Ceritasilat Novel Online

Tiada Yang Abadi 3

Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon Bagian 3


Dua puluh menit kemudian, Paige masuk ke ruang tunggu pengunjung. Seorang pria berjas gelap duduk & salah satu kursi. Ia memandang ke luar jendela. I
"Mr. Newton?" Pria itu berdiri. "Ya."
."Saya Dr. Taylor. Saya baru saja memeriksa j anak Anda. Dia dibawa ke sini karena perutnya I nyeri." I
"Ya. Dan saya akan membawanya pulang." I "Saya rasa itu tidak mungkin. Limpa kecil Peter 1 pecah. Dia harus segera diberi transfusi dan di-I operasi. Kalau tidak, dia akan meninggal." I
Mr. ffewton menggelengkan kepala. "Kami I pengikut Saksi Jehovah. Tuhan takkan membiar-J kannya meninggal, dan saya takkan membiarkan I
dia tercemar darah orang lain. Istri saya yang membawanya ke sini. Dia akan menerima pembalasan untuk itu."
"Mr. Newton, kelihatannya Anda tidak memahami betapa serius situasi ini. Kalau kami tidak segera melakukan operasi, putra Anda akan meninggal."
Pria itu menatap Paige dan tersenyum. "Anda tidak memahami kehendak Tuhan, bukan?"
Paige mulai marah. "Saya memang tidak tahu banyak tentang kehendak Tuhan, tapi saya mengerti soal limpa pecah." Ia mengeluarkan secarik kertas. "Peter masih di bawah umur, jadi Anda harus menandatangani surat izin ini untuknya." Ia menyodorkan kertas itu. "Dan kalau saya menolak?" "Ehm" kalau begitu kami tidak bisa melakukan operasi."
Newton mengangguk. "Anda pikir Anda lebih berkuasa daripada Tuhan?"
Paige melotot. "Anda takkan menandatanganinya, bukan?"
"Tidak. Anak saya akan ditolong oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Lihat saja nanti."
Ketika Paige kembali ke bangsal, Peter Newton yang berusia enam tahun sudah tak sadarkan diri.
"Dia takkan selamat," ujar Chang. "Dia terlalu banyak kehilangan darah. Apa yang akan kaulakukan?" v Paige mengambil keputusan. "Bawa dia ke OR
Satu. Stat." Chang menatap Paige dengan heran. "AyaJm^ berubah pikiran?"
Paige mengangguk. "Ya. Dia berubah pikiran Ayo, jangan buang-buang waktu."
"Bagaimana kau bisa membujuk dia" Aku sem, pat bicara satu jam dengannya, dan dia sama sekali tak bergeming. Dia cuma bilang nya\ya anaknya ada di tangan Tuhan."
"Dia memang di tangan Tuhan," Paige menegaskan.
Dua jam dengan transfusi dua liter darah, kemudian operasi tersebut berhasil diselesaikan dengan baik. Semua tanda kehidupan anak itu tampak kuat.
Paige membelai-belai keningnya dengan lembut "Dia akan pulih kembali"
Seorang mantri bergegas memasuki ruang operasi. "Dr. Taylor" Dr. Wallace ingin bicara dengan Anda, sekarang juga."
Benjamin Wallace begitu marah, sehingga suaranya sumbang. "Bagaimana mungkin kau melakukan tindakan keterlaluan seperti ini" Memben transfusi darah dan melakukan operasi tanpa rzto" Kau melanggar hukum!"
"Saya menyelamatkan nyawa anak kecil!"
Wallace menarik napas panjang. "Seharusnya kau minta surat keputusan dari pengadilan."
Tidak ada waktu," balas Paige. "Sepuluh menit
dan anak itu sudah meninggal. Tuhan sedang !& di tempat lain." Wallace berjalan mondar-mandir. "Sekarang ba-aimana" Apa yang hams kita lakukan sekarang?" g -jyiinta surat keputusan dari pengadilan." "Untuk apa" Kau sudah melakukan operasi." "Tanggal pada surat keputusan itu akan saya mundurkan satu hari. Takkan ada yang tahu."
Wallace menatapnya sambil termegap-megap. "Astaga!" Ia menyeka keringat dari alisnya "Aku bisa kehilangan pekerjaan."
Paige memperhatikannya cukup lama. Kemudian ia membalik dan menuju pintu. "Paige?"" Ia berhenti. "Ya?"
"Berjanjilah kau takkan mengulangi perbuatan
seperti ini, oke?" "Kecuali kalau terpaksa," sahut Paige.
187 13 Semua rumah sakit mengalami masalah pencurian obat bius. Berdasarkan hukum, setiap pengambilan obat bius dari kamar obat hams disertai keterangan yang ditandatangani, namun tak peduli seberapa ketatnya pengamanan, para pecandu narkotika selalu menemukan cara menghindarinya.
Embarcadero County Hospital mengalami masalah besar. Margaret Spencer sampai menemui Ben Wallace.
"Saya tidak tahu, apa lagi yang hams saya lakukan, Dokter. Persediaan fentanyl kita selalu menghilang."
Fentanyl termasuk narkotika yang menimbulkan ketergantungan dan digunakan sebagai obat bius.
"Berapa banyak yang hilang?"
"Cukup banyak. Kalau hanya beberapa botol, mungkin masih ada penjelasan yang masuk akal, j tapi kehilangan-kehilangan itu sudah terjadi berulang-ulang. Lebih dari selusin botol lenyap setiap minggu."
"Anda punya dugaan siapa yang bertanggung jawab?"
"Tidak, Sir. Saya sudah bicara dengan keamanan. Mereka sama bingungnya dengan saya."
"Siapa saja yang bisa masuk ke kamar obat?"
"Justru itu masalahnya. Sebagian besar ahli anestesi bebas keluar-masuk, begitu pula kebanyakan juru rawat dan ahli bedah."
Wallace termenung-menung. "Terima kasih atas pemberitahuan Anda. Saya akan menangani masalah ini."
"Terima kasih, Dokter." Suster Spencer pergi. Kenapa harus sekarang" pikir Wallace dengan kesal. Tak lama lagi akan ada pertemuan dewan rumah sakit, dan Wallace sudah menghadapi cukup banyak masalah yang hams ditangani. Ben Wallace mengetahui statistiknya. Lebih dari sepuluh persen dokter di Amerika Serikat kecanduan narkotik atau alkohol pada satu atau lain waktu. Obat bius yang bisa diperoleh dengan mudah merupakan godaan besar. Seorang dokter tinggal membuka lemari, mengambil obat yang diinginkannya, lalu menggunakan tomikuet dan alat suntik untuk menginjeksikan obat itu. Ada pecandu narkotik yang setiap dua jam membutuhkan suntikan ulang.
Ben Wallace ragu-ragu siapa yang dapat dipercayanya untuk menemukan si pelaku. Ia hams berhati-hati. Ia yakin baik Dr. Taylor maupun Dr. Hunter tidak terlibat, dan setelah memikirkannya masak-masak, ia memutuskan untuk menggunakan mereka.
Mereka disuruh menghadapnya. "Aku perlu min-ta tolong pada kalian/ kata Wallace. Ia bercerita mengenai fentanyl yang hilang. "Kuminta kalian buka mata lebar-lebar. Kalau di antara dokter-dokter yang bekerja sama dengan kalian ada yang meninggalkan OR sejenak di tengah-tengah operasi, atau menunjukkan tanda-tanda ketergantungan, segera lapor padaku. Perhatikan perubahan-perubahan sikap?depresi atau kemurungan, atau kelambanan, atau janji-janji yang tidak ditepati. Aku akan berterima kasih sekali, kalau urusan ini bisa dirahasiakan."
Ketika mereka meninggalkan kantor Wallace, Kat berkata, "hri rumah sakit besar. Kita butuh bantuan Sherlock Holmes."
"Tidak," ujar Paige dengan lesu. "Aku sudah tahu siapa orangnya."
Mitch Campbell termasuk dokter favorit Paige, pria ramah berusia lima puluhan, berambut kelabu. Ia selalu riang gembira, dan merupakan salah satu ahli, bedah terbaik di Embarcadero County Hospital Belakangan Paige memperhatikan ia selalu terlambat beberapa menit menghadiri operasi, dan tangannya sering gemetaran. Ia meminta Paige sesering mungkin sebagai asisten, dan biasa menyerahkan sebagian besar pembedahan padanya. Di tengah-tengah operasi, tangannya mulai gemetaran dan ia memberikan pisau bedah kepada Paige.
"Saya kurang enak badan," ia akan bergumam. "Tolong ambil alih."
Setelah itu, ia meninggalkan mang operasi. Paige memang sudah cemas memikirkan masalah Dr. Campbell. Sekarang ia tahu, dan ia bingung mengenai langkah selanjutnya. Ia sadar, jika ia menyampaikan informasi itu kepada Wallace, Dr. Campbell akan dipecat, atau lebih parah lagi, kariernya akan hancur. Di pihak lain, kalau Paige diam saja, ia membahayakan nyawa para pasien. Barangkali aku bisa bicara dengannya, pikir Paige. Aku akan menceritakan apa yang kuketahui, lalu kudesak dia menjalani perawatan. Ia membahasnya dengan Kat.
"Masalah ini memang pelik," ujar Kat. "Dia ramah sekali, dan dokter yang terampil. Kalau kauadukan dia, dia tamat, tapi kalau kau diam saja, kau harus memikirkan malapetaka yang mungkin ditimbulkannya. Menurutmu, apa yang akan terjadi kalau kau mengajaknya bicara?"
"Kurasa dia akan menyangkalnya, Kat. Para pecandu narkotik selalu begitu." "Yeah. Memang sulit."
Keesokan harinya, Paige dijadwalkan membantu Dr. Campbell dalam suatu operasi. Moga-moga aku keliru, pikir Paige. Moga-moga dia tidak terlambat, dan moga-moga dia tidak keluar selama operasi berlangsung.
Campbell terlambat lima belas menit, dan di tengah-tengah operasi, ia berkata, "Tolong ambil alih, ya, Paige" Saya akan segera kembali."
191 Aku harus bicara dengan dia. Paige memutu kan. Aku tidak bisa menghancurkan kariernya.
Keesokan paginya, ketika Paige dan Honey masuj ke pelataran parkir dokter, Harry Bowman berhent di samping mereka dengan Ferrari merah.
"Bagus sekali," ujar Honey sambil mengagumi mobil itu. "Berapa harganya?"
Bowman tertawa. "Kalau masih perlu tanya, itu artinya Anda belum sanggup membelinya."
Tapi Paige tidak mendengarkannya Ia menatap mobil itu dan memikirkan penthouse, pesta-pesta mewah, serta kapal pesiar. Saya cukup cerdik untuk mempunyai ayah yang pintar. Dia mewariskan seluruh uangnya kepada saya. Meski demikian, Bowman tetap bekerja di sebuah rumah sakit umum. Kenapa"
Sepuluh menit kemudian, Paige berada di kantor personalia. Ia menemui Karen, sekretaris yang menangani arsip.
"Aku perlu bantuanmu, Karen. Jangan bilang j siapa-siapa, ya, tapi Harry Bowman mengajakku kencan, dan aku punya firasat dia sudah beristri. * Apakah aku bisa melihat arsipnya sebentar?"
"Tentu. Bajingan-bajingan itu selalu mengumbar nafsu. Mereka tak pernah puas, heh" Tentu saja kau boleh melihat arsipnya" Ia menghampiri sebuah lemari dan menemukan yang dicarinya, lalu memberikan beberapa lembar kertas kepada Paige.
Paige mempelajari semuanya sepintas lalu. Surat lamaran Dr. Harry Bowman menunjukkan ia lulusan universitas kecil di daerah Midwest, dan berdasarkan catatannya, ia kuliah sambil bekerja. Ia ahli ilmu bius. Ayahnya tukang cukur.
Honey Taft merupakan teka-teki bagi sebagian besar dokter di Embarcadero County Hospital. Pada waktu melakukan kunjungan pasien di pagi hari, ia selalu gugup dan ragu-ragu. Tapi pada kunjungan sore, penampilannya berubah 180 derajat, la memperlihatkan pengetahuan yang mencengangkan mengenai masing-masing pasien, dan diagnosis-diag-I Dosisnya tajam dan efisien.
Salah satu resident senior membicarakan Honey dengan rekannya.
"Sumpah mati, aku tidak mengerti," katanya. "Setiap pagi ada setumpuk keluhan mengenai Dr. Taft. Dia selalu membuat kesalahan. Tapi di sore hari dia betul-betul cemerlang. Semua diagnosisnya tepat, catatannya lengkap dan tersusun rapi, dan pikirannya setajam pisau bedah. Dia pasti minum semacam obat ajaib yang hanya manjur di sore hari." Ia menggaruk-garuk kepala. "Aku betul-betul tak habis pikir."
Dr. Nathan Ritter adalah orang yang selalu berpegang pada peraturan. Ia memang tidak bisa disebut cemerlang, tapi cukup kompeten dan penuh dedikasi, dan ia mengharapkan hal yang sama dari semua orang yang bekerja dengannya.
193 Honey tertimpa sial karena mengikuti kunjungai pasien bersama rombongan Dr. Ritter.
Pertama-tama, mereka mampir ke sebuah bangsal berisi selusin pasien. Salah satu baru selesai sarapan. Ritter menatap catatan di ujung tempat tidurnya. "Dr. Taft, dr sini tertulis bahwa ini pasien Anda." Honey mengangguk. "Ya." "Dia dijadwalkan untuk bronkoskopi pagi ini." Honey mengangguk. "Betul." "Dan Anda mengizinkan dia makan?" Dr. Ritter menghardik. "Sebelum bronkoskopi?"
Honey berkata, "Dia belum makan apa-apa sejak?"
Nathan Ritter berpaling kepada asistennya. "Tunda prosedurnya." Ia hendak mengatakan sesuatu kepada Honey, namun kemudian mengendalikan diri. "Mari."
Pasien berikut adalah orang Puerto Rico yang batuk-batuk terus. Dr. Ritter memeriksanya. "Pasien siapa ini?" "Pasien saya," jawab Honey. Ritter mengeratkan kening. "Infeksinya seharusnya sudah sembuh sekarang." Ia mengamati catatan pasien itu. "Anda memberinya lima puluh miligram ampisilin empat kali sehari?" "Ya, betul,"
"Itu tidak betul. Itu salahi Seharusnya lima ratus miligram empat kali sehari. Anda lupa menam-I bahkan satu angka nol." I
"Maaf, saya?" M
"Pantas saja pasien ini tidak sembuh-sembuh! Saya minta kesalahan ini segera diperbaiki." -"Ya, Dokter."
Ketika mereka memeriksa pasien Honey yang lain, Dr. Ritter berkata dengan kesal, "Pasien ini dijadwalkan untuk kolonoskopi. Mana laporan radiologi?"
"Laporan radiologi" Oh. Saya lupa minta laporan radiologi."
Ritter menatap Honey sambil geleng-geleng kepala.
Setelah itu, keadaannya terus bertambah parah.
Pasien berikut yang mereka datangi mengerang-erang sambil menitikkan air mata. "Saya kesakitan sekali. Sakit apa saya?"
"Kami tidak tahu," ujar Honey.
Dr. Ritter langsung mendelik ke arahnya. "Dr. Taft, bisakah saya bicara sebentar dengan Anda di luar?"
Di lorong, ia berkata, "Jangan, jangan sekali-kali mengatakan pada pasien bahwa Anda tidak tahu. Justru Anda yang diharapkan bisa menolong mereka! Kalau Anda tidak tahu jawabannya, karang saja. Anda mengerti?" "Rasanya tidak pantas kalau?" "Saya tidak tanya apakah Anda menganggapnya pantas atau tidak. Pokoknya, ikuti petunjuk saya" Mereka memeriksa pasien dengan hernia hiatus, pasien hepatitis, pasien dengan penyakit Alzheimer, dan dua lusin lagi. Begitu kunjungan pasien selesai, Dr. Ritter pergi ke kantor Benjamin Wallace.
"Kita punya masalah," ujar Dr. Ritter.
"Ada apa, Nathan?"
"Salah satu resident. Honey Taft."
Lagi" "Ada apa dengan dia?"
"Dia tidak pantas bekerja sebagai
dokter." "Tapi rekomendasinya begitu bagus."
"Ben, sebaiknya kaukehiarkan dia sebelum terjadi kekeliruan fatal, sebelum dia membunuh salah satu pasiennya"
Wallace berpikir sejenak, lalu mengambil keputusan. "Baiklah. Dia akan diberhentikan."
Hampir sepanjang pagi Paige sibuk melakukan operasi. Begitu bebas tugas, ia menemui Dr. Wallace untuk menceritakan kecurigaannya mengenai Harry Bowman.
"Bowman" Kau yakin" Maksudku" dia tidak menunjukkan tanda-tanda ketergantungan."
"Dia bukan pemakai obat bius," Paige menjelaskan. "Dia menjualnya Dia hidup seperti jutawan dengan gaji resident."
Ben Wallace mengangguk. "Oke. Aku akan menyelidikinya Terima kasih, Paige."
Kemudian Wallace memanggil Bruce Anderson, kepala bagian keamanan. "Ada kemungkinan kita sudah tahu siapa pencuri obat bius itu," Wallace memberitahunya, "Saya minta agar Dr. Harry Bowman diawasi dengan ketat."
"Bowman?" Anderson berusaha menutupi rasa kagetnya Dr. Bowman selalu membagi-bagikan
cerutu Kuba dan hadiah-hadiah kecil lainnya kepada para penjaga. Mereka semua menyukainya.
"Kalau dia masuk ke kamar obat, geledah dia pada waktu dia keluar lagi."
"Baik, Sir." Harry Bowman menuju kamar obat. Ada beberapa pesanan yang hams dipenuhinya. Setumpuk pesanan. Semuanya berawal secara kebetulan. Ketika itu ia bekerja di sebuah rumah sakit kecil di Ames, Iowa, berusaha menyambung hidup dengan gaji resident. Sejeranya sampanye, namun dompetnya dompet bir. Kemudian nasib tersenyum padanya.
Salah satu pasien yang telah pulang dari rumah sakit meneleponnya suatu pagi.
"Dokter, saya kesakitan sekali. Anda hams menolong saya." "Anda mau kembali ke ramah sakit?". "Tidak, saya mau tetap di ramah saja. Bisakah Anda membawakan sesuatu untuk saya?"
Bowman mempertimbangkannya. "Baiklah. Saya akan mampir pada waktu pulang nanti."
Ia mengunjungi pasien itu dengan membawa sebotol fentanyl.
Pasien itu segera menyambarnya. "Nah, ini yang saya perlukan." Ia mengeluarkan beberapa lembar uang. "Ambillah."
Bowman menatapnya dengan heran. "Anda tidak perlu membayar saya untuk itu."
"Jangan malu-malu, Dokter. Saya punya bebe107 rapa teman yang berani membayar tinggi kaiai Anda bisa membawakan lebih banyak lagi."
Itulah awal mulanya. Dalam dua bulan saja, Bowman menghasilkan lebih banyak uang dari yang pernah terbayang olehnya. Malang bagi Bowman, perbuatannya tercium kepala rumah sakit. Karena ingin menghindari skandal, atasan Bowman berkata bahwa catatannya akan tetap bersih jika ia mengundurkan diri secara sukarela tanpa banyak ribut.
Untung saja aku pergi, pikir Bowman. San Francisco punya pasar yang jauh lebih besar. Ia tiba di kamar obat. Bruce Anderson berdiri di
samping pintu. Bowman mengangguk padanya.
"Hai, Brace." "Selamat sore, Dr. Bowman." lima menit kemudian, ketika Bowman keluar
dari kamar obat, Anderson berkata, "Maaf, saya
harus menggeledah Anda." Harry Bowman memelototinya. "Memeriksa
saya" Apa maksudmu, Bruce?"
"Maaf, Dokter. Kami diperintahkan menggeledah setiap orang yang menggunakan kamar obat,"
Anderson berbohong. Bowman marah sekali. "Keterlaluan! Saya tidak
sudi diperlakukan seperti ini!" "Kalau begitu, saya terpaksa minta Anda ikut ke
kantor Dr, Wallace." "Baik! Dia akan marah sekali kalau mendengar
tentang ini." Bowman menyerbu ke kantor Wallace. "Apa-apaan ini, Ben" Orang ini mau menggeledah saya!"
"Dan kau menolak digeledah?" "Tentu saja."
"Baiklah." Wallace meraih gagang telepon. "Barangkali kau lebih suka digeledah petugas polisi." Ia mulai memutar sebuah nomor.
Bowman dicekam panik. "Tunggu dulu! Itu tidak perlu." Wajahnya mendadak cerah. "Oh! Saya tahu apa masalahnya!" Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebotol fentanyl. "Saya perlu ini untuk sebuah operasi, dan?"
Wallace berkata dengan tenang, "Kosongkan kantongmu."
Bowman tampak putus asa. "Tidak ada alasan untuk?"
"Kosongkan kantongmu."
Dua jam setelah itu, kantor Badan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotik cabang San Francisco telah menerima pengakuan yang ditandatangani, berikut daftar nama semua pelanggan Bowman.
Ketika Paige mendengar berita itu, ia segera menemui Mitch Campbell. Dokter itu sedang beristirahat di sebuah ruang kerja. Tangannya berada di atas meja,, dan Paige melihat keduanya gemetaran.
Campbell cepat-cepat memindahkan tangan ke pangkuannya. "Halo, Paige. Apa kabar?" "Baik, Mitch. Saya perlu bicara dengan Anda." j "Duduklah."
Paige duduk berhadapan dengannya. "Sudah
lama Anda mengidap Parkinson"s?" Campbell bertambah pucat. "Apa?"
"Itu masalahnya, bukan" Selama ini Anda berusaha menutup-nutupinya.n
Suasana menjadi hening. "Saya" saya" ya. Tapi saya" saya tidak bisa berhenti sebagai dokter. Saya" saya tidak bisa. Itu seluruh hidup saya."
Paige membungkuk sedikit dan berkata, "Anda tidak perlu berhenti sebagai dokter, tapi sebaiknya Anda tidak melakukan operasi."
Campbell tiba-tiba kelihatan tua. "Saya tahu. Sebenarnya saya sudah mau mengundurkan diri tahun lalu." Ia tersenyum sedih. "Kelihatannya tak ada pilihan lain, kan" Kau tentu akan memberitabu Dr. Wallace."
"Bukan saya," ujar Paige dengan lembut "Anda yang akan memberitahunya."
Paige sedang makan siang di kafetaria ketika Tom Chang menghampirinya.
"Aku sudah dengar beritanya," ia berkata. "Bowman! Siapa yang sangka" Kau cocok sebagai detektif."
Paige menggelengkan kepala. "Aku nyaris menuduh orang yang salah."
Chang duduk sambil membisu.
"Kau baik-baik saja, Tom?"
"Kau ingin dengar "Aku tidak apa-apa/ atau yang sesungguhnya?"
"Kita berteman. Aku ingin tahu masalah sesungguhnya." I
"Perkawinanku hancur berantakan." Matanya j
mulai berkaca-kaca. "Sye meninggalkanku. Dia pulang ke Hong Kong." "Aku ikut bersedih."
"Sebenarnya memang bukan salahnya. Perkawinan kami memang sudah lama retak. Dia bilang aku menikah dengan rumah sakit, dan dia benar. Seluruh hidupku kuhabiskan di sini, menolong orang-orang yang tak kukenal, bukannya bersama orang-orang yang kucintai."
"Dia akan kembali. Semuanya akan beres," Paige berusaha menghiburnya.
"Kali ini tidak mungkin."
"Barangkali kalian bisa bicara dengan penasihat perkawinan."
"Dia tidak mau."
"Aku ikut bersedih, Tom. Kalau ada yang bisa kulakukan?" Ia mendengar namanya dipanggil melalui pengeras suara.
"Dr. Taylor, Kamar 410?"
Paige langsung tersentak. "Aku hams pergi," katanya kepada Chang. Kamar 410. Itu kamar Sam Bernstein, salah satu pasien kesayangan Paige, seorang pria berusia tujuh puluhan dengan kanker lambung yang tak dapat dioperasi. Sebagian besar pasien di rumah sakit itu tak henti-hentinya mengeluh, tapi Sam* Bernstein merupakan perkecualian. Paige mengagumi ketabahan dan ketenangannya. Sam Bernstein mempunyai istri dan dua putra dewasa yang mengunjunginya secara berkala, dan Paige juga menyukai mereka.
Ia disambungkan pada sistem penunjang hidup
dengan catatan, DNR?[Do Not Resuscitate] jifo jantungnya berhenti.
Ketika Paige melangkah ke kamarnya, seorang juru rawat sedang berdiri di samping tempat tidur. Juru rawat itu menoleh ketika Paige masuk. "Dia sudah pergi Dokter. Saya tidak mengambil tindakan darurat, karena?" Ia terdiam.
"Keputusan Anda benar," ujar Paige pelan-pelan. "Terima kasih." "Barangkah ada yang bisa saya?"" "Tidak. Biar saya saja yang menguras semuanya" Paige berdiri di tepi tempat tidur dan menatap jasad yang pernah merupakan manusia dengan keluarga dan teman, yang menghabiskan seluruh hidupnya dengan bekerja keras dan menjaga orang-orang yang disayanginya. Dan sekarang"
Ia membuka laci berisi milik pribadi almarhum. Di dalamnya ada jam murah, sejumlah anak kunci, lima belas dolar tunai, gigi palsu, serta sepucuk surat untuk istrinya. Sisa-sisa kehidupan seseorang.
Paige tak sanggup membebaskan diri dari depresi yang mencengkeramnya. "Dia begitu baik hati. Kenapa?""
Kat berkata, "Kau jangan menjalin hubungan emosional dengan pasien-pasienmu. Kau akan hancur sendiri."
"Aku tahu. Kau benar, Kat" tapi, semuanya berakhir begitu cepat. Tadi pagi dia dan aku masih mengobrol. Besok dia sudah akan dimakamkan."
"Kau tidak bermaksud pergi ke sana, kan?"
"Tidak." Pemakaman Sam Bernstein berlangsung di Hills of Eternity Cemetery.
Berdasarkan ajaran Yahudi, pemakaman harus dilaksanakan secepat mungkin setelah kematian, dan upacaranya biasanya diselenggarakan pada hari berikutnya.
Jenazah Sam Bernstein mengenakan takhrikhim, sebuah jubah putih, dan dibungkus taloit. Keluarganya berkumpul di sekeliling liang lahat. Rabbi yang memimpin upacara membacakan, "Hamakom y"nathaim etkhem b"tokh sh"ar availai tziyon veeyerushalayim."
Pria yang berdiri di sebelah Paige melihat roman mukanya yang bingung, dan menerjemahkan untuknya, ?"Semoga Tuhan memberi ketenangan pada kalian dan semua orang yang berkabung dari Zion dan Yerusalem.?"
Paige semakin terkejut ketika para anggota keluarga mulai mencabik-cabik pakaian mereka sambil melantunkan, "Banish ata adonai elohainu me-lech haolam doyan ha-emet."
"Itu untuk menunjukkan rasa hormat," pria tadi kembali berbisik. "Kita berasal dari tanah dan kembali ke tanah, tapi jiwa kembali "ke Tuhan yang memberikannya." Upacara berakhir.
Keesokan paginya, Kat berpapasan dengan Honey di koridor. Honey tampak gelisah.
203 "Ada apa?" tanya Kat.
"Aku dipanggil Dr. Wallace. Dia memintaku menemuinya jam dua siang nanti di ruang kerjanya."
"Kau tahu kenapa?"
"Rasanya karena kunjungan pasien waktu itu. Dr. Ritter benar-benar sadis."
"Kadang-kadang dia memang begitu," ujar Kat. "Tapi aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
"Mudah-mudahan saja. Aku punya firasat buruk."
Tepat pukul dua, Honey tiba di kantor Benjamin Wallace. Ia membawa botol kecil berisi madu di tasnya. Petugas penerima tamu sedang makan siang. Pintu ruang kerja Dr. Wallace terbuka. "Silakan masuk, Dr. Taft."
Honey melangkah masuk. "Tolong tatap pinta."
Honey menutup pinta. "Duduklah." Honey duduk berhadapan dengannya. Ia hampir gemetaran.
Benjarmn Wallace menatap dan berkata dalam hati, Ini seperti menendang anak anjing. Tapi tak ada pilihan lain. "Kelihatannya saya punya berita buruk untuk Anda," ia berkata.
mtX"kemifan" Honey menjumpai Kat di ffiTK^- "nyum dan
i tpmu Dr Wallace?" tanya Kat. -Sudah Keten mengobrol panjang-lebar.
"?\S "t ditinggal istrinya September lalu" KaU Ifsudah menikah lima belas tahun. Dia pu-Meref lnT dewasa dari perkawinan sebelumnya, nya dua anaK ^ ^ ke_
tapi jarang tapi sepian BUKU DUA 14 Satu tahun lagi berakhir. Paige, Kat, dan Honey menyambut 1994 di Embarcadero County Hospital. Sepertinya tak ada perubahan dalam hidup mereka, selain nama pasien-pasien masing-masing.
Ketika melintasi pelataran parkir, Paige teringat pada Harry Bowman dan Ferrari merahnya. Berapa banyak orang yang hancur akibat racun yang dijual Harry Bowman" ia bertanya-tanya. Obat bius begitu menggoda. Dan, pada akhirnya, begitu mematikan.
Jimmy Ford muncul dengan membawa seikat bunga untuk Paige.
"Untuk apa ini, Jimmy?"
Pemuda itu tersipu-sipu. "Tak ada alasan khusus. Kau sudah tahu aku akan menikah?"
"Belum! Wah, ini kabar gembira. Siapa gadis
yang beruntung itu?" "Namanya Betty. Di. bekerja di toko pakaian.
209 Kami ingin punya setengah lusin anak. Dan anak perempuan kami yang pertama akan kami namakan Paige. Mudah-mudahan kau tidak keberatan." "Keberatan" Aku senang sekali." Jimmy tampak kikuk. "Sudah dengar cerita tentang dokter yang meramaikan umur pasiennya tinggal dua minggu" "Saya belum bisa bayar sekarang," kata pasiennya. "Baiklah, kalau begitu saya beri dua minggu lagi.?" Lalu Jimmy menghilang.
Paige mencemaskan Tom Chang. Suasana hati Chang sering berubah-ubah secara mendadak dari ] riang gembira ke depresi berat.
Suatu pagi, ketika sedang mengobrol dengan Paige, ia berkata, "Kau sadar sebagian besar orang di sini akan mati tanpa kita" Kita punya kemampuan untuk menyembuhkan tubuh mereka dan membuat mereka pulih lagi."
Dan keesokan paginya, "Kita semua cuma menipu diri sendiri, Paige. Pasien-pasien kita lebih cepat sembuh tanpa bantuan kita. Kita orang-orang j munafik yang berlagak tahu segala sesuatu, padahal kita tidak tahu apa-apa." K"
Paige mengamatinya sejenak. "Bagaimana kabar Syer
"Aku sempat bicara dengan dia kemarin. Dia tidak mau kembali ke sini. Dia tetap minta cerai."
Paige memegang lengan Chang. "Aku ikut bersedih, Tom."
Chang angkat bahu. "Kenapa" Aku tidak apa-f
apa. Aku sudah tidak ambil pusing. Aku akan f menemukan wanita lain." Ia menyeringai. "Dan aku bakal punya anak lagi. Lihat saja nanti."
Ada sesuatu yang janggal pada percakapan mereka.
Malam itu Paige berkata pada Kat, "Aku men-I cemaskan Tom Chang. Kau pernah bicara dengan dia belakangan ini?" "Ya."
"Apakah dia kelihatan normal?" "Setahuku, tidak ada laki-laki yang normal." Paige tetap khawatir. "Bagaimana kalau kita undang dia makan malam besok?" "Boleh saja."
Keesokan paginya, ketika Paige tiba di rumah sakit, ia disambut berita bahwa seorang petugas kebersihan menemukan mayat Tom Chang di sebuah ruang mesin di basement, Tom Chang meninggal karena overdosis pil tidur.
Paige hampir histeris. "Seharusnya aku bisa menyelamatkan dia," serunya. "Selama ini dia berteriak-teriak minta tolong, dan aku tidak mendengarnya."
Kat berkata dengan tegas, "Kau tak mungkin bisa menolongnya. Bukan kau masalahnya, dan bukan kau pula yang bisa memberikan pemecahannya. Dia tidak mau hidup tanpa anak-istrinya. Titik."
Paige mengusap air matanya. "Semuanya gara-gara tempat keparat ini!" ia berkata. "Kalau bukan karena tekanan dan beban kerjanya, istrinya takkan meninggalkan dia."
Tapi nyatanya dia pergi," ujar Kat dengan lembut "Semuanya sudah berakhir."
Paige belum pernah menghadiri upacara pemakaman Cina. Ia tak menyangka akan melihat tontonan yang begitu menakjubkan. Upacara dimulai pagi-pagi di Green Street Mortuary di China Town, tempat orang-orang mulai berkerumun. Iring-iringan dibentak, lengkap dengan marching band alat tiup, dan di depan iring-iringan itu, sejumlah pelayat membawa foto Tom Chang berukuran besar.
Iring-iringan mulai bergerak menyusuri jalan-jalan San Francisco. Marching band bermain dengan keras, dan jenazah Tom Chang dibawa dengan kereta jenazah di bagian belakang iring-iringan. Sebagian besar pelayat berjalan kaki, tapi mereka yang sudah berumur naik mobil.
Paige merasa iring-iringan itu berkeliling kota tanpa tujuan tertentu. Ia terheran-heran. "Kita mau ke mana?" ia bertanya pada salah seorang pelayat.
Orang itu membungkuk sedikit dan berkata, "Berdasarkan kebiasaan kami, almarhum dibawa ke tempat-tempat yang mempunyai arti khusus dalam hidupnya?restoran-restoran tempat dia biasa makan, toko-toko tempat dia biasa belanja, tempat-tempat yang d&unjunginya?" "Oh, begitu."
Iring-iringan itu berakhir di depan Embarcadero County Hospital, Pelayat tadi berpaling kepada Paige dan berkata,
"Di sinilah Tom Chang bekerja. Di sinilah dia menemukan kebahagiaannya."
Salah, pikir Paige. Inilah tempat ia kehilangan kebahagiaannya.
Ketika menyusuri Market Street suatu pagi, Paige melihat Alfred Turner. Jantungnya mulai berdebar-debar. Ia belum berhasil menyingkirkan Alfred dari pikirannya. Alfred, mulai melintasi jalan ketika lampu penyeberangan berubah hijau. Waktu Paige sampai di pojok jalan itu, lampu telah berganti merah. Ia mengabaikannya dan berlari ke tengah jalan, tanpa memedulikan para pengendara mobil yang menekan klakson dan berteriak-teriak kesal.
Paige sampai di seberang dan bergegas menyusul Alfred. Ia menarik lengan mantelnya. "Alfreds"
Orang itu membalik. "Maaf?"
Ternyata orang itu sama sekali tidak dikenalnya.
Sebagai resident tahun keempat, Paige dan Kat sudah mulai melakukan operasi secara berkala.
Kat bekerja sama dengan dokter-dokter di bidang bedah saraf, dan ia selalu terkagum-kagum pada seratus miliar komputer digital rumit bernama neuron yang ada di dalam kepala. Pekerjaannya benar-benar menggairahkan.
Kat sangat menaruh hormat pada sebagian besar dokter yang bekerja sama dengannya. Mereka ahli-ahli bedah yang cemerlang dan terampil. Namun ada beberapa dokter yang menyulitkannya. Mereka berusaha mengajak Kat berkencan, dan semakin
212 213 sering Kat menolak, ia semakin dianggap sebagai tantangan.
Ia mendengar salah satu dokter bergumam, Kp|. "Awas, si celana besi datang."
Ia sedang membantu Dr. Kibler dalam suatu operasi otak. Sebuah sayatan kecil dibuat di korteks, dan Dr. Kibler mendorong kanul karet ke dalam ventrikel lateral kiri, rongga di tengah-tengah belahan kiri otak, sementara Kat menggunakan re traktor kecil untuk menahan sayatan itu agar tetap terbuka.
Dr. Kibler melirik ke arahnya. Sambil bekerja, ia berkata, "Sudah dengar cerita tentang pemabuk yang masuk ke bar dan berkata, "Aku minta wiski, cepatf "Maaf," kata si penjaga bar. "Kau sudah mabuk/" Bor memotong semakin dalam. ?"Kalau tidak diberi wiski, aku akan bunuh diri.?" Cairan otak dari ventrikel mengalir keluar melalui kanul.
?"Begini saja deh," kata si penjaga bar. "Aku punya tiga tugas untukmu. Kalau ketiga-tiganya bisa kaukerjakan, kau kuberi sebotol wiski.?"
Sementara ia bercerita, lima belas mililiter udara diinjeksikan ke dalam ventrikel, dan foto sinar-X dibuat dari foto anterior-posterior serta foto lateral.
?"Kaulihat pemain football yang duduk di pojok itu" Aku tidak bisa mengusir dia dari sini. Kuminta kaulempar dia keluar. Habis itu, aku punya buaya piaraan yang lagi sakit gigi di ruang kerjaku. Dia begitu galak, sehingga tak ada dokter
hewan yang berani mendekatinya. Dan yang terakhir, ada dokter perempuan dari pepartemen Kesehatan yang mau menutup tempat ini. Tiduri dia, dan kau bakal mendapatkan botolmu.?"
Seorang perawat instrumentalis menggunakan alat isap untuk mengurangi darah di lapangan operasi.
"Si pemabuk mengusir pemain football itu, lalu masuk ke mang kerja si penjaga bar. Lima belas [ menit kemudian dia keluar lagi, berdarah-darah, dan pakaiannya terkoyak-koyak, dan dia bilang, "Mana dokter perempuan yang sakit gigi itu?""


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dr. Kibler terbahak-bahak. "Buayanya yang dia tiduri, bukan si dokter. Dan kemungkinan besar, itu lebih menyenangkan!"
Kat marah sekali. Hampir saja ia menampar dokter itu.
Setelah operasi selesai, Kat pergi ke mang istirahat dokter jaga untuk meredakan kekesalannya. Aku takkan membiarkan bajingan-bajingan itu mengalahkanku. Aku takkan menyerah.
Sesekali Paige berkencan dengan dokter-dokter dari rumah sakit, tapi tak pernah mau menjalin hubungan asmara dengan salah satu dari mereka. Luka yang ditinggalkan Alfred Turner terlalu dalam, dan ia bertekad menghindari pengalaman serupa.
Sebagian besar waktunya ia habiskan di rumah sakit. Jadwal kerjanya berat sekali, tapi Paige melakukan bedah umum dan menikmatinya.
Suatu hari ia dipanggil George EngJund, kepala bagian bedah.
214 K. 215 "Tahun ini kau akan mulai dengan spesialisasi-mu, bedah jantung." Paige mengangguk. "Betul." "Hmm, aku punya tawaran menarik untukmu. Kau pernah mendengar nama Dr. Barker?"
Paige membelalakkan mata. "Dr. Lawrence Barker?" "Ya"
Tentu saja." Semua orang tahu siapa Lawrence Barker. Ia J salah satu ahli bedah jantung terkemuka di dunia.
"Nah, minggu lalu dia kembali dari Arab Saudi, di sana dia mengoperasi Raja Arab. Dr. Barker teman lamaku, dan dia bersedia menyumbangkan tiga hari dalam seminggu untuk kita di sini. Pro bono."
"Wah, bagus sekali.?" seru Paige. "Kau kumasukkan ke dalam timnya."
Sejenak Paige tak sanggup berkata apa-apa. "Aku" aku tak tahu harus bilang apa. Aku sangat berterima kasih."
"Ini kesempatan baik untukmu. Kau bisa belajar banyak dari dia."
"Oh, tentu. Terima kasih, George. Aku takkan melupakan ini." I
"Besok pagi pukul enam kau mulai ikut kun-f jungan pasien bersama dia."
"Aku sudah tak sabar," 1
"Sudah tak sabar" masih kurang tepat. Sejak dulu j Paige berharap bisa bekerja sama dengan orang I
seperti Dr. Lawrence Barker. Orang seperti Drt Lawrence Barker" Hanya ada satu Dr. Lawrence Barker.
Ia belum pernah melihat fotonya, namun sudah bisa membayangkan seperti apa penampilannya. Orangnya pasti jangkung dan tampan, dengan rambut kelabu keperakan, serta tangan ramping dan halus. Laki-laki yang hangat dan lemah lembut. Kita akan menjalin kerja sama erat, pikir Paige, dan aku akan bekerja keras sekali untuk menjadi orang yang diandalkannya. Hmm apakah dia sudah punya istri"
Malam itu, Paige bermimpi tentang Dr. Barker. Mereka melakukan operasi dalam keadaan tanpa busana. Di tengah-tengah operasi, Dr. Barker berkata, "Aku menginginkanmu." Seorang juru rawat memindahkan pasien, lalu Dr. Barker mengangkat Paige dan membaringkannya di atas meja operasi, dan bercinta dengannya. Ketika terbangun, Paige terjatuh dari tempat tidur.
Pukul enam keesokan paginya, Paige sedang menunggu dengan gelisah di koridor lantai dua bersama Joel Philips, resident senior, dan lima resident lain, ketika seorang pria pendek berwajah masam bergegas ke arah mereka. Badannya condong ke depan, seakan-akan melawan angin kencang.
Ia menghampiri rombongan itu. "Kenapa kalian semua cuma berdiri di sini" Ayo, jalan f"
Paige tersentak. Ia mempercepat langkah untuk menyusul rekan-rekannya. Ketika mereka menyu217 suri koridor, Dr. Barker berkata dengan ketus "Kalian akan menangani 30 sampai 35 pasien setiap hari. Kalian harus menyusun catatan lengkap tentang semuanya. Mengerti?" Para resident bergumam, "Ya, Sir." Mereka tiba di bangsal pertama. Dr. Barker menghampiri tempat tidur seorang pasien, seorang pria berusia empat puluhan. Sikap Barker yang kasar dari menakutkan berubah seketika. Ia menggamit pundak pasien itu dengan lembut dan tersenyum. "Selamat pagi. Saya Dr. Barker." "Selamat pagi, Dokter." "Bagaimana keadaan Anda pagi ini?" "Dada saya sakit."
Dr. Barker mempelajari catatan di ujung tempat tidur, kemudian berpaling ke Dr. Philips. "Bagaimana hasil pemeriksaan sinar-X?"
"Tidak ada perubahan. Proses penyembuhannya berjalan lancar."
"Kalau begitu, lakukan CBC lagi." Dr. Philips mencatatnya.
Dr. Barker menepuk-nepuk lengan pasien itu dan tersenyum. "Semuanya baik-baik saja. Seminggu lagi Anda sudah boleh pulang." Ia menoleh kepada para resident dan membentak. "Jalan/ Masih banyak pasien yang harus kita kunjungi."
Ya Tuhan/ pikir Paige. Persis seperti Dr. Jekyll dan Mr. Hyde!
Pasien berikut adalah wanita gemuk yang telah menjalani operasi pemasangan alat pacu jantung. Dr. Barker mengamati catatannya. "Selamat pagi,
rfis. Shelby." Nada suaranya menenangkan. "Saya pr. Barker."
"Berapa lama lagi saya harus tinggal di sini" "Wah, Anda begitu menawan, rasanya saya enggan melepaskan Anda, tapi saya sudah beristri. \ Mrs. Shelby cekikikan. "Dia sangat beruntung." Barker kembali memeriksa catatannya. "Kelihatannya Anda sudah siap pulang." "Oh, bagus."
"Nanti sore saya akan mampir lagi."
Lawrence Barker menghadap ke para resident. "Ayo, jalan lagi."
Dengan patuh mereka mengikuti dokter itu ke sebuah kamar semiprivat, tempat seorang bocah Guatemala sedang berbaring di tempat tidur, dikelilingi keluarganya yang tampak cemas.
"Selamat pagi," Dr. Barker berkata dengan ramah. Ia mengamati catatan si pasien. "Bagaimana keadaanmu pagi ini?"
"Baik, Dokter."
Dr. Barker berpaling ke Philips. "Ada pembahan pada elektrolit?" "Tidak ada, Dokter."
"Itu kabar bagus." Ia menepuk-nepuk lengan bocah itu. "Oke, jagoan, nanti sore kami akan menengokmu lagi."
Ibunya bertanya dengan cemas, "Apakah anak saya bisa sembuh?"
Dr. Barker tersenyum. "Kami akan berusaha sekuaf tenaga menyembuhkannya."
"Terima kasih, Dokter."
Dr. Barker keluar ke koridor, yang Jain mem-buntutinya. Ia berhenti. "Pasien itu mengalami imokardiopati, serangan demam yang tidak teratur, sakit kepala, dan edema lokal. Apakah salah satu dari Anda bisa menyebutkan penyebab yang paling umum?"
Hening sejenak. Lalu Paige berkata dengan ragu-ragu, "Saya kira ini penyakit bawaan" masalah keturunan."
Dr. Barker menatapnya sambil mengangguk-angguk.
Dengan gembira Paige melanjutkan, "Gejalanya" tunggu sebentar?" Ia berusaha mengingat-ingat "Gejalanya timbul setiap dua generasi dan . diteruskan oleh gen-gen sang ibu." Ia berhenti, tersipu-sipu, bangga.
Dr. Barker memelototinya sejenak. "Omong kosong! bn penyakit Chagas. Penyakit ini menyerang orang-orang di negara-negara Amerika Latin." Ia menatap Paige dengan pandangan muak. "Huh! Siapa yang mengizinkanmu menyebut diri sebagai dokter?" Wajah Paige merah padam. Sisa pagi itu hanya samar-samar dalam ingatan Paige. Mereka mengunjungi 24 pasien lagi, dan Paige merasa Dr. Barker terus berusaha mempermalukannya. Pertanyaan -pertanyaan Barker selalu ditujukan padanya. Kalau menjawab benar, Paige tidak memperoleh pujian dari Barker. Kalau keliru, ia dibentak-bentak. Suatu saat, ketika Paige memberikan jawaban yang salah, Barker berseru, "An-f jingku pun takkan kubiarkan kauoperasi!" f Sewaktu kunjungan pasien akhirnya selesai, Dr. f-Philips, si resident senior, berkata, "Kunjungan sore dimulai pukul dua nanti. Bawa buku catatan, [ buat catatan mengenai setiap pasien, dan jangan sampai ada yang terlewat."
Ia menatap Paige dengan iba. Sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian membalik dan bergabung dengan Dr. Barker.
Paige berkata dalam hari, Aku tak sudi ketemu lagi dengan bajingan itu.
Keesokan malamnya, Paige bertugas jaga. Ia berlari dari satu krisis ke krisis berikut, berusaha menghalau banjir bencana yang melanda mang gawat darurat.
Pukul 01.00 dini hari, akhirnya ia tertidur. Ia tidak mendengar raungan sirene ketika sebuah mobil ambulans berhenti di depan pintu bagian gawat darurat. Dua tenaga paramedis membuka pintu ambulans, memindahkan pasien yang pingsan dari tandu ke tempat tidur beroda, lalu mendorongnya ke ER Sam.
Staf sudah diberitahu melalui radiophone. Seorang juru rawat berlari di samping pasien, sementara jura rawat kedua menunggu di puncak ramp. Enam puluh detik kemudian, pasien itu dipindahkan dari tempat tidur beroda ke meja pemeriksaan. Ia laki-laki muda, dan wajahnya berlumuran darah sehingga sulit mengenali tampangnya.
Salah saru juru rawat memotong pakaian-yang tercabik-cabik dengan gunting besar. "Kelihatannya semua miangnya patah." "Perdarahannya tak bisa dihentikan." "Tidak ada denyut nadi." "Siapa yang bertugas jaga?" "Dr. Taylor."
"Panggil dia." Kalau dia cepat datang, pasien ini mungkin bisa tertolong." Paige dibangunkan deringan telepon. "H"lo?"
"Ada kasus kecelakaan di ER Satu. Saya tidak yakin apakah dia sanggup bertahan."
Paige langsung duduk. "Baik. Saya segera ke sana."
Ia melirik arlojinya. 01.30 dini hari. Sambil terkantuk-kantuk, ia turun dari tempat tidur dan menuju lift
Satu menit kemudian, ia memasuki ER Satu. Di tengah-tengah mangan, di atas meja pemeriksaan, ia melihat pasien yang bermandikan darah. "Kenapa dia?" tanya Paige. "Kecelakaan sepeda motor. Dia ditabrak bus. Dia tidak memakai helm."
Paige menghampiri sosok yang tak sadarkan diri itu, dan bahkan sebelum melihat wajahnya, ia sudah tahu.
Sekonyong-konyong ia terjaga sepenuhnya. "Pa-I sang tiga IV/" Paige memberi perintah. "Beri dia I oksigen. Saya perlu beberapa unit darah, stat. i
Telepon personalia untuk menanyakan golongan { darahnya."
Para juru rawat memandangnya dengan heran. "Anda kenal dia?"
"Ya." Paige harus memaksakan diri untuk mengucapkan kata-kata itu. "Namanya Jimmy Ford."
Paige meraba-raba kepala Jimmy. "Ada edema berat. Saya perlu foto scan kepala dan foto sinar-X. Untuk yang satu ini tidak boleh ada kesalahan. Dia harus selamat!"
"Baik, Dokter."
Paige menghabiskan dua jam berikut dengan memastikan segala upaya dikerahkan untuk menyelamatkan nyawa Jimmy Ford. Hasil pemeriksaan sinar-X menunjukkan miang tengkoraknya retak, otaknya memar, dan tulang pangkal lengannya patah, di samping laserasi-multipel. Tapi mereka tak dapat mengambil tindakan sebelum kondisinya stabil.
Pukul 03.30 dini hari, Paige memutuskan untuk sementara tak ada lagi yang dapat dilakukannya. Napas Jimmy sudah lebih teratur, denyut nadinya pun lebih kuat. Paige menatap sosok yang tak berdaya itu. Kami ingin punya setengah lusin anak. Anak perempuan kami yang pertama akan kami namakan Paige. Mudah-mudahan kau tidak keberatan.
"Panggil saya kalau ada perubahan sekecil apa pun," ujar Paige. "Jangan khawatir, Dokter," salah satu juru rawat
berkata. "Kami akan menjaga dia dengan baiknya."
Paige kembah ke ruang istirahat. Ia letih sekali, namun terlalu mencemaskan Jimmy, sehingga tak bisa tidur lagi.
Telepon kembali berdering. Paige nyaris tak sanggup mengangkat gagang. "H"lo."
"Dokter, Anda sebaiknya ke lantai tiga. Stat. Kelihatannya salah saru pasien Dr. Barker terkena serangan jantung."
"Segera," mar Paige. Salah satu pasien Dr. Barker. Paige menarik napas panjang, turun dari tempat tidur, membasuh mukanya dengan air dingin, lalu bergegas ke lantai tiga.
Seorang jura rawat menunggunya di depan salah satu ruang privat. "Kelihatannya Mrs. Hearas mengalami serangan jantung lagi." Paige masuk ke ruangan itu. Mrs. Hearns berusia lima puluhan. Wajahnya masih menampakkan sisa-sisa kecantikan masa mudanya, tetapi badannya gemuk dan menggembung. Ia mendekap dadanya sambil mengerang-erang. "Saya akan mati," katanya. "Saya akan mati. Saya tidak bisa napas." , "Anda jangan khawatir," Paige berusaha menenangkannya. Ia berpaling kepada juru rawat tadi. "Anda sudah melakukan pemeriksaan EKG?"
"Dia melarang saya mendekatinya. Dia bilang dia terlalu waswas." I
"Kita harus melakukan pemeriksaan EKG," Paige berkata kepada pasien itu.
"Tidak! Saya belum mau mati! Tolonglah, Dokter, jangan biarkan saya mati"."
Paige berkata kepada si juru rawat, "Hubungi Dr. Barker. Minta dia segera ke sini." Jura rawat itu bergegas pergi. Paige menempelkan stetoskop ke dada Mrs. Hearns. Denyut jantungnya terdengaF normal, tapi Paige tidak berani mengambil risiko.
"Dr. Barker akan segera tiba," ia memberitahu Mrs. Hearns. "Cobalah bersikap tenang."
"Belum pernah saya merasa separah ini. Dada saya sesak sekali. Tolong, jangan tinggalkan saya."
"Saya takkan meninggalkan Anda," Paige berjanji.
Sambil menunggu kedatangan Dr. Barker, Paige menelepon ke ICU. Kondisi Jimmy Ford belum menunjukkan perubahan. Ia masih dalam keadaan koma.
Dr. Barker muncul tiga puluh menit kemudian. Tampaknya ia berpakaian secara terburu-buru. "Ada apa?" ia langsung bertanya.
Paige menjawab, "Kelihatannya Mrs. Hearns mengalami serangan jantung lagi."
Dr. Barker berjalan ke samping tempat tidur. "Sudah melakukan pemeriksaan EKG?"
"Dia tidak mengizinkannya."
"Denyut nadi?" "Normal. Tidak ada demam."
Dr. Barker menempelkan stetoskop ke punggu Mrs. Hearns. "Coba tarik napas dalam-dalam." g Mrs. Hearns menurut. "Lagi"
Mrs. Hearns bersendawa dengan keras. "Maaf" Ia tersenyum. "Ah, sudah lebih enak sekarang."
Dr. Barker menatapnya sejenak. "Apa yailg Anda makan sebelum tidur tadi, Mrs. Hearns?"
"Saya makan hamburger."
"Hanya hamburger" Itu saja" Sam?"
"Dua." "Ada lagi?" "Ehm, biasa" bawang dan kentang goreng." "Dan Anda minum?"" "Milk shake cokelat."
Dr. Barker memandang pasiennya. "Jantung Anda tidak apa-apa. Selera makan Anda yang perlu diperhatikan." Ia berpaling kepada Paige. "Yang kaulihat ini kasus heartburn. Aku ingin bicara di luar, Dokter."
Setelah berada di koridor, Barker menghardik, "Apa saja yang kaupelajari di bangku kuliah" Apa kau tidak bisa membedakan heartburn dari serangan jantung?"
"Saya pikir?" "Masalahnya, kau tidak berpikir! Kalau kau sekat" lagi membangunkan aku di tengah malam bma karena kasus heartburn, kau akan menerima akibatnya. Mengerti?"
*?"iri "P** P*"*, wajahnya kaku. Cn dw Dokter," Lawrence Barker
kata dengan sinis, "dan kau akan melihat dia "Sn segera sembuh-KutungSu kau jam enam ^ti untuk kunjungan pasien." n paige memperhatikannya bergegas pergi. Ketika kembali ke tempat tidurnya di mang istirahat, Paige berkata dalam hati, Aku akan membunuh Lawrence Barker. Pelan-pelan. Dia akan sakit keras. Bakal ada selusin slang yang masuk Ice tubuhnya. Dia akan memohon-mohon agar aku mengakhiri penderitaannya, tapi aku takkan mau. Dia akan kubiarkan menderita, dan kemudian, kalau dia sudah mulai pulih" itulah saat aku menghabisinya!
15 Paige ikut kunjungan pagi bersama si Monster julukan yang diam-diam digunakannya untuk Barker. Ia sudah tiga kali bertindak sebagai asistennya dalam operasi kardiotoraks, dan meskipun tidak menyukainya, mau tak mau ia harus mengakui keahliannya yang luar biasa. Terkagum-kagum ia memperhatikan Barker membelah dada seorang pasien, mengganti jantung yang lama dengan jantung donor, lalu menjahit semua luka. Operasi itu rampung dalam waktu kurang dari lima jam.
Dalam beberapa minggu, Paige berkata dalam hati, pasien itu sudah sanggup kembali ke hidupnya yang normal. Pantas saja para ahli bedah menganggap diri sebagai dewa. Orang mati pun I sanggup mereka hidupkan kembali.
Berulang kali Paige melihat sebuah jantung berhenti dan berubah menjadi sepotong daging yang tak bergerak. Kemudian terjadilah keajaiban. Organ yang sudah mau" itu kembali berdenyut dan kembali memompa darah ke tabah yang sempat j tak bernyawa. I
Suatu pagi, salah seorang pasien dijadwalkan menjalani operasi pemasangan balon intraaorta. f paige hadir sebagai asisten Dr. Barker. Ketika mereka hendak mulai, Dr. Barker berkata dengan ketus, "Kerjakan!" Paige menatapnya. "Maaf?" [ "Ini operasi sederhana. Bagaimana, kau sanggup?" Suaranya bernada melecehkan.
t"Ya," balas Paige dengan mendongkol. "Kalau begitu, mulai saja!" Barker memang menjengkelkan. Di bawah pengawasan Barker, Paige memasukkan sebuah selang ke arteri si pasien dan men-| jahitnya ke jantung. Pekerjaan itu dilakukannya dengan sempurna, tapi Barker tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Persetan dengan dia, pikir Paige. Apa pun yang kulakukan, dia tetap takkan puas.
Paige menginjeksikan cairan radiopaque melalui selang. Mereka mengamati monitor-monitor ketika cairan itu mengalir ke arteri-arteri koroner. Sejumlah gambar mulai terlihat pada layar monitor fluo-roskopi, menunjukkan tingkat penyumbatan serta lokasinya, sementara sebuah kamera film secara otomatis merekam gambar-gambar sinar-X untuk catatan permanen.
Si resident senior menatap Paige sambil tersenyum. "Bagus."
"Terima kasih." Paige menoleh ke arah Dr. Barker.
"Terlalu lamban," Barker menggerutu.
Kemudian ia meninggalkan ruang operasi.
Paige selalu menanti hari-hari Dr. Barker tidak datang ke rumah sakit karena bekerja di klinik pribadinya. Ia berkata kepada Kat, "Kalau satu hari saja aku tidak ketemu dia, rasanya seperti berlibur seminggu di pedesaan." "Kau benar-benar benci padanya, hmm?" "Sebagai dokter dia cemerlang, tapi sebagai manusia dia betul-betul brengsek. Pernahkah kau memperhatikan ada orang yang bernama sesuai tabiatnya" Kalau Dr. Barker tidak berhenti membentak-bentak orang lain, dia bakal terkena stroke."
"Coba kalau kau kenal orang-orang yang harus kuhadapi," balas Kat sambil tertawa. "Mereka pilar mereka idaman setiap wanita. Betapa enaknya kalau tidak ada laki-laki di dunia ini i"
Paige menatapnya sejenak, namun tidak berkata apa-apa.
Paige dan Kat menengok Jimmy Ford. Kondisinya belum berubah. Ia masih koma. Tak ada yang dapat mereka lakukan.
Kat menghela napas. "Brengsek. Kenapa selalu mereka yang baik yang kena?" "Coba kalau aku tahu." "Kaupikir dia bakal selamat?" Paige ragu-ragu menjawab, "Kita sudah berusaha sekuat tenaga. Sekarang semuanya tergantung pada Tuhan."
"Aneh. Tadinya kupikir kita Tuhan.
Esok harinya, ketika Paige bertugas memimpin kunjungan sore, ia dicegat di lorong oleh Kaplan, seorang resident senior. "Hari ini hari keberuntunganmu." Kaplan tersenyum lebar. "Ada mahasiswa kedokteran baru yang harus kaubawa berkeliling." "Oh, ya?" "Yeah. Si KT." "KT?"
"Keponakan Tolol. Istri Dr. Wallace punya keponakan yang mau jadi dokter. Dia dikeluarkan dari dua sekolah terakhir tempatnya belajar. Kami semua sudah pernah dapat giliran mengantarnya. Hari ini giliranmu."
Paige menggerutu. "Aku tidak punya waktu untuk ini. Tugasku masih?"
"Ini bukan tawaran. Turuti saja dan kau akan memperoleh bintang dari Dr. Wallace." Kaplan membalik dan pergi.
Paige menghela napas dan menuju tempat para resident baru menunggu untuk mengikuti kunjungan pasien. Mana si KT"t Paige menatap arlojinya. Oke, satu menit lagi, Paige memutuskan, dan setelah itu persetan dengan dia. Kemudian ia melihatnya, seorang pria tinggi langsing yang bergegas menyusuri lorong.
Pria itu menghampiri Paige, dan berkata sambil tersengal-sengal, "Maaf. Dr. Wallace meminta saya untuk?"
"Saudara terlambat," Paige memotong.
"Saya tahu. Maaf. Saya tertahan di?"
"Ya, sudah. Nama Saudara?"
"Jason. Jason Curtis." Ia mengenakan jas santai.
"Mana jas putih Saudara?"
"Jas putih saya?"
"Anda belum mberitahu harus mengenakan jas putih pada waktu melakukan kunjungan pasien?"
Pria itu tampak bingung. "Belum. Kelihatannya saya?"
Paige berkata dengan jengkel, "Kembali ke kantor perawat kepala dan minta jas putih di sana Anda juga belum punya buku catatan?"
"Belum." "Keponakan Tolol" masih kurang tepat untuk j dia Temui kami di Bangsal Satu."
"Barangkali?" "Lakukan saja/" Paige dan yang lain meninggalkan Jason Curtis dalam keadaan terbengong-bengong.
Mereka sudah memeriksa pasien ketiga ketika Jason Curtis muncul lagi. Ia mengenakan jas putih. Paige sedang berkata, ?"tumor jantung bisa bersifat primer, ini jarang terjadi, atau sekunder, yang jauh lebih umum."
Ia berpaling kepada Curtis. "Anda bisa menyebutkan ketiga jenis tumor?"
Curtis melongo. "Rasanya" tidak bisa."
Tentu saja tidak. "Epikardial. Miokardial. En"
dokardial. rCurtis menatap Paige dan tersenyum. "Menarik sekali." j
Ya Tuhan/ pikir Paige. Dr. Wallace atau bukan, orang ini harus segera kusingkirkan.
Mereka pindah ke pasien berikut, dan setelah Paige selesai memeriksanya, ia mengajak rombongannya ke koridor. "Yang kita hadapi di sini f tiroid storm, disertai demam dan takhykardia eks-I trem. Gejala-gejala itu muncul sesudah pembe-I dahan." Ia menoleh ke arah Jason Curtis. "Bagai-[ mana Anda menangani pasien dengan kasus seper-I ti itu?"
Curtis berpikir sejenak, kemudian berkata, "Dengan lemah lembut?"
Paige nyaris naik pitam. "Anda bukan ibunya, Anda dokternya! Dia butuh infus untuk melawan dehidrasi, berikut j odium intravena, obat antitiroid, dan obat penenang untuk mengatasi kejang-kejang." Jason mengangguk. "Kedengarannya sudah tepat." Keadaan tidak bertambah baik. Seusai kunjungan pasien, Paige mengajak Jason Curtis berbicara empat mata. "Anda keberatan kalau saya berterus terang?"
"Oh, sama sekali tidak," sahut Curtis. "Saya justru lebih senang begitu.?" "Carilah profesi lain."
Curtis mengerutkan kening. "Maksud Anda, saya tidak cocok untuk ini?" "Terus terang, tidak. Anda tidak menikmati ini,
bukan?" "Sebenarnya tidak."
"Kalau begitu, kenapa Anda mau
mengerjai" "Ehm" saya dipaksa."
"Hmm, sampaikan kepada Dr. Wallace bahwa dia melakukan kesalahan. Saya pikir Anda harus mencari bidang lain yang lebih cocok untuk Anda."
"Terima kasih atas pemberitahuan Anda," ujar Jason Curtis dengan sungguh-sungguh. "Barangkali kita bisa membahasnya lebih lanjut Kalau Anda belum punya acara nanti malam?""
"Tak ada lagi yang perlu dibahas," balas Paige dengan ketus. "Beritahu paman Anda?"
Saat itulah Dr. Wallace muncul. "Jason!" ia memanggil. "Kau sudah kucari di mana-mana." Ia berpating pada Paige. "Rupanya kalian sudah berkenalan?"
"Ya, kami sudah berkenalan," Paige berkata dengan geram.
"Bagus. Jason bertugas merancang sayap baru yang akan kita bangun. Dia arsitek."
Paige berdiri seperti patung. "Dia" apa?"
"Ya. Dia belum memberitahumu?"
Wajah Paige mendadak merah padam. Anda belum diberitahu harus mengenakan jas putih pada waktu melakukan kunjungan pasien" Kenapa Anda mau mengerjakan ini" Saya dipaksa. " Aku yang memaksanya!
Paige ingin menyembunyikan mukanya. Pria itu telah mempermainkannya. Ia berpaling kepada Jason. "Kenapa Anda tidak memberitahu saya siapa
IJason menatapnya dengan geli. "Ehm, Anda tidak memberi kesempatan pada saya." "Dia tidak memberi kesempatan untuk apa?" tanya Dr. Wallace. "Saya permisi dulu," Paige berkata sambil mendongkol. "Bagaimana dengan makan malam nanti?" "Saya tidak makan. Dan saya sibuk." Lalu Paige menghilang.
Jason memperhatikannya sambil tersenyum-I senyum. "Wah, hebat juga."
"Memang. Nah, bagaimana kalau kita ke kantorku sekarang untuk membicarakan rancangan yang bara?"
"Oke." Tapi pikirannya masih tetap pada Paige.
Bulan Juli tiba, waktu untuk upacara yang berulang setiap dua belas bulan di semua rumah sakit di Amerika Serikat. Para resident baru berdatangan untuk memulai perjalanan menjadi dokter sesungguhnya.
Para juru rawat sudah menanti-nanti rombongan resident yang baru, dan mereka sibuk memilih resident yang dianggap paling cocok sebagai kekasih atau suami. Pada hari itu, ketika para resident baru bermunculan, hampir semua wanita memperhatikan Dr. Ken Mallory.
Tak seorang pun tahu kenapa Ken Mallory pindah dari rumah sakit swasta yang eksklusif di Washington, D.C., ke Bmbarcadero County Hospital di San Francisco. Ia resident tahun kelima dan
ahli bedah umum. Ada desas-desus ia harus cepat cepat meninggalkan Washington karena menjalin hubungan asmara dengan istri seorang anggota Kongres. Gosip lain mengatakan ada juru rawat yang bunuh diri karena dia, dan ia diminta mengundurkan diri. Satu-satunya hal yang tidak diperdebatkan di antara para juru rawat adalah Ken Mallory merupakan pria paling tampan yang pernah mereka lihat. Tubuhnya jangkung dan atletis, rambutnya pirang berombak, dan wajahnya pantas tampil di layar bioskop.
Mallory segera menyesuaikan diri dengan kegiatan rutin di rumah sakit Ia pandai memikat orang, dan para juru rawat langsung mulai bersaing untuk menarik perhatiannya. Malam demi malam para dokter lain melihatnya menghilang ke ruang istirahat kosong bersama juru rawat yang berganti-ganti. Reputasinya sebagai penakluk wa-j nita segera menjadi legenda di rumah sakit Paige, Honey, dan Kat membicarakannya. "Aku tidak mengerti kenapa para juru rawat mau mengejar-ngejar dia," ujar Kat sambil tertawa, j "Bayangkan, mereka sampai bertengkar untuk menjadi teman kencannya untuk semalam."
"Tapi kau tak bisa menyangkal, dia memang j tampan," kata Honey. Kat menggelengkan kepala. "Menurutku tidak." j
Suatu pagi, setengah hisin resident sedang berada di kamar ganti dokter ketika Mallory melangkah masuk.
"Kami baru saja membicarakanmu," salah satu dari mereka berkata. "Kau pasti capek sekali." Mallory menyeringai. "Aku memang lumayan I sibuk semalam." Ia menghabiskan malam itu bersama dua jura rawat.
Grundy, salah seorang resident, berkata, "Dibanding kau, Ken, kita-kita ini seperti orang kasim. t Masa sama sekali tidak ada orang di rumah sakit ini yang tidak bisa kaubawa ke tempat tidur?" Mallory tertawa. "Aku meragukannya" Grundy merenung sejenak. "Aku tahu satu orang." "Oh, ya" Siapa dia?"
"Salah satu resident senior di sini. Namanya Kat Hunter."
Mallory mengangguk. "Ah, si hitam manis. Aku sudah pernah melihatnya, fioleh juga. Kenapa kau begitu yakin aku takkan berhasil?"
"Sebab kami semua gagal. Kurasa dia tidak suka laki-laki."
"Atau dia belum menemukan laki-laki yang tepat," Mallory menduga-duga.
Grundy menggelengkan kepala. "Bukan itu masalahnya. Kau pun takkan sanggup menaklukkan dia."
Tantangan seperti itu tak bisa ditolak. "Kujamin kau keliru."
Salah satu resident lain angkat bicara. "Berani bertaruh?"
Mallory tersenyum. "Tentu. Kenapa tidak?" "Okd." Mereka mulai mengerumuni Mallory.
"Aku bertaruh lima ratus dolar bahwa kau tida sanggup merayunya." "Boleh."
"Aku bertaruh tiga ratus." Resident lain menimpali, "Aku ikut. Enam ratus dolar."
Akhirnya jumlah taruhan mencapai lima ribu dolar.
"Batas waktunya?" tanya Mallory. Grundy kembali berpikir sejenak. "Bagaimana kalau tiga puluh hari" Cukup?"
"Lebih dari cukup. Aku takkan butuh waktu sebanyak itu."
"Tapi kau harus, membuktikannya," kata Grundy. "Dia harus mengaku tidur denganmu."
"Tak jadi masalah." Mallory menatap orang-orang di sekelilingnya dan tersenyum lebar. "Bersiap-siaplah merogoh kantong."
Lima belas menit kemudian, Grundy sudah berada di kafetaria. Kat, Paige, dan Honey sedang makan pagi. Ia menghampiri meja mereka. "Boleh bergabung sebentar?"
Paige menoleh. "Silakan."
Grundy duduk. Ia menatap Kat dan berkata dengan nada prihatin, "Sebenarnya aku enggan menceritakan ini, tapi aku kesal sekali, dan kupikir I sudah sepantasnya kau diberitahu?"
Kat memandangnya sambil terheran-heran. "Apa I yang harus kuketahui?" J
Grundy menghela napas. "Soal resident senior I baru itu?-Ken Mallory."
"Ya. Ada apa dengan dia?" Grundy berkata, "Ehm, aku" Ya ampun, bagai-\ mana aku harus mengatakannya" Dia bertaruh \ lima ribu dolar dengan beberapa dokter bahwa dia bisa mengajakmu ke tempat tidur dalam waktu f tiga puluh hari."
Tampang Kat langsung kencang. "Oh, begitu." Grundy berlagak tak berdosa "Aku bisa me-l ngerti kalau kau marah. Aku sendiri muak waktu I mendengarnya. Nah, aku cuma ingin memperingat-[ kanmu. Dia akan mengajakmu berkencan, dan kupikir sudah sepantasnya kau tahu kenapa dia berbuat begitu."
"Thanks" ujar Kat. "Terima kasih atas pemberitahuanmu."
"Aku tak bisa tinggal diam saja."
Mereka memperhatikan Grundy pergi.
Para resident lain menunggunya di koridor di luar kafetaria.
"Bagaimana?" tanya mereka.
Grundy tertawa. "Pokoknya beres. Dia marah sekali. Bangsat itu tak bisa berkutik."
Di dalam kafetaria, Honey berkata, "Menurutku, dia keterlaluan sekali."
Kat mengangguk. "Mestinya dia dikebiri saja. Sampai kapan pun aku takkan mau berkencan dengan bajingan itu."
Paige termenung-menung. Setelah beberapa saat,
239 ia berkata, "Ehm, Kat" Mungkin tidak ada salah, nya kalau ajakannya kauterima saja." Kat menatapnya dengan terheran-heran. "Apa?" 1 Kedua mata Paige berbinar-binar. "Kenapa ft. dak" Kalau dia mau bermain-main, kenapa kita tidak membantunya?hanya saja dia akan mengikuti peraturan kita."
Kat mencondongkan badan ke depan. "Teruskan."
"Dia punya waktu tiga puluh hari, kan" Kalau dia mengajakmu, tunjukkan sikap hangat dan ramah. Maksudku, kau harus tergila-gila padanya. Kau harus membuatnya pusing tujuh keliling. Satu-satunya hal yang tidak kaulakukan, moga-moga, adalah tidur dengan dia. Bajingan itu akan kita beri pelajaran seharga lima ribu dolar."
Kat teringat ayan tirinya. Dengan cara itu, ia bisa membalas dendam. "Boleh juga."
"Maksudmu, kau setuju?" tanya Honey.
"Ya, aku setuju."
Kat tidak tahu bahwa dengan kata-kata itu, ia telah menandatangani surat kematiannya.
16 Jason curtis tidak berhasil menyingkirkan Paige Taylor dari pikirannya. Ia menelepon sekretaris Ben Wallace. "Hai. Ini Jason Curtis. Saya perlu nomor telepon rumah Dr. Paige Taylor."
"Tentu, Mr. Curtis. Tunggu sebentar." Sekretaris itu menyebutkan nomor yang dimintanya.
Honey yang mengangkat gagang telepon. "Dr. Taft."
"Ini Jason Curtis. Saya ingin bicara dengan Dr. Taylor."
"Dia tidak di sini. Dia sedang dinas di rumah sakit." "Oh. Sayang sekali."
Honey menangkap nada kecewa dalam suara lawan bicaranya. "Kalau memang mendesak, saya bisa?"
"Jangan, tidak perlu."
"Atau saya beri tahu bahwa Anda menelepon, dan minta supaya dia menelepon kembali?"
"Oh, boleh." Jason memberikan nomor teleponnya.
241 "Saya akan menyampaikannya." "Terima kasih."
"Ada telepon dari Jason Curtis," ujar Honey ketika Paige pulang. "Dari suaranya, kedengaranya dia menarik. Ini nomor teleponnya." "Bakar saja."
"Kau tidak akan menelepon dia?" Tidak."
"Kau belum bisa melupakan Alfred, ya?" "Jangan mengada-ada." IPjf Hanya itu yang berhasil dikorek Honey dari Paige.
Jason menunggu dua hari sebelum menelepon lagi.
Kali ini Paige sendiri yang mengangkat telepon. "Dr. Taylor."
"Halor ujar Jason. "Ini Dr. Curtis."
"Dokter?""
"Anda mungkin tidak ingat saya," kata Jason. Tempo hari saya pernah ikut kunjungan pasien bersama Anda, dan saya mengajak Anda makan malam. Anda bilang?"
"Saya bilang saya sibuk. Dan sampai sekarang pun saya tetap sibuk. Selamat sore, Mr. Curtis." Ia membanting gagang telepon.
"Ada apa?" tanya Honey.
"Tidak ada apa-apa."
Pukul enam keesokan pagi, ketika para resident
berkumpul bersama Paige untuk melakukan kunjungan pagi, Jason Curtis muncul lagi. Ia mengenakan jas putih.
"Mudah-mudahan saya belum terlambat," ia berkata dengan riang. "Saya harus mengambil jas putih dulu. Saya tahu Anda tidak suka kalau saya tidak disiplin."
Dengan kesal Paige menarik .napas panjang. "Saya ingin bicara sebentar dengan Anda." Ia mengajak Jason ke kamar ganti dokter yang sudah kosong. "Mau apa Anda di sini?"
"Terus terang, saya mengkhawatirkan beberapa pasien yang kita tengok waktu itu," Jason berkata dengan serius. "Saya cuma ingin memastikan mereka baik-baik saja." Orang ini memang tidak tahu diri. "Kenapa Anda tidak mengerjakan sesuatu yang berguna?"


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jason menatapnya dan berkata dengan pelan, "Justru "itu yang sedang saya lakukan." Ia mengeluarkan segenggam karcis. "Begini, saya tidak tahu minat Anda, jadi saya beli tiket untuk pertandingan Giants malam ini, untuk teater, untuk opera, dan untuk konser. Silakan pilih. Tiket-tiket ini tidak bisa dikembalikan."
Orang ini betul-betul menjengkelkan. "Apakah Anda selalu menghambur-hamburkan uang seperti ini?"
"Hanya kalau saya sedang jatuh cinta," jawab
Jason. Tunggu seben?"
243 Jason menyodorkan karcis-karcis itu ke hadapan Paige. "Silakan pOm."
Paige mengambil semuanya. "Terima kasih," ia berkata dengan manis. "Tiket-tiket ini akan saya berikan kepada pasien-pasien saya yang berobat jalan. Sebagian besar dari mereka tak pernah mendapat kesempatan untuk menonton teater atau opera."
Jason tersenyum. "Bagusi Moga-moga mereka menikmatinya. Maukah Anda makan malam ber- ] sama saya?"
Tidak." "Anda toh harus makan. Bagaimana?"
Paige merasa agak bersalah karena tiket-tiket itu. "Rasanya saya takkan jadi teman mengobrol yang menyenangkan. Saya bertugas jaga semalam, dan?"
"Saya berjanji kita takkan berlama-lama." Paige menghela napas. "Baiklah, tapi?" Terima kasih. Di mana saya bisa jemput Anda?"
"Saya teras di sini sampai jam tujuh malam."
"Kafan begitu, saya jemput Anda di sini saja." Jason menguap. "Sekarang saya pulang dulu dan tidur lagi. Manusia tidak diciptakan untuk bangun sepagi ini. Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa tahan."
Paige memperhatikannya pergi, dan mau tak mau ia tersenyum.
Pukul tujuh malam ku, ketika Jason tiba di ramah
sakit untuk menjemput Paige, perawat di meja resepsionis berkata, "Saya kira Dr. Taylor ada di I ruang istirahat untuk para dokter jaga."
"Thanks." Jason menyusuri koridor ke ruang f istirahat. Pintunya tertutup. Ia mengetuk. Tak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, lalu membuka pintu dan mengintip ke dalam. Paige terbaring di ranjang, tertidur pulas. Jason maju beberapa langkah dan memperhatikannya agak lama. Kau akan jadi istriku, ia berkata dalam hati. Ia meninggalkan ruangan itu sambil mengendap-endap, dan menutup pintu dengan perlahan.
Esok paginya, Jason sedang mengikuti rapat ketika j sekretarisnya datang dengan membawa seikat bunga. Kartunya bertulisan: Maaf. RIP. Jason tertawa. Ia menelepon Paige di ramah sakit, "mi teman kencan Anda."
"Saya minta maaf soal semalam," ujar Paige. "Saya malu sekali."
"Jangan. Tapi saya ada pertanyaan."
"Ya?" "RIP, maksudnya Rest in Peace atau Rip Van Winkle?"
Paige tertawa. "Silakan pilih sendiri."
"Saya memilih makan bersama nanti malam. Kita coba sekali lagi?"
Paige ragu-ragu. Aku tidak mau menjalin hubungan khusus. Rupanya kau belum juga bisa melupakan Alfred, ya"
"Halo" Anda masih di sana?"
245 "Ya." Satu malam takkan ada artinya, Paige memutuskan. "Ya, kita bisa makan malam bersama." "Bagus."
Ketika Paige sedang berpakaian malam itu, Kat berkata, "Kelihatannya ada kencan serius nih. Siapa orangnya?"
"Dokter merangkap arsitek," jawab Paige.
"Apar Paige menceritakan semuanya. "Sepertinya dia lucu. Kau tertarik padanya?" Tidak juga."
Malam itu berlangsung menyenangkan. Paige segera akrab dengan Jason. Mereka berbincang tentang seribu satu hal, dan waktu berlalu dengan cepat
"Ceritakanlah latar belakangmu," ujar Jason. "Kau tinggal di mana waktu masih kecil?"
"Kau takkan percaya"
"Aku pasti percaya"
"Baiklah. Di Kongo, India, Burma, Nigeria, Kenya.."
"Kau benar, aku tidak percaya."
"Sungguh. Ayahku bekerja untuk WHO."
"Untuk siapa" Aku menyerah. Jangan-jangan ini seperti ulangan Abbott & Castello."
"Untuk Worid Health Organization. Dia dokter. Aku menghabiskan masa kecilku dengan bepergian ke sebagian besar .negara Dunia Ketiga bersamanya"
"Wah, itu tentu merepotkan bagimu." "Aku justru senang sekali. Yang paling berat adalah aku tak pernah cukup lama di satu tempat untuk mencari teman." Kita tidak butuh orang lain, Paige. Kita saling memiliki". Ini istriku, Karen. Paige mengusir kenangan pahit itu. "Aku belajar banyak bahasa aneh dan kebiasaan eksotik." "Misalnya?"
"Ehm, misalnya, aku?" Ia berpikir sejenak. "Penduduk India percaya pada hidup setelah kematian, dan hidup berikutnya tergantung pada tingkah laku kita dalam hidup ini. Kalau kita jahat, kita dilahirkan kembali sebagai binatang. Aku ingat kami pernah punya anjing di salah satu desa dan aku selalu bertanya-tanya siapa dia sebelumnya dan kesalahan apa yang dilakukannya"
Jason berkata, "Mungkin dia menggonggongi pohon yang salah." Paige tersenyum. "Lalu ada gherao" "Gherao?"
"Suatu bentuk hukuman yang dahsyat. Satu orang dikepung beramai-ramai." Paige terdiam. "Terus?" "Itu saja." "Itu saja?"
"Mereka tidak mengatakan atau melakukan sesuatu. Tapi orang itu tidak bisa bergerak dan tidak bisa lolos. Dia terperangkap sampai menyerah pada kemauan mereka. Pengepungan itu bisa berlangsung selama berjam-jam. Orang itu tetap di
247 tengah-tengah, tapi mereka yang mengepungnya berganti-ganti. Aku pernah melihat seseorang berusaha meloloskan diri dari gherao. Mereka mengeroyoknya sampai mati."
Kenangan itu membuat Paige merinding. Orang-orang yang biasanya ramah itu mendadak berubah menjadi gerombolan buas yang berteriak-teriak. "Ayo, kita pergi dari sini!" Alfred berseru ketika itu. Lalu ia meraih lengan Paige dan menariknya ke sebuah jalan sepi. "Mengerikan sekali," ujar Jason. "Besoknya aku langsung diajak pindah oleh ayahku."
"Coba aku sempat mengenal ayahmu."
"Dia dokter yang luar biasa Seharusnya dia bisa sukses besar di Park Avenue, tapi dia tidak tertarik pada uang. Satu-satunya minatnya adalah menolong orang lain." Seperti Alfred, Paige menambahkan dalam hati.
"Apa yang terjadi dengannya?"
"Dia terbunuh dalam suatu perang antarsuku."
"Sayang sekali,"
"Dia mencintai pekerjaannya. Mula-mula penduduk setempat menolak kehadirannya Mereka sangat percaya pada takhayul. Di desa-desa terpencil di India setiap orang punya jatak, semacam horoskop yang dibuat ahli nujum setempat, dan seluruh hidup mereka diatur horoskop itu." Paige tersenyum. "Aku juga minta diramal."
"Apakah kau diberitahu bahwa kau akan menikah dengan arsitek muda yang tampan?"
Paige menatapnya dan berkata dengan tegas, "Tidak.".Percakapan itu mulai bersifat terlalu pri-[ badi. "Kau arsitek, jadi kau tentu berminat mendengar ini. Aku dibesarkan di pondok-pondok de-; ngan dinding berupa anyaman kayu, lantai tanah, dan atap ilalang" yang menjadi sarang tikus dan i kelelawar. Aku pernah tinggal di tukul tanpa jendela beratap rumput. Impianku waktu itu adalah tinggal di rumah berlantai dua yang nyaman, dengan teras, halaman rumput, dan pagar kayu yang dicat putih?" Paige berhenti. "Maaf. Aku tidak bermaksud melantur, tapi kau yang menanyakannya." "Dan aku tidak menyesal," sahut Jason. Paige menatap arlojinya. "Oh, aku tidak sadar sudah selarut ini."
"Bagaimana kalau kita makan malam lagi kapan-kapan?"
Aku tidak mau memberi harapan kosong, pikir Paige. Ini cuma buang-buang waktu saja. Ia teringat sesuatu yang pernah dikatakan Kat padanya. Kau terperangkap dalam kenangan masa lalu. Lupakan saja. Ia menatap Jason dan berkata, "Boleh saja."
Pagi berikutnya, seorang kurir membawakan sebuah paket. Paige membuka pintu.
"Ada kiriman untuk Dr. Taylor."
"Saya Dr. Taylor."
Kurir itu menatapnya dengan heran. "Anda dokter?" ?? -Ya," jawab Paige dengan sabar. Saya dokter.
Keberatan?" 949 Si kurir angkat bahu. "Tidak. Tolong tanda ta ngani di sini."
Paket itu ternyata cukup berat. Penuh rasa ingin tahu, Paige membawanya ke meja ruang tamu dan membukanya. Di dalamnya ada maket rumah berlantai dua yang indah, lengkap dengan teras. Di depan rumah itu ada halaman rumput yang dikelilingi pagar kayu berwarna putih. Dia pasti bekerja semalam suntuk untuk membuatnya. Selain itu, masih ada kartu bertulisan:
Milikku [ ] Milik kita [ ] Harap beri tanda pada kotak yang sesuai
Cukup lama Paige duduk sambil termenung-menung. Rumahnya sudah tepat, tapi orangnya salah.
Kenapa sih aku ini" Paige bertanya pada diri-j nya sendiri. Dia cerdas, menarik, dan menyenangkan. Namun ia tahu apa masalahnya. Jason bukan Alfred.
Pesawat telepon berdering. Ternyata Jason. "Sudah terima ramahmu?" tanyanya.
"Sudah. Rumahnya indah sekali f" jawab Paige. "Terima kasih banyak."
"Aku ingin membangun ramah itu untukmu. Kotaknya sudah kauisi?"
"Belum." "Tidak apa-apa. Aku orang sabar. Kau sudah
punya acara untuk nanti malam" Aku mau mengajakmu makan malam lagi."
"Oke, tapi aku akan berada di ruang operasi sepanjang hari, dan nanti malam aku pasti capek sekali."
"Kita takkan berlama-lama. Oh, ya acaranya di rumah orangtuaku."
Paige agak kaget. "Oh?"
"Aku sudah bercerita banyak tentang kau."
"Baiklah," sahut Paige. Perkembangannya mulai lepas kendali, dan itu membuatnya gelisah.
Paige meletakkan gagang telepon sambil berpikir, Seharusnya ajakannya kutolak saja. Nanti malam aku pasti terlalu capek untuk melakukan apa pun selain tidur. Hampir saja ia menelepon Jason kembali untuk membatalkan acara mereka Tapi sekarang sudah terlambat. Ya sudah, setelah makan malam, aku langsung pulang saja.
Ketika Paige sedang berdandan malam itu, Kat berkata, "Kau kelihatan capek sekali." "Aku memang capek."
"Kenapa kau malah pergi" Seharusnya kau tidur saja." "Kau benar." "Jason lagi?"
"Ya. Aku akan diperkenalkan pada orangtuanya."
"Ah." Kat geleng-geleng kepala.
"Bukan begitu," kata Paige. Memang bukan.
Ayah dan .ibu Jason tinggal di sebuah rumah tua
yang menawan, di kawasan Pacifik Heights. Ayah Jason berusia tujuh puluhan, dengan penampilan seperti bangsawan. Ibunya ramah dan menyenangkan. Mereka membuat Paige langsung merasa kerasan.
"Jason sudah bercerita banyak tentang kau," ujar Mrs. Curtis. Tapi dia tidak bilang betapa cantiknya kau."
Terima kasih." Mereka masuk ke ruang perpustakaan yang berisi maket-maket bangunan yang dirancang Jason dan ayahnya.
"Jason, kakek buyutnya dan saya punya andil cukup besar dalam membentuk kota San Francisco," ayah Jason berkata. "Anak saya ini memang jenius."
"Itulah yang selalu kukatakan pada Paige," ujar Jason.
Paige tertawa. "Saya percaya" Matanya mulai berat, dan ia hams berjuang agar tidak tertidur.
Jason memperhatikannya dengan prihatin. "Bagaimana kalau kita langsung makan malam saja?" :
Mereka pindah ke mang makan. Dinding-dindingnya ditapisi papan-papan kayu ek, serta dihiasi j barang-barang antik dan lukisan-lukisan potret. Seorang pelayan maha menghidangkan makanan.
Ayah Jason berkata, "Orang di lukisan itu kakek 11 buyut Jason. Semua bangunan yang dirancangnya hancur dalam gempa bumi tahun 1906. Sayang I sekati. Bangunan-bangunan itu tak ternilai. Setelah f
makan malam, saya akan memperlihatkan beberapa foto, kalau?"
Kepala Paige telah merebah ke meja Ia tertidur lelap.
"Untung saja aku tidak menyajikan sup," ibu Jason berkomentar.
Ken Mallory menghadapi masalah. Berita mengenai taruhan menyangkut Kat telah menyebar ke seluruh ramah sakit, dan jumlah taruhan segera meningkat sampai sepuluh ribu dolar. Mallory begitu yakin akan keberhasilannya sehingga ia mempertaruhkan uang lebih banyak dari yang sanggup ia bayar.
Kalau sampai gagal, aku bakal dapat masalah besar. Tapi aku tidak akan gagal. Sudah waktunya sang empu beraksi.
Kat sedang makan siang di kafetaria bersama Paige dan Honey ketika Mallory menghampiri mereka.
"Boleh bergabung, Dokter?" ia bertanya sambil menatap Kat.
Bukan lady, bukan nona. Dokter. Tipe sensitif, pikir Kat dengan sinis. "Boleh saja. Silakan."
Paige dan Honey berpandangan.
"Ehm, aku harus kerja lagi," ujar Paige.
"Aku juga. Sampai nanti."
Mallory memperhatikan Paige dan Honey pergi.
"Sibuk?" tanya Mallory. Sepertinya ia benar-benar peduli.
"Mana pernah bisa santai di sini?" Senyuman Kat tampak hangat dan mengundang.
MaJJory telah merencanakan strateginya dengan cermat. Aku harus memperlihatkan padanya bahwa dia menarik sebagai manusia, bukan sekadar sebagai perempuan. Mereka benci kalau dijadikan objek seks. Aku akan membicarakan masalah kedokteran dengannya Tak perlu terburu-buru. Aku punya waktu satu bulan untuk menaklukkannya.
"Sudah dengar hasil pemeriksaan mayat Mrs. Tumbal]?" MaJJory membuka percakapan. "Di dalam perut wanita itu ternyata ada botol Coca-Cola! Bayangkan?"
Kat mencondongkan badan ke depan. "Kau sudah punya acara untuk malam Minggu besok, Ken?"
Pertanyaan itu sama sekali tak disangka Mallory. "Apa?"
"Barangkali kau berminat mengajakku makan malam."
Mallory nyaris tersipu-sipu. Ya ampun, katanya dalam hati, ini lebih mudah dari yang kusangkal Dia bukan lesbian. Mereka cuma bilang begitu karena ditolak mentah-mentah. Aku pasti bisa membawanya ke tempat tidur. Malah dia sendiri yang minta! Ia berusaha mengingat-ingat, dengan siapa ia akan berkencan pada hari Sabtu. Sally, si juru rawat OR. Dia bisa tunggu.
"Dengan senang hati," ujar Mallory.
Kat meraih tangan pria itu. "Aku sudah tak sabar," ia berkata dengan lembut.
254 Mallory tersenyum lebar. "Aku juga." Dan setelah itu aku bakal bertambah kaya sepuluh ribu dolar!
Sore itu, Kat melapor pada Paige dan Honey.
"Dia sampai melongo!" Kat bercerita sambil tertawa. "Coba kalau kalian sempat melihat tampangnya! Dia seperti kucing yang baru dapat ikan."
Paige berkata, "Ingat, Kat, kau kucingnya. Dia ikannya."
"Kau sudah punya rencana untuk malam Minggu?" tanya Honey. "Ada usul?"
"Ada," jawab Paige. "Begini rencanaku?"
Malam Minggu berikut, Kat dan Ken Mallory bersantap malam di Emilio"s, sebuah restoran di tepi teluk. Kat sengaja mengenakan gaun katun putih dengan bahu terbuka.
"Penampilanmu luar biasa," ujar Mallory. Dengan hati-hati ia mencari nada yang tepat. Memuji, tapi tidak mendesak. Mengagumi, tapi tidak merayu. Mallory telah bertekad tampil semenawan mungkin, tapi ia segera sadar tak perlu berbuat apa-apa. Gila, ia berkata dalam hati, rupanya malah dia yang mau memikatku.
Sambil menikmati minuman, Kat berkata, "Semua orang memuji-mujimu sebagai dokter yang hebat, Ken."
"Wah," Mallory berlagak merendah, "aku beruntung bisa belajar di sekolah yang bagus, dan
255 aku peduli sekali pada pasien-pasienku. Merek; penting sekali bagiku." Suaranya penuh ketulusan.
Kat menggenggam tangan pria itu. "Aku per caya. Kau berasal dari mana" Aku ingin tahu segala sesuatu tentang dirimu. Dirimu yang sesungguhnya."
Wah! pikir Mallory. Biasanya aku yang bilang begitu, la belum bisa percaya, betapa mudah ia akan memenangkan taruhannya. Ia ahli dalam hal wanita. Radarnya menangkap semua isyarat yang mereka pancarkan. Mereka bisa bilang ya melalui tatapan, senyum, atau nada suara. Isyarat-isyarat Kat membuat radarnya macet.
Wanita itu tampak begitu bernafsu dan suaranya parau. "Aku ingin tahu semuanya."
Mereka mulai makan, dan Mallory bercerita mengenai dirinya. Setiap kali ia berusaha mengalihkan pembicaraan, Kat berkata, "Jangan, jangan. Aku ingin dengar lebih banyak. Pengalaman-peng-alamanmu begitu mengesankan."
Dia tergila-gila padaku, Mallory menyimpulkan. Ia menyesal tidak berani menerima taruhan lebih tinggi lagi. Barangkali malam ini juga aku bisa menang, pikirnya. Dan ia semakin yakin ketika i Kat berkata sewaktu mereka sedang minum kopi, "Kau mau mampir sebentar di apartemenku nanti?"
Nah, ini dia! Mallory mengelus lengan Kat dan menjawab, "Dengan senang hati." Anak-anak di rumah sakit memang goblok, ia berkata dalam hati. /m" cewek paling bernafsu yang pernah kutemui, la punya firasat akan diperkosa.
Tiga puluh menit kemudian, mereka masuk ke apartemen Kat.
"Apartemenmu bagus," ujar Mallory sambil memandang berkeliling. "Bagus sekali. Kau tinggal sendiri di sini?"
"Tidak. Aku tinggal bersama Dr. Taylor dan Dr. Taft."
"Oh." Kat mendengar nada kecewa dalam suaranya.
Kat tersenyum penuh arti. "Tapi mereka bara pulang larut malam." Mallory menyeringai. "Syukurlah," "Mau minum sesuatu?"
"Boleh juga." Ia memperhatikan Kat menghampiri bar kecil dan menuangkan minuman. Pantatnya kencang, pikir Mallory. Dia cantik sekali, dan aku dapat sepuluh ribu dolar untuk menidurinya. Ia tertawa.
Kat menoleh. "Apa yang lucu?"
"Bukan apa-apa. Aku cuma membayangkan betapa beruntungnya aku bisa berduaan saja denganmu di sini."
"Akulah yang beruntung," sahut Kat-dengan hangat. Ia menyerahkan sebuah gelas.
Mallory mengangkat gelasnya dan mulai berkata, "Untuk?"
Kat menduluinya, "Untuk kita!"
Mallory mengangguk. "Untuk kita."
Ia bara hendak bertanya, "Bagaimana kalau kita putar musik?" dan ketika ia membuka mulut, Kat berkata, "Kau mau dengar musik?"
"Kau bisa baca pikiran, ya?" Kat memutar lagu standar tua dari Cole Porter. Diam-diam ia melirik arlojinya, lalu berpaling kepada Mallory. "Kau suka berdansa?"
Mallory mendekatinya. "Tergantung dengan siapa. Aku ingin sekali berdansa denganmu."
Kat membiarkan dirinya dipeluk, dan mereka mulai berdansa mengikuti musik yang pelan dan syahdu. Mallory merasakan tubuh Kat menempel di tubuhnya, dan ia mulai terangsang. Ia mendekapnya lebih erat; Kat menatapnya sambil tersenyum. Waktunya sudah tiba.
"Kau cantik sekali," Mallory berkata dengan suara parau, "Aku menginginkanmu sejak pertama kali melihatmu."
Kat memandang matanya. "Aku juga begitu, Ken." Mallory merapatkan bibirnya ke bibir Kat dan menciumnya penuh gairah.
"Ayo, kita ke kamar tidur," ujar Mallory. Sepertinya ia sudah tak sabar.
"Oh, ya." Mallory meraih tangan Kat dan Kat mulai membimbingnya ke kamar tidur. Pada saat itulah pintu depan membuka, dan Paige dan Honey melangkah masuk.
"Hai!" kata Paige, Ia kelihatan kaget sewaktu melihat Ken Mallory. "Oh, Dr, Mallory! Saya tidak menyangka ketemu Anda di sini."
"Ehm, saya,, saya.,,"
"Kami pergi makan malam tadi," Kat menjelaskan.
i Mallory gusar sekali. Ia berusaha keras mengendalikan diri, lalu berpaling pada Kat. "Aku pulang dulu. Sekarang sudah larut, dan besok masih banyak pekerjaan."
"Oh. Sayang sekali kau hams pulang," sahut Kat. Matanya bersinar-sinar penuh janji.
Mallory berkata "Bagaimana kalau besok malam?"
"Aku ingin sekali?" "Oke!"
?"tapi aku tidak bisa."
"Oh. Bagaimana kalau Jumat saja?"
Kat mengerutkan kening. "Wah, hari Jumat aku berhalangan juga."
Mallory mulai kalang kabut. "Malam Minggu?"
Kat tersenyum. "Dengan senang hati."
Mallory mengangguk, lega. "Bagus. Malam Minggu saja kalau begitu."
Ia menoleh kepada Paige dan Honey. "Selamat malam."
"Selamat malam."
Kat mengantar Mallory ke pintu. "Selamat bermimpi indah," ia berkata dengan lembut. "Aku akan bermimpi tentangmu."
Mallory menggenggam tangannya dengan erat. "Aku percaya mimpi bisa jadi kenyataan. Sampai ketemu malam Minggu besok."
"Aku sudah tak sabar menunggu."
Malam itu, Kat berbaring di tempat tidur sambil memikirkan Mallory. Ia benci padanya. Tapi di
luar dugaannya, ia menikmati kencan m ia yakin Mallory pun begitu, meskinnn^ d*i hanya bersandiwara. Kalau saja ini T** itu mainan, ujar Kat dalam hati. Ia sama v Per" sadar betapa berbahaya permainan itu ? * ^
17 Mungkin cuacanya, pikir Paige dengan lesu. Keadaan di luar memang dingin dan suram, dan hujan turun tanpa henti. Paige mulai bertugas pukul enam pagi, dan sejak itu ia menghadapi masalah-masalah yang tak putus-putusnya. Seluruh rumah sakit seakan-akan dipenuhi gomers, yang mengeluh serempak. Para juru rawat bersikap kasar dan tak peduli. Mereka mengambil darah dari pasien yang salah, lupa membawa foto sinar-X yang sangat diperlukan, dan membentak-bentak para pasien. Selain itu, ramah sakit kekurangan staf akibat serangan flu. Betul-betul suatu hari yang menguras tenaga maupun pikiran.
Satu-satunya hiburan adalah telepon dari Jason Curtis.
"Halo," ia berkata dengan riang. "Aku cuma mau tanya, bagaimana keadaan pasien-pasien kita.
"Sejauh ini mereka masih hidup."
"Barangkali kita bisa makan siang bersama"
Paige tertawa. "Makan siang" Apa " aku beruntung, aku sempat beli sandwich basi
sekitar jam empat sore nanti. Keadaan di sini agak kacau."
"Baiklah. Kalau begitu, aku tidak mau mengganggu lama-lama. Aku boleh telepon lagi nanti?" "Boleh saja." Tak ada salahnya,
"Bye." Paige bekerja sampai tengah malam tanpa sempat beristirahat sejenak pun, dan ketika ia akhirnya digantikan, ia nyaris tak sanggup bergerak. Ia sempat mempertimbangkan untuk menginap di rumah sakit dan tidur di mang istirahat, namun bayangan tempat tidur yang hangat dan nyaman di rumah terlalu menggoda. Ia berganti pakaian dan menuju lift
Dr. Peterson menghampirinya. "Ya Tuhan!" ia katanya. "
Kau di sini untuk merawat atau dirawat?"
Paige memaksakan senyum. "Separah itukah?"
"Lebih parah lagi." Peterson meringis. "Kau mau pulang sekarang?"
Paige mengangguk. "Kau beruntung. Aku bara mulai."
Pintu lift membuka. Paige bersandar pada dinding. Ia hampir tertidur.
Peterson memanggilnya pelan-pelan, "Paige?"
Dengan enggan Paige membuka mata. "Ya?"
"Kau sanggup pulang sendiri?"
"Tentu," Paige bergumam. "Dan setelah sampai di ramah, aku mau tidur 24 jam penuh."
Ia berjalan ke pelataran parkir dan naik ke mobilnya Ia duduk di balik kemudi dan diam
saja, terlalu letih untuk memutar kunci kontak. Jangan tidur di sini. Aku harus tidur di rumah.
Paige meninggalkan pelataran parkir dan menuju ke apartemennya. Ia tak sadar mengemudikan mobilnya dengan kacau sampai pengemudi lain berteriak, "Hei, pemabuk! Sudah bosan hidup"!"
Ia memaksakan diri berkonsentrasi. Aku tidak boleh ketiduran" Aku tidak boleh ketiduran, Ia menyalakan radio dan membesarkan volume. Ketika sampai di bangunan apartemennya ia duduk di mobil sambil mengumpulkan tenaga untuk naik.
Kat dan Honey ada di kamar masing-masing, kedua-duanya sudah pulas. Paige menatap jam di tepi ranjangnya. Pukul satu dini hari. Sambil terhuyung-huyung ia masuk kamar dan mulai membuka baju, tapi usaha itu menguras sisa-sisa tenaganya. Ia menjatuhkan diri ke tempat tidur, masih dengan pakaiannya, dan langsung terlelap.
Ia terbangun karena pesawat teleponnya berdering. Suara itu seakan-akan berasal dari tempat yang jauh sekali. Ia berusaha tetap tidur, tapi deringan itu bagaikan jarum yang menusuk otaknya. Ia duduk dengan susah payah dan mengangkat gagang telepon. "H"lo?" "Dr. Taylor?"
"Ya." Suara Paige nyaris tak terdengar.
"Dr. Barker menunggu Anda di. OR Empat. Staf. Dia minta Anda sebagai asistennya."
Paige berdeham. "Saya rasa ada kekeliruan," ia bergumam. "Saya baru saja selesai bertugas."
"OR Empat. Anda sudah ditunggu." Klik.
Paige duduk di tepi ranjang, terbengong-be-ngong, otaknya diselubungi kabut kantuk. Ia menatap jam di samping tempat tidur. Pukul empat seperempat. Kenapa Dr. Barker memanggilnya di tengah malam buta" Hanya ada satu jawaban. Salah satu pasien Paige berada dalam keadaan gawat.
Paige melangkah ke kamar mandi dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia memandang ke cermin dan berkata dalam hari, Ya Tuhan/ Aku kelihatan seperti ibuku. Bukan. Ibuku tak pernah kelihatan seburuk ini
Sepuluh menit kemudian, Paige sudah dalam perjalanan kembali ke rumah sakit. Ia masih setengah bermimpi ketika naik lift ke OR Empat di lantai empat. Ia masuk ke kamar ganti dan berganti baju, lalu mencuci tangan dan masuk ke ruang operasi.
Ada toga juru rawat dan seorang resident yang membantu Dr. Barker,
Pria itu menoleh ketika Paige masuk dan berseni, Ta Tuhan, kau memakai baju dokter! Kau tak pernah diberi tahu hams memakai baju operasi di ruang operasi?"
Paige tersentak kaget dan langsung sadar sepenuhnya. Matanya berapi-api. "Dr. Barker," ia berkata dengan gusar. "Saya seharusnya bebas tugas. Saya datang ke sini untuk membantu Anda. Saya tidak,,."
"Jangan berdebat," Dr. Barker memotong dengan ketus. "Cepat ke sini dan pegang retraktor ini."
Paige menghampiri meja operasi. Orang yang sedang dibedah ternyata bukan pasiennya. Paige belum pernah melihatnya. Barker tidak punya alasan menyuruhku ke sini. Dia mau memaksaku mengundurkan diri dari rumah sakit. Hah, enak saja! Ia menatapnya dengan geram, meraih retraktor itu, dan mulai bekerja.
Operasi itu merupakan emergency coronary artery bypass. Dr. Barker telah melakukan sayatan sampai ke tulang dada, yang lalu dibelah dengan gergaji listrik. Jantung dan pembuluh-pembuluh utama sudah terbuka.
Paige menyelipkan retraktor logam ke celah di tulang dada, lalu merenggangkannya. Ia memperhatikan Dr. Barker*membuka kantong pembungkus jantung dengan terampil.
Dr. Barker menunjuk arteri koroner. "Di sini masalahnya," katanya, "Kita harus melakukan graft."**
Ia telah mengangkat sepotong pembuluh darah dari salah satu kaki. Sam ujung ia jahit ke arteri utama yang keluar dari jantung. Ujung yang satu lagi disambungnya ke salah satu arteri koroner, sesudah bagian yang terkena penyumbatan, sehingga darah mengalir melalui vena yang dicangkokkan tanpa hams melewati bagian yang tersumbat.
Paige menyaksikan seorang pakar bekerja. Coba kalau dia tidak begitu brengsek!
operasi pintas koroner ?"cangkok kulit/jaringan untuk implantasi
Operasi itu makan waktu tiga jam. Menjelanj akhirnya, Paige hanya setengah sadar. Setelah se asanya selesai, Dr. Barker berpaling kepada stafnya dan berkata, "Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda semua." Ia tidak menatap Paige.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Paige meninggalkan ruang operasi dan naik ke kantor Dr. Benjamin Wallace.
Wallace baru saja tiba. "Kau kelihatan capek sekali," katanya. "Kau perlu istirahat"
Paige menarik napas panjang untuk meredam kemarahannya. "Saya minta dipindahkan ke tim bedah lain." ^
Wallace menatapnya dengan heran. "Kau ditugaskan membantu Dr. Barker/kan?" "Ya."
"Apa masalahnya?"
"Tanya dia. Dia benci saya. Dia mau menyingkirkan saya. Saya bersedia bekerja dengan siapa saja. Siapa saja."
"Aku akan bicara dengannya," ujar Wallace.
"Terima kasih."
Paige membalik dan keluar dari kantor itu. Lebih baik aku dipisahkan dari dia. Kalau sekali lagi melihat dia, aku akan membunuhnya.
Paige pulang dan tidur selama dua belas jam. Ia terbangun dengan perasaan bahwa sesuatu yang menggembirakan telah terjadi, dan kemudian ia teringat. Aku tak perlu lagi ketemu si Monster! Ia bersiul-siul sepanjang perjalanan ke rumah sakit.
Ketika Paige menyusuri lorong, ia dihampiri seorang mantri. "Dr. Taylor?" "Ya?"
"Dr. Wallace ingin bicara dengan Anda di kantornya."
Terima kasih," kata Paige. Ia bertanya-tanya, I siapa atasannya yang baru. Siapa pun lebih baik daripada dia, pikirnya. Ia masuk ke mang kerja Benjamin Wallace.
"Wah, kau tampak jauh lebih segar hari ini, Paige."
"Terima kasih. Saya memang merasa lebih enak." Ia gembira bercampur lega.
"Aku sudah bicara dengan Dr. Barker."
Paige tersenyum. "Terima kasih. Saya sangat menghargainya."
"Dia tidak mau melepaskanmu."
Senyuman Paige lenyap seketika. Apa"


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia bilang, kau telah ditunjuk sebagai anggota timnya, dan kau tetap anggota timnya."
Paige tidak mau percaya. "Tapi kenapa!" Ia tahu kenapa. Bajingan sadis itu memerlukan seseorang untuk dibentak-bentak dan dihina. "Saya tidak terima."
Dr. Wallace berkata dengan prihatin, "Kelihatannya kau tak punya pilihan. Kecuali kalau kau mau mengundurkan diri dari sini. Barangkali kau mau pikir-pikir dulu?"
Paige tidak perlu berpikir panjang. "Tidak." Ia takkan membiarkan Barker memaksanya berhenti.
267 Justru itu tujuannya. Tidak," ia mengulangi pelan pelan. "Saya tetap di sini."
"Baik. Kalau begitu masalahnya sudah selesai."
Siapa bilang" ujar Paige dalam hati. Aku akan menemukan cara untuk balas dendam.
Di kamar ganti, Ken Mallory sedang bersiap-siap melakukan kunjungan pasien. Dr. Grundy dan tiga resident lain masuk.
"Ini dia jagoan kita!" kata Grundy. "Apa kabar, Ken?"
"Baik-baik saja," jawab Mallory.
Grundy menoleh kepada rekan-rekannya "Dia tidak kelihatan seperti orang yang mencicipi surga dunia semalam, heh?" Ia kembali berpaling pada Mallory. "Mudah-mudahan uangnya sudah kao-siapkan. Aku mau bayar uang muka untuk mobil bara."
"Dan aku perlu baju baru," dokter lain menimpali.
Mallory menggelengkan kepala sambil berdecak-decak. "Jangan terlalu yakin. Justru kalian yang harus siap-siap membayarku!"
Grundy menatapnya dengan curiga. "Apa maksudmu?"
"Kalau dia lesbian, aku orang kasim. Dia cewek paling bernafsu yang pernah kutemui. Waktu itu aku sampai harus menghalaunya!"
Grundy dan teman-temannya berpandangan.
Tapi kau tidak berhasil memboyongnya ke tempat tidur?"
"Soalnya kami terganggu waktu akan ke tempat ! tidur. Malam Minggu besok aku berkencan lagi dengan dia, setelah itu aku tinggal bersorak-sorai." Mallory selesai berpakaian. "Dan sekarang aku [ permisi dulu"."
Satu jam kemudian, Grundy mencegat Kat di lorong.
"Kau sudah kucari di mana-mana" Ia tampak kesal. "Ada apa?"
"Bajingan itu, si Mallory. Dia begitu yakin, sampai menantang orang-orang untuk menaikkan taruhan. Betul-betul keterlaluan!"
"Jangan khawatir," balas Kat dengan geram. "Dia pasti kalah."
Ketika Ken Mallory menjemput Kat pada malam Minggu, Kat mengenakan gaun berleher rendah yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang menawan.
"Kau tampak cantik sekali," kata Mallory dengan kagum.
Kat merangkulnya. "Aku ingin kelihatan cantik untukmu." Ia memeluk Mallory dengan erat.
Ya Tuhan, dia benar-benar sudah tidak sabar! Ketika Mallory bicara, suaranya terdengar parau. "Begini, Kat, aku punya ide. Sebelum berangkat makan malam, bagaimana kalau kita ke kamarmu sebentar dan?"
Kat membelai-belai wajah pria itu. "Oh, Sayang, aku juga mau. Tapi Paige ada di rumah." Sebenar-Paige sedang bekerja di rumah sakit.
"Oh." "Tapi setelah makan malam?" Kat sengaja ticfc meneruskan kalimatnya.
"ya?" "Kita bisa pergi ke tempatmu." Mallory memeluk Kat dan menciumnya. "Itu id< bagus."
Ia mengajak Kat makan malam di Iron Horse, dan mereka memesan hidangan yang lezat sekali. Kat ternyata menikmati kencannya dengan Mallory. Pria itu menawan dan menyenangkan, serta luar biasa tampan. Sepertinya ia benar-benar berminat mengetahui segala sesuatu mengenai Kat. Kat sadar Mallory hanya ingin merayunya, tapi Mallory tampak bersungguh-sungguh dengan pujian-pujian yang dilontarkannya. Seandainya aku belum tahu niatnya" Mallory nyaris tak menyentuh makanannya. Hanya ada satu hal dalam pikirannya, Dua jam lagi aku bakal dapat sepuluh ribu dolar" Satu jam lagi aku bakal dapat sepuluh ribu dolar" Tiga puluh menit lagi" Mereka menghabiskan kopi masing-masing. "Sudah siap pulang?" tanya Mallory. Kat meraih tangannya. "Kau tak bisa membayangkan betapa siapnya aku, Sayang. Ayo."
Mereka naik tak" ke apartemen Mallory. "Aku tergila-gila padamu," Mallory bergumam. "Belum pernah aku ketemu wanita seperti kau/" Ucapan Grundy terngiang-ngiang di telinga Kat, j
Dia begitu yakin, sampai menantang orang-orang untuk menaikkan taruhan.
Setelah tiba di tempat tujuan mereka, Mallory membayar sopir taksi dan mengajak Kat ke lift Mallory sudah tak sabar masuk ke apartemennya. Ia membuka pintu dan berkata penuh semangat, "Ini dia." Kat melangkah masuk.
Apartemen itu khas tempat tinggal bujangan dan memerlukan sentuhan wanita.
"Oh, bagus sekali," ujar Kat. Ia berpaling pada Mallory. "Persis seperti yang kubayangkan."
Mallory menyeringai. "Mari kutunjukkan kamar kita. Sebentar, aku mau pasang musik dulu."
Kat melirik arlojinya ketika Mallory menghampiri tape deck. Suara Barbra Streisand mulai mengalun. Mallory meraih tangan Kat. "Mari, Sayang." "Tunggu dulu," ujar Kat dengan lembut Mallory menatapnya dengan bingung. "Tunggu apa?"
"Aku cuma ingin menikmati saat-saat bersamamu. Sebelum kita?"
"Bagaimana kalau kita menikmatinya di kamar tidur saja?" "Aku mau minum dulu." "Minum?" Mallory berusaha menutup-nutupi ketidaksabarannya. "Oke. Kau mau minum apa?" "Vodka dan tonik, kalau ada." Mallory tersenyum. "Tenang saja." Ia menuju bar kecil dan terburu-buru menuangkan minuman ke dalam dua gelas.
171 Sekali lagi Kat melaik arlojinya. Mallory kembali dan menyerahkan satu gelas kepada Kat. "Silakan, Sayang." Ia mengangkat gelasnya "Untuk kebersamaan."
"Untuk kebersamaan," Kat menyahut. Ia mencicipi minumannya "Aduh?" MalJory terkejut "Ada apa?" "Ini vodka!"
"Kau sendiri yang minta." "Masa sih" Sari. Aku benci vodka!" Kat mengelus-elus wajah Mallory. "Aku boleh minta scotch dan soda?"
"Tentu." Mallory menelan ludah dan kembali ke bar untuk mencampurkan minuman lagi. Kat diam-diam melirik arloji. Mallory kembali. "Silakan." Terima kasih, Sayang."
Kat minum dua teguk. Mallory mengambil gelas Kat dan meletakkannya di meja. Ia merangkul Kat dan memeluknya dengan erat, dan Kat bisa merasakan Mallory sudah terangsang.
"Nah," bisik Ken, "sekarang kita akan membuat sejarah." "Oh, ya!" ujar Kat. "Ya." Ia membiarkan dirinya dibimbing ke kamar tidur. Aku berhasil! Mallory bersorak dalam hati. Aku berhasil! Runtuhlah tembok Jericho! Ia berpaling pada Kat, "Bukalah pakaianmu, Sayang."
"Kau dulu. Aku ingin melihatmu buka pakaian. Itu membuatku terangsang." "Oh" Oke, boleh saja." *
Pelan-pelan Mallory menanggalkan pakaian. Kat menonton. Pertama-tama jasnya lalu kemeja dan dasinya, lalu sepatu dan kaus kakinya, dan kemudian celananya. Tubuhnya tegap seperti atlet. "Kau suka ini, Sayang?" "Oh, ya. Sekarang buka celana dalammu." Perlahan-lahan Mallory membiarkan celana dalamnya merosot ke lantai. Kini kelihatan jelas ia sudah terangsang. "Oh, luar biasa," ujar Kat. "Sekarang giliranmu." "Ya."
Saat itulah pager Kat berbunyi. Mallory tersentak. "Persetan, apa?"" "Aku dipanggil," kata Kat. "Aku bisa pinjam telepon sebentar?" "Sekarang?"
"Ya. Pasti ada keadaan darurat."
"Sekarang" Apa tidak bisa menunggu sebentar?"
"Sayang, kau tahu peraturannya."
"Tapi?" Mallory memperhatikan Kat menghampiri telepon dan memutar sebuah nomor. "Dr. Hunter." Kat mendengarkan lawan bicaranya. "Oh, ya" Tentu. Saya akan segera ke sana."
Mallory terbengong-bengong. "Ada apa?"
"Aku harus kembali ke rumah sakit, Sayang."
"Sekarang?" "Ya. Salah satu pasienku sekarat." "Apa dia tidak bisa tunggu sampai?"
"Aku juga menyesal. Lain kali saja kita lanjut kan lagi."
Dalam keadaan telanjang bulat, Mallory melihal Kat meninggalkan apartemennya, dan setelah Kat menutup pintu, ia meraih gelas Kat dan melemparkannya ke dinding. Brengsek" brengsek" brengsek"
Ketika Kat tiba di apartemen, Paige dan Honey sudah menunggu-nunggunya.
"Bagaimana?" tanya Paige. "Aku tidak terlalu cepat menelepon, kan?" Kat tertawa. "Pilihan waktumu tepat sekali." Ia mulai menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Ketika ia sampai ke bagian saat Mallory berdiri telanjang bulat di tengah-tengah kamar tidur, dalam keadaan siap tempur, mereka ter-pingkal-pingkal sampai menitikkan air mata.
Hampir saja Kat bercerita bahwa ia mulai me-j nyukai Ken Mallory, tapi ia merasa kikuk. Bagaimanapun juga, Mallory mengajaknya kencan hanya dalam rangka memenangkan taruhan.
Entah bagaimana caranya, Paige seakan-akan bisa membaca perasaan Kat. "Hati-hati, Kat."
Kat tersenyum "Tenang saja. Tapi teras terang, I kalau saja aku tidak tahu soal taruhan itu" Dia I memang bajingan, tapi bajingan yang tampan."
"Kapan kau mau kencan lagi dengan dia?" ta-I nya Honey.
"Dia akan kuberi waktu seminggu untuk men-I dinginkan kepala." J
Paige mengamatinya. "Sebenarnya siapa yang [ perlu mendinginkan kepala" Dia atau kau?"
limousine hitam milik Dinetto menunggu Kat di luar rumah sakit. Kali ini Shadow datang seorang diri. Kat berharap Rhino ikut. Ada sesuatu pada diri Shadow yang membuatnya ngeri. Orang itu tak pernah tersenyum dan jarang berbicara, tapi ia memancarkan kesan bengis.
"Masuklah," ia berkata ketika Kat menghampiri mobil itu.
"Begini," balas Kat dengan kesal, "beritahu Mr. Dinetto saya tidak sudi dir^rintah-perintah. Saya tidak bekerja untuk dia. Hanya karena saya pernah membantunya?"
"Masuklah. Anda saja yang beritahu dia."
Kat ragu-ragu. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan tidak terlibat lebih lanjut, tapi bagaimana akibatnya terhadap Mike" Kat naik ke mobil.
Korban kali ini terluka parah, dipukul dengan rantai. Lou Dinetto berada bersamanya.
Api Di Bukit Menoreh 2 Dewi Ular 90 Misteri Surat Setan Ching Ching 6

Cari Blog Ini