Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 2
Di tempat dia menantikan sang suami,
Di sanalah sungai mengalir tiada henti.
Tak pernah melihat ke belakang lagi,
Berubah menjadi sebongkah batu.
Hari demi hari lalu di puncak itu,
Angin dan hujan silih berganti.
Andaikan Sang Kelana kembali,
Cadas ini akan berbicara.
Ibu Suri mengangkat lengan baju kanannya dan mengusap mata dengan itu. Dia
berpaling kepada Kaisar Hsien Feng. "Bagaimana menurutmu, anakku?" dia bertanya.
"Mengharukan, ya?"
Kaisar mengangguk dengan patuh. Tangannya menjangkau, dan jemarinya mulai
memainkan keping-keping bambu di atas piring.
"Katakan, Nak, apakah aku harus duduk sampai kursi ini rusak supaya kau mau
membuat keputusan?" Sang Ibu bertanya.
Tanpa menjawab, Kaisar Hsien Feng mengambil keping bambu yang bertuliskan nama
Nuharoo di atasnya, lalu menjatuhkannya di piring emas.
Begitu suara keping bambu itu terdengar, para kasim dan dayang menarik napas
panjang secara bersamaan. Mereka menjatuhkan diri di kaki Kaisar dan berseru,
"Selamat!" "Istri Pertama Yang Mulia sudah terpilih!" Kepala Kasim Shim mengumumkan ke arah
dinding luar. "Terima kasih," Nuharoo melakukan kowtow, dahinya menyentuh lantai dengan
ringan. Dia melakukannya tanpa terburuburu. Setelah sujud ketiga, dia bangkit,
lantas kembali berlutut. Kami semua turut berlutut bersama-sama dengannya.
Dengan suara yang amat terlatih, Nuharoo berkata, "Saya mendoakan sepuluh ribu
tahun kehidupan untuk Yang Mulia berdua. Semoga keberuntungan Anda berdua
sebanyak butir air di Laut Cina Timur dan kesehatan Anda berdua sesubur
Pegunungan Selatan!"
Para kasim membungkuk kepada Nuharoo, kemudian mendampinginya keluar dari
Balairung. Ruangan raksasa itu kembali sunyi.
Kami tetap berlutut, aku tetap merapatkan dagu, menunduk.
Tak ada yang bicara atau bergerak.
Tak tahu apa yang tengah terjadi, aku memutuskan untuk mengintip lagi.
Napasku tersentak saat mataku beradu tatap dengan Ibu Suri.
Lututku mengejat, aku buru-buru menyentuhkan dahi ke lantai.
"Ada yang terburu-buru," kata Kaisar Hsien Feng, nada geli tersirat dalam
suaranya. Ibu Suri tidak menanggapi.
"Bunda, aku mendengar guruh," ujar Kaisar. "Perkebunan kapas di pedalaman akan
segera tenggelam di bawah curah hujan. Apa yang harus kuperbuat dengan segala
berita buruk ini?" "Satu-satu, Nak."
Kaisar mendesah. Aku ingin sekali memandang Kaisar sekali lagi. Tetapi aku teringat peringatan
kakak Fann tentang kebencian Ibu Suri kepada gadis-gadis yang terlalu
bersemangat menarik perhatian Kaisar. Suatu kali Ibu Suri pernah memerintahkan
agar seorang selir dipukuli sampai mati karena tampaknya dia main mata dengan
Kaisar. "Mendekatlah kemari, nona-nona. Kalian semua," kata Ibu Suri.
"Lihatlah baik-baik, Anakku."
"Tak ada tonggeret2 goreng untuk makan malam," gumam Kaisar Hsien Feng, seolah
dia hanya sendirian dalam ruangan itu.
"Aku bilang mendekatlah!"pekik Ibu Suri kepada kami.
Aku melangkah maju berbarengan dengan lima gadis yang lain.
Satu per satu kami menyebutkan nama kami, diikuti dengan kalimat, "Saya
mendoakan sepuluh ribu tahun kehidupan untuk Yang Mulia berdua."
Perasaanku mengatakan bahwa Kaisar Hsien Feng tengah memandang ke arahku. Aku
gelisah karena gembira dan berharap bisa mempertahankan perhatiannya itu, tetapi
aku tahu bahwa aku tak boleh mengecewakan Ibu Suri. Aku tetap menunduk
memerhatikan jemari kakiku. Aku menangkap suatu gerakan dari Kaisar dan cepatcepat mencuri pandang ketika Ibu Suri tengah menanyakan kepada Kepala Kasim Shim
mengapa gadis-gadis ini tampak lamban dan tak punya semangat. "Apakah kau
memungut mereka dari jalanan?"
Shim mencoba menjelaskan, tetapi Ibu Suri menghentikannya.
"Aku tak peduli bagaimana kau melakukannya. Aku hanya menilai berdasarkan
hasilnya, dan aku tidak puas. Aku bakal tenggelam diludahi para nenek moyang
Kerajaan!" "Yang Mulia," si kasim berlutut, "Bukankah pernah saya katakan bahwa lonceng
yang bagus juga memerlukan pemukul yang berat agar bisa mengeluarkan suara yang
tepat" Semua ini tergantung bagaimana Paduka melaras gadis-gadis ini, sebuah
tugas yang, kami semua yakin, adalah keahlian Yang Mulia."
"Terkutuklah lidahmu, Shim!" wanita tua itu pecah tawanya.
Kaisar membolak-balik keping-keping bambu di piring perak, seakan-akan merasa
kesal. "Kau tampak letih, Anakku," kata Ibu Suri.
"Memang, Bunda. Jangan harap aku akan datang besok karena aku takkan datang."
"Kalau begitu, kau harus putuskan sekarang. Konsentrasilah, dan lihatlah lebih
teliti." "Tapi itu sudah kulakukan, bukan?"
"Lantas kenapa engkau tak bisa memutuskan" Laksanakan tugasmu, Anakku. Di
hadapanmu adalah gadis-gadis terbaik yang dapat dipersembahkan negara ini kepada
Kaisarnya!" "Aku tahu." "Ini hari besarmu, Hsien Feng."
"Setiap hari adalah hari besar. Setiap hari sebilah tongkat logam panjang
ditusukkan ke dalam batok kepalaku."
Ibu Suri mendesah. Kemarahannya sudah hampir meledak. Dia menghela napas panjang
guna mengendalikan diri. "Kau menyukai Nuharoo, bukan?" tanyanya.
"Mana kutahu?" Sang Putra Surga memutar matanya ke arah langit-langit. "Kepalaku
penuh lubang." Sang Ibu menggigit bibir.
Yang Mulia Kaisar meraupkan jemarinya ke sisa keping bambu, menimbulkan suara
nyaring. "Tulang-tulangku berteriak meminta dibaringkan." Ibu Suri meregangkan badan di
tempat duduknya. "Aku sudah bangun sejak pukul dua pagi hari ini, dan untuk
sesuatu yang sia-sia!"
Shim setengah merayap, pada lututnya, mendekati Ibu Suri.
Lengannya teracung, mengangkat sebuah baki berisi handuk basah, kotak bedak,
sebatang kuas, dan sebuah botol hijau.
Ibu Suri mengambil handuk itu, menyeka tangannya, lantas memungut kuas untuk
membedaki wajahnya. Setelah itu, dia mengambil botol hijau dan menyemprotkan
seulas kabut ke wajahnya yang berias tebal.
Suatu aroma berat memenuhi ruangan.
Kuambil kesempatan ini untuk mengangkat mata. Yang Mulia Kaisar tengah
memandangiku. Dia mengerutkan hidung dan mulutnya sedemikian rupa seolah tengah
mencoba membuatku tertawa. Aku benar-benar tak tahu harus bertindak bagaimana.
2 Sejenis setangga yang berbunyi gemeresik setiap musim panas. - penerj.
Godaan ini terus saja berlangsung. Kelihatannya Yang Mulia lebih tertarik pada
usaha untuk membuatku melanggar peraturan.
Ajaran Ayah terlintas di benakku: "Orang muda melihat kesempatan pada tempat
orang tua melihat bahaya."
Sang Putra Surga tersenyum padaku. Aku balas tersenyum.
"Musim panas ini akan sejuk dan menyenangkan," Kaisar Hsien Feng mempermainkan
keping bambunya. Ibu Suri memalingkan kepala ke arah kami dan mengerutkan kening.
Pikiranku seketika melayang pada gadis yang digebuki sampai mati, dan keringat
dingin seketika mengalir membasahi punggungku.
Kaisar mengangkat tangan kanannya dan mengarahkan telunjuknya kepadaku. "Yang
ini," katanya. "Yehonala?" Kepala Kasim Shim bertanya.
Kurasakan panasnya tatapan Ibu Suri.
Aku menundukkan pandangan dan menanggung kesunyian nan panjang dan tak
tertahankan. "Sudah kulakukan apa yang harus kulakukan, Bunda," ujar Kaisar.
Ibu Suri tak berkomentar.
"Shim, kau dengar aku?" Kaisar menoleh kepada si orang kasim.
"Ya, Paduka, saya mendengar Yang Mulia dengan jelas." Kepala Kasim Shim
tersenyum hormat, tetapi tujuannya adalah memberi kesempatan kepada Ibu Suri
untuk mengucapkan keputusan terakhir.
Akhirnya "YA" itu tiba juga.
Kurasakan kegirangan Kaisar dan kekecewaan Ibu Suri.
"Sa ... saya mendoakan sepuluh ribu tahun kehidupan untuk Yang Mulia berdua."
ujarku, berusaha keras mengendalikan gemetarnya lutut. "Semoga keberuntungan
Anda berdua sebanyak butir air di Laut Cina Timur dan kesehatan Anda berdua
sesubur Pegunungan-"
"Bagus! Umurku baru saja diperpendek," tukas Ibu Suri.
Lututku lemas, dan keningku menyentuh lantai.
"Aku khawatir aku baru saja melihat bayangan hantu." Ibu Suri bangkit dari
kursinya. "Yang mana, junjunganku?" tanya Kepala Kasim Shim. "Akan saya tangkapkan untuk
Anda." "Ya, Shim. Mari akhiri semuanya."
Tiba-tiba terdengar dentang nyaring keping bambu yang dilemparkan ke piring
emas. "Waktunya menyanyi, Shim!" perintah Kaisar.
"Yehonala tetap tinggal!" nyanyi Shim.
Tak banyak yang bisa kuingat setelah itu, hanya kenyataan bahwa hidupku telah
berubah. Aku kaget setengah mati saat Kepala Kasim Shim berlutut di hadapanku, menyebutku
junjungannya dan dirinya sendiri sebagai hambaku. Dibantunya aku berdiri. Aku
bahkan tak menyadari apa yang terjadi dengan gadis-gadis lain, atau kapan mereka
dibawa keluar. Pikiranku terasa aneh. Aku teringat sebuah opera amatir di Wuhu. Saat itu
setelah pesta Tahun baru, dan semua orang tengah mabuk-termasuk aku, karena Ayah
mengizinkanku untuk mencicipi sedikit arak beras agar aku tahu bagaimana
rasanya. Para pemusik tengah melaras alat-alat mereka. Pada awalnya suaranya
aneh-sangat memilukan. Lalu berubah menjadi suara kuda yang tengah dipukuli.
Kemudian, patah-patah dan tercekat, nada-nadanya terdengar seperti siulan angin
padang rumput Mongolia. Opera mulai. Para aktor masuk, mengenakan gaun wanita
berpola cetakan bunga biru dan putih. Para pemusik mengetuk tabung bambu mereka
dengan tongkat sementara para aktor menyanyi dan menepuk-nepuk paha mereka.
Prek! Prek! Prek! Kuingat benar bunyinya. Sangat tak nyaman didengar, dan aku
tak habis pikir mengapa orang-orang begitu menyukainya. Menurut Ibu, itu adalah
pertunjukan tradisional Manchu yang dicampur dengan elemen opera Cina, aslinya
merupakan sebentuk hiburan untuk rakyat jelata. Sesekali kaum berharta akan
meminta mereka pentas, "untuk mencicipi citarasa lokal".
Aku ingat duduk di deretan terdepan. Telingaku kebas gara-gara dentuman gendang.
Suara pukulan tongkat pada tabung bambu terasa seperti godam membentur
tengkorakku. Prek! Prek! Prek! Semua pikiranku habis dipukuli.
Kepala Kasim Shim sudah berganti kostum. Awan merah lukisan tangan melayang di
atas bukit pinus menghiasi pakaian itu. Pada kedua pipinya, dilukiskan bulatan
merah seperti tomat. Pasti dia melukiskannya dengan terburu-buru karena catnya
agak berlepotan. Separuh hidungnya juga ikut merah. Sejalur tipis garis putih menggores dari
kening ke hidungnya. Orang ini wajahnya seperti kambing dan matanya seolah-olah
tumbuh keluar dari telinganya. Dia tersenyum, menampakkan sederetan gigi emas.
Ibu Suri bergembira. "Shim, apa yang hendak kaukatakan?"
"Selamat atas ketujuh menantu Anda, Yang Mulia. Ingatkah Anda pada kalimat
pertama yang dikatakan ibu mertua kepada menantu perempuannya dalam opera Mawar
Liar?" "Bagaimana mungkin orang bisa lupa?" wanita tua itu tertawa seraya mengucapkan
kalimat itu: "Ambil embermu, menantu, dan pergilah ke sumur!"
Dengan riang Kepala Kasim Shim memanggil keenam gadis lainnya, termasuk Nuharoo.
Mereka masuk layaknya dewi-dewi turun dan langit, lalu berbaris di dekatku.
Shim menyingsingkan salah satu sisi jubahnya dan maju dua langkah, menempatkan
dirinya di tengah Balairung, menghadap pada Kaisar Hsien Feng dan Ibu Suri.
Dipalingkannya wajah ke timur, kemudian kembali ke tengah. Dengan formal dia
berkata, "Semoga Yang Mulia dikaruniai ratusan cucu dan hidup abadi!"
Kami membebek semua kata-katanya seraya berlutut.
Dari luar Balairung terdengar suara genderang dan musik.
Serombongan kasim, masing-masing membawa kotak terbungkus sutra, masuk. "Bangkit," senyum Ibu Suri.
Kepala Kasim Shim mengumumkan, "Yang Mulia Kaisar memanggil para Menteri
Kerajaan!" Suara debum dan ratusan lutut yang menyentuh tanah terdengar dari luar
Balairung. "Bakti kami semua, Yang Mulia!" seru para Menteri.
Kepala Kasim Shim mengumumkan, "Dengan disaksikan oleh roh para nenek moyang
Kerajaan, disaksikan Langit dan jagat raya, Yang Mulia Tuanku Kaisar Hsien Feng
siap mengumumkan nama para istrinya!"
"Zah!" massa menyahut dalam bahasa Manchu.
Ketujuh kotak itu mulai dibuka, satu per satu, menampakkan ruyi. Setiap ruyi
adalah tongkat kebesaran dengan kepala berbentuk tiga cendawan atau bunga yang
tersambung dengan gagangnya.
Kepala tongkat-tongkat tersebut terbuat dari emas, zamrud, mirah delima, dan
safir, sedangkan tangkainya berupa kayu berpernis atau giok yang diukir. Masingmasing ruyi mewakili sebuah kedudukan dan gelar. Ru berarti 'sebagai' dan yi
berarti 'keinginanmu'; ruyi berarti
'sebagaimana yang kau inginkan'.
Kaisar mengambil sebuah ruyi dari nampan dan berjalan ke arah kami. Ruyi yang
dibawanya berpernis keemasan dan berhiaskan tiga bunga peoni yang saling
menjalin. Aku terus menahan napas, tetapi sudah tak takut lagi. Seperti apa pun ruyi yang
kudapat, esok Ibu sudah akan sangat bangga terhadapku. Beliau akan menjadi
mertua dari Sang Putra Surga, dan saudara-saudaraku menjadi kerabat Kerajaan!
Aku hanya menyesal bahwa Ayah tak sempat menyaksikan semua ini.
---oOo--- Kaisar Hsien Feng mempermainkan ruyi di tangannya. Raut menggoda di wajahnya
sudah hilang. Kini dia tampak tak yakin. Berhenti, ragu-ragu, mengerutkan alis.
Dia memindah-mindahkan ruyi itu dari satu tangan ke tangan lainnya, kemudian,
dengan pipi merona, dia berpaling kepada ibundanya.
Ibu Suri mengangguk menyemangati. Kaisar mulai mengelilingi kami, seperti lebah
menari di sekitar bunga-bunga.
Tiba-tiba gadis termuda dalam barisan kami memekik tertahan.
Dia terlihat berusia tak sampai tiga belas tahun. Kaisar berjalan ke arahnya.
Gadis itu tercekat, lantas mulai menangis.
Layaknya seorang dewasa membujuk bocah yang menangis dengan sepotong permen,
Kaisar Hsien Feng meletakkan ruyi itu di tangan si gadis.
Mencengkeramnya erat, gadis itu jatuh berlutut dan berkata,
"Terima kasih."
Kepala Kasim Shim mengumumkan, "Soo Woozawa, putri dari Yee-mee-chi Woozawa,
terpilih sebagai selir Kerajaan tingkat kelima.
Gelarnya adalah Putri Kemurnian Sejati!"
Mulai saat itu, segalanya berjalan lancar. Kaisar tak butuh waktu lama untuk
memberikan semua ruyi itu.
Saat giliranku tiba, Kaisar berjalan ke arahku dan meletakkan sebuah ruyi di
telapak tanganku. Macam ayam jantan, Kepala Kasim Shim bernyanyi. "Yehonala, putri dari Hui Cheng
Yehonala, terpilih sebagai selir Kerajaan tingkat keempat. Gelarnya adalah Putri
Kebajikan nan Tak Tertandingi!"
Aku melihat ruyi milikku. Benda itu terbuat dari giok putih.
Kepalanya tidak berbentuk seperti cendawan, tetapi pahatan awan berarak, saling
terhubung dengan batangan tipis. Aku ingat, suatu kali Ayah berkata bahwa dalam
simbol Kerajaan, awan dan batangan mewakili konstelasi Naga.
Ruyi berikutnya jatuh ke tangan gadis bernama Yun serta gadis bernama Li.
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keduanya disebutkan sebagai selir Kerajaan tingkat Dua dan Tiga, dan sama-sama
diberi gelar Putri Kemuliaan. Ruyi mereka berbentuk
jamur lingzhi, cendawan yang dikenal karena kemampuannya menyembuhkan. Bagian kepala ruyi dihiasi dengan kelelawar,
perlambang perlindungan dan kemakmuran.
Setelah Yun dan Li, kemudian Mei dan Hui. Mereka diberi peringkat enam dan
tujuh, Putri Keselarasan Agung. Aku sulit mengingat mana Mei dan mana Hui karena
mereka nyaris serupa dan berdandan seperti kembar. Kepala ruyi mereka adalah
lonceng batu, lambang dari perayaan.
Yang terakhir adalah Nuharoo. Dia dinyatakan sebagai Ratu dan diberi ruyi yang
paling indah. Tongkatnya terbuat dari emas bertatahkan kepingan permata dan
kemala. Tangkai berhiasnya diukir dengan lambang-lambang panen: padi-padian dan
ranting yang berbuah, persik, apel, serta anggur. Ketiga kepala tongkat adalah
delima emas, melambangkan anak yang banyak dan keabadian. Mata Nuharoo berbinarbinar dan dia membungkuk dalam.
Dipimpin Nuharoo, kami bertujuh bangkit dan kemudian berlutut, berulang-ulang.
Kami melakukan kowtow pada Kaisar dan Ibu Suri, menyerukan hafalan kami dalam
satu suara: "Saya mendoakan sepuluh ribu tahun kehidupan untuk Yang Mulia
berdua. Semoga keberuntungan Anda berdua sebanyak butir air di Laut Cina Timur dan
kesehatan Anda berdua sesubur Pegunungan Selatan!"[]
Lima Setelah matahari terbenam, aku dibawa kembali ke keluargaku dalam sebuah tandu
megah dengan didampingi sekelompok kasim. Aku dibungkus dalam gaun keemasan,
seperti semacam hadiah yang mahal. Kepala Kasim mengatakan kepada Ibuku bahwa
hingga tanggal upacara pernikahan Kerajaan, aku akan tinggal di rumah.
Bersama denganku adalah setumpuk hadiah dari Kaisar untuk Ayah, Ibu, dan adikadikku. Ayah diberi delapan buah penjepit hiasan bulu untuk topi pejabat
Kerajaan. Setiap silinder porselen yang berlubang itu digunakan untuk mengaitkan
bulu merak, dengan sebuah cincin di atasnya guna mengikatkannya pada topi.
Hadiah ini akan diberikan kepada adik lelakiku.
Ibu diberi hadiah khusus berupa ruyi berpelitur yang dipahat dengan desain yang
membawa keberuntungan. Paling atas adalah tiga Dewa Bintang, yang mengabulkan
berkat, kekayaan, dan umur panjang. Di tengah ada seekor kelelawar membawa
lonceng batu dan sepasang ikan, melambangkan kemakmuran. Paling bawah adalah
mawar dan krisan, mewakili kekayaan.
Rong menerima kotak nasib baik terbuat dari cendana yang berukir cantik, yang
berisi satu set pahatan kumala. Kuei Hsiang diberi satu set kait ikat pinggang
berenamel dengan kepala naga menghiasi bagian atasnya. Pada kait-kait itu Kuei
Hsiang dapat menggantungkan cermin, dompet, segel, senjata, atau kantung
uangnya. Menurut juru nujum Kerajaan, aku harus memasuki Kota Terlarang pada waktu dan
hari tertentu- Pengawal Kerajaan akan menjemputku bila waktunya telah tiba.
Kepala Kasim memberi keluargaku setumpuk instruksi yang harus dituruti mengenai
tata cara dan tata krama Kekaisaran. Dengan sabar diulanginya setiap detail
untuk kami. Kuei Hsiang akan menggantikan Ayah. Dan Rong akan diberi gaun khusus
untuk hari itu. Ibu dianugerahi sepuluh ribu tael untuk merenovasi rumah. Mulut
ibu ternganga saat melihat semua uang itu dibawa masuk ke rumah, dalam petipeti. Segera saja dia ketakutan akan dirampok. Dimintanya Kuei Hsiang untuk
mengunci semua pintu dan jendela setiap saat. Kepala Kasim menenangkan Ibu
karena rumah sudah dikawal ketat. "Bahkan seekor lalat pun tak dapat masuk,
Nyonya." Kutanya Kepala Kasim apakah aku boleh mengunjungi teman.
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada kakak Fann.
"Tidak," jawabnya.
Aku sangat kecewa. Kuminta Rong untuk mengembalikan gaun yang kupinjam dari
kakak Fann, beserta 300 tael sebagai hadiah perpisahan. Rong segera pergi, dan
kembali dengan doa restu dari kakak Fann.
Berhari-hari Ibu dan Rong berbelanja, sementara aku dan Kuei Hsiang membersihkan
serta menghiasi rumah. Kami menyewa kuli untuk mengerjakan pekerjaan yang berat.
Kami mengganti atap dengan yang baru, memperbaiki dinding-dinding yang sudah
tua, memasang jendela-jendela baru dan memperbaiki gerbang yang rusak. Paman
mengambil kesempatan itu untuk memesan sebuah pintu kayu merah yang baru, penuh
berukir sosok Dewa Uang. Kami mengganti perabotan dan mengecat dinding, dengan
menyewa tukang kayu serta seniman terbaik di Kota. Semua orang menerima
pekerjaannya sebagai sebuah kehormatan besar. Pola-pola indah dibuat pada ambang
jendela dan pintu, meniru gaya Kerajaan. Para perajin membuat alas dupa, altar,
dan tangga. Kadang kala mereka harus menggunakan pahat dan pisau sehalus tusuk
gigi guna membuat detail yang diinginkan.
Kepala Kasim datang untuk memeriksa saat semua pekerjaan telah selesai. Dia tak
mengatakan apa pun dan air mukanya sulit dibaca, tetapi dia muncul lagi keesokan
harinya membawa sekelompok orang. Mereka membongkar semuanya dan mengatakan
bahwa mereka harus mulai dari awal. Atap, dinding, jendela, bahkan pintu baru
Paman, semua itu harus dibuang.
"Dekrit takkan diberikan bila pintu kalian menghadap ke arah yang salah!" ujar
Kepala Kasim kepada Ibu dan Paman.
Gugup, Ibu dan Paman memohon nasihat.
"Ke arah mana Anda pikir Anda harus berlutut untuk berterima kasih kepada Yang
Mulia?" si kasim bertanya lantas menjawab sendiri pertanyaannya. "Utara! Sebab
Yang Mulia selalu duduk menghadap ke Selatan!"
Keluargaku mengikuti Kepala Kasim sementara dia berjalan berkeliling rumah,
menunjuk-nunjuk pada segala sesuatu.
"Warna catnya salah," tangannya menggambar sebuah lingkaran di dalam ruangan
itu. "Seharusnya cokelat muda hangat, bukan cokelat muda dingin. Yang Mulia
menginginkan keceriaan!"
"Tapi Anggrek bilang bahwa Yang Mulia takkan hadir di rumah kami," ujar Ibu.
"Apakah Anggrek salah mengerti?"
Kepala Kasim menggeleng. "Anda harus belajar memahami bahwa Anda bukanlah Anda
yang dulu. Anda sudah menjadi bagian dari Yang Mulia Kaisar, dan Anda mewakili
selera serta prinsip-prinsip Kerajaan. Apa yang telah Anda lakukan pada rumah
ini akan merusak penampilan Sang Putra Surga! Kepalaku tidak akan berada di
tempatnya kalau kubiarkan Anda mengerjakan apa yang Anda suka.
Lihat tirai-tirai itu! Terbuat dari katun! Bukankah sudah kukatakan bahwa katun
hanya untuk rakyat jelata, dan sutra adalah untuk keluarga Kerajaan" Apakah
kata-kataku cuma dianggap angin lalu"
Mencoba berhemat begitu hanya akan membawa nasib buruk bagi putri Anda!"
Setelah berkali-kali kumohon, akhirnya Kasim Kepala setuju untuk membiarkan kami
keluar dari rumah sementara orang-orangnya melakukan renovasi. Ibu membawa kami
ke rumah hiburan paling prestisius di Peking, yang terletak di distrik
perbelanjaan mahal Wangfooching. Untuk kali pertamanya Ibu berbelanja seperti
nyonya-nyonya kaya. Dia memberi tip kepada pelayan, pembantu dapur, bahkan
tukang tungku. Si pemilik sendiri yang membawakan anggur terbaik ke meja kami.
Aku senang melihat Ibu bahagia. Terpilihnya aku telah mengubah kondisi
kesehatannya dalam waktu semalam saja. Dia terlihat sehat dan penuh semangat.
Kami minum dan merayakan semuanya. Sesungguhnya aku tak punya alasan kuat untuk
merasa bangga sebab kecantikanku tak ada hubungannya denganku. Tetapi aku
berterima kasih kepada diri sendiri karena telah berani mencoba. Aku pasti
kehilangan kesempatan bila dulu bersikap ragu-ragu atau tak cakap membawa diri.
Ibu ingin tahu apakah para Selir Kerajaan yang baru terpilih akan bisa rukun
tinggal bersama-sama di Kota Terlarang. Aku tak ingin membuatnya cemas, maka
kukatakan bahwa aku sudah punya teman. Kugambarkan kecantikan Nuharoo, tingkah
lakunya yang memesona serta pengetahuannya. Aku juga menggambarkan Putri Yun.
Aku tak tahu banyak tentang karakternya atau latar belakang keluarganya, jadi
kupusatkan saja pada kecantikannya. Aku menyebutkan Putri Li. Kujelaskan
perbedaan sifat mereka. Yun pemberani dan tak peduli pada pendapat orang lain,
sementara Li selalu bertanya-tanya apakah dirinyalah yang menjadi penyebab orang
batuk. Rong sedikit cemburu ketika kuceritakan tentang Putri Soo, yang termuda, yang
menangis di hadapan Kaisar dan Ibu Suri. Kesensitifan Soo membutuhkan kelembutan
dan perhatian. Dia anak yatim piatu, yang diadopsi oleh pamannya pada usia lima
tahun, dan amat jelas bahwa dia sedih dan ketakutan. Ibu Suri mengirimkan tabib
untuk memeriksanya; kesimpulannya, gadis itu terganggu pikirannya.
Tangisan Soo tak berhenti setelah dia terpilih secara resmi. Para kasim
menyebutnya Pohon Willow Menangis1. Ibu Suri cemas akan mutu
"telur-telur" yang akan dihasilkan Soo. "Tak ada telur bermutu, tak ada gelar
kebangsawanan." katanya kepada kami semua. Kalau Soo terus-menerus begitu, Yang
Mulia Ibu Suri terpaksa akan memulangkannya.
1 Sejenis pohon yang banyak tumbuh di iepi sungai, daunnya menjuntai seperti
cemeti, kelihatan seperti sedang sedih atau menangis, dan karenanya disebut
"weeping willow" (Salix purpurea,Sp) - penerj.
"Anak yang malang," desah Ibu.
Aku meneruskan bicara tentang Putri Mei dan Putri Hui, dua gadis yang tampak
bagai kembar. Mereka tak terlampau cantik tetapi tubuh mereka kuat. Merekalah
kesayangan Ibu Suri. Payudara mereka sebulat semangka dan pantat mereka sepadat
baskom cuci. Mereka dikaruniai bakat menjilat, dan berkeliaran di sekitar
Nuharoo seperti peliharaan yang penurut. Riang dan penuh semangat bila di
hadapan Ibu Suri, diam dan kaku bila tengah sendiri. Mereka tak suka membaca,
melukis, atau menyulam. Kesukaan mereka satu-satunya adalah berdandan serupa.
"Apakah Ibu Suri Jin serupa dengan lukisan yang pernah kita lihat, cantik dan
anggun?" "Tentunya dia cantik ketika muda," sahutku. "Pada saat ini menurutku hiasan di
gaunnya jauh lebih menarik daripada wajahnya."
"Seperti apa dia?" Ibu dan Rong dua-duanya bertanya. "Apa yang diharapkannya
darimu?" "Itu pertanyaan sulit. Di satu sisi, kami diharapkan untuk menaati peraturan.
'Sebagai anggota keluarga kerajaan',"aku menirukan Ibu Suri, "Kalian adalah
panutan moralitas bangsa.
Kesucian kalian merefleksikan ajaran nenek moyang kita. Kalau kupergoki kalian
bertukar-tukaran buku-buku cabul, kalian akan digantung, seperti gadis-gadis
sebelum kalian. Di sisi lain, Ibu Suri mengharapkan agar kami tidur dengan
Kaisar sesering kami bisa.
Katanya keberhasilannya terletak pada jumlah pewaris takhta yang bisa kami
hasilkan. Sang Kaisar diharapkan untuk melebihi ayah dan kakeknya. Kaisar Kang
Hsi, kakek buyut Hsien Feng, memiliki lima puluh lima orang anak, dan Kaisar
Chien Lung, kakek Hsien Feng, dua puluh tujuh."
"Seharusnya itu tidak jadi masalah." Kuei Hsiang tersenyum nakal seraya
melemparkan segenggam penuh kacang panggang ke dalam mulutnya. "Yang Mulia punya
lebih dari 3.000 wanita untuk dirinya sendiri. Aku yakin dia pasti kesulitan
menggilir semuanya."
"Tetapi ada banyak rintangan," ujarku pada Ibu. Prestasi Hsien Feng dalam Buku
Catatan Kesuburan Kerajaan, sebuah catatan yang diurus oleh Kepala Kasim Shim
yang gunanya adalah merekam segala aktivitas ranjang Yang Mulia Kaisar, tidak
terlalu membanggakan. Ibu Suri menuduh Kaisar telah "rnenyia-nyiakan benih Naga"
seenaknya. Yang Mulia terlalu sering memilih satu selir saja, dan mengabaikan tugasnya
menebarkan benihnya dengan cara meniduri wanita yang berbeda setiap malam. Ibu
Suri bercerita dengan amat marah tentang para selir terdahulu yang menguasai
sendiri Kaisar. Ibu Suri menilai mereka ini sebagai "berpikiran terkutuk", dan
tak ragu untuk menghukum mereka dengan berat.
Kuceritakan kepada Ibu bahwa Ibu Suri membawa kami ke Balairung Hukuman, tempat
untuk kali pertamanya aku melihat si cantik yang legendaris, Putri Fei. Dahulu
dia adalah selir kesayangan Kaisar Tao Kuang, tetapi kini dia hidup di dalam
sebuah tempayan. Saat kulihat bahwa Putri Fei tak memiliki lengan dan kaki, aku nyaris pingsan.
"Putri Fei tepergok menguasai Kaisar untuk dirinya sendiri, dan dia tak
merugikan siapa pun kecuali dirinya sendiri," ujar Ibu Suri dingin. Satu-satunya
alasan mengapa Putri Fei dibiarkan hidup adalah untuk dijadikan sebagai
peringatan. Takkan pernah kulupakan rasa ngeriku siang itu, saat melihat Putri Fei.
Kepalanya terkulai pada bibir tempayan, wajahnya kotor menjijikkan, lendir hijau
menetes dari dagunya. Ibu mencengkeram bahuku. "Berjanjilah kepadaku, Anggrek, bahwa kau akan berhatihati dan bersikap bijak."
Aku mengangguk. "Bagaimana dengan ribuan gadis cantik yang terpilih itu?" tanya Kuei Hsiang.
"Apa Yang Mulia diperbolehkan mengambil wanita karena ketertarikan sesaat"
Bisakah dia mengambil gadis tukang sapu Kekaisaran?"
"Kaisar bisa melakukan apa saja yang dia mau, meskipun ibunya tak mendukung dia
mengambil tukang sapu Kerajaan," jawabku.
Rong menoleh kepada Ibu. "Untuk apa Yang Mulia menginginkan pembantu, padahal
dia sudah memiliki istri-istri dan selir yang cantik?"
"Aku hanya bisa bilang bahwa Yang Mulia mungkin tidak menyukai kenyataan bahwa
dia tak punya kesempatan untuk tidur setiap malam dengan wanita yang
dicintainya." Kami terdiam untuk beberapa saat.
"Barangkali Yang Mulia membenci semua wanita yang disodorkan secara paksa
kepadanya oleh Ibu Suri dan para kasim,"
lanjut Ibu. "Pasti dia merasa seperti babi yang dicocok hidungnya."
"Anggrek, apa yang akan kau lakukan?" tanya Rong. "Kalau kau menaati peraturan,
kau takkan menarik perhatian Kaisar; tetapi kalau kau mencoba memikatnya, dan
Yang Mulia menginginkanmu, Ibu Suri bisa memotong lengan dan kakimu!"
"Ayo kita pergi ke Kuil Kerahiman dan meminta nasihat roh Ayahmu," kata Ibu.
Kami harus mendaki ratusan anak tangga untuk sampai ke Kuil itu, di puncak
Gunung Angsa. Kami membakar dupa dan memberi sumbangan yang sangat mahal. Tetapi
aku tak menerima nasihat apapun dari roh Ayah. Pikiranku sangat kacau, aku sadar
benar bahwa aku sendirian.
Makam Ayah terletak di sisi gunung menghadap ke arah barat daya Peking. Peti
matinya terletak di bawah rerumputan setinggi lutut.
Penjaga makamnya seorang tua yang merokok menggunakan pipa tanah liat. Dia
memberi tahu supaya kami tak usah takut pada perampok. "Jenazah yang dimakamkan
di sini terkenal banyak utangnya di wilayah ini," katanya, dan menambahkan bahwa
yang terbaik untuk menunjukkan hormat kepada Ayah adalah dengan membeli lahan
makam jauh lebih ke atas lagi di lereng bukit, di area yang lebih banyak
mendapatkan cahaya matahari.
Kuberikan 50 tael pada orang tua itu dan memintanya untuk melindungi Ayah dari
anjing liar, yang menggali mayat untuk dimakan.
Penjaga makam itu begitu kaget akan kemurahan hatiku, sampai-sampai pipanya
terjatuh. ---oOo--- Hadiah dalam kotak-kotak besar dan Istana tiba. Setiap inci rumah kami terisi.
Kotak-kotak itu ditumpuk di atas meja dan pembaringan.
Tak ada tempat untuk duduk atau tidur. Masih saja hadiah-hadiah itu mengalir
datang. Suatu pagi, enam ekor kuda Mongolia dikirimkan ke rumah. Ada lukisan,
barang antik, berbal-bal sutra, dan sulaman dari Soochow. Selain perhiasan yang
sangat memesona, kain-kain indah, hiasan kepala, dan sepatu juga diberikan
kepadaku. Ibu diberi seperangkat cangkir teh emas, panci perak, dan baskom
tembaga. Para tetangga diperintahkan meminjamkan rumah mereka untuk dijadikan tempat
penyimpanan. Lubang-lubang besar digali pada tanah di sekitar sebagai pendingin
guna menyimpan daging dan sayur-mayur untuk pesta perayaan yang akan segera
dilangsungkan. Ratusan guci berisi anggur berusia ratusan tahun dipesan, ditambah delapan puluh
ekor domba, enam puluh ekor babi, dan dua ratus ekor ayam serta bebek.
Pesta diadakan pada bulan kedelapan. Kepala Kasim yang bertugas mengundang
ribuan orang, di antaranya kalangan bangsawan, menteri-menteri dan pejabat
Kerajaan, serta kerabat Kekaisaran. Setiap tamu disuguhi dua puluh hidangan, dan
acara makan ini berlangsung hingga tiga hari.
Meskipun demikian, aku mengalami saat-saat yang tak tertahankan. Aku bisa
mendengar suara nyanyian, tawa, dan teriakan orang-orang yang mabuk melalui
dinding, tetapi aku tak diperbolehkan bergabung dalam pesta. Aku tak pernah lagi
diizinkan untuk keluar, bahkan untuk sekadar mendapatkan cahaya matahari
sekalipun. Aku diminta duduk diam dalam ruangan yang berhiaskan pita merah dan
emas. Labu kering yang dilukisi wajah anak-anak digantungkan di segala penjuru
ruangan, dan aku disuruh memandangi wajah-wajah itu guna meningkatkan kesuburan.
Ibu membawakan makanan dan air, adik perempuanku datang menemani. Adik laki
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakiku dilatih oleh Kepala Kasim untuk melaksanakan tugas Ayah yaitu melepasku
saat harinya tiba nanti. Setiap enam jam, seorang kurir yang dikirim oleh Kaisar memberikan informasi
baru kepada keluargaku tentang apa yang terjadi di dalam Kota Terlarang.
Aku baru tahu belakangan bahwa Nuharoo bukan saja pilihan ibu suri, melainkan
juga pilihan para sesepuh klan. Keputusan bahwa dia akan dijadikan Permaisuri
sesungguhnya telah diambil sejak setahun yang lalu. Para pejabat Kerajaan harus
berdebat selama delapan bulan untuk mengambil keputusan tersebut. Perlakuan
hormat yang diberikan kepada keluarga Nuharoo lima kali lipat apa yang diterima
keluargaku. Dia akan memasuki Kota Terlarang melalui gerbang tengah, sementara
kami, sisanya, akan menggunakan gerbang samping.
Bertahun-tahun kemudian orang akan mengatakan bahwa aku cemburu pada Nuharoo,
tetapi pada saat itu aku benar-benar tak merasakannya. Aku sedang disibukkan
dengan nasib baikku sendiri.
Aku tak dapat melupakan lalat-lalat yang melapisi peti mati Ayah dan bagaimana
Ibu harus menjual jepit rambutnya. Aku juga tak bisa melupakan bahwa aku pernah
bertunangan dengan sepupu Ping. Aku merasa tak bisa mengucapkan cukup rasa
syukur dan terima kasih kepada Surga atas apa yang terjadi terhadap diriku.
Di ruangan merah yang kecil itu aku bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi
padaku di masa depan. Aku punya banyak sekali pertanyaan tentang hidupku kelak
sebagai selir keempat Kaisar Hsien Feng. Namun pertanyaan terbesarku adalah,
siapakah Kaisar Hsien Feng" Sebagai mempelai lelaki dan perempuan, kami belum
pernah berbicara. Kuimpikan menjadi kesayangan Yang Mulia. Aku yakin bahwa semua selir punya
impian yang sama. Apakah kerukunan itu akan terbina" Mungkinkah Yang Mulia akan
dapat membagian esensi dirinya secara merata di antara kami semua"
Pengalamanku dibesarkan dalam keluarga Yehonala sama sekali tak membantuku
mempersiapkan diri. Ayah tak pernah punya selir.
"Dia tak sanggup membiayainya," gurau Ibu. Sebetulnya Ayah memang tak perlu
selir-dia tak pernah bosan pada Ibu. Aku selalu berpikir seperti inilah yang
seharusnya, seorang lelaki dan perempuan sepenuhnya mengabdikan diri satu sama
lain. Tak peduli betapa parahnya mereka mungkin menderita, saling memiliki
seperti itu adalah suatu bentuk kebahagiaan tersendiri. Ini adalah tema operaopera kesukaanku. Tokoh-tokohnya berhasil menjalani ujian untuk menikmati
ganjaran berupa akhir yang membahagiakan. Harapan-harapanku tinggi sebelum
sepupu Ping mendadak dijejalkan ke hadapanku. Kini hidupku tampaknya seperti
menggelincir di atas sepotong kulit semangka- aku tak tahu akan dibawa ke mana.
Berusaha untuk tetap bertahan, cuma itu yang dapat kulakukan.
Kakak Fann biasa mengatakan bahwa di dalam kehidupan nyata, perkawinan adalah
sebuah pasar, tempat wanita bersaing untuk mendapatkan penawar tertinggi. Dan,
seperti layaknya bisnis, tak ada yang boleh salah membedakan antara kelinci dan
tupai- nilaimu menentukan siapa dirimu.
Pada hari wafatnya Ayah, aku belajar untuk memisahkan kenyataan dengan anganangan, ketika mantan teman-temannya berdatangan untuk menagih utang. Aku juga
belajar sesuatu dari Paman, lewat caranya memperlakukan kami. Ibu pernah
mengatakan bahwa orang harus menundukkan kepala saat melalui langit-langit
rendah agar tidak terluka. "Angan-angan tak memberiku martabat,"
kakak Fann selalu mengatakan itu. "Tak ada seorang ibu pun di dunia ini yang
senang menjual anaknya, tetapi itu toh tetap terjadi."
Paman dan sepupu Ping datang menjenguk, dan mereka kini harus berlutut. Ketika
Paman membungkuk dan memanggilku Yang Mulia, Ping tertawa. "Ayah, itu kan si
Anggrek!" Kepala Kasim menamparnya sebelum Ping sempat menyelesaikan
perkataannya. Sudah terlambat bagi Paman untuk memperbaiki hubungan kami. Dia mendadak
bersikap manis hanya karena menginginkan keuntungan dari kedudukanku. Dia
terlalu cepat lupa akan apa yang telah dilakukannya. Sayang sekali, padahal bisa
jadi dengan senang hati aku akan menolongnya.
Rong menghampiriku begitu Paman dan Ping keluar. Setelah bicara ke sana kemari,
akhirnya dia menyampaikan maksudnya.
"Kalau ada kemungkinan, Anggrek, aku ingin menikah dengan seorang Pangeran atau
Menteri Kerajaan." Kujanjikan padanya bahwa aku akan mencarikan seseorang
buatnya. Dia memelukku, menangis.
Kepergianku agaknya terasa lebih berat baginya daripada bagi diriku sendiri.
---oOo--- 26 Juni 1852 diumumkan sebagai hari pernikahan Yang Mulia Kaisar Hsien Feng.
Malam sebelumnya, Kuei Hsiang berjalan-jalan di jalanan Peking dan jadi
bersemangat sekali melihat apa yang masuk ke dalam ruang matanya.
"Perayaan ada di mana-mana," lapornya. "Setiap keluarga menggantungkan lampion
upacara besar di muka pintu. Kembang api diluncurkan dari atap. Orang-orang
berpakaian meriah, merah dan hijau. Jalan-jalan utama dihiasi dengan lampion
sampai bermil-mil. Semua kaligrafi yang digantungkan di udara bunyinya sama, "Semoga pernikahan
Kerajaan diberkahi keabadian!"
Kota Terlarang memulai perayaan pada rekah hari. Karpet merah dibentangkan dari
gerbang ke gerbang guna menyambut para mempelai putri dan para tamu. Mulai dari
Gerbang Puncak hingga Istana Keselarasan Tertinggi, dan Istana Kemurnian Surgawi
sampai Istana Kemakmuran Sejagat, tergantung ribuan lentera sutra merah.
Semua lentera itu dihiasi bentuk-bentuk bintang dan kapak. Ada juga payungpayung terbuat dari satin berwarna buah aprikot, disulami huruf shee,
kebahagiaan. Pagi ini meja-meja ditata di Balairung Kemurnian Surgawi yang agung, tempat Buku
Catatan Pernikahan Kerajaan disimpan. Dua orkestra kerajaan disiapkan di luar
Balairung, satu di Timur dan satu lagi di Barat. Bendera-bendera upacara
memenuhi Balairung. Dari Gerbang Keselarasan Abadi sampai ke Gerbang Cakrawala,
jaraknya sekitar tiga mil, berjejer rapi dua puluh delapan tandu besar, siap
menjemput mempelai perempuan dari rumahnya masing-masing.
Tandu yang membawaku adalah yang paling besar yang pernah kulihat. Jendela
berderet pada tiga sisinya, dialingi kain merah bersulam huruf shee. Langitlangit di atas kursinya diikat dengan benang emas. Di puncak atap ada dua buah
papan kecil seperti panggung. Pada papan yang satu berdiri dua ekor merak
keemasan, di paruhnya masing-masing membawa sebatang kuas merah-simbol dari
kekuasaan, kecerdasan, dan kebajikan tertinggi. Pada papan satunya tegak empat
ekor kuau keemasan-perlambang kecantikan dan kewanitaan. Di tengah-tengah atap
dipasang Bola Keselarasan simbol persatuan dan ketakterbatasan. Aku akan
didampingi seratus kasim, delapan puluh dayang, dan dua ribu pengawal
kehormatan. ---oOo--- Aku bangun sebelum fajar dan kaget setengah mati saat melihat kamarku dipenuhi
orang. Ibu sedang berlutut di hadapanku. Di belakangnya ada delapan orang
wanita. Aku sudah diberi tahu tentang kedatangan mereka pada malam sebelumnya.
Mereka adalah para manfoo, dayang kehormatan Kekaisaran, istri-istri para
anggota klan yang sangat dihormati. Mereka datang atas permintaan Kaisar, guna
membantuku berdandan untuk upacara.
Aku mencoba memasang wajah riang, tetapi air mata menggenangi pelupuk mataku.
Para manfoo memohon untuk diberi tahu apa yang membuatku merasa terganggu.
Kubilang, "Amat sulit bagiku untuk berdiri ketika ibuku tengah berlutut begitu."
"Anggrek, kau harus belajar membiasakan diri dengan tata krama," ujar Ibu.
"Sekarang kau adalah Putri Yehonala. Ibumu merasa amat tersanjung untuk
menganggap dirinya sebagai pelayanmu."
"Sudah waktunya Yang Mulia mandi," salah seorang manfoo berkata.
"Bolehkah aku bangkit sekarang, Putri Yehonala?" tanya Ibu.
"Ya! Bangkitlah! Kumohon!" pekikku, meloncat turun dari ranjang.
Ibu perlahan berdiri. Jelas sekali bahwa lututnya sakit.
Para dayang kehormatan bergegas menepi ke ruangan lain dan mulai menyiapkan
mandiku. Ibu menuntunku ke bak. Bak itu adalah sebuah ember raksasa, diantarkan oleh si
Kepala Kasim. Ibu mengatupkan tirai dan mencelupkan tangan ke dalam air di bak
untuk mengukur suhunya. Para manfoo menawarkan untuk menanggalkan pakaianku.
Kudorong mereka pergi dan bersikeras untuk membuka sendiri bajuku.
Ibu menghentikanku. "Ingat, Kaisar akan menganggapnya memalukan kalau kau harus
mengerjakan sesuatu sendiri."
"Aku akan patuh pada peraturan kalau aku sudah di Istana."
Ibu tak mau mendengar, dan akhinya para manfoo menelanjangiku, kemudian minta
diri dan keluar tanpa suara.
Ibu mengusapkan sabun ke kulitku, mulai menggosok bahu dan punggungku, membelai
dan menyusupkan jemarinya ke rambut hitamku. Ini adalah acara mandi terlama yang
pernah kualami. Pada setiap sentuhan Ibu, terasa betapa dia seolah tengah
menikmati waktu berduaan denganku saja untuk kali terakhirnya.
Kupandangi wajahnya: kulitnya sepucat lobak, rambutnya yang rapi tersisir,
kerut-merut di seputar matanya. Aku ingin keluar dari bak dan memeluknya. Aku
ingin mengatakan, "Ibu, aku takkan pergi!"
aku begitu ingin dia tahu bahwa tanpa dirinya, takkan ada kebahagiaan.
Tetapi aku tak mengatakan apa pun. Aku takut mengecewakan Ibu. Aku tahu bahwa
dalam pikirannya, aku mewakili segala impian Ayah dan kehormatan seluruh marga
Yehonala. Malam sebelumnya, Kepala Kasim sudah menjelaskan seluruh peraturan
kepadaku. Aku takkan diizinkan untuk mengunjungi ibuku bila sudah masuk ke dalam
Kota Terlarang. Ibu harus mengajukan permohonan dulu guna mendapatkan izin untuk
bertemu denganku, itu pun hanya dalam keadaan darurat. Menteri Urusan
Kerumahtanggaan Kekaisaran akan memeriksa lebih dulu apakah situasinya memang
benar-benar darurat atau cukup serius, sebelum mengeluarkan izin. Peraturan yang
sama juga diterapkan kepadaku bila aku ingin meninggalkan Istana untuk
mengunjungi keluargaku. Kemungkinan tak bisa melihat keluargaku lagi membuatku amat takut, dan aku mulai
menangis. "Tabahlah, Anggrek." Ibu mengambil handuk, mulai mengeringkan tubuhku. "Kau seharusnya malu, menangis begini."
Kulingkarkan lenganku yang basah di sekeliling lehernya.
"Kuharap kebahagiaan bisa menyehatkanmu, Ibu."
"Ya, ya." Ibu tersenyum. "Sejak tadi malam, pohon panjang umurku sudah tumbuh
setinggi satu kaki!"
Rong masuk ke dalam ruangan, mengenakan jubah hijau pucat bertabur kupu-kupu
keemasan. Dia berlutut dan membungkuk kepadaku. Suaranya dipadati kegembiraan
saat berkata, "Aku bangga menjadi keluarga Kerajaan."
Sebelum aku bisa bicara dengan Rong, seorang kasim di luar mengumumkan, "Adipati
Kuei Hsiang ada di sini dan ingin berjumpa Putri Yehonala."
"Dipersilakan," kali ini kata-kata keluar dari mulutku dengan mulus.
Adikku masuk dengan canggung. "Anggrek-eh .. Putri .. Putri Yehonala, Yang-eh ..
Yang Mulia Kaisar Hsien Feng sudah .."
"Berlutut dulu," Ibu membetulkan.
Dengan kikuk Kuei Hsiang memperbaiki posisinya. Kaki kirinya menginjak ujung
jubahnya dan dia terjatuh.
Aku dan Rong terkikik. Kuei Hsiang membungkuk dengan tidak rapi. Tangannya dilipat di bawah dada,
kelihatannya seperti orang sakit perut.
"Sekitar sepembakaran lilin lalu," ujar Kuei Hsiang setelah dia berhasil
menyamankan diri. "Yang Mulia selesai berpakaian dan memasuki Kursi Naganya."
"Seperti apa, sih, Kursi Naga itu?" tanya Rong penuh rasa ingin tahu.
"Ada sembilan naga di bawah kanopi lurus dari satin kuning.
Yang Mulia pergi ke Istana Kebajikan untuk bertemu dengan Ibu Suri.
Sekarang ini mestinya beliau sudah menyelesaikan upacara di Balairung
Keselarasan Sejati dan sedang memeriksa Buku Catatan Pernikahan Kerajaan.
Setelah itu, beliau akan menerima ucapan selamat dari para Menteri. Dan sehabis
itu .." Suatu bunyi keras memecah langit.
"Upacara di luar sudah dimulai!" teriak Kuei Hsiang. "Mestinya Yang Mulia sedang
membubuhkan tanda tangan di buku catatan itu.
Sebentar lagi beliau akan menitahkan para pengawal untuk menjemput para mempelai
Kerajaan!" ---oOo--- Aku duduk layaknya sekuntum peoni, berkembang dalam sinar mentari. Gaunku adalah
serangkaian warna merah. Magenta yang kaya diselingi kuning, merah anggur
dimeriahkan krem, lavender yang hangat nyaris mendekati biru. Gaun ini terdiri
dari delapan lapis sutra dan disulami bunga-bungaan musim semi yang indah, baik
bunga nyata maupun khayalan. Kainnya ditenun dengan emas dan perak.
Ada segerumbul batu kumala, mutiara, dan batu mulia lain pada permukaannya. Aku
belum pernah mengenakan gaun seindah-atau seberat dan setak-nyaman ini
sebelumnya. Rambutku disanggul setinggi satu kaki dan dibungkus dengan mutiara, giok, koral,
serta berlian. Di bagian depan ada tiga peoni segar yang baru dipetik, besar
sekali, berwarna merah muda keunguan. Aku takut segala hiasan ini akan copot dan
jatuh. Aku tak berani bergerak, akibatnya leherku segera jadi kaku. Para kasim
berkeliaran di sekitar, berbicara dengan suara rendah. Pejabat-pejabat Istana
yang belum pernah kulihat sebelumnya memenuhi rumah.
Bagaikan di atas panggung sandiwara, semua orang berpakaian dan bergerak seolaholah mematuhi sebuah skenario yang tak terlihat.
Ibu terus-menerus menyambar dan menarik lengan baju Kepala Kasim, berkali-kali
bertanya apakah ada yang salah. Jengkel, si Kepala Kasim menyuruh asistennya,
beberapa pemuda remaja, untuk mengalihkan perhatian Ibu. Para pemuda itu
menahannya di sebuah kursi, tersenyum memohon agar Ibu tak menyusahkan mereka.
Ruang utama rumah sudah dibersihkan untuk menerima chieh-an, sebuah meja yang
khusus dibuat untuk meletakkan buku catatan Kaisar beserta segel batu Kerajaan.
Ruang-ruang di sebelah kiri dan kanan juga sudah dibersihkan dan diisi dengan
meja-meja untuk membakar dupa. Di muka meja-meja itu ada tikar-tikar tempat aku
akan berlutut saat menerima dekrit pernikahan. Di setiap sisi tikar berdiri
orang-orang kasim berjubah kuning berkilau. Aku merasa sangat lelah, tetapi
Kepala Kasim mengatakan bahwa ini masih jauh sekali dari awal upacara.
Waktu dua pembakaran lilin lewat. Akhirnya aku mendengar suara teracak kuda.
Kedelapan manfoo segera memperbaiki riasanku.
Mereka menyemprotku dengan minyak wangi yang kuat baunya, memeriksa gaun dan
hiasan kepalaku sebelum membantuku turun dari kursi.
Waktu aku mencoba mengangkat diri dari kursiku, aku merasa seperti kereta besar
yang berkarat. Ikat pinggangku yang bertaburkan permata bergemerencing saat
terseret di kursi dan jatuh ke lantai.
---oOo--- Pengawal Kerajaan dan kasim memenuhi jalanan. Kuei Hsiang, yang sudah menanti di gerbang muka, menerima duta besar Yang Mulia Kaisar. Seraya berlutut,
Kuei Hsiang menyebutkan nama Ayah dan memberikan sambutan singkat. Sambil
berbicara, dia menyentuhkan dahi ke tanah tiga kali dan membungkuk sembilan
kali. Setelah beberapa saat, kudengar duta besar itu memanggil namaku. Para
dayang kehormatan segera berbaris membentuk semacam dinding di kanan-kiriku. Aku
melangkah keluar dari pintu, berjalan perlahan menuju chieh-an.
Di hadapanku berdiri seorang kasim bermuka terwelu, riasannya tebal sekali.
Dialah si duta besar, pakaiannya kuning cemerlang. Pada topinya ada bulu merak
dan sebutir permata merah. Dia menghindar menatapku. Setelah membungkuk tiga
kali kepadaku, dengan takzim dia mengeluarkan tiga benda. Yang satu adalah
sebuah peti kuning, di dalamnya ada gulungan sutra kuning. Itu adalah dekrit
pernikahan. Yang kedua adalah Buku Catatan Pernikahan Kerajaan. Yang terakhir adalah stempel
batu berukirkan nama dan gelarku pada permukaannya.
Mengikuti kasim itu, aku melakukan upacara di hadapan meja-meja tadi. Aku
membungkuk, menyentuhkan kening ke lantai berkali-kali hingga kepalaku pusing.
Aku khawatir jangan-jangan hiasan-hiasan ini akan berjatuhan dari rambutku.
Setelah itu, aku menerima doa restu dari keluargaku.
Ibu masuk kali pertama, diikuti Rong, Paman, dan sepupu Ping.
Mereka berlutut dan membungkuk kepada si duta besar, kemudian kepadaku. Ibu
gemetaran hebat sehingga salah satu hiasan kepalanya mulai meluncur lepas dari
tempatnya. "Bangkitlah," ujarku buru-buru, berusaha mencegah hiasan itu jatuh.
Para kasim menggotong buku catatan dan stempel batu tadi ke meja pembakaran
dupa. Mereka tampak menegang menahankan beratnya.
Kulepaskan jubah satinku seperti yang diharuskan oleh tata krama, dan membungkuk
ke arah buku serta stempel itu. Setelah itu, sembari masih berlutut, aku
berputar untuk menghadap ke Utara.
Duta besar membuka gulungan sutra di tangannya dan mulai membaca isi dekrit.
Suaranya dalam dan menggema, tetapi aku tak mengerti sepatah kata pun. Setelah
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa saat barulah aku tersadar bahwa dia membacakan dekrit itu dalam dua
bahasa, Manchu dan Mandarin, keduanya dengan gaya bicara kuno. Ayah pernah
bilang kepadaku bahwa setiap kali dia bekerja di Kantor, dia selalu melewati
bagian yang berbahasa Manchu dalam setiap laporan dan langsung membaca bagian
berbahasa Cina untuk menghemat waktu.
Beratnya beban di kepalaku membuatku merasa seperti keong yang membawa rumahnya
di punggung. Sementara si duta besar membaca, aku melirik ke arah lorong rumah.
Tempat itu dipenuhi pengawal. Di teras tengah menunggu dua tandu besar. Mengapa
dua, pikirku. Bukankah cuma aku yang dijemput dari rumah ini"
Saat duta besar selesai membacakan dekrit, akhirnya aku tahu alasannya. Para
kasim meletakkan dekrit, buku catatan, serta stempel batu kembali ke peti
masing-masing. Lalu, benda-benda itu
"diundang" untuk "duduk" di dalam tandu yang kedua. Duta besar menjelaskan bahwa
sekarang benda-benda itu dianggap sebagai bagian dari diriku.
"Sang burung phoenix Kerajaan tengah berjalan!" pada panggilan sang duta besar,
keluargaku berlutut untuk kali terakhirnya.
Sekarang riasan Ibu sudah kacau-balau, dia mengusap air mata dengan tangannya,
melupakan penampilannya sama sekali.
Sebuah band mulai memainkan musiknya. Bunyi trompet Cina keras sekali menyakiti
kupingku. Sekelompok kasim berlari di depanku, melemparkan petasan. Aku
melangkah di atas kertas merah, jerami kuning, kacang-kacangan hijau, dan buah
kering warna-warni. Aku berusaha terus menegakkan dagu agar hiasan kepalaku tetap berada di
tempatnya. Dengan lembut aku dibawa ke tandu. Sekarang aku benar-benar mirip siput. Dengan
satu gerakan yang nyaris membuatku terjungkal dari kursi, para penandu
mengangkat tandu itu. Di luar gerbang, kuda-kuda mulai bergerak. Pembawa bendera mengibarkan benderabendera naga dan payung kuning. Di antara mereka ada wanita-wanita pengendara
kuda berdandan seperti prajurit Manchu abad keenam belas. Pita kuning yang
diikatkan pada peralatan masak bergelantungan dari sisi-sisi kendaraan mereka.
Di belakang para wanita ini ada sekelompok binatang yang diwarnai merah.
Terlihat seperti sungai darah yang mengalir berbual.
Saat aku mencermati, kulihat domba dan angsa. Katanya hewan-hewan itu
menyimbolkan kekayaan yang terpelihara dengan baik, dan warna merah melambangkan
kegairahan hidup. Kuturunkan tirai guna menyembunyikan air mataku. Kusiapkan diriku untuk tak
melihat lagi keluargaku dalam waktu yang sangat lama. Inilah yang Ibu inginkan,
kucoba meyakinkan diri sendiri.
Sebuah sajak yang dibacakannya saat aku masih kecil melintas di benakku:
Bagaikan sungai yang menyanyi
Begitulah engkau keluar, mengalir lepas
Aku adalah gunung yang tertinggal di belakang Bahagiaku menyaksikanmu pergi
Kenangan tentang kita Begitu penuh dan indah Benar, kenang-kenanganku memang penuh dan indah. Hanya itulah yang kumiliki dan
kubawa besertaku. Segera setelah kurasakan tandu berjalan mantap, kubuka tirai
secelah dan mengintip keluar.
Keluargaku tak terlihat lagi. Debu dari para pengawal upacara menghalangi
pandanganku. Mendadak kulihat Kuei Hsiang. Dia masih tetap bersujud, keningnya lekat ke
tanah. Hatiku mengkhianatiku-pertahananku runtuh seperti kecapi Cina yang putus di
tengah permainannya yang bahagia.[]
Enam TaK BANYAK DARI KEMERIAHAN PERAYAAN yang bisa kulihat, pada hari saat aku resmi
menjadi selir Kaisar. Aku duduk di dalam tanduku dan mendengar bunyi lonceng
berdentang dari menara-menara di Gerbang Puncak.
Nuharoo adalah satu-satunya dari kami yang memasuki Istana melalui Gerbang
Kemurnian Surgawi, jalan masuk utama ke pekarangan belakang Istana. Yang lain,
kami berenam, dibawa melalui halaman demi halaman melalui gerbang-gerbang
samping. Tanduku menyeberangi Sungai Emas pada salah satu dari lima jembatan
yang terentang di atasnya. Sungai ini menandai perbatasan dari pemandangan
terlarang; masing-masing jembatan mewakili satu dari lima nilai Konghucu:
kesetiaan, pengabdian, kejujuran, kerendahan hati, dan keimanan. Lantas aku
melalui Gerbang Petunjuk Yang Benar dan memasuki sebuah pekarangan, yang
terbesar di Kota Terlarang.
Dengan cepat tanduku melewati Balairung Takhta, tiang-tiang raksasanya yang
berukir dan atapnya yang berundak-undak menjulang di atas marmer putih bersih
Teras Jalan Naga. Aku diturunkan di Gerbang Kesibukan Surgawi. Saat itu sudah tengah hari. Tandutandu yang lain juga telah tiba, milik para putri Yun, Li, Soo, Mei, dan Hui.
Gadis-gadis itu menapak keluar tanpa suara. Kami menyadari kehadiran masingmasing, lantas diam menunggu.
Orang-orang kasim datang untuk memberi tahu bahwa Kaisar Hsien Feng dan
Permaisuri Nuharoo telah memulai upacara pernikahan.
Rasanya aneh. Walaupun sudah lebih dari jelas untukku bahwa aku hanya satu dari
ketiga ribu milik Kaisar, aku tak bisa berbuat lain melainkan berharap setengah
mati bahwa akulah yang berada di tempat Nuharoo sekarang.
Kepala Kasim segera muncul, memberi tahu bahwa sudah waktunya bagi kami untuk
pergi ke tempat tinggal kami masing-masing. Puriku berjuluk Istana Kecantikan
Tak Terlarai, tempat aku akan tinggal puluhan tahun lamanya. Di sinilah aku
mengetahui bahwa Kaisar Hsien Feng tak akan pernah membagi hatinya secara merata
di antara para selirnya. ---oOo--- Puri Kecantikan Tak Terlarai berada dalam dekapan pepohonan tua.
Saat angin bertiup, dedaunan akan menderu. Suaranya mengingatkanku pada sebaris puisi yang amat kusukai: " Angin memperlihatkan
tubuhnya melalui dedaunan yang menggeletar."
Kucoba menemukan gerbang tempat aku masuk tadi. Ternyata letaknya di sisi Barat
dan tampaknya itulah satu-satunya jalan masuk ke tempat ini. Gedung di hadapanku
kelihatan seperti sebuah Kuil, dengan atap menyerupai sayap dan tembok-tembok
yang tinggi. Di bawah atap yang berglasir kuning semua plang dan tiang dicat
meriah. Semua panel pintu dan jendela diukir dengan simbol-simbol kesuburan: buah-buahan
berbentuk bulat, sayur-mayur, jeruk, tangan Buddha, kuncup-kuncup bunga,
gelombang lautan, dan awan.
Beberapa lelaki dan perempuan berpakaian indah muncul diam-diam di pekarangan.
Mereka menghambur ke hadapanku dan berlutut.
Aku memandangi mereka, tak tahu apa yang mereka harapkan dariku.
"Saat yang diberkati sudah tiba, Putri Yehonala," akhirnya salah seorang dari
mereka angkat bicara. "Izinkan kami membantu Tuanku masuk ke dalam kamar."
Barulah aku sadar bahwa mereka adalah pelayan-pelayanku.
Aku mengangkat jubahku dan baru saja hendak melangkah ketika terdengar bunyi
dentam hebat di luar tembok.
Kakiku lemas dan para pelayanku lari menyerbu untuk menolong menyanggaku. Aku
diberi tahu bahwa suara itu datang dari sebuah gong Cina. Ini adalah saat ketika
Kaisar Hsien Feng dan Permaisuri Nuharoo memasuki Kamar Perkawinan Agung.
Aku sudah mendengar tentang ritual pernikahan Kerajaan dari kakak Fann. Aku
cukup mengenal ranjang perkawinan dan tirainya yang berwarna matahari, terhias
dengan desain kesuburan. Aku ingat penggambaran kakak Fann tentang selimut tebal
dan satin kuning yang cerah berkilau itu, yang disulami gambar seratus anak yang
tengah bermain. Bertahun-tahun kemudian Nuharoo menceritakan kepadaku bahwa wewangian di kamar
Kerajaan adalah yang terharum yang pernah diketahuinya. Keharuman itu datang
dari ranjang perkawinan itu sendiri, yang terbuat dari kayu cendana.
Digambarkannya bagaimana cara dia disambut. Dia mengenakan tiga phoenix emas di
kepala dan ditemani oleh Kepala Kasim Shim, yang membawakan lambang resmi
Nuharoo. Setelah turun dari tandu, Nuharoo berjalan melalui Balairung Restu Ibu. Kemudian
dia memasuki kamar perkawinan, yang berada di Istana Ketenteraman Pertiwi. Di
ruangan yang penuh bau harum inilah Nuharoo mengganti bajunya dari kuning sejuk
ke kuning hangat. Dengan sehelai sutra berwarna matahari menutup kepala dan matanya, dia
menyerahkan diri kepada Kaisar dan minum dari cangkir pernikahan.
"Tembok-tembok kamar itu begitu merahnya sehingga mulanya kukira ada yang salah
dengan mataku," Nuharoo tersenyum mengingat-ingat, bertahun kemudian. "Ruangan
itu terasa kosong saking luasnya. Di sisi Utara adalah takhta, sedangkan di
Selatan ada sebuah pembaringan dari batu bata merah yang dihangatkan oleh api
dari bawah." Aku membayangkannya dengan benar. Penataannya, ritualnya, semua sesuai dengan
cerita Nuharoo. Namun, ketika tengah menjalaninya, aku hanya berusaha untuk
bertahan. Aku sama sekali tidak siap menghadapi kekecewaanku sendiri.
Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa aku sama sekali tak punya alasan untuk
menangis. Kubilang, sungguh rakus untuk menginginkan lebih dari yang telah
kudapat. Namun, kesedihan tak mau meninggalkanku. Kucoba membayangkan Ping dan
giginya yang menjijikkan ternoda opium. Tetapi pikiranku memilih jalannya
sendiri. Membawakan nada-nada dari opera favoritku, Cinta Si Kumala Kecil-cerita tentang
seorang pembantu rumah tangga dan kekasihnya yang prajurit. Saat aku memikirkan
bagaimana si prajurit membawakan sepotong sabun untuk mempelainya sebagai hadiah
pernikahan, dan betapa hal ini membuat si gadis berbahagia, air mataku mengalir.
Mengapa mataku gagal menemukan kesenangan di ruangan yang
penuh dengan harta benda ini" Pelayan-pelayanku mendandaniku dengan sehelai jubah cantik berwarna aprikot, yang dihiasi taburan
bunga plum-gaun yang sudah kukenakan ribuan kali dalam mimpi. Aku berjalan ke
muka meja nas, dan melihat kecantikan tiada tara. Pada rambutku ada jepit
berbentuk capung yang dihiasi dengan batu rubi, safir, mutiara, turmalin, matakucing, dan bulu-bulu burung pekakak. Aku berputar, mengamati perlengkapan
kamar, panel-panel mozaiknya yang penuh dengan batu mulia dan hasil panen yang
berlimpah. Di sebelah kiriku ada lemari berlaci dari kayu cendana merah yang
dihiasi giok dan batu-batu mulia, di kanan sebuah meja cuci muka dari kayu mawar
yang dilapisi indung mutiara. Di belakangku, terdapat sekat-sekat tempat tidur
dan lukisan antik yang paling berharga.
Hatiku menjerit: Apa lagi yang masih, bisa, dan berani kau inginkan, Anggrek"
---oOo--- Aku kedinginan, tetapi aku disuruh membuka pintuku sepanjang hari.
Aku duduk di pembaringanku, yang dibungkus dengan seprai kekuningan. Delapan
lembar selimut berisi kapas dan sutra terbaik disusun dekat dinding. Tirai
tempat tidur yang menyapu lantai disulami motif bunga wistena putih. Tepiannya
yang merah berhias peoni merah muda dan hijau.
Kulihat Kepala Kasim Shim melewati jendelaku, diikuti beberapa orang kasim yang
masih muda. "Mengapa lampu-lampu belum dinyalakan?" Shim kesal. Dia kemudian
melihatku melalui jendela.
Seraya tersenyum sopan, dia langsung berlutut dan berkata, "Putri Yehonala,
hambamu Shim siap membantu."
"Bangkitlah," aku melangkah ke halaman.
"Apakah para pelayan sudah memperkenalkan diri, Putri Yehonala?" tanya Shim,
masih sembari berlutut. "Belum," sahutku.
"Kalau begitu, mereka harus dihukum. Itu adalah kewajiban mereka." Dia bangkit,
menjentikkan jari. Dua orang kasim tinggi besar muncul, masing-masing membawa cambuk yang lebih
panjang daripada seorang lelaki.
Aku kebingungan, tak mengerti apa yang akan dilakukan Kepala Kasim Shim.
"Mereka yang bersalah, berbaris!" perintahnya.
Gemetaran, pelayan-pelayanku berbaris.
Dua ember air dibawa keluar. Kedua kasim berbadan besar tadi mencelupkan cambuk
mereka. "Kepala Shim," panggilku. "Tolong mengertilah, bukan salah pelayan-pelayanku
kalau mereka belum memperkenalkan diri. Aku belum siap, sampai sekarang."
"Apakah Anda memaafkan para pelayan Anda?" tanya Kepala Kasim Shim, sebuah
senyum jahat melintas di wajahnya. "Anda tak boleh mengharapkan apa pun kecuali
pelayanan yang sempurna dari budak-budak Anda, Putri Yehonala. Budak-budak ini
harus dihukum. Tradisi Kota Terlarang bisa disimpulkan dalam empat kata: penghargaan datang
dari cambukan." "Maaf, Kepala Shim. Aku tak bisa melihat diriku mencambuk orang yang tak
bersalah." Aku segera menyesal karena keseleo lidah ini, tetapi sudah terlambat.
"Aku yakin bahwa para pelayan itu memang bersalah." Shim kelihatan sebal. Dia
berbalik dan menendang seorang kasim muda.
Aku merasa dipermalukan dan undur diri ke kamarku.
---oOo--- Kepala Kasim Shim berlama-lama untuk menjelaskan maksud kedatangannya. Kami
berada di ruang dudukku, dengan lebih dari dua puluh pelayan dan kasim turut
hadir. Dengan kesabaran yang penuh perhatian, Kepala Kasim Shim menjelaskan
bagaimana Kota Terlarang dikelola. Dia memperkenalkan beraneka departemen dan
bengkel kriya, kebanyakan di antaranya tampaknya berada di bawah wewenangnya.
Kepala Kasim Shim memimpin departemen yang mengawasi penyimpanan emas dan perak
lantakan, bulu binatang, porselen, sutra, dan teh; dia juga bertanggung jawab
atas para penyuplai hewan, padi-padian, serta buah-buahan persembahan untuk
upacara keagamaan. Dia mengontrol para kasim yang mengurus kandang-kandang
pengembangbiakan anjing Peking. Dia juga mengawasi departemen-departemen yang
memelihara semua Puri, kuil, taman, dan ladang herbal.
Aku berdiri dengan punggung lurus dan dagu tegak. Kalaupun Kepala Kasim Shim
hanya ingin pamer kekuasaan, aku tetap senang karena diberi tahu. Di samping
lokasi pekarangan-pekarangan dalam serta sekolah tempat mendidik para Pangeran,
dia juga menjelaskan pasukan bersenjata Istana, yang bertindak sebagai polisi
Istana. "Tugasku meliputi pusat pembuatan manisan Istana, bengkel penenunan dan
pewarnaan, serta biro-biro yang mengurusi perahu Kaisar, pakaian, hiburan,
kantor percetakan, perpustakaan, ulat sutra, dan peternakan lebah madu."
Dari semua departemen ini, adalah teater Kerajaan yang paling menarik
perhatianku. Begitu juga bengkel kriya, yang telah menghasilkan karya-karya
seniman dan pekerja kriya paling berbakat di seluruh Cina.
"Saya memikul banyak tanggung jawab," demikian simpul Kepala Kasim Shim. "Tetapi
di atas semua itu, saya ada untuk menjaga keabsahan suksesi Kaisar Hsien Feng."
Aku sadar bahwa dia mengharapkanku mengakui kekuasaannya.
"Bimbing aku, Kepala Shim, kumohon," aku mulai bicara, "karena aku hanyalah
gadis naif dari pedesaan Wuhu, dan aku akan sangat berterima kasih untuk segala
nasihat serta perlindunganmu."
Puas dengan sikapku, Kepala Kasim Shim mengungkap bahwa sebenarnya dia ada di
sini untuk melaksanakan dua tugas dari ibu mertuaku. Yang pertama adalah
menghadiahiku seekor kucing.
"Hari-hari akan terasa sangat panjang bagi Anda, tinggal di sini, di Kota
Terlarang," kata Kepala Kasim Shim, melambai kepada seorang kasim guna
membawakan sebuah kotak. "Dan kucing ini akan menjadi pendamping Anda."
Kubuka kotak itu dan melihat seekor makhluk yang sangat indah. "Siapa namanya?"
"Salju," sahut Shim. "Dia betina, tentu saja."
Dengan lembut kuambil kucing itu. Salju memiliki sepasang mata harimau yang
cantik. Kucing itu tampak ketakutan. "Selamat datang, Salju!"
Kedua, Kepala Kasim Shim memberitahukan mengenai tunjangan tahunanku. "Lima
batang emas, seribu tael perak, tiga puluh bal satin, sutra dan katun, lima
lembar kulit kerbau, domba, ular, serta kelinci, dan seratus kancing perak.
Kedengarannya banyak tetapi pada akhir tahun Anda akan merasa kekurangan karena
Anda bertanggung jawab untuk membayar gaji keenam kasim, enam dayang, empat
pelayan, dan tiga koki Anda. Para pelayan akan mengurus kebutuhan pribadi Anda,
sementara para kasim membersihkan, merawat kebun, dan mengantarkan pesan. Para
kasim juga bertanggung jawab untuk mengurus tidur Anda. Untuk tahun pertama,
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka akan bergiliran menjaga, lima orang tidur di luar kamar Anda dan seorang
di dalam. Anda belum diperbolehkan memilih sendiri kasim yang akan tidur di
kamar Anda sampai Ibu Suri merasa Anda sudah siap."
Para pelayan menatap kosong ke arahku. Aku tak tahu apa yang mereka pikirkan.
"Saya sudah memilih para kasim terbaik untuk Anda." Kepala Kasim Shim
melemparkan seulas senyum miring. "Mereka yang mendengkur kuberikan kepada Putri
Mei, yang malas kepada Putri Hui.
Yang jahat kutempatkan dengan Putri Yun, dan .." dia melirik kepadaku dan
berhenti, seolah menungguku mengatakan sesuatu.
Sudah menjadi tradisi tak tertulis Kekaisaran untuk memberi hadiah kepada kasim
yang menunjukkan kesetiaan seperti itu. Tentu saja aku tahu hal ini, tetapi
ketidakpercayaanku kepada Shim mencegahku untuk berbuat begitu. Aku ingin tahu
apa yang dikatakannya tentangku di hadapan Nuharoo, dan Putri Yun, Li, Soo, Mei,
serta Hui. Aku yakin Shim punya cukup akal bulus untuk mengelabui setiap orang.
"Boleh aku tahu bagaimana pelayanan terhadap istri - istri Yang Mulia lainnya?"
tanyaku. "Mereka tinggal di mana?"
"Yah, Permaisuri Nuharoo akan menghabiskan sisa pekan ini bersama Kaisar di
Istana Ketenteraman Bumi. Kemudian dia akan pindah ke Istana Penerimaan Langit,
untuk tinggal di sana. Putri Yun diberi tempat di Istana Warisan Jagat Raya,
Putri Li di Istana Ketenangan Abadi, Putri Mei di Istana Pengampunan Agung, dan
Putri Hui di Istana Kebahagiaan Yang Panjang."
"Bagaimana dengan Soo?"
"Putri Soo dikirim pulang ke orangtuanya di Selatan.
Kesehatannya perlu dirawat. Istana Sinar Matahari Yang Menyenangkan tersedia untuknya bila kembali nanti."
"Mengapa Istana semua putri yang lain ada di sisi Timur Kota Terlarang" Siapa
lagi selain aku yang tinggal di sisi Barat?"
"Anda adalah satu-satunya yang tinggal di sisi Barat, Putri Yehonala."
"Boleh aku tahu mengapa?"
Kepala Kasim Shim memelankan suaranya hingga menjadi bisikan. "Paduka, Anda akan
mendapatkan kesulitan kalau bertanya terlalu banyak. Meski begitu, akan saya
tempuh risiko kehilangan lidah untuk memuaskan rasa ingin tahu Anda. Tetapi saya
memerlukan kepercayaan penuh dari Anda. Bisakah saya mendapatkan hal itu?"
Aku ragu sejenak, kemudian mengangguk.
Shim mencondongkan tubuh ke arahku dan mendekatkan mulutnya ke telingaku. "Bisa
saja merupakan keinginan Kaisar Hsien Feng atau Ibu Suri untuk menempatkan Anda
di sini. Begini- kalau itu adalah keinginan Ibu Suri .. Maafkan saya, saya gugup
sekali harus memberitahukan hal ini kepada Anda .. Yang Mulia Ibu Suri punya
kebiasaan untuk menempatkan mereka yang disayanginya dekat dengan beliau di sisi
Timur. Itu untuk kenyamanan dirinya sendiri agar mudah baginya untuk memanggil
mereka bila beliau ingin ditemani."
"Maksudmu, Ibu Suri tidak menyukaiku dan tak ingin aku berada di dekatnya?"
"Saya tak mengatakan begitu. Anda sendiri yang mengambil kesimpulan."
"Apakah itu tidak benar?"
"Saya takkan menjawabnya."
"Bagaimana dengan Kaisar Hsien Feng" Bagaimana kalau ternyata ini adalah
keinginannya?" "Kalau gagasan ini datang dari Yang Mulia Kaisar, itu pertanda bahwa beliau
sangat menyukai Anda- karena itu beliau ingin Anda berada sejauh mungkin dari
ibundanya. Dengan kata lain, beliau ingin menyulitkan Ibu Suri untuk mematamatainya bila Kaisar hendak mengunjungi Anda. Silakan Anda memberi selamat
kepada diri sendiri, Tuan Putri."
---oOo--- Segera setelah Shim pergi, kukirim seorang pelayan membawakan 200 tael perak
untuknya sebagai hadiah. Memang banyak, tetapi kurasa itu perlu. Tanpa Kepala
Kasim Shim, aku akan seperti orang buta yang berjalan di jalanan penuh
perangkap. Lagi pula, aku merasakan bahwa Shim adalah orang yang patut ditakuti.
Malam tiba. Langit menggelap. Dedaunan di pepohonan berubah menghitam, seolah
warna hijau mereka dinodai oleh tinta. Tepian awan mengerut dan menekuk dari
satu bentuk ke bentuk lainnya.
Burung-burung gagak kembali ke sarang mereka pada ranting-ranting nan tinggi.
Suara mereka melengking, seakan telah melalui hari yang berat.
Aku memanggil para pelayan, mengatakan bahwa aku ingin makan malam. Para kasim
dan dayang membungkuk, membawa pesanku ke dapur. Kasim terakhir di barisan tidak
ikut bangkit. Dia terus saja berlutut, meminta perhatian. Aku jengkel, kusuruh
dia pergi. Namun, ketika dia mengangkat mata, aku mengenalinya. Dia adalah si kasim muda
yang bertemu denganku pada hari aku terpilih menjadi selir, anak yang membawakan
air untukku. "An-te-hai?" panggilku, nyaris terlalu bersemangat.
"Ya, Tuan Putri!" dia menjawab dengan antusiasme yang sama.
"An-te-hai, budakmu yang setia."
Aku berdiri dan mengulurkan kedua lenganku. An-te-hai mundur beberapa langkah,
mengingatkanku akan kedudukanku.
Aku kembali duduk dan kami sama-sama tersenyum.
"Jadi, An-te-hai, apa yang kau inginkan?"
"Putri Yehonala, saya tahu bahwa Anda dapat memerintahkan hukuman mati bagi saya
kapan saja bila kata-kata saya membuat Anda jengkel. Tetapi ada yang harus saya
katakan." "Kau mendapatkan izinku."
An-te-hai ragu sejenak, lantas mengangkat pandangan untuk menatapku tepat di
mata. "Saya baik untuk Anda."
"Itu aku sudah tahu."
"Maukah Paduka menjadikan saya pelayan utama Anda?"
Aku berdiri. "Berani benar kau meminta hal serupa itu pada saat aku baru saja
tiba." An-te-hai buru-buru menyentuhkan kening ke lantai. "Hukum saya, Gusti Yehonala."
Dia mengangkat tangan dan mulai menempeleng pipinya sendiri, kiri-kanan
bergantian. Aku tak tahu harus berbuat apa. Dia terus saja begitu, seakan-akan tengah
menampari wajah orang lain dan bukan wajahnya sendiri.
"Cukup!" pekikku.
Si kasim menurut. Dipandangnya aku dengan kerinduan yang aneh, matanya digenangi
air mata seorang pemuja. "Apa yang membuatmu berpikir bahwa kau bisa melayaniku dengan lebih baik
dibandingkan yang lain?"
An-te-hai mengangkat pandangan dan lantai. Katanya, "Karena saya menawarkan
sesuatu yang tidak ditawarkan yang lain."
"Dan apa itu?" "Nasihat, Putri. Menurut pendapat saya yang tak berharga ini, waktu dan nasib
belum pasti berpihak pada Anda saat ini. Nasihat saya dapat membuat Putri
berhasil baik di tempat ini. Saya ahli dalam tek tek bengek etiket Kekaisaran,
misalnya." "Kau sangat percaya diri, An-te-hai."
"Sayalah yang terbaik di Kota Terlarang."
"Bagaimana aku bisa membuktikannya?"
"Uji saja saya, Putri. Anda akan segera tahu."
"Sudah berapa tahun kau tinggal di Kota Terlarang?"
"Empat tahun." "Apa yang telah kau raih?"
"Sebuah keyakinan, Putri."
"Sebuah keyakinan?"
"Semangka besar yang melekat di antara kedua bahu saya ini, Gusti, sangatlah
tangguh. Saya sudah mempersenjatai diri dengan pengetahuan tentang pergaulan di
Kota Terlarang, Istana Musim Panas, dan Taman Agung Bundar. Saya tahu persis
lokasi tempat-tempat itu, bahkan dalam peta nujum sekalipun. Saya bisa
menjelaskan mengapa tak ada pohon yang ditanam di antara Istana Keselarasan
Sejati, Keselarasan Pusat, dan Keselarasan Abadi."
"Teruskan, An-te-hai."
"Para selir dari ayah dan kakek Kaisar Hsien Feng adalah teman-teman saya.
Mereka tinggal di Istana Kebajikan nan Tenteram. Saya tahu semua cerita tentang
masing-masing dan mereka, dan hubungan mereka dengan Kaisar. Saya bisa
menceritakan bagaimana Istana dihangatkan pada musim dingin, dan bagaimana bisa
tetap sejuk pada musim panas. Saya dapat memberi tahu Anda dari mana air yang
Anda minum berasal. Saya tahu benar mengenai semua pembunuhan dan hantu di Kota
Terlarang, setiap cerita di belakang semua kebakaran yang misterius serta orangorang yang menghilang secara tiba-tiba. Saya kenal para penggawa di setiap
gerbang, dan saya adalah sahabat baik dari banyak sekali pengawal, yang
artinya .. saya dapat dengan mudah keluar-masuk Istana, seperti kucing."
Aku mencoba tidak menunjukkan bahwa aku terkesan.
An-te-hai bercerita bahwa Kaisar Hsien Feng punya dua ranjang di kamarnya.
Setiap malam, kedua tempat tidur itu akan disiapkan dan tirainya diturunkan
sehingga tak ada yang tahu pasti di ranjang yang mana Kaisar tidur. An-te-hai
memberitahuku betapa pengetahuannya amat luas, melampaui rumah tangga Istana,
hingga ke lingkaran luar Kekaisaran dan cara kerja Pemerintah. Rahasianya untuk
memperoleh sekian banyak informasi adalah membuat setiap orang yakin bahwa dia
tak berbahaya. "Jadi kau ini mata-mata alamiah, ya?"
"Untuk Anda, Putri, saya bersedia menjadi apapun."
"Berapa umurmu tepatnya?"
"Enam belas, dalam beberapa bulan lagi."
"Ada apa sebenarnya di balik permintaan ini, An-te-hai?"
Si kasim terdiam beberapa saat, lalu menyahut. "Saya menginginkan kesempatan.
Saya sudah lama mencari majikan yang tepat, lama sekali. Sebagai seorang kasim,
saya tahu tak selayaknya saya berpikir tentang masa depan sebab tak ada masa
depan untuk seorang kasim. Akan tetapi, saya tak mau hidup di neraka selamanya.
Yang saya minta, Putri, hanyalah diberi kesempatan untuk membuktikan kesetiaan
saya." "Bangkitlah," kataku. "Tinggalkan aku sekarang, An-te-hai."
Pemuda itu bangkit, tanpa suara berjalan ke arah pintu.
Aku melihat bahwa dia sedikit pincang, dan teringat bahwa dialah yang tadi
ditendang Kepala Kasim Shim di pekarangan.
"Tunggu," panggilku. "Mulai sekarang, An-tehai, kau adalah pelayan utamaku."
Aku berganti baju dengan jubah kekuningan sebelum dikawal ke kursi makan. Meja
makanku sama besarnya dengan daun pintu gerbang. Ukiran pada kaki dan
permukaannya benar-benar menakjubkan. Selama menunggu untuk dilayani, aku
akhirnya mengetahui nama-nama para kasim serta dayangku.
Orang-orang kasimku memiliki nama yang unik. Ho-tung, Sungai Timur; Ho-nan,
Sungai Selatan; Ho-tz'u, Sungai Barat; Ho-pei, Sungai Utara; Ho-yuan, Hulu
Sungai; Ho-wei, Muara Sungai. Meskipun nama mereka semua berawal dari ho, yang
berarti sungai, mereka sama sekali bukan satu keluarga. Nama-nama dayangku
sebagian dimulai dengan chun, artinya musim semi. Mereka adalah Chun-cheng,
Fajar Musim Semi; Chun-hsia, Senja Musim Semi; Chun-yueh, Rembulan Musim Semi;
Chun-meng, Impian Musim Semi. Mereka semua berpenampilan menarik dan amat
bersih. Mereka menyahuti panggilanku dengan cepat dan tak menampakkan
karakteristik yang khusus. Rambut mereka ditata dalam gaya yang seragam.
Sementara semua kasim berkepang tunggal, para dayang berkonde di belakang
kepala. Saat aku bersama mereka, mereka senantiasa meletakkan kedua tangan di
sisi paha, dan mata mereka terpancang pada lantai.
---oOo--- Aku duduk di depan meja raksasa itu, lama sekali, dikelilingi para kasim dan
dayang-dayang, sampai perutku mulai berbunyi keroncongan. Makan malamku masih
belum terlihat. Kualihkan perhatian pada balairung ini. Ruangan tersebut besar
dan hampa dan kehangatan kecuali dinding seberang, tempat tergantungnya lukisan
yang menggambarkan sebuah keluarga desa. Sebuah sajak yang indah dituliskan di
sudut kanan atasnya: Atap jerami miring tergantung rendah,
Di tepi anak sungai rerumputan hijau berkerumun indah, Siapa itu bicara dengan
aksen Selatan mabuk yang sedemikian menawan"
Seorang lelaki berambut kelabu beserta istri dalam tempat naungan.
Di timur anak sungai putra tertua menyiangi gulma, Putra kedua membuat kandang
bagi ayam-ayam peliharaannya, Aku menyukai putra ketiga, yang, karena tiada
pekerjaan menunggu, Berbaring di tepi anak sungai, mengupasi biji lotus satu demi satu.
Siapa gerangan yang dahulu tinggal di sini, aku bertanya-tanya.
Mestinya dia adalah salah seorang selir almarhum Kaisar Tao Huang.
Dan mestinya wanita itu menyukai lukisan. Gayanya sederhana, segar.
Aku mengagumi kontras antara kesederhanaan lukisan itu dan kemegahan lingkungan
sekitarnya. Lukisan itu mengingatkanku pada kehangatan keluargaku sendiri. Aku ingat ketika
aku dan adik-adikku berkumpul di meja makan malam, menunggu Ayah pulang. Aku
ingat suatu waktu ketika Ayah melucu. Saat kami semua tertawa terpingkalpingkal, nasi bersemburan keluar dari mulut kami. Rong tersedak sup tahu, Kuei
Hsiang jatuh ke bawah meja dan memecahkan mangkuk keramiknya.
Bahkan, Ibu lupa bersikap anggun, dia tertawa terkikik, menyebut Ayah "palang
bengkok yang menyebabkan rumah roboh".
"Makan malam Anda sudah siap, Putri." Suara An-te-hai membangunkanku dari arus
kenangan. Bagaikan dongeng, aku melihat suatu parade keluar dari dapur. Barisan
kasim, masing-masing menating sebuah piring yang mengepulkan asap, melangkah
anggun ke arahku. Semua panci dan wajan meja dilindungi dengan tutup perak.
Segera saja seluruh meja penuh disesaki hidangan.
Aku menghitung jumlah hidangan. Sembilan puluh sembilan!
Sembilan puluh sembilan hidangan hanya untukku sendiri"
An-te-hai berkata bahwa hidangan itu terdiri dari: "Telapak beruang kukus,
sayuran dicampur hati rusa, lobster goreng saus kecap, keong dengan ketimun dan
bawang putih, kuau rendam saus asam manis, daging macan suwir bungkus dadar,
darah rusa campur ginseng dan rempah-rempah, kulit bebek renyah dalam saus
bawang pedas, daging babi, sapi, ayam, makanan laut .." Banyak sekali hidangan
yang belum pernah kulihat ataupun kudengar.
Barisan ini mengular terus. Air muka para pelayanku menunjukkan bahwa semua ini
biasa saja. Kucoba menyembunyikan keterkejutanku. Saat semua piring selesai
diletakkan, aku melambaikan tangan. Para pelayan mundur, berdiri dekat dinding
seraya membisu. Rasanya canggung sekali menghadapi meja raksasa yang penuh sesak ini.
"Selamat makan, semoga makan Anda sedap!" para pelayan berseru serentak.
Aku mengangkat sumpit. "Jangan dulu, Putri." An-te-hai buru-buru mendekat.
Kasim itu berkeliling meja membawa sepasang sumpit dan sebuah piring kecil.
Diambilnya semua hidangan masing-masing sejumput, dan memasukkannya ke mulut.
Saat memerhatikan An-te-hai mengunyah, aku teringat salah satu cerita kakak Fann
tentang ibunda Kaisar Hsien Feng, Chu An, yang mencoba meracuni Pangeran Kung.
Pikiran ini langsung mengenyahkan selera makanku.
"Sekarang aman untuk bersantap." An-te-hai mengelap mulutnya dan menjauh dari
meja. "Apa semua ini harus kumakan sendirian?" tanyaku.
"Tidak harus, Putri. Sudah menjadi tata cara Kekaisaran agar Anda dilayani
dengan 99 hidangan setiap makan."
"Alangkah sia-sianya!"
"Tidak, Gusti, Anda takkan menyia-nyiakannya. Anda selalu bisa menghadiahkan
makanan ini kepada para pelayan. Para budak selalu lapar, mereka tak pernah
diberi makan cukup."
"Apa mereka takkan keberatan?"
"Sama sekali tidak. Mereka akan merasa terhormat."
"Memangnya dapur tak menyediakan makanan untuk kalian?"
"Kami makan apa yang dimakan kuda, hanya jumlahnya yang lebih sedikit. Tiga
kerat ubi sehari adalah jatah saya."
Aku makan sebanyak yang kumampu. Kudengar suara rahangku menggigit ketimun,
mengunyah daging beruang, dan mengisap rusuk babi. Para pelayan terus saja
memandangi kaki mereka. Lagi-lagi aku bertanya-tanya, apa gerangan yang mereka
pikirkan. Ketika aku merasa kenyang, kuletakkan sumpitku dan mengambil makanan
penutup, bakpao manis isi kacang merah dan wijen hitam.
An-te-hai datang mendekat, seolah tahu bahwa aku ingin mengatakan sesuatu.
"Aku tak suka makan seraya ditatap oleh orang lain," kataku.
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bisakah aku meminta mereka semua untuk bubar saja?"
"Tidak, Putri, saya khawatir tidak bisa."
"Apa semua selir di istana-istana lain dilayani seperti ini?"
"Ya, Gusti." "Dari dapur yang sama?"
"Tidak, dari dapur mereka sendiri. Setiap Istana memiliki dapur dan juru masak
sendiri." "Ambillah bangku, duduk dan temani aku selama aku makan."
An-te-hai menurut. Saat aku mengambil sebuah cangkir, An-te-hai menjangkau sebuah poci yang berada
agak jauh di sudut meja. Diisinya cangkirku dengan teh bunga krisan.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengetahui bahwa An-tehai amat pandai
mengantisipasi kebutuhanku. Siapa dia" Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa yang
menyebabkan pemuda pandai dan manis seperti dia menjadi kasim" Seperti apa
keluarganya" Bagaimana dia tumbuh dewasa"
"Putri." Ketika aku menghabiskan gigitan terakhir dari bakpao itu, An-te-hai
mencondongkan badan. Suaranya lembut. "Akan baik sekali bila Anda mengirim
seorang kurir kepada Kaisar dan Permaisuri Nuharoo untuk mengucapkan selamat
makan dan semoga makan malam mereka menyenangkan."
"Bukankah Nuharoo tidak akan mau waktunya bersama Kaisar terganggu?" tanyaku.
Dari diamnya An-te-hai, aku sadar bahwa lebih baik aku mengikuti sarannya.
"Ini bukan sekadar soal mengirimkan selamat," jelas An-te-hai setelah beberapa
saat. "Ini untuk meninggalkan kesan. Untuk memunculkan nama Anda pada salah satu
keping bambu Kaisar. Untuk mengingatkan Kaisar bahwa Anda ada. Semua wanita di Istana melakukan hal
yang sama." "Bagaimana kau tahu?"
"Saya punya banyak saudara angkat yang melapor pada saya dari setiap sudut."
Aku membilas mulut dengan secangkir teh hijau. Seharusnya aku tidur sesudah
makan, tetapi pikiranku tak mau tenang. Aku membayangkan sebuah pertempuran,
yang di dalamnya setiap selir adalah prajurit yang menyamar. Menurut An-te-hai,
saingan-sainganku telah mulai membangun benteng pertahanan. Banyak yang
mengirimkan hadiah kecil tetapi berarti kepada Ibu Suri, sebagai tanda terima
kasih karena sudah memilih mereka.
Kuharap Kaisar adalah orang yang adil. Bagaimanapun, dia dijuluki sebagai orang
yang paling bijaksana di kolong langit. Aku akan cukup puas kalau dia bersedia
memanggilku sekali sebulan. Takkan pernah kuharap untuk memiliki dia sepenuhnya
untuk diriku sendiri. Aku akan bangga sekali membantunya membangun dinasti ini, seperti perempuanperempuan yang potret dirinya tergantung di galeri Istana. Menyediakan rumah
yang tenteram bagi Kaisar benar-benar suatu keinginan yang menggoda. Senang juga
membayangkan bahwa kami bertujuh akan bersatu menghadapi seluruh populasi
perempuan di Istana. Sebagai istri-istri yang terpilih, aku ingin kami saling
menghormati dan saling membantu guna membangun rumah tangga ini menjadi sebuah
tempat yang nyaman bagi kami semua.
An-te-hai tidak mengatakan bahwa dia tak setuju. Akan tetapi, aku mulai bisa
menebak perasaannya dari cara dia menyentuhkan kepala ke lantai. Kalau suaranya
tung, tung, tung, artinya ada sedikit ketidaksepahaman, dan kami akan
mendiskusikannya. Tetapi kalau suara yang keluar adalah pong, pong, pong, aku
lebih baik mendengarkan kata-katanya karena itu artinya aku tak tahu apa yang
sedang kuhadapi. Kali ini suaranya pongpong-pong. An-te-hai berusaha
meyakinkanku bahwa semua putri di istana-istana lainnya itu adalah musuh
alamiahku. "Seperti hama di tanaman-mereka harus memakan Anda agar bisa hidup."
Dia menganjurkan agar aku segera berusaha menancapkan pengaruh. "Seseorang
tengah merencanakan untuk mencekik Anda, persis pada saat ini," katanya.
---oOo--- Aku nyaris tak bisa bergerak saat para kasim datang untuk membereskan meja.
Tidur singkat terlupakan, hal berikutnya yang harus kukerjakan adalah mandi. Bak
mandiku diletakkan tiga kaki di atas lantai, seperti sebuah panggung, dengan
ember-ember berisi air panas dan dingin serta tumpukan handuk tersebar di
sekitarnya. Bak itu begitu besarnya, hingga di kampungku ini akan disebut sebuah
kolam. Terbuat dari kayu halus, bentuk bak itu bagaikan setangkai daun lotus
raksasa. Lukisan yang menghiasinya sungguh indah, detail bunga lotusnya
menakjubkan jelasnya. Sebetulnya aku tak terbiasa mandi setiap hari. Di Wuhu, kucuci badanku sekali
setiap beberapa bulan saat musim dingin, dan berenang di danau pada musim panas.
Aku bertanya kepada An-te-hai apakah aku bisa berenang di danau Kerajaan nanti,
saat cuaca lebih hangat. "Tidak," si kasim menjawab. "Yang Mulia ingin tubuh semua wanitanya selalu
tertutup, setiap saat."
Para dayang mengumumkan bahwa air mandi sudah siap.
An-te-hai mengatakan bahwa aku bisa memilih untuk dimandikan para kasim, atau
para pelayan. Tentu saja pelayan, kataku. Akan janggal dan kikuk sekali rasanya
kalau aku harus membuka tubuhku di hadapan para kasim. Sepintas penampilan
mereka nyaris sama saja seperti pria normal. Aku tak bisa membayangkan mereka
menyentuh tubuhku. Aku butuh beberapa lama untuk terbiasa dengan kehadiran Ante-hai di kaki tempat tidurku.
Aku bertanya-tanya apakah An-te-hai memiliki keinginan dan kebutuhan seorang
lelaki. Kalau aku berganti baju, dia tampak tak peduli sedikit pun. Apakah dia
berpura-pura" Kalau ya, disiplin dirinya tentu besar sekali. Hal yang mulai
kusukai pada dirinya adalah dia mampu menanggulangi penderitaan pribadinya.
Mungkin saja aku memang memanjakan kasimku, satu kelemahan yang dianggap oleh
banyak orang sebagai perbuatan tercela. Aku tak bisa menghindar dari simpati
yang kurasakan terhadap penderitaan mereka. Sesungguhnya aku juga merindukan
perhatian yang sama. Perempuan-perempuan di Cina bermimpi untuk menjadi aku tanpa mengetahui
penderitaanku. Dengan menyamakan nasibku dengan nasib para kasim, aku bisa
sedikit mengobati lukaku. Rasa sakit para kasim dapat dilihat pada wajah mereka.
Mereka dikebiri, dan tentu saja semua orang mengerti nasib buruk mereka. Tetapi
aku, deritaku tersembunyi.
Rasanya aneh, ditangani oleh sekian banyak tangan. Orang-orang ini memohon agar
aku tak menggerakkan sebuah jari sekalipun.
Kalau aku mencoba melakukan sesuatu sendiri, itu akan dianggap sebagai sebuah
hinaan. Air mandinya hangat dan menenteramkan. Ketika aku bersandar pada tepian bak,
para pelayan berlutut. Tiga orang mengulurkan tangan padaku secara berbarengan.
Menggosok, mengurut. Seharusnya aku menikmati ini semua, tetapi dalam kepalaku terus-menerus ada
bayangan seekor ayam yang dicelupkan ke air panas dan kemudian dibului.
Tangan-tangan para pelayan itu bergerak dari atas ke bawah pada tubuhku.
Meskipun mereka lemah lembut, tetapi tubuhku menderita karena gangguan ini.
Kucoba mengingat-ingat apa yang dikatakan An-te-hai tentang hal ini, bahwa aku
hidup untuk menyenangkan Kaisar, bukan untuk diriku sendiri. Kuharap Kaisar bisa
melihat ini. Aku ingin tahu kapan dia akan muncul.
Tubuhku mengeluarkan uap seperti bakpao kukus. Para pelayan itu berkeringat.
Mereka sudah memijat bahu, jari-jari tangan, dan kakiku. Baju mereka basah,
rambut mereka berantakan. Melihat mereka saja sudah membuatku letih, dan aku
nyaris tak sabar menunggu ini semua selesai. An-te-hai sudah memperingatkan agar
aku jangan berterima kasih pada pelayan-pelayanku. Aku dilarang menampakkan
perasaan. Aku tak boleh mengingatkan orang bahwa aku ini manusia biasa saja,
seperti mereka. Setelah mereka mengeringkanku dan mendandaniku dengan gaun tidur merah, para
pelayan itu mengundurkan diri. Para kasim membungkusku dalam selimut yang hangat
dan membimbingku ke kamar tidur.
---oOo--- Puriku terbagi atas tiga area. Satu, ruangan tinggal, termasuk tiga ruang besar
dengan jendela-jendela menghadap ke Selatan. Ruangan-ruangan ini terhubung dalam
bentuk persegi panjang. Ruang tengah berfungsi sebagai tempat menerima tamu,
dengan singgasana ukuran kecil untuk tempat suamiku duduk, bila dia berkunjung.
Di belakang singgasana ini, membelakangi dinding, ada sebuah altar. Di atas
altar tergantung sebuah lukisan Cina besar. Kamar sebelah kiri disebut kamar
Barat. Di sinilah aku tidur. Ada sebuah meja dan dua buah kursi di samping
jendela. Di sebelah kanan adalah kamar Timur. Ini ruang riasku. Ada tempat tidur
di sana, aku akan tidur di situ bila Yang Mulia Kaisar memutuskan untuk
bermalam. Aturan mengatakan bahwa Kaisar tak boleh menghabiskan malam bersama
istrinya yang mana pun agar dia bisa tidur nyenyak. Ranjang di kamar Timur
selalu dalam keadaan siap, dibuat sejuk atau hangat tergantung musim. Di
belakang kamar-kamar ini adalah ruang makanku, kamar mandi, ruang duduk, dan
gudang. Bagian kedua dari Puri adalah taman, yang akan menjadi bagian kesayanganku. Di
situ ada padang rumput dan sungai-sungai kecil alami, juga sebuah kolam kecil
bernama Kolam Surgawi. Aku sengaja membiarkan buluh air tumbuh liar di dalamnya
karena aku senang diingatkan pada Wuhu setiap kali memandangnya. Aku sangat
menyukai tanaman dan tergila-gila berkebun. Kuisi tamanku dengan keagungan alam.
Di samping pohon besar berbunga seperti pohon sutra-merah dan magnolia, aku juga
punya peoni yang bunganya sebesar mangkuk, dalam semua warna yang bisa
dibayangkan. Ada juga mawar merah tua dengan bagian tengah ungu, bunga lili
putih berbentuk teracak kuda, bunga teh gunung berwarna api, dan bunga plum
musim dingin kuning, yang kujuluki "tukang tarik kaki". Kelopak bunga plum agak
berlilin dan mekar hanya pada hari-hari bersalju, seakan mereka menyukai udara
dingin. Harumnya yang kuat mengambang masuk ke dalam kamar tidurku, pada pagi
hari saat Ante-hai membuka jendela. Mereka "menarik kakiku" ke taman, dan aku
tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengagumi kecantikan mereka, sembari masih
mengenakan piyama. Pada hari-hari yang sangat dingin, agar aku tak kena flu, Ante-hai akan memetik seranting plum musim dingin sebelum aku bangun, atau
meletakkan sekuntum di dalam jambangan pada meja sarapanku.
Seleraku terhadap bunga sangat luas. Aku mencintai bunga-bunga yang anggun
tetapi juga tergila-gila pada bunga-bunga yang kusebut "rakyat kecil". Aku
menyukai bunga trompet yang bentuknya seperti kupu-kupu, bunga ungu penutup
tanah yang menyerupai muka harimau. Keahlianku adalah peoni dan krisan. Meskipun
kalangan Kekaisaran menganggap bahwa krisan hanya pantas buat petani, aku
menanam mereka dengan penuh cinta. Aku punya setiap jenis krisan.
"Cakar Keemasan" adalah yang paling kusukai. Bunganya mekar membuka seperti
tangan penari, mewadahi cahaya mentari pagi dalam telapak mereka. Tak ada yang
pernah melihat varietas ini di mana pun kecuali di kebunku. Pada musim gugur
tanaman-tanaman ini tumbuh hingga setinggi bahuku, dan aku tak pernah bosan
memandangi mereka. Aku datang ke taman kalau tak bisa tidur untuk mendengarkan suara-suara masa
kecilku. Dapat kudengar ikan-ikan bicara dalam air.
Aku berkeliaran di sekitar semak-semak, menyentuh dedaunan dan bebungaan. Aku
senang sekali merasakan embun bergantung di ujung-ujung jemariku.
Bertahun-tahun kemudian tersebar cerita tentang seorang kasim yang melihat
seorang bidadari di kebunku, pada tengah malam.
"Bidadari" itu mungkin adalah aku. Ada masa-masa tertentu saat aku merasa tak
sanggup hidup lebih lama lagi. Mungkin saja kasim itu melihatku pada satu di
antara sekian banyak malam ketika aku sedang merencanakan untuk mengakhiri
hidupku. Bagian ketiga dari istanaku adalah barak pada kiri-kanan kamar utama. Bagian ini
adalah tempat tinggal para kasim, dayang-dayang, serta pelayan. Jendelajendelanya menghadap ke arah pekarangan tertutup, artinya, kalau aku melangkah
ke arah gerbang, mereka akan segera mengetahuinya, atau kalau ada orang yang
mencoba masuk, mereka pun akan melihat. Para kasim berpatroli bergiliran di
sekitar istanaku, jadi selalu ada seseorang yang terjaga.
An-te-hai tertidur lelap di lantai. Kepala Kasim Shim berbohong saat mengatakan
bahwa dia memberiku anak buah yang tak mendengkur. Dengkuran An-te-hai persis
seperti poci teh mendidih yang nyaris tumpah. Bagaimanapun kelak berbagai hal
berubah, setelah bertahun-tahun penuh kesendirian, penderitaan serta rasa takut,
dan dengkuran An-te-hai menjadi semacam nyanyian Surgawi untukku. Tanpa
dengkuran itu, aku takkan bisa tidur.
Berbaring dengan mata terbuka, pikiranku melayang pada Kaisar Hsien Feng. Aku
ingin tahu apakah dia dan Nuharoo saling menyukai.
Aku bertanya-tanya kapan kiranya dia akan memanggilku. Aku agak kedinginan, dan
ingat bahwa An-tehai telah memberitahuku bahwa dia mengalami kesulitan
menghangatkan tempat tidurku. Pemanas di bawah tempat tidur kang-ku tidak
berfungsi dengan baik. An-te-hai yakin ini perbuatan Shim, kepala kasim itu
mencoba mengirimiku pesan: apakah aku mau hidup nyaman dengan memberi dia tip
besar setiap waktu, atau aku akan kedinginan pada musim dingin dan kepanasan
pada musim panas. Mudah atau sulit, Shim memberi pesan jelas: semua tergantung
pada pilihanku. "Selama Putri masih termasuk salah seorang dari 3.000 selir Kaisar, Gusti tak
bisa menghindari dia," ujar An-te-hai.
Aku tak keberatan tidur di ranjang yang tak dihangatkan sesuai dengan standar
kekaisaran. Akan tetapi, penting sekali untuk merintis jalan ke tujuan utama:
menjadi kesayangan Kaisar. Hanya itulah satu-satunya cara untuk memperoleh
kehormatan. Tak ada waktu yang boleh disia-siakan. Aku akan segera berumur
delapan belas. Dalam taman kecantikan Kekaisaran, delapan belas dianggap sama
dengan sekuntum bunga yang segera akan layu.
Kucoba untuk tak memikirkan apa yang sungguh-sungguh kuinginkan dalam hidup. Aku
bangkit, mulai menyalin satu kuplet dari sebuah buku puisi.
Cabang Timur Sungai Yangtze terus mengalir,
Akan terus berkembang benih cinta yang pernah kita tabur.
Dalam mimpi-mimpiku wajahmu kian mengelami,
Aku terjaga, mendengarkan pekikan burung-burung malam.
Hijau musim semi belum menampakkan diri,
Rambutku kelabu menjadi saksi,
Perpisahan kita begitu lama hatiku tak lagi menderita.
Masa silam muncul lagi dan lagi
Pada malam indahnya Festival Lampion[]
Tujuh BULAN PERTAMA berlalu dengan cepat. Setiap pagi, saat mentari menyentuh tiraiku,
aku bangun dan menemukan kucingku, Salju, berbaring di sampingku. Aku mulai
tergantung pada makhluk lembut ini. Aku tahu apa yang akan kualami hari ini.
Sekali lagi, hari ini akan menjadi hari penantian dan pengharapan bahwa Yang
Mulia Kaisar akan mengunjungiku.
An-te-hai menganjurkan agar aku mencari sesuatu yang bisa kulakukan untuk
menyibukkan diri. Menyulam, memancing, dan main catur adalah yang disarankannya
kepadaku. Aku mencoba catur, tetapi setelah beberapa kali, aku kehilangan minat. Para
kasim selalu membiarkanku menang. Rasanya kecerdasanku sangat dihinakan, tetapi
mereka terlalu takut untuk bermain secara setara denganku.
Aku menjadi tertarik pada jam Istana, yang merupakan bagian dari perabot dan
pajangan dinding di seluruh penjuru Kota Terlarang.
Kesukaanku adalah yang memiliki burung pelatuk di dalamnya.
Tinggalnya di dalam batang pohon keramik dan keluar untuk menandai waktu dengan
patukannya. Aku sangat menyukai nada suaranya. An-te-hai menyukai gerak
mematuknya, karena itu mengingatkannya pada orang yang membungkuk. Kapan saja
dia bisa, An-te-hai akan berusaha berada di depan jam itu untuk menerima
"bungkukan". Jam kesayanganku yang lain bentuknya aneh. Kelihatannya seperti sekeluarga roda
yang saling peluk. Mereka ada dalam sebuah kotak kaca, yang memungkinkanku untuk
melihat bagaimana cara bekerjanya di dalam. Seperti sebuah keluarga yang rukun,
setiap roda melaksanakan tugasnya dan mengerahkan energi supaya bisa berbunyi
setiap jam. Aku mempelajari jam-jam itu dan bertanya-tanya tentang negeri asal mereka.
Kebanyakan berasal dari negeri-negeri yang jauh.
Mereka adalah hadiah dari raja-raja dan pangeran asing kepada para Kaisar Cina
dan wangsa-wangsa terdahulu. Desainnya menunjukkan kecintaan para pembuatnya
pada kehidupan, yang membuatku ingin sekali tahu apakah semua cerita yang
kudengar tentang bangsa barbar yang biadab itu benar.
Rasa tertarikku pada jam-jam itu dengan cepat hilang. Aku mulai mengalami
kesulitan memandangi jarum-jarumnya. Mereka merayap demikian lamban sehingga aku
ingin mendorong mereka maju. Kusuruh An-te-hai mengerudungi mereka dengan kain.
"Tak ada lagi bungkukan," kudengar dia bicara begitu pada si burung pelatuk.
Hari ini aku sudah merasa bosan, bahkan sebelum bangkit dari tempat tidur.
"Apakah Putri tidur nyenyak semalam?" suara An-te-hai datang dari arah
pekarangan. Aku duduk di pembaringan, tak berusaha menjawab.
"Selamat pagi!" si kasim masuk dengan seulas senyum manis.
"Budak-budak Anda sudah siap untuk membantu Anda mandi, Putri."
Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mandi pagiku adalah sebuah upacara. Sebelum turun dari ranjang, para kasim dan
pelayan menderetkan sejumlah gaun. Aku harus memilih satu di antara tiga lusin.
Begitu banyak gaun indah, meski separuh dari itu tak sesuai dengan seleraku.
Lalu aku harus memilih sepatu, penutup kepala, dan perhiasan.
Setelah turun dari tempat tidur, aku masuk ke suatu ruangan untuk menggunakan
pispot. Aku diikuti oleh enam orang pelayan. Tak ada gunanya meminta untuk
dibiarkan sendirian. Orang-orang ini dilatih Kepala Kasim Shim untuk jadi bisu
dan tuli dalam situasi seperti ini.
Ruangannya luas, tanpa perabotan apa pun. Sebuah wadah yang diukir halus dan
dicat kuning terletak di tengah, terlihat seperti sebuah labu besar. Lenteralentera kecil diletakkan di sudut-sudut ruang.
Dinding-dindingnya ditutupi kain tirai bersulam bunga-bunga biru dan putih. Aku
terburu-buru, tetapi tak kunjung dapat melakukannya. Tak ada jendela di situ,
yang bisa mengeluarkan semua bau. Semua pelayan itu berdiri di sekitarku,
menatap tak berkedip. Kukatakan pada mereka, lagi dan lagi, untuk meninggalkanku
sendirian, tetapi mereka menolak. Mereka memohon kepadaku agar diperbolehkan
untuk melayani. Salah seorang memegang handuk basah untuk menyekaku kalau
urusanku selesai, seorang lagi membawa piring berisi sabun, yang ketiga membawa
segenggam kertas sutra pada sebuah baki, dan yang keempat sebuah baskom perak.
Dua yang terakhir masing-masing membawa seember air, yang satu panas dan yang
satu lagi dingin. "Tinggalkan semua itu di lantai," ujarku. "Kalian boleh pergi."
Semua orang menggumam, "Ya, Putri," tetapi tak seorang pun bergerak.
Aku menaikkan suaraku. "Aku akan berbau."
"Tidak, Anda tidak bau," sahut mereka serentak.
"Tolonglah!" teriakku. "Keluar!"
"Kami tak keberatan. Kami mencintai bau Anda."
"An-te-hai!" An-te-hai bergegas masuk. "Ya, Putri."
"Segera panggil Kepala Kasim Shim dan katakan padanya bahwa para pelayanku tak
mematuhiku." "Takkan ada gunanya, Putri." An-te-hai menyatukan tangannya membentuk sebuah
corong, berbisik di telingaku. "Saya khawatir Kepala Kasim Shim takkan berbuat
apa-apa soal ini." "Mengapa?" "Sudah menjadi peraturan bahwa istri - istri Kaisar dilayani seperti ini."
"Siapa pun yang menciptakan peraturan ini pasti dungu sekali."
"Aduh, tidak, Putri, jangan pernah bilang begitu!" An-te-hai kaget setengah
mati. "Yang menciptakan peraturan itu adalah Yang Mulia Ibu Suri!"
Aku membayangkan Ibu Suri duduk di atas pispotnya, ditunggui seruangan penuh
pelayan. "Dia pasti berpikir bahwa kotorannya adalah berlian dan kentutnya
minyak wangi. Apakah Yang Mulia punya aturan tentang ukuran, bentuk, panjang,
warna, dan bau dan kotoran?"
"Tolonglah, Putri." An-te-hai jadi gugup. "Anda tidak ingin membuat kesulitan
untuk diri Anda sendiri dan saya."
"Kesulitan" Yang kuinginkan cuma bisa buang air besar sendiri!"
"Ini bukan urusan buang air besar, Putri," gumam An-te-hai, seakan mulutnya
disumpal makanan. "Jadi soal apa?"
"Keanggunan." "Keanggunan" Bagaimana bisa orang buang air besar dengan anggun?"
---oOo--- Membiarkan wajahku dirias, rambutku diminyaki dan disisir, gaunku dipakaikan
serta dikencangkan di sekitar pinggangku, hanya untuk dilepaskan lagi pada sore
hari, tidak hanya membosankan, tetapi juga meletihkan. Para kasim dan dayang
memegangi baki-baki, mondar-mandir di hadapanku membawa gaun, pakaian dalam,
perhiasan, ornamen, ikat pinggang, dan jepit. Aku tak sabar menunggu ritual ini
selesai. Sebetulnya aku lebih senang bila diberi tahu di mana benda-benda ini
disimpan dan mengambilnya sendiri. Tetapi, aku tak berkuasa mengubah peraturan.
Aku mulai memandang kehidupan Kekaisaran itu hanya berisi detail yang rumit
belaka. Masalah terbesarku adalah kesabaran.
An-te-hai menemaniku saat rambutku ditata, menghiburku dengan cerita-cerita dan
lelucon. Dia berdiri di belakangku ketika aku duduk menghadap cermin.
Pertama-tama penata rambut melicinkan rambutku dengan air wangi. Lalu dia
meminyakinya dengan ekstrak bunga matahari pegunungan. Setelah menyisirnya, dia
menyanggulnya ke atas. Pagi ini dia berusaha menatanya membentuk seekor angsa.
Semua proses ini sangat menggangguku dan aku menjadi amat kesal.
Untuk meredakan ketegangan, An-te-hai bertanya apa aku ingin tahu detail dan
ikat pinggang Kaisar. Aku bilang aku tak tertarik.
"Ikat pinggang itu warnanya warna Kekaisaran, tentu saja-kuning terang." An-tehai memulai, tak memedulikan perkataanku.
"Hasil karya orisinal dan seni kriya Manchu, berguna, tetapi juga sangat elok."
Melihat bahwa ternyata aku tak berkeberatan, An-te-hai meneruskan. "Diperkuat
dengan surai kuda dan dihias dengan lipatan pita sutra putih. Ikat pinggang ini
Batu Pembalik Waktu 2 Pendekar Naga Putih 60 Goa Larangan Pendekar Pemabuk 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama