Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 3
"Aku bisa. Sungguh"
"Oke. Hanya Bella dan Jacob. Tidak ada makhluk mengerikan bernama Virgo di
sini." Jacob tersenyum padaku, senyum hangat familier yang sangat kurindukan.
Aku merasakan senyumku sendiri merekah, menanggapi senyumnya.
"Aku benar-benar kehilangan kau, Jake," aku mengakui dengan sikap impulsif.
"Aku juga," senyum Jacob melebar. Sorot matanya bahagia dan jernih, sekali itu
bebas dari sorot kegetiran penuh amarah. "Lebih dari yang kauketahui. Kau akan
datang lagi nanti?" "Secepat aku bisa," aku berjanji.
6. SWISS SAAT mengendarai truk pulang, aku tidak terlalu memerhatikan jalan yang berkilau
basah tertimpa cahaya matahari. Aku sibuk memikirkan berbagai informasi yang
diceritakan Jacob padaku tadi, berusaha memilah-milahnya, menjejalkan semua ke
kepalaku agar terdengar masuk akal.
Meski bebanku menumpuk, aku merasa lebih ringan. Melihat Jacob tersenyum, semua
rahasia dibeberkan... memang tidak membuat situasi sempurna, tapi toh jadi lebih baik. Keputusanku
untuk pergi memang benar. Jacob membutuhkanku. Dan jelas, pikirku sambil
menyipitkan mata menahan terik matahari, sama sekali tidak berbahaya.
Mendadak itu muncul. Sedetik sebelumnya tidak ada apa-apa kecuali jalan raya
cemerlang di kaca spionku. Detik berikutnya, cahaya matahari berkilau menerpa
bodi perak mengilat sebuah Volvo yang mengekor tepat di belakangku.
"Sial," keluhku.
Aku sempat menimbang-nimbang untuk menepi. Tapi aku terlalu pengecut untuk
langsung menghadapi Edward. Padahal aku berharap bakal punya waktu untuk
menyiapkan diri... dan ada Charlie di dekatku sebagai peredam. Paling tidak itu
bakal memaksa Edward memelankan suaranya.
Volvo itu membuntuti hanya beberapa meter di belakangku. Pandangan mataku tetap
lurus ke depan, Benar-benar pengecut pokoknya, aku mengendarai trukku langsung
ke rumah Angela tanpa sekali pun membalas tatapan yang bisa kurasakan membakar,
melubangi spionku. Edward mengikutiku terus sampai aku menepikan trukku di depan rumah keluarga
Weber. Ia tidak berhenti, dan aku tidak mendongak waktu ia lewat, Aku tak ingin
melihat ekspresinya. Aku berlari-lari kecil menyusuri jalanan beton pendek yang
menuju pintu rumah Angela begitu Edward tidak tampak lagi.
Ben membuka pintu sebelum aku sempat berhenti mengetuk, seolah-olah sejak tadi
ia sudah berdiri di belakang pintu ..
"Hai, Bella," sapanya, kaget.
"Hai, Ben. Eh, Angela ada?" Dalam hati aku bertanya-tanya apakah Angela lupa
rencana kami, dan mengernyit ngeri membayangkan harus pulang lebih cepat.
"Ada," jawab Ben, dan saat itu juga Angela berseru,
"Bella!" lalu muncul di puncak tangga.
Ben melongok ke balik bahuku waktu kami mendengar suara mobil di jalanan;
suaranya tidak membuatku takut - mesin mobil ini terbatuk-batuk dulu sebelum
berhenti, disusul suara letupan mesin. Sama sekali tidak seperti dengkur halus
mesin Volvo. Itu pasti tamu yang ditunggu-tunggu Ben.
"Austin datang." seru Ben waktu Angela tiba di sampingnya.
Terdengar suara klakson dari arah jalan.
"Sampai ketemu lagi nanti." janji Ben. "Belum pergi saja aku sudah kangen
padamu." Ben merangkul leher Angela dan menarik kepalanya agar bisa menciumnya dengan
antusias. Sejurus kemudian Austin kembali mengklakson.
"Daah, Ang! Aku mencintaimu!" teriak Ben sambil berlari melewatiku.
Angela limbung, wajahnya merona, lalu ia tersadar dan melambai sampai Ben dan
Austin lenyap dari pandangan.
Kemudian ia berpaling padaku dan nyengir masam.
"Terima kasih karena mau membantuku, Bella," katanya. "Ini tulus dari dasar
hatiku yang terdalam. Kau bukan hanya menyelamatkan tanganku dari cedera
permanen, tapi kau juga menyelamatkanku dari keharusan duduk selama dua jam
penuh, menonton film silat yang tidak ada plotnya dan yang dubbing-nya buruk
sekali." Angela mengembuskan napas lega.
"Senang bisa membantu." Kepanikanku sedikit berkurang, dan aku bisa bernapas
lebih teratur, Rasanya biasa sekali di sini. Drama kehidupan Angela yang ringan
dan khas manusia itu anehnya justru membuatku tenang. Senang mengetahui ternyata
ada juga kehidupan yang normal.
Kuikuti Angela menaiki tangga menuju kamarnya. Sambil berjalan ia menendangi
mainan-mainan yang berserakan menghalangi jalan. Tidak biasanya rumah Angela
sepi sekali. "Mana keluargamu?"
"Orangtuaku membawa si kembar ke pesta ulang tahun di Port Angeles. Aku tak
percaya kau benar-benar mau membantuku melakukan ini. Ben saja pura-pura
tangannya terkilir." Angela mengernyit.
"Aku sama sekali tidak keberatan," kataku, berjalan memasuki kamar Angela dan
melihat tumpukan amplop yang sudah menunggu.
"Oh!" aku terkesiap. Angela menoleh dan menatapku, sorot matanya meminta maaf.
Pantas ia menunda-nundanya terus. Dan pantas juga Ben memilih menghindar.
"Kukira kau melebih-lebihkan." aku mengakui. "Kalau saja begitu. Yakin kau mau
melakukannya?" "Pekerjakan aku. Aku punya waktu seharian."
Angela membagi dua tumpukan dan meletakkan buku alamat ibunya di meja, persis di
tengah-tengah. Selama beberapa saat kami berkonsentrasi, dan yang terdengar
hanya suara bolpoin kami menggores pelan kertas.
"Apa yang dilakukan Edward malam ini?" tanya Angela beberapa menit kemudian.
Bolpoinku menekan kuat-kuat amplop yang sedang kukerjakan. "Emmett pulang akhir
pekan ini. Sepertinya mereka hiking"
"Kedengarannya kau tidak yakin."
Aku mengangkat bahu. "Kau beruntung Edward punya saudara-saudara lelaki, jadi dia bisa pergi hiking
dan kemping bersama mereka. Entah apa yang bakal kulakukan seandainya tidak ada
Austin yang mengajak Ben melakukan kegiatan-kegiatan khas cowok."
"Yeah, aku tidak suka melakukan aktivitas luar ruang. Dan tidak akan bisa
mengimbangi." Angela tertawa. "Aku juga lebih menyukai kegiatan di dalam ruangan."
Angela berkonsentrasi lagi ke tumpukan amplopnya. Aku menyelesaikan empat amplop
lagi. Aku tak pernah merasa harus mengisi kesunyian dengan obrolan basa-basi
jika bersama Angela. Seperti Charlie, ia memang lebih suka berdiam diri.
Tapi seperti juga Charlie, Angela terkadang juga sangat tajam dalam menilai.
"Ada masalah?" tanyanya, suaranya rendah sekarang. "Sepertinya kau... gelisah."
Aku tersenyum malu-malu. "Sejelas itukah?"
"Tidak juga." Mungkin Angela berbohong untuk menenangkan perasaanku.
"Kau tak perlu membicarakannya kalau memang tidak mau." Angela meyakinkanku.
"Aku akan mendengarkan kalau kaupikir itu bisa membantu."
Aku hampir saja mengatakan Trims, tapi tidak usah sajalah. Soalnya terlalu
banyak rahasia yang harus kusimpan. Aku benar-benar tidak bisa mendiskusikan
masalahku dengan seorang manusia. Itu melanggar aturan.
Meski begitu, keinginan itu mendadak muncul, kuat sekali. Aku ingin berbagi pada
teman perempuan yang normal. Aku ingin mengeluh sedikit, seperti remaja-remaja
umumnya. Aku ingin masalahku sesederhana itu. Akan menyenangkan bila ada orang
di luar urusan pelik yang melibatkan vampir dan werewolf ini, yang bisa
memandang masalah dalam perspektif yang benar. Seseorang yang bisa
objektif. "Aku tidak akan ikut campur," janji Angela, tersenyum memandangi alamat yang
sedang ditulisnya. "Tidak." ujarku. "Kau benar. Aku memang gelisah. Soal ... soal Edward."
"Memangnya ada apa?"
Mudah sekali mengobrol dengan Angela. Kalau ia bertanya seperti itu, aku tahu ia
bukan sekadar ingin tahu atau ingin mendengar gosip, seperti Jessica. Ia peduli
pada kegelisahanku. "Oh, dia marah padaku."
"Sulit membayangkannya." kata Angela. "Kenapa dia marah?"
Aku menarik napas. "Ingat Jacob Black?"
''Ah,'' ucapnya. "Yeah." "Dia cemburu." "Tidak, bukan cemburu... " Seharusnya aku tadi tidak usah cerita. Toh aku takkan
bisa menjelaskan dengan benar. Tapi aku masih ingin bicara. Baru sekarang aku
menyadari berapa hausnya aku pada obrolan manusia. "Edward menganggap Jacob
memberiku pengaruh buruk, kurasa. Sedikit... berbahaya. Kau kan tahu bagaimana
aku terlibat masalah beberapa bulan lalu.Tapi semua itu konyol."
Aku kaget juga melihat Angela menggeleng-gelengkan kepala.
''Apa"'' tanyaku. "Bella, aku lihat sendiri cara Jacob Black menatapmu. Berani taruhan, masalah
sebenarnya adalah cemburu."
"Padahal tidak ada apa-apa di antara aku dan Jacob."
"Bagimu, mungkin. Tapi bagi Jacob... "
Keningku berkerut. "Jacob tahu bagaimana perasaanku. Aku sudah menceritakan
semua padanya." "Edward juga manusia, Bella. Dia akan bereaksi seperti cowok-cowok lain juga."
Aku meringis. Tidak bisa menanggapi.
Angela menepuk-nepuk tanganku. "Dia pasti bisa mengatasinya."
"Mudah-mudahan saja. Jacob sedang susah sekarang. Dia membutuhkanku."
"Kau dan Jacob sangat dekat, ya?"
"Sudah seperti keluarga." aku membenarkan.
"Dan Edward tidak suka padanya... Itu pasti sulit. Kira-kira kalau Ben akan
menanganinya bagaimana, ya?" renung Angela.
Aku separuh tersenyum. "Mungkin seperti cowok-cowok lain juga."
Angela nyengir. "Mungkin."
Lalu ia mengubah topik. Angela bukan tipe orang yang suka mengorek-ngorek, dan
sepertinya ia bisa merasakan aku tidak mau -tidak bisa - bercerita lebih banyak
lagi. "Kemarin aku mendapat kepastian soal kamar asrama. Gedung yang terjauh dari
kampus, jelas." "Ben sudah tahu akan dapat kamar di mana?"
"Di asrama yang terdekat dengan kampus. Beruntung benar dia. Kau sendiri
bagaimana" Sudah memutuskan mau kuliah di mana?"
Aku menunduk, berkonsentrasi pada tulisan tanganku yang jelek. Sejenak pikiranku
beralih pada Angela dan Ben yang akan kuliah di University of Washington.
Beberapa bulan lagi mereka sudah akan tinggal di Seattle. Sudah
amankah kota itu nanti" Apakah serangan vampir muda liar itu sudah akan pindah
ke tempat lain" Ataukah ada tempat lain, kota lain yang bakal muncul dan menjadi
headline pemberitaan peristiwa-peristiwa menyeramkan seperti di film horor"
Apakah headline-headline baru itu terjadi akibat salahku" Aku mencoba menepisnya
dan menjawab pertanyaannya sedetik terlambat. "Alaska, mungkin. Di universitas
di Juneau." Aku bisa mendengar kekagetan dalam suara Angela.
"Alaska" Oh. Sungguh" Maksudku, hebat. Aku hanya mengira kau akan pergi ke
tempat lain yang ... lebih hangat."
Aku tertawa kecil, mataku masih tertuju ke amplop.
"Yeah. Forks benar-benar telah mengubah perspektifku tentang kehidupan."
"Dan Edward?" .
Walaupun nama itu membuat perutku langsung bergolak, aku mendongak dan nyengir
kepada Angela. "Alaska juga tidak terlalu dingin bagi Edward."
Angela balas nyengir. "Tentu saja tidak." Lalu ia mendesah, "Itu jauh sekali.
Kau tidak akan bisa sering-sering pulang. Kau mau mengirimiku e-mail, kan?"
Mendadak hatiku dilanda kesedihan; mungkin salah kalau aku justru semakin akrab
dengan Angela sekarang. Tapi apakah justru tidak lebih menyedihkan bila
kehilangan kesempatan terakhir ini" Kutepiskan pikiran-pikiran yang tidak
menyenangkan itu, agar bisa menjawab pertanyaannya tadi dengan nada menggoda.
"Kalau aku bisa mengetik lagi sesudah ini." Aku mengangguk ke tumpukan amplop
yang sudah selesai kukerjakan.
Kami tertawa, dan selanjutnya mudah saja bagi kami mengobrol riang tentang kelas
dan jurusan sambil menyelesaikan sisa tumpukan - yang perlu kulakukan hanya
tidak memikirkannya. Bagaimanapun ada banyak hal lain yang lebih mendesak untuk
dikhawatirkan hari ini. Aku juga membantu Angela menempelkan prangko-prangkonya. Aku takut membayangkan
harus pulang. "Bagaimana tanganmu?" tanyanya.
Aku meregangkan jari-jariku. "Kurasa akan pulih lagi... suatu hari nanti."
Terdengar suara pintu dibanting di bawah, dan kami sama- sama mengangkat wajah.
"Ang?"seru Ben Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku bergetar. "Kurasa itu isyarat aku harus
pulang." "Kau tidak perlu pergi. Walaupun Ben mungkin akan menceritakan film itu
padaku...secara mendetail."
"Charlie pasti bingung kalau aku tidak pulang."
"Terima kasih sudah membantuku."
"Aku menikmatinya kok. Seharusnya kita melakukan sesuatu seperti ini lagi. Asyik
rasanya bisa punya waktu khusus cewek-cewek."
"Jelas." Terdengar suara ketukan pelan di pintu kamar.
"Masuklah, Ben," sahut Angela.
Aku berdiri dan meregangkan otot-ototku.
