tak mau diterimanya karena dia marah padaku. Aku tau persis apa
perasaannya. Bukankah aku juga melakukan hal yang sama pada ibuku"
Aku memandang matanya. Kemarahannya tak bisa menyamarkan rasa sakit hati,
pengkhianatan yang dirasakannya karena
pertunanganku dengan Peeta. Pertemuan
hari ini akan jadi kesempatan terakhirku agar tak kehilangan Gale selamanya. Aku
bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memberi penjelasan, bahkan setelah
dia bisa saja menolakku. Tapi yang kulakukan adalah langsung ke titik utama
pertahananku. "Presiden Snow secara pribadi mengancam untuk membunuhmu," kataku.
Gale mengangkat kedua alisnya sedikit, tapi dia tak menunjukkan rasa takut atau
heran. "Siapa lagi yang diancamnya?"
"Yah, dia tak memberiku salinan daftarnya. Tapi bisa kutebak di dalamnya ada
keluarga kita," kataku.
Ini cukup untuk membuatnya naik darah. Dia berjongkok di depan perapian dan
menghangatkan diri. "Kecuali apa?"
"Kecuali, tidak ada apa-apa, untuk saat ini," jawabku. Tentu saja ini membutuhkan
lebih dari sekadar penjelasan, tapi aku tak tau darimana harus mulai, jadi aku
hanya duduk dan memandang api dengan muram.
Setelah sekitar semenit, Gale memecahkan keheningan. "Oke, terima kasih atas
bocorannya." Aku menoleh memandangnya, siap untuk membentaknya, tapi aku melihat kilatan
di matanya. Aku membenci diriku karena tersenyum. Ini bukan momen yang lucu
tapi kurasa semua ini terlalu banyak untuk dijatuhkan pada 1 orang saja. Kami
semua akan musnah apapun yang terjadi. "Aku punya rencana."
"Yeah, aku yakin rencananya mengejutkan," katanya. Dia melempar sarungtangan
ke pangkuanku. "Ini. Aku tak mau sarungtangan bekas tunanganmu."
"Dia bukan tunanganku. Itu cuma bagian dari akting. Dan ini bukan
sarungtangannya. Ini punya Cinna," kataku.
"Kemarikan, kalau begitu," katanya. Dia memakai sarung tangan itu,
menyentakkan jemarinya, lalu mengangguk. "Paling tidak aku akan mati dengan
nyaman." "Optimis sekali. Tentu saja, kau tak tau apa yang terjadi," kataku.
"Beritahu aku, aku mau mendengarnya," kata Gale.
Aku memutuskan untuk memulai cerita dari malam ketika aku dan Peeta
dinyatakan sebagai pemenang di Hunger Games, dan Haymitch mengingatkanku
akan kemarahan Capitol. Kuberitahu dia tentang keresahan yang mengintaiku sejak
aku pulang. Kunjungan Presiden Snow ke rumahku. Pembunuhan-pembunuhan di
Distrik 11. Ketegangan diantara massa. Usaha terakhir dengan melakukan
pertunangan.Gelagat dari Presiden bahwa semua yang kulakukan tidaklah cukup.
Dan keyakinanku bahwa aku akan dipaksa untuk membayar semua ini.
Gale tak pernah menyelaku. Sementara aku bicara, dia menyimpan
sarungtangannya di saku dan menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan yang
ada dalam tas kulit untuk kami berdua. Roti panggang dan keju, mengeruk apel,
memanggang kastanye di atas api. Aku mengamati kedua tangannya yang indah
dan piawai. Tangannya penuh bekas luka, sama seperti tanganku sebelum Capitol
menghapus semua luka di kulitku, tapi tangan Gale kuat dan trampil. Dua tangan
yang punya kekuatan untuk menambang batubara tapi tangkas dalam membuat
jerat yang paling rumit. Aku berhenti sejenak untuk minum teh dari termosku sebelum aku
memberitahunya tentang kepulanganku kali ini.
"Kau benar-benar membuat segalanya berantakan," katanya.
"Aku bahkan belum selesai," tukasku.
"Aku sudah cukup mendengarnya sejauh ini. Mari kita bicarakan rencanamu," kata
Gale. Aku mengambil napas dalam-dalam. "Kita melarikan diri."
"Apa?" tanyanya. Pernyataanku ini membuatnya terkesiap.
"Kita masuk hutan dan kabur kesana," kataku. Ekspresi wajahnya sulit diartikan.
Apakah dia akan menertawaiku, menganggap ajakanku ini konyol belaka" Aku
berdiri resah, bersiap-siap untuk adu argumentasi. "Kau sendiri yang bilang
menurutmu kita bisa melakukannya! Pagi itu di hari pemungutan. Kau bilang..."
Dia melangkah mendekat lalu tubuhku terangkat dari tanah. Ruangan ini berputar
dan aku harus menyautkan kedua lenganku di leher Gale agar tidak terlepas. Dia
tertawa, gembira. "Hei!" aku protes, tapi aku juga tertawa.
Gale menurunkanku tapi tak melepaskan pelukannya. "Oke, ayo kita kabur,"
katanya. "Sungguh" Kau tak menganggapku gila" Kau mau pergi denganku?" Sebagian
beban yang berat mulai terangkat ketika aku memindahkannya ke bahu Gale.
"Menurutku kau gila dan aku masih mau pergi bersamamu," katanya. Dia serius
dengan ucapannya. Tidak hanya serius tapi menerima ajakanku dengan gembira.
"Kita bisa melakukannya. Aku tau kita bisa. Mari kita pergi dari sini dan jangan
pernah kembali lagi!"
"Kau yakin?" tanyaku. "Karena keadaan pasti akan sulit, dengan adanya anak-anak
dan segalanya. Aku tak mau kita masuk jauh ke dalam hutan dan kau..."
"Aku yakin. Aku yakin sepenuhnya,seratus persen yakin." Dia menundukkan
dahinya agar bisa bersandar dengan dahiku lalu menarikku mendekat. Kulitnya,
seluruh keberadaan dirinya, memancarkan panas karena berada begitu dekat
dengan api dan aku memejamkan mataku, membenamkan diri dalam
kehangatannya. Aku menghirup aroma kulit yang lembap dan aroma hari-hari
musim dingin yang kami lalui bersama sebelum Hunger Games. Aku tak berusaha
menjauh. Lagipula, untuk apa" Suaranya berubah menjadi bisikan. "Aku cinta
padamu." Itu sebabnya. Aku tak pernah menyangka kalimat ini akan meluncur keluar. Semua terjadi terlalu
cepat. Sedetik yang lalu kau baru mengajukan rencana melarikan diri. Dan
selanjutnya.. kau diharapkan untuk menghadapi sesuatu seperti ini. Aku
memberikan jawaban yang pastinya merupakan jawaban terburuk yang ada di
dunia ini. "Aku tahu."
Jawaban itu terdengar buruk. Seakan aku berasumsi bahwa dia tak bisa menahan
diri untuk tak mencintaiku tapi aku tak punya perasaan yang sama terhadapnya.
Gale mulai menarik diri, tapi aku merenggutnya. "Aku tau! Dan kau.. kau tau apa
arti dirimu bagiku." Kata-kataku tak cukup. Gale melepaskan genggamanku.
"Gale, aku tak bisa memikirkan siapapun dengan cara seperti itu sekarang. Yang
bisa kupikirkan setiap hari, sejak mereka mengambil nama Prim pada hari
pemungutan, adalah betapa takutnya diriku. Dan sepertinya tak ada ruang untuk
perasaan lain lagi. Jika kami bisa berada ditempat yang aman, mungkin aku bisa
berubah. Aku tidak tahu."
Aku bisa melihat Gale menelan kekecewaannya. "Jadi, kita akan pergi. Kita akan
mencari tau." Dia berjalan kearah api, disana kastanyenya mulai gosong. Dia mengeluarkannya
lalu menaruhnya keatas perapian. "Ibuku pasti butuh waktu lama untuk
diyakinkan." Kurasa dia masih mau pergi bersamaku. Tapi kebahagiaannya lenyap sudah,
menyisakan tekanan yang sudah tak asing lagi disana. "Ibuku juga. Aku hanya
perlu membuatnya melihat alasan kenapa kita harus pergi. Ajak ibumu jalan-jalan.
Pastikan dia mengerti bahwa kita takkan selamat jika memilih jalan lain."
"Dia akan mengerti. Aku sering menonton tayangan Hunger Games bersamanya
dan Prim. Dia takkan menolak ajakanmu," kata Gale.
"Kuharap tidak." suhu udara di rumah ini seakan turun 10? hanya dalam hitungan
detik. "Haymitch yang akan sulit dibujuk."
"Haymitch?" Gale langsung mengabaikan kastanyenya. "Kau akan mengajaknya
ikut bersama kita?" "Aku harus mengajaknya, Gale. Aku tak bisa meninggalkan dia dan Peeta karena
mereka..." Dengusan sinis Gale memotong ucapanku. "Apa?"
"Maafkan aku. Aku tak menyadari betapa ramainya rombongan kita," bentaknya.
"Capitol akan menyiksa mereka sampai mati, untuk mencari tahu dimana
keberadaanku," kataku.
"Bagaimana dengan keluarga Peeta" Mereka takkan pernah mau ikut. Bahkan
mereka mungkin tak sabar membocorkan informasi tentang kita. Dan aku yakin
Peeta cukup cerdas untuk menyadarinya. Bagaimana jika dia memutuskan untuk
tinggal?" tanya Gale.
Aku berusaha terdengar tak peduli, tapi suaraku pecah mengkhianatiku. "Kalau
begitu, dia tetap tinggal."
"Kau akan meninggalkannya?" tanya Gale.
"Untuk menyelamatkan ibuku dan Prim, ya," jawabku. "Maksudku, tidak! Aku
akan memaksanya ikut."
"Dan aku, apakah kau akan meninggalkanku?" Ekspresi wajah Gale sekeras batu
sekarang. "Seandainya, seandainya saja, aku tak bisa meyakinkan ibuku untuk
membawa tiga anak di bawah umur ke alam liar pada musim dingin."
"Hazelle takkan menolak. Dia akan mengerti alasannya," kataku.
"Seandainya dia tak mau, Katniss. Lalu bagaimana?" tanya Gale.
"Lalu kau harus memaksanya, Gale. Apa kaukira aku cuma mengarang semua ini?"
Suaraku meninggi dalam kemarahan.
"Tidak. Aku tidak tau. Mungkin Presiden hanya memanipulasimu. Maksudku, dia
yang akan membayari pesta pernikahanmu. Kaulihat bagaimana reaksi massa di
Capitol. Menurutku dia tak bisa membunuhmu. Atau Peeta. Bagaimana caranya
meloloskan diri dari hal itu?" tanya Gale.
"Dengan adanya pemberontakan di Distrik 8, aku tak yakin Presiden sibuk
menghabiskan waktunya memilihkan kue pengantin untukku!" pekikku.
Tepat ketika kata-kata itu terucap, aku ingin menariknya lagi. Efek pernyataanku
langsung mengena pada Gale"kedua pipinya merona, mata kelabunya langsung
berbinar. "Ada pemberontakan di Distrik 8?" tanyanya dengan suara berbisik.
Aku berusaha menahannya. Untuk meredam Gale, seperti yang kulakukan untuk
memadamkan kegelisahan di distrik-distrik.
"Aku tak tau apakah benar-benar ada pemberontakan. Ada kegelisahan di
masyarakat. Orang-orang dijalanan..," kataku.
Gale mencengkeram kedua bahuku. "Apa yang kaulihat?"
"Tidak ada! Tidak secara langsung. Aku hanya mendengar sesuatu." Seperti biasa,
terlalu sedikit dan terlambat. Aku menyerah dan memberitahunya. "Aku melihat
sesuatu di televisi Walikota. Aku seharusnya tak boleh melihatnya. Ada
kerumunan massa, api dan para Penjaga Perdamaian menembaki orang-orang, tapi
mereka terus melawan.." Kugigit bibirku dan berusaha menggambarkan adegan
yang kulihat. Namun kata-kata yang terucap adalah segala yang selama ini
menggerogotiku. "Dan ini salahku, Gale. Karena apa yang kulakukan di arena. Jika
aku langsung bunuh diri dengan buah-buah berry, semua ini takkan terjadi. Peeta
bisa pulang dan hidup tenang dan semua orang juga akan selamat."
"Selamat melakukan apa?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut. "Kelaparan"
Bekerja seperti budak" Mengirimkan anak-anak mereka ke hari pemungutan" Kau
tak menyakiti siapapun, kaumemberi mereka kesempatan. Mereka hanya perlu
cukup berani untuk mengambilnya. Sudah ada omongan di tambang. Orang-orang
ingin berjuang. Kau tak melihat ya" Ini sedang terjadi! Akhirnya terjadi! Jika
terjadi pemberontakan di Distrik 8, kenapa tidak disini juga" Kenapa tidak disemua
tempat" Ini bisa jadi sesuatu yang kita..."
"Hentikan! Kau tak tau apa yang kaubicarakan. Para Penjaga Perdamaian di luar
Distrik 12 tak seperti Darius atau bahkan Cray! Nyawa penduduk distrik tak ada
artinya buat mereka!" kataku.
"Itu sebabnya kita harus bergabung dengan perjuangan ini!" jawabnya keras.
"Tidak! Kita harus pergi dari sini sebelum mereka membunuh kita dan banyak
oranglain!" Aku kembali berteriak, aku tak bisa mengerti alasan Gale melakukan
semua ini. Dengan kasar Gale mendorongku menjauh darinya. "Kalau begitu, kau pergi
saja.aku takkan pernah mau pergi sampai kapanpun."
"Sebelumnya kau gembira bisa pergi. Yang kulihat malahan pemberontakan di
Distrik 8 seharusnya membuat kita harus segera pergi. Kau hanya marah tentang.."
Tidak, aku tak bisa melempar Peeta ke hadapan Gale. "Bagaimana dengan
keluargamu?" "Bagaimana dengan keluarga-keluarga lain, Katniss" Mereka yang tak bisa
melarikan diri" Kau tak mengerti" Ini bukan lagi tentang menyelamatkan diri kita
lagi. Tidak, jika pemberontakan sudah dimulai!" Gale menggeleng, jijik padaku.
"Kau bisa melakukan banyak hal." Dia melempar sarung tangan Cinna ke kakiku.
"Aku berubah pikiran. Aku tak mau segala barang yang mereka buat di Capitol."
Lalu dia pergi. Aku menunduk memandang sarung tangan itu. Segala barang yang mereka buat di


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Capitol" Apakah itu juga ditujukan untukku" Apakah dia pikir aku sekarang
hanyalah salah satu produk Capitol dan menjadi sesuatu yang tak mau disentuhnya
lagi" Ketidakadilan ini membuatku marah besar. Tapi perasaan ini berpadu dengan
rasa takut memikirkan entah hal gila apa yang akan dia lakukan nanti.
Aku duduk didekat perapian, memikirkan langkahku selanjutnya. Aku
menenangkan diri dengan memikirkan bahwa pemberontakan tak langsung terjadi
dalam satu hari. Gale tak bisa bicara dengan para penambang sebelum besok.
Kalau aku bisa bicara dengan Hazelle sebelum itu, dia mungkin bisa meluruskan
pandangan Gale. Tapi aku tak bisa pergi sekarang. Jika Gale ada dirumahnya, dia
takkan mengizinkan aku masuk. Mungkin nanti malam, setelah semua orang tidur..
Hazelle sering tidur larut membereskan cuciannya. Aku bisa kesana, mengetuk
jendela rumahnya, dan memberitaukan keadaan padanya agar dia bisa menjaga
Gale untuk tidak melakukan tindakan yang gegabah.
Aku teringat kembali percakapanku dengan Presiden Snow waktu itu.
Para penasehatku kuatir kau akan menyulitkan, tapi kau tak berencana untuk
bersikap menyulitkan, kan" tanyanya.
"Tidak.'' "Kubilang juga begitu pada mereka. Kukatakan pada mereka gadis manapun yang
bersusah payah seperti itu untuk menjaga dirinya tetap hidup takkan mau
membuang hidupnya begitu saja."
Kupikir bagaimana sulitnya Hazelle berusaha menjaga keluarganya tetap hidup.
Tentunya dia akan berada dipihakku dalam hal ini. Ya, kan"
Saat ini pasti sudah menjelang tengah hari dan siang hari kini begitu singkat.
Kuinjak-injak sisa api hingga padam, membersihkan sisa-sisa makanan dan
menyelipkan sarungtangan Cinna di ikat pinggangku. Kuingat lagi bagaimana raut
wajah Gale ketika dia melempar sarungtangan ini ke tanah. Betapa jijik raut
wajahnya terhadap barang itu, terhadapku...
Aku berjalan melewati hutan dan tiba dirumah lamaku ketika cahaya matahari
masih ada. Obrolanku dengan Gale jelas menjadi 1 langkah mundur, tapi aku
masih bertekad untuk meneruskan rencanaku melarikan diri dari Distrik 12.
Kuputuskan untuk menemui Peeta. Dengan cara yang aneh, karena dia sudah
melihat sebagian hal yang sudah kulihat dalam tur, Peeta mungkin lebih mudah
dibujuk daripada Gale. Aku berpapasan dengannya ketika dia sedang berjalan
keluar dari Desa Pemenang.
"Habis berburu ya?" tanya Peeta. Aku bisa melihat bahwa Peeta tak menganggap
berburu ini ide yang baik.
"Tidak juga. Kau mau ke kota?" tanyaku.
"Ya. Aku harus makan malam bersama keluargaku," katanya.
"Kutemani kau berjalan ya." Jalan dari Desa Pemenang menuju alun-alun jarang
digunakan. Jalanan ini aman jika aku ingin bicara. Tapi tampaknya aku tak bisa
mengeluarkan kata-kataku. Aku menggigit bibirku yang pecah-pecah. Alun-alun
semakin dekat seiring kami melangkah. Kuhirup napas dalam-dalam dan katakataku pun mengalir keluar. "Peeta, jika aku mengajakmu untuk melarikan diri dari
distrik bersamaku, maukah kau melakukannya?"
Peeta langsung memegang lenganku, membuat langkahku langsung terhenti.
"Tergantung alasan kenapa kau mengajakku."
"Presiden Snow tidak yakin padaku. Ada pemberontakan di Distrik 8. Kita harus
pergi dari sini," kataku.
"Yang kaumaksud 'kita' itu artinya kau dan aku" Pasti bukan. Siapa lagi yang akan
pergi?" tanyanya. "Keluargaku. Keluargamu, jika mereka mau ikut. Haymitch, mungkin," kataku.
"Bagaimana dengan Gale?" tanyanya.
"Aku tak tau," kataku.
"Aku tidak tau. Dia mungkin punya rencana lain," jawabku.
Peeta menggeleng dan tersenyum penuh sesal padaku. "Aku yakin begitu. Tentu,
Katniss, aku akan pergi denganmu."
Aku merasakan setitik harapan. "Kau mau?"
"Yeah. Tapi kupikir kau yang tidak bakal mau pergi," katanya.
Kutarik tanganku hingga lepas dari genggamannya. "Kalau begitu kau tak kenal
aku. Bersiap-siaplah. Kita bisa pergi kapan saja."
Aku terus berjalan dan dia mengikutiku satu-dua langkah dibelakang.
"Katniss," panggil Peeta. Aku tidak melambatkan langkahku. Jika dia pikir ini ide
yang buruk, aku tak mau tau, karena inilah satu-satunya ide yang kutau. "Katniss,
tunggu." Kutendang sebongkah salju keluar dari jalanan dan kubiarkan dia menyusulku.
"Aku benar-benar ingin pergi kalau kau mau aku pergi bersamamu. Tapi
menurutku sebaiknya kita bicarakan dulu dengan Haymitch. Kita harus pastikan
bahwa kita tak memperburuk keadaan bagi semua orang." Peeta menjulurkan
kepalanya. "Apa itu?"
Aku ikutan mendongak. Saking kuatirnya, aku tak memperhatikan suara aneh yang
berasal dari alun-alun. Suara siulan, suara hantaman, suara napas tersekat dari
kerumunan massa. "Ayo," kata Peeta, wajahnya mendadak mengeras. Aku tidak tau kenapa. Aku tak
bisa mengira dari mana asal suaranya, bahkan aku tak bisa apa yang sedang terjadi.
Tapi suara itu berarti suatu yang buruk bagi Peeta.
Ketika kami tiba di alun-alun, tampak jelas sedang terjadi sesuatu, tapi kami tak
bisa melihat karena kerumunan massa terlalu ramai. Peeta naik ke atas kotak yang
disandarkan ke dinding pabrik pakaian berupah murah, lalu mengulurkan
tangannya membantuku naik sementara dia mengamati kejadian di alun-alun. Aku
baru setengah naik ketika Peeta mendadak menghalangi jalanku.
"Turun. Pergi dari sini!" Peeta berbisik, tapi suaranya tegang penuh tekad.
"Apa?" tanyaku, berusaha memaksa naik.
"Pulanglah, Katniss! Aku akan menyusulmu sebentar lagi, sumpah!" katanya.
Apapun yang dilihatnya pasti buruk. Aku menarik tanganku agar lepas dari
genggamannya lalu mulai berjalan menembus kerumunan. Orang-orang melihatku,
mengenali wajahku, kemudian mereka tampak panik. Tangan-tangan mendorongku
agar mundur. Suara-suara mendesis.
"Pergi dari sini, Nak."
"Hanya memperburuk keadaan."
"Kau mau apa" Membuatnya tewas?"
Tapi pada saat ini jantungku berdebar amat cepat sehingga aku nyaris tak bisa
mendengar suara-suara itu. Aku hanya tau apapun yang menunggu di tengah alunalun seharusnya ditujukan untukku. Ketika aku akhirnya berhasil ke tempat yang
lebih lapang, aku tau aku benar. Dan Peeta benar. Dan suara-suara itu juga benar.
Kedua pergelangan tangan Gale diikat ditiang kayu. Kalkun liar yang diburunya
tadi digantung diatas tubuhnya, paku menancap di leher kalkun hingga tembus ke
tiang kayu. Jaket Gale tergeletak ditanah, kemejanya robek. Dia merosot berlutut
tak sadarkan diri, hanya tergantung tali yang mengikat kedua pergelangan
tangannya. Punggungnya penuh dengan daging yang berdarah dan tercabik-cabik.
Dibelakangnya berdiri pria yang tak pernah kulihat sebelumnya, tapi aku
mengenali seragamnya. Seragam itu adalah seragam Pemimpin Penjaga
Perdamaian. Tapi pria itu bukan Cray. Pria itu jangkung dan berotot dengan
lipatan-lipatan tajam di celananya.
Potongan-potongan gambar di depanku tak masuk akal sampai aku melihat
tangannya terangkat memegang cambuk.
"Jangan!" aku menjerit lalu berlari maju. Sudah terlambat mencegah tangan yang
memegang cambuk itu untuk berhenti turun. Tapi aku malahan melemparkan
diriku tepat di antara cambuk dan Gale. Aku merentangkan kedua lenganku untuk
melindungi sebanyak mungkin tubuh Gale yang sudah kepayahan, jadi tak ada
apapun yang bisa dipakai untuk menangkis cambukan. Aku menerima cambukan
dengan kekuatan penuh itu di sisi kiri wajahku.
Bab 8 "JANGAN!" aku menjerit lalu berlari maju. Sudah terlambat mencegah tangan
yang memegang cambuk itu untuk berhenti bergerak turun, dan secara naluriah aku
tahu aku tak punya kekuatan untuk menghalanginya. Tapi aku malahan
melemparkan diriku tepat di antara cambuk dan Gale. Aku merentangkan kedua
lenganku untuk melindungi sebanyak mungkin tubuh Gale yang sudah kepayahan,
jadi tak ada apa pun yang bisa kupakai untuk menangkis cambukan. Aku
menerima cambukan dengan kekuatan penuh itu di sisi kiri wajahku.
Rasa sakit seketika membutakanku. Kilatan-kilatan cahaya melintas di hadapanku
dan aku langsung berlutut. Satu tanganku memegang wajah sementara 1 tangan
lain menahan berat tubuhku supaya aku tak jatuh terguling. Aku bisa merasakan air
mata yang hendak mendesak keluar, bengkak karena luka itu membuat mataku
tertutup. Batu-batuan di bawahku basah karena darah Gale, udara terasa berat
dengan bau amis darah. "Hentikan! Kau bisa membunuhnya!" pekikku.
Aku sempat melihat sekilas wajah penyerangku. Wajah yang keras dengan garisgaris yang dalam, dan mulut yang keji. Rambut kelabunya dipangkas sampai
hampir botak, matanya begitu hitam seolah hanya ada pupil mata saja disana,
hidung yang lurus dan panjang tampak memerah karena udara yang dingin
menggigil. Tanganku otomatis bergerak ke punggung, mencari panah, tapi tentu
saja senjataku tersimpan aman di hutan. Aku menggertakkan gigi bersiap
menghadapi cambukan berikutnya.
"Tunggu!" terdengar suara lantang. Haymitch muncul dan tersandung Penjaga
Perdamaian yang terbaring di tanah. Ternyata Darius. Benjolan besar berwarna
ungu menonjol di sela-sela rambut merahnya didekat dahinya. Dia pingsan tapi
masih bernapas. Apa yang terjadi" Apakah dia berusaha menolong Gale sebelum
aku tiba" Haymitch tak memedulikan Darius dan menarikku berdiri dengan kasar. Tangan
Haymitch mengangkat daguku. "Minggu depan dia ada pemotretan untuk menjadi
model gaun pengantin. Apa yang harus kukatakan pada penata gayanya?"
Aku melihat binar di mata pria bercambuk itu, menunjukkan bahwa dia
mengenaliku. Terbungkus pakaian tebal di udara dingin, wajahku bebas riasan,
kepang rambutku diselipkan di balik jaket, tak mudah mengenaliku sebagai
pemenang Hunger Games terakhir. Apalagi dengan setengah wajahku yang
bengkak ini. Tapi Haymitch sudah muncul bertahun-tahun di TV, dan dia jenis
orang yang sulit dilupakan.
Pria itu menyautkan cambuk dipinggangnya. "Dia menyela hukuman yang
dijatuhkan pada penjahat yang sudah mengaku salah."
Segalannya tentang pria ini, suaranya yang penuh kuasa, aksennya yang aneh,
menyiratkan ancaman yang asing dan berbahaya. Darimana asal pria ini" Distrik
11" 3" Langsung dari Capitol"
"Aku tak peduli jika dia meledakkan Gedung Pengadilan! Lihat pipinya! Kaupikir
pipi semacam ini siap untuk kamera dalam seminggu?" bentak Haymitch.
Suara pria itu masih terdengar dingin, tapi aku bisa merasakan sedikit keraguan.
"Itu bukan masalahku."
"Bukan" Sebentar lagi ini akan jadi masalahmu, sobat. Telepon pertamaku saat aku
dirumah nanti adalah ke Capitol," kata Haymitch. "Aku mau mencaritahu siapa
yang memberimu hak untuk merusak wajah cantik pemenang kita ini!"
"Lelaki ini berburu tanpa izin. Lagipula apa urusannya dengan dia?" tanya pria itu.
"Lelaki ini sepupunya." Peeta menggamit lenganku sekarang, tapi genggamannya
lembut. "Dan gadis ini tunanganku. Jadi kalau kau mau menghukumnya, kau harus
melewati kami berdua."
Mungkin kamilah orangnya. Tiga orang di distrik yang bisa berdiri melawan
seperti ini. Meskipun aku yakin semua ini cuma sementara. Bakal ada hukuman.
Tapi saat ini, yang kupikirkan adalah menjaga Gale tetap hidup. Pemimpin Penjaga
Perdamaian yang baru, menoleh ke belakang melihat pasukannya. Lega rasanya
ketika aku melihat wajah-wajah yang familier, teman-teman lamaku di Hob. Dari
ekspresi wajah mereka terlihat bahwa mereka tak menyukai kejadian yang mereka
saksikan ini. Seorang wanita bernama Purnia yang biasa makan di Greasy Sae melangkah maju
dengan kaku, "Saya yakin, untuk pelanggaran pertama, jumlah cambukan sudah
ditetapkan dalam jumlah tertentu. Kecuali hukumannya adalah hukuman mati,
yang akan dilaksanakan oleh regu tembak."
"Apakah itu protokol standar disini?" tanya Pemimpin Penjaga Perdamaian.
"Ya, Sir," jawab Purnia dan beberapa orang mengangguk setuju. Aku yakin tak ada
seorangpun yang tau, karena di Hob aturan protokol standar untuk orang yang
datang membawa kalkun liar adalah semua orang menawar untuk memperoleh
daging pahanya. "Baiklah. Bawa pergi sepupumu dari sini, Nak. Dan jika dia sadar nanti, ingatkan
dia jika lain kali dia berburu ditanah milik Capitol, aku sendiri yang akan memilih
anggota regu tembaknya." Pemimpin Penjaga Perdamaian itu menyeka cambuknya
dengan tangan, mencipratkan jejak darahnya pada kami. Kemudian dia
menggulungnya dengan cepat dan rapi lalu berlalu pergi.
Sebagian besar Penjaga Perdamaian lain berbaris kaku di belakangnya.
Sekelompok lain mengangkat tubuh Darius dengan memegangi kaki dan
tangannya. Aku sempat menangkap tatapan Purnia dan mulutku membentuk
ucapan "Terima kasih" tanpa suara sebelum dia pergi. Dia tak menjawab, tapi aku
yakin dia memahaminya. "Gale." Aku berbalik, kedua tanganku berusaha melepaskan ikatan yang
membelenggu pergelangan tangannya.Ada orang yang mengulurkan pisau dan
Peeta memotong tali itu. Gale langsung terjatuh ke tanah.
"Lebih baik kita segera membawanya ke ibumu," kata Haymitch.
Tidak ada usungan, tapi wanita di toko pakaian menjual papan penutup tokonya
pada kami. "Tapi kalian jangan bilang darimana mendapatkannya," katanya, dan
segera mengemas sisa barang-barangnya dengan cepat.
Pada saat kami membaringkan Gale tengkurap di papan, hanya sedikit orang yang
tersisa untuk mengangkutnya pulang. Haymitch, Peeta dan beberapa penambang
yang bekerja bersama Gale mengangkatnya.
Leevy, gadis yang tinggal beberapa rumah jauhnya dari tambang di Seam,
menggandeng lenganku. Ibuku menyelamatkan nyawa adik lelakinya tahun lalu
ketika kena campak. "Kau perlu bantuan untuk pulang?" Mata kelabunya tampak
takut tapi penuh tekad. "Tidak, tapi bisakah kau mencari Hazelle" Lalu memintanya ke rumahku?"
tanyaku. "Yeah," kata Leevy, memutar langkahnya.
"Leevy!" panggilku. "Jangan biarkan dia membawa anak-anaknya."
"Tidak. Aku yang akan menemani mereka," jawabnya.
"Terima kasih." Aku mengambil jaket Gale dan bergegas menyusul yang lain.
"Taruh salju di sana," perintah Haymitch sambil menoleh ke belakang. Aku
mengambil segenggam salju dan menekankannya dipipiku, membuat lukaku
sedikit mati rasa. Air mata mengalir deras dari mata kiriku sekarang, dan dalam
cahaya temaram ini yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti sepatu bot orang
yang berada di depanku. Sembari kami berjalan aku mendengar Bristel dan Thom, dua orang rekan kerja
Gale, menceritakan kejadian yang terjadi. Gale pasti pergi ke rumah Cray, seperti
yang sudah biasa dilakukannya, karena dia tau bayaran Cray bagus untuk membeli
kalkun liar. Tapi disana, dia malah bertemu dengan Pemimpin Penjaga Perdamaian
yang baru, pria yang mereka dengar bernama Romulus Thread. Tak seorangpun
yang tau apa yang terjadi pada Cray. Dia masih membeli minuman keras di Hob
pagi ini, dan masih jadi pemimpin distrik, tapi sekarang tak seorangpun bisa
menemukannya.Thread langsung menangkap Gale, dan tentu saja karena Gale
berdiri disana sambil memegang kalkun mati, nyaris tak ada yang bisa dikatakan
Gale untuk membela dirinya. Kabar tentang Gale yang berada dalam kondisi
genting menyebar cepat. Dia dibawa ke alun-alun, dipaksa untuk mengaku
bersalah atas kejahatannya dan hukuman cambuk untuknya dilaksanakan saat itu
juga. Pada saat aku tiba, dia sudah dicambuk tak kurang dari 40 kali. Pada
cambukan ke tiga puluh, Gale pingsan.
"Untungnya dia hanya membawa kalkun," kata Bristel. "Kalau dia membawa
buruan yang biasanya, akibatnya mungkin bisa lebih buruk."
"Gale memberitau Thread bahwa dia menemukan kalkun itu berjalan di sekitar
Seam. Dia bilang kalkun itu berhasil melewati pagar dan dia menusuknya dengan
batang kayu. Tetap saja dianggap kejahatan. Tapi jika mereka tau dia berada di
hutan dengan senjata, mereka pasti sudah membunuhnya," kata Thom.
"Bagaimana dengan Darius?" tanya Peeta.
"Setelah sekitar dua puluh kali cambukan, Darius menyela dan mengatakan bahwa
hukumannya sudah cukup. Hanya saja dia tak melakukannya dengan cerdas dan
resmi, seperti yang dilakukan Purnia. Dia menarik lengan Thread dan Thread
memukul kepalanya dengan gagang cambuk. nasibnya memang tak bagus," kata
Bristel. "Kedengarannya nasib kita semua tak bagus," kata Haymitch.
Salju mulai turun, tebal dan basah, membuat jarak pandang jadi makin sulit. Aku
tertatih-tatih berjalan pulang dibelakang yang lain, lebih menggunakan
pendengaranku daripada mata untuk membimbingku. Ibuku, yang tak diragukan
lagi sudah menungguku setelah seharian aku menghilang tanpa kabar, langsung
mengambil alih situasi. "Pemimpin baru," kata Haymitch, ibuku mengangguk sopan seakan tak ada lagi
penjelasan yang diperlukan.
Aku terpesona, seperti yang kurasakan, ketika aku mengawasinya berubah dari
wanita yang berteriak memanggilku untuk membunuh laba-laba menjadi wanita
yang kebal rasa takut.Ketika ada orang sakit atau sekarat yang dibawa kepadanya...
pada saat seperti inilah kupikir ibuku mengenal siapa dirinya. Dalam sekejap, meja
dapur yang panjang sudah dibersihkan, kain steril berwarna putih dibentangkan di


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atasnya dan Gale dibaringkan disana. Ibuku menuang air dari ceret ke baskom
sembari memerintahkan Prim mengambil obat-obatan dari lemari obat. Rempahrempah kering dan larutan obat dalam alkohol serta beberapa botol obat yang
dibeli di toko. Aku mengamati sepasang tangan ibuku, dengan jemari yang panjang
dan lancip, bergerak sigap meramu obat, menambahkan beberapa tetes itu ke
dalam baskom. Merendam kain dalam cairan panas itu sementara dia
memerintahkan Prim untuk menyiapkan larutan kedua.
Ibuku melirik memandangku. "Matamu luka?"
"Tidak, cuma bengkak dan tertutup," kataku.
"Tambahkan salju lagi," ibuku memberi perintah. Tapi aku jelas bukanlah prioritas
utamanya. "Bisakah Mom menyelamatkannya?" aku bertanya pada ibuku.Dia tak menjawab
saat dia memeras kain itu dan mengangin-anginkannya agar tak terlalu panas.
"Jangan kuatir," kata Haymitch. "Dulu banyak orang dicambuk sebelum Cray.
Ibumulah yang merawat mereka."
Aku tak ingat kapan masa Penjaga Perdamaian sebelum Cray, masa ketika ada
Pemimpin Penjaga Perdamaian yang suka main cambuk. Tapi ibuku pasti
seumuranku waktu itu dan masih bekerja di toko obat dengan orangtuanya. Bahkan
pada usia semuda itu, ibuku sudah memiliki tangan seorang penyembuh.
Dengan amat sangat lembut, dia mulai membersihkan daging punggung Gale yang
terkoyak. Aku merasa mual, tak berguna, sisa-sisa salju menetes dari sarung
tanganku membentuk genangan di lantai. Peeta mendudukkanku di kursi dan
memegangi kain yang baru diisi salju di pipiku.
Haymitch menyuruh Bristel dan Thom untuk pulang, dan kulihat dia memberikan
sejumlah koin ke tangan mereka sebelum mereka pergi. "Entah bagaimana nasib
anggota timmu," katanya. Mereka mengangguk dan menerima uang dari Haymitch.
Hazelle tiba, terengah-engah dan pipinya merah, ada salju di rambutnya. Tanpa
bicara, dia duduk di kursi bundar di sebelah meja, memegangi tangan Gale, dan
menciumnya. Ibuku bahkan tak menyambut kedatangannya. Dia masuk ke dalam
zona spesial yang hanya ada dirinya dan pasien di dalamnya dan kadang-kadang
bersama Prim. Kami semua hanya bisa menunggu.
Bahkan dengan tangan yang terlatih, butuh waktu lama untuk membersihkan lukaluka, menyusun kulit yang bisa diselamatkan, mengoleskan salep dan perban tipis.
Ketika darahnya sudah dibersihkan, aku bisa melihat dimana tiap cambukan itu
mendarat dan merasakannya bergema pada luka di wajahku. Kukalikan rasa sakit
yang kurasakan sekali, dua kali, empat kali, delapan kali, dan berharap Gale tetap
dalam keadaan tak sadarkan diri. Ketika perban terakhir dipasang, terdengar
erangan dari bibirnya. Hazelle membelai rambut Gale dan berbisik ditelinganya
sementara ibuku dan Prim mencari-cari obat penghilang rasa sakit ditempat
persediaan obat mereka yang terbatas. Obat-obatan semacam itu sulit didapat,
mahal. Ibuku selalu menyimpan obat yang paling kuat untuk rasa sakit yang
terburuk, tapi seperti apa rasa sakit yang terburuk" Ibuku berusaha menyimpan
obat-obatnya buat mereka yang sesungguhnya berada diambang kematian, untuk
memudahkan jalan mereka pergi meninggalkan dunia.
Karena Gale sudah siuman, mereka memutuskan untuk mencekokkan ramuan
rempah lewat mulutnya. "Itu tak cukup," kataku. Mereka memandangku. "Aku tau seperti apa rasanya.
Ramuan tadi bahkan tak bisa menghilangkan sakit kepala."
"Kita akan mencampurnya dengan sirup tidur, Katniss dan dia akan bisa
mengatasinya. Rempah-rempah ini tujuannya lebih untuk radangnya..," ibuku
berusaha menjelaskan dengan tenang.
"Berikan saja obat itu padanya!" aku berteriak pada ibuku. "Berikan padanya!
Memangnya siapa yang bisa memutuskan seberapa besar rasa sakit yang bisa
ditahannya?" Gale mulai bergerak bangun mendengar suaraku, berusaha mengulurkan tangannya
padaku. Gerakan itu membuat darah segar membasahi perbannya. Terdengar suara
tersiksa dari mulutnya. "Bawa dia keluar," kata ibuku.
Haymitch dan Peeta bisa dibilang menggendongku keluar dari ruangan sementara
aku mencaci maki ibuku. Mereka membaringkanku dengan paksa di ranjang yang
terdapat di salah satu kamar tamu sampai aku berhenti meronta-ronta.
Sementara aku terbaring disana, menangis terisak-isak, air mata mendesak keluar
dari celah mataku, aku mendengar Peeta berbisik pada Haymitch tentang Presiden
Snow, tentang pemberontakan di Distrik 8.
"Dia mau kita semua melarikan diri," kata Peeta, tapi jika Haymitch punya
pendapat tentang hal ini, dia tak mengatakannya.
Setelah beberapa saat, ibuku masuk dan mengobati wajahku. Lalu dia
menggenggam tanganku, membelai lenganku, sementara Haymitch menceritakan
pada ibuku apa yang terjadi pada Gale.
"Jadi sekarang dimulai lagi?" tanya ibuku. "Seperti sebelumnya?"
"Kelihatannya begitu," jawab Haymitch. "Siapa yang menyangka kita bisa sedih
melihat Cray tua itu pergi?"
Cray bisa saja tak disukai karena seragamnya, tapi kebiasaannya yang gemar
membujuk wanita muda kelaparan ke ranjangnya demi uang, yang membuatnya
jadi sasaran kemuakan orang-orang di distrik. Di masa-masa buruk, gadis-gadis
yang amat kelaparan akan menunggu dipintunya pada saat malam tiba, bersaing
demi kesempatan memperoleh beberapa keping uang dengan menjual tubuh untuk
memberi makan keluarga mereka. Kalau saja umurku lebih tua ketika ayahku
meninggal, aku bisa saja di antara gadis-gadis itu. Tapi aku malahan belajar
berburu. Aku tidak tau persis apa maksud ibuku dengan dimulai lagi, tapi aku terlalu marah
dan sakit untuk bertanya. Tapi, pemahaman tentang masa yang buruk kembali
terekam dalam otakku, karena ketika bel pintu berdering, aku langsung duduk
tegak di ranjangku. Siapa yang datang pada jam selarut ini. Hanya ada satu
jawaban. Para Penjaga Perdamaian.
"Mereka tidak boleh menangkapnya," kataku.
"Mungkin kau yang ingin mereka tangkap," Haymitch mengingatkanku.
"Atau kau,"jawabku.
"Ini bukan rumahku," Haymitch menjelaskan. "Tapi aku akan membuka pintunya."
"Jangan, biar aku saja," kata ibuku dengan tenang.
Namun kami semua mengikutinya menuju ruang depan untuk menjawab panggilan
bel yang bertubi-tubi. Ketika pintu terbuka, tak ada sepasukan Penjaga Perdamaian
disana, tapi hanya ada satu orang yang terbungkus salju. Madge. Dia mengulurkan
kotak kardus kecil yang lembab.
"Gunakan ini untuk temanmu," katanya. Kubuka penutup kotak, isinya enam botol
kecil. "Itu punya ibuku. Dia bilang aku boleh mengambilnya. Tolong, kaupakai
saja ya." Madge berlari pulang menembus badai sebelum kami bisa menghentikannya.
"Gadis gila," gumam Haymitch ketika kami mengikuti ibuku ke dapur.
Aku benar, ramuan apapun yang diberikan ibuku sebelumnya pada Gale tidaklah
cukup. Gigi Gale bergemeretak dan kulitnya berkeringat. Ibuku mengisi jarum
suntik dengan sebotol cairan bening tadi dan menyuntikkannya ke lengan Gale.
Nyaris seketika, wajahnya mulai tampak rileks.
"Benda apa itu?" tanya Peeta.
"Ini dari Capitol. Namanya morfin," jawab ibuku.
"Aku tidak tahu Madge kenal Gale," ujar Peeta.
"Kami biasa menjual stroberi padanya," jawabku nyaris marah. Tapi apa
sebenarnya yang membuatku marah" Tentu bukan karena dia membawakan obat.
"Dia pasti sangat suka stroberi ya," kata Haymitch.
Itulah yang melukai hatiku. Kesan bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Gale dan
Madge. Dan aku tak menyukainya.
"Madge temanku," akhirnya cuma itu yang bisa kukatakan.
Sekarang setelah Gale hilang kesadaran karena obat penghilang sakit, semua orang
tampak lega. Prim menyuruh kami semua makan daging rebus. Kami menawari
Hazelle menginap di salah 1 kamar, tapi dia harus pulang menemani anak-anaknya
yang lain. Haymitch dan Peeta juga ingin tinggal, tapi ibuku menyuruh mereka
pulang dan tidur. Ibuku tau tak ada gunanya mencoba menyuruhku tidur dan dia
memilih meninggalkanku untuk menjaga Gale sementara dia dan Prim beristirahat.
Aku duduk dibangku Hazelle. Dan menggenggam tangan Gale. Setelah beberapa
saat, jemariku menjelajahi wajahnya. Aku menyentuh bagian-bagian wajahnya
yang tak pernah kusentuh sebelumnya karena tak ada alasan untuk itu. Akhirnya
sampai ke bibirnya. Bibir yang lembut dan penuh, sedikit koyak.
Apakah semua orang tampak lebih muda ketika tidur" Karena saat ini dia bisa jadi
anak lelaki yang berpapasan denganku beberapa tahun lalu, anak lelaki yang
menuduhku mencuri dari perangkapnya. Kami pasangan yang sempurna"anak
yatim, ketakutan, tapi sama-sama bertekad kuat untuk menjaga keluarga kami tetap
hidup. Kami sama-sama putus asa, tapi tak pernah lagi merasa sendirian setelah
hari itu, karena kami telah menemukan satu sama lain. Kupikirkan lagi ratusan
momen kebersamaan kami di hutan, memancing di sore hari yang malas, hari
ketika aku mengajarinya berenang, waktu ketika kakiku terkilir dan dia
membopongku pulang. Saling bergantung, saling menjaga, memaksa satu sama
lain untuk berani. Untuk pertama kalinya, aku membalikkan posisi kami dalam benakku.
Kubayangkan aku melihat Gale mengajukan diri menggantikan Rory pada hari
pemilihan dan dia harus direnggut pergi dari hidupku secara paksa, menjadi
kekasih seorang gadis yang tak kukenal agar bisa bertahan hidup, lalu pulang ke
distrik bersamanya. Tinggal bertetangga dengannya. Berjanji untuk menikahinya.
Kebencian yang kurasakan untuknya, untuk gadis hantu itu, untuk segalanya,
terasa sangat nyata dan langsung membuat tenggorokanku tersekat. Gale milikku.
Aku miliknya. Gagasan lain di luar itu sama sekali tak masuk akal. Kenapa aku
harus melihatnya dicambuk hingga nyaris tewas agar bisa melihat semua ini"
Karena aku egois. Aku pengecut. Aku adalah tipe gadis yang ketika dibutuhkan
malah bakalan lari menyelamatkan diri dan meninggalkan semua orang yang tak
bisa mengikutinya untuk menderita dan mati. Inilah gadis yang ditemui Gale di
hutan hari ini. Tidak heran kalau aku memenangkan Hunger Games. Tidak ada orang yang
berperikemanusiaan yang bisa menang.
Kau menyelamatkan Peeta, pikirku lemah.
Tapi sekarang aku juga mempertanyakannya. Aku tau hidupku yang baik dan
nyaman saat pulang ke Distrik 12 bakal tak bisa kujalani dengan nikmat jika aku
membiarkan Peeta mati. Kusandarkan kepalaku diujung meja, merasa jijik pada diriku sendiri. Berharap
aku mati di arena pertarungan waktu itu. Berharap Seneca Crane sudah
meledakkanku berkeping-keping seperti yang dikatakan Presiden Snow jika dia
bisa melakukannya ketika melihatku mengulurkan buah-buah berry.
Aku sadar jawaban tentang siapa diriku sebenarnya ada ditangan buah beracun itu.
Jika aku mengulurkannya untuk menyelamatkan Peeta karena aku tau aku akan
jadi orang buangan jika aku kembali tanpa dirinya, maka aku jadi orang yang
tercela. Jika aku mengulurkannya karena aku mencintai Peeta, aku masih saja
dicap egois, meskipun bisa dimaafkan. Jika aku mengulurkannya untuk melawan
Capitol, aku jadi orang yang berharga. Masalahnya, aku tak tau pasti apa yang
kupikirkan pada saat itu.
Mungkinkah orang-orang di distrik-distrik itu benar" Bahwa apa yang kulakukan
itu merupakan tindakan pemberontakan, bahkan jika aku melakukannya tanpa
sadar" Karena, jauh dilubuk hatiku, aku pasti tau rencanaku untuk melarikan diri
tidaklah cukup untuk bisa menjaga diriku, keluargaku, atau teman-temanku agar
tetap hidup. Bahkan jika aku bisa melakukannya sekalipun. Semua itu takkan
mengubah apapun. Semua itu takkan mencegah orang-orang disiksa seperti yang
dialami Gale hari ini. Hidup di Distrik 12 tidak jauh berbeda dari hidup di arena pertarungan. Pada satu
titik, kau harus berhenti berlari dan berbalik untuk berhadapan dengan siapapun
yang menginginkan kematianmu. Yang sulit adalah menemukan keberanian untuk
melakukannya. Namun, ternyata tak sulit bagi Gale. Dia pemberontak sejak lahir.
Akulah orang yang membuat rencana pelarian.
"Maafkan aku," aku berbisik.Aku mendekat maju dan menciumnya.
Bulu mata Gale bergetar dan dia memandangku dengan tatapan yang masih mabuk
obat bius. "Hei, Catnip."
"Hei, Gale," jawabku.
"Kupikir kau sudah pergi sekarang," katanya.
Pilihan-pilihanku sederhana. Aku bisa mati seperti binatang buruan di hutan atau
aku bisa mati disini di samping Gale. "Aku takkan pergi ke mana pun. Aku akan
berada disini dan menimbulkan segala macam masalah."
"Aku juga," jawab Gale. Dia berhasil tersenyum sedikit sebelum obat-obatan
menariknya kembali ke alam lain.
Bab 9 ADA yang mengguncang-guncang bahuku lalu aku duduk. Aku tertidur dengan
wajah tertelungkup diatas meja. Kain taplak putih meninggalkan garis tidur di
pipiku yang tidak luka. Pipiku yang satu lagi, yang terkena cambukan Thread
berdenyut sakit. Gale belum siuman, tapi jemarinya masih bertautan dengan
jemariku. Aku mencium aroma roti segar lalu menoleh dengan leher kaku dan
melihat Peeta sedang menunduk memandangku dengan ekspresi wajah sedih. Aku
merasa dia sudah mengawasi kami selama beberapa waktu.
"Naiklah ke tempat tidur, Katniss. Aku akan menjaganya sekarang," kata Peeta.
"Peeta. Tentang omonganku kemarin, tentang melarikan diri..," aku hendak
menjelaskan. "Aku tahu," sahutnya. "Tak perlu dijelaskan."
Aku melihat sebongkah roti di meja dapur dalam sorotan cahaya pagi bersalju yang
pucat. Bayangan biru tampak di bawah matanya. Aku penasaran apakah Peeta
sempat tidur. Jika ya, pasti tidak lama. Aku berpikir tentang kesediaannya pergi
denganku kemarin, keberaniannya untuk melangkah ke sampingku membela Gale,
kerelaannya untuk menyerahkan nasibnya ke tanganku sementara aku nyaris tak
memberinya apa-apa. Apapun yang kulakukan, aku menyakiti seseorang. "Peeta..."
"Tidur sajalah, oke?" katanya.
Aku meraba-raba jalanku menaiki tangga, merangkak ke bawah selimut dan jatuh
tertidur seketika. Entah kapan Clove, gadis dari Distrik 2, masuk ke dalam
mimpiku. Dia mengejarku, menindihku ke tanah dan mengeluarkan pisau untuk
mengiris wajahku. Irisannya dalam di pipiku, sampai lukanya menganga lebar.
Lalu Clove mulai bertransformasi, wajahnya memanjang membentuk moncong,
bulu berwarna gelap menyembul dari kulitnya, kuku-kuku jarinya tumbuh menjadi
cakar-cakar panjang, tapi matanya tak berubah. Dia menjadi mutan, versi serigala
yang diciptakan Capitol dan meneror kami pada hari terakhir di arena. Sambil
menengadah, dia melolong mengerikan yang langsung disambut lolongan mutanmutan didekatnya. Clove mulai menghirup darah yang mengalir dari lukaku, setiap
kali dia menjilatnya aku merasakan gelombang rasa sakit yang baru di
wajahku.Aku memekik tertahan dan mendadak bangun, berkeringat dan menggigil
pada saat yang sama. Seraya memegangi luka di pipiku, aku mengingatkan diriku
bahwa bukan Clove tapi Thread yang melukaiku. Aku berharap Peeta ada disini
memelukku, sampai aku ingat bahwa aku tak boleh lagi berharap seperti itu. Aku
sudah memilih Gale dan pemberontakan, dan masa depan bersama Peeta adalah
rancangan Capitol, bukan rencanaku. Pembengkakan di sekitar mataku sudah
mulai kempis dan aku bisa membuka mataku sedikit. Kudorong tirai ke samping
dan melihat salju turun makin hebat hingga menjadi badai salju. Hanya ada warna
putih sepanjang mata melihat dan lolongan angin yang mirip lolongan para mutan.
Badai ini mungkin cukup untuk menjauhkan serigala-serigala sungguhan, yang
dikenal dengan nama Penjaga Perdamaian, agar tak mengetuk pintuku. Beberapa
hari berpikir. Membuat rencana. Bersama Gale, Peeta dan Haymitch yang
semuanya berada disini. Badai salju ini merupakan berkah.
Tapi sebelum aku turun dan menghadapi kehidupan yang baru ini, aku meluangkan
waktu agar otakku bisa memahami arti semua ini. Kurang dari satu hari, aku siap
menembus hutan liar bersama orang-orang yang kucintai dalam pertengahan
musim dingin, dengan kemungkinan Capitol memburu kami. Itu merupakan
spekulasi yang berbahaya.Tapi kini aku melakukan sesuatu yang lebih beresiko.
Melawan Capitol menjamin pembalasan kilat dari mereka. Aku harus menerima
kenyataan bahwa aku bisa ditangkap kapan saja. Bakal ada penyiksaan. Mutilasi.
Peluru yang ditembakkan ke otakku di alun-alun kota jika aku cukup beruntung
bisa mati secepat itu. Capitol tak pernah kehabisan cara kreatif untuk membunuh
orang. Aku membayangkan semua hal ini dan aku ketakutan, tapi jujur saja:
Mereka juga sudah menghantui benakku sekian lamanya. Aku menjadi peserta
Hunger Games. Diancam oleh Presiden. Kena cambukan diwajah. Aku sudah
menjadi sasaran. Sekarang bagian yang lebih berat. Aku harus menghadapi kenyataan bahwa
keluarga dan teman-temanku mungkin mengalami nasib yang sama ini. Prim. Aku
hanya perlu memikirkan Prim dan semua tekadku tercerai-berai. Sudah tugasku
untuk melindunginya. Kutarik selimut hingga menutupi kepalaku, dan napasku
sangat cepat sehingga semua oksigenku habis dan aku mulai tercekik kehabisan
udara. Aku tak bisa membiarkan Capitol menyakiti Prim.
Lalu aku tersadar. Mereka sudah melakukannya. Mereka sudah membunuh ayahku
ditambang bobol itu. Mereka diam saja ketika Prim kelaparan hampir mati. Mereka
telah memilihnya sebagai peserta, lalu membuatnya menonton aku bertarung
sampai mati di Hunger Games. Dia sudah disakiti lebih daripada yang kualami
ketika aku berusia 12 tahun. Dan semua yang kami alami itu tak bisa dibandingkan
dengan apa yang terjadi dalam hidup Rue.
Kudorong selimut jauh-jauh dan kuhirup udara dingin yang berembus masuk lewat


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sela-sela jendela. Prim.. Rue.. bukankah demi mereka aku harus berusaha berjuang" Karena tak ada
seorangpun yang berhak memperlakukan mereka seperti yang telah mereka terima
selama ini" Ya. Inilah yang harus kuingat ketika rasa takut mengancam untuk
menenggelamkanku. Apa yang hendak kulakukan, apapun yang terpaksa dialami
oleh kami semua, adalah demi mereka. Sudah terlambat menolong Rue, tapi
mungkin belum terlambat bagi 5 wajah mungil yang mendongak memandangku
dari alun-alun Distrik 11. Belum terlambat bagi Rory, Vick dan Posy. Belum
terlambat bagi Prim. Gale benar. Jika orang-orang memiliki keberanian, ini bisa jadi kesempatan. Dia
juga benar, karena aku yang memulainya, aku bisa melakukan banyak hal.
Meskipun aku tak tau apa persisnya yang bisa kulakukan. Tapi memutuskan untuk
tidak melarikan diri adalah langkah pertama yang penting.
Aku mandi, dan pagi ini otakku memikirkan bagaimana cara mereka
mengorganisir pemberontakan di Distrik 8. Begitu jelas dan banyak orang-orang
yang tampak menentang Capitol. Apakah pemberontakan itu direncanakan, atau
hanya meledak begitu saja akibat kebencian dan kemarahan yang terpendam
bertahun-tahun" Bagaimana caranya agar kami bisa melakukan hal semacam itu
disini" Apakah penduduk Distrik 12 mau bergabung atau mengunci pintu mereka"
Kemarin alun-alun senyap seketika setelah pencambukkan Gale. Tapi bukankah itu
karena kami semua merasa tak berdaya dan tak tau apa yang harus dilakukan"
Kami butuh seseorang yang bisa mengarahkan kami dan meyakinkan kami bahwa
ini mungkin untuk dilakukan. Dan menurutku orangnya bukanlah aku. Aku
mungkin menjadi katalisator untuk pemberontakan, tapi pemimpin haruslah orang
yang punya keyakinan, sementara keyakinanku sendiri masih tipis. Seseorang yang
memiliki keberanian tak tergoyahkan, sementara aku masih berusaha keras
menemukan keberanianku sendiri. Seseorang yang bisa bicara dengan kata-kata
yang jelas dan persuasif, sementara aku mudah sekali kehilangan kata-kata.
Kata-kata. Kalau aku memikirkan kata-kata, yang terlintas dalam benakku adalah
Peeta. Bagaimana orang-orang melahap semua ucapannya. Aku yakin, dia bisa
menggerakkan massa untuk beraksi, jika dia mau. Dia bisa menemukan hal-hal
yang pantas diucapkan. Tapi aku yakin pemikiran ini tak pernah terpikir olehnya.
Dilantai bawah, aku melihat ibuku dan Prim merawat Gale yang masih lemah.
Melihat wajah Gale, tampaknya dia sudah tak lagi berada dibawah pengaruh obat.
Kukuatkan diriku menghadapi pertengkaran lain tapi kujaga suaraku agar tetap
tenang. "Bisakah Mom memberinya suntikan lagi?"
"Akan kulakukan, jika dia membutuhkannya. Kami pikir sebaiknya kami mencoba
membalurkannya dengan salju lebih dulu," kata ibuku.
Perban Gale sudah dilepas. Aku nyaris bisa melihat panas menguap dari
punggungnya. Ibuku menaruh kain bersih diatas luka menganga itu lalu
mengangguk pada Prim. Prim menghampirinya, mengaduk benda yang serupa dengan semangkuk salju.
Tapi ada warna hijau cerah di salju itu. Baluran salju. Dengan hati-hati dia mulai
menyendokkan salju itu keatas kain. Aku nyaris bisa mendengar desisan kulit Gale
yang tersiksa ketika terkena campuran salju itu. Matanya mengerjap-ngerjap
terbuka, bingung, lalu dari mulutnya terdengar desahan lega.
"Untung kita punya salju," kata ibuku.
Kupikirkan seperti apa rasanya jika diobati sehabis dicambuk pada musim panas,
dengan suhu udara menyengat dan air sangat suam-suam kuku dari keran. "Apa
yang Mom lakukan pada bulan-bulan yang hangat?"
Dahi ibuku berkerut ketika dia mengernyit. "Berusaha menjauhkan lalat-lalat agar
tak mendekat." Perutku langsung bergolak membayangkannya. Ibuku menaruh campuran baluran
salju itu ke dalam sapu tangan dan menaruhnya ke luka di pipiku. Rasa sakit hilang
dalam sekejap. Dingin yang di hasilkan salju dan apapun campuran herbal yang
ditambahkan ibuku ke dalamnya membuat lukaku mati rasa. "Oh. Enak sekali.
Kenapa Mom tak menaruh ini pada luka Gale semalam?"
"Lukanya perlu menyusut lebih dulu," kata ibuku.
Aku tak paham benar maksud ibuku, tapi selama obat ini bekerja, siapakah aku ini
yang mempertanyakan pengetahuannya" Ibuku tau apa yang dia lakukan.
Mendadak aku merasakan sengatan penyesalan mengingat kejadian kemarin,
segala kata-kata buruk yang kuteriakkan padanya ketika Peeta dan Haymitch
menyeretku keluar dari dapur. "Aku minta maaf. Karena berteriak-teriak seperti
kemarin." "Aku pernah mendengar yang lebih buruk," jawab ibuku. "Kau bisa melihat
sejatinya orang itu, ketika orang yang mereka cintai dalam kesakitan."
Orang yang mereka cintai. Kata-kata itu membuat lidahku kelu. Tentu saja aku
mencintai Gale. Tapi cinta seperti apa yang dimaksud ibuku" Apa yang kumaksud
ketika aku bilang aku mencintai Gale" Aku tak tau.
"Mana Peeta?" tanyaku.
"Dia pulang setelah mendengar kau tidur. Dia tak mau meninggalkan rumahnya
dalam keadaan kosong ketika badai," kata ibuku.
"Apakah dia sudah pulang dengan selamat?" tanyaku. Dalam badai salju, orang
bisa saja tersesat dan kehilangan arah.
"Kenapa kau tak meneleponnya dan mencari tau?" tanya ibuku.
Aku masuk ke ruang kerja, ruang yang kuhindari sejak pertemuanku dengan
Presiden Snow, lalu menghubungi nomor telepon Peeta. Setelah beberapa kali
deringan dia menjawab. "Hei. Aku hanya ingin memastikan kau sudah pulang," kataku.
"Katniss, rumahku cuma berjarak tiga rumah dari rumahmu," jawabnya.
"Aku tau, tapi dengan cuaca seperti ini..," kataku.
"Yah, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menanyakannya." Terdengar jeda
yang panjang. "Bagaimana keadaan Gale?"
"Baik. Ibuku dan Prim memberinya baluran salju," jawabku.
"Dan bagaimana wajahmu?" tanya Peeta.
"Sudah dibalur juga," jawabku. "Kau sudah bertemu Haymitch hari ini?"
"Aku sudah melihat keadaannya. Teler berat. Tapi aku sudah menyalakan perapian
dan meninggalkan roti dirumahnya," kata Peeta.
"Aku ingin bicara dengan.. kalian berdua." Aku tak berani menambahkan lewat
telepon ini, yang pastinya sudah disadap.
"Mungkin harus menunggu sampai cuaca lebih baik," katanya. "Lagi pula, takkan
terjadi apa-apa sebelum cuaca reda."
"Ya, takkan terjadi apa-apa," aku menyetujuinya.
Butuh waktu dua hari sampai badai lewat dengan sendirinya, meninggalkan kami
dengan tumpukan salju yang lebih tinggi daripada kepalaku. Masih satu hari lagi
sebelum salju dibersihkan dari jalan di Desa Pemenang menuju alun-alun. Pada
saat itu aku membantu merawat Gale, membalurkan salju ke pipiku, dan berusaha
mengingat segala yang bisa kuingat tentang pemberontakan di Distrik 8, dengan
harapan bisa membantu kami.
Bengkak di wajahku sudah berkurang meninggalkan luka yang nyaris sembuh
namun gatal dan mata yang lebam. Tapi tetap saja, pada kesempatan pertama aku
bisa keluar dari rumah, aku menelpon Peeta untuk mengajaknya ke kota
bersamaku. Kami membangunkan Haymitch dan menyeretnya pergi ke sana. Dia mengeluh,
tapi tidak secerewet biasanya. Kami tahu bahwa kami perlu membicarakan apa
yang terjadi dan tidak bisa dilakukan di mana pun di tempat serberbahaya di rumah
kami di Desa Pemenang. Bahkan, kami menunggu hingga rumah kami sudah jauh
tak terlihat sebelum mulai bicara. Aku menghabiskan waktu memperhatikan
dinding salju setinggi tiga setengah meter di sisi kanan-kiri jalan yang sudah
dibersihkan, dalam hati bertanya-tanya apakah salju itu akan menjatuhi kami.
Akhirnya Haymitch yang memecah kesunyian.
"Jadi kita semua akan pergi ke tempat asing tak dikenal ya?" dia bertanya padaku.
"Tidak," jawabku. "Tidak lagi."
"Sudah menemukan banyak cacat dalam rencana itu ya, sweetheart?" tanyanya.
"Ada gagasan baru?"
"Aku ingin memulai pemberontakan," kataku.
Haymitch cuma tertawa. Bahkan bukan jenis tawa jahat, sehingga membuatnya
jadi lebih menyebalkan. Ini menunjukkan bahwa dia tak bisa menganggapku
serius. "Aku mau minum. Tapi jangan lupa kabari aku perkembangannya ya," ujar
Haymitch. "Kalau begitu apa rencanamu?" aku membentaknya.
"Rencanaku adalah memastikan segalanya sempurna untuk pernikahanmu," kata
Haymitch. "Aku sudah menelpon dan menjadwal ulang foto tanpa memberitahukan
terlalu banyak informasi kepada mereka."
"Kau kan tidak punya telepon," kataku.
"Effie sudah menyuruh memperbaikinya," kata Haymitch. "Kau tahu tidak" Dia
bertanya apakah aku mau jadi wali yang melepasmu" Kubilang padanya, lebih
cepat lebih baik." "Haymitch." Aku bisa mendengar nada permohonan menyusup dalam suaraku.
"Katniss." Dia meniru nada suaraku. "Takkan berhasil."
Kami diam ketika sekelompok orang membawa sekop berjalan melewati kami
menuju Desa Pemenang. Mungkin mereka bisa melakukan sesuatu terhadap
dinding salju tiga setengah meter itu. Dan pada saat mereka sudah di luar
jangkauan pendengaran, kami sudah berada di dekat alun-alun. Kami berjalan ke
sana, dan langsung berhenti berjalan bebarengan.
Takkan terjadi apa-apa selama badai salju. Itu yang aku dan Peeta sepakati
bersama. Tapi kami salah besar. Alun-alun sudah berubah toral. Bendera raksasa
dengan lambang negara Panem tergantung di atas atap Gedung Pengadilan. Para
Penjaga Perdamaian, dengan seragam putih bersih, berbaris di jalanan berbatu
yang sudah disapu bersih. Di atap-atap, lebih banyak lagi yang berjaga-jaga dengan
senapan mesinnya. Yang paling mengerikan adalah rentetan bangunan baru"tiang
cambuk resmi, beberapa benteng pertahanan, dan tiang gantungan"yang didirikan
tepat di tengah-tengah alun-alun.
"Thread pekerja yang cepat," kata Haymitch.
Beberapa jalan dari alun-alun, aku bisa melihat api berkobar. Tak ada seorang pun
yang mengatakannya. Itu pasti Hob yang dihanguskan. Aku memikirkan Greasy
Sae, Ripper, dan semua sahabatku yang mencari nafkah di sana.
"Haymitch menurutmu orang-orang tidak berada di dalam..." Aku tidak bisa
menyelesaikan kalimatku. "Tidak, mereka lebih pandai daripada itu. Kau juga, jika kau sudah hidup lebih
lama," katanya. "Lebih baik aku pergi sekarang dan melihat seberapa banyak
alkohol yang bisa disisakan oleh apoteker."
Dia berjalan dengan susah payah dan aku memandang Peeta.
"Buat apa dia mau alkohol?" Lalu aku menyadari jawabannya. "Kita tidak bisa.
Dia bisa mati atau paling tidak dia bisa buta. Aku punya persediaan minuman keras
di rumah.' "Aku juga. Mungkin minuman itu bisa menahannya sampai Ripper kembali
berdagang," kata Peeta. "Aku harus memeriksa keadaan keluargaku."
"Aku harus bertemu Hazelle." Sekarang aku kuatir. Kupikir dia sudah di ambang
pintu rumah ketika salku sudah dibersihkan. Tapi tidak ada tanda keberadaannya.
"Aku temani. Biar nanti aku mampir di toko roti dalam perjalanan pulang," kata
Peeta. "Terima kasih." Mendadak aku sangat takut membayangkan apa yang bakal
kutemukan. Jalan-jalan nyaris kosong, seharusnya ini tidak janggal pada jam sibuk seperti ini
jika orang-orang bekerja di tambang, anak-anak di sekolah. Tapi kenyataannya
tidak. Aku bisa melihat wajah-wajah mengintip memandang kami di ambang pintu,
atau di celah-celah penutup jendela.
Pemberontakan, pikirku. Aku tolol sekali. Ada cacat yang melekat dalam rencana
ini. Pemberontakan artinya melanggar hukum, melawan pihak berwenang. Kami
sudah melakukan itu seumur hidup kami, atau paling tidak keluarga-keluarga kami
melakukannya. Berburu, berjualan di pasar gelap, mengejek Capitol di hutan. Tapi
bagi banyak orang di Distrik 12, berjalan ke Hob untuk membeli sesuatu di anggap
terlalu berisiko. Dan aku mengharapkan mereka berkumpul di alun-alun dengan
batu bara dan obor" Bahkan melihat keberadaan aku dan Peeta saja mampu
membuat orang-orang menarik anak-anak mereka menjauh dari jendela dan
menutupnya lebih rapat. Kami menemukan Hazelle di rumahnya, sedang merawat Posy yang sakit keras.
Aku mengenali bintik-bintik campak di tubuhnya.
"Aku tidak bisa meninggalkannya," kata Hazelle. "Aku tahu Gale ada di tangantangan terbaik."
"Tentu saja," jawabku. "Dia sudah jauh lebih baik. Ibuku bilang dia bisa kembali
bekerja di tambang dalam waktu beberapa minggu lagi."
"Mungkin tambang juga baru dibuka lagi pada saat itu," kata Hazelle. "Kabarnya
mereka menutup tambang sampai ada pemberitahuan lebih lanjut."
Hazelle memandang bak cuci pakaian yang kosong dengan gelisah.
"Kau juga tutup?" tanyalu.
"Tidak secara resmi," sahut Hazelle. "Tapi semua orang takut memakai jasaku
sekarang." "Mungkin karena salju," kata Peeta.
"Tidak. Rory berkeliling pagi ini. Ternyata tidak ada yang punya cucian," ujar
Hazelle. Rory memeluk Hazelle. "Kita akan baik-baik saja."
Kuambil segenggam uang dari kantongku dan menaruhnya di meja. "Ibuku akan
mengirimkan obat untuk Posy."
Setelah kami berada di luar, aku menoleh memandang Peeta. "Kau pulang saja.
Aku ingin ke Hob." "Aku ikut denganmu," katanya.
"Tidak. Aku sudah cukup menyeretmu ke dalam masalah," kataku.
"Dan tidak berjalan di Hob... akan membantuku menyelesaikan masalahnya?" Dia
teesenyum dan menggandeng tanganku. Berdua kami berjalan melewati jalan-jalan
di Seam sampai kami tiba di bangunan yang terbakar. Mereka bahkan tidak merasa
perlu meninggalkan Penjaga Perdamaian untuk menjaganya. Mereka tahu tak ada
seorang pun yang bakal mau berusaha menyelamatkannya.
Panas dari api melelehkan salju di sekitarnya dan bercak-bercak hitam jatuh ke
sepatuku. "Ini semua debu batu bara, dari hari-hari lampau," kataku. Ada di setiap celah dan
retakan. Jatuh ke sela-sela lantai. Hebat juga tempat ini tidak terbakar sejak dulu.
"Aku ingin mencari Greasy Sae."
"Jangan hari ini, Katniss. Kurasa kita tidak membantu dengan mendatangi
mereka," katanya. Kami kembali ke alun-alun. Aku membeli kue dari ayah Peeta sementara ayah dan
anak itu bicara basa-basi tentang cuaca. Tak ada seorang pun yang menyinggung
alat-alat penyiksaan jelek itu yang hanya beberapa meter dari pintu depan rumah
mereka. Hal terakhir yang kuingat ketika meninggalkan alun-alun adalah aku sama
sekali tidak mengenali satu pun wajah-wajah dari Penjaga Perdamaian.
Seiring hari berlalu, keadaan berubah dari buruk menjadi makin buruk. Tambang
tetap ditutup selama dua minggu, dan pada saat itu setengah penduduk di Distrik
12 kelaparan. Jumalah anak-anak yang mendaftar tessera melonjak, tapi sering kali
mereka tidak menerima gandum jatah mereka. Mulai timbul kekurangan makanan,
bahkan mereka yang punya uang pun pulang dari toko dengan tangan kosong.
Ketika tambang dibuka lagi, gaji dipotong, jam kerja di perpanjang, para
penambang terang-terangan dikirim ke wilayah tambang yang berbahaya. Makanan
yang ditunggu dengan penuh harap pada Hari Parsel datang namun dipenuhi
dengan binatang pengerat. Alat-alat penyiksaan di alun-alun menjadi saksi orangorang yang diseret ke sana lalu dihukum atas pelanggaran yang sudah lama
terlupakan, bahwa apa yang mereka lakukan ilegal.
Gale pulang tampa bicara lagi soal pemberontakan. Tapi aku tidak bisa tidak
berpikir bahwa segala yang dilihatnya hanya akan memperkuat tekadnya untuk
melawan. Kerja keras di tambang, tubuh-tubuh yang disiksa di alun-alun,
kelaparan di wajah-wajah anggota keluarganya. Rory sudah mendaftar untuk
tessera, bahkan itu tidak bisa diceritakan Gale, tapi tetap saja semua itu tidak cukup
dengan ketiadaan barang dan naiknya harga makanan.
Satu-satunya hal yang mencerahkan adalah aku berhasil memaksa Haymitch untuk
membayar Hazelle sebgai pembantu rumah tangganya, hasilnya adalah pendapatan
tambahan untuk Hazelle dan peningkatan standar hidup Haymitch. Rasanya aneh
berada di rumah Haymitch yang segar dan bersih, dengan makanan yang
dihangatkan di atas kompor. Dia nyaris tidak memperhatikannya karena dia sibuk
dengan pertarungan lain. Aku dan Peeta berusaha membatasi minumannya dengan
apa yang kami miliki, tapi minuman keras kami pun hampir habis, dan terakhir kali
kami bertemu Ripper, dia masih belum berjualan.
Aku merasa seperti orang terbuang ketika berjalan di antara jalan-jalan. Kini
semua orang menghindariku di depan umum. Tapi aku tak pernah kekurangan
orang di rumah. Mereka yang sakit dan terluka ada di dapur rumah kami di
hadapan ibuku, yang sudah lama tidak menagih bayaran atas jasanya. Namun
persediaan obat-obatan sudah menipis, tidak lama lagi dia hanya bisa merawat
pasien-pasiennya dengan salju.
Tentu saja, hutan jadi wilayah terlarang. Pasti. Tak perlu dipertanyakan lagi.
Bahkan Gale tidak menantangnya saat ini. Tapi suatu pagi aku melakukannya. Dan
alasannya bukan karena rumahku penuh dengan orang sakit dan sekarat, mereka


Tersulut Catching Fire The Hunger Games 2 Karya Suzanne Collins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang punggungnya berdarah, anak-anak dengan wajah cekung, sepatu bot berbaris,
atau kepedihan yang ada di mana-mana yang mendorongku untuk menerobos
melewati bagian bawah pagar. Tapi kedatangan sekotak besar gaun pengantin pada
suatu malam dengan catatan Effie yang mengatakan bahwa Presiden Snow sendiri
yang menyetujui gaun ini.
Pernikahan. Apakah dia sungguh-sungguh berniat melanjutkan acaranya" Dalam
otaknya yang sinting, apa yang dia pikir bakal dicapainya" Apakah ini demi orangorang di Capitol" Pernikahan sudah dijanjikan, makan pernikahan akan diadakan.
Lalu dia bakal membunuh kami" Sebagai pelajaran bagi distrik-distrik" Aku tidak
tahu. Aku tidak bisa memahaminya. Aku berbaring gelisah di tempat tidur smapai
aku tidak tahan lagi. Aku harus pergi dari sinj. Paling tidak selama beberapa jam.
Kedua tanganku mengacak-acak isi lemari sampai aku menemukan perlengkapan
musim dingun yang iseng-iseng dibuat Cinna dalam Tur Kemenangan. Sepatu bot
tahan air, pakaian salju yang membungkus kepalaku hingga kaki, sarung tangan
yang bisa mengalirkan panas. Aku menyukai pakaian berburuku yang lama, tapu
jalur yang akan kulewati hari ini membutuhkan pakaian yang canggih. Aku
berjingkat turun, memasukkan makanan ke dalam tas berburuku, dan menyelinap
keluar dari rumah. Aku berjalan mengendap-endap di sisi jalan dan gang-gang,
hingga berhasil tiba di titik lemah pagar distrik yang paling dekat ke rumah Rooba
si tukang daging. Karena banyak pekerja melintasi jalan ini dalam perjalanan
menuju tambang, salju penuh dengan bekas kaki. Jejak kakiku takkan ketahuan.
Dengan adanya peningkatan keamanan, Thread tidak terlalu memperhatikan pagar,
namun dia juga membuat orang bertahan di dalam pagar. Meskipun begitu, setelah
aku berada di luar pagar, kututupi jejak kakiku sampai pepohonan menutupi
jejakku dengan sendirinya.
Fajar baru merekah ketika aku mengambil busur dan anak panah lalu mulai
menembus jalan setapak di hutan yang dipenuhi salju. Entah kenapa, aku bertekad
pergi ke danau. Mungkin untuk mengucapkan selamat tinggal pada tempat itu,
pada ayahku, dan pada saat-saat bahagia yang kami habiskan di sana, karena aku
tahu aku mungkin takkan kembali. Mungkin dengan demikian aku bisa bernapas
lega lagu. Sebagian dari diriku tidak peduli jika mereka menangkapku, jika saja
aku bisa melihatnya sekali lagi.
Perjalanan ini makan waktu dua kali lebih lama daripada biasanya. Pakaian dari
Cinna bisa menahan panas tubuhku di dalam pakaian dengan baik, dan aku tiba
dengan tubuh basah kuyup berkeringat sementara wajahku mati rasa kena terpaan
dingin. Sinar matahari musim dingin yang garang menyinari salju telah
mengaburkan pandanganku, dan aku terlalu lelah serta sibuk dengan pikiranku
sendiri sehingga tidak memperhatikan tanda-tandanya. Asap tipis dari cerobong,
bekas jejak-jejak kaki, daun-daun pinus yang baru dipangkas. Jarakku hanya
beberapa meter dari pintu rumah bersemen itu ketika langkahku terhenti
mendadak. Aku berhenti bukan karena asap, jejak kaki, atau bau. Tapi karena
bunyi senjata yang dikokang di belakangku.
Pengalaman. Insting. Aku berbalik, sambil menarik anak panah meskipun aku tahu
kesempatanku tipis. Aku melihat seragam putih Penjaga Perdamaian, dagu yang
lancip, bola mata cokelat muda yang jadi sasaran anak panahku. Tapi senjata orang
itu dijatuhkan ke tanah dan seorang wanita tak bersenjata mengulurkan sesuatu
padaku dengan tangannya yang memakai sarung tangan.
"Stop!" pekiknya.
Aku ragu-ragu, tidak bisa mencerna keadaan yang mendadak berbalik ini.
Mungkin mereka mendapat perintah untuk menangkapku hidup-hidup agar mereka
bisa menyiksaku agar mau menyebutkan nama-nama siapa saja yang terlibat. Yeah,
semoga beruntung, pikirku. Jemariku sudah siap melepaskan anak panah ketika
aku melihat benda yang ada di sarung tangan itu. Roti putih yang tipis dan bundar.
Lebih mirip biskuit sebenarnya. Lembek dan menghitam di ujung-ujungnya. Tapi
ada gambar yang jelas tertera di bagian tengah roti itu.
Mockingjay-ku. Bab 10 BAGIAN II QUELL TIDAK masuk akal. Burungku dipanggang jadi roti. Tidak seperti model yang
kulihat di Capitol, dan ini jelas bukan pernyataan fashion.
"Apa ini" Apa artinya?" tanyaku gusar, masih bersiap-siap membunuh.
"Artinya kami di pihakmu," kata suara yang gemetar di belakangku.
Aku tidak melihat ketika tiba di sini. Dia pasti berada di dalam rumah. Aku tidak
melepaskan tatapanku dari sasaran. Mungkin pendatang baru ini bersenjata, tapi
aku berani bertaruh dia takkan berani mengambil risiko membiarkanku
mendengarkan suara senjata yang dikokang yang berarti kematianku sudah di
ambang pintu, tapi dia juga tahu aku bakal membunuh temannya dalam sekejap.
"Datang kemari agar aku bisa melihatmu," aku memberi perintah.
"Dia tidak bisa, dia..." Wanita yang membawa biskuit itu hendak menjelaskan.
"Kemari!" aku berteriak. Terdengar bunyi kaki yang melangkah diseret. Aku bisa
mendengar yang dibutuhkan untuk gerakan tersebut. Wanita lain, atau mungkin
lebih tepatnya anak perempuan karena dia tampak masih seumuran denganku,
berjalan terpincang-pincang ke hadapanku. Dia mengenakan seragam Penjaga
Perdamaian yang tidak pas ukurannya, lengkap dengan mantel bulu putihnya, tapi
seragam itu tidak membawa senjata. Tubuhnya bertelekan tongkat kayu yang
dibuat dari patahan dahan-dahan, dan digenggam erat dengan kedua tangannya.
Ujung sepatu bot kanannya kotor kena salju akibat berjalan diseret.
Aku mengamati wajah gadis itu lekat-lekat, yang bersemu merah karena
Arus Balik 6 Raja Petir 08 Ratu Sihir Puri Ular Api Di Bukit Menoreh 20

Cari Blog Ini