Demon Glass Karya Rachel Hawkins Bagian 3
Ya. Sepertinya begitu. Ada ketukan pelan di pintu. Cal melepaskan lenganku dan kami terlonjak menjauh sekitar dua meter sementara Lara mendorong pintu hingga terbuka. Kalau Mrs.Casnoff yang menangkap basah Cal ada di dalam kamarku di Hecate dengan pintu tertutup, dan aku yang masih memakai piyama aku rasa pasti akan ada tatapan tajam, bibir terkatup rapat, dan kata-kata seperti sangat tidak pantas . Tapi, kalaupun ada reaksi, Lara tampak... yah, gembira. Ekspresi wajahnya agak congkak saat berkata, Sophie, ayahmu menunggumu di perpustakaan.
Aduh. Aku mengangguk dan berkata, Baiklah. Aku mandi dulu, sesudah itu baru ke sana.
Dia juga minta kau memakai pakaian lain selain jins dan sepatu kets. Itu menyebalkan, tapi aku tak mau melampiaskannya kepada Lara. Aku punya gaun yang bisa kupakai.
Sempurna, jawab Lara, tapi dia tidak bergerak untuk pergi. Aku, eh, kurasa itu isyarat untuk agar aku menyingkir darimu, kata Cal, lehernya berubah jadi agak kemerahan. Sampai nanti, Sophie. Aku menatapnya dan Lara pergi sebelum meletakkan kepalaku di jendela dan mendesah. Di luar, air mancur bergemerlapan diterpa sinar matahari, dan aku mencium bau samar Lavender yang begitu Dad sukai. Di tengah cahaya matahari siang, mudah untuk menganggap bahwa peristiwa semalam tidak terjadi.
Aku merasa sedikit lebih baik setelah mandi. Tentu saja, Dad akan marah kepadaku. Bahkan, mungkin akan ada bentakan-bentakan. Aku bisa menghadapinya. Satu-satunya gaun yang kubawa yaitu gaun siang putih bergambar bunga-bunga biru. Gaun itu cantik, tapi kupikir sesuatu yang sedikit canggih mungkin lebih pantas. Dengan sihirku, aku mengubahnya menjadi gaun sederhana tanpa lengan berwarna hitam. Aku menambahkan jaket pendek hitam dan mutiara sebagai tambahan sebelum terbesit dalam pikiranku bahwa aku sedang menggunakan kekuatanku lagi.
Ya, tapi hanya sedikit kekuatan, kataku menenangkan diri. Kemungkinan sihirmu berubah jadi menakutkan dan gelap sementara bertukar pakaian barangkali sangat kecil.
Walau begitu, aku sedikit terganggu karena begitu mudahnya aku terjerumus kembali ke dalam kebiasaan menggunakan sihir. Jadi, aku berusaha keras mengepang rambutku dengan cara yang sudah ketinggalan zaman, walaupun berakhir dengan kelihatan sangat berantakan. Aku memutuskan untuk tidak memakai riasan wajah, sambil memperhitungkan semakin tak berdosa aku kelihatannya, maka barangkali semakin sulit bagi Dad untuk menghukumku, atau menembakkan api neraka dari matanya, atau entah apa lagi yang biasa dilakukan oleh seorang ayah demon.
Sebelum pergi, aku menyambar kepingan emas dari bawah bantalku, kemudian memandang ke sekeliling kamar. Tidak ada tempat persembunyian yang langsung terlihat olehku, jadi akhirnya aku menambahkan saku ke gaunku dan menyelipkan benda itu.
Dad sedang berdiri di depan salah satu jendela sewaktu aku masuk ke perpustakaan, tangannya tergenggam di belakang punggungnya dengan sikap tubuh klasik aku begitu kecewa terhadap keturunanku . Dad" Eh, kata Lara kau ingin bertemu denganku.
Dia berputar, mulutnya berupa garis kaku. Ya. Apa kau bersenangsenang dengan Daisy dan Nick semalam"
Aku melawan desakan untuk merogoh sakuku dan menyentuh kepingan uang. Tidak juga.
Dia tidak mengatakan apa-apa, jadi kami hanya saling pandang sampai aku mulai merasa kikuk. Begini, kalau Dad akan menghukumku, aku benar-benar lebih suka langsung saja agar cepat selesai. Dad terus menatap. Apa kau ingin tahu bagaimana aku menghabiskan malam" Yah, bukan malam, sebenarnya, melainkan pagi-pagi sekali. Aku mengerang dalam hati. Mrs. Casnoff terkadang melancarkan aksi ini: dia akan mengatakan bahwa dirinya tidak marah, kemudian melanjutkan menyebutkan daftar betapa ulahku telah membuatnya repot setengah mati. Mungkin mereka mengajarkannya di sekolahsekolah bergengsi bagi para Prodigium pilihan. Tentu. Aku menghabiskan jam-jam itu dengan menelepon. Apakah kau tahu dengan siapa"
Salah satu saluran siaga cenayang" Dad menggertakkan gerahamnya. Seandainya saja bisa. Bukan, aku sibuk meyakinkan tak kurang dari tiga puluh penyihir, warlock, shapeshifter, dan peri yang berpengaruh bahwa tentunya, putriku calon ketua Dewan, harus kutambahkan tidak melukai lebih dari selusin Prodigium tak berdosa sementara berusaha untuk melarikan diri dari sebuah kelab malam saat penggerebekan oleh L Occhio di Dio.
Aku tidak melukai mereka! seruku. Kemudian, aku ingat betapa kerasnya mereka terhempas ke dinding, dan berjengit. Yah, tidak secara sengaja, aku memperbaiki.
Dad menundukkan kepalanya dan mencubit pangkal hidungnya. Sialan, Sophia.
Maafkan aku, kataku dengan rasa bersalah. Sungguh. Aku mencoba untuk membantu mereka. Aku menjatuhkan semua Mata yang mengejar mereka.
Tidak, katanya, sambil menggelengkan kepalanya. Tidak, ini salahku. Seharusnya aku langsung menanganinya begitu kau datang. Dengan apa"
Ikuti aku. Kita punya urusan yang harus diselesaikan. Dia menyapukan lengannya seakan-akan aku seharusnya meninggalkan perpustakaan lebih dulu, tapi aku tetap diam di tempatku. Aku merasa benar-benar bingung dan kehilangan fokus. Kalau Mom marah kepadaku, dia hanya membentak dan selesai sudah.
Aku menelan ludah. Ke mana pun kita akan pergi, aku ingin Jenna juga ikut. Entah apa yang Dad rencanakan, kurasa itu sesuatu yang tidak ingin kuhadapi sendirian.
Tapi, Dad menyunggingkan senyuman samar yang misterius dan berkata, Kurasa Miss Talbot punya teman.
Dad ini bicara apa" Aku mengerti bahwa dia dan Victoria Stanford punya hubungan dekat selama Jenna berada di Savannah tahun lalu. Untungnya, Miss Stanford diberi beberapa minggu libur dari pekerjaannya untuk Dewan. Kupikir dia ingin menghabiskan sebagian waktunya di sini dengan Jenna.
Dad menerbangkan Vix kemari"
Dia kembali berputar ke jendela dan mengangguk ke arah sesuatu di luar. Penerbangannya tiba larut malam.
Aku menghampiri untuk berdiri di sampingnya. Di sana, di halaman depan, Jenna sedang berjalan bergandengan tangan dengan seorang gadis yang sangat pucat dan sangat cantik, kepala mereka berdekatan. Vix kelihatannya baru enam belas, tapi karena dia bekerja untuk Dewan, barangkali dia lebih tua dari itu. Salah satu keuntungan jadi vampir, kurasa. Jenna sedang tertawa.
Kerongkonganku terasa tercekat oleh perasaan sebagian turut gembira untuk Jenna, sebagian cemburu karena aku harus membaginya, dan sebagian lagi marah.
Aku ingat air muka Dad pada hari pertama itu, ketika Jenna melompat untuk membelaku, dan katanya Mrs. Casnoff menyebut kami apa"
Tim yang kompak. Langkah yang bagus, Dad, gerutuku.
Aku menyangka dia menyangkalnya, tapi ternyata dia berkata, Ya, menurutku juga begitu. Nah sekarang ikutlah.
Aku melemparkan pandangan sekali lagi kepada Jenna dan Vix, berharap bisa menarik perhatian Jenna dan melambaikan tangan, tapi dia tak pernah mendongak.
"RatuBuku Bab 17 Kupikir sudah mengenal dengan cukup baik tata letak Thorne Abbey, tapi sembari mengikuti Dad menyusuri koridor besar, kemudian lorong lain yang lebih sempit, dan akhirnya menaiki anak tangga, aku kembali kehilangan kiblat.
Akhirnya, Dad berhenti di bagian rumah yang kelihatannya tak pernah dipakai sejak Alice tinggal di sini. Perabotannya diselubungi kain penutup berat, dan selapis debu serta jelaga tebal menutupi potret-potret di tembok. Di hadapan kami, ada pintu berat yang terbuat dari jati. Ketika Dad mendorongnya sampai terbuka, aku separuh menyangka akan ada istri gila seseorang yang terkurung menerjang kami.
Tapi, saat aku memandang ruangan yang remang-remang itu, satusatunya orang yang kulihat hanyalah aku. Yah, banyak sekali aku. Hampir setiap senti persegi dari dindingnya ditutupi oleh berbagai jenis cermin: cermin besar berbingkai ukiran yang kelihatannya berbobot tiga kali lipat bobotku; cermin bundar kecil yang hanya memantulkan sebagian kecil diriku; cermin tua, begitu kusam dan berbintik-bintik sehingga aku hampir tidak bisa melihat apa-apa di dalamnya.
Dad melintasi ruangan untuk membuka beberapa gorden beledu. Tapi, ketika dia menyentakkannya, kain itu terjatuh dari jendela dan rusak menggunduk. Oh, biarlah, katanya, sambil mengangkat matanya untuk memandangku. Aku yakin kau bertanya-tanya mengapa aku membawamu kemari.
Aku pindah ke tengah ruangan, sandal bertaliku berkeletak di atas lantai marmer. Aku menduga di sinilah bagian hukumannya datang, kataku. Jadi, apakah aku harus membersihkan semua cermin ini, atau apakah aku harus, misalnya, menatap diriku sampai aku merasa malu atas sesuatu"
Anehnya, Dad tersenyum kecil. Tidak, tidak seabstrak itu. Aku ingin kau memecahkan salah satu cermin itu.
Maaf" Dad bersandar ke jendela yang sekarang tidak bergorden dan melipat lengannya di dada. Pecahkan cermin, Sophie.
Dengan apa, kepalaku" Karena aku sangat yakin itu pasti hukuman jasmani, dan Mom tidak akan senang mendengarnya. Dengan kekuatanmu.
Ya ampun. Aku memandang lusinan cermin itu dan menggerutu. Kurasa aku lebih suka menggunakan kepalaku. Ketika Dad tidak mengatakan apa-apa, aku menghela napas dan berputar sampai berhadapan dengannya. Baiklah kalau begitu. Yang mana" Dia menggerakkan bahu. Yang mana saja. Pilih saja satu. Aku memandang cermin-cermin di dinding. Salah satu cermin yang lebih besar mungkin jadi sasaran yang lebih mudah. Tapi, kalau benda itu tak dapat dihindarkan lagi pecah ke mana-mana, akan ada serpihan kaca berterbangan tak terhitung banyaknya yang harus dipikirkan. Sebaiknya aku memilih yang lebih sulit dibidik, tapi yang mengakibatkan lebih sedikit dikuliti dan nyeri.
Aku memilih sebuah cermin tepat di sebelah kiri Dad. Ukurannya kira-kira sebesar tanganku, dan aku memusatkan konsentrasiku kepada cermin itu. Pecah.
Suaranya nyaris memekakkan telinga saat setiap cermin di ruangan itu meledak keluar menjadi hujan berkilauan. Aku menjerit dan mengangkat tanganku, tapi kaca itu tidak pernah menyentuhku. Kaca itu membeku sekitar lima senti dari wajahku, melayang di sana selama sedetik, cukup lama sehingga aku bisa melihat mataku yang membelalak ketakutan di dalam ribuan serpihan cemerlang. Kemudian, serpihan-serpihan itu mulai bergerak mundur ke arah bingka-bingkai kosong. Ada suara bagaikan gelembung raksasa meletus, dan mendadak cermin-cermin itu kembali utuh.
Aku berputar. Dad masih berdiri di jendela, tapi dia sedang mengulurkan tangannya, dan ada kilapan keringat di wajahnya. Sewaktu dia menjatuhkan tangannya, Dad terhenyak ke tempat duduk di dekat jendela dan menarik napas dalam.
Maafkan aku! semburku. Sudah kubilang, aku payah dalam hal ini. Rasanya setiap kali aku mencoba merapal mantra, hasilnya besar dan menakutkan serta meledak-ledak, dan
Dad mengusap keningnya. Tidak, Sophie, tidak apa-apa. Memang itulah yang kuharap akan kau lakukan.
Dad berharap aku akan bunuh diri dengan cermin"
Dad tertawa, tetapi kedengarannya seperti dipaksakan. Tidak, aku berharap melihat betapa kuatnya kau sebenarnya. Matanya berbinar-binar, dan ada sesuatu yang sepertinya kebanggaan di sana. Kau melebihi harapanku.
Baiklah, hore, kataku. Senang sekali ternyata keterampilanku dalam meledakkan membuatmu terkesan, Dad.
Kesinisanmu Aku tahu, aku tahu, merupakan kualitas yang tidak menarik pada diri wanita muda .
Tapi, Dad nyengir dan mendadak tampak jauh lebih muda dan tidak terlalu mirip dengan lelaki yang terbiasa menyetrika dasinya. Sebenarnya, aku hendak mengatakan itu pasti kau dapatkan dari aku. Grace selalu membenci komentar-komentar sinisku.
Oh, aku tahu, jawabku tanpa pikir panjang. Aku menghabiskan sebagian besar kelas tujuhku dengan dihukum karenanya. Dad mendengus. Dia pernah menurunkan aku di pinggir jalan di Skotlandia karena aku membuat candaan yang sama sekali tidak sengaja tentang keterampilannya membaca peta. Sungguh"
Mm-hmm. Harus berjalan hampir lima kilometer sebelum dia berhenti untuk membiarkan aku naik lagi.
Mom itu berat. Sesaat kami saling tersenyum. Dad kemudian mendeham dan memalingkan wajahnya. Pokoknya, kekuatanmu benar-benar mengesankan, tapi yang kurang darimu adalah kendali. Ya, kurang lebih aku juga sudah tahu itu.
Dad mendorong dirinya menjauh dari jendela. Alice mengajarkan mantra-mantra kepadamu. Itu bukan pertanyaan.
Aku juga payah dalam mempelajari mantra-mantra itu, kataku, sambil tidak memandangnya. Elodie bisa menguasainya dengan jauh lebih cepat daripada aku.
Dad mengamatiku lekat-lekat selama sedetik sebelum berkata, Kata Cal, kau menggunakan mantra berpindah untuk mendekat ke Alice secukupnya agar bisa membunuhnya.
Cal bermulut besar, gerutuku. Benarkah" tanyanya.
Ya, kataku, tapi secara harfiah aku hanya bergerak sekitar satu setengah meter. Sama sekali tidak mengesankan. Seperti kataku, Elodie bisa menguasainya jauh lebih cepat daripada diriku. Tapi, Elodie penyihir, kata Dad. Memusatkan kekuatannya pasti jauh lebih mudah baginya.
Apa maksud Dad" Membandingkan kekuatanmu dengan kekuatan Elodie itu bagaikan membandingkan geiser dengan pistol-pistolan air. Sihirmu jauh lebih besar daripada sihirnya, tapi... katakanlah, sulit dipakai. Tambahkan itu ke dalam tekanan emosional yang kau derita di Hecate, dan tidak heran kalau mantra-mantramu punya kecenderungan jadi apa katamu tadi" Meledak-ledak"
Aku menggelengkan kepala. Tapi, mantra-mantraku sudah payah bahkan sebelum aku sekolah di Hex Hall. Dad ingat guru yang kehilangan ingatannya" Atau, bencana prom"
Masalahnya sama, jawab Dad. Kekuatan luar biasa besarnya, tapi tak tahu bagaimana cara mengendalikannya. Semakin ini membuat kau marah dan takut, semakin sulit kekuatanmu dikendalikan. Dia melangkah melintasi ruangan dan meraih tanganku. Seperti dengan Daisy dan Nick, aku bisa merasakan kekuatannya bergulung-gulung melalui pembuluh darahnya. Aku menghabiskan bertahun-tahun merasakan seperti itu, Sophie.
Benarkah" suaraku nyaris tak lebih dari bisikan. Dad mengangguk. Aku tak lebih tua darimu ketika ibuku... Kalimatnya tidak selesai, dan jari-jarinya secara refleks mengencang memegangku. Setelah kematian ayahku, dia melanjutkan, aku pasti sudah melucuti kekuatanku dengan tangan kosong kalau aku bisa. Sepertimu, aku menolak untuk menggunakan sihir lagi karena memakai sihir membuatku sangat ketakutan.
Aku belum benar-benar memikirkan itu. Bagaimana rasanya bagimu. Aku mencoba untuk membayangkan bagaimana perasaanku kalau bukan Alice membunuh Elodie, melainkan ayahku membunuh ibuku, tapi pemikiran itu terlalu menyakitkan bahkan untuk dibayangkan. Jadi, apa yang membuat pikiran Dad berubah tentang kekuatanmu" Dad menghela napas dan menyunggingkan senyuman sedih samar. Ceritanya panjang. Pokoknya, intinya akhirnya aku belajar bagaimana cara untuk mengendalikan kekuatanku sampai tingkat presisi. Contohnya
Dia mengangkat satu tangan berjemari panjang dan menunjuk cermin paling kecil yang ada di ruangan itu, sepetak kaca perak persegi yang tinggi sekitar lima senti yang bahkan aku pun belum melihatnya. Pecah, katanya dengan suara rendah. Aku berjengit, tapi hanya retakan setipis rambut yang merambat dipermukaan cermin.
Baiklah, kataku lambat-lambat, itu sangat tidak meledak-ledak. Jadi, bagaimana cara Dad melakukannya"
Dad menjatuhkan tangannya dan kembali menghadap aku. Gabungan dari beberapa hal. Konsentrasi, bernapas dalam-dalam... Yoga ala demon" Aku menebak, dan dia terkekeh. Semacam itu. Cara terbaik yang kujelaskan adalah dengan mengatakan bahwa kau dan aku Daisy dan Nick, Alice, dan ibuku kita punya kekuatan para dewa, tapi dengan tubuh, jiwa dan otak manusia. Kedua bagian dari kita harus bekerjasama, kalau tidak maka sihirnya akan menjadi terlalu besar.
Dan, kita jadi kacau. Seperti Alice.
Dad mengangguk. Kurang lebih. Sekarang, cobalah memecahkan cermin lagi, tapi kali ini, pusatkanlah perhatian lebih banyak kepada sisi manusiamu dan bukannya bagian demon-mu.
Eh... bagaimana cara aku bisa melakukannya"
Dad melepaskan kaca matanya dan mulai membersihkannya dengan saputangan dari saku depannya. Ada beberapa cara. Kau bisa memikirkan kenangan dari masa sebelum kau mendapatkan kekuatan. atau, memusatkan perhatian kepada satu waktu ketika kau merasakan emosi manusia yang paling kuat: cemburu, ketakutan, cinta... Apa yang Dad pikirkan"
Sambil meletakkan kembali kacamata di hidungnya, dia menjawab, Ibumu.
Oh. Yah, kalau itu berhasil untuknya, mungkin itu juga bisa berhasil untukku. Aku memilih cermin lain, yang ini berukuran sedang dan berbingkai yang terdiri dari kerubi-kerubian kecil bersepuh. Aku merasakan kekuatanku menggelontor naik dari kakiku, tetapi bukannya melepaskannya seperti yang biasanya kulakukan, aku menarik napas dalam dan membayangkan wajah Mom. Itu kenangan dari setahun yang lalu, tepat sebelum semuanya kacau-balau bagi kami di Vermont. Kami sedang memilih gaun prom-ku, dan Mom sedang tersenyum, mata hijaunya berbinar-binar.
Hampir seketika itu juga, detak jantungku melambat, dan aku merasakan sihir bergerak naik dengan lebih perlahan. Ketika akhirnya kekuatan itu mencapai ujung jariku, aku memusatkan perhatian kepada cermin itu, sambil tetap menjaga wajah Mom di dalam benakku. Pecah.
Cermin itu dan yang di kedua sisinya hancur, serpihan-serpihan kecil menghujani lantai berdebu. Walau begitu, hanya ketiga cermin itu saja yang pecah. Dan, ledakkannya jauh lebih pelan. Ya ampun! desahku. Senyuman bodoh terkembang di wajahku, dan aku menyadari untuk pertama kalinya aku merasakan mabuk sihir selama berbulanbulan.
Jauh lebih baik, kata Dad, sambil melambaikan tangannya. Dalam beberapa detik, cermin-cermin itu sudah betul lagi. Tentu saja, semakin banyak berlatih, maka kau akan semakin baik. Dan, semakin baik kau mengendalikan kekuatanmu, semakin kecil kemungkinan kau akan melukai seseorang.
Sekarang perasaan euforia itu berubah menjadi getar perasaan yang menggelisahkan. Jadi, menurut Dad kalau aku menguasai tai chi sihir ini, aku bisa tidak menjadi seperti... seperti Alice"
Menurutku itu sangat mengurangi peluangnya, ya. Sudah kubilang, Sophie. Kau punya lebih banyak pilihan daripada Pemunahan. Karena tak bisa memikirkan apa-apa untuk diucapkan, aku hanya mengangguk dan mengelap tanganku yang mendadak berkeringat ke paha. Berlatih menarik napas dalam-dalam dan membayangkan orangorang yang kucintai tampaknya jauh lebih baik daripada membiarkan rune sihir dirajah ke kulitku, tapi terlalu sulit untuk dipercaya bahwa akan semudah ini.
Tentu saja, pilihan ada di tanganmu, dan kau tak harus memutuskan apa-apa hari ini, kata Dad, Tapi tetap saja, hanya... katakanlah kau akan mempertimbangkannya.
Ya, jawabku, tapi suara yang keluar kedengarannya agak melengking. Aku mendeham. Ya, kataku lagi. Tentu saja aku akan mempertimbangkannya.
Aku menyangka Dad akan melakukan gerakan tangkasnya dan mengatakan sesuatu seperti, Sempurna. Aku akan menunggu dengan gelisah pengumumanmu tentang masalah besar. Sebaliknya, dia hanya kelihatan lega dan berkata, Bagus.
Karena menyangka kami sudah selesai, aku berjalan ke arah pintu,tapi Dad melangkah di depannya. Kita belum selesai.
Aku berkedip menatapnya, terkejut. Aku bisa mencoba memecahkan beberapa cermin lagi kalau kau menginginkannya, Dad, tapi rasanya aku agak terkuras. Antara semalam dan hari ini, banyak sihir yang sudah beterbangan di sekitarku, dan
Dia menggelengkan kepala. Tidak, bukan itu. Ada satu masalah lagi yang harus kita diskusikan.
Aku tidak perlu indra cenayang baruku untuk mengetahui bahwa ada kabar buruk yang hendak kudengar. Apa"
Dad menarik napas dalam-dalam dan melipat lengannya. Aku ingin kau menceritakan tentang Archer Cross.
"RatuBuku Bab 18 Aku menghentikan diri tepat sebelum merogoh sakuku, tapi rasanya seakan-akan kepingan yang itu sedang membakar sebuah lubang di sana. Benakku terbang ke jutaan arah yang berbeda. Bagaimana Dad bisa tahu bahwa Archer ada di sana semalam" Apakah dia tahu aku menerima kepingan uang ini" Kata Archer, dia akan menggunakan itu untuk menemukanku. Mungkin Dad ingin memakainya untuk memancingnya kemari.
Tapi, sebelum aku mengalami gangguan saraf, Dad berkata, Aku tahu tidak enak rasanya membicarakannya tapi penting sekali aku bisa memahami lebih jelas lagi apa yang terjadi semester lalu. Oh, aku mengembuskan napas, sambil berharap kedengarannya tidak terlalu mirip dengan desahan lega. Sudah kubilang, Mrs. Casnoff menyuruhku menuliskan pernyataan kepada Dewan beberapa minggu lalu setelah peristiwa itu terjadi. Semuanya ada di sana. Aku sudah membacanya. Dan, baik aku maupun anggota Dewan lainnya, tak ada yang percaya bahwa pernyataan itu berisi seluruh kebenaran.
Aku mengeluarkan bunyi yang sangat ingin kusebutkan sebagai ungkapan kemarahan, tetapi sebenarnya kedengarannya lebih mirip mengembik. Mungkin karena Dad benar: pernyataan tolol itu bahkan sama sekali tidak mendekati kebenaran yang sesungguhnya. Keterlibatanmu dengan Archer Cross
Kami tidak pernah terlibat, semburku.
Dengarkan aku! bentak Dad, dan aku menutup mulutku dengan suara klik nyaring. Dia memelankan suaranya sambil melajutkan. Apakah kau melihat Archer di Shelley s semalam"
Hanya untuk sedetik, terpikir olehku untuk berbohong. Tapi, ada sesuatu pada cara Dad mengamatiku yang menunjukkan bahwa dia sudah tahu jawabannya. Berbohong, maka semua ini akan jadi semakin buruk saja.
Hanya sebentar. Aku mengucapkan kata-kata itu dengan terburuburu, seolah-olah semakin cepat aku mengeluarkannya, maka semakin mudah jadinya. Tapi, Dad, dia melindungi aku dari anggota Mata yang lain. Dia bisa saja menyerahkan aku kepada mereka, atau membunuhku dengan tangannya sendiri, tapi tidak. Dan, kurasa ada yang janggal dengan kenyataan bahwa dia Mata, karena dia masih menggunakan sihir
Dad menyambar pundakku. Cengkeramannya sama sekali tidak kencang, dan dia juga tidak mengguncangkan aku atau semacamnya, tapi ada sesuatu di dalam tatapannya yang membuat kata-kata mengering di kerongkonganku.
Kau tidak pernah boleh bertemu dengannya lagi. Aku mengatakan ini baik sebagai ayahmu dan sebagai ketua Dewan. Tidak berhubungan dengan Archer Cross itu penting sekali.
Aku tahu semua itu. Tapi, mendengarnya benar-benar diucapkan kepadamu rasanya bagaikan mendapatkan luka fisik. Aku mengerti, kataku, sambil menunduk. Aku demon, dia Mata. Kalau kami bersama, kurasa betapa akan kikuknya liburan keluarga nantinya. Sihir dan belati beterbangan ke mana-mana, menjatuhkan pohon Natal... Dad tidak tersenyum mendengar banyolanku, tapi aku tak bisa menyalahkannya. Kupikir kenyataan bahwa aku mengucapkan katakatanya dengan suara tercekat memusnahkan sebagian dari humornya.
Lebih dari sekadar itu, kata Dad, sambil melepaskan aku dan melangkah mundur. Dia menghela napas. Sophie, Archer Cross mungkin ancaman terbesar yang pernah dihadapi Prodigium. Aku menatapnya. Baiklah, aku tahu bahwa Mata membuat semua orang ketakutan, tapi aku melihat mereka beraksi semalam, Dad. Mereka tidak semenakutkan itu, dan Archer salah satu anggota yang lebih muda.
Ya, tapi dia juga seorang warlock. Di masa lalu, Mata menggunakan elemen kejutan dan jumlah yang besar untuk memburu kita, mirip dengan yang kau saksikan semalam. Tapi, jika mereka juga mampu menggunakan sihir" Kita akan kehilangan satu-satunya keunggulan yang kita miliki. Gagasan L Occhio di Dio bisa merekrut salah satu dari kaum kita itu mengerikan bagi Prodigium. Itulah sebabnya Archer Cross harus ditemukan, dan dibereskan. Maksud Dad dibunuh, kataku dengan datar. Kalau itu merupakan keputusan Dewan.
Aku berjalan menghampiri jendela terdekat. Jendela itu melengkung karena tuanya, mengacaukan pemandangan ke arah taman lain. Yang ini tidak sebagus taman-taman lainnya. Air mancurnya dilapisi lumut, dan salah satu bangku batunya terbelah dua.
Dad berdiri di sebelahku. Di kaca, aku melihat tangannya teracung di atas pundakku sebelum akhirnya turun di sisi tubuhnya. Sophie, aku tahu ini sulit untuk dipahami, tapi ini masa-masa yang sangat berbahaya untuk kita. Ketika kita tiba, kau bertanya mengapa Dewan ada di Thorne Abbey dan bukannya di London.
Kata Lara, ada beberapa kejadian yang di luar dugaan , kataku tanpa menoleh.
Tatapannya bertemu pandang denganku, wajah kami bergelombang. Ya. Tepatnya, L Occhio di Dio membakar Markas Besar Dewan sampai musnah dua bulan yang lalu.
Sekarang barulah aku berputar. Apa" Itulah sebabnya hanya ada lima anggota Dewan di Thorne. Ketujuh lainnya tewas dalam serangan itu.
Walaupun aku tidak mengenal anggota Dewan mana pun, aku merasa kata-katanya bagaikan jotosan di ulu hatiku. Aku tak bisa berpikir mau bicara apa selain, Mengapa kami tidak mendengar ini di Hecate"
Dad memalingkan wajahnya dariku dan berjalan menghampiri salah satu kursi beledu dan bersepuh yang berderet di tembok. Dia menghela napas sambil menjatuhkan diri ke atasnya. Karena kami bekerja dengan sekuat tenaga untuk merahasiakan pengetahuan itu. Kalau sampai bocor, maka akan menimbulkan kepanikan, dan kita sama sekali tak sanggup menanggungnya saat ini.
Dia kembali menatapku. Bisakah aku sangat berterus terang padamu, Sophie"
Itu perubahan yang menyenangkan, aku menimbang-nimbang untuk mengatakannya. Tapi, aku melihat pundaknya yang merosot, ketakutan yang amat sangat diwajahnya. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku mengangguk. Silahkan.
Apakah kau ingat perang yang kita bicarakan antara Mata dan Prodiguim" Sepertinya kita berada di tepian perang lain, tapi yang punya potensi menjadi jauh, jauh lebih buruk. Mata tidak menyerang Markas Besar Dewan dengan sendirinya. Mereka mendapatkan bantuan dari keluarga Brannick. Dia berhenti sejenak, matanya mencari-cari di wajahku. Apakah kau tahu tentang keluarga Brannick"
Gadis-gadis Irlandia, rambut merah, jawabku sambil mengingatingat gambar dari ceramah Mrs. Casnoff tentang Orang-orang yang Ingin Memusnahkan Kita Semua di Hex Hall tahun lalu. Aku juga ingat Mrs. Casnoff mengatakan bahwa kalau keluarga Brannick dan Mata bersekutu, maka tamat sudah riwayat kami. Mereka itu penyihir putih, bukan" tanyaku.
Keturunan penyihir putih, ya. Mereka sudah tidak punya kekuatan itu lagi, tidak juga. Mereka bisa sembuh lebih cepat daripada manusia biasa, dan masih ada sisa-sisa sihir aneh yang muncul pada beberapa di antara mereka. Telekinesis ringan, peramalan, semacam itulah. Jumlah mereka berkurang dari tahun ke tahun, tapi mereka punya pemimpin baru, Aislinn Brannick. Rupanya, dia jauh lebih ambisius daripada para pendahulunya. Dan, sekarang kelihatannya dia sudah merangkul Mata.
Getaran sihirku sudah sama sekali lenyap sekarang dan aku menyandarkan diri ke bingkai jendela. Kenapa" Maksudku, perubahan apa yang membuat mereka bersatu dan jadi serius dalam membunuhi kita"
Nick dan Daisy, katanya dengan datar. Kabar bahwa seseorang mulai membangkitkan demon untuk pertama kalinya dalam waktu kurun waktu enam puluh tahun membuat mereka gelisah. Tapi, tentu saja, sebagian besar Prodigium sama tertekannya sehingga salah satu dari kaum kita menjadi bagian dari jajaran mereka. Seluruh situasi ini.... yah, aku khawatir berat saja belum mendekatilah. Mudah tersulut, katakanlah begitu. Dia bangkit, menghampiri untuk berdiri di depanku lagi. Sophie, apakah kau paham sekarang mengapa aku akan melakukan apa saja untuk meyakinkanmu agar tidak melakukan Pemunahan"
Bagus. Lebih banyak lagi tentang tugasku, dan tanggung jawab besar yang berasal dari memiliki kekuatan mahabesar dan semua itu. Tentu, kataku, mencoba untuk menyingkirkan kepahitan dari suaraku. Seperti yang Dad katakan tempo hari tentang Alice: demon bisa menjadi senjata yang luar biasa menakjubkan, dan kalau ada perang besar yang akan terjadi, kalian akan membutuhkan aku, bukan begitu"
Dad menatapku dengan tajam, berkerut kening, dan aku mengalihkan tatapanku darinya, sambil menggigit bagian dalam pipiku. Tidak, katanya akhirnya. Sama sekali bukan itu. Dad menyentuh pundakku sampai aku menatapnya lagi, Sophie, aku takkan pernah menggunakanmu sebagai senjata. Aku ingin kau memiliki kekuatanmu agar kau bisa aman. Memikirkanmu tak berdaya melawan Mata dan keluarga Brannick" suaranya bergetar saat mengucapkan kata terakhir. Dad mendeham. Itu membuatku sangat ketakutan. Aku mengerjap karena mendadak mataku terasa disengat. Tapi, kalau aku menjalani Pemunahan, mereka tidak akan mengejarngejarku lagi, bukan" Aku tak bermaksud membuatnya terdengar mirip permohonan.
Dad menggeleng. Tidak masalah apakah kau punya kekuatan atau tidak. Kau tetap putriku. Setidaknya dengan kekuatanmu, kau bisa membela dirimu sendiri.
Tanganku gemetar, jadi aku membenamkannya ke dalam sakuku. Jarijariku menyapu kepingan emas itu, dan aku tersentak seakan-akan benda itu membakarku. Dad melirik ke bawah, dan dengan cepat aku berkata, Mengapa Dad tidak mengatakannya terus terang dari dulu" Matanya menatap mataku. Mengapa kau tidak menceritakan yang sebenarnya tentang dirimu dengan Archer"
Kami hanya teman, kataku. Berapa kali aku harus mengatakannya" Sewaktu Dad tidak mengatakan apa-apa, aku memutar mataku. Baiklah, aku memang menyukainya. Aku naksir dia, dan Aku tak yakin apakah bara di wajahku berasal dari rasa malu atau amarah. Dan, ya, kami berciuman sekali. Tapi, itu hanya sekali, dan sekitar sepuluh detik setelahnya, aku mengetahui bahwa dia Mata. Dad mengangguk. Dan hanya itu. Itu seluruh ceritanya. Mengapa oh mengapa tidak ada lubang raksasa di lantai yang bisa membuatku terjatuh, lebih disukai sampai mati saja" Ya, hanya itu. Nah, itu sesuatu, kata Dad, sambil mengusapkan tangan ke rambutnya. Pada satu titik, aku ingin kau menambahkan itu ke dalam pernyataan aslimu.
Kami terdiam untuk waktu yang lama sekali sebelum aku mengusapkan telapak tanganku yang berkeringat dan berkata, Apa ada hal mengerikan lagi yang terjadi yang perlu kuketahui"
Dad tertawa tanpa terhibur sambil menggiringku ke arah pintu. Aku percaya kau sudah tahu semua horor yang ada saat ini. Pernyataan lain tiba-tiba muncul di benakku. Bagaimana dengan Nick dan Daisy, Dad" Aku tahu kau bilang kau tak ingin menggunakan aku sebagai senjata, tapi
Tidak pernah. Suaranya pelan tapi sekeras baja. Apa yang dilakukan terhadap mereka merupakan kejahatan, dan siapa pun yang melakukannya bertanggung jawab terhadap situasi genting yang merundung kita sekarang. Itulah sebabnya menemukan siapa yang mengubah mereka itu begitu penting.
Kami berhenti sejenak di bordes. Apa maksud Dad" Ada satu dan lain cara untuk menyingkirkan demon dari kekuatannya di samping Pemunahan. Yaitu, orang yang melakukan ritual tersebut harus mengembalikannya. Tentu saja, sudah terlalu terlambat untuk kita berdua, karena kita generasi demon ketiga dan keempat, dan pencipta kita sudah lama meninggal. Tapi, masih mungkin dilakukan bagi Nick dan Daisy.
Aku memikirkan mereka selamam, begitu nelangsa, menceritakan sihir yang berdentum-dentum di dalam kepala mereka. Mereka pasti senang.
Aku tahu, jawab Dad. Dan aku juga berharap dengan melakukan itu mereka akan... yah, kalau tidak menenangkan Mata, setidaknya menghilangkan sebagian dari dorongan mereka.
Aku menatap Dad, maksudku, benar-benar menatapnya. Jasnya mungkin satu ukuran terlalu besar, dan ada kerutan di dalam, seperti tanda kurung, di kedua sisi mulutnya. Dia pria tampan, tentu saja, tapi dia tampak lebih letih daripada yang kubayangkan mungkin bisa orang rasakan.
Begini, kataku. Jangan terlalu bersemangat atau apalah, tapi mungkin... mungkin kita bisa melakukan ini lagi besok. Dad tahu, melakukan yoga demon.
Di suatu tempat di dalam rumah, beberapa jam mulai berdentang. Jam-jam itu berbunyi tiga kali sebelum Dad berkata, Aku akan senang sekali.
Kami berjalan menuruni tangga tanpa bicara. Dan, setelah membuat rencana untuk bertemu aku pada saat pergi ke kamarku untuk memeriksa surat elekronik.
Ada jawaban dari Mrs. Casnoff, tapi isinya hanya: Terima kasih karena sudah memberi tahu aku.
Aku bersandar di kursiku dan meletakkan lengan depan yang disilangkan di puncak kepala. Dia sama sekali tidak kelihatan khawatir. Akan tetapi, itu bagus. Apalagi karena hal terakhir yang ku butuhkan adalah hantu Elodie yang berkeliaran. Aku sudah punya banyak masalah.
Kepingan uang emas terasa berat di telapak tanganku saat aku mengeluarkannya dari saku. Aku mengamatinya berlama-lama sebelum berdiri dan menyelipkannya ke dalam nakasku.
"RatuBuku Bab 19 Sore itu, aku mencari Jenna. Tidak sulit menemukannya: dia dan Vix masih duduk-duduk di taman. Saat aku mendekat, sambil memayungi mataku dari sinar matahari yang terang, mereka sedang duduk berdampingan di tepi air mancur, pundak mereka berdampingan, kaki telanjang tercelup di air. Aku separuh menyangka akan melihat jantung hati kartun melayang-layang di atas kepala mereka. Hai, seruku, sambil melambaikan tangan dengan payah. Jenna menoleh memandangku. Di situ kau rupanya! serunya, matanya berbinar-binar dan pipinya merona. Dari mana saja kau sepagian" Aku menendang sandalku sampai terlepas dan duduk di sisi Jenna yang satunya. Air di dalam air mancur cukup dingin sampai aku berjengit. Sebagian besarnya bersama ayahku. Tahulah kau, saling mengenal lebih jauh antara ayah dan anak.
Ayahmu itu orang baik, kata Vix, sambil mencondongkan tubuhnya dari balik Jenna. Suaranya rendah seperti suara Jenna, suaranya mengandung sedikit sentuhan Selatan. Dia sangat cantik dengan mata lebar berwarna hijau dan rambut cokelat bak sutra. Pantas saja Jenna jatuh hati.
Yah, dia sudah pasti orang yang paling kusukai di muka bumi saat ini, kata Jenna sambil mengulurkan tangannya dan meremas tangan Vix. Dia keren bukan, sampai menerbangkan Vix kemari" Keren sekali, jawabku sambil menggumam. Aku ingin tahu apakah bahkan terpikir oleh Jenna bahwa Dad membawa Vix kemari untuk mengalihkan perhatiannya. Sesuatu pada tatapan berbunga-bunga di mata Jenna mengatakan jawabannya tidak. Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu, kataku kepada Vix. Jenna tak hentihentinya bercerita tentang dirimu.
Dia tertawa. Sama, dia juga terus bercerita tentangmu. Dan tentu saja, ayahmu selalu membicarakanmu, jadi berkat dia dan Jenna, rasanya aku seakan-akan sudah mengenalmu.
Ya ampun, pertama Cal, kemudian Lara dan anggota Dewan lainnya, sekarang Vix. Apakah Dad punya blog tentangku atau semacamnya" Putriku Sophie, dan Mengapa Kalian Semua Harus Mengikutinya dan Menikah Dengannya.
Jadi, apa yang kau dan ayahmu lakukan" tanya Jenna. Aku bimbang, tapi Vix menarik kakinya dari air. Sambil memegang pinggiran kolam air mancur dia berputar sampai menghadap ke arah sebaliknya. Kurasa aku akan membongkar bawaanku, katanya. Aku begitu senang karena bertemu Jenna lagi sehingga aku hanya melemparkan koperku ke kamar. Dia nyengir, dua lesung pipit muncul di pipi pink-nya. Aku melihat batu darah di lehernya, berkilauan diterpa sinar matahari. Cari aku nanti" tanyanya kepada Jenna. Baiklah, jawab Jenna sebelum mencondongkan tubuhnya dengan malu-malu dan mengecup bibir Vix sekilas.
Kami memperhatikan Vix yang praktis melompat kembali ke rumah. Aku menyenggol Jenna dengan pundakku. Pacarmu saaaaangat cantik.
Jenna kembali menoleh padaku, wajahnya berseri-seri. Aku tahu! pekiknya, dan kami berdua tertawa.
Saat tawa kami berhenti, Jenna menyibakkan rambut yang menutupi matanya dan berkata, Baiklah, jadi ada beberapa pikiran berat yang berseliweran di kepala itu, Sophia Alice Mercer. Ada apa" Pertanyaan yang lebih baik adalah apa yang tidak ada, kataku. Keadaan semakin... berat dengan Mata.
Jenna memandangku. Seberapa beratnya"
Aku menghela napas dan menendangkan satu kaki, membuat air tersembur melengkung. Aku tak ingin menceritakan kepadanya tentang Markas Besar Dewan, atau anggota Dewan yang tewas. Rupanya itu rahasia besar sampai-sampai Vix juga tidak mengetahuinya, padahal dia bekerja untuk Dewan sialan itu. Cukup berat sampai-sampai Dad sangat, sangat tidak ingin aku menjalani Pemunahan, aku menggerakkan jari-jariku kepadanya. Rupanya kekuatan demon mungkin berguna kalau ada segerombolan orang yang memutuskan untuk membunuhku.
Jangan katakan itu, kata Jenna dengan tajam.
Maaf, jawabku, sambil meletakkan tangan di lengannya. Aku cuma... aku benar-benar ketakutan.
Air mukanya melembut dan dia menggenggam jari tanganku. Aku tahu. Bercanda tentang kematian menunjukkan itu. Tapi, Soph, tolong katakan ini artinya kau tidak akan menjalani Pemunahan. Aku harus memalingkan wajah saat bayangan lain tentang Alice yang merunduk di samping Elodie memenuhi otakku, cakar-cakar peraknya menusuk leher Elodie. Tapi kemudian, aku membayangkan wajah Dad, begitu sedih dan ketakutan. Mengkhawatirkanku.
Sambil memicingkan mata memandang puncak air mancur, aku menarik napas panjang dan mengenang malam pertamaku di Hecate, cekikikan dengan Jenna di kamar kami. Aku menyentakkan tanganku, dan mendadak airnya berubah menjadi pink cerah. Tidak, kataku. Kalau aku tidak punya kekuatan, bagaimana aku bisa melakukan hal-hal keren seperti itu"
Aku ingin membuat Jenna tersenyum. Dan dia memang tersenyum, tapi sangat lemah, dan ada air di matanya saat dia mengulurkan tangan dan memelukku. Hore.
Hore, timpalku, sambil balas memeluknya.
Setelah melepaskan pelukannya, Jenna meraup rambut dari lehernya dengan kedua tangannya dan memiringkan kepalanya ke belakang, matanya terpejam. Apakah ayahmu mengatakan sesuatu tentang Nick dan Daisy"
Dia aku sudah mulai bicara. Kemudian. Aku menangkap kelebatan dari sudut mataku, dan sesuatu mendarat di dalam air mancur dengan suara cipratan nyaring, membuat aku dan Jenna basah kuyup oleh gelombang air berwarna pink.
Nick menyembul, sambil mengibaskan kepalanya ke belakang dan menyipratkan tetesan air ke mana-mana. Kalau demon dan vampir yang dua-duanya menatapnya dengan tatapan Apa-apaan kau, Bung" serupa membuatnya risih, dia tidak menampakkannya. Sebagai gantinya, dia menyunggingkan cengiran mengerikan yang biasanya lalu bertanya, Apakah salah satu dari kalian nona-nona menyebut-nyebut namaku"
Ya, kataku, sambil memelototinya sementara memeras air dari rambutku. Kami baru saja berkata, Wah, seandainya saja Nick akan melemparkan dirinya ke dalam kolam air mancur seperti orang sinting kurang kerjaan dan merusak baju kami. Jadi terima kasih untuk itu. Sophie benar, kata Daisy, sambil mendekat dan berdiri di samping air mancur. Rupanya, di mana pun Nick berada, gadis itu berada tepat di belakangnya. Katakan aku menyesal. Kata-katanya bisa jadi lebih tegas kalau saja ia tidak memandang Nick seakan-akan pemuda itu sesuatu yang lezat untuk dilahap. Ya Tuhan, mereka ajaib. Nick mengarungi air sampai berdiri tepat di hadapan aku dan Jenna. Sebenarnya untuk itulah aku datang kemari, Sayang, katanya kepada Daisy. Sophie, aku bersikap seperti orang berengsek kepadamu kemarin.
Dia tidak benar mengatakan berengsek , tapi kata lain yang lebih akurat. Aku hanya menaikkan alisku dan menunggunya untuk melanjutkan.
Aku mendengar semua gosip tentangmu dan cowok Cross itu, dan aku mendapat kesan yang keliru. Tapi, caramu melumpuhkan Mata semalam... Dia menggeleng. Aku keliru tentangmu. Dan kuharap kita bisa mulai dari awal lagi sebagai teman.
Dia menyodorkan tangan kepadaku. Aku bimbang sebelum menerimanya. Ada sesuatu pada diri Nick yang membuatku merasa seakan berada di dekat hewan liar. Dia sedang terseyum dengan ramah sekarang, tapi rasanya sewaktu-waktu dia bisa saja berubah menyeringai dan menakutkan lagi. Itu mengingatkan aku kepada... yah, Alice.
Walau begitu, aku menyambut tangannya, bermaksud untuk menjabatnya. Tapi, begitu kami bersentuhan, aku merasakan sihir berderak menjalari dan menembus diriku, begitu kuatnya sehingga aku mencoba menyentakkan tanganku lagi. Tapi, dia terus memegangnya dengan erat sampai, akhirnya, sensasi itu berhenti. Tanganku bergeser terlepas dari genggamanya, dan aku melompat dari kolam air mancur. Apa-apaan "
Kemudian, aku menunduk dan menyadari bahwa aku sudah kering. Bukan hanya itu, tapi gaun hitamku yang sopan telah berubah menjadi... yah, gaun hitam lain, tapi yang ini lebih pendek, lebih berkelip, dan juga berpotongan keren dengan belahan dada sangat rendah. Bahkan rambutku pun berbeda, berubah dari kepangan lepek menjadi cokelat bergelombang bagaikan sutra.
Nick mengejapkan matanya. Begitu lebih baik. Sekarang kau lebih kelihatan seperti demon yang akan menjadi ratu. Dia mengangkat dirinya keluar dari air dan menyambar tangan Jenna. Dalam beberapa detik, gadis itu berubah dari tikus kecebur menjadi cewek keren, pakaian basahnya diganti dengan apa lagi" gaun siang berwarna pink. Tentu saja gaun itu mempertontonkan lebih banyak kulit daripada Jenna pilih untuk dirinya sendiri.
Oh, cantik sekali, Nick, kata Daisy, sambil memutarkan kepalanya saat pemuda itu merangkulkan lengan kepinggangnya. Apa" tanya Nick begitu dia mendaratkan kecupan singkat di pipi Daisy. Mereka kelihatan lebih baik seperti itu.
Tanpa pikir panjang, aku menjulurkan tangan dan menyambar tangan Nick yang bebas. T-shirt basah dan celana jinsnya beriak, dan mendadak dia memakai kaus tanpa lengan kuning Day-Glo dan jins belel. Dan kau kelihatan lebih baik seperti ini.
Aku tak yakin apakah tampang konyol Nick dalam pakaian itu, atau kenyataan bahwa aku bisa melakukan mantra dengan semudah itu dengan sama sekali tanpa ledakan tapi aku bisa merasakan bibirku melengkung ke atas membentuk senyuman. Sementara Daisy tertawa terbahak-bahak, Nick menyipitkan matanya kepadaku. Baiklah, sekarang rasakan akibatnya. Dia melambaikan tanganya, dan mendadak aku kepanasan. Saat aku melirik ke bawah, kulihat itu karena aku sekarang berdandan seperti Kelinci Paskah. Tapi, dengan menjentikkan salah satu jari berbuluku, aku mengubah jins dan kaus tanpa lengan Nick menjadi setelan musim salju.
Lalu, aku memakai bikini.
Jadi, Nick memakai gaun prom ungu yang sangat menggelembung. Pada saat dia mengubah pakaianku menjadi kostum penari latar, lengkap dengan topi bulu-bulunya, dan aku membuatnya memakai setelan scuba, kami berdua sudah benar-benar mabuk sihir dan cekikikan.
Pakaianku berubah dan bergeser sampai aku memakai T-shirt biru dan celana Capri. Aku melesak kembali ke tepi air mancur, batunya terasa panas di telapak tanganku. Nick berdiri menjulang di sampingku, kembali ke pakaiannya yang biasa. Damai" tanyanya, dan aku tahu yang dia maksud bukan hanya tentang duel sihir kami. Aku memayungi mataku. Yeah, jawabku. Damai. Sesuatu pada diri Nick masih mengusikku, tapi karena perasaanku rasanya mendengung, sulit untuk mengingat mengapa.
Aku memiringkan kepalaku ke arah belakang, mendesah saat rambutku menyapu punggung tanganku. Sihir mengalir deras di dalam diriku. Dengan air yang berkecipak menyenangkan dan matahari hangat di wajahku, ancaman Mata rasanya sangat jauh. Paha seseorang menyenggolku. Aku membuka mata dan melihat Jenna duduk di sampingku. Nick dan Daisy sedang berjalan kembali menuju rumah, sambil saling bergandengan tangan.
Kau kelihatan seperti dirimu lagi, kata Jenna sambil tersenyum lembut.
Aku memejamkan mata. Aku memang merasa seperti diriku lagi. Kami duduk nyaman di sana selama beberapa saat tanpa suara. Aku ingat terakhir kali aku melihatmu begini gembira, kata Jenna. Sambil meletakkan kepalaku ke pundaknya, aku berkata, Ya, pada hari kau kembali ke Hecate merupakan peristiwa yang menyenangkan.
Jenna mendengus. Tidak, bukan hari itu. Kau memang gembira melihatku, tapi kau juga ketakutan dan sedih. Aku teringat pada malam sebelum All Hallow s Eve Ball. Ingat, kita menjarah dapur dan kau mengubah semua kentang tumbuk menjadi es krim sundae" Jenna cekikikan sambil mengenang. Dan semua bit menjadi ceri maraschino. Ya Tuhan, kurasa aku naik lima kilo malam itu. Aku sedang mencoba untuk menghiburmu, itu tepat sebelum Chaston diserang, dan sebagian besar penghuni sekolah menimpakan kesalahan kepada Jenna.
Jenna meletakkan pipinya di puncak kepalaku. Aku tahu, katanya. Dan nyaris berhasil. Tapi, suasana hatimu begitu ceria malam itu. Serius, kau seakan-akan berpendar.
Itu karena beberapa jam sebelum menjarah dapur, aku bertugas di bawah tanah bersama Archer. Pada malam itu, salah satu sampah sihir yang seharusnya dikatalog adalah sepasang sarung tangan yang punya kecenderungan terbang kemana-mana seperti kelelawar sinting. Kami mengejar benda celaka itu selama dua puluh menit sebelum meringkus mereka ke dalam stoples. Diperlukan kami berdua untuk memasangkan tutupnya, yang artinya kami berdiri dengan sangat berdekatan, tangan kami saling menangkup. Aku masih bisa merasakan betapa hangatnya Archer, begitu rapat di sisi tubuhku. Kami tertawa terbahak-bahak karenanya, dan aku ingat betapa nyerinya pipiku saat aku tersenyum memandang mata hitam itu.
Kalau mantra pada sarung tangan ini membuat aku berdekatan dengan gadis cantik seperti ini, aku benar-benar akan mencurinya, kata Archer, sambil menggerak-gerakkan alisnya kepadaku. Kami terbahak-bahak lagi, dan Archer hanyalah laki-laki yang kusukai, dan kupikir satu-satu rahasia di antara kami adalah betapa aku menyukainya.
Kali ini saat aku memejamkan mata, itu untuk menjaga agar air mata tidak tumpah ke pundak Jenna. Ya, kataku akhirnya. Malam itu sangat menyenangkan.
"RatuBuku Bab 20 Jenna dan aku duduk-duduk di taman sampai menjelang malam. Begitu kami kembali masuk ke rumah, dia langsung mencari Vix sementara aku memutuskan ke kamarku untuk sementara waktu. Saat aku menaiki tangga, Lara yang sedang turun berpapasan denganku. Oh, Sophie, aku sedang mencarimu, katanya, sambil menjejalkan buku yang luar biasa besarnya ke tanganku. Ayahmu ingin aku memberikan ini kepadamu. Dia memintamu agar kau membacanya sebanyak mungkin malam ini.
Aku membaca judul yang tertera di sampulnya: Demonologi: Sejarah. Oh. Eh... hore. Terima kasih. Aku mencoba untuk mengangkat buku itu dengan gerakan semacam menabik, tapi bukunya terlalu berat. Bahkan, sewaktu aku kembali ke kamarku dan melemparkannya ke atas tempat tidur, matrasnya berderak protes.
Aku membuka komputer jinjingku dan tanpa berpikir menjelajah Internet selama beberapa waktu, tapi mataku hanya memandang layar tanpa membaca apa-apa. Ada sesuatu yang lain di dalam pikiranku.
Sambil menutup komputernya, aku berjalan menghampiri nakas dan membuka lacinya. Aku menatap kepingan uang itu, tapi sebelum aku bisa memungutnya, Jenna masuk ke kamarku sambil melonjak-lonjak, dengan Vix yang mengekor.
Aku menghempaskan lacinya, sambil berharap tak satupun dari mereka yang memperhatikan jantungku yang berdegup kencang. Tapi, perhatian Jenna tertuju kepada buku di atas tempat tidurku. Wow, Soph, bacaan musim panasmu berat sekali.
Ya, kataku, sambil menghampiri untuk mengangkatnya. Aku berjengit sedikit saat mengangkat benda tersebut. Cuma PR demon dari ayahku.
Kami baru saja hendak turun untuk makan malam, kata Jenna. Kau mau ikut"
Aku memandang kedua vampir itu bergantian. Aku sudah memiliki Jenna sepanjang sore, jadi bukannya aku tidak ingin berbagi. Walau begitu, melihat mereka saling memandang dan mengatakan kami mengingatkan aku betapa menyedihkannya kehidupan cintaku. Tidak, kurasa aku akan diam di sini saja malam ini. Mulai membaca ini. Jenna mengangkat sebelah alis pucatnya, Sophie Mercer, menolak makanan untuk mengerjakan PR"
Ya, ini versi diriku yang baru, lebih payah, dan lebih Inggris. Jenna dan Vix tertawa mendengarnya dan, setelah membuat aku berjanji untuk bergabung dengan mereka besok, mereka praktis keluar pintu sambil berdansa waltz. Aku merasa seharusnya ada pelangi dan kelopak mawar yang mengiringi mereka, atau apalah. Ih. Norak sekali.
Jenna berhak mendapatkan pelangi dan kelopak mawar, aku mengingatkan diriku sementara aku menjatuhkan diri kembali ke atas tempat tidur, buku Dad menumbuk menyakitkan ke tulang rusukku. Setelah semua yang dia alami, Jenna berhasil mendapatkan kekekalan hampa tanpa kebaikan. Jadi, mengapa melihatnya bersama Vix membuatku ingin mengisi otakku dengan Demonologi: Sejarah" Aku memandang nakas lagi dan menghela napas. Kemudian, aku membuka buku berat itu dan mencoba memaksakan diri untuk membaca. Selama beberapa jam kemudian, dengan gagah berani aku berusaha membaca Bab Satu.
Untuk buku yang seharusnya tentang para malaikat terbuang yang berkeliaran dan membuat kekacau-balauan dengan magycks hitam mereka yang super keren, kisahnya sungguh membosankan dan ejaannya yang janggal benar-benar tidak membantu. Sambil mendesah, aku melesakkan diriku semakin dalam lagi ke bantal. Saat aku menggeserkan bukunya, mencoba untuk menyandarkan di lututku yang ditekuk, selembar kertas jatuh ke pangkuanku.
Aku berjengit, karena menyangka itu salah satu halamannya. Tapi kemudian, aku menyadari bahwa kertas itu jauh lebih putih, dan tidak terlalu berbau lumut.
Rupanya surat. Aku langsung mengenali tulisan tangan Dad dari semua kartu ulang tahun tak berkepribadian yang dia kirimkan selama bertahun-tahun. Kartu-kartu itu selalu berwarna pink dan berkerlap-kerlip dan sekarang aku menyadari bahwa pasti Lara yang membelinya dan Dad selalu menandatanganinya dengan tulisan Ayahmu . Tak pernah ada pesan kecil atau selamat ulang tahun yang dia tulis sendiri. Surat ini tidak lebih hangat. Yang tertera di sana hanyalah: Bersiaplah untuk mendiskusikan buku ini dan semua yang sudah kau baca besok Ayahmu.
Ya, Ayah, aku pasti akan melakukannya, gerutuku, sambil memutar mataku. Apakah dia benar-benar harus menulis surat untuk mengatakan itu kepadaku" Dan mengapa dia menyelipkan di halaman tiga ratusan" Karena kalau dia pikir aku akan membaca sampai sejauh itu malam ini, maka Dad optimis sekali.
Aku mendecak dan sudah akan meremas pesan itu, ketika mendadak kata-kata di lembaran itu bergerak. Bergetar, sebetulnya. Aku menggosok mataku, menyangka akibat membaca terlalu lama. Tapi, ketika aku kembali memandang pesan itu, huruf-hurufnya masih bergerak-gerak. Dan setelah itu, mulai berpindah-pindah. Banyak huruf yang bergeser ke dasar halaman, tapi sisanya berkumpul untuk mengerjakan pesan yang sama sekali berbeda:
Rak buku yang itu. Pukul lima pagi.
Itu tulisan tangan Dad lagi, dan sambil menatapnya, huruf-huruf yang terbuang naik lagi di kertas itu sampai pesan aslinya kembali ke tempat semula.
Tukang bikin sandi, Dad tukang bikin sandi, gerutuku. Tidak ada keraguan di dalam benakku rak buku mana yang dia maksud rak yang berisi grimoire Virginia Thorne. Tapi, mengapa pakai mantra dan rahasia-rahasiaan segala" Kami menghabiskan waktu tadi untuk mengatakan, Oh, hei, temui aku di rak buku sihir sebelum ayam berkokok besok, ya, setuju"
Dan, apa pula yang ingin dia lakukan di rak buku itu"
Saat ini, mataku rasanya seakan-akan habis diurapi pasir, dan terpikir olehku bahwa dengan peristiwa klab Prodigium, Archer, dan semua cerita Dad hari ini, ternyata ini liburan yang paling tidak santai yang pernah kualami. Aku memandang berkeliling kamar mewahku ini, dan untuk sedetik aku menyesal tidak berada di Hecate Hall, duduk di atas tempat tidur kecilku, tertawa dengan Jenna.
Tapi, Jenna sedang ada di ujung lorong, entah mengobrol dengan Vix atau tidur, dan aku sendirian.
Aku meletakkan buku di atas nakas, terheran-heran karena beratnya ternyata tidak mematahkan perabot kecil itu. Mom selalu mengatakan bahwa ada beberapa hal di kehidupan yang tidak bisa disembuhkan oleh mandi berendam air panas, dan aku memutuskan untuk menguji saran itu.
Beberapa menit kemudian aku sudah berendam hingga ke leher di dalam air panas bersabun.
Aku mengusapkan ibu jari kakiku ke keran, yang dibuat mirip dengan angsa keemasan. Kurasa maksudnya agar tampak berkelas, tapi kelihatannya malah seolah-olah si angsa memuntahkan air ke dalam bak mandi, sungguh sangat menjijikkan. Ditambah lagi, mandi berendam selalu membuatku teringat akan Chaston, yang nyaris tewas akibat pendarahan di dalam salah satu bak mandi berendam di Hecate.
Walaupun airnya panas, aku merinding. Aku tidak melihat Chaston lagi setelah malam itu. Orangtuanya datang untuk menjemputnya, dan mereka mengeluarkannya dari sekolah sepanjang sisa tahun itu. Aku ingin tahu di manakah dia sekarang. Apakah dia tahu tentang Anna dan Elodie.
Aku baru saja hendak mengambil handuk ketika aku mendengar bunyi benturan terendam dari kamar tidurku. Jari-jariku mati rasa dan bulu kudukku meremang. Di dalam film-film horror, ini selalu merupakan bagian saat gadis tanpa busana berseru, Halo" , atau Siapa di sana" , atau sesuatu yang sama tololnya. Tapi, gadis tanpa busana yang ini tidak akan mengumumkan kehadirannya kepada siapa pun. Sebagai gantinya, tanpa suara aku menarik handuk dari rak dan menyelubungkannya ke tubuhku sebelum berjalan dengan pelan ke arah pintu dan menempelkan telinga di sana.
Selain degup jantungku, aku tak bisa mendengar apa-apa. Aku memutarkan mata sambil menyambar jubah mandiku dari balik pintu. Jelas sudah, mandi berendam dan memikirkan Chaston membuatku seram. Kalau ada orang di kamarku, itu mungkin salah satu pasukan pelayan yang menepuk-nepuk bantalku. Mungkin meninggalkan cokelat mentol untukku.
Sambil mengikat tali jubah di pinggangku, aku membuka pintu. Kamarku kosong, dan aku menghembuskan napas panjang. Dasar payah kau, Sophie, gerutuku sambil melintasi kamar menuju lemari pakaian. Tempat ini seperti Fort Knox versi Prodigium. Gagasan ada orang yang masuk ke kamar tidurku, dengan maksud jahat, benarbenar
Aku mendengar suara itu lagi benturan lagi, kali ini lebih nyaring. Dan, barulah aku menyadari bahwa suara itu berasal dari nakasku. Darah berdenyut-denyut di telingaku saat aku berlari menghampiri meja kecil dan menyentakkan lacinya sampai terbuka.
Benar saja, kepingan uang emasnya sedang membentur-benturkan diri di sana seakan-akan makhluk hidup. Bagaimana ini bisa terjadi" Kata Archer dia akan menggunakan itu untuk menemukanku, tapi mendadak terpikir olehku bahwa aku tidak tahu apa sebenarnya artinya. Mungkin kepingan uang itu semacam portal yang bisa dibawa-bawa dan dia akan menyelusup masuk ke kamar tidurku di antara kepulan asap atau apalah.
Pemikiran itu Archer yang secara harfiah meletakkan dirinya di tengah-tengah segerombolan oleh yang ingin membunuhnya terlalu mengerikan untuk direnungkan. Aku menggenggam kepingan itu, terkesiap karena benda itu ternyata panas sekali.
Tiba-tiba, seolah-olah ada layar menyelubungi mataku, dan aku bisa melihat penggilingan jagung yang sudah terbengkalai itu. Ceruk yang mengarah ke Itineris. Archer sedang duduk di sampingnya, di ambang jendela rendah. Menungguku.
Sambil menjatuhkan kepingan itu ke atas meja di samping tempat tidur, aku berputar ke arah lemari pakaian. Aku akan menyambar celana jins, kaus tangan panjang hitam yang kubawa. Kalau aku cukup pelan, aku mungkin bisa keluar dari rumah bahkan tanpa harus mengarang-ngarang alasan
Kemudian, aku teringat Dad, pucat dan serius, mengatakan kepadaku betapa pentingnya aku agar tidak pernah menemui Archer lagi. Aku membayangkan betapa bangganya dia hari ini, apa yang mungkin bisa menimpanya kalau ada orang yang menangkap basah aku sedang mengendap-endap untuk bertemu dengan anggota Mata. Tentang Markas Besar Dewan, yang hangus terbakar dengan tujuh anggota Dewan yang masih berada di dalamnya.
Aku merogoh laci lemari pakaian yang terbuka, dan bukannya mengambil celana jins, aku mengeluarkan piamaku. Setelah memakainya, aku naik ke tempat tidur dan memadamkan lampu, sambil menggerapai di kegelapan untuk mencari kepingan. Saat aku menggenggamnya, aku melihat Archer lagi. Dia sedang berdiri sekarang, mondar-mandir dan mengusapkan tangan ke dagunya. Dia terus-menerus memandang ke arah pintu.
Air mata membasahi rambut di pelipisku.
Setidaknya aku tahu dia masih hidup. Setidaknya aku tahu dia tidak sedang mencoba untuk membunuhku. Itu sudah cukup. Harus cukup. Archer menungguku lama sekali. Lebih lama daripada sangkaanku. Sudah lewat tengah malam saat dia memandang ke arah pintu untuk terakhir kalinya, kemudian akhirnya menghilang ke dalam ceruk. Aku menggenggam kepingan dengan lebih erat lagi. Tapi, begitu Archer lenyap, benda itu jadi dingin, dan penampakannya memudar menjadi hitam.
"RatuBuku Bab 21 Pukul lima pagi datang sangat awal keesokan paginya, apalagi untuk seseorang yang menghabiskan semalam suntuk dengan menangis. Dan, saat aku terlelap, tidurku pun tak nyenyak. Aku terus-menerus terjaga, yakin seseorang berada di dalam kamar bersamaku. Sekali, aku bahkan melihat sekelebat rambut merah, tapi aku pastilah bermimpi.
Kepalaku berdenyut-denyut, dan praktis aku harus mengumpil mata bengkakku sampai terbuka ketika alarm berbunyi. Walau begitu, aku merasa lebih baik lebih ringan saat aku turun untuk menemui Dad. Ya, memikirkan Archer masih terasa menyakitkan, tapi yang kulakukan itu benar. Aku mendahulukan kepentingan Dad serta Jenna, dan, sialan, semua masyarakat Prodigium di atas keinginanku. Dan, kalau itu tidak menunjukkan kemampuan kepemimpinanku , maka aku tak tahu apa itu.
Jadi, aku bangga terhadap diriku sendiri pada saat aku berjalan menaiki perpustakaan dan ke rak buku.
Sayangnya Dad tidak merasa seperti itu. Kubilang pukul lima, desisnya begitu aku menikung di sudut. Sekarang lima lima belas. Dia kelihatan seakan-akan kurang tidur juga. Jasnya memang tidak berkerut, tapi tidak selicin biasanya. Juga, Dad belum bercukur, yang membuatku sama waswasnya dengan melihat kemurungan di matanya. Karena terkejut aku berkedip menatapnya. Maaf jawabku, tapi Dad mengangkat tangannya dan berbisik, Pelankan suaramu. Kenapa" aku balas berbisik. Kami berdiri di kedua sisi rak, grimoire Virginia Thorne kelihatan tidak menyenangkan sama seperti pada hari pertama. Sedang apa kita di sini"
Dad memandang berkeliling seakan-akan cemas ada orang yang mungkin mendengarkan kami, sebelum berkata, Kita akan membuka rak buku ini dan mengambil grimoire-nya.
Sekarang keherananku tidak sebesar keterkejutanku. Tidak mungkin, tukasku. Benda ini terkutuk sampai ke neraka dan kembali lagi mungkin secara harfiah.
Dad memejamkan matanya dan menarik napas panjang, seakan-akan secara fisik harus menahan dirinya agar tidak membentak. Sophie, katanya lambat-lambat. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Sihir yang menyegel rak ini terlalu kuat bahkan untukku. Tapi, kalau kita mencobanya... yah, kupikir kita bisa melakukannya.
Kenapa" tanyaku. Dad sendiri yang bilang bahwa grimoire ini berisi sihir yang paling kuno dan paling hitam di dunia. Jadi, untuk apa Dad menginginkannya"
Tarikan napas dalam-dalam lagi. Alasan-alasan akademis. Amarah menggelora di dalam diriku, dan aku merasakan sihirku mulai naik. Kalau Dad begitu menginginkan bantuanku, katakanlah yang sebenarnya.
Ini urusan yang sangat berbahaya, dan kupikir lebih baik kau tahu sesedikit mungkin. Dengan begitu kalau kita kalau kita terperangkap, kau bisa dengan jujur mengatakan bahwa kau tidak tahu apa yang kulakukan.
Tidak, kataku sambil menggeleng. Aku sudah muak dibohongi orang-orang, atau yang mengatakan separuh dari yang seharusnya aku ketahui. Dad kemarin bilang bahwa sudah saatnya aku mempelajari urusan keluarga , dan aku mengorbankan Ar... banyak untuk Dad, dan untuk Dewan. Jadi, beri tahu aku apa yang terjadi.
Giliran Dad yang kelihatannya terkejut. Untuk sesaat, kukira dia hendak menghentikan semua itu. Tapi kemudian, dia mengangguk dan berkata, Cukup adil. Aku sudah menceritakan kepadamu bahwa Dewan mencoba untuk membangkitkan demon selama ratusan tahun sebelum Virginia akhirnya menemukan buku ini. Dia mengisyaratkan ke arah grimoire itu. Setelah Alice, Dewan sepakat buku itu dikunci di rak ini. Bahkan sejak saat itu, tak seorang pun yang bisa melakukan ritual pemanggilan. Tapi sekarang...
Daisy dan Nick, gumamku.
Tepat sekali. Jadi, apa" Menurut Dad, seseorang mengambil grimoire dan menggunakan mantra itu membuat Daisy dan Nick menjadi demon" Dad mengusapkan satu tangan ke rambutnya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat tangannya gemetar. Tidak, bukan itu. Rak ini sangat sulit untuk dibuka. Aku hanya ingin melihat ritual itu sendiri, apa yang dibutuhkan untuk merapal mantra pemanggilan. Kalau aku tahu betul apa yang dilakukan terhadap Daisy dan Nick, mungkin itu akan membantuku mengetahui siapa yang melakukannya terhadap mereka. Dan mengapa.
Kedengarannya penjelasannya cukup masuk akal, tapi, sejujurnya, itu masih membuatku ketakutan. Setengah mati. Melepaskan buku yang berisi sihir paling hitam di seluruh dunia takkan pernah dianggap sebagai itikad baik, bukan begitu" Tapi, aku tidak mengatakan itu kepada Dad. Sebagai gantinya, aku berkata, Baiklah, jadi bagaimana kita bisa membukanya kalau itu sangat sulit "
Dad meletakkan tangannya di atas rak. Kekuatan besar, pada dasarnya. Untuk membuka kunci rak ini dibutuhkan kedua belas anggota Dewan.
Aku menaikkan alis. Baiklah, nah karena hanya kita berdua, dan hanya satu dari kita yang anggota Dewan
Sambil menggeleng, Dad memotongku. Tidak, secara teknis, kita berdua anggota Dewan. Kau ahli waris yang sudah digariskan menjadi ketua Dewan, ergo
Dad, sekarang terlalu pagi untuk menggunakan kata-kata seperti ergo . Dan, bahkan kalau aku memang anggota Dewan, kita masih kekurangan sepuluh orang.
Ya, nah, disitulah bagian kekuatan besar berguna. Dengan gabungan kekuatan darah kita, lemari ini seharusnya bisa kita buka. Darah" ulangku dengan lemah.
Dad tampak suram saat mengeluarkan belati perak pendek dari dalam jasnya. Sudah kubilang, sihir darah itu sangat kuno dan sangat kuat. Sekarang berikan tanganmu. Kita tidak punya banyak waktu. Cahaya dari luar mulai berubah keemasan dan sudah bukan kelabu kebiruan, dan aku tahu seisi rumah akan terbangun tak lama lagi. Aku juga tahu bahwa aku amat, sangat tidak ingin memberikan tanganku kepada Dad.
Inilah sebabnya Dad melatihku kemarin, ya" tanyaku, suaraku nyaris tak kedengaran. Kau ingin memastikan bahwa aku bisa melakukan ini tanpa meledakkan perpustakaan sampai berkepingkeping di dalam prosesnya.
Sesuatu membasuh wajah Dad, dan kuharap itu rasa bersalah. Itu bukan satu-satunya alasan, Sophie, jawabnya.
Baiklah, tapi tolong diingat bahwa aku masih memecahkan banyak cermin kemarin. Tidakkah seharusnya kita menunggu sampai aku berlatih sedikit banyak lagi"
Dad menggeleng. Kemarin sore, Mata berusaha menggerebek Gevaudan.
Diperlukan beberapa saat sampai aku ingat bahwa itu nama salah satu sekolah mewah para shapeshifter di Prancis. Waktu sudah menjadi kemewahan yang tak mampu kita miliki, kata Dad. Kemudian, dia menggerakkan belati di atas telapak tangan kirinya dengan satu sabetan. Aku terkesiap, dan dia meletakkan tangannya yang kini berdarah di atas rak buku itu. Darahnya menetes di atas rune-rune yang ditatahkan ke dalam kaca, mengalir ke dalamnya. Sementara darahnya mengalir, lambang-lambang itu mulai berpendar dengan cahaya keemasan. Di dalam kotaknya, buku tersebut kelihatannya sedikit bergetar.
Demon Glass Karya Rachel Hawkins di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menanti kemampuan merasakan firasat baruku muncul, mengatakan betapa ini gagasan yang sangat buruk. Tapi, tidak ada apa-apa. Ya, aku merasa sedikit mual, tapi kurasa itu lebih karena darah daripada perasaan takut.
Sophie, kata Dad, sambil memegang belatinya, Kumohon. Aku menyodorkan tanganku sebelum punya waktu untuk memikirkannya, memberikan telapak tangan yang sudah dikoyak oleh demonglass kepada Dad. Nyerinya tajam dan cepat, dan tidak seburuk sangkaanku semula. Sambil mengikuti jejak Dad, aku meletakkan tangan di samping tangan Dad di atas rak, bahkan sambil berjengit, teringat betapa panasnya rak itu terasa sebelumnya. Akan tetapi, rasanya tidak panas. Aku merasakan sihir yang menyelimutinya,dan kekuatanku berderu merespon. Sekarang apa" bisikku, tak sanggup mengalihkan tatapan dari darahku sendiri saat mengalir ke dalam rune-rune. Sementara darahnya mengalir, lambanglambang itu semakin terang.
Lakukanlah apa yang kita lakukan kemarin, kata Dad, suaranya rendah dan datar. Bayangkan kenangan manusia. Sebuah emosi manusia.
Mendadak, aku melihat Archer yang sedang duduk di jendela penggilingan jagung lagi, dan perasaan rindu redam membanjiri diriku. Hampir seketika itu juga, setidaknya selusin buku terbang dari rak di dekatku, kekuatan itu merusak punggung bukunya dan membuat halaman-halamannya berterbangan di sekeliling kami.
Yang lain! desis Dad, sambil mendongakkan tatapan panik ke mataku. M-maaf, maaf, aku tergagap, sambil menggeleng seakan-akan otakku adalah papan gambar Etch A Sketch yang bisa menghapus Archer.
Bayangkanlah pikiran yang menyenangkan. Mom. Pada saat kau pergi ke karnaval sewaktu berumur delapan tahun, dan dia membiarkanmu naik wahana bianglala berkali-kali. Tertawa. Cahaya yang berkelipkelip, harum kue contong.
Detak jantungku melambat, dan aku merasakan kekuatanku menggulung naik di dalam diriku, aman, siap untuk diarahkan. Jauh lebih baik. Dad menghela napas dengan lega. Sekarang, pusatkan perhatian pada rak dan hanya memikirkan Buka. Aku menarik napas panjang dengan perlahan dan hanya melakukan itu. Tanganku mulai terasa dingin, dan aku dihinggapi perasaan menggelisahkan membayangkan rak itu entah bagaimana sedang meminum darahku. Lututku gemetar memikirkannya. Dan, dengan cepat aku mengedipkan mataku, mencoba untuk melenyapkan kabut kelabu yang mengancam menyelubungiku. Aku pernah berpindah dan membuat benda-benda muncul dari udara kosong. Aku pernah terbang, demi Tuhan. Aku tidak akan pingsan gara-gara membuka kotak kaca tolol.
Walau begitu, aku belum pernah merasakan yang seperti ini, bahkan ketika melakukan mantra-mantra tingkat tinggi itu. Sihirku terasa mengalir dari telapak kaki dan ke ujung jemariku tak lebih dari tetesan saja. Dan, walaupun gigiku bergemelutuk seakan-akan aku membeku, aku bersimbah peluh.
Jari-jariku kebas, dan tanganku kelihatannya sangat pucat, tapi aku terus menekankannya ke kotak. Tapi, selain berpendar, rune berdarah, seperti tidak terjadi apa-apa.
Di seberang rak, Dad tidak tampak terperas seperti yang kurasakan. Itu bukan hanya karena raknya saja, katanya, tangannya bergeser di atas kaca berlumuran darah. Suaranya parau. Melainkan juga bukunya.
Titik-titik kelabu menjadi semakin besar. Kalau begitu, aku harus memusatkan perhatian ke mana" bisikku. Aku bukan sedang mencoba untuk tidak berisik, aku hanya punya kekuatan untuk berbisik saja. Dua-duanya, jawab Dad. Bayangkan raknya terbuka, dan bukunya ada di tanganmu. Dan, jangan kehilangan bayangan manusiawimu. Kepalaku terasa terlalu berat untuk ditegakkan lagi, dan aku meletakkan keningku ke rak. Banyak sekali yang harus dibayangkan, Dad.
Aku tahu, Sophie, tapi kau bisa melakukannya.
Jadi, aku pun melakukannya. Aku menjaga agar wajah Mom tetap berada di benakku, sementara memusatkan perhatian kepada rak bukunya, juga grimoire, dan berusaha keras agar tidak memikirkan betapa letih serta terkurasnya perasaanku.
Dan kemudian akhirnya kacanya mulai bergerak.
Itu dia, gumam Dad, matanya bersinar-sinar di wajahnya yang kuyu, Hampir selesai.
Aku menyangka kacanya terbuka, atau mungkin satu sisinya jatuh. Sebaliknya, kaca itu menghilang begitu saja, seperti gelembung pecah. Kejadiannya begitu mendadak sehingga baik tanganku dan Dad jatuh ke rak kayu dengan hempasan nyaring.
Dad mengulurkan tangan dan mengambil bukunya, yang kelihatan seperti buku tua dan berdebu lainnya setelah keluar dari kotak sihirnya. Sampul kulit hitamnya buram karena sudah tua dan baunya mirip kertas kuno dan cendawan.
Sementara Dad membalik-balikkan halaman bukunya, lututku menyerah. Aku ambruk ke lantai dan bersandar ke rak buku terdekat. Aku merasa seolah-olah sedang menonton Dad dari kejauhan, atau seakan-akan berada di dalam mimpi. Aku menunduk memandang tanganku dan bertanya-tanya apakah tubuhku yang lain seputih kapur juga seperti tangan itu.
Oh, ya Tuhan! desah Dad. Aku merasa seakan seharusnya waswas mendengar betapa ketakutan Dad kelihatannya, tapi bahkan itu pun terlalu menguras tenaga.
Ada apa" gumamku dengan mengantuk.
Dad menaikkan pandangan paniknya kepadaku, tetapi seolah-olah dia tidak langsung melihatku. Ritualnya, ritual itu Sophie! Saat aku roboh ke samping dan menyerah kepada ketidaksadaran,hal terakhir yang kulihat adalah bukunya jatuh ke lantai, sampulnya terbuka untuk memperlihatkan tepian kertas yang bergerigi. Satu halaman telah dirobek.
"RatuBuku Bab 22 Ketika siuman, aku sedang berbaring di atas salah satu sofa perpustakaan di dekat jendela-jendela besar dengan diselubungi selimut, dan Cal sedang menggenggam tanganku.
D"j" vu, kataku sambil memperhatikan percikan-percikan perak sihir berkelebatan di atas kulitku. Pemuda itu tersenyum samar, tapi matanya menatap luka yang dengan cepat menutup di telapak tanganku. Kuarahkan pandanganku melewatinya dan melihat Dad yang sedang berdiri di ujung sofa, wajahnya digurati kecemasan. Tiba-tiba, aku ingat semuanya dengan cepat. Rak buku, bukunya.
Halaman yang hilang. Dad memberikan gelengan kepala yang nyaris tak kelihatan, tapi aku tahu diri untuk tidak mengatakan sesuatu di depan Cal. Walau begitu, setelah tidak merasa sedang meregang nyawa akibat kehilangan darah, aku merasa sangat terusik tentang halaman yang hilang itu seperti Dad.
Seakan-akan bisa membaca pikiranku dan setahuku dia memang bisa Dad berkata, Aku ingin kau beristirahat di sini sementara waktu, Sophie. Bagitu kau merasa lebih baik, kita akan membicarakan tentang percabangan mantra di kantorku.
Pasti mantra tingkat tinggi, celutuk Cal sambil dengan lembut meletakkan tanganku di sofa.
Ya, kataku, mulutku rasanya seakan-akan penuh dengan serbuk gergaji. Dad sedang melatihku bagaimana cara mengendalikan kekuatanku. Kurasa aku terlalu keras melakukannya. Dad berjalan mengitari sofa dan, yang membuatku terheran-heran, mencondongkan tubuhnya untuk mengecup keningku. Maafkan aku, katanya dengan pelan. Tapi, aku juga sangat bangga terhadapmu. Sulit untuk bicara dengan gumpalan yang mendadak di tenggorokanku, jadi aku hanya mengangguk.
Aku akan berada di kantorku. Datanglah ke sana kalau kau sudah merasa lebih baik.
Begitu Dad sudah pergi, aku melemaskan tanganku, mengamati tempat yang tadinya ada luka terbuka. Tidak ada tanda-tandanya, dan aku berani sumpah bahkan bekas luka demonglass-ku juga kelihatan sedikit lebih baik. Baiklah, jadi kemampuan menyembuhkan orangorang pastilah kekuatan sihir yang paling keren, kataku kepada Cal. Bibirnya berkedut. Ya, nah, aku tidak selalu menganggapnya begitu. Apa maksudmu"
Itulah yang membuatku dikirim ke Hecate.
Aku terperajat. Aku selalu bertanya-tanya,bagaimana seseorang yang begitu lurus dan kaku seperti Cal sampai bisa dihukum ke Hex Hall.
Mereka mengirimkanmu ke sana karena menyembuhkan seseorang" Membuat tungkai seseorang secara ajaib pulih dari patah itu sama saja dengan menarik perhatian kepadamu, katanya.
Astaga. Kurasa begitu. Jadi, sewaktu kau melakukannya, apakah ada banyak jeritan dan menuntuk-nunjuk" Itulah yang terjadi padaku. Cal tertawa. Ya, perempuan itu sama sekali tidak merasa senang disembuhkan seperti sangkaanku.
Kami duduk begitu berdekatan sampai-sampai paha kami saling bersentuhan. Bau Cal enak, seperti bau rumput yang baru dipotong dan disinari matahari. Aku ingin tahu apakah dia sudah berada di luar pagi ini, atau apakah begitulah bau Cal selalu.
Aku sudah akan menanyakan kepadanya tentang si dia misterius yang kakinya patah itu, tapi Cal merubah topik pembicaraan. Jadi, kau sedang belajar untuk mengendalikan kekuatanmu, katanya, sambil menatapku dengan mata jernihnya yang cokelat. Bagaimana hasilnya"
Bagus, jawabku, sebelum aku ingat bahwa Cal pikir aku baru saja terluka parah selama salah satu pelajaran itu. Maksudku, sangat sulit, aku memperbaikinya. tapi kupikir aku sudah mulai menguasainya. Yang jelas mengalahkan gagasan untuk menjalani Pemunahan.
Apa itu artinya Pemunahan sudah dihapuskan" Aku merabakan jariku mengikuti pola pakis di atas sofa. Kurasa begitu, ya, jawabku, sambil menyandarkan diri ke bantal sofa. Luka di telapak tanganku barangkali sudah sembuh, tapi aku masih merasa terkuras.
Aku senang, katanya dengan pelan. Jarak di antara kami mendadak terasa lebih sempit, dan ketika dia menggenggam tanganku, dengan susah-payah aku berusaha agar tidak terlonjak. Perlu satu menit untuk menyadari bahwa dia hanya sedang menggunakan sihir lagi padaku. Aku bisa merasakan keletihan berkurang sementara percikan perak menjalari sepanjang lenganku.
Lebih baik" percikan-percikan itu berkurang, tapi Cal tidak melepaskan genggaman tangannya.
Jauh lebih baik. Tentu saja semua kelelahan sekarang digantikan oleh kegugupan ganjil yang membuatku menyibakkan selimut yang menutupi tungkaiku dan berdiri. Apa rasanya, melakukan sihir penyembuhan" tanyaku, sambil bergerak menjauh untuk duduk di dekat salah satu jendela besar. Cahaya matahari pagi berkilauan di atas rumput yang diselimuti embun.
Apa maksudmu" Sambil mengusapkan tanganku ke lengan seakan-akan sedang kedinginan, aku menggerakkan bahu. Kelihatannya itu sangat menguras tenaga. Menutup luka dan menyembuhkan orang yang nyaris tewas.
Sebenarnya itu kebalikannya, katanya sambil bangkit dari sofa. Rasanya seperti... menyentuh setrum, kurasa. Kau menangani energi kehidupan seseorang, jadi memang berat, ya, tapi ada semacam mengisi dari itu.
Aku tak yakin bagaimana perasaanku tentang kau yang menangani energi kehidupanku , Cal.
Dia nyengir, dan aku terperanjat oleh betapa senyuman itu membuat wajahnya jauh berbeda. Cal menghabiskan sebagian besar waktunya dengan bersikap diam dan khidmat sehingga mudah untuk melupakan bahwa dia bahkan punya gigi. Aku akan mentraktirmu makan malam dulu lain kali, aku janji.
Baiklah, cengiran itu satu hal, tapi itu sudah pasti main mata. Kemudian, seakan-akan aku belum cukup terperangah, Cal membungkuk dan mengambil violet Afrika di pot dari atas meja rendah di samping sofa dan membawanya kepadaku. Untuk sedetik, aku bertanya-tanya apakah ini caranya yang kikuk secara sosial untuk mencoba memberikan bunga kepadaku, tetapi dia berkata, Prodigium mana saja bisa melakukannya, sebenarnya. Tidak pada tingkat yang sama sepertiku, tapi tetap saja bisa. Kau hanya harus bersabar. Dia menyodorkan tanaman itu ke arahku, dan aku melihat ada beberapa bintik cokelat di kelopaknya yang bagaikan beledu. Kau mau coba" Aku memandang violet layu itu dan mendengus. Terima kasih, tapi bunga kecil yang malang itu kelihatannya sudah cukup menderita. Sambil menggoyang-goyangkan jariku, aku menambahkan, Aku jauh lebih baik dalam bagian sihir yang meledakkan segala sesuatunya. Menyembuhkan mungkin jauh di luar kemampuanku. Tentu saja, aku berhasil membuat air berubah menjadi pink dan mengubah pakaian Nick kemarin. Tapi, penyembuhan kelihatannya jauh lebih sulit dari itu. Belum lagi otakku masih memikirkan bekas robekan kertas itu, dan bagaimana Dad menutup-nutupi pencurian grimoire kami. Cal menyenggol lenganku dengan pot itu. Katamu kau sudah belajar mengendalikan kekuatanmu. Tidak ada sihir yang menuntut pengendalian daripada penyembuhan. Cobalah.
Terpikir olehku untuk memprotes bahwa aku terlalu lelah karena merapal mantra bersama Dad tadi. Tapi sejujurnya, berkat sihir Cal, aku merasa lebih baik daripada beberapa hari ini.
Dan, aku sangat yakin dia mengetahuinya.
Aku mengambil pot terakota itu. Bagaimana tepatnya cara melakukannya"
Cal menekukkan jari-jarinya di atas jari-jariku dan mengangkat tangan kiriku ke bunga kecokelatan itu. Ada kapalan di ibu jarinya yang seharusnya terasa tidak nyaman di kulitku.
Dari banyak segi, penyembuhan itu seperti sihir lainnya. Kau berkonsentrasi pada apa yang ingin kau ubah, atau kau membuatnya terjadi.
Atau, dalam kasusku, meledak.
Cal hanya menggeleng dan berkata, Tapi, kalau kau menyembuhkan makhluk hidup, kau harus memperhitungkan itu juga. Dan aku melakukan itu dengan cara..."
Jari-jari Cal lebih erat menggenggamku, dan jantungku berdegup kencang dibuatnya. Perpustakaan terasa sangat sunyi dan sangat diam di sekeliling kami. Kau akan merasakannya.
Aku menelan ludah, yang sangat sulit untuk dilakukan dengan mulutku yang mendadak mengering. Baiklah.
Aku memejamkan mata dan merasakan sihirku merambat dari telapak kakiku. Sejauh ini baik-baik saja. Aku membayangkan bintik-bintik cokelat di kelopaknya, sementara itu menjaga wajah Mom agar tetap terpampang kuat-kuat di otakku. Sembuh, pikirku, merasa terlalu risih untuk mengucapkannya keras-keras. Bunganya bergerak di bawah tanganku, tapi saat aku membuka kelopak mataku, ternyata warnanya masih tetap cokelat.
Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam yang sangat disukai Dad itu, sambil membayangkan pantas saja Prodigium selalu dikalahkan oleh manusia. Maksudku, setiap aku harus merapalkan mantra yang berat, harus ada semua pemusatan perhatian dan rileks dan membayangkan, dan pernapasan melawan sesuatu seperti Mata. Akan tetapi, seharusnya aku tak usah membayangkan Mata. Begitu nama itu muncul dikepalaku, pengendalianku buyar.
Begitu juga dengan pot terakotanya.
Tanah hitam menghujani kakiku, dan bunga ungu itu semakin layu lagi. Aku berani bersumpah bunga itu sungguh-sungguh merunduk sambil menuduhku. Aah, erangku, sementara Cal dengan cepat meraup pot pecah itu dari tanganku. Maaf, tapi sudah kuperingatkan aku ini gadis perusak.
Jangan khawatir, katanya, bahkan sambil tangannya menekuk dengan sikap melindungi tumbuhan itu. Kau hampir berhasil. Dia memandang ke bawah, mungkin untuk memeriksa kerusakannya. Oh, wow, katanya terheran-heran.
Aku mengusapkan tanganku yang kotor ke jinsku. Seburuk itukah" Tidak, bukan itu, katanya. Lihatlah.
Dia mengulurkan pot itu kepadaku. Bunganya masih sangat layu, tapi tepat di belakangnya ada dua bunga lebih kecil yang tidak layu. Dan bunga-bunga ini ungu cerah, tanpa ada satu bintik cokelat pun yang terlihat. Whoa. Apa aku yang membuatnya" tanyaku. Cal mengangguk. Pasti begitu. Begitu rupanya kemampuan gadis perusak.
Aku memberikan senyuman masam untuknya. Yah, well, walaupun ada bunga baru segar, masih ada pot pecah, dan violet tua yang sangat sedih.
Bisa jadi, katanya sambil mengangguk. Kemudian dia berhenti sejenak, dan aku bisa melihat apa pun yang hendak dia katakan itu sangat penting. Bahkan ada kemungkinan dia akan menggunakan lebih dari lima kata untuk mengucapkannya. Atau, mungkin sihirmu ternyata tidak semerusak itu. Hujan Doritos, kejadian di tempat tidur, ini... Mungkin itu karena kau menciptakan terlalu besar, mengertikah kau"
Saat aku bisa menemukan suaraku, aku berkata, Cal, itu mungkin hal paling menyenangkan yang pernah diucapkan kepadaku sejak kita berada di sini.
Dia memainkan salah satu akar di antara jari-jarinya, dan tidak membalas tatapanku. Itu benar. Kemudian, dia mendongak dan memberikan cengiran separuh senyum yang mulai kusukai itu. Di samping itu, aku memang harus mencari pot lain untuk bunga ini. Aku, eh, kurasa sampai nanti makan malam.
Bagus. Kita bisa memilih warna. Apa"
Untuk pernikahan. Aku membayangkan melon dan mentol. Kurasa warna itu akan beken musim semi mendatang.
Cal tertawa nyaring, pertama kalinya aku mendengar pemuda itu melakukannya. Kalau begitu itu rencana. Sampai nanti, Sophie. Sampai nanti, seruku padanya, mendadak dilanda kesedihan. Archer berseru, Sampai nanti, Mercer, hampir di setiap akhir tugas ruang bawah tanah. Aku tak pernah mendengarnya mengucapkan itu lagi. Menyebalkan sekali kalau kita merindukan seseorang seperti itu. Kau pikir kau sudah menerima bahwa seseorang sudah keluar dari kehidupanku, bahwa kau sudah berduka cita dan semua itu sudah berakhir, dan kemudian jeder! Satu hal kecil dan kau merasa seakanakan kehilangan orang itu sekali lagi.
Aku teringat Archer yang sedang duduk di penggilingan jagung, menantiku. Apa yang sangat dia ingin katakan sehingga dia mengambil risiko mempertaruhkan nyawanya untuk mengatakannya" Aku mengencangkan cengkramanku ke salah satu serpihan gerabah dengan begitu kerasnya sehingga aku nyaris berdarah. Tidak masalah, gumamku. Soal Archer itu sudah bukan urusanku lagi. Dan, aku mengingatkan diri sambil melirik ke atas, aku rupanya punya masalah yang jauh lebih besar daripada kisah cinta yang hancur berantakan.
"RatuBuku Bab 23 Kantor Dad sebenarnya salah satu dari kamar yang berukuran lebih kecil di Thorne. Namun, di dalamnya sangat bagus. Ada meja cherrywood dan karpet gading, ditambah kursi-kursi kulit dan rak buku yang kelihatannya kokoh. Dia juga punya pemandangan bagus yang menghadap ke sungai.
Dad sedang berada di mejanya saat aku membuka pintu, melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang Inggris saat mereka gelisah: minum teh. Aku bersandar di ambang pintu. Jadi... ini menyebalkan, bukan"
Dia melambaikan tangannya untuk menyuruhku masuk ke dalam kantor. Tutup pintu di belakangmu.
Begitu aku menutup pintu, Dad membuka salah satu laci. Grimoire itu bahkan kelihatan lebih buruk lagi dalam cahaya terang kantornya, tapi masih ada kesan mengancam yang datang dari benda itu yang membuatku melintangkan tangan menutupi dadaku. Aku merapalkan glamour pada buku lain agar kelihatannya mirip dengan grimoire, dan membuat kembali kacanya, kata Dad menjawab pertanyaanku yang tak terucapkan. Walau begitu, aku harus mengembalikannya secepatnya. Glamour itu tidak akan bertahan selamanya.
Dia melemparkan bukunya ke atas meja, tempatnya mendarat di antara kertas-kertas. Aku sudah mencari-cari di dalamnya tiga kali. Ritual pemanggilan tidak ada di sana.
Dengan gugup, aku mengangkat buku itu dan membukanya. Aku sudah merasakan sihir yang keluar dari benda itu bahkan ketika berada di dalam kotaknya, tapi aku masih belum siap merasakan gelombang kekuatan yang menerpaku. Rasanya mirip dengan kalau kau mengeluarkan wajahmu keluar dari jendela mobil yang sedang bergerak dengan kecepatan tinggi. Paru-paruku membara dan mataku berair hanya dengan menatapnya saja. Mataku yang tersengat memindai halaman pertama, tapi tidak ada kata-kata yang bisa kubaca, hanya lambang-lambang aneh dan asing.
Walau begitu, aku mengenali salah satu di antaranya. Lambang itu kelihatan mirip dengan yang Dad tatahkan di tangan Vandy ketika dia mengusir wanita itu.
Bahkan, sebelum aku bisa mengembalikan halaman pertamanya, aku menjatuhkan buku itu kembali ke atas tumpukan kertas. Amit-amit jabang bayi, desahku.
Dad mengangguk. Sekarang kau bisa lihat mengapa aku harus membiarkanmu melakukan sebagian besar angkat berat saat membuka kotak. Tidak mungkin aku bisa menggunakan sihir sebanyak itu dan punya kekuatan untuk mencari ritual.
Sekarang Dad baru bilang. Aku melesak ke salah satu kursi kulit di seberang meja Dad. Bagaimana Dad bisa tahu apa yang dicari" Tidak ada kata-kata di dalam benda ini.
Tidak mudah. Bahkan, aku pun tidak menyadari betapa kuatnya buku ini. dia membuka sampul depannya, dan aku berjengit. Tapi, karena aku tidak bisa melihat halaman-halamannya, aku tidak merasakan sihirnya kali ini. Akan tetapi, Dad, jelas-jelas bergidik. Grimoire ini ditulis dengan bahasa malaikat.
Tidakkah seharusnya itu, misalkan, musik harpa atau senandung, dan bukannya hieroglif tingkat tinggi"
Entah Dad tidak mendengarkan aku atau memutuskan untuk tidak menggubrisnya. Yang tidak kumengerti adalah mengapa hanya ritual itu yang diambil, gumamnya, hampir kepada dirinya sendiri. Dari semua ritual, mengapa yang satu itu"
Dan kapan seseorang mengambilnya" tambahku.
Dad berkedip kepadaku seakan-akan mendadak teringat bahwa aku berada di dalam ruangan itu. Apa"
Buku itu sudah berada di dalam lemari itu sejak, kapan, 1939" 1940" Jadi, apakah seseorang merobek itu pada suatu waktu selama tujuh puluh tahun, atau apakah lembaran itu dirobek sebelum grimoire-nya bahkan dikunci"
Aku belum memikirkannya, Dad mencubit pangkal hidungnya dan menghela napas. Misterius, semakin misterius saja. Dengan terkejut aku menatapnya. Kadang-kadang aku mengatakan itu.
Bahkan, dengan wajahnya yang tegang karena khawatir, Dad berhasil kelihatan sedikit geli. Itu berasal dari Alice di Negeri Ajaib. Cocok, bukan begitu"
Ya, tapi lubang kelincinya jauh lebih gelap, kupikir. Aku pura-pura mengamati rak buku di sudut seberang. Aku menyangka isinya buku-buku membosankan tentang sejarah Prodigium atau ekonomi shapeshifter, dan ada beberapa buku itu, tapi aku juga melihat beberapa fiksi masa kini, di samping beberapa buku Roald Dahl. Dad membawa perkiraanku lebih jauh lagi.
Apakah menurutmu entah siapa atau apa yang membangkitkan Daisy dan Nick memiliki lembaran kertas itu"
Mereka pasti punya. Aku berputar lagi menghadap Dad. Dan itu buruk. Lebih buruk daripada buruk. Dia itu condong ke depan. Sophie, Virgina Thorne membangkitkan demon untuk digunakan sebagai senjata. Aku hanya bisa menduga siapa pun yang membangkitkan Nick dan Daisy punya motif yang serupa.
Aku mengembuskan napas. Dad, ini benar-benar... eh, berantakan. Dia menyunggingkan senyuman masam. Kurasa kata yang hendak kau ucapkan mungkin rangkuman paling baik dari situasi saat ini. Jadi, apa yang akan kita lakukan"
Tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini kecuali menunggu dan melihat bagaimana keadaan berlangsung.
Aku mengetuk-ngetukkan kuku-kukuku. Aku belum pernah mahir dalam menyembunyikan emosi, dan ketakutan praktis membuat organ tubuh bagian dalamku gemetar. Siapa pun yang memiliki ritual itu secara teknis bisa membangkitkan sepasukan demon kalau mereka mau. Dan, kalau Prodigium punya itu di pihak mereka dalam perang melawan Mata" Aku melawan bayangan Archer yang terkapar terluka dan berlumuran darah di kaki sesosok demon, dari semua horor yang membuncah ke dalam dunia manusia seperti sebelumnya. Sambil mencoba menjaga agar suaraku tetap enteng, aku berkata, Nah, menunggu adalah saus payah.
Aku tak yakin aku tahu apa artinya itu, tepatnya, tapi kurasa aku juga merasakan hal yang sama. Dad kembali meletakkan grimoire ke dalam mejanya, menutup laci dengan suara klik lembut. Aku mendorong diriku sampai berdiri dari kursi. Dad, apakah menurutmu menemukan entah siapa yang melakukan ini bisa menghentikan kedatangan perang"
Aku tak tahu, katanya, dengan pelan.
Dia sedang memandangku, tapi aku merasa dia tidak benar-benar melihatku. Kuharap begitu.
Hasilnya, penghiburan itu tidak terlalu bagus, tapi harus cukup. Aku sudah hampir mencapai pintu ketika Dad berkata, Sebelum kau pergi, Sophie, maukah kau memberi tahu aku mengapa kau membawabawa medali Santo Anthony di sakumu dua hari belakangan ini" Hah" kemudian, aku teringat kepingan yang diberikan Archer kepadaku. Dengan enggan, aku mengeluarkannya dari saku dan memberikannya kepada Dad. Hanya sesuatu yang kutemukan. Bagaimana Dad tahu aku membawa itu"
Dad membalik-balikkan kepingan itu di jari-jarinya. Aku bisa merasakan sihirnya. Dia melirikku. Medali Santo Anthony adalah benda yang sangat kuat. Para penyihir dan warlock menggunakanya di Abad Pertengahan, biasanya saat mereka berpergian. Kau bisa memberikannya kepada seseorang dan menggunakannya kalau kau tersesat atau tertangkap, dua-duanya sering terjadi pada masa itu. Dia menjentikkannya kembali kepadaku. Aku sebenarnya tidak heran kau menemukan satu. Kami punya lusinan di ruangan bawah tanah di Hecate.
Nah, kalau begitu jelaslah sudah. Pemburu demon rahasia dan maling. Ya ampun, aku benar-benar tahu bagaimana cara memilih pacar.
Aku sudah berpikir-pikir untuk kembali ke kamar tidur, tapi ketika aku membuka pintu kamarku, aku melihat Nick dan Daisy sedang menungguku. Nick sedang memegang foto ibuku sementara Daisy berselonjor di tempat tidur, sambil membuka-buka buku The Secret Garden milikku.
Apa ini ibumu" tanya Nick. Dia keren.
Walaupun Nick tidak lihai membuat aku menggertakkan geraham, aku masih tidak senang dia atau Daisy juga, sebenarnya mengorekngorek barang-barangku. Kalian mau apa"
Nick bersiul sambil meletakkan foto itu kembali di atas nakasku. Kami kemari untuk mencarimu. Kudengar kau terluka saat merapalkan mantra hari ini.
Oh. Kataku. Eh... ya, aku sedang berlatih dengan ayahku. Tapi, aku baik-baik saja sekarang.
Sambil mengempaskan dirinya ke atas tempat tidur di samping Daisy, Nick melipat lengannya di belakang kepala. Ah, ya, semua pernapasan dan memusatkan perhatian itu.
Cuma membuang-buang waktu saja, gumam Daisy, sambil menggeserkan jarinya di gambar Mary Lennox yang sedang berkeliaran di lorong-lorong Misselthwaite.
Aku tidak menanggapinya. Yah, seperti yang kalian lihat, aku baikbaik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkan aku. Dengan gaya berlebihan, Nick turun dari tempat tidur. Kurasa kita disuruh pergi, Cintaku, katanya kepada Daisy sebelum menariknya sampai berdiri.
Tapi, kita belum sempat menceritakan pestanya kepada Sophie, kata gadis itu, ada secercah rengekan di dalam suaranya. Pesta apa" tanyaku.
Nick tersenyum. Pesta ulang tahunmu. Rupanya Dewan akan mengadakan pesta heboh.
Berkat seringnya Mom dan aku berpindah-pindah, aku tidak pernah menga-dakan pesta ulang tahun sejak berumur delapan tahun. Itu diadakan di Chuck E. Chesse. Aku punya firasat Dewan merencanakan sesuatu yang lebih besar.
Mereka tidak perlu melakukan itu, kataku, sambil menjejalkan tanganku ke dalam saku. Apalagi dengan semua peristiwa yang terjadi sekarang.
Nick melemparkan cengiran serigala kepadaku. Itulah Prodigium bagimu. Sangat memainkan biola sementara Roma terbakar . Daisy menggandengkan tangannya ke tangan Nick. Lagi pula, pasti akan menyenangkan. Mereka semua berusaha sebaik mungkin untuk Dia berhenti tiba-tiba, dan senyumannya berubah menjadi seringaian kesakitan. Semua darah tampak mengering dari wajahnya, mengubah kulit gadingnya menjadi abu-abu. Kepalanya terkulai, dan Nick menangkap sikunya.
Daisy" Tangan Daisy mencengkeram papan kaki tempat tidurku, dan menarik napas gemetar beberapa kali. Lalu, dia mendongak dan membuka matanya. Aku separuh menyangka mata itu merah keunguan, seperti mata Alice pada malam dia membunuh Elodie, tapi ternyata mata itu hijau cerah seperti biasanya. Aku baik-baik saja, katanya, tetapi suaranya tegang. Hanya sedikit... kobaran sihir. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Wajah Nick berkerut karena khawatir, tapi Daisy menepisnya. Aku baik-baik saja, katanya lagi, sambil menggiring Nick ke arah pintu. Sekarang, ayo biarkan Sophie beristirahat. Dia kelihatan sedikit capai.
Aku tak mungkin kelihatan lebih buruk daripada Daisy, tapi aku tidak mengatakan apa-apa sampai dia dan Nick pergi. Begitu mereka pergi, barulah aku menangkap bau kayu terbakar yang sudah tidak asing lagi di udara. Tapi kali ini, itu bukan halusinasi.
Di sana, di papan kaki tempat tidurku, ada dua bekas tangan gosong yang berasap.
"RatuBuku Bab 24 Selama tiga minggu berikutnya, aku terus-menerus mengawasi Nick dan Daisy. Tidak ada lagi kobaran sihir , tapi kelihatannya mereka berdua minum-minum lebih banyak daripada biasanya. Dan, setiap kali mereka duduk untuk melakukan yoga demon dengan aku dan Dad, mereka pergi lebih dulu. Setelah salah satu pelajaran, Dad memberikan satu buku Demologi: Sejarah. Aku menemukan tak lama kemudian, dijejalkan di dalam guci kuningan tinggi.
Beberapa hari sebelum Vix harus pergi, Lara mengantar Jenna, Cal, Vix dan aku ke London memakai mobil Dad mengoceh omong kosong perjalanan menggunakan Itineris lagi dan akhirnya aku bisa melakukan semua kegiatan turis. Sewaktu kami pergi ke Tower of London, Lara membagikan brosur-brosur kecil kepada kami yang berisi tentang sejarah Prodigium di tempat tersebut, seperti betapa Anne Boleyn itu sebenarnya penyihir hitam (tidak mengherankan di situ), dan bahwa salah satu cucu Ratu Victoria ditahan di White Tower setelah menjadi vampir.
Hari itu menyenangkan, kurasa. Maksudku, ada fish-and-chips, dan naik bis tingkat double decker. Tapi, pergi ke London membuatku tersadar betapa aku sudah begitu terbiasa hanya berada di sekitar Prodigium. Hex Hall sangat terisolasi, sudah jelas, dan begitu juga Thorne. Sudah nyaris satu tahun sejak aku berada di antara manusia, dan aku terheran-heran betapa gugupnya perasaanku. Aku terusmenerus menunggu seseorang yang memperhatikan brosur aneh itu, atau batu darah Vix dan Jenna, dan menyadari apa sebenarnya mereka. Itu perasaan yang menggelisahkan, dan aku ingin tahu apakah itu yang dirasakan oleh Prodigium lain sepanjang waktu. Jadi, aku menghembuskan napas lega saat mobil kami berbelok menyusuri jalan masuk berkerikil sore itu.
Perjalanan kami ke London berikutnya dua hari sebelum ulang tahunku. Tidak hanya kami harus mengantarkan Vix ke bandara, tapi Jenna, Nick, Daisy dan aku punya janji di Lysander s, butik yang super mewah. Lysander itu peri, tapi dia menjaga agar tokonya diberi glamour sehingga wanita manusia kaya raya yang berbelanja di sana tidak mengetahuinya. Akan tetapi, hari ini, toko tersebut tutup untuk orang lain kecuali kami.
Sengatan Satu Titik 1 Pendekar Gila 20 Tragedi Berdarah Diponorogo Kisah Si Rase Terbang 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama