Ceritasilat Novel Online

Macan Tutul Di Salju 2

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 2


tahu tentang adanya persekutuan antara Helen dan Bolt. Bolt mendadak berjalan ke
pintu. "Lima belas menit lagi saya kembali," katanya. Lalu meninggalkan kamar duduk.
Helen tetap berdiri di tempatnya. Mengapa ia tidak ikut Bolt pergi, pikirnya.
Setelah ia pergi, Dominic mungkin akan tidur. Dan sebetulnya tidur adalah obat
satu-satunya yang pasti manjur untuk sakit kepala migraine. Waktu memikirkan
Dominic dalam tempat tidur, badan Helen terasa panas. Sikap lekas tersinggung
Dominic yang bersifat sementara mempunyai daya tarik yang berbahaya. Helen harus
memperingatkan dirinya lagi bahwa seperti halnya dengan binatang buas yang
dipeliharanya, Dominic kejam dan sama sekali tak dapat diramalkan. Helen
mengawasi Dominic. Ia dapat melihat bulu yang tumbuh di dada Dominic. Helen
ingin sekali menyentuh Dominic. Helen ingin memijat pelipis Dominic dengan ujung
jarinya dan melihat otot Dominic berkurang tegang berkat bantuannya....
Dominic tiba-tiba membuka matanya. Pandangannya terbentur pada mata Helen yang
sedang menatapnya. "Duduk," kata Dominic. "Aku dapat menahan sakit. Aku tidak
akan jatuh pingsan."
Kelopak mata Helen menyembunyikan matanya yang mencerminkan perasaannya. Dengan
segan Helen pindah ke kursi tangan yang menghadap api. Sambil duduk di pinggir
kursi, ia memanaskan tangannya di perapian, yang sebetulnya tidak perlu
dilakukannya. Alangkah baiknya kalau ia bisa mempergunakan telpon itu, pikir
Helen. Ia mulai terlalu tertarik pada Dominic Lyall.
Tapi kapan ia bisa mempergunakan telpon itu" Waktu yang paling aman yaitu pada
malam hari kalau Dominic sudah tidur. Tapi Helen merasa takut juga kalau
mengingat Sheba yang mungkin sedang jaga malam.
"Kapan kau menuang kopi itu?"
Suara Dominic mengejutkan dan memutuskan lamunan Helen. "Apa" Oh, ya." Helen
pergi ke meja dan meletakkan cangkir di atas piringnya. Bau kopi menenangkan,
tapi tangannya gemetar waktu memegang teko. "Krim dan gula?"
"Begitu saja," jawab Dominic. Ia duduk dan mengambil cangkir yang diberikan
Helen. "Terima kasih."
Helen menuang kopi untuk dirinya sendiri, menambah gula dan mengaduk kuat-kuat.
Ia tahu Dominic sedang mengawasinya. Apa yang sedang dipikirkan Dominic"
Pikirannya sendiri lebih mudah untuk dijelaskan, tapi tidak kurang mengganggu
ketenangan jiwanya. "Mengapa kau berubah pikiran?" tanya Dominic tiba-tiba.
"Berubah pikiran?" Helen bingung. "Tentang apa?"
"Minum kopi denganku."
"Oh, itu. Karena aku harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membujukmu,
supaya kau berubah niat."
Dominic berbaring lagi. Matanya menyempit. "Kau kira kau dapat melakukan itu?"
Helen meletakkan cangkir kosongnya. "Aku tidak tahu."
"Tapi kau akan mencoba?"
Helen menghela nafas. "Aku mungkin akan mengajukan permohonan demi
kehormatanmu." "Kehormatanku" Itu suatu pengertian aneh yang kolot. Dan bagaimana kau hendak
melakukannya" Dengan membuat aku merasa berhutang budi padamu?"
"Aku tidak mengerti apa yang kaumaksudkan."
"Aku kira kau mengerti. Kekhawatiranmu tadi hampir dapat dipercaya."
Helen yang sejak tadi mengelak dari tatapan mata Dominic, sekarang menatap
Dominic tanpa ragu-ragu. "Kau mengatakan yang bukan-bukan saja!"
"Kau dapat bermain sandiwara baik sekali. Tapi sebaiknya kukatakan kepadamu
bahwa aku tidak dapat ditipu semudah itu. Aku tidak mau membiarkan kau
bersandiwara terus. Karena makin lama makin sukar bagimu untuk menarik diri."
"Apa artinya ini semua?" tanya Helen bingung.
"Artinya kau tak perlu memakai tipu muslihat untuk membujukku supaya aku
bersikap lunak terhadapmu..."
Helen melompat berdiri. "Kau terlalu memuji dirimu sendiri!"
"Tidak. Karena itu aku memperingatkanmu. Itu sekurang-kurangnya yang dapat
kulakukan setelah kau... merawatku."
Helen jengkel mendengar ejekan Dominic. Ingin sekali ia mengatakan kepada
Dominic bahwa ia tahu mengenai telpon di kamar kerja Dominic. Dan bahwa sedikitdikitnya ia bukan seorang pembohong seperti Dominic. Tapi ia berdiam saja. Yang
paling melukainya ialah sikap Dominic. Setelah tahu Helen tertarik pada Dominic,
Dominic membuat tafsiran salah. Dominic mengira bahwa Helen hendak mempergunakan
usia muda dan kecantikannya untuk memaksa Dominic supaya menyimpang dari
tujuannya. Tapi ini sama sekali tidak benar. Helen tahu Dominic, yang bersifat
keras bahkan kejam itu dengan badannya yang cacat, dapat membangkitkan keinginan
yang bukan-bukan di dalam dirinya. Karena itu sebetulnya ia merasa benci. Ia
tidak mau tertarik pada Dominic Lyall. Ia tidak mau merasakan daya tarik Dominic
Lyall yang dapat mengacaukan pikiran. Dan yang paling tidak dikehendakinya ialah
memikirkan tercapainya tujuan nikmat daya tarik itu, yang dimulai dengan
sentuhan tangan dan disusul dengan himpitan tubuh Dominic Lyall....
"Kau memualkan!" Bibir Helen gemetar. "Kau orang yang bejat morilnya. Kau
membiarkan cacat badanmu merusak jiwamu!"
Dominic membeliakkan matanya. Tatapan matanya sekeras batu manikam kuning.
"Memang," katanya. "Sebaiknya kau ingat itu."
Helen menatap Dominic sekali lagi, lalu berjalan menuju ke pintu. Ia merasa
tidak enak badan. Belakang pelipisnya mulai terasa sakit. Hanya sebentar saja
Dominic seakan-akan berperikemanusiaan. Dan bodohnya, ia telah memberi reaksi
terhadap pribadi Dominic yang lebih baik itu.
BAB EMPAT PAGI itu Helen menghabiskan sisa waktunya di kamar tidur. Tak ada gunanya
membereskan pakaiannya, pikir Helen. Ia tidak akan lama tinggal di sini, bukan"
Tapi ia bimbang. Lagipula beberapa dari bajunya bisa kisut. Akhirnya ia
mengeluarkan juga pakaiannya dari kedua kopernya. Lalu menyimpannya di dalam
laci toilet dan lemari pakaian.
Pukul satu Bolt memberitahu Helen bahwa makan siang sudah siap. Beberapa menit
kemudian Helen sudah ada di dapur. "Saya harap Nona tidak berkeberatan makan
siang di sini," kata Bolt. "Tuan Lyall tidak mau makan apa-apa. Saya kira Nona
lebih senang makan dengan saya daripada makan seorang diri."
"Tentu saja," jawab Helen. "Sebetulnya aku juga tidak begitu lapar."
Bolt tidak menjawab, tapi menyilakan Helen duduk. Bolt meletakkan basi tempat
gulai di atas meja kayu. Apa pun yang dimasak Bolt, baunya harum. Selera Helen
bangkit kembali. Mula-mula Helen makan sup tomat. Sup itu enak rasanya. Kemudian bistik dan jamur
yang dimasak dan dihidangkan dalam panci yang tahan panas. Di atas meja terdapat
juga pastel buah. Krim yang dituang Bolt di atasnya kuning dan kental. Helen
melihat pastel yang serupa di atas nampan Dominic Lyall tadi malam. Helen
menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Tapi ia menolak untuk tambah lagi.
"Enak sekali, Bolt," kata Helen, sambil memperhatikan Bolt menuang kopi untuk
kedua kalinya. "Kalau tidak hati-hati, aku bisa menjadi gemuk."
"Saya menyangsikannya," kata Bolt, sambil memperhatikan buah dada Helen yang
kecil. "Lagipula, masih bisa ditambah beberapa senti di sana-sini."
Helen tersenyum. Ia merasa rileks sama sekali untuk pertama kalinya sejak ia
bangun tadi pagi. Bolt seorang kawan yang tidak cerewet, tidak seperti
majikannya.... Waktu teringat akan Dominic Lyall, perasaan jengkel Helen timbul lagi. Ia tidak
boleh lupa bahwa ia ditahan di sini, pikir Helen. Bagaimanapun simpatiknya
penjaga penjaranya, ia tetap penjaga penjara.
Helen memutar-mutar sendok teh di dalam cangkirnya. "Majikanmu tidur, Bolt?"
Bolt mengangguk. "Ya, lebih dari satu jam yang lalu."
"Pekerjaan apa yang dilakukannya?"
"Tuan Lyall sedang menulis sebuah buku, Nona."
"Sebuah buku" Buku apa?"
"Sebetulnya saya tidak boleh membicarakan urusan Tuan Lyall dengan Nona. Mengapa
Nona tidak menanyakannya sendiri?"
Helen menghela nafas. "Ya, mengapa?"
Bolt meletakkan cangkirnya. "Apa yang terjadi tadi pagi, Nona?"
Helen menatap endapan kopi di dasar cangkirnya. "Tidak apa-apa," jawab Helen
singkat. "Apa yang Nona katakan kepada Tuan Lyall?"
"Apa yang kukatakan kepadanya?" jawab Helen marah. "Aku tidak MENGATAKAN apaapa. Aku hanya mengambilkan tabletnya."
"Rupanya Tuan Lyall tidak menghargai apa yang Nona lakukan."
"Majikanmu brengsek!"
Bolt berdiri dan mulai mengumpulkan piring kotor. "Nona harus mengerti..."
Tapi Helen menyelang dengan perasaan tersinggung. "Mengapa aku yang harus
mengerti" Mengapa Dominic tidak mau mengerti bagaimana perasaanku" Aku tidak
menyuruh Dominic membawaku ke sini. Dan aku pasti tidak mau tinggal di sini."
Bolt menaruh kasihan kepada Helen. "Mudah-mudahan hati Nona tidak dilukai Tuan
Lyall," katanya. "Aku dilukai" Dominic Lyall begitu kasar dan kurang ajar. Cuma bisa mementingkan
dirinya sendiri! Bagaimana ia dapat melukai hatiku?"
"Nonalah yang harus mengatakannya kepada saya," kata Bolt penuh rahasia. Lalu ia
membawa piring kotor ke bak tempat mencuci.
Bolt melarang Helen mencuci piring, tapi Helen bersikeras hendak membantu juga.
Kemudian, setelah semua piring disimpan dan dapur nampak rapi dan bersih lagi,
Bolt berkata, "Tuan Lyall akan beristirahat siang ini. Apakah Nona mau ikut saya
ke luar melihat binatang lainnya?"
Helen memandang ke luar lewat jendela. Kelihatannya salju akan turun lagi. Tapi
ia tak dapat menahan keinginannya untuk keluar.
"Ya, aku ikut," katanya. Bolt tertawa senang.
"Apakah Nona mempunyai sepatu boot yang tahan air" Dan pakaian panas?"
"Aku mempunyai sepatu Wellington. Aku sedianya hendak melakukan perjalanan jauh
dengan berjalan kaki. Dan kalau kau sudah mengeringkan mantelku...."
"Oh, sudah. Mantel Nona ada di kamar tempat menyimpan mantel. Saya
menggantungnya di situ tadi pagi."
"Baiklah. Beri saya waktu lima menit."
Helen berlari menaiki tangga menuju ke kamarnya. Apakah ia harus mempergunakan
kesempatan ini untuk menelpon" pikirnya. Bolt sedang sibuk di dapur. Dan Dominic
Lyall sedang tidur. Tapi ia mungkin dipergoki Bolt. Tidak! Ia tidak mau merusak
hubungannya dengan pembantu laki-laki yang tegap itu. Ia harus menunggu sampai
nanti malam. Kalau semua orang sudah tidur.
Helen memasukkan celana panjang korduroinya ke dalam boot karet, dan memakai
sweater lain di atas sweater hijaunya. Ia mengambil mantel merahnya dan
memeriksanya. Untung mantelnya tidak rusak. Ia memasukkan rambutnya ke dalam
tudung mantelnya, lalu pergi ke dapur mencari Bolt.
Siang itu adalah siang yang menyenangkan bagi Helen. Mirip siang yang pernah
dialaminya waktu ia masih kecil dan yang hanya diingatnya samar-samar. Sejak
mereka pindah ke London, musim dingin menjadi masa dingin yang tidak
menyenangkan. Trotoar kotor disebabkan salju yang setengah mencair. Mobil
menjadi tempat berlindung berhawa panas, yang membawa orang dari gedung panas
yang satu ke gedung panas yang lain. Orang merencanakan liburan musim dingin di
tempat-tempat seperti Jamaica dan Barbados. Di tempat-tempat ini matahari selalu
bersedia membantu mempercepat berakhirnya musim dingin yang suram.
Tapi di sini lain keadaannya. Saljunya bersih dan putih. Udaranya begitu segar.
Helen tidak merasa dingin sama sekali. Ia masih muda dan sehat. Ia baru saja
makan makanan lezat. Seluruh badannya terasa enak.
Bolt merawat sapinya, membersihkan kandang dan menaruh jerami baru. Helen kurang
percaya pada binatang yang bermata seperti mata kijang betina itu. Ia membantu
sebisanya, tapi ia merasa lebih betah di kandang ayam. Ia senang mengeluarkan
telur-telur yang masih hangat.
Tiba-tiba Helen melihat sebuah pengeretan. Ditunjukkannya itu kepada Bolt. Bolt
menerangkan bahwa ia kadang-kadang memakai pengeretan itu untuk membawa makanan
binatang. "Saya menemukannya di dalam gudang lama," katanya. "Barangkali kepunyaan anak
petani yang biasa bercocok tanam di sini."
Mata Helen bersinar-sinar. "Apakah kita bisa mempergunakannya?"
"Maksud Nona bagaimana?" Bolt terheran-heran.
"Apakah di sekitar sini tidak ada lereng" Tempat untuk menaiki pengeretan itu?"
Bolt tertawa. "Mengendarai pengeretan, maksud Nona."
"Ya. Apa bisa?"
Bolt memperhatikan daerah sekitarnya. Lalu ia berkata, "Di samping rumah ada
tempat yang miring, tapi menuju terus ke sungai. Sungai itu tentu tertutup es
sekarang, tapi tidak akan kuat menahan berat badan orang. Nona harus menjaga
agar Nona tidak masuk ke sungai itu."
"Aku akan berhati-hati. Aku bisa mengemudi."
Akhirnya Bolt setuju juga. Mereka berjalan dengan susah payah ke samping rumah.
Di sini salju masih asli dan belum disentuh orang. Helen senang sekali membuat
jejak kaki di tempat yang belum pernah didatangi orang ini. Sungguh seperti anak
kecil! Pengeretan itu cukup besar untuk dua orang. Mula-mula Bolt menjaga di kaki
bukit, di dekat sungai, agar Helen tidak celaka. Tapi, ketika ternyata Helen
dapat menguasai pengeretan itu, Bolt setuju menemaninya. Bersama-sama mereka
meluncur melalui lereng yang licin itu. Mereka tertawa terbahak-bahak setiap
kali pengeretan itu tiba di bawah, berdiri pada ujungnya dan menjatuhkan mereka
ke salju. Yang paling berat ialah berjalan kembali mendaki bukit. Kaki Helen
sampai-sampai terasa sakit. Setelah puas mengendarai pengeretan, mereka berjalan
kembali ke rumah sebagai sahabat. Baru pada saat itu Helen teringat lagi akan
soal melarikan diri. Tadi ia lupa sama sekali.
Malamnya Helen memakai long dress bercorak biru dan hijau, terbuat dari jersi
halus. Warna gaunnya menyempurnakan mata Helen yang hijau kebiru-biruan. Roknya
menonjolkan garis lekuk pangkal pahanya yang bundar. Sebetulnya keinginan Helen
untuk berdandan serapi-rapinya berpangkal pada ejekan Dominic Lyall tadi pagi.
Helen ingin sekali dipuji Dominic Lyall dan Helen ingin memulihkan harga
dirinya. Tapi harapan Helen tidak terlaksana. Ketika ia masuk ke kamar duduk beberapa
menit kemudian, kamar itu ternyata kosong. Ia mondar-mandir dengan bimbang di
tengah kamar. Tak lama kemudian Bolt masuk.
"Makan malam akan segera saya siapkan," kata Bolt. "Tapi maaf, Tuan Lyall tidak
dapat menemani Nona." Helen menyesal karena ia berdandan begitu rapi.
"Eh... kau tidak ikut makan, Bolt?" tanya Helen. "Maksudku... aku akan merasa
senang kalau kau mau menemaniku."
Bolt memandang celana panjangnya yang kasar dan tangan kemejanya yang digulung.
"Begini, Nona?"
"Ya. Aku tak perduli bagaimana rupamu. Aku tidak senang kalau harus makan
seorang diri." Bolt merasa lega. "Baiklah, Nona. Duduklah dulu, Nona."
Malam ini Bolt menyajikan potongan daging babi yang dimasak dengan bawang,
jamur, kacang polong dan wortel. Dan sebagai pembasuh mulut pastel coklat. Ia
juga menghidangkan sebotol anggur rose dan mereka minum beberapa gelas.
Setelah makan, Helen bersandar di kursinya dan tersenyum pada Bolt. "Kau betulbetul tukang masak yang hebat!" katanya. "Apakah kau kepala tukang masak
Angkatan Darat dulu?"
Bolt menggelengkan kepalanya. "Bukan, Nona. Saya menjadi pelaut dulu."
"Eh, aku kira kau masuk Angkatan Laut?"
"Tidak. Prajurit yang tugasnya bekerja di atas kapal semata-mata."
"Oh, begitu. Di mana kau belajar memasak?"
"Saya belajar sendiri, Nona. Seperti telah saya katakan, saya biasa mengerjakan
segala macam pekerjaan."
Helen memandang api yang bernyala-nyala. "Dan sekarang kau bekerja untuk Dominic
Lyall?" "Betul." "Apakah kau sudah bekerja sebelum kecelakaan itu?"
"Sudah." "Kalau begitu, kau menjadi montirnya?"
"Betul." Helen merenung. "Kecelakaan itu amat dahsyat, bukan?"
"Dua orang laki-laki mati seketika."
"Kau tentu mengenal mereka."
"Salah seorang adalah kakak laki-laki Tuan Lyall."
"Apa" Aku baru tahu."
"Tidak banyak orang yang tahu. Ia balap memakai nama samaran. Supaya tidak
dikacaukan dengan Dominic."
"Kasihan." "Memang." Bolt meletakkan botol anggur kosong di atas nampan dan mulai
mengumpulkan piring kotor. "Saya kira Nona masih sekolah waktu itu."
Helen duduk tegak. "Aku berumur enam belas tahun waktu itu. Tapi ayahku tergilagila balap mobil. Ia mempunyai semua potret dan laporan pers. Ia betul-betul


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut." "Semua orang terkejut. Tapi mari kita bercakap-cakap tentang hal yang lain.
Ceritakan tentang London. Saya sudah bertahun-tahun tidak ke situ."
Helen mengusap lengan kursi yang ditutup tenunan. "London" Masih sama saja."
"Nona kedengarannya tidak gembira."
Helen tersenyum. "Memang tidak."
"Mengapa" Itu rumah Nona, bukan?"
"Ya, aku tinggal di situ."
"Tapi Nona masih mempunyai orang tua, bukan" sedikit-dikitnya seorang ayah."
"Aku mempunyai seorang ayah dan seorang ibu tiri."
"Nona tidak menyukainya?"
"Tidak menyukai siapa" Ibu tiriku Isabel?" Helen mengangkat bahu. "Ia baik.
Katakan saja kami saling menerima."
"Apakah ia mempunyai anak lain" Apakah ayah Nona mempunyai anak lain?"
"Sayang sekali tidak. Aku adalah anak mereka satu-satunya." Helen mengerutkan
hidungnya. "Isabel amat sedih."
"Mengapa?" "Ah, kau akan merasa bosan kalau aku menceritakannya."
"Tidak. Ceritakanlah."
"Aku baru berumur dua belas tahun ketika ayah menikah dengan Isabel. Bagi Isabel
ini adalah perkawinannya yang pertama. Bagi Ayah yang kedua. Ibuku meninggal
ketika aku masih kecil. Dengan sendirinya Isabel ingin mempunyai seorang anak,
tapi ia tidak mendapatnya. Dan ayah tidak mau mengambil anak angkat." Helen
tertawa. "Sebetulnya aku harus berterima kasih, bukan?"
"Dan ayah Nona mengurus sebuah perusahaan besar" Perusahaan teknik, bukan?"
"Betul. Thorpe Engineering. Ayah direkturnya. Ayah telah berhasil memperbaiki
kedudukannya, mengingat ketika Ibu meninggal kami hampir terpaksa menghentikan
usaha kami." Bolt mendengarkan dengan penuh perhatian. "Bagaimana ayah Nona bisa berhasil?"
"Ayah menikah dengan Isabel Thorpe."
"Oh, begitu." Bolt mengangguk. "Sangat cerdik."
"Cerdik, bukan" Dan aku dikirim ke sekolah berasrama sampai aku cukup dewasa
untuk bergaul." Mata Bolt menjadi lembut. "Saya kira ayah Nona hanya melakukan apa yang
dipikirnya paling baik."
"Paling baik untuk siapa?"
"Untuk semua." "Ayahku adalah orang yang berhasrat maju dalam dunia. Aku kira hanya Ibuku yang
berhasil menahannya. Dan ketika Ibu meninggal..." Helen menghela nafas. "Ayah
masih berhasrat maju terus. Cuma sekarang ia membutuhkan pertolonganku untuk
mencapai tujuannya."
"Jadi itulah sebabnya mengapa Nona melarikan diri."
"Betul." "Apa yang ada dalam pikirannya" Seorang laki-laki?"
"Kau juga sangat cerdik, Bolt."
Bolt tertawa. "Saya kira itu cukup jelas. Siapa dia" Apa tujuan ayah Nona" Untuk
mencapai golongan tertentu atau untuk kepentingan diri sendiri?"
"Kedua-duanya, aku rasa. Ayah laki-laki itu memegang modal terbesar dalam sebuah
perusahaan. Ayahku ingin sekali menggabung perusahaan itu dengan perusahaannya.
Dan kakek laki-laki itu menjadi tuan tanah."
"Begitu." Bolt mengangguk. "Pilihan yang luar biasa."
"Oh. Mike baik sekali. Aku menyukainya. Kami sering pergi bersama-sama. Tapi aku
tidak mencintainya."
"Nona yakin benar."
"Memang, Bolt. Aku mengenal banyak pemuda laki-laki muda dan laki-laki yang
tidak begitu muda. Tapi aku belum pernah menjumpai seorang laki-laki yang cocok
untuk menjadi teman hidupku. Selain daripada itu, aku rasa laki-laki tidak
begitu menarik perhatianku. Tidak... dalam hal itu."
Mata Bolt berkelip-kelip. "Betul" Itu dugaan yang hebat."
"Oh, tidak. Wah, aku terlalu banyak minum anggur rupanya. Aku tidak biasa
mengeluarkan isi hatiku kepada siapa pun."
"Kalau begitu, sudah waktunya sekarang," kata Bolt. "Apakah Nona tidak pernah
bercakap-cakap dengan ibu tiri Nona?"
"Isabel" Tidak! Tidak sebagaimana yang kaumaksudkan."
"Mengapa tidak?"
"Ia tidak mempunyai waktu. Terlalu sibuk."
"Dan ayah Nona?"
"Oh, Ayah akan membiarkan aku berbicara, tapi ia tidak pernah mendengarkan apa
yang kukatakan. Lebih-lebih kalau mengenai sesuatu yang tidak mau didengarnya."
Bolt mengangkat nampan dan berdiri. "Sayang sekali," katanya.
Helen mengulur badannya. "Kau seorang pendengar yang baik, Bolt."
Bolt membuang muka. "Saya selalu bersedia menerima pujian." Ia berjalan beberapa
langkah. "Sekarang saya hendak mencuci piring ini dan kemudian saya hendak tidur. Saya
lelah." "Aku pun lelah," kata Helen.
Tiba-tiba Helen teringat akan sesuatu!
"Oh, ya, Bolt. Aku tidak melihat Sheba hari ini."
"Nona tidak melihat Sheba?" Bolt melihat ke kiri dan ke kanan. "Tadi pagi ia ada
di halaman. Oh, ya, ia ada di kamar Tuan Lyall sejak Tuan Lyall tidur."
"Apakah Sheba tidur di kamar Dominic?"
Bolt menggelengkan kepalanya, "Tidak. Sheba saya ajak turun sebelum saya tidur.
Setiap malam Sheba harus diajak berjalan-jalan."
"Kalau begitu, ia menjaga rumah pada malam hari?"
"Nona hendak melarikan diri?"
Pipi Helen menjadi merah. "Tidak. Aku hanya ingin tahu saja."
"Sheba tidur di dapur."
"Oh. Sheba adalah binatang piaraan yang tidak biasa dipelihara orang, bukan?"
Bolt mengangkat bahu. "Tuan Lyall mendapat Sheba dari temannya. Tapi tidak lama
lagi Sheba akan diambil kembali untuk maksud pembiakan."
"Oh!" Helen merenungkan ini. "Kalau begitu, selamat malam, Bolt."
"Selamat malam, Nona."
Helen tersenyum dan pembantu laki-laki itu keluar. Apa yang harus dilakukannya
sekarang" Apakah ia harus tinggal di sini sampai Bolt naik ke atas, mengajak
turun si macan tutul, mengajak Sheba berjalan-jalan dan sampai akhirnya Bolt
tidur" Tidak. Ini akan menimbulkan kecurigaan. Paling baik ia pergi ke kamarnya
dan menunggu sampai rumah ini sunyi.
Setelah mengambil keputusan, Helen menaiki tangga perlahan-lahan. Helen
merasakan bulu kuduknya berdiri, karena tahu Sheba ada di dalam rumah. Tapi ia
tiba di kamarnya tanpa kejadian apa-apa. Ia membuka gaun panjangnya, memakai
kembali celana panjang dan sweater-nya, lalu duduk menunggu.
Kamar Helen, meskipun ada radiatornya, tidak sehangat kamar duduk di bawah.
Setelah beberapa saat ia mulai menggigil. Rasanya ia harus menunggu lama sekali.
Ia mendengar Bolt naik ke atas. Kemudian ia mendengar suara di sebelah kiri
ujung tangga. Ini menunjukkan bahwa Dominic Lyall juga belum tidur.
Helen berdiri dan mondar-mandir di dalam kamar. Tapi ia masih merasa dingin.
Setelah melepaskan sepatunya, ia masuk ke bawah selimut, lalu menarik selimut
itu hingga ke dagunya. Sekarang ia merasa lebih hangat. Dan ia dapat merasakan
kehangatan botol air panas yang ditaruh Bolt di antara sepreinya.
Salju menerangi kamar itu dan angin menderu-deru di bawah tepi atap rumah. Enak
dan hangat rasanya di dalam tempat tidur. Helen menguap. Ia mengantuk. Hari ini
adalah hari yang melelahkan. Barangkali masih ada waktu untuk tidur sebentar
sementara ia menunggu Bolt menyelesaikan tugasnya dan pergi tidur.
Helen memejamkan matanya. Bolt sungguh baik. Tapi Helenlah yang lebih banyak
berbicara tadi. Bolt mengetahui semua tentang diri Helen sekarang, bahkan
tentang Mike. Perduli apa" Itu bukan rahasia.
Mata Helen terasa makin berat. Ia menghela nafas dan sebentar saja ia sudah
tertidur. Ketika ia membuka lagi matanya, matahari pagi sudah menerangi
kamarnya. Helen merasa amat kecewa.
BAB LIMA UNTUNG Helen masih mempunyai waktu untuk mencuci muka dan berganti pakaian
sebelum Bolt datang membawa makanan pagi. Lebih baik kalau Bolt tidak tahu ia
tidur memakai celana panjang dan sweater tadi malam, pikir Helen. Bolt bisa
memperoleh kesan yang salah. Pagi ini Helen memakai cutbrai berwarna krem dan
blus berlengan panjang berwarna merah tua. Ia kelihatannya langsing dan menarik.
Ketika ia sedang menyikat rambutnya di muka cermin toilet, Bolt mengetuk pintu.
"Selamat pagi," kata Bolt. "Tidur nyenyak semalam?"
"Nyenyak, terima kasih. Kau juga?"
"Nyenyak sekali," jawab Bolt, sambil meletakkan nampan di atas meja. "Pagi ini
saya membuat bubur dan telur adukan."
"Bagus." Helen memandang ke luar lewat jendela. "Hujan salju lagi?"
"Betul. Hari ini tidak sebagus kemarin. Dan lebih dingin."
"Oh, tidak mengapa. Bolehkah aku membawa nampan ini ke dapur sesudah makan?"
"Kalau Nona tidak berkeberatan."
"Oh, sama sekali tidak." Helen duduk. "Eh - bagaimana keadaan Dominic Lyall pagi
ini?" "Lebih baik," kata Bolt.
Helen tersenyum dan pembantu laki-laki itu pun meninggalkan kamar Helen.
Helen sarapan dengan gembira. Ia tidak makan sebanyak kemarin. Kemarin ia lapar
sekali dan makan bagaikan orang yang kelaparan. Sedangkan pagi ini ia merasa
jengkel karena tertidur tadi malam. Meskipun demikian, ia makan dengan enak.
Sesudah makan ia membawa nampan kosong itu ke dapur.
Sheba sedang berbaring di atas permadani, di luar kamar kerja Dominic Lyall.
Macan itu mengangkat kepalanya ketika Helen menuruni tangga. Bulu kuduk Helen
berdiri melihat tatapan mata Sheba yang tajam itu.
Bolt tidak ada di dapur. Helen meletakkan piring di bak tempat mencuci. Lalu
membuka keran. Sejak ia meninggalkan sekolah berasrama ia tidak pernah mencuci
piring lagi. Sehingga memencet air sabun ke dalam air dan memperhatikannya
menjadi buih sangat menarik perhatiannya. Ia mengambil buih sabun dan meniupnya
perlahan-lahan. Dan tersenyum melihat buih besar mengapung ke udara.
"Selamat pagi, Nona James. Apakah aku mengganggu?"
Dominic Lyall mengejeknya lagi. Helen mengambil sikap menantang. Ia membalik dan
berkata, "Selamat pagi, Tuan Lyall. Tuan tidak mengganggu. Ada apa?"
Dominic Lyall memakai celana panjang denim dan kemeja denim yang terbuka di
bagian leher. Amat menarik. Tubuhnya langsing. Celana panjangnya yang ketat
menonjolkan otot kakinya. Kalau ia tidak bergerak, pincangnya tidak terlihat.
Tapi meskipun ia bergerak mendekati Helen, Helen tidak merasa takut sedikit pun.
Sebaliknya, cara Dominic berjalan anehnya merupakan ciri khas diri Dominic
sendiri. "Aku datang untuk meminta maaf," kata Dominic. "Aku menyesal karena aku begitu
kasar terhadapmu kemarin."
Helen hampir tidak percaya apa yang didengarnya. Dominic meminta maaf" Sebaiknya
Dominic Lyall jangan meminta maaf kepadanya. Akan lebih mudah membenci Dominic
Lyall kalau Dominic Lyall menghinanya.
"Tidak perlu," kata Helen ketus.
"Aku tidak setuju." Jarak di antara mereka hanya tinggal satu meter saja. Dan
mata yang kuning kecoklat-coklatan itu begitu tajam. "Maaf, kemarin penyakitku
kambuh. Meskipun demikian, aku sebetulnya tidak boleh mengucapkan kata-kata itu.
Meski kau menganggap aku brengsek, aku tidak selalu begitu kasar."
Helen mengeluarkan tangannya dari dalam air sabun. Lalu melapnya kuat-kuat
dengan handuk yang bergantung di pintu gudang dingin. Ia amat sadar akan adanya
tubuh Dominic Lyall di dekatnya. "Baiklah," kata Helen. "Apakah sakit kepalamu
sudah berkurang?" "Sudah banyak berkurang." Dominic Lyall bertumpu pada papan pengeringan baja.
Mata Helen melekat pada satu tempat di antara kancing kemeja Dominic Lyall yang
paling bawah dan ikat pinggang kecil yang terletak pada pangkal pahanya.
"Bagus," jawab Helen singkat.
"Kau tidak usah mencuci piringmu sendiri."
"Kalau aku mau bagaimana" Apakah kau tahu Bolt pergi ke mana?"
"Aku tahu." Dominic sengaja tidak menerangkan lebih lanjut. "Mengapa?"
"Barangkali aku bisa keluar sebentar. Kelihatannya akan hujan salju lagi, dan - "
"Apakah kau dapat membuat kopi?" Dominic menyelang dengan tenang, sambil
memperhatikan wajah Helen yang merah karena malu.
Helen bingung. "Aku - aku kira bisa."
"Baiklah." Dominic berdiri tegak, satu tangan memijat-mijat pangkal pahanya.
"Tolong buatkan kopi untuk dua orang."
Bibir Helen merenggang. "Dua orang?" ia mengulang.
"Ya, untuk kita berdua." Dominic berjalan terpincang-pincang ke pintu. "Bawalah
ke kamar kerja kalau sudah siap. Kita minum kopi di situ."
Dominic menutup pintu. Helen bengong memandang tempat bekas Dominic berdiri
beberapa saat yang lalu. Helen tidak tahu apakah ia harus merasa terhormat atau
marah. Ia tidak biasa disuruh-suruh. Sekarang Dominic menyuruhnya melakukan
sesuatu sebagai tanda perdamaian antara mereka berdua.
Helen mengangkat bahu dan meneliti seluruh dapur. Tempat kopi sudah
diketahuinya. Demikian juga tempat kompor kecil. Ia memperhatikan Bolt membuat
kopi kemarin. Dan ia sudah biasa mempergunakan alat penapis kopi.
Sekarang tinggal menyiapkan nampan kopi. Di atas nampan diletakkannya dua buah
cangkir serta piringnya. Semua berwarna coklat dan terbuat dari tanah liat.
Pasangan cangkir inilah yang dipakai Bolt kemarin. Helen menanti-nantikan
kedatangan Bolt dan pertanyaan Bolt apa yang sedang dilakukannya di dapur. Tapi
Bolt tidak kunjung datang. Setelah selesai membuat kopi, Helen membuka pintu dan
membawa nampan itu ke kamar kerja.
Sheba tidak ada di tempatnya. Helen mengetuk pintu kamar kerja. Ketika Dominic
membuka pintu, Sheba ikut berdiri di sisi tuannya. Oh, rupanya si macan tutul
ada di sini, pikir Helen. Tapi atas perintah Dominic, macan tutul itu pergi ke
kamar besar lagi dan mengambil tempatnya yang semula.
Dominic mundur dan menyilakan Helen masuk. Di atas meja tulis sudah disediakan
tempat untuk menaruh nampan. Helen melayangkan pandang ke sudut jendela. Tapi di
situ tidak ada telpon berwarna krem. Jantungnya berhenti berdenyut sebentar.
Apakah ia hanya membayangkannya" Atau apakah telpon itu sudah dipindahkan" Tirai
beledu merah menutupi sebagian dari pinggir jendela. Mungkinkah mereka
menyembunyikan telpon itu di belakang tirai" pikir Helen. Dengan sengaja" Ia
tidak tahu dengan pasti. Dominic menunjuk ke sebuah kursi di seberang meja tulis. Setelah Helen duduk,
Dominic berjalan terpincang-pincang kembali ke kursinya sendiri. Karena tahu
diharapkan menuang kopi, Helen mengambil cangkir dan menuang secangkir kopi
untuk Dominic tanpa dibubuhi apa-apa.
"Terima kasih," kata Dominic, sambil mengambil cangkir itu dan meletakkannya di
hadapannya. Helen berusaha berbicara dengan wajar ketika ia berkata, "Kata Bolt kau sedang
menulis buku." "Begitu." Tatapan mata Dominic membuat Helen bertanya dalam hatinya apakah ia
telah mengatakan sesuatu yang salah lagi.
"Ya. Tapi cuma itu. Maksudku, Bolt tidak mau membicarakannya lebih lanjut."
"Sudah kautanyakan kepadanya?"
"Ya." Pipi Helen menjadi merah. "Aku tertarik."
"Mengapa?" "Menulis buku itu sukar, bukan?"
"Tergantung pada macam buku yang ditulis," kata Dominic. "Buku yang satu lebih
sukar daripada buku yang lain."
"Aku kira menulis buku yang bukan berdasarkan khayal lebih sukar daripada
menulis sebuah cerita roman."
"Tidak selalu." Dominic menggelengkan kepalanya. "Kalau seseorang menulis
laporan yang berdasarkan kenyataan, maka yang penting di sini ialah cara
menyajikan kenyataan itu. Cerita yang tidak berdasarkan atas kejadian
sesungguhnya meminta pendekatan baru sama sekali, tanpa penilaian yang
berdasarkan prasangka."
"Aku tidak sependapat." Helen mencoba kopinya dan berpendapat bahwa kopi yang
diminumnya sama enaknya dengan kopi yang dibuat Bolt. "Apakah kau sedang menulis
cerita roman?" "Aku?" Dominic membuat tanda penyangkalan. "Tidak. Pekerjaanku benar-benar
menurut kenyataan." "Tentang balap mobil?"
"Kali ini ya." "Kau telah menulis buku lain?"
"SATU buku lain."
"Tentang apa?" "Ah, kau tidak mungkin tertarik."
"Aku tertarik." Pipi Helen menjadi merah. "Sungguh."
Dominic ragu-ragu. Kemudian sambil mendorong cangkirnya ke seberang meja tulis


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berkata, "Aku menulis riwayat hidup ayahku."
"Ayahmu" Ayahmu seorang perwira marinir, bukan?"
"Aku kira Bolt juga yang mengatakan itu kepadamu."
"Betul. Tapi secara tidak langsung. Ia menceritakan kepadaku bahwa dia dulu
masuk tentara, dan yah, kata-kata itu terlanjur dikatakan." Helen menatap
Dominic dengan pandang memohon. "Kau tidak marah kepadanya, bukan?"
Dominic menghela nafas. "Mengapa" Apa lagi yang diceritakannya?"
"Tidak banyak." Helen mengangkat bahu. "Ceritakan tentang ayahmu. Apakah ia
masih hidup?" "Tidak. Ia sudah meninggal. Ia meninggal enam tahun yang lalu."
"Kira-kira sama waktunya dengan kecelakaanmu," kata Helen. Tapi waktu ia melihat
mata Dominic, Helen sungguh menyesal. Ia telah mengucapkan kata-kata tanpa
berpikir lebih dahulu. "Betul, kira-kira waktu itu," kata Dominic. "Apakah aku boleh minta kopi lagi
sebelum kau pergi?" "Tentu." Helen merasa girang ia dapat melakukan sesuatu. Ia telah berbicara
tanpa berpikir dulu. Ia telah merusakkan tali persahabatan yang baru saja
terjalin. "Ini kopimu. Apakah kau tidak mau meneruskan" Tentang ayahmu,
maksudku." Selama beberapa menit Dominic tidak mengatakan apa-apa. Helen mengira Dominic
tidak akan menjawabnya. Tapi kemudian ia berkata perlahan-lahan, "Ayahku
memimpin pasukan penyerang di Timur Jauh selama perang. Ia dianugerahi Victorian
Cross karena memimpin serangan terhadap sebuah pos komando Jepang, sedangkan ia
dan anak buahnya berjumlah jauh lebih sedikit."
"Hebat benar!" kata Helen. "Kau tentu merasa bangga."
"Ibuku yang merasa bangga," kata Dominic. "Aku belum lahir, dan Francis masih
bayi." "Bukan itu yang kumaksudkan."
Helen merasa pipinya menjadi merah lagi. Tapi sedikit-dikitnya rasa malunya
mencegahnya untuk menanyakan sesuatu tentang Francis. Apakah kakak laki-laki
yang mati dalam kecelakaan yang dahsyat itu kakak Dominic satu-satunya. Kalau ia
bertanya, Dominic mungkin menyangka bahwa Bolt telah memperbincangkan kecelakaan
itu dengan Helen. Sedangkan sebetulnya Bolt tidak mau mengatakan banyak mengenai
soal itu. Dominic menghabiskan kopinya, meletakkan cangkir yang telah kosong di pinggir
meja, lalu menarik setumpuk kertas ke arahnya. Itu tanda bahwa Helen harus
keluar. Helen merasa kecewa. Ia mengumpulkan cangkir kotor dan menumpuk piring
kecil dengan menimbulkan bunyi gemerincing. Dominic rupanya tahu bagaimana
perasaan Helen. "Bolt akan segera kembali," kata Dominic. "Kau tak perlu membereskannya."
"Biar, aku pun bisa."
Helen mengangkat nampan dan berjalan ke pintu. Tapi Dominic berjalan dengan
ketangkasan yang mengagumkan dan ia tiba di pintu sebelum Helen. Napasnya cepat.
Kemejanya merekah di antara kancing-kancingnya, sehingga terlihat dadanya yang
merangsang. Helen mengalihkan pandang ke tangan Dominic yang sedang memijat
pangkal pahanya. Jantung Helen berdebar-debar. Helen yakin kalau ia maju lebih
dekat lagi, ia pasti akan merasakan sambutan Dominic. Kejadian yang memabukkan!
Mata Helen yang menatap Dominic membayangkan perasaannya.
Tapi Dominic secara kasar menolak perasaan yang ditimbulkan Helen dalam dirinya.
Tiba-tiba Dominic membuka pintu.
Setibanya di dapur, seluruh tubuh Helen gemetar. Helen merasa takut karena tadi
ia menunjukkan sikap yang tidak dapat dimengerti sama sekali. Apa yang telah
terjadi pada dirinya" pikir Helen. Helen baru mengenal Dominic selama tiga hari.
Tapi di dalam waktu tiga hari itu Dominic telah begitu banyak mempengaruhi cara
berpikir sehat Helen. Malah demikian rupa, sehingga Helen membayang-bayangkan
persetubuhan... Helen menekan pipinya yang panas. Ia harus pergi. Ia harus pergi
dari sini sebelum sesuatu yang lebih hebat lagi terjadi. Helen memejamkan
matanya, dan bersyukur kepada Tuhan karena telah mencegah Dominic Lyall
melakukan perbuatan terlarang. Helen terkejut sekali mendengar suara Bolt.
"Ada apa, Helen" Apakah Nona menangis?"
Helen membuka matanya lebar-lebar. "Tidak. Tidak, aku tidak menangis," katanya,
sambil menggelengkan kepalanya. Ia mengejapkan matanya. "Kau dari mana?"
Bolt tersenyum. "Saya baru kembali lima menit yang lalu. Saya baru menggantung
mantel saya." "Kau ke mana tadi?"
"Saya pergi memasukkan surat."
"Di mana?" "Nona percaya, di kantor pos?"
"Oh, tentu. Dan dengan sendirinya aku tidak boleh ikut."
"Tidak." Tiba-tiba Bolt melihat nampan di atas meja. "Ini apa" Apakah Nona tadi
membuat kopi?" Helen mengangguk. "Kau memanggilku Helen beberapa menit yang lalu. Selanjutnya
panggil saja Helen, kalau kau mau. Aku lebih menyukainya daripada Nona!"
Bolt menggelengkan kepalanya. "Saya merasa khawatir tadi. Kata itu tak sengaja
terucapkan." "Ada lagi yang terlanjur diucapkan," kata Helen sedih. "Aku mengatakan kepada
Dominic bahwa aku tahu ayahnya dulu masuk tentara."
"Lalu?" Bolt mengangkat bahu.
"Dominic tentu mengira bahwa kita telah membicarakan urusannya." Helen menghela
nafas. "Apa yang hendak kaulakukan sekarang?"
"Kalau Tuan Lyall sudah minum kopi, aku bisa menyiapkan makan siang."
"Dan bagaimana dengan aku" Apa yang dapat kulakukan?"
"Apa yang Nona ingin lakukan?"
"Kau mengolok-olok."
"Sama sekali tidak."
"Oh, aku tidak tahu." Helen menggeser-geser jari kakinya di lantai. "Apakah kau
tidak pernah bertemu dengan orang lain di sini" Maksudku, apakah kau tidak
pernah kedatangan tamu?"
"Kadang-kadang."
"Siapa?" "Teman Tuan Lyall."
"Laki-laki - atau perempuan?"
"Kedua-duanya." Bolt mengambil cangkir kopi.
Helen merenung. Ia menyangka Dominic tidak pernah menerima tamu. Sangkaan orang
bahwa Dominic sudah mati atau tinggal di luar negeri membuat Helen mengira bahwa
tidak ada orang yang mengetahui tempat tinggal Dominic. Tapi tentu saja Dominic
mempunyai kawan... dan mungkin juga keluarga. Helen ingin sekali bertanya
tentang tamu perempuan Dominic. Tapi Bolt tentu tidak mau membicarakan hal itu,
sebagaimana juga hal lainnya.
Apakah tamu perempuan itu teman biasa atau kekasih Dominic" Pendeknya, ia tidak
menyukai hubungan itu. Ia merasa jengkel.
"Aku mau ke kamarku," kata Helen tiba-tiba. Bolt merasa heran.
"Nona tidak usah selalu di kamar," kata Bolt, sambil mengeringkan tangannya di
handuk. Tapi Helen sudah melangkah meninggalkan Bolt.
Setibanya di kamar, Helen melemparkan dirinya ke tempat tidur yang belum
dibereskan dan menatap langit-langit. Ia merasa amat masgul. Semua membuatnya
tegang - rumah ini, keadaannya sendiri, dan lebih-lebih Dominic Lyall. Dominic
tidak tampan. Mungkin ada beberapa orang perempuan yang menganggap wajahnya yang
keras dan matanya yang cekung dengan kelopaknya yang tebal itu suatu kompensasi
yang lebih dari cukup. Tapi Dominic hampir selalu mengejeknya. Kadang-kadang
menghina dan menyakiti hatinya. Kalau begitu, mengapa Dominic memenuhi
pikirannya terus-menerus" Mengapa ia tidak memikirkan ayahnya" Mengapa ia tidak
memikirkan akibat penting yang mungkin bisa menimpa ayahnya" Daripada
menyibukkan dirinya dengan perasaan yang belum pasti. Ini tidak wajar - ini tidak
normal; ia patut merasa masgul.
Ia sengaja membayangkan Mike Framley. Dialah calon suami pilihan ayahnya. Muda,
kaya dan tampan. Teman-temannya semua iri ia berpacaran dengan Mike. Tapi ia
sendiri merasa dingin terhadap Mike... Ia menarik-narik seuntai rambut hitam
dengan perasaan bingung. Betapa enggannya ia waktu Mike hendak menciumnya untuk
pertama kalinya. Bibir Mike terasa penuh dan lembab. Ia merasa sesak napas. Ia
ingin cepat-cepat mengakhiri ciuman itu. Setelah itu Mike sering menciumnya,
sehingga ia menjadi terbiasa. Tapi ia tidak pernah merasa senang. Adakah sesuatu
yang salah pada dirinya" pikirnya dengan cemas. Mengapa ia tidak tertarik pada
Mike" Mengapa ia menjadi tegang setiap kali Mike menyentuhnya" Mengapa ia merasa
benci memikirkan perkawinannya dengan Mike"
Mula-mula ia mengira bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Bahwa ada
sesuatu yang kurang pada make-up-nya. Tapi sekarang ia tidak begitu yakin.
Badannya panas dingin kalau ia teringat akan sikapnya di hadapan Dominic Lyall.
Ia merasa senang disentuh Dominic Lyall. Ia merasa tidak berdaya sama sekali
atas badannya sendiri yang mendua hati. Apakah ia tidak dapat lagi mengendalikan
perasaannya" Apakah ini yang dimaksud dengan daya tarik badan" Apakah itu yang
dialaminya" Apakah ia tertarik pada tubuh laki-laki kejam dan kasar itu" Tidak
mungkin. Tapi ada penjelasan apa lagi"
Ia bangun, lalu duduk. Tidak mungkin. Makin lama pikirannya makin penuh fantasi.
Pasti karena ia begitu lama sendiri saja. Dan karena itu mempunyai banyak waktu
untuk berpikir dan membayangkan.
Lebih baik ia mandi sekarang. Ia merasa panas. Selain daripada itu akan
memperpendek waktu antara sekarang dan nanti malam. Nanti malam ia pasti akan
mempergunakan telpon itu, pikir Helen.
Dominic Lyall makan siang di kamar kerjanya. Helen makan siang di dapur bersama
Bolt. Sesudah mencuci piring, Bolt mengajak Helen ke luar sebentar. Rupanya Bolt
hendak berbuat baik karena ia tidak dapat mengajak Helen ke kantor pos tadi
pagi. Helen sebetulnya ingin tahu berapa jauh kantor pos itu dari sini. Kalau
Bolt pulang pergi satu jam lamanya, kantor pos itu pasti tidak begitu jauh
letaknya. Tapi ketika mereka tiba di luar, Helen melihat bekas ban mobil di salju. Bekas
ban itu menuju ke jalan berpagar tanaman yang dilaluinya bersama Dominic tiga
hari yang lalu. Kalau begitu, mereka pasti mempunyai kendaraan.
"Apakah Dominic mempunyai mobil?" tanya Helen, sambil memperhatikan Bolt
membuang pupuk kandang. Kalau mereka mempunyai kendaraan, barangkali ia bisa
memakainya untuk melarikan diri. Sheba tidak dapat berbuat apa-apa kalau ia
berada di dalam mobil. Bolt bertumpu pada sekop, sambil menatap Helen. "Kami mempunyai sebuah Range
Rover," katanya dengan ramah.
"Betul?" Helen berusaha untuk menyembunyikan kegembiraannya. "Aku belum pernah
melihatnya." "Karena mobil itu disimpan di garasi," kata Bolt, sambil melanjutkan
pekerjaannya. "Apakah Nona pernah mengendarai mobil yang keempat rodanya
digerakkan?" "Tidak. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalankannya," kata Helen.
Rupanya Bolt percaya. "Tidak selalu mudah, lebih-lebih kalau tidak biasa," katanya, sambil berdiri
tegak meluruskan punggungnya.
Helen mengubah pokok pembicaraan. Bolt hendak mengatakan sesuatu, tetapi Helen
tidak mau mendengarkan. Kemudian Bolt mengajak Helen mendaki bukit di belakang rumah. Seperti dikatakan
Bolt tadi pagi, hawa udara jauh lebih dingin. Tapi gerak badan mendaki bukit
melancarkan peredaran darah Helen dan menghangatkan badannya. Ia kembali ke
rumah dan merasa lebih gembira. Apakah ia lebih gembira karena berjalan-jalan
atau karena ia tahu bahwa di dalam garasi ada sebuah Range Rover, ia tidak tahu
dengan pasti. Malamnya ia memakai long dress lagi. Baju itu adalah salah satu baju
kesayangannya. Terbuat dari beledu biru. Garis lehernya rendah. Menonjolkan
kebersihan kulitnya. Lengan bajunya panjang. Ia membuat keluk dengan rambutnya
yang berwarna ebonit di sisi kiri dan kanan. Lalu menjepit keluk itu di atas
kepalanya dengan sebuah jepit permata. Pada saat-saat terbaik ia hanya memakai
make-up sedikit. Malam ini ia hanya memakai eye-shadow hijau dan lipstik
berwarna amber. Dominic Lyall sudah ada di kamar duduk dan sedang menuang minuman Scotch ketika
Helen masuk. Dominic tidak menunjukkan penghargaan yang diharapkan Helen. Ia
juga tidak berdiri. Helen mondar-mandir di dekat pintu, sambil mengawasi Sheba.
Sheba ada di depan perapian, di dekat kaki Dominic.
Dominic membangunkan Sheba dengan kakinya, lalu berkata: "Duduklah. Maaf, aku
tidak berdiri." Helen mengatupkan tangannya dan berjalan maju. Ia menyesal karena berdandan
begitu rapi. Dominic dalam pakaian hitamnya nampak seperti setan berambut perak.
Helen duduk. Dominic menuang sedikit Scotch ke dalam sebuah gelas, menambah
sedikit soda, dan memberinya kepada Helen. Helen mengambilnya karena ia
diharapkan berbuat demikian. Sebetulnya ia tidak begitu suka wiski.
"Apakah kau berdandan untuk Bolt atau untuk aku?" tanya Dominic. Matanya yang
kuning kecoklat-coklatan menaksir Helen dengan sikap menghina.
Helen tidak mau digertak. "Aku biasa berdandan kalau hendak makan malam,"
jawabnya dingin. "Menurut ayahku berdandan itu baik untuk semangat."
"Begitu. Dan bagaimana semangatmu malam ini?"
"Mengapa kau bertanya?"
"Mengapa orang perempuan selalu menjawab pertanyaan yang satu dengan pertanyaan
yang lain" Aku ingin tahu apakah kau senang tinggal bersama kami."
Helen marah. "Aku sama sekali tidak senang!"
"Sebaliknya, Bolt mengatakan kepadaku bahwa kau berjalan-jalan mengendarai
pengeretan dan menghirup cukup udara segar. Bukankah itu yang menjadi tujuanmu
pergi ke Lake-District?"
"Aku pergi ke utara untuk bebas. Bukan untuk menukar kekangan yang satu dengan
kekangan yang lain!"
"Apakah seburuk itu keadaannya?"
Nada suara Dominic tiba-tiba berubah, tidak mengejek lagi. Kaki Helen terasa
lemah. Helen menatap Dominic dengan gemetar dan mencoba membaca apa yang
tertulis di mata Dominic. Dominic membalas menatap Helen. Permusuhan Helen
dengan Dominic hilang di bawah luapan nafsu hebat yang baru pernah dialami Helen
sekarang. Helen merasa panas. Napasnya pendek dan cepat. Helen ingin mendekati
Dominic. Ingin memeluk Dominic. Ingin mengatakan kepada Dominic bahwa ia akan
tetap tinggal di sini kalau Dominic menghendakinya. Tapi ini betul-betul gila.
Bibir Helen merenggang. Tapi sebelum Helen dapat mengucapkan sesuatu, Dominic
tiba-tiba berdiri. Malang kakinya terbentur. Dominic mengerenyit karena merasa
sakit. Dominic berjalan ke seberang kamar, tapi rasa sakitnya seakan-akan dirasakan
Helen. Helen berdiri dan mengikuti Dominic. Dominic berdiri membelakangi Helen,
sambil menyangga pada tutup meja tulis. Sikapnya begitu murung, sehingga Helen
merasa kasihan. "Kau tidak apa-apa?" tanya Helen.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawab Dominic. Ia tidak membalik.
Helen memutar-mutar tangannya. "Betul" Apakah ada sesuatu yang dapat kuambil
untukmu" Apakah ada sesuatu yang kauperlukan" Apakah sakit" Apakah perlu
memberitahu Bolt?" Dominic membalik, bersandar pada meja tulis. Dominic nampak lebih pucat daripada
sebelumnya. "Kekhawatiranmu harus dipuji," kata Dominic kasar. "Lebih-lebih
setelah mendengar apa yang kukatakan tadi." Ia menarik napas panjang. "Tidak,
Nona James, tak ada apa pun yang dapat kaulakukan. Terima kasih."
Helen ingin memprotes, tapi ia tahu tidak akan ada gunanya. Kedatangan Bolt pada
saat itu menghentikan pembicaraan mereka.
Bolt heran melihat Helen berdiri di dekat Dominic. Tapi ia hanya mengangkat bahu
dan tidak mengatakan apa-apa. Ia meletakkan nampan, lalu menaruh meja rendah di
dekat perapian. Dominic berjalan terpincang-pincang ke kursinya. Helen pun
kembali ke tempat duduknya. Ia terkejut dan heran mendengar Dominic tiba-tiba
berkata, "Temani kami, Bolt. Aku rasa Nona James lebih suka ditemanimu daripada
ditemaniku." Bolt ragu-ragu, tapi hanya sebentar. Seakan-akan ada suatu pesan yang
disampaikan Dominic Lyall kepada Bolt. Dengan tersenyum, Bolt menerima ajakan
itu. "Terima kasih, Tuan, dengan senang hati."
"Baiklah. Makan malam yang menyenangkan untuk tiga orang."
Dominic duduk bersandar di kursinya. Kakinya yang luka ditumpukan pada besi
tempa yang mengelilingi perapian. Helen bertanya dalam hatinya, mengapa setiap
gerakan yang dibuat Dominic mengandung daya tarik sexuil bagi dirinya. Tapi
ketika tatapan mata Dominic terbentur pada matanya, ia tidak dapat membaca
perasaan Dominic sedikit pun.
Dan tentu saja, makan malam itu sama sekali tidak menyenangkan. Helen tahu
mengapa Dominic tiba-tiba mengajak Bolt makan bersama-sama. Tentu karena
pertengkaran mereka sebelum Bolt datang. Dan sialnya, Dominic pura-pura tidak
mengerti melihat kelakuan Helen tadi. Ah, sungguh memalukan, pikir Helen.
Helen merasa dihina. Mengapa ia lupa pada permusuhannya" Mengapa ia tidak dapat


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertahankan dirinya kalau Dominic menatapnya dengan sikap tertentu" Apakah
Dominic sadar akan perbuatannya" Atau apakah itu hanya daya tarik yang tak
disengaja" Atau apakah ada unsur yang bersifat menggoda dalam tabiat Dominic"
Yang membuat Dominic senang kalau Helen membuat kesalahan"
Bolt menghidangkan ayam goreng, tapi Helen hanya makan sedikit saja. Karena
banyak yang dibicarakan kedua orang laki-laki itu, mereka tidak begitu
memperhatikan Helen. Sesudah makan, Dominic dan Bolt merokok cerutu. Kemudian, dengan sengaja, pikir
Helen, Dominic berkata, "Aku akan bekerja malam ini, Bolt. Aku tidak lelah. Aku
sudah cukup beristirahat tadi siang, dan akan bekerja hingga jauh malam."
Bolt menggelengkan kepalanya. "Asal jangan berlebih-lebihan," katanya.
"Oh, tidak." Dominic mengunjurkan kakinya. Ia menatap Helen yang tiba-tiba
merasa kecewa, lalu berkata, "Jangan lupa, tidak lama lagi kita harus pergi dari
sini. Buku itu harus selesai. Jadi aku harus bekerja keras."
Helen menunduk. Tangannya dirapatkannya di pangkuannya. Rupanya, dengan katakata itu, Dominic hendak memperingatkan Helen agar jangan datang ke kamar kerja
dan mencoba mempergunakan telpon itu nanti malam. Helen merasa sesak napas.
Kukunya menusuk-nusuk telapak tangannya. Dominic selalu mempermainkan dirinya,
pikir Helen. Tak mungkin ia tertarik pada Dominic. Ia membenci Dominic.
BAB ENAM DUA HARI berturut-turut Helen sakit. Karena itu ia belum sempat mencari jalan
guna melarikan diri. Setelah makan malam bertiga, keesokan paginya Helen bangun
dan merasa badannya kurang enak. Kepalanya sakit, tenggorokannya sakit dan ia
selesma. Bolt mengukur panas badan Helen. Karena panas badannya tinggi, Bolt
tidak membolehkan Helen meninggalkan tempat tidur.
"Nona tidak mau sakit radang paru-paru, bukan?" kata Bolt, ketika Helen
memprotes bahwa ia menyusahkan Bolt saja. "Ini sudah mulai sejak beberapa hari
yang lalu. Sejak sore itu waktu Nona datang ke sini dalam keadaan basah kuyup.
Sebaiknya Nona sekarang tidur. Nanti saya antarkan botol air panas."
Helen merasa lega karena Bolt bersedia merawatnya. Ia tidak mau memikirkan
reaksi Dominic Lyall dalam hal ini. Dan karena hari itu ia tidur terus-menerus,
tak ada pikiran tentang Dominic Lyall yang mengganggunya.
Keesokan harinya ia merasa lebih sehat, tapi belum cukup kuat untuk bangun. Bolt
membawa semua makanan Helen ke atas. Permintaan maaf Helen dibalas Bolt dengan
gerakan tangan yang menyatakan sudah biasa dan tak penting. Bolt juga
mengantarkan beberapa buku. Paper-backs yang diambilnya dari rak buku di kamar
duduk. Helen menghabiskan waktunya dengan membaca dan tidur. Lambat-laun
kekuatannya pulih kembali.
Kadang-kadang, kalau mendengar langkah kaki di tangga, jantungnya berdebardebar. Ia mengira itulah Dominic Lyall yang hendak menanyakan kesehatannya.
Ternyata bukan, hanya Bolt pembantunya.
Pada hari ketiga Helen merasa hampir sembuh sama sekali. Hari itu ia memakai
sejenis kimono. Bolt datang mengantarkan sarapan Helen. "Sebetulnya Nona belum
boleh meninggalkan tempat tidur," kata Bolt. Helen tersenyum.
"Aku sudah hampir sembuh, sungguh," katanya. "Dan aku menghaturkan banyak terima
kasih atas rawatanmu. Dan atas kesediaanmu mengantarkan aspirin, obat batuk dan
botol air panas. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas budimu."
Bolt menggelengkan kepalanya. "Saya senang dapat membantu Nona."
"Helen." "Baiklah, Nona Helen." Bolt tersenyum. "Saya senang Nona sudah hampir sembuh.
Tapi sebaiknya jangan keluar dahulu sebelum sembuh betul."
Helen mengangguk, lalu memeriksa isi nampan. "Hmm... jamur dan sepek. Pasti
enak." Bolt pergi mengurus pekerjaannya sendiri. Helen sarapan. Sesudah makan ia pergi
ke jendela. Hari ini udaranya bagus, hanya agak mendung. Untung tidak ada hujan
salju lagi sejak ia jatuh sakit. Ia membalik dan memeriksa kamar tidurnya.
Kemudian masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Ia sudah bosan
tinggal di dalam kamar. Sekarang karena merasa lebih sehat, ia ingin bangun dan
mengerjakan sesuatu. Ia bisa saja duduk di kamar duduk. Ada Bolt yang akan
menemaninya bercakap-cakap. Ia tidak perduli bagaimana pendapat Dominic Lyall.
Dominic sendiri tidak datang menanyakan kesehatannya. Dan Helen masih merasa
sedih karenanya. Helen memakai celana jeans ketat dan blus berwarna krem, lalu turun ke bawah
sambil membawa nampan. Bolt tidak ada di dapur. Ia meletakkan nampan itu dan
melihat ke sekelilingnya. Sungguh mengherankan. Tempat ini seakan-akan sudah
lama dikenalnya. Ada suasana persahabatan di sini yang tidak pernah dirasakannya
di rumah ayahnya dan Isabel.
Ia memandang ke luar melalui jendela dapur. Di mana gerangan Bolt" Apakah Bolt
pergi ke toko lagi" Atau apakah ia sedang memberi makan binatang"
Pintu gudang dingin terbuka lebar. Karena mendengar suara ia membalik dan
bertanya, "Bolt" Bolt, kau di situ?"
Ia berjalan ke pintu gudang dingin dan melongok ke dalam. Ternyata ada sebuah
pintu lagi di ujung gudang dingin. Pintu itu juga terbuka lebar.
Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu yang kedua. Ada sebuah tangga yang menuju ke
bawah. Bangkit rasa gembiranya. Ini seperti di dalam cerita roman yang mengerikan saja,
yang baru dibacanya kemarin. Sebuah pintu rahasia... sebuah tangga yang
tersembunyi; dan di baliknya....
Ia mulai menuruni tangga. Bolt pasti ada di bawah. Tangga ini barangkali menuju
ke gudang di bawah tanah. Bolt pasti menyimpan persediaannya di gudang itu.
Ia tiba di kaki tangga. Rupanya benar dugaannya. Ia berada di sebuah gudang
bawah tanah yang diterangi sebuah lampu. Tapi Bolt tidak ada di situ. Kemudian
ia melihat sebuah pintu lagi yang terbuka sedikit.
Ia berjalan menuju ke pintu itu dan membukanya perlahan-lahan. Ia terheranheran. Karena bukan gudang bawah tanah biasa yang dilihatnya, tetapi sebuah
tempat latihan jasmani yang dilengkapi dengan kuda-kuda, rekstok, ring yang
tergantung di langit-langit, tali, mesin untuk latihan dan sebuah bola untuk
latihan tinju. Ia berjalan ke tengah ruangan. Sungguh mengagumkan. Sekarang ia
tahu mengapa bentuk tubuh Dominic Lyall masih sempurna, meskipun keadaan memaksa
Dominic Lyall untuk tidak aktif lagi sebagai pembalap mobil.
Di ujung tempat latihan jasmani ada sebuah pintu lagi yang menuju ke tempat
bertukar pakaian. Kamar ini berdampingan dengan sebuah kamar mandi yang memakai
pancuran. Panas juga di dalam sini. Udaranya lembab. Helen mulai berkeringat.
Hawa panas itu rupanya datang dari belakang pintu lain. Tanpa pikir panjang, ia
memutar pegangan pintu dan melongok ke dalam. Kamar sebelah dalam itu adalah
sebuah sauna. Diterangi oleh sebuah lampu suram berwarna jingga. Hawa di sini
amat panas. Seorang laki-laki sedang menelungkup di atas sebuah batu papak di
tengah-tengah ruangan. Waktu Helen sadar orang itu Dominic, kebetulan Dominic
berkata dengan tak sabar,
"Ayo, cepat, Bolt. Aku banyak pekerjaan."
Helen menahan napas. Dominic rupanya mendengar pintu dibuka dan mengira Bolt
yang membukanya. Kalau Dominic membalik badannya sekarang dan melihat Helen....
Pipi Helen menjadi merah. Ia belum pernah melihat seorang laki-laki yang tidak
berpakaian. Selagi Helen masih ragu-ragu apakah ia harus menutup pintu lagi dan lari kembali
ke atas, Dominic berkata lagi, "Di sini." Sambil mengulurkan sebelah tangannya
untuk menunjukkan tempat di punggungnya. Tepat di bawah batas pangkal pahanya.
"Sakit di sini!"
Helen merasa perutnya menguncup karena gugup. Ia harus bertindak cepat. Kalau
Dominic membalik sekarang, celakalah ia, pikir Helen. Ia harus pergi. Ia harus
meninggalkan tempat ini sekarang, selagi ada kesempatan. Tapi sesuatu, sesuatu
yang lebih kuat daripada keinginan untuk melarikan diri, menyuruhnya tetap
tinggal di situ. Ia tahu itu bodoh. Ia tahu ia mungkin diejek lagi. Tapi ia
tidak perduli. Ia menutup pintu dan masuk ke dalam kamar. Bolt rupanya adalah
seorang tukang pijat, tapi Helen pun dapat memijat. Helen merasa bahwa ia dapat
menandingi Bolt sebentar tanpa diketahui Dominic.
Tangannya gemetar ketika Helen mulai menggosok otot yang menyangga tulang
punggung Dominic. Tiba-tiba Dominic menjadi tegang. Helen mengira Dominic akan
membalik. Tapi kemudian Dominic rileks lagi. Kepercayaan Helen pada dirinya
pulih kembali. Helen meremas daging itu lebih kuat lagi, merangsang peredaran
darahnya. Hawa di dalam kamar amat panas. Karena memakai baju, ia makin merasa
panas. Napasnya makin cepat. Tepat ketika Helen merasa bahwa ia harus berhenti
karena tangannya sakit, Dominic membalik. Ia menelentang. Tubuh bagian bawahnya
ditutupnya dengan sebuah handuk.
Helen kaget dan ketakutan. Tapi Dominic tidak marah. Mata Dominic menatap Helen
penuh kagum. "Kau pandai memijat," kata Dominic tanpa malu-malu.
Sebaiknya, Helenlah yang merasa malu. Dominic begitu menarik dalam keadaan
begini. Dan Helen merasa begitu senang menyentuh Dominic.
"Bagaimana kau tahu aku yang memijat?" tanya Helen. Dominic tersenyum, sebuah
senyuman malas yang menunjukkan giginya yang rata dan putih. "Tangan Bolt lebih
berat," jawabnya. "Mengapa kau memijatku?"
Helen menunduk. "Karena aku mau," jawabnya dengan tulus hati.
Dominic membuat satu gerakan lemas dan duduk di atas batu papak. "Itu kata yang sangat
merangsang," katanya.
"Oh ya?" Untung lampu jingga dapat menyembunyikan warna pipi Helen yang merah.
"Ya, kau sendiri pun tahu."
Peluh mengalir di tangan dan dada Dominic. Warna rambutnya nampak lebih gelap
karena udara yang lembab. Tapi Helen tidak mundur. Mata Dominic sejajar dengan
mata Helen. Tak ada ejekan dalam mata Dominic. Sebaliknya, mata itu begitu
lembut dan merangsang. Tenggorokan Helen terasa kering. Dominic mengulurkan
tangannya dan mengelukkannya ke leher Helen. Jempolnya meraba-raba garis rahang
Helen. Helen tetap tidak bergerak. Ia seakan-akan melekat di tempatnya.
"Oh, Helen," kata Dominic serak, dan mendorong wajah Helen ke dekat wajahnya.
Bibir Dominic mengelus-elus pipi Helen dan keliling mulut Helen yang sedikit
terbuka. Helen berdiri dalam posisi setengah membungkuk. Lututnya gemetar. Ia menunggununggu rasa benci yang biasa timbul kalau Mike menciumnya. Tapi rasa benci itu
tidak muncul. Ia malah mendekatkan wajahnya ke wajah Dominic, dan mencari mulut
Dominic dengan mulutnya sendiri. Dan waktu akhirnya bertemu, semua prasangka
tentang mencium hilang oleh kekuatan emosi yang lebih kuat daripada dirinya.
Mulut Dominic membuka mulutnya, tidak halus dan lembab, tapi keras dan menuntut.
Tekanan tangan Dominic di tengkuknya makin bertambah, sehingga ia tersandung
pada batu papak. Dan jatuh ke dekat badan Dominic yang langsing dan kuat.
Dominic menurunkan kakinya ke lantai sambil mendekap Helen. Mulutnya tak
hentinya mencium mulut Helen.
"Oh, Allah!" kata Dominic, sambil menurunkan mulutnya ke lekuk harum di antara
buah dada Helen. "Ini betul-betul gila!"
Helen hampir tidak mendengar kata-kata Dominic. Lengannya dikelukkannya di leher
Dominic. Tangannya memegang rambut tebal Dominic. Ia berada dalam dunianya
sendiri yang hanya ditinggali dia dan Dominic. Di dalam dunia ini Dominic wajib
mendekapnya dan menciumnya terus-menerus, sehingga ia amat sadar akan kejantanan
Dominic yang sudah terangsang.
Akhirnya tangan Dominic memeluk lengan atas Helen. Dengan usaha sekuat-kuatnya
Dominic mendorong Helen menjauhi dirinya. Dominic berdiri dan membelitkan
handuknya di sekitar pangkal pahanya. Ia merapikan rambutnya dengan jari
tangannya, lalu berjalan terpincang-pincang menjauhi Helen.
Helen menatap Dominic dengan tak mengerti. "Dominic...," bisiknya. "Ada apa,
Dominic?" Dominic menengok ke belakang. "Astaga, Helen, kau tidak mungkin begitu naif! Kau
tahu ada apa! Tahukah kau apa yang kaulakukan terhadapku?"
Helen menjilat bibirnya. "Aku tahu apa yang kaulakukan terhadapku," jawabnya.
Dominic membalik dengan jengkel. "Kau sebetulnya tidak boleh datang ke sini,"
katanya dengan marah. "Aku seharusnya tidak boleh membiarkanmu..." tiba-tiba ia
berhenti. "Aku rasa lebih baik kau pergi sekarang."
Helen menatap Dominic dengan tak percaya. Ia tidak mengerti mengapa Dominic
tiba-tiba menyuruhnya pergi. Perasaan cintanya masih berkobar-kobar. Meskipun
hanya samar-samar dipahaminya, ia tahu Dominiclah pangkal perasaan itu....
"Dominic, jangan marah, Dominic...."
"Marah" Marah" Harus bagaimana aku ini menurutmu?" Dominic melihat ke bawah ke
pangkal pahanya yang terluka. Jelas terlihat di wajahnya bahwa ia merasa sakit.
"Helen, pergilah! Sekarang! Sebelum niatku berubah."
Tiba-tiba pintu terbuka. Bolt masuk. Terulang lagi kejadian tiga hari yang lalu,
tapi kali ini reaksi Bolt lebih tajam.
"Astaga! Nona basah kuyup!" Bolt memegang dahi Helen. "Nona panas sekali. Apa
yang telah Nona perbuat?" Bolt melirik Dominic. "Apakah Nona ingin sakit lagi?"
Helen yang sejak tadi menatap Dominic, sekarang mengalihkan pandangan ke Bolt.
"Aku tidak apa-apa, Bolt. Sungguh. Aku panas karena hawa di dalam sini panas.
Dan aku basah karena aku berkeringat."
Bolt membunyikan lidahnya dengan tak sabar. "Sekarang sebaiknya Nona mandi
dulu," katanya. "Di mana saya dapat mengambil pakaian untuk ganti?"
"Oh, tidak usah."
"Sebaliknya, saya rasa itu sangat perlu," jawab Bolt. Ia meletakkan botol minyak
di atas meja. "Tuan tidak berkeberatan menunggu beberapa menit lagi?"
Dominic menggelengkan kepalanya, lalu membalik. Bolt mengajak Helen ke luar dan
mengantarnya ke tempat ganti pakaian. "Itu pancurannya," kata Bolt. "Sekarang,
pakaian Nona ada di mana?"
Pipi Helen menjadi merah. "Pakaian dalamku ada di dalam laci toilet. Sedangkan
celana panjang korduroi dan sweater yang kupakai beberapa hari yang lalu
tergantung di lemari pakaian."
"Baik. Nah, mandilah dulu. Saya segera kembali."
Enak benar mandi pakai pancuran. Sambil menikmati semprotan air panas yang
menyegarkan itu, pikiran Helen melayang ke Dominic Lyall di dalam kamar sauna.
Ia membayangkan lagi kejadian beberapa menit terakhir sampai hal mesra yang
sekecil-kecilnya. Ia gemetar kalau mengingat kembali tekanan mulut Dominic yang
kuat pada mulutnya. Dan tubuh langsing dan berotot Dominic yang keras serta
menimbulkan hawa nafsu. Ia memejamkan matanya dan merasakan lagi luapan
kebutuhan mendesak yang ditimbulkan Dominic di dalam dirinya. Bagaimana ia bisa
mengira ia tidak mempunyai perasaan" Tapi tak ada seorang laki-laki pun yang
dapat merangsangnya seperti Dominic. Dan meninggalkannya dengan perasaan lapar
yang hanya dapat dipuaskan dengan penyerahan diri secara sempurna kepada
Dominic. Pipi Helen menjadi merah. Bagaimana ia bisa bercinta-cintaan dengan laki-laki
yang menahannya di luar kemauannya" Ia pasti gila! Betul-betul gila!
Helen menjadi tenang lagi. Air pancuran itu dingin, begitu juga kepalanya. Ia
telah melakukannya lagi, bukan" Ia telah membiarkan dirinya terjebak lagi oleh
Dominic selagi ia kurang waspada. Tapi apakah itu betul-betul adil" Bukankah itu
salahnya sendiri, kalau ia disentuh Dominic" Bukankah dia yang merangsang
Dominic dengan pijatannya"
Ada yang mengetuk pintu. "Siapa?" tanya Helen gemetar.
"Saya... Bolt! Pakaian Nona ada di pintu. Saya mau mengobati Tuan Lyall dulu.
Nona perlu apa lagi?"
"Tidak perlu apa-apa lagi," jawab Helen. Ketika ia keluar, ia merasa jauh lebih
segar. Apa yang harus dilakukannya dengan pakaian kotornya" Ia tidak mempunyai
sabun cuci. Barangkali Bolt punya. Ia memutuskan untuk meninggalkan pakaian itu
di dapur dan menanyakan kepada Bolt pada waktu makan siang. Tapi ketika sampai
di bawah, ia teringat akan sesuatu. Kalau Dominic berada di kamar sauna dan
kalau Bolt sedang memijat pangkal pahanya, kamar kerja tentu kosong....
Jantung Helen berdebar-debar. Helen menjatuhkan pakaian kotornya dalam satu
tumpukan di sudut, dan bergegas ke kamar besar. Sheba tidak ada di situ.
Meskipun demikian, ia membuka pintu kamar kerja dengan hati-hati, siapa tahu.
Tapi kamar itu sunyi sepi, seperti yang diharapkannya. Setelah menutup pintu, ia
bergegas ke pinggir jendela. Di situlah ia melihat telpon itu untuk pertama
kalinya. Ia menarik tirai ke samping. Telpon itu masih ada di situ. Jarinya
gemetar waktu ia mengulurkan tangannya hendak mengangkat telpon itu. Siapa yang
akan ditelponnya" Ayahnya di London" Atau polisi setempat" Bukan. Bukan polisi,
ia memutuskan dengan cepat. Ia tidak menghendaki polisi mencampuri urusan ini.
Ia mengangkat telpon ke kupingnya. Tapi kemudian ia melihat sesuatu yang tidak
disangka-sangkanya. Tali yang biasa disambung ke dasar telpon ternyata lepas.
Tali itu ada di dekat dinding dan tidak tersambung pada apa pun. Karena sudah
diputuskan. Ia menjatuhkan telpon itu seakan-akan kena api, lalu mundur. Dominic pernah
mengatakan bahwa di sini tidak ada telpon. Salahnya sendiri kalau ia menyangka
bahwa telpon itu tersambung. Itu membuktikan bahwa Dominic sebetulnya tidak
berdusta. Ia menarik tirai ke tempatnya semula. Lalu meninggalkan kamar kerja. Untung
tidak ada orang yang memergokinya. Perlahan-lahan ia menaiki tangga dan berjalan
ke kamarnya. Jadi telpon itu tidak tersambung. Jalan untuk melarikan diri yang
istimewa itu sudah tidak ada. Yang masih ada hanyalah Range Rover. Tapi tempat
mobil itu tidak diketahuinya.
Sebetulnya ia merasa enggan untuk makan siang di bawah. Ia enggan bertemu muka


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan Dominic. Tapi akhirnya ia turun juga. Bolt sudah ada di dapur. Sedang menyiapkan makanan
untuk dua orang. Bolt berkata dengan gembira, "Ini dia orangnya! Saya kira saya
harus makan siang seorang diri. Apakah Nona tidur dulu?"
Helen menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku hanya beristirahat."
"Bagus." Helen memegang-megang pisau dengan gelisah. "Dominic tidak makan siang?"
"Ia makan roti di kamar kerjanya," kata Bolt, sambil menapis kentang di atas bak
tempat mencuci. "Oh begitu." Sekarang Helen malah merasa kecewa.
Bolt menatap Helen. "Nona Helen," katanya. "Jangan bergaul terlalu rapat dengan
Dominic. Saya katakan ini untuk kepentingan Nona sendiri."
Helen menatap permukaan meja yang licin. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan."
"Ah, Nona tahu. Memang ini bukan urusan saya. Dan Nona dapat mengatakan jangan
turut campur, kalau Nona mau. Tapi saya tidak buta. Saya dapat menerka apa yang
terjadi tadi pagi." Helen duduk. "Kau dapat menerka" Mengapa" Apakah sebelum ini pernah terjadi
juga?" "Tidak. Belum pernah terjadi. Tapi sekarang saya sudah mengenal baik Tuan Lyall.
Mudah-mudahan Nona tidak..." Bolt berhenti. Rupanya sukar untuk menyatakan
maksudnya dengan kata-kata.
"Dominic tidak menggodaku, kalau itu yang hendak kaukatakan," kata Helen.
Muka Bolt menjadi merah. "Saya takut hati Nona terluka."
"Kau tak henti-hentinya mengatakan itu. Bagaimana aku bisa terluka?"
"Kalau bergaul terlalu mesra dengan Tuan Lyall."
"Bukankah itu menunjukkan ketidaksetiaan?" Bolt menghela nafas, lalu duduk di
kursi yang berhadapan. "Nona Helen, saya akan menceritakan sesuatu. Sesuatu yang hanya diketahui oleh
sedikit orang saja. Nona tahu, kakak Dominic tewas dalam kecelakaan mobil.
Menurut Dominic, kecelakaan itu terjadi gara-gara dia. Sampai sekarang Dominic
masih menyalahkan dirinya."
"Tapi mengapa?" tanya Helen.
Bolt ragu-ragu. "Saya tidak dapat menceritakannya kepada Nona."
"Tapi kau harus menceritakannya kepadaku! Ayolah, Bolt! Aku ingin tahu."
Bolt menggelengkan kepalanya. "Tuan Lyall tidak akan menyetujuinya."
"Ia tidak perlu tahu."
"Dan bagaimana kalau Nona pulang ke London dan kembali ke keluarga Nona" Siapa
lagi yang akan mendengar cerita ini?"
"Tidak seorang pun. Aku bersumpah."
"Ah, saya kurang percaya."
"Aku tidak biasa berdusta."
"Saya tidak mengatakan Nona berdusta. Tapi dengan tidak sadar Nona mungkin
mengatakan sesuatu...."
"Oh, Bolt!" Helen menutup mukanya sebentar dengan kedua tangannya.
Bolt meneliti wajah Helen yang murung. Lalu ia berkata, "Sudah terlambat,
bukan?" "Aku tidak tahu. Berulang-ulang aku mengatakan kepada diriku sendiri bahwa aku
harus membenci Dominic, karena ia menahanku di sini. Tapi aku tidak dapat
membencinya. Bayangkan, Bolt, aku meninggalkan London untuk menjauhkan diri dari
laki-laki!" Bolt mengerutkan kening. "Apakah Nona tidak mencampuradukkan simpati dengan...
sesuatu yang lain?" "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu... kalau ia ada di dekatku.... Eh, Bolt, apakah
Dominic pincang untuk selama-lamanya?"
Bolt mengangguk. "Betul. Sebagian dari pangkal pahanya remuk dalam kecelakaan
itu. Sehingga harus dibedah untuk mengeluarkan pecahan tulang."
"Oh." "Kemudian, sesudah luka-lukanya sembuh, dokter hendak membedahnya lagi. Dokter
hendak memasukkan sepotong tulang buatan. Sebagai ganti tulang yang remuk. Tapi
Tuan Lyall tidak mau."
"Mengapa?" "Saya tidak tahu. Semua orang mencoba membujuknya. Tapi Tuan Lyall tetap pada
pendiriannya. Seakan-akan ia ingin mengenangkannya selama-lamanya..." Bolt
menghela nafas. "Dengan sendirinya ia merasa sakit kalau berdiri terlalu lama,
dan tulang punggungnya terasa nyeri. Karena itu harus dipijat."
"Aku mengerti." Helen mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku bisa memijat
sedikit. Ibuku dulu sering menderita sakit kepala. Aku sering disuruh memijat
pelipis dan tengkuknya. Bolt, mengapa Dominic menyalahkan dirinya dalam
kecelakaan itu?" Bolt berdiri. "Menurut Dominic, kakaknya bunuh diri setelah tahu isterinya
mencintai Dominic." "Apa?" "Francis mengikuti jejak ayahnya dan masuk tentara. Ia bertemu dengan Christina
di Cyprus. Ia menikah diam-diam dan membawa pulang isterinya. Isterinya seorang
perempuan jalang. Segera setelah ia bertemu dengan Dominic... ah, lebih baik
tidak kukatakan. Cukup kalau kukatakan ia membujuk Francis agar keluar dari
tentara dan menjadi pembalap mobil seperti adiknya. Francis tidak cocok untuk
menjadi pembalap, tapi Christina tidak perduli. Francis begitu cinta kepada
Christina sehingga ia mau mencoba apa pun. Ia ikut balap beberapa kali. Hasilnya
rata-rata baik, dan itu tentu tidak cukup. Dominic selalu menang, dan Christina
menyukai seorang pemenang."
Mulut Helen terasa kering. "Dan... dan Dominic?"
Bolt tersenyum kecil. "Dominic tidak tertarik pada Christina. Lagipula,
Christina adalah isteri kakaknya."
"Kalau begitu... apa yang terjadi?"
Bolt menghela nafas. "Malam itu adalah malam terakhir sebelum balap mobil di
Nurburgring. Kami sudah datang ke Jerman beberapa hari sebelumnya. Kami tinggal
di hotel yang sama di dekat tempat balap. Malam itu Francis dan Christina
bertengkar. Mereka selalu bertengkar. Christina ingin diajak pergi oleh Francis,
tapi Francis ingin beristirahat. Balap mobil adalah olah raga yang meletihkan.
Pembalapnya membutuhkan kesehatan badan yang sempurna. Baiklah, akhirnya
Christina pergi seorang diri. Ketika hari sudah malam dan ia belum juga pulang,
Dominic dan Francis mencarinya. Christina diketemukan Dominic di sebuah tempat
minum bir yang tercela. Ia sedang melawan dua orang kelasi yang tertarik pada
dirinya. Ia dalam keadaan mabuk, tentu. Dan Dominic harus mengalahkan kedua
pemujanya dulu sebelum dapat membawanya pergi. Christina salah menafsirkan
perbuatan Dominic. Dominic akan berbuat yang serupa untuk setiap perempuan.
Ketika Francis pulang, Christina mengatakan kepadanya bahwa ia tidak mencintai
Francis, dan hanya mencintai Dominic. Ia mengatakan bahwa Dominic juga
mencintainya. Bagaimanapun Dominic menyangkal, Francis tidak percaya."
"Ah, Bolt!" "Tidak begitu menyenangkan, bukan?"
"Lalu bagaimana?"
"Selebihnya Nona sudah tahu. Francis selip di tempat balap. Mobilnya tak dapat
dikendalikan. Dominic dan Johann Barras kedua-duanya menubruk mobil Francis.
Francis dan Johann mati... Dominic luka parah."
"Dan kemudian" Apa yang terjadi dengan Christina?"
"Oh, dia kembali. Ia masih mencintai Dominic rupanya, tapi Dominic tidak pernah
mencintainya. Dominic tidak suka pada Christina."
"Kalau begitu Christina tentu mencintai Dominic."
"Barangkali, dengan caranya sendiri." Bolt memotong daging. "Tapi sejak
kecelakaan itu Tuan Lyall tidak mau bergaul dengan perempuan." Bolt
menggelengkan kepalanya. "Kejadian sedih itu mempunyai pantulan yang tak
disangka-sangka. Kolonel Lyall mendapat serangan jantung ketika ia mendengar
tentang kecelakaan putranya. Ia tidak pernah sembuh lagi. Nyonya Lyall meninggal
hanya beberapa bulan setelah suaminya."
"Kasihan!" Bolt menatap Helen. "Nah, sekarang Nona tahu mengapa cerita ini tidak boleh
diumumkan." "Tentu saja tidak boleh. Tapi Dominic tidak salah dalam kecelakaan itu, bukan?"
"Tentu saja tidak. Tempat balap mobil itu licin. Mobil Francis bukan mobil satusatunya yang selip. Jadi betul-betul kecelakaan." Bolt menghela nafas. "Tapi
kalau kejadian semacam itu menimpamu... kalau hubunganmu dengan orang yang
bersangkutan kurang baik... sudah lazimnya kau menyalahkan dirimu sendiri
andaikata sesuatu terjadi. Tuan Lyall berada terlalu dekat untuk dapat melihat
apa yang sebetulnya terjadi. Lalu akibatnya..." Bolt kembali melanjutkan
pekerjaannya. "Saya kira Dominic memilih ke luar dari masyarakat."
"Dan sekarang?"
"Sekarang ia mempunyai pekerjaan untuk menyibukkan dirinya. Ia sudah menulis
buku mengenai ayahnya. Buku itu sudah dibuat film."
"Ia tidak menceritakannya kepadaku. Apakah film itu berhasil?"
"Sangat berhasil. Menghasilkan banyak uang. Tapi hal ini tidak mengubah sikap
Tuan Lyall." "Menurut pendapatmu... adakah sesuatu yang dapat mengubah sikapnya?"
Bolt meletakkan daging di atas meja. "Saya rasa tidak ada. Karena itu saya
memperingatkan Nona."
"Aku bukan anak kecil, Bolt."
"Saya tahu. Tapi janganlah membangun angan-angan di atas pasir apung. Jangan
mengharapkan sesuatu, nanti Nona kecewa."
"Sinis benar." "Tuan Lyall adalah laki-laki yang sinis, Nona Helen. Seperti saya katakan tadi,
saya tidak senang melihat hati Nona terluka."
BAB TUJUH HUJAN salju turun lagi. Helen memandang ke luar melalui jendela dapur. Rasanya
salju turun terus-menerus. Entah sampai kapan cuaca buruk ini berlangsung.
Banyak benar kejadian yang dialaminya, pikir Helen. Padahal ia baru datang ke
sini seminggu yang lalu. Ya, begitu banyak, sampai-sampai kehidupannya di London
hampir terlupakan. Helen membalik dan memeriksa dapur. Bolt sedang merawat binatangnya. Bolt
melarang Helen ikut ke luar. Helen tidak berkeberatan. Karena kebetulan ia
merasa lemah dan kurang bertenaga. Sampai sekarang masih saja ia memikirmikirkan kejadian di kamar sauna. Alangkah bodohnya ia dan tidak bertanggung
jawab, membiarkan keinginan badan mengatur pikiran sehatnya. Biasanya ia dapat
menguasai setiap keadaan. Tapi ternyata ia tidak dapat menguasai dirinya sendiri
waktu membalas ciuman Dominic Lyall yang pasti berpengalaman itu.
Helen mondar-mandir di dalam dapur. Semua gara-gara dia sendiri, pikir Helen.
Dialah yang mengambil inisiatif. Dialah yang menyentuh kulit Dominic yang licin
itu. Dialah yang memijat, tapi yang bagi Dominic berarti mengusap. Dialah yang
tak dapat menahan diri. Apa yang terjadi selanjutnya masih dapat membuat pipinya
merah. Ia mengusap tengkuknya. Ototnya masih sakit, bekas tekanan jari Dominic.
Ia mencari-cari di bawah sweater-nya. Dan mengusap-usap lekuk di antara buah
dadanya yang disentuh bibir Dominic. Ia menggigil. Belum pernah ia merasa begini
masgul. Pangkal perasaan ini ialah kekecewaan, karena keinginannya tidak
terkabul. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya kalau merindukan seorang laki-laki.
Tapi bukan sembarang laki-laki: Dominic Lyall.
Ia meninggalkan dapur. Ia takut Bolt kembali dan melihatnya sedang melamun.
Sesungguhnya perasaan yang ada di dalam hatinya ini membuatnya sedikit takut.
Dan ia merasa malu, karena ia tidak berdaya sama sekali kalau berhadapan dengan
Dominic. Ia menaiki tangga dan pergi ke kamarnya. Ia melempar dirinya ke atas
tempat tidur, dan menatap salju putih yang jatuh di balik jendela. Makin lama
makin berat rasanya untuk meninggalkan tempat ini. Sekarang ia malah tidak mau
pergi dari sini. Ia bangun dan duduk di atas tempat tidur sambil memeluk
lututnya. Ia merasa cemas. Apa yang akan dilakukannya" Apa yang dapat
dilakukannya" Dan apa yang ingin dilakukannya"
Ia turun dari tempat tidur dan pergi ke jendela. Ia mengulang-ulang lagi apa
yang dikatakan Bolt sebelum makan siang. Makan siang yang dengan susah payah
ditelannya. Bolt mengenal baik Dominic. Lebih baik daripada siapa pun. Meskipun
demikian, Bolt tidak tahu apa yang terjadi di kamar sauna. Ia menyilangkan
tangannya di dadanya dan menggosok-gosok bahunya dengan telapak tangannya. Pada
suatu saat ia harus bertemu lagi dengan Dominic. Pada waktu itu barulah ia dapat
menetapkan apakah Bolt berdusta atau tidak.
Ia tinggal di dalam kamarnya sampai sore. Sesudah mandi, ia memakai long dress
dari krep hitam. Kulitnya nampak lebih putih. Gaun itu sederhana. Tapi karena
melekat ke badan, gaun itu menonjolkan setiap lekuk tubuhnya. Rambutnya
dibiarkannya terurai. Ia memeriksa dirinya di muka cermin toilet dan merasa
puas. Dandanannya rapi. Waktu ia masuk ke kamar duduk beberapa menit kemudian, kamar itu ternyata
kosong. Ia merasa jengkel. Apakah ia harus makan dengan Bolt lagi" Apakah dengan
demikian Dominic hendak menunjukkan bahwa apa yang terjadi di antara mereka tak
boleh terulang lagi" Helen berdiri di tengah-tengah kamar, sambil menggigit
bibir bawahnya. Tiba-tiba pintu terbuka. Bukan Bolt yang membukanya, tapi
Dominic Lyall. Malam ini Dominic memakai kemeja sutra berwarna biru tua dan celana panjang suet
berwarna biru juga. Ia juga memakai baju rompi berumbai-rumbai berwarna krem.
Pandangan mata Dominic melayang dengan sedikit kurang ajar ke bagian tubuh Helen
yang menarik. Ketika berpindah ke bagian yang lebih bawah, Helen menatap kuku
tangannya dengan gelisah.
Perhatian Dominic rupanya berakhir di situ. Setelah pintu ditutupnya, dengan
terpincang-pincang ia masuk ke dalam kamar duduk. Dominic berdiri membelakangi
perapian dan berkata, "Jangan menatapku begitu. Kau kira aku akan menerjangmu?"
"Aku tidak..." Helen menghela nafas. "Bagaimana kesehatanmu malam ini?"
"Setelah merasakan pijatanmu yang istimewa, maksudmu?"
Pipi Helen menjadi merah. "Jangan mengolok-olok."
"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?"
"Kau dapat menanyakan bagaimana kesehatanku."
"Apakah itu perlu" Kelihatannya kau sudah sembuh."
"Kau tidak menjengukku waktu aku sakit."
"Kau ingin aku menjengukmu?"
Helen menundukkan kepalanya. "Itu sopan-santun, bukan?"
"Kau kira aku kenal sopan-santun" Tentu tidak, bukan" Aku masih ingat, kau
menganggap aku orang yang bejat morilnya. Orang yang rusak jiwanya maupun
badannya." Helen menatap Dominic dengan gemetar. "Itu pada permulaan. Sebelum aku
mengenalmu." "Kau tidak mengenal aku, Nona James."
"Ah, mengapa kita tidak bisa bersikap sopan?"
"Kalau yang kaumaksudkan, apakah kita dapat bercakap-cakap tentang sesuatu, dan
bukan tentang diri kita sendiri, aku kira dapat. Kau hendak bercakap-cakap
tentang apa?" Helen merasa kecewa. "Kau sengaja salah mengerti."
"Sebaliknya, Nona James, aku sangat mengerti."
Untung pada saat itu Bolt datang. Bolt menyajikan makanan malam yang sedap
baunya. Helen mengira Dominic akan mengundang Bolt lagi, seperti yang pernah
dilakukannya. Tapi Dominic tidak mengundang Bolt. Dan Helen tidak tahu siapa
yang lebih heran... dirinya sendiri atau Bolt.
Selama makan malam Dominic berusaha untuk berbuat seperti yang diminta Helen. Ia
berbicara tentang buku yang telah dibacanya, kejadian kemasyarakatan dan tempattempat yang telah dikunjunginya. Ia menganjurkan Helen untuk berbicara tentang
kehidupannya sendiri bersama ayah dan ibu tirinya. Helen menceritakan kepada
Dominic semua yang telah diceritakannya kepada Bolt. Dan mendengarkan penjelasan
Dominic tentang kelakuan ayahnya. Berkat Dominic, Helen mulai mengerti tentang
rasa kesepian yang diderita ayahnya setelah ibunya meninggal. Rasa kesepian
inilah yang mendorong ayahnya untuk berhasil dalam pekerjaannya. Dengan demikian
meringankan kepergian ibunya. Tak dapat disangsikan lagi, Dominic mempergunakan
pengalamannya sendiri untuk membantu Helen supaya memahami perasaan ayahnya.
Helen menghargai pengertian Dominic ini. Satu-satunya hal yang tidak
dibicarakannya yaitu pergaulannya dengan Michael Framley. Bagaimanapun hal itu
bersifat pantangan. Karena sikap Dominic lebih lunak, Helen berani berkata, "Aku rasa semua orang
memerlukan pendapat yang bersifat objektif untuk dapat memahami persoalan
mereka. Maksudku, dalam persoalanmu, misalnya, kau terlalu terlibat untuk dapat
melihat dengan jelas apa yang terjadi pada waktu kecelakaan kakakmu..."
"Siapa yang menceritakan kecelakaan kakakku kepadamu?" bentak Dominic. "Ah,
tidak perlu kau jawab. Aku dapat menerka. Tentu Bolt. Seharusnya aku ingat ia
tidak dapat menutup mulutnya!"
"Jangan menyalahkan Bolt," kata Helen. "Aku yang bertanya. Bolt hanya menjawab
pertanyaanku." "Bolt tidak berhak mempercakapkan urusanku dengan siapa pun."
"Kami tidak mempercakapkan persoalanmu. Bolt hanya menceritakan kejadian yang
sebenarnya."

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu hendak berdiri, paha Dominic terbentur. Ia mengerenyit karena merasa
sakit. Ia menatap kepala Helen yang menunduk. Kemudian, perlahan-lahan dan
terpincang-pincang, ia berjalan ke seberang kamar. Ia berusaha mengendalikan
kemarahannya. Helen berlutut di atas dipan, sambil menatap punggung lebar
Dominic. Helen ingin sekali membebaskan Dominic dari kegetiran hati yang
sebetulnya tidak perlu dirasakannya.
"Dominic...," kata Helen. Dominic membalik dan menatap Helen dengan dingin.
"Dominic, apa salahnya Bolt menceritakan itu kepadaku" Peristiwa itu terjadinya
bertahun-tahun yang lalu. Mengapa kita tidak dapat membicarakannya?"
Dominic menyangga lebih kuat lagi pada kakinya yang tidak luka. "Apa yang
memberimu hak untuk berpikir bahwa aku mau membicarakan kecelakaan itu
denganmu?" Helen tidak mau digertak. "Aku ingin menolongmu...."
"Oya?" Dominic terpincang-pincang kembali ke dipan. "Dalam hal apa kau dapat
menolongku?" "Aku dapat menolongmu melihat kenyataan sebagaimana kenyataan itu sesungguhnya.
Dan aku dapat menunjukkan bahwa orang tidak sekejam yang kaupikir. Kau harus
belajar hidup dengan dunia lagi...."
"Dan bagaimana kalau aku lebih menyukai hidupku yang sekarang ini" Kalau aku
tidak ingin hidup lagi di dalam dunia yang kaubicarakan tadi?"
Helen duduk bersimpuh dan merasa kalah. "Bagaimana kau bisa tahu" Kau belum
pernah mencoba. Aku kira kau takut mencoba."
Helen mengatakannya perlahan-lahan, hampir seperti pada dirinya sendiri. Tak
disangkanya kata-kata itu dapat menimbulkan kemarahan. Dalam satu gerakan lemas
Dominic sudah berada di dekat Helen. Dominic mengambil seuntai rambut Helen dan
memutarnya sekeliling jarinya, sehingga kepala Helen terangkat.
"Kau tahu apa tentang itu?" tanya Dominic dengan kejam. "Kau berbicara tentang
objektivitas... tentang pengertian. Kau tahu apa tentang hal itu" Kau tahu apa
tentang berbaring berbulan-bulan lamanya di rumah sakit, lebih baik mati
daripada hidup, dan menyesali diri karena bukan kau yang menjadi korban! Apakah
kau mengerti mengenai kekuatan yang menghancurkan satu orang dan meninggalkan
yang lainnya cacat untuk seumur hidup...?"
"Kau dapat dioperasi," kata Helen, sambil meraba kulit kepalanya yang sakit.
"Aku lebih suka mengenangkan," kata Dominic. "Selain daripada itu, aku tidak
menghendaki alat buatan yang kotor itu di dalam diriku. Paha ini cacat, tapi
asli... bukan salinan yang tidak wajar."
"Dominic, kepalaku sakit...."
"Nah, bersikaplah objektif," kata Dominic. Helen merasa tersinggung.
"Kau tidak serius, bukan?" kata Helen dengan serak. Wajah Dominic menjadi suram.
Ia mengeluh menyesali dirinya. Dominic berlutut di dipan, di sebelah Helen. Ia
memegang tangan Helen dan mengangkat telapak tangan Helen ke bibirnya.
"Ah, Helen," bisik Dominic. "Jangan menatapku begitu. Aku tidak mau menyakitimu.
Tapi aku tidak dapat menahan diri."
Tekanan mulut Dominic pada telapak tangan Helen merupakan godaan yang mendesak.
Helen gemetar. Dominic menatap Helen dengan mata yang gelap penuh perasaan.
Dominic memegang tengkuk Helen, dan jempolnya meraba-raba dengan teratur kulit
yang halus perasaan di bawah telinga Helen. Kemudian Dominic menurunkan leher
baju Helen dan menonjolkan daging halus untuk disentuhnya.
Helen tak dapat bergerak, meskipun ia mau. Pengaruh Dominic begitu kuat. Ia
tidak dapat menolak apa pun yang diminta Dominic. Dominic menarik tangan Helen
ke tubuhnya. Helen menggerapai begitu lama dengan kancing kemeja Dominic,
sehingga Dominic membuka kancingnya sendiri. Lalu ia menarik Helen ke tubuhnya
yang keras dan berotot. "Oh, Helen," bisik Dominic. "Kau tak tahu apa yang kaulakukan...."
Kemudian mulut Dominic menekan mulut Helen, keras dan kuat dan menuntut dengan
lapar. Helen tidak perduli apa-apa lagi. Ia melingkarkan lengannya ke leher
Dominic. Akhirnya mereka berbaring di atas dipan sambil berpelukan, mulut dan
tubuh mereka berlekatan. Ciuman mereka makin lama makin panjang. Makin halus dan
makin merangsang. Helen mengusap-usap paha Dominic yang luka. Ia tidak mendapat
jawaban, kecuali tekanan menganjurkan pada jari tangannya. Dan ini membawa
pengaruh yang melemahkan pada perasaannya yang menggelora. Tak ada apa-apa lagi
yang diinginkannya kecuali menghabiskan malam ini di sini, di dalam kamar yang
hangat dan terang ini, sambil bercinta-cintaan....
"Aku cinta padamu, Dominic," bisik Helen di bawah mulut Dominic. Tapi Dominic
langsung menjadi tegang. Ia berguling menjauhi Helen. Lalu berbaring menelentang
sambil menatap langit-langit.
"Dominic?" Helen menyangga pada kedua sikunya. "Ada apa, Dominic" Aku bilang...
aku cinta padamu. Sungguh. Aku cinta padamu."
"Jangan mengucapkan kata-kata itu kepadaku," bentak Dominic. Ia menurunkan
kakinya ke lantai, lalu berdiri. "Kau tidak tahu apa yang kaukatakan."
"Aku tahu. Aku mengerti! Mengapa kau, Dominic?"
Dominic menatap Helen dengan dingin, sambil memasukkan kemejanya ke dalam celana
panjangnya. Ia mengambil baju rompinya, lalu memakainya. "Aku tidak cinta
padamu," katanya. "Bagiku, cinta tidak masuk hitungan."
"Tapi tadi - " "Aku ingin bercinta-cintaan," kata Dominic kasar. "Aku kira kau juga
menginginkan itu." "Aku - ya." Helen bernapas tak teratur.
"Nah, setelah selingan ini berakhir, apakah kau bersedia melupakannya?"
"Melupakannya?" Helen duduk, sambil merapikan bajunya. "Dominic, aku tidak
percaya kau - tidak tertarik padaku."
Dominic menatap Helen. Wajahnya suram. Tiba-tiba ia berjalan terpincang-pincang
ke kursinya. Ia duduk, lalu mengambil botol Scotch dan sebuah gelas. "Mengapa
kaum wanita tidak dapat mengerti bahwa laki-laki dapat dirangsang oleh nafsu
untuk kawin semata-mata" Tak perlu ada perasaan cinta untuk melakukan itu."
Helen benci mendengar kekasaran kata-kata Dominic. "Kata-katamu memualkan."
"Apa yang kauharapkan dari orang yang sudah bejat morilnya dan cacat badannya
seperti aku ini?" "Ah, Dominic - "
"Tutup mulut!" bentak Dominic, sambil mengangkat gelas ke bibirnya. "Aku tidak
mau berbicara tentang hal itu lagi. Aku tidak mau berbicara denganmu lagi. Kau
memualkan!" Helen tersedu. "Jangan mengucapkan kata-kata semacam itu! Kau tidak mungkin
Pedang Sinar Emas 9 Pendekar Rajawali Sakti 58 Darah Seratus Bayi Manusia Harimau Marah 1

Cari Blog Ini