Ceritasilat Novel Online

Lolita 1

Lolita Karya Vladimir Nabokov Bagian 1


Lolita Lolita Sebuah Novel VLADIMIR NABOKOV Copyright ? 1955 by Vladimir Nabokov
Diterjemahkan dari Lolita, karangan Vladimir Nabokov
Hak terjemahan Indonesia pada Serambi
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini
dalam bentuk atau cara apa pun
tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerjemah Anton Kurnia Pewajah Isi Nur Aly PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln Kemang Timur Raya No 16, Jakarta 12730
serambi.co.id, www.cerita-utama.serambi.com
info@serambi.co.id Cetakan I Maret 2008 ISBN 978-979-1112-86-4 Untuk Vera Pengantar "LoLita, atau Pengakuan Seorang Duda," adalah dua baris judul yang mengawali
serangkaian halaman ganjil yang saya terima. "Humbert Humbert," pengarang naskah
itu, tewas dalam tahanan akibat penyakit jantung koroner pada 16 November 19S2,
beberapa hari sebelum sidang pengadilannya dimulai. Pengacaranya, sahabat dan
kolega saya, Clarence Choate Clark, Esq., yang kini bertugas di Washington DC,
meminta saya menyunting naskah ini berdasarkan salah satu permintaan kliennya
yang kemudian mendorong sepupu saya untuk menerbitkan naskah ini.
Keputusan Tuan Clark. mungkin dipengaruhi oleh fakta bahwa penyunting yang
dipilihnya ini pernah meraih penghargaan Poling Pnze untuk sebuah karya
sederhana ("Apakah Akal Sehat itu Masuk Akal?") yang membahas kegilaan dan
penyimpangan seksual. Tugas saya terbukti lebih sederhana daripada yang kami berdua duga. Selain
koreksi terhadap sedikit kesalahan tata bahasa dan penyuntingan atas sejumlah
hal kecil yang di luar kehendak "H. H."
sendiri masih tersirat dalam teks yang ditulisnya sebagai petunjuk mengenai
tempat-tempat atau orang-orang tertentu, memoar yang luar biasa ini ditampilkan
secara utuh. Nama samaran pengarangnya adalah gagasannya sendiri dan topeng ini
harus dibiarkan tak terungkap sesuai permintaan yang bersangkutan. Sementara
nama "Haze" hanya berima dengan nama keluarga yang sesungguhnya dari tokoh utama
perempuan, nama depan si tokoh perempuan terlalu dekat dengan intisari terdalam
buku ini untuk diubah. Lagi pula, tak ada (seperti pembaca nanti akan
mengetahuinya sendiri) kebutuhan praktis untuk melakukan hal itu. Data mengenai
kejahatan "H. H." mungkin bisa dilihat dalam berita di koran-koran pada bulan
September 1952. Namun, latar penyebab dan tujuannya mungkin masih tetap akan
menjadi misteri sepenuhnya jika memoar ini tak pernah saya baca.
Demi memuaskan para pembaca yang ingin mengetahui kelanjutan nasib tokoh-tokoh
"nyata" di luar kisah "nyata", sejumlah detail dipaparkan seperti yang diterima
dan Tuan "Windmuller" dan "Ramsdale"
yang menginginkan identitasnya dirahasiakan sehingga "bayang-bayang panjang
kasus yang menyedihkan ini" tak bakal sampai terdengar oleh orang-orang di
sekitar tempatnya berada. Putrinya, "Louise", kini adalah seorang mahasiswi
tingkat dua, sedangkan "Mona Dahl" sedang melanjutkan pendidikan di Paris.
"Rita" baru saja menikah dengan pemilik sebuah hotel di Florida. Nyonya "Richard
F. Schiller" meninggal dunia saat melahirkan seorang bayi perempuan yang
terlahir selamat pada Hari Natal 1952 di Gray Star, sebuah permukiman di
pedalaman Amerika bagian barat laut. "Vivian Darkbloom" menulis sebuah biografi
berjudul "Isyaratku" yang akan segera terbit dan para kritisi yang telah membaca naskah
itu menyebut buku tersebut sebagai karya terbaiknya. Para penjaga sejumlah
pemakaman ikut menyumbang andil dengan melaporkan bahwa tiada satu pun hantu
yang bergentayangan. Bila dipandang secara sederhana sebagai sebuah novel, "Lolita"
berkaitan dengan situasi-situasi dan emosi-emosi yang akan tetap tersamar bagi
para pembaca yang dilemahkan oleh penolakan-penolakan yang dangkal. Benar, tak
satu pun istilah cabul ditemukan dalam keseluruhan karya ini. Seseorang tak
berbudaya yang dibentuk oleh adat istiadat modern dan terbiasa membaca kata-kata
cabul tanpa rasa sesal dalam sebuah novel murahan, pasti akan sangat terkejut
dengan tiadanya hal-hal semacam itu dalam buku ini. Namun, jika seorang
penyunting berupaya menambahi atau menghilangkan adegan-adegan yang oleh pikiran
tertentu mungkin bakal disebut "merangsang" (lihat keputusan yang diambil Hakim
John M. Woolsey pada 6 Desember 1933 tentang buku lain yang lebih gamblang
menggambarkan hal-hal semacam itu), kita terpaksa harus membatalkan penerbitan
"Lolita" karena adegan adegan itu sangat diperlukan dalam perkembangan kisah
tragis yang berujung pada kemuliaan moral ini.
Orang-orang yang sinis akan berkata bahwa pornografi komersial pun memiliki
dalih yang sama. Orang-orang yang terpelajar akan menimpali dengan menegaskan
bahwa pengakuan penuh perasaan "H.
H." ini adalah badai dalam sebuah tabung percobaan. Setidaknya, 12%
lelaki dewasa di Amerika - perhitungan yang "keras" menurut Dr. Blanche
Schwarzmann (berdasarkan percakapan) pernah menikmati pengalaman khusus yang
digambarkan "H. H." dengan semacam keputusasaan. Jika penulis catatan harian
kita yang kehilangan akal sehatnya ini meninggal dunia pada musim panas 1947,
bagi seorang ahli jiwa yang cakap, tak akan ada bencana yang bakal terjadi.
Namun, itu berarti juga tak akan ada buku ini.
Maafkan saya, penulis ulasan ini, karena mengulangi apa yang sering saya
tekankan dalam buku-buku dan kuliah-kuliah saya, yakni bahwa kata "menyinggung"
kerap merupakan sinonim untuk kata
"istimewa" dan karya seni yang agung tentu saja selalu orisinal. Oleh karenanya,
karya semacam itu sering muncul sebagai kejutan yang mengguncang.
Saya tak bermaksud memuji-muji "H. H." Tak perlu diragukan lagi, ia memang
mengerikan, ia memang hina, ia adalah contoh penderita penyakit kusta moral,
gabungan antara keganasan dan lelucon yang menyingkap sebuah penderitaan amat
dahsyat, tetapi tak mengundang simpati. Anehnya, ia sangat tak terduga. Banyak
pendapatnya tentang orang-orang dan peristiwa peristiwa di negeri ini terasa
menggelikan. Kejujuran yang bergaung dalam pengakuannya tidak membebaskannya dari dosa dosa
yang kejam. Ia abnormal. Ia bukanlah seorang lelaki sejati. Namun, rintihan
biolanya mampu menyiratkan kelembutan, sebuah kasih sayang bagi Lolita yang
membuat kita terasuki oleh buku ini seraya menista pengarangnya!
Sebagai sebuah rekaman peristiwa, tak diragukan lagi "Lolita" akan menjadi
sebuah kasus klasik dalam ilmu kejiwaan. Sebagai sebuah karya seni, buku ini
melampaui sisi-sisi buruknya. Dan, yang lebih penting bagi kita dibandingkan
bobot ilmiah dan kelayakan literernya adalah dampak moral buku ini terhadap para
pembaca yang sungguh-sungguh menyimaknya, karena dalam telaah pribadi yang tajam
ini tersembunyi pelajaran bagi semua orang. Bocah pembangkang, ibu yang egois,
maniak yang penuh nafsu - semua ini bukan hanya tokoh-tokoh yang kuat dalam sebuah
kisah yang unik: mereka memperingatkan kita terhadap kecenderungan kecenderungan
yang berbahaya, mereka menunjukkan kejahatan-kejahatan yang mungkin terjadi.
"Lolita" seharusnya membuat kita semua para orangtua, pekerja sosial, pendidik
meningkatkan wawasan dan kewaspadaan dalam menunaikan tugas membesarkan generasi
yang lebih baik dalam sebuah dunia yang lebih aman.
Widworth, Massachusetts 5 Agustus 1955 John Ray, Jr., Ph.D. Bagian satu 1 LoLita, cahaya hidupku, api sulbiku. Dosaku, sukmaku. Lolita: ujung lidah
mengeja tiga suku kata, menyentuh langit-langit mulut, dan pada kali ketiga
menyentuh deretan gigi. Lo. Li. Ta.
Dia adalah Lo yang biasa-biasa saja di pagi hari, setinggi seratus lima puluh
senti, mengenakan sebelah kaus kaki. Dia adalah Lola saat mengenakan celana
panjang longgar. Dia adalah Dolly di sekolah. Dia adalah Dolores pada data isian
bertitik-titik. Namun, dalam pelukanku dia adalah Lolita.
Apakah dia memang seorang titisan" Ya, pasti. Kenyataannya, tak bakal ada Lolita
sama sekali jika aku tak pernah jatuh cinta kepada seorang gadis belia pada
suatu musim panas di sebuah pun di tepi laut.
Oh, kapankah" Bertahun-tahun sebelum Lolita dilahirkan pada musim panas itu. Ah,
kalian selalu bisa mengandalkan seorang pembunuh untuk menulis prosa yang indah.
Para anggota sidang juri yang terhormat, yang mula-mula akan kutunjukkan adalah
apa yang dicemburui oleh para malaikat - malaikat-malaikat bersayap yang telah
salah mengerti itu. Sudilah melihat selaksa sulur duri yang rumit membelit ini.
2 AKU DILAHIRKAN pada 1910 di Paris. Ayahku seorang lelaki terhormat berwatak
santai yang memiliki gabungan beragam ras: seorang warga negara Swiss keturunan
campuran Prancis dan Austria, dengan darah bangsawan Danube mengalir dalam uraturat nadinya. Aku akan melihat-lihat sejenak beberapa kartu pos bergambar yang
indah, biru berkilau. Ayahku memiliki sebuah hotel mewah di Riviera. Ayahnya dan dua kakeknya adalah
saudagar anggur, permata, dan sutra. Pada usia tiga puluh ia mengawini seorang
gadis Inggris, anak perempuan Jerome Dunn, seorang pendaki gunung, dan cucu dan
dua pendeta Dorset yang memiliki keahlian dalam hal-hal ganjil, yakni paleopedologi dan harpa Aeolia.
Ibuku yang sangat fotogenik meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan aneh
(tersambar petir saat tamasya) ketika aku berumur tiga tahun dan hanya
meninggalkan sedikit kehangatan di masa lalu yang paling gelap.
Nyaris tiada yang tertinggal darinya dalam ceruk dan lembah ingatanku - semoga
kalian masih tahan dengan gaya tulisanku yang penuh simbol (aku menulis di bawah
pengawasan). Matahari masa kecilku telah tenggelam. Tentu kalian semua tahu
sisa-sisa harum aroma hari yang terhenti,
dengan serangga-serangga mungil di lereng bukit, mengerubungi kembang-kembang mekar atau tiba-tiba merambati kelopak mawar yang
menjalar di senja musim panas. Ah, kehangatan yang berbulu lembut, seranggaserangga mungil keemasan.
Kakak perempuan ibuku, Sybil, yang dinikahi sepupu ayahku dan kemudian menyianyiakannya, melayani keluargaku sebagai semacam pengurus dan pengatur rumah
tangga yang tak digaji. Seseorang kemudian berkata kepadaku bahwa dia jatuh
cinta kepada ayahku dan ayahku dengan enteng mengambil keuntungan dari hal itu
saat hari hujan dan melupakannya ketika cuaca cerah. Aku sangat menyukai Bibi
Sybil, terlepas dari sikap kerasnya terhadap aturan-aturan yang dibuatnya.
Barangkali dia ingin membuatku menjadi seorang duda yang lebih baik daripada
ayahku seiring berjalannya waktu.
Bibi Sybil memiliki sepasang mata biru bersemu merah dadu dan warna kulit serupa
lilin. Dia suka menulis puisi. Secara puitis dia memercayai tahayul. Dia bilang,
dia tahu, dia akan mati tak lama setelah hari ulang tahunku yang keenam belas
dan ternyata itu benar. Suaminya, seorang pengusaha parfum yang sering
bepergian, menghabiskan sebagian besar waktunya di Amerika, tempat ia akhirnya
menemukan tempat tinggal yang sesungguhnya.
Aku tumbuh menjadi seorang bocah sehat yang bahagia dalam sebuah dunia cerah
yang dihiasi buku-buku, pasir putih, pohon-pohon jeruk, anjing-anjing jinak,
pemandangan laut, dan wajah-wajah penuh senyum. Di sekitarku, Hotel Mirana yang
luar biasa indah berubah menjadi wilayah pribadi, sebuah jagat berpulas putih di
dalam warna biru agung yang melingkupi bagian luarnya. Dari pelayan kasar hingga
orang berkedudukan, semuanya menyukaiku, semuanya menyayangiku. Para perempuan
Amerika setengah baya mencondongkan tubuh kepadaku seperti menara Pisa. Para
putri Rusia yang bangkrut dan tak mampu membayar sewa kamar hotel kepada ayahku,
membelikanku permen bonbon yang mahal harganya. Ia, mon cher petit Papa 1,
mengajakku naik perahu dan bersepeda, mengajariku berenang, menyelam dan bermain
ski air, juga membacakan untukku Don Quixote dan Les Mis?rables2 Aku mengagumi
dan menghormatinya, dan merasa senang untuknya bilamana aku menguping para
pelayan yang membicarakan teman-teman perempuannya yang berganti-ganti, yang
cantik-cantik dan baik hati, yang kerap menghiburku dan berbicara manis kepadaku
serta mengenyahkan air mata dalam kepiatuanku yang riang gembira.
Aku masuk sebuah sekolah berbahasa Inggris yang letaknya beberapa kilometer dan
rumahku. Di sana aku bermain-main dan mendapat nilai - nilai bagus, serta
mengalami saat-saat yang sangat menyenangkan dengan kawan-kawan sekolah dan
guru-guruku. Satu-satunya peristiwa seksual yang kuingat terjadi sebelum ulang
tahunku yang ketiga belas (sebelum aku berjumpa dengan Annabel kecilku untuk
pertama kali) adalah sebuah obrolan sopan dan penuh teori tentang kejutan
kejutan masa puber di sebuah taman bunga mawar di sekolahku dengan seorang bocah
Amerika, putra seorang aktris film ternama yang jarang ia temui dalam dunia tiga
dimensi, dan beberapa reaksi menarik bagian tubuhku saat melihat foto-foto
tertentu, kelabu dan samar, dalam buku kumpulan karya Pinchon yang mewah, La
Beaute Humaine, yang kucuri dari tumpukan di dalam lemari bertuliskan Graphics
di perpustakaan hotel milik ayahku. Kemudian, ayahku memberiku semua informasi
yang ia pikir perlu kuketahui tentang seks. Ini terjadi tepat sebelum ia
mengirimku ke sebuah sekolah menengah di Lyon pada musim gugur 1923 (tempat kami
menghabiskan tiga musim dingin). Namun, sayangnya, pada musim panas tahun itu ia
bepergian ke Italia dengan Madame de R. dan putrinya, dan aku tak punya siapa
pun untuk mengeluh, untuk mencurahkan isi hatiku.
