Kisah-kisah Sufi Karya Idries Shah Bagian 1
KISAH-KISAH SUFI Oleh Idries Shah Kumpulan kisah nasehat para guru sufi selama seribu tahun yang lampau
Terjemahan: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984
Idries Shah, yang nama lengkapnya Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi, adalah Syekh Besar (Syekh al-Kabir) Sufi dan anak sulung Nawab asal Sardana, dekat Delhi di India. Keluarganya berasal dari keluarga Kerajaan Pagham di Hindu-Kush, yang nenek moyangnya memerintah sejak 1221. Idries Shah dilahirkan di Simla-Himalaya dan menetap di London. Ia mengarang beberapa buku tentang mistik-tasawuf, diantaranya Mahkota Sufi (The Sufis) dan Jalan Sufi (The Way of the Sufi),
kumpulan cerita sufi, serta karya-karya lainnya
Isa Dan Orang Orang Bimbang
Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama sekelompok orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.
Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu padamu, kau pasti menyalahgunakannya."
Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk pengetahuan semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan menambah keyakinan kami."
"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.
Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.
Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun segera terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar yang kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai menjadi serpih-serpih daging.
Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.
Catatan: Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maria. Kisah ini mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu muncul dalam dongeng-dongeng lisan para darwis tentang Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali.
Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang suka mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan, yang dalam bahasa Latin di sebut Geber, yang juga penemu alkimia Kristen.
Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang Sabia, menurut para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia penting.
Batas Dogma Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah: "Jatuhkan batu itu, kuli." Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya
sejumlah warga memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu. Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab.
"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu itu disitu."
Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.
Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya.
Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.
Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.
Mere ka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.
Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.
Catatan: Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam versi ini.
Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar."
Bayazid Dan Orang Yang Memikirkan Diri Sendiri
Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa mendapatkan kesenangan juga.
"Mengapa begitu"" tanya Si Sok-Saleh.
"Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu."
"Coba katakan apa obatnya."
"Obatnya tak akan bisa kau laksanakan."
"Bagaimanapun, katakan sajalah."
Bayazid pun berkata, "Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, 'akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.' Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar semua orang menyaksikanmu."
"Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya."
"Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara," kata Bayazid, "Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya; jadi tak ada obat bagimu."
Catatan: Al-Ghazali,dalamAlkemia Kebahagiaan, mempergunakan ibarat ini untuk menekankan pernyataan yang sering diulang-ulangnya bahwa sementara orang, betapapun jujur tampaknya usaha mencari kebenaran itu bagi dirinya sendiri -dan bahkan mungkin juga bagi orang lain- nyatanya kadang-kadang didasari kesombongan atau mencari untung sendiri, hal-hal yang merupakan halangan utama bagi pencarian kebenarannya.
Keperluan Yang Makin Mendesak
Pada suatu malam seorang penguasa tiran Turkestan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis, ketika ia tiba-tiba bertanya tentang Kidir.
"Kidir," kata darwis itu, "datang kalau diperlukan. Tangkaplah, jubahkan kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik Paduka,"
"Apakah itu bisa terjadi atas siapapun""
"Siapa pun bisa," kata darwis itu.
"Siapa pula lebih 'bisa' dariku"" pikir Sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman:
"Siapa yang bisa menghadirkan Kidir Yang Gaib di hadapanku, akan kujadikan orang kaya."
Seorang lelaki miskin dan tua yang bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu, menyusun akal. Katanya kepada istrinya,
"Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, itu tak apalah, sebab kekayaan kita akan bisa menghidupimu seterusnya."
Kemudian Bakhtiar menghadap raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Kidir dalam waktu empat puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping uang emas. "Kalau kau bisa menemukan Kidir," kata Raja, "kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping uang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung ditempat ini sebag
ai peringatan kepada siapapun yang akan mencoba mempermainkan rajanya."
Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan uang itu kepada istrinya, sebagai jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain.
Pada hari keempat puluh ia menghadap raja. "Yang Mulia," katanya, "kerakusanmu telah menyebabkanmu berpikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Kidir. Tetapi Kidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan."
Sang Raja sangat marah. "Orang celaka, kalau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja""
Bakhtiar berkata, "Menurut dongeng, semua orang bisa bertemu Kidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Kidir akan menemui orang selama ia bisa memanfaatkan saat kunjungan itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya."
"Cukup ocehan itu," kata Sang Raja, "sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasehatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu."
Ia menoleh ke Menteri Pertama dan berkata, "Bagaimana cara orang itu mati""
Menteri Pertama menjawab, "Panggang dia hidup-hidup, sebagai peringatan."
Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya berkata, "Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya."
Menteri Ketiga berkata, "Sediakan kebutuhan hidup orang itu, agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya."
Sementara pembicaraan itu berlangsung, seorang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki ruang pertemuan. Segera orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi dalam dirinya."
"Apa maksudmu"" tanya Raja.
"Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya tukang roti, jadi ia berbicara tentang panggang-memanggang. Menteri Kedua dulu tukang daging, jadi ia bicara tentang potong-memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini.
Catat dua hal ini. Pertama, Kidir muncul melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini--yang kuberi nama Baba karena pengorbanannya-telah didesak oleh keputus-asaan untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga akupun muncul didepanmu."
Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itupun lenyap begitu saja. Sesuai dengan yang diperintahkan Kidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan kedua dipecat, dan seribu keping uang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya. Bagaimana Raja bisa bertemu Kidir lagi, dan apa yang terjadi antara keduanya" Itu semua ada dalam dongeng di Dunia Gaib.
Catatan: Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang Sufi bijaksana yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Korasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi.
Kisah ini, dikatakan juga terjadi atas sejumlah besar Syeh Sufi lain, menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan "makhluk" lain. Kidir merupakan penghubung antara keduanya.
Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaludin Rumi: Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya.
Karenanya, O manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak, sehingga kau bisa mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi. Versi ini diucapkan oleh seorang guru darwis dari Afganistan.
Ketika Air Berubah Pada zaman dahulu, Kidir, Guru Musa, memberi peringatan kepada manusia. Pada hari tertentu, katanya, semua air didunia yang tidak disimpan secara khusus akan lenyap. Sebagai gantinya akan ada air baru, yang mengubah manusia menjadi gila.
Hanya seorang yang menangkap makna peringatan itu. Ia mengumpulkan air dan menyimpannya di tempat yang aman. Ditunggunya saat yang di sebut-sebut itu.
Pada hari yang dipastikan itu, sungai-sungai berhenti mengalir, sumur-sumur mengering. Melihat kejadian itu, orang yang menangkap
makna peringatan itupun pergi ketempat penyimpanan dan meminum airnya.
Ketika dari tempat persembunyiannya itu ia menyaksikan air terjun kembali memuntahkan air, orang itu pun menggabungkan dirinya kembali dengan orang-orang lain. Ternyata mereka itu kini berpikir dan berbicara dengan cara sama sekali lain
dari sebelumnya; mereka tidak ingat lagi apa yang pernah terjadi, juga tidak ingat sama sekali bahwa pernah mendapat
peringatan. Ketika orang itu mencoba berbicara dengan mereka, ia menyadari bahwa ternyata mereka telah menganggapnya gila. Terhadapnya, mereka menunjukkan rasa benci atau kasihan, bukan pengertian.
Mula-mula orang itu tidak mau minum air yang baru; setiap hari ia pergi ke tempat persembunyiannya, minum air simpanannya. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk meminum saja air baru itu; ia tidak tahan lagi menderita kesunyian hidup; tindakan dan pikirannya sama sekali berbeda dengan orang-orang lain. Ia meminum air baru itu, dan menjadi seperti yang lain-lain. Ia pun sama sekali melupakan air simpanannya, dan rekan rekannya mulai menganggapnya sebagai orang yang baru saja waras dari sakit gila.
Catatan: Orang yang dianggap menciptakan kisah ini, Dhun-Nun, seorang Mesir (meninggal tahun 860), selalu dihubung-hubungkan dengan suatu bentuk Perserikatan Rahasia. Ia adalah tokoh paling awal dalam sejarah Kaum Darwis Malamati, yang oleh para ahli Barat sering dianggap memiliki persamaan yang erat dengan keahlian anggota Persekutuan Rahasia. Konon, Dhun-Nun berhasil menemukan arti hieroglip Firaun.
Versi ini dikisahkan oleh Sayid Sabir Ali-Syah, seorang ulama Kaum Chishti, yang meninggal tahun 1818.
Kisah Api Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.
Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak tentang penemuannya.
Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi mereka. Akhirnya, sekelompokorang yang menyaksikannya memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin bahwa ia setan.
Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat kedinginan.
Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu. Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan
dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi mereka.
Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya, "Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitandengan pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka itu!"
Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan bagaimana mendekatinya."
Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin mengatakan sesuatu""
Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini.
" "Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri, silahkan saja," kata gurunya.
Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu, maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun lamanya kalian telah tersesat""
Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.
Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api. Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba menyehatkan akal bangsa itu.
Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal. Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara ini."
Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal. Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan. Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak mau mendengarkan Saudara."
Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur, orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata kepada pemimpin besar itu.
"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan, yang bisa dipergunakan."
"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."
"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut ketiga itu.
"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan takbisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa melanjutkan usahanya.
Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan kerumunan orang.
"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana melaksanakannya," katanya.
Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api bahkan setelah diberi tahu caranya.
Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia mendapat kedudukan di sini."
Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya dengan bangsa kita ini""
Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.
Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain.
Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya,
"Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari, bukan apa yang pertama
-tama harus mereka pelajari. Kalau kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan kemampuan."
Catatan: Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu"" Ahmad al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,
"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha mencapai Tuhan.
Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka berbicara dan bertindak."
Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah.
Ia pendiri kaum Badawi Mesir.
Mimpi Dan Irisan Roti Tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan melelahkan; mereka bergembira dan berduka bersama, mengumpulkan kekuatan dan tenaga bersama.
Setelah berhari-hari lamanya mereka menyadari bahwa yang mereka miliki tinggal sepotong roti dan seteguk air di kendi. Mereka pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan dan meminum bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai persesuaian pendapat, akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan minuman itu menjadi tiga. Namun, tetap saja mereka tidak sepakat.
Malampun turun; salah seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka bangun, orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan menentukan apa yang harus dilakukan.
Pagi berikutnya, ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit.
"Inilah mimpiku," kata yang pertama. "Aku berada di tempat-tempat yang tidak bisa digambarkan, begitu indah dan tenang. Aku berjumpa dengan seorang bijaksana yang mengatakan kepadaku, 'Kau berhak makan makanan itu, sebab kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga, dan pantas mendapat pujian."
"Aneh sekali," kata musafir kedua. "Sebab dalam mimpiku, aku jelas-jelas melihat segala masa lampau dan masa depanku. Dalam masa depanku, kulihat seorang lelaki maha tahu, berkata,'Kau berhak akan makanan itu lebih dari kawan-kawanmu, sebab kau lebih berpengetahuan dan lebih sabar. Kau harus cukup makan, sebab kau ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia."
Musafir ketiga berkata, "Dalam mimpiku aku tak melihat apapun, tak berkata apapun. Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun, mencari roti dan air itu, lalu memakannya di situ juga. Nah, itulah yang kukerjakan semalam."
Catatan: Kisah ini salah sebuah yang dianggap merupakan karangan Syah Mohammad Gwath Syatari, yang meninggal tahun 1563. Ia menulis risalah terkenal, Lima Permata, yang menggambarkan cara pencapaian taraf lebih tinggi manusia dalam terminologi sihir dan tenaga gaib, yang didasarkan pada model-model kuno. Ia merupakan Guru yang telah melahirkan lebih dari empat belas Kaum dan sangat dihargai oleh Maharaja India, Humayun.
Meskipun ia dipuja-puja beberapa kalangan sebagai orang suci, beberapa tulisannya dianggap oleh golonga pendeta sebagai menyalahi aturan suci, dan oleh arenanya mereka menuntutnya agar dihukum. Ia akhirnya dibebaskan dari tuduhan murtad, karena hal-hal yang dikatakan dalam keadaan pikiran yang istimewa tidak bisa dinilai dengan ukuran pengetahuan biasa. Makamnya di Gwalior, yang merupakan tempat ziarah Sufi yang sangat penting.
Alur yang sama juga dipergunakan dalam kisah-kisah Kristen yang tersebar di kalangan pendeta pada abad pertengahan.
Orang Yang Menyadari Kematian
Konon, ada seorang raja darwis yang berangkat mengadakan perjalanan melalui laut. Ketika penumpang-penumpang lain memasuki perahu satu demi satu, mereka melihatnya dan sebagai lazimnya --merekapun meminta nasehat kepadanya. Apa yang dilakukan semua darwis tentu sama saja, yakni memberi tahu orang-orang itu hal yang itu-itu juga: darwis itu tampaknya mengulangi saja sa
lah satu rumusan yang menjadi perhatian darwis sepanjang masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu maut itu apa." Hanya beberapa penumpang saja yang secara khusus tertarik akan peringatan itu.
Mendadak ada angin topan menderu. Anak kapal maupun penumpang semuanya berlutut, memohon agar Tuhan menyelamatkan perahunya. Mereka terdengar berteriak-teriak ketakutan, menyerah kepada nasib, meratap mengharapkan keselamatan. Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung, sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan adegan yang ada disekelilingnya.
Akhirnya suasana kacau itu pun berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa tenang darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung.
Salah seorang bertanya kepadanya, "Apakah Tuan tidak menyadari bahwa pada waktu angin topan itu tak ada yang lebih kokoh daripada selembar papan, yang bisa memisahkan kita dari maut""
"Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya begitu. Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada di darat dan merenungkannya, dalam peristiwa sehari-hari biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi."
Catatan: Kisah ini ciptaan Bayazid dari Bistam, sebuah tempat disebelah selatan Laut Kaspia. Ia adalah salah seorang diantara Sufi Agung zaman lampau, dan meninggal pada paroh kedua abad kesembilan.
Ayahnya seorang pengikut Zoroaster, dan ia menerima pendidikan kebatinannya di India. Karena gurunya, Abu-Ali dari Sind, tidak menguasai ritual Islam sepenuhnya, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali beragama Hindu, dan bahwa Bayazid tentunya mempelajari metode mistik India. Tetapi tidak ada ahli yang berwewenang, diantara Sufi, yang mengikuti anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid termasuk kaum Bistamia.
Orang Yang Berjalan Di Atas Air
Seorang darwis yang suka berpegang pada kaidah, yang berasal dari mazhab sangat saleh, pada suatu hari berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada pelbagai masalah moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama perasaan dengan pencarian Kebenaran mutlak.
Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: seseorang terdengar mengulang-ngulang suatu ungkapan darwis. "Tak ada gunanya itu," katanya kepada diri sendiri, "sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya YA-HU, tapi dia mengucapkannya U-YA-HU."
Kemudian ia menyadari bahwa, sebagai Darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah Darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk disebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu. "Sahabat," kata darwis pertama, "Anda keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasehat. Inilah ucapan yang benar." Lalu di beritahukannya ucapan itu.
"Terima kasih," kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimanapun, kalau orang bisa mengulang-ngulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan bisa berjalan diatas air. Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri tetapi--berdasarkan alasan tertentu-darwis pertama itu ingin sekali bisa melakukannya.
Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-aalang itu, namun ia yakin bahwa nasehatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya kembali ucapan U-YA yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ngulang ungkapannya Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan
kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan diatas air Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis keduapun mendekatinya, katanya, "Saudara, maaf saya mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya mengingat-ingatnya."
Catatan: Dalam Bahasa Indonesia, hanya satu arti yang bisa diungkapkan oleh kisah ini. Dalam versi Arab sering dipergunakan kata-kata yang bunyinya sama tetapi berbeda arti (homonim) untuk menyatakan bahwa kata itu bisa dipergunakan untuk memperdalam kesadaran, disamping juga menunjukkan sesuatu yang nilainya dangkal.
Di samping terdapat dalam sastra masa kini yang populer di Timur, kisah ini juga didapati dalam naskah-naskah pelajaran darwis, beberapa diantaranya sangat penting.
Versi ini berasal dan Kaum Asaaseen ('hakiki,' 'asli'), di Timur Dekat dan Tengah.
Orang Orang Yang Sampai Imam Al-Ghazali mengisahkan suatu cerita dalam kehidupan Isa bin Maryam.
Pada suatu hari Isa melihat orang-orang duduk bersedih di sebuah tembok, dipinggir jalan.
Tanyanya, "Apa gerangan yang merundungmu semua""
Jawab mereka, "Kami menjadi seperti ini lantaran ketakutan kami menghadapi neraka."
Isapun meneruskan perjalanannya, dan melihat sejumlah orang berkelompok berduka dalam berbagai gaya dipinggir jalan. Katanya, "Apa gerangan yang merundung kalian"" Mereka menjawab, "Keinginan akan sorga telah membuat kami semua begini."
Isa pun melanjutkan perjalanannya, sampai ia bertemu dengan kelompok ketiga. Tampaknya orang-orang itu telah menderita amat sangat, tetapi wajah mereka bersinar bahagia.
Isa bertanya, "Apa gerangan yang telah membuatmu begitu""
Mereka menjawab, "Semangat Kebenaran. Kami telah melihat Kenyataan, dan hal itu telah menyebabkan kami melupakan tujuan-tujuan lain yang sepele."
Isa berkata, "Orang-orang itu telah sampai. Pada Hari Perhitungan nanti, merekalah yang akan berada di Sisi Tuhan."
Catatan: Kisah Sufi tentang Yesus ini sering mengejutkan mereka yang percaya bahwa kemajuan rohaniah hanya tergantung pada pengolahan masalah ganjaran dan siksa.
Para Sufi mengatakan bahwa hanya orang-orang tertentu bisa mengambil keuntungan dari pelibatan diri pada masalah untung atau rugi; dan bahwa hal ini mungkin hanya merupakan sebagian saja dari pengalaman orang-seorang. Mereka yang telah mempelajari pelbagai cara dan akibat keadaan dan pencekokan conditioning and indoctrination) mungkin merasa sepakat dengan pandangan tersebut.
Tentu saja, kaum agamawan formal, dalam pelbagai keyakinannya tidak mengakui bahwa pilihan sederhana atas baik-buruk, ketegangan-kelonggaran, ganjaran-siksa hanyalah sekedar bagian-bagian suatu sistem lebih besar dari kesadaran diri.
Para Pelayan Dan Rumah Pada zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan baik hati, yang memiliki sebuah rumah besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia sering pergi jauh beberapa waktu lamanya. Kalau ia sedang pergi, rumah itu diserahkan pemeliharaannya kepada para pelayan.
Salah satu sifat para pelayan itu adalah pelupa. Sering mereka lupa, mengapa berada dalam rumah itu; demikianlah mereka menjalankan kewajibannya dengan mengulang-ngulang yang sudah dikerjakan. Tidak jarang pula mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang sama sekali berbeda dengan yang telah diberitahukan kepada mereka. Hal itu terjadi karena mereka telah melupakan peran mereka di rumah itu.
Konon, ketika pemilik rumah itu sedang bepergian jauh, muncullah sekelompok pelayan, yang berpikir bahwa merekalah yang memiliki rumah itu. Karena pengetahuan mereka itu terbatas pada dunia sehari-hari saja, mereka merasa berada dalam keadaan yang bertentangan. Misalnya saja, pernah mereka ingin menjual rumah, tetapi tidak bisa mendapatkan pembeli, karena memang tidak bisa mengurusnya. Pada waktu yang lain orang-orang datang bermaksud membeli rumah itu, dan menanyakan tentang sertifikat tanah, tetapi karena para pelayan itu sama
sekali tidak tahu menahu tentang akta
, dianggapnya para calon pembeli itu main-main saja.
Keadaan yang bertentangan itu juga dibuktikan oleh kenyataan bahwa persediaan untuk rumah senantiasa muncul "secara rahasia," dan perbekalan itu tidak cocok dengan anggapan bahwa para penghuni bertanggung jawab untuk seluruh rumah.
Petunjuk-petunjuk untuk mengurus rumah itu telah ditinggalkan dalam kamar si empunya rumah--dengan maksud agar bisa diingat-ingat lagi. Tetapi setelah satu generasi, kamar itu menjadi begitu keramat sehingga tak ada seorangpun yang diperbolehkan memasukinya; dan kamar itu pun dianggap sebagai rahasia yang tak tertembus. Malahan, beberapa diantara pelayan itu beranggapan bahwa kamar itu sama sekali tak ada, meskipun mereka melihat pintunya. Namun, tentang pintu itu mereka memberikan penjelasan lain; sekedar hiasan dinding belaka.
Begitulah keadaan para pelayan rumah tersebut, yang tidak mengambil alih rumah itu, tidak pula tetap setia kepada petunjuk semula.
Catatan: Konon, kisah ini sering sekali dipergunakan oleh syuhada Sufi Al-Hallaj, yang dihukum mati pada tahun 922 karena diduga mengatakan, "Akulah Kebenaran."
Hallaj meninggalkan sejumlah besar mistik. Meskipun mengandung bahaya, banyak Sufi dalam waktu seribu tahun terakhir ini mengakui bahwa Hallaj adalah yang menerima pencerahan.
Di Jalan Tempat Pedagang Wangi Wangian
Seorang pengais sampah, yang sedang berjalan-jalan di tempat orang berjualan wangi-wangian, tiba-tiba terjatuh seakan-akan mati. Orang-orang berusaha menghidupkannya kembali dengan bau-bauan wangi, namun keadaannya malah semakin parah.
Akhirnya seorang bekas pengorek sampah datang; ia mengetahui keadaan itu. Ia mendekatkan sesuatu yang berbau busuk di hidung orang itu, yang segera saja segar kembali, teriaknya, "Nah, ini dia wangi-wangian!"
Kamu harus mempersiapkan dirimu bagi keadaan peralihan, disana tidak ada apa pun yang sudah biasa kaukenal. Setelah mati, dirimu akan harus memberikan tanggapan terhadap rangsangan yang di dunia ini masih bisa kaucoba rasakan.
Kalau kau tetap terikat pada beberapa hal yang kau kenal akrab, kau hanya akan sengsara, seperti halnya si pengorek sampah yang keadaannya menjadi gawat ditempat para penjual wangi-wangian.
Catatan: Kisah perumpamaan ini jelas sekali maknanya. Ghazali mempergunakannya dalam Alkemia Kebahagiaan pada abad kesebelas untuk menggarisbawahi ajaran Sufi, bahwa hanya beberapa saja diantara benda-benda yang kita kenal ini yang memiliki pertalian dengan "dimensi lain."
Penyusunan Sejarah Konon, ada sebuah kota yang terdiri dari dua jalan yang sejajar. Seorang darwis berjalan lewat salah satu jalan itu, dan ketika ia mencapai jalan yang satu lagi, orang-orang melihat matanya berlinang air mata. "Ada yang meninggal di jalan sebelah itu!" teriak seseorang. Anak-anak yang di sekitar itupun segera mendengar teriakan tersebut.
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa darwis itu telah mengupas bawang.
Dalam sekejap teriakan itu telah mencapai jalan pertama; dan orang-orang dewasa di kedua jalan itu begitu sedih dan khawatir (sebab masyarakat di kedua jalan itu masih saling berebut) sehingga mereka takut mengusut sebab-musabah kehebohan itu sampai tuntas.
Seorang bijaksana berusaha bernalar dengan orang orang di kedua jalan tersebut, menanyakan mengapa mereka tidak mengusut sebab-musababnya. Dalam keadaan begitu bingung untuk memahami yang dikatakannya sendiri, beberapa orang berucap, "Yang kami tahu, ada wabah di jalan sana."
Kabar burung ini pun menyebar bagai kobaran api sehingga orang-orang di jalan ini beranggapan orang-orang di jalan yang lain tertimpa bencana; demikian pula sebaliknya.
Ketika ketenangan kembali terasa, masing-masing masyarakat. memutuskan untuk pindah saja demi keselamatan. Demikianlah, akhirnya kedua jalan di kota itu sama sekali ditinggalkan penghuninya.
Kini, beberapa abad kemudian, kota itu masih ditinggalkan; tidak berapa jauh darinya terdapat dua buah desa. Masing-masing desa mempunyai kisahnya sendiri tentang bagaimana mula-mula rakyatnya mengadakan perpindahan dari sebuah kota yang tertimpa bencana, ber
untung bisa melarikan diri dari malapetaka tak dikenal, pada masa yang jauh lampau.
Catatan: Dalam ajaran kejiwaannya, para Sufi menyatakan bahwa penyampaian pengetahuan secara biasa mudah menyebabkan kekeliruan karena adanya penambahan atau pengurangan dan ingatan yang salah; karenanya pengetahuan semacam itu tidak bisa dipergunakan sebagai pengganti persepsi langsung atas kenyataan.
Kisah yang menggambarkan subyektivitas otak manusia ini dikutip dari buku pelajaran Asrar-i-Khilwatia 'Rahasia Para Pertapa,' karangan Syeh Qalandar Syah, anggota Kaum Suhrawardi, yang meninggal tahun 1832. Makamnya di Lahore,
Pakistan. Peti Kuno Nuri Bey Nuri Bey adalah seorang Albania yang suka tepekur dan disegani, yang beristrikan wanita jauh lebih muda dari dirinya.
Suatu malam, ketika ia pulang lebih awal dan biasanya seorang pelayan yang setia menghadapnya dan berkata,
"Istri Tuan berkelakuan mencurigakan.
Ia berada di kamarnya dengan sebuah peti besar, cukup besar untuk menyimpan orang; peti itu dulu milik kakek Tuan.
Mestinya peti itu hanya berisi beberapa sulaman kuno.
Hamba yakin, kini didalamnya terdapat lebih dari sekedar sulaman.
Dan hamba, yang sejak dulu menjaganya, kini tidak diperbolehkan membukanya."
Nuri pergi kekamar istrinya, dan mendapatkannya duduk murung disamping peti kayu besar itu.
"Boleh aku melihat isi kotak itu"" tanya suaminya
"Karena kecurigaan pelayan, atau karena Tuan tidak lagi mempercayai saya""
"Bukankah lebih mudah membukanya saja, tanpa harus memasalahkan kaitan maksudnya""
"Tidak bisa." "Apa terkunci""
"Ya" "Di mana kuncinya""
Istrinya menunjukkan kunci itu, "Pecat pelayan itu, nanti saya berikan kunci itu kepada Tuan."
Pelayan itu dipecat. Wanita itu menyerahkan kunci dan iapun berlalu, tentu dengan pikiran kacau.
Nuri Bey berpikir lama. Kemudian dipanggilnya empat orang tukang kebunnya. Malam itu mereka bersama-sama mengangkat peti itu jauh ke ujung kebun, lalu menguburnya.
Masalah itu tidak pernah disebut-sebut lagi.
Catatan: Kisah yang menggelitik ini, yang berulang kali dikatakan memiliki arti dalam di samping nasehatnya yang jelas, merupakan sebagian dari naskah para darwis pengembara, yang pengayom sucinya adalah Yusuf dari Andalusia pada abad ketiga belas.
Di Turki, jumlah mereka itu sangat banyak. Kisah ini, dalam versi yang lebih dikembangkan, menyusup ke Bahasa Inggris melalui karya H.G. Dwight, Stambul Nights 'Malam-malam Istambul,' diterbitkan di Amerika Serikat tahun 1916 dan 1922
Si Tolol, Si Bijak, Dan Kendi
Seorang tolol merupakan panggilan bagi orang biasa, yang senantiasa salah menafsirkan apa yang terjadi atasnya, apa yang dikerjakannya, atau apa yang dilakukan orang lain. Ia melakukan semuanya itu begitu meyakinkan sehingga bagi dirinya dan orang-orang semacamnya segi kehidupan danpemikiran yang luas tampak masuk akal dan benar.
Seorang tolol semacam itu pada suatu hari disuruh membawa kendi menemui seorang bijaksana untuk meminta anggur. Di tengah jalan, karena ecerobohannya Si Tolol itu membenturkan kendinya ke batu, dan pecah. Ketika ia sampai dirumah orang bijaksana itu, ia memberikan pegangan kendinya, katanya, "Tuan Anu menyuruh saya memberikan kendi ini kepada Tuan, tetapi di tengah jalan ia dicuri batu."
Karena terhibur dan ingin mendengar seluruh ceritanya, orang bijaksana itu bertanya.
"Karena kendi itu telah di curi, kenapa kau berikan kepadaku pegangannya""
"Saya tidak setolol yang disangka orang," kata Si Tolol itu, "oleh karena saya membawa pegangan kendi ini untuk membuktikan kebenaran ceritaku."
Catatan: Suatu pokok pembicaraan yang banyak beredar di kalangan guru darwis adalah bahwa kemanusiaan umumnya tidak bisa membedakan suatu kecenderungan tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa, yang mestinya memungkinkannya memanfaatkannya sepenuh-penuhnya. Mereka yang mampu melihat kecenderungan itu disebut Sang Bijaksana, sementara orang kebanyakan disebut "tidur," atau di panggil Si
Tolol. Kisah ini, yang dalam Bahasa Inggris dikutip oleh Kolonel Wilberforce Clarke (Diwan-i-Hafiz) merupakan salah satu
contoh khas. Dengan menyerap ajaran itu lewat tokoh dan kisah yang dilebih-lebihkan, orang-orang tertentu mampu benar-benar "memekakan" diri untuk menangkap kecenderungan tersembunyi itu.
Kutipan ini berasal dari kumpulan kisah Sufi yang dikerjakan oleh Pir-i-do-Sara, "Yang mengenakan Jubah Bertambal" yang meninggal tahun 1790 dan dimakamkan di Mazar-i-Sharif, Turkestan.
Sultan Yang Menjadi Orang Buangan
Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang orang terpelajar, dan-seperti biasanya--timbullah pertengkaran. Pokok masalahnya adalah Mikraj Nabi Muhammad. Dikatakan, pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya, dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan sorga neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai kejadian lain--dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya masih belum habis ketika Nabi turun kembali.
Kisah-kisah Sufi Karya Idries Shah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran waktu disini dan di sana berbeda. Namun Sultan menganggapnya tidak masuk akal.
Para ulama cendikia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak memuaskan raja.
Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja menghadap raja. Sultan menunjukkan kerendahan hati terhadap sang guru yang berkata, "Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian. Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan bahwa ada faktor-faktor yang bisa ditunjukkan, yang menjelaskan cerita itu tanpa harus mendasarkan pada perkiraan ngawur atau akal, yang dangkal dan terbatas."
Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di pegunungan nunjauh disana terlihat olehnya sejumlah besar perajurit menyerang, bagaikan semut banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.
"Lupakan saja, tak ada apa-apa," kata Syeh itu.
Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak ada seorang perajurit pun yang tampak.
Ketika ia membuka jendela yang lain, kota yang di luar tampakterbakar. Sultan berteriak ketakutan.
"Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa," kata Syeh itu. Ketika pintu itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api sama sekali.
Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu tak ada.
Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah jendela tertutup lagi, lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.
Kemudian Syeh meminta seember air, dan meminta Sultan memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja Segera setelah Sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya, karena kekuatan gaib Syeh itu. Sultan marah sekali dan ingin membalas dendam.
Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya pakaian, dan iapun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada seorang tukang besi yang melihatnya gelandangan, dan bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa mata pencarian.
Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang wanita yang pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan dengan syarat si wanita itu harus menerimanya. Sultan itupun lalu pergi ke tempat mandi umum, dan di lihatnya seorang gadis cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apa gadis itu sudah kawin: ternyata sudah. Jadi ia harus menanyakan yang berikutnya, yang wajahnya sangat buruk. Dan yang berikutnya lagi. Yang ke empat sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum kawin, tetapi ditolaknya Sultan karena tubuh dan bajunya yang tak karuan.
Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri didepan Sultan katanya, "Aku disuruh ke mari menjemput seorang yang kusut di sini. Ayo, ikut aku."
Sultanpun mengikuti pelayan itu, dan dibawa kesebuah rumah yang sangat indah. Ia pun duduk di salah satu ruangannya yang megah berjam-jam lamanya. Akhirnya empat wanita cantik dan berpakaian indah-indah masuk, mengantarkan wanita kelima yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai wanita terakhir yang ditemuinya di rumah mandi umum tadi.
Wanita itu memberinya selamat datang dan mengatakan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyiapkan kedatangannya, dan bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekedar merupakan basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila berada di jalan.
Kemudian menyusul makanan yang lezat. Jubah yang sangat indah disiapkan untuk Sultan, dan musik yang merdu pun diperdengarkan.
Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu: sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya. Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini Sultanlah yang harus menanggung hidup keduanya bersama ketujuh anaknya.
Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasehat. Karena Sultan tidak memiliki kemampuan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli.
Dalam sehari, meskipun ia telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.
Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun yang lalu. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudhu: dan pada saat itu pula mendadak ia berada kembali di istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan segenap pegawaikeratonnya.
"Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat" teriak
Sultan. "Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli: Apakah kau tidak takut kepada Tuhan, Sang Maha Kuasa, hingga berani melakukan hal itu terhadapku""
"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi tersebut,"yakin waktu Baginda mencelupkan wajah ke air itu."
Para pegawai keraton membenarkan hal itu.
Sultan sama sekali tidak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera saja memerintahkan memenggal kepala Syeh itu. Karena merasa bahwa hal itu akan terjadi" Syeh pun menunjukkan kemampuannya dalam Ilmu Gaib (Ilm el-Ghaibat). Iapun segera lenyap dari istana tiba-tiba berada diDamaskus, yang jaraknya berhari-hari dari istana itu.
Dari kota itu ia menulis surat kepada Sultan:
"Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur Nabi masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya"
Yang penting bukanlah terjadi atau tidaknya peristiwa itu. Segalanya mungkin terjadi. Namun, yang penting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali. Dalam hal Nabi, peristiwa itu mengandung makna."
Catatan: Dinyatakan, setiap ayat dalam Quran memiliki tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pcmbaca atau pendengarnya.
Kisah ini, seperti macam lain yang banyak beredar di kalangan Sufi, menekankan nasehat Muhammad, "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan taraf pemahamannya."
Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawas, adalah: "Tunjukkan hal yang tak diketahui sesuai dengan cara-cara yang 'diketahui' khalayak."
Versi ini berasal dari naskah bernama Hu-Nama "Buku Hu" dalam kumpulan Nawab Sardhana, bertahun 1596.
Si Pemurah Ada seorang kaya dan murah hati yang tinggal di Bokhara. Karena ia memiliki pangkat tinggi dalam hirarki yang tak kelihatan, ia dikenal sebagai Pemimpin Dunia. Ia membuat satu syarat bagi hadiah yang dibagikannya. Setiap hari diberikannya emas kepada segolongan masyarakat --yang sakit, yang janda, dan selanjutnya. Namun tak diberikannya apapun kepada yang membuka mulut.
Tidak semua orang bisa berdiam diri.
Pada suatu h ari tibalah giliran para hakim menerima hadiah. Salah seorang diantara mereka itu tidak bisa menahan diri mengajukan permohonan sebaik-baiknya.
Ia tidak diberi apapun. Tetapi itu bukan usaha terakhir. Hari berikutnya, para cacat diberi hadiah, dan iapun pura-pura patah anggota badannya.
Tetapi Sang Pemimpin mengenalnya, dan ia pun tak mendapatkan apa-apa.
Hari berikutnya lagi ia kembali menyamar, menutupi wajahnya, di antara golongan masyarakat yang berbeda. Lagi-lagi ia dikenali, dan diusir.
Berulang kali ia mencoba, bahkan pernah menyamar sebagai wanita: namun semuanya tanpa hasil.
Akhirnya hakim ini bertemu dengan seorang pengurus jenazah dan memintanya untuk membungkus dirinya dengan kain kafan. "Kalau Sang Pemimpin lewat, mungkin ia nanti menganggapku mayat. Ia mungkin melemparkan uang untuk ongkos penguburanku dan kau nanti kuberi bagian."
Dilaksanakanlah hal itu. Sekeping uang emas dilemparkan oleh Pemimpin ke bungkusan kafan itu. Hakim itupun menangkapnya, khawatir kalau pengurus jenazah itu menangkapnya lebih dahulu. Kemudian berkatalah ia kepada pemurah itu, "Kau telah mengingkari hadiah untukku. Catat bagaimana aku telah mendapatkannya!"
"Tak ada yang bisa kau dapatkan dariku," jawab orang murah hati itu, "sampai kau mati." Itulah makna kalimat rahasia 'orang harus mati sebelum ia mati.' Hadiah itu datang setelah 'kematian,' dan tidak sebelumnya. Dan bahkan 'kematian' inipun tak mungkin ada tanpa pertolongan."
Catatan: Kisah ini, yang dikutip dari Mathnawi, karya Rumi, sudah jelas dengan sendirinya.
Para darwis mempergunakannya untuk menekankan bahwa meskipun anugerah bisa "digaet" oleh Si Cerdik, kemampuan ('emas') yang diambil secara baik-baik dari seorang guru seperti Si Pemurah dari Bokhara itu memiliki kekuatan yang melampaui ujud luarnya. Itulah nilai yang sukar dipahami mengenai Berkah.
Santapan Dari Sorga Yunus, putra Adam, pada suatu saat memutuskan untuk tidak sekedar menyerahkan hidupnya pada nasib, tetapi mencari cara dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.
"Aku manusia," katanya kepada dirinya sendiri. "Sebagai manusia aku mendapat sebagian dari kebutuhan dunia, setiap hari. Bagian itu aku dapat karena usahaku sendiri, didukung oleh usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses ini, aku akan mencari tahu bagaimana cara makanan mencapai manusia, dan belajar sesuatu mengenai bagaimana dan mengapanya. Daripada hidup di dunia kacau-balau ini, dimana makanan dan kebutuhan lain jelas datang melalui masyarakat, aku akan menyerahkan diriku kepada Penguasa langsung yang memerintah segalanya. Pengemis hidup lewat perantara: Lelaki dan wanita yang pemurah, yang merelakan sebagian hartanya berdasarkan desakan hati yang tidak sepenuh-penuhnya. Mereka melakukan itu karena telah dididik berbuat demikian. Aku tidak mau menerima sumbangan yang tidak langsung itu."
Selesai berbicara sendiri itu, iapun berjalan ke tempat terpencil, menyerahkan dirinya kepada bantuan kekuatan gaib dengan keyakinan yang sama seperti ketika ia menyerahkan dirinya kepada bantuan yang kasat mata, yakni ketika ia dulu menjadi guru di sebuah sekolah.
Ia pun jatuh tertidur, yakin bahwa Allah akan mengurus kebutuhannya sebaik-baiknya, sama seperti burung-burung dan binatang lain mendapatkan keperluannya di dunia mereka sendiri.
Waktu subuh, kicau burung membangunkannya, dan anak Adam itu mula-mula berbaring saja, menanti munculnya makanan. Meskipun ia mula-mula sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada kekuatan gaib dan yakin bahwa ia akan mampu memahaminya kalau kekuatan gaib itu mula bekerja di tempat itu, Yunus segera menyadari bahwa renungan saja tidak akan banyak membantunya di medan yang tidak biasa ini.
Ia berbaring ditepi sungai, dan menghabiskan seluruh hari memperhatikan alam, mengintai ikan di sungai, dan bersembahyang. Satu demi satu lewatlah orang-orang kaya dan berkuasa, disertai pengiring yang naik kuda bagus-bagus; terdengar kelinting pakaian kuda menandakan keyakinan jalan yang ditempuhnya, dan mendengar salam orang-orang itu karena mereka melihat ikat kepala yang dikenakannya. Kelompok-ke
lompok penziarah beristirahat dan mengunyah kue kering dan keju, dan air liurnya pun semakin mengucur membayangkan makanan yang paling sederhana.
"Ini hanya ujian, dan semua akan segera berlalu," pikir Yunus, ketika ia selesai mengerjakan sembahyang Isya, dan memulai tepekurnya menurut cara yang pernah diajarkan kepadanya oleh seorang darwis yang memiliki pandangan tajam dan luhur dalam mencapai tujuan.
Malam pun berlalu. Dan Yunus sedang duduk menatap berkas-berkas sinar matahari yang patah-patah terpantul di Sungai Tigris yang agung, ketika lima jam sesudah subuh, pada hari kedua, tampak olehnya sesuatu menyembul-nyembul di antara alang-alang. Barang itu ternyata sebuah bungkusan daun yang diikat dengan serabut kelapa.
Yunus, anak Adam, terjun ke sungai dan mengambil benda aneh itu.
Beratnya sekitar setengah kilogram. Ketika dibukanya pengikat itu, bau yang sedap menyerang lubang hidungnya. Yunus mendapat halwa Bagdad. Halwa makanan itu, dibuat dari cairan buah badam, air mawar madu, dan kacang - dan pelbagai bahan lain yang berharga - oleh karenanya sangat digemari karena rasanya yang enak dan khasiatnya yang tinggi bagi kesehatan. Putri-putri cantik penghuni harem menggigit-gigitnya karena rasanya yang enak; para prajurit membawanya ke medan perang karena bisa menimbulkan ketahanan tubuh. Ia pun bisa dipergunakan untuk mengobati seratus penyakit.
"Keyakinanku terbukti!" kata Yunus. "Dan kini tinggal mengujinya. Jika ada halwa yang sebesar ini, atau makanan yang sama, diantarkan kepadaku lewat sungai ini setiap hari,atau pada waktu-waktu yang teratur, aku akan mengetahui cara yang ditempuh oleh Sang Pemelihara untuk memberi makanan padaku. Dan sesudah itu aku bisa menggunakan akalku untuk mencari sumbernya."
Tiga hari berturut-turut sesudah itu, pada jam-jam yang tepat sama, sebungkus halwa terapung menuju ke tempat Yunus.
Ia berkeyakinan kuat bahwa hal itu merupakan penemuan yang maha penting. Kita sederhanakan saja keadan kita, dan Alam terus menjalankan tugasnya dengan cara yang kira-kira sama. Hal itu saja melupakan penemuan yang dirasanya harus disebarkan ke seluruh dunia. Bukankah sudah dikatakan, "Kalau kau mengetahui sesuatu, ajarkan itu." Namun kemudian disadarinya bahwa ia tidak mengetahui, ia baru mengalami. Langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah mengikutijalan halwa itu mudik sampai ia mencapai sumbemya. Tentu ia nanti tidak hanya mengetahui asal usulnya, tetapi juga cara bagaimana makanan itu sengaja disediakan untuk dimakannya.
Berhari-hari lamanya Yunus mengikuti alur sungai setiap hari secara teratur tetapi pada waktu yang semakin lama semakin awal halwa itu muncul, dan Yunus memakannya.
Akhirnya Yunus melihat bahwa sungai itu bukannya tambah sempit di udik, tetapi malah melebar. Di tengah-tengah sungai yang luas itu terdapat sebidang tanah yang amat subur. Di tanah itu berdiri sebuah istana yang kokoh namun indah. Dari sanalah, pikirnya, makanan itu berasal.
Ketika ia sedang memikirkan langkah berikutnya Yunus melihat seorang darwis yang tinggi dan kusut, yang rambutnya kusut bagaikan pertapa dan pakaiannya bertambal warna-warni, berdiri dihadapannya.
"Salam, Bapak," kata Yunus.
"Salam, huuu!" jawab pertapa itu keras. "Apa pula urusanmu disini""
"Saya melakukan suatu penyelidikan suci," anak Adam itu menjelaskan, "dan saya harus mencapai benteng di seberang itu untuk menyempurnakannya. Barangkali Bapak mengetahui akal agar saya bisa kesana""
"Karena tampaknya kau tak mengetahui apa-apa tentang benda itu, walaupun aku sendiri menaruh minat padanya," kata pertapa itu, "akan kuberi tahu juga kau tentangnya.
Pertama-tama, putri seorang raja tinggal di sana, dalam tawanan dan pembuangan, dijaga oleh sejumlah dayang-dayang jelita, memang enak, tetapi terbatas juga geraknya. Sang Putri tidak bisa melarikan diri sebab lelaki yang menangkap dan memenjarakannya disana -karena Sang Putri menolak amarannya- telah mendirikan rintangan-rintangan yang kokoh tak terlampaui, yang tak tampak oleh mata. Kau harus mengungguli rintangan-rintangan itu agar bisa memasuki benteng dan mencapai tujuanmu.
" "Bapak bisa menolong saya""
"Aku sendiri sedang akan memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi, kukatakan padamu rahasia sepatah kata, Wazifa, yang-kalau memang sesuai untuk itu-akan membantumu mengumpulkan kekuatan gaib para Jin berbudi, makhluk api, yakni satu-satunya makhluk yang dapat mengungguli kekuatan sihir yang telah mengunci benteng tersebut. Semoga kau selamat." Dan pertapa itupun pergi, setelah mengucapkan suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak tangkas dan cekatan, sangat mengagumkan mengingat sosoknya yang patut dimuliakan itu.
Berhari-hari lamanya Yunus duduk latihan dan memperhatikan munculnya halwa. Kemudian, pada suatu malam ketika sedang disaksikannya matahari bersinar-sinar di menara benteng, tampak olehnya pemandangan yang aneh. Disana, berkilauan dalam keindahan sorgawi, berdirilah seorang gadis yang tentunya putri yang dikisahkan itu. Beberapa saat lamanya ia berdirii menyaksikan matahari, dan kemudian menjatuhkan sesuatu ke ombak yang mengalun jauh di bawah kakinya -yang dijatuhkannya itu adalah halwa. Nah, ternyata itulah sumber langsung karunianya.
"Sumber Makanan Sorga!" teriak Yunus. Kini ia merasa berada diambang kebenaran. Kapanpun nanti, Pemimpin Jin, yang dipanggil-panggilnya lewat wazifa darwis, tentu datang, dan akan dapatlah ia mencapai benteng, putri, dan kebenaran itu.
Tidak berapa lama sesudah pikiranitu melintas di benaknya, ia merasa dirinya terbawa terbang melewati langit yang tampaknya seperti kerajaan dongeng, penuh dengan rumah-rumah yang indah mengagumkan. Ia memasuki salah satu diantaranya, dan disana berdiri seorang makhlukbagai manusia, yang sebenarnya bukan manusia: tampaknya masih muda, namun bijaksana, dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk itu, "adalah Pemimpin Jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sesuai dengan permintaan Tuan melalui Nama Agung yang telah diberikan kepada Tuan oleh Sang Darwis Agung. Apa yang bisa hamba lakukan untuk Tuan""
"O Pemimpin Jin yang perkasa," kata Yunus gemetar, "aku Pencari Kebenaran,dan jawaban bagi pencarianku itu hanya bisa aku dapatkan di dalam benteng yang mempesona di dekat tempatku berdiri ketika kau memanggilku ke mari. Berilah aku kekuatan untuk memasuki benteng itu dan untuk berbicara kepada putri yang terkurung di sana."
"Permohonan dikabulkan!" kata Sang Pemimpin Jin. "Tetapi ketahuilah, orang mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya memahami dan persiapannya sendiri."
"Kebenaran tetap kebenaran," kata Yunus, "dan aku akan mendapatkannya, apa pun juga ujudnya nanti. Berikan anugerah itu."
Segera saja Yunus dikirim cepat-cepat alam keadaan tak kelihatan (dengan kekuatan sihir Jin), dikawal oleh sekelompokJin kecil-kecil sebagai pembantunya, yang oleh Pemimpinnya diberi tugas mempergunakan kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu. Ditangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpinnya diberikan tugas mempergunakan kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu. Di tangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpin Jin harus diarahkan ke benteng untuk melihat rintangan-rintangan yang tak kelihatan.
Lewat batu itulah anak Adam mengetahui bahwa benteng tersebut di jaga oleh sederet raksasa, tak tampak tetapi mengerikan, yang menghantam siapapun yang mendekat. Jin-jin pembantu yang ahli dalam tugas khusus berhasil menyingkirkan mereka. Berikutnya Yunus melihat ada semacam jala atau jaring yang tak kelihatan, yang menutupi seluruh benteng itu. Itu pun bisa disingkirkan oleh Jin-jin yang memiliki kccerdikan untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya ada seonggokan batu besar yang tak kelihatan yang ternyata memenuhi jarak antara benteng dan tepi sungai. Batu-batu itu dibongkar semua oleh kelompok Jin tersebut, yang setelah menjalankan tugas-tugasnya, memberi salam lalu pergi secepat kilat ke tempat asalnya.
Yunus menyaksikan ada sebuah jembatan yang dengan kekuatan gaib, muncul dari dasar sungai sehingga ia bisa berjalan sampai ke benteng itu dengan tetap kaki ke
ring. Seorang pengawal gerbang langsung membawanya menghadap Sang Putri, yang kini bahkan tampak lebih elok lagi dari pada dulu ketika pertama kali tampak.
"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena telah menghancurkan rintangan yang mengurus benteng ini," kata putri itu. "Dan sekarang saya bisa pulang ke ayah dan ingin sekali memberi hadiah Tuan yang telah bersusah-payah selama ini. Katakan, sebut apa saja, dan saya akan memberikannya kepada Tuan."
"Mutiara tiada tara," kata Yunus, "hanya ada satu hal yang saya cari, yakni kebenaran. Karena sudah merupakan kewajiban siapa pun yang memiliki kebenaran untuk memberikan kepada siapapun yang bisa memanfaatkannya, saya memohon dengan sangat, Yang Mulia, agar memberikan kebenaran yang sangat saya butuhkan."
"Katakan, dan kebenaran yang bisa saya berikan, akan sepenuhnya menjadi milik Tuan."
"Baiklah, Yang Mulia. Bagaimana, dan atas perintah apa Makanan Sorga, yakni halwa yang setiap harinya Tuan Putri berikan kepada saya itu, diatur pengirimannya secara demikian""
"Yunus, anak Adam," kata Sang Putri, "halwa, begitu nama yang kauberikan, yang saya lemparkan setiap hari itu sebenarnya tak lain sisa-sisa bahan perias yang saya gosok setelah saya mandi air susu keledai."
"Akhirnya saya memahami," kata Yunus, "bahwa pengertian manusia sesuai dengan syarat kemampuannya untuk mengerti. Bagi Tuan Putri, itu merupakan sisa bahan perias. Bagi saya, Makanan Sorga."
Catatan: Menurut Halqawi (penulis kisah ini), hanya beberapa kisah Sufi yang bisa dibaca oleh siapapun waktu kapanpun, dan tetap bisa memberikan perbaikan "kesadaran batin."
"Hampir semua yang lain," katanya, "tergantung pada di mana, kapan, dan bagaimana kisah-kisah itu dipelajari. Demikianlah, kebanyakan orang akan menemukan hal-hal yang mereka harapkan: hiburan, teka-teki, ibarat."
Yunus, anak Adam, adalah orang Suriah, meninggal tahun 1670. Ia memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa dan juga seorang penemu.
Sang Raja Dan Anak Miskin
Sendirian saja, orang tidak akan bisa menempuh jalan dalam perjalanan batinnya. Kau tidak usah mencoba menempuhnya sendirian, sebab harus ada pembimbingmu. Yang kita sebut raja adalah pembimbing, dan anak miskin itu Si Pencari.
Dikisahkan, Raja Mahmud dan tentaranya terpisah. Ketika sedang mengendarai kudanya kencang-kencang, dilihatnya seorang anak lelaki kecil berada di tepi sungai. Anak itu telah menebarkan jalanya ke sungai dan tampaknya sangat murung.
"Anakku," kata Sang Raja, "kenapa kau murung" Tak pernah kulihat orang semurung kau itu."
Anak lelaki itu menjawab, "Hamba salah seorang dari tujuh bersaudara yang tidak berayah lagi. Kami hidup bersama ibu kami dalam kemelaratan dan tanpa bantuan siapapun. Hamba datang kemari setiap hari, memasang jala mencari ikan, agar ada yang dimakan setiap malam. Kalau hamba tak menangkap seekor ikanpun pada siang hari, malamnya kami tak punya apa-apa."
"Anakku," kata Sang Raja, "bolehkah aku membantumu"" Anak itu setuju, dan Rajapun melemparkan jala yang, karena sentuhan kewibawaannya, menghasilkan seratus ikan."
Catatan: Oleh orang-orang yang belum luas pengetahuannya, sistem metafisika sering dikira sebagai menolak nilai "benda duniawi" atau, sebaliknya, menjanjikan melimpahnya keuntungan kebendaan.
Namun, dalam Sufisme "hal-hal baik" yang dicapai tidak selalu kiasan atau sama sekali harafiah. Kisah perumpamaan ini berasal dari Faridudin Attar, dicantumkannya dalam Parlemen Burung, dan dipergunakan dalam pengertian baik harafiah maupun perlambangan. Menurut para darwis; seseorang bisa mendapatkan kekayaa kebendaan dengan jalan Sufi, apabila hal itu demi keuntungan Jalan dan juga dirinya sendiri. Disamping itu, ia pun akan mendapatkan kepuasan rohani sesuai dengan kemampuannya mempergunakan hal itu dengan cara yang benar.
Raksasa Dan Sufi Seorang ahli sufi yang sedang mengadakan perjalanan lewat sebuah perbukitan yang terpencil tiba-tiba berhadapan dengan raksasa--setan tinggi besar, yang akan menghancurkannya. Sufi itu berkata, "Baik, silahkan mencobanya; tetapi aku bisa mengalahkanmu, sebab a
ku sangat perkasa dalam pelbagai hal, lebih dari yang kau bayangkan." "Omong kosong," kata Raksasa. "Kau ahli Sufi, yang terpikat pada masalah rohani. Kau tak akan bisa mengalahkan aku, sebab aku memiliki kekuatan badaniah, aku tiga puluh kali lebih besar darimu."
"Kalau kau menginginkan uji kekuatan," kata Sufi, "ambil batu ini dan perahlah air darinya." Ia memungut sebutir batu kecil lalu memberikannya kepada Si Setan. Setelah berusaha sekuat tenaga, Raksasa itu menyerah. "Tak mungkin; tak ada air dalam batu ini. Coba tunjukkan kalau memang ada airnya." Dalam keremang-remangan, Sang Sufi mengambil batu itu, juga mengambil sebutir telur dari kantungnya, lalu memerah keduanya, meletakkan tangannya di atas tangan Raksasa. Sang Raksasa sangat terkesan; sebab orang memang suka terkesan oleh hal-hal yang tidak dipahami, dan menghargainya tinggi-tinggi, lebih tinggi dari yang seharusnya mereka berikan.
"Aku harus memikirkan hal ini," katanya. "Mari kuajak kau ke guaku, dan akan kujamu kau malam ini." Sang Sufi mengikutinya masuk ke sebuah gua yang sangat besar, penuh dengan barang-barang milik para pengembara tersesat yang sudah dibunuh, benar-benar merupakan gua Aladin. "Berbaringlah disebelahku, dan tidurlah," kata Si Setan, "besok aku akan rnemberikan keputusan." Iapun membaringkan dirinya dan segera tertidur.
Sang Sufi, yang secara naluri mengetahui adanya bahaya pengkhianatan, segera merasa harus bangkit dan menyembunyikan diri ditempat yang agak jauh dari Raksasa. Itu dilakukannya sesudah mengatur tempat pembaringannya tadi, agar seolah-olah nampak ia masih tidur disamping Si Raksasa
Tidak lama setelah ia pindah tempat itu, Si Raksasa pun bangun. Ia mengambil sebuah batang pohon, menghajar Ahli Sufi yang dikiranya masih tidur disebelahnya itu
dengan tujuh pukulan yang sangat kuat. Lalu ia berbaring lagi, langsung tidur. Sang Sufi kembali ketempat tidurnya semula, berbaring lalu memanggil Raksasa.
"O Raksasa, guamu ini sangat menyenangkan, tetapi aku baru saja digigit nyamuk tujuh kali. Kau harus menyingkirkan nyamuk itu."
Hal ini tentu saja sangat mengejutkan Raksasa sehingga ia tidak berani agi menyerang Sang Sufi. Bagaimanapun, kalau seorang telah dipukul tujuh kali dengan sebuah batang pohon oleh Raksasa yang menggunakan tenaga sekuat-kuatnya...
Paginya, Si Raksasa memberikan kantong kulit lembu kepada Sang Sufi, katanya, "Ambil air untuk makan pagi, agar kita bisa membuat teh." Sang Sufi tidak mengambil kantong itu (yang begitu besar sehingga diangkatpun sulit), tetapi pergi menuju ke sebuah sungai kecil untuk menggali saluran air kecil ke arah gua. Si Raksasa menjadi haus, "Kenapa tak kau bawa air""
"Sabar, Sobat, saya sedang membuat saluran tetap menuju mulut gua, agar nantinya kau tak usah membawa-bawa kantong berat itu untuk mengambil air." Tetapi Raksasa itu terlalu haus dan tak sabar menanti. Diambilnya kantong kulit itu, lalu ia menuju ke sungai mengisinya dengan air. Ketika teh sudah tersedia, ia meminum beberapa galon, dan pikirannya mulai menjadi agak jernih. "Kalau kau memang kuat --dan kau memang telah membuktikannya-- kenapa tak bisa kau gali saluran itu secara cepat, tetapi sejengkal demi sejengkal""
"Sebab," kata Sang Sufi, "tak ada hal yang sungguh-sungguh berharga bisa dikerjakan tanpa penggunaan tenaga sesedikit mungkin. Setiap hal menuntut penggunaan tenaga sendiri-sendiri; dan saya menggunakan tenaga sesedikit mungkin untuk menggali saluran. Disamping itu, aku tahu bahwa kau begitu terbiasa menggunakan kantong kulit itu sehingga tidak bisa meninggalkan kebiasaanmu."
Catatan: Kisah ini sering terdengar di warung-warung di Asia Tengah, dan menyerupai cerita rakyat di Eropa pada abad pertengahan. Versi ini berasal dari suatu Majmua (kumpulan kisah darwis) yang aslinya ditulis oleh Hikayati pada abad kesebelas,
menurut kolofon, tetapi dalam bentuknya yang kita baca ini ia berasal dari abad ke enam belas.
Si Tolol Dan Unta Yang Sedang Makan Rumput
Seorang Tolol memperhatikan seekor unta yang sedang makan rumput. Katanya kepada binatang itu, "Tampangmu mencong. Kenapa begit
u"" Unta menjawab, "Dalam menilai kesan yang timbul, kau mengaitkan kesalahan dengan hal yang mewujudkan bentuk. Hati-hatilah terhadap hal itu! Jangan menganggap wajahku yang buruk sebagai suatu kesalahan.
Pergi kau menjauh dariku, ambil jalan lintas.Tampangku mengandung arti tertentu, punya alasan tertentu. Busur memerlukan yang lurus dan yang bengkok, pegangannya dan talinya."
Orang tolol, enyahlah: "Pemahaman keledai sesuai dengan sifat keledai."
Catatan: Maulana Majdud, yang dikenal sebagai Hakim Sanai, Sang Bijak Yang Gilang Gemilang dari Ghaznas menghasilkan banyak karangan mengenai tak bisa dipercayanya kesan subyektif dan penilaian bersyarat.
Salah satu petuahnya adalah, "Pada cermin rusak dalam fikiranmu, bidadari bisa tampak mempunyai wajah setan." Kisah perumpamaan itu dipetik dari Taman Kebenaran yang Berpagar, yang ditulis sekitar tahun 1130.
Si Penunggang Kuda Dan Ular
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "sangkalan" orang berpengetahuan lebih berharga daripada, "dukungan" si bodoh.
Aku, Salim Abdali, bersaksi bahwa hal itu benar dalam jangkauan pengalaman yang lebih agung, juga benar dalam taraf pengalaman yang lebih rendah.
Hal ini terwujud dalam kebiasaan Sang Bijak, yang telah menurunkan kisah Si Penunggang Kuda dan Ular.
Seorang Penunggang kuda, dari suatu tempat yang aman, melihat ada seekor ular menyusup ke dalam tenggorokan seseorang lagi tidur. Penunggang kuda itu menyadari bahwa apabila orang itu dibiarkannya terus tidur, tentulah racun ular tersebut akan mematikannya
Oleh karena itu ia mencambuk Si Tidur sampai terbangun. Karena mendesaknya waktu, ia pun memaksa orang itu pergi ketempat yang terdapat sejumlah buah apel yang busuk, dan memaksanya memakan buah-buah busuk itu. Setelah itu, Si Penunggang Kuda, memaksanya minum air sungai sebanyak-banyaknya.
Selama itu, orang tersebut selalu berusaha melepaskan diri, tangisnya, "Apa dosaku, hai kemanusiaan, sehingga aku kau siksa begini kejam""
Akhirnya, ketika ia hampir lemas, dan sore hari tiba, lelaki itu jatuh ke tanah dan memuntahkan buah apel, air, dan ular tadi. Ketika diketahuinya apa yang telah dimuntahkannya, ia memahami apa yang telah terjadi, dan mohon maaf kepada Si Penunggang Kuda.
Ini syaratnya. Dalam membaca kisah ini, jangan mengelirukan sejarah untuk ibarat, atau ibarat untuk sejarah. Mereka yang dianugerahi pengetahuan memiliki kewajiban. Mereka yang tidak berpengetahuan, tidak memiliki apapun di balik apa yang bisa mereka terka-terka.
Orang yang di tolong itu mengatakan, "Kalau tadi kau mengatakan hal itu, tentu saya terima perlakuanmu itu dengan rasa terima kasih."
Si Penunggang Kuda menjawab, "Kalau tadi kukatakan hal itu, tentu kau tidak percaya Atau kau menjadi kejang ketakutan.
Atau kau lari pontang-panting. Atau malah tidur lagi." Sambil memacu kudanya, orang yang diliputi rahasia itu segera berlalu.
Catatan: Salim Abdali (1700-1765) menyebabkan para Sufi menerima caci-maki dari pada cerdik-cendekia yang sebelumnya tak pernah terjadi karena pernyataannya bahwa seorang Sufi ulung bisa mengetahui ketidakberesan seseorang, dan mungkin harus bertindak cepat dan dengan cara yang tampaknya bertentangan dengan seharusnya dilakukan untuk menolong orang itu, dan oleh karenanya bisa menimbulkan kemarahan orang-orang yang sebenarnya tidak mengetahui apa yang ia lakukan
Kisah ini dikutip oleh Abdali dari Rumi. Bahkan kini, mungkin tidak banyak orang mau menerima pernyataan yang tersirat dalam kisa ini. Namun, pernyataan semacam itu telah diterima oleh semua Sufi, dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam komentarnya terhadap hal ini, guru Sufi Haidar Gul hanya mengatakan, ada batas tertentu, yang apabila dilanggar menyebabkan keburukan bagi manusia, yakni menyembunyikan kebenaran hanya agar tidak menyinggung perasaan mereka yang dipikirannya tertutup."
Orang Yang Mudah Naik Darah
Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah marah menyadari bahwa ia sering mendapat kesulitan karena sifatnya itu.
Pada suatu hari ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; iapun
menemuinya untuk mendapatkan nasehat.
Darwis itu berkata, "Pergilah ke perempatan anu. Di sana kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air kepada siapapun yang lewat di depanmu."
Orang itu pun menjalankan nasehat tersebut. Hari demi hari berlalu,dan ia pun dikenal baik sebagai orang yang mengikuti sesuatu latihan kebaikan hati dan pengendalian diri, di bawah perintah seorang yang berpengetahuan sangat dalam.
Pada suatu hari ada seorang lewat bergegas; ia membuang mukanya ketika ditawari air, dan meneruskan perjalanannya. Orang yang mudah naik darah itu pun memanggilnya berulang kali, "Hai, balas salamku! Minum air yang kusediakan ini, yang kubagikan untuk musafir!"
Namun, tak ada jawaban. Karena sifatnya yang dulu, orang pertama itu tidak bisa lagi menguasai dirinya. Ia ambil senjatanya, yang digantungkannya dipohon mati itu; dibidiknya pengelana yang tak peduli itu, dan ditembaknya. Pengelana itupun roboh, mati.
Pada saat peluru menyusup ke tubuh orang itu, pohon mati tersebut, bagaikan keajaiban, tiba-tiba penuh dengan bunga.
Orang yang baru saja terbunuh itu seorang pembunuh; ia sedang dalam perjalanan untuk melaksanakan kejahatan yang paling mengerikan selama perjalanan hidupnya yang panjang.
Nah, ada dua macam penasehat. Yang pertama adalah penasehat yang memberi tahu tentang apa yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang pasti, yang diulang-ulang secara teratur. Macam yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Mereka yang bertemu dengan Manusia Pengetahuan akan meminta nasehat moral, dan menganggapnya sebagai moralis. Namun yang diabdinya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh.
Catatan: Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najamudin Kubra, salah seorang yang paling agung di antara para ulama Sufi. Ia mendirikan Mazhab Kubrawi 'Persaudaraan Lebih Besar' yang sangat mirip dengan Mazhab yang kemudian didirikan oleh Santo Fransiskus. Seperti Santo Asisi, Najamudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang.
Najamudin adalah salah seorang di antara enam ratus ribu orang yang mati ketika Khwarizm di Asia Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengis Khan Si Mongol Agung bersedia menolong jiwanya jika Najamudin mau menyerahkan diri, karena Sang Kaisar mengetahui kemampuan istimewa Sang Darwis. Tetapi Najamudin tetap berada di antara para pembela kota itu dan kemudian ditemukan di antara korban perang tersebut.
Karena telah mengetahui akan datangnya mala petaka itu, Najamudin menyuruh pergi semua pengikutnya ke tempat aman beberapa waktu sebelum munculnya gerombolan Mongol tersebut
Orang Orang Buta Dan Gajah
Di seberang Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja dengan pengikutnya lewat dekat kota itu; ia membawa tentara dan memasang tenda di gurun. Ia mempunyai seekor gajah perkasa, yang dipergunakannya untuk berperang dan menimbulkan ketakjuban rakyat.
Penduduk kota itu ingin sekali melihat gajah tersebut, dan beberapa di antara orang-orang buta itupun berlari-lari bagaikan badut-badut tolol berusaha mendekatinya.
Karena sama sekali tidak mengetahui bentuk dan ujud gajah, merekapun meraba-raba sekenanya, mencoba membayangkan gajah dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing berpikir telah mengetahui sesuatu, sebab telah menyentuh bagian tubuh tertentu.
Ketika mereka kembali ke tengah-tengah kaumnya, orang-orang pun berkerumun di sekeliling mereka. Orang-orang itu keliru mencari tahu tentang kebenaran dari rekan-rekannya sendiri yang sebenarnya telah tersesat.
Api Di Bukit Menoreh 13 Tiga Sandera Trio Tifa Karya Bung Smas Istana Yang Suram 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama