Ceritasilat Novel Online

Langit Runtuh 2

Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon Bagian 2


Dana menelepon apartemen Joan Sinisi. Greta menjawab, "Selamat siang."
"Greta, ini Dana Evans. Saya ingin berbicara dengan Miss Sinisi."
"Maaf. Miss Sinisi tidak bersedia menerima telepon."
"Yah, bisakah kau memberitahunya telepon ini dari Dana Evans, dan saya perlu?"
"Maaf, Miss Evans. Miss Sinisi tidak bersedia bicara." Sambungan terputus.
Keesokan paginya, Dana mengantar Kemal ke sekolah. Matahari berusaha muncul di langit yang beku. Di sudut-sudut jalan di seluruh penjuru kota, Sinterklas palsu membunyikan lonceng, mencari derma.
Aku harus menemukan apartemen untuk kami bertiga sebelum Malam Tahun Baru, pikir Dana.
Sesampainya di studio, Dana menghabiskan sepanjang pagi untuk rapat dengan staf siaran berita, membicarakan berita tertentu yang akan disiarkan dan lokasi yang perlu mereka rekam. Ada berita tentang pembunuhan brutal yang tak terpecahkan, dan pikiran Dana melayang pada keluarga Winthrop.
Ia menelepon Joan Sinisi kembali.
"Selamat siang."
"Greta, penting sekali bagi saya untuk berbicara dengan Miss Sinisi. Katakan padanya Dana Evans?"
"Ia tidak bersedia berbicara dengan Anda, Miss Evans." Sambungan terputus.
Apa yang terjadi" tanya Dana dalam hati.
Dana menemui Matt Baker. Abbe Lasmann menyambutnya. "Selamat! Kudengar tanggal pernikahan sudah ditentukan."
Dana tersenyum. "Ya."
Abbe menghela napas. "Pinangan yang romantis sekali."
"Ia memang begitu."
"Dana, kolumnis Advice to Lovelorn mengatakan sesudah pernikahan kau harus membeli beberapa kantong makanan kaleng dan menyimpannya di bagasi mobil."
"Untuk apa...?"
"Katanya, selama menjalani pernikahan, kau mungkin saja akan memutuskan untuk melakukan kegiatan "ekstrakurikuler" sehingga terlambat pulang ke rumah. Bila Jeff menanyakan ke mana saja kau pergi, perlihatkanlah saja tas-tas itu dan bilang, "Dari belanja". Ia pasti akan?"
"Terima kasih, Abbe. Apakah Matt di tempat?"
"Akan kuberitahu dia bahwa kau ada di sini."
Sesaat kemudian, Dana sudah berada dalam kantor Matt Baker.
"Duduklah, Dana. Ada kabar baik. Kita baru saja menerima daftar peringkat terbaru Nielsens. Kemarin malam kita berhasil menghajar lagi pesaing kita."
"Baguslah. Matt, aku baru saja bicara dengan mantan sekretaris Taylor Winthrop dan ia?"
Ia tersenyum lebar. "Orang-orang berbintang Virgo memang pantang menyerah. Kau mengatakan padaku bahwa kau?"
"Aku tahu, tapi dengar dulu ini. Ketika bekerja pada Taylor Winthrop, ia pernah mengajukan gugatan hukum terhadap pria itu. Gugatan itu tidak pernah sampai disidangkan karena mereka menyelesaikannya di luar pengadilan. Ia tinggal di penthouse besar yang tak mungkin mampu dibelinya dengan gaji sekretaris, jadi penyelesaian perkara itu pasti melibatkan banyak uang. Ketika aku menyebut nama Winthrop, perempuan itu jadi ketakutan, luar biasa ketakutan. Ia seakan takut kehilangan nyawa."
Matt Baker berkata sabar, "Apakah ia mengatakan takut kehilangan nyawa?"
"Tidak." "Apakah ia mengatakan takut pada Taylor Winthrop?"
"Tidak, tapi?" "Jadi sejauh yang kauketahui, ia mungkin saja ketakutan pacarnya memukulinya atau ada pencuri di bawah ranjangnya. Kau sama sekali tidak punya apa-apa untuk meneruskan penyelidikan ini, bukan?"
"Yah, aku?" Dana melihat ekspresi wajah Matt. "Tidak ada yang konkret."
"Oke. Mengenai daftar peringkat Nielsens itu..."
Joan Sinisi menyaksikan siaran berita malam WTN. Dana berbicara, "...dan dalam berita daerah, menurut laporan terakhir, tingkat kejahatan di Amerika Serikat turun sebesar dua puluh tujuh persen dalam dua belas bulan terakhir. Penurunan terbesar terjadi di Los Angeles, San Francisco, dan Detroit..."
Joan Sinisi mengamati wajah Dana, menatap matanya, berusaha mengambil keputusan. Ia menonton seluruh siaran tersebut, dan ketika siaran berakhir, ia sudah memutuskan.
TUJUH KETIKA Dana memasuki kantornya pada Senin pagi, Olivia berkata, "Selamat pagi. Ada tiga telepon untukmu dari wanita yang tak mau menyebutkan namanya."
"Apakah ia memberitahukan nomor teleponnya?"
"Tidak. Katanya ia akan menelepon kembali."
Tiga puluh menit kemudian, Olivia berkata, "Wanita itu menelepon lagi. Apakah kau mau bicara dengannya?"
"Baiklah." Dana mengangkat telepon. "Halo, di sini Dana Evans. Siapakah?"
"Ini Joan Sinisi."
Jantung Dana berdetak lebih kencang. "Ya, Miss Sinisi..."
"Apakah Anda masih ingin bicara dengan saya?" Ia kedengaran gelisah.
"Ya. Sangat ingin."
"Baiklah." "Saya bisa sampai ke apartemen Anda dalam?"
"Jangan!" Suaranya panik. "Kita harus bertemu di tempat lain. Saya"saya rasa saya diawasi."
"Terserah Anda. Di mana?"
"Di kandang burung besar di kebun binatang. Bisakah Anda ke sana dalam satu jam?"
"Saya akan ke sana."
Taman itu kosong. Angin dingin bulan Desember yang menyapu seluruh kota telah mengusir orang-orang yang biasa datang ke sana. Dana berdiri di sangkar burung, menunggu Joan Sinisi, menggigil di tengah udara dingin. Dana melihat arloji. Sudah lebih dari satu jam ia berada di sini. Kuberi ia seperempat jam lagi.
Lima belas menit kemudian Dana berkata pada diri sendiri, Setengah jam lagi, tidak lebih. Tiga puluh menit kemudian ia berpikir, Persetan! Ia pasti berubah pikiran.
Dana kembali ke kantor, kedinginan dan basah. "Ada telepon?" ia bertanya penuh harap pada Olivia.
"Enam. Catatannya ada di meja kerjamu."
Dana melihat daftar tersebut. Nama Joan Sinisi tidak ada di situ. Dana menelepon Joan Sinisi. Ia mendengar telepon berdering puluhan kali sebelum akhirnya menutupnya. Mungkin ia berubah pikiran kembali. Dana mencoba dua kali lagi, tapi tetap tak ada jawaban. Ia berdebat dengan diri sendiri apakah akan kembali ke apartemen itu, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya.
Aku harus menunggu sampai ia datang padaku, demikian Dana memuluskan.
Tak ada kabar lebih jauh dari Joan Sinisi.
Pukul 06.00 keesokan harinya, Dana menyaksikan siaran berita sambil berpakaian. "...dan situasi Chechnya kian memburuk. Ditemukan selusin lagi mayat orang Rusia, dan meskipun pemerintah Rusia mengatakan pihak pemberontak sudah dikalahkan, pertempuran masih berlangsung... Dalam berita lokal, seorang wanita tewas terjatuh dari apartemen penthouse-nya di lantai tiga puluh. Korban, Joan Sinisi, adalah mantan sekretaris Duta Besar Taylor Winthrop. Polisi sedang menyelidiki kecelakaan tersebut."
Dana berdiri kaku, tak mampu bergerak.
"Matt, kau ingat wanita yang kubilang akan kutemui"Joan Sinisi, mantan sekretaris Taylor Winthrop?"
"Ya. Kenapa dia?"
"Ia masuk berita pagi ini. Ia meninggal."
"Apa?" "Kemarin pagi ia menelepon dan berjanji akan bertemu denganku. Katanya ada masalah sangat penting yang hendak diceritakannya padaku. Lebih dari satu jam aku menunggunya di kebun binatang. Ia tidak muncul."
Matt menatapnya. "Ketika aku bicara dengannya di telepon, ia mengatakan ia merasa sedang diawasi."
Matt Baker duduk di tempatnya sambil menggaruk-garuk dagu. "Astaga. Apa sebenarnya yang kita hadapi ini?"
"Entahlah. Aku mau bicara dengan pembantu rumah tangga Joan Sinisi."
"Dana..." "Ya?" "Berhati-hatilah. Sangat hati-hati."
Ketika Dana berjalan memasuki lobi gedung apartemen, ternyata yang bertugas penjaga pintu lain.
"Boleh saya bantu?"
"Saya Dana Evans. Saya datang ke sini sehubungan kematian Miss Sinisi. Sungguh tragedi yang sangat menyedihkan."
Wajah penjaga pintu itu berubah sedih. "Ya. benar. Ia wanita yang sangat baik. Pendiam dan penyendiri."
"Apakah ia menerima banyak tamu?" Dana bertanya selintas.
"Tidak, sama sekali tidak. Ia sangat tertutup."
"Apakah kemarin Anda bertugas ketika?" lidah Dana seolah tak sanggup bergerak" "kecelakaan itu terjadi?"
"Tidak, Ma"am."
"Jadi Anda tidak tahu apakah ada orang lain bersamanya atau tidak?"
"Ya, Ma"am."
"Tapi ada yang bertugas di sini?"
"Oh, ya. Dennis. Polisi sudah menanyainya. Ia sedang keluar karena ada keperluan ketika Miss Sinisi jatuh."
"Saya ingin bicara dengan Greta, pembantu rumah tangga Miss Sinisi."
"Saya khawatir itu tidak mungkin dilakukan."
"Tidak mungkin" Mengapa?"
"Ia sudah pergi."
"Ke mana?" "Katanya ia pulang. Ia sangat kalut."
"Di mana rumahnya?"
Penjaga pintu itu menggeleng. "Saya tidak tahu."
"Apakah ada orang di apartemen itu sekarang?"
"Tidak, Ma"am."
Dana berpikir cepat. "Bos saya ingin saya meliput berita tentang kematian Miss Sinisi untuk WTN. Boleh saya melihat-lihat apartemen itu sekali lagi" Beberapa hari yang lalu saya sudah ke sini."
Penjaga pintu itu berpikir beberapa saat, lalu mengangkat bahu. "Saya rasa tidak ada masalah. Saya harus ke atas bersama Anda."
"Baiklah," kata Dana.
Mereka naik menuju penthouse tanpa berbicara. Ketika sampai di lantai tiga puluh, si penjaga pintu mengeluarkan kunci khusus dan membuka pintu apartemen A.
Dana melangkah ke dalam. Keadaan apartemen itu tepat seperti ketika terakhir kali Dana melihatnya. Namun sekarang Joan Sinisi tidak ada lagi di sana.
"Apakah Anda ingin melihat bagian tertentu, Miss Evans?"
"Tidak," Dana berbohong. "Saya hanya ingin menyegarkan ingatan."
Ia berjalan di gang menuju ruang duduk dan bergerak ke arah teras.
"Di situlah wanita malang itu jatuh," kata si penjaga pintu.
Dana melangkah ke teras luar yang luas tersebut dan berjalan ke tepinya. Teras itu seluruhnya dikitari dinding setinggi 1,2 meter. Tidak mungkin orang tanpa sengaja jatuh ke baliknya.
Dana melihat ke jalan di bawahnya, yang dipenuhi lalu lintas padat menjelang Natal, dan berpikir, Siapakah yang begitu kejam sehingga tega melakukan hal seperti itu" Ia bergidik.
Si penjaga pintu berdiri di sebelahnya. "Anda tidak apa-apa?"
Dana menarik napas dalam. "Ya, tidak apa-apa. Terima kasih."
"Apakah Anda ingin melihat-lihat lagi?"
"Tidak, sudah cukup yang saya lihat."
Lobi kantor polisi di pusat kota penuh dengan bajingan, pemabuk, pelacur, dan turis-turis yang kesal karena dompet mereka menghilang secara misterius.
"Saya ke sini untuk menemui Detektif Marcus Abrams," kata Dana pada sersan yang bertugas di meja depan.
"Lantai tiga di sebelah kanan."
"Terima kasih." Dana berjalan di koridor.
Pintu kantor Detektif Abrams terbuka.
"Detektif Abrams?"
Ia sedang berada di depan lemari arsip, laki-laki berperawakan besar dengan perut buncit dan mata cokelat yang letih. Ia memandang Dana. "Ya?" Pria itu mengenalinya. "Dana Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya diberitahu bahwa Andalah yang menangani kasus?" sekali lagi kata itu" "kecelakaan Joan Sinisi."
"Benar." "Bisakah Anda ceritakan soal tersebut pada saya?"
Ia berjalan ke meja kerjanya sambil membawa setumpuk dokumen, dan duduk. "Tidak banyak yang bisa diceritakan. Kejadian itu kalau bukan kecelakaan, tentu bunuh diri. Duduklah."
Dana mengambil kursi. "Apakah ada orang lain bersamanya ketika peristiwa itu terjadi?"
"Cuma pembantu rumah tangganya. Waktu itu ia ada di dapur. Menurut pengakuannya, tidak ada orang lain di sana."
"Apakah Anda tahu di mana saya bisa menghubungi pembantu itu?" Dana bertanya.
Detektif Abrams berpikir. "Ia akan masuk berita malam ini, eh?"
Dana tersenyum padanya. "Benar."
Detektif Abrams berjalan kembali ke lemari arsip dan mencari-cari di antara berbagai dokumen. Ia mengambil selembar kartu. "Ini dia. Greta Miller. Connecticut Avenue sebelas-delapan puluh. Cukup?"
Dua puluh menit kemudian Dana mengendarai mobilnya di Connecticut Avenue, melihat nomor-nomor rumah: 1170... 1172... 1174... 1176... 1178...
Nomor 1180 adalah lapangan parkir.
"Apakah kau benar-benar percaya perempuan Sinisi itu dilempar dari teras?" Jeff bertanya.
"Jeff, tidak mungkin orang menelepon untuk mengadakan janji pertemuan penting, kemudian bunuh diri. Ada yang tidak ingin ia menceritakan sesuatu padaku. Ini sungguh mengesalkan. Rasanya seperti Hound of the Baskervilles. Tidak seorang pun mendengar anjing itu menyalak. Tak seorang pun tahu apa-apa."
Jeff berkata, "Masalah ini jadi menakutkan. Aku tidak yakin apakah kau harus meneruskan kasus ini."
"Aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku harus mencari tahu."
"Kalau kau benar, Dana, berarti enam orang sudah terbunuh."
Dana menelan ludah. "Aku tahu."
"...dan pembantu itu memberikan alamat palsu pada polisi dan menghilang," Dana berkata pada Matt Baker. "Ketika aku berbicara dengan Joan Sinisi, ia memang tampak gelisah, tapi aku sama sekali tidak punya kesan ia orang yang berniat bunuh diri. Pasti ada orang yang membantunya terjun dari balkon."
"Tapi kita tidak punya bukti."
"Ya. Tapi aku tahu aku benar. Ketika pertama kali aku bertemu dengannya, Joan Sinisi baik-baik saja sampai aku menyebut nama Taylor Winthrop untuk kedua kalinya. Saat itulah ia jadi panik. Itulah pertama kali aku melihat cacat pada legenda indah yang dibangun Taylor Winthrop. Orang seperti Winthrop tidak bakal memberikan banyak uang pada sekretarisnya kalau wanita itu tidak punya rahasia penting mengenai atasannya. Pasti ini pemerasan. Ada yang aneh. Matt, apakah kau kenal orang yang pernah bekerja pada Taylor Winthrop dan mungkin pernah punya masalah dengannya, orang yang tidak takut untuk bicara?"
Matt Baker merenung sejenak. "Kau mungkin bisa pergi menemui Roger Hudson. Ia pimpinan mayoritas di Senat sebelum pensiun, dan pernah bekerja pada Taylor Winthrop dalam satu atau dua komite. Ia mungkin tahu sesuatu. Ia orang yang tidak pernah takut pada siapa pun."
"Bisakah kau mengaturkan pertemuanku dengannya?"
"Coba kulihat apa yang bisa kulakukan."
Satu jam kemudian, Matt Baker berbicara di telepon. "Kau dapat menemui Roger Hudson hari Kamis siang di rumahnya di Georgetown."
"Terima kasih, Matt. Aku sangat menghargai jerih payahmu."
"Aku harus memperingatkanmu, Dana..."
"Ya?" "Hudson bisa menyengat."
"Akan kuusahakan untuk tidak terlalu dekat."
Matt Baker sudah hendak meninggalkan kantor ketika Elliot Cromwell masuk.
"Aku ingin bicara denganmu soal Dana."
"Ada masalah?" "Tidak, dan aku tidak ingin ada masalah. Urusan Taylor Winthrop yang sedang diselidikinya?"
"Ya." "Ia telah mengusik beberapa orang, dan menurutku ia cuma buang-buang waktu. Aku kenal Taylor Winthrop dan keluarganya. Mereka semua orang baik."
Matt Baker berkata, "Bagus. Kalau begitu tentu tidak ada bahayanya kalau Dana terus menyelidik."
Elliot Cromwell memandang Matt sesaat, lalu mengangkat bahu. "Terus kabari aku."
"Apakah sambungan ini aman?"
"Ya, Sir." "Bagus. Kita sangat mengandalkan informasi dari WTN. Apakah kau yakin informasimu dapat diandalkan?"
"Sepenuhnya. Informasi itu datang dari menara eksekutif."
DELAPAN RABU pagi, waktu sedang menyiapkan sarapan, Dana mendengar suara keras di luar. Ia melongok keluar jendela dan terkejut melihat ada truk barang di depan gedung apartemen. Orang-orang tengah memuat perabotan ke atas truk itu. Siapa yang pindah" Dana bertanya dalam hati. Apartemen-apartemen di gedung ini sudah terisi, dan mereka semua menyewa untuk jangka panjang.
Dana meletakkan sereal di meja ketika mendengar ketukan di pintu. Ternyata Dorothy Wharton.
"Dana, aku punya kabar untukmu," ia berkata gembira. "Aku dan Howard akan pindah ke Roma hari ini."
Dana tercengang menatapnya. "Roma" Hari ini?"
"Luar biasa, bukan" Minggu lalu seseorang datang menemui Howard. Urusannya sangat rahasia. Howard melarangku bicara pada siapa pun. Yah, tadi malam laki-laki itu menelepon dan menawari Howard pekerjaan di perusahaannya di Italia dengan gaji tiga kali yang sekarang." Dorothy berseri-seri.
"Wah, sungguh"sungguh menyenangkan," kata Dana. "Kami akan merindukan kalian."
"Kami akan merindukanmu juga."
Howard datang ke pintu. "Kurasa Dorothy sudah memberitahumu?"
"Ya. Aku turut gembira. Tapi aku mengira kalian sudah memutuskan untuk tinggal di sini seumur hidup" Namun tiba-tiba?"
Howard terus berbicara. "Tak bisa dipercaya. Betul-betul mendadak. Perusahaan besar pula. Italiano Ripristino. Mereka salah satu konglomerat terbesar di Italia. Mereka punya anak perusahaan yang bergerak di bidang restorasi bangunan rusak. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu tentang aku, tapi mereka mengirim orang jauh-jauh ke sini hanya untuk merundingkan pekerjaan denganku. Banyak monumen di Roma yang perlu diperbaiki. Mereka bahkan membayar sisa uang sewa di sini selama satu tahun dan kami mendapatkan kembali uang depositnya. Satu-satunya masalah, kami harus ada di Roma besok pagi. Itu berarti kami harus keluar dari sini hari ini juga."
Dana berkata hati-hati, "Itu tidak biasa, bukan?"
"Aku rasa mereka terburu-buru."
"Apakah kau perlu bantuan untuk berkemas?"
Dorothy menggeleng. "Tidak. Kami tidak tidur semalaman. Sebagian barang-barang itu akan disumbangkan. Dengan gaji Howard yang baru, kami bisa membeli yang lebih baik."
Dana tertawa "Kirim kabar, Dorothy."
Satu jam kemudian keluarga Wharton sudah meninggalkan apartemen mereka dan dalam perjalanan menuju Roma.
Ketika Dana tiba di kantor, ia berkata pada Olivia, "Bisakah kau mengecek sebuah perusahaan untukku?"
"Tentu." "Namanya Italiano Ripristino. Aku yakin kantor pusatnya ada di Roma."
"Baiklah." Tiga puluh menit kemudian Olivia memberikan secarik kertas pada Dana. "Ini. Perusahaan itu salah satu yang paling besar di Eropa."
Dana merasa sangat lega. "Bagus. Aku senang mendengarnya."
"Omong-omong," kata Olivia, "itu bukan perusahaan swasta."
"Oh?" "Ya. Perusahaan itu milik pemerintah Italia."
Ketika siang itu Dana membawa pulang Kemal dari sekolah, seorang laki-laki separo baya yang berkacamata tengah pindah ke apartemen Wharton.
Hari Kamis, hari pertemuan Dana dengan Roger Hudson, dimulai dengan berbagai kekacauan.
Pada rapat televisi pertama, Robert Fenwick mengatakan, "Tampaknya kita akan mendapat masalah untuk siaran malam nanti."
"Coba jelaskan," kata Dana.
"Kau tahu kru yang kita kirim ke Irlandia" Kita akan memakai film mereka malam ini?"
"Ya?" "Mereka ternyata ditahan. Seluruh peralatan mereka disita."
"Kau serius?" "Aku tidak pernah bercanda soal orang Irlandia." Ia mengangsurkan sehelai kertas pada Dana. "Ini berita pembukaan kita tentang bankir Washington yang dituduh melakukan penggelapan."
"Ini cerita yang bagus," kata Dana. "Liputan eksklusif kita."
"Bagian legal kita baru saja mencoretnya."
"Apa?" "Mereka takut digugat."
"Hebat," kata Dana pahit.
"Aku belum selesai. Saksi kasus pembunuhan yang kita jadwalkan untuk wawancara langsung malam ini?"
"Ya..." "Ia berubah pikiran. Ia tidak akan datang."
Dana mengerang. Saat ini belum lagi pukul 10.00. Satu-satunya yang diharapkan Dana bisa mencerahkan hari ini hanyalah pertemuannya dengan Roger Hudson.
*** Ketika Dana kembali dari rapat, Olivia berkata, "Sekarang pukul sebelas, Miss Evans. Dengan cuaca seperti ini, barangkali kau harus berangkat sekarang juga untuk memenuhi janji pertemuan dengan Mr. Hudson."
"Terima kasih, Olivia. Aku akan kembali dalam dua atau tiga jam." Dana memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia memakai mantel dan syal dan beranjak ke pintu. Telepon berdering.
"Miss Evans..."
Dana berbalik. "Ada telepon untukmu di saluran tiga."
"Jangan sekarang," kata Dana. "Aku harus pergi."
"Ini dari sekolah Kemal."
"Apa?" Dana buru-buru kembali ke mejanya. "Halo?"
"Miss Evans?" "Ya." "Ini Thomas Henry."
"Ya, Mr. Henry. Apakah Kemal baik-baik saja?"
"Saya sungguh tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Saya sangat menyesal harus mengatakan ini, tapi Kemal dikeluarkan."
Dana berdiri dengan perasaan terguncang. "Dikeluarkan. Kenapa" Apakah yang telah diperbuatnya?"
"Mungkin kita seharusnya bertemu untuk membicarakan persoalan ini. Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bersedia datang dan menjemputnya."
"Mr. Henry?" "Akan saya jelaskan begitu Anda datang ke sini, Miss Evans. Terima kasih."
Dana tertegun dan meletakkan kembali gagang telepon. Apa yang terjadi"
Olivia bertanya, "Semua baik-baik saja?"
"Hebat." Dana mengerang. "Pagi ini jadi sempurna."
"Apakah ada yang bisa kulakukan?"
"Doakan aku saja."
Pagi tadi, ketika Dana mengantar Kemal ke sekolah, melambai sebelum berpisah, dan berlalu, Ricky Underwood mengawasi.
Begitu Kemal melewatinya, Ricky berkata, "Hei, ini dia sang pahlawan perang. Ibumu itu pasti sangat frustrasi. Kau cuma punya satu tangan, jadi saat kau main-main dengannya?"
Gerakan Kemal nyaris tak bisa dilihat saking cepatnya. Kakinya menendang keras selangkangan Ricky, dan sewaktu Ricky menjerit dan membungkuk, lutut kiri Kemal terayun ke atas dan mematahkan hidungnya. Darah muncrat.
Kemal mencondongkan badan ke arah sosok yang mengaduh-aduh di tanah itu. "Lain kali aku akan membunuhmu."
Dana mengemudikan mobil secepat mungkin ke Theodore Roosevelt Middle School, sambil dalam hati bertanya-tanya apakah yang telah terjadi. Apa pun kejadiannya, aku harus membujuk Henry agar Kemal bisa tetap bersekolah.
Thomas Henry sudah menunggu Dana di kantornya. Kemal duduk di kursi di seberangnya. Ketika Dana masuk, ia merasakan deja vu, seakan kejadian ini sudah pernah dialaminya.
"Miss Evans." Dana berkata, "Apa yang terjadi?"
"Putra Anda mematahkan hidung dan tulang pipi anak lain. Ia harus dibawa dengan ambulans ke UGD."
Dana memandangnya dengan perasaan tak percaya. "Bagaimana"bagaimana mungkin itu bisa terjadi" Kemal cuma punya satu tangan."
"Ya." kata Thomas Henry kaku. "Tapi ia punya dua kaki. Ia mematahkan hidung anak itu dengan lututnya."
Kemal mengamati langit-langit.
Dana menoleh ke arahnya. "Kemal, bagaimana kau bisa melakukan itu?"
Ia memandang ke bawah. "Gampang."
"Anda lihat apa yang saya maksudkan, Miss Evans," Thomas Henry berkata. "Sikapnya itu" saya"saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Saya merasa kami tidak bisa lagi mentolerir tingkah laku Kemal. Saya sarankan Anda mencari sekolah yang lebih cocok untuknya."
Dana berkata sungguh-sungguh, "Mr. Henry, Kemal tidak pernah memulai perkelahian. Saya yakin, bila ia berkelahi, tentu ada alasannya. Anda tidak bisa?"
Mr. Henry berkata tegas, "Kami sudah mengambil keputusan, Miss Evans." Ada kepastian tak terbantah dalam suaranya.
Dana menarik napas dalam. "Baiklah. Kami akan mencari sekolah yang lebih punya pengertian. Ayo, Kemal."
Kemal berdiri, melotot pada Mr. Henry, dan mengikuti Dana keluar dari kantor. Mereka berjalan ke trotoar tanpa berbicara. Dana melihat arloji. Ia sudah terlambat untuk menghadiri janji pertemuannya, dan ia tidak punya tempat untuk menitipkan Kemal. Aku harus membawanya.
Ketika mereka masuk ke mobil, Dana berkata, "Baiklah, Kemal. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tidak mungkin ia menceritakan apa yang sebenarnya diucapkan Ricky Underwood. "Maaf, Dana. Aku yang salah."
Rad, pikir Dana. Rumah Hudson terletak di lahan seluas lima ekar di daerah eksklusif Georgetown. Rumah itu, tak terlihat dari jalan, adalah rumah tiga tingkat bergaya Georgia dan terletak di bukit. Bagian luarnya berwarna putih dan ada jalan masuk yang panjang hingga ke pintu depan.


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dana menghentikan mobil di depan rumah itu. Ia memandang Kemal. "Kau ikut denganku."
"Mengapa?" "Sebab di luar sini sangat dingin. Ayolah."
Dana pergi ke pintu depan dan Kemal dengan enggan mengikuti.
Dana menoleh padanya. "Kemal, aku ke sini untuk wawancara yang sangat penting. Aku ingin kau tenang dan sopan. Oke?"
"Oke." Dana membunyikan bel. Pintu dibukakan laki-laki raksasa berwajah ramah yang mengenakan seragam kepala pelayan. "Miss Evans?"
"Ya." "Saya Cesar. Mr. Hudson sudah menunggu Anda." Ia memandang Kemal, lalu kembali pada Dana. "Boleh saya simpan mantel Anda?" Sesaat kemudian ia menggantungkannya di lemari ruang depan. Kemal terus memandangi Cesar, yang menjulang tinggi di depannya.
"Berapa tinggimu?"
Dana berkata, "Kemal! Bersikaplah yang sopan."
"Oh, tidak apa-apa, Miss Evans. Saya sudah terbiasa mendengar pertanyaan seperti itu."
"Apakah kau lebih besar daripada Michael Jordan?" Kemal bertanya.
"Kurasa begitu." Si pengurus rumah tangga tersenyum. "Tinggi saya sekitar 2,3 meter. Silakan lewat sini."
Ruang depan rumah itu luar biasa besar, berupa lorong dengan lantai kayu hardwood, dihiasi cermin-cermin antik, dan meja-meja marmer. Sepanjang dindingnya ada rak-rak berisi patung-patung kecil dari Dinasti Ming dan kaca tiup Chihuly.
Dana dan Kemal mengikuti Cesar menyusuri lorong panjang itu menuju ruang duduk berdinding kuning pucat dan berperabotan kayu putih. Ruangan itu diisi sofa-sofa nyaman, meja Ratu Anne, dan kursi Sheraton yang dibungkus sutra kuning pucat.
Senator Roger Hudson dan istrinya, Pamela, duduk di depan meja backgammon. Mereka berdiri ketika Cesar mengabarkan kedatangan Dana dan Kemal.
Roger Hudson berwajah tegas, berusia akhir lima puluhan, dengan mata kelabu dingin dan senyum waspada. Sikapnya menjaga jarak dan hati-hati.
Pamela Hudson cantik, sedikit lebih muda dari suaminya. Ia tampak hangat, terbuka, dan rendah hati. Rambutnya pirang terang dan sedikit beruban, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya.
"Maaf saya terlambat," kata Dana. "Saya Dana Evans. Ini anak saya, Kemal."
"Saya Roger Hudson. Ini istri saya, Pamela."
Dana sudah mencari informasi tentang Roger Hudson di Internet. Ayahnya memiliki perusahaan baja kecil, Hudson Industries, dan Roger Hudson membangunnya menjadi konglomerat yang merambah ke seluruh dunia. Ia milyarder, pernah menjadi pimpinan mayoritas Senat, dan mengepalai Komite Angkatan Bersenjata. Ia sudah pensiun dari bisnis dan kini menjadi penasihat politik Gedung Putih. Dua puluh lima tahun yang lalu, ia menikah dengan wanita cantik bernama Pamela Donnelly. Mereka berdua tokoh di masyarakat Washington dan berpengaruh dalam dunia politik.
Dana berkata, "Kemal, ini Mr. dan Mrs. Hudson." Ia memandang Roger. "Saya minta maaf karena harus membawanya serta, tapi?"
"Sama sekali bukan masalah," kata Pamela Hudson. "Kami tahu semua tentang Kemal."
Dana memandangnya, terkejut. "Benarkah?"
"Ya. Banyak artikel yang sudah ditulis mengenai Anda, Miss Evans. Anda menyelamatkan Kemal dari Sarajevo. Itu perbuatan yang sangat mulia."
Roger Hudson berdiri saja, berdiam diri.
"Apa yang bisa kami sajikan untuk Anda?" Pamela Hudson bertanya.
"Tidak perlu repot-r
epot, terima kasih," kata Dana.
Mereka mengalihkan pandangan pada Kemal. Anak itu menggeleng.
"Silakan duduk." Roger Hudson dan istrinya duduk di sofa. Dana dan Kemal duduk di dua kursi santai di depan mereka.
Roger Hudson berkata tegas, "Saya tidak tahu pasti mengapa Anda ke sini, Miss Evans. Matt Baker meminta saya menemui Anda. Apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Taylor Winthrop."
Roger Hudson mengernyit. "Memangnya kenapa?"
"Saya tahu Anda mengenalnya."
"Ya. Saya bertemu dengan Taylor ketika ia menjadi duta besar untuk Rusia. Waktu itu, saya adalah kepala Komite Angkatan Bersenjata. Saya pergi ke Rusia untuk mengevaluasi kemampuan persenjataan mereka. Taylor bersama komite kami selama dua atau tiga hari."
"Bagaimana pendapat Anda tentang dia, Mr. Hudson?"
Ia merenung sejenak. "Terus terang, Miss Evans, saya tidak terlalu terkesan dengan semua kehebatannya. Tetapi harus saya katakan bahwa menurut saya orang itu sangat mampu."
Kemal, karena bosan, melihat sekelilingnya, berdiri, dan pergi ke ruang sebelah.
"Apakah Anda tahu kalau-kalau Duta Besar Winthrop terlibat masalah ketika bertugas di Rusia?"
Roger menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Saya kurang mengerti. Masalah seperti apa?"
"Masalah... masalah yang mungkin menimbulkan permusuhan. Maksud saya, musuh yang sungguh mematikan."
Roger Hudson menggeleng perlahan. "Miss Evans, seandainya itu pernah terjadi, bukan saya saja yang akan mengetahuinya, seluruh dunia tentu akan tahu juga. Taylor Winthrop selalu dalam sorotan publik. Boleh bertanya ke mana arah pertanyaan ini?"
Dana berkata canggung, "Saya pikir Taylor Winthrop mungkin pernah melakukan sesuatu kepada seseorang yang begitu buruk sehingga menimbulkan motif untuk membunuhnya beserta keluarganya."
Pasangan Hudson sama-sama menatapnya.
Dana cepat-cepat meneruskan. "Saya tahu ini kedengarannya terlalu mengada-ada, tetapi demikian pula kematian mereka yang penuh kekerasan dalam jangka waktu kurang dari setahun."
Roger Hudson berkata tegas, "Miss Evans, saya sudah hidup cukup lama untuk mengetahui bahwa apa saja mungkin terjadi, tetapi ini"apa yang mendasari pendapat Anda ini?"
"Kalau yang Anda maksud bukti nyata, saya tidak memilikinya."
"Saya tidak heran." Ia ragu-ragu. "Saya memang pernah mendengar bahwa..." Suaranya menghilang. "Sudahlah."
Dua wanita itu memandangnya.
Pamela berkata lembut. "Itu tidak adil bagi Miss Evans, Sayang. Apakah yang tadi hendak kaukatakan?"
Ia mengangkat bahu. "Tidak penting." Ia berpaling pada Dana. "Ketika saya ke Moskow, memang ada desas-desus Winthrop terlibat suatu transaksi pribadi dengan orang-orang Rusia. Tapi saya tidak mau berurusan dengan kabar angin, dan saya yakin Anda pun tidak, Miss Evans." Nadanya terdengar seperti memarahi.
Sebelum Dana sempat menanggapi, terdengar suara keras dari perpustakaan di ruang sebelah.
Pamela Hudson berdiri dan bergegas mendatangi suara itu. Roger dan Dana mengikuti. Mereka berhenti di pintu. Di perpustakaan, sebuah vas biru Dinasti Ming tergeletak di lantai, hancur berkeping-keping. Kemal berdiri di sebelahnya.
"Oh, Tuhan," kata Dana, ngeri. "Saya minta maaf. Kemal, bagaimana kau bisa?"
"Tidak sengaja kok."
Dana berpaling pada suami-istri Hudson, wajahnya merah padam karena jengah. "Saya sungguh minta maaf. Saya pasti akan menggantinya. Saya?"
"Jangan mengkhawatirkan soal ini." Pamela Hudson berkata sambil tersenyum ramah. "Anjing kami sering berbuat lebih parah."
Wajah Roger Hudson muram. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tatapan sang istri membungkamnya.
Dana memandang kepingan-kepingan vas itu. Harganya mungkin lebih dari gajiku selama sepuluh tahun, pikirnya.
"Bagaimana kalau kita kembali ke ruang duduk saja?" Pamela Hudson mengusulkan.
Dana mengikuti suami-istri Hudson bersama Kemal di sebelahnya. "Jangan ke mana-mana," gumamnya gusar. Mereka duduk kembali.
Roger Hudson memandang Kemal. "Apa penyebab kau kehilangan lenganmu, Nak?"
Dana terperanjat mendengar pertanyaan tanpa basa-basi itu, tetapi Kemal langsung menjawab.
"Bom." "Oh, begitu. Bagaimana dengan orangtuamu, Kemal?"
"Mereka berdua tewas bersama saudara perempuan saya karena serangan udara."
Roger Hudson mendengus. "Perang terkutuk."
Pada saat itu Cesar masuk ruangan. "Makan siang sudah siap."
Santap siangnya amat lezat. Dana melihat Pamela hangat dan menyenangkan, sementara Roger Hudson banyak berdiam diri.
"Apa yang sedang Anda kerjakan sekarang?" tanya Pamela Hudson pada Dana.
"Kami sedang merancang tayangan baru yang akan dinamai Crime Line. Kami akan menyoroti orang-orang yang lolos dari hukum meskipun telah melakukan kejahatan, dan kami mencoba menolong orang-orang tak bersalah yang dijebloskan ke dalam penjara."
Roger Hudson berkata, "Washington tempat yang bagus untuk mulai. Kota ini penuh petinggi munafik yang lolos walaupun sudah melakukan segala kejahatan yang bisa kaupikirkan."
"Roger pernah duduk di beberapa komite reformasi pemerintah," Pamela Hudson berkata bangga.
"Dan banyak sekali manfaatnya," sang suami menggerutu. "Perbedaan antara benar dan salah rasanya kian kabur. Hal itu seharusnya diajarkan di rumah. Sekolah-sekolah kita jelas tidak mengajarkannya."
Pamela Hudson memandang Dana. "Omong-omong, saya dan Roger akan mengadakan jamuan makan malam kecil Sabtu malam ini. Apakah Anda mau datang?"
Dana tersenyum. "Terima kasih. Dengan senang hati."
"Apakah Anda punya pasangan?"
"Ya. Jeff Connors."
Roger Hudson berkata, "Reporter berita olahraga di stasiun Anda?"
"Ya." "Ia bagus. Saya kadang-kadang menontonnya," katanya. "Saya ingin bertemu dengannya."
Dana tersenyum. "Saya yakin Jeff pasti mau datang."
Ketika Dana dan Kemal berpamitan pulang, Roger Hudson menarik Dana ke pinggir.
"Terus terang, Miss Evans, saya berpendapat teori konspirasi Anda mengenai keluarga Winthrop tadi cuma angan-angan. Tetapi demi Matt Baker, saya bersedia menyelidik untuk melihat apakah saya bisa menemukan informasi yang dapat mendukungnya."
"Terima kasih."
Terus terang, Miss Evans, saya berpendapat teori konspirasi Anda mengenai keluarga Winthrop tadi cuma angan-angan. Tetapi demi Matt Baker, saya bersedia menyelidik untuk melihat apakah saya bisa menemukan informasi yang dapat mendukungnya.
Terima kasih. Rekaman habis. SEMBILAN MEREKA sedang rapat pagi membicarakan Crime Line, dan Dana berada di ruang rapat itu bersama enam staf reporter dan periset.
Olivia menjulurkan kepala ke dalam. "Mr. Baker ingin menemuimu."
"Katakan padanya aku akan ke sana sebentar lagi."
"Bos menunggumu."
"Terima kasih, Abbe. Kau kelihatan ceria."
Abbe mengangguk. "Aku akhirnya bisa tidur nyenyak semalam. Selama beberapa?"
"Dana" Masuklah ke sini," Matt berseru.
"Kita teruskan nanti," kata Abbe.
Dana masuk ke kantor Matt. "Bagaimana pembicaraan dengan Roger Hudson?"
"Aku merasa ia tidak terlalu tertarik. Menurutnya teoriku gila."
"Sudah kubilang ia bukan orang yang terlalu ramah."
"Memang butuh kesabaran untuk menghadapinya. Istrinya menyenangkan. Kau harus mendengarkannya bicara tentang kegilaan masyarakat Washington. Bicara tentang kejahatan."
"Aku tahu. Ia wanita yang luar biasa."
Dana kebetulan bertemu Elliot Cromwell di ruang makan eksekutif.
"Bergabunglah denganku," kata Elliot Cromwell.
"Terima kasih." Dana duduk.
"Bagaimana kabar Kemal?"
Dana ragu-ragu. "Saat ini, kurasa sedang ada masalah."
"Oh" Masalah apa?"
"Kemal dikeluarkan dari sekolah."
"Kenapa?" "Ia berkelahi sampai lawannya harus masuk rumah sakit."
"Pantas." "Aku yakin perkelahian itu bukan karena Kemal," kata Dana defensif. "Ia sering sekali diejek karena hanya punya satu tangan."
Elliot Cromwell berkata, "Aku rasa kondisi itu sangat sulit baginya."
"Memang. Aku sudah berusaha membuatkan prostese. Tapi rupanya ada masalah."
"Kelas berapa Kemal sekarang?"
"Tujuh." Elliot Cromwell merenung. "Apakah kau pernah dengar tentang Lincoln Preparatory School?"
"Oh, ya. Tapi setahuku sangat sulit masuk ke sana." Ia menambahkan, "Dan nilai Kemal tidak terlalu bagus."
"Aku punya beberapa koneksi di sana. Apakah kau mau aku mengusahakannya?"
"Aku"kau baik sekali."
"Senang bisa membantu."
Siang itu Elliot Cromwell memanggil Dana.
"Aku punya kabar baik untukmu. Aku sudah bicara dengan kepala sekolah Lincoln Preparatory School, dan ia setuju Kemal bersekolah di sana selama masa percobaan. Bisakah kau mengantarkannya ke sana besok pagi?"
"Tentu saja. Aku?" Dana butuh beberapa saat untuk memahami kabar itu. "Oh, luar biasa! Aku senang sekali. Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai usahamu, Elliot."
"Aku ingin kau tahu aku menghargaimu, Dana. Menurutku, tindakanmu membawa Kemal ke negeri ini sangat bagus. Kau orang yang sangat istimewa."
"Aku"terima kasih."
Ketika Dana meninggalkan kantor tersebut, ia berpikir, Ini pasti butuh pengaruh amat besar. Dan kebaikan hati.
Lincoln Preparatory School berlokasi di kompleks luas, terdiri atas gedung besar bergaya Edward, tiga sayap yang lebih kecil, halaman yang luas dan terawat baik, serta lapangan bermain yang luas, dipangkas rapi.
Saat berdiri di depan pintu masuknya, Dana berkata, "Kemal, ini sekolah terbaik di Washington. Kau bisa belajar banyak di sini, tapi kau harus bersikap positif. Mengerti?"
"Sweet." "Dan kau tidak boleh berkelahi."
Kemal tidak menjawab. Dana dan Kemal diantar masuk ke kantor Rowana Trott, sang kepala sekolah. Ia wanita yang menarik, dengan sikap yang ramah.
"Selamat datang," kalanya. Ia menoleh pada Kemal. "Sudah banyak yang kudengar mengenai dirimu, anak muda. Kami semua berharap kau mau bergabung di sini."
Dana menunggu Kemal mengucapkan sesuatu. Tetapi ketika anak itu tetap bungkam, ia berkata, "Kemal juga berharap bisa bersekolah di sini."
"Bagus. Kupikir kau akan menemukan banyak teman baik di sekolah ini."
Kemal berdiri saja tanpa menjawab.
Seorang wanita tua masuk ke kantor. Mrs. Trott berkata, "Ini Becky. Becky, ini Kemal. Bagaimana kalau kau ajak Kemal melihat-lihat" Perkenalkanlah ia pada beberapa gurunya."
"Baiklah. Mari, Kemal."
Kemal memandang Dana dengan tatapan memohon, lalu berbalik dan mengikuti Becky ke luar.
"Saya ingin memberikan penjelasan soal Kemal," Dana mulai. "Ia?"
Mrs. Trott berkata, "Anda tidak perlu melakukannya, Miss Evans. Elliot Cromwell sudah menceritakan situasi dan latar belakang Kemal. Saya tahu ia telah mengalami banyak peristiwa yang tak semestinya dialami anak-anak, dan kami siap untuk memberikan kelonggaran."
"Terima kasih," kata Dana.
"Saya sudah punya transkip nilai Kemal dari Theodore Roosevelt Middle School. Coba kita lihat apakah kita bisa memperbaikinya."
Dana mengangguk. "Kemal anak yang amat cerdas."
"Saya yakin begitu. Nilainya untuk pelajaran matematika membuktikan hal itu. Kami akan mencoba mendorongnya berprestasi dalam semua pelajaran lain."
"Fakta bahwa ia cuma punya satu tangan sangat traumatis baginya," sambung Dana. "Saya berharap bisa membereskan persoalan ini."
Mrs. Trott mengangguk penuh pengertian. "Tentu."
Ketika Kemal selesai berkeliling sekolah, ia dan Dana kembali ke mobil. Saat itulah Dana berkata, "Aku tahu kau akan senang belajar di sini."
Kemal tak menyahut. "Sekolah yang bagus, bukan?"
Kemal menjawab, "Parah."
Dana menghentikan langkah. "Kenapa?"
Suara Kemal seperti tersangkut di kerongkongan.
"Mereka punya lapangan tenis dan sepak bola dan aku tak bisa?" Matanya berkaca-kaca.
Dana memeluknya. "Maafkan aku, Sayang." Dan dalam hati ia berkata. Aku harus berbuat sesuatu untuk membereskan masalah ini.
Jamuan santap malam di rumah keluarga Hudson Sabtu malam itu mewah dan bersuasana resmi. Ruangan-ruangan indah itu dipenuhi orang-orang paling berpengaruh di ibukota, termasuk di antaranya Menteri Pertahanan, beberapa anggota Kongres, dan kepala Federal Reserve, serta duta besar Jerman.
Roger dan Pamela berdiri di ambang pintu ketika Dana dan Jeff tiba. Dana memperkenalkan Jeff.
"Saya suka kolom dan siaran olahraga Anda," kala Roger Hudson.
"Terima kasih."
Pamela berkata, "Mari saya perkenalkan kalian dengan beberapa tamu lain."
Banyak di antara para tamu sudah mereka kenal, dan sambutan mereka sungguh hangat. Sepertinya hampir semua tamu di situ penggemar Dana atau Jeff, atau keduanya.
Ketika mereka berdua beberapa saat, Dana berkata, "Aduh, daftar tamu di sini seperti daftar Who"s Who."
Jeff meraih tangannya. "Kau selebriti terhebat di sini, Sayang."
"Tidak mungkin," kata Dana. "Aku cuma?"
Saat itulah, Dana melihat Jenderal Victor Booster dan Jack Stone menghampiri mereka.
"Selamat sore, Jenderal," sapa Dana.
Booster memandangnya dan berkata ketus, "Apa yang kaukerjakan di sini?"
Wajah Dana jadi merah padam.
"Ini malam ramah tamah," kata sang jenderal kasar. "Aku tidak tahu kalau pers diundang."
Jeff memandang gusar Jenderal Booster. "Tunggu!" katanya. "Kita sama-sama berhak?"
Victor Booster tak menghiraukannya. Ia mencondongkan badan ke dekat Dana. "Ingat apa yang kujanjikan padamu kalau kau mencari masalah." Ia berjalan pergi.
Jeff tertegun memandangnya, takjub. "Ya Tuhan. Apa-apaan tadi itu?"
Jack Stone terpaku, wajahnya merah padam. "Saya"saya minta maaf. Jenderal kadang-kadang memang begitu. Ia tidak begitu diplomatis."
"Kami sudah melihatnya," jawab Jeff dingin.
Santap malam itu sendiri fantastis. Di hadapan masing-masing pasangan terdapat daftar menu bertulisan tangan indah.
Sungguh jamuan yang mewah.
Dana terkejut ketika tahu posisi duduknya ternyata di sebelah Roger Hudson. Pasti Pamela yang mengatur, pikirnya.
"Pamela bercerita bahwa Kemal masuk Lincoln Preparatory School."
Dana tersenyum. "Ya. Elliot Cromwell yang mengusahakannya. Ia memang luar biasa."
Roger Hudson mengangguk. "Begitulah yang saya dengar."
Ia ragu sebentar. "Ini mungkin tidak berarti apa-apa, tapi tak lama sebelum Taylor Winthrop menjadi duta besar untuk Rusia, ia memberitahu teman-teman dekatnya ia betul-betul sudah mengundurkan diri dari kehidupan publik."
Dana mengernyit. "Dan kemudian ia menerima penugasan sebagai duta besar untuk Rusia?"
"Ya." Aneh. *** Dalam perjalanan pulang, Jeff bertanya pada Dana, "Apa yang kaulakukan sampai Jenderal Booster begitu sengit padamu?"
"Ia tidak ingin aku menyelidiki kematian keluarga Winthrop."
"Mengapa?" "Ia tidak menjelaskan. Ia cuma menyalak."
Jeff berkata lambat-lambat. "Gigitannya lebih berbahaya daripada salakannya, Dana. Ia bukan sembarang musuh."
Ia memandang Jeff dengan perasaan ingin tahu. "Kenapa?"
"Ia kepala FRA, Badan Riset Federal."
"Aku tahu. Mereka mengembangkan teknologi untuk membantu negara-negara belum berkembang mempelajari produksi modern dan?"
Jeff berkata kering, "Dan Sinterklas betul-betul ada."
Dana memandangnya, bingung. "Apa maksudmu?"
"Badan itu cuma kedok. Fungsi FRA yang sesungguhnya adalah memata-matai berbagai badan intelijen asing dan menyadap komunikasi mereka. Sungguh ironis. Frater dalam bahasa Latin berarti saudara"cuma yang ini berarti Saudara Tua, dan Saudara Tua ini ternyata mengawasi semua orang. Mereka lebih misterius daripada NSA sekalipun."
Dana berkata sambil merenung, "Taylor Winthrop dulu pernah jadi kepala FRA. Menarik."
"Kusarankan kau menyingkir sejauh-jauhnya dari Jenderal Booster."
"Aku memang berniat begitu."
"Aku tahu kau ada masalah dengan penjaga Kemal, Manis, jadi kalau kau mau pulang?"
Dana merapatkan badan padanya. "Tidak. Ia bisa menunggu. Aku tidak. Ayo kita pergi ke tempatmu."
Jeff tersenyum. "Sudah dari tadi aku menunggu kau bicara begitu."
Jeff tinggal di apartemen kecil dalam bangunan empat lantai di Madison Street. Jeff membawa Dana ke kamar tidur.
"Aku akan senang bila kita sudah pindah ke apartemen yang lebih besar," kata Jeff. "Kemal harus punya kamar sendiri. Bagaimana kalau kita?"
"Bagaimana kalau kita berhenti bicara?" Dana mengusulkan.
Jeff memeluknya. "Gagasan bagus." Ia mengulurkan tangan ke belakang Dana dan memeluk pinggulnya, membelai-belainya lembut. Ia mulai menanggalkan pakaian Dana.
"Tahukah kau bahwa kau memiliki tubuh yang indah?"
"Semua orang mengatakan begitu," kata Dana. "Itu bahan omongan di seluruh penjuru kota. Kau mau membuka pakaian atau tidak?"
"Aku sedang memikirkannya."
Dana bergerak menghampiri dan mulai membuka kancing kemejanya.
"Kau tahu, kau ini genit."
Dana tersenyum. "Persis."
Saat Jeff selesai menanggalkan pakaian, Dana sudah berbaring menunggunya di ranjang. Ia menghangatkan diri dalam pelukan Jeff. Jeff kekasih yang luar biasa, sensual, dan penuh perhatian.
"Aku sangat cinta padamu," Dana berbisik.
"Aku cinta padamu, Sayangku."
Sewaktu Jeff meraihnya, terdengar suara telepon genggam berdering.
"Punyaku atau punyamu?"
Mereka tertawa. Telepon berdering lagi.
"Punyaku." kata Jeff. "Biarkan saja berdering."
"Mungkin penting," kata Dana.
"Oh, baiklah." Jeff duduk, kesal. Ia mengangkat telepon. "Halo?" Suaranya berubah. "Tidak, tidak apa-apa... Teruskan... Tentu saja... Aku yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin cuma stres."
Percakapan berlanjut sampai lima menit. "Baik... Tenang saja... Baik... Selamat malam, Rachel." Ia mematikan telepon.
Tidakkah sekarang sudah terlalu malam bagi Rachel untuk menelepon" "Ada yang tidak beres, Jeff?"
"Tidak. Rachel terlalu banyak bekerja. Ia cuma perlu istirahat. Ia akan baik-baik saja." Ia memeluk Dana dan berkata lembut, "Sampai di mana kita tadi?" Ia menarik tubuh Dana yang telanjang agar merapat padanya dan pesona itu pun mulai.
Dana lupa akan masalah keluarga Winthrop, Joan Sinisi, para jenderal, pembantu rumah tangga, Kemal, sekolah, dan hidup jadi terasa penuh gelora dan kegembiraan.
Beberapa waktu kemudian, Dana berkata enggan, "Sayang sudah tiba saatnya Cinderella kembali jadi labu."
"Dan labu yang hebat! Akan kusiapkan keretaku."
Dana memandang bagian bawah tubuh Jeff. "Kurasa sudah siap. Sekali lagi?"
Ketika Dana tiba di rumah, wanita dari perusahaan penyedia penjaga anak sudah tak sabar menunggu.
"Sekarang sudah pukul setengah dua," katanya ketus.
"Maaf. Saya tertahan." Dana memberi wanita itu uang ekstra. "Naik taksi saja," katanya. "Berbahaya di luar sana. Sampai besok malam."
Wanita itu berkata, "Miss Evans, saya rasa Anda harus tahu..."
"Ya?" "Sepanjang malam tadi Kemal terus merecoki saya, menanyakan kapan Anda pulang. Anak itu amat merasa tidak aman."
"Terima kasih. Selamat malam."
Dana masuk ke kamar Kemal. Ia belum tidur, sedang bermain game komputer.
"Hai, Dana." "Kau seharusnya sudah tidur, pal."
"Aku menunggumu pulang. Apakah jamuannya menyenangkan?"
"Luar biasa, tapi aku merindukanmu. Sayang."
Kemal mematikan komputer. "Apakah kau akan pergi setiap malam?"
Dana memikirkan berbagai emosi di balik pertanyaan itu. "Aku akan berusaha lebih sering bersamamu, Sayang."
SEPULUH TELEPON itu datang tanpa disangka-sangka pada Senin pagi.
"Dana Evans?" "Ya."

Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya Dr. Joel Hirschberg. Saya dari Children"s Foundation."
Dana mendengarkan, sambil bertanya-tanya dalam hati. "Ya?"
"Elliot Cromwell memberitahu saya bahwa Anda ada masalah untuk mendapatkan lengan palsu bagi anak Anda."
Dana harus berpikir beberapa saat. "Ya, begitulah."
"Mr. Cromwell menguraikan latar belakangnya. Yayasan ini didirikan untuk menolong anak-anak dari negara-negara yang hancur karena perang. Dari uraian Mr. Cromwell pada saya, anak Anda jelas termasuk dalam kelompok itu. Saya ingin tahu apakah Anda mau membawanya menemui saya?"
"Yah, saya"well, ya, tentu saja." Mereka membuat janji untuk bertemu siang itu.
Ketika Kemal pulang dari sekolah, Dana berkata penuh semangat, "Kau dan aku akan pergi menemui seorang dokter untuk mendapatkan lengan baru untukmu. Kau mau?"
Kemal memikirkannya. "Entahlah. Itu kan bukan lengan asli."
"Akan dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Oke, pal?"
"Cool." Dr. Joel Hirschberg menarik, serius, berusia akhir empat puluhan, dengan sikap kompeten.
Setelah Dana dan Kemal menyapanya, Dana berkata, "Dokter, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa kita harus membereskan masalah keuangannya dulu, sebab saya pernah diberitahu bahwa karena Kemal masih dalam masa pertumbuhan, lengan palsu baru bakal tidak pas setiap?"
Dr. Hirschberg menyela. "Seperti sudah saya katakan pada Anda di telepon, Miss Evans, Children"s Foundation didirikan terutama untuk menolong anak-anak dari negara yang dilanda peperangan. Kami akan mengurus biayanya."
Dana merasakan luapan perasaan lega. "Bagus sekali." Ia berdoa dalam hati. Semoga Tuhan memberkati Elliot Cromwell.
Dr. Hirschberg menoleh kembali pada Kemal. "Sekarang, mari kita periksa dulu dirimu, anak muda."
Tiga puluh menit kemudian Dr Hirschberg berkata pada Dana, "Saya kira kita bisa memperbaikinya sehingga hampir seperti baru lagi." Ia menarik gulungan gambar di dinding. "Kami punya dua macam prostese, lengan myoelectric adalah yang paling canggih, dan lengan yang dioperasikan dengan kabel. Seperti bisa kalian lihat di sini, lengan myoelectric terbuat dari plastik dan dibungkus sarung yang menyerupai tangan." Ia tersenyum pada Kemal. "Lengan ini kelihatan seperti asli."
Kemal bertanya, "Apakah bisa digerakkan?"
Dr. Hirschberg berkata, "Kemal, apakah kau pernah berpikir hendak menggerakkan tanganmu" Maksud saya, tangan yang sudah tidak ada lagi itu."
"Ya." jawab Kemal.
Dr. Hirschberg mencondongkan badan ke depan. "Nah, tiap kali kau memikirkan tangan bayangan itu, otot-otot yang dulu dipakai di sana akan berkontraksi dan otomatis menghasilkan sinyal myoelectric. Dengan kata lain, kau bakal bisa membuka dan menutup tangan hanya dengan memikirkannya."
Wajah Kemal berubah cerah. "Benarkah" Bagaimana"bagaimana aku bisa memasang dan melepaskan lengan itu?"
"Caranya sangat sederhana, Kemal. Kau hanya perlu menempelkan lengan baru itu. Lengan itu dilengkapi perangkat sedot dan diselubungi kaus nilon tipis. Kau memang tidak bisa memakainya ketika berenang, tetapi kau bisa melakukan hampir semua aktivitas lainnya. Lengan itu seperti sepatu. Kau melepasnya di waktu malam dan memasangnya lagi di pagi hari."
"Berapakah bobotnya?" Dana bertanya.
"Sekitar setengah kilogram,"
Dana menoleh pada Kemal. "Bagaimana pendapatmu, Sayang" Kita coba?"
Kemal mencoba menyembunyikan luapan gembira hatinya. "Apakah lengan itu kelihatan seperti asli?"
Dr. Hirschberg tersenyum. "Ya."
"Kedengarannya hebat."
"Selama ini kau terpaksa jadi kidal, jadi kau perlu melupakan kebiasaan itu dulu. Ini akan makan waktu, Kemal. Kami bisa langsung memasangnya, tetapi kau harus berkonsultasi dengan ahli terapi beberapa lama untuk belajar cara membuat lengan itu jadi bagian tubuhmu dan bagaimana mengendalikan sinyal-sinyal myoelectric tersebut."
Kemal menarik napas dalam. "Bagus."
Dana memeluk Kemal erat-erat. "Pasti hebat," katanya. Ia menahan tangis.
Dr. Hirschberg mengawasi mereka beberapa saat, lalu tersenyum. "Ayo kita mulai bekerja."
Sekembalinya ke kantor, Dana langsung masuk untuk menemui Elliot Cromwell.
"Elliot, kami baru saja pulang dari Dr. Hirschberg."
"Bagus. Aku harap ia bisa membantu Kemal."
"Kelihatannya bisa. Aku tidak bisa mengatakan betapa aku sangat berterima kasih."
"Dana, kau tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantu. Kabari aku tentang perkembangannya."
"Pasti." Diberkatilah kau.
"Bunga!" Olivia melangkah ke dalam kantor sambil membawa buket bunga besar.
"Indah sekali!" Dana berseru.
Ia membuka amplop dan membaca kartunya. Dear Miss Evans, Salakan teman kita jauh lebih hebat daripada gigitannya. Semoga Anda menyukai bunga-bunga ini. Jack Stone.
Dana mengamati kartu itu sesaat. Menarik, pikirnya. Jeff mengatakan gigitannya lebih hebat daripada salakannya.. Mana yang benar" Dana merasa Jack Stone benci pekerjaannya. Dan benci bosnya. Akan kuingat itu.
Dana menelepon Jack Stone di FRA.
"Mr. Stone" Saya cuma mau mengucapkan terima kasih atas bunga?"
"Apakah Anda ada di kantor?"
"Ya. Saya?" "Saya akan menelepon kembali." Terdengar nada sambung.
Tiga menit kemudian Jack Stone menelepon.
"Miss Evans, akan lebih baik bagi kita berdua bila teman bersama kita tidak tahu kita bicara. Saya sudah mencoba mengubah sikapnya, tetapi ia keras kepala. Bila Anda membutuhkan saya" saya maksudkan benar-benar membutuhkan saya"saya akan memberi Anda nomor telepon selular pribadi saya. Anda jadi bisa berhubungan dengan saya kapan saja."
"Terima kasih." Dana mencatat nomor itu.
"Miss Evans?" "Ya." "Tidak apa-apa. Hati-hati."
Ketika Jack Stone masuk pagi itu, Jenderal Booster sudah menunggu.
"Jack, aku merasa si Evans itu pengacau. Aku ingin kau mulai mengumpulkan informasi mengenai dia. Dan terus laporkan padaku."
"Saya akan mengurusnya." Namun tidak akan ada laporan. Dan ia telah mengirim bunga pada Dana.
Dana dan Jeff sedang berada di ruang makan eksekutif stasiun televisi, berbincang-bincang tentang prostese Kemal.
Dana berkata, "Aku gembira sekali, Sayang. Ini akan membuat segalanya berubah. Selama ini ia suka berkelahi karena merasa rendah diri. Ini akan mengubah semuanya."
"Ia pasti gembira sekali," kata Jeff. "Aku tahu aku sangat gembira."
"Dan hebatnya, Children"s Foundation akan membiayai semuanya. Kalau kita bisa?"
Telepon genggam Jeff berdering. "Maaf, Sayang." Ia menekan sebuah tombol dan berbicara ke telepon. "Halo"... Oh..." Ia melirik Dana. "Tidak... Tidak apa-apa... Teruskanlah..."
Dana berusaha tidak mendengarkan.
"Ya... aku tahu... Baiklah... Mungkin bukan masalah yang serius, tapi kau sebaiknya pergi ke dokter. Di mana kau sekarang" Brazil" Di sana banyak dokter yang baik. Tentu saja... aku mengerti... Tidak..." Percakapan itu sepertinya berlarut-larut. Jeff akhirnya berkata, "Hati-hati. Selamat tinggal." Ia meletakkan telepon.
Dana berkata, "Rachel?"
"Ya. Ia ada masalah fisik. Ia membatalkan pemotretan di Rio. Belum pernah ia berbuat seperti ini."
"Mengapa ia meneleponmu, Jeff?"
"Ia tidak punya orang lain, Sayang. Ia sendirian."
"Selamat tinggal, Jeff."
Rachel memutuskan percakapan telepon dengan enggan, tak rela menyudahinya. Ia memandang keluar jendela, ke gunung Sugarloaf di kejauhan dan pantai Ipanema jauh di bawah. Ia masuk ke kamar tidur dan berbaring, kehabisan tenaga. Kejadian-kejadian hari ini berpusar dalam benaknya.
Pagi ini dimulai dengan baik. Ia syuting iklan untuk American Express, berpose di pantai.
Menjelang tengah hari sang sutradara berkata, "Yang terakhir tadi hebat, Rachel. Tapi mari kita lakukan sekali lagi."
Ia hendak mengiyakan, tapi kemudian mendengar dirinya berkata, "Tidak. Maaf. Aku tidak bisa."
Si sutradara terperanjat memandangnya. "Apa?"
"Aku sangat letih. Maaf, aku harus pergi." Ia berbalik dan kembali ke hotel, melewati lobi, masuk dalam ketenteraman kamarnya. Ia gemetar dan merasa mual. Aku kenapa" Keningnya terasa demam.
Ia mengangkat telepon dan menghubungi Jeff. Mendengar suaranya saja sudah membuatnya merasa lebih baik. Diberkatilah Jeff. Ia selalu siap mendampingiku, penyelamatku. Ketika percakapan itu selesai, Rachel berbaring di ranjang, sambil berpikir. Kami pernah menikmati saat-saat indah bersama. Ia selalu menyenangkan. Kami senang melakukan berbagai hal yang sama, dan kami senang berbagi segalanya. Mengapa aku bisa membiarkannya pergi" Ia memaksa dirinya mengingat kembali bagaimana perkawinan itu berakhir.
Semua diawali sebuah telepon.
"Rachel Stevens."
"Ya." "Roderick Marshall ingin bicara." Salah satu sutradara paling penting di Hollywood.
Sesaat kemudian pria itu berbicara di telepon. "Miss Stevens?"
"Ya?" "Roderick Marshall. Anda tahu siapa saya?"
Ia pernah menonton beberapa filmnya. "Tentu saja, Mr. Marshall."
"Saya sudah melihat beberapa foto Anda. Kami di Fox memerlukan Anda. Apakah Anda bersedia datang ke Hollywood untuk tes akting?"
Rachel bimbang beberapa saat. "Entahlah. Maksud saya, saya tidak tahu apakah saya bisa berakting. Saya tidak pernah?"
"Jangan khawatir. Saya yang akan menangani soal itu. Kami akan membayar semua pengeluaran Anda, tentu saja. Saya sendiri yang akan mengarahkan tes itu. Kapan kira-kira Anda bisa tiba di sini?"
Rachel memikirkan jadwalnya. "Tiga minggu lagi."
"Bagus. Studio akan membereskan semuanya."
Sesudah meletakkan telepon, Rachel sadar ia belum berunding dengan Jeff. Ia tidak akan keberatan, pikirnya. Kami toh jarang bersama.
"Hollywood?" Jeff mengulangi.
"Ini peluang bagus, Jeff."
Jeff mengangguk. "Baik. Lakukanlah. Kariermu mungkin akan jadi melejit."
"Kau bisa ikut denganku?"
"Manis, kami akan main di Cleveland Senin ini, lalu kami akan pergi ke Washington, kemudian Chicago. Masih banyak pertandingan yang tersisa dalam jadwal. Kurasa tim akan timpang kalau salah satu pitcher mereka tidak hadir."
"Sayang sekali." Ia mencoba bicara dengan nada biasa. "Hidup kita rasanya tidak pernah bersatu, ya. Jeff?"
"Kurang sering."
Rachel hendak menanggapinya, tapi ia berpikir. Sekarang bukan saat yang tepat.
Rachel dijemput pegawai studio di bandara Los Angeles dengan limusin panjang.
"Nama saya Henry Ford." Ia terkekeh. "Tidak ada sangkut pautnya dengan Henry Ford yang terkenal itu. Mereka memanggil saya Hank."
Limusin meluncur mulus di antara lalu lintas. Sepanjang perjalanan, ia mengomentari tempat-tempat yang mereka lewati.
"Pertama kali ke Hollywood, Miss Stevens?"
"Tidak. Saya sudah berkali-kali ke sini. Terakhir dua tahun yang lalu."
"Well, tentu sudah banyak perubahan. Kota ini makin besar dan makin bagus. Kalau Anda menyukai kemewahan, Anda akan menyukai tempat ini."
Kalau aku menyukai kemewahan.
"Studio sudah memesankan kamar untuk Anda di Chateau Marmont. Semua selebriti menginap di situ."
Rachel pura-pura terkesan, "Benarkah?"
"Oh, ya. John Belushi meninggal di sana, Anda tahu, sesudah overdosis."
"Wah." "Gable dulu sering menginap di sana, Paul Newman, Marilyn Monroe." Daftar nama itu berlanjut terus. Rachel berhenti mendengarkan.
Chateau Marmont terletak di sebelah utara Sunset Strip, tampak seperti puri dalam setting film.
Henry Ford berkata, "Pukul dua saya akan menjemput dan membawa Anda ke studio. Anda akan bertemu Roderick Marshall di sana."
"Saya akan siap."
Dua jam kemudian Rachel sudah berada di kantor Roderick Marshall. Ia berumur empat puluhan, berperawakan kecil dan tegap, penuh energi.
"Kau akan senang karena sudah memutuskan datang," katanya. "Aku akan membuatmu jadi bintang besar. Kita akan melakukan tes pengambilan gambar besok. Aku akan menyuruh salah satu asisten mengantarmu memilih pakaian yang bagus. Kau akan mengikuti tes adegan salah satu film besar kami, End of a Dream. Besok pagi pukul tujuh kita mulai dengan makeup dan tata rambut. Aku rasa itu bukan hal baru bagimu, heh?"
Rachel berkata datar, "Ya,"
"Apakah kau sendirian di sini, Rachel?"
"Ya." "Bagaimana kalau kita makan malam bersama nanti malam?"
Rachel mempertimbangkannya sejenak. "Baiklah."
"Aku akan menjemputmu pukul delapan."
Makan malam ternyata merupakan malam yang menghebohkan.
"Kalau kau tahu ke mana harus pergi"dan kau bisa masuk," Roderick Marshal berkata kepada Rachel, "L.A. punya klub-klub paling panas di dunia." Acara malam itu dimulai di Standard, bar, restoran, dan hotel trendy di Sunset Boulevard. Saat mereka melewati meja penerimaan, Rachel berhenti dan terperangah. Di samping meja itu, di balik jendela berkaca hablur, ada seorang model telanjang yang sedang dilukis.
"Hebat, kan?" "Luar biasa," kata Rachel.
Sesudah mengunjungi beberapa klub yang riuh dan penuh sesak, di penghujung malam Rachel kehabisan tenaga.
Roderick Marshall mengantarnya sampai hotel. "Tidurlah yang nyenyak. Besok akan mengubah seluruh hidupmu."
Pukul 07.00, Rachel sudah berada di ruang make up. Bob Van Dusen, si juru rias, memandangnya kagum dan berkata, "Dan mereka membayarku untuk melakukan ini?"
Rachel tertawa. "Kau tidak perlu banyak makeup. Alam sudah membereskannya."
"Terima kasih."
Setelah Rachel siap, seorang wanita penata busana membantunya mengenakan gaun yang sudah mereka coba siang kemarin. Asisten sutradara membawanya ke panggung besar.
Roderick Marshall dan krunya sudah menunggu. Si sutradara mengamati Rachel sesaat dan berkata, "Sempurna. Kita akan melakukan tes yang terdiri atas dua bagian, Rachel. Kau akan duduk di kursi ini dan aku akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Bersikaplah apa adanya."
"Baik. Dan bagian kedua?"
"Tes skenario pendek seperti yang pernah kusebutkan."
Rachel duduk dan juru kamera mengatur fokus. Roderick Marshall berdiri di luar jangkauan kamera. "Apakah kau siap?"
"Ya." "Bagus. Santai saja. Kau pasti bagus. Kamera. Action. Selamat pagi."
"Selamat pagi."
"Kudengar kau model."
Rachel tersenyum, "Ya."
"Bagaimana awalnya?"
"Waktu itu aku berumur lima belas tahun. Pemilik sebuah agen model melihatku bersama ibuku di restoran. Ia mendatangi kami dan berbicara dengan ibuku, dan beberapa hari kemudian aku pun jadi model."
Wawancara selama lima belas menit itu berlangsung lancar, dan kecerdasan serta ketenangan Rachel tampak jelas.
"Cut! Bagus!" Roderick Marshall mengangsurkan skenario pendek untuk tes. "Kita akan istirahat. Bacalah ini. Begitu kau siap, beritahu aku, dan kita akan mengambil gambarnya. Kau sangat alami, Rachel."
Rachel membaca skenario. Isinya tentang istri yang meminta cerai dari suaminya. Rachel membacanya lagi.
"Aku siap." Rachel diperkenalkan pada Kevin Webster, yang akan jadi lawan mainnya"pria muda dan tampan khas Hollywood.
"Baiklah," kata Roderick Marshall. "Mari kita ambil gambarnya. Kamera. Action."
Rachel memandang Kevin Webster. "Aku sudah bicara dengan pengacara perceraian pagi tadi, Cliff."
"Aku telah mendengarnya. Tidakkah seharusnya kau bicara lebih dulu denganku?"
"Aku sudah bicara denganmu. Aku sudah bicara tentang masalah ini sepanjang tahun lalu. Kita sudah tidak punya perkawinan lagi. Tapi kau tidak mendengarkan, Jeff."
"Cut," kata Roderick. "Rachel, namanya Cliff."
Rachel berkata malu, "Maaf."
"Ayo kita mulai lagi. Pengambilan kedua."
Adegan ini benar-benar tentang aku dan Jeff, pikir Rachel. Kami sudah tidak punya perkawinan lagi. Bagaimana bisa punya" Kami menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Kami jarang bertemu. Kami berjumpa orang-orang yang menarik, tetapi kami tidak bisa terlibat gara-gara kontrak yang tidak lagi bermakna apa-apa.
"Rachel!" "Maaf." Adegan itu dimulai lagi. Selesai menjalani tes tersebut, Rachel sudah mengambil dua keputusan: Ia tidak cocok di Hollywood.
Dan ia menginginkan perceraian....
Kini, berbaring di ranjang di Rio, merasa sakit dan letih, Rachel berpikir, Aku melakukan kesalahan. Tak seharusnya aku menceraikan Jeff.
Hari Selasa ketika Kemal selesai sekolah, Dana membawanya ke ahli terapi yang menangani Kemal dan lengan barunya. Lengan buatan itu tampak seperti asli dan berfungsi dengan baik, tetapi Kemal masih sulit membiasakan diri, secara fisik maupun psikologis.
"Ia akan merasa seperti ditempeli benda asing," demikian ahli terapi itu pernah menjelaskan pada Dana. "Tugas kami adalah membuatnya menerima lengan itu sebagai bagian tubuhnya sendiri. Ia harus membiasakan diri untuk bekerja dengan lengan kanan lagi. Biasanya butuh waktu belajar sekitar dua atau tiga bulan. Saya harus memperingatkan Anda bahwa ini bisa jadi saat-saat yang sangat sulit."
"Kami bisa menanganinya," Dana meyakinkannya.
Kenyataannya tidaklah demikian mudah. Pagi berikutnya, Kemal keluar dari ruang belajar tanpa prostesenya. "Aku siap."
Dana memandangnya dengan perasaan kaget. "Mana lenganmu, Kemal?"
Kemal mengangkat tangan kirinya dengan sikap menantang. "Ini."
"Kau tahu apa yang kumaksud. Mana prostese-mu?"
"Benda itu menyebalkan. Aku tidak mau memakainya lagi."
"Kau akan terbiasa, Sayang. Aku janji. Kau harus mencobanya. Aku akan membantumu untuk?"
"Tidak ada yang dapat membantuku. Aku orang cacat fukati..."
Sekali lagi Dana pergi menemui Detektif Marcus Abrams. Ketika Dana melangkah masuk, Abrams sedang duduk di belakang meja kerja, sibuk menyusun berbagai laporan. Ia mengangkat muka, cemberut.
"Kau tahu apa yang kubenci dari pekerjaan terkutuk ini?" Ia menunjuk tumpukan dokumen tersebut. "Ini. Aku seharusnya bisa berada di jalanan, asyik menembaki penjahat. Oh, aku lupa. Kau reporter, bukan" Jangan mengutip kata-kataku."
"Terlambat." "Dan apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini, Miss Evans?"
"Saya datang untuk bertanya tentang kasus Sinisi. Apakah sudah diadakan autopsi?"
"Pro forma." Ia mengambil beberapa dokumen dari laci meja.
"Apakah ada yang mencurigakan dalam laporan itu?"
Ia melihat Detektif Abrams memeriksa dokumen itu. "Tidak ada alkohol... tidak ada obat terlarang... Tidak." Ia mengangkat muka. "Sepertinya wanita ini sangat tertekan dan memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Begitu saja?"
"Ya," kata Dana.
Dana selanjutnya mampir ke kantor Detektif Phoenix Wilson.
"Selamat pagi, Detektif Wilson."
"Dan apakah yang membawamu ke kantorku yang buruk ini?"
"Saya ingin tahu apakah ada berita baru mengenai pembunuhan Gary Winthrop."
Detektif Wilson menghela napas dan menggaruk hidung. "Sama sekali tidak ada. Aku mengira sekarang ini mestinya salah satu lukisan itu sudah muncul. Itulah yang kami harapkan."
Dana hendak berkata, Seandainya aku jadi kau, aku tidak akan berharap begitu, tapi ia menahan diri. "Tidak ada petunjuk apa pun?"
"Sama sekali tidak. Bajingan-bajingan itu lolos dengan mulus. Kami tidak banyak menghadapi kasus pencurian benda seni, tetapi modus operandinya hampir selalu sama. Itulah yang sangat mengherankan."
"Mengherankan?"
"Yeah. Yang ini beda."
"Berbeda... bagaimana?"
"Pencuri benda seni tidak membunuh orang yang tak bersenjata, dan tidak ada alasan bagi orang-orang ini untuk menembak Gary Winthrop dengan darah dingin seperti itu." Ia berhenti. "Apakah kau ada minat khusus pada kasus ini?"
"Tidak," Dana berbohong. "Sama sekali tidak. Cuma sekadar ingin tahu. Saya?"
"Baiklah," kata Detektif Wilson. "Tetaplah mengabariku."
Di akhir rapat yang diadakan di kantor Jenderal Booster di markas besar FRA yang terpencil, sang jenderal berpaling pada Jack Stone dan bertanya, "Bagaimana perkembangan si Evans?"
"Ia bertanya ke sana-sini, tetapi saya kira tidak berbahaya. Ia tidak akan menemukan apa pun."
"Aku tidak suka ia mengendus-endus kian kemari. Tingkatkan sampai kode tiga."
"Kapan Anda ingin mulai?"
"Segera." *** Dana tengah bersiap untuk siaran berikutnya ketika Matt Baker masuk ke kantornya dan duduk di kursi.
"Aku baru saja menerima telepon mengenai kau."
Dana berkata ringan, "Penggemarku rupanya tidak pernah bosan denganku, bukan?"
"Yang ini sudah."
"Oh?" "Telepon tadi dari FRA. Mereka minta kau menghentikan penyelidikanmu mengenai Taylor Winthrop. Tidak ada permintaan resmi. Menurut istilah mereka, ini cuma saran bersahabat. Sepertinya mereka ingin kau memedulikan urusanmu sendiri saja."
"Memang itu yang aku lakukan, bukan?" kata Dana. Ia beradu pandang dengan Matt. "Kau jadi bertanya-tanya apa penyebabnya, bukan" Aku tidak akan mundur dari menyelidiki suatu berita gara-gara ada lembaga pemerintah ingin aku berhenti. Masalah ini dimulai di Aspen, tempat Taylor dan istrinya tewas dalam kebakaran. Aku akan pergi ke sana dulu. Dan kalau ada sesuatu di sana, itu pasti akan jadi cerita awal yang hebat untuk Crime Line."
"Berapa lama waktu yang kauperlukan?"
"Tidak akan lebih dari satu atau dua hari."
"Kerjakanlah." SEBELAS RACHEL harus bersusah payah agar bisa bergerak. Sekadar berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain di rumahnya di Florida saja terasa meletihkan. Ia tidak bisa mengingat kapan ia pernah merasa begini lelah. Aku mungkin kena flu. Jeff benar. Aku harus ke dokter. Mandi berendam air panas akan membuatku santai....
Saat Rachel berendam dalam air hangat yang menenangkan itulah tangannya meraba payudara dan merasakan benjolan.
Reaksi pertamanya adalah merasa terguncang. Lalu penyangkalan. Ini bukan apa-apa. Ini bukan kanker. Aku tidak merokok. Aku berolahraga dan merawat tubuhku. Tidak ada kanker dalam keluargaku. Aku baik-baik saja. Aku akan ke dokter untuk memeriksanya, tapi ini bukan kanker.
Rachel keluar dari bak mandi, mengeringkan badan, dan menelepon.
"Agen Model Betty Richman."
"Aku ingin bicara dengan Betty Richman. Tolong katakan ini dari Rachel Stevens."
Sesaat kemudian Betty Richman berbicara di telepon. "Rachel! Senang berbicara denganmu. Kau baik-baik saja?"
"Tentu. Mengapa kau bertanya begitu?"
"Well, kau mendadak menghentikan pengambilan gambar di Rio, dan kukira mungkin?"
Rachel tertawa. "Tidak, tidak. Aku cuma lelah, Betty. Aku ingin segera bekerja lagi."
"Itu kabar bagus. Semua orang berusaha memesanmu."
"Yah, aku siap. Apa yang ada dalam agenda?"
"Tunggu sebentar."
Satu menit kemudian Betty Richman kembali berbicara di telepon. "Pengambilan gambar berikutnya di Aruba. Dimulai minggu depan. Kau masih punya banyak waktu. Mereka memang memintamu."
"Aku suka Aruba. Ikutkan aku."
"Beres. Aku senang kau merasa lebih baik."
"Aku merasa hebat."
"Akan kukirimkan semua rinciannya."
Pukul 14.00 keesokan harinya, Rachel menemui dr. Graham Elgin.
"Selamat siang, dr. Elgin."
"Dan apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Di payudara kanan saya ada kista kecil dan?"
"Oh, Anda sudah menemui dokter?"
"Belum, tapi saya tahu kok ini apa. Cuma kista kecil. Saya kenal tubuh saya. Saya ingin Anda melakukan operasi kecil untuk membuangnya." Ia tersenyum. "Saya model. Tidak boleh ada bekas luka pada tubuh saya. Kalau cuma cacat kecil, saya bisa menutupinya dengan makeup. Minggu depan saya akan berangkat ke Aruba, jadi bisakah Anda menjadwalkan operasi ini besok atau lusa?"
Dr. Elgin mengamatinya. Mengingat situasinya, Rachel tampak tenang, tapi tak wajar. "Coba saya periksa Anda lebih dulu, lalu saya harus melakukan biopsi. Tetapi ya, kita bisa menjadwalkan operasi dalam minggu ini, bila diperlukan."
Rachel berseri-seri. "Bagus."
Dr. Elgin berdiri. "Mari kita pergi ke ruangan lain. Saya akan menyuruh juru rawat membawakan pakaian rumah sakit untuk Anda."
Lima belas menit kemudian, dengan disaksikan juru rawat, dr. Elgin memeriksa benjolan di payudara Rachel.
"Sudah saya katakan pada Anda, Dokter, ini cuma kista."
"Well, untuk pastinya, Miss Stevens, saya ingin melakukan biopsi. Saya bisa melakukannya sekarang juga di sini."
Rachel mencoba untuk tidak mengernyit ketika dr. Elgin menusukkan jarum kecil ke payudaranya untuk mengambil contoh jaringan.
"Selesai. Tidak sakit, kan?"
*** Ketika Rachel tiba di rumah, ia langsung mengeluarkan dua koper dan meletakkannya di ranjang. Ia pergi ke lemari pakaian dan mulai mengumpulkan pakaian-pakaian yang akan dibawanya ke Aruba.
Jeanette Rhodes, wanita pembersih rumahnya, masuk ke kamar tidur.
"Miss Stevens, apakah Anda akan pergi lagi?"
"Ya." "Ke mana kali ini?"
"Ke Aruba." "Di manakah itu?"


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu pulau indah di Laut Karibia, sebelah utara Venezuela. Tempat itu seperti surga. Pantai indah, hotel mewah, dan makanan lezat,"
"Kedengarannya hebat."
"Omong-omong, Jeanette, sementara aku pergi, aku ingin kau datang tiga kali seminggu."
"Tentu." Pukul 09.00 keesokan harinya, telepon berdering.
"Miss Stevens?"
"Ya." "Di sini dr. Elgin."
"Halo, Dokter. Apakah Anda bisa menjadwalkan operasi itu?"
"Miss Stevens, saya baru saja mendapatkan laporan sitologi. Saya ingin Anda datang ke kantor supaya kita bisa?"
"Tidak. Saya ingin mendengarnya sekarang juga, Dokter."
Dr. Elgin bimbang sesaat. "Saya tidak suka membicarakan hal semacam ini di telepon, tapi laporan penelitian awal ini menunjukkan Anda benar mengidap kanker."
Jeff tengah menulis kolom olahraga ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya. "Halo?"
"Jeff..." Ia menangis.
"Rachel, kaukah itu" Ada apa" Ada apa?"
"Aku"aku kena kanker payudara."
"Oh, Tuhan. Seberapa serius?"
"Aku belum tahu. Aku harus menjalani pemeriksaan mamogram. Jeff, aku tidak bisa menghadapi masalah ini sendirian. Aku tahu aku terlalu banyak meminta, tapi bisakah kau datang ke sini?"
"Rachel, aku"sayangnya aku?"
"Sehari saja. Hanya sampai aku... tahu." Ia menangis lagi.
"Rachel..." Perasaannya terkoyak. "Akan kuusahakan. Aku akan menelepon lagi nanti."
Rachel terisak-isak hebat sehingga tak sanggup bicara.
Setelah selesai mengikuti rapat produksi, Dana berkata, "Olivia, tolong pesankan aku tiket pesawat pagi ke Aspen, Colorado. Pesankan hotel juga. Oh, dan aku perlu mobil sewaan."
"Baik. Mr. Connors menunggumu di kantor."
"Terima kasih." Dana masuk. Jeff sedang memandang ke luar jendela. "Hai, Sayang."
Ia berbalik. "Hai, Dana."
Tampak ekspresi aneh di wajahnya. Dana memandangnya, waswas. "Kau baik-baik saja?"
"Jawabannya ada dua," katanya berat. "Ya dan tidak."
"Duduklah," kata Dana. Ia duduk di kursi di depannya. "Ada apa?"
Jeff mengembuskan napas. "Rachel kena kanker payudara."
Dana merasa agak terkejut. "Aku"aku turut prihatin. Apakah ia akan sembuh?"
"Ia menelepon pagi tadi. Mereka akan memberitahukan sampai seserius apa keadaannya. Ia panik. Ia ingin aku datang ke Florida untuk membantunya mendengar kabar itu. Aku ingin bicara dulu denganmu."
Dana menghampiri Jeff dan memeluknya. "Tentu saja kau harus pergi." Dana teringat pada makan siang bersama Rachel dan betapa baik wanita itu.
"Aku akan kembali satu atau dua hari lagi."
Jeff masuk ke kantor Matt Baker.
"Aku menghadapi situasi darurat, Matt. Aku harus cuti beberapa hari."
"Kau baik-baik saja, Jeff?"
"Ya. Ini soal Rachel."
"Mantan istrimu?"
Jeff mengangguk. "Ia baru saja tahu bahwa ia mengidap kanker."
"Aku ikut prihatin."
"Ia butuh dukungan moral. Aku ingin terbang ke Florida siang ini."
"Pergilah. Aku akan minta Maury Falstein menggantikanmu. Kabari aku bagaimana perkembangannya."
"Pasti. Terima kasih, Matt."
Dua jam kemudian Jeff sudah berada di pesawat terbang menuju Miami.
Kemal merupakan masalah Dana yang paling mendesak. Aku tidak bisa pergi ke Aspen tanpa ada seseorang yang bisa diandalkan di sini untuk menjaganya, Dana pikir. Tetapi siapa yang sanggup menangani kebersihan rumah dan cucian dan anak paling penyendiri di dunia"
Ia menelepon Pamela Hudson. "Saya minta maaf terpaksa mengganggu Anda, Pamela, tapi saya harus pergi ke luar kota beberapa hari, dan saya butuh orang untuk tinggal dengan Kemal. Apakah Anda tahu pengurus rumah yang baik dan memiliki kesabaran luar biasa?"
Mereka diam beberapa saat. "Kebetulan saya kenal seseorang. Namanya Mary Rowane Daley, dan ia pernah bekerja pada kami bertahun-tahun yang lalu. Ia dapat dipercaya. Coba saya cari dia, nanti saya minta ia menelepon Anda."
"Terima kasih," kata Dana.
*** Satu jam kemudian, Olivia berkata, "Dana, ada telepon untukmu dari orang bernama Mary Daley."
Dana mengangkat telepon. "Mrs. Daley?"
"Ya. Saya sendiri." Suara yang hangat itu beraksen Irlandia. "Mrs. Hudson mengatakan Anda butuh orang untuk mengurus putra Anda."
"Benar," kata Dana. "Saya harus pergi ke luar kota satu atau dua hari. Apakah Anda bisa datang besok pagi"katakan saja sekitar pukul tujuh"supaya kita bisa bicara?"
Mary Daley datang keesokan paginya tepat pukul 07.00. Ia tampaknya berusia lima puluhan, berperawakan bulat, dengan sikap ceria dan senyum cerah. Ia berjabatan tangan dengan Dana.
"Saya senang sekali bertemu Anda, Miss Evans. Sebisa mungkin saya selalu menonton Anda di TV."
"Terima kasih."
"Dan di manakah anak muda rumah ini?"
Dana memanggil, "Kemal."
Sesaat kemudian Kemal keluar dari kamar. Ia memandang Mrs. Daley dan ekspresinya mengatakan Payah.
Mrs. Daley tersenyum. "Kemal, kan" Aku belum pernah bertemu orang bernama Kemal. Kau tampak seperti jagoan kecil." Ia menghampirinya. "Kau harus memberitahuku semua makanan favoritmu. Aku koki yang hebat. Kita akan bersenang-senang bersama, Kemal."
Aku harap begitu, Dana berdoa dalam hati. "Mrs. Daley, apakah Anda bisa tinggal di sini bersama Kemal selama saya pergi?"
"Pasti, Miss Evans."
"Bagus sekali," kata Dana bersyukur. "Sayang di sini tidak cukup luas. Tempat tidurnya?"
Mrs. Daley tersenyum. "Jangan khawatir. Sofa lipat itu sudah memadai."
Dana menghela napas lega. Ia melihat arloji. "Bagaimana kalau Anda ikut dengan saya mengantar Kemal ke sekolah" Kemudian Anda bisa menjemputnya pukul dua kurang seperempat."
"Baiklah." Kemal menoleh pada Dana. "Kau akan kembali, bukan, Dana?"
Dana memeluknya. "Tentu saja aku akan kembali padamu, Sayang."
"Kapan?" "Aku akan kembali beberapa hari lagi." Dengan membawa beberapa jawaban.
Ketika Dana tiba di studio, di mejanya tampak sebuah paket yang terbungkus indah. Ia memandangnya dengan perasaan ingin tahu, dan membukanya. Di dalamnya ada sebentuk pena emas yang indah. Kartunya bertuliskan "Dear Dana, semoga selamat di perjalanan." Kartu tersebut ditandatangani The Gang.
Penuh perhatian sekali. Dana memasukkannya ke dalam tas tangan.
Pada saat yang sama ketika Dana naik ke pesawat terbang, seorang laki-laki berpakaian kerja membunyikan bel apartemen yang pernah ditempati Wharton. Pintu dibuka dan penghuni baru itu memandangnya, lalu mengangguk, dan menutup pintu. Laki-laki itu beralih ke apartemen Dana dan membunyikan bel.
Mrs. Daley membuka pintu. "Ya?"
"Miss Evans menyuruh saya datang untuk memperbaiki pesawat TV."
"Baik. Silakan masuk."
Mrs. Daley mengawasi laki-laki itu pergi ke televisi dan mulai bekerja.
DUA BELAS RACHEL STEVENS sudah berada di Miami International Airport untuk menjemput Jeff ketika pesawatnya tiba.
Ya Tuhan, ia begitu cantik, pikir Jeff. Aku tak bisa percaya ia sakit.
Rachel memeluknya. "Oh, Jeff! Terima kasih atas kedatanganmu."
"Kau kelihatan hebat," Jeff menghiburnya. Mereka berjalan menuju limusin yang sudah menunggu.
"Semua ini nanti akan terbukti bukan apa-apa. Lihat saja."
"Tentu." Dalam perjalanan pulang, Rachel bertanya, "Bagaimana kabar Dana?"
Jeff ragu. Karena Rachel dalam keadaan begitu sakit, ia tidak ingin mengumbar kebahagiaannya sendiri. "Ia baik-baik saja."
"Kau beruntung memilikinya. Apakah kau tahu aku dijadwalkan untuk pemotretan di Aruba minggu depan?"
"Aruba?" "Ya." Ia meneruskan, "Tahukah kau mengapa aku menerima pekerjaan itu" Karena kita berbulan madu di sana. Apa nama hotel tempat kita menginap dulu?"
"Oranjestad." "Hotel yang indah, bukan" Dan apa nama gunung yang kita daki dulu?"
"Hooiberg." Rachel tersenyum dan berkata lembut, "Kau belum lupa, ya?"
"Biasanya orang tidak melupakan bulan madu mereka, Rachel."
Ia memegang lengan Jeff. "Tempat itu seperti surga, bukan" Tidak pernah aku melihat pantai berpasir putih seindah itu."
Jeff tersenyum. "Dan kau takut kulitmu jadi cokelat. Kau membungkus diri seperti mumi."
Mereka diam beberapa saat. "Itulah salah satu penyesalanku yang paling dalam, Jeff."
Ia memandangnya, tak mengerti. "Apa?"
"Kita tidak punya"sudahlah." Rachel memandangnya dan berkata lirih, "Aku suka sekali bersamamu di Aruba."
Jeff menghindar halus, "Tempat itu memang hebat. Memancing, selancar angin, snorkeling, tenis, golf..."
"Dan kita tidak punya waktu untuk melakukan satu pun kegiatan itu, bukan?"
Jeff tertawa. "Benar."
"Aku akan menjalani tes mamogram besok pagi. Aku tidak ingin sendirian saat mereka melakukannya. Maukah kau menemaniku?"
"Tentu saja, Rachel."
Ketika mereka tiba di rumah Rachel, Jeff membawa tas-tasnya ke ruang duduk yang luas dan melihat sekelilingnya. "Bagus. Sangat bagus."
Rachel memeluknya. "Terima kasih, Jeff."
Ia bisa merasakan tubuh mantan istrinya itu gemetar.
Mamogram dilakukan di Tower Imaging di pusat kota Miami. Jeff tinggal di ruang tunggu sementara perawat membawa Rachel ke sebuah ruangan untuk memakai gaun rumah sakit dan kemudian mengiringinya ke ruang rontgen.
"Ini makan waktu sekitar lima belas menit, Miss Stevens. Apakah Anda siap?"
"Ya. Kapan saya bisa mendapatkan hasilnya?"
"Dokter onkologi Anda yang akan menyampaikannya. Ia akan memperolehnya besok."
Besok. Nama dokter spesialis tumor itu Scott Young. Jeff dan Rachel masuk ke kantornya dan duduk.
Sang dokter memandang Rachel sejenak dan berkata, "Dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa saya punya berita buruk untuk Anda, Miss Stevens."
Rachel mencengkeram tangan Jeff. "Oh?"
"Hasil biopsi dan mamogram Anda menunjukkan Anda mengidap karsinoma invasif."
Wajah Rachel pucat pasi. "Apa"apa maksudnya?"
"Itu berarti Anda perlu mastektomi, operasi pengangkatan seluruh payudara."
"Tidak!" Seruan itu keluar secara naluriah. "Anda tidak bisa"maksud saya, pasti ada cara lain."
"Saya khawatir," dr. Young berkata lembut, "perkembangannya sudah terlalu jauh."
Rachel diam sesaat. "Saya tidak bisa langsung melakukannya. Anda tahu, saya dijadwalkan untuk difoto di Aruba minggu depan. Saya bisa melakukannya sesudah itu."
Jeff mengamati ekspresi khawatir di wajah sang dokter. "Menurut Anda, kapan sebaiknya ia melakukannya, dr. Young?"
Ia menoleh pada Jeff. "Secepat mungkin."
Jeff memandang Rachel. Rachel berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Ketika ia bicara, suaranya bergetar. "Saya mau pendapat pihak kedua."
"Tentu." Dr. Aaron Cameron berkata, "Sayangnya, saya sampai pada kesimpulan yang sama seperti dr. Young. Saya merekomendasikan mastektomi."
Rachel mencoba mempertahankan suaranya supaya tetap tenang. "Terima kasih, Dokter." Ia menggenggam tangan Jeff dan meremasnya. "Kurasa aku memang harus melakukannya, bukan?"
*** Dr. Young sudah menunggu mereka.
"Tampaknya Anda benar," kata Rachel. "Saya cuma tidak bisa?" Mereka diam beberapa lama. Akhirnya Rachel berbisik, "Baiklah. Kalau memang Anda pasti ini"ini harus dilakukan."
"Kami akan berusaha membuat Anda senyaman mungkin," kata dr. Young. "Sebelum melakukan operasi, saya akan mengundang ahli bedah plastik untuk membicarakan rekonstruksi payudara Anda. Zaman sekarang, dokter bisa melakukan banyak mukjizat."
Jeff memeluknya ketika Rachel berurai air mata.
Tidak ada penerbangan langsung dari Washington, D.C. ke Aspen. Dana naik pesawat Delta Airlines menuju Denver, di sana ia pindah ke pesawat United Express. Belakangan, ia tidak bisa lagi mengingat perjalanan tersebut. Benaknya dipenuhi pikiran mengenai Rachel dan cobaan yang harus dialaminya. Aku senang Jeff ada di sana untuk meringankan bebannya. Dan Dana merasa khawatir soal Kemal. Bagaimana kalau Mrs. Daley berhenti sebelum aku kembali" Aku harus"
Suara pramugari terdengar dari loudspeaker. "Beberapa menit lagi, kita akan segera mendarat di Aspen. Silakan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda."
Dana mulai memusatkan pikiran pada apa yang akan dihadapinya.
Elliot Cromwell berjalan memasuki kantor Matt Baker.
"Kudengar Dana tidak akan melakukan siaran malam ini."
"Benar. Ia berada di Aspen."
"Menindaklanjuti teorinya tentang Taylor Winthrop?"
"Yeah." "Aku ingin kau terus memberikan informasi."
"Baik." Matt mengamati Cromwell berlalu dan dalam hati berpikir, Ia sangat memperhatikan Dana.
Begitu turun dari pesawat, Dana langsung menuju konter penyewaan mobil. Di dalam terminal itu, dr. Carl Ramsey tengah berbicara pada petugas di balik konter, "Tapi saya sudah memesan mobilnya seminggu yang lalu."
Petugas itu berkata dengan nada meminta maaf, "Saya tahu, dr. Ramsey, tapi rupanya telah terjadi kekeliruan. Tidak ada satu mobil pun yang tersisa. Di luar ada bus bandara, atau saya bisa menelepon taksi untuk?"
"Sudahlah," kata sang dokter, dan pergi dengan marah.
Dana memasuki lobi bandara dan berjalan menuju meja penyewaan. "Saya sudah memesan," katanya. "Dana Evans."
Petugas itu tersenyum. "Ya, Miss Evans. Kami sudah menunggu Anda." Ia memberikan sehelai formulir untuk ditandatangani dan menyerahkan beberapa kunci. "Mobilnya Lexus putih di tempat parkir satu."
"Terima kasih. Bisakah Anda memberitahukan jalan ke Hotel Little Nell?"
"Anda tidak mungkin tidak melihatnya. Hotel itu tepat di tengah kota. East Durant Avenue nomor enam tujuh lima. Saya yakin Anda pasti menyukainya."
"Terima kasih," kata Dana.
Petugas itu mengawasinya berjalan keluar pintu. Ada apa sebenarnya" ia bertanya-tanya dalam hati.
Hotel Little Nell dibangun seperti vila kecil yang anggun, di kaki pegunungan Aspen yang indah. Di lobinya ada perapian yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, dengan api yang terus menyala selama musim dingin, dan jendela-jendela lebar dengan pemandangan pegunungan Rocky yang berselimut salju. Para tamu dalam pakaian ski duduk santai di sofa dan kursi besar. Dana melihat sekeliling dan berpikir, Jeff pasti akan suka tempat ini. Mungkin kami bisa berkunjung ke sini...
Selesai mendaftar, Dana berkata pada petugas, "Apakah Anda mungkin tahu di mana letak rumah Taylor Winthrop?"
Ia memandang Dana dengan tatapan aneh. "Rumah Taylor Winthrop" Sudah tidak ada. Terbakar hingga rata dengan tanah."
Dana berkata, "Saya tahu. Saya hanya ingin melihat?"
"Tidak ada apa-apa lagi di sana sekarang, cuma abu, tetapi kalau Anda ingin melihatnya, Anda bisa pergi ke arah timur ke Conundrum Creek Valley. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari sini."
"Terima kasih," kata Dana. "Bisakah Anda menyuruh orang membawakan tas-tas saya ke kamar?"
"Tentu, Miss Evans."
Dana berjalan kembali ke mobil.
Rumah Taylor Winthrop di Conundrum Creek Valley dikelilingi lahan National Forests. Rumah itu dulunya bangunan satu tingkat, terbuat dari batu dan kayu redwood, didirikan di lokasi yang indah dan terpencil. Di halamannya terdapat kolam berang-berang dan sungai kecil. Pemandangannya amat spektakuler. Dan di tengah segala keindahan itu, bagaikan bekas luka yang mengerikan, tampak tumpukan puing rumah tempat dua orang tewas terbakar.
Dana berjalan mengelilingi halaman, membayangkan bagaimana keadaan di sana sebelum musibah tersebut. Kelihatan jelas bangunan itu dulunya rumah bertingkat satu yang amat besar. Pasti dulu banyak pintu dan jendela besar yang panjangnya hingga ke lantai.
Namun demikian, suami-istri Winthrop tidak bisa meloloskan diri dari salah satu jendela atau pintu itu. Kurasa sebaiknya aku mendatangi dinas pemadam kebakaran.
Ketika Dana berjalan memasuki kantor dinas pemadam kebakaran, seorang laki-laki menghampirinya. Ia berusia tiga puluhan, tinggi, berkulit kecokelatan, dan tampak atletis. Ia mungkin tinggal di lereng-lereng tempat bermain ski, pikir Dana.
"Bisa saya bantu, Ma"am?"
Dana berkata, "Saya membaca tentang kebakaran yang menimpa rumah Taylor Winthrop dan saya ingin tahu mengenai hal itu."
"Yeah. Terjadinya setahun yang lalu. Mungkin musibah paling parah yang pernah terjadi di kota ini."
"Pukul berapa kejadiannya?"
Seandainya pria itu merasa pertanyaan tersebut aneh, ia tidak menunjukkan tanda-tanda keheranannya. "Saat itu tengah malam. Kami menerima panggilan pukul tiga dini hari. Mobil pemadam kami sampai di sana pukul tiga seperempat, tetapi sudah terlambat. Rumah itu berkobar-kobar. Kami tidak tahu ada orang di dalamnya, sampai kami selesai memadamkan api dan menemukan dua jenasah. Saat yang memilukan hati."
"Apakah Anda tahu apa yang menyebabkan kebakaran itu?"
Ia mengangguk. "Oh, yeah. Masalah listrik."
"Masalah listrik seperti apa?"
"Kami tidak tahu pasti, tetapi sehari sebelum kebakaran, seseorang menelepon tukang listrik supaya datang ke rumah itu untuk membetulkan listrik."
"Tapi Anda tidak tahu masalahnya?"
"Saya kira ada yang tidak beres dengan sistem alarm kebakarannya."
Dana berusaha kedengaran biasa-biasa saja. "Tukang listrik yang pergi membetulkan"apakah Anda tahu namanya?"
"Tidak. Tapi saya kira polisi tentu tahu."
"Terima kasih."
Ia memandang Dana dengan perasaan ingin tahu. "Mengapa Anda begitu tertarik dengan masalah ini?"
Dana berkata sungguh-sungguh, "Saya sedang menulis artikel mengenai kebakaran yang menimpa resort ski di seluruh penjuru negeri ini."
Kantor polisi Aspen berupa bangunan satu lantai dari bata merah, terpisah enam blok dari hotel Dana.
Petugas penerima tamu mengangkat muka dan berseru, "Anda Dana Evans, penyiar televisi itu?"
"Ya." "Saya Kapten Turner. Apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda, Miss Evans?"
"Saya ingin tahu tentang kebakaran yang menewaskan Taylor Winthrop dan istrinya."
"Ya Tuhan, tragedi yang menyedihkan. Masyarakat sini masih terguncang."
"Saya bisa mengerti."
"Ya. Sayang sekali mereka tidak dapat diselamatkan."
"Setahu saya kebakaran itu disebabkan masalah listrik?"
"Benar." "Mungkinkah karena sengaja dibakar?"
Kapten Turner mengernyit. "Sengaja dibakar" Tidak, tidak. Karena masalah listrik."
"Saya ingin bicara dengan tukang listrik yang pergi ke sana sehari sebelum kebakaran. Apakah Anda tahu namanya?"
"Saya yakin nama itu ada dalam arsip kami. Mau saya memeriksanya?"
"Saya akan sangat berterima kasih."
Kapten Turner mengangkat telepon dan berbicara sebentar, lalu berpaling kembali pada Dana. "Baru pertama kali ke Aspen?"
"Ya." "Tempat yang indah. Anda main ski?"
"Tidak." Tapi Jeff bisa. Kalau kami ke sini kelak...
Seorang klerek datang dan menyerahkan sehelai kertas pada Kapten Turner. Ia menyodorkan kertas itu pada Dana. Bunyi tulisannya: Al Larson Electrical Company, Bill Kelly.
"Kantor mereka di ujung jalan ini."
"Terima kasih banyak, Kapten Turner."
"Sama-sama." Sewaktu Dana meninggalkan bangunan itu, seorang laki-laki di seberang jalan berbalik dan berbicara ke telepon genggam.
Kantor Al Larson Electrical Company adalah bangunan kecil abu-abu dari semen. Seorang pria yang mirip dengan petugas di kantor dinas pemadam kebakaran, berkulit kecokelatan dan atletis, duduk di depan meja. Ia berdiri ketika Dana masuk. "Selamat pagi."
"Selamat pagi," kata Dana. "Saya ingin bicara dengan Bill Kelly."
Laki-laki itu mendengus. "Saya juga ingin bicara dengannya."
"Maaf?" "Kelly. Ia menghilang hampir setahun yang lalu."
"Menghilang?" "Yeah, pergi begitu saja. Tanpa pemberitahuan sedikit pun. Bahkan tidak mengambil bayarannya."
Dana berkata perlahan-lahan, "Apakah Anda ingat kapan tepatnya kejadiannya?"
"Tentu. Pagi hari saat kebakaran itu terjadi. Kebakaran besar. Anda tahu, yang menewaskan suami-istri Winthrop."
Dana bergidik. "Saya tahu. Dan Anda tidak tahu di mana Mr. Kelly berada?"
"Tidak. Seperti saya katakan, ia menghilang begitu saja."
Pulau terpencil di ujung Amerika Selatan itu sibuk sepanjang pagi karena kedatangan pesawat-pesawat jet. Sekaranglah saat untuk pertemuan itu, dan dua puluh peserta yang beraneka ragam duduk dalam bangunan baru dan dijaga ketat yang dijadwalkan akan dihancurkan segera setelah pertemuan itu berakhir. Si pembicara melangkah ke depan ruangan.
"Selamat datang. Saya gembira melihat banyak wajah lama di sini dan beberapa teman baru. Sebelum memulai bisnis kita, beberapa di antara Anda prihatin dengan munculnya suatu masalah. Ada pengkhianat di antara kita, mengancam akan mengungkapkan jati diri kita. Kita masih belum tahu siapa dia. Tetapi bisa saya pastikan pada Anda sekalian bahwa ia akan ditangkap secepatnya, dan nasibnya akan seperti nasib semua pengkhianat lain. Tidak ada yang bisa menghalangi kita."
Terdengar gumaman terkejut.
"Nah. Mari kita mulai lelang ini. Hari ini ada enam belas paket. Mari kita mulai dengan dua milyar. Ada tawaran pertama" Ya. Dua milyar dolar. Ada yang tiga milyar?"
TIGA BELAS KETIKA kembali berada di kamarnya malam itu, Dana tiba-tiba terpaku dan waswas. Segalanya tampak sama, tapi... ia merasa ada yang berbeda. Apakah barang-barangnya dipindahkan" Penakut, pikir Dana kecut. Ia mengangkat telepon dan menghubungi rumah.
Mrs. Daley yang menjawab. "Rumah keluarga Evans."
Terima kasih, Tuhan, ia masih ada. "Mrs. Daley?"
"Miss Evans!" "Selamat malam. Bagaimana kabar Kemal?"
"Well, ia agak nakal, tapi saya bisa menanganinya. Anak-anak saya juga seperti itu."
"Apakah semuanya... baik-baik saja?"
"Oh, ya." Dana mengembuskan napas lega. "Bisa saya bicara dengannya?"
"Tentu." Dana mendengarnya berseru memanggil, "Kemal, dari ibumu."
Sesaat kemudian Kemal sudah berbicara di telepon. "Hai, Dana."
"Hai, Kemal. Bagaimana kabarmu, Sobat?"
"Cool." "Bagaimana sekolah?"
"Baik." "Dan apakah kau baik-baik dengan Mrs. Daley?"
"Ya, ia hebat."
Ia lebih dari hebat, pikir Dana. Ia mukjizat.
"Kapan kau pulang, Dana?"
"Aku pulang besok. Kau sudah makan malam?"
"Ya. Makanannya lumayan."
Dana nyaris mengatakan, Ini benar-benar kau, Kemal" Ia senang sekali mendengar perubahan pada diri Kemal.
"Baiklah, Sayang. Sampai jumpa besok. Selamat malam."
"Selamat malam, Dana."
Sewaktu Dana bersiap untuk tidur, telepon genggamnya berdering. Ia mengambilnya. "Halo?"
"Dana?" Ia merasakan luapan kegembiraan. "Jeff! Oh, Jeff!" Ia bersyukur telah membeli telepon seluler internasional.
"Aku harus meneleponmu. Aku setengah mati merindukanmu."
"Aku pun merindukanmu. Kau berada di Florida?"
"Ya."

Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana keadaan di sana?"
"Tidak bagus." Ia mendengar kebimbangan dalam suara Jeff. "Sebenarnya, agak buruk. Rachel dijadwalkan menjalani mastektomi besok."
"Oh, tidak!" "Ia kurang bisa menerimanya."
"Aku ikut sedih."
"Aku tahu. Kasihan sekali dia. Sayang, aku sudah tak sabar untuk kembali padamu. Pernah aku mengatakan aku tergila-gila padamu?"
"Aku tergila-gila juga padamu, Manis."
"Apakah ada yang kaubutuhkan, Dana?"
Kau. "Tidak." "Bagaimana Kemal?"
"Ia baik-baik saja. Aku mendapat pengurus rumah baru yang disukainya."
"Itu kabar baik. Aku sudah tak sabar menunggu kita berkumpul lagi."
"Aku juga." "Jaga dirimu baik-baik."
"Ya. Dan aku tidak bisa mengatakan betapa prihatin aku mengenai Rachel."
"Akan kusampaikan padanya. Selamat malam, Sayang."
"Selamat malam."
Dana membuka koper dan mengeluarkan kemeja Jeff yang dibawanya. Ia mengenakannya di balik pakaian tidur dan memeluknya. Selamat malam, Sayang.
*** Keesokan paginya Dana terbang kembali ke Washington. Ia mampir ke apartemen sebelum pergi ke kantor dan disambut Mrs. Daley yang ceria.
"Senang sekali melihat Anda sudah kembali, Miss Evans. Anak Anda menguras tenaga saya." Tapi ia mengucapkannya dengan mata berbinar.
"Saya harap ia tidak terlalu menyulitkan Anda."
"Menyulitkan" Sedikit pun tidak. Saya senang melihat kemajuannya dengan lengan baru itu."
Dana memandangnya, terperanjat. "Ia memakainya?"
"Tentu. Ia memakainya ke sekolah."
"Bagus sekali. Saya sangat senang." Ia melihat arloji. "Saya harus pergi ke studio. Saya akan kembali siang ini untuk menemui Kemal."
"Ia akan gembira melihat Anda. Ia merindukan Anda. Berangkatlah. Saya akan membereskan tas-tas ini."
"Terima kasih, Mrs. Daley."
Dana berada di kantor Matt, menceritakan apa yang diketahuinya di Aspen.
Ia memandang Dana ragu. "Pada hari kebakaran itu terjadi, si tukang listrik menghilang begitu saja?"
"Tanpa mengambil bayarannya."
"Dan ia berada di rumah Winthrop sehari sebelum kebakaran itu."
"Ya." Matt menggeleng. "Seperti cerita Alice in Wonderland. Makin lama ini jadi makin aneh."
"Matt, Paul Winthrop adalah anggota berikut keluarga itu yang tewas. Ia meninggal di Prancis tak lama sesudah kebakaran tersebut. Aku mau pergi ke sana. Aku ingin melihat apakah ada saksi yang melihat kecelakaan mobil itu."
"Baik." Lalu Matt menambahkan, "Elliot Cromwell menanyakan kau. Ia minta kau menjaga diri baik-baik."
"Aku juga ingin berbuat begitu," jawab Dana.
Ketika Kemal pulang dari sekolah, Dana sudah menunggunya. Kemal memakai lengan barunya, dan bagi Dana ia kelihatan jauh lebih tenang.
"Kau sudah kembali." Anak itu memeluknya.
"Halo, Sayang. Aku merindukanmu. Bagaimana perkembangan di sekolah?"
"Lumayan. Bagaimana perjalananmu?"
"Baik. Aku membawa oleh-oleh untukmu." Ia memberikan ransel tenunan Indian dan sepasang mokasin yang dibelinya di Aspen. Bagian berikutnya yang sulit. "Kemal, aku harus pergi lagi selama beberapa hari."
Dana sudah bersiaga menghadapi reaksinya, tetapi Kemal hanya mengatakan, "Oke."
Tidak ada tanda-tanda kemarahan.
"Aku akan membawakan oleh-oleh yang bagus."
"Satu hari kau pergi dari rumah, satu oleh-oleh?"
Dana tersenyum, "Kau pandai bicara, seperti mahasiswa hukum saja."
*** Pria itu duduk nyaman di kursi di depan televisi yang menyala, memegang segelas wiski. Di layar terlihat Dana dan Kemal duduk di meja makan, sedangkan Mrs. Daley menghidangkan makanan yang kelihatan seperti daging rebus a la Irlandia.
"Lezat sekali," kata Dana.
"Terima kasih. Saya senang Anda menyukainya."
"Sudah kubilang ia koki yang hebat," puji Kemal.
Rasanya seperti seruangan dengan mereka, pikir pria itu, bukan mengawasi mereka dari apartemen sebelah.
"Ceritakanlah padaku tentang sekolah," kata Dana.
"Aku suka guru-guruku yang baru. Guru matematikaku..."
"Bagus sekali."
"Anak-anak jauh lebih baik di sekolah ini. Menurut mereka lengan baruku asyik sekali."
"Pasti." "Ada anak perempuan di kelasku yang benar-benar cantik. Kurasa ia menyukaiku. Namanya Lizzy."
"Apakah kau menyukainya, Sayang?"
"Yeah. Ia phat."
Ia sudah besar, pikir Dana dengan perasaan gundah yang tak disangka-sangka. Ketika tiba waktunya, Kemal pergi tidur dan Dana berjalan ke dapur untuk menemui Mrs. Daley.
"Kemal sepertinya begitu... begitu tenang. Tidak bisa saya ungkapkan terima kasih saya," kata Dana.
"Anda yang membantu saya." Mrs. Daley
tersenyum. "Rasanya seolah salah satu anak saya kembali lagi. Mereka semua sudah dewasa sekarang, Anda tahu. Saya dan Kemal bersenang-senang terus."
"Saya gembira mendengarnya."
Dana menunggu hingga tengah malam, dan ketika Jeff masih juga belum menelepon, ia pergi tidur. Ia berbaring di ranjang sambil bertanya-tanya dalam hati apakah yang sedang dilakukan Jeff, apakah ia tengah bercinta dengan Rachel. Dana merasa malu pada diri sendiri karena memikirkan hal seperti itu.
Laki-laki di apartemen sebelah melaporkan. "Semuanya tenang."
Telepon genggamnya berdering.
"Jeff, Sayang. Kau di mana?"
"Aku ada di Doctors Hospital di Florida. Mastektominya sudah selesai. Dokter masih melakukan beberapa tes."
"Oh, Jeff! Semoga saja penyakit itu belum menyebar."
"Aku pun berharap demikian. Rachel ingin aku tinggal dengannya beberapa hari lagi. Aku ingin menanyakan apakah?"
"Tentu saja. Kau harus menemaninya."
"Tinggal beberapa lama lagi. Aku akan menelepon Matt dan memberitahunya. Ada kejadian menarik di sana?"
Sesaat itu Dana tergoda untuk bercerita pada Jeff soal Aspen dan bahwa ia akan meneruskan penyelidikan. Beban pikirannya sudah cukup banyak. "Tidak," kata Dana. "Semua sepi-sepi saja."
"Sampaikan salam sayangku pada Kemal. Selebihnya untukmu." Jeff meletakkan gagang telepon. Seorang juru rawat mendatanginya.
"Mr. Connors" Dr. Young ingin bicara dengan Anda."
"Operasinya berjalan lancar," kata dr. Young pada Jeff, "tetapi ia masih perlu dukungan emosional. Ia akan merasa dirinya bukan wanita yang utuh. Saat sadar nanti, ia akan panik. Anda harus memberitahunya bahwa ia normal kalau merasa ketakutan."
"Saya mengerti," kata Jeff.
"Dan ketakutan serta perasaan tertekan akan melanda lagi saat kita mulai terapi radiasi untuk menghentikan penyebaran kankernya. Pengalaman itu bisa sangat traumatis."
Jeff memikirkan apa yang akan terjadi.
"Apakah ia punya seseorang yang akan mengurusnya?"
"Saya." Dan ketika mengucapkannya, Jeff sadar ialah satu-satunya yang dipunyai Rachel.
*** Penerbangan Air France menuju Nice berlangsung lancar. Dana menghidupkan komputer laptop untuk memeriksa kembali informasi yang sudah dikumpulkannya sejauh ini. Provokatif, tetapi sama sekali tidak konklusif. Bukti, pikir Dana. Bukan berita namanya jika tak ada bukti. Kalau aku bisa"
"Penerbangan yang menyenangkan, bukan?"
Dana menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingnya. Ia tinggi dan menarik dan berbicara dengan aksen Prancis.
"Ya." "Apakah Anda sudah pernah ke Prancis?"
"Belum," kata Dana. "Ini yang pertama kali."
Ia tersenyum. "Ah, Anda pasti menikmatinya. Ini negeri yang penuh pesona." Ia tersenyum bangga dan mencondongkan badan ke dekat Dana. "Apakah Anda punya teman untuk mengantar Anda melihat-lihat?"
"Saya akan menemui suami dan tiga anak saya," kata Dana.
"Dommage." Ia mengangguk, berpaling, dan mengambil majalah France-Soir miliknya.
Dana kembali menekuni komputer. Sebuah artikel menarik perhatiannya. Paul Winthrop, yang tewas dalam kecelakaan mobil, punya hobi.
Balap mobil. Ketika pesawat Air France itu mendarat di bandara Nice, Dana memasuki terminal yang sibuk menuju kantor penyewaan mobil. "Nama saya Dana Evans. Saya sudah?"
Petugas itu mengangkat muka. "Ah! Miss Evans. Mobil Anda sudah siap." Ia mengangsurkan sehelai formulir padanya. "Tandatangani saja ini."
Itu baru benar-benar pelayanan, pikir Dana. "Saya butuh peta Prancis selatan. Apakah Anda?""
"Tentu, mademoiselle." Ia mengulurkan tangan ke belakang konter dan memilih sebuah peta. "Voil?." Ia mengawasi Dana berlalu.
Di menara eksekutif WTN, Elliot Cromwell berbicara, "Di mana Dana sekarang, Matt?"
"Di Prancis." "Apakah sudah ada kemajuan?"
"Sekarang masih terlalu dini."
"Aku mengkhawatirkannya. Aku rasa ia terlalu banyak bepergian. Perjalanan zaman sekarang bisa berbahaya." Ia diam sesaat. "Sangat berbahaya."
Udara di Nice terasa dingin dan segar. Dana bertanya dalam hati seperti apa cuaca saat Paul Winthrop tewas. Ia masuk ke mobil Citroen yang sudah menunggu dan mengemudikannya di Grande Corniche, melewati desa-desa kecil yang indah.
Kecelakaan itu terjadi di utara Beausoleil, di jalan raya Roquebrune-Cap-Martin, resort di tepi Laut Mediterania.
Sewaktu mendekati desa itu, Dana mengurangi kecepatan, mengamati tikungan-tikungan tajam, terjal, sambil bertanya-tanya di tikungan mana kecelakaan Paul Winthrop terjadi. Apa yang dilakukan Paul Winthrop di sini" Apakah ia menemui seseorang" Apakah ia ikut balap mobil" Apakah ia sedang berlibur" Menangani urusan bisnis"
Roquebrune-Cap-Martin adalah desa abad pertengahan dengan puri kuno, gereja, gua-gua historis, dan vila-vila mewah bertebaran menghiasi pemandangan. Dana mengemudikan mobil ke pusat desa, memarkir mobil, dan mencari kantor polisi. Ia menghentikan seorang laki-laki yang berjalan keluar dari toko.
"Permisi, bisakah Anda memberitahukan di mana letak kantor polisi?"
"Je ne parle pas anglais, j"ai peur de ne pouvoir vous aider, mais?"
"Police. Police."
"Ah, oui." Ia menunjuk. "La deuxi?me rue ? gauche."
"Merci." "De rien." Kantor polisi itu bangunan tua, berdinding putih, sudah hampir jadi puing. Di dalamnya polisi berseragam yang berusia setengah baya duduk di belakang meja tulis. Ia mengangkat kepala ketika Dana melangkah masuk.
"Bonjour, madame."
"Bonjour." "Comment puis-je vous aider?"
"Apakah Anda bisa berbahasa Inggris?"
Ia memikirkannya. "Ya," katanya enggan.
"Saya ingin berbicara dengan yang bertanggung jawab di sini."
Ia memandangnya sejenak, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung. Lalu ia tiba-tiba tersenyum. "Ah, Commandant Frasier. Oui. Sebentar." Pria itu mengangkat telepon dan berbicara. Ia mengangguk dan berpaling pada Dana. Ia menunjuk koridor. "La premi?re porte."
"Terima kasih." Dana berjalan menyusuri koridor sampai pintu pertama. Kantor Commandant Frasier sempit dan rapi. Sang komandan adalah laki-laki yang rapi dengan kumis kecil dan mata cokelat yang tajam. Ia berdiri ketika Dana masuk.
"Selamat siang, Commandant."
"Bonjour, mademoiselle. Bagaimana saya bisa membantu Anda?"
"Saya Dana Evans. Saya sedang menggarap kisah untuk stasiun WTN di Washington, D.C. mengenai keluarga Winthrop. Saya tahu Paul Winthrop tewas dalam kecelakaan di dekat sini?"
"Oui. Terrible! Terrible. Orang harus berhati-hati mengemudikan mobil di Grande Corniche. Bisa tr?s dangereux."
"Saya dengar Paul Winthrop tewas dalam balap mobil dan?"
"Non. Tidak ada balapan apa pun hari itu."
"Tidak ada?" "Non, Mademoiselle. Saya sendiri yang bertugas ketika kecelakaan itu terjadi."
"Begitu. Apakah Mr. Winthrop sendirian di mobilnya?"
"Oui." "Commandant Frasier, apakah pernah dilakukan autopsi?"
"Oui. Tentu saja."
"Apakah ditemukan adanya alkohol dalam darah Paul Winthrop?"
Commandant Frasier menggeleng. "Non."
"Obat?" "Non." "Apakah Anda ingat seperti apa cuaca hari itu?"
"Oui. Il pleuvait. Hujan."
Dana punya satu pertanyaan terakhir, tetapi ia mengajukannya tanpa banyak berharap. "Saya kira tidak ada saksi yang melihatnya?"
"Mais oui, il y en avait."
Dana menatapnya, nadinya berdenyut cepat. "Ada?"
"Seorang saksi. Ia mengemudi di belakang mobil Winthrop dan menyaksikan kecelakaan itu terjadi."
Perasaan Dana langsung bergejolak. "Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bersedia memberikan nama saksi itu," kata Dana. "Saya ingin bicara dengannya."
Ia mengangguk. "Saya kira tidak ada bahayanya." Ia berseru memanggil, "Alexandre!" dan sesaat kemudian asistennya bergegas masuk.
"Oui, Commandant?"
"Apportez-moi le dossier de l"accident Winthrop."
"Tout de suite." Ia bergegas keluar dari ruangan.
Commandant Frasier berpaling pada Dana. "Sungguh keluarga yang malang. Hidup ini benar tr?s fragile, rapuh." Ia memandang Dana dan tersenyum. "Orang harus berusaha bersenang-senang mumpung masih bisa." Ia menambahkan dengan halus. "Atau mumpung Anda masih bisa. Apakah Anda ke sini sendiri, Mademoiselle?"
"Tidak, suami dan anak-anak saya sudah menunggu."
"Dommage." Asisten Commandant Frasier kembali sambil membawa sebundel kertas dan sang komandan memeriksa dokumen itu, mengangguk, dan mengangkat muka memandang Dana.
"Saksi kecelakaan itu adalah turis Amerika, Ralph Benjamin. Menurut pernyataannya di sini, ia sedang mengemudi di belakang Paul Winthrop ketika melihat seekor chien"anjing"berlari tepat di depan mobil Winthrop. Winthrop membanting setir untuk menghindarinya, lalu tergelincir, dan terjun dari tebing dan jatuh ke laut. Menurut laporan pemeriksa mayat, Winthrop tewas seketika."
"Apakah Anda punya alamat Mr. Benjamin?" Dana bertanya penuh harap.
"Oui." Ia melihat kertas itu lagi. "Ia tinggal di Amerika. Richfield, Utah. Turk Street nomor empat dua puluh." Commandant Frasier menulis alamat itu dan mengangsurkannya pada Dana.
Dana berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya. "Terima kasih banyak."
"Avec plaisir." Ia melihat tak ada cincin di jari manis Dana. "Dan, Madame?"
"Ya?" "Sampaikan salam saya pada suami dan anak-anak Anda."
Dana menelepon Matt. "Matt," katanya bersemangat. "Aku menemukan saksi yang melihat kecelakaan Paul Winthrop. Aku akan mewawancarainya."
"Bagus sekali. Di mana dia?"
"Di Utah. Richfield. Aku akan kembali ke Washington segera sesudah itu."
"Baiklah. Omong-omong, Jeff menelepon."
"Ya?" "Kau tahu ia ada di Florida dengan mantan istrinya." Ia kedengaran tidak suka.
"Aku tahu. Wanita itu sakit berat."
"Kalau Jeff pergi lebih lama, aku harus menyuruhnya minta cuti."
"Aku yakin ia akan segera kembali." Ingin sekali Dana mempercayai ucapannya sendiri.
"Baiklah. Mudah-mudahan berhasil dengan saksi itu."
"Terima kasih, Matt."
Telepon Dana selanjutnya ditujukan pada Kemal. Mrs. Daley menjawab telepon itu.
"Rumah Miss Evans."
"Selamat malam, Mrs. Daley. Semua baik-baik saja di sana?" Dana menahan napas.
"Well, anak Anda nyaris membakar dapur saat membantu saya memasak kemarin malam." Ia tertawa. "Tapi selain itu, ia baik-baik saja."
Dana diam-diam memanjatkan doa syukur. "Bagus." Perempuan ini benar-benar pembuat mukjizat, pikir Dana.
"Apakah Anda akan pulang sekarang" Saya bisa menyiapkan santap malam dan?"
"Saya harus mampir ke satu tempat lagi," kata Dana. "Saya akan pulang dua hari lagi. Boleh saya bicara dengan Kemal?"
"Ia sedang tidur. Perlukah saya membangunkannya?"
"Tidak. Jangan." Dana melihat arlojinya. Pukul empat di Washington. "Apakah ia sedang tidur siang?"
Ia mendengar suara tawa hangat Mrs. Daley. "Ya. Anak itu sibuk seharian. Ia bekerja keras, dan asyik bermain."
"Sampaikan salam sayang saya padanya. Tidak lama lagi saya akan pulang untuk menemuinya."
Saya harus mampir ke satu tempat lagi.
Saya akan pulang dua hari lagi.
Boleh saya bicara dengan Kemal"
Ia sedang tidur. Perlukah saya membangunkannya"
Tidak. Jangan. Apakah ia sedang tidur siang"
Ya. Anak itu sibuk seharian. Ia bekerja keras, dan asyik bermain.
Sampaikan salam sayang saya padanya. Tidak lama lagi saya akan pulang untuk menemuinya.
Rekaman habis. Richfeld, Utah, adalah kota pemukiman yang nyaman di lembah pegunungan Monroe. Dana berhenti di pompa bensin dan minta petunjuk arah ke alamat yang diberikan Commandant Frasier padanya.
Rumah Ralph Benjamin adalah bangunan satu tingkat yang lusuh karena ditempa cuaca dan terletak di tengah blok rumah-rumah lain yang serupa.
Dana memarkir mobil sewaan itu, berjalan ke pintu depan, dan membunyikan bel. Pintu dibuka wanita separo baya yang berambut putih dan memakai celemek. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin bertemu Ralph Benjamin," kata Dana.
Perempuan itu mengamati Dana dengan tatapan ingin tahu. "Apakah ia tahu Anda akan datang?"
"Tidak. Saya"saya kebetulan lewat, dan saya pikir tidak ada salahnya saya mampir sebentar. Apakah ia ada di rumah?"
"Ya. Silakan masuk."
"Terima kasih." Dana melangkah ke dalam dan mengikuti perempuan itu ke ruang duduk.
"Ralph, ada tamu."
Ralph Benjamin berdiri dari kursi goyang dan menghampiri Dana. "Halo" Apakah saya kenal Anda?"
Dana tertegun, tak mampu bergerak. Ralph Benjamin ternyata buta.
EMPAT BELAS DANA dan Matt Baker berada di ruang rapat WTN.
"Ralph Benjamin pergi ke Prancis mengunjungi putranya," Dana menjelaskan. "Suatu hari kopernya hilang dari kamar hotel. Keesokan harinya koper itu muncul kembali, tetapi paspornya hilang. Matt, orang yang mencuri koper dan mengambil identitas Benjamin, lalu mengatakan pada polisi bahwa ia adalah saksi kecelakaan tersebut, adalah orang yang membunuh Paul Winthrop."
Matt Baker lama terdiam. Ketika berbicara lagi, ia berkata, "Sekarang sudah saatnya menelepon polisi untuk melaporkan masalah ini, Dana. Kalau kau benar, berarti kita sedang mencari orang yang dengan darah dingin telah membunuh enam orang. Aku tidak ingin kau jadi yang ketujuh. Elliot mengkhawatirkanmu juga. Menurutnya kau sudah terlibat terlalu dalam."
"Kita belum bisa membawanya pada polisi," protes Dana. "Semua masih merupakan bukti tidak langsung. Kita tidak punya bukti. Kita tidak tahu siapa pembunuhnya, dan kita tidak tahu motifnya."
"Aku punya firasat jelek mengenai ini. Rasanya jadi terlalu berbahaya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu."
"Aku pun tidak," kata Dana sungguh-sungguh.
"Apa langkahmu selanjutnya?"
"Mencari tahu apa yang sebenarnya menimpa diri Julie Winthrop."
"Operasinya berhasil."
Rachel membuka mata perlahan-lahan. Ia berbaring di ranjang rumah sakit yang putih steril. Matanya menatap nanar Jeff. "Sudah tidak ada ya?"
"Rachel?" "Aku takut merasakannya." Ia menahan air mata. "Aku bukan wanita lagi. Tidak akan ada laki-laki yang mencintaiku."
Jeff menggenggam tangannya yang gemetar. "Kau keliru. Aku mencintaimu dulu bukan karena payudaramu, Rachel. Aku mencintaimu karena kau adalah kau, manusia yang baik, hangat."
Rachel tersenyum lemah. "Kita dulu saling mencintai, bukan, Jeff?"
"Ya." "Seandainya saja..." Ia melihat ke dadanya, dan wajahnya mengerut.
"Kita akan bicara soal ini nanti."
Ia meremas tangan Jeff lebih keras. "Aku tidak mau sendirian, Jeff. Sampai semua ini berakhir. Tolong jangan tinggalkan aku."
"Rachel, aku harus?"
"Jangan sekarang. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau pergi."
Seorang perawat masuk ke kamar rumah sakit itu. "Bisa permisi sebentar, Mr. Connors?"
Rachel tidak mau melepaskan tangan Jeff. "Jangan pergi."
"Aku akan kembali."
Larut malam itu telepon genggam Dana berdering. Ia bergegas ke seberang ruangan untuk mengambilnya. "Dana." Dari Jeff.
Ia merasakan hatinya bergelora ketika mendengar suara Jeff. "Halo. Bagaimana kabarmu, Sayang?"
"Aku baik-baik saja."
"Bagaimana keadaan Rachel?"
"Operasinya berjalan baik, tetapi Rachel sepertinya ingin bunuh diri."
"Jeff"wanita tidak boleh menilai diri sendiri dari payudara atau?"
"Ya, tapi Rachel bukan wanita kebanyakan. Sejak umur lima belas tahun ia selalu dinilai orang dari penampilannya. Ia model dengan bayaran paling tinggi di dunia. Kini ia merasa semua itu sudah berakhir baginya. Ia merasa seperti pecundang. Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia terus hidup."
"Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan tinggal dengannya beberapa hari lagi dan membantunya menenangkan diri di rumah. Aku sudah bicara dengan dokternya. Dokter itu masih menunggu hasil tes untuk melihat apakah mereka sudah mengangkat semuanya. Mereka pikir mereka perlu menindaklanjutinya dengan kemoterapi."
Tak ada yang dapat Dana katakan.
"Aku merindukanmu," kata Jeff.
"Aku merindukanmu juga, Sayang. Aku sudah menyiapkan hadiah Natal untukmu."
"Simpanlah dulu untukku."
"Pasti." "Apakah kau letih karena semua perjalanan itu?"
"Belum." "Pastikan telepon genggammu selalu dalam keadaan hidup," kata Jeff. "Aku merencanakan untuk menelepon lagi, membicarakan yang "seru-seru"."
Dana tersenyum. "Janji?"
"Janji. Jaga dirimu baik-baik, Sayang."
"Kau juga." Percakapan itu berakhir. Dana menutup telepon dan duduk berlama-lama, memikirkan Jeff dan Rachel. Kemudian ia berdiri dan pergi ke dapur.
Mrs. Daley sedang berbicara dengan Kemal. "Kue dadar lagi, Sayang?"


Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, terima kasih."
Dana berdiri mengawasi mereka berdua. Selama keberadaan singkat Mrs. Daley bersama mereka, Kemal sudah berubah begitu banyak. Ia sekarang tenang, santai, dan bahagia. Dana merasakan sengatan perasaan cemburu. Mungkin aku bukan orang yang tepat untuknya. Dengan perasaan bersalah, ia mengingat betapa ia menghabiskan waktu seharian di studio televisi, kadang malah sampai larut malam. Mungkin orang seperti Mrs. Daley lebih tepat mengadopsinya. Ia menepiskan pikiran itu. Kenapa aku ini" Kemal kan menyayangiku.
Dana duduk di depan meja. "Masih menikmati sekolah baru?"
"Asyik sekali."
Dana menggenggam tangannya. "Kemal, aku harus pergi lagi."
Ia berkata acuh, "Tidak apa-apa."
Perasaan cemburu itu kembali terasa.
"Kali ini Anda akan pergi ke mana, Miss Evans?" Mrs. Daley bertanya.
"Alaska." Mrs. Daley merenung sejenak. "Hati-hati dengan beruang grizzly di sana," ia menasihati.
Penerbangan dari Washington menuju Juneau, Alaska, memakan waktu sembilan jam, berhenti sekali di Seattle. Di bandara Juneau, Dana pergi ke konter penyewaan mobil.
"Nama saya Dana Evans. Saya?"
"Ya, Miss Evans. Kami sudah menyiapkan Land Rover yang bagus untuk Anda. Tempat parkir nomor sepuluh. Tandatangani saja di sini."
Petugas itu menyerahkan kunci dan Dana berjalan menuju tempat parkir di belakang bangunan tersebut. Di tempat-tempat parkir bernomor itu ada selusin mobil. Dana berjalan ke tempat parkir nomor sepuluh. Seorang laki-laki sedang berlutut di belakang mobil, membereskan pipa knalpot Land Rover putih. Ia mendongak ketika Dana datang.
"Cuma mengencangkan knalpotnya, Miss. Anda, bisa memakainya sekarang." Ia berdiri.
"Terima kasih," kata Dana.
Laki-laki itu mengawasinya pergi.
Di lantai bawah tanah sebuah gedung pemerintah, seorang laki-laki tengah mengamati peta digital pada komputer. Ia mengawasi Land Rover putih itu berbelok ke kanan.
"Subjek sedang menuju Starr Hill."
Juneau merupakan kejutan bagi Dana. Pada pandangan pertama, tempat itu tampak seperti kota besar, tetapi jalanan sempit dan berkelok-kelok membuat ibukota Alaska itu bersuasana desa kecil di tengah alam liar zaman es.
Dana mendaftarkan diri di Inn at the Waterfront yang populer, bekas bordil di tengah kota.
"Anda datang pada saat yang sangat tepat untuk main ski," kata pegawai hotel padanya. "Musim salju kali ini bagus sekali. Anda bawa papan ski sendiri?"
"Tidak, saya?" "Yah, di sebelah ada toko ski. Saya yakin mereka bisa memberi Anda apa yang Anda inginkan."
"Terima kasih," kata Dana. Tempat yang bagus untuk mulai. Dana menaruh bawaannya dan pergi ke toko ski.
Pelayan toko itu gemar bicara. Begitu Dana melangkah masuk, ia berkata, "Hai. Saya Chad Donohoe. Anda datang ke tempat yang tepat." Ia menunjuk sederetan papan ski. "Kami baru saja menerima Freerider ini. Papan ski ini mampu menghadapi benturan dan tonjolan." Ia menunjuk bagian lain. "Atau"ini adalah Salomon X-Scream 9. Sedang digemari. Tahun lalu kami kehabisan stok dan tidak bisa mendapatkannya lagi." Ia melihat ekspresi tak sabar pada wajah Dana dan bergegas pergi ke kelompok berikut. "Kalau Anda suka, kami punya model Vocal Vertigo G30 atau Atomic 10.20." Ia memandang Dana penuh harap. "Mana yang Anda?"
Cinta Buta Penulis Muda 2 Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala Pulau Rahasia 1

Cari Blog Ini