Ceritasilat Novel Online

Dua Cinta 2

Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 2


"Jangan lakukan ini."
Edward hanya menatapku, dan kelihatan dari matanya kata-kataku sudah terlambat.
Ia sudah melakukannya. "Kau tidak baik untukku, Bella." Edward membalikkan katakata yang diucapkannya tadi, jadi aku tak bisa membantahnya. Aku tahu benar aku
tidak cukup baik baginya.
Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, kemudian menutupnya lagi. Edward
menunggu dengan sabar, wajahnya bersih dari segala emosi. Kucoba sekali lagi.
"Kalau... kalau memang itu yang kauinginkan."
Edward mengangguk satu kali.
Sekujur tubuhku terasa lumpuh. Aku tak bisa merasakan apa-apa dari leher ke
bawah. "Tapi aku ingin meminta sesuatu, kalau boleh," katanya.
Entah apa yang dilihatnya di wajahku, karena sesuatu berkelebat di wajahnya
sebagai respons. Tapi sebelum aku sempat memahaminya, ia telah mengubah
ekspresinya menjadi topeng tenang yang sama.
"Apa saja," aku bersumpah, suaraku sedikit lebih kuat.
Sementara aku menatapnya, mata beku Edward mencair. Emas itu berubah menjadi
cair lagi, melebur, membakar mataku dengan kekuatan teramat besar.
"Jangan lakukan sesuatu yang ceroboh atau tolol," perintahnya, tak lagi dingin.
"Kau mengerti maksudku?"
Aku mengangguk tak berdaya.
Mata Edward mendingin, sikap menjaga
jaraknya kembali lagi. "Aku memikirkan Charlie, tentu saja. Dia membutuhkanmu.
Jaga dirimu baik-baik-demi dia."
Lagi-lagi aku mengangguk. "Baiklah," bisikku.
Edward tampak rileks sedikit.
"Dan aku akan menjanjikan sesuatu padamu sebagai balasannya," katanya. "Aku
berjanji ini kali terakhir kau bertemu denganku. Aku tidak akan kembali. Aku
tidak akan menyulitkanmu lagi. Kau bisa melanjutkan hidupmu tanpa gangguan
dariku lagi. Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada."
Lututku pasti mulai gemetar, karena pohon-pohon mendadak bergoyang. Bisa
kudengar darah menderas lebih cepat di belakang telingaku. Suara Edward
terdengar semakin jauh. Edward tersenyum lembut. "Jangan khawatir. Kau manusia - ingatanmu tak lebih
dari sekadar saringan. Waktu akan menyembuhkan semua luka bagi jenismu."
"Kalau ingatanmu?" tanyaku. Kedengarannya seperti ada yang menyumbat
tenggorokanku, seolah-olah aku tersedak.
"Well-" Edward ragu-ragu selama satu detik
yang singkat-"aku tidak akan lupa. Tapi jenisku... kami sangat mudah dialihkan
perhatiannya." Ia tersenyum, senyumnya tenang dan tidak menyentuh matanya.
Edward mundur selangkah menjauhiku. "Aku sudah mengatakan semuanya, kurasa. Kami
tidak akan mengganggumu lagi."
Kata "kami" yang ia ucapkan menggugah perhatianku. Itu membuatku terkejut;
kusangka aku sudah tak bisa menyadari apa pun lagi.
"Alice tidak akan kembali," aku tersadar. Entah bagaimana Edward bisa
mendengarku-mulutku tidak mengeluarkan suara - tapi sepertinya ia mengerti.
Ia menggeleng pelan, matanya tak pernah lepas dari wajahku.
"Tidak. Mereka semua sudah pergi. Aku tetap tinggal untuk berpamitan denganmu."
"Alice sudah pergi?" Suaraku hampa oleh rasa tak percaya.
"Sebenarnya dia ingin berpamitan, tapi aku meyakinkan dia, perpisahan seketika
justru lebih baik bagimu."
Kepalaku pusing; sulit rasanya berkonsentrasi. Kata-kata Edward berputar-putar
dalam pikiranku, dan aku seperti mendengar dokter di rumah sakit di Phoenix,
musim semi lalu, saat menunjukkan hasil foto rontgen padaku. Kelihatan kan kalau
patahnya tiba-tiba, jarinya menelusuri foto tulangku yang patah. Itu bagus.
Dengan begitu bisa sembuh lebih mudah, lebih cepat.
Aku berusaha bernapas normal. Aku perlu berkonsentrasi, mencari jalan keluar
dari mimpi buruk ini. "Selamat tinggal, Bella," kata Edward, suaranya tetap tenang dan damai.
"Tunggu!" aku tersedak oleh kata itu, menggapainya, memerintahkan kakiku yang
terasa berat untuk membawaku maju.
Kusangka Edward juga mengulurkan tangan untuk menggapaiku. Tapi tangannya yang
dingin mencengkeram pergelangan tanganku dan merapatkannya ke sisi kiri dan
kanan tubuhku. Ia membungkuk, dan menempelkan bibirnya sekilas ke dahiku, sangat
sebentar. Mataku terpejam.
"Jaga dirimu baik-baik," desahnya, rasa dingin menerpa kulitku.
Terasa tiupan angin sekilas yang tidak wajar. Mataku terbuka. Daun-daun pohon
maple bergetar oleh embusan angin pelan yang menandai kepergiannya.
Ia sudah pergi. Dengan kaki gemetar, mengabaikan fakta bahwa tindakanku itu tak ada gunanya, aku
berjalan mengikutinya memasuki hutan. Bukti kepergiannya langsung lenyap. Tak
ada jejak kaki, daun-daun diam kembali, tapi aku terus berjalan tanpa berpikir.
Aku tak sanggup melakukan hal lain. Aku harus terus bergerak. Kalau aku berhenti
mencarinya, semua berakhir.
Cinta, hidup, makna... berakhir.
Aku berjalan dan berjalan. Waktu tak ada artinya lagi bagiku sementara aku
berjalan pelan menembus semak belukar. Berjam-jam telah berlalu, tapi rasanya
baru beberapa detik. Mungkin waktu terasa membeku karena hutan tampak sama tak
pedulinya betapapun jauhnya aku melangkah. Aku mulai khawatir aku hanya
berputar-putar dalam lingkaran, lingkaran yang sangat kecil, tapi aku terus
berjalan. Sering kali aku tersandung, dan, setelah hari makin gelap, aku juga
sering terjatuh. Akhirnya aku tersandung sesuatu - karena sekarang sudah gelap gulita, aku tak
tahu benda apa yang membuatku tersandung - dan tak bisa bangkit lagi. Aku
berguling ke samping, supaya bisa bernapas, dan bergelung di rerumputan yang
basah. Sementara aku berbaring di sana, aku merasa waktu terus berjalan tanpa aku
menyadarinya. Aku tak ingat berapa lama waktu telah berlalu semenjak malam
turun. Apakah di sini selalu segelap ini di malam hari" Padahal seharusnya ada
sedikit cahaya bulan yang menerobos gumpalan awan, bersinar menembus kanopi
pepohonan, dan menerpa tanah.
Tapi malam ini tidak. Malam ini langit hitam pekat. Mungkin tak ada bulan malam
ini- mungkin ada gerhana bulan, bulan baru.
Bulan baru. Aku gemetaran, meski tidak kedinginan.
Hitam pekat untuk waktu yang sangat lama sebelum aku mendengar mereka memanggilmanggil. Seseorang meneriakkan namaku. Sayup-sayup dan teredam tetumbuhan basah yang
mengelilingiku, tapi itu jelas namaku. Aku tidak mengenali suara itu. Terpikir
olehku untuk menjawab, tapi aku linglung, dan butuh waktu lama untuk
menyimpulkan aku sebaiknya menjawab. Saat itu. teriakan itu sudah berhenti.
Beberapa saat kemudian hujan membangunkanku. Kurasa aku tidak benar-benar
tertidur; aku hanya terhanyut dalam kondisi tak sadar dan tak bisa berpikir,
bertahan dengan segenap kekuatan ke perasaan kebas yang membuatku tak bisa
menyadari apa yang tak ingin kuketahui.
Hujan sedikit membuatku gelisah. Aku menggigil. Kubuka belitan tanganku yang
melingkari lutut untuk menutupi wajah.
Saat itulah aku mendengar teriakan itu lagi. Kali ini lebih jauh, dan kadangkadang terdengar seperti beberapa suara berteriak bersama-sama.
Aku mencoba menghela napas dalam-dalam. Aku ingat seharusnya aku menyahut, tapi
kukira mereka takkan bisa mendengarku. Sanggupkah aku berteriak cukup lantang"
Tiba-tiba terdengar suara lain, mengagetkanku karena cukup dekat. Seperti
mendengus-dengus, suara binatang. Kedengarannya binatang besar.
Dalam hati aku bertanya-tanya apakah seharusnya aku merasa takut. Aku tidak
takut - cuma mati rasa. Itu bukan masalah. Dengusan itu pergi.
Hujan terus turun, dan bisa kurasakan air menggenang di pipiku. Saat sedang
berusaha mengumpulkan kekuatan untuk memalingkan kepala, kulihat seberkas
cahaya. Awalnya hanya kilau samar yang memantul di semak-semak di kejauhan. Cahaya itu
semakin lama semakin terang, menyinari bidang besar, tidak seperti lampu senter
yang menyorot lurus. Cahaya itu menembus semak terdekat, dan ternyata cahaya itu
berasal dari lentera propane, tapi hanya itu yang bisa kulihat kecemerlangannya sesaat membutakanku.
"Bella." Suara itu berat dan tidak kukenal, tapi bernada mengenali. Ia tidak memanggil
namaku untuk mencari, tapi memberi tahu bahwa aku sudah ditemukan.
Aku menengadah-tinggi sekali rasanya - ke seraut wajah gelap yang kini bisa
kulihat menjulang tinggi di atasku. Samar-samar aku sadar orang asing itu
mungkin hanya terlihat sangat tinggi karena kepalaku masih tergeletak di tanah.
"Kau dilukai?" Aku tahu kata-kata itu berarti sesuatu, tapi aku hanya bisa memandanginya,
bingung. Apa artinya pengertian pada saat seperti ini"
"Bella, namaku Sam Uley." Namanya sama sekali asing. "Charlie menyuruhku
mencarimu." Charlie" Nama itu menggugahku, dan aku berusaha lebih menyimak perkataannya.
Charlie berarti sesuatu, kalaupun yang lain tidak.
Lelaki jangkung itu mengulurkan tangan.
Kutatap tangan itu, tak yakin harus melakukan apa.
Mata hitamnya menilaiku sedetik, kemudian ia mengangkat bahu. Dengan gerakan
cepat dan luwes, ia mengangkatku dari tanah dan membopongku.
Aku terkulai dalam gendongannya, lemas, sementara lelaki itu berjalan melompatlompat dengan tangkas menembus hutan yang basah. Sebagian diriku tahu seharusnya
ini membuatku marah-dibopong orang asing. Tapi aku sudah tak punya tenaga lagi
untuk marah. Rasanya sebentar saja sudah tampak lampu-lampu dan dengungan berat suara kaum
lelaki. Sam Uley memperlambat langkah saat mendekati kerumunan.
"Aku menemukannya!" serunya, suaranya
menggelegar. Dengungan itu terhenti, dan mulai lagi sejurus kemudian dengan
lebih keras. Wajah-wajah berputar membingungkan di atas kepalaku. Hanya suara
Sam yang masuk akal di tengah kekacauan itu, mungkin karena telingaku menempel
di dadanya. "Tidak, kurasa dia tidak cedera," katanya pada seseorang. "Dia hanya terusmenerus berkata 'Dia sudah pergi'."
Apakah aku mengatakannya dengan suara keras" Kugigit bibirku.
"Bella, Sayang, kau baik-baik saja?"
Itu suara yang pasti akan kukenali di mana pun - bahkan saat suaranya sarat oleh
perasaan khawatir seperti sekarang ini. "Charlie?" Suaraku terdengar asing dan
kecil. "Aku di sini, Sayang"
Aku merasa tubuhku dipindahkan, dan sejurus kemudian, aku bisa mencium bau khas
jaket sheriff ayahku yang terbuat dari kulit. Charlie terhuyung-huyung
menggendongku. "Mungkin sebaiknya aku saja yang membopongnya," Sam Uley menyarankan.
"Tidak perlu," jawab Charlie, agak terengah.
Ia berjalan pelan-pelan, tersaruk-saruk. Kalau saja aku bisa mengatakan padanya
untuk menurunkanku dan membiarkan aku berjalan sendiri, tapi tak ada suara yang
keluar dari kerongkonganku.
Di mana-mana ada lampu, dipegang segerombolan orang yang berjalan bersamanya.
Rasanya seperti pawai. Atau prosesi pemakaman. Aku memejamkan mata.
"Kita sudah hampir sampai di rumah, Sayang," sesekali Charlie bergumam.
Kubuka mataku lagi waktu kudengar kunci pintu diputar.
Kami di teras rumah, dan lelaki gelap jangkung bernama Sam memegang pintu untuk
Charlie. sebelah tangan terulur ke arah kami, seolah bersiap-siap menangkapku
bila lengan Charlie tak kuat lagi membopongku.
Tapi Charlie berhasil menggendongku melewati pintu dan membaringkanku di sofa
ruang duduk. "Dad, aku basah kuyup," sergahku lemah.
"Tidak apa-apa." Suaranya serak. Kemudian ia berbicara pada seseorang. "Selimutselimut ada di dalam lemari di puncak tangga."
"Bella"'' tanya sebuah suara baru. Aku memandangi lelaki berambut kelabu yang
membungkuk di atasku, dan baru mengenalinya setelah beberapa detik yang berlalu
teramat lamban. "Dr. Gerandy?" gumamku.
"Benar, Sayang" jawab lelaki itu. "Kau terluka, Bella?"
Butuh semenit untuk benar-benar memikirkannya. Aku bingung karena teringat
pertanyaan sama yang diajukan Sam Uley di hutan tadi. Hanya saja Sam
menanyakannya secara berbeda: Kau dilukai" tanyanya tadi. Perbedaannya jelas
sekali sekarang. Dr. Gerandy menunggu. Sebelah alisnya yang beruban terangkat, dan kerutan di
dahinya semakin dalam. "Aku tidak apa-apa," dustaku. Kata-kata itu cukup benar untuk menjawab
pertanyaannya. Tangannya yang hangat menyentuh dahiku, dan jari-jarinya menekan bagian dalam
pergelangan tanganku. Kulihat bibirnya bergerak-gerak saat ia menghitung,
matanya tertuju pada jam tangan.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya, nadanya biasa-biasa saja.
Aku membeku dalam genggaman tangannya, kurasakan perasaan panik di pangkal
tenggorokanku. "Kau tersesat di hutan?" desak si dokter. Aku menyadari beberapa orang ikut
mendengarkan. Tiga lelaki jangkung berwajah gelap-dari La Push, reservasi Indian
Quileute di sepanjang garis pantai, kalau tidak salah-Sam Uley salah satunya,
berdiri berimpitan memandangiku. Mr. Newton ada di sana bersama Mike dan Mr.
Weber, ayah Angela; mereka memandangiku, tidak terang-terangan seperti orangorang asing itu. Suara-suara berat lain berdengung dari arah dapur dan di luar
pintu depan. Setengah isi kota pastilah mencariku tadi.
Charlie berada paling dekat denganku. Ia mencondongkan tubuh untuk mendengar
jawabanku. "Ya," bisikku. "Aku tersesat."
Dokter mengangguk, berpikir, jari-jarinya dengan lembut memeriksa kelenjar di
bawah daguku. Wajah Charlie mengeras.
"Kau lelah?" dr. Gerandy bertanya.
Aku mengangguk dan memejam dengan patuh.
"Menurutku tak ada yang mengkhawatirkan," kudengar dokter itu bicara pelan pada
Charlie beberapa saat kemudian. "Hanya kelelahan. Biarkan dia tidur untuk
memulihkan kekuatan. Besok aku datang untuk mengecek keadaannya." Dokter terdiam
sebentar. Ia pasti melihat jam tangannya karena lalu menambahkan, "Well, hari
ini maksudku." Terdengar suara berderit saat mereka sama-sama bangkit dari sofa.
"Apakah benar?" bisik Charlie. Suara-suara mereka terdengar lebih jauh sekarang.
"Mereka sudah pergi?"
"Dr. Cullen meminta kami untuk tidak mengatakan apa-apa," dr. Gerandy menjawab.
"Tawaran itu datang sangat tiba-tiba; mereka harus segera memilih. Carlisle
tidak ingin ke pindahannya diributkan.
"Pemberitahuan singkat kan tak ada salahnya," gerutu Charlie.
Suara dr. Gerandy terdengar tidak enak waktu ia menimpali. "Ya, Well, dalam
situasi ini, ada baiknya bila memberi peringatan."
Aku tidak mau mendengar lagi. Aku meraba-raba, mencari pinggiran selimut yang
dihamparkan seseorang di atas tubuhku, lalu menariknya hingga menutupi telinga.
Kesadaranku hilang-timbul. Aku mendengar Charlie mengucapkan terima kasih dengan
suara berbisik pada para sukarelawan saat satu demi satu mereka pulang. Aku
merasakan jemarinya membelai dahiku, disusul kemudian dengan dihamparkannya
selimut lain. Telepon berdering beberapa kali, dan ia bergegas menjawabnya
sebelum bunyi deringan membangunkanku. Ia menjawab kekhawatiran para penelepon
dengan suara pelan. "Yeah, kami sudah menemukannya. Dia tidak apa-apa. Tersesat. Sekarang dia baikbaik saja," begitu kata Charlie berkali-kali.
Aku mendengar per-per kursi berderit saat ia duduk di sana untuk menjagaku.
Beberapa menit kemudian telepon kembali berdering.
Charlie mengerang saat bangkit dari kursinya dengan susah payah, kemudian
menghambur, tersaruk-saruk, menuju dapur. Kubenamkan kepalaku lebih dalam ke
bawah selimut, tak ingin mendengarkan pembicaraan yang sama lagi.
"Yeah," jawab Charlie, menguap.
Suaranya berubah, terdengar jauh lebih waspada saat ia bicara lagi. "Di mana?"
Sejenak ia terdiam. "Kau yakin itu di luar reservasi?" Terdiam lagi. "Tapi apa
yang bisa terbakar di sana?" Suaranya terdengar waswas bercampur bingung.
"Dengar, aku akan ke sana dan mengeceknya."
Aku mendengarkan, semakin tertarik, sementara Charlie menekan serangkaian nomor
di telepon. "Hei, Billy, ini Charlie - maaf menelepon sedini ini... tidak, dia baik-baik
saja. Sekarang dia tidur... Trims, tapi bukan itu alasanku menelepon. Aku baru
saja ditelepon Mrs. Stanley, dan katanya dari jendela tingkat dua rumahnya, dia


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa melihat api berkobar di tebing-tebing laut, tapi aku tidak benar-benar...
Oh!" Mendadak suaranya berubah-nadanya terdengar jengkel... atau marah. "Dan
mengapa mereka berbuat begitu" He eh. Benarkah?" Charlie mengucapkannya dengan
nada sarkastis. "Well, jangan meminta maaf padaku. Yeah, yeah. Pastikan apinya
tidak menjalar ke mana-mana... Aku tahu, aku tahu, aku hanya heran mereka bisa
menyalakannya di cuaca seperti ini."
Charlie ragu-ragu sejenak, lalu dengan enggan menambahkan, "Terima kasih sudah
mengirim Sam dan anak-anak lain ke sini. Kau benar - mereka memang lebih
mengenal kondisi hutan daripada kami. Sam-lah yang menemukannya, jadi aku
berutang budi padamu... Yeah, kita bicara lagi nanti," Charlie menyanggupi,
nadanya masih masam, sebelum menutup telepon.
Charlie menggerutu, kata-katanya tidak jelas, ia berjalan tersaruk-saruk kembali
ke ruang duduk. "Ada apa?" tanyaku.
Charlie bergegas menghampiriku. "Maaf membuatmu terbangun. Sayang"
"Ada yang terbakar, ya?"
"Tidak ada apa-apa," Charlie meyakinkan aku. "Hanya api unggun di tebing-tebing
sana." "Api unggun?" tanyaku. Suaraku tidak terdengar ingin tahu. Nadanya mati.
Charlie mengerutkan kening. "Beberapa anak dari reservasi berulah aneh-aneh." ia
menjelaskan. "Mengapa?" tanyaku muram.
Kentara sekali Charlie tidak ingin menjawab. Ia menunduk memandangi lantai di
bawah lututnya. "Mereka merayakan kabar itu." Nadanya getir.
Hanya ada satu kabar yang terpikir olehku, meski aku berusaha untuk tidak
memikirkannya. Kemudian potongan-potongan informasi itu mulai menyatu.
"Karena keluarga Cullen pergi," bisikku.
"Mereka tidak suka ada keluarga Cullen di La Push-aku sudah lupa soal itu."
Suku Quileute percaya takhayul tentang "yang berdarah dingin" peminum darah yang
merupakan musuh suku mereka, sama halnya dengan legenda mereka tentang air bah
dan leluhur berwujud werewolf. Hanya cerita, cerita rakyat, bagi sebagian besar
mereka. Tapi ada segelintir yang percaya. Teman baik Charlie, Billy Black,
termasuk yang percaya, walaupun Jacob, putranya, menganggapnya tolol karena
percaya pada takhayul. Billy pernah mengingatkanku agar menjauhi keluarga
Cullen... Nama itu menggerakkan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang mulai mencakar-cakar,
berusaha muncul ke permukaan, sesuatu yang aku tahu tidak ingin kuhadapi.
"Konyol," gerutu Charlie
Sesaat kami hanya duduk berdiam diri. Langit tak lagi gelap di luar jendela. Di
suatu tempat di balik hujan, matahari mulai terbit.
"Bella?" Charlie bertanya.
Kupandangi ia dengan gelisah.
"Dia meninggalkanmu sendirian di hutan?" tanya Charlie.
Aku berkelit dari pertanyaannya. "Bagaimana Dad tahu ke mana harus mencariku?"
Pikiranku mengelak dari kesadaran yang mau tak mau mulai datang, datang dengan
cepat sekarang. "Pesanmu," jawab Charlie, terkejut. Ia merogoh saku belakang jinsnya dan
mengeluarkan kertas kumal. Kertas itu kotor dan basah, dengan bekas lipatan
silang-menyilang yang menandakan kertas itu sudah dibuka dan dilipat lagi
berulang kali. Charlie membukanya lagi, mengangkatnya sebagai bukti. Tulisan
cakar ayam di sana sangat mirip tulisanku sendiri.
Pergi jalan-jalan dengan Edward, menyusuri jalan setapak, begitu bunyi
tulisannya. Sebentar lagi pulang, B.
"Waktu kau tidak pulang-pulang, aku menelepon ke rumah keluarga Cullen, tapi tak
ada yang mengangkat," cerita Charlie pelan. "Lalu aku menelepon rumah sakit, dan
dr. Gerandy memberi tahu Carlisle sudah pindah."
"Mereka pindah ke mana?" gumamku.
Charlie menatapku. "Edward tidak member tahu?"
Aku menggeleng, hatiku ciut. Mendengar namanya disebut seakan melepaskan sesuatu
yang sejak tadi mencakari hatiku-rasa sakit yang membuatku tak bisa bernapas,
terperangah oleh kekuatannya yang luar biasa.
Charlie memandangiku dengan sikap ragu saat menjawab. "Carlisle menerima
pekerjaan di rumah sakit besar di Los Angeles. Kurasa gajinya pasti sangat
besar." LA kota yang panas terik. Mustahil mereka benar-benar pindah ke sana. Aku
teringat mimpi burukku dengan cermin itu... cahaya matahari berpendar-pendar
dari kulitnya- Kepedihan mengoyak hariku saat aku teringat wajahnya.
"Aku ingin tahu apakah Edward meninggalkanmu sendirian di tengah hutan sana,"
desak Charlie. Mendengar nama Edward membuatku sangat tersiksa. Aku menggeleng kalut, putus asa
ingin lepas dari cengkeraman kepedihan itu. "Akulah yang salah. Dia
meninggalkanku di jalan setapak, aku masih bisa melihat rumah ini... tapi aku
mencoba mengikutinya."
Charlie hendak mengatakan sesuatu; dengan sikap kekanak-kanakan aku menutup
kedua telingaku. "Aku tidak bisa membicarakan ini, Dad. Aku ingin ke kamarku."
Sebelum ayahku bisa menjawab, aku sudah menghambur turun dari sofa dan tersaruksaruk menaiki tangga ke atas.
Seseorang datang ke rumah untuk meninggalkan pesan bagi Charlie. pesan yang
menuntunnya untuk menemukanku. Sejak menyadari hal itu, kecurigaan sudah timbul
di benakku. Aku menghambur ke kamarku, menutup pintu, dan menguncinya sebelum
berlari ke CD player di samping tempat tidurku.
Semua masih tampak persis seperti sebelum aku meninggalkannya. Kutekan bagian
atas CD player. Kaitannya terlepas, dan tutupnya perlahan mengayun terbuka.
Kosong. Album yang diberikan Renee untukku tergeletak di lantai di samping tempat tidur,
persis di tempat aku terakhir kali meletakkannya. Kubuka sampulnya dengan tangan
gemetar. Aku hanya perlu melihat halaman pertama. Sudut-sudut logam kecil di dalamnya tak
lagi menjepit foto. Halamannya kosong, yang tertinggal hanya tulisan tanganku
sendiri di bagian bawah: Edward Cullen, dapur Charlie, 13 September.
Aku berhenti di sana. Sudah kuduga ia akan sangat cermat menghapus semua
jejaknya. Nantinya akan terasa seolah-olah aku tak pernah ada.
Aku merasakan lantai kayu halus di bawah lututku, lalu telapak tanganku,
kemudian menempel di kulit pipiku. Aku berharap bakal pingsan tapi sayangnya,
ternyata aku tidak kehilangan kesadaran. Gelombang kepedihan yang tadi hanya
menerpaku kini menerjang tinggi, menggulung kepalaku menyeretku ke bawah. Aku
tak muncul lagi di permukaan.
OKTOBER NOVEMBER DESEMBER JANUARI 4. TERBANGUN WAKTU berlalu. Bahkan saat rasanya mustahil, waktu tetap terus berjalan. Bahkan
di saat setiap detik pergerakan jarum jam terasa menyakitkan, bagaikan denyut
nadi di balik luka memar. Waktu seakan berlalu di jalan yang tidak rata,
bergejolak dan diseret-seret, namun terus berjalan. Bahkan bagiku.
KEPALAN Charlie meninju meja. "Baiklah, Bella! Aku akan mengirimmu pulang."
Aku mendongak dari serealku, yang sejak tadi hanya kupandangi tanpa kumakan, dan
menatap Charlie dengan shock. Aku tidak menyimak pembicaraan-sebenarnya, aku
malah tidak sadar kami sedang berbicara-jadi aku tidak mengerti maksud
perkataannya. "Aku kan sudah di rumah," gumamku, bingung.
"Aku akan mengirimmu ke Renee, ke Jacksonville," Charlie menjelaskan maksudnya.
Charlie memandang putus asa saat aku lambat laun mencerna maksudnya.
"Apa salahku?" Kurasakan wajahku mengernyit.
Benar-benar tidak adil. Kelakuanku selama empat bulan terakhir ini benar-benar
tak bercela. Setelah minggu pertama itu, yang tak pernah kami ungkit-ungkit
lagi, aku tak pernah bolos sekolah atau kerja satu hari pun. Nilai-nilaiku
sempurna. Aku tak pernah melanggar jam malam - aku toh tak pernah ke mana-mana
sehingga harus melanggar jam malam. Aku juga sangat jarang menghidangkan masakan
sisa untuk makan malam. Charlie merengut.
"Kau tidak melakukan apa-apa. Justru itulah masalahnya. Kau tidak pernah
melakukan apa-apa." "Dad mau aku bikin ulah?" Aku keheranan, alisku bertaut saking bingungnya. Aku
berusaha keras memerhatikan. Itu tidak mudah. Aku sudah sangat terbiasa
mengabaikan semuanya sehingga sepertinya telingaku berhenti berfungsi.
"Bikin ulah lebih baik daripada... daripada bermuram durja setiap saat seperti
ini!" Perkataannya sedikit menyinggung perasaanku. Padahal aku sudah berhati-hati
untuk menghindari segala bentuk kesedihan, termasuk bermuram durja.
"Aku tidak bermuram durja kok."
"Itu bukan kata yang tepat," Charlie menyimpulkan dengan enggan. "Bermuram durja
masih lebih baik - itu berarti melakukan sesuatu. Kau sekarang... tanpa
kehidupan, Bella. Kurasa itulah istilah yang paling tepat."
Tuduhan itu tepat mengenai sasaran. Aku menghela napas dan berusaha
memperdengarkan nada ceria.
"Maafkan aku, Dad." Permintaan maafku
terdengar agak datar, bahkan di telingaku sendiri. Kusangka selama ini aku
berhasil menipunya. Menjaga agar Charlie tidak menderita adalah tujuan utama
semua upayaku. Sungguh menyebalkan semua upayaku itu sia-sia belaka.
"Aku tidak ingin kau meminta maaf."
Aku mendesah. "Kalau begitu, katakan apa yang Dad ingin kulakukan."
"Bella," Charlie ragu-ragu, dengan cermat menelaah reaksiku terhadap katakatanya selanjutnya. "Sayang kau bukan orang pertama yang mengalami hal semacam
ini, tahu." "Aku tahu." Cengiran yang menyertai katakataku tadi lemah dan tak meyakinkan.
"Dengar, Sayang. Menurutku mungkin- mungkin kau butuh bantuan."
"Bantuan?" Charlie diam sejenak, kembali mencari kata-kata yang tepat. "Ketika ibumu
pergi," ia memulai, keningnya berkerut, "dan membawamu bersamanya." Charlie
menghela napas dalam-dalam. "Well, itu masa-masa yang sangat berat bagiku."
"Aku tahu, Dad," gumamku.
"Tapi aku bisa mengatasinya," tegas Charlie. "Sayang kau tidak mengatasinya. Aku
menunggu, aku berharap keadaan jadi lebih baik" Ia memandangiku dan aku buruburu menunduk. "Kurasa kita sama-sama tahu keadaan ternyata belum membaik juga."
"Aku baik-baik saja kok."
Charlie tak menggubris sergahanku. "Mungkin, Well, mungkin kalau kau bicara
dengan orang lain tentang masalah ini. Seorang profesional."
"Dad mau aku berkonsultasi ke psikiater?" suaraku terdengar sedikit lebih tajam
saat menyadari maksudnya.
"Mungkin itu bisa membantu."
"Dan mungkin itu sama sekali takkan membantu."
Aku tidak begitu paham soal psikoanalisis, tapi aku sangat yakin itu tidak bakal
efektif kecuali subjeknya relatif jujur. Tentu, aku bisa mengatakan hal
sebenarnya - kalau aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sel untuk orang gila
yang dindingnya dilapisi busa pengaman.
Charlie mengamati ekspresiku yang keras kepala, dan beralih menggunakan senjata
lain. "Ini di luar kemampuanku, Bella. Mungkin ibumu-"
"Dengar," sergahku datar. "Aku akan keluar malam ini, kalau memang itu yang Dad
inginkan. Aku akan menelepon Jess atau Angela."
"Bukan itu yang kuinginkan," bantah Charlie, frustrasi. "Rasanya aku tak sanggup
melihatmu berusaha lebih keras lagi. Belum pernah aku melihat orang berusaha
sekeras itu. Sedih hatiku melihatnya."
Aku pura-pura bodoh, menunduk memandangi meja. "Aku tidak mengerti, Dad. Pertama
Dad marah karena aku tidak melakukan apa-apa, kemudian Dad bilang tidak ingin
aku keluar." "Aku ingin kau bahagia - tidak, bahkan tidak perlu sedrastis itu. Aku hanya
ingin kau tidak merana lagi. Menurutku kesempatanmu untuk pulih akan lebih besar
kalau kau pergi dari Forks,"
Mataku berkilat oleh percikan emosi pertama yang sudah sekian lama kupendam
dalam hati. "Aku tidak mau pindah," tolakku.
"Kenapa tidak?" tuntut Charlie.
"Sekarang semester terakhirku di sekolah- pindah hanya akan mengacaukan
semuanya." "Kau kan pintar-kau pasti bisa mengejar pelajaran."
"Aku tidak mau mengganggu Mom dan Phil."
"Ibumu sudah lama ingin kau tinggal bersamanya lagi."
"Florida terlalu panas."
Kepalan tangan Charlie kembali menghantam meja. "Kita sama-sama tahu apa yang
sebenarnya terjadi di sini, Bella, dan itu tidak baik untukmu."
Ia menghela napas dalam-dalam. "Ini sudah berlalu beberapa bulan. Tidak ada
telepon, tidak ada surat, tidak ada kontak. Kau tidak bisa terus-terusan
menunggunya." Kutatap Charlie dengan garang. Kemarahan itu nyaris, meski tidak sampai,
mencapai wajahku. Sudah lama sekali wajahku tak pernah lagi membara oleh emosi
apa pun. Topik ini benar-benar terlarang, seperti yang disadari benar oleh Charlie.
"Aku tidak menunggu apa-apa. Aku tidak mengharapkan apa-apa," bantahku dengan
nada monoton yang rendah.
"Bella-" Charlie memulai, suaranya berat.
"Aku harus berangkat sekolah," selaku, berdiri dan merenggut sarapanku yang
belum disentuh dari meja. Kujatuhkan mangkukku di bak cuci tanpa merasa perlu
mencucinya dulu. Aku tak sanggup meneruskan pembicaraan lagi.
"Aku akan menyusun rencana dengan Jessica," seruku dari balik bahu sambil
menyandang tas sekolah, tanpa menatap mata Charlie. "Mungkin aku tidak makan
malam di rumah. Kami akan pergi ke Port Angeles dan nonton film."
Aku sudah keluar dari pintu sebelum Charlie bereaksi.
Karena begitu terburu-buru ingin secepatnya menyingkir dari hadapan Charlie, aku
termasuk orang pertama yang sampai di sekolah. Keuntungannya adalah, aku
mendapat tempat parkir yang bagus sekali. Tapi sayangnya aku jadi punya banyak
waktu kosong, padahal selama ini sedapat mungkin aku berusaha menghindari waktu
kosong. Dengan cepat, sebelum sempat memikirkan tuduhan-tuduhan Charlie tadi, aku
mengeluarkan buku Kalkulus-ku. Kubuka di bagian yang akan mulai kami pelajari
hari ini dan berusaha memahaminya sendiri. Membaca matematika bahkan jauh lebih
sulit daripada mendengarkannya, tapi aku semakin menguasainya. Beberapa bulan
terakhir ini, aku menghabiskan waktu sepuluh kali lebih banyak untuk mempelajari
Kalkulus daripada yang pernah kuhabiskan untuk pelajaran Matematika sebelum ini.
Hasilnya, nilaiku rata-rata selalu A. Aku tahu
Mr. Varner merasa perbaikan nilai-nilaiku berkat metode mengajarnya yang
superior. Dan kalau itu membuatnya bahagia, aku tidak ingin menghancurkan
fantasinya. Kupaksa diriku untuk terus belajar sampai lapangan parkir penuh, dan akhirnya
aku malah harus bergegas menuju kelas Bahasa Inggris. Kami sedang membahas
tentang Animal Farm, topik yang cukup mudah. Bagiku komunisme bukan masalah;
selingan segar di sela-sela kisah cinta membosankan yang mengisi sebagian besar
kurikulum. Aku duduk di kursiku, senang karena bisa mengalihkan perhatian ke
topik yang diajarkan Mr. Berty.
Waktu berlalu tanpa terasa bila aku di sekolah. Sebentar saja lonceng sudah
berbunyi. Aku mulai memasukkan buku-bukuku ke tas.
"Bella"' Aku mengenali suara Mike, dan sudah tahu apa yang akan ia katakan sebelum ia
mengucapkannya. "Besok kau kerja?"
Aku mendongak. Ia bersandar di seberang gang dengan ekspresi cemas. Setiap Jumat
ia selalu menanyakan hal yang sama. Tak peduli aku tidak pernah cuti sakit
sehari pun. Well, dengan satu pengecualian, beberapa bulan silam. Tapi ia tak
punya alasan memandangiku dengan sikap prihatin seperti itu. Aku kan karyawan
teladan. "Besok Sabtu, kan?" aku balas bertanya. Setelah Charlie mengungkitnya, barulah
aku sadar betapa hampa kedengarannya suaraku.
"Ya, benar," sahut Mike. "Sampai ketemu di
kelas Bahasa Spanyol," Ia melambai satu kali sebelum berbalik memunggungiku. Ia
tak pernah lagi mengantarku ke kelas.
Aku tersaruk-saruk menuju kelas Kalkulus dengan ekspresi muram. Di kelas ini aku
duduk di sebelah Jessica.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah berminggu-minggu, bahkan mungkin berbulan-bulan, Jess tak pernah lagi
menyapaku bila aku berpapasan dengannya di koridor. Aku tahu aku membuatnya
tersinggung dengan sikapku yang antisosial, dan ia ngambek. Tidak bakal mudah
mengajaknya bicara sekarang- apalagi meminta bantuannya. Aku mempertimbangkan
semuanya masak-masak sementara berdiri di luar kelas, sengaja berlama-lama.
Aku tak ingin menghadapi Charlie lagi tanpa adanya interaksi sosial yang bisa
dilaporkan. Aku tahu aku tak bisa berbohong, walaupun bayangan menyetir
sendirian ke Port Angeles pulang-pergi- memastikan odometerku menampilkan jarak
mil yang tepat-terasa sangat menggoda. Tapi ibu Jessica gemar bergosip, dan
cepat atau lambat Charlie pasti akan bertemu dengan Mrs. Stanley di kota. Kalau
itu terjadi, tak diragukan lagi ia bakal mengungkit masalah itu. Jadi berbohong
jelas tidak mungkin. Sambil mendesah, kudorong pintu hingga
terbuka. Mr. Varner melayangkan tatapan galak-ia sudah memulai pelajaran. Aku
bergegas ke kursiku. Jessica sama sekali tidak mendongak waktu aku duduk di
sebelahnya. Untung saja aku punya waktu lima puluh menit untuk menyiapkan
mental. Kelas ini bahkan berlalu lebih cepat daripada Bahasa Inggris. Sebagian kecil
disebabkan oleh persiapan yang kulakukan tadi pagi di mobil - tapi sebagian
besar berasal dan fakta bahwa waktu selalu berjalan sangat cepat bila aku harus
menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan.
Aku meringis ketika Mr. Varner menyudahi pelajaran lima menit lebih cepat. Ia
tersenyum seperti orang yang telah berbuat baik.
"Jess?" Hidungku mengernyit waktu tubuhku
mengejang, menunggunya menyerangku.
Jessica berbalik di kursi untuk menghadapiku, menatapku tak percaya. "Kau bicara
padaku, Bella?" "Tentu saja," Aku membelalakkan mata, berlagak lugu.
"Apa" Kau butuh bantuan dengan Kalkulus?"
Nadanya sinis. "Tidak." Aku menggeleng. "Sebenarnya, aku ingin tahu apakah kau mau... nonton
film bersamaku nanti malam" Aku benar-benar membutuhkan malam khusus cewek."
Kata-kata itu terdengar kaku, seperti dialog yang diucapkan asal saja, dan
Jessica tampak curiga. "Kenapa kau mengajakku?" tanyanya, sikapnya masih tidak ramah.
"Kau orang pertama yang terpikir olehku bila aku sedang ingin kumpul-kumpul
dengan teman cewek," Aku tersenyum, berharap senyumku terlihat tulus. Bisa jadi
itu benar. Setidaknya dialah orang pertama yang terpikir olehku bila aku ingin
menghindari Charlie. Berarti kan sama saja.
Kesinisan Jessica sedikit berkurang. "Well, entahlah."
"Kau ada acara?"
"Tidak... kurasa aku bisa saja pergi bersamamu. Kau mau nonton apa?"
Aku tidak tahu film apa yang sedang diputar saat ini," elakku. Aku memeras otak
mencari petunjuk-bukankah baru-baru ini aku mendengar seseorang berbicara
tentang film" Melihat poster" "Bagaimana kalau film tentang presiden wanita
itu?" Jessica menatapku ganjil "Bella, film itu kan sudah lama sekali tidak diputar
lagi." "Oh." Keningku berkerut. "Apakah ada film yang ingin kau tonton?"
Sifat asli Jessica yang cerewet serta-merta muncul sementara ia berpikir. "Well,
ada film komedi romantis yang mendapat banyak pujian. Aku ingin menontonnya. Dan
ayahku baru saja nonton Dead End dan benar-benar menyukainya."
Aku langsung tertarik pada judulnya yang menjanjikan.
"Ceritanya tentang apa?"
"Zombie dan semacamnya. Kata ayahku, itu film paling seram yang pernah
ditontonnya bertahun-tahun."
"Kedengarannya sempurna." Aku lebih suka
berurusan dengan zombie daripada nonton film cinta-cintaan.
"Oke." Kelihatannya Jessica terkejut melihat
responsku. Aku berusaha mengingat-ingat apakah dulu aku suka nonton film horor,
tapi tidak bisa memastikan. "Bagaimana kalau aku menjemputmu sepulang sekolah
nanti?" Jessica menawarkan diri.
"Tentu." Jessica menyunggingkan senyum bersahabat yang masih terlihat sedikit ragu
sebelum beranjak pergi. Aku agak terlambat membalas senyumnya, tapi kupikir ia
masih sempat melihatnya. Sisa hari itu lewat dengan cepat, pikiranku terfokus pada acara malam ini. Dari
pengalaman sebelumnya aku tahu, begitu berhasil membuat Jessica ngobrol. aku
hanya perlu bergumam pelan di saat yang tepat sebagai balasan. Hanya diperlukan
interaksi minimal. Kabut tebal yang mengaburkan hari-hariku kini terkadang membingungkan. Aku
terkejut saat mendapati diriku sudah di kamar, tidak begitu mengingat perjalanan
pulang ke rumah dan sekolah atau bahkan membuka pintu depan. Tapi itu bukan
masalah. Aku justru bersyukur bila waktu berjalan tanpa terasa.
Aku tidak melawan kabut yang menyelubungi pikiranku saat berpaling menghadap
lemari. Ada tempat-tempat tertentu di mana perasaan kebas itu lebih dibutuhkan.
Aku nyaris tidak memerhatikan apa-apa saat menggeser pintu lemari, menyingkapkan
tumpukan sampah di sisi kiri, tersuruk di bawah baju-baju yang tak pernah
kupakai. Mataku tidak melirik kantong plastik hitam besar berisi hadiah-hadiah ulang
tahun terakhirku, tidak melihat bentuk stereo yang menonjol di balik plastik
hitam; aku juga tidak berpikir tentang jari-jariku yang berdarah setelah aku
merenggutkan benda itu secara paksa dari dasbor.
Kusentakkan tas lama yang jarang kupakai dari gantungannya, lalu kudorong pintu
lemari hingga tertutup. Saat itulah aku mendengar suara klakson. Cepat-cepat kukeluarkan dompetku dari
tas sekolah dan kumasukkan ke tas. Aku bergegas, seolah-olah dengan bergegas aku
bisa membuat malam ini berlalu lebih cepat.
Kulirik diriku di cermin ruang depan sebelum membuka pintu, hati-hati mengatur
ekspresiku dengan menyunggingkan senyum dan berusaha mempertahankannya.
"Terima kasih sudah mau pergi denganku malam ini," kataku pada Jess sambil naik
ke kursi penumpang, berusaha memperdengarkan nada berterima kasih. Sudah cukup
lama aku tak pernah lagi memikirkan apa yang akan kukatakan pada orang lain
selain Charlie. Jess lebih sulit. Aku tak yakin harus berpura-pura menunjukkan
emosi yang bagaimana. "Tentu. Omong-omong, mengapa tahu-tahu kepingin?" tanya Jess sambil menjalankan
mobilnya. "Tahu-tahu kepingin apa?"
"Mengapa kau tiba-tiba memutuskan... untuk keluar?" Kedengarannya ia mengubah
pertanyaannya di tengah-tengah.
Aku mengangkat bahu. "Sekali-sekali boleh, kan?"
Saat itulah aku mengenali lagu yang diputar di radio, lalu cepat-cepat
mengulurkan tangan ke tombol pemutar. "Keberatan, nggak?" tanyaku.
"Tidak, silakan saja."
Aku memutar-mutar tombol ke beberapa stasiun sampai menemukan satu yang tidak
"berbahaya". Kulirik ekspresi Jess saat musik yang baru kutemukan itu mengalun
mengisi mobil. Mata Jess langsung menyipit. "Sejak kapan kau mendengarkan musik rap?"
"Entahlah," jawabku. "Sudah lumayan lama."
"Kau suka lagu ini?" tanyanya ragu.
"Jelas." Akan sangat sulit berinteraksi dengan Jessica secara normal bila aku harus
berusaha keras mengabaikan suara musiknya pula. Maka aku pun menganggukanggukkan kepala, berharap gerakanku seirama dengan ketukan.
"Oke..." Jessica memandang ke luar kaca depan dengan mata melotot.
"Bagaimana hubunganmu dengan Mike
belakangan ini?" aku buru-buru bertanya.
"Kau lebih sering ketemu dia daripada aku."
Pertanyaanku tadi tidak membuatnya mulai mengoceh seperti yang kuharapkan bakal
terjadi. "Sulit ngobrol di tempat kerja," gumamku, lalu mencoba lagi- "Ada cowok lain
yang kencan denganmu belakangan ini?"
"Tidak juga. Kadang-kadang aku kencan dengan Conner. Aku kencan dengan Eric dua
minggu lalu." Jessica memutar bola matanya dan aku bisa merasakan adanya cerita
yang panjang. Kusambar kesempatan baik itu.
"Eric Yorkie" Siapa yang mengajak siapa?"
Jessica mengerang, semakin bersemangat. "Ya, dia dong tentu saja! Aku tidak tahu
bagaimana menolak ajakannya dengan halus."
"Dia mengajakmu ke mana?" desakku, tahu ia akan menerjemahkan semangatku sebagai
ketertarikan. "Ceritakan semuanya."
Jessica langsung nyerocos, dan aku duduk bersandar di kursiku, merasa lebih
nyaman sekarang. Aku menyimak ceritanya dengan saksama, sesekali menggumam
bersimpati dan terkesiap ngeri bila diperlukan. Setelah selesai dengan cerita
tentang Eric, ia melanjutkan dengan membandingkannya dengan Conner tanpa perlu
diminta lagi. Filmnya main lebih awal, jadi Jess mengusulkan supaya kami nonton pertunjukan
sore dan sesudah itu baru makan. Aku senang-senang saja mengikuti semua
kemauannya; bagaimanapun, aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkanmenghindar dari Charlie. Kubiarkan saja Jess terus mengoceh selama preview film-film baru, supaya aku
bisa lebih mudah mengabaikannya. Tapi aku gugup waktu filmnya dimulai. Sepasang
kekasih berjalan menyusuri tepi pantai, bergandengan tangan dan mendiskusikan
perasaan mereka dengan ekspresi penuh cinta yang memuakkan dan palsu. Kutahan
diriku untuk tidak menutup telinga dan mulai berdendang. Aku kan tidak berniat
nonton film cinta-cintaan.
"Katanya film zombie," desisku pada Jessica
"Memang film zombie kok."
"Lantas, kenapa belum ada orang yang
dimakan?" tanyaku putus asa.
Jessica memandangiku dengan mata membelalak lebar yang nyaris tampak ngeri. "Aku
yakin bagian itu pasti muncul sebentar lagi," bisiknya.
"Aku mau beli popcorn dulu. Kau mau juga?"
"Tidak, terima kasih."
Seseorang di belakang kami ber-"sssttt".
Aku sengaja berlama-lama di konter makanan, memandangi jam sambil berdebat dalam
hati berapa persen dari film berdurasi sembilan puluh menit yang bisa dihabiskan
untuk adegan cinta. Kuputuskan sepuluh menit sudah lebih dari cukup, itu pun aku
menyempatkan diri berhenti sebentar di depan pintu teater untuk memastikan.
Terdengar suara jeritan membahana dari speaker, jadi tahulah aku, bahwa aku
sudah cukup lama menunggu.
"Kau ketinggalan semuanya," gumam Jess waktu aku menyusup ke kursiku. "Hampir
semua orang sudah jadi zombie sekarang." "Antreannya panjang." Kusodorkan
popcorn-ku. Ia mengambil segenggam. Sisa film itu dipenuhi adegan serangan zombie serta jeritan tanpa henti
segelintir orang yang masih hidup, jumlah mereka menyusut cepat. Awalnya aku
menyangka tak ada adegan yang bakal membuatku terusik. Tapi aku merasa gelisah,
dan awalnya aku tak tahu kenapa.
Baru setelah menjelang akhir cerita, saat memandangi wajah si zombie yang kurus
cekung, terseok-seok menghampiri manusia terakhir yang menjerit-jerit ketakutan,
aku menyadari apa masalahnya. Adegannya berganti-ganti antara wajah ketakutan si
tokoh wanita, dengan wajah mati tanpa ekspresi makhluk yang mengejarnya,
berganti-ganti, semakin lama makin dekat.
Dan sadarlah aku sosok mana yang paling menyerupai aku.
Aku berdiri. "Mau ke mana kau" Kira-kira dua menit lagi filmnya habis," desis Jess.
"Aku perlu minum," gumamku sambil lari ke pintu keluar.
Aku duduk di bangku di luar pintu teater dan berusaha sangat keras untuk tidak
memikirkan keironisannya. Tapi memang ironis, kalau dipikir-pikir, bahwa, pada
akhirnya, justru akulah yang berubah jadi zombie. Sungguh tak terduga sama
sekali. Bukan berarti aku dulu tak pernah bermimpi
menjadi monster mistis - hanya saja itu bukan mayat hidup menyeramkan.
Kugelengkan kepalaku kuat-kuat untuk mengenyahkan pikiran itu, merasa panik. Aku
tak boleh memikirkan apa yang pernah kuimpikan dulu.
Sungguh menyedihkan menyadari diriku bukan lagi tokoh utama, bahwa kisahku sudah
berakhir. Jessica keluar dari pintu teater, sejenak tampak ragu, mungkin bertanya-tanya ke
mana harus mulai mencariku. Begitu melihatku ia tampak lega, tapi hanya sesaat.
Kemudian ia kelihatan kesal.
"Apakah filmnya terlalu seram bagimu?" tanyanya.
"Yeah," jawabku. "Kurasa aku ini penakut."
"Lucu juga." Keningnya berkerut. "Aku tidak
mengira kau ketakutan - aku menjerit terus, tapi tak pernah mendengarmu menjerit
sekali pun. Jadi aku tidak mengerti kenapa kau malah keluar."
Aku mengangkat bahu. "Aku cuma ketakutan."
Jessica rileks sedikit. "Rasa-rasanya itu tadi memang film paling seram yang
pernah kutonton. Berani taruhan, malam ini kita pasti bakal bermimpi buruk."
"Tak diragukan lagi," sahutku, berusaha menjaga suaraku tetap normal. Aku tahu
aku pasti bakal bermimpi buruk, tapi tidak ada zombie dalam mimpiku. Mata
Jessica menatap wajahku sekilas, lalu membuang muka. Mungkin aku tak berhasil
membuat suaraku terdengar normal.
"Kau mau makan di mana?" tanya Jess.
"Terserah." "Oke." Jess mulai mengoceh tentang aktor utama film tadi sementara kami berjalan
beriringan. Aku mengangguk-angguk saat ia mencerocos penuh semangat, memuji-muji
ketampanan si aktor. Aku sendiri tak ingat pernah melihat lelaki yang bukan
zombie dalam film itu. Aku tidak memerhatikan ke mana Jessica mengajakku. Aku hanya samar-samar
menyadari di luar sudah gelap dan suasananya lebih sepi. Agak lama baru aku
tersadar mengapa suasana sepi. Jessica sudah berhenti mengoceh. Kupandangi dia
dengan sikap meminta maaf, berharap aku tidak membuatnya tersinggung.
Jessica tidak sedang melihat ke arahku.
Wajahnya tegang; ia menatap lurus ke depan dan berjalan cepat. Kulihat matanya
jelalatan ke kanan, ke seberang jalan, lalu melihat ke arah depan lagi, berulang
kali. Saat itulah baru aku memerhatikan keadaan sekelilingku.
Kami berada di trotoar yang tidak diterangi lampu jalan. Toko-toko kecil yang
berjajar di sepanjang jalan sudah tutup semua, etalase-etalasenya gelap gulita.
Setengah blok di depan, lampu-lampu jalan kembali menyala, dan tampak olehku di
sana, lengkungan kuning cemerlang McDonald's yang hendak didatanginya.
Di seberang jalan ada saru toko yang masih buka. Etalasenya diberi penutup di
bagian dalam dan tampak reklame-reklame neon menyala, iklan berbagai merek bir,
bersinar di depannya. Reklame terbesar berwarna hijau cerah, bertuliskan nama
barnya-One-Eyed Pete's. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah bar itu mengusung
tema bajak laut yang tidak terlihat dari luar. Pintu besinya dibiarkan terbuka;
bagian dalamnya remang-remang, dan dengungan pelan suara-suara pengunjung dan
denting es batu membentur gelas terbawa hingga ke seberang jalan. Tampak empat
cowok bersandar di dinding sebelah pintu.
Kulirik lagi Jessica. Matanya terpaku pada jalan di depannya dan ia berjalan
cepat. Ia tidak tampak ketakutan-hanya waswas, berusaha untuk tidak menarik
perhatian. Aku berhenti tanpa berpikir, memandangi keempat cowok itu dengan perasaan deja
vu yang sangat kuat. Jalan yang berbeda, malam yang berbeda, tapi adegannya
kurang-lebih sama. Salah seorang di antara mereka bahkan pendek dan berambut
gelap. Saat aku berhenti dan berpaling ke arah mereka, cowok itu mendongak
dengan sikap tertarik. Aku balas menatapnya, membeku di trotoar.
"Bella?" Jess berbisik. "Apa yang kaulakukan?"
Aku menggeleng, aku sendiri tidak tahu. "Kurasa aku kenal mereka...," gumamku.
Apa yang kulakukan" Seharusnya aku lari dari kenangan ini secepat aku bisa,
menghalau bayangan empat cowok yang berdiri itu dari pikiranku, melindungi
diriku dengan perasaan kebas yang membuatku bisa berfungsi selama ini. Kenapa
aku malah melangkah, dengan linglung, ke jalan"
Rasanya terlalu kebetulan aku bisa berada di Port Angeles bersama Jessica,
bahkan dijalan yang gelap. Mataku tertuju pada si cowok pendek, berusaha
mencocokkannya dengan ingatanku tentang cowok yang mengancamku malam itu hampir
satu tahun yang lalu. Aku penasaran apakah aku bisa mengenali cowok itu, bila
itu benar-benar dia. Bagian tertentu dari malam tertentu itu kabur bagiku.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuhku lebih bisa mengingatnya daripada pikiranku; kakiku mengejang saat aku
mencoba memutuskan akan lari atau tetap berdiri tegak, tenggorokanku kering saat
aku berusaha menjerit keras-keras, kulitku menegang di bagian buku-buku jari
saat aku mengepalkan tinju, bulu kudukku meremang saat si cowok berambut gelap
memanggilku "Manis... "
Ada semacam kesan mengancam yang ditunjukkan cowok-cowok itu, yang tidak ada
hubungannya dengan peristiwa malam itu. Kesan itu muncul dari fakta bahwa mereka
orang asing, bahwa suasana di sini gelap, dan jumlah mereka lebih banyak
daripada kami-tidak ada yang lebih spesifik daripada itu. Tapi cukup membuat
suara Jessica terdengar panik saat ia berseru memanggilku.
"Bella, ayolah!' Aku tidak menggubrisnya, melangkah pelan-pelan tanpa pernah memutuskan secara
sadar untuk menggerakkan kakiku. Aku tidak mengerti mengapa, tapi ancaman samar
yang ditunjukkan cowok-cowok itu justru menarikku ke arah mereka. Dorongan hati
yang benar-benar tak masuk akal, tapi sudah lama sekali aku tak pernah lagi
merasakan dorongan hati apa pun... jadi kuikuti saja.
Sesuatu yang asing berdesir dalam pembuluh darahku. Adrenalin, aku menyadari,
yang sudah lama absen dalam diriku, menggenjot denyut nadiku semakin cepat dan
berjuang melawan hilangnya sensasi. Aneh-mengapa ada adrenalin kalau aku tidak
merasa takut" Rasanya nyaris bagaikan gema masa lalu saat aku berdiri seperti
ini, di jalan gelap di Port Angeles, bersama orang-orang asing.
Aku tidak melihat alasan untuk takut. Aku tidak bisa membayangkan ada yang perlu
kutakuti lagi di dunia ini, setidaknya secara fisik. Itu salah satu keuntungan
kalau sudah kehilangan segalanya.
Aku sudah separo menyeberang ketika Jess menyusul dan menyambar lenganku.
"Bella! Kau tidak boleh masuk ke bar!" desisnya.
"Aku bukannya mau masuk," jawabku asal, menepis tangannya. "Aku hanya ingin
melihat sesuatu... "
"Kau sinting, ya?" bisiknya. "Kepingin bunuh diri?"
Pertanyaan itu menarik perhatianku, dan mataku terfokus padanya.
"Tidak, aku tidak kepingin bunuh diri" Suaraku defensif, tapi itu benar. Aku
tidak bermaksud bunuh diri. Bahkan pada awalnya, saat kematian tak diragukan
lagi akan mendatangkan kelegaan, itu tidak pernah terpikir olehku. Aku terlalu
banyak berutang budi pada Charlie. Aku merasa bertanggung jawab atas Renee. Aku
harus memikirkan mereka. Dan aku sudah berjanji tidak akan melakukan hal yang tolol atau ceroboh. Karena
semua alasan itu, aku masih bernapas hingga detik ini.
Teringat pada janji itu, aku merasakan secercah perasaan bersalah, tapi apa yang
kulakukan sekarang tidak tergolong perbuatan tolol dan ceroboh. Aku kan tidak
mengiris pergelangan tanganku dengan pisau.
Mata Jess membulat, mulutnya ternganga lebar. Pertanyaannya tentang bunuh diri
tadi hanya pertanyaan retoris, dan aku terlambat menyadarinya.
"Pergi makan sana," bujukku padanya, melambaikan tangan ke restoran cepat saji.
Aku tidak suka caranya menatapku. "Sebentar lagi aku menyusul"
Aku berpaling darinya, kembali menatap keempat cowok yang memandangi kami dengan
sorot takjub bercampur ingin tahu.
"Bella, hentikan sekarang juga!"
Otot-ototku langsung mengejang, membeku kaku di tempatku berdiri. Karena bukan
suara Jessica yang menegurku sekarang. Suara itu bernada marah, suara yang
sangat kukenal, suara yang indah-lembut bagai beledu bahkan saat sedang gusar.
Itu suaranya-aku sangat berhati-hati untuk tidak menyebut namanya-dan terkejut
karena suara itu tidak membuatku terjengkang, tidak membuatku meringkuk di
trotoar karena tersiksa oleh perasaan kehilangan. Tidak ada kepedihan, tidak ada
sama sekali. Detik itu juga, begitu mendengar suaranya, semuanya jadi sangat jelas. Seakanakan kepalaku mendadak muncul di permukaan kolam berair gelap. Aku jadi lebih
menyadari semuanya- pemandangan, suara-suara, hawa dingin yang tidak kusadari
berembus tajam menerpa wajahku, aroma yang menyeruak dari pintu bar yang
terbuka. Aku memandang berkeliling dengan shock.
"Kembali ke Jessica," suara indah itu memerintahkan, masih bernada marah. "Kau
sudah berjanji-tidak akan melakukan perbuatan tolol."
Aku sendirian. Jessica berdiri beberapa meter dariku, menatapku dengan sorot
ngeri. Bersandar di dinding, orang-orang asing itu menonton dengan bingung,
mempertanyakan sikapku yang berdiri mematung di tengah jalan.
Aku menggeleng, berusaha memahami. Aku tahu ia tidak ada di sana, namun tetap
saja ia terasa begitu dekat, dekat untuk pertama kalinya sejak...
sejak yang terakhir itu. Nada marah dalam suaranya merupakan ungkapan
keprihatinan amarah sama yang dulu pernah sangat familier- sesuatu yang sudah
lama tak pernah kudengar lagi, sepertinya sudah selamanya.
"Tepati janjimu." Suara itu mulai menghilang, seperti suara radio yang volumenya
dikecilkan. Aku mulai curiga jangan-jangan sedang berhalusinasi. Dipicu, tak diragukan lagi,
oleh kenangan itu-deja vu itu, perasaan familier aneh bahwa aku pernah mengalami
situasi yang sama. Dengan cepat aku menelaah berbagai kemungkinan dalam pikiranku.
Opsi pertama: aku sudah sinting. Itu istilah orang awam bagi mereka yang
mendengar suara-suara dalam pikiran mereka.
Mungkin. Opsi kedua: Pikiran bawah sadarku memberiku apa yang memang kuinginkan. Ini
pemenuhan keinginan-kelegaan sementara dari rasa sakit dengan merangkul
pemikiran yang keliru bahwa ia peduli apakah aku hidup atau mati. Memproyeksikan
apa yang akan ia katakan seandainya A) ia ada di sini, dan B) ia takut sesuatu
yang buruk bakal terjadi padaku. Kemungkinan.
Aku tak bisa melihat opsi ketiga, jadi aku berharap pilihannya adalah yang kedua
dan ini hanya pikiran bawah sadarku yang tak terkendali, bukannya sesuatu yang
mengharuskan aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
Namun reaksiku tak bisa dibilang waras-aku justru bersyukur Selama ini aku
memang takut kehilangan suaranya, dan dengan demikian, lebih dari yang lain, aku
sangat bersyukur pikiran bawah sadarku bisa mengenang suara itu lebih jelas
daripada pikiran sadarku.
Aku tak boleh memikirkan dia. Itu sesuatu yang selama ini kuhindari. Tentu saja
sesekali terpeleset itu wajar; aku hanya manusia biasa. Tapi keadaanku semakin
baik, jadi sekarang ini kepedihan itu bisa kuhindari selama beberapa hari
berturut-turut. Gantinya adalah perasaan kebas yang tak pernah berakhir. Antara
merasa pedih dan tidak merasa apa-apa, aku memilih tidak
merasa apa-apa. Aku menunggu datangnya kepedihan itu sekarang. Aku tidak lumpuh - pancaindraku
terasa luar biasa intens setelah sekian bulan diliputi kabut - tapi kepedihan
normal itu tak kunjung datang. Satu-satunya kesakitan hanya perasaan kecewa
karena suaranya menghilang.
Aku punya waktu sedetik untuk memilih.
Tindakan bijaksana adalah lari dari perkembangan yang kemungkinan besar bakal
menghancurkan-dan jelas tidak stabil secara mental-ini. Sungguh tolol mendorong
munculnya halusinasi. Tapi suaranya semakin menghilang.
Aku maju selangkah, mengetes.
"Bella, kembali," geramnya.
Aku mendesah lega. Kemarahan itulah yang ingin ku dengar - bukti palsu yang
dibuat-buat bahwa ia peduli, anugerah meragukan dari alam bawah sadarku.
Beberapa detik berlalu sementara aku menyortir pikiranku Orang-orang asing itu
memandangiku, ingin tahu. Mungkin yang terlihat di luar adalah aku sedang
menimbang-nimbang apakah akan menghampiri mereka atau tidak. Bagaimana mereka
bisa menebak bahwa aku berdiri di sana menikmati momen ketidakwarasan yang
mendadak datang tanpa diduga"
"Hai," sapa salah satu cowok itu, nadanya penuh percaya diri sekaligus sedikit
sarkastis. Kulit dan rambutnya terang, dan ia berdiri dengan sikap percaya diri,
yakin dirinya tampan. Aku tidak bisa melihat apakah ia tampan atau tidak. Aku
diliputi prasangka. Suara di kepalaku menjawab dengan geraman menakutkan. Aku tersenyum, dan si
cowok yang percaya diri itu sepertinya menanggap itu undangan.
"Ada yang bisa kubantu" Sepertinya kau
tersesat," Lelaki itu nyengir dan mengedipkan mata.
Dengan hati-hati aku melangkahi selokan yang dialiri air yang tampak hitam dalam
kegelapan. "Tidak. Aku tidak tersesat."
Sekarang setelah aku berada lebih dekat-dan anehnya mataku bisa terfokus-aku
menganalisis cowok pendek berambut gelap tadi. Ternyata sama sekali asing. Aku
merasakan sensasi kecewa yang mencurigakan bahwa ia ternyata bukan cowok jahat
yang berusaha menyakitiku hampir satu tahun yang lalu.
Suara di kepalaku kini diam.
Si cowok pendek menyadari tatapanku. "Boleh aku membelikanmu minuman?" ia
menawarkan, gugup, tampaknya tersanjung karena aku memandanginya terus.
"Aku masih di bawah umur," jawabku otomatis.
Cowok itu terperangah-bertanya-tanya mengapa aku mendekati mereka. Aku merasa
wajib menjelaskan. "Dari seberang jalan, kau mirip seseorang yang kukenal. Maaf, ternyata aku
salah." Ancaman yang menarikku dari seberang jalan mendadak menguap. Mereka bukan cowokcowok berbahaya yang kuingat. Mungkin mereka orang baik-baik. Aman. Aku langsung
tidak tertarik lagi. "Tidak apa-apa," si cowok pirang yang percaya diri tadi berkata. "Tinggallah di
sini dan ngobrol dengan kami."
"Trims, tapi aku tak bisa." Jessica ragu-ragu di tengah jalan, matanya
membelalak oleh amarah dan perasaan dikhianati.
"Oh, beberapa menit saja."
Aku menggeleng, dan berbalik untuk bergabung dengan Jessica.
"Ayo kita makan," usulku, nyaris tidak
meliriknya. Walaupun aku tampak, saat itu, terbebas dari sikap kosong dan hampa
seperti zombie, namun aku tetap menjaga jarak. Pikiranku sibuk. Perasaan mati
yang aman dan kebas itu tidak kembali, dan aku jadi semakin gelisah seiring
berjalannya waktu, karena perasaan itu tak kunjung datang.
"Apa sih yang ada dalam pikiranmu tadi?" bentak Jessica."Kau tidak kenal mereka
- bisa jadi mereka psikopat!"
Aku mengangkat bahu, berharap Jessica akan melupakannya." Aku hanya mengira
kenal salah satu dari mereka."
"Kau ini aneh sekali, Bella Swan. Aku merasa seperti tidak mengenal dirimu."
"Maaf." Aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Kami berjalan memasuki McDonald's
sambil membisu. Aku berani bertaruh, Jessica pasti menyesal karena tadi kami
berjalan kaki ke sini, bukannya naik mobil, supaya bisa memesan lewat mobil
saja. Sekarang ia gelisah dan ingin segera mengakhiri malam ini, sama seperti
yang kurasakan pada awalnya. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya mengobrol
sambil makan, tapi Jessica menolak bekerja sama. Aku pasti benar-benar telah
membuatnya tersinggung. Waktu kami kembali ke mobilnya, Jessica mengembalikan saluran ke stasiun radio
favoritnya dan mengeraskan volume sampai kelewat keras untuk bisa ngobrol dengan
nyaman. Aku tidak perlu berusaha sekeras biasa untuk mengabaikan musiknya. Walaupun
pikiranku, sekali itu, tidak kebas dan kosong, tapi banyak hal lain yang
kupikirkan selain menyimak lirik lagu.
Kutunggu perasaan kebas itu kembali, atau kepedihan itu. Karena kepedihan itu
pasti datang. Aku sudah melanggar aturanku sendiri. Alih-alih menghindar dari
kenangan, aku malah maju dan menyapanya. Aku sudah mendengar suaranya, begitu
jelas, di kepalaku. Ada harga yang harus kubayar, aku yakin itu. Apalagi kalau
aku tidak bisa lagi mendatangkan kabut untuk melindungi diriku. Aku merasa
terlalu sadar, dan itu membuatku takut.
Tapi kelegaan masih merupakan emosi terkuat dalam diriku-kelegaan yang berasal
dari lubuk hatiku yang terdalam.
Meski berjuang keras untuk tidak memikirkan dia, aku tidak berjuang untuk
melupakan. Aku khawatir-di larut malam saat kelelahan karena kurang tidur
mematahkan pertahananku-semua itu berangsur-angsur lenyap. Bahwa pikiranku
berlubang-lubang seperti saringan, dan bahwa suatu saat nanti aku tak lagi bisa
mengingat warna matanya dengan tepat, sentuhan kulitnya yang dingin, serta
tekstur suaranya. Aku tidak bisa memikirkannya, tapi aku harus mengingatnya.
Karena tinggal satu hal yang perlu kuyakini agar aku bisa hidup - aku harus tahu
dia ada. Itu saja. Yang lain-lain masih bisa kutahan. Pokoknya asal dia ada.
Itulah sebabnya aku merasa lebih terperangkap di Forks daripada sebelumnya,
mengapa aku bertengkar dengan Charlie waktu ayahku mengusulkan perubahan.
Sejujurnya, seharusnya itu bukan masalah; tidak ada yang akan kembali lagi ke
sini. Tapi kalau aku pindah ke Jacksonville, atau ke tempat lain yang terang benderang
dan tidak familier, bagaimana aku bisa yakin ia nyata" Di tempat aku tidak akan
pernah bisa membayangkan dia, keyakinan itu akan memudar... dan itu tidak bisa
kuterima. Terlarang untuk diingat, takut untuk dilupakan; sungguh sulit menjalaninya.
Aku terkejut waktu Jessica menghentikan mobilnya di depan rumahku. Perjalanan
pulang tidak memakan waktu lama, tapi, meski terasa sebentar, aku tidak mengira
Jessica bakal membisu sepanjang jalan.
"Terima kasih sudah mau pergi denganku, Jess," kataku sambil membuka pintu.
"Acara kita tadi... asyik." Aku berharap asyik istilah yang tepat.
"Tentu," gumamnya.
"Aku minta maaf tentang... kejadian sehabis film tadi."
"Terserahlah, Bella" Jessica memandang lurus ke kaca depan, tidak memandangku.
Sepertinya semakin malam ia semakin marah, bukan malah melupakannya.
"Sampai ketemu lagi hari Senin?"
"Yeah. Bye." Aku menyerah dan menutup pintu. Jessica menderu pergi, masih tak mau melihatku.
Aku sudah lupa pada Jessica sesampainya di dalam rumah.
Charlie menungguku di tengah ruang depan, kedua lengannya terlipat rapi di dada
dengan telapak tangan mengepal.
"Hai, Dad," sapaku acuh tak acuh sambil merunduk melewati Charlie, berjalan
menuju tangga. Aku sudah terlalu lama memikirkan dia, dan aku ingin berada di
atas sebelum semua itu mengejarku.
"Dari mana saja kau?" tuntut Charlie.
Kupandangi ayahku, terkejut. "Aku pergi nonton film di Port Angeles bersama
Jessica. Seperti yang kubilang tadi pagi."
"Hahhh," gerutu ayahku.
"Tidak apa-apa, kan?"
Charlie mengamati wajahku, matanya melebar ketika melihat sesuatu yang tak
terduga. "Yeah, tidak apa-apa. Kau senang?"
"Tentu," jawabku. "Kami nonton zombie memangsa orang-orang. Bagus sekali."
Mata Charlie menyipit. "Malam, Dad."
Charlie membiarkanku lewat. Aku bergegas masuk ke kamarku.
Aku berbaring di tempat tidur beberapa menit kemudian, menyerah saat kepedihan
itu akhirnya muncul. Hal ini benar-benar melumpuhkan, sensasi bahwa sebuah lubang besar menganga di
dadaku, merenggut semua organ vitalku dan meninggalkan bekas luka yang masih
basah dan berdarah di sekelilingnya, yang masih tetap berdenyut nyeri dan
mengeluarkan darah meski waktu terus berjalan. Secara rasional aku tahu paruparuku pasti masih utuh, namun aku megap-megap menghirup udara dan kepalaku
berputar seolah-olah segenap usahaku sia-sia. Jantungku pasti juga masih
berdetak, tapi aku tak bisa mendengar detaknya di telingaku; tanganku terasa
biru kedinginan. Aku meringkuk seperti bayi, memeluk dada seperti memegangi diriku
agar tidak hancur berantakan. Aku berusaha menggapai perasaan kelu dan lumpuh,
penyangkalanku, tapi perasaan itu meninggalkanku.
Meski begitu, kudapati bahwa ternyata aku bisa bertahan. Aku sadar, aku
merasakan kepedihan itu - perasaan kehilangan yang terpancar keluar dari dadaku,
mengirimkan gelombang kesakitan yang menghancurkan kaki, tangan dan kepalaku tapi semua masih bisa kutahan. Aku bisa melewatinya. Walaupun rasanya kepedihan
itu tidak melemah seiring berjalanya waktu, tapi aku jadi semakin kuat
menahannya. Apapun yang terjadi malam ini - dan apakah penyebabnya zombie, adrenalin atau
halusinasi - itu telah membangkitkan aku.
Untuk pertama kali dalam kurun waktu yang lama, aku tidak tahu harus
mengharapkan apa esok pagi.
5. CURANG "BELLA, bagaimana kalau kau pulang saja,"
Mike menyarankan, matanya terfokus ke satu sisi, tidak benar-benar menatapku.
Aku bertanya-tanya berapa lama hal itu sudah berlangsung, tanpa aku


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyadarinya. Sore ini tak banyak pengunjung di Newtons. Saat itu hanya ada dua pengunjung,
backpacker sejati kalau menilik dari obrolannya. Mike menghabiskan satu jam
terakhir menjelaskan kelebihan dan kekurangan dua merek ransel lightweight pada
mereka. Tapi mereka menghentikan dulu pembicaraan serius tentang harga, dan
malah asyik saling membual soal kisah-kisah petualangan hiking terbaru mereka di
hutan. Mike memanfaatkan kesempatan itu untuk meninggalkan mereka sebentar.
"Aku tidak keberatan tetap di sini," kataku. Aku masih belum bisa menenggelamkan
diri kembali ke cangkang mati rasa yang melindungiku, jadi segala sesuatu tampak
begitu dekat dan nyaring hari ini, seakan-akan aku telah membuka kapas yang
selama ini menyumbat telingaku. Kucoba untuk mengabaikan tawa para hiker itu,
tapi tidak berhasil. "Sudah kubilang," kata cowok gempal berjenggot oranye yang tidak cocok dengan
rambutnya yang cokelat gelap. "Aku sudah pernah melihat beruang grizzly dari
jarak sangat dekat waktu di Yellowstone, tapi itu masih belum apa-apa
dibandingkan binatang yang satu ini." Rambutnya lengket, dan bajunya kelihatan
seperti sudah dipakai berhari-hari. Benar-benar baru turun gunung.
"Tidak mungkin. Beruang hitam tidak mungkin bisa sebesar itu. Beruang grizzly
yang kaulihat itu mungkin bayi beruang." Cowok kedua tinggi langsing, wajahnya
gosong terbakar matahari dan berkerut-kerut karena kelewat sering di udara
terbuka, membentuk lapisan kulit kering yang mengesankan.
"Serius, Bella, begitu kedua orang ini selesai, aku akan menutup toko," gumam
Mike. "Yah, jika kau memang ingin aku pergi... " aku mengangkat bahu.
"Dalam posisi merangkak, hewan itu lebih tinggi daripada kau," si cowok
berjenggot ngotot sementara aku mengemasi barang-barangku. "Besar sekali dan
hitam pekat. Aku akan melaporkannya pada pengawas hutan di sini. Orang-orang
harus diperingatkan - aku tidak melihatnya di gunung lho - tapi hanya beberapa
kilometer dari ujung jalan setapak."
Si wajah kasar tertawa dan memutar bola matanya. "Biar kutebak - kau melihatnya
dalamperjalanan turun, kan" Kau belum makan makanan sungguhan atau tidur di
tanah selama seminggu, bukan?"
"Hei, eh, namamu Mike, kan?" seru si cowok
berjenggot, menoleh pada kami.
"Sampai ketemu Senin," gumamku
"Ya, Sir," jawab Mike. berpaling pada mereka.
"Katakan, pernahkah ada peringatan di sini baru-baru ini - tentang beruang
hitam?" "Tidak, Sir. Tapi ada baiknya untuk selalu menjaga jarak dan menyimpan makanan
Anda dengan benar. Anda sudah pernah melihat kaleng antiberuang kami yang baru"
Beratnya tidak sampai satu kilo... "
Pintu menggeser terbuka dan aku keluar menerobos hujan Aku meringkuk di dalam
jaketku dan berlari ke mobil. Hujan menderas memukul-mukul penutup kepalaku
dengan suara luar biasa keras, tapi sebentar saja raungan mesin mengalahkan
suara lainnya. Aku tidak ingin pulang ke rumah Charlie yang kosong. Semalam sangat menyiksa,
dan aku tak ingin mengulangi lagi adegan penyiksaan itu. Bahkan setelah
kepedihan hatiku mereda sehingga aku bisa tidur, penyiksaan itu ternyata belum
berakhir. Seperti yang kukatakan pada Jessica setelah nonton film, tak diragukan
lagi aku pasti akan bermimpi buruk.
Sekarang setiap malam aku memang selalu bermimpi buruk. Mimpiku selalu sama,
karena selalu mimpi buruk yang sama. Kau pasti mengira aku akan bosan setelah
sekian bulan berlalu, menjadi imun terhadapnya. Tapi mimpi itu tak pernah gagal
membuatku ngeri, dan baru berakhir saat aku menjerit terbangun. Charlie tak
pernah datang lagi untuk menengok dan mencari tahu apa yang terjadi, untuk
memastikan tidak ada penyusup yang mencekikku atau semacamnya - ia sekarang
sudah terbiasa. Mimpi burukku mungkin bahkan tidak menakutkan bagi orang lain. Tidak ada yang
tahu-tahu melompat dari persembunyian dan berteriak,
"Buuu!" Tidak ada zombie, tidak ada hantu, tidak ada psikopat. Hanya pepohonan
berlumut membentang sejauh mata memandang, begitu sunyi sehingga kesunyian itu
menekan gendang telingaku. Suasana gelap, seperti senja di hari berawan, hanya
ada seberkas cahaya tertinggal untuk melihat bahwa tidak ada yang bisa dilihat.
Aku bergegas menembus keremangan tanpa jalan setapak, selalu mencari, mencari,
mencari, makin lama makin panik sementara waktu terus berjalan, berusaha
bergerak lebih cepat, meski kecepatan membuat langkahku kikuk... Kemudian aku
akan sampai pada satu titik dalam mimpiku - dan aku bisa merasakannya datang
sekarang, tapi rasanya aku tak pernah bisa menggugah diriku untuk bangun sebelum
saat itu tiba-saat aku tidak bisa mengingat apa yang sebenarnya kucari. Waktu
aku sadar tidak ada apa-apa yang bisa dicari, dan tidak ada apa-apa yang bisa
ditemukan. Bahwa tak pernah ada apa-apa kecuali hutan sepi yang kosong, dan
tidak akan pernah ada apa-apa lagi untukku... tidak ada apa-apa kecuali
kehampaan... Biasanya saat itulah teriakanku dimulai.
Aku tidak memerhatikan ke mana aku mengendarai trukku - hanya berjalan tak tentu
arah, menyusuri jalan tikus yang kosong dan basah karena aku sengaja menghindari
jalan-jalan menuju rumahku - karena aku memang tak tahu mau pergi ke mana.
Kalau saja aku bisa merasa kebas lagi, tapi aku tak ingat bagaimana dulu aku
bisa membuat diriku merasa seperti itu. Mimpi buruk itu menggayuti pikiranku dan
membuatku memikirkan hal-hal yang akan membuatku sedih. Aku tak ingin mengingat
hutan. Bahkan saat aku bergidik dan menepis bayangan-bayangan itu, aku merasa
air mataku merebak dan kepedihan mulai merayapi tubir lubang di dadaku. Kulepas
satu tangan dari kemudi dan memeluk tubuhku agar tetap utuh.
Nantinya akan terasa seolah olah aku tak pernah ada. Kata-kata itu berkelebat di
benakku, tak lagi terdengar jelas dan sempurna seperti halusinasiku semalam.
Sekarang itu hanya kata-kata, tanpa suara, seperti tulisan yang tercetak di
buku. Hanya kata-kata, tapi kata-kata itu mengoyak lubang di dadaku hingga
terbuka lebar, dan aku menginjak rem keras-keras, tahu seharusnya aku tidak
menyetir dalam keadaan seperti ini.
Aku membungkuk, menempelkan wajahku ke kemudi dan mencoba bernapas tanpa paruparu. Aku bertanya-tanya berapa lama ini akan berlangsung. Mungkin suatu saat nanti,
bertahun-tahun dari sekarang - bila kepedihan itu mereda hingga ke tahap aku
sanggup menanggungnya- aku akan bisa mengenang kembali beberapa bulan pendek
yang akan selalu menjadi masa-masa terindah dalam hidupku. Dan, jika kepedihan
ini bisa cukup mereda hingga membuatku mampu berbuat begitu, aku yakin akan
merasa bersyukur atas waktu yang pernah ia berikan padaku. Lebih dari yang
kuminta, lebih dari yang pantas kuterima. Mungkin suatu saat nanti aku bisa
melihatnya seperti itu. Tapi bagaimana jika lubang ini takkan pernah membaik" Bila tubirnya yang basah
tak pernah sembuh" Bila kerusakannya permanen dan tak bisa diperbaiki lagi"
Kudekap diriku lebih erat lagi. Nantinya akan terasa seolah-olah ia tak pernah
ada, pikirku merana. Janji yang sungguh tolol dan mustahil ditepati! Bisa saja
ia mencuri foto-fotoku dan mengambil kembali hadiah-hadiahnya, tapi itu tidak
mengembalikan keadaan seperti dulu, sebelum aku bertemu dengannya. Bukti fisik
adalah bagian yang paling tidak signifikan. Aku telah diubah, bagian dalam
diriku diubah hingga nyaris tak bisa dikenali lagi. Bahkan bagian luarku tampak
berbeda - wajahku pucat kekuningan, putih kecuali bagian bawah mata yang
berwarna ungu, hasil mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mataku tampak gelap
berlatar belakang kulitku yang pucat sehingga - meskipun seandainya aku cantik,
dan dilihat dari dekat - aku bahkan bisa dikira vampir sekarang. Tapi aku tidak
cantik, jadi kemungkinan aku lebih mirip zombie.
Seolah-olah ia tak pernah ada" Itu gila namanya.
Janji yang takkan pernah bisa ia tepati, janji yang dilanggar segera setelah ia
membuatnya. Aku membentur-benturkan kepalaku ke kemudi, berusaha mengalihkan diriku dari
kepedihan yang teramat sangat.
Itu membuatku merasa tolol, karena berpikir untuk selalu menepati janjiku. Di
mana logisnya, menepati kesepakatan yang sudah dilanggar pihak satunya" Siapa
yang peduli kalau aku melakukan perbuatan yang tolol dan ceroboh" Tak ada alasan
menghindar dari kecerobohan, tak ada alasan mengapa aku tak boleh melakukan hal
tolol. Aku tertawa meski pikirku itu tidak lucu, masih megap-megap menghirup udara.
Bertindak ceroboh di Forks - melakukan rencana itu di sini sama sekali tak ada
harapan. Humor tidak lucu itu mengalihkan perhatianku, dan meredakan kepedihan hatiku.
Napasku mulai mudah, dan aku bisa duduk bersandar ke kursi. Walaupun hari ini
cuaca dingin, tapi dahiku basah oleh keringat.
Aku berkonsentrasi pada rencana tanpa harapan itu untuk mencegah pikiranku
terbawa lagi ke kenangan yang menyakitkan. Melakukan hal ceroboh di Forks
membutuhkan kreativitas tinggi - mungkin lebih dari yang kumiliki. Tapi aku
berharap bisa menemukan jalan... perasaanku bakal lebih enak jika aku tidak
berpegangan erat-erat, sendirian, pada kesepakatan yang sudah dilanggar.
Seandainya saja aku juga bisa melanggar sumpahku sendiri. Tapi bagaimana aku
bisa berbuat curang, di kota kecil yang aman tenteram ini" Tentu saja Forks
tidak selalu aman. Tapi begitulah tampaknya keadaannya sekarang. Membosankan
aman. Lama sekali aku memandang ke luar kaca
depan, pikiranku bergerak lambat-sepertinya aku tak bisa membuat pikiranku
berkelana ke tempat lain. Kumatikan mesin, yang mengerang dengan suara memilukan
setelah tidak dijalankan begitu lama, lalu turun ke tengah hujan yang mengguyur.
Hujan dingin menetes-netes dari rambutku, kemudian mengalir menuruni pipi bagai
air mata. Air hujan membantu menjernihkan kepalaku. Aku mengerjap-ngerjapkan air
dari mataku, menatap kosong ke seberang jalan.
Setelah memandang selama satu menit, barulah aku menyadari di mana aku berada.
Aku memarkir trukku di tengah-tengah jalur utara Russell Avenue. Aku berdiri di
depan rumah keluarga Cheney - trukku menghalangi jalan masuk ke garasi mereka dan di seberang jalan tinggal keluarga Marks. Aku tahu aku harus memindahkan
trukku, dan bahwa aku harus pulang. Salah besar berkeliaran tanpa tujuan seperti
ini, pikiran melantur dan linglung, membahayakan keselamatan pengemudi lain di
Forks. Selain itu, sebentar lagi pasti ada orang yang bakal melihatku, dan
melaporkanku pada Charlie.
Saat menghela napas dalam-dalam untuk bersiap-siap sebelum bergerak, sebuah
pengumuman di halaman rumah keluarga Marks menarik perhatianku-sebenarnya itu
hanyalah potongan kardus yang disandarkan di kotak pos, dengan tulisan hurufhuruf balok hitam di atasnya.
Terkadang, takdir benar-benar terjadi. Kebetulan" Atau memang sudah ditakdirkan
seperti itu" Entahlah, tapi tolol rasanya berpikir bahwa entah bagaimana sudah
ditakdirkan bahwa sepeda-sepeda motor rongsok karatan di halaman depan rumah
keluarga Marks, di sebelah pengumuman bertulis tangan DIJUAL, SEBAGAIMANA
ADANYA, memiliki tujuan lain yang lebih besar dengan berada di sana, tepat di
tempat aku membutuhkannya.
Jadi mungkin itu bukan takdir. Mungkin ada banyak cara untuk bertindak ceroboh,
dan baru sekarang mataku terbuka.
Ceroboh dan tolol. Itu dua kata favorit Charlie sehubungan dengan sepeda motor.
Pekerjaan Charlie tidak sebanyak pekerjaan
polisi di kota-kota besar, tapi ia sering mendapat panggilan dalam kasus-kasus
kecelakaan lalu lintas. Dengan jalan bebas hambatan yang panjang dan basah,
berkelok-kelok dan berbelok menembus hutan, tikungan buta demi tikungan buta,
mudah saja melakukan aksi semacam itu. Tapi bahkan dengan adanya truk-truk
tronton yang melaju lambat mengangkut kayu, sebagian besar orang memilih tak
melakukannya. Kecuali mereka yang mengendarai sepeda motor, dan Charlie sudah
terlalu sering melihat korban-korban berjatuhan, hampir selalu anak-anak,
tergeletak di jalan raya. Ia pernah menyuruhku berjanji sebelum aku berumur
sepuluh tahun, untuk tidak pernah naik motor. Bahkan di usia semuda itu, aku tak
perlu berpikir dua kali sebelum berjanji. Siapa yang mau naik motor di sini"
Rasanya seperti mandi dalam kecepatan sembilan puluh kilo meter per jam.
Begitu banyak janji yang kutepati...
Saat itulah sebuah ide muncul di kepalaku. Aku ingin melakukan hal yang tolol
dan ceroboh, dan aku ingin melanggar janji. Mengapa harus berhenti pada satu hal
saja" Hanya sampai sejauh itu aku memikirkannya.
Kuterobos genangan air hujan menuju pintu depan rumah keluarga Marks dan menekan
bel. Salah seorang anak lelaki keluarga Marks, yang lebih muda, yang baru masuk SMA
membukakan pintu. Aku tak ingat namanya. Rambut pirang pasirnya hanya sebahuku.
Anak itu mengenaliku. "Bella Swan?" serunya kaget.
"Berapa harga motor itu?" tanyaku, napasku
terengah-engah, menyentakkan ibu jariku ke balik bahu ke arah benda yang
dipajang di halaman "Kau serius?" tanyanya.
"Tentu saja." "Sepeda-sepeda motor itu sudah tidak bisa jalan."
Aku mendesah tak sabaran - itu sudah bisa kusimpulkan dan tulisan di pengumuman.
"Berapa?" "Kalau kau benar-benar menginginkannya, ambil saja. Ibuku menyuruh ayahku
memindahkan sepeda-sepeda motor itu ke jalan supaya diangkut truk sampah."
Kulirik lagi sepeda-sepeda motor itu dan menyadari keduanya bertengger di atas
tumpukan rumput kering dan ranting-ranting mau."Kau yakin?"
"Tentu, mau tanya sendiri pada ibuku?"
Mungkin lebih baik tidak melibatkan orang dewasa, siapa tahu ia akan
menyampaikannya pada Charlie.
"Tidak, aku percaya padamu."
"Kau mau aku membantumu?" cowok itu menawarkan diri. "Motor itu tidak enteng
lho." "Oke, trims. Tapi aku hanya butuh satu."
"Sebaiknya ambil saja dua-duanya," kata cowok itu. "Mungkin kau bisa menggunakan
onderdilnya." Cowok itu mengikutiku keluar ke tengah curahan hujan dan membantuku menaikkan
kedua motor yang berat itu ke bak belakang trukku. Sepertinya ia bersemangat
sekali ingin menyingkirkannya, jadi aku tidak membantah.
"Memangnya apa yang mau kaulakukan dengan sepeda-sepeda motor itu?" tanyanya.
"Sudah bertahun-tahun tidak bisa jalan"
"Sudah kuduga," kataku, mengangkat bahu. Karena ide ini muncul mendadak, aku
belum sempat menyusun rencana apa pun. "Mungkin aku akan membawanya ke bengkel
Dowling." Cowok itu mendengus. "Dowling akan meminta ongkos perbaikan lebih mahal daripada
harga motornya sendiri."
Itu benar. John Dowling terkenal sering memasang tarif mahal; tak ada yang mau
membetulkan mobil di bengkelnya kecuali terpaksa. Kebanyakan lebih suka pergi ke
bengkel di Port Angeles, kalau mobilnya masih bisa jalan. Dalam hal itu, aku
sangat beruntung - awalnya aku sempat khawatir, waktu Charlie menghadiahiku truk
antik ini, bahwa aku takkan bisa merawatnya. Tapi ternyata aku tak pernah
mengalami masalah apa pun, kecuali suara mesinnya yang berisik dan batas
maksimal kecepatannya yang hanya 88 kilometer per jam.
Jacob Black telaten merawatnya sejak mobil ini masih menjadi milik ayahnya,
Billy... Ilham menyambarku bagai sambaran petir- bukan hal yang tidak masuk akal,
mengingat saat ini sedang hujan badai. "Kau tahu nggak" Itu bukan masalah. Aku
kenal orang yang jago mengutak-atik mobil"
"Oh. Baguslah kalau begitu," Cowok itu tersenyum lega.
Cowok itu melambaikan tangan waktu aku menjalankan trukku, masih terus
tersenyum. Ramah juga dia.
Sekarang aku ngebut dan memiliki tujuan, ingin cepat-cepat sampai di rumah
sebelum Charlie pulang, siapa tahu ia pulang lebih cepat, walaupun kecil sekali
kemungkinan itu bakal terjadi. Aku menghambur ke dalam rumah menuju pesawat
telepon, masih sambil menggenggam kunci mobil.
"Kepala Polisi Swan, please," kataku waktu teleponku dijawab seorang deputi.
"Ini Bella." "Oh, hai, Bella," sahut Deputi Steve ramah. "Akan kupanggilkan dia"
Aku menunggu. "Ada apa, Bella?" tuntut Charlie begitu mengangkat telepon.
"Apa aku tidak boleh menelepon Dad kalau tidak ada masalah gawat?"
Charlie terdiam sebentar. "Kau tidak pernah menelepon sebelumnya. Apakah ada
masalah?" "Tidak. Aku hanya ingin menanyakan arah jalan ke rumah keluarga Black sepertinya aku sudah tidak ingat lagi. Aku ingin mengunjungi Jacob. Sudah
berbulan-bulan aku tidak bertemu dengannya."
Ketika Charlie berbicara lagi, suaranya terdengar jauh lebih gembira. "Ide yang


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagus sekali, Bells. Ada bolpoin?"
Arahan yang ia berikan sangat sederhana. Aku berjanji akan pulang saat makan
malam, walaupun Charlie mencoba mengatakan tak perlu terburu-buru. Ia ingin
bergabung denganku di La Push, tapi aku menolak keras.
Jadi dengan niat pulang tepat waktu aku mengendarai truk ku terlalu cepat
menyusuri jalan-jalan ke luar kota yang gelap oleh hujan badai. Harapanku, aku
bisa menemui Jacob sendirian. Billy mungkin akan mengadukanku kalau ia
mengetahui rencanaku. Sembari menyetir, aku agak waswas memikirkan reaksi Billy nanti bila bertemu
denganku. Ia pasti girang sekali. Dalam benak Billy tak diragukan lagi, ini
semua berakhir jauh lebih baik daripada yang berani ia harapkan. Kegembiraan dan
kelegaannya hanya akan mengingatkanku pada satu hal yang tak sanggup kuingat.
Hari ini jangan lagi, aku memohon dalam hati. Aku sudah lelah.
Rumah keluarga Black samar-samar masih familier, rumah kayu kecil dengan
jendela-jendela sempit dan cat merah kusam yang membuatnya mirip lumbung kecil.
Kepala Jacob sudah nongol dari jendela bahkan sebelum aku sempat turun dari
truk. Tak diragukan lagi, raungan suara mesin yang familier memberi tahukan
kedatanganku padanya. Jacob sangat bersyukur waktu Charlie membeli mobil truk
Billy untukku, menyelamatkannya dari keharusan mengendarai truk ini kalau sudah
cukup umur. Aku sangat menyukai trukku, tapi Jacob sepertinya menganggap batas
kecepatan truk ini sebagai kekurangan.
Ia berlari menyongsongku.
"Bella!" Cengiran senang tersungging lebar di wajahnya, giginya yang putih
cemerlang tampak sangat kontras dengan kulitnya yang cokelat kemerahan. Sebelum
ini aku tak pernah melihat rambutnya tidak dikucir. Kini rambutnya tergerai
seperti tirai satin hitam di sisi kiri dan kanan wajahnya yang lebar.
Jacob tumbuh semakin dewasa dalam delapan bulan terakhir. Ia melewati titik di
mana otot-otot masa kanak-kanaknya mengeras membentuk sosok remaja bertubuh
padat dan tegap; otot-otot tendon dan urat nadinya semakin jelas di balik kulit
lengan dan tangannya yang merah cokelat.
Wajahnya masih semanis yang kuingat, meski kini juga mulai menegas-tulang
pipinya semakin tajam, rahangnya persegi, semua kemontokan masa kecil telah
lenyap. "Hai, Jacob!" Aku merasakan dorongan antusiasme yang tidak biasa begitu melihat
senyumnya. Sadarlah aku bahwa aku senang bertemu dengannya. Kenyataan itu
mengejutkanku. Aku membalas senyumnya, dan sesuatu terbetik dalam pikiranku, bagaikan dua
keping puzzle yang menyatu. Aku sudah lupa betapa aku sangat menyukai Jacob
Black. Jacob berhenti beberapa meter dariku, dan aku mendongak menatapnya dengan
terkejut, kepalaku menengadah jauh ke belakang hingga hujan menetes-netes
membasahi wajahku. "Kau semakin jangkung!" tuduhku takjub.
Jacob tertawa, senyumnya semakin lebar. "Seratus sembilan puluh dua sentimeter
lebih," ia memberi tahu dengan perasaan puas diri. Suaranya semakin berat, tapi
masih sedikit serak seperti yang kuingat dulu.
"Apakah kau akan berhenti tumbuh?" aku menggeleng-geleng tak percaya. "Besar
sekali kau." "Masih kurus, tapi." Ia nyengir. "Ayo masuk! Nanti kau basah kuyup."
Jacob berjalan menduluiku, memilin rambutnya dengan tangannya yang besar sambil
berjalan. Ia mengeluarkan karet gelang dan saku celana dan mengikat rambutnya.
"Hai, Dad," serunya waktu kami merunduk melewati pintu depan. "Lihat siapa yang
datang." Billy sedang di ruang tamunya yang mungil, tangannya memegang buku. Ia
meletakkan buku itu di pangkuan dan menggelindingkan kursi rodanya ke depan
begitu melihatku. "Well kejutan besar! Senang bertemu denganmu. Bella."
Kami bersalaman. Tanganku lenyap dalam
genggamannya yang lebar. "Apa yang membawamu ke sini" Charlie baik-baik saja, kan?"
"Ya, tentu. Aku hanya ingin bertemu Jacob-aku sudah lama sekali tidak bertemu
dengannya." Mata Jacob berbinar-binar mendengar
jawabanku. Senyumnya lebar sekali hingga pipinya pasti terasa sakit.
"Bisakah kau makan malam di sini?" Billy juga bersemangat.
"Tidak, aku kan harus memasak untuk Charlie, Anda tahu."
"Ah, aku kan bisa meneleponnya sekarang," Billy menyarankan. "Pintu rumah ini
selalu terbuka untuknya."
Aku tertawa untuk menyembunyikan kecanggunganku. "Bukan berarti Anda tidak akan
bertemu lagi denganku. Aku janji akan kembali lagi ke sini - saking seringnya
sampai Anda bosan melihatku." Bagaimanapun, kalau Jacob bisa membetulkan motor
itu, harus ada yang mengajariku mengendarainya.
Billy menanggapi perkataanku dengan berdecak. "Oke, mungkin lain kali"
"Jadi, Bella, kau ingin melakukan apa?" tanya Jacob.
"Terserah. Apa yang sedang kaulakukan waktu aku datang tadi?" Anehnya, aku
merasa nyaman di sini. Rumah ini familier, meski terasa berjarak. Tak ada yang
membuatku teringat pada masa laluku yang menyakitkan.
Jacob ragu-ragu. "Aku baru mau mengutak-atik mobilku, tapi kita bisa melakukan
hal lain... " "Tidak, itu sempurna!" selaku. "Aku ingin sekali melihat mobilmu."
"Oke" sahut Jacob, tak yakin. "Ada di belakang, di garasi."
Malah lebih baik, batinku. Aku melambai pada Billy. "Sampai ketemu lagi nanti."
Pepohonan rindang dan semak belukar
menyembunyikan garasi dari rumah. Garasi itu sebenarnya tak lebih dari dua
pondok besar yang disatukan. Di dalamnya, di atas blok sinder, bertengger
sesuatu yang dalam pandanganku menyerupai mobil utuh. Aku mengenali simbol di
grille depannya, paling tidak.
"Volkswagen apa itu?" tanyaku.
"Volkswagen Rabbit-keluaran 1986, mobil
klasik." "Bagaimana keadaannya:"
"Hampir selesai," jawab Jacob riang. Kemudian suaranya turun satu oktaf. "Ayahku
menepati janjinya padaku musim semi lalu."
"Ah," ucapku. Tampaknya Jacob memahami keenggananku untuk mengungkit lagi topik itu. Aku
mencoba untuk tidak mengingat kejadian saat prom bulan Mei. Ketika itu Jacob
disuap ayahnya dengan janji akan diberi uang dan onderdil mobil asalkan mau
menyampaikan pesan untukku ke sana. Billy ingin aku menjauh dari orang
terpenting dalam hidupku. Ternyata kekhawatirannya, akhirnya, tidak beralasan.
Aku malah terlalu aman sekarang.
Tapi aku bertekad akan melakukan sesuatu untuk mengubahnya.
"Jacob, kau tahu seluk-beluk motor?" tanyaku.
Jacob mengangkat bahu. "Lumayan. Temanku Embry punya motor trail. Kadang-kadang
kami mengutak-atiknya. Kenapa?"
"Well... " Aku mengerucutkan bibir sambil menimbang-nimbang. Aku ragu apakah
Jacob bisa merahasiakan hal ini, tapi aku tak punya banyak pilihan. "Belum lama
ini aku mendapat sepasang sepeda motor, tapi kondisinya tidak bagus. Aku ingin
tahu apakah kau bisa membetulkannya."
"Asyik" Jacob tampak benar-benar senang mendapat tantangan itu. Wajahnya
berseri-seri. "Akan kucoba."
Aku mengacungkan jari, mengingatkan. "Masalahnya," aku menjelaskan. "Charlie
tidak suka aku naik motor. Jujur saja, bisa jadi urat nadi di dahinya bakal
putus kalau dia tahu tentang hal ini. Jadi kau tidak boleh memberi tahu Billy."
"Tentu, tentu." Jacob tersenyum. "Aku mengerti."
"Aku akan membayarmu," sambungku.
Jacob tersinggung mendengarnya. "Tidak. Aku ingin membantu. Kau tidak boleh
membayarku." " Well... bagaimana kalau barter saja?" Usulan itu muncul begitu saja di benakku
sementara aku bicara, tapi kedengarannya cukup masuk akal. "Aku hanya butuh satu
motor - dan aku juga ingin diajari menaikinya. Jadi bagaimana kalau begini" Aku
akan memberimu satu sepeda motor, kemudian kau bisa mengajariku cara
mengendarainya." "Ke-reeen." Jacob mengucapkan kata itu dalam dua silabel.
"Tunggu sebentar-kau sudah cukup umur belum" Ulang tahunmu kapan?"
"Sudah lewat," goda Jacob, menyipitkan mata, pura-pura marah. "Sekarang aku
sudah enam belas." "Kayak umur bisa menghentikanmu saja
sebelum ini," aku menggerutu. "Maaf aku lupa hari ulang tahunmu."
"Tidak apa-apa. Aku juga lupa hari ulang tahunmu. Umur mu berapa, empat puluh?"
Aku mendengus. "Hampir."
"Kita satukan saja pesta ulang tahun kita untuk merayakannya."
"Kedengarannya seperti kencan."
Mata Jacob berbinar mendengarnya.
Aku harus mengekang antusiasmenya sebelum ia telanjur salah sangka - hanya saja
sudah lama sekali aku tak pernah lagi merasa seringan dan sebebas ini. Jarangnya
aku merasakan perasaan itu membuatnya jadi lebih sulit dikendalikan.
"Mungkin kalau motornya sudah selesai dibetulkan - hitung-hitung hadiah untuk
kita," aku menambahkan.
"Setuju. Kapan kau akan membawanya ke sini?"
Aku menggigit bibir, malu. "Sudah ada di trukku" aku mengakui.
"Bagus." Kelihatannya ia bersungguh-sungguh.
"Apakah Billy bakal melihat kalau kita membawanya ke sini?"
Jacob mengedipkan mata. "Diam-diam saja, kalau begitu."
Kami menyelinap mengitari rumah dari sisi timur, merapat ke pepohonan bila kami
bisa terlihat dari jendela, berlagak seperti sedang jalan-jalan, untuk berjagajaga. Jacob dengan cekatan menurunkan sepeda-sepeda motor itu dari bak truk,
mendorongnya satu per satu ke semak tempat aku bersembunyi. Enteng saja
kelihatannya baginya - padahal seingatku sepeda-sepeda motor itu berat, sangat
berat. "Kondisinya tidak parah-parah amat kok," kata Jacob, menilai kondisi sepedasepeda motor itu sementara kami mendorongnya ke bawah naungan pepohonan. "Yang
satu ini malah bisa bernilai tinggi kalau sudah dibetulkan - ini Harley Sprint
kuno." "Kalau begitu, itu punyamu."
"Kau yakin"' "Jelas." "Tapi untuk membetulkannya butuh banyak biaya," kata Jacob, mengerutkan kening
memandangi bagian-bagian sepeda motor yang sudah menghitam. "Kita harus menabung
dulu untuk bisa membeli onderdil."
"Bukan kita," tolakku. "Kalau kau mau membetulkannya gratis, akulah yang akan
membeli onderdilnya."
"Entahlah...," gumam Jacob.
"Aku punya sedikit uang tabungan. Dana kuliah, kau tahu." Masa bodoh dengan
kuliah, pikirku dalam hati. Aku toh tidak menabung tidak cukup banyak untuk
pergi ke suatu tempat istimewa - lagi pula, aku toh tidak berniat meninggalkan
Forks. Apa bedanya kalau aku membobol tabunganku sedikit"
Jacob hanya mengangguk. Semua itu masuk akal saja baginya.
Sementara kami mengendap-endap kembali ke garasi, aku memikirkan
keberuntunganku. Hanya cowok remaja yang mau melakukan ini: menipu orangtua kami
dengan membetulkan kendaraan berbahaya dan menggunakan uang yang seharusnya
ditabung untuk kepentingan kuliah. Ia tidak melihat ada yang salah dengan hal
itu. Jacob benar-benar anugerah dari para dewa.
6. TEMAN-TEMAN KEDUA sepeda motor itu tidak perlu disembunyikan di tempat yang jauh, cukup
menyimpannya di garasi Jacob. Kursi roda Billy tidak bisa bergerak di tanah
tidak rata yang memisahkan pondok dengan rumah.
Jacob mulai membongkar motor pertama-yang berwarna merah, yang akan menjadi
milikku - hingga bagian-bagiannya terlepas. Ia membuka pintu Rabbit-nya supaya
aku bisa duduk di jok. bukan di lantai. Sambil bekerja Jacob mengobrol dengan
gembira, hanya perlu kupancing sedikit untuk meneruskan obrolan. Ia menceritakan
sekolahnya, kelas-kelas yang ia ikuti, juga dua sahabatnya.
"Quil dan Embry?" selaku. "Nama-nama yang tidak lazim."
Jacob terkekeh. "Quil itu nama turunan, sedang Embry nama bintang sinetron.
Pokoknya aku tidak bisa bilang apa-apa soal itu. Mereka bakal ngamuk kalau kau
mulai menyinggung nama mereka - mereka bakal mengeroyokmu."
"Itu kausebut teman baik?" Aku mengangkat sebelah alis.
"Mereka memang baik kok. Hanya saja jangan ejek nama mereka."
Saat itulah terdengar seruan di kejauhan. "Jacob?" teriak seseorang.
"Itu Billy, ya?" tanyaku.
"Bukan," Jacob menunduk, dan kelihatannya wajahnya memerah di balik kulitnya
yang cokelat. "Baru dibicarakan sudah nongol. Itu panjang umur namanya."
"Jake" Kau di sini?" Teriakan itu kini semakin dekat.
"Yeah!" Jacob menyahut, lalu mendesah.
Kami menunggu sambil terdiam sebentar sampai dua cowok jangkung berkulit gelap
melenggang memasuki garasi.
Yang satu bertubuh ramping, hampir setinggi Jacob. Rambut hitamnya sedagu dan
dibelah tengah, sebelah diselipkan di balik telinga kiri sementara yang kanan
tergerai bebas. Cowok satunya yang lebih pendek tubuhnya lebih gempal. Kaus
putihnya ketat menutupi dadanya yang berotot, dan tampaknya ia sadar dan bangga
akan hal itu. Rambutnya dipangkas pendek sekali hingga nyaris cepak.
Langkah keduanya langsung terhenti begitu
mereka melihatku. Si ceking melirikku dan Jacob bergantian, sementara si gempal
menatapku terus, senyum mengembang perlahan di wajahnya.
"Hei, Guy," Jacob menyapa mereka setengah hati.
"Hei, Jake," sahut si pendek tanpa mengalihkan tatapannya dariku. Aku terpaksa
membalas senyumnya, seringaiannya sangat jail. Melihatku tersenyum, ia
mengedipkan mata. "Halo."
"Quil, Embry-ini temanku, Bella."
Quil dan Embry, aku masih belum tahu yang mana Quil dan yang mana Embry,
bertukar pandang dengan sorot penuh makna.
"Anak Charlie, kan?" tanya si gempal, mengulurkan tangan.
"Benar," jawabku menjabat tangannya.
Genggamannya mantap; kelihatannya ia seperti sedang melenturkan otot-otot
bisepsnya. "Aku Quil Ateara," ia memperkenalkan diri dengan gagah sebelum melepaskan
tanganku. "Senang berkenalan denganmu, Quil."
"Hai, Bella. Aku Embry. Embry Call-mungkin
kau sudah bisa menebaknya" Embry menyunggingkan senyum malu-malu dan melambai
dengan satu tangan, yang kemudian ia jejalkan ke saku jinsnya.
Aku mengangguk. "Senang berkenalan denganmu juga."
"Kalian ngapain?" tanya Quil, masih terus memandangiku.
"Bella dan aku ingin memperbaiki sepeda-sepeda motor ini," Jacob menjelaskan,
meski itu tak sepenuhnya tepat. Tapi sepeda motor sepertinya kata ajaib.
Perhatian kedua cowok itu langsung beralih ke proyek Jacob, mencecarnya dengan
pertanyaan-pertanyaan terpelajar. Banyak dari kata-kata yang mereka gunakan
tidak kumengerti, dan kurasa aku harus memiliki kromosom Y untuk benar-benar
memahami semangat mereka yang meluap-luap.
Ketiganya masih asyik mengobrol tentang onderdil dan bagian-bagian motor waktu
aku memutuskan untuk pulang sebelum Charlie muncul di sini. Sambil mendesah, aku
merosot turun dari Rabbit.
Jacob mendongak lagi, ekspresinya seperti meminta maaf. "Kami membuatmu bosan,
ya?" "Tidak." Dan aku memang tidak bohong. Aku merasa senang-benar-benar aneh. "Tapi
aku harus memasak makan malam untuk Charlie."
"Oh... Well, aku akan selesai membongkar motor ini malam ini dan menentukan apa
saja yang kita butuhkan untuk memperbaikinya. Kapan kau ingin kita menggarapnya
lagi?" "Bisakah aku kembali lagi besok?" Hari Minggu sudah menjadi kutukan dalam
hidupku. Tak pernah ada cukup PR untuk menyibukkanku.
Quil menyenggol lengan Embry dan keduanya nyengir.
Jacob tersenyum senang. "Wah, pasti asyik!"
"Kalau kau bisa menyusun daftarnya, kita bisa pergi untuk membeli onderdil," aku
menyarankan. Wajah Jacob sedikit berkurang kegembiraannya. "Aku masih belum yakin apakah aku
sebaiknya membiarkanmu membayar semuanya."
Aku menggeleng. "Tidak bisa. Pokoknya aku akan mendanai proyek ini. Kau tinggal
menyumbang tenaga dan keahlian saja"
Embry memutar bola matanya pada Quil.
"Tetap saja rasanya kurang tepat," Jacob menggeleng.


Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jake, kalau aku membawa sepeda-sepeda motor ini ke bengkel, berapa biaya yang
akan diminta montir padaku?" aku beralasan.
Jacob tersenyum. "Oke, kalau begitu setuju."
"Belum lagi kau nanti harus mengajariku mengendarainya, aku menambahkan.
Quil nyengir lebar pada Embry dan membisikkan sesuatu yang tak bisa kutangkap.
Tangan Jacob melayang untuk menampar bagian belakang kepala Quil. "Cukup sudah,
keluar," gerutunya. "Tidak, sungguh, aku harus pulang," protesku, bergegas ke pintu. "Sampai ketemu
besok, Jacob." Begitu aku lenyap dari pandangan, kudengar Quil dan Embry berseru berbarengan,
"Wuuuuuuu!" Diikuti sejurus kemudian dengan suara gradak-gruduk, diselingi dengan "Waduh!"
dan "Hei!" "Kalau kalian berani-berani menjejakkan kaki lagi ke tanahku besok... " Kudengar
Jacob mengancam. Suaranya lenyap waktu aku berjalan melewati pepohonan.
Aku tertawa pelan. Suara itu membuat mataku membelalak heran. Aku tertawa,
benar-benar tertawa, padahal tak ada yang memerhatikan. Aku merasa sangat ringan
hingga aku tertawa lagi, hanya agar perasaan itu bertahan lebih lama.
Aku lebih dulu sampai di rumah ketimbang Charlie. Waktu ia datang, aku baru saja
mengangkat ayam goreng dari wajan dan meletakkannya di atas tumpukan serbet
kertas. "Hai, Dad." Aku nyengir padanya.
Wajah ayahku tampak shock sesaat sebelum ia mengubah ekspresinya. "Hai, Sayang,"
sapanya, suaranya terdengar tidak yakin. "Senang bertemu Jacob?"
Aku mulai memindahkan makanan ke meja. "Ya, senang."
"Well, baguslah kalau begitu." Charlie masih berhati-hati. "Kalian ngapain"'
Sekarang giliranku yang berhati-hati. "Aku nongkrong di garasinya dan
menontonnya bekerja. Dad tahu dia sedang memperbaiki Volkswagen?"
"Yeah, kalau tidak salah Billy pernah menceritakannya."
Interogasi harus terhenti saat Charlie mulai mengunyah, tapi ia terus mengamati
wajahku sambil makan. Usai makan malam aku menyibukkan diri, membersihkan dapur dua kali, kemudian
mengerjakan PR pelan-pelan di ruang depan sementara Charlie menonton
pertandingan hoki. Aku menunggu selama mungkin, tapi akhirnya Charlie mengatakan
malam sudah larut. Ketika aku tidak menjawab, ia bangkit, meregangkan otot, lalu
pergi tidur, mematikan lampu. Dengan enggan aku mengikutinya.
Saat menaiki tangga, aku merasakan sisa-sisa perasaan senang aneh yang kurasakan
sore tadi menyusut dari dalam diriku, digantikan perasaan takut memikirkan apa
yang akan kuhadapi sekarang.
Aku tidak kebas lagi. Malam ini akan, tak diragukan lagi, sama mengerikannya
dengan semalam. Aku berbaring di tempat tidur dan bergelung rapat-rapat, menanti
datangnya serangan. Kupejamkan mataku erat-erat dan... tahu-tahu, hari sudah
pagi. Kupandangi cahaya keperakan pucat yang menerobos jendela kamarku, terperangah.
Untuk pertama kali dalam empat bulan lebih, aku bisa tidur tanpa bermimpi.
Bermimpi atau menjerit. Entah emosi mana yang lebih kuat-lega ataukah shock.
Aku berbaring diam di tempat tidurku selama beberapa menit, menunggu perasaan
itu datang kembali. Karena pasti ada yang datang. Kalau bukan kepedihan, maka
mati rasa. Aku menunggu, tapi tak terjadi apa-apa. Aku merasa lebih bugar
daripada yang kurasakan beberapa bulan belakangan ini.
Aku tak yakin ini bakal bertahan. Rasanya seperti berdiri di tubir yang licin
dan berbahaya, dan bergerak sedikit saja pasti bakal membuatku tergelincir.
Mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar dengan mata tiba-tiba jernih-menyadari
betapa aneh kelihatannya, terlalu resik, seolah-olah aku tidak tinggal di sini
sama sekali-benar-benar berbahaya.
Kutepis pikiran itu dari benakku, dan
berkonsentrasi, sambil berpakaian, pada fakta bahwa aku akan bertemu Jacob lagi
hari ini. Pikiran itu membuatku nyaris merasa.. , penuh harapan. Mungkin akan
sama seperti kemarin. Mungkin aku tak perlu mengingatkan diriku untuk tampak
tertarik dan mengangguk atau tersenyum pada interval tertentu, seperti yang
kulakukan pada orang-orang lain. Mungkin... tapi aku tak yakin ini akan bertahan
juga. Tidak yakin hari ini akan sama-begitu mudah-seperti kemarin. Aku tidak
akan menyiapkan diri untuk kekecewaan seperti itu.
Saat sarapan, Charlie bersikap hati-hati. Ia berusaha menyembunyikan sikap
penasarannya, mengarahkan mata ke telurnya sampai yakin aku tidak melihat.
"Apa yang akan kaulakukan hari ini?" tanyanya, mengamati benang yang terlepas di
pinggiran mansetnya, seakan-akan tidak terlalu memerhatikan jawabanku.
"Aku mau main ke rumah Jacob lagi"
Charlie mengangguk tanpa mendongak. "Oh," ujarnya.
"Dad keberatan?" Aku pura-pura khawatir. "Aku bisa tinggal di rumah... "
Charlie buru-buru mendongak, sorot panik terpancar dari wajahnya. "Tidak, tidak!
Pergi saja. Kebetulan Harry akan datang untuk nonton pertandingan denganku."
"Mungkin Harry bisa menjemput Billy sekalian," aku menyarankan. Semakin sedikit
saksi mata, semakin baik.
"Wah, ide bagus."
Aku tak yakin apakah pertandingan itu hanya alasan untuk "mengusirku" dari
rumah, tapi Charlie tampak cukup bersemangat sekarang. Ia langsung menghampiri
pesawat telepon sementara aku memakai jas hujan. Aku merasa sedikit waswas
dengan buku cek yang tersimpan di saku jaketku. Aku tak pernah menggunakannya.
Di luar hujan turun seperti air ditumpahkan dari ember.
Aku harus mengendarai trukku lebih pelan lagi; aku nyaris tak bisa melihat mobil
lain di depan trukku. Tapi akhirnya aku sampai juga di jalan berlumpur yang
menuju ke rumah Jacob. Sebelum aku sempat mematikan mesin, pintu depan sudah
terbuka dan Jacob berlari menyongsongku sambil membawa payung hitam besar.
Ia memegangi payung itu menaungi pintu trukku.
"Charlie menelepon tadi - katanya kau sudah jalan ke sini," Jacob menjelaskan
sambil nyengir. Dengan enteng, tanpa harus dikomando lagi oleh otot-otot yang mengelilinginya,
bibirku merekah membentuk senyuman. Perasaan hangat yang aneh menggelegak
menaiki kerongkonganku, padahal air hujan yang memercik ke pipiku dingin seperti
es. "Hai, Jacob." "Pintar juga kau, mengusulkan supaya Billy dijemput," Jacob mengangkat tangannya
untuk ber-high five denganku.
Aku harus mengulurkan tangan tinggi-tinggi untuk membalasnya dan Jacob tertawa.
Harry datang menjemput Billy beberapa menit kemudian. Jacob mengajakku melihatlihat kamarnya yang kecil sambil menunggu orang-orang dewasa pergi.
"Jadi kita ke mana, Pak Montir?" tanyaku begitu pintu depan ditutup Billy.
Jacob mengeluarkan kertas yang terlipat dari saku dan meluruskannya. "Kita mulai
dari tempat penimbunan barang bekas, siapa tahu kita beruntung. Proyek ini bisa
jadi agak mahal lho," ia mengingatkanku. "Kedua motor itu perlu dipermak habishabisan agar bisa berfungsi lagi." Karena wajahku tidak tampak waswas, Jacob
menambahkan, "Maksudku mungkin bisa habis lebih dari seratus dolar."
Aku mengeluarkan buku cek dan mengibas-ngibaskannya memutar bola mata seolah
meremehkan kekhawatirannya. "Itu sih enteng."
Hari ini lumayan aneh. Aku menikmatinya. Bahkan saat di tempat penimbunan barang
bekas sekalipun, di bawah guyuran hujan dan berlepotan lumpur setinggi
pergelangan kaki. Awalnya aku penasaran apakah itu hanya aftershock setelah
kehilangan perasaan kebas, tapi menurutku itu bukan penjelasan yang cukup masuk
akal. Aku mulai berpikir penyebab terbesarnya adalah Jacob. Bukan hanya karena ia
selalu senang bertemu denganku, atau bahwa ia tidak diam-diam melirikku dari
sudut matanya, menunggu aku melakukan sesuatu yang bisa membuatku dikira gila
atau depresi. Sama sekali tak ada hubungannya denganku. Penyebabnya adalah Jacob
sendiri. Pada dasarnya Jacob memang periang, dan sifat periang itu terbawa dalam
dirinya seperti aura, menularkannya pada siapa pun yang kebetulan di dekatnya.
Seperti bumi yang mengelilingi matahari, setiap kali ada orang dalam jangkauan
gravitasinya, Jacob membuat mereka merasa hangat. Hal yang alamiah, bagian dari
dirinya yang sesungguhnya. Tak heran aku begitu bersemangat ingin bertemu
dengannya. Bahkan saat ia mengomentari lubang menganga di dasbor-ku, itu tak lantas
membuatku panik seperti seharusnya.
"Srereo-nya rusak, ya?" tanyanya heran.
"Yeah," dustaku.
Jacob merogoh-rogoh ke balik lubang itu. "Siapa yang mengeluarkannya" Kok sampai
rusak begini... " "Aku," jawabku mengakui.
Jacob terbahak. "Mungkin sebaiknya kau nanti jangan sering-sering menyentuh
motor." "Bukan masalah."
Menurut Jacob, kami beruntung dalam perburuan kami di tempat penimbunan barang
bekas. Ia sangat bersemangat melihat beberapa logam penyok temuannya yang
menghitam karena oli; aku kagum karena ia bisa tahu kegunaan benda-benda itu.
Dari sana kami ke Checker Auto Parts di Hoquiam. Dengan trukku, perjalanan ke
sana makan waktu dua jam lebih ke arah selatan, menyusuri jalan bebas hambatan
yang berkelok-kelok, tapi waktu berlalu tanpa terasa bila bersama Jacob. Ia
mengobrol tentang teman-teman dan sekolahnya, dan aku mendapati diriku
mengajukan banyak pertanyaan, bahkan tanpa berpura-pura, tapi karena benar-benar
ingin mengetahui jawabannya.
"Dari tadi aku terus yang bicara," protes Jacob setelah selesai bercerita
panjang-lebar tentang Quil dan huru-hara yang ditimbulkannya gara-gara mengajak
kencan pacar murid senior. "Bagaimana kalau sekarang gantian" Apa saja yang
sedang terjadi di Forks" Di sana pasti jauh lebih seru daripada di La Push."
"Salah," aku mendesah. "Benar-benar tidak ada apa-apa di sana. Teman-temanmu
jauh lebih menarik daripada teman-temanku. Aku suka teman-temanmu. Si Quil itu
lucu." Kening Jacob berkerut. "Kurasa Quil suka padamu."
Aku tertawa. "Dia agak terlalu muda untukku."
Kerutan di kening Jacob semakin dalam. "Dia tidak terlalu lebih muda darimu.
Hanya satu tahun beberapa bulan."
Aku merasa kami tidak sedang membicarakan Quil lagi. Aku menjaga agar suaraku
tetap ringan, menggoda. "Tentu, tapi mengingat perbedaan kematangan antara cowok
dan cewek, bukankah menurutmu sebaiknya kita menghitungnya dalam usia anjing"
Berapa umurku dalam usia anjing, kira dua belas tahun lebih tua?"
Jacob tertawa, memutar bola matanya. "Oke, tapi kalau kau mau sok pilih-pilih
seperti itu, kau juga harus membuat perhitungan rata-rata sesuai ukuran tubuh.
Kau kan kecil sekali, jadi sepuluh tahun harus dibuang dari total umurmu."
"Seratus enam puluh senti kan tinggi rata-rata," dengusku. "Bukan salahku kalau
kau kelewat tinggi."
Kami saling mengolok-olok seperti itu hingga mencapai Hoquiam, masih
memperdebatkan formula yang tepat untuk menentukan umur-aku kehilangan dua tahun karena tidak
bisa mengganti ban, tapi mendapat satu tahun lagi karena ditugaskan mengurus
pembukuan di rumahku- sampai kami tiba di Checker, dan Jacob harus kembali
berkonsentrasi. Kami menemukan semua yang ada dalam daftarnya, dan Jacob yakin
akan mencapai banyak kemajuan dengan onderdil yang sudah kami beli.
Saat kami tiba kembali di La Push, umurku 23 tahun dan dia 30-jelas ia
menambahkan keahliannya mengutak-atik mesin untuk mendongkrak umurnya.
Aku belum melupakan alasanku melakukan ini. Dan, meski dalam prosesnya aku
merasa lebih bahagia daripada yang kuduga sebelumnya, tak ada alasan untuk
mengubah keinginan awalku.
Aku tetap ingin berbuat curang. Tidak masuk akal memang, tapi aku benar-benar
tak peduli. Aku akan melakukan hal paling ceroboh yang bisa kulakukan di Forks.
Jangan harap aku akan tetap menepati janjiku sementara pihak lain sudah
melanggarnya. Menghabiskan waktu bersama Jacob ternyata jauh lebih mengasyikkan
daripada yang kuduga. Billy belum pulang, jadi kami tidak perlu sembunyi-sembunyi menurunkan barangbarang belanjaan kami. Begitu semua sudah kami hamparkan di lantai plastik dekat
kotak perkakas Jacob, Jacob langsung mulai bekerja sambil terus bicara dan
tertawa-tawa sementara jari-jarinya menyortir dengan ahli berbagai onderdil
logam di hadapannya. Kepiawaian Jacob bekerja dengan tangan sangat menakjubkan. Padahal tangannya
tampak kelewat besar untuk pekerjaan rumit yang harus dilakukan dengan cermat
dan tepat. Saat sedang bekerja, gerakannya nyaris terkesan anggun. Tidak seperti
bila sedang berdiri; tubuhnya yang jangkung dan kakinya yang besar membuatnya
nyaris sama kikuknya denganku.
Quil dan Embry tidak muncul, jadi mungkin
ancaman Jacob kemarin ditanggapi serius oleh mereka.
Hari berlalu kelewat cepat. Sebentar saja hari sudah gelap di mulut garasi,
kemudian kami mendengar Billy memanggil kami.
Aku melompat dan membantu Jacob menyimpan semua peralatan, ragu-ragu karena tak
yakin apakah aku boleh menyentuh bagian-bagian sepeda motor itu.
"Tinggalkan saja," kata Jacob. "Aku akan bekerja lagi nanti malam."
"Jangan lupakan tugas sekolahmu atau tugas lainnya," kataku, merasa sedikit
bersalah. Aku tak ingin Jacob mendapat masalah. Masalah itu hanya untukku.
"Bella?" Kami sama-sama tersentak waktu suara Charlie yang familier menyeruak di antara
pepohonan, kedengarannya dekat sekali.
"Sial," gerutuku. "Ya, sebentar!" teriakku ke arah rumah.
"Ayo pergi." Jacob tersenyum, menikmati ketegangan. Ia mematikan lampu, dan
sesaat aku seolah-olah buta. Jacob menyambar tanganku dan menarikku keluar dari
garasi, menembus pepohonan, kakinya menemukan jalan setapak yang sudah sangat
dikenalnya dengan mudah. Tangannya kasar, dan sangat hangat.
Meski ada jalan setapak, kami masih saja tersandung-sandung dalam gelap. Jadi
kami sama-sama tertawa waktu rumah mulai tampak. Tawanya tidak terlalu dalam;
ringan dan hanya di permukaan, tapi tetap menyenangkan. Aku yakin Jacob tidak
menyadari secercah histeria di dalamnya. Aku tidak biasa tertawa, dan tawa itu
terasa menyenangkan tapi sekaligus meresahkan.
Charlie berdiri di teras belakang yang kecil, bersama Billy yang duduk di ambang
pintu di belakangnya. "Hai, Dad," sapa kami berbarengan, dan itu membuat kami tertawa lagi.
Charlie memandangiku dengan mata terbelalak lebar, lalu melirik sekilas ke
bawah, melihat tangan Jacob yang menggandeng tanganku.
"Billy mengundang kita makan malam," kata Charlie dengan nada biasa-biasa saja.
"Resep spageti super rahasiaku. Diwariskan
turun-temurun ke beberapa generasi," kata Billy dengan suara serak.
Jacob mendengus. "Kurasa ragu belum ada selama itu."
Di dalam rumah penuh orang. Ada Harry Clearwater bersama keluarganya - istrinya,
Sue, yang samar-samar masih kuingat dari liburan musim panas di Forks waktu aku
masih kecil dulu, dan kedua anaknya. Leah murid senior seperti aku, tapi usianya
setahun lebih tua. Kecantikannya eksotis - kulit tembaga indah, rambut hitam
mengilat, bulu mata tebal seperti bulu ayam - dan ia sibuk sendiri. Sejak kami
datang, ia terus asyik mengobrol di telepon rumah Billy, dan tidak kunjung
berhenti. Seth berumur empat belas tahun; ia mendengarkan setiap kata yang
keluar dari mulut Jacob dengan sorot mata mengidolakan.
Karena tidak semua orang bisa ditampung di meja dapur, Charlie dan Harry
mengeluarkan kursi-kursi ke halaman, dan kami makan spageti dari piring yang
diletakkan di pangkuan, di keremangan cahaya lampu yang menyorot dari balik
pintu rumah Charlie yang terbuka. Kaum lelaki mengobrolkan pertandingan, lalu
Harry dan Charlie menyusun rencana untuk memancing bersama-sama. Sue menyindir
suaminya tentang kolesterolnya dan berusaha, meski gagal, membuatnya malu dan
makan sesuatu yang berdaun dan berwarna hijau. Jacob mengobrol denganku dan
Seth, yang sesekali menyela dengan penuh semangat setiap kali Jacob terlihat
seperti mau melupakannya. Charlie menatapku, berusaha agar tidak kentara, dengan
sorot mata senang namun waspada.
Berisik dan terkadang membingungkan rasanya saat semua orang berlomba-lomba
mengungguli yang lain dalam bercerita, dan tawa dari satu lelucon diinterupsi
dengan cerita tentang lelucon lain. Aku tak perlu sering-sering bicara, tapi aku
Kesatria Baju Putih 12 Pendekar Rajawali Sakti 171 Sayembara Maut Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 11

Cari Blog Ini