"Hai, Bella! Bertahan juga kau rupanya." Ben
menyapaku cepat sebelum menggantikan tempatku di sisi Angela. Diamatinya hasil
kerja kami. "Wah, hebat. Sayang tidak ada lagi yang perlu dilakukan, kalau tidak
aku kan bisa..." Ben tidak menyelesaikan kalimatnya, kemudian mulai berbicara
lagi dengan penuh semangat. "Ang, rugi sekali kau tidak ikut nonton film ini!
Filmnya bagus sekali. Di adegan perkelahian terakhir-koreografinya keren sekali!
Cowok ini-well, kau harus menontonnya sendiri baru bisa memahami maksudku... "
Angela memutar bola matanya padaku.
"Sampai ketemu di sekolah." kataku tertawa gugup.
Angela mendesah. "Sampai nanti."
Aku gelisah dalam perjalanan ke trukku, tapi jalanan kosong. Sepanjang
perjalanan sebentar-sebentar mataku melirik ke semua spion, tapi tidak ada
tanda-tanda mobil perak membuntutiku.
Mobilnya juga tidak ada di depan rumahku, meski itu tak
berarti banyak. "Bella?" seru Charlie begitu aku membuka pintu depan.
"Hai, Dad." Aku menemukan Charlie di ruang duduk, di depan TV.
"Bagaimana harimu?"
"Menyenangkan." jawabku. Lebih baik kuceritakan saja semua - karena Charlie
pasti juga akan mendengarnya dari Billy. Lagi pula, ini akan membuatnya senang.
"Mereka tidak membutuhkanku di toko, jadi aku pergi ke La Push."
Wajah Charlie tidak terlalu kaget. Ternyata Billy sudah bicara dengannya.
"Bagaimana kabar Jacob?" tanya Charlie, berlagak acuh tak acuh.
"Baik." jawabku, sama tak acuhnya. "Jadi ke rumah Weber?"
"Yep. Semua amplopnya sudah selesai diberi alamat."
"Bagus." Charlie menyunggingkan senyum lebar. Tumben ia memerhatikanku, padahal
di layar televisi sedang ditayangkan pertandingan olahraga. "Aku senang kau
nongkrong dengan teman-temanmu hari ini."
"Aku juga." Aku melangkah gontai ke dapur, mencari kesibukan.
Sayang Charlie sudah membereskan bekas makan siangnya.
Aku berdiri di sana beberapa menit, memandangi sepetak terang cahaya matahari
yang menerangi lantai. Tapi aku tahu tak bisa menunda-nundanya lebih lama lagi.
"Aku mau belajar," kataku muram sambil beranjak menaiki tangga.
"Sampai nanti." Charlie balas berseru. Kalau aku masih hidup, batinku.
Kututup pintu kamar dengan hati-hati sebelum berbalik menghadap ke dalam kamar.
Tentu saja Edward ada di sana. Ia berdiri di depan dinding yang berhadapan
denganku, dalam bayang-bayang di sebelah jendela yang terbuka. Wajahnya keras
dan posturnya tegang. Ditatapnya aku dengan garang tanpa suara.
Aku mengkeret, menunggu semburan kata-kata pedasnya, tapi tidak ada yang keluar.
Ia terus menatapku garang, mungkin terlalu marah untuk bisa bicara.
"Hai." sapaku akhirnya.
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wajah Edward bagai batu yang dipahat. Aku menghitung sampai seratus dalam hati,
tapi tidak ada perubahan.
"Eh... nah, aku masih hidup," aku memulai.
Geraman pelan terdengar dari dalam dadanya, tapi ekspresinya tak berubah.
"Tak kurang suatu apa pun," aku bersikeras sambil mengangkat bahu.
Edward bergerak. Matanya terpejam, dan ia mencubit pangkal hidungnya dengan
tangan kanannya. "Bella," bisiknya. "Tahukah kau aku nyaris nekat menyeberangi perbatasan hari
ini" Melanggar kesepakatan untuk mencarimu" Tahukah kau apa artinya itu?"
Aku terkesiap dan Edward membuka mata. Mata itu dingin dan keras seperti malam.
"Kau tidak boleh!" sergahku terlalu keras. Aku berusaha menyetel volume suaraku
supaya Charlie tidak mendengar, tapi aku juga ingin meneriakkan kata-kata itu.
"Edward, mereka akan menggunakan alasan apa saja untuk bertarung. Mereka
menyukai itu. Pokoknya jangan pernah melanggar aturan!"
"Mungkin bukan mereka saja yang senang bertarung."
"Jangan macam-macam." bentakku. "Kalian yang membuat kesepakatan itu - jadi
kalian harus menaatinya."
"Kalau dia sampai mencelakakanmu..."
"Cukup!" potongku. "Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. "Jacob tidak berbahaya."
"Bella," Edward memutar bola matanya. "Kau bukan orang yang tepat untuk menilai
apa yang berbahaya dan apa yang tidak."
"Pokoknya aku tidak perlu khawatir soal Jake. Dan kau juga tidak perlu."
Edward menggertakkan giginya. Kedua tangannya mengepal membentuk tinju di sisi
tubuhnya. Ia masih berdiri di depan dinding, dan aku tidak suka ada jarak yang
memisahkan kami. Aku menghela napas dalam-dalam, dan melangkah melintasi ruangan. Edward tak
bergerak sedikit pun waktu aku merangkulnya dengan dua tangan. Di sebelah
kehangatan terakhir matahari sore yang menerobos masuk lewat jendela, kulitnya
terasa sangat dingin. Ia seperti es, membeku kaku seperti itu.
"Maaf aku membuatmu gelisah." bisikku.
Edward mendesah, dan sedikit rileks. Kedua lengannya memeluk pinggangku.
"Gelisah tidak menggambarkan keadaan sebenarnya." gumamnya. "Hari ini rasanya
panjang sekali." "Kau seharusnya tidak perlu tahu soal itu." aku mengingatkan Edward. "Kupikir
kau berburu lebih lama."
Aku mendongak menatap wajah Edward, matanya yang defensif; dalam keadaan
tertekan aku tidak memerhatikan
sebelumnya, tapi ternyata matanya berwarna gelap.
Lingkaran di bawah matanya berwarna ungu tua. Aku mengerutkan kening tidak suka.
"Waktu Alice melihatmu lenyap, aku langsung kembali."
Edward menjelaskan. "Seharusnya kau tidak perlu berbuat begitu. Sekarang kau
harus pergi lagi," Kerutan di keningku semakin dalam. "Aku bisa menunggu."
"Konyol. Maksudku, aku tahu Alice tidak bisa melihatku saat aku bersama Jacob,
tapi kau kan seharusnya tahu... "
"Tapi aku tidak tahu." potong Edward. "Dan kau tidak bisa mengharapkanku
membiarkanmu..." "Oh, ya, bisa saja." selaku. "Memang itulah yang kuharapkan... "
"Itu tidak akan terjadi lagi."
"Benar sekali! Karena kau tidak boleh bereaksi berlebihan lagi lain kali."
"Karena tidak akan ada lain kali."
"Aku mengerti kapan kau harus pergi, walaupun aku tidak suka... "
"Itu lain. Aku tidak mempertaruhkan nyawaku."
"Demikian juga aku."
"Werewolf sama dengan risiko."
"Aku tidak setuju."
"Aku tidak mau bernegosiasi soal ini, Bella." "Aku juga tidak."
Kedua tangan Edward kembali mengepal. Aku bisa merasakannya di punggungku.
Kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa dipikir.
"Apakah ini benar-benar berkaitan dengan keselamatanku?"
"Apa maksudmu?" tuntutnya. "Kau bukannya..."
Teori Angela kedengarannya lebih konyol daripada sebelumnya. Sulit sekali
menuntaskan pikiranku. "Maksudku, kau bersikap begini bukan karena cemburu,
kan?" Edward mengangkat sebelah alis. "Apakah aku cemburu?"
"Serius dong." "Itu mudah - karena memang tidak ada yang lucu dalam masalah ini."
Aku mengerutkan kening dengan sikap curiga. "Atau... mungkin ini soal lain"
Omong kosong soal vampir dan werewolf yang jadi musuh bebuyutan" Atau ini hanya
perselisihan yang dipicu hormon testosteron..."
Sorot mata Edward berapi-api. "Ini hanya tentang kau. Yang kupedulikan hanya
soal keamananmu." Mustahil meragukan api yang berkobar di matanya.
"Oke." desahku. "Aku percaya. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu - kalau urusannya
sudah menyangkut masalah musuh bebuyutan, aku tidak mau ikut-ikut, Aku ini
negara netral. Aku Swiss. Aku menolak dipengaruhi perselisihan soal wilayah
kekuasaan antar makhluk mistis. Jacob sudah seperti keluarga sendiri. Sementara
kau... well, tidak bisa dibilang sebagai kekasih hidupku, karena aku berharap
bisa mencintaimu lebih lama daripada itu. Kekasih eksistensiku. Aku tak peduli
siapa yang werewolf, dan siapa yang vampir... Kalau Angela ternyata penyihir,
dia juga bisa ikut bergabung."
Edward memandangiku dengan mata menyipit, tak berbicara sepatah kata pun.
"Swiss," ulangku, menandaskan.
Edward mengerutkan kening, kemudian mendesah.
"Bella..." ia hendak mengatakan sesuatu, lalu mengurungkannya. Hidungnya
mengernyit jijik. "Apa lagi sekarang?"
"Well. jangan tersinggung, tapi baumu seperti anjing." kata Edward.
Kemudian ia tersenyum miring, jadi aku tahu pertengkaran selesai. Untuk
sementara. Edward harus pergi lagi untuk mengganti perburuannya yang gagal, jadi Jumat
malam nanti ia akan berangkat bersama Jasper, Emmett, dan Carlisle ke kawasan
hutan lindung di California utara yang populasi singa gunungnya membengkak.
Kami tidak mencapai kesepakatan apa-apa soal werewolf, tapi aku tidak merasa
bersalah saat menelepon Jake - di kesempatan sempit ketika Edward harus
mengembalikan Volvonya ke rumah sebelum menyelinap masuk lewat jendela kamarku - untuk
memberitahu aku akan datang lagi
Sabtu nanti. Itu bukan sembunyi-sembunyi. Edward tahu bagaimana perasaanku. Dan
kalau ia menyabotase trukku lagi, akan kusuruh Jacob menjemputku. Forks kan
wilayah netral, sama seperti Swiss-sama seperti aku.
Jadi waktu aku selesai bekerja hari Kamis dan ternyata Alice yang menungguku di
Volvo, bukan Edward, awalnya aku tidak curiga. Pintu mobil terbuka, dan musik
yang tidak kukenal menggetarkan rangka mobil saat terdengar derum suara bass.
"Hai, Alice," teriakku, berusaha mengatasi raungan suara musik sambil naik ke
mobil. "Mana kakakmu?"
Alice menyanyi mengikuti lagu, suaranya satu oktaf lebih tinggi daripada
melodinya, menyatu dalam harmonisasi yang rumit. Ia mengangguk padaku,
mengabaikan pertanyaanku karena masih berkonsentrasi pada musiknya.
Kututup pintu dan telingaku dengan tangan. Alice nyengir, lalu mengecilkan
volume sampai tinggal musik latarnya saja. Kemudian ia mengunci pintu dan
menginjak pedal gas pada saat bersamaan.
"Ada apa?" tanyaku, mulai merasa tidak enak. "Mana Edward?"
Alice mengangkat bahu. "Mereka berangkat lebih awal."
"Oh." Aku berusaha mengendalikan kekecewaanku yang tak masuk akal. Kalau Edward
berangkat lebih awal, berarti ia akan kembali lebih cepat, aku mengingatkan diri
sendiri. "Berhubung semua cowok pergi, jadi kita akan pesta semalam suntuk!" teriak
Alice, suaranya melengking tinggi.
"Pesta semalam suntuk?" ulangku, kecurigaanku akhirnya terbukti.
"Memangnya kau tidak senang?" kaoknya.
Kutatap mata Alice yang berbinar-binar itu selama sedetik.
"Kau menculikku, ya?"
Alice tertawa dan mengangguk. "Sampai hari Sabtu. Esme sudah mendapat izin dari
Charlie; kau akan menginap di rumahku dua malam, dan aku akan mengantarmu ke dan
dari sekolah besok."
Aku membuang muka ke arah jendela, menggertakkan gigi dengan gemas.
"Maaf," kata Alice, meski tidak terdengar sedikit pun nada menyesal dalam
suaranya. "Dia menyogokku."
"Dengan apa?" desisku dari sela-sela rahang.
"Dengan Porsche. Persis seperti yang kucuri di Italia dulu." Alice mendesah
bahagia. "Aku tidak seharusnya mengendarainya di sekitar Forks, tapi kalau kau
mau, bisa kita lihat butuh waktu berapa lama untuk sampai di LA dari sini-berani
taruhan, aku pasti bisa membawamu kembali ke sini tengah malam nanti."
Aku menghela napas dalam-dalam. "Sepertinya tak perlu." desahku, berusaha untuk
tidak bergidik. Kami meliuk-liuk, ngebut seperti biasa, menyusuri jalan masuk yang panjang.
Alice menghentikan mobilnya di dekat garasi, dan aku cepat-cepat menoleh
memandangi mobil-mobil yang diparkir di sana. Jip besar Emmett ada di sana,
sedangkan Porsche kuning kenari diparkir di antara jip itu dan sedan convertible
merah Rosalie. Alice melompat turun dengan anggun, dan membelai -belai bodi sogokannya.
"Cantik, kan?" "Cantiknya berlebihan." gerutuku, tak percaya. "Dia memberimu mobil itu hanya
untuk menyanderaku selama dua hari?"
Alice mengernyit. Sedetik kemudian mendadak aku mengerti dan terkesiap ngeri. "Ini untuk setiap
kali dia pergi, kan?"
Alice mengangguk. Kubanting pintu mobil dan berjalan dengan langkah-langkah kesal menuju rumah.
Alice menari-nari di sebelahku, tetap tidak merasa bersalah.
"Alice, apa menurutmu ini tidak sedikit sok mengatur" Agak sedikit sakit,
mungkin?" "Tidak juga." Alice mendengus. "Sepertinya kau tidak menyadari betapa
berbahayanya werewof yang masih muda itu. Terutama kalau aku tidak bisa melihat
mereka. Edward tidak bisa mengetahui apakah kau aman. Tidak seharusnya kau
sesembrono itu." Suaraku berubah sinis. "Ya, karena pesta vampir semalam suntuk merupakan puncak
perilaku yang sadar keamanan."
Alice tertawa. "Aku akan memberimu layanan pedikur, lengkap dengan perawatan
lainnya." janjinya. Sebenarnya ini tidak terlalu buruk, kecuali fakta aku disandera di luar
kemauanku. Esme membawa makanan Italia - pokoknya serba lezat, jauh-jauh dari
Port Angeles dan Alice sudah siap dengan film-film favoritku. Bahkan Rosalie pun
ikut, berdiam diri di latar belakang. Alice benar-benar ngotot ingin melakukan
pedikur, dan aku bertanya-tanya apakah ia membuat daftar - mungkin sesuatu yang
disusunnya dari hasil menonton sinetron-sinetron kacangan.
"Sampai jam berapa kau mau begadang?" tanya Alice setelah kuku-kuku jariku
berkilau merah darah. Antusiasmenya tetap berkobar meski suasana hatiku jelek. "Aku tidak mau
begadang. Besok kita harus sekolah."
Alice mencebik. "Omong-omong, aku harus tidur di mana?" Kuukur panjang sofa dengan mataku.
Ukurannya agak pendek. "Memangnya kau tidak bisa mengawasiku di rumahku saja?"
"Pesta semalam suntuk apa itu"' Alice menggeleng putus asa. "Kau tidur di kamar
Edward." Aku mendesah. Sofa kulit hitamnya memang lebih panjang daripada yang ini. Bahkan
karpet emas di kamarnya mungkin cukup tebal sehingga tidur di lantai pun tidak
masalah. "Boleh aku pulang ke rumahku untuk mengambil barang-barangku, paling tidak?"
Alice nyengir. "Sudah dibereskan."
"Boleh kupakai teleponmu?"
"Charlie tahu kau di mana."
"Aku bukan mau menelepon Charlie," Aku mengerutkan kening. "Ada beberapa rencana
yang harus kubatalkan."
"Oh." Alice menimbang-nimbang. "Soal itu aku kurang yakin."
"Alice!" erangku keras-keras, "Ayolah!"
"Oke, oke." ujarnya, melesat keluar kamar, Setengah detik kemudian ia kembali,
ponsel di tangan. "Dia tidak secara spesifik melarang ini...," gumamnya pada
diri sendiri sambil menyerahkan ponsel.
Aku menghubungi nomor Jacob, mudah-mudahan ia tidak sedang berkeliaran dengan
teman-temannya malam ini. Aku beruntung - Jacob sendiri yang menjawab. "Halo?"
"Hai, Jake, ini aku." Sedetik Alice menatapku dengan sorot tanpa ekspresi,
sebelum berbalik dan duduk di antara Rosalie dan Esme di sofa.
"Hai, Bella," kata Jacob, mendadak waswas. "Ada apa?"
"Kabar buruk. Ternyata aku tidak bisa datang ke rumahmu Sabtu nanti."
Jacob terdiam sebentar. "Dasar pengisap darah tolol." gerutunya akhirnya.
"Kupikir dia pergi. Memangnya kau tidak bisa punya kehidupan lain kalau dia
tidak ada" Atau jangan-jangan dia menguncimu di peti mati?" Aku tertawa.
"Menurutku itu tidak lucu."
"Aku tertawa karena tebakanmu hampir tepat," kataku.
"Tapi dia akan pulang hari Sabtu, jadi itu tidak masalah."
"Dia mencari mangsa di Forks, kalau begitu?" sindir Jacob sengit.
"Tidak." Aku tidak membiarkan diriku jengkel karena kata-kata Jacob. Soalnya aku
sendiri juga nyaris sama marahnya dengan Jacob. "Dia berangkat lebih awal."
"Oh. Well, hei, datanglah sekarang kalau begitu." sergah Jacob, mendadak
antusias. "Sekarang belum terlalu malam. Atau aku bisa datang ke rumah Charlie."
"Kalau saja bisa. Aku bukan di rumah Charlie," kataku jengkel. "Bisa dibilang
aku disandera." Jacob terdiam saat otaknya mencerna perkataanku, kemudian menggeram. "Kami akan
datang menjemputmu." janjinya datar, otomatis langsung menggunakan kata ganti
orang jamak. Perasaan dingin menjalari tulang belakangku, tapi aku menanggapinya dengan nada
ringan dan menggoda. "Sungguh menggoda. Aku memang disiksa di sini-Alice
mengecat kuku kakiku."
"Aku serius." "Tidak usah. Mereka hanya berusaha mengamankan aku."
Jacob menggeram lagi. "Aku tahu ini tolol, tapi mereka sebenarnya berhati baik."
"Berhati baik?"dengusnya.
"Maaf tentang hari Sabtu." aku meminta maaf "Aku harus naik ke tempat tidur"
-sofa, koreksiku dalam hati-"tapi akan kutelepon kau lagi nanti."
"Kau yakin mereka akan mengizinkanmu" tanya Jacob sengit.
"Tidak sepenuhnya." Aku mendesah. '''Malam, Jake." "Sampai nanti."
Tahu-tahu Alice sudah berdiri di sampingku, tangannya terulur meminta ponsel,
tapi aku sudah menghubungi nomor lain. Ia melihat nomornya.
"Sepertinya dia tidak membawa ponsel," kata Alice. "Aku akan meninggalkan
pesan." Telepon berdering empat kali, disusul bunyi "bip" Tidak ada salam apa-apa.
"Awas kau nanti." kataku lambat-lambat, menekankan setiap kata. "Kau akan
menghadapi masalah besar. Beruang grizzly yang marah akan terlihat jinak
dibandingkan apa yang menunggumu di rumah."
Kututup ponsel kuat-kuat dan kuletakkan di telapak tangan Alice yang sudah
menunggu. "Aku sudah selesai."
Alice nyengir. "Asyik juga main sandera-sanderaan begini."
"Aku mau tidur sekarang." kataku, berjalan menuju tangga.
Alice langsung membuntuti.
"Alice," desahku. "Aku bukan mau menyelinap pergi diam-diam. Kau pasti tahu
kalau aku berniat berbuat begitu, dan kau pasti akan menangkapku kalau aku
berani coba-coba." "Aku hanya mau menunjukkan di mana barang-barangmu disimpan." tukasnya sok lugu.
Kamar Edward di ujung lorong lantai tiga, tidak mungkin salah masuk walaupun kau
tidak terlalu familier dengan rumah besar ini. Tapi waktu aku menyalakan
lampunya, aku tertegun bingung. Jangan-jangan aku salah masuk kamar"
Alice terkikik. Ini memang kamar yang sama, aku menyadari dengan cepat; perabotnya saja yang
ditata ulang. Sofa dipindahkan ke dinding utara dan stereo diletakkan menempel
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke rak CD yang memenuhi dinding-untuk memberi tempat bagi ranjang besar yang
kini mendominasi tengah-tengah ruangan.
Dinding selatan yang terbuat dari kaca memantulkan pemandangan itu seperti
cermin, membuatnya tampak dua kali lebih mengerikan.
Ranjang itu senada dengan perabot lain di kamar itu.
Penutupnya berwarna emas buram, sedikit lebih terang daripada warna dindingdindingnya; rangkanya hitam, terbuat dari besi tempa dengan pola yang rumit.
Mawar-mawar yang dibentuk dari besi melingkar-lingkar di tiang ranjang yang
tinggi dan membentuk semacam tirai yang menjuntai di atas kepala. Piamaku
terlipat rapi di kaki ranjang, tas perlengkapan mandiku di sebelahnya.
"Apa-apaan ini?" semburku,
"Kau tidak berpikir dia akan membiarkanmu tidur di sofa, kan?"
Aku bergumam tidak jelas dan menghambur masuk untuk menyambar barang-barangku
dari tempat tidur. "Aku pergi dulu supaya kau bisa memiliki sedikit privasi." tawa Alice. "Sampai
besok." Setelah menggosok gigi dan berganti baju, kusambar bantal bulu gemuk dari atas
ranjang besar dan menyeret selimut emas itu ke sofa. Aku tahu sikapku ini
konyol, tapi aku tak peduli. Menyogok dengan Porsche dan ranjang king-size di
rumah yang anggota keluarganya tak pernah tidur - semua itu benar-benar sangat
menjengkelkan. Kumatikan lampu-lampu dan meringkuk di sofa, bertanya-tanya dalam hati apakah
hatiku terlalu kesal untuk bisa tidur.
Dalam gelap dinding kaca tak lagi tampak seperti cermin hitam yang memantulkan
seisi kamar. Cahaya bulan menerangi awan-awan di luar jendela. Setelah mataku
bisa menyesuaikan diri, aku bisa melihat pendar cahaya bulan menerangi puncakpuncak pohon, dan memantul di seruas kecil sungai. Kupandangi cahaya keperakan
itu, menunggu kelopak mataku memberat.
Terdengar ketukan pelan di pintu.
"Ya, Alice?" desisku. Aku langsung memasang sikap defensif membayangkan betapa
gelinya Alice melihatku tidur di sofa.
"Ini aku," jawab Rosalie lembut, membuka pintu secelah supaya aku bisa melihat
cahaya perak bulan menyentuh wajahnya yang sempurna. "Boleh aku masuk"
7. AKHIR YANG MENYEDIHKAN
ROSALIE ragu-ragu sejenak di ambang pintu, wajahnya yang memesona tampak ragu.
"Tentu saja." sahutku, suaraku satu oktaf lebih tinggi karena kaget. "Silakan
masuk." Aku duduk tegak-tegak, bergeser ke ujung sofa untuk memberinya tempat. Perutku
terpilin gugup saat satu-satunya anggota keluarga Cullen yang tidak menyukaiku
itu bergerak tanpa suara, lalu duduk di tempat yang kosong. Aku berusaha
memikirkan alasan mengapa Rosalie ingin menemuiku, tapi pikiranku hampa.
"Kau tidak keberatan bicara sebentar denganku?" tanya Rosalie. "Aku tidak
membangunkanmu atau apa, kan" Matanya melirik tempat tidur yang telanjang tanpa
penutup, lalu kembali ke sofaku.
"Tidak, aku belum tidur, Tentu kita bisa bicara." Entah apakah ia bisa mendengar
nada waswas dalam suaraku sama jelasnya seperti aku bisa mendengarnya.
Rosalie tertawa renyah, dan kedengarannya seperti denting serenceng lonceng.
"Dia sangat jarang meninggalkanmu sendirian." katanya. "Jadi kupikir sebaiknya
kumaanfaatkan saja kesempatan langka ini."
Apa yang ingin disampaikan Rosalie yang tidak bisa ia katakan di depan Edward"
Tanganku meremas-remas gelisah pinggiran selimut.
"Kuharap kau tidak menganggapku ikut campur." kata Rosalie, suaranya lembut dan
nyaris bernada memohon. Ia melipat kedua tangannya di pangkuan dan menunduk
memandanginya saat bicara, "Aku yakin aku sudah cukup sering melukai perasaanmu
pada masa lalu, jadi aku tidak ingin melakukannya lagi."
"Jangan khawatir soal itu, Rosalie. Perasaanku baik-baik saja. Ada apa"'
Lagi-lagi Rosalie tertawa, kedengarannya malu. "Aku akan mencoba menjelaskan
kepadamu, kenapa menurutku sebaiknya kau tetap menjadi manusia - kenapa aku akan
memilih tetap menjadi manusia kalau aku jadi kau."
"Oh." Rosalie tersenyum mendengar seruanku yang bernada syok, kemudian mendesah.
"Pernahkah Edward bercerita padamu, apa yang menyebabkan ini terjadi?" tanya
Rosalie, melambaikan tangan ke tubuh abadinya yang menawan.
Aku mengangguk lambat-lambat, tiba-tiba sendu. "Kata Edward, hampir sama seperti
yang terjadi padaku di Port Angeles waktu itu, hanya saja tidak ada orang yang
menyelamatkanmu." Aku bergidik mengenang peristiwa itu.
"Benarkah hanya itu yang dia ceritakan padamu?" tanya Rosalie.
"Ya." jawabku, suaraku terdengar bingung. "Memangnya masih ada lagi"'
Rosalie mendongak menatapku dan tersenyum; ekspresinya keras dan pahit - namun
tetap memesona. "Ya," jawabnya. "Masih ada lagi."
Aku menunggu sementara Rosalie memandang ke luar jendela. Tampaknya ia berusaha
menenangkan dirinya sendiri.
"Maukah kau mendengar ceritaku, Bella" Akhir kisahnya menyedihkan - tapi mana
ada kisah kami yang berakhir bahagia" Kalau kisah kami berakhir bahagia, kami
semua pasti sudah berada di dalam kubur sekarang."
Aku mengangguk, meski takut mendengar keresahan dalam suaranya.
"Aku hidup di dunia yang sama sekali berbeda dari duniamu, Bella. Dunia
manusiaku dulu jauh lebih sederhana, Saat itu tahun 1933. Umurku delapan belas,
dan aku cantik. Hidupku sempurna."
Rosalie memandang ke luar jendela, ke awan-awan yang keperakan, ekspresinya
menerawang. "Orangtuaku berasal dari kalangan menengah. Ayahku memiliki pekerjaan yang mapan
di sebuah bank, sesuatu yang kusadari sekarang sangat dibanggakan ayahku beliau melihat kemakmurannya sebagai buah dari bakat dan kerja keras, daripada
mengakui ada juga faktor keberuntungan di sana. Ketika itu aku menganggap semua
itu biasa saja; di rumahku, era Depresi Besar hanya dianggap kabar burung yang
mengganggu. Tentu saja aku melihat orang-orang miskin yang tidak seberuntung
aku. Penjelasan ayahku meninggalkan kesan seolah-olah kemiskinan itu akibat
kemalasan mereka sendiri.
"Ibuku mendapat tugas mengurus rumah-termasuk aku dan dua adik lelakiku - agar
bersih dan teratur. Jelas kelihatan akulah prioritas utama sekaligus anak
kesayangan ibuku. Waktu itu aku tak sepenuhnya mengerti, tapi samar-samar
sebenarnya aku selalu menyadari kedua orangtuaku tidak puas dengan apa yang
mereka miliki, walaupun itu jauh lebih banyak daripada yang dimiliki kebanyakan
orang. Mereka ingin lebih. Mereka memiliki aspirasi sosial-social climbers,
begitulah istilahnya, Kecantikanku bagai anugerah bagi mereka. Mereka melihat
jauh lebih banyak potensi di dalamnya daripada aku.
"Mereka belum puas, tapi aku sudah. Aku senang menjadi diriku sendiri, menjadi
Rosalie Hale. Senang karena mata setiap lelaki memandangiku ke mana pun aku
pergi, sejak aku berumur dua belas tahun. Gembira karena teman-teman perempuanku
mendesah iri setiap kali menyentuh rambutku. Bahagia karena ibuku bangga padaku
dan ayahku senang membelikan aku gaun-gaun indah.
"Aku tahu apa yang kuinginkan dalam hidup ini, dan kelihatannya tidak ada yang
menghalangiku mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku ingin dicintai, dipuja. Aku
ingin pernikahanku dipestakan besar-besaran, dihiasi banyak bunga, dan semua
orang di kota akan menyaksikan aku berjalan di lorong gereja dalam gandengan
ayahku dan menganggapku mempelai tercantik yang pernah mereka lihat, Kekaguman
sudah seperti udara bagiku, Bella. Aku memang tolol dan dangkal, tapi aku
bahagia." Rosalie tersenyum, geli mendengar penilaiannya sendiri.
"Pengaruh kedua orangtuaku begitu kuat hingga aku juga menginginkan materi dalam
hidup ini. Aku ingin punya rumah besar dengan perabot elegan dan pelayan untuk
membersihkannya, menginginkan dapur modern lengkap dengan juru masaknya. Seperti
kataku tadi, dangkal. Muda dan sangat dangkal. Dan aku tidak melihat alasan
mengapa aku tidak bisa mendapatkan semua itu.
"Ada juga beberapa hal lain yang kuinginkan yang lebih berarti. Ini salah
satunya. Sahabat karibku seorang gadis bernama Vera. Dia menikah muda saat
usianya baru tujuh belas. Dia menikah dengan pemuda yang tidak akan pernah
direstui orangtuaku - seorang tukang kayu. Setahun kemudian Vera melahirkan anak
laki-laki, bocah tampan dengan lesung pipi dan rambut hitam keriting. Untuk
pertama kalinya seumur hidupku aku benar-benar iri pada orang lain."
Rosalie menatapku dengan sorot mata yang tidak bisa diterka. "Saat itu zamannya
berbeda. Aku seumur denganmu sekarang, tapi aku sudah siap untuk semua itu. Aku
mendambakan punya bayi sendiri. Aku ingin punya rumah sendiri, juga suami yang
akan menciumku sepulang kerja - persis seperti Vera. Tapi tentu saja rumah yang
ada dalam bayanganku berbeda dengan rumahnya... "
Sulit bagiku membayangkan dunia yang dulu dikenal Rosalie. Ceritanya terdengar
lebih mirip dongeng daripada riwayat hidup. Aku sedikit syok saat menyadari
dunianya nyaris mirip dunia yang dijalani Edward ketika ia masih menjadi
manusia, dunia tempat ia tumbuh besar. Aku sempat bertanya-tanya sendiri - saat
Rosalie terdiam sejenak - apakah duniaku juga membingungkan bagi Edward seperti
dunia Rosalie membingungkanku"
Rosalie mendesah, dan waktu berbicara lagi suaranya berbeda, kesenduannya
lenyap. "Di Rochester, hanya ada satu keluarga bangsawan - dan ironisnya, nama mereka
King. Royce King adalah pemilik bank tempat ayahku bekerja. Dia juga memiliki
hampir semua usaha lain yang sangat menguntungkan di kota itu. Di sanalah anak
lelakinya, Royce King Kedua" -bibir Rosalie mencibir saat mengucapkannya, nama
itu meluncur keluar dari sela-sela gigi- "melihatku untuk pertama kalinya.
Karena akan mengambil alih kepemimpinan di bank itu, dia mulai mengawasi
berbagai jabatan berbeda. Dua hari kemudian ibuku berlagak lupa membawakan makan
siang untuk ayahku. Aku ingat betapa bingungnya aku waktu ibuku bersikeras agar
aku mengenakan gaun organza putihku dan mengikalkan rambut hanya untuk pergi ke
bank sebentar." Rosalie tertawa tanpa emosi.
"Aku tidak menyadari Royce memerhatikanku. Semua orang memerhatikanku. Tapi
malam itu, mawar-mawar pertama mulai datang. Setiap malam selama kami pacaran,
dia mengirimkan mawar untukku. Kamarku selalu dipenuhi mawar. Saking banyaknya,
setiap kali meninggalkan rumah tubuhku harum seperti mawar.
"Royce juga tampan. Rambutnya bahkan lebih pirang daripada aku, dan matanya biru
pucat. Menurutnya, mataku bagaikan bunga violet, dan kemudian bunga-bunga violet
itu pun mulai berdatangan bersamaan dengan kiriman mawar.
"Orangtuaku setuju - itu penggambaran yang paling sederhana. Karena ini adalah
segalanya yang mereka impikan. Dan Royce tampaknya memiliki semua yang
kuimpikan. Pangeran dari negeri dongeng, datang untuk menjadikanku putri. Semua
yang kuinginkan, namun tetap di luar dugaan. Kami bertunangan saat aku baru
mengenalnya kurang dari dua bulan.
"Kami jarang menghabiskan waktu berdua. Royce mengatakan dia punya banyak
tanggung jawab pekerjaan, dan, bila ada kesempatan bersama-sama, dia senang
memamerkan aku pada orang-orang lain, menggandeng lenganku. Aku senang
diperlakukan seperti itu. Banyak sekali pesta-pesta, dansa-dansi, dan gaun-gaun
cantik. Kalau kau anggota keluarga King, semua pintu terbuka lebar untukmu,
semua karpet merah dibentangkan untuk menyambutmu.
"Pertunangan kami tidak lama. Berbagai rencana sudah disusun untuk
menyelenggarakan pesta pernikahan yang paling mewah. Itu akan jadi perayaan yang
kudambakan selama ini. Aku sangat bahagia. Kalau pergi mengunjungi rumah Vera,
aku tak lagi merasa iri. Kubayangkan anak-anakku yang berambut pirang bermainmain di halaman rumah keluarga King yang luas, dan aku merasa kasihan kepada
Vera." Tiba-tiba Rosalie menghentikan kisahnya, mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Aku
tersadar dari keasyikanku mendengarkan ceritanya, dan sadar kisahnya nyaris
sampai di bagian menyeramkan. Tidak ada akhir yang membahagiakan, begitu kata
Rosalie tadi. Aku bertanya-tanya dalam hati, inikah sebabnya Rosalie menyimpan
lebih banyak kepahitan dalam dirinya dibandingkan anggota keluarga yang lainkarena ia nyaris mendapatkan
semua yang ia inginkan saat kehidupannya sebagai manusia direnggut.
"Aku pergi ke rumah Vera malam itu." Rosalie berbisik. Wajahnya halus bagaikan
pualam, dan sama kerasnya. "Henry kecilnya benar-benar menggemaskan, suka
tersenyum memamerkan lesung pipinya - dia baru belajar duduk sendiri. Vera
mengantarku ke depan pintu waktu aku mau pulang, menggendong bayinya, bersama
suami yang merangkul pinggangnya. Si suami mengecup pipi Vera waktu dia kira aku
tidak melihat. Itu membuatku gundah. Kalau Royce menciumku, sepertinya berbedaentah mengapa, sepertinya tidak semanis itu... tapi kusingkirkan pikiran itu
jauh-jauh. Royce pangeranku. Suatu hari nanti, aku akan menjadi ratunya."
Meski sulit memastikannya dalam cahaya bulan, namun tampaknya wajah Rosalie yang
seputih tulang berubah semakin pucat. .
"Jalan-jalan mulai gelap, lampu-lampu sudah menyala. Aku tidak sadar hari
ternyata sudah larut malam." Rosalie terus berbisik, nyaris tak terdengar. "Hawa
juga dingin. Sangat dingin untuk akhir bulan April. Pernikahan tinggal seminggu
lagi, dan aku mengkhawatirkan cuaca sambil bergegas pulang-aku bisa mengingatnya
sejelas itu. Aku ingat setiap detail tentang malam itu. Aku mempertahankan
kenangan itu sekuat tenaga... pada awalnya. Aku tidak
memikirkan yang lain. Karenanya aku ingat ini, ketika banyak kenangan indah lain
justru telah hilang sepenuhnya... "
Rosalie mendesah, dan mulai berbisik-bisik lagi. "Ya, aku mengkhawatirkan cuaca
aku tidak ingin pernikahanku dipindah ke dalam ruangan...
"Hanya tinggal beberapa blok lagi ke rumahku waktu aku mendengar mereka.
Sekelompok lelaki di bawah lampu jalan yang rusak, tertawa begitu keras. Mabuk.
Aku berharap kalau saja tadi meminta ayahku menemaniku pulang, tapi jaraknya
sangat dekat, jadi rasanya itu konyol. Kemudian lelaki itu memanggil namaku.
"'Rose!" teriaknya, dan yang lain tertawa-tawa tolol.
"Aku tidak sadar para pemabuk itu berpakaian sangat bagus. Ternyata itu Royce
bersama teman-temannya, putra-putra keluarga kaya lainnya.
"Ini dia Rose-ku!" Royce berseru, tertawa-tawa bersama mereka, terdengar sama
tololnya. "Kau terlambat. Kami kedinginan, kau membuat kami menunggu begitu
lama." "Aku belum pernah melihatnya mabuk sebelum ini. Paling-paling hanya saat toast,
satu-dua kali, di pesta. Dia pernah berkata tidak menyukai sampanye. Tapi aku
tidak mengira ternyata dia menyukai minuman yang lebih keras.
"Dia punya teman baru-teman dari temannya, baru datang dari Atlanta.
"Benar kan kataku, John,' Royce sesumbar, menyambar lenganku dan menarikku lebih
dekat. 'Benar kan dia lebih cantik daripada semua buah persik Georgia-mu itu?"
"Lelaki bernama John itu berambut gelap dan kulitnya gelap terbakar matahari.
Dia memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki seperti menaksir kuda yang
hendak dibeli. "'Sulit menilainya," kata lelaki itu lambat-lambat. 'Soalnya bajunya tertutup
rapat.'" "Mereka tertawa, Royce juga, seperti yang lain.
"Tiba-tiba Royce mengoyak jaketku dari bahu-itu pemberiannya-sampai semua
kancing kuningannya copot. Kancing-kancing itu berserakan di jalan.
"'Tunjukkan bagaimana dirimu sebenarnya, Rose!" Royce tertawa lagi kemudian
merenggut topi dari rambutku hingga terlepas. Jepit-jepit menjambak rambutku
dari akarnya, dan aku berteriak kesakitan. Mereka kelihatannya malah senang
mendengar jerit kesakitanku ..
Rosalie tiba-tiba menatapku, seolah-olah lupa aku ada di sana. Aku yakin wajahku
pasti pucat pasi seperti wajahnya.
"Kau tidak perlu mendengar kelanjutannya." kata Rosalie pelan. "Mereka
meninggalkanku di jalan, tertawa-tawa sambil sempoyongan pergi. Mereka kira aku
sudah mati. Mereka menggoda Royce bahwa dia harus mencari
calon istri baru. Royce tertawa dan berkata dia harus belajar bersabar lebih
dulu. "Aku tergeletak di jalan, menunggu kematian menjemputku. Udara dingin, dan aku
heran kenapa aku masih sempat memikirkannya, padahal sekujur tubuhku sakit,
Salju mulai turun, dan aku bertanya-tanya kenapa aku tidak mati saja. Aku tidak
sabar ingin segera mati, supaya kesakitan ini segera berlalu. Rasanya lama
sekali... "Saat itulah Carlisle menemukanku. Dia mencium bau darah, dan datang
menyelidiki. Aku ingat samar-samar merasa kesal saat dia menanganiku, berusaha
menyelamatkan nyawaku. Aku tidak pernah menyukai dr. Cullen atau istrinya dan
adik lelaki istrinya-waktu itu orang mengenal Edward sebagai adik Esme. Aku
sebal karena mereka jauh lebih rupawan daripada aku, terutama kaum lelakinya.
Tapi karena mereka tidak berbaur dengan masyarakat, jadi aku hanya satu-dua kali
bertemu mereka. "Kukira aku sudah mati waktu Carlisle mengangkatku dari tanah dan melarikankukarena kecepatannya sangat tinggi rasanya seolah-olah aku terbang. Aku masih
ingat betapa takutnya aku karena rasa sakit itu tak berhenti juga...
"Tahu-tahu aku berada di ruangan terang benderang, dan hangat. Kesadaranku mulai
hilang, dan aku bersyukur rasa sakit itu mulai mereda. Tapi tiba-tiba sesuatu
yang tajam menembus tubuhku, di leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki. Aku
menjerit karena syok, mengira Carlisle membawaku ke sana untuk menyakitiku lebih
lagi. Kemudian api itu mulai membakar sekujur tubuhku, dan aku tak peduli lagi
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada hal-hal lain. Aku memohon-mohon padanya supaya aku dibunuh saja. Ketika
Esme dan Edward pulang, kumohon pada mereka agar membunuhku juga. Carlisle duduk
mendampingiku. Dia memegang tanganku dan meminta maaf berjanji rasa sakit itu
akan hilang. Dia menceritakan semuanya padaku, dan kadang-kadang aku
mendengarkan. Dia menjelaskan siapa dirinya, akan menjadi apa aku nanti. Aku
tidak percaya padanya. Dia meminta maaf setiap kali aku menjerit.
"Edward tidak senang. Aku mendengar mereka membicarakanku. Kadang-kadang aku
berhenti menjerit. Tak ada gunanya berteriak-teriak.
"'Apa yang kaupikirkan, Carlisle"' tanya Edward. 'Rosalie Hale"' Rosalie
menirukan nada jengkel Edward dengan sempurna. "Aku tidak suka caranya menyebut
namaku, seolah-olah ada yang tidak beres dengan diriku. .
"'Aku tidak tega membiarkan dia mati,' kata Carlisle pelan. 'Sungguh
keterlaluan-terlalu menyedihkan, terlalu banyak yang disia-siakan,'
"'Aku tahu,' sergah Edward, seperti tidak mau mendengar lagi. Aku marah
mendengarnya. Waktu itu aku tidak tahu Edward benar-benar bisa melihat apa yang
dilihat Carlisle. "Terlalu banyak yang disia-siakan. Aku tidak tega meninggalkannya," ulang
Carlisle sambil berbisik. "
'Tentu saja kau tidak tega,' Esme sependapat,
"Manusia mati setiap saat,' Edward mengingatkan Carlisle dengan suara keras.
'Apa kau tidak berpikir dia agak mudah dikenali" Keluarga King pasti akan
melakukan pencarian besar-besaran-meskipun tak seorang pun curiga siapa
iblisnya,' geram Edward. "Aku senang karena sepertinya mereka tahu Royce-lah pelakunya."
Aku tidak sadar itu menandakan prosesnya sebentar lagi akan berakhir-bahwa
tubuhku semakin kuat dan itulah sebabnya aku bisa berkonsentrasi mendengarkan
pembicaraan mereka. Rasa sakit itu mulai memudar dari ujung-ujung jariku.
"'Akan kita apakan dia"' Edward bertanya dengan nada jengkel-atau begitulah
setidaknya kedengarannya di telingaku.
"Carlisle mendesah. 'Itu terserah dia, tentu saja. Mungkin dia ingin pergi
sendiri.' 'Waktu itu aku sudah mulai memercayai penjelasan Carlisle, sehingga kata-katanya
membuatku ngeri. Aku tahu hidupku telah berakhir, dan aku takkan bisa kembali
lagi. Aku tidak tahan membayangkan diriku sendirian...
"Rasa sakit itu akhirnya lenyap dan mereka menjelaskan lagi padaku, menjadi apa
aku sekarang. Meskipun mataku merah, tapi aku makhluk paling rupawan yang pernah
kulihat." Rosalie menertawakan dirinya sesaat, "Butuh waktu sebelum aku mulai
menyalahkan kecantikanku sebagai penyebab terjadinya peristiwa itu - sebelum aku
melihat kecantikanku sebenarnya merupakan kutukan. Aku sempat berharap kalau
saja aku... well, bukan jelek, tapi normal. Seperti Vera. Supaya aku diizinkan
menikah dengan orang yang mencintaiku, dan memiliki bayi-bayi yang manis. Itulah
yang benar-benar kuinginkan, selama ini. Sampai sekarang aku masih merasa itu
bukan hal yang berlebihan untuk diminta."
Ia termenung beberapa saat, dan aku bertanya-tanya apakah lagi-lagi ia lupa aku
ada di sini. Tapi kemudian ia tersenyum padaku, ekspresinya tiba-tiba
menyiratkan kemenangan. "Kau tahu, rekorku nyaris sama bersihnya dengan Carlisle," kata Rosalie. "Lebih
baik daripada Esme. Seribu kali lebih bagus daripada Edward. Aku belum pernah
merasakan darah manusia." katanya bangga.
Rosalie memahami ekspresiku yang bingung mendengarnya mengatakan rekornya nyaris
sama bersihnya. "Aku membunuh lima manusia." Rosalie memberitahuku dengan nada puas. "Kalau kau
bisa menyebut mereka manusia. Tapi aku sangat berhati-hati untuk tidak
mencecerkan darah mereka - karena aku tahu aku tak mungkin sanggup menahan diri
kalau itu terjadi, padahal aku tidak mau ada sedikit pun bagian mereka masuk
dalam diriku, kau mengerti, kan"
"Aku sengaja menyisakan Royce untuk yang terakhir. Harapanku, dia akan mendengar
tentang kematian teman-temannya dan mengerti, tahu apa yang bakal dihadapinya.
Aku berharap rasa takut akan membuat akhir hidupnya semakin mengerikan. Kurasa
itu berhasil. Royce bersembunyi di dalam ruangan tak berjendela, di balik pintu
setebal pintu ruang brankas di bank, dijaga pengawal
bersenjata, waktu aku mendatanginya. Uups-tujuh pembunuhan." Rosalie mengoreksi.
"Aku lupa pengawal-pengawalnya. Hanya butuh sedetik untuk menghabisi mereka.
"Aku melakukannya dengan sangat teatrikal. Agak kekanak-kanakan sebenarnya. Aku
mengenakan gaun pengantin yang kucuri khusus untuk kesempatan itu. Royce
menjerit waktu melihatku. Dia menjerit-jerit terus malam itu. Sengaja
menyisakannya sebagai korban terakhir adalah ide bagus-lebih mudah bagiku untuk
mengendalikan diri, sengaja memperlambat...
Tiba-tiba Rosalie berhenti bercerita, dan melirikku.
"Maafkan aku." katanya dengan nada menyesal. "Aku membuatmu ketakutan, ya?"
"Aku tidak apa-apa kok." dustaku.
"Aku terlalu larut dalam ceritaku."
"Tak apa-apa." "Aku heran Edward tidak bercerita banyak padamu mengenainya."
"Dia tidak suka membeberkan cerita orang - Edward merasa itu artinya
mengkhianati kepercayaan mereka, karena dia mendengar jauh lebih banyak daripada
hanya bagian-bagian yang mereka ingin dia dengar."
Rosalie tersenyum dan menggeleng. "Mungkin seharusnya aku lebih respek padanya.
Dia benar-benar baik, bukan?"
"Menurutku begitu."
"Aku tahu itu benar." Lalu Rosalie mendesah. "Selama ini aku bersikap kurang
adil padamu, Bella. Pernahkah Edward memberitahumu sebabnya" Atau itu terlalu
rahasia?" "Kata Edward, karena aku manusia. Katanya, kau tidak suka ada orang luar yang
tahu." Tawa merdu Rosalie memotong perkataanku. "Sekarang aku benar-benar merasa
bersalah. Ternyata Edward jauh, jauh lebih baik daripada yang layak kuterima."
Rosalie terkesan lebih hangat bila tertawa, seperti sedikit mengendurkan sikap
sok wibawanya yang sebelumnya tak pernah absen kalau ada aku. "Dia itu pembohong
besar" Lagi-lagi Rosalie tertawa.
"Jadi, dia bohong?" tanyaku, mendadak waswas.
"Well, mungkin istilah itu berlebihan. Dia hanya tidak menceritakan keseluruhan
kisahnya. Yang dia ceritakan memang benar, bahkan sekarang lebih benar daripada
sebelumnya. Tapi waktu itu..." Rosalie menghentikan kata-katanya, tertawa gugup.
"Memalukan. Begini, awalnya lebih tepat dikatakan aku cemburu karena dia
menginginkanmu dan bukan aku."
Perasaan takut melanda sekujur rubuhku saat mendengar kata-katanya. Duduk di
bawah cahaya bulan keperakan, Rosalie lebih cantik daripada apa pun yang bisa
kubayangkan. Aku tak mungkin mampu bersaing dengannya.
"Tapi kau mencintai Emmett... ," gumamku.
Rosalie menggerakkan kepalanya maju-mundur, geli. "Aku tidak menginginkan Edward
seperti itu, Bella. Tidak pernah - aku menyayanginya sebagai saudara, tapi
Edward membuatku jengkel sejak pertama kali aku mendengarnya bicara. Tapi kau
harus mengerti... aku begitu terbiasa dengan orang menginginkanku. Sementara
Edward sedikit pun tidak tertarik. Itu membuatku frustrasi, bahkan tersinggung awalnya. Tapi
karena dia tidak pernah menginginkan orang lain, itu tidak terlalu menggangguku
lagi. Bahkan waktu kami pertama kali bertemu dengan klan Tanya di Denali - semua
wanita itu! - Edward tidak pernah menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Kemudian
dia bertemu denganmu." Rosalie menatapku bingung.
Aku hanya separuh memerhatikan. Pikiranku melayang ke Edward dan Tanya dan semua
wanita itu, dan bibirku terkatup membentuk garis lurus.
"Bukannya kau tidak cantik, Bella," sergah Rosalie, salah mengartikan
ekspresiku. "Itu hanya berarti dia menganggapmu lebih menarik daripada aku.
Karena aku peduli pada hal-hal lahiriah, itu membuatku tersinggung."
"Tapi kau tadi mengatakan 'pada awalnya', Sekarang... kau sudah tidak merasa
seperti itu lagi, kan" Maksudku, kita sama-sama tahu kau makhluk tercantik di
planet ini." Aku tertawa karena harus mengatakan hal itu - padahal itu sudah sangat jelas.
Sungguh aneh Rosalie masih butuh diyakinkan mengenainya.
Rosalie ikut tertawa. "Trims, Bella. Dan tidak, itu tidak terlalu menggangguku
lagi. Sejak dulu Edward memang agak aneh." Ia tertawa lagi.
"Tapi kau tetap tidak menyukaiku." aku berbisik.
Senyum Rosalie lenyap. "Maafkan aku."
Kami terduduk diam sesaat, dan Rosalie terkesan tidak ingin melanjutkan
pembicaraan. "Boleh aku tahu kenapa" Apakah aku melakukan sesuatu ... ?" Apakah Rosalie marah
karena aku menyebabkan keluarganya - Emmett-nya - berada dalam bahaya" Berkalikali. Dulu James, dan sekarang Victoria...
"Tidak, kau tidak melakukan apa-apa," gumamnya. "Belum."
Kutatap dia, tercengang. "Tidak mengertikah kau, Bella?" Suara Rosalie tiba-tiba terdengar lebih berapiapi daripada sebelumnya, bahkan saat ia menceritakan kisah hidupnya yang tidak
bahagia tadi, "Kau sudah memiliki segalanya. Masa depanmu terbentang luas di
hadapanmu - semua yang kuinginkan. Tapi kau malah ingin membuangnya begitu saja.
Tidak tahukah kau, aku rela menukar segalanya asal bisa menjadi dirimu" Kau
punya pilihan, sementara aku tidak, tapi kau mengambil pilihan yang salah!"
Aku tersentak melihat ekspresinya yang menyala-nyala. Aku sadar mulutku
ternganga, jadi aku lantas menutupnya rapat-rapat.
Rosalie menatapku lama sekali dan, lambat laun, bara api di matanya meredup.
Sekonyong-konyong ia merasa malu.
"Padahal tadi aku yakin sekali bisa melakukannya dengan tenang." Rosalie
menggeleng, tampak sedikit bingung karena luapan emosinya barusan. "Tapi
sekarang lebih sulit daripada dulu, waktu aku masih menyanjung-nyanjung
keindahan fisik." Rosalie memandangi bulan sambil berdiam diri. Baru beberapa saat kemudian aku
berani menyela pikirannya.
"Apakah kau akan lebih menyukaiku kalau aku tetap menjadi manusia?"
Rosalie menoleh padaku, bibirnya berkedut-kedut, hendak merekah membentuk
senyuman. "Mungkin."
"Tapi kau juga mendapatkan akhir yang membahagiakan," aku mengingatkan Rosalie.
"Kau memiliki Emmett."
"Aku mendapat setengah." Rosalie nyengir. "Kau tahu aku menyelamatkan Emmett
dari serangan beruang, dan membawanya pulang ke Carlisle. Tapi tahukah kau
kenapa aku mencegah beruang itu memakannya?"
Aku menggeleng. "Dengan rambut gelapnya yang ikal... lesung pipi yang muncul bahkan saat dia
meringis kesakitan... wajah lugu aneh yang kelihatannya tidak cocok dimiliki
laki-laki dewasa... dia mengingatkanku pada si kecil Henry, anak Vera. Aku tidak
ingin dia mati-keinginanku begitu besar, hingga walaupun aku membenci kehidupan
ini, aku cukup egois untuk meminta Carlisle mengubahnya untukku. "Aku lebih
beruntung daripada yang pantas kudapatkan. Emmett adalah segalanya yang kuminta
kalau aku cukup tahu hendak meminta apa. Orang seperti dialah yang
dibutuhkan seseorang seperti aku. Dan, anehnya, dia juga membutuhkan aku. Bagian
itu berjalan lebih baik daripada yang bisa kuharapkan. Tapi kami takkan bisa
punya anak. Jadi aku tidak akan pernah duduk-duduk di beranda, bersama Emmett
yang rambutnya beruban di sisiku, dikelilingi cucu-cucu kami."
Senyum Rosalie kini tampak ramah. "Untukmu kedengarannya aneh ya" Dalam beberapa
hal, kau jauh lebih matang daripada aku saat berumur delapan belas tahun. Tapi
dalam beberapa hal lain.. ada banyak hal yang mungkin tak pernah kaupikirkan
secara serius. Kau terlalu muda untuk tahu apa yang kauinginkan sepuluh, lima
belas tahun lagi-dan terlalu muda untuk menyia-nyiakan semua itu tanpa
memikirkannya masak-masak. Jangan tergesa-gesa mengambil keputusan mengenai halhal permanen, Bella."
Ia menepuk-nepuk kepalaku tanpa terkesan menggurui.
Aku mendesah. "Pikirkanlah dulu sebentar lagi. Karena begitu melakukannya, kau tidak akan bisa
kembali lagi. Esme cukup puas dengan kami sebagai pengganti anak... dan Alice
tidak ingat kehidupannya sebagai manusia, jadi dia tidak merindukannya... tapi
kau akan ingat. Banyak sekali yang harus kaukorbankan."
Tapi lebih banyak yang akan kudapat, kataku dalam hati.
"Trims, Rosalie. Senang akhirnya aku bisa memahami ... mengenalmu lebih baik
lagi." "Maaf kalau selama ini sikapku sangat buruk." Rosalie menyeringai. "Aku akan
berusaha memperbaiki sikap mulai sekarang."
Aku balas nyengir. Kami memang belum berteman, tapi aku sangat yakin Rosalie tidak akan selamanya
membenciku. "Aku akan pergi sekarang, supaya kau bisa tidur." Mata Rosalie melirik tempat
tidur, dan bibirnya berkedut-kedut. "Aku tahu kau frustrasi karena Edward
mengurungmu seperti ini, tapi jangan marahi dia kalau dia kembali nanti. Dia
mencintaimu lebih daripada yang kauketahui. Dia takut berjauhan denganmu."
Rosalie bangkit tanpa suara dan beranjak ke pintu. "Selamat malam, Bella,"
bisiknya sambil menutup pintu.
"Selamat malam, Rosalie," bisikku, sedetik terlambat.
Lama sekali baru aku bisa tidur sesudahnya.
Ketika benar-benar tertidur, aku malah bermimpi buruk.
Dalam mimpiku aku merangkak di jalanan asing dari batu yang gelap dan dingin,
meninggalkan jejak darah di belakangku. Bayangan samar seorang malaikat bergaun
putih panjang mengamati perjalananku dengan sorot mata tidak suka.
Esok paginya Alice mengantarku ke sekolah sementara aku ke luar kaca depan
dengan sikap masam. Aku merasa kurang tidur, dan itu membuat kekesalanku karena
disandera semakin menjadi-jadi.
"Nanti malam kira akan ke Olympia atau melakukan hal lain," janji Alice. "Asyik,
kan?" "Kenapa kau tidak mengurungku saja di ruang bawah tanah," saranku, "jadi tidak
perlu bermanis-manis padaku,"
Alice mengernyitkan kening. "Dia akan mengambil lagi Porsche-nya. Aku tidak
begitu berhasil. Karena seharusnya kau merasa senang."
"Ini bukan salahmu." gumamku. Sulit dipercaya aku benar-benar merasa bersalah.
"Sampai ketemu nanti saat makan siang."
Aku berjalan dengan langkah-langkah berat ke kelas bahasa Inggris. Tanpa Edward,
hari ini dijamin tidak menyenangkan. Aku merengut terus sepanjang pelajaran
pertamaku, sepenuhnya sadar sikapku ini takkan membantu memperbaiki keadaan.
Ketika lonceng berbunyi, aku berdiri dengan lesu. Mike menunggu di depan pintu,
memeganginya untukku. "Edward hiking lagi akhir minggu ini?" tanya Mike dengan nada mengajak ngobrol
saat kami berjalan di bawah gerimis hujan.
"Yeah." "Mau melakukan sesuatu malam ini?" Bagaimana bisa Mike masih terus berharap"
"Tidak bisa. Aku harus menghadiri pesta piama." gerutuku.
Mike menatapku dengan pandangan aneh sambil mereka-reka suasana hatiku.
"Siapa yang..."
Pertanyaan Mike terputus raungan mesin yang menggelegar dari belakang kami, dari
arah lapangan parkir, Semua orang di trotoar menoleh untuk melihat, memandang
dengan sikap tak percaya saat sepeda motor hitam yang suara mesinnya berisik
berhenti dengan rem berdecit keras di pinggir trotoar, mesinnya masih meraungraung. Jacob melambai-lambaikan tangan ke arahku dengan sikap mendesak.
"Lari, Bella!" teriaknya, mengatasi raungan suara mesin. Aku membeku sedetik
sebelum akhirnya mengerti. Cepat-cepat aku menoleh kepada Mike. Aku tahu aku
hanya punya waktu beberapa detik.
Sejauh apa Alice akan bertindak untuk menahanku di depan umum"
"Aku mendadak sakit, jadi harus pulang, oke?" kataku pada Mike, suaraku mendadak
penuh semangat. "Baiklah." gerutu Mike.
Kukecup pipi Mike sekilas, "Trims, Mike. Aku berutang budi padamu!" seruku
sambil cepat-cepat lari menjauh.
Jacob meraungkan mesinnya, nyengir. Aku melompat naik ke sadel belakang, memeluk
pinggangnya erat-erat. Pandanganku tertumbuk pada Alice. Ia membeku di pinggir kafeteria, matanya
berkilat-kilat marah, bibirnya menyeringai, menampakkan giginya.
Kulayangkan pandangan memohon kepadanya.
Detik berikutnya kami sudah ngebut begitu cepat hingga perutku terasa mual.
"Pegangan." teriak Jacob.
Aku menyembunyikan wajah di punggungnya sementara ia memacu motornya di jalan
raya. Aku tahu ia akan memperlambat laju motornya begitu kami sampai di
perbatasan Quileute nanti. Aku hanya perlu bertahan sampai saat itu.
Dalam hati aku berdoa sekuat tenaga semoga Alice tidak mengikuti, dan semoga
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Charlie tidak kebetulan melihatku...
Jelas kami telah sampai di zona aman. Kecepatan motor langsung berkurang, dan
Jacob meluruskan tubuh serta tertawa sambil bersorak-sorai. Kubuka mataku.
"Kita berhasil!" teriaknya. "Tidak buruk untuk usaha kabur dari penjara, kan?"
"Ide bagus, Jake."
"Aku ingat penjelasanmu waktu itu, bahwa si lintah paranormal itu tidak bisa
meramalkan apa yang akan kulakukan. Aku senang hal ini tidak terpikir olehmu sebab kalau itu terpikir olehmu, dia tidak akan membiarkanmu pergi ke sekolah."
"Itulah sebabnya aku tidak mempertimbangkannya."
Jacob tertawa menang. "Apa yang ingin kaulakukan hari ini?"
"Apa saja!" aku ikut tertawa. Senang rasanya bisa bebas.
8. AMARAH KAMI pergi ke pantai lagi, berkeliaran tanpa tujuan.
Jacob masih bangga karena berhasil membawaku kabur dari pengawasan.
"Apa menurutmu mereka akan datang mencarimu?" tanya Jacob, nadanya penuh harap,
"Tidak." Aku yakin sekali. "Tapi mereka akan marah sekali padaku malam ini."
Jacob memungut sebutir batu dan melemparnya ke ombak.
"Tidak usah kembali kalau begitu," lagi-lagi ia mengusulkan.
"Charlie pasti akan senang sekali." tukasku sarkastis. "Berani taruhan, dia
pasti tidak keberatan."
Aku tidak menyahut, Jacob mungkin benar, dan itu membuatku mengertakkan gigi.
Sikap Charlie yang terang-terangan lebih menyukai teman-teman Quileute-ku benarbenar tidak adil. Dalam hati aku penasaran apakah Charlie akan tetap berpendapat
sama seandainya ia tahu pilihannya adalah antara vampir dan werewolf.
"Nah, apa skandal terbaru kalian?" tanyaku ringan.
Jacob mendadak berhenti berjalan, dan menunduk memandangiku dengan sorot syok.
"Kenapa" Aku tadi hanya bercanda."
"Oh." Jacob membuang muka.
Kutunggu Jacob melangkah lagi, tapi sepertinya ia tenggelam dalam pikirannya
sendiri. "Jadi memang ada skandal, ya?" tanyaku.
Jacob terkekeh sekali. "Aku lupa tidak semua orang bisa mengetahui segala
sesuatu dalam pikiranku. Bahwa hanya aku yang bisa mengetahui pikiranku saat
ini." Kami menyusuri pantai yang berbatu sambil terdiam beberapa menit.
"Jadi apa?" tanyaku akhirnya. "Yang diketahui semua orang dalam pikiranmu?"
Sejenak Jacob ragu-ragu, seolah tak yakin bagaimana caranya menjelaskan padaku.
Ialu ia mendesah dan berkata, "Quil mengalami imprint. Jadi sekarang sudah tiga
orang. Kami-kami yang tersisa mulai waswas. Mungkin fenomena itu lebih jamak
daripada cerita-cerita orang..." Kening Jacob berkerut, ia berpaling menatapku.
Ia memandang mataku tanpa bicara, alisnya bertaut penuh konsentrasi.
"Apa yang kaupandangi?" tanyaku, merasa risi.
Jacob mendesah. "Tidak apa-apa."
Jacob mulai melangkah lagi. Dan seolah tanpa berpikir, tangannya terulur dan
menggandeng tanganku. Kami berjalan menyusuri bebatuan sambil berdiam diri.
Sempat terlintas dalam benakku bagaimana kami kelihatannya saat ini, berjalan
bergandengan tangan di tepi pantai-seperti sepasang kekasih, jelas-dan bertanyatanya dalam hati, apakah sebaiknya aku menolaknya. Tapi memang selalu seperti
ini bersama Jacob... tak ada alas an meributkannya sekarang.
"Kenapa Quil mengalami imprint saja lantas jadi skandal?" tanyaku setelah tidak
tampak tanda-tanda Jacob bakal meneruskan kata-katanya. "Apakah karena dia yang
terakhir bergabung?"
"Itu tidak ada hubungannya dengan ini." "Kalau begitu, apa masalahnya?"
"Lagi-lagi soal legenda. Aku jadi bertanya-tanya, kapan kita akan berhenti
terkejut karena semua legenda itu ternyata benar?" Jacob mengomel sendiri.
"Kau akan menceritakannya padaku tidak" Atau aku harus menebak?"
"Mana mungkin kau bisa menebaknya. Begini, kau kan tahu sudah lama sekali Quil
tidak bergaul lagi dengan kami, sampai baru-baru ini. Jadi dia sudah lama tidak
main ke rumah Emily. "Jadi Quil meng-imprint Emily juga?" aku terkesiap.
"Bukan! Sudah kubilang, kau takkan bisa menebaknya. Dua keponakan Emily
kebetulan sedang berkunjung... dan Quil bertemu Claire."
Jacob tidak melanjutkan kata-katanya. Aku memikirkannya sesaat,
"Emily tidak ingin keponakannya berhubungan dengan werewolf" Itu kan agak
munafik," tukasku. Tapi aku bisa memahami kenapa Emily merasa seperti itu, Terbayang olehku bekas
luka panjang yang merusak wajahnya, memanjang hingga ke lengan kanan. Hanya
sekali Sam tidak bisa menguasai diri, dan saat itu ia berdiri terlalu dekat
dengan Emily. Hanya sekali itu... aku melihat sendiri kepedihan di mata Sam
setiap kali melihat hasil perbuatannya terhadap Emily. Aku bisa mengerti kenapa
Emily ingin melindungi keponakannya dari hal itu.
"Bisakah kau berhenti menebak-nebak" Tebakanmu melenceng jauh. Emily bukan
keberatan karena hal itu, tapi hanya, well, karena ini sedikit terlalu cepat."
"Apa maksudmu dengan terlalu cepat?"
Jacob menilaiku dengan mata menyipit. "Usahakan untuk tidak menghakimi, oke?"
Hati-hati aku mengangguk.
"Claire berumur dua tahun," kata Jacob.
Hujan mulai turun. Aku mengerjap-ngerjapkan mata dengan ganas saat titik-titik
hujan membasahi wajahku. Jacob menunggu sambil berdiam diri. Ia tidak memakai jaket, seperti biasa: hujan
meninggalkan bercak-bercak gelap di T-shirt hitamnya, dan menetes-netes di
rambut gondrongnya. Ia menatap wajahku tanpa ekspresi.
"Quil. berjodoh... dengan anak berumur dua tahun?" tanyaku akhirnya.
"Itu biasa terjadi," Jacob mengangkat bahu. Ia membungkuk untuk memungut sebutir
batu lagi dan melemparnya jauh-jauh ke teluk. "Atau konon begitulah ceritanya."
"Tapi dia masih bayi." protesku.
Jacob memandangiku dengan sikap geli yang getir. "Quil tidak akan bertambah
tua." ia mengingatkanku, nadanya sedikit masam. "Dia hanya perlu bersabar selama
beberapa dekade" "Aku.. tidak tahu harus bilang apa."
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengkritik, meski sejujurnya, aku merasa
ngeri. Sampai sekarang, tak satu hal pun yang berkaitan dengan werewolf yang
membuatku merasa terganggu semenjak aku tahu mereka tidak melakukan pembunuhan
seperti kecurigaanku. "Kau menghakimi." tuduh Jacob. "Kentara sekali dari wajahmu."
"Maaf," gumamku. "Tapi kedengarannya mengerikan sekali."
"Sama sekali tidak seperti itu; kau salah duga," Jacob membela temannya,
mendadak berapi-api. "Aku melihat sendiri bagaimana, lewat matanya. Sama sekali
tidak ada hal romantis dalam hal itu, tidak bagi Quil, tidak sekarang." Jacob
menghela napas dalam-dalam, frustrasi. "Sulit menggambarkannya. Bukan seperti
cinta pada pandangan pertama, sungguh. Tapi lebih menyerupai... gerakan
gravitasi. Ketika kau melihat jodohmu, tiba-tiba bukan bumi lagi yang menahanmu
tetap berpijak. Tapi dia. Dan tak ada yang lebih berarti daripada dia. Dan kau
rela melakukan apa pun untuknya, menjadi apa saja untuknya... Kau menjadi apa
pun yang dia perlukan, entah itu pelindung, kekasih, teman, ataupun kakak.
"Quil akan menjadi kakak terhebat, terbaik yang bisa dimiliki seorang anak.
Tidak ada balita di seantero planet ini yang akan dijaga dengan lebih hati-hati
ketimbang gadis kecil itu nantinya. Dan kemudian, kalau dia sudah lebih besar
dan membutuhkan teman, Quil akan lebih pengertian, lebih bisa dipercaya, dan
lebih bisa diandalkan daripada orang lain yang dia kenal. Dan akhirnya, setelah
dia dewasa, mereka akan sebahagia Emily dan Sam. Secercah nada pahit yang aneh
membuat suara Jacob terdengar lebih tajam saat ia menyebut nama Sam.
"Apakah Claire tidak punya pilihan dalam hal ini?"
"Tentu saja. Tapi kenapa Claire tidak mau memilihnya, pada akhirnya" Quil akan
jadi pasangan yang sempurna baginya. Seakan Quil diciptakan khusus untuknya."
Kami berjalan sambil berdiam diri sesaat, sampai aku berhenti untuk melempar
batu ke laut, Tapi batu itu jatuh di pantai, hanya beberapa meter dari laut,
Jacob menertawakanku. "Tidak semua orang sekuat kau," gumamku.
Jacob mendesah. "Menurutmu, kapan itu akan terjadi padamu?" tanyaku pelan.
Jawaban Jacob datar dan langsung. "Tidak akan pernah."
"Itu bukan sesuatu yang bisa kaukendalikan, kan?"
Jacob terdiam beberapa menit. Tanpa sadar, kami berjalan semakin lambat, nyaris
tak bergerak sama sekali.
"Seharusnya memang tidak." Jacob mengakui. "Tapi kau harus melihatnya - gadis
yang akan menjadi jodohmu."
"Dan kaupikir karena belum melihatnya, maka dia tidak ada?" tanyaku skeptis.
"Jacob, kau kan belum banyak melihat dunia luar - kurang daripada aku, bahkan."
"Memang belum." Jacob membenarkan dengan suara pelan. Ditatapnya wajahku dengan
pandangan yang tiba-tiba menusuk. "Tapi aku tidak akan pernah melihat orang
lain, Bella. Aku hanya melihatmu. Bahkan saat aku memejamkan mata dan berusaha
melihat hal lain. Tanya saja Quil atau Embry. Itu membuat mereka semua gila."
Aku menjatuhkan pandanganku ke batu-batu.
Kami tidak melangkah lagi. Satu-satunya suara hanya debur ombak yang memukul
tepi pantai, Aku tak bisa mendengar suara hujan karena kalah oleh raungan ombak.
"Mungkin sebaiknya aku pulang." bisikku.
"Jangan!" protes Jacob, terkejut karena harus berakhir begini.
Aku mendongak dan menatapnya lagi, dan mata Jacob kini tampak waswas.
"Kau punya waktu seharian, kan" Si pengisap darah kan belum pulang."
Kupelototi dia. "Jangan tersinggung," ia buru-buru berkata. "Ya, aku punya waktu seharian. Tapi,
Jake..." Jacob mengangkat kedua tangannya. "Maaf" ia meminta maaf. "Aku tidak akan
bersikap seperti itu lagi. Aku hanya akan menjadi Jacob."
Aku mendesah. "Tapi kalau itu yang kaupikirkan..."
"Jangan khawatirkan aku," sergah Jacob, tersenyum dengan keriangan dibuat-buat,
terlalu ceria. "Aku tahu apa yang kulakukan. Bilang saja kalau aku membuatmu
resah." "Entahlah..."
"Ayolah, Bella. Mari kembali ke rumah dan mengambil motor kita. Kau harus
mengendarai motormu secara teratur supaya motornya tidak cepat rusak."
"Sepertinya aku tidak boleh naik motor."
"Siapa yang melarang" Charlie atau si pengisap-atau dia?"
"Dua-duanya." Jacob memamerkan cengiran khasnya, dan tiba-tiba saja ia kembali menjadi Jacob
yang paling kurindukan, ceria dan hangat.
Aku tak kuasa untuk tidak balas nyengir.
"Aku tidak akan bilang siapa-siapa." janjinya "Kecuali teman-temanmu."
Jacob menggeleng dengan sikap bersungguh-sungguh dan mengangkat tangan kanannya.
"Aku janji tidak akan memikirkannya."
Aku tertawa. "Kalau aku cedera, itu karena tersandung."
"Terserah apa katamu."
Kami mengendarai motor kami di jalan-jalan kecil yang mengelilingi La Push
sampai hujan membuatnya jadi terlalu berlumpur dan Jacob bersikeras mengatakan
ia akan pingsan kalau tidak segera makan. Billy menyapaku dengan nada biasabiasa saja waktu kami sampai di rumah, seolah-olah kemunculanku yang tiba-tiba
tidak berarti apa-apa kecuali bahwa aku ingin menghabiskan waktu dengan temanku.
Sehabis makan sandwich buatan Jacob, kami pergi ke garasi dan aku membantunya
mencuci motor. Sudah berbulan-bulan aku tidak menginjakkan kaki lagi ke sinisejak Edward kembali - tapi rasanya biasa saja. Hanya menghabiskan siang bersama
di garasi. "Asyik sekali." komentarku ketika Jacob mengeluarkan soda hangat dari kantong
belanjaan. "Aku kangen sekali tempat ini."
Jacob tersenyum, memandang berkeliling ke atap plastik yang dipaku di aras
kepala kami. "Yeah, aku bisa memahaminya. Segala kemewahan Taj Mahal, tanpa
harus repot-repot pergi ke India."
"Bersulang untuk Taj Mahal kecilnya Washington," aku bersulang, mengangkat
kalengku. Jacob menempelkan kalengnya ke kalengku.
"Ingat tidak Valentine waktu itu" Kukira itu terakhir kalinya kau datang ke sini
- terakhir kalinya ketika keadaan masih... normal, maksudku."
Aku tertawa. "Tentu saja aku masih ingat. Aku menukar kesempatan menjadi budak
seumur hidup demi mendapat sekotak cokelat berbentuk hati. Itu bukan sesuatu
yang mudah dilupakan begitu saja."
Jacob tertawa bersamaku. "Benar. Hmmm, budak seumur hidup. Aku harus memikirkan
sesuatu yang bagus." Lalu ia mendesah. "Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang
lalu. Era yang lain. Yang lebih membahagiakan."
Aku tidak sependapat dengannya. Sekarang era yang membahagiakan bagiku. Tapi aku
kaget ketika menyadari betapa banyak yang kurindukan dari masa-masa kelamku.
Mataku memandangi bagian terbuka di tengah hutan yang muram. Hujan kembali
menderas, tapi di dalam garasi kecil itu hangat, karena aku duduk di sebelah
Jacob. Ia sama hangatnya dengan pemanas ruangan.
Jari-jarinya menyapu tanganku. "Keadaan sudah benar-benar berubah."
"Yeah," jawabku, kemudian aku mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk ban belakang
motorku. "Charlie dulu suka padaku. Semoga saja Billy tidak mengatakan apa-apa
mengenai hari ini..." Aku menggigit bibir.
"Tidak akan. Dia tidak gampang panik seperti Charlie. Hei, aku belum pernah
secara resmi meminta maaf padamu atas ulah tololku membawa motor ke rumahmu
waktu itu. Aku sangat menyesal membuatmu dimarahi habis-habisan oleh Charlie.
Kalau saja aku tidak berbuat begitu."
Aku memutar bola mata. "Aku juga."
"Aku benar-benar menyesal."
Jacob menatapku penuh harap, rambut hitamnya yang basah dan kusut mencuat ke
segala arah di sekeliling wajahnya yang memohon.
"Oh, baiklah! Kau dimaafkan."
"Trims, Bells!"
Kami nyengir beberapa saat, tapi sejurus kemudian wajah Jacob berubah muram.
"Kau tahu hari itu, waktu aku membawa motor ke rumahmu... sebenarnya aku ingin
menanyakan sesuatu kepadamu," kata Jacob lambat-lambat. "Tapi juga... tidak
ingin menanyakannya."
Aku bergeming-reaksi khas bila aku tertekan, Kebiasaan yang kudapat dari Edward.
"Apakah kau keras kepala karena marah padaku, atau kau benar-benar serius?"
bisiknya. "Tentang apa?" aku, balas berbisik, walaupun yakin aku tahu maksudnya.
Jacob menatapku garang. "Kau tahu. Waktu kaubilang itu bukan urusanku... apakahapakah dia menggigitmu?" Jacob mengernyit saat mengucapkan kata terakhir.
"Jake... " Kerongkonganku rasanya tersumbat. Aku tak sanggup menyelesaikan
perkataanku. Jacob memejamkan mata dan menghela napas dalam- dalam. "Kau serius?"
Tubuh Jacob sedikit gemetar, Matanya tetap terpejam.
"Ya," bisikku. Jacob menghela napas, lambat dan dalam. "Sudah kuduga."
Aku menatap wajahnya, menunggunya membuka mata.
"Tahukah kau apa artinya ini?" runtut Jacob tiba-tiba. "Kau pasti memahaminya,
kan" Apa yang akan terjadi bila mereka melanggar kesepakatan?"
"Kami akan pergi lebih dulu." kataku, suaraku nyaris tak terdengar.
Mata Jacob mendadak terbuka, bola matanya yang hitam sarat amarah dan sakit
hati. "Tidak ada batasan geografis dalam kesepakatan itu, Bella. Leluhur kami
menyepakati perjanjian damai itu karena keluarga Cullen bersumpah mereka
berbeda, bahwa mereka tidak berbahaya bagi manusia. Mereka berjanji tidak akan
pernah membunuh atau mengubah siapa pun lagi. Kalau mereka melanggar janji
mereka sendiri, kesepakatan itu tidak berarti, dan mereka tak ada bedanya dengan
vampir-vampir lain. Kalau sudah begitu, bila kami menemukan mereka... "
"Tapi, Jake, bukankah kau sendiri juga sudah melanggar kesepakatan itu?"
sergahku, mencari-cari pegangan yang masih tersisa. "Bukankah ada bagian dalam
kesepakatan itu yang melarangmu memberitahu orang tentang vampir" Padahal kau
sudah memberitahu aku. Berarti kesepakatan itu sudah dilanggar, kan?"
Jacob tidak suka diingatkan tentang hal itu; kepedihan di matanya berubah
menjadi sorot tidak suka. "Yeah, aku sudah melanggar kesepakatan - jauh sebelum
aku memercayainya. Dan aku yakin mereka pasti sudah diberitahu tentang hal itu."
Jacob memandangi dahiku masam, tak mampu menatap sorot mataku yang malu. "Tapi
bukan berarti mereka jadi mendapat kelonggaran atau semacamnya. Kalau tidak
tahu, tentu bukan masalah. Mereka hanya punya satu pilihan kalau tidak menyukai
apa yang telah kulakukan. Pilihan yang sama yang kami miliki jika mereka
melanggar perjanjian: menyerang. Memulai peperangan."
Jacob membuatnya terdengar seperti sesuatu yang tidak bisa dihindari. Aku
bergidik. "Jake, kan tidak harus seperti itu."
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jacob mengertakkan giginya. "Memang harus seperti itu."
Kesunyian yang menyusul setelah pernyataannya tadi, bergaung begitu keras,
"Apakah kau takkan pernah memaafkanku, Jacob?" bisikku.
Begitu mengucapkan kata-kata itu, aku langsung berharap tak pernah
mengatakannya. Aku tak ingin mendengar jawabannya.
"Kau tidak akan menjadi Bella lagi." Jacob menjawab pertanyaanku. "Temanku tidak
akan ada lagi. Tak ada seorang pun yang bisa kumaafkan."
"Berarti jawabannya tidak," bisikku. Kami bertatapan lama sekali. "Kalau begitu
ini perpisahan, Jake?"
Jake mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat, ekspresi garangnya berubah
menjadi terkejut. "Kenapa" Kita toh masih punya waktu beberapa tahun. Apakah
kita tidak bisa berteman sampai tiba waktunya nanti?"
"Beberapa tahun" Tidak, Jake, bukan beberapa tahun."
Aku menggeleng dan tertawa garing. "Lebih tepatnya beberapa minggu."
Aku sama sekali tidak mengira reaksi Jacob akan begitu hebat.
Jake tiba-tiba berdiri, dan terdengar bunyi kaleng soda meledak di tangannya.
Sodanya berhamburan ke mana-mana, membasahi tubuhku, seperti air disemprotkan
dari slang. "Jake!" Aku sudah hendak memprotes, tapi langsung bungkam begitu menyadari
sekujur tubuh Jake bergetar karena amarah. Ia memelototiku dengan garang, suara
geraman menyeruak dari dadanya.
Aku terpaku di tempat, terlalu syok untuk ingat bagaimana caranya bergerak.
Getaran itu mengguncang-guncang tubuhnya, semakin lama semakin cepat, sampai
Jake terlihat seperti bergetar hebat. Sosoknya mengabur...
Kemudian Jacob mengertakkan gigi kuat-kuat, dan geraman itu berhenti. Ia
memejamkan mata rapat-rapat untuk berkonsentrasi; getaran itu melambat hingga
akhirnya tinggal tangannya yang bergoyang-goyang.
"Beberapa minggu." kata Jacob, nadanya monoton dan datar.
Aku tak mampu menyahut; tubuhku masih membeku. Jacob membuka mata. Sorot matanya
lebih dari sekadar marah.
"Dia akan mengubahmu menjadi pengisap darah kotor hanya dalam hitungan minggu!"
desis Jacob dari sela-sela giginya.
Terlalu terperangah untuk merasa tersinggung oleh kata-katanya barusan, aku
hanya mampu mengangguk tanpa suara.
Wajah Jacob berubah hijau di balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
"Tentu saja, Jake," bisikku setelah terdiam selama semenit yang terasa sangat
lama. "Dia tujuh belas tahun, Jacob. Sedangkan aku semakin hari semakin
mendekati sembilan belas. Lagi pula, apa gunanya menunggu" Hanya dia yang kuinginkan. Apa
lagi yang bisa kulakukan?"
Pertanyaan terakhir itu kumaksudkan sebagai pertanyaan retoris.
Kata-kata itu melesat keluar dari mulut Jacob bagaikan lecutan cambuk. "Banyak.
Masih banyak hal lain yang bisa kaulakukan. Lebih baik kau mati saja. Aku lebih
suka kalau kau mati."
Aku tersentak seperti ditampar. Sakitnya melebihi bila ia benar-benar
menamparku. Kemudian, saat kepedihan itu menyeruak di dalam hariku, amarahku sendiri meledak
menjadi kobaran api, "Mungkin kau akan beruntung," tukasku muram, tiba-tiba bangkit berdiri. "Mungkin
aku akan ditabrak truk dalam perjalanan pulang nanti."
Kusambar motorku dan kudorong menembus hujan. Jacob tak bergerak waktu aku
melewatinya. Begitu sampai di jalan yang kecil dan berlumpur, aku menaikinya dan
mengengkol pedalnya dengan kasar hingga mesinnya meraung menyala. Roda belakang
menyemburkan lumpur ke arah garasi, dan aku berharap mudah-mudahan lumpur itu
mengenai Jacob. Tubuhku benar-benar basah kuyup saat aku melaju melintasi jalan raya yang licin
menuju rumah keluarga Cullen. Angin bagai membekukan hujan di kulitku, dan belum
sampai setengah jalan, gigiku sudah bergemeletuk kedinginan.
Sepeda motor benar-benar tidak praktis digunakan di Washington. Akan kujual
benda tolol ini pada kesempatan pertama nanti.
Kudorong motor itu memasuki garasi rumah keluarga Cullen yang luas dan tidak
kaget melihat Alice menungguku, bertengger di kap mesin Porsche-nya. Tangannya
mengelus-elus catnya yang kuning mengilap.
"Aku bahkan belum sempat mengendarainya." Alice mendesah.
"Maaf," semburku dari sela-sela gigiku yang gemeletuk.
"Kelihatannya kau perlu mandi air panas." kata Alice, nadanya sambil lalu,
sambil melompat turun dengan lincah.
"Yep." Alice mengerucutkan bibir, mengamati ekspresiku dengan hati-hati. "Kau mau
membicarakannya?" "Tidak." Alice mengangguk, tapi matanya dipenuhi rasa ingin tahu.
"Mau pergi ke Olympia nanti malam?"
"Tidak juga. Aku belum boleh pulang?"
Alice meringis. "Sudahlah, tidak apa-apa, Alice." kataku. "Aku akan tetap di sini supaya tidak
menyusahkanmu." "Trims." Alice mengembuskan napas lega.
Aku tidur lebih cepat malam itu, meringkuk lagi di sofa.
Hari masih gelap waktu aku terbangun. Aku merasa linglung, tapi aku tahu hari
masih belum pagi. Dengan mata terpejam aku meregangkan otot-otot, dan berguling
ke samping. Sedetik kemudian baru aku sadar gerakan itu seharusnya membuatku
terjatuh ke lantai. Dan rasanya aku terlalu nyaman.
Aku berguling telentang, berusaha melihat. Malam lebih gelap daripada kemarinawan-awan terlalu tebal hingga cahaya bulan tak mampu menembusnya,
"Maaf," Bisikannya begitu lembut hingga suaranya merupakan bagian dari
kegelapan. "Aku tidak bermaksud membangunkanmu."
Aku mengejang, menunggu amarah itu datang - baik amarahku maupun amarahnya tapi suasana begitu tenang dan damai dalam kegelapan kamarnya. Aku nyaris bisa
merasakan manisnya reuni ini menggelantung di udara, keharuman yang berbeda dari
aroma napasnya; kekosongan ketika kami berpisah meninggalkan jejak kepahitan
tersendiri, sesuatu yang tidak kusadari sampai kepahitan itu lenyap.
Tidak ada friksi di antara kami, Keheningan itu begitu damai-tidak seperti
ketenangan yang terjadi sebelum badai, tapi seperti malam jernih yang tak
tersentuh bahkan oleh mimpi akan terjadinya badai.
Dan aku tak peduli bahwa seharusnya aku marah kepada Edward. Aku tidak peduli
seharusnya aku marah kepada semua orang. Aku malah mengulurkan tangan, menemukan
tangannya dalam gelap, dan menarik tubuhku lebih dekat lagi padanya. Kedua
lengan Edward melingkari tubuhku, mendekapku di dadanya. Bibirku mencari-cari,
menjelajahi daerah sekitar kerongkongannya, ke dagunya, sampai aku akhirnya
menemukan bibirnya. Edward menciumku lembut sesaat, kemudian terkekeh.
"Padahal aku sudah mempersiapkan diri untuk menerima amukan yang mengalahkan
keganasan beruang, tapi malah ini yang kudapat" Seharusnya aku lebih sering
membuatmu marah." "Beri aku satu menit untuk bersiap-siap." godaku, menciumnya lagi.
"Akan kutunggu selama yang kau mau." bisik Edward di bibirku. jari-jarinya
menyusup ke dalam rambutku.
Napasku mulai memburu. "Mungkin besok pagi."
"Terserah kau saja."
"Selamat datang kembali." kataku saat bibir dingin Edward menempel di bawah
daguku. "Aku senang kau sudah pulang."
"Wah, menyenangkan sekali."
"Mmm." aku sependapat, mempererat lenganku di lehernya.
Tangan Edward melingkari sikuku, bergerak lambat menuruni lengan, melintasi
rusuk dan terus ke pinggang, menyusuri pinggul dan turun ke kaki, memeluk lutut.
Ia berhenti di sana, tangannya melingkari tungkaiku.
Aku berhenti bernapas. Biasanya ia tidak mengizinkan ini terjadi. Walaupun
tangannya dingin, mendadak aku merasa hangat. Bibirnya bergerak di lekukan di
pangkal tenggorokanku. "Bukan bermaksud membangkitkan amarah lebih cepat." bisik Edward, "tapi apa kau
keberatan memberitahuku apa yang tidak kausukai dari tempat tidur ini?"
Sebelum aku sempat menjawab, bahkan sebelum aku sempat berkonsentrasi untuk
mencerna kata-katanya, Edward berguling ke samping. Ia merengkuh wajahku dengan
kedua tangan, menelengkannya sedemikian rupa agar bibirnya bisa menjangkau
leherku. Desah napasku terlalu keras-agak memalukan sebenarnya, tapi aku tidak
sempat lagi merasa malu. "Tempat tidur?" tanya Edward lagi. "Menurutku tempat tidurnya bagus."
"Sebenarnya ini tidak perlu." akhirnya aku bisa menjawab. Edward kembali menarik
wajahku ke wajahnya, dan bibirku menempel di bibirnya. Aku bisa merasakan
tubuhnya yang sedingin marmer menempel di tubuhku.
Jantungku bertalu-talu begitu keras hingga aku sulit mendengar tawa pelannya.
"Itu masih bisa diperdebatkan." Edward tidak sependapat, "Ini pasti sulit
dilakukan di sofa." Sedingin es, lidahnya menjelajahi lekuk bibirku dengan lembut.
Kepalaku berputar cepat-napasku memburu, pendek-pendek.
"Memangnya kau berubah pikiran?" tanyaku dengan napas terengah-engah. Mungkin ia
sudah berpikir ulang tentang semua aturan yang ditetapkannya sendiri. Mungkin
ada makna signifikan lain di balik tempat tidur ini daripada yang kuduga pada
awalnya. Jantungku memukul-mukul dadaku hingga nyaris membuatku kesakitan
sementara aku menunggu jawabannya.
Edward mendesah, berguling telentang hingga kami kembali berbaring berdampingan.
"Jangan konyol, Bella," tukasnya, kentara sekali ada nada menegur dalam
suaranya-jelas, ia mengerti maksudku.
"Aku hanya berusaha menggambarkan keuntungan memiliki tempat tidur yang
sepertinya tidak kausukai. Jangan terbawa suasana."
"Terlambat." gerutuku. "Dan aku suka tempat tidurnya." aku menambahkan.
"Bagus." Aku bisa mendengar secercah senyum dalam suaranya saat ia mengecup
keningku. "Aku juga suka."
"Tapi aku tetap menganggapnya tidak perlu." sambungku.
"Kalau kita tidak mau terbawa suasana, lalu apa gunanya?"
Lagi-lagi Edward mendesah. "Untuk keseratus kalinya, Bella - itu terlalu
berbahaya." "Aku suka yang berbahaya-bahaya," tukasku.
"Aku tahu." Nadanya terdengar sedikit pahit, dan aku sadar Edward pasti sudah
melihat sepeda motor di garasi.
"Akan kuberitahu apa yang berbahaya." sergahku buru-buru, sebelum Edward sempat
beralih ke topik diskusi baru.
"Suatu saat nanti, aku akan 'terbakar' secara spontan-dan kau tidak bisa
menyalahkan orang lain kecuali dirimu sendiri."
Edward bergerak untuk mendorongku jauh-jauh.
"Apa-apaan sih kau?" protesku, tetap menggelayutinya. "Melindungimu dari
kemungkinan terbakar. Kalau ini
terlalu berlebihan untukmu."
"Aku bisa mengatasinya," tukasku.
Edward membiarkan aku menyusup kembali dalam pelukannya.
"Maaf kalau aku memberimu kesan yang salah." kata Edward. "Aku tidak bermaksud
membuatmu kesal. Itu bukan perbuatan yang baik."
"Sebenarnya, itu amat, sangat baik."
Edward menghela napas dalam-dalam. "Apa kau tidak capek" Seharusnya aku
membiarkanmu tidur."
"Tidak, aku tidak capek, Aku tidak keberatan kalau kau ingin memberiku kesan
yang keliru lagi." "Mungkin itu bukan ide bagus. Bukan kau satu-satunya yang bisa terbawa suasana."
"Ah, siapa bilang," gerutuku
Edward terkekeh. "Kau kan tidak tahu, Bella. Parahnya lagi, kau begitu
bersemangat meruntuhkan pengendalian diriku."
"Aku tidak mau meminta maaf untuk hal itu." "Bolehkah aku meminta maaf"'
"Untuk apa?" "Kau marah padaku, ingat?"
"Oh, itu." "Maafkan aku. Aku memang salah. Lebih mudah berpikir jernih kalau kau aman di
sini bersamaku." Lengannya merangkulku lebih erat. "Aku jadi sedikit sinting bila harus
meninggalkanmu. Kurasa aku tidak akan pergi jauh-jauh lagi. Tidak sebanding
dengan pengorbanannya."
Aku tersenyum. "Memangnya kau tidak berhasil menangkap singa gunung?"
"Berhasil. Tapi tetap saja, itu tidak sebanding dengan kegelisahan yang
kurasakan. Maafkan aku karena meminta Alice menyanderamu. Itu bukan ide bagus."
"Memang." aku sependapat. "Aku tidak akan melakukannya lagi."
"Oke." sahutku enteng. Aku sudah memaafkan Edward. "Tapi ada enaknya juga kok
pesta semalam suntuk..."
Aku meringkuk lebih dekat padanya, menempelkan bibirku ke lekukan di tulang
selangkanya "Kau bisa menyanderaku kapan saja kau mau."
"Mmm." Edward mendesah. "Siapa tahu aku akan menerima tawaranmu itu."
"Jadi sekarang giliranku?"
"Giliranmu?" suara Edward terdengar bingung.
"Meminta maaf" "Kau mau meminta maaf untuk apa?"
"Memangnya kau tidak marah padaku?" tanyaku bingung.
"Tidak." Kedengarannya Edward sungguh-sungguh.
Aku merasa alisku bertaut, "Memangnya kau belum bertemu Alice waktu kau sampai
di rumah tadi?" "Sudah-kenapa?"
"Kau akan mengambil lagi Porsche-nya?" "Tentu saja tidak. Itu kan hadiah."
Kalau saja aku bisa melihat ekspresi Edward. Nadanya mengisyaratkan seolah-olah
aku menghinanya. "Memangnya kau tidak ingin tahu apa yang kulakukan?" tanyaku, mulai bingung
melihat sikap Edward yang seolah tidak peduli.
Aku merasa ia mengangkat bahu. "Aku selalu tertarik pada semua yang kaulakukan,
tapi kau tak perlu memberitahuku apa-apa. kecuali kau memang ingin."
"Tapi aku pergi ke La Push."
"Aku tahu." "Dan aku bolos sekolah."
"Aku juga." Aku memandang ke arah suaranya, menelusuri garis,garis wajahnya dengan jarijariku, berusaha memahami suasana hatinya. "Dari mana asalnya semua toleransi
ini?" tuntutku. Edward mendesah. "Kuputuskan bahwa kau benar. Masalahku sebenarnya lebih berupa... prasangka
terhadap werewolf daripada yang lain. Aku akan berusaha bersikap lebih bijaksana
dan memercayai penilaianmu. Kalau menurutmu aman, aku akan percaya padamu."
"Wow." "Dan... yang paling penting... aku tidak akan membiarkan masalah ini merusak
hubungan kita." Aku membaringkan kepalaku di dadanya dan memejamkan mata, senang sekali.
"Jadi," kata Edward dengan nada biasa-biasa saja. "Ada rencana untuk kembali ke
La Push dalam waktu dekat?"
Aku tidak menjawab. Pertanyaan Edward membawa ingatanku kembali ke kata-kata
Jacob, dan kerongkonganku mendadak tercekat.
Edward salah membaca sikap diamku serta tubuhku yang tiba-tiba menegang.
"Supaya aku bisa membuat rencana juga," Edward buru-buru menjelaskan. "Aku tidak
mau kau merasa harus buru-buru kembali hanya karena aku menunggumu di sini."
"Tidak," kataku, suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri. "Aku tidak punya
rencana untuk kembali ke sana."
"Oh. Kau tidak perlu melakukannya untukku." "Kurasa aku tidak diterima lagi di
sana," bisikku. "Memangnya kau melindas kucing penduduk di La Push?" tanya Edward ringan. Aku
tahu ia tak ingin memaksaku bercerita, tapi aku bisa mendengar nada ingin tahu
di balik kata-katanya. "Tidak" Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian menjelaskan dengan bergumam
cepat. "Kurasa Jacob pasti sudah tahu... jadi aku tidak mengira dia akan
terkejut." Edward menunggu sementara aku ragu-ragu. "Dia tidak mengira... bahwa
akan secepat itu." "Ah," ucap Edward pelan.
"Katanya dia lebih suka melihatku mati." Suaraku bergetar saat mengucapkan kata
terakhir, Sesaat Edward diam tak bergerak, berusaha mengendalikan entah reaksi
apa yang ia tidak ingin aku melihatnya.
Lalu ia memelukku erat-erat dengan lembut ke dadanya.
"Aku ikut sedih."
Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kusangka kau akan senang mendengarnya." bisikku.
"Masa aku senang bila itu menyakiti hatimu?" bisik Edward ke rambutku. "Kurasa
tidak, Bella." Aku mengembuskan napas dan tubuhku merileks, kutempelkan tubuhku dengan tepat ke
tubuhnya. Tapi Edward bergeming, tegang.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa."
"Kau bisa menceritakannya padaku."
Edward terdiam sejenak. "Mungkin itu akan membuatmu marah."
"Aku tetap ingin tahu."
Edward mendesah. "Aku bisa benar-benar membunuhnya karena berkata begitu padamu.
Aku ingin sekali." Aku tertawa setengah hati. "Untung kau pandai menguasai diri."
"Bisa saja aku lepas kendali." Nadanya melamun.
"Kalau kau mau lepas kendali, ada tempat yang lebih baik untuk melakukannya."
Aku merengkuh wajahnya, berusaha mengangkat tubuhku untuk menciumnya. Lengan
Edward memelukku lebih erat, menahanku.
Ia mendesah. "Haruskah selalu aku yang menjadi pihak yang bertanggung jawab di
sini?" Aku nyengir dalam gelap. "Tidak. Biarkan aku menjadi pihak yang bertanggung
jawab selama beberapa menit.. atau beberapa jam."
"Selamat malam, Bella."
"Tunggu-ada hal lain yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa itu?" "Semalam aku ngobrol dengan Rosalie..."
Lagi-lagi tubuh Edward mengejang. "Ya. Dia sedang memikirkan hal itu waktu aku
datang tadi. Dia membuatmu mempertimbangkan banyak hal, ya?"
Suaranya cemas, dan aku sadar Edward mengira aku ingin berbicara tentang alasanalasan yang diberikan Rosalie padaku agar terap menjadi manusia. Tapi aku
tertarik pada hal lain yang lebih mendesak.
"Dia bercerita sedikit... tentang saat keluarga kalian tinggal di Denali."
Aku diam sebentar; permulaan ini rupanya membuat Edward terkejut. "Ya?"
"Dia bercerita tentang sekelompok vampir perempuan... dan kau."
Edward tidak menyahut, walaupun aku sudah menunggu cukup lama.
"Jangan khawatir." kataku, setelah keheningan itu semakin tak tertahankan, "Kata
Rosalie kau tidak... menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Tapi aku hanya
penasaran apakah ada salah seorang di antara mereka yang tertarik. Menunjukkan
ketertarikan padamu, maksudku."
Lagi-lagi Edward diam. "Siapa?" tanyaku, berusaha agar suaraku tetap terdengar biasa-biasa saja, meski
tidak begitu berhasil. "Atau mungkin ada lebih dari satu?"
Tidak ada jawaban. Kalau saja aku bisa melihat wajahnya, sehingga bisa mencoba
menebak apa arti diamnya Edward.
"Alice pasti mau memberitahu." kataku. "Akan kutanya sekarang juga."
Edward semakin mempererat pelukannya; aku bahkan tidak bisa bergeser satu senti
pun. "Sudah malam." kata Edward. Ada nada lain dalam suaranya yang baru kali ini
terdengar. Sedikit gugup, mungkin agak malu. "Selain itu, kalau tidak salah
Alice tadi pergi... "
"Gawat." tebakku. "Pasti gawat sekali, kan?" Aku mulai panik, jantungku berdebar
semakin cepat saat membayangkan rival abadi cantik jelita yang tidak pernah
kusadari kehadirannya selama ini.
"Tenanglah, Bella," kata Edward, mengecup ujung hidungku. "Sikapmu konyol."
"Masa" Kalau begitu, kenapa kau tidak mau bercerita padaku?"
"Karena memang tidak ada yang perlu diceritakan. Kau terlalu membesar-besarkan."
"Siapa?" desakku,
Edward mendesah. "Tanya sempat menyatakan ketertarikannya. Aku mengatakan
padanya, dengan sesopan dan se-gentleman mungkin, bahwa aku tidak bisa membalas
perhatiannya. Hanya itu."
Aku menjaga agar suaraku terdengar sedatar mungkin.
"Jawab pertanyaanku - Tanya itu seperti apa?"
"Sama saja seperti kami - kulit putih, mata emas,"
Edward menjawab terlalu cepat.
"Dan, tentu saja, luar biasa cantik."
Aku merasakan Edward mengangkat bahu.
"Kurasa begitu, menurut mata manusia," kata Edward, tak acuh. "Tapi tahukah
kau?" "Apa" Suaraku sewot.
Edward menempelkan bibirnya di telingaku; napasnya yang dingin menggelitik. "Aku
lebih suka wanita berambut cokelat."
"Jadi rambutnya pirang. Pantas."
"Pirang stroberi-sama sekali bukan tipeku."
Aku memikirkannya sebentar, berusaha berkonsentrasi sementara bibir Edward
bergerak pelan menyusuri pipiku, terus ke tenggorokan, lalu naik lagi. Ia
mengulanginya hingga tiga kali sebelum aku bicara.
"Kurasa itu bisa diterima," aku memutuskan.
"Hmmm." bisikan Edward menerpa kulitku. "Kau sangat menggemaskan kalau sedang
cemburu. Ternyata asyik juga."
Aku merengut dalam gelap.
"Sudah malam." kata Edward lagi, berbisik, nadanya nyaris membujuk, lebih halus
daripada sutra. "Tidurlah, Bella-ku. Mimpilah yang indah-indah. Kau satu-satunya
yang pernah menyentuh hatiku. Cintaku selamanya milikmu. Tidurlah, cintaku satusatunya." Edward mulai menyenandungkan lagu ninaboboku, dan aku tahu tak lama lagi aku
pasti akan terlena, jadi aku lantas memejamkan mata dan meringkuk lebih rapat
lagi ke dadanya. 9. TARGET ALICE mengantarku pulang paginya, untuk mempertahankan kedok pesta semalam
suntuk. Tak lama kemudian baru Edward akan datang, secara resmi kembali dari
perjalanan "hiking"-nya. Semua kepura-puraan ini mulai membuatku muak. Aku tidak
akan merindukan bagian ini dari kehidupan manusiaku kelak.
Charlie mengintip lewat jendela depan begitu mendengarku membanting pintu mobil.
Ia melambai kepada Alice, kemudian membukakan pintu untukku.
"Senang, tidak?" tanya Charlie. "Tentu saja, sangat senang. Sangat... cewek."
Aku membawa barang-barangku masuk, menjatuhkan semuanya di kaki tangga, lalu ke
dapur mencari camilan. "Ada pesan untukmu." seru Charlie.
Pendekar Cacad 14 Pendekar Naga Putih 49 Tumbal Perkawinan Pendekar Penyebar Maut 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama