Ceritasilat Novel Online

Breaking Dawn 8

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 8


la terlihat sempurna, sehat walafiat. Kulitnya berkilau bagai pualam yang
bersinar-sinar; warna pipinya bagaikan kelopak mawar. Tak mungkin ada yang salah
dengan kecantikan yang begitu berkilau. Pasti tak ada yang lebih berbahaya dalam
hidupnya daripada ibunya. Benarkah begitu"
Perbedaan antara anak yang kulahirkan dengan bocah yang kutemui satu jam yang
lalu tampak jelas oleh siapa pun. Perbedaan antara Renesmee satu jam yang lalu
dengan Renesmee yang sekarang tidak begitu terlihat. Mata manusia takkan mungkin
mendeteksinya. Tapi perbedaan itu ada.
Tubuhnya sedikit lebih panjang. Memang hanya sedikit. Wajahnya tidak begitu
bundar; wajahnya semakin memanjang satu derajat setiap menitnya. Ikal rambutnya
tergantung seperenam belas inci di bawah bahunya. Ia menjulurkan tubuh dengan
sikap membantu dalam gendongan Rosalie waktu Carlisle menempelkan pita pengukur
ke tubuhnya lalu menggunakannya untuk melingkari kepalanya. Carlisle tidak perlu
mencatat; ingatannya sempurna.
Kulihat Jacob melipat kedua lengannya erat-erat di dada seperti kedua lengan
Edward yang merangkulku. Alisnya yang tebal bertaut membentuk garis di atas
matanya yang menjorok ke dalam,
Renesmee berkembang dari satu sel menjadi bayi berukuran normal hanya dalam
beberapa minggu. Ia sudah hampir terlihat seperti balita hanya beberapa hari
setelah kelahirannya. Kalau pertumbuhannya terus secepat ini...
Otak vampirku tidak mengalami kesulitan dalam berhitung.
"Kita harus bagaimana?" bisikku, ngeri.
Lengan Edward semakin erat memelukku. Ia mengerti benar maksud pertanyaanku.
"Aku tidak tahu."
"Pertumbuhannya melambat kok," gumam Jacob dari sela-sela giginya.
"Kita membutuhkan data pengukuran selama beberapa hari untuk mengetahui trennya,
Jacob. Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa."
"Kemarin dia tumbuh lima senti. Hari ini kurang dari itu."
"Perbedaannya sepertiga puluh dua inci, kalau pengukuranku sempurna," kata
Carlisle pelan. "Ukur yang sempurna, Dok," sergah Jacob, kata-katanya nyaris terdengar
mengancam. Rosalie mengejang.
"Kau tahu aku akan berusaha semampuku," Carlisle meyakinkan dia.
Jacob menghela napas. "Kurasa hanya itu yang bisa kuminta"
Lagi-lagi aku merasa jengkel, seolah-olah Jacob mengatakan hal-hal yang
seharusnya kukatakan, dan menyampaikannya dengan cara yang salah.
Renesmee juga terlihat jengkel. Ia mulai menggeliat-geliat dan mengulurkan
tangan dengan sikap angkuh pada Rosalie. Rosalie mencondongkan badan agar
Renesmee bisa menyentuh wajahnya. Sedetik kemudian Rose mendesah.
"Apa yang dia inginkan?" tuntut Jacob, mencuri kata-kataku lagi.
"Bella, tentu saja," Rosalie menjawab pertanyaan Jacob, dan kata-katanya membuat
hatiku sedikit hangat. Lalu ia berpaling padaku. "Bagaimana perasaanmu?"
"Khawatir," aku mengakui, dan Edward meremasku.
"Kami semua khawatir. Tapi bukan itu yang kumaksud."
"Aku bisa mengendalikan diri," janjiku. Dahaga berada dalam urutan terakhir
dalam daftarku sekarang. Selain itu, bau Renesmee sangat menyenangkan, bukan
dalam konotasi sebagai makanan.
Jacob menggigit bibir tapi tidak berusaha menghentikan Rosalie sementara ia
menyodorkan Renesmee padaku. Jasper dan Edward berdiri tak jauh dariku tapi
membiarkannya. Bisa kulihat betapa tegangnya Rose, dan aku penasaran bagaimana
Jasper merasakan suasana ruangan ini. Atau ia terlalu keras memfokuskan pikiran
padaku sehingga tak bisa merasakan perasaan yang lain-lain"
Renesmee menggapaiku sementara aku mengulurkan tangan untuk meraihnya, senyum
cemerlang menyinari wajahnya. Ia pas benar dalam gendonganku, seolah-olah
lenganku dibentuk khusus untuknya. Langsung saja ia menempelkan tangan kecilnya
yang panas ke pipiku. Walaupun sudah siap, tetap saja aku tersentak melihat kenangan seperti visi
dalam kepalaku. Begitu terang dan berwarna tapi sekaligus transparan.
Ia mengingat aku menyerang Jacob di halaman depan, mengingat Seth yang menerjang
di antara kami. Ia melihat dan mendengar semuanya dengan kejelasan sempurna.
Makhluk itu tidak terlihat seperti aku, predator anggun yang menerkam mangsanya
seperti panah melesat dari busur. Itu pasti orang lain. Itu membuatku merasa
sedikit tidak bersalah pada Jacob yang berdiri di sana tanpa membela diri
sedikit pun, kedua tangan terangkat di depannya. Kedua tangannya tidak bergetar.
Edward terkekeh, melihat pikiran-pikiran Renesmee bersamaku. Kemudian kami samasama meringis waktu mendengar tulang-tulang Seth berderak patah.
Renesmee menyunggingkan senyum briliannya, dan mata ingatannya sama sekali tak
luput menatap Jacob selama kekacauan yang berlangsung kemudian. Aku merasakan
rasa baru dalam ingatan itu-bukan protektif, tapi lebih condong posesif-saat ia
mengamati Jacob. Samar-samar aku mendapat kesan ia senang Seth menghalangi
terjanganku. Renesmee tak ingin Jacob terluka. Jacob miliknya.
"Oh, hebat," erangku. "Sempurna."
"Itu hanya karena rasa Jacob lebih enak daripada kita yang lain," Edward
meyakinkanku, suaranya kaku karena kesal.
"Sudah kubilang, dia juga suka padaku," goda Jacob dari seberang ruangan,
matanya tertuju pada Renesmee. Candanya setengah hati; kerutan alisnya yang
tegang tak kunjung mengendur.
Renesmee menepuk-nepuk wajahku dengan sikap tak sabar, menuntut perhatianku.
Kenangan lain: Rosalie menyisir rambut ikalnya dengan lembut. Rasanya
menyenangkan. Carlisle dan pita pengukurnya, tahu ia harus menegakkan badan dan tidak boleh
bergerak- gerak. Itu tidak menarik baginya.
"Kelihatannya dia akan melaporkan semua yang terlewatkan olehmu," Edward
berkomentar di telingaku.
Hidungku mengernyit ketika Renesmee memasukkan kenangan lain dalam benakku. Bau
yang berasal dari cangkir logam aneh-cukup keras sehingga tidak gampang digigitmembuat kerongkonganku langsung terbakar saking hausnya. Aduh.
Lalu Renesmee lenyap dari gendonganku, dan kedua lenganku dipiting ke belakang.
Aku tidak memberontak dari Jasper; aku hanya memandangi wajah Edward yang
ketakutan. "Memangnya apa yang kulakukan tadi?"
Edward memandang Jasper di belakangku, lalu padaku lagi.
"Tapi Bella mengingat saat dia merasa haus," gumam Edward, keningnya berkerutkerut. "Dia mengingat bagaimana rasanya darah manusia."
Jasper memiting lenganku semakin erat. Sebagian otakku menyadari tindakannya itu
tidak terlalu membuatku merasa tidak nyaman, apalagi kesakitan, seperti saat aku
masih menjadi manusia. Hanya menjengkelkan. Aku yakin sanggup mematahkan
piringannya, tapi aku sengaja tak mau melawan.
"Ya," aku membenarkan. "Dan?"
Edward mengerutkan kening padaku, lalu ekspresinya melunak. Ia tertawa. "Dan
tidak apa-apa, sepertinya. Kali ini aku yang bereaksi terlalu berlebihan. Jazz,
lepaskan dia." Tangan yang memitingku lenyap. Aku langsung mengulurkan tanganku lagi pada
Renesmee. Edward menyerahkannya padaku tanpa ragu.
"Aku tidak mengerti," kata Jasper. "Aku tak sanggup lagi."
Dengan kaget kulihat Jasper menghambur keluar dari pintu belakang. Leah beranjak
menjauhinya waktu Jasper mondar-mandir di tepi sungai lalu melompat ke seberang
hanya dalam sekali lompatan.
Renesmee menyentuh leherku, langsung memutar kembali adegan kepergian Jasper
tadi, seperti instant replay. Aku bisa merasakan pertanyaan dalam pikirannya,
menggemakan pikiranku sendiri.
Belum-belum aku sudah shock berat melihat bakat Renesmee yang aneh ini.
Tampaknya seperti bagian yang sangat natural, nyaris seperti sudah bisa diduga.
Mungkin karena sekarang aku sendiri sudah menjadi bagian dari sesuatu yang
supranatural itu, aku takkan pernah lagi merasa skeptis.
Tapi Jasper tadi kenapa"
"Nanti juga dia kembali," kata Edward, entah padaku atau Renesmee, aku tak
yakin. "Ia hanya butuh sendirian untuk menyesuaikan kembali perspektirhya
tentang hidup." Tampak sudut-sudut mulut Edward sedikit bergetar, seperti
menahan seringaian. Lagi-lagi kenangan manusia-Edward mengatakan kepadaku Jasper akan lebih bisa
menerima diri sendiri kalau aku "mengalami kesulitan menyesuaikan diri" sebagai
vampir. Itu ia katakan saat kami sedang mendiskusikan kemungkinan berapa banyak
orang yang akan kubunuh pada tahun pertamaku sebagai vampir baru.
"Dia marah padaku?" tanyaku pelan.
Mata Edward membelalak. "Tidak. Mengapa mesti marah?"
"Kalau begitu dia kenapa?"
"Dia kesal pada dirinya sendiri, bukan padamu, Bella. Dia khawatir tentang...
nubuat yang digenapi sendiri, kurasa bisa dikatakan begitu."
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Carlisle sebelum aku sempat bertanya.
"Dia penasaran apakah kegilaan vampir baru itu benar-benar sesulit yang kita
kira selama ini, atau apakah, dengan fokus dan sikap yang benar, siapa pun bisa
bersikap setenang Bella. Bahkan sekarang-mungkin Jasper merasa itu sulit karena
dia yakin kegilaan itu alami dan tak bisa dihindari. Mungkin kalau dia
mengharapkan yang lebih dari dirinya, dia akan bisa memenuhi harapan itu. Kau
membuatnya mempertanyakan banyak asumsi yang sudah berurat akar selama ini,
Bella." "Tapi itu kan tidak adil," sergah Carlisle. "Semua orang berbeda; semua punya
tantangannya masing-masing. Mungkin yang Bella lakukan melebihi yang alami.
Mungkin ini kelebihannya, begitulah,"
Aku membeku kaget. Renesmee merasakan perubahan itu, dan menyentuhku. Ia
mengingat detik terakhir dan ingin tahu mengapa.
"Itu teori yang menarik, dan cukup masuk akal" kata Edward,
Sesaat aku sempat kecewa. Apa" Tidak ada visi ajaib, bakat menyerang yang
mengagumkan seperti, oh, menembakkan sinar kilat dari mataku atau sebangsanya"
Tidak ada bakat yang berguna atau benar-benar bebat"
Kemudian sadarlah aku apa artinya itu, bahwa "kemampuan superku" tak lebih dari
pengendalian diri yang luar biasa.
Pertama, setidaknya aku punya bakat. Soalnya bisa saja aku tidak punya apa-apa,
tapi jauh lebih penting daripada itu, kalau Edward benar, itu berarti aku bisa
langsung melewati bagian yang paling kutakutkan.
Bagaimana kalau aku tidak perlu menjadi vampir baru" Dalam arti bukan vampir
gila yang ibarat mesin pembunuh. Bagaimana kalau aku bisa langsung menyesuaikan
diri dengan keluarga Cullen sejak hari pertamaku" Bagaimana kalau kami tidak
perlu bersembunyi di suatu tempat terpencil selama satu tahun, menungguku
"matang?" Bagaimana kalau, seperti Carlisle, aku tak pernah membunuh satu
manusia pun" Bagaimana kalau aku bisa langsung menjadi vampir baik"
Aku bisa bertemu Charlie.
Aku mengembuskan napas begitu realita menyela harapan itu. Aku tidak bisa
langsung menemui Charlie. Karena mata, suara, wajahku yang disempurnakan. Apa
yang bisa kukatakan padanya; bagaimana aku bahkan bisa memulainya" Diam-diam aku
senang memiliki alasan untuk menunda sementara pertemuan itu; walaupun aku
sangat ingin mencari cara untuk mempertahankan Charlie dalam hidupku, aku takut
sekali menantikan pertemuan pertama itu. Melihat matanya membelalak saat ia
melihat wajah baruku, kulit baruku. Tahu bahwa ia takut. Penasaran penjelasan
mengerikan apa yang bakal terbentuk dalam pikirannya.
Aku cukup pengecut untuk menunggu satu tahun sementara warna mataku memudar.
Padahal selama ini kukira aku takkan merasa takut lagi kalau nanti aku sudah
menjadi makhluk yang tak bisa dihancurkan,
"Pernahkah kau melihat hal seperti pengendalian diri sebagai suatu bakat?"
Edward bertanya kepada Carlisle. "Kau benar-benar menganggap ini bakat, atau
hanya hasil dari semua persiapan Bella?"
Carlisle mengangkat bahu. "Memang agak mirip dengan apa yang selama ini bisa
dilakukan Siobhan, walaupun dia tidak menganggap itu bakat."
"Siobhan, temanmu di kelompok Irlandia itu?" tanya Rosalie. "Aku malah tidak
tahu dia punya kemampuan khusus. Kusangka justru Maggie yang berbakat dalam
kelompok itu." "Ya, Siobhan juga merasakan hal yang sama. Tapi dia memiliki ciri khas dalam
menetapkan target-targetnya dan kemudian nyaris... mewujudkannya menjadi
kenyataan. Dia menganggapnya perencanaan yang baik, tapi aku penasaran apakah
itu lebih dari sekadar perencanaan. Waktu dia memasukkan Maggie ke kelompoknya,
misalnya. Liam sangat teritorial, tapi Siobhan ingin itu berhasil, maka itu pun
berhasil." Edward, Carlisle, dan Rosalie duduk di kursi sambil melanjutkan diskusi mereka.
Jacob duduk di sebelah Seth dengan sikap protektif, terlihat bosan. Menilik
kelopak matanya yang berat, aku yakin ia akan tidur selama beberapa saat.
Aku ikut mendengarkan, tapi perhatianku terbagi. Renesmee masih "menceritakan"
harinya padaku. Aku mendekapnya di dekat jendela, kedua lenganku otomatis
menepuk-nepuknya sementara kami bertatapan.
Sadarlah aku yang lain tak punya alasan untuk duduk. Aku merasa nyaman-nyaman
saja berdiri terus. Sama nyamannya dengan tidur berselonjor di tempat tidur. Aku
tahu aku akan sanggup berdiri terus seperti ini selama satu minggu tanpa
bergerak dan akan tetap merasa serileks hari pertama pada akhir hari ketujuh
nanti. Mereka duduk hanya karena terbiasa. Karena manusia pasti akan merasa ada yang
aneh bila melihat seseorang berdiri berjam-jam tanpa menggerakkan badan dan
memindahkan tumpuan pada kaki yang lain. Bahkan sekarang, kulihat Rosalie
mengusapkan jari-jarinya ke rambut dan Carlisle menyilangkan kakinya. Gerakangerakan kecil agar tidak terlihat terlalu diam, terlalu vampir. Aku harus
mencermati apa yang mereka lakukan dan mulai berlatih.
Aku beralih menumpukan berat badanku pada kaki kiri. Rasanya konyol.
Mungkin mereka hanya berusaha memberiku kesempatan berduaan saja dengan bayikusendiri tapi tetap aman. Renesmee menceritakan setiap menit yang terjadi dalam hidupnya padaku, dan
menilik maksud yang ia tekankan pada setiap cerita-cerita kecilnya, aku mendapat
kesan ia ingin aku mengenalnya hingga ke hal-hal terkecil, sama seperti aku
ingin ia tahu hal-hal terkecil mengenai diriku. Ia khawatir karena aku
melewatkan banyak hal-seperti misalnya, burung-burung gagak yang melompat
semakin dekat ketika Jacob menggendongnya, mereka berdua duduk diam tak bergerak
di samping pohon cemara besar; burung-burung itu tidak mau mendekati Rosalie.
Atau tentang benda putih yang sangat menjijikkan-susu formula bayi-yang
dimasukkan Carlisle ke cangkir; baunya seperti tanah masam. Atau lagu yang
didendangkan Edward dengan begitu sempurna untuknya sampai-sampai Renesmee
memutarkan adegan itu untukku dua kali; aku terkejut karena aku berada di latar
belakang dalam kenangan itu, diam tak bergerak tapi tidak tampak terlalu
berantakan. Aku bergidik, mengingat waktu itu dari sudut pandangku sendiri. Api
yang menyiksa... Setelah hampir satu jam-yang lain masih asyik dengan diskusi mereka. Seth dan
Jacob mendengkur berirama di sofa-cerita-cerita kenangan Renesmee mulai
melambat. Gambar-gambar itu mulai mengabur di bagian pinggir dan kehilangan
fokus sebelum sampai pada bagian kesimpulan. Aku baru hendak menginterupsi
Edward dengan panik-apakah ada yang tidak beres dengan Renesmee"-waktu kelopak
mata Renesmee menggeletar kemudian menutup. Ia menguap, bibir pinknya yang
montok membentuk huruf O, dan matanya tidak terbuka lagi.
Tangannya terkulai dari wajahku saat ia terhanyut dalam tidur-bagian belakang
kelopak matanya berwarna keunguan pucat, seperti warna awan-awan tipis sebelum
matahari terbit. Berhati-hati agar tidak mengusiknya, aku mengangkat tangannya
dan menempelkannya lagi ke kulitku dengan sikap ingin tahu. Mulanya tak ada apaapa, kemudian, beberapa menit kemudian, sekelebat warna bagaikan sekelompok
kupu-kupu beterbangan dari pikirannya,
Tersihir, aku menonton mimpi-mimpinya. Tak ada yang masuk akal. Hanya warnawarna, bentuk-bentuk dan wajah-wajah. Aku senang melihat betapa seringnya
wajahku-kedua wajahku, sebagai manusia yang jelek dan makhluk abadi yang
memesona-muncul dalam pikiran bawah sadarnya. Lebih daripada Edward atau
Rosalie. Jumlahnya hampir sama banyak dengan Jacob; aku berusaha untuk tidak
membiarkan itu mengusik perasaanku.
Untuk pertama kali aku mengerti bagaimana Edward sanggup menontonku tidur setiap
malam, padahal menurutku itu membosankan, hanya untuk mendengarku bicara dalam
tidurku. Aku juga sanggup menonton Renesmee bermimpi selamanya.
Perubahan pada nada suara Edward menarik perhatianku waktu ia berkata,
"Akhirnya," dan berpaling untuk memandang ke luar jendela. Di luar malam hitam
pekat, tapi aku bisa melihat sejauh sebelumnya. Tak ada yang tersembunyi dalam
kegelapan; segala sesuatu hanya berubah warna.
Leah, masih merengut, bangkit dan menyelinap ke semak-semak begitu Alice muncul
dari sisi seberang sungai. Alice berayun dari satu cabang ke cabang lain seperti
pemain sirkus, jari kaki menyentuh tangan, sebelum melontarkan tubuhnya ke
seberang sungai dalam gerakan berjumpalitan anggun. Esme melompat secara
tradisional, sementara Emmett menerjang permukaan air, mencipratkan air hingga
jauh mengenai jendela-jendela rumah bagian belakang. Yang mengejutkan, Jasper


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyusul tak lama kemudian, lompatannya yang efisien tampak biasa-biasa saja,
bahkan halus, dibandingkan yang lain-lain.
Cengiran lebar yang menghiasi wajah Alice samar-samar terasa akrab di otakku.
Semua orang tiba-tiba tersenyum padaku-senyum Esme yang manis, Emmett yang
kegirangan, Rosalie yang agak superior, Carlisle yang sabar, dan Edward yang
penuh harap. Alice melesat memasuki ruangan mendahului yang lain, tangannya terulur dan
ketidaksabaran menghasilkan aura yang hampir bisa dilihat di sekelilingnya. Di
telapak tangannya tergeletak anak kunci kuningan biasa, dihias pita satin pink
berukuran sangat besar. la menyodorkan kunci itu padaku, dan aku otomatis mendekap Renesmee lebih erat
lagi di lengan kananku agar bisa membuka telapak tangan kiriku. Alice
menjatuhkan kunci itu ke sana.
"Selamat ulang tahun!" pekik Alice.
Kuputar bola mataku. "Tidak ada yang menghitung ulang tahun dari tanggal kau
dilahirkan" aku mengingatkan dia. "Ulang tahun pertamaku baru tahun depan,
Alice." Cengiran Alice berubah jadi senyuman puas, "Kita bukan merayakan ulang tahunmu
sebagai vampir. Belum. Sekarang tanggal 13 September, Bella. Selamat ulang tahun
yang kesembilan belas!"
24. KEJUTAN "Tidak, Tidak mau!" Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat kemudian melirik senyum
puas suamiku yang berwajah bak pemuda tujuh belas tahun itu, "Tidak, ini tidak
termasuk. Aku kan sudah berhenti menua tiga hari yang lalu. Aku akan berumur
delapan belas tahun selamanya"
"Terserah," tukas Alice, mengabaikan protesku dengan mengangkat bahu cepat.
"Pokoknya kita akan tetap merayakan, jadi terima nasib sajalah "
Aku mendesah. Jarang memang bisa menang berdebat melawan Alice.
Cengirannya semakin lebar begitu ia membaca sorot pasrah di mataku,
"Sudah siap membuka hadiahmu?" dendang Alice.
"Hadiah-hadiah" Edward mengoreksi, dan menarik anak kunci lain-kali ini lebih
panjang dan berwarna perak, dengan pita biru yang tidak terlalu norak-dari
sakunya. Susah payah aku menahan diri agar tidak memutar bola mataku. Aku langsung tahu
kunci apa itu-"kunci mobil sesudah" Dalam hati aku bertanya-tanya apakah aku
harus merasa girang. Rasanya perubahanku menjadi vampir tak lantas membuatku
mendadak tertarik pada mobil-mobil sports.
"Punyaku duluan," sergah Alice, lalu menjulurkan lidah, sudah bisa melihat
jawaban yang akan dilontarkan Edward.
"Punyaku lebih dekat."
"Tapi coba saja lihat caranya berpakaian" Kata-kata Alice nyaris berupa erangan.
"Tanganku sampai gatal melihatnya seharian ini. Itu jelas prioritas."
Alisku berkerut sementara dalam hati aku penasaran bagaimana bisa anak kunci
membuatku mendapat baju-baju baru. Apakah ia menghadiahiku baju sebagasi penuh"
"Aku tahu-kita suit," Alice menyarankan. "Batu, kertas, gunting."
Jasper terkekeh dan Edward mendesah.
"Mengapa tidak kaubilang saja padaku siapa yang menang?" tukas Edward kecut.
Alice berseri-seri. "Aku yang menang. Bagus sekali."
"Mungkin lebih baik aku menunggu sampai pagi saja." Edward tersenyum miring
padaku kemudian mengangguk kepada Jacob dan Seth, yang kelihatannya bakal tidur
pulas sepanjang malam; aku jadi penasaran sudah berapa lama mereka tidak tidur
kali ini. "Kurasa akan lebih menyenangkan kalau Jacob sudah bangun dan melihat
kadonya dibuka" Jadi di sana ada orang yang bisa mengekspresikan antusiasme
dengan tepat?" Aku balas menyeringai. Edward tahu benar bagaimana aku.
"Yuhun!" dendang Alice. "Bella, berikan Ness-Renesmee pada Rosalie."
"Biasanya dia tidur di mana?"
Alice mengangkat bahu. "Dalam gendongan Rose. Atau Jacob Atau Esme. Kau tahu
sendirilah. Seumur hidupnya dia buimu pernah diletakkan. Dia akan jadi makhluk
separo vampir paling manja sepanjang eksistensi."
Edward tertawa sementara Rosalie mengambil alih Renesmee dengan ahlinya dari
pelukanku. "Dia juga makhluk separo vampir yang paling tidak manja," sergah
Rosalie. "Itulah enaknya menjadi makhluk yang tak ada duanya di dunia ini."
Rosalie nyengir padaku, dan aku gembira melihat persahabatan baru di antara kami
masih ada dalam senyumnya. Padahal awalnya aku tak yakin persahabatan kami akan
bertahan setelah hidup Renesmee tak lagi terhubung denganku. Tapi mungkin kami
sudah cukup lama berjuang di pihak yang sama sehingga kami akan selalu berteman
sekarang. Akhirnya aku mengambil pilihan yang sama dengan yang akan diambilnya
seandainya ia berada di tempatku. Sepertinya itu melenyapkan kebenciannya atas
semua pilihanku yang lain.
Alice menyurukkan kunci berhias pita itu ke tanganku, lalu ia nyambar sikuku dan
menggiringku ke pintu belakang.
"Ayo, ayo," serunya ceria.
"Di luar, ya?" "Begitulah," jawab Alice, mendorongku maju. "Nikmati hadiahmu," seru Rosalie.
"Itu dari kami semua dan utama Esme."
"kalian tidak ikut?" Sadarlah aku tak seorang pun beranjak.
"Kami akan memberimu kesempatan menikmatinya sendiri," jawab Rosalie. "Kau bisa
menceritakannya pada kami... nanti."
Emmett tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa suara tawanya membuat pipiku
memerah, walaupun aku tak tahu sebabnya.
Kusadari banyak hal tentang aku-seperti benar-benar membenci kejutan, dan
terlebih-lebih lagi, tidak menyukai hadiah secara umum-ternyata belum berubah
sedikit pun. Sungguh melegakan mendapati banyak sifat dasarku ikut bersamaku
dalam tubuh baruku ini. Aku tidak mengira akan menjadi diriku sendiri. Aku tersenyum lebar.
Alice menarik-narik sikuku, dan aku tak bisa berhenti tersenyum saat
mengikutinya memasuki malam yang ungu pekat. Hanya Edward yang ikut bersama
kami. "Itu baru antusias namanya," gumam Alice menyetujui. Lalu ia melepaskan
lenganku, melompat kecil dua kali, lalu melompat menyeberang sungai.
"Ayo, Bella," serunya dari seberang sungai.
Edward melompat bersamaan denganku; ini sama menyenangkannya dengan siang tadi.
Mungkin sedikit lebih menyenangkan karena malam mengubah segalanya jadi warnawarna baru yang kaya. Alice berlari bersama kami yang menempel ketat di belakangnya, menuju ke arah
utara. Lebih mudah mengikuti suara kakinya yang mendesir di tanah dan jejak baru
aroma tubuhnya daripada melihatnya terus melalui vegetasi yang lebat.
Tanpa pertanda yang bisa kulihat, ia berbalik cepat dan merangsek kembali ke
tempat aku berhenti. "Jangan menyerangku," ia memperingatkan, lalu melesat mendekatiku.
"Apa-apaan kau?" tuntutku, menggeliat-geliat saat ia bergegas menaiki punggungku
dan menempelkan kedua tangannya ke wajahku. Aku merasakan dorongan untuk
melemparkannya, tapi kutahan.
"Memastikan kau tak bisa melihat."
"Aku bisa memastikan hal yang sama tanpa aksi teatrikal itu," Edward menawarkan
diri. "Kau mungkin akan membiarkannya berbuat curang. Gandeng dia dan tuntun maju."
"Alice, aku... "
'Tidak usah membantah, Bella. Kita akan melakukannya, ini caraku."
Aku merasakan jari-jemari Edward menyusup ke jari-jariku, lingual beberapa detik
lagi, Bella. Kemudian dia bisa pergi dan membuat jengkel orang lain." Edward
menarikku maju. Aku mengikuti dengan mudah. Aku tidak takut menabrak pohon;
pohonnya yang justru bakal roboh kalau kutabrak.
"Sebaiknya kau juga menunjukkan rasa terima kasihmu," tegur Alice padanya. "Ini
juga untukmu, bukan hanya untuk Bella."
"Benar. Terima kasih sekali lagi, Alice."
"Yeah, yeah. Oke." Suara Alice tiba-tiba meninggi karena kegembiraan. "Berhenti
di sana. Arahkan dia sedikit ke kanan. Ya, seperti itu. Oke. Kau siap?" serunya.
"Aku siap." Ada bau-bau baru di sini, memicu perhatianku, meningkatkan rasa ingin tahuku.
Bau-bau yang tak seharusnya ada di pelosok hutan. Kamperfuli. Asap. Mawar.
Serbuk gergaji" Ada bau mirip logam juga. Bau subur tanah, digali dan itipipor
udara. Aku mencondongkan tubuh ke arah misteri.
Alice melompat turun dari punggungku, melepaskan tangannya yang menutupi mataku.
Aku memandang kegelapan berwarna ungu tua itu. Di sana di lapangan terbuka kecil
di tengah hutan, berdiri pondok batu mungil, abu-abu keunguan di bawah taburan
cahaya bintang. Pondok itu terlihat sangat pantas berada di sini, seperti tumbuh dari batu,
formasi alami. Kamperfuli merayapi satu bagian dinding seperti pola-pola
geometris, meliuk-liuk tinggi sampai ke atas atap papan yang tebal. Mawar-mawar
akhir musim panas berkembang di sepetak taman mungil di bawah sepasang jendela
gelap yang menjorok ke dalam. Ada jalan setapak kecil tersusun dari batu-batu
ceper, berwarna amethyst di keremangan malam, yang mengarah ke pintu kayu
melengkung yang aneh. Kuremas kunci di tanganku, shock,
"Bagaimana menurutmu?" Suara Alice lembut sekarang; pas sekali dengan
pemandangan yang tenteram dan damai seperti dalam buku-buku dongeng.
Kubuka mulut tapi tidak berkata apa-apa.
"Esme berpendapat mungkin kita ingin punya tempat tinggal sendiri untuk
sementara waktu, tapi dia tidak ingin kita terlalu jauh," bisik Edward. "Dan dia
senang ada alasan untuk melakukan renovasi. Pondok kecil ini setidaknya sudah
berdiri sejak seratus tahun lalu, menjadi rongsokan,"
Aku terus saja memandangi pondok itu, mulutku megap-megap seperti ikan.
"Kau tidak suka, ya?" Wajah Alice berubah kecewa. "Maksudku, aku yakin kami bisa
menatanya dengan cara berbeda, kalau kau mau. Emmett sebenarnya sudah siap
menambah ruangan beberapa ratus meter persegi lagi, membuat lantai dua, tiangtiang dan menara, tapi Esme berpendapat kau lebih suka penampilan pondok ini
sebagaimana adanya." Suaranya mulai meninggi, semakin cepat. "Kalau dia keliru,
kita bisa kembali bekerja. Tidak butuh waktu lama kok,,."
"Ssst!" akhirnya aku bisa juga bersuara.
Alice mengatupkan bibir rapat-rapat dan menunggu. Butuh beberapa detik bagiku
untuk memulihkan diri dari kekagetan.
"Kalian memberiku rumah untuk hadiah ulang tahun?" bisikku.
"Kita," Edward mengoreksi. "Dan ini hanya pondok, tidak lebih. Menurutku yang
namanya rumah harus lebih besar daripada ini."
"Tak boleh menghancurkan rumahku," bisikku padanya.
Alice langsung berseri-seri. "Kau menyukainya."
Aku menggeleng. "Suka sekali?" Aku mengangguk. "Aku tidak sabar lagi ingin segera memberitahu Esme!"
"Mengapa dia tidak datang?"
Senyum Alice sedikit memudar, tidak seceria tadi, seolah-olah pertanyaanku sulit
dijawab. "Oh, kau tahu sendirilah.,, mereka semua ingat bagaimana tanggapanmu
kalau diberi hadiah. Mereka tak ingin membuatmu tertekan dan merasa harus
menyukainya." "Tapi tentu saja aku sangat menyukainya. Bagaimana tidak?"
"Mereka pasti senang mendengarnya." Alice menepuk-nepuk lenganku. "Omong-omong,
lemari pakaianmu sudah terisi lengkap. Gunakan dengan bijaksana. Dan... kurasa
hanya ini." "Memangnya kau tidak akan masuk ke dalam?"
Alice melenggang mundur beberapa meter dengan santai. "Edward bisa
menunjukkannya padamu. Aku akan mampir... nanti. Telepon aku kalau kau tak bisa
memadupadankan bajumu dengan benar." Ia melayangkan pandangan ragu padaku, lalu
tersenyum, "Jazz ingin berburu. Sampai nanti."
Ia melesat ke terigali pepohonan, bagaikan peluru paling anggun.
"Aneh," ujarku setelah suara kepergian Alice lenyap sama sekali. "Benarkah aku
separah itu" Mereka tak perlu sampai tidak ikut. Sekarang aku jadi merasa
bersalah. Aku bahkan tidak mengucapkan terima kasih dengan benar. Sebaiknya kita
kembali, mengatakan pada Esme... "
"Bella, jangan konyol. Tak ada yang menganggapmu tidak tahu berterima kasih."
"Kalau begitu apa... "
"Waktu untuk berdua adalah hadiah mereka yang lain. Alice berusaha mengatakannya
secara halus tadi." "Oh." Perkataan itu cukup untuk membuat rumah itu lenyap. Kami bisa berada di mana
saja. Aku tidak melihat pohon-pohon, batu-batu, atau bintang-bintang. Yang ada
hanya Edward. "Mari kutunjukkan apa yang telah mereka lakukan," kata Edward, menarik tanganku.
Tidakkah ia menyadari arus listrik yang berdenyut-denyut di sekujur tubuhku
seperti darah yang terpacu adrenalin"
Sekali lagi aku merasa gamang, menunggu reaksi yang tak mampu lagi diberikan
tubuhku. Saat ini jantungku seharusnya menggemuruh seolah-olah ada mesin uap
hendak menabrak kami. Memekakkan telinga. Seharusnya pipiku saat ini berubah
warna jadi merah terang. Selain itu, seharusnya aku merasa letih. Hari ini hari paling melelahkan seumur
hidupku. Aku tertawa keras-keras-hanya tawa kecil shock-begitu menyadari hari ini takkan
pernah berakhir. "Apa kau akan memberitahukan leluconnya padaku?"
"Leluconnya tidak begitu bagus kok" kataku saat Edward menuntunku ke pintu kecil
bundar, "Aku tadi hanya berpikir-hari ini adalah hari pertama dan terakhir dari
selamanya. Agak sulit mencernanya dalam pikiranku. Bahkan walaupun ada ruang
ekstra di dalamnya untuk berpikir."
Lagi-lagi aku tertawa. Edward ikut terkekeh. Ia mengulurkan tangan ke kenop pintu, memberiku kehormatan
untuk membukanya. Kumasukkan kunci ke lubang kunci dan kuputar.
"Kau sangat alami dalam hal ini, Bella; aku lupa betapa sangat aneh pastinya
semua ini bagimu. Seandainya aku bisa mendengarnya'.' Ia merunduk dan menyambar
tubuhku, membopongnya, begitu cepat sampai aku tidak menyadari maksud Edwarddan itu benar-benar hebat.
"Hei!" "Ambang pintu adalah bagian dari tugasku," Edward mengingatkan. "Tapi aku
penasaran. Katakan padaku apa yang kaupikirkan sekarang."
Ia membuka pintu-pintu terbuka nyaris tanpa berderit- dan melangkah memasuki
ruang tamu mungil berdinding batu.
"Semuanya," kataku. "Semua pada saat betsamaan, kau tahu. Hal-hal baik, hal-hal
yang perlu dikhawatirkan, dan hal-hal baru. Bagaimana aku terus-menerus
menggunakan terlalu banyak kata-kata yang berlebihan dalam kepalaku. Sekarang
ini yang kupikirkan adalah bahwa Esme seniman. Ini benar-benar sempurna!"
Ruangan dalam pondok itu terkesan seperti berada di negeri dongeng. Lantainya
seakan tertutup permadani halus dari batu yang datar. Langit-langitnya yang
rendah terbuat dari balok-balok kayu panjang yang terbukai. Orang setinggi Jacob
kepalanya pasti akan terbentur. Dinding-dindingnya kayu hangat di beberapa
tempat, mosaik batu di tempat-tempat lain. Perapian berbentuk sarang lebah yang
terletak di sudut ruangan masih menyisakan api kecil yang menggeletar pelan.
Pembakarannya menggunakan driftwood-apinya yang kecil berwarna biru dan hijau
karena garam. Perabotannya semua ekletik, tak satu pun yang sama, namun tetap harmonis. Satu
kursi tampaknya seperti berasal dari abad pertengahan, sementara sebuah ottoman
rendah yang diletakkan dekat perapian modelnya lebih kontemporer, dan rak buku
yang penuh berisi buku di jendela ujung sana mengingatkanku pada setting filmfilm yang lokasi syutingnya di Italia. Entah bagaimana setiap perabot serasi
satu sama lain bagaikan puzzle besar tiga dimensi. Ada beberapa lukisan di
dinding yang kukenali- sebagian adalah lukisan favoritku dari rumah besar. Tak
diragukan lagi, itu lukisan-lukisan asli yang tak ternilai harganya, tapi
sepertinya lukisan-lukisan itu memang seharusnya berada di sini, seperti semua
perabotan lain. Ini tempat di mana setiap orang bakal percaya keajaiban benar-benar ada. Tempat
di mana kau berharap akan melihat Putri Salju mendadak muncul sambil memegang
apel di tangan, atau unicom datang memakan semak mawar.
Edward selalu menganggap dirinya berasal dari dunia kisah-kisah horor. Tentu
saja, aku sudah tahu ia keliru besar. Jelas ia berasal dari SINI. Dari negeri
dongeng. Dan sekarang aku berada dalam dongeng itu bersamanya.
Aku baru saja hendak memanfaatkan fakta bahwa ia belum sempat menurunkanku dan"
gendongannya dan bahwa wajahnya yang rupawan hanya berjarak beberapa sentimeter
saja dari wajahku waktu mendadak Edward berkata, "Kita beruntung bahwa terpikir
oleh Esme untuk membuat ruang tambahan. Tak ada yang merencanakan kehadiran


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ness- Renesmee." Aku mengerutkan kening padanya, pikiranku mengarah pada jalur yang kurang
menyenangkan. "Masa kau juga memanggilnya begitu," protesku.
"Maaf, Sayang. Aku mendengarnya dalam pikiran mereka setiap saat, kau tahu itu.
Jadi lama-lama terpengaruh juga."
Aku mengeluh. Bayiku, si monster danau. Mungkin memang tak tertolong lagi, Well,
aku tidak mau menyerah. "Aku yakin kau pasti sudah tak sabar lagi ingin segera melihat isi lemari. Atau
setidaknya aku akan memberitahu Alice bahwa kau merasa begitu, untuk
menyenangkan hatinya."
"Apakah sebaiknya aku merasa takut?"
"Ketakutan." Edward membopongku menyusuri lorong batu sempit dengan lengkungan-lengkungan
kecil di langit-langit, seperti miniatur kastil milik kami sendiri.
"Nanti itu akan jadi kamar Renesmee," tunjuk Edward, mengangguk ke kamar kosong
dengan lantai kayu berwarna pucat. "Mereka belum sempat merapikannya, berhubung
banyak werewolf yang marah di luar sana..."
Aku tertawa pelan, takjub melihat betapa cepatnya keadaan membaik setelah
segalanya terlihat bagaikan mimpi buruk seminggu yang lalu.
Sialan Jacob, membuat semuanya sempurna dengan cara seperti ini.
"Ini kamar kita. Esme berusaha membawa sebagian pulaunya kembali ke sini untuk
kita. Dia sudah bisa menebak bahwa kita akan terikat dengan pulau itu."
Tempat tidurnya besar dan putih, dengan tirai putih menerawang menjuntai dari
kanopi ke lantak Lantai kayunya yang pucat sama seperti yang ada di kamar lain,
dan baru sekarang aku menyadari warnanya sama persis dengan pasir pantai yang
murni. Dinding-dindingnya berwarna seperti batu yang bermandikan cahaya
matahari, biru yang nyaris putih, dan dinding belakang memiliki pintu-pintu kaca
besar yang mengarah ke taman mungil tersembunyi. Mawar-mawar yang merambat dan
kolam kecil bundar, permukaannya halus bagaikan kaca dan dikelilingi bebatuan
mengilap. "Samudera" kecil kami yang tenang.
Yang bisa kuucapkan hanya, "Oh."
"Aku tahu," bisik Edward.
Kami berdiri di sana selama satu menit, mengenang. Walaupun itu kenangan manusia
dan kabur, kenangan-kenangan itu mengambil alih pikiranku sepenuhnya.
Edward menyunggingkan senyum lebar berseri, kemudian tertawa. "Lemarinya lewat
pintu ganda itu. Aku wajib mengingatkan-ukurannya lebih besar daripada kamar
ini." Aku bahkan tidak melirik pintu-pintu itu. Tak ada lagi hal lain di dunia kecuali
dia-kedua lengannya memeluk di bawahku, embusan napasnya manis menerpa wajahku,
bibirnya hanya beberapa sentimeter dari bibirku -dan tak ada yang bisa
mengalihkan perhatianku sekarang, tak peduli aku ini vampir baru atau bukan.
"Nanti kita bilang Alice bahwa aku langsung menyerbu baju-baju itu," bisikku,
menyusupkan jari-jariku ke rambutnya dan menarik wajahku lebih dekat ke
wajahnya. "Akan kita katakan padanya bahwa aku menghabiskan berjam-jam di sana,
menjajal baju-baju. Kita akan berbohong"
Edward langsung menangkap suasana hatiku, atau mungkin ia memang sudah merasakan
hal yang sama, dan hanya memberiku kesempatan untuk mengapresiasi hadiah ulang
tahunku dengan leluasa, layaknya seorang gentleman. Ia menarik wajahku, sikapnya
tiba-tiba ganas, lenguhan pelan terlontar dari kerongkongannya. Suara itu
membuat sekujur tubuhku seperti disengat listrik, seolah-olah aku tidak cukup
cepat mendekatinya. Kudengar bunyi kain robek oleh tangan kami, dan aku serang bajuku, setidaknya,
memang sudah compang-camping. Sudah terlambat menyelamatkan pakaian Edward. Agak
kurang ajar rasanya mengabaikan ranjang putih cantik itu, tapi kami tak mungkin
sempat sampai ke sana. Bulan madu kedua ini takkan jadi seperti yang pertama.
Waktu kami di pulau menjadi lambang hidup manusiaku. Yang terbaik darinya.
Ketika itu aku sudah sangat siap memanfaatkan waktuku sebagai manusia, hanya
untuk memper-lahankan apa yang kumiliki bersamanya sedikit lebih lama lagi.
Karena bagian fisik takkan sama lagi.
Seharusnya aku sudah bisa menduga, setelah mengalami hari seperti hari ini,
bahwa hal itu justru akan membaik.
Aku bisa benar-benar mengapresiasi dia sekarang-bisa dengan tepat melihat setiap
garis indah wajahnya yang sempurna, tubuhnya yang panjang dan mulus dengan mata
baruku yang tajam, setiap sisi dan setiap lekuk tubuhnya. Aku bisa menghirup
aroma tubuhnya yang murni dan tajam dengan lidahku dan merasakan kelembutan
kulit pualamnya yang menakjubkan itu dengan ujung-ujung jariku yang sensitif.
Kulitku juga sangat sensitif di bawah belaian tangannya.
Ia benar-benar jadi sosok yang baru dan berbeda saat tubuh kami bertaut jadi
satu dengan anggunnya di lantai yang sewarna pasir pucat. Udak perlu harus
berhati-hati, tidak ada yang harus ditahan-tahan. Tidak ada ketakutan-terutama
tidak ada itu. Kami bisa mencintai bersama-kedua belah pihak sama-sama menjadi
partisipan aktif. Setara pada akhirnya.
Seperti ciuman kami sebelumnya, setiap sentuhan lebih daripada selama ini.
Ternyata selama ini banyak sekali yang ia tahan-tahan. Memang perlu ketika itu,
tapi aku tak percaya sungguh banyak yang terlewatkan olehku.
Aku berusaha tetap ingat bahwa aku lebih kuat daripada Edward, tapi sulit
memfokuskan pikiran pada hal lain dengan sensasi yang begitu intens, menarik
perhatianku ke jutaan tempat berbeda di tubuhku setiap detiknya; kalaupun aku
menyakitinya, ia tidak mengeluh.
Bagian yang amat sangat kecil dalam otakku memunculkan pikiran yang menarik
dalam situasi ini. Aku takkan pernah lelah, begitu juga dia. Kami tidak perlu
berhenti untuk mengatur napas, beristirahat, makan, atau bahkan menggunakan
kamar mandi; tidak ada lagi kebutuhan mendasar manusia yang harus diurus. Ia
memiliki tubuh paling indah dan sempurna di dunia, dan ia milikku seutuhnya, dan
rasanya aku takkan pernah menemukan titik di mana aku akan berpikir, Nah, sudah
cukup untuk hari ini. Aku pasti akan selalu menginginkan lebih. Dan hari ini
takkan pernah berakhir. Jadi, dalam situasi seperti itu, bagaimana kami akan
berhenti" Sama sekali bukan masalah kalau aku tak tahu jawabannya.
Aku agak menyadari kapan langit mulai terang. Samudera kecil di luar berubah
warna dari hitam menjadi abu-abu, dan burung pagi mulai berkicau di suatu tempat
di dekat sini- mungkin bersarang di semak-semak mawar.
"Kau merasa kehilangan, tidak?" tanyaku pada Edward ketika nyanyian burung pagi
itu berhenti. Bukan baru kali ini saja kami bicara, tapi kami tidak bisa dibilang mengobrol
juga. "Kehilangan apa?" gumam Edward,
"Semuanya-kehangatan, kulit yang lembut, bau yang menggiurkan... aku sih tidak
merasa ada yang hilang sama sekali, dan aku hanya penasaran apakah kau metasa
agak sedih karena kau kehilangan sesuatu,"
Edward tertawa, pelan dan lembut, "Sulit menemukan seseorang yang kurang sedih
dibandingkan aku sekarang. Mustahil, aku berani bertaruh. Tak banyak orang bisa
mendapatkan semua yang mereka inginkan, ditambah hal-hal yang tak terpikirkan
sama sekali oleh mereka, pada hari yang sama."
"Kau menghindari pertanyaanku, ya?"
Edward menempelkan tangannya ke wajahku. "Kau hangat kok," ia memberitahuku.
Itu ada benarnya. Bagiku, tangan Edward memang hangat. ' Tidak seperti menyentuh
kulit Jacob yang panas membara, tapi lebih menyenangkan. Lebih natural.
Kemudian ia menarik jari-jarinya pelan sekali menuruni wajahku, dengan lembut
menyusuri rahang hingga ke leher dan terus turun ke pinggang. Mataku sedikit
membeliak. "Kau juga lembut."
Jari-jarinya bagaikan satin di kulitku, jadi aku bisa mengerti maksudnya.
"Sementara mengenai bau, well, tak bisa dibilang aku merasa kehilangan. Ingatkah
kau bau para hiker saat kita sedang berburu waktu itu?"
"Selama ini aku berusaha keras untuk tidak mengingatnya."
"Bayangkan saja berciuman dengan orang yang baunya seperti itu."
Kobaran api seolah membakar kerongkonganku, seperti menarik tali balon udara.
"Ok" "Tepat sekali. Jadi jawabannya tidak. Aku sangat bahagia, karena aku tidak
kehilangan apa-apa. Tidak ada yang memiliki lebih dari yang kumiliki sekarang."
Aku baru hendak melontarkan satu pengecualian, tapi bibirku tiba-tiba sangat
sibuk. Ketika kolam kecil berubah warna menjadi seputih mutiara seiring dengan
terbitnya matahari, muncul pertanyaan lagi dalam benakku.
"Ini akan berlangsung berapa lama" Maksudku, Carlisle dan Esme, Em dan Rose,
Alice dan Jasper-mereka tidak mengunci diri di kamar seharian. Mereka keluar,
berpakaian lengkap, setiap saat. Apakah... keinginan ini akan pernah berakhir?"
Aku meliukkan tubuhku lebih dekat padanya-bisa dibilang itu keberhasilan
tersendiri- untuk menunjukkan dengan jelas maksudku.
"Sulit mengatakannya. Setiap orang berbeda dan, well, sejauh ini kaulah yang
paling berbeda dari semuanya. Rata-rata vampir baru terlalu terobsesi pada
dahaga untuk memerhatikan hal lain selama beberapa waktu. Itu sepertinya tidak
berlaku bagimu. Bagi rata-rata vampir lain, setelah tahun pertama barulah
kebutuhan lain muncul. Baik dahaga maupun gairah lain tidak pernah benar-benar
memudar. Tinggal bagaimana menyeimbangkannya saja, belajar membuat prioritas dan
mengaturnya." "Berapa lama?" Edward tersenyum, mengernyitkan hidung sedikit, "Rosalie dan Emmett yang paling
parah. Butuh satu dekade penuh baru aku tahan berada dalam radius delapan
kilometer dari mereka. Bahkan Carlisle dan Esme pun tidak tahan. Mereka akhirnya
terpaksa mengusir pasangan yang berbahagia itu, Esme membuatkan rumah juga untuk
mereka. Jauh lebih besar daripada ini, tapi Esme tahu kesukaan Rose, dan dia
tahu apa yang kausukai."
"Lalu, setelah sepuluh tahun bagaimana?" Aku sangat yakin Rosalie dan Emmett tak
ada apa-apanya dibanding kami, tapi kedengarannya sombong kalau membuat
perkiraan lebih lama dari satu dekade. "Semua orang kembali normal" Seperti
mereka sekarang?" Lagi-lagi Edward tersenyum. "Well, aku tak yakin apa yang kaumaksud dengan
normal. Kau sudah melihat bagaimana keluargaku beraktivitas sehari-hari secara
lumayan normal, Tapi selama ini kan kau selalu tidur pada malam hari." Ia
mengedipkan mata. "Banyak sekali waktu tersisa kalau kau tak perlu tidur. Itu
membuatmu lebih mudah menyeimbangkan... ketertarikan-ketertarikan lain. Bukan
tanpa alasan aku musisi terbaik di keluargaku, mengapa-selain Carlisle-aku yang
paling banyak membaca buku, paling banyak mempelajari sains, paling banyak
menguasai bahasa asing... Emmett membuatmu percaya aku tahu semua karena bisa
membaca pikiran, tapi sebenarnya itu karena aku punya banyak waktu luang."
Kami tertawa bersama, dan tubuh kami yang berguncang-guncang karena tawa
menimbulkan hal-hal menarik pada tubuh kami yang saling menempel, dan itu
langsung mengakhiri pembicaraan kami.
25. BANTUAN BARU beberapa saat kemudian Edward mengingatkanku pada prioritasku yang
lain. Ia hanya perlu mengucapkan satu kata, "Renesmee... "
Aku mendesah. Sebentar lagi ia bangun. Sekarang pasti sudah hampir jam tujuh
pagi. Apakah ia akan mencariku" Tiba-tiba, sesuatu yang menyerupai kepanikan
membuat tubuhku membeku. Akan seperti apa ia hari ini"
Edward merasakan perhatianku telah teralih sepenuhnya karena tertekan. "Tidak
apa-apa. Sayang. Lekaslah berpakaian, kita akan sampai di rumah dalam dua
detik." Aku mungkin terlihat kocak, caraku bangkit berdiri secara tiba-tiba, kemudian
berpaling kembali padanya-tubuhnya yang bagaikan berlian berkilau samar di bawah
sinar matahari yang menyebar-lalu ke arah barat, tempat Renesmee menunggu, lalu
berpaling padanya lagi, lalu kembali ke Renesmee, kepalaku bolak-balik menoleh
setengah lusin kali dalam sedetik, Edward tersenyum, tapi tidak tertawa; ia
lelaki yang kuat. "Semuanya adalah masalah keseimbangan, Sayang. Kau sangat hebat dalam semua ini,
jadi kupikir tak lama lagi kau akan bisa meletakkannya dalam perspektif yang
benar." "Dan kita punya waktu sepanjang malam, bukan?"
Senyum Edward semakin melebar. "Kaupikir aku rela membiarkanmu berpakaian
sekarang kalau bukan karena itu?"
Itu sudah cukup membuatku bertahan melewati pagi dan siang hari. Aku akan
menyeimbangkan gairah yang begitu menggelora ini agar bisa bersikap baik-sulit
sekali memikirkan kata yang tepat. Walaupun Renesmee sangat nyata dan vital
dalam hidupku, masih saja sulit membayangkan diriku sebagai ibu. Tapi kurasa
siapa pun akan merasa seperti itu, jika tak punya waktu sembilan bulan untuk
membiasakan diri dengan pemikiran menjadi ibu. Dan dengan anak yang berubah
setiap jam. Memikirkan Renesmee yang bertumbuh sangat cepat langsung membuatku stres. Aku
bahkan tidak berhenti sejenak di pintu ganda berhias ukiran rumit untuk mengatur
napas sebelum bersiap melihat apa yang telah dilakukan Alice. Aku langsung
masuk, bertekad mengenakan pakaian pertama yang kusentuh. Seharusnya aku tahu
takkan semudah ini. "Yang mana baju-bajuku?" desisku. Seperti sudah dikatakan Edward tadi, ruangan
itu lebih besar daripada kamar tidur kami. Mungkin bahkan lebih besar (daripada
sisa pondok ini dijadikan satu, tapi aku harus menganggapnya sebagai hal
positif. Sempat terbayang olehku bagaimana Alice berusaha membujuk Esme untuk
mengabaikan proporsi ruangan klasik dan membiarkan ruangan besar aneh ini
dibangun. Aku penasaran bagaimana Alice memenangkan hal ini.
Segala sesuatu terbungkus dalam kantong-kantong garmen, putih bersih, berderetderet. "Sepanjang pengetahuanku, semua kecuali yang ada di rak ini" -Edward menyentuh
tiang yang membujur sepanjang setengah dinding di kiri pintu-"adalah milikmu."
"Semua ini?" Edward mengangkat bahu. "Alice," ujar kami berbarengan. Edward mengucapkan nama itu dengan nada seolah
menjelaskan; aku mengucapkannya dengan nada seru.
"Baiklah," gerutuku, dan menarik ritsleting kantong terdekat. Aku menggeram
pelan waktu melihat gaun sutra semata kaki di dalamnya-berwarna baby pink.
Bisa-bisa butuh seharian hanya untuk menemukan baju yang normal untuk dipakai!
"Biar kubantu," Edward menawarkan diri. Ia mengendus udara dengan hati-hati dan
mengikuti bau itu ke bagian belakang ruangan yang panjang. Di sana ada lemari
berlaci built-in. Ia mengendus lagi, lalu membuka laci. Dengan seringai penuh
kemenangan, ia menyodorkan jins belel.
Aku menghambur menghampirinya. "Bagaimana kau melakukannya?"
"Denim kan punya bau khas, sama seperti yang lain. Sekarang... kaus?"
Ia mengikuti penciumannya ke rak pendek, mengeluarkan sehelai T-shirt putih
berlengan panjang. Dilemparkannya kaus itu padaku.
"Trims," ujarku penuh terima kasih. Kuhirup setiap kain, menghafal baunya kalau
aku perlu mencarinya lagi di tengah semua kegilaan ini. Aku ingat bau sutra dan
satin; aku akan menghindarinya.
Hanya butuh beberapa detik untuk menemukan baju Edward-seandainya aku belum
pernah melihatnya tanpa pakaian, aku berani bersumpah tak ada yang lebih menawan
daripada Edward dalam balutan celana khaki dan putlover pulih gading pucatkemudian ia menggandeng tanganku. Kami melesat melewati taman, dengan enteng
melompati dinding tinggi itu, dan berlari secepat kilat menembus hutan. Kutarik
tanganku dari genggamannya supaya kami bisa berlomba pulang. Edward
mengalahkanku kali ini. Renesmee sudah bangun; ia duduk di lantai, ditemani Rose dan Emmett yang
memperhatikan, bermain-main dengan perabotan makan dari perak yang sudah
bengkok-bengkok. Ia membengkokkan sendok di tangan kanannya. Begitu melihatku
dari balik kaca, ia melemparkan sendok itu ke lantai-lemparannya meninggalkan
lekukan di kayu-dan menunjuk ke arahku dengan sikap angkuh. Para penontonnya
tertawa; Alice, Jasper, Esme, dan Carlisle duduk di sofa, menontonnya seolaholah ia film yang sangat menarik.
Aku sudah masuk ke rumah bahkan sebelum mereka mulai lertawa, melesat melintasi
ruangan dan meraup Renesmee dari lantai pada detik yang sama. Kami saling
menyunggingkan senyum lebar.
Ia berbeda, tapi perbedaannya tak terlalu banyak. Lagi-lagi agak lebih panjang,
proporsi tubuhnya bergeser dari seperti bayi menjadi seperti anak-anak.
Rambutnya bettambah panjang lima senti, ikalannya bergoyang seperti pegas setiap
kali bergerak. Aku tadi membiarkan imajinasiku terlalu liar dalam perjalanan
kembali ke sini, dan aku membayangkan yang lebih parah daripada ini. Untunglah,
ketakutanku yang overdosis membuat perubahan-perubahan kecil ini nyaris
melegakan. Bahkan tanpa diukur Carlisle, aku yakin perubahannya lebih lambat
daripada kemarin. Renesmee menepuk-nepuk pipiku. Aku meringis. Ia lapar lagi.
"Sudah berapa lama dia bangun?" tanyaku sementara Edward menghilang ke balik


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu dapur. Aku yakin ia ke dapur mengambilkan sarapan untuk Renesmee, karena
ia bisa melihat pikiran Renesmee sama jelasnya denganku. Dalam hati aku
penasaran apakah Edward akan menyadari kelebihan kecil Renesmee, seandainya dia
satu-satunya yang mengenalnya. Bagi Edward, mungkin sama saja seperti mendengar
pikiran orang-orang lain.
"Sebentar lagi, ya," kata Rose. "Sebenarnya kami berniat memanggilmu sejak tadi.
Dia sudah berulang kali menanyakanmu - menuntut mungkin lebih tepat. Esme sampai
mengorbankan peralatan makan peraknya yang nomor dua paling bagus supaya si
monster kecil tidak rewel." Rose tersenyum pada Renesmee dengan perasaan sayang,
sehingga perkataannya tadi sama sekali tidak menyinggung perasaan, "Kami tidak
ingin... eh, mengganggumu."
Rosalie menggigit bibir dan membuang muka, berusaha menahan tawa. Bisa kurasakan
tawa Emmett yang tanpa suara di belakangku, membuat fondasi rumah bergetar.
Kuangkat daguku tinggi-tinggi. "Kita akan segera membereskan kamarmu," kataku
pada Renesmee. "Kau pasti menyukai pondok itu. Suasananya sangat magis."
Aku mendongak pada Esme. "Terima kasih, Esme. Terima kasih banyak. Pondok yang sempurna sekali."
Belum lagi Esme sempat menjawab, Emmett sudah tertawa lagi--kali ini tidak lagi
tanpa suara. "Jadi pondoknya masih berdiri"'' tanyanya di sela-sela tawanya yang heboh.
"Kusangka pondok itu sudah tinggal puing gara-gara kalian. Apa yang kalian
lakukan semalam" Membicarakan masalah utang negara?" Ia tertawa melolong-lolong.
Aku mengenakkan gigi dan mengingatkan diriku sendiri, ada konsekwensi negatif
kalau aku membiarkan amarahku tak terbendung seperti kemarin. Tentu saja, Emmett
tidak serapuh Seth... Ingatan tentang Seth membuatku penasaran. "Di mana serigala-serigala hari ini?"
Aku melirik dinding yang berjendela, tapi waktu pulang tadi, aku tidak melihat
sedikit pun landa-tanda kehadiran Leah.
"Jacob pergi pagi-pagi sekali tadi," Rosalie menjawab pertanyaanku, sedikit
kerutan terbentuk di dahinya. "Seth mengikutinya keluar.''
"Apa yang membuatnya begitu kalut?" tanya Edward sambil berjalan memasuki
ruangan dengan cangkir Renesmee. Pasti ada lebih banyak hal dalam ingatan
Rosalie daripada yang kulihat dalam ekspresinya.
Tanpa bernapas, kuserahkan Renesmee pada Rosalie. Mungkin aku memiliki pengendalian diri super, tapi
tidak mungkin aku bisa memberi Renesmee makan. Belum.
"Aku tidak tahu-atau peduli," gerutu Rosalie, tapi ia menjawab pertanyaan Edward
secara lebih lengkap. "Jacob sedang menonton Nessie tidur, mulutnya menganga
seperti orang tolol-dan ia memang tolol-lalu tanpa alasan apa-apa tahu-tahu dia
melompat berdiri-yang bisa kulihat, setidaknya- dan menghambur keluar. Aku sih
senang-senang saja dia pergi. Semakin banyak waktu yang dia habiskan di sini,
semakin kecil kemungkinan kita akan bisa menyingkirkan baunya."
"Rose," tegur Esme lembut.
Rosalie mengibaskan rambutnya. "Kurasa itu bukan masalah. Kita toh takkan berada
di sini lebih lama lagi."
"Aku masih berpendapat sebaiknya kita langsung saja berangkat ke New Hampshire
untuk membereskan semuanya," kata Emmett, jelas melanjutkan pembicaraan
sebelumnya, "Bella kan sudah terdaftar di Dartmouth. Kelihatannya dia tidak
butuh waktu lama untuk bisa kuliah." Ia berpaling padaku dengan cengiran
menggoda. "Aku yakin kau pasti bisa lulus secara gemilang dari setiap mata
kuliah.. , kelihatannya tak ada hal menarik yang bisa kaulakukan pada malam hari
kecuali belajar." Rosalie terkikik. Jangan sampai amarahmu meledak, jangan sampai amarahmu meledak, batinku
berulang-ulang. Dan aku bangga pada diriku sendiri karena tetap tenang.
Jadi aku kaget sekali waktu Edward justru tidak.
Ia menggeram-raungan kasar yang tiba-tiba-dan ekspresi marah yang garang
menggelapkan wajahnya seperti awan badai.
Sebelum kami sempat merespons, Alice sudah berdiri.
"Apa sih yang dia lakukan" Apa yang dilakukan anjing itu sehingga menghapus
jadwalku sepanjang hari" Aku tidak bisa melihat apa-apa!" Tidak, ia melayangkan
pandangan tersiksa padaku. "Lihat dirimu! Kau butuh aku untuk menunjukkan
bagaimana caranya menggunakan lemari pakaianmu."
Sesaat aku mensyukuri apa pun yang dilakukan Jacob.
Kemudian kedua tangan Edward mengepal dan ia menggeram, "Dia bicara pada
Charlie. Ia mengira Charlie mengikutinya. Datang ke sini. Hari ini."
Alice mengatakan sesuatu yang kedengarannya sangat ganjil diucapkan oleh
suaranya yang bak burung berkicau dan lady-like itu.
"Dia memberitahu Charlie?" aku tersentak. "Tapi... tidakkah kau mengerti" Tegateganya dia berbuat begitu!" Charlie tak pernah tahu tentang aku! Tentang
vampir! Itu akan membuat Charlie masuk dalam daftar orang-orang yang harus
disingkirkan, dan bahkan keluarga Cullen pun takkan bisa menyelamatkannya.
"Tidak!" Edward berbicara dengan mulut terkatup rapat. "Sebentar Jacob sampai."
Agak ke timur, hari pasti hujan. Jacob masuk melewati pintu sambil mengibasngibaskan rambutnya yang basah seperti anjing, butir-butir air berjatuhan
membasahi karpet dan menghasilkan titik-titik berwarna kelabu di bagian yang
berwarna putih. Giginya cemerlang, kontras dengan bibirnya yang gelap; matanya
bersinar-sinar dan penuh semangat. Ia berjalan dengan gerak kaku, seperti orang
yang kelewat senang bisa menghancurkan hidup ayahku.
"Hei, guys!" sapa Jacob, nyengir.
Suasana sunyi senyap. Leah dan Seth menyelinap di belakangnya, dalam wujud manusia-untuk sekarang ini;
tangan mereka gemetar karena tegangnya suasana di dalam ruangan.
"Rose," pintaku, mengulurkan kedua lenganku. Tanpa berkata apa-apa Rosalie
menyerahkan Renesmee padaku. Aku mendekapnya erat-erat ke jantungku yang tak
berdetak, memeluknya seperti jimat untuk mencegah perbuatan sembrono. Aku akan
tetap mendekapnya dalam pelukanku sampai yakin keputusanku membunuh Jacob
sepenuhnya didasari pada penilaian rasional, bukan amarah semata-mata.
Renesmee diam tak bergerak, menonton dan mendengarkan. Berapa banyak yang ia
mengerti" "Sebentar lagi Charlie akan sampai di sini," Jacob menyampaikan padaku dengan
nada biasa-biasa saja. "Sekadar pemberitahuan. Asumsiku, Alice pasti sudah
membelikanmu kacamata hitam atau sebangsanya?"
"Kau berasumsi terlalu jauh" aku menyemburkan kata-kataku dari sela-sela gigiku.
"Apa. Yang. Sudah. Kaulakukan?"
Senyum Jacob goyah, tapi ia masih terlalu tegang untuk menjawab dengan serius.
"Si pirang dan Emmett membangunkanku tadi pagi dengan ocehan mereka tentang
rencana pindah ke luar kota. Seolah-olah aku akan membiarkanmu pergi saja.
Persoalan terbesarnya adalah Charlie, kan" Well, masalahnya sudah diatasi."
"Apakah kau tidak menyadari akibat perbuatanmu" Bahaya yang kautimbulkan
baginya?" Jacob mendengus. "Aku sama sekali tidak membahayakan dia. Kecuali darimu. Tapi
kau kan memiliki semacam pengendalian diri yang supranatural, benar" Tidak
sebagus membaca pikiran, kalau kautanya pendapatku. Kurang asyik."
Saat itulah Edward bergerak, melesat menyeberangi ruangan dan berdiri persis di
depan wajah Jacob. Walaupun ia setengah kepala lebih pendek daripada Jacob,
Jacob mundur selangkah menghindari amarah Edward, seakan-akan Edward menjulang
tinggi di atasnya. "Itu hanya teori, anjing," geramnya. "Kaukira kami harus mengetesnya pada
Charlie" Tidakkah kau mempertimbangkan kesakitan fisik yang kautimbulkan pada
Bella, kalaupun dia bisa menolaknya" Atau kesakitan emosional, kalau dia tidak
bisa" Kurasa apa yang terjadi pada Bella tak ada urusannya lagi denganmu!"
Edward menyemburkan kata terakhir itu.
Renesmee menempelkan jari-jarinya dengan cemas ke pipiku, keresahan mewarnai
pemutaran ulang adegan tadi dalam kepalanya.
Kata-kata Edward akhirnya berhasil menembus suasana hati Jacob yang berapi-api.
Mulutnya tertarik ke bawah, cemburu. "Memangnya Bella akan kesakitan?"
"Seperti menyurukkan setrika panas ke tenggorokannya!"
Aku tersentak, teringat bau darah manusia murni.
"Aku tak tahu kalau akan seperti itu," bisik Jacob.
"Kalau begitu mungkin sebaiknya kau tanya dulu," geram Edward dari sela-sela
giginya. "Kau pasti akan menghentikanku." "Kau seharusnya memang dihentikan... "
"Masalahnya bukan aku," selaku. Aku diam tak bergerak, menggendong Renesmee dan
mempertahankan kewarasanku. "Masalahnya adalah Charlie, Jacob. Bagaimana mungkin
kau bisa membahayakan hidupnya seperti ini" Sadarkah kau sekarang dia harus
menghadapi pilihan antara mati atau menjadi vampir juga?" Suaraku bergetar
karena air mata yang tak bisa keluar lagi.
Jacob masih terganggu oleh tudingan Edward, tapi tuduhan-ku sepertinya bukan
masalah sama sekali baginya. "Rileks, Bella. Aku tidak memberitahu dia apa pun
yang tidak ingin kauceritakan padanya."
"Tapi dia datang ke sini!"
"Ya, memang itu tujuannya. Bukankah membiarkannya berasumsi yang salah adalah
bagian dari rencanamu" Kupikir aku hanya menyediakan umpannya saja, bisa
dibilang begitu." Jari-jariku membuka menjauhi tubuh Renesmee. Aku melengkungkannya kembali.
"Katakan yang sebenarnya, Jacob. Kesabaranku sudah habis."
"Aku tidak mengatakan apa-apa tentang kau, Bella. Tidak juga. Aku menceritakan
padanya tentang aku. Well, menunjukkan mungkin istilah yang lebih tepat,"
"Dia berubah wujud di hadapan Charlie," desis Edward,
Aku berbisik, "Kau apa?"
"Charlie pemberani. Pemberani seperti kau. Tidak pingsan, atau muntah, atau apa.
Harus kuakui, aku terkesan. Tapi coba kaulihat wajahnya waktu aku mulai membuka
pakaian. Tak ternilai," Jacob terkekeh-kekeh.
"Dasar tolol! Bisa-bisa dia kena serangan jantung, tahui"
"Charlie baik-baik saja kok. Dia kuat. Kalau kau mau berpikir satu menit saja,
akan kaulihat bahwa sebenarnya aku membantumu."
"Kau punya waktu setengahnya, Jacob." Suaraku datar dan kaku. "Kau punya waktu
tiga puluh detik untuk menceritakan padaku setiap kata yang kauucapkan sebelum
aku memberikan Renesmee pada Rosalie dan menebas kepala tololmu itu. Seth takkan
sanggup menghentikanku kali ini."
"Ya ampun, Bells. Dulu kau tidak sok melodramatis begini. Itu ciri khas vampir,
ya?" "Dua puluh enam detik."
Jacob memutar bola matanya dan mengempaskan diri ke kursi terdekat. Kawanan
kecilnya beranjak dan berdiri mengapitnya, sikap mereka sama sekali tidak
serileks Jacob; mata Leah tertuju padaku, memamerkan sedikit giginya.
"Jadi tadi pagi aku mengetuk pintu rumah Charlie dan mengajaknya jalan-jalan.
Dia bingung tapi waktu kubilang ini tentang kau, dan bahwa kau sudah kembali ke
kota, dia mengikutiku ke hutan. Kubilang padanya kau tidak sakit lagi, dan
situasinya agak sedikit aneh, tapi bagus. Dia sudah berniat langsung pergi
menengokmu, tapi kukatakan aku harus menunjukkan sesuatu padanya dulu. Kemudian
aku berubah wujud." Gigiku terasa seperti catok yang mengatup rapat. "Aku ingin dengar setiap kata,
monster." "Well, kaubilang tadi aku hanya punya waktu tiga puluh detik-oke, oke."
Ekspresiku pasti meyakinkan dia bahwa aku tak sedang ingin bercanda. "Baiklah...
aku berubah wujud kembali dan berpakaian, kemudian setelah Charlie mulai bisa
bernapas lagi, aku bilang begini, 'Charlie, kau tidak tinggal di dunia seperti
yang selama ini kaukira. Kabar baiknya adalah, tak ada yang berubah -kecuali
sekarang kau sudah tahu. Hidup akan berjalan seperti biasa. Kau bisa kembali
berpura-pura tidak percaya pada hal-hal seperti ini'
"Butuh beberapa saat bagi Charlie untuk memikirkan semuanya, kemudian ia ingin
tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, dengan penyakit langka itu. Kubilang
kau memang pernah sakit, tapi sekarang sudah sembuh--bahwa kau berubah sedikit
dalam proses menjadi sembuh itu. Dia ingin tau apa yang kumaksud dengan berubahdan kubilang padanya sekarang kau lebih mirip Esme daripada Renee."
Edward mendesis sementara aku menatapnya ngeri; pembicaraan ini menuju ke arah
berbahaya. "Beberapa menit kemudian dia bertanya, suaranya pelan sekali, apakah kau juga
berubah menjadi binatang. Dan kujawab, "Dia sih berharap bisa sekeren ini."
Jacob terkekeh. Rosalie mengeluarkan suara seperti orang jijik.
"Aku mulai menceritakan padanya tentang werewolf, tapi aku bahkan tak sempat
mengucapkan kata itu sampai selesai-Charlie keburu memotongku dan berkata dia
'lebih suka tidak tahu secara spesifik.' Lalu dia bertanya apakah kau sudah tahu
kau melibatkan dirimu ke dalam apa waktu menikahi Edward, dan kujawab, 'Tentu,
dia sudah tahu tentang semua ini sejak bertahun-tahun lalu, sejak pertama kali
datang ke Forks.' Charlie tidak begitu suka mendengarnya. Kubiarkan dia marahmarah sampai hatinya lega. Setelah tenang kembali, dia hanya menginginkan dua
hal. Dia ingin bertemu denganmu, dan kubilang lebih baik kalau dia memberiku
kesempatan memberitahu kalian lebih dulu."
Aku menghirup napas dalam-dalam. "Lalu apa lagi yang dia inginkan?"
Jacob tersenyum. "Kau pasti suka mendengarnya. Permintaan utamanya adalah agar
dia diberitahu sesedikit mungkin tentang semua ini. Kalau memang tidak terlalu
esensial baginya mengetahui sesuatu, kau tak perlu memberitahunya. Hanya yang
perlu diketahui." Aku merasakan kelegaan untuk pertama kalinya sejak Jacob melangkah masuk. "Aku
bisa mengatasi bagian yang itu."
"Selain itu, dia hanya ingin berpura-pura keadaan normal-normal saja." Senyum
Jacob berubah menjadi seringai penuh kemenangan; ia pasti sudah mengira aku akan
mulai merasa sedikit berterima kasih padanya,
"Apa yang kaukatakan padanya mengenai Renesmee?" Susah payah aku berusaha tetap
memperdengarkan nada galak, melawan keinginan untuk berterima kasih. Masih
terlalu dini. Masih banyak yang salah dalam situasi ini. Bahkan intervensi Jacob
mendatangkan reaksi yang lebih baik dari Charlie daripada yang selama ini
kuharapkan. "Oh yeah. Aku juga memberitahu dia bahwa kau dan Edward mewarisi mulut kecil
baru untuk diberi makan." Diliriknya Edward. "Dia anak perwalianmu yang yatimpiatu- seperti Bruce Wayne dan Dick Grayson," Jacob mendengus. "Kurasa kau tidak
keberatan aku berbohong. Itu semua bagian dari permainan, kan?" Karena Edward
tidak meresponsnya sama sekali, Jacob melanjutkan. "Pada tahap ini Charlie sudah
tidak bisa shock lagi, tapi dia sempat bertanya apakah kalian mengadopsi dia,
'Maksudmu anak perempuan" Maksudmu aku sudah jadi kakek" adalah kata-kata
persisnya. Aku mengiyakan. 'Selamat, Kek,' dan lain sebagainya. Dia bahkan
sempat tersenyum sedikit."
Mataku kembali perih, tapi kali ini bukan karena takut dan sedih. Charlie
tersenyum membayangkan dirinya sudah jadi kakek" Charlie akan bertemu Renesmee"
" Tapi Renesmee berubah sangat cepat" bisikku.
"Kubilang pada Charlie Renesmee jauh lebih istimewa daripada kita semua
dijadikan satu," Jacob menerangkan dengan lembut. Ia berdiri dan menghampiriku,
melambaikan tangan pada Leah dan Seth waktu mereka bermaksud mengikutinya.
Renesmee menggapai-gapai padanya, tapi kupeluk ia semakin erat. "Kubilang
padanya, 'Percayalah padaku, kau tak ingin tahu tentang ini. Tapi kalau kau bisa
mengabaikan semua yang aneh, kau akan takjub. Renesmee orang paling menakjubkan
di seluruh dunia.' Kemudian kukatakan padanya bahwa kalau dia bisa menerima hal
itu, kau akan tetap di sini untuk sementara waktu, jadi dia akan bisa mengenal
bocah ini. Tapi kalau itu terlalu berat baginya, kau akan pergi. Charlie berkata
asal tak ada orang yang memaksa menjejalkan terlalu banyak informasi padanya,
dia oke-oke saja." Jacob memandangiku dengan senyum separo terkembang, menunggu,
"Aku tidak akan berterima kasih padamu," tukasku. "Kau tetap membahayakan hidup
Charlie" "Aku benar-benar menyesal kalau itu menyakitimu. Aku sama sekali tidak tahu
tentang hal itu. Bella, keadaan kita berbeda sekarang, tapi kau akan selalu jadi
sahabatku, dan aku akan selalu mencintaimu. Tapi aku mencintaimu dengan cara
yang benar sekarang. Akhirnya ada keseimbangan. Kita berdua memiliki orang-orang
yang tanpa mereka, kita tidak bisa hidup."
Ia menyunggingkan senyum Jacob-nya yang istimewa. "Kita masih berteman, kan?"
Mengerahkan segenap kemampuanku untuk menolak, aku harus membalas senyumnya.
Senyum kecil saja. Jacob mengulurkan tangan: sebuah tawaran.
Aku menarik napas dalam-dalam dan memindahkan Renesmee ke tangan yang lain. Aku
menyalaminya dengan tangan kiriku -ia bahkan tidak tersentak merasakan kulitku
yang dingin, "Kalau aku tidak membunuh Charlie malam ini, akan kupertimbangkan
untuk memaafkanmu atas ulahmu ini."
"Kalau kau tidak membunuh Charlie malam ini, kau berutang budi padaku,"
Aku memutar bola mataku. Ia mengulurkan tangannya yang lain pada Renesmee, kali ini berupa permintaan.
"Bolehkah aku?"


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya aku menggendongnya supaya kedua tanganku tidak bebas membunuhmu,
Jacob. Mungkin nanti saja."
Jacob mendesah tapi tidak memaksaku. Bijaksana juga dia.
Saat itulah Alice menghambur memasuki pintu, kedua tangannya bergerak-gerak dan
ekspresinya mengisyaratkan amarah.
"Kau, kau, dan kau," bentak Alice, memandang garang pada para werewolf. "Kalau
kalian memang harus tetap di sini, minggir ke pojok sana dan tetaplah di sana
selama beberapa waktu. Aku harus bisa melihat. Bella, sebaiknya kauberikan
bayimu padanya. Kau tidak boleh memegang apa-apa."
Jacob menyeringai penuh kemenangan.
Perasaan takut yang amat kuat mencengkeram perutku saat menyadari betapa
besarnya tanggung jawab yang kuimbau saat ini. Aku akan mempertaruhkan
pengendalian diriku yang rapuh dengan ayahku yang seratus persen manusia sebagai
kelinci percobaan. Kata-kata Edward kembali terngiang di telingaku.
Tidakkah kau mempertimbangkan kesakitan fisik yang kau-mahalkan pada Bella,
kalau ia bisa menolaknya" Atau kesakitan
Emosional, kalau ia tidak bisa"
Tak terbayangkan olehku betapa sakitnya kalau aku gagal. Napasku tersengal.
"Bawa dia," bisikku, menyodorkan Renesmee ke pelukan Jacob.
Jacob mengangguk, keprihatinan membuat keningnya berkerut. Ia memberi isyarat
pada yang lain-lain, dan mereka beranjak ke sudut ruangan. Seth dan Jake
langsung duduk di lantai, tapi Leah menggeleng dan mengerucutkan bibir.
"Boleh aku pergi?" gerutunya. Ia terlihat tidak nyaman dalam tubuh manusianya,
memakai T'shirt kotor dan celana pendek katun yang sama yang dipakainya waktu ia
datang memarahiku ketika itu, rambut pendeknya berantakan. Kedua tangannya masih
gemetar. "Tentu saja," jawab Jake.
"Tetaplah berada di timur agar tidak melintasi jalur Charlie," Alice
menambahkan. Sedikit pun Leah tidak melirik Alice; ia merunduk melewati pintu belakang dan
menghambur ke semak-semak untuk berubah wujud.
Edward sudah kembali di sebelahku, membelai-belai wajahku. "Kau bisa
melakukannya. Aku tahu kau bisa. Aku akan membantumu; kami semua akan
membantumu." Kutatap mata Edward dengan wajah meneriakkan kepanikan. Apakah ia cukup kuat
untuk menghentikanku kalau aku melakukan gerakan yang salah"
"Kalau aku tidak percaya kau bisa mengatasinya, kita pasti sudah tidak berada di
sini sekarang. Menit ini juga. Tapi kau bisa. Dan kau akan lebih bahagia kalau
memiliki Charlie dalam hidupmu."
Aku berusaha memperlambat deru napasku.
Alice mengulurkan tangan. Di telapak tangannya ada kotak putih kecil, "Ini akan
membuat matamu iritasi-tidak sakit, tapi akan membuat matamu betkabut.
Menjengkelkan memang, Warnanya juga tak sama persis dengan warna matamu dulu,
tapi tetap lebih baik daripada merah terang, kan?"
Ia melemparkan kotak lensa kontak itu dan kutangkap.
"Kapan kau... "
"Sebelum kau berangkat berbulan madu. Aku sudah siap dengan beberapa
kemungkinan." Aku mengangguk dan membuka wadah itu. Aku belum pernah memakai lensa kontak,
tapi pasti tidak terlalu sulit. Kuambil bulatan lensa berwarna cokelat itu dan
kutempelkan ke bola mata, sisi yang cekung di bagian dalam.
Aku mengerjap-ngerjap, dan kabut itu menghalangi penglihatanku. Aku masih bisa
melihat tentu saja, tapi aku juga bisa melihat tekstur selaputnya yang tipis.
Mataku berulang kali terfokus pada goresan-goresan mikroskopik dan bagian-bagian
yang melengkung. "Aku mengerti maksudmu," gumamku sambil menempelkan lensa satunya. Kali ini aku
berusaha tidak mengerjap. Mataku otomatis ingin mengeluarkan gangguan itu.
"Bagaimana penampilanku sekarang?"
Edward tersenyum. "Memesona. Tentu saja... "
"Ya, ya, dia selalu terlihat memesona," Alice menyelesaikan pikiran Edward
dengan sikap tak sabar. "Lebih baik daripada marah, tapi itu pujian tertinggi
yang bisa kuberikan. Seperti lumpur. Warna cokelatmu jauh lebih cantik. Ingat
Bella bahwa warna itu takkan bertahan selamanya-racun tubuhmu akan meluruhkan
warnanya dalam beberapa jam, kalau Charlie berada di sini lebih lama dari itu,
kau harus permisi sebentar untuk menggantinya. Ada bagusnya sih, karena manusia
kan perlu ke kamar mandi sesekali." Alice menggeleng-gelengkan kepala. "Esme,
beri dia beberapa acuan tentang bagaimana bersikap seperti manusia sementara aku
memasukkan lensa-lensa kontak ke powder room"
"Aku punya waktu berapa lama?"
"Charlie akan sampai di sini lima menit lagi. Jadi yang simpel simpel sajalah."
Esme mengangguk, menghampiri lalu menggandengku. "Yang paling penting jangan
duduk terlalu diam atau bergerak terlalu cepat," ia menasihatiku.
"Duduk kalau dia duduk," sela Emmett. "Manusia tidak mungkin hanya berdiri."
"Meliriklah setiap tiga puluh detik sekali, kurang-lebih," Jasper menambahkan.
"Manusia tak mungkin menatap sesuatu terlalu lama."
"Silangkan kaki kira-kira setiap lima menit sekali, lalu julurkan tungkai selama
lima menit berikutnya," kata Rosalie.
Aku mengangguk mendengar setiap saran. Aku juga melihat mereka melakukan hal
yang sama kemarin. Kupikir aku bisa meniru tingkah mereka.
"Dan kedipkan mata sekurang-kurangnya tiga kali dalam semenit," imbuh Emmett, Ia
mengerutkan kening, lalu menghampiri meja kecil tempat remote control
diletakkan. Ia menyalakan TV yang menayangkan pertandingan football antar universitas, dan
mengangguk. "Gerakkan tanganmu juga. Kibaskan rambut atau pura-puralah menggaruk sesuatu,"
kata Jasper. "Tadi aku menyuruh Esme" protes Alice begitu ia kembali. "Kalian hanya akan
membuat Bella bingung,"
"Tidak, kurasa aku sudah paham semuanya," kataku. "Duduk, melirik, mengerjap,
bergerak-gerak." "Benar," Esme membenarkan. Ia merangkul pundakku.
Jasper mengerutkan kening. "Kau harus menahan napas selama mungkin, tapi kau
perlu menggerakkan bahumu sedikit agar terlihat seolah-olah kau bernapas."
Aku menarik napas kemudian mengangguk lagi.
Edward merangkulku dari sisi berbeda. "Kau pasti bisa melakukannya," ia
mengulangi kata-katanya, membisikkan kalimat yang menguatkan itu di telingaku.
"Dua menit," kata Alice. "Mungkin sebaiknya kau mulai duduk di sofa. Kau kan
pura-puranya habis sakit. Dengan begitu, dia tidak perlu langsung melihatmu
bergerak." Alice menarikku duduk di sofa. Aku berusaha bergerak pelan-pelan, menggerakkan
tungkai secara lebih canggung. Alice memutar bola mata gemas, jadi gerakanku
pasti kurang meyakinkan. "Jacob, aku membutuhkan Renesmee," kataku,
Jacob mengerutkan kening, bergeming.
Alice menggeleng. "Bella, aku tidak bisa melihat kalau begitu."
"Tapi aku membutuhkan dia. Dia membuatku tenang." Tak salah lagi, terdengar
secercah nada panik dalam suaraku.
"Baiklah," erang Alice, "Peluk dia dan usahakan jangan terlalu banyak bergerak
dan aku akan mencoba melihat di sekitarmu" Ia mengembuskan napas letih, seperti
diminta kerja lembur pada hari libur. Jacob ikut-ikutan mengembuskan napas, tapi
toh membawa Renesmee padaku, kemudian cepat-cepat mundur kembali begitu
dipelototi Alice. Edward duduk di sebelahku, merangkul Renesmee dan aku. mencondongkan tubuh dan
menatap mata Renesmee dengan sangat serius.
"Renesmee, seseorang yang istimewa akan datang menemuimu dan ibumu," katanya
dengan nada takzim, seolah Renesmee memahami setiap perkataannya. "Tapi dia
tidak seperti kita, atau bahkan seperti Jacob. Kita harus sangat berhati-hati
dengannya. Kau tidak boleh bercerita padanya seperti kau bercerita pada kami."
Renesmee menyentuh wajah Edward,
"Tepat sekali," ujar Edward. "Dan dia akan membuatmu haus. Tapi kau tidak boleh
menggigitnya. Dia tidak akan sembuh seperti Jacob."
"Apakah dia bisa memahamimu?" bisikku.
"Dia mengerti. Kau akan berhati-hati, bukan, Renesmee" dan akan membantu kami?"
Renesmee menyentuh Edward lagi.
"Tidak, aku tidak peduli kalau kau menggigit Jacob. Itu tidak apa-apa."
Jacob terkekeh. "Mungkin sebaiknya kau pergi, Jacob," sergah Edward dingin, memandangnya garang.
Edward belum memaafkan Jacob, karena ia tahu tak peduli apa pun yang terjadi
sekarang, aku akan tetap merasa sakit. Tapi dengan senang hati akan kutanggung
rasa sakit seperti terbakar kalau memang itu hal terburuk yang harus kuhadapi
malam ini. "Aku sudah bilang pada Charlie bahwa aku akan di sini," tukas Jacob, "Dia
membutuhkan dukungan moral."
"Dukungan moral apa," dengus Edward. "Sepanjang yang diketahui Charlie, kau
monster paling menjijikkan dibandingkan kami semua."
"Menjijikkan?" protes Jacob, kemudian ia tertawa pelan.
Kudengar bunyi ban mobil berbelok keluar jalan raya dan memasuki jalan tanah
yang sunyi dan lembap, menuju rumah keluarga Cullen. Napasku kembali memburu.
Kalau masih berfungsi, jantungku pasti sudah bertalu-talu. Aku jadi gelisah
karena tubuhku tidak bereaksi sebagaimana mestinya.
Aku berkonsentrasi pada detak jantung Renesmee yang teratur untuk menenangkan
diriku sendiri. Teknik itu ternyata sangat jitu.
"Bagus sekali, Bella," Jasper berbisik setuju.
Edward mempererat rangkulannya di pundakku.
"Kau yakin?" tanyaku.
"Positif. Kau bisa melakukan apa saja" Edward tersenyum dan mengecupku.
Walaupun kecupannya tidak persis di bibir, namun reaksi khas vampirku yang liar
lagi-lagi membuatku terperangah. Bibir Edward bagaikan zat kimia adiktif yang
disuntikkan langsung ke sistem sarafku. Seketika itu juga aku menginginkan
lebih. Dibutuhkan segenap konsentrasi untuk mengingat bayi dalam dekapanku ini.
Jasper merasakan perubahan suasana hatiku. "Eh, Edward, mungkin ada baiknya kau
tidak membuat konsentrasinya pecah sekarang. Bella harus bisa fokus."
Edward menjauhkan dirinya dariku. "Uuups," ujarnya.
Aku tertawa. Padahal dulu akulah yang selalu bilang begitu, dari sejak awal
sekali, sejak ciuman yang pertama.
"Nanti," kataku, dan antisipasi membuat perutku mengeluh.
'Fokus, Bella" desak Jasper.
"Baik." Kusingkirkan perasaan gemetar itu jauh-jauh. " Charlie, itu yang utama
sekarang. Amankan Charlie hari ini. Kami punya waktu sepanjang malam...
"Bella" 'Maaf, Jasper." Emmett tertawa.
Suara mobil patroli Charlie semakin dekat. Semua terdiam. Aku menyilangkan kaki
dan berlatih mengerjap-ngerjapkan mata.
Mobil berhenti di depan rumah dan mesinnya tetap menyala selama beberapa detik.
Dalam hati aku penasaran apakah Charlie juga sama gugupnya denganku. Sejurus
kemudian mesin dimatikan, dan terdengar bunyi pintu ditutup. Tiga langkah
melintasi rerumputan, kemudian delapan dentuman langkah yang bergema di tangga
kayu. Empat langkah lagi melintasi teras. Lalu sepi. Charlie menarik napas
dalam-dalam berkali-kali.
Tok, tok, tok. Aku menghela napas, mungkin untuk terakhir kali. Renesmee meringkuk semakin
rapat dalam pelukanku, menyembunyikan wajahnya di rambutku.
Carlisle membukakan pintu. Ekspresi tertekannya berubah menjadi ekspresi selamat
datang, seperti mengubah channel di televisi.
"Halo, Charlie," sapa Carlisle, berlagak bingung. Soalnya, harusnya kami berada
di Atlanta, di Center for Disease Control. Charlie tahu ia dibohongi.
"Carlisle," sapa Charlie kaku, "Mana Bella?"
"Di sini, Dad."
Ugh! Suaraku sangat berbeda. Tambahan lagi, aku menghabiskan suplai udaraku.
Cepat-cepat aku mereguk udara lagi, lega bau Charlie belum memenuhi ruangan.
Ekspresi kosong Charlie mengatakan betapa aneh suaraku. Matanya terpaku padaku
dan membelalak. Aku membaca berbagai emosi yang melintasi wajahnya.
Shock. Tidak percaya. Sedih. Kehilangan. Takut, Marah. Curiga. Sedih lagi.
Aku menggigit bibir. Rasanya aneh. Gigi baruku sekarang lebih tajam di kulit
granitku daripada gigi manusiaku dulu di bibir manusiaku yang lembut.
"Itu benar kau, Bella?" bisiknya.
"Yep," Aku meringis mendengar suaraku yang seperti genta angin. "Hai, Dad."
Charlie menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
"Hai, Charlie" Jacob menyapanya dari sudut ruangan. "Apa kabar?"
Charlie melotot garang pada Jacob, bergidik mengingat apa yang terjadi, kemudian
menatapku lagi. Lambat-lambat Charlie melintasi ruangan sampai jaraknya hanya tinggal beberapa
meter dariku. Ia melayangkan pandangan menuduh pada Edward, kemudian matanya
berkelebat kembali padaku. Suhu tubuhnya mulai menghantamku dengan setiap denyut
jantungnya. "Bella?" tanyanya lagi.
Aku berbicara dengan suara lebih pelan, berusaha agar tidak terdengar seperti
dentang lonceng. "Ini benar-benar aku." Rahang Charlie terkunci.
"Maafkan aku, Dad," ujarku.
"kau baik-baik saja?" tuntutnya.
"Sangat dan benar-benar baik" janjiku. "Segar bugar dan sehat walafiat." habis
sudah oksigenku. "Jake mengatakan padaku bahwa ini... perlu. Bahwa kau sekarat!" Ia mengucapkan
kata-kata itu dengan sikap seolah-olah ia sama sekali tak percaya.
Aku menguatkan diri, memfokuskan pikiran pada Renesmee yang hangat,
mencondongkan tubuh kepada Edward untuk meminta dukungan, dan menarik napas
dalam-dalam Aroma Charlie bagaikan tinju api, langsung menohok ke kerongkonganku. Bukan
hanya sakit. Tapi sekaligus gairah yang panas dan menusuk. Aroma Charlie jauh
lebih menggiurkan daripada apa pun yang pernah kubayangkan. Kalau para hiker
yang kutemui ketika berburu itu saja sudah menggiurkan, bau Charlie dua kali
lebih menggoda. Dan ia hanya beberapa meter dariku, tubuhnya memancarkan panas
dan cairan yang menitikkan air liur ke udara yang kering.
Tapi aku tidak sedang berburu sekarang. Dan ini ayahku.
Edward meremas pundakku dengan sikap bersimpati, sementara Jacob melayangkan
pandangan meminta maaf padaku dari seberang ruangan.
Aku berusaha menguasai diri dan mengabaikan rasa sakit sekaligus dahaga yang
berteriak minta dipuaskan. Charlie menunggu jawabanku.
"Apa yang dikatakan Jacob benar."
"Kalau begitu, ada juga di antara kalian yang jujur," geram Charlie.
Aku berharap Charlie bisa melihat, bahwa di balik segala perubahan di wajah
baruku, ada penyesalan yang dalam di sana.
Di bawah rambutku Renesmee mengendus-endus saat aroma tubuh Charlie tercium
olehnya. Kupeluk ia semakin erat,
Charlie melihatku menunduk cemas dan mengikuti arah pandangku.
"Oh" ujarnya, dan semua amarah lenyap dari wajahnya, berganti shock. "Ini dia.
Anak yatim-piatu yang kata Jacob kalian adopsi."
"Keponakanku," dusta Edward lancar. Ia pasti memutuskan kemiripannya dengan
Renesmee terlalu nyata untuk diabaikan begitu saja. Yang terbaik adalah
menyatakan mereka memiliki hubungan keluarga sejak awal.
"Lho, kusangka kau kehilangan seluruh anggota keluargamu," sergah Charlie, nada
menuduh kembali terdengar dalam suaranya.
"Aku kehilangan kedua orangtuaku. Kakak lelakiku diadopsi, sama seperti aku. Aku
tidak pernah bertemu lagi dengannya setelah itu. Tapi pengadilan berhasil
menemukanku setelah dia dan istrinya tewas dalam kecelakaan mobil, meninggalkan
anak tunggal mereka yang sebatang kara."
Edward lihai sekali memberi alasan. Suaranya tenang, bahkan ada sedikit keluguan
di dalamnya. Aku harus berlatih kalau ingin bisa seperti itu.
Renesmee mengintip dari balik rambutku, mengendus-endus lagi. Malu-malu
diliriknya Charlie dari balik bulu matanya, lalu bersembunyi lagi.
"Dia... dia, well, dia cantik."
"Memang," Edward membenarkan.
"Meski begitu lumayan berat juga tanggung jawabnya. Kalian kan baru saja
menikah." "Apa lagi yang bisa kami lakukan?" Edward membelai pipi Renesmee, Kulihat ia
menyentuh bibir bocah itu sekilas-untuk mengingatkan. "Kalau kau jadi kami, apa
kau tega menolaknya.?"
"Hmph. Well" Charlie menggeleng. "Kata Jake, kalian memanggilnya Nessie?"
"Tidak, itu tidak benar," bantahku, suaraku terlalu tajam dan melengking.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Namanya Renesmee."
Perhatian Charlie kembali tertuju padaku. "Bagaimana perasaanmu terhadap hal
ini" Mungkin Carlisle dan Esme lusa... "
"Dia milikku," potongku. "Aku menginginkan dia."
Charlie mengerutkan kening. "Masa kau akan membuatku jadi kakek di usia muda?"
Edward tersenyum. "Carlisle juga sudah jadi kakek."
Charlie melayangkan pandangan tak percaya pada Carlisle, yang masih berdiri di
samping pintu depan; ia terlihat bagaikan adik dewa Zeus yang lebih muda dan
lebih tampan. Charlie mendengus kemudian tertawa. "Kurasa itu membuatku merasa lebih baik."
Matanya tertuju kembali pada Renesmee, "Aku yakin dia pasti cantik sekali."
Renesmee mencondongkan badan ke arah bau itu, menyibak rambutku dan menatap
wajah Charlie untuk pertama kali, Charlie tersentak.
Aku tahu apa yang dilihat Charlie. Mataku-matanya- terrcetak sangat sempurna di
wajah Renesmee. Charlie mulai megap-megap. Bibirnya bergetar, dan aku bisa membaca angka-angka
yang ia ucapkan tanpa suara. Ia menghitung ke belakang, berusaha memasukkan
hitungan sembilan bulan ke satu bulan. Berusaha mencari penjelasan yang masuk
akal tapi tak bisa memaksa bukti yang berada lepat di depannya untuk menjadi
masuk akal. Jacob bangkit dan menghampiri Charlie, menepuk-nepuk punggungnya. Ia membungkuk
untuk membisikkan sesuatu di telinga Charlie; hanya saja Charlie tak tahu kami
semua bisa mendengarnya. "Hanya yang perlu diketahui, Charlie. Semua beres. Aku jamin."
Charlie menelan ludah dan mengangguk. Kemudian matanya berapi-api waktu ia maju
selangkah menghampiri Edward dengan dua tangan terkepal.
"Aku tidak ingin mengetahui semuanya, tapi aku sudah muak dengan kebohongan!"
"Maafkan aku," kata Edward kalem, "tapi kau lebih perlu mengetahui cerita versi
publik daripada yang sebenarnya. Kalau kau ingin menjadi bagian rahasia ini,
cerita versi publik adalah yang terpenting. Itu untuk melindungi Bella dan
Renesmee, juga kami semua. Bisakah kau menerima semua kebohongan itu demi
mereka?" Ruangan itu dipenuhi patung-patung. Kusilangkan tungkaiku.
Charlie mendengus dan mengarahkan tatapan garangnya padaku. "Seharusnya kau bisa
memberiku peringatan dulu, Nak."
"Apakah itu akan membuat keadaan jadi lebih mudah?"
Charlie mengerutkan kening, lalu berlutut di lantai, di depanku. Aku bisa
melihat darah mengalir di lehernya, di bawah kulitnya. Aku bisa merasakan
denyutan hangatnya. Begitu juga Renesmee, Ia tersenyum dan mengulurkan telapak tangannya yang pink
kepada Charlie. Kutarik Renesmee, Ia menekankan tangannya yang lain ke leherku,
dahaga, keingintahuan, dan wajah Charlie berkecamuk dalam pikirannya. Ada
sedikit kegelisahan dalam pesan itu, yang membuatku berpikir ia sepenuhnya
mengerti perkataan Edward; ia memnjukkan bahwa ia haus, tapi langsung
menyingkirkan itu dari pikirannya.
"Wow," Charlie terkesiap, matanya tertuju pada deretan gigi Renesmee yang
sempurna. "Umur berapa dia?"
"Hh.." "Tiga bulan," jawab Edward, kemudian menambahkan lambat-lambat, "atau lebih
tepatnya, ukuran tubuhnya mirip bayi tiga bulan, kurang-lebih. Dia lebih muda
dalam beberapa hal, sekaligus lebih matang dalam hal-hal lain."
Dengan sengaja Renesmee melambaikan tangan pada Charlie.
Charlie mengerjap tegang.
Jacob menyikutnya. "Sudah kubilang dia istimewa, kan?"
Charlie mengkeret, menjauhi sentuhan Jacob.
"Oh, ayolah, Charlie," erang Jacob. "Aku orang yang sama seperti dulu. Anggap
saja peristiwa siang tadi tak pernah terjadi,"
Ingatan itu langsung membuat bibir Charlie memutih, tapi ia mengangguk. "Apa
sebenarnya peranmu dalam semua ini, Jake?" tanyanya. "Berapa banyak yang
diketahui Billy" Mengapa kau ada di sini?"
Ditatapnya wajah Jacob, yang berseri-seri saat ia menatap Renesmee.
"Well, sebenarnya aku bisa saja memberitahukan semuanya padamu -tentu saja Billy
tahu semua-tapi itu melibatkan banyak hal tentang werewolf."
"Ughh!" protes Charlie, menutup telinga. "Sudahlah, tidak usah saja."
Jacob nyengir. "Semua pasti akan beres, Charlie. Asal kau berusaha untuk tidak
langsung memercayai apa pun yang kaulihat."
Ayahku menggerutu tidak jelas.
"Wuuu!" Suara bass Emmett yang berat tiba-tiba menggelegar. "Maju terus,
Gators!" Jacob dan Charlie terlonjak. Kami yang lain-lain membeku.
Charlie pulih dari kagetnya, lalu memandang Emmett dari balik bahunya. "Florida
menang, ya?" "Baru saja membuat skor touchdown pertama' Emmett membenarkan. Ia melayangkan
pandangan ke arahku, memainkan alis dengan mimik jail. "Di sini juga ada yang
kepingin mencetak skor."
Kutelan kembali desisanku. Di depan Charlie" Benar-benar keterlaluan.
Tapi Charlie sudah tak bisa lagi menyadari arti petunjuk iseng dari Emmet.
Kembali ia menarik napas dalam-dalam, mengisap udara seolah-olah ingin
menariknya hingga jauh ke jari kaki. Iri benar aku padanya. Ia bergegas maju,
mengitari Jacob, dan separo terjatuh ke kursi.
"WUU" desahnya. "Kurasa ada baiknya kita lihat apakah mereka bisa bertahan
memimpin." 26. BERKILAU "ENTAH sampai sejauh mana kita sebaiknya memberitahu Renee mengenai hal ini,"
kata Charlie, ragu-ragu, satu kakinya melangkah ke luar pintu. Ia meregangkan
ototnya, kemudian perutnya berbunyi.
Aku mengangguk. "Aku tahu. Aku tak ingin membuat Mom kalut. Lebih baik
melindunginya. Hal-hal begini bukan untuk mereka yang penakut."
Bibir Charlie mencebik dengan sikap muram. "Aku juga pasti akan berusaha
melindungimu, seandainya aku tahu bagaimana. Tapi kurasa kau tak pernah masuk
kategori penakut, ya?"
Aku balas tersenyum, menarik napas yang membakar tenggorokanku.
Charlie menepuk-nepuk perutnya dengan sikap sambil lalu. "Akan kupikirkan
sesuatu. Kita punya waktu untuk mendiskusikannya, kan?"
"Benar," aku berjanji padanya.
Ini hari yang sulit dalam beberapa hal, tapi juga sangat mudah dalam beberapa
hal lain. Charlie terlambat makan malam - Sue yang memasak untuk dia dan Billy.
Itu akan jadi malam yang canggung, tapi setidaknya ia akan makan makanan enak;
aku senang ada yang berusaha menyelamatkan Charlie dari kemungkinan kelaparan
karena tidak bisa memasak.
Ketegangan seharian membuat menit-menit berjalan lambat; bahu Charlie tak pernah
rileks sedikit pun. Tapi ia juga tidak buru-buru ingin menyingkir dari sini. Ia
menonton dua pertandingan - syukurlah perhatiannya begitu terserap pada
pertandingan hingga sama sekali tidak menyadari lelucon-lelucon menyerempet
Emmett yang semakin lama semakin terang-terangan dan semakin tak ada hubungannya
dengan football-komentar ofisial dan pemain sehabis pertandingan, kemudian
berita, tidak bergerak sampai Seth mengingatkannya sudah waktunya pergi.
"Kau takkan melupakan janjimu dengan Billy dan ibuku kan, Charlie.' Ayolah. Kau
kan bisa bertemu Bella dan Nessie lagi besok. Bagaimana kalau kita cabut?"
Tampak jelas di mata Charlie bahwa ia sama sekali tidak memercayai penilaian
Seth, tapi dibiarkannya saja Seth mengajaknya keluar. Keraguan masih tampak saat
ia berhenti sejenak sekarang. Awan-awan menipis, hujan sudah berhenti. Matahari
bahkan mungkin muncul tepat sebelum terbenam.
"Kata Jake tadinya kalian berniat pergi meninggalkanku," Charlie bergumam
sekarang. "Sebenarnya aku tak ingin melakukannya kalau memang masih ada jalan lain. Itulah
sebabnya kami masih di sini."
"Katanya, kau bisa tinggal di sini untuk sementara, tapi hanya kalau aku cukup
kuat dan bisa menutup mulutku."
"Benar... tapi aku tak bisa berjanji bahwa kami tidak akan pernah pergi, Dad.
Persoalannya cukup rumit..."
"Hanya yang perlu kuketahui" ia mengingatkanku.
"Benar" "Tapi kau akan tetap menjengukku, kan, meskipun kau harus pergi?"
"Aku janji, Dad. Sekarang setelah Dad cukup tahu, kurasa bisa dilakukan. Aku
akan berusaha tetap berada sedekat mungkin dengan yang Dad inginkan."
Charlie menggigit-gigit bibir selama setengah detik, lalu pelan-pelan
mencondongkan badan ke arahku dengan kedua lengan terulur hati-hati. Kupindahkan
Renesmee-yang sekarang sudah tidur-ke lengan kiriku, mengunci gigiku rapatrapat, menahan napas, dan memekikkan lengan kananku dengan sangat ringan ke
pinggang Charlie yang hangat dan lembut.
"Tetaplah dekat denganku, Bells," gumamnya.
"Sangat dekat."
"Aku sayang Dad," bisikku dari sela-sela gigi. Charlie bergidik dan menarik
tubuhnya. Kujatuhkan lenganku.
"Aku juga sayang padamu, Nak. Terlepas dari apa pun yang sudah berubah, yang
satu itu tidak berubah." Ia menyentuh pipi pink Renesmee dengan satu jari. "Dia
jelas mirip sekali denganmu."
Aku berusaha menunjukkan ekspresi biasa-biasa saja, meski sama sekali tidak
merasa begitu. "Lebih mirip Edward, kurasa." Aku ragu-ragu, kemudian
menambahkan, "Rambut ikalnya mirip Dad."
Charlie terkejut, kemudian mendengus.
"Hah. Benar juga. Kakek." Ia menggeleng-gelengkan kepala ragu. 'Apa aku boleh
menggendongnya?" Aku mengerjapkan mata shock, kemudian menguasai diri.
Setelah mempertimbangkan selama setengah detik dan menilai keadaan Renesmeetampaknya ia benar-benar tidur pulas-aku memutuskan mungkin aku bisa memaksakan
keberuntunganku, mengingat hari ini semua berjalan sangar lancar...
"Ini," kataku, menyodorkan Renesmee. Charlie otomatis membuat semacam buaian
kikuk dengan lengannya, dan kuletakkan Renesmee di sana. Kulit Charlie tidak
sepanas kulit Renesmee, tapi kerongkonganku gatal merasakan kehangatan yang
mengalir di bawah membran tipis itu. Di tempat kulitku bersentuhan dengan
kulitnya, aku bergidik. Aku tak tahu apakah itu reaksi dari suhu tubuhku yang
baru atau sepenuhnya karena alasan psikologis.
Charlie menggeram pelan saat merasakan bobot Renesmee, "Dia... kokoh."
Keningku berkerut. Bagiku dia seringan bulu. Mungkin aku keliru.
"Kokoh itu bagus," sergah Charlie, begitu melihat ekspresiku. Lalu ia bergumam
sendiri, "Dia memang harus kuat, hidup dikelilingi semua hal sinting ini," Ia
mengayun-ayunkan lengannya pelan, menggerakkannya sedikit ke kanan dan ke kiri.
"Bayi tercantik yang pernah kulihat, selain kau, Nak. Maaf, tapi itu benar."
"Aku tahu itu benar."
Aku bisa melihatnya di wajah Charlie-aku bisa melihatnya di sana. Charlie
ternyata juga tak berdaya menampik daya tarik magis Renesmee, seperti kami
semua. Baru dua detik dalam gendongannya, Renesmee sudah berhasil menawan hati
Charlie. "Boleh aku kembali besok?"
"Tentu, Dad. Tentu saja. Kami pasti ada di sini."
"Sebaiknya begitu," tukas Charlie kaku, tapi wajahnya lembut, masih menatap
Renesmee. "Sampai ketemu besok, Nessie."
"Aduh, masa Dad juga sih!"
'Hah!" "Namanya Renesmee, Seperti Renee dan Esme, dijadikan satu. Tak ada variasi."
Sekuat tenaga aku berusaha menenangkan diri tanpa menarik napas dalam-dalam kali
ini. "Apakah kau ingin tahu nama tengahnya?"
" Tentu." "Clarlie. Dengan huruf C. Seperti Carlisle dan Charlie dijadikan satu."
434 Cengiran Charlie yang membuat sudut-sudut matanya berkerut menghiasi wajahnya,
sama sekali tak terduga. "Trims, Bell"
"Aku yang berterima kasih pada Dad. Banyak sekali yang berubah begitu cepat.
Sampai sekarang pun aku masih bingung. Kalau aku tidak memiliki Dad sekarang,
entah bagaimana aku bisa mempertahankan-kenyataan." Hampir saja aku berkata
mempertahankan diriku yang dulu. Mungkin itu lebih dari yang ia butuhkan.
Perut Charlie keroncongan.
"Pergilah makan, Dad. Kami akan berada di sini." Aku ingat bagaimana rasanyasensasi bahwa segala sesuatu akan lenyap begitu cahaya pertama matahari muncul.
Charlie mengangguk dan dengan enggan mengembalikan Renesmee padaku. Ia
melayangkan pandangan melewatiku ke dalam rumah; matanya sejenak tampak liar
saat memandangi ruangan besar yang terang benderang itu. Semua ada di sana,
kecuali Jacob, yang bisa kudengar sedang mengobrak-abrik isi kulkas di dapur;
Alice duduk-duduk di anak tangga paling bawah dengan kepala Jasper terbaring di
pangkuan; Carlisle menunduk, membaca buku tebal yang diletakkan di pangkuan;
Esme berdendang pelan sambil mencoret-coret di buku, sementara Rosalie dan
Emmett membuat fondasi sebuah rumah kartu yang monumental di bawah tangga;
Edward sudah berada di balik piano dan memainkan musik yang sangat lembut, tak
ada tanda-tanda hari ini akan berakhir, bahwa sekarang mungkin waktunya untuk
makan atau - berganti aktivitas sebagai persiapan menghadapi malam. Terasa ada
sesuatu yang tidak kentara telah mengubah suasana. Keluarga Cullen tidak
berusaha sekeras biasanya-sandiwara mereka sebagai manusia sedikit berkurang,
cukup bagi Charlie untuk merasakan perbedaannya.
Ia bergidik, menggeleng, dan mendesah. "Sampai ketemu besok, Bella." Ia
mengerutkan kening kemudian menambahkan, "Maksudku, bukan berarti kau tidak
tampak... cantik. Nanti juga aku akan terbiasa."
"Trims, Dad." Charlie mengangguk dan berjalan dengan sikap merenung menuju mobilnya. Aku
mengawasi kepergiannya; setelah aku mendengar roda-rodanya melindas jalan tol,
baru aku sadar aku telah berhasil melewati hari ini tanpa menyakiti Charlie.
Dengan usahaku sendiri. Aku pasti mempunyai kekuatan super!
Rasanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Mungkinkah aku benar-benar bisa
memiliki keduanya, keluarga baruku sekaligus keluarga lamaku" Padahal kusangka
kemarin semua sudah sempurna.
"Wow," bisikku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan merasakan lensa kontak
ketigaku luruh. Suara piano berhenti, dan lengan Edward merangkul pinggangku, dagunya diletakkan
di bahuku. "Aku baru saja hendak mengatakan hal yang sama."
"Edward, aku berhasil!"
"Kau berhasil. Sungguh tak bisa dipercaya. Mengingat semua kekhawatiran menjadi
vampir baru, kau malah melewati semuanya sekaligus," Ia tertawa pelan.
"Jangankan vampir baru, aku bahkan tak yakin dia benar-benar vampir," Emmett
berseru dari bawah tangga. "Habis dia terlalu jinak sih,"
Semua komentar memalukan yang ia lontarkan di hadapan ayahku tadi kembali
terngiang di telingaku, dan mungkin ada bagusnya juga aku sedang menggendong
Renesmee, Tak mampu sepenuhnya mengendalikan reaksiku, aku menggeram pelan.
"Ooooo, takut..." Emmett terbahak.
Aku mendesis, dan Renesmee bergerak dalam pelukanku, la mengerjap-ngerjapkan
mata beberapa kali, lalu memandang berkeliling, ekspresinya bingung. Ia
mengendus, kemudian menggapai wajahku.
"Charlie akan kembali besok," aku meyakinkan dia.
"Bagus sekali," sergah Emmett. Rosalie tertawa bersamanya kali ini.
"Bukan hal yang bijaksana, Emmett," kecam Edward dengan nada mengejek,
mengulurkan kedua tangannya untuk meminta Renesmee dariku. Ia mengedip waktu aku
ragu-ragu, kemudian, sedikit bingung, kuserahkan Renesmee padanya.
"Apa maksudmu?" tuntut Emmett.
"Bukankah menurutmu agak tolol membuat marah vampir paling kuat di rumah
ini"'' Emmett melontarkan kepalanya ke belakang dan mendengus. "Please!"
"Bella," bisik Edward sementara Emmett mendengarkan dengan saksama, "ingatkah
kau, beberapa bulan yang lalu, aku memintamu melakukan sesuatu begitu kau
berubah jadi imortal?"
Perkataannya menggemakan lonceng samar-samar. Aku memilah-milah pembicaraan
samar kami saat aku masih menjadi manusia. Sejurus kemudian aku ingat dan
terkesiap, "Oh!"
Alice mengumandangkan tawa merdu melengking yang panjang. Jacob melongokkan
kepalanya dari sudut ruangan, mulutnya penuh makanan.
"Apa?" geram Emmett.
"Kau serius?" tanyaku pada Edward.
"Percayalah padaku," ujar Edward.
Aku menghela napas dalam-dalam, "Emmett, bagaimana kalau kita bertaruh sedikit?"
Ia langsung berdiri. "Asyik. Ayo saja."


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menggigit bibir sebentar. Emmett kan BESAR sekail
"Kecuali kau terlalu takut..,?" tantang Emmett.
Kutegakkan bahuku. "Kau. Aku. Adu panco. Di meja ruang makan. Sekarang"
Seringaian Emmet melebar membelah wajahnya.
"Eh, Bella," Alice buru-buru menyergah, "kurasa itu meja kesayangan Esme. Itu
antik." "Trims," Esme mengucapkan kata itu tanpa suara.
"Bukan masalah," tukas Emmett dengan senyum cemerlang. "Lewat sini, Bella."
Aku mengikutinya keluar ke belakang, menuju garasi; bisa kudengar semua
mengikuti di belakang. Berdiri di antara bebatuan dekat sungai, ada batu granit
yang cukup besar, jelas ke sanalah tujuan Emmett. Walaupun batu besar itu
sedikit bulat dan tidak beraturan, namun bisa dipakai.
Emmett meletakkan sikunya di atas batu dan melambaikan ringan padaku agar maju.
Begitu melihat otot-otot besar di lengan Emmett yang bertonjolan, aku langsung
gugup, tapi aku tetap memasang wajah datar. Edward pernah memastikan aku akan
lebih kuat daripada siapa pun untuk sementara waktu. Sepertinya ia sangat yakin
akan hal ini, dan aku memang merasa kuat. Sekuat itukah" aku bertanya-tanya
dalam hati, memandangi orot-otot biseps Emmett. Tapi aku bahkan belum berumur
dua hari, jadi seharusnya itu berarti sesuatu. Kecuali tak ada yang normal
tentang diriku. Mungkin aku tak sekuat vampir baru yang normal. Mungkin itulah
sebabnya aku sangat mudah mengendalikan diri.
Aku berusaha memasang wajah tenang saat meletakkan sikuku di batu,
"Oke, Emmett,. Kalau aku menang, kau tak boleh mengataiku! apa-apa lagi tentang
kehidupan seksku pada siapa pun, bahkan tidak kepada Rose, Tidak ada lagi
sindiran, kata-kata bersayap-pokoknya tidak ada,"
Mata Emmett menyipit. "Baiklah. Kalau aku menang, itu akan bertambah parah."
Ia mendengar napasku tertahan dan nyengir jail. Tampak kilauan menantang di
matanya. "Masa kau segampang itu menyerah?" ejek Emmett menantang. Ternyata kau tidak
terlalu liar, ya" Taruhan, pasti pondok kecil itu bahkan tidak tergores,"
Ia tertawa, "Pernahkah Edward memberitahu berapa rumah yang Rose dan aku
hancurkan?" Aku mengertakkan gigi dan menyambar tangannya yang besar. "Satu, dua... "
"Tiga," geram Emmett, dan mendorong tanganku.
Tidak terjadi apa-apa. Oh, aku bisa merasakan kekuatan yang ia kerahkan. Pikiran baruku sepertinya
sangat lihai melakukan berbagai perhitungan, jadi aku tahu kalau ia tidak
mendapatkan perlawanan apa pun, tangannya pasti akan menghantam batu tanpa
kesulitan. Tekanannya semakin kuat, dan aku sempat penasaran apakah truk semen
yang melaju dengan kecepatan 64 kilometer per jam saat menuruni turunan tajam
juga akan memiliki kekuatan yang sama. Kalau delapan puluh kilometer per jam"
Sembilan puluh enam" Mungkin lebih.
Itu tak cukup kuat untuk menggerakkanku. Tangan Emmett mendorong tanganku dengan
kekuatan luar biasa, tapi rasanya biasa-biasa saja. Anehnya, malah terasa
menyenangkan. Sejak terakhir kali terbangun, aku sangat berhati-hati, berusaha
keras tidak merusak apa pun. Jadi ini menjadi semacam kelegaan yang aneh untuk
otot-ototku. Membiarkan kekuatanku mengalir daripada berjuang keras menahannya.
Emmett menggeram; keningnya berkerut dan sekujur tubuhnya mengejang kaku dengan
target menyingkirkan halangan berupa tanganku yang tak bergerak. Kubiarkan ia
berkeringat-secara harfiah-sebentar sementara aku menikmati sensasi dahsyatnya
kekuatan yang mengalir di lenganku.
Beberapa detik kemudian aku mulai merasa sedikit bosan. Kulenturkan otot-ototku;
tangan Emmett terdorong dua setengah sentimeter.
Aku tertawa. Emmett menggeram kasar dari sela-sela giginya.
"Tutup mulutmu," aku mengingatkan dia, kemudian menghantamkan tangannya ke batu
besar. Bunyi berderak yang sangar keras menggema ke pepohonan. Batu itu
bergetar, dan sepotong-ukurannya kira-kira seperdelapan massa batu-pecah dan
menghantam tanah. Pecahan batu itu jatuh menimpa kaki Emmett dan aku tertawa
mengejek. Aku juga bisa mendengar suara tawa tertahan Jacob dan Edward.
Emmett menendang pecahan batu itu ke seberang sungai. Pecahan batu itu mengiris
pohon maple yang masih muda menjadi dua sebelum membentur kaki pohon cemara
besar, yang langsung goyah dan jatuh menimpa pohon lain,
"Pertandingan ulang. Besok."
"Kekuatanku takkan pudar secepat itu" kataku. "Mungkin sebaiknya kautunda dulu
satu bulan." Emmett menggeram, memamerkan giginya. "Besok"
"Hei, terserah kau saja."
Sewaktu berbalik untuk menghambur pergi, Emmett meninju batu granit itu,
menciptakan guguran kepingan dan debu batu. Keren juga kelihatannya, walaupun
kekanak-Linakan. Terpesona oleh bukti tak terbantahkan bahwa aku lebih kuat daripada vampir
paling kuat yang pernah kukenal, aku meletakkan tanganku, jari-jarinya terbuka
lebar, ke atas batu. Kemudian aku membenamkan jariku pelan-pelan ke dalam batu,
meremukkan, bukan menggali; konsistensinya mengingatkanku pada keju keras.
Hasilnya adalah segenggam batu kerikil,
"Keren," gumamku.
Dengan seringaian di wajah, aku tiba-tiba berbalik dan menyarangkan pukulan ala
karate ke batu itu dengan bagian samping tanganku. Batu itu berderak, mengerang,
dan-diiringi kepulan besar debu-terbelah menjadi dua.
Aku mulai terkikik. Aku tak begitu menggubris suara tawa di belakangku sementara aku meninju dan
menendangi batu yang tersisa menjadi serpihan-serpihan kecil. Aku terlalu asyik,
tertawa-tawa gembira. Baru setelah aku mendengar suara tawa kecil yang baru,
dentangan lonceng yang melengking tinggi, aku menghentikan permainan konyolku
itu, "Benarkah dia baru saja tertawa?"
Semua orang memandangi Renesmee dengan ekspresi terperangah yang sama seperti
yang pasti terpancar dari wajahku.
"Ya," jawab Edward.
"Siapa yang tidak tertawa?" gerutu Jake, memutar bola matanya.
"Kau juga sedikit kalap waktu pertama kali berubah wujud, kan, anjing," goda
Edward, tak ada nada antagonis sama sekali dalam suaranya,
"Itu lain," tukas Jacob, dan dengan kaget kulihat ia berpura-pura meninju bahu
Edward. "Bella kan seharusnya sudah dewasa. Sudah menikah, sudah jadi ibu, dan
lain sebagainya. Berwibawa sedikit, kenapa sih?"
Renesmee mengerutkan kening, dan menyentuh wajah Edward.
"Apa yang dia inginkan?" tanyaku,
"Tak perlu terlalu menahan diri," jawab Edward sambil nyengir. "Dia senang
melihatmu bersenang-senang seperti tadi."
"Aku lucu, ya?" tanyaku pada Renesmee, bergegas menghampiri dan meraihnya saat
ia menggapai padaku. Kuambil ia dari pelukan Edward dan kuberikan padanya
kepingan batu di tanganku. "Kau mau mencoba?"
Renesmee menyunggingkan senyumnya yang berseri-seri dan mengambil batu itu
dengan dua tangan. Ia meremasnya, lekukan kecil terbentuk di antara alisnya
sementara ia berkonsentrasi.
Terdengar suara seperti gerinda berputar, dan sedikit debu mengepul. Renesmee
mengerutkan kening, kemudian mengacungkan potongan batu itu padaku.
"Biar aku saja," kataku, lalu mencubit batu itu menjadi pasir.
Renesmee bertepuk tangan dan tertawa; suaranya yang menyenangkan membuat kami
semua ikut tertawa. Matahari mendadak muncul dari balik awan, menyorotkan sinar merah emasnya yang
panjang ke kami bersepuluh, dan perhatianku langsung beralih ke indahnya kulitku
di bawah cahaya matahari terbenam. Terpesona olehnya.
Renesmee mengelus-elus kulitku yang halus dan berpendar-pendar bagai berlian,
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 6 Dewa Arak 39 Misteri Dewa Seribu Kepalan Jala Pedang Jaring Sutra 9

Cari Blog Ini