Ceritasilat Novel Online

Breaking Dawn 12

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 12


saksi dari tindakannya yang sewenang-wenang, para saksi Volturi mulai
mempertanyakan apa sebenarnya yang terjadi di sini, Aro menoleh sekilas ke
belakang sementara aku memerhatikan bahwa kejengkelan sempat menyapu wajahnya
sekilas. Keinginannya untuk ditonton kini justru berbalik jadi tidak
menguntungkan. Aku mendengar Stefan dan Vladimir berbisik-bisik, senang melihat kegelisahan
Aro. Aro jelas ingin tetap mempertahankan posisinya sebagai pembawa keadilan, seperti
istilah vampir-vampir Rumania itu. Tapi aku tak yakin keluarga Volturi akan
meninggalkan kami dalam damai hanya demi menyelamatkan reputasi mereka. Setelah
selesai berurusan dengan kami, pasti mereka akan membantai para saksi mereka
demi tujuan itu. Tiba-tiba aku merasa kasihan pada massa asing yang dibawa
keluarga Volturi untuk menonton kami mati. Demetri akan memburu mereka sampai
mereka musnah juga. Demi Jacob dan Renesmee, demi Alice dan Jasper, demi Alistair, dan demi vampirvampir asing yang tak tahu apa yang menanti mereka setelah kejadian ini, Demetri
harus mati. Aro menyentuh sekilas bahu Caius. "Irina sudah dihukum karena memberi kesaksian
palsu terhadap anak ini" Jadi itulah alasan mereka, Ia melanjutkan" Mungkin
sebaiknya kita kembali ke masalah awal?"
Caius menegakkan badan, dan ekspresinya mengeras, jadi tak bisa dibaca. Ia
memandang lurus ke depan, tatapannya hampa. Anehnya wajah Caius mengingatkanku
pada wajah seseorang yang baru menyadari bahwa ia diturunkan pangkatnya.
Aro melayang maju. Renata, Felix, dan Demetri ikut maju bersamanya.
"Demi kecermatan," ujar Aro, "aku ingin bicara dengan beberapa saksimu.
Prosedur, kau pasti tahu." Ia melambaikan tangan dengan sikap tak acuh.
Dua hal terjadi pada saat bersamaan. Mata Caius terfokus pada Aro, dan senyum
kecil keji itu muncul lagi. Dan Edward mendesis, kedua tangannya mengepal
membentuk tinju yang sangat kuat hingga terlihat seolah tulang-tulang di buku
jarinya akan mengoyak kulitnya yang sekeras berlian.
Ingin benar aku bertanya apa yang terjadi, tapi Aro berada cukup dekat hingga
bisa mendengar bahkan tarikan napas paling pelan sekalipun. Kulihat Carlisle
melirik waswas wajah Edward, kemudian wajahnya sendiri mengeras.
Sementara Caius melancarkan serangkaian tuduhan tak berguna dan upaya-upaya
licik untuk memicu pertarungan, Aro pasti menemukan strategi lain yang lebih
efektif. Aro melayang melintasi salju menuju ujung barat barisan kami, berhenti kira-kira
sembilan meter dari Araun dan Kebi. Serigala-serigala di dekat situ mengejang
marah, tapi tetap dalam posisi masing-masing.
"Ah, AMUN, tetangga selatanku!" sapa Aro hangat "Sudah lama sekali kau tak
pernah lagi mengunjungiku"
Amun berdiri diam penuh kecemasan, Kebi mematung di sampingnya. "Waktu tak
berarti banyak, aku tak pernah menyadari waktu berlalu' tukas Amun dari selasela bibir yang tidak bergerak,
"Benar sekali," Aro sependapat. "Tapi mungkin kau punya alasan lain untuk
menjauh?" Amun diam saja. "Dibutuhkan waktu sangat banyak untuk mengorganisir vampir-vampir baru hingga
bisa menjadi sebuah kelompok, Aku tahu betul itu! Aku bersyukur memiliki pihakpihak lain yang bisa mengurus hal itu. Aku senang tambahan-tambahan baru dalam
kelompok kalian bisa beradaptasi dengan sangat baik. Aku akan senang sekali
kalau diperkenalkan. Aku yakin kau sebenarnya bermaksud menemuiku sebentar
lagi." "Tentu saja," jawab Amun. nadanya datar tanpa emosi hingga sulit memastikan
apakah ada secercah ketakutan ataupun sarkasme dalam perkataannya barusan.
"Oh well, kita semua berkumpul sekarang! Menyenangkan, bukan?"
Amun mengangguk, wajahnya kosong.
"Tapi alasan kehadiranmu di sini sebenarnya tidak menyenangkan, sayangnya.
Carlisle memanggilmu ke sini untuk memberi kesaksian?"
"Benar." "Dan apa kesaksianmu untuknya?"
Amun berbicara dengan suara tanpa emosi. "Aku sudah mengamati anak yang
dipertanyakan. Terbukti hampir seketika itu juga bahwa dia bukan anak imortal"
"Mungkin sebaiknya kita mendefinisi ulang istilah itu," sela Aro, "karena
sekarang sepertinya ada klasifikasi baru. Yang dimaksud dengan anak imortal
adalah tentu saja anak manusia yang digigit kemudian berubah menjadi vampir"
"Ya, itulah yang kumaksud."
"Apa lagi yang kauperhatikan tentang anak itu?"
"Hal-hal yang sama seperti yang tentu sudah kaulihat dalam pikiran Edward. Bahwa
itu anak biologisnya. Bahwa anak itu bertumbuh. Bahwa anak itu belajar."
"Ya, ya," sahut Ato, ada secercah nada tak sabar dalam suaranya yang seharusnya
terdengar ramah, '"tapi secara spesifik, selama beberapa minggu keberadaanmu di
sini, apa yang kaulihat?"
Amun mengerutkan kening. "Bahwa dia bertumbuh... cepat."
Aro tersenyum. "Dan apakah kau yakin dia seharusnya dibiarkan hidup?"
Desisan terlontar dari bibirku, dan bukan hanya aku sendiri. Separo vampir di
barisanku menggemakan protes yang sama. Suaranya terdengar seperti desisan marah
yang menggantung di udara. Di seberang padang, beberapa saksi Volturi juga
mengeluarkan suara yang sama. Edward mundur dan memegang pergelangan tanganku
dengan sikap menahan. Aro tidak menanggapi suara-suara itu, tapi Amun memandang berkeliling dengan
sikap resah. "Kedatanganku ke sini bukan untuk membuat penilaian," ia berdalih. Aro tertawa
renyah. "Hanya pendapatmu."
Dagu Amun terangkat. "Aku tidak melihat bahaya dalam diri anak ini. Dia belajar
lebih cepat daripada dia tumbuh"
Aro mengangguk, menimbang-nimbang. Sejurus kemudian, ia berbalik.
"Aro?" seru Amun.
Aro berputar cepat. "Ya, Teman?"
"Aku sudah memberikan kesaksianku. Aku tak punya urusan lagi di sini. Pasanganku
dan aku ingin pergi sekarang."
Aro tersenyum hangat, "Tentu saja. Aku sangat senang kita bisa mengobrol
sedikit. Dan aku yakin kita akan bertemu lagi nanti."
Bibir Amun merapat membentuk garis lurus saat ia menelengkan kepala, menyadari
ancaman dalam perkataan itu. Ia menyentuh lengan Kebi, kemudian mereka berlari
sangat cepat ke ujung selatan padang rumput dan menghilang ke balik pepohonan.
Aku tahu mereka takkan berhenti berlari untuk waktu sangat lama.
Aro kembali menyusuri barisan kami ke arah timur, para pengawalnya mengikuti
dengan siaga. Ia berhenti di depan sosok Siobhan yang besar.
"Halo, Siobhan sayang. Kau tetap secantik biasanya."
Siobhan menelengkan kepala, menunggu.
"Dan kau?" tanya Aro. "Maukah kau menjawab pertanyaan-pertanyaanku seperti Amun
tadi?" "Aku mau," jawab Siobhan. "Tapi aku mungkin ingin menambahkan sedikit, Renesmee
mengerti batasan-batasannya. Dia tidak berbahaya bagi manusia dia melebur lebih
baik daripada kita. Dia bukan ancaman yang akan mengekspos keberadaan kita."
"Tidak ada sama sekali menurutmu"'' tanya Aro muram.
Edward menggeram, suara buas yang berasal dari dalam kerongkongannya.
Mata Caius yang berkabut berubah cerah.
Renata mengulurkan tangan dengan sikap protektif pada tuannya.
Dan Garrett melepaskan Kate untuk maju selangkah, mengabaikan tangan Kate yang
kali ini berusaha menenangkannya.
Siobhan menjawab lambat-lambat, "Rasanya aku tidak mengerti maksudmu."
Aro mundur, sikapnya biasa-biasa saja, tapi ia menuju para pengawalnya. Renata,
Felix, dan Demetri berada lebih dekat dengannya daripada bayang-bayangnya
sendiri. "Tak ada hukum yang dilanggar," kata Aro dengan nada menenangkan, tapi kami
masing-masing bisa mendengar ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Sekuat tenaga
aku melawan amarah yang berusaha mencakar keluar lewat tenggorokanku dan
menggeramkan penolakanku. Kulemparkan amarahku dalam bentuk perisai,
menebalkannya, memastikan setiap orang terlindungi.
"Tak ada hukum yang dilanggar," ulang Aro. "Namun, apakah itu serta-merta
memastikan tidak ada bahaya juga" Tidak." Ia menggeleng pelan. "Itu soal lain."
Satu-satunya respons adalah ketegangan yang semakin memuncak, dan Maggie, yang
berdiri paling ujung dalam deretan para pejuang kami, menggeleng-gelengkan
kepala pelan dengan sikap marah.
Aro mondar-mandir dengan sikap terpekur, terlihat seperti melayang dan kakinya
tidak menyentuh tanah. Kulihat semakin lama ia semakin dekat ke arah
perlindungan para pengawalnya.
"Dia unik... sangat, luar biasa unik. Sungguh sayang memang menghancurkan
sesuatu yang begitu manis. Apalagi kita bisa belajar banyak" Aro mengembuskan
napas, seolah-olah tak kuasa melanjutkan. "Tapi ada bahaya, bahaya yang tidak
bisa diabaikan begitu saja."
Tidak ada yang mengiyakan pernyataannya. Suasana sunyi senyap sementara ia
melanjutkan monolog yang kedengarannya seolah-olah percakapannya pada diri
sendiri. "Sungguh ironis bahwa seiring dengan kemajuan manusia, sementara keyakinan
mereka pada ilmu pengetahuan bertumbuh dan mengendalikan dunia mereka, semakin
bebas kita dari kemungkinan ketahuan. Namun, dengan semakin leluasanya kita oleh
karena ketidakpercayaan mereka pada hal-hal supranatural, mereka menjadi cukup
kuat dalam teknologi sehingga, kalau mau, mereka bisa benar-benar menjadi
ancaman bagi kita, bahkan menghancurkan sebagian dari kita"
"Selama ribuan tahun, kerahasiaan yang kita jaga lebih merupakan masalah
kenyamanan, ketenangan, dan bukan benar-benar karena keselamatan. Satu abad
terakhir yang keras dan penuh amarah ini telah melahirkan senjata-senjata yang
sangat kuat sehingga membahayakan bahkan para imortal. Sekarang status kita
sebagai sekadar mitos melindungi kita dari makhluk-makhluk lemah yang kita buru"
"Anak menakjubkan ini"-Aro menelungkupkan telapak tangannya, seolah
menempelkannya di atas kepala Renesmee, walaupun ia berdiri 36 meter jauhnya
dari Renesmee sekarang, posisinya hampir kembali berada dalam formasi Vokuri
lagi - "kalau kita bisa mengetahui potensinya-tahu dengan keyakinan mutlak bahwa
dia akan selalu bisa menjaga kerahasiaan kita. Tapi kita tidak tahu dia akan
menjadi seperti apa nanti! Orangtuanya sendiri dihantui ketakutan akan masa
depannya. Kita tidak bisa tahu akan bertumbuh menjadi apa dia nanti." Aro
terdiam, pertama-tama memandangi para saksi kami, kemudian, dengan penuh arti,
pada para saksinya sendiri. Ia dengan sangat lihai memperdengarkan nada seolaholah hatinya terbagi. Sambil masih terus memandangi saksi-saksinya, ia berbicara lagi. "Hanya yang
sudah diketahui yang aman. Hanya yang sudah diketahui yang bisa ditolerir. Yang
belum diketahui... masih perlu dipertanyakan."
Senyum Caius melebar keji.
"Kau terlalu berlebihan, Aro," sergah Carlisle dengan nada muram.
"Damai, Teman." Aro tersenyum, wajahnya tetap sebaik dan suaranya tetap selembut
biasa. "Kita tak perlu tergesa-gesa. Mari kita lihat dari segala sisi."
"Bolehkah aku mengungkapkan pendapatku sebagai bahan pertimbangan?" Garrett
meminta dengan nada datar, maju selangkah.
"Nomaden," seru Aro, mengangguk memberi izin.
Dagu Garrett terangkat. Matanya terfokus pada massa yang berkelompok di ujung
padang rumput, dan ia berbicara langsung kepada para saksi Volturi.
"Aku datang ke sini atas permintaan Carlisle, seperti yang lain-lain, untuk
bersaksi," ujar Garrett. "Itu jelas tidak diperlukan lagi, berkaitan dengan
masalah anak itu. Kita semua sudah melihat bagaimana dia"
"Aku tetap tinggal untuk memberi kesaksian tentang hal lain. Kalian." Ia
menudingkan jarinya ke para vampir yang waswas itu. "Dua di antara kalian aku
kenal Makenna, Charles dan bisa kulihat banyak di antara kalian juga pengelana
seperti aku. Kita tidak tunduk pada siapa pun. Pikirkan baik-baik apa yang akan
kukatakan pada kalian sekarang.
"Para tetua ini tidak datang untuk menegakkan keadilan seperti yang mereka
katakan pada kalian. Kami sudah curiga sejak awal, dan sekarang kecurigaan kami
terbukti. Mereka datang, atas informasi palsu, tapi dengan alasan valid untuk
tindakan mereka. Lihat bagaimana mereka mencari-cari alasan tak masuk akal untuk
melanjutkan misi mereka yang sesungguhnya. Lihat bagaimana mereka berusaha keras
membenarkan tindakan yang akan mendukung tujuan utama mereka yaitu menghancurkan
keluarga ini." Ia melambaikan tangan pada Carlisle dan Tanya.
"Volturi datang untuk memusnahkan apa yang mereka anggap sebagai saingan.
Mungkin, seperti aku, kalian menatap mata keemasan klan ini dan kagum pada
mereka. Mereka sulit dimengerti, itu benar. Tapi para tetua melihat dan
menyadari sesuatu selain pilihan aneh mereka. Mereka melihat kekuasaan
"Aku menyaksikan ikatan yang terjalin dalam keluarga ini aku menyebutnya
keluarga, bukan kelompok. Makhluk-makhluk aneh bermata emas ini menyangkal sifat
alami mereka. Tapi sebagai balasan, apakah mereka mendapatkan sesuatu yang
bahkan lebih berharga, mungkin, daripada sekadar pemuas gairah" Aku sempat
melakukan penelitian sedikit tentang mereka selama berada di sini, dan
sepertinya menurutku hal intrinsik yang bisa menyatukan keluarga ini dengan
begitu kuatnya yang membuat mereka sanggup bertahan adalah karakter damai yang
merupakan prasyarat dalam kehidupan yang penuh pengorbanan ini. Tak ada sifat
agresif di sini, seperti yang kita lihat dalam klan-klan besar di selatan yang
bertumbuh dan kemudian lenyap dengan cepat dalam perselisihan hebat mereka. Di
sini tak ada pikiran untuk mendominasi. Dan Aro tahu itu lebih baik daripada
aku." Kupandangi wajah Aro saat kata-kata Garrett menelanjangi maksudnya, menunggu
responsnya dengan tegang. Tapi wajah Aro tetap terlihat sopan bercampur geli,
seperti menunggu anak kecil yang mengamuk menjadi sadar bahwa tak ada orang yang
menggubris amukannya. "Carlisle meyakinkan kami, waktu dia menyampaikan kepada kami apa yang bakal
terjadi, bahwa dia tidak memanggil kami ke sini untuk bertempur. Saksi-saksi ini
"Garrett menuding Siobhan dan Liam" setuju memberi kesaksian, untuk menunda
sejenak serangan keluarga Voltuti, supaya Carlisle bisa mendapat kesempatan
untuk menjelaskan. "Tapi sebagian dari kami bertanya-tanya" matanya berkelebat memandang wajah
Eleazar" apakah setelah Carlisle menjelaskan hal sebenarnya, itu cukup untuk
menghentikan tindakan yang disebut sebagai keadilan ini" Apakah keluarga Volturi
datang untuk melindungi rahasia kita, atau melindungi kekuasaan mereka sendiri"
Apakah mereka datang untuk menghancurkan ciptaan ilegal, atau menghancurkan gaya
hidup" Bisakah mereka dipuaskan bila bahaya itu ternyata tak lebih dari
kesalahpahaman belaka" Atau mereka akan tetap mempertahankan masalah ini tanpa
alasan menegakkan keadilan"
"Kita semua tahu jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Kita sudah mendengarnya
dalam kata-kata bohong Aro salah seorang dari kita punya bakat untuk mengetahui
hal-hal semacam itu dan kita melihatnya sekarang dalam senyum Caius yang penuh
semangat. Pengawal mereka hanyalah senjata yang tidak memiliki kehendak bebas,
alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tuannya yang ingin menguasai.
"Jadi sekarang timbul lagi pertanyaan baru, pertanyaan yang harus kalian jawab.
Siapa yang memerintah kalian, kaum nomaden" Apakah kalian tunduk pada kehendak
orang lain ataukah kehendak kalian sendiri" Apakah kalian bebas memilih jalan
kalian, atau keluarga Volturi yang akan memutuskan bagaimana kalian harus hidup"
"Aku datang untuk memberi kesaksian. Aku tetap tinggal untuk bertempur. Keluarga
Volturi tak peduli pada kematian seorang anak. Yang mereka cari adalah kematian
dari kehendak bebas kita."
Lalu Garrett berbalik, menghadap para tetua. "Maka ayolah, kataku Jangan ada
lagi kebohongan-kebohongan untuk membenarkan tujuan kalian. Jujurlah
mengungkapkan tujuan kalian, seperti kami juga jujur mengungkapkan tujuan kami.
Kami akan membela kebebasan kami. Kalian akan atau tidak akan menyerang kehendak
bebas kami. Pilih sekarang, dan biarkan para saksi ini melihat masalah yang
sesungguhnya diperdebatkan di sini."
Sekali lagi ia menatap para saksi Volturi, matanya memandang tajam setiap wajah.
Kekuatan kata-katanya terlihat jelas dalam ekspresi mereka. "Kalian mungkin
lebih baik berpikir untuk bergabung dengan kami. Kalau kalian merasa keluarga
Volturi akan membiarkan kalian hidup untuk menyebarkan cerita ini, kalian salah
besar. Kita semua mungkin akan dihancurkan" Garrett mengangkat bahu "tapi sekali
lagi, mungkin juga tidak. Mungkin posisi kita lebih kuat daripada yang mereka
ketahui. Mungkin keluarga Volturi akhirnya bertemu juga dengan lawan seimbang.
Tapi aku bisa memastikan hal ini kepada kalian kalau kami kalah, kalian juga
bakal kalah," Garrett mengakhiri pidatonya yang berapi-api dengan mundur ke sisi Kate,
kemudian bergeser maju dalam posisi separo membungkuk, siap menyerang.
Aro tersenyum. "Pidato yang sangat bagus, temanku yang revolusioner."
Garrett tetap dalam posisi siap menyerang. "Revolusioner?" geramnya. "Memangnya


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku memberontak melawan siapa, kalau boleh aku bertanya" Apakah kau rajaku" Kau
ingin aku memanggilmu tuan juga, seperti pengawal psikopatmu itu?"
"Damai, Garrett," kara Aro dengan sikap toleran. "Aku hanya merujuk pada zaman
kelahiranmu. Tetap seorang patriot, ternyata."
Garrett membalas tatapan Aro dengan pandangan garang.
"Mari kita tanyakan pada saksi-saksi kita," Aro mengusulkan. "Mari kita dengar
pikiran mereka sebelum mengambil keputusan. Katakan pada kami, teman-teman" dan
ia dengan santai memunggungi kami, berjalan beberapa meter menghampiri para
pengamat yang kini berdiri semakin dekat ke pinggir hutan "bagaimana pendapat
kalian dalam hal ini" Aku bisa memastikan bahwa bukan anak ini yang kita takuti.
Apakah kita harus mengambil risiko dan membiarkan anak ini hidup" Apakah kita
harus membahayakan dunia kita hanya agar keluarga mereka tetap utuh" Atau apakah
Garrett yang tulus hati itu berhak melakukannya" Apakah kalian akan bergabung
dengan mereka dalam pertempuran melawan niat spontan kami untuk mendominasi?"
Para saksi membalas tatapan Aro dengan sikap hati-hati. Satu, seorang wanita
mungil berambut hitam, memandang sekilas pasangannya yang berambut pirang gelap,
"Apakah hanya itu pilihan kami?" tanyanya tiba-tiba, tatapannya berkelebat
kembali pada Aro. "Setuju denganmu, atau bertempur melawanmu?"
"Tentu saja tidak, Makenna yang paling memesona," jawab Aro, terlihat ngeri
karena ada yang menyimpulkan seperti itu. "Kau boleh pergi dalam damai, tentu
saja, seperti Amun tadi, walaupun kau tidak sependapat dengan keputusan dewan."
Lagi-lagi Makenna menatap wajah pasangannya, dan pasangannya mengangguk pelan.
"Kami tidak datang ke sini untuk bertempur." Makenna terdiam sejenak,
mengembuskan napas, kemudian berkata, "Kami datang ke sini untuk menyaksikan.
Dan kesaksian kami adalah bahwa keluarga ini tidak bersalah. Semua yang
dikatakan Garrett tadi benar."
"Ah," ucap Aro sedih. "Aku sedih kalian memandang kami seperti itu. Tapi memang
begitulah tugas kami."
"Bukan apa yang kulihat, tapi apa yang kurasakan," pasangan Makenna yang
berambut pirang gelap berbicara dengan nada tinggi dan gugup. Ia melirik
Garrett, "Kata Garrett, mereka tahu kalau ada yang berbohong. Aku juga tahu
kapan aku mendengar hal sebenarnya, dan kapan tidak." Dengan sorot takut ia
beringsut lebih dekat pada pasangannya, menunggu reaksi Aro.
"Jangan takut pada kami, sobatku Charles. Tak diragukan lagi si patriot benarbenar meyakini ucapannya." Aro terkekeh renyah, dan mata Charles menyipit.
"Inilah kesaksian kami," kata Makenna. "Kami akan pergi sekarang."
Ia dan Charles perlahan-lahan mundur menjauh, tidak berbalik sebelum lenyap dari
pandangan di balik pohon-pohon. Satu vampir asing lain mulai mundur dengan cara
sama, disusul tiga lagi melesat menyusul mereka.
Kuhitung ada 37 vampir yang tetap di tempat. Beberapa di antara mereka terlihat
terlalu bingung untuk mengambil keputusan. Tapi sebagian besar tampaknya sangat
menyadari ke mana arah konfrontasi ini. Kurasa mereka pergi lebih dulu karena
tahu siapa yang akan mengejar mereka nanti.
Aku yakin Aro juga melihat hal yang sama denganku. Ia berbalik, berjalan kembali
menghampiri para pengawalnya dengan langkah terukur. Ia berhenti di depan mereka
dan berbicara pada mereka dengan suara jernih.
"Kita kalah jumlah, anak-anak buahku tersayang," ujarnya. "Kita tidak bisa
mengharapkan bantuan dari luar. Haruskah kita meninggalkan pertanyaan ini tidak
terjawab untuk menyelamatkan diri kita sendiri?"
"Tidak, Tuan," mereka berbisik serempak.
"Apakah melindungi dunia kita setara harganya, mungkin, dengan kehilangan
sebagian di antara kita?"
"Ya," desah mereka. "Kami tidak takut."
Aro tersenyum dan berbalik menghadap teman-temannya yang berjubah hitam.
"Brothers" ucap Aro muram, "banyak sekali yang harus kita pertimbangkan di
sini." "Mari kita berunding," ajak Caius penuh semangat.
"Mari kita berunding," ulang Marcus dengan nada tidak tertarik.
Aro memunggungi kami lagi, menghadap ke para tetua yang lain. Mereka bergandeng
tangan membentuk segitiga berselubungkan jubah hitam.
Begitu perhatian Aro beralih pada perundingan yang berlangsung tanpa suara, dua
saksi lain diam-diam menghilang, masuk ke dalam hutan. Aku berharap, demi
keselamatan mereka, mereka bisa lari dengan cepat.
Sekaranglah saatnya. Hati-hati, kulepaskan rangkulan tangan Renesmee dari
leherku. "Kau ingat apa yang kukatakan?"
Air mata menggenangi matanya, tapi Renesmee mengangguk. "Aku sayang padamu,"
bisiknya. Edward menatap kami sekarang, mata topaznya membelalak. Jacob memandang kami
dari sudut mata hitamnya.
"Aku juga sayang padamu," kataku, kemudian aku menyentuh loketnya. "Lebih dari
hidupku sendiri." Kukecup kening Renesmee.
Jacob mendengking gelisah.
Aku berjinjit dan berbisik di telinganya, "Tunggu sampai perhatian mereka
teralihkan sepenuhnya, lalu larilah bersama Renesmee. Larilah sejauh kau bisa.
Dan setelah itu Renesmee memiliki apa yang kalian butuhkan untuk naik pesawat
terbang." Wajah Jacob dan Edward sama-sama menunjukkan mimik ngeri, walaupun salah satu
dari mereka berwujud binatang.
Renesmee menggapai Edward, dan Edward meraihnya ke dalam pelukan. Mereka
berpelukan erat sekali. "Jadi ini yang kausembunyikan dariku?" bisik Edward di telingaku.
"Dari Aro," desahku.
"Alice?" Aku mengangguk. Wajah Edward terpilin, mengerti bercampur sedih. Begitu jugakah ekspresi wajahku
waktu aku akhirnya menyatukan petunjuk-petunjuk Alice"
Jacob menggeram pelan, geraman rendah yang datar dan tak terputus seperti
dengkuran. Bulu-bulunya kaku dan giginya terpampang.
Edward mengecup kening Renesmee dan kedua pipinya, kemudian ia menaruhnya di
pundak Jacob. Renesmee naik dengan lincah ke punggung Jacob, mencengkeram
bulunya, dan duduk nyaman di antara tulang bahunya yang besar.
Jacob berpaling padaku, ekspresinya sarat kepedihan, geraman menggetarkan itu
masih terdengar dari dalam dadanya.
"Kau satu-satunya yang bisa kami percaya untuk menjaganya." bisikku pada Jacob.
"Kalau kau tidak menyayanginya sebesar itu, aku takkan sanggup. Aku tahu kau
bisa melindunginya, Jacob."
Jacob mendengking lagi, lalu menundukkan kepala untuk menyenggol bahuku.
"Aku tahu," bisikku.
"Aku juga sayang padamu, Jake, Kau akan selalu menjadi best man-ku."
Air mata sebesar bola bisbol mengalir ke dalam bulu cokelat kemerahan di bawah
matanya. Edward menempelkan kepalanya ke pundak tempat ia mendudukkan Renesmee tadi.
"Selamat tinggal, Jacob, saudaraku... anakku."
Yang lain-lain bukan tidak menyadari adegan perpisahan yang terjadi. Mata mereka
terpaku pada segitiga hitam tak bersuara itu, tapi aku tahu mereka mendengarkan.
"Jadi tak ada harapan lagi kalau begitu?" bisik Carlisle. Tak ada nada takut
dalam suaranya. Hanya tekad dan kepasrahan.
"Jelas masih ada harapan," aku balas berbisik. Itu bisa jadi benar, kataku pada
diri sendiri. "Aku hanya tahu takdirku."
Edward meraih tanganku. Ia tahu ia termasuk di dalamnya. Waktu aku mengatakan
takdirku, tak diragukan lagi bahwa yang kumaksud adalah kami berdua. Kami
setengah yang menjadi satu.
Napas Esme memburu di belakangku. Ia berjalan melewati kami, menyentuh wajah
kami waktu ia lewat, dan berdiri di sebelah Carlisle, menggenggam tangannya.
Tiba-tiba di sekeliling kami terdengar gumaman selamat berpisah dan pernyataan
cinta. "Kalau kita selamat melewati ini" Garrett berbisik pada Kate, "aku akan
mengikutimu ke mana pun kau pergi"
"Kenapa baru sekarang kau bicara begitu?" gerutu Kate.
Rosalie dan Emmett berciuman cepat tapi penuh gairah.
Tia membelai-belai wajah Benjamin. Benjamin membalas senyumnya dengan riang,
memegang tangan Tia dan menempelkannya di pipi.
Aku tidak melihat semua ekspresi cinta dan kesedihan itu. Mendadak perhatianku
tersedot oleh tekanan menggeletar yang tiba-tiba muncul dari luar perisaiku. Aku
tak tahu dari mana asalnya, tapi rasanya seperti diarahkan ke bagian pinggir
kelompok kami, Siobhan dan Liam terutama. Tekanan itu tidak mengakibatkan
kerusakan apa-apa, dan sejurus kemudian hilang.
Tak ada perubahan dalam sosok para tetua yang diam tak bergerak, masih terus
berunding. Tapi mungkin ada semacam isyarat yang tidak kulihat.
"Bersiap-siaplah," bisikku pada yang lain-lain. "Sudah dimulai"
38. KUAT "Chelsea berusaha menghancurkan ikatan kita," bisik Edwarcl, "Tapi dia tidak
bisa menemukannya. Dia tidak bisa merasakan kita di sini... " Matanya melirikku.
"Kau yang melakukannya, ya?"
Aku tersenyum muram padanya. "Aku melakukan semuanya"
Edward tiba-tiba menjauh dariku, tangannya terulur pada Carlisle. Pada saat
bersamaan aku merasakan tusukan yang jauh lebih tajam menghunjam tempat
perisaiku membungkus cahaya Carlisle, Tidak menyakitkan, tapi juga tidak
menyenangkan. "Carlisle" Kau baik-baik saja?" Edward tersentak panik.
"Ya. Mengapa?" "Jane," Edward menjawab.
Begitu Edward menyebut namanya, selusin serangan datang bertubi-tubi, menghunjam ke seluruh permukaan perisai yang elastis,
diarahkan ke dua belas titik terang berbeda. Aku meregangkan perisaiku,
memastikan tak ada yang rusak. Kelihatannya Jane tidak berhasil menusuknya. Aku
cepat-cepat memandang berkeliling; semua baik-baik saja.
"Luar biasa," puji Edward.
"Mengapa mereka tidak menunggu sampai ada keputusan?" desis Tanya.
"Prosedur normal," jawab Edward kasar. "Mereka biasanya melumpuhkan dulu pihakpihak yang sedang disidang agar tidak bisa melarikan diri."
Aku menatap Jane di seberang lapangan, yang memandang kelompok kami dengan
tatapan marah bercampur tidak percaya. Aku yakin sekali bahwa, selain aku, ia
tak pernah melihat ada orang yang tetap berdiri setelah diserang olehnya.
Mungkin ini bukan sikap yang matang. Tapi kurasa Aro membutuhkan waktu kira-kira
setengah detik untuk menebak kalau itu belum ia lakukan bahwa perisaiku jauh
lebih kuat daripada yang selama ini diketahui Edward; aku toh sudah dijadikan
sasaran, jadi tak ada gunanya lagi merahasiakan apa yang bisa kulakukan. Maka
aku pun menyunggingkan senyum lebar penuh kemenangan pada Jane.
Mata Jane menyipit, dan aku merasakan hunjaman tekanan lagi, kali ini diarahkan
padaku. Aku menyeringai lebih lebar, memamerkan gigiku.
Jane mengeluarkan jeritan menggeram yang melengking tinggi. Semua terlonjak,
bahkan para pengawal yang disiplin sekalipun. Semua kecuali para tetua, yang
terus sibuk berdiskusi. Kembaran Jane menyambar lengannya sementara ia
membungkuk memasang kuda-kuda, siap menerjang.
Kelompok Rumania mulai terkekeh, berharap akan melihat pertempuran.
"Sudah kubilang kan, inilah saatnya," kata Vladimir pada Stefan.
"Lihat saja wajah tukang sihir itu," kekeh Stefan.
Alec menepuk-nepuk bahu saudarinya dengan sikap menenangkan, lalu merangkul
Jane. Ia memalingkan wajah kepada kami, wajahnya mulus sempurna, benar-benar
seperti malaikat. Aku menunggu munculnya tekanan, tanda-tanda bakal terjadi serangan, tapi tidak
merasakan apa-apa. Ia terus memandang ke arah kami, wajah rupawannya tenang.
Apakah ia menyerang" Apakah ia bisa menembus perisaiku" Apakah aku satu-satunya
yang masih bisa melihatnya" Kucengkeram tangan Edward.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku tercekar.
"Ya," bisik Edward.
"Apakah Alec mencoba?"
Edward mengangguk, "Bakatnya lebih lambat daripada Jane. Merayap. Akan mencapai
kita beberapa detik lagi."
Saat itulah aku melihatnya, setelah tahu apa yang harus kucari.
Kabut bening aneh merambat di permukaan salju, nyaris tak terlihat di atas
bidang berwarna putih. Mengingatkanku pada fatamorgana, pandangan terlihat
sedikit meliuk-liuk, seberkas cahaya berpendar-pendar. Kudorong perisaiku
menjauhi Carlisle dan yang lain-lain di baris depan, takut kabut itu terlalu
dekat dengan mereka saat menghantam nanti, Bagaimana kalau kabut itu menerobos
perlindunganku yang tak kasatmata" Apakah sebaiknya kami lari"
Geraman pelan berdesir di tanah di bawah kaki kami, dan embusan angin
menerbangkan salju menjadi kabut es yang tiba-tiba mengadang di antara kami dan
keluarga Volturi, Benjamin juga melihat ancaman yang merayap itu, dan sekarang
ia berusaha meniup kabut itu menjauhi kami. Dengan adanya salju mudah saja
melihat ke mana ia melemparkan angin, tapi kabut itu sama sekali tak bereaksi.
Rasanya seperti udara bertiup melalui bayang-bayang; bayang-bayangnya kebal.
Formasi segitiga para tetua akhirnya bubar seketika, diiringi suara mengerang
yang dalam, muncul retakan zig-zag sempit dan panjang di tengah-tengah lapangan.
Bumi berguncang di bawah kakiku. Salju berembus masuk ke lubang, tapi kabutnya
lewat terus di atasnya, tidak terpengaruh gravitasi seperti tadi juga tidak
terpengaruh angin. Aro dan Caius menatap tanah yang menganga dengan mata membelalak. Marcus menatap
ke arah yang sama tanpa emosi.
Mereka tidak berbicara; mereka juga menunggu, sementara kabut menghampiri kami.
Angin melengking semakin keras tapi tidak mengubah arah kabut. Jane sekarang
tersenyum. Kemudian kabut itu menghantam tembok.
Aku bisa merasakannya begitu kabut itu menyentuh perisaiku rasanya pekat, manis,
memualkan. Samar-samar membuatku teringat rasa kebas di lidah sehabis menenggak
Novo-cain. Kabut itu melengkung ke atas, mencari celah, mencari kelemahan. Tapi tidak
menemukan apa-apa. Jari-jemari kabut yang terus mencari itu menjalar ke atas dan
mengelilingi perisai, berusaha mencari jalan masuk, dan dalam prosesnya
menunjukkan ukuran menakjubkan selubung perisaiku.
Terdengar suara terkesiap dari kedua sisi rekahan tanah yang dibuat Benjamin.
"Bagus sekali, Bella!" sorak Benjamin dengan suara pelan.
Senyumku kembali. Aku bisa melihat mata Aro menyipit, untuk pertama kali keraguan membayang di
wajahnya ketika kabut itu berpusar-pusar tanpa bisa mencelakakan siapa pun di
sekitar perisaiku. Kemudian tahulah aku bahwa aku bisa melakukannya. Jelas aku akan menjadi
prioritas nomor satu, yang pertama harus mati, tapi selama aku bisa bertahan,
kekuatan kami lebih dari sekadar berimbang dengan keluarga Volturi, Kami masih
memiliki Benjamin dan Zarrina; mereka tidak mendapat bantuan supranatural sama
sekali. Selama aku bisa bertahan,
"Aku harus berkonsentrasi," bisikku pada Edward. "Kalau nanti terjadi
pertempuran satu lawan satu, lebih sulit menamengi orang yang tepat."
"Akan kujauhkan mereka darimu."
"Jangan. Kau harus melumpuhkan Demetri. Zafrina akan menjauhkan mereka dariku,"
Zafrina mengangguk khidmat. "Tak ada yang bakal menyentuh vampir muda ini," ia
berjanji kepada Edward. "Sebenarnya aku bisa saja menghadapi Jane dan Alec seorang diri, tapi aku lebih
berguna di sini." "Jane milikku," desis Kate. "Dia harus merasakan akibat perbuatannya sendiri."
"Dan Alec berutang banyak nyawa padaku, tapi aku sudah puas kalau dibayar dengan
nyawanya saja," geram Vladimir dari sisi lain. "Dia milikku."
"Aku hanya menginginkan Caius," sergah Tanya datar.
Yang lain mulai membagi-bagi lawan juga, tapi dengan cepat mereka diinterupsi.
Aro, memandang tenang kabut Alec yang tidak efektif, akhirnya berbicara.
"Sebelum kita melakukan pemungutan suara," ia memulai.
Aku menggeleng marah. Aku sudah muak dengan sandiwara ini. Nafsu haus darah
dalam diriku kembali terpicu, dan aku menyesal karena aku justru lebih berguna
dengan berdiri diam. Padahal aku ingin bertempur.
"Izinkan aku mengingatkan kalian" lanjut Aro, "apa pun keputusan dewan nanti,
tidak perlu ada kekerasan di sini."
Edward menggeramkan tawa pahit.
Aro memandang Edward dengan sedih. "Sungguh merupakan kerugian besar bagi jenis
kita bila kehilangan salah satu dari kalian. Terutama kau, Edward, dan pasangan
vampir barumu. Keluarga Volturi dengan senang hati akan menerima banyak di
antara kalian ke dalam kelompok kami. Bella, Benjamin, Zafrina, Kate. Banyak
sekali pilihan bagi kalian. Pertimbangkanlah."
Upaya Chelsea menggoyahkan kami gagal total karena kekuatan perisaiku. Pandangan


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aro menyapu mata kami yang keras, mencari tanda-tanda keraguan. Dari
ekspresinya, ia tidak menemukan apa pun.
Aku tahu ia bernafsu ingin memiliki Edward dan aku, memenjarakan kami seperti ia
berharap bisa memperbudak Alice. Tapi pertempuran ini terlalu besar. Ia takkan
menang kalau aku hidup. Aku senang sekali menjadi begitu kuat hingga tidak
memberinya pilihan untuk tidak membunuhku.
"Mari kita ambil suara, kalau begitu," kata Aro dengan keengganan yang terlihat
jelas. Caius berbicara dengan semangat terburu-buru. "Bagaimana anak ini, tidak
diketahui secara pasti. Tak ada alasan membiarkan resiko sebesar itu tetap ada.
Dia harus dimusnahkan, bersama semua yang melindunginya." Ia tersenyum penuh
harap. Sekuat tenaga kutelan kembali jeritan marah untuk menjawab senyum puasnya yang
keji. Marcus mengangkat matanya yang menyorotkan ketidakpedulian, sepertinya tidak
melihat kami sementara ia menyampaikan keputusannya.
"Aku tidak melihat adanya bahaya. Anak ini untuk sementara cukup aman. Kita akan
selalu bisa mengevaluasinya nanti. Sekarang kita bisa pergi dalam damai." Suara
Marcus bahkan lebih lirih daripada desahan setipis bulu saudara-saudaranya.
Tak ada pengawal yang posturnya berubah rileks mendengar keputusan Marcus yang
tidak setuju. Seringaian puas Caius juga tak goyah sedikit pun. Seakan-akan
Marcus tidak berbicara sama sekali.
"Kalau begitu, akulah yang harus mengambil keputusan menentukan," renung Aro.
Tiba-tiba Edward menegang di sampingku. "Yes!" desisnya.
Aku mengambil risiko meliriknya. Wajah Edward berbinar-binar oleh ekspresi
kemenangan yang tidak kumengerti ekspresi yang akan terpampang di wajah malaikat
maut saat melihat dunia terbakar. Rupawan dan mengerikan.
Terdengar reaksi pelan para pengawal, gumaman gelisah.
"Aro?" seru Edward, nyaris berteriak, kemenangan yang tak bisa disembunyikan
terdengar dalam suaranya.
Aro sejenak ragu, menilai suasana hati yang baru itu dengan waswas sebelum
menjawab. "Ya, Edward" Ada yang ingin kausampaikan...?"
"Mungkin," jawab Edward dengan nada riang, mengendalikan kegembiraannya yang tak
bisa dijelaskan. "Pertama, kalau boleh aku menegaskan satu hal?"
"Tentu saja," jawab Aro, mengangkat alis, nadanya tertarik dan sopan. Aku
mengertakkan gigi, Aro justru sangat berbahaya bila ia sangat murah hati.
"Bahaya yang kauperkirakan akan terjadi karena putriku itu sepenuhnya bermula
dari ketidakmampuan kita menduga bagaimana dia akan berkembang nanti" Inikah
inti permasalahannya?"
"Benar, temanku Edward," Aro membenarkan. "Bila kita bisa merasa positif... bisa
memastikan bahwa, saat dia tumbuh nanti, dia bisa tetap tersembunyi dari dunia
manusia tidak membuat keberadaan kita ketahuan... " suaranya menghilang, bahunya
terangkat. "Jadi kalau kita bisa memastikan dia akan jadi seperti apa persisnya nanti...
maka tidak perlu ada keputusan dewan sama sekali?"
"Kalau ada cara untuk benar-benar merasa yakin," Aro setuju, suaranya yang tipis
sedikit melengking. Ia tidak bisa melihat arah pembicaraan Edward. Aku juga
tidak, "Kalau begitu, ya, tidak ada pertanyaan lagi yang perlu diperdebatkan."
"Dan kita akan berpisah dalam damai, kembali berteman baik?" tanya Edward dengan
secercah nada ironis. Suara Aro semakin melengking. "Tentu saja, teman mudaku. Tidak ada yang lebih
membuatku senang." Edward terkekeh senang. "Kalau begitu ada hal lain yang ingin kutawarkan."
Mata Aro menyipit. "Dia sangat unik. Masa depannya hanya bisa ditebak."
"Tidak terlalu unik," Edward tidak sependapat. "Jarang, tentu saja, tapi bukan
satu-satunya." Kulawan perasaan shock dan harapan yang tiba-tiba muncul, karena hal itu bisa
mengusik perhatianku. Kabut yang tampak menakutkan itu masih berpusar-pusar di
sekitar pinggiran perisaiku. Dan sementara aku susah payah berusaha fokus, aku
merasakan lagi tekanan yang tajam menusuk tameng perlindunganku.
"Aro, bisa tolong minta Jane berhenti menyerang istriku?" pinta Edward sopan.
"Kita masih mendiskusikan bukti"
Aro mengangkat sebelah tangan. "Damai, anak-anak kesayanganku. Kita dengarkan
dulu dia." Tekanan itu lenyap. Jane menyeringai memamerkan giginya, aku tak tahan untuk
tidak balas menyeringai. "Bagaimana kalau kau bergabung dengan kami, Alice?" Edward berseru nyaring.
"Alice," bisik Esme shock.
"Alice!" "Alice, Alice, Alice!"
"Alice! "Alice!" suara-suara lain bergumam di sekelilingku.
"Alice" Aro mendesah.
Kelegaan dan kegembiraan yang meluap-luap menyerbu sekujur tubuhku. Aku harus
mengerahkan segenap daya upaya untuk mempertahankan perisaiku tetap utuh. Kabut
Alec masih mencoba-coba, mencari celah, Jane akan tahu kalau aku meninggalkan
lubang. Kemudian aku mendengar mereka berlari menembus hutan, terbang, memperpendek
jarak secepat mereka bisa tanpa berusaha memperlambat lari mereka agar tidak
terdengar. Kedua pihak diam tak bergerak, menunggu. Saksi-saksi keluarga Volturi
mengerutkan kening bingung.
Kemudian Alice menari-nari memasuki lapangan dari arah barat daya, dan aku
merasa kebahagiaan melihat wajahnya lagi bisa membuatku jatuh tersungkur. Jasper
hanya beberapa sentimeter di belakang Alice, matanya yang tajam berapi-api.
Menyusul di belakang mereka tiga sosok asing, yang pertama wanita bertubuh
jangkung dan berotot dengan tambut liar berwarna gelap jelas itu Kachiri. Ia
juga memiliki lengan dan kaki panjang-panjang seperti vampir Amazon lain, bahkan
lebih mencolok. Berikutnya vampir wanita mungil berkulit sewarna buah zaitun dengan rambut hitam
panjang dikepang yang terangguk-angguk di punggungnya. Mata merah anggurnya
berkelebat gugup melihat konfrontasi di depannya.
Dan terakhir seorang pria muda... larinya tidak secepat dan seanggun vampirvampir lain. Kulitnya cokelat tua menawan. Matanya yang waswas berkelebat
memandangi kumpulan itu, bola matanya sewarna kayu jati hangat. Rambutnya hitam
dan dikepang, seperti vampir wanita, walaupun tidak sepanjang itu. Ia sangat
rupawan. Ketika ia mendekati kami, sebuah suara baru menghantam semua yang menonton suara
detak jantung lain, kencang karena habis berlari.
Alice dengan lincah melompati pinggiran kabut yang mulai menghilang yang
menjilati perisaiku dan langsung berhenti di samping Edward. Aku mengulurkan
tangan untuk menyentuh lengannya, begitu juga Edward, Esme, Carlisle, Tak ada
waktu untuk ucapan selamat datang yang lebih dari itu. Jasper dan yang lain
mengikutinya memasuki perisai.
Semua pengawal melihat, spekulasi bermain di mata mereka, sementara para pihak
yang baru datang menyeberangi perbatasan tanpa kesulitan. Para pengawal yang
bertubuh besar, Felix dan yang lain-lain seperti dia, mengarahkan mata mereka
yang mendadak penuh harap kepadaku. Mereka tak yakin apa yang bisa menembus
perisaiku, tapi sekarang jelas perisaiku tak bisa menghentikan serangan fisik.
Begitu Aro memberi perintah, akan langsung terjadi serangan, dan akulah satusatunya sasaran. Aku bertanya-tanya dalam hati berapa banyak yang bisa dibutakan
Zafrina, dan berapa banyak itu akan memperlambat gerak mereka. Cukup lama untuk
membuat Kate dan Vladimir menghabisi Jane dan Alec." Aku hanya bisa berharap
begitu. Edward, meski fokus pada perkembangan yang ia arahkan, menegang marah merespons
pikiran-pikiran mereka. Ia mengendalikan diri dan berbicara lagi kepada Aro.
"Alice mencari saksi-saksinya sendiri beberapa minggu terakhir ini" kata Edward
pada para tetua. "Dan dia tidak kembali dengan tangan hampa. Alice, bagaimana
kalau kauperkenalkan saksi-saksi yang kaubawa?"
Caius menggeram. "Waktu untuk saksi-saksi sudah habis! Berikan suaramu, Aro!"
Aro mengangkat jari untuk mendiamkan saudaranya, matanya terpaku pada wajah
Alice. Alice maju selangkah dan memperkenalkan orang-orang asing itu. "Ini Huilen dan
keponakannya, Nahuel."
Mendengar suaranya... seakan-akan Alice tak pernah pergi.
Mata Caius menegang begitu mendengar Alice menyebut hubungan antara para
pendatang baru itu. Saksi-saksi Volturi mendesis di antara mereka sendiri. Dunia
vampir sedang berubah, dan semua bisa merasakannya.
"Bicaralah, Huilen," perintah Aro. "Beri kami kesaksian yang harus
kausampaikan." Wanita mungil itu melirik Alice gugup. Alice mengangguk memberi semangat, dan
Kachiri meletakkan tangannya yang panjang di bahu vampir kecil itu.
"Aku Huilen," wanita itu menyatakan dengan suara jernih dan dalam bahasa Inggris
beraksen aneh. Saat ia melanjutkan perkataannya, tampak jelas ia sudah
mempersiapkan diri untuk menyampaikan cerita ini, bahwa ia sudah berlatih.
Ceritanya mengalir seperti dongeng sebelum tidur yang sudah dihafal dengan baik,
"Satu setengah abad yang lalu, aku tinggal bersama sukuku, suku Mapuche.
Saudariku bernama Pire. Orangtua kami menamai dia seperti salju di pegunungan
karena kulitnya yang terang. Dan dia sangat cantik terlalu cantik. Suatu hari
dia diam-diam mendatangiku dan menceritakan padaku tentang malaikat yang
menemuinya di hutan, yang mendatanginya pada malam hari. Aku memperingatkan
dia," Huilen menggeleng sedih. "Seolah-olah memar-memar di kulitnya belum cukup
menjadi peringatan. Aku tahu itu Libishomen seperti yang disebutkan dalam
legenda kami, tapi dia tidak mau mendengar. Pire sudah tersihir.
"Dia bercerita dia yakin anak malaikat gelap itu sedang bertumbuh di dalam
rahimnya. Aku tidak berusaha membuatnya melupakan rencananya untuk kabur dari
rumah, aku tahu bahkan ayah dan ibu kami pasti setuju anak itu dimusnahkan,
bersama Pire sekaligus. Aku pergi bersamanya ke pelosok hutan. Dia mencari
malaikat hantunya tapi tidak menemukan apa-apa. Aku merawat dia, berburu
untuknya ketika dia sudah tidak kuat lagi. Dia makan binatang mentah-mentah,
minum darahnya. Aku tidak membutuhkan konfirmasi lagi tentang apa yang dikandung
Pire dalam rahimnya. Aku berharap bisa menyelamatkan nyawanya sebelum membunuh
monster itu. "Tapi dia menyayangi anak dalam kandungannya. Dia menamainya Nahuel, seperti
nama kucing hutan, waktu bayi itu menjadi kuat dan mematahkan tulang-tulangnya,
tapi tetap menyayanginya.
"Aku tidak bisa menyelamatkan dia. Anak itu keluar dengan cara mengoyak
perutnya, dan Pire meninggal dengan cepat, memohon-mohon agar aku mau merawat
Nahuel. Itu keinginan terakhirnya, dan aku setuju.
"Nahuel menggigitku waktu aku berusaha mengangkatnya dari tubuh ibunya. Aku
merangkak masuk ke hutan untuk mati. Aku tak bisa pergi jauh-jauh, sakitnya
terlalu luar biasa. Tapi dia menemukanku, bayi yang baru lahir itu susah payah
menerobos semak untuk sampai ke sisiku dan menungguku. Setelah sakitku hilang,
dia bergelung di sampingku, tidur.
"Aku merawatnya sampai dia bisa berburu sendiri. Kami berburu di desa-desa di
sekitar hutan, selalu berdua. Kami tak pernah pergi jauh dari rumah, tapi Nahuel
ingin melihat anak yang ada di sini."
Huilen menundukkan kepala setelah selesai bercerita dan mundur sehingga ia
separo terhalang Kachiri,
Aro mengerucutkan bibir. Ia memandangi pemuda berkulit gelap itu.
"Nahuel, jadi usiamu 150 tahun?" tanya Aro.
"Ditambah atau dikurangi satu dekade," Nahuel menjawab dengan suara yang jernih
dan enak didengar. Aksennya nyaris tidak kentara. "Kami tak pernah menghitung."
"Dan kau mencapai kedewasaan pada usia berapa?"
"Kira-kira tujuh tahun setelah kelahiranku, aku sudah dewasa penuh."
"Dan sejak itu kau tak pernah berubah?"
Nahuel mengangkat bahu. "Sepanjang pengamatanku, tidak."
Aku merasakan getaran mengguncang tubuh Jacob. Aku tidak mau memikirkan hal itu
sekarang. Aku akan menunggu sampai bahaya ini lewat dan aku bisa berkonsentrasi.
"Dan makananmu?" desak Aro, sepertinya tertarik walau tidak ingin.
"Kebanyakan darah, tapi sebagian makanan manusia juga. Aku bisa bertahan dengan
dua-duanya." "Dan kau bisa menciptakan makhluk abadi?" Ketika Aro melambaikan tangan ke arah
Huilen, suaranya tiba-tiba menegang. Aku kembali fokus pada perisaiku; mungkin
ia mencari-cari alasan baru.
"Bisa, tapi yang lain-lain tidak bisa."
Gumaman shock pecah dari ketiga kelompok.
Alis Aro terangkat. "Yang lain-lain?"
"Saudari-saudariku." Lagi-lagi Nahuel mengangkat bahu.
Aro memandang liar sesaat sebelum kembali menenangkan wajahnya.
"Mungkin kau mau menyampaikan pada kami seluruh ceritamu, karena sepertinya
masih ada lagi." Nahuel mengerutkan kening.
"Ayahku datang mencariku beberapa tahun setelah kematian ibuku." Wajahnya
sedikit terpilin. "Dia senang bisa menemukanku." Dari nadanya kentara sekali
Nahuel tidak merasakan hal yang sama. "Dia punya dua anak perempuan, tapi tidak
punya anak laki-laki. Dia mengharapkan aku bergabung dengannya, seperti saudarisaudariku. "Dia terkejut aku tidak sendirian. Saudari-saudariku tidak beracun, tapi apakah
itu berkaitan dengan gender atau karena sebab lain... siapa yang tahu" Aku sudah
punya keluarga sendiri bersama Huilen, dan aku tidak tertarik" ia memilin kata
itu "untuk berubah. Sesekali aku masih sering bertemu dengannya. Aku punya adik
perempuan baru; dia mencapai kedewasaan kira-kira sepuluh tahun lalu."
"Nama ayahmu?" tanya Caius dengan gigi-gigi dikertakkan.
"Joham" jawab Nahuel. "Dia menganggap dirinya ilmuwan. Dia merasa menciptakan
ras super yang baru." Nahuel tak berusaha menyembunyikan nada muak dalam
suaranya. Caius memandangiku. "Putrimu, apakah dia beracun?" runtutnya kasar.
"Tidak " jawabku.
Kepala Nahuel tersentak mendengar pertanyaan Aro, dan matanya yang bagaikan kayu
jati menatap wajahku tajam.
Caius memandang Aro untuk meminta konfirmasi, tapi Aro tenggelam dalam
pikirannya sendiri. Ia mengerucutkan bibir dan memandangi Carlisle, kemudian
Edward, dan akhirnya matanya tertuju padaku.
Caius menggeram, "Kita bereskan penyimpangan di sini, kemudian mengurus ke
selatan," desaknya pada Aro.
Aro menatap mataku untuk waktu yang lama dan tegang. Aku tak tahu apa yang ia
cari, atau apa yang ia dapatkan, tapi setelah menilaiku beberapa saat, sesuatu
di wajahnya berubah, dan dari perubahan kecil pada mulut dan matanya, aku tahu
Aro sudah mengambil keputusan.
"Brother," ucapnya lirih pada Caius. "Kelihatannya tak ada bahaya di sini. Ini
perkembangan yang tidak biasa, tapi aku tidak melihat adanya ancaman. Anak-anak
separo vampir ini mirip kita sepertinya."
"Jadi, itu keputusanmu?" tuntut Caius.
"Benar." Caius merengut. "Dan si Joham ini" Si imortal yang sangat senang bereksperimen?"
"Mungkin sebaiknya kita bicara dengannya," Aro sependapat.
"Silakan saja kalau kalian ingin menghentikan Joham," sergah Nahuel datar. "Tapi
jangan ganggu saudari-saudariku. Mereka tidak bersalah."
Aro mengangguk, ekspresinya tepekur. Kemudian ia berpaling lagi pada para
pengawalnya dengan senyum hangat.
"Anak-anakku sayang," serunya. "Kita tidak bertempur hari ini."
Para pengawal itu mengangguk berbarengan dan menegakkan tubuh mereka yang tadi
membungkuk memasang kuda-kuda. Kabut lenyap dengan cepat, tapi aku tetap
mempertahankan perisaiku. Jangan-jangan ini tipuan lain.
Aku menganalisis ekspresi mereka sementara Aro berbalik menghadapi kami.
Wajahnya tetap seramah biasa, tapi tidak seperti sebelumnya, aku merasakan
kehampaan yang aneh di balik topengnya. Seolah-olah tipu dayanya telah berakhir.
Caius jelas-jelas marah, tapi amarahnya sekarang tertuju ke dalam dirinya; ia
menyerah. Marcus tampak... bosan; benar-benar tak ada kata lain untuk
menggambarkannya. Para pengawal kembali terlihat tanpa ekspresi dan disiplin;
tak ada individu-individu di sana, mereka satu kesatuan. Mereka satu formasi,
siap-siap berangkat. Para saksi Volturi masih waswas; satu demi satu mereka
berangkat, berpencar di dalam hutan. Setelah jumlah mereka banyak berkurang,
yang tersisa pun kabur. Tak lama kemudian mereka sudah lenyap.
Aro mengulurkan kedua tangannya pada kami, nyaris seperti meminta maaf. Di
belakangnya, sebagian besar kelompok pengawal, bersama Caius, Marcus, dan para
istri yang diam dan misterius, sudah mulai beranjak cepat, formasi mereka
kembali serempak. Hanya tiga yang sepetinya merupakan pengawal pribadi yang
tetap tinggal bersamanya.
"Aku senang sekali masalah ini bisa diselesaikan tanpa kekerasan," kata Aro
dengan nada manis. "Sobatku, Carlisle-betapa senangnya aku bisa menyebutmu sobat


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi! Mudah-mudahan tak ada sakit hati. Aku tahu kau mengerti beban berat yang
diletakkan oleh kewajiban kita di pundak kami."
"Pergilah dalam damai, Aro," pinta Carlisle kaku, "Mohon diingat kami masih
harus melindungi seratus anonim kami di sini, jadi jangan sampai para pengawalmu
berburu di kawasan ini,''
"Tentu saja, Carlisle," Aro meyakinkan dia. "Aku sangat menyesal telah membuatmu
kesal, sobatku yang baik. Mungkin, suatu saat nanti, kau mau memaafkan aku."
"Mungkin, suatu saat nanti, kalau kau membuktikan kau memang teman kami
lagi." Aro menundukkan kepala, tampak sangat menyesal, kemudian mundur beberapa saat
sebelum berbalik. Kami mengawasi sambil berdiam diri sampai empat anggota
keluarga Volturi terakhir lenyap di balik pepohonan.
Suasana sunyi senyap. Aku tidak melepas perisaiku.
"Apakah sudah benar-benar berakhir?" bisikku pada Edward.
Senyum Edward lebar sekali. "ya. Mereka menyerah. Seperti para preman umumnya,
sebenarnya dalam hati mereka pengecut." Ia terkekeh.
Alice tertawa bersamanya. "Ini benar. Mereka tidak akan kembali. Semua bisa
rileks sekarang." Sesaat suasana kembali senyap.
"Brengsek" gumam Stefan.
Kemudian kesadaran itu pun menghantam.
Sorak-sorai meledak. Lolongan yang memekakkan telinga memenuhi lapangan. Maggie
memukul punggung Siobhan. Rosalie dan Emmett berciuman lagi, lebih lama dan
lebih bergairah daripada sebelumnya. Benjamin dan Tia berangkulan, begitu juga
Carmen dan Eleazar. Esme memeluk Alice dan Jasper erat-erat. Carlisle
mengucapkan terima kasih dengan hangat kepada para pendatang baru dari Amerika
SeIatan yang telah menyelamatkan kami semua. Kachiri berdiri dekat sekali dengan
Zafrina dan Senna, ujung-ujung jari mereka saling mengait. Garrett mengangkat
tubuh Kate dan memutar-mutarnya.
Stefan meludah di salju. Vladimir mengertakkan gigi dengan ekspresi masam.
Dan aku separo menaiki serigala merah kecokelatan raksasa untuk merenggut
putriku dari punggungnya dan mendekapnya erat-erat di dadaku. Lengan Edward
merangkul kami di detik yang sama.
"Nessie, Nessie, Nessie," dendangku.
Jacob mengumandangkan tawanya yang besar dan menggonggong itu, lalu menyundul
bagian belakang kepalaku dengan moncongnya.
"Tutup mulut," gerutuku.
"Aku boleh tetap tinggal denganmu?" tuntut Nessie. "Selamanya" aku berjanji
padanya. Kami memiliki selamanya. Dan Nessie akan baik-baik saja, sehat dan kuat. Seperti
Nahuel yang separo manusia itu, dalam usia 150 tahun, Renesmee akan tetap muda.
Dan kami semua akan bersama selamanya.
Kebahagiaan membuncah bagaikan ledakan di dalam diriku -begitu ekstrem, begitu
dahsyat hingga aku tak yakin aku telah selamat melewatinya.
"Selamanya," Edward menggemakan kata itu di telingaku.
Aku tak sanggup lagi bicara. Aku mendongakkan kepala dan menciumnya dengan
gairah yang bisa menimbulkan kebakaran hebat di hutan.
Aku pasti tidak akan menyadari kalau itu benar-benar terjadi.
39. AKHIR YANG MEMBAHAGIAKAN
"PADA akhirnya itu adalah kombinasi berbagai hal, tapi intinya adalah... Bella,"
Edward menjelaskan. Keluarga kami dan dua tamu yang masih tersisa duduk di ruang
besar rumah keluarga Cullen sementara hutan berubah warna menjadi hitam di luar
jendela-jendela tinggi, Vladimir dan Stefan sudah menghilang sebelum kami berhenti merayakan. Mereka
sangat kecewa dengan hasil akhirnya, tapi kata Edward, mereka senang melihat
sikap pengecut keluarga Volturi, dan itu cukup untuk menggantikan rasa frustrasi
mereka. Benjamin dan Tia langsung menyusul Amun dan Kebi, tak sabar ingin segera
memberitahu hasil akhir konflik; aku yakin kami akan bertemu lagi dengan mereka
Benjamin dan Tia, paling tidak. Tak seorang pun kaum nomaden berlama-lama di
sana. Peter dan Charlotte sempat mengobrol sebentar dengan Jasper, kemudian
keduanya juga pergi. Kelompok Amazon yang berkumpul kembali sudah tak sabar ingin segera pulang
mereka sulit berada jauh-jauh dari hutan hujan mereka yang tercinta walaupun
mereka lebih enggan pulang daripada sebagian yang lain.
"Kau harus membawa anak ini berkunjung ke tempatku," Zafrina bersikeras,
"Berjanjilah padaku, anak muda"
Nessie menempelkan tangannya di leherku, memohon juga.
"Tentu saja, Zafrina," aku mengiyakan.
"Kita akan berteman baik, Nessie-ku," wanita liar itu menyatakan sebelum pulang
bersama saudari-saudarinya.
Kelompok Irlandia juga melakukan eksodus,
"Bagus sekali hasil kerjamu, Siobhan," puji Carlisle saat mereka berpamitan.
"Ah, betapa berkuasanya pikiran yang penuh harapan," Siobhan menyahut sarkastis,
memutar bola matanya. Tapi sejurus kemudian sikapnya berubah serius. "Tentu
saja, ini belum berakhir. Keluarga Volturi takkan melupakan apa yang terjadi di
sini." Edwardlah yang menjawab kekhawatirannya. "Mereka sangat terguncang, rasa percaya
diri mereka berantakan. Tapi, benar, aku yakin suatu saat nanti mereka pasti
akan pulih dari perasaan terpukul ini. Kemudian... " Matanya menegang. " alam
bayanganku, mereka akan berusaha mengusik kita secara terpisah."
"Alice akan mengingatkan kita bila mereka berniat menyerang," kata Siobhan
yakin. "Dan kita akan berkumpul lagi. Mungkin akan tiba saatnya dunia kita siap
untuk terbebas dari keluarga Volturi selamanya."
"Saat itu pasti akan tiba" sahut Carlisle. "Kalau itu terjadi, kita akan berdiri
bersama." "Ya, Sobat, kita akan berdiri bersama," Siobhan setuju.
"Dan bagaimana kita bisa kalah, kalau aku menginginkan sebaliknya?" Ia
mengumandangkan tawa renyah,
"Benar sekali," ujar Carlisle. Ia dan Siobhan berpelukan, kemudian ia menjabat
tangan Liam. "Cobalah mencari Alistair dan ceritakan apa yang terjadi padanya.
Aku tak ingin dia bersembunyi terus di balik batu selama satu dekade ke depan."
Siobhan tertawa lagi, Maggie memeluk baik Nessie maupun aku, kemudian kelompok
Irlandia pun berlalu. Keluarga Denali adalah yang terakhir pergi, Garrett bersama mereka dan akan
terus bersama mereka mulai sekarang, aku yakin. Suasana kemenangan terlalu
menyakitkan bagi Tanya dan Kate. Mereka butuh waktu untuk berdukacita atas
meninggalnya saudari mereka.
Huilen dan Nahuel adalah para tamu yang masih tinggal, walaupun aku sempat
mengira mereka akan pulang bersama kelompok Amazon. Carlisle asyik mengobrol
dengan Huilen, Nahuel duduk merapat di sampingnya, mendengarkan sementara Edward
menceritakan tentang konflik tadi sebatas yang ia ketahui.
"Alice memberi Aro alasan yang dia butuhkan untuk keluar dari pertempuran.
Seandainya dia tidak terlalu takut pada Bella, mungkin dia akan tetap
melaksanakan rencana awalnya."
"Takut?" tanyaku skeptis. "Padaku?"
Edward tersenyum padaku dengan ekspresi yang tak sepenuhnya kukenali
pandangannya lembut, tapi juga kagum dan bahkan gemas. "Kapan kau akan memandang
dirimu dengan jelas?" tanyanya lirih. Lalu ia berbicara dengan suara lebih
keras, kepada yang lain selain aku. "Kira-kira sudah 2500 tahun lamanya keluarga
Volturi tak pernah bertempur secara adil. Dan mereka tak pernah, sama sekali tak
pernah bertempur dan kalah. Terutama sejak mereka memiliki Jane dan Alec, mereka
selalu melakukan pembantaian tanpa ada yang bisa melawan.
"Seharusnya kaulihat bagaimana mereka melihat kita tadi! Biasanya, Alec
mematikan semua pancaindra dan perasaan korban-korban sementara mereka berpurapura berunding. Dengan cara itu tak ada yang bisa melarikan diri saat vonis
dijatuhkan. Tapi tadi kita berdiri, siap, menunggu, jumlah kita lebih banyak
daripada mereka, dengan bakat kita masing-masing sementara bakat mereka dibuat
tak berguna oleh Bella, Aro tahu dengan Zafrina di pihak kita, merekalah yang
bakal buta begitu pertempuran dimulai. Aku yakin jumlah kita akan sangat jauh
berkurang, tapi mereka yakin jumlah mereka juga akan berkurang. Bahkan ada
kemungkinan mereka bakal kalah. Mereka tak pernah menghadapi kemungkinan itu
sebelumnya. Mereka tidak menghadapinya dengan baik hari ini,"
"Sulit untuk merasa percaya diri jika kau dikelilingi serigala-serigala yang
ukurannya sebesar kuda," Emmett tertawa, meninju lengan Jacob.
Jacob menyeringai padanya.
"Serigala-serigalalah yang menghentikan mereka pada awalnya," kataku.
"Benar sekali," Jacob sependapat.
"Jelas" Edward membenarkan. "Itu pemandangan lain yang tak pernah mereka lihat.
Anak-Anak Bulan yang sesungguhnya jarang pergi berombongan, dan mereka tidak
pernah terlalu bisa mengendalikan diri. Enam belas serigala besar sekaligus
menjadi kejutan yang tidak siap mereka hadapi. Caius sebenarnya sangat takut
pada serigala. Dia pernah nyaris kalah melawan serigala beberapa ribu tahun lalu
dan tidak pernah melupakan ketakutannya itu."
"Jadi werewolf sungguhan itu benar-benar ada?" tanyaku, "Dengan bulan purnama,
peluru perak, dan segala macam?"
Jacob mendengus. "Sungguhan. Kalau begitu aku ini khayalan?"
"Kau mengerti maksudku."
"Bulan purnama, ya," jawab Edward. "Peluru perak, tidak. itu hanya satu dari
sekian banyak mitos untuk membuat manusia merasa mereka masih punya peluang.
Tapi tak banyak yang masih tersisa. Caius sudah memburu mereka sampai hampir
punah," "Tapi kau tak pernah menyebut hal ini karena,,,?"
"Itu tidak pernah diungkit."
Aku memutar bola mata, dan Alice tertawa, mencondongkan tubuh ke depan ia juga
dirangkul Edward di lengan yang lain dan mengedipkan mata padaku.
Kupelototi dia. Aku sangat sayang pada Alice, tentu saja. Tapi sekarang setelah punya kesempatan
menyadari dirinya benar-benar sudah pulang, bahwa kepergiannya hanya akal-akalan
karena Edward harus percaya bahwa ia benar-benar meninggalkan kami, aku mulai
merasa sangat kesal padanya. Ia harus memberi penjelasan.
Alice mendesah, "Keluarkan saja semua unek-unekmu, Bella,"
"Tega-teganya kau berbuat begitu padaku, Alice?"
"Itu memang perlu."
"Perlu?" aku meledak. "Kau membuat kami benar-benar yakin kami semua bakal mati!
Aku merana selama berminggu-minggu,"
"Bisa saja berakhir begitu" ujar Alice tenang. "Dalam hal itu, kau harus siap
menyelamatkan Nessie."
Secara instingtif aku memeluk Nessie yang sekarang tertidur di pangkuanku lebih
erat lagi. "Tapi kau juga tahu bahwa ada jalan lain" tudingku. "Kau tahu bahwa ada harapan.
Apakah tak pernah terpikir olehmu bahwa seharusnya kau bisa menceritakan semua
padaku" Aku tahu Edward harus mengira tak ada jalan lagi supaya Aro juga mengira
begitu, tapi sebenarnya kau kan bisa memberitahu aku"
Beberapa saat Alice memandangiku dengan sikap berspekulasi.
"Kurasa tidak," tukasnya. "Kau kan bukan aktris yang baik."
"Jadi masalahnya adalah karena kemampuan aktingku?"
"Oh, turunkan sedikit suaramu, Bella. Apakah kau tak tahu betapa rumitnya
mengatur hal ini" Aku bahkan tidak tahu orang seperti Nahuel itu ada, yang
kutahu hanyalah bahwa aku harus mencari sesuatu yang tak bisa kulihat! Coba
bayangkan saja mencari blind spot bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Belum
lagi kami harus mengirim pulang saksi-saksi kunci, seolah kami tidak sedang
terburu-buru saja. Dan masih ditambah lagi dengan keharusan membuka mata lebarlebar, siapa tahu kau memutuskan untuk memberiku instruksi-instruksi tambahan.
Di suatu titik kau harus menjelaskan kepadaku apa sesungguhnya yang ada di Rio.
Selain semua itu, aku juga harus melihat setiap tipuan yang mungkin akan
digunakan keluarga Volturi dan memberimu sedikit petunjuk sebisaku, supaya kau
siap menghadapi siasat mereka, padahal aku hanya punya waktu beberapa jam untuk
melacak semua kemungkinan. Yang terutama, aku harus meyakinkan kalian semua
bahwa aku meninggalkan kalian, karena Aro harus merasa yakin dulu bahwa kalian
tidak menyembunyikan apa-apa atau dia takkan mengambil jalan keluar seperti yang
dilakukannya tadi. Dan kalau kaukira aku tidak merasa seperti orang brengsek.. "
"Oke, oke!" selaku. "Maaf! Aku tahu situasinya pasti juga berat bagimu. Hanya
saja... well, aku sangat merindukanmu, Alice. Jangan lakukan itu lagi padaku."
Tawa berdenting Alice membahana di seantero ruangan, dan kami tersenyum karena
bisa mendengar musik itu lagi. "Aku juga merindukanmu, Bella. Jadi maafkan aku,
dan cobalah merasa puas bisa menjadi superhero hari ini."
Yang lain tertawa sekarang dan aku membenamkan wajahku ke rambut Nessie, merasa
malu. Edward kembali menganalisis setiap perubahan niat dan kendali yang terjadi di
padang rumput hari ini, menyatakan bahwa perisaikulah yang membuat keluarga
Volturi lari pontang-panting dengan ekor terselip di antara kaki belakang. Cara
semua orang memandangku membuatku risi. Bahkan Edward juga. Aku merasa tubuhku
seolah-olah bertambah tinggi hanya dalam sekejap. Aku berusaha mengabaikan
tatapan kagum mereka dengan lebih banyak memandangi wajah Nessie yang tertidur
pulas serta ekspresi Jacob yang tak berubah. Aku tetap Bella bagi Jacob, dan itu
sangat melegakan. Tatapan yang paling sulit diabaikan adalah juga yang paling membuatku bingung.
Bukan berarti Nahuel, makhluk setengah manusia dan setengah vampir itu pernah
memiliki pikiran tertentu tentang aku. Bisa jadi ia mengira aku sudah biasa
menepis serangan para vampir yang datang menyerangku setiap hari dan pemandangan
di padang rumput tadi sama sekali bukan hal yang tidak biasa. Tapi pemuda itu
tak pernah mengalihkan tatapannya dariku. Atau mungkin juga ia memandangi
Nessie. Itu juga membuatku risi.
Ia pasti menyadari fakta bahwa Nessie adalah satu-satunya perempuan dari
jenisnya yang bukan saudari seayahnya.
Kurasa hal itu belum terpikirkan oleh Jacob, Aku berharap itu takkan terjadi
dalam waktu dekat. Sudah cukup rasanya aku mengalami perselisihan.
Akhirnya, yang lain-lain kehabisan pertanyaan untuk diajukan kepada Edward, dan
diskusi beralih ke hal-hal sepele.
Anehnya, aku merasa lelah. Tidak mengantuk, tentu saja, tapi rasanya seolah-olah
hari ini sangat panjang. Aku menginginkan kedamaian, situasi yang normal. Aku
ingin Nessie tidur di ranjangnya sendiri; aku ingin dikelilingi dinding rumahku
sendiri. Kutatap Edward dan sesaat rasanya seolah-olah aku bisa membaca pikirannya. Bisa
kulihat ia juga merasakan hal yang persis sama. Siap mendapatkan sedikit
kedamaian. "Apakah sebaiknya kita bawa Nessie..."
"Mungkin itu ide bagus," Edward langsung setuju. "Aku yakin dia pasti tidak
tidur nyenyak semalam, terganggu suara dengkuran."
Edward nyengir pada Jacob.
Jacob memutar bola matanya dan menguap. "Sudah lama sekali aku tak pernah lagi
tidur di tempat tidur. Taruhan, pasti ayahku jantungan melihatku pulang ke
rumah." Kusentuh pipinya. "Terima kasih, Jacob."
Jacob berdiri, menggeliat, dan mengecup puncak kepala Nessie, lalu puncak
kepalaku. Akhirnya, ia meninju bahu Edward. "Sampai ketemu lagi besok. Kurasa
keadaan sekarang pasti bakal sedikit membosankan, ya?"
"Aku benar-benar berharap begitu," jawab Edward.
Kami berdiri setelah ia pergi, aku bangkit dengan hati-hati supaya Nessie tidak
terguncang. Aku sangat bersyukur melihatnya tidur nyenyak. Begitu berat beban
yang disandangkan ke pundak mungilnya selama ini. Sekarang saatnya ia menjadi
anak-anak lagi terlindungi dan aman. Beberapa tahun lagi menikmati masa kanakkanak. Pikiran tentang kedamaian dan perasaan aman itu mengingatkanku pada seseorang
yang tidak merasakan hal itu,
"Oh, Jasper?" tanyaku waktu kami beranjak ke pintu.
Jasper duduk diapit Alice dan Esme, tidak seperti biasanya seolah menjadi titik
sentral di tengah keluarga, "Ya, Bella?"
"Hanya penasaran mengapa hanya mendengar namamu saja sudah membuat J. Jenks
ketakutan setengah mati?"
Jasper terkekeh. "Pengalaman mengajariku bahwa ada sebagian hubungan kerja yang
bisa berjalan baik bila termotivasi perasaan takut, bukan keuntungan keuangan
semata." Aku mengernyitkan kening dan berjanji dalam hati bahwa mulai sekarang aku akan
mengambil alih hubungan kerja itu dan menyelamatkan J dari kemungkinan terkena
serangan jantung yang pasti bakal terjadi.
Setelah acara peluk cium, kami berpamitan pada keluarga kami. Satu-satunya yang
mengganjal adalah Nahuel lagi, yang memandangi kami dengan tatapan tajam, seolah
berharap bisa mengikuti kami.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu berada di seberang sungai, kami berjalan dengan kecepatan yang tak
melebihi kecepatan manusia, tak terburu-buru, sambil bergandengan tangan. Aku
sudah capek selalu diburu-buru waktu, dan sekarang aku hanya ingin bersantai.
Edward pasti juga merasakan hal yang sama.
"Harus kuakui, aku sangat terkesan pada Jacob sekarang," kata Edward,
"Serigala-serigala itu benar-benar memberi dampak, kan?"
"Bukan itu maksudku. Hari ini tadi, tak sekali pun dia menularkan fakta bahwa,
berdasarkan kesaksian Nahuel, Nessie akan menjadi dewasa penuh hanya dalam enam
setengah tahun." Aku memikirkan perkataannya itu sebentar. "Jacob tidak melihat Nessie seperti
itu. Dia tidak ingin buru-buru melihat Nessie besar. Dia hanya ingin Nessie
bahagia," "Aku tahu. Seperti kataku tadi, mengesankan. Berlawanan dengan watakku untuk
mengatakan ini, tapi Nessie bisa saja mendapatkan pasangan yang lebih buruk."
Aku mengernyit. "Aku tidak mau memikirkan hal itu selama kira-kira enam setengah
tahun lagi." Edward tertawa dan mendesah. "Tentu saja, kelihatannya Jacob bakal punya saingan
yang perlu dikhawatirkan kalau saatnya tiba nanti."
Kerutan di keningku semakin dalam. "Aku juga melihatnya. Aku bersyukur Nahuel
datang hari ini, tapi caranya menatap Nessie sedikit aneh. Tak peduli jika
Nessie satu-satunya makhluk setengah vampir yang tidak memiliki hubungan darah
dengannya." "Oh, dia bukan menatap Nessie dia menatapmu."
Rasanya memang seperti itu... tapi rasanya itu tak masuk akal. "Mengapa bisa
begitu?" "Karena kau hidup," jawab Edward pelan. "Aku tidak mengerti."
"Seumur hidupnya," Edward menjelaskan "dan Nahuel lima puluh tahun lebih tua
dariku" "Tua bangka," selaku.
Edward tak menggubris kata-kataku. "Dia selalu menganggap dirinya sebagai
keturunan iblis, pembunuh berdarah dingin. Saudari-saudarinya semua juga
membunuh ibu masing-masing, tapi itu tidak membebani pikiran mereka, Joham
membesarkan mereka dengan pemikiran bahwa manusia sama saja dengan hewan,
sementara mereka dewa. Tapi Nahuel dibesarkan oleh Huilen, dan Huilen menyayangi
saudarinya lebih dari siapa pun. Itulah yang membentuk perspektif dalam dirinya.
Dan, dalam beberapa hal, Nahuel benar-benar membenci dirinya sendiri."
"Menyedihkan sekali," bisikku.
"Kemudian dia melihat kita bertiga dan untuk pertama kali menyadari bahwa hanya
karena dia setengah imortal, bukan berarti dia makhluk biadab. Dia menatapku dan
melihat... bagaimana ayahnya seharusnya bersikap."
"Kau memang sangat ideal dalam segala hal," aku sependapat.
Edward mendengus dan sikapnya kembali serius. "Dia menatapmu dan melihat
kehidupan yang seharusnya dimiliki ibunya"
"Kasihan Nahuel," gumamku, kemudian mendesah karena tahu aku takkan pernah
berpikir buruk tentang dirinya setelah ini, meskipun dia membuatku risi dengan
tatapannya. "Jangan sedih memikirkan dia. Dia bahagia sekarang. Hari ini dia akhirnya mulai
bisa memaafkan diri sendiri."
Aku tersenyum memikirkan kebahagiaan Nahuel, dan kemudian berpikir ini memang
hari yang penuh kebahagiaan. Walaupun pengorbanan Irina menjadi bayangan gelap
yang menodai cahaya putih, menghalangi kesempurnaan momen ini, namun kegembiraan
mustahil bisa disangkal. Hidup yang kuperjuangkan kini kembali aman. Keluargaku
dipersatukan. Putriku memiliki masa depan yang indah dan membentang luas tanpa
akhir di hadapannya. Besok aku akan menemui ayahku; ia akan melihat ketakutan di
mataku telah berganti jadi kegembiraan, dan ia juga akan merasa bahagia. Tibaiba, aku yakin ayahku tidak akan sendirian di sana. Selama beberapa minggu
terakhir aku tidak begitu memerhatikan, tapi saat ini seolah-olah aku sudah tahu
sejak dulu. Sue akan bersama-sama dengan Charlie ibu para werewolf dengan ayah
vampire dan Charlie takkan sendirian lagi. Aku tersenyum lebar menyadari hal
baru itu. Namun hal yang paling signifikan dalam gelombang kebahagiaan ini adalah fakta
yang paling pasti aku bersama Edward, Selamanya.
Bukan berarti aku mau mengulangi beberapa minggu terakhir ini, tapi harus kuakui
pengalaman ini membuatku lebih menghargai apa yang kumiliki, lebih dari
segalanya. Pondok bagaikan oase kedamaian di malam yang biru keperakan. Kami membawa Nessie
ke tempat tidur dan membaringkannya di sana. Ia tersenyum dalam tidurnya.
Aku membuka kalung hadiah Aro dari leherku dan melemparkannya ke sudut kamar
Nessie. Ia bisa bermain-main dengannya sesuka hati, ia suka benda-benda
berkilau. Edward dan aku berjalan lambat-lambat ke kamar kami, saling mengayun-ayunkan
lengan. "Malam untuk perayaan," bisik Edward, ia meletakkan tangannya di bawah daguku
dan membawa bibirku ke bibirnya.
"Tunggu," aku ragu-ragu, menarik diri.
Edward menatapku bingung. Biasanya, aku tak pernah menarik diri. Oke, ini memang
tidak biasa. Ini yang pertama kali.
"Aku ingin mencoba sesuatu," kataku, tersenyum kecil melihat ekspresinya yang
bingung. Aku meletakkan kedua tanganku di kedua sisi wajahnya dan memejamkan mata,
berkonsentrasi. Aku tidak begitu lihai melakukannya waktu Zafrina mengajariku sebelumnya, tapi
aku sudah lebih mengenal perisaiku sekarang. Aku memahami bagian yang berjuang
melawan pemisahan dariku, insting otomatis untuk menyelamatkan diri di atas
segalanya. Tetap tidak semudah menamengi orang-orang sekaligus dengan diriku sendiri. Aku
merasakan tarikan elastis itu melenting kembali sementara perisaiku berusaha
melindungiku. Aku harus mendorongnya sejauh mungkin dariku; dibutuhkan
konsentrasi sangat besar untuk melakukannya.
"Bella!" bisik Edward shock.
Saat itulah aku tahu usahaku berhasil, maka aku pun semakin keras
berkonsentrasi, memunculkan kembali kenangan-kenangan spesifik yang sengaja
kusimpan khusus untuk momen ini, membiarkan semuanya membanjiri pikiranku, dan
berharap mudah-mudahan itu semua juga membanjiri pikiran Edward.
Sebagian kenangan itu tidak jelas kenangan-kenangan samar sebagai manusia,
dilihat melalui mata yang lemah dan didengar oleh telinga yang lemah, saat
pertama kali aku melihat wajah Edward... bagaimana rasanya ketika ia memelukku
di padang rumput... suaranya dalam kegelapan menembus kesadaranku yang goyah
ketika ia menyelamatkanku dari James... wajahnya saat ia menunggu di bawah
kanopi bunga untuk menikahiku... setiap momen indah dari bulan madu kami di
pulau... tangan dinginnya menyentuh bayi kami melalui kulitku...
Dan kenangan-kenangan tajam, yang bisa diingat dengan jelas wajah Edward ketika
aku membuka mata di kehidupan baruku, fajar imortalitas yang tak pernah
berakhir... ciuman pertama itu... malam pertama itu...
Bibir Edward, tiba-tiba melumat ganas bibirku, membuyarkan konsentrasiku.
Terkesiap, aku kehilangan kendali atas perisai yang susah payah kujauhkan
dariku. Perisai itu melenting kembali bagaikan karet gelang yang diregangkan,
kembali melindungi pikiranku.
"Uuups, lepas!" desahku.
"Aku sudah mendengarmu tadi," desah Edward. "Bagaimana" Bagaimana caramu
melakukannya?" "Itu ide Zafrina. Kami melatihnya beberapa kali."
Edward bingung. Ia mengerjap dua kali dan menggeleng.
"Sekarang kau tahu," ujarku ringan, dan mengangkat bahu. "Tak pernah ada yang
mencintaimu sebesar cintaku padamu."
"Kau nyaris benar." Edward tersenyum, matanya masih sedikit lebih lebar daripada
biasanya. "Aku tahu hanya ada satu pengecualian."
"Pembohong." Edward mulai menciumku lagi, tapi tiba-tiba berhenti. "Bisakah kau melakukannya
lagi?" tanyanya. Aku meringis. "Sulit sekali."
Edward menunggu, ekspresinya penuh semangat.
"Aku tak bisa melakukannya kalau konsentrasiku terpecah sedikit saja," aku
mengingatkan dia. "Kalau begitu aku tidak akan nakal," Edward berjanji.
Aku mengerucutkan bibir, mataku menyipit. Kemudian aku tersenyum.
Aku menempelkan kedua tanganku ke wajahnya lagi, mengangkat perisai itu keluar
dari pikiranku, kemudian mulai dari saat pikiranku terputus tadi dengan kenangan
sejelas kristal dari malam pertama hidup baruku... berlama-lama dalam setiap
detailnya. Aku tertawa dengan napas terengah ketika ciuman Edward yang bergairah
membuyarkan usahaku lagi.
"Masa bodohlah," geram Edward, menciumi ujung daguku dengan penuh gairah.
"Masih banyak waktu untuk itu," aku mengingatkannya.
"Selama-lamanya," bisik Edward.
"Kedengarannya tepat sekali."
Kemudian kami melanjutkan dengan penuh bahagia dalam naungan kebahagiaan kami
yang sempurna selamanya. TAMAT INDEX VAMPIR Dikelompokkan Secara Alfabetis
Keterangan: * vampir yang memiliki kekuatan supranatural
- vampire yang memiliki pasangan
vampir sudah meninggal sebelum awal dari novel ini
Kelompok Amazon Kachiri Senna Zafrina* Kelompok Denali Eleazar* - Carmen Irina - Laurent
Kate* Sasha Tanya VasWi Kelompok Irlandia Maggie* Siobhan* - Liam Kelompok Mesir Amun - Kebi Benjamin* - Tia
Kelompok Olympic Carlisle - Esme Edward* - Bella* Jasper* - Alice* Renesmee* Rosalie - Emmett
Kelompok Rumania Stefan Vladimir Kelompok Volturi Aro* - Sulpicia Caius - Athenodora Marcus* - Dydyme*
Pengawal Volturi (sebagian)
Alec* Chelsea*-Afton* Corin* Demetri* Felix Heidi* Jane* Renata* Santiago Kaum Nomaden Amerika (sebagian)
Garreett James* - Victoria* Mary Peter - Charlotte Randall
Kaum Nomaden Eropa (sebagian)
Alistair* Charles* - Makenna CREDITS EBook by: 1. Otoy 2. AXRA 3. Riz Nesia Final Edited by: Riz Nesia
Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Pergolakan Di Istana Langkat 2 Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Si Pedang Tumpul 6

Cari Blog Ini