1 Ayahku tersayang; sebutan dalam bahasa Prancis (catatan penerjemah).
2 Don Quixote adalah novel terkenal karya pengarang Spanyol. Miguel de Cervantes
(1547-1616). Les Mis?rables merupakan novel adi karya Victor Hugo (1802-1885).
pengarang Prancis terkemuka (catatan penerjemah)
3 SEPERTIKU, ANNABEL juga memiliki orangtua campuran: separuh Inggris, separuh
Belanda. Aku kini tak terlalu ingat garis-garis wajahnya dibandingkan sebelum
aku mengenal Lolita. Ada dua macam ingatan visual: yang satu, ketika kita secara
terampil menciptakan kembali sebuah bayangan dalam laboratorium pikiran dengan
mata terbuka (dan kemudian aku melihat Annabel dalam istilah-istilah umum
seperti: "kulit sewarna madu", "lengan ramping", "rambut cokelat", "bulu mata
lentik", "bibir lebar merah segar") dan satu lagi ketika kita dengan mata terpejam secara
tiba-tiba membangkitkan replika optik seraut wajah terkasih, sesosok hantu
mungil dalam warna-warna alamiah (dan seperti inilah aku melihat Lolita) di
kegelapan kelopak mata kita.
Oleh karena itu, izinkan aku, dalam menggambarkan Annabel dengan teliti,
mengatakan bahwa dia adalah seorang bocah perempuan cantik yang lebih muda
beberapa bulan daripadaku. Kedua orangtuanya kawan lama bibiku dan sama kakunya
seperti bibiku itu. Mereka menyewa sebuah vila tak jauh dari Hotel Mirana. Tuan
Leigh yang botak dan berkulit cokelat dan Nyonya Leigh yang gemuk dan berbedak
tebal (terlahir sebagai Vanessa van Ness). Betapa aku merasa segan terhadap
mereka! Pada mulanya, Annabel dan aku hanya bercakap-cakap tentang soal-soal sepele. Dia
terus saja mengais ngais sekepal pasir putih yang bagus dan membiarkannya
tercurah dari sela-sela jemarinya. Otak kami dicetak sesuai adat para bocah
Eropa terpelajar yang belum dewasa pada zaman kami. Aku tak yakin apakah
individu-individu genius sebaiknya melakukan apa yang kami sukai dalam keragaman
dunia ramai: pertandingan tenis, keyakinan diri, dan sebagainya. Kelembutan dan
kerapuhan bayi binatang menyebabkan rasa sakit yang sama bagi kami.
Annabel ingin menjadi perawat di beberapa negara miskin di Asia, sedangkan aku
ingin menjadi mata-mata terkenal.
Sekonyong-konyong dengan gilanya, dengan canggungnya, tanpa malu-malu, kami
saling jatuh cinta. Cinta yang tanpa harapan karena rasa saling memiliki gilagilaan itu hanya mungkin diredakan dengan membaurkan setiap unsur jiwa dan raga
kami masing masing. Namun, itulah kami. Kami bahkan tak bisa bebas berteman
seperti layaknya anak-anak kampung kumuh begitu mudah menemukan kesempatan
melakukannya. Setelah satu percobaan liar yang kami lakukan untuk bertemu di
malam hari di taman rumahnya, satu-satunya privasi yang bisa kami dapat adalah
pergi tanpa terdengar (tapi bukan tanpa kelihatan) ke bagian yang ramai di
pantai berpasir. Di sana, di atas pasir lembut, beberapa puluh sentimeter dari
kerabat kami yang lebih tua, kami akan menelentang sepanjang pagi dalam deru
gairah terkekang yang mengerikan dan mengambil keuntungan dari setiap tingkah


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seseorang dalam ruang dan waktu yang amat terbatas untuk saling menyentuh:
tangannya yang separuh tersembunyi dalam pasir akan merayap menuju tanganku,
jari jemari cokelatnya yang ramping berjalan dalam tidur kian dekat ke jemariku.
Kemudian, lututnya yang berkilau sewarna susu akan memulai sebuah perjalanan
panjang. Terkadang sebuah benteng pasir yang dibangun oleh anak-anak yang lebih
muda memberi kami perlindungan yang cukup untuk saling menyentuhkan bibir kami
yang asin. Kontak raga tak sempurna ini mendorong tubuh kami yang sehat dan tak
berpengalaman merasakan kegusaran yang tak bisa diredakan oleh air biru sejuk
tempat di dalamnya kami masih bisa saling mencakar.
Di antara sejumlah harta karun yang hilang dariku selama pengembaraan masa
dewasaku terdapat sehelai potret yang diabadikan oleh bibiku. Potret itu
menunjukkan Annabel, kedua orangtuanya, dan lelaki tua yang lemah dan tenang - Dr.
Cooper, yang pada musim panas itu melamar bibiku. Mereka berkelompok mengelnngi
meja di bagian samping depan sebuah kafe. Annabel tidak tampak terlalu bagus,
terekam saat dia sedang membungkuk di atas minuman chocolat glac?-nya. Kedua
bahu kurusnya yang telanjang serta belahan rambutnya sajalah yang bisa
membuatnya dikenali (seperti yang kuingat dalam potret itu) di tengah buram
cahaya matahari yang membuat keindahannya ternoda. Namun, aku, yang tengah duduk
agak menjauh dan yang lainnya, mendapat gambaran jelas yang dramatis: seorang
bocah lelaki murung berkerut kening mengenakan kaos berwarna gelap dan celana
pendek putih yang rapi jahitannya dengan kaki tersilang, duduk menyamping,
menatap kejauhan. Potret itu diambil pada hari terakhir musim panas kami yang fatal itu dan hanya
beberapa menit sebelum kami membuat upaya kedua dan terakhir untuk merintangi
takdir yang bakal memisahkan kami. Dengan dalih yang sangat tak meyakinkan (ini
adalah kesempatan terakhir dan tak ada lagi yang kami pedulikan) kami melarikan
diri dari kafe ke pantai dan menemukan sebentang pasir putih yang sepi. Di sana,
dalam bayangan keunguan bebatuan merah yang membentuk semacam gua, dalam waktu
singkat kami saling meraba dengan keranjingan, disaksikan kacamata hitam
seseorang yang tertinggal di tempat itu sebagai saksi satu satunya. Aku tengah
berlutut dan memeluk kekasihku yang pasrah ketika dua perenang brewok muncul
dari laut, si lelaki tua dan laut dan saudaranya. Mereka berteriak-teriak
menyemangati kami dengan kata-kata cabul. Empat bulan kemudian, Annabel
meninggal dunia karena penyakit tifus di Corfu.
+ AKU MEMBUKA-BUKA lagi kenangan-kenangan menyedihkan ini dan terus bertanya
kepada diri sendiri: apakah pada saat itu, dalam gemerlap musim panas yang jauh,
retakan dalam hidupku bermula; atau apakah hasratku yang luar biasa pada gadis
kecil itu hanyalah bukti pertama dan sebuah keganjilan yang sudah menjadi
pembawaanku" Ketika aku mencoba menganalisis kerinduan-kerinduanku, dorongandoronganku, tindakan tindakanku, dan seterusnya, aku menyerah pada semacam
imajinasi tentang masa lalu yang memberi umpan otakku dengan kemungkinankemungkinan tak terbatas dan menyebabkan setiap lamunan terus bercabang tanpa
ujung dalam kerumitan masa laluku yang bikin geram. Namun, aku merasa yakin,
melalui keajaiban yang telah ditakdirkan, Lolita berawal dari Annabel.
Aku juga tahu, guncangan atas kematian Annabel memperparah rasa frustrasiku atas
mimpi buruk musim panas itu dan melahirkan hambatan tetap terhadap kisah cinta
mana pun yang terjadi sepanjang tahun-tahun beku masa mudaku. Yang spiritual dan
yang ragawi telah berbaur dalam diri kami dengan kesempurnaan yang pasti tak
terpahami oleh anak-anak muda zaman sekarang yang berotak biasa-biasa saja dan
berbudi kasar. Lama setelah kematian Annabel, aku masih merasa pikiranpikirannya mengapung di antara pikiran-pikiranku. Lama sebelum kami bertemu,
kami telah memiiki mimpi-mimpi yang sama. Kami saling membandingkan catatancatatan kami. Kami menemukan kemiripan yang aneh. Pada bulan Juni di tahun yang
sama (1919), seekor burung kenari liar hinggap di rumahnya dan juga di rumahku,
di dua negara yang terpisah amat jauh. Oh, Lolita, seandainya kau mencintaiku
sedemikian hebatnya! Aku akan menutup fase "Annabelku itu dengan kisah tentang kencan kami yang
gagal. Suatu malam, dia berhasil memperdayai kewaspadaan luar biasa keluarganya.
Dalam kerimbunan pohon mimosa yang gemetar dan berdaun ramping di belakang vila
mereka, kami menemukan sebuah tempat agak tinggi di antara puing-puing tembok
batu yang rendah. Melalui kegelapan dan pepohonan yang tenang, kami bisa melihat
cahaya ganjil jendela-jendela, dipulas oleh tinta warna-warni ingatan yang peka,
muncul bagiku kini seperti permainan kartu - barangkali karena permainan bridgelah
yang sedang menyibukkan musuh pada saat itu.
Annabel gemetar dan tersentak saat aku mencium sudut belahan bibirnya dan lubang
telinganya yang hangat. Segugus bintang bersinar pucat di atas kami, di antara
siluet pepohonan ramping. Langit yang kukuh itu seakan-akan telanjang seperti
tubuh Annabel di balik gaunnya yang tipis. Aku melihat wajahnya di angkasa,
anehnya tampak begitu beda, seolah-olah memendarkan semacam cahaya samar
tersendiri. Kakinya, sepasang kakinya yang indah, agak terkangkang. Ketika tanganku mendarat
di kelangkangnya, raut ngeri terhias di wajahnya.
Separuh nikmat, separuh takut. Dia duduk di tempat yang sedikit lebih tinggi
daripadaku dan saat amukan gairahnya menggodanya untuk menciumku, kepalanya
menunduk dalam gerakan perlahan yang lembut dan nyaris menyakitkan. Lututnya
yang telanjang menekan pergelangan tanganku, lalu merenggang lagi. Bibirnya yang
gemetar, akibat getir gairah cinta misterius, mendesiskan uap napasnya mendekati
wajahku. Dia mencoba meredakan rasa sakit akibat cinta terpasung dengan menggosokkan
bibirnya yang kering pada bibirku. Sejenak kekasihku itu menarik diri dengan
kibasan gugup rambutnya, tetapi kemudian kembali mendekati wajahku dan
membiarkanku melumat bibirnya yang terbuka.
Sementara, dengan kemurahan hati yang siap memberikan untuknya segalanya - hatiku,
tenggorokanku, jeroanku aku memeluknya agar sikap canggungnya musnah dalam
kekuasaan gairahku. Aku teringat aroma bubuk pewangi - aku yakin dia mencurinya dari pembantu ibunya
yang orang Spanyol - semacam parfum manis, lembut, beraroma musk. Aroma itu
berbaur dengan aroma tubuhnya dan seluruh indraku tiba-tiba saja meluap. Namun,
sebuah kehebohan tiba-tiba di belukar yang berdekatan mencegah luapan panca
indraku dan saat kami saling menjauh dari tubuh masing-masing dengan jantung
berdegup kencang karena keributan yang mungkin disebabkan oleh seekor kucing
yang tengah mencari mangsa, muncullah ibunya dari dalam rumah memanggil-manggil
Annabel dengan nada suara kian meninggi - dan Dr.
Coper mencari-cari di taman. Namun, kerimbunan mimosa melindungi kami.
Bintang-bintang yang baur, gelenyar itu, api asmara, cairan seumpama madu dan
rasa sakit mengendap dalam diriku - gadis kecil dengan tungkai dan lidah penuh
gairah itu menghantuiku sejak saat itu.
Hingga akhirnya, dua puluh empat tahun kemudian, aku mematahkan pengaruh
mantranya dengan menitiskannya ke dalam diri seorang gadis kecil lainnya.
5 HARI-HARI MASA mudaku, saat aku melihatnya kembali, seakan-akan terbang menjauh
dariku dalam serpihan serpihan kabur yang berturutan seperti badai salju pagi
hari yang tercipta dan sobekan tisu bekas pakai yang tampak berpusar bagi
seorang penumpang kereta api di belakang mobil yang diamatinya. Dalam hubungan
hubunganku dengan para perempuan, aku cenderung bersikap praktis, getir, dan
dingin. Saat aku kuliah di London dan Paris, para perempuan bayaran sudah mencukupiku.
Beban studiku rumit dan ketat, walaupun tidak terlalu berguna. Pada mulanya aku
berencana mengambil kuliah ilmu jiwa seperti yang dilakukan oleh orang-orang
berbakat yang gagal, tapi aku lebih parah dari itu. Aku begitu tertekan dan
akhirnya beralih mengambil kuliah sastra Inggris tempat banyak penyair gagal
berakhir sebagai dosen-dosen pengisap pipa tembakau dan berjas wol.
Paris cocok buatku. Aku mendiskusikan film-film Soviet dengan para ekspatriat.
Aku duduk bersama ahli-ahli uranium di Deux Magots. Aku menerbitkan esai-esai
yang berbelit-belit dalam jurnal-jurnal aneh. Aku merangkai sajak main-main:
...Fraulem von Kulp membuang muka,
tangannya memegang daun pintu;
tak akan kubuntuti dia. Juga tak. akan kubuntuti
Fresca. Begitu pun Burung Camar itu.
Sebuah makalah yang kutulis, berjudul "Gaya Proustian dalam Sepucuk Surat Keats
untuk Benjamin Bailey" ditertawakan hingga terpingkal-pingkal oleh enam atau
tujuh cendekiawan terkemuka yang membacanya. Aku meluncurkan buku "Historie
abr?g?? de la po?sie anglaise" untuk sebuah penerbit terkemuka dan kemudian
mulai mengumpulkan manual sastra Prancis untuk para mahasiswa berbahasa Inggris
(dengan perbandingan yang diambil dari para penulis Inggris) yang menyibukkanku
sepanjang tahun empat puluhan - jilid terakhirnya hampir siap diterbitkan pada
saat penahananku. Aku mendapat sebuah pekerjaan - mengajar bahasa Inggris pada sekelompok orang
dewasa di Auteuil. Lalu sebuah sekolah untuk remaja putra mempekerjakanku selama
dua musim dingin. Kadang-kadang aku mengambil keuntungan dari perkenalan yang
pernah kubuat dengan para pekerja sosial dan ahli terapi jiwa untuk mengunjungi
berbagai lembaga bersama mereka, misalnya panti asuhan dan sekolah-sekolah untuk
anak-anak nakal, di mana para gadis remaja berkulit pucat dengan bulu-bulu mata
dirias bisa kutatap dalam kebebasan sempurna yang mengingatkanku pada kekasih
masa kecilku dalam mimpi-mimpiku.
Kini aku ingin memaparkan gagasan berikut ini. Di antara rentang usia sembilan
dan empat belas tahun, terdapat gadis-gadis yang, terhadap para lelaki berengsek
tertentu yang berusia dua kali lipat atau lebih daripada usia mereka, menyingkap
sifat sejati mereka yang bukan manusia, melainkan peri (yang bersifat iblis).
Makhluk-makhluk terpilih ini kuusulkan dijuluki nymphet "peri asmara".
Bisa dilihat bahwa aku mengganti tanda spasi dengan istilah waktu.
Aku ingin pembaca melihat "sembilan" dan "empat belas" sebagai batasan-batasan pantai-pantai berkilau dan karang cadas kemerahan - dari sebuah pulau memesona
yang dihantui peri-peri asmaraku itu dan dilingkupi lautan luas berkabut. Di
antara rentang usia itu, apakah semua gadis merupakan peri asmara" Tentu saja
tidak semuanya. Kalau tidak, kami yang mengetahuinya, kami para petualang sepi,
kami yang dipuja peri asmara ini, sudah sejak lama bakal menjadi gila.
Tampang cantik bukanlah persyaratan dan sifat genit, atau setidaknya yang
disebut orang sifat semacam itu, tidak menghalangi sisi-sisi misterius tertentu,
pesona yang merusak perlahan-lahan dan sukar dipahami, penuh tipu daya, serta
mengguncang jiwa yang memisahkan peri-peri asmara itu dan teman-teman sebaya
mereka. Peri-peri asmara ini lebih tergantung kepada dunia nyata dibandingkan
pulau yang tak tercerap indra tempat Lolita bermain dengan hal-hal yang
disukainya di waktu-waktu yang membius.
Dalam rentang usia yang sama, sejumlah peri asmara sungguhan tampak begitu buruk
untuk sementara waktu, atau hanya "imut", atau
"manis" dan "menarik", biasa-biasa saja, gemuk, tak berbentuk, berkulit dingin,
para gadis kecil dengan perut dan bokong babi yang bisa jadi berubah menjadi
perempuan dewasa yang cantik luar biasa (lihatlah para perempuan gemuk pendek
berstoking hitam dan bertopi putih yang bermetamorfosis menjadi bintang-bintang
mencengangkan di layar putih).
Seorang lelaki normal yang diperlihatkan segepok foto gadis-gadis anak sekolah
atau anggota pramuka dan diminta menunjukkan yang paling jelita di antara mereka
tak akan memilih peri asmara. Kalian harus menjadi seniman atau orang gila,
sesosok makhluk murung dengan racun panas di sulbimu dan nyala api terus
berkobar di selangkanganmu (oh, betapa kau pasti ngeri dan harus bersembunyi!),
untuk bisa melihat secara serta merta, melalui isyarat-isyarat tak terkatakan garis tulang pipi yang sedikit tirus, tungkai bawah yang ramping, dan tandatanda lain yang tak bisa kupaparkan atas nama kesopanan, rasa malu, dan kasih
sayang - iblis mungil itu di antara anak-anak sebayanya. Dia berdiri tanpa
dikenali oleh mereka dan tak sadar diri atas kekuatan dahsyat yang dimilikinya.
Lebih jauh lagi, karena gagasan tentang waktu memainkan semacam bagian ajaib
dalam soal itu, kalian tak perlu terkejut mengetahui bahwa pasti ada kesenjangan
usia beberapa tahun, tak kurang dan sepuluh tahun, bahkan umumnya tiga puluh
atau empat puluh tahun, antara si gadis dan si lelaki untuk bisa membuat yang
terakhir ini tunduk di bawah mantra sesosok peri asmara.
Ini soal bagaimana memusatkan gambaran, soal suatu jarak tertentu di mana mata
batin berupaya mengatasi keadaan berlawanan yang diterima pikiran dengan desah
kenikmatan yang jahat. Ketika aku dan dia masih bocah, Annabel kecilku bukanlah
peri asmara bagiku. Aku setara dengannya, dewa kecil dalam gayaku sendiri, di
pulau waktu yang sama. Namun, hari ini, pada September 1952, setelah dua puluh
sembilan tahun berlalu, kupikir aku bisa mengenali dalam diri-nya peri takdir
dalam hidupku. Kami saling mencintai dengan sebuah cinta monyet, ditandai
percikan api asmara yang begitu kerap menghancurkan orang dewasa. Aku lelaki
yang kuat dan sanggup bertahan hidup. Namun, racun itu berada di dalam lukaku,
dan luka itu senantiasa terbuka. Maka, aku segera menemukan diriku menjadi
dewasa di tengah sebuah peradaban yang mengizinkan seorang lelaki berumur dua
puluh lima tahun mengawini seorang gadis enam belas tahun, tetapi tidak dengan
gadis berumur dua belas tahun.
Tak heran, kehidupan masa dewasaku sepanjang periode Eropa dalam keberadaanku
terbukti membengkak dua kali lipat. Secara terbuka, aku memiliki hubungan yang
bisa disebut normal dengan sejumlah perempuan kelas atas dengan ukuran payudara
berkisar dari buah semangka hingga buah pir.
Namun, di dalam batinku, aku dimangsa oleh tungku neraka bara gairah terhadap
setiap peri asmara yang melintas di depanku, tapi tak pernah berani kudekati
karena larangan hukum. Para perempuan yang boleh kusentuh hanyalah penghibur
belaka. Aku yakin sensasi yang kudapat dari persetubuhan alamiah serupa dengan
yang diketahui para lelaki dewasa bersama pasangan dewasa mereka dalam irama
rutin yang mengguncang dunia. Masalahnya, para lelaki itu tidak mengalami
kesenangan tiada tara yang pedih, sedangkan aku mengalaminya.
Mimpi-mimpi kotorku yang paling liar seribu kali lebih memesona dibandingkan
semua perzinaan yang bisa dibayangkan oleh penulis paling genius atau seorang
impoten paling berbakat sekalipun. Duniaku terbelah. Aku sadar terhadap dua
jenis kelamin, bukan hanya satu, tapi tak satu pun milikku. Keduanya akan
disebut perempuan oleh ahli anatomi. Namun, bagiku, melalui prisma indraku,
"keduanya sama bedanya seperti kabut dengan kasut."
Semua ini mampu kunalar sekarang. Namun, dalam usia dua puluhan dan awal tiga
puluhan, aku tidak bisa memahami segala rasa sakitku dengan jelas. Saat tubuhku
tahu apa yang dirindukannya, benakku menolak setiap tuntutan tubuhku. Suatu saat
aku merasa malu dan takut, di lain waktu begitu penuh harap. Berbagai tabu
menelikungku. Para ahli psiko analisis menghiburku dengan pembebasan hampa dan
libido semu. Kenyataan bahwa bagiku objek getaran asmara hanyalah saudara
saudara perempuan Annabel, para pelayan perempuannya, dan dayang-dayangnya,
muncul bagiku berkah kali sebagai pertanda kegilaan. Pada kali lain, aku akan
berkata kepada diriku sendiri bahwa semua itu hanyalah masalah kebiasaan, bahwa
tak ada yang salah sama sekali jika aku terangsang oleh gadis remaja.
Izinkan aku mengingatkan pembaca bahwa di Inggris, dengan adanya bagian dari
Pasal Anak-anak dan Dewasa Muda pada 1933, istilah
"anak perempuan" dijelaskan sebagai "seorang gadis yang berumur di atas delapan
tahun, tapi di bawah empat belas tahun" (empat belas hingga tujuh belas tahun
dinyatakan sebagai "dewasa muda"). Hugh Broughton, seorang penulis kontroversial
pada masa kekuasaan Raja James I, membuktikan bahwa Rahab telah menjadi seorang
pelacur pada umur sepuluh tahun. Semua ini sangat menarik dan aku berani
berkata: kalian pasti menuduh mulutku berbusa-busa demi tujuan tertentu. Tapi
tidak. Aku hanya menyinggung sekilas gagasan-gagasan menyenangkan itu menjadi
omongan santai. Berikut ini beberapa gambaran lain.
Ada penyair Romawi bernama Virgiius yang bisa membuat peri asmara bernyanyi
dalam satu nada, tapi mungkin memilih suara perut lelaki muda. Ada dua putri Nil
dari Raja Akhnaten dan Ratu Nefertiti yang belum boleh kawin (pasangan bangsawan
itu memiliki enam putri), yang tak mengenakan pakaian apa pun selain kalungkalung manik dan bulir-bulir cemerlang, bersantai di atas tumpukan bantal, tetap
utuh setelah tiga ribu tahun, dengan tubuh muda mereka yang berkulit cokelat
lembut, rambut pendek, dan sepasang mata kelam yang menyipit. Ada sejumlah
pengantin perempuan berumur sepuluh tahun yang dipaksa mendudukkan diri di atas fascinum, gading kukuh di kuil-kuil zaman klasik yang
menembus garba perawan mereka. Pernikahan dan kumpul kebo sebelum usia akil
balig bukanlah hal tidak biasa di pedalaman India Timur. Para lelaki tua Lepcha
berumur delapan puluh tahun bersanggama dengan gadis-gadis berumur delapan tahun
dan tak seorang pun keberatan. Lagi pula, penyair Dante Alighieri jatuh cinta
setengah mati kepada Beatrice Portinari ketika si gadis berumur sembilan tahun,
seorang gadis belia cantik jelita yang mengenakan perhiasan kemilau dan bergaun
merah kirmizi, dan itu terjadi di Florence pada tahun 1274 di sebuah pesta


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pribadi pada bulan Mei yang ceria. Dan, ketika Petrarcha jatuh cinta berat
kepada Laureen, gadis itu adalah sesosok peri asmara berumur dua belas tahun
yang berlari dalam deraan bayu, di tengah tebaran debu; setangkai bunga yang
diembus angin di dataran indah pebukitan Vaucluse.
Namun, marilah kita bersikap teliti dan beradab. Humbert Humbert berusaha keras
berbuat baik. Dengan sungguh-sungguh dan tulus ia melakukannya. Ia memiliki rasa
hormat terhadap anak-anak biasa, dengan kepolosan dan kerapuhan mereka, dan tak
peduli apa pun situasinya, ia akan ikut campur dalam kepolosan seorang bocah,
jika ada bahaya. Namun, betapa jantungnya berdetak kencang ketika, di antara
anak-anak polos itu, ia melihat sesosok bocah iblis, " enfant charmante ef
fourbe"3, bermata sayu, berbibir cerah-ancaman sepuluh tahun penjara jika kau
menunjukkan padanya bahwa kau menatapnya dengan berahi.
Maka, hidup pun berlanjut. Humbert bisa saja bersanggama dengan Hawa, tapi yang
ia rindukan adalah Luth. Pertumbuhan payudara yang muncul lebih awal (10,7
tahun) dalam tahapan tertentu mengiringi masa 3 Bocah yang memikat dan tak dapat
dipercaya (catatan penerjemah).
akil balig. Dan, tahapan kedewasaan berikutnya adalah tumbuhnya bulu kemaluan
(11,2 tahun). Cangkir kecilku meluap oleh air seni. Sebuah kapal yang karam.
Segugus pulau karang. Hanya berduaan dengan seorang bocah penumpang yang gemetar
kedinginan. Sayang, ini hanyalah sebuah permainan!
Betapa luar biasa petualangan indahku saat aku duduk di sebuah bangku taman yang
keras berpura-pura tepekur menghadapi sebuah buku yang bergetar. Di sekeliling
si profesor yang tengah membisu, peri-peri asmara bermain-main dengan bebasnya,
seakan-akan lelaki itu hanyalah sesosok patung atau bagian dan bayangan sebatang
pohon tua. Suatu kali, seorang gadis cantik mungil sempurna berpakaian rok kotak-kotak
dengan berisik meletakkan kakinya di dekatku pada bangku taman untuk menurunkan
lengan telanjangnya yang ramping ke arahku dan mengencangkan tali sepatu
rodanya. Aku larut dalam cahaya matahari, dengan bukuku laksana daun ara, saat
rambut ikal mungilnya yang pirang jatuh menutupi kulit lututnya. Bayangan
dedaunan yang kulihat bergetar dan meleleh di atas tungkainya yang kemilau
begitu dekat dengan pipiku yang seperti bunglon.
Di saat lain, seorang gadis anak sekolah berambut merah berdiri di atasku di
dalam trem dan kilasan bulu ketiaknya yang cokelat tipis kemerahan mengendap
dalam darahku selama berminggu-minggu. Aku bisa saja memaparkan kisah-kisah lain
cinta satu sisi ini. Sebagian dari mereka berakhir dalam bau neraka. Itu terjadi
misalnya saat dari balkon aku memerhatikan sebuah jendela yang bercahaya di
seberang jalan dan terlihat bayangan sesosok peri asmara sedang membuka pakaian
di depan sebuah cermin yang sedia membantuku. Pandangan itu membutuhkan pesona
luar biasa yang membuatku berpacu dengan segala kecepatan menuju kepuasan
sunyiku. Namun, tiba-tiba saja, bayangan lembut telanjang yang kucintai itu
berubah menjadi cahaya lampu menjijikkan yang menerangi lengan seorang lelaki
berpakaian dalam yang sedang membaca koran di tepi jendela terbuka di malam
musim panas yang boyak, lembap, dan menyedihkan.
Bocah-bocah itu bermain lompat tali, bermain jungkat jungkit.
Perempuan tua berbaju hitam yang duduk di sampingku di atas bangku taman, di
atas kursi kegembiraanku (sesosok peri asmara tengah mencari-cari kelerengnya
yang hilang di bawahku), bertanya apakah aku sakit perut. Ah, dasar perempuan
tua busuk yang kurang ajar! Jangan ganggu aku di taman remajaku, di kebun
lumutku. Biarkan mereka bermain-main di sekelilingku selamanya. Jangan pernah
tumbuh dewasa. 6 SEKELEBAT PIKIRAN: Aku sering bertanya-ranya apakah yang akan terjadi pada periperi asmara itu kelak" Dalam dunia yang keras dan penuh pertentangan sebab
akibat ini, mungkinkah denyut tersembunyi yang kucuri dari mereka itu tak
memengaruhi masa depan mereka" Aku memilikinya - dan dia tak pernah mengetahuinya.
Baiklah. Namun, akankah itu terungkap suatu saat kelak" Tidakkah aku telah
merusak takdirnya dengan melibatkan sosoknya dalam gairahku" Oh, dulu itu adalah
sumber ketakjuban luar biasa dan tertahankan bagiku, dan akan tetap begitu.
Aku mengetahui bagaimana rupa mereka - peri-peri asmara yang cantik,
menggairahkan, berlengan ramping ketika mereka tumbuh dewasa. Aku ingat pernah
berjalan di sepanjang jalan ramai pada suatu siang musim panas yang kelabu di
sebuah tempat dekat Madeleine.
Seorang gadis ramping berpapasan denganku dengan langkah langkah cepat,
bersepatu tumit tinggi. Kami saling melirik pada saat bersamaan.
Dia berhenti dan aku mendekatinya. Dia setinggi bulu dadaku dan memiliki semacam
lesung mungil di wajahnya seperti yang banyak dimiliki gadis Prancis pada
umumnya, dan aku menyukai bulu matanya yang panjang dan gaun ketat buatan
penjahit sewarna kelabu mutiara yang dikenakannya, sehingga tubuhnya yang muda
masih tampak menyisakan sesuatu yang kekanak-kanakan berbaur dengan liukan
pantat mungilnya yang profesional - dan gaung rayuan peri asmara, gigilan rasa
nikmat, meledak di sulbiku.
Aku bertanya berapakah tarifnya, dan dia dengan cepat menjawab dengan ketepatan
berirama (seperti nyanyian burung!), " Cent."4 Aku mencoba tawar menawar, tapi
dia melihat kerinduan sepi dalam mataku yang tertunduk, tertuju pada wajah
bundar dan topi seadanya yang dipakainya. Dengan sekali sentakan bulu matanya,
dia berkata, "Tant pis,"5 dan seakan-akan membuat gerakan hendak pergi.
Barangkali baru tiga tahun sebelumnya aku pernah melihatnya pulang sekolah!
Kilasan masa lalu itulah yang menjadi masalah.
Dia membawaku pada barisan anak-anak tangga dengan lonceng biasa yang melegakan
jalan bagi seorang lelaki yang tak mau bertemu lelaki lainnya saat menaiki
tangga menuju sebuah kamar menyedihkan, hanya ada ranjang dan jamban. Seperti
biasa, dia langsung menanyakan kado kecil untuknya dan seperti biasa pula aku
menanyakan namanya (Monique) dan umurnya (delapan belas tahun).
Aku sangat mengenal basa-basi dangkal orang jalanan. Mereka semua akan menjawab
" dixhuit"6 semacam celoteh pendek, nada tak 4 Seratus, dalam bahasa Prancis
(catatan penerjemah). 5 Ucapan dalam bahasa Prancis untuk mengatakan penyesalan, berarti. "Ah. sayang
sekali ..." (catatan penerjemah).
6 Delapan belas, dalam bahasa Prancis (catatan penerjemah).
jujur yang mereka ucapkan sepuluh kali sehari, makhluk-makhluk malang itu.
Namun, dalam kasus Monique tak diragukan lagi bahwa dia justru menambahkan satu
atau dua tahun pada umurnya yang sesungguhnya.
Ini kusimpulkan dari banyak hal kecil mengenai tubuhnya yang belum dewasa.
Setelah melepas pakaiannya dengan kecepatan mengagumkan, dia berdiri sejenak
separuh terbalut tirai jendela seraya mendengarkan pengamen jalanan di halaman
rumah orang di bawah dengan rasa senang yang kenak-kanakan.
Ketika aku menggamit tangannya yang mungil dan menarik perhatiannya pada kukukuku jarinya yang kotor, dia berkata dengan wajah cemberut yang lugu, " Oui, ce
n'est pas bien,"7 dan beranjak ke arah tempat cuci, tapi aku berkata padanya
bahwa itu sama sekali bukanlah masalah. Dengan rambut kecokelatan yang dipotong
pendek, sepasang mata kelabu bersinar-sinar, dan kulit pucat, dia tampak sangat
memesona. Pinggulnya tak terlalu besar. Aku tidak ragu-ragu berkata (dan
sesungguhnya inilah alasan aku betah di ruangan kelabu, kenangan itu dengan si
kecil Monique) bahwa di antara sekitar delapan puluhan gadis yang pernah
kutiduri, hanya dialah yang memberiku kesenangan sejati. Dia kembali berpakaian
dengan kecepatan serupa saat dia berbugil.
Aku memintanya bertemu kembali denganku pada malam yang sama dan dia berkata,
dia akan menemuiku di sudut sebuah kafe pukul sembilan. Dia bersumpah, dia tak
pernah melanggar janji seumur hidupnya yang masih muda. Kami lalu kembali ke
kamar yang sama dan aku tak tahan untuk berkata betapa cantik dirinya. Dia
menyahut dengan malu-malu, " Tu es bien gentit de dire ?a,"8 dan kemudian,
mengetahui apa yang kuperhatikan dalam cermin yang memantulkan surga kecil kami
seringai gigi yang membuat mulutku jadi monyong - Monique kecil yang penurut (ah,
dia memang sudah menjadi sesosok peri asmara) bertanya apakah dia sebaiknya
menghapus gincu merah di bibirnya kalau-kalau aku ingin menciumnya. Tentu saja,
aku menginginkannya. Kubiarkan diriku larut dengannya lebih total dibandingkan dengan gadis-gadis
muda lainnya. Pandangan terakhirku malam itu adalah bulu mata Monique yang
lentik terpejam dengan kebahagiaan yang jarang kutemukan dalam kehidupan
asmaraku yang mesum dan memalukan. Dia tampak luar biasa senang dengan bonus
uang lima puluh franc yang kuberikan padanya saat dia pergi bergegas menuju
malam bulan April yang gerimis dengan Humbert Humbert berjalan terhuyung-huyung
di belakangnya. Saat berhenti di depan sebuah jendela, dia berseru, " Je vais
m'acheter des bas!"9 dan tak pernah kulupakan bibir kekanak-kanakannya
meledakkan kata " bas" dengan cara pengucapannya yang mengubah "a" menjadi "o"
seperti pada kata "bot."
Esok harinya aku berkencan lagi dengannya pada pukul 02.15 di kamarku sendiri,
tapi tidak terlalu berkesan. Dia seakan-akan makin 7 Ya, itu tidak baik (catatan
penerjemah). 8 Kau baik benar berkata begitu (catatan penerjemah).
9 Aku mau beli stoking (catatan penerjemah)
berkurang keremajaannya dan semakin mendekati sosok seorang perempuan dewasa.
Demam yang kudapat karena tertulari olehnya membuatku membatalkan pertemuan
keempat, tapi aku tak menyesal telah memutuskan beban khayalan penghibur hati
yang berujung pada kekecewaan yang hambar itu. Jadi, biarkan Monique yang
ramping tetap seperti apa adanya satu dua menit: sesosok peri asmara nakal yang
berkilau melalui tubuh seorang pelacur muda.
Perkenalan singkatku dengannya mengawali serangkaian gagasan yang mungkin tampak
jelas bagi para pembaca yang mengetahui kaitannya. Sebuah iklan di salah satu
majalah mesum membuatku terdampar di kantor Mademoiselle Edith pada suatu hari
yang penuh gairah. Dia mengawali dengan menawariku memilih di antara sekumpulan
foto dalam sebuah album yang tampak kotor. ("Regardezmoi cette belle brune!
")10. Ketika aku mendorong album itu menjauh dan entah bagaimana mampu
melontarkan keinginan jahatku, dia tampak seakan-akan hendak mengusirku.
Namun, setelah bertanya berapa harga yang berani kubayar, dia menyarankanku
berhubungan dengan seseorang yang dapat membereskan hal itu. Esok harinya, seorang perempuan penderita asma dengan
riasan tebal, beraroma bawang putih, banyak mulut, dengan logat Prancis selatan
dan kumis tipis membayang di atas bibirnya yang ungu, membawaku ke tempat
tinggalnya. Di sana, setelah menciumi ujung-ujung jemarinya yang gemuk untuk menandakan
kenikmatan mutu barang dagangannya, secara teatrikal dia menyingkap tirai untuk
memperlihatkan apa yang kuanggap bagian dari ruangan tempat sebuah keluarga
besar biasa tidur. Ruangan itu kini kosong dan digunakan oleh seorang gadis
bertubuh gemuk montok yang berusia sekitar lima belas tahun berambut hitam tebal
dikelabang dengan pita merah yang duduk di atas sebuah kursi, asyik memainkan
sebuah boneka botak dengan acuh tak acuh.
Ketika aku menggelengkan kepala dan mencoba meloloskan diri dari perangkap itu,
si perempuan mucikari berbicara cepat dan mulai melepaskan mantel wol kuning
dari tubuh si gadis gemuk. Lalu, karena melihatku tetap ingin pergi, dia
bersikeras menuntut uangnya. Sebuah pintu di ujung ruangan terbuka dan dua
lelaki yang sedang makan di dapur bergabung dalam pertikaian kecil itu. Kedua
lelaki itu buruk rupa, sangat hitam, dan salah satunya memakai kacamata gelap.
Seorang pemuda dan seseorang berpenampilan kotor dengan kaki pincang berdiri di
belakang mereka. Dengan logika yang kurang ajar, si mucikari yang marah itu menunjuk lelaki
berkacamata gelap dan berkata bahwa orang itu bekas polisi, jadi aku sebaiknya
menuruti perkataannya. Aku menghampiri Marie - nama si gadis gemuk - yang pada saat
itu telah berpindah tempat duduk ke sebuah kursi di meja dapur dan melanjutkan
melahap supnya 10 Lihat perempuan cantik berambut cokelat itu! (catatan
penerjemah). yang sempat tertunda. Dengan rasa iba yang tersirat dan gerak tubuh bodohku, aku
mengasongkan selembar uang kertas ke tangannya yang tampak enggan. Dia
menyerahkan hadiahku itu pada si bekas polisi, sedangkan aku segera beranjak
pergi. 7 AKU TAK tahu apakah album foto milik Mademoiselle Edith berhubungan dengan halhal buruk lainnya atau tidak, tapi segera setelahnya, demi keamananku sendiri,
aku memutuskan untuk menikah. Aku merasa jam-jam yang teratur, makanan rumahan,
segala kesepakatan perkawinan, pencegahan kehamilan akibat kegiatan rutin di
atas ranjang dan, siapa tahu, nilai-nilai moral pengganti keyakinan spiritual
tertentu, mungkin akan membantuku, atau bahkan membersihkan diriku dari gairahgairah rendah yang berbahaya. Setidak-tidaknya, perkawinan bisa membuat semua
itu dikendalikan. Sedikit uang yang kuwarisi setelah kematian ayahku (jumlahnya tak terlalu besar
karena Hotel Mirana telah dijual lama sebelumnya), sebagai tambahan atas tampang
gantengku, membuatku bisa mencari jodoh dengan hati tenang. Setelah melakukan
pertimbangan mendalam, piihanku jatuh pada putri seorang dokter Polandia.
Lelaki baik itu pernah menyembuhkanku dari penyakit pusing kepala dan gangguan
jantung. Kami sering bermain catur. Putrinya menyaksikanku dari balik penyangga
kanvas lukisan, dan sekilas tatap mata atau buku jarinya kadang tertangkap
olehku saat dia gagal melukis gaya kubisme dan beralih menggambar domba dan
bunga bunga bungur. Izinkan aku mengulanginya tanpa suara: aku adalah seorang lelaki tampan, lemah
lembut, tinggi, dengan rambut gelap dan tingkah laku muram, tapi menggoda.
Kejantanan yang luar biasa kerap tecermin dalam gurat-gurat masam raut wajah
seorang lelaki dan kemampuan menahan sesuatu yang harus disembunyikan. Dan,
seperti inilah aku. Aku tahu, aku bisa mendapatkan perempuan dewasa mana pun yang kupilih. Sudah
menjadi kebiasaanku untuk tidak terlalu memberi perhatian terhadap kaum
perempuan, kecuali jika mereka mau datang dengan bersusah payah ke pangkuanku
yang beku. Barangkali aku telah menjadi seorang lelaki Prancis kelas menengah
yang menyukai para perempuan berpenampilan mewah yang dengan mudah kutemukan di
antara perempuan-perempuan cantik yang mencoba meluluhkan batu cadasku yang
kaku, makhluk-makhluk yang jauh lebih memesona ketimbang Valeria nama calon
istriku. Namun, pilihanku didorong oleh pertimbangan-pertimbangan yang pada
intinya merupakan sebuah kompromi memilukan. Semua itu menunjukkan betapa
mengerikannya Humbert yang malang ini dalam soal seks.
8 WALAU PUN AKU berkata pada diri sendiri bahwa aku hanya mencari ketenangan hidup
dan makan malam yang lezat, yang sesungguhnya membuatku tertarik pada Valeria
adalah kemiripannya dengan seorang gadis kecil. Dia menampilkan gaya itu bukan
karena dia mengetahui sesuatu tentang diriku; itu hanyalah gayanya - dan aku
takluk karenanya. Sesungguhnya, saat itu dia berumur akhir dua puluhan (aku tak pernah tahu
umurnya yang sebenarnya). Dia telah kehilangan keperawanannya, dan itulah yang
mengubah suasana hatinya. Sementara itu, aku senaif seorang yang sesat.
Dia tampak lembut dan riang, berpakaian kekanak kanakan, memamerkan kakinya yang
halus, tahu bagaimana menonjolkan kura-kura kakinya yang putih telanjang dengan
memakai sandal beludru hitam.
Ah, dia tampak menggairahkan dan berlesung pipi, jinak-jinak merpati, dengan rok
panjang, menggoyangkan rambut pendeknya yang pirang ikal dengan gaya paling
manis yang bisa dibayangkan.
Setelah upacara singkat di balai kota, aku membawanya ke apartemen baru yang
kusewa untuk memberi kejutan baginya. Aku menyuruhnya mengenakan sehelai gaun
tidur remaja yang kucuri dari lemari sebuah panti asuhan, sebelum aku
menyentuhnya. Aku mendapatkan kesenangan dari malam pertama kami dan menjadi si
bodoh yang histeris saat matahari terbit.
Namun, kenyataan segera menyingkap dirinya. Ikal mayang sepuhan itu menyingkap
sisi gelap akarnya dan berubah menjadi rasa sakit pada betis berbulu yang
dicukur. Mulutnya yang basah, tak peduli bagaimana pun aku menyepuhnya dengan
cinta, membuka kemiripannya dengan sehelai potret mendiang ibunya yang mirip
kodok. Dan kini, alih-alih memeluk seorang gadis mungil pucat, Humbert Humbert
malah mendekap sesosok perempuan gemuk, berkaki pendek, berpayudara besar, dan
bisa dibilang tak berotak.
Hubungan ini hanya berlangsung pada 1935 hingga 1939. Satu-satunya hal baik yang
tersisa darinya adalah sifat pendiam yang sungguh membantu menghasilkan semacam
rasa nyaman yang ganjil dalam apartemen kami yang mungil: dua kamar, pemandangan
berkabut dan jendela, dinding bata di sisi lain, dapur mungil, dan bak rendam
untuk mandi berbentuk sepatu di mana di dalamnya aku merasa seperti Marat11,
tapi tanpa seorang perawan berleher putih yang akan menusukku.
Kami mengalami sedikit malam menyenangkan bersama: dia tenggelam membaca ParisSoir, sedangkan aku bekerja di meja reyot.
Kami pergi menonton film di bioskop, menonton balap sepeda dan pertandingan
tinju. Aku jarang berhasrat pada tubuhnya, kecuali jika aku sedang gundah gulana


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau amat terujung. 11 Jean-Paul Marat (1743-1793). tokoh revolusi Prancis berhaluan radikal yang
tewas dibunuh oleh seorang gadis bangsawan.
Pemlik toko kelontong di seberang apartemenku memiliki seorang anak perempuan
yang bayangannya membuatku gila, tapi dengan bantuan Valeria, aku menemukan
beberapa jalan keluar legal untuk kesulitanku itu. Adapun untuk memasak, kami
diam-diam meninggalkan pot-au-feu dan kerap bersantap di sebuah tempat ramai di
rue Bonaparte di mana banyak noda anggur pada taplak meja dan terdengar riuh
celoteh dalam bahasa asing. Dan di pintu sebelah, seorang pedagang benda seni
menyingkap sebuah gambar cetakan Amerika kuno yang amat indah berwarna hijau,
merah, keemasan dan biru tinta melalui jendelanya yang kusut - menggambarkan
sebuah lokomotif dengan cerobong asap luar biasa besar, lelampu kuno yang indah,
dan sebuah alat pengusir ternak yang tengah bergerak melintasi malam badai di
tengah ladang, berbaur dengan gumpalan asap hitam dan gugusan awan berhias
halilintar. Dan terjadilah ledakan itu. Pada musim panas 1939 pamanku yang tinggal di
Amerika meninggal dunia dan mewariskan untukku pendapatan tahunan sejumlah
beberapa ribu dolar dengan syarat: aku harus menetap di Amerika dan mau ikut
mengelola usaha perdagangannya. Peluang ini kusambut hangat. Aku merasa hidupku
memerlukan guncangan besar.
Ada hal lain pula: lubang rayap telah muncul dalam kenyamanan kemewahan
perkawinan kami. Dalam minggu-minggu terakhir, aku memerhatikan Valeriaku yang
gemuk bertingkah tak seperti biasanya. Dia tampak gelisah, bahkan kerap
menunjukkan rasa sebal yang bukan sifat yang seharusnya dia miiki. Ketika aku
memberitahunya bahwa kami tak lama lagi akan berlayar ke New York, dia tampak
amat gundah dan gelisah. Ada beberapa kesulitan menyebalkan berkaitan dengan
surat-surat resminya. Dia memiiki sebuah paspor Nansen, atau lebih baik sebut
saja Nonsense, yang untuk beberapa alasan tak bisa digunakan karena
kewarganegaraan Swiss suaminya - maksudnya aku. Aku menduga kerepotan untuk
mengantri di kantor yang berwenang dari formalitas lainnya yang membuatnya tidak
bersemangat, terlepas dari kesabaranku menggambarkan Amerika kepadanya, sebuah
negeri tempat anak-anak tumbuh dewasa dan tetumbuhan indah bersemi, dan
kehidupan di sana niscaya merupakan sebuah kemajuan bila dibandingkan dengan
Paris yang hampa dan muram.
Kami baru saja keluar-masuk beberapa kantor pemerintah pada suatu pagi dengan
surat-surat resminya yang hampir selesai, ketika Valeria, saat dia berjalan
bergoyang goyang di sampingku, mulai menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras
tanpa mengucap sepatah kata pun. Aku membiarkannya beberapa saat dan kemudian
bertanya apakah ada sesuatu yang dipendamnya dalam batin. Dia menyahut (aku
menerjemahkannya dari bahasa Prancisnya yang kubayangkan sebagai terjemahan dari
beberapa kata hampa dalam bahasa Slavia), "Ada lelaki lain dalam hidupku."
Inilah kata-kata terburuk yang didengar oleh seorang suami.
Kuakui, kata-kata itu mengagetkanku. Memukulinya di jalanan, di tempat itu juga,
seperti yang mungkin bakal dilakukan oleh seorang lelaki kasar yang polos,
tidaklah mungkin kulakukan. Bertahun-tahun dalam penderitaan diam-diam
mengajariku pengendalian diri luar biasa. Maka, aku menyeretnya masuk ke dalam
sebuah taksi yang selama itu telah membuntuti kami sepanjang jalan. Di dalam
taksi aku berdiam diri untuk mendorongnya mengeluarkan unek-uneknya.
Kemarahan mencekikku - bukan karena aku sangat mencintainya, Madame Humbert,
melainkan karena persoalan legal dan tidak legal merupakan tanggunganku sendiri
untuk memutuskan, dan di sinilah dia, Valeria, istri leluconku itu, dengan tak
tahu malu telah menentukan jalannya sendiri atas nasibku.
Aku mendesaknya agar memberitahukan nama kekasihnya. Aku mengulangi
pertanyaanku, tapi dia terus mengoceh, membahas ketidakbahagiaannya bersamaku
dan menyatakan rencananya untuk segera bercerai. " Mais qui est-ce?"12 teriakku
akhirnya, seraya memukul lututnya dengan tinjuku. Dia tak berkedip, terus
menatapku seakan-akan jawabannya terlalu sederhana untuk diucapkan, lalu dia
mengangkat bahu dan memberi isyarat pada leher gemuk si sopir taksi.
Lelaki itu menghentikan mobilnya di sebuah kafe kecil dan memperkenalkan diri.
Aku tak ingat lagi namanya yang konyol itu, tapi bertahun-tahun kemudian aku
masih bisa mengingat sosoknya dengan jelas seorang bekas kolonel Rusia bertubuh
pendek gemuk dengan kumis tebal dan rambut cepak. Ada ribuan dari dan mereka
yang menjadi sopir taksi seperti itu di Paris.
Kami duduk mengitari sebuah meja. Si pengikut Tsar itu memesan anggur, sedangkan
Valeria, setelah menaruh serbet basah di lututnya, terus berbicara-lebih ke
dalam batinku dibandingkan kepadaku. Dia menuangkan kata katanya dengan
kelancaran berbicara yang tak pernah kuduga dimilikinya. Berkali-kali dia
menyelinginya dengan melontarkan kata-kata dalam bahasa Slavia kepada kekasihnya
yang terus saja berdiam diri.
Situasi itu sangat tak masuk akal dan makin parah ketika si kolonel sopir taksi
itu, setelah menghentikan omongan Valeria dengan seulas senyum menguasai, mulai
membeberkan pandangan-pandangan dan rencana rencananya. Dengan logat kasar dalam
bahasa Prancis yang amat hati-hati, ia menggambarkan dunia cintanya dan
mengusulkan untuk menikahi Valeria. Valeria kini sedang bersolek, di antara
lelaki itu dan aku, menggosok bibirnya yang berkerut, melipat dagunya pada dada
blusnya, dan seterusnya. Sementara, lelaki itu terus berbicara tentangnya
seakan-akan dia tak ada di sana, dan seolah-olah dia adalah seorang bocah mungil
yang harus diwakili demi kebaikannya sendiri, dan satu penjaga yang bijak ke
penjaga yang lebih bijak.
Walaupun amarahku bergelora dan membuatku menafikan kesan-kesan tertentu, aku
bersumpah lelaki itu sesungguhnya tengah mencoba berkonsultasi padaku tentang
hal-hal tertentu semacam pola makan 12 Tapi, siapa laki-laki itu7 (catatan
penerjemah). Valeria, jadwal menstruasinya, barang-barangnya, dan buku-buku yang dia baca
atau sebaiknya dia baca. "Kurasa," ujarnya, "dia akan menyukai Jean
Christophe.13" Oh, ia ternyata seorang terpelajar, si Tuan Taxovich itu.
Aku mengakhiri bualan ini dengan menyuruh Valeria mengemasi barang-barangnya
yang sedikit itu secepatnya. Atas permintaanku itu, si kolonel dengan penuh gaya
menawarkan untuk membawakan barang barangnya
dengan mobilnya. Kembali kepada profesinya, ia mengemudikan suami istri Humbert ke kediaman mereka dan sepanjang jalan Valeria
terus berbicara, sementara Humbert si Kacau berdebat dengan Humbert si Kecil
apakah Humbert Humbert sebaiknya membunuh Valeria atau membunuh kekasihnya, atau
membunuh keduanya, atau justru tidak membunuh kedua-duanya.
Aku teringat suatu kali pernah memegang sepucuk pistol milik seorang teman
mahasiswa selama berhari-hari (aku tak pernah membicarakan soal ini) ketika aku
menimbang-nimbang untuk menikmati adik perempuannya, sesosok peri asmara paling
lembut berambut hitam, dan kemudian menembak diriku sendiri. Aku kini bertanya
tanya apakah Valechka (panggilan kolonel itu terhadapnya) benar-benar layak
ditembak, atau dicekik, atau ditenggelamkan. Dia memiliki sepasang kaki yang
rapuh dan aku memutuskan: aku akan membatasi diri dengan hanya melukainya dengan
sangat parah begitu kami hanya berduaan.
Namun, itu tak pernah terjadi. Valechka - yang kini mencucurkan air mata sehingga
merusak riasannya yang berwarna-warni - mulai mengisi sebuah kopor besar dan dua
kopor kecil, serta sebuah kardus, lalu mengemasi barang-barangnya yang tentu
saja mustahil diselesaikan dengan rapi karena si kolonel terus merutuk dan
berjalan hilir mudik sepanjang waktu.
Aku tak bisa mengatakan bahwa lelaki itu bertingkah kurang ajar atau yang
semacamnya. Sebaliknya, ia menunjukkan tata krama yang teatrikal dengan menyela
setiap gerakannya dengan ucapan permintaan maaf yang salah eja: j'ai demannde
pardonne (seharusnya: j'ai demande pardon) - maaf - est-ce que j'ai puis permisi
dan seterusnya. Dia juga memalingkan wajah dengan bijaksana saat Valechka meraih
celana dalam merah jambunya dari gantungan baju di atas tempat berendam. Namun,
ia selalu tampak ada di mana-mana, mengomentari tempat tinggalku, membaca
koranku di atas kursiku, mencabut sehelai benang dari bajunya, melinting rokok,
menghitung sendok teh, masuk ke kamar kecil, membantu pelacur itu membungkus
kipas angin listrik hadiah dari ayahnya, dan membawa barang-barang perempuan itu
ke jalan. Aku duduk dengan tangan terlipat, sebelah pinggul di atas bingkai jendela,
terbakar kebencian dan merasa jemu. Akhirnya, keduanya keluar dari apartemenku
getaran pintu yang kubanting di belakang mereka masih bergema di setiap sarafku,
pengganti menyedihkan atas tamparan yang seharusnya kulayangkan ke pipi pelacur
itu sesuai aturan dalam 13 Sebuah novel karya pengarang terkemuka Prancis.
Romain Polland (1366-1944).
peraih Hadiah Nobel Sastra 1915 (catatan penerjemah).
film-film. Aku lalu bergegas ke kamar mandi untuk memeriksa apakah mereka
membawa air toilet Inggrisku. Ternyata tidak. Namun, aku melihat dengan jijik
bahwa ternyata bekas penasihat Tsar itu, setelah buang hajat, tidak menyiram
toilet. Kolam air seni tak dikenal dengan puntung rokok mengambang di dalamnya
membuatku merasa terhina, dan dengan liar aku mencari-cari senjata di
sekeliingku. Sesungguhnya, aku berani berkata, tiada hal lain, kecuali sopan santun kelas
menengah Rusia yang mendorong kolonel itu (Maximovich! - nama itu tiba-tiba
terlintas lagi di benakku), seorang lelaki yang suka jaga wibawa, buang hajat
tanpa suara agar tidak memberi penekanan atas kecilnya ukuran tempat tinggal
tuan rumahnya dengan mencegah bunyi deras kucuran air terjun di atas tetesan air
seninya sendiri yang tak bersuara. Namun, hal ini tak terlintas di benakku pada
saat itu. Aku menggeram murka. Kugeledahi dapur untuk mencari sesuatu yang lebih bisa
diandalkan ketimbang sebatang sapu. Lalu, setelah membatalkan pencarianku, aku
bergegas keluar rumah dengan keputusan heroik untuk menyerangnya dengan tangan
kosong. Terlepas dari sosok tubuhku yang cukup tegap, aku bukanlah seorang
petinju, sementara Maximovich yang pendek, tapi berbahu lebar itu, seakan-akan
terbuat dari besi kasar. Jalan yang sepi tak menyisakan apa pun dari kepergian istriku selain sekeping
kancing berlian imitasi yang dia jatuhkan di lumpur setelah menyimpannya selama
tiga tahun yang sia-sia dalam sebuah kotak rusak, menyelamatkanku dari
kemungkinan hidung berdarah.
Tetapi, tak masalah. Aku mendapatkan pembalasan kecil pada saatnya.
Suatu hari seorang lelaki dari Pasadena berkata kepadaku bahwa Nyonya Maximovich
nee Zborouski tewas saat melahirkan sekitar 1945.
Pasangan itu entah bagaimana pindah ke California dan di sana mereka digunakan
sebagai kelinci percobaan dengan bayaran tinggi oleh seorang ahli etnologi
Amerika terkemuka selama setahun penuh. Percobaan itu berkaitan dengan reaksi
manusia dan ras tertentu terhadap cara makan pisang dan kurma dalam posisi terus
menerus merangkak. Pemberi informasiku, seorang dokter, bersumpah bahwa ia
melihat sendiri Valechka yang gemuk dan kolonelnya, saat itu rambutnya sudah
kelabu dan berperut buncit, merangkak di lantai yang disapu bersih dalam
ruangan-ruangan bercahaya terang (buah-buahan di ruangan yang satu, air di
ruangan lain, karpet di ruangan ketiga, dan seterusnya) ditemani beberapa
makhluk bertungkai empat lainnya yang juga dibayar, dipilih dari kelompokkelompok yang miskin dan tak berdaya.
Aku mencoba mencari hasil percobaan ini dalam Review of Anthropology, tapi
rupanya belum dipublikasikan. Penyelesaian hasil karya ilmiah ini memakan waktu
cukup lama. Aku berharap laporannya nanti diberi ilustrasi foto-foto yang bagus
saat dipublikasikan, walaupun mungkin sekali laporan semacam itu tak akan masuk
ke perpustakaan penjara. Satu hal yang saat ini membuatku terbatasi, terlepas dari bantuan pengacaraku,
adalah pemilihan buku-buku di perpustakaan-perpustakaan penjara yang menunjukkan
kecampurbauran yang tolol. Mereka memiliki Injil, juga karya Dickens (terbitan
kuno, N.V., Penerbit G.W. Dihngham, MDCCCLXXXVII), dan Ensiklopedia Anak-anak
(dengan beberapa foto anak-anak perempuan anggota Pamuka dengan rambut di-sinari
cahaya matahari dan bercelana pendek), serta sebuah novel Agatha Christie
berjudul A Murder Is Announced (Pembunuhnya Sudah Diketahui), tapi mereka juga
menyimpan buku-buku remeh yang cemerlang seperti A Vagabond in Italy (Seorang
Pengembara di Italia) karya Percy Elphinstone, pengarang Venice Revisited
(Mengunjungi Kembali Venesia), Boston, 1S6S, yang baru-baru ini masuk dalam
Who's Who in the Limelight (1946) - sebuah buku yang memuat nama-nama aktor,
produser, dramawan, dan lakon-lakon drama terkemuka. Saat melihat-lihat buku
yang terakhir kusebut itu, semalam terpikir olehku salah satu kebetulan
menakjubkan yang dibenci para ahli logika dan dicintai para penyair. Kukutip
sebagian besar isi halaman itu:
Pym, Roland. Lahir di Lundy, Mass., 1922. Mendapat pelatihan panggung di
Elsinore Playhouse, Derby, N.Y. Melakukan debut di Sunburst. Beberapa
pertunjukannya adalah Two Blocks from Here, The Girl in Green, Scrambled
Husbands, The Strange Mushroom, Touch and Go, John Lovely, I Was Dreaming of
You. Quilty, Clare, dramawan Amerika. Lahir di Ocean City, N.J., 1911. Kuliah di
Columbia University. Mengawali dengan sebuah karier komersial, tapi kemudian
beralih menulis naskah drama.
Pengarang lakon The Little Nymph, The Lady Who Loved Lightning (ditulis bersama
Vivian Darkbloom), Dark Age, The Strange Mushroom, Fatherly Love, dan lain-lain.
Beberapa lakon untuk pementasan anak karyanya patut dicatat. Littie Nymph (1940)
mengeliingi jarak sekitar 20.000 km dan dipentaskan 280 kali sepanjang musim
dingin sebelum berakhir di New York. Hobi: balap mobil, fotografi, memelihara
binatang. Quine, Dolores. Lahir pada 1882, di Dayton, Ohio. Belajar drama di American
Academy. Pertama pentas di Ottawa pada 1900.
Melakukan debut di New York pada 1904 dalam lakon Never Talk to Strangers.
Menghilang sejak bermain dalam (tertera daftar sekitar tiga puluhan lakon).
Betapa nama kekasihku yang melekat pada seorang aktris tua masih membuatku
tergetar oleh rasa sakit tak tertahankan! Barangkali, sesungguhnya Lolitaku juga
memang seorang aktris. Dia lahir pada 1935.
Tampil (aku tahu kesalahan penaku dalam paragraf berikut ini, tapi tolong jangan
dibetulkan, Clarence) dalam The Murdered Playwright, Quine the Swine, Guiity of
Killing Quilty. Dinyatakan bersalah karena membunuh Quilty. Oh, Lolita, hanya
bermain kata-kata yang aku bisa!
9 PROSES PENGURUSAN perceraian menunda perjalananku dan suasana muram menjelang
pecahnya Perang Dunia Kedua tengah mencengkeram seluruh dunia ketika aku
akhirnya tiba di Amerika, setelah sebuah musim dingin yang membosankan dan
serangan radang paru-paru di Portugal.
Di New York, dengan senang hati aku menerima sebuah pekerjaan ringan yang
ditawarkan kepadaku: tugas utamaku membuat gagasan dan menyunting iklan parfum.
Aku menyukai sifatnya yang susah diduga dan sisi-sisi literer semunya karena aku
tak punya pilihan lain yang lebih baik.
Di sisi lain, aku didesak oleh sebuah universitas di New York untuk
menyelesaikan studi bandingku tentang sejarah sastra Prancis bagi para mahasiswa
berbahasa Inggris. Jilid pertamanya memakan waktu dua tahun untuk kuselesaikan
dengan masa kerja tak kurang dari lima belas jam sehari.
Saat aku merenungkan kembali hari-hari itu, aku melihat mereka terbagi menjadi
cahaya luas membentang dan bayang-bayang yang sempit: cahaya berkaitan dengan
penelitian pelipur lara dalam perpustakaan-perpustakaan luas, bayang-bayang
mengacu pada hasrat menyiksa dan malam-malam insomnia yang telah kukisahkan.
Kini, pembaca bisa dengan mudah membayangkan pilihan betapa kotor dan
bergairahnya aku, mencoba melirik pilihan peri-peri asmara (aduh, selalu dari
jauh) yang tengah bermain-main di Central Park, dan betapa sebalnya aku oleh
gemerlap gadis-gadis pegawai beraroma minyak wangi yang memualkan sehingga
seekor anjing di salah satu kantor muntah kepadaku. Mari kita lewati saja semua
itu. Terjangan penyakit membawaku ke sebuah sanatorium lebih dari setahun. Aku
kembali ke pekerjaanku - hanya untuk kembali rumah sakit.
Kehidupan dunia luar yang keras seakan-akan menjanjikan padaku semacam
pelepasan. Salah satu dokter kesayanganku, seorang lelaki menarik berjenggot
pendek kecokelatan, memiliki seorang saudara lelaki, dan saudaranya ini hendak
memimpin sebuah ekspedisi ke daerah kutub di Kanada. Aku ikut serta dalam
ekspedisi itu sebagai seorang "pencatat reaksi kejiwaan".
Bersama dua ahli botani dan seorang tukang kayu tua, berkali-kali aku mencoba
membantu (tapi tak pernah terlalu berhasil) salah satu ahli nutrisi kami, Dr.
Anita Johnson - yang kini segera akan kembali, senang sekali aku mengatakannya.
Aku hanya tahu sedikit mengenai apa yang dicari oleh ekspedisi ini. Jika melihat
jumlah ahli meteorologi yang terlibat di dalamnya, kami mungkin sedang melacak
(suatu tempat di Pulau Prince of Wales, kutahu) kutub magnetis utara yang
berpindah-pindah. Satu kelompok, berbaur dengan sejumlah ilmuwan Kanada, mendirikan sebuah stasiun


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengamat cuaca di Pierre Point, Melville Sound. Kelompok lainnya, sama-sama
tanpa pemandu, bertugas mengumpulkan plankton. Kelompok ketiga mempelajari
tuberkulosis di daerah tundra. Bert, seorang fotografer - lelaki gelisah yang juga
memiliki masalah kejiwaan - bersikeras bahwa lelaki-lelaki bertubuh besar dalam
tim kami hanya sedikit berandil dalam memeriksa pengaruh perubahan iklim
terhadap kulit rubah kutub.
Kami tinggal di pondok-pondok yang terbuat dari kayu gelondongan di tengah dunia
batu granit prasejarah. Kami memiliki begitu banyak bahan perbekalan - Reader's
Digest, pengaduk es krim, perlengkapan obat-obatan, topi kertas untuk Natal.
Kesehatanku membaik secara menakjubkan karena segenap kebosanan yang luar biasa
ini. Aku dikelilingi tetumbuhan menyedihkan seperti pohon willow dan lumut,
terperangkap dan terbasuh oleh angin yang berkesiut.
Saat duduk di atas batu besar yang aus oleh arus di bawah langit yang sepenuhnya
kemilau (yang tak menunjukkan apa pun yang penting), aku merasa terasing dari
diriku sendiri. Tiada godaan yang membuatku gila. Gadis-gadis kecil Eskimo yang
montok dengan tubuh mereka yang berbau amis, rambut hitam mengerikan, dan wajah
seperti babi, tak banyak membangkitkan gairahku, sama saja dengan Dr.
Johnson. Peri-peri asmara tak ada di daerah kutub.
Aku meninggalkan tugas untuk menganalisis aliran sungai es, jurang es, dan yang
sejenisnya, dan untuk sesaat mencoba menuliskan apa yang kupikir sebagai
"reaksi-reaksi" tertentu (kuperhatikan, misalnya, bahwa mimpi di tengah malam
cenderung lebih berwarna-warni, dan ini ditegaskan pula oleh temanku si
fotografer). Aku juga berupaya menguji beberapa temanku mengenai sejumlah hal
penting, misalnya nostalgia, rasa takut terhadap binatang tak dikenal, khayalan
mengenai makanan, keluarnya sperma pada malam hari, hobi, pilihan acara radio,
perubahan penampilan, dan seterusnya. Semua orang menjadi muak akan hal ini
sehingga aku segera menghentikan proyek ini sepenuhnya dan baru menjelang akhir
kerja yang beku (seperti lelucon salah satu ahli botani itu) selama dua puluh
bulan tersebut, aku membuat sebuah laporan palsu dan sangat cabul yang bisa
ditemukan pembaca dalam Annals of Adult Psychophysics terbitan 1945 atau 1946,
dengan bahasan utama tentang Penjelajahan Kutub. Tujuan sesungguhnya ekspedisi
itu adalah apa yang diistilahkan sebagai "sangat rahasia".
Izinkan aku menambahkan, apa pun itu, tujuan tersebut telah berhasil dicapai
dengan sangat mengagumkan.
Pembaca akan menyesal mengetahui bahwa segera setelah kepulanganku kembali ke
peradaban, aku mengalami pergulatan lain dengan kegilaan (yaitu melankolia dan
depresi yang sangat parah jika istilah yang kejam itu harus digunakan). Aku
berutang budi atas pemulihanku kepada sebuah penemuan cemerlang saat dirawat di
sanatorium yang sangat mahal itu. Aku menemukan sumber kesenangan tiada batas
dalam mempermainkan para psikiater: membuat mereka jengkel, jangan biarkan
mereka tahu bahwa aku tahu segala tipuan mereka, mengarang-ngarang mimpi yang
rinci (yang membuat para ahli analisis mimpi itu jadi bermimpi buruk dan terjaga
dengan menjerit-jerit), menggoda mereka dengan cerita palsu, dan tak membiarkan
mereka mengetahui sedikit pun masalah seksual seseorang. Dengan menyogok seorang
perawat, aku mendapatkan akses terhadap beberapa file dan menemukan kartu-kartu
yang menyebutku "berbakat homoseksual" dan
"impoten total".
Permainan itu sangat luar biasa dan hasilnya - dalam kasusku - sangat parah sehingga
membuatku harus tinggal di sana selama sebulan penuh setelah aku sehat (bisa tidur pulas dan makan lahap seperti anak sekolah). Dan kemudian, aku diberi
tambahan waktu seminggu lagi hanya untuk mendapat kesenangan bertengkar dengan
seorang pasien baru, seorang terkenal yang hilang ingatan dan termasyhur karena
keterampilannya membuat para pasien percaya bahwa mereka telah menyaksikan
kelahiran mereka sendiri.
10 SETELAH KELUAR dari sanatorium itu, aku mencari tempat tinggal di daerah
pedalaman New England atau kota kecil yang sepi (gereja putih, pepohonan elm)
tempat aku bisa menghabiskan musim panas untuk menggarap catatan-catatan sekotak
penuh yang telah kukumpulkan dan berenang di danau yang berdekatan. Pekerjaanku
telah membuatku bersemangat lagi - maksudku dalam hal akademis. Hal lain, ke
ikutsertaanku dalam mengelola perusahaan parfum peninggalan pamanku pada saat
itu telah sangat berkurang.
Salah seorang bekas pegawai pamanku, keturunan sebuah keluarga terkemuka,
menyarankanku menghabiskan beberapa minggu di kediaman sepupunya yang miskin,
seseorang bernama McCoo, seorang pensiunan, dan istrinya, yang ingin menyewakan
lantai atas rumahnya bekas tempat tinggal seorang bibi yang telah meninggal. Ia
berkata bahwa mereka memiliki dua anak perempuan yang masih kecil, seorang bayi,
seorang anak perempuan lain berumur dua belas tahun, dan sebuah kebun yang
indah, tak jauh dari sebidang danau yang indah. Kukatakan padanya, itu terdengar
sempurna. Aku berkirim surat kepada orang-orang ini, mengatakan bahwa aku ini seorang
pengajar, dan menghabiskan malam yang luar biasa naik kereta api, membayangkan
segala hal yang mungkin bakal terjadi dengan peri-peri asmara misterius yang
akan kuajari bahasa Prancis dan menyentuh mereka dengan gaya Humbert.
Tak ada yang menjemputku di stasiun kecil tempatku turun dengan koporku yang
baru dan mahal, dan tak seorang pun menjawab teleponku.
Akhirnya, seseorang bernama McCoo yang tampak gusar dengan pakaian basah muncul
di satu-satunya hotel di Ramsdale yang berwarna hijau dan merah dadu membawa
kabar bahwa rumahnya baru saja terbakar habis mungkin, berkaitan dengan kobaran
api yang telah bergelora sepanjang malam di urat nadiku. Keluarganya, ujarnya,
telah mengungsi ke sebuah tanah pertanian miliknya. Namun, seorang teman
istrinya, seorang janda terpandang, Nyonya Haze yang tinggal di Lawn Street 342,
menawarkan diri untuk menerimaku. Seorang perempuan terhormat yang tinggal di
seberang rumah Nyonya Haze meminjami McCoo limusin miliknya, sebuah limusin yang
luar biasa kuno, atasnya berbentuk persegi, dikemudikan oleh seorang lelaki
negro yang periang. Karena satu-satunya alasan kedatanganku telah musnah, tawaran itu tampaknya jadi
tak masuk akal. Baiklah, rumahnya harus dibangun kembali, lalu apa salahnya"
Tidakkah ia mengasuransikannya" Aku merasa marah, kecewa, dan sebal, tapi
sebagai seorang Eropa yang sopan, aku tak bisa menolak dibawa ke Lawn Street
dengan mobil pemakaman itu. Aku merasa, kalau aku tidak mau, McCoo malah akan
mengusirku. Aku melihatnya tergesa-gesa pergi dan sopirku menggelengkan kepala
dengan terkekeh halus. Sepanjang jalan, aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tak akan mau
tinggal di Ramsdale dalam keadaan apa pun dan akan terbang hari itu juga ke
Bermuda atau Bahama. Kemungkinan menikmati saat-saat indah di pantai-pantai
penuh warna telah menggelitik tulang belakangku sejak beberapa waktu sebelumnya
dan McCoo sekonyong-konyong membelokkan rangkaian kereta api lamunanku dengan
maksud baiknya. Namun, kini gagasan tinggal di kota ini sungguh merupakan sebuah
saran yang tolol. Berbicara tentang belokan tajam, kami nyaris menabrak seekor anjing di pinggiran
kota yang suka ikut campur urusan orang (salah satu anjing yang senang berbaring
menunggu mobil datang) saat kami membelok ke Lawn Street. Sedikit agak jauh,
muncul rumah keluarga Haze, sebuah rumah putih menyeramkan, tua dan suram, lebih
tampak kelabu daripada putih - semacam tempat yang memiiki pipa karet dan bukan
pipa berkran untuk mandi.
Aku memberi uang persen kepada si sopir dan berharap ia akan segera pergi
sehingga aku bisa minggat lagi tanpa diketahui orang ke hotelku. Namun, lelaki
itu menyeberangi jalan ke tempat seorang perempuan tua yang memanggilnya dari
beranda. Apa yang bisa kulakukan" Aku pun memijit tombol bel.
Seorang pelayan kulit hitam mempersilakanku masuk dan membiarkanku berdiri di
atas permadani saat dia bergegas kembali ke dapur karena ada sesuatu yang
terancam gosong. Ruangan depan itu berhias genta pintu, sebuah benda asal Meksiko terbuat dari
kayu bermata putih, dan tiruan dangkal lukisan van Gogh,
"Arlesi?nne." Sebuah pintu yang berdekatan di sebelah kanan memperlihatkan
pemandangan di ruang tengah, dengan beberapa sampah Meksiko di meja sudut dan
sebuah sofa usang sepanjang dinding.
Ada tangga di ujung ruangan, dan aku berdiri menyeka keningku (baru sekarang aku
menyadari betapa panasnya hawa di luar) dan menatap, sekadar untuk menatap
sesuatu, sebuah bola tenis tua berwarna kelabu yang tergeletak di atas sebuah
peti kayu, saat terdengar dari lantai atas suara rendah Nyonya Haze yang
bertumpu pada pegangan tangga dan bertanya dengan nada berirama, "Inikah
Monsieur Humbert?" Segugus abu rokok jatuh dari sana, lalu muncullah sang nyonya bersandal,
bercelana longgar warna merah marun, berkemeja sutra kuning muda, wajahnya agak
persegi - menuruni anak tangga, ujung jarinya masih menjentik batang rokoknya.
Kukira lebih baik aku langsung menggambarkannya agar cepat melewatinya.
Perempuan malang ini berusia pertengahan tiga puluhan.
Dia memiliki dahi berkilau, alis yang gundul dan raut wajah sederhana, tapi
tidak menarik, dan jenis yang bisa digambarkan sebagai tiruan buruk Marlene
Dietnch. Seraya merapikan rambutnya yang kecokelatan, dia mengajakku ke ruang tamu dan
kami bercakap-cakap sejenak tentang kebakaran yang menghanguskan rumah McCoo dan
keistimewaan tinggal di Ramsdale.
Sepasang matanya yang hijau laut dan lebar tampak lucu menjelajahi seluruh
tubuhku, tapi menghindari tatap mataku. Senyumnya hanyalah gerakan mengangkat
salah satu alisnya. Dia bangkit dari duduknya di atas sofa saat berbicara, dan
berkali-kali membuang abu rokok di tiga asbak dan dekat pembatas perapian (di
situ tergeletak bagian tengah sepotong apel yang kecokelatan). Ketika dia
terhenyak duduk kembali, salah satu kakinya terlipat di bawah tubuhnya.
Dia, jelas sekali, adalah salah satu perempuan yang kata-kata lembutnya akan
mewakil sebuah kelompok pembaca buku atau permainan bridge, atau hal kuno
lainnya, tapi tak pernah mewakili jiwanya. Para perempuan yang sama sekali tak
memiliki rasa humor; mereka yang tak peduli terhadap berbagai topik pembicaraan
di ruang tamu, tapi sangat penuh perhatian terhadap aturan percakapan semacam
itu. Melalui kertas tembus pandang, rasa frustrasi mereka akan mudah terbaca.
Aku sangat menyadari bahwa jika aku menjadi pemondok di rumahnya, dia akan
perlahan-lahan memerangkapku untuk menjadi alat pemuas dan apa yang dia butuhkan
dari seorang pemondok, dan aku akan kembali terjerumus dalam affair membosankan
yang telah kukenal baik. Namun, tak ada kemungkinan aku tinggal di sini. Aku tak bisa bahagia dalam rumah
semacam itu dengan majalah-majalah berserakan di atas setiap kursi dan campuran
mengerikan antara lelucon yang disebut "perabotan modern" dan meja-meja pendek
lapuk dengan lampu-lampu mati. Aku diajak ke lantai atas dan melangkah ke
sebelah kiri - ke "kamarku". Aku mengamatinya melalui kabut penolakanku terhadapnya.
Kulihat di atas "ranjangku" terdapat lukisan Ren? Prinet, "Kreutzer Sonata."
Dan, dia menyebut kamar pelayan sebagai sebuah "semi studio"! Ayo segera pergi
dari sini, tegasku pada diri sendiri saat aku berpura-pura berunding tentang
harga yang luar biasa murah yang diminta nyonya rumahku untuk ongkos pemondokan
dan makanan. Sopan santun memaksaku menerima siksaan ini. Kami menyeberangi bagian antara
tangga menuju bagian kanan rumah itu (tempat "kamarku dan kamar Lo berada" - Lo
mungkin nama pelayannya), dan aku sulit menyembunyikan rasa jijikku saat aku,
seorang lelaki yang sangat rewel, diperlihatkan satu-satunya kamar mandi yang
ada, sebuah ruangan sempit antara bagian dekat tangga dan
"kamar Lo" dengan berbagai benda basah menggantung di atas bak berendam yang
jorok (ada bekas rambut di dalamnya), juga ada gulungan ular karet dan
pasangannya - sehelai penutup toilet merah jambu yang tampak malu-malu kucing.
"Aku tahu, Anda kurang terkesan," ujar perempuan itu seraya membiarkan tangannya
mendarat sejenak pada lengan bajuku: dia menggabungkan keterbukaan yang dingin
dengan sikap malu-malu dan kesedihan yang menyebabkan caranya memiih kata-kata
tampak dibuat-buat seperti seorang profesor ahli "pidato". "Kuakui, ini bukanlah
rumah yang rapi," lanjutnya, "tapi kujamin Anda (dia menatap bibirku) akan
merasa nyaman, bahkan sangat nyaman. Mari kita lihat kebun ..."
(kalimat terakhir ini lebih jelas dengan semacam sentakan pada nada suaranya).
Dengan enggan aku mengikutinya menuruni tangga lagi, lalu melintasi dapur di
ujung ruangan, di sisi kanan rumah - bagian tempat ruang makan dan ruang tamu
berada (di bawah "kamarku", di sebelah kiri hanya ada garasi). Di dapur, pelayan
negro itu, seorang perempuan muda bertubuh montok, berkata saat dia menongolkan
bibir hitamnya yang berkilau dari balik pintu yang menuju beranda belakang, "Aku
akan pergi sekarang, Nyonya Haze." "Ya, Louise," sahut Nyonya Haze dengan
menghela napas. "Sampai ketemu hari Jumat."
Kami melintas menuju sebuah dapur kering dan memasuki ruang makan, sejajar
dengan ruang tamu yang telah kami kunjungi sebelumnya. Aku memerhatikan sebelah
kaos kaki putih di atas lantai.
Dengan mengomel, Nyonya Haze mengambilnya tanpa berhenti dan melemparkan benda
itu ke kloset dekat dapur. Kami mengamati sebuah meja dari kayu mahoni dengan
tempat buah-buahan di tengahnya, hanya berisi sebutir biji buah prem yang masih
berkilau. Aku meraih jam sakuku dan mengeluarkannya untuk mempertimbangkan
jadwal keberangkatan kereta api yang paling cepat.
Aku masih berjalan di belakang Nyonya Haze saat melintasi ruang makan ketika, di
luar, tiba-tiba muncul pemandangan hijau-" piazza," ujar nyonya rumahku dan
kemudian tanpa peringatan ombak laut biru menyapu hatiku, dan tampaklah
kekasihku di Riviera yang setengah telanjang, berbaring bertelekan lutut seraya
memperlihatkan bagian samping tubuhnya, mengintipku dari balik kacamata hitam.
Itu bocah perempuan yang sama - dengan bahu rapuh yang sama, punggung telanjang
selembut sutra yang sama, rambut kecokelatan yang sama. Sehelai sapu tangan
hitam berbintik-bintik putih yang diikat melingkari dadanya menyembunyikan dari
mata monyetku yang menua: sepasang buah dada muda yang pernah kuremas pada suatu
hari yang abadi - tapi tak pernah lekang dari ingatan masa mudaku. Dan, seolaholah aku ini dayang seorang putri kecil dalam dongeng (hilang, diculik, lalu
ditemukan dalam gubuk gipsi di mana ketelanjangannya memancarkan senyum pada
raja dan para punggawanya), aku mengenali tahi lalat kecil cokelat tua di bagian
samping tubuhnya. Dengan terpesona dan senang hati (sang raja berteriak bahagia, trompet ditiup,
sang dayang mabuk) aku bisa melihat kembali perutnya yang indah di mana mulutku
pernah mendarat sekejap; dan pinggul mungil yang pernah kucium kulit cekung
bekas karet celana pendeknya - itulah hari abadi gila-gilaan di balik "Roches
Roses". Dua puluh lima tahun telah berlalu sejak saat itu.
Sulit kunyatakan apa akibat pemandangan penuh gairah itu. Dalam terik cahaya
matahari, tatapanku merayapi bocah itu (matanya mengedip dari balik kacamata
hitam - dokter mungil yang menyembuhkanku dari segala rasa sakitku) saat aku
berpapasan dengannya dalam penyamaran sosok dewasaku (seorang lelaki tampan
berotot), kehampaan jiwaku mengisap setiap detail kecantikannya yang cemerlang
dan kucocokkan dengan raut pacar kecilku yang telah tiada. Sejenak kemudian,
tentu saja, perempuan ini, Lolita ini, Lolitaku, menutupi sekujur tubuhnya. Yang
ingin kutekankan adalah penemuanku terhadapnya merupakan akibat fatal "peristiwa
di tepi laut" pada masa laluku yang menyiksa. Segala hal di antara kedua saat
itu hanyalah serangkaian kesalahan dan kesenangan yang salah arah. Semua hal
yang mereka bagi, menyatukan mereka.
Aku tidak berkhayal. Para juriku akan menganggap semua ini hanyalah celoteh
seorang gila yang keranjingan daun muda. Au fond, ?a m'est bien ?gal.14 Yang
kutahu, saat Nyonya Haze dan aku menuruni anak tangga menuju kebun, lututku
serasa mengambang di dalam air yang mengalir dari bibirku serasa pasir, dan "Itu dia Lo-ku," ujarnya, "dan inilah bunga-bunga bakungku."
"Ya," sahutku. "Mereka sangat indah!"
14 Sejujurnya, aku tak peduli (catatan penerjemah).
11 BENDA BERIKUTNYA yang ingin kuceritakan adalah sebuah catatan harian saku
bersampul kulit imitasi warna hitam dengan tulisan tahun keemasan, 1947, di
sudut kiri atasnya. Yang kumaksud adalah barang buatan Blank Blank Co.,
Blankton, Mass. Bagiku, seakan-akan benda itu benar-benar ada di hadapanku.
Kenyataannya, benda itu telah musnah lima tahun silam. Yang kita bahas sekarang
(dengan pertolongan ingatan fotografis) hanyalah sedikit isinya - seekor burung
phoenix lemah yang tak punya sayap untuk terbang.
Ingatanku akan benda itu begitu kuat karena aku menulisinya dua kali. Pertama,
aku menulis dengan terburu-buru menggunakan pensil (dengan banyak hapusan dan
perbaikan) di atas helaian kertas yang kini dikenal secara komersial sebagai
"kertas untuk mesin tik". Lalu, aku menyalinnya dengan singkatan-singkatan yang
jelas terbaca dalam tulisan tangan kecil-kecil dalam buku mungil hitam yang baru
saja kusebutkan. Tanggal 30 Mei adalah hari libur di New Hampshire, tapi tidak di Carolina. Hari
itu wabah "flu perut" (apa pun itu) memaksa Ramsdale menutup sekolah-sekolahnya
selama musim panas. Pembaca bisa memeriksa data cuaca di arsip koran The
Ramsdale Journal terbitan 1947.
Beberapa hari sebelumnya aku pindah ke rumah keluarga Haze, dan catatan harian
kecil yang kini coba kuungkap (sangat mirip dengan mata-mata yang mengungkapkan
di dalam hati isi catatan yang telah ia telan) melingkupi nyaris seluruh bulan
Juni.

Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamis. Hari yang sangat hangat. Dari sebuah tempat yang menguntungkan (jendela
kamar mandi), aku melihat Dolores mengambii barang-barang dari sampiran pakaian
di dalam cahaya hijau apel di belakang rumah, berjalan hiir mudik. Dia
mengenakan kemeja kotak-kotak, celana jeans biru, dan sepatu karet. Setiap
gerakan yang dibuatnya dalam cahaya matahari yang separuh terang separuh
berbayang, merenggut dawai paling rahasia dan paling peka dalam tubuhku yang
hina. Sejenak kemudian dia duduk di dekatku di atas anak tangga yang lebih rendah di
beranda belakang dan mulai memunguti kerikil di antara kakinya kerikil, Tuhanku,
lalu sekeping pecahan botol susu yang mirip bibir menyeringai - dan melemparkannya
ke dalam kaleng. Cling! Kau tak akan bisa melakukannya untuk kedua kali - kau tak
akan bisa mengenainya. Cling ! Kulit yang luar biasa oh, lembut dan kecokelatan,
mulus, tak bernoda sedikit pun.
Es krim menyebabkan jerawat. Akibat buruk zat berminyak bernama sebum yang
memelihara folikel rambut pada kulit, ketika terlalu banyak, menyebabkan iritasi
yang membuka peluang terjadinya infeksi.
Namun, peri-peri asmara tidak berjerawat walaupun mereka makan dengan rakus dan
melahap porsi makanan berlimpah. Tuhanku, betapa menyedihkan, kilauan bagai
sutra yang berada di atas dahinya berubah menjadi rambut kecokelatan. Dan,
tulang mungil yang bergerak sekilas di samping pergelangan kakinya yang berbalur
debu. "Anak perempuan McCoo" Ginny McCoo" Oh, dia penakut. Dan jahat. Juga
lemah. Hampir mati karena polio." Cling! Bagian depan lengannya berkilau.
Saat dia bangkit untuk membersihkan tubuh, aku memiliki kesempatan untuk
mengagumi dari kejauhan bagian bokong celana jeansnya yang belel. Di halaman
berumput, tampak Nyonya Haze membawa kamera, seperti pohon palsu yang
menyedihkan dan setelah mengoceh sedikit - mata sedihnya terbuka, bila sedang
senang memejam - dia mengambil fotoku saat aku duduk mengedip di atas tangga,
Humbert le Bel. Jumat. Aku melihatnya pergi ke suatu tempat bersama seorang gadis kulit hitam
bernama Rose. Mengapa cara berjalannya - seorang bocah, benar-benar seorang bocah!
- membuatku amat terangsang"
Analisislah. Gerakan tungkai kaki yang mengundang. Semacam gerakan cepat dari
sisi ke sisi yang enteng di bawah lutut memanjang ke ujung setiap jatuhnya
telapak kaki. Hantu yang berjalan menyeret. Sangat kekanak-kanakan. Luar biasa
merangsang. Humbert Humbert juga sangat terpesona oleh cara berbicara bocah itu,
oleh suaranya yang kasar dan tinggi. Kemudian ia mendengarnya membualkan omong
kosong kasar kepada Rose di seberang pagar. Bergema melalui diriku dengan irama
yang meninggi. Berhenti. "Aku harus pergi, Sobat."
Sabtu. (Permulaan mungkin lebih baik daripada sebelumnya.) Aku tahu kegilaanlah
yang membuatku meneruskan penulisan jurnal ini, tapi ini memberiku getaran aneh
saat melakukannya. Dan, hanya seorang istri yang penuh cinta yang mampu
menafsirkan naskah mikroskopisku ini.
Izinkan kunyatakan dengan penuh kesedihan bahwa hari ini Lolitaku berjemur di
tempat yang disebut " piazza" itu, tapi ibunya dan beberapa perempuan dewasa
lainnya selalu ada di sekitar tempat itu sepanjang waktu. Tentu saja, aku bisa
duduk di sana di atas kursi goyang dan berpura-pura membaca. Memilih mencari
aman, aku pergi, karena aku takut getaran mengerikan yang gila dan konyol yang
melumpuhkanku mungkin akan mencegahku bertingkah wajar.
Minggu. Desir hawa panas masih bersama kami, minggu yang paling nyaman. Kali ini
aku mengambil posisi strategis dengan sepucuk surat kabar lebar dan pipa rokok
baru di kursi goyang piazza sebelum Lolita tiba. Yang mengecewakanku, dia datang
bersama ibunya. Keduanya mengenakan baju renang model bikini, hitam warnanya,
masih tampak baru seperti pipaku.
Kekasihku berdiri sejenak di dekatku - ingin melucu dan dia meruapkan aroma nyaris
persis gadisku yang satu lagi, yang di Riviera, tapi lebih tajam, dengan bau
tambahan yang lebih kasar - aroma tubuh penuh berahi yang seketika itu pula
membuat kelelakianku bangkit.
Namun, dia telah mundur kembali ke arah tikarnya yang tergelar dekat ibunya. Di
sana si cantik berbaring telungkup, memamerkan padaku, menunjukkan pada ribuan
mata terbuka dalam darahku, lekuk bahunya yang sedikit terangkat, dan bunga
mekar sepanjang lekukan tulang punggungnya, juga keindahan bokong kencangnya
yang sempit berbalut kain hitam dan bagian samping pahanya yang telanjang.
Dengan membisu, bocah kelas satu SMP itu menikmati komiknya yang berwarna hijaumerah-biru. Dia adalah peri asmara paling memesona yang bisa dibayangkan seorang lelaki.
Saat aku terus menatapnya melalui lapisan prisma cahaya dengan bibir kering,
memusatkan gairahku dan bergetar perlahan di balik koranku, kurasakan hasratku
terhadapnya akan cukup bagiku untuk mendapatkan puncak kepuasan jika aku bisa
memusatkan perhatian dengan benar. Namun, bagai seekor hewan pemangsa yang lebih
menyukai sasaran yang bergerak dibandingkan mangsa yang diam tak berdaya, aku
berencana menjadikan pemuasan gairah yang menyedihkan ini bertepatan dengan
salah satu gerakan khas perempuan yang dia buat sesekali sambil membaca.
Misalnya, saat dia mencoba menggaruk bagian tengah punggungnya dan menyingkap
pemandangan lekuk ketiaknya.
Namun, Nyonya Haze yang gemuk tiba-tiba mengacaukan segalanya dengan menoleh
padaku dan meminta api untuk menyalakan rokok seraya memulai sebuah percakapan
pura-pura tentang sebuah buku palsu karangan seorang gadungan yang terkenal.
Senin. Delectatio morosa. Aku menghabiskan hari-hariku yang muram dengan
kesedihan dan kepedihan. Kami (Nyonya Haze, Dolores dan aku) pergi ke danau
siang ini, bermandi-mandi dan berjemur.
Namun, awan gelap mengubah siang menjadi hujan, dan Lo membikin gara-gara.
Usia kebanyakan untuk masa puber bagi anak-anak perempuan disimpulkan tiga belas
tahun sembilan bulan di New York dan Chicago.
Usia itu beragam bagi masing-masing individu, antara sepuluh tahun, atau lebih
awal, hingga tujuh belas tahun. Virginia belum genap empat belas tahun saat
Harry Edgar mengawininya. Harry mengajarinya aljabar.
Je m'imagine cela.15 Mereka menghabiskan bulan madu di Petersburg, Fla.
"Monsieur Poepoe," ujar seorang pemuda di salah satu kelas yang diajar Monsieur
Humbert Humbert di Paris saat menyebut penyair-poet.
Aku memiliki segala sifat yang - menurut para penulis tentang ketertarikan seksual
terhadap anak-anak membangkitkan reaksi dalam diri sesosok gadis kecil: rahang
kelimis, tangan berotot, suara dalam, bahu lebar. Lebih dari itu, konon aku ini
mirip penyanyi jalanan atau aktor favorit Lo.
Selasa. Hujan. Danau Hujan. Mama pergi berbelanja. L. kutahu ada di suatu tempat
yang berdekatan denganku. Dengan mengendap-endap, aku melintasi kamar tidur
ibunya. Aku mengintai mata kirinya yang terbuka untuk mengenyahkan suatu noda
renik yang membuatnya kelilipan. Dia mengenakan rok kotak-kotak. Walaupun aku
menyukai aroma rambut kecokelatannya, aku benar-benar merasa dia sebaiknya
mencuci rambutnya sesekali.
Sejenak kami berdua berada dalam cermin yang memantulkan bayangan puncak
pepohonan poplar dengan kami berdua berada di langit.
Kucekal bahunya dengan kasar, lalu dengan lembut kubelai dahinya, dan 15 Aku
dapat membayangkannya (catatan penerjemah).
menolehkannya kepadaku. "Tepat di sana," katanya. "Aku bisa merasakannya."
"Petani Swiss akan menggunakan ujung lidah," sahutku.
"Menjilat?" "Ya, mau coba?" "Tentu," ujarnya. Dengan lembut kutekankan ujung
sengatku yang gemetar sepanjang bola matanya yang asin. "Enak,"
ujarnya lagi seraya mengedip. "Hilang." "Mau yang lain?" "Kau bodoh,"
katanya, "tak ada yang lain ..." Tapi, dia menatap bibirku yang mendekat.
"Baiklah," ujarnya patuh dan menundukkan wajahnya ke mulut Humbert yang mengecup
alisnya yang bergetar. Dia tertawa dan mendorongku keluar kamar. Hatiku seakanakan mengembara ke mana-mana sekaligus. Tak pernah kurasakan sebelumnya dalam
hidupku - bahkan ketika aku mencumbui kekasih bocahku di Prancis sekalipun - tak
pernah ... Malam. Tak pernah aku mengalami kesedihan semacam ini. Aku ingin menggambarkan
wajahnya, caranya berjalan - dan aku tak mampu, karena gairahku sendiri
terhadapnya membutakanku ketika dia ada di dekatku. Sialnya, aku tak terbiasa
berdekatan dengan peri asmara. Jika aku memejamkan mataku, aku hanya bisa
melihat potongan-potongan dirinya yang tak bergerak, sebuah film yang diam,
sesuatu yang lembut dan mendadak, serta menyenangkan di bawah sana, seperti
sebelah lutut terbuka di balik rok kotak-kotaknya saat dia duduk mengikat tali
sepatunya. "Dolores Haze, ne montrez pas vos zhambes ..."16 (ibunya mengira
Dolores memahami bahasa Prancis).
Sebagai seorang penyair gagal, aku pernah menyusun sebuah puisi lirik untuk bulu
mata hitam dan sepasang mata hampanya yang kelabu pucat, untuk lima bintik tak
simetris di hidungnya yang mancung, dan untuk rambut halus pirang di kakinya
yang kecokelatan. Namun, aku merobek-robeknya dan tak mampu mengingatnya lagi
kini. Hanya dalam catatan harianku aku bisa menggambarkan raga Lolita: aku bisa
berkata tentang rambutnya yang pirang, bibirnya yang semerah permen loli, bibir
bawahnya yang penuh dan menggemaskan.
Oh, seandainya aku ini seorang penulis perempuan yang bisa memintanya berpose
telanjang dalam cahaya terang! Namun, aku hanyalah Humbert Humbert yang ramping,
bertulang besar dan berjas wol, dengan alis tebal hitam dan logat yang aneh,
serta sekumpulan monster busuk di balik senyumnya yang lembut kekanak-kanakan.
Dan, Lolita pun bukan bocah rapuh dalam sebuah novel feminin. Yang membuatku
gila adalah sifat ganda peri asmara ini - semua peri asmara, mungkin. Campuran ini
dalam Lolita-ku adalah sifat kekanak-kanakan yang lembut dan semacam kegenitan
yang menakutkan, meruap dan manisnya hidung mancung dalam iklan-iklan dan
gambar-gambar di majalah, dan rona merah dadu samar para pelayan perempuan yang
beranjak dewasa di Old Country (beraroma bunga aster layu bercampur keringat);
dan dan pelacur-pelacur muda yang menyamar sebagai bocah kecil di rumah-rumah
bordil pedesaan. Dan lagi, semua ini berbaur 16 Maksudnya: jangan memperlihatkan
kakimu (catatan penerjemah).
dengan kelembutan indah tanpa noda yang meresap melalui keringat dan lumpur,
melalui kotoran dan maut. Oh, Tuhan ... Oh, Tuhanku ... Dan, yang paling luar
biasa adalah bahwa dia - Lolita ini, Lolitaku - telah membangkitkan gairah purbaku.
Itulah yang paling utama - Lolita.
Rabu. "Dengar, buatlah Mama mengajakmu dan aku ke danau besok." Inilah kata-kata
yang diucapkan kepadaku oleh sepercik nyala api berumur dua belas tahun dalam
bisikan menggairahkan saat kami secara kebetulan berpapasan di beranda depan.
Aku keluar, dia masuk. Bayangan matahari senja, berlian putih berkilau dengan warna-warni tajam yang
bergetar di atas bulatan hitam sebuah mobil yang sedang parkir. Gerumbul rimbun
dedaunan sebatang pohon elm raksasa memainkan bayangannya yang muram pada
dinding papan tebal berlapis rumah itu. Sepasang pohon poplar bergetar dan
bergoyang samar. Kau bisa mendengar lamat-lamat suara-suara tak jelas lalu
lintas di kejauhan. Terdengar suara seorang bocah memanggil, "Nancy, Nancy!" Di dalam rumah, Lolita
memasang lagu kesukaannya "Little Carmen" yang biasa kusebut "Dirigen Kurcaci",
membuatnya memberengut dengan raut mencemooh terhadap ejekanku.
Kamis. Semalam kami duduk-duduk di piazza - Nyonya Haze, Lolita, dan aku. Senja
yang hangat telah terbenam dalam kegelapan yang penuh cinta. Sang ibu sedang
berbicara tentang jalan cerita sebuah film yang ditonton olehnya dan L. suatu
ketika pada musim dingin. Si petinju tertunduk ketika berjumpa pendeta tua yang
budiman (yang di masa mudanya pernah menjadi petinju dan masih mampu menghajar
seorang pendosa). Kami duduk di atas tumpukan bantal di lantai dan L. duduk di
antara Nyonya Haze dan aku (dia menyelipkan diri). Aku sendiri membualkan cerita
tentang petualanganku di daerah kutub. Dewi ilham memberiku sepucuk senapan dan
kutembak seekor beruang putih yang sedang duduk dan berseru, "Ah!"
Sepanjang waktu aku menyadari betapa dekatnya tubuh L. dan saat berbicara, aku
bergerak dalam gelap, lalu mengambil keuntungan dari gerak tak terlihatku ini
untuk menyentuh tangannya, bahunya, dan boneka balerina wol yang dia mainkan
terus menerus dan sesekali disentuhkannya ke pangkuanku. Dan akhirnya, ketika
aku telah memerangkap kekasihku dalam jaring-jaring sentuhanku, aku berani
meraba kaki telanjangnya dan membuatnya bergetar. Aku terkekeh atas leluconku
sendiri dan gemetar. Kusembunyikan geletar tubuhku. Sekali dua kali kurasakan
sekilas dengan bibirku kehangatan rambutnya saat aku menyeruduknya sepintas dan
meraba boneka mainannya. Dia pun menjadi amat gelisah sampai akhirnya ibunya
berkata tajam kepadanya agar berhenti bermain boneka. Ibunya tiba-tiba
melemparkan benda itu ke kegelapan. Bocah itu tertawa, lalu kujulurkan tanganku
ke arah Nyonya Haze melintasi kaki Lo agar tanganku merayapi punggung kurus peri
asmaraku dan merasakan kulitnya di balik kemeja lelaki yang dikenakannya.
Namun, kutahu itu semua tiada guna dan aku muak oleh rasa rindu, celanaku terasa
menyempit, dan aku nyaris merasakan puncak kepuasan ketika tiba-tiba saja suara
lirih ibunya terdengar dalam gelap, "Kami rasa Lo sudah saatnya tidur." "Kurasa
kau bau," sahut Lo membangkang. "Itu artinya tak ada tamasya besok," ujar Haze
marah. "Ini negara bebas,"
sergah Lo. Saat Lo yang marah dengan gaya Bronxnya telah pergi, aku terdiam
membeku, sementara Haze mengisap rokok kesepuluhnya di malam itu seraya mengeluh
tentang Lo. Dia sudah menjengkelkan pada usia setahun ketika dia terbiasa melemparkan
mainannya ke luar ayunan bayi agar ibunya yang malang memungutinya terus
menerus. Dasar bocah nakal! Kini, pada usia dua belas tahun, dia sudah menjelma
menjadi penyakit, ujar Haze. Yang dia inginkan hanyalah bergoyang dan
berjingkrak seraya memutar-mutar sebilah tongkat kecil atau berdansa. Nilai
sekolahnya buruk, tapi dia bisa menyesuaikan diri lebih baik di sekolah barunya
ketimbang di Pisky. Pisky adalah kampung halaman keluarga Haze. Rumah di
Ramsdale itu milik mendiang mertua perempuannya. Mereka pindah ke Ramsdale
kurang dari dua tahun sebelumnya.
"Mengapa dia tak senang di sana?" "Oh," ujar Haze, "aku memahaminya. Aku
mengalaminya semasa kecil: anak-anak lelaki berkacak pinggang, memukul kawannya
dengan tumpukan buku, menarik rambut anak perempuan, menyakiti buah dadanya,
menyingkap roknya. Tentu saja, suasana hati yang berubah-ubah adalah sesuatu yang biasa terjadi
mengiringi proses tumbuh kembang menjadi dewasa, tetapi Lo melebih-lebihkannya.
Menjengkelkan dan tidak bertanggung jawab. Kasar dan membangkang. Dia menusuk
Viola, kawan sekolahnya yang orang Italia, di tempat duduknya dengan pulpen.
Tahu apa yang kumau" Jika kau masih di sini pada musim gugur, Monsieur, aku akan
memintamu membantunya mengerjakan PR - kau tampaknya tahu segala hal: geografi,
matematika, bahasa Prancis." "Oh, tentu," sahut si Monsieur.
"Itu artinya kau akan berada di sini nanti!" tukas Haze dengan cepat. Aku ingin
berteriak bahwa aku akan tinggal selamanya seandainya aku bisa mengelus calon
muridku itu sesekali. Namun, aku lelah menghadapi Haze.
Jadi, aku hanya menggumam tanpa arti dan merentangkan tungkaiku, kemudian
berlalu ke kamarku. Perempuan itu terbukti tidak rela membiarkan hari itu terasa menyenangkan. Aku
sudah terbaring di atas ranjangku yang dingin dengan kedua tangan merengkuh
wajah hantu Lolita yang wangi ketika kudengar ibu kosku yang pantang menyerah
itu merayap diam-diam menuju pintuku dan berbisik dan baliknya - hanya meyakinkan,
katanya, apakah aku sedang membaca majalah Glance and Gulp yang kupinjam darinya
pada hari lainnya. Dari kamarnya Lo berteriak, dialah yang membawa majalah itu.
Kami semua memang peminjam bacaan yang rakus.
Jumat. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakan penerbitku jika aku mengutip
dalam bukuku kata-kata Ronsard " la vermeilette fente"17 atau kata-kata Remy
Belleau " un petit mont feutre de mousse 17 Celah kemerahan, kiasan untuk vagina
(catatan penerjemah). delicate, trace sur le milleu d'un fillet escarlate"18 dan seterusnya. Aku
barangkali akan jatuh sakit lagi jika tinggal lebih lama di rumah ini di bawah
tekanan godaan tak tertahankan ini, di sisi kekasihku - pujaan hatiku - hidupku dan
pengantinku. Sudahkah dia diperkenalkan alam kepada Misteri Menstruasi" Perasaan
bengkak. Kutukan Irlandia. Jatuh daei atap. Nenek datang berkunjung. "Rahim (aku
mengutip dari sebuah majalah remaja putri) membangun dinding lembut yang tebal
agar janin bisa tidur lelap di bawah sana." Ah, aku hanyalah seorang lelaki gila
di dalam sel berlapis bantal.
Terlintas secara tiba-tiba: jika aku melakukan pembunuhan kejam
... Tandai kata "jika". Dorongan semacam itu pernah terjadi padaku saat bersama
Valeria. Tandai dengan teliti bahwa kemudian aku berpikir, itu tidak pada
tempatnya. Jika dan ketika kau ingin memanggangku sampai mati, ingatlah bahwa
hanya mantra kewarasan yang bisa memberiku kekuatan untuk menjadi seorang lelaki
kejam (semua ini mungkin bisa diperbaiki). Terkadang, aku mencoba membunuh dalam
mimpi-mimpiku. Namun, tahukah kau apa yang terjadi" Tiba-tiba saja aku menggenggam sepucuk
pistol. Tiba-tiba saja aku membidik seorang musuh yang diam.
Oh, aku menekan pelatuknya, tetapi peluru susul menyusul jatuh dengan hampa ke
atas lantai dari moncong pistol. Dalam mimpi-mimpi tersebut, satu-satunya
pikiranku adalah menyembunyikan kegagalan itu dan musuhku yang perlahan-lahan
merasa terganggu. Pada saat makan malam, kucing betina tua itu berkata kepadaku dengan lirikan
melecehkan gaya seorang ibu kepada Lo (aku baru saja mencukur kumis tipisku yang


Lolita Karya Vladimir Nabokov di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti sikat gigi yang tak kubiarkan tumbuh), "Lebih baik tidak kaupanjangkan,
jika tidak sedang menaksir seseorang." Secara tiba-tiba Lo menjauhkan piring
ikan kukusnya, menandaskan susunya, dan menyingkir dari ruang makan. "Apakah kau
akan merasa bosan jika besok kau ikut berenang bersama kami di danau kalau Lo
minta maaf atas kelakuannya yang tidak sopan?"
Kemudian, aku mendengar suara pintu-pintu dibanting dan suara-suara lain yang
datang dari sebuah gua tempat dua musuh bertarung.
Lolita tak meminta maaf. Kami tak jadi pergi ke danau, padahal Barangkali bakal
Gelang Kemala 4 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Naga Sasra Dan Sabuk Inten 2

Cari Blog Ini