Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer Bagian 6
Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan Ispanya.
Diperintahkannya pada kami untuk membayangbayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan Syahbandar, jangan sampai salah membayangkan. Rambut mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya, kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila dipuji kecantikannya& tak dapat orang melupakannya seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira"
Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.
Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu, lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas sana!& . Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami. Mengapa tertawa"
Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah kalian tak menghendaki barang seorang" tanyanya sambil terus tertawa di belakang kami.
Apa kemudian" Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun dan pergi entah ke mana.
Kemudian kalian makan, Wiranggaleng mendakwa. Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya. Kemudian kalian minum.
Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat. Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu" Tidak, Wira. Hanya minum.
Terlalu banyak tuak, Wiranggaleng mendakwa lagi. Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah bagaimana&
Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar. Melihat dua orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, ayoh, makan dulu sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.
Ampun, Wira, mereka mencoba lagi untuk mencium kakinya.
Makan, kataku! perintahnya Dan setelah mereka makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih sedang di luar kota.
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat seperti hendak bengkak.
Wira, ampun, Wira, ampun, mereka bergumam berat, kemudian menggelesot tidur di geladak.
Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi.
Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh" Dia telah teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. Idayu! Idayu! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan. Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau!
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu membayang-bayangkan"
Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan menuju ke dermaga.
Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, tapi kemudian berjalan terus.
Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ramai. Wanitawanita berlari-larian membawa barang dagangannya menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah dan sayur-mayur.
Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan meronta untuk kemudian mati terkapar sekarang juga. Dia akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa Idayu kemudian pergi" Dia akan tetap jadi anak ibunya. Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang noda itu tetap tiada kan terhapus.
Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan persoalannya.
0o-dw-o0 Untuk pertama kali Wiranggaleng ikut dalam iringiringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembahmenyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup dan keringat nampak membasahi punggung mereka. Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan sepotong kain, kemudian memasukkannya ke dalam saku baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya.
Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang adalah dirinya.
Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring" Dan apakah yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar" Apa pula isi surat itu"
Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga" Dan siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis hubungan ini"
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. Mungkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka" Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.
Di penghadapan hanya Wiranggaleng duduk di kejauhan.
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan sekali ini nampak kehilangan wibawa.
Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamutamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa sesuatu persembahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk pertama kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adatkebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk pendatang-pendatang baru itu.
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu Wiranggaleng tak dapat melihat perubahan-perubahan pada wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: Bukan maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan. Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah. Tentang ini akan kami persembahkan nanti&
Gusti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa, bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di tangan kami. Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan lain& .
Terjemahkan yang betul! tegur Sang Adipati gusar. Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti, tambah Sang Patih juga berlebih-lebihan panjangnya. Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti. Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar meneruskan: Kami datang dan membutuhkan beras, sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang akan kami bayarkan. Mas Peranggi.
Tuan Syahbandar, tegur Sang Patih, bukankah untuk urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar" Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati Tuban"
Sekilas Wiranggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam karena tersinggung. Sebentar saja:
Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka. Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih"
Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya, sembah Sang Patih.
Ampun, Gusti Adipati Tuban, Syahbandar meneruskan. Adapun pekerjaan patik memang mengurusi semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.
Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi kebutuhannya.
Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang Portugis kembali ke pelabuhan.
0o-dw-o0 Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka.
Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang Peranggi itu!
Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.
Wira! Syahbandar-muda! dua orang berlarian menghampiri. Mereka merampas, mengamuk dan melukai.
Dalam Melayu Wiranggaleng berseru-seru: Peranggi, hentikan!
Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam kepungan beberapa belas orang Portugis.
Syahbandar-muda bicara di bandarnya ia berseru dengan nada memperingatkan. Hentikan perbuatan kalian. Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!
Orang-orang Portugis itu mengejek dan mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka memperlihatkan sikap hendak menyerang.
Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, Wiranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali! Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orangorang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu berjalan hanya beberapa detik. Kemudian ia sempat menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, kemudian ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas temantemannya sendiri.
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. Beberapa kali kepalanya menggeleng karena terkena tetakan dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang dapat ditangkapnya.
Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk membubarkan kepungan.
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan-kawannya merubungnya.
Kembali! Kembali ke kapal! raung Wiranggaleng. Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang berlabuh.
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambatlambat mulai lenyap dibawa angin lalu.
Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan temantemannya. Mengapa mereka tak diusir saja" Bukankah bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi" Belum lagi mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak tertahankan. Betapa akan jadinya kalau& kalau& . Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan orang pun semakin heran mengapa saja" Dan mengapa Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan kerisnya pada tubuh orang terbenci itu"
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai! Di Tuban!
Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesarpembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar. Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.
Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan hendak mendengarkan berita yang lebih baru.
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: Kau benar, Wira, kau benar.
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, berdiri dan menghampiri. Berkata: Kalau orang berpikir semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. Keterlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni. Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, ruparupanya semua akan jadi beres.
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: Bukan adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia baru manda, bukan Wira"
Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu warung, tegur Wiranggaleng.
Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak ada pekerjaan.
Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi akan sudah lemah sampai kemari, nakhoda pertama itu meneruskan. Suaranya berkobar-kobar.
Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban, barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak oleh Gusti Adipati.
Tapi hari ini kau yang menang, Wira. Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah binasakan mereka, Wira, nakhoda itu berkata lagi. Lihat, mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.
Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari orang-orang Islam, seseorang menambahi dengan gemas. Kalau tidak, celakalah kita semua.
Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, tenggelam dalam kebosanan, nakhoda itu meneruskan.
Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak baik terhadap kita, seorang nakhoda Pribumi bukan Islam menengahi. Apakah bukan orang Islam yang merampas Jepara" Apakah bukan orang Islam yang sekarang membikin gaduh di pedalaman"
Wiranggaleng tahu, kalau percakapan ini diteruskan, orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua orang dengan agamanya masing-masing" Dia pun tidak lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukuman mati tanpa jelas perkaranya.
Hancurkan kapal Peranggi itu, tiba-tiba seseorang membakar-bakar gemas.
Husy, cegah Syahbandar-muda. Itu melanggar amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri dihancurkan di bandar asing" Dihancurkan tanpa sebab perang seperti tingkah Peranggi" Kalian sendiri tak suka. Dan di Tuban tidak ada perang.
Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut digulung.
Lebih dari patut. Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang. Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya purapura tidak tahu.
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang angkat bicara.
Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub"
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya sendiri ke jurusan kesyahbandaran.
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran. Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju ke sana.
Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: Ayoh, tambahi dengan lima babi!
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang dianiaya itu orang-orang Muslimin.
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orangorang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.
Darah Wiranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. Dan justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran padanya.
Lima babi! Portugis yang lain ikut berteriak menuntut. Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda menangkisi pukulan. Kemudian menggeletar pekikannya: Ini yang kau pinta! pikulannya berputar menghantam tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung. Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka tergeletak berkaparan.
Biar kami habisi! teriak pelaut-pelaut yang pada berdatangan.
Jangan, cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, mengapa kalian dipukuli"
Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi. Kalian berdua pedagangnya"
Benar, Wira. Dan memang kurus sapi-sapi kalian"
Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking, cacingan hampir mati.
Dasar rakus! Syahbandar-muda meludah ke tanah. Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus dirawat di warung Yakub.
Wiranggaleng kembali ke syahbandaran. 0o-dw-o0
Pada lengah malam baru ia dapat meninggalkan tugasnya.
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az- Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, hilang sikap besar yang selama ini selalu dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka mulut.
Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka dengan Syahbandar. Tetapi ia belum berani meneruskan.
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya.
Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini, juara gulat itu mengadu pada istrinya. Orang Peranggi pertamatama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!
Idayu tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: Sudah malam, Kang.
Sudah malam" Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan berkeruyuk, ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang mencurigakan itu.
Idayu telah tertidur di samping Gelar.
Tak mungkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk menyerang, karena hanya dengan satu kapal. Lagi pula Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan" dua-duanya pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu" Tetapi dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa" Dan untuk apa pula singgah di Tuban" Ada apa di Panarukan dan Pasuruan sana"
Ia berpikir dan berpikir.
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari gendi dan duduk lagi pada tepian ambin.
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka telah jadi miliknya.
Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti. Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. Orang-orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepatcepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin merana, mungkin sampai mati.
Gelar terbangun menangis minta minum. 0o-dw-o0
13. Meningkatnya Kericuhan
Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya berirama. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk Wiranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko. Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang miring dan bersibak pada belahan tengahnya.
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata dari ikan perak itu.
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah.
Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang masing-masing.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.
Tuan Syahbandar-muda! seseorang memanggilnya dalam Melayu. Berhenti dulu, Wira.
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan berbuah baju kain pula.
Wiranggaleng turun dari kudanya. Sudah beberapa kali ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nama dan tak tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya.
Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut tersenyum.
Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan Syahbandar-muda, katanya sambil menyerahkan. Kalau Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub& .
Wiranggaleng memperhatikan orang yang fasih Melayu itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah berpengalaman di bandar-bandar Nusantara.
Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan. Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta perhatian khusus.
Syahbandar-muda menyapukan pandang pada kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya. Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu. Dari siapa" tanya Wiranggaleng.
Dari Mohammad Firman. Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu. Sahaya hanya sekedar menyampaikan. Islam baru atau lama"
Tak ada Islam lama, Wira, semua baru. Di mana tinggalnya"
Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang musyafir Demak, mengembara ke mana-mana. Apa itu musyafir Demak"
Semacam pekerjaan, Wira. Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya seorang Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: Di mana kau bertemu dengannya"
Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya, sebelum dia masuk Islam, dan ia tetap tak memperlihatkan tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.
Apakah balasan diharapkan dengan segera" Tidak, Wira, tidak. Kemudian ia berkata dengan nada lain, Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.
Ya, dan Wiranggaleng mulai membacanya. Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada wajah Wiranggaleng dan memajukan binatang mereka beberapa langkah serta menyiapkan tombak.
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir kesayangan.
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan. Pengirim ini bernama Mohammad Firman" Benar, Wira.
Sebelum masuk Islam apakah namanya" Bukankah Pada"
Benar, Tuan Syahbandar-muda.
Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wiranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang telah melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit
Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan arak juara gulat itu mulai membaca lagi:
Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban, Wiranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri, dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu. Bagaimana mungkin" Tuban telah membunuh aku dan melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria& .
Wiranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, kemalangan suami-istri" Atau dia tidak tahu" Ia pandangi orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga tersenyum dengan bibir dan matanya.
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu menghilangkan kecurigaan Galeng. Ia meneruskan bacaannya:
Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap kakangnya yang harus dibalas budinya.
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.
Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawancawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan sebuah cawan sambil berbisik: Sahaya bersedia membantu Tuan Syahbandar-muda, ia masih juga tersenyum. Liem Mo Han nama sahaya, suaranya jelas walaupun warung itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum. Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas. Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo Han mengajaknya minum, untuk kemudian keluar dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian kalinya memaksa ia menerima ajakannya.
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang mata semua yang tertinggal.
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga berjalan.
Memang sahaya sedia membantu, Liem Mo Han mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam Jawa halus. Mohammad Firman telah membicarakan kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, Wira.
Wiranggaleng masih jua belum mengerti maksudnya dan diam mendengarkan.
Mohammad Firman dan sahaya tahu, ada satu kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu, Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orangorang Peranggi.
Babah dan Pada sungguh tidak keliru.
Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan untuk Wira.
Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu, Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali.
Sahaya datang setelah dapat mengalahkan keraguraguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya bacakan"
Nanti pada waktunya, Babah.
Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak tahu. Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah pelabuhan.
Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.
Benar, Tuan Syahbandar-muda. Tetapi Peranggi adalah Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.
Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di Jepara"
Tidak keliru, Wira, itulah mereka. Mata-mata.
Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang demikian.
Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara. Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini"
Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan, mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi" Penembak meriam!
Penembak meriam! Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah perlindungan Tuan Sayid sendiri" Hampir-hampir satu atap dengan Wira"
Ha" seru Wiranggaleng, ia mencoba menembusi mata Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya.
Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman" Wiranggaleng mengangguk membenarkan. Mohammad Firman adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya mengatakan yang tidak benar pada Tuan"
Wiranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya.
Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi itu. Syahbandar Tuban pun tidak, kata Sang Patih. Tak ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan" Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi" Awas-awaslah selalu, tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang menyalahi ketentuan.
Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti. Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu, tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama soalnya Semarang, persangkutannya selamanya Demak. Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah memboroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.
Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti, Wiranggaleng memotong.
Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.
Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembakpenembak meriam.
Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian. Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku belum. Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan. Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu mereka bisa membikin untuk Tuban" Biarkan mereka tinggal di kesyahbandaran. Pergi!
Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam harem.
Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada pengurus baru ia berbisik memperingatkan: Jangan sampai terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan dijatuhkan kemudian akan lebih berat.
Ia diam mendengar-dengarkan.
Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik yang terkunci dari dalam.
Siapa itu" bisiknya bertanya.
Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.
Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu sebelum waktunya"
Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang begitu.
Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk mendengarkan.
& siapa tidak tahu tidak kuatir" Sapi-sapi kita bisa punah. Panen kita bisa musnah, penguasa Tuban itu mendengar.
Apa belum juga ada yang mempersembahkan" suara yang lain.
Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana, suara yang ketiga.
Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana desamu"
Belum sampai ke perbatasan desa kami, jawab yang ke empat.
Tapi siapa tahu" Barangkali mereka sudah sampai juga ke sana sekarang"
Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara, tentu belum ada yang mempersembahkan, suara pertama menyimpulkan.
Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi yang masih juga bersimpuh di tanah.
Berapa umurmu, Daludarmi" bisiknya bertanya. Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya. Apakah kau Islam"
Patik, Gusti. Mengapa menurut perhitungan bulan" Patik tak tahu menghitungnya, Gusti.
Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi! Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga jadi selir"
Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang menentukan, Gusti.
Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi, bisik Sang Adipati. Dan kau belum pernah beranak. Sang Adipati mulai merabai tubuh pengurus harem itu. Kau masih lebih kukuh dari si Kati. Ia sejenak tak bicara. Kemudian, Coba, mana mukamu" dan ia pandangi wanita itu dalam kegelapan malam.
Ia tak teruskan dengan membikin cinta. Bagaimana Sekar Pinjung sekarang"
Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas. Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, kemudian ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke dalam.
Dua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab.
Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian memanggil-manggil pelan pada pintu: Nyi Ayu, Nyi Ayu Sekar Pinjung! Nyi Ayu!
Nyi Gedekah itu" terdengar suara sayu menjawab dari dalam.
Nyi" Bukalah pintu, rang manis, kata Daludarmi lemah. Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan Sang Adipati masuk ke dalam.
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh Daludarmi dari luar.
Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang bergolak di dalam hatinya.
Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri. Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya" Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali lipat. Hampir selama dua tahun ini! Tetapi ia masih juga belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar Pinjung
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang mencium kakinya. Kemudian tangan gading itu memeluk kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan terhadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan, Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa dan adatnya lain.
Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak mencabut kembali kata-katanya.
Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih membekukan.
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil karena sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. Betul. Tempat raja-raja tumbang karena gosokan. Betul. Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu mencabut kata-kata satria yang keliru"
Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan dan berbisik: Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar Pinjung. Berdiri!
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil karena sedusedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.
Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan dia pada dirinya, kemudian dipangkunya.
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi. Daludarmi! panggil Sang Adipati dari dalam bilik.
Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, membawa nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati.
Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan meminumnya habis
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan itu di meja.
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi selama ini.
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.
Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk bersila di atas lantai.
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: Betapa sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab sekarang juga. Benar-tidak"
Ampun, Gusti Patih, seorang kuwu mengangkat sembah. Adanya huru-hara itu memang betul, karena terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum juga mempersembahkan adalah karena patik masih berusaha, belum lagi putus-asa.
Pernahkah kalian menang terhadap mereka" Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum. Jangan persembahkan teka-teki.
Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang, pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari. Apa kalian sedang main petak"
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap menunduk.
Mengapa membisu" Hilangkah sudah lidah kalian" Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya. Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih, bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan satu kali pun tidak pernah menjebak.
Apa maksudmu dengan jebak-menjebak"
Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.
Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu. Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu. Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti. Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala desa, bersembah kau yang benar dan patut.
Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di dalam desamu sendiri"
Kira-kira begitu, Gusti, tetapi patik tidak berani mempersembahkan dengan pasti.
Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya, Sang Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. Meneruskan, Kami beri waktu untuk kalian satu bulan penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian akibatnya"
Tahu, Gusti. Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambilalih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya" Mengerti, Gusti.
Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desadesa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu" Lebih dari cukup, Gusti, mereka menjawab berbareng. Kemudian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kelahirannya adalah Iskak Indrajit.
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam Ramayana itu, nama yang tidak populer bagi negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan ketegangan lenyap.
Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala, maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, dan dari ibunya ia mendapat nama Indrajit.
Sekali lagi penghadap gelak tertawa.
Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Ruparupanya ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang agak mencolok.
Tetapi keadaan sudah berubah, Sang Patih meneruskan. Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat dipertahankan. la harus diganti. Tetapi ia tidak rela diganti, ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk melawan& .
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menamakan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di seluruh pulau Jawa.
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan gemas: Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit, berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para dewa. Nah, pergi kalian.
Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang.
Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadijadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antarpulau, beku.
Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi& . 0o-dw-o0
Wiranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong.
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.
Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. Dan setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu berangkat. Mereka tinggal di Blambangan.
Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban dari laut dan darat.
Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan dari musuh seluruh dunia itu.
Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari karena adanya Portugis.
Ya, Peranggi tetap pokok, ia memutuskan. Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: Tuban berada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap yang pasti terhadap Peranggi.
Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam, juga tidak karena Hindu.
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. Namun kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam memahami dunia yang sedang berubah.
Tetapi sahabatnya itu tak pernah bicara tentang Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah membuka mulut. Dan Wiranggaleng merasa tak ada kebutuhan untuk mengetahui.
Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan dalihnya terakhir adalah: Hanya kerajaan yang sudah sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah sahaya membantu dari jauh saja, Wira.
Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewadewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggung karena Liem Mo Han menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya kesempatan saja belum aku peroleh.
Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. Ia selalu bicara tentang praja.
Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari Rama during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.
Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak. Pagi waktu itu.
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda telah terdengar: Wira! Wira! Tholib Sungkar Az-Zubaid memanggilnya.
Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi permainan hindar-menghindar ini.
Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar sedang minum kopi di kamar-kerjanya.
Selamat untukmu, Wira, ia berdiri. Wajahnya berseriseri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama sekali.
Tuan Syahbandar, inilah sahaya, jawab Wiranggaleng. Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari punggung orang Moro itu telah sering ia perhatikan pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.
Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman" tanyanya dan menyilakan duduk. Nah, semestinya kau tahu di mana desa Rajeg
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji Benggala.
Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu" Apa yang mereka percakapkan" mata Tholib kelapkelip menyelidik.
Dan waktu nampak olehnya Wiranggaleng tersenyum mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan katakatanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam: Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak memberontak" Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima semua titah Gusti Adipati. Nada suaranya meningkat lagi, Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu harus di kembalikan pada Syahbandar.
Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar, Wiranggaleng menyembunyikan keheranannya.
Bagaimana bisa dikatakan tidak penting" Cap tera untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya.
Wiranggaleng sibuk menerka maksud orang Moro ini, tetapi belum dapat.
Kau tak perhatikan aku, Wira. Teruskan Tuan Syahbandar.
Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani, pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu selesaikan pekerjaan ini.
Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati, tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari bumi Tuban.
Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak resmi dari praja itu.
Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenarbenamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan direncanakan oleh perusuh.
Kerjakan tugasmu dengan baik, pesan Sang Patih. Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.
Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagangpedagang Islam yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti. Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang bisa lakukan tugas ini, katanya lagi seakan mengulangi Sayid Habibullah. Kau tahu apa artinya semua ini. Belum, Gusti.
Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu, kebesaran Tuban. rusak"
Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti. Berangkatlah dengan sejahtera. Dan ia pun berangkat.
la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki Aji Benggala jelas akan membunuh aku.
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu Idayu. Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya"
Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam. Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah sebagai raja muda.
Sebaliknya, Wira, ia meneruskan, Wira dan istri merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira mengerti perbandingan ini.
Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar Tuban menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia akan menghadap Sang Adipati dan memohon agar Idayu dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat mempengaruhi Sang Adipati.
Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap Gelar, anaknya sendiri" Mengapa" Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri" Ah, mengapa tidak mungkin" bantahnya sendiri. Setiap ningrat yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran" Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung& ia teringat pada kata-kata Rama Cluring tentang burungburung.
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai petani memasuki pedalaman.
Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada mereka dijawab seperlunya tanpa keramahan dan tiada di antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan menginap.
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.
Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di situ bersama tiga orang temannya untuk dapat mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengarpendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya bahasanya juga aneh.
Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh para prajurit tombak-tombak berburu.
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. Yang termuda sekira dua belas tahun.
Wiranggaleng melirik untuk dapat melihat rambut mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba putih seperti bangau.
Hei, kau! tegur yang tertua, tidak berbaju tidak berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke neraka.
Betapa galak, pikir Wiranggaleng. sebelum kena tegur lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada bibir: Ampun, Bapa, tersasar.
Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau! Galeng, Bapa.
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga menghias.
Galeng" Siapa tidak kenal Galeng" Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!
Apa yang dimata-matai, Bapa" Nanti dulu, siapa yang aku hadapi ini"
Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. Siapa hendak kau mata-matai"
Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji Benggala. Lain tidak.
Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal Adipati Tuban.
Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak memusuhinya"
Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap Jepara" Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten" Malaka tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!
Mengertilah Wiranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: Benar, Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencaricari Ki Aji Benggala tak tahu tempatnya, membawa surat untuk beliau surat berbasa dan bertulisan Arab.
Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab munafik itu.
Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu bukan dari Gusti Adipati dari Tuan Syahbandar Tuban, dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen. Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi dari Syahbandar keparat itu.
Mengapa keparat, Bapa"
Mengapa" Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau bertanya mengapa" Coba, bukankah dia juga yang mengaku Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus" ia meludah ke tanah. Dia hanya budak kafir Peranggi. Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari budak kafir Peranggi" Kau, si rambut panjang"
Wiranggaleng berusaha terus bicara dengan harapan pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya. sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya sendiri.
Budak dari budak kafir Peranggi, ia bergumam. Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa salahkan orang yang tidak tahu"
Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek: Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, apa bedanya" Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa tempat yang dijanjikan.
Aku semakin tidak mengerti, Bapa.
Apa tahumu" Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa tempat yang dijanjikan.
Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa" Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu yang patut kau dengar sebelum mati.
Dan Wiranggaleng harus bicara terus.
Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak tahukah, Bapa, rangdesa Galeng ini pernah menyerang Peranggi di Malaka"
Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu. Maka aku yang mengatakan.
Karenanya makin jelas kebohonganmu.
Wiranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati.
Bagaimana, Paman" salah seorang di antara tiga bocah itu bettarn a di belakangnya. Masih juga dia dibiarkan begini"
Nanti dulu, jangan keliru, tegah juara gulat itu sambil menengok sekilas ke belakang. Lihat dulu surat yang aku bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.
Jih! orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar muda yang mengulurkan surat. Semua yang keluar dari pokal kafir hanyalah najis .
Hweeee! terdengar bentakan berbareng di belakang mereka.
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawalpengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela diri.
Jangan sentuh aku, kafir! pekik orang tertua tak berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan kebencian, kejijikan dan penyesalan.
Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandangpandangan satu sama lain dengan ketakutan.
Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa tombak, gumam Syahbandar-muda. Perdamaian yang sungguh tidak jujur, Bapa.
Mata-mata! Telik! pekik orang itu seperti gila. Suaranya menggaung di tepian rimba. Allah mengutuk kau, dunia dan akhirat!
Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah" Ataukah Bapa sama dengan Allah" balas Syahbandar-muda. Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu sempit. Dan kalian, ia perintahkan pada para pengawalnya. bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung, perintahnya pada tawanannya yang terkecil, biar aku lepas talipengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan menyasarkan, karena paman dan saudara-saudaramu bisa binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang mata yang nampak heran memandanginya: seorang berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah.
Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah mereka di Rajeg.
Wiranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum dan salamnya pun tidak.
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan Wiranggaleng menyadari betapa sulit keadaannya.
Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja rendah di atasnya.
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya.
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terusmenerus bergoyang gelisah.
Nuwun& hasalamu halaikoooom! sebutnya. Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah. Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharapharapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan langkah ragu ia mendekati Wiranggaleng. berhenti di depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyalanyala gusar: Wiranggaleng! raungnya.
Sahaya, Ki Aji, ia bersimpuh di tanah dan menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu mesti meraung.
Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk serahkan nyawa.
Sahaya, Ki Aji. Syahbandar-muda, juara gulat& . Sahaya, Ki Aji.
Dari suara-suara di belakangnya Wiranggaleng tahu, beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya.
Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang sebagai kau"
Sahaya, Ki Aji, dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah penolongku, pintanya dalam hati. Sahaya menghadap hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Utusan siapa" Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu" ia diam dan menolak ke belakang.
Wiranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja.
Ya, kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wiranggaleng, hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang kemari, ia mengangguk-angguk.
Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.
Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang mengetahuinya.
Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki Aji menjadi lunak.
Munafik keparat! makinya pelan. Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke Malaka begitu juga. Datang di Tuban& apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang" Dan adipatimu, si goblok yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan pangkal keadaan& .
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala. Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk dilihat oleh Ki Aji. Tetapi orang di depannya itu tak menggubrisnya.
Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini, ia terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan raguragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan isyarat dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.
.Ya, gumamnya kemudian, Nabi pun berkirim surat pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul juga kau, Khaidar. Suaranya sekarang meninggi, Sini surat itu.
Wiranggaleng memanjangkan badan dan menyampaikan.
Bedebah! raung Ki Aji. Ini bukan surat. Ini hanya alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan mematamatai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan melemparkannya pada muka utusan itu. Jangan kalian kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji, sembah utusan itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan semakin genting.
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, kemudian memberikan isyarat pada Wiranggaleng agar menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu. Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng. Surat, katanya menggerutu, hanya berisi assalamu alaikum. Lebih tidak, kekerasan yang hampir meledak lagi tiba-tiba mereda dari wajahnya. Wajiblah bagimu, katanya lebih pada diri sendiri, membalasnya. Ya, wajib, di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.
la diam dan nampak berpikir. Kemudian tersenyum dan memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.
Baik, katanya. Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu.
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.
Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, Galeng. Kau memang pandai, licik.
Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat selain menjalankan perintah"
Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan balas surat ini. ia merengut. Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika mengenainya.
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan itu tapi tiada berkata sesuatu pun.
Dan lama ia harus menunggu.
Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.
Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat. Hei, kau, Wiranggaleng, sampaikan oleh mulutmu sendiri pada tuanmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak. Sahaya, Ki Aji.
Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan. Sahaya, Ki Aji.
Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka. Sahaya, Ki Aji.
Pergi! bentaknya keras. Tinggalkan bumi ini dan jangan balik kalau tak bosan hidup.
Wiranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan jalan, dan& pengawal-pengawal berbaju serba putih itu menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan membiarkannya pergi.
Hasalamu alaikoooom! ia mendahului beruluk salam. Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga beruluk salam tanpa jawaban.
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan. 0o-dw-o0
14. Syahbandar, Idayu dan Gelar
Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala menerkam.
Selamat bagimu, Idayu! katanya lunak, memikat dan membujuk sekaligus.
Cepat cepat Idayu menepiskan Gelar pada dada, begitu keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap.
Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa menghibur dengan gerak tangan ramai. Kemudian: Masa begitu saja terkejut, Idayu!
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu. Mengapa kau begitu aneh, Idayu"
Apa Tuan kehendaki di sini" tanyanya megap-megap. Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede. Buat apa, Cantik" Guna apa" Nyi Gede masih tidur. Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan Paman Marta.
Buat apa, Idayu" Bukan pekerjaanmu membersihkan taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat anaknya.
Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini Idayu, Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka bersenang dalam kesepian yang begini mencekik" Idayu! Ia bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.
Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan jangan masuki rumah sahaya.
Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah. Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata" Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami sahaya.
Apa kau harapkan dari suamimu" Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya. Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan pada tubuh yang semolek ini& .
Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun memadai, Tuan jawab Idayu mulai berani setelah terbebas dari kejut.
Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya bergerak binal.
Mengapa tak kau lepaskan anak itu" Biar dia bermainmain sendiri seperti biasanya.
Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi ayahnya.
Menghadapi ayahnya" Mengapa mesti dihadapi" Lagi pula dia belum lagi pulang.
Ayah tidak pergi, bukan, Gelar" Ayahmu tidak pergi, bukan" Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.
Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar. Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu. Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar dengan mata ter-heran-heran.
Mak! serunya kemudian. Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari dekat.
Idayu memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.
Ya, Gelar, Idayu meneruskan, itu ayahmu sendiri. Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya& .
Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam. Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan berkata begitu. Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya maka dia anakku"
Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang asli.
Jangan bercericau seperti nuri! sambarnya bengkeng. Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. Makin hari kau akan makin kenal& .
Jangan teruskan, Idayu, Syahbandar sekarang merajuk.
& Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik. Idayu, kau ajari anak itu kurangajar.
Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari. Idayu diam!
Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia meminjam dulu kata-kata ibunya
Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.
Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu sejarah kelahirannya"
Bagaimana sejarah kelahirannya" Aku tak tahu. Jangan sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah Almasawa tak pernah beranak-kan dia! matanya membeliak memperingatkan.
Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan anak Tuan sendiri.
Aku tak beranakkan dia! Tholib Sungkar hampir membentak.
Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk di dunia dan untuk di kemudian hari.
Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi galak, ia menjerit ketakutan.
Idayu kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara seperti meratap ia meneruskan: Nasibmu, Nak, punya ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya& . Idayu!
& Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada gandarwa.
Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari berbaik, Idayu, katanya lagi membujuk. Dengarkan dulu aku, jangan ditentang juga. Kau ini, Idayu, belum lagi mengenal dunia.
Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak mau. Nasib.
Diamlah, Idayu. Apa kataku tadi" Kau belum lagi mengenal dunia.
Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya seperti yang Tuan lihat"
Haiyaaa. Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa kekerasan.
Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau anggap semua sudah mencukupi.
Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan kasih-sayang suami sahaya, si Galeng anak desa yang bodoh itu.
Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi& jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri orang lain.
Apalah gunanya" Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ramah. Ia tegakkan bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas bahu, kemudian bertepuk-tepuk: Kalau di negeri lain sana, Idayu, pastilah kau akan jadi ratu.
Huh! Idayu berpaling melecehkan.
& Tidak jadi istri seorang Galeng yang selalu pergi, membiarkan kau merana dalam menunggu.
Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang berbahagia menunggu suami pulang.
Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain. Cerdiklah sedikit, ia maju setengah langkah.
Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia. Mak, turun, Mak, pinta Gelar.
Jangan, Nak, temani dulu emakmu.
Gelar meronta lagi minta turun dan Idayu membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung menuju ke dapur.
Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat langkah: Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang. Melihat penari itu mendengarkan ia semakin berani, Pekerjaannya berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi untuk selama-lamanya& .
Apalah yang sahaya herani bila suami mati" Jadi kau mengharapkan dia mati"
Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid" Tiadakah pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti suami yang mendahului mati" Tidakkah pernah Tuan dengar" Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi. Pergilah ke pedalaman.
Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan kemolekan seperti ini punah dimakan api, larangan sambil mendekat lagi.
Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba masuki rumahku, Idayu memperingatkan. Sahaya sedang jaga, tidak mimpi dalam tidur.
Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari kesyahbandaran" Dan isinya pun dalam kekuasaanku" Sahaya bilang: jangan.
Layani aku, Idayu, lupakan suamimu.
Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.
Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak.
Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. Bodoh! gumam Syahbandar.
Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini" kata Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. Tuan Sayid, keluar dari sini! dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: Di mana pun begitu mesti bisa ditundukkan, ia tertawa melecehkan, apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana kekuatanmu" Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.
Pukullah, Tuan. Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa mengharapkan jawaban: Apa yang kau andalkan" Wiranggaleng" Kesetiaannya padamu" Hah! Mungkin dia sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal tulang-tulang berantakan termakan anjing.
Memang itulah yang Tuan kehendaki.
& Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat& kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.
Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari sahaya" Idayu bertanya bodoh.
Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki"
Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana keinginan Tuan.
Masih juga kau bercericau!
Mari sahaya ceritai, Tuan, Idayu bermanis-manis. Barangkali Tuan mau mendengarkan.
Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan Idayu yang masih juga mengamangkan senjatanya. Apa ceritamu, Idayu"
Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih bagaimana cara berlawan atau mati.
Kau tetap melawan aku, Idayu" Sahaya sedang melawan, Tuan. Keris Wira akan menembusi dadamu! Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan. Tiada aku beranakkan dia! lelaki itu membentak. Keluar! pekik Idayu. Takkan ada orang datang menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.
Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya bersiaga dengan tongkatnya.
Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya. Idayu melompat maju sambil menyerang dengan cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan.
Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. Idayu keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil. Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia selit-kan pada sanggul. Kemudian ia berjongkok menyambut anaknya.
Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.
Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada mengakuimu.
Gelar memeluk leher ibunya. Sayang kau pada emak"
Gelar mengencangkan pelukannya. 0o-dw-o0
15. Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata Syahbandar dalam Melayu: & tak ada hak patik untuk mengusirnya& .
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: Siapa bilang kami mengusir atau memerintahkan mengusir" Patih Tuban mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak meriam. Maka itu kami mengundang mereka.
Wiranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan menyilakannya duduk.
Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat perjalananmu. Dan belum lagi penghadap itu bersembah ia telah meneruskan, Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia, Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi itu. Bagaimana pendapatmu" Ah-ya, nanti dulu, mereka toh masih berada di bawah perlindungan Syahbandar. Bagaimana kepergianmu"
Dan Wiranggaleng bersembah.
Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang dan melawan. Mana surat itu"
Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk. Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil menghadap Mashud bersama denganmu.
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud. 0o-dw-o0
Bapa Mashud, kata Sang Patih, kami perintahkan padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan terjemahkan baris demi baris pula.
Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: Selamat bagimu, sebaris lagi, Dilimpahkan oleh Allah kiranya padamu taufik dan hidayatnya, sebaris lagi, Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka, selanjutnya, Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan menyampaikan, melindungi mempertahankan dan mengamalkan, sebaris lagi, Maka itu kerjakan apa yang kami sebutkan di bawah ini& .
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti keranjingan.
Mengapa, Bapa Mashud"
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi artinya.
Sang Patih memerintahkannya berhenti dan menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga, barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat dan sorban coklat pula.
Dengan tenang dan percaya diri ia mulai menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruknubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi.
Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiapsiap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama Kamang Sani.
Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga. Sang Patih memerintahkannya pergi.
Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang Tuban
Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan yang lain.
Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar, juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan Peranggi.
Barang tentu surat gawat, Gusti.
Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.
Dan dengan demikian mendaratlah Wiranggaleng di bandar Gresik.
0o-dw-o0 Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih ramai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang lalu peranannya jauh lebih penting daripada Tuban, dan sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari, dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia.
Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiga ratus tahun setelah menjadi bandar tanpa tuan, mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan Asia dan Afrika.
Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh pendatang-pendatang dari Tiongkok. Setelah jatuhnya Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan tanpa tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakanakan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh Darmawangsa.
Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru karena ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini. Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri Dahanapura atau Blambangan.
Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali dengan Gresik dalam keadaan utuh.
0o-dw-o0 Keadaan memang agak lengang waktu Wiranggaleng mendarat. Namun jauh lebih sibuk daripada Tuban. Orangorang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing mentah.
Dan Wiranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.
Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa.
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya seorang untuk mencukur rambutnya.
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren. Kemudian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi Kiai oleh guru-guru agama dari seberang itu pula.
Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah sebuah asrama pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia sudah lakukan satu kekeliruan.
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanakkeluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik.
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab pertanyaan dan permintaannya pun segan.
Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung sarong itu menegurnya: Hei, rambut panjang, apa keperluanmu"
Sahaya bermaksud mencukurkan rambut, jawabnya merendah.
Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad" Mana pula syarat untuk hajad"
Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta diterangkan.
Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat. Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.
Dan rambut itu pun dipotong sambil Wiranggaleng menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena memang tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar memendekkan sejari dari kulit kepala.
Apa lagi yang kau kehendaki" tanyanya lagi. Rambut itu boleh kau buang ke kali.
Buru-buru Wiranggaleng mengumpulkan potongan rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, para dewa dan Hyang Widhi.
Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu" Itung.
Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya" Salasa, karena kau datang kemari pada hari ke tiga.
Salasa. Pulanglah dengan selamat.
Bolehkah kiranya sahaya& , ia tak tahu bagaimana menyebut orang itu, diperkenankan belajar agama baru di sini"
Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti pendidikan.
Tentu saja kau boleh belajar di sini orang itu tertawa ramah, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka dan berkelakuan baik.
Kalau sudah tidak suka lagi"
Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar" Jadi santri"
Wiranggaleng mengangguk mengiakan.
Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu. Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya disusun ambin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman. Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.
Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa. Wiranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah jawakan tulisan ini pada sahaya. Orang itu menerima surat itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.
Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana kau dapat"
Jauh, jauh dari sini. Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan pada Bapa Kiai.
Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain menyertainya.
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu: Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada keperluan apa maka kau datang menghadap"
Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu menjawabkan Wiranggaleng sambil mengulurkan surat tulisan Arab.
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya, kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbatabata: Dari mana kau peroleh surat ajimat ini" dan pengantar menjawakan.
Nun di pinggir jalan di desa sahaya. Di mana desamu"
Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, mungkin lebih.
Nama, nama desamu. Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang. Kabupaten mana itu anakku" Bojanegara, Bapa Kiai. Sedang ada apa di desamu"
Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen. Atau di dekat-dekat desamu" Juga tak ada apa-apa, Bapa.
Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu. Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai"
Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi Wiranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar. Suaranya berubah mencurigai: Kau belum patut mengetahui, Nak, jawabnya curiga. Biar aku simpan surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang seperti kau.
Itu sahaya punya, Bapa Kiai.
Bukankah sudah aku katakan" Ini tidak tepat kau simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat itu. Bapa Kiai memekik. Wiranggaleng menguguh mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekikmekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat menghalang-halanginya.
Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan perang kecil.
Rahasia Kunci Wasiat 13 Wiro Sableng 111 Hantu Langit Terjungkir Kisah Membunuh Naga 42
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama