Ceritasilat Novel Online

Dua Cinta 1

Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 1


New moon-Dua Cinta Stephenie meyer Daftar Isi Twilight Buku ke 2 New moon Daftar Isi PENDAHULUAN 1. PESTA 2. JAHITAN 3. TAMAT 4. TERBANGUN 5. CURANG 6. TEMAN-TEMAN 7. PENGULANGAN 8. ADRENALIN 9. KAMBING CONGEK 10. PADANG RUMPUT 11. SEKTE 12. PENYUSUP 13. PEMBUNUH 14. KELUARGA 15. TEKANAN 16. PARIS 17. TAMU 18. PEMAKAMAN 19. BERPACU 20. VOLTERRA 21. VONIS 22. PENERBANGAN 23. KEBENARAN 24. PEMUNGUTAN SUARA EPILOG-KESEPAKATAN These violent delights have violent ends And in their triumph die, like fire and
powder, Which, as they kiss, consume.
Romeo and Juliet, Act II, Scene VI
PENDAHULUAN AKU merasa bagai terperangkap dalam mimpi buruk mengerikan. Dalam mimpi itu kau
harus berlari, berlari terus sampai paru-parumu pecah, tapi kau tak sanggup
memacu tubuhmu untuk bergerak cukup cepat. Kakiku rasanya makin lama makin
lambat sementara aku berjuang menembus kerumunan orang yang tidak memiliki
perasaan, tapi jarum di menara jam tak juga melambat. Tak peduli dan tanpa belas
kasihan, jarum jam itu terus bergerak menuju akhir-akhir segalanya.
Tapi ini bukan mimpi, dan, tidak seperti mimpi buruk, aku tidak berlari
menyelamatkan nyawaku; aku berlari untuk menyelamatkan sesuatu yang jauh lebih
berharga. Hidupku nyaris tak ada artinya bagiku hari ini.
Menurut Alice tadi, besar kemungkinan kami bakal mati di sini. Mungkin hasil
akhirnya akan lain bila ia tidak terperangkap cahaya matahari yang menyilaukan;
hanya akulah yang bisa berlari melintasi lapangan terbuka yang terang benderang
dan padat ini. Tapi aku tidak bisa berlari cukup cepat.
Jadi tak ada artinya bagiku, kami dikelilingi musuh-musuh kami yang luar biasa
berbahaya. Saat jam mulai berdentang, bergetar di bawah sol sepatuku yang terasa
berat, tahulah aku bahwa aku terlambat - dan aku senang sesuatu yang haus darah
menungguku di sayap bangunan. Karena bila aku gagal dalam misiku ini, aku tidak
lagi memiliki keinginan untuk hidup.
Jam kembali berdentang, dan matahari memancarkan cahayanya yang terik tepat dari
titik di tengah langit. 1. PESTA AKU 99,9% yakin sedang bermimpi.
Alasan mengapa aku begitu yakin sedang bermimpi adalah, pertama, aku berdiri di
bawah cahaya matahari yang terang benderang - sorot matahari yang menyilaukan,
sesuatu yang tak pernah terjadi di Forks, Washington, kampung halamanku yang
selalu berhujan - dan kedua, aku sedang menatap nenekku, Grandma Marie. Padahal
Gran sudah meninggal enam tahun lalu, jadi itu bukti solid untuk menguatkan
teoriku tentang mimpi ini.
Gran tak banyak berubah; wajahnya masih tepat seperti yang kuingat. Kulitnya
lembut dan layu, terlipat-lipat membentuk ribuan keriput kecil yang
menggelantung lembut pada tulang di bawahnya. Seperti aprikot kering, tapi
dengan gumpalan rambut putih tebal yang mengelilingi wajahnya bagaikan awan.
Mulut kami - mulut Gran berupa kerutan keriput - mengembang membentuk senyum
terkejut pada saat bersamaan. Ternyata Gran juga tidak menyangka akan bertemu
denganku. Aku baru saja hendak bertanya kepadanya; begitu banyak pertanyaan berkecamuk
dalam benakku - Apa yang Gran lakukan di sini dalam mimpiku" Ke mana saja Gran
selama enam tahun terakhir ini" Apakah Pop baik-baik saja, dan apakah mereka
sudah bertemu, di mana pun mereka berada sekarang - tapi Gran membuka mulut saat
aku juga membuka mulut, jadi aku berhenti untuk memberinya kesempatan lebih
dulu. Gran juga terdiam, kemudian kami sama-sama tersenyum melihat kecanggungan
kami. "Bella?" Bukan Gran yang memanggil namaku, dan kami pun sama-sama menoleh untuk melihat
siapa gerangan yang bergabung dalam reuni kecil kami. Sebenarnya tanpa melihat
pun aku sudah tahu siapa dia; itu suara yang pasti akan kukenali di mana pun kukenal dan kurespons, tak peduli apakah aku sedang bangun atau tidur... atau
bahkan mati, aku yakin. Suara yang untuknya aku rela berjalan melintasi api atau, agar tidak terdengar terlalu dramatis, mengarungi hujan dan sengatan hawa
dingin yang selalu datang setiap hari.
Edward. Walaupun aku selalu senang bertemu dengannya - baik sadar maupun tidak - dan
walaupun aku hampir yakin aku sedang bermimpi, tak urung aku panik juga saat
Edward berjalan menghampiri kami di bawah terik matahari yang menyengat.
Aku panik karena Gran tak tahu aku mencintai vampir - tak seorang pun
mengetahuinya - jadi bagaimana aku bisa menjelaskan fakta bahwA sorot matahari
yang benderang memantul di kulit Edward dalam bentuk ribuan keping pelangi,
membuatnya terlihat seakan-akan terbuat dari kristal atau berlian"
Well, Gran, kau pasti sudah melihat pacarku berkilau kilau. Memang begitulah dia
kalau berada di bawah sinar matahari. Jangan khawatir...
Apa yang Edward lakukan" Alasan utama ia tinggal di Forks, kota yang curah
hujannya tertinggi di dunia, adalah supaya ia bisa berada di luar rumah pada
siang hari tanpa takut rahasia keluarganya terbongkar. Tapi sekarang ia malah
melenggang santai menghampiriku - senyum termanis menghiasi wajahnya yang
rupawan - seakan-akan hanya ada aku di sini.
Detik itu juga, aku berharap bukan aku satu-satunya yang terkecualikan oleh
bakat misteriusnya; biasanya aku justru bersyukur menjadi satu-satunya orang
yang pikirannya tak bisa dibaca Edward. Tapi sekarang aku malah berharap ia bisa
membaca pikiranku juga, supaya ia bisa mendengar peringatan yang kuteriakkan
dalam pikiranku. Aku melayangkan pandangan panik kepada Gran, dan melihat ternyata itu sudah
terlambat. Gran sudah berpaling menatapku, dan sorot matanya sama terkejutnya
dengan sorot mataku. Edward - masih menyunggingkan senyumnya yang begitu menawan hingga membuat
hatiku bagai menggelembung dan meledak memecahkan dada - merangkul bahuku dan
membalikkan tubuhku sehingga aku berdiri berhadap-hadapan dengan nenekku.
Ekspresi Gran membuatku terkejut. Alih-alih tampak ngeri, ia malah menatapku
takut-takut, seperti menunggu disemprot. Dan ia berdiri dengan posisi sangat
aneh - sebelah tangan terangkat canggung menjauhi tubuhnya, terulur, dan
kemudian tertekuk di udara. Seperti merangkul seseorang yang tidak bisa kulihat,
seseorang yang tidak tampak...
Barulah kemudian, saat melihat gambaran yang lebih besar, aku menyadari ada
pigura emas yang membingkai sosok nenekku. Tidak mengerti, aku mengangkat tangan
yang tidak memeluk pinggang Edward dan mengulurkannya untuk menyentuh nenekku.
Gran meniru gerakanku dengan tepat, seperti cermin. Tapi di mana jari-jari kami
seharusnya bertemu, tak ada apa-apa kecuali kaca yang dingin...
Dengan keterkejutan memusingkan, mimpiku sekonyong-konyong berubah jadi mimpi
buruk. Tak ada Gran. Itu aku. Bayanganku dalam cermin. Aku - tua, keriput, dan layu.
Edward berdiri di sampingku, bayangannya tidak terpantul dalam cermin, begitu
rupawan, dan selamanya berumur tujuh belas tahun.
Edward menempelkan bibirnya yang sempurna dan sedingin es ke pipiku yang
keriput. "Selamat ulang tahun," bisiknya.
Aku terbangun kaget - kelopak mataku terbuka lebar - dan terkesiap. Cahaya
kelabu muram, cahaya matahari yang seperti biasa selalu tersaput mendung,
menggantikan cahaya matahari yang terang benderang dalam mimpiku.
Hanya mimpi, kataku dalam hati. Itu tadi hanya mimpi. Aku menarik napas dalamdalam, kemudian terlonjak lagi waktu alarmku berbunyi. Kalender kecil di sudut
permukaan jam menginformasikan padaku hari ini tanggal tiga belas September.
Hanya mimpi, tapi di satu sisi setidaknya mimpi itu cukup meramalkan apa yang
bakal terjadi di masa mendatang. Hari ini hari ulang tahunku. Aku genap delapan
belas tahun. Berbulan-bulan lamanya aku sangat takut menantikan datangnya hari ini.
Sepanjang musim panas yang sempurna- musim panas paling membahagiakan yang
pernah kualami, musim panas paling membahagiakan yang pernah dialami siapa pun
di mana pun, sekaligus juga musim panas paling berhujan sepanjang sejarah
kawasan Semenanjung Olympic - tanggal muram ini bergentayangan dalam diam,
menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Dan kini setelah itu terjadi, ternyata jauh lebih buruk daripada yang kutakutkan
bakal terjadi. Aku bisa merasakannya - aku lebih tua. Setiap hari aku bertambah
tua, tapi ini lain, lebih parah, pertambahan usiaku diukur sekarang. Aku sudah
delapan belas tahun. Sementara Edward tidak akan pernah jadi delapan belas tahun.
Ketika sedang menggosok gigi, aku nyaris terkejut karena wajah yang terpantul di
cermin tidak berubah. Kupandangi diriku, mencari tanda-tanda bakal munculnya
keriput di kulitku yang seputih gading. Tapi satu-satunya kerutan yang ada hanya
di dahi, dan aku tahu kalau aku bisa rileks, kerutan itu akan hilang. Tapi aku
tidak bisa. Alisku tetap terpatri membentuk garis khawatir di atas mata
cokelatku yang waswas. Itu hanya mimpi, aku mengingatkan diriku lagi.
Hanya mimpi... tapi juga mimpi burukku yang terburuk.
Aku melewatkan sarapan, terburu-buru ingin meninggalkan rumah secepat mungkin.
Tapi aku tak sepenuhnya bisa menghindari ayahku, jadi terpaksalah aku meluangkan
beberapa menit berlagak riang. Aku benar-benar berusaha menunjukkan kegembiraan
mendapat kado-kado yang sudah kuminta untuk tidak usah dibelikan, tapi setiap
kali tersenyum, rasanya seakan-akan tangisku hendak pecah.
Aku bersusah-payah menahan diri saat mengendarai truk menuju sekolah. Sosok Gran
tadi - aku tidak mau berpikir itu aku - sulit dienyahkan dari kepalaku. Aku tak
bisa merasakan perasaan lain selain putus asa saat berbelok memasuki lapangan
parkir di belakang gedung Forks High School dan melihat Edward bersandar tanpa
bergerak di Volvo-nya yang mengkilat, bagaikan patung marmer dewa berhala
keindahan yang telah lama dilupakan orang. Ia bahkan lebih tampan daripada dalam
mimpiku tadi. Dan ia di sana menungguku, seperti biasa setiap hari.
Perasaan putus asa itu sesaat lenyap; digantikan rasa takjub. Bahkan setelah
setengah tahun pacaran dengannya, aku masih belum percaya aku pantas memperoleh
keberuntungan sebesar ini.
Saudara perempuannya, Alice, berdiri di sebelahnya, menungguku juga.
Tentu saja Edward dan Alice bukan saudara kandung (di Forks ceritanya adalah,
semua anak keluarga Cullen diadopsi dr. Carlisle Cullen dan istrinya, Esme,
karena keduanya jelas terlalu muda untuk mempunyai anak remaja), tapi mereka
sama-sama berkulit putih pucat, mata mereka juga sama-sama memiliki secercah
warna keemasan yang aneh, dengan bayangan gelap menyerupai memar di bawahnya.
Wajah Alice sama seperti Edward, juga sangat indah. Bagi orang yang tahuseperti aku - kemiripan itu menunjukkan siapa mereka sesungguhnya.
Melihat Alice menunggu di sana-mata cokelatnya bersinat-sinar girang, tangannya
menggenggam benda segi empat kecil terbungkus kertas warna perak-membuat
keningku berkerut. Aku sudah memberi tahu Alice aku tidak menginginkan apa-apa,
apa pun, baik itu kado maupun perhatian, untuk hari ulang tahunku. Jelas,
keinginanku ternyata diabaikan.
Kubanting pintu Chevy '53 milikku - kepingan kecil karat beterbangan mengotori
baju hitamku yang basah - dan berjalan lambat-lambat menghampiri mereka. Alice
berlari cepat menghampiriku, wajah mungilnya berseri-seri di bawah rambut
hitamnya yang jabrik. "Selamat ulang tahun, Bella!"
"Ssstt!" desisku, memandang berkeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar
perkataannya barusan. Hal terakhir yang kuinginkan adalah perayaan dalam bentuk
apa pun untuk memperingati hari muram ini.
Alice tak menggubrisku. "Kau mau membuka kadonya sekarang atau nanti saja?"
tanyanya penuh semangat sementara kami menghampiri Edward yang masih menunggu.
"Tidak ada kado-kadoan," protesku.
Sepertinya Alice akhirnya bisa mencerna suasana hatiku yang buruk. "Oke... nanti
saja, kalau begitu. Kau suka album kiriman ibumu" Dan kamera dari Charlie?"
Aku mendesah. Tentu saja ia tahu aku dapat kado apa saja. Bukan hanya Edward
satu-satunya anggota keluarga mereka yang memiliki kemampuan istimewa. Alice
pasti bisa "melihat" apa yang ingin diberikan kedua orangtuaku begitu mereka
memutuskannya sendiri. "Yeah. Kadonya bagus-bagus."
"Menurutku idenya bagus sekali. Kau kan hanya satu kali jadi murid senior seumur
hidupmu. Jadi ada baiknya pengalaman itu didokumentasikan "
"Kau sendiri, sudah berapa kali jadi murid senior?"
"Itu lain." Saat itu kami sudah sampai di tempat Edward, dan ia mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambutnya dengan penuh semangat, sejenak melupakan suasana hariku yang
muram. Kulit Edwatd, seperti biasa. licin, keras, dan sangat dingin. Dengan lembut
diremasnya jari-jariku. Kutatap mata topaz-nya yang berkilauan, dan hatiku bagai
diremas keras-keras. Mendengar detak jantungku yang kencang, Edward tersenyum
lagi. Ia mengangkat tangannya yang bebas dan menelusuri bagian luar bibirku dengan
ujung jarinya yang dingin sambil bicara "Jadi, sesuai hasil pembicaraan, aku tak
boleh mengucapkan selamat ulang tahun padamu, benar begitu?"
"Ya. Itu benar," Aku tidak pernah bisa menirukan cara bicaranya yang mengalun
serta artikulasinya yang sempurna dan formal. Kemampuan yang hanya bisa
dipelajari pada abad lalu.
"Hanya mengecek," Edward menyurukkan jari-jarinya ke rambut perunggunya yang
berantakan. "Siapa tahu kau berubah pikiran. Kebanyakan orang sepertinya
menikmati hari ulang tahun dan hadiah."
Alice tertawa, suaranya bergemerincing, seperti genta angin. "Tentu saja kau
akan menikmatinya. Semua orang akan bersikap baik padamu hari ini dan menuruti
kemauanmu, Bella. Hal terburuk apa yang bisa terjadi?" Itu pertanyaan retoris
yang tak perlu dijawab. "Bertambah tua," aku tetap menjawab, dan suaraku kedengarannya tidak semantap
yang kuinginkan. Di sampingku, senyum Edward mengejang kaku. "Delapan belas kan tidak terlalu
tua," sergah Alice. "Bukankah wanita biasanya menunggu sampai mereka berumur 29
baru merasa tua?" "Delapan belas berarti lebih tua daripada Edward," aku bergumam.
Edward mendesah. "Teknisnya begitu," sambung Alice, menjaga nadanya tetap ringan. "Tapi kan,
hanya setahun lebih tua."
Dan kupikir... kalau aku bisa merasa yakin akan masa depan yang kuinginkan,
yakin aku bisa bersama Edward selamanya, juga Alice dan semua anggota keluarga
Cullen yang lain (lebih disukai tidak sebagai wanita tua yang keriputan)... maka
satu atau dua tahun lebih tua takkan terlalu masalah bagiku. Tapi tekad Edward
sudah bulat bahwa tidak akan ada perubahan bagiku di masa depan. Masa depan yang
membuatku jadi seperti dia - membuatku abadi juga.
Kebuntuan, begitulah ia menyebutnya.
Jujur saja, aku tidak benar-benar bisa memahami jalan pikiran Edward. Apa
enaknya bisa mati" Menjadi vampir tampaknya bukan hal yang tidak enak setidaknya kalau melihat bagaimana keluarga Cullen menjalaninya.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jam berapa kau akan datang ke rumah?" sambung Alice, mengganti topik. Dari
ekspresinya, ia merencanakan sesuatu yang justru ingin kuhindari.
"Aku tidak tahu aku punya rencana datang ke sana."
"Oh, yang benar saja, Bella!" keluh Alice. "Kau tidak akan merusak kegembiraan
kami, kan?" "Lho, kusangka di hari ulang tahunku aku
berhak menentukan apa yang aku inginkan."
"Aku akan menjemputnya di rumah Charlie usai sekolah," kata Edward pada Alice,
tak menggubrisku sama sekali.
"Aku harus kerja," protesku.
"Ah, siapa bilang," tukas Alice dengan nada
menang. "Aku sudah bicara dengan Mrs. Newton mengenainya. Dia mau kok mengganti
jadwal shift-mu. Dia kirim salam 'Selamat Ulang Tahun'."
"Aku - aku tetap tidak bisa datang," kataku terbata-bata, gelagapan mencari
alasan. "Aku, Well belum sempat nonton Romeo and Juliet untuk kelas bahasa
Inggris." Alice mendengus. "Ah, kau sudah hafal Romeoand Juliet."
"Tapi kata Mr. Berty, kami harus melihat sandiwara itu dilakonkan untuk bisa
sepenuhnya menghargainya - karena begitulah yang diinginkan Shakespeare."
Edward memutar bola matanya.
"Kau kan sudah nonton filmnya," tuduh Alice. "Tapi versi yang 1960-an belum.
Kata Mr. Berty, versi itulah yang terbaik."
Akhirnya, Alice menghapus senyum kemenangan itu dari wajahnya dan memelototiku.
"Ini bisa mudah, atau bisa juga sulit, Bella, tapi pokoknya-"
Edward memotong ancamannya. "Rileks, Alice. Kalau Bella ingin nonton film. dia
boleh nonton film. Ini kan hari ulang tahunnya."
"Nah, kan," imbuhku.
"Aku akan membawanya ke sana sekitar jam tujuh," sambung Edward. "Kau punya
banyak waktu untuk menyiapkan semuanya."
Tawa Alice kembali berderai. "Kedengarannya asyik. Sampai nanti malam, Bella!
Bakalan asyik, lihat saja nanti" Ia nyengir-senyum lebarnya menampakkan sederet
giginya yang sempurna dan mengilat - lalu mengecup pipiku dan berlari menuju
kelas pertamanya sebelum aku sempat merespons.
"Edward, please-" aku mulai memohon, tapi
Edward menempelkan jarinya yang dingin ke bibirku.
"Nanti saja kita diskusikan. Kita bisa terlambat masuk kelas."
Tidak ada yang repot-repot memandangi kami saat kami sepera biasa mengambil
tempat di bagian belakang kelas (sekarang hampir semua kelas kami sama - luar
biasa bagaimana Edward bisa membuat para pegawai tata usaha yang wanita mau
membantunya). Edward dan aku sudah bersama-sama cukup lama sehingga tak lagi
menjadi sasaran gosip. Bahkan Mike Newton sudah tak lagi melayangkan pandangan
muram yang dulu sempat membuatku merasa sedikit bersalah. Sekarang ia malah
tersenyum, dan aku senang karena sepertinya ia bisa menerima bahwa kami hanya
bisa berteman. Mike banyak berubah selama liburan musim panas kemarin - wajahnya
kini tidak lagi bulat tembam, membuat tulang pipinya tampak semakin menonjol,
dan rambut pirang pucatnya pun dipotong model baru; kini rambutnya tidak jabrik
lagi, melainkan sedikit lebih panjang dan di-gel hati-hati untuk menimbulkan
kesan agak berantakan. Mudah saja mengetahui dari mana ia mendapatkan inspirasi
model rambut itu - tapi penampilan Edward bukan sesuatu yang bisa diperoleh
dengan cara meniru. Seiring dengan berjalannya hari, aku mempertimbangkan beberapa cara untuk
mangkir dari entah acara apa yang akan dilangsungkan di rumah keluarga Cullen
malam ini. Pasti menyebalkan jika harus mengikuti perayaan padahal suasana
hatiku justru sedang ingin berduka. Tapi, yang lebih parah lagi, pasti akan ada
perhatian dan hadiah-hadiah di sana.
Perhatian bukan sesuatu yang diinginkan orang kikuk yang gampang cedera seperti
aku. Tak ada yang ingin menjadi sorotan bila besar kemungkinan kau bakal jatuh
terjerembab. Dan aku sudah terang-terangan meminta-Well, memerintahkan, lebih tepatnya - agar
tidak ada yang memberiku kado tahun ini. Kelihatannya bukan hanya Charlie dan
Renee yang memutuskan untuk tidak menggubrisnya.
Aku tidak pernah punya banyak uang, tapi itu bukan masalah bagiku. Renee
membesarkan aku dengan gaji guru TK. Pekerjaan Charlie juga tidak memberinya
gaji besar - dia kepala polisi di sini, di Forks yang hanya kota kecil. Satusatunya pendapatan pribadiku hanya didapat dari hasil bekerja tiga kali seminggu
di toko perlengkapan olahraga setempat. Di kota sekecil ini, bisa mendapat
pekerjaan saja sudah untung. Setiap sen yang kuhasilkan langsung masuk ke
tabungan untuk biaya kuliah nanti. (Kuliah itu Rencana B. Aku masih berharap
bisa menjalankan Rencana A, tapi Edward ngotot ingin tetap mempertahankan aku
sebagai manusia...) Edward punya banyak uang - aku bahkan tidak ingin membayangkan jumlahnya. Uang
hampir tak ada artinya bagi Edward atau anggota keluarga Cullen lainnya. Itu
hanya sesuatu yang semakin bertambah karena mereka memiliki waktu tak terbatas
dan saudara perempuan dengan kemampuan ajaib memprediksi tren pasar modal.
Edward sepertinya tidak mengerti mengapa aku tidak ingin ia menghabiskan uangnya
untukku - mengapa aku justru merasa tidak enak bila diajak makan di restoran
mahal di Seattle, mengapa ia tidak diizinkan membelikan aku mobil yang bisa
melaju di atas kecepatan 88 kilometer per jam, atau mengapa aku tidak membiarkan
ia membayar uang kuliahku (konyolnya, ia sangat antusias terhadap Rencana B).
Edward menganggapku senang bersikap sulit padahal sebenarnya tidak perlu.
Tapi bagaimana aku bisa membiarkannya memberiku banyak hal sementara aku tidak
bisa membalasnya" Ia, entah untuk alasan apa, ingin bersamaku. Jika ia memberiku
hal lain lagi, itu hanya akan membuat kami makin tidak seimbang.
Waktu terus berjalan, baik Edward maupun
Alice tak lagi mengungkit masalah hari ulang tahunku, jadi aku mulai merasa
sedikit rileks. Kami duduk di meja kami yang biasa saat makan siang.
Ada semacam gencatan senjata aneh di meja kami. Kami bertiga - Edward, Alice,
dan aku - duduk di sisi meja paling selatan. Karena sekarang anggota keluarga
Cullen lain yang "lebih tua" dan lebih mengerikan (dalam kasus Emmett, jelas)
sudah lulus, Alice dan Edward tidak terlihat terlalu mengancam, jadi bukan hanya
kami yang duduk di meja ini. Teman-temanku yang lain, Mike dan Jessica (yang
sedang dalam fase canggung sehabis putus), Angela dan Ben (yang hubungannya
berhasil melewati musim panas dengan selamat), Eric, Conner, Tyler, dan Lauren
(walaupun yang terakhir itu tidak termasuk kategori teman) semua duduk di meja
yang sama, di seberang garis pemisah yang tak kasatmata. Garis itu lenyap di
hari-hari cerah saat Edward dan Alice bolos sekolah, dan pada hari seperti itu,
obrolan bisa berlangsung sangat lancar dan melibatkan aku.
Edward dan Alice tidak menganggap sikap teman-temanku yang agak mengasingkan
mereka itu aneh atau menyinggung perasaan, seperti yang pasti bakal kurasakan
kalau itu terjadi padaku.
Mereka nyaris tidak memerhatikannya. Orang-orang selalu merasa agak canggung
berdekatan dengan keluarga Cullen, malah bisa dibilang nyaris takut, untuk
alasan yang mereka sendiri tak bisa jelaskan. Aku pengecualian yang jarang dalam
hal itu. Terkadang justru Edward yang merasa terganggu melihat betapa nyaman aku
di dekatnya. Menurutnya itu berbahaya bagi kesehatanku - pendapat yang selalu
kutolak mentah-mentah setiap kali ia mengutarakannya.
Siang berlalu dengan cepat. Sekolah usai, dan seperti biasa, Edward mengantarku
ke truk. Tapi kali ini, ia membukakan pintu penumpang. Alice pasti membawa
mobilnya pulang supaya Edward bisa memastikan aku tidak kabur.
Aku bersedekap dan tidak menunjukkan tanda-tanda bakal segera berteduh dari
hujan yang menderas. "Sekarang kan hari ulang tahunku, jadi boleh dong aku yang
menyetir?" "Aku berpura-pura hari ini bukan hari ulang
tahunmu, seperti yang kauinginkan."
"Kalau ini bukan hari ulang tahunku, berarti aku tidak harus pergi ke rumahmu
malam ini... " "Baiklah," Edward menutup pintu dan berjalan melewatiku untuk membuka pintu
pengemudi. "Selamat ulang tahun."
"Ssst," desahku setengah hati. Aku naik melewati pintu yang sudah terbuka, dalam
hati berharap Edward menerima tawaranku yang lain.
Edward mengotak-atik radio sementara aku menyetir, menggeleng sebal.
"Sinyal radiomu jelek sekali."
Keningku berkerut. Aku tidak suka Edward menjelek-jelekkan trukku. Trukku bagus
kok - punya kepribadian. "Kepingin stereo yang bagus" Naik mobilmu
saja." Aku begitu gugup menghadapi rencana Alice, ditambah suasana hatiku yang
memang sudah muram, jadi kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar lebih
tajam daripada yang sebenarnya kumaksudkan. Aku jarang marah kepada Edward, dan
nadaku yang ketus membuat Edward mengatupkan bibir rapat-rapat menahan senyum.
Setelah aku memarkir trukku di depan rumah Charlie, Edward merengkuh wajahku
dengan kedua tangan. Ia memegangku sangat hati-hati, hanya ujung-ujung jarinya
yang menempel lembut di pelipis, tulang pipi, dan daguku. Seolah-olah aku
gampang pecah. Dan itu benar-bila dibandingkan dengan dia, paling tidak.
"Seharusnya hari ini suasana hatimu lebih baik dibanding kan hari-hari lain"
bisiknya. Aroma napasnya yang manis membelai wajahku.
"Dan kalau suasana hatiku jelek?" tanyaku, napasku tidak teratur.
Bola mata Edward yang keemasan menyala-nyala. "Sayang sekali."
Kepalaku sudah berputar-putar saat Edward mendekatkan kepalanya ke wajahku dan
menempelkan bibirnya yang sedingin es ke bibirku. Tepat seperti yang ia
inginkan, sudah pasti, aku langsung melupakan semua kekhawatiranku dan
berkonsentrasi untuk ingat menghirup napas dan mengeluarkannya.
Bibir Edward terus menempel di bibirku, dingin, licin, dan lembut, sampai aku
merangkulkan kedua tanganku ke lehernya dan membiarkan diriku hanyut dalam
ciumannya, agak terlalu antusias malah. Aku bisa merasakan bibirnya tertekuk ke
atas saat ia melepaskan wajahku dan melepaskan tanganku yang mendekap tengkuknya
erat-erat. Edward sangat berhati-hati dalam urusan hubungan fisik, karena ia ingin aku
tetap hidup. Meski tahu aku harus memberi jarak aman antara kulitku dengan gigi
Edward yang setajam silet dan berlapis racun itu, aku cenderung melupakan halhal remeh semacam itu saat ia menciumku.
"Jangan nakal," desahnya di pipiku. Edward menempelkan bibirnya sekali lagi
dengan lembut ke bibirku, kemudian melepaskan pelukannya, melipat kedua lenganku
di perut. Denyut nadi menggemuruh di telingaku. Kutempelkan sebelah tanganku ke dada.
Jantungku berdebar sangat keras di bawah telapak tangan.
"Menurutmu, apakah aku bisa jadi semakin baik dalam hal ini?" tanyaku,
menujukannya pada diriku sendiri. "Bahwa jantungku suatu saat nanti akan
berhenti mencoba melompat keluar dari dadaku setiap kali kau menyentuhku?"
"Aku benar-benar berharap itu tidak akan
terjadi," jawab Edward, sedikit puas pada diri sendiri.
Kuputar bola mataku. "Ayo kita nonton keluarga Capulet dan Montague saling
menghabisi, bagaimana?"
" Your wish, my command"
Edward duduk berselonjor di sofa sementara aku menyetel film, mempercepat bagian
pembukaan. Waktu aku duduk di pinggir sofa di depannya, Edward merangkul pinggangku dan
menarikku ke dadanya. Memang tidak senyaman bersandar di punggung sofa, karena
dada Edward keras dan dingin - dan sempurna-seperti pahatan es, tapi aku jelas
lebih menyukainya. Edward menarik selimut tua yang tersampir di punggung sofa
dan menghamparkannya menutupi tubuhku, supaya aku tidak membeku karena
bersentuhan dengan tubuhnya.
"Kau tahu, sebenarnya aku kurang suka pada Romeo," Edward berkomentar saat
filmnya mulai. "Memangnya Romeo kenapa?" tanyaku, agak tersinggung. Romeo salah satu karakter
fiksi favoritku. Sampai aku bertemu Edward, aku
sempat agak-agak naksir padanya.
"Well, pertama-tama, dia mencintai Rosaline ini - apa menurutmu itu bukan plinplan namanya" Kemudian, beberapa menit setelah pernikahan mereka, dia membunuh
sepupu Juliet. Itu sangat tidak cerdas. Kesalahan demi kesalahan. Masa
menghancurkan kebahagiaannya sendiri?"
Aku mendesah. "Kau mau aku menontonnya sendirian?"
"Tidak, toh aku akan lebih banyak menontonmu." Jari-jarinya menyusur membentuk
pola di kulit lenganku, membuat bulu kudukku meremang. "Kau bakal menangis,
tidak?" "Kemungkinan besar," aku mengakui, "kalau aku memerhatikan."
"Aku tidak akan mengganggumu kalau begitu." Tapi aku merasakan bibirnya di
rambutku, dan itu sangat mengganggu.
Akhirnya film itu berhasil menyita perhatianku, sebagian besar berkat "jasa"
Edward membisikkan dialog-dialog Romeo di telingaku - suaranya yang merdu bak
beledu membuat suara si aktor terdengar lemah dan kasar. Dan aku benar-benar
menangis, membuat Edward geli, saat Juliet terbangun dan menemukan suami barunya
sudah meninggal. "Harus kuakui, aku agak iri padanya dalam hal ini," kata Edward, mengeringkan
air mataku dengan seberkas rambutku.
"Dia cantik sekali."
Edward mengeluarkan suara seperti jijik. "Aku bukan iri karena ceweknya - tapi
karena mudahnya dia bunuh diri," Edward mengklarifikasi dengan nada menyindir.
"Kalian manusia gampang sekali
mati! Tinggal menelan setabung kecil ekstrak tumbuhan... "
"Apa?" aku kaget.
"Itu pernah terpikir olehku, dan aku tahu dari pengalaman Carlisle, prosesnya
tidak sesederhana itu. Aku bahkan tidak tahu berapa kali dia mencoba bunuh diri
awalnya... begitu sadar diasudah berubah menjadi..." Suara Edward, yang sempat
berubah serius, kini ceria lagi. "Dan sampai sekarang ternyata dia masih sehat
walafiat." Aku berbalik supaya bisa membaca ekspresi wajahnya. "Ngomong apa sih kau?"
tuntutku. "Apa maksudmu, itu pernah terpikir olehmu?"
"Musim semi lalu, waktu kau... nyaris terbunuh... " Edward terdiam sejenak untuk
menarik napas dalam-dalam, berusaha keras kembali memperdengarkan nada menggoda.
"Tentu saja aku berusaha fokus untuk menemukanmu hidup-hidup, tapi sebagian
otakku menyusun rencana cadangan. Seperti kataku tadi, tak semudah yang bisa
dilakukan manusia." Sedetik, kenangan akan perjalanan terakhirku ke Phoenix membanjiri otakku dan
membuatku merasa pusing. Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas-terik
matahari yang menyilaukan, gelombang panas yang menguap dari beton saat aku
berlari sekuat tenaga, tergesa-gesa, dan putus asa, untuk menemukan vampir sadis
yang ingin menyiksaku sampai mati. James, menunggu di ruang cermin bersama ibuku sebagai
sandera- atau aku menyangka begitu. Aku tidak tahu itu hanya tipuan. Sama halnya
James juga tidak tahu saat itu Edward sedang lari untuk menyelamatkan aku;
Edward tiba tepat waktu, meski nyaris terlambat. Tanpa berpikir, jari-jariku
meraba bekas luka berbentuk bulan sabit di tanganku yang suhunya selalu beberapa
derajat lebih rendah daripada bagian kulitku yang lain.
Aku menggeleng-seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh-dan berusaha
mencerna maksud Edward. Perutku melilit.
"Rencana cadangan?" ulangku.
"Well, aku tidak mau hidup tanpa kau," Edward memutar bola matanya, seolah-olah
jawaban itu sudah sangat jelas, tak perlu ditanyakan lagi. "Tapi aku tak tahu
bagaimana melakukannya - aku tahu Emmett dan Jasper tidak akan mau membantu...
jadi kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan
melakukan sesuatu untuk memprovokasi Volturi."
Aku tidak ingin percaya bahwa Edward serius, tapi matanya terlihat muram,
terfokus pada sesuatu di kejauhan saat ia mempertimbangkan berbagai cara untuk
menghabisi nyawanya sendiri. Seketika aku marah.
"Apa itu Volturi?" tuntutku.
"Volturi itu nama sebuah keluarga," Edward menjelaskan, matanya masih tampak
muram. "Keluarga sejenis kami, sangat tua dan berkuasa. Di dunia kami, mereka
bisa dianggap keluarga bangsawan, kurasa. Carlisle pernah tinggal sebentar
dengan mereka dulu, di Italia, sebelum kemudian menetap di Amerika - kau ingat
ceritanya?" "Tentu saja aku ingat."
Aku tidak akan pernah lupa saat pertama kali aku ke rumah Edward, mansion putih
besar jauh di pelosok hutan, di tepi sungai, atau kamar tempat Carlisle - yang
bisa dianggap ayah Edward-menyimpan koleksi lukisan yang menggambarkan sejarah
pribadinya. Lukisan yang paling meriah, paling berwarna-warni, sekaligus yang
paling besar yang ada di sana, menggambarkan kehidupan Carlisle di Italia. Tentu
saja aku ingat potret diri kwartet lelaki kalem, masing-masing berwajah memesona
seperti malaikat serafin, berdiri di balkon paling tinggi, di tengah pusaran
berbagai warna yang bercampur aduk. Walaupun lukisan itu sudah berabad-abad


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usianya, Carlisle - si malaikat pirang - tetap tak berubah. Dan aku ingat ketiga
malaikat lain, kenalan Carlisle dari masa awal hidupnya. Edward tak pernah
menyebut nama Volturi untuk trio rupawan itu, dua berambut hitam, satu berambut
seputih salju. Ia menyebut mereka Aro, Caius, dan Marcus, malaikat malam penjaga
seni... "Intinya, kau tidak boleh membuat kesal keluarga Volturi," sambung Edward,
memutus lamunanku. "Kecuali kau memang ingin mati - atau apa sajalah istilahnya
untuk kami." Suaranya sangat tenang, sehingga terkesan ia nyaris bosan oleh
kemungkinan itu. Kemarahanku berubah menjadi kengerian. Kurengkuh wajahnya yang seperti marmer
dan kuremas kuat-kuat. "Kau jangan sekali-kali, jangan sekali-kali, berpikir seperti itu lagi!"
sergahku. "Tak peduli apa pun yang terjadi padaku, kau tidak boleh mencelakakan
dirimu sendiri!" "Aku tidak akan pernah membahayakan dirimu lagi, jadi itu tidak perlu
diperdebatkan lagi."
"Membahayakan aku! Kusangka kita sudah sepakat semua ketidakberuntungan itu
adalah salahku?" Amarahku menjadi-jadi. "Beraniberaninya kau berpikir begitu?" Pikiran bahwa Edward tak mau hidup lagi, bahkan
walaupun aku sudah mati, terasa sangat menyakitkan.
"Apa yang akan kaulakukan, bila situasinya dibalik?"
"Itu lain." Tampaknya Edward tidak mengerti di mana letak perbedaannya. Ia berdecak.
"Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu?" Aku pucat memikirkan kemungkinan itu.
"Kau mau aku menghabisi nyawaku sendiri"''
Secercah kepedihan menyaput garis-garis wajahnya yang sempurna.
"Kurasa aku bisa mengerti maksudmu... sedikit," Edward mengakui. "Tapi apa yang
bisa kulakukan tanpa kau?"
"Apa pun yang sudah kaulakukan selama ini sebelum aku datang dan memperumit
keberadaanmu." Edward mendesah. "Kau membuatnya terdengar sangat mudah."
Seharusnya memang begitu. Aku toh tidak semenarik itu."
Edward sudah hendak membantah, tapi lalu mengurungkan niatnya. "Tidak perlu
diperdebatkan," ia mengingatkan aku. Mendadak, ia mengubah posisi duduknya
menjadi lebih formal, menggeserku ke samping sehingga kami tak lagi berdempetan.
"Charlie?" tebakku.
Edward tersenyum. Sejurus kemudian aku mendengar suara mobil polisi menderu
memasuki halaman. Aku mengulurkan tangan, meraih tangan Edward dan
menggenggamnya erat-erat. Hanya itu yang bisa ditolerir ayahku.
Charlie masuk sambil menenteng kardus pizza. "Hai, Anak-anak." Ia nyengir
padaku. "Kupikir, sekali-sekali boleh juga kau dibebaskan dari tugas memasak dan
mencuri piring di hari ulang tahunmu. Lapar?"
"Tentu. Trims, Dad."
Charlie tak pernah mengomentari kondisi Edward yang kelihatannya tak punya
selera makan. Ia sudah terbiasa melihat Edward melewatkan makan malam.
"Anda tidak keberatan saya mengajak Bella keluar malam ini, kan?" tanya Edward
setelah Charlie dan aku selesai makan.
Kupandangi Charlie penuh harap. Siapa tahu ayahku memiliki konsep bahwa ulang
tahun adalah acara keluarga, jadi aku harus tinggal di rumah - ini ulang tahun
pertamaku bersamanya, ulang tahun pertama sejak ibuku, Renee, menikah lagi dan
pindah ke Florida, jadi aku tidak tahu bagaimana ayahku menyikapinya.
"Boleh saja-malam ini Mariners main lawan Sox," Charlie menjelaskan, dan
harapanku langsung musnah. "Jadi aku tidak bisa menemani... Ini" Charlie meraup
kamera yang ia belikan atas saran Renee (karena aku membutuhkan foto-foto untuk
mengisi albumku) dan melemparnya ke arahku.
Seharusnya Dad tidak melemparkan kamera itu padaku- sejak dulu aku memiliki
kelemahan dalam hal koordinasi. Kamera itu menyapu ujung-ujung jariku, dan
terpental ke lantai. Edward menyambarnya sebelum benda itu jatuh membentur
lantai linoleum. "Gesit juga kau," komentar Charlie. "Kalau malam ini ada acara seru di rumah
keluarga Cullen, Bella, jangan lupa memotret. Kau tahu sendiri bagaimana ibumu dia pasti sudah tak sabar ingin segera melihat foto-foto itu."
"Ide bagus, Charlie," kata Edward, menyerahkan kamera itu padaku.
Aku mengarahkan kamera itu pada Edward, dan menjepretnya. "Berfungsi dengan
baik." "Bagus. Hei, kirim salam pada Alice, ya. Dia sudah lama tidak main ke sini."
Sudut-sudut mulut Charlie tertarik ke bawah.
"Baru juga tiga hari, Dad," aku mengingatkan ayahku. Charlie tergila-gila pada
Alice. Ia jadi dekat dengannya musim semi lalu ketika Alice membantuku melewati
masa-masa pemulihan yang sulit; Charlie merasa sangat berterima kasih pada Alice
karena menyelamatkannya dari keharusan memandikan anak perempuan yang sudah
hampir dewasa. "Akan kusampaikan padanya."
"Oke. Bersenang-senanglah kalian malam ini"
Jelas, itu pengusiran secara halus, Charlie sudah beringsut ke ruang duduk dan
pesawat televisi. Edward tersenyum menang dan meraih tanganku, menarikku keluar dari dapur.
Sesampainya di trukku, Edward membukakan pintu penumpang untukku lagi, dan kali
ini aku tidak membantah. Aku masih sulit menemukan belokan tersamar yang menuju
rumahnya di kegelapan malam seperti ini.
Edward mengemudikan mobil ke arah utara melintasi Forks, kentara sekali jengkel
dengan batas kecepatan yang bisa ditempuh Chevy-ku yang berasal dari zaman
prasejarah ini. Mesinnya mengerang lebih keras daripada biasanya saat Edward
menggenjotnya di atas kecepatan delapan puluh kilometer per jam.
"Pelan-pelan," aku mengingatkan dia.
"Tahu apa yang bakal sangat kausukai" Audi coupe mungil yang bagus sekali. Suara
mesinnya halus, tenaganya kuat... "
"Nggak ada yang salah dengan trukku. Dan omong-omong tentang hal tidak penting
yang berharga mahal, kalau kau tahu apa yang bagus untukmu, kau tidak
mengeluarkan uang untuk membeli hadiah ulang tahun."
"Satu sen pun tidak"
"Bagus." "Bisakah kau membantuku?"
"Tergantung apa yang kauminta."
Edward mendesah, wajahnya yang tampan tampak serius. "Bella, ulang tahun
terakhir yang kami rayakan adalah saat Emmett berulang tahun di tahun 1935.
Tolonglah santai sedikit, dan jangan terlalu menyulitkan malam ini. Mereka semua
sangat bersemangat."
Selalu agak mengagetkanku setiap kali Edward menyinggung hal-hal semacam itu.
"Baiklah, aku akan bersikap manis."
"Mungkin seharusnya aku mengingatkanmu... "
"Ya, please" "Waktu kubilang mereka semua sangat
bersemangat... maksudku mereka semua."
"Semua?" Aku tersedak. "Lho, kukira Emmett
dan Rosalie sedang di Afrika." Semua orang di Forks mengira anak-anak keluarga
Cullen yang sudah dewasa pindah ke luar kota untuk kuliah tahun ini ke Darmouth,
tapi aku tahu yang sebenarnya.
"Emmett ingin datang."
"Tapi... Rosalie?"
"Aku tahu. Bella. Jangan khawatir, dia akan
bersikap sangat baik."
Aku diam saja. Tidak semudah itu untuk tidak merasa khawatir. Tak seperti Alice,
kakak "angkat" Edward yang lain, Rosalie yang berambut pirang dan sangat cantik
itu, tidak begitu menyukaiku. Sebenarnya, lebih dari sekadar tidak suka. Bagi
Rosalie, aku penyusup tak diundang yang mengetahui kehidupan rahasia
keluarganya. Aku merasa sangat bersalah memikirkan situasi saat ini, karena dugaanku,
kepergian Rosalie dan Emmett untuk waktu lama adalah salahku, walaupun diam-diam
aku senang ia tidak ada. Emmett, kakak Edward yang bertubuh besar dan suka
bercanda, nah kalau dia, aku benar-benar merasa kehilangan. Dalam banyak hal, ia
sudah seperti kakak lelaki yang ingin kumiliki sejak dulu... hanya saja jauh,
jauh lebih mengerikan. Edward memutuskan mengganti topik. "Jadi, kalau kau tidak memperbolehkan aku
membelikanmu Audi, adakah hal lain yang kauinginkan untuk ulang tahunmu?"
Kata-kata itu meluncur dari bibirku dalam
bentuk bisikan. "Kau tahu apa yang kuinginkan."
Kerutan dalam muncul di dahi Edward yang semulus marmer. Jelas ia berharap tadi
tidak mengalihkan topik pembicaraan dari masalah Rosalie.
Rasanya kami sudah sering sekali berdebat hari ini.
"Jangan malam ini, Bella. Please?"
"Well, mungkin Alice bisa mengabulkan keinginanku."
Edward menggeram-suaranya dalam dan mengancam. "Ini tidak akan menjadi ulang
tahunmu yang terakhir, Bella," ia bersumpah.
"Itu tidak adil!"
Kalau tidak salah aku mendengar gigi-giginya gemertak.
Kami sudah berhenti di depan rumah sekarang. Lampu-lampu bersinar terang dari
setiap jendela di dua lantai pertama. Deretan lentera Jepang yang terang
bergelantungan di atap teras, membiaskan pendaran cahaya lembut di pohon-pohon
cedar besar yang mengelilingi rumah. Mangkuk-mangkuk
besar berisi bunga-mawar merah jambu-berjajar sepanjang tangga lebar yang
mengarah ke pintu-pintu depan.
Aku mengerang. Edward menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri. "Namanya
juga pesta," ia mengingatkanku. "Berusahalah bersikap baik."
"Tentu," gerutuku.
Edward turun untuk membukakan pintu bagiku, lalu mengulurkan tangan.
"Aku punya pertanyaan."
Ia menunggu dengan waswas.
"Kalau film ini dicuci cetak," kataku, memainkan kamera di tanganku, "apakah kau
akan muncul di foto?"
Tawa Edward pecah berderai. Ia membantuku turun dari mobil, menarikku menaiki
tangga, dan masih terus tertawa saat membukakan pintu untukku.
Mereka semua menunggu di ruang duduk yang besar dan berwarna putih. Begitu aku
melangkah masuk, mereka menyambutku dengan teriakan nyaring, "Selamat ulang
tahun, Bella!" sementara aku menunduk dengan wajah merah padam. Alice-lah
asumsiku, yang telah menutup semua bagian yang permukaannya datar dengan lilin
pink dan lusinan mangkuk kristal berisi ratusan mawar. Ada meja bertaplak putih
diletakkan di sebelah grand piano Edward, dengan kue tart pink di atasnya,
bunga-bunga mawar, tumpukan piring kaca, dan gundukan kecil kado terbungkus
kertas warna perak. Ini ratusan kali lebih parah daripada yang bisa kubayangkan.
Edward. merasakan kegalauanku. merangkul pinggangku dengan sikap menyemangati,
lalu mengecup puncak kepalaku.
Orangtua Edward. Carlisle dan Esme-tetap semuda dan serupawan biasanya - berdiri
paling dekat ke pintu. Esme memelukku hati-hati, rambutnya yang halus dan
sewarna karamel membelai pipiku saat ia mengecup dahiku, kemudian Carlisle
merangkul pundakku. "Maaf tentang ini. Bella," bisiknya. "Kami tidak sanggup mengekang Alice."
Rosalie dan Emmett berdiri di belakang mereka. Rosalie tidak tersenyum, tapi
setidaknya ia tidak melotot. Emmett nyengir lebar. Sudah berbulan-bulan aku
tidak bertemu mereka; aku sudah lupa betapa luar biasa cantiknya Rosalie nyaris menyakitkan melihatnya. Dan benarkah Emmett sejak dulu sudah begitu...
besar" "Kau sama sekali tidak berubah," kata Emmett, berlagak seolah-olah kecewa.
"Sebenarnya aku berharap kau sedikit berubah, tapi ternyata wajahmu tetap merah,
seperti biasa." "Terima kasih banyak, Emmett," kataku, semakin merah padam.
Emmett tertawa. "Aku harus keluar dulu sebentar" -ia terdiam untuk mengedipkan
mata pada Alice dengan gaya mencolok - "Jangan berbuat macam-macam selagi aku
tidak ada." "Akan kucoba." Alice melepas tangan Jasper dan bergegas maju, giginya berkilauan di bawah
cahaya lampu. Jasper juga tersenyum, tapi tetap berdiri di tempat. Ia bersandar,
jangkung dan pirang, di tiang di kaki tangga. Setelah beberapa hari terkurung
bersama di Phoenix, kusangka ia sudah tidak menghindariku lagi. Tapi sikapnya
sekarang kembali seperti sebelumnya - sedapat mungkin menghindariku - begitu
terbebas dari kewajiban sementaranya untuk melindungiku. Aku tahu itu bukan
masalah pribadi, hanya tindakan pencegahan, dan aku mencoba untuk tidak terlalu
sensitif mengenainya. Jasper agak sulit menyesuaikan diri dengan diet keluarga
Cullen dibandingkan para anggota keluarga yang lain; bau darah manusia lebih
sulit ditolaknya dibanding yang lain-lain-ia belum terlalu lama mencoba.
"Waktunya buka kado!" seru Alice. Ia menggamit sikuku dengan tangannya yang
dingin dan menarikku ke meja penuh tart dan kado-kado mengilap.
Aku memasang wajah martirku yang terbaik. "Alice, sudah kubilang aku tidak
menginginkan apa-apa-"
"Tapi aku tidak mendengarkan," sela Alice, senyum puas tersungging di bibirnya.
"Bukalah." Ia mengambil kamera dari tanganku dan menggantinya dengan kotak
segiempat besar warna perak.
Kotak itu sangat ringan hingga terasa kosong. Label di atasnya menandakan kado
itu dari Emmett, Rosalie, dan Jasper. Waswas, kurobek kertas itu dan kupandangi
kotak di dalamnya. Itu kotak peralatan elektronik, dengan angka-angka pada namanya. Kubuka kotak
itu, berharap mengetahui isinya. Tapi kotak itu kosong.
"Ehm... trims."
Senyum Rosalie terkuak sedikit. Jasper terbahak. "Itu stereo untuk mobilmu; ia
menjelaskan. "Emmett sedang memasangnya sekarang supaya kau tidak bisa
mengembalikannya." Alice selalu selangkah di depanku.
"Trims, Jasper. Rosalie." kataku pada mereka, nyengir saat teringat keluhan
Edward siang tadi tentang radioku - hanya jebakan, ternyata. "Trims, Emmett!"
seruku dengan suara lebih keras.
Aku mendengar suara tawanya yang berdentum dari dalam trukku, dan mau tak mau
aku ikut tertawa. "Berikutnya, buka kadoku dan kado Edward," kata Alice, begitu bersemangat hingga
suaranya terdengar melengking tinggi. Di tangannya ada kotak kecil pipih.
Aku menoleh dan melayangkan pandangan tajam pada Edward. "Kau sudah janji."
Sebelum ia sempat menjawab. Emmett berlari-lari melewati pintu. "Tepat pada
waktunya!" serunya. Ia menyelinap di belakang Jasper, yang juga beringsut lebih
dekat dari biasanya agar bisa melihat lebih jelas.
"Aku tidak mengeluarkan uang satu sen pun," Edward meyakinkan aku. Ia
menyingkirkan seberkas rambut dari wajahku, membuat kulitku bagai tergelitik
Aku menghirup napas dalam-dalam dan menoleh pada Alice. "Berikan padaku," aku
mendesah Emmett terkekeh gembira.
Aku mengambil kado kecil itu dari tangannya, memutar bola mataku pada Edward
sambil menyelipkan jariku di bawah pinggiran kertas dan menyentakkannya di bawah
selotip. "Sial," gumamku saat kertas itu mengiris jariku; aku menarik jariku dari bawah
kertas untuk mengetahui kondisinya. Setitik darah muncul dari luka kecil itu.
Sesudahnya segalanya terjadi begitu cepat.
"Tidak!" raung Edward.
Ia menerjangku hingga terjengkang menabrak meja. Meja terbalik, menjatuhkan kue
tart dan kado-kado, juga bunga-bunga dan piring-piring. Aku mendarat di tengah
kepingan kristal yang pecah berantakan.
Jasper menabrak Edward, dan suaranya terdengar seperti benturan batu-batu besar
saat terjadi longsor. Ada lagi suara lain, geraman mengerikan yang sepertinya berasal jauh dari dasar
dada Jasper. Jasper berusaha menerobos melewati Edward, mengatupkan giginya
hanya beberapa sentimeter saja dari wajah Edward.
Detik berikut Emmett menyambar Jasper dari belakang, menguncinya dalam pitingan
tangan yang besar, tapi Jasper memberontak, matanya yang liar dan kosong hanya
terfokus padaku. Selain shock, aku juga merasa kesakitan. Aku terbanting ke lantai di dekat
piano, kedua tangan refleks terbentang lebar untuk menahan jatuhku, tepat
menimpa kepingan-kepingan kaca yang tajam. Baru sekarang aku merasakan kesakitan
yang pedih dan menusuk yang menjalar dari pergelangan tangan ke lipatan siku.
Pusing dan linglung, aku mendongak dari darah merah cerah yang merembes keluar
dari lenganku - dan melihat enam pasang mata vampir yang tiba-tiba menatapku
dengan sorot kelaparan. 2. JAHITAN HANYA Carlisle yang tetap tenang. Pengalaman bekerja di UGD selama berabad-abad


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergambar jelas dalam suaranya yang tenang dan berwibawa.
"Emmett, Rose, bawa Jasper keluar."
Kali ini tanpa senyum, Emmett mengangguk. "Ayolah, Jasper."
Jasper meronta-ronta dalam cengkeraman Emmett, menggeliat-geliat, menyorongkan
giginya ke arah saudaranya, matanya masih liar.
Wajah Edward pucat pasi saat ia menghambur dan membungkuk di atas tubuhku,
posisinya jelas melindungi. Geraman rendah bernada memperingatkan terdengar dari
sela-sela giginya yang terkatup rapat. Aku tahu ia tidak bernapas.
Rosalie, wajah malaikatnya tampak puas, maju selangkah di depan Jasper - menjaga
jarak dengan giginya - dan membantu Emmett menyeret Jasper keluar lewat pintu
kaca yang dibukakan Esme, sebelah tangan menutup mulut dan hidungnya.
Wajah Esme yang berbentuk hati tampak malu.
"Aku benar-benar minta maaf, Bella," jeritnya sambil mengikuti yang lain-lain ke
halaman. "Beri aku jalan, Edward," gumam Carlisle.
Sedetik berlalu, kemudian Edward mengangguk lambat-lambat dan merilekskan
posisinya. Carlisle berlutut di sebelahku, mencondongkan tubuh untuk memeriksa lenganku.
Bisa kurasakan perasaan shock membeku di wajahku, jadi aku berusaha mengubahnya.
"Ini, Carlisle," kata Alice, mengulurkan handuk.
Carlisle menggeleng. "Terlalu banyak serpihan kaca di lukanya." Ia mengulurkan
tangan dan merobek bagian bawah taplak meja putih menjadi kain panjang tipis.
Dililitkannya kain itu di bawah siku untuk membentuk semacam bebat. Bau anyir
darah membuat kepalaku pening. Telingaku berdenging.
"Bella," kata Carlisle lirih. "Kau mau aku
mengantarmu ke rumah sakit, atau kau mau aku merawatnya di sini saja?"
"Di sini saja, please," bisikku. Kalau ia membawaku ke rumah sakit, cepat atau
lambat Charlie pasti bakal tahu.
"Biar kuambilkan tasmu," kata Alice.
"Mari kita bawa dia ke meja dapur," kata Carlisle pada Edward.
Edward mengangkatku dengan mudah, sementara Carlisle memegangi lenganku agar
tetap stabil. "Bagaimana keadaanmu, Bella?" tanya Carlisle.
"Baik-baik saja," Suaraku terdengar cukup mantap, dan itu membuatku senang.
Wajah Edward kaku seperti batu.
Alice telah menunggu di sana. Tas Carlisle sudah diletakkan di meja, bersama
lampu meja kecil yang menyala terang dicolokkan ke dinding. Edward mendudukkan
aku dengan lembur ke kursi, sementara Carlisle menarik kursi lain. Ia langsung
bekerja. Edward berdiri di sampingku, sikapnya masih protektif, masih menahan napas.
"Pergilah, Edward," desahku. "Aku bisa mengatasinya,"
Edward bersikeras. Tapi dagunya kaku; sorot matanya menyala-nyala oleh dahaga
yang coba dilawannya sekuat tenaga, jauh lebih parah baginya ketimbang bagi yang
lain-lain. "Kau tidak perlu sok jadi pahlawan," tukasku. "Carlisle bisa mengobatiku tanpa
bantuanmu. Pergilah dan hirup udara segar."
Aku meringis saat Carlisle melakukan sesuatu di lenganku yang rasanya perih.
"Aku akan tetap di sini," bantah Edward.
"Kenapa kau senang menyiksa diri sendiri?" gumamku.
Carlisle memutuskan menengahi. "Edward, lebih baik kau menemui Jasper sebelum
dia jadi tak terkendali. Aku yakin dia marah pada dirinya sendiri, dan aku ragu
dia mau mendengarkan nasihat yang lain selain kau sekarang ini."
"Benar," dukungku penuh semangat. "Cari Jasper sana."
"Lebih baik kau melakukan sesuatu yang berguna," imbuh Alice.
Mata Edward menyipit karena kami mengeroyoknya seperti itu, tapi akhirnya ia
mengangguk sekali dan berlari kecil dengan lincah melalui pintu dapur sebelah
belakang. Aku yakin ia belum menarik napas sekali pun sejak jariku teriris tadi.
Perasaan kebas dan mati rasa menyebar di sekujur lenganku. Meski perihnya
hilang, namun itu membuatku teringat pada lukaku, jadi kupandangi saja wajah
Carlisle dengan saksama untuk mengalihkan pikiran dari apa yang dilakukan
tangannya. Rambut Carlisle berkilau emas di bawah cahaya lampu sementara ia
membungkuk di atas lenganku. Bisa kurasakan secercah rasa mual mengaduk-aduk
perutku, tapi aku bertekad takkan membiarkan kegelisahan menguasaiku. Sekarang
tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanya perasaan seperti ditarik-tarik yang
berusaha kuabaikan. Tak ada alasan untuk muntah-muntah seperti bayi.
Seandainya tak berada dalam jangkauan pandanganku, aku pasti takkan menyadari
Alice akhirnya menyerah dan menyelinap ke luar ruangan. Dengan senyum kecil
meminta maaf, ia lenyap di balik pintu dapur.
"Well, itu berarti semuanya," desahku. "Aku bisa mengosongkan ruangan, paling
tidak." "Itu bukan salahmu," hibur Carlisle sambil terkekeh. "Itu bisa terjadi pada
siapa pun." "Bisa," ulangku. "Tapi biasanya hanya terjadi padaku."
Lagi-lagi Carlisle tertawa.
Ketenangan sikap Carlisle jauh lebih menakjubkan saat dibandingkan reaksi yang
lainnya. Tak tampak secercah pun kegugupan di wajahnya. Carlisle bekerja dengan
gerakan-gerakan cepat dan mantap. Satu-satunya suara lain selain embusan napas
kami yang pelan hanya bunyi kling kling saat pecahan-pecahan kecil kaca
dijatuhkan satu demi satu ke meja.
"Bagaimana kau bisa melakukannya?" desakku. "Bahkan Alice dan Esme... " Aku tak
menyelesaikan kata-kataku, hanya menggeleng heran. Walaupun mereka semua juga
sudah meninggalkan diet tradisional vampir seperti halnya Carlisle, tapi hanya
dia yang sanggup mencium aroma darah tanpa merasa tergoda sedikit pun untuk
mencicipinya. Jelas, itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat.
"Latihan bertahun-tahun," jawab Carlisle. "Sekarang aku sudah hampir tidak
menyadari baunya lagi."
"Menurutmu, apakah akan lebih sulit bila kau cuti lama dari rumah sakit" Dan
tidak selalu berdekatan dengan darah?"
"Mungkin," Carlisle mengangkat bahu, tapi kedua tangannya tetap mantap. "Aku tak
pernah merasa perlu cuti lama-lama." Ia menyunggingkan senyum ceria ke arahku.
"Aku terlalu menikmati pekerjaanku."
Kling, kling, kling. Kaget juga aku melihat banyaknya serpihan kaca di lenganku.
Aku tergoda untuk melirik tumpukan yang semakin bertambah, hanya untuk melihat
ukurannya, tapi aku tahu ide itu takkan membantuku menahan keinginan untuk tidak
muntah. "Apa sebenarnya yang kaunikmati?" tanyaku. Sungguh tak masuk akal - bertahuntahun berjuang dan menyangkal diri untuk bisa mencapai suatu titik di mana ia
bisa menahannya begitu mudah. Lagi pula aku ingin terus mengajaknya bicara;
obrolan membantu mengalihkan pikiran dari perutku yang mual.
Bola mata Carlisle yang berwarna gelap tampak tenang dan merenung saat ia
menjawab. "Hmm. Aku paling senang kalau... kemampuanku ini bisa membantu
menyelamatkan orang yang kalau tidak kutolong pasti akan meninggal. Senang
rasanya mengetahui bahwa, karena kemampuanku, kehidupan orang lain bisa jauh
lebih baik karena aku ada. Bahkan indra penciumanku terkadang bisa menjadi
perangkat diagnosis yang berguna." Satu sisi mulutnya terangkat membentuk separo
senyuman. Aku memikirkan hal itu sementara Carlisle mengorek-ngorek lukaku, memastikan
semua serpihan kaca telah diambil Lalu ia merogoh-rogoh tasnya, mencari
peralatan baru, dan aku berusaha untuk tidak membayangkan jarum dan benang.
"Kau berusaha sangat keras membenahi sesuatu yang sebenarnya bukan salahmu,"
kataku sementara sensasi tarikan yang baru mulai terasa di pinggir-pinggir
kulitku. "Maksudku, kau tidak minta dilahirkan seperti ini. Kau tidak memilih
kehidupan seperti ini, tapi kau tetap berusaha sangat keras untuk menjalaninya
dengan baik." "Aku bukan hendak membenahi apa-apa," Carlisle menyanggah halus. "Seperti
segalanya dalam hidup, aku hanya memutuskan hendak berbuat apa dengan kehidupan
yang kumiliki sekarang."
"Kau membuatnya terdengar terlalu mudah."
Carlisle memeriksa lenganku lagi. "Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang.
"Sudah beres." Ia mengolesi kapas bertangkai ukuran besar dengan cairan sewarna
sirup banyak-banyak, lalu membalurkannya dengan saksama di seluruh permukaan
luka yang sudah dijahit. Baunya aneh; membuat kepalaku berputar. Cairan itu
membuat kulitku perih. "Tapi awalnya," desakku sementara Carlisle menempelkan kasa panjang menutupi
luka, lalu merekatkannya ke kulitku. "Mengapa terpikir olehmu untuk mencoba cara
hidup yang lain selain yang lazim bagi kalian?"
Bibir Carlisle terkuak, membentuk senyum pribadi. "Edward tak pernah
menceritakannya padamu?"
"Pernah. Tapi aku ingin memahami jalan pikiranmu... "
Wajah Carlisle mendadak berubah serius lagi, dan aku bertanya-tanya dalam hati
apakah ia juga memikirkan hal yang sama. Bertanya-tanya apa yang akan kupikirkan
saat - aku menolak berpikir itu hanya kemungkinan - itu terjadi padaku.
"Kau tahu ayahku pemuka agama," kenang Carlisle sambil membersihkan meja dengan
hati-hati, mengelap semuanya dengan kasa basah, kemudian mengulanginya lagi. Bau
alkohol membakar rongga hidungku. "Dia memiliki pandangan yang agak keras
terhadap dunia, hal yang mulai kupertanyakan sebelum aku berubah." Carlisle
meletakkan semua kasa kotor dan serpihan kaca ke dalam mangkuk kristal kosong.
Aku tidak mengerti maksudnya, sampai kemudian Carlisle menyalakan korek.
Kemudian ia membuang batang korek api ke tumpukan kain yang basah oleh alkohol,
dan api yang tiba-tiba menyala membuatku melompat kaget.
"Maaf," katanya. "Nah, sudah... aku tidak sependapat dengan keyakinan yang
dianut ayahku. Tapi tidak pernah, selama hampir empat ratus tahun sekarang sejak
aku dilahirkan, aku melihat apa pun yang membuatku meragukan keberadaan
Tuhan dalam wujud bagaimanapun. Bahkan bayangan dalam cermin pun tidak."
Aku pura-pura mengamati balutan di lenganku untuk menyembunyikan kekagetanku
melihat arah pembicaraan kami. Agama adalah hal terakhir yang kuharapkan bakal
menjadi jawabannya. Aku sendiri bisa dibilang tidak memiliki keyakinan. Charlie
menganggap dirinya Lutheran, karena itulah agama yang dianut kedua orangtuanya,
tapi di hari Minggu ia beribadah di tepi sungai dengan joran dan pancing. Renee
sesekali ke gereja, tapi sama seperti affair singkatnya dengan tenis, kerajinan
tembikar, yoga, dan kursus bahasa Prancis, ia sudah tertarik pada hal lain saat
aku baru mulai menyadari kegemaran barunya.
Aku yakin semua ini kedengarannya aneh, karena keluar dari mulut vampir.
Carlisle nyengir, tahu penggunaan kata itu secara sambil lalu selalu berhasil
membuatku shock. "Tapi aku berharap masih ada tujuan dalam hidup ini. bahkan
bagi kami. Sulit memang, harus kuakui," sambung Carlisle dengan nada tak acuh.
"Bagaimanapun juga, kami telah dikutuk. Tapi aku berharap, dan mungkin ini
harapan konyol, bahwa kami bisa mendapatkan sedikit penghargaan karena telah
mencoba." "Menurutku itu tidak konyol," gumamku. Aku tak bisa membayangkan ada orang,
termasuk Tuhan, yang tidak terkesan pada Carlisle. Lagi pula, satu-satunya surga
yang kuinginkan adalah yang ada Edwardnya. "Dan kurasa orang lain pun tak ada
yang berpikir begitu."
"Sebenarnya, kau orang pertama yang sependapat denganku."
"Memangnya yang lain-lain tidak merasakan hal yang sama?" tanyaku, terkejut,
pikiranku hanya tertuju pada satu orang secara khusus.
Carlisle kembali menebak jalan pikiranku. "Edward sependapat denganku sampai
batas tertentu. Tuhan dan surga itu ada... begitu juga neraka. Tapi dia tidak
percaya ada kehidupan setelah kematian untuk jenis kami," Suara Carlisle sangat
lembut; ia memandang ke luar jendela besar
di atas bak cuci, ke kegelapan. "Kau tahu, menurut dia, kami sudah kehilangan
jiwa kami." Aku langsung teringat kata-kata Edward siang tadi: kecuali kau
memang ingin mati - atau apa sajalah istilahnya untuk kamu. Sebuah bola lampu
seakan menyala di kepalaku.
"Jadi itulah masalahnya, bukan?" aku menduga.
"Itulah sebabnya dia begitu sulit mengabulkan keinginanku."
Carlisle berbicara lambat-lambat. "Aku memandang... putraku. Kekuatannya,
kebaikannya, kecemerlangan yang terpancar darinya - dan itu justru semakin
mengobarkan semangat itu, keyakinan itu, lebih dari yang sudah-sudah. Bagaimana
mungkin tidak ada kehidupan setelah kematian untuk makhluk sebaik Edward?"
Aku mengangguk penuh semangat, setuju.
"Tapi kalau keyakinanku sama seperti Edward bahwa jiwa kami sudah hilang... "
Carlisle menunduk memandangiku dengan sorot mata tak terbaca. "Seandainya kau
meyakini hal yang sama seperti yang diyakininya. Tegakah kau merenggut jiwanya?"
Cara Carlisle memfrasekan pertanyaan itu menghalangi jawabanku. Seandainya ia
bertanya apakah aku rela mempertaruhkan jiwaku untuk Edward, jawabannya jelas.
Tapi apakah aku rela mempertaruhkan jiwa Edward" Kukerucutkan bibirku dengan
sikap tak suka. Itu bukan barter yang adil.
"Sekarang kau mengerti masalahnya."
Aku menggeleng, sadar sifat keras kepalaku mulai muncul.
Carlisle mendesah. "Itu pilihanku," aku berkeras.
"Itu juga pilihannya," Carlisle mengangkat tangan begitu melihatku hendak
membantah. "Terlepas dari apakah dia bertanggung jawab melakukan hal itu
terhadapmu." "Dia bukan satu-satunya yang bisa melakukannya," Kupandangi Carlisle dengan
sikap spekulatif. Carlisle tertawa, ketegangan langsung mencair.
"Oh, tidak. Kau harus membereskan masalah ini dengan dia!' Tapi sejurus kemudian
ia menghela napas panjang. "Itu bagian yang aku tidak akan pernah bisa yakin.
Kupikir, dalam banyak hal lain, aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang
harus kulakukan. Tapi benarkah tindakanku yang membuat orang lain menjalani
kehidupan seperti ini" Aku tak bisa memutuskan."
Aku tidak menjawab. Aku membayangkan bagaimana jadinya hidupku seandainya
Carlisle menolak godaan untuk mengubah keberadaannya yang sendirian... dan
bergidik. "Ibu Edward-lah yang membuatku yakin dengan keputusanku" Suara Carlisle nyaris
hanya bisikan. Matanya menerawang kosong ke luar jendela yang gelap.
"Ibunya?" Setiap kali aku bertanya kepada Edward tentang orangtuanya, ia hanya
berkata mereka sudah lama meninggal dan ingatannya kabur. Sadarlah aku ingatan
Carlisle terhadap orangtua Edward, meski pertemuan mereka sangat singkat,
pastilah sangat jelas. "Ya. Namanya Elizabeth. Elizabeth Masen. Ayahnya, Edward Senior, tidak pernah
tersadar selama di rumah sakit. Dia meninggal saat gelombang pertama serangan
influenza terjadi. Tapi Elizabeth sadar nyaris hingga menjelang meninggal.
Edward mirip sekali dengannya - warna rambutnya juga pirang tembaga, begitu juga
matanya, sama-sama hijau."
"Mata Edward dulu hijau?" gumamku, berusaha membayangkannya.
"Ya..." Carlisle menerawang jauh. "Elizabeth sangat mengkhawatirkan putranya.
Dia mempertaruhkan peluangnya untuk selamat dengan berusaha merawat Edward dalam
keadaan sakit. Kusangka Edward-lah yang akan lebih dulu meninggal, kondisinya
jauh lebih parah daripada ibunya. Saat maut menjemput Elizabeth, prosesnya
sangat cepat. Kejadiannya tepat setelah matahari terbenam, dan aku datang untuk
menggantikan para dokter yang sudah bekerja seharian. Saat itu rasanya sulit
sekali berpura-pura - begitu banyak yang harus ditangani, dan aku tidak butuh
istirahat. Betapa bencinya aku harus pulang ke rumah, bersembunyi dalam gelap
dan berpura-pura tidur padahal begitu banyak orang yang sekarat.
"Pertama-tama aku pergi untuk mengecek keadaan Elizabeth dan putranya. Aku mulai
merasa terikat pada mereka-hal yang berbahaya mengingat kondisi manusia yang
rapuh. Begitu melihatnya, aku langsung tahu kondisi Elizabeth semakin parah.
Demamnya tak terkendali, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi melawan.
"Tapi dia tidak tampak lemah, saat dia memandangiku dengan mata menyala-nyala
dari ranjangnya." '"Selamatkan dia!' pintanya padaku dengan suara serak yang sanggup dikeluarkan
tenggorokannya. '"Aku akan berusaha semampuku' aku berjanji padanya, meraih tangannya. Demamnya
tinggi sekali, hingga ia bahkan tak bisa merasakan tanganku yang sangat dingin
itu. Semua terasa dingin di kulitnya.
"'Kau harus bisa,' desaknya, mencengkeram tanganku begitu kuat hingga aku
bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa selamat dari krisis ini. Matanya keras,
seperti batu, seperti zambrud. 'Kau harus melakukan semua yang mampu kaulakukan.
Apa yang orang lain tidak bisa, itulah yang harus kaulakukan untuk Edward-ku.'
"Aku ketakutan. Dia menatapku dengan matanya yang tajam menusuk, dan, sesaat,
aku yakin dia tahu rahasiaku. Kemudian demam menguasainya, dan dia tak pernah
sadar lagi. Dia meninggal hanya satu jam setelah mengutarakan tuntutannya
padaku. "Berpuluh-puluh tahun lamanya aku mempertimbangkan untuk menciptakan
pendamping untuk hidupku. Hanya satu makhluk lain yang bisa benar-benar
mengenalku, bukan aku yang berpura-pura. Tapi aku tak pernah bisa menemukan
pembenaran untukku - melakukan seperti yang pernah dilakukan terhadapku.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lalu di sanalah Edward berbaring, sekarat. Jelas sekali dia hanya punya waktu
beberapa jam. Di sampingnya terbaring ibunya, entah bagaimana wajahnya tetap
tidak tampak tenang, meski dalam kematian."
Carlisle seperti melihat lagi semuanya, kenangannya tidak pudar meski seabad
telah berlalu. Aku juga bisa melihatnya dengan jelas, saat Carlisle
bicara-"keputusasaan yang melingkupi rumah sakit, atmosfer kematian yang
terlampau kuat. Tubuh Edward panas membara oleh demam, nyawanya terancam seiring
dengan detik-detik yang berjalan... sekujur tubuhku lagi-lagi bergidik,
mengenyahkan bayangan itu dari pikiranku.
"Kata-kata Elizabeth terngiang-ngiang di kepalaku. Bagaimana dia bisa menebak
apa yang bisa kulakukan" Mungkinkah ada orang yang benar-benar menginginkan hal
itu untuk anaknya" "Kupandangi Edward. Meski sakit keras, dia tetap tampan. Ada sesuatu yang murni
dan indah tergambar di wajahnya. Seperti yang kuinginkan di wajah anakku kalau
aku punya anak. "Setelah bertahun-tahun tak bisa memutuskan, aku langsung bertindak tanpa
berpikir lagi. Pertama-tama, kudorong dulu jenazah ibunya ke kamar mayat, lalu
aku kembali untuk menjemput Edward. Saat itu rumah sakit kekurangan tenaga dan
perhatian untuk menangani setengah saja kebutuhan para pasien. Kamar mayat
kosong - dari orang hidup, paling tidak. Diam-diam kubawa Edward keluar dari
pintu belakang, kugendong melewati atap-atap rumah, kembali ke rumahku.
"Aku tidak tahu harus bagaimana. Kuputuskan untuk membuat kembali luka seperti
yang pernah kuterima dulu, beberapa abad sebelumnya di London. Belakangan, aku
merasa bersalah. Luka itu lebih menyakitkan dan lebih lama sembuh daripada yang
sebenarnya diperlukan. "Tapi aku tidak menyesal. Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkan Edward,"
Carlisle menggeleng, kembali ke masa kini. Ia tersenyum padaku. "Kurasa
sebaiknya kuantar kau pulang sekarang."
"Biar aku saja," kata Edward. Ia muncul dari
arah ruang makan yang remang-remang, berjalan lambat-lambat untuk ukurannya.
Wajahnya datar, ekspresinya tak terbaca, tapi ada yang tidak beres dengan
matanya - sesuatu yang coba disembunyikannya sekuat tenaga. Aku merasa perutku
seperti diaduk-aduk. "Carlisle bisa mengantarku," kataku. Aku
menunduk memandang kemejaku; bahan katun biru mudanya basah oleh bercak-bercak
darah. Bahu kananku berlepotan krim gula warna pink.
"Aku tidak apa-apa," Suara Edward datar tanpa emosi. "Kau toh perlu ganti baju.
Bisa-bisa Charlie terkena serangan jantung kalau melihatmu seperti itu. Akan
kuminta Alice mencarikan baju untukmu." Edward berjalan lagi keluar dari pintu
dapur. Kupandangi Carlisle dengan sikap waswas. "Dia kalut sekali."
"Memang," Carlisle sependapat. "Yang terjadi malam ini adalah apa yang paling
ditakutinya bakal terjadi. Membahayakanmu, karena keadaan kami yang seperti
ini." "Itu bukan salahnya."
"Bukan salahmu juga."
Aku mengalihkan tatapanku dan mata Carlisle yang indah dan bijak. Aku tidak
sependapat dengannya. Carlisle mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama.
Esme sudah kembali; sedang mengepel lantai tempatku jatuh tadi - dengan cairan
desinfektan murni tanpa campuran kalau menilik dari baunya.
"Esme, biar aku saja," Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.
"Aku sudah selesai." Esme mendongak dan
tersenyum padaku. "Bagaimana keadaanmu?"
"Baik-baik saja," aku meyakinkan dia. "Carlisle menjahit lebih cepat daripada
dokter lain yang pernah menanganiku."
Mereka berdua tertawa. Alice dan Edward muncul dari pintu belakang. Alice bergegas mendapatiku, tapi
Edward berdiri agak jauh, ekspresinya sulit digambarkan.
"Ayolah," ajak Alice. "Akan kucarikan sesuatu yang tidak begitu mengerikan untuk
dipakai." Alice menemukan kemeja Esme yang warnanya mendekati warna bajuku tadi. Charlie
tak bakal memerhatikan, aku yakin. Perban putih panjang di lenganku tidak tampak
terlalu serius setelah aku tak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah.
Charlie toh tak pernah terkejut melihatku diperban.
"Alice," bisikku saat ia kembali berjalan menuju pintu.
"Ya?" Suara Alice tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya
ditelengkan ke satu sisi.
"Seberapa parah?" Aku tak yakin apakah berbisik-bisik begini ada gunanya.
Walaupun kami di lantai atas, dengan pintu tertutup, mungkin ia tetap bisa
mendengarku. Wajah Alice menegang. "Aku belum bisa memastikan."
"Jasper bagaimana?"
Alice mendesah. "Dia sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit
baginya dibanding bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."
"Itu bukan salahnya. Bisa tolong katakan padanya aku tidak marah, sama sekali
tidak marah padanya, bisa, kan?"
"Tentu saja." Edward menungguku di pintu depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, ia
membukakan pintu tanpa sepatah kata pun.
"Bawa barang-barangmu!" pekik Alice waktu aku berjalan waswas menghampiri
Edward. Ia meraup kedua bungkusan, yang satu baru separo terbuka, serta kameraku
dari bawah piano, dan menjejalkan semuanya ke lekukan lenganku yang tidak
terluka. "Kau bisa mengucapkan terima kasih belakangan, kalau sudah membuka
kado-kadomu!" Esme dan Carlisle mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat
mereka diam-diam melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku.
Lega rasanya berada di luar; aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar
yang kini mengingatkanku pada peristiwa tak mengenakkan tadi. Edward berjalan di
sampingku tanpa bicara. Ia membukakan pintu penumpang untukku, dan aku naik
tanpa protes. Di atas dasbor terpasang pita merah besar, menempel di stereo yang baru.
Kurenggut pita itu dan kubuang ke lantai. Waktu Edward naik di sampingku,
kutendang pita itu ke bawah kursi.
Edward tidak melihat ke arahku ataupun stereo itu. Kami juga tidak
menyalakannya, dan entah bagaimana kesunyian justru semakin terasa oleh raungan
mesin yang tiba-tiba. Edward ngebut terlalu kencang melintasi jalan yang gelap
dan berkelok-kelok. Kesunyian itu membuatku sinting.
"Katakan sesuatu," pintaku akhirnya saat Edward berbelok memasuki jalan raya.
"Kau ingin aku bilang apa?" tanyanya dengan sikap menjauh.
Aku meringis melihat sikapnya yang tak mau mendekat. "Katakan kau memaafkan
aku." Perkataanku itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya - secercah amarah.
"Memaafkanmu" Untuk apa?"
"Seandainya aku lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa."
"Bella, jarimu hanya teriris kertas - itu bukan alasan untuk mendapat hukuman
mati." "Tetap saja aku yang salah."
Kata-kataku seolah membobol bendungan. "Kau yang salah" Kalau jarimu teriris
kertas di rumah Mike Newton, dan di sana ada Jessica, Angela, dan teman-teman
normalmu lainnya, apa hal terburuk yang mungkin terjadi" Mungkin mereka tidak
bisa menemukan plester untukmu" Kalau kau terpeleset dan menabrak tumpukan
piring kaca karena ulahmu sendiri - bukan karena ada yang mendorongmu - bahkan
saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi" Paling-paling darahmu
berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke UGD" Mike Newton bisa
memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu - dan dia tidak perlu berjuang melawan
dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana. Jangan menyalahkan dirimu
sendiri dalam hal ini, Bella. Itu hanya akan membuatku semakin jijik pada diriku
sendiri." "Bagaimana bisa Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.
"Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau
kau berpacaran saja dengan Mike Newton," geram Edward.
"Lebih baik mati daripada berpacaran dengan Mike Newton." protesku. "Aku lebih
baik mati daripada berpacaran dengan orang lain selain kau."
"Jangan sok melodramatis, please"
"Kalau begitu, kau juga tidak usah ngomongyang bukan-bukan."
Edward tidak menjawab. Ia menatap garang ke luar kaca, ekspresinya kosong.
Aku memeras otak, mencari cara untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk
berhenti di depan rumahku, aku masih belum menemukan caranya.
"Kau akan menginap malam ini?" tanyaku.
"Sebaiknya aku pulang."
Hal terakhir yang kuinginkan adalah Edward
berkubang dalam perasaan bersalah. "Untuk ulang tahunku," desakku.
"Tidak bisa dua-duanya - kau ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau
tidak. Pilih salah satu," Nadanya kaku, tapi tidak seserius sebelumnya. Diamdiam aku mengembuskan napas lega.
"Oke. Aku sudah memutuskan aku tidak mau
kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau di atas."
Aku melompat turun, meraih kado-kadoku. Edward mengerutkan kening.
"Kau tidak perlu membawanya."
"Aku menginginkannya," jawabku otomatis,
kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Edward menggunakan teknik psikologi
terbalik. "Tidak, itu tidak benar. Carlisle dan Esme mengeluarkan uang untuk membeli
kadomu." "Tidak apa-apa," Kudekap kado-kado itu dengan kikuk di bawah lenganku yang tidak
terluka, lalu membanting pintu mobil. Kurang dari satu detik Edward sudah keluar
dari mobil dan berdiri di sampingku.
"Biar kubawakan paling tidak," katanya sambil mengambil kado-kado itu dari
pelukanku. "Aku akan menemuimu di kamarmu."
Aku tersenyum. "Trims."
"Selamat ulang tahun," bisik Edward, lalu membungkuk untuk menempelkan bibirnya
ke bibirku. Aku berjinjit agar bisa berciuman lebih lama, tapi Edward melepaskan bibirnya.
Ia menyunggingkan senyum separonya yang sangat kusukai itu, lalu menghilang di
balik kegelapan. Pertandingan masih berlangsung; begitu berjalan memasuki pintu depan, aku
langsung bisa mendengar suara komentator meningkahi sorak-sorai penonton di
televisi. "Bell?" seru Charlie.
"Hai, Dad," balasku, muncul dari sudut ruangan. Kurapatkan lenganku ke sisi
tubuh. Tekanan itu membuat lukaku berdenyut-denyut, dan aku mengerutkan hidung.
Anestesinya mulai kehilangan pengaruhnya ternyata.
"Bagaimana pestanya?" Charlie tidur-tiduran di sofa dengan kaki ditumpangkan di
lengan sofa. Rambut cokelat keritingnya kempis di satu sisi.
"Alice merajalela. Bunga, kue tart, lilin, kado- pokoknya komplet."
"Mereka memberimu kado apa?"
"Stereo untuk trukku." Dan beberapa kado lain yang belum diketahui isinya.
"Wow" "Yeah," aku sependapat. "Well, aku mau tidur dulu."
"Sampai besok pagi."
Aku melambaikan tangan. "Sampai besok."
"Lenganmu kenapa?"
Wajahku kontan memerah dan mulutku memaki "Aku tadi tersandung. Nggak apa-apa
kok" "Bella," Charlie mendesah, menggeleng-gelengkan kepala.
"Selamat malam, Dad."
Aku bergegas masuk ke kamar mandi, tempatku menyimpan piamaku sebagai persiapan
untuk malam-malam seperti ini. Aku memakai tank top dan celana katun sebagai
ganti sweter bolong-bolong yang biasa kupakai tidur, meringis saat gerakanku
membuat jahitan di lenganku tertarik. Dengan satu tangan aku mencuci muka,
menyikat gigi, lalu cepat-cepat masuk ke kamar.
Ia sudah duduk di tengah-tengah tempat tidur, malas-malasan mempermainkan salah
satu kado perakku. "Hai," sapanya. Suaranya sedih. Ia masih menyalahkan dirinya sendiri.
Aku naik ke tempat tidur, menyingkirkan kado-kado itu dan tangan Edward, lalu
naik ke pangkuannya. "Hai," Aku meringkuk di dadanya yang sekeras batu. "Boleh kubuka kadoku
sekarang?" "Mengapa tahu-tahu kau antusias begini?" tanyanya.
"Kau membuatku ingin tahu."
Kuambil kotak persegi panjang tipis yang pasti kado dari Carlisle dan Esme.
"Biar aku saja," saran Edward. Diambilnya kado itu dari tanganku dan dirobeknya
kertas perak pembungkusnya dengan satu gerakan luwes. Lalu ia menyodorkan kotak
putih persegi empat itu padaku.
"Kau yakin aku bisa mengangkat tutup kotaknya?" sindirku, tapi Edward tak
mengacuhkan sindiranku. Kotak itu berisi selembar kertas panjang dan tebal, penuh berisi tulisan. Butuh
waktu semenit baru aku bisa mencerna informasi yang tertulis di sana.
"Kita akan pergi ke Jacksonville?" Aku girang bukan main, meski sebenarnya tidak
ingin. Kadonya berupa voucher tiket pesawat, untukku dan Edward.
"Begitulah idenya."
"Aku tak percaya. Renee bakal girang setengah mati! Tapi kau tidak keberatan,
kan" Di sana panas terik, jadi kau harus berada di dalam rumah seharian"
"Kurasa itu bisa diatasi," kata Edward, tapi keningnya berkerut. "Seandainya aku
tahu kau akan bereaksi seperti ini, aku akan menyuruhmu membukanya di depan
Carlisle dan Esme. Kusangka kau bakal protes."
"Well, tentu saja ini berlebihan. Tapi aku bisa pergi bersamamu!"
Edward tertawa kecil. "Tahu begitu, aku akan mengeluarkan uang untuk membeli
kadomu. Ternyata kau masih bisa berpikir sehat."
Aku menyingkirkan tiket-tiket itu dan meraih kado dari Edward, rasa ingin tahuku
muncul lagi. Edward mengambilnya dariku dan membuka bungkusnya seperti kado
pertama tadi. Ia menyerahkan padaku kotak CD bening, dengan CD kosong di dalamnya.
"Apa ini?" tanyaku, heran.
Edward tidak berkata apa-apa; dikeluarkannya CD itu lalu dimasukkannya ke CD
player di atas nakas. Tangannya menekan tombol play dan kami menunggu dalam
kesunyian. Lalu musik mulai mengalun.
Aku mendengarkan, tak mampu berkata apa-apa, mataku terbelalak lebar. Aku tahu
ia menunggu reaksiku, tapi aku tak sanggup bicara. Air mataku menggenang, dan
aku mengangkat tangan untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di pipi.
"Lenganmu sakit?" tanya Edward waswas.
"Tidak, ini bukan karena lenganku. Indah sekali, Edward. Tak ada kado lain yang
bisa kauberikan yang lebih kusukai daripada ini. Aku tak percaya." Lalu aku
diam, supaya bisa mendengarkan.
CD itu berisi rekaman musiknya, komposisinya.
Musik pertama di CD itu adalah lagu ninaboboku.
"Kupikir kau tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa
memainkannya untukmu di sini," Edward menjelaskan.
"Kau benar" "Lenganmu bagaimana?"
"Baik-baik saja," Sebenarnya, lukaku mulai terasa panas di balik perban. Aku
ingin mengompresnya dengan es batu. Sebenarnya aku bisa menggunakan tangan
Edward, tapi itu bakal membuatnya tahu aku kesakitan.
"Aku akan mengambilkan Tylenol untukmu."
"Aku tidak butuh apa-apa," protesku, tapi Edward sudah menurunkan aku dari
pangkuannya dan berjalan ke pintu.
"Charlie," desisku. Charlie tidak tahu Edward sering menginap di kamarku.
Sebenarnya, bisa-bisa ia terserang stroke bila aku memberi tahunya. Tapi aku
tidak merasa terlalu bersalah telah memperdaya ayahku. Soalnya, kami toh tidak
melakukan apa-apa yang dilarang olehnya. Edward dan aturan-aturannya...
"Dia tidak akan menangkap basah aku," janji Edward sebelum lenyap tanpa suara di
balik pintu... dan kembali sejurus kemudian, memegangi pintu sebelum sempat
menutup kembali. Ia memegang gelas kumur yang diambilnya dari kamar mandi serta
sebotol pil di satu tangan.
Aku menerima pil-pil yang disodorkannya tanpa membantah - aku tahu paling-paling
aku bakal kalah berdebat dengannya. Dan lenganku mulai benar-benar nyeri.
Lagu ninaboboku terus mengalun, lembut dan lirih, di latar belakang.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah malam," kata Edward. Ia meraup dan menggendongku dengan satu tangan,
sementara tangan satunya membuka penutup tempat tidur. Lalu ia membaringkanku
dengan posisi kepala di atas bantal, kemudian menyelimutiku. Ia berbaring di
sebelahku - di atas selimut agar aku tidak kedinginan - dan meletakkan lengannya
di atas tubuhku. Aku menyandarkan kepala di bahunya dan mengembuskan napas bahagia.
"Terima kasih sekali lagi," bisikku.
"Terima kasih kembali."
Sejenak suasana sunyi sementara aku mendengarkan lagu ninaboboku berakhir. Lagu
lain mulai. Aku mengenalinya sebagai lagu favorit Esme.
"Kau sedang memikirkan apa?" bisikku.
Edward ragu-ragu sejenak sebelum menjawab. "Sebenarnya, aku sedang berpikir
tentang apa yang benar dan yang salah."
Aku merasakan sekujur tubuhku bergidik.
"Kau ingat kan, aku tadi memutuskan ingin kau tidak mengabaikan hari ulang
tahunku?" aku buru-buru bertanya, berharap ia tidak tahu aku berusaha
mengalihkan perhatiannya.
"Ya," Edward sependapat, waspada.
"Well, aku sedang berpikir-pikir, karena sekarang masih hari ulang tahunku, aku
ingin kau menciumku lagi."
"Kau serakah malam ini."
"Ya, memang - tapi please, jangan lakukan apa pun yang tidak ingin kaulakukan,"
aku menambahkan, kesal. Edward tertawa, kemudian mendesah. "Semoga surga mencegahku melakukan hal-hal
yang tidak ingin kulakukan," katanya dengan nada putus asa yang aneh saat ia
meletakkan tangannya di bawah daguku dan mendongakkan wajahku.
Ciuman kami diawali seperti biasa -Edward tetap sehati-hati biasanya, dan
seperti biasa pula, jantungku mulai bereaksi berlebihan. Kemudian sesuatu
sepertinya berubah. Tiba-tiba saja bibir Edward melumat bibirku lebih ganas,
tangannya menyusup masuk ke rambutku dan mendekap wajahku erat-erat. Dan,
walaupun tanganku juga menyusup masuk ke rambutnya, dan meski jelas aku mulai
melanggar batas kehati-hatiannya, namun sekali ini ia tidak menghentikanku.
Tubuhnya dingin di balik selimut yang tipis, tapi aku menempelkan tubuhku eraterat ke tubuhnya. Ia berhenti begitu tiba-tiba; didorongnya aku dengan kedua tangan yang lembut
tapi tegas. Aku terhenyak ke atas bantal, terengah-engah,kepalaku berputar.
Sesuatu menarik-narik ingatanku, tapi aku tak kunjung bisa meraihnya.
"Maaf," kata Edward, napasnya juga terengah-engah. "Itu tadi sudah melanggar
batas." "Aku tidak keberatan," kataku megap-megap.
Edward mengerutkan kening padaku dalam gelap. "Cobalah untuk tidur, Bella."
"Tidak, aku ingin kau menciumku lagi."
"Kau menilai pengendalian diriku kelewat tinggi."
"Mana yang lebih membuatmu tergoda, darahku atau tubuhku?" tantangku.
"Dua-duanya," Edward nyengir sekilas, meski sebenarnya tak ingin, lalu kembali
serius. "Sekarang, bagaimana kalau kau berhenti mempertaruhkan peruntunganmu dan
pergi tidur?" "Baiklah," aku setuju, meringkuk lebih rapat padanya. Aku benar-benar lelah. Ini
hari yang panjang dalam banyak hal, namun aku tidak merasa lega saat hari ini
berakhir. Seakan-akan ada hal lain yang lebih buruk bakal terjadi besok.
Firasat konyol-kejadian apa yang lebih buruk. Berusaha agar tidak ketahuan, aku
menempelkan lenganku yang sakit di bahu Edward, supaya kulitnya yang dingin bisa
meredakan sakitku. Seketika itu juga nyerinya hilang. Aku sudah hampir tertidur,
mungkin malah sudah separo tidur, waktu mendadak aku sadar ciuman Edward tadi
mengingatkan aku pada apa: musim semi lalu, ketika harus meninggalkanku untuk
menyesatkan James, Edward memberiku ciuman perpisahan, tidak tahu kapan-atau
apakah-kami akan bertemu lagi. Ciuman tadi juga nyaris terasa menyakitkan,
seperti ciuman itu, meski entah untuk alasan apa, aku tak bisa membayangkannya.
Aku bergidik dalam tidurku, seolah-olah aku sudah mengalami mimpi buruk.
3. TAMAT KEESOKAN paginya, perasaanku benar-benar kacau. Aku tidak bisa tidur nyenyak;
lenganku nyeri dan kepalaku sakit. Perasaanku semakin kacau melihat wajah Edward
tetap licin dan muram saat ia mengecup dahiku sekilas dan merunduk keluar dari
jendela kamarku. Aku takut membayangkan waktu yang kulewatkan saat tidur tadi,
takut Edward berpikir tentang yang benar dan salah lagi sambil memandangiku
tidur. Kegelisahan daripada hari ini tadi"
Itu seolah menambah pukulan bertubi-tubi di kepalaku.
Edward menungguku di sekolah, seperti biasa, tapi wajahnya masih muram. Ada
sesuatu di balik tatapannya dan aku tak yakin apa itu - dan itu membuatku takut.
Aku tak ingin mengungkitnya semalam, tapi aku tak yakin apakah dengan
menghindarinya justru memperparah keadaan.
Edward membukakan pintu untukku.
"Bagaimana perasaanmu?"
"Sempurna," dustaku, meringis saat suara pintu dibanting bergema di dalam
kepalaku. Kami berjalan sambil membisu, Edward memperpendek langkah untuk mengimbangiku.
Begitu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan, tapi sebagian besar harus
menunggu, karena pertanyaan-pertanyaan itu untuk Alice: Bagaimana Jasper pagi
ini" Apa yang mereka katakan waktu
aku sudah pulang" Apa kata Rosalie" Dan yang paling penting apa yang dilihat
Alice akan terjadi di masa mendatang menurut penglihatannya yang aneh dan tidak
sempurna itu" Bisakah Alice menebak apa yang dipikirkan Edward, mengapa ia
begitu muram" Apakah firasat ketakutan yang tak mau enyah dari hatiku ini
berdasar" Pagi berlalu dengan lambat. Aku tak sabar ingin bertemu Alice, walaupun tidak
benar-benar bisa bicara dengannya kalau Edward ada di sana. Edward sendiri lebih
banyak berdiam diri. Sesekali ia menanyakan lenganku, dan aku menyahutinya
dengan berbohong. Alice biasanya mendului kami makan siang; ia tak perlu mengimbangi orang lelet
seperti aku. Tapi ia tak ada di meja, menunggu dengan nampan penuh makanan yang
tak akan dimakannya. Edward tidak mengatakan apa-apa tentang absennya Alice. Mulanya aku mengira
kelasnya belum selesai - sampai aku melihat Conner dan Ben, yang sekelas
dengannya di kelas bahasa Prancis jam keempat.
"Mana Alice?" tanyaku pada Edward dengan sikap waswas.
Edward memandangi granola bar yang diremasnya pelan-pelan sebelum menjawab. "Dia
menemani Jasper." "Jasper baik-baik saja?"
"Dia pergi dulu untuk sementara."
"Apa" Ke mana?"
Edward mengangkat bahu. "Tidak pasti ke mana."
"Alice juga," kataku putus asa. Tentu saja, bila Jasper membutuhkannya, Alice
akan pergi. "Ya. Dia pergi untuk sementara. Dia mencoba meyakinkan Jasper untuk pergi ke
Denali." Denali adalah tempat sekumpulan vampir unik lain - vampir baik seperti keluarga
Cullen - tinggal. Tanya dan keluarganya. Aku beberapa kali mendengar tentang
mereka. Edward pernah bertemu mereka musim dingin lalu saat kedatanganku ke
Forks membuat hidupnya sulit.
Laurent, anggota paling beradab dalam kelompok kecil James, memilih ke sana
daripada berpihak kepada James untuk melawan keluarga Cullen. Masuk akal bila
Alice mendorong Jasper untuk pergi ke sana.
Aku menelan ludah, berusaha mengenyahkan ganjalan yang tiba-tiba bersarang di
tenggorokanku. Perasaan bersalah membuat kepalaku tertunduk dan bahuku terkulai.
Aku membuat mereka terusir dari rumah mereka sendiri, seperti Rosalie dan
Emmett. Aku benar-benar wabah penyakit.
"Lenganmu sakit?" kata Edward dengan nada bertanya.
"Siapa yang peduli dengan lengan tololku?" sergahku jengkel.
Edward tidak menyahut, dan aku meletakkan kepalaku di meja.
Usai sekolah, kebisuan semakin tak tertahankan. Aku tak ingin menjadi orang yang
memecah kebisuan, tapi rupanya hanya itu satu-satunya pilihan kalau aku ingin ia
bicara lagi denganku. "Kau datang nanti malam?" tanyaku ketika Edward berjalanmengiringiku-sambil
membisu - ke trukku. Ia selalu datang.
"Nanti?" Aku senang karena ia terlihat kaget. "Aku harus kerja. Aku kan harus tukaran
shift dengan Mrs. Newton untuk bisa libur kemarin."
"Oh," gumam Edward.
"Jadi kau akan datang kalau aku sudah di rumah, ya kan?" Aku tidak suka karena
tiba-tiba merasa tak yakin tentang hal ini.
"Kalau kau menginginkannya."
"Aku selalu menginginkanmu," aku mengingatkannya, mungkin sedikit lebih
bersungguh-sungguh daripada seharusnya.
Aku mengira ia bakal tertawa, atau tersenyum, atau setidaknya bereaksi terhadap
kata-kataku. "Baiklah kalau begitu," sahutnya tak acuh.
Edward mengecup keningku lagi sebelum menutup pintu trukku. Lalu ia berbalik dan
berlari melompat dengan anggun ke mobilnya.
Aku masih sanggup menyetir trukku keluar dari lapangan parkir sebelum kepanikan
menghantamku telak-telak, tapi aku sudah kehabisan napas ketika sampai di
Newton's. Ia hanya butuh waktu, aku meyakinkan diriku sendiri. Ia pasti bisa melupakannya.
Mungkin ia sedih karena keluarganya harus pergi. Tapi Alice dan Jasper sebentar
lagi kembali, begitu juga Rosalie dan Emmett. Kalau perlu, aku akan menjauh dulu
dari rumah putih besar di tepi sungai itu - aku tidak akan pernah menjejakkan
kaki lagi di sana. Bukan masalah. Aku tetap bisa bertemu Alice di sekolah. Ia
akan kembali bersekolah, kan" Lagi pula, ia lebih sering berada di rumahku. Ia
tak mungkin tega menyakiti hati Charlie dengan menjauhiku.
Tak diragukan lagi aku akan bertemu Carlisle secara teratur di UGD.
Bagaimanapun, kemarin tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Aku memang
jatuh - tapi itu kan sudah biasa. Dibandingkan musim semi lalu. sepertinya ini
tidak penting. James meninggalkanku babak-belur dan nyaris mati kehabisan darah
- meski begitu Edward tabah menjalani minggu demi minggu yang tak ada akhirnya
di rumah sakit jauh lebih baik daripada ini. Apakah karena, kali ini, ia tidak
melindungiku dari serangan musuh" Melainkan dari saudaranya sendiri"
Mungkin jauh lebih baik jika Edward membawaku pergi saja, daripada keluarganya
tercerai berai seperti itu. Depresiku sedikit berkurang waktu aku mulai
membayangkan bisa berduaan dengan Edward tanpa ada yang mengganggu. Seandainya
Edward bisa bertahan sampai akhir tahun ajaran ini, Charlie takkan bisa
melarang. Kami bisa pergi ke luar kota untuk kuliah, atau berpura-pura itulah
yang kami lakukan, seperti Rosalie dan Emmett tahun ini. Tentu saja Edward bisa
menunggu satu tahun. Apa artinya satu tahun kalau kau bisa hidup selamanya"
Menurutku itu tidak terlalu berat.
Aku berhasil menabahkan diri hingga sanggup turun dari truk dan berjalan ke
toko. Hari ini Mike Newton menduluiku datang ke sini, tersenyum dan melambai
waktu aku masuk. Kusambar rompiku, mengangguk samar ke arahnya. Otakku masih
sibuk membayangkan berbagai skenario menyenangkan tentang aku dan Edward yang
melarikan diri ke tempat-tempat eksotis.
Mike membuyarkan lamunanku. "Bagaimana ulang tahunmu?"
"Ugh," gumamku. "Aku senang itu sudah berakhir."
Mike memandangiku dari sudut matanya, seolah-olah aku sinting.
Waktu berjalan sangat lambat. Aku ingin bertemu lagi dengan Edward, berdoa
semoga ia sudah bisa mengatasi saat-saat terburuknya, apa pun itu, waktu aku
bertemu lagi dengannya nanti. Semua baik-baik saja, aku meyakinkan diri sendiri
berulang kali. Semua pasti akan normal lagi.
Kelegaan yang kurasakan waktu berbelok memasuki kawasan tempat tinggalku dan
melihat mobil perak Edward terparkir di depan rumahku sangat besar dan luar
biasa. Dan itu membuatku gelisah.
Aku bergegas masuk lewat pintu depan, berseru sebelum benar-benar berada di
dalam. "Dad" Edward?"
Saat aku berseru, terdengar jelas alunan musik acara SportsCenter yang
ditayangkan ESPN bergema dari ruang duduk.
"Di sini," Charlie menyahut.
Aku menggantungkan jas hujan dan bergegas mengitari sudut ruangan.
Edward duduk di kursi, sementara ayahku di
sofa. Mata keduanya sama-sama tertuju ke layar televisi. Fokus itu normal saja
bagi ayahku. Tapi tidak demikian halnya bagi Edward.
"Hai," sapaku lemah.
"Hai, Bella," sahut ayahku, matanya tak pernah beralih dari layar televisi.
"Kami baru saja makan pizza dingin. Kalau tidak salah masih ada di meja"
"Oke." Aku menunggu di ambang pintu. Akhirnya Edward menoleh sambil tersenyum sopan.
"Sebentar lagi aku menyusul," janjinya. Matanya beralih lagi ke televisi.
Sejenak aku hanya bisa bengong, shock. Tak seorang pun di antara mereka
sepertinya menyadari hal itu. Aku bisa merasakan sesuatu, mungkin kepanikan,
bertumpuk di dadaku. Aku kabur ke dapur.
Pizza-nya sama sekali tidak menarik perhatianku. Aku duduk di kursi, melipat
lutut, dan memeluk kedua kakiku. Ada yang tidak beres, mungkin lebih parah
daripada yang kusadari. Obrolan khas cowok terus berlanjut dari depan layar
televisi. Aku berusaha mengendalikan diri, memberi penjelasan masuk akal pada diriku. Hal
paling buruk apa yang bisa terjadi" Aku tersentak. Jelas itu pertanyaan keliru.
Sulit rasanya bernapas dengan benar.
Oke, aku berpikir lagi, hal paling buruk apa yang sanggup kuterima" Aku juga
tidak terlalu menyukai pertanyaan itu. Tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan
yang kupertimbangkan hari ini tadi.
Menjauh dari keluarga Edward. Tentu saja. Edward tidak mungkin berharap Alice
juga bakal kujauhi. Tapi kalau Jasper tak bisa didekati, berarti lebih sedikit
waktu yang bisa kuhabiskan bersama Alice. Aku mengangguk sendiri itu bisa
kuterima. Atau pergi dari sini. Mungkin Edward tak ingin menunggu sampai akhir tahun
ajaran, mungkin harus sekarang juga.
Di hadapanku, di meja, tergeletak hadiah-hadiahku dari Charlie dan Renee yang
kutinggalkan di sana semalam. Kamera yang tak sempat kugunakan di rumah keluarga
Cullen tergeletak di sebelah album. Sambil menarik napas panjang kusentuh sampul
depan album cantik yang dihadiahkan ibuku padaku, teringat pada Renee. Entah
bagaimana, sekian lama hidup tanpa ibuku tidak membuatku lantas bisa lebih mudah
menerima kemungkinan hidup terpisah selamanya darinya.
Dan Charlie akan tinggal sendirian di sini, ditinggalkan. Hati mereka bakal
terluka... Tapi kami akan kembali, bukan" Kami pasti akan datang berkunjung, bukan begitu"
Aku tak bisa memastikan jawabannya.
Aku meletakkan pipiku ke lutut, memandangi benda-benda yang menjadi ungkapan
cinta kedua orangtuaku. Aku tahu jalan yang kupilih ini bakal sulit. Dan,
bagaimanapun, aku memikirkan skenario terburuk-yang paling buruk yang bisa
kuterima. Aku menyentuh album itu lagi, membalikkan sampul depannya. Sudut-sudut logam
kecil sudah tersedia di halaman dalam untuk meletakkan foto pertama. Bagus juga
idenya, merekam kehidupanku di sini. Aku merasakan dorongan yang aneh untuk
mulai. Mungkin aku tak punya waktu lama lagi di Forks.
Aku memainkan tali kamera, penasaran dengan film pertama di dalamnya. Mungkinkah
hasilnya akan mendekati sosok aslinya" Aku meragukannya. Tapi Edward tampaknya
tidak khawatir hasilnya bakal kosong. Aku terkekeh sendiri, mengenang tawa
lepasnya semalam. Tawaku terhenti. Begitu banyak yang berubah, dan begitu tibatiba. Membuatku merasa sedikit pusing, seakan-akan aku berdiri di tepi tebing
curam yang sangat tinggi.
Aku tak ingin memikirkannya lagi. Kusambar kameraku dan berjalan menuju tangga.
Kamarku tak banyak berubah dalam kurun waktu tujuh belas tahun semenjak ibuku
tinggal di sini. Dinding-dindingnya masih berwarna biru muda, tirai berenda
menguning yang tergantung di depan jendela juga masih sama. Sekarang di sana ada
tempat tidur, bukan boks. tapi Renee pasti akan mengenalinya dari selimut quilt
yang terhampar berantakan di atasnya-itu hadiah dari Gran.
Bagaimanapun, aku memotret kamarku. Tak banyak lagi yang bisa kulakukan malam
ini-di luar sudah terlalu gelap-dan perasaan itu semakin kuat, sekarang bahkan
nyaris menjadi keharusan. Aku akan merekam segala sesuatu tentang Forks sebelum
harus meninggalkannya. Perubahan akan datang. Aku bisa merasakannya. Bukan prospek menyenangkan, tidak
bila hidup saat ini sudah begitu sempurna.
Aku sengaja berlama-lama di kamar sebelum turun lagi ke bawah, sambil menenteng


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kamera, berusaha menepis kegelisahan yang berkecamuk di hatiku, memikirkan jarak
aneh yang tidak ingin kulihat di mata Edward. Ia pasti bisa mengatasinya.
Mungkin ia khawatir aku bakal kalut bila ia mengajakku pergi. Akan kubiarkan ia
mengatasi perasaannya tanpa ikut campur. Dan aku akan siap bila nanti ia
memintaku. Aku sudah siap dengan kameraku waktu menyelinap diam-diam ke ruang duduk. Aku
yakin tak mungkin Edward tidak menyadari kehadiranku, tapi ia tetap tidak
mendongak. Aku merasakan tubuhku merinding saat perasaan dingin menerpa perutku;
kuabaikan perasaan itu dan kuambil foto mereka.
Barulah mereka menoleh memandangku. Kening Charlie berkerut. Wajah Edward
kosong, tanpa ekspresi. "Apa-apaan sih kau, Bella?" protes Charlie.
"Oh, ayolah," Aku pura-pura tersenyum saat
beranjak duduk di lantai, persis di depan sofa tempat Charlie berbaring santai.
"Dad kan tahu sebentar lagi Mom pasti menelepon untuk bertanya apakah aku sudah
memanfaatkan hadiah-hadiahku. Aku harus segera memulainya supaya Mom tidak
kecewa. "Tapi mengapa kau memotretku?" gerutu Charlie.
"Karena Dad ganteng sekali," jawabku, menjaga agar nada suaraku tetap ringan.
"Dan karena Dad-lah yang membeli kamera ini, maka Dad wajib menjadi salah satu
objeknya." Charlie menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
"Hei, Edward," kataku dengan lagak tak acuh yang patut diacungi jempol. "Ambil
fotoku bersama ayahku."
Kulempar kamera itu padanya, sengaja menghindari matanya, lalu berlutut di
samping lengan sofa yang dijadikan tumpuan kepala Charlie. Charlie mendesah.
"Kau harus tersenyum, Bella," gumam Edward.
Aku menyunggingkan senyum terbaikku, dan kamera menjepret.
"Sini kufoto kalian," Charlie mengusulkan. Aku tahu ia hanya berusaha
mengalihkan fokus kamera dari dirinya.
Edward berdiri dan dengan enteng melemparkan kamera itu kepada Charlie.
Aku bangkit dan berdiri di samping Edward, dan pengaturan itu terasa formal dan
asing bagiku. Edward mengaitkan sebelah lengannya ke bahuku, dan aku merangkul
pinggangnya lebih erat. Aku ingin menatap wajahnya, tapi tidak berani.
"Senyum, Bella," Charlie mengingatkanku lagi.
Aku menghela napas dalam-dalam dan
tersenyum. Lampu blitz seakan membutakan mataku.
"Cukup sudah potret-memotretnya malam ini," kata Charlie kemudian, menjejalkan
kamera ke celah di antara bantal-bantal sofa, lalu berguling di atasnya. "Kau
tidak perlu menghabiskan satu rol film sekarang juga."
Edward menurunkan tangannya dari bahuku dan menggeliat melepaskan diri dengan
sikap kasual. Lalu ia duduk lagi di kursi.
Aku ragu, lalu duduk bersandar lagi di sofa. Mendadak aku merasa sangat
ketakutan sampai-sampai tanganku gemetar. Kutempelkan kedua tanganku ke perut
untuk menyembunyikannya, meletakkan daguku ke lutut dan memandangi layar
televisi di depanku, tak melihat apa-apa.
Setelah acara berakhir, aku bergeming di tempat duduk. Dari sudut mata kulihat
Edward berdiri. "Sebaiknya aku pulang," katanya.
Charlie tidak mengangkat wajah dari tayangan iklan. "Sampai ketemu lagi."
Aku berdiri dengan sikap canggung-tubuhku kaku setelah duduk diam sekian lama lalu mengikuti Edward ke pintu depan. Ia langsung ke mobilnya.
"Kau menginap tidak"'" tanyaku, tanpa ada harapan dalam suaraku.
Aku sudah bisa menebak jawabannya, jadi rasanya tidak terlalu menyakitkan.
"Tidak malam ini."
Aku tidak menanyakan alasannya.
Edward naik ke mobilnya dan menderu pergi sementara aku berdiri di sana, tak
bergerak. Aku nyaris tak sadar hujan telah turun. Aku menunggu, tanpa tahu apa
yang kutunggu, sampai pintu di belakangku terbuka.
"Bella, kau ngapain?" tanya Charlie, terkejut melihatku berdiri sendirian di
sana, air hujan menetes-netes membasahi tubuhku.
"Tidak sedang apa-apa."' Aku berbalik dan terseok-seok kembali ke rumah.
Malam itu sangat panjang, aku nyaris tak bisa beristirahat.
Aku bangun segera setelah matahari membiaskan cahaya pertamanya di luar jendela
kamarku. Seperti robot aku bersiap-siap ke sekolah, menunggu langit terang.
Setelah makan semangkuk sereal, aku memutuskan sekarang sudah cukup terang untuk
memotret. Aku memotret trukku, lalu bagian depan rumah. Aku berbalik dan
menjepret hutan di dekat rumah Charlie beberapa kali. Lucu juga bagaimana hutan
itu tak lagi terasa mengancam seperti dulu.
Sadarlah aku bahwa aku akan sangat kehilangan ini semua-kehijauan, keabadian,
kemisteriusan hutan ini. Semuanya.
Aku memasukkan kamera ke tas sekolah sebelum berangkat. Kucoba memusatkan
pikiran pada proyek baruku, bukan pada fakta bahwa Edward ternyata belum
berhasil mengatasi kegalauan hatinya sepanjang malam.
Selain takut, aku mulai tidak sabar. Sampai berapa lama lagi ini akan
berlangsung" Kebisuan itu berlangsung sepanjang pagi. Edward berjalan di sampingku, bungkam
seribu bahasa, sepertinya tak pernah benar-benar menatapku. Aku mencoba
berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaranku, tapi bahkan bahasa Inggris pun tak
mampu menarik perhatianku. Mr. Berty sampai harus dua kali mengulang pertanyaan
tentang Lady Capulet sebelum aku sadar ia menujukan pertanyaan itu padaku.
Edward membisikkan jawaban yang benar dengan suara pelan, lalu kembali
mengabaikanku. Saat makan siang, kebisuan terus berlanjut. Rasanya aku seperti hendak menjerit
setiap saat, jadi, untuk mengalihkan pikiran aku mencondongkan badan, melanggar
garis batas tak kasatmata, dan berbicara pada Jessica. "Hei, Jess?"
"Ada apa, Bella?"
"Boleh aku minta tolong?" tanyaku, merogoh tasku. "Ibuku ingin aku memotret
teman-temanku untuk albumku. Jadi tolong potretkan semua orang, ya?" Kuulurkan
kamera itu padanya. "Tentu." jawabnya, nyengir, lalu berpaling untuk menjepret Mike yang mulutnya
sedang penuh makanan. Sudah bisa ditebak, perang potret pun terjadi. Kulihat mereka mengedarkan kamera
ke sekeliling meja, tertawa terbahak-bahak, berpose, dan mengeluh karena difoto
dalam keadaan jelek. Anehnya, tingkah mereka terasa kekanak-kanakan bagiku.
Mungkin aku saja yang sedang tidak mood untuk bersikap layaknya manusia normal
hari ini. "Waduh," kata Jessica dengan nada meminta maaf saat mengembalikan kamera padaku.
"Sepertinya kami menghabiskan filmmu."
"Tidak apa-apa. Aku sudah memotret semua yang perlu kupotret kok."
Usai sekolah, Edward mengantarku ke lapangan parkir sambil membisu. Aku harus
bekerja lagi, dan sekali ini aku justru merasa senang. Bersamaku ternyata tidak
membantu memperbaiki keadaan. Mungkin kalau ia sendirian justru akan membuat
suasana hatinya lebih baik.
Aku memasukkan filmku ke Thriftway dalam perjalanan ke Newton's, kemudian
mengambil foto-foto yang sudah dicuci cetak sepulang kerja. Di rumah aku menyapa
Charlie sekilas, menyambar sebungkus granola bar dari dapur, lalu bergegas masuk
ke kamar sambil mengempit amplop berisi foto-foto itu.
Aku duduk di tengah ranjang dan membuka amplop itu dengan sikap ingin tahu
bercampur waswas. Konyolnya, aku masih separo berharap foto pertama akan
menampilkan bidang kosong.
Waktu mengeluarkannya, aku terkesiap dengan suara keras. Edward tampak sama
tampannya dengan aslinya, menatapku dengan sorot hangat yang kurindukan beberapa
hari belakangan ini. Sungguh luar biasa bagaimana seseorang bisa tampak
begitu... begitu... tak terlukiskan. Seribu kata pun takkan mampu menandingi
foto ini. Dengan cepat aku melihat-lihat sekilas foto lain dalam tumpukan, lalu
menjejerkan tiga di antaranya di tempat tidur.
Foto pertama adalah foto Edward di dapur, sorot matanya yang hangat memancarkan
kegembiraan. Foto kedua adalah foto Edward dan Charlie, menonton ESPN. Perbedaan
ekspresi Edward tampak nyata. Sorot matanya tampak hati-hati di sini, tidak
ramah. Masih tetap sangat tampan, namun wajahnya terkesan lebih dingin, lebih
menyerupai patung, kurang hidup.
Terakhir foto Edward dan aku berdiri berdampingan dengan sikap canggung. Wajah
Edward sama seperti dalam foto terakhir, dingin dan menyerupai patung.
Kekontrasan di antara kami sangat menyakitkan. Ia tampak bagai dewa. Aku tampak
sangat biasa, bahkan untuk ukuran manusia, nyaris polos. Kubalik foto itu dengan
perasaan jijik. Bukannya mengerjakan PR, aku malah begadang untuk memasukkan foto-foto itu ke
album. Dengan bolpoin aku membuat catatan di bawah semua foto, nama-nama dan
tanggalnya. Aku sampai pada foto Edward dan aku, dan, tanpa memandanginya
terlalu lama, melipatnya jadi dua dan menyelipkannya ke sudut logam, sisi Edward
menghadap ke atas. Setelah selesai, aku menjejalkan tumpukan foto kedua ke amplop yang masih baru,
lalu menulis surat terima kasih yang panjang untuk Renee.
Edward masih belum datang juga. Aku tak ingin mengakui dialah alasanku begadang
hingga larut begini. Aku berusaha mengingat kapan terakhir kali ia tidak datang,
tanpa alasan, tanpa menelepon... Ternyata tidak pernah. Lagi-lagi, aku tak bisa
tidur nyenyak. Sama seperti dua hari sebelumnya, suasana di sekolah juga tetap
penuh kebisuan yang menegangkan dan membuat frustrasi. Aku lega waktu melihat
Edward menungguku di lapangan parkir, tapi kelegaan itu sirna dengan cepat. Tak
ada perubahan dalam dirinya, kecuali mungkin ia lebih menjauh.
Sulit rasanya mengingat alasan dari semua kekacauan ini. Hari ulang tahunku
rasanya telah lama berselang. Kalau saja Alice kembali. Segera. Sebelum keadaan
jadi makin tak terkendali lagi.
Tapi aku tak bisa bergantung pada hal itu. Aku sudah memutuskan kalau aku tak
bisa bicara dengan Edward hari ini, benar-benar bicara, aku akan menemui
Carlisle besok. Aku harus melakukan sesuatu.
Sepulang sekolah Edward dan aku akan membicarakannya sampai tuntas, aku berjanji
pada diriku sendiri. Aku tak mau menerima alasan apa pun.
Edward mengantarku ke trukku, dan aku menguatkan diri untuk melontarkan
tuntutan. "Keberatan tidak kalau aku datang ke rumahmu hari ini?" tanya Edward sebelum
kami sampai ke truk, menduluiku.
"Tentu saja tidak."
"Sekarang?" tanya Edward lagi, membukakan pintu untukku.
"Tentu," aku menjaga suaraku tetap datar, walaupun tidak menyukai nada mendesak
dalam suaranya. "Aku hanya akan memasukkan surat untuk Renee ke bus surat dalam
perjalanan pulang. Sampai ketemu di rumah."
Edward memandangi amplop tebal di jok trukku. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan
dan menyambarnya. "Biar aku saja" ujarnya pelan. "Dan aku akan tetap lebih cepat sampai di rumah
daripada kau." Ia menyunggingkan senyum separo favoritku, tapi kesannya lain. Matanya tidak
memancarkan senyum itu. "Oke," aku setuju, tak mampu membalas senyumnya.
Edward menutup pintu, lalu berjalan ke mobilnya.
Memang benar Edward sampai lebih dulu di rumahku. Ia sudah memarkir mobilnya di
tempat Charlie biasa parkir waktu aku menghentikan trukku di depan rumah. Itu
pertanda buruk. Berarti ia tidak berniat lama-lama di rumahku. Aku menggeleng dan menghela napas
dalam-dalam, berusaha menabahkan hati.
Edward turun dari mobil waktu aku keluar dari trukku, lalu berjalan
menghampiriku. Ia mengulurkan tangan, mengambil tasku. Itu normal. Tapi ia
menyurukkannya lagi ke jok truk. Itu tidak normal.
"Ayo jalan-jalan denganku," ajaknya, suaranya tanpa emosi. Ia meraih tanganku.
Aku tidak menjawab. Aku tak punya alasan untuk memprotes, tapi aku langsung tahu
apa yang kuinginkan. Aku tidak menyukainya. Ini gawat, ini benar-benar gawat,
suara di kepalaku berkata berulang-ulang.
Tapi Edward tidak menunggu jawabanku.
Ditariknya aku ke sisi timur halaman, tempat hutan berbatasan dengan halaman.
Aku mengikutinya meski dalam hati menolak, berusaha berpikir di sela-sela
kepanikan yang melandaku. Inilah yang kuinginkan, aku mengingatkan diriku
sendiri. Kesempatan untuk membicarakannya sampai tuntas. Jadi mengapa kepanikan
ini mencekikku" Kami baru beberapa langkah memasuki pepohonan ketika Edward berhenti. Kami
bahkan belum sampai di jalan setapak - aku masih bisa melihat rumahku.
Begini kok dibilang jalan-jalan.
Edward bersandar di pohon dan memandangiku, ekspresinya tak terbaca.
"Oke, ayo kita bicara," kataku. Nada suaraku
terdengar lebih berani daripada yang sebenarnya kurasakan.
Edward menghela napas dalam-dalam.
"Bella, kami akan pergi."
Aku juga menghela napas dalam-dalam.
Kusangka aku sudah siap. Tapi tetap saja aku bertanya.
"Mengapa sekarang" Setahun lagi-"
"Bella, sudah saatnya. Lagi pula, berapa lama lagi kami bisa bertahan di Forks"
Carlisle tidak tampak seperti sudah berumur tiga puluh tahun, apalagi dia
mengaku sekarang usianya 33. Kami harus memulai dari awal lagi secepatnya,
bagaimanapun juga" Jawaban Edward membuatku bingung. Aku memandanginya, berusaha memahami
maksudnya. Ia balas menatapku dingin.
Dengan perasaan mual, aku pun memahami maksudnya. Aku menggeleng-gelengkan
kepala, berusaha menjernihkan pikiran. Edward menunggu tanpa sedikit pun tanda
tidak sabar. Butuh beberapa menit baru aku bisa bicara.
"Oke," kataku. "Aku ikut."
"Tidak bisa, Bella. Ke mana kami akan pergi... itu bukan tempat yang tepat
untukmu." "Di mana kau berada, di situlah tempat yang tepat untukku."
"Aku tidak baik untukmu, Bella."
"Jangan konyol," Aku ingin terdengar marah, tapi kedengarannya malah seperti
memohon. "Kau hal terbaik dalam hidupku."
"Duniaku bukan untukmu," ucap Edward
muram. "Apa yang terjadi pada Jasper - itu bukan apa-apa, Edward! Bukan apa-apa!"
"Kau benar," Edward sependapat. "Persis seperti itulah yang bakal terjadi."
"Kau sudah berjanji! Di Phoenix, kau berjanji kau akan tinggal-"
"Sepanjang itu yang terbaik untukmu," Edward mengoreksiku.
"Tidak! Ini masalah jiwaku, kan?" aku berteriak, marah, kata-kata berhamburan
dari mulutku- namun entah bagaimana tetap saja terdengar seperti memohon-mohon.
"Carlisle memberi tahuku, dan aku tidak peduli, Edward. Aku tidak peduli! Ambil
saja jiwaku. Aku tidak menginginkannya tanpa kau - itu sudah jadi milikmu!"
Edward menarik napas dalam-dalam dan beberapa saat menerawang menatap tanah.
Waktu akhirnya ia mendongak, matanya tampak berbeda, lebih keras - seperti emas
cair yang membeku keras. "Bella, aku tidak ingin kau ikut denganku." Edward mengucapkan kata-kata itu
lambat-lambat dan jelas, matanya yang dingin menatap wajahku, memerhatikan
sementara aku menyerap semua perkataannya.
Sunyi sejenak saat aku mengulangi kata-kata itu berkali-kali dalam pikiranku,
memilah-milah untuk mendapatkan maksud sesungguhnya.
"Kau... tidak... menginginkanku?" Aku mencoba mengucapkan kata-kata itu, bingung
mendengarnya diucapkan dalam urutan seperti itu.
"Tidak." Kutatap matanya, tak mengerti. Edward balas menatapku tanpa ampun. Matanya bagai
topaz-keras dan jernih dan sangat dalam. Aku merasa seolah-olah bisa memandang
ke dalamnya hingga berkilo-kilometer jauhnya, namun di kedalaman tak berdasar
itu aku tidak melihat adanya kontradiksi dari kata yang diucapkannya tadi.
"Well, itu mengubah semuanya." Aku terkejut mendengar nada suaraku yang kalem
dan tenang. Pasti karena perasaanku sudah mati rasa. Aku tidak menyadari apa
yang ia katakan padaku. Itu masih tetap tak masuk akal.
Edward mengalihkan pandangan ke pepohonan saat bicara lagi. "Tentu saja, aku
akan selalu mencintaimu... sedikit-banyak. Tapi peristiwa malam itu membuatku
sadar, sekaranglah saatnya berubah. Karena aku... lelah berpura-pura menjadi
sesuatu yang bukan diriku, Bella. Aku bukan manusia." Edward menatapku lagi,
bagian-bagian dingin wajahnya yang sempurna memang bukan manusia. "Aku
membiarkan ini berlangsung terlalu lama, dan aku minta maaf untuk itu."
"Jangan." Suaraku kini hanya berupa bisikan;
kesadaran mulai meresapiku, menetes-netes bagai asam dalam pembuluh darahku.
Pusaka Rimba Hijau 4 Pendekar Rajawali Sakti 107 Titisan Anak Setan Suling Emas 19

Cari Blog Ini