Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon Bagian 4
"Kita siaran langsung!" Lampu merah kamera menyala.
Suara announcer menggema, "Selamat malam. Kini siaran berita pukul sebelas di WTN bersama Dana Evans dan Richard Melton."
Dana tersenyum ke kamera. "Selamat malam. Saya Dana Evans."
Richard Melton, yang duduk di sampingnya, berkata, "Dan saya Richard Melton."
Dana mulai, "Kami mulai siaran berita malam ini dengan tragedi menyedihkan di Malaysia..."
Di sinilah tempatku, pikir Dana, bukan berlarian ke seluruh penjuru dunia, mengejar jejak yang tak tentu arah.
Siaran berlangsung mulus. Ketika Dana kembali ke apartemen, Kemal sudah tidur. Sesudah mengucapkan selamat malam pada Mrs. Daley, Dana naik ke ranjang, tetapi ia tak bisa tidur.
Saya punya informasi yang Anda inginkan. Saya sudah memesankan kamar atas nama Anda di Soyuz Hotel di Moskow. Datanglah segera. Jangan beritahu siapa pun mengenai hal ini.
Ini perangkap. Aku tolol kalau kembali ke Moskow, pikir Dana. Tetapi bagaimana kalau ini benar" Siapa yang mau repot-repot melakukan ini" Dan mengapa" Surat itu hanya mungkin berasal dari Boris Shdanoff. Bagaimana kalau ia benar-benar tahu sesuatu" Ia terjaga sepanjang malam.
Begitu bangun pagi harinya, Dana menelepon Roger Hudson dan menceritakan soal surat itu padanya.
"Ya Tuhan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." Ia kedengaran amat tertarik. "Ini bisa berarti seseorang siap menceritakan apa sebenarnya yang menimpa keluarga Winthrop."
"Saya tahu." "Dana, ini bisa berbahaya. Aku tidak menyukainya."
"Kalau saya tidak pergi, kita tidak akan pernah tahu yang sebenarnya."
Ia bimbang. "Kukira kau benar."
"Saya akan berhati-hati, tapi saya harus pergi."
Roger Hudson berkata enggan. "Baiklah. Aku ingin kau terus memberi kabar."
"Saya janji, Roger."
*** Dana pergi ke Corniche Travel Agency untuk membeli tiket pulang-pergi ke Moskow. Saat itu hari Selasa. Kuharap aku tidak akan pergi terlalu lama, pikir Dana. Ia meninggalkan pesan untuk Matt untuk memberitahukan apa yang terjadi.
Ketika Dana kembali ke apartemennya, ia berkata pada Mrs. Daley, "Saya harus pergi lagi. Ini hanya satu dua hari. Tolong jaga Kemal baik-baik."
"Anda tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, Miss Evans. Kami akan baik-baik saja."
Penghuni apartemen sebelah berpaling dari layar televisi dan bergegas menelepon seseorang.
Di dalam pesawat Aeroflot menuju Moskow, Dana berpikir, Ini seperti d?j? vu. Mungkin aku melakukan kekeliruan besar. Ini bisa jadi cuma perangkap. Tetapi kalau jawabannya ada di Moskow, aku akan menemukannya. Ia duduk bersandar untuk penerbangan panjang itu.
Ketika pesawat mendarat keesokan paginya di bandara Sheremetyevo II yang kini sudah dikenalnya, Dana mengambil tas dan berjalan keluar dalam badai salju yang membutakan mata. Tampak antrean panjang orang-orang yang sedang menunggu taksi. Dana berdiri dalam udara dingin, bersyukur memakai mantel hangat. Empat puluh lima menit kemudian, ketika akhirnya tiba giliran Dana, seorang laki-laki berperawakan besar mencoba menyerobot ke depannya.
"Nyet!" kata Dana tegas. "Ini taksi saya." Ia masuk ke mobil.
Si sopir berkata, "Da?"
"Saya mau ke Soyuz Hotel."
Ia berpaling pada Dana dan berbicara dalam bahasa Inggris patah-patah, "Anda yakin ingin pergi ke sana?"
Dana berkata heran, "Kenapa" Apa maksud Anda?"
"Itu bukan hotel yang bagus."
Dana merasa waswas. Apakah aku yakin" Sekarang sudah terlambat untuk mundur. Sopir itu menanti jawaban. "Ya. Saya"saya yakin."
Si sopir mengangkat bahu, memasukkan persneling, dan meluncur di antara lalu lintas yang terbungkus salju.
Dana berpikir, Bagaimana kalau ternyata tidak ada pemesanan kamar di hotel itu" Bagaimana kalau semua ini cuma lelucon konyol"
Soyuz Hotel terletak di daerah kelas pekerja di pinggiran kota Moskow, di Levoberezhnaya Street. Tempat itu gedung tua yang tak menarik, dengan cat cokelat yang sudah mengelupas di bagian luarnya.
"Anda ingin saya menunggu?" si sopir bertanya.
Dana ragu-ragu hanya sebentar. "Tidak." Ia membayar si sopir, keluar dari taksi, dan angin dingin mendorongnya masuk ke hotel kecil yang kusam itu. Seorang perempuan tua duduk di belakang meja, membaca majalah. Ia mengangkat muka, terperanjat ketika Dana masuk. Dana menghampiri meja.
"Da?" "Saya rasa kamar untuk saya di sini sudah dipesan. Dana Evans." Ia menahan napas.
Perempuan itu mengangguk perlahan-lahan. "Dana Evans, ya." Ia mengulurkan tangan ke belakang dan mengambil kunci dari rak. "Empat nol dua, lantai empat." Ia mengangsurkannya pada Dana.
"Di mana saya harus mengisi formulir pendaftaran?"
Perempuan itu menggeleng. "Tidak perlu mendaftar. Anda bayar sekarang. Satu hari."
Dana kembali merasa waswas. Sebuah hotel di Rusia, dan orang asing tidak perlu mendaftar" Ada yang sangat tidak beres.
Perempuan itu berkata, "Lima ratus rubel."
"Saya harus menukar uang dulu." kata Dana. "Nanti."
"Tidak. Sekarang. Saya menerima dolar."
"Baiklah." Dana merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan segenggam uang kertas.
Perempuan itu mengangguk, mengulurkan tangan, dan mengambil setengah lusin lembaran uang.
Kurasa aku bisa membeli hotel ini dengan uang sebanyak itu. Dana melihat sekelilingnya. "Di mana liftnya?"
"Tidak ada lift."
"Oh." Portir sudah pasti tidak ada. Dana mengangkat tas dan menaiki tangga.
Kamarnya ternyata lebih buruk dari yang dikiranya. Kamar itu sempit dan kumuh, tirainya sudah koyak, dan ranjangnya belum dibereskan. Bagaimana Boris akan menghubunginya" Ini bisa jadi cuma lelucon, pikir Dana, tetapi mengapa ada orang yang mau repot-repot begini"
Dana duduk di tepi ranjang dan memandang ke luar jendela yang kotor, ke jalan yang sibuk di bawah.
Aku benar-benar tolo l, pikir Dana. Aku bisa saja duduk berhari-hari di sini, dan tak terjadi apa pun"
Terdengar ketukan pelan di pintu. Dana menarik napas dalam dan berdiri. Ia harus memecahkan misteri ini sekarang, atau mengetahui bahwa tidak ada misteri sama sekali. Dana berjalan ke pintu dan membukanya. Tidak ada seorang pun di lorong. Di lantai tergeletak sebuah amplop. Dana memungutnya dan membawanya ke dalam. Secarik kertas di dalamnya bertuliskan VDNKh 21.00. Dana memandanginya, mencoba memahaminya. Ia membuka koper dan mengeluarkan buku penunjuk jalan yang pernah dibelinya. Itu dia, VDNKh. Teksnya berbunyi Uni Sovyet, pameran prestasi ekonomi, dan di situ tercantum alamatnya.
Pukul 20.00 malam itu, Dana memanggil taksi.
"VDNKh. Taman?" Ia kurang yakin dengan lafal ucapannya.
Si sopir berpaling memandangnya. "VDNKh" Sudah tutup."
"Oh." "Anda masih tetap mau ke sana?"
"Ya." Si sopir mengangkat bahu dan taksi itu melesat.
Taman yang luas itu terletak di bagian timur laut Moskow. Menurut buku petunjuk, pameran-pameran mewah itu dulu direncanakan sebagai monumen kejayaan Soviet, tetapi ketika perekonomian runtuh, dana pun dipangkas, dan taman itu berubah menjadi monumen lapuk dogma Soviet. Paviliun-paviliun megah mulai runtuh dan taman itu kosong.
Dana turun dari taksi dan mengeluarkan segenggam uang Amerika. "Apakah ini?""
"Da." Si sopir meraih lembaran uang itu dan sesaat kemudian pergi.
Dana memandang sekelilingnya. Ia seorang diri di taman yang beku dan berangin. Ia berjalan ke bangku di dekatnya dan duduk menunggu Boris. Dana teringat bagaimana dulu ia menunggu Joan Sinisi di kebun binatang. Bagaimana kalau Boris"
Suara dari belakang Dana mengejutkannya. "Horoshiy vyecherniy."
Dana berbalik, dan terbelalak kaget. Ia tadinya mengharapkan Boris Shdanoff. Tetapi ternyata yang dilihatnya Commissar Sasha Shdanoff. "Commissar! Saya tidak menduga?"
"Anda harus mengikuti saya," katanya pendek. Sasha Shdanoff berjalan cepat melintasi taman. Dana bimbang sebentar, lalu berdiri dan bergegas mengikutinya. Ia memasuki kafe kecil yang tampak sederhana di tepi taman dan duduk di meja belakang. Di dalam kafe itu hanya ada satu pasangan. Dana berjalan ke meja Sasha dan duduk.
Seorang pelayan yang memakai celemek kotor mendatangi mereka. "Da?"
"Dva cofe, pozhalooysta," kata Shdanoff. Ia berpaling kembali pada Dana. "Saya tidak begitu yakin Anda akan datang, tetapi Anda sangat gigih. Kadang-kadang itu bisa berbahaya."
"Dalam surat itu Anda mengatakan Anda bisa memberitahukan apa yang ingin saya ketahui."
"Ya." Kopi tiba. Shdanoff minum seteguk, dan diam beberapa saat. "Anda ingin tahu apakah Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh."
Jantung Dana mulai berdegup lebih kencang. "Benarkah?"
"Ya." Jawaban itu keluar berupa bisikan menyeramkan.
Dana tiba-tiba merasa ngeri. "Apakah Anda tahu siapa yang membunuh mereka?"
"Ya." Dana menarik napas dalam. "Siapa?"
Shdanoff mengangkat satu tangan untuk menghentikan Dana. "Akan saya katakan pada Anda, tapi Anda lebih dulu harus melakukan sesuatu untuk saya."
Dana memandangnya dan berkata hati-hati, "Apa?"
"Keluarkan saya dari Rusia. Saya tidak lagi aman di sini."
"Mengapa Anda tidak pergi ke bandara dan terbang keluar" Saya tahu perjalanan ke luar negeri tidak lagi dilarang."
"Miss Evans, Anda naif. Sangat naif. Benar, keadaan tidak lagi seperti zaman komunis dulu, tetapi bila saya mencoba yang Anda sarankan, mereka akan membunuh saya sebelum saya sampai di bandara. Dinding-dinding di sini masih punya mata dan telinga. Saya dalam bahaya besar. Saya butuh bantuan Anda."
Butuh beberapa saat untuk mencerna kata-katanya. Dana memandangnya cemas. "Saya tidak bisa"saya tidak tahu dari mana harus mulai."
"Anda harus bisa. Anda harus menemukan cara. Nyawa saya dalam bahaya."
Dana berpikir sejenak. "Saya bisa bicara dengan duta besar Amerika dan?"
"Tidak!" Suara Sasha Shdanoff terdengar tajam.
"Tapi itulah satu-satunya cara?"
"Kedutaan besar Anda punya kuping pengkhianat. Tak seorang pun boleh tahu hal ini, kecuali Anda dan siapa pun yang akan membantu Anda. Duta besar Anda tidak bisa membantu saya."
Dana mendadak merasa sangat tertekan. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin menyelundupkan seorang commissar Rusia keluar dari negeri ini. Aku bahkan tidak bisa menyelundupkan seekor kucing keluar dari negeri ini. Dan ia punya gagasan lain. Semua ini mungkin cuma tipu muslihat. Sasha Shdanoff tidak punya informasi apa pun. Ia memakai cara ini untuk pergi ke Amerika. Perjalanan ini ternyata sia-sia.
Dana berkata, "Saya khawatir saya tidak bisa menolong Anda, Commissar Shdanoff." Ia berdiri dengan perasaan marah.
"Tunggu! Anda ingin bukti" Saya akan beri Anda bukti."
"Bukti macam apa?"
Shdanoff butuh waktu lama untuk menjawab. Ketika berbicara lagi, ia melakukannya perlahan-lahan, "Anda memaksa saya melakukan sesuatu yang sama sekali tidak saya inginkan." Ia berdiri. "Ikutilah saya."
Tiga puluh menit kemudian, mereka memasuki jalan belakang kantor Sasha Shdanoff di Biro Pembangunan Ekonomi Internasional.
"Saya bisa dieksekusi karena apa yang akan saya ceritakan pada Anda," kata Sasha Shdanoff ketika mereka tiba. "Tapi saya tidak punya pilihan." Ia membuat isyarat tak berdaya. "Sebab saya akan dibunuh kalau saya tinggal di sini."
Dana mengamati Shdanoff pergi ke lemari besi besar yang dibangun menyatu dengan dinding. Ia memutar angka kombinasinya, menariknya hingga terbuka, dan mengeluarkan sebuah buku tebal. Ia membawanya ke meja kerja. Pada bagian depan buku itu terdapat tulisan Klassifitsirovannn"gy dalam huruf-huruf merah.
"Ini informasi yang sangat rahasia," Commissar Shdanoff berkata pada Dana. Ia membuka buku itu.
Dana melihatnya lekat-lekat sewaktu pria itu mulai membalik halaman-halamannya. Setiap halaman berisi foto-foto berwarna pesawat pembom, kendaraan luar angkasa, rudal antibalistik, rudal udara ke darat, senjata otomatis, tank, dan kapal selam.
"Ini persenjataan lengkap Rusia." Koleksi itu tampak besar, mematikan.
"Saat ini, Rusia memiliki lebih dari seribu rudal balistik antarbenua, lebih dari dua ribu hulu ledak nuklir, dan tujuh puluh pembom strategis." Ia menunjuk berbagai senjata tersebut sambil membalik halaman demi halaman. "Inilah Awl... Acrid... Aphid... Anab... Archer... Persenjataan nuklir kami menandingi Amerika Serikat."
"Sangat amat mengesankan."
"Militer Rusia punya masalah yang sangat gawat, Miss Evans. Kami menghadapi krisis. Tidak ada uang untuk membayar para serdadu, dan semangat mereka amat rendah. Situasi saat ini hanya menawarkan sedikit harapan, dan masa depan tampak lebih buruk lagi, maka pihak militer terpaksa berpaling ke masa lalu."
Dana berkata, "Saya"saya rasa saya tidak mengerti bagaimana ini?"
"Ketika Rusia masih benar-benar menjadi negara adikuasa, kami membangun lebih banyak senjata daripada Amerika Serikat. Semua senjata itu tersimpan di sini sekarang. Puluhan negara ingin memilikinya. Nilainya mencapai milyaran dolar."
Dana berkata sabar, "Commissar, saya mengerti masalahnya, tapi?"
"Bukan ini masalahnya."
Dana memandangnya bingung. "Bukan" Lalu apa?"
Shdanoff memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. "Pernahkah Anda mendengar tentang Krasnoyarsk-26?"
Dana menggeleng. "Tidak."
"Saya tidak terkejut. Tempat itu tidak tercantum dalam peta mana pun, dan orang-orang yang hidup di sana secara resmi tidak pernah ada."
"Apakah maksud Anda?"
"Anda akan lihat. Besok saya akan membawa Anda ke sana. Anda harus menemui saya di kafe yang sama besok siang." Ia memegang lengan Dana, meremasnya kuat-kuat. "Jangan sekali-sekali Anda menceritakan hal ini pada siapa pun." Ia membuat Dana kesakitan. "Anda mengerti?"
"Ya." "Orobopeno. Setuju."
Tengah hari, Dana tiba di kafe kecil di Taman VDNKh. Ia memasukinya dan duduk di meja yang sama, menunggu. Tiga puluh menit kemudian Shdanoff masih belum muncul. Apa yang terjadi sekarang" ia bertanya-tanya resah dalam hati.
"Dobry dyen." Sasha Shdanoff berdiri di dekat meja. "Ayo. Kita harus pergi berbelanja."
"Berbelanja?" ia bertanya tak mengerti.
"Ayo!" Dana mengikutinya keluar menuju ke taman. "Belanja untuk apa?"
"Untuk Anda." "Saya tidak butuh?"
Shdanoff memanggil taksi dan mereka bungkam tegang sepanjang perjalanan ke mall. Mereka turun dari taksi, dan Shdanoff membayar sopirnya.
"Masuk ke sini," kata Sasha Shdanoff.
Mereka berjalan di dalam mall itu, melewati selusin toko. Ketika mereka sampai di sebuah toko yang etalasenya memperagakan pakaian dalam seksi dan provokatif, Shdanoff berhenti.
"Di sini." Ia mendahului Dana masuk.
Dana melihat pakaian-pakaian tipis itu. "Untuk apa kita masuk ke sini?"
"Anda akan berganti pakaian."
Seorang wanita pramuniaga menghampiri mereka, dan berlangsunglah percakapan cepat dalam bahasa Rusia. Pramuniaga itu mengangguk, dan sesaat kemudian kembali dengan membawa rok mini merah jambu dan blus berenda-renda dengan potongan dada amat rendah.
Shdanoff mengangguk menyetujuinya. "Da." Ia berpaling pada Dana. "Anda akan memakai ini."
Dana mundur. "Tidak! Saya tidak mau memakai baju itu. Apa yang Anda?"
"Anda harus memakainya." Suaranya tegas.
"Mengapa?" "Anda akan lihat nanti."
Dana berpikir, Laki-laki ini rupanya maniak seks. Iblis macam apa yang berurusan denganku ini"
Shdanoff mengawasinya. "Bagaimana?"
Dana menarik napas dalam. "Baiklah." Ia masuk ke kamar ganti sempit dan mengenakan pakaian itu. Ketika keluar, ia memandang ke cermin dan terkesiap. "Saya kelihatan seperti pelacur."
"Belum," Shdanoff memberitahukan. "Kita akan memberimu makeup."
"Commissar?" "Ayo." Pakaian Dana sendiri dijejalkan ke dalam tas kertas. Dana mengenakan mantel wolnya, mencoba sebisa mungkin menutupi pakaian yang dikenakannya. Mereka mulai berjalan lagi di mall itu. Orang-orang yang lewat menatap Dana, dan para pria melontarkan senyum maklum. Seorang pekerja mengedipkan mata padanya. Dana merasa dilecehkan.
"Ke sini!" Mereka berada di depan salon kecantikan. Sasha Shdanoff masuk ke dalam. Dana ragu-ragu, lalu mengikutinya. Shdanoff berjalan ke konter.
"Ano tyomnyj," katanya.
Penata rias itu memperlihatkan padanya lipstik merah menyala dan pemerah pipi.
"Savirshehnstva," kata Shdanoff. Ia menoleh pada Dana. "Pakai ini. Tebal-tebal."
Dana sudah tak tahan. "Terima kasih. Saya tidak tahu permainan apa yang hendak Anda mainkan, Commissar, tapi saya tidak ingin ambil bagian. Saya sudah?"
Matanya menatap tajam, bagai menembus mata Dana. "Saya jamin ini bukan permainan, Miss Evans. Krasnoyarsk-26 adalah kota tertutup. Saya salah satu dari beberapa orang terpilih yang punya akses ke sana. Mereka memperkenankan hanya kalangan yang amat sangat terbatas untuk membawa pelacur ke sana selama satu hari. Itulah satu-satunya cara yang memungkinkan Anda melewati para penjaga. Cara itu dan sekotak vodka pilihan sebagai imbalan mengizinkan Anda masuk. Apakah Anda tertarik atau tidak?"
Kota tertutup" Penjaga" Sejauh manakah kita akan melakukan semua ini" "Ya." dengan enggan Dana memutuskan. "Saya tertarik."
DUA PULUH DUA DI tempat khusus di bandara Sheremetyevo II, sebuah pesawat jet militer sudah menunggu. Dana terkejut ketika melihat penumpangnya hanya ia dan Sasha Shdanoff. "Ke mana kita pergi?" Dana bertanya. Sasha Shdanoff menjawab dengan tersenyum masam. "Ke Siberia."
Siberia. Dana merasa perutnya mengejang. "Oh."
Penerbangan itu makan waktu empat jam. Dana mencoba untuk bercakap-cakap, berharap mendapatkan keterangan tentang apa yang akan dihadapinya, tapi Shdanoff cuma duduk di kursinya, bungkam dan muram.
Ketika pesawat itu mendarat di bandara kecil yang menurut Dana letaknya seperti di antah-berantah, sebuah sedan Lada 2110 sudah menunggu mereka di aspal beton beku. Dana memandang berkeliling, menatap hamparan paling kosong yang pernah dilihatnya.
"Tempat yang akan kita datangi itu"apakah masih jauh dari sini?" Dan apakah aku akan kembali"
"Tidak jauh. Kita harus sangat hati-hati."
Hati-hati terhadap apa"
Mereka naik mobil itu menempuh jarak pendek ke bangunan yang tampak seperti stasiun kereta api kecil. Enam penjaga berpakaian amat tebal berdiri di peronnya.
Saat Dana dan Shdanoff mendekat, para penjaga itu mengerling pakaian Dana yang minim. Salah satu di antara mereka menunjuk Dana dan menyeringai. "Ti vezuchi!"
"Kakaya krasivaya zhenshina!"
Shdanoff tersenyum lebar dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Semua penjaga itu tertawa.
Aku tidak ingin tahu, pikir Dana.
Shdanoff naik ke kereta dan Dana mengikuti, makin bingung. Ke mana tujuan kereta api ini di tengah tundra yang beku dan suram begini" Suhu di dalam kereta api itu dingin sekali.
Mesin dihidupkan, dan beberapa menit kemudian kereta api itu pun memasuki terowongan terang benderang yang menembus gunung. Dana memandang batu karang di kedua sisi, yang hanya beberapa sentimeter dari kereta api, dan merasa dirinya tengah berada dalam mimpi surealis yang aneh.
Ia menoleh pada Shdanoff. "Maukah Anda mengatakan ke mana kita pergi?"
Kereta itu tersentak berhenti. "Kita sudah sampai."
Mereka turun dari kereta dan berjalan menuju bangunan semen berbentuk aneh sekitar seratus meter dari sana. Di depan bangunan itu berdiri dua pagar kawat berduri yang tampak menyeramkan, dijaga ketat prajurit-prajurit berseragam. Ketika Dana dan Sasha Shdanoff mendekati gerbang, prajurit-prajurit itu memberi hormat.
Shdanoff berbisik, "Gandeng saya, lalu cium saya, dan tertawalah."
Jeff takkan mempercayai ini, pikir Dana. Ia melingkarkan tangan pada lengan Shdanoff, mencium pipi pria itu, dan memaksa dirinya tertawa kosong.
Gerbang membuka dan mereka berdua melewatinya sambil bergandengan. Para serdadu itu mengawasi dengan tatapan iri saat Commissar Shdanoff berjalan masuk bersama pelacurnya yang cantik. Dana sangat terkejut waktu menyadari bangunan yang mereka masuki ternyata bagian atas stasiun lift yang menuju ke bawah tanah. Mereka masuk ke lift itu dan pintu menutup.
Saat mereka mulai turun, Dana bertanya, "Ke mana kita?"
"Ke bawah gunung." Lift meluncur makin kencang.
"Seberapa jauh ke bawah gunungnya?" tanya Dana cemas.
Shdanoff berkata, "Seratus delapan puluh meter."
Dana memandangnya ragu-ragu. "Kita turun seratus delapan puluh meter ke bawah gunung. Mengapa" Ada apa di bawah sana?"
"Anda akan lihat sendiri."
Beberapa menit kemudian, lift itu mulai melambat. Akhirnya lift berhenti, dan pintunya otomatis membuka.
Commissar Shdanoff berkata, "Kita sudah sampai, Miss Evans."
Tapi sampai di mana"
Mereka melangkah keluar dari lift dan baru berjalan kurang dari enam meter ketika Dana berhenti karena shock. Di hadapannya tampak jalanan sebuah kota moderen, dengan berbagai toko, restoran, dan teater. Pria dan wanita berjalan kaki di sepanjang trotoarnya, dan Dana tiba-tiba menyadari bahwa tak seorang pun memakai mantel. Dana mulai merasa hangat. Ia menoleh pada Shdanoff. "Kita ada di bawah gunung?"
"Benar." "Tapi?" Ia melihat pemandangan luar biasa yang terhampar di hadapannya. "Saya tidak mengerti. Tempat apa ini?"
"Sudah saya katakan tadi. Krasnoyarsk-26."
"Apakah ini semacam lubang perlindungan terhadap bom?"
"Sebaliknya," kata Shdanoff penuh teka-teki.
Kembali Dana memandang semua gedung modern di sekitarnya. "Commissar, untuk apakah tempat ini?"
Pria itu memandangnya lama dan tajam. "Anda sebenarnya lebih baik tidak mengetahui apa yang akan saya ceritakan pada Anda."
Dana kembali merasa waswas.
"Apakah Anda tahu tentang plutonium?"
"Tidak terlalu, tidak."
"Plutonium adalah bahan bakar hulu ledak nuklir, bahan utama untuk membuat bom atom. Satu-satunya tujuan pembangunan Krasnoyarsk-26 adalah untuk membuat plutonium. Seratus ribu ilmuwan dan teknisi hidup dan bekerja di sini, Miss Evans. Pada mulanya, mereka mendapatkan makanan, pakaian, dan perumahan terbaik. Tetapi mereka semua tinggal di sini dengan satu syarat."
"Ya?" "Mereka harus setuju untuk tidak pernah meninggalkan tempat ini."
"Maksud Anda?" "Mereka tidak boleh pergi keluar. Selamanya. Mereka harus sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia luar."
Dana memandang orang-orang yang berjalan kaki di sepanjang jalanan yang hangat, dan berpikir dalam hati. Ini tidak mungkin betul-betul ada. "Di mana mereka membuat plutonium?"
"Akan saya tunjukkan pada Anda." Sebuah trem datang. "Ayo." Shdanoff naik ke trem, dan Dana mengikutinya. Mereka naik trem itu di jalan utama yang sibuk, dan di ujungnya memasuki labirin terowongan-terowongan berpenerangan redup.
Dana membayangkan kerja luar biasa dan tahun-tahun yang dicurahkan untuk membangun kota ini. Dalam beberapa menit, lampu-lampu itu makin terang, dan trem tersebut berhenti. Mereka berada di pintu masuk laboratorium raksasa yang terang benderang.
"Kita turun di sini."
Dana mengikuti Shdanoff dan melihat sekelilingnya dengan perasaan tercengang. Di dalam gua sangat besar itu ada tiga reaktor raksasa. Dua reaktor mati, tapi yang ketiga sedang beroperasi dan dikelilingi kerumunan teknisi yang sibuk.
Shdanoff berkata, "Mesin-mesin di dalam ruangan ini bisa memproduksi cukup plutonium untuk membuat sebuah bom atom setiap tiga hari." Ia menunjuk reaktor yang sedang bekerja. "Reaktor itu masih memproduksi setengah ton plutonium setahun, cukup untuk membuat seratus bom. Nilai plutonium yang disimpan di ruang sebelahnya setara dengan kekayaan seorang tsar."
Dana bertanya, "Commissar, bila mereka sudah memiliki semua plutonium itu, mengapa mereka masih membuat lebih banyak lagi?"
Shdanoff berkata masam, "Inilah yang disebut orang Amerika sebagai catch-twenty-two. Mereka tidak bisa mematikan reaktor ini karena plutonium menyediakan daya untuk kota di atas. Kalau mereka menghentikan reaktor, maka tidak akan ada listrik dan pemanas, dan orang-orang di atas sana akan segera mati beku."
"Mengerikan," kata Dana. "Kalau?"
"Tunggu. Apa yang harus saya ceritakan pada Anda lebih buruk lagi. Karena keadaan perekonomian Rusia, maka tidak ada lagi uang untuk membayar para ilmuwan dan teknisi yang bekerja di sini. Sudah berbulan-bulan mereka tidak digaji. Rumah-rumah indah yang diberikan kepada mereka bertahun-tahun lalu mulai rusak, dan tidak ada uang untuk memperbaikinya. Semua kemewahan sudah lenyap. Orang-orang di sini jadi putus asa. Anda lihat paradoks ini" Plutonium yang disimpan di sini bernilai entah berapa milyar dolar, tapi orang-orang yang membuatnya tidak memiliki apa pun dan mulai kelaparan."
Dana berkata perlahan-lahan, "Dan menurut Anda mereka mungkin menjual sejumlah plutonium ini ke negara-negara lain?"
Ia mengangguk. "Sebelum Taylor Winthrop jadi duta besar Rusia, teman-teman menceritakan padanya tentang Krasnoyarsk-26 dan menanyainya apakah ia ingin melakukan transaksi. Sesudah ia bicara dengan beberapa ilmuwan di sini yang merasa dikhianati pemerintah, Winthrop jadi bersemangat untuk melakukan transaksi. Tetapi urusannya rumit, dan ia harus menunggu hingga semua kepingan jatuh pada tempatnya."
Ia jadi seperti orang gila. Ia mengatakan, "Semua potongan sudah terpasang pada tempatnya."
Dana merasa sulit bernapas.
"Tak lama sesudah itu, Taylor Winthrop jadi duta besar untuk Rusia. Winthrop dan mitranya bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan pemberontak itu dan mulai menyelundupkan plutonium ke berbagai negara, termasuk Libya, Iran, Irak, Pakistan, Korea Utara, dan Cina."
Setelah semua kepingan itu jatuh pada tempatnya! Kedudukan sebagai dubes penting bagi Taylor Winthrop hanya karena ia harus mengendalikan langsung operasi itu.
Si Commissar meneruskan. "Mudah melakukannya, karena plutonium seukuran bola tenis sudah cukup untuk membuat bom nuklir, Miss Evans. Taylor Winthrop dan mitranya menangguk milyaran dolar. Mereka menangani segalanya dengan sangat cerdik, dan tak seorang pun menaruh curiga." Ia kedengaran pahit. "Rusia sudah jadi semacam toko permen"tetapi orang bisa membeli bukan permen, melainkan bom atom, tank, pesawat tempur, dan sistem peluru kendali."
Dana mencoba memahami segala yang didengarnya. "Mengapa Taylor Winthrop dibunuh?"
"Ia jadi serakah dan memutuskan untuk menguasai sendiri bisnis itu. Ketika mitranya mengetahui apa yang dilakukan Winthrop, ia menyuruh orang membunuhnya."
"Tapi"tapi mengapa membunuh seluruh keluarganya?"
"Sesudah Taylor Winthrop dan istrinya tewas dalam kebakaran, anak laki-lakinya, Paul, mencoba memeras sang mitra, maka mitra itu pun membunuh Paul. Kemudian ia memutuskan tidak bisa mengambil risiko anak-anak Winthrop yang lain tahu soal plutonium ini, maka ia memerintahkan dua anak lainnya dibunuh juga. Ia mengatur kematian mereka sedemikian rupa sehingga tampak seperti kecelakaan dan pencurian yang ketahuan."
Dana memandangnya ngeri. "Siapa mitra Taylor Winthrop?"
Commissar Shdanoff menggeleng. "Untuk sekarang ini, Anda sudah tahu cukup banyak, Miss Evans. Saya akan memberitahukan nama itu setelah Anda mengeluarkan saya dari Rusia." Ia melihat arloji. "Kita harus pergi."
Dana berpaling, untuk terakhir kali melihat reaktor yang tidak dapat dimatikan itu, yang terus menghasilkan plutonium dua puluh empat jam sehari. "Apakah pemerintah Amerika Serikat tahu tentang Krasnoyarsk-26?"
Shdanoff mengangguk. "Oh, ya. Mereka ketakutan. Departemen Luar Negeri kalian bekerja habis-habisan dengan kami untuk menemukan cara mengubah reaktor-reaktor itu menjadi kurang mematikan. Sementara itu..." Ia mengangkat bahu.
Di dalam lift, Commissar Shdanoff bertanya, "Apakah Anda tahu FRA?"
Dana memandangnya dan berkata hati-hati, "Ya."
"Mereka terlibat juga dalam hal ini."
"Apa?" Lalu Dana pun tersadar. Itulah sebabnya Jenderal Booster terus memperingatkan aku.
Mereka sampai ke permukaan dan keluar dari lift. Shdanoff berkata, "Saya punya apartemen di sini. Kita akan pergi ke sana."
Ketika mereka berjalan kaki di jalan, Dana melihat seorang wanita berpakaian seperti dirinya, memeluk lengan seorang laki-laki.
"Perempuan itu?" Dana mulai.
"Sudah kukatakan. Orang-orang tertentu diizinkan membawa pelacur di siang hari. Tetapi pada malam hari pelacur-pelacur itu harus kembali ke tempat khusus yang dijaga ketat. Mereka tidak boleh tahu apa yang terjadi di bawah tanah."
Sewaktu menyusuri jalan, Dana melihat etalase sebagian besar toko-toko itu kosong.
Kemewahan sudah lenyap. Pemerintah tidak lagi memiliki uang untuk membayar para ilmuwan dan teknisi yang bekerja di sini. Sudah berbulan-bulan mereka tidak digaji. Dana memandang sebuah gedung tinggi di sudut dan melihat ada instrumen di atasnya.
"Apa itu?" Dana bertanya.
"Geiger counter, alat untuk memperingatkan apabila ada yang tidak beres dengan reaktor." Mereka berbelok ke jalan kecil yang penuh gedung apartemen. "Apartemen saya ada di sini. Kita harus tinggal di sana beberapa lama supaya tidak ada yang curiga. FSB memeriksa semua orang."
"FSB?" "Ya. Dulu namanya KGB. Mereka ganti nama, tetapi cuma itu yang mereka ubah."
Apartemen itu luas dan dulunya mewah, tapi kini sudah kusam. Tirai-tirainya koyak, karpetnya aus, dan pelapis perabotnya perlu diganti.
Dana duduk, memikirkan apa yang diberitahukan Sasha Shdanoff padanya tentang FRA. Dan Jeff pernah berkata, Badan itu cuma kedok. Fungsi FRA yang sesungguhnya adalah memata-matai berbagai badan intelijen asing. Taylor Winthrop pernah jadi kepala FRA, bekerja dengan Victor Booster.
Kusarankan kau menyingkir sejauh-jauhnya dari Jenderal Booster.
Dan pertemuannya dengan Booster. Tidak bisakah kalian, para wartawan, membiarkan yang sudah meninggal beristirahat dengan tenang" Saya peringatkan Anda agar menyingkir. Jenderal Victor Booster punya organisasi rahasia berskala raksasa yang bisa melaksanakan pembunuhan-pembunuhan itu.
Dan Jack Stone mencoba melindunginya. Hati-hati. Kalau Victor Booster sampai tahu saya bicara dengan Anda...
Mata-mata FRA ada di mana-mana, dan mendadak Dana merasa dirinya telanjang.
Sasha Shdanoff melihat arloji. "Saatnya untuk pergi. Apakah Anda sudah tahu bagaimana cara mengeluarkan saya dari negeri ini?"
"Ya," kata Dana perlahan-lahan. "Saya kira saya tahu bagaimana mengaturnya. Saya butuh waktu sedikit."
Ketika pesawat terbang itu mendarat kembali di Moskow, sudah ada dua mobil yang menunggu. Shdanoff mengangsurkan secarik kertas pada Dana.
"Saya tinggal bersama teman di Apartemen Chiaka. Tak seorang pun tahu saya di sana. Tempat itulah yang disebut sebagai "rumah aman". Ini alamatnya. Saya tidak bisa kembali ke tempat saya sendiri. Datanglah ke sini pukul delapan malam ini. Saya harus tahu rencana Anda."
Dana mengangguk. "Baiklah. Saya harus menelepon seseorang."
Ketika Dana kembali ke lobi Soyuz Hotel, perempuan di belakang meja itu menatapnya. Tak bisa kusalahkan, pikir Dana, aku harus menanggalkan pakaian yang mengerikan ini.
Di dalam kamarnya, Dana ganti memakai pakaiannya sendiri sebelum menelepon. Ia berdoa ketika telepon di ujung seberang terus berdering. Semoga ada di tempat. Semoga ada di tempat. Dana mendengar suara Cesar.
"Rumah keluarga Hudson."
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cesar, apakah Mr. Hudson ada di rumah?" Dana menahan napas.
"Miss Evans! Senang mendengar Anda. Ya, Mr. Hudson ada di sini. Tunggu sebentar."
Dana merasa tubuhnya gemetar karena lega. Kalau ada yang sanggup membantunya membawa Sasha Shdanoff ke Amerika Serikat, maka Roger Hudson-lah orang yang mampu melakukannya.
Sesaat kemudian suaranya terdengar di telepon. "Dana?"
"Roger, oh, terima kasih Tuhan, saya akhirnya bisa menghubungi Anda!"
"Ada apa" Kau baik-baik saja" Di mana kau?"
"Saya di Moskow. Saya berhasil menemukan mengapa Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh."
"Apa" Ya Tuhan. Bagaimana kau?"
"Akan saya ceritakan begitu kita bertemu. Roger, saya merasa sangat tidak enak harus merepotkan Anda lagi, tapi saya punya masalah. Ada seorang pejabat penting Rusia yang ingin kabur ke Amerika. Namanya Sasha Shdanoff. Hidupnya di sini dalam bahaya. Ia tahu semua penjelasan atas apa yang terjadi. Kita harus mengeluarkannya, dan secepatnya! Bisakah Anda membantu?"
"Dana, tak satu pun di antara kita seharusnya terlibat dalam masalah seperti ini. Kita bisa sama-sama mengalami kesulitan."
"Kita harus mengambil risiko itu. Kita tidak punya pilihan. Ini terlalu penting. Ini harus dilaksanakan."
"Aku tidak menyukainya, Dana."
"Maaf saya terpaksa menyeret Anda dalam masalah ini, tapi saya tidak punya siapa-siapa lagi untuk dimintai tolong."
"Aduh, aku?" Ia berhenti. "Baiklah. Langkah terbaik saat ini adalah membawanya ke kedutaan Amerika. Ia akan aman di sana sampai kita bisa menyusun rencana untuk membawanya ke Amerika Serikat."
"Ia tidak mau pergi ke kedutaan Amerika. Ia tidak mempercayai mereka."
"Tidak ada cara lain. Aku akan menelepon duta besar di sana dengan saluran yang aman dan memintanya agar memberikan perlindungan. Di mana Shdanoff sekarang?"
"Ia menunggu saya di Apartemen Chiaka. Ia tinggal bersama teman. Saya akan pergi ke sana untuk menemuinya."
"Baiklah. Dana, sesudah kau menjemputnya, pergilah langsung ke kedutaan Amerika. Jangan mampir ke mana-mana."
Dana merasakan luapan kelegaan. "Terima kasih, Roger. Terima kasih banyak!"
"Berhati-hatilah, Dana."
"Ya." "Kita bicara lagi nanti."
Terima kasih, Roger. Terima kasih banyak!
Berhati-hatilah, Dana. Ya. Kita bicara lagi nanti. Rekaman selesai. Pukul 19.30, Dana menyelinap keluar dari pintu pegawai Soyuz Hotel. Ia berjalan di gang, diterpa angin sedingin es. Ia merapatkan mantelnya, tetapi hawa dingin itu berada dalam tulangnya. Ia berjalan sejauh dua blok, memastikan dirinya tidak dikuntit. Di sudut jalan pertama yang sibuk, ia memanggil taksi dan memberi si sopir alamat yang tadi diberitahukan Sasha Shdanoff padanya. Lima belas menit kemudian, taksi itu berhenti di depan gedung apartemen yang tak mencolok.
"Saya tunggu?" si sopir bertanya.
"Tidak." Commissar Shdanoff mungkin punya mobil. Dana mengambil beberapa dolar dari dompet, mengangsurkannya, dan si sopir mendengus serta mengambil semuanya. Dana menyaksikannya pergi, dan masuk ke gedung tersebut. Lorongnya kosong. Ia melihat kertas di tangannya, apartemen 2BE. Ia pergi ke tangga yang kumuh dan naik ke lantai dua. Tidak ada seorang pun di sana. Lorong panjang terbentang di depannya.
Dana mulai menyusurinya perlahan-lahan, mengamati nomor-nomor pada pintu. 5BE... 4BE... 3BE... Pintu apartemen 2BE terbuka lebar. Tubuh Dana menegang. Dengan hati-hati ia mendorong pintu itu sehingga terbuka lebih lebar dan melangkah ke dalam. Apartemen itu gelap gulita.
"Commissar...?" Ia menunggu. Tidak ada jawaban. "Commissar Shdanoff?" Kesunyian mencekam. Ada kamar tidur di depan dan Dana bergerak ke sana. "Commissar Shdanoff..."
Ketika memasuki kamar tidur yang gelap itu, Dana tersandung sesuatu dan jatuh ke lantai. Ia menimpa sesuatu yang lunak dan basah. Dengan perasaan mual, Dana cepat-cepat berdiri. Ia meraba-raba dinding hingga menemukan tombol lampu. Ia menekannya, dan ruangan itu bermandikan cahaya. Tangannya berlumuran darah. Di lantai tergeletak benda yang tadi menyangkut kakinya: mayat Sasha Shdanoff. Pria itu telentang, dadanya bersimbah darah, lehernya digorok sampai nyaris putus.
Dana menjerit. Sewaktu berbuat demikian, ia melihat ke ranjang dan melihat tubuh seorang wanita setengah baya yang berlumuran darah. Kepalanya terbungkus kantong plastik. Dana merasa bulu kuduknya merinding.
Ia berlari histeris menuruni tangga gedung apartemen.
Laki-laki itu berdiri di depan jendela apartemen di seberang jalan, memasang magasin berisi tiga puluh peluru pada senapan AR-7 yang dilengkapi peredam suara. Ia memakai teleskop berkekuatan 3-6 yang akurat hingga jarak enam puluh meter. Ia bergerak tenang dan mantap selayaknya seorang profesional. Ini pekerjaan gampang. Perempuan itu bisa kapan saja keluar dari gedung seberang. Ia tersenyum membayangkan bagaimana wanita itu panik ketika menemukan dua mayat penuh darah. Kini tiba gilirannya.
Pintu gedung apartemen seberang membuka, dan dengan hati-hati laki-laki itu menaikkan senapan ke pundaknya. Dari teleskop itu, ia melihat wajah Dana saat wanita itu berlari ke jalan, dengan panik melihat ke segala arah, mencoba memutuskan ke arah mana harus pergi. Ia membidik dengan hati-hati untuk memastikan Dana berada tepat di tengah teleskop, dan menekan pelan pelatuk.
Persis pada saat itu, sebuah bus berhenti di depan gedung, dan hujan peluru menghantam bagian atas bus dan menghancurkan sebagian atapnya. Si penembak gelap melihat ke bawah, tak percaya. Beberapa peluru mental ke dinding bata gedung, tetapi sasaran tidak terluka. Orang-orang membanjir keluar dari bus sambil menjerit-jerit. Si penembak tahu ia harus menyingkir. Perempuan itu berlari di jalan. Tidak perlu khawatir. Yang lain akan menanganinya.
Jalanan berlapis es dan angin menderu, tetapi Dana tidak menyadarinya. Ia sangat panik. Dua blok kemudian ia sampai di sebuah hotel dan masuk ke lobinya.
"Telepon?" ia bertanya pada pegawai di belakang meja.
Petugas hotel itu melihat tangannya yang berlumuran darah, dan mundur.
"Telepon!" Dana nyaris berteriak.
Dengan gugup si petugas hotel menunjuk bilik telepon di sudut lobi. Dana bergegas ke sana. Dari dompetnya ia mengeluarkan sehelai kartu telepon dan, dengan jari gemetar, menghubungi operator.
"Saya mau menelepon ke Amerika." Tangannya gemetar. Dengan gigi bergemeletuk, ia memberitahukan nomor kartu teleponnya dan nomor Roger Hudson, lalu menunggu. Sesudah beberapa saat yang serasa seperti berabad-abad, Dana mendengar suara Cesar.
"Rumah keluarga Hudson."
"Cesar! Saya perlu bicara dengan Mr. Hudson." Suaranya tertahan.
"Miss Evans?" "Cepat, Cesar, cepat!"
Sesaat kemudian Dana mendengar suara Roger. "Dana?"
"Roger!" Air mata mengalir di wajah Dana. "Ia"ia tewas. Mereka mem"membunuhnya serta temannya."
"Apa" Ya Tuhan, Dana. Aku tidak tahu apa" apakah kau terluka?"
"Tidak... tetapi mereka mencoba membunuh saya."
"Sekarang, dengarkan baik-baik. Ada pesawat Air France yang akan berangkat ke Washington tengah malam nanti. Aku akan memesankan tempat untukmu. Pastikan kau tidak dibuntuti sewaktu pergi ke bandara. Jangan naik taksi ke sana. Pergilah langsung ke Hotel Metropol. Hotel itu punya bus bandara yang berangkat secara teratur. Naiklah salah satu di antaranya. Berbaurlah dengan orang banyak. Aku akan menunggumu di Washington begitu kau tiba. Demi Tuhan, jaga dirimu baik-baik!"
"Ya, Roger. Ter"terima kasih."
Dana menutup telepon. Ia berdiri kaku sejenak, tak mampu bergerak, penuh kengerian. Ia tidak bisa menyingkirkan bayangan mayat Shdanoff dan temannya yang penuh darah itu dari benaknya. Ia menarik napas dalam dan melangkah keluar dari bilik telepon, melewati pegawai hotel yang curiga, keluar dalam udara malam yang dingin membeku.
Sebuah taksi menepi di sampingnya, dan si sopir mengucapkan sesuatu dalam bahasa Rusia.
"Nyet," kata Dana. Ia bergegas menyusuri jalan. Ia harus pulang dulu ke hotelnya.
Begitu Roger meletakkan telepon, ia mendengar Pamela masuk dari pintu depan.
"Dana sudah dua kali menelepon dari Moskow. Ia sudah tahu mengapa keluarga Winthrop terbunuh."
Pamela berkata, "Kalau begitu kita harus segera menanganinya."
"Aku sudah mencoba. Kita telah mengirim penembak gelap, tapi ada yang tidak beres."
Pamela memandangnya dengan tatapan mencemooh. "Kau tolol. Telepon lagi mereka. Dan, Roger..."
"Ya?" "Katakan pada mereka agar membuatnya kelihatan seperti kecelakaan."
DUA PULUH TIGA DI Raven Hill, papan merah bertuliskan DILARANG MASUK dan pagar besi tinggi memisahkan dunia luar dari beberapa ekar hutan tempat markas besar FRA di Inggris. Di balik markas yang dijaga ketat itu, serangkaian parabola pelacak satelit memantau komunikasi internasional melalui kabel dan gelombang mikro yang melewati seluruh penjuru Inggris. Di dalam rumah beton di tengah kompleks itu, empat laki-laki sedang melihat sebuah layar lebar.
"Sorot dia, Scotty."
Mereka melihat gambar televisi itu beralih dari sebuah flat di Brighton, bersamaan dengan bergesernya satelit. Sesaat kemudian gambar Dana muncul di layar lebar itu saat ia memasuki kamarnya di Soyuz Hotel.
"Ia sudah kembali." Mereka mengamati Dana bergegas mencuci darah dari tangannya dan mulai menanggalkan pakaian.
"Hei, ini dia lagi." Salah satu laki-laki itu menyeringai.
Mereka menonton Dana berganti pakaian.
"Aduh, aku ingin sekali menikmati itu."
Seorang laki-laki lain bergegas masuk ruangan. "Tidak mungkin, kecuali kau mengidap necrophilia, Charlie."
"Apa maksudmu?"
"Ia akan mengalami kecelakaan fatal."
Dana selesai berpakaian dan melihat arlojinya. Masih ada waktu untuk naik bis Metropol menuju bandara. Dengan perasaan cemas yang kian meningkat, ia bergegas turun ke lobi. Perempuan gemuk itu tidak kelihatan.
Dana melangkah ke jalanan. Udara terasa lebih dingin lagi. Tanpa kenal lelah, angin terus menderu. Sebuah taksi berhenti di depan Dana.
"Taksi?" Jangan naik taksi ke sana. Pergilah langsung ke Hotel Metropol. Hotel itu punya bus bandara yang berangkat secara teratur.
"Nyet." Dana berjalan di sepanjang jalan yang beku. Rombongan orang mendesaknya ketika melewatinya, bergegas menuju kehangatan rumah atau kantor mereka. Ketika sampai di sudut yang ramai, menunggu untuk menyeberang, Dana tiba-tiba merasakan dorongan keras dari belakang. Ia terlempar ke tengah jalan, di depan truk yang mendatanginya. Ia tergelincir sekeping es dan jatuh telentang, melihat ke atas dengan ngeri ketika truk besar itu melaju cepat ke arahnya.
Pada detik terakhir, sopir yang sudah pucat pasi itu berhasil membanting setir sehingga truk lewat tepat di atas Dana. Beberapa saat ia berbaring dalam kegelapan, telinganya dipenuhi deru mesin dan gemerincing rantai yang bergoyang-goyang memukul roda-roda besar tersebut.
Tiba-tiba ia bisa melihat langit kembali. Truk itu sudah pergi. Dana duduk gemetaran. Orang-orang membantunya berdiri. Ia memandang berkeliling, mencari orang yang tadi mendorongnya, tetapi pelakunya bisa siapa saja di antara sekian banyak orang. Dana menarik napas dalam beberapa kali dan mencoba menenangkan diri. Orang-orang di sekelilingnya berseru-seru kepadanya dalam bahasa Rusia. Orang banyak itu mulai merapat mengelilingi Dana, membuatnya panik.
"Hotel Metropol?" tanya Dana penuh harap.
Sekelompok remaja mendekatinya. "Oke. Kami antar."
Lobi Hotel Metropol hangat dan nyaman, dipenuhi turis dan pebisnis. Berbaurlah dengan orang banyak. Aku akan menunggumu di Washington begitu kau tiba.
Dana bertanya pada pegawai hotel, "Pukul berapa bus berikut yang berangkat ke bandara?"
"Tiga puluh menit lagi, gaspazha."
"Terima kasih."
Ia duduk di kursi, terengah-engah, mencoba menghilangkan kengerian luar biasa itu dari benaknya. Ia sangat ketakutan. Siapa yang mencoba membunuhnya dan mengapa" Dan apakah Kemal aman"
Pegawai hotel tadi mendatangi Dana. "Bus bandara sudah datang."
Dana adalah orang pertama yang menaiki bus itu. Ia memilih tempat duduk di belakang dan mengamati wajah para penumpang. Ada turis-turis dari berbagai negara: Eropa, Asia, Afrika, dan beberapa orang Amerika. Seorang laki-laki di seberang gang menatapnya.
Ia tampak familier, pikir Dana. Apakah ia membuntuti aku" Ia mendapati dirinya terengah-engah.
Satu jam kemudian, ketika bus berhenti di bandara Sheremetyevo II, Dana adalah penumpang yang terakhir turun. Ia cepat-cepat masuk terminal dan menuju meja Air France.
"Bisa saya bantu?"
"Apakah ada reservasi untuk Dana Evans?" Dana menahan napas. Katakan ya, katakan ya, katakan ya...
Petugas itu memeriksa sejumlah formulir. "Ya. Ini tiket Anda. Sudah dibayar."
Diberkatilah Roger. "Terima kasih."
"Pesawat akan berangkat sesuai jadwal. Penerbangan dua-dua puluh. Berangkat satu jam sepuluh menit lagi."
"Apakah di sini ada ruang duduk?" Dana nyaris mengatakan, yang berisi banyak orang" "di mana saya bisa beristirahat?"
"Di ujung koridor ini, lalu ke sebelah kanan."
"Terima kasih."
Ruang duduk itu penuh orang. Tak ada yang tampak luar biasa atau berbahaya di sana. Dana duduk. Beberapa saat lagi, ia akan terbang menuju Amerika dan situasi yang aman.
"Penumpang Air France penerbangan dua-dua puluh dengan tujuan Washington, D.C. diharap sekarang memasuki pesawat di pintu tiga. Para penumpang dipersilakan menyiapkan paspor dan boarding pass."
Dana berdiri dan beranjak ke pintu tiga. Seorang laki-laki yang sedari tadi mengawasinya dari konter Aeroflot berbicara ke telepon genggamnya.
"Subjek menuju pintu boarding."
Roger Hudson mengangkat telepon dan menghubungi sebuah nomor. "Ia ada di dalam Air France penerbangan dua-dua puluh. Aku ingin ia disambut di bandara."
"Anda ingin ia diapakan, Sir?"
"Kusarankan tabrak lari."
Mereka terbang mulus pada ketinggian 13.500 meter di langit yang tak berawan. Tidak ada kursi kosong di pesawat itu. Seorang warga Amerika duduk di samping Dana.
"Gregory Price," katanya. "Saya bekerja di bidang perkayuan." Ia berusia empat puluhan, dengan wajah panjang dan tegas seperti rajawali, mata kelabu cemerlang, dan kumis. "Negara yang kita tinggalkan ini luar biasa, heh?"
Satu-satunya tujuan pembangunan Krasnoyarsk-26 adalah untuk membuat plutonium, bahan utama untuk membuat senjata nuklir.
"Orang Rusia memang berbeda dengan kita, tapi sesudah beberapa lama Anda akan terbiasa dengan mereka."
Seratus ribu ilmuwan dan teknisi hidup dan bekerja di sini.
"Mereka memang tidak bisa masak makanan Prancis. Kalau ke sini untuk bisnis, saya selalu membawa makanan sendiri."
Mereka tidak boleh pergi keluar. Mereka tidak boleh dikunjungi. Mereka harus sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia luar.
"Apakah Anda ke Rusia untuk bisnis?"
Dana memaksa dirinya kembali ke masa sekarang. "Liburan."
Laki-laki itu memandangnya terkejut. "Ini bukan saat yang tepat untuk berlibur di Rusia."
Ketika pramugari datang sambil mendorong kereta makanan, Dana sudah hendak menolak, lalu sadar bahwa ia sangat lapar. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia makan.
Gregory Price berkata, "Kalau Anda mau bourbon, saya punya, little lady."
"Tidak, terima kasih." Ia melihat arloji. Beberapa jam lagi mereka akan mendarat.
Ketika Air France penerbangan 220 mendarat di bandara Dulles, empat laki-laki mengawasi para penumpang keluar dari pesawat. Mereka berdiri menunggu, penuh keyakinan, tahu Dana tidak mungkin bisa lolos.
Salah seorang di antara mereka berkata, "Kau sudah menyiapkan jarum suntiknya?"
"Ya." "Bawa ia ke Rock Creek Park. Bos ingin tabrak lari."
"Baik." Pandangan mereka beralih kembali ke pintu. Para penumpang beriring keluar, masih mengenakan pakaian wol tebal, jaket, penutup telinga, syal, dan sarung tangan. Akhirnya aliran penumpang berhenti.
Salah satu laki-laki itu mengernyit. "Aku akan pergi untuk menyelidiki apa yang menundanya."
Ia memasuki lorong menuju ke dalam pesawat. Seorang tukang pembersih sedang sibuk bekerja. Laki-laki tadi berjalan di gang. Tidak tampak seorang penumpang pun lagi. Ia membuka pintu-pintu toilet. Semua kosong. Ia bergegas ke depan dan bertanya pada seorang pramugari yang hendak pergi, "Di mana Dana Evans duduk?"
Pramugari itu tampak terkejut. "Dana Evans" Anda maksud pembaca berita di TV itu?"
"Ya." "Ia tidak ada dalam penerbangan ini. Coba kalau ada. Saya ingin sekali bertemu dengannya."
Gregory Price berkata pada Dana, "Tahukah Anda apa yang mengasyikkan dalam bisnis perkayuan, little lady" Produk Anda tumbuh sendiri. Ya, Anda cuma duduk dan menyaksikan alam menghasilkan uang untuk Anda."
Terdengar suara dari pengeras suara.
"Beberapa menit lagi kita akan mendarat di Bandara O"Hare Chicago. Silakan pasang sabuk pengaman dan tegakkan sandaran kursi Anda."
Perempuan yang duduk di seberang gang berkata sinis, "Yeah, tegakkan sandaran kursimu. Aku tidak ingin bersandar saat mati."
Kata "mati" itu membuat Dana terlonjak. Ia bisa mendengar peluru mendesing ke dinding gedung apartemen dan ia dapat merasakan tangan yang kuat mendorongnya ke arah truk yang melaju mendekat. Ia bergidik ketika memikirkan dua kejadian yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Beberapa jam sebelumnya, ketika masih berada di ruang tunggu bandara Sheremetyevo II, Dana mengatakan pada diri sendiri bahwa segalanya akan beres. Orang baik pasti akan menang. Tetapi ada yang mengusik pikirannya sehubungan dengan percakapannya dengan seseorang. Orang itu mengatakan sesuatu yang meresahkan, tetapi ia mengabaikannya begitu saja. Apakah itu percakapan dengan Matt" Commissar Shdanoff" Tim Drew" Makin Dana mencoba mengingat, makin jauh saja hal itu darinya.
Pramugari mengumumkan dari pengeras suara. "Air France penerbangan 220 siap untuk berangkat ke Washington, D.C. Harap siapkan paspor dan boarding pass Anda."
Dana bangkit dan beranjak ke pintu. Ketika hendak memperlihatkan tiket pada penjaga, ia tiba-tiba teringat apa yang mengusik hatinya. Percakapan terakhirnya dengan Sasha Shdanoff.
Tak seorang pun tahu saya di sana. Tempat itulah yang disebut sebagai "rumah aman".
Hanya kepada satu orang ia mengungkapkan tempat persembunyian Sasha Shdanoff, dan orang itu adalah Roger Hudson. Dan segera sesudah itu, Shdanoff terbunuh. Sejak dari awal, Roger sudah samar-samar menyiratkan adanya hubungan gelap antara Taylor Winthrop dan Rusia.
Ketika saya ke Moskow, memang ada desas-desus Winthrop terlibat suatu transaksi pribadi dengan orang-orang Rusia...
Tak lama sebelum Taylor Winthrop menjadi duta besar untuk Rusia, ia memberitahu teman-teman dekatnya ia betul-betul sudah mengundurkan diri dari kehidupan publik...
Winthrop-lah yang mendesak Presiden agar mengangkatnya sebagai duta besar...
Ia memberitahukan semua tindakannya pada Roger dan Pamela. Selama ini mereka memata-matainya. Dan hanya ada satu kemungkinan alasannya:
Roger Hudson adalah mitra misterius Taylor Winthrop.
Ketika pesawat American Airlines itu mendarat di bandara O"Hare di Chicago, Dana mengintip ke luar jendela, mencari hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada apa-apa. Tempat itu tenang. Dana menarik napas dalam dan mulai turun. Sarafnya tegang. Ia berusaha agar dikelilingi sebanyak mungkin penumpang saat berjalan memasuki terminal, selalu bergerak bersama rombongan yang ribut berceloteh itu. Ia harus menelepon. Selama penerbangan, muncul pikiran yang begitu mengerikan sehingga bahaya yang mengancam dirinya sendiri terasa tidak penting lagi. Kemal. Bagaimana kalau anak itu terancam bahaya gara-gara dirinya" Tak sanggup Dana membayangkan jika terjadi sesuatu pada Kemal. Ia harus mencari orang untuk melindungi Kemal. Ia langsung teringat pada Jack Stone. Pria itu bergabung dalam organisasi yang cukup kuat untuk memberinya perlindungan yang ia dan Kemal butuhkan, dan ia yakin Jack Stone bisa mengusahakannya. Sejak awal pria itu bersikap simpatik padanya. Jack Stone pasti bukan salah satu di antara mereka.
Saya berusaha untuk tidak terlibat. Dengan begitu saya dapat membantu Anda, kalau Anda tahu apa yang saya maksud.
Dana berjalan ke sudut terminal yang sepi, merogoh tas, dan mengeluarkan nomor telepon pribadi yang pernah diberikan Jack Stone padanya. Ia menghubungi nomor itu. Jack Stone segera menjawab.
"Jack Stone." "Ini Dana Evans. Saya punya masalah. Saya butuh bantuan."
"Ada apa?" Dana bisa mendengar keprihatinan dalam suaranya. "Saya tidak bisa menceritakan semuanya sekarang, tetapi beberapa orang memburu saya, mencoba membunuh saya."
"Siapa?" "Entahlah. Tetapi Kemal, anak saya, yang saya khawatirkan. Bisakah Anda membantu saya mencarikan orang untuk melindunginya?"
Ia langsung menanggapinya. "Akan saya urus. Apakah ia ada di rumah sekarang?"
"Ya." "Saya akan menyuruh seseorang ke sana. Bagaimana dengan Anda sendiri" Anda mengatakan ada yang mencoba membunuh Anda?"
"Ya. Mereka sudah"mereka sudah dua kali mencoba."
Mereka terdiam sesaat. "Akan saya lihat apa yang dapat saya lakukan. Di mana Anda?"
"Saya di American Airlines di bandara O"Hare, dan saya tidak tahu kapan saya bisa keluar dari sini"
"Tetaplah di sana. Saya akan mengutus seseorang ke sana untuk melindungi Anda. Sementara itu, Anda tidak usah mengkhawatirkan Kemal."
Dana merasa amat lega. "Terima kasih. Terima kasih." Ia menutup telepon.
Di kantornya di FRA, Jack Stone meletakkan gagang telepon. Ia menekan tombol interkom. "Sasaran baru saja menelepon. Ia ada di terminal American Airlines di O"Hare. Bereskan dia."
"Ya, Sir." Jack Stone berpaling pada seorang ajudan. "Kapan Jenderal Booster kembali dari Timur Jauh?"
"Ia akan kembali siang ini."
"Nah, kalau begitu ayo kita bertindak sebelum ia tahu apa yang terjadi."
DUA PULUH EMPAT PONSEL Dana berdering. "Jeff!" "Halo, Sayang." Dan suaranya bagai selimut yang membungkusnya, menghangatkannya.
"Oh, Jeff!" Dana gemetar.
"Bagaimana kabarmu?"
Bagaimana kabarku" Aku harus kabur untuk menyelamatkan nyawaku. Namun ia tidak bisa mengatakan itu padanya. Tidak mungkin Jeff bisa menolongnya, tidak sekarang. Sekarang sudah terlambat. "Aku"aku baik-baik saja, Sayang."
"Ada di mana kau sekarang, penjelajah dunia?"
"Aku di Chicago. Aku akan kembali ke Washington besok." Kapan kau akan kembali bersamaku" "Bagaimana"bagaimana Rachel?"
"Tampaknya ia baik-baik saja."
"Aku merindukanmu."
Pintu kamar tidur Rachel terbuka, dan ia melangkah ke ruang duduk. Ia sudah hendak memanggil Jeff, tetapi membatalkan niatnya ketika melihat Jeff sedang berbicara di telepon.
"Aku merindukanmu lebih dari yang bisa kaubayangkan," kata Jeff.
"Oh, aku sangat mencintaimu." Seorang laki-laki di dekat Dana tampak seperti memandanginya. Jantung Dana mulai berdebar-debar. "Sayang, kalau"kalau sampai terjadi sesuatu padaku... ingatlah selalu bahwa aku?"
Jeff langsung waspada. "Apa maksudmu, kalau sampai terjadi sesuatu padamu?"
"Tidak apa-apa. Aku"aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, tapi"aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
"Dana, aku tidak bisa membiarkan apa pun terjadi padamu! Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu lebih dari siapa pun yang pernah kucintai selama hidupku. Aku tidak sanggup kehilangan dirimu."
Rachel mendengarkan beberapa lama lagi, lalu diam-diam kembali ke kamar tidur dan menutup pintunya.
Dana dan Jeff berbicara sepuluh menit lagi. Ketika akhirnya menutup telepon, Dana merasa lebih lega. Aku senang aku sempat mengucapkan selamat tinggal. Ia mengangkat muka dan melihat laki-laki itu masih menatapnya. Tidak mungkin anak buah Jack Stone bisa tiba secepat ini. Aku harus keluar dari sini. Ia merasakan kepanikan yang makin memuncak.
*** Tetangga sebelah Dana mengetuk pintu apartemen Dana. Mrs. Daley membukakannya.
"Halo." "Usahakan Kemal tetap di rumah. Kita akan membutuhkannya."
"Beres." Mrs. Daley menutup pintu dan memanggil Kemal. "Buburmu sudah siap, Sayang."
Mrs. Daley pergi ke dapur, menurunkan panci berisi bubur oatmeal dari kompor, dan menarik laci lemari paling bawah yang penuh bungkusan obat berlabel BuSpar. Di dasar laci itu terdapat puluhan bungkus kosong obat tersebut. Mrs. Daley membuka dua bungkus baru, ragu-ragu sebentar, lalu menambahkan bungkus ketiga. Ia mengaduk bubuk itu dengan bubur oatmeal, menuangkan gula ke atasnya, dan membawa bubur itu ke ruang makan. Kemal keluar dari ruang belajar.
"Ini, Sayang. Oatmeal panas dan lezat."
"Aku tidak begitu lapar."
"Kau harus makan, Kemal!" Suaranya begitu tajam sehingga membuat Kemal takut. "Kita tidak ingin mengecewakan Miss Dana, bukan?"
"Ya." "Bagus. Aku yakin kau bisa menghabiskan semuanya demi Miss Dana."
Kemal duduk dan mulai makan.
Ia akan tidur sekitar enam jam, Mrs. Daley menghitung-hitung. Lalu akan kulihat mereka ingin melakukan apa padanya.
Dana berjalan cepat di bandara sampai ia melewati toko pakaian besar.
Aku perlu menyembunyikan identitasku. Ia masuk dan melihat-lihat. Segalanya tampak normal. Para pelanggan sibuk membeli barang dan pelayan toko melayani mereka. Lalu Dana melihat ke luar pintu toko, dan bulu kuduknya meremang. Dua laki-laki dengan tampang mengancam berdiri di kedua sisi pintu. Salah satu di antara mereka memegang walkie-talkie.
Bagaimana mereka dapat menemukannya di Chicago" Dana mencoba mengendalikan kepanikannya. Ia berpaling pada pelayan toko. "Apakah ada jalan lain untuk keluar dari sini?"
Pelayan itu menggeleng. "Maaf, Miss. Pintu itu hanya untuk staf."
Kerongkongan Dana terasa kering. Ia memandang dua laki-laki di luar itu lagi. Aku harus meloloskan diri, pikir Dana putus asa. Pasti ada cara.
Tiba-tiba ia menyambar sebuah gaun dari rak dan melangkah keluar.
"Tunggu sebentar!" pelayan toko itu berseru. "Anda tidak bisa?"
Dana sudah mendekati pintu, dan dua laki-laki itu mulai bergerak ke arahnya. Ketika Dana melangkah melewati pintu, sensor pada gantungan gaun memicu alarm. Satpam toko bergegas keluar. Dua laki-laki itu berpandangan dan melangkah mundur.
"Tunggu sebentar, Miss," kata satpam itu. "Anda harus kembali ke dalam toko dengan saya."
"Mengapa saya harus kembali?" protes Dana.
"Mengapa" Karena mencuri melanggar hukum." Satpam itu memegang lengan Dana dan menariknya kembali ke dalam. Dua laki-laki itu cuma bisa terpaku, frustrasi.
Dana tersenyum pada si satpam. "Oke. Saya mengaku. Saya mencuri. Bawalah saya ke penjara."
Orang-orang yang berbelanja mulai berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Sang manajer buru-buru datang. "Ada masalah?"
"Saya menangkap wanita ini mencoba mencuri gaun ini."
"Yah, saya khawatir kita harus menelepon pol?" Ia menoleh dan mengenali Dana. "Ya Tuhan! Ini Dana Evans."
Bisik-bisik menyebar di antara kerumunan orang yang makin lama makin banyak.
"Itu Dana Evans..."
"Kita menontonnya dalam siaran berita setiap malam..."
"Apakah kau ingat siarannya dari peperangan...?"
Sang manajer berkata, "Maaf, Miss Evans. Jelas telah terjadi kekeliruan."
"Tidak, tidak," kata Dana cepat. "Saya memang mencuri." Ia mengangsurkan tangannya. "Anda bisa menangkap saya."
Si manajer tersenyum. "Dalam mimpi pun saya tidak akan melakukannya. Anda boleh mengambil gaun itu, Miss Evans, hadiah dari kami. Kami merasa tersanjung Anda menyukainya."
Dana menatapnya dengan perasaan tak percaya. "Anda tidak akan menangkap saya?"
Senyumnya melebar. "Saya mengusulkan begini. Saya mau menukar gaun itu dengan tanda tangan. Kami penggemar berat Anda."
Salah satu di antara wanita-wanita yang berkerumun itu berseru, "Saya juga!"
"Boleh saya minta tanda tangan?"
Lebih banyak lagi orang yang berdatangan.
"Lihat! Itu Dana Evans."
"Boleh saya minta tanda tangan Anda, Miss Evans?"
"Saya dan suami saya menonton Anda setiap malam ketika Anda dulu berada di Sarajevo."
"Anda benar-benar membuat peperangan itu terasa nyata."
"Saya ingin tanda tangan juga."
Dana hanya dapat terpana, makin lama makin putus asa. Ia melirik ke luar. Dua laki-laki itu masih ada di sana, menunggu.
Dana memutar otak. Ia menoleh pada rombongan orang banyak dan tersenyum. "Begini saja. Ayo kita keluar ke udara segar, nanti saya akan memberikan tanda tangan untuk semua orang."
Terdengar seruan gembira.
Dana mengangsurkan gaun itu pada si manajer. "Ini untuk Anda saja. Terima kasih." Ia melangkah ke arah pintu, diikuti kumpulan penggemarnya. Dua laki-laki di luar itu mundur kebingungan ketika rombongan itu menyerbu mereka.
Dana berpaling pada penggemar-penggemarnya. "Siapa yang pertama?" Mereka berdesakan di sekelilingnya, menyodorkan pena dan kertas.
Dua laki-laki tersebut berdiri resah. Sambil memberikan tanda tangan, Dana terus bergerak ke arah pintu keluar terminal. Orang-orang itu mengikutinya ke luar. Sebuah taksi menepi, menurunkan seorang penumpang.
Dana berpaling pada rombongan itu. "Terima kasih. Saya harus pergi sekarang." Ia melompat ke dalam taksi dan sesaat kemudian taksi itu pun menghilang di antara lalu lintas.
Jack Stone berbicara di telepon dengan Roger Hudson. "Mr. Hudson, ia lolos dari kita, tapi?"
"Kurang ajar! Aku tidak mau dengar. Aku ingin ia disingkirkan"sekarang."
"Jangan khawatir, Sir. Kami sudah mendapatkan pelat nomor taksinya. Ia tidak mungkin pergi jauh."
"Jangan kecewakan aku lagi." Roger Hudson membanting gagang telepon.
Carson Pirie Scott & Company, di jantung Chicago, dipenuhi orang-orang yang berbelanja. Di konter syal, seorang pramuniaga sedang membungkus paket untuk Dana.
"Apakah Anda akan membayar tunai atau menggunakan kartu?"
"Tunai." Tidak ada gunanya meninggalkan jejak.
Dana mengambil bungkusannya dan sudah hampir sampai di pintu keluar ketika ia tiba-tiba berhenti, ketakutan. Dua laki-laki lain yang membawa walkie-talkie berdiri di luar pintu. Dana memandang mereka, mulutnya tiba-tiba terasa kering. Ia berbalik dan bergegas kembali ke konter.
Si pramuniaga bertanya, "Ada lainnya, Miss?"
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak. Saya?" Dana melihat sekeliling dengan putus asa. "Apakah ada pintu lain untuk keluar dari sini?"
"Oh, ya, kami punya beberapa pintu masuk."
Percuma saja, pikir Dana. Mereka pasti sudah menjaga semuanya. Kali ini tidak akan ada peluang untuk lolos.
Dana melihat seorang wanita pembeli bermantel hijau tua lusuh sedang melihat-lihat syal dalam kotak kaca. Dana mengamatinya sejenak, lalu menghampirinya.
"Bagus sekali, bukan?" kata Dana.
Perempuan itu tersenyum. "Benar sekali."
Kedua laki-laki di luar tersebut mengawasi dua wanita itu bercakap-cakap. Mereka saling pandang dan mengangkat bahu. Mereka sudah menjaga semua pintu keluar.
Di dalam toko, Dana berkata. "Saya suka mantel yang Anda pakai. Warnanya cocok sekali dengan kesukaan saya."
"Saya rasa barang tua ini sudah usang. Mantel Anda bagus sekali."
Dua laki-laki di luar itu mengamati percakapan mereka berlanjut.
"Dingin sekali di sini," salah satu di antaranya mengeluh. "Aku ingin ia segera keluar dari sini, supaya kita dapat membereskannya."
Rekannya mengangguk. "Tak mungkin ia bisa?" Ia berhenti bicara waktu melihat kedua wanita di dalam toko itu bertukar mantel. Ia tersenyum lebar. "Aduh, lihat apa yang dilakukannya. Mereka bertukar mantel. Tolol sekali."
Dua wanita itu menghilang sesaat di balik rak pakaian. Salah satu laki-laki itu berbicara ke walkie-talkie. "Subjek mengganti mantel merahnya dengan mantel hijau... Tunggu. Ia menuju pintu empat. Jemput ia di sana."
Di pintu empat, dua laki-laki sudah menunggu. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka berbicara ke ponselnya. "Kami mendapatkannya. Ambil mobil."
Mereka mengawasinya keluar dari pintu menuju udara dingin. Wanita itu merapatkan mantel hijaunya pada tubuhnya dan mulai menyusuri jalan. Mereka mendekatinya. Ketika ia sampai di tikungan dan memanggil taksi, dua laki-laki itu mencengkeram lengannya. "Kau tidak perlu taksi. Kami punya mobil bagus untukmu."
Ia terperanjat memandang mereka. "Siapa kalian" Apa maksud kalian?"
Salah satu laki-laki itu menatapnya. "Kau bukan Dana Evans!"
"Wah, tentu saja bukan."
Dua laki-laki itu berpandang-pandangan, melepaskannya, dan bergegas kembali ke toko. Salah satunya menyalakan walkie-talkie. "Salah sasaran. Salah sasaran. Kalian dengar?"
Saat yang lain-lain menyerbu masuk toko, Dana sudah menghilang.
Ia terperangkap dalam mimpi buruk yang jadi kenyataan, terjebak dalam dunia kejam dengan musuh-musuh tak dikenal yang mencoba membunuhnya. Ia terjerat dalam jaring kengerian, nyaris lumpuh karena ketakutan. Begitu keluar dari taksi, Dana berjalan cepat, berusaha untuk tidak berlari dan menarik perhatian pada dirinya, tak tahu ke mana ia akan pergi. Ia melewati toko bertuliskan PUSAT FANTASI: BAJU-BAJU LUAR BIASA UNTUK SEGALA KESEMPATAN. Terdorong impuls, Dana masuk ke situ. Tempat itu penuh kostum, wig, dan make up.
"Bisa saya bantu?"
Ya. Telepon polisi. Katakan pada mereka seseorang mencoba membunuhku.
"Miss?" "Eh"ya. Saya ingin mencoba wig pirang."
"Silakan ke sini."
Satu menit kemudian Dana melihat bayangannya yang berambut pirang di cermin.
"Hebat ya, pengaruh wig terhadap penampilan Anda."
Mudah-mudahan begitu. Di luar toko, Dana memanggil taksi. "Bandara O"Hare." Aku harus menjemput Kemal.
Ketika telepon berdering, Rachel mengangkatnya. "Halo... Dr. Young"... Hasil akhir tesnya?"
Jeff melihat ketegangan tiba-tiba membayang di wajahnya.
"Anda bisa mengatakannya di telepon. Tunggu sebentar." Rachel memandang Jeff, menarik napas dalam, dan membawa telepon itu ke kamar.
Jeff dapat mendengar suaranya, samar-samar.
"Teruskan, Dokter."
Selama tiga menit penuh suasana hening, dan ketika Jeff, yang khawatir, sudah hendak pergi ke kamar, Rachel keluar. Belum pernah Jeff melihat wajahnya demikian berseri-seri.
"Berhasil!" Ia hampir kehabisan napas karena gelora perasaannya. "Jeff, aku, sembuh. Terapi baru itu berhasil!"
Jeff berkata, "Syukur pada Tuhan! Menggembirakan sekali, Rachel."
"Ia ingin aku tinggal di sini beberapa minggu lagi, tapi krisisnya sudah lewat." Suaranya penuh kebahagiaan.
"Kita akan makan di luar untuk merayakannya," kata Jeff. "Aku akan tinggal denganmu sampai?"
"Tidak." "Tidak, apa?" "Aku tidak membutuhkanmu lagi, Jeff."
"Aku tahu, dan aku senang kita?"
"Kau tak mengerti. Aku ingin kau pergi."
Ia memandang Rachel, kaget. "Kenapa?"
"Jeff, Jeff yang baik. Aku tidak ingin melukai perasaanmu, tapi karena sekarang aku sudah sembuh, berarti aku bisa kembali bekerja. Ini hidupku. Ini diriku. Aku akan menelepon dan menanyakan pekerjaan apa yang ada. Aku merasa terperangkap di sini denganmu. Terima kasih kau telah membantuku, Jeff. Aku sangat berterima kasih. Tetapi sudah tiba saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku yakin Dana merindukanmu. Jadi, bagaimana kalau kau pergi saja, Sayang?"
Jeff memandangnya sesaat dan mengangguk. "Benar."
Rachel mengawasinya masuk ke kamar dan mulai berkemas. Dua puluh menit kemudian, ketika Jeff keluar dengan membawa koper, Rachel sedang berbicara di telepon.
"...dan aku sudah kembali ke dunia nyata, Betty. Aku akan bisa kembali bekerja beberapa minggu lagi... Aku tahu. Asyik kan?"
Jeff berdiri saja, menunggu untuk mengucapkan selamat berpisah. Rachel melambaikan tangan padanya dan kembali berbicara di telepon. "Kuberitahu kau apa yang kuinginkan... carikan aku pemotretan di negara tropis yang indah..."
Rachel mengawasi Jeff berjalan keluar pintu. Perlahan-lahan, ia membiarkan telepon itu jatuh. Ia melangkah ke jendela dan berdiri di sana, menyaksikan satu-satunya laki-laki yang pernah dicintainya keluar dari hidupnya.
Kata-kata dr. Young masih terngiang di telinganya, "Miss Stevens, saya minta maaf. Saya harus menyampaikan kabar buruk. Pengobatan itu tidak berhasil... Kankernya sudah mengalami metastasi... Sudah menyebar terlalu jauh. Saya khawatir keadaannya sudah terminal... mungkin satu atau dua bulan lagi..."
Rachel teringat sutradara Hollywood Roderick Marshall yang pernah berkata padanya, "Saya senang Anda datang. Saya akan membuat Anda menjadi bintang besar." Dan ketika gelombang rasa sakit tak tertahankan itu kembali melanda tubuh Rachel, ia berpikir: Roderick Marshall pasti akan bangga pada kehebatan aktingku.
Ketika pesawat Dana mendarat, bandara Dulles di Washington dipenuhi penumpang yang menunggu bawaan mereka. Dana melewati tempat pengambilan bagasi menuju jalanan dan naik salah satu taksi yang menunggu. Tidak ada orang-orang bertampang mencurigakan di sana, tetapi sarafnya tetap tegang. Dana mengeluarkan tas dan memandang cermin kecilnya untuk memastikan. Wig pirang itu memberinya penampilan yang sama sekali berbeda. Untuk sementara cukup memadai, pikir Dana. Aku harus menjumpai Kemal.
*** Kemal membuka mata perlahan-lahan, terjaga karena suara-suara yang menembus pintu ruang belajar. Ia merasa pusing.
"Bocah itu masih tidur," ia dengar Mrs. Daley berkata. "Aku membiusnya."
Seorang laki-laki menanggapi, "Kita harus membangunkannya."
Suara laki-laki kedua berkata, "Mungkin lebih baik kita membawanya ke sana saat ia tidur."
"Kalian bisa melakukannya di sini." kata Mrs. Daley. "Dan setelah itu membuang mayatnya."
Kemal mendadak terjaga seratus persen.
"Sementara ini kita harus membiarkannya tetap hidup. Mereka akan memakainya sebagai umpan untuk menangkap Evans."
Kemal duduk, mendengarkan, jantungnya berdebar-debar.
"Di mana dia?" "Kita tidak tahu. Tapi kita tahu ia akan ke sini untuk menjemput bocah itu."
Kemal melompat turun dari ranjang. Ia berdiri sesaat, kaku ketakutan. Perempuan yang dipercayainya itu ingin membunuhnya. Pizda! Tidak akan segampang itu. Kemal bersumpah dalam hati. Mereka tidak bisa membunuhku di Sarajevo. Mereka tidak akan bisa membunuhku di sini. Dengan panik ia mulai berpakaian. Ketika ia meraih lengan palsunya di meja, benda itu terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara yang bagi Kemal terdengar seperti geledek. Ia terpaku. Laki-laki di luar itu masih berbicara. Mereka tidak mendengarnya. Kemal memasang lengannya dan cepat-cepat menyelesaikan berpakaian.
Ia membuka jendela dan diterpa angin dingin. Mantelnya berada di ruangan lain. Kemal keluar dari jendela dengan hanya memakai jaket tipis, giginya bergemeletuk. Di sana ada tangga darurat sampai ke tanah, dan ia memanjatnya, berhati-hati agar tidak terlihat dari jendela ruang duduk.
Ketika Kemal menjejak tanah, ia melihat arloji. Pukul 14.45. Entah bagaimana ia ternyata tidur sampai setengah hari. Ia mulai berlari.
"Ayo kita ikat saja bocah itu, sekadar untuk berjaga-jaga."
Salah satu dari laki-laki itu membuka pintu ruang belajar dan terperanjat waktu melihat sekeliling ruangan. "Hei, ia hilang!"
Dua laki-laki itu beserta Mrs. Daley bergegas ke jendela yang terbuka, tepat pada waktunya untuk melihat Kemal berlari di jalan.
"Tangkap dia!" Kemal berlari seolah dalam mimpi buruk; kakinya makin lama makin lemas dan tak bertenaga. Setiap tarikan napas bagai tikaman pisau di dada. Kalau aku bisa sampai ke sekolah sebelum mereka menutup gerbang pada pukul tiga, pikirnya, aku akan aman. Mereka tidak akan berani menyakiti aku di depan anak-anak lain.
Di depannya lampu lalu lintas menyala merah. Kemal tak menghiraukannya dan melesat menyeberangi jalan raya, berkelit menghindari mobil-mobil, tak memedulikan bunyi klakson mobil-mobil yang marah dan decit rem. Ia sampai di seberang jalan dan terus berlari.
Miss Kelly akan menelepon polisi, dan mereka akan melindungi Dana.
Kemal mulai kehabisan napas dan dadanya terasa sesak. Ia kembali melihat arlojinya: pukul 14.55. Ia mengangkat muka. Sekolah ada di depan. Tinggal dua blok lagi.
Aku selamat, pikir Kemal. Sekolah belum bubar. Satu menit kemudian ia sampai di gerbang depan. Ia berhenti di depannya dan menatapnya, tak percaya. Gerbang itu terkunci. Sekonyong-konyong, dari belakang, Kemal merasakan cengkeraman kuat pada pundaknya.
"Ini hari Sabtu, tolol."
"Berhenti di sini," kata Dana. Taksi itu masih dua blok dari apartemennya. Dana menyaksikan taksi itu pergi. Ia berjalan perlahan-lahan, tubuhnya tegang, semua indranya waspada. Ia mengamati jalanan, mencari apa saja yang di luar kebiasaan. Ia yakin Kemal aman. Jack Stone tentu melindunginya.
Ketika sampai di sudut apartemennya, Dana menghindari pintu depan dan melangkah ke lorong kecil yang menuju bagian belakang gedung. Tempat itu kosong. Dana masuk lewat pintu belakang dan diam-diam menaiki tangga. Ia sampai ke lantai dua dan berjalan di koridor, lalu sekonyong-konyong berhenti. Pintu apartemennya terbuka lebar. Dana langsung ketakutan. Ia berlari ke pintu dan bergegas ke dalam. "Kemal!"
Tidak ada siapa-siapa di sana. Dana berlari panik ke seluruh bagian apartemen, dalam hati bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Di mana Jack Stone" Di mana Kemal" Di dapur, sebuah laci lemari jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Tampak puluhan bungkusan kecil, sebagian masih penuh, sebagian kosong. Terdorong perasaan ingin tahu, Dana memungut salah satu bungkusan dan melihatnya. Labelnya bertuliskan, Tablet BuSpar 15 mg bertanda NDC D087 D822-32.
Apa ini" Apakah Mrs. Daley memakai obat, atau ia memberikannya pada Kemal" Mungkinkah ini berkaitan dengan perubahan tingkah lakunya" Dana memasukkan salah satu bungkusan itu ke saku mantel.
Dengan perasaan ngeri, Dana menyelinap keluar dari apartemen. Ia keluar lewat jalan belakang, ke lorong itu, dan menuju jalan. Ketika Dana berbelok di tikungan, seorang laki-laki yang bersembunyi di balik sebatang pohon berbicara dengan walkie-talkie ke rekannya yang berdiri di tikungan seberang.
Di depan Dana ada apotek Washington Pharmacy. Dana masuk ke tempat itu.
Si apoteker berkata, "Ah, Miss Evans. Bisa saya bantu?"
"Ya, Coquina. Saya ingin tahu tentang ini." Ia mengeluarkan bungkusan kecil tadi. Si apoteker melihatnya sekilas. "BuSpar. Ini obat penenang. Kristal putih, larut dalam air."
"Apa gunanya?" Dana bertanya.
"Ini obat relaxant. Menimbulkan efek menenangkan. Tentu saja, kalau overdosis, obat ini bisa menimbulkan perasaan mengantuk dan letih."
Ia sedang tidur. Perlukah saya membangunkannya"
Waktu pulang sekolah, ia kelelahan, jadi saya pikir sebaiknya ia tidur siang saja...
Jadi itulah penjelasan apa yang selama ini terjadi. Dan Pamela Hudson yang mengirim Mrs. Daley.
Dan aku menyerahkan Kemal pada bajingan itu, pikir Dana. Ia merasa mual.
Ia memandang si apoteker. "Terima kasih, Coquina."
"Sama-sama, Miss Evans."
Dana kembali ke jalan. Dua laki-laki menghampirinya. "Miss Evans, bisakah kita bicara seben?" Dana berbalik dan lari. Dua laki-laki itu mengejarnya. Dana sampai di tikungan. Seorang polisi di tengah perempatan sedang mengatur lalu lintas yang padat.
Dana berlari ke arahnya. "Hei! Kembali, Miss."
Dana terus mendatanginya.
"Kau melanggar lampu lalu lintas! Kau mendengarku" Kembali!"
Dua laki-laki itu menunggu di sudut, mengawasi.
"Kau tuli ya?" polisi itu berteriak.
"Diam!" Ia menampar keras wajah polisi itu. Dengan gusar si polisi mencengkeram tangan Dana.
"Anda ditahan, Ma"am."
Ia menarik Dana kembali ke trotoar dan memeganginya sambil berbicara di radionya. "Aku butuh mobil polisi."
Dua laki-laki tadi berdiri berpandangan di sana, tak tahu pasti apa yang harus dilakukan.
Dana memandang ke arah mereka dan tersenyum. Terdengar suara sirene mendekat dan beberapa detik kemudian sebuah mobil polisi berhenti di depan mereka.
Dua laki-laki itu mengawasi dengan tak berdaya ketika Dana dimasukkan ke tempat duduk belakang mobil patroli dan dibawa pergi.
Di kantor polisi, Dana berkata, "Saya berhak menelepon satu kali, bukan?"
Sang sersan berkata, "Ya."
Ia menyodorkan telepon pada Dana. Dana menelepon.
Enam blok dari sana, laki-laki itu memegangi kerah kemeja Kemal, menariknya ke limusin yang menunggu di pinggir jalan. Mesin mobil itu dalam keadaan menyala.
"Lepaskan! Lepaskan aku," Kemal memohon.
"Diam, Nak." Empat marinir berseragam lewat.
"Aku tidak ingin ke gang denganmu," Kemal berteriak.
Pria itu memandang bingung Kemal. "Apa?"
"Jangan paksa aku ke gang." Kemal menoleh pada para marinir. "Ia mau membayarku lima dolar supaya pergi ke gang dengannya. Aku tidak mau."
Para marinir itu berhenti, menatap laki-laki itu. "Wah, dasar maniak berpikiran kotor..."
Laki-laki itu mundur. "Tidak, tidak. Tunggu sebentar. Kalian tidak mengerti..."
Salah satu marinir itu berkata muram, "Ya, kami mengerti, Sobat. Angkat tanganmu dari anak itu." Mereka mengepung laki-laki itu. Ia mengangkat tangan untuk membela diri, dan Kemal cepat-cepat meloloskan diri.
Seorang anak pengantar barang yang membawa bungkusan turun dari sepeda dan berjalan ke sebuah rumah. Kemal melompat naik ke atas sepeda itu dan mengayuhnya mati-matian. Dengan kesal laki-laki itu menyaksikan Kemal berbelok di tikungan dan menghilang. Para marinir itu mengepungnya makin rapat.
Di kantor polisi, pintu sel Dana berdentang membuka.
"Anda boleh pergi, Miss Evans. Anda dibebaskan dengan jaminan."
Matt! Telepon itu berhasil, pikir Dana senang. Ia tidak membuang-buang waktu.
Ketika hendak keluar, Dana tiba-tiba berhenti dengan perasaan terguncang. Salah seorang laki-laki itu berdiri di sana, menunggunya.
Ia tersenyum pada Dana dan berkata, "Kau bebas, Sis. Ayo pergi." Ia mencengkeram lengan Dana kuat-kuat dan menyeretnya menuju jalanan. Ketika mereka melangkah keluar, laki-laki itu tertegun. Kru televisi dari WTN menunggu di depan.
"Lihat ke sini, Dana..."
"Dana, benarkah kau menampar polisi?"
"Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi?"
"Apakah ia mempersulit dirimu?"
"Apakah kau akan menuntut?"
Laki-laki itu menyingkir sambil menutupi wajah.
"Ada apa ?" Dana berseru. "Kau tidak ingin masuk TV?"
Ia kabur. Matt Baker muncul di samping Dana. "Ayo segera menyingkir dari sini."
Mereka berada di kantor Matt Baker di gedung WTE. Elliot Cromwell, Matt Baker, dan Abbe Lasmann sudah setengah jam mendengarkan Dana, terdiam karena kaget.
"...dan FRA terlibat juga. Itulah sebabnya Jenderal Booster mencoba menghentikan aku melakukan penyelidikan."
Elliot Cromwell berkata, "Aku sangat terguncang. Bagaimana selama ini kita bisa begitu keliru mengenai Taylor Winthrop" Menurutku kita seharusnya memberitahu Gedung Putih tentang apa yang terjadi. Biar mereka memberitahu Jaksa Agung dan FBI."
Dana berkata, "Elliot, sejauh ini yang ada cuma kesaksianku melawan kesaksian Roger Hudson. Menurutmu, siapa yang akan mereka percayai?"
Abbe Lasmann berkata, "Apakah kita tidak punya bukti?"
"Adik laki-laki Sasha Shdanoff masih hidup. Aku yakin ia bersedia bicara. Begitu satu benang berhasil kita tarik, maka cerita ini pun akan terurai seluruhnya."
Dana berkata, "Matt, Kemal bagaimana" Aku tidak tahu harus mencari dari mana."
Matt berkata tegas, "Jangan khawatir. Kita akan menemukannya. Sementara ini, kita harus mencari tempat bersembunyi untukmu, supaya tidak ada yang bisa menemukanmu."
Abbe Lasmann berbicara. "Kau bisa memakai apartemenku. Tak seorang pun akan terpikir untuk mencarimu di sana."
"Terima kasih." Dana menoleh pada Matt. "Mengenai Kemal..."
"Kita akan segera melaporkan soal itu pada FBI. Aku akan menyuruh sopir mengantarmu ke apartemen Abbe. Persoalan ini ada di tangan kita sekarang, Dana. Semua akan beres. Aku akan meneleponmu begitu aku mendengar sesuatu."
*** Kemal mengayuh sepeda di jalanan yang berlapis es, dengan cemas melihat ke belakang setiap beberapa saat. Tidak tampak laki-laki yang tadi meringkusnya. Aku harus menemukan Dana, pikir Kemal tegang. Aku tidak boleh membiarkan mereka mencelakainya. Masalahnya, studio WTN terletak di ujung lain pusat kota Washington.
Ketika Kemal sampai di halte bus, ia turun dari sepeda dan mendorongnya ke rumput. Waktu sebuah bis mendekat, Kemal meraba saku dan menyadari ia tidak punya uang.
Kemal berpaling kepada seorang pejalan kaki. "Maaf, bisakah saya?"
"Minggir, Nak."
Kemal mencoba berbicara dengan seorang wanita yang berjalan ke arahnya. "Maaf, saya butuh ongkos bus untuk?" Perempuan itu bergegas pergi.
Kemal berdiri dalam udara dingin, tanpa mantel, menggigil. Tak seorang pun tampak peduli. Aku harus mendapatkan ongkos bis, pikir Kemal.
Ia menarik lepas lengan palsunya dan meletakkannya di rumput. Ketika laki-laki berikutnya lewat, Kemal menyodorkan lengannya yang buntung dan berkata, "Maaf, Sir. Bisakah Anda memberi saya uang secukupnya untuk ongkos bus?"
Laki-laki itu berhenti. "Tentu saja, Nak," ia berkata, dan mengangsurkan satu dolar pada Kemal.
"Terima kasih."
Ketika laki-laki itu sudah pergi, Kemal cepat-cepat memasang kembali lengannya. Bus datang, hanya satu blok dari sana. Aku berhasil, pikir Kemal gembira. Persis pada saat itu, ia merasakan sengatan pada tengkuknya. Ketika ia hendak berpaling, segalanya jadi gelap. Di dalam kepalanya terdengar jeritan, Tidak! Tidak! Kemal terkulai ke tanah, tak sadarkan diri. Orang-orang yang lewat mulai berkumpul.
"Apa yang terjadi?"
"Apakah ia pingsan?"
"Ia tidak apa-apa?"
"Anak saya menderita diabetes," seorang laki-laki berkata. "Saya akan mengurusnya." Ia menggendong Kemal dan menggendongnya ke limusin yang sudah menunggu.
Apartemen Abbe Lasmann terletak di barat laut Washington. Apartemen itu luas dan didekorasi dengan perabotan kontemporer dan karpet putih. Dana seorang diri di apartemen itu, mondar-mandir, panik, menunggu telepon berdering. Kemal pasti baik-baik saja. Mereka tidak punya alasan apa pun untuk menyakitinya. Ia tidak akan apa-apa. Di mana Kemal" Mengapa mereka tidak bisa menemukannya"
Ketika telepon berdering, Dana terlonjak kaget. Ia mengangkatnya. "Halo." Sambungan terputus. Terdengar suara berdering lagi, dan Dana sadar bahwa suara itu berasal dari ponselnya. Ia tiba-tiba merasa lega. Ia menekan tombol. "Jeff?"
Suara Roger Hudson terdengar lirih. "Kami mencari-carimu, Dana. Kemal ada di sini."
Dana berdiri kaku, tak mampu bergerak, tak mampu bicara. Akhirnya ia berbisik, "Roger?"
"Aku merasa tidak bisa lebih lama mengendalikan orang-orang di sini. Mereka ingin memotong lengan Kemal yang masih utuh. Kubiarkan saja?"
"Tidak!" Ia menjerit. "Apa"apa yang kauinginkan?"
"Aku cuma ingin bicara denganmu," kata Roger Hudson tenang. "Aku ingin kau datang ke rumah, dan aku ingin kau datang sendirian. Kalau kau membawa orang lain, aku tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Kemal."
"Roger?" "Aku menunggu kedatanganmu tiga puluh menit lagi." Sambungan terputus.
Dana terpaku, ketakutan. Kemal tidak boleh diapa-apakan. Kemal tidak boleh diapa-apakan. Dengan jari-jari gemetar, Dana menekan nomor telepon Matt Baker. Terdengar rekaman suara Matt.
"Anda menelepon kantor Matt Baker. Saat ini saya tidak ada di tempat, tapi tinggalkanlah pesan, maka telepon Anda akan segera dibalas."
Lalu terdengar bunyi sinyal. Dana menarik napas dalam dan berbicara di telepon. "Matt, aku"aku baru saja mendapat telepon dari Roger Hudson. Ia menahan Kemal di rumahnya. Aku akan ke sana sekarang. Tolong bergegaslah sebelum terjadi sesuatu pada Kemal. Bawa polisi. Cepat!"
Dana mematikan telepon genggamnya dan beranjak ke pintu.
*** Abbe Lasmann sedang menaruh beberapa surat di meja kerja Matt Baker ketika melihat lampu pesan di telepon Matt berkedip-kedip. Ia memasukkan password Matt dan memutar rekaman suara Dana. Ia mendengarkannya. Lalu ia tersenyum dan menekan tombol penghapus.
Saat pesawat Jeff mendarat di bandara Dulles, ia langsung menelepon Dana. Sepanjang penerbangan tadi, ia terus memikirkan nada aneh dalam suara kekasihnya itu, ucapan "Kalau sampai terjadi sesuatu padaku" itu mengusik hatinya. Telepon genggam Dana terus memperdengarkan nada panggil. Berikutnya Jeff mencoba menghubungi apartemen Dana. Tidak ada jawaban. Ia naik taksi dan memberikan alamat WTN.
Ketika Jeff melangkah masuk ke kantor Matt, Abbe berkata, "Wah, Jeff! Senang melihatmu kembali."
"Terima kasih, Abbe." Ia masuk ke kantor Matt Baker.
Matt berkata, "Jadi, kau sudah kembali. Bagaimana kabar Rachel?"
Pertanyaan itu membuat Jeff tertegun sesaat. "Ia baik-baik saja," katanya tanpa nada. "Mana Dana" Ia tidak menjawab teleponku."
Matt berkata, "Ya Tuhan, kau tidak tahu apa yang selama ini terjadi, ya?"
"Ceritakanlah padaku," kata Jeff tegang.
Di ruang penerimaan tamu, Abbe menempelkan telinga ke pintu yang tertutup. Ia hanya bisa mendengar potongan-potongan percakapan. "...usaha untuk membunuhnya... Sasha Shdanoff... Krasnoyarsk-26... Kemal... Roger Hudson..."
Sudah cukup yang didengar Abbe. Ia bergegas kembali ke meja kerjanya dan mengangkat telepon. Satu menit kemudian ia berbicara dengan Roger Hudson.
Di dalam kantor, Jeff mendengarkan Matt dengan tercengang. "Aku tidak bisa mempercayainya."
"Semua ini benar," Matt Baker meyakinkannya. "Dana ada di apartemen Abbe. Aku akan minta Abbe mencoba menelepon ke apartemennya lagi." Ia menekan interkom, tetapi sebelum ia sempat berbicara, ia sudah mendengar suara Abbe.
"...dan Jeff Connors ada di sini. Ia mencari Dana. Saya pikir Anda sebaiknya menyingkirkannya dari sana. Mereka akan datang ke sana... Baiklah. Akan saya urus, Mr. Hudson. Kalau?"
Abbe mendengar suara dan berbalik. Jeff Connors dan Matt Baker berdiri di ambang pintu, menatapnya.
Matt berkata, "Dasar bajingan."
Jeff menoleh pada Matt, panik. "Aku harus pergi ke rumah Hudson. Aku butuh mobil."
Matt Baker melihat ke luar jendela. "Kau tidak akan pernah sampai di sana pada waktunya. Lalu lintas sangat padat."
Dari atas atap, mereka mendengar suara helikopter WTN mendarat. Dua laki-laki itu berpandangan.
DUA PULUH LIMA DANA berhasil memperoleh taksi di depan gedung apartemen Abbe Lasmann, tetapi perjalanan ke rumah Hudson serasa berabad-abad. Lalu lintas di jalanan yang licin sangat berbahaya. Dana takut setengah mati ia akan terlambat. "Cepatlah," ia memohon pada si sopir.
Si sopir memandangnya dari spion. "Nona, ini bukan pesawat terbang."
Dana bersandar, dipenuhi perasaan cemas, memikirkan apa yang akan terjadi. Saat ini Matt pasti sudah menerima pesannya dan menelepon polisi. Saat aku tiba di sana, polisi tentu sudah ada di sana juga. Kalau mereka belum sampai, aku bisa mengulur waktu sampai mereka tiba. Dana membuka tasnya. Ia masih menyimpan kaleng semprotan merica. Bagus. Ia tidak berniat membuat Roger dan Pamela bisa melaksanakan niatnya dengan mudah.
*** Ketika taksi mendekati rumah Hudson, Dana melihat ke luar jendela, mencari tanda-tanda adanya polisi. Tidak ada apa pun. Ketika mereka meluncur di jalan masuk, tempat itu kosong. Ia merasa tercekik perasaan takut.
Dana teringat saat pertama ia datang ke sini. Betapa baik Roger dan Pamela waktu itu. Tapi mereka ternyata Yudas, monster-monster pembunuh. Mereka menahan Kemal. Dana dipenuhi kebencian meluap-luap.
"Anda ingin saya menunggu?" sopir taksi itu bertanya.
"Tidak." Dana membayarnya dan menaiki tangga menuju pintu depan. Ia membunyikan bel, jantungnya berdebar kencang.
Cesar membukakan pintu. Ketika melihat Dana, wajahnya berseri. "Miss Evans."
Dengan perasaan gembira, Dana tiba-tiba sadar ia punya sekutu. Ia mengangsurkan tangan. "Cesar."
Pria itu menyalaminya dengan tangannya yang besar. "Senang bertemu Anda, Miss Evans," kata Cesar.
"Senang bertemu denganmu." Dan Dana bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Ia yakin Cesar akan menolongnya. Masalahnya adalah kapan sebaiknya ia mendekati laki-laki raksasa itu. Ia melihat sekelilingnya. "Cesar?"
"Mr. Hudson sudah menunggu Anda di ruang baca, Miss Evans."
"Baik." Ini bukan saat yang tepat.
Dana mengikuti Cesar menyusuri lorong panjang, teringat kembali pada berbagai peristiwa luar biasa yang terjadi sejak ia berjalan di koridor ini. Mereka sampai ke ruang baca. Roger duduk di belakang meja tulis sambil membereskan beberapa dokumen.
"Miss Evans," kata Cesar.
Roger mendongak. Dana menyaksikan Cesar berjalan pergi. Ia ingin sekali memanggilnya kembali.
"Well, Dana. Masuklah."
Dana melangkah ke dalam ruangan. Ia memandang Roger, dan hatinya dipenuhi kegusaran tak terkendali. "Mana Kemal?"
Roger Hudson berkata, "Ah, anak itu."
"Polisi dalam perjalanan ke sini, Roger. Kalau kau melakukan apa pun terhadap kami..."
"Oh, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan polisi, Dana." Ia menghampiri Dana, dan sebelum Dana menyadari apa yang dilakukannya, pria itu sudah merenggut tasnya dan memeriksa isinya. "Pamela mengatakan kau punya semprotan merica. Kau sibuk sekali belakangan ini, bukan, Dana?" Ia mengeluarkan kaleng semprotan itu, mengangkatnya, dan menyemprotkan isinya ke wajah Dana. Dana menjerit karena sengatan rasa sakit.
"Oh, kau masih belum tahu apa arti kesakitan, tapi aku berani menjamin, kau akan mengetahuinya."
Air mata mengalir di wajah Dana. Ia berusaha menyeka cairan itu. Roger dengan sopan menunggu sampai ia selesai, lalu kembali menyemprot wajahnya.
Dana tersedu-sedu. "Aku ingin bertemu Kemal."
"Tentu saja. Dan Kemal ingin bertemu denganmu. Bocah itu ketakutan, Dana. Belum pernah aku melihat orang begitu ketakutan. Ia tahu ia akan mati, dan kukatakan padanya kau pun akan mati. Kaupikir kau pintar, ya, Dana" Sebetulnya, kau sangat naif. Kami telah memanfaatkanmu. Kami tahu ada seseorang dalam pemerintah Rusia yang tahu apa yang kami lakukan dan hendak membeberkannya. Tetapi kami tidak dapat mengetahui siapa orang itu. Tapi kau menemukannya untuk kami, bukan?"
Mayat Sasha Shdanoff dan temannya yang berlumuran darah terlintas dalam benak Dana.
"Sasha Shdanoff dan adiknya, Boris, sangat pintar. Kami belum menemukan Boris, tapi kami pasti akan mendapatkannya."
"Roger, Kemal tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Biarkan ia?"
"Kurasa tidak, Dana. Aku mulai khawatir denganmu ketika kau bertemu Joan Sinisi yang malang. Ia kebetulan mendengar Taylor bicara mengenai rencana Rusia itu. Taylor takut membunuhnya sebab pembunuhan itu bisa dikaitkan dengan dirinya. Maka ia pun memecatnya. Ketika perempuan itu menggugat karena pemecatan yang tak adil, Taylor menyelesaikannya di luar pengadilan dengan syarat wanita itu tidak akan pernah membicarakan masalah itu." Roger menghela napas. "Jadi aku khawatir kaulah yang sebenarnya bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Joan Sinisi."
"Roger, Jack Stone tahu?"
Roger menggeleng. "Jack Stone dan anak buahnya selalu mengawasi segala gerak-gerikmu. Kami sebenarnya bisa menyingkirkanmu kapan saja, tetapi kami menunggu sampai kau mendapatkan informasi yang kami butuhkan. Kau sama sekali tidak berguna lagi bagi kami."
"Aku mau bertemu Kemal."
"Terlambat. Aku khawatir Kemal yang malang sudah mengalami kecelakaan."
Dana memandangnya penuh kengerian. "Apa yang telah kau?"
"Aku dan Pamela memutuskan bahwa kebakaran kecil adalah cara terbaik untuk mengakhiri hidup Kemal yang menyedihkan. Maka kami kembali ke sekolah. Bocah nakal itu menyelundup ke sekolah pada hari Sabtu. Tubuhnya cukup kecil untuk memasuki jendela ruang bawah tanah."
Dana dipenuhi perasaan gusar tak terkatakan. "Dasar monster berdarah dingin. Kau tidak akan lolos dari semua ini."
"Kau mengecewakan aku, Dana. Beralih pada kata-kata klise" Kau tidak paham ya" Kami sudah lolos." Ia berjalan kembali ke meja kerjanya dan menekan tombol. Sesaat kemudian Cesar muncul.
"Ya, Mr. Hudson."
"Aku ingin kau mengurus Miss Evans. Dan memastikan ia masih hidup saat kecelakaan itu terjadi."
"Ya, Mr. Hudson. Saya akan mengurusnya."
Dia salah satu dari mereka. Dana tak bisa mempercayainya. "Roger, dengarkan aku?"
Cesar memegang lengan Dana dan menuntunnya keluar ruangan.
"Roger?" "Selamat tinggal, Dana."
Cesar mengeratkan cengkeramannya pada lengan Dana dan menariknya sepanjang lorong, memasuki dapur, dan keluar ke samping rumah, tempat limusin diparkir.
Helikopter WTN terbang mendekati rumah Hudson.
Jeff berkata pada Norman Bronson. "Kau bisa mendaratkannya di lapangan rumput dan?" Ia berhenti ketika melongok ke bawah dan melihat Cesar memasukkan Dana ke dalam limusin. "Tidak! Tunggu sebentar."
Limusin itu mulai bergerak di jalan masuk dan meluncur ke jalan.
"Kau ingin aku melakukan apa?" Bronson bertanya.
"Ikuti mereka."
Di dalam limusin, Dana berkata, "Kau tidak ingin melakukan ini, Cesar. Aku?"
"Tutup mulut, Miss Evans."
"Cesar, dengarkan aku. Kau tidak kenal orang-orang ini. Mereka pembunuh. Kau orang baik. Jangan biarkan Mr. Hudson memaksamu melakukan hal-hal yang?"
Langit Runtuh The Sky Is Falling Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mr. Hudson tidak memaksaku melakukan apa pun. Aku melakukan ini untuk Mrs. Hudson." Ia memandang Dana lewat spion dan menyeringai. "Mrs. Hudson mengurusku dengan baik."
Dana memandangnya, tertegun. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. "Ke mana kau akan membawaku?"
"Ke Rock Creek Park." Ia tidak perlu menambahkan: tempat aku akan membunuhmu.
Roger Hudson, Pamela Hudson, Jack Stone, dan Mrs. Daley berada dalam mobil station wagon, menuju Washington National Airport.
Jack Stone berkata, "Pesawatnya sudah siap. Rencana penerbangan ke Moskow ada di pilot Anda."
Pamela Hudson berkata, "Aduh, aku benci cuaca dingin. Mudah-mudahan perempuan jalang itu terbakar di neraka karena menyeretku dalam situasi ini."
"Bagaimana dengan Kemal?" Roger Hudson bertanya.
"Kebakaran di sekolah itu dirancang akan terjadi dua puluh menit lagi. Anak itu ada di lantai bawah tanah. Ia dibius cukup berat."
*** Dana makin putus asa. Mereka mendekati Rock Creek Park, dan lalu lintas mulai sepi.
Kemal ketakutan, Dana. Belum pernah aku melihat orang begitu ketakutan. Ia tahu ia akan mati, dan kukatakan padanya kau pun akan mati.
Di dalam helikopter yang membuntuti limusin itu, Norman Bronson berkata, "Ia belok, Jeff. Tampaknya ia menuju Rock Creek Park."
"Jangan sampai ia lepas."
Di FRA, Jenderal Booster menyerbu ke dalam kantornya. "Apa yang terjadi?" ia bertanya pada salah satu ajudannya.
"Sudah saya katakan pada Anda, Jenderal. Ketika Anda pergi, Mayor Stone merekrut beberapa orang terbaik kita, dan mereka terlibat urusan besar dengan Roger Hudson. Mereka mengincar Dana Evans. Lihat ini." Si ajudan mengganti tampilan di layar komputernya, dan sesaat kemudian tampak gambar Dana dalam keadaan telanjang, masuk kamar mandi di Breidenbacher Hof Hotel.
Ekspresi wajah Jenderal Booster mengeras. "Astaga!" Ia menoleh pada ajudannya. "Di mana Stone sekarang?"
"Ia sudah menghilang. Ia meninggalkan negeri ini bersama suami-istri Hudson."
Jenderal Booster berkata tegas. "Hubungkan aku dengan National Airport."
Di dalam helikopter, Norman Bronson melihat ke bawah dan berkata, "Mereka menuju taman itu, Jeff. Begitu mereka sampai ke sana, kita tidak akan bisa mendarat karena pohon-pohon itu."
Jeff berkata dengan nada mendesak, "Kita harus menghentikan mereka. Bisakah kau mendarat di depan mereka di jalan?"
"Tentu." "Kerjakanlah." Bronson mendorong tuas kontrol ke depan dan helikopter itu mulai turun. Ia melewati limusin tersebut, dan dengan mulus mulai menurunkan helikopter itu. Ia mendarat di jalan, dua puluh meter di depan limusin. Mereka mengawasi mobil itu berdecit hingga berhenti.
"Matikan mesinnya," kata Jeff.
"Kita tidak bisa melakukannya. Nasib kita ada di tangan mereka bila?"
"Matikan." Bronson memandangnya. "Kau tahu pasti apa yang kaulakukan?"
"Tidak." Bronson mengeluh dan mematikan mesin. Bilah-bilah raksasa baling-baling helikopter itu melambat hingga akhirnya berhenti. Jeff melihat ke luar jendela.
Cesar sudah membuka pintu belakang limusin. Ia berkata pada Dana, "Temanmu mencoba menyulitkan." Tinjunya melesat dan menghantam rahang Dana. Ia tersungkur di jok, tak sadarkan diri. Kemudian Cesar berdiri dan berjalan menghampiri helikopter.
"Ini dia datang," Bronson berkata gelisah. "Ya Tuhan, ia raksasa!"
Cesar mendekati helikopter, parasnya penuh harap.
"Jeff, ia punya senjata. Ia akan membunuh kita."
Jeff berteriak ke luar jendela, "Kau dan bos-bosmu akan masuk penjara, bajingan!"
Cesar mulai berjalan lebih cepat.
"Semua sudah berakhir bagimu. Kau sebaiknya menyerah."
Cesar tinggal lima belas meter dari helikopter.
"Kau akan jadi makanan empuk di penjara."
Sepuluh meter. "Kau tentu akan menyukainya, bukan, Cesar?"
Cesar kini berlari. Lima meter.
Jeff menekankan ibu jarinya keras-keras pada tombol start dan baling-baling raksasa helikopter perlahan-lahan mulai berputar. Cesar tidak memperhatikannya, matanya terfokus pada Jeff, wajahnya penuh kebencian. Baling-baling itu mulai berputar lebih kencang dan makin kencang. Ketika berlari ke pintu helikopter, Cesar tiba-tiba menyadari apa yang terjadi, tapi sudah terlambat. Terdengar suara tebasan keras, dan Jeff memejamkan mata. Bagian luar dan dalam helikopter langsung berlumuran darah.
Norman Bronson berkata, "Aku mau muntah." Ia mematikan mesin.
Jeff memandang sekilas mayat tanpa kepala di tanah itu, melompat keluar dari helikopter, dan berlari ke limusin. Ia membuka pintu, Dana tak sadarkan diri.
"Dana... Sayang..."
Dana perlahan-lahan membuka mata. Ia memandang Jeff dan menggumam, "Kemal..."
Limusin itu sudah hampir dua kilometer dari Lincoln Preparatory School ketika Jeff berseru, "Lihat." Jauh di depan, mereka bisa melihat asap membubung gelap di angkasa.
"Mereka membakar sekolah itu," Dana berteriak. "Kemal ada di sana. Ia di ruang bawah tanah."
"Oh, Tuhan." Satu menit kemudian limusin itu sampai di sekolah. Asap tebal membubung dari bangunan. Dua belas petugas pemadam kebakaran sedang bekerja untuk memadamkan api.
Jeff melompat keluar dari mobil dan bergerak ke arah sekolah. Seorang petugas menghentikannya.
"Anda tidak boleh lebih dekat, Sir."
"Apakah sudah ada yang ke dalam?" Jeff bertanya.
"Belum. Kami cuma membongkar pintu depan."
"Ada seorang anak di lantai bawah." Sebelum siapa pun bisa menghentikannya, Jeff sudah menerobos pintu yang hancur itu dan berlari ke dalam. Tempat itu penuh asap. Jeff mencoba berteriak memanggil Kemal, tetapi hanya bisa batuk-batuk. Ia menutupi hidung dengan saputangan dan berlari di lorong menuju tangga ke ruang bawah tanah. Asap tebal dan menyesakkan napas. Jeff terantuk-antuk menuruni tangga, berpegangan pada susuran tangga.
"Kemal!" Jeff memanggil. Tak ada jawaban. "Kemal." Sunyi. Jeff samar-samar melihat sosok di ujung ruangan. Ia bergerak ke sana, berusaha untuk tidak bernapas, paru-parunya serasa terbakar. Ia nyaris tersandung Kemal. Ia mengguncang-guncangnya. "Kemal." Anak itu tak sadarkan diri. Dengan susah payah, Jeff mengangkatnya dan membawanya menuju tangga. Ia seolah tercekik dan buta karena asap. Ia terhuyung-huyung menerjang asap hitam yang berputar-putar, sambil menggendong Kemal. Setelah mencapai tangga, Jeff setengah menggendong, setengah menyeretnya menaiki tangga. Ia mendengar suara-suara di kejauhan, lalu pingsan.
Jenderal Booster berbicara di telepon dengan Nathan Novero, penanggungjawab bandara di Washington National Airport.
"Apakah Roger Hudson menyimpan pesawatnya di sana?"
"Ya, Jenderal. Malah, ia ada di sini sekarang. Saya yakin mereka baru saja mendapatkan izin untuk tinggal landas."
"Batalkan." "Apa?" "Hubungi menara kontrol dan batalkan."
"Ya, Sir." Nathan Novero menelepon menara kontrol. "Menara, batalkan izin tinggal landas Gulfstream R3487."
Petugas pengatur lalu lintas udara berkata, "Mereka sudah menuju landas pacu."
"Batalkan izin mereka."
"Ya, Sir." Petugas itu mengangkat mikropon. "Menara kepada Gulfstream R3487. Izin tinggal landas dibatalkan. Anda harus kembali ke terminal. Batalkan tinggal landas. Saya ulangi, batalkan tinggal landas."
Roger Hudson melangkah ke dalam kokpit. "Ada apa ini?"
"Pasti ada hambatan," kata pilot. "Kita harus kembali ke?"
"Tidak!" kata Pamela Hudson. "Terus jalan."
"Dengan segala hormat, Mrs. Hudson, saya akan kehilangan izin terbang pilot saya kalau?"
Jack Stone bergeser ke samping pilot dan menodongkan pistol ke kepala pria itu. "Tinggal landas. Kita terbang ke Rusia."
Pilot itu menarik napas dalam. "Ya, Sir."
Pesawat itu melaju cepat di landas pacu, dan dua puluh menit kemudian, ia sudah mengudara. Penanggung jawab bandara menyaksikan dengan kaget ketika pesawat Gulfstream itu terbang makin tinggi ke angkasa.
"Astaga! Ia melawan?"
Di telepon, Jenderal Booster bertanya dengan nada mendesak, "Apa-apaan ini" Kau sudah menghentikan mereka?"
"Tidak, Sir. Mereka"mereka tetap tinggal landas. Tidak mungkin kita bisa menghentikan?"
Dan pada saat itu terjadi ledakan di langit. Disaksikan para kru di darat dengan perasaan ngeri, reruntuhan pesawat Gulfstream itu berjatuhan menerobos awan dalam kepingan-kepingan kecil. Rasanya seperti tak ada habis-habisnya.
Jauh di ujung lapangan, Boris Shdanoff lama menyaksikannya. Akhirnya ia berbalik dan melangkah pergi.
DUA PULUH ENAM IBU DANA menggigit sepotong kue pernikahan.
"Terlalu manis. Terlalu manis. Waktu aku muda dulu dan biasa membuat kue, kue buatanku sangat lembut sehingga bisa meleleh dalam mulutmu." Ia berpaling pada Dana. "Bukankah begitu, Sayang?"
"Bisa meleleh dalam mulut" menurut Dana bukanlah ungkapan yang tepat, tetapi itu tidak penting. "Tentu, Ibu," katanya sambil tersenyum hangat.
Upacara pernikahan itu dipimpin hakim di Balai Kota. Dana mengundang ibunya pada saat terakhir, sesudah berbicara di telepon.
"Sayang, aku tidak jadi menikah dengan laki-laki menyebalkan itu. Kau dan Kemal benar tentang dia, maka aku kembali ke Las Vegas."
"Apa yang terjadi, Ibu?"
"Aku mengetahui ia sudah beristri. Perempuan itu pun tidak menyukainya."
"Aku turut prihatin, Ibu."
"Jadi beginilah, sepi lagi."
Kesepian adalah makna yang tersirat di dalamnya. Maka Dana mengundangnya menghadiri pernikahan. Menyaksikan ibunya bercakap-cakap dengan Kemal, bahkan ingat nama anak itu, Dana jadi tersenyum. Kami masih harus membiasakannya jadi nenek. Kebahagiaannya terasa terlalu besar untuk diserapnya. Menikah dengan Jeff saja sudah merupakan mukjizat penuh berkah, tetapi ada yang lebih dari itu.
Sesudah kebakaran itu, Jeff dan Kemal harus dirawat beberapa lama di rumah sakit karena menghirup asap. Sewaktu mereka di sana, seorang perawat berbicara pada reporter tentang petualangan Kemal dan cerita itu pun diangkat media. Foto Kemal tampil di berbagai surat kabar dan kisahnya disiarkan di televisi. Pengalaman-pengalamannya ditulis dalam buku, bahkan ada pembicaraan tentang kemungkinan membuatnya menjadi film seri televisi.
"Tapi hanya kalau aku yang membintanginya," kata Kemal ngotot. Kemal jadi pahlawan di sekolahnya.
Ketika upacara adopsi dilangsungkan, setengah dari teman-teman sekolahnya datang untuk menyemangatinya.
Kemal berkata, "Aku benar-benar diadopsi sekarang, heh?"
"Kau benar-benar diadopsi," kata Dana dan Jeff. "Kita saling memiliki."
"Bagus." Tunggu sampai Ricky Underwood mendengar ini. Ha!
*** Mimpi buruk sebulan terakhir berangsur-angsur memudar. Mereka bertiga jadi satu keluarga sekarang, dan rumah adalah tempat yang aman. Aku tidak butuh petualangan lagi, pikir Dana. Petualanganku sudah cukup untuk seumur hidup.
Suatu pagi, Dana mengumumkan, "Aku baru saja menemukan apartemen baru yang cocok untuk kita berempat."
"Maksudmu kita bertiga," Jeff mengoreksinya.
"Tidak," kata Dana lembut. "Kita berempat."
Jeff menatapnya. "Maksudnya ia akan punya bayi," Kemal menjelaskan. "Aku harap bayi laki-laki. Kami akan bisa main tembak-tembakan."
Masih ada kabar baik lagi. Tayangan perdana Crime Line, "Kisah Roger Hudson, Konspirasi Pembunuhan", mendapat komentar bagus dan peringkat yang fenomenal. Matt Baker dan Elliot Cromwell sangat gembira.
"Kau sebaiknya menyiapkan tempat untuk menaruh piala Emmy," Elliot Cromwell berkata kepada Dana.
Hanya ada satu peristiwa sedih. Rachel Stevens akhirnya menyerah pada kanker. Beritanya muncul di berbagai surat kabar, dan Dana serta Jeff mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi ketika berita itu muncul di layar TelePrompTer, Dana memandangnya dan tenggorokannya serasa tersumbat.
"Aku tak bisa membacanya," ia berbisik pada Richard Melton. Maka Richard-lah yang membacanya.
Beristirahatlah dalam damai.
Mereka sedang melakukan siaran pukul 23.00.
"...Dan di sini, seorang satpam di Spokane, Washington, dituduh melakukan pembunuhan terhadap pekerja seks berusia enam belas tahun dan dicurigai bertanggung jawab atas enam belas pembunuhan lain... Di Sisilia, tubuh Malcolm Beaumont, pewaris kerajaan bisnis baja berusia tujuh puluh tahun, ditemukan tenggelam di kolam renang. Beaumont sedang berbulan madu dengan pengantinnya yang berusia 25 tahun. Mereka disertai dua saudara laki-laki istrinya. Sekarang, inilah prakiraan cuaca bersama Marvin Greer."
Setelah siaran selesai, Dana pergi menemui Matt Baker.
"Ada yang mengusik pikiranku, Matt."
"Apa" Sebutkanlah, maka aku akan membabatnya."
"Berita tentang milyarder berumur tujuh puluh tahun yang tenggelam di kolam renang saat berbulan madu dengan pengantinnya yang baru berusia dua puluh lima tahun tadi. Tidakkah menurutmu itu terlalu kebetulan?"
CATATAN PENULIS INI adalah karya fiksi, tetapi kota rahasia di bawah tanah bernama Krasnoyarsk-26 benar-benar ada, satu dari tiga belas kota tertutup untuk memproduksi nuklir. Krasnoyarsk-26 terletak di Siberia tengah, tiga ribu dua ratus kilometer dari Moskow, dan sejak pembuatannya pada tahun 1958, kota itu sudah memproduksi lebih dari empat puluh lima ton plutonium bermutu untuk senjata. Meskipun dua dari reaktornya yang memproduksi plutonium sudah ditutup pada tahun 1992, ada satu yang masih aktif, saat ini menghasilkan setengah ton plutonium setahun, jumlah yang bisa digunakan untuk membuat beberapa bom atom.
Ada laporan-laporan tentang terjadinya pencurian plutonium, dan Departemen Energi Amerika Serikat bekerja sama dengan pemerintah Rusia untuk meningkatkan tindakan pengamanan dalam melindungi bahan-bahan nuklir.
Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check: clickers
http://facebook.com/duniaabukeisel
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Jejak Di Balik Kabut 16 Dewa Arak 20 Pelarian Istana Hantu Pendekar Pemanah Rajawali 